Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore GAMANG_master_final_mei_2008

GAMANG_master_final_mei_2008

Published by menangjateng, 2021-09-09 03:07:25

Description: GAMANG_master_final_mei_2008

Search

Read the Text Version

BAGIAN-I, Memahami Masalah lembaga) yang dipimpin oleh suaminya, Kyai Masykur. Dengan kata lain, anggota yang menerima bantuan kambing-kambing itu memikul beban amanah memelihara dan menjaganya untuk kemudian digilirkan nantinya kepada anggota yang lain, bukan untuk dijual. Sebagai orang Madura yang sangat patuh dan taat pada lembaga- lembaga keagamaan tradisional mereka selama ini --terutama lembaga Kyai dan pondok pesantren atau madrasahnya-- mereka tak ada alasan untuk membantah jalan keluar yang ditawarkan oleh Nyai Masykur. Maka, keputusan itu pun menjadi suatu ‘hukum’: adalah dosa besar menyia-nyiakan atau mengkhianati amanah dan haram hukumnya menjual kambing-kambing yang diamanahkan itu. Metoda Nyai Masykur itu terbukti sangat efektif. Kambing-kambing yang diberikan kepada para anggota terpelihara dengan baik. Mereka bahkan berhasil menambah 1 ekor lagi menjadi 6 ekor kambingyang dibagikan kepada 6 anggota. Dalam waktu enam bulan berikutnya, kambing-kambing itu sudah melahirkan, kemudian segera digulirkan setelah tiga bulan berikutnya kepada anggota yang lain. Sampai sekarang, jumlah perempuan anggota kelompok di Kampung Langgar sebanyak 44 orang. Usia mereka sangat beragam, mulai dari umur yang termuda (18 tahun) sampai yangvtertua (70an tahun). Dari 47 orang ini, 21 orang adalah lulusan Sekolah Dasar atau Madarasah Ibtidaiyah; 7 orang lulusan Sekolah Menengah Pertama atau Madarasah Tsanawiyah; dan hanya 1 orang yang lulusan Sekolah Menengah Atas. Sisanya, 15 orang, tidak pernah bersekolah sama sekali atau buta huruf. Di luar masalah-masalah teknis simpan-pinjam dan pemeliharaan kam bing secara bergilir, ada hal lain yang lebih substansial dan menarik dalam kelompok perempuan Kampung Langgar ini. Sebagian dari mereka ternyata ada yang masih buta huruf dan tidak mengerti bahasa Indonesia. Mereka inilah yang kemudian mengajukan ‘protes’ agar mereka diajari membaca dan menulis, sehingga mereka bisa lebih aktif terlibat seperti yang lainnya dalam setiap pertemuan, tidak ketinggalan informasi, dan bisa memahami lebih baik semua proses diskusi dan analisis bersama-sama. Maka, dimulai lah kegiatan belajar membaca dan menulis kepada anggota yang masih buta-huruf. Didampingi oleh relawan dari LPM IAIN Sunan Ampel, seorang gadis remaja siswa SMA YARSI di Sukolilo Barat, Nur Aini, direkrut sebagai ‘guru baca-tulis’ mereka. Untuk itu diterapkan prinsip dan metodologi ‘keaksaraan fungsional’ (functional literacy), yaitu proses pembelajaran baca-tulis yang dikaitkan langsung dengan kenyataan diri sendiri, 151

GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial kehidupan sehari-hari, dan lingkungan sekitar. Misalnya, pelajaran dimulai dengan bersama-sama melihat Gunung Batu Roboh yang berada di sebelah timur kampung. Lalu mereka diajak menggambar gunung itu. Barulah kemudian diajarkan menulis kata-kata ‘GUNUNG’ untuk menamai gambar tersebut. Selanjutnya, adalah menulis kata-kata lain yang suku-kata awalnya sama dengan ‘GUNUNG’, misalnya: ‘GU-LA’, ‘GU-LE’, ‘GU-LUNG’, ‘GU-DEG’, dan sebagainya. Lalu, mereka beramai-ramai membaca bersama semua kata-kata itu sampai semua mengaku telah tahu atau faham cara menulis dan membacanya. Proses berikutnya adalah memahami makna dari semua kata-kata tersebut. Misalnya, dari kata ‘GUNUNG’ tadi, dimunculkan pertanyaan-pertanyaan seperti: “Gunung Batu Roboh itu milik siapa?”; “Ada apa saja di gunung itu?”; “Adakah sumber mata-air di gunung itu?”; “Siapa yang menggarap lahan di gunung itu?”; “Apa sudah ada ‘Tuan Takur’ dari luar yang membeli lahan-lahan di gunung itu?”; dan seterusnya. Pertanyaan-pertanyaan semacam ini kemudian mengalir dengan sendirinya, merembet sampai ke keadaan lahan-lahan tegalan mereka di sekitar Gunung Batu Roboh dan juga di sekitar kampung. Tak bisa dihindari kemudian pembicaraan mereka pun sampai ke persoalan-persoalan baru yang sedang mereka hadapi: “Mengapa lahan-lahan itu dijual?”; “Untuk apa orang luar mau membelinya?”; “Kalau untuk industrialisasi yang sekarang ramai dibicarakan, apa itu industrialisasi?”; “Apa manfaatnya industrialisasi itu bagi orang Kampung Langgar, khususnya kita kaum perempuan?”; “Apa kemungkinan musibah yang bakal atau yang sudah menimpa kita”?; “Kalau lahan-lahan tegalan sudah terjual semua, kita akan bertani dimana?”; “Bagaimana dengan pendapatan mereka selama ini yang memecah batu kerikil di gunung itu?”; dan seterusnya. Contoh lain. Dimulai dengan melihat satu atau beberapa rumah mereka sendiri. Lalu mereka menggambar rumah-rumah itu. Terus belajar menulis kata “R-U-M-A-H”, kemudian dikembangkan lebih lanjut dengan kata-kata lain yang bersuku awal sama, seperti “RU- JAK”, “RU-SAK”, “RU-SUH”, dan seterusnya. Maka, perbincangan pun mengalir deras sampai ke soal kehadiran kompleks perumahan baru ‘Basmalah’ di sebelah selatan kampung. Seperti telah diuraikan sebelumnya, prasarana perumahan baru ini --yang sangat mencolok perbedaannya dengan rumah-rumah asli tradisional warga setempat-- sudah banyak dibeli oleh orang luar, baik dari Kota Bangkalan maupun Surabaya. Pertanyaan-pertanyaan sejenis tentang apa, siapa, 152

BAGIAN-I, Memahami Masalah mengapa, dan bagaimana kompleks perumahan itu dalam kaitannya dengan warga dan Kampung Langgar sendiri pun mulai dibahas. Bahkan, muncul pertanyaan tentang bagaimana nasib dari tanean lanjang (halaman panjang) --konsep dan pola pemukiman tradisional Madura-- yang selama ini mereka pegangi sebagai warisan leluhur. Perbincangan berlanjut terus sampai ke tingkat pemahaman dan kesadaran baru tentang konsekuensi menjual tanah kepada pihak luar yang akan menuai persoalan-persoalan sosial, ekonomi, dan budaya yang selama ini tidak mereka duga. Suasana riuh --ramai tawa dan canda dalam dialek lokal-- selalu menghiasi keseluruhan proses belajar baca-tulis sekaligus ‘penamaan’ (naming) dan ‘pemaknaan’ (decoding-encoding) tersebut. Mereka akan berdebat keras jika berbeda pendapat, tetapi segera bisa berubah menjadi tertawa pahit bersama-sama, menertawakan diri sendiri jika mereka menemukan mereka salah pengertian, nampak bodohnya, atau ‘dibodohi’ oleh yang lain atau ‘dibodohi oleh keadaan’. Yang jelas, mereka pasti tertawa senang beramai-ramai kalau menemukan atau mengetahui hal-hal baru. Semua itu dimungkinkan karena metodologi yang diterapkan memang menciptakan suasana belajar yang informal, yang memberi mereka kebebasan untuk mengungkapkan apa saja tanpa sungkan. Ini yang membuat mereka tambah bersemangat belajar, lebih bersemangat dari anak-anak atau cucu-cucu mereka yang juga sering hadir disana. Mereka bahkan tak malu-malu bertanya kepada anak-anak itu --yang sudah bersekolah dan melek huruf-- jika mereka kesulitan mengeja, menulis, atau membaca suatu kata atau kalimat. Media yang digunakan juga sangat beragam, antara lain yang cukup unik, menggunakan kembali ‘batu tulis’ atau saba’ --tempat menulis pada tahun 1950-60an yang dapat dihapus dengan tangan sekalipun dan ditulisi lagi segera hanya dengan potongan kapur atau batu lunak. Semua perlengkapan ruang kelas madrasah yang ditempati juga diizinkan oleh Kyai Masykur untuk digunakan. Pelan tapi pasti, proses pembelajaran ‘keaksaraan fungsional’ itu tidak lagi sekedar belajar baca-tulis, tapi mulai merambah ke proses-proses ‘analisis sosial’ secara kritis terhadap berbagai permasalahan aktual yang mereka hadapi. Perbincangan dialogis mereka tentang gunung, tanah, dan pertegalan, mulai menumbuhkan pemahaman yang lebih baik ke arah sikap menolak menjual tanah, atau tidak menjual lahan- lahan mereka dengan mudah. Mereka mulai bersikap lebih berhati- hati dan waspada dalam persoalan yang menyangkut keberlangsungan hidup dan jati-diri mereka tersebut. Kepercayaan tradisional akan 153

GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial kekeramatan tanah asal, mulai bersemi kembali setelah sekian puluh tahun digempur dengan berbagai cara. Catatan Akhir: Perempuan Penggerak Perubahan Meskipun sudah mulai merambah ke ranah analisis sosial terhadap realitas yang mereka hadapi, namun masih banyak hal yang perlu difahami dan dipelajari oleh kaum perempuan --dan juga seluruh warga-- Kampung Langgar. Dari pertemuan-pertemuan yang sifatnya sangat non formal, perempuan Kampung Langgar ternyata mampu memahami dengan baik berbagai perkembangan baru yang kini mereka hadapi. Mereka mulai menyadari bahwa masa depan mereka terancam. Kegelisahan mulai muncul. Dan, rangkaian pertemuan mereka semakin menarik ketika merambah ke pembahasan tentang apa yang seharusnya mereka lakukan menghadapi semua persoalan baru tersebut. Karena, salah satu pencapaian terpenting dalam proses pendidikan rakyat adalah bukan ‘sekedar tahu’ tentang sesuatu, tetapi juga munculnya ‘kehendak untuk bertindak’ melakukan sesuatu, melakukan perubahan ke arah yang lebih baik menurut kebutuhan dan sesuai dengan kemampuan mereka sendiri. Sampai saat ini, apa wujud perubahan itu mungkin belum sepenuhnya dapat mereka jelaskan secara rinci. Tetapi, jika proses-proses pembelajaran yang mereka lakukan saat ini terus dipertahankan dan dikembangkan, maka tinggal soal waktu saja untuk mencapai tahap tersebut. Apa yang terjadi di Kampung Langgar itu juga memperlihatkan bahwa kaum perempuan, pada dasarnya, adalah pihak yang sangat potensial untuk mempelopori proses perubahan. Sebenarnya, mendahulukan perempuan dalam proses pembelajaran dapat lebih efektif dibandingkan dengan mendahulukan kaum lelaki. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa kaum perempuan lebih memiliki konsistensi, daya-tahan, ketekunan dan ketelitian, ketika melakukan sesuatu yang mereka yakini dan fahami dengan baik. Jika kesadaran kritis mereka mulai terbangun, pengaruhnya akan sangat besar pada keseluruhan tatanan kemasyarakatan setempat. Seandainya setiap kampung di Madura juga mulai menempuh proses-proses pembelajaran seperti yang terjadi di Langgar, dapat diharapkan akan mempengaruhi arah perubahan sosial di pulau kecil kering ini. ™ 154

BAGIAN-I, Memahami Masalah PENDIDIKAN sebagai PENGUKUHAN 5 JATI-DIRI Pergulatan Internal & Relasi Kuasa di Komunitas Pemulung Pondok Labu WAWAN DJUNAEDI IKLILAH MUZAYYANAH * Satu bangunan panggung semi permanen, yang disebut oleh Komunitas Pemulung Pondok Labu sebagai ‘mushalla’, terlihat masih berdiri kokoh, sekalipun cat warna putih yang melapisi permukaannya mulai memudar. Bangunan dari bahan kayu dan triplek bekas berukuran 3 x 7 meter itu berada tepat di atas sarana umum untuk mencuci di kalangan komunitas pemulung yang menempati lahan 900 m2. Memang, ini satu lahan yang bisa dibilang cukup luas untuk ukuran pemukiman yang berada di wilayah Jakarta, tepatnya di RT- 001/ RW-001 Kelurahan Pondok Labu, Kecamatan Cilandak, Kota Jakarta Selatan. Namun, bayangan itu seketika akan hilang ketika seseorang melihat langsung keadaan sesungguhnya disana. Tidak seluruh lahan itu dipergunakan sebagai bangunan tempat tinggal warga yang berjumlah tidak kurang dari 25 keluarga. Sebab ‘rumah- rumah’ yang didirikan hanya menempati sisi belakang dan separuh sisi kanan, sehingga membentuk bangunan berderet yang menyerupai huruf ‘L’. *Anggota Tim PAR, STAINU Jakarta. Tulisan ini adalah ringkasan dari laporan aslinya yang tidak diterbitkan, ditulis berdasar kesaksian langsung dari para warga Komunitas Pemulung Pondok Labu sendiri. 155

GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial PETA-5.1: Letak Kawasan Pondok Labu, Cilandak, Jakarta Selatan. INDONESIA PULAU JAWA KOTA METROPOLITAN JAKARTA Jakarta Barat Jakarta Utara Jakarta Pusat Jakarta Timur PONDOK Jakarta Selatan LABU Konstruksi bangunan --yang juga terbuat dari bahan kayu, triplek dan kardus bekas tersebut-- tidak jauh beda dengan bahan bangunan mushalla tadi, rata-rata berukuran nisbi sama, sekitar 3 x 4 meter, tanpa sekat, yang dipergunakan sebagai tempat tinggal keluarga --ada yang jumlah anggotanya mencapai 9 orang. Jumlah keseluruhan penghuni di lahan padat itu sendiri mencapai 83 jiwa --38 orang dewasa dan remaja, 45 orang masih kanak-kanak dan bayi. Tetapi, jumlah itu dapat berubah setiap saat seiring dengan tinginya arus keluar dan masuk para penghuninya. Melihat jumlah anak dalam satu keluarga yang cukup banyak, tentu akan menjadi masalah tersendiri bagi mereka yang keadaan 156

BAGIAN-I, Memahami Masalah ekonominya sebagai pemulung yang, pada dasarnya, masih ‘gali lobang tutup lobang’. Belum lagi mereka tinggal di satu kawasan di mana hak untuk mendapatkan pendidikan bermutu masih menjadi impian mewah bagi lapisan masyarakat bawah seperti mereka. Karena itu, adalah suatu anugerah bagi mereka --yang tinggal di tepi bantaran Kali Grogol tersebut-- ketika ada beberapa orang relawan dari satu organisasi gereja menawarkan layanan pendidikan gratis bagi anak- anak mereka dalam bentuk Taman Kanak-kanak (TK). Kegiatan sukarela yang bermula pada awal tahun 1995 itulah yang menjadi cikal bakal berdirinya mushalla tadi yang mereka bangun secara swadaya. Tentu saja, mereka senang sekali dengan bantuan kemanusiaan itu, menyediakan prasana dan sarana penbelajaran gratis bagi anak-anak mereka, sehingga tidak terlalu dipusingkan lagi oleh mahalnya biaya pendidikan formal, apalagi di metropolitan Jakarta. Sayangnya, semua itu tidak berlangsung lama. Anak-anak mereka bertambah besar setiap tahun, sebagian besarnya malah sudah semestinya masuk ke jenjang Sekolah Dasar. Sementara itu, jumlah anak usia TK di komunitas pemulung itu semakin sedikit. Hal inilah yang akhirnya menjadi salah satu faktor --dari sekian banyak faktor lain-- yang membuat para relawan gereja tadi menghentikan kegiatan kemanusiaannya di komunitas tersebut. Pendidikan sebagai Simbol Polisemy Tak adanya lagi kegiatan pembelajaran anak-anak mereka, membuat warga komunitas pemulung di Pondok Labu itu merasa gelisah. Keberadaan kegiatan itu bukan cuma sangat membantu meringankan beban keuangan keluarga yang memang sudah sangat minim, tetapi juga sebagai pembuktian kepada masayarakat umum bahwa komunitas pemulung peduli pada pendidikan anak-anak mereka. Bagi mereka, kegiatan pembelajaran itu bukan hanya suatu ikhtiar untuk mengantarkan anak-anak mereka agar berpendidikan (well educated), tetapi sekaligus dimaknai sebagai pengukuhan jati-diri mereka di tengah warga sekitar yang sering memandang mereka dengan sebelah mata. Berangkat dari semangat itulah, beberapa warga berprakarsa untuk kembali menyelenggarakan kegiatan pembelajaran tersebut. Karena pendidikan anak usia pra-sekolah (TK) pada waktu itu tidak lagi menjadi kebutuhan bagi mereka, mengingat sebagian besar anak-anak telah berusia Sekolah Dasar, maka muncullah gagasan dari sebagian 157

GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial warga untuk memanfaatkan mushalla mereka sebagai tempat mengaji bagi anak-anak. Gagasan itu mengendap demikian saja sekian lama, sampai akhirnya, pada awal tahun 2000, Pak Udin --yang juga sering disapa oleh para pemulung disana dengan panggilan ‘Bos’-- berkenalan dengan Abdullah, seorang mahasiswa Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur’an (PTIQ) Jakarta. Berawal dari satu obrolan santai, akhirnya muncul kesepakatan untuk menghidupkan kembali kegiatan pendidikan anak-anak pemulung itu, tetapi kali ini akan lebih banyak dipusatkan pada pelajaran-pelajaran keagamaan dan mengaji al- Qur’an. Akhirnya, mereka semua sepakat membentuk ‘Taman Pendidikan al-Qur’an’ (TPA). Karena bentuk dan sifatnya adalah pendidikan non-formal, maka tidak terlalu sulit menyelenggarakannya bagi anak-anak pemulung itu yang rentang usia mereka sangat beragam. Maka, mushalla yang berbentuk panggung itu pun kembali bergeliat. Bahkan, di luar prakiraan mereka sendiri, TPA yang semula hanya diperuntukkan bagi anak-anak para pemulung yang berjumlah sekitar 45 orang itu, malah berhasil menarik perhatian anak-anak dari komunitas pemulung lainnya tak jauh dari sana --yakni ‘Komunitas Pemulung Atas’, begitu mereka menyebutnya. Maka, jumlah santri TPA yang baru didirikan itu pun membludak menjadi 80 orang lebih, suatu jumlah yang tidak sedikit bagi suatu lembaga pendidikan nonformal yang baru saja berdiri. Setelah mengajak beberapa orang relawan sesamanya mahasiswa PTIQ dan Institut Ilmu al-Qur’an (IIQ), Abdullah dan rekan-rekannya itu bekerja sungguh-sungguh mengelola TPA Komunitas Pemulung Pondok Labu. Tetapi, sekali lagi, nasibnya tak terlalu beda dengan prakarsa para relawan gereja sebelumnya. Masa tugas belajar Abdullah dan beberapa rekannya pun berakhir juga, sehingga mereka harus pulang ke daerah masing-masing dan meninggalkan kerja-kerja kemanusiaan di Komunitas Pemulung Pondok Labu itu. Para warga pemulung disana mulai gelisah lagi, apalagi beberapa orang rekan Abdullah yang masih tersisa mulai pula jarang datang mengajar anak- anak mengaji. Tidak seperti Abdullah, metoda pembelajaran mereka juga kurang memadai, mengurangi minat belajar anak-anak, sehingga jumlah mereka berkurang sampai hanya tertinggal sekitar 70%. Maka, warga pun segera menyusun berbagai rencana agar TPA itu bangkit kembali dan tetap hidup. Mereka tidak ingin anak-anak mereka kehilangan kesempatan belajar dan kembali mengalami putus sekolah, sebagaimana yang dialami beberapa orang di antara mereka. Mulai muncul suara-suara subaltern yang selama ini terpendam. Salah 158

BAGIAN-I, Memahami Masalah seorang anak yang bernama Nur, putri Ibu Hamzah, yang sudah duduk di bangku kelas tiga Tsanawiyah dengan biaya dari orang tua angkatnya, berkata: “Pengennya maju kayak tempatnya ustadz Solihin, ada seragam, gurunya ada terus dan ada marawisnya.” (Catatan Lapangan, 12/04/2007) Keinginan untuk membangkitkan kembali TPA itu mereka coba dengan terlebih dahulu mengidentifikasi sesama warga yang, menurut mereka, cukup mampu menjadi pengganti guru saat guru tidak datang. Mereka yang terpilih pun mulai ‘belajar menjadi guru ngaji’, meski awalnya ragu dan tidak yakin. Tetapi dengan semangat dan terus berlatih, mereka mulai percaya diri dan anak-anak kembali aktif mengaji. Runtuhnya Kesadaran Palsu Semangat tinggi warga Komunitas Pemulung Pondok Labu yang luar biasa terhadap lembaga pendidikan yang berada di lingkungannya, diwujudkan melalui serangkaian forum musyawarah yang mereka sebut ‘ngariung’1. Forum ngariung biasa digelar di jalanan yang berada tepat di depan kakus di atas kali yang ditutupi dengan kain bekas. Forum inilah yang mengungkap berbagai keluhan, kegelisahan, keinginan, dan harapan. Ketika persoalan TPA yang menjadi bagian dari ‘gengsi sosial’ mereka itu mulai pudar, mereka mulai membandingkan TPA milik mereka dengan beberapa TPA yang ada di sekitar lingkungan mereka. Mereka melihat TPA yang dikelola oleh Ustadz Sholihin, misalnya, adalah salah satu contoh TPA ideal bagi mereka. Identifikasi TPA yang maju bagi mereka adalah murid-murid atau santrinya mengenakan pakaian seragam, gurunya selalu hadir, dan memiliki marawis --sebagaimana diungkapkan oleh Nur di atas tadi. Kuatnya pandangan akan pentingnya pakaian seragam sebagai ‘lambang kemajuan’ suatu TPA, akhirnya membuat mereka bersepakat menyanggupi untuk menyisakan sebagian penghasilan mereka untuk 1Ngariung adalah istilah bahasa Sunda (=berkumpul) yang dalam konteks penelitian ini dimaknai sebagai forum diskusi antarwarga. Istilah ini menjadi istilah lokal di antara para pemulung di Pondok Labu, karena memang hampir 90% mereka adalah kaum urban yang berasal dari wilayah Karawang, Purwakarta, Cianjur dan sekitarnya, di mana bahasa keseharian yang mereka pergunakan adalah bahasa Sunda. 159

GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial membeli seragam bagi anak-anak dengan cara mencicil. Upaya ini menjadi salah satu cara agar TPA di lingkungan mereka tidak berbeda dengan TPA-TPA lain yang mereka anggap maju. Namun, semangat itu pun sedikit demi sedikit memudar ketika ada salah seorang warga melontarkan pertanyaan: “Apa kalau sudah pakai seragam mengajinya pasti pintar? Boro-boro buat nyicil seragam, hutang saja kagak kebayar- bayar.” (Catatan Lapangan, 04/05/2007) Lontaran spontan itulah yang meruntuhkan ‘kesadaran palsu’ -- meminjam istilah Baudrillard yang menyebutnya sebagai ‘kenyataan palsu’ (false reality)-- dalam memaknai kemajuan suatu lembaga pendidikan dengan lambang-lambang bersifat fisik semata. Maka, kesadaran semu mereka tentang pentingnya pakaian seragam sebagai tanda kemajuan TPA pun memudar. Proses perubahan cara pandang inilah --dari ‘kesadaran palsu’ (false consciousness) ke ‘kesadaran sejati’ (truth consciousness)-- yang melahirkan adanya kesepakatan penyelenggaraan TPA lebih pada substansi, seperti pelibatan komunitas yang sudah mampu mengaji menjadi badal (guru pengganti) saat guru tidak hadir, bersama-sama menciptakan taman baca untuk mendorong peningkatan minat baca anak --meskipun hal itu berarti harus mengurangi berat timbangan setoran kertas mereka yang dapat menjadi rupiah-- dan membentuk kelompok marawis sebagai tanda diri baru mereka agar tetap tidak terus-menerus dipandang sebelah mata oleh masyarakat luar. Penolakan sebagai ‘Yang Lain’ Keinginan mendapatkan tempat di masyarakat luar merupakan bagian penting bagi komunitas pemulung untuk menekan perasaan sebagai liyan, ‘yang lain’ (the others) yang selama ini membayang-bayangi mereka. Penempatan diri mereka sebagai ‘yang lain’ ini terlihat dalam berbagai ungkapan wrga saat ngariung di malam hari. Selama ini, mereka merasa sebagai warga yang berbeda dengan orang-orang di sekitarnya. Perasaan semacam itu mereka tengarai dari beberapa pertanda, seperti tidak dilibatkannya mereka dalam kegiatan warga pada tingkat Rukun Tetangga (RT), pengajian warga sekitar yang hanya diperuntukkan untuk orang kampung minus mereka, dan tidak diizinkannya mereka mendaftar sebagai penduduk tetap --sekalipun di antara mereka sudah ada yang menghuni kawasan tersebut selama 23 tahunm di mana tiga turunannya masih berada di tempat yang sama. Khusus pada kasus terakhir, menurut pengakuan mereka, berdampak lanjut pada tertutupnya akses mereka untuk mendapatkan berbagai 160

BAGIAN-I, Memahami Masalah bantuan pemerintah maupun subsidi yang penyalurannya melalui pihak kelurahan, seperti jatah ‘beras miskin’, dan sebagainya. “Kumaha’ nya’... (Bagaimana, ya?), kalau tidak punya KTP ya tidak bisa dapat apa-apa. Pernah tuh ada bagi beras gratis, tapi ya kita tidak bisa dapat karena harus nunjukin KTP dulu.’ (Catatan Lapangan, 14/04/2007) Tidak bisa dipungkiri bahwa memang sebagian masyarakat kita masih memandang profesi pemulung sebagai profesi yang memiliki status nomor sepatu. Bahkan tidak jarang di antara mereka yang tidak menghendaki kehadiran para pembawa gerobak, karung dan ganco (alat mengaruk-ngaruk dan mengait sampah) ini memasuki lingkungan mereka. Penolakan masyarakat atas kehadiran mereka terlihat dengan adanya tulisan-tulisan seperti ‘Pemulung Dilarang Masuk’ atau ‘Kawasan Bebas Pemulung’ di kawasan-kawasan pemukiman sekitar. Salah satu warga sekitar kawasan itu membenarkannya: “Ya, gimana ya... memang ada yang niat untuk cari barang-barang bekas, tapi kadang juga ada yang pakaian di jemuran ikut diangkut” (Catatan Lapangan, 04/05/2007) Pernyataan ini menunjukkan adanya stigma masyarakat terhadap komunitas pemulung dan adanya kecurigaan terhadap komunitas ini. Stereotipa semacam itulah yang menjadi salah satu sebab Komunitas Pemulung Pondok Labu merasa sebagai ‘orang lain’. Jelas, hal itu menunjukkan adanya relasi yang timpang antara komunitas pemulung dengan masyarakat selain pemulung di sekitar mereka. Relasi ini juga mengakibatkan oposisi biner yang memandang komunitas pemulung sebagai kelompok yang buruk dan komunitas bukan pemulung adalah baik. Oposisi duaan seperti inilah yang berimplikasi pada hilangnya rasa percaya diri mereka sebagai manusia yang otonom dan memiliki hak-hak yang sama dengan manusia yang lain. Pemaknaan diri sebagai ‘yang lain’ ini juga mengakibatkan pemaknaan komunitas atas segala tindak kekerasan, seperti pelecehan dan tuduhan pencurian yang kerap mereka alami, tidak dianggap sebagai suatu kekerasan. Pemaknaan sebagai liyan itu akhirnya juga memunculkan perlawanan dari mereka. Ada upaya ingin berunding untuk mendapatkan ‘tempat’ yang sama di mata masyarakat. Salah satu cara yang digunakan adalah dengan membangun satu lembaga pendidikan non-formal di lingkungan mereka sendiri yang dapat diakui oleh masyarakat luar. Tindakan ini merupakan strategi kontestasi komunitas pemulung itu melawan oposisi biner yang menempatkan mereka sebagai kelompok liyan, subordinat. Kemajuan lembaga pendidikan agama non-formal yang mereka sebut TPA itu mereka anggap sedikit banyak dapat 161

GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial menghapus stigma yang selama ini dilekatkan kepada mereka --seperti cap ‘bodoh’, ‘pencuri’, ‘pengutil’, dan sebagainya. Melalui TPA, mereka ingin membuktikan bahwa mereka adalah entitas yang ‘ada’ dan menjadi bagian masyarakat Pondok Labu secara keseluruhan. Bukti adanya counter stereotipe ini muncul dari ungkapan Bu Sanah, istri Pak Dadang, salah seorang warga pemulung itu: “Kita yang tua ini mana bisa baca, tapi anak kita sekarang pada pinter. Tuh si Nur bisa ngajarin ngaji anak-anak. Anak saya juga kerja di mall, jaga pulsa.” (Catatan Lapangan, 04/05/2007). Atau, ucapan Pak Niman, warga lainnya: “Kita mah biasa dimarahi, dikiranya kita ambil macam-macam. Diusir SATPAM dah... gitu, itu mah biasa, makanan tiap hari... Padahal mereka tidak tahu, anak kita ada yang udah bisa sekolah sampe SMP, bisa baca, bisa macam-macam. Sama kayak anak yang lain di sana ‘kan?” (Catatan Lapangan, 07/05/2007) Ungkapan di atas merupakan bentuk perlawanan atas stereotipa dan subordinasi masyarakat terhadap mereka. Keinginan kuat komunitas itu untuk mengadakan pengajian ibu-ibu dan bapak-bapak yang mereka sebut yasinan juga merupakan pembuktian diri mereka kepada masyarakat luar bahwa mereka ada, bahwa mereka juga bisa melakukan hal yang tidak berbeda dengan apa yang dilakukan orang luar, dan bahwa mereka ingin diakui sebagai komunitas yang sama dengan komunitas yang ada di luar. Perilaku ini bisa dikategorikan sebagai bentuk carnavalism yang disebut Mikhail Bakhtin sebagai ekspresi perlawanan kelas tertindas pada struktur masyarakat yang lebih kuat.2 Dengan kata lain, perasaan sebagai ‘yang lain’ di kalangan Komunitas Pemulung Pondok Labu, pada akhirnya, telah menggerakkan mereka untuk merebut kembali hak mereka sebagai entitas yang otonom. Terlepas apakah motivasi tersebut hanya merupakan tanggapan emosional, namun setidaknya mereka telah berhasil mengemukakan perasaan mereka sebagai other menjadi self. Sekalipun mungkin kategori self yang sedang mereka bangun masih dianggap oleh orang luar yang selama ini menganggap mereka other tidak lebih sebagai the imitation of self. Namun yang perlu digarisbawahi di sini, bahwa dalam konteks ini, komunitas pemulung itu telah melakukan suatu counter 2 Yasraf Amir Piliang, Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan, (Yogyakarta: Jalasutra, 2004) 162

BAGIAN-I, Memahami Masalah stereotype --kalau boleh merubah sedikit konsep counter hegemony nya Antonio Gramcsi3-- kepada masyarakat luas dengan menggunakan TPA sebagai instrumennya. Relasi Kuasa dalam Perebutan Identitas Keinginan besar warga Komunitas Pemulung Pondok Labu itu untuk menjadikan TPA sebagai instrumen dalam perebutan identitas, mengalami hambatan karena adanya ketimpangan relasi kuasa antara sang Bos (Pak Udin) dengan mereka. Mereka yang berprakarsa dan telah membuat kesepakatan bersama itu tidak berani langsung melaksanakannya sebelum membicarakannya dengan Bos. Ketika tidak ada kesesuaian antara keinginan Bos dengan kehendak warga umumnya untuk berubah, maka perubahan pun hanya sebatas wacana yang tidak melahirkan tindakan nyata. Hal semacam ini nampak jelas dengan tidak terlibatnya Bos dalam wadah ngariung yang sering mereka gelar. Ketidakterlibatan itu sebenarnya menunjukkan relasi yang berbeda antara Bos dengan komunitasnya, sehingga tradisi ‘mohon restu pemimpin’ menjadi semacam ritus jika melakukan sesuatu. Jarak yang terbentuk antara Bos dengan warganya ini menjadikan mereka memiliki dua relasi yang tidak setara, yaitu relasi pemilik kuasa dan yang dikuasai. Contoh nyata tradisi ‘mohon restu’ ini bisa dilihat dari kasus pembahasan warga tentang strategi menjaga keberlangsungan TPA. Ketika hampir seluruh warga menyepakati beberapa nama yang akan ditunjuk sebagai guru pengganti untuk TPA, maka keputusan ngariung tersebut hanya bersifat keputusan sementara sebelum keesokan harinya masih perlu mereka sampaikan terlebih dahulu kepada Bos. Sekalipun akhirnya Bos juga mendukung keinginan mereka, tetapi pernyataan persetujuan Bos yang baru muncul setelah dialog dalam ngariung ini menunjukkan ketergantungan mereka kepada sang pemimpin, suatu relasi yang tidak setara. Di sinilah kiranya tradisi ‘mohon restu’ diciptakan untuk pengukuhan kuasa Bos terhadap anak buahnya. Jika dilihat dari lensa konsep charisma and rutinity nya Max Weber,4 maka ketidakhadiran Bos dalam rutinitas ngariung berujung pada munculnya kharisma Bos yang membentuk tradisi ‘mohon restu’ dari warga sebagai bentuk pengakuan adanya relasi di antara mereka yang memang tidak setara. 3Roger Simon, Gagasan-gagasan Politik Gramsci; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004); cetakan-4. 163

GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial Penguasaan Bos atas warganya memang tidak terlihat langsung dalam keseharian. Bahkan, dalam kasus memelihara keberlanjutan TPA, Bos sering kali memiliki peran penting karena kerap menghubungi beberapa relawan yang berhalangan hadir. Sebagaimana juga saat warga berkeinginan untuk memiliki marawis, Bos tidak hanya sebagai pelaku langsung dan aktif dalam perundingan dengan beberapa pihak pendana, namun juga menjadi pemrakarsa yang mampu mengajak warga berfikir untuk menyediakan lemari penyimpan peralatan marawis dan buku-buku yang akhirnya berfungsi sebagai taman baca mini bagi anak-anak mereka. Selain itu, jamuan bagi para pengunjung ke TPA juga ditanggung biayanya sepenuhnya oleh Bos. Rutinitas semacam inilah yang juga secara tidak langsung membangun kharisma Bos di hadapan warganya, sekalipun dalam hal lain di luar persoalan TPA itu terlihat jelas adanya relasi kuasa yang sangat kuat di antara mereka. Dalam kasus penetapan harga barang setoran, misalnya, warga tinggal menerima patokan harga yang ditentukan Bos, meskipun mereka mengetahui bahwa harga yang ditetapkan Bos sebenarnya jauh lebih rendah dari harga pasaran pada umumnya. Sekalipun demikian, warga tetap menerima patokan harga rendah tersebut karena pertimbangan berbagai hal, antara lain, demi ‘menjaga suasana kekeluargaan’ antar mereka selama ini yang --harus diakui-- memang sangat kuat dan menonjol pada Komunitas Pemulung Pondok Labu ini dibanding komunitas pemulung lainnya. Pertimbangan lain adalah keberadaan mushalla yang memberikan sarana pendidikan agama bagi anaknya secara gratis. Salah seorang warga mengakui terus-terang: “Gimana ya... saya sudah nggak bisa ngaji, masa’ anak saya juga kayak saya. Kalau di tempat lain, gak ada ngajinya gini. Jadi mesti bayar biar anak bisa ngaji, tapi di sini ‘kan enggak gitu. Jadi namanya orang tua tenang, ada yang ngajarin ngaji. Soalnya saya tidak bisa ngajarin. Baca aja tidak bisa!” (Catatan Lapangan, 04/05/2007) Pendidikan agama secara cuma-cuma yang disediakan oleh mushalla ini memang memfasilitasi pemenuhan hak belajar anak-anak mereka, 4 David Jary dan Julia Jary: Collins: Dictionary of Sociology, (London: Helper Collins Publisher, 1991) 164

BAGIAN-I, Memahami Masalah sehingga bertahannya mereka dari himpitan harga barang jualan mereka --yang dipatok rendah oleh Bos-- tidak terlalu penting untuk dipersoalkan. Secara sederhana, betapa pentingnya mushalla dan TPA itu sebagai piranti perlawanan terhadap stereotipa atas mereka, dapat digambarkan sebagai berikut: BAGAN-5.1: Negosiasi Identitas Komunitas Pemulung Pondok Labu STEREOTIPA Pemulung RELASI sebagai TIMPANG liyan (the other) OPOSISI BINAR Pemulung = buruk Bukan Pemulung = Baik NEGOSIASI IDENTITAS Mushalla sebagai instrumen TPA Yasinan Marawis COUNTER STEREOTYPE Perubahan ‘Other’ menjadi ‘Self’ 165

GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial Desublimasi Represif dan Asuransi Sosial Dengan adanya relasi kuasa seperti digambarkan di atas, muncul satu pertanyaan kritis: apakah yang telah terjadi pada Komunitas Pemulung Pondok Labu itu merupakan suatu desublimasi represif ataukah merupakan upaya untuk mempertahankan adanya ‘jaminan rasa aman’ (asuransi) secara sosial (social insurance)? Hal ini sebenarnya tidak secara langsung berkaitan dengan keberadaan TPA yang kemudian mewujud dalam suatu pola-pola relasi yang tidak sederhana lagi. Namun, pembahasan ini penting sebagai suatu refleksi lebih dalam dari berbagai relasi rumit tersebut. Berbicara tentang desublimasi represif, maka yang dimaksud di sini adalah konsep yang dimunculkan oleh Herbert Marcuse tentang kondisi subjek atau komunitas yang merasa senang ditindas dan justru merasa tidak tertekan dengan penguasaan atas diri mereka5. Tentu ruang ini bukan sebagai meja hijau yang menentukan kedua pilihan tersebut, atau bahkan ada pilihan lain yang mungkin lebih tepat untuk menjelaskan konteks relasi-relasi kuasa yang ada di Komunitas Pemulung Pondok Labu ini. Apalagi data yang lebih lengkap tentang masalah ini memang masih perlu digali lebih dalam.6 Namun setidaknya, ada beberapa hal yang bisa dijadikan sebagai materi pengantar diskusi tentang kemungkinan-kemungkian terjadinya bentuk perilaku sosial di suatu komunitas marginal tertentu seperti para pemulung di Pondok Labu itu. 5Yasraf Amir Piliang, Transpolitika: Dinamika Politik dalam Era Virtualitas, (Yagyakarta: Jalasutra, 2006) 6 Misalnya data tentang pendapatan rata-rata setiap keluarga dalam sebulan dan berapa jumlah pengeluaran yang harus mereka keluarkan. Demikian pula data tentang sumber-sumber penghasilan lain di luar memulung yang menjadi tumpuan hidup sebuah keluarga, dan juga beberapa data lain yang berkaitan dengan tingkat kesejahteraan hidup. 166

BAGIAN-I, Memahami Masalah Telah disebutkan pada pembahasan terdahulu bahwa warga disana mendapatkan penghasilan uatamanya dengan patokan harga beli yang jauh di bawah harga pasaran. Bukan berarti mereka tidak tahu tentang harga pasar yang ada di luar, namun mereka rela untuk tetap bertahan nimbang (menjual hasil pemulungannya) ke sang Bos, Pak Udin, dengan beberapa alasan. Dengan kata lain, mereka melakukan transaksi jual-beli hasil pungutannya tersebut dengan ‘kesadaran’ bahwa harga tersebut sebenarnya terlalu murah. Kesadaran untuk menjual barang dengan harga lebih murah tentu memerlukan beberapa alasan yang kuat, meski cukup rumit. Ini terutama menyangkut alasan keberlangsungan hidup sehari-hari. Beberapa warga disana menyebutkan bahwa penerimaan harga setoran yang jauh di bawah harga pasar tersebut masih lebih baik, karena adanya beberapa ‘kompensasi’ yang mereka dapatkan dari Bos. Kompensasi tersebut di antaranya adalah tidak adanya keharusan nyari’ setiap hari sebagaimana yang diberlakukan para ‘Bos’ di komunitas pemulung lainnya. Mereka bebas tinggal di lahan yang telah disewa selama 15 tahun ke depan dan telah dibeli sebagian oleh Pak Udin itu, asalkan selama dalam seminggu pernah nimbang. Kemudahan inilah yang tak ada di komunitas pemulung lain, di mana ketika seorang warga kedapatan tidak mulung, maka Bos di tempat itu akan mengusirnya dari pemukiman. Ini diakui oleh Pak Brewok: “Di sini enak, kita bisa nyari’ kapan aja. Nggak nyari juga gak papa. Mau nyari’ tiap hari atau nggak nyari tiap hari gak papa. Tapi kalau nggak nyari’ ya dia nggak bisa makan, gitu saja.” (Catatan Lapangan, 19/05/ 2007). Atau, penegasan dari Bu Lama, istri Pak Brewok: “Bos ini baik... nggak maksain kita. Beda dengan Bos di sana, kalau gak nyari’ ya diusir. Kalau seminggu nggak setor, ya diusir, apalagi kalo setornya dikit. Tapi Bos disini enggak gitu. Mau nyari tiap hari gak papa, mau nggak nyari dulu ya gak papa. Tapi nggak boleh nyari’ malam. (Catatan Lapangan, 05/05/2007). Bentuk kompensasi lain yang didapatkan warga adalah perhatian yang diberikan Bos kepada warga yang sakit atau sedang dalam kesulitan keuangan. Bos memberikan bantuan dana, meskipun tidak selalu seluruh jumlah yang dibutuhkan. Selain bantuan keuangan, Bos juga menunjukkan perhatiannya dalam bentuk mengantar warga yang sakit ke rumah sakit. Perhatian demikian inilah yang tidak mereka temukan di komunitas lain sebelum mereka tinggal di komunitas Bos Udin. Sehingga, eksploitasi harga yang dilakukan Bos dianggap bukan tindakan pemiskinan. Bahkan, kebanyakan mereka adalah yang 167

GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial bertahan sudah sampai tiga generasi tinggal di komunitas tersebut. Bu Lama memberikan kesaksiannya lebih lanjut: “Kalo kita sakit, Bos mau tuh nganterin pake’ mobil. Nanya, punya duit gak? Sukanya bantuin kasi dua puluh lima ribu atau berapa. Kan ditanya, habisnya berapa, punya duit kagak, gitu...” (Catatan Lapangan, 05/05/2007). Selain kompensasi tersebut, Bos juga memberikan kebebasan kepada anggota keluarga lain --yang tidak berkeliling mencari barang bekas-- untuk bekerja di berbagai tempat. Bos hanya mensyaratkan salah satu anggota keluarga ada yang nyari’. Bos juga memberikan kesempatan komunitasnya untuk mendapatkan penghasilan tambahan, yaitu mencuci kantong plastik yang didapatkan dari hasil nyari’. Hasil dari kegiatan yang sebagian besarnya dikerjakan oleh kaum perempuan ini dapat langsung dijual ke pasar tanpa perlu melalui sang Bos. Biasanya mereka mencuci kantong plastik tersebut dan dibilas di Kali Grogol yang berada di samping pemukiman mereka. Hasilnya mereka rasa cukup membantu menutupi kebutuhan sehari-hari yang selalu terlilit hutang. Dan, TPA gratis bagi anak-anak mereka di komunitas Pak Udin ini membuat mereka ‘merasa sama’ dengan masyarakat lainnya. Semua itulah yang diakui tidak ada di komunias pemulung yang lain, sehingga mereka rela hanya menerima uang setoran yang berada jauh di bawah harga pasar. Rasa nyaman untuk tetap tinggal di suatu komunitas dengan berbagai sarana yang dianggap ‘istimewa’ --sekalipun harus kehilangan sebagian hak material-- semacam itulah yang dimaksud desublimasi represif. Dari satu sudut pandang lainnnya lagi, bisa juga beberapa kompensasi yang diberikan Bos kepada warganya itu sebagai bentuk ‘asuransi sosial’. Sebagaimana telah diungkapkan di atas, hal ini didasarkan pada beberapa data yang dirasa masih perlu digali lebih dalam lagi. Dengan kata lain, munculnya analisis tentang asuransi sosial ini sebenarnya didasarkan pada kenyataan bahwa Bos memberikan bantuan keuangan juga ketika ada warganya sakit dan harus dirawat di rumah sakit. Dalam beberapa kasus lain, Bos juga menanggung pembayaran ‘uang sekolah’ (SPP, Sumbangan Pokok Pendidikan) dan uang jajan kepada anak-anak mereka. Maka, secara garis-besar, dapat dikatakan bahwa ikhtiar swadaya pendidikan gratis anak-anak pemulung di Pondok Labu itu dijadikan media pengukuhan jati-diri, tetapi sekaligus juga dimanfaatkan oleh pemimpin mereka sebagai community apparatus untuk menciptakan dan mempertahankan kharisma dan kuasanya. Ringkasan analisa ini dapat dapat digambarkan sebagai berikut: 168

BAGIAN-I, Memahami Masalah BAGAN-5.2: Keterkaitan Para Pelaku dalam Pendidikan Anak-anak Komunitas Pemulung Pondok Labu ‘Bos’ Masyarakat luar Community Pendidikan Pengukuhan apparatus Anak-anak Jati-diri Pemulung Proses penguasaan & Proses negosiasi interpersonal penciptaan kharisma Nilai ekonomi Warga (komunitas) Sesungguhnya, tidak ada yang ‘benar-benar baru’ dalam hal ini. Pola- pola relasi yang berlangsung di Komunitas Pemulung Pondok Labu itu bukanlah sesuatu yang khas mereka, bahkan merupakan gejala yang jamak di komunitas-komunitas marginal di banyak tempat lainnya. Apa yang menarik adalah bahwa mereka menggunakan pendidikan anak-anak mereka sebagai piranti untuk meneguhkan jati-diri di mata 169

GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial masyarakat luar. Apakah ini berarti bahwa penddikan memang masih merupakan sarana yang benar-benar dapat menjamin tercapainya pengakuan atas mereka? Di tengah krisis pendidikan formal (persekolahan) saat ini --dan kealpaan pemerintah untuk memenuhi kewajibannya memberikan pendidikan dasar gratis kepada kelompok masyarakat marginal selama ini-- pertanyaan itu menjadi penting untuk dikaji lebih lanjut. ™ 170

BAGIAN-I, Memahami Masalah NAFSU NYEDEK, 6 TANAGA MIDEK Keberadaan Pesantren di Kawasan Pelacuran Saritem TATANG ASTARUDIN DUDANG GHOZALI * Warisan Panas Penjajah Saritem adalah salah satu kawasan pelacuran di Kota Bandung. Menurut Ingleson (1986) serta Jones dkk. (1995) keberadaan Saritem tidak terlepas dari sejarah diterapkannya undang-undang agraria oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1870. Penerapan undang- undang ini mengakibatkan terjadinya ekstensifikasi atau perluasan kawasan pertanian di Jawa Barat serta pembangunan industri gula di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Tahun 1884, jalan-jalan besar dan rel kereta api mulai dibangun di sepanjang pulau Jawa yang, pada awalnya, dimaksudkan untuk mendukung kelancaran pengiriman hasil panen dari daerah pertanian ke pabrik-pabrik pengolah. Kebijakan perluasan pertanian yang dilakukan serentak di pulau-pulau Jawa dan Sumatera ini memerlukan banyak tenaga kerja baru. Hal ini memungkinkan terjadinya migrasi besar-besaran dari satu daerah ke daerah lain. Setelah lelah dan penat bergulat di lahan-lahan pertanian atau di pabrik, para petani dan pekerja tersebut biasanya mengunjungi desa-desa sekitar untuk mencari hiburan, termasuk menyalurkan kebutuhan seksual mereka. *Anggota Tim PAR, UIN Sunan Gunung Jati, Bandung. Tulisan ini adalah ringkasan dari laporan lengkapnya yang ditulis bersama seluruh anggota tim (Nurrohman, Abdullah Syafii, Apeng Ruhendi, dan Asep Arifin). 171

GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial Pembangunan jalur kereta api yang menghubungkan kota-kota besar Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Solo, dan Surabaya, tidak hanya menumbuh-suburkan pelacuran di kota-kota besar tersebut, tetapi juga menyuburkan ‘bisnis lendir’ ini di sepanjang kota-kota kecil lainnya yang dilintasinya. Dinamika masing-masing kota yang dilalui jalur rel kereta api itu juga tumbuh. Kedatangan penumpang kereta api dan perubahan sosial yang diakibatkannya, berdampak pada meningkatnya permintaan akan layanan pelacuran. Salah satu buktinya adalah banyaknya kompleks pelacuran yang muncul di sekitar stasiun kereta api, antara lain, Planet Senen di Jakarta, Pasar Kembang di Yogyakarta dan, last but not least, kawasan Saritem di Bandung. PETA-6.1: Letak Kawasan Saritem di Tengah Kota Bandung, Jawa Barat INDONESIA PULAU JAWA KAWASAN PUSAT KOTA BANDUNG, JAWA BARAT Jakarta STASIUN rel kereta api Yogya-Surabaya PUSAT KA 172 TERMINAL KAWASAN BUS & TAKSI PERTOKOAN KAWASAN Museum INTI SARITEM Asia- Afrika Kantor KAWASAN Pos Pusat PERTOKOAN Mesjid ALUN- Agung ALUN lingkar kawasan pusat kehidupan malam

BAGIAN-I, Memahami Masalah Banyak versi yang menunjukkan asal mula nama Saritem. Ada yang mengatakan bahwa Saritem adalah nama seorang tukang jamu berkulit hitam manis yang bernama Sari. Versi lainnya menyebutkan, perempuan hitam manis itu adalah salah seorang pekerja seks komersial (PSK) disana bernama Nyi Sari. Ada juga yang menyebutkan, nama Saritem diambil dari nama seorang penjaga warung remang-remang yang nongkrong di pinggir jalan, sehingga jalan dari arah Gardujati, di sisi timur Stasiun Pusat Kereta Api Bandung, akhirnya dinamakan Jalan Saritem. Kawasan sekitarnya --yang sejak itu menjadi pangkalan banyak pekerja seks-- akhirnya juga dinamai Kompleks Saritem. Ada sebagian tokoh masyarakat yang menampik semua versi itu. Menurut mereka, tidak mungkin nama seorang ‘perempuan nakal’ dijadikan nama jalan atau tempat di Kota Bandung, meskipun nama itu dipakai untuk jalan menuju komplek lokalisasi pelacuran. Menurut mereka, Saritem bukanlah nama seorang perempuan nakal. Ia justru seorang perempuan baik-baik, seorang kaya yang berhasil menjalankan usahanya di kawasan tersebut. Terlepas dari semua kontroversi asal-usul nama Saritem tersebut, kenyataan kini, kawasan yang berada di Kelurahan Kebon Jeruk, Kecamatan Andir, Kota Bandung, tersebut adalah satu kawasan pelacuran terbesar di kota ini. Jumlah PSK di kawasan ini pernah mencapai angka 660 orang, terpusat di di RW 09 dan RW 07. Para PSK itu beroperasi mulai pukul 10:00 pagi hingga dini hari berikutnya. Mereka berasal dari Indramayu, Cirebon, Garut, Majalengka, Sukabumi, dan dari beberapa daerah lain ‘pinggiran’ Kota Bandung. Para PSK tersebut datang ke kawasan Saritem melalui berbagai cara dan proses yang cukup panjang. Ada beberapa PSK yang datang karena diajak oleh kerabat atau teman sekampung mereka yang sudah terlebih dahulu menjadi ‘warga Saritem’. Kehidupan ekonomi ‘para pendahulu’ mereka yang membaik setelah menjadi PSK, menjadi daya tarik tersendiri bagi ‘calon PSK’ potensial di pedesaan asal mereka. Para pendahulu terkadang dengan sengaja ‘manas-manasi’ gadis-gadis desa asalnya dengan berbagai lambang ‘kemewahan’ baru: perhiasan gemerlap, telepon genggam, dan berbagai alat elektronik. Cara itu ternyata cukup jitu, terlebih lagi di tengah himpitan ekonomi keluarga yang semakin berat dan godaan gaya hidup mewah yang bertubi-tubi menyambangi mereka melalui layar televisi setiap saat. Celakanya, keadaan ekonomi keluarga mereka yang serba kekurangan, tidak mungkin membiaya gaya hidup impian yang mahal itu. Himpitan ekonomi dan tuntutan mimpi gaya hidup tersebut memaksa mereka 173

GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial memutar otak mencari jalan keuar. Dan, satu-satunya modal yang mereka miliki hanyalah tubuh mereka. Beberapa PSK bahkan ada yang sengaja diantar langsung oleh orang tua mereka datang ke Saritem, dan kemudian dikunjungi secara berkala tetap. Usut punya usut, ternyata orang tua mereka itu terjerat utang kepada rentenir di desa. Celakanya, beberapa rentenir desa adalah kaki-tangan para germo yang memang sangat aktif berkeliaran ke desa-desa miskin. Sasaran mereka adalah orang tua atau suami yang yang miskin atau sedang mengalami kesulitan keuangan, atau yang memang sangat ‘mata duitan’. Banyak orang tua atau suami yang awalnya tidak sadar masuk dalam perangkap licik yang ditebar oleh kaki-tangan para germo itu, misalnya, mereka ditawari pinjaman uang dengan tata-cara mudah dan bunga rendah. Tanpa disadari, pinjaman tersebut semakin besar, diperparah oleh keadaan perekonomian desa yang tidak berkembang, selain kian memudarnya nilai-nilai sosial tradisional desa seperti sikap saling bantu, gotongroyong, guyub, dan agamis. Maka, mereka pun benar-benar terpojok dalam kesendirian menghadapi tekanan rentenir untuk segera melunasi utang-utangnya. Dalam keadaan seperti itu, banyak orang tua dan suami yang ‘gelap mata’, berbagai cara dilakukan untuk mendapatkan uang, dan satu- satunya ‘aset’ tersisa yang dapat mendatangkan uang adalah anak atau istri mereka sendiri. Ada juga PSK yang terdampar di kawasan Saritem karena ‘kecelakaan’, dibohongi dan diperkosa sang pacar. Akibat pergaulan bebas dan kurangnya pengendalian yang memadai dari keluarga, mereka terseret ke dalam arus pergaulan seks bebas yang berbuntut kehamilan. Dalam keadaan kalut dan putus-asa untuk menutupi aib dan menghindar dari cemoohan masyarakat sekitarnya, setelah melahirkan bayi, ia melarikan diri ke kota dan akhirnya terdampar di tempat sejenis Saritem, satu-satunya tempat yang selalu berkenan dan terbuka menerima perempuan-perempuan muda yang bernasib seperti mereka secara apa adanya. Para PSK di kawasan Saritem berumur antara 15 sampai 35 tahun. Tarif jasa mereka cukup beragam, mulai dari Rp 50.000 sampai Rp 150.000 per kencan. Tetapi paling banyak adalah yang bertarif Rp 75.000 Rp 100.000 per kencan. Penentuan tarif para PSK itu didasarkan pada kecantikan dan bentuk tubuh (terutama ukuran payudara dan pinggul). Para PSK ‘pendatang baru’ dan masih ‘gress’ (baca: muda), apalagi memiliki tubuh dan paras di atas rata-rata PSK lainnya, biasanya memasang tarif ‘papan atas’. Para calo dan germo 174

BAGIAN-I, Memahami Masalah juga dengan gencar mempromosikan PSK baru ini, dan itu berarti sang primadona harus siap meladeni tamu melebihi PSK lainnya, berkisar antara 2 sampai 4 tamu setiap malam. PSK yang oleh calo dan germo disebut ‘baru’ tersebut sebenarnya tidak selalu ‘benar-benar baru’, sebab ada juga PSK yang oleh para calo dan germo disebut baru sebenarnya adalah PSK pindahan dari lokalisasi lain --Jakarta, Batam, atau tempat lainnya. PSK itu memang ‘penghuni baru’ di Saritem, tetapi sudah memiliki ‘jam terbang’ cukup lama di tempat pelacuran di daerah lain. Untuk menjaga kebugaran tubuh, PSK di Saritem mengikuti kegiatan senam aerobik, setidaknya sekali seminggu. Mereka juga mengkonsumsi jamu-jamuan tradisional dan supplement tertentu. Secara rutin, para germo juga bekerjasama dengan organisasi relawan kesehatan melakukan pemeriksaan kesehatan dan memberikan suntikan tertentu yang, konon, untuk mencegah resiko tertular berbagai Penyakit Menular Seksual (PMS). Sistem pembagian (sharing) uang yang didapatkan oleh para PSK ditentukan oleh ‘rumus pasar’ yang disepakati dan dianut secara ‘aklamasi’ oleh Komunitas Saritem. Pihak yang mendapatkan bagian adalah PSK itu sendiri, sang germo, dan pihak penghubung. Namun demikian, sang germo adalah yang paling menentukan besarnya nilai pembagian di antara mereka. Sebagai contoh, seorang PSK bertarif Rp 50.000 hanya mendapatkan bagian sebesar Rp 19.000. Sisanya untuk sang germo sebesar Rp 20.000 dan pihak penghubung sebesar Rp 11.000. Adapun PSK bertarif Rp 100.000 hanya mendapatkan bagian sebesar Rp 37.000, sementara sang germo memperoleh Rp 57.000 dan pihak penghubung menerima Rp 26.000. Para germo dan PSK juga harus menyisihkan sebagian uangnya untuk petugas keamanan, pengurus RT/RW, dan organisasi pemuda setempat. Dengan alasan tertentu, para germo dan PSK itu enggan menyebutkan jumlah uang yang mereka keluarkan kepada beberapa pihak tersebut, namun satu sumber menyebut angka tidak kurang dari Rp 3.000.000 per bulan. Tentu saja, jumlah setoran yang harus mereka keluarkan juga tergantung jumlah PSK peliharaan yang dimiliki. Salah seorang pengurus RW di Saritem juga ada yang mengaku bahwa kas RW nya mendapatkan pemasukan rutin dari para PSK dan germo disana tidak kurang dari Rp 2.800.000 per bulan. Setidaknya tercatat ada 32 orang germo --sehari-hari disebut dengan singkatan ‘GM’-- di seluruh Kawasan Saritem. Para germo itu rata-rata berumur 40 tahun. Germo termuda berusia 27 tahun, sementara yang 175

GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial tertua berumur 60 tahun. Ada tiga kelompok jenis germo di kawasan ini: (1) yang memiliki PSK lengkap dengan kamar tidur sewa untuk kencan; (2) yang hanya memiliki PSK tanpa kamar sewa; dan (3) yang hanya memiliki kamar sewa. Jumlah PSK yang dipelihara oleh setiap germo juga cukup beragam. Ada germo yang hanya punya 1 orang PSK, dan ada yang sampai 25 orang. Germo yang memiliki kamar sewa, paling sedikit adalah 3 kamar dan terbanyak adalah 15 kamar. Kebanyakan para germo itu adalah pasangan suami-istri yang mengelola bisnis mereka ibarat ‘perusahaan keluarga’. Germo di Saritem ada yang berasal dari Indramayu, Cirebon, Majalengka, Garut, dan Bandung. Ada juga yang ‘warga keturunan’ (Cina). Tidak semua germo itu tinggal di Kawasan Saritem atau Kota Bandung. Ada yang tinggal di Jakarta, Surabaya, dan kota-kota lainnya lagi, yang menjalankan bisnisnya dari jarak jauh. Sekali-kali mereka datang menemui orang-orang kepercayaannya di Saritem. Para germo itu ada yang memang menjalani pekerjaan tersebut sebagai mata pencaharian utamanya, ada juga yang menjadikannya hanya sebagai bisnis sampingan, terutama germo yang hanya menyewakan kamar. Pihak penting lainnya di Kawasan Saritem adalah para ‘calo’ atau penghubung --sehari-hari disebut dengan singkatan ‘PHB’. Para ustadz di Pesantren Dar al-Taubah yang terletak di kawasan itu juga, secara berkelakar menyebut mereka dengan istilah ‘al-Muwassholah’. Pada saat-saat ramai, terutama pada malam minggu, jumlah calo diperkirakan mencapai 200 orang. Mereka umumnya berusia muda, namun ada juga yang sudah berusia 70an tahun. Para calo itu berasal dari Kawasan Saritem dan sekitarnya. Tidak sedikit pula adalah para pemuda perantauan dari Jawa Tengah dan Timur. Mereka umumnya adalah para pengangguran, menjadi calo adalah pekerjaan satu- satunya, karena memang tidak punya pekerjaan lain. Tetapi ada juga calo ‘paruh waktu’ yang pada siang harinya melakukan pekerjaan lain. Para calo itu biasanya bergerombol di sekitar gang atau jalan masuk ke Kawasan Saritem. Mereka akan berhamburan mendekati para tamu yang datang dan mempromosikan para PSK. Mereka dengan senang hati akan mengajak para tamu yang datang untuk berkeliling melihat sediaan PSK yang ‘mejeng’ dalam rumah-rumah bordir sepanjang lorong-lorong sempit Saritem. Ibarat menonton ikan dalam aquarium, para PSK yang berjajar itu dapat terlihat jelas dari balik kaca. Jika tamu sudah memilih salah seorang PSK, sang tamu akan diantar menuju kamar bertarif Rp 10.000 - 15.000. Dalam hitungan menit di ruang tunggu, PSK yang telah dipilihnya tadi sudah siap berada di depan 176

BAGIAN-I, Memahami Masalah AKAR MASALAHNYA TETAP sang tamu, dan cerita selanjutnya... terserah Asep Tora (34) anda! Para tamu tak ‘Koordinator Calo’ Saritem perlu heran jika PSK yang mereka booking “Saya terpaksa menjalani pekerjaan ini, akan meminta karena enggak ada pekerjaan lain. Apalagi sebungkus rokok, jaman sekarang nyari pekerjaan susah. sebotol minuman Mayoritas pemuda di sini tingkat ringan, dan satu pendidikannya juga enggak tinggi. Paling kondom! Rupanya, tinggi SMA. Apalagi pengangguran di luar rokok yang mereka Saritem juga masih banyak. Makin sulitlah minta dari para tamu mencari pekerjaan. Tapi bukan berarti kami adalah bagian dari senang melakukan pekerjaan ini. Semua ‘strategi menambah pekerjaan sudah kami coba tapi selalu gagal. penghasilan’ mereka, Jadi, apa yang kami lakukan bukan semata- karena batang-batang mata mempertahankan kemaksiatan di rokok yang tersisa Saritem. Kami hanya mempertahankan tersebut nantinya keberlangsungan hidup kami. Kami hanya mereka jual kembali rakyat kecil, jadi tolong dipikirkan juga nasib kepada para pengecer kami. Pemuda di Saritem jumlahnya banyak. disana. Yang nganggur dan akhirnya berkecimpung jadi calo itu sangat banyak. Jadi, tolonglah Tidak ditemukan kalau mau ditutup, kami-kami ini dicarikan angka pasti berapa pekerjaan yang pas dan sesuai aturan, termasuk aturan agama” tamu yang datang ke kawasan Saritem setiap malamnya, namun dengan melakukan sidik-silang (cross sectional) dari para PSK disana --yang mengaku menerima tamu rata-rata 2-4 orang setiap malam-- jika dikalikan dengan jumlah seluruh PSK yang ada, maka setiap malam diperkirakan tidak kurang dari 600 - 1.200 tamu yang datang menyalurkan hasrat seksualnya di Kawasan Saritem. Berapa uang yang beredar disana setiap malamnya? Jika dihitung kasar dari rata-rata jumlah tamu setiap malam, dan setiap transaksi yang selalu disertai sebungkus rokok dan dua botol minuman ringan, maka setiap malam akan terjual 600-1.200 bungkus rokok, 1.200-2.400 teh botol, maka jumlah total nilai transaksi yang terjadi adalah Rp 45 - 120 juta per malam. Jumlah tersebut belum termasuk uang sewa kamar yang setiap malam rata-rata adalah Rp 6 - 12 juta. 177

GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial Kawasan Saritem & Masyarakat Sekitarnya Permasalahan di Kawasan Saritem tidak jauh berbeda dengan di kawasan permukiman kumuh lainnya di Kota Bandung atau kota-kota lain: kemiskinan, pengangguran, kesenjangan pelayanan publik, akses kepemilikan rumah, mutu lingkungan hidup yang buruk, dan angka kriminalitas yang menonjol. Tentu saja, warga di Saritem juga sangat rentan terhadap penyakit menular seksual dan gangguan kesehatan reproduksi. Resiko penyakit menular seksual yang dihadapi para PSK sangat besar, mengingat mereka melakukan hubungan seks dengan berbagai tamu, dan tamu-tamu juga dipastikan tidak hanya melakukan hubungan seksual dengan satu pekerja seks saja. Tentu saja resiko yang nisbi sama akan dihadapi juga oleh warga lain di kawasan itu. Sub Dinas Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL), Dinas Kesehatan Kota Bandung, mencatat jumlah penderita HIV/AIDS di kota ini pada ---antara Januari 1991 hingga Februari 2007-- sebanyak 1.080 orang, terdiri dari 605 orang pengidap HIV dan 475 orang pengidap AIDS. Data itu juga menunjukkan kecenderungan meningkatnya penularan HIV/AIDS melalui hubungan heteroseksual. Jika sebelumnya penularan HIV/AIDS terbanyak adalah di kalangan para pengguna jarum suntik atau IDU (injection drug user), kini penularannya melalui pelaku heteroseksual juga meningkat. Itu berarti bahwa kawasan pelacuran seperti Saritem menjadi pusat penularan yang layak diwaspadai. Sejarah panjang pelacuran di Kawasan Saritem seakan telah melahirkan semacam disfungsi kendali sosial. ‘Manfaat’ pelacuran telah menciptakan ‘toleransi’ terhadap keberadaannya. Semakin besar manfaat pelacuran yang dirasakan, semakin toleran orang terhadapnya. Disfungsi kendali sosial tersebut semakin diperkuat oleh pendapat umum --yang sengaja dihembuskan oleh para germo dan kaki-tangan nya-- bahwa pelacuran tidak mengganggu masyarakat sekitar. Di Kawasan Saritem, bahkan berkembang keyakinan bahwa dengan adanya kegiatan pelacuran, kawasan itu menjadi aman, karena terus terjaga dan tidak pernah tidur selama 24 jam setiap hari. Pendapat umum lainnya yang berkembang di kawasan ini --terutama menghadapi tuntutan yang kian gencar untuk menutup kawasan tersebut-- adalah ‘alasan klasik’ soal ekonomi. Tuntutan menutup Kawasan Saritem selalu dibenturkan dengan permasalahan ‘asap dapur’ sekitar 4.000 orang yang selama ini menggantungkan hidupnya pada bisnis pelacuran disana. “Pelacuran”, kata mereka, “hanyalah 178

BAGIAN-I, Memahami Masalah satu upaya mempertahankan hidup bagi mereka yang bermasalah 12% secara ekonomi”. “Tidak Salah satu hasil survei nyaman” di kawasan ini 19% beberapa waktu yang lalu menunjukkan “Nyaman” bahwa 69% warga 69% Kawasan Saritem dan sekitarnya menyatakan “Biasa-biasa saja” merasa ‘biasa-biasa saja’ tinggal disana; sementara 60% mengaku hubungan GRAFIK-6.1: Perasaan mereka dengan para Tinggal di Kawasan Saritem PSK disana juga ‘biasa- biasa’ saja. Seperti masyarakat lainnya, para PSK berinteraksi dengan masyarakat Kawasan Saritem dan sekitarnya. Beberapa orang ibu rumah tangga kadang membiarkan atau menitipkan anak- anak dan bayinya 7% bercanda dan bemain dengan para PSK. “Tidak 12% baik” Beberapa hal itulah, “Kurang antara lain, yang dipastikan memberi baik” andil cukup penting 60% 21% terhadap langgengnya praktek pelacuran di “Biasa-biasa saja” “Baik” kawasan ini. Pada satu sisi, sikap permissif sebagian warga masyarakat Kawasan Saritem itu disebabkan GRAFIK-6.2: Hubungan karena faktor ekonomi, dengan Penghuni Saritem karena tidak sedikit warga masyarakat yang 179

GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial menggantungkan hidup mereka --langsung maupun tak langsung-- dari kehadiran bisnis pelacuran tersebut, mulai dari yang bekerja sebagai germo, calo, kasir-kasir loket dan warung, petugas kebersihan kamar, sampai petugas keamanan, pedagang kelontongan, tukang warung, tukang ojeg, sopir taksi, dan sebagainya. Dengan kata lain, ada semacam hubungan ‘imbal-balik yang saling menguntungkan’ antara para PSK, para germo dan calo mereka, dengan warga lain setempat. Pada sisi lain, sikap permissif tersebut adalah akibat adanya perubahan norma dan nilai yang berkembang di kalangan warga setempat dan juga di kalangan masyarakat luas pada umumnya. ‘Tempat Pertobatan’ Ada hal menarik dan mungkin unik di Kawasan Saritem ini. Di dalam kawasan bisnis seks komersial itu, terdapat satu pondok pesantren, lembaga pendidikan keagamaan tradisional Islam yang khas itu. Sejak awal pendiriannya, pesantren ini memang dimaksudkan untuk mengurangi praktik pelacuran di Kota Bandung yang berpusat di Saritem, karena kawasan yang sudah sekian lama dikenal sebagai tempat transaksi seks tersebut, seolah tidak terjamah oleh maraknya berbagai bentuk dan jenis kegiatan keagamaan di Kota Bandung. Ada satu kelakar di antara para pendirinya bahwa pesantren ini akan menjadikan Kawasan Saritem dari ‘kawasan haram jadah’ menjadi ‘kawasan yang penuh hamparan sajadah’. Gelombang gerakan reformasi yang menumbangkan rezim Soeharto pada tahun 1998, telah ikut menumbuhkan semangat baru bagi masyarakat Kota Bandung untuk melakukan penataan di segala bidang, termasuk ‘penataan ulang’ Kawasan Saritem. Sebagian masyarakat yang semula tidak berani bersuara --karena adanya backing yang begitu kuat dari beberapa oknum penguasa yang mempertahankan keberadaan Kawasan Saritem-- mulai berani menyuarakan tuntutan mereka. Pemerintah daerah mulai dibanjiri protes dari masyarakat yang menginginkan agar pemerintah tidak membiarkan berlangsungnya praktek maksiat seperti perjudian dan pelacuran di Kota Bandung. Tanggapan pemerintah selama ini --antara lain, pernah menutup kawasan itu dan berkali-kali melakukan ‘pembersihan’ menangkapi para PSK di Saritem-- ternyata tetap saja tidak mampu menyelesaikan masalah. Sebab, tak lama setelahnya, muncul lagi pendatang-pendatang baru di lokasi yang seolah-olah sudah menjadi habitat mereka itu. Kejadian yang terus berulang itu 180

BAGIAN-I, Memahami Masalah membuat frustasi, lalu pemerintah daerah pun meminta saran dan masukan dari para ulama pengasuh pondok-pondok pesantren yang ada di Kota Bandung, terutama yang tergabung dalam Forum Komunikasi Pondok Pesantren (FKPP). Para pengasuh pesantren itu menyarankan agar upaya menghilangkan atau meminimalkan kegiatan pelacuran di Saritem tersebut dilakukan secara ‘pelan bertahap’ (gradual) dan lebih ‘alamiah’. Merujuk pada sejarah dan ‘teori’ pendirian dan kemunculan pesantren di masa lalu -- dimana banyak pesantren didirikan di tempat-tempat yang pada mulanya adalah ‘daerah hitam’-- para ulama itu mengusulkan agar didirikan satu ‘pesantren khusus’ dalam Kawasan Saritem. Usulan ‘aneh’ tersebut ternyata mendapat tanggapan bersambut dari Walikota Bandung (Aa Tarmana) dan Gubernur Jawa Barat (R. Nuriana) pada waktu itu. Setelah mendapat jaminan akan kesediaan para ulama itu untuk menjadi penanggungjawab pengelolaannya, maka pemerintah pun segera melakukan persiapan-persiapan. Dicarilah tempat yang bisa dibeli dari sekian bangunan dan rumah di Saritem yang biasa dijadikan tempat mangkal para PSK. Rencana itu sempat ditentang keras oleh para germo Saritem. Mereka melakukan berbagai cara agar rencana itu gagal sama sekali, antara lain, mengajukan penawaran harga lebih tinggi kepada pemilik rumah yang rumahnya akan dibeli oleh pemerintah daerah untuk rencana pendirian pesantren disana. Umat Islam di Kota Bandung juga tidak sedikit yang underestimate terhadap rencana itu. Ternyata tidak semua warga masyarakat di Saritem dan sekitarnya menolak rencana tersebut. Sebagian dari mereka, terutama warga asli setempat, menyetujuinya. Walhasil, pada tanggal 2 Mei 2000, berdasarkan Surat Keputusan Walikota Bandung Nomor 017 Tahun 2000, tanggal 19 Januari 2000, berdirilah satu pesantren di tengah Kawasan Saritem dengan nama ‘Dar al-Taubah’ (Tempat Pertobatan). Sekarang, pesantren itu menampung 85 orang ‘santri mukim’ --tinggal dalam asrama dalam kompleks pesantren-- dan sekitar seratusan orang ‘santri kalong’ --yang hanya mengikuti kegiatan pengajian saja tanpa tinggal menginap. Pesantren ini juga sekarang sudah memiliki Taman Kanak-kanak (TK) dan Pusat Kesehatan Pesantren (PUSKESTREN). Delapan orang pengajar tetap mengelola kegiatan pengajian ‘kitab- kitab kuning’ bagi para santri; ceramah agama mingguan dan bulanan bagi warga masyarakat sekitar; dan secara berkala menyelenggarakan latihan ketrampilan baik untuk santri maupun untuk warga masyarakat sekitar. 181

GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial Unsur pemerintah daerah Kota Bandung dan beberapa ulama dari pesantren yang sudah terkenal menjadi pendiri ‘rumah pertobatan di tengah kompleks pelacuran’ itu, yakni: Aa Tarmana (Walikota Bandung pada waktu itu); Dada Rosada (Sekretaris Daerah Kota Bandung pada waktu itu); Tjetje Subrata; KH. Imam Shonhaji (Ketua Forum Komunikasi Pondok Pesantren Kota Bandung); dan Juju Junaedi (Camat Kecamatan Andir pada saat itu). Penanggungjawab langsung adalah adalah KH. Imam Shonhaji selaku Ketua FKPP Kota Bandung. Sehari-hari, pesantren ini dikelola oleh satu badan kepengurusan yang dipimpin oleh KH. Ahmad Haedar. Lepas Konteks Masalah utama yang dihadapi oleh pesantren-pesantren di Kota Bandung pada umumnya adalah masih gamangnya mereka menetapkan kedudukan dan peran di tengah realitas sosial yang terus berubah dengan cepat. Mereka kini mengalami dilema, antara keharusan mempertahankan ‘jati diri tradisional’ nya dengan kebutuhan menyerap ‘budaya baru’ yang datang dari luar. Padahal, sebagai lembaga pendidikan, keagamaan dan sosial, pesantren dituntut melakukan kontekstualisasi peran dan kedudukannya -- termasuk melakukan kontekstualisasi kurikulum pendidikan dan strategi pengajarannya-- tanpa harus mengorbankan watak dan ciri khas aslinya. Pondok Pesantren Dar al-Taubah di Kawasan Saritem juga mengalami permasalahan tersebut. Realitas historis-sosiologis nya sebagai lembaga pendidikan keagamaan yang berada di dalam kawasan pelacuran, merupakan tantangan dan permasalahan tersendiri. Penolakan akan kehadirannya disana yang cukup kuat, terutama dari kelompok-kelompok yang tidak menghendaki keberadaannya, membutuhkan struktur kelembagaan dan sumberdaya yang tangguh pula untuk menghadapinya. Pada usianya yang masih sangat muda, struktur kelembagaan pesantren ini masih mencari-cari bentuk, sementara sumberdaya manusianya juga masih sangat memerlukan peningkatan kemampuan, terutama bidang pengelolaan organisasi dan strategi pembelajaran. Kurikulum pendidikan dan strategi pembelajaran di Dar al-Taubah memang masih ‘konvesional’. Strategi pembelajarannya masih terbatas pada metode ceramah yang cenderung monologis dan indoktrinatif -- seperti sorogan, wetonan, dan bandongan-- yang seringkali tidak memperhatikan perkembangan kejiwaan peserta didik. Antara santri 182

BAGIAN-I, Memahami Masalah yang sudah dewasa dengan yang masih remaja dan kanak-kanak, semuanya diperlakukan dengan cara yang sama. Muatan kurikulum atau materi pembelajarannya juga masih terbatas pada ranah kognitif. Oleh karena itu, keduanya memerlukan kontekstualisasi kurikulum dan adaptasi strategi pembelajaran. Jejaring kerja pesantren ini dengan pesantren-pesantren lain juga masih sangat lemah. Ini memang gejala umum di semua pesantren di Kota Bandung yang cenderung ‘berjalan sendiri-sendiri’. FKPP yang dulu dibentuk justru untuk membangun jaringan kerja antar mereka -- dan dengan berbagai pihak lainnya-- masih belum mencerminkan semangat kebersamaan dan sinergi yang saling mendukung di antara mereka. Hubungan dengan berbagai lembaga pemerintahan juga masih lebih banyak bersifat formal dan seremonial saja, belum mencapai taraf ‘kemitraan yang setara’, cenderung tidak seimbang, dimana pesantren lebih banyak di ‘kooptasi’ oleh lembaga-lembaga pemerintahan itu hanya jika mereka memerlukannya. Tetapi, yang paling mendasar, pesantren-pesantren itu umumnya belum memilki keterkaitan langsung dengan permasalahan-permasalahan aktual di tengah masyarakat. Masalah yang terakhir ini sangat penting untuk digaris-bawahi, khususnya dalam konteks keberadaan Pesantren Dar al-Taubah di Saritem. Pesantren ini adalah contoh nyata dari gejala ‘lepas konteks’ tersebut. Para pengasuh dan santri di pesantren ini masih tetap belum mampu ‘membaur’ dengan komunitas khas sekitarnya, nampak masih sangat ‘menjaga jarak’ dengan komunitas Saritem. Pandangan dasar teologis para pengurus pesantren ini masih tetap beranggapan bahwa para pelaku maksiat --para PSK dan komunitasnya di Saritem-- adalah ‘penyakit’ atau ‘najis’ yang harus dimusuhi dan dijauhi. Padahal, tujuan utama pendiriannya dulu adalah justru untuk ‘mendekati’ komunitas industri seks komersial disana sebagai bagian dari upaya ‘strategi untuk mengurangi laju perkembangan dan dampaknya --jika perlu menghapuskannya sama sekali dalam jangka panjang’. Itulah sebab mengapa lembaga ini dinamakan ‘tempat pertobatan’. Konsep teologis ‘pertobatan’ (al-taubah) masih ditafsirkan secara sangat konvensional, masih terbatas pada kepatuhan menjalankan ritual keagamaan dan menjauhi semua praktik kemaksiatan, namun tanpa berusaha masuk lebih dalam untuk menyelesaikan inti dan akar permasalahan sesungguhnya yang menjadi penyebab utama mengapa praktik-praktik kemaksiatan itu terus berlangsung. Industri seks komersial di Saritem adalah hasil dari suatu proses sejarah dan sosal 183

GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial yang panjang, bahkan telah menjelma menjadi suatu ‘sistem sosial- ekonomi dan budaya’ tersendiri, sehingga memerlukan cara pandang dan pendekatan permasalahannya secara lebih sistemik dan kontekstual pula, bukan hanya dari satu sisi pandang teologis dan ritual belaka. Drama Penutupan Saritem “Saritem ditutup euy!” begitu orag Bandung mengomentari berita adanya penutupan Kawasan Saritem. Lalu, ada jorang yang menanggap balik: “Iraha dibukana kitu, ojol-ojol ditutup?” (Memang kapan dibukanya, koq tiba-tiba ditutup?). Tanggapan masyarakat Kota Bandung atas peristiwa itu memang beragam. Ada yang iba, miris, tetapi ada juga yang senang. Yang terakhir ini adalah orang-orang kebanyakan, karena mereka umumnya hanya mengetahui bahwa Saritem adalah satu ‘masalah’, persoalan perempuan yang menjual diri, perempuan pendosa. Konteks permasalahannya yang sangat kompleks tak pernah mereka ketahui, sehingga mereka ‘mensyukuri’ tindakan pemerintah daerah melakukan ‘pembersihan’, ‘penertiban’, menutup kawasan bisnis seks komersial yang sudah melegenda di Bandung itu. Tentu saja, warga Komunitas Saritem sendiri menentang tindakan pemerintah itu. Mereka menolaknya dengan alasan yang tetap sama sejak dulu: menutup Saritem berarti mematikan sumber kehidupan dan mata pencaharian ribuan orang yang terkaiat langsung maupun tidak langsung dengan keberadaaannya selama ini. Mereka dengan tegas menolak alasan pemerintah yang hanya mendengar tuntutan sepihak dari beberapa gelintir orang dari organisasi tertentu --terutama Front Pembela Islam (FPI) dan BMW (Bandung Maksiat Watch)-- sehingga penutupan Saritem mereka sebut sebagai kebijakan pemerintah daerah dalam rangka ‘tebar pesona’ kepada kalangan tersebut berkaitan dengan kepentingan pemilihan Walikota Bandung. Secara tersurat mereka menuding Walikota saat itu (Dada Rosyada) ada dibalik semua ‘permainan’ ini, yakni dalam rangka menarik dukungan sebanyak mungkin dari berbagai kalangan untuk pencalonan dirinya kembali dalam pemilihan Walikota berikutnya. Mereka mengajukan fakta bahwa Walikota yang menggunakan alasan pemberlakukan peraturan daerah --tentang kebersihan dan keindahan kota (PERDA K3)-- bertindak tidak jujur dan tidak adil, karena ternyata hanya menggusur Saritem saja, tidak melakukan tindakan yang sama 184

BAGIAN-I, Memahami Masalah pada kawasan pelacuran lainnya seperti di Kawasan Tegallega. Memang, cukup banyak orang yang membaca penutupan Saritem itu sebagai bagian dari suatu ‘persekongkolan elit politik’, karena ditunggangngi oleh partai politik dan organisasi massa tertentu yang sedang berusaha dirangkul oleh Dada Rosyada. SIAPA PEDULI? kariernya sebagai pedagang sepatu keliling di kawasan Penutupan Kawasan Saritem pelacuran tertua di Kota meninggalkan berbagai kisah bagi Bandung itu. Pada tahun 2002, warga setempat. Ada yang istri Herman pun ikut bersyukur karena pada akhirnya berdagang kosmetik yang salah satu ikon lokalisasi Kota sebagian besar pasarnya Bandung tersebut berhasil adalah pekerja seks komersial ditertibkan. Ada juga yang sedih (PSK) disana. Lalu, karena pasca penutupan tak tahu “Bagaimana ya pasca lagi harus mengais rezeki dari penutupan ini? Mereka masih mana. Untuk kisah sedih yang banyak yang ngutang euy. dialami sekitar 4.000 warga Kalau dikumpulkan antara Saritem, Pemerintah Kota Bandung dagangan sepatu atau sandal telah berjanji akan segera saya dengan dagangan mencarikan jalan keluar untuk kosmetik istri saya, sisa utang kehidupan mereka selanjutnya. yang terjebak di Saritem ada Namun, siapa yang mau kira-kira Rp 50 juta. Siapa yang bertanggung jawab terhadap kisah mau ganti nih?” tutur Herman. ‘tragis’ yang dialami oleh Herman (39), salah seorang pedagang Hal senada juga dialami Ida kredit keliling di Saritem ini? (45), warga asli Saritem yang menjual secara kredit barang- Dengan ditutupnya lokalisasi itu barang elektronik sejak empat untuk selama-lamanya, modal bulan lalu. Ida dikenal juga usahanya sekitar Rp 50 juta sebagai penjual voucher atau terjebak dan hangus pula di pulsa elektronik keliling di dalamnya. “Waduh, Saritem ditutup Saritem. Nilai barang selama-lamanya ya? Gimana nasib dagangan yang sudah ia lepas uang-uang saya yang masih di Saritem yang sudah berumur tertanam di dalemnya?” ujarnya. hampir 200 tahun itu sudah Sehari-hari, Herman dan istrinya, mencapai Rp 135 juta. Luciana (35), menjajakan “Waduh, saya sudah enggak dagangannya seperti sepatu, bisa mikir lagi nih. Mentok sandal, dan kosmetik kepada pikiran saya. Mau cari duit dari penghuni Saritem. Mereka telah mana lagi? Semua orang yang menekuni kerja sebagai pedagang beli barang elektronik dari saya kredit keliling sejak tahun 1999. udah pada ‘lari’ dari Saritem,” Awalnya, dengan modal yang tak begitu besar. Herman memulai ujarnya. 185

GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial Maka, warga --dimotori oleh para pengusaha bordil, para germo-- bergerak serempak melawan kebijakan pemerintah itu dengan berbagai cara. Pada saat Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL PP) Kota Bandung hendak melakukan penyegelan, mereka mempersiapkan satu panggung terbuka untuk mengumpulkan khalayak melakukan unjuk- rasa. Untuk menarik minat orang-orang datang, pertunjukan musik dangdut digelar di panggung tersebut, kemudian disambung dengan rangkaian orasi yang intinya adalah menghujat kebijakan pemerintah. Massa pun berteriak-teriak menyatakan dukungan protes mereka, sementara beberapa kumpulan warga menutup dan menghadang di depan gang-gang masuk ke dalam jantung Kawasan Saritem. Semua itu cukup berhasil menghalangi petugas SATPOL PP dan kepolisian melakukan penyegelan rumah-rumah bordil, setidaknya pada hari itu. Tapi, tidak untuk selamanya. Maka pada Rabu pagi, 18 April 2007, Kawasan Saritem tiba-tiba dikepung ketat oleh sedikitnya 1.171 orang, terdiri dari 367 polisi, 499 petugas dari berbagai dinas pemerintah Kota Badung, 125 tentara, dan 180 orang anggota organisasi massa Islam --selain FPI dan BMW, juga nampak beberapa orang ustadz dan santri Pesantren Dar al-Taubah. Pada pagi itu, kawasan pelacuran yang sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda itu, akan ditertibkan, disegel, dan dibekukan dari berbagai kegiatannya, untuk selama-lamanya. Kepastian penutupan Kawasan Saritem secara permanen itu muncul sebagai kesimpulan rapat Rencana Operasi Gabungan di Kantor SATPOL PP Kota Bandung lima hari sebelumnya. Jadi, “Penutupan ini adalah amanat dan keinginan masyarakat Kota Bandung”, kata Kepala SATPOL PP Kota Bandung, Priana Wirasaputra. “Oleh karena itu, harus dilaksanakan secepatnya dengan melibatkan semua pihak”. Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Bandung, Husni Muttaqin, juga menegaskan: “Penutupan Saritem merupakan komitmen kita sejak awal. Kami mendukung penuh tindakan penutupan ini”. Dalam acara deklarasi Bandung Maksiat Watch (BMW) dan dialog publik ‘Menggagas Bandung Bebas dari Maksiat’, di Masjid Raya Bandung, Walikota Dada Rosada berjanji akan menutup permanen semua kawasan pelacuran dalam wilayahnya. “Untuk menutup Saritem, tidak perlu menunggu sampai akhir tahun 2007, besok pun bisa dilakukan,” tegasnya. Dalam sambutannya, Dada juga sudah mempradugakan akan adanya tanggapan balik menentang rencana itu, terutama dari kalangan yang memang sangat berkepentingan dengan keberadaan kawasan pelacuran tersebut. Untuk itu, dia meminta dan 186

BAGIAN-I, Memahami Masalah menyulut sentimen umat Islam --mayoritas penduduk kota-- untuk “...jangan kalah oleh kelompok kecil itu”. Dada menegaskan: “Kita harus buktikan, sebagai kelompok mayoritas, kita bisa mengalahkan kelompok kecil. Tentunya, umat Islam harus memiliki sikap dan perilaku yang sesuai dengan ajaran agama, sehingga tampil sebagai pemenang”. Setelah penutupan dan penyegelan berlangsung, Kawasan Saritem dijaga ketat selama kurang lebih dua minggu oleh aparat keamanan. Orang yang keluar masuk kawasan itu diperiksa jati-diri (Kartu Tanda Penduduk, KTP) nya. Penjagaan terus dilakukan di 13 titik masuk ke Saritem mulai pukul 12.00 sampai pukul 24.00 WIB. Berbeda dengan saat pertama kali penutupan yang gagal, tindakan petugas pada tanggal 18 April 2007 itu benar-benar berjalan mulus, nyaris tanpa ‘perlawanan’ sama sekali dari warga setempat. Jumlah petugas yang mengurung dan melakukan penyegelan memang luar biasa banyak dan bringasnya. Warga pun memilih ‘cari aman’ saja, membiarkan aparat pemerintah menyegel kamar-kamar sewa mereka. Hal ini ada kaitannya dengan ‘janji’ Dada Rosyada yang disiarkan televisi lokal beberapa hari sebelumnya, bahwa pemerintah telah menyiapkan suatu recana pasca penutupan Saritem untuk membantu warga setempat. Untuk itu, Dinas Tenaga Kerja (DISNAKER) Kota Bandung akan melakukan pelatihan dan penyaluran mereka ke lapangan kerja baru. Warga Saritem yang dalam usia produktif, antara 15-55 tahun, akan dimagangkan ke perusahaan-perusahaan, khususnya perusahaan pembuatan pakaian jadi (garment), yang membutuhkan banyak tenaga kerja. “Karena kami menitipkan mereka ke perusahaan-perusahaan itu untuk dimagangkan, gajinya bisa jadi berasal dari APBD Kota Bandung,” ujar Siswaya, Kepala DISNAKER Kota Bandung. Dan, seperti yang sudah terjadi selama ini, janji tinggal janji. Dua bulan setelah penutupan Saritem, 1.089 orang warga yang kehidupannya bergantung pada keberadaan kawasan pelacuran itu -- terdiri dari 428 orang calo, 96 orang pedagang warung, dan 360 orang pengangguran atau pekerja serabutan-- belum mendapatkan ganti-rugi dan lapangan kerja baru yang dijanjikan. Maka, mereka pun bangkit lagi melakukan perlawanan. Beberapa kali terjadi bentrok fisik langsung, antara lain, peristiwa kejar-kejaran antara warga dengan petugas SATPOL PP yang nyaris menelan korban. Peristiwanya dipicu oleh tindakan petugas SATPOL PP itu yang sedang melakukan patroli memeriksa hasil penyegelan beberapa bulan sebelumnya. Warga merasa tersinggung, apalagi setelah sekian lama terbukti bahwa 187

GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial INDRI KU PULANG KAMPUNG banyak dari mereka yang juga tidak lahir di kota Bandung-- Saat hiruk-pikuk ‘perang’ anatara menganggap bahwa para PSK Pemerintah Kota Bandung adalah hanyalah para pendatang dengan warga Saritem, ternyata yang mencari pekerjaan di beberapa PSK sudah secara Saritem, sehingga mereka sepakat sadar dan tahu diri bahwa mereka dengan pendapat pemerintah. sedang tidak diperjuangkan, sedang tidak diperbincangkan Mengetahui itu semua, maka sejak hak-hak dan kepentingannya. jauh-jauh hari, seorang PSK Kecuali ‘janji-janji basi’, sama Saritem, Indri, dan beberapa sekali tidak ada jaminan dari kawannya, memilih untuk pulang. pemerintah tentang bagaimana Mereka tahu bahwa dirinya tidak mereka secara bersungguh- akan berdaya. Mereka sekarang sungguh akan diberdayakan menjadi tahu bahwa kaum laki-laki pasca penutupan itu. Pemerintah itu --mungkin di antara mereka Kota Bandung ternyata justru adalah juga yang pernah ke merencakan akan ‘menyerahkan’ Saritem atau tempat lain sejenis, para PSK itu kepada pemerintah tetapi kini di luar berlagak ‘sok daerah asal mereka masing- suci’-- hanya bisa meraung dan masing. Mereka masih tetap mengerang seperti singa hanya dianggap ‘penduduk liar’ dan diranjang dan ‘sok kuat’, setelah itu harus dipulangkan, padahal mereka hanya kumpulan-kumpulan mereka sudah mempunyai KTP pecundang. Buktinya, tak ada satu kota Bandung yang mereka bayar pun yang bersuara membela kepada pemerintah. kepentingan mereka. Saat menjelang penutupan, Kepulangan Indri dan kawan- Camat Andir, Iwan Setiawan, kawan karena memang tidak ada secara tegas mengatakan bahwa pilihan untuk memilih. Padahal, di Pemerintah Kota Bandung hanya kampung mereka adalah ‘sang akan bertanggungjawab terhadap pahlawan’ bagi keberlangsungan nasib ‘warga asli’ Saritem. “Yang hidup keluarga. Indri juga menjadi tanggung jawab Kota sebenarnya sudah memberikan Bandung kan warga Kota segalanya untuk ‘warga asli’ Bandung. Masalahnya, apa Saritem, karena kehadirannya turut semua PSK di Saritem itu warga menggeliatkan perekonomian Kota Bandung?”, ujar Iwan. kawasan itu. Namun, sekarang dia Menurut Iwan, setelah beberapa dibuang, diacuhkan, dan kali mengadakan pertemuan dilupakan. Dimana balas budi dengan warga Saritem dan mereka? “Aku juga seperti mendata siapa saja yang manusia yang lain yang merupakan warga Bandung, tidak mempunyai hak untuk hidup”, ada satu orang pun yang katanya. “Sekarang kalian semua mengacungkan tangan. dimana?” Sementara itu, warga yang disebut ‘asli’ --yang sebenarnya 188

BAGIAN-I, Memahami Masalah pemerintah tidak bersungguh-sungguh memenuhi janjinya. Mereka mulai melempari petugas patroli itu. Ketika sang petugas mencoba lari untuk menghindari lemparan, warga pun spontan mengejarnya beramai-ramai. Kejadian itu membuat pemerintah berupaya ‘mendinginkan kembali’ suasana. Sementara itu, di kalangan warga Saritem sendiri sudah ada yang mulai bersikap ‘biarkan kebijakan itu berlalu saja’. Secara sembunyi-sembunyi dan lebih berhati-hati --“Papinter-pinter” (harus sepintar mungkin), kata mereka-- mulai menyelengarakan kembali praktik-praktik prostitusi, suatu bentuk lain dari perlawanan mereka. Buktinya, pada suatu hari Jum’at, jam 12:40, ketika sebagian umat Islam sedang melaksanakan sholat Jum’at, terjadilah satu peristiwa menghebohkan di Kawasan Saritem: seorang lelaki pelanggan meninggal dunia karena penggunaan berlebihan (overdose) ‘obat kuat’ saat melakukan hubungan seksual dengan salah seorang PSK disana. Selain menunjukan bahwa warga Saritem tetap melakukan ‘perlawanan diam-diam’, kejadian itu sekaligus menohok pemerintah bahwa ternyata kebijakan mereka sebenarnya tidak efektif sama sekali. Kejadian itu merupakan suatu ‘pukulan balik’ yang mempermalukan pemerintah, yang lalu semakin memperketat pemantauan dan pengawasan Kawasan Saritem. Pemerintah mengancam dengan menyatakan akan benar-benar memberlakukan sanksi denda Rp 50 juta kepada para germo di Saritem yang masih menyelenggarakan praktik pelacuran. Peristiwa penutupan Saritem tidak hanya menyisakan masalah bagi warga setempat. Mulai bermunculan kekhawatiran di berbagai kalangan lainnya bahwa kebijakan itu justru akan lebih mempersulit pengendalian penularan HIV/AIDS di Kota Bandung. Bahkan, seorang dokter di Rumah Sakit Hasan Sadikin --rumah sakit umum terbesar milik pemerintah di Bandung-- Teddy Hidayat, menilai kebijakan itu sebagai upaya ‘cuma mencari popularitas’ semata. “Jika niatnya memang benar-benar mau menghentikan tuntas pelacuran di kota ini”, kata sang dokter, “kenapa hanya Saritem? Padahal masih banyak tempat lain yang menjadi sarang prostitusi”. Dia berpendapat bahwa jika Saritem ditutup, para PSK justru akan bertebaran liar di jalan- jalan, dan itu akan membuat para petugas penyuluh kesehatan sulit mengendalikan penyebaran penyakit menular seksual dan HIV/AIDS. Dia memperingatkan akan data kecenderungan penularan HIV/AIDS yang semakin meningkat melalui hubungan heteroseksual. Menurutnya, jika tekad pemerintah memang ingin mewujudkan visi 189

GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial ‘Bandung yang agamis’, maka pemerintah harus membuktikannya dengan melakukan tindakan penutupan terhadap semua kawasan pelacuran di kota ini, tanpa pandang bulu, bukan hanya Saritem. “Termasuk di kelab-kelab malam, panti pijat, semuanya, dari kelas rendah, menengah, hingga kelas atas”, ujarnya. Hal senada diungkapkan Direktur Pelaksana Daerah Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Jawa Barat, Nanang Munajat. Menurut dia, pasca penutupan Saritem adalah kerja berat bagi para pegiat kesehatan masyarakat. Pendidikan seksual bagi para PSK akan semakin sulit. “Pengendalian penularan penyakit seksual dan HIV/ AIDS jadi semakin sulit nantinya”. Sejak tahun 2004, PKBI membuka klinik di Jalan Ence Azis, di seberang Jalan Saritem. Mereka melakukan penyuluhan, konsultasi kesehatan, dan kampanye penggunaan kondom, untuk mencegah penularan penyakit seksual dan HIV/AIDS. Meski Saritem telah ditutup, katanya, PKBI akan tetap melakukan kegiatannya untuk melakukan penyuluhan di tempat-tempat pelacuran lainnya di Kota Bandung dan sekitarnya. Beberapa aktivis dari Komite Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Bandung mengaku bingung dan dilematis. Penutupan Saritem adalah konsekuensi diterapkannya PERDA K3, Meski --dari sudut-pandang kesehatan masyarakat-- kebijakan itu tidak membantu sama sekali. “Gunung es akan makin tenggelam setelah sebelumnya sudah sedikit kelihatan,” kata Tuti Sugiarti, salah seorang aktivis KPA Bandung. Terjepit Di Tengah Di tengah hiruk-pikuk pro-kontra penutupan Kawasan Saritem itu, mulai pula nampak perubahan penting di kalangan dalam Pesantren Dar al-Taubah. Beberapa orang ustadz dan santri nya mulai menyadari bahwa persoalan Saritem ternyata bukanlah sekadar masalah susila semata. Ada banyak persoalan sosial-ekonomi, politik, hukum, dan budaya yang terkait dengannya. Beberapa orang peneliti dari IAIN Sunan Gunung Jati, Bandung, mulai terlibat dalam beberapa diskusi internal mereka yang mulai merambah ke analisis sosial yang lebih kritis. Sejak saat itu, beberapa kegiatan pesantren ini mulai diarahkan pada kegiatan penguatan ‘kepekaan dan kesadaran sosial’ warga pesantren dan berbagai pihak yang mendukungnya, terutama terhadap permasalahan masyarakat di Kawasan Saritem. Kemampuan pengelola pesantren sendiri dalam menyusun rencana pemecahan masalah, mengendalikan kegiatan, dan mengevaluasi program mereka untuk 190

BAGIAN-I, Memahami Masalah memecahkan masalah, juga mulai terlihat. Sikap kaku ‘jaga jarak’ selama ini dengan komunitas Saritem mulai mencair. Pandangan beberapa pimpinan dan para pengelola pesantren juga mulai berubah bahwa mereka yang terlibat dalam kegiatan prostitusi di kawasan Saritem, pada hakekatnya, adalah ‘korban’ dari sistem nilai, sistem sosial, dan sistem ekonomi yang selama ini terus meminggirkan mereka. Pesantren Dar al-Taubah kini memiliki agenda kerja nyata dan langsung bersama warga Komunitas Saritem. Para hari-hari tertentu, beberapa ustadz mulai ‘berani’ mengunjungi rumah-rumah warga di bagian dalam kawasan itu. Beberapa orang germo dan PSK juga sudah tidak sungkan lagi mengikuti kegiatan keagamaan di pesantren. Tidak sedikit dari putera-puteri mereka aktif dalam kegiatan Taman Kanak-kanak dan Taman Pengajian Al-Qur’an di pondok bersama santri lainnya. Pada setiap perayaan hari-hari besar Islam atau kegiatan-kegiatan komunal lainnya, warga pesantren dan komunitas Saritem juga berbaur membentuk panitia kerja bersama. Semua perubahan itu terjadi lebih sebagai suatu ‘kebetulan’, tidak direncanakan secara bersengaja. Mulanya dipicu oleh deklarasi Bandung Maksiat Watch (BMW) yang dimotori oleh Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dan beberapa organisasi massa serta partai politik berlatar Islam, di Mesjid Agung Bandung, tepat di depan alun-alun pusat kota, hanya sekitar 1 kilometer dari Kawasan Saritem. Deklarasi itu memancing amuk massa yang mendesak untuk melakukan ‘penyerangan’ segera ke Saritem. Dengan cepat, teriakan-teriakan massa itu menyebar dan terdengar sampai ke Saritem (lihat kembali Peta-1). Warga kawasan pelacuran itupun dengan cepat melakukan konsolidasi internal dan mempersiapkan diri melakukan perlawanan jika benar-benar diserang. Suasana sangat tegang dan mencekam. Untunglah, rencana amuk massa itu tidak benar-benar terlaksana. Beberapa utusan dari organisasi-organisasi yang hadir di Mesjid Agung Bandung itu rupanya masih cukup mampu ber’kepala dingin’. Mereka mengusulkan untuk melakukan dialog langsung terlebih dahulu dengan warga Saritem. Pada saat mencari siapa yang akan menjadi ‘moderator’ dialog itulah, nama Pesantren Dar al-Taubah muncul. Mereka segera mendatangi pimpinan pengelola harian pesantren dan memintanya menemui warga Saritem untuk menyampaikan tuntutan mereka untuk segera menutup kawasan itu. Pimpinan pesantren merasa ‘terjepit di tengah’. Pada satu sisi, mereka merasa harus menerima permintaan itu, selain sebagai pertanda 191

GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial bahwa mereka juga memperhatikan tuntutan beberapa organisasi massa Islam tersebut, juga karena Dada Rosada --Walikota Bandung yang berada di belakang organisasi-organisasi tersebut-- selama ini adalah salah sorang pendiri dan penyumbang dana tetap ke Dar al- Taubah. Pada sisi lain, pimpinan pesantren juga merasa harus tetap menjaga hubungan dengan Komunitas Saritem, paling tidak, dalam keadaan seperti selama ini --tetap berjarak, tidak bersifat langsung, tetapi juga tidak perlu bersikap memusuhi dan menyerang secara terbuka. “Kieu kumaha, kitu kumaha” (Begini bagaimana, begitu bagaimana lagi?), ujar KH. Ahmad Haidar, Ketua Pengurus Harian Dar al-Taubah, mengenang kembali kebingungannya saat itu. Akhirnya mereka memang memenuhi permintaan massa itu, tetapi hanya membatasi diri sekadar menyampaikannya kepada warga Saritem. Merasa sebagian dari maksud mereka sudah tercapai, massa pun bubar. Bentrokan fisik pun terhindarkan, paling tidak, untuk saat itu. Tetapi, Kyai Haidar dan pengasuh pesantren lainnya malah tergelitik untuk merenungkan kembali semua kejadian yang sempat membuat mereka bingung sekaligus tertekan itu. Mereka mulai mengajak beberapa kalangan luar --antara lain beberapa orang peneliti dari IAIN Bandung-- untuk membahas masalah ini. Diskusi-diskusi yang lebih substansial pun mulai berlangsung. Kesadaran baru yang muncul adalah bahwa pesantren sama sekali tidak bisa melepaskan diri dari kenyataan bahwa mereka berada di tengah Kawasan Saritem, dan itu berarti tidak boleh menutup diri terus menerus dengan warga sekitarnya. Jika misi mereka memang ingin mengubah kawasan itu, maka seharusnya yang dilakukan adalah ‘mengajak’, ‘mendekati’, bukan justru ‘menjauhi’ dan ‘menjaga jarak’. Peneliti dari IAIN Bandung kemudian membantu mereka melakukan pendataan dan pemetaan sosial warga dan kawasan Saritem. Semua data dan informasi yang diperoleh menjadi bahan rangkaian diskusi berikutnya yang menjadi awal dari perubahan yang kini berlangsung di pesantren tersebut. Meskipun demikian, semua perubahan itu sebenarnya juga masih pada tahap yang sangat awal. Beberapa tindakan nyata memang sudah dilakukan, tetapi umumnya masih bersifat rudimenter, belum mengarah langsung ke akar permasalahan sosial-ekonomi yang sesungguhnya. Tetapi, memang tidak realistis untuk berharap suatu perubahan radikal terjadi pada pesantren ini yang, sekali lagi, justru memang bertolak dari cara pandang konservatif tentang masalah- masalah kemasyarakatan. Tetapi, bertolak dari potensi lembaga 192

BAGIAN-I, Memahami Masalah keagamaan seperti pesantren yang memiliki kedudukan khas dalam sistem sosial masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat muslim tradisional, maka juga tidak terlalu berlebihan jika berharap bahwa ‘tempat pertobatan’ di tengah salah satu kawasan bisnis seks tertua di Indonesia itu nantinya dapat benar-benar menjadi ‘tempat pertobatan’ dalam artian yang sesungguhnya, melalui proses-proses yang lebih arif, jujur, dan lebih manusiawi. ™ PUSTAKA Ingleson, 1986, ‘Prostitution in Colonial Java’; D.P.Chandler & Ricklefs, M. eds., Ninetenth & Twentieth Century Indonesia; essays in honor to Prof. J.D.Legge; Melbourne: Monash University. Jones, G.W., Sulistyaningsih, E., & Hull, T.H., (1995), Prostitution in Indone- sia; working paper in demography; Canberra: The Australian Na- tional Unoversity. 193

GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial 194

BAGIAN-I, Memahami Masalah Bagian Kedua MENCOBA BERBUAT 195

GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial 196

BAGIAN-I, Memahami Masalah SEKOLAH 7 PETANI Mengembalikan Peran Sosial Masjid Dusun Paculgowang ABDUL MUN’IM SALEH * Masjid al-Alawi, satu masjid pedesaan di Dusun Paculgowang, Diwek, Jombang, Jawa Timur. Tak banyak bedanya dengan kebanyakan masjid di tempat-tempat lain. Selain sebagai tempat ibadah ritual dan perayaan hari-hari besar Islam, masjid ini nyaris tidak memiliki kegiatan apapun. Hanya ada pengajian umum, itupun tidak rutin, hanya sesekali saja. Masjid ini benar-benar ‘masjid akhirat’ yang tidak punya urusan dengan ‘soal-soal keduniaan’ warga jama’ahnya. Apakah warga Paculgowang memang tak pernah tahu bahwa panutan rohani mereka, Muhammad Rasulullah, justru menjadikan masjid selalu larut dan terlibat dengan berbagai permasalahan kehidupan duniawi umatnya? Apakah mereka tak pernah tahu bahwa masjid pernah dan memang selalu dapat juga digunakan untuk berbagai kegiatan selain kegiatan ritual? Mengapa dan bagaimana mereka sampai tak tahu? Atau, mereka sebenarnya tahu, tetapi --oleh berbagai sebab dan hal-- lalu tidak mengamalkan pengetahuan itu? Lalu, bagaimana cara memperbincangkannya dengan mereka? *Ketua Tim PAR, Jurusan Syari’ah, STAIN Ponorogo. Tulisan ini pada dasarnya adalah ringkasan dari laporan lengkapya yang ditulis bersama seluruh anggota tim (Agus Purnomo, Luthfi Hadi Aminuddin, M. Muhsin, Mohammad Munir, Muslimin, dan Riduwan ). 197

GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial PETA-7.1: Letak Dusun Paculgowang, Diwek, Jombang, Jawa Timur INDONESIA PULAU JAWA KABUPATEN JOMBANG, JAWA TIMUR ke Surabaya ke Solo KOTA JOMBANG DUSUN PACULGOWANG KABUPATEN KABUPATEN KEDIRI MALANG Maka terbersitlah keinginan untuk menjadikan masjid dusun ini memiliki peran sosial yang lebih luas bagi jama’ahnya, warga Dusun Paculgowang yang umumnya petani kecil, bahkan sebagiannya adalah buruh tani tanpa lahan sama sekali. Kesempatannya tiba ketika para pengelola (takmir) masjid itu berkumpul, pada hari Selasa, 2 Oktober 2004, di rumah Wakil Ketua Pertama Takmir yang terletak di sebelah masjid. Tim dari Jurusan Syari’ah, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Ponorogo, hadir dalam pertemuan itu, menyampaikan maksud kehadiran mereka bukan untuk memberikan bantuan pengadaan sarana fisik, tetapi lebih bertujuan membantu memperkuat warga sekitar masjid agar menjadi lebih mandiri dan bermartabat. 198

BABGAIGANIA-NI, -MII:eMmeanhcaombiaMBaesrabluaaht Mereka kemudian menyepakati bahwa soal perekonomian para petani tampaknya baik jika menjadi garapan Pengurus Takmir Masjid, sebab kesejahteraan jama’ah juga akan mempengaruhi kesejahteraan lembaga-lembaga agama, termasuk masjid. Ternyata, mereka tahu dan berpendapat bahwa mengurusi soal-soal dunia bukanlah larangan, bahkan bisa menjadi kebaikan. Masalahnya hanyalah karena mereka selama ini belum pernah membicarakannya bersama-sama menjadi suatu kegiatan yang dianggap perlu dilakukan oleh Takmir Masjid. Jadi, pertama-tama, ini hanyalah soal waktu dan cara, bukan terutama soal pandangan atau keyakinan, meskipun para Pengurus Takmir Masjid al-Alawi juga mengakui kekurangan pengetahuan mereka selama ini tentang cara-cara membantu memperbaiki kehidupan jama’ahnya. Jadi, soal ketersediaan informasi adalah soal berikutnya, bukan terutama soal keterbukaan sikap atau kemauan untuk belajar dan berubah. Mereka semua menyepakati kesimpulan itu dan tanpa sungkan atau enggan untuk mengakuinya, sehingga sangat memudahkan untuk menyepakati tindakan berikutnya, yakni usulan melakukan pertemuan khusus antara Pengurus Takmir Masjid dengan para warga jama’ah yang pekerjaan dan pencaharian utamanya adalah sebagai petani. Titik Awal: Kesediaan untuk Belajar dan Berubah Pertemuan lanjutan itu kemudian berlangsung pada hari Sabtu, tanggal 27 Nopember 2004, di rumah Waris, Kepala Dusun (Kamituwo) Paculgowang-Wonosari yang juga adalah Wakil Ketua Kedua Takmir Masjid al-Alawi. Para petani yang hadir kemudian diajak merumuskan berbagai persoalan yang mereka anggap penting atau merupakan masalah yang paling mereka rasakan selama ini. Banyak sekali persoalan yang mereka kemukakan, tetapi intinya adalah masalah kehidupan sehari-hari mereka yang tetap semakin sulit, hampir tidak ada peningkatan dan perbaikan sama sekali. Setelah diskusi panjang -- meskipun berlangsung secara santai saja-- mereka akhirnya semua sepakat agar upaya perbaikan hidup mereka dimulai dari dua hal penting: (1) perlunya berhimpun dalam satu wadah organisasi yang bisa memperjuangkan nasib mereka; dan (2) perlunya menambah pengetahuan dan ketrampilan pertanian yang lebih baik untuk meningkatkan hasil usaha tani mereka selama ini. Tim STAIN Ponorogo segera tanggap dengan menceritakan hasil kunjungan mereka beberapa waktu sebelumnya ke kawasan 199

GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial Tawangmangu di Jawa Tengah. Kepada para petani Paculgowang itu, Tim menceritakan bagaimana kelompok-kelompok tani di Tawangwangu itu cukup berhasil mencapai kemajuan dengan cara melakukan usaha pertanian organik. Petani-petani Tawangmangu itu telah mampu memproduksi pupuk serta obat pengendali hama alamiah, sehingga mereka kini telah melepskan ketergantungan pada pupuk kimia serta pestisida buatan pabrik. Cerita ini memancing para petani Paculgowang itu menyampaikan lebih banyak informasi tentang apa yang sebenarnya terjadi selama ini dengan usaha tani mereka sendiri. Muncullah pengakuan bahwa hampir semua petani di Paculgowang selama ini justru menggunakan pupuk dan pestisida kimia buatan pabrik, bahkan cenderung semakin berlebihan. Mereka juga mengakui bahwa sebenarnya mereka sendiri sudah lama mengetahui tentang bahayanya terhadap lahan, lingkungan, dan kesehatan diri mereka sendiri. Anehnya, kata mereka akhirnya juga mengakui, semua itu tidak menggerakkan mereka melakukan langkah-langkah untuk mengatasi permasalahan tersebut. Ketika Tim STAIN bertanya “Mengapa?”, mula- mula mereka hanya saling menoleh dan memandang satu sama lain. Tetapi, akhirnya, tercetus juga lah pengakuan mereka bahwa selama ini mereka tidak berhimpun dalam organisasi tetapi berjalan sendiri- sendiri. Kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi, mereka pecahkan sendiri secara perseorangan, tidak pernah dilakukan secara bersama- sama sebagai suatu kelompok. Mereka juga mengakui tidak pernah mengajak pihak dari luar untuk membantu mereka, sementara memang tidak pernah ada petugas atau penyuluh dari dinas pertanian yang datang berkunjung, tak ada pamong desa yang menjenguk, bahkan tidak ada tokoh masyarakat yang mempedulikan kesulitan- kesulitan mereka. Maka, perbincangan yang sudah semakin menajam itu dilanjutkan dengan pertanyaan berikutnya: “Apa ada yang bisa dilakukan secara bersama-sama oleh mereka sendiri?”. Lagi-lagi, mereka menjawab bahwa mereka tidak punya pengetahuan apa-apa tentang cara-cara baru dan lebih baik dalam bertani. Kata mereka, itu sebabnya mengapa mereka selama ini belum terpikir untuk apa keperluannya berhimpun bersama. Pertanyaan yang lebih menghunjam pun segera diajukan: “Kalau ingin melakukan cara-cara bertani yang lebih baik, seperti yang dilakukan oleh para petani di Tawangmangu tadi, apa saja yang ada di Paculgowang yang bisa dimanfaatkan untuk memulainya?”. Sekarang mereka menjawab spontan dengan menyebut 200


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook