Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore INI_BANGSA_JUGA_PUNYA_SAYA_Antologi_Cerp

INI_BANGSA_JUGA_PUNYA_SAYA_Antologi_Cerp

Published by e-Library SMPN 8 Talang Ubi, 2020-01-19 13:34:03

Description: INI_BANGSA_JUGA_PUNYA_SAYA_Antologi_Cerp

Search

Read the Text Version

Entah kenapa, walau belum bertemu secara langsung tetapi obrolan saling balas status terasa sangat hangat. Terutama ketika kita membahas tentang negeri ini. Bisa dikatakan kita sepaham. “Iya Mbah beb, Ayo...“ Sahutku dalam balasan di facebook. Tak lama teman-teman lain pun menimpali obrolan itu de­ ngan hangat dan postif. Rata-rata teman yang kujumpai di facebook mempunyai sepemahaman yang sama mengenai pen­tingn­ya kebhinekaan, persatuan, dan kesatuan negeri ini. Kesedihanku tentang kabar wafatnya Syaikhona pun semakin cukup reda seiring dukungan kawan-kawan di facebook tentang negeri ini. Karena perjuangan beliau merangkai mutiara mutu manikam akan kembali ada. Aku pun teringat dengan Habib yang juga totalitas dalam mempererat antara TNI dan Polri. Pemer­ intah dan masyarakat. Beliau sering berdampingan dengan Syaikhona Maimun Zubair. “Sayang, Aku di Papua, hanya bisa memandangnya melalui televisi bututku.“ Gumamku. Lalu ketika bermain facebook tautan muncul dalam beranda. Dalam tautan laman berita detik.com „Polisi tangkap 6 orang di Tangerang, diduga perancang demo ricuh.“ Berita 29 September 2019. “Nah, ternyata benar apa yang dikatakan Kang Aji. Ada aktor dan provokator dalam kejadian yang terjadi di negeri ini.” Aku pun menghela nafas panjang sambil memberikan pengertian kepada anak-anakku tentang arti pentingnya nasionalisme terhadap negeri ini. Aku pun berpesan kepada anakku. “Nak, jangan kau mudah percaya terhadap kabar yang beredar di grup-grup whatsap atau yang lain. Bisa jadi itu hoax yang bergentayangan. Check and ricek dulu.” “Ingat Nak, negerimu ini negeri mutiara mutu manikam maka negeri ini menjadi incaran banyak orang.” “Titip negeri ini sampai anak cucumu nanti. Jangan mau dikadalin sama para pecundang.“ Bisikku kepada Zia, Hada, dan 190 Ini Bangsa Juga Punya Saya

Syasya dalam tidur pulas mereka, sembari tanganku mengelus kepala mereka satu per satu. * Kuambil air wudu dan mencoba merangkai kata dalam untaian doa-doa malam. Berharap kegundahan ngerinya negeri ini lenyap dalam hati. Mulai kuuntaikan dalam sepertiga malam ini dalam tapakan sujud dan zikir doa. “Ya Rabb ... Cukup sudah cobaan kepada negeri ini, rang­ kaikan, tumbuhkan negeri ini, menjadi negeri penuh rahmat- Mu. Amin.“ Doaku dalam sepertiga malam ini. Aku pun mencoba memejamkan mata setelah hati ini benar- benar yakin terhadap berita yang aku baca. Juga keyakinanku atas doa yang kupanjatkan. Sungguh gundah n(e)geri. *** 191Antologi Cerpen Kebangsaan

Pensil Kajoe DAUN-DAUN YANG TAK LAGI HIJAU Sudah beberapa bulan hujan tak kunjung turun, debu- debu berterbangan bagai laron baru keluar dari lubang persembunyiannya saat tergilas roda-roda kendaraan yang melaju kencang di jalan depan rumah. Hidung dan tenggorok­ anku perih dibuatnya. Sudah dua botol air mineral aku habiskan untuk meredakan haus, efeknya aku harus bolak-balik ke kamar mandi untuk buang air kecil. Ya, matahari siang ini memang cukup menyengat dari biasanya. Kawanan semut berbondong-bondong membentuk barisan panjang, mereka mengusung sesuatu menuju sarangnya, sim­ panan makanan sebelum musim hujan tiba. Bangsa semut me­ mang terkenal sebagai pekerja keras dan binatang paling kuat bisa mengangkut beban lebih berat dari tubuhnya. Aku iri melihat betapa akur kawanan semut itu, mereka selalu bekerja sama dalam melakukan tugas-tugasnya. Bahkan, untuk mengangkut remah nasi atau bangkai belalang pun me­ reka bergotong-royong, diusung menuju sarangnya. * Beberapa hari ini, berita di televisi membuatku muak saat penyiarnya membacakan berita tentang pembunuhan. Begitu murah nyawa manusia hanya ditukar dengan beberapa lembar uang, tak pernah bisa mencukupi nafsu manusia yang begitu banyak. Antara dendam, nafsu dan kebutuhan hidup kadang menj­adikan orang lupa bahwa dirinya terlahir sebagai seorang 192 Ini Bangsa Juga Punya Saya

anak manusia yang harusnya menjadi seperti awal tujuan pen­ ciptaannya. Lagu “Rayuan Pulau Kelapa” mengalun dari radio pemilik warung kopi di ujung jalan kota kecil. Sore merambat pelan, men­ciptakan bayangan di tanah lebih panjang dari wujud asli­ nya. Lagu yang menggetarkan sisi terdalam di rongga dada. Dada seorang asli berdarah Indonesia, tetapi apakah aku benar- benar orang-orang Indonesia tulen? Aku tertawa geli kalau ingat masa-masa sekolah, betapa mal­as­nya mengikuti upacara bendera. Berdiri tepat menghadap mata­hari yang sedang garangnya bangun dari sarang. Cukup lama mend­­ engarkan pidato dari pembina upacara yang tak bosan- bosan menasihati anak-anak untuk memiliki sikap dan jiwa cinta tanah air meskipun nyawa sekalipun sebagai taruhan­nya. “Apa yang kalian lakukan saat ini, di atmosfer kemerdekaan negeri belum sebanding dengan apa yang sudah dipertaruhkan oleh para pahlawan pendahulu kita. Mereka berani berjibaku demi satu tujuan yakni terbebasnya negeri tercinta dari belenggu penjajahan,” dengan lantang guru yang pagi itu menjadi pembina upacara berorasi di depan seluruh murid. Gaya berpidatonya hampir mirip dengan Bung Karno, sang Proklamator dan juga terkenal sebagai seorang orator ulung. Pidatonya berapi-api, menyulutkan semangat dalam jiwa anak muda untuk tergerak hatinya maju bertempur membela tanah airnya. Kulirik, teman sebelahku justru asyik bermain gawainya. Dia tampak senyum-senyum sendiri saat membaca pesan yang masuk, dia sibuk membalasnya. Jari-jarinya lincah berloncatan di atas telepon pintarnya. Aku berdehem beberapa kali dengan mak­ sud agar dia menghentikan keasykannya pada si setan gepeng. “Ar, Ar … tolong simpan dulu hpmu. Ingat kita sedang apa sekarang?” bisikku lirih. Teman di depanku menoleh sambil menempelkan telunjuk tangan kananya di depan bibirnya. Aku mengangguk dan menggerakkan ibu jari menunjuk ke arah Ari. 193Antologi Cerpen Kebangsaan

Aku membayangkan kalau saja aku terlahir di zaman itu, aku mungkin akan turut terjun ke medan perang tak ada wak­ tu untuk sekadar bermain gawai seperti sekarang. Benar-benar melenakan, merampas keasyikan sebenarnya. Bahkan, meram­ pas keakraban dengan teman atau keluarga, saking asiknya ber­ tamasya ke dunia maya, bercengkrama dengan orang di dunia antah berantah, mengabaikan orang yang jelas-jelas sedang berada di dekat kita. “Kita ternyata belum merdeka ya, Ar.” “Maksudmu?” “Kamu sadar tidak, kalau saat ini kamu sedang dijajah oleh benda yang kamu pegang sekarang. “Sudah, jangan sok nasionalis. Bukankah kamu juga punya benda seperti ini kan?” Ari tak mau kalah, dia menyanggah ucapanku. * Bau sampah menyengat di siang terik membuat kepalaku pening. Sudah lama sampah-sampah itu terbiarkan menggunung membuat pemandangan tak sedap. Truk-truk sampah yang biasanya mengangkut limbah rumah tangga tak lagi terlihat sejak para supir menuntut kenaikan upah. Oh, beginikah negeriku tercinta. Kemerdekaan disalaharti­ kan, kemerdekaan dimaknai sebagai kebebasan sebebas-bebas­nya untuk melakukan sesuatu sekehendak hati. Orang kam­pungku sering menyebutnya “nganggo wudhele dhewek.” “Inikah yang namanya cinta tanah air, jika membuang sampah saja harus mengotori tanah dan air sungai? Aku tert­egun di atas jembatan sungai yang besi-besinya berkarat dan keropos. Dulu, alirannya sangat lancar, bukan berisi sampah seperti sekarang. Segala kotoran bersenyawa di sini, dari kotoran manusia, bekas popok bayi, bekas pembalut, dan bangkai ayam mengambang. Berjuang untuk orang-orang sepertiku memang tidak harus ahli mengokang senapan, tepat membidik musuh hingga jatuh 194 Ini Bangsa Juga Punya Saya

tersungkur atau pintar dalam menemukan sesuatu yang berguna bagi tanah lahirnya. Aku memang bukan siapa-sapa di tanah air ini, hanya se­ orang anak negeri yang begitu keluar dari rahim ibu, tak diiringi oleh desing peluru dan ledakan bom-bom penjajah. Aku terlahir di negeri yang sudah dinyatakan merdeka tujuh puluh empat tahun lalu. Daun-daun mahoni di seberang jalan di dekat tanah lapang kembali berguguran, tak pilih-pilih baik yang kering maupun yang masih hijau. Semuanya terjuntai ke tanah menemui takdirnya, takdir yang tak lagi bisa disebut daun, mereka telah menjadi kleyang atau si daun kering. Tampaklah, reranting kering-kerontang bagaikan cakar-cakar menengadah langit. Mungkin, pohon-pohon mahoni itu ikut merasakan apa yang sedang dialami di tanah di mana dia hidup dan bertum­ buh. Pohon-pohon itu memang bukan manusia, bukan pula tentara yang turut berperang. Namun, pohon-pohon itu juga tak luput dari andil perjuangannya untuk menyaring zat-zat kar­ bondioksida dan menggantikannya dengan kesegaran oksigen yang setiap hari dihirup manusia. Air dalam botol mineral tinggal seperempatnya, sengaja tak kuhabiskan untuk sedikit berbagi dengan akar pohon tempatku bersandar dan berteduh dari teriknya matahari siang itu. Dengan air yang tak seberapa, barangkali bisa sedikit meredakan haus pohon mahoni yang daun-daunnya tak lagi hijau. Pohon yang umurnya jauh lebih tua dariku. Aku ingin kesejukan kembali tumbuh subur, termasuk kesejukan antara sesama anak bangsa di negeri ini. Kita tetap harus belajar pada seorang anak kecil. Ketika mereka berantem dengan teman sepermainannya, secepat itu pula mereka saling memaafkan. Aku rindu masa-masa itu, rindu saat bisa berangkulan dengan teman meski berbeda warna kulit, berbeda dialek bahasa. 195Antologi Cerpen Kebangsaan

Semoga, hujan segera turun menyapa tanah kelahiran agar ranting-ranting pepohonan kembali tumbuh daun lebat dan rindang, agar sabana kembali menghijau. Hujan, mendinginkan hati yang membara, mencairkan isi kepala yang membatu. Seperti negeri ini rindu kesejukan seperti dulu, kebeningan hati, kejujuran yang lama terbungkus keegoan dan kemunafikan, kembali mengangkasa seperti langit yang kutatap di bawah pohon mahoni menunggu daun-daunnya tumbuh merimbun memberi keteduhan. *** 196 Ini Bangsa Juga Punya Saya

Pipiek Isfianti SENJA DI KAKI GUNUNG CAHAYA Sesungguhnya aku sudah merasa tak sudi jika harus kemb­ ali di kotaku kelahiranku kembali. Kota yang memb­ uatku harus teringat dengan kenangan yang seharusnya kulupakan. Inginku, kota itu hilang dari sejarah, dari peta, dan dari bumi Tuhan. Banyak sekali peristiwa dan kenangan yang membuat sakit hatiku. Sampai aku tidak berani bercerita bagai­ mana sakitnya hatiku. Hanya ibuku, yang tahu semua peristiwa yang kualami, dan karena ibu jugalah, terpaksa aku harus tega untuk menginjakkan kaki kembali di kota ini. Kota yang membuat aku merasa terkucil sampai sekarang. Kota yang membuatku harus pergi sejauh-jauhnya darinya. Kota kelahiranku sendiri. Hanya karena sebuah kabar dari adikku, yang membuatku harus naik pesawat hari ini. Jakarta—Semarang yang biasanya satu jam, terasa cepat sekali. Aku ingin perjalanan ini menjadi sangat lama. Tapi bagaimana lagi, nyatanya pesawatku mendarat dengan aman di bandara Ahmad Yani. Sesudah itu taksi yang membawaku dari bandara juga sangat lancar melewati Terboyo. Jalan Kaligawe yang biasanya banjir terkena rob, hari itu jalannya seperti terang benderang seakan memberi jalan untukku supaya sampai ke kota kelahiranku dengan cepat. Sopir taksi yang aku naiki sebentar-sebentar mengamatiku dari spion di atas kepalanya. Dia bapak-bapak berusia sekitar lima puluhan tahun. Mungkin dia heran melihat wajahku yang buram dan sikapku yang tampak sekali terlihat tak tenang sejak tadi memasuki taksinya di bandara. 197Antologi Cerpen Kebangsaan

“Ke Kudus mau pulang ya, Mbak?” tanyanya pada akhirnya. Aku yang sedang melihat sungai sepanjang Demak yang sekarang kering kerontang seketika terkejut mendengar perta­ nyaan pak sopir taksi. Entahlah, sudah ada sepuluh tahun, aku tak pernah melihat sungai di sepanjang jalan itu lagi. Aku sudah mati-matian melupakan, tetapi tetap terus ada di mimpi-mimpi­ ku. Seperti aku yang masih memimpikan menara Kudus, Colo, air terjun tiga rasa, jenang Kudus, soto kebo, sate kebo, nasi pindang, lenthog tanjung dan terutama tentang rumahku, yang terletak di kaki gunung Muria. Jika senja tiba, aku suka menatap gunung Muria dari rumahku. Gunung itu terlihat bercahaya karena lampu warung dan lampu tukang ojeknya yang begitu banyak. Seperti gunung cahaya, batinku saat itu. Sebenarnya aku rindu sekali dengan semua itu. Tetapi rasa rinduku, masih kalah dengan perasaan sakit hati yang begitu terasa. “Eh, bagaimana Pak? Oh ya, saya mau pulang Kudus, nengok ibu yang sakit,” jawabku padanya. Pak sopir mengangguk-angguk. “Kok sendirian saja, tidak dengan keluarga?” “Oh, tidak Pak. Suami kerja, anak-anak sekolah semua,” jawabku sekenanya. Entahlah, apakah dia tahu apa tidak jika aku telah berbohong. Jelas-jelas saat ini waktu liburan panjang sekolah, setelah hari raya. Ah, masa bodoh, yang penting aku tak ingin pak sopir taksi bertanya-tanya lagi. Hatiku berdesir, saat taksi yang aku tumpangi melewati gerbang kota Kudus. Gerbang kota baru yang katanya menjadi gerbang paling indah se-Asia Tenggara. Terlihat gagah dan me­ gah. Gerbang yang menggambarkan daun tembakau itu terlihat seakan menyambutku atau mungkin lebih tepatnya seakan meng­ejekku yang sudah hampir sepuluh tahun tak pernah meng­injakkan kakiku kembali di tanah kelahiranku sendiri. Ya, se­telah peristiwa demi peristiwa yang menyakiti hatiku. Aku diusir dari kotaku sendiri, oleh bapak dan saudara-saudaranya, 198 Ini Bangsa Juga Punya Saya

sebab aku memilih menikah dengan Deren. Deren, lelaki per­ tama yang pertama mengenalkan aku dengan yang disebut cinta. Kelas satu SMP aku bertemu Deren. Dia tetanggaku yang baru pindah di kampungku. Bapaknya katanya akan membuka pabrik rokok di kotaku. Pindahan dari Sidoarjo. Keluarga Deren adalah keluarga dari berbagai suku. Papinya berdarah Cina, sedang ibunya orang Batak. Entah kenapa, bapak langsung me­ mintaku menjaga jarak dengan keluarga Deren. “Jangan sampai kamu dekat dengan keluarga baru itu!” kata bapak yang memang terkenal paling galak dan keras di kam­ pungk­ u. Aku yang waktu itu tak paham maksud bapak, malah ber­ tanya, “Mengapa, Pak? Mereka manusia seperti kita, sama-sama bangsa Indonesia. Deren dan Nita adiknya itu baik kok, Pak. Fitri sering diberi jajan, diberi mainan ...,” jawabku polos. Bapak tiba-tiba bertambah marah mendengar jawabanku. “Apa? Jadi kamu sering diberi jajan? Sering diberi mainan? Awas ya, kalau Bapak mendengar kamu masih menerima pem­ berian dari keluarga mereka, kamu Bapak hajar! Jangan seperti orang miskin!” Bapak mengamuk. Matanya melotot. Ibu yang sedang me­ rajang tembakau, hanya terdiam mendengar bapak mengamuk. Ibu hanya bisa menangis dalam diam, saat tangan bapak yang kuat menampar pipiku. “Mereka bukan orang Jawa seperti kita. Dan tetangga baru itu mau mendirikan pabrik rokok yang katanya resmi di sini. Kamu tahu apa akibatnya buat keluarga kita? Yang hidup de­ ngan membuat rokok yang katanya ilegal karena tak punya cukai ini? Keluarga merekalah yang akan mematikan sandang pangan kita. Kamu itu paham tidak?!” Aku hanya terdiam membisu. Badanku gemetar. Aku tak tahu apa yang dibicarakan bapak. Tapi aku mengerti, jika se­ telah itu aku tidak boleh dekat dengan Deren dan keluarganya. 199Antologi Cerpen Kebangsaan

Padahal mereka adalah orang-orang baik menurutku. Maminya juga sering memberi masakan pada ibuku. Begitu juga dengan papinya. Jika ada acara di desaku selalu menyumbang paling banyak. Dia juga selalu turut kerja bakti dan sama sekali tak men­ jaga jarak. Tapi, bapak tetap membenci keluarga Deren. Bapak tetap melarang aku berteman dengan Deren dan adik­nya. Dan, itu berlangsung bertahun-tahun, sampai aku SMA. Tapi, rasa sayangku terhadap Deren tidak berkurang, justru ber­tambah besar. Dia telah tumbuh menjadi lelaki yang tampan. Badannya tinggi. Kulitnya putih, rambutnya lurus, dan senyumnya membuatku mabuk kepayang. Berbeda sekali denganku yang berkulit hitam dan berambut ikal. Tapi Deren selalu berkata, bahwa semua ma­ nusia itu sama, sebab Tuhan yang menciptakannya. Jadi, tak boleh sesama ciptaan Tuhan saling menghina. Deren juga sering bercerita tentang sejarah Kanjeng Sunan Kudus. Mengapa Sunan Kudus dahulu melarang orang Islam menyembelih sapi? “Sebab sapi itu hewan yang dianggap suci oleh umat Hindu, yang lebih dahulu hidup di sini. Nah, jadinya Kanjeng Sunan mengajak orang muslim menghormati agama lain,” cerita Deren menggebu. Aku hanya mengangguk-angguk. Cintaku padanya semakin bertambah. Deren juga sering mengajakku menonton bioskop yang ge­ dungnya hanya ada satu-satunya di kotaku. Aku sangat ingat, gedung bioskop itu letaknya di lantai tiga swalayan Mata­hari. Aku dengan Deren naik angkot sampai depan jalan desaku. Angkutannya berwarna hijau. Bisa duduk bersebelahan dengan­ nya saja, hatiku begitu berbunga-bunga. Apalagi, saat dia membenahi ujung kerudungku yang miring. Rasanya aku ingin terbang melayang di udara. Pernah di dalam angkot, seorang ibu menatap kami dengan tatapan aneh. Sampai akhirnya ibu itu bertanya. “Kalian bersa­ habat?” Entah apa maksudnya. Tapi yang jelas ibu itu heran melihat perbedaan warna kulit kami dan cara kami berbicara. 200 Ini Bangsa Juga Punya Saya

Deren langsung tersenyum dan menjawab dengan sopan. “Iya, Bu, kenapa? Toh kami sama-sama bangsa Indonesia. Bert­anah air dan berbangsa Indonesia. Warna kulit, suku, atau ke­yakinan boleh beda, tapi bangsa kita sama, bangsa Indonesia,” jawab Deren tenang. Ibu itu hanya ternganga mendengar jawaban Deren. Sedang aku hanya tersipu-sipu malu. Kekagumanku padanya semakin menumpuk. Tapi semua keindahan itu hanya sebentar. Semua menjadi menyakitkan, saat suatu senja, bapak membaca surat Deren untukk­ u. Bapak sangat marah. Aku dihajar dengan sabuknya. Aku menangis meraung-raung. Begitu juga ibu. Tapi rasa sakit karena sabuk bapak itu, tak ada apa-apanya dibanding saat aku tahu jika setelah itu Deren dipindah orang tuanya dari kota­ ku, karena ancaman bapakku. Sejak itu, aku serasa tak punya semangat hidup. Badanku kurus, sebab aku tak mau makan. Tidak mau sekolah, tak mau mengaji. Bapak bertambah marah. Mengatai aku bermacam-macam dengan kata-kata yang menya­ kitkan. Aku memang tidak boleh berhubungan dengan Deren karena kami tidak berasal dari suku yang sama. Tapi aku jus­ tru semakin bertambah cinta, bertambah rindu padanya. Deren yang kata bapak berbeda warna kulit dan segalanya dengan­ ku, tapi mempunyai hati sebaik malaikat. Deren kerap mena­ sehatiku, supaya aku selalu rajin belajar, rajin beribadah, dan tidak membangkang kepada orang tua. Dia yang selama ini mengajari aku tentang segala hal yang berhubungan dengan kemanusiaan yang sebelumnya sama sekali tak kupahami. Kata Deren, manusia itu sama di dunia. Jangan suka membedakan manusia hanya karena berbeda warna kulit, suku, dan keyakinan yang berbeda. Setelah dekat dengan Deren, aku menjadi mengerti, mengapa sebenarnya Tuhan menciptakan manusia dengan warna kulit yang berbeda. Untuk saling memahami dan melengkapi antara satu dan satunya. Seperti aku dan dirinya. 201Antologi Cerpen Kebangsaan

Ah, Deren juga membuktikan rasa cintanya padaku tidak hanya cinta monyet seperti remaja yang lain. Dia nekat setelah lulus SMA menemuiku di kotaku. Semangat hidupku menyala kem­ bali. Aku menjadi semakin yakin, jika dia memang jodoh yang dikirim Tuhan untukku. Cintaku dan Deren sudah tak bisa dipisahkan lagi. Aku dan dia dengan niat baik untuk beribadah membangun rumah tangga, memberanikan diri bilang pada bapak supaya meng­ ijinkan kami menikah. Tapi bapak menjadi sedemikian marah. Apalagi menjadi tahu bahwa selama ini diam-diam dengan perantara Jasmin adikku dan Nita adik Deren, aku masih ber­ hubungan dengannya, walau dia sudah dipindah ke kota lain. Aku dihajar, ditempeleng, rambut panjangku digunduli bapak. Aku sudah seperti orang gila waktu itu. Tapi seperti ada kekuat­ an yang menyalakan keberanian kami. Ibu menyuruhku pergi meninggalkan kotaku bersama Deren. Aku dan Deren diantar ibuku datang ke seorang kiai untuk menikah. Hanya ada ibu yang terus menangis tak henti-hentinya. Entahlah, tak ada pikir­ an apapun saat itu. Yang jelas aku sudah merasa sedemikian bahagia telah menjadi istri Deren. Kami lantas pergi meninggalkan Kudus, meninggalkan segala kenangan yang menyakitkan. Hanya ibu yang mengantar kami di terminal Jati. Dengan air mata yang terus terurai. Dan cerita dari adikku menjadi bertambah miris. Setelah mendengar aku sudah menikah dengan Deren dan pergi meninggalkan kotaku, bapak mengamuk seperti orang kesurupan. Bapak me­ ngamuk dan mendatangi rumah orang tua Deren. Bersama dengan sejumlah saudaranya, mereka membakar rumah keluarga Deren. Rumah besar itu habis tak tersisa. Untungnya sebelum­nya ibu yang telah mendengar rencana tersebut, mem­beritahu keluarga Deren untuk mengungsi. Entah aku tak bisa mem­bayangkan apa yang terjadi jika waktu bapak dan saudara-saudaranya membakar rumah mereka, keluarga Deren masih berada di rumah tersebut. 202 Ini Bangsa Juga Punya Saya

Rasa perih dan pedih mendengar peristiwa itu masih terasa sampai sekarang. Tapi kami harus tetap melanjutkan hidup. Se­ sampainya Jakarta, Deren bekerja menjadi buruh sebuah pabrik rokok. Aku dan dia hidup seadanya. Sampai Meki, Aya, dan Ayu lahir. Berangsur-angsur kehidupan kami mulai membaik. Sejak itu aku mencoba melupakan semua rasa sakit itu. Deren yang memintaku untuk melupakan sakit hatiku, dan mulai berkabar pada bapak. Aku mulai mencoba melupakan dengan sekuat tenaga semua rasa sakit hatiku, dengan berusaha sering mengirim surat kepadanya, tapi tak satu pun suratku yang dibalas bapak. Hanya adikku yang dengan diam-diam masih memb­ alas suratku. Dia bercerita bahwa bapak tetap belum bisa menerima Deren menjadi menantunya. Bapak masih bersikeras belum bisa menerima pernikahan kami. Apalagi pernikahan kami karena menikah tanpa restu bapak. Aku hanya mampu mener­ ima kenyataan itu dengan hati yang perih. Aku ingin ber­ bakti kepada orang tuaku. Tapi bapak masih tidak menerima kenyataan ini. Nyatanya aku bahagia berumah tangga dengan Deren. Tapi hati bapak masih tetap membeku. “Sudah sampai, Mbak,” kata sopir taksi tiba-tiba. Aku terkejut. Air panas terasa menetes dari mataku. Ku­ hapus cepat-cepat. Aku tidak ingin bapak sopir taksi melihat aku menangis Tapi terlambat, dia sudah mengulurkan tisu yang diambilnya dari dashboardnya. “Silakan, Mbak,” katanya pelan. Sepertinya dia tahu jika aku menangis karena rasa sakit yang kembali menyala dalam dada. Tisu yang diukurkannya kuambil. Lalu kuusap air mataku, yang justru semakin berderai jatuh ke pipiku. Malu aku sebenar­ nya, tapi mau bagaimana lagi. Rasa sakit di hatiku yang sudah bertahun-tahun aku pendam, seperti membludak ingin keluar dari dadaku. Kenangan-kenangan itu terus menyeruak dari hatiku. Memb­ uatku bertambah sakit. Mengapa orang masih suka mem­ 203Antologi Cerpen Kebangsaan

bedakan manusia karena warna kulit, suku, dan keyakinan yang beda? Mengapa bapak masih belum bisa menerima jika aku memang sudah ditakdirkan Tuhan menjadi jodoh Deren. Apakah rasa cinta itu bisa memilih? Mengapa manusia tak bisa hidup rukun dan tenteram? Sampai kemarin, adikku mengabari, jika ibu sakit keras dan ingin sekali bertemu denganku. Saat itu aku sudah tak punya keinginan apa-apa. Aku hanya ingin bertemu ibu yang sudah sepuluh tahun ini tak kulihat sosoknya, tak pernah memeluknya. Karena bapak melarang keras ibu mencariku, mendapat, dan memberi kabar padaku juga sama sekali tak boleh. Tapi aku sudah bertekad, apapun yang akan terjadi, aku harus bertemu ibu! Walau sejujurnya aku sudah tak punya angan-angan akan bisa kembali pulang ke kota yang membuat aku ingat akan segala peristiwa yang membuat sakit hatiku, tapi Deren terus menyuruhku supaya aku pulang. “Pulanglah Fit, anak-anak biar bersamaku. Aku masih kuatir, jika bapak belum bisa menerimaku dan anak-anak kita. Tapi aku percaya, kepulanganmu besok akan membuka hati bapak, hingga bisa menerima aku dan anak- anak. Kita terus berdoa saja ya, agar Tuhan membukakan hati bapak, melembutkan hati beliau,” kata Deren lembut. Aku membisu. Dadaku terasa sesak. “Iya Koh, aku juga belum tega jika anak- anak yang masih kecil-kecil ini bertemu bapak sekarang. Aku takut jika bapak malah bertambah marah jika melihat mereka.” Tanganku dipegang kuat oleh Deren. “Iya, aku paham pe­ rasaanmu. Paham sekali. Tapi pulanglah, demi ibu yang selama ini telah banyak berkorban untuk kita. Kasihan ibu, ingin sekali bertemu denganmu.” Senja itu aku sampai di rumahku. Rumah yang sudah aku tinggal sepuluh tahunan. Rumah yang membuatku kangen, 204 Ini Bangsa Juga Punya Saya

benci, dan dendam. Rumahku yang terletak di kaki Gunung Muria yang sejuk dengan pohon-pohon rindang yang menge­ lilinginya. Dari rumahku aku bisa melihat Gunung Muria yang gagah dengan sangat jelas. Gunung yang memberi penghidupan kepada banyak orang, karena di situ terdapat makam Kanjeng Sunan Muria. Aku berjalan pelan. Matahari mulai bergerak ke arah barat. Rumah begitu sepi. Bapak mungkin sudah pergi ke masjid. Aku terus berjalan memasuki rumahku yang pintu depannya hanya ditutup separoh. Kuucap salam, tak ada siapa-siapa memang. Aku terus menuju kamar ibu. Sampai depan kamarnya, kusing­ kap korden. Aku menghela napas panjang, mencoba membuang rasa sesak di dalam dada. Di atas ranjang itu, aku melihat ibu sedang memejamkan mata, berbaring sembari tangan kanannya memegang tasbih. Wajah ibu terlihat pucat sekali. Kupanggil ibu dengan pelan dan rasa yang entah bagaimana rasanya. Mendengar suaraku, ibu seketika membelalakkan mata. Berteriak lirih menyebut namaku. Aku langsung menjatuhkan diriku di dada ibu. Menangis sekencang-kencangnya. Antara rasa bersalah, dendam, rindu dan rasa yang entah yang bercampur aduk tak menentu. Kami saling berpelukan dan bertangisan. Tiba-tiba, aku merasa ada tangan tua tapi masih terasa kuat me­ megang pundakku. Aku membalikkan punggung, dan terkejut. Ada bapak yang sedang menatap tepat di bola mataku dengan mata berkaca-kaca. “Mana suami dan anak- anakmu, Ndhuk?” Aku yang masih sesenggukan karena tangis, menjawab dengan tersendat-sendat. “Di rumah Pak, maaf belum bisa ikut. Besok akan Fitri ajak mereka kemari, Pak. Fitri janji Pak, janji. Bapak, maafkan Fitri ...,” dan aku langsung menangis dalam pelukannya. 205Antologi Cerpen Kebangsaan

Bapak juga langsung memelukku dengan sangat erat. Di senja itu, di bawah kaki Gunung Muria, di rumah tempat aku dilahirkan, aku bisa merasakan kasih sayang bapak yang rasanya puluhan tahun tak pernah aku rasakan. Tapi saat ini aku merasa jika bapak memang mencintaiku. Tapi mungkin dengan cara yang berbeda. Bapak lalu pamit untuk pergi ke masjid. Ibu bercerita, jika setelah aku pergi ke Jakarta itu, bapak ditangkap polisi kare­na usaha rokok ilegalnya. Dan yang membantu keuangan keluarga­ ku adalah papi Deren. Papinya juga yang memeriksakan ibu setelah ibu sakit-sakitan karena ditinggal bapak di penjara. Setelah kejadian itu, bapak menjadi sadar, jika hatinya yang kaku dan senang membeda-bedakan orang karena warna kulit, suku, dan agama itu adalah salah. Setelah ibu selesai bercerita, dan bersiap salat, aku berjalan ke depan. Aku menghela napas sekuat-kuatnya. Mencoba meng­hirup hembusan angin dari Gunung Muria yang terasa di aliran darahku. Hembusannya selalu menemani hari-hariku walau aku telah pergi merantau jauh. Sungguh, bayangan anak-anakku segera melintas. Ingin sekali aku mengajak ketiga anak­ku menuju Gunung Muria, ziarah ke makam Kanjeng Sunan Muria. Menikmati indahnya gunung ciptaan Tuhan ter­sebut, dan membuat mereka menjadi bangga menjadi bangsa Indonesia yang makmur dan kaya raya. Kutatap mentari yang mulai berarak menuju barat. Nampak Gunung Muria yang mulai gelap, tapi lampu di sekitarnya justru semakin terlihat berpendar. Gunung Muria dari rumahku terlihat laksana gunung cahaya karena lampu-lampu rumah penduduk yang mulai menyala. Juga kehidupan perekonomian yang tak pernah usai, tak pernah padam. Karena warung dan lampu dari para tukang ojek Gunung Muria yang sepertinya membuat Gunung Muria laksana gunung yang bercahaya. Ya, ini sudah senja, sebentar lagi malam. Tapi senja di kampungku, di kaki Gunung Muria ini adalah senja paling indah 206 Ini Bangsa Juga Punya Saya

yang pernah kurasa sepanjang hidupku. Senja yang berpendaran seperti Gunung Muria yang selalu bercahaya.. *** Kudus, 2019 207Antologi Cerpen Kebangsaan

Reyhan M. Abdurrohman BOCAH PEMBAWA PESAN Masih menjadi misteri siapa bocah yang tiba-tiba mengetuk pintu markas tentara dan memberi kabar kepada sang mayor jika tentara Belanda akan menyerang markas mereka di Glagah Kulon esok hari. Bocah misterius tersebut diyakini sebagai jelmaan Macan Putih Muria yang keberadaannya pun menjadi mitos di daerah setempat. Seekor macan yang dipercaya mendiami Gunung Muria yang menurut saksi mata juga membantu para tentara melakukan penyerangan. Macan putih itu pun yang turut serta menjaga markas mereka. Waktu itu usiaku baru sebelas tahun. Aku adalah saksi kisah- kisah yang bergulir dan akan kuceritakan beberapa sekarang. * Kudus, 21 Juli 1947 Seorang tentara nasional bernama Satrio terpaksa lari dari tugasnya berjaga di perbatasan Kudus dan Demak, tepatnya di sekitar jembatan Tanggulangin. Jelas bukan karena takut, tapi karena cinta. Sebenarnya ini salahku, yang sudah menyampaikan secarik pesan dari perempuan berama Sri, yang tak lain, bisa dikatakan bosku. Sri sudah dibakar rasa rindu ingin segera bertemu pujaan hatinya, tentara tampan yang memiliki tubuh tegap dan gagah. Sri menyuruhku bertemu Satrio, menyampaikan jika dia akan menunggu sang tentara di peron Stasiun Kudus, lebih tepatnya di dekat kantor stasiun, tepat di tempat pertama kali mereka 208 Ini Bangsa Juga Punya Saya

bertemu. Jelas aku mengetahuinya karena pada saat itu Sri meng­ajakku. Aku ingat betul kala itu Sri hendak menyambut kedatangan bibinya dari Jepara. Saat sedang menunggu, dari jauh terlihat pria berseragam sedang memperhatikannya. Dia dan beberapa temannya yang berseragam serupa tampak siaga memperhatikan kedaan. Wajahnya yang terlihat paling memesona di antara tentara-tentara lain. Sedari kedatangan Sri di stasiun ini, mata tentara itu tak lepas dari Sri. Matanya seolah telah menelanjangi tubuh Sri. Wajar­lah, karena Sri tampak cemerlang di antara orang-orang yang kebetulan sedang berlalu-lalang di sekitar stasiun. Bisa dikatak­ an warga biasa yang paling cantik. Setelah Bung Karno memproklamasikan kemerdekaan, ter­ nyata Belanda masih tak bisa menerimanya. Bisa dibilang kami belum sepenuhnya merdeka. Perjuangan masih berlanjut. Aku mengetahuinya dari radio yang setiap hari didengarkan Sri di toko buku miliknya. Lebih tepatnya kemarin, Belanda memulai agresi militernya. Bisa jadi, Kudus menjadi salah satu sasarannya karena dianggap potensial untuk dijadikan markas besar. Tadi sebelum berangkat, Sri lama sekali berada di depan cermin yang terpasang di sudut toko bukunya. Aku cuma bisa melihatnya tanpa berkomentar. Meski sesekali dia meminta­ ku memberikan komentar—lebih ke memaksa—aku hanya menjawab sekenanya. Aku benar-benar malas melihat dia ber­ lama-lama di situ. Sesekali dia akan merasa menjadi wanita paling cantik di dunia, sesekali pula dia akan merasa tak perc­ aya diri dan harus membubuhkan bedak di beberapa bagian wajah­ nya lagi. Setelah dirasa cukup sempurna, dia langsung meraih sepedanya dan tak lupa memboncengkanku menuju ke stasiun. Sebenarnya aku tak paham statusku sekarang. Benar sebagai pegawai tokonya, sebatas pesuruh, atau adik? Mungkin yang terakhir hanya anganku yang terlampau tinggi. 209Antologi Cerpen Kebangsaan

Stasiun ini benar-benar ramai, padahal bisa dibilang bukan stasiun besar. Terlihat beberapa penjual di tepi jalan dan di pinggir stasiun. Beberapa kuli panggul berseliweran memanggul goni yang berisi gabah atau gandum. Stasiun ini menjadi pusat transportasi modern yang dirasa paling efisien. Kulihat wajah Sri sangat bahagia. Ada rona keceriaan tergambar di matanya. Namun, ceria itu berganti seketika saat beberapa pesawat mus­ tang terbang rendah dari arah timur. Anak-anak yang kebetulan berada di stasiun keluar dan bersorak, “Montor mabur tibani dhuwit.1” Tapi, orang-orang dewasa berteriak agar cepat bersembunyi karena pesawat tempur itu siap memuntahkan pelurunya. Di ekornya tertulis Mustang P-15, pesawat yang biasa disebut cocor merah. Mengerikan. Benar. Peluru-peluru itu berjatuhan bagai hujan meteor me­ ngenai atap stasiun dan apa-apa yang ada di sekitarnya. Orang- orang lari tak keruan. Anak-anak banyak yang terjatuh. Penjual- penjual lari tak peduli dengan dagangannya. Kuli panggul meninggalkan karung-karungnya. Pegawai kantor bersembuyi di bawah meja. Stasiun itu riuh seketika. Namun, tidak dengan Sri. Dia masih berada di posisinya, memandang ke luar dengan rasa khawatir. Itu jelas terlihat di sorot matanya. Dadanya yang riuh karena yang ditunggu tak segera menampakkan batang hidungnya. Sedangkan aku? Masih di belakangnya, meman­ danginya dengan rasa takut kalau-kalau ada peluru nyasar yang mengenai kepalaku. Bisa-bisa aku tak pernah merasakan cinta dewasa nanti, seperti Sri. Puas memuntahkan peluru, pesawat-pesawat itu terbang ke arah utara. Mereka salah sasaran. Dikira akan ada pasukan berj­aga, ternyata hanya masyarakat sipil tak berdosa. Meski tak ditemukan korban jiwa, tapi suasananya kadung kocar-kacir. Mencekam. 1 Pesawat terbang, jatuhi uang 210 Ini Bangsa Juga Punya Saya

“Sri ... ” Suara yang sangat kukenal itu terdengar dari arah barat, mendekat. Aku mencari sumber suara, dan aku melihatnya, tapi kurasa dia tak melihatku karena matanya sudah kadung menangkap sosok Sri terlebih dahulu. Tak peduli dengan apa yang ada di sekitarn­ ya. Dia bergegas menghampiri dan memeluk Sri dari belakang. “Akhirnya kau datang.” Sri berkata lirih, “Aku khawatir kau tak datang karena Belanda telah datang.” “Tidak, Sri. Aku akan menepati janjiku.” Bodoh. Jawaban yang menurutku bodoh. Bisa-bisanya orang ini lebih memilih cinta daripada berperang. Mental macam apa ini. Ya, meski aku belum pernah merasakan jatuh cinta, tapi aku tahu jika mental semacam itu tak layak dimiliki seorang prajurit, apalagi pejuang. Aku memang bocah berusia sepuluh tahun, tapi aku sudah tahu banyak hal. Aku berbeda dengan bocah lain seusiaku. Aku punya kelebihan yang kata orang adalah indera keenam. Selain itu keahlianku adalah menguping, bersembunyi, dan berakting. Aku pemberani seperti macan karena dari lahir aku memang tumbuh menjadi pemberani sendiri. Sampai aku bertemu Sri yang mencekokiku buku, kabar, dan pesan tentang bangsa ini dan apa pun yang orang dewasa pikirkan, yang seharusnya belum pantas diterima oleh anak seusiaku. Namun, aku selalu bertindak bodoh seperti tak mengerti apa-apa, Sri akan terus- terusan bercerita padaku bahkan tentang rahasianya sekalipun. Pasti dia beranggapan aku tidak akan paham, sedangkan apa- apa yang membuncah di kepalanya dapat dikeluarkan. Maka tidak akan ada yang tahu kalau aku tahu banyak hal. “Bagaimana dengan serangan ini? Akankah kau pergi?” “Kita baru saja bertemu, tak mungkin langsung kutinggal­ kan.” 211Antologi Cerpen Kebangsaan

Seulas senyum tersungging di bibir Sri. Satrio mendekapnya hangat. * Dari berita yang kudengar di radio selepas mengantar per­ temuan Sri dan Satrio, rupanya Belanda tidak hanya menyerang Stasiun Kudus, Pabrik Muriatex dan Paseban Kadipaten pun jadi sasarannya. Kondisi stasiun ini tak hancur, hanya terlihat bekas peluru, tapi dua tempat lainnya hancur. “Belanda tak terima kita merdeka. Dia mengingkari per­ janjian Linggarjati.” Sri mulai berceloteh sendiri. Itu salah satu kebiasaannya ketika mendengarkan radio. Aku seperti men­ dengarkan kesimpulan berita darinya. “Tugas Satrio akan berat setelah ini.” Raut khawatir terlihat jelas di muka Sri. Tapi apa boleh buat, Sri tak bisa berbuat banyak karena kondisi seperti ini jelas tak ada yang menginginkannya. Harusnya setelah Bung Karno mem­ proklamirkan kemerdekaan, Indonesia benar-benar merdeka. Tapi tidak untuk sekarang. Perjuangan masih dibutuh­kan. * Kudus, 19 Desember 1948 Suara tembakan terdengar dari arah Demak. Rupanya Belanda masuk lewat jalur darat. Iring-iringan truk bak terbuka yang mengangkut tentara-tentara bersenjata lengkap menam­ pakkan wujudnya dari arah selatan. Saat melewati jembatan Tanggulangin yang memisahkan Demak dan Kudus deru tem­ bakan bersahutan. Sadar ada perlawanan, tentara Belanda turun dari truk, berperang. Beberapa prajurit Belanda tewas, begitupun dari Indonesia sendiri. Namun, saat kondisi semakin terdesak karena kalah jumlah, tentara nasional mundur, termasuk Satrio. Rupanya Belanda sudah benar-benar mempersiapkannya. Saat dirasa aman, perjalanan Belanda berlanjut. Prajuritnya kemb­ ali ke atas truk, tetap siaga. Belanda leluasa masuk daerah 212 Ini Bangsa Juga Punya Saya

Kudus dan sesekali memuntahkan tembakan ke arah yang dikira mencurigakan. Tak ada yang berani keluar saat iring-iringan me­ngerikan itu lewat. Aku dan Sri yang sedang berada di toko pun cuma melihat dari dalam. Kengerian benar-benar terasa. Bukannya takut, Sri malah terlihat khawatir. “Mas Satrio.” “Mas Satrio.” “Mas Satrio.” Nama kekasihnya itu dia sebut terus-menerus. Benar duga­ anku. Dia khawatir pada kekasihnya itu. Anggapannya jika Belanda saja sudah berhasil masuk, berarti yang berjaga di per­batasan sudah tak tersisa. Terlihat betul dadanya bergetar hebat. Padahal mereka sudah merencanakan pernikahan. Hanya menunggu tiba di tanggal baik yang sudah ditentukan. Tapi kenyataannya, Belanda mengacaukan. Karena buncahan di dada yang tak terbendung lagi, Sri gegab­ ah. Dia buka pintunya dan berlari keluar. Entah apa yang ada di pikirannya saat itu. Aku tak berani menyusulnya. Dor! Aku terkaget mendengar suara tembakan yang sangat keras tak jauh dari tempatku bersembunyi. Aku mengintip dari jendela. Itu Sri. Sri tergeletak di pinggir jalan setelah peluru panas mengenai dadanya. Bodoh, dia hanya berkesimpulan dari angannya, tanpa me­ nunggu kabar sebenarnya. Padahal jika dia sabar dan memintaku mencari kabar, aku akan berlari menuju ke perbatasan, barang­ kali setelah iring-iringan Belanda ini sempurna lewat toko buku kami. Tapi semua terlambat. Sekarang tugasku adalah membawa pesan ini ke Satrio. Aku tahu dia masih bernyawa. Sebenarnya tadi ingin kukatan pada Sri, tapi apa boleh buat, apa yang ku­ katakan tidak akan dipercaya karena dia hanya mengenalku sebagai bocah pembawa pesan, bukan cenayang. 213Antologi Cerpen Kebangsaan

* Aku bertemu Satrio di markas barunya di kaki Gunung Muria. Aku susah payah mencari informasi keberadaannya karena mengandalkan kemampuanku saja tidak cukup. Padahal kon­disi di luar benar-benar menakutkan. Belanda berhasil men­ duduki pusat kota. Saat kulihat Satrio sedang termenung sendiri, kudekati dia. Jelas saja dia kaget karena kedatanganku yang tiba-tiba. “Di mana Sri? Ada pesan apa darinya?” Aku menggeleng. Sungguh tak mudah mengabarkan ini pada­nya. Tapi, aku tak punya pilihan lain karena tujuanku men­ cari Satrio adalah untuk ini. “Ceritakan dulu apa yang terjadi. Biar aku sampaikan pada Sri.” Satrio menceritakan semuanya. Tentang agresi militer Belanda kedua, tentang mundurnya mereka, dan kemudian ber­ sembunyi di kaki Muria. Setelah itu dengan berat hati, lang­sung kus­ ampaikan saja kabar duka itu. Benar dugaanku. Satrio me­ nangis histeris. Kekasih yang sangat dicintainya mati sia-sia ter­ kena peluru Belanda. Satrio tak terima dengan itu. Dia langs­ ung berlari menuju komandan agar segera melakukan perl­awanan. Padahal sejatinya dia ingin balas dendam. Mereka melakukan penyerangan di Bergad. Rupanya ren­ cana mereka tercium oleh Belanda sehingga Belanda sudah me­ nyiapkan semua pasukan dan persenjataan lengkap. Bukan. Bukan aku yang memberi pesan pada Belanda. Aku memang bocah pembawa pesan. Tapi aku tidak mau berkhianat. Pertempuran hebat terjadi. Bising peluru terdengar ngilu. Pasukan terpaksa mundur. Satrio gagal membalas dendam. Saat kutemui lagi, Satrio makin geram. Dia sudah kehilangan Sri dan sekarang harus kehilangan komandannya. “Semua ini karena Belanda biadab!” 214 Ini Bangsa Juga Punya Saya

Aku bisa merasakan apa yang dirasakan Satrio, tapi aku bisa apa? Aku hanya bocah pembawa pesan. Komando diambil alih sang mayor. Sang mayor membentuk Komando Macan Putih, ada Satrio di dalamnya. Mereka menem­ pati markas baru di Glagah Kulon, Dawe. Macan Putih inilah yang menjadi mitos di daerah tersebut. Macan ini yang menjadi pelindung sekitar Muria dan dijadikan simbol perlawanan. “Belanda harus pergi!” Satrio terus berkobar. Satrio dan prajurit lain bergerilya me­ numpas pasukan Belanda. Meski senjata mereka terbatas, tekad mereka berkali-kali lipat. Sesekali mereka kembali ke markas, mengatur strategi. Suatu ketika, aku bergegas ke markas komando. Pesan yang kubawa sangat penting. Saat sampai di sana, markas terlihat sepi. Pintunya tertutup. Saat kuketuk, yang keluar adalah sang mayor, padahal aku berharap Satrio yang keluar, agar dia mudah mempercayaiku. Apa boleh buat, kukabarkan saja pada mayor. Semoga dia percaya. Ternyata apa yang kukabarkan benar. Belanda menyerang markas mereka sebelum pukul enam dini hari. Tapi sia-sia yang mereka dapatkan karena Pasukan Komando Macan Putih sudah mengosongkan tempatnya. 27 Desember 1949, Belanda menyerah. Mereka menyerahkan kedudukan Kudus kembali setelah perlawanan pasukan tanpa henti. * Cerita yang beredar, anak kecil yang tak lain adalah aku, jelmaan Macan Putih Muria. Padahal itu aku, bocah pembawa pesan yang pemberani seperti macan. Dan, aku pun percaya macan putih di Muria memang ada. Dia masuk ke jiwa-jiwa pemberani prajurit Indonesia. Sekarang aku berdiri di sini, di luar stasiun yang dulu men­ jadi saksi pertemuan Sri dan Satrio. Sri yang tewas sia-sia dan 215Antologi Cerpen Kebangsaan

Satrio yang terus berjuang mempertahankan kemerdekaan. Stasiun yang sudah tak aktif sejak tahun 1986, dan sempat beralih fungsi menjadi pasar kini tampak usang. Bekas peluru Mustang masih terlihat jelas di atap dan kaca bagian atas. Namun sayang, stasiun itu kini sudah dikelilingi seng tinggi sebagai tanda akan dilaksanakan proyek. Entah mau dipugar atau diganti bangunan lain yang lebih modern. Apakah cerita Sri dan Satrio tinggal kenangan. Sri mati. Satrio mati membujang karena cintanya pada Sri tak pernah pudar tepat di umur sembilan puluh tahun. Dan, sebentar lagi nasib stasiun ini dipertanyakan. Entahlah. Yang terpenting, aku sudah menyampaikan pesan ini kepada kalian karena aku hanya (bocah) pembawa pesan. *** 216 Ini Bangsa Juga Punya Saya

Roso Titi Sarkoro ORANG-ORANG DUKUH POROT Jalan setapak berkelok-kelok membelah bebukitan laksana ular raksasa membelit kemiringan ladang berteras-teras. Kaki-kaki kekar lelaki dan perempuan, dewasa dan anak-anak, terbiasa merambah jalan naik turun itu nyaris tanpa keluh. Suparno dan kawan-kawannya terbiasa berangkat sekolah menembus pagi buta basah embun, berjalan kaki berkilo-kilo meter, bersuluh obor bambu yang diisi minyak tanah. Anak-anak sekolah itu memecaki jalan tanah berumput telan­ jang kaki tanpa sepatu. Terbiasa pula pulang bersimbah keringat terbakar terik matahari atau basah kuyup diguyur derai hujan. Kenangan masa-masa sekolah tempo dulu seperti terekam dan kini kembali berputar, terbayang jelas di benak Suparno yang kini sudah menapak usia senja. Bagi Suparno atau sekarang biasa disapa Mbak Parno, waktu dirasa melesat berlari tanpa kompromi. Kepadaku Mbah Parno menceritakan masa lalu kondisi alam dan kehidupan orang-orang Dukuh Porot. Lelaki berusia lanjut yang masih tampak segar dan kekar itu mengaku sangat mencintai tanah kelahirannya dan tempat dia dibesarkan hingga akhir hayatnya nanti. Beruntung dan senang sekali aku bisa menemui Mbah Parno di rumahnya, pada suatu siang. Aku diberi tahu oleh seorang warg­ a ketika menapakkan kaki di dukuh itu. Mbah Parno se­ bagai sesepuh Dukuh Porot yang sangat dihormati dan luas pengetahuannya. 217Antologi Cerpen Kebangsaan

Aku menduga dan berharap dia Suparno teman sekolahku sewaktu SMP. Ketika kami bertemu, ternyata benar juga. Dia Suparno teman lama. Di tingkat terakhir di SMP, kami pernah duduk satu kelas. Jauh-jauh aku bertandang ke Dukuh Porot, tertarik dengan pemberitaan televisi dan koran. Konon beritanya cara hidup masyarakatnya layak menjadi percontohan miniatur kebinekaan bangsa Indonesia. Aku ingin melihat dari dekat, bukan hanya sekadar tahu dari berita. Menakjubkan. Dukuh Porot sekarang sudah jauh berbeda dengan kondisi berpuluh tahun lalu, sewaktu Suparno masih remaja. Alamnya asri dan indah. Bangunan-bangunan rumah, tempat-tempat peribadatan, dan infrastruktur lainnya, menam­ pakkan pertumbuhan ekonomi sosial dan budayanya, seolah- olah berbicara sebagai pertanda kedamaian dan kemakmuran. “Aku tidak mengira kalau hari ini akan kedatangan tamu istimewa sahabat lama,” kelakar Mbah Parno sambil menepuk- nepuk bahuku. Aku teringat dan terbayang lagi Suparno muda semasa di se­kolah. Dia satu-satunya murid di kelas kami yang beragama Budha. Dia termasuk sosok yang pandai bergaul, rajin, dan se­der­ hana. Oleh kawan-kawan di sekolah dia sering dipanggil si Budhis. Aku jadi teringat pula, hampir tiap hari pasaran, dia datang agak terlambat. Namun, dimaklumi oleh guru. Dia harus mem­ bantu emaknya mengantar dagangan ke pasar yang tak terlalu jauh dari sekolah. “Sayang, kamu datang ke sini istriku sudah meninggal se­ puluh tahun lalu. Kalau dia masih hidup dan bertemu kamu, tentu akan lebih ger-geran lagi,” ujarnya. “Memang istrimu siapa?” Aku mencoba menelesih. “Nafi’ah Arsyat. Gadis Minang nan cantik jelita, pindahan dari Sumatra Barat itu. Kamu dulu juga naksir dia kan?” Mbah Parno meledekku. 218 Ini Bangsa Juga Punya Saya

“Subhanallah! Kamu jadi sama Nafi’ah? Alhamdulillah.” “Aku dulu cemburu sama kamu, karena puisimu yang kamu tulis khusus untuk Nafi’ah,” ucap Mbah Parno. “Ya, kita hampir adu jotos waktu itu,” sahutku. “Kamu kalah saing dengan aku, he he he ...” “Bukan kalah, aku memang mengalah.” Ha ha ha ha..., kami terbahak. “Gila. Hebat juga kamu, Par,” sahutku, “Terus, dulu istrimu alih agama atau kamu yang mengikuti agama istrimu?” “Kami sepakat tidak pindah keyakinan. Ternyata bisa. Kami saling mengasihi dan mencintai, hingga menurunkan tiga anak, dan tujuh cucu.” “Asem tenan pancen kowe Par,” tukasku. Kebetulan anak-anak dan cucu-cucu Suparno sedang ber­ kumpul di rumah itu. Mereka diperkenalkan denganku. Anak sulung Parno perempuan, cantik mirip ibunya. Ia mengikuti jejak profesi ayahnya, sebagai guru Agama Budha di SMP. Suaminya guru juga. Dia beragama Katholik. Anak kedua dan ketiga laki-laki. Keduanya mengikuti ibu­ nya sebagai muslim. Istri-istrinya pun masing-masing beragama Islam. Di antara cucu-cucunya seorang ada yang memeluk agama Hindu, seorang lagi Kristen, dan yang lainnya Islam. “Lengkap dalam keluargaku, sedarah berbeda-beda agama,” jelasnya. “Aku kagum Par. Satu keluarga berbeda-beda agama, bisa hidup rukun, damai dan bahagia,” kataku. Perbincangan kami berlangsung akrab dan hangat. Suparno dengan senang hati dan tampak bersemangat menceritakan kondisi sosial kehidupan sehari-hari orang-orang Dukuh Porot. Dalam batin aku membenarkan kata seseorang tadi, Suparno paham betul tentang Dukuh Porot tempo dulu dan sekarang. “Dulu kamu jagoan menulis. Apa sampai sekarang masih juga menulis? Terus kamu mau menulis dukuh kami juga?” tanya dia setelah hening sejenak. 219Antologi Cerpen Kebangsaan

Aku cuma mengangguk dan tersenyum, sambil menyeruput teh tubruk tanpa gula. Sebagai pemanisnya, disuguhkan pula “bajingan”. Yaitu ubi kayu alias singkong yang direbus dengan gula aren. Camilan sederhana, lezat, dan sehat tanpa mengan­ dung zat kimia. Aku memakannya dengan lahap. * Sambil menikmati “bajingan”, aku makin asyik mendengar­ kan cerita-cerita sahabat lamaku. “Aku dulu sangat prihatin dengan kondisi kehidupan sosial warga dukuh kami,” ujar Suparno dengan suara berat. Dikata­ kannya, tempo dulu rata-rata warga Dukuh Porot terbilang miskin. “Tahun tujuh puluhan dukuh ini masih terisolir,” tambahnya. “Dulu dukuh ini benar-benar seperti kampung mati,” tan­ dasnya lagi. Dikisahkan, pascageger G30S/PKI, hampir semua warga Dukuh Porot dicap sebagai anggota partai terlarang. Tak seorang pun warga berani mengelak. Meski faktanya, orang-orang yang dicap anggota partai yang sudah dibubarkan oleh pemerintah waktu itu, tidak tahu apa-apa tentang hitam putihnya politik. Masih segar dalam ingatan Mbah Parno, Dukuh Porot pada masa itu kesohor kesenian ketopraknya. Para anggota ketoprak tersebut, oleh pihak berwajib dituduh sebagai orang-orang Lekra. Maka tanpa babibu, ketoprak Dukuh Porot dibubarkan oleh pe­ nguasa waktu itu. Sejak peristiwa itu, kata Mbah Parno, orang-orang Dukuh Porot menjadi syok dan trauma. Bertahun-tahun mereka tidak be­ rani melakukan aktivitas kesenian. Dukuh Porot selama bertahun- tahun pula sepi, seperti perkampungan mati. “Namun, menurutku besar juga hikmahnya. Tragedi politik tahun 65 itu, bisa dipetik menjadi satu pelajaran berharga bagi kami warga dukuh ini,” ujar Mbah Parno sambil sesekali menye­ dot rokok lintingannya. 220 Ini Bangsa Juga Punya Saya

Kepulan asap rokok lintingan Mbah Parno seperti menari— nari mengudara, sebelum akhirnya lenyap. Baunya khas. Aku batu-batuk kecil, menghirup udara berbau asap rokoknya. Aku sudah lama berhenti merokok. Orang-orang Dukuh Porot, menurut Mbah Parno, pada wak­ tu itu hanya sekadar mengaku punya agama, tetapi tidak pernah menjalani perintah-perintah-Nya. Sejak disorot dan dituduh sebagai anggota PKI, bahkan beberapa tokohnya diciduk dan ditahan tanpa pernah diadili di persidangan, maka berubahlah sikap hidup mereka secara drastis. Sejak saat itu, seluruh warga lelaki, perempuan, bahkan anak-anak, mulai sadar rajin beribadah di rumah maupun di tem­ pat per­ibadatan masing-masing. Unik memang. Warga Dukuh Porot sejak dulu selalu hidup rukun, meski berbeda-beda agama. Dukuh kecil dan jauh dari kota, tetapi terasa kental sekali dengan keragaman dan kebinekaannya. “Semua agama ada di sini, kecuali Konghucu. Kami saling menghormati dan menghargai antarumat beragama. Hidup ber­ gotong-royong, naluri peninggalan nenek moyang kami masih berlangsung tidak akan pernah luntur. Kami warga dukuh ini selalu menjaga kerukunan dan kedamaian,” jelentrehnya. “Sampai sekarang apakah orang-orang masih ketakutan dan trauma main ketoprak dan berkesenian lainnya?” Aku mencoba menyela. “Oh, tidak. Orang-orang sudah tidak lagi takut-takut ber­ main ketoprak. Trauma dicap PKI, sudah terlupakan. Bahkan orang-orangnya sebagian besar sudah meninggal.” Jelasnya ke­ mu­dian. Diceritakan, kebetulan malam Senin pekan depan warga pemeluk agama Islam Dukuh Porot akan memperingati Maulid Nabi. Sudah direncanakan jauh-jauh hari akan dimeriahkan dengan pementasan ketoprak. Nah, para pemainnya bukan hanya kaum Muslim, tetapi semua warga ikut aktif memeriahkan 221Antologi Cerpen Kebangsaan

perayaan hari Kelahiran Nabi Agung Muhammad Rasullullah itu tanpa merasa canggung. “Demikian pula kalau dari agama tertentu sedang punya gawe mengadakan perayaan hari besar agamanya, umat Muslim dan warga dari agama-agama yang lainnya pun tidak segan- segan membantu pula,” tukas Mbah Parno. * Tidak terasa obrolan kami sudah berlangsung hampir dua jam. Kumandang azan salat Zuhur dari masjid sudah berlalu. Aku mohon izin akan salat di masjid, sekaligus pamit pulang. Suparno mempersilakan aku ke masjid, tetapi untuk pamit pulang aku masih dicegah. Sementara aku diwajibkan merahapi jamuan makan siang terlebih dulu. “Ini cara kami menghormati tamu agung, sahabat lama lagi,” kata dia dengan renyah. Aku tidak bisa menolak keramahan dan kemurahan hati Suparno dan anak-anaknya. Seusai santap siang, barulah aku diizikan pulang. Agaknya Parno ingin menunjukkan kepadaku perubahan dan kemajuan dukuhnya secara kasat mata. Sebelum aku meluncur ke jalan utama, Suparno mengajakku putar-putar kampung seantero Dukuh Porot. Kondisi jalan yang bersimpang-simpang membelah kampung, sekarang sudah bu­ kan jalan tanah. Semua sudah berlapis batu beton. Bukan jalan set­apak, tetapi sudah diperlebar. Semua jalan di Dukuh Porot, sudah dapat dilintasi kendaraan roda empat. Rumah-rumah penduduk tertata rapi dan tampak bersih pun hampir rata-rata bangunan permanen. Penerangan listrik sudah masuk ke semua rumah. Ditunjukkan pula, Dukuh Porot sekar­ ang sudah melimpah air bersih, yang disalurkan dari kaki bukit. Bangunan tempat-tempat peribadatan terletak tidak saling berjauhan. Aku tidak tahu memang disengaja atau tidak oleh Suparno, perjalanan kami keliling kampung, melintasi kompleks pema­ 222 Ini Bangsa Juga Punya Saya

kaman. Hari itu Kamis. Banyak orang sedang membersihk­ an makam keluarganya masing-masing. Aku diajak berziarah ke makam Nafi’ah. Orang-orang me­ nyapa kami dengan ramah. Kami berdua, lelaki yang sama-sama pernah mencintai almarhumah Nafi’ah. Kami larut khusyuk ber­ doa dengan cara masing-masing di atas pusaranya. Angin lembut menyentuh daun-daun, menggugurkan kem­ bang kamboja putih di hadapanku. Terbayang wajah gadis cantik Nafi’ah tempo dulu semasa sekolah. Aku bangkit berdiri. Kujabat erat-erat tangan Mbah Parno. Genggaman tangannya terasa berat. Kami berpisah di ujung gang. Aku tinggalkan orang-orang Dukuh Porot. Matahari sudah jauh condong ke barat. Semburat awan kem­ er­ ahan menghiasi langit di atas punggung bebukitan. Ke­ ramahan orang-orang Dukuh Porot dan kedamaian dukuh kecil itu, seakan mengekal dalam ingatanku. *** Temanggung, Akhir September 2019 223Antologi Cerpen Kebangsaan

Setia Naka Andrian AGAMA AIR Sebelum cahaya hari ini napasnya tersendat-sendat hing­ ga sepenuhnya lenyap di sisi barat kepala jagat, dan se­b­ elum ada pertanyaan-pertanyaan keluar dari mulut para pelayat, “Ia meninggal karena apa? Apakah ia bisa hidup tanpa minum? Ada berapa sungai yang akan diwariskan kepada kita?” Sebelum semua itu bergulir. Bolehlah aku bercerita tentang kisah yang sempat menyangkut dalam hari-hari masa kecilku. Sore hari. Hampir serupa dengan waktu kali ini. Pun sama di Sungai Blorong ini. Aku ingat betul, sore itu kakek tiba-tiba menghampiriku. Saat itu aku sedang duduk sendirian, selepas mandi di sungai bersama tiga orang teman sekampung. Salah seorang perempuan, dua sisanya laki-laki yang tak lebih tampan dariku (masa kecil). Tentu pembaca bisa sedikit punya bayangan. Meski tak sepenuhnya gamblang. Aku melamun, menatapi sungai jernih, tepinya berpasir. Persis seperti bibir pantai. Bahkan semasa kecil itu, aku sering bilang kepada ibuku, saat hendak izin main ke sungai, aku selalu bilang, “Ibu, aku ke pantai dulu.” Kali pertama ibuku kaget dan bertanya, “Hah, pantai mana? Sama siapa? Pantai itu jauh. Kau tidak boleh ke sana sendirian. Tidak boleh pula ke sana hanya dengan ketiga temanmu itu yang masih kecil-kecil. Kau bisa hilang. Kau bisa dimakan ikan raksasa.” Begitulah ibuku. Termakan kisah-kisah miring tentang Sungai Blorong. Sungguh menyakitkan jika diresapi kala itu, saat masih masa awal di bangku SD itu. Meski jika sekarang, aku 224 Ini Bangsa Juga Punya Saya

sadar. Itu semua karena kasih sayang tak terhingga sepanjang masa. Seperti yang tertanam dalam lagu yang moncer di telinga kita sebagai anak sejati seorang ibu itu. Mari kita kembali ke bibir pantai (imajinasi) masa kecilku itu. Di pasir-pasir yang tak putih itu, aku melamun jauh. Melihat sumur-sumur kecil yang kekal ke dalam. Jika aku ingat-ingat, diameternya kisaran tujuh jengkal jari tanganku kala itu. Sumur yang berdinding anyaman bambu-bambu. Air di dalamnya sangat jernih. Melampaui jernihnya air sungai. Sejernih air mine­ ral yang kita temukan saat ini. Sungguh. Dulu, siapa saja sering minum langsung air itu, meski hanya disaring dengan sarung atau kain apa saja. Sekarang kita kembali pada bagian saat kakek hadir me­ ngagetkanku. Ia menepuk pundak kecilku. Sontak aku kaget. Lamunanku kala itu terpecah-belah. Meski jika diminta untuk mengingatnya sekarang, dan diminta untuk mengisahkannya, sungguh aku sangat kesulitan. Seperti apa lamunanku kala itu. Yang pasti, aku hanya ingat, kakek bilang kepadaku, “Kau jangan berlama-lama di sungai ini sendirian. Apa lagi teman- teman seusiamu sudah pergi pulang semua. Lihat langit sudah nampak tak beres. Sebentar lagi akan turun hujan. Napas caha­ yanya juga sudah tersendat, sebentar lagi hari akan sangat gelap. Kau bisa hilang, disembunyikan gelap.” “Memang teman-temanku sudah pulang, Kek. Namun, lihat perempuan-perempuan itu. Mereka masih mandi. Masih men­ cuci pakaian. Masih menimba air. Memasukkan air-air sungai ke sumur, menggunakan tengadah tangan-tangannya.” Dengan sambil menjelajah pandangan menyisir semua sumur-sumur di tepi sungai itu, kakek dengan keras menyeretku, “Ayo lekas pulang! Sudah tidak ada siapa-siapa di sini!” Sampai sekarang, aku masih berupaya keras untuk menang­ kap maksud beberapa perkataan kakekku kala itu. Namun bagaimana lagi, saat aku hendak berjuang keras menangkap 225Antologi Cerpen Kebangsaan

maksud kata-kata itu, saat aku tersadar betapa pentingnya meng­ ungkap, sungguh sangat disayang, kakek sudah tiada. Akhir­nya, aku hanya bertanya-tanya pada diri sendiri, kepada segala sisa debu dalam jarum-jarum jam di rumahku. Namun, izinkan aku melanjutkan apa adanya cerita ini, hingga sepenuhnya usai. Selepas sampai di rumah, kakek masih memarahiku dengan perkataan-perkataan yang masih senada seperti saat di sungai tadi. Hanya dengan rupa improvisasi secukupnya. “Kau jangan berlama-lama di sungai itu sendirian. Apa lagi teman-teman seusiamu sudah pergi pulang semua. Lihat langit sudah tampak tak beres. Sebentar lagi akan turun hujan. Napas cahayanya juga sudah tersendat, sebentar lagi hari akan sangat gelap. Kau bisa hilang, disembunyikan gelap. Kenapa kau tak lekas pulang? Sudah tidak ada siapa-siapa di sungai itu!” Aku tak menjawab apa-apa. Karena saat itu, aku meng­ anggap kakek sedang tidak wajar. Tidak seperti kakek biasa­nya. Ia sangat aneh. Matanya sedang tak beres. Kakek tak melihat apa yang aku lihat di sungai. Ya, melihat perempuan-perem­ puan di sungai itu. Yang hadir sesaat selepas ketiga temanku pergi pulang duluan. Pasti selalu begitu. Hari itu saat kakek menj­emputku pun begitu. Aku selalu asyik, tenang, dan sangat damai saat memandangi mereka saat mandi, mencuci pakaian, dan menimba air dimasukkan ke dalam sumur-sumur itu meng­ gunakan tengadah tangannya. Lebih-lebih mereka melakukan segala itu tanpa bercakap-cakap. Suasana begitu sunyi, hanya gemericik air yang terbentur batu-batu, pohon-pohon atau tum­ buhan-tumbuhan menjalar yang melambai di sungai. Perem­ puan-perempuan itu hanya saling bertatap mata dengan nyala yang sangat teduh, dan bertatap senyum sangat lembut dengan peremp­ uan lainnya. Pun saat aku di situ, mereka sangat me­ nyam­butk­ u, dengan tatapan matanya yang sangat teduh, dengan tatapan senyumnya yang sangat lembut. 226 Ini Bangsa Juga Punya Saya

Sesaat setelah kakek meredakan kata-katanya, dan seperti sangat menunggu ada beberapa kata terucap dari mulutku, aku pun menghempaskan tangannya yang memegangi tanganku. Aku lari ke kamar. Kakek pun membiarkanku. Lalu aku melom­ pat dari jendela. Lari sekencang-kencangnya. Melewati kebun- kebun di sebelah rumah. Menerobos tanah-tanah kosong yang hanya dipenuhi alang-alang dan rerumputan liar yang tingginya melampaui tubuhku. Aku tampak kelelahan. Keringat mengucur sekujur tubuhku. Tidak seperti biasanya. Meski memang, biasanya aku menuju ke sungai tak pernah lari seperti sekarang ini. Biasanya pun tidak ada tragedi jemput paksa dari kakek. Dan, hujan tiba-tiba turun dengan sangat lebat. Ini tidak seperti biasanya pula. Sungguh. Atau jangan-jangan, ada benar­nya apa yang dikatakan kakek. Bahwa katanya, langit sudah tampak tak beres. Sebentar lagi akan turun hujan. Napas cahayanya juga sudah tersendat, sebentar lagi hari akan sangat gelap. Kau bisa hilang, disembunyikan gelap. Ah, aku tak boleh takut. Aku ingat, kata kakek di lain kesem­ patan, “Anak laki-laki tak boleh penakut! Harus siap menghadapi berbagai kemungkinan. Bahkan, terhadap segala kemungkinan yang sangat tidak kita inginkan sekalipun, yang sangat menyakit­ kan sekalipun!” Itu kata kakek. Sangat membantuku kala itu. Sangat me­ mompa energi tersendiri bagi keberanianku sebagai seorang anak kecil yang masih ingusan. Akhirnya aku pun terus lari sekencang-kencangnya. Sungai menjadi tujuan utama yang harus ku­tunaikan hari itu. Karena bagaimanapun, aku laki-laki. Dan, aku tak mau meninggalkan segala sesuatu yang belum tuntas. Aku tak mau pergi dari sungai sebelum semua orang pergi. Seperti biasanya. Aku tak mau seorangpun menjemputku paksa untuk mengakhiri perjumpaanku dengan sungai, dengan sumur-sumur itu, dengan perempuan-perempuan itu. Termasuk 227Antologi Cerpen Kebangsaan

oleh kakekku sendiri. Aku tak mau. Semuanya harus tuntas. Tanpa sisa. Harus selesai. Harus kuakhiri saat semua orang pergi meninggalkan sungai. Aku akan pulang selepas perempuan- perempuan itu meninggalkan sungai! Begitu kiranya yang aku rasakan saat itu. Sungguh sok heroik. Namun, apa adanya begitu yang aku rasakan saat itu. Mari kita lanjutkan ceritanya saat itu. Aku berharap, pembaca jangan marah-marah, jangan sinis, dan mohon menahan segala umpatan, jangan ditumpahkan sembarangan. Sekadar saran, alangkah baiknya, seduhlah kopi terlebih dahulu. Lalu lanjutkan kembali membaca cerita ini. Tibalah aku di sungai. Aku harus bersusah payah menjem­ putnya kembali, atas ulah jemputan paksa dari kakekku. Aku melangkah turun ke sungai. Sekitar tiga puluh langkah kaki anak-anak untuk tiba di dasar sungai, di pasir-pasir tepi aliran sungai, yang didapati perempuan-perempuan mandi, mencuci pakaian, dan menimba air dimasukkan ke dalam sumur-sumur itu menggunakan tengadah tangannya. Langkah kaki kecilku kala itu cukup kesusahan, menapaki satu persatu anak tangga dari tanah, menuju ke dasar sungai. Hujan masih lebat. Langit hampir gelap. Napas cahayanya sudah sangat terengah-engah, sebentar lagi akan meninggalkanku, tak lagi menerangiku di sungai. Namun, segala itu kulupakan begitu saja, saat aku masih melihat perempuan-perempuan itu masih dalam aktivitas yang sama. Aku sungguh bahagia. Aku bisa menunaikan perjum­ paanku dengan mereka, hingga mereka benar-benar usai dan meninggalkan sungai. Sungguh, bahagianya aku saat itu. Mereka masih dalam posisi yang sama. Tiada yang berkurang sedikitpun. Tidak bergerak dari posisi semula saat aku masih di sungai, saat aku belum dijemput paksa oleh kakekku. Meski hari telah hujan lebat. Langit sudah semakin gelap. Namun mereka tetap mandi, tetap mencuci pakaian, dan menimba air dimasukkan ke dalam sumur-sumur itu menggunakan tengadah tangannya. 228 Ini Bangsa Juga Punya Saya

Hujan masih mengguyur lebat. Aku pelan-pelan mendekati mereka. Menggerakkan langkah pelan untuk mendekat. Sema­ kin dekat, dan dekat. Sesampai pada jarak lima langkah kaki kepada mereka, aku berhenti. Aku menatap mereka dari bela­ kang. Hujan semakin lebat. Mereka tiba-tiba bersamaan me­ noleh kepadaku. Dengan tatapan tajam yang aneh. Tidak seperti biasanya. Semakin tajam tatapannya. Mulutnya nampak bengis mengutukku. Sungguh. Ini tak seperti yang kudapatkan pada hari-hari biasanya. Sambutan mereka kepadaku tak seperti biasanya. Tiada lagi tatapan matanya yang sangat teduh. Tiada lagi tatapan senyumnya yang sangat lembut. Berangsur-angsur mereka semua pergi meninggalkan sungai. Dengan langkah kepergian yang tak seperti biasanya. Me­reka melangkahkan kaki menjauh dariku. Tubuhnya ber­ gerak ke depan, namun kepalanya tak sedikit pun memutar se­ suai gerak tu­buhnya. Kepala mereka semua masih terus meng­ hadap­k­ u. Mata­nya menatapku dengan sangat tajam dan aneh. Mulut­nya pun nampak sangat bengis. Tubuhku gemetar tak karuan. Mer­ eka terus melangkah jauh meninggalkanku. Ber­ jalan jauh dari tepi sungai, naik ke atas, melawan arus sungai. Hingga se­penuhnya mereka lenyap di tikungan sungai. Aku me­ rasa sangat kacau. Tubuh terguncang. Aku semakin tak sangg­ up mengen­dalikan diri. * Ada yang menepuk pundakku. Dan bangunlah tubuhku, bangunlah jiwaku. Aku berdiri pelan, sambil menata tubuh dan jiwaku sendiri. Pelan-pelan mata kuarahkan kepada siapa yang telah menepuk pundakku, saat tertidur. Ternyata bukan kakekku. Ia tampak seperti seorang pemungut sampah. Selepas mataku membuka penuh, sungguh aku kaget. Aku berdiri di tempat yang aneh. Namun, aku sangat mengenali. Ini sungai. Ya, benar. Ini sungai yang setiap hari aku kunjungi. Aku ber­ jumpa dengan perempuan-perempuan mandi, mencuci pakaian, 229Antologi Cerpen Kebangsaan

dan menimba air dimasukkan ke dalam sumur-sumur itu menggunakan tengadah tangannya. Aku sangat ingat dan sangat hafal. Namun, ini ada yang beru­­ bah, semuanya sangat beda. Sungai tak lagi berair lagi, tak lagi berpasir lagi. Sumur-sumur itu telah penuh dengan sampah-sampah. Perempuan-perempuan itu telah tiada. Orang- orang kampung berdiri di atas bantaran sungai. Di tangan kanan mereka, digenggam ember dengan erat-erat. Mata mereka menatapku dengan sangat lemah. *** Kendal-Pati, Juni 2019 Catatan: Sungai Blorong merupakan sebuah sungai yang ada di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Sungai yang diyakini warga setempat sebagai sungai yang dihuni Nyi Blorong. Sungai yang berkelok, seperti kelokan jalan ular raksasa yang dilewati oleh Nyi Blorong. 230 Ini Bangsa Juga Punya Saya

Siti Isnur Hidayati Sumini ENGKAU TETAP INDONESIAKU Semangat pagi membantuku mengukuhkan niat yang sudah sejak tadi malam terhimpun. Setelah mematut diri di depan cermin dengan mengenakan jas almamater warna biru kebanggaan aku berucap dengan mengepalkan tangan “Aku akan berjuang” begitu dan kemudian aku keluar dari kamar. Di ruang keluarga dan juga yang merangkap ruang makan kulihat ibu sedang duduk dan mendengarkan siaran radio nasio­nal yang selalu menyiarkan serba serbi berita, baik dari dalam maupun luar negeri. Sering kudengar masalah politik juga dibahas bersama narasumber atau kadang ibu menelepon ber­pendapat maupun punya statement sendiri pada tema yang sedang didiskusikan. Diam-diam aku mengagumi ibu yang gak sama dengan ibu- ibu lainnya, iya … Ibuku kalau melihat TV itu bukan sinetron, tapi berita- berita yang urgent juga politik, Kenapa, ya ? Ibu seolah-olah antisinetron? Apa sinetron itu cuma fiksi bergerak penuh kepalsuan dan kebohongan yang pasti akan berpengaruh pada penonton? Atau bisa jadi sinetron itu semacam media publik yang menjadi sasaran empuk para pialang iklan. Karena pada dasarnya hidup ini riil, kejujuran …, apa ada­ nya …, tidak berkilau penuh euforia. Fantasi cerita yang selalu mengkambinghitamkan kebenaran di atas kesalahpahaman romansa kehidupan kemudian 231Antologi Cerpen Kebangsaan

berakumulasi pada sebuah sineas dan alhasil menjadi konsumsi publik. Atau barangkali ibu memberi contoh pada anak-anak dan keluarga untuk mengadopsi tontonan yang juga bisa buat tun­ tunan, mengedukasi hal-hal bermanfaat, serta meminimalisasi imajinasi jahat …, hehe…. Sisi-sisi yang masih aku kagumi dari ibu adalah manakala berbincang tentang politik, hal yang oleh sebagian orang bahkan perempuan dianggap tabu karena tidak menghasilkan nilai ekonomis dan uang, juga menyia-nyiakan waktu. “Jika kamu ingin tahu dunia politik, belajarlah lebih banyak tentang sejarah, membaca, dan jangan malu untuk bertanya,” kata ibu suatu hari saat meluangkan waktu diskusi denganku. Kalau sudah begini ibu akan bicara banyak hal dan riil banget. Apalagi jika menyoal tatanan demokrasi yang nyatanya jauh dari demokratis, kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada rakyat, para legislator yang suka molor, dan sebagainya. “Jadi berangkat jam berapa, Jev?” Sapa ibu membuyarkan lamunanku tentang ibu dan politik. “Eh …, iya, Bu jam 8 titik kumpul di kampus.” “Sarapan sudah ada. Jangan lupa untuk daya tahan bawa minum penting agar tidak dehidrasi saat di lapangan nanti. Roti bakar semalam masih ada kan? Bawa saja siapa tahu ada temanmu yang belum makan,” lanjut ibu terkesan agak ceriwis, tapi aku suka. Bentuk perhatian orang tua pada anaknya. Hal yang paling menggembirakanku pagi ini adalah ibu memperbolehkan aku ikut demo. Ya …, sebagaimana jiwa muda, semangat, kejujuran serta keberanian hampir mendarah daging di setiap anak bangsa—terutama generasi muda yang mahasiswa—seperti aku, teman-teman almamater bahkan di antara ribuan lainnya dari perguruan pencetak calon pemimpin bangsa…, ahay. 232 Ini Bangsa Juga Punya Saya

“Tidak semua kebijakan pemerintah itu serta-merta di­ pengaruhi oleh gerakan-gerakan yang mengatasnamakan rak­ yat, apalagi kalau ketuk palu dari DPR sebagai kepanjangan tangan rakyat telah memutuskannya.” Ibu mulai berorasi. “Tapi bagaimana mungkin kebijakan tersebut mengatas­ namakan rakyat kalau ternyata pasal-pasalnya tidak satu pun menguntungkan rakyat, tidak berpihak pada rakyat justru sebaliknya membebani rakyat? Apakah 100% kekayaan negeri ini untuk kemakmuran orang-orang kaya? Bahkan, dengan adanya RUU seakan melemahkan institusi penegakan hukum untuk masalah urgent negeri ini,” timpalku mencoba mengadopsi kata kata klise yang pernah aku dengar. “Itulah negeri kita, Jev, negeri yang dulu kita kenal kesejah­ teraannya, laut yang luas, hamparan padi menguning, kekayaan alam yang tiada duanya di dunia, keindahan yang terjaga, ekspor hasil bumi, sandang pangan ora kurang …, Indonesia dikagumi bangsa manca sebagai bangsa yang agamis, humanis. Ibu termenung menerawang pandangannya jauh ke depan … ahh atau kembali ke masa lalu entahlah. Setelah sarapan, mencicipi seteguk kopi manis, dan mengikat tali sepatu aku salim ibu. Seperti biasa ibu menciumku juga tabrakan hidung … hihihi “Hati-hati” pesannya. Aku memeluk ibu, ah serasa mau pergi jauh. * Di depan kampus bak lautan manusia dengan satu nada yaitu langit yang membiru tanpa awan hitam yang melintas. Di dada yang sudah penuh dengan bongkahan kegelisahan tentang ketidakadilan, ketidakjujuran, kebohongan dan juga demo­ krasi yang terzalimi, institusi yang dilemahkan, para ko­ruptor berlagak selebriti, yah memberangus itu semua sudah terekam di benak calon demonstran. Kami melihat ini sebagai sebuah ketimpangan perilaku, ketidakseimbangan langkah yang harus 233Antologi Cerpen Kebangsaan

dibenahi. Mahasiswa merasa harus bergerak menyelamatkan negeri dari pengeroposan internal, serta menjadi mediasi aliansi untuk NKRI harga mati. Tak pelak beberapa hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak sempat tidak dilirik mahasiswa sebagai agenda yang harus diperjuangkan. Semisal Tarif Dasar Listrik (TDL) yang melonjak tinggi, isu BBM naik pembayaran, BPJS yang loncat 2x lipat, bolehkah kami masih diam tatkala pemilu terindikasi kecurangan. Perlu diketahui bahwa diamnya para akademisi dan intelektual kampus karena menghormati konstitusi dan se­ iring perjalanan waktu bahwa semuanya akan berpihak pada rakyat dan tiada beban ke depan nantinya. Sebagaimana amanat -amanat yang tercantum dalam UUD 45 pasal 33 ayat 3 yang berbunyi. ... Bumi dan air dari kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat ... Sungguh kami merasa dibodohi jika RUU tentang korupsi tidak melibatkan kami sebagai generasi pewaris negeri tinggal terima jadi, padahal saat pembentukan tanpa perlawanan tanpa perdebatan, banyak kursi kosong. Parlemen itu kuburan yang dusta. Jadi, kami menganggap ini adalah pelecehan, penghianatan pada rakyat atas janji di atas sumpah. “Aspirasi mana yang kau bawa dari kami sampai di gedung megah bernama DPR, Korupsi Harus Dilawan !!!!”. Mas Tri komandan regu memberi pengarahan pada ratusan calon demonstran yang siap bergerak menyuarakan kebenaran menuju Jalan Pahlawan depan gedung DPR. “Teman-teman semua demo kita adalah murni untuk kepen­ tingan rakyat. Korupsi adalah tindakan yang merugikan negara, maka harus diberantas sampai ke akar-akarnya. Jangan biarkan negara memberi fasilitas, ruang gerak yang bebas untuk para 234 Ini Bangsa Juga Punya Saya

koruptor, apalagi membebaskannya tanpa syarat, sementara ratusa­ n juta bahkan menyentuh angka miliar uang yang masuk kantong pribadi, di mana perkebunan bahkan pulau, puluhan mobil pribadi berjajar rapi di garasi, simpanan sampai tak ter­ hitung lagi dari istri, investasi, sampai jet sky”. Sementara pada kasus kecil justru menjadi bumerang bagi warga miskin, kesalahan yang dianggap fatal dan tak terampuni. “HALOO masih ada kalian untuk Indonesia?” Orasi mas Tri disambut gemuruh dan yel-yel … “Di manakah hukum berpihak? Rakyat kecil terdesak dan tidak merasakan adanya pengayoman dalam perlindungan huk­ um. Sementara orang kaya, konglomerat, pengusaha ber­ selingkuh dengan penguasa kemudian melahirkan anak-anak yang kebal hukum, tak tersentuh hukum.” “Hukum hanya berlaku untuk rakyat kecil, tajam kebawah tumpul ke atas … Adilkah …??” “Jangan takut, kita mahasiswa mempunyai 4 fungsi 1. Kontrol sosial 2. Gerakan moral 3. Iron stock (memiliki kemampuan akhlak mulia, pengganti generasi) 4. Agent of change (sebagai agen perubahan untuk masyarakat) Jangan takut selama jalan kita benar, Tuhan bersama kita”. ALLAHUAKBAR Ribuan massa sudah berkumpul membuat blokade di Jalan Pahlawan sebagai atribut mewarnai pagi yang bergelora. Maha­ siswa dari berbagai perguruan, aliansi, masyarakat sipil, dan LSM menjadi kekuatan untuk mendobrak ketidakadilan, apalagi kalau penyakit kronis korupsi dipelihara, dibiarkan tumbuh subur menjadi sarang-sarang tikus-tikus berdasi kemudian menetapkan RUU yang akan melemahkan lembaga independen yang berhasil menguak pialang korupsi dengan OTT-nya. 235Antologi Cerpen Kebangsaan

Beberapa orator bergantian di atas mobil tak terlihat lelah. Orasinya berhasil menyulut semangat di tengah pijar matahari yang menyengat dan membakar para demonstran. Entah dari mana asal-usulnya gerakan yang semula santun tiba-tiba saja menjadi tak terkendali saat perwakilan mahasiswa tak diterima siapa pun di gedung DPR dan tak satupun anggota legislatif yang menjadi pahlawan di tengah di Jalan Pahlawan. Ini kenyataan bahwa orasi ini dianggap angin lalu dan isapan jempol belaka, kembali mahasiswa dan seluruh elemen masya­ rakat bersatu agar suara Tuhan itu didengar oleh anggota dewan yang terhormat. Gelombang massa semakin tak terkendali, meringsek ke pintu gerbang gedung DPR dan seperti yang sudah diprediksi, polisi dan pasukannya dengan cepat memuntahkan water canon- nya dan dalam waktu yang bersamaan bobollah pertahanan dan pintu gerbang itupun luluh lantak. “Awas, perempuan mundur laki-laki maju” terdengar komando dengan suara parau memberi warning kepada para demonstran. Setelah berhasil menumbangkan barikade keamanan, per­ wakilan mahasiswa berusaha gigih masuk menemui legislator yang sedari tadi hanya mengamati dari ekskavator. Suasana begitu mencekam, tembakan peringatan, pem­ bakaran ban menyapa penuh emosi, tarik ulur ini kurang lebih memakan waktu hampir tiga jam. “Kami tidak peduli andai mati di sini, kami harus berbuat sesuatu, kami harus amankan, kami harus bergerak, bicara untuk anak cucu bangsa, kami ingin mewariskan negeri madani, gemah ripah loh jinawi”. * Dalam kericuhan mosi tidak percaya pada pemerintah stake holder-nya, hampir saja putus asa dengan kebijakan-kebijakan yang kontradiktif dengan rakyat, dipandang sebelah mata. Tiba-tiba hadir di tengah kerumunan para demonstran, dengan 236 Ini Bangsa Juga Punya Saya

piawai gubernur menerima dan berjanji membawa aspirasi ini pada jajarannya, dan lebih penting gubernur membuka dialog publik bersama untuk masyarakat. Semenjak dialog itu, seperti mendapat gula-gula, janji-janji dipegang erat seiring suara azan yang berkumandang. Haus, lapar, kepanasan, kaki melepuh, banjir keringat, bau badan yang tak tebayangkan tersiram oleh janji manis gubernur. Langkah mundur teratur mengingat konstitusi yang diperjuangkan sudah tersampaikan dengan penuh hormat. Sedikit demi sedikit para demostran sudah meninggalkan Jalan Pahlawan, pulang membawa jawaban ataukah pertanyaan kembali karena figur gubernur begitu menghipnotis. Tapi, kami mahasiswa yang berpikir logis. Jika janji-janji diingkari jangan salahkan jika kami datang lagi karena gelombang demo ini juga ada di kota-kota besar di seluruh Indonesia. Dan di tengah ketermenunganku, keraguanku tentang pe­ mangk­ u negeri hampir mengikis rasa patriotisme, nasionalism­ e yang sebelumnya memenuhi dadaku dan hampir hilang. HP-ku berdering, ringtone kebangsaan ... Ku lihat Ibu Pertiwi, sedang bersusah hati Tersadar dari rasa yang menghanyutkan, aku merasa bukan siapa-siapa, usahaku belum seberapa, apa yang aku lakukan hari ini bukan berjuang. Indonesia ... Tunggu aku menjadi orang dewasa yang siap mengabdi bangsa Siap mengobarkan Merah Putih di dada Siap memproklamasikan Bhinneka Tunggal Ika Siap mengukuhkan Pancasila Aku padamu Engkau tetap Indonesiaku. *** 237Antologi Cerpen Kebangsaan

Soekoso DM BARA API KEBANGSAAN Kapal wisata indah bernama KM Antarnusa yang memuat 99 bocah-bocah remaja milenial itu tiba-tiba terhenti. Mesin mati, angin juga mati. Sudah lebih 8 jam Nakhoda dan juru mesin belum menemukan sebab kenapa kapal itu ngadat. Suasana jadi gerah. Kipas pendingin mati. Bahkan, ikan lumba- lumba yang biasa berloncatan di sisi kapal, kini tak ada geliatnya. Sementara arloji menunjukkan pukul 18.00 dan matahari di ufuk barat terhalang mendung coklat. Dalam kapal nyaris gelap. Sejumlah remaja perempuan berteriak cemas akan apa yang terjadi. Dan remaja laki-laki mencoba menenangkan, sekaligus membantu ABK kapal yang menyalakan lilin di beberapa tempat. Dan yang lain lagi membantu menyalakan genset darurat. Kapal yang berangkat dari kota Sabang menuju Merauke itu adalah salah satu program dari Kementerian Taruna Pertiwi, dan bertujuan untuk menanamkan semangat nasionalisme para remaja dari segenap pelosok negeri. Remaja peserta kapal wisata itu berasal dari seluruh daerah di seluruh negeri. Wajah-wajah ceria dari Aceh, Batak, Nias, Minang, Melayu, Lampung, Banten, Sunda, Jawa Mataraman, Jawa Majapahitan, Bali, Lombok, Dayak Kapuas, Dayak Barito, Dayak Mahakam, Minahasa, Poso, Toraja, Bugis. Ternate, Tidore, Ambon, Flores, Timor, Papua Asmat, Papua Baliem, Bali, Nusa Tenggara dan sebagainya ikut serta di situ. Begitu beragam penumpangnya, sampai-sampai sang Nakhoda menyebut kapalnya itu sebagai ‘Perahu Nabi Nuh Abad 21’. 238 Ini Bangsa Juga Punya Saya

Pelayaran dari ujung barat ke ujung timur negeri tercinta itu dirancang selama 99 hari, dengan berturut-turut mampir di 45 kota pantai. Dengan mengenal daerah-daerah lain beserta budayanya, diharapkan akan mempertebal cinta mereka pada tanah-airnya, Nusantara. Dan kini, pelayaran itu telah sampai ke hari ke-17. Beberapa kelasi saling berbisik, sejatinya sampai di mana kapal ini terhenti. Ada yang menyebut ini di selat Kari­ mata, ada yang menyebut ini di perairan Masalembo. Sejauh mata memandang hanya gelap, kecuali di langit beberapa bin­ tang tampak berkelip. Kian malam suasana kian mencekam. Tak diduga sebelumnya, dengan pengeras suara tentengan, Nakhoda kapal mengumumkan: “Saudara-saudara dan adik-adik peserta, dengan minta maaf setulusnya saya umumkan, bahwa benar kapal kita ini macet karena mesin mati. Bersama ABK saat ini sedang berupaya keras untuk memperbaiki. Dalam suasana ini, saya mengajak seluruh ABK dan adik-adik peserta program Wisata Remaja, agar dapat memahami usaha perbaikan mesin kapal yang sedang kami laku­ kan. Wujudkan suasana tenang disertai sabar. Semoga dengan demikian kesulitan segara teratasi. Amin”. Seketika peserta perempuan ke kamar istirahat, sebagian remaja laki-laki bertahan di palka, saling menatap laut dan cakraw­­ ala, seperti bak menunggu apa yang akan terjadi. Hingga lewat tengah malam, tak ada pergerakan atau perubahan cuaca atau apa pun. Hanya sekali ada meteor melintas di langit sisi kiri kapal dan jatuh searah lokasi bintang Biduk. Selebihnya hingga pagi hari tak terjadi apa-apa. Namun, terasa aneh, di antara ABK ataupun para remaja peserta, pagi hingga siang berikutnya tak seorang pun yang melihat kapal lain atau nelayan di lingkungan laut itu. Matahari tetap bersinar di langit, tetapi tampak redup. Bahkan, sebujur garis kaki langit kelihatan suram keabu-abuan. Tak jelas, apakah itu sebab abu letusan gunung berapi, ataukah 239Antologi Cerpen Kebangsaan


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook