Burung-Burung Kertas i
ii Burung-Burung Kertas
Antologi Esai dan Cerpen Pemenang Lomba Penulisan Esai dan Cerpen bagi Remaja Tahun 2013 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN iii BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA BALAI BAHASA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Burung-Burung Kertas
BURUNG-BURUNG KERTAS Antologi Esai dan Cerpen Pemenang Lomba Penulisan Esai dan Cerpen bagi Remaja Tahun 2013 Penyunting Yohanes Adhi Satiyoko Aji Prasetyo Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Diterbitkan pertama kali oleh: KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA BALAI BAHASA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Jalan I Dewa Nyoman Oka 34 Yogyakarta 55224 Telepon (0274) 562070, Faksimile (0274) 580667 Laman www.balaibahasa.org Cetakan Pertama Desember 2013 Katalog Dalam Terbitan (KDT) BURUNG-BURUNG KERTAS; Antologi Esai dan Cerpen Pemenang Lomba Penulisan Esai dan Cerpen Tahun 2013, Yohanes Adhi Satiyoko, Yogyakarta: Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, 2013 (xii, 244 hlm.; 21cm) ISBN 978-602-777-785-9 iv Burung-Burung Kertas
KATA PENGANTAR KEPALA BALAI BAHASA PROVINSI DIY Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, hingga hari ini, sesuai dengan apa yang diamanatkan oleh Undang-Un- dang Nomor 24 Tahun 2009, yang dipertegas lagi dalam Permen- dikbud Nomor 21 Tahun 2012, mengemban tugas sebagai lembaga pembina dan pengembang bahasa dan sastra Indonesia dan Dae- rah, khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta. Oleh karena itu, Balai Bahasa Provinsi DIY selalu menyelenggarakan kegiatan yang berkenaan dengan pembinaan kebahasaan dan kesastraan. Lomba penulisan kebahasaan dan kesastraan yang diejawantahkan dalam lomba menulis esai dan cerpen bagi remaja DIY diselenggarakan Balai Bahasa Provinsi DIY sebagai bentuk penjaringan dan pembi- naan generasi muda yang bertalenta menulis karya kebahasaan dan kesastraan. Sasaran kegiatan pembinaan proses kreatif yang dilakukan pada tahun ini tertuju pada remaja, khususnya mereka yang ber- usia 13—19 tahun. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa generasi mudalah yang kelak diharapkan menjadi generasi yang kreatif, inovatif, dan mampu bersaing baik di tingkat lokal, nasio- nal, maupun internasional. Generasi mudalah yang di masa datang juga akan menjadi pemegang kendali kekuatan dan kesejahteraan bangsa; dan oleh karenanya, sejak dini mereka harus dibekali de- ngan kepekaan yang tinggi, wawasan yang tajam, dan sikap yang kritis sehingga kelak mampu menghadapi segala tantangan dan hambatan. Dan kita yakin, bekal semacam itu, niscaya dapat diper- oleh dari belajar berproses kreatif menulis, di antaranya menulis esai dan cerpen. Burung-Burung Kertas v
Sejumlah karya “terbaik’ hasil nominasi esai dan cerpen buku antologi ini adalah bukti bahwa remaja di DIY, mampu “mencipta” sesuatu (karangan) melalui proses kreatif (perenungan dan pemikiran); dan di dalamnya mereka menunjukkan bahwa mereka memiliki ketajaman penglihatan dan kepekaan menangkap problem-problem sosial dan kemanusiaan yang dihadapinya. Untuk itu, kegiatan kreatif-kompetitif ini perlu terus dipertahankan dan dikembangkan untuk menghasilkan generasi yang aktif- kreatif-kompetitif sebagai generasi yang “pilih tanding” bagi negara dan bangsa Indonesia. Yogyakarta, September 2013 Drs. Tirto Suwondo, M.Hum. vi Burung-Burung Kertas
MENGUNGGAH DIRI Menulis karya sastra adalah menggambar kehidupan dalam remasan jari. Rupa remasan itu menyimpan ribuan bahkan jutaan cerita yang siap dihadirkan untuk dinikmati. Karya sastra menjadi sebuah cermin mini yang bisa membiaskan catatan kehidupan manusia, walau tidak secara utuh. Jarak estetik antara realita dan cerita fiksi menjadi ruang kreatif yang menghadirkan gambaran kehidupan secara estetik. Ruang kreatif itulah yang menjadi bagian dari pengarang untuk meramu gambaran kehidupan yang dia tangkap. Di dalam ruang kreatif, yang selalu ada dan disediakan oleh lembaga atau komunitas peduli perkembangan sastra, penulis diajak untuk selalu mengembangkan diri dan mengolah kepekaan imaji ketika menghadapi dan mengalami fenomena kemanusiaan. Balai Bahasa Provinsi DIY selalu menyediakan diri untuk memberi ruang kreatif pembinaan penulisan kreatif karya sastra dan bahasa. Lomba menulis kebahasaan dan kesastraan yang diejawantahkan dalam “Lomba Menulis Esai dan Cerpen bagi Remaja DIY, pada tahun 2013 ini, bertujuan untuk “mengunggah” potensi-potensi muda kreatif DIY supaya lebih mendewasa dalam khazanah keba- hasaan dan kesastraan di tingkat daerah. Maka, hasil-hasil karya esai (10 judul) dan cerpen (20 judul) terbaik tersebut dimuat dalam Antologi Esai dan Cerpen Pemenang Lomba Penulisan Esai dan Cerpen bagi Remaja Tahun 2013 dengan judul BURUNG-BURUNG KERTAS. Tidak lain dan tidak bukan, penerbitan antologi BURUNG-BURUNG KERTAS mewujud dalam rangka mengapresiasi kreativitas potensi-potensi remaja penulis di DIY. Burung-Burung Kertas vii
Penerbitan buku ini bukanlah sebuah akhir perjalanan remaja- remaja penulis tersebut, tetapi inilah satu batu pijakan yang perlu dilalui mereka untuk mengunggah diri dalam usaha melebarkan sayap kepenulisan mereka. Maka, harapan kami adalah melihat remaja-remaja potensial ini untuk semakin berkembang, kritis, dan konstruktif dalam menggambarkan kehidupan manusia dalam imaji mereka. “Teruslah melihat dunia dalam kacamatamu, catat, dan tuangkan melalui tintamu. Biarlah dunia berkaca melalui hasil karya kebahasaan dan kesastraanmu. Terus maju dan pantang menyerah.” Yogyakarta, September 2013 Y. Adhi Satiyoko viii Burung-Burung Kertas
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR KEPALA BALAI BAHASA PROVINSI DIY ............................... v MENGUNGGAH DIRI ................................................................. vii DAFTAR ISI ...................................................................................... ix ESAI MINAT BACA RENDAH: PENYEBAB MARAKNYA BAHASA ALAY Imas Indra Hapsari .......................................................................... 3 SENI ALA KADARNYA Anggalih Bayu Muh. Kamim ........................................................ 13 ESAI BAGI REMAJA: KEBUTUHAN ATAU KETERTARIKAN? Anita Meilani ................................................................................. 23 AKU GUNCANGKAN DUNIA DENGAN MEMBACA Surya Jatmika ................................................................................. 32 MENCIPTA TOKOH FIKTIF DALAM KARYA SASTRA Ratu Pandan Wangi ...................................................................... 41 APLIKASI PINTAR TEBAKU UNTUK MENINGKATKAN MINAT BERBAHASA DAN BERSASTRA PADA REMAJA Sangga Hadi Pratama .................................................................... 52 PERSPEKTIF: KEBUDAYAAN SEBAGAI ASET PEMBANGUNAN Sri Mulyani ................................................................................... 61 Burung-Burung Kertas ix
FIKSI MINI: KREATIVITAS SASTRA YANG TIDAK BIASA Muhammad Ikhwan Anas .............................................................. 69 EKSPANSI BUDAYA: LUNTURNYA KEBUDAYAAN ASLI INDONESIA Alfiani Dyah Kurnia Sari .............................................................. 77 BUDAYA DAN PERMAINAN TRADISIONAL PEMBANGUN KARAKTER ANAK Dian Andri Ani ............................................................................. 87 CERPEN BERMULA DARI SUARA Deliana Poetriayu Siregar .............................................................. 99 BINTANG HARAPAN Akbar Yoga Pratama .................................................................... 108 BURUNG-BURUNG KERTAS Beladiena Herdiani ....................................................................... 119 CERITA DI RADIO Gabriela Ajeng Cahyaning Puspitajati ........................................ 126 HIKAYAT BATU-BATU Nur Cholifah ................................................................................ 130 KEGELAPAN YANG MENGINTAI Ratu Pandan Wangi .................................................................... 135 KISAH PAGI DAN KAU YANG KUPANGGIL TUAN Galih Pangestu Jati ...................................................................... 142 KUPU-KUPU SEGERA TERBANG Primadita Herdiani ...................................................................... 148 LAMBANG KEBEBASAN Nisrina Salsabila .......................................................................... 155 MAMAK GUNTUR Wahyu Sekar Sari ......................................................................... 162 x Burung-Burung Kertas
PEMUDA YANG BERDOA SEPANJANG MALAM Achmad Muchtar ......................................................................... 170 PENARI JALANAN Dyah Inase Sobri .......................................................................... 175 PETA LUKA BERBINGKAI Eni Puji Utami ............................................................................ 182 PINDAHNYA ORION Ambar Fidianingsih ..................................................................... 188 LASKAR DILEM Fajar Wijanarko ............................................................................ 196 KABAR KEMATIAN Arlina Hapsari ............................................................................. 204 CERITA BAHAGIA SELEPAS HUJAN Suci Nurani Wulandari ............................................................... 210 PAKDHE Anita Meilani ............................................................................... 218 TIGA BUNGKUS KERUPUK PASIR DI PENGHUJUNG SENJA Nopa Triana ................................................................................. 224 PULANG Annisa Nur Harwiningtyas ........................................................ 232 CATATAN DEWAN JURI ESAI .................................................................................................. 241 CERPEN ........................................................................................... 243 Burung-Burung Kertas xi
xii Burung-Burung Kertas
ESAI Burung-Burung Kertas 1
2 Burung-Burung Kertas
MINAT BACA RENDAH: PENYEBAB MARAKNYA BAHASA ALAY Imas Indra Hapsari Pada Juni yang lalu, penikmat musik Indonesia sempat dika- getkan oleh kicauan musisi internasional Owl City. Lewat akun twitter resminya, ia berkicau, ‘jomblo h4h4h4 lu k3n4 v12u5 4l4y y4? K37ul424n cy4ph4 wkwkwk -____-’ (Jomblo hahaha lu kena virus alay ya? Ketularan siapa?). Owl City memang dikenal sangat menyukai Indonesia, bahkan ia sudah menganggap Indonesia seba- gai rumah keduanya. Namun, berkicau dengan bahasa yang awam- nya diketahui sebagai bahasa alay sangat di luar dugaan. Bayangkan saja, Owl City memiliki pengikut sebanyak 800 ribu. Bukan tidak mungkin kalau bahasa alay yang mereka pakai sesekali itu, mereka pakai kembali di kalangan muda sehari-hari. Bahasa alay bermula dari munculnya iklan operator seluler Esia yang menawarkan tarif Rp1 untuk satu karakter pesan singkat. Muncullah bahasa alay yang bertujuan untuk mempersingkat karak- ter pesan singkat, misalnya, kata tidak bisa ditulis dengan berbagai cara seperti, g, gx, nggk dan lainnya. Kata aku bisa ditulis Q, aq, w dan masih banyak lagi. Setelah lima tahun berlalu, kesadaran menggunakan bahasa yang baik sudah mulai muncul. Tulisan huruf bercampur angka dan tanda baca sudah jarang dijumpai walaupun masih ada bebe- rapa yang menggunakannya. Zaman berlanjut ke zaman singkatan, tidak jauh berbeda dengan bahasa alay, bahasa ini dipopulerkan lewat sosial media twitter. Twitter sendiri juga membatasi penulisan hanya 140 karakter saja. Dari situlah muncul istilah-istilah mager (males gerak), cukstaw (cukup tahu), gengges (ganggu), kamseupay (kampungan sekali udik payah), dan lain sebagainya. Iklan opera- Burung-Burung Kertas 3
tor seluler 3 juga menyumbang istilah eksmud yang artinya ‘eksekutif muda’. Makin luas saja penggunaan istilah-istilah singkatan ini di kalangan muda. Sepertinya betul juga hipotesis mahasiswa bersama Berthold Damshauser dalam majalah Tempo, 30 Juni 2013. Dalam diskusi dengan mahasiswanya, Damshauser dihadapkan pada dugaan bahwa bahasa dan manusia Indonesia sedang dalam proses evo- lusi. Bukan tidak mungkin evolusi yang dimaksudkan mahasiswa Damshauer menyangkut bagaimana kepedulian manusia Indonesia terhadap bahasanya sendiri karena suatu evolusi tidak akan dikenal sebagai evolusi ketika proses tersebut belum usai. Sekarang mau- kah kita membiarkan bahasa kita berevolusi menjadi bahasa yang tidak pada tempatnya? Mengenal Pembelajaran Bahasa Indonesia di Tingkat Dasar Saat itu, saya dan rekan-rekan diberikan kesempatan untuk menjadi pemateri dalam pelatihan menulis. Pada tanggal 18—25 Juni 2013, saya sebagai anggota Komunitas Ruang bekerja sama dengan Save The Children menjadi pemateri untuk 14 SD di wilayah rawan bencana di Kabupaten Magelang. Pelatihan menulis ini di- ikuti oleh 340 orang siswa kelas IV. Kesempatan tersebut saya gunakan untuk melihat sejauh mana siswa-siswi ini memahami penggunakaan bahasa Indonesia secara aplikatif. Pada awal sesi pelatihan, kami meminta siswa-siswi ini untuk menulis perjalanan mereka dari rumah sampai sekolah. Hasil tu- lisan mereka ini menjadi dasar penilaian awal (pre-test) seberapa mereka menguasai dasar-dasar penulisan dan seberapa mereka peka terhadap lingkungan sekitar. Dasar-dasar penulisan yang dinilai adalah susunan kalimat, tanda baca, kalimat efektif, logika tulisan, dan pemilihan kata. Dari seluruh hasil penilaian awal di- dapatkan 52% atau sebanyak 176 siswa tidak memahami, 37% atau 125 siswa cukup memahami, dan 11% atau 39% siswa memahami dasar penulisan yang baik dan benar. Setelah tulisan awal mereka dikumpulkan, barulah tim mem- berikan materi mengenai kepenulisan dasar. Materi dasar ini me- 4 Burung-Burung Kertas
liputi penulisan paragraf yang menjorok, huruf kapital di awal kalimat, tanda baca titik di akhir kalimat, dan jumlah kata dan satu kalimat supaya menjadi kalimat efektif. Pemateri juga menje- laskan bagaimana membuat kalimat sesuai dengan logika kalimat supaya kalimat yang dibuat tidak berbelit-belit. Tidak lupa, pema- teri menyelipkan permainan kereta kata, yaitu sebuah permainan menyusun kata-kata menjadi sebuah kalimat yang memiliki cerita. Mirip dengan soal yang biasanya ada di lembar kerja siswa. Per- mainan ni menguji seberapa anak memahami struktur kalimat. Selanjutnya, pelatihan dilanjutkan dengan latihan wawancara. Siswa-siswi ini diajari untuk berani bertanya dan mendapat infor- masi. Mereka mewawancarai guru, tim dari Save The Children, atau tim pemateri sendiri. Mereka juga diminta untuk mengamati ling- kungan sekitar mereka dan mengkolaborasikannya dalam sebuah tulisan. Penilaian akhir ditujukan untuk menilai seberapa siswa- siswi menyerap apa yang telah disampaikan oleh para pemateri. Hasil penilaian akhir meliputi aspek yang sama adalah 38% atau 127 siswa tidak memahami, 168 siswa atau 50% siswa cukup memahami, dan sebanyak 12% atau 42 siswa memahami kepenulis- an dasar bahasa Indonesia yang baik dan benar. Peningkatan ini cukup baik walaupun tidak sesignifikan seperti yang diharapkan. Dalam praktiknya, pelajaran bahasa Indonesia belum menjadi perhatian serius bagi siswa. Ini terlihat dari bagaimana cara mereka menulis kalimat. Ketika pemateri meminta mereka menulis para- graf, banyak di antara mereka menulis dengan awalan nomor. Seolah mereka menjawab soal. Mereka masih menulis dengan huruf besar dan kecil, seperti yang digunakan pada bahasa alay. Mereka belum mengindahkan peraturan bahwa hanya huruf di awal kali- mat dan nama yang berawalan huruf kapital. Mereka masih ba- nyak pula menulis tanpa tanda titik di akhir kalimat. Hampir setiap tulisan yang kami baca mengandung pengulang- an kata yang berlebihan. Ini berarti kosakata anak-anak di sini sangatlah terbatas. Hal ini diperkuat dengan banyak anak-anak yang menyisipkan kata-kata berbahasa daerah. Banyak anak meng- gunakan kata ngarit, njegur, mbajak, dan sebagainya. Burung-Burung Kertas 5
Di SD Wonolelo 3, pemateri banyak menemui siswa yang sa- ma sekali tidak mengerti arti dari kalimat tertentu. Parahnya ketika mereka diminta menulis kalimat, tulisan yang muncul hanyalah frasa-frasa, contohnya, bangun tidur, makan, berangkat sekolah, ber- main, pulang, dan seterusnya. Di SD N 1 Srumbung, kami juga menemukan anak yang ber- seru, “Satu paragraf doang ya!” memprotes arahan para pemateri. Setelah itu, kami menyadari penggunaan ekspresi “doang” yang menunjukkan bahwa peran media sangat besar terhadap anak- anak ini. Pembelajaran Bahasa Indonesia dan Kekuatan Media Sosial Peran media sosial, seperti televisi, radio, dan internet sangat berpengaruh terhadap cara menulis seseorang. Banyak media so- sial menggunakan media tulis untuk berkomunikasi. Ini mengapa kebutuhan membaca dan menulis sering berbanding terbalik de- ngan kemampuan. Komunikasi tertulis sering mengalami penyim- pangan-penyimpangan dari aturan awalnya, sedangkan komuni- kasi lisan juga menentukan komunikasi tertulis kita. Apa yang kita ucapkan akan tertulis demikian pula sebaliknya. Lambat laun kita menyadari bahwa semakin canggih media komunikasi, semakin berkurang pula makna komunikasi itu sen- diri. Ketika tahun 1980-an, masyarakat lebih mengenal media ko- munikasi surat. Surat dianggap media yang murah, tetapi sampai- nya pesan kepada orang yang dimaksud memerlukan waktu yang tidak sebentar sehingga komunikasi tersebut justru bermakna. Selain itu, ada alternatif lain selain surat, yaitu telegraf. Alternatif ini menguntungkan karena sampainya pesan lebih cepat, tetapi tetap saja telegraf tidak bisa diakses bebas begitu saja. Hal ini menyebabkan komunikasi yang disampaikan memang memiliki tujuan yang jelas sehingga maknanya ada. Berbeda dengan komunikasi saat ini, komunikasi dengan mu- dahnya terjalin menyebabkan kita tidak menghargai makna komu- nikasi. Dengan biaya dan mudahnya media komunikasi diakses, semakin banyak orang bisa berbagi pesan dengan mudah. Akan 6 Burung-Burung Kertas
tetapi, pesannya sendiri kurang bermakna, contohnya, pesan-pe- san yang disebar karena ada gratis sms, atau pesan-pesan di media sosial yang kurang penting isinya. Rata-rata pengguna internet di Amerika Serikat menghabiskan waktu 121 milyar menit pada Juli 2012 untuk media sosial. Jumlah ini meningkat 37% dari jumlah pada Juni 2012, yaitu 88 miliar menit. Dengan waktu selama itu, mereka dapat mengamati tren-tren yang terjadi di media sosial. Dengan jumlah pengguna yang ba- nyak, akses informasi yang mudah dan cepat membuat suatu hal yang baru dapat dinikmati dengan mudahnya sehingga bukan se- kali-dua kali muncul celetukan atau kosakata khas anak muda yang diikuti oleh banyak orang. Sesuai dengan teori konformitas, peng- guna media sosial secara tidak sadar akan menyesuaikan diri de- ngan kebiasan dan tren yang terjadi. Jika hal ini tidak ditanggapi secara dewasa, hal itu akan muncul kata-kata yang melenceng dari makna sebenarnya. Contoh paling baru adalah fenomena vickiisme yang terjadi akhir- akhir ini. Gejala vickiisme sebenarnya bukan gejala baru, bahkan sejak lepas dari penjajahan. Sebagian masyarakat kita sudah ter- kena virus “ngintelektual” itu. Sebuah penyakit yang umum terjadi ketika modernisme atau zaman rasional masuk ke dalam komunitas atau negeri yang sebelumnya dikenal sangat tradisional. Memang untuk sebagian orang gaya bahasa Vicky terlihat sa- ngat intelektual. Akan tetapi bagi orang lain, gaya bahasa Vicky hanya menjadi hiburan yang mengocok perut. Hal yang patut diwaspadai di sini ialah bagaimana anak-anak dengan usia yang masih berkembang disuguhi berbagai tayangan yang mengeskpos vickiisme. Ditambah lagi, pengaruh komunitas yang sering meng- gunakan gaya bahasa Vicky untuk bahan lelucon. Bukan hal yang berlebihan, kita mengkhawatirkan anak-anak yang masih dalam masa meniru ini menggunakan bahasa Vicky. Apalagi dengan data yang ada, masih banyak anak sekolah dasar yang belum mema- hami bahasa Indonesia yang baik dan benar. Mengingat berapa usia Vicky dan bagaimana dia berkomunikasi dengan bahasanya, kita tidak bisa menutup mata pada kemungkinan bahwa anak- anak bisa juga mengikuti kiblat Vicky. Burung-Burung Kertas 7
Contoh lain adalah fenomena merebaknya ciyus dan miapah di pertengahan bulan Oktober tahun lalu. Kata-kata ini sebenarnya muncul dari pemakaian sosial media. Ada beberapa anak pengguna sosial media berpura-pura cadel. Alhasil, kata-kata ini dianggap sebagai sesuatu yang lucu sehingga banyak digunakan oleh ka- langan muda saat itu. Akan tetapi, fenomena kata-kata tersebut hanyalah bersifat musiman. Alasannya, masyarakat lambat laun akan menganggap kata-kata tersebut biasa atau ada kata lainnya yang lebih menarik. Kembali mengingatkan, fenomena ragam bahasa sebenarnya bukan setahun dua tahun saja mulai terjadi. Banyak kata yang diadopsi dari artis-artis televisi. Cetar membahana, sesuatu, dan alham- dulillah ya sering kita dengar dari penyanyi Syahrini. Entah apa maksudnya, kata-kata ini juga menjadi tren di kalangan muda. Sebelumnya, Titi D.J. sempat membuat tren ember (memang begitu); Titi Kamal dengan jablai (jarang dibelai) dan seruan khas ala pela- wak Sule, prikitiew. Dengan timbul-tenggelamnya fenomena ragam bahasa, kita patut mengingat bahwa sebenarnya bahasa senantiasa berkem- bang. Perkembangan bahasa dipengaruhi oleh budaya yang juga selalu berkembang. Sebagai manusia evolusioner, manusia Indo- nesia pasti juga mengevolusikan bahasanya. Tipe kalimat “diam- bilnya buku ini” semakin jarang terdengar. Kini orang cenderung mengatakan “ia mengambil buku”. Dulu perbuatan yang difokus- kan, kini individulah yang ditonjolkan dan dijadikan fokus kalimat, tak lagi hanya menjadi imbuhan. Selain itu, kata ganti orang seperti hamba tidak lagi dipakai. Ini sebuah fenomena yang wajar jika kita melihat bahasa dalam konteks budaya. Apalagi dengan perkembangan komunikasi yang begitu cepat. Akan tetapi di balik itu semua, tentu saja ada urgensi untuk melindungi bahasa Indonesia dari degradasi makna dan salah pemakaian. Di lihat dari sisi historis, kita semua mengerti bahwa bahasa Indonesia menjadi komponen penting terhadap per- satuan bangsa. Bahasa juga merupakan salah satu dari tujuh unsur budaya universal. Ini artinya bahasa Indonesia akan menjadi pe- 8 Burung-Burung Kertas
nanda peradaban manusia Indonesia. Jangan sampai muncul, orang Indonesia kehilangan kemampuannya berbahasa Indonesia. Akan tetapi di sisi lain, perlindungan terhadap bahasa Indo- nesia sangatlah dilematis. Bahasa Indonesia menghadapi berbagai “ancaman” dan “gangguan”, mulai dari kebutuhan bahasa asing yang lebih memiliki pamor, pencanangan penggunaan bahasa dae- rah, hingga bahasa nonformal yang sering dipakai di media sosial. Perlindungan bahasa Indonesia sendiri tampak menjadi sangat klise. Apa yang patut dilindungi? Fenomena ragam bahasa memang sangatlah wajar. Akan tetapi, ragam bahasa akan menjadi berbahaya apabila anak-anak, khusus- nya, mulai tidak peduli dengan aturan berbahasa yang baik dan benar. Hal inilah yang patut kita waspadai. Jangan sampai penggu- naan bahasa yang salah ini kita biarkan begitu saja sehingga terjadi pemakluman-pemakluman yang fatal. Implikasinya adalah anak- anak tidak lagi bisa berbahasa dengan baik dan benar. Arti Sesungguhnya Perlindungan Bahasa Indonesia Keterampilan berbahasa Indonesia tidak dapat dikuasai secara instan. Kemampuan berbahasa seseorang ditentukan oleh seberapa biasa orang tersebut mengaplikasikan bahasanya. Pada level dasar keterampilan berbahasa anak-anak bisa dilatih melalui minat mem- baca. Sayangnya, lagi-lagi indeks minat baca masyarakat Indonesia sangatlah rendah, yaitu 0,001. Ini berarti dari seribu penduduk hanya ada satu orang yang memiliki minat baca tinggi, sedangkan Indonesia masih berada di urutan 69 dari 127 negara menurut indeks pembangunan pendidikan UNESCO. Anak-anak sekolah dasar wajib dibangun keingintahuannya lewat buku. Bukan dipaksa membaca, melainkan mereka dimo- tivasi untuk bisa membaca. Pada awalnya, ini bisa dilakukan de- ngan membacakan anak-anak cerita. Keingintahuan anak-anak yang tinggi akan membuat mereka terus-menerus minta dibacakan cerita. Pada titik inilah, kita mengajari anak-anak untuk membaca. Pola yang salah di Indonesia adalah menjadikan kemampuan mem- baca salah satu indikator untuk masuk sekolah dasar. Jika anak- Burung-Burung Kertas 9
anak harus bisa membaca untuk masuk sekolah dasar, semasa ta- man kanak-kanak atau PAUD mereka akan dipaksa untuk belajar membaca. Jika mereka dipaksa untuk membaca, ke depan, mereka akan membenci membaca. Rata-rata yang dibaca anak Indonesia adalah 27 halaman per tahun, jauh dari rata-rata Finlandia yang membaca 300 halaman dalam 5 hari. Membaca menjadi sangat penting untuk menjadi fondasi ber- bahasa anak-anak. Dengan membaca, anak-anak belajar kosakata baru. Mereka belajar menyusun kalimat dan menggunakan ber- bagai variasi kosakata dalam kalimatnya. Hampir seluruh sekolah- sekolah yang saya kunjungi di Magelang menutup perpustakaan- nya. Ini merupakan jawaban mengapa selama ini anak-anak tidak gemar membaca. Meningkatkan minat baca akan sama dengan melindungi ba- hasa Indonesia. Kebijakan dinas pendidikan selama ini mewajibkan siswa-siswi untuk membaca minimal 15 buku dalam waktu 3 tahun ketika di bangku sekolah menengah atas. Pada dasarnya, kebijakan ini memang dimaksudkan untuk meningkatkan minat baca siswa, tetapi saya kira pemberian tugas semacam itu sudah sangat ter- lambat untuk siswa menengah atas. Berdasarkan pengalaman saya ketika di bangku sekolah, banyak anak-anak yang mengeluh ketika mengerjakan tersebut. Bagi mereka, tugas tersebut tidak begitu penting dibandingkan dengan materi yang harus dikejar untuk masuk perguruan tinggi. Ini menunjukkan indikasi bahwa sejak kecil mereka tidak dibiasakan untuk membaca buku selain buku pelajaran. Jika memang dinas pendidikan menghendaki tugas sedemi- kian rupa, praktiknya harus dilakukan berjenjang. Pada tingkat taman kanak-kanak, minat baca dilatih bukan dari paksaan. Pada usia bermain, mereka justru harus banyak dibacakan cerita-cerita sehingga ada ketertarikan bagi mereka untuk mengenal buku. Di tingkat sekolah dasar, anak-anak mulai belajar membaca. Di sini, setiap minggunya mereka wajib membaca sebuah buku cerita yang menurut mereka menarik. Setelah membaca buku ter- sebut, mereka satu per satu akan menceritakan apa yang telah 10 Burung-Burung Kertas
mereka baca di depan kelas. Dengan bercerita, mereka akan mem- budayakan kebiasaan membaca. Mereka juga akan tertarik untuk membaca buku-buku yang lain. Di tingkat sekolah menengah pertama, siswa-siswi diarahkan untuk membaca buku dengan jumlah halaman dan tema tertentu. Mereka diarahkan untuk bisa menuangkan apa yang telah mereka baca lewat tulisan atau membuat resensi. Metode ini juga diguna- kan untuk sekolah menengah atas dengan ketentuan yang lebih kompleks. Ritme pembelajaran seperti ini memang sudah diterapkan dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Akan tetapi menurut pengalaman saya, membaca buku menjadi standar kompetensi ta- hunan belaka. Pada setiap penugasannya, masih ada juga siswa- siswi yang bingung dalam mengerjakan tugas dan akhirnya meng- ambil jalan pintas. Untuk membentuk kebiasaan membaca, pola pembelajaran di atas bisa dilakukan dalam skala waktu dua mingguan. Penutup Terlepas dari normal atau tidaknya evolusi bahasa Indonesia, sebagai masyarakat Indonesia, kita harus melindungi bahasa persa- tuan kita. Kebanggaan berbahasa Indonesia harus dipupuk sejak dini. Peningkatan minat baca sebagai salah satu solusi melindungi bahasa Indonesia yang baik dan benar juga harus dipertimbang- kan. Ibarat sambil menyelam minum air, solusi ini tidak saja akan membiasakan anak-anak untuk berbahasa yang baik dan benar, tetapi anak-anak juga belajar ilmu pengetahuan secara luas. Daftar Bacaan Damshauer, Berthold. “Evolusi Bahasa dan Manusia Indonesia”. Dalam Majalah Tempo, 24--30 Juni 2013, hlm. 130. Burung-Burung Kertas 11
Biodata Imas Indra Hapsari. Tinggal di Tempel RT 004, Lumbungrejo, Tempel, Sleman. Saat ini Imas Indra Hapsari kuliah di Fakultas ISIPOL, Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada. Jika ingin berkorespondensi dengan Imas Indra Hapsari dapat menghubungi HP: 085747519933 dan pos-el: [email protected]. 12 Burung-Burung Kertas
SENI ALA KADARNYA Anggalih Bayu Muh. Kamim Latar Belakang Masalah Demoralisasi dan defisit nasionalisme yang tengah menghan- tui masyarakat saat ini tampaknya tak terlepas dari pengaruh tontonan yang tidak sehat. Tayangan televisi yang diharapkan dapat menjadi media pendidikan dan pengenalan kebudayaan, kini justru disalahgunakan. Produk pertelevisisan yang ada saat ini hanya mementingkan permintaan pasar, bukannya mengede- pankan aspek edukatif. Hal ini menyebabkan terjadinya perge- seran nilai dalam masyarakat akibat adanya tayangan yang tidak sehat. Contoh konkret dari bentuk tontonan yang tidak sehat terse- but adalah dimunculkannya adegan-adegan kekerasan yang terlalu berlebihan. Peran orang tua dalam menyikapi permasalahan ini sangatlah penting karena anak-anak belum mampu menyaring ma- na yang merupakan adegan-adegan yang tidak baik dan adegan yang pantas ditonton. Selain maraknya kemunculan adegan keke- rasan yang berlebihan, tayangan televisi, khususnya sinetron, pada saat ini lebih sering menceritakan kisah percintaan. Ditambah lagi, dengan seringnya diperlihatkan adegan-adegan yang tidak sero- nok, seperti adegan berciuman, berpelukan antarpasangan, dan bahkan saat melakukan hubungan seksual. Akibat dari terlalu se- ringnya penayangan kisah percintaan, hal itu menyebabkan ta- yangan sinetron terkesan membosankan. Burung-Burung Kertas 13
Rumusan Masalah a. Dampak negatif apa sajakah yang ditimbulkan dari sinetron religi? b. Bagaimana dampak negatif yang ditimbulkan dari sinetron religi dapat terjadi? Tujuan Kajian a. Esai ini bertujuan untuk menelisik jabaran dampak negatif dari sinetron religi. b. Esai ini bertujuan untuk menelisik proses munculnya dampak negatif dari sinetron religi. Dampak Negatif dari Sinetron Religi Terdapat banyak dampak negatif dari sinetron religi yang dibagi ke dalam tiga aspek, yaitu aspek sosiokultural, psikologi anak, dan kesehatan anak. Penjelasan lebih lanjut adalah sebagai berikut. 1. Dampak Sosiokultural dari Sinetron Religi Saat ini dunia pertelevisian Indonesia tengah dibanjiri dengan sinetron-sinetron religi yang tidak mendidik. Sinetron religi yang ada saat ini juga hanya mengedepankan permintaan pasar dari pada mengedepankan aspek-aspek edukatif. Sinetron religi terke- san semakin tidak mendidik karena adanya penambahan unsur- unsur komedi dalam penulisan cerita. Hal ini menyebabkan tujuan dari pembuatan sinetron religi tersebut menjadi kabur, yang awal- nya ingin menyampaikan pesan-pesan islami pada para pemirsa, tetapi tujuan tersebut menjadi melenceng dari tujuan sebenarnya. Akibatnya, unsur-unsur islami yang ingin disampaikan menjadi tidak tersampaikan akibat dari adanya dominasi unsur komedi. Dengan demikian, seakan-akan agama Islam disepelekan de- ngan menjadikannya sebagai bahan komedi dan tak jarang dalam sinetron religi bertema komedi tersebut terdapat keterlibatan pe- main seorang ustaz. Ustaz dalam sinetron religi tersebut sering digunakan sebagai seorang penengah konflik dan juga pemberi 14 Burung-Burung Kertas
dakwah kepada para pemain yang terlibat dalam suatu konflik. Namun, tak jarang pemain ustaz tersebut justru dijadikan bahan lelucon oleh pemain lain yang berfungsi agar sinetron terkesan lucu. Hal ini justru dapat merendahkan peran ustaz sebagai pen- dakwah. Selain itu, dalam suatu sinetron religi seorang ustaz lebih terlihat sebagai seorang aktor dari pada seorang pendakwah. Akibatnya, seakan-akan ustaz tersebut hanyalah mengejar suatu popularitas, bukannya menjalankan perannya sebagai pendakwah. Selain itu, dalam sinetron religi yang bertemakan hidayah se- ring diperlihatkan adegan-adegan yang memuat unsur pornografi, contohnya saja, adegan lelaki hidung belang yang main di kafe dengan selingkuhannya dengan diperlihatkan kehidupan para pe- kerja seks komersial secara konkret. Tujuan penyampaian cerita tersebut sebenarnya sangat mulia, yaitu ingin menggambarkan bahwa dalam kehidupan itu ada yang namanya azab dan kemu- liaan. Namun, jika cara penyampaiannya salah, hal itu justru akan menyebabkan masalah tersendiri. Menurut Syaikh bin Baz Rahima- hullah, tidak boleh seorang laki-laki menyaksikan wanita telan- jang, setengah telanjang, atau yang membuka wajahnya, begitu pula seorang wanita tidak boleh menyaksikan laki-laki yang mem- buka pahanya, baik di televisi atau video, film, maupun visual lainnya, seseorang berkewajiban untuk menahan pandangan atau berpaling sebab hal itu merupakan sumber fitnah dan salah satu penyebab rusaknya hati dan menyimpangnya dari kebenaran. Pen- dapat beliau didukung oleh ayat Alquran Surah An Nur: 30--31 yang artinya Hendaklah mereka menahan pandanganya dan memelihara kemaluannya, yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguh- nya Allah maha mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya. Hal ini tentunya sangat ironis, sinetron religi yang seharusnya dapat digunakan sebagai sarana dakwah, tetapi jika cara penyajian- nya salah, justru dapat berakibat fatal. Selain itu, dengan dimuat- nya unsur-unsur pornografi justru dapat mencoreng nama baik agama Islam. Belum lagi sinetron religi saat ini tidak hanya diton- ton oleh dewasa, tetapi juga anak-anak. Oleh karena itu, kunci Burung-Burung Kertas 15
utamanya adalah perlu diperhatikan cara pengemasan sinetron religi tersebut. Dalam sinetron religi, saat ini juga sering muncul jargon-jargon atau kata-kata yang tidak mendidik. Contohnya saja dalam sinetron Tukang Bubur Naik Haji terdapat tokoh-tokoh yang sering mengucapkan kata-kata kotor seperti dasar pe ak lu, ah dasar tukang ngibul, dan masih banyak lagi. Kata-kata yang tidak men- didik ini tentunya juga dapat mencoreng agama Islam karena meng- gambarkan seolah-olah umat agama Islam itu suka bertutur kata yang tidak sopan dan suka mencela orang lain. Hal ini tentunya menambah poin keburukan sinetron religi saat ini. Tak jarang sering muncul kata-kata yang bersifat menghina dan terlalu merendahkan derajat orang lain. Contoh nyata adalah dalam sinetron Islam KTP, dalam sinetron tersebut terdapat tokoh orang kaya yang selalu menghina orang miskin yang ditemuinya. Tokoh tersebut bahkan menghina orang miskin yang bertemu de- ngannya dengan kata-kata di luar batas kemanusiaan, seperti Ah, dasar Kaum melarat, Kaum Marjinal, Merakbal dan masih banyak lagi. Hal itu justru dapat menggambarkan bahwa agama Islam itu adalah yang tidak menghargai dan mengasihi orang-orang berperekono- mian rendah. Dengan begitu, hal ini tentunya sangatlah disa- yangkan. Sineas senior, Deddy Mizwar, menilai bahwa banyak karya berupa film ataupun sinetron yang belum mampu menyampaikan pesan secara islami. Soalnya yang memproduksi karya-karya terse- but bukan orang Islam, tetapi tontonan yang dijualnya diklaim tontonan islami. Itu artinya tontonan semacam itu hanya sebagai barang dagangan saja. Hal itu artinya yang dikejar hanyalah per- mintaan pasar sehingga yang dikejar hanyalah popularitas dan semakin membuktikan karya tersebut tidak sesuai dengan tujuan pembuatannya. Akibatnya, yang pada mulanya ingin digunakan sebagai sarana penyebaran agama Islam, akhirnya justru menco- reng agama Islam itu sendiri, sedangkan Allah pernah berfirman dalam Surah Al Maidah: 57—58 yang artinya Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang Telah diberi Kitab sebelummu, dan orang-orang yang 16 Burung-Burung Kertas
kafir (orang-orang musyrik). dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul- betul orang-orang yang beriman. Dan apabila kamu menyeru (mereka) untuk (mengerjakan) sembahyang, mereka menjadikannya buah ejekan dan permainan. yang demikian itu adalah karena mereka benar-benar kaum yang tidak mau mempergunakan akal. Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwasannya orang-orang yang menjelekan agama Islam itu adalah orang-orang yang tidak mau mempergunakan akal, sedangkan Allah telah memberikan suatu anugerah yang luar biasa pada manusia, yaitu berupa akal dan pikiran, tetapi jika akal tidak digunakan dapat mencerminkan bahwa orang tersebut tidak lebih berharga dari seekor binatang. Mengapa dapat digambarkan seperti binatang? Karena mereka hanya mengedepankan hawa nafsu mereka, yaitu keinginan me- ngejar suatu popularitas tanpa memikirkan dampak buruk dari hasil perbuatan mereka tersebut. Satu hal lagi yang dapat menunjukan keburukan dari sinetron religi zaman sekarang ini adalah adanya tokoh sentral dalam cerita berupa seorang ustaz atau haji yang mempunyai tabiat buruk. Hal ini tentunya sangat bertentangan dengan realitas sebenarnya yang ada di dalam masyarakat. Haji dan para mubalig yang dalam kehi- dupan bermasyarakat sangat disegani, dihormati, dan bahkan di- jadikan panutan dan teladan. Namun, justru dalam kebanyakan sinetron religi digambarkan sebagai orang yang bengis dan ber- tabiat buruk. Tentunya hal ini mencoreng nama baik para pendak- wah Islam. Contoh nyata adalah dalam sinetron Tukang Bubur Naik Haji. Di dalam sinetron tersebut terdapat tokoh bernama Haji Mu- hidin yang sombong dengan memberi gelar pada dirinya “haji tiga kali”. Haji Muhidin juga digambarkan sebagai orang yang selalu iri terhadap rezeki yang selalu diterima keluarga Haji Sulam. Pelukisan tokoh yang demikian dapat memberikan gambaran yang salah pada masyarakat tentang seorang haji. Masyarakat men- jadi selalu mengidentikkan seorang haji sebagai seorang yang sa- ngat sombong dan bertabiat buruk. Hal ini tentunya juga dapat mengubah cara pandang masyarakat terhadap para pendakwah. Masyarakat akan menaruh kecurigaan terhadap para pendakwah dan terjadilah saling ketidakpercayaan. Para pendakwah yang Burung-Burung Kertas 17
dahulu selalu disegani, dihormati, bahkan dijadikan tauladan, aki- bat dari perubahan cara pandang ini, menyebabkan masyarakat tidak percaya pada dakwah mereka yang menyebabkan masyara- kat menjadi terjerumus ke jurang kesesatan. Hal ini juga memper- lihatkan bahwa sinetron religi yang ada bukannya menyampaikan nilai-nilai islami, tetapi justru menjerumuskan masyarakat. Sinetron religi saat ini juga terlalu merendahkan harkat dan martabat seorang wanita. Ini terlihat dari adanya pengidentikan wanita dengan seorang pekerja seks komersial, istri selingkuhan, dan penipu. Dalam sinetron religi bertema hidayah, wanita sering digambarkan sebagai seorang penghasut para pria, bahkan juga tak jarang wanita diidentikkan dengan pemeras harta para pria melalui perannya sebagai istri selingkuhan dan juga wanita yang berperan sebagai seorang istri yang sah dalam sinetron religi terse- but sering digambarkan sebagai seorang yang tidak mempunyai harga diri. Hal ini terlihat dari adegan lelaki hidung belang yang selalu memukuli istrinya yang sah. Alquran telah menjelaskan larangan untuk merendahkan para wanita. Hal ini sesuai dengan ayat Alquran dalam Surah Hujuraat: 11 yang artinya Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang diter- tawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perem- puan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memang- gil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. Selain hal di atas, dampak sosiologis lain yang muncul adalah mulai berkurangnya rasa hormat masyarakat terhadap ustaz, haji, dan mubalig. Para pendakwah yang dahulu disegani, dihormati, dan bahkan dijadikan seorang tauladan, justru kini mulai dilupakan. Ini sebagai akibat dari terlalu seringnya penggambaran tokoh haji sebagai tokoh antagonis. Contoh konkret adalah dalam sinetron Haji Medit, Islam KTP, Tukang Bubur Naik Haji, Mak Ijah Pengen Naik Haji, Anak-anak Manusia, dan masih banyak lagi. Seorang haji selalu digambarkan sebagai orang kaya yang agamis, tetapi jika 18 Burung-Burung Kertas
bertemu orang miskin, orang miskin tersebut selalu dihina dan diremehkan oleh tokoh haji tersebut, sedangkan realitas yang ada dalam masyarakat tidak seperti itu. Akibat adegan tersebut sering ditonton oleh masyarakat, hal ini menyebabkan cara pan- dang masyarakat terhadap para pemuka agama menjadi berubah. Masyarakat akan cenderung mengidentikkan para pemuka agama di masyarakat tersebut sama dengan yang ada dalam sinetron yang mereka tonton sehingga muncullah kecurigaan masyarakat terhadap pemuka agama mereka sendiri. Akibatnya, pemuka aga- ma selalu digosipkan dengan hal-hal yang tidak baik, bahkan mulai muncul desas-desus yang dapat menganggu pribadi pemuka aga- ma tersebut. Yang semakin memprihatinkan masyarakat saat ini lebih suka main hakim sendiri. Mereka dengan seenaknya menuduh dan mem- fitnah seorang pemuka agama telah mengajarkan ajaran yang me- nyesatkan, bahkan sering kali mereka menangkap dan mengusir pemuka agama yang dituduh tersebut. Tentunya ini merupakan suatu tindakan di luar batas kemanusiaan. Hal ini juga menambah poin negatif dari sinetron religi saat ini. Padahal secara jelas Islam telah melarang umatnya untuk merendahkan harkat dan martabat para pendakwah dan pemuka agama, hal ini tertuang dalam Alquran Surah At Taubah: 65 yang artinya Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tanggapan apa yang mereka lakuka itu), tentulah mereka akan menjawab, ‘sesungguhnya kami hanyalah bersendagurau dan ber- main-main saja.’ Katakanlah, ‘Apakah dengan nama Allah, ayat-ayat- Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok? Ayat lain yang memperkuat ayat ini adalah dalam Surah Fathir ayat: 28 yang artinya Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”. Hal ini membuktikan bahwasanya kita tidak boleh merendahkan para pemuka agama sehingga diperlukan suatu pengemasan cerita yang lebih santun dan tidak menyesatkan. 2. Dampak Psikologis bagi Anak dari Adanya Sinetron Religi Menurut Astrid W. E. N, M.Psi, Psikolog anak dan remaja KANCIL, Jakarta Selatan, adegan-adegan yang diperankan artis Burung-Burung Kertas 19
dalam tayangan sinetron akan banyak memberikan pengaruh bu- ruk kepada anak. Anak yang masih polos dan belum bisa membe- dakan hidup nyata dan akting dengan mudah meniru apa yang ada di sinetron, misalnya adegan kekerasan. Jika anak tidak di- dampingi orang tua, bisa saja anak meniru adegan kekerasan dalam sinetron, seperti berantem, memukul hingga menjambak rambut temannya. Contoh lainnya ialah adegan antagonis yang selalu ada di setiap sinetron juga dengan mudah ditiru anak-anak. Untuk itu, jangan heran jika anak yang sering nonton sinetron, dia lebih cepat marah jika keinginannya tak dipenuhi. “Anak itu rasa ingin tahunya besar. Dan, anak suka meniru apa yang dilihatnya. Jika yang dilihatnya memberi contoh buruk, bisa saja anak pun berperi- laku buruk seperti apa. yang dilihatnya,” terang Astrid saat ditemui di sela-sela seminar yang berlangsung di Hotel Sultan, Jakarta belum lama ini. Senada dengan Astrid, Vera Itabiliana Hadiwidjojo, Psi. Psi- kolog dari Lembaga Psikologi Terapan UI dan Klinik Raditya Me- dical Center Depok, Jawa Barat, juga mengatakan anak belum bisa membedakan informasi yang diterimanya antara kisah nyata atau fiksi (khayalan). “Sinetron saat ini masih banyak menyajikan ke- bencian, kebohongan, tipu muslihat, dan hal-hal tidak realistis lain- nya. Ini sangat buruk jika ditonton dan ditiru anak-anak, tambah Vera. Tak jarang dalam sinetron religi bertema hidayah sering mun- cul tayangan berbau seksualitas. Tayangan adegan bertema sek- sualitas yang sering muncul dapat merangsang anak. Anak menjadi cepat mengalami tahap kedewasaan karena hormon seksualnya telah dirangsang oleh tayangan tersebut. Akibatnya, anak yang belum paham mengenai hal-hal seksualitas menjadi terjebak ke jurang kegelapan sehingga tak heran jika saat ini sering terjadi kasus pemerkosaan dan pencabulan anak di bawah umur, bahkan pada pertengahan tahun 2013 di salah satu wilayah di Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, telah terjadi kasus pencabulan anak sekolah dasar, yang ternyata pelakunya adalah teman laki-lakinya sendiri. 20 Burung-Burung Kertas
Tentunya hal ini sangatlah menyedihkan. Belum lagi, dalam sinetron juga sering didengar kata-kata berbau seksualitas yang pada akhirnya juga berdampak buruk pada anak. Anak yang masih belum mengerti arti kata itu sebenarnya, karena terlalu sering menonton sinetron tersebut, menyebabkan anak memiliki kebiasa- an dengan kata-kata yang berhubungan dengan hal seksualitas tersebut. Solusi Karena dampak negatif sinetron religi menyebabkan efek yang berbahaya, perlu dicari solusi untuk penyelesaian masalah ini. Cara yang pertama adalah membatasi waktu anak untuk menonton te- levisi. Kemudian, pilih tontonan yang sesuai dengan usia anak. Sedapat mungkin orang tua atau orang dewasa di rumah menahan sementara waktu tidak dulu menonton sinetron sebelum anak- anak tidur. Jika pun anak meminta nonton sinetron, orang tua tetap harus mendampingi anaknya meskipun saat nonton sinetron anak-anak ataupun sinetron religi yang saat ini marak. Peran orang tua sesungguhnya adalah mendampingi anak menonton untuk mengajarkan bahwa apa yang ditontonnya tidak semuanya patut ditirunya. Namun, yang paling tepat adalah mengarahkan anak melaku- kan aktivitas lain bersama anggota keluarga, mengerjakan tugas sekolah, atau hanya berkumpul dan bercanda bersama keluarga. Sebaiknya, orang tua mengalihkan ke tontonan lain, seperti film edukasi anak atau film kartun yang banyak menampilkan gambar warna, ukuran, dan jalan cerita sesuai dengan umur anak- anak, juga lebih baik yang bisa melatih kemampuan pola pikir anak. Selain itu, orang tua juga bisa mengajak anak melakukan aktivitas yang lebih bermanfaat, seperti main ludo, atau permainan edukasi lainnya. Cara kedua kita sebagai masyarakat harus bisa memfilter tontonan yang layak ditonton sehingga kita bisa menjadi masya- rakat yang waspada sekaligus kritis. Burung-Burung Kertas 21
Simpulan Agar sinetron religi berkualitas dan layak tonton, sebaiknya dalam pengemasan sinetron tersebut tidak meninggalkan tujuan utama pembuatan sinetron tersebut dan adegan yang kurang mendidik sebaiknya dikurangi. Dengan demikian, akan tercipta karya seni yang benar-benar berkualitas. Biodata Penulis Anggalih Bayu Muh. Kamim. Tinggal di Topanrejo, Maguwoharjo, Depok, Sleman. Saat ini Anggalih Bayu Muh. Kamim sekolah di SMA Negeri 2 Ngaglik, Sleman. Jika ingin berkorespondensi dengan Anggalih Bayu Muh. Kamim dapat menghubungi HP: 085293198545. 22 Burung-Burung Kertas
ESAI BAGI REMAJA: KEBUTUHAN ATAU KETERTARIKAN? Anita Meilani Pendahuluan Pengadaaan lomba atau sayembara menulis untuk kalangan remaja dari berbagai lembaga pemerintah maupun swasta sudah sering kita dengar, baik menulis cerpen, puisi, esai, maupun karya ilmiah. Hadiah yang diberikan pun sangat menarik minat. Bedanya adalah, ketertarikan remaja terhadap jenis tulisan yang dilomba- kan. Sadar atau tidak, acuh atau tidak, peminat cerpen lebih ba- nyak dibandingkan dengan esai. Sebagai tulisan yang sama-sama berbentuk prosa, esai ternyata tidak begitu menarik perhatian re- maja. Padahal, pembelajaran menulis esai ada dalam kurikulum sekolah. Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), ke- terampilan menulis esai diberikan pada kelas XII semester 2. Secara normatif, siswa seharusnya sudah mengerti prinsip-prinsip penu- lisan esai. Pada kenyataannya, cerpen yang sifatnya lebih imajinatif tetap mengambil banyak minat dari remaja. Padahal banyak tulisan yang menyoroti kurangnya minat siswa atau remaja terhadap sastra. Kelihatannya sastra yang dimaksudkan adalah karya-karya yang bersifat fiksi seperti novel sastra dan bukan karangan nonfiksi. Pandangan tersebut tidak sepenuhnya benar karena terbukti pe- serta lomba-lomba menulis cerpen tidak sedikit jumlahnya. Itu berarti remaja sudah menunjukkan apresiasi yang cukup tinggi terhadap sastra. Jika sastra yang dianggap kurang diminati saja kini sudah semakin menarik bagi remaja, lalu bagaimana dengan esai sendiri? Burung-Burung Kertas 23
Banyak yang menganggap bahwa menulis adalah suatu bakat, minat atau ketertarikan. Dalam hal ini termasuk pula menulis esai. Ketika dihadapkan pada dua pilihan misalnya, diperintahkan me- nulis esai atau cerpen, remaja cenderung memilih menulis cerpen. Buktinya, setiap tahun peserta sayembara penulisan cerpen di Balai Bahasa Yogyakarta lebih banyak menarik perhatian remaja diban- dingkan dengan peserta sayembara penulisan esai, dengan per- bandingan peserta mencapai 1:8 pada tahun 2012. Esai adalah kebutuhan setiap remaja dalam dunia pendidikan formal. Esai merupakan dasar bagi penulisan yang bersifat aka- demik pada jenjang pendidikan selanjutnya. Oleh karena itu, pelajaran menulis esai diberikan di sekolah pada jenjang kelas XII. Namun, mengapa esai hanyalah dianggap sebuah ketertarikan? Esai sebagai Literasi Madani Esai adalah tulisan pendek yang menyoroti topik dari sudut pandang penulisnya (Wiedarti: 2006:63). Karena didasari oleh su- dut pandang pribadi, maka esai sangat bersifat subjektif. Ada yang menggolongkan esai sebagai karangan fiksi, namun ada juga yang menyebutnya sebagai karangan semi-populer. Dalam suatu esai terdapat argumen atau kritikan penulis terhadap suatu pokok ma- salah, sehingga isinya tergantung pada pengalaman dan pendapat penulis itu sendiri. Esai adalah ekspresi tulis opini penulisnya. Opini adalah suatu gagasan dalam pikiran seseorang. Secara berurutan dapat dijabar- kan bahwa dari sebuah topik, memunculkan opini penulis dan kemudian jika dituliskan dapat menghasilkan sebuah esai. Namun, tidak semua opini bisa menjadi argumen esai. Opini yang bisa menjadi argumen adalah opini yang logis, kuat dan bisa dipertang- gungjawabkan. Meskipun sama-sama memiliki argumen penulis di dalamnya, esai berbeda dengan artikel dan feature. Karakter esai yang paling menonjol adalah subjektivitas penu- lis, yang digambarkan melalui argumen, pernyataan, kritikan ber- dasarkan studi pustaka, pemikiran, pengamatan dan refleksi penu- lis. Wardhana (via Pujiono, 2013:57) menjabarkan komposisi ka- 24 Burung-Burung Kertas
rangan esai sendiri meliputi judul, pendahuluan, pokok bahasan (isi), dan kesimpulan. Dengan karakteristik seperti itu, esai sebe- narnya menjadi kebutuhan penting dalam dunia pendidikan formal. Esai sebagai karangan semi-ilmiah yang tidak terlalu panjang dapat menjadi bekal dasar dalam kegiatan penulisan ilmiah. Pada tingkatan pendidikan formal, esai digunakan sebagai penugasan untuk mengetahui tingkat pemahaman dan apresiasi siswa/maha- siswa terhadap materi ajar yang diberikan. Dalam pembelajaran penulisan esai di SMA, biasanya siswa diperintahkan membuat esai pendek yang di dalamnya telah mencakup unsur organisasi esai yaitu pernyataan tesis (pendahuluan), isi gagasan, dan kesim- pulan. Berdasarkan esai pendek yang kurang lebih hanya lima paragraf ini diharapkan siswa mampu mengembangkan tulisannya menjadi argumen panjang berdasarkan studi pustaka. Selain sebagai bekal dasar penulisan karya ilmiah, esai juga dianggap sebagai bekal menuju literasi madani. Literasi madani sendiri adalah “kemampuan masyarakat untuk membaca agar mampu memberi keputusan sosial yang bertanggung jawab dan kemampuan menulis secara kritis untuk mengaktualisasi peran sosialnya dalam masyarakat” (Alwasilah, via Wiedarti, 2006:65). Artinya dengan literasi madani kita bisa menjadi bangsa yang cer- das yang mencerminkan keterampilan hidup berdemokrasi. Dalam konteks masyarakat madani, literasi (keterampilan membaca dan menulis) diarahkan pada membaca madani dan me- nulis madani. Perwujudan literasi madani dapat dilihat dalam arti- kel-artikel, tajuk, opini, kritik, dan resensi yang termuat dalam surat-surat kabar. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagai ma- syarakat kita sudah mampu menyuarakan pikiran sebagai kontrol terhadap pemerintah, yang merupakan ciri dari bangsa yang meng- anut sistem demokratis. Madani sendiri dapat diartikan sebagai “seimbang”. Hal-hal yang berbau politik, ilmiah, dan lain sebagainya, sebe- narnya bukan tugas guru bahasa Indonesia saja untuk mengajarkan esai kepada anak didik atau remaja. Guru mata pelajaran lain se- harusnya juga menguasai teknik penulisan esai. Esai tidak hanya Burung-Burung Kertas 25
dipergunakan dalam karangan sastra saja, tetapi juga pada bidang- bidang yang lain. Esai merupakan dasar dari penulisan ilmiah, tidak terbatas pada sastra. Materi pada bidang studi lain dapat dikaji dalam bentuk esai. Penguasaan Guru dalam Penulisan Esai Wiedarti (2006:70) mengungkapkan bahwa ternyata hanya ter- dapat 15% (dari 70 guru bidang studi) yang menguasai penulisan esai lima paragraf secara benar, sedangkan 85% lainnya tidak me- ngetahui organisasi penulisan esai, terutama tentang pentingnya pernyataan tesis yang membatasi pokok bahasan. Guru-guru yang dijadikan sampel adalah guru-guru berbagai bidang studi dari SMA yang diambil dari masing-masing kota di Kaltim, Sumatera Selatan, dan Jawa Barat. Dengan kemampuan yang sedemikian itu, guru tidak dapat membimbing siswanya dalam penulisan esai yang kemudian diha- rapkan mampu berpikir kritis. Mungkin karena merasa tidak mam- pu menulis esai, guru tidak mau mengajarkan penulisan esai kepada siswanya. Inilah salah satu faktor siswa tidak tertarik dengan pe- nulisan esai. Kenyataannya, dengan sampel beberapa SMA di Yogyakarta menggunakan sampel masing-masing alumni sekolah tersebut, ter- nyata penulisan esai malah sama sekali tidak diajarkan. Alasannya adalah materi penulisan esai yang ada di kurikulum kelas XII se- mester 2 digeser oleh persiapan ujian nasional yang dianggap lebih penting. Ada beberapa alasan mengapa pembelajaran esai diberikan di kelas XII semester 2. Dalam Wiedarti (2006:64), alasannya adalah pembekalan penulisan esai memerlukan keterampilan dasar berupa keterampilan membaca dan menulis pada kelas X, XI, dan XII di semester 1 (membaca: cepat, memindai, intensif; menulis paragraf: deskriptif, naratif, ekspositoris, persuasif, dan argumentatif; me- lengkapi karya tulis dengan daftar pustaka dan catatan kaki; meng- ungkapkan informasi melalui penulisan resensi; menulis rangkum- an atau ringkasan isi buku; menulis karya ilmiah (hasil pengamatan dan penelitian); dan menulis karangan berdasarkan topik tertentu 26 Burung-Burung Kertas
dengan pola pengembangan deduktif dan induktif) yang kesemua- nya diasumsikan mampu mendukung pemelajaran penulisan esai. Itulah mengapa esai tidak diberikan di kelas X atau XI, bahkan di kelas XII semester 1. Aturan yang Menjadi Alasan Hyland (via Pujiono, 2013:55), mendasarkan dalam teori esai argumentatif kriteria penulisan esai yang baik harus mengandung tesis, masalah, argumen, dan kesimpulan. Ada tahapan-tahapan tertentu yang secara teoritis membatasi siswa dalam menulis esai. Hal tersebut dimaksudkan agar siswa dapat membatasi topik yang mereka tulis dan uraiannya tidak keluar dari masalah. Namun, “kerapian” dalam menulis esai tersebut menyebabkan siswa kurang tertarik menulis esai jika bukan tuntutan dari tugas sekolah. Bentuk esai dapat digolongkan menjadi dua, yaitu esai formal dan esai informal (Payne, via Pujiono, 2013:53). Esai formal dipergunakan oleh pelajar, mahasiswa dan para peneliti untuk me- ngerjakan tugas-tugasnya. Esai bernada formal sebaiknya peng- gunaan pronomina pertama dihindari, sudut pandang harus logis berdasarkan fakta, serius, dan lebih panjang dibandingkan dengan esai informal. Esai informal sendiri lebih mudah ditulis karena lebih bersifat personal, jenaka, dengan bentuk struktur tidak ter- lalu formal (bertutur) sehingga bukanlah suatu alasan yang tepat jika remaja malas menulis esai hanya karena masalah sistematika penulisan yang diharuskan runtut. Untuk itu, pemikiran yang se- perti itu harus diluruskan dari mental remaja Indonesia. Jika terus- menerus esai dianggap terlalu berat untuk ditulis sebagai tulisan sehari-hari, bukan tidak mungkin esai tetap tidak seeksis cerpen. Sesungguhnya jika permasalahan ini ditangani dan diberi perhatian lebih, penulisan esai akan mampu dikuasai siswa setelah lulus dan memasuki perguruan tinggi. Dengan demikian, maha- siswa baru tidak akan kesulitan mengerjakan tugas-tugas kuliah yang kebanyakan berupa esai atau makalah. Jika mahasiswa me- nguasai penulisan esai dengan baik, mereka akan mampu menulis makalah yang lebih kompleks dan lebih panjang dengan baik pula. Burung-Burung Kertas 27
Esai Sastra Perkembangan esai di Indonesia dipopulerkan oleh H.B. Jassin. Karya Jassin yang berjudul Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei (1985) merupakan rujukan penulis esai di Indonesia. Esai-esai yang ditulis sebagian besar adalah esai sastra. Menurut Jassin, esai adalah uraian yang mebicarakan berbagai macam ra- gam, tidak tersusun secara teratur, tetapi seperti dipetik dari ber- bagai macam jalan pikiran (via Pujiono, 2013:53). Esais-esais Indonesia yang terkenal hingga sekarang antara lain adalah Iwan Simatupang, Sutan Takdir Alisyahbana, dan Sitor Situmorang. Esai sastra sendiri merupakan pandangan atau pendapat pribadi penulisnya mengenai suatu masalah kesastraan. Ternyata sejak dulu, eksistensi esai telah dipermasalahkan. Hal tersebut pernah diungkapkan oleh Nugroho Notosusanto dalam “Persada” lampiran majalah “Kisah” November 2006. Nugroho mengeluh bahwa genre esai merupakan genre yang dianaktirikan dalam dunia sastra kita. Di dalamnya juga terdapat pernyataan dari S.M. Ardan bahwa hasil sastra terbaru lebih banyak cipta daripada be- rupa esai atau kritik atau resensi. Hal tersebut menunjukkan bahwa bukan hal yang mengherankan jika kini pun remaja lebih menyukai cerpen sebagai hasil cipta sastra dibandingkan esai, baik esai sastra maupun esai yang membahas masalah lain. Contoh dari esai sastra adalah tulisan Jakob Soemardjo terha- dap cerpen “Mangga Arumanis” karya Muh Rustandi Kartakusuma dengan ciri-ciri subjektivitas penulis berdasarkan pengalaman dan pengetahuannya. Mangga Arumanis adalah simbol Rustandi untuk menyatakan kehidupan (keluarga) masyarakat dan bangsa yang otentik, jujur, sesuai tuntutan hati nurani, bermoral dan teguh iman. Mangga Arumanis juga berarti pengorbanan kepentingan diri sendiri. Meskipun sebuah keluarga, sebuah masyarakat atau sebuah bangsa itu miskin, asal hidup bermoral dan beriman, akan menjadikan hidup ini akan menjadi manis dijalani dan dinikmat dihayati. Keka- yaan itu baru berharga, baru manis, kalau diperoleh pula secara otentik, jujur, bermoral, dan beriman. Tokoh Hendra adalah pah- 28 Burung-Burung Kertas
lawan bagi pengarangnya, Rustandi Kartakusuma. Pahlawan itu dengan gagah berani menyumbangkan buah-buah mangga yang tidak halal itu kepada mereka yang membutuhkan makanan. Ha- nya dengan berbuat demikian, ia dapat kembali bermesraan de- ngan istrinya, Yanti. Meskipun Yanti berasal dari keluarga kaya, ia mau hidup dalam kemiskinan mendampingi Pahlawannya, Hen- dra, yang bersikukuh mempertahankan sikap bermoral dan ber- iman, penuh pengorbanan, dan pengabdian kepada sesama.” Pengetahuan penulis tentang mangga arumanis, pandangan positifnya terhadap tokoh di dalam cerpen yang diulas sangat memperlihatkan betapa pribadinya sebuah esai. Inilah yang me- nyangkal pernyataan bahwa esai terlalu ilmiah yang berindikasi terlalu “serius”, karena esai sendiri malah sangat subjektif. Pan- dangan yang seperti itu di kalangan remaja harus segera dilu- ruskan. Sebenarnya tanggapan terhadap karya sastra yang ada tidak hanya dapat diapresiasi melalui esai, namun juga kritik dan resensi. Walaupun sama-sama memuat argumen, ketiga jenis tulisan terse- but memiliki perbedaan pada tujuannya. Dapat dipahami bahwa sastrawan kita pun memiliki kegelisahan tentang nasib genre esai pada masa ini. Meskipun telah dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah, pada kenyataannya pembelajaran esai belum juga mak- simal. Penutup Tampaknya remaja belum menyadari pentingnya esai dalam kegiatan akademis. Tentu saja hal ini juga merupakan akibat dari pembelajaran oleh guru yang tidak menekankan dan menyampai- kan pentingnya esai untuk mereka, sehingga remaja kurang mema- hami hal tersebut. Setidaknya ada dua alasan mengapa esai kurang berkembang di kalangan remaja. Pertama, adanya persepsi bahwa esai terlalu bersifat ilmiah, harus mengikuti kaidah atau aturan penulisan tertentu, sehingga menyebabkan adanya asumsi bahwa terlalu banyak batasan yang diberikan dalam penulisan esai, sehingga remaja yang merasa ingin Burung-Burung Kertas 29
bebas berekspresi tertekan batasan-batasan tersebut. Aturan penu- lisan esai yang memang bersifat semi-ilmiah menghambat kemauan remaja yang cenderung labil dan belum memahami fungsi esai. Secara psikologis usia remaja memang menyebabkan mereka lebih senang dengan hal-hal bersifat imajinatif, karena mereka sendiri pun suka berimajinasi. Itulah yang mengakibatkan dalam dunia sastra hasil cipta lebih banyak dibanding ulasannya seperti yang diungkapkan oleh S.M. Ardan. Kedua, kurangnya perhatian guru terhadap perkembangan kemampuan siswanya dalam menulis esai yang mengakibatkan kurangnya pemahaman siswa terhadap fungsi esai. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa banyak guru yang malah be- lum menguasai esai dengan benar, maka bagaimana siswa dapat menguasai esai dengan baik pula? Padahal dalam tingkat univer- sitas, mahasiswa diasumsikan sudah mampu menulis esai dengan baik dan benar sehingga banyak dosen mata kuliah menguji pema- haman mahasiswanya dengan tugas menulis esai. Sosialisasi terhadap guru semua bidang studi tentang penting- nya penulisan esai sebagai bekal dasar penulisan karya ilmiah dapat menjadi solusi. Tidak hanya sosialisasi, akan tetapi juga pelatihan penulisan esai yang kemudian diharapkan mampu ditularkan kepa- da siswa-siswanya. Tentu saja, sosialisasi dan pelatihan tersebut tidak hanya diberikan kepada para guru, tetapi juga kepada para mahasiswa calon guru. Dalam sudut pandang lain, jika memang pada dasarnya remaja banyak yang mencintai sastra, bukan tidak mungkin pengembang- an awal kecintaan untuk menulis esai adalah dengan menulis esai sastra. Dengan ketertarikan yang condong ke sastra, esai akan menjadi lebih menyenangkan jika yang diulas adalah sebuah topik yang mereka sukai dan kuasai. Lama-lama remaja akan menyadari bahwa penting sekali mempelajari esai. Antara lain melatih peka dalam lingkungan sekitar, menangkap dengan cepat masalah yang ada, berpikir kritis, dan mengungkapkan data dengan argumen yang kuat, yang menjadikan bekal untuk menyusun kerangka ber- 30 Burung-Burung Kertas
pikir ilmiah. Menulis bukan hanya masalah tertarik atau tidak ter- tarik, menulis juga sebagai kebutuhan, apapun jenisnya. Dalam menulis esai dapat dimulai pula dari penulisan esai informal, yang kemudian berlanjut ke tahapan esai formal yang mengharuskan adanya data-data dari studi pustaka. Pada akhirnya, seperti wahyu Tuhan yang disampaikan pertama kali kepada Nabi Muhammad saw., iqro’ ‘bacalah’. Bacalah kemudian menulislah. Jika ingin menaklukkan dunia, silakan Anda membacalah. Jika ingin dikenal dunia, silakan Anda menulislah. Cogito ergo sum. Aku berpikir karena itu aku ada. Scribo ergo sum. Aku menulis karena itu aku ada, maka mari mulailah berpikir untuk menulis agar segera dikenal dunia. Daftar Bacaan Kratz, E. Ulrich. 2000. Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Pujiono, Setyawan. 2013. Terampil Menulis: Cara Mudah dan Praktis dalam Menulis. Yogyakarta: Graha Ilmu. Wiedarti, Pangesti. 2006. “Menulis Karya Ilmiah dan Pengajarannya”. Diktat FBS, Universitas Negeri Yogyakarta. Biodata Anita Meilani. Tinggal di Celep, Srigading, Sanden, Bantul. Saat ini Anita Meilani kuliah di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta. Jika ingin berkorespondensi dengan Anita Meilani dapat menghubungi HP: 085743802244 dan pos-el: [email protected]. Burung-Burung Kertas 31
AKU GUNCANGKAN DUNIA DENGAN MEMBACA Surya Jatmika “Berikan aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Berikan aku 1 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia.”(Bung Karno) Pendahuluan Tentu kita pernah mendengar salah satu pekik retorik yang digaungkan Sang maha mentor abadi, Bung Karno, di atas. Kata mutiara di atas telah menunjukan betapa besarnya harapan beliau terhadap kaum muda. Beliau telah menyadari sepenuhnya akan arti pentingnya kaum muda untuk membawa bangsa ini menuju keperadaban yang lebih baik. Satu pemuda bukanlah sembarang pemuda. Pemuda yang diharapkan Bung Karno adalah pemuda yang cerdas, kritis dan pintar dalam setiap hal. Apalah gunanya satu pemuda, seratus, sejuta, bahkan semilyar, jika mereka bodoh, tentu keadaan stagnasi atau tidak bergerak yang ada. Oleh karena itu, jika lebih diper- dalam, makna tersirat Bung Karno dalam kata mutiaranya adalah harapan satu orang pemuda yang cerdas, kritis dan pintar. Satu kunci untuk menjadi pemuda cerdas, kritis dan pintar, yaitu dengan membaca segala buku bermutu, yang mencerdaskan dan mencerahkan pikiran, serta menjadikan hidup lebih berkuali- tas. Membaca buku sampah (buku porno, buku makna kosong) hanya membuat pikiran miring atau melenceng dalam ketidakseim- bangan, menjadikan kita sebagai pribadi tak berkarakter dan terke- san liar, menghalalkan segala cara untuk menyelesaikan setiap persoalan. 32 Burung-Burung Kertas
Akan tetapi, di negeri ini tampaknya membaca buku bermutu belum menjadi budaya. Masyarakat terutama pemuda belum me- mahami arti penting membaca bagi kehidupan, padahal membaca adalah kunci segala kesuksesan. Tidak ada orang di muka bumi ini sukses tanpa membaca. Seorang Thomas Alfa Edison tidak akan menemukan bola lampu jika tidak membaca. Oleh karena itu, reali- ta ini menjadi dasar penulis mengemukakan gagasannya. Fakta Membaca Pemuda Indonesia Seperti yang dijelaskan sebelumnya membaca buku bermutu merupakan kunci kesuksesan atas segalanya. Membaca akan membawa pelakunya menjadi pribadi dengan kualitas tinggi. Insan berkualitas mampu membawa bangsanya menuju kedudukan per- adaban yang lebih baik. Oleh karena itu, tidak salah jika para ahli, baik skala lokal maupun internasional, menjadikan membaca seba- gai parameter kemajuan suatu bangsa. Membaca dan petumbuhan kemajuan negara merupakan suatu hukum perbandingan lurus. Semakin tinggi minat baca penduduk suatu negara, semakin tinggi pertumbuhan kemajuan negara,dan sebaliknya. Hukum ini tentu menjadi sebuah jawaban atas apa yang terjadi di Indonesia yang tidak kunjung maju. Ini terjadi kare- na minat baca penduduknya terutama pemuda kita sangatlah rendah. Menurut penelitian berskala nasional bahkan internasional di- katakan minat baca buku penduduk kita tergolong rendah, ter- utama pemuda kita. Berikut beberapa buktinya. 1. Berdasarkan data CSM pada anak SMA di 13 negara, termasuk Indonesia. Di Amerika Serikat, jumlah buku yang wajib dibaca sebanyak 32 buku, Belanda 30 buku, Prancis 30 buku, Jepang 22 buku, Swiss 15 buku, Kanada 13 buku, Rusia 12 buku, Brunei 7 buku, Singapura 6 buku, Thailand 5 buku, dan Indonesia 0 buku. 2. Direktur Pembinaan Pendidikan Masyarakat Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal dan Informal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Burung-Burung Kertas 33
Ella Yulaelawati, mengatakan bahwa skor rata-rata kemampu- an membaca remaja Indonesia adalah 402, di bawah skor rata- rata negara yang masuk Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) dan Indonesia menempati urutan 57 dari 62 negara. 3. Laporan Bank Dunia no.16369-IND (Education in Indonesia from Crisis to recovery) menyebutkan bahwa tingkat membaca usia kelas VI Sekolah Dasar di Indonesia hanya mampu meraih skor 51,7 di bawah Filipina (52,6), Thailand (65,1), dan Singa- pura (74,0). Data dan fakta di atas merupakan sebuah jawaban atas keada- an kita yang tidak kunjung maju sekaligus potret betapa mempri- hatinkan minat baca buku bermutu penduduk kita terutama pe- muda. Pemuda merupakan generasi penerus, di mana masa depan bangsa dan peradabannya berada di genggaman tangan mereka. Namun, mereka malah memiliki minat baca yang rendah terhadap buku berkulitas. Keadaan terpuruknya minat baca buku bermutu pemuda saat ini masih dipandang masalah sepele bagi pemerintah dan masya- rakat. Padahal keadaan tersebut merupakan akar segala bencana kemanusiaan di negeri ini (korupsi, kemiskinan dan kriminalitas). Selain itu, rendahnya minat baca buku bermutu pada pemuda me- rupakan suatu pertanda hancurnya peradaban bangsa dimasa de- pan. Oleh karena itu, ‘bencana’ rendahnya minat baca pemuda Indonesia harus disikapi dengan segera. Jika tidak, niscaya Indone- sia akan tenggelam, karena kekalahan dalam persaingan global lantaran kebodohan generasi penerusnya sendiri. Pemuda Kita Pemuda Indonesia memang rendah dalam hal minat membaca buku bermutu, tetapi tidak untuk minat membaca pada dunia maya (internet). Mereka sudah menjadikan internet sebagai kebutuhan pokok dalam hidup mereka. Tanpa adanya internet, hidup mereka bagaikan sayur tanpa garam yang hambar rasanya. 34 Burung-Burung Kertas
Saat ini internet mereka gunakan sebagai sumber informasi pertama dan utama akan setiap hal, seperti tugas, teori makalah, kajian dan berbagai karya. Pemanfaatan internet yang besar seba- gai sumber informan utama daripada buku, didasari alasan mudah, ringkas dan tidak menjenuhkan sehingga keadaan tersebut menye- babkan Indonesia menduduki peringkat lima dunia sebagai peng- guna internet terbanyak di dunia. Fakta mengenai prestasi penggunaan internet pada masyarakat bagaikan dua sisi perasaan kehidupan, antara kebanggaan dan keprihatinanan. Kebanggan yang dirasakan adalah penduduk In- donesia terutama pemuda ternyata memiliki wawasan IPTEK (Il- mu pengetahuan dan teknologi) yang tinggi. Keprihatinnanya, ma- syarakat kita, terutama pemuda, masih menjadikan bacaan di inter- net sebagai sumber informasi pertama dan utama dalam menger- jakan setiap karya mereka. Penggunaan internet sebagai sumber informasi merupakan jalan yang salah. Kevalidan, keakuratan, mutu, dan kebenaran tu- lisan di dalam internet masih menjadi keraguan bagi para pakar. Ini disebabkan penulisannya yang masih dibelenggu oleh emosi sesaat penulis sehingga tanggung jawab dan makna tulisan kabur. Oleh sebab itu, para ahli menempatkan internet sebagai pustaka kelas terbawah dan disarankan agar tidak dipakai dalam setiap penulisan ilmiah dan yang penulisan karya yang lain. Pustaka kelas teratas tentu adalah tulisan-tulisan bermutu hasil pemikiran dan penelitian para ahli yang ditulis dengan makna dan tanggung jawab yang penuh sehingga validasi dan keakurat- annya tidak menjadi keraguan. Akan tetapi, dengan alasan mudah, ringkas, dan tidak menjenuhkan, tetap saja menjadikan internet sebagai primadona pemuda kita sebagai bacaan dan acuan. Keadaan ini tentu bukanlah hal yang sepele. Pembacaan bacaan yang tidak bermutu tentu akan melencengkan pikiran, merusak moral dan mengubah pola perilaku kita menjadi tidak terkendali. Selain itu, penggunaan bacaan tidak bermutu sebagai penunjang gagasan akan melahirkan dan menyuguhkan tulisan sampah yang dapat meracuni pikiran pembacanya. Burung-Burung Kertas 35
Ketika pikiran rusak, moral pun menjadi rusak dan tentu me- rembet pada perilaku pembacanya yang menjadi tidak terkendali. Keadaan yang terjadi adalah carut marut dan hidup di bawah bayang-bayang ketakutan. Itulah gambaran yang terjadi ketika kita mengabaikan hal sepele, yaitu rendahnya minat membaca baca- an bermutu pada masyarakat kita, terutama pemuda (generasi penerus bangsa). Bagaimana Kita Menyikapinya? Tingginya angka minat membaca masyarakat terutama pemu- da akan bacaan di internet memang suatu keprihatinan. Akan tetapi, hal itu dapat dijadikan sarana atau jembatan emas untuk meningkatkan minat baca buku bermutu. Dengan jalan penerbitan buku e-book lalu di upload di internet dan pelayanan download secara mudah dan gratis, hal itu tentu akan meningkatkan minat baca pemuda kita akan buku bermutu. Buku elektonik ini tentu menjawab kelemahan yang dimiliki buku cetakan, seperti pada umumnya, yaitu rumit, tidak ringkas, dan menjenuhkan. Kevalidan, keakuratan, dan tanggung jawabnya pun tidak menjadi keraguan karena buku elektronik sama saja dengan buku cetakan hanya saja wujudnya yang berbeda dari hard file (cetakan) menjadi soft file (elektronik) sehingga solusi ini dapat dijadikan senjata untuk mengatasi masalah membaca negeri ini. Solusi selanjutnya adalah perbaikan kondisi perpustakaan di negeri kita. Dengan melihat pemuda kita yang “gila” teknologi, perpustakaan sebaiknya mengikuti keadaan dan kondisi demiki- an. Pengadaan fasilitas pendukung, seperti internet, ruang baca nyaman, buku baru berkualitas, akses mudah dan sebagainya, ten- tu akan meningkatkan minat membaca pemuda di perpustakaan. Perlu kita ketahui bahwa kurangnya peran perpustakaan di lingkungan kita lantaran kondisinya yang sebatas sebagai ruang baca dan gudang buku, tanpa adanya fasilitas lain yang diharapkan masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah dan pengelola perpusta- kaan sebaiknya memberikan anggaran guna membentuk perpusta- kaan yang modern sesuai dengan apa yang diinginkan masyarakat 36 Burung-Burung Kertas
terutama pemuda sehingga minat baca penduduk di perpustakaan semakin tinggi. Solusi terakhir yang penulis tawarkan adalah sistem wajib membaca satu semester bagi siswa. Sistem ini mengajak guru (pen- didik) untuk mewajibkan siswanya (baik dari tingkat SD (sekolah dasar) maupun perguruan tinggi) untuk membaca beberapa buku setiap satu semesternya (buku yang bermutu). Pemberian kewajiban ini harus didasari kemampuan anak dalam hal membaca, sebagai contoh untuk SD 1 buku, SMP 3 buku, SMA 4 buku, dan mahasiswa 5 buku. Setelah selesai membaca, guru diharapkan mengajak siswanya untuk meresensi atau meringkas setiap bacaan mereka, kemudian memberikan pertanyaan mengenai buku yang mereka baca. Hal ini tentu menekan angka kecurangan yang dilakukan siswa se- hingga mereka sungguh-sungguh melakukan kegiatan membaca. Penulis melihat sistem ini belum diterapkan oleh pemerintah kita. Padahal jika kita menengok negeri tetangga (Malaysia) dan negara-negara maju (Amerika Serikat dan negara-negara Eropa), sistem ini adalah suatu kewajiban bagi setiap peserta didik. Oleh karena itu, tidak salah kita mengadopsinya demi mencetak ma- nusia berkualitas dan Indonesia yang maju. Dengan solusi yang penulis tawarkan di atas diharapkan mam- pu menggerakkan hati masyarakat kita terutama pemuda untuk meningkatkan minat baca mereka terhadap buku bermutu. Dengan demikian, akan terbentuklah manusia berkualitas dan terbentuklah Indonesia yang jaya. Lalu yang menjadi pertanyaan, bagaimana membaca dapat membuat hidup kita lebih berkualitas dan mampu memajukan bangsa? Ketika Membaca Mengguncang Dunia Mayoritas penduduk negeri kita masih beranggapan bahwa kemajuan bangsa didasari oleh pertumbuhan ekonomi yang baik. Pemikiran ini adalah salah besar. Fondasi utama dalam kemajuan bangsa adalah bermula dari kualitas hidup penduduknya yang dimulai dari minat baca mereka terhadap buku-buku bermutu. Burung-Burung Kertas 37
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164
- 165
- 166
- 167
- 168
- 169
- 170
- 171
- 172
- 173
- 174
- 175
- 176
- 177
- 178
- 179
- 180
- 181
- 182
- 183
- 184
- 185
- 186
- 187
- 188
- 189
- 190
- 191
- 192
- 193
- 194
- 195
- 196
- 197
- 198
- 199
- 200
- 201
- 202
- 203
- 204
- 205
- 206
- 207
- 208
- 209
- 210
- 211
- 212
- 213
- 214
- 215
- 216
- 217
- 218
- 219
- 220
- 221
- 222
- 223
- 224
- 225
- 226
- 227
- 228
- 229
- 230
- 231
- 232
- 233
- 234
- 235
- 236
- 237
- 238
- 239
- 240
- 241
- 242
- 243
- 244
- 245
- 246
- 247
- 248
- 249
- 250
- 251
- 252
- 253
- 254
- 255
- 256
- 257
- 258