BAGIAN-I, Memahami Masalah Dampak dari krisis tersebut sangat dirasakan oleh para nelayan Kranji. Meskipun pemerintah kemudian memberi subsidi khusus kepada mereka --sebagai bagian dari kebijakan nasional untuk membantu keluarga-keluarga miskin yang paling parah menderita akibat krisis moneter tersebut-- namun jumlah bantuan itu semakin lama semakin tidak sebanding nilainya dengan harga-harga bahan baku, bahan bakar, dan bahan kebutuhan pokok lainnya yang juga terus menanjak tanpa henti sampai sekarang. Kemiskinan & Proses Pemiskinan Apa yang dialami oleh para nelayan Kranji --dan umumnya para nelayan di seluruh Indonesia-- hakikinya adalah suatu proses pemiskinan (impoverishment) yang hampir sepenuhnya berada di luar kendali mereka. Memang ada faktor-faktor alam (cuaca, iklim, musim) yang turut menyebabkannya, tetapi faktor-faktor penyebab buatan manusia justru lebih menentukan. Secara garis-besar, semua faktor yang menggerakkan proses pemiskinan nelayan Kranji itu,antara lain, yang terpenting, adalah: (1) kerusakan ekosistem laut; (2) perubahan iklim atau musim; (3) sistem kepemilikan alat tangkap; (4) sistem bagi-hasil tangkapan; serta (5) harga jual ikan hasil tangkapan. (1) Kerusakan ekosistem laut Selain penggunaan kapal-kapal besar modern bertenaga mesin, beraneka ragam alat-tangkap juga sudah digunakan luas oleh para nelayan di Kranji, termasuk jaring pukat-harimau (trawl) dan pukat- tarik (purse-seine) yang mampu secara cepat menguras tuntas isi laut sampai ke dasarnya. Meskipun pernah ada peraturan resmi dari pemerintah --yakni Keputusan Presiden (KEPPRES) No.39/1980 dan Surat Keputusan (SK) Menteri Pertanian No.503/KPTS/UM/1980-- yang melarang penggunaan pukat-harimau dan pukat-tarik yang tidak memiliki alat penyaring (filter), namun dalam kenyataannya praktik penggunaan cara-cara dan alat-alat tangkap yang merusak (destructive catching methods and apparatuses) itu masih tetap berlangsung, walaupun jumlahnya semakin kecil dan dengan pola-pola terselubung. Demikian pula halnya dengan praktik-praktik pemboman ikan (dynamite fishing) atau pembiusan ikan (potassium cyanide fishing). Perusakan eksositem laut tersebut tidak hanya terjadi di laut dalam lepas pantai, tetapi juga di laut dangkal sepanjang garis-pantai. Penyebab utamanya adalah pembangunan prasarana yang melakukan penimbunan (reklamasi) pantai-pantai alam. Contoh nyatanya adalah 101
GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial pembangunan dermaga pelabuhan di sisi timur Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Kranji. Pantai ditimbun seluas 20 hektar, bakau-bakau di babat habis, dan laut dikeruk sampai pada kedalaman puluhan meter, menjorok beberapa ratus meter ke laut. Sementara itu, di sisi baratnya telah direncanakan akan dibangun satu kompleks besar industri perikanan, jasa angkutan, dan wisata bahari, yang oleh pemerintah daerah Kabupaten Lamongan disebut sebagai ‘Lamongan Integrated Shorebase Project’, suatu proyek ambisius yang akan melahap lahan seluas 80 hektar sepanjang beberapa kilometer menyusur sempadan pantai. Kemunculan pusat perekonomian baru ini dengan sendirinya menarik banyak pemukim baru menduduki lahan-lahan sepanjang pantai. Limbah rumah-tangga dan industri pun semakin memperparah kerusakan eksosistem pantai dan laut di Kranji dan sekitarnya. Pelumpuran (sedimentasi) mematikan gugusan terumbu-terumbu karang sebagai sarang alamiah ikan-ikan. Jumlah dan jenis ikan pun semakin berkurang, semakin menjauh dari pantai ke laut lepas. Maka, nelayan semakin sulit memperoleh hasil tangkapan yang memadai seperti sebelumnya. Jika ingin memperoleh hasil banyak, mereka harus berlayar semakin jauh ke laut dalam lepas pantai, sehingga membutuhkan waktu melaut yang lebih lama dan, tentu saja, biaya yang lebih besar untuk bahan bakar dan perbekalan. Hanya mereka yang memiliki kapal-kapal besar modern bertenaga mesin yang dapat melakukannya, sementara nelayan kecil yang hanya bermodalkan perahu-perahu kecil bertenaga manusia dan angin akan berpikir seribu kali untuk itu. Lama kelamaan, mereka akhirya memilih untuk menjadi buruh nelayan saja pada kapal-kapal besar tersebut. (2) Perubahan iklim atau musim Sama halnya dengan semua nelayan di dunia, nelayan Kranji juga mengenal dua musim, yakni ‘musim tangkap banyak’ (nelayan setempat menyebutnya ‘along’) dan ‘musim tangkap kurang’ (nelayan setempat menyebutnya ‘ngoreng’). Karena itu, kapal-kapal mereka tidak melaut penuh sepanjang tahun, hanya pada musim along saja. Jarak jangkau atau jelajah kapal-kapal mereka mencari ikan juga sangat tergantung pada musim tersebut. Seperti juga para nelayan lain di seluruh Indonesia, musim tangkap banyak adalah pada musim laut teduh, yakni masa-masa ‘pancaroba’ (peralihan) dari musim angin barat ke timur dan dari musim angin timur ke barat. Juga pada setiap ‘bulan gelap’ pada setiap musim 102
BAGIAN-I, Memahami Masalah tersebut. Pada musim tangkap banyak ini, kapal-kapal nelayan biasanya hanya melaut lebih singkat (2-3 hari saja) dan sudah memperoleh hasil tangkap cukup banyak. Ini adalah saat ‘panen’ bagi para nelayan. Secara keseluruhan, musim tangkap banyak ini adalah sekitar 4-5 bulan sepanjang tahun. Musim tangkap kurang adalah pada setiap bulan purnama, sekitar tanggal 10-20 setiap bulannya dalam hitungan kalender tradisional Jawa. Pada saat-saat itu, laut sangat terang, sehingga cahaya lampu- lampu kapal-kapal nelayan untuk menarik ikan-ikan mendekati jaring, terkalahkan oleh cahaya bulan tersebut. Tetapi, puncak musim tangkap kurang adalah selama musim angin barat, baik bulan gelap maupun bulan terang atau purnama. Pada musim yang terkenal keganasan anginnya itu (di perairan Laut Jawa dan sekitarnya adalah antara Januari sampai Februari setiap tahunnya), hampir tak ada nelayan yang melaut, hanya perahu-perahu kecil yang berani miyang (melaut), sementara kapal-kapal besar berjajar menganggur di dermaga pelabuhan. Selama beberapa tahun terakhir, musim barat semakin ganas dan tidak menentu, angin berembus kencang seakan tak ada hentinya, bahkan sampai ke bulan April atau Mei (sehingga nelayan setempat menyebutnya sebagai ‘angin tua’). Pergantian musim sudah tidak berlangsung sebagaimana biasanya mereka ketahui selama ini. Padahal, secara alamiah selama ini, hembusan angin musim barat biasanya selalu memiliki jedah 3-4 hari tenang sebelum berembus kencang kembali selama sekitar seminggu. Ini terutama berlaku pada saat bulan gelap. Saat-saat jedah inilah yang biasanya mereka manfaatkan untuk melaut. Sekarang, saat-saat jedah semacam itu juga semakin tidak menentu pula. Bahkan, pada beberapa tahun tertentu, misalnya sepanjang tahun 1997 dan 1998, saat-saat jedah yang teduh itu sama sekali tak terjadi, angin barat berembus kencang tanpa henti seperti pada musim angin timur. Tanpa informasi tentang terjadinya peristiwa perubahan iklim secara mendunia (global climate change) kepada mereka, perubahan pola musim tersebut semakin menambah kebingungan para nelayan Kranji, karena sudah berada di luar prakiraan pengetahuan tradisional mereka. (3) Sistem kepemilikan alat-tangkap Penduduk Kranji yang berjumlah 9.239 jiwa --64% adalah usia produktif (15-55 tahun)-- memang sebagian besarnya bermata pencaharian utama sebagai nelayan --atau beberapa jenis pekerjaan 103
GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial lain yang masih ada hubungannya dengan kenelayanan-- yang kegiatannya terpusat di sekitar dermaga pelabuhan dan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Kranji. Dari semua nelayan disana, ternyata sebagian besarnya adalah buruh nelayan (belah) yang tidak memiliki alat-tangkap sendiri, tetapi bekerja pada hanya beberapa orang ‘nelayan kaya’ sebagai majikan pemilik dan pemodal (daokeh) dari armada-armada penangkapan yang ada, baik yang asal dan mukim di Kranji maupun yang dari dan mukim di beberapa desa lain sekitarnya (Tunggul, Banjaranyar, Kemantren, dan lain-lain). Secara keseluruhan, jumlah armada penangkap ikan yang berpangkalan di pelabuhan Kranji mencapai 160 unit dari berbagai jenis dan ukuran, terdiri dari 70 unit jenis purse-seine --nelayan setempat menyebutnya ‘porsein’, yakni jaring pukat berukuran besar yang ditarik oleh dua kapal atau perahu secara paralel, sehingga membentuk ‘kantong besar’ yang memerangkap ikan-ikan sepanjang jalur yang dilalui oleh kapal atau perahu penariknya-- dan 90 unit jenis ‘puket ireng’ --ragam lain dari purse-seine. Para daokeh umumnya tidak memimpin langsung operasi penangkapan di laut. Tugas itu dipercayakan kepada jragan (kapten, sekaligus manajer) kapal, meskipun ada juga daokeh yang jragan sekaligus. Para jragan inilah yang menjadi ‘punggawa’ langsung para belah atau Anak Buah Kapal (ABK). Untuk kapal-kapal purse-seine berukuran 15 x 5 meter --yang berdaya-muat bisa mencapai 15 DWT (deadweight tonnage, ton bobot mati)-- membutuhkan dan memuat ABK sampai 20-35 orang, sementara jenis ‘puket ireng’ --rata-rata berukuran 7 x 3 meter yang berdaya muat sampai 3 DWT-- membutuhkan 6 orang ABK. Para belah atau ABK ini terbagi lagi dalam beberapa kelompok tugas atau peran dan keahlian, yakni: Belah (biasa); adalah ABK yang hanya ikut melaut (miyang) tanpa peran khusus. Mereka sepenuhnya adalah buruh dengan tugas-tugas umum seperti menarik jaring, membongkar muatan ikan, dan sebagainya. Ada juga istilah belah simbatan, yakni ABK ‘serabutan’ yang juga ikut miyang pada kapal lain ketika kapal yang biasanya ia ikuti sedang tidak miyang. Belah simbatan ini memang ‘bebas’, tidak terikat penuh hanya dengan satu daokeh atau jragan dari satu armada tertentu. Sampoan atau nyampoi; adalah ABK yang bertugas khusus untuk membersihkan, merawat, dan mempersiapkan kapal agar siap berlayar (ngombang). Untuk satu unit kapal purse-seine, misalnya, mereka biasanya berjumlah 4 orang. 104
BAGIAN-I, Memahami Masalah Tanggon; adalah ABK yang bertugas menjadi penunjuk dan pengatur arah pelayaran, selain pembuat keputusan tertinggi dan terakhir tentang kapan dan dimana jaring harus dilepas. Biasanya, tanggon ini adalah juga jragan sekaligus, meskipun ada juga yang memang khusus sebagai tanggon saja. Orang-orang di Kranji percaya bahwa kehebatan satu kapal menangkap ikan akan sangat ditentukan oleh kepiawaian tanggon nya. Serep; adalah ABK yang memegang kemudi kapal (juru-mudi). Ketika berlayar, serep akan selalu memperhatikan gerak-gerik tanggon yang berada di atas dek geladak dan mengarahkan kemudi kapal ke arah yang ditunjukkan oleh tanggon dengan isyarat tangan atau suaranya. Mesin; adalah ABK yang bertanggungjawab mengurus mesin kapal (juru-mesin), mulai dari perawatan sampai pada pengoperasiannya. Dia juga bekerja sesuai dengan aba-aba tanggon, selain perintah langsung dari serep. Biasanya, tugas ini dilakukan oleh 2 orang. Warnen; adalah ABK yang bertugas menghubungi semua belah setelah daokeh dan jragan memutuskan untuk segera miyang. Warnen juga bertugas membagikan uang bagi-hasil tangkapan kepada para belah. Singkatnya, warnen ini adalah kurirnya jragan sekaligus kasirnya daokeh kepada para belah. Umbal; adalah ABK yang bertugas untuk melemparkan umbal (timah bulat sebesar bola kaki sebagai pemberat utama untuk meneggelamkan jaring sampai ke dasar laut) sesuai dengan perintah dan aba-aba dari tanggon. Letak umbal adalah di ujung bawah bentangan jaring dan dilemparkan pertama sekali sebelum bentangan jaring dilemparkan oleh para ABK lainnya. Ring; adalah ABK yang bertugas melempar dan menarik bentangan jaring. Mereka melemparkannya segera setelah umbal dilemparkan. Untuk itu, ring dibantu oleh para belah biasa. Juru-arus; adalah ABK yang bertugas sebagai ‘penghalau’ ikan-ikan agar tidak keluar dari lingkaran jaring. Dia akan melompat ke dalam laut ketika jaring telah dilepas dan ditebar, persis setelah umbal dilemparkan. Dia akan membuat ‘keributan’ dalam air laut untuk ‘menggiring’ ikan-ikan masuk ke dalam lingkaran jaring. Solar; adalah ABK yang bertugas untuk mengurus bahan bakar kapal, mulai dari pengangkutannya dari stasiun bahan-bakar sampai ke penyimpanannya dalam palka dan pengisiannya ke dalam mesin. Tugas ini biasanya dilakukan oleh 2 orang. 105
GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial Damar; adalah ABK yang bertugas mengurus semua lampu-lampu kapal, baik untuk penerangan kapal sendiri maupun lampu-lampu penarik ikan mendekati jaring. Biasanya tugas ini dilakukan oleh 2 orang. Entah bagaimana asal-mulanya, ada tradisi cukup unik di Kranji, yakni daokeh atau jragan tetap memberi bagian hasil tangkap kepada damar yang tidak ikut miyang sekalipun (misalnya, karena sakit atau berhalangan untuk keperluan lain). Penimbang iwak; adalah ABK yang bertugas menimbang ikan-ikan hasil tangkapan dan menjualnya ke para pedagang atau tengkulak di TPI. Dia juga sekaligus mengurusi masalah keuangan armada pada umumnya. Maka susunan hubungan antara semua unsur nelayan di Kranji dapat digambarkan sebagai berikut: BAGAN-3.1: Struktur relasi dan kepemilikan alat produksi nelayan di Kranji, Lamongan DAOKEH JRAGAN BELAH (belah biasa, sampoan, tanggon, serep, mesin, warnen, umbal, ring, juru-arus, solar, penimbang iwak) Sejak beberapa tahun terakhir, terutama sejak selesai dibangunnya prasarana pelabuhan dan TPI Kranji, terjadi perkembangan baru. Akibat hasil tangkap yang semakin menurun dan biaya-biaya operasional --khususnya bahan bakar-- yang terus menanjak, banyak daokeh mulai mengalami kesulitan modal, lalu ‘secara diam-diam’ menjual kapal-kapal mereka kepada pemodal dari luar Kranji. Atau, mereka tetap memiliki kapal-kapal tersebut, tetapi dana mereka untuk pengoperasiannya dimodali oleh para pemodal dari luar tersebut, baik sebagai pinjaman maupun sebagai ‘penyertaan modal’ yang dibayar kembali dengan bagi-hasil perolehan daokeh setempat. Singkatnya, 106
BAGIAN-I, Memahami Masalah semua unsur nelayan di Kranji (mulai dari belah sampai daokeh) sebenarnya tidak mandiri lagi, sangat tergantung pada sumber-sumber dari luar. (4) Sistem bagi-hasil tangkapan Sistem bagi-hasil tangkapan yang berlaku di Kranji lebih didasarkan pada ‘kebiasaan’ (konvensi) tak tertulis yang telah berlangsung sejak lama, sama sekali tidak mengacu pada peraturan resmi seperti yang tercantum dalam Undang-undang (UU) No.5/1964 tentang Bagi Hasil. Pada mulanya, ketika armada dan peralatan serta cara-cara penangkapan ikan masih sepenuhnya tradisional, sistem tersebut nisbi sederhana dan cukup berimbang, masih mengandung unsur-unsur ‘imbal-balik sosial’ (social reciprocality). Ketika armada-armada besar modern kemudian digunakan luas sejak akhir 1980an, sistem bagi- hasil itu kemudian ikut berubah pula sesuai dengan struktur dan status kepemilikan armada dan alat tangkap serta cara-cara penangkapan, sepenuhnya berdasarkan perhitungan untung-rugi komersial belaka. Sistem baru bagi-hasil ini, dengan sendirinya, menempatkan kedudukan para belah sebagai pihak yang paling tidak diuntungkan. Sistem bagi-hasil yang kini diterapkan di Kranji berbeda menurut musim dan jumlah hasil tangkapan. Pada musim tangkap banyak (along), perhitungan pembagiannya cukup rumit, sebagai berikut: Katakanlah, misalnya, hasil penjualan kotor adalah Rp 10.000.000. Maka sebesar 20% (Rp 2.000.000) segera disisihkan terlebih dahulu untuk membayar kembali biaya bahan bakar. Sisa bersihnya yang 80% (Rp 8.000.000) itulah yang dibagikan kepada seluruh pihak yang terlibat dalam operasi penangkapan. Pertama kali dibagi dua dahulu menjadi 17,5% (Rp 1.400.000) dan 82,5% (Rp 6.600.000). Bagian pertama (17,5%) tadi kemudian dibagi tiga sama rata (masing-masing Rp 466.660) untuk upah ngayom para belah; untuk jaminan makan ngayom; dan untuk jragan atau serep (bergantung kesepakatan keduanya). Bagian yang kedua (82,5%) dibagi dua lagi, 41,25% (Rp 3.300.000) untuk daokeh, dan jumlah yang sama untuk semua belah. Tetapi, bagian kedua untuk para belah ini akan dipotong lagi terlebih dahulu sebesar 2,5% (Rp 165.000) khusus untuk jragan. Sisanya, 38,75% (Rp 3.135.000) yang akan dibagikan kepada para belah. Sisa bersih yang 38,75% itu kemudian akan disisihkan terlebih dahulu sebesar 15,5% (Rp 1.023.000) untuk upah keahlian belah 107
GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial sesuai dengan tugasnya. Rinciannya adalah: sampoan (3 bagian); jragan (2,5 bagian); juru-mesin (2 bagian); damar (2 bagian); umbal (2 bagian); ring (1 bagian); tanggon (1 bagian); juru-arus (1 bagian); solar (0,5 bagian); warnen (0,5 bagian); dan penimbang iwak (0,5 bagian), Sisa terakhir sebesar 23,25% (Rp 1.534.500) dibagi rata kepada semua belah tanpa kecuali, mulai dari jragan sampai penimbang iwak. Dari seluruh rangkaian perhitungan yang bertakik-takik itu, maka seorang nelayan belah pada akhirnya hanya menerima paling besar sekitar Rp 15.000 saja. Ini adalah penghasilan rerata buruh nelayan Kranji setelah melaut beberapa hari dengan beban jam kerja 7-12 jam sehari. Dengan patokan waktu melaut per sekali jalan (trip) adalah rata-rata 4-5 hari, maka pendapatan nyata seorang nelayan belah di Kranji adalah hanya sekitar Rp 3.000 - 3.750 per hari. Jumlah ini jelas- jelas sangat tidak mencukupi kebutuhan pokok sehari-hari saja, apalagi untuk keperluan tambahan lainnya seperti biaya sekolah anak- anak dan perawatan kesehatan keluarga. Dari beberapa isteri nelayan belah, diperoleh data bahwa belanja rumah-tangga mereka yang dianggap memadai adalah berkisar antara Rp 20.000 sampai Rp 35.000 per hari. Dengan kata lain, kekurangan dari pendapatan suami mereka selama ini ditutupi dengan cara klasik khas nelayan pedesaan: ‘gali lubang, tutup lubang’, berutang yang tak pernah habis-habisnya kepada sanak saudara, kerabat, tetangga, atau kepada jragan dan daokeh. Nampak jelas dari seluruh perhitungan bagi-hasil di atas bahwa pihak yang menerima paling banyak bagian adalah jragan. Pendapatan akhir seorang jragan bahkan bisa melebihi sang pemilik kapal (daokeh). Hal ini bisa dimaklumi jika dilihat dari segi beban tanggungjawabnya yang sangat banyak dan berat, mulai dari rekrutmen belah sampai ke pengelolaan operasi kapal secara keseluruhan. Bahkan, jragan yang juga bertanggungjawab atas seluruh resiko rugi jika hasil penangkapan sangat sedikit. Dalam hal ini, daokeh hanya mau tahu menerima hasil bersihnya saja. Namun, perhitungan bagi-hasil yang sangat pelik itu tetap saja sangat tidak berimbang dengan yang diperoleh oleh para belah. Ketimpangan pembagian itu sedikit lebih baik justru pada musim atau keadaan hasil tangkapan kurang (ngoreng). Perhitungannya menjadi jauh lebih sederhana, yakni dibagi rata habis untuk semua belah (termasuk jragan) setelah dipotong biaya bahan bakar sebesar Rp 400.000, tidak peduli berapa pun nilai hasil penjualannya.Tetapi, sering aturan ini pun tidak diterapkan penuh, karena jragan biasanya 108
BAGIAN-I, Memahami Masalah masih meminta tambahan bagian khusus dari sisa yang akan dibagi rata kepada semua belah itu. Biasanya dia meminta sekadarnya saja, umumnya seperdua atau sepertiga lebih banyak dari bagian belah yang lain, tetapi tetap saja itu merupakan pemotongan yang tidak adil, karena dialah justru yang seharusnya tidak memperoleh apa-apa sebagai pemimpin operasi yang gagal. Pada saat ngoreng ini, justru daokeh lah yang sama sekali tidak memperoleh apa-apa. (5) Harga jual ikan Keberadaan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yang berdiri di pintu masuk pelabuhan Kranji memang sangat membantu mempermudah proses transaksi antara nelayan dan para pedagang dan pembeli ikan. Berapa pun jumlah hasil tangkapan mereka, bisa segera terserap dan terjual di tempat tersebut. Para pembeli atau tengkulak pada umumnya berasal dari Kranji sendiri dan desa-desa tetangga. Setelah ikan berada di tangan tengkulak, mereka kemudian menjualnya lagi ke pedagang- pedagang besar yang sudah mengantri di TPI tersebut, atau diantarkan sendiri ke Kota Lamongan, Tuban, Gresik, Surabaya, bahkan sampai ke Semarang. Ada tiga pola pemasaran ikan melalui mekanisme TPI Kranji ini, sebagai berikut: BAGAN-3.2: Pola-pola PemasaranIkan Nelayan di Kranji, Lamongan. Pola-1 Tengkulak Pabrik Nelayan (untuk ekspor) Pola-2 Tengkulak Pabrik Nelayan (untuk ekspor) Bakul Pola-3 Bakul Masyarakat Nelayan (konsumen akhir) Bakul 109
GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial Pada sisi lain, kehadiran TPI Kranji oleh sebagian nelayan dianggap tidak selalu memberi jalan keluar. Bahkan, ada kesan kehadiran TPI itu justru menjerat para nelayan setempat dengan keharusan untuk menjual ikan-ikan mereka pada tengkulak di tempat tersebut, sehingga mempersempit kemungkinan penjualan di tempat lain dengan harga yang lebih baik. Kenyataan ini membuat para nelayan di Kranji, seperti yang diungkapkan oleh Ramli, kadang berpikir untuk menjual ikan- ikan mereka ke tempat lain, misalnya, ke TPI Brondong dimana terdapat selisih harga antara Rp 75 - 200 per kilogram nya. Tetapi biaya angkut dan tambahan beban kerja yang diperlukan untuk itu membuat mereka lebih sering mengurungkan niat untuk melakukannya. Selain itu, kehadiran TPI tersebut telah menimbulkan satu praktik pemasaran yang belum pernah ada sebelumnya, yakni ‘permainan informasi’ oleh para tengkulak. Bahkan sebelum kapal-kapal nelayan itu merapat ke dermaga dan membongkar muatan hasil tangkapan mereka, informasi tentang harga ikan sudah beredar luas di seluruh TPI bahwa harga ikan di luar Kranji sudah jatuh dan lebih murah. Biasanya, para nelayan tidak mau berpusing-pusing memikirkan hal ini, selain sudah terlalu capai melaut selama beberapa hari, mereka juag ingin ikan-ikannya segera terjual dan mereka bisa pulang ke rumah beristirahat. Para tengkulak di TPI juga membentuk semacam ‘persekongkolan’ untuk terus-menerus menekan harga beli mereka dari para nelayan. Munculnya pedagang-pedagang kecil (bakul) ikan di sekitar TPI itu juga tidak mampu memberi alternatif jalan keluar, karena kemampuan modal dan jelajah mereka memang sangat kecil, kalah bersaing dengan para pedagang besar atau tengkulak. Malah, para bakul itu mulai menjadi semacam ‘tengkulak bayangan’, mulai meniru cara kerja dan permainan harga oleh para tengkulak. Telah muncul gagasan di kalangan para nelayan Kranji tentang perlunya ada satu lembaga independen yang secara mandiri bisa menghubungkan mereka langsung dengan pabrik pengolah, sehingga nelayan tidak merasa dipermainkan atau dirugikan oleh para tengkulak. Sebenarnya, TPI dimaksudkan sebagai ‘pengendali harga’ agar pihak nelayan tidak dirugikan. Tetapi, kenyataan bahwa para tengkulak lah yang berkuasa mengendalikan harga disana membuat para nelayan di Kranji curiga adanya ‘permainan’ pula antara para tengkulak dengan pengelola TPI, yakni aparat pemerintah daerah Kabupaten Lamongan. Hubungan antara para nelayan dengan para tengkulak dan aparat TPI tersebut ibarat benang kusut yang sulit 110
BAGIAN-I, Memahami Masalah diurai. Dalam hal ini, kata beberapa jragan di Kranji, keberadaan organisasi Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI), ternyata tidak banyak membantu. Bahkan, hingga sekarang, HNSI tidak menjalankan peran yang benar-benar jelas dan tegas untuk memecahkan kesulitan para nelayan Kranji. Semua faktor itulah --kerusakan ekosistem laut, perubahan iklim atau musim, sistem kepemilikan alat produksi, sistem bagi-hasil, serta pola dan mekanisme pasar-- yang mengakibatkan nelayan Kranji semakin tidak mampu keluar dari keterpurukan mereka. Dan, semua itu semakin diperparah lagi oleh semakin tinggi dan melambung terusnya harga bahan bakar, terutama sejak krisis moneter kawasan yang juga melanda Indonesia pada tahun 1997. Dibangunnya satu stasiun penyediaan bahan bakar khusus untuk para nelayan Kranji dan sekitarnya, sama sekali tak mampu mengatasi krisis tersebut. Harga bahan bakar solar di stasiun khusus itu ternyata sama saja mahalnya dengan harga solar di stasiun pomba bensiun umum (SPBU) lainnya. Maka, para nelayan Kranji akhirnya mencoba melakukan terobosan dengan mengganti bahan bakar armada mereka dari solar ke minyak tanah. Selain harganya yang semakin mahal, solar sering juga raib di pasar. Kalau pun ada, harganya menjadi tambah mahal lagi. Belakangan, muncul prakarsa menggantinya dengan campuran minyak tanah dan minyak kletik (minyak goreng). Meskipun mereka tahu persis bahwa bahan bakar campuran hasil ‘penemuan’ mereka sendiri itu lebih berisiko tinggi pada kerusakan mesin kapal, namun mereka tak punya pilihan lain. Ramli, salah seorang jragan disana, mengaku bahwa penggunaan minyak tanah memang sangat jauh lebih murah dibanding solar. Tingkat kerusakan mesin yang diakibatkannya memang lebih besar dan lebih sering pula, tetapi umumnya mereka sudah memiliki pengetahuan dan ketrampilan teknis untuk memperbaikinya kembali. Yang jelas, mereka masih dapat memperoleh keuntungan, meskipun semakin berkurang dan semakin sedikit dibanding masa-masa sebelumnya ketika masih memakai solar sebelum harganya melambung. Pilihan ini mereka anggap lebih baik. Pada tingkat harga solar seperti yang ada sekarang, kemungkinan merugi justru lebih besar. Pilihan-pilihan lainnya tak kalah pelik dan sulitnya. Beberapa orang daokeh bahkan pernah berpikir untuk menjual saja armada mereka. Karena usia teknisnya, menjual armada mereka saat ini akan merugi juga, harganya jauh lebih rendah dibanding dengan saat pembelian atau sebelum harga solar naik. Sekedar contoh, sebagaimana dikatakan 111
GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial jragan Ramli, harga 1 armada purse-seine ukuran besar pada tahun 2002 adalah Rp 250 juta per unit. Sekarang, kalau ingin dijual, belum pasti akan laku seharga Rp 75 juta, itupun mencari pembelinya tidak mudah. Hal yang sama juga dinyatakan oleh KH. Muhammad Baqir, pemilik salah satu galangan kapal di Kranji. Dia membandingkan keadaan sebelum dan sesudah krisis moneter 1997-1998, terutama setelah harga solar terus membumbung naik. Jumlah pesanan kapal jauh menurun, bahkan nyaris tidak ada lagi yang memesan kapal baru karena perhitungan biaya investasinya sudah tidak menguntungkan lagi. Menghadapi Masalah Baru Lagi Sementara masih menghadapi masalah-masalah pelik yang belum terpecahkan tersebut, nelayan Kranji kini dihadapkan pada masalah lainnya, yakni rencana besar pengembangan kawasan pantai utara Kabupaten Lamongan sebagai suatu kawasan ‘Wisata Bahari Lamongan’ (WBL) dimana desa Kranji dan sekitarnya berada tepat di tengahnya. Rencana yang menjadi salah satu bagian dari proyek ‘Lamongan Integrated Shorebase’ (LIS) ini bertolak dari anggapan bahwa cara terbaik untuk ‘membangun’ Lamongan --sebagai wilayah pesisir-- adalah mengembangkan semua potensi yang mungkin sepanjang pantainya. Maka, sejak tahun 2000, dimulailah pekerjaan awalnya, yakni memperlebar, memperhalus, dan membersihkan jalan-jalan menuju ke pantai utara. Hal ini terutama untuk menarik minat dan meyakinkan para penanam modal bahwa prasarana perekonomian dan masyarakat Lamongan sudah siap menyambut kedatangan mereka. Kemudian, menyusul pembangunan sarana lanjutannya. Pantai Tanjung Kodok --sekitar 1,5 kilometer dari pelabuhan Kranji-- yang tadinya kumuh, jorok, dan tempat praktik pelacuran kelas murahan, telah disulap menjadi pusat kawasan WBL yang rapih, resik, dan bernuansa serba kota dan modern. Disana juga telah berdiri satu hotel mewah, Tanjung Kodok Resort, dengan tarif hari biasa adalah Rp 475.000 bersih per hari, dan tarif musim libur (peak season) adalah Rp 1.750.000 bersih per hari. Maka, pantai yang tadinya adalah pantai wsiata rakyat yang serba murah dan meriah, kini berubah menjadi kawasan wisata pantai ekslusif yang mahal, digembar-gemborkan sebagai ‘Jatim Park Kedua’ setelah ‘Jatim Park Pertama’ yang sudah terkenal sejak lama di daerah wisata gunung di Malang. Jika sebelumnya pengunjung masuk kawasan ini hanya membayar karcis 112
BAGIAN-I, Memahami Masalah masuk sebesar Rp 2.000, sekarang harus membayar Rp 35.000. Pengembangan kawasan WBL berlanjut terus dan meluas sampai ke Goa Maharani persis di depan Tanjung Kodok, dan makam Sunan Drajat yang terletak 3 kilometer dari pusat kawasan baru wisata bahari itu, masing-masing dengan harga karcis masuk Rp 3.000. Bahkan, di sekitar makam yang secara tradisional dikeramatkan oleh penduduk setempat itu, telah dibangun kompleks pertokoan barang-barang kerajinan dan gerai-gerai makanan khas Lamongan. Seluruh kawasan disulap menjadi suatu kompleks modern yang megah dan resik. Maka, terjadilah panorama luar biasa, terutama pada hari-hari libur. Mobil-mobil mewah dari berbagai kota berjajar di pelataran parkir kawasan wisata ini, sementara warga penduduk asli setempat hanya bisa melongo (tertegun) menyaksikannya. Toko-toko barang kerajinan dan gerai-gerai makanan disana bukan milik mereka, tetapi milik orang-orang kota juga. Mereka tetap saja nelayan yang menempati kawasan pemukiman tua di pusat desa Kranji dan sekitarnya. Ibu Asrifah, salah seorang isteri nelayan Kranji, berkomentar: “Dulu, tiap minggu saya bisa membawa anak-anak jalan-jalan di Tanjung Kodok, tapi sekarang hanya kalangan berduit yang bisa masuk kesana. Sebelum dibangun WBL, saya dan anak-anak bisa dengan mudah bermain disana, karena harga tiketnya murah dan terjangkau. Sekarang, saya dan keluarga belum pernah masuk sama sekali ke WBL itu. Jangankan buat rekreasi di WBL, untuk makan tiap hari saja sudah pas-pasan, malah sering kurang”. Sebagai bagian dari rencana besar LIS, kawasan WBL hanyalah salah satu bagian pelengkap atau penunjang saja. Inti utamanya adalah pembangunan kawasan industri perikanan dan jasa angkutan. Untuk itu, perusahaan negara, yakni Perusahaan Umum Angkutan Sungai dan Penyeberangan (Perum ASDP), sudah menyelesaikan rencana pembangunan pelabuhan penumpang dan barang di sisi barat pelabuhan dan TPI Kranji saat ini. Rencananya, pelabuhan ini sebagai pintu masuk laut menuju ke beberapa daerah lain di sepanjang pantai utara Jawa (Pantura). Lebih jauh ke sisi barat pelabuhan itu nanti akan dibangun pabrik-pabrik pengolahan, khususnya pengolahan hasil laut, sehingga prasarana pelabuhan itu nanti juga akan berfungsi sebagai pelabuhan ekspor dan impor barang. Dalam pemikiran pemerintah daerah setempat dan para pemodal, pembangunan kawasan industri tersebut semestinya menguntungkan nelayan setempat. Karena, akan lebih mendekatkan akses mereka pada pasar dan sumber-sumber modal. Secara fisik hal itu benar, tetapi 113
GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial kenyataan selama ini menunjukkan bahwa rakyat kecil dan miskin -- seperti nelayan Kranji pada umumnya-- selalu menjadi pihak yang paling belakangan memperoleh manfaat dari semua pembangunan tersebut. Bahkan, dalam banyak kasus, mereka tidak memperolehnya sama sekali, malah menjadi pihak yang dikorbankan dan paling tidak duntungkan. Belum jauh-jauh, pembangunan TPI dan pelabuhan ikan di pusat desa Kranji itu saja contohnya. Manfaat terbesar justru dinikmati oleh para pemodal dari luar, atau hanya oleh beberapa orang dari lapisan atas (daokeh dan jragan) --selain para tengkulak dan bakul-- warga setempat. Adapun mayoritas nelayan kecil tradisional disana malah lebih banyak menikmati mudharatnya: kerusakan eksositem pantai dan laut, hasil-tangkapan yang semakin sedikit dan semakin sulit, harga-harga yang terus bergerak naik, dan sebagainya. Husnul Arif, salah seorang nelayan belah warga asli Kranji, bahkan sudah mulai menduga-duga apa yang akan menimpa dirinya dan sesamanya para nelayan kecil jika seluruh rencana LIS tersebut telah rampung. “Saya khawatir tidak bisa lagi menangkap ikan dekat-dekat pantai”, katanya. “Saya biasanya melaut hanya sampai sejauh satu atau dua mil saja. Tetapi, kalau seluruh kawasan ini sudah menjadi wilayah yang dikontrol oleh ASDP, kapal-kapal besar akan hilir-mudik disini. Kalau nantinya saya terpaksa harus melaut lebih jauh lagi, masalahnya saya tak punya modal besar untuk tambahan biaya bahan bakar yang makin mahal. Mau melaut ke pesisir pantai yang lebih jauh di daerah lain, nelayan disana belum tentu mau terima. Mereka pasti akan melarang dan mengusir kami”. Jalan Keluar yang Mandek Dalam keadaan yang semakin terpuruk tersebut, para nelayan Kranji dan keluarganya mulai mencari-cari kemungkinan sumber penghidupan yang lain. Salah satunya adalah membuka usaha industri rumah tangga memproduksi krupuk ikan. Usaha ini memang sangat berhubungan erat dengan kenelayanan, karena bahan baku utamanya adalah tepung ikan. Karena itu, usaha krupuk ikan di Kranji ini seluruhnya dijalankan oleh kaum perempuan, memanfaatkan sisa-sisa ikan yang tak terjual (rucah) hasil tangkapan para lelaki mereka. Usaha krupuk ikan di Kranji sebenarnya sudah ada sejak lama. Rintisan awalnya sekitar tahun 1950. Salah seorang perintisnya masih hidup, Mbah Karmi, kini berusia 80an tahun. Sampai awal 1980an, praktis hanya Mbah Karmi dan beberapa perempuan tua sebayanya yang melakukan usaha ini. Setelah usaha penangkapan ikan di laut 114
BAGIAN-I, Memahami Masalah mulai menurun sejak awal 1990an, dan setelah krisis moneter kawasan pada tahun 1997-1998 semakin memperburuk keadaan ekonomi para nelayan di Kranji, beberapa ibu-ibu muda kemudian belajar membuatnya dari Mbah Karmi dan segera memulai usaha kecil keluarga itu. Sekarang, ada 17 keluarga yang membuka usaha krupuk ikan. Meskipun demikian, tidak semuanya berkembang dengan baik. Beberapa diantaranya malah sudah mulai gulung tikar, terutama karena kesulitan modal kerja. Ada beberapa yang masih mencoba terus berproduksi, meskipun mulai menurun dan hanya mampu menghasilkan 2 - 5 kg krupuk per hari. Ada juga yang berkembang cukup baik, sampai mampu menghasilkan 30 - 60 kg krupuk per hari. Tetapi, sebagian besar dari mereka sebenarnya mengalami stagnasi, produksinya tidak bertambah atau juga tidak berkurang, ajeg pada kisaran 10 - 17 kg per hari. Pembuatan krupuk ikan ini sebenarnya nisbi mudah dan sederhana. Bahan baku utamanya (tepung ikan) juga mudah diperoleh dan selalu tersedia di Kranji. Sebagian ibu-ibu itu malah memanfaatkan langsung pembagian hasil ikan tangkapan suami mereka, tidak menjualnya sebagaimana umumnya disana. Jika suami-suami mereka tidak miyang, mereka dengan mudah dan cepat dapat membeli bahan baku utama itu di TPI. Bahan baku lainnya, yakni tepung kanji, mereka dapatkan di pasar dengan cara pertukaran (barter) dengan sebagian dari krupuk hasil buatan mereka. Cara ini mempermudah perputaran bahan baku dan produksi, juga pemasaran hasilnya, karena barter itu dilakukan dengan pedagang yang sekaligus pembeli dan penyalur utama krupuk mereka. Meskipun pendapatan dari usaha krupuk ikan ini tidak terlalu besar, namun mereka mengakui cukup membantu menopang ekonomi keluarga, terutama setelah pendapatan para lelaki mereka dari melaut semakin merosot. Ini diakui, misalnya, oleh Ibu Habibah, 60 tahun. Setelah menjanda, praktis tanggungjawab ekonomi keluarga berada di tangannya, padahal ia harus menyekolahkan anak-anaknya yang masih kecil. Bu Habibah mulai membuat krupuk ikan sejak tahun 1984. Awalnya hanya coba-coba, tetapi akhirnya berkelanjutan terus sampai sekarang. Dia memproduksi krupuk rata-rata 10 kg per hari dengan hasil penjualan bersih Rp 10.000. Dia mulai bekerja sejak jam 02:00 dinihari, ketika sebagian besar orang masih terlelap tidur. Dimulai dengan mengupas ikan, membuat racikan, dan kemudian mencampur dan mengaduk sesuai dengan resepnya. Menjelang fajar, dia mulai ‘memanggang’ semua adonan di atas lempeng-lempeng 115
GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial aluminium. Setelah shalat subuh, dia melanjutkan kerjanya dengan mengiris-iris adonan yang telah dipanggang tadi, sampai pukul 07:00 pagi, saat dia mulai menjemur irisan-irisan tersebut. Sekitar satu atau dua jam kemudian, dia mulai mengemas semua jemuran irisan itu yang telah menjadi krupuk untuk dibawa ke pasar Kranji, hanya beberapa ratus meter dari rumahnya. Sekitar jam 10:30 siang, Ibu Habibah sudah pulang dari pasar membawa bahan baku tepung kanji untuk produksi berikut esok harinya, belanjaan beberapa barang kebutuhan pokok, dan sedikit uang tunai sisa hasil penjualan krupuknya. Namun, usaha kecil ini --yang pernah sangat menopang ekonomi rumah tangga banyak keluarga nelayan di Kranji-- mulai mengalami kemorosotan pula, terutama selama sepuluh tahun terakhir, setelah pasar Kranji semakin ramai dibanjiri oleh berbagai produk makanan ringan buatan pabrik. Selain rasa dan kemasannya yang lebih menarik, juga harganya lebih murah dari kerupuk ikan buatan Kranji. Tetapi, kekalahan bersaing mereka terutama adalah pada ‘sistem penjualan’. Penyalur produk-produk makanan ringan hasil pabrikan itu menerapkan cara ‘titip-jual’ (konsinyasi) pada para pedagang eceran dan warung-warung di seluruh Kranji. Mereka hanya datang secara berkala, sekali seminggu, untuk mengambil uang hasil penjualan, memberi potongan jasa (komisi) penjualan kepada pedagang atau warung yang bersangkutan, menarik kembali produk yang tidak laku, dan menitipkan lagi produk-produk baru untuk dijual. Cara ini sangat disukai oleh para pedagang dan warung-warung setempat, karena mereka sendiri sebenarnya tidak perlu mengeluarkan biaya apapun, cukup hanya memberi jasa menjualkan barang, lalu mendapat uang jasa penjualan. Bahkan, mereka juga dapat menjual dengan kelebihan harga tertentu yang menjadi keuntungan mereka sendiri. Jelas, cara seperti itu tak mampu diikuti oleh para produsen krupuk ikan di Kranji. Setiap hari, mereka membutuhkan uang tunai sebagai modal kerja, terutama untuk membeli bahan baku ikan dan racikan bumbu-bumbu. Maka, para pedagang di pasar dan warung- warung lebih suka memilih menjual produk-produk makanan ringan pabrikan dari luar tadi. Sebagaimana lazimnya usaha rumah-tangga skala kecil, ada banyak lagi masalah lainnya yang dihadapi oleh produsen krupuk ikan Kranji. Masalah musim, misalnya. Saat musim penghujan, praktis usaha mereka terhenti sama sekali, karena krupuk itu membutuhkan pengeringan dengan sinar matahari. Secara teknis, masalah ini 116
BAGIAN-I, Memahami Masalah sebenarnya dapat diatasi dengan ‘alat pemanas buatan’. Para produsen krupuk ikan di Kranji mengetahui hal ini dan sudah berusaha mencoba mengadakannya. Tetapi, sekali lagi, keterbatasan modal membuat mereka tidak mampu membuat atau membeli peralatan tersebut. Sementara itu, pemerintah daerah sendiri tidak memberi perhatian sama sekali, misalnya, memberi bantuan modal kepada mereka. Pemerintah daerah masih kemaruk dengan impian-impian mereka untuk merampungkan seluruh rencana besar LIS dan WBL yang serba modern dan megah itu. Maka, ketika prasarana dan sarana pertokoan dan gerai-gerai makanan telah terbangun di kawasan itu, seluruhnya malah terisi oleh barang-barang yang didatangkan dari luar, sementara para pemilik dan pengelolanya adalah para pemodal dari luar Kranji juga. Anggapan bahwa pembangunan kawasan wisata modern seperti WBL akan ‘meneteskan berkah’ kepada para produsen kecil lokal, ternyata tidak terbukti. Walhasil, usaha krupuk ikan yang pernah menjadi salah satu kemungkinan jalan keluar terhadap masalah kemerosotan ekonomi nelayan di Kranji, kini mengalami kemandekan pula. Keadaannya sekarang boleh dikatakan tinggal menunggu waktu saja untuk bangkrut dan mati. Dan, nasib para nelayan Kranji pun semakin buram. Proses pemiskinan mereka terus berlanjut tanpa dukungan kebijakan yang benar-benar memihak kepada mereka. Upaya Pendampingan Melihat seluruh rangkaian permasalahan tersebut, maka Balai Penelitian & Pengembangan Masyarakat (BP2M), Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Lamongan, tergerak melakukan pendampingan langsung kepada warga nelayan di Kranji. Upaya ini memang masih merupakan langkah awal, masih lebih terpusat pada kegiatan-kegiatan praktis yang langsung berkaitan dengan permasalahan sehari-hari mereka, antara lain: (1) Mengorganisir para nelayan tersebut untuk melakukan pertemuan- pertemuan berkala tetap, sesuai dengan ketersediaan waktu mereka, terutama pada saat-sat sedang tidak melaut. Sebagian besar dari pertemuan masih bersifat mengidentifikasi saja masalah-masalah yang mereka hadapi, sekaligus mencoba memahami cara pandang mereka terhadap semua permasalahan tersebut serta mendengar usulan-usulan pemecahannya menurut mereka sendiri. Sampai sekarang, gagasan ke arah pembentukan suatu organisasi (serikat) nelayan memang belum terlontarkan, tetapi alasan-alasan dasarnya mulai dimunculkan dalam 117
GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial setiap kali pertemuan dan perbincangan informal di luar acara pertemuan. (2) Perbantuan teknis kepada ibu-ibu yang melakukan usaha krupuk ikan sebagai salah satu jalan keluar mengatasi kemerosotan ekonomi rumah tangga mereka selama ini. Permasalahan yang dihadapi memang sangat rumit, sehingga sengaja dipilih untuk mulai dari hal- hal teknis sederhana saja dahulu (perbaikan cara dan alat kerja, pengenalan teknologi baru yang tepat-guna, dan sebagainya). Mulai pula diperkenalkan kemungkinan menempuh cara atau sistem ‘titip- jual’ untuk produk krupuk mereka. Untuk itu, diperlukan dana modal penyanggah. Ibu-ibu itu telah bersepakat untuk segera mulai menabung dan mengumpulkan uang bersama-sama membentuk modal penyanggah tersebut. Cara dan mekanisme kerja nya masih sedang dibahas di antara mereka. (3) Sebelum melangkah lebih jauh mendekati dan mempengaruhi pemerintah daerah, dianggap sangat strategis untuk terlebih dahulu mendekati dan mempengaruhi lembaga-lembaga keagamaan tradisional setempat. Kunjungan kepada beberapa pemuka agama disana mulai dilakukan. Perbincangan secara berhati-hati mulai diarahkan ke ‘pengembalian peran dan kedudukan sejati mereka sebagai pemimpin umat’. Memang belum ada tindak-lanjut yang lebih nyata dari rangkaian perbincangan tersebut, tetapi mulai teridentifikasi lebih jelas siapa saja di antara mereka yang potensial untuk menjadi bagian inti dari proses-proses perubahan sosial dalam jangka panjang di Kranji, terutama dalam rangka perbaikan nasib para nelayan setempat. Mereka itulah yang nantinya dapat dijadikan sebagai ‘penghubung’ efektif untuk mendekati dan mempengaruhi kebijakan- kebijakan pemerintah daerah. Ada banyak sekali pengalaman dan pelajaran berharga bagi BP2M sendiri dari keseluruhan proses pendampingan yang telah dan sedang berlangsung. Salah satu yang menarik, misalnya, adalah temuan bahwa ternyata kaum perempuan di Kranji lebih mudah dan cepat menerima gagasan-gagasan baru dibanding para lelaki mereka. Ibu-ibu itu juga lebih bersungguh-sungguh melakukan sesuatu yang telah disepakati dalam pertemuan-pertemuan mereka. Ini memberi wawasan baru yang penting kepada BP2M bahwa proses-proses perubahan sosial bagi kemaslahatan nelayan Kranji barangkali justru akan lebih mudah jika dimulai dari kaum perempuan setempat. Masalahnya adalah --sama seperti di banyak daerah lain di Indonesia-- kedudukan dan peran tradisional kaum perempuan selama ini masih 118
BAGIAN-I, Memahami Masalah banyak terbatasi. Ini merupakan tantangan menarik dalam proses- proses pendampingan selanjutnya. Catatan Akhir Masyarakat nelayan di sepanjang pantai utara Pulau Jawa, pada dasarnya, menghadapi masalah pelik yang sama dengan hampir semua nelayan di seluruh Indonesia. Nelayan yang bisa bertahan atau meningkat kesejahteraannya adalah nelayan yang bermodal besar, yang jangkauan wilayah-tangkap (fishing ground) nya sampai jauh ke laut dalam lepas pantai (off shore). Tetapi, jumlah mereka sangat kecil. Krisis perekonomian kawasan dan berbagai faktor lain yang sudah berlangsung tetap dan tidak mengalami perubahan sejak lama -- terutama kerusakan ekosistem, perubahan iklim global, sistem kepemilikan alat produksi, sistem bagi-hasil, dan mekanisme pasar bebas-- telah memerosotkan taraf kesejahteraan mereka jika dibandingkan dengan sebelum tahun 1990an. Sehingga, mayoritas nelayan yang ada di Kranji --dan Indonesia pada umumnya-- sebenarnya adalah ‘nelayan buruh’ yang tidak memiliki alat produksi sendiri, menjadi bagian dari lapisan sosial terbawah di tengah masyarakatnya. Karena itu, perbaikan taraf kesejahteraan dan mutu kehidupan kaum nelayan kecil tradisional sebenarnya sangat membutuhkan adanya kebijakan yang benar-benar memihak kepada mereka. Industrialisasi modern dan besar-besaran bukan satu-satunya jawaban terhadap masalah ini. Bahkan dalam banyak kasus --seperti di Kranji-- malah berdampak sebaliknya, justru semakin memperpuruk ketidakberuntungan para nelayan kecil tradisional. Kebijakan- kebijakan yang dibutuhkan perlu diarahkan langsung ke beberapa faktor penyebab yang menjadi akar persoalan. Misalnya, perlindungan terhadap ekosistem pantai dan laut yang menjadi wilayah-tangkap tradisional nelayan kecil. Dalam hal ini, pemerintah harus benar-benar tegas menegakkan hukum, seperti larangan penggunaan berbagai cara dan alat tangkap yang merusak ekosistem pantai dan laut (KEPPRES No.39/1980 dan SK Menteri Pertanian No.503/KPTS/UM/1980). Demikian pula halnya dengan perombakan sistem bagi-hasil agar menjadi lebih adil dan berimbang bagi semua fihak. Dalam hal ini ketentuan umum dalam UU No.5/1964 tentang Bagi Hasil --yang menetapkan norma dasar baku 1 : 4-- dapat dijadikan acuan dan diterapkan secara bersungguh-sungguh. 119
GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial Proteksi dan pemberian insentif (akses modal dan informasi, bantuan teknis pelatihan, kemudahan pemasaran, dan sebagainya) kepada usaha-usaha kecil rumah tangga nelayan juga harus mendapatkan perhatian utama. Pembangunan kawasan pantai tidak boleh lagi lebih didasarkan pada orientasi pasar bebas. Pembangunan prasarana dan sarana perekonomian mestinya lebih didasarkan pada kepentingan memberdayakan sistem-sistem lokal. Konsep industri wisata modern sudah terbukti tidak menguntungkan warga setempat, bahkan semakin menggusur mereka ke pinggiran. Dalam hal ini, pendekatan ‘ekowisata berbasis masyarakat’ (community-based ecotourism) semakin perlu dikembangkan agar benar-benar mengarah pada tujuan yang sebenarnya: warga setempat menjadi pelaku utama dan penerima manfaat terbesar. Pada sisi lain, para nelayan itu sendiri memang perlu terus ditingkatkan wawasan, pengetahuan, dan ketrampilannya untuk secara bertahap mampu mengatasi berbagai permasalahan tersebut. Sangat diperlukan upaya-upaya peningkatan kesadaran kritis mereka melihat perkembangan yang terjadi dan memahami makna nya atas kehidupan mereka. Sangat diperlukan membantu mereka membangun suatu sistem dan organisasi yang benar-benar kuat, sebagai wadah dan cara untuk bersatu-padu memperjuangkan perbaikan nasib mereka. Ketiadaan organisasi di kalangan para nelayan tersebut menjadi salah satu sebab utama mengapa mereka tidak pernah benar-benar mampu memperjuangkan kepentingan mereka secara sistematis dan terpadu. Organisasi-organisasi yang pernah dan ‘mengatas-namakan’ mereka selama ini (HNSI, KUD, dan sebagainya) sudah terbukti tidak memihak kepada mereka, sehingga tidak ada pilihan lain kecuali bahwa mereka harus membentuk dan mengendalikan sendiri sepenuhnya wadah semacam itu. Demikian pula halnya dengan organisasi-organisasi lain. Dalam hal ini, lembaga-lembaga keagamaan --yang masih sangat dihormati oleh para nelayan di Kranji-- perlu didekati untuk mengembalikan peran dan kedudukan mereka sebagai ‘pembela kepentingan rakyat’ asalnya. Lembaga-lembaga keagamaan tersebut, terutama para tokoh kuncinya, perlu dipengaruhi untuk ‘kembali ke khittah’ mereka sebagai ‘pemimpin umat sejati’, bukan malah menjadi sekadar ‘alat kekuasaan’ yang tidak memihak kepada umat mereka. Singkatnya, seluruh upaya untuk membantu memperbaiki taraf dan mutu kehidupan nelayan di Kranji itu membutuhkan perubahan tatanan sistem secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan. 120
BAGIAN-I, Memahami Masalah BELAJAR MENGHADAPI 4 PERUBAHAN Industrialisasi, Pesantren, dan Perempuan Pedesaan Madura AGUS AFFANDI * Hanya dipisahkan oleh satu selat sempit, dalam waktu yang lama sekali, terdapat perbedaan yang berjarak sangat lebar antara Surabaya dan sekitarnya --pusat industri dan perdagangan, juga adalah kota dan pelabuhan terbesar kedua di Indonesia setelah Jakarta-- dengan Madura --pulau kecil yang sebagian besar penduduknya masih hidup sebagai petani kecil lahan kering dan atau nelayan tradisional. Tetapi, sejak beberapa tahun terakhir, perbedaan itu nampaknya akan mulai berkurang. Pada awal 1990an, pemerintah mencanangkan satu rencana ambisius perluasan kawasan industri Surabaya dan sekitarnya sampai ke daerah Bangkalan di daratan pulau Madura. Untuk itu, akan dibangun jembatan panjang melintasi selat selebar 2,9 mil laut (sekitar 5,4 kilometer). Maka, proses industrialisasi besar-besaran pun segera mulai merambah ke pulau gersang yang selama ini hanya dikenal sebagai penghasil garam. *Anggota Tim PAR, LPM-IAIN Sunan Ampel, Surabaya. Tulisan ini diringkas dari laporan aslinya yang ditulis bersama semua anggota tim (Ahmad Zaini, Nur Fitriatin, Misbachul Munir, dan Saiful Jazil). 121
GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial Kampung Langgar: Dilanggar Industrialisasi Belum lagi kedua ujung jembatan Suramadu (Surabaya-Madura) itu saling bertaut (pembangunannya direncanakan rampung pada akhir tahun 2008), para pemilik modal sudah ramai berdatangan ke Madura. Seperti juga kampung-kampung lainnya disana, Kampung Langgar di Desa Sukolilo Timur, Kecamatan Labang, Kabupaten Bangkalan --yang terletak tak jauh dari pantai barat-selatan Madura yang berhadapan langsung dengan kota Surabaya di seberangnya (lihat: Peta-4.1)-- pun segera merasakan dampaknya. Tanah-tanah penduduk mulai dicaplok satu demi satu oleh pembangunan prasarana dan sarana industrialisasi tersebut. Sebagaimana kampung- PETA-4.1: Letak Kampung Langgar & Jembatan Suramadu, Jawa Timur. INDONESIA PULAU JAWA KAWASAN INDUSTRI UTAMA, JAWA TIMUR LAUT JAWA Bangkalan Gresik 111111112222222233333333 KAMPUNG LANGGAR Kawasan KOTA SURABAYA Industri Utama JEMBATAN SURAMADU Jawa Timur SELAT MADURA 122
BAGIAN-I, Memahami Masalah kampung lain disana, Beberapa lahan yang dianggap tidak terlalu produktif, seperti kawasan pertegalan di sebelah timur dan utara kampung, telah diambil alih (dijual dengan harga murah) kepada orang luar, pemilik modal yang kini berdatangan ke daratan Madura. Mereka membeli tanah-tanah milik warga asli Langgar dengan cara menggunakan nama atau melalui jasa orang setempat, yakni Klebun (Kepala Desa), calo tanah, bahkan juga Kyai --pemuka agama yang selama ini justru menjadi salah satu panutan hidup tradisional orang Madura. Proses pengalihan kepemilikan tanah juga semakin gencar dan meluas, seiring dengan semakin dekatnya waktu perampungan pembangunan jembatan Suramadu. Padahal, penduduk Langgar yang sebagian besar petani itu menggantungkan sumber utama penghidupan mereka dari lahan tegalan dan pekarangan. Meskipun sekarang mereka masih menggarapnya langsung, namun bukan lagi milik mereka sendiri. Para pemilik baru lahan-lahan pertanian tersebut sebagai juragan yang kini mempekerjakan mantan pemilik asalnya -- sebagai petani penggarap atau buruh tani-- tinggal menunggu waktu saja untuk menggunakan langsung sesuai keinginan mereka sendiri. Pada saat itu, para petani penggarap tersebut, para warga asli setempat, tidak akan bisa berbuat apa-apa. Warga asli Langgar menjual tanah-tanah tegalan dan pekarangan mereka, antara lain, karena tergiur dengan tawaran harga yang tiba- tiba melonjak. Sebelum rencana pembangunan jembatan Suramadu diumumkan, harga tanah di daerah itu sangat murah, bahkan tidak ada harganya. Harga tanah kini melonjak menjadi Rp 15.000 per meter persegi, padahal sebelumnya hanya Rp 500 per meter persegi. Harga tersebut dianggap mahal oleh penduduk setempat, terutama karena tanah di daerah ini memang bukanlah lahan basah yang subur, tetapi lahan kering khas pulau Madura yang gersang itu. Lagipula, selama ini, sebelum rencana pembangunan jembatan Suramadu mulai dilaksanakan, daerah ini tidak dapat dijangkau dengan mudah dan cepat dari arah kota Surabaya dan sekitarnya. Selain akibat dan dampaknya, proses-proses pengalihan kepemilikan lahan tersebut juga menarik. Ada pola-pola yang tidak lazim, misalnya, pembelian tanah dengan cara borongan, bukan atas dasar ‘suka sama suka’ alias kesepakatan yang saling menguntungkan antara kedua pihak. Jelasnya, pemilik asli lahan diming-imingi uang dengan berbagai macam desakan pemenuhan kebutuhan konsumtif mereka. Dengan berbagai cara, pemilik tanah didesak supaya mereka benar- benar ‘merasa butuh menjual’ tanahnya, sementara sang pembeli 123
GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial berpura-pura seolah-olah mereka tidak butuh membeli tanah. Pola jual-beli borongan dengan cara mendesak-desak semacam itu umum terjadi sehingga, ketika tanah telah terjual, mantan pemilik kecewa karena telah kehilangan hak miliknya, sementara uang hasil penjualannya ternyata kemudian tidak benar-benar mencukupi seluruh keperluan mereka untuk melunasi utang-utang dan berbagai ‘kebutuhan baru’ yang sebelumnya tak terlalu mereka pikirkan. Bahkan, cara-cara membohongi dan menipu pun terjadi, seperti yang dialami oleh seorang warga pemilik lahan seluas 9.000 meter persegi di perbukitan Batu Robboh. Dia akhirnya melepas tanahnya dengan harga total Rp 20 juta. Ini berarti hanya Rp 2.225 per meter persegi, harga yang benar-benar rendah dibanding harga umum yang sudah melonjak akibat pembangunan jembatan Suramadu. Petani yang lugu itu memang tidak mengetahui informasi perkembangan yang terjadi, tidak memiliki pengalaman sebelumnya dalam jual-beli tanah, dan semua itu benar-benar dimanfaatkan oleh sang pembeli dan para calo tanah. Banyak warga lain yang mengalami hal serupa, dan belakangan baru menyadari ketertipuan mereka setelah terlambat. Kampung Langgar memang terletak di dekat pintu masuk jembatan Suramadu dari arah Madura, merupakan dusun yang berbeda dengan dusun-dusun lain di sekitarnya. Meskipun jaraknya tidak kurang dari hanya sekitar 500 meter dari bibir pantai desa Sukolilo Timur, kampung ini bukanlah kampung nelayan, tetapi kampung petani lahan kering yang sangat bergantung curah hujan. Lahan-lahan yang ada tidak bisa ditanami padi, karena tanahnya memang kurang subur dan lebih merupakan pertegalan. Tetapi, seperti umumnya desa-desa tradisional Madura, pola pemukiman di Langgar juga masih bersifat kampung meji yang tata-letaknya didasarkan pada sistem kekerabatan tanean lanjang (halaman panjang)1. 1Kampung meji adalah pola perkampungan atau pemukiman yang rumah- rumah penduduknya menyebar sesuai dengan letak dan luasan tanah tegalan yang dimilikinya, sehingga memudahkan penjagaan tanaman dan tegalannya. Sebaran ini membentuk suatu tata-letak yang tidak beraturan, tidak seperti pola pemukiman di Jawa yang berjajar beraturan mengikuti dan menghadap ke jalan-jalan. Rumah-rumah kampung meji tidak berdiri 124
BAGIAN-I, Memahami Masalah Tanah tegalan di kampung ini hanya bisa ditanami jagung, ketela pohon, bengkuang, dan kacang tanah. Dengan ketinggian 5 -10 meter di atas permukaan laut, bentangan lahan di kampung ini nampak bergelombang, membentuk bukit-bukit kecil di beberapa bagian. Sebagian besarnya adalah tanah batuan berkapur, sebagai bagian dari perbukitan sepanjang pulau Madura, dari Kamal di ujung barat sampai Semenep di ujung timur. Meskipun, ada beberapa bagian tertentu dari hamparan lahan di Langgar adalah jenis lempung lekat berwarna hitam kecoklatan, gembur jika basah, tetapi berkerak dan mudah retak saat kering. Di bagian-bagian inilah umumnya warga setempat bercocok-tanam. Kampung ini dikelilingi oleh beberapa kampung: Paserean di sebelah barat, Morlekeh di timur, Karang Pandan di selatan, dan Kramat di utara. Jaraknya ke ibukota Kabupaten Bangkalan adalah sekitar 30 kilometer. Dari pelabuhan ujung Kamal --pelabuhan penyeberangan utama ke dan dari Surabaya-- jaraknya sekitar 35 kilometer. Dengan jembatan Suramadu, jaraknya hanya 2 kilometer, sehingga kampung ini merupakan salah satu kampung yang --dalam rencana tata wilayah pengembangan industrialisasi Madura-- akan menjadi wilayah yang terkena, termasuk lahan-lahan pertegalan dan pekarangan yang menjadi sumber penghidupan utama warga Langgar. Jumlah penduduk di kampung ini kurang lebih sebanyak 350 orang, terdiri dari 44 keluarga. Keluarga Berencana (KB) di kampung ini rupanya tidak diterima, terbukti setiap keluarga memiliki rerata 6 orang anak, paling sedikit 4 orang dan paling banyak tercatat 10 orang. Dari seluruh keluarga tersebut, terdapat 13 keluarga yang tergolong berkecukupan, sementara 31 keluarga tercatat resmi sebagai rumah tangga sangat miskin. Pekerjaan utama kepala keluarga dari 31 rumah tangga di bawah garis kemiskinan ini adalah hampir semuanya petani, sendirian, melainkan mengelompok sedikitnya 5 sampai 12 rumah, sebagai suatu kumpulan rumah keluarga besar dalam satu trah dari keluarga sang istri. Satu kelompok kumpulan rumah itu biasanya membentuk pola huruf-U (setengah lingkaran) dengan halaman memanjang dari arah timur ke barat, sehingga masing-masing rumah saling berhadapan ke utara dan selatan. Halaman yang memanjang inilah yang disebut tanean lanjang. 125
GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial hanya 2 orang yang bekerja sebagai supir dan 2 orang sebagai tukang dan kuli batu. Sebagian besar yang bertani memiliki lahan kebun atau tegalan warisan orangtua mereka. Mereka inilah terutama yang telah menjual lahan-lahan mereka, tergiur oleh harga tanah yang melonjak tiba-tiba, selain karena memang semakin terdesak oleh kebutuhan hidup yang kian susah. Suramadu: Jembatan Kemakmuran? Sampai sekarang, masih tertanam kuat --terutama di kalangan aparat pemerintah dan juga akademisi-- pandangan yang menyatakan bahwa industrialisasi adalah cara terbaik atau bahkan satu-satunya untuk memicu proses pembangunan suatu daerah. Industrialisasi diangap jalan pintas untuk mencapai kemakmuran. Dengan pandangan dasar tersebut, kalangan pemerintah biasanya hampir selalu merencanakan program industrialisasi di wilayah-wilayah yang dianggap masih ‘terkebelakang’, terutama daerah-daerah yang ekosistemnya tidak terlalu menguntungkan untuk dikembangkan sektor pertaniannya. Pulau Madura berada dalam kategori tersebut, sehingga industrialisasi dianggap jalan pintas terbaik untuk memakmurkan pulau kecil berlahan kering ini. Penampang geologi pulau ini menyediakan banyak sekali bahan baku alam yang dibutuhkan oleh industri besar. Tanahnya yang berkapur, misalnya, sangat potensial untuk diolah sebagai bahan baku semen dan berbagai produk kimia dasar lainnya. Oleh sebab itu, sejak tahun 1980an, pemerintah telah mengembangkan suatu gagasan dimana Madura menjadi bagian tak terpisahkan rencana pengembangan kawasan industri terpadu ‘Gerbang Kertosusilo’ (Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, dan Lamongan) dengan jembatan Suramadu sebagai salah satu urat-nadi utamanya. Rencana besar ini sebenarnya adalah kelanjutan dari gagasan yang pernah dilontarkan jauh sebelumnya oleh Presiden Soekarno, pada tahun 1960an, yakni membangun jembatan dari daratan Jawa (di Kebomas, Gresik) ke Madura (di Tanjungan, Kamal). Rencana tersebut tak sempat diwujudkan akibat terjadinya peristiwa 30 September 1965 yang akhirnya melucuti kekuasaan Soekarno. Beberapa tahun kemudian, mantan Bupati Bangkalan, Madura, yang kemudian menjadi Gubernur Jawa Timur, Mohammad Noer, menghidupkan kembali gagasan tersebut. Prakarsanya disambut bersemangat oleh berbagai kalangan. Satu perusahaan swasta, 126
BAGIAN-I, Memahami Masalah PT.Dhipa Madura Pradana (DMP), ditunjuk untuk melakukan survei dan kaji kelayakannya. Hasil survei dan kajian itu kemudian disampaikan kepada pemerintah pusat di Jakarta. Gayung bersambut. Presiden Soeharto segera memerintahkan Menteri Negara Riset & Teknologi --saat itu dijabat oleh B.J. Habibie-- untuk menindak- lanjutinya. Dihasilkanlah satu rencana yang lebih ambisius, menjadikan gagasan menghubungkan Jawa-Madura sebagai bagian dari rencana yang lebih besar dikenal sebagai ‘Proyek Tri Nusa Bima Sakti’ untuk membangun tiga jembatan raksasa sekaligus. Selain jembatan Suramadu di Selat Madura, juga satu jembatan serupa di Selat Sunda (untuk menghubungkan Jawa dengan Sumatera), dan satu lagi di Selat Bali (mengubungkan Jawa dengan Bali). Tetapi, hasil kajian Kantor Menteri Negara Riset & Teknologi menunjukkan bahwa gagasan jembatan Suramadu lah memang yang paling layak secara teknis maupun ekonomis. Presiden Soeharto kemudian menanda- tangani surat Keputusan Presiden No.55/1990, tanggal 14 Desember 1990, yang menjadikan pembangunan jembatan Suramadu sebagai satu ‘proyek nasional’. Dalam surat keputusan tersebut, antara lain termaktub: “...pembangunan jembatan Suramadu bertujuan untuk meningkatkan pembangunan di Pulau Madura.” Namun, alasan sebenarnya adalah karena keterbatasan lahan yang semakin tidak memungkinkan perluasan salah satu kawasan industri terbesar di Indonesia itu di daratan Jawa (kota Surabaya dan sekitarnya). Sebaliknya, masih banyak ‘lahan kosong’ di daratan Madura yang belum terjamah oleh kegiatan industri selama ini, selain ketersediaan bahan baku alam yang masih melimpah dan, last but not least, juga tenaga kerja murah. Maka, rencana pembangunan jembatan Suramadu, sebagai bagian tak terpisahkan dari pengembangan atau perluasan kawasan industri ‘Gerbang Kertosusilo’, mencakup tiga unsur pokok: (1) pembangunan kawasan permukiman, niaga, dan rekreasi di kota Surabaya (kawasan Kenjeran) seluas kurang lebih 1.000 hektar; (2) pembangunan jembatan Suramadu sendiri — panjang 5,60 kilometer dan lebar 21,50 meter, terdiri atas empat lajur kendaraan; dan (3) pembangunan kawasan industri, pemukiman, dan rekreasi di Kabupaten Bangkalan seluas kurang lebih 15.000 hektar. Dari perbandingan luas kawasannya saja, sudah terlihat jelas bahwa Madura menjadi pemecah masalah keterbatasan lahan di kawasan industri Surabaya dan sekitarnya yang sudah sedemikian berkembang sejak lama, sudah sangat padat dan, sampai taraf tertentu, bahkan sudah melampaui ambang-batas daya-dukung ekosistem setempat. 127
GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial Tanggapan Penduduk: Di Antara Dua Karang Bagai gula dirubung semut, banyak kalangan --terutama para pemilik modal dan juga spekulan atau calo-calo tanah-- menyambut gembira rencana pembangunan jembatan Suramadu dan industrialisasi Madura. Tetapi, tidak semua warga Madura sendiri larut dalam euforia itu. Ada yang khawatir akan munculnya dampak negatif yang akan merugikan warga setempat, terutama kesiapan mereka sendiri untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan baru tersebut, antara lain, kemungkinan terjadinya persaingan hidup yang kian keras antara warga asli setempat dengan para pendatang yang akan segera membanjiri Madura. Bertolak dari keadaaan umum penduduk Madura selama ini, mereka khawatir justru penduduk setempat akan kalah bersaing memperebutkan lapangan kerja baru yang terbuka oleh kehadiran jembatan Suramadu dan kawasan industri tersebut. Sebagaimana sudah terjadi di banyak daerah lain yang telah dijarah oleh proses-proses industrialisasi modern, mereka juga khawatir akan munculnya prilaku masyarakat yang bertolak-belakang dengan tradisi Madura yang religius. Kalangan pemuka agama (ulama) Madura salah satu yang paling gelisah dan merupakan yang pertama menyampaikan tanggapan mereka terhadap rencana industrialisasi tersebut. Bagi mereka, industrialisasi merupakan berkah di satu sisi, tetapi musibah di sisi lainnya, sehingga mereka cukup berhati-hati dalam menyatakan sikap. KH. Mohammad Sholeh Umar, pengasuh Pondok Pesantren Albar di Desa Sukolilo Timur, mengakui bahwa rencana besar itu memang akan membuka peluang lebih luas dan tebuka bagi pengembangan masyarakat setempat, tetapi pada saat bersamaan, juga akan semakin mempertinggi persaingan memperebutkan semua peluang baru antara warga asli setempat dengan para pendatang. Karena itu, menurut dia, sebelum peluang-peluang baru tersebut diambil-alih oleh para pendatang, orang Madura sendiri harus terlebih dahulu mempersiapkan diri untuk mampu merebutnya. Untuk itu, pemimpin pesantren yang tepat berada di salah satu ujung jembatan Suramadu ini segera bertindak, tidak hanya sekadar menyatakan sikap dan berpendapat. Dihadapkan pada kenyataan bahwa rencana industrialisasi Madura itu kini tak dapat dipungkiri lagi, bahkan sudah dimulai, Kyai Sholeh segera mendirikan dan membentuk Badan Musyawarah Masyarakat Labang (BASMALA). Bekerjasama dengan satu perusahaan swasta, PT. Indotama, lembaga baru itu segera melakukan berbagai kegiatan 128
BAGIAN-I, Memahami Masalah antisipasi, bahkan kini telah menyelesaikan pembangunan satu kawasan perumahan baru di Sukolilo Timur, di tepi pantai menghadap ke Selat Madura, tak terlalu jauh dari gerbang masuk jalan raya dan jembatan Suramadu. Mereka melangkah lebih jauh, melakukan terobosan dengan membuka dan mengelola pantai sepanjang desa Sukolilo Timur sebagai ‘kawasan wisata bernuansa Islami’. Alasannya sederhana tapi tegas. Daripada didahului pemilik modal besar dari luar, lebih baik mereka sendiri yang mendahului memanfaatkannya, tetapi dengan dasar dan cara yang berbeda. Mereka, antara lain, menyatakan belajar dari pengalaman pengelolaan kawasan pantai wisata Camplong di Kabupaten Sampang yang digagas oleh KH. Mu’afi. Kawasan pantai wisata itu dinyatakan ‘bebas dari perbuatan maksiat’, lengkap dengan para petugas penjaga dari warga setempat sendiri yang melakukan pengawasan dan memberitahukan kepada pengunjung tentang larangan berbuat maksiat disana. Simbol-simbol keagamaan Islam --seperti mushalla, masjid, dan anjungan pameran benda-benda sejarah kerajaan-kerajaan Islam-- dibangun di beberapa titik dalam kawasan itu. Kolam renang dibangun terpisah untuk laki- laki dan perempuan. Gerai-gerai makanan menjual masakan khas Madura, tak ada minuman keras sama sekali. Kawasan wisata pantai itu juga selanjutnya direncanakan akan dipadukan dengan wisata pertanian. Desa Sukolilo Timur sejak lama sudah menghasilkan buah jambu klutuk, dan direncanakan untuk mengembangkan beberapa tanaman buah lainnya, seperti jambu air putih, bengkoang, kedondong, dan lain-lain. Namun, gagasan dan langkah Kyai Sholeh itu tidak begitu saja mendapat sambutan baik dari seluruh warga. Beberapa orang --seperti Sukidi, Carik (Sekretaris) Desa Sukolilo Timur-- mempertanyakannya. Orang yang sudah 35 tahun menjabat sebagai Carik ini mengatakan akan ada masalah baru jika seluruh pembangunan jembatan Suramadu telah rampung nanti dan kawasan perumahan BASMALA mulai ditempati oleh para pembelinya. Masalah pertama menyangkut adminisitrasi pemerintahan desa. Sebagai Carik, Sukidi menegaskan bahwa semua warga baru itu nanti harus terdaftar, sehingga membutuhkan penyelesaian proses administrasi yang --meskipun secara teknis prosedural nya tidak terlalu rumit-- namun akan makan waktu dan cukup merepotkan karena jumlahnya mencakup paling sedikit 80 keluarga sesuai dengan jumlah rumah baru di kawasan pemukiman BASMALA tersebut. Masalah berikutnya, menurut Sukidi, adalah masalah hubungan dan komunikasi antara warga pendatang 129
GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial dengan warga asli. Apalagi, sampai sekarang, belum ada jaminan bahwa warga pendatang yang membeli rumah di pemukiman baru itu memang orang-orang baik dan beragama sama dengan warga asli setempat. Sukidi juga mengkhawatirkan pembukaan kawasan pantai wisata Sukolilo Timur akan tetap memunculkan persoalan kemaksiatan, seberapa ketat pun berusaha dicegah. Tanggapan serupa muncul dari H. Mustakim, tokoh Kampong Karangpandan, salah satu kampung dalam Desa Sukolilo Timur. Dia merujuk pada contoh fakta yang terlah terjadi di kawasan wisata pantai Kenjeran, Surabaya, tepat di ujung lain jembatan Suramadu, di seberang daratan Jawa. Pantai yang lingkungan pemukiman sekitarnya dihuni oleh kaum nelayan santri itu, ternyata kemudian menjadi salah satu tempat kemaksiatan yang terkenal di Surabaya. Bagi Pak Mustakim, membangun tempat wisata berarti membangun tempat maksiat. Dia juga mempertanyakan keberadaan kawasan perumahan BASMALA yang tetap saja sangat mungkin dibeli dan dihuni oleh para pendatang yang tidak seagama dengan warga asli, bukan orang baik- baik, dan menciptakan jarak sosial dengan warga setempat. Tetapi Jazulin, tokoh pemuda setempat, putra seorang mantan klebun, H. Akhmar, sebaliknya mendukung prakarsa Kyai Sholeh, dan menjadi ‘tangan-kanan’ sang Kyai dalam urusan pembangunan kawasan perumahan dan pantai wisata tersebut. Meskipun, dia agak menyesali tindakan sang Kyai bekerjasama dengan PT. Indotama yang, menurutnya, justru akan membuat keuntungan terbesar akan dinikmati oleh perusahaan swasta itu, bukan BASMALA dan warga setempat. Dia juga mulai khawatir melihat pembangunan kawasan pemukiman baru BASMALA mulai tersendat dan macet, karena ternyata peminat atau pembelinya seret. Dia malah lebih bersemangat pada rencana pengembangan kawasan pantai wisata Sukolilo Timur saja. Jazulin --sarjana lulusan salah satu perguruan tinggi di kota Bangkalan-- memang ditugasi oleh sang Kyai menjadi pengelolanya. Dia sudah selesai membangun jalan akses masuk ke pantai, membangun beberapa gerai dan kedai sederhana di pinggir pantai. Setiap hari pantai sudah dikunjungi orang, paling ramai pada hari-hari libur akhir pekan. Jazulin pun sudah menikmati sedikit hasil dari menjual makanan dan minuman disana. Perbedaan pandangan yang mulai menimbulkan ketegangan baru antar warga di Sukolilo Timur itu baru merupakan dampak awal saja dari proses industrialisasi Madura yang baru dimulai. Ketika pembangunan jembatan Suramadu telah rampung dan kawasan 130
BAGIAN-I, Memahami Masalah sekitarnya mulai berkembang pesat akan muncul banyak pemukiman, pusat-pusat perbelanjaan dan hiburan, kantor-kantor, dan pabrik- pabrik baru, sehingga dampak berikutnya dapat lebih besar dan lebih rumit. Konflik sosial yang lebih besar dan lebih meluas bahkan lebih terbuka, sangat mungkin terjadi, terutama jika persiapan sosial warga setempat sangat tidak memadai seperti kenyataannya sampai saat ini. Banyak orang muda di Kampung Langgar mulai mengungkapkan kekecewaan menghadapi kenyataan tidak mudahnya memperoleh lapangan kerja baru yang dijanjikan oleh proses industrialisasi tersebut. Dengan nada nyaris putus-asa, mereka mulai berpikir untuk melakukan aksi unjuk-rasa, bahkan ada yang jelas-jelas menyatakan akan melakukan apa saja untuk menghalang-halangi kegiatan semua perusahaan atau pabrik baru disana yang tidak menerima mereka sebagai pekerjanya. Beberapa orang lainnya berpikir untuk menjadi tenaga Satuan Pengamanan (SATPAM) resmi --bahkan yang tidak resmi (‘preman’) sekalipun-- bagi perusahaan-perusahaan atau pabrik- pabrik baru itu nanti. Dengan tingkat pendidikan formal rata-rata tidak terlalu tinggi --umumnya hanya jebolan Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama-- pikiran menjadi SATPAM (atau preman) itulah yang memang terlihat paling memungkinkan bagi mereka. Sebagian besar waktu mereka saat ini adalah duduk-duduk bergerombol di warung-warung kopi dan pinggir jalan. Pesantren dan Masyarakat: Kepercayaan Mulai Bergeser Memang tidak ada pondok pesantren di kampung Langgar. Pesantren terdekat adalah yang dipimpin oleh Kyai Sholeh di kampung sebelahnya, tetapi masih dalam satu desa yang sama, Sukolilo Timur. Pondok Pesantren Albar itu didirikan pada tahun 1973 oleh KH. Muhammad Umar Sirajuddin, ayah Kyai Sholeh. Pada mulanya adalah Madrasah Hidayatul Mubtadiin yang dirintis sejak tahun 1948 oleh kakek buyut Kyai Sholeh, yakni KH. Abdul Hamid, seorang lulusan Pondok Pesantren Darul Ulum, Jombang. Adapun Kyai Sholeh sendiri --lulusan Pondok Siwalan, Panji Buduran, Sidoarjo, dan Lirboyo, Kediri-- pernah beberapa tahun belajar di Mekkah. Mewarisi kharisma kakek buyut dan ayahnya, Kyai Sholeh dan pesantrennya sangat berpengaruh kuat di tengah masyarakat Sukolilo Timur dan sekitarnya. Keluarga sang Kyai dipercaya sebagai keturunan Sunan Cendono Kwanyar Madura yang masih memiliki garis trah dari Sunan Giri di Gresik, salah seorang dari Walisongo (wali sembilan), penyebar awal agama Islam di Jawa. 131
GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial Lembaga pesantren, pada dasarnya, merupakan lembaga sang Kyai, karena seseorang baru dapat dikatakan ‘Kyai’ kalau ia mengasuh dan memiliki pesantren, paling tidak madrasah dan masjid. Karena itu, hubungan antara pesantren dengan masyarakat sekitarnya, pada dasarnya, adalah terutama hubungan antara sang Kyai dengan warga setempat. Keberadaan pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan, sebenarnya lebih merupakan salah satu perwujudan dari bentuk atau pola hubungan tersebut. Sebagus apapun pesantren sebagai suatu lembaga pendidikan, tetap saja tidak akan berpengaruh kuat kepada masyarakat sekitarnya jika sang Kyai juga tidak berpengaruh sebagai seorang pribadi, tidak memiliki kekuatan (otoritas) sosial dan budaya yang diakui oleh masyarakat sekitarnya. Sehingga, pasang-surutnya suatu pondok pesantren sangat tergantung pada ‘pengaruh dan kemampuan pribadi’ sang Kyai. Seperti umumnya di seluruh Madura, seorang Kyai selalu berada pada aras (level) atas dalam susunan atau pelapisan sosial masyarakat setempat. Seorang Kyai dimitoskan sebagai pembawa surga dan malati (memiliki kekuatan untuk membuat ‘kualat’ jika tidak dipatuhi). Meskipun sebenarnya mereka tidak menyetujui pandangan, sikap, prilaku, atau keputusan tertentu yang diambil oleh sang Kyai, orang Madura umumnya tak akan berani menentangnya secara langsung dan terbuka, takut tertimpa kualat (musibah, penyakit, nasib buruk). Bahkan, mereka percaya “...kalau ada ayam milik Kyai ditemukan dimana saja, orang tidak berani mengusir, menganggu, apalagi menangkapnya, karena semua benda milik Kiyai akan malati”. Bagi orang Madura, Kyai adalah nyaris segalanya. Dalam hampir semua hal, mereka selalu terlebih dahulu menanyakan pendapat dan saran seorang Kyai, apalagi jika Kyai tersebut memang dipercaya berlatar genealogis sebagai keturunan tokoh sejarah kharismatik. Hampir semua Kyai di seluruh Madura --termasuk Kyai Sholeh di Sukolilo-- selalu dihubungkan dengan dua tokoh sejarah lokal yang sangat berpengaruh, Syaikhona Kholil dari Bangkalan dan Sunan Cendono dari Kwanyar. Di semua desa di Madura, tokoh yang paling berpengaruh selalu adalah Kyai, bukan Klebun dan para aparat pemerintah desa bawahannya. Para pejabat resmi tersebut sebenarnya hanyalah perpanjangan tangan birokrasi pemerintahan yang, pada akhirnya, sepenuhnya juga tunduk kepada Kyai. Ungkapan yang menjadi pegangan hidup orang Madura adalah “bubba, babbhu, ghuru, rato” (bapak, ibu, guru, dan raja). Penghormatan utama adalah kepada 132
BAGIAN-I, Memahami Masalah kedua orangtua (bapak dan ibu), kemudian guru (yakni Kyai dalam tradisi Madura), barulah yang terakhir kepada pejabat dan aparat pemerintahan (raja). Sehingga, dengan kedudukan sosial yang sedemikian tinggi, dan pengaruh yang sedemikian kuat, para Kyai di Madura sebenarnya dapat menjadi unsur penentu utama dalam setiap perubahan sosial yang terjadi di masyarakat sekitar pesantrennya. Meskipun demikian, para Kyai di Madura memiliki ‘lapisan kelas’ nya sendiri berdasarkan ukuran tingkatan, cakupan, atau luasan pengaruh mereka masing-masing. Ada kyai yang pengaruhnya mencakup seluruh wilayah kabupaten, ada yang hanya sebatas wilayah kecamatan, desa, atau sebatas kampung yang lebih kecil. Hal ini sangat tergantung pada beberapa faktor, tetapi yang terpenting dan utama adalah faktor latar belakang genealogis: keturunan siapakah sang Kyai bersangkutan? Berdasarkan latar belakang genealogisnya serta reputasi kharismatik kakek buyut dan ayahnya, dengan mudah dapat diduga bahwa Kyai Sholeh sehari-hari biasa juga disapa sebagai ‘Bindere’ (setara dengan sapaan ‘Gus’ --singkatan dari kata ‘bagus’, artinya ‘yang baik dan terhormat’-- kepada para putra Kyai di Jawa) Muhammad. Ada beberapa orang lagi Kyai lain di daerah tersebut, tetapi kekuatan pengaruh mereka masih berada di bawah Bindere Muhammad atau Kyai Sholeh. Di Kampung Langgar, misalnya, ada KH. Masykur. Meskipun peringkat ‘pengaruh sosial’ nya lebih kecil dan kurang seluas Kyai Sholeh, namun lebih berakar di tengah warga Kampung Langgar sendiri. Kyai yang satu ini sangat dekat dengan seluruh warga kampungnya. Dia terlibat langsung bukan hanya dalam urusan peribadatan keagamaan, tetapi juga berbagai masalah keduniaan dan kehidupan sehari-hari yang dihadapi penduduk Langgar, mulai dari urusan pengadaan air bersih dan saluran listrik, pembangunan sarana umum kampung, pengelolaan lahan tegalan, sampai ke urusan pemasaran hasil para petani disana. Semua dilakukannya sambil tetap setia menjalankan peran asal utamanya sebagai ‘imam dan guru rakyat’: memimpin ritual ibadah di masjid, mengajar mengaji, dan mengurus madrasah kampung. Berbeda dengan banyak Kyai lainnya, dia tidak hanya sekadar ‘memimpin dari atas’ atau ‘memerintahkan’ warga melakukan semua itu, tetapi juga ikut bersama mereka mengerjakannya langsung. ‘Kyai kampung’ semacam Kyai Masykur inilah yang sebenarnya bergerak langsung di tingkat akar-rumput, menjadi pemimpin yang sesungguhnya dari warga setempat, bukan ‘Kyai desa’, ‘Kyai kecamatan’ atau ‘Kyai kabupaten’ yang biasanya terkesan hanya ‘jual kharisma dan 133
GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial pengaruh’ dan ‘semakin politis’ saja, bahkan banyak yang akhirnya benar-benar menjadi politisi sungguhan. Warga Langgar, Sukolilo Timur, dan sekitarnya, kini mulai menghadapi akibat dan dampak dari suatu proses industrialisasi yang baru saja dimulai secara besar-besaran di daerah mereka. Bukan hanya perubahan ekosistem dan penguasaan lahan-lahan mereka yang akan berubah, tetapi juga keyakinan-keyakinan, pandangan-pandangan, dan anggapan-anggapan tradisional mereka pun mulai terguncang. Mereka mulai mempertanyakan sikap dan tindakan yang diambil oleh seorang tokoh agama paling berpengaruh di daerah mereka, mulai menyatakan ketidaksetujuan dan ketidaksukaan mereka, meskipun belum secara terang-terangan. Makna dari ajaran dasar moral hubungan sosial mereka selama ini (“bubba, babbhu, ghuru, rato”) mulai mendapatkan tantangan serius. Dalam keadaan semacam itu, mungkinkah para ‘Kyai kampung’ --seperti Kyai Masykur di Langgar-- akan dan dapat menjadi ‘tumpuan akhir’ (the last resort) mereka? Jual Tanah: Cara Baru Bertahan Hidup Dari ukuran-ukuran ekonomi, penduduk Langgar tergolong miskin. Hanya beberpa orang yang kehidupannya nisbi bercukupan, seperti H. Prayitno yang bekerja sebagai pegawai kantor kecamatan; Sugiono sebagai pengawai sipil dari pangkalan Angkatan Laut disana; H. Afandi sebagai pemborong beberapa proyek pembangunan dari pemerintah daerah; As’ad yang menjadi pemborong bangunan dan makelar tanah; atau H. Sya’roni yang menjadi pedagang pakaian di kota Surabaya. Yang terakhir ini bahkan memiliki rumah dan mobil lumayan mewah, terutama dari ukuran warga setempat. Selain orang-orang tersebut, warga Langgar umumnya adalah petani atau buruh-tani tegalan di lahan lempung kering yang kurang subur dan berukuran tidak terlalu luas. Hanya sebagian kecil yang bekerja di sektor bukan pertanian, sebagai kuli pemecah batu, buruh bangunan, dan sopir angkutan umum. Petani pemilik lahan di Langgar tidak memperoleh penghasilan dan keuntungan yang memadai dari tegalan mereka. Lahan seluas 300 meter persegi --luasan lahan milik warga pada umumnya, sebagian besar dan biasanya ditanami bengkoang-- membutuhkan paling sedikit satu orang tenaga kerja bayaran selama 2 hari pada saat tanam, 2 hari pada saat panen, dan 2 hari lainnya untuk mengikat (mengemas) hasil panen. Upah tenaga kerja tersebut untuk menanam dan memanen adalah Rp 20.000 per hari, sementara untuk mengikat 134
BAGIAN-I, Memahami Masalah hasil panen adalah Rp 15.000 per hari. Sehingga, jumlah seluruh biaya tenaga kerja adalah: (4 x Rp 20.000) + (2 x Rp 15.000) = Rp 110.000. Sementara hasil lahan seluas 300 meter per segi adalah rerata 70 ikat dengan harga pasar Rp 2.000 per ikat, sehingga perolehan hasil seluruhnya adalah Rp 140.000 untuk satu musim tanam (4 bulan). Dengan kata lain, perolehan hasil akhirnya hanyalah (Rp 30.000 : 4) = Rp 7.500 per bulan. Inipun belum merupakan penghasilan bersih, karena tenaga sang pemilik lahan sendiri, ongkos angkut hasil dari ladang ke rumah dan selanjutnya ke pasar, serta pengadaan bibit dan pupuk, sama sekali belum dihitung. Jika dimasukkan dalam perhitungan, maka neraca petani di Langgar mengalami kerugian, tidak hanya untuk tanaman bengkoang, tetapi juga tanaman lain seperti jagung, wijen, dan ketela pohon. Bahwa mereka terus saja melakukan usaha tani yang jelas-jelas merugi itu, hanya bisa dijelaskan oleh logika subsistensi khas petani gurem: yang penting tetap panen dan bisa bertahan hidup! Sementara itu, rerata belanja rumah-tangga di Langgar adalah Rp 36.000 per hari, dengan rincian: Rp 4.000 untuk beli beras; Rp 5.000 untuk jukok (lauk-pauk); Rp 3.000 untuk minyak goreng; Rp 5.000 untuk pelepah (bumbu-bumbu dapur); Rp 3.000 untuk kelapa; Rp 3.000 untuk minyak tanah; dan Rp 10.000 per minggu untuk gula dan kopi. Penghasilan usaha tani mereka yang merugi jelas-jelas tidak mencukupi keperluan hidup sehari-hari ini. Untuk itu, mereka secara serabutan mencari penghasilan tambahan dengan berjualan makanan dan minuman, kuli pemecah batu, dan sebagainya. Namun, penghasilan tambahan ini juga tidak memadai. Sebagai kuli pemecah batu, mereka memperoleh upah hanya Rp 15.000 per hari. Yang agak lumayan adalah bekerja sebagai tukang dengan upah Rp 40.000 per hari. Sayangnya, tidak semua warga Langgar yang aslinya petani itu memiliki ketrampilan pertukangan. Tetapi mereka terbukti masih tetap hidup? Seperti yang umum terjadi di banyak daerah pedesaan miskin dan pertanian subsisten di daerah lain, warga Langgar ternyata juga menerapkan pola umum ‘gali lubang, tutup lubang’. Pola yang terdiri dari empat unsur pokok ini merupakan suatu daur mata-rantai yang saling terkait satu sama lain, yakni: (1) Berutang kepada juragan. Cara berutang ini tidak sebagaimana lazimnya meminjam uang dan kemudian membayarnya kembali dengan uang pula. Di Langgar, warga meminjam ke seorang juragan dengan cara memelihara kambing atau sapi milik sang juragan. Setelah 135
GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial kambing atau sapi itu sudah berbiak (punya anak) dan bisa dijual, anaknya atau hasil penjualannya dibagi (maro) antara sang juragan dengan si pemelihara. Pada saat inilah, bagian si pemelihara akan dipotong untuk melunasi utangnya kepada sang juragan. Dalam praktiknya selama ini, para pemelihara ternak itu nyaris tidak menyisakan laba apapun, bahkan sering masih memiliki tunggakan utang, karena setiap hari memang selalu berutang untuk memenuhi kebutuhan pangan dan pengeluaran rutin lainnya. (2) Semua anggota keluarga bekerja. Selain bapak dan ibu (suami dan isteri), anak-anak juga dilibatkan bekerja. Anak yang masih usia sekolah biasanya bekerja mencari rumput dan kayu bakar, sementara yang sudah tidak bersekolah lagi, terutama laki-laki, membantu bapak nya mencangkul dan mengolah lahan. (3) Kerja tambahan. Hampir semua orang di Langgar selalu berusaha mencari kerja tambahan, meskipun secara serabutan. Selain kerja upahan (misalnya, sebagai buruh tani), mereka juga menciptakan sendiri beberapa jenis kerja tambahan, misalnya, mencari dan mengumpulkan bekicot pada malam hari menggunakan obor. Biasanya, seluruh anggota keluarga, termasuk anak-anak yang masih kecil, ikut mencari dan mengumpulkan bekicot untuk dijual keesokan harinya. (4) Merantau ke kota. Jika tak ada lagi kerja tambahan yang dapat mereka kerjakan di kampung, banyak warga Langgar yang akhirnya mencari kerja di kota-kota, terutama ke Surabaya dan Jakarta. Di kota- kota itu, mereka juga bekerja serabutan, mulai dari berjualan kecil- kecilan (mengasong), menjadi kuli bangunan, tukang parkir, pemulung, dan sebagainya. Secara berkala mereka pulang ke Langgar atau mengirimkan hasilnya kepada keluarga di kampung. Meskipun sudah mengerjakan semua upaya tambahan tersebut, penghasilan mereka pada umumnya tetap saja belum memadai, sementara belum ada kemungkinan-kemungkinan lain yang lebih baik bagi mereka. Pada mulanya, pembangunan jembatan Suramadu dan rencana industrialisasi Madura sempat menghembuskan harapan- harapan baru yang menjanjikan kepada mereka. Tetapi, setelah dimulai sekian tahun, janji-janji itu tak kunjung datang juga. (5) Pola pertahanan terakhir adalah menjual atau barter (menukar) lahan pertanian mereka dengan barang-barang kebutuhan sehari-hari. Atau, sebelumnya telah terjerat hutang yang bertumpuk, kemudian mereka terpaksa harus melepaskan tanahnya untuk menutup hutangnya tersebut. Hal ini biasanya dilakukan apabila keadaan 136
BAGIAN-I, Memahami Masalah memang sudah mendesak. Pola yang umum terjadi adalah menjual tanah tidak secara sekaligus seluruhnya, tetapi sedikit demi sedikit, sesuai dengan kebutuhan mendesak yang muncul. Akibatnya, terjadi semacam fragmentasi kepemilikan dan pengalihan fungsi-fungsi lahan yang --dalam banyak kasus selama ini, termasuk di daerah-daerah lain di Indonesia-- menjadi salah satu penyebab utama terjadinya proses involusi lahan-lahan pertanian dan juga sengketa tanah, bahkan konflik sosial yang lebih besar. Perempuan Langgar: Hidup dalam ‘Dua Dunia’ Sama seperti daerah-daerah lahan kering atau tadah hujan dimana pun, ekosistem pertanian lahan tegalan di Kampung Langgar juga membutuhkan berbagai jenis beban kerja yang tidak ringan. Di daerah-daerah pertanian lahan basah --apalagi yang telah memiliki prasarana dan sarana pengairan teknis-- para petani memiliki lebih banyak waktu untuk mengerjakan ‘kerja sampingan’ atau ‘kerja sambilan’ di luar mengurus sawah-sawah padi mereka yang bisa dipanen sampai tiga kali setahun. Hal itu dimungkinkan karena mereka tidak perlu lagi menghabiskan banyak waktu untuk mengadakan air ke lahan-lahan mereka. Ini sama sekali berbeda dengan apa yang terjadi di Langgar. Pengadaan air, baik untuk menyirami lahan tegalan maupun air bersih untuk keperluan hidup sehari-hari, adalah beban yang berat. Dan, kaum perempuan lah yang menjadi tulang punggung penyanggah utamanya. Setiap hari, para perempuan dewasa di Langgar nampak hilir-mudik menyunggi (membawa di atas kepala) wadah- wadah air yang berisi sekitar 20 liter. Setiap orang mengerjakannya tidak hanya sekali, tetapi beberapa kali sepanjang hari. Ini bukan pekerjaan enteng. Sumber air yang tersedia hanya ada delapan sumur yang tersebar di beberapa titik di sela-sela rumah warga. Tetapi tujuh dari delapan sumur-sumur itu hanya mengeluarkan air pada musim hujan, itupun dengan jumlah terbatas. Hanya satu sumur yang tetap mengeluarkan air --tetapi dengan jumlah yang menyusut-- pada musim kemarau, yakni sumur utama kampung di tepi jalan utama desa, pada dataran terendah disana, sekitar 500 meter dari rumah- rumah warga yang seluruhnya terletak di seberang jalan di dataran yang lebih tinggi dan berbukit-bukit. Pada musim kering, para perempuan dewasa di Langgar, dan beberapa kampung tetangganya (Pasarean, Kramat, Marleke, dan Karang Pandan) akan nampak berjajar antri panjang di hanya salah satu sumur yang tidak pernah 137
GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial kering itu. Mereka datang bergantian dan bergiliran, seperti tak ada habis-habisnya, selama 24 jam penuh. Air di sumur utama itu, setelah ditimba beberapa kali, memerlukan waktu sekitar setengah jam berikutnya untuk berisi kembali agar dapat ditimba lagi. Akibatnya, selain memang harus mengantri bergiliran pada setiap selang waktu setengah jam, maka penjatahan ketat juga harus dilakukan: setiap rumah mendapat catu air dua wadah (sekitar 20 liter) per hari. Tidak terbatas hanya pada pengadaan air atau kayu-bakar untuk memasak, kaum perempuan di Kampung Langgar ini juga menjadi penanggungjawab dan pelaksana utama dari berbagai ‘kerja tambahan’ yang dibutuhkan di lahan-lahan pertanian tegalan kering, mulai dari mencangkul lahan dan menyirami tanaman sampai ke menyiangi PETA-4.2: Denah Kampung Langgar, Sukolilo, Bangkalan, Pulau Madura, Jawa Timur. tegalan Kompleks tegalan Perumahan ‘Basmalah’ tegalan tegalan tegalan ke gerbang tegalan garis pantai Jembatan Suramadu batas kampung rumah jalan mushalla cluster satu masjid sumur yang tak kering tanean lanjang madrasah/SD pada musim kemarau sumur yang kering pada musim kemarau SELAT MADURA 138
BAGIAN-I, Memahami Masalah rerumputan liar di sela-sela tanaman tersebut. Tentu saja, juga beban ‘kerja tradisional’ mereka mengurus rumah dan anak-anak rata-rata 4- 5 anak per keluarga, bahkan ada yang memiliki anak sampai lebih dari 10 orang. Hampir semua pekerjaan yang berkaitan langsung dengan kehidupan sehari-hari merupakan tugas --bahkan ‘kewajiban’-- bagi kaum perempuan Langgar. Tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa kaum perempuan disana adalah ‘motor penggerak utama’ kehidupan kampung kecil itu. Pemanfaatan lahan --baik di sekitar rumah maupun di tegalan-- menjadi ranah utama garapan mereka. Dibandingkan dengan para lelakinya, perempuan Kampung Langgar mengerjakan berbagai pekerjaan bertani yang lebih beragam jenisnya. Bahkan, kerja tambahan mencari batu padas juga umumnya dikerjakan oleh kaum perempuan. Singkatnya, perempuan di Kampung Langgar menjalani kehidupan yang tidak mudah. Ekosistem khas tanah-tanah tegalan telah membentuk pola-pola relasi sosial yang menjadikan perempuan TABEL-4.1: Kalender Harian Warga Kampung Langgar, Bangkalan, Madura. No Waktu Kegiatan Istri Kegiatan Suami Kegiatan Anak 1 04:00-06:00 masak, ambil air, shalat subuh di shalat, bantu 2 06:00-12:00 shalat di rumah mesjid masak & ambil 3 12:00-13:00 ke tegalan & air pasar ke tegalan & ke sekolah, pasar yang tidak istirahat & shalat sekolah bantu orangtua istirahat & shalat istirahat, shalat 4 13:00-15:00 cari rumput cari rumput ke madrasah 5 15:00-17:00 cari kayu-bakar cari kayu-bakar bermain 6 17:00-18:00 ambil air, bersih ke mesjid, shalat ke mesjid, rumah, shalat asyar & maghrib shalat asyar & 7 18:00-19:00 ngaji di rumah maghrib 8 19:00-19:30 shalat yasinan di ngaji di mesjid tetangga, 9 19:30-21:00 isttirahat, nonton pengajian di 10 21:00-04:00 televisi mesjid tidur istirahat, nonton istirahat, nonton televisi televisi tidur tidur 139
GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial menjadi pihak yang paling menanggung beban terbanyak dan terberat. Di desa-desa pertanian lahan basah dengan sawah-sawah beririgasi teknis --seperti umumnya di Jawa-- panen padi dapat dilakukan sampai tiga kali setahun. Di Kampung Langgar yang kering ini, hanya ada lahan-lahan tegalan tadah hujan yang hanya bisa ditanami palawija --jagung, ketela pohon, kacang hijau, bengkoang, dan wijen. Sistem usaha tani tradisional lahan-lahan tegalan kering seperti di Langgar memang membutuhkan banyak sekali ‘kerja tambahan’ untuk tetap bertahan hidup. Nampaknya memang perempuan Madura adalah pekerja keras yang tidak mau menyerah dengan keadaan. Ungkapan yang sering terdengar dari mereka adalah: “Kalau menyerah, ya tidak makan (lo’ ngakan)”. Oleh sebab itu, mereka bersedia untuk bekerja apa saja, termasuk ‘kerja-kerja kasar’ sekalipun. Di kampung kecil ini, sudah sangat lumrah menyaksikan perempuan menggergaji batu kapur untuk membuat batu bata putih, mencangkul kebun, mencari bekicot di malam hari, dan sebagainya. Kebiasaan kerja keras itu bahkan sudah membentuk satu citra tersendiri bagi kaum perempuan Madura. Di daerah-daerah perkotaan di banyak tempat di Indonesia, perempuan Madura dikenal karena keuletannya bekerja. Mereka mengerjakan apa saja, mulai dari berdagang sayuran, jualan sate dan soto Madura yang terkenal, jualan asongan di terminal-terminal bus atau pelabuhan, sampai ke pekerjaan-pekerjaan sejenis lainnya yang selama ini biasanya lebih banyak dikerjakan kaum lelaki. Tidak berlebihan mengatakan bahwa --dibanding kaum lelakinya-- perempuan Madura lah yang sebenarnya lebih mewakili ungkapan khas mereka: “Kar- karkar colpe” (layaknya ayam mencakar-cakar tanah mencari makan), suatu ungkapan yang bermakna bahwa orang harus bekerja dan tidak boleh menyerah untuk mencari nafkah, meskipun mengais-ngais dan hasilnya sedikit tetapi dapat dinikmati, asalkan dengan cara yang halal. Bagi perempuan Madura, ‘kerja kasar’ bukan persoalan. Bagi mereka, yang lebih penting adalah menghasilkan pesse’ (uang), selain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, juga dalam rangka memenuhi beberapa ‘tuntutan sosial’, seperti membeli perhiasan atau bahkan pergi berhaji ke Mekah. Memiliki banyak perhiasan dan berhaji merupakan cita-cita utama setiap orang Madura, tak peduli semiskin apapun mereka. Memiliki banyak perhiasan dan menjadi seorang ‘haji’ adalah dua dari lambang status terpenting dalam sistem sosial orang Madura. Hal ini nampak sangat gamblang, misalnya, pada setiap ada 140
BAGIAN-I, Memahami Masalah acara sosial dan ritual keagamaan --seperti tahlilan, cocokan (tanggal 1 Rabiul Awal), molodan (tanggal 12 Rabiul Awal): ‘Pak Haji’ selalu dipersilahkan duduk di posisi depan pada jajaran kursi kehormatan, sementara kaum perempuan mengenakan seluruh simpanan perhiasannya. Keuletan para perempuan Madura --yang sanggup melakukan kerja keras dan kasar sekalipun-- yang mungkin dapat menjelaskan mengapa mereka mendapat status yang khas dalam keseluruhan sistem sosial dan budaya orang Madura. Mereka adalah ‘harta’ (asset) utama keluarga dan, karena itu, harus dijaga sedemikian rupa ketatnya. Bagi orang Madura, perempuan mereka adalah sekaligus juga ‘lambang kehormatan’ keluarga, sesuatu yang tak boleh ‘tercemar’. Peristiwa ‘carok’ (pembunuhan dengan celurit --arit atau sabit khas Madura) umumnya adalah akibat terjadinya ‘pencemaran terhadap kehormatan perempuan’, selain beberapa faktor lain yang tidak terlalu menonjol atau sering terjadi sebagai alasan utamanya. Jika seorang perempuan Madura dicemari kehormatannya oleh lelaki lain yang bukan suaminya, hampir pasti sang suami --atau lelaki dewasa lain dalam keluarga sang perempuan-- akan melakukan carok kepada sang pelaku. Pelanggaran kehormatan perempuan dianggap membuat malo’ (malu) seluruh keluarga. Pepatah yang selalu sering dipergunakan sebagai ‘hukum besi’ carok adalah: “Ango’an poteya tolang etembang poteya mata” (lebih baik putih tulang daripada putih mata). Biasanya, satu peristiwa carok akan terus berantai, karena keluarga yang terbunuh juga akan melakukan carok pembalasan. Kata mereka: “Mon oreng aotang nyaba, enggih kudu majar nyaba” (jika seseorang mempunyai hutang nyawa, maka ia harus membayar dengan nyawa pula). Salah satu wujud budaya ragawi (material culture) dari pandangan ‘perempuan adalah kehormatan keluarga’ itu adalah dalam pola pemukiman orang Madura. Secara tradisional, perkampungan orang Madura berbentuk tanean lanjeng (halaman panjang). Setiap satu tanean lanjang --biasanya terdiri dari lima sampai duabelas rumah-- adalah satu keluarga besar yang saling melindungi, khususnya melindungi kaum perempuan mereka. Satu tanean lanjeng selalu dilengkapi dengan satu tempat sembahyang (mushalla) di bagian barat. Mushalla ini sekaligus berfungsi sebagai tempat untuk menerima tamu lelaki yang bukan anggota keluarga atau masih memiliki hubungan darah dan kekerabatan (taretan dalem) dengan keluarga teserbut, atau orang lain (oreng lowar) sama sekali. Perempuan tidak boleh menerima tamu laki-laki yang bukan keluarga. Tamu laki- laki dipersilahkan menunggu di ‘ruang tamu’, yakni mushalla tadi. 141
GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial Meskipun dinilai sebagai lambang kehormatan, perempuan di Kampung Langgar --sama seperti di kampung-kampung lainnya di seluruh Madura-- tidak menempati posisi sosial dan keluarga melebihi kaum lelaki mereka. Ternyata, mereka tetap saja ‘subordinat’ laki-laki. Semua keputusan-keputusan penting dalam rumah tangga tetap ditangan para lelaki. Perempuan harus pasrah menerimanya saja. Sudah menjadi keyakinan dan norma bersama bahwa laki-laki harus dituruti segala keputusannya. Kalau ada perempuan mereka yang menolak keputusan itu, maka ia adalah ‘perempuan durhaka’ dan berdosa besar. Mereka tidak boleh mencela atau mencaci suami. Mereka juga tidak boleh membantah atau sekedar menyarankan segala keputusan suami. Kalau istri pergi ke pertemuan kelompok, harus dengan izin sang suami. Bila tidak diperbolehkan, mereka tidak akan berangkat. Kalau tetap ngotot berangkat juga, mereka semua percaya perempuan durhakan dan pendosa itu akan mendapat malapetaka (bala’). Singkatnya, perempuan Kampung Langgar --dan perempuan Madura pada umumnya-- sebenarnya hidup dalam ‘dua dunia’, dua tatanan nilai yang pada hakikinya saling bertentangan, tetapi kemudian ‘diselaraskan’ sebagai sesuatu yang tak terpisah satu sama lain. Kerumitan yang ditimbulkannya sungguh luar biasa, sangat majemuk, dan penuh kontradiksi. Namun, satu hal jelas, kaum perempuan lah yang paling merasakan semua akibat dan dampaknya, khususnya dalam hal beban --baik fisik maupun psikis-- atas diri mereka. Salah satunya adalah pembatasan ketat terhadap perempuan Madura untuk ‘meluaskan dunia pergaulan sosial’ mereka. Mereka sangat dibatasi untuk berorganisasi sendiri, atau terlibat dalam forum-forum bersama antar seluruh warga, tidak peduli setinggi apapun pendidikan formal yang pernah mereka dapatkan atau tingginya latar belakang hereditas sosial-ekonomi mereka. Hampir semua urusan publik menjadi urusan sang suami, para lelaki, termasuk para pejabat pemerintahan desa dan pemimpin keagamaan yang juga adalah para lelaki. Di Kampung Langgar, contoh ini sangat terlihat pada Hajjah Badriyah. Perempuan ini --yang berasal dari salah satu keluarga yang paling baik keadaan ekonominya di Langgar-- adalah lulusan SMA Darul Ulum, satu pencapaian yang luar biasa untuk ukuran perempuan pedesaan Madura pada umumnya, terutama dari generasinya. Dia juga sangat cerdas dan memiliki wawasan pengetahuan serta informasi yang, dalam beberapa hal, malah melampaui banyak kaum lelaki disana. 142
BAGIAN-I, Memahami Masalah Namun, dalam kenyataannya, dia sama saja dengan perempuan lain disana: ibu rumah tangga yang seluruh waktunya nyaris tersita habis untuk urusan domestik, tak diperbolehkan melakukan kegiatan sendiri, kecuali yang ada kaitannya langsung dengan kegiatan membantu suami --seorang guru Sekolah Dasar Negeri setempat-- memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang semakin sulit. Dia tak berbeda, misalnya, dengan Ruqaiyyah --seorang ibu lain yang berpendidikan dan latar hereditas sosial-ekonomi lebih rendah-- yang setiap hari harus bekerja sendirian, karena suaminya bekerja serabutan di Kota Surabaya dan hanya pulang ke Langgar sehari dalam seminggu. Struktur sosial di Kampung Langgar memang sudah sangat mapan, menjadikan kaum perempuan disana seolah tidak bisa berbuat apa- apa lagi, kecuali tetap mengikuti tradisi dan pola hidup yang sudah mentradisi. Kehidupan mereka sepenuhnya berkisar di tempat yang itu-itu juga: rumah, dapur dan kebun (tanah tegalan). Selain sumur umum, tempat-tempat publik yang paling dekat dan sering mereka datangi adalah makam Sunan Nurussasi sebagai ziarah (seminggu sekali setiap hari Kamis menjelang maghrib) untuk memperoleh berkah dalam kepercayaan tradisional mereka. Bahkan, ke masjid pun juga hanya pada saat-saat tertentu, karena acara pengajian di masjid umumnya memang diperuntukkan bagi kaum lelaki (reng lake’). Masjid di Kampung Langgar bahkan memang dirancang dan dibangun tanpa ruang khusus untuk kaum perempouan. Perempuan menjalankan ibadah rutin (shalat lima waktu) di numah masing- masing. Interaksi ke luar selebihnya hanyalah rumah-rumah lain dari jaringan keluarga besar mereka, yakni ketika melakukan kunjungan silaturrahmi atau memenuhi kewajiban sosial dan ekonomi (misalnya, otok-otok, abubu pengantenan --mendatangi dan memberi sumbangan semampunya kepada keluarga yang sedang menyelenggarakan pesta perkawinan). Interaksi lain dengan pihak luar lebih bersifat fungsional semata, misalnya dengan para pedagang keliling dan di pasar terdekat, sekali seminggu. Adapun interaksi dengan pusat pemerintahan desa, yakni dengan Klebun (Kepala Desa) dan para aparatusnya, sangat jarang dilakukan, kecuali ada keperluan khusus saja. Banyak perempuan di Langgar bahkan tak pernah mengunjungi Balai Desa atau bertemu dengan para aparat pemerintahan desanya. Industrialiasi Madura: Dampak bagi Perempuan Lokal Dalam ‘dua dunia’ perempuan Madura yang mengandung banyak sekali pertentangan itulah rencana besar ‘Industrialisasi Madura’ hadir. 143
GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial Sejarah industrialisasi di berbagai penjuru dunia selalu memperlihatkan adanya perubahan atau pergeseran besar-besaran dalam tatanan kehidupan dan sistem tradisional setempat, termasuk yang berkaitan dengan kedudukan dan keadaan kaum perempuannya. Perubahan atau pergeseran itu tidak selalu berarti jelek, buruk, atau salah, tetapi benturan keras dua peradaban yang berbeda biasanya selalu membawa akibat dan dampak kerusakan luar biasa pada kalangan atau lapisan masyarakat yang kedudukan dan keadaan sosial- ekonomi, politik, dan budaya nya selama ini memang sudah tidak atau kurang beruntung. Perempuan Madura --khususnya di Kampung Langgar yang tepat berada di tepi pintu masuk gerbang industrialisasi itu, Jembatan Suramadu-- nampaknya akan mengalami satu lagi ‘dunia baru’ yang akan menggoncang keseimbangan ‘dunia lama’ mereka. Selain berbagai dampak buruk yang sudah dikenal luas dari proses pengkotaan (urbanisasi) akibat industrialisasi, maka kemungkinan goncangan terbesar bagi kaum perempuan pedesaan di Kampung Langgar adalah fakta bahwa industrialisasi tersebut akan mengubah pola-pola kepemilikan tradisional atas lahan. Meskipun ada kepercayaan tentang tanah --khususnya lahan rumah dan pekarangannya-- yang tidak boleh djual, namun fakta mutakhir menunjukkan bahwa semakin banyak warga Langgar yang akhirnya menjual lahan-lahan kebun tegalan mereka, terutama yang terlintasi oleh kawasan proyek pembangunan Jembatan Suramadu. Ternyata, pemerintah dan pemodal (juga para spekulan) membeli lahan-lahan tersebut tidak secara langsung, tetapi melalui beberapa orang Kyai (pemimpin agama) setempat. Banyak pembeli tanah-tanah warga Kampung Langgar tersebut ini adalah bindere (keturunan Kyai) atau orang yang mengaku sebagai ‘suruhan Pak Kyai’. Banyak warga setempat sama sekali tidak mengetahui bahwa --setelah ‘dibeli’ oleh sang Kyai-- lahan-lahan mereka itu akhirnya dijual lagi kepada pihak lain. Modus operandi inilah yang bisa menjelaskan mengapa warga Langgar kini tiba-tiba menjadi begitu mudah menjual lahan-lahan mereka. Kepercayaan sakral mereka atas tanah masih terkalahkan oleh kepatuhan kepada sang pemimpin agama, suatu sistem nilai yang juga khas Madura --dimana Kyai memang adalah salah satu pemegang otoritas tertinggi. Sebagai suatu gejala perubahan sosial yang cukup menonjol selama lebih dari tiga dasawarsa terakhir --terutama selama masa permerintahan Orde Baru (1966-1998) yang otoriter dan penuh 144
BAGIAN-I, Memahami Masalah dengan rekayasa sosial-- kedudukan para pemimpin agama yang khas dalam sistem masyarakat tradisional Indonesia itu memang telah dimanipulasi demi kepentingan kekuasaan dan modal. Gejala ini pula lah yang bisa menjelaskan mengapa --dalam proses- proses pengalihan kepemilikan lahan yang terjadi itu-- semakin jarang terjadi sengketa yang bisa menyulut terjadinya carok. Cara tradisional Madura untuk mempertahankan harga-diri dan hak-milik itu kini semakin tidak mampu mengendalikan mekanisme pasar yang sebenarnya merugikan mereka. Pelepasan hak atas lahan melalui mekanisme ‘pasar bebas’ itu terjadi melalui jual-beli yang sah, meskipun pada dasarnya pihak penjual (pemilik tanah) tidak tahu mereka dirugikan. Desakan kebutuhan ekonomi yang semakin berat telah membuat warga Kampung Langgar terpaksa menjual tanah-tanah mereka. Bahkan, semakin nampak kecenderungan kuat munculnya suatu anggapan baru bahwa menjual tanah bukan lagi sesuatu yang memalukan seperti yang diajarkan oleh kepercayaan tradisional mereka selama ini. Arus besar modernisasi dan industrialisasi telah mengubah sistem nilai mereka menjadi lebih pragmatis dan berorientasi kebendaan. Menjual tanah menjadi salah satu cara termudah dan tercepat untuk memperoleh uang tunai dalam jumlah cukup besar untuk memenuhi tuntutan-tuntutan lainnya: membeli barang-barang konsumsi baru (sepeda motor, mobil, peralatan elektronik, dan lain-lain) yang menjadi simbol-simbol baru status sosial; atau menunaikan ibadah haji ke Mekah. Menjual tanah, karena itu, tak berlama-lama lagi dianggap menjatuhkan harga diri, sebaliknya justru menaikkan harga diri dengan tampilan yang ‘kelihatan kaya’ atau ‘menjadi seorang haji’. Kejahatan mekanisme pasar bebas semacam itu memang belum banyak difahami oleh warga Kampung Langgar, terlebih lagi kaum perempuan mereka yang selama ini memang lebih terbatas akses informasinya dengan dunia luar. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, mata pencaharian utama kaum perempuan di Kampung Langgar adalah mengolah lahan kering tegalan sekitar rumah dan kampung mereka. Lahan-lahan itulah yang kini mulai beralih kepemilikan dan fungsi tradisionalnya. Sementara itu, industrialisasi yang telah mulai berlangsung disana belum menyediakan lapangan kerja pengganti yang benar-benar pasti, sesuai, dan lebih baik. Dalam hal ini, pemerintah dan pemodal yang membawa indutrialisasi tersebut belum pernah memberi jaminan sama sekali bahwa kaum perempuan setempat akan diberi prioritas khusus. Beberapa lapangan 145
GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial kerja baru yang tercipta oleh kehadiran industrialisasi disana, umumnya adalah lapangan kerja untuk warga perkotaan terpelajar, bukan untuk kaum perempuan tani pedesaan seperti warga Kampung Langgar. Harapan Baru: Bermula dari Dua Perempuan Ketika adzan maghrib berkumandang, anak-anak kecil berlarian menuju masjid untuk berjama’ah. Seorang perempuan separuh baya dengan mukena sederhana menuntun seorang nenek menuju masjid untuk berjama’ah bersama anak-anak di sayap kanan Masjid Nurussasi. Dia adalah Nyai Masykur, sosok perempuan kharismatik, tekun, dan memiliki jiwa pengabdian yang tulus. Dengan suaminya, dan di bantu seorang ustadz kiriman dari Pondok Pesantren Sidogiri di Pasuruan, Jawa Timur, dia mengelola masjid, khususnya mengajarkan al-Qur’an kepada anak-anak di mushalla yang berbentuk gubuk kecil di samping kanan masjid. Kecintaannya terhadap ilmu tampak dari gaya hidupnya. Dengan lima orang putra yang masih dalam usia belajar, Nyai Masykur memiliki kesungguhan tekad untuk memberikan pendidikan yang terbaik bagi putra-putrinya. Dua orang putrinya telah menempuh pendidikan setingkat SMA di satu pesantren di Jawa, sementara tiga orang lainnya masih di tingkat Sekolah Dasar dan tinggal bersama Kyai dan Nyai Masykur. Gaya kepemimpinannya yang kharismatik mempermudah setiap langkah yang diinginkan untuk perbaikan ke depan. Dalam setiap pertemuan kaum perempuan di Kampung Langgar, Nyai Masykur tidak perlu bersusah payah membuat undangan tertulis atau mengumumkannya di masjid. Beliau cukup mengatakan bahwa akan ada pertemuan, maka para perempuan pun datang berkumpul di kelas madrasah. Begitu juga dalam forum musyawarah, bila ada masalah yang cukup sulit untuk disepakati, maka akan lebih mudah bila Nyai Masykur turut memberikan pendapatnya dan terlibat aktif dalam diskusi. Hanya saja, kepemimpinan Nyai Masykur masih tetap berada di bawah bayang-bayang ketokohan suaminya, Kyai Masykur, meskipun suaminya itu selama ini sangat mendukung kegiatan sang isteri. Lain lagi dengan Ibu Badriyah, 38 tahun, ibu dua orang anak. Dia menjadi orang yang paling penting bagi kaum perempuan di Kampung Langgar. Hampir semua perempuan disana menjadi sangat berhutang budi kepadanya, karena kemurahan hatinya memberikan pinjaman untuk kebutuhan sehari-hari mereka. Dia bukan satu- 146
BAGIAN-I, Memahami Masalah satunya perempuan yang membuka toko kelontong di kampung ini. Ada tiga orang lain yang memiliki usaha yang sama dengan Badriyah. Akan tetapi Badriyah bukan hanya sekedar pemilik toko yang menjual barang-barang kebutuhan mereka. Lebih dari itu, dia memberikan pinjaman sangat lunak kepada semua warga yang membutuhkan, terutama kaum perempuan. Warga tidak merasa terlalu terbebani dengan skema pinjaman tersebut, walaupun mereka harus menggembalakan kambing-kambing milik Badriyah dengan sistem bagi-hasil (maro). Selain sebagai ‘pengusaha berhasil’ di Kampung Langgar, Badriyah adalah termasuk perempuan yang mengenyam pendidikan memadai dibanding dengan perempuan lain disana. Dia seorang lulusan SMA di satu pesantren di Jawa. Tradisi pendidikan orang tuanya mendukung Badriyah untuk mendapatkan pendidikan hingga tingkat SLTA. Dari kelima saudaranya, hanya satu orang --yang sulung-- yang belum melek huruf. Kepribadiannya yang terbuka dan mudah bergaul dengan orang lain, membuat Badriyah menjadi sosok perempuan yang pantas untuk memimpin kaum perempuan di Kampung Langgar. Terhadap orang yang lebih tua, Badriyah bisa membawa diri dengan sikap berendah hati, sementara kepada yang lebih muda, dia mampu menjadi motivator mereka. Maka, tidak heran bila dalam setiap pertemuan warga, Badriyah menjadi pemimpin yang mampu membangkitkan semangat para anggotanya, baik untuk bertanya maupun memberikan pendapatnya. Meskipun demikian, ia tetap low profile. Dua orang perempuan inilah yang menjadi kunci perubahan di Kampung Langgar. Mereka berdua lah yang merintis dan menggerakkan ibu-ibu yang lain di kampung itu untuk mulai mengorganisir diri. Kedudukan sosial mereka --sebagai isteri Kyai dan sebagai pengusaha yang banyak membantu warga setempat-- membuat mereka tidak terlalu sulit mengajak dan mengumpulkan para perempuan disana. Gagasan awal untuk mengorganisir kaum perempuan sekampungnya itu bermula dari Nyai Masykur yang terilhami oleh ‘sapu lidi’. Jika terpisah-pisah dan tidak terikat sebagai suatu kesatuan, maka lidi-lidi dari tulang daun kelapa itu hanya akan berfungsi terbatas, misalnya, hanya sebagai ‘tulang pengunci’ bungkusan dari daun pisang. Tetapi, jika disatukan dalam satu ikatan, maka lidi-lidi itu akan berfungsi lebih banyak dan lebih baik, misalnya, sebagai alat pembersih. Pemikiran inilah yang memunculkan kesadaran Nyai Masykur yang kemudian membahasnya 147
GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial dengan Ibu Badriyah. Mereka berdua sependapat bahwa banyak masalah yang dihadapi warga Langgar selama ini --misalnya, kekurangan air bersih, kesulitan ekonomi dan pendapatan yang semakin tidak memadai, semakin banyaknya penjualan tanah kepada orang luar-- tidak bisa diselesaikan secara orang per orang, tetapi harus dilakukan secara bersama-sama (Song-osong Lobung: gotong-royong). Untuk itu, diperlukan kesepahaman dan kekompakan seluruh warga yang bersatu dalam satu ikatan kelompok atau organisasi yang teratur dan terarah. Sebagai perempuan, mereka berdua melihat dan merasa lebih mudah memulainya dari sesama kaum perempuan warga Kampung Langgar. Dibantu oleh beberapa orang relawan dari Lembaga Pengabdian Masyarakat (LPM) IAIN Sunan Ampel, Surabaya, kedua ibu itu mulai merintis pertemuan-pertemuan awal dengan kaum perempuan sekampungnya. Pada awalnya, mereka mencoba memetakan keadaan lingkungan sekitar kampung mereka, kemudian menyusun bersama satu kalender kegiatan rutin harian mereka selama ini, dan akhirnya juga satu kalender musim sepanjang tahun. Setelah beberapa kali pertemuan membahas semua data dan informasi tersebut, mereka semua berkesimpulan sama bahwa kehidupan mereka selama ini sebenarnya nyaris tak ada perubahan sama sekali, tetap saja seperti sebelumnya tanpa pernah mengalami perbaikan atau peningkatan yang berarti. Bahkan, mereka juga menemukan bahwa justru semakin banyak masalah baru yang mereka hadapi, dan semakin sulit pula pemecahannya. Harga-harga kebutuhan pokok --terutama bahan pangan dan energi-- terus meningkat. Hasil usaha tani dari lahan tegalan --sumber utama pendapatan tunai mereka selama ini-- juga semakin tidak memadai dan mulai menghadapi banyak persoalan baru yang pelik. Hujan semakin jarang, musim semakin tidak terduga seperti sebelumnya. Jambu klutuk --tanaman andalan mereka selama ini-- juga semakin berkurang dan jarang berbuah. “Doh deremma ya Allah ini” (Aduh, ya Allah, bagaimana ini?), keluh mereka. Dalam beberapa tahun terkahir, memang ada bantuan pemerintah yang mereka terima sebagai kelompok ‘keluarga miskin’ --yakni sebesar Rp 100.000 per bulan. Tetapi mereka kemudian merasakan sendiri bahwa bantuan sejumlah itu menjadi tak berarti banyak jika dibandingkan dengan kenaikan harga barang-barang kebutuhan yang berlangsung terus-menerus. Mereka berpendapat bahwa lebih baik tak ada bantuan tersebut asalkan harga-harga beras, minyak tanah, dan beberapa kebutuhan pokok lainnya tetap murah seperti dulu. Dalam 148
BAGIAN-I, Memahami Masalah beberapa pertemuan berikutnya, kaum perempuan itu kemudian belajar bersama melakukan perhitungan ‘neraca rumah-tangga’ mereka selama ini. Mereka pun menemukan bahwa keadaan keuangan keluarga mereka selama beberapa tahun terakhir ini sebenarnya ‘sudah lebih besar pasak dari tiang’. Pengeluaran satu keluarga dengan anggota tujuh orang (2 orang tua dan 5 orang anak) menghabiskan rerata paling sedikit Rp 35.000 per hari, sedangkan pemasukan mereka hanya sekitar Rp 15 - 30.000 rupiah per hari. Kekurangan Rp 5 - 20.000 hanya dapat ditutupi dengan cara berutang kepada orang lain. Karena pendapatannyanya memang selalu lebih kecil dari pengeluarannya, maka terjadilah proses dan mekanisme ‘berutang terus-menerus’ atau ‘gali lubang, tutup lubang’ yang tak pernah selesai. Melihat kenyataan itu, Nyai Masykur dan Ibu Badriyah mengajak kaum perempuan itu mengumpulkan dana untuk dijadikan modal dasar kegiatan simpan-pinjam antar mereka. Dana dikumpulkan dari sumbangan beberapa orang dermawan di Kampung Langgar, selain dari iuran sukarela pada setiap pertemuan berkala mereka setiap minggu. Hasil awalnya terkumpul dana sebesar Rp 1.150.000. Dan, dimulailah kegiatan simpan-pinjam yang mereka rencanakan bersama. Secara garis-besar, disepakati bahwa kemudahan akan diberikan dan didahulukan pada anggota kelompok yang memang sangat mendesak kebutuhannya akan uang tunai, terutama jika menyangkut biaya sekolah anak-anak atau keperluan berobat keluarga yang sakit. Pinjaman dibatasi paling besar Rp 50.000 sekali pinjam, dengan batas waktu pengembalian paling lama 3 bulan secara mencicil. Jumlah setiap cicilan tergantung kepada kemampuan yang bersangkutan. Pada setiap transaksi --baik meminjam, mengembalikan, maupun mencicil-- harus selalu dicatat. Dengan demikian, kebiasaan menulis setiap transaksi mulai terbangun, meskipun baru belajar. Pada awalnya, keharusan mencatat ini tidak selamanya berjalan mulus. Sebagian besar mereka memang tidak terbiasa menulis, bahkan masih ada yang buta-huruf. Karena itu, Nyai Masykur dan Ibu Badriyah meminta bantuan dari kelompok organisasi perempuan di desa lain (Desa Ketengan) yang sudah cukup lama sebelumnya mengorganisir diri dan menerapkan kegiatan simpan-pinjam. Bendahara kelompok dari Ketengan itu membantu melatih anggota kelompok baru di Kampung Langgar tentang tata-cara pembukuan sederhana. Hasilnya cukup baik. Akhirnya semua anggota kelompok di Kampung Langgar belajar --meskipun perlahan tapi pasti-- dan mulai terbiasa melakukan pencatatan, menuliskan semua transaksi mereka. 149
GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial Setelah beberapa waktu berjalan, Nyai Masykur dan Ibu Badriyah kemudian mengajukan gagasan baru lagi kepada semua anggota kelompoknya, yakni kegiatan ‘kambing bergulir’. Usulan ini didasari pada kenyataan bahwa semua anggota kelompok selama ini sebenarnya sudah memelihara kambing. Mereka cukup berpengalaman mengurus jenis ternak ini, sementara hasil pemetaan dan kalender musim mereka juga menunjukkan bahwa tingkat kematian atau penyakit ternak kambing di Kampung Langgar selama ini sangat rendah. Dengan kata lain, memelihara kambing adalah salah satu pilihan yang paling layak dengan resiko rugi yang kecil. Hanya saja, kambing-kambing yang mereka pelihara selama ini adalah milik beberapa orang majikan dengan sistem bagi-hasil (maro). Usulan baru ini intinya adalah bagaimana agar kambing-kambing yang dipelihara oleh anggota itu adalah ‘milik bersama yang dipelihara secara bergilir’. Maka, mereka pun berusaha mencari dana lagi dan berhasil mengumpulkan Rp 2.500.000 untuk membeli 5 ekor kambing betina dewasa, masing-masing seharga Rp 500.000. Maka, ditetapkan 5 anggota kelompok yang dinilai paling miskin sebagai penerima bantuan pertama untuk memelihara masing-masing seekor kambing. Setelah kambing itu beranak, mereka harus menyerahkannya kembali kepada pengurus kelompok untuk digilirkan kepada anggota lain berikutnya. Sempat terjadi ketegangan pada saat pertemuan kelompok membahas siapa yang akan mendapat giliran pertama. Beberapa orang anggota kelompok mengajukan berbagai alasan untuk dipilih dan ditetapkan sebagai penerima bantuan pertama. Pertemuan sempat berlarut-larut beberapa kali, sampai akhirnya terpecahkan ketika Nyai Masykur memanfaatkan kharisma dan otoritasnya sebagai penentu terakhir. Nyai Masykur mengajukan alasan yang kuat ketika memilih 5 anggota penerima pertama berdasarkan tolok-ukur status keluarga (didahukukan yang janda), jumlah anak (didahulukan yang terbanyak), dan kepemilikan lahan (didahulukan yang benar-benar tidak punya lahan sendiri). Dari pengalaman program sejenis sebelumnya dari bantuan pemerintah (yakni program IDT --Inpres Desa Tertinggal), mereka juga sempat tegang ketika membahas adanya kemungkinan anggota yang menerima bantuan itu justru menjual kambing yang dipercayakan kepadanya. Sekali lagi, Nyai Masykur memperlihatkan kualitasnya sebagai pemimpin yang bijak dan berwawasan, ketika beliau memutuskan bahwa kambing-kambing itu adalah milik madrasah (sebagai 150
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164
- 165
- 166
- 167
- 168
- 169
- 170
- 171
- 172
- 173
- 174
- 175
- 176
- 177
- 178
- 179
- 180
- 181
- 182
- 183
- 184
- 185
- 186
- 187
- 188
- 189
- 190
- 191
- 192
- 193
- 194
- 195
- 196
- 197
- 198
- 199
- 200
- 201
- 202
- 203
- 204
- 205
- 206
- 207
- 208
- 209
- 210
- 211
- 212
- 213
- 214
- 215
- 216
- 217
- 218
- 219
- 220
- 221
- 222
- 223
- 224
- 225
- 226
- 227
- 228
- 229
- 230
- 231
- 232
- 233
- 234
- 235
- 236
- 237
- 238
- 239
- 240
- 241
- 242
- 243
- 244
- 245
- 246
- 247
- 248
- 249
- 250
- 251
- 252
- 253
- 254
- 255
- 256
- 257
- 258
- 259
- 260
- 261
- 262
- 263
- 264
- 265
- 266
- 267
- 268
- 269
- 270
- 271
- 272
- 273
- 274
- 275
- 276
- 277
- 278
- 279
- 280
- 281
- 282
- 283
- 284
- 285
- 286
- 287
- 288
- 289
- 290
- 291
- 292
- 293
- 294
- 295
- 296
- 297
- 298
- 299
- 300
- 301
- 302
- 303
- 304
- 305
- 306
- 307
- 308
- 309
- 310
- 311
- 312