“Maaf ya Mbak Ais, aku tadi memegang tangan Mbak….” Cetus Adi tersipu malu dibarengi senyuman serta tatapan mata penuh makna. “O, ya Mas, terima kasih atas pertolongan Mas tadi,” jawab Ais malu-malu dan balasan senyuman penuh makna. *** Sekitar pukul 19.30 Ais mulai menyelesaikan tugas sastra, menganalisis novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Namun angan Ais masih terbayang kejadian sore tadi, masih terasa genggaman tangan Adi yang hangat penuh rasa. Pulpen yang dipegang setengah jam yang lalu tak mau menggoreskan sepatah kata pun. Novel yang ada di tangan Ais seolah berubah wujud sebagai sosok Adi. Hati Ais berbunga-bunga, sesekali tersenyum sendiri. Tiba-tiba pintu rumah kos Ais diketuk dari luar. “Kulonuwun Mbak Ais….” Terdengar suara Mbah Mamat dan Adi hampir bersamaan. “Siapa ya?” “Aku Mbah Mamat bersama Nak Adi….” “Ada apa ya Mbah Mamat dan Mas Adi malam-malam da- tang ke sini?” tanya Ais sambil membuka pintu. “Kami barusan kenduren di dekat sini. Kami mendapat dua dus makanan. Nah, ini yang satu dus untuk Mbak Ais, “ jelas Adi agak malu. “Kok repot-repot sih Mas? Tapi terima kasih ya…,” jawab Ais dengan hati berbunga-bunga. Setelah menyerahkan kardus berisi makanan, Adi pamit, bersalaman dan menggenggam erat jemari Ais yang lentik dan mulus. Perasaan bahagia menyelimuti hati mereka berdua. Se- telah Adi dan Mbah Mamat menghilang dari pandangan mata, Ais kembali mengerjakan tugas analisis novel. Namun ia tidak bias berkonsentrasi, angannya tidak bisa lepas dari Adi. “Ah Mas Adi, saat dia menggenggam jemariku seperti ada getaran yang mampu menenggelamkan anganku…., bagaikan 184 Pelangi di Kaki Langit
getaran tsunami yang tak seorang pun mampu menolaknya. An- dai Mas Adi ingin menjadikan aku pacarnya dan istrinya…. Ma- salahnya dia anak pertama dan adiknya ada tiga orang. Apakah aku mampu membantu membiayai ketiga adiknya, belum lagi kalau aku nantinya punya anak, “ batin Ais dalam hati. “Tetapi, Mas Adi sudah nyambi kerja, mempunyai penghasilan. Sedang- kan aku setelah lulus D2 langsung ditempatkan di SMP yang sudah ditentukan pemerintah. Jadi sebenarnya tidak ada masalah kalau aku harus menikah dengan Mas Adi. Aku harus optimis memilih Mas Adi karena Mas Adi adalah tipe seorang pemuda yang tekun, rajin beribadah, dan pandai membagi waktu. Di tengah-tengah kesibukan kuliahnya, ia aktif berorganisasi. Kare- na ketekunannya, kesabarannya, aku pun selalu terkenang dan rindu padanya.” Sesungguhnya Adi pun sangat mengharapkan dan me- nyayangi Ais. Setiap kali berangkat bekerja, Adi selalu melewati tempat kos Ais agar bias bertemu dan menyapa atau memberikan senyuman. Dan akhirnya, Adi memberanikan diri mengatakan rasa hati yang sesungguhnya, ingin menjadikan Ais sebagai pen- dampingnya. Akhirnya jalinan asmara mereka sampai ke jenjang pernikahan. Antologi Esai dan Cerita Pendek Bengkel Bahasa dan Sastra 185
BERHARAP PELANGI Siti Zukhanah SMP N 5 Banguntapan, Bantul Terdengar tepuk tangan dari semua yang menghadiri rapat. “Selamat untuk presentasi Anda hari ini, Anda bisa mempre- sentasikannya dengan sukses dan ide yang Anda presentasikan dapat diterima perusahaan….” Kata–kata itu masih terngiang di kepalaku. Hari itu adalah hari yang paling membahagiakan. Akhirnya aku mendapatkan jabatan. Aku harus memberi tahu nenek berita bagus ini. Sepertinya hidupku benar-benar sem- purna dan aku bersyukur atas semua kebahagiaan. Karirku me- mang sangat baik. Aku ingin membahagiakan nenekku yang telah membiayai pendidikan selama ini. Saat makan malam bersama, kuceritakan kejadian itu kepada nenek. Wajahnya berseri bahagia. Aku senang akhirnya dapat membahagiakan nenek. Hanya kepada neneklah aku curahkan semua keluh kesah selama ini. “Alhamdulillah. Allah telah mengabulkan salah satu doa nenek. Tinggal satu doa nenek yang belum dikabulkan,” kata Nenek tiba-tiba. “Apa itu Nek?” Aku mendekat dengan hati berdebar. Aku takut Nenek mengucapkan salah satu kata yang paling aku benci. Nenek tersenyum sambil memegang tanganku. “Eva, kamu satu-satunya cucu nenek. Kamu cantik, pintar, teman-temanmu banyak. Sekarang kau sudah berhasil. Kamu sudah mapan. Kamu sudah mempunyai laki-laki pilihan. Nenek rasa, Janu sangat cocok untukmu. Dia sudah mapan dan sayang 186 Pelangi di Kaki Langit
banget sama kamu. Sudah tidak ada alasan lagi bagi kamu untuk tidak mengabulkan keinginan nenek. Usiamu sudah 30 tahun, Eva “ Hatiku bergetar setiap mendengar pertanyaan itu. Aku ta- kut. Aku benci. Aku tidak mau mendengar kata menikah, suami, atau menjadi istri. Entah mengapa. Aku sendiri tidak tahu. Dan hari ini dengan begitu memelas dan penuh pengharapan, ne- nekku menginginkan aku menikah. Aku tak punya kata-kata lagi yang bisa kurangkai untuk menghibur hati nenekku, satu- satunya orang yang ingin aku buat bahagia dalam hidupku. Aku hanya merasakan sakit yang teramat sangat dalam dadaku, da- lam hatiku, kelu. Aku dekap nenekku erat-erat sambil berbisik, “Maafkan aku, Nek. Aku belum bisa menjawab permintaan Ne- nek.” Dan seperti biasa, nenekku selalu mencoba mengembang- kan senyumnya. Sekedar menghibur dan menenteramkan hatiku. Meskipun sebenarnya aku tahu, Nenek sedih mendengar ja- wabanku. Sekali lagi kupandang tatapan mata nenekku yang sendu, sebelum akhirnya kutinggalkan nenek sendirian dengan berbagai pertanyaan yang tiada jawaban. *** Hari Sabtu… Matahari sudah sudah condong ke barat. Mulai terlihat semburat merah di kaki lagit. Kutengok jam di ruang kantorku, pukul 16.30. Meski hari Sabtu, aku tetap masuk ke kantor karena akhir bulan seperti ini harus mengecek banyak laporan. Harus beres. Aku tidak mau perusahaan rekanan ke- cewa. Tiba-tiba alarm HP berbunyi. Memang aku sengaja mem- program alarm di HP-ku karena sore ini ada janjian makan ma- lam bersama Janu, sahabatku, atau lebih tepatnya pacarku. Laki- laki yang memberi warna tersendiri hidupku. Aku tergesa berkemas-kemas dan langsung pulang. Kantor sudah sepi. Hanya Pak Satpam dan seorang teman yang sempat aku temui. Mobil melaju cukup kencang karena aku tak mau terlambat untuk acara makan malam. Makan malam yang sudah lama direncanakan sebenarnya. Tapi karena kesibukanku dan Antologi Esai dan Cerita Pendek Bengkel Bahasa dan Sastra 187
kesibukan Janu, membuat rencana itu selalu tertunda. Sudah terbayang wajah Janu yang selalu terlihat bersungguh-sungguh. Sedikit bicara, dan ia teramat setia. Janu adalah laki-laki ketiga yang sempat singgah di hatiku, setelah Panji dan Fikri. Panji akhirnya memutuskan hubungan setelah dua kali aku beralasan menolak lamarannya. Fikri juga begitu, karena aku selalu meng- hindar untuk berhubungan lebih serius dan dia selalu dikejar- kejar oleh Rima yang sudah lama naksir, akhirnya Fikri pun me- ninggalkan aku dan menikah dengan Rima, sahabatku. Perpi- sahan dengan keduanya sebenarnya cukup menyakitkan. Dan aku teramat merasa bersalah kepada mereka berdua. Tapi semua segera terobati karena waktu itu aku masih mengejar obsesi un- tuk belajar dan bekerja. Aku ingin jadi wanita mandiri yang tidak menggantungkan hidup kepada siapa pun. Aku tidak ingin lemah di hadapan siapa pun agar aku tak seperti ibuku yang lembut dan setia pada ayahku, tetapi justru diperlakukan sewe- nang-wenang. *** Alun-Alun Kidul tempat favorit kami. Bulan purnama begitu indah. Bulat, bundar kemerahan. Desiran angin malam menerpa tubuh kami berdua. Kurapatkan duduk ke dekat Janu. Sambil menikmati wedang ronde dan jagung bakar, aku dan Janu banyak cerita ngalor-ngidul tentang beberapa hal menarik yang terjadi selama hampir tiga minggu kami tidak bertemu. Suasana hiruk- pikuk Alun-alun Kidul tak membuat kami terganggu. Kelap-kelip lampu odong-odong dan mobil hias serta suara parau beberapa pengamen mewarnai pertemuan kami. Seorang pengamen ber- jongkok dan langsung memetik gitar mengalunkan lagu “Kucari Jalan Terbaik” yang biasa dinyanyikan penyanyi melankolis Yuni Shara. Biasanya aku dan Janu merasa terganggu jika ada penga- men mendekat, segera memberikan uang agar cepat pergi. Tapi entah, hipnotis apa yang membuat kami begitu menikmati nya- nyian pengamen satu ini. Mungkin karena suaranya merdu atau lagunya mengena di hati kami. Kami membiarkan sampai pe- 188 Pelangi di Kaki Langit
ngamen mengakhiri lagunya dengan syair kucari dan selalu kucari jalan terbaik, agar tiada penyesalan dan air mata... “Kok melamun? Lagunya sudah selesai,” kata Janu sambil menyentuh hidungku dengan telunjuknya. Aku buru-buru mengambil uang di saku jaket. Uang lima ribuan kuberikan pada pengamen. “Makasih...makasih,” kata si pengamen sambil ngeloyor pergi. Janu semakin merapatkan tubuhnya. Kami menjadi sangat dekat. Bibirnya sering menyetuh telinga dan daguku. Dipegang- nya jemariku erat. “Eva, Sudah dua tahun kita bersama. Ibuku menginginkan agar aku segera menikah. Aku merasa kaulah wanita yang mem- buatku nyaman dan bahagia. Aku ingin kau menjadi ratu dalam rumah tanggaku. Aku ingin kau menjadi ibu dari anak-anakku nanti. Kita akan segera menikah.” Menikah? Tersentak aku mendengarnya. Tubuhku bergetar. Aku tak menyangka Janu akan melamarku. Aku hanya bisa diam terpaku. Apa yang harus aku katakan, aku tidak mau membuat Janu kecewa, tapi aku juga tidak bisa, aku tidak siap dengan apa yang dikatakan dan diinginkan Janu. *** Aku hanya bisa menangis di kamar sambil meraba apa yang Janu pikirkan tentang aku setelah kejadian itu. Semua wanita pasti senang jika dilamar oleh seseorang yang dicintai, tapi aku tidak merasa senang dengan lamaran ini. Wajah Janu yang ke- cewa atas jawabanku juga terus membayangi pikiranku. Sejak kejadian itu sebenarnya Janu masih berharap aku dapat menerima lamarannya dengan menunjukkan perhatian dan kasih sayangnya. Tapi entahlah, aku dapat menerima perhatian manis darinya tapi aku tidak bisa menerima lamarannya. Bahkan sudah enam bulan sejak kejadian itu, Janu masih berusaha melamarku kembali. Namun sebanyak Janu melamarku, maka sebanyak itu pula aku menolak lamarannya. *** Antologi Esai dan Cerita Pendek Bengkel Bahasa dan Sastra 189
Suatu malam aku menerima sebuah undangan pernikahan berwarna hijau muda yang indah. Betapa terkejutnya saat kulihat nama mempelai laki-lakinya. Dalam undangan tersebut tertulis mempelai laki-laki adalah Janu Rahardian. Hingga tak kusadari undangan terjatuh dari genggamam tangan. Tak terasa air mata menetes membasahi pipi. Sepertinya aku tak bisa menerima kejadian ini, aku tidak rela Janu bersanding dengan perempuan lain. Aku mencintai Janu, aku tidak bisa menerima hal ini. Se- harusnya namakulah yang tertera dalam undangan. Tapi semua hanya sebuah mimpi manis yang tak akan pernah terjadi. Aku menangis sesenggukan sepanjang malam, sampai akhir- nya tertidur. Dalam tidur, aku bermimpi melihat seorang ayah pulang malam-malam bersama perempuan. Aku juga melihat se- orang ibu yang segera menutup pintu kamarnya dan mendekap anak gadisnya agar tak terbangun dan melihat tingkah ayahnya. Kejadian itu memang sudah biasa terjadi di rumah besar berlantai dua dan letaknya agak jauh dari tetangga. Rumah besar yang hanya dihuni oleh seorang ibu, ayah dan seorang gadis kecil berusia lima tahun. Seorang ayah yang sering pulang membawa perempuan dan mabuk. Selalu memarahi istrinya, apa yang la- kukan istrinya selalu dianggap salah. Entah apa yang terjadi, malam itu tiba-tiba gadis kecil terba- ngun dari tidurnya karena mendengar suara berisik dari kamar sebelah. Ibunya tak ada lagi di sampingnya. Ia berjalan berjingkat mendekati pintu. Dari balik pintu, gadis kecil itu melihat ibunya sudah berada di kamar sebelah yang digunakan untuk tidur ayahnya bersama perempuan lain. “Dasar laki-laki setan, perempuan setan. Kalian memang be- nar-benar tidak punya perasaan,” terdengar suara ibunya ber- getar. “Perempuan kurang ajar. Berani kamu masuk,” bentak ayah- nya tak kalah sengit sambil berdiri menjambak rambut ibunya. Ia sangat marah. Tapi sepertinya si ibu sudah tak peduli lagi dengan apa yang akan dilakukan ayah padanya. 190 Pelangi di Kaki Langit
“Akan kulaporkan semua perbuatan pada atasanmu agar kau dipecat!” bentak si ibu sambil merangsek mencoba masuk kamar dan menyeret perempuan yang tidur dengan suaminya. Ayahnya semakin berang. Wajahnya seperti setan yang digam- barkan oleh ustad saat ia ngaji di masjid. Matanya melotot, wa- jahnya memerah, giginya menyeringai gemeretak, tangannya mengepal. Dengan sekuat tenaga ia mendorong tubuh ibunya keluar kamar hingga tejatuh. “Kalau kau berani melakukannya, akan kubunuh kau,” an- cam ayahnya. “Bunuh saja aku, kalau kau berani,” tantang ibunya. Gadis kecil itu tak mengerti, mengapa ibunya yang biasanya pendiam, pasrah, dan tak pernah marah, malam itu menjadi begitu berani. Mendengar jawaban ibunya, ayahnya menampar hingga ibunya berdarah. Melihat hal itu perempuan ayahnya ikut ber- gerak mendekati ibu. Mereka berdua seperti anjing liar kela- paran. Mencabik-cabik ibuku dengan segala kekuatan mereka. Mereka sudah kesetanan. Ayahnya menjambak, perempuan itu menendang. Dengan segala kekuatannya, ibunya berusaha me- nyerang mereka berdua. Akhirnya ia tak berdaya, berlumur da- rah di ruang tengah. Melihat hal itu gadis kecil di balik pintu berlari sambil mena- ngis mendekati ibunya. “Ibu...ibu….,” tapi tiba-tiba tangan yang kuat menghenti- kannya dan membawanya kembali masuk ke kamar sambil mengucapkan kata-kata ancaman. “Kamu tidak boleh keluar kamar, ayo tidur!!” kata laki-laki itu sambil mengunci pintu kamar si gadis kecil. Gadis itu keta- kutan di dalam kamar. Menangis...menangis. Terakhir masih didengarnya suara ayah dan perempuan itu menyeret ibunya ke lantai atas sebelum akhirnya ia tertidur bersama mimpi buruk. Pagi harinya ketika terbangun, ia sudah ditunggui neneknya di tepi tempat tidur. Nenek mengelus rambutnya. Orang-orang berkerumun di rumah. Kata nenek, ibunya terjatuh dari lantai Antologi Esai dan Cerita Pendek Bengkel Bahasa dan Sastra 191
dua dan meninggal dunia. Gadis kecil itu hanya bisa menangis di pelukan neneknya tanpa sepatah kata pun terucap. Aku terbangun dari mimpi. Dengan napas terengah-engah dan air mata bercucuran, aku merapat ke sudut tempat tidur. Ya, itu bukan mimpi. Itu peristiwa yang sungguh-sungguh aku alami dua puluh lima tahun lalu. Gadis kecil itu adalah aku, Eva Tamaela. *** Aku tak akan bisa menghadiri pernikahan Janu karena aku tidak bisa menahan perasaan menyakitkan dari hatiku. Aku ha- rus bisa menata hati kembali dan berusaha melupakan pria yang sangat kucintai. Ini bukan kesalahan Janu. Dia berhak menikah dengan perempuan lain. Dia telah memilih jalan terbaik untuk hidupnya. Seperti penggalan syair lagu yang pernah kami de- ngarkan bersama di Alun-alun Kidul. Semua salahku, saat itu tak mau menerima lamaran Janu. Suara hujan membungkam tangisanku yang tak kunjung henti. Aku tak mau nenek melihat keadaanku. Satu-satunya ha- rapanku adalah melihat pelangi muncul dan memperlihatkan warnanya yang indah setelah hujan berhenti. Tapi seindah apa pun warna pelangi, dia tak bisa mengobati perasaanku yang luluh lantak…. 192 Pelangi di Kaki Langit
BUKU NIKAH Susilowati SMPN 1 Playen, Gunungkidul Darti adalah seorang janda muda yang sedang mencari kebahagiaan hidup. Malam ini entah sudah yang ke berapa kali- nya Darti berkencan dengan Sarno. Diambilnya bedak, gincu, lalu berdandan di depan cermin. Tak peduli simboknya yang sedang duduk di kursi rotan memelototinya. “Kapan kamu akhiri semua ini Darti?” tanya Jiyem pada anaknya. “Nanti kalau sudah waktunya berakhir,” jawab Darti sesuka hati. Darti lalu berkemas-kemas karena Sarno sudah menunggu di halte. Di tempat itulah mereka setiap hari bertemu untuk me- nuju tempat yang mereka inginkan. “Aku berangkat Mbok,” Darti berpamitan. Jiyem mengiyakan saja dengan terpaksa. Tak jelas tujuan, tapi hal itu hampir setiap hari dilakukan anak semata wayangnya. Darti merasa, Sarnolah laki-laki yang bisa membahagiakan, bu- kan Darno yang menurut catatan di buku nikah sebagai suami- nya. “Kita makan malam dulu ya Dik, setelah itu ambil dagang- an,” kata Sarno pada Darti. “Boleh, aku sih terserah kamu saja Mas,” Darti mengiyakan. Begitulah hari-hari Darti bersama Sarno dalam dua tahun terakhir. Darti selalu pergi pada malam hari dan sesekali mene- mani Sarno mengambil dagangan di tempat grosir pakaian batik Antologi Esai dan Cerita Pendek Bengkel Bahasa dan Sastra 193
untuk dijual di pasar dekat tempat tinggal Sarno. Darti baru pulang menjelang pagi. Darti tak peduli apa kata tetangga. Ia merasa dibahagiakan Sarno. “Nduk, Simbok risi dengan gunjingan tetangga,” keluh Simbok kepada Darti. “Peduli apa dengan suara tetangga Mbok, memangnya me- reka bisa membahagiakan aku, memangnya mereka bisa men- cukupi kebutuhanku? Enggak kan Mbok?” “Cobalah peduli dengan perasaanku Mbok, aku dilahirkan tanpa kasih sayang seorang bapak. Sekarang aku besar dan meni- kah juga tanpa kasih sayang seorang suami. Woalah Mbok... Mbok, nasib buruk saja kok Simbok wariskan to Mbok!” sesal Darti. Darti memang seperti mewarisi nasib Simboknya. Nasib yang dialami Darti tak jauh berbeda dengan kisah hidup Jiyem, simboknya yang hamil karena perbuatan majikannya. Walau akhirnya dinikahi, tetapi Jiyem tak mendapatkan apa pun kecuali statusnya sebagai istri kedua. “Aku ini perempuan bersuami, tapi mana suamiku Mbok? Mana laki-laki bernama Darno yang menurut Simbok punya bebet, bibit, dan bobot yang baik itu, mana Mbok? Dia meninggalkan aku begitu saja. Kecuali buku nikah, tak ada sesuatu yang diting- galkan untukku. Apakah ini yang dimaksud pernikahan Mbok?” Darti terus bertanya tentang dirinya. Jiyem tak mampu menjawab pertanyaan Darti yang bertubi- tubi itu. Justru penyesalan yang menghampiri perasaannya. Mengapa dulu ia mengiyakan saja ketika Darno datang melamar Darti. Waktu itu ia berpikir kalau Darto, orang kepercayaan salah seorang juragan batik di Solo itu, sangat terpikat dengan kecantikan Darti. Simbok pun punya keyakinan bahwa Darto akan membahagiakan Darti. Darti sedang berdiri di depan cermin. Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu. Darti tak beranjak dari tempatnya berdiri. Akhirnya simboknyalah tergopoh-gopoh membuka pintu. 194 Pelangi di Kaki Langit
“Nduk...!!” Jiyem berteriak memanggil Darti ketika tahu siapa yang berada di depan pintu. “Suamimu pulang Nduk,” lanjut Jiyem seperti tak percaya. Darti kaget sesaat, “Angin apa yang membawamu ke sini?” “Aku kan suamimu Darti, masa nggak boleh pulang?” “Suami? Ooh... kamu masih merasa menjadi suamiku? Apa buktinya kalau kamu suamiku?” “Lho, kita kan punya buku nikah, di dalam buku itu tertulis namaku dan namamu sebagai suami-istri,” jelas Darno. “Itu tidak bisa kamu pungkiri, Darti,” lanjut Darno. “Lalu apa lagi yang kamu ketahui tentang buku nikah itu?” tanya Darti kesal. Belum lagi pertanyaan Darti memperoleh jawaban, dari luar terdengar deru motor yang tidak asing bagi Darti dan Sim- boknya. Sarno menjemput Darti karena sudah setengah jam di- tunggu, Darti belum tampak di tempat biasa mereka bertemu. “Siapa laki-laki itu Darti?” tanya Darno “Kamu tidak perlu tahu siapa dia.” “Aku harus tahu siapa dia, karena aku suamimu,” Darno mengulangi kata-katanya. “Bagaimanapun keadaanku, kamu adalah istriku, dan seorang istri harus menjaga kehormatannya maupun kehormatan suaminya.” “Bagus, kata-katamu telah membuka jalanku untuk meminta pertanggungjawabanmu. Kalau aku istrimu dan kamu suamiku, lalu apa yang bisa kamu berikan kepadaku selama delapan tahun ini?” Darti menggebrak meja dengan kemarahan meluap-luap. Setelah dua bulan menikah, kamu pergi dengan perempuan sialan itu,” Darti kian meluapkan emosinya. “Apa pun yang terjadi, kita sudah terikat dengan tali perka- winan dan buku nikah sebagai buktinya,” ujar Darto tidak mau kalah. “Itu lagi yang kamu sebut, memangnya aku bisa apa dengan buku nikah, minta uang, tidur dengan buku nikah, atau pergi kondangan dengan buku nikah, begitu? Ketahuilah manusia Antologi Esai dan Cerita Pendek Bengkel Bahasa dan Sastra 195
tolol, justru buku nikah telah memenjarakan aku selama delapan tahun. Buku nikah membatasi ruang gerakku, dan buku nikah itu membelenggu hidupku!” bentak Darti seakan mendapat tem- pat melampiaskan semua kekesalan dan kekecewaan selama de- lapan tahun ia lewati. “Kamu jangan main-main dengan buku nikah, Darno, buku nikah tidak hanya mengesahkan hubungan antara laki-laki dan perempuan, tetapi di dalamnya memuat kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi bagi siapa pun yang memilikinya, termasuk manusia busuk seperti kamu!” lanjut Darti menceramahi Darno. Mendengar pertengkaran yang semakin menjadi, Sarno langsung masuk. Jiyem tidak sanggup berkata apa-apa. Hanya airmatanya yang mengungkapkan kesedihan. Langkah Sarno menuju ruang tamu langsung disambut perlakuan kasar Darno. Darno tiba-tiba menarik baju Sarno. “Apa yang kamu berikan pada istriku hingga ia berani mela- wanku seperti ini?” tanya Darno. “Apa kamu ingin jadi pahla- wan?” lanjut Darno. “Aku hanya memberikan yang Darti butuhkan,” jawab Sarno sambil menahan emosi. “Darti membutuhkan kebahagiaan, dan itu ia temukan pada diriku, apa aku salah?” “Jelas, kamu jelas salah karena Darti itu istriku….” “Ooh, dia istrimu? Aku baru tahu kalau Darti istrimu,” kata Sarno meledek Darno. “Yang aku tahu, Darti adalah seorang wanita yang butuh pendamping hidup yang bisa membahagiakan dia lahir dan batin, dan itu adalah aku,” lanjut Sarno sambil melepaskan tangan Darno yang mencengkeram bajunya. “Pergi kau dari sini dan jangan pernah mengganggu istriku lagi!” bentak Darno sambil mendorong tubuh Sarno ke luar rumah. “Mestinya kamu yang harus minggat dari sini karena kamu adalah suami yang tidak becus!” Melihat pertengkaran yang semakin sengit, Darti melompat jendela dan meninggalkan rumah. 196 Pelangi di Kaki Langit
“Darti... mau ke mana kamu Nduk...?” tanya Simbok ketika melihat kelebat bayangan anaknya. Menyadari kekasihnya pergi, Sarno lalu keluar rumah dan mengendarai motor dengan cepat. Darno bergegas menuju jen- dela tempat Darti melompat. Namun, ia urung melompat karena di bawah jendela ada api. Darno terperanjat ketika matanya meli- hat sesuatu yang terbakar dalam api. Tampak samar-samar buku nikah berbaur dengan kepulan asap hitam. Maka urung pula rencana Darno memboyong Darti dan simboknya ke rumah baru. Rumah yang dibangunnya bersama istri keduanya, yang tak lain adalah bosnya, yang telah meninggal lima bulan lalu sebelum rumah itu selesai dibangun. Antologi Esai dan Cerita Pendek Bengkel Bahasa dan Sastra 197
BURUNG Suprapto SMP 2 Wonosari, Gunungkidul Handoko berjalan pelan menggunakan tongkatnya sebagai penyangga. Diiringi Parjo, salah satu asistennya, ia berkeling taman kota beberapa kali. Biasanya jam enam hingga jam tujuh pagi. Setiap hari tanpa kecuali. Juga hari itu ketika tiba-tiba se- buah benda jatuh di atas rambut kepalanya yang menipis dan memutih. Ia menghentikan langkahnya dan memandang Parjo yang hanya nyengir. “Ma .. ma .. maaf, Pak!” kata Parjo terbata sambil menunjuk ke atas kepala tuannya. Tergopoh-gopoh dicarinya tisu di tas yang dibawanya. Ketakutan tampak di wajahnya. Ia tak ingin pagi ini sarapan kemarahan tuannya mengganjal perut yang be- nar-benar masih kosong. Tangan Handoko bergerak meraba rambut lalu menengadah. Tetapi bukannya marah, Handoko malah menarik benda dari atas kepala dengan tisu dan mem- bauinya. “Hh..hh...he he he ...,” tersendat suaranya mengagetkan Parjo yang melongo keheranan. Tanpa peduli, Handoko berjalan menuju kursi taman di bawah sebuah pohon besar sambil masih dibawanya kotoran dalam tisu. Dengan duduk bersandar, di- lepaskan pandangannya menuju atas pohon tempat asal jatuhnya kotoran ke kepalanya. Kepalanya memutar mengelilingi seluruh dahan, ranting, dan daun pepohonan sambil tersenyum. Matanya berbinar. Parjo bertambah bingung. 198 Pelangi di Kaki Langit
“Jo, kau lihat burung-burung itu?” Handoko memandang jauh ke atas pohon dan menudingkan tongkatnya ke sana. Parjo hanya mengangguk. Takut, heran, bercampur senang. Sejak ber- tahun-tahun tuannya sakit, ia yang merawat. Tak pernah Handoko berkata banyak. Ia sangat mudah marah dan tersing- gung. Tapi tidak pagi ini. “Siapa yang salah jika kotoran burung jatuh di kepala manusia?” tanyanya. “Ya pasti burungnya, Pak!” jawab Parjo. “Hah..ha...ha..ha....!” Handoko tertawa keras mengagetkan Parjo. “Maaf, Pak. Mengapa Bapak tertawa? Apa ada yang lucu?” tanya Parjo terheran-heran. “Ha...ha...ha...ha....!” tertawa Handoko tambah panjang. Tubuhnya bahkan sampai terbungkuk-bungkuk bertumpu pada tongkatnya. Setelah beberapa lama, tawa berganti dengan senyap. Perlahan ia mendongakkan kepala. Wajahnya memerah dan matanya berkaca-kaca. Dari sudutnya meleleh air mata. Pandangannya menerawang jauh ke masa silam. Dari arah luar kampung tampak cahaya lampu mobil me- nyibak gelap malam dan rimbunya pepohonan. Jalan tak beraspal dan berkubang di mana-mana menyebabkan cahaya itu bak per- mainan lampu pada pesta malam para hartawan. Orang-orang yang berjaga di gardu ronda pinggir kampung sempat meng- hentikan obrolan ketika cahaya lampu makin mendekat. Masing- masing terbengong. Cahaya itu tidak asing tapi juga tidak biasa datang pada tengah malam saat orang sudah terlelap. Pikiran curiga berkecamuk dalam benak masing-masing menyebabkan mereka spontan siaga. Berdiri dengan pandang mata waspada. “Selamat malam, Pak!” sapa pengemudi mobil seraya menghentikan mobilnya. “Selamat malam, Pak! Mau kemana?” tanya seorang warga. “Ke rumah Pak Sastra,” jawab laki-laki si pengemudi. “Oh, ya! Silakan.” Antologi Esai dan Cerita Pendek Bengkel Bahasa dan Sastra 199
Malam itu terasa panjang bagi Handoko, pengemudi mobil itu. Kedatangannya ke kampung kelahiran yang sudah diting- galkannya bertahun-tahun adalah untuk menengok keadaan ayahnya yang sakit-sakitan. Kabar terakhir yang diterimanya menyebutkan bahwa ayahnya dalam keadaan kritis. Terpaksa ditinggalkan pekerjaannya. Biasanya, ia tak begitu menghiraukan berita apa pun, termasuk tentang ayahnya, agar ia tetap bisa bekerja di kota dan mendapatkan banyak uang. Sesampainya di rumah, didapatinya ayahnya tergolek lemah. Matanya terpejam. Tak bergerak. Hanya tarikan napasnya yang terasa lirih jika didekati. Beberapa kerabat dan tetangga me- nunggui sambil membacakan doa. Handoko terdiam duduk di samping ayahnya. Air mukanya datar. Antara sedih dan lelah bercampur, lama-kelamaan membuatnya terlelap dengan kepala tergeletak di kasur ayahnya. Tak ada orang yang berani mem- bangunkan hingga pagi hari menjelang ketika orang-orang ter- jaga dan mulai bekerja. “Waduh! Siapa yang mengotori mobilku?” tanya Handoko setengah berteriak saat didapati mobilnya kotor. “Dan baunya! Hei .... siapa yang usil mengotori mobilku dengan tinja….!” teriaknya sambil masuk ke rumah. Mukanya merah tanda marah. Tapi tak ada orang di dalam rumah yang ditemuinya. “Pergi ke mana kalian?” teriaknya lagi. Kali ini langkahnya menuju ke kamar ayahnya. Di sana tak ditemui siapa-siapa ke- cuali ayahnya yang tergolek. Sejenak ia berdiri di samping tempat tidur ayahnya, dilihatnya mata ayahnya membuka. “Nah, akhirnya ayah terbangun juga. Syukurlah! Ayah tahu siapa yang mengotori mobilku dengan tinja?” tanya Handoko mencecar tanpa peduli kondisi ayahnya. Ayahnya tak menjawab. Dari bibirnya hanya tersungging senyum. Setelah itu, tarikan napas panjang membusungkan dada yang kerempeng. Setitik air mata keluar dari sudut mata. Dipan- dangnya Handoko. Mulutnya komat-kamit. 200 Pelangi di Kaki Langit
“Ayah mau berkata apa? Ayah tahu siapa yang mengotori mobilku dengan tinja? Katakan saja! Biar kuhajar dia!” kata Handoko tanpa dengan suara keras. Dalam diam, ayahnya hanya menggerak-gerakkan kepala ke kanan-ke kiri. Hari beranjak siang. Sambil memendam amarah, Handoko menunggui ayahnya dimandikan, tepatnya dipel dengan kain basah oleh saudaranya. “Paklik tahu, siapa yang berani kurang ajar mengotori mo- bilku dengan tinja?” tanya Handoko beberapa saat kemudian. “Wah, kamu ini ada-ada saja, Mas Han! Orang kampung baik-baik. Nggak ada yang suka usil, apalagi pake tinja. Ba- rangkali Mas Handoko salah lihat.” “Waduh! Paklik malah menyalahkan saya. Jelas-jelas itu bau tinja, bentuknya saja belepotan. Kalau nggak percaya lihat sendiri di luar!” sergah Handoko sengit. “Ha ha ha ha ha ........!” “Lho, Paklik kok malah tertawa. Memangnya ada yang lucu?” tanya Handoko heran. Kedua orang itu akhirnya terdiam. Hanya sorot mata Paklik yang lembut lurus mengarah pada ayah Handoko, lalu berpindah menatap Handoko. “Kotoran itu bukan tinja, tapi tahi burung,” kata Paklik. “Mengapa bisa ada di mobilku?” tanya Handoko cepat. “Kamu tidak tahu, setelah sekian tahun kamu pergi mening- galkan kampung ini, ayahmu menanam banyak pohon hingga akhirnya tumbuh besar dan tinggi. Rupanya itu disuka para bu- rung. Jadilah mereka bersarang di sana. Nah, semalam kamu datang dan parkir mobil tepat di bawah pohon tempat bersarang burung-burung itu,” jelas Paklik. “Kalau begitu akan kusuruh orang menebang pohon-pohon itu sekarang juga!” kata Handoko berang. “Jangan, Han! Itu adalah warisan ayahmu untuk kampung kita. Kalau ditebang pohon-pohon itu, burung-burung akan pergi dan kampung kita jadi panas, gersang, dan sepi.” Antologi Esai dan Cerita Pendek Bengkel Bahasa dan Sastra 201
“Ahhh! Apa peduliku dengan kampung ini,” kata Handoko sambil keluar dari kamar ayahnya menuju gudang di belakang rumah. “Apa yang akan kau lakukan, Han?” tanya Paklik mengejar di belakangnya. “Akan kutebang pohon-pohon itu!” suara Handoko lantang menandai amarahnya memuncak. “Jangan, Han. Kasihan burung-burung itu. Lagipula, kami nyaman dengan pohon dan burung-burung itu.” Tanpa peduli suara Paklik dan orang-orang yang kemudian datang setelah mendengar suara teriakan yang keras, Handoko mulai memanjat pohon di depan rumahnya. Amarahnya me- nguatkan tenaganya memanjat pohon-pohon. Satu per satu ran- ting dan dahan berjatuhan. Langit menghitam. Burung-burung yang biasanya bertengger dan bernyanyi riang, seolah tersentak dan meronta. Mereka beterbangan ke sana ke mari, memutar- mutar di langit sambil menciap. Anak-anak burung yang belum siap terbang, jatuh bersama ranting dahan yang bertumbangan. Handoko yang marah merajah rimbun daun hijau tempat bersarang para burung. Ia tak peduli meskipun teriakan Paklik memanggil-manggil namanya. Hingga ketika langit jingga mulai memerah di ufuk barat, Handoko terduduk lelah di sisa batang yang masih basah. Kepalanya menunduk. Keringat mengalir di sekujur tubuhnya yang tak berbaju. “Ayah memanggilmu,” kata Paklik. Handoko terdiam. Matanya garang, menatap lurus ke de- pan. Sekali lagi Pakliknya berkata sambil tangannya menyentuh pundak Handoko yang basah. “Ayah memanggilmu!” suaranya sedikit keras. Handoko beringsut dan beranjak masuk rumah diikuti Paklik. Ditemuinya ayahnya yang masih terbaring lemah. “Apa yang kau lakukan dengan pohon dan burung-burung itu?” tanya ayah lirih. Meskipun wajahnya tampak makin pucat, tapi sorot matanya tajam menusuk hati Handoko. Handoko 202 Pelangi di Kaki Langit
terdiam. Tangannya gemetar menggengam jemari ayahnya. Hening. “Pohon dan burung-burung itu adalah harta paling berharga yang aku punya. Rencananya akan kuwariskan untukmu. Tapi mengapa sekarang kau rusak?” suara ayahnya terbata-bata. “Aku kecewa, Han! Aku kecewa, anakku!” Handoko tak berdaya menghadapi kata-kata ayahnya. Ia tertunduk lemas. Ketika akhirnya ruangan menjadi senyap, ter- sadarlah ia bahwa ayahnya telah tiada. Tangisnya pecah tak kalah seru dengan gemuruh kepak sayap dan ciap burung-burung di angkasa yang kehilangan sarang dan sanak saudara. Beberapa hari Handoko tinggal di kampung halamannya. Tak sepatah kata pun terucap. Rasa bersalah sepeninggal ayahnya seolah tak bisa dihilangkan. Seperti juga lekatnya kotoran burung di mobilnya yang menempel begitu kuat. Tak ada orang yang berani menghilangkan kotoran itu dari mobil Handoko, terma- suk Handoko sendiri. Setiap mobil akan dibersihkan, ia teringat akan kata-kata ayahnya. Makin lama rasa itu mendera pikiran, makin keras ia menentangnya. Ia pun mengukuhkan tekad untuk menebus kesalahan. Kembalilah ia ke kota dan bekerja sekuat tenaga. Pekerjaan di bidang jasa perumahan dan tata kota sangat mendukung cita- citanya. Impian mewujudkan warisan ayahnya membuatnya terlena dari kehidupan pribadi. Ketika semua telah terwujud, kini dirinya baranjak tua dan sendiri. “Hik hik hik ...!” “Maaf, Pak. Mengapa menangis?” tanya Parjo lagi-lagi heran. “Mengapa harus burung yang disalahkan, Jo?” tanya Handoko sambil sesenggukan. “Ya, karena burung membuat lingkungan jadi kotor, bau, dan menjijikkan,” jelas Parjo. Handoko terdiam. Matanya menerawang ke atas pohon. “Jo, lihatlah burung-burung itu. Pohon memberi burung ma- kanan dan tempat bersarang. Sementara burung membersihkan Antologi Esai dan Cerita Pendek Bengkel Bahasa dan Sastra 203
ulat dari pohon supaya bisa tetap tumbuh dan hijau daunnya. Burung juga yang menyemai benih buah hingga bisa tumbuh di mana-mana. Jadi tak ada yang perlu disalahkan. Juga manusia.” Sampai di sini kata-kata kata-kata Handoko tercekat. Matanya berkaca-kaca. Angannya tertuju pada ayahnya. Saat usia ayahnya makin tua dan sakit-sakitan, Handoko masih sibuk bekerja di kota. Beruntung ayahnya seorang yang tegar. Kesendiriannya justru bermanfaat untuk lingkungan. Ditanamnya pohon-pohon hingga tumbuh besar dan menjadi sarang burung. Rumah pun ramai oleh kicau burung yang hinggap dan terbang bebas di antara pepohonan. “Hhh ..,” tak jelas suara yang keluar dari mulut Handoko. Senyumnya hampa. Meskipun ia telah berhasil membangun gedung-gedung tinggi dan mewah, lengkap dengan pepohonan rindang serta sangkar burungnya, tak dirasainya nikmat kerja- nya. Ada yang hilang saat ia melakukan semua. Tapi itu telah berlalu. “Jo!” “Siap, Pak!” jawab Parjo. Sejenak kemudian ia melihat tuan- nya menarik kertas tisu dan kotoran ke depan hidungnya. Ke- palanya menggeleng-geleng. “Hah..ha ha ha ha.....” tawa Handoko keras. Melihat Tuannya tertawa lepas, Parjo pun ikut tertawa. Mereka tak mempedulikan orang yang lalu lalang di taman kota. Handoko meraih tubuh Parjo dan memeluknya. “Terima kasih, Jo. Kau telah setia membantuku. Biarlah pohon dan burung itu kuwariskan kepadamu. Jangan marah jika suatu saat kotoran burung jatuh di atas kepalamu. Karena itulah harmoni cinta manusia dengan alam sekitarnya.” 204 Pelangi di Kaki Langit
BAPAKKU SANG KORUPTOR Rahmat SMP Muhammadiyah 4, Yogyakarta Namanya Sri, dia adalah anak satu satunya dari keluarga Pak Joko dan Bunda Mira. Sri merupakan siswi sebuah sekolah swasta, ia siswiterpandai se-provinsi. Sri seorang gadis berparas cantik dan memiliki rambut yang bagus, merupakan gadis se- derhana dan ramah kepada siapa pun. Itu berkat didikan dari orang tuanya. Ayah Sri, Pak Joko, merupakan seorang bendahara di sebuah kantor pemerintahan daerah. Pak Joko mendapatkan pekerjaan karena dikenal sebagai orang yang jujur dan ulet dalam bekerja. Dia juga merupakan orang terpandang di daerah tempat tinggalnya karena banyak berjasa bagi kepentingan masyarakat. Pak Joko menampung pemuda-pemudi untuk dipekerjakan di bidang batik tempat usaha sampingan Bunda Mira. Maka dari itu, semua warga sekitar tempat tinggal keluarga Pak Joko me- rasa sangat tertolong dan berhutang budi kepada keluarga Sri. Semua warga selalu bersikap amah ketika bertemu keluarga Sri. Akan teapi, itu waktu dulu ketika sesuatubelum terjadi. Pagi itu, entah kenapa langit terlihat mendung dan suara- suara gemuruh petir bersautan. Sri beranjak pulang dari sekolah karena para guru ada pertemuan di Dinas Pendidikan. Jalanan kecil yang biasa menjadi rute Sri pulang terasa berbeda suasana- nya. Tak ada senyuman lembut dari warga sekitar saat Sri me- lintasi jalanan kecil tersebut. Semua terasa aneh bagi Sri, ada yang janggal. Ketika melihat Sri, beberapa orang langsung mem- buang muka. Kemudian ada yang bergumam, “Awas anak ko- Antologi Esai dan Cerita Pendek Bengkel Bahasa dan Sastra 205
ruptor lewat.... “ Tapi Sri tidak menggagas benar apa yang dika- takan beberapa orang itu. Sri mencoba menyapa warga,”Nuwun sewu Pak....,Bu.....” Tak ada yang menjawab sapaannya. Sri mulai cemas karena si- tuasi ini tak pernah terjadi sebelumnya. Semua orang selalu ramah kepadanya. “Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Sri dalam hati. Sesampainya dirumah, keadaan juga terasa asing. Biasanya rumah ramai oleh para pekerja dan para relawan bencana alam. Tapi saat ini tidak.Rumah begitu sunyi, tak seorangpun me- nyambut kedatangan Sri. Gadis itu kian dijalari perasaan cemas, hatinya terus diberondong pertanyaan, apa yang sebenarnya terjadi? Sri langsung masuk ke setiap ruang rumahnya, mencari kedua orang tuanya. Akhirnya dia bertemu dengan ibunya yang sedang termenung di sudut kamar tidur utama. “Bu, apa yang terjadi dengan keluarga kita?Aku heran se- panjang perjalanan pulang sekolah,banyak orang bergerombol berbisik-bisik dan memandangku penuh curiga....” Ruang hening. Ibunya tak segera menjawab. “Ya begitu- lah....semua karena bapakmu!” jelas Mira dengan nada kesal. “Memang kenapa dengan Bapak?” tanya Sri. Ibunya menjelaskan kejadian pagi tadi. Ayah Sri, Pak Joko, digelandang polisi dari rumah karena dituduh melakukan korup- si. Sri terdiam mendengar penjelasan ibunya. Matanya berkaca- kaca. “Oh Tuhan kuatkan hati keluarga hamba ini.....” ujar Sri seraya memeluk ibunya. Sri merasa semua yang menimpa ayahnya hanya rekayasa belaka. Sri tahu betul sifat dan kebia- saan ayahnya. Sri menduga ada yang mau melengserkan Pak Joko dari jabatan di kantornya. Sri dan ibunya mencoba tabah menerima kejadian. Kabar buruk itu sangat cepat menyebar kesuluruh warga. Satu persatu warga mulai menghindar dari keluarga Sri. Sering tedengar omongan warga yang kurang mengenakan keluarga Sri, tetapi 206 Pelangi di Kaki Langit
Sri dan Bunda Mira menghadapinya dengan senyuman lembut. Sri memiliki keyakinan bahwa ayahnya tidak bersalah. Kabar buruk itu akhirnya sampai ke sekolah Sri. Teman- teman Sri satu per satu menjauh. Sri menjadi bahan olok-olokan di sekolah. Sempat Sri merasa tidak tahan dengan perlakuan teman-temannya, akan tetapi ia hadapi dengan lapang dada. Bu Siska, guru bahasa Inggris,memahami keadaan Sri, mencoba memberikan semangat kepada Sri untuk terus fokus belajar. Setelah menunggu cukup lama, kasus Pak Joko pun menemui titik akhir. “Selamat siang, Bu Mira,” sapa petugas. “Siang,” jawab Bu Mira dengan perasaan galau penuh tanya. “Maaf Bu, kami mengantar Bapak karena kasusnya sudah selesai,” jelas Petugas. “Inggih Pak, nuwun. Alhamdulillah, Allah Maha Besar,” ucap Bu Mira dengan penuh haru karena dapat berkumpul kembali dengan suaminya. Pak Joko tidak terbukti bersalah melakukan tindakan ko- rupsi. Ia kembali ke rumah saat dibebaskan. Akan tetapi warga sekitar rumah keluarga Sri terlanjur memiliki prasangka buruk kepada Sri walaupun pada kenyataannya Pak Joko merupakan orang yang jujur dan amanah. Rumah Sri masih terlihat sunyi. Masih terlalu sulit bagi warga menerima kembali Pak Joko yang dituduh sebagai koruptor walaupun tidak terbukti kebenaran- nya. Setelah Sri menyelesaikanSMA, ia pun melanjutkan ke per- guruan tinggi di kota lain. Keluarga Sri ikut pindah ke kota tem- pat Sri kuliah. Keluarga Sri memulai hidup baru. Antologi Esai dan Cerita Pendek Bengkel Bahasa dan Sastra 207
MONSTER Muji Astuti SMP Negeri 13 Yogyakarta “Pa, makan dulu. Keburu dingin…,” kata Rara basa-basi. Dino diam. Menatap lekat gambar di dinding. “Dah tiga hari Papa enggak makan,” ujar Rara lagi sok per- hatian sambil memberanikan diri mendekat. “Hem…” sahut Dino dingin tanpa melepaskan tatapan dari gambar di dinding. “Kuambilkan, Pa?” berusaha membujuk karena belas kasihan saja. Ia berusaha memegang pundak suaminya ragu-ragu. “Plak!” tepisan keras Dino mementahkan tangan Rara me- nyentuh pundak orang yang dulu begitu dicintainya. “Akh!” pekik Rara tertahan di tenggorokan. Berusaha me- nahan kesabaranagar tak sampai batasnya. “Dasar laki-laki rendah, tak tahu diri. Makan itu gambar!” ucapnya dalam hati. Ya, hanya dalam hati ia bisa leluasa meng- umbar umpatan. Rara bergerak menjauhi suaminya, takut bogem mentah kembali mampir di wajahnya yang kian melayu. “Bug!” sebuah sepatu menghajar punggungnya yang tipis. “Mau kemana kamu?” renggutan kasar di rambutnya me- maksa ia balik kanan. “Aduh! Belum puas juga kamu rupanya, aku mau pergi itu bukan urusanmu, apa pedulimu?” sahut Rara kehilangan kesa- baran. “Sekali lagi melangkah, tamat riwayatmu!” ancam Dino dengan pistol di tangan. 208 Pelangi di Kaki Langit
Bergidik juga Rara. Ia hempaskan tubuh ke kursi dengan putus asa. Matanya menghitung jari kaki yang kram menahan takut. “Alhamdulillah, masih sepuluh!” katanya dalam hati meng- hibur diri. “Sudah berapa kali kubilang, jangan ganggu aku kalau aku sedang di ruangan ini!” bentak suaminya. “Ma...ma...maaf...,” jawab Rara ketakutan. “Keluar sana, jauh-jauh!” lanjutnya dingin. Kembali matanya ke gambar di dinding. “I...i...iya!” jawab Rara berlalu. “Tunggu!” cegah Dino. “Bawa gambar itu ke sini!” lanjutnya. Reflek Rara membelokkan langkah ke dinding. Berat hatinya memenuhi permintaan suaminya, seberat pigura di tangannya. Perlahan diangkatnya pigura jati antik berukuran 50x50cm. Hawa panas menyengat di dadanya. Ada dendam kesumat berkilat di matanya ketika menatap gambar di pigura.Inilah sumber dari segala kekacauan hidupnya. Sejak usia belasan hingga sekarang, gambar itu meneror hidupnya tak bersisa. Hingga suatu ketika seorang pemuda gagah, perlente, dan pintar datang meminang- nya. Tak perlu banyak syarat, orang tua menikahkan dia dengan pemuda itu. Hidupnya berbalik 180 derajat. Ia jadi istri konglo- merat, terhormat. Ia serahkan cinta dan hidupnya pada laki- laki itu. Penuh. “Akhirnya datang juga malaikat penyelamat,” bisiknya kala itu. Roda kehidupan berputar. Kadang di atas, kadang di bawah. Kadang sudah di bawah masih lagi terperosok ke kubangan. Ia kembali di bawah. Terperosok ke lumpur, dalam. Yah, gambar itu. Hatinya terbakar menyaksikan betapa lembutnya tatapan mata suaminya ke gambar itu. Ia begitu cemburu dengan cahaya mata Dino saat menatap gambar. Tiba-tiba dadanya bergolak hebat. Diangkatnya tinggi-tinggi pigura antik dan berat itu. Sedetik kemudian… Antologi Esai dan Cerita Pendek Bengkel Bahasa dan Sastra 209
“Prang!” kacadan pigura hancur berkeping-keping. Tapi gambar itu... .Gambar itu meledeknya habis-habisan. Bagai kese- tanan, Rara melesat ke kamar. Tangannya menghunus gunting dan siap memotong-motong apa pun di hadapannya. Juga gam- bar yang kini dalam genggaman. “Apa maksudmu?” bentak suaminya seraya mendorong tubuh Rara. Beruntung Rara tak jatuh. Reflek Rara menoleh kearah suaminya. Matanya memerah. Gambar di tangan dilemparkan sembarang. Entah jatuh ke mana. Kini mata gunting mengarah ke arah suaminya. Dino terpera- ngah. Tak pernah ia melihat tatapan Rara ganas seperti itu. Tak tampak kelembutan sedikit pun di matanya. Rara yang berada di hadapannya kini bukan Rara yang ia kenal. Rara menjelma menjadi makhluk sangat mengerikan di mata Dino. “Apa yang sedang terjadi pada istriku?” tanyanya dalam hati. Dino tak berbuat apa-apa. Jangankan untuk melawan, se- kadar menghindar saja tak terpikirkan. Dino seolah terbius. Mata gunting tepat di depan bola matanya. Tiba-tiba.... “Sret!” gunting di tangan Rara sudah berpindah ke sosok di gambar itu. “Dino, siapa perempuan sinting ini? Berani-beraninya ku- rang ajar padamu,” kata sosok di gambar dengan suara berat berwibawa. Dino dan Rara terkejut. Tiba-tiba saja sosok dalam gambar muncul di hadapan keduanya. “Eyang!” sahut Dino begitu kesadarannya kembali. Segera ia bersimpuh di kedua kaki sesosok tubuh yang dipanggilnya Eyang. Ia memeluk kuat-kuat kedua kaki Eyang. “Siapa dia?” ulang sosok itu singkat tak sabar. “Istri saya, Eyang,” jawab Dino pelan. “Ha! Apa katamu? Istrimu? Sekurang ajar itu?” mata sosok dalam gambar melotot sambil melangkah mundur. Dino hampir terjerembab. Eyangnya meski sudah tua masih cukup perkasa melepaskan pegangan Dino di kaki. Pandangan mata Eyang terhujam ke arah Rara. Tajam. Rara tak mau kalah. Ia mengangkat 210 Pelangi di Kaki Langit
dagunya tinggi-tinggi. Melebarkan matanya selebar-lebarnya. Ia ingin membuktikan pada Dino bahwa ia tidak takut pada sosok dalam gambar yang begitu dibencinya. “Kau istri Dino, cucuku?” tanya Eyang tak percaya. “Ya, kenapa?” jawab Rara ketus. “Rara, sopan sedikit pada Eyang!” Dino tiba-tiba menimpali. Ia sudah sadar sepenuhnya. “Dino, diam!” bentak Eyang. “Siapa namamu?” tanya Eyang pada Rara. “Tak usah bersandiwara, tua bangka bejat!” sahut Rara beringas mengarahkan mata gunting ke tubuh lelaki tua yang masih terlihat perkasa. Dino segera menghadang Rara persis di depan Eyangnya. Kedua tangannya terentang dengan kaki pa- sang kuda-kuda, siaga. Lelaki tua mendorong tubuh Dino ke samping. Ia bisa melihat dengan jelas wajah Rara. Ingatannya melintas pada suatu pagi yang gerimis, dingin, dan sunyi. Se- orang gadis sebelas tahun berpayung kecil dengan renda-renda indah di sekeliling tepinya, melintas di depan rumah. Dan gadis itu dibopong masuk ke kamarnya. Dan gadis mungil itu kini berada di depan matanya dengan gunting terhunus siap merobek jantung. “Tak perlu kau lindungi tua bangka ini. Sekarang juga kuja- wab pertanyaanmu di malam pertama kita dulu,” kata Rara tegas sambil menatap wajah kedua lelaki silih berganti. Dino tak me- ngerti. Ia balas menatap Rara dan eyangnya dengan silih berganti pula. Kini tatapan matanya tertuju tepat ke mata Eyang. Diam. Semua diam. Kembali bayangan malam pertama melintas dalam pikiran Dino. Saat itu dadanya penuh sesak karena kecewa dan dendam. Saat itu Rara tak berkata apa-apa namun di kedua ma- tanya mengalir butiran-butiran bening tak henti-henti. Dino tak kuasa melihatnya. Hati Dino luluh. Ia telan semua pertanyaan yang sudah sampai di tenggorokan. “Dino, mengapa tidak beri tahu eyang kalau kau sudah me- nikah, dan menikah dengan Rara?” tanya Eyangtiba-tiba. Antologi Esai dan Cerita Pendek Bengkel Bahasa dan Sastra 211
“Ibu melarangku, Eyang,” jawab Dino pelan. Kembali dada lelaki tua tertohok. Ratri, ibu Dino, di usianya yang belum genap sepuluh tahun, tak ubahnya Rara, Eyang juga membopong tubuh Ratri ke kamar. Tubuh Rida, tubuh Rani, entah tubuh mungil siapa lagi yang ia bawa ke kamar. Betapa Hatinya bergetar, bibirnya bergetar, seluruh tubuhnya bergetar. Ia dekati Rara dengan tatapan putus asa. Tak sulit merampas gunting dari tangan Rara untuk dihujamkan ke jantungnya sen- diri. “Maa...maafkan aku cu...cucu-cucuku…,” gumamnya nyaris tak terdengar. Rara membuang muka. 212 Pelangi di Kaki Langit
INVESTIGASI Umi Kulsum SMP Negeri 2 Bantul “Saat kamu duduk dan kartu pers menggantung di lehermu, di keningmu tertera stempel wartawan, di depanmu ada sese- orang atau beberapa orang yang disebut narasumber. Apayang kamu pikirkan? Barangkali kamu sama sekali tidak sempat berpikir. Kamu hanya tertarik pada setiap omong kosong me- reka. Kamu hanya mencatat kalimat-kalimat yang bertebaran hampir tanpa pengamatanmu.” Kalimat yang dilontarkan bapakku terngiang terus di kan- tor. Mungkin begitulah yang aku rasakan siang kemarin: meme- nuhi undangan, duduk penuh perhatian, dan mencoba memaknai kata-kata para pejabat. Pura-pura mencatat. Lalu aku teringat kegiatan ini lebih mirip sebuah kekacauan yang terstruktur. Aku kadang tidak mengerti dengan tugas wartawan yang sesungguhnya. Apakah bersungguh-sungguh mengutip, mewa- wancarai, yang pada akhirnya hanya mengulang-ulang hal yang wajar. Aku bahkan tidak tahu mengapa mereka begitu berse- mangat mendapat berita bagus hanya untuk diberikan kepada sebuah perusahaan tempat bekerja. Banyak hal yang menjadi- kanku memilih menjadi wartawan, salah satunya adalah karena wartawan tidak kenal pensiun! Kalau presiden, menteri atau anggota DPR ada saat pensiunnya. Kalau wartawan, tidak! Presi- den, menteri, dan para anggota DPR pensiun, tapi wartawan tetap wartawan. *** Antologi Esai dan Cerita Pendek Bengkel Bahasa dan Sastra 213
Sepucuk surat tergeletak di meja dengan sebuah pesan di atasnya. Segera kubuka dan kusimak isinya. Kubaca pesan sing- kat: Tolong segera investigasi, siapa sebenarnya yang mengacaukan jalur distribusi sembako. Saya tunggu laporannya! “Huh, kerjaan lagi,” keluhku dalam hati. Kulirik arloji. Hampir pukul delapan malam. Segera kubenahi kertas-kertas yang berserakan di bawah meja. Lalu kuhidupkan komputer. Kuambil earphone dari laci. Setelah benda itu kurasa pas terpasang di telinga, aku mulai mengetik hasil wawancara yang terekam dalam tape recorder. Dua jam kemudian aku sudah berada di jalan raya. Mumpung jalan sepi, kupacu motor dengan cepat. Sampai di rumah, kuceritakan tugas baru dari Pemimpin Redaksi kepada bapakku. “Katanya kamu wartawan budaya. Kok jadi ngurusi sem- bako segala?” tanya bapak yang sibuk dengan buku bacaan, ada nada sedikit protes menurutku. “Yah, hitung-hitung cari pengalaman baru, to Pak” jawabku berdalih. “Tapi kamu tidak berbakat jadi wartawan investigasi. War- tawan investigasi kok gugupan begitu?” “Ini kesempatan, Pak.” “Maksudmu kesempatan apa? Bapak lebih senang kamu sibuk jadi wartawan budaya. Jauh dari intrik-intrik dan konflik!” “Aku ingin mencoba hal baru, Pak. Doakan saja aku bisa menjalankan tugas dengan lancar dan selamat,” jawabku sambil mencium tangan bapak. “Terserah kamu sajalah kalau begitu,” kata bapak sambil mengusap kepalaku. “Cuma tiga hari, kok Pak.” “Tapi ngati-ati ya, Nduk. Bapak lebih memilih kelaparan dari pada kemasukan duit haram. Ingat itu, Nduk,” kata bapak. Aku mengiyakan. 214 Pelangi di Kaki Langit
Sebagai wartawan budaya, aku bisa dikatakan terhindar dari hingar-bingar dunia politik. Tapi gelombang keterbukaan di era reformasi cukup mengganggu konsentrasi pada rubrik yang kugawangi. Aku iri pada rekan-rekan yang selalu membawa isu hangat. Yang namanya gosip atau rumor politik, selalu meng- gelitik telingaku. Tapi, sungguh aku tidak ingin terlibat terlalu jauh karena pekerjaanku sendiri sudah cukup banyak. Sudah menyita sekian besar waktu. Pesan dari Pemimpin Redaksi, tidak bisa kubantah. Menjadi wartawan investigasi itu gampang, bagi yang sudah melakukan. Tapi, bisa susah setengah mati buat mereka yang baru mulai. Nah, bagaimana caranya? Atau apa yang harus dila- kukan seorang wartawan investigasi pemula? *** Tibalah hari bersejarah bagiku. Aku dan beberapa rekan wartawan dari media lain ditempatkan dalam satu bus. Se- dangkan para pejabat ada di bus lain. Setelah segala sesuatu beres, kami segera meluncur ke tempat tujuan: bandara. Inspeksi mendadak dimulai dari sebuah pabrik gula. Enaknya jalan bareng menteri, segala keperluan kami sudah disiapkan sedemikian rupa. Mulai dari press release sampai data. Jadi, kami tidak perlu repot-repot mengejar sumber berita. Benar-benar wisata sambil kerja. Hanya sayangnya waktu untuk kami sedemikian ketat diatur. “Wah, begini yang namanya investigasi? Enak kali!” batinku. Pada malam ketiga, aku keluar dari penginapan lantaran bosan dengan suasana. Melangkahkan kaki ke sebuah bangunan agak terpencil. Tiba-tiba kudengar suara orang-orang sedang berbicara. Aku terkejut mendengar suara yang begitu kukenal. Suara pejabat yang memberikan penjelasan tadi sore! Naluri ke- wartawananku segera bekerja. Aku menguping pembicaraan dari tempat agak tersembunyi. “Alah, si Babah Goh itu memang terlalu serakah. Jadinya kita semua kena getahnya!” Antologi Esai dan Cerita Pendek Bengkel Bahasa dan Sastra 215
“Sialan betul dia. Sudah nggak bagi-bagi rejeki. Mau cuci tangan lagi....” “Tapi kamu kan kebagian juga, Bun.” “Ah, semua juga kebagian! Sekarang masalahnya kan banyak orang protes! Dasar reformasi sialan!” Kusimak pembicaraan dengan perasaan dag-dig-dug. Lalu tiba-tiba suara-suara lenyap dan dua orang bertampang keras bergegas ke arahku. Selanjutnya kejadian berlangsung begitu cepat. Aku tak mampu merekamnya dalam benakku. Mereka mencengkeram leher baju dan aku digelandang masuk ke sebuah ruangan. Di ruangan seluas 4 x 6 meter aku diinterogasi. Sung- guh, aku benar-benar ketakutan! Tapi segera kusadari kalau me- reka tidak akan berbuat macam-macam. Apa jadinya kalau ada seorang wartawan–wanita lagi–yang resmi diundang, lenyap di tempat kejadian? “Apa yang kamu dengar tadi!” sergah salah seorang dari mereka dengan galak. “Ayo, ngomong! Jangan kaya ayam sayur begitu!” “Sssaya…..saya...” Uh, lidah terasa kaku. Diperlakukan kasar begitu, rasa gu- gupku langsung kumat. Dalam hati aku mengeluh. “Kenapa tidak Munaf saja yang dikirim ke sini? Rekanku itu bertubuh tinggi besar. Lagi pula ini kan bukan bidangku. Ia tentu tidak akan segugup dan setakut aku,” bisikku dalam hati. “Heh, dengar! Anda telah lancang menguping pembicaraan kami. Kalau kami mau, Anda sudah kami hajar!” Aku langsung mengkeret melihat tampang yang seram. “Dengar! Apa pun yang kamu dengar tadi, Anda harus me- nutupnya rapat-rapat. Kalau tidak, nyawamu jadi taruhan!” Sungguh, ingin rasanya melawan. Tapi aku tidak bisa me- lawan. Dan aku tidak bisa melawan kegugupanku sendiri. Huhh, bapakku ternyata benar. Aku memang terlalu penggugup untuk menjadi seorang wartawan. Orang yang membentakku menda- 216 Pelangi di Kaki Langit
dak tersenyum. Ia melambaikan tangan kepada temannya yang mengenakan pakaian hitam-hitam. Laki-laki itu keluar. Sesaat kemudian ia muncul lagi dan menyerahkan sebuah amplop ber- warna coklat. “Nih!” sang interogator melempar amplop ke mukaku. “Am- bil uang itu dan tutup mulut!” Diperlakukan begitu aku menjadi marah dan keberanian mulai bangkit. “Anda boleh mengancam saya. Tapi jangan harap saya mau menerima uang itu!” sergahku. Laki-laki itu menaruh kelima jari kanannya di perutku. Kres…kres…. dia meremas perutku. Mual. Hebat, sungguh suatu seni cara menyiksa yang hebat. Tak berbekas. Tapi sakitnya minta ampun! Ususku dibuat kusut dan amburadul. “Ingat! Anda akan lebih menderita bila melawan. Ambil uang itu! Kalau nama mereka sampai muncul di koran, Anda akan tahu akibatnya!” Aku terhenyak. Ketika kedua orang meninggalkanku sen- dirian, aku masih terduduk lunglai. Perbuatan laki-laki itu se- perti memuntahkan isi perut. Ternyata, amplop sudah menjadi sesuatu yang biasa. Orang itu bercerita bahwa ia sudah tak per- caya lagi dengan wartawan. Pasalnya, ia pernah dikerjai warta- wan lantaran berita yang tidak berimbang. Aku bilang, tidak semua wartawan seperti itu. *** Seminggu kemudian, di ruang rapat redaksi. Aku sengaja tiba di tempat kumpul para redaktur dan wartawan lebih pagi. Ruang-ruang lain masih sepi dari aktivitas. “Oke Saudara-saudara, kira-kira isu apa yang menarik seka- rang ini?” tanya Pemred. “Ada isu korupsi dan manipulasi di sebuah instansi. Menurut sumber yang saya tembus, direkturnya akan segera dicopot. Bagaimana kalau itu saja yang kita gali?” usul Fauzan. Antologi Esai dan Cerita Pendek Bengkel Bahasa dan Sastra 217
“Tapi hati-hati, lho. Kabarnya KKN juga sudah menggero- goti dunia pers,” sela Munaf. Ucapan Munaf langsung memanaskan suasana rapat. Se- mentara aku hanya bisa terpaku. Keringat dingin membasahi tubuh. Aku gelisah antara mengharap pembelaan dan peng- khianatan. Segera kuingat uang di amplop. Uang itu sudah ludes untuk membayar cicilan kredit mobil. Tak ada yang bersisa…. 218 Pelangi di Kaki Langit
DISIPLIN WAKTU Mursinah SMP Negeri 4 Kalasan Namaku Angelia Smith. Aku duduk di bangku Lower Fields Primary School kelas 8. Hari ini aku bangun jam 04.30 dan bersiap pergi ke sekolah. Aku berpamitan kepada kedua orang tuaku dan meminta restu menuntut ilmu di sekolah. Aku berangkat ke sekolah hanya berjalan kaki karena sekolahku jaraknya hanya beberapa meter. Di Sekolah “Ada yang tidak jelas?” tanya Ibu Guru bahasa Indonesia. “Bu, apakah saya boleh bertanya sesuatu?” kata Harry, teman sekelasku. “Iya” “Bu, berapa nomor hp ibu?” ucap Harry malu-malu. “Huuuu... mencari kesempatan dalam kesenggangan.” Semua teman sekelasku, termasuk aku juga mengejeknya. Dia hanya menggaruk-garuk kepala. “Anak-anak, halaman 12-20 dikerjakan dan dibaca ya….” “Yah Bu…,” jawab semua murid dengan lesu. “Ok, saya beri keringanan. Boleh dikerjakan secara kelom- pok dan besok harus sudah dikumpulkan” “Iya Bu….” semua kompak menjawab. “Anak-anak, hari ini cukup sampai disini.” “Baik, Bu!” “Good afternoon children,” tutup Ibu Guru. Antologi Esai dan Cerita Pendek Bengkel Bahasa dan Sastra 219
“Good afternoon, Ma’am…..” Kalian pasti bingung kenapa guru bahasa Indonesia mema- kai bahasa Inggris. Karena sekolahku sekolah internasional yang berasal dari Amerika Serikat. Keren, kan? Memang. “Lia, lebih baik kita kerjakan tugas hari ini,” usul Lucy, sa- habatku. “Ok, baiklah di mana?” “Di rumahku saja….” “Tapi aku belum pamit orang tuaku.” “Ah tak masalah.” “Tapi jangan lama-lama ya….” “Siip!” Setelah selesai bekerja kelompok, aku pulang. Di rumah “Assalamualaikum….” Tok-tok-tok “Waalaikumsalam…..” Jawab Ibu Aku menjabat tangannya. “Gak usah pulang! Di luar aja terus, main sepuas hatimu,” katanya sambil menutup pintu. “Ibuu... aku tidak bermain, aku belajar kelompok bersama Lucy.” “Sudah sana main lagi, untuk apa pulang?” Terdengar teriak ibuku. Aku menangis terisak-isak di depan pintu berharap ia luluh terhadapku. Sudah satu jam aku me- nunggu di depan rumah sambil berdiri. Tapi pintu berwarna coklat itu tak kunjung terbuka. “Sabar, sebentar lagi juga dibukakan…,” suara batinku mencoba membesarkan hatiku. Aku berdiri termenung di depan pintu sambil memandangi pintu itu dengan seksama. Kulihat kusennya, ada serabut-serabut kayu, tukangnya tidak mengetamnya de- ngan rapi, bisa bahaya kalau masuk ke tangan. Kupandangi serabut-serabut kayu, seakan serabut kayu itu benda yang sangat 220 Pelangi di Kaki Langit
menarik untuk anak umur 13 tahun sepertiku. Kuraba serabut kayu itu. Aku membayangkan jika serabut kayu itu masuk ke jariku. “Pasti sangat sakit,” kataku dalam hati. Aku mundur. Berdiri memandangi pintu itu lagi. Warnanya coklat, coklat seperti tanah liat yang diaduk dengan air, warna- nya sama persis. Coklat seperti kopi yang diminum bapak setiap pagi. Aku berdiri menyandar pada tembok rumah. Aku melihat pintu rumah yang lain. Aku jongkok, telunjukku bergerak meng- gambar sesuatu di lantai teras rumah, gambar hati, aku terse- nyum sendiri. Aku bersila, mencoba meniru orang tua berambut putih dengan jenggot panjang putih yang pernah kulihat di tele- visi. Kuingat-ingat gerakan tangannya dan kupraktekkan, aku tertawa cekikikan. Perlahan aku berdiri lagi, kubiarkan tas sekolahku tergeletak di lantai. Aku memandangi pintu itu lagi. Aku menunggu lagi. Bersabar lagi. “Sebentar lagi pasti dibukakan,” suara hatiku lagi. “Tapi aku lapar! Aku mau makan!” pekikku dalam hati. Kuketuk pintu coklat itu. Tok-tok-tok. Tidak ada jawaban. “Bu, Lia lapar, Lia lapar! Aku mau makan. Tadi ada tugas kelompok dari guru, jadi pulangnya telat….” Hening. Ibu tidak menjawab. Aku mengambil tas sekolah, menggantungnya dipundak. Kupandang pintu coklat dengan se- gala kebencian yang aku punya. Ingin aku hantam bata ke pintu coklat itu. Pandanganku kabur, ditutupi genangan air mata. Aku melangkah menjauhi pintu. Sepanjang jalan air mataku menetes, meninggalkan jejak. “Aku cuma telat satu jam, dan itu juga aku tidak main, aku ngerjain tugas kelompok kok! Dan langsung pulang, gak main!” Aku melihat botol kosong di jalan. Kutendang botol itu dan tak tau ke mana arah perginya. Antologi Esai dan Cerita Pendek Bengkel Bahasa dan Sastra 221
“Tuhan, kenapa sih ibuku seperti itu? Ibu teman-temanku gak ada yang begitu Tuhan?” Aku menangis lagi, dan kembali meninggalkan jejak air mata. Siang matahari terik sekali, wajahku gosong, keringat membanjiri seluruh tubuh. Langkahku terhenti, di depan rumah dengan pintu hijau. Aku berdiri mamandangi pria tua yang sangat aku sayangi. Dia sedang sibuk dengan ayam-ayamnya, dan berhenti begitu menyadari cucu tersayangnya berdiri dengan isak tertahan. Pria tua itu menghampiriku dengan senyum malaikatnya. Aku lang- sung menangis sejadi-jadinya. “Ibu nggak ngasih Lia masuk, Lia tungguin tapi gak dibuka- buka, huaaa....!” tangisku. Ibu jahat, Lia enggak mau pulang, enggak mau pulang, Lia mau di rumah kakek saja…!” Aku menangis sampai suaraku parau. Kakek hanya terse- nyum dan mengangguk-angguk, sambil mengusap keringat dan air mataku yang mengalir deras. Akhirnya aku diam sendiri. Melihat anak-anak ayam yang baru menetas. Aku tersenyum. Setelah puas dengan anak-anak ayam, aku masuk ke rumah ka- kek dan melihat kakek sedang menimba air bak mandi. “Lia mandi dulu ya, setelah itu makan, lalu kakek antar pulang….” “Lia enngak mau pulang Kek!” jawabku ketus dan langsung masuk ke kamar mandi. Hari kuhabiskan dengan berceloteh ria dengan Kakek. Aku menunjukkan tugas yang membuat aku tidak boleh masuk ru- mah. Aku menceritakan tingkah usil teman-temanku, guru ba- hasa Indonesiaku yang baik dan cantik. Kakek mendengarkan semua ocehanku tak ada jemunya. Aku suka sekali saat-saat se- perti ini. Hanya aku dan kakek. Jam enam sore, bapak datang menjemputku. Aku merapikan tas dan pamit sama Kakek. “Lia jangan nakal ya,” pinta Kakek. “Iya Kek, Lia pulang ya…,” pamitku sambil melambaikan tangan. 222 Pelangi di Kaki Langit
Sepanjang perjalanan aku hanya diam. Sampai di rumah, aku melihat ibuku duduk santai sambil menonton televisi. Aku diam saja tidak menyapa. Dia juga diam saja tidak menegur. Aku le- takkan tas di kursi dan menuju meja makan. Makan malamku sudah disiapkan ternyata, dan disuguhi makanan pembuka, dengan selembar kertas bertuliskan “Disiplin Waktu” yang di- tulis dengan tulisan halus kasar yang sempurna. Antologi Esai dan Cerita Pendek Bengkel Bahasa dan Sastra 223
KACA MATA IBUKU Muji Lestari SMP 4 Playen, Gunungkidul Namaku Fajar Nugroho. Umurku baru sepuluh tahun. Aku anak pertama dari dua bersaudara. Aku mempunyai seorang adik perempuan bernama Putri Anggraini. Umurnya baru enam tahun. Aku dan adikku bersekolah di SD yang sama. Aku kelas enam, sementara adikku kelas satu. Aku ke sekolah bersama adikku berboncengan mengendarai sepeda. Kami hanya tinggal bertiga di sebuah rumah sederhana yang terbuat dari papan, peninggalan kakek-nenekku. Ibuku hanya seorang penjahit kam- pung yang penghasilannya tak pasti. Ibu akan mendapat banyak jahitan menjelang tahun ajaran baru, di saat anak-anak sekolah banyak menjahitkan seragam; menjelang lebaran, atau musim orang menikah. Kata orang, jahitan ibu bagus dan rapi sehingga banyak orang yang menjahitkan baju. Apalagi di kampungku hanya ada dua orang penjahit, ibuku dan Mbak Yanti yang baru saja lulus SMK Jurusan Tata Busana. Menurut orang, jahitan Mbak Yanti belum begitu bagus dan belum rapi. Walaupun hanya pen- jahit kampung, hasil jahitan ibu tidak kalah kualitasnya diban- dingkan penjahit di kota. Aku bangga dengan ibuku. Ibu pintar menjahit karena setelah tamat SMP, ibu bekerja sebagai pembantu di kota. Kakek dan nenekku tidak sanggup membiayai ibu sekolah ke SMA sebab keterbatasan ekonomi. Kakek nenekku petani yang mengandalkan panen ketika musim hujan tiba. Bila musim kemarau, tak ada yang bisa ditanam. Sa- 224 Pelangi di Kaki Langit
wah mengering dan meranggas. Yang tersisa hanya jagung dan gaplek yang kemudian digiling, dijadikan bahan makanan. Ketika bekerja di kota, majikan ibu mempunyai usaha jahitan baju. Tak jarang ibu diminta untuk membantu bila pelanggan ramai, mulai dari memasang kancing, mengesum kain, sampai akhirnya ibu diajari bagaimana membuat pola baju, menggunting pola, dan menjahit. Lima tahun bekerja di kota, ibu berkenalan dengan ayah yang kebetulan bekerja sebagai penjaga SD dekat rumah majikan. Hampir dua tahun ibu dan ayahku kenal dekat, hingga pada akhirnya ayah menikah dengan ibu. Setelah meni- kah, kakek dan nenekku meminta ibu kembali ke kampung ha- laman. Mengingat kakek sering sakit-sakitan, akhirnya ayah dan ibu memutuskan memenuhi keinginan kakek. Di desa, ayah bekerja di peternakan ayam potong milik Pak Mingun. Setiap hari, ayah membersihkan kandang, memberi ma- kan, mengecek ayam yang sakit, sampai membongkar kandang ketika sudah waktunya ayam dijual. Ayah bekerja dibantu Lek Wir dan Lek Paimin. Aku sering diajak ayah ke peternakan. Pertama menginjakkan kaki di peternakan, aroma kandang ayam yang begitu menyengat membuat perutku mual, rasanya ingin muntah, wajahku memerah menahan pengapnya udara yang ter- hirup. Aku menjauh dari kandang, menghirup udara segar seba- nyak-banyaknya. Melihat kejadian itu, ayah mendekat dan mem- berikan masker. Kulihat semua pekerja, termasuk Pak Mingun, mengenakan masker. Lama-kelamaan aku imun dengan aroma peternakan ayam. Kegiatanku di peternakan adalah membantu ayah memberi makan ayam. Aku senang sekali, bila musim bong- kar ayam, Pak Mingun selalu memberiku dua sampai tiga ekor ayam untuk dibawa pulang. Sesampainya di rumah, aku tidak memotong ayam-ayam tersebut, karena adikku menginginkan agar dipelihara. Aku membuatkan kandang dibantu adikku. Aku dan adikku bergantian memberi makan ayam setiap hari. Ter- nyata, pertumbuhan ayam potong lebih cepat dibanding ayam Antologi Esai dan Cerita Pendek Bengkel Bahasa dan Sastra 225
kampung. Baru sebulan, ayam-ayam tersebut sudah gemuk-ge- muk, bobotnya hampir tiga kilogram setiap ekornya. Senang rasanya melihat ayam-ayam tumbuh subur. Aku berjanji pada ibu akan memotong dua ekor ayam bila lebaran menjelang. Sejak ayahku meninggal dunia karena sakit asma, ibu tidak hanya mengandalkan usaha menjahitnya, dia bekerja sambilan sebagai buruh cuci di rumah Bu Warti, bidan Puskesmas desa, meskipun hanya seminggu sekali. Ibu berangkat mencuci setelah aku dan adikku berangkat sekolah. Sebelum aku dan adikku ke sekolah, ibu selalu menyiapkan sarapan untuk kami. Dua tahun setelah ayah meninggal, kakekku meninggal, lima bulan kemu- dian nenek menyusul. Hidup kami terasa hambar tanpa keha- diran orang-orang yang kami sayangi. Bagi ibu, hidup menjadi semakin berat karena harus membanting tulang mencari nafkah sendirian. Aku kasihan melihatnya bekerja tanpa mengenal waktu. Apalagi bila ibu dapat borongan jahitan, ibu sering men- jahit sampai larut malam, terkadang sampai dini hari. Pagi hari, selalu kulihat keletihan tersirat pada wajahnya. Sayu matanya tak dapat menyembunyikan betapa dia memaksakan diri me- nyelesaikan tanggung jawab. Akhir-akhir ini, kulihat ibu selalu bersedih. Diam-diam kuperhatikan ibu sering menangis. Ingin kutanyakan mengapa ibu menangis, namun aku tidak sampai hati. Jangan-jangan per- tanyaanku justru akan membuat dia tambah bersedih. Oh...apa yang harus kulakukan untuk membahagiakannya? Apakah hal ini ada hubungannya dengan ibu yang mulai tak tampak lagi menjahit? Di meja kerjanya tidak lagi kulihat tumpukan kain untuk dijahit, yang ada hanyalah tumpukan kain perca yang baru separuh dijahit untuk dijadikan selimut adikku. “Sudah beberapa hari ini Ibu terlihat tidak lagi menjahit. Mengapa, Bu?” tanyaku suatu sore. Ibu menghentikan menyisir rambut adikku. Ibu tersenyum, walau kuyakin senyum itu seperti dipaksakan. 226 Pelangi di Kaki Langit
“Tidak apa-apa, Mas. Mungkin orang-orang belum ingin menjahitkan baju kepada ibu,” Ibu melanjutkan menyisir rambut Putri, kemudian mengepangnya. “Kemarin sore sewaktu Fajar pulang dari bermain bola, Fajar berpapasan dengan Bu Joko. Dia mengatakan kalau baru saja dari rumah kita mau menjahitkan bajunya ke Ibu, tetapi Ibu me- nolaknya, dengan alasan Ibu sakit. Dia tampak kecewa, Bu,” jelasku hati-hati. “Tadi juga Bude Sumi ke sini hendak menjahitkan jarik. Ibu juga menolaknya,” adikku cepat menimpali. “Memangnya Ibu sakit apa?” tanyaku penasaran. Ibu diam. Wajahnya tampak pucat. “Ibu tidak sakit apa-apa kok,” jawab ibu pelan. Ibu sudah selesai menyisir rambut adikku. Gadis kecil itu beranjak menuju lemari tua di pojok ruang tamu. Berkali-kali dia menolehkan wajahnya ke kanan dan ke kiri pada cermin buram lemari tua. Sepertinya dia puas dengan kepangan rambut yang dibuat Ibu. Berkali-kali dia tersenyum. Senyumnya mirip Ibu. Manis. “Bu...,” bisikku sambil memegang lengan ibu. Sedikit ku- cengkeram lengan ibu, seakan memaksanya untuk mengatakan apa sesungguhnya yang terjadi. Ibu diam. Beberapa menit ke- mudian, dia memulai pembiacaraan. “Ibu tidak sakit apa-apa, Mas. Cuma ibu merasa pandangan ibu mulai kabur. Setiap ibu menjahit, jahitan ibu selalu tidak pas dengan garis pola. Kalau ibu paksakan terus, ibu takut jahitan tidak bagus hasilnya. Bisa-bisa yang punya kain marah, dan me- minta ibu menganti kain-kain mereka yang rusak. Duh...Mas... dari mana ibu bisa mengganti kain-kain mahal tersebut?” Ibu menghela napas. “Makanya, sementara ini ibu tidak lagi mene- rima jahitan.” Ibu beranjak menuju dapur, menyiapkan makan malam. Putri mengikuti dari belakang. Aku hanya terdiam. Syukurlah ibu tidak sakit. Aku hampir saja berpikir yang bukan-bukan tentang penyakit berbahaya yang mungkin menimpa ibu. Tapi pikiranku menjadi lebih tak karuan Antologi Esai dan Cerita Pendek Bengkel Bahasa dan Sastra 227
lagi mengingat ibu tidak lagi mau menjahit. Kalau ibu berhenti menjahit, itu artinya tidak ada pemasukan untuk keluarga kami. Bagaimana dengan sekolah kami? Buku-buku kami? Makan ka- mi? Tak mungkin ibu hanya mengandalkan upah dari buruh cuci yang tak pasti. Bagaimana pula dengan tahun ajaran baru yang beberapa minggu lagi akan menjelang, saat banyak orang tua menjahitkan seragam anak-anaknya? Kegiatan menjahit bagi ibu, tidak hanya sebagai pekerjaan utama, tetapi juga hiburan, karena selain menjahit baju, jarik, dan celana, ibu juga membuat dompet, keset, dan selimut, dengan memanfaatkan kain perca sisa jahitan. Kadang-kadang dompet dan keset hasil jahitan ibu dijual ke warung kelontong dekat kelurahan. Lumayan juga hasilnya untuk menambah uang dapur. Ibu-ibu tetangga, sering memesan selimut perca kepada ibu. Hasilnya bagus dan unik. Ibu tampak senang bila setiap orang memuji hasil jahitan, atau bila ada yang memesan dibuatkan dompet, keset, atau selimut. Aku bergegas menuju dapur. Aroma telur dadar dan sambal terasi menerjang hidungku. Irama perutku langsung menari-nari. Di meja makan yang terbuat dari bambu hasil kreativitas ayah, sudah terhidang telur dadar, sambal terasi, dan oseng-oseng tempe. Bergegas aku mengambil piring. “Bu, bagaimana kalau Ibu membeli kacamata?” tanyaku sambil mengunyah makanan. “Kacamata itu harganya mahal, Mas,” jawab Ibu. “Memang harganya sampai berapa, Bu?” tanya adikku. “Ehm...ibu dengar...paling murah sekitar tiga sampai lima ratusan ribu….” Aku hampir tersedak mendengar jawaban Ibu. Tiga sampai lima ratus ribu? Setengah juta? Dari mana uang se- banyak itu. Tabunganku belum mencapai jumlah itu. Cepat-cepat kuhabiskan makananku. Pikiranku terus berkecamuk. ***** Sejak ibu berhenti menjahit, rumah kami terasa hampa dan hening. tak ada lagi irama mesin jahit terdengar. Tak ada lagi 228 Pelangi di Kaki Langit
suara senandung ibu mengikuti irama campursari dari radio tua peninggalan kakek. Hari-hari yang kami lalui terasa mem- bosankan. Beberapa minggu tidak menjahit, membuat ibu memutar akal bagaimana mencari tambahan uang bagi keluarga. Ibu mulai me- rintis usaha berjualan gorengan. Tiap pagi membuat mendoan, bakwan, dan pisang goreng, dan menitipkan dagangan di wa- rung Bude Mijah yang berjarak enam rumah dari rumah kami. Walaupun hasilnya tidak seberapa, paling tidak, ibu masih bisa menyisihkan penghasilan setiap hari untuk kebutuhan keluarga. Aku pun tak mau ketinggalan. Sebagai anak laki-laki, aku berusaha membantu ibu mencari nafkah. Diam-diam sepulang sekolah, aku bergegas berganti seragam, terkadang tanpa makan siang terlebih dahulu, langsung menuju ke peternakan ayam milik Pak Mingun. Ibu sering menegurku karena jarang makan siang. Pernah suatu hari ibu menanyakan, kemana saja aku pergi setelah pulang sekolah, aku hanya menjawab ada tugas kelom- pok. Maafkan aku, Bu, karena harus berbohong. Aku meraha- siakan pekerjaan membantu Lek Wir di peternakan. Ibu pasti akan marah bila mengetahui hal ini. Alasannya karena aku pasti kecapekan dan malamnya tidak belajar. Ibu memang benar. Biasanya pulang dari peternakan, hari sudah menjelang maghrib. Aku bergegas mandi, makan malam, dan tidur. Aku jarang bela- jar malam. Kalaupun ada PR, kukerjakan setelah bangun pagi. Aku membantu Lek Wir dan Lek Paimin membersihkan kan- dang ayam. Hal yang paling kusukai walaupun dengan terpaksa dari pekerjaanku ini adalah membersihkan kotoran ayam, me- ngumpulkan dan memasukkannya ke dalam karung, karena upah yang diberikan langsung hari itu juga. Betapa senang hatiku setiap menerima upah mengumpulkan kotoran ayam - yang bagi- ku sangat besar - aku diberi upah lima puluh ribu rupiah per karung. Padahal setiap aku mengumpulkan kotoran ayam, tidak kurang dari empat karung, tentunya dibantu Lek Wir. Lek Wir selalu membagi upah kami dengan adil. Seandainya aku bisa Antologi Esai dan Cerita Pendek Bengkel Bahasa dan Sastra 229
mengumpulkan kotoran ayam lebih banyak lagi, pasti upahku juga akan banyak. Namun, semua kami lakukan hanya seminggu sekali menunggu kotoran ayam menumpuk terlebih dahulu. Pe- kerjaan ini memang berat karena bukan hanya harus menahan bau, tapi juga menahan jijik. Namun, demi ibu, aku rela dan bersemangat melakukan semua. Bagiku, bisa membelikan ka- camata untuk ibu adalah suatu hal yang sangat membanggakan. Apalagi membelinya dengan uang hasil kerjaku di peternakan. Penat, lelah, jijik, tak kupikirkan. Setiap aku hendak bekerja di peternakan, wajah ibuku selalu membayangi, membuatku lebih bersemangat mengumpulkan kotoran ayam. ***** Minggu pagi, aku berpakaian rapi. Adikku juga. Ibu masih sibuk di dapur. “Ayo, Bu. Katanya mau menemani Putri membeli sepatu ke kota,” kata adikku sambil menarik-narik tangan ibu. “Ya, sebentar lagi. Ibu mandi dulu ya….” Putri bergegas menghampiriku. “Yes...!” aku dan adikku melompat kegirangan. Putri selama ini mengetahui kegiatanku di peternakan, tetapi aku menyuruhnya untuk tidak menceritakan kepada ibu. Aku menceritakan rencanaku membelikan ibu sebuah kacamata agar ibu bisa melihat lebih jelas dan bisa menjahit kembali. Putri men- dukung. Tadi malam kami sepakat memecahkan tabungan ma- sing-masing. Alhamdulillah, uang tabungan kami ditambah de- ngan upahku mengumpulkan kotoran ayam selama dua bulan mencapai lebih dari lima ratus ribu. Jumlah yang fantastis, yang belum pernah kami capai selama ini. Tak sia-sia aku bekerja ber- bulan-bulan. Kami pun mengatur siasat, bagaimana caranya agar ibu bersedia kami ajak ke kota membeli kacamata. Dengan alasan Putri minta dibelikan sepatu, maka siasat pun kami jalankan. Perjalanan menuju kota memakan waktu hampir satu jam. Sepanjang perjalanan aku senyum-senyum sendiri, membayang- kan apa yang terjadi bila bukan sepatu yang dibeli, tetapi kacama- 230 Pelangi di Kaki Langit
ta untuk ibu yang akan dibeli. Aku juga membayangkan bagai- mana reaksi dan ekspresi ibu nanti setelah mengetahui kejutan apa yang akan kami berikan. Kulirik ibu dan Putri yang duduk di sebelahku, mereka asyik mengobrol. Angkutan desa yang kami tumpangi terasa berjalan lamban. Tak sabar aku ingin se- gera sampai ke toko tempat menjual kaca mata, yang kemarin aku dan Lek Wir datangi. Ya, aku telah menceritakan kepada Lek Wir mengenai permasalahan yang dihadapi ibu. Tanpa pak- saan dariku, Lek Wir menawarkan diri menemaniku mencari toko kacamata di kota. Beberapa toko kami datangi. Ternyata harga kacamata cukup mahal juga, ada yang mencapai jutaan rupiah. Aku hanya diam, memperhatikan Lek Wir yang tanpa malu-malu menanyakan berapa harga kaca mata yang cocok un- tuk ibuku. Setelah dijelaskan dan ditunjukkan berbagai macam model dan merek kacamata, kami pun pulang. Malam harinya, aku dan Putri menyusun rencana untuk memberi kejutan kepada ibu. Antologi Esai dan Cerita Pendek Bengkel Bahasa dan Sastra 231
KALUNG Mujiyanti SMP Negeri 1 Samigaluh, Kulonprogo “Pokoknya lebaran kali ini aku sudah harus dibelikan ka- lung!” teriak Juminten ketika suaminya, Marmo, baru pulang kerja. Marmo terdiam. Dipandanginya rumah yang telah bertahun- tahun ditinggali. Bangunan berdinding bambu tempat bernaung selama ini tak ubahnya onggokan kayu lapuk yang tak lagi mam- pu menahan kuatnya terpaan angin dan hempasan hujan. Bagian bawah dinding berlubang-lubang, bahkan sampai setinggi lutut orang dewasa. Tak ada barang mewah mengisi bagian dalam rumah. Tak pernah hinggap di pikirannya membeli sekedar perabot rumah tangga, semisal meja kursi atau almari tempat menata baju. Ha- nya sebuah balai-balai berukuran dua kali tiga meter dengan bentangan tikar usang serta sebuah meja tempat meletakkan ma- kanan menghiasi bagian tengah rumah. Dan baju-baju milik ke- luarga ini berserakan di pojok-pojok rumah atau tergantung se- cara tak beraturan di sepanjang tali rafia yang ia ikatkan dari ujung depan sampai bagian belakang samping kanan rumah. Se- buah pemandangan yang kadang memang tak enak dinikmati untuk sebagian besar orang. Tapi Marmo tak pernah sempat mengacuhkan hal-hal seperti itu. Baginya hidup berarti bekerja dan bekerja. Titik. Sebagai seorang kernet truk pengangkut pasir, Marmo tak bisa berharap banyak. Apalagi seharian ini dia hanya mem- 232 Pelangi di Kaki Langit
bengkel truk bersama sopir. Itu berarti tak sepeser uang pun ia bawa pulang sore ini. “Bagaimana Mas, ditanya kok malah diam saja? Apakah ka- mu sudah punya cukup uang untuk membelikan aku sebuah ka- lung emas? Mas sendiri kan yang bilang kalau lebaran tahun ini akan memenuhi janji?” Juminten tak henti-hentinya mendesak suaminya. “Iya, iya, besok akan aku usahakan,” Marmo asal menjawab. Pikirannya langsung tertuju kepada koperasi awak truk pengang- kut pasir. Ya, besok ia akan mengajukan pinjaman sebesar harga kalung yang diinginkan istrinya. Sebagai suami, sesekali Marmo juga ingin membahagiakan istrinya, meskipun harus ditempuh dengan berhutang sekali pun. *** Juminten tertidur dengan bulan bintang menaungi mimpi- mimpinya. Ia melihat dirinya begitu anggun duduk di samping Bu Lurah dalam rapat PKK di Balai Desa. Dengan mencuri-curi pandang diliriknya benda gemerlap yang melingkar di leher Bu Lurah. Dadanya mengembang. Hatinya berbunga-bunga. Se- sekali dia tersenyum ketika beradu pandang dengan Bu Lurah, sekarang dia merasa sederajat dengan beliau. Bahkan pada saat rapat PKK telah selesai, Juminten tak mau ketinggalan mengikuti agenda Bu Lurah. Dia ikut serta ketika Bu Lurah ingin menjenguk seorang tokoh masyarakat yang se- dang dirawat inap di Puskesmas. Sambil berjalan di belakang Bu Lurah, sesekali diperbaikinya letak kalung yang dikenakan- nya. Dengan senyum mengembang dia membayangkan dalam ruangan berukuran tiga meter persegi itu, detail-detail ukiran pada kalungnya akan lebih jelas terlihat. Bahkan ia merasa sangat pantas berdiri di samping Bu Lurah ketika Bu Lurah menyam- paikan sepatah kata pamitan kepada keluarga pasien. Pagi harinya Juminten terbangun dengan wajah sumringah. Semburat kebahagiaan membias, meluruhkan kegundahan yang Antologi Esai dan Cerita Pendek Bengkel Bahasa dan Sastra 233
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164
- 165
- 166
- 167
- 168
- 169
- 170
- 171
- 172
- 173
- 174
- 175
- 176
- 177
- 178
- 179
- 180
- 181
- 182
- 183
- 184
- 185
- 186
- 187
- 188
- 189
- 190
- 191
- 192
- 193
- 194
- 195
- 196
- 197
- 198
- 199
- 200
- 201
- 202
- 203
- 204
- 205
- 206
- 207
- 208
- 209
- 210
- 211
- 212
- 213
- 214
- 215
- 216
- 217
- 218
- 219
- 220
- 221
- 222
- 223
- 224
- 225
- 226
- 227
- 228
- 229
- 230
- 231
- 232
- 233
- 234
- 235
- 236
- 237
- 238
- 239
- 240
- 241
- 242
- 243
- 244
- 245
- 246
- 247
- 248
- 249
- 250
- 251
- 252
- 253
- 254
- 255
- 256
- 257
- 258
- 259
- 260
- 261
- 262
- 263
- 264
- 265
- 266
- 267
- 268
- 269
- 270
- 271
- 272
- 273
- 274
- 275
- 276
- 277
- 278
- 279
- 280
- 281
- 282
- 283
- 284
- 285
- 286
- 287
- 288
- 289
- 290
- 291
- 292
- 293
- 294
- 295
- 296
- 297
- 298
- 299
- 300
- 301
- 302
- 303
- 304
- 305
- 306
- 307
- 308
- 309
- 310
- 311
- 312
- 313
- 314
- 315
- 316
- 317
- 318
- 319
- 320
- 321
- 322
- 323
- 324