Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore PELANGI_DI_KAKI_LANGIT_Antologi_Esai_dan

PELANGI_DI_KAKI_LANGIT_Antologi_Esai_dan

Published by e-Library SMPN 8 Talang Ubi, 2020-01-04 15:41:25

Description: PELANGI_DI_KAKI_LANGIT_Antologi_Esai_dan

Keywords: antologi,esai,non fiksi

Search

Read the Text Version

Apalagi semangat kompetitif ini diberi nafas kreativitas dan ino- vasi, akan terwujud kompetisi yang berbobot, berdaya guna dan sehat di kalangan pendidikan. Tidak mudah bagi negara berkembang untuk mengejar penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang sudah dikuasai lebih dulu oleh negara maju. Di sini peran sorang guru dalam mengejar ketertinggalan tersebut, melalui sekolah guru dapat melakukan berbagai peneli- tian-penelitian (riset) yang berhubungan dengan ilmu pengetahu- an yang dikuasainya atau teknologi tepat guna dalam pelaksana- an proses pembelajaran. Guru bisa mengembangkan berbagai media pembelajaran, menerapkan kemajuan teknologi tepat guna, menciptakan se- suatu yang baru bagi dunia pendidikan, serta dapat menjawab tantangan arus globalisasi dan kemajuan teknologi informasi, kebangkitan industri kreatif dan budaya. Sikap terhadap Anak Didik Dalam Kode Etik Guru Indonesia dengan jelas dituliskan bahwa guru berbakti membimbing peserta didik untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya yang berjiwa Pancasila. Dasar ini mengandung beberapa prinsip yang harus dipahami oleh seorang guru dalam menjalankan tugasnya sehari- hari, yakni tujuan pendidikan nasional, prinsip membimbing, dan prinsip pembentukan manusia Indonesia seutuhnya.Tujuan pendidikan nasional dengan jelas tertuang dalam UU No.2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yakni membentuk manusia Indonesia seutuhnya yang berjiwa Pancasila. Prinsip yang lain adalah membimbing peserta didik, bukan mengajar, atau men- didik saja. Pengertian membimbing seperti yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara dalam sistem amongnya, yaitu yang terkenal denganing ngarso sung tulodo, ing madya mangun karso, dantut wuri handayani. Tiga ungkapan itu mempunyai arti bahwa pendi- dikan harus dapat memberikan contoh, harus dapat memberikan 84 Pelangi di Kaki Langit

pengaruh, dan harus dapat mengendalikan peserta didik.Dalam tut wuri terkandung maksud membiarkan peserta didik menuruti bakat dan kodratnya, sementara guru memperhatikannya.Dalam handayani berarti guru mempengaruhi peserta didik, dalam arti membimbing dan mengajarnya. Dengan demikian membimbing mengandung arti bersikap menentukan kearah pembentukan manusia Indonesia seutuhnya yang berjiwa Pancasila, dan bu- kanlah mendikte peserta didik, apalagi memaksanya menurut kehendak sang pendidik. Prinsip manusia seutuhnya dalam kode etik ini memandang sebagai kesatuan yang bulat,utuh, baik jasmani maupun rohani, tidak hanya berilmu tinggi, tetapi juga bermoral tinggi pula. Guru dalam mendidik seharusnya tidak hanya mengutamakan pengetahuan atau perkembangan intelektual saja, tetapi juga harus memperhatikan perkembangan seluruh pribadi peserta didik, baik jasmani, rohani, sosial atau yang lainnya yang sesuai dengan hakikat pendidikan. Ini dimaksudkan agar peserta didik pada akhirnya akan dapat menjadi manusia yang mampu meng- hadapi tantangan-tantangan dalam kehidupannya sebagai insan dewasa. Sikap guru terhadap peserta didik dalam melaksanakan Kurikulum 2013 harus dapat menyelenggarakan proses pem- belajaran secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, dan memotivasi peserta didik. Guru menciptakanpartisipasi aktif serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Sikap terhadap Teman Sejawat Sikap profesional lain yang perlu ditumbuhkan oleh guru dalam melaksanakan Kurikulum 2013 adalah sikap bekerja sama, saling menghargai, saling pengertian, dan rasa tanggung jawab. Jika ini sudah berkembang, akan tumbuh rasa senasib sepenang- gungan serta menyadari akan kepentingan bersama, tidak me- mentingkan diri sendiri dengan mengorbankan kepentingan Antologi Esai dan Cerita Pendek Bengkel Bahasa dan Sastra 85

orang lain. Apalagi bila dikaitkan dengan karakteristik pem- belajaran pada Kurikulum 2013, yaitu tematik terpadu (tematik antarmata pelajaran), seorang guru harus dapat bekerjasama de- ngan guru lain, baik guru yang satu rumpun mata pelajaran mau- pun berbeda mata pelajaran. Agar dapat berjalan lancar, ten- teram, dan harmonis, guru harus menumbuhkan sikap saling pengertian dan tenggang rasa antara satu dengan lainnya. Dapat diambil kesimpulan bahwa tolok ukur keberhasilan seorang guru dalam menghadapiatau menyikapi perubahan Kuri- kulum 2013 tidak cukup hanya dengan bermodalkan hardskill (kemampuan, keahlian,pelatihan, dan pengalaman), tetapi juga harus bermodalkan softskill, yaitu kemampuan mengelola diri sendiri dan membangun hubungan yang harmonis dengan siswa dan seluruh stakeholder pendidikan. Guru yang memiliki modal atau kompetensi seperti itu ada- lah guru yang kreatif dan inovatif dalam menciptakan paradigm baru pendidikan yang cerdas dan berkualitas. Sebagai sebuah inovasi yang sedang disemaikan, perjalanan Kurikulum 2013 ini pasti tidak akanserta-merta berjalan secara sempurna. Oleh kare- na itu, upaya perbaikan yang berkelanjutan dalam pengelolaan kurikulum di sekolah dan praktik pembelajaran di kelas menjadi penting. Kegiatan pengembangan pengetahuan dan keterampilan guru dalam mengimplementasikan Kurikulum 2013 perlu terus dilakukan, baik yang difasilitasi oleh sekolah, dinas pendidikan, dan terutama pemerintah pusat. Superevisi pembelajaran se- yogianya menjadi kebutuhan setiap guru dalam rangka perbaikan proses pembelajaran yang dilakukan dan untuk memastikan diri sebagai seorang pembelajar yang terus berusaha belajar meng- asah kemampuan. Daftar Pustaka Firmansyah, Andi. “Refleksi Hari Guru Nasional”. Internet 14 Mei 2014 86 Pelangi di Kaki Langit

Salinan PERMENDIKBUD No. 67 Tahun 2013. Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Jakarta: Media Pustaka Mandiri. Wahab, Rochmat. 2008. Pengembangan Profesionalisme Guru. Yogyakarta: UNY. Antologi Esai dan Cerita Pendek Bengkel Bahasa dan Sastra 87

MENGGAGAS KLINIK EDUKASI DI SEKOLAH Endang Rejeki Guru SMP Negeri 9 Yogyakarta Pengantar Ketika akan berlangsung ujian akhir, baik tingkat sekolah maupun tingkat nasional di semua jenjang sekolah, dari SD, SMP, SMA, dan SMK di seluruh Indonesia, siswa selalu disibukkan dengan kegiatan yang berhubungan dengan pemberian tam- bahan materi pelajaran. Orang tua pun disibukkan dengan kegiat- an mencari tempat bimbingan belajar yang dianggap mampu mendongkrak nilai anaknya dalam waktu yang relatif singkat. Sampai-sampai kondisi fisik dan psikologis anak kurang diper- hatikan sehingga tidak sedikit siswa yang sakit saat menjelang ujian nasional. Bagi siswa yang mempunyai prestasi akademik baik, tambahan pelajaran yang begitu padat tidak menjadi beban, tetapi untuk siswa yang prestasi akademiknya pas-pasan akan menjadikan beban yang amat berat. Harus diakui, belum semua siswa siap menghadapi ujian nasional (UN). Rasa takut dan ragu-ragu banyak kita jumpai di beberapa daerah sehingga saat UN berlangsung masih banyak siswa memutuskan untuk tidak ikut atau mengundurkan diri. Sampai saat ini UN masih menjadi momok bagi siswa dan orang tua. Masyarakat perlu tahu bahwa hasil UN bukan satu-satunya kriteria untuk dapat lulus. Menurut Peraturan Kepala Dinas Pen- didikan, Pemuda, dan Olahraga DIY, Nomor 0146 tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Ujian Nasional SMP/ 88 Pelangi di Kaki Langit

MTs, SMPLB, SMA/MA, SMALB, SMK, kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan ditentukan oleh satuan pendidikan ber- dasarkan rapat Dewan Guru dengan menggunakan kriteria seba- gai berikut: (a) menyelesaikan seluruh program pembelajaran; (b) memperoleh nilai minimal kategori baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata pelajaran; (c) lulus ujian sekolah (US); (d) lulus ujian nasional (UN). Siswa tidak dapat mengabaikan salah satu kriteria untuk mencapai kelulusan. Agar keseluruhan kriteria dapat dicapai oleh siswa, setiap sekolah perlu ada klinik edukasi. Diselenggarakannya klinik edukasi di setiap sekolah bukan- lah mengada-ada. Sebab, sekolah tempat interaksi antara guru dan murid, baik saat terjadi proses pembelajaran maupun tidak. Dalam interaksi itu pasti ada kendala atau permasalahan. Dari hasil wawancara dengan beberapa siswa dari jenjang sekolah yang berbeda, dapat diketahui ada beberapa permasalahan seba- gai berikut: (1) siswa kurang paham pada materi yang dijelaskan oleh guru saat pembelajaran; (2) siswa kesulitan belajar pada mata pelajaran tertentu; (3) siswa ingin mendapatkan penjelasan lebih detail tentang mata pelajaran tertentu; (4) siswa takut de- ngan guru yang mengajar sehingga butuh bantuan penjelasan dari guru yang berbeda; (5) belum mendapat kepuasan ketika proses pembelajaran di kelas; (6) malu bertanya di saat proses pembelajaran; (7) siswa malas dan sedang tidak mod saat proses pembelajaran; dan mungkin masih banyak persoalan lain yang dihadapi siswa. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata klinik berarti (1) bagian rumah sakit atau lembaga kesehatan tempat orang berobat dan memperoleh advis medis; (2) tempat mahasiswa kedokteran melakukan pengamatan terhadap kasus penyakit yang diderita para pasien; (3) balai pengobatan khusus; (4) organisasi kesehat- an yang bergerak dalam penyediaan pelayanan kesehatan kuratif (diagnosis dan pengobatan), biasanya terhadap satu macam gangguan kesehatan. Adapun kataedukasiberarti‘perihal pendi- dikan’. Jadi, dapat dipahami bahwa klinik edukasi adalah tempat Antologi Esai dan Cerita Pendek Bengkel Bahasa dan Sastra 89

penyediaan pelayanan pendidikan bagi siswa yang mengalami gangguan atau kesulitan dalam belajar. Manfaat Klinik Edukasi Pelayanan pada klinik edukasi hanya khusus diperuntukkan bagi siswa yang mempunyai permasalahan dalam belajar yang berhubungan dengan mata pelajaran, bukan masalah yang lain. Permasalahan lain sudah ditangani oleh bimbingan dan konseling (BK). Antara klinik edukasi dan bimbingan konseling fungsi dan tugasnya berbeda, tetapi dapat bersinergi dalam memecahkan permasalahan siswa. Berdirinya klinik edukasi di setiap sekolah tentu saja banyak manfaat yang didapat, antara lain, (1) memberikan layanan ke- pada siswa yang mengalami kesulitan belajar secara baik dan tuntas; (2) membantu siswa untuk mencarikan solusi tentang materi pelajaran yang dianggap sulit; (3) mengantisipasi adanya siswa yang merasa takut kepada guru yang mengajar sehingga akan mendapatkan penjelasan dari guru yang dianggap cocok; (4) membantu siswa untuk belajar lebih detail dari apa yang sudah didapatkan dari guru mata pelajaran tertentu sehingga siswa selalu siap dengan materi yang akan diajarkan (bagi siswa yang cerdas); (5) membantu siswa yang merasa malu bertanya saat proses pembelajaran sehingga siswa tersebut akan menda- patkan solusi tanpa harus diketahui oleh teman yang lain; (6) membantu siswa yang kurang paham ketika proses pembelajaran berlangsung, sehingga tidak terbebani dengan materi yang tidak dikuasai; (7) memberikan penanganan khusus kepada siswa yang mempunyai peringkat lima urutan paling bawah pada masing- masing kelas. Dengan klinik edukasi siswa akan merasa tidak pernah ter- bebani dengan persoalan yang berhubungan dengan mata pelajaran. Seluruh beban yang ada dapat teratasi. Dengan begitu siswa akan selalu siap ketika guru mengadakan evaluasi dan 90 Pelangi di Kaki Langit

penilaian sewaktu-waktu. Jadi, tidak akan pernah ada siswa yang tidak tuntas pada setiap akhir pembelajaran. Model penanganan di klinik edukasi disesuaikan dengan kebutuhan siswa karena permasalahan yang dihadapi untuk ma- sing-masing siswa berbeda. Klinik ini tidak hanya diperuntukkan bagi siswa yang kesulitan belajar, tetapi juga untuk siswa yang pandai. Apabila ada siswa yang memerlukan layanan khusus bisa ditangani dengan baik. Penanganan harus dilaksanakan se- cara berkesinambunganan sampai siswa benar-benar terbebas dari kesulitan. Tempat layanan pada klinik edukasi membutuhkan ruang yang tenang dan kondusif.Siswa yang datang pasti butuh la- yanan yang baik dan nyaman sehingga tidak sia-sia datang ke klinik edukasi. Guru yang bertugas pada klinik edukasi pun harus profesional dan bertanggung jawab. Bila siswa merasa nyaman dan mendapat solusi dalam menghadapi kesulitan, berkunjung ke klinik edukasi sudah merupakan kebiasaan bahkan lama-kela- maan akan menjadi keharusan. Agar klinik edukasi berjalan sesuai dengan yang telah dipro- gramkan sekolah perlu ada yang bertanggung jawab. Penang- gung jawab klinik dipercayakan kepada guru yang memang pu- nya komitmen tinggi terhadap perkembangan belajar siswa. Pe- nanggung jawab klinik sekaligus sebagai koordinator karenanya berkewajiban pula untuk membuat jadwal layanan. Agar tidak bertabrakan waktu dalam pelayanan dalam penyusunan jadwal perlu koordinasi dengan seluruh guru yang terlibat. Cara Kerja Klinik Edukasi Layanan pada klinik edukasi dapat dilaksanakan setelah se- lesai proses pembelajaran, yaitu antara pukul 12.30 sampai 15.00. Pelayanan diberikan untuk seluruh mata pelajaran yang diajarkan di sekolah. Jadwal layanan dapat dilaksanakan setiap hari atau tergantung dengan kesepakatan guru yang terlibat. Apabila me- mungkinkan jadwal pelayanan dibedakan pada jenjang kelas Antologi Esai dan Cerita Pendek Bengkel Bahasa dan Sastra 91

agar petugas klinik tidak kewalahan dalam memberikan pela- yanan, misalnya, untuk sekolah menengah pertama (SMP), jad- wal layanan untuk kelas 7 berbeda dengan kelas 8. Untuk kelas 9 diberikan jadwal layanan khusus, yaitu setiap hari karena su- dah mendekati UAS dan UN. Dengan jadwal layanan yang jelas dan diikuti dengan pengelolaan yang baik dan profesional, diha- rapkan klinik edukasi akan banyak dikunjungi siswa setiap hari. Untuk kelancaran dalam pemberian layanan diharapkan guru yang bertugas siap dan berada di klinik sebelum siswa datang. Apabila klinik edukasi sudah siap dan dapat disetujui oleh semua pihak, perlu adanya penyebaran informasi agar informasi cepat sampai kepada siswa. Selain diumumkan secara langsung saat pelaksanaan upacara bendera, dapat juga ditempel di papan pengumuman sekolah atau tempat-tempat strategis yang sering digunakan siswa untuk berkumpul. Dengan gencarnya informasi tentang klinik edukasi diharapkan seluruh komponen sekolah khususnya siswa dapat segera memanfaatkan. Berdirinya klinik edukasi di setiap sekolah harus diimbangi dengan kemauan guru untuk selalu belajar untuk menambah wawasan. Segala informasi bisa didapat, baik dari membaca bu- ku, media cetak, maupun media elektronika. Berdasarkan Un- dang-Undang Republik Indonesia No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pada Bab IV pasal 8, guru wajib memiliki kualifi- kasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tuju- an pendidikan nasional. Pada pasal 10 dijelaskan bahwa kompe- tensi guru yang dimaksudkan adalah kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi pro- fesional. Berdasarkan hasil Uji Kompetensi Guru Online yang telah dilaksanakan pada tahun 2012, menurut Bambang Sulistio, ting- kat keprofesionalan guru di seluruh Indonesia dari segi kompe- tensi profesi dan pedagogik bisa dikatakan masih rendah. Ter- bukti dari rata-rata yang dihasilkan hanya 40 poin, masih jauh 92 Pelangi di Kaki Langit

dari yang diharapkan pemerintah, yaitu 70 poin. Melihat hasil Uji Kompetensi Guru yang demikian itu sudah membuktikan bahwa banyak guru di tanah air kita yang belum profesional. Pemerintah diharapkan segera menindaklanjuti hasil tersebut sehingga guru benar-benar dapat bekerja sesuai harapan semua pihak. Dengan dibukanya klinik edukasi di setiap sekolah, tidak hanya meringankan guru mata pelajaran yang mengampu di kelas, tetapi mengajak kepada siswa untuk selalu siap memecah- kan permasalahan sejak dini.Ketika akan menghadapi ujian se- kolah atau ujian nasional beban anak sudah teratasi. Anak selalu siap dan tidak menyisakan permasalahan yang berhubungan de- ngan mata pelajaran. Untuk mendirikan klinik edukasi di setiap sekolah tidak semudah membalik telapak tangan. Belum semua guru dan kom- ponen sekolah siap untuk menerima kehadiran klinik edukasi. Sudah menjadi kebiasaan apabila ada sesuatu yang baru tang- gapan orang bermacam-macam. Ada yang menyambut dengan senang, tetapi tidak sedikit yang mempermasalahkan. Senang atau tidak senang, kehadiran klinik edukasi sangat dibutuhkan oleh setiap lembaga sekolah. Menyiasati Pembiayaan Klinik Edukasi Setiap program sekolah yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan akan didanai oleh Biaya Oprasional Sekolah (BOS). Sumber anggaran berasal dari APBD Kota, APBD Provin- si, dan APBN Pusat. Untuk masing-masing siswa per tahun men- capai Rp1.825.000,00, dengan rincian dari APBD Kota Rp1.000.000,00, APBD Provinsi Rp115.000, 00, dan APBN Pusat Rp710.000,00. Setiap sekolah harus pandai mengelola bantuan anggaran tersebut. Program yang dilaksanakan sekolah harus benar-benar yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan de- mikian, tidak ada penggunaan anggaran yang sia-sia atau kurang bermanfaat. Antologi Esai dan Cerita Pendek Bengkel Bahasa dan Sastra 93

Hadirnya klinik edukasi di sekolah tentu saja akan menam- bah beban anggaran. Semua kegiatan sekolah yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan pasti membutuhkan biaya. Bagaimanapun juga sekolah harus memikirkan kesejah- teraan seluruh komponen yang terlibat. Untuk mengatasi perma- salahan tersebut, perlu dipikirkan untuk dimasukkan dalam Ren- cana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS). Jadi, sudah ada alokasi dana yang dibutuhkan. Besarnya dana harus disesuaikan dengan kebutuhan. Dengan demikian, hadirnya klinik edukasi di setiap sekolah tidak menjadi permasalahan dan selalu dapat dilaksanakan di setiap tahunnya. Dengan dimasukkannya klinik edukasi di salah satu program yang harus didanai oleh RAPBS diharapkan semua komponen sekolah mengetahui dan tidak ada yang mempermasalahkan keberadaannya. Dengan begitu, seluruh komponen yang terlibat akan dapat melaksanakan tugas dengan baik. Usaha kita adalah harapan masyarakat. Tiga tahun masa depan siswa dititipkan di sekolah dan kita harus bertanggung jawab. Klinik edukasi adalah solusinya sehingga dapat dibuat motto “Klinik Edukasi Ada Siswa Menjadi Bisa”. Penutup Berdasarkan paparan di atas dapat diambil simpulan sebagai berikut. 1. Agar siswa tidak banyak mengalami problematika atau ma- salah yang berhubungan dengan mata pelajaran, di sekolah perlu ada klinik edukasi. 2. Melalui klinik edukasi diharapkan sekolah dapat mening- katkan kualitas pendidikan sehingga pada setiap akhir tahun out put nilai siswa mengalami peningkatan. 3. Setiap menjelang ujian sekolah atau ujian nasional, orang tua sudah tidak dibuat pusing untuk mencarikan tempat bim- bingan belajar karena semua permasalahan sudah dapat teratasi di sekolah melalui klinik edukasi. 94 Pelangi di Kaki Langit

Daftar Pustaka Depdikbud.2010.Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta. 2014. Peraturan Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga DIY Nomor: 0146 tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Ujian Nasional SMP/MTs. SMPLB, SMA/MA, SMALB, SMK.Yogyakarta: Dinas Pendidikan dan Olah Raga. Presiden Republik Indonesia. 2006. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Jakarta: Novindo Pustaka Mandiri. Sulistio,Bambang. 2013. “Hasil Uji Kompetensi Guru Secara Nasional”. Diunduh dari http://www.bambangsulistio. web.id pada tanggal 25 Mei 2014, pukul 10.00 wib. Antologi Esai dan Cerita Pendek Bengkel Bahasa dan Sastra 95

LUNTURNYA ETIKA JAWA DI KALANGAN PELAJAR Hanyk Setyaningsih Guru SMP Negeri 1 Nglipar, Gunungkidul, Yogyakarta Bangsa Indonesia termasuk bangsa yang besar dan mempu- nyai adat ketimuran yang sangat berbeda dengan negara barat. Dalam tata pergaulan sosial masyarakat harus perbedoman pada dasar etika yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Etika dalam tata pergaulan sebenarnya sudah melekat dalam kehidupan sosial di negara kita sejak zaman dahulu. Masyarakat pada waktu itu betul-betul masih patuh pada etika peradaban yang baik. Pelaksanaan etika dalam kehidupan bukanlah menjadi beban bagi masyarakat, melainkan masyarakat dengan penuh kesadaran dapat mengikuti aturan atau etika yang ditetapkan. Masyarakat zaman dahulu meyakini bahwa mereka tidak dapat hidup sendiri. Dengan menaati segala aturan yang berlaku ma- nakala mempunyai masalah, orang lain akan empati karena dijiwa mereka sudah terdidik sejak kecil untuk saling membantu satu dengan lainnya. Misalnya, bila ada seseorang yang membangun sebuah rumah, tanpa diminta para tetangganya akan datang membantu tanpa mengharap imbalan apa pun. Hal tersebut me- rupakan salah satu bentuk tindakan baik yang perlu dilestarikan walaupun dengan perkembangan zaman, saat ini sulit kita te- mukan. Pada era sekarang ini ada beberapa perubahan yang terlihat jika dibandingkan jaman dahulu. Salah satunya adalah semakin menurunnya etika ketimuran di negara ini. Kalau dilihat di se- 96 Pelangi di Kaki Langit

kitar kita, banyak dijumpai anak yang sangat minim pengetahuan tentang tata kramanya, yang terlihat dalam penggunaan ung- gah-ungguh bahasa Jawa. Misalnya, anak-anak sekarang ini tidak dapat membedakan dengan siapa mereka bicara. Sebagai orang Jawa seharusnya masyarakat mengenal etika Jawa dengan baik, tahu tata krama dan unggah-ungguh. Dalam praktik penggunaan bahasa, terdapat variasi yang bergantung pada tataran hubungan antara pembicara dan lawan bicara. Mi- salnya, kata kepala penggunaannya bermacam-macam, tergan- tung dengan siapa kita bicara. Kalau dengan teman sebaya, kepala itu sirah, tetapi dengan orang yang lebih tua kepala itu mustaka; kata mandi, jika dengan teman sebaya itu adus, tetapi dengan orang yang lebih tua harus menggunakan kata siram. Demikian pula dalam hal bersikap, sebagai contoh anak sering mengangkat kaki di atas kursi saat ada tamu, dan anak tidak mengetahui kalau yang dilakukannya itu tidak baik. Yang men- jadi persoalan ialah mengapa bisa terjadi hal yang demikian? Faktor apa saja yang menjadi penyebabnya? Bagaimana solu- sinya? Penyebab Lunturnya Etika Jawa Dengan adanya televisi, handphone, dan internet mampu membawa perubahan yang berdampak positif, tetapi di sisi lain kehadirannya sering juga berdampak negatif. Sisi positifnya bahwa pengguna mendapat informasi secara cepat dan berwa- wasan lebih luas. Namun, dampak negatifnya adalah adanya berbagai informasi dan tayangan yang kurang tidak sesuai untuk anak-anak. Mereka dapat meniru dari apa yang mereka terima dan dilihat tanpa menyaringnya terlebih dahulu. Sebagai contoh, cara berpakaian seorang pelajar, cara berbicara, cara bersikap, dan cara berinteraksi yang telah meninggalkan etika. Etika Jawa saat ini mulai luntur yang disebabkan pelajar sekarang mudah terpengaruh oleh budaya asing yang masuk Antologi Esai dan Cerita Pendek Bengkel Bahasa dan Sastra 97

ke Indonesia. Bagi kaum muda, mereka menganggap bahwa etika Jawa tidaklah penting dan dianggap kuno. Pada umumnya, me- reka menginginkan segala sesuatu yang mereka inginkan sesuai dengan kehendak hatinya tanpa terikat oleh aturan. Karena itu- lah terkadang muncul perbedaan pendapat antara orang tua dan anak zaman sekarang. Orang tua sekarang akan lebih sulit menasihati anak ke arah yang lebih baik, bahkan dapat menumbuhkan kebencian anak terhadap orang tua karena mereka merasa terkekang oleh etika yang ditanamkan oleh orang tua. Dalam hal berbicara, sering mereka tidak memperhatikan tata krama. Bahkan, dengan orang tua atau gurunya mereka seolah-olah berbicara dengan teman sebayanya. Kadang tanpa mereka sadari bahwa bahasa yang digunakan lebih banyak ke bahasa gaul. Tidak jarang mereka bicara dengan nada kasar atau kata-kata yang diucapkan kotor. Apalagi manakala mereka sedang emosi atau marah kepada te- man atau orang yang tidak disukainya akan muncul bahasa yang sangat kasar. Dalam hal berpakaian mudah dijumpai anak-anak yang tidak menaati peraturan yang ditetapkan sekolah. Misalnya, baju tidak dimasukkan, tidak memakai ikat pinggang, celana dibuat press- body, rambut yang tidak rapi, sepatu yang kurang pantas diguna- kan untuk sekolah, atau memakai perhiasan. Tidak hanya di sekolah, sering dilihat pelajar muslim ketika berada di sekolah menggunakan jilbab tetapi begitu berada di luar sekolah mereka tidak lagi mengenakan jilbab, bahkan kadang berpakaian yang kurang pantas. Misalnya, memakai rok atau celana pendek di atas lutut, mengenakan baju atau kaos yang tidak berlengan. Apabila melihat cara mereka berpakaian demikian, tersirat dalam hati bahwa betapa kuatnya pengaruh negatif yang tersebar di Indonesia. Dalam hal bersikap, dijumpai banyak di antara pelajar yang tidak mengindahkan lagi etika dalam bersikap, khususnya de- ngan orang yang lebih tua atau pada guru. Mereka lebih bersifat 98 Pelangi di Kaki Langit

egois atau mementingkan diri sendiri. Bahkan, sering dijumpai anak yang berani atau membantah bila diberi nasihat atau petuah. Sebuah nasihat sering hanya sebagai angin lalu dan tidak mem- buatnya bersikap lebih baik atau menghormati serta mengargai orang lain. Sebagai generasi penerus bangsa ini, penulis merasa prihatin atas kejadian seperti ini. Apalagi bangsa Indonesia terkenal seba- gai bangsa yang menjunjung tinggi nilai etika ketimuran. Bangsa yang besar, kaya akan budaya luhur. Upaya Mengatasi Lunturnya Etika Jawa Upaya yang harus dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah menanamkan nilai-nilai moral atau etika Jawa kepada pelajar supaya siap dalam menghadapi segala bentuk pengaruh dari luar. Berbicara/berujar sebagai suatu cara berko- munikasi sangat mempengaruhi kehidupan individual. Dalam sistem ini kita bertukar pikiran, pendapat, gagasan, perasaan, dan keinginan, dengan bantuan lambang yang disebut kata. Ujar- an merupakan ekspresi gagasan pribadi seseorang, yang mene- kankan hubungan yang bersifat dua arah, yaitu memberi dan menerima (Powers, 1954: 5-6). Persoalan berbicara memang hal yang sepele, tetapi jarang sekali orang yang berbicara sesuai dengan etika yang baik, ber- bicara yang enak didengar dan mudah dipahami serta tidak ke- luar dari topik pembicaraan. Dalam http://www.the-lovestory. com disebutkan bahwa etika berbicara yang baik perlu diper- hatikan ha-hal berikut. 1. Fokuslah pada Lawan Bicara Ketika berbicara hendaknya memfokuskan diri pada lawan bicara agar lawan bicara mudah mendapatkan maksud dari pembicaraan. Pada saat berbicara jangan sampai berpaling dengan lawan bicara karena topik yang dibicarakan dapat terpecah dan tidak jelas. Antologi Esai dan Cerita Pendek Bengkel Bahasa dan Sastra 99

2. Menggunakan Suara yang Baik Dalam sebuah pembicaraan hendaknya menggunakan suara yang baik. Suara yang baik adalah salah satu etika berbicara. Suara yang baik tidak harus merdu, tetapi pada saat berbi- cara sesuaikan nada bicara dengan lawan bicara. Misalnya, apabila lawan bicara adalah orang yang lebih tua tentunya dengan nada lirih dan lebih sopan. Jangan sampai suara kita menyakitkan hati lawan bicara. 3. Jangan Mengeluarkan Perkataan yang Tidak Pantas Siswa hendaknya mencoba untuk melupakan dan menjauhi perkataan-perkataan kotor dalam bicara. Biasanya perkataan kotor akan mudah merusak pembicaraan dengan lawan bi- cara walaupun terkadang menyambung, tetapi biasanya per- kataan kotor dapat mencerminkan sikap diri di mata lawan bicara. 4. Awali dan Akhiri Pembicaraan dengan Senyuman Dalam mengawali dan mengakhiri suatu pembicaraan hen- daknya dibiasakan dengan senyum. Senyum dapat merun- tuhkan tembok ketegangan dalam jiwa dan di balik senyum dapat membuat lawam bicara tersipu malu dan menjadi baik kepada kita. 5. Berjabat Tangan Sesudah Berbicara Berjabat tangan atau meletakkan tangan di atas dada meru- pakan isyarat bahwa ia menghargai orang lain seperti meng- hargai diri sendiri. Berjabat tangan menandakan bahwa ia lebih bisa bertanggung jawab. Etika berpakaian melambangkan kepribadian sebagai se- orang terpelajar serta nilai-nilai dan etika yang murni. Oleh kare- na itu, cara berpakaian yang sopan, bersih, rapi, dan sesuai adalah ditekankan. Indra (blogspot.com) mengungkapkan bahwa etika dalam ber- sikap dan bergaul yang harus ditekankan kepada pelajar agar mereka terhindar dari pengaruh luar yang kurang baik adalah sebagai berikut. 100 Pelangi di Kaki Langit

1. Pelajar harus berpikir secara dingin, jangan cepat tersing- gung apabila ada hal yang dirasa cukup menyinggung serta menyelesaikan segala permasalahan dengan tenang tanpa amarah, selalu mensyukuri segala yang diperoleh. Misalnya, apabila ada sedikit permasalahan atau perselisihan dengan teman harus diselesaikan dengan tenang, sabar, tanpa me- munculkan amarah dalam diri. 2. Pelajar hendaknya ada rasa tenggang rasa antara satu de- ngan lainnya. Biasakan untuk selalu menghargai orang lain seperti mengahargai dirinya sendiri. Dengan kata lain, sese- orang yang mempunyai tenggang rasa, ia akan berusaha untuk menempatkan diri dalam keadaan orang lain sehingga ia bisa tidak serta merta menyalahkan orang lain. Tidak ber- buat mempermalukan orang di depan orang khalayak. Misal- nya, dalam sebuah diskusi jika ada siswa lain yang sedang mengemukakan pendapat harus diberi kesempatan untuk menyampaikannya dan jangan memotong pembicaraan wa- laupun tidak sependapat. 3. Pelajar harus berpikir secara terbuka, jujur, transparan dan jangan membeda-bedakan orang lain. Siswa hendaknya ber- wawasan luas serta jujur atau transparan terhadap diri sen- diri maupun orang lain. Jika bersalah mengakulah. Jika mera- sa bersalah kepada teman atau orang lain segera minta maaf. 4. Pelajar Memiliki rasa percaya diri sebagai dasar agar tidak mudah terpengaruh dengan berbagai hal. Seorang pelajar harus bisa mandiri, tidak mengharapkan pertolongan orang lain serta yakin akan kemampuan diri sendiri sehingga tidak akan mudah dipengaruhi oleh hal-hal yang merugikan di- rinya. 5. Pelajar jangan pernah merasa takut dengan keadaan, ha- dapilah segala tantangan dan hambatan dengan tenang dan sabar. Pelajar harus bersikap ikhlas dan rela jika menda- patkan kesulitan dan tidak boleh patah semangat apalagi putus asa dalam menerima segala cobaan. Antologi Esai dan Cerita Pendek Bengkel Bahasa dan Sastra 101

6. Pelajar jangan pula mendahulukan ego dan berpikirlah un- tuk selalu mendahulukan kepentingan orang lain. Misalnya, dalam suatu diskusi seorang pelajar tidak boleh menganggap dirinya paling pandai dan benar. Ia harus dapat menerima kritik, saran, dan pendapat orang lain serta mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan diri sendiri. 7. Pelajar mampu berkomunikasi dengan orang tua dan guru secara santun dan lemah lembut. Dalam berbicara, siswa seharusnya melihat situasi dan dengan siapa ia berbicara sehingga mampu menentukan nada dan intonasi secara santun. 8. Pelajar harus dapat menunjukkan rasa terima kasih kepada orang tua dan guru terhadap kasih sayang, perhatian, nasi- hat, dan ilmu yang telah diberikan. Misalnya, pelajar menaati peraturan sekolah, melaksanakan nasihat dari guru dan orang tua, melakukan kebaikan untuk orang lain serta meng- hormati dan menghargai orang tua dan guru. Etika Jawa mengajarkan agar masyarakat atau pelajar mene- rapkan tata krama (unggah–ungguh) dalam berbicara, berpakaian dan bersikap. Nilai-nilai dalam tata pergaulan pelajar harus ber- pedoman pada nilai etika yang telah diajarkan sejak zaman da- hulu. Untuk menggalakkan kembali nilai-nilai etika di kalangan pelajar yang mulai luntur harus diupayakan kerja sama semua pihak baik dari lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat, dan pemerintah. Segala hal yang berkaitan dengan maju mundurnya nilai peradaban bangsa menjadi tanggung jawab seluruh masya- rakat Indonesia. Sudah seharusnya bagi kita, seperti orang Jawa bilang, nguri uri kebudhayaan Jawi. Tidak hanya itu, lingkupnya harus diperluas lagi, yaitu memelihara etika Jawa dan kebuda- yaan nasional kita agar bangsa Indonesia tetap jaya, disegani di mata internasional karena etika ketimuran dan kebudayaannya. 102 Pelangi di Kaki Langit

Daftar Pustaka Hadiatmaja, Sarjana. 2011. Etika Jawa. Yogyakarta: Grafika Indah. Indra.2011.http://indra2192.blogspot.com /2011/10/ “Tata- cara-bersikap-dan-bergaul”. html, diakses tanggal 12 Mei 2014, pukul 19.10 WIB. Tarigan, Henry Guntur. 2013. Berbicara Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa. Url.http://www.the-lovestory.com/2013/03/5/ “Etika- berbicara-yang-baik”.html, diakses tanggal 12 Mei 2014, pukul 19.20 WIB. Antologi Esai dan Cerita Pendek Bengkel Bahasa dan Sastra 103

MEMANFAATKAN FACEBOOK DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA Jamiatun Guru SMP Negeri 3 Godean, Sleman, Yogyakarta Pendahuluan Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi di Indo- nesia mengalami perkembangan yang cukup pesat. Salah satu cirinya adalah bertambahnya pengguna internet. Internet me- nawarkan banyak kemudahan bagi masyarakat untuk menjalin komunikasi dan interaksi tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu. Media komunikasi di dunia maya ini pun bisa dilakukan melalui e-mail, millis, chatting, facebook, dan lain sebagainya. Berdasarkan data pada September 2013, pengguna facebook di Indonesia me- nempati posisi terbanyak keempat di dunia. Dari sekitar 33 juta pengguna facebook di Indonesia, lebih dari 60 persen adalah re- maja. Oleh karena sebagian besar pengguna facebook adalah remaja, maka media sosial tersebut memberi dampak yang cukup besar bagi remaja, khususnya berkaitan dengan gaya bahasa yang digunakan remaja. Gaya bahasa yang dimaksudkan di sini ada- lah (gaya) bahasa gaul yang menjadi  trend di kalangan remaja. Menyikapi hal tersebut, apakah yang dapat dilakukan rekan pengajar agar bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara tetap terjaga dengan baik? Media Sosial dan Pengaruhnya terhadap Bahasa Indonesia Dalam situs di http://www.e-bookspdf.org/download/ jurnal-ilmiah-pendidikan.html, Andreas Kaplan dan Michael 104 Pelangi di Kaki Langit

Haenlein mendefinisikan media sosial sebagai sebuah kelompok aplikasi berbasis internet di atas dasar ideologi dan teknologi Web 2.0, dan yang memungkinkan penciptaan dan pertukaran user-generated content. Sedangkan Wikipedia Indonesia menje- laskan bahwa media sosial adalah sebuah media online, para penggunanya bisa dengan mudah berpartisipasi, berbagi, dan menciptakan isi, meliputi blog, jejaring sosial, forum mailing list dan dunia virtual. Berdasarkan Survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), setidaknya terdapat 82 juta pengguna internet di Indonesia pada tahun 2013. Pengguna facebook (data September 2013) mencapai 33 juta, dan ini menjadikan Indonesia sebagai pengguna facebook terbesar keempat di dunia. Hasil penelitian lain menyebutkan bahwa intensitas pengguna facebook cukup ting- gi. Hampir setiap 50% pengguna facebook membuka akunnya de- ngan intensitas 5-7 kali dalam seminggu atau hampir setiap hari. Intensitas yang tinggi menggambarkan gaya hidup remaja yang tidak pernah terlepas dari media sosial atau facebook. Media sosial tersebut menjadi media komunikasi yang paling mudah, cepat, dan efisien. Media sosial sulit dipisahkan dari kehidupan remaja karena memiliki dua fungsi, yaitu sebagai media hiburan dan informasi, serta media berkomunikasi. Maka tidak menghe- rankan apabila media sosial mempengaruhi gaya bahasa remaja. Media sosial sebagai salah satu sarana komunikasi ternyata mempunyai fungsi yang implisit sebagai trendsetter yang mem- berikan panduan tentang gaya berpakaian dan gaya berbahasa remaja, terlebih remaja dalam usia yang masih labil mudah sekali menyerap dan meniru segala sesuatu yang ditampilkan di media. Tidak mengherankan apabila gaya bahasa yang digunakan dalam facebook menjadi gaya bahasa yang digunakan remaja sebagai media komunikasi sehari-hari. Bahkan dimungkinkan media ber- fungsi secara implisit sebagai sarana memunculkan kata-ka- ta slang, kemudian digunakan secara umum untuk percakapan sehari-hari. Mereka berkomunikasi menggunakan “bahasa gaul” Antologi Esai dan Cerita Pendek Bengkel Bahasa dan Sastra 105

yang kasar, tidak sopan, dan tidak etis. Hal ini mungkin karena media telah membuat gaya bahasa yang kasar dan tidak sopan itu seolah-olah menjadi suatu gaya bahasa yang sedang trend, umum, dan layak digunakan. Pada tahun 1980-an muncul istilah “bahasa prokem” yang artinya bahasa para preman. Pada akhir tahun 1990-an, istilah “bahasa prokem” direvisi menjadi “bahasa gaul” atau baha- sa slang sebagai salah satu cabang bahasa Indonesia yang diarti- kan sebagai bahasa untuk pergaulan. “Bahasa gaul” adalah gaya bahasa yang merupakan perkembangan atau modifikasi dari ber- bagai macam bahasa, termasuk bahasa Indonesia, sehingga “ba- hasa gaul” tidak memiliki sebuah struktur bahasa yang pasti. Sebagian besar kata-kata dalam “bahasa gaul” remaja merupakan terjemahan, singkatan, maupun pelesetan. Namun, terkadang diciptakan pula kata-kata aneh yang sulit dilacak asal mulanya. Menurut Kridalaksana (1993) slang sebagai ragam bahasa yang tidak resmi dipakai oleh kaum remaja atau kelompok sosial tertentu dalam komunikasi intern sebagai usaha orang di luar kelompoknya tidak mengerti, berupa kosakata yang serba baru dan berubah-ubah. Kata-kata slang dibentuk agar bahasa menjadi lebih hidup. Semua orang, terutama remaja, selalu mencoba menggunakan bahasa atau kata-kata lama dengan cara-cara baru atau dengan arti baru. Bentuk sintaksis dan morfologi dalam kata-kata slang biasa- nya memanfaatkan sintasksis dan morfologi bahasa Indonesia dengan dialek Betawi. Misalnya, penghilangan huruf pada kata ‘abis’ (habis) ‘aja’ (saja), ‘emang’ (memang), ‘ati’ (hati), penggan- tian huruf atau diftong ‘kalo’ (kalau), ‘sampe’ (sampai), ‘cepet’ (cepat), ‘temen’ (teman), penggunaan akhiran “-in” untuk meng- gantikan akhiran “-kan”; ‘bacain’ (bacakan), ‘mainin’ (mainkan), ‘beliin’ (belikan). Penggantian imbuhan ter- menjadi ke- pada awal kata; ‘ke- tangkep’ (tertangkap), ‘kepeleset’ (terpeleset), ‘kegaruk’ (terga- ruk). Penyatuan dua kata menjadi satu kata baru dengan tetap 106 Pelangi di Kaki Langit

mempertahankan maknanya tampak pada kata ‘makasih’ (teri- makasih), ‘pede’ (percaya diri), ‘ja’im’ (image) ‘jadul’ (jaman dulu) ‘mager’ (malas gerak), ‘curhat’ (curahan hati). Menerjemahkan secara langsung dari bahasa asalnya: ‘suer’ (swear) ‘btw’ (by the way), menciptakan dengan sendirinya secara unik; ‘cuek’, ‘do’i’, ‘yo’i’, ‘bokep’, ‘jayus’, ‘jijay’, ‘jomblo’, ‘blo’on’ ‘ABG/abege’ (anak baru gede). Gaya bahasa slang lebih sering digunakan dalam percakan keseharian remaja dibandingkan dengan gaya bahasa Indonesia yang benar. Penggunaan bahasa slang dalam gaya bahasa remaja telah menjadi gaya hidup. Remaja berusaha mengikuti trend gaya bahasa terkini untuk dapat tetap up-to-date dan “gaul”. Ketika remaja tidak dapat terhubung dengan media sosial, mereka akan merasa itu adalah akhir dari dunia pergaulan. Mereka akan me- rasa tidak mengetahui berita-berita terbaru, tidak tahu gossip terkini, dan tidak tahu bahasa-bahasa “gaul” terbaru. Dalam Wikepedia slang diartikan sebagai ragam bahasa tidak resmi, dan tidak baku yang sifatnya musiman. Jadi, peng- gunaan kata-kata slang itu pada suatu ketika akan dianggap usang dan tidak dipergunakan lagi dalam berkomunikasi. Gorys Keraf menyatakan bahwa bahasa slang memiliki kekurangan; per- tama, hanya sedikit kata-kata slang yang dapat terungkap; dan kedua, pada umumnya kata-kata slang menimbulkan ketidakse- suaian. Kesegaran kata-kata slang hanya dirasakan ketika per- tama kali dipakai. Selain munculnya kata-kata slang, pengaruh media sosial ter- hadap bahasa Indonesia juga muncul dalam cara penulisan yang dilakukan remaja di media sosial yang hampir sebagian besar menggunakan cara penulisan yang berlebihan, jauh dari tatanan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Misalnya, dalam peng- gunaan huruf kapital, penggunaan tanda baca, penulisan angka, dan sebagainya. Sebagian kalangan mengkhawatirkan remaja tidak lagi mampu membedakan bentuk-bentuk bahasa baku (for- mal) dan bentuk-bentuk bahasa yang tidak baku (non-formal). Antologi Esai dan Cerita Pendek Bengkel Bahasa dan Sastra 107

Sudah menjadi kewajiban semua kalangan, khususnya peng- ajar untuk meluruskan penggunaan bahasa Indonesia yang me- nyimpang. Kita harus mampu memberikan contoh penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Penggunaan bahasa Indo- nesia dengan baik dan benar dapat diartikan sebagai pemakaian ragam bahasa yang serasi dengan sasaran dan mengikuti kaidah yang berlaku. Pada situasi formal, penggunaan bahasa Indonesia yang benar menjadi prioritas utama, sedangkan dalam situasi non formal, penggunaan bahasa Indonesia disesuaikan dengan situasi, tempat, dan keadaan ketika kita berkomunikasi. Komu- nikasi tidak akan berjalan dengan baik apabila ekspresi diri kita tidak diterima atau tidak dipahami orang lain atau lawan bicara Dengan demikian, penggunaan kata-kata slang atau gaya bahasa slang oleh remaja dapat diterima msyarakat sepanjang penggunaannya tidak pada situasi formal dan tetap menjunjung tinggi kesantunan. Gaya bahasa slang tersebut bisa digunakan dalam media sosial atau komunikasi remaja sehari-hari dalam situasi tidak resmi. Gaya bahasa slang akan menjadi ragam ter- sendiri yang unik dan memperkaya keragaman bahasa Indo- nesia. Pembelajaran Bahasa Indonesaia melalui Facebook Facebook telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari para remaja. Mereka menciptakan kehidupan online yang berbaur de- ngan dunia offline. Seorang pengajar sebaiknya mampu meng- adaptasi metode pengajaran sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan remaja peserta didik. Penggunaan facebook di bi- dang pendidikan merupakan tantangan besar yang tidak terelak- kan bagi pengajar, dapat menjadi media belajar yang hebat bagi para peserta didik. Ada beberapa manfaat yang bisa didapatkan dari penggu- naan facebook antara lain santai, ramah, dan mengundang suasana yang mendorong partisipasi dan keterlibatan peserta didik. Face- book dapat meningkatkan kerja sama dan interaksi sosial antarpe- 108 Pelangi di Kaki Langit

serta didik. Peserta didik merasa nyaman belajar melalui facebook karena mereka akrabdengan media sosial tersebut. Peserta didik merasa terlibat untuk belajar meskipun di luar kelas. Ada beberapa hal penting atau tips yang perlu diperhatikan ketika menggunakan facebook untuk pengajaran, di antaranya pengajar harus membuat account terpisah (khusus untuk kelas) dan mengelola pengaturan privasi guna menjaga kehidupan pro- fesional dan pribadi. Pengajar dapat membentuk kelompok kelas privat untuk berkomunikasi dengan peserta didik. Pengajar memberikan instruksi yang jelas kepada peserta didik mengenai apa yang boleh dan tidak boleh di-share ke facebook. Dalam dalam penggunaan bahasa, peserta didik harus selalu diingatkan ten- tang penggunaan bahasa yang baik dan benar. Dengan demikian, kuantitas penggunaan bahasa slang di media sosial, facebook, ber- kurang. Dalam pembelajaran bahasa Indonesia ada empat ke- terampilan berbahasa yang diajarkan, yaitu membaca, menyi- mak, berbicara, dan menulis. Pembelajaran melalui facebook hanya memungkinkan keterampilan membaca dan menulis yang diba- has. Keterampilan membaca melalui facebook bisa dikaitkan dengan berbagai jenis wacana, mulai dari berita, artikel, kutipan buku ilmu pengetahuan populer, kutipan novel, cerpen, sampai drama. Dalam grup yang dibentuk perkelas, pengajar bisa me- nampilkan wacana beragam dan peserta didik dapat memberikan komentar/pendapat, ringkasan/rangkuman, atau analisis sesuai kompetensi dasar materi tersebut. Pembelajaran melalui media facebook dapat digunakan sebagai pengayaan bagi siswa. Selain dalam bentuk tulisan, pengajar dapat mem-posting me- dia yang lebih beragam, misalnya dengan menayangkan video untuk film, drama, berita, poster, dan sebagainya. Untuk pem- belajaran menulis sinopsis, pengajar dapat mem-posting sebuah film sesuai dengan kompetensi dasar pembelajaran. Kemudian peserta didik diminta mencermati film tersebut, mencatat tokoh- tokoh penting dalam film, mencatat peristiwa-peristiwa penting yang dialamai tokoh-tokoh utama, dan selanjutnya merangkum Antologi Esai dan Cerita Pendek Bengkel Bahasa dan Sastra 109

menjadi sebuah sinopsis. Hal ini tentu akan memberi suasana yang berbeda karena selama ini dalam pembelajaran menulis sinopsis, peserta didik diharuskan membaca sebuah novel. Se- mentara minat peserta didik untuk membaca kurang. Di sisi lain, akhir-akhir ini telah banyak novel Indonesia yang ditampilkan dalam bentuk film. Bukan berarti dengan media facebook pengajar tidak memotivasi peserta didik untuk membaca, hanya saja me- dia ini dapat memberikan alternatif dalam pembelajaran yang sekaligus mampu memperkaya wawasan siswa. Dalam grup facebook, peserta didik dapat memberikan tang- gapan, menampilkan jawaban/hasil kerja secara terbuka atau secara tertutup melalui pesan/inbox. Selain itu, pengajar dapat memanfaatkan media ini untuk mempuplikasikan karya peserta didik, baik berupa tulisan maupun rekaman pementasan drama, pembacaan puisi, rekaman diskusi, dan sebagainya. Dengan de- mikian, rasa bangga peserta didik terhadap hasil karya mereka dapat ditumbuhkan. Pengajar juga dapat menjadwalkan acara untuk seluruh kelas, menggunakan utilitas pesan di facebook untuk pesan absen tak terduga, jadwal ulangan harian, berbagi konten pembelajaran multimedia seperti video, foto, klip, mem-posting catatan kelas bagi peserta didik untuk review bahan ajar, membagi konten online dengan peserta didik. Simpulan Berangkat dari paparan di atas dapat diambil simpulan se- bagai berikut. Pertama, facebook sebagai media sosial di internet dapat dijadikan alat/media pembelajaran modern yang menarik, konunikatif, dan fleksibel sehingga proses pembelajaran lebih bervariasi. Kedua, dengan memanfaatkan facebook sebagai media pembelajaran, pengajar sekaligus mengajarkan pada peserta di- dik tentang etika bermedia sosial, sehingga trend penggunaan bahasa yang kasar dan tidak sopan akan dapat diminimalisir, artinya penggunaan bahasa Indonesia dengan baik dan benar akan dapat terjaga. 110 Pelangi di Kaki Langit

Daftar Pustaka Keraf, Gorys. 2008. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Efendi, Anwar (Editor). 2008. Bahasa dan Sastra dalam Berbagai Perspektif. Yogyakarta: Tiara Wacana. Kridalaksana, Harimukti. 1993. Kamus Linguistik (edisi ketiga). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Sindang, Ennoch. Manfaat media sosial dalam ranah pendidikan dan pelatihan. http://www.e-bookspdf.org/download/ jurnal-ilmiah-pendidikan.html diunduh 15 Mei 2014. http://www.setkab.go.id/artikel-11194-.html diunduh 10 mei 2014. http://sosbud.kompasiana.com/ diunduh 10 Mei 2014. Antologi Esai dan Cerita Pendek Bengkel Bahasa dan Sastra 111

BUDAYA TAWURAN DI KALANGAN PELAJAR Parti Sulasmi Guru SMP Negeri 4 Ponjong, Gunungkidul, Yogyakarta Tawuran di kalangan pelajar sudah terjadi dari tahun ke tahun, sejak dahulu hingga sekarang. Tawuran ini tidak hanya membuat terluka, bahkan sampai membuat nyawa melayang, tetapi ini tidak pernah membuat pelajar jera. Tawuran sering terjadi disebabkan dari masalah perorangan. Masalah tersebut diceritakan kepada teman-temannya sehingga teman-temannya merasa perlu membantu. Mereka tidak berpikir bantuan tersebut perlu diberikan apa tidak. Mereka hanya berpi- kir bagaimana caranya supaya yang mereka bantu itu menang, meskipun mereka menggunakan senjata yang dapat membahaya- kan dirinya. Masalah tersebut bisa berwujud masalah percintaan, yaitu merebutkan seseorang yang diinginkan. Percintaan di kalangan pelajar itu boleh, asalkan membawa ke arah yang positif, tetapi kenyataannya berbeda. Banyak para pelajar terjerumus karena masalah percintaan. Cinta mereka dianggap sebagai hal yang harus diperjuangkan meskipun dengan kekerasan. Dengan jiwa dan penuh semangat mereka berjuang untuk meraih keinginan dengan cara tawuran. Tawuran ini dipandang sebagai cara yang tepat untuk membuktikan bahwa dia yang kuat, dia yang menang dan tidak peduli meskipun caranya salah. 112 Pelangi di Kaki Langit

Kejadian itu terjadi karena jiwa pelajar kadang-kadang tidak mau dikalahkan oleh orang lain. Mereka tidak mau berpikir pan- jang yang terpenting adalah keinginannya tercapai. Kita perhati- kan ternyata tidak hanya masalah percintaan yang menyebabkan perkelahian antarpelajar terjadi. Pengaruh pergaulan dan ling- kungan bisa menyebabkan perkelahian antarpelajar. Pengaruh lingkungan adalah para pengguna minuman keras, mereka sa- ngat mudah dipengaruhi, karena keinginan mereka untuk menco- ba hal yang negatif. Seseorang telah dipengaruh oleh alkohol atau minuman ke- ras tidak dapat berpikir normal. Tingkah laku yang ditimbulkan pasti ke arah negatif. Mereka sudah tidak peduli segala hal yang dilakukan. Selama ini, sudah banyak cara dilakukan oleh pemerintah untuk menghentikan tawuran antarpelajar, salah satunya mene- rapkan pendidikan karakter. Pendidikan karakter sudah masuk di setiap perencanaan pembelajaran dan pembelajaran di setiap jenjang sekolah. Pendidikan karakter ini diharapkan dapat mengubah sikap siswa yang mengarah ke hal-hal bersifat negatif menjadi perilaku yang bersifat positif. Dalam kenyataan sikap itu belum diterapkan para pelajar. Pada hal pendidikan karakter ini memuat nilai-nilai moral tentang sikap hormat dan bertang- gung jawab. Selain, nilai moral tersebut juga terdapat nilai lain, yaitu kejujuran, keadilan, toleransi, kebijaksanaan, disiplin diri, tolong-menolong, peduli sesama, kerja sama, keberanian, dan sikap demokratis (Thomas Lickona, 2012:74). Kenyatannya nilai- nilai tersebut tidak diterapkan di luar kelas. Siswa menerapkan nilai-nilai tersebut jika bersama dengan gurunya di dalam kelas. Apabila para siswa menerapkan nilai-nilai tersebut di kehidupan luar kelas pasti mereka akan terhindar dari perbuatan tawuran. Nilai kejujuran dan toleransi seharusnya diterapkan pada siswa di setiap tingkah laku dan perbuatannya. Nilai kejujuran dan toleransi ini dapat menumbuhkan sikap hormat kepada orang Antologi Esai dan Cerita Pendek Bengkel Bahasa dan Sastra 113

lain. Sikap hormat akan menumbuhkan sikap saling menghor- mati. Sikap saling menghormati dapat membuat orang menjadi bijaksana. Misalnya, ketika seseorang dihadapkan suatu masalah untuk mengambil suatu keputusan, maka dia akan mengambil jalan yang dapat menjauhkan dari hal-hal yang membahayakan diri, baik secara fisik maupun moral. Para pelajar dapat berpikir secara bijaksana, mereka akan terhindar dari hal-hal yang dapat membahayakan dirinya. Sikap bijaksana tersebut akan mempengaruhi sikap disiplin diri. Sikap disiplin diri ini yang akan mendorong siswa untuk berbuat baik, untuk melakukan hal-hal yang positif dan meng- hindari dari tawuran antarpelajar. Sikap disiplin diri ini perlu diterapkan di kalangan remaja. Kenyataannya para remaja ba- nyak yang tidak menerapkan nilai-nilai karakter sehingga masih banyak yang melakukan tawuran. Perlu juga diterapkan nilai-nilai lain kepada para siswa, yaitu sikap tolong-menolong, sikap peduli sesama, dan kerja sama. Sikap-sikap tersebut dapat diterapkan dalam kehidupan sehari- hari dapat mengurangi perbuatan yang negatif. Para siswa me- nolong temannya, tetapi dalam hal tawuran tidak dalam hal ke- baikan. Mereka menolong teman tanpa berpikir akan akibat yang diperoleh. Mereka peduli dengan teman, tetapi kepedulian me- reka salah. Kepedulian mereka didasarkan pada rasa emosi un- tuk balas dendam. Balas dendam itulah yang membuat mereka tidak berpikir panjang. Balas dendam yang digunakan tindak kekerasan dengan menggunakan senjata tajam. Balas dendam dapat mengakibatkan kematian. Tolong-menolong, peduli sesa- ma, dan kerja sama ini sebenarnya merupakan suatu sikap yang bagus bagi para pelajar. Sikap keberanian anak-anak di masa sekarang ini sebenarnya sangat bagus hanya belum terarahkan. Anak-anak yang ikut ta- wuran ini sangat berani. Mereka tidak memikirkan akibatnya. 114 Pelangi di Kaki Langit

Sikap berani yang mereka munculkan adalah sikap berani untuk menentang. Sikap berani yang mereka tunjukkan adalah sikap berani untuk hal negatif bukan sikap berani untuk menghormati dirinya sendiri agar bertindak positif terhadap orang lain. Demokrasi merupakan cara yang dapat menjamin keamanan dari hak asasi setiap individu untuk memiliki rasa hormat, ber- sikap baik, dan bertanggung jawab kepada semua orang. Demo- krasi ini dapat menimbulkan jiwa cinta tanah air. Para pelajar ada yang keliru menerapkan demokrasi ini. Akhirnya, menim- bulkan gejolak sesama teman. Gejolak tersebut yang menimbul- kan perkelahian. Jadi, bukan jiwa cinta tanah air yang muncul, melainkan jiwa berkelahi. Padahal masa sekarang ini para pe- muda semestinya tidak menimbulkan perpecahan. Para pemuda harus saling mencintai dan mengisi kemerdekaan ini dengan hal-hal yang positif. Kita dapat melihat dari para pendidik. Para pendidik adalah seorang guru yang berjalan dengan Kode Etik Guru. Kode Etik Guru Indonesia adalah norma dan asas yang disepakati dan diterima oleh guru-guru Indonesia (Rusman, 2013:32). Guru In- donesia menyadari bahwa pendidikan adalah bidang pengabdi- an kepada Tuhan Yang Maha Esa, Bangsa dan Negara, serta kemanusiaan pada umumnya. Guru Indonesia berjiwa Pancasila dan setia pada Undang-Undang Dasar 1945. Guru juga sebagai seorang pemberi kasih sayang yang mem- perlakukan siswanya dengan hormat. Guru juga dipandang se- bagai teladan (Supriadi, 200:24). Siswa seharusnya meniru per- buatan-perbuatan guru yang dapat membawa mereka ke hal- hal positif. Dalam bahasa Jawa guru sering diistilahkan dengan digugu lan ditiru. Digugu itu artinya dipercaya. Ditiru artinya dicontoh. Jadi, guru itu ucapannnya dipercaya oleh anak didik- nya dan perbuatannya dijadikan contoh untuk anak didiknya. Guru sudah memberikan contoh yang terbaik bagi anak didik di sekolah. Antologi Esai dan Cerita Pendek Bengkel Bahasa dan Sastra 115

Pendidikan karakter di sekolah ternyata tidak mampu mem- bawa anak didik untuk bertingkah laku yang positif. Kita ingat ada beberapa sekolah yang melakukan tawuran di antaranya: SMK Setia Budi Rangkas Bitung, SMK Sasmita Jaya Pamulang, dan para pelajar SMP 41 Pasar Minggu. Kenyataan seperti ini ternyata perlu perhatian dari berbagai pihak tidak bisa dikatakan, seorang anak adalah tanggung jawab sepenuhnya sekolah. Pihak yang seharusnya ikut bertanggung jawab, yaitu pihak keluarga Secara umum orang-orang memandang bahwa keluarga merupakan sumber pendidikan moral yang paling utama bagi anak-anak. Orang tua adalah guru pertama mereka dalam pen- didikan moral. Mereka jugalah yang memberikan pengaruh pa- ling lama terhadap perkembangan moral anak-anak di sekolah, para guru/pengajar akan berubah setiap tahunnya, tetapi di luar sekolah anak-anak tentunya memiliki sedikitnya satu orang tua yang memberikan bimbingan dan membesarkan mereka selama bertahun-tahun. Hubungan antarorangtua dan anak pun dipe- nuhi dengan berbagai perbedaan khusus dalam hal emosi, yang merasakan anak-anak dicintai dan dikesampingkan (Thomas Lickona, 2012:48). Orangtua harus mengajarkan pendidikan mo- ral sejak anak kecil. Pendidikan keagamaan. Pendidikan kasih sayang akan mengajarkan nilai-nilai kebaikan dan nilai agama. Nilai agama adalah pondasi seorang anak. Jika seorang anak pondasi agamanya kuat kemungkinan kecil akan tergoyah oleh hal-hal yang negatif. Pondasi ini dapat dimuati dengan meng- ajarkan sembahyang tepat waktu sesuai dengan agamanya. Jika agamanya Islam maka orangtua harus selalu mengingatkan anak- nya untuk salat karena salat dapat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Mengingatkan anak menjalakan salat tidak perlu dengan ke- kerasan karena masa perkembangan anak seharusnya dipenuhi kegembiraan sehingga berpengaruh positif bagi jiwa anak. Kak Seto, dalam suatu kesempatan, pernah mengklaim bahwa keke- 116 Pelangi di Kaki Langit

rasan terhadap anak yang telah dilakukan orangtua mencapai angka 80%. Saya pikir, ketika anak akrab dengan kekerasan, ancaman kehilangan jatidiri, kepercayaan, dan kemandirian da- lam dirinya akan menghilang. Maka, menciptakan lingkungan yang menenteramkan anak adalah keniscayaan yang tak bisa ditawar-tawar. Sebab, tanpa situasi tenteram dan tenang, anak akan merasa tertekan sehingga berakibat pada terganggunya perkembangan jiwa anak. Alangkah baiknya, saat mengingatkan anak untuk melakukan salat/sembahyang dengan cara lemah lembut. Perilaku yang diberikan oleh orangtua kepada anak, ke- mungkinan besar akan ditiru oleh si anak. Kita mendidik dengan kekerasan, si anak juga akan berkembang dengan kekerasan. Kekerasan sangat berbahaya bagi perkembangan jiwa anak se- hingga harus kita redam. Mencaci, berkata-kata kotor, tidak so- pan, dan menjewer anak akan membentuk dan menjadikan se- orang anak yang tidak disiplin. Paling berbahaya lagi kekerasan fisik dan psikis terhadap anak akan melahirkan generasi dalam menyelesaikan sengketa dengan kekerasan. Kualitas pengasuhan orangtua merupakan dasar pengukuran yang digunakan, ketika seorang anak terlibat dalam masalah. Anak yang tidak terlibat dalam masalah adalah anak yang secara umum merasa aman dekat dengan orangtuanya. Tidak terbantahkan lagi bahwa keluarga sangatlah berpe- ngaruh terhadap jiwa seorang anak, terutama hal pendidikan moral. Dalam kenyataannnya sekarang seorang anak tidak se- lamanya hidup dengan orangtuanya. Banyak orang tua yang berpisah sehingga anak hanya ikut ibunya. Ibu di sini berperan sebagai pencari nafkah, bekerja keras di luar rumah. Pagi Ibu pergi sebelum anak berangkat ke sekolah, pulang malam setelah anak sudah tidur. Ibu hanya mengurusi pekerjaan di luar rumah. Jika keadaan seperti ini, anak kurang mendapat perhatian de- ngan siapakah anak itu di rumah? Anak yang kurang mendapat- Antologi Esai dan Cerita Pendek Bengkel Bahasa dan Sastra 117

kan perhatian kemungkinan besar anak tersebut mencari per- hatian di luar rumah. Kegiatan anak di luar rumah biasanya meng- arah ke giatan yang negatif. Anak-anak akan bertingkah laku itu dapat menimbulkan perhatian orang banyak sebagai tanda pemberontakan jiwa mereka yang di rumah tidak di perhatikan. Perhatian orang tua sangatlah penting. Berhasil dan tidaknya anak sangat bergantung pada orang tua. Orang tua yang bercerai seharusnya tetap memperhatikan si anak dari segala segi baik itu dana atau kasih sayang. Seorang bapak tidak bisa lepas begitu saja jika sudah bercerai. Seorang anak tetap perlu kasih sayang dari bapak sampai kapanpun. Dengan kasih sayang yang cukup dari ibu dan bapak yang sudah bercerai akan meminimalisasi pencarian perhatian di luar rumah. Pihak Sekolah dan Orang Tua Harus Berdampingan Pendidikan moral yang sudah diterima anak-anak disekolah harus diimbangi dengan pandidikan moral di rumah. Pendidikan itu jika tidak seimbang perlahan akan menghilang. Dengan alasan tersebut, sekolah dan keluarga haruslah seiring dalam menyikapi masalah yang muncul. Dengan adanya kerja sama antara kedua pihak, kekuatan yang sesungguhnya dapat dimunculkan untuk meningkatkan nilai moral sebagai seorang manusia dan untuk mengangkat kehidupan moral di negeri ini. Sekolah perlu melibatkan orang tua dalam pendidikan moral anak. Orang tua harus menyambut dengan baik. Salah satu pen- dekatannya adalah untuk mengajukan nilai-nilai sekolah yang diajarkan agar mendapat masukan, dan bersama-sama membuat komitmen yang tujuannya sejalan. Jadi pihak sekolah dan ke- luarga dapat berjalan seirang. Jika orang tua dan sekolah dapat berjalan seiring kemungkinan kecil si anak akan berbuat negatif. Pihak Lingkungan Tempat Tinggal Lingkungan adalah tempat belajar anak setelah sekolah. Se- orang siswa dapat berperilaku negatif karena lingkungannnya. 118 Pelangi di Kaki Langit

Lingkungan yang baik penuh dengan kasih sayang antar teman dapat melahirkan nilai-nilai yang positif. Sebaliknya jika ling- kungan yang penuh dengan kekerasan anak dapat meniru dan berbuat kekerasa sesuai dengan lingkungan yang mengajarinya. Peran orang tua sangat penting dalam membatasi pergaulan anak. Anak boleh bergaul dengan lingkungan tetapi orang tua tidak boleh lepas tangan. Orang tua berhak mencari anak-anak- nya jika sudah waktunya untuk pulang. Waktu yang berlebihan dengan teman dapat memicu perbuatan yang negatif contohnya saja tawuran yang sering terjadi. Anak adalah harapan keluarga, harapan masyarakat, bahkan harapan nusa dan bangsa. Sebagai orang tua kita harus mem- perhatikan tingkah laku, moral si anak. Orang tua wajib memberi- kan kasih sayang kepada anak bukan kekerasan. Kekerasan yang di terima anak saat kecil dapat membuat perilaku negatif untuk kedepannya. Jadi pendidikan karakter harus diberikan ke anak sejak dini dimulai dari keluarga. Pendidikan karakter dimulai dari rumah dilanjutkan di se- kolah, tetapi pendidikan karakter yang ada ternyata tak mampu membuat semua anak bertingkah laku baik. Tawuran pelajar di luar jam sekolah masih banyak terjadi. Selain dengan contoh yang baik dari berbagai pihak jika perlu anak menerima pelajaran atau berada dilingkungan sekolah tidak hanya setengah hari bahkan bisa sampai sore sehingga waktu anak dihabiskan di sekolah. Daftar Pustaka http://www.duniaesai.com/index.php?option=com_ content&view=article&id=263:pembentukan-karakter-anak- anak-dan-kekerasan&catid=44:pendidikan&Itemid=93. 16 Mei 2014 Lickona, Thomas. 2012. Mendidik untuk Membentuk Karakter. Jakarta: Bumi Aksara Antologi Esai dan Cerita Pendek Bengkel Bahasa dan Sastra 119

Rusman. 2013. Model-Model Pembelajaran. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Supriadi, Dedi. 2000. Mengangkat Citra dan Martabat Guru. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa. 120 Pelangi di Kaki Langit

KRISIS BACA DAN KETELADAN GURU, PATUTKAH DITIRU? Puji Lestari Guru SMP Negeri 1 Godean, Sleman, Yogyakarta Krisis Baca Guru Mendengar kata guru, dalam benak kita pasti muncul sosok yang patut ditiru atau dicontoh. Namun, jika guru mengalami krisis baca dan keteladanan, patutkah ditiru? Sosok guru yang demikan itu tentu saja tidak pantas untuk ditiru. Terpuruknya dunia pendidikan terkait dengan kenyataan kurangnya penge- tahuan guru akibat krisis membaca. Slogan yang menyatakan “Membaca adalah Jendela Dunia” belum berlaku di kalangan me- reka. Motivasi Baca Rendah Guru mengalami krisis baca karena motivasi baca mereka rendah. Saat ini sering dijumpai aktivitas membaca yang dilaku- kan guru hanya terbatas pada membaca materi/bahan ajar. Bah- kan, ada sebagian guru yang melakukan proses membaca ketika akan melakukan kegiatan belajar mengajar (KBM). Tentu saja, pengetahuan mereka hanya terbatas. Untuk mengatasi krisis baca ini harus dimulai dengan motivasi diri dalam membaca. Guru harus dapat menumbuhkan motivasi pada diri sendiri bahwa membaca itu banyak manfaatnya. Jangan hanya terpaku pada membaca kertas atau materi ajar karena segala informasi terkini telah tersedia di dunia maya/internet dan media elektronik lain- nya. Munculkan tekad atau sebuah keharusan bila kita ingin me- Antologi Esai dan Cerita Pendek Bengkel Bahasa dan Sastra 121

nguasai dunia hanya dapat ditempuh melalui membaca. Dengan membaca, pandangan guru menjadi terbuka terhadap hal-hal baru yang tidak kita ketahui sebelumnya dan akan berpengaruh positif bagi dirinya (Khalid dan Yeti, 2013:2). Hal lain yang dapat dilakukan untuk menumbuhkan motivasi baca guru dimulai de- ngan membaca sesuatu yang disukai sehingga membaca bukan merupakan beban pikiran, tetapi tumbuh dengan hati. Alhasil, muncullah motivasi baca guru. Kebiasaan Buruk Di kalangan guru sering muncul kebiasaan-kebiasaan buruk. Pada jam-jam istirahat mereka lebih suka ngobrol atau duduk- duduk santai di ruang guru. Guru harus memiliki tekad untuk mengubah kebiasaan buruk itu dengan hal-hal yang positif. Mi- salnya, saat waktu luang, mereka berkunjung ke perpustakaan dan melakukan aktivitas membaca. Atau guru dapat mengubah kebiasaan buruk itu dengan menjelajahi dunia maya. Teks Bacaan Kurang Menarik Penyebab lain terjadinya krisis baca guru karena bacaan di perpustakaan kurang menarik. Akibatnya, para guru malas mem- baca. Hal itu terkait dengan kesalahan pemilihan bacaan yang berat dan membosankan. Salah satu kesalahan terbesar dari se- seorang yang ingin mulai membiasakan diri untuk membaca ialah image buku dan bacaan yang sebenarnya ia buat sendiri, yaitu bacaan yang berat dan membosankan itu. Padahal, banyak sekali jenis buku dengan karakteristik yang beragam. Misalnya, dimulai dengan membaca cerita fiksi, seperti cerpen dan novel, kemudian berlanjut ke buku-buku praktis, seperti cara berpidato yang efektif. Setelah itu, berlanjut lagi ke buku-buku yang bisa memberi motivasi dan pengembangan diri. Akhirnya, mereka bisa dilanjutkan membaca buku-buku pengetahuan, politik dan sejarah. 122 Pelangi di Kaki Langit

Kurang Dapat Memanfaatkan Waktu dengan Optimal Krisis baca terjadi karena guru tidak dapat memanfaatkan waktu dengan tepat. Misalnya, guru sering melamun, duduk bengong sambil menunggu angkutan umum, atau duduk tanpa aktivitas dalam perjalanan. Akibatnya, waktu-waktu tersebut akan terbuang dengan sia-sia. Seorang guru harus dapat meman- faatkan waktunya. Pakailah waktu-waktu tersebut dengan mem- baca. Memang, guru perlu menyisihkan waktu yang tepat dan nyaman untuk membaca. Misalnya, aktivitas membaca saat jam pelajaran kosong di sekolah atau saat istirahat di sekolah. Aktivi- tas membaca juga bisa dilakukan saat perjalanan, beberapa saat sebelum tidur, dan saat di perpustakaan. Akibatnya akan muncul kebiasaan membaca di setiap ada kesempatan dan tidak lagi terjadi krisis baca. Banyak Aktivitas Lain Krisis baca di kalangan guru juga terjadi karena guru memiliki pekerjaan sampingan. Pekerjaan sampingan itu akhirnya menyita waktu. Banyak guru yang beralasan tidak bisa membaca karena ada kesibukan lain. Selain mengajar, guru-guru senantiasa disi- bukkan berbagai kegiatan, serta membantu mencari tambahan nafkah untuk keluarga. Akibatnya, tiap hari tiada waktu luang, bahkan hampir tidak ada untuk membaca. Untuk itu, guru harus dapat memprioritaskan profesi utamanya, yang lain hanya pe- kerjaan tambahan. Seorang guru harus menyisakan waktu untuk membaca agar pengetahuannya bertambah. Krisis Keteladanan Guru Saat ini terjadi krisis keteladanan guru. Banyak guru yang tidak dapat dijadikan teladan. Sebenarnya, sosok guru dalam dunia pendidikan bukan sembarang pekerjaan, melainkan profesi atau pekerjaan yang pelakunya memerlukan berbagai kelebihan, baik terkait dengan kepribadian, akhlak, spiritual, pengetahuan, dan keterampilan. Peran guru bukan sekadar mentransfer Antologi Esai dan Cerita Pendek Bengkel Bahasa dan Sastra 123

pelajaran kepada peserta didik, tetapi lebih dari itu. Guru ber- tanggung jawab membentuk karakter peserta didik sehingga menjadi generasi yang cerdas, saleh, dan terampil dalam men- jalani kehidupan berkaitan dengan pembelajaran yang akan di- lakukan. Guru mempunyai kekuatan yang luar biasa. Begitulah pro- fesi ini melekat pada diri seorang guru sehingga apapun yang dikatakan guru pasti akan digugu ‘dianut’ dan ditiru ‘dicontoh’. Hal ini tidak terlepas dari tiga ajaran Ki Hajar Dewantara. Se- orang guru itu harus bisa mewujudkan semboyan Ing Ngarso Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa,dan Tut Wuri Handayani. Ing Ngarsa Sung Tuladha, artinya seorang guru harus mampu menjadi contoh bagi siswanya, baik sikap maupun pola pikirnya. Peserta didik akan melakukan apa yang dicontohkan oleh guru- nya. Bila guru memberikan teladan yang baik, anak akan baik pula perilakunya. Mengingat keteladanan guru sangat diharapkan bagi peserta didik, seorang guru harus benar-benar mampu menempatkan diri pada porsi yang benar. Porsi yang benar yang dimaksud- kanya itu bukan berarti bahwa guru harus membatasi komuni- kasinya dengan siswa atau dengan sesama guru, tetapi yang penting bagaimana seorang guru tetap secara intensif berkomu- nikasi dengan seluruh warga sekolah, khususnya anak didik. Komunikasi itu tetap berada pada alur dan batas-batas yang jelas. Berkaitan dengan topik tulisan ini, contoh keteladanan guru dalam hal membaca, akan diikuti peserta didik. Untuk itu, lang- kah awal yang dapat ditempuh untuk menciptakan dunia baca ini melalui keteladanan membaca dari sosok guru dengan porsi yang tepat. Ing Madya Mangun Karsa, artinya bila guru berada di antara peserta didik, guru tersebut harus mampu memberikan inspirasi dan motivasi sehinggga mereka diharapkan bisa lebih maju da- lam belajar. Melalui berkomunikasi dengan seluruh peserta di- 124 Pelangi di Kaki Langit

dik, guru dapat menggali potensi yang dimiliki masing-masing peserta didik. Sebab, setiap peserta didik memiliki kemampuan dan latar belakang yang berbeda-beda, dan akan diketahui jika ada komunikasi yang baik antara guru dan peserta didik. Jika guru selalu memberikan semangat dan dorongan untuk membaca kepada peserta didik, mereka merasa diperhatikan dan terdorong untuk selalu maju dan berkembang. Pada akhir- nya, potensi yang mereka miliki akan berkembang dan terca- pailah prestasinya. Tut Wuri Handayani, artinya apabila peserta didik sudah paham, jelas dan, pandai dalam banyak hal, guru tinggal meman- tau dan memberikan penghargaan. Guru dapat memberikan peng- hargaan pada peserta didik terhadap tugas-tugas yang diberikan melalui pembelajaran membaca. Tentu saja, hal itu dilakukan me- lalui pembimbingan, pendampingan, dan arahan yang jelas. Di mata peserta didik, guru merupakan panutan, pemberi inspirasi, dan pembimbing, dan pendamping yang baik. Untuk itu, guru harus mampu memberikan keteladanan dalam segala hal, terutama masalah membaca. Guru harus mampu mening- katkan minat baca sehingga tidak lagi terjadi krisis baca. Krisis baca pada dirinya harus dihilangkan dan diganti dengan dunia baca. Guru harus mampu memberikan keteladanan membaca ini sehingga tercipta sosok guru yang baik. Jika sudah tercipta sosok guru yang baik, pembelajaran mem- baca akan mudah dilakukan. Guru senang membaca, peserta didik pun gemar membaca. Tidak ada lagi guru dan siswa yang kurang pengetahuan. Mereka selalu haus akan pengetahuan dan dunia pun ingin selalu berada dalam genggamannya. Dengan pemahaman serta cara tersebut, guru merasakan manfaat membaca. Membaca sebagai sarana pertolongan terpen- ting dalam menghadapi segala persoalan sehari-hari. Tak ada lagi krisis baca di kalangan guru. Guru akan menjadi sosok yang patut ditiru. Dengan begitu, terangkatlah mutu pendidikan di Indonesia. Antologi Esai dan Cerita Pendek Bengkel Bahasa dan Sastra 125

Daftar Pustaka Haras, Kholid A. dan Yeti Mulyati. 2013. “Pembelajaran Membaca”. Disajikan pada Lokakarya Membaca, Menulis, dan Apresiasi Sastra (MMAS) Angkatan I, tanggal 21 s.d 28 Oktober 2013 dan Angkatan II, tanggal 28 Oktober s.d. 2 November 2013. Kadarsih, Liani. 2012. Power Full In Educating (Jurus-jurus Dahsyat Menjadi Guru Super). Yogyakarta : Araska. Soeratman, Darsiti, 1985. Ki Hajar Dewantara. Jakarta: Proyek Terpadu, Depdikbud. 126 Pelangi di Kaki Langit

KARYA SASTRA SEBAGAI MEDIA PENDIDIKAN KARAKTER SISWA Sri Rukun Daswati Guru SMP Muhammadiyah 3 Yogyakarta Pendahuluan Akhir-akhir ini dunia pendidikan di Indonesia tidak henti- hentinya dilanda berbagai peristiwa negatif, mulai dari kebo- coran soal ujian, mencontek, tawuran antarpelajar, pelecehan seksual terhadap anak-anak, bahkan sampai dengan penganiaya- an seorang siswa sekolah dasar terhadap adik kelas hingga me- ninggal. Semua itu menandakan semakin terdegradasinya moral para pelaku, menandakan semakin hilangnya nilai-nilai karakter yang selama ini diyakini kebenarannya. Fakta-fakta tersebut menjadikan dunia pendidikan tampak terpuruk, seolah-olah du- nia pendidikan tidak mampu mendidik dan menghasilkan lu- lusan yang bermoral. Dalam konteks kependidikan mungkin hal-hal tersebut da- pat mengarah pada simpulan bahwa pendidikan di negeri ini telah gagal membentuk watak atau karakter yang sehat dan po- sitif. Banyak perilaku pelajar yang tidak dapat dijadikan contoh bahwa mereka adalah kelompok terpelajar yang mestinya berpe- rilaku baik yang dapat dijadikan contoh. Lembaga pendidikan mulai dari tingkat paling bawah sampai yang tinggi mungkin saja dicap sebagai tidak mampu menghasilkan lulusan yang ber- karakter. Para guru juga banyak yang disalahkan sebagai tidak mampu mendidik dan membimbing para siswa untuk menjadi Antologi Esai dan Cerita Pendek Bengkel Bahasa dan Sastra 127

manusia bermoral. Pendidikan dituduh hanya mengajarkan ilmu pengetahuan dan mengabaikan pada pendidikan karakter. Secara umum salah satu permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia adalah lunturnya moral dan identitas kebangsaan pa- da generasi muda. Nilai-nilai afektif pendidikan sedikit demi sedikit mulai hilang dalam diri generasi muda, generasi lulusan sekolah menengah, antara lain sebagai akibat atau dampak glo- balisasi,pemodernan, dan teknologi. Kini anak-anak sekolah de- ngan mudah dapat mengakses berbagai hal yang kurang mendi- dik melalui HP-nya.Kini semua anak sekolah, misalnya anak SMP, dapat dipastikan telah membawa HP. HP memang banyak fungsi positifnya, namun dampak negatif juga tidak kalah banyak.Oleh karena itu, penanaman nilai-nilai afektif, moral, pendidikan ka- rakter, sejakusia dini merupakan usaha yang amat baik untuk membangun manusia berkarakter. Proses pemberdayaan nilai-nilai afektif haruslah dilakukan sejak anak-anak masih dalam usia dini, usia sekolah, antara lain melalui pendidikan di sekolah. Proses pemberdayaan nilai-nilai afektif tersebut dapat terlaksana dengan baik apabila dilakukan di satuan pendidikan, keluarga, dan masyarakat. Pada tingkat satuan pendidikan gerakan pemberdayaan nilai-nilai afektif dila- kukan terintegrasi dalam proses kegiatan belajar mengajar, pe- laksanaan pembelajaran pada setiap mata pelajaran, baik di da- lam kelas maupun di luar kelas melalui pembiasaan pada kehi- dupan sehari-hari. Pendidikan karakter tidak hanya disampaikan melalui pendidikan agama, keluarga, dan masyarakat. Akan te- tapi dapat dilakukan melalui pembelajaran sastra di sekolah. Substansi Pendidikan Karakter Tujuan pendidikan karakter adalah sebagai pembentukan karakter, yaitukarakter yang mulia.Usaha pendidikan dan pem- bentukan karakter tersebut tidak dapat dipisahkan dari pendi- dikan dan penanaman moral atau nilai-nilai kepada peserta di- 128 Pelangi di Kaki Langit

dik. Pendidikan karakter merupakan sebuah proses panjang, yaitu proses pembelajaran untuk menanamkan nilai-nilai luhur, budi pekerti, akhlak mulia yang berakar pada ajaran agama, adat-istiadat dan nilai-nilai keindonesiaan dalam rangka me- ngembangkan kepribadian peserta didik supaya menjadi manu- sia yang bermatabat, menjadi warga bangsa yang berkarakter sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa dan agama (Sardiman, 2009:76). Jadi, pendidikan karakter haruslah memfokuskan pada pendidikan nilai-nilai luhur. Tujuan pendidikan karakter adalah membimbing, membantu, dan menjadikan peserta didik menjadi orang yang bermartabat, orang yang berkarakter, orang yang berperilaku baik, dan bukan sekadar menguasai ilmu pengeta- huan. Ilmu pengetahuan tetap penting, tetapi apa artinya ilmu pengetahuan di tangan orang yang tidak berkarakter. Karakter berkaitan dengan sifat yang melekat pada diri se- seorang. Karakter sering disamakan dengan watak dan kepriba- dian. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai pendidikan yang menanamkan, memupuk, dan mengembangkan berbagai sifat dan perilaku atau berbagai jenis nilai karakter luhur. Para siswa yang berasal dari berbagai tingkatan itu memiliki dan da- pat menerapkan nilai-nilai karakter luhur tersebut dalam sikap, watak, dan perilaku kehidupan, baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat, maupun negara. Kementerian Pendidikan Nasional (2010:3-4) mengartikan “karakter” sebagai “watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian sese- orang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak”. Selain itu, Kemendiknas juga mengungkapkan bahwa dengan memberikan pendidikan budaya dan karakter bangsa terhadap peserta didik berarti telah me- ngembangkan nilai-nilai Pancasila melalui pendidikan hati, otak, dan fisik. Akhirnya, dapat dirumuskan bahwa karakter adalah tabiat, watak, kepribadian atau sifat yang melekat pada diri seseorang. Antologi Esai dan Cerita Pendek Bengkel Bahasa dan Sastra 129

Pendidikan karakter merupakan usaha aktif untuk memberi pe- mahaman tentang hal yang baik dan salah, mencintai hal yang baik, dan mampu melaksanakan hal yang baik sehingga akan membentuk kebiasaan baik. Pendidikan karakter identik dengan nilai kebajikan yang diketahui, dihayati, dan diamalkan. Pendi- dikan sesungguhnya bertujuan untuk memanusiakan manusia. Ketika seorang anak manusia lahir ke dunia, ia dibekali dengan berbagai potensi yang harus diaktualisasikan. Proses aktualisasi potensi secara sengaja merupakan proses pendidikan. Proses ter- sebut berlangsung sampai seorang anak mencapai usia dewasa. Seorang anak dapat dipandang telah dewasa bila ia telah memi- liki kemampuan dan kecakapan untuk bertindak secara mandiri dan bebas dalam kehidupannya. Hal yang kurang sama dapat ditujukan pada pendidikan karakter. Kementerian Pendidikan Nasional (2010: 9-10) menggariskan adanya 18 buah nilai yang perlu mendapat perhatian dalam pe- ngembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa. Mulai ta- hun ajaran 2011, seluruh tingkat pendidikan di Indonesia harus menyisipkan pendidikan karakter tersebut dalam proses pendi- dikannya. Semua warga sekolah, yaitu pimpinan sekolah, guru, siswa, pegawai administrasi, bahkan penjaga sekolah, pengelola warung sekolah, orang tua siswa, dan masyarakat haruslah be- kerja secara kolaboratif dalam melaksanakan program pendi- dikan karakter. Tempat pelaksanaan pendidikan karakter baik di dalam kelas maupun di luar kelas dalam berbagai jenis ke- giatan termasuk kegiatan di rumah atau di lingkungan masyara- kat sebaiknya melibatkan partisipasi orang tua siswa. Adapun ke-18 nilai-nilai pendidikan karakter bangsa yang dimaksud adalah sebagai berikut (lihat Mundilarto, 2013): 1. Religius: sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang akan dilakukan; memiliki keberanian un- tuk melakukan hal yang benar; dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain. 130 Pelangi di Kaki Langit

2. Jujur: perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan di- rinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam per- kataan, tindakan, dan pekerjaan. Bersikap jujur: tidak me- nipu, tidak main curang, atau tidak mencuri; dapat diandal- kan; apa yang dikatakan membangun reputasi baik; setia pada keluarga, teman, dan negara. 3. Toleransi: sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya. Memperlakukan orang lain dengan hormat; mengikuti aturan; memiliki toleransi dan menerima perbedaan;memiliki sopan santun;tutur bahasa baik; menjaga perasaan orang lain; tidak mengancam, memu- kul atau melukai siapapun; bersikap damai terhadap kema- rahan, penghinaan, dan perselisihan. 4. Disiplin: tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan. 5. Kerja keras: perilaku yang menunjukkan upaya sungguh- sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya. 6. Kreatif: berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki. 7. Mandiri: sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas. 8. Demokratis: cara berpikir, bersikap, dan bertindak yang me- nilai sama hak dan kewajiban dirinya dengan orang lain. Bertindak sesuai aturan; mau bergiliran dan berbagi; berpi- kiran terbuka; mendengarkan orang lain; tidak mengambil keuntungan dari orang lain; tidak menyalahkan orang lain secara sembarangan; memperlakukan semua orang secara fair. 9. Rasa ingin tahu: sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar. 10. Semangat Kebangsaan: cara berpikir, bertindak, dan berwa- wasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara Antologi Esai dan Cerita Pendek Bengkel Bahasa dan Sastra 131

di atas kepentingan diri dan kelompoknya. Menjalankan upaya-upaya untuk memperbaiki kondisi masyarakat; be- kerja sama terlibat dalam urusan sosial atau masyarakat; menjadi tetangga yang baik;patuh terhadap hukum dan per- aturan; menghormati otoritas; melindungi lingkungan; bersikap relawan. 11. Cinta tanah air: cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, eko- nomi, dan politik bangsa. 12. Menghargai prestasi: sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi ma- syarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain. 13. Bersahabat/komunikatif: tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain. 14. Cinta damai: sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebab- kan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya. 15. Gemar membaca: kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya. 16. Peduli lingkungan: sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki ke- rusakan alam yang sudah terjadi. 17. Peduli sosial: sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuh- kan. Bertindak secara baik, penuh kasih dan memperlihatkan sikap peduli dan rasa syukur; mengampuni orang lain; mem- bantu orang yang membutuhkan. 18. Tanggung jawab: sikap dan perilaku seseorang untuk melak- sanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia laku- 132 Pelangi di Kaki Langit

kan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial, dan budaya), negara, dan Tuhan Yang Maha Esa. Melakukan apa yang seharusnya dilakukan;memiliki rencana ke depan; tekun: terus mencoba; selalu melakukan yang ter- baik; pengendalian diri, disiplin; berpikir sebelum bertindak- mempertimbangkan konsekuensi; bertanggung jawab terha- dap kata-kata, tindakan, dan sikap; memberi contoh yang baik bagi orang lain. Nilai-nilai pendidikan karakter di atas diharapkan diintegrasikan ke semua mata pelajaran di berba- gai jenjang pendidikan di sekolah (juga: SMP), termasuk mata pelajaran Bahasa Indonesia. Dalam pembelajaran bahasa Indonesia termasuk di dalamnya adalah pembelajaran ber- sastra. Lewat pembelajaran bersastra itulah salah satu usaha pembentukan karakter peserta didik diharapkan dapat dila- kukan secara lebih intensif. Peran Sastra dalam Pembentukan Karakter Larlen (2013) menegaskan bahwa peran bahasa dan sastra terhadap pendidikan karakter bangsa sangat tinggi. Hal itu dika- renakan pengarang menulis menggunakan bahasa. Alat komuni- kasi dalam dunia pendidikan yang digunakan oleh setiap orang juga menggunakan media bahasa. Oleh karena itu, bahasa dan sastra sangat berperan terhadap pendidikan karakter. Bahasa dan sastra mempunyai kaitan yang erat dalam rangka memben- tuk kepribadian dan karakter masyarakat Indonesia. Fenomena degradasi moral dan meningkatnya kekerasan semakin mengindikasikan bahwa pendidikan karakter di Indo- nesia semakin penting diperjuangkan aktualisasinya dan tidak boleh hanya sekedar menjadi tren yang hilang timbul. Patut di- duga salah satu sebab degradasi moral tersebut karena pendi- dikan karakter belum dilaksanakan secara komprehensif. Untuk itu, penting bagi para pendidik melaksanakan pendidikan karak- ter menyeluruhsecara komprehensif tersebut agar bangsa Indo- Antologi Esai dan Cerita Pendek Bengkel Bahasa dan Sastra 133


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook