BABGAIGAINA-NI,-MII:eMmeanhcaombai MBaesrbaulaaht dari keadaan sebelum bencana terjadi. “Urip kito mbenjang meniko, kedah luwih sae timbang kedadosan sakderengipun gempa (Kehidupan kita besok harus lebih baik daripada sebelum gempa terjadi),” demikian lontaran pikiran hasil diskusi kelompok ibu-ibu di Dukuh, dalam rembug warga tanggal 15 Juni 2006 malam di Masjid Akbar. Ketika ditanya apa yang mereka maksud dengan ‘keadaan lebih baik’, beberapa orang menjelaskan bahwa dusun mereka, Dukuh, selama ini sering disebut oleh orang luar, bahkan oleh sesama warga Klaten sendiri, sebagai ‘tempatnya orang-orang bodho dan miskin-miskin’. Untuk itu, kata mereka, di masa depan mereka ingin sebutan itu tidak berketerusan. Maka, rembug warga itupun berlanjut dengan rangkaian pertemuan berikutnya mengumpulkan pendapat dan saran mereka tentang apa yang sebaiknya diperbuat untuk mencapai ‘kehidupan yang lebih baik’ di masa depan itu. Rangkumannya secara garis besar serta beberapa tindakan yang telah dan sedang terus dilakukan warga Dukuh sampai sekarang adalah sebagai berikut: Pembangunan dan Perbaikan Sarana Umum. Ini mencakup masjid, tempat berkumpul (pos pelayanan Tim Pendamping --yang dibangun berdasarkan rancangan unik dari seorang arsitek aktivis Pondok Rakyat di Yogyakarta-- akhirnya dijadikan ‘Balai Rembug Warga’ yang permanen), dan sarana sanitasi lingkungan (jaringan pembuangan limbah yang dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi sarana daur-ulang untuk energi alternatif, misalnya biogas). Masjid Akbar, yang pada masa darurat segera setelah gempa menjadi ‘gudang sementara barang-barang bantuan’, mengalami kerusakan kecil di beberapa bagian. Lantai keramik yang ada di dalamnya lepas sepanjang 10 x 5 meter. Beberapa bagian dinding retak, namun tidak berbahaya. Semua kerusakan itu telah diperbaiki oleh 4 orang warga tukang secara sukarela, dipimpin oleh Mbah Harno, seorang petani tua yang dianggap oleh semua warga sebagai ‘imam masjid’. Sarana kamar mandi dan WC masjid itu --yang selama ini digunakan umum oleh semua warga-- juga telah diperbaharui dengan dana bantuan dari komunitas lokal satu desa di Magelang dan bahan banguan serta tenaga teknis dari satu ORNOP di Kota Surakarta. Sumbangan beberapa kitab suci Alqur’an, buku-buku agama, dan peralatan shalat, juga sudah diterima dan disimpan di masjid tersebut. Masalah yang masih tersisa adalah lahan masjid adalah lahan milik salah seorang warga. Pemiliknya sendiri sebenarnya telah berniat untuk mewakafkannya. Namun, setelah dia meninggal, penyelesaian 301
GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial perwakafan ini belum juga tuntas oleh para pewarisnya, meskipun mereka juga tidak pernah mengajukan keberatan tentang keberadaan masjid tersebut di atas lahan warisan mereka. Bagi beberapa orang, masjid yang dulu dibangun dengan bantuan dari satu organisasi amal untuk si kabupaten Klaten dan partisipasi semua warga tersebut, masjid ini belum ‘direlakan’ oleh pemilik tanah sekarang untuk menjadi tanah wakaf. Memperhatikan dan Mempersiapkan Pendidikan Anak-anak dan Masyarakat. Setelah gempa, perhatian terhadap pendidikan anak-anak cukup terabaikan. Meski ada Seksi Pendidikan dalam kepanitiaan bersama -- diketuai oleh Tohari, seorang guru pegawai negeri, adik Carik Desa Dengkeng-- namun tak banyak yang bisa dilakukan akibat tersitanya hampir seluruh waktu warga saat itu untuk kerja-kerja gotong-royong pembenahan reruntuhan dan pembangunan hunian sementara. Satu- satunya kegiatan nyata dalam hal ini adalah pelaksanaan ‘sekolah darurat’ di masjid dan ‘Bale Rembug Warga’. Tety, gadis siswa SLTA di kota kecamatan Wedi, putri Suharno, mengajar anak-anak mengaji Al- Qur’an, antara lain dengan selingan permainan-permainan. Beberapa remaja lain bertugas membantu anak-anak itu belajar pelajaran- pelajaran sekolah mereka yang tertinggal sekian lama akibat bencana. Diharapkan, proses pembelajaran di luar sekolah yang dikelola oleh remaja tersebut, bisa terus berlanjut di masa depan. Tetapi itu semua memang sangat tergantung pada kesiapan seluruh warga Dukuh sendiri untuk mempertahankannya. Gagasan lain yang pernah dilontarkan, tetapi belum sepenuhnya dapat diwujudkan, adalah membangun apa yang mereka sebut sebagai ‘media belajar bersama’, terutama pelatihan ketrampilan teknologi pedesaan tepat-guna (pertanian, peternakan, pengolahan sumberdaya alam setempat --seperti kelapa dan sukun yang cukup banyak di dusun ini). Gagasan tentang pendidikan tepat guna ini bermula dari banyaknya buruh serabutan, buruh tani, buruh tukang dan buruh jahit, yang semuanya memperoleh upah rendah. Warga merasa ketrampilan mereka perlu ditingkatkan dengan belajar bersama, juga dari pengalaman warga desa atau daerah lain yang lebih mampu. Lebih jauh, tantangan usaha di bidang-bidang yang bersangkutan akan bisa didiskusikan bersama. Dengan peningkatan kemampuan di bidang masing-masing dengan analisa tentang segala sesuatu yang melingkupinya, masyarakat berharap tidak hanya bisa ‘diakali’ sebagai buruh upahan, tetapi memiliki daya-tawar kerja yang lebih baik. 302
BABGAGIAINA-NI,-IMI:eMmeanhcaombai MBaesrbaulaaht Selain itu, warga juga ingin belajar bersama lebih banyak tentang pengetahuan dan pengamalan ajaran agama. Saran yang muncul adalah membangun suatu ‘pesantren masyarakat’ dimana semua warga dapat berdiskusi tentang masalah-masalah keagamaan. Dalam hal inilah kemudian muncul lagi persoalan lahan yang kini ditempati oleh Masjid Akbar. Dalam perbincangan selama beberapa hari, ada seorang warga yang bernama Mbah Eksan, berniat mewakafkan tanahnya seluas 500 meter persegi, untuk keperluan ‘pesantren rakyat’ dimana juga ada masjid. Warga menyambut baik niat Mbah Eksan mewakafkan tanahnya, meski kemudian, ternyata orangtua itu menyatakan belum bisa percaya kepada siapapun di kalangan sesama warga yang dinilainya ‘tidak tahu agama’. Perbicangan tentang wakaf Mbah Eksan adalah seorang petani tua berusia 65 tahun. Dia memiliki sawah seluas 2 pathok dan pekarangan seluas 1000 meter persegi. Di rumah, dia tinggal bersama istri dan anak angkatnya. Dia seorang penganut jama’ah tabligh yang sering bepergian ke beberapa tempat, termasuk Sumatera. Di masa mudanya, Mbah Eksan pernah nyantri di satu pesantren di Nganjuk, Jawa Timur. Setelah itu, dia sempat mengikuti jama’ah tarekat yang ‘imam’nya ada di Klaten. Ketertarikannya mengikuti jama’ah tabligh, karena diajak oleh seorang tokoh agama di Boyolali. Terkait dengan pengelolaan Masjid Akbar, Mbah Eksan termasuk tokoh agama yang menentang Imam Masjid (Mbah Harno). Mbah Harno dinilai olehnya sebagai orang yang “...tidak bener bacaan Al- Qur’an nya dan memiliki pengetahuan agama yang sedikit sekali”. Mbah Harno juga dinilai olehnya ‘menguasai’ masjid dengan kekuasaannya sendiri yang tidak terbatas.Untuk melaksanakan shalat berjamaah dan shalat jum’at, Mbah Eksan pergi ke masjid lain yang berada di dusun sebelah, Dengkeng Cilik. Bagi Mbah Eksan, hidup ini tidak lebih dari sekedar ‘nglampahi kersaning Allah’. Menurutnya, “Menungso kedah ngathah- ngathahaken ngibadah, nyedhak dhateng Allah. Ndonyo menika namung titipan sementara, wekdal pejah mboten dibeto. Kanthi mekaten, urip menika bakal slamet.” Ketika gempa terjadi, Mbah Eksan sedang membaca Al-Qur’an di rumah. Meski rumahnya roboh, “Alhamdulillah, kulo selamet”. Niatnya berwakaf tanah, juga didorong oleh pengalaman spiritualnya ‘diselamatkan oleh Allah’ tersebut. 303
GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial tanah ini cukup peka, sehingga masih merupakan perbincangan yang sangat terbatas dengan beberapa orang yang dianggapnya mengerti agama. Padahal, warga sebenarnya sudah sepakat untuk mengawali pembangunan ‘pesantren rakyat’ rakyat tersebut dengan menyisihkan sebagian uang kas RW untuk mendukungnya. Membangun Keberlangsungan Pangan Bersama, Bantuan bahan pangan --terutama di masa-masa awal setelah gempa-- memang dibutuhkan dan ditunggu selalu oleh warga, terutama dari pemerintah. Beberapa warga berpendapat bahwa “...pemerintah harus bertanggung jawab terhadap kebutuhan warga negara yang sedang tidak mampu”. Namun demikian, setelah menyadari bahwa bantuan semacam itu pasti ada batas waktunya, acara rembug warga kemudian membahas juga masalah keberlangsungan bahan pangan mereka. Warga memandang perlu membangun mekanisme bersama untuk menghadapi kekurangan pangan karena berbagai sebab yang terjadi. Tercetus lah gagasan untuk belajar kembali tentang sistem ketahanan pangan warisan leluhur yang bernama ‘lumbung warga’. Lumbung yang dikenal oleh warga Dukuh di masa lalu adalah wadah untuk ‘menabung’ gabah dan memberikannya kepada warga yang membutuhkan sebagai ‘pinjaman’ yang harus dilunasi dengan hasil musim panen berikutnya. Meski mengalami banyak kesukaran, gagasan membangun lumbung ini kemudian diawali dengan mendirikan bangunan ‘lumbung’ dan membeli gabah kering milik petani korban gempa yang mulai memanen hasil sawahnya saat itu. Modalnya didapat dari dana bantuan dari satu ORNOP di Yogyakarta. Dalam rembug warga (tanggal 5 September 2006) dibicarakan pengelolaan lumbung tersebut, penguasaannya, dan pemanfaatannya. Direncanakan, gabah boleh diambil oleh siapa saja warga yang membutuhkan, dengan perjanjian akan menggantinya dengan gabah sejumlah yang diambil, atau menggantinya dengan sejumlah uang yang senilai dengan harga pasar gabah saat itu. Gabah dari hasil pengembalian itu akan disimpan kembali di lumbung, atau ‘uang ganti’ gabah segera dibelikan dengan gabah baru dan juga disimpan kembali di lumbung. Kordinator Lumbung Warga ini dipercayakan kepada Nur Hidayat, pemilik lahan yang ditempati lumbung, yang juga menjadi ketua RT 03. Keberadaan lumbung itu ternyata hanya berlangsung selama 3 bulan saja. Gabah yang ada kemudian digiling dan beras yang didapat dibagikan secara merata ke masing-masing keluarga yang ‘membayar’ nya dengan sejumlah uang untuk kas SISKAMLING. Tata niaga gabah 304
BABGAIGANIA-NI, -MII:eMmeanhcaombiaMBaesrabluaaht Dalam kenyataannya, di Dukuh, petani dan beras yang berlaku pemilik lahan, penyewa lahan, dan buruh sebelumnya di tani, banyak yang menjual hasil Indonesia, termasuk di panennya sebelum dibawa pulang. Dukuh, kembali Bahkan, hasil panen ditebaskan di sawah ‘mengalahkan’ sebelum dipanen, untuk menutup lumbung yang kebutuhan utang-utang pengolahan dibangun ini. Di sawah dan utang-utang sehari-hari. Atau, samping itu, paling tidak, segera digunakan untuk kebutuhan untuk kebutuhan melaksanakan hajat memenuhi pangan mantenan dan kebutuhan lainnya, seperti ‘secara gratis atau “...tuku motor nggo anak lanang”. Dengan murah’ pasca gempa begitu, gagasan lumbung terasa seperti menjadi pilihan gagasan yang sukar dilaksanakan. masyarakat, mengingat “Gabah wae ra nduwe”, kata mereka. keinginan mengumpulkan modal Oleh pemerintah, lumbung padi yang membangun rumah dikelola dan dimanfaatkan secara lokal, permanen sudah terasa ‘dikalahkan’ dengan pendirian BULOG semakin mendesak. Ini pada masa Orde Baru. BULOG dan merupakan masalah pemerintah menentukan harga gabah, tersendiri yang sampai membeli gabah melalui pedagang besar sekarang belum (tengkulak petani). BULOG juga menemukan cara kemudian menyimpan dan mengeluarkan pemecahan yang gabah ‘sesuai instruksi dari atas’. efektif. Meskipun Bahkan, akhir-akhir ini, BULOG semakin demikian, semua berperan ‘menghancurkan petani lokal’ dengan mengimpor beras besar-besaran, di waktu petani memanen padinya, sehingga harga gabah petani rendah. warga Dukuh mengaku tetap menginginkan lumbung tersebut terbangun kembali di masa depan. Pengambangan Usaha Bersama dan Koperasi Warga. Seperti diuraikan sebelumnya, gagasan ini terutama muncul dari ibu- ibu dan remaja putri. Mereka memang sudah memulainya sejak tahap pembersihan reruntuhan dan pembangunan hunian sementara telah rampung, sekitar 3 bulan setelah gempa. Meskipun berjalan tertatih- tatih, namun prakarsa kaum perempuan Dukuh itu tetap hidup. Ketika ada bantuan baru berupa dana untuk pengadaan alat-alat pertanian (traktor tangan, mesin prontok padi, dan pompa air), warga segera melakukan rembug lagi. Maka prakarsa kaum perempuan tadi diperluas menjadi ‘Koperasi Warga’ secara keseluruhan. Dibahas lah mekanisme pengelolaan alat-alat (manajemen aset) bersama 305
GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial Rembug warga itu menghasilkan beberapa kesepakatan seperti pada tabel berikut: TABEL-11.1: Keputusan Rembug Warga Dukuh tentang Pengelolaan Peralatan Pertanian Koperasi Pilihan-1: PENYEWAAN TRAKTOR Penanggungjawab Ketua Koperasi Rw 06 Potensi penyewa Warga RW 06 (70 KK); Warga Luar RW 06 Harga sewa (160 KK) Pemanfaatan uang sewa Rp. 90.000 Tenaga operasional Kas Koperasi yang akan dibagi pada tutup tahun buku 25%; Kas RT 25%, Bantuan Sosial 25%, Pemeliharaan 25% Warga RW 06 yang disepakati oleh anggota koperasi Cara pengadaan bahan Ditanggung koperasi dengan mengambil Bakar dari hasil operasi peralatan Perbedaan harga antara Warga RW 06 Rp. 70.000/pathok, warga sendiri dengan Warga non RW 06 Rp. 80.000/pathok orang luar Nasib buruh luku dengan dengan area dusun yang luas (sekitar 75 adanya penyewaan traktor. hektar=350 pathok), hadirnya traktor tidak mengganggu wilayah kerja buruh luku, selain jumlah luku memang sudah mulai berkurang Pilihan-2: PENYEWAAN MESIN PERONTOK PADI Penanggungjawab Ketua Koperasi Rw 06 Potensi penyewa Warga RW 06 (70 KK)·; Warga Luar RW 06 Harga sewa (160 KK) Pemanfaatan uang sewa Rp. 30.000 Tenaga operasional Kas Koperasi yang akan dibagi pada tutup tahun buku 25%; Kas RT 25%, Bantuan Sosial 25%, Pemeliharaan 25% Warga RW 06 yang disepakati oleh anggota koperasi 306
BABGAIGANIA-NI, -MII:eMmeanhcaombiaMBaesrabluaaht Cara pengadaan bahan Ditanggung koperasi dengan mengambil Bakar dari hasil operasi peralatan Perbedaan harga antara Warga RW 06 Rp. 30.000/pathok, warga sendiri dengan Warga non RW 06 Rp. 27.000/pathok orang luar dengan area dusun yang luas (sekitar 75 Nasib buruh luku dengan hektar=350 pathok), hadirnya traktor tidak adanya penyewaan mengganggu wilayah kerja buruh perontok traktor. tradisional. Jumlah panen masih tetap lebih banyak dibanding kapasitas mesin Pilihan-3: PENYEWAAN MESIN SEDOT AIR Penanggungjawab Ketua Koperasi Rw 06 Potensi penyewa Warga RW 06 (70 KK)·; Warga Luar RW 06 Harga sewa (160 KK) Pemanfaatan uang sewa Rp. 5.000 bersih Tenaga operasional Kas Koperasi yang akan dibagi pada tutup tahun buku 25%; Kas RT 25%, Bantuan Sosial 25%, Pemeliharaan 25% Warga RW 06 yang disepakati oleh anggota koperasi Cara pengadaan bahan Ditanggung koperasi dengan mengambil Bakar dari hasil operasi peralatan Perbedaan harga antara Warga RW 06 Rp. 5.000 bersih/pathok, warga sendiri dengan Warga non RW 06 Rp. 5.000/jam orang luar Nasib buruh luku dengan * Alat ini dapat berfungsi untuk mengairi adanya penyewaan traktor. sawah dan sekaligus untuk kontrol air sumur. * Saluran irigasi tidak memadai untuk seluruh kawasan, sehingga kebutuhan sedot air selalu terjadi di sepanjang musim. Dalam perkembangannya, pengelolaan koperasi peralatan ini, dinilai oleh beberapa orang, seperti Mbah Adi kuat, tidak menimbulkan manfaat secara langsung bagi semua warga, terutama bagi dia sendiri. 307
GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial Kecurigaannya mulai Kembalinya tradisi ‘rebutan’ dan muncul, dengan menduga ‘menang-menangan’ menandakan bahwa pengelola bahwa kerja mengorganisir melakukan korupsi. Meski masyarakat, baik yang dilakukan oleh demikian, di akhir tahun pemerintah, LSM atau lembaga lainnya 2006, koperasi itu sewaktu menangani korban gempa, berkembang dan belum mampu menciptakan sistem menambah asetnya sosial dan mekanisme bersama yang berupa kursi-kursi plastik bisa dijalankan secara baik dan adil yang bisa digunakan oleh menurut masyarakat. warga yang melaksanakan perhelatan (perkawinan, Di samping itu, turunnya bantuan dari kematian, dan pemerintah dengan sistem yang sebagainya), selain bersifat ‘bantuan kepada perseorangan’ disewakan kepada warga mendukung munculnya sikap ‘lebih dukuh lain. mementingkan diri sendiri’ di masyarakat, mengarah lagi pada penghancuran rasa gotong royong dan kebersamaan di dalam masyarakat. Masalah yang masih Warga Dukuh merasa, mereka hanya tersisa adalah mampu ‘berbisik-bisik’ dan tidak mengembangkan suatu memiliki kemampuan untuk strategi usaha koperasi ‘menentang’ kebijakan tersebut. yang lebih mantap, Pilihannya adalah: ‘menentang’ atau terutama untuk ‘tidak menerima dana bantuan’. mewujudkan gagasan besar pembentukan suatu Siapa yang bertanggungjawab dengan keadaan ini? Badan Usaha Milik Desa (BUMD). Tetapi, sekali lagi, ini semua sangat tergantung pada kesepahaman seluruh warga tentang lembaga tersebut serta keberlanjutan kekompakan mereka yang telah terbentuk selama masa-masa sulit beberapa bulan setelah gempa. Ada kecenderungan kekuatan itu mulai memudar lagi, antara lain, juga oleh pengaruh ‘desas-desus’ warga dusun tetangga, Dengkeng Cilik, yang ‘merasa dianak-tirikan’ oleh Ketua RW dan Carik Desa yang tinggal di Dukuh dan terlalu memprioritaskan pembangunan Dukuh saja. Di tengah semua riak itu, harapan masih tetap sangat beralasan. Kerja gotong royong masih tetap terjaga ketika kehidupan warga mulai pulih perlahan-lahan dan mereka mulai membangun rumah-rumah permanen. Ketika bantuan pemerintah untuk pembangunan rumah permanen akhirnya benar-benar terwujud pada akhir tahun 2006, mereka masih tetap menempuh mekanisme rembug warga dalam 308
BABGAIGAINA-NI,-MII:eMmeanhcaombai MBaesrbaulaaht pembagiannya. Sampai seberapa jauh semua itu bisa bertahan akan sangat bergantung pada kemampuan dan kesadaran bersama warga Dukuh sendiri. Pekerjaan Besar yang Belum Selesai Dinamika sosial, gagasan-gagasan, dan perkembangan yang terjadi dan dikerjakan oleh warga Dukuh akan terus berjalan, ada atau tidak ada gempa bumi. Kesemua tindakan bersama mereka untuk menangani gempa sebenarnya adalah suatu permulaan dari pekerjaan panjang yang harus terus dijaga, dirembug dan dipikirkan bersama-sama oleh mereka sendiri. Secara bertahap, kelanjutan dinamika ini harus menuju kepada penyelesaian isu-isu yang lebih strategis dalam kehidupan mereka di masa depan. Untuk itu, semua unsur yang terlibat dalam isu-isu strategis tersebut, baik dari dalam maupun dari luar Dukuh, menjadi subyek yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Warga Dukuh sendiri harus semakin menyadari bahwa mereka tidak bisa hidup sendiri. Belajar dari realitas yang terjadi di Dukuh, maka penanganan korban bencana harus menjadi suatu sistem dan upaya strategis yang sepenuhnya wajib didorong oleh kebijakan negara, terutama untuk mendukung kekuatan-kekuatan dan kemandirian lokal yang situasinya berbeda-beda. Kesetiakawan horizontal, kekuatan hubungan antar komunitas, gagasan-gagasan dan kearifan masyarakat sendiri, semuanya adalah unsur-unsur penting untuk mengurus bencana. Gagasan-gagasan dan kearifan masyarakat lokal korban bencana tidak boleh ‘dilanggar’ dengan ‘kebijakan pemerintah’ atau ‘mekanisme lorganisasi’ yang melakukan tindakan perbantuan kemanusiaan kepada mereka, sebagaimana yang masih sering terjadi di banyak daerah bencana selama ini. Kehadiran pemerintah, ORNOP, atau organisasi lainnya, sebaiknya memang lebih dibatasi sampai pada tahap dan taraf tertentu, tidak boleh ‘masuk terlalu dalam’ sampai ke tingkat teknis dan rincian operasional yang sesungguhnya dapat dirumuskan dan dikerjakan lebih baik oleh warga sendiri. Inilah sebenarnya yang disebut sebagai asas subsidiarity dalam prinsip-prinsip penanggulangan atau pengurangan resiko bencana, seperti yang kemudian dirumuskan dalam Undang-undang No.24/2007 tentang Kebencanaan. Dengan demikian, sedikit demi sedikit, masyarakat koran bencana memiliki peluang untuk menemukan dan menciptakan sendiri sistem ketahanan sosial (community resilience) mereka yang paling sesuai dengan konteks lokalnya. 309
GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial Semua itu mempersyaratkan adanya upaya-upaya pendidikan masyarakat yang sistematis. Ini merupakan pekerjaan besar jangka panjang yang tak akan pernah selesai. Pengalaman pendampingan warga korban bencana gempa-bumi di Dukuh memperlihatkan bahwa tindakan-tindakan perbantuan kemanusiaan semestinya tidak hanya diartikan sebagai upaya ‘pembangunan dan pemulihan kembali’ (reconstruction and rehabilitation) seperti yang umum selama ini, tetapi lebih mendasar adalah juga harus dimaknakan sebagai tindakan bersengaja ke arah ‘penataan ulang’ (remaking) keseluruhan tata ruang, tata kelola, tata guna dan, yang terpenting, tata kuasa dari seluruh sumberdaya setempat. Dalam pengertian ini, kejadian bencana --alam maupun buatan manusia-- justru harus dipandang sebagai peluang (momentum) untuk menciptakan suatu ‘tatanan baru kemasyarakatan’ yang lebih baik dan lebih adil. 310
BAGIAN-I, Memahami Masalah 311
GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial 312
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164
- 165
- 166
- 167
- 168
- 169
- 170
- 171
- 172
- 173
- 174
- 175
- 176
- 177
- 178
- 179
- 180
- 181
- 182
- 183
- 184
- 185
- 186
- 187
- 188
- 189
- 190
- 191
- 192
- 193
- 194
- 195
- 196
- 197
- 198
- 199
- 200
- 201
- 202
- 203
- 204
- 205
- 206
- 207
- 208
- 209
- 210
- 211
- 212
- 213
- 214
- 215
- 216
- 217
- 218
- 219
- 220
- 221
- 222
- 223
- 224
- 225
- 226
- 227
- 228
- 229
- 230
- 231
- 232
- 233
- 234
- 235
- 236
- 237
- 238
- 239
- 240
- 241
- 242
- 243
- 244
- 245
- 246
- 247
- 248
- 249
- 250
- 251
- 252
- 253
- 254
- 255
- 256
- 257
- 258
- 259
- 260
- 261
- 262
- 263
- 264
- 265
- 266
- 267
- 268
- 269
- 270
- 271
- 272
- 273
- 274
- 275
- 276
- 277
- 278
- 279
- 280
- 281
- 282
- 283
- 284
- 285
- 286
- 287
- 288
- 289
- 290
- 291
- 292
- 293
- 294
- 295
- 296
- 297
- 298
- 299
- 300
- 301
- 302
- 303
- 304
- 305
- 306
- 307
- 308
- 309
- 310
- 311
- 312