telah lama mengusik hatinya. Harapan yang dipendam selama ini akan segera terwujud sore nanti. *** Ramadhan berlalu. Sembahyang Idul Fitri digelar di tanah lapang. Takbir menggema, mengetuk dinding kalbu yang penuh haru-biru. Semua umat meringankan langkah, beradu cepat de- ngan jarum jam yang terus berputar. Detik berganti menit, menit berganti jam. Waktu kian mendekati pukul tujuh, saat salat Idul Fitri segera didirikan. Namun Juminten tak segera beranjak, ia masih saja berputar-putar di depan cermin. Seolah ia tak yakin jika bayangan di dalam cermin adalah dirinya. Berkali-kali ia membongkar-pasang jilbab, meniru-niru gaya hijab yang sering ia tonton di televisi milik tetangga. Ia berusaha menata gaya jilbab agar kalung yang dikenakan tetap terlihat. Pukul tujuh kurang sepuluh menit. Dengan langkah sedikit malu-malu, Juminten melintasi deretan jamaah yang sudah me- menuhi shaf sejak beberapa saat lalu. Satu demi satu tangan ter- julur menerima uluran tangannya. Juminten sengaja menjabat tangan-tangan itu berlama-lama. Pagi ini ia ingin mewartakan bahwa lebaran ini ia amat bangga dan bahagia. Kalung yang dikenakan terjuntai ketika dia membungkukkan badan berjabat tangan. Warna emas berkilat-kilat terkena cahaya matahari. Hati Juminten berkobar. Udara kesombongan mengalir me- menuhi rongga dada. Matanya berbinar. Jantungnya berdegup lebih kencang. Langkahnya terayun penuh keseimbangan. Ia tak peduli meskipun beberapa ibu berbisik dengan volume suara yang sengaja dikeras-keraskan menyindir penampilannya. Ia pun semakin dalam membungkukkan badan. *** Lebaran yang teduh berganti dengan hari-hari yang kembali dipenuhi hiruk-pikuk aktivitas manusia memenuhi kebutuhan hidup. Pagi hari Juminten ingin menjual kembali kalungnya un- tuk menutup hutang koperasi. Dengan hati-hati dilepaskannya pengait pada kalung. Ditatapnya sekali lagi benda yang telah 234 Pelangi di Kaki Langit
memberinya sebongkah harga diri, menempatkannya sejajar de- ngan ibu-ibu pengurus PKK, dan membuatnya berani mendo- ngak di hadapan banyak orang. Dibungkusnya benda berharga itu dengan sehelai sapu ta- ngan, dicium dengan penuh perasaan, lalu dengan berat hati dimasukkannya ke dalam tas biru tua. Sebuah tas usang model lama yang mungkin tak dijual lagi di pasar. *** “Ada yang bisa saya bantu, Bu?” penjaga toko membuka percakapan. “Sebentar,” sahut Juminten sambil membuka tas yang di- sandang di bahunya. Mendadak muka Juminten berubah menjadi merah padam. Tangannya gemetar mengaduk-aduk isi tas. Ditumpahkannya seluruh isi tas ke atas etalase, tapi barang yang dicari tak ditemu- kannya. Sekilas dia teringat akan penuh sesak penumpang di dalam angkot yang ditumpanginya. Di dalam angkot, orang susah ber- gerak, termasuk saat Juminten akan turun. Dengan penuh per- juangan dan setengah memaksa orang lain menyingkir, akhirnya dia berhasil turun dari angkot, dengan tas yang tertahan dalam himpitan dua pemuda yang tak mau beringsut dari pintu kenda- raan. Keringat dingin mengalir, membasahi baju dan kerudung yang baru dua kali dikenakan. Kebanggaannya hilang. Kebaha- giaannya memudar. Senyum manis berubah menjadi tangis me- nyayat. Kalungnya hilang dari genggaman. Terbayang dalam benaknya, kemarahan pengurus koperasi yang berkali-kali me- nagih hutang. Belum lagi bentakan suami, makian ibu mertua, ejekan dan cibiran tetangga, ditambah lagi tangis tiga anaknya yang selalu minta uang jajan. Tak ada barang berharga di rumahnya. Tak ada yang bisa dijaminkan untuk menebus kesalahannya. Tak ada secuil pun harta benda sisa hasil keringat suaminya. Kerja keras selama ini Antologi Esai dan Cerita Pendek Bengkel Bahasa dan Sastra 235
baru mampu mengepulkan asap dapur. Juminten memegangi kepalanya. Kunang-kunang berpendaran di depan mata. Penye- salan, rasa bersalah, silih berganti bermunculan di hadapannya. “Kalung, kalung, engkau telah menjeratku dalam penderitaan yang tak berkesudahan!” Juminten menerobos ke tengah jalan, tepat pada saat lampu menyala hijau. Roda berderit karena ge- sekan keras dengan aspal. Puluhan roda menggilas tubuhnya. Darah segar membasahi jalanan yang semalam diguyur hujan. Juminten meregang nyawa dalam deraan penyesalan. Airmata dan tanda tanya menyelimuti hari-hari Marmo yang semakin panjang dan menyesakkan. Tak tahu lagi kepada siapa dia akan berbagi duka dan penderitaan. Tak ada ruang bersem- bunyi dari kejaran penagih hutang. Tak ada senyum kebahagiaan. Tak ada yang menemaninya melewati semua permasalahan. Tak ada tempat untuknya merasa nyaman. “Juminten ...!” gumamnya dengan nada tinggi, dada Marmo berat terhimpit beban. 236 Pelangi di Kaki Langit
KERTAS PUTIH DAN WARISAN M.Th.E. Rina Listiana TH SMP Negeri 1 Ngaglik, Sleman Siang setelah bel sekolah usai, matahari masih menyisakan sinarnya sehingga membuat keringat dipunggung bak sungai mengalir. Butiran-butiran air di pelipisku pun memecah dan mengalir tak henti membasahi topi. Aku berjalan bagai kilat tunggang-langgang menuju rumah. Rasa hatiku seakan enggan untuk bertemu teman-teman. Tidak seperti biasanya, usai sekolah aku tidak ingin menunggu Wardani, Asih, dan Hesti sahabatku. Kelompok empat gadis ini sering disebut banyak warga sekolah sebagai empat sekawan. Meskipun berbeda kelas, tetapi kami selalu bersama. Kami bersama semenjak di bangku Sekolah Dasar. Kami termasuk anak-anak aktif sehingga jika sekolah ada kegiatan, kami selalu ikut. “Ah... hari ini aku tidak mau bersama teman-teman. Aku akan pulang sendiri!” Aku berjalan tanpa melihat ke kanan dan ke kiri. Sepanjang jalan selalu menunduk. Rambut panjangku yang terurai menu- tupi muka bagai kaca mata kuda. Mata yang berkaca-kaca men- jadi tetesan air mata membasahai pipiku. Kejengkelan yang tak tertahankan ada pada diriku. “Siapa yang meletakkan secarik kertas di mejaku tadi? Apa- kah semua permasalahan keluargaku sudah diketahui teman- teman sekelas?” Jalanku tunggang-langgang bagai kuda liar sampai-sampai tas di punggung dan dua tas kecil yang aku tenteng di tangan Antologi Esai dan Cerita Pendek Bengkel Bahasa dan Sastra 237
kanan dan kiri berisikan pakaian olahraga dan bekal sekolah yang belum sempat kumakan tak terasa berat. Keringat yang membasahi diriku pun tak sempat kuusap. Semua kubiarkan begitu saja. Sesampainya di rumah, aku masuk kamar, duduk di atas ranjang. Kesal rasa hati. Kertas di meja kelas membayangiku. Tas kulemparkan ke atas ranjang. Sepatu kubiarkan berserakan di lantai kamar tidur. Suasana itu menjadikan ibu curiga. “Nak... kamu sudah pulang?” suara ibuku dengan nada ha- lus. “Sudah!!” jawabku dengan nada tinggi. Sikapku tidak seperti biasanya. Ibu menghampiri. Sebelum sampai kamar, aku berlalu menuju halaman samping rumah. Kulihat pot-pot bunga pembe- rian Bibi Lin, kakak dari ibuku. Kuambil air menyirami pot-pot dengan mengunakan ember. Ember yang sudah robek di bebe- rapa bagiannya. Setelah melihat sikapku, ibu justru tidak mendekat. Dia mela- kukan aktivitas seperti biasanya, menyiapkan makan malam sam- pai maghrib tiba. Kebetulan, kemarin ibu mendapat ikan panenan dari Bu Hasto cukup banyak dan harus segera dimasak. Dadang, adikku, belum pulang karena ada kegiatan ekstra kurikuller di sekolah, menjadikan suasana dapur terlihat sepi. Suasana yang tidak seperti basanya. Memang, aku dan Dadang selalu mem- bantu ibu bekerja di dapur. Tak lama berselang, tiba-tiba Da- dang masuk rumah dengan riang dan langsung ke kamar mandi. “Ibu sudah selesai memasak, ayo Dadang, ibu dibantu mem- bawa makanan ini ke atas meja makan!” Dadang mendekat, se- mentara aku tidak merespon permintaan ibu. “Mana kakakmu?” tanya ibu penuh perhatian. “Nggak tahu tuh kakak. Tadi aku lihat di kamar. Entah apa yang dilakukan,” jawab Dadang sambil meletakkan ikan goreng dan sambal terasi. “Wah... sedap sekali bau sambal buatan Ibu. Ayo.... Kak, kita makan sekarang saja. Aku akan mengerjakan PR matema- 238 Pelangi di Kaki Langit
tika,” ajak Dadang penuh semangat sambil memindah sambal terasi didekatkan tempat duduknya. “Kamu jangan makan sambal terlalu banyak Dang, nanti perutmu sakit,” ujar Ibu memeringatkan. Aku tidak segera menuju ke ruang makan tetapi justru pergi ke halaman. Kuamati pot-pot bunga. Perasaan galau semakin menjadi-jadi. “Jika kamu dapat bercanda dan bercerita, kamu akan tahu apa yang terjadi pada diriku. Ya... sudahlah, jika keluargaku diusir dari rumah ini pasti kamu akan tetap aku rawat. Aku harap engkau juga mendoakanku agar keluargaku segera ter- lepas dari penderitaan ini. Seandainya ayahku masih hidup, kita tidak akan susah seperti ini. Ayahku pasti dapat menyelesaikan permasalahan, meskipun dia anak dari istri kedua kakekku Raharjo. Aku yakin ayah dapat menyelesaikan masalah pemba- gian warisan kakek. Dan meskipun harus diusir dari rumah ini, pasti tidak seberat sekarang,” gerutuku dengan mata berkaca- kaca sampil memegang daun-daun dari pot bunga. “Tis..... Titis.... kemarilah, makan malam sudah siap. Adikmu Dadang sudah menunggumu. Dia ingin segera makan. Cepat sedikit, Nak!” Ibu memangggilku dengan agak keras sambil me- letakkan piring di atas meja makan. Aku tidak segera meng- hampiri. “Kamu duduk dulu, ibu akan memanggil kakakmu. Kakak- mu belum bertemu ibu sejak pulang sekolah tadi,” kata ibuku kepada Dadang. Dicarinya aku dari ruang ke ruang. “Ayo Nak, kamu sudah ditunggu adikmu. Ayo segera cicipi sambal terasi buatan ibu!” Ibu merangkulku di taman. Kami berdua menuju ruang makan. “Ibu duduk di sebelahmu. Ayo, sebelum makan kita ber- syukur kepada Tuhan agar makanan bermanfaat bagi tubuh kita, bermanfaat untuk tenaga kalian belajar,” kata Ibu sambil mem- benahi duduknya dan mengambilkan nasi ke piringku. Dadang mengambil ikan, sayur dan sambal terasi. Di atas meja hanya Antologi Esai dan Cerita Pendek Bengkel Bahasa dan Sastra 239
ada tangan Ibu dan Danang, sedangkan aku tidak ikut berlomba- lomba mengambil menu yang ada, aku tidak ingin makan. Aku ingin mengurung diri di kamar. Aku lebih suka bersama pot- pot bunga di halaman. “Ayo, Nak makan! Ikan masih sebagian yang ibu masak. Jika kamu tidak ingin ikan goreng, besok ibu akan memasaknya sesuai seleramu. Ayo makan dulu, agar kuat dan sehat!” Ibu membujukku. Tiba-tiba ada suara ketukanan pintu. “Tok... Tok... Tok!” Ibu bangkit dari tempat duduk, melihat siapa yang datang. “Oh.... Pakde!” Panggilan itu dipakai ibu untuk menyapa Pak Karjo, salah seorang saudara yang selalu memberi perhatian kepada keluargaku. “Silahkan duduk. Ada apa malam-malam. Bude mana?” “Bude di rumah. Aku hanya cepat-cepat saja.” “Bagaimana, sebentar saya buatkan minum dulu.” “Tidak usah. Anak-anakmu mana, kok sepi sekali?” “ Baru pada makan.” “Begini Dik Siti, untuk rapat pembagian warisan, kamu tidak usah ikut. Semua urusanmu, nanti aku yang mewakili.” “Oh... Begitu. Kalau itu sudah keputusan Pakde Karjo, tidak apa-apa. Saya nderek saja. Saya pesan saja kepada semua saudara bahwa saya titip anak-anak yang masih kecil-kecil. Aku tidak bisa berbuat apa-apa, menyekolahkan mereka saja sudah repot. Untung aku sedikit punya penghasilan, meskipun sedikit, Pakde,” jawab ibuku dengan halus. “Ya... kamu tunggu saja. Besok pagi saya akan memberikan kabar kepadamu.” Seketika itu Pakde Karjo berdiri sambil mem- betulkan jaket, “Saya pulang dulu. Salam buat anak-anak.” Ketika aku tahu kalau itu adalah Pakde Karjo, aku semakin malas menyelesaikan makan malam yang hanya tinggal tiga suap. Tak lama kemudian, ibu kembali ke ruang makan dan melan- jutkan makan malam. *** 240 Pelangi di Kaki Langit
Hari sudah terang. Sinar matahari masuk lewat celah-celah jendela. Ibu menghampiriku di kamar. Mataku membengkak, aku kurang tidur semalam karena memikirkan kertas yang ada di bangku kelas dan juga kehadiran Pakde Karjo tadi malam. “Apa yang kamu pikirkan? Kalau kamu berubah sikap seperti ini, ibu menjadi sedih,” ujar Ibu penuh selidik. “Bagaimana dengan keadaan kita, Bu? Jika kita tidak men- dapat warisan dari kakek, kita akan tinggal di mana? Selain itu, semua teman di kelas sudah mengetahui keadaan kita. Kemarin ada kertas di meja kelasku bertuliskan Tak Dapat Bagian Warisan untukmu,” jawabku sambil tiduran di pangkuan ibu. “ Sudah. Sudah tidak usah kamu memikirkan hal itu. Pakde tadi subuh sudah memberikan kabar kalau kita dapat bagian rumah ini,” jawab Ibu sambil membelai rambutku yang beran- takan. “Benar, Bu? Terima kasih Tuhan ....,” seketika ibu mencium keningku. “Sudah. Sekarang bangun dan siap-siap ke sekolah. Ibu mau memasak ikan…” “Ya...Bu, aku akan menceriterakan kejadian ini kepada empat sekawan. Pasti mereka akan membantuku menginformasikan kepada teman-teman sehingga aku tidak akan malu dengan se- carik kertas putih kemarin….” Aku buka jendela kamarku. Puas hatiku dan hening pikiran- ku. Tak disangka Asih dan Wardani berurutan datang ke rumah menghapiri berangkat ke sekolah. Mereka ingin tahu mengapa kemarin pulang duluan. Ibuku memberitahu keadaanku kemarin di sekolah. Setelah ibu menjelaskan keadaan yang menimpaku, Asih dan Wardani tetap tidak mengetahui asal kertas putih yang berada di mejaku. Tetapi, ada apa dengan kertas putih di meja kelasku kemarin? Apakah ada teman yang iseng dengan ke- luargaku? Atau justru merupakan judul cerpen milik Hesti, teman dudukku yang mendapat tugas dari Ibu Sinta, guru bahasa Indo- nesia, menulis cerpen? Aku sendiri tak mengerti…. Antologi Esai dan Cerita Pendek Bengkel Bahasa dan Sastra 241
KETIKA TIANG RUMAH RAPUH Reny Sulanjari SMP Negeri 2 Ngaglik, Sleman Ketika matahari muncul dari ufuk timur, berbondong- bondong para petani di desa Sukamaju ke sawah masing-masing mengerjakan pekerjaan di sawah. Ada yang membawa cangkul, ada yang membawa pupuk. Mereka dengan sukacita menger- jakan pekerjaan masing-masing. Tanaman padi yang mulai meng- hijau menambah semangat mereka bekerja. Tetapi semua itu tidak berlaku bagi Tirto yang harus ber- baring di tempat tidur. Lebih layak dikatakan hanya balai-balai, karena tanpa kasur empuk, yang ada hanyalah dipan reyot dialasi tikar usang. Tirto harus mau menerima kenyataan pahit ini. Ke- tika pagi tiba, ia merasa sedih. Seharusnya sebagai kepala ke- luarga, Tirto pergi mencari nafkah untuk anak dan istri. Tetapi yang bisa dilakukan hanya berbaring dan berbaring di tempat tidur. “Bu, tolong ambilkan aku minum dan makan,” pinta Tirto pada istrinya. “Sarapan apa Pak, beras sudah habis, gula habis, tidak ada yang tersisa, “ jawab istrinya. “Aku lapar Bu, kamu tidak kasihan sama aku,” tandasnya. “Iya Pak, kita sudah tidak punya persediaan beras. Apalagi bapak sudah lama sakit. Aku sebagai istrimu selalu banting tulang mencari nafkah untuk menghidupi keluarga, “ jawab istrinya ketus. “Bapak sudah bertahun-tahun sakit tidak sembuh-sembuh, 242 Pelangi di Kaki Langit
aku capai, Pak. Kapan aku mau hidup senang. Kasihan Nani, dia tidak pernah seperti anak-anak yang lain.” Begitu sakit dada Tirto mendengar kata-kata istrinya. Ya, sudah tujuh tahun ini dia hanya terbaring lemah di tempat tidur, tidak bisa mencari nafkah. Dalam hatinya dia sangat kasihan pada anak dan istri. Tapi mau bagaimana lagi, keadaan memaksa. Bahkan semakin lama badannya semakin lemah, tidak kuat bangkit. Begitu akan berdiri dari tempat tidur, tulang-tulang terasa mau patah. “Tirto-Tirto kamu memang orang yang sangat tidak berguna. Kasihan Nani dan Tantri harus menanggung derita karena ketidak berdayaanmu,” itulah suara yang selalu menggedor-gedor hatinya. “Pak, Nani sekolah dulu ya,” pamit Nani ketika mau berangkat sekolah. “Iya, hati-hati di jalan ya Nak!” jawab Tirto. “Ini, saya ambilkan minum untuk Bapak….” “Terima kasih Nak. Hati-hati di jalan.” Matahari semakin tinggi, di sawah para petani sibuk bekerja. Ada yang mencangkul, membersihkan rumput, memupuk sambil bersendau gurau membayangkan hasil panen mereka. “Jika aku nanti panen, sebagian akan kubelikan kendaraan, anakku yang pertama sudah masuk SMA,” ujar Bejo pemilik sa- wah paling luas. “Kalau aku, akan memperbaiki rumah, biar kelihatan bagus,” kata Timan pemilik sawah dua hektar. Berbeda denga Tirto. Setiap menjelang siang yang dilakukan hanya menghitung batang-batang bambu yang menutupi rumah reyotnya. Bahkan ada beberapa tiang rumah sudah lapuk. Se- waktu-waktu ada hujan deras dan angin kencang pasti rumahnya akan terbawa. “Aku cari makan dulu ya istriku,” kata Cicak jantan. “Ini masing siang. Belum banyak nyamuk berkeliaran,” kata Cicak betina, “Ini waktunya istirahat.” Antologi Esai dan Cerita Pendek Bengkel Bahasa dan Sastra 243
“Tidak apa-apa istriku aku sebagai suami harus bertanggung jawab pada istri dan anak-anakku,” jawab Cicak jantan. “Ya terserah saja, tetapi aku hanya mengingatkan, ini waktu istirahat, tenaga jangan terlalu dipaksakan. Hidup masih pan- jang. Anak-anak dan istri masih membutuhkan perhatianmu.” “Aku tidak apa-apa, doakan saja saya ya….” Akhirnya Cicak jantan pergi meningglakn anak dan istri. Suasana di rumah sangat sepi. Tirto mendengar percakapan kedua cicak itu, dadanya terasa bagai disayat sembilu. Begitu sakit. Ingin ia berteriak keras-keras, tetapi tentu saja itu tidak menyelesaikan masalah. Hidupnya kini sia-sia. Sudah sekitar tujuh tahun terbaring lemah. Mau duduk saja tidak bisa, apalagi berdiri. Selama ini ia hanya menggantungkan hidup dari sang istri. “Ya, memang aku sebagai laki-laki sudah tidak berguna lagi, hanya selalu jadi beban anak dan istri,” ujarnya dalam hati. “Ya Allah, apakah yang kau timpakan kepadaku ini sebagai karma dari kelakuan masa mudaku dulu? Kini setelah aku mempunyai anak dan istri justru menjadi orang yang tidak berguna…,” ke- luhnya. Tirto teringat masa mudanya. Ia selalu menghambur-ham- burkan uang pemberian ayahnya. Uang itu digunakan untuk menuruti kesenangan duniawai. Ayahnya seorang yang terpan- dang di desa, seorang saudagar hasil-hasil pertanian yang suk- ses. Segala permintaan Tirto selalu dikabulkan. Tirto tumbuh menjadi orang sombong dan tidak mau mensyukuri apa yang telah didapatkan. Hari-harinya hanya digunakan untuk berse- nang-senang. “Tirto ayo bantu bapak mengirimkan barang dagangan ini ke pasar,“ ajak ayahnya. “Ah, tidak mau. Apa kata teman-teman nanti kalau bertemu. Masak anak juragan mengangkat barang-barang berat. Kan sudah ada yang membantu Ayah,” jawab Tirto. 244 Pelangi di Kaki Langit
“Kalau malu, sekarang beri makan ayam-ayam yang ada di belakang rumah!” “Tidak, Pak, Tirto tidak mau. Tirto mau uang lagi. Pokoknya uang Pak,” pinta Tirto. “Uang? Memangnya uang turun dari langit? Uang itu bisa didapatkan kalau mau kerja keras. Kapan kamu bisa mengerti Tirto?” tanya ayahnya. “Tirto nggak peduli. Ayah kan kaya. Mana mungkin uang bisa habis.” Tirto kemudian memutar ingatannya ketika menikahi Tantri. Memang Tirto mengakui Tantri adalah seorang istri yang baik. Dia tidak pernah menuntut apa-apa dari Tirto. Hanya Tirto sen- diri yang tidak mau menyukuri apa yang telah diberikan orang tuanya. Tirto disuruh melanjutkan usaha ayahnya, tetapi tidak dimanfaatkan dengan baik. Bahkan ketika rumah beserta keka- yaan ayahnya disita bank, Tantri menerima dengan ikhlas. Mungkin itu sudah menjadi suratan takdir. Tetapi bagi Tirto, itu merupakan musibah besar sehingga dia jatuh sakit dan men- derita kelumpuhan. “Aku tidak terima dengan semua ini, Bu. Ini semua milik kita. Harta kita, kenapa harus diambil bank. Aku tidak rela, Bu…,” protes Tirto saat harta orang tuanya disita bank. Penyakit Tirto, sudah berkali-kali diobati tetapi tidak kunjung sembuh. Bahkan semakin lama semakin parah, hingga hartanya habis untuk berobat. Tirto hidup miskin. “Sudah Pak, semuannya itu memang kehendak dari Allah. Kita dulu lahir tidak punya apa-apa. Sekarang harta kita diambil oleh Allah ya kita ikhlaskan saja. Memang keadaan kita sekarang harus seperti ini,” hibur istrinya. “Tapi Bu, sekarang kita tidak punya apa-apa. Kita sekarang miskin Bu,” gumam Tirto. “Ya memang ini sudah jalan kita, tidak perlu disesali terlalu dalam. Ibu hanya menginginkan bapak cepat sembuh. Bapak bisa bekerja untuk biaya hidup sehari-hari,” ucap istrinya. Antologi Esai dan Cerita Pendek Bengkel Bahasa dan Sastra 245
Tirto selalu mengingat perkataan istrinya. Dia sangat sedih karena sampai sekarang belum sembuh, bahkan semakin parah. “Ya Allah, ampunilah hambamu ini,” kata Tirto dalam hati. “Kuatkanlah istri hamba menerima keadaan ini. Dia seorang istri yang baik. Ya Allah lindungilah selalu istri dan anakku.” Matahari semakin tinggi, para petani pulang ke rumah ma- sing-masing. Tantri juga pulang ke rumah menyiapkan makan untuk Tirto. Semakin lama pandangan Tirto semakin gelap. Langit-langit akhirnya berubah menjadi hitam. Istrinya pulang dari membantu tetangga bercocok tanam. Dia bergegas masuk ke rumah. “Pak, bangun ini aku bawakan nasi. Tadi katanya Bapak ingin sarapan. Ayo Pak dimakan!” kata Tantri. Alangkah terkejutnya Tantri, ternyata badan suaminya begitu dingin. “Pak, ayo bangun. Pak aku ikhlas meneriman keadaan, ja- ngan tinggalkan kami… Aku belum siap, kasihan Nani. Maafkan ibu jika selama ini selalu kasar pada bapak,” ujar Tantri. Seketika itu tangis Tantri pecah, tertangga berdatangan. Suasana di bawah pohon kamboja sudah sepi. Matahari con- dong ke barat. Tantri dan Nani berjalan gontai keluar dari pe- makaman. Entah apa yang akan dilakukannya nanti…. Tirto, begitu nama yang tertulis di atas gundukan tanah basah. Matahari perlahan-lahan menuju peristirahatan seakan- akan tahu perasaan yang berkecamuk dalam diri Tantri. “Ya seperti inilah nasibmu Tantri, seperti burung terbang tdak punya tempat untuk bernaung.” 246 Pelangi di Kaki Langit
MALAM API UNGGUN Harini Catur Utami SMP Negeri 2 Ngemplak, Sleman “Rumi, kita tinggal berdua di tempat ini,” kata Teri gugup. “Mari kita segera pergi dari sini,” ucap Rumi sambil beranjak pergi. “Ups, hampir saja aku menabrak nisan,” kata Teri setelah berada kira-kira sepuluh meter dari tempat mereka membuka mata. “Api kita sudah menyala, api kita sudah menyala,” dari luar gedung sekolah terdengar suara para penggalang menyanyikan lagu Api Unggun sebagai pertanda upacara api unggun dimulai. Teri dan Rumi tergesa-gesa menuju api unggun dan setiba di tenda, mereka tak menemukan siapa pun. Semua teman setenda telah mengelilingi api unggun. Rumi menemani Teri di tenda. Mereka tidak ikut menyusul ke acara api unggun. “Aku masih heran memikirkan kejadian tadi, Ter. Mengapa teman-teman yang lain sudah berada di lapangan sedangkan kita berdua masih berada di tempat itu, ya?” celetuk Rumi. “Mungkin, kita tadi terlalu jauh dari teman-teman. Tadi kau tutup matamu pakai apa?” tanya Teri. “Pakai selendang ini, lha kamu?” tanya Rumi. “Aku tadi pakai setangan leher, aku tak melihat apa pun ha- nya mengikuti teman-teman lainnya. Setiba di tempat itu pegangan taliku terlepas, tiba-tiba aku memegang batu yang ada di depanku. Ketika kudengar perintah Kak Jamroni untuk membuka penutup mata, aku membuka mata dan .... kupandangi nisan yang berada Antologi Esai dan Cerita Pendek Bengkel Bahasa dan Sastra 247
persis di depanku bertuliskan Wongso Pawiro, lahir 14 Mei 1935, wafat 12 September 1997. Aku terkejut sekali tak menyangka berada di makam. Setelah menoleh ke kiri ternyata ada kau yang masih memakai penutup mata. Sungguh aneh kejadian tadi,” ujar Teri. “Aku tadi merasa ada seseorang yang memegangi tangan erat sekali dan mengajakku terus berjalan. Ketika aku disuruh jongkok, aku menurut saja.Tiba-tiba suara-suara hilang. Sepi, dan semakin sepi, aku tak mendengar ada suara apa pun, benar- benar sepi, sedetik kemudian seperti ada suara memanggilku dari arah sangat jauh, bahkan jauh sekali. Aku memberanikan diri membuka mata, tiba-tiba kau telah berada di dekatku. Kita hanya berdua, padahal semula semua anggota pramuka berada di tempat itu, iya kan?” tanya Rumi. “Begitulah, makanya kita harus banyak berdoa, ya Rum,” ucap Teri seraya menadahkan tangan. Sekarang aku ngantuk sekali, yuk kita tidur saja…” Mereka tertidur dengan pulas hingga pagi. Pukul 04.00 Kak Jamroni mulai membangunkan para penggalang untuk beriba- dah. Terdengar suara teman-teman penggalang sibuk mengambil peralatan mandi dan antri menuju kamar mandi. Lampunya tidak begitu terang sehingga mereka memakai senter menuju kamar madi dan berwudu, setelah itu menuju lapangan basket melaku- kan salat tahajud. Semua penggalang berjumlah kira-kira 40 orang siap di lapangan. Setelah salat tahajud, mereka berdzikir hingga adzan subuh tiba. Mereka melaksanakan salat subuh dilanjutkan kultum oleh Kak Ngadimin. Seusai salat subuh para penggalang diberi kesempatan berganti pakaian olah raga untuk SKJ yang dipimpin oleh Kak Uut. Kami diajari senam poco-poco, wah asyik sekali gerakan dan musiknya rancak membuat bersemangat. Kira-kira pukul 08.00 senam selesai. Kami berjalan menuju tenda, hari pun terang. Aku kaget sesampai di tenda, ternyata Teri masih tertidur lelap. Lho, jadi sejak salat sampai senam tadi Teri tidak ikut? Aku bergumam sendiri. Teman-teman penggalang lainnya berdatangan dan menatapku heran. 248 Pelangi di Kaki Langit
“Ada apa, Rum?” tanya Afrisa menghampiri. “Lihat... Teri tertidur nyenyak sekali….” Jawabku “Biarlah, mungkin dia semalam tidak bisa tidur, nanti toh dia bangun sendiri,” ujar Afrisa. “Ya, sudahlah kita kan harus kerja bakti membersihkan ling- kungan. Ayo... kita bergabung dengan teman-teman di sana!” ajakku. Kami pun berlalu dari tenda dan membersihkan lingkungan. Terakhir nanti bongkar tenda. Kerja bakti selama satu jam... wah, capek sekali minum-minum dulu ah. Kembali ke tenda Teri masih saja belum bangun. “Eh... mandi dulu ah,” kata Rumi. Upacara penutupan segera dipersiapkan dan tenda akan dibongkar. Aneh... Teri masih tertidur lelap seakan tak terusik dengan hi- ruk-pikuk dan tak terusik dengan panasnya sengatan matahari yang menembus tenda yang akhirnya kami bongkar. Kugoyang-goyangkan tubuh Teri. “Teri...bangun, Teri bangun... kita akan segera pulang, upa- cara penutupan akan dimulai,” ucapku. Teri membuka mata pelan...memandangiku...ia terse- nyum...lalu bertanya, “Eyang Wongso Pawiro ke mana? Aku tadi berjalan-jalan bersamanya. Ia bilang mau mengajakku ke rumahnya yang jauh sekali...aku capek... aku minta berhenti dulu, tapi ia terus saja berjalan... semakin cepat. Eh... malah kamu yang ada di sini….” “Teri, kamu tak apa-apa kan?” tanya Rumi. “Aku ra popo!” jawabnya dengan bahasa Jawa. Teman-teman penggalang semua mengerumuni Teri. Men- dengar ucapan Teri, kontan semua ikut-ikutan menyahut, “Aku ra popo, aku ra popo, aku ra popo” ujar teman-teman sambil berjoget menirukan gaya Jupe bernyanyi. “Heh....kalian ini apa-apaan,” ujar Rumi. “Kalian membuat suasana ribut. Ayo kalian siap-siap upacara. Afrisa tolong bilang Kak Uut, Teri perlu ditemani dulu. Sepertinya dia masih ingin bercerita panjang…” Antologi Esai dan Cerita Pendek Bengkel Bahasa dan Sastra 249
“Oke, Rum, tenang saja!” jawab Afrisa sambil berlari men- cari Kak Uut. Tak sampai lima menit Kak Uut datang diiringi Afrisa. “Ada apa, Rum?” tanya Kak Uut. “Kak...Teri mengigau, rupanya ia terbawa mimpi karena se- malam kami berdua tertinggal di pemakaman umum,” jelas Rumi “Jadi...kalian semalam tidak ikut acara api unggun karena masih berada di makam?” Tanya Kak Uut. “Iya Kak... kami tertinggal di dekat pohon bambu yang rim- bun. Kami terpisah dari teman-teman karena mata kami ter- tutup.” “Lalu jam berapa kalian kembali ke tenda? Untunglah kalian selamat,” sahut Kak Uut. “Kami kembali ke tenda pas upacara api unggun mulai,” ja- wabku “Oh, ya...sekarang ayo Teri kita ke ruang Lab IPA saja…,” ajak Kak Uut. Kami hanya mengangguk dan berjalan mengikuti Kak Uut. Di Lab IPA Teri bercerta panjang lebar tentang mimpinya ber- sama Eyang Wongso Pawiro. Dalam mimpinya, Teri merasa sa- ngat mengenal kakek tua itu. Mungkin kakek tua itu memang kakek Teri pikirku. Tapi anehnya mimpi kok di siang bolong sampai tenda dibongkar enggak bangun-bangun. “Teri kau harus bersyukur, Tuhan masih memberimu umur panjang. Untung tak kau ikuti terus kakek itu. Kalau kau ikuti terus mungkin kau sudah ikut bersamanya, padahal dia kan su- dah meninggal, ya kan?” tanya Kak Uut. “Ya, Kak, terima kasih ya Allah, aku masih Kau beri umur panjang untuk memperbaiki kelakuanku….” “Amin... jadilah anak yang kuat iman dan kuat fisikmu. Ayo...kita berkemas-kemas mengikuti upacara penutupan dan pulang,” kata Kak Uut. “Alhamdulillah!” ucap Teri dan Rumi bersamaan. 250 Pelangi di Kaki Langit
MAU JADI APA? Rahmad D. Santosa SMP Muhammadiyah 8 Yogyakarta “Pak Galang, selamat istri Anda hamil,” dokter dengan se- nyum ramah memberi tahu kabar baik kepada seorang laki-laki yang duduk di samping istrinya. Ia tersenyum. Wajahnya memerah. Menatap dokter penuh perhatian. Kemudian menoleh pada wanita di sampingnya. Ter- senyum lagi. Menatap wajah cantik istrinya beberapa saat. Kemu- dian mengusap perut istrinya. Tak lama kemudian dipeluknya wanita itu. Dokter tersenyum, sudah sering ia menghadapi hal semacam ini. Bulir air mata keluar dari sepasang mata suami istri. Lelaki itu memeluk erat istrinya. Begitu juga sang istri. Suasana suka dan haru menyelimuti ruang periksa. Terkadang kebahagiaan yang tiada tara bisa diungkapkan dengan air mata. “Mas…,” sang istri berusaha melepaskan pelukan suaminya. Sadar kalau di depan mereka ada dokter. Sang suami melepaskan pelukannya. Menyeka bulir air mata. Merapikan pakaian. Kembali menghadap dokter. Seolah me- nunggu kalimat dokter selanjutnya setelah ditinggal ‘perayaan kecil’ menyambut kabar gembira. “Ibu…,” pandangan dokter beralih kepada wanita yang du- duk di hadapannya. “Jaga kesehatan dan istirahat yang cukup,” dokter menarik napas, “Belajar dari pengalaman yang sudah- sudah. Sekarang harus lebih hati-hati. Asupan nutrisi bagi janin sangat penting. Bekerja boleh, tapi jangan sampai terbebani pi- Antologi Esai dan Cerita Pendek Bengkel Bahasa dan Sastra 251
kiran yang berat,” dokter mengeluarkan buku kecil dari dalam laci, “Ini ada beberapa tips bagi ibu hamil. Ini buku dari peme- rintah. Dalam rangka meningkatkan pelayanan publik,” dokter menyerahkan buku kecil kepada wanita di hadapannya. “Bapak juga harus ‘SIAGA’, seperti iklan di televisi,” senyum dokter mengembang. Berusaha mencairkan suasana. Terlihat wajah dua orang yang ada di hadapannya terlihat serius, lebih tepatnya tegang dengan penjelasan dokter. Yang diberitahu ter- senyum. Kemudian mengangguk mantap. *** Sejak sepuluh tahun Galang dan Yanti menantikan buah hati. Baru sekarang kabar baik mereka terima. Dua hari lalu, setelah periksa pada dokter yang baru dua bulan menanganinya, kabar baik itu datang. Yanti hamil. Galang dan Yanti sudah membayangkan sembilan bulan ke depan. Tangis si bayi akan memenuhi kamar mereka. Bercanda. Mencuci popok. Memandikan bayi. Bahkan menimangnya di depan rumah. Sejak kabar membahagiakan datang, wajah pasangan suami istri itu tampak lebih bergairah dibandingkan hari-hari biasanya. *** Bulan di langit terus berubah. Sudah tiga kali purnama se- telah kabar baik menghampiri rumah tangga Galang dan Yanti. Artinya, sudah tiga bulan janin berada di dalam perut Yanti. Perutnya tampak membesar, meskipun belum terlalu terlihat mencolok. Yanti rutin berkunjung ke dokter. Memeriksakan janin yang ada di perutnya. Sejauh ini tidak ada masalah. Janin tumbuh normal. Galang memberikan perhatian lebih kepada Yanti tiga bulan terakhir. Membelikan daster, vitamin, pulang tidak larut, bahkan sudah membeli popok untuk calon anaknya, mencurahkan kasih sayang lebih dari biasanya. 252 Pelangi di Kaki Langit
“Ingat kata dokter, kamu tidak boleh terlalu kelelahan,” ujar Galang saat Yanti membawa beberapa pekerjaan kantor ke rumah. “Seharusnya atasanmu bisa memaklumi keadaan kalau kamu baru hamil, Kamu tidak boleh terlalu capek,” Galang berkata sambil menunjuk tumpukan map di atas meja, “Aku khawatir dengan kamu dan anak kita….” “Sudahlah, Mas. Ini cuma membereskan beberapa surat-su- rat penawaran kerja sama. Ini mendadak dan harus segera diselesaikan,” Yanti menjawab santai. Galang mendekat. Memegang bahu Yanti. “Aku tahu, apa tidak bisa dikerjakan di kantor saja?” “Sudahlah, Mas. Ini juga sebentar lagi selesai,” Yanti meraih tangan Galang yang ada di pundak. Mendongak. Wajahnya me- yakinkan Galang bahwa semua akan baik-baik saja. Malam semakin larut. Yanti selesai juga dengan tumpukan mapnya. Saatnya tidur. Yanti memastikan semuanya sudah se- lesai. Sebentar ke kamar mandi dan merebahkan diri di tempat tidur. Galang baru saja selesai mengisi termos dengan air panas untuk membuatkan susu khusus ibu hamil besok pagi. Terkadang ia juga menyiapkan air hangat untuk mandi Yanti kalau merasa dingin. Buah hati yang sedang mereka tunggu mengubah sega- lanya. Mereka berbincang sebentar sebelum menjemput mimpi. Yanti mengusap wajah Galang yang sedikit berminyak. Laki- laki yang sangat ia cintai sejak kecil. Laki-laki berbadan tegap yang gagal menjadi tentara. Tapi itu tidak melunturkan cinta Yanti. “Mas…,” Yanti mengelus perutnya. “Apakah bapak sudah diberi kabar tentang kehamilanku?” “Tidak. Tidak perlu. Kamu tahu sendiri bapak. Dia akan tetap membenci kita.” Antologi Esai dan Cerita Pendek Bengkel Bahasa dan Sastra 253
“Mungkin, dengan diberi tahu bapak jadi lebih baik si- kapnya.” “Tidak. Sudahlah. Pasti tidak akan ditanggapi. Dia tidak setuju dengan kita karena ingin menikahkanku dengan wanita anak pengusaha kaya raya. Yang diinginkannya harta. Dan kebe- tulan kita tidak segera diberi anak, jadi kau dianggap mandul.” “Bagaimanapun mereka tetap orang tua Mas….” “Sudahlah, Yan. Kalau diberi tahu malah membuat pikiran kita terbebani. Belum lagi nanti kalau klenik kejawennya keluar, kita tidak boleh beli popok sebelum mitoni….,” suara Galang meninggi. “Mas…” “Ada apa lagi. Ini sudah larut, Yan?” “Mas, aku khawatir dengan anak kita,” kalimat itu diucapkan Yanti dengan nada agak berat. Ada nada ketakutan di dalamnya. “Makanya kamu jangan terlalu lelah bekerja. Demi kesehatan anak kita.” “Aku memang sudah bertekad menjaga dan berusaha sebaik mungkin untuk anak kita, Mas.” “Terus apa yang membuatmu khawatir?” Yanti menarik napas dalam. “Yang menjadi pikiranku sekarang…,hem, pendidikan anak kita, Mas….” Galang menoleh. Memperhatikan wajah Yanti. Tertawa seje- nak. “Tenang saja. Aku akan bekerja lebih keras lagi. Besok kalau anak kita sudah sekolah, aku akan lembur. Aku akan cari uang yang banyak supaya pendidikan anak kita terjamin,” Galang bicara dengan mantap. “Kita memang tidak kekurangan, Mas. Untuk biaya pendi- dikan aku yakin kita mampu,” Yanti menarik napas, “Tapi, bagai- mana dengan pendidikan moral anak kita?” ujar Yanti sambil menatap Galang, berharap mendapat jawaban yang bijak. “Sekarang, anak-anak tidak diasuh oleh orang tuanya. Tidak dibesarkan sendiri. Tapi di tempat penitipan anak. Diasuh pem- 254 Pelangi di Kaki Langit
bantu. Main game online. Juga mainan mereka serba modern. Lha, permainan anak sekarang, tidak ada filosofinya. Bahkan nilai yang ada hanya untuk menang dan kalah saja. Kalau per- mainan anak dulu kan jelas ada nilai luhurnya, baik untuk per- kembangan anak,” jelas Yanti dengan wajah prihatin. Kamar mereka lenggang. Angin masuk melalui kisi-kisi jendela. Tirai jendela bergerak sebentar. Suara binatang malam sayup terdengar. Galang tampak berpikir keras mendengar kalimat Yanti barusan. “Kita akan mendidik anak kita dengan baik,” setelah bebe- rapa menit Galang bicara. Akan aku ajarkan kepadanya kelak, agama, tata karma, dan yang lain.” “Apa mungkin dengan kesibukan Mas bekerja. Yang mem- buatku ragu dunia di luar Mas. Mas masih ingat beberapa waktu lalu berita di televisi, ada anak gadis ditemukan tidak sadarkan diri di sebuah hotel. Dia diajak kencan lelaki yang baru dikenal seminggu lewat sosial media. Direnggut kehormatannya. Per- hiasan dan uangnya diambil. Setelah semua didapat, dia dianiaya dan ditinggal begitu saja,” jelas Yanti mengingatkan. “Kita akan jaga dengan baik anak kita. Tidak akan aku biar- kan dia kelak bergaul dengan orang yang tidak jelas. Apalagi lewat cara seperti itu. Tidak akan…!” Yanti menghela napas. Galang juga. Malam itu, Galang dan Yanti tertidur dalam percakapan yang belum usai. Malam ber- lanjut. Entah apa yang mereka impikan. *** Waktu berlalu. Perut Yanti semakin besar. Tentu saja dengan perhatian lebih dari Galang. Yanti sudah tidak bekerja lagi. Perhatian Galang tiada duanya. Di rumah ada dua pembantu. Satu bagian bersih-bersih dan satunya lagi menjaga Yanti. Kalau ada perlu ini itu tinggal bilang ke pembantu. Yanti tidak perlu repot-repot mengerjakan segala sesuatu. Semua sudah beres. Mau makan tinggal bilang. Mau pergi sudah ada sopir pribadi. Antologi Esai dan Cerita Pendek Bengkel Bahasa dan Sastra 255
Terkadang Galang menyempatkan pulang untuk mengantar Yanti periksa. Semua kebutuhan Yanti tidak ada kurangnya. Namun, hari- harinya semakin sepi dirasa. Semenjak tidak bekerja lagi, Yanti tidak mempunyai kegiatan. Paling cuma baca koran atau me- nonton televisi. Itupun membuatnya bosan. Setiap hari pasti ada berita anak hilang, anak diculik, perkosaan sampai tawuran pelajar. Keadaan itu membuat Yanti semakin khawatir. Senja menggeliat menuju peraduan. Waktu terus berjalan. Kandungan Yanti sudah menginjak sembilan bulan. Kegalauan makin meningkat, meskipun semua keperluan melahirkan sudah tersedia tetapi pikiran Yanti belum tenang. Ayah mertuanya tetap memusuhinya. Kebosanan di rumah, pikiran mengenai masa depan anaknya, justru membuatnya stres. “Mau jadi apa anak ini? Sekarang zaman sudah tak karuan. Anak kecil menjadi korban iklan yang mengerikan. Mereka menjadi serakah. Manja,” pikir Yanti saat duduk di teras. “Orang tua sibuk mencari uang. Bahkan mereka lupa Tuhannya. Bisa jadi uang yang dituhankan mereka. Orang tua berangkat pagi ketika si anak belum bangun. Pulang malam, sudah lelah bekerja. Kadang membawa amarah dari kantor. Tak sempat bicara de- ngan anak. Lelah atau membawa lemburan ke rumah,” Yanti mengelus perutnya yang besar, “Mereka diasuh pembantu. Pem- bantu yang hanya memikirkan saatnya gajian. Tidak berpendi- dikan. Malah ada beberapa kasus kalau anak yang diasuh di- aniaya.” Yanti tampak sedih. Kepalanya mulai pusing. Sejak sebulan lalu kepalanya sering pusing kalau memikirkan hal itu. Galang tidak tahu yang terjadi pada Yanti. “Loh, kok masih di luar?” tegur Galang membuyarkan pan- dangan kosong Yanti. “Oh, Mas sudah pulang?” Yanti gugup. Suaminya sudah ada di hadapannya. 256 Pelangi di Kaki Langit
“Sudah, ayo masuk! Sudah magrib,” menggandeng Yanti masuk rumah. Setelah matahari benar-benar terbenam dan malam gulita, Yanti kembali termenung dalam pikirannya. Saat diajak bicara Galang, ia tidak memperrhatikan. “Yan,…” Galang mengelus rambut Yanti. “Em…. Iya Mas,” agak kaget. “Apa lagi yang kau pikirkan?” Galang bertanya penasaran. “Semua kebutuhan anak kita sudah siap.” “Ah, tidak ada kok Mas,” jawab Yanti pelan. Malam semakin larut. Galang tertidur pulas. Tapi tidak de- ngan Yanti. Meskipun matanya terpejam, namun ia belum tidur. Pikirannya masih sama seperti kemarin-kemarin. Bagaimana dengan anaknya kelak, mau jadi apa anaknya? Tidak punya anak disangka mandul, giliran punya anak tidak bisa menjamin masa depan. Sampai sepertiga malam berakhir, Yanti masih tidak tidur, sibuk dengan pikirannya. “Apakah lebih baik aku tidak punya anak saja?” mata Yanti terbuka. Benar-benar terbuka. Gambiran, Juni 2014 Antologi Esai dan Cerita Pendek Bengkel Bahasa dan Sastra 257
NGALOR-NGULON Susi Retnowati MTs Muhammadiyah Sentolo, Kulonprogo Musim hujan memasuki masa akhir. Sepalum sepalum dendro- bium mulai bermekaran. Hijaunya gelombang cinta berganti dengan merahnya kamboja. Semarak euporbia menambah suasana semakin ceria. Tetapi hati Dinda tidak seceria halaman ru- mahnya. “Mengapa Din?” tanya Bakti, suaminya “Tidak ada apa-apa Papa,” jawab Dinda singkat “Kok dari tadi Mama murung....” “Tidak ada apa-apa Pa. Mama boleh bertanya?” “Mengapa tidak, Mama mau tanya apa?” “Papa masih mencintai Mbak Widya?” “Kok tanya begitu, Ma. Memang ada apa? Kan Papa sudah bilang kalau itu masa lalu Papa.” “Lha di pertemuan tadi, Papa tampaknya bahagia sekali,” jelas Dinda “Hhhhhh, ya wajarlah Ma, namanya juga teman, apalagi lama tidak berjumpa.” “Tapi, sikap Papa tadi sangat berlebihan.” “Berlebihan bagaimana? Perasaan biasa saja….” “Ya, walaupun Papa bilang biasa, tapi sikap dan pandangan mata tidak bisa disembunyikan.” “Sudahlah Ma, Mama tidak usah membebani pikiran dengan prasangka. Ingat, Mama tidak boleh berpikir yang berat-berat kan?” 258 Pelangi di Kaki Langit
“Iya Pa. Tapi hati Mama tetap mengatakan kalau Papa masih menyimpan rasa pada Mbak Widya,” Dinda mempertahankan pendapatnya. “Ma, Kalau Papa masih ada perasaan pada Widya, pada acara tadi Papa tidak akan mengajak Mama dan anak-anak. Papa akan berangkat sendiri, Papa bebas bersama Widya. Tetapi tidak kan? Mama tetap Papa ajak. Itu membuktikan bahwa Papa sangat ter- buka pada Mama. Masalah Papa masih akrab dengan Widya, wajarlah. Dia kan dulu teman dekat Papa. Mungkin teman dekat satu-satunya. Jadi kalau sekarang masih menyimpan rindu, itu wajar. Coba Mama mengingat-ingat teman akrab Mama, me- nyimpan rindu juga kan? Sudahlah, Mama tidak usah berpkir yang macam-macam. Sekarang Mama istirahat. Papa mau pergi piket, ini sudah pukul sembilan malam. Tanpa menunggu jawaban istrinya, Bakti pergi ke garasi mengambil motor. Dilajukannya kendaraan menuju tempat kerja. Tanggung jawab sebagai aparatur negara selalu disandangnya. Bakti adalah sosok polisi sangat disiplin. Penat badan perjalanan pulang Jogja-Ciamis tidak dirasakan. Sampai di rumah pun sang istri masih menginterogasi bak seorang wartawan. Benarkah tadi dia begitu bahagia bertemu dengan Widya, gadis yang dulu ia tinggalkan karena masalah ngalor- ngulon? Benarkah ia lupa pada Widya? Tak dipungkiri bahwa bayang-bayang Widya ma- sih sering muncul dalam mimpinya. Jarum jam pendek di tangan Bakti tepat di atas angka sepu- luh. Waktu di awal sepertiga malam. Bayangan istrinya yang ia tinggalkan dalam keadaan penasaran dan cemburu sebenarnya membuat hati Bakti tidak tega. Tampaknya Dinda belum puas dengan jawaban tadi. Namun apa dikata, itu yang bisa ia sampai- kan. Virus torck pada tubuh Dinda yang menjadi pertimbangan- nya. Bakti tidak ingin menambah beban Dinda. Dinda sudah cukup tersiksa. Dia sering pusing dan mudah capai. Meskipun tidak jarang Bakti dibuat jengkel. Dinda sering bersikap berle- Antologi Esai dan Cerita Pendek Bengkel Bahasa dan Sastra 259
bihan. Dia suka manja, cemburu kelewat batas, dan suka me- nuntut. “Kasihan?” Bakti bertanya pada dirinya. “Tidak, aku tidak sebatas kasihan. Aku harus mencintainya. Dia istriku, aku harus mencintainya. Dia ibu dari anak-anakku. Seperti apa pun ke- adaannya, aku harus menerimanya.” Sepanjang perjalanan menuju tempat dinas, kepala Bakti dipenuhi berbagai macam pikiran. Istrinya yang sedang sakit, dan masa lalunya bersama Widya. Tak dapat dipungkiri kalau dulu Bakti sangat mencintai Widya. Gadis teman studinya se- lama tiga belas tahun. Enam tahun di SD, tiga tahun di SMP, tiga tahun di SMA, dan setahun di bangku kuliah. Tiga belas tahun adalah waktu cukup lama untuk saling mengenal, me- ngerti, dan memahami. “Selamat ya, semoga nanti menjadi aparatur negara yang amanah,” ucap Widya ketika ia baru saja diangkat menjadi Bintara. “Terima kasih Wid. Insyaallah akan kupegang amanat itu,” jawab Bakti. Ternyata itu adalah waktu terakhir dalam kebersamaan mereka. Bakti tidak pernah menyangka kalau di zaman modern masih ada yang percaya pada mitos. Ayah Widya masih mem- percayai itu. Ayah Widya menolak lamarannya. Ngalor- Ngulon adalah penyebabnya. Ayah Widya yang masih kental dengan kejawen tidak menyetujui hubungan anaknya dengan Bakti. Ilmu hitung dalam primbon masih dipakai untuk merestui jodoh anaknya. Letak rumah Bakti persis berada di kidul wetan rumah Widya. Hal itu yang membuat ayah Widya tidak menyetujui hubungan mereka. Walaupun mereka masih kerabat, satu kam- pung, dan ibunya adalah teman sekantor, ayahnya tidak mempe- dulikan. Sang Ayah begitu takut menanggung risiko jika anaknya mendapatkan suami yang letak rumahnya ngidul-ngetan. Itu sebuah pantangan besar bagi orang Jawa. Bagi mereka, jodoh seorang gadis letak rumahnya harus ngalor-ngulon agar men- 260 Pelangi di Kaki Langit
dapatkan berkah. Jika seorang gadis menikah dengan pria yang letak rumahnya ngidul-ngetan dapat mendatangkan musibah atau malapetaka. Mungkin umur orang tuanya tidak akan panjang, rezekinya tidak lancar atau sendet. Keturunannya akan menda- patkan kesulitan atau cacat. Anaknya tidak akan sukses. Atau hal-hal lainnya yang menurut mereka dapat menakutkan. Mereka benar-benar memperhitungkan jika anak gadisnya akan menikah dengan orang yang arah rumahnya tidak ngalor-ngulon. Rumah ngalor-ngulon akan menjadikan hidup ayem tentrem. Widya sangat kecewa. Pendidikan yang ia peroleh di bang- ku madrasah modern memberikan pengetahuan bahwa pemikir- an ayahnya itu salah. Tidak ada hubungannya antara rezeki, qodo’ dan qodar dengan arah atau letak rumah. Widya meng- anggap itu adalah perbuatan syirik yang harus dihindari, seti- daknya itu hanya mitos. Baik Widya maupun Bakti sebenarnya tidak mempercayai mitos. Widya dan Bakti dididik di sekolah dengan paham Islam modern. Mereka diajarkan bahwa hanya Allah yang boleh dita- kuti. Hanya Allah yang mengatur segala kehidupan manusia. Hanya Quran dan Hadits yang dijadikan petunjuk. Dan ngalor- ngulon tidak akan mempengaruhi apa-apa dalam kehidupan ma- nusia. Tetapi sebagai seorang muslim dan muslimah, mereka mem- punyai kewajiban menghormati orang tua, karena itulah mereka mengalah. Mereka mengalah bukan berarti kalah dan mengiya- kan pendapat ayah Widya, tapi sekedar menghormati orang tua. Dan mereka pun terpaksa mengorbankan perasaan cinta. Hari demi hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, dan tahun berganti tahun, mereka berpisah. Bakti benar- benar meninggalkan Widya. Cinta Widya pun pelan-pelan ter- kubur. Hingga suatu hari seorang sekretaris desa melamar Wi- dya. Karena sudah tidak ada harapan lagi akan seorang Bakti, Widya menerima lamaran itu. Namun demikian, usia perka- winannya tidak lama. Suami Widya berbuat serong, dan Widya Antologi Esai dan Cerita Pendek Bengkel Bahasa dan Sastra 261
minta cerai. Sementara itu, Bakti menikah dengan anak atasannya. Sesungguhnya, di hati yang paling dalam, Bakti belum bisa melupakan Widya, demikian pula dengan Widya. Mereka sama- sama masih memendam rasa. Persahabatan yang terjalin cukup lama telah mengikat keduanya dengan kokoh. Kebersamaan di dalam kelas selama tiga belas tahun menunjukkan kesabaran me reka dalam berteman. Ketika di bangku SMP, persahabatan mereka diwarnai dengan kelucuan, percekcokan, juga perkelahi- an. Namun semua itu tidak berarti. Di lain hari, mereka akrab kembali, berangkat dan pulang sekolah bersama-sama. Bermain egrang bersama, manjat pohon bersama, juga main tenis meja bersama. Bakti ingat betul ketika ia memukul kaki Widya dengan sapu lidi. Widya suka macokke dengan Nurwanti teman sekelas, se- mentara Bakti tidak suka dipacok-pacokke. Bakti marah kemudian memukul kaki Widya dengan sapu lidi. Itu adalah perkelahian pertama dengan Widya. Bakti adalah cowok kekar dan gagah. Wajar jika banyak gadis menyukainya, sehingga Widya suka macokke Bakti dengan gadis-gadis lain. Seringkali Bakti menyakiti Widya dengan memukul pelan. Widya yang dipukuli hanya diam. Pulang sekolah mereka bersama kembali. Begitulah setiap harinya Bakti dengan Widya. Mereka akrab, suka berkelahi, kemudian akur kembali. Ketika di SD mereka belum punya sejarah apa-apa. Hal itu wajar, karena anak usia SD masih sangat polos dan tidak pernah mengenal cinta. Peristiwa yang paling disesali Bakti dan tidak akan pernah dilupakan adalah ketika berangkat sekolah. Waktu itu ia diledek Widya. Dia dipacokke dengan Nurwanti. Karena dia sangat benci dengan Nurwanti maka dengan tidak berpikir panjang, Bakti mendorong Widya bersama sepedanya masuk ke sawah. Baju Widya basah kuyup terkena air sawah berwarna coklat. Saat itu ada petani yang sedang membajak sawah dengan sapi. Widya tampak ketakutan berhadapan dengan sapi. Ia ber- 262 Pelangi di Kaki Langit
teriak-teriak ketakutan. Sepatu, tas, dan bajunya menjadi ber- warna coklat karena gelepotan lumpur. Widya tidak jadi berang- kat ke sekolah. Bakti akhirnya mengantarkan Widya pulang. Ia sangat menyesal telah memperlakukan Widya seperti itu. Sejak saat itu, perasaan kasihan mulai muncul pada diri Bakti. Widya yang diperlakukan semena-mena tidak pernah sakit hati. Bahkan sepertinya Widya tidak pernah menganggap kejahilan Bakti sebagai peristiwa penting. Sikap pemaaf dimiliki oleh Widya, dia tidak pernah menampakkkan dendam. *** “Mana teman Papa yang Papa masukin ke sawah?”tanya anak bungsunya. “Itu, yang pakai batik pink,” Bakti menunjuk ke arah Widya seraya menepuk bahu Widya. “Maaf Wid, aku pernah cerita pada anak-anak tentang masa lalu kita yang lucu. Tidak apa-apa, kan?” “O, tidak apa-apa, santai saja. Maaf ya Mbak Dinda, kalau kami bercanda,” jawab Widya sambil menyapa Dinda. “Iya, Mbak,” jawab Dinda singkat. “Kenapa sayang, Papa banyak cerita tentang tante ya?” Widya mencoba akrab kepada anak Bakti yang bungsu. “Iya Tante, Papa sering cerita tentang Tante waktu sekolah.” “He, he, Papa jahat ya sayang, masak tante mau sekolah didorong sampai masuk sawah dan baju tante gelepotan lum- pur,” jawab Widya ramah. Mendengar perkataan Widya, Bakti hanya tersenyum. Itulah salah satu yang membuat hati Bakti tidak bisa melupakan Widya. Teman yang selama tiga belas tahun bersamanya setiap hari. Dan sekarang setelah dua puluh tahun, baru bertemu kembali. Teman yang sebenarnya sangat istimewa. Teman yang selalu memaafkannya. Teman yang tidak pernah menganggapnya ber- salah. Tapi takdir tidak membawa bersamanya. Melihat pertemuan mereka, Dinda masam muka. Suaminya sangat bahagia dalam pertemuan itu. Bahkan kehadiran teman- Antologi Esai dan Cerita Pendek Bengkel Bahasa dan Sastra 263
teman yang lain kurang diperhatikan. Perhatian suaminya hanya tertuju pada Widya. Berbeda dengan Widya, dia menanggapi pertemuan itu biasa saja. Itulah kehebatan dan kelebihan Widya. Widya sangat pandai berakting. Dia bisa menyembunyikan pe- rasaan sebenarnya. Dia bisa menempatkan dan menyesuaikan diri pada keadaan. Dia selalu mengalah. Dia penurut, tapi juga humoris dan ramah. Itulah yang membuat Bakti jatuh cinta. *** Malam piket dihabiskan Bakti dengan pikiran campur aduk. Silih berganti bayangan Widya dan istrinya muncul. “Andai istriku mau berbagi, aku akan meminangnya kem- bali, “pikir Bakti mulai berandai-andai. Kenangan bersama Widya muncul. Bakti benar-benar takut jika cinta lamanya ber- semi kembali. Pertemuan itu telah membangkitkan semuanya. Dering seluler membuyarkan lamunannya. Putri sulungnya mengabarkan bahwa mamanya sesak napas. “Papa cepat pulang, Mama sesak napas…..” Bergegas Bakti mengambil motor. Disibaknya angin malam dengan cepat. Pikirannya tertuju pada Dinda, istrinya yang sakit- sakitan selama beberapa tahun ini. Tidak jauh jarak rumah de- ngan tempat dinas, cukup sepuluh menit Bakti sampai rumah. Istrinya terbaring lemah. Dua orang tetangga duduk di samping Dinda. Didekatinya Dinda, diusap kening istrinya. Dipegangnya tangan Dinda. “Mama harus kuat, kita akan ke rumah sakit. Mama harus sembuh. Semua penyakit ada obatnya.” “Tidak usah membawaku ke rumah sakit. Allah sudah meng- gariskan hidupku sampai di sini. Pertanyaanku tadi sore tidak usah Papa hiraukan. Beberapa hari ini Mama memang merasa lelah, Pa. Sudah saatnya Mama beristirahat. Maafkan semua ke- salahan Mama. Tidak ada hubungannya pertanyaan Mama sore tadi dengan kondisi Mama sekarang,” jelas Dinda dengan suara semakin melemah. 264 Pelangi di Kaki Langit
“Ssstttt, Mama tidak boleh berkata seperti itu. Mama harus menemani kami. Anak-anak masih membutuhkan Mama.” “Tapi maaf Pa, Mama sudah tidak kuat lagi. Sampaikan pada Mbak Widya, Mama minta tolong dia merawat anak-anak. Titip salam buat Mbak Widya,” suara Dinda pelan tidak terdengar. Dengan dibimbing suaminya, Dinda menghadap Sang Pencipta. Semaraknya bunga kamboja mengantarkan kepergian Dinda selamanya. Mekarnya dendrobium-dendrobium menyambut kedatangan Widya dengan tersenyum. Antologi Esai dan Cerita Pendek Bengkel Bahasa dan Sastra 265
PANGILAN UNTUK ANAKKU Kismiyati SMP N 1 Wates, Kulonprogo Anak sulungku mulai beranjak dewasa, berambut ikal dan berkulit sawo matang. Ia masih saja berdiri di hadapanku dengan muka masam. “Bu… Ibu, gimana sih kok ndak ngerti aku? Kenapa Ibu tidak memberikan semua keinginanku ? Sebenarnya aku ini anak Ibu atau bukan sih?” itulah kata-katanya bernada setengah meng- ancam. Aku kaget,mendengar kata-kata itu. Bak halilintar yang me- nyambar diriku. Mengapa justru kata-kata itu yang keluar dari mulut yang mungil dan manis. Anak yang selama ini terlihat pendiam dan menghormatiku, ternyata tega menyakiti hatiku. Aku menjadi serba salah, ternyata kerja keras selama ini belum bisa menuruti semua keinginan anakku. Kutengok kembali ke- mampuanku secara ekonomi. Aku bisa makan bersama anak dan orang tua tiap hari saja sudah bersyukur. Apalagi dengan kondisi negara yang sedang mengalami efek global krisis moneter ber- kepanjangan. Suatu sore kubuka kembali album foto yang lama tersimpan dilemari buku. Aku amati satu persatu gambar-gambar yang ada. Tampak gambar anak-anak ketika masih kecil, mereka begitu lucu. Terbayang lagi sosok lelaki yang telah meninggalkan kami untuk selamanya. Segera kututup album foto karena tidak ingin larut dalam kesedihan. 266 Pelangi di Kaki Langit
Kringg..kring…kring… tiba-tiba handphone berbunyi nyaring mengagetkan. Kubuka satu pesan yang masuk. “Maaf kami harap besok pagi orangtua/wali dari Ariyanto untuk datang ke sekolah, ada hal penting yang harus kami sampaikan.” Aku terkejut karena baru pertama kali ini kuterima pesan dari sekolah anakku. Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres. Hari pun berganti dan aku datang ke sekolah tempat anakku sesuai dengan waktu yang ditentukan. Aku dipersilahkan masuk ke ruang bimbingan konseling, ditemui guru BK yang ramah. “Selamat pagi Ibu, mari silakan masuk,” kata guru perempuan di depanku. “Selamat pagi Bu,” jawabku sambil melangkah masuk ruangan. “Maaf apakah Ibu orang tua Ariyanto? Sudah beberapa hari ini Ariyanto tidak masuk sekolah tanpa keterangan, apakah dia sedang sakit?” tanya guru BK yang cantik itu. Wajahku seketika memerah karena kaget dan malu, “Tapi Bu, setiap hari Ariyanto berangkat sekolah…,” jawabku agak gemetar. “Ya sudah kalau begitu, tolong nanti bantu kami memberi nasihat agar Ariyanto masuk sekolah. Anak ini sebetulnya anak pintar. Mungkin hanya terpengaruh lingkungan yang tidak men- dukung,” jelas guru BK. Setelah semua selesai, aku pamit dan pulang dengan perasaan tak menentu. Saat sore, dengan sengaja aku duduk di serambi rumah ber- sama anakku yang kecil sambil menunggu adzan magrib. Tak selang berapa lama adzan berkumandang. Bergegas aku dan si kecil salat berjamaah. Waktu terus berlari, tak terasa jam di din- ding menunjuk angka 20.00 WIB. Pintu ada yang mengetuk, se- gera aku buka dan ternyata Ariyanto yang datang. “Dari mana saja kamu?” tanyaku. “Main Bu,” jawabnya sambil lalu. Kusuruh dia mandi, makan, terus salat Isya. Antologi Esai dan Cerita Pendek Bengkel Bahasa dan Sastra 267
“Ar… ini ibu bukan sedang marah, ibu hanya ingin tahu pergi kemana saja to kamu selama ini?” tanyaku pelan. “Ya ke sekolah to Bu!” jawabnya spontan tanpa beban. “Le…jangan bohongi ibu ya, tadi ibu dipanggil guru BK. Katanya sudah berhari-hari kamu tidak masuk sekolah. Mbok jujur saja….” “Ke Mall Bu. Habis permintaanku ndak pernah dituruti.” “Le mbok kamu memahami ibu sedikit, setelah bapakmu meninggal, kan ibu yang mencukupi semua kebutuhan rumah ini. Ya kebutuhan adikmu, kebutuhan kakek dan nenek, kebu- tuhanmu serta kebutuhanku sendiri to Le. Mbok coba sekarang kamu berpikir kalau kamu mbolos kan tidak ada manfaatnya, paling-paling hanya kesenangan sesaat. Ingat Le kamu sudah kelas sembilan, sebentar lagi Ujian Nasional. Masa depanmu ada di tanganmu sendiri. Rasanya ibu tidak tega kalau besok kamu menjadi bahan olok-olokan teman dan tetangga kita karena ulah- mu sendiri. Ariyanto mulai memahami kata-kataku dan raut mukanya menampakkan penyesalan. “Aku minta maaf Bu....,” katanya seraya memelukku sambil terisak. Kuelus pundak lebarnya yang mengingatkan pada almar- hum suamiku. “Iya....iya Nak, janji besok masuk sekolah yang baik ya ….” “Inggih Bu, aku menyesal telah menyakiti hati Ibu....” Lega sekali rasanya hatiku malam itu, tampak di kejauhan almarhum suamiku melambaikan tangan sambil tersenyum bangga padaku. Kulon Progo, 9 Mei 2014 268 Pelangi di Kaki Langit
PELANGI DI ATAS KUBURAN Sumiyati SMP Negeri 2 Pandak, Bantul “Tok, tok tok…” Suara pintu diketuk berkali-kali. Sepi, ru- mah seperti tak berpenghuni. Semakin lama semakin keras. Wak- tu baru menunjukkan pukul lima pagi. Dengan sangat berhati- hati Lik Selo berjalan berjingkat ke arah pintu. Betapa terkejutnya Lik Selo, jantungnya berdegup kencang, berdesir”desir, setelah melihat dari lubang kunci pintu ada beberapa sosok lelaki tegap yang dikenalinya. Istrinya yang berada persis di belakangnya ikut mengintip dan tak kalah terkejut. Dari temaram lampu teplok rumah Lik Selo terlihat wajah istrinya pucat. Tubuhnya gemetar, mematung tak bertenaga. Takutnya berlipat”lipat, hatinya ciut, tak tahu apa yang harus dilakukan. Hingga beberap detik ter- diam. Beku. Hati-hati Lik Selo ambil langkah seribu keluar lewat pintu belakang. Istrinya terpaku memandang suaminya hilang di balik pintu. Suara ayam berkokok dari kejahuan terdengar bersahut- sahutan seakan menertawakannya. Lik Selo tanpa menoleh ke belakang semakin mempercepat langkahnya. Dia terus menjauh dari rumahnya. Sekali”kali ia berhenti memastikan bahwa tak ada orang yang mengikutinya. Tanpa alas kaki, diinjaknya semak belukar berduri dan tanah jeblok karena gerimis yang turun sejak malam tadi. Goresan duri di kaki tak dirasakan. Tubuhnya basah, tapi hatinya panas membara diburu rasa takut tak terhingga. Tetes air yang menimpa pepohonan tak sederas air matanya. Takutnya benar-benar tak terhingga. Dia menerobos kebun, Antologi Esai dan Cerita Pendek Bengkel Bahasa dan Sastra 269
ladang kolonjono dekat sungai. Sesampainya di gundukan tanah agak tinggi ia berhenti. Napasnya terengah-engah. “Duh, Ibu!” pekiknya dalam hati. Desir angin membuatnya menggigil. Mentari belum juga memperlihatkan wajahnya. Mendung dan gerimis menemaninya selaras dengan suasana hati yang menciut. Dia memandang ke sekeliling, mengambil napas dalam-dalam terus mengeluarkan lewat mulut. Hal itu dapat mengurangi ketakutan. Badannya basah kuyup, dengan langkah gontai dihampirinya warung Yu Ijem yang masih sepi. Tubuh yang basah direbahkannya ke sebuah lincak bambu yang basah juga. Dingin menusuk-nusuk hingga ke sumsum tu- lang. Dia bangkit, duduk, tangannya memeluk lutut untuk meng- usir hawa dingin. Dia teringat wajah tamu yang menyambangi rumahnya. Ketakutan kembali muncul. “Pasti mereka para debkolektor, penagih cicilan motor. Kali ini tidak hanya tiga orang dan wajahnya lebih menyeramkan,” pikirnya. Dalam lamunanya kembali terbayang penagih hutang lainnya. Bank harian, penagih cicilan TV, HP, dan Mas Tarjo tetangganya tak ketinggalan menagih iuran listrik. Tapi para penagih cicilan motor itu tetap yang paling menakutkan. Mereka berpakaian serba hitam, ketat. Berkaca mata hitam walaupun belum siang hari. Ada yang memakai anting, kalung, dan ta- ngannya ditatto. Perkataan mereka kadang kasar, membentak, merontokkan bulu kuduk. Tatapan matanya seolah akan menelan da melumat habis tanpa sisa lawan di hadapannya. Orang mulai berdatangan ke Warung Yu Ijem. Kini Lik Selo tidak sendiri lagi, meskipun begitu hatinya tetap sunyi. “Dah lama Lik?” sapa temannya. “Ya,” jawabnya singkat. Bulan Februari, hujan tiada henti. Sungai Progo banjir. Para penambang tidak dapat mencari pasir. Tentu saja juga berlaku 270 Pelangi di Kaki Langit
pada Lik Selo. Kini warung Yu Ijem telah penuh para penambang pasir. Mereka hanya nogkrong, ngomong ngalor ngidul. “Kalau sampai hujan terus bisa paceklik, Kang,” kata Kang Paiman pada sesama penambang pasir. “Betul, terpaksa kujual enthok agar dapur tetap ngebul,” ujar temannya. “Ayamku juga pasti kontal,” sahut yang lain. “Istriku juga ndak bisa thuthuk melinjo, cuaca seperti ini emping ndak bisa kering, malah jamuren, juragan pasti marah,” ujar Lik Paiman lagi. Di sudut lincak sebelah Barat yang menghadap ke sungai, Lik Selo duduk termenung mendengarkan ocehan teman-teman- nya. Angannya mengembara mencari jalan kemana dapat mencari uang. Para tamu tadi pagi jelas mengganggu pikirannya. “Zaman memang telah berubah,” gumamnya dalam hati. Kalau dulu semasa remaja, teman-temannya sekolah naik sepeda atau jalan kaki, tapi sekarang kemana-mana harus naik motor. Ndak ada yang bersepeda. Demi anak, akhirnya Lik Selo mengambil kredit motor Mio. Namun akhirnya ia kesulitan mengangsur karena mata pencaharian dengan mengandalkan Sungai Progo macet. Teman-teman sesama penambang pasir terpaksa menjual ternak untuk menyiasati musim penghujan dan banjir Sungai Progo. Bagi Lik Selo tak ada lagi ternak atau benda berharga di rumah. Semua sudah dijual untuk menambah uang muka kredit motor. Di rumahnya benar-benar sesuai nama diri- nya, selo. Dengan sisa rokok tinggal satu senti, Lik Selo tetap setia duduk di lincak menghadap ke sungai. Ia pandangi arus sungai yang semakin deras. Gemuruh gelombang sungai, segemuruh hati yang meluap-luap ingin segera menemukan jalan agar penagih hutang tidak datang lagi ke rumahnya. “Tidak pulang, Lik? Yang lainnya sudah pulang karena banjir belum surut…,” tanya Yu Ijem. Lik Selo hanya menggelengkan kepala. Antologi Esai dan Cerita Pendek Bengkel Bahasa dan Sastra 271
“Atau mau makan dulu, ngutang lagi juga boleh,” lanjut Yu Ijem. Sekali lagi Lik Selo hanya menggeleng. “Mumpung hujannya reda, Lik,” ujar Lik Ijem lagi. “Yu, Yu Ijem, hatiku lagi bingung, ruwet,” akhirnya Lik Selo buka suara. “Walah-walah, Lik Selo, mau sampai kapan Sampeyan ndak ruwet, dari dulu kok ndak rampung-rampung,” ujar Yu Ijem de- ngan nada memelas. “Pamit dulu Yu, mangga,” kata Lik Selo memotong. Lik Selo beranjak dari lincak. Melangkah pelan menuruni jalan setapak menuju sungai. Belok ke utara, bukan rumahnya yang dituju. Kakinya terus melangkah hingga sampai ke tempat yang agak tinggi. Dia terus naik. Sebuah bangunan yang di da- lamnya terdapat banyak batu nisan tepat di depannya. Kuburan. Dia masuk lebih dalam. Dua buah batu nisan bertulis nama Kyi Marto Utomo dan Nyi Maro Utomo. Mendiang kedua orang tuanya dikebumikan di situ. Dia bersimpuh memanjatkan doa. Gerimis mengiringinya dalam lantunan doa. Air mata deras mengalir sederas aliran Sungai Progo. Badannya lemas, tak ber- daya. Dalam sela-sela doa dia tumpahkan segala permasalahan yang membelit dan menghimpit. Dengan khusuk, dia bisikkan doa dan segala permasalahan. Tiba-tiba bayangan ibunya hadir seperti saat dia mau menikah dulu. “Thole, dengarlah, camkan baik-baik, sedikit pun tak boleh kau lupakan,” ibunya bersuara. Lik Selo terbawa kembali pada waktu lampau. Saat itu bulan sabit menemani ibu dan anak bercengkrama di lincak depan ru- mah. Semilir angin lembut memainkan kerudung putih kesa- yangan ibunya. Kembali ibunya berkata, “Thole, jangan lupa bahwa menikah itu memadukan dua pribadi yang berbeda. Kamu dan calon istri- mu mempunyai kebiasaan yang tidak sama. Pandangan dalam mengarungi bahtera rumah tanggga juga beda. Hal yang sepele 272 Pelangi di Kaki Langit
saja pasti beda, misalnya kesukaan. Tapi, Le, janganlah perbedaan itu menjadi jurang pertengkaran. Kamu harus bisa menyelaraskan perbedaan seiring dan sejalan. Segala sesuatu putuskan dengan musyawarah tanpa menyakiti yang lain. Jalanilah hidup dengan prasojo, nrimo ing pandum, bersabar, dan tawakal. Memang ibu bukan orang sekolahan, pelajaran hidup yang ibu dapatkan dari pengalaman semata, tapi bisa kamu gunakan sebagai pertim- bangan dalam mengarungi kehidupan rumah tanggamu kelak.” Air mata Lik Selo menderas. Hatinya bagai dicabik-cabik sembilu. Dia ngguguk mengingat kesalahan langkahnya dalam berumah tangga. Dia tak dapat membendung keinginan anak istrinya. Televisi, motor, HP semuanya kredit. Besar pasak dari pada tiang kata pepatah. Para penagih hutang ndak akan mau tahu keadaanya. Bentakan, ancaman, bahkam makian dia da- patkan hampir tiap hari. Namun anak istrinya tetap saja menuntut ini, itu. Selama ini Lik Selo maklum saja dengan keinginan istri- nya. Maklum dulu istrinya mantan bunga desa dan anak orang berkecukupan. Istrinya bersedia dinikahi karena ketampanan- nya, walaupun ia hanya seorang buruh. Setelah kedua mertuanya meninggal, tak satupun saudara iparnya yang dapat melanjutkan usaha toko kelontong mertuanya, termasuk istrinya. Istrinya tetaplah perempuan manja dengan segala kemauan, sepertinya segala yang diiklankan TV mau dibelinya. Dan sifat ini menurun pada kedua anaknya. Kembali bayangan ibunya hadir. Kali ini bersama bapaknya. Saat akan menempati rumah barunya yang masih semi permanen, bapaknya mengatakan bahwa dia harus mencontoh kesederha- naan Rasulullah. Jika mempunyai keinginan, kalau belum mampu diwujudkan harus bersabar, tawakal. “Thole Selo, ingatlah apa kata Kyai Rahmad saat memberi pengajian pernikahanmu dulu, Allah bersama dengan orang- orang yang sabar,” kata bapaknya Perlahan-lahan hati Lik Selo merasakan kesejukan. Jantung- nya tak lagi berdegup kencang, kembali normal. Badannya Antologi Esai dan Cerita Pendek Bengkel Bahasa dan Sastra 273
merasakan kesegaran. Pusingnya berangsur-angsur sembuh. Sekarang mantaplah hatinya, apa yang harus dilakukan untuk menghadapi para penagih hutang. Kalau memang semua barang kreditan harus berpindah tangan karena ndak dapat mengangsur, akan dia relakan. Anak istrinya harus diberi pengertian sedikit demi sedikit, dibimbing agar sabar dan tawakal. Diajak lebih mendekatkan diri pada Allah yang selama ini kadang terlupakan. Akan dia pimpin rumah tangganya dengan kesederhanaan. Prasojo, nrimo ing pandum. Lik Selo bangkit dan memandang ke langit. Gerimis mulai pergi bersama mendung. Langit memunculkan pelangi yang sa- ngat indah. Warna-warni pelangi mengiringinya pulang meng- hadapi segala yang akan terjadi. “Penagih hutang datanglah, aku tak takut lagi, kau kan kuha- dapi, semoga Allah bersamaku, amin,” katanya dalam hati. 274 Pelangi di Kaki Langit
PULANG Cipto Adiningsih SMP Negeri 3 Ngawen, Wonosari Di tengah lelap tidurku, aku mendengar samar-samar suara gaduh di kamar sebelah, disusul tangisan, tak berapa lama ter- dengar suara benda pecah, Prang…aku tersentak kaget. Kupa- sang telinga baik-baik. Suara itu semakin jelas terdengar. Badan menjadi gemetar, detak jantung semakin cepat. Kudekap bantal guling erat-erat. Ini mimpi atau kenyataan? Ada apakah dengan kedua orang tuaku? Mengapa mereka bertengkar? Kulirik jarum jam dinding menunjuk angka empat. Pagi enggan menyapa. Suasana berubah menjadi hening, Dinginnya air tak mampu menyejukkan insan yang terjaga. “Aku berangkat sekolah dulu, Mak!” kucium tangan ibuku. “Hati-hati Nduk!” suara ibu lembut . “Iya Mak!” jawabku. Sambil kupandangi wajah mamakku yang kelihatan sayu, matanya sembab tak berani menatapku, ada sesuatu yang disem- bunyikan. Aku pura-pura tak tahu peristiwa yang terjadi sema- lam. Kutampakkan wajah seceria mungkin. Sebenarnya aku ta- kut, peristiwa perpisahan akan terjadi. Aku ingat betul, kata- kata semalam yang masih jelas terngiang di telinga. Seharusnya perjalanan ke sekolah hanya membutuhkan waktu lima belas menit, tapi entah, waktu terasa sangat lama dan jarak terasa jauh. Kududuk tepat di depan meja guru, lembar jawab try out dibagikan. Aku isi dalam lembar jawab itu mata pelajaran yang diujikan…Matematika, pelajaran yang sulit, Antologi Esai dan Cerita Pendek Bengkel Bahasa dan Sastra 275
ditambah dengan permasalahan yang sedang melanda.Yang ada di otak ini hanya pertengkaran dua insan tadi malam. Apakah mereka bertengkar lagi? Bagaimana kalau mereka bercerai? Aku dan adikku akan ikut siapa? Ah, tidak! Itu tidak mungkin terjadi. Pikiranku terasa semakin diaduk-aduk, dihantui bayangan menyeramkan. Tet,tet,tet…. Bunyi bel panjang mengejutkan, membuat aku terbangun dari lamunan. Langsung kuhitamkan beberapa jawaban yang masih kosong. “Marsini…ayo ke kantin…!” ajak Anis. “Terima kasih Nis, aku mau belajar saja.” “Oh ya, aku tinggal dulu ya!” Aku terpaksa berbohong, aku malu kalau teman-teman tahu aku punya masalah.Teman-temanku satu per satu keluar, ada yang ke kantin, ada yang mendiskusikan soal…dan aku tetap berdiam diri. *** “Mak…Mamak! Mamak…,” jerit tangisku memecah kehe- ningan. Surat kecil yang aku baca, basah oleh air mata. Aku tak peduli dengan orang di sekitarku. Bulik dan Budhe berusaha me- nenenangkan aku. Air mata terus membanjiri kedua pipiku. Adikku ikut menangis, aku peluk erat-erat. “Mengapa Bapak membiarkan Mamak pergi? Bapak ja- hat…jahat! Bapak tega mengusir Mamak! Dik kita tidak punya Mamak lagi!” Hanya tulisan di kertas kecil yang ditinggalkan Mamakku: “JAGA DIRIMU DAN ADIKMU!” Sebenarnya apa yang terjadi? Apakah Mamak repot karena anak-anak yang kadang nakal? Jangan-jangan Ayah kasar terhadap Mamak sewaktu aku tidak di rumah…. Tapi kalau melihat bapak, sepertinya bapak tidak sejahat yang aku kira. Bapak menurutku orang baik, jarang ma- rah. Apa mungkin Mamak yang jahat? buktinya Mamak tega meninggalkan kami. Mamak egois, hanya mementingkan diri 276 Pelangi di Kaki Langit
sendiri. Pikiranku jadi kacau, siapa yang menjadi penyebab per- tengkaran ini? Apakah gara-gara seorang laki-laki teman Mamak yang datang ke rumah? Permasalahan keluarga serumit itu kah? Hari-hariku hambar tanpa kehadiran Mamak. Biasanya Mamak yang membuat kami tertawa. Dekapannya hangat, dan senyumnya manis. Aku semakin kangen saat memandangi foto- nya. Tapi aku juga benci, Mamak terlalu tega kepada kami! Mem- biarkan anaknya kalut. Lihatlah Mak, anakmu masih terlalu kecil untuk engkau tinggalkan! *** Try out berakhir. Aku tak berajak dari tempat duduk. “Kenapa mukamu kusut begitu?” tanya Ibu Erma, guru pengawas ujian. Aku berterus terang agar mengurangi beban pikiran. “Iya Bu, saya lagi ada masalah…” “Apa masalahnya? Tandas Ibu Erma. “Ibuku, pergi dari rumah…,” jawabku tersendat. Aku yakin, pasti Ibu Erma akan merasa sedih mendengar ceritaku. “Tidak usah dipikirkan….” “Iya Bu…,” mataku berkaca-kaca. “Biarlah itu menjadi urusan kedua orang tuamu, suatu saat pasti Mamakmu kembali. Berdoa saja, minta petunjuk pada Allah semoga masalah dalam keluargamu selesai dan diberi yang ter- baik! Yakin, Allah akan mendengar doamu,” panjang lebar Ibu Erma menasihati. Perlahan aku merasa bersalah kepada Mamakku, telah ber- prasangka buruk. Terbayang betapa beratnya menjadi seorang ibu. Perjuangannya sungguh luar biasa! Air mataku menetes ketika teringat Mamak. “Mak, aku kangen…Mamak di mana sekarang?” “Sudahlah, Nduk…,” suara bapakku membujuk “Apakah Bapak tidak sayang sama Mamak?” “Bapak sebetulnya sayang sama Mamakmu, tapi…” Antologi Esai dan Cerita Pendek Bengkel Bahasa dan Sastra 277
“Tapi apa, Pak? Kalau Mamak punya salah, tolong dimaafkan Pak….,” bujukku, “Aku ingin kita bisa berkumpul seperti dulu.” Setelah sekolah, seperti biasanya aku ke tempat Mbak Ina. Aku bantu-bantu setrika dan mengepak baju laundry serta meng- antarkan ke pelanggan. Semangatku terpacu untuk meraih cita- cita menjadi guru bahasa Inggris. Semua itu, berkat nasihat Ibu Erma. Cuaca sore agak cerah, tidak seperti biasanya, burung pren- jak ikut bernyanyi, bunga-bunga di halaman bermekaran. Di kursi pojok kulihat laki-laki yang dulu berbadan kekar, ototnya kelihatan dari kulit tubuhnya yang hitam karena terbakar ma- tahari. Aku merasa kasihan, sosok laki-laki itu sudah mulai le- mah. Kadang aku mendengar batuk batuk kecil, meskipun Bapak tidak merokok. Ia duduk menganyam topi untuk dijual di pasar. Aku membayangkan seandainya ibu ada di sini, suasana pasti akan lain. Saat sedang belajar, biasanya Mamakku membuatkan teh manis dan menyediakan makanan kecil olahan dari kebun. Ia wanita terampil, tidak seperti wanita-wanita lain. Aku pernah diajari Mamak cara berjualan, mencari uang. Aku masih ingat benar kata-kata Mamak, “Seorang wanita harus bisa mencari pekerjaan sambilan, selain menerima gaji suami. Biar dapur tetap ngebul. Seorang wanita harus terampil, pandai memasak, agar disayang suami…” “Assalamualaikum…….” Lamunanku jadi buyar ketika Nita datang. “Mar, ini ada oleh-oleh dari ibuku.” “Oh ya, terima kasih. Sampaikan salam pada ibumu…” “Sedang sibuk, Mar?” “Ini, lagi ngrekap belanjaan pesanan batik.” “Wah sekarang kamu sudah punya usaha ya…Mau dong aku diajari. Aku juga pingin mandiri seperti kamu.” “Ya bagaimana lagi, kalau tidak seperti ini, aku dapat uang dari mana? Kamu enak, masih punya kedua orang tua.” 278 Pelangi di Kaki Langit
“Yang tabah ya, Mar! Ujian Allah bermacam-macam. Semoga ibumu cepat pulang! Dan semoga usahamu sukses…” “Ya, terima kasih.” Tiba-tiba ada taksi warna merah berhenti di depan rumah. Seorang nenek tua keluar dari taksi. Seketika aku lari menyam- butnya. “Nenek..,” ujar Marsini sambil mencium nenek yang sudah lama tidak berjumpa. Pelukan nenek dirasakan seperti pelukan Mamaknya, hangat, menenteramkan. “Mana bawaanya Nek?” “Itu di bagasi Nduk!” Ada penumpang lain turun dari taksi, seorang wanita cantik. Marsini mem- perhatikan baik-baik wajah perempuan yang baru keluar dari taksi. Hatinya bertanya, “Benarkah itu Mamakku?” Tiba-tiba jeritan haru Marsini pecah, “Mak…Mamak…!!” Ia mendekap erat-erat perempuan itu… Laki-laki yang tegar di depan pintu pun ikut memeluknya. %%%% Antologi Esai dan Cerita Pendek Bengkel Bahasa dan Sastra 279
SAAT PAGI MENJEMPUT Yeni Primasari, S.S. SMP N 3 Panggang, Gunungkidul Saat ini aku tidak akan bercerita tentang pagi yang indah. Tak akan kuceritakan indahnya semburat sinar mentari pagi yang menyapu embun di dedaunan. Tidak jua sarapan pagi yang ha- ngat di tengah keluarga. Bagiku, pagi ini terasa hambar. Namun, ada kekuatan dalam diriku yang membuat aku bangkit dan tegar, yakni senyum manis anak-anakku. Hanya mereka, Anin dan Abi, yang bisa membuatku bangkit memandang dunia. Bahwa dunia ini masih nyata untuk seorang Dewanto. Namaku Dewanto, seorang laki-laki sederhana yang meng- abdikan diri sepenuh hati untuk keluargaku. Aku seorang ayah yang sangat mencintai istri dan kedua anakku. Dialah Maya, seorang perempuan anggun yang menjadi ibu dari anak-anakku. Ia seorang yang sangat sabar dan pengertian. Bagi seorang Dewanto, Maya adalah seorang teman, sahabat, istri, dan wanita pilihan. Dalam hati Dewanto belum pernah sekali pun bertahta seorang ratu yang mengisi hidupnya. “Ayah, besok pagi ibu ada tugas dari sekolah, akan studi banding ke sekolah lain,” kata Maya. “Hati-hati, Bu…” pesan Dewanto. “Iya, Pak. Titip anak-anak ya, Pak!” “Sudah jadi kewajibanku, Bu. Sudah, ibu tenang saja. Anak- anak bisa diatur kok.” 280 Pelangi di Kaki Langit
“Pak, aku merasa bersalah. Tiap hari selalu kutinggal kerja, pulang sore kadang juga malam. Rumah dan anak-anak juga nggak pernah kuurus dengan baik,” kata Maya sambil menyetrika baju. “Sudahlah, Bu. Kita kan suami istri, kita bisa kerja sama dalam mengurus rumah tangga. Santai saja. Selama kita masih saling percaya dan ikhlas pasti kita bisa menjalani rumah tangga dengan baik,” ucap Dewanto. Malam itu sunyi dan hening. Terdengar lantunan ayat-ayat suci yang menyejukkan kalbu. Pikiran yang kalut lenyap tersapu oleh lantunan ayat suci yang dibaca begitu khusyuk. Seusai salat Isya dan membaca Alquran, Maya beranjak ke kamar anak-anak. Dibelainya lembut rambut Anin dan Abi. Dikecupnya berulang kali wajah mereka yang polos dan menggemaskan. Akhirnya, mereka bertiga tidur pulas. Hatiku begitu bahagia melihat ke- hangatan mereka. Tak putus-putusnya kuucapkan syukur alham- dulillah kepada Allah. Malam beringsut larut. Kurasakan kegelisahan yang begitu hebat. Tidurku tidak nyenyak. Kuputuskan pergi menuju beran- da depan. Sunyi. Jangkrik pun enggan bernyanyi. Hanya burung kulik yang terdengar nyaring suaranya malam ini. Hatiku berge- tar, penuh, dan sesak. Dalam pikiranku berkecamuk. “Apa yang akan terjadi? Terasa begitu ganjil.” *** “Ayah, ayo kita pergi ke Kabupaten. Nanti kita mampir ke tempat Simbah,” ajak Anin bersemangat. “Sabar ya, Nak. Besok kalau Ayah libur kita ke rumah Sim- bah,” hibur Dewanto sambil menggendong Abi. Memang sudah tiga bulan Dewanto dan anak-anak tidak berkunjung ke rumah Pak Raharjo, orang tua Dewanto. Beliau tinggal di Kabupaten, agak jauh dari rumah Dewanto. Dewanto dan anak-anak tinggal di sebuah desa dekat Kecamatan, Dewanto adalah seorang pegawai Kecamatan. Saat liburan, Dewanto akhirnya mengabulkan permintaan Anin mengunjungi Pak Raharjo. Sejak pagi Anin dan Abi sudah Antologi Esai dan Cerita Pendek Bengkel Bahasa dan Sastra 281
dibangunkan, mandi, dan sarapan pagi. Mbak Sumi menyiapkan nasi goreng telur, tempe goreng, dan orak-arik sayur. Aromanya begitu menggugah selera. Anak-anak menikmati sarapan pagi dengan lahap. Hanya Dewanto yang menelan rasa kelu, tidak nafsu makan. Ia hanya menemani kedua anaknya yang asyik melahap sarapan pagi. Dalam hati ia berkata, “Andai kau masih di sini, Maya. Pasti aku akan melihat senyum manis dan candamu menggoda anak- anak. Masih kuingat kau tuangkan air putih di gelasku yang kosong. Sungguh manis waktu bersamamu…” “Ayah, Abi kangen sama Ibu. Kapan Ibu pulang ya, Yah?” “Anin juga kangen sama Ibu. Kangen dengan canda Ibu, kangen mengaji sama Ibu…” Dewanto hanya diam. Tak sepatah kata pun yang keluar. Lidahnya kaku bagaikan es batu yang dingin membeku. Pikiran- nya menerawang, hatinya sesak. Ia bingung mencari jawaban untuk anak-anaknya. Rasa haru dan sedih menyelimuti hatinya. Ingin rasanya berteriak, mengeluh, dan mengadu. Tapi apa daya, Dewanto tidak ingin memperlihatkan kesedihan di hadapan anak-anaknya. Satu jam perjalanan ke Kabupaten, akhirnya sampai di ha- laman rumah Pak Raharjo. Rumah yang asri, teduh, dan damai. Halamannya dihiasi tanaman hijau dan pohon buah-buahan. Ru- mah itu besar, kusen dan pintunya dari kayu jati tua yang dipernis sesuai warna aslinya. Masa kecil Dewanto dihabiskan di tempat ini. Ia masih ingat, dulu ia suka memanjat pohon jambu air di samping rumah. Pak Raharjo menyambut kedatangan Dewanto dan anak- anak di depan pendopo rumah. Anin dan Abi menghampiri ka- keknya dan memeluknya. “Kakek, Anin kangen sama Kakek.” “Abi juga, Kek.” “Kakek juga kangen dengan kalian. Kalian cucu kakek yang paling hebat,” kata Pak Raharjo sambil memeluk kedua cucunya. 282 Pelangi di Kaki Langit
“Sekarang Anin dan Abi masuk ke dalam. Mbak Sutirah sudah masak gudeg, ingkung ayam, dan sambal kering kesukaan Anin.” “Iya, Kek. Ayo Abi kita masuk!” Anin dan Abi sangat gembira bertemu dengan kakeknya. Sedangkan neneknya sudah meninggal dua tahun lalu, saat Anin dan Abi masih kecil. “Bapak, apa kabarnya?” kata Dewanto sambil mencium tangan Pak Raharjo. “Baik, Wanto. Kamu sendiri bagaimana? Mengasuh anak- anak sendirian pasti sangat merepotkan dan menyita waktu,” sambung Pak Raharjo. “Tidak repot, Pak. Saya hanya kasihan sama mereka,” kata Dewanto sedih. “Sudah kamu istirahat dulu. Nanti malam ada yang mau aku bicarakan.” Dewanto dan kedua anaknya menikmati hidangan yang su- dah disiapkan. Mereka makan dengan lahap. Sesekali mereka bercanda. Suasana siang begitu hangat di rumah besar itu. Pak Raharjo sangat senang dengan kedatangan mereka. Malam, setelah Anin dan Abi tidur, Pak Raharjo dan De- wanto berbincang-bincang di pendopo. Teh hangat dan ubi jalar rebus menemani obrolan mereka. “Wanto, sudah saatnya kamu mengambil sikap. Jangan lama- lama kamu sendirian.” “Wanto belum siap, Pak.” “Mau sampai kapan kamu seperti itu?” “Kamu ndak kasihan sama anak-anakmu?” kata Pak Raharjo dengan nada tegas. “Belum ada seratus hari, Pak. Hati Wanto masih sedih. Wanto belum bisa menerima kenyataan,” kata Wanto sedih. “Wanto, Bapak berkata seperti ini karena bapak kasihan sama kamu. Apalagi sama Anin dan Abi.” Antologi Esai dan Cerita Pendek Bengkel Bahasa dan Sastra 283
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164
- 165
- 166
- 167
- 168
- 169
- 170
- 171
- 172
- 173
- 174
- 175
- 176
- 177
- 178
- 179
- 180
- 181
- 182
- 183
- 184
- 185
- 186
- 187
- 188
- 189
- 190
- 191
- 192
- 193
- 194
- 195
- 196
- 197
- 198
- 199
- 200
- 201
- 202
- 203
- 204
- 205
- 206
- 207
- 208
- 209
- 210
- 211
- 212
- 213
- 214
- 215
- 216
- 217
- 218
- 219
- 220
- 221
- 222
- 223
- 224
- 225
- 226
- 227
- 228
- 229
- 230
- 231
- 232
- 233
- 234
- 235
- 236
- 237
- 238
- 239
- 240
- 241
- 242
- 243
- 244
- 245
- 246
- 247
- 248
- 249
- 250
- 251
- 252
- 253
- 254
- 255
- 256
- 257
- 258
- 259
- 260
- 261
- 262
- 263
- 264
- 265
- 266
- 267
- 268
- 269
- 270
- 271
- 272
- 273
- 274
- 275
- 276
- 277
- 278
- 279
- 280
- 281
- 282
- 283
- 284
- 285
- 286
- 287
- 288
- 289
- 290
- 291
- 292
- 293
- 294
- 295
- 296
- 297
- 298
- 299
- 300
- 301
- 302
- 303
- 304
- 305
- 306
- 307
- 308
- 309
- 310
- 311
- 312
- 313
- 314
- 315
- 316
- 317
- 318
- 319
- 320
- 321
- 322
- 323
- 324