kabut asap akibat kebakaran hutan. Atau bahkan mata-mata mereka yang kabur. Di luar dugaan, tiba-tiba saja ada remaja entah asal daerah mana berteriak : “Api! Api! Api! Kebakaran! Kebakaran!” sambil menunjuk arah anjungan kapal. Sejumlah remaja lainnya bergabung, ternyata juga merasa seperti melihat api di anjungan. Mereka pun turut berteriak. Terus berteriak. Sementara sejumlah ABK yang ada di situ tak melihat apa-apa. Dan mencoba melerai teriakan-teriakan itu. Namun fatal, bagai kesurupan lebih dari 20 orang remaja akhir nya mengamuk, melawan kelasi kapal yang mencegahnya. Ke rusuhan menjelma perkelahian antarsesama remaja laki-laki dari berbagai daerah. Sementara remaja perempuan turut berteriak untuk menghentikannya. Tetapi sia-sia. Kerusuhan menjadi- jadi, beberapa kaca jendela kapal pecah. Beberapa ABK terluka. Beberapa remaja jatuh pingsan. Akhirnya sang Nakhoda turun tangan. Seperti sudah ber pengalaman mengalami hal seperti itu, ia dekati remaja yang pertama kali berteriak melihat api dalam halusinasinya. Dengan mantap ia genggam leher bajunya, dan bertanya : “Hei! Diam! Di mana kau lihat api?” Remaja itu terdiam sejenak, matanya memerah seolah ter balik, lalu tangannya menuding arah anjungan. Sang Nakhoda pun bicara menasehati. “Api itu adalah api kebangsaan. Bara api yang harus kau nyalakan di dadamu. Bukan api yang membakar anjungan. Tapi bara api semangat sebagai satu bangsa, bangsa Indonesia!” Sang Nakhoda meyakini remaja itu mengalami depresi atau halusinasi. Mungkin orang menyebutnya kesurupan. Sejatinya disebabkan perut lapar, ngelangut menatap laut. Merenungkan kapal yang macet misterius, jiwanya merasa tertekan, muncullah ketakutan hingga ia berteriak-teriak tanpa sebab yang jelas. 240 Ini Bangsa Juga Punya Saya
Namun, beberapa ABK berbisik, memang di perairan ini ada yang ‘penunggunya’. Jika ada penumpang yang pikirannya kosong, sering kesurupan di sini. Entah bermula dari siapa, remaja-remaja putri perlahan- lahan bernyanyi : “Kulihat ibu Pertiwi, sedang bersusah hati, airmatanya berlinang, mas intan yang kaukenang, hutan gunung sawah lautan, simpanan kekayaan, kini ibu sedang lara, merintih dan berduka” Seketika itu pula remaja laki-laki dan para ABK ikut ber nyanyi. Lagu itu diulang sampai 17 kali. Kemudian sang Nakhoda bicara kembali : “Adik-adik remaja peserta kapal wisata Antarnusa ini, kamu diutus daerahmu ikut dalam kapal ini, bukan untuk berkelahi atau tawuran, tapi untuk menghayati benar, bahwa kau datang dari seluruh penjuru Nusantara bukan semata sebagai mutiara daerah masing-masing, tetapi adalah sebagai pewaris dan penerus kepemimpinan Negara RI di masa depan. Kaulah yang harus mewujudkan cita-cita ‘Soempah Pemoeda’ tahun 1928, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945. Peganglah teguh pesan Mpu Tantular, semboyan Bhinneka Tunggal Ika” Ketika kemudian diakhiri dengan lagu “Syukur” ciptaan H. Moetahar, entah sebab apa tiba-tiba mesin kapal hidup sen diri. Juru mesin, juru mudi, dan semua kelasi kembali ke pos masing-masing. Remaja-remaja dari beragam daerah di kapal itu saling berpelukan, menangis karena terharu dan bersyukur. Dan akhirnya meneriakkan yell-yell : “Aku anak Indonesia! Aku cinta Indonesia”. *** Purworejo, September 2019. 241Antologi Cerpen Kebangsaan
Sus S. Hardjono LENCANA Kemarau panjang menghalau debu-debu kota. Tetapi, di depan pasar di jalan arteri di situlah sebuah mes atau semacam rumah dengan bangunan tua sederhana yang tak layak disebut sebagai rumah tentara. Di depan masih setengah berdiri dengan cagak yang mirip panti Wredatama, mes para janda dan duda serta keluarga warakawuri. Pensiunan bekas tentara rakyat Indonesia yang tersisa dulu. Beberapa tahun sebelum semua rata dengan tanah dan entah ke mana mereka harus pindah. Semua rumah-rumah berisi keluarga para pejuang kemerdekaan, yang telah mengabdikan hidupnya demi negara dan bangsa. Mereka memang mempunyai sekadar uang pensiunan bulanan yang bisa untuk bertahan hidup atau sekadar untuk bertahan hidup. Mbah Salamun, panggilannya, selain mendapat jatah bulan an itu dengan pensiun yang tak seberapa, beliau juga menjadi tukang tambal ban yang mangkal di depan pasar itu. Panggilan nya Mbah Salamun. Seluruh kompleks itu sudah tahu sosok Mbah Salamun panggilannya. Dia sering berkelakar dengan para tukang becak dan warga di sekitar kompleks mes yang menurut cerita bangunan itu peninggalan Belanda. Karena letaknya se berang pasar, banyak para tukang becak yang sering mangkal di situ. Juga angkringan dan para penjual gerobak dorong sering memarkirkan dagangan di situ. Dia masih terkesan gagah dan tidak menampakkan dan menyombongkan diri. Terkesan me mang kalau Mbah Salamun memang kesannya tentara. Dan mereka yang tahu tentang perjuangan kotaku, Mbah Salamun 242 Ini Bangsa Juga Punya Saya
paham akan kisah perjuangan, kisah heroriknya saat melawan Belanda dan tentara Jepang di kota ini. Tetapi Mbah Salamun tak pernah jemawa dan menyombong kan dirinya sebagai sosok yang hebat. Dari matanya yang ce kung dalam terkadang ada getir pahit hidupnya yang tak bisa diceritakan. Mbah Salamun memendam kisah duka dan kepedih an karena anak satu-satunya yang dikasihinya harus menjadi korban kebiadaban amuk masa reformasi tahun 1998, saat me laksanakan tugasnya. Kemarau sangat panjang. Udara siang gerah dan panas. Belum ada tanda-tanda hujan akan tiba. Daun-daun sepanjang bebukitan meranggas. Nyaris sungai sungai kering mengeron tang. Reranting kering dan menggugugurkan dedaunan. Seperti lukisan alam damai, tapi gersang. Hampir tak ada yang bisa me mahami akan kemarau sepanas ini. Orang-orang bisa berkelakar di tengah kemiskinannya. Menertawakan diri dan nasibnya. Mbah Salamun tidak menangis karena Mbah Salamun su dah ikhlas menerima kenyataan. Dan bagaimana Mbah Salamun mencoba mengabdikan diri tanah kelahiran ini, saat ini meneri ma lencana pengabdian dari pemerintah. Dan hari Pahlawan tepatnya, lencana itu diberikan Ibu Bupati pada upacara di lapangan di Kabupaten. Tanda jasa itu diberikan setelah diada kan upacara hari Pahlawan. Mbah Salamun mengenang saat-saat krisis peperangan dulu. Banyak tentara yang sakit terserang wabah kolera. Sementara persediaan makanan dan pasokan logistik tidak ada. Mereka bertahan untuk tetap mengadakan gerilya dan perlawanan pada tentara Belanda. Banyak teman-temannya yang meninggal di tempat medan pertempuran itu. Martodikromo, Hartowiyono, Karsopawira, Joyosumitro, dan Karyodikromo. Mereka tinggal nama, dan meninggalkan titik airmata yang menetes di mata keriput Mbah Salamun. 243Antologi Cerpen Kebangsaan
Dia beserta istri dan satu-satu cucunya tinggal di mes tentara itupun juga hanya punya hak guna bangunan dan bukan hak milik. Mbah Salamun dan keluarganya tak punya tempat tinggal. Satu-satunya tempat istana yang dipunyainya adalah mes sebuah rumah petak rumah ukuran kecil di tengah kota bekas peninggalan Belanda, yang ditempatinya. Semua anggota yang tinggal di situ hanya bisa menggunakan saja, tidak berhak menjual dan memiliki. Itupun karena kebaikan pimpinan dari pusat yang masih memperpanjang kontrak pemakaiannya hing ga detik ini. Karena terdengar santer kabar bahwa komp leks perumahan tentara atau mes tentara itu akan segera dialih fungsikan dan dijual ke investor dan dijadikan sebuah mal besar di kota ini. Karena memang letaknya strategis di depan pasar dan di tengah perkotaan. Banyak yang sudah protes dan demo, tetapi hasilnya nihil, tak digubris oleh pimpinan pusat. Kompleks itu akan tetap dijual ke investor. Dan para penghuni sudah diberikan waktu untuk berkemas pergi meninggalkan kompleks mes tentara itu semenjak dipatok ditulisi bahwa tanah dan bangunan di situ akan dibangun gedung pertokoan dan mal besar. Penghuni sudah dimediasi dan disuruh pindah. Tetapi, ada yang masih bersikeras dan bertahan tinggal di situ. Karena memang belum tahu mau pindah ke mana dan pergi ke mana karena tidak punya tempat tinggal. Termasuk keluarga Mbah Salamun. Mereka sering diteror untuk segera mengosongkan bangunan dan lahan itu akan segera dibangun. Desas-desusnya memang mes tentara yang sudah kusam dan tua ini dengan perumahan petak Wredatama ini sudah akan diambil alih investor. Letaknya strategis dan tepat di jantung kota depan Pasar Bunder. Bahkan sudah diperintahkan warga perumahan untuk segera meninggalkan dan diultimatum serta jauh-jauh hari sudah diberitahukan untuk pergi dan mening galkan dan mengosongkan perumahan. Sebagian sudah mening galkan rumah petak itu sebagian yang lain masih di situ. Sambil 244 Ini Bangsa Juga Punya Saya
menunggu bagaimana kelanjutan apa jadi dibangun sebuah mal besar di jantung kota. Di situ banyak dihuni janda-janda dan anak-anak pensiunan. Sebagian warga dan penduduk sudah menga jukan protes dan demo, tetapi kayaknya mental dan tetap aspirasi warga tak didengar, mereka harus menghadapi gurita kapitalis yang mahabesar untuk dijadikan tempat bisnis yang sangat menguntungkan. Pun mereka tidak ada hak milik, hanya guna bangunan saja. Pihak investor sudah menggunakan ancaman dan teror untuk mengusir dan membuat warga tidak betah tinggal disitu. Tetapi Mbah Salamun sangatlah ikhlas menerima kehidupan sepahit apapun. Mes rumah tinggalnya yang sempit dan berjubel pemukiman penduduk yang bising itu, Mbah Salamun masih menyempatkan dirinya memelihara perkutut kesayangannya di depan kompleks itu, sering digantang dekat tiang bendera Merah Putih di depan mes kantor Wredatama itu. “Salam merdeka, Mbah Mun !” “Hay kamu Paijo, salam kembali anak muda!” “Bagaimana hasilmu narik becak hari ini ?” “Alhamdulillah, Mbah !” “Ya, alhamdulillah becak masih bertahan di tengah dunia transportasi semaju ini !” Orang langka seperti Paijo masih mengayuh becak di tengah dunia digital, grab, dan gojek online berkembang marak. Paijo, Mbah Salamun, dan semua akan tergilas zaman manakala tak bisa mengikuti kehendak zaman. “Saya besok pulang, Mbah.” “Loh kemarin kan dah pulang kampung kok mau pulang lagi kenapa, Jo!?” Mbah Salamun tanya pada Paijo dari asal kampungnya di daerah Pilangsari Gesi yang kemarin pulang untuk mencoblos mengadakan pilkades bersama serentak. “Ada saudara mantu ada hajatan, Mbah “ !” “Oh, iya jagong to!” 245Antologi Cerpen Kebangsaan
Sambil Paijo menjawab meletakkan becak kesayangannya di depan teras Mbah Salamun bersedia dititipi berbagai becak, kereta dorong, gerobak dorong, dan lain-lain, yang ada di kompleks gedung tua Wredatama dengan komplek petak rumah kecil kecil tentara itu. Sambil pamitan Paijo menuju jalan raya dan menyalami Mbah Salamun yang penuh gemuk dan oli karena sedang menambal ban di depan Pasar Bunder. Mbah Salamun sekalipun sudah tua masih gesit menambal ban. Selain juga mempunyai lapak kecil berbagai rokok dan minuman yang dipajang di depan tambal bannya. Sesekali juga dibantu oleh istrinya Mbah Ti dan cucunya kalau pas pulang dari kota tempat cucu satu- satunya itu kuliah. Tenaganya sudah sangat ringkih sesekali batuk di tengah kepulan asap rokoknya. Dan suara burung perkututnya yang nada kooong panjang sampai di telinganya dibawa sesayup angin kemarau. Secepat debu-debu melumat wajah rentanya. Tangannya membereskan ban-ban bekas, alat-alat tambal ban dan mesin kompresor kecil miliknya di bawah pohon kersen. Di depan lapak tambal ban dan lapak rokoknya itu tumbuh pohon kersen yang rindang. Seharusnya Mbah Salamun sudah me nikmati masa tua yang indah. Tetapi, ia terlihat bingung harus ke mana kalau dia harus pindah dan harus pergi dari mes ini. Mbah Salamun masih bingung, hendak ke mana masa tuanya ini dilabuhkan. Mbah Salamun ingin menikmati masa tuan ya dengan bahagia. Susah senang dijalaninya dengan ikhlas, tatapannya me lamun lurus ke jalan lebar di depannya. Sepanjang jalan itu adalah jalan arteri Jalan Daendels yang dulu tempat tentara Belanda mengadakan serangan ke kotanya. Mbah Salamun dan kompinya ikut membentuk prajurit tenaga yang ikut menyerang Belanda. Beberapa temannya ada yang mati dan peluru berdesing di atas kepalanya. Banyak yang gugur dan meninggalkan Mbah Salamun sendirian. 246 Ini Bangsa Juga Punya Saya
Tiap Belanda datang bergerak dari arah barat di Jalan Daendels itu perintah selalu dikomandani untuk menutup selu ruh lampu teplok penduduk di dekat jalan. Untuk menutup cahaya apa pun di rumah dan lampu teplok yang berupa senthir lenga patra pun harus diembus saat Belanda datang. Bagai air bah yang menakutkan. Beberapa waktu bagai petir kilat menyambar peluru- peluru berdesingan menembus pohon-pohon kelapa penduduk sekitar hingga tembus dan bolong. Dan mbah Salamun hanya bisa menatap semua kenangan itu dengan lencana. Yang diberikan pemerintah karena jasa dan perjuangannya. Mbah Mun memajang dan menyimpannya di ruang tamu sempitnya beserta bendera kesatuannya dulu. “Mbah ... Mbah ... !” suara cucunya mengagetkan lamunan nya yang jauh melayang ke masa masa penjajahan dulu. “Ngapa, Le …?” “Ada apa ?” Memandang dedeg pidegsa dan gagahnya lelaki muda di depannya yang tak lain cucunya sendiri itu, mata Mbah Salamun berkaca-kaca. Ternyata cucunya sudah besar dan itu mengingatkan pada anaknya. Ternyata cucunya sudah besar dan mengingatkan pada anak semata wayangnya yang tak lain ayah sang cucu. “Apa sudah makan tadi sama Utimu !” “Sudah, Kung, tadi sama Uti dah disiapkan dan Seto sudah makan, Kung “ “Oh ya … la terus ada apa ini!” Mbah Salamun masih duduk di ruang tengah dan meman dang dalam cucunya yang selalu mengingatkan kematian anaknya di kerusuhan tahun ‘98. Anaknya prajurit yang ditugas kan komandannya untuk bersama kesatuannya mengamankan daerah Solo. Membantu pengamanan kerusuhan Mei 98. Mbah Salamun mbrebes mili menangis mengingat pahitnya dan tak bisa tertolong lagi nyawa anaknya yang kena tusuk 247Antologi Cerpen Kebangsaan
matanya dengan besi panjang hingga tembus kepala. Dan takdir berkehendak lain. Ayah Seto tak bisa ditolong lagi. Ayahnya Seto meninggal. Dan duka pada keluarga Mbah Salamun sangat dalam dan tak pelak lagi duka mbah Utinya yang sangat sayang pada anak semata wayangnya itu. Seluruh keluarganya dibantai habis-habisan, istrinya dibantai sampai meninggal. Yang tersisa satu-satunya keluarga anaknya hanya Aryo Seto, Seto ini yang sekarang dirawat oleh Yang Kung dan Utinya. Mbah Salamun mengerem tetes air matanya ia ingat kega gahan anaknya yang satria dan selalu taat menjalankan tugas ko mandannya untuk tidak menolak tugas. Ibunya sudah melarang pergi. “Le, ini situasi sedang rusuh bakar-bakaran di mana mana, sepi dan mencekam, mbok di rumah saja to, Le, ga usah pergi ke Solo, ini semua rumah sedang dibakar, proreformasi dan propribumi, pergolakan lagi seperti ini. !” Keadaan mencekam, di mana-mana ada aksi demo dan pembakaran. Semua penjarahan dan berbagai aksi brutal antara proreformasi, pribumi, dan non pribumi. Istri Mbah Salamun ya ibunya melarang. Tetapi, Mbah Salamun hanya membiarkan pergi hanya bisa memberikan doa, bagaimanapun ia bertugas menjadi pengaman negara dan ia sudah jadi tekad untuk tetap berbakti dan mengabdi pada NKRI. “Mohon doa restunya Ibu, Bapak!” suara bergetar seperti semesta menghendaki keikhlasan kedua orangtua itu anaknya akan gugur di medan perang. Dan pulang tinggal nama. “Mbah … Mbah …!” sekali lagi suara panggilan cucunya Aryo Seto membuyarkan lamunannya beberapa tahun silam. “Seto, Seto mau pamit, Mbah!” Demi mendengar pembicaraan itu, Utinya keluar dari ruang tengah menuju kamar tamu . “Pamit ke mana, Le ?” “Mau ke mana? “Ana apa ta, Le?” Kamu mau ke mana!” 248 Ini Bangsa Juga Punya Saya
“Seto pamit mau ikut demo “ “Demonstrasi?” “Iya, Kung di gedung DPRD Solo!” “Ora Le…ora Mbah Uti ora oleh, tidak akan Mbah Uti ijinkan, kamu pergi demo, Mbah Uti tidak mau kehilangan untuk kedua kali, dulu bapakmu, dan sekarang …!” Sambil memeluk cucunya Seto yang tinggi tegap karena Seto aktivis mahasiswa Mapala di kampusnya dan ikut di jajaran BEM senat mahasiswa sehingga badannya terlatih dan kelihatan besar dan kekar. “Tidak Le, kamu satu satunya harta Mbah Uti dan Mbah Kung yang tersisa yang aku punyai, Mbah Uti Mbah Kung tidak ingin kehilangan kedua kali !” “Tidak Ti, Kung, Seto akan baik baik saja, dan ini kan bukan perang tidak ada kerusuhan ini aksi damai Kung, Ti. Seto janji akan segera pulang setelah demo, akan kembali satu dan kumpul dengan Uti dan Kung !” Tekad Seto memang bulat, anak muda memang tidak bisa dihentikan dan dilarang. Ia tetap minta restu Uti dan Kungnya untuk pergi dengan meyakinkan bahwa Seto tidak akan kenapa- napa da akan pulang dengan selamat. Semua akan aman . “Siapa yang menjamin keselamatan dan keamananmu, anak muda?” “Siapa yang bisa ?” “Ada Gusti Allah Kung , Ti !” “Piye to, Kung cucumu kok ndak kau larang dan cegah kok malah kamu biarkan !” “Kung tidak membiarkan tetapi kau lihat sendiri kemauan dan tekad Seto sudah bulat, Ti tidak bisa dihalangi !” Akhirnya kedua orangtua itu pun menyerah kecuali hanya menyisakan sesengguk tangis dan airmata penuh doa kesela matan dan perpisahan yang duka dan mendalam di mata Uti dan Kungnya yang makin cekung. 249Antologi Cerpen Kebangsaan
“Kamu harus janji untuk selamat dan cepat pulang Le, Uti kasihan akan menunggumu terus kalau kau belum pulang!” “Iya Kung, Seto janji segera pulang …anggap saja Seto pamit seperti naik mendaki gunung, Kung, Ti, pasti Seto pulang!” “Baiklah Kung merestui pergilah. Bawalah lencana Kungmu ini dan genggam di dalam dadamu dan bawa bendera kecil ini di lehermu !” Mereka menyematkan dan pamitan selembar bendera Merah Putih di leher Seto dan lencana di dadanya. “Berangkatlah Gusti Allah selalu bersamamu !” Seto memeluk dan menciumi kakek dan neneknya berkali- kali sebelum punggungnya itu lepas dan tubuhnya menghilang di depan gerbang jalan besar. Dan suara tembakan dengan suara keras membelah angkasa. Suara trem, tank, dan bedil berhamburan. Gas air mata pun me mancar di mana-mana. Suara tembakan silih berganti. Langit merah membara di barat daya. Api dan air mata bersatu di sana. Ada yang mati, seorang pemuda tegap gagah perkasa, ada yang mati anak muda mencari keadilan di bumi ini. Suara sirine silih berganti. Suara ambulans bergantian sirine mobil polisi. Semua memenuhi jalan, dan halaman mes malam itu. *** Sragen , 2019 250 Ini Bangsa Juga Punya Saya
Tegsa Teguh Satriya MUSUH KITA KINI Usai sembahyang, Darmono duduk di kursi goyang yang berada tiga meter dari televisi berukuran 32 inci. Seperti biasa, ia cari siaran berita. Pagi itu tersiar kabar bahwa seorang menteri terjerat kasus korupsi. Sebelum-sebelumnya, ia telah muak dengan berita tertangkapnya gubernur, bupati, dan ratusan kepala desa yang menyeleweng. Darmono jengah dengan berita yang hampir setiap hari isinya hanya kasus korupsi, suap, korupsi, suap, dan begitu seterusnya. Prak. Suara lemparan koran membentur pintu rumah. Darmono mematikan TV. Ia berjalan membuka pintu, mengambil koran, lalu duduk di kursi teras. Ia baca berita di koran. Oleh matanya dilihat, berita tentang pemerkosaan, pembegalan, guru mati dikeroyok siswa, serta guru dipenjara karena menertibkan siswa. Darmono menggelengkan kepalanya. Darmono bangkit dari kursi. “Bosok! Mental orang-orang sekarang, bosok!” gerutunya geram. Darmono merupakan seorang veteran berusia lebih dari seratus tahun. Namun, jika orang yang baru pertama kali me lihatnya, mata orang-orang akan menarik kesimpulan bahwa Darmono merupakan lansia berusia tujuh puluh tahunan. Perawakannya gagah, tinggi besar. Di usianya yang sudah setua itu, tubuh Darmono masih kokoh. Semasa hidupnya, flu, batuk, meriang, dan beberapa penyakit rendahan lain seolah tak berani menjadi benalu di tubuh Darmono. Orang menyimpulkan, 251Antologi Cerpen Kebangsaan
bahwa musabab tak adanya penyakit jenis entah yang menyerang Darmono, tidak lain karena pola hidup Darmono yang luar biasa. Meskipun demikian, ada juga yang meyakini bahwa Darmono bisa hidup sampai sekarang karena punya jimat. Ah, apa benar zaman seperti sekarang masih ada jimat? Setiap hari, Darmono selalu mengolah raga dan jiwanya. Usai menunaikan salat Subuh, ia berjalan keliling kampung tanpa alas kaki. Jika telah sampai di area persawahan, ia akan berdiri dengan tangan terlentang. Ia pejamkan mata. Lalu ia hirup udara yang masih perawan. Dihirupnya, ditahan di dada, dikeluarkannya perlahan. Berulang. Dan terus diulang-ulang. Begitu cara dia merawat raga dan jiwanya agar terus sehat. Serta, begitulah dia merawat rasa syukur. Karena bagi dia, tanpa bersyukur, raga dan jiwa yang sehat itu hanyalah sebuah tong kosong. Keluarga Darmono dan para tetangga tahu, Darmono me rupakan sosok yang nasionalis. Ia selalu menasihati anak cucu nya agar selalu hidup dengan penuh semangat juang. Pada zaman penjajahan, dia termasuk pemuda Indonesia yang saat itu bertaruh nyawa di medan perang. Oleh karenanya, semangat juang itu terus dipelihara, dan diwariskan kepada anak cucunya. Semua anak laki-lakinya dididik dan arahkan hingga sukses menjadi tentara. Bahkan, cucu-cucunya yang laki-laki tak luput ia didik dan kini sukses juga menjadi tentara. Gaya hidup militer sudah menjadi makanan pokok di keluarga besar Darmono. Darmono seperti punya janji pribadi terhadap tanah air Indonesia. Ia tidak ingin Indonesia dijajah lagi seperti dulu. Bagi dia, tentara memiliki tanggung jawab besar untuk men jaga keutuhan dan kemerdekaan bangsa ini. Namun, anak per tamanya sendiri yang dibuat bingung minta ampun. Pasalnya, selama ini Darmono sendiri yang selu menuntut agar seluruh laki-laki keturunannya harus masuk dunia militer. Darmono menyakini, bahwa pendidikan militer sangat baik untuk mem bentuk manusia yang berkarakter. 252 Ini Bangsa Juga Punya Saya
“Pak, Dandy kan mau dicalonkan masuk tentara. Dulu Bapak banyak cerita bahwa seorang tentara itu pekerjaan yang mulia. Sangat baik untuk membentuk pribadi seseorang, dan berjasa bagi negara. Tapi kenapa kata Dandy kok Bapak malah melarang dia untuk masuk dunia militer?” desak Karyono pena saran. Darmono tak langsung menjawab secara verbal. Ia me regangkan otot-ototnya terlebih dulu. Tangan dikrepek, leher dikrepek, punggung dikrepek, semua berbunyi krepek. Bahasa tubuh Darmono membuat Karyono mengernyit, terlebih ketika mendengar bunyi-bunyi itu. “Jamane beda. Dulu, negara kita butuh tentara untuk perang. Perang melawan penjajah.” jawab Darmono enteng. “Sampai sekarang, masih dibutuhkan kan, Pak?” “Memang. Memang masih dibutuhkan di bidang pertahanan. Tapi, ada yang lebih perlu dipertahankan oleh negara ini.” Jawaban Darmono terpotong oleh suara azan dari musala. Ia pun bergegas melangkahkan kaki menuju musala. Karyono sangat paham apa yang harus ia lakukan. Tak mungkin bapaknya bisa dihentikan oleh apapun untuk urusan ibadah salat. Maka, sekalipun ia masih penasaran kelengkapan jawaban dari bapaknya, ia hanya bisa diam, memandang langkah bapaknya menuju musala. * “Pripun Mbah? Mbah Buyut sudah jawab alasannya?” Dandy, cucu Karyono masih berupaya mencari tahu alasan mbah buyutnya melarang dia masuk akademi militer. Karyono, belum bisa menjelaskan. Ia masih belum mendapat kelengkapan jawaban dari Darmono. “Pak De, Om Karni, Mas Jagad, Mas Lukman, dan Mas Rahmad, semua jadi tentara. Kenapa aku tidak boleh?” Dandy merajuk. 253Antologi Cerpen Kebangsaan
Karyono semakin merasa aneh terhadap pikiran ayahnya. Dulu, Darmono sendiri yang menggebu-gebu agar anak cucu nya menjadi tentara. Tapi kini, Dandy, satu-satunya buyut laki- laki yang ia miliki, ingin mengikuti jejak perjuangannya justru ia larang sendiri. Apa sebenarnya yang ada dalam pikiran Darmono? “Pak, Dandy kan ingin mengikuti jejak perjuangan Bapak. Dulu Bapak sendiri yang meminta agar anak cucu Bapak jadi tentara kan? Kenapa Dandy tidak boleh?” “Sudah kubilang, itu dulu. Sekarang zaman sudah berbeda. Semua berubah. Dan aku dulu bilang anak cucu kan? Bukan anak, cucu, dan buyut?” Karyono terdiam sejenak. Bapaknya memang dikenal se bagai orang yang kadang muncul sifat keras kepalanya. “Maksudku, kenapa Dandy yang sangat berkeinginan ma lah dilarang?” Sebetulnya, Dandy, ayah, dan kakeknya tidak harus meng ikuti kata-kata Darmono. Tapi telah mendarah daging bagi keluarga besar mereka, bahwa segala hal yang menyangkut ke baikan hidup masa depan pasti dirembuk dengan orang tertua dalam keluarganya. Dulu, Jagad, cucu pertamanya menolak saat diarahkan untuk masuk tentara. Jagad ngotot ingin jadi pengusaha muda yang sukses. Dalam setahun, Jagad sudah tiga kali gagal membangun usaha. Bahkan yang terakhir ia ditipu orang dengan kerugian sekitar 75 juta. Setelah kejadian itu, Darmono angkat bicara, bahwa jika omongannya tidak dipercaya, maka penyesalanlah yang anak cucunya dapatkan. “Kamu sudah baca koran? Sudah nonton berita di TV?” Karyono kembali terdiam. Ia begitu bingung dengan ayah nya yang makin penuh teka-teki. Apa hubungannya masuk tentara dengan nonton atau baca berita? “Kamu lihat berita-berita itu. Berapa kepala desa, bupati, gubernur, menteri, anggota dewan yang terjerat kasus korupsi? 254 Ini Bangsa Juga Punya Saya
Tidak terhitung kan?! Ini artinya, negara kita memang perlu perang. Tapi bukan perang melawan penjajah. Indonesia sedang butuh perang melawan karakter busuk orang Indonesianya sendiri. Masalah ini bukan wilayahnya tentara.” Darmono menjawab dengan tegas. “Lalu?” Karyono mendesak. “Ini wilayah guru. Tugas guru.” Darmono terlihat sangat serius. “Lho, kok guru?” Karyono melongo terheran-heran. Karyono digelayuti beberapa pertanyaan yang menyerang dirinya sendiri. Apakah ini berarti Dandy harus menjadi guru? Ha? Menjadi guru? Duh, apa yang bisa diharapkan dari profesi guru? Di koran, di TV, di mana-mana sering terkabar nasib guru selalu tidak jelas. Bahkan, masih ada guru yang sebulan hanya digaji tidak lebih dari duaratus ribu. “Pak, Bapak yakin?” “Sangat yakin. Hanya guru yang bisa melakukan ini.” “Harusnya, kalau membaca berita dan menganalisis keadaan itu yang lengkap, Pak. Ini artinya Bapak tidak tahu kasus-kasus yang menimpa guru.” “Guru mati dikeroyok siswa? Guru dipenjara karena men disiplinkan siswa? Atau kasus guru apa lagi yang kamu maksud?” “Nah, itu Bapak tahu. Apa Bapak ingin, buyut bapak nanti bernasib sama seperti guru-guru itu? Seandainya tidak mati ka rena dikeroyok siswa, guru bisa jadi mati karena dirinya sendiri, Pak. Coba Bapak pahami, berapa gaji guru honorer sekarang, Pak?” “Heh… jangan pernah meragukan kalkulasi Gusti Yang Maha Mengerti. Dan yang terpenting, jangan pernah bekerja hanya atas dasar tujuan materi. Itu yang berpotensi menumbuhkan benih- benih korupsi. Hal itulah yang harus kita perangi di negeri ini. Guru. Guru yang bisa mengatasi semua ini. Jika di sekolah, guru mendidik siswa dengan baik, mengarahkan, dan membimbing 255Antologi Cerpen Kebangsaan
mereka untuk tumbuh menjadi generasi yang jujur dan berbudi pekerti luhur, maka kelak negara ini akan makmur.” “Masalah itu harusnya menjadi tanggung jawab orangtua, Pak. Keluargalah yang paling utama.” “Orangtua dan keluarga adalah penguatnya. Mereka me mang tidak bisa lepas tangan begitu saja.” Mulut Karyono berat untuk menyanggah lagi. “Tapi, Pak. Kalau kita paksakan, bukankah itu akan me renggut hak anak?” “Ini bukan perihal memaksa. Aku paham bahwa setiap anak juga punya hak. Tetapi yang perlu diketahui dan dimengerti oleh para orangtua, bahwa anak butuh didampingi, anak butuh diarahkan.” “Jadi, Dandy?” “Biarlah dia menjadi guru, yang kelak akan memperbaiki moral penerus bangsa. Karena musuh terbesar bangsa kita saat ini adalah orang-orang tak bermoral. Itulah yang harus diperangi.” Karyono semakin buntu. Ia tak tahu harus dengan cara apa menjelaskan kepada Dandy, cucu kesayangannya. Jika tidak menurut terhadap saran bapaknya, ia tidak ingin kejadian yang menimpa Jagad terulang lagi. Ah, Darmono memang sungguh menyimpan misteri. Usianya tak wajar. Setiap apa yang di bicarakan hampir seluruhnya benar. Wajar jika beberapa orang sering menjulukinya sebagai Wali. Tapi, ia selalu menampik. “Kamu tidak perlu bingung seperti itu. Biar aku saja yang menjelaskan Dandy.” Karyono pasrah. Ia berharap Dandy akan mengerti. * Usai menunaikan salat Subuh, Darmono mengolah raga dan jiwanya. Seperti biasa, ia berjalan keliling kampung tanpa alas kaki. Sesampai di area persawahan, ia berdiri dengan tangan terlentang. Ia pejamkan mata. Lalu ia hirup udara yang masih 256 Ini Bangsa Juga Punya Saya
perawan. Dihirupnya panjang-panjang, ditahannya di dada, dikeluarkannya perlahan. Berulang. Dan terus diulang-ulang. “Mbah Buyut.” suara Dandy membuat mata Darmono membuka perlahan. “Eh… sini, Le. Sini.” Dandy meraih tangan Mbah Buyutnya untuk salim. Darmono mengusap ubun-ubun buyutnya. Mereka duduk di tepi sawah sambil melihat matahari yang mulai merangkak naik. “Le, kamu tahu tugas tentara?” “Mengamankan bangsa ini dari penjajah kan, Mbah?” “Ya … itu dulu.” “Tapi, sekarang dan sampai kapan pun kan bangsa ini masih butuh jasa tentara kan, Mbah?” “Iya, benar. Tapi, sekarang ini yang sangat dibutuhkan bangs a kita adalah perang melawan musuh yang tidak tampak di mata kita.” “Maksud Mbah Buyut?” “Yang perlu diperangi bangsa kita saat ini adalah karakter orang-orangnya, mental orang-orangnya, moral orang-orangnya. Itu lebih berbahaya dan lebih sulit daripada perang pada masa Mbah Buyut muda dulu.” Darmono semakin detail menjelaskan. Dandy mengangguk, menunjukkan bahwa dia memahami segala maksud arahan Mbah Buyutnya. Matahari semakin tegak berdiri di hadapan mereka. Perem puan-perempuan berlalu lalang menggendong kayu bakar. Kerbau-kerbau berkubang di lumpur basah. Darmono dan Dandy berjalan pulang membawa sekantung semangat untuk masa depan. *** Semarang, 2019 257Antologi Cerpen Kebangsaan
Triman Laksana KEPADA SENJA Mata anak kecil itu, begitu tajam menatap setiap mobil yang berhenti ketika lampu pengatur lalu lintas sedang merah. Tatapannya tajam penuh dengan keyakinan. Jalannya gagah dan tegap meski badannya kurus. Kulitnya putih bersih, wajahnya tampan. Sinar matanya penuh semangat. Apalagi melihat mobil mewah yang berhenti. Pendar-pendar sinar matanya begitu bersemangat untuk mendekatinya. Kemudian dia meniup seruling bambu, suaranya merdu, tetapi begitu menyayat. Hanya sesaat seruling itu ditiup. Tidak memedulikan mobil-mobil yang berhenti itu membuka kacanya atau tidak. Meski begitu, dari bibir anak kecil itu tak pernah terdengar syair sepatah pun. Jika kaca mobil itu terbuka dan juluran tangan dari dalam dengan uang recehan. Anak kecil itu menggeleng dan hanya berkata,”Apakah bapak bernama, Angkasa?” Setiap orang dalam mobil yang membuka kaca itu ingin memberikan uang recehan kepada anak kecil itu sedikit heran. Pengamen aneh dengan kulit dan wajah yang berbeda dengan pengamen yang lain tidak mau menerima uang. Hanya bertanya dan bertanya tentang nama. Tidak ada rasa jijik dan merasa risih yang ada hanya melihat tatapan sinar mata yang tajam penuh semangat. Anak kecil itu tetap tidak mau menerima uluran uang receha n yang seperti biasanya dilakukan para anak jalanan, dengan mengamen di setiap pertigaan atau perempatan jalan. 258 Ini Bangsa Juga Punya Saya
Dan selalu mencari mobil yang berhenti, itupun dipilihnya mobil mewah. Jika secara kebetulan yang membuka pintu mobil adalah perempuan, dia lalu meninggalkan tanpa sepatah kata. Sikap anak kecil itu membuat teman-teman mengamen di tempat itu heran. Selama berteman hampir tujuh bulan, mereka belum pernah melihat anak kecil mau menerima uang recehan yang disodorkan orang-orang dalam mobil. Mereka merasa melihat pemandangan yang begitu asing dan ganjil. Bagi anak kecil yang baru berumur sekitar sembilan tahun itu, apa yang dilakukannya adalah bagian dari hidupnya. Se hingga setiap kali teman-temannya, juga sore itu menanyainya tentang dirinya yang dianggap aneh dan ganjil di mata teman- temannya, dia selalu menjawabnya dengan jawaban yang sama. “Lazuardi, apa sih yang kamu cari sebenarnya?” tanya Budi yang selalu memperhatikan gerak-gerik anak kecil itu. “Aku mencari ayahku!” jawabnya mantap. Dan, selalu begitu jawabannya. Budi juga tahu pasti yang keluar dari bibir anak kecil itu selalu sama. Budi tetap merasa tidak pernah bosan selalu menanyakan pertanyaan yang sama meski jawabannya tetap akan sama. Karena Budi selalu melihat sinar mata Lazuardi penuh dengan keyakinan dan semangat. Seperti menemukan sesuatu yang baru terhadap anak kecil itu. Tidak pernah putus asa. Dan tekad membara. Sementara, Budi tidak menemukan sinar mata seperti anak-anak pengamen yang lain. Selalu garang tanpa semangat dan selalu mengeluh. “Siapa nama ayahmu?” sambung Argo mesti sudah men duga akan mendapat jawaban yang sama. seperti ketika anak kecil itu datang tujuh bulan yang lalu hingga kini. Jawaban itu tetap akan didengar sama. Tidak berubah sedikit pun. Baik dari ekspresi dan sinar matanya yang penuh kebanggaan setiap kali menyebut nama ayahnya. “Nama ayahku Angkasa. Dia laki-laki gagah perkasa, cakap, dan kaya raya, naik mobil mewah. Akan menemuiku di 259Antologi Cerpen Kebangsaan
pertigaan atau perempatan jalan sebelum matahari tenggelam, kata ibuku!” selalu begitu jawabannya dengan rasa bangga. Memang, pertama-tama mereka selalu mentertawakannya, ada sesuatu yang aneh pada diri Lazuardi itu. Tetapi lama ke lamaan, mereka sepertinya mengerti kata dan arti yang tersim pan dari jawaban anak kecil itu. Sebuah misteri yang terus dicari Lazuardi di dalam ganasnya sepanjang jalan itu. “Siapa nama ibumu?” tanya Didik meski tahu apa yang bakal menjadi jawabannya. Dan mereka, para pengamen jalanan yang bukan seusia Lazuardi selalu memancing anak kecil itu dengan pertanyaan yang selalu sama. Mereka begitu senang melihat sinar mata dan semangat Lazuardi yang sangat penuh keyakinan. “Nama ibuku Pertiwi, seorang perempuan cantik, anggun memesona,” tuturnya dengan penuh kebanggaan dengan sinar mata yang bersinar. Mereka begitu senang melihat Lazuardi anak kecil yang begitu penuh pesona, semangat membara meski kadang rasa kasihan timbul melihat hampir tujuh bulan di tempat itu tetap belum menemukan apa yang dicari Lazuardi. Mereka kadang pula juga bertanya-tanya, “Apa betul cerita anak kecil itu?” Lazuardi memang hanya datang di tempat itu setiap hari menjelang petang, teman-teman pengamen di tempat itu tidak tahu kapan datangnya. Dan, mereka juga tidak tahu ke mana perginya anak kecil itu setelah hari berganti gelap. Dan Lazuardi selalu dengan senang hati jika mereka bertanya dan ingin mendengar cerita apa yang dicarinya. Dari awal hingga akhir, Lazuardi menceritakan dengan penuh kebanggaan tanpa sedikit pun tercecer. Meski itu telah diceritakan berulangkali, mereka begitu terhibur. Di zaman yang serba sulit seperti ini masih menemukan anak kecil yang penuh semangat. Meski yang dicarinya seperti fatamorgana. Lazuardi tetap menjalaninya dengan penuh keyakinan dan tekad membaja. 260 Ini Bangsa Juga Punya Saya
Seperti sore itu, diminta menceritakan lagi oleh Darman, pengamen gitar yang sudah mangkal di tempat itu tiga tahun. Lazuardi dengan penuh kebanggaan tetap bercerita. “Lazuardi anakku! Ayahmu seorang laki-laki gagah per kasa, kaya raya, selalu membawa kedamaian. Dia selalu berkata lembut. Ayahmu pergi dengan meninggalkan pesan, tunggulah aku di bukit Senja bila belum ketemu juga carilah di setiap pertigaan atau perempatan persimpangan jalan pada saat mata hari menjelang terbenam,” Lazuardi bercerita tetap dengan rasa kebanggaan menirukan suara ibunya. Sekali lagi Darman terkagum-kagum dengan sinar mata Lazuardi. Tetap tidak pernah berubah seperti menyala dalam kegelapan. Lazuardi berbadan kurus, berkulit putih bersih, ber wajah tampan tetap semangat dalam menceritakan meskipun sampai kini apa yang dicarinya tetap belum ditemukan. Dan, tempat yang sekarang ini sebagai tempat pencarian adalah tem pat yang ke tujuh setelah awal pertama bertanya pada ibunya, empat tahun yang lalu. Ketika umur lima tahun. Mereka tahu, cerita yang diulang-ulang, seperti cerita yang pernah didengarkannya. Dan mereka tidak pernah melihat air mata mengalir di pipi Lazuardi. Hanya sinar kebanggaan yang ada. Darman, Budi, Didik, dan yang lainnya nyaris setiap saat mendengarnya, setiap kali meminta Lazuardi untuk bercerita tentang ayahnya itu. Tidak pernah bosan dan jemu. Semakin sering mendengar cerita Lazuardi, mereka justru menemukan semangat untuk menjalani hidup ini. Meski mereka tetap heran karena Lazuardi tetap tidak mau menerima uang recehan, tidak bernyanyi, hanya meniup seruling bambu sebentar. Hanya mendengar pertanyaan yang menanyakan nama ayahnya pada setiap sopir laki-laki. “Apakah bapak bernama Angkasa?’ Hanya itu yang terdengar dari mulut Lazuardi. Selain kalimat itu tidak pernah mendengar kalimat yang lain kepada sopir laki-laki. 261Antologi Cerpen Kebangsaan
Setiap kali ditanya, kenapa tidak menyanyi dan menerima uang dari para pemberi yang ada dalam mobil. “Nyanyian merduku hanya untuk ayahku. Nyanyian itu adalah “Bagimu Negeri”. Dan tangan ini hanya akan menerima uluran kasih sayang ayahku,” selalu begitu jawabannya dengan yakin dan pasti. Mereka juga tidak tahu kapan Lazuardi makan dan minum. Mereka belum pernah melihat Lazuardi makan minum. Jika diberi oleh teman-teman pengamen selalu menolak dengan halus. Yang mereka tahu, Lazuardi datang dan pergi selalu tepat pada jam yang sama. Tidak pernah terlambat sedetik pun. Lazuardi sosok yang serba misterius di mata para pengamen di peremp atan itu. * Hari hingga berganti bulan, Budi, Darman, dan yang lainnya yang biasanya melihat Lazuardi tidak pernah menjumpai lagi di tempat itu. Seperti ada rasa rindu dengan cerita yang keluar dari mulut mungil milik Lazuardi. Meski cerita yang diterimanya sama dari waktu ke waktu. Tetapi tarikan nafas, tatapan mata, tekanan suara Lazuardi memberi darah mengalir semangat bagi pengamen di tempat itu. Seperti kehilangan mata air di tengah tanah gersang dalam diri mereka. Seperti kehilangan sinar se mangat yang terus menyala dari mata Lazuardi. Para pengamen di tempat itu hanya mengira-ira kalau Lazuardi telah menemukan ayahnya. Dan berhasil dibawa pulang menemui ibunya. Atau, Lazuardi berganti di tempat yang lain untuk tetap mencari ayahnya hingga bertemu. Namun selang berganti tahun, para pengamen perempatan jalan yang biasa menjadi tempat mengadu nasib Budi, Darman, dan teman-temannya terkejut melihat apa yang dilihatnya. Anak- anak kecil, berbadan kurus, tampan, dan cantik. Ada yang berkulit putih, hitam, sawo matang. Berambut lurus, ikal. Begitu banyak nya, menyatu tanpa ada jarak, hampir memenuhi sepanjang 262 Ini Bangsa Juga Punya Saya
perempatan jalan itu. Seumuran dengan Lazuardi. Mereka datang sebelum matahari tenggelam dan malam gelap penuh. Semakin hari semakin banyak. Mendekati mobil-mobil mewah, saat lampu pengatur lalulintas menyala merah. Mereka serempak bernyanyi. “Padamu negeri kami berjanji Padamu negeri kami berbakti Padamu negeri kami mengabdi Bagimu negeri jiwa raga kami” Kini jalan-jalan kota itu, setiap senja menjelang matahari terbenam dipenuhi anak-anak kecil mengamen. Mereka ber nyanyi “Bagimu Negeri”, tetapi tidak mau menerima sodoran uang. Hanya ingin jawaban sebuah kata yang barangkali akan menyejukkan hati mereka. Mereka hanya ingin jawaban sebuah kata yang barangkali akan menyejukkan hati mereka. “Ya, saya bernama Angkasa. Anakkukah kamu?” Mungkinkah ini jawaban dari hati kita. Yang telah lama pergi membawa senja. *** Padhepokan djagat djawa, Magelang 2019 263Antologi Cerpen Kebangsaan
Yosinta Dewi Safitri UTOPIA DI UJUNG CAKRAWALA Semilir angin pagi berembus lembut memainkan anak rambut dan membuat bulu kuduk meremang. Cuaca yang cerah, matahari begitu indah tampak bersinar terang keemasan menyembul dari balik pegunungan yang kala itu tengah menyinari bukit kecil di perbatasan Wonosobo dan Dieng, kontras dengan kabut tipis pegunungan yang menyejukkan serta bias cahaya matahari pagi di antara jutaan embun pagi dan kicauan burung yang beraneka ragam. Seorang wanita berusia 25 tahun tampak duduk di bawah pohon kersen besar di puncak bukit, di bawahnya para pemetik daun teh ramai bercengkerama di hamparan pohon teh yang membentang. “Setelah 10 tahun lamanya kita meninggalkan tempat ini, rasanya semua masih sama, lihat di ujung barat itu vila kita yang dulu, lalu tepat di bawah sana masih ada jembatan kayu, kulihat kayunya masih baru mungkin baru saja direnovasi, dan jangan lupakan pohon sejuta kenangan ini, meskipun sudah 10 tahun pohon ini sama sekali tidak bertambah tinggi, tapi cabang dari rantingnya tambah panjang dan ah ya … pohon ini semakin lebat saja,” tutur seorang gadis sambil berjalan ke arah pemuda bermantel cokelat yang kini tengah berdiri di tepi bukit sambil memasukkan tangannya ke saku mantelnya. “Ya, hanya saja kenangan yang dulu juga tak mungkin akan terulang lagi, kan?” hening. Si pria terdiam merasa bersalah karena sepertinya telah salah mengucapkan kalimat yang membuat gadis di sampingnya terdiam dan murung. Namun, sang gadis kembali 264 Ini Bangsa Juga Punya Saya
tersenyum sambil memandang lurus ke depan menatap jauh ke horizon “Apa kau masih ingat akan kejadian itu?” si pemuda terhenyak untuk sesaat hingga kemudian dengan mantap menganggukkan kepalanya. Keduanya menatap ke depan dan seakan waktu memutarkan kembali kenangan 10 tahun yang lalu di depan mereka. Flashback on “Rana, awas!” dengan cekatan seseorang yang memiliki figur ayah dari gadis berusia 15 tahun tersebut meraih tangan putri bungsunya yang hampir saja terperosok ke saluran irigasi yang berada di pematang kebun teh itu. Si gadis tampak terkejut dan setelah itu bersungut-sungut mempertanyakan mengapa mereka harus ke sini di saat semua orang sedang merayakan libur tengah semester mereka sambil berekreasi di objek wisata ternama, sedangkan mereka malah berkunjung ke bukit yang berada tak jauh dari vila tempat mereka tinggal. Ayah yang mendengar racauan putrinya hanya bisa menggelengkan kepala sambil berkata “Sabar, Sayang, sebentar lagi kamu pasti tahu,” beberapa menit mereka menapakkan kaki menjelajah deretan pohon teh sambil sesekali si ayah menunjuk sesuatu dan si anak akan berkata ‘Subhanallah’ terlihat begitu bersemangat melakukan perjalanan ini. Tepat pukul 06.15 mereka sampai di puncak bukit, lalu ketiganya duduk di bawah pohon kersen sambil menikmati bekal yang dibawa dari rumah. Matahari terbit semakin tinggi saat mereka berbincang, “Ayah … kenapa sih kita harus ke sini?” tanya si bungsu dengan nada kecewa, tampak ia hampir putus asa menanyakan hal yang sama sepanjang perjalanan, tapi tidak digubris ayahnya “Liburanlah, seperti itu pun kau tanyak an, pertanyaaanmu itu tidak berbobot tahu!”sergah si sulung yang bosan dengan adiknya yang selalu menanyakan hal yang sama “Ih, Ayah … Bang Bumi rese nih.” “Dasar tukang 265Antologi Cerpen Kebangsaan
adu, uuuu” si sulung membalas sambil menjulurkan lidahnya. Sejurus kemudian sebuah sepatu melayang dan terjadilah aksi kejar-kejaran antara kakak dan adik itu. “Sudah…sudah, kalian ini sudah besar kok masih saja suka ribut,” keduanya lantas duduk tapi tampak wajah si bungsu yang merah padam, si sulung yang melihatnya ingin sekali mencubit pipinya saat itu, tapi dengan gesit ia menangkis tangan kakaknya. Si kakak hanya bisa mengerucutkan bibir sambil mengelus tangannya. “Kalian ingin tahu alasan mengapa Ayah mengajak kalian ke sini?” kalimat si ayah lantas membuat keduanya menoleh dan kompak mengangguk “Ceritalah Ayah, ceritalah …” ungkap si bungsu sambil menirukan intonasi salah satu tokoh kartun di TV swasta. Si ayah menghela napas lebih kurang 3 detik kemudian memulai ceritanya. Cerita yang akan mereka ingat untuk selamanya. ”Bumi, Rana, dengarkan Ayah baik-baik ya. Apa yang dikatakan orang-orang bahwa Indonesia itu kaya raya, elok, subur, itu mungkin benar, tapi mungkin juga salah. Lihatlah sekeliling kalian, ini merupakan secuil kekayaaan negeri kita, bahkan tidak ada secuilnya. Tak perlu jauh-jauh ke Rinjani, Bromo, Mahameru, di sini, di bukit kecil ini kita pun mampu merasakan keindahan alam Indonesia yang luar biasa. Namun, saat ini banyak orang yang menyalahartikan kata Indonesia kaya, Indonesia elok. Mereka terus fokus pada kekurangan negara kita, kurang peduli akan potensi dan kelebihan bangsa sendiri, Indonesia jadi buruk di mata mereka sendiri, ya, karena pandangan mereka sendiri, mereka hanya sibuk mencari kekurangan dan masalah negeri sendiri, bukannya mencari solusi. Kemiskinan, kebodohan, dan masalah lain bisa kita selesaikan, tapi saat ini kita belum mampu untuk memecahkannya, karena apa, karena kita masih saja mencari kekurangan kita tanpa mau mengembangkan potensi yang ada dan menyelesaikan masalah lantas menjadikan bangsa ini lebih maju dan makmur.” Si ayah kembali diam dan melanjutkan ceritanya “Anak muda, yang dianggap tonggak kemajuan bangsa masih saja tetap 266 Ini Bangsa Juga Punya Saya
berdiam diri melihat bangsa kita yang dipikir sudah maju, tetapi kenyataannya Indonesia menuju ujung kehancuran, provokasi, kontroversi, koruptor, tawuran, geng motor, begal, dan tindak kriminal lainnya yang saat ini merajalela, perpecahan suku dan agama, serta hoaks juga menyebar di mana-mana, dan mereka masih saja diam menganggap hal itu biasa dan bahkan sebagian besar dari mereka adalah biang onar dari kerusakan negeri ini, bukannya saling mengingatkan, membenahi diri, mereka malah saling menghujat saling menyalahkan,” Ayah kembali diam dan dengan santainya melambaikan tangan pada rombongan pemetik teh yang baru saja selesai memetik teh, lalu tangan ayah beralih mengambil kue serabi dan memasukkannya dengan santai ke dalam mulutnya. “Ayah, tapi bukankah tidak semua anak muda itu berperilaku buruk?” tanya si sulung sambil melihat jauh ke langit seakan mampu menembusnya hingga ke batas terakhir galaksi. Aku sangat kesal melihat tampangnya yang seolah-olah sedang berpikir kritis itu, padahal aku sangat tahu otaknya itu hanya berisi game dan sepak bola, ingin sekali aku menjitak dahinya saat itu. “Memang siapa yang bilang kalau semua anak muda itu buruk?” balas Ayah, “Tadi kan Ayah yang bilang?” tukas si sulung cepat, “Kapan?” Rana cekikikan melihat Bumi terpojok oleh jawaban ayah, “Kapan Ayah bilang semuanya?” Bumi mendelik melihat Rana menertawakannya. “Ayah tahu, tidak semua anak muda itu merusak negeri, masih banyak anak muda yang mau memajukan bangsa, bahkan me reka berjuang dengan begitu keras dengan cara mereka sendiri, cara yang hebat, bahkan ayah begitu mengapresiasi anak muda yang mau berjuang memajukan negeri di tengah masalah yang menyelimuti bangsa kita,” Ayah berpaling menghadap puncak gunung di seberang. “Ayah harap kalian merupakan bagian dari mereka, anak-anak yang mampu ayah dan negara ini banggakan, tentulah Ayah akan bangga bukan hanya di dunia ini, tapi juga di hadapan Allah bahwa Ayah telah mendidik 267Antologi Cerpen Kebangsaan
kalian dengan penuh tangggung jawab, dengan didikan baik mengenai agama, budi pekerti, sumbangsih bagi negeri, bakti pada orang tua, dan bermanfaat bagi khalayak ramai,” saat ayah mengatakan itu rasanya ada sebuah hal yang mengikatku dan di saat yang bersamaan juga meyayat hatiku. Tanpa sadar air mataku luruh “Ayah jangan bilang seperti itu lagi, Rana sayang Ayah, Ayah jangan pergi, nanti bang Bumi jahilin Rana lagi, Allah bakal selalu membuat Ayah ada di sisi Rana, menemani Rana, Rana janji bakal memenuhi impian Ayah,” balasku kala itu dengan menghambur ke pelukan ayah, Kak Bumi yang sepertinya juga merasakan hal yang sama ikut memeluk ayah. Bedanya aku masih menangis, sedangkan Kak Bumi tidak, tapi jika diperhatikan akan terlihat bahwa sorot matanya terlihat sedih dan takut, tapi di balik itu aku tahu Kak Bumi adalah kakak yang mau tegar dan mau melindungi dan menjaga orang yang disayangi dari apa pun termasuk menjaga perasaannya. “Ayah bakal pegang janji Rana,” “Bumi juga janji, Yah!”seru Bumi. Flashback off Sekilas aku tersenyum getir mengingat kejadian tersebut, saat aku mengucapkan janji terakhirku di depan ayah, janji yang kuperjuangkan mati-matian demi meraihnya. Hari ini aku kembali ke sini setelah mencoba berdamai dengan kenyataan. Flashback on Dini hari pukul 02.18 saat itu aku tengah pergi ke dapur untuk mengambil minum. Tiba-tiba terdengar bunyi telepon rumah berdering, kring… kring…, aku pun memutuskan meng angkatnya, siapa pula orang iseng yang mau menelepon pagi- pagi buta seperti ini ataukah ini telepon penting karena terjadi sesuatu dengan ayah yang saat itu sedang dinas ke luar kota, seperti yang dikisahkan di film-film, pikiran buruk melandaku. 268 Ini Bangsa Juga Punya Saya
Namun, dengan segera aku singkirkan. Ayah bilang agar selalu berkhuznuzon terhadap segala sesuatu. “Halo, benar ini ke diaman Tuan Adhitya Hardasena?” tanya suara di seberang, kujawab dengan perasaan campur aduk antara takut dan kha watir, ada apa dengan ayah, batinku. “Iya benar, ada perlu apa Anda menghubungi kami sepagi ini?” tanyaku was-was. “Kami dari Rumah Sakit Umum Daerah Tjitowardojo Purworejo men dapatkan kabar bahwa saudara atas nama Adhitya Hardasena ditemukan tewas di kawasan pengerukan tanah di Bagelen …” jantungku rasanya berhenti berdetak, semuanya, berita ini begitu menyentak karena kemungkinan yang tadi ada di ke palaku menjadi kenyataan “Agh ... Ayah …” jeritanku lantas membangunkan seisi rumah, ibu, Kak Bumi, dan Mbok Janah datang dengan tergopoh-gopoh menanyakan apa yang terjadi, aku hanya mampu terduduk lemah memegang gagang telepon yang rasanya begitu berat. Kulihat ibuku meraih gagang telepon dan tak berselang lama terduduk di lantai sambil terisak, Kak Bumi bertanya “Ada apa sih, Bu?” tanya Kak Bumi gusar. “Ayah pulang, Nak” terdengar lirih tapi begitu dalam penuh sakit dan menyayat. Mendengar itu dunia seakan berputar dan perlahan menjadi gelap. Semuanya. Aku pingsan. Bendera kuning tampak di halaman rumah. Para pelayat datang silih berganti. Aku masih terduduk di ujung pusara ayah, tak ingin beranjak barang sejengkal sekalipun acara telah usai dari tadi. Aku tak lagi menangis, hanya mampu menatap kosong ke depan, memikirkan kembali penuturan polisi tadi pagi tentang pembunuhan berencana, luka tusuk, rahasia, dan lainnya yang hanya kudengar sepatah-patah, aku pun tak peduli lagi, semua ini sudah cukup membuatku bungkam dan terpuruk. Ayahku, seorang hakim agung tewas dibunuh dengan begitu keji, hampir seluruh media memberitakan hal tersebut. Sakitnya membuatku hancur seakan bumi ini kosong tanpa yang lain lagi, aku merasa sendiri, kesepian. 269Antologi Cerpen Kebangsaan
Hari demi hari berlalu dan aku masih saja terpuruk. Berbagai cara telah dilakukan menghiburku. Namun, akankah ada yang mampu meghilangkan pedihnya nasib orang yang baru saja kehilangan orang yang begitu disayanginya. Hinggga hari ke-8 sebuah amplop datang, tak ada nama pengirim yang tercantum di sana, aku dan Kak Bumi membuka amplop tersebut dan terlihatlah sepucuk surat, surat yang masih aku simpan hinggga saat ini, surat pengantar semangatku demi meraih apa yang aku janjikan. Teruntuk anak-anakku Bumi dan Rana Ayah tau, mungkin saat kalian membaca surat ini ayah tak lagi bersama kalian dan semuanya terasa terlambat untuk disampaikan, tapi percayalah ayah merasa bangga dengan takdir ini, mati demi menegakkan keadilan, seperti tekad ayah dulu, menuntaskan sengketa besar di negara ini, walaupun ayah gagal tapi pasti akan ada orang yang mampu melakukannya, cepat atau lambat. Nak, ayah sudah merasakan hal ini, maka janganlah terpuruk akan keadaaan dan ingatlah selalu pesan ayah ‘dunia ini keras dan kejam, jika kau lemah kau akan kalah, jadilah tonggak bangsa yang tangguh, semakin ditempa semakin tangguh, Indonesia mungkin penuh oleh tindak kriminalitas, tapi masih ada pemuda-pemudi yang mau dan mampu menhilangkan ketimpangan tanah air kita. Hari ini ayah mungkin kalah, kalah oleh waktu yang Allah berikan, tapi ayah masih punya kalian yang punya banyak waktu untuk menaklukkannya, impian para pendiri bangsa menjadi nyata bukan sekadar utopia semata, jadilah anak yang mendamaikan dan menyatukan bumi Nusantara ini dan jangan kalian rusak’. Maaafkan ayah tak mampu membimbing kalian lagi. Ayah sayang kalian. Doa ayah akan selalu menyertai kalian. Ini surat dari ayah. Ayah tahu kejadiannya akan seperti ini maka ayah mengirim pesan ini. Kami janji akan menuntaskan 270 Ini Bangsa Juga Punya Saya
apa yang belum ayah selesaikan. Tanpa sadar air mataku jatuh, menetes. Aku masukkan kembali surat ayah. Tunggu, ada kertas lain di dalamnya, sebuah kertas kecil mirip stickynote, kubuka dan di dalamnya tertulis secarik kertas bertuliskan kotak kayu di ubin pojok kanan kamar Rana. ni rahasia. Kak Bumi yang penasaran mengikuti instruksi tersebut. Ternyata di dalam ubin di kamarku ada berbagai macam flashdisk, rekaman, dan dokumen. Aku tidak tahu menggapa ayah menyembunyikan dan menunjukannya pada kami hingga beberapa tahun kemudian aku baru tahu itulah alasan ayahku dibunuh. Bukti sengketa besar di tanah air, ayah mencoba mengangkatnya ke permukaan, namun gagal. Saat itu aku memutuskan tidak akan kembali ke bukit sebelum menyelesaikan janji ayah. Ayah, akan kuselesaikan tugasmu, tekad ku dalam hati. Flashback off “Jadi sudah puas bernostalgia? Sudah pukul 09.00 saatnya pulang,” katanya membuyarkan lamunanku. Matahari telah beranjak naik. Sudah siang. Dialah kakakku, Bumi Puruhita Hardasena, seorang pemilik usaha ritel terbesar di Asia. Sekali gus pemilik yayasan dan sekolah beasiswa terbesar di Indonesia, karena baginya generasi penerus yang cerdas adalah cikal bakal dan tolok ukur kemajuan suatu bangsa. Dan aku, Rana Marditya Hardasena, hakim muda. Saat ini baru saja memenangkan kasus sengketa besar di bumi Indonesia. Karena bagiku perjuangan rakyat tanpa dukungan dari peme rintah yang bersih dan kokoh hasilnya nol. Kemarin sidang telah ditutup keputusan final dan kebenaran akhirnya berdiri tegak setelah sekian lama, aku akhirnya mampu menuntaskan janjiku. Bagiku seorang pejuang sejati tidak akan pernah mengingkari janjinya hingga maut menjemput. Karena Indonesia yang maju bukanlah sekadar utopia. Itu nyata jika kita mau memperjuangkannya. Meski harus dijemput di ujung 271Antologi Cerpen Kebangsaan
cakrawala, di titik terjauh horizontal selagi mampu kita pasti bisa. Demi Indonesiaku, sang negeri elok nan kaya di katulistiwa. Kutegakkan kebenaran di atas jatuh bangunnya bangsa ini. *** 272 Ini Bangsa Juga Punya Saya
Yuditeha TANAH LETUNG Hanya dengan perahu kecil yang ditumpangi banyak orang, jika tak beruntung, kita bisa dilumat laut hingga ludas. Karena lamanya di perahu, lambat laun harapan kian memudar, terlebih bahan makanan juga semakin menipis. Gejala stres mulai tampak di wajah kita, bahkan jika kematian datang saat itu, kita tak bisa berbuat apa-apa. Meski tak ada pengharapan tapi aku tahu kamu berusaha tegar di hadapanku. Kita baru sebulan menikah, dan harus ikut mengungsi. Kesewenangan penguasa saat itu membuat kita terancam, dan kita memilih pergi dari Vietnam. Kita ingin mencari suaka politik. Ada tiga rombongan untuk ke ketiga pilihan negara—Amerika Serikat, Australia, dan Kanada—dan rombongan kita memilih ke arah Australia. Laut luas di depan kita. Australia bukan jarak yang dekat. Malaysia tak sudi kita singgahi sejenak dan kita harus melanjutkan perjalanan. Di penghujung tahun 1978 itu kupikir akan menjadi awal penderitaan. Keganasan Laut China Selatan bukan omong kosong. Bahkan kita sempat mendengar rombongan dengan pera hu Southern Cross kandas. Entah bagaimana nasib mereka selanjut nya. Sebenarnya kita juga telah putus asa, bahkan karena stresnya, ada dua orang mati, jasadnya langsung dibuang ke laut. Suara histeris sering kita dengar membuat hati kita bertambah miris. Aku sadar kamu mencemaskanku. Akulah yang kamu pikirkan. Kamu tidak ingin aku sakit. Kamu ingin kita selalu bersama, mengarungi badai hidup yang ganas itu. Tapi kamu 273Antologi Cerpen Kebangsaan
mungkin tahu diri, kita manusia lemah. Karena itu kamu per nah mengangankan menjadi manusia super yang bisa menye lamatkan banyak orang. Tapi untunglah kamu cepat menyadari, dan menganggap hal itu hanya impian kosong. Dan aku sepakat, mungkin hanya mujizatlah yang bisa menolong kita. Sepanjang perjalanan kamu memperhatikan aku. Beberapa kali kamu memberi pertanyaan retoris, menanyakan keadaanku. Tidak kujawab pun sebenarnya kamu sudah tahu kondisiku. Tanpa sadar aku sering melihat ke arah cakrawala, berharap hamparan air lekas berubah daratan. Lalu kamu duduk di depank u dengan posisi lebih rendah, memegangi kakiku, dan mengelus-elus lututku. “Tidak seharusnya kamu berada di sini,” katamu. Aku bergeming, tapi aku berpikir semoga aku bisa ber tahan menemanimu. Rasanya seperti menunggu pengadilan terakhir, kita akan dilempar dalam maut, atau ke tanah lapang. Kita beranjak hanya saat ingin buang air dan buang hajat. Kita lupa waktu karena segala penjuru hanya ada air, siang malam berganti tanpa kita sadari. Suara histeris tanpa sebab terdengar berulang kali, bahkan sering ada orang yang kejang. Dan aku sangat ketakutan saat ada orang bunuh diri persis di depan kita. Dengan heroik dia menyayat nadi pergelangan tangannya. Darah mengucur deras. Meski kamu dan beberapa teman menolong, tapi nyawanya tidak selamat. Mungkin karena wajahku pucat dan kulitku tampak memutih, hingga kamu semakin mencemaskanku. Tak kusadari bibirku mendesah keluh, bahkan beberapa kali muntah tapi tak ada yang keluar dari mulutku. Kulihat kamu semakin risau. Aku tahu kamu kewalahan menghalau keada an, dan berat menguasai diri agar kewarasanmu tetap terjaga, terlebih untuk bersikap kuat di depanku. Tapi sepertinya wak tu itu lain. Cuaca memang terasa sangat panas tapi pori-pori tubuhmu tak mampu mengeluarkan keringat lagi. Ketika aku 274 Ini Bangsa Juga Punya Saya
pegang badanmu, aku merasakan panas, sepertinya kamu demam, tapi ketika kutanyakan hal itu, kamu menjawab tidak apa-apa. Aku tahu jawabanmu itu hanya untuk menjaga hatiku agar tidak kalut. “Tuhan Maha Kuasa,” gumamku malam itu ketika aku jatuh di dasar keputusasaan. Kamu terjaga dari tidur dan tak lama kemudian kita terkejut oleh teriakan bahwa mereka melihat daratan. Pada mulanya kamu tidak yakin, tapi rupanya gumamku tadi yang membantumu mengikis kesangsian. Kata mu apa yang kuucapkan menegaskan bahwa Tuhan memang punya kuasa. Ada teriakan lagi, mereka melihat cahaya berpen dar. Mendengar hal itu jiwa raga kita seperti mendadak kuat dan semangat kita kembali berkobar. Ada secercah asa, kita akan selamat. Kita akan mendapati sebuah pulau. Depan kita terpampang pulau subur yang ditumbuhi pohon- pohon besar dengan daun yang rimbun berwarna hijau. Saat itu aku sempat berpikir, apakah tempat itu surga yang kita rindui. Tempat untuk membangkitkan keterpurukan. Tempat untuk mengembalikan kepercayaan. Dan tempat untuk menyadarkan bahwa kita manusia lemah. Kita langsung merebahkan diri di pasir, lalu sebentar saja terlelap, baru bangun saat matahari tepat di atas kita, dan kita dikerumuni warga setempat. Setelah berinteraksi dengan mere ka, kita dibawa ke sini, bermukim di Tanah Letung yang ternyata sudah ramai pengungsi, bahkan jumlahnya telah melebihi jumlah warga Letung sendiri. Sebelum bantuan kesehatan internasional tiba, Puskesmas Letung telah lebih dulu memberi pelayanan. Penerimaan warga Letung pada kita begitu tulus. Hal itu membuat kita respek, terlebih menurutku, bahkan aku meng anggap mereka dewa penolong. Aku senang dan kamu setuju kita harus bersyukur untuk itu. Kisah di Letung sangat mem bahagiakan kita, terlebih tulusnya penerimaan warganya. Ka 275Antologi Cerpen Kebangsaan
renanya aku minta izin padamu untuk membantu mantri kese hatan itu. Aku gembira kamu mengizinkan, terlebih karena aku merasa punya sedikit pengetahuan itu karena saat di Vietnam dulu, aku sempat ikut pendidikan dasar kesehatan yang di prakarsai pemerintah saat itu. Bahkan kulihat kamu terharu saat aku mengatakan bahwa apa yang kulakukan belum seberapa jika dibandingkan dengan kebaikan mereka. Saat itu aku tersanjung ketika kamu mengatakan hatiku sangat lembut. Katamu hal itu sesuai dengan makna nama panggilanku: Hien, yang berarti lembut dan baik hati. “Dan penerimaan mereka adalah nyawa kita,” ujarku. Aku tahu meski kamu menyadari kebaikan mereka, tapi kamu pernah mengatakan bahwa jika situasi negara kita sudah kondusif, kamu ingin kita kembali. Kamu ingin kita bisa pulang. Sebenarnya aku tahu, bagimu tak ada yang lebih nyaman se lain di rumah sendiri. Tak ada yang lebih membanggakan selain menghirup udara di negara sendiri. Tak ada yang lebih membahagiakan selain hidup tenteram di negara sendiri. Tapi aku juga yakin, prinsipmu itu tidak kamu katakan kepadaku, tentu saja karena kamu menghargai perasaanku yang begitu mensyukuri atas penerimaan warga Indonesia ini. “Kamu benar, penerimaan mereka adalah nyawa kita. Nikmat apa lagi yang bisa kita dustakan?” katamu meyakinkan. “Bisa juga hal itu berarti masalah hidup dan mati,” sahutku. Aku selalu antusias jika membicarakan kebaikan mereka, bahkan aku mengatakan ketulusan mereka adalah cinta. Untuk itu kamu pernah mengibaratkan pernyataanku tak ubahnya ungkapan yang sering dilontarkan para serdadu di medan tempur. Negara adalah nyawa. Kebebasan mahal harganya. Lalu aku berpikir, andai waktu itu kita tidak diterima di sini, apa jadinya nasib kita. Perahu kecil yang kita tumpangi, sesungguhnya tak pernah memberi keyakinan kita bisa pergi lebih jauh lagi. 276 Ini Bangsa Juga Punya Saya
Tapi aku sungguh mengenalmu, bagimu tanah air tetap tanah air. Tak ada istilah bekas tanah kelahiran. Tak ada bekas kampung halaman. Tanah rantau tak pernah menjadi tanah kelahiran. Karena itu jiwamu tetap merindui Vietnam, dan tetap berharap semoga kelak kita bisa pulang. Tapi karena aku semakin sibuk dengan kerja amal dan berkali-kali aku bilang bahwa apa yang kulakukan tidak seberapa, pengabdianku sesungguhnya belum cukup membalas kebaikan yang kita terima, bahkan sekadar tanda terima kasih pun belum. Terlebih saat aku tahu pada akhirnya puskesmas memberi kebijakan menggajiku, dan itu semakin membuat hatiku tak berdaya. Kecintaanku pada negara ini semakin besar, bahkan seakan Indonesia telah menjadi bumi tumpah darah. Terlebih setelah mendapati kenyataan, dua anak kita lahir di tanah ini. Mereka tumbuh menjadi anak sehat dan pintar. Dan kutahu kamu juga sudah lama mendapat kerja mapan dari pengusaha ikan. Meski begitu aku tidak pernah mendebatmu, dan aku tahu kamu tetap meyakini bahwa hidup kita di Letung hanya sementara, dan Indonesia bukan negara kita. Prinsip itu tetap kamu pegang. Aku tahu kamu rindu tanah kelahiran, karena bagimu tanah kelahiran seperti ibu kandung, yang tidak bisa diganti dengan ibu lain. Pada tahun 1984, seingatku kira-kira 7 tahun sejak kedatang an kita di tanah Letung, entah mengapa prinsipmu berubah. Aku tidak tahu apa penyebabnya. Tapi aku menduga bukan karena saat itu kamu mendapati tubuhmu sakit, meski karena itu kamu memang harus dirawat di puskesmas. Bahkan sakitmu semakin parah hingga kamu menduga hidupmu tidak lama lagi. Kamu sekarat dan tak bisa ke mana-mana. Tergeletak dan tak bisa berbuat apa-apa. Tapi aku tetap setia merawatmu, bah kan sikapku padamu tak berubah. Aku tetap mencintaimu sepenuh hati. Suatu hari, tiba-tiba kulihat matamu basah. Kamu mengatakan bahwa kamu terharu dan bahagia. Pada saat itulah 277Antologi Cerpen Kebangsaan
kamu menyampaikan sesuatu: “Jika aku mati, kuburkan saja di sini. Yang kuyakini Vietnam memang tanah airku, tapi kini aku juga mengakui bahwa tanah Letung ini telah kuanggap sebagai tanah tumpah darahku.” *** 278 Ini Bangsa Juga Punya Saya
Yuktiasih Proborini TIGA KATA Namaku terdiri dari tiga kata. Kata pertama menunjukkan bahwa aku berasal dari keturunan hebat di masa lalu. Moyangku adalah orang jujur di masanya, selalu berbicara apa adanya. Sering memberikan kritik untuk petinggi-petinggi di negerinya. Mereka hidup dalam semangat kuat untuk kebaikan umat. Aku bangga dengan margaku. Kalau diurut, entah aku ke turunan keberapa, tidaklah penting. Entah sudah berapa gene rasi, tidak menjadi masalah buatku. Papi sering bercerita tentang hebatnya nenek moyangnya. Di malam-malam gelap berlampu minyak kelapa, Papi memelukku sambil bercerita. “Kwan, kamu tahu roda?” “Seperti yang ada di pedati pengangkut tembakau itu, Pi?” “Iya. Bagaimana geraknya?” “Berputar.” “Tahu arti berputar? Kadang yang sekarang di atas, kemudian menjadi di bawah.” Aku bersegera turun dari dipan berlapis tipis. “Kemana? Sudah malam, ayo tidur.” Tanganku segera meraih karet gelang yang biasa dipakai Mami untuk mengikat rambut panjangnya. “Pi, kalau ini adalah roda. Trus akan berjalan seperti ini?” kataku sambil memutar karet itu di atas tangan Papi. “Kamu memang anak Papi. Pinter.” 279Antologi Cerpen Kebangsaan
“Kalau bandel, kamu anak Mami,” terdengar suara Mami mengeluh pelan. Papi terbahak mendengar suara Mami. “Kwan, hidup juga begitu. Seperti roda ini. Kadang di atas. Kadang di bawah.” Lalu bergulirlah kisah-kisah perjuangan marga Papi. Aku mendengarkan hingga akhirnya yang terdengar adalah kokok ayam. Sudah pagi rupanya. Marga buat keluargaku sangat penting. Kisah-kisah yang selalu diulang hampir setiap malam, benar-benar membuatku bangga dengan namaku. Ada nilai luhur tertempel di namaku, ada kebesaran di balik empat huruf margaku. Tapi kali lain, Papi berkata,”Tetaplah rendah hati. Semua orang yang kamu temui pasti punya peran dalam hidupmu, Jangan pernah merendahkan siapa pun.” Aku masih terlalu kecil untuk memahami maksud kata-kata Papi. Tapi aku melihat sendiri, bagaimana Papi memperlakukan orang lain. Banyak orang bekerja di rumah kami. Ada mbah sangat tua, suami istri, Papi selalu menyiapkan makan minum untuk mereka dan menyajikan pada saat istirahat siang. Papi juga makan bersama pegawai-pegawainya yang lebih muda. Kemudian di sore hari, setelah mandi Papi duduk di depan rumah dan memanggil tukang becak yang mangkal untuk bermain catur, sambil menikmati kopi panas buatan Mami. Mami tidak pernah mengeluh, ketika harus berpanas-panas di depan tungku hanya untuk menyangrai biji kopi, lalu me numbuk dalam alat terbuat dari perunggu. Keringatnya menetes membasahi kebaya katunnya. Setelah itu, tumbukan kopi diayak, aku suka membantu mengayak. Melihat kopi halus menggunung, lalu disendok pelan dan dimasukkan ke dalam kaleng kopi simpanan Mami, untuk menjamu Papi dan para tukang becak. Mami melakukan dengan ringan. Semua dikerjakan dengan senyum. Jika beruntung, sesekali Mami membuat campuran kopi bubuk dengan gula 280 Ini Bangsa Juga Punya Saya
pasir untukku. Campuran itu diletakkan dalam piring kecil dengan sendok kecil. Kunikmati sedikit demi sedikit. Sambil kucium harum kopi. Para tukang becak itulah yang kemudian bergantian meng antarku ke sekolah. Atau jika Mami pergi ke pasar atau bertandang ke keluarga. Atau mengantar tamu-tamu Papi berjalan-jalan keliling kota. Mereka semua mendapatkan bayaran yang cukup besar jika dibandingkan jika harus mengantar orang lain. Belum lagi, jika panenan datang. Papi punya banyak petak sawah dan kebun di sisi timur tempat tinggal kami. Hampir seminggu sekali, dua atau tiga becak datang dengan hasil pertani an kadang ayam hidup atau telur ayam kampung. Sesekali buah sesuai dengan musim yang datang. Hasil panen yang dikirim adalah jatah Papi, pengelola tanah Papi sudah mengambil jatahnya terlebih dahulu, sesuai perjanjian mereka. Ini aku ketahui kemudian dari Mami, ketika aku mulai bertanya di usia remaja. Panen itu hanya disimpan sebagian untuk kami, selebihnya dibagi Mami. Setiap pagi Mami berkeliling kota menggunakan becak sambil membawa bungkusan-bungkusan hasil panen, dibagi ke siapa saja. Papi dan Mami tidak pernah menunjukkan mereka beda dari semua orang yang setiap hari ada di sekitar kami. Mereka berdua selalu menggunakan bahasa Jawa yang memang agak aneh jika dibanding dengan bahasa yang digunakan orang-orang itu. Belakangan aku baru tahu bahwa para tukang becak atau pun karyawan Papi menggunakan bahasa Jawa Krama Inggil, sementara Papi Mami menggunakan bahasa Jawa campuran dengan dialek China. Setelah beranjak remaja, Papi sering mengajakku bepergian naik kereta api ke desa-desa untuk membeli tembakau. Temba kau ini kemudian dikirim ke rumah kami untuk dilinting dan dikemas. Papi selalu membawa koper kulit besar yang sudah 281Antologi Cerpen Kebangsaan
dilumuri tape sehingga menimbulkan bau yang luar biasa dan bakal dirubung lalat hijau. Tapi koper itu tidak boleh lepas dari kami berdua, karena berisi uang banyak sekali. Uang itu untuk membayar tembakau yang menjadi pilihan Papi. Di masa itu, Papi tidak berhubungan dengan bank. Semua uang disimpan di tempat rahasia di rumah. Kunci selalu ada di ikat pinggang Papi. Kebutuhan sehari-hari sudah dipenuhi dari sawah dan kebun. Lalu untuk apa Papi masih mengumpulkan uang dengan menjual rokok dan tembakau? “Kamu harus sekolah setinggi mungkin. Sekolah di luar negeri, jadi kembali ke Indonesia kamu siap membangun negeri ini supaya lebih maju. Jangan ada lagi seperti itu,” kata Papi menunjuk ke para pengemis di sepanjang rel kereta. “Atau itu,” Papi menunjuk ke rumah-rumah bedeng di sepanjang perjalanan kami. “Indonesia harus lebih maju. Harus sama dengan negara- negara tempat kamu sekolah nanti.” Lanjutnya, ”Buka matamu selebarnya. Belajar sebanyak mungkin. Papi melakukan semua ini untuk kamu. Kamu akan melakukan semuanya untuk negeri kita.” Aku mengangguk setuju. Namaku tetap tiga kata, meski waktu itu pemerintah mem buat aturan agar kami mengubah nama menjadi nama Indonesia. Aku tetap bertahan dengan tiga kata itu. Karena itu adalah ke banggaanku. Kesempatan belajar di Jerman tidak kulewatkan begitu saja. Papi sudah menyiapkan segala hal untuk anak lelakinya. Biaya pendidikan dan sewa apatemen sederhana selama setahun sudah diselesaikan Papi. Jika biaya pendidikan adalah untuk sampai kuliahku rampung, tidak demikian dengan sewa apartemen. “Papi hanya membiayai apartemenmu selama satu tahun. Satu tahun kamu berada di atas bagian roda. Untuk selanjutnya kamu ada di bagian bawah. Kamu harus mencari biaya apar 282 Ini Bangsa Juga Punya Saya
temenmu sampai kamu layak untuk pulang. Biaya hidupmu adalah untuk enam bulan saja. Sisanya harus kamu cari sendiri.” Aku sangat terkejut dengan pernyataan Papi. Mulutku hampir menyampaikan protes keras, tapi kami sudah ada di Jerman. Tidak mungkin balik ke Indonesia. Apalagi aku kesulitan mencari perguruan tinggi karena aku masih menggunakan tiga kata dalam namaku. “Ya, Pi,” jawabku dengan nada kelu. “Papi titip ini, pasang di tempat terbaik di kamarmu. Tatap setiap kali kamu akan berangkat kuliah atau bekerja,” katanya mengulurkan sebuah bungkusan. “Bukalah,” perintahnya. Kuikuti, kubuka. Selembar bendera Merah Putih, satu gulung kertas berisi gambar Garuda Pancasila dan rangkaian kepulauan di Indonesia. Kutatap nanar dua benda itu. Airmataku mengalir perlahan. Kupeluk Papi sangat erat. “Jangan pernah lupa pada tanah tempat kamu dilahirkan. Rumah masa kecilmu. Air yang kamu minum hingga dewasa berasal dari sana. Udara yang mengisi paru-parumu adalah udara Indonesia. Meski darahmu adalah darah leluhur bermarga mulia. Tapi kamu tetap putra Indonesia.” * Sekarang, tigapuluh tahun setelah itu, kupandangi langit Indonesia. “Aku pulang. Aku akan mengabdi padamu, Indonesia. Aku dengan tiga kata di namaku, tidak peduli apa kata orang. Karena kaulah tanah tumpah darahku, Indonesia. Ijinkan aku pulang.” Airmataku menderas di sebuah makam keluarga bermarga terhormat, di depan makam besar bertuliskan dua nama, Papi dan Mami. *** Semarang, 27 September 2019 283Antologi Cerpen Kebangsaan
Biodata Penulis Alfiah Ariswati. Lahir di Semarang, 7 Januari 1969. Saat ini mengajar di SMP Negeri 2 Ngargoyoso. Buku yang telah diterbitkan antara lain Semusim Aksara Berlabu, Kidung Sastra Nusantara, Perempuan di Langit Aksara, Puisi untuk Ibu, Aku Ingin Sekolah, dan lain-lain. Aloeth Pathi, lahir di Pati, Jawa Tengah. Karyanya dimuat Mata Media antologi bersama, Dari Dam Sengon Ke Jembatan Panengel (Dewan Kesenian Kudus dan Forum Sastra Surakarta 2013), Komunitas Harmonika Kehidupan, Harmonika Desember (Sembilan Mutiara 2014), Mom: The First God that I Knew (Garasi 10 Bandung 2014), Epifani Serpihan Duka Bangsa (Sembilan Mutiara 2014), Solo Dalam Puisi (Sastra Pawon, 2014), Lumbung Puisi Sastrawan, (Indramayu, 2014), Karet Gelang (Gandrung Sastra Media, 2014), The Painting of Memories, LSWK, Pati 2014), Duka Gaza Duka Kita (Nittramaya, Magelang, 2014), 13 a Peace Of Me (Surya University, 2014), Merangkai Damai (Nittramaya, Magelang 2015) kelola Buletin Gandrung Sastra Media & Perahu Sastra. Tinggal di Jalan Ronggo Kusumo 204, Sekarjalak, Margoyoso, Pati. FB: Aloeth Pathi II 284 Ini Bangsa Juga Punya Saya
Amelia Putri Revani, lahir di Mag elang, 12 Maret 2004. Saat ini pelajar SMA Unggulan CT Arsa Foundation Sukoh arjo ini bermukim di Dusun Pule Wonos ari RT 01/ RW 23, Gunungpring, Muntilan, Kabupaten Magelang. Ariadi Rasidi, lahir di Purwokerto, 15 April 1959. Salah satu pendiri KSS3G Temanggung. Seorang pensiunan. Menulis cerpen dan sajak sejak tahun 1985-an. Namun aktivitas menulis sempat terhenti karena kesibukan dinas. Puisi-puisi ter baru banyak terangkum dalam berbagai antologi puisi bersama. Saat ini sedang berproses menggiatkan denyut sastra di Kabupaten Temanggung melalui komunitas Keluarga Studi Sastra 3 Gunung (KSS3G) Temanggung. Bertempat tinggal di dusun Kampung RT 01/1 Desa/Kecamatan Kaloran, Temanggung, Jawa Tengah. Budi Wahyono, penulis kelahiran Wono giri. Ratusan judul cerpennya tersebar di berbagai media cetak/elektronik. Tercatat Sinar Harapan, Bisnis Indonesia, Jakarta Post, Suara Karya, Minggu Merdeka, Wawasan, Suara Merdeka, Solopos, Kedaulatan Rakyat, Srabaya Pots, Solopos, Kartika, Bahari, Dharma, Bina, Majalah Humor, Keluarga, Krida, dan lain-lain. 285Antologi Cerpen Kebangsaan
Davit Kuntoro lahir di Banyumas, Jawa Tengah, 3 Oktober 1996. Menulis puisi, cerpen, dan opini. Karyanya termuat di berbagai media cetak dan daring. Untuk lebih intens berkomunikasi, bisa meng hubungi nomor WA 085647641239. Juga pos-el [email protected] Gunoto Saparie, lahir di Kendal, Jawa Tengah, 22 Desember 1955. Pendidikan formal Sekolah Dasar Kadilangu Cepiring Kendal, Sekolah Menengah Pertama Cepiring Kendal, Sekolah Menengah Ekon omi Atas Kendal, dan Akademi Uang dan Bank Yogyakarta dan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang. Pendidikan informal Madrasah Ibtidaiyyah Islamiyyah Tlahab Gemuh Kendal dan Pondok Pesantren KH Abdul Hamid Tlahab Gemuh Kendal. Kumpulan puisi tunggalnya yang telah terbit adalah Melancholia (Damad, Semarang, 1979), Solitaire (Indragiri, Semarang, 1981), Malam Pertama (Mimbar, Semarang, 1996), dan Penyair Kamar (Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, Semarang, 2018). Kumpulan esai tunggalnya Islam dalam Kesusastraan Indonesia (Yayasan Arus, Jakarta, 1986). Kumpulan cerita rakyatnya Ki Ageng Pandanaran: Dongeng Terpilih Jawa Tengah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004). Ia pernah menerbitkan antologi puisi bersama Korrie Layun Rampan berjudul Putih! Putih! Putih! (Yogyakarta, 1976) dan Suara Sendawar Kendal (Karawang, 2015). Puisi-puisinya terhimpun dalam berbagai antologi bersama para penyair Indonesia lain, termasuk dalam Kidung Kelam (Seri Puisi Esai Indonesia—Provinsi Jawa Tengah, 2018). Saat ini ia menjabat Pemimpin Redaksi Kampus Indonesia (Jakarta) dan Tanahku 286 Ini Bangsa Juga Punya Saya
(Semarang) setelah sebelumnya menjabat Redaktur Pelaksana dan Staf Ahli Pemimpin Umum Koran Wawasan (Semarang). Ikha Mayashofa Arifiyanti nama panjang pengarang, tetapi lebih dikenal dengan sebutan IKHA sebagai nama panggilan. Tinggal dan lahir di Kampung Sampangan Gang 1 RT 03 RW05 No.24 Demak 59511 Jawa Tengah, pada 14 Mei 1980. Penga rang menamatkan pendidikan S-1-nya di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang (Unnes) pada tahun 2002, sedang kan pendidikan S-2 ditamatkannya pada tahun 2011, di Program Studi Ilmu Sastra, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, melalui program beasiswa Kementerian Agama. Profesi tetap pengarang sebagai guru bidang studi Bahasa Indonesia di instansi MTs Negeri 3 Demak Jawa Tengah. Beberapa forum kepenulisan aktif diikuti pengarang, antara lain: Asean Woman Writers Association (AWWA), Perkumpulan Guru Madrasah Penulis Indonesia (Pergumapi), dan Asosiasi Guru Penulis Kabupaten Demak (Agupenda). Pengarang dapat dihubungi di alamat surel: [email protected]. Indri Yuswandari, tinggal di Kendal Jawa Tengah sud ah men ulis 3 antologi puisi tunggal berjudul: Lukisan Peremp uan (2017), Ini Hampir Pukul Tiga (2018), mendapat juara ke 3 lomba penulisan buku kreatif Dapur Sastra Jakarta (2018), Tekateki Catatan Kaki (2019). Puisi-puisinya juga dimuat di puluhan antologi bersama penyair nusantara dan dua antologi Malaysia, 287Antologi Cerpen Kebangsaan
membaca puisi dan geguritan di berbagai kota sekali waktu menjadi juri lomba baca puisi/bercerita “Mbah Jenderal”adalah cerpennya yang pertama kali lolos Balai Bahasa Jawa Tengah 2019 Muhisom Setiaki, lahir di Parakan, Te manggung 26 Juni 1964. Menulis puisi mulai tahun 1980-an saat masih di SMP, tetapi tidak dipublikasikan. Mulai tahun 1990-an aktif menulis cerpen dan cerita anak. Karya-karyanya dimuat di Suara Merdeka, Yunior, Wawasan, Kedaulatan Rakyat, Republika, Wanita Indonesia, Lontar, Magelang Ekspres. Majalah Rindang, MOP, HumOr, Kids Fantasi, Djaka Lodhang dan Damar Jati. Buku-buku yang telah diterbitkan. Kena Batunya, berupa antologi cerita anak (Adicita, 2005, Jogya), Misteri Gudang Tua, novel anak (Dar Mizan, 2015, Bandung), Empat Detektif Sekolah, novel anak (Dar Mizan,2015 Bandung), Puisi Religi dan Bung Karno dalam Puisi, antologi bersama (KSS3G, 2016, Temanggung), Puisi Peduli Hutan (Tuas media, 2016, Kalimantan), Klungkung Tanah Tua Tanah Cinta (YMNG, 2016, Bali), MAKTA (Forum Sastra Surakarta, 2016, Solo), 6,5 SR Luka Pidie Jaya (Imaji Indonesia, 2017, Depok), Progo 4 (KSS3G, 2017, Temanggung), Puisi Menolak Korupsi 6 (Elmatera, 2017, Yogyakarta), Mengunyah Geram (YMK, 2017, Bali), Wangian Kembang (Kuala Lumpur, Malaysia, 2018), Surat dari Samudra (Balai Bahasa Jateng, 2018), Progo 5 (KSS3G, Temanggung, 2018). Pernah juga menjadi redaktur tabloid Stanplat di tahun 2007— 2009. Saat ini di samping menulis, juga aktif di KSS3G, Keluarga Studi Sastra Tiga Gunung, Temanggung. Untuk lebih intens berkomunikasi, bisa menghubungi nomor WA 081380820254. Juga e-mail [email protected]. atau muhisom68@gmail. com. Hingga detik ini masih setia menetap di Karangtengah no. 635 Parakan, Temanggung 56254. 288 Ini Bangsa Juga Punya Saya
Mukti Sutarman Espe lahir di Kota Semarang, Jawa Tengah, tanggal 6 Maret 1956. Dia menempuh pendidikan di dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi di kota kelahirannya. Selain menulis karya- karya sastra dalam bentuk puisi, Mukti juga aktif di organisasi kesenian, antara lain ikut mendirikan Keluarga Penulis Semarang (KPS) bersama Bambang Sadono, Handry TM, Gunoto Saparie, dan lain-lain. Tahun 1990 Mukti hijrah ke Kabupaten Kudus. Bersama penyair Yudi MS, dia menginisiasi berdirinya Keluarga Penulis Kudus (KPK). Mukti juga tetcatat sebagai Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jawa Tengah. Najibul Mahbub, saat ini berdiam di Jalan Nusa Indah No.11 Perumahan Taman Seruni Gamer Pekalongan nomor seluler: 085600745181 Pensil Kajoe, lahir dan dibesarkan di Banyumas pada 27 Januari 1983. Beberapa tulisannya dimuat di beberapa koran regional baik berupa cerpen dan puisi. Dia juga telah melahirkan 15 buku tunggalnya, seperti cerpen, antologi puisi dan cerita anak. Tidak hanya itu, tulisannya juga tergabung dalam 17 antologi bersama para penulis tanah air. Saat ini menjadi penulis rubrik Banyumasan di Majalah Djaka Lodang Yogyakarta. 289Antologi Cerpen Kebangsaan
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164
- 165
- 166
- 167
- 168
- 169
- 170
- 171
- 172
- 173
- 174
- 175
- 176
- 177
- 178
- 179
- 180
- 181
- 182
- 183
- 184
- 185
- 186
- 187
- 188
- 189
- 190
- 191
- 192
- 193
- 194
- 195
- 196
- 197
- 198
- 199
- 200
- 201
- 202
- 203
- 204
- 205
- 206
- 207
- 208
- 209
- 210
- 211
- 212
- 213
- 214
- 215
- 216
- 217
- 218
- 219
- 220
- 221
- 222
- 223
- 224
- 225
- 226
- 227
- 228
- 229
- 230
- 231
- 232
- 233
- 234
- 235
- 236
- 237
- 238
- 239
- 240
- 241
- 242
- 243
- 244
- 245
- 246
- 247
- 248
- 249
- 250
- 251
- 252
- 253
- 254
- 255
- 256
- 257
- 258
- 259
- 260
- 261
- 262
- 263
- 264
- 265
- 266
- 267
- 268
- 269
- 270
- 271
- 272
- 273
- 274
- 275
- 276
- 277
- 278
- 279
- 280
- 281
- 282
- 283
- 284
- 285
- 286
- 287
- 288
- 289
- 290
- 291
- 292
- 293
- 294
- 295
- 296
- 297
- 298
- 299
- 300
- 301
- 302
- 303
- 304
- 305
- 306
- 307
- 308