Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore PELANGI_DI_KAKI_LANGIT_Antologi_Esai_dan

PELANGI_DI_KAKI_LANGIT_Antologi_Esai_dan

Published by e-Library SMPN 8 Talang Ubi, 2020-01-04 15:41:25

Description: PELANGI_DI_KAKI_LANGIT_Antologi_Esai_dan

Keywords: antologi,esai,non fiksi

Search

Read the Text Version

“Tapi, Pak, mereka masih selalu ingat sama ibu mereka. Maya adalah seorang ibu yang disayang anak-anak. Tidak mung- kin mereka begitu saja menerima orang lain sebagai pengganti- nya,” kata Dewanto terlihat sedih. “Bapak dari dulu tidak setuju kamu nikah sama Maya! Apa yang bisa dia perbuat? Apa?!” tanya Pak Raharjo. “Dia punya cinta dan kasih sayang, Pak. Dia sangat mencintai saya. Bagi Wanto, Maya seorang istri yang solehah,” tegas Dewanto membela diri. “Memangnya kamu mau makan cinta? Sekarang apa yang terjadi? Setelah dia pergi, tak satu pun harta yang ditinggalkan untukmu! Anakmu besok mau diberi makan pakai apa?” “Itu sudah pilihan hidup Wanto, Pak. Kalau membesarkan anak-anak, saya masih bisa berusaha.” “Huh, perempuan pilihan almarhum ibumu memang tidak sesuai! Dari dulu bapak tidak setuju. Akhirnya, seperti ini!” “Sudahlah, Pak! Jangan ungkit-ungkit masalah itu lagi! Ka- sihan ibu yang sudah tenang di sana.” “Wanto, sekali ini Bapak minta! Kamu harus mau menikahi Mila, anaknya Pak Carik! Besok Bapak akan melamarnya untuk- mu. Kamu harus mau!!” Pak Raharjo memaksa. “Bapak tega sekali sama saya dan perasaan saya! Belum se- ratus hari, Pak! Pokoknya Wanto tidak mau!” kata Wanto ber- teriak marah. Digebraknya meja kayu. Emosi berkobar. “Wanto…Wanto! Malah minggat!” Pak Raharjo tak bisa me- nahan Wanto. Wanto pergi meninggalkan Pak Raharjo. Ditendangnya kursi yang menghalanginya berlari. Wanto masih menyimpan amarah. Sebenarnya, masalah perjodohan itu sudah lama terjadi. Hu- bungannya dengan Pak Raharjo pun sempat renggang. Dahulu, ibunya selalu memberikan pembelaan. Namun kini, Dewanto harus menghadapi bapaknya yang selalu memaksakan kehendak pada dirinya. 284 Pelangi di Kaki Langit

Di dalam kamar, Dewanto merenung. Bulir-bulir airmata meleleh di pipinya. Dada sesak, emosinya membuncah. Pikiran- nya kosong. Hanya amarah, benci, dan sedih yang ia rasakan. “Tak seharusnya aku menangis. Aku laki-laki, tak pantas aku menangis,” kata Dewanto sambil mengusap air mata. Namun air mata itu tak henti-hentinya mengalir. “Ya, Allah, berikan hambamu kekuatan. Sudah lama aku menyimpan kesedihan ini. Hanya Maya yang bisa membuatku bahagia. Tak kan terganti, Ya Allah.” “Mengapa Bapak selalu memaksaku? Bapak tidak mengerti perasaanku….” Dewanto terus menangis malam itu. Meskipun ia seorang laki-laki, tapi kesedihan tetaplah kesedihan. Dua hari di rumah besar itu sangat menyiksa perasaan Wanto. Ia harus selalu tersenyum di hadapan Anin dan Abi. Sesaat amarah dipendamnya, karena ia masih menghormati ba- paknya. Tak baik seorang anak mendurhakai orang tua. Tapi urusan cinta dan perasaan, Wanto menyerahkan takdirnya hanya pada yang kuasa. *** Suatu siang di kantor Kecamatan, tempat Wanto bekerja, tak banyak masyarakat yang minta dilayani. Beberapa pegawai terlihat santai menikmati istirahat siang. Wanto mengurung diri di ruangan membaca koran. “Pak Wanto, ada yang mencari,” kata temannya sambil se- nyum-senyum. “Siapa?” “Cewek, Pak. Ayu loh!” kata temannya sambil menggoda. “Iya, siapa?” “Temui saja! Pokoknya lebih cantik, lebih seksi dari Mbak Maya. He…he…he!” “Hus!” Wanto penasaran. Ia ke ruang tamu kantor. Dalam hati ia bertanya-tanya, “Siapa ya yang mencari?” “Mila? Ada perlu apa kamu ke sini?” tanya Wanto heran. Antologi Esai dan Cerita Pendek Bengkel Bahasa dan Sastra 285

“Halo, Mas Wanto, apa kabar?” Mila mengulurkan tangan. “Baik. Gimana kabar kamu?” “Baik, Mas. Begini Mas, dua minggu yang lalu Pakde Raharjo datang ke rumah. Beliau mengutarakan maksudnya untuk mela- mar,” jelas Mila. “Melamar? Untuk siapa?” Dewanto berpura-pura bodoh. Sebenarnya ia tahu, Pak Raharjo melamar Mila untuknya. “Oh, Bapakku ingin melamarmu to?” “Bukan, Mas. Pakde melamarku untuk dinikahkan dengan Mas Wanto,” jelas Mila terbata-bata. Ia takut kalau Dewanto marah dan mengusirnya. “Mas Wanto jangan marah ya! Aku juga bingung Mas dengan masalah ini. Belum lama Mbak Maya pergi. Aku tahu Mas Wanto belum siap dengan semua ini.” Wanto terdiam. Ia tak mungkin bersikap kasar terhadap Mi- la, seorang wanita yang tidak bersalah dan tidak bisa disalahkan. “Mila, sebenarnya aku bingung. Perasaan dan cintaku kepa- da Maya masih sangat kuat. Kadang aku berpikir, bahwa tak akan ada seorang pun yang bisa menggantikannya. Aku juga masih sulit meyakinkan anak-anakku. Aku takut, kamu akan sangat terluka jika kamu ikut berputar di pusaran kehidupanku,” jelas Dewanto perlahan kepada Mila, ia takut melukai perasaan wanita itu. “Mas, aku tahu risiko itu. Aku siap menerima apapun kon- sekuensinya, Mas!” Mila berusaha meyakinkan hati Wanto. “Aku tak sanggup mengiyakan, Mila. Aku masih butuh wak- tu,” jawab Dewanto. “Tapi sampai kapan, Mas?” “Sampai aku tak bisa lagi merasakan cintaku kepada Maya.” “Mas Wanto jahat! Tak pernah kau mengerti perasaanku. Aku hanya ingin menolongmu dan anak-anak. Aku hanya ingin menemanimu, Mas!” Mila pergi meninggalkan Wanto. Air mata- nya menggantung. Ia menangis sedih. *** 286 Pelangi di Kaki Langit

Pagi hari yang cerah. Sinar mentari sudah terik menggigit kulit. Kicauan burung prenjak begitu mendamaikan hati. Wanto memarkirkan motor di depan gerbang. Benteng kokoh bercat putih mengitari tempat itu. Bau harum bunga kamboja dan ke- nanga merasuk ke hidungnya. Tak lupa ia lepas sepatu dan mela- falkan basmallah. Ia duduk di sebuah batu. Dinaungi pohon kamboja putih yang rindang. Ditatapnya gundukan tanah. Bunga mawar kering tampak di atas gundukan. Sudah agak lama ia tak mengunjungi istrinya. Ditaburkannya bunga mawar dan kenanga segar ke atas makam. Ya, di situlah Maya berada. Di sebuah dunia maya. Damai, sunyi, dan tenang. Jauh dari konflik dan kata-kata yang menusuk-nusuk gendang telinga. Tak ada kata yang bisa diucapkan Wanto. Tangannya me- mainkan bunga tabur di atas gundukan. Hanya air mata yang bicara. Rasa sesak dan sedih ia tumpahkan. Namun, kesedihan tak bisa dipendam terlalu lama. Ia tidak bisa terus menerus me- nyiksa batin karena ditinggalkan Maya. Hidup masih akan terus berputar. Ia masih harus menghadapi masalah dengan bapaknya, Mila, dan masa depan anak-anak. Dewanto melantunkan ayat- ayat suci untuk seorang Maya. “Maya, andai kau masih menemaniku di rumah, pasti aku dan anak-anak akan selalu bahagia. Namun, inilah kehendak yang kuasa. Sebagai seorang manusia, aku tidak bisa apa-apa. Yang bisa kulakukan saat ini adalah terus berjuang menghadapi dunia nyata di mana aku berada. Terlalu pagi, maut menjem- putmu, Maya!” Antologi Esai dan Cerita Pendek Bengkel Bahasa dan Sastra 287

SMS-SMS KOSONG Nur Rohmah Handayani SMP Negeri 1 Galur, Kulonprogo Teng tong teng tong teng tong…. Jam dinding berdentang duabelas kali. Rupanya malam telah demikian larutnya, sedangkan aku masih di sini, di ruang kerjaku, di depan laptop kesayangan dengan setumpuk pekerjaan rutin sebagai guru. Rasa kantuk yang sebenarnya sudah kutaklukkan dengan secangkir kopi, mulai menyerang lagi. Tanganku masih mencoba menekan tuts angka-angka mengisi tabel analisis ulangan harian anak didikku, siswa kelas 7 SMP Cerdas Berdi- kari. Angka-angka yang muncul dilayar seakan membiusku de- ngan tariannya. Aku semakin mengantuk. Tiba-tiba handphone berbunyi. Ada satu SMS masuk. SMS kosong. Sudah lebih dari seminggu ini aku didera SMS kosong. Biasa- nya aku tak peduli. SMS-SMS kosong itu langsung aku hapus. Tapi, malam ini, rasa ingin tahu yang besar menggelitik. Aku sangat ingin tahu, siapa pengirim SMS dan apa motifnya. Mum- pung Mas Amir, suamiku, sedang ke kota lain, pikirku. Jadi, tak akan ada yang terganggu atau salah paham dengan tindakanku. Segera kubalas SMS. Maaf Anda siapa? Mengapa selalu mengirim SMS kosong kepada saya? Tak berapa lama SMS berjawab. Seseorang yang pernah kau buat menangis, Hanny. Aku terkejut. Ingatanku melayang pada Mas Darman, cinta pertamaku. Hanya dia yang memanggilku Hanny. Namaku 288 Pelangi di Kaki Langit

sebenarnya adalah Sri Handayani, orang biasa memanggilku Sri. Masih jelas dalam ingatanku, Mas Darman tak kuasa menahan derai air matanya ketika aku beri tahukan bahwa aku akan me- nikah dengan lelaki pilihan orang tuaku. Hany, mengapa kau tega mengkhianati cinta kita. Bukankah kau pernah berjanji bahwa kita akan memperjuangkan cinta, apa pun yang terjadi? Memang, orang tuaku tidak menyetujui hubunganku dengan Mas Darman karena orang tua Mas Darman sering kali membuat masalah dengan ayahku. Selain itu, kampung Mas Darman dan kampungku berbatasan dengan sebuah sungai. Masyarakat di daerah kami memiliki kepercayaan bahwa siapa pun yang meni- kah dengan warga kampung berbatas sungai, salah satu mem- pelai akan menjadi gila. Kepercayaan ini benar-benar ditaati oleh masyarakat, sehingga tak seorang pun warga desa kami meni- kah dengan warga desa Mas Darman. “Sri, apakah kamu tidak takut menjadi gila, jika menikah dengan Darman? Apakah kamu juga tidak kasihan kepada ayah jika ayah harus berbesanan dengan orang yang selalu bikin masalah dengan keluarga kita?” Sungguh sebenarnya aku sangat cinta Mas Darman. Akan tetapi aku takut jika salah satu di antara kami hilang ingatan karena melanggar pantangan. Selain itu, aku juga tidak mau dise- but sebagai anak durhaka karena tidak mematuhi kehendak orang tua. Aku pun bersedia menikah dengan Mas Amir, se- orang pria pendiam, namun pandai, dan sudah bekerja sebagai kontraktor. Pada hari pernikahan, Mas Darman datang dengan surat terakhirnya yang diselipkan saat kami berjabat tangan untuk terakhir kalinya. Satu kalimat yang selalu aku ingat, “Hanny, aku pergi dengan separuh hatiku. Semoga kau bahagia…” *** Dan kini, setelah limabelas tahun berlalu, setelah aku mengu- bur namanya dalam-dalam, setelah aku berbahagia bersama Mas Antologi Esai dan Cerita Pendek Bengkel Bahasa dan Sastra 289

Amir dan dua orang anakku, malam ini Mas Darman kembali hadir mengusik ketenanganku. Handphone-ku kembali berdering. SMS masuk kembali. Hanny, maukah kau mendengar kisah hidupku. Semenjak berpisah denganmu, hidupku tak karuan. Tak seorang pun bisa menggantikanmu di hatiku Malam itu Mas Darman mengisahkan perjalanan hidupnya semenjak pergi dari desa kami. Ia merantau ke Jakarta dan be- kerja di kota metropolitan. Mas Darman menjadi seorang peng- usaha sukses. Ia menikah dengan seorang wanita yang katanya mirip denganku. Sani, nama istrinya. Pernikahan mereka tidak bahagia karena ternyata Sani mau menikah dengan Mas Darman bukan atas dasar cinta, melainkan harta. Suatu ketika Mas Dar- man memergoki Sani berduaan dengan seorang lelaki di rumah mereka pada saat Mas Darman pulang dari luar kota. Seketika itu rumah tangga mereka karam. Mas Darman pun hidup sen- dirian dalam kesepian berkepanjangan. Aku menangis mendengar cerita Mas Darman. Ada perasaan bersalah mengganggu hati dan pikiran. Andai aku tidak me- ninggalkan Mas Darman. Andai aku tidak percaya takhyul. An- dai aku bisa memperjuangkan cinta kami, tentu semua tidak akan seperti ini. *** Pagi yang cerah, mentari tersenyum merekah, namun hatiku begitu gelisah. Burung-burung bernyanyi indah, tetap tak mam- pu membuatku bergairah. Aku bangun agak kesiangan karena semalam begadang memikirkan Mas Darman dan permasalahan- nya yang seakan semua terjadi karena kesalahanku. Baru saja aku akan beranjak, handphone-ku berdering. SMS dari Mas Dar- man. Aku dilanda kebimbangan yang besar. Mas Darman meng- ajakku bertemu. Hanny, sekali ini saja. Aku ingin mengenang masa itu. Masa bahagia kita dahulu. 290 Pelangi di Kaki Langit

Aku tidak segera menjawab. Sebenarnya aku juga ingin ber- temu dengan Mas Darman, menguatkan hatinya, tapi aku tidak mau dianggap berselingkuh. Aku tidak mau rumah tanggaku hancur gara-gara kesalahpahaman. Sekali ini saja. Aku tidak akan merusak rumah tanggamu. Aku berjanji… Aku tetap tidak menjawab SMS Mas Darman. Kusibukkan diri dengan setumpuk pekerjaan rumah. Memasak, mencuci baju, mencuci piring, mengepel lantai, semua kukerjakan untuk mem- bunuh kenangan bersama Mas Darman. Hari Minggu memang hari khusus yang kugunakan membereskan rumahku yang se- perti kapal pecah. Tiba-tiba, sebuah SMS masuk lagi. Bagaimana Hany, aku sudah dalam perjalanan. Aku hanya ingin curhat. Dan aku juga akan menyerahkan sepasang giok oleh-olehku dari Cina. Bukankah dulu kau begitu mengingin- kannya? Setelah ini, aku akan pergi ke jauh. Aku akan menetap di luar negeri. Please, temui aku! Aku semakin tak tega. Aku mulai tergoda. Cincin giok nan indah terbayang di depan mata. Buru-buru kubereskan semua pekerjaan. Si bungsu mendekatiku dan bertanya. “Ibu mau ke mana? Kok seperti tergesa-gesa?” “Ibu mau keluar sebentar bertemu teman. Adik di rumah baik-baik ya dengan Kakak!” “Adik ikut, Bu!” “Jangan, Dik. Ibu cuma sebentar kok. Nanti Adik ibu belikan mainan ya. Ini teman Ibu sudah menunggu. Ibu berangkat ya sayang….” Anakku mengangguk, meskipun terlihat sorot mata kecewa di wajahnya Kustater sepeda motor. Tiba-tiba sebuah SMS ma- suk. Ternyata dari Mas Amir, suamiku. Bu, mobilku mogok di dekat bandara. Segera jemput ya, ayah kangen. Ayah pulang cepat karena pimpinan proyek sedang ada masalah. Proyek ditunda. Sebenarnya ayah ingin memberi kejutan pada ibu, pulang tanpa pemberitahuan. Eh, ternyata mo- Antologi Esai dan Cerita Pendek Bengkel Bahasa dan Sastra 291

bilnya malah mogok. Istri yang setia pasti tak akan membiarkan ayah menunggu lama. SMS dari Mas Amir membuat aku sadar akan posisiku. Se- bagai seorang istri tidak seharusnya aku menemui pria lain. Apa- lagi pria itu pernah menjadi kekasihku. Bulatlah tekadku menolak ajakan Mas Darman. Maaf, Mas aku tidak bisa bertemu, baik sekarang ataupun nanti. Aku sudah ada yang memiliki. Suamiku dan anak-anakku. Aku tidak mau melakukan tindakan bodoh yang bisa membuat keluarga kami hancur. Mohon Mas tidak menghubungiku lagi. Kudoakan Mas bisa menemukan pengganti Sani dan Mas bisa hidup bahagia selamanya. Tidak beberapa lama kemudian Mas Darman menjawab. Ya Hanny. Maafkan aku. Aku tidak bisa memaksamu me- nemuiku. Tapi kalau kau tidak menemuiku, entah apa yang akan terjadi padaku nanti. Deg. Jantungku seakan terhenti. Namun aku bisa apa? Jika aku pergi, taruhannya adalah keluargaku. Kutenangkan diriku, kupanjatkan doa pada Yang Mahakuasa agar tak terjadi suatu apa pun dengan Mas Darman. Aku berangkat ke bandara men- jemput suami tercinta. Dalam perjalanan HP-ku bordering, Mas Darman menelpon. “Hanny, mobilku masuk jurang, aku berhasil diselamatkan warga. Kini aku sedang menuju rumah sakit.” Seketika badanku lemas. Aku takkuasa melanjutkan langkah ke Bandara. Kunang-kunang berputar mengelilingiku. Aku pun tak sadarkan diri. *** Hening, tak satu pun suara terdengar. Perlahan kubuka ma- taku. Ternyata aku berada di rumah. Dua anakku cemas me- mandangku. “Ibu, Ibu tidak apa-apa kan? Mana yang sakit, Bu. Adik enggak mau Ibu sakit.” “Ibu tidak apa-apa sayang. Ibu hanya lelah karena seharian tadi bekerja. Adik enggak usah cemas, ya.” 292 Pelangi di Kaki Langit

Rupanya aku pingsan begitu mendengar berita dari Mas Darman. Seseorang yang menolongku menelepon suamiku dan aku dibawa ke rumah. Tiba-tiba suamiku datang dan memelukku. “Bu, terima kasih karena kau telah memilih setia. Aku telah membaca semua SMS-mu dengan Darman. Kau tidak perlu kha- watir. Darman telah tertolong. Ibu boleh menjenguknya nanti. Ayah akan menemani Ibu….” Hatiku lega. Batu yang menyumbat di dada telah hancur. Air mataku mengalir. Aku bahagia memiliki suami seperti Mas Amir yang begitu dewasa dan pemaaf. Dalam hati aku berjanji, tak akan pernah bermain api menanggapi SMS kosong lagi. *** Tujuh hari kemudian, saat Mas Amir kembali sibuk dengan pekerjaannya di luar kota, saat semua orang sibuk dengan dunia- nya, aku digelisahkan oleh perasaan aneh. Semenjak membesuk Mas Darman yang cidera akibat kecelakaan, bayangannya tak mau pergi dari pikiranku. Tatapan matanya seakan menuntutku untuk bertanggung jawab atas peristiwa itu. Ah, aku tak bisa tidur. Berkali-kali kulihat handphone-ku berharap ada SMS masuk. Aku rindu SMS itu, atau aku rindu pengirimnya. Tak kuat me- nahan rasa, kuambil handphone-ku. Kukirimkan SMS kosong ke- pada Mas Darman dengan maksud ingin tahu keadaanya. Na- mun, tak ada jawaban. Kukirim lagi, tetap tak ada jawaban. Sam- pai akhirnya…. Maaf siapa Anda? Mengapa Anda mengirim SMS kosong pada suami saya? Suami saya masih sakit jadi tidak bisa di- ganggu…. Bagai disambar petir di siang bolong, tersadarlah aku…Ter- nyata…. Antologi Esai dan Cerita Pendek Bengkel Bahasa dan Sastra 293

UNDANGAN KEENAM Karjiyadi SMP N 1 Karangmojo, Gunungkidul “Bingung, bingung!” guman Karnoto yang duduk di atas kursi kayu. Ia bangkit. Pandangan matanya tajam tertuju pada lembaran kertas berlipat di atas meja. Ada keraguan bergelut di benaknya. Membaca ulang lima lipatan kertas itu atau mem- biarkannya tetap berserakan. Bukan tanpa alasan Karnoto eng- gan mendekati undangan itu. Baginya, undangan adalah tum- pukan masalah yang siap menghadang di dalam kehidupannya ke depan. Ia menarik napas sangat dalam. “Duh, Gusti nyuwun kiat,” desahnya. Berkali-kali Karnoto mengusap-usap jidat. Seolah-olah ingin menghapus beban berat yang ada di pikirannya. “Kemana aku akan cari hutangan lagi,” gumamnya. Karnoto benar-benar bingung. Sudah hampir dua bulan ia tidak bekerja. Sebagai seorang buruh bangunan, tidak bekerja adalah masalah besar. Apalagi, masa-masa bulan seperti sekarang ini, banyak tetangga dan kerabat mempunyai acara hajatan. Be- lum lagi, kebutuhan rumah tangga yang terus mendesak. Bagi- nya, masalah keluarga bisa diatasi, namun masalah sosial sulit dihindari. Ia sudah membayangkan seandainya ia atau istrinya tidak datang pada acara undangan hajatan, pasti beribu mulut akan menggunjing mereka. Inilah yang kadang tidak dimengerti oleh Karnoto. Hak pribadi dirampas oleh campur tangan orang lain. Belum lagi ia harus berhadapan dengan istrinya. 294 Pelangi di Kaki Langit

“Ezzzzz….Huuuuuuuh,” desahnya lagi. Dadanyaa turun naik tak teratur. “Pak! Pakne.” suara istrinya dari balik tirai kumal penyekat dapur dengan ruang depan, memecah lamunan. “Pak! uangnya sudah disiapkan, kan?” tanya istrinya. “Uang, apa?” tandas Karnoto. “Uang apa…uang apa. ya, uang jagong.” “Uang dari mana tho Bu. Aku kan tidak bekerja. Bulan lalu saja ketika kamu menghadiri undangan hajatan Yu Kasminah, aku utang ke Pak RT. Belum lagi biaya wisata anak kita kemarin. Aku juga utang Pak Dukuh. Terus sekarang harus utang lagi? Malu Bu…,” jelasnya. “Malu kata Bapak. Aku lebih malu Pak. Gimana kata mereka nanti. Itu Yu Ruwet tidak datang. Akan kutaruh di mana muka ini nanti Pak. Pokoknya, aku tak mau tahu. Besok Bapak harus sudah menyiapkan uang,” katanya ketus sambil membalikkan badan, lenyap di balik tirai. *** Malam terus merangkak. Suara belalang bernyanyi tak henti- henti. Hawa dingin mulai menjalar ke seluruh tubuh, memaksa orang bersembunyi di balik selimut atau sarung. Karnoto masih terjaga. Matanya sulit dipejamkan. Di sampingnya, istrinya tidur membelakangi. Sesekali Karnoto menoleh ke arah istrinya. Ia berharap hati istrinya berubah. Memberikan senyum, mencair- kan suasana yang memanas. Meskipun, hal itu agak mustahil. Karnoto kenal betul sifat istrinya. Kemauannya tidak pernah bisa dihalangi oleh siapa pun. Selama ini, ia ibarat kerbau yang dicocok hidungnya. Apa pun keinginan istrinya, ia harus meme- nuhi. Kadang ia berontak, seharusnya dia yang memegang ken- dali rumah tangga bukan malah istrinya. Dia yang harus meme- rintah, bukan istrinya. Jika ia berbalik peran seperti yang diingin- kannya, risiko kehancuran rumah tangga ada di depan mata. Keutuhan rumah tangganya hanya bisa dipertahankan lewat pe- ngorbanan itu. Antologi Esai dan Cerita Pendek Bengkel Bahasa dan Sastra 295

“Gusti!” desahnya sambil membalikkan badan membela- kangi istrinya. Akhirnya Karnoto terlelap dalam kegundahan malam yang terus memain-mainkannya. *** Matahari bersinar. Menerobos dinding-dinding bambu ru- mah Karnoto. Mata Karnoto terbuka. Karnoto menguap. Menye- barkan bau mulut yang kurang sedap. Tangannya digerakkan ke atas. Menegang. Ia menoleh ke samping, istrinya sudah tidak ada di dekatnya. Karnoto bangkit menuju dapur, mencari-cari istrinya. “Bu. Bu! Yat. Yat…,” suaranya memanggil istri dan anaknya. Namun panggilan itu tidak ada balasan. “Kemana, mereka?” tanyanya pada diri sendiri. “Apa istriku sudah ke pasar? Suyat ke sekolah?” tanyanya lagi Karnoto mencoba mencari di belakang rumah, namun tetap saja tidak ada siapa-siapa. Tiba-tiba ia teringat pada masalah yang dipikirkan tadi malam. Sesuai dengan permintaan istrinya, ia harus mendapatkan uang hari ini. Tanpa banyak pikir, ia bergegas menuju rumah Pak RT. “Aku harus dapat uang. Mungkin Pak RT mau meminjami aku,” pikirnya. “Tapi, aku harus berkata apa nanti. Utang yang kemarin saja belum aku kembalikan. Sekarang tambah utang lagi,” desis Karnoto. “Sudahlah, lebih baik aku mencoba,” pupusnya. Langkah Karnoto semakin cepat. Menggelinding bak roda berputar dari kecepatan sedang ke kecepatan tinggi. Pak RT adalah harapan satu-satunya. Sesampainya di pekarangan, Kar- noto melihat Pak RT sedang duduk di teras depan didampingi istrinya. Langkah Karnoto terhenti. Matanya terfokus pada dua orang berdampingan. Ada rasa cemburu berkecamuk di dada- 296 Pelangi di Kaki Langit

nya. Cemburu pada kenyataan bahwa dia dan istrinya tak per- nah semesra itu. “Paklik! Paklik Kar!” teriak Pak RT mengagetkan Karnoto. “Nggih …Nggih Pak RT. Kula nuwun,” jawab Karnoto tersipu. “Mangga. Mangga Paklik,” kata istri Pak RT lembut. “Nyuwun sewu. Saya ke belakang dulu,” katanya lagi. “Nggih, Bu. Mangga,” balas Karnoto. “Mari, Paklik. Silakan duduk,” sambut Pak RT. “Nggih, Pak,” jawab Karnoto singkat. “Tumben, Paklik pagi-pagi sudah ke sini,” ujar Pak RT. Karnoto tak segera menjawab. Kata-katanya seolah tercekat di tenggorokan. Ia menunduk sambil memain-mainkan jari yang sudah berkerut. “O ya kebetulan Paklik ke sini. Ada titipan undangan untuk Paklik dari Pak Dukuh. Pak Dukuh mau mantu, menikahkan anak- nya yang baru lulus kuliah,” jelas Pak RT. “Ka…ka …Kapan, Pak itu?’ tanya Karnoto gugup. “Katanya akhir bulan ini, Paklik. Tapi aku juga belum baca undanganya. Kapan acara itu berlangsung,” tambah Pak RT. “Kira-kira perhelatanya besar atau kecil, ya Pak RT? tanya Karnoto menggebu. Seolah ia ingin memperoleh informasi se- jelas-jelasnya. “Waduh. Belum tahu Paklik. Mungkin juga besar. Soalnya warga kita mendapat undangan semua. Sebentar saya ambilkan,” Pak RT bergegas mengambil undangan. Pak RT menggeser kursi ke belakang kemudian beranjak. Ia menuju ke dalam rumah. Sebentar sudah kembali, membawa kertas berlipat warna merah. “Ngomong-ngomong, Paklik ke sini ada perlu apa. Kelihatan- nya sangat penting.” tambah Pak RT sambil menyodorkan un- dangan. Kemudian, duduk di kursi. “Mboten. Maaf sebelumnya. Saya…saya…,” suara Karnoto ragu. “Sudah, utarakan saja. Paklik ndak usah sungkan-sungkan,” pinta Pak RT. Antologi Esai dan Cerita Pendek Bengkel Bahasa dan Sastra 297

“Maaf, Pak RT. Sebetulnya saya ke sini mau pinjam uang lagi,” jelas Karnoto sambil menunduk. “Lho, minggu kemarin Paklik sudah pinjam. Apa sudah ha- bis?” tanya Pak RT. “Sampun, Pak,” jawab Karnoto malu. “Maaf, ya Paklik. Bukannya saya ndak boleh. Saya bulan ini betul-betul sudah bokek. Hajatan tetangga kita banyak,” jawab Pak RT. “Sedikit saja, Pak RT,” rengek Karnoto. “Benar, Paklik. Kalau saya punya pasti saya kasih,” terang Pak RT. “Jadi, Pak RT sudah tidak punya cadangan?” “Nddak. Betul-betul kosong, Paklik. Coba ke tempat Mas Pujo. Kemarin habis jual kayu. Siapa tahu saja,” jawab Pak RT. “Nggih sampun, Pak RT. Mohon pamit. Nanti saya coba ke sana. Nyuwun sewu sudah mengganggu Pak RT,” ucap Karnoto. “Ndak Paklik. Derekken saja,” balas Pak RT. Karnoto bergegas meninggalkan rumah Pak RT. Pikirannya semakin berkecamuk. Harapan satu-satunya untuk mendapatkan utang adalah Pak RT, namun justru yang ia dapatkan tambahan undangan. Apalagi yang mengirim undangan itu Pak Dukuh. Sementara, ia mempunyai utang yang tidak sedikit pada Pak Dukuh. “Oalah. Karnoto. Karnoto,” desahnya. Karnoto semakin mempercepat jalannya. Ia tidak menuju ke tempat Pak Pujo seperti yang disarankan Pak RT, tetapi lang- sung menuju rumah. Sesampainya di rumah, Karnoto langsung masuk. “Sudah dapat uangnya, Pak?” tanya istrinya. “Belum, Bu. Bingung aku.” “Belum gimana tho Pak. Besok aku sudah jagong ke tempat Yu Minah. Piye tho, Pak.” “Piye!Piye! Kamu kira mudah cari duit,” suara Karnoto me- ninggi. Tidak biasanya ia kasar seperti itu. 298 Pelangi di Kaki Langit

“Ini!” sambil melempar undangan yang diterima dari Pak RT ke arah istrinya. “Ini apa. Undangan lagi? Aku tak butuh undangan. Pak. Usaha! Usaha dong, Pak! Jangan hanya ngunder di rumah,” suara istrinya keras, hampir-hampir merontokkan seisi rumah. “Ngunder katamu?” Tangan Karnoto berkelebat ke muka istrinya. Suara “plak!” terdengar nyaring. “Terus Pak, tampar terus!” katanya sambil terisak. “Aku laki-laki, Bu. Kepala rumah tangga di sini. Selama ini, aku selalu bersabar. Namun kali ini kamu kelewat, Bu. Aku di matamu seolah tak ada artinya,” suara Karnoto bergetar. Kata- kata yang selama ini dipendam, keluar bagaikan magma yang meluncur tanpa kendali. “Tolong, hargai aku sebagai suami,” pinta Karnoto. “Sudi,” jawab istrinya singkat sambil membalikkan badan menuju kamar tidur. Karnoto menatap kepergian istrinya dengan rasa iba. Ada penyesalan yang menggelayut dalam pikirannya. Tangannya ma- sih bergetar. “Duh, Gusti. Mengapa ini aku lakukan…,” katanya lirih. *** Udara malam sangat dingin. Melebihi malam-malam sebe- lumnya. Sejak siang, istri Karnoto tidak keluar kamar. Ia mengu- rung diri. Karnoto sudah berusaha membujuk istrinya, namun tak ada reaksi. Hal ini membuatnya semakin bingung. Karnoto mondar-madir di depan pintu kamar istrinya. Ia berusaha ber- pikir bagaimana bisa keluar dari masalah yang membelit. Sejenak ia berhenti seakan sudah menemukan jalan keluar. Tanpa ragu lagi, ia mendekati kursi, mengambil sarung lalu bergegas keluar rumah. Malam semakin larut. Waktu sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Langkah Karnoto mantap, menyibak gelap malam. Se- sekali ia menoleh ke belakang. Sesampainya di dekat sebuah Antologi Esai dan Cerita Pendek Bengkel Bahasa dan Sastra 299

rumah, langkahnya terhenti. Ia melepas sarung yang dililitkan ke pinggang. Kemudian, sarung itu dipasangkan ke kepala, me- nutupi wajah dan sebagain tubuh. Hanya kedua matanya yang tidak tertutup. Ia mengendap mendekati jendela. Obeng ter- genggam di tangan. Sambil tengok kanan-kiri, tangan Karnoto berusaha mencongkel jendela. Berulang kali ia berusaha men- congkel, tetapi gagal. Keringat dingin keluar dari sekujur tubuh. Tangannya gemetaran. Baru pertama kali Karnoto melakukan- nya. Di saat ia asik berusaha, suara seseorang mengejutkan dari arah belakang. “Maling! Maling! Maling!” Karnoto kaget. Ia lari tak tentu arah. Sementara, warga yang mengejar terus bertambah. Ia semakin kebingungan dan terjepit. Tidak ada ruang gerak lagi untuk berlari. Ia pasrah apa yang bakal terjadi. Warga sudah tersulut emosi. Mereka membabi buta, menghantam tubuh Karnoto dengan keras. Tubuh yang tertutup sarung itu akhirnya lunglai. Karnoto terjerembab ke tanah. Darah mengalir. “Buka Pak,” pinta warga yang melingkar mengepung tubuh tergeletak tak berdaya. “Gimana, Pak RT?” tanya Pak Pujo. “Buka saja, Pak Pujo. Yang penting kita semua harus ber- tanggung jawab,” jawab Pak RT. Pak Pujo mendekat. Tangannya menggamit kain sarung ber- lumuran darah. Ketika sarung ditarik dan tubuh dibalik, semua orang terbelalak, terkejut. “Karnoto!” Istri Karnoto yang berada di belakang mendengar nama suaminya menghambur, menyeruak barisan warga. Ia mendekap tubuh Karnoto yang berlumuran darah. Tangisnya pecah. “Pak! Pak! Mengapa kau lakukan ini semua. Oalah Pak!..... Pak! *** 300 Pelangi di Kaki Langit

YU MINTEN MANTU Sri Yamtiningsih SMP Muhammadiyah Bantul Baru saja Pardi menyeruput teh panas, sudah dikejutkan oleh tembakan pertanyaan istrinya. “Gimana Pak, sudah dapat cari butuhnya belum?” tanya Minten dengan tak sabar. Hampir saja Pardi tersedak. Ia letak- kan cangkir tehnya. “Mak, sekarang mana ada orang memberikan pinjaman se- besar itu tanpa jaminan,” jawab Pardi sabar. “Lho, Bapak ini kan sudah lama bekerja di sana, tidak hanya sebulan dua bulan bahkan bertahun-tahun, masak tidak diper- caya?” nada Minten semakin tinggi. “Mak, uang sebesar itu jaminannya tidak sekadar keperca- yaan. Kalau diinvestasikan uang itu sudah memberikan hasil,” jawab Pardi masih dengan nada rendah. “Dah, kalau Bapak tidak berhasil usahanya, aku yang akan cari pinjaman sendiri,” kata Minten dengan nada kesal. “Mak, mbok begini, Tari kita nikahkan ke KUA. Kita buatkan among-among sederhana,” Pardi memberikan saran. “Ah.. Bapak ini seperti tidak tahu tradisi di kampung. Ke- marin saja gosipnya belum selesai, sekarang mau ditambah lagi. Aku malu, malu, ... dan sangat malu Pak!” Pardi hanya diam, menyabarkan diri. Jika diladeni, perbeda- an pendapat itu akan meruncing menjadi percekcokan, padahal keluarganya baru dirundung masalah. Anak gadis satu-satunya yang masih bersekolah di SMK putus sekolah karena terpaksa Antologi Esai dan Cerita Pendek Bengkel Bahasa dan Sastra 301

akan segera dinikahkan dengan teman sekolahnya. Hal itu, me- nyebabkan sumber gosip di kampung. Pardi sangat kecewa dengan cara istrinya dalam mendidik Tari. Minten malah merasa bangga jika anak gadisnya yang baru ABG sudah banyak teman laki-laki dan ganti-ganti pacar. Minten menganggap anak gadisnya laris manis. Ia merasa khawatir jika anak gadisnya menjadi perawan tua. Menurutnya, perawan tua menjadi aib keluarga. Minten juga tidak melarang jika Tari berpakaian tidak sesuai dengan adat ketimuran. Kaos dan celana pendek ketat selalu membungkus tubuh Tari. Minten bangga dengan kemolekan tubuh Tari. Minten juga tidak khawatir jika Tari sering main dan pulang malam. Ia menganggap anaknya gaul, modern, dan tidak kuper. Pardi sering ribut dengan istrinya dalam mendidik anak. Pernah ia bertengkar hebat. “Mak, mbok Tari itu dinasihati jangan sering main dan pu- lang malam. Itu tidak baik,” kata Pardi. “Ahhh.. Pak, Bapak tidak tahu pergaulan zaman sekarang, itu biasa, bahasa kerennya gaul,” jawab Minten. “Terus pakaian Tari seperti bungkusan melon itu juga dika- takan gaul? Banyak teman laki-laki itu juga dikatakan gaul?” sindir Pardi. “Ah, Pak, Bapak nggak usah ngurusin Tari, dia itu anak satu- satunya, jika tidak kita turuti, bila terjadi apa-apa yang repot juga kita,” jawab Minten. “Lho, aku ini bapaknya, wajar jika aku peduli. Meskipun hanya anak satu-satunya, jangan dimanjakan dan segalanya dituruti, nanti kita sendiri yang rugi jika cara mendidik seperti itu,” suara Pardi mulai meninggi. “Pak, Bapak menuruti apa sama Tari? Aku saja selama jadi istrimu belum pernah kau cukupi, apalagi Tari. Dah, sekarang urusan Tari itu urusanku. Bapak kerja cari uang biar kecukupan,” tegas istrinya. 302 Pelangi di Kaki Langit

Nyali Pardi hilang setelah perkataannya ditebas istrinya. Dia hanya diam, mengalah, dan menyabarkan diri. Itulah tameng yang selama ini ia pegang agar tetap bertahan tinggal bersama istri demi anak dan keutuhan keluarga. Pardi dan Minten bertemu sewaktu menjadi buruh pabrik tekstil di Jakarta. Karena pabriknya bangkrut, Pardi dan Minten terkena PHK. Setelah di-PHK, Pardi pulang ke kampung ha- laman di daerah pegunungan, Blora. Minten tidak mau meng- ikuti Pardi karena di Blora tidak ada lapangan kerja yang men- janjikan. Akhirnya demi anak dan keutuhan keluarga, Pardi mengalah mengikuti istrinya pulang ke kampung Minten di daerah pantai selatan Yogyakarta. Menurut Minten, kampungnya lebih menjanjikan dengan lahan pertanian bawang merah. Pardi sebagai laki-laki merasa kurang percaya diri karena hanya ikut tinggal di rumah istri sehingga keputusan-keputusan keluarga sering diputuskan oleh istri. Kalau Pardi akan marah, istrinya sudah mendahului marah. Demi keutuhan dan kelang- sungan keluarga, Pardi banyak diam, mengalah, dan menya- barkan diri. *** Minten dalam hati membenarkan alasan suaminya. Mencari pinjaman dalam jumlah besar tanpa jaminan tidak akan ada yang bersedia. Ia semalaman berpikir keras untuk mendapatkan mo- dal hajatan karena waktu semakin mendesak dan perut Tari se- makin membesar. Paginya, Minten meminta persetujuan suaminya sebelum berangkat kerja. “Pak, kalau nggak dapat pinjaman, aku akan datang ke tem- pat Bu Gito. Sertifikat sawah selatan dusun akan aku jadikan jaminan,” kata Minten. “Sertifikat sawah itu kan satu-satunya warisan dari Simbok- mu, mengapa kau jadikan jaminan? Kamu nggak sayang? Kamu tahu juga to sifat Bu Gito yang rentenir?” tanya Pardi. Antologi Esai dan Cerita Pendek Bengkel Bahasa dan Sastra 303

“Ya, gimana lagi, namanya menutup aib. Nanti apa kata tetangga, anak satu, sudah isi, mantu hanya dikruwes tidak sesuai tradisi,” jawab Minten. “Sudah biasa hidup di kampung jadi bahan gosip. Seminggu, dua minggu, sebulan, dua bulan, nanti gosip itu akan reda. Dari pada hidup susah dan lama menanggung hutang,” balas Pardi. “Bapak jarang di rumah dan jarang bergaul di masyarakat, jadi tidak pernah mendengar gosip di kampung,” bantah Minten. “Katanya suruh kerja, kok jarang di rumah salah, terus apa to untunganya dengar gosip?” tanya Pardi. “Sudahlah, Pak, pokoknya nanti saya ke tempat Bu Gito. Jika dapat, terus akan aku gunakan untuk uang muka belanja, sewa-sewa, dan lain-lain. Harinya semakin mendesak,” Minten mengakhiri pembicaraan. Seminggu sebelum hari H pernikahan, rumah Yu Minten ramai dengan tetangga yang akan membantu hajatan mantu. Jika ada yang punya hajatan, hampir orang sekampung berkum- pul. Seakan hajatan sudah menjadi hajatan orang sekampung. Besar-kecil, tua-muda, laki-perempuan bersuka ria berkumpul di rumah Yu Minten. Pagi, siang, malam, orang-orang datang bergantian membantu. Hajatan mantu berlangsung meriah se- lama tujuh hari tujuh malam. Dalam acara penutupan panitia, sebagian ibu-ibu menghi- tung jumlah isi amplop, sedangkan yang lainnya menyaksikan. Setelah selesai, uang diserahkan kepada tuan rumah. Pagi hari- nya, uang digunakan melunasi kekurangan-kekurangan keperlu- an hajatan. Ternyata uang sumbangan tidak mencukupi sehingga Minten harus mencari pinjaman uang tambahan. Minten malu berkeluh kesah di depan suaminya karena pasti ia akan disalahkan. Maka tanpa kesepakatan suami, ia medatangi Bu Gito menambah pinjaman. Bu Gito yang berjiwa rentenir merasa senang karena sawah Minten akan jatuh ke tangannya. Tetapi Bu Gito tidak mau jika yang datang hanya Minten. Bu 304 Pelangi di Kaki Langit

Gito menginginkan transaksi pinjaman diketahui juga oleh suami Minten. Minten dan suaminya datang ke rumah Bu Gito. Sudah kepa- lang basah, Pardi mengikuti permintaan Bu Gito tanpa perla- wanan. Mereka menandatangani surat pernyataan bermaterai yang sudah dipersiapkan Bu Gito. Surat itu menyatakan bahwa bila dalam jangka waktu lima tahun tidak dapat melunasi secara kontan, maka sertifikat menjadi hak milik Bu Gito. Mereka pulang membisu, Pardi jengkel dengan sikap istrinya yang sering membangkang, bahkan sering tidak menghargainya sebagai suami. Agar istrinya jera, berubah sikap, terlebih anak mereka sudah menikah, Pardi punya rencana baru. Pagi hari, seperti biasa, Pardi berpamitan kerja. Sorenya, Minten menunggu suami yang tak kunjung pulang. Waktu akan menelpon suaminya, di-HP sudah ada SMS dari Pardi. SMS itu memberitahukan bahwa ia tidak akan pulang sebelum menda- patkan uang untuk menebus sawah. Anak dan istrinya dilarang mencari karena ia akan bekerja di tempat yang jauh. Minten mencoba menghubungi tetapi nomor suaminya tidak aktif. Ia lemas, tatapannya menerawang jauh. Ia gelisah memikir- kan sertifikat sawah yang lepas dari tangannya, ditambah keper- gian suami yang tidak jelas… Antologi Esai dan Cerita Pendek Bengkel Bahasa dan Sastra 305

306 Pelangi di Kaki Langit


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook