BABGAIGAINA-NI,-MII:eMmeanhcaombai MBaesrbaulaaht mereka berkegiatan sendiri-sendiri di tempat yang berbeda-beda. Majelis Taklim ibu-ibu juga tidak berkembang dari apa yang sudah lazim, hanya menyelenggarakan pengajian-pengajian biasa saja. Perubahan yang lebih penting dalam peningkatan kemampuan dan kesetaraan kaum perempuan disana belum tersentuh sama sekali. Perpustakaan masjid juga mulai terlantar, tidak ada tambahan buku- buku baru yang sesuai dengan kebutuhan warga jama’ah. Dan, masih banyak lagi... Melangkah Ke Depan Daeng Rani bukanlah seorang keturunan bangsawan. Lelaki separuh baya yang ulet ini hanya lah seorang penjaja keliling es poteng yang diproduksinya dengan modal kecil. Dia tak terlalu dirisaukan lagi oleh persoalan ketersediaan modal kerjanya, karena ada masjid yang yang memiliki keberpihakan pada orang kecil. Dia tak ingin melihat dan mendegar pengleola masjid itu nanti terjebak dalam perangkap ketamakan seperti yang dilakukan oleh para pengurus KOSPIN dan KSU ‘Milik Bersama’ yang memalukan itu. Daeng Rani bersyukur atas semua jalan baru yang dibukakan oleh masjid kampungnya, walaupun dalam hatinya masih sedih melihat hamparan lahan tanah liat untuk pembuatan bata-merah yang pernah dikerjakannya selama kurang lebih sepuluh tahun, tetapi kini hanya menjadi ‘lahan tidur’ yang kering. Dia punya harapan yang besar agar para orang pandai dan terpelajar di kepengurusan masjid itu menemukan jalan baru lainnya lagi untuk membuat lahan-lahan itu kembali subur, menjadi sawah-sawah dengan sistem pengairan yang bagus, sehingga panen bisa dilakukan dua hingga tiga kali setahun seperti di tempat-tempat lainnya. Mengapa tidak? Aliran sungai dari dataran tinggi Malino di bagian utara, juga aliran Sungai Bili-bili cukup besar untuk dimanfaatkan bagi lahan-lahan pertanian di sekitar Bontonompo. Bahkan irigasi disepanjang jalan raya utama Kabupaten Gowa sering melimpah kelebihan air pada musim hujan, mengakibatkan banjir di sekitarnya. Daeng Rani juga ingin melihat kepengurusan masjid kampungnya itu semakin baik, semakin kompak, semakin terbuka. Dirinya yang hanya kawula biasa, bukan turunan ningrat dan dari kalangan tidak berpendidikan tinggi, berharap selalu bisa diajak pula bicara soal-soal kemaslahatan bersama di masjid yang kini mulai rajin didatanginya setiap waktu shalat jama’ah maghrib, isya, dan subuh itu. 251
GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial Daeng Rani, dan warga sesamanya di Bontonompo, masih punya banyak harapan pada masjid bersejarah itu. Kini tinggal waktu yang menentukan apakah masjid tu nanti memang dapat memenuhi harapan-harapan itu. ‘Keberanian menyimpang’ dari sejarah pendirian awalnya dulu yang kini ditempuh, masih perlu banyak pembuktian lagi, membuka sejarah baru berikutnya yang lebih dirasakan manfaatnya oleh orang-orang seperti Daeng Rani. 252
BAGIAN-I, Memahami Masalah UNGGUL atau 10 ANGGUN? Madrasah Aliyah Gondang Menolak Elitisme Pendidikan MUHAMMAD DIAN NAFI’ AHMAD ROFIK* Lahir dan Tumbuh Bersama Masyarakat Mas Djisam (1935-1989) meniti karir sebagai pedagang kelontong di desanya,Gondang, Sragen, Jawa Tengah. Waktu luangnya dipergunakan untuk menelaah kitab-kitab rujukan belajarnya dulu di berbagai pesantren. Pada sore hari, ia mengajar di satu madrasah diniyah (sekolah yang kurikulumnya sebagian besar adalah ilmu keagamaan Islam) yang diprakarsai bersama mertuanya, Haji Muhammad Barmawi, dan tetangga sekitar. Selepas magrib, belasan remaja dari beberapa dusun mendatanginya. Agar dapat mengaji usai shalat subuh, sebagian dari remaja itu menginap di mushalla berukuran 6 x 6 meter, berdinding papan, yang dibangun pada tahun 1940an. Mereka meminta dibimbing membaca al-Qur’an dan buku-buku agama berbahasa Arab yang lebih tinggi daripada isi kurikulum di madrasah diniyah itu. Mas Djisam juga menampilkan diri sebagai pelatih olahraga bagi pemuda di sekitarnya. Mereka juga diajak berlatih pertukangan. Ketenarannya sebagai ‘Kyai’ seperti hendak ditutupi, malah memilih *Anggota Tim PAR, Pusat Studi Pengembangan Madrasah dan Pesantren (PSPMP), Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta. Tulisan ini adalah ringkasan dari laporan lengkap yang dilaksanakan bersama Mufrod Teguh Mulyo, Ahmad Dardiri Hasyim, dan Lintang Pamugar Mukti Aji (dari UNU Surakarta), serta Minanul Aziz Syathori, Winarno, Mohammad Sobirin, Nur Hidayati, Arif Syarifudin, dan Solikul Hadi (MANU Gondang, Sragen). 253
GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial menemani anak-anak kampung agar bisa berpidato dengan baik, dan melatih warga menjadi khatib dan muballigh daripada ia sendiri tampil di mimbar. Seumur hidupnya, hanya pernah dua kali tokoh ini terlihat menyampaikan khotbah Jum’at di masjid desa. Itupun dilakukan dua tahun sebelum wafatnya. Koleksi buku-bukunya ditata dan ditambah dengan bahan-bahan dari karibnya, menjadi tempat anak-anak menikmati bacaan. Tidak jarang, saat liburan madrasah, terlihat beberapa guru agama di kecamatan itu mengaji kepadanya, sekitar dua jam sehari. Desa tempatnya tinggal lebih dekat kepada ciri-ciri abangan. Bersama lulusan pesantren lain yang tinggal di desa itu, Mas Djisam melanjutkan tugas para penyebar agama Islam pendahulunya dengan menyiapkan bagian penting; yaitu ‘komunitas pembelajar’ dan ‘tenaga pembimbing’. Pada setiap minggu terakhir bulan ramadhan, tokoh ini selalu menyisihkan waktu untuk belajar lagi di berbagai pesantren. Tugasnya digantikan sementara oleh murid-murid seniornya. Mas Djisam menjadi satu legenda sendiri di Desa Gondang. Misalnya, satu kejadian pada bulan Juli 1971. Waktu itu, halaman rumahnya dipergunakan untuk kampanye Partai Nahdlatul Ulama (NU). Sehari sebelumnya, warga kerja bakti, membuat dan menghias panggung, menata meja kursi, dan perlengkapan perhelatan. Mereka adalah warga desa setempat. Ada yang Tionghoa, Madura, dan beragam latar belakang agama. Begitulah masyarakat desa ini menanggap kampanye partai politik. Semua diperlakukan sebagai arena kerja bakti bersama. Setiap partai politik mengadakan kampanye, maka warga desa itulah yang punya hajat. Hanya beberapa jam sebelum pertemuan besar itu, satu mobil jip berhenti di depan rumah Mas Djisam. Dalam pakaian rapi, ia naik mobil itu diiringi pandang mata heran beberapa orang tetangganya. Guru madrasah itu pergi entah kemana dan baru pulang kembali ke rumahnya saat kampanye selesai. Hari sudah dini. Kabar yang beredar: Mas Djisam ‘diciduk’. Itu sebutan untuk ‘dijemput paksa’. Tokoh ini kaget dengan kabar itu keesokan harinya. Ia ke kantor kecamatan, meminta foto yang memperlihatkan bahwa ia sedang kerja bakti bersama para guru lainnya mempersiapkan keperluan untuk pemungutan suara. Foto itu diperlihatkan kepada keluarga dan beberapa tetangga, bahkan dipasang di ruang tamu. Maksudnya jelas, agar masyarakat mengetahui bahwa Pak Guru mereka tidak diciduk. Tetapi kabar itu tidak surut. Setelah masa kampanye dan pemiihan umum lewat, apa yang terjadi adalah jauh berbeda dari yang dinikmati warga sebelumnya. Anak- 254
BABGAIGAINA-NI,-MII:eMmeanhcaombiaMBaesrabluaaht anak dari beragam agama dan suku --baik orang Jawa, Madura, dan Tionghoa-- tidak lagi bermain-main di halaman madrasah diniyah dan surau tempat Mas Djisam mengajar. Lapangan bulu-tangkis di halaman rumahnya, arena tenis meja, permainan catur dan kelereng di depan surau dan kompleks pengajiannya dulu itu, berkurang keragaman pengunjungnya. Hanya yang muslim saja yang tetap berkegiatan dan bermain di sana. Anak-anak Kristen tidak lagi ikut berdesakan dengan murid-murid mendengarkan dongeng guru di madrasah. Perubahan besar memang sedang terjadi. Di genting- genting rumah, termasuk rumah Mas Djisam dan madrasah itu, nampak tulisan-tulisan ‘MODES’. Itu kependekan dari ‘Modernisasi Desa’. Tekanan semantik memang ditonjolkan saat itu. Tetapi Mas Djisam tetaplah Mas Djisam. Ia tetap saja rutin mengajar dan menemani anak-anak muda berlatih pertukangan dan olahraga. Saat ia menjadi Pengurus Rukun Tetangga (RT), di madrasah itu berlangsung latihan rias pengantin bagi para pemudi, dekorasi pernikahan Jawa bagi pemuda, dan sinoman bagi pemuda dan pemudi.1 Kepala Desa, Camat, dan Komandan Rayon Militer, hadir saat penutupan bersama para sesepuh. Kesertaan mereka masih juga terasa sampai sekarang saat pesantren ini menyelenggarakan acara tahunan. Maka, warga Desa Gondang pun berduka ketika Mas Djisam meninggal dunia. Beberapa orang yang dikenal tidak pernah shalat dan bekerja jauh dari kepatutan, juga yang bukan muslim, menangis saat jenazah tokoh ini diturunkan dari ambulans. Orang-orang itu menuturkan Mas Djisam tidak pernah membicarakan kekurangan mereka. Anak-anak mereka diperlakukan sama dengan yang lain, termasuk jatah hadiah sarung dan kopiah dari orang-orang kaya, saat mereka khatam mengaji sampai dengan surah Ad-Dluha, dan seekor ayam yang dimasak soto isterinya untuk makan bersama saat khataman Juz ‘Amma. Setelah wafat, sapaannya ‘melompat’ menjadi ‘Mbah Djisam. Doa dan nasehatnya dikutip banyak orang. Sebelas tahun setelah wafat, para tetangga meminta kepada penerusnya untuk mendirikan pesantren, agar kebiasaan Mas Djisam 1Sinoman berasal dari kata sinom. Kata dasarnya anom, artinya muda. Sinom berarti mengambil peran kepemudaan. Sinoman biasanya dipergunakan untuk menunjuk kelompok pemuda kampung yang bertugas meringankan warga yang sedang menyelenggarakan perhelatan, dari menyiapkan tempat sampai menyajikan makanan dan minuman. 255
GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial dilanjutkan. Mereka meminta keluarga ini memberi nama. Dipilihlah: ‘An-Najah’. Artinya: sukses. Nama ini dipilih karena sering tercantum dalam surat-surat Mas Djisam untuk anak-anaknya. Kenangan baik tentang Mas Djisam menjadikan pesantren itu tetap ramai didatangi orang. Madrasah diniyah sore hari yang dulu dirintisnya tetap terselenggara. Bahkan semakin lengkap dengan tingkat Awaliyah, Wustha, serta kelas calon ustadz yang diikuti beberapa pemuda saja. Itulah sepotong sejarah Pesantren An-Najah yang kemudian diminta untuk membina Madrasah Aliyah Nahdlatul Ulama (MANU) di Gondang. Mengapa Mereka Datang? Gondang adalah nama desa sekaligus kecamatan di sisi tenggara Kabupaten Sragen. Lokasinya sekitar 53 km ke arah timur (ke arah Surabaya) dari Kota Solo dengan waktu tempuh sekitar 75 menit dengan sepeda motor, atau 90 menit dengan mobil. Gondang terletak paling timur dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Ngawi, Propinsi Jawa Timur. Kawasan ini termasuk pedesaan yang tidak dikenal sebagai masyarakat santri.2 Mata pencaharian penduduk umumnya petani. Di urutan berikutnya adalah pedagang dan buruh. Beberapa seniman tradisional Jawa yang terkenal di pentas nasional lahir di desa ini, baik penyanyi maupun dhalang3, termasuk dhalang perempuan. Lokasinya yang berada di jalur perlintasan Jawa Tengah dan Jawa Timur mendorong arus manusia, barang, dan uang yang cukup tinggi. Konflik sosial terhitung tinggi di desa ini sejak tahun 1960an. Dalam lima tahun terakhir terjadi beberapa kali pertengkaran massal karena berbagai alasan. Pertengkaran-pertengkaran sering menjadi perbincangan warga. Alasan ekonomi sering ditempatkan sebagai alasan utama. Dan, geliat perdagangan yang kuat setiap hari terjadi di desa ini menyisakan pertanyaan: mengapa alasan ekonomi disimpulkan sebagai penyebab pertengkaran? Padahal, pasar Gondang seperti pasar induk. Para pedagang dan pembeli datang dari kecamatan-kecamatan, baik yang termasuk Kabupaten Sragen maupun Ngawi serta daerah-daerah yang lebih jauh. Beberapa pedagang dari pantai utara Jawa Tengah bahkan memiliki beberapa toko kelontong dan gudang di dekat pasar ini. Luas 2Pengertian ‘santri’ di sini adalah pengamal rukun Islam. 3Dalang, pemimpin pertunjukan wayang. 256
BABGAIGAINA-NI,-MII:eMmeanhcaombiaMBaesrabluaaht PETA-10.1: Letak Desa Gondang, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah INDONESIA PULAU JAWA KABUPATEN SRAGEN dan sekitarnya, JAWA TENGAH JAWA TIMUR GONDANG SRAGEN JAWA TIMUR batas propinsi KOTA SOLO KABUPATEN KARANGANYAR GUNUNG LAWU KABUPATEN WONOGIRI pasar itu sendiri sekitar empat kali luas lapangan sepak bola. Pada tahun 2005, sudah dirasa kurang, sehingga bekas kompleks Kantor Kawedanan di sebelah baratnya juga dibangun puluhan kios untuk menampung pedagang. Rumah-rumah penduduk di sekeliling pasar pun lambat laun menjadi kios dan rumah toko dengan beragam barang dagangan. Pada masa kolonial dulu, berdiri Pabrik Gula ‘Gondang Baru’, tetapi telah lama ditutup. Sebagian besar kawasan bekas pabrik gula itu, sekitar 4 hektar, telah dibeli oleh pemilik percetakan buku dari Surakarta. Desa ini terletak di kaki Gunung Lawu, pada sisi utaranya. Air mengalir lancar dari sumber-sumber di gunung itu ke sawah-sawah penduduk. Kemudahan irigasi itu menjadikan kawasan ini sekaligus menjadi 257
GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial penghasil beras yang diperhitungkan. Tetapi kandungan kapur yang tinggi menimbulkan kesulitan tersendiri untuk kebutuhan makan dan minum. Endapannya cukup tebal di teko-teko dan berwarna putih. Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kabupaten Sragen menawarkan pembangunan jaringan air minum pada tahun 1990, dan segera disambut warga masyarakat. Kabupaten Sragen dibelah oleh jalur tengah Jakarta-Surabaya lewat Surakarta. Kawasan kabupaten ini terdiri atas 20 kecamatan; 11 kecamatan di antaranya terletak di sisi utara Bengawan Solo: tandus, dan relatif miskin; sementara 9 kecamatan lainnya berada di sisi selatan sungai raya yang terkenal itu: lebih subur, sehingga mata pencaharian penduduk setempat lebih terjaga. Kesenjangan ini seolah membenarkan data bahwa Kabupaten Sragen berada pada peringkat ke-3 tingkat buta aksara di seluruh Propinsi Jawa Tengah. Itu menurut data Badan Pusat Statistik tahun 2003. Kenyataan ini menggugah berbagai pihak untuk ikut serta menjawabnya. Di kota kecamatan ini terdapat 35 sekolah dan madrasah: 33 Sekolah Dasar (SD) Negeri; dan 2 Madrasah Ibtidaiyah (MI) Swasta. Di tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), ada 5 sekolah: 2 Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri; 1 Madrasah Tsanawiyah (MTs) Negeri; 1 MTs Swasta, dan SMP An-Najah. Selanjutnya, pada tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA), juga ada 5 sekolah: 1 SMA Negeri, 1 SMA Muhammadiyah, 1 Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) An-Najah, 1 Madrasah Aliyah (MA) Muhammadiyah; 1 SMK Negeri Gondang; dan MANU Gondang. Sementara itu, di sebelah utara Desa Gondang, sekitar lima kilometer, terdapat satu MA Negeri Mantingan, yang sudah masuk dalam wilayah Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Banyak dan beragamnya lembaga yang menawarkan jasa pendidikan di Gondang itu semakin menuntut setiap sekolah atau madrasah bersaing menjawab tuntutan masyarakat kepada mereka. Di sana bukan hanya mutu guru yang dipertaruhkan. Keadaan prasarana dan sarana juga ikut menentukan daya tarik suatu sekolah dan madrasah. SD Negeri Gondang 1 dan SMP Negeri 1 Gondang adalah ‘sekolah favorit’ bagi masyarakat kecamatan ini, sehingga selalu menjadi sekolah tujuan bagi mereka yang yang terhitung mapan secara ekonomi. Letak SD Negeri 1 Gondang itu berdekatan dengan MANU Gondang. Berkembangnya nalar pasar dan minimnya keuangan, membuat madrasah yang satu ini berada pada keadaan ‘bertahan hidup’. Beberapa calon wali murid dari Tempursari dan Pakah, keduanya termasuk wilayah Ngawi, urung memasukkan anak mereka 258
BABGAIGAINA-NI,-MII:eMmeanhcaombai MBaesrbaulaaht PETA-10.2: Letak MANU dan Beberapa Lembaga Terkait di Desa Gondang DESA GRINGGING ke Jalan Raya Solo-Surabaya ke Kota Sragen 6 DESA BANYUURIP Jagalan Plumbun Gondang- Badran 3 Tegalrejo tani 1 2 4 Gondangbaru 5 87 DESA Bangunrejo KuGlroansak Baben JAWA PLOSOREJO Grasak Kebonagung TIMUR Segeran JAWA ke Magetan TENGAH DESA GLONGGONG 1. SMK An-Najah 5. Pasar 2. Pesantren An-Najah & MANU 6. Lahan garapan guru & murid MANU 3. TPH Jagalan 7. Stasiun Kereta Api 4. Masjid Badrul Munir 8. Balai Desa ke madrasah ini. Mereka beralasan gedungnya jelek. Malah ada yang berterus terang, “Jika gedungnya jelek, mestinya gratis.” Murid-murid MANU Gondang memang sebagian besarnya justru berasal dari luar lingkungan kecamatan Gondang sendiri, bahkan dari luar Kabupaten Sragen. Madrasah ini dicukupi dengan tenaga pengajar 22 orang guru. Lima orang adalah guru tetap dan 17 orang lainnya guru tidak tetap. Tenaga administrasi sebanyak 3 orang. Tetapi, meski bukan ‘sekolah favorit’, MANU Gondang tetap didatangi murid-murid baru setiap tahunnya, meski tidak sebanyak ke sekolah- sekolah lain yang tampakannya lebih megah. Para orangtua dan murid-murid MANU Gondang punya alasan tersendiri masuk ke madrasah ini. Yang terekam, antara lain, adalah: Madrasah ini bisa menjadi lapangan pekerjaan, meskipun tidak penuh untuk menopang penghasilan, tetapi ijazah keguruan yang mereka peroleh dengan belajar bertahun-tahun tidak mubazir. Madrasah ini menambah arus manusia ke dusun ini, sehingga penduduk memperoleh manfaat ekonomi dan pengembangan 259
GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial wilayah. Madrasah ini diperlukan karena bisa menambah citra yang lebih baik bagi masyarakat Gondang, terutama bagi generasi mudanya. Madrasah ini menyediakan para relawan pembimbing untuk Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA) di sekitar dukuh Gondangtani. Warga masyarakat, jama’ah mushalla dan masjid tidak lagi kesulitan mendapatkan pendamping kegiatan ritual setelah madrasah ini mulai berjalan. Murid-murid madrasah ini bisa menjadi bandingan bagi ‘anak-anak sekolahan’ yang akhir-akhir ini lemah unggah-ungguh (sopan santun) nya kepada yang lebih tua. Sudah banyak amal jariyah warga masyarakat dipercayakan ke madrasah ini sejak lama, sehingga berdirinya MANU menambah nilai pahala bagi para penyumbang (muhsinin) itu.4 Masyarakat Gondang membutuhkan simpul pengembangan Islam yang terkelola dengan baik sebagai kelanjutan dari rintisan yang sudah lama.5 Madrasah ini menyediakan kurikulum yang setara dengan pesantren-pesantren yang ada di daerah lain, tetapi biayanya lebih terjangkau. Alasan yang lebih khusus dikemukakan oleh beberapa orang karena masa lalunya yang tidak ingin dibuka. Mereka merasa tidak percaya diri untuk tampil di dalam acara-acara penting, seperti meminang 4 MANU Gondang dianggap sebagai kelanjutan dari kegiatan pengajian di Mushalla Al-Mukhlishin dan Madrasah Diniyah --lebih dikenal sebagai Madrasah Ibtidaiyah (MI)-- rintisan Mas Djisam di atas tanah jariyah (sumbangan) Haji Muhammad Barmawi sejak tahun 1958. 5 Sampai dengan tahun 1960an, jumlah jama’ah shalat Jumat di masjid desa Gondang (Masjid Mujahidin) hanya 13-15 orang. Jumlah jama’ah itu berangsur-angsur tambah seiring dengan menguatnya peran madrasah diniyah yang --oleh KHA Djisam Abdul Mannan-- dikembangkan menjadi wahana pelatihan remaja, marching band, dan klub-klub olahraga yang tidak hanya diikuti oleh murid pengajian dan madrasah diniyah. Ini dituturkan oleh H.Ali Machfud, donatur masjid Mujahidin Gondang yang mendukung kegiatan-kegiatan KHA Djisam itu. Donatur itulah yang meyakinkan pentingnya simpul kegiatan keislaman setelah terputusnya pengajian al- Qur’an yang diselenggarakan oleh Mbah Fudloli di dusun Grasak, 200 meter selatan madrasah diniyah ini, karena pindah ke Tanggung, Sine, Ngawi, Jawa Timur, sekitar 15 km arah selatan desa Gondang. 260
BAGIAN-I, Memahami Masalah calon menantu, menyerahkan anak untuk menjalani akad nikah, dan sejenisnya. Para guru madrasah ini dianggap oleh warga mewarisi sifat- sifat terpuji pendahulu mereka, Mbah Djisam: rendah hati dan ‘merakyat’, selalu dengan senang hati untuk menjadi wakil atau pendamping bagi mereka untuk berbagai keperluan semacam itu. Sebagian teladan yang diwariskan oleh Mas Djisam, para guru madrasah ini selalu meluangkan waktu untuk membntu meringankan beban psikologis warga setempat. Semua itu diterima dengan lega hati oleh warga, terbukti beragam orang dari berbagai tingkat kalangan dan lapisan, termasuk mereka yang selama ini dianggap ‘rendah kadar keberagamannya’, selalu ikut hadir dan bersedia membantu setiap kali haul (hari ulang tahun wafat) para perintis madrasah diselenggarakan. Terungkapnya alasan-alasan itu memudahkan pengelola MANU Gondang memetakan kepekaan-kepekaan tertentu yang berpengaruh pada pengembangan madrasah. Bagi kebanyakan masyarakat desa, hal-hal semacam itu sangat penting diperhatikan. Keresmian yang ada di balik jabatan-jabatan Kepala Madrasah, Wakil Kepala Madrasah, atau Ketua Komite Madrasah, dan sebagainya, menjadi cair setelah para pengemban jabatan itu memahami berbagai aspek peka di kalangan warga. Perlakuan tidak membeda-bedakan yang diwariskan Mas Djisam --dan tetap dipraktikkan oleh para pengelola MANU Gondang sampai saat ini-- telah membentuk jalur-jalur hubungan perseorangan yang mendukung perilaku organisasi yang egaliter. Hubungan pergaulan yang egaliter ini disukai oleh warga desa. Istilah yang dikemukakan oleh KH Minanul Aziz Syathori, sang penerus, adalah ‘padha-padha’. Secara harfiah artinya adalah ‘sama-sama’. Maksudnya, beban dan keuntungan karena adanya madrasah ini, harus bisa dirasakan oleh semua, sehingga mendekati rasa adil komunitasnya. Para Pelaku dan Peran Salah satu inti semangat pendirian MANU Gondang --seperti juga Pesantren An-Najah sebagai lembaga pembinanya-- adalah terbentuknya suatu ‘komunitas pembelajar’. Mas Djisam merintisnya selama 31 tahun. Pembangun komunitas ini di Gondang sebenarnya adalah warga yang sering disebut abangan itu. Mereka dan anak-anak mereka datang kesana karena membutuhkan arena dan teman-teman untuk bermain, belajar, dan mengaji, tanpa ada yang mempersoalkan latarbelakang dan sejarah hidup merela selama ini. Kebutuhan mereka itulah yang kemudian memunculkan peran-peran guru mengaji, 261
GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan SosiBaAl GIAN-II: Mencoba Berbuat pembimbing, pengelola kegiatan belajar, pengelola kegiatan keagamaan, dan komite madrasah. Peran-peran itu muncul sebagai salah satu akibat dari tingginya arus pergerakan (mobilitas) manusia di wilayah lintas-batas antar dua propinsi itu. Sebagai wilayah perlintasan di salah satu jalur perhubungan darat terpadat di Pulau Jawa, terjadilah arus pertukaran informasi yang juga padat dan sangat beragam. Pesantren An-Najah dan MANU Gondang menjadi semacam ‘simpul’ dari arus itu, termasuk arus pertukaran gagasan, pengetahuan, dan kecakapan. Inilah yang bisa menjelaskan mengapa MANU Gondang --yang prasarana bangunannya dianggap ‘jelek’ serta keadaan pendanaannya ‘pas-pasan’ itu-- tetap ramai dikunjungi. Suasana dan semangat komunitas pembelajaran menjadi intinya. Semangat dan suasana itu menyebar cepat kemana-mana, terutama melalui penuturan murid- murid dan alumninya. Mereka lah yang menjadi saluran utama cerita menarik tentang MANU Gondang kepada orang lain. Di belakang mereka adalah para keluarga pendiri, wakif tanah, guru, karyawan, wakil-wakil masyarakat, dan orangtua murid sendiri. Para orangtua murid itu percaya kepada kurikulum dan pembelajaran di madrasah ini. Di sekitar mereka juga terdapat pegawai negeri, karyawan, pengusaha pemotongan hewan, pedagang, petani, buruh, para penganggur, dan penyelenggara arisan sepeda motor sebagai pelaku kehidupan yang penting dalam komunitas madrasah.6 Sebelah timur lokasi MANU Gondang adalah Dukuh Badran, berbatasan dengan Dukuh Jagalan di sebelah utaranya. Di Jagalan itu terdapat satu usaha Tempat Pemotongan Hewan (TPH) milik Mulyanto, warga setempat. Sejak awal, dukuh ini dikenal bahkan lebih abangan lagi daripada Gondangtani, dukuh tempat MANU terletak. Penyebutan itu biasanya hanya didasarkan pada kenyataan tidak adanya surau di Jagalan, dan banyaknya pendatang beragama Kristen 6Sebagian guru menganggap bahwa dengan memasukkan pelaku dari cakupan lingkungan yang luas seperti itu akan menguras sumberdaya madrasah. “Madrasah ini sudah kekurangan dana, masih juga memikirkan orang-orang itu”, dalih seorang guru yang mengajar di beberapa sekolah dan madrasah sekaligus. Yang lain berdalih: “Madrasah ini diselenggarakan tidak hanya untuk menjual jasa pengajaran, melainkan juga dakwah, menata hidup bersama-sama.” Kepala Madrasah mengingatkan bahwa ‘memberi perhatian’ tidak harus selalu berarti mengeluarkan dana. “Setiap kali pesantren dan madrasah ini punya hajat, mereka malah membantu kita,” lanjutnya. 262
BAGIAN-I, Memahami Masalah yang memilihnya sebagai tempat tinggal dan berkegiatan. TPH itu malah menjadi tempat belajar para murid MANU Gondang tentang berbagai hal menyangkut ternak hewan dan pemasarannya. Inilah yang kemudian mendorong warga Jagalan menyediakan tempat dan membentuk kelompok pengajian dimana murid-murid MANU ‘belajar menjadi guru mengaji’. Lalu, diprakarsai oleh Mulyanto, mereka membangun satu masjid yang kemudian diberi nama Masjid Badrul Munir. Warga Jagalan, khususnya melalui TPH milik Mulyanto, menjadi satu sumber belajar yang penting bagi murid-murid MANU Gondang. TPH ini hampir setiap hari menghasilkan produk yang dijual tanpa ‘hambatan fiqhiyah’. Kotoran sapi dan darah yang mengental selalu menjadi polemik jika dijual, sementara hal itu umum terjadi di desa ini. Penggunaan kotoran sapi sebagai bahan pupuk kompos memberitahu para murid MANU bahwa itulah yang dimaksud dengan tatsqif --dalam kitab Fathul Mu’in, salah satu pustaka rujukan baku di pesantren dan madrasah-- yakni mengubah kotoran menjadi pupuk melalui fermentasi, bersama bahan organik lain dari pepohonan dan limbah padi. Perubahan dari kotoran ke pupuk mengubah pula status fiqhiyahnya menjadi komoditas yang boleh diperjualbelikan. Fermentasi dalam pupuk kompos juga dapat menjadi pokok bahasan dalam mata pelajaran kimia, apalagi jika menyertakan bahan dari lambung sapi yang menjadi bahan utama pembuatan mikroorganisme efektif, atau biostarter yang penting dalam dunia pertanian dan perikanan. Dan, dengan memperhatikan daur hayati tersebut, maka sisi-sisi ekonomis dari usaha TPH menjadi lebih mudah dipahami oleh murid-murid MANU. Masjid Badrul Munir, sekitar 150 meter di sebelah utara TPH Jagalan, juga direlakan oleh para pendirinya sebagai ‘laboratorium’ bagi murid- murid MANU. Masjid ini menjadi sumber belajar yang penting. Di situlah para ustadz dan kiai dari Pesantren An-Najah berkesempatan melatih murid-murid mereka untuk menjadi imam dan khatib. ‘Laboratorium keagamaan’ itu lambat laun juga menjadi simpul remaja setempat untuk merancang kegiatan-kegiatan. Dari mereka lah lahir kegiatan pengajian remaja yang segera menjadi media akutualisasi diri para santri. Santri Pesantren An-Najah dan murid-murid MANU Gondang datang dari daerah-daerah yang dikenal miskin. Mereka rela membayar sejumlah biaya yang memungkinkan lembaga pendidikan itu terselenggara. Mereka semua belajar dan berlatih di sana. Mereka 263
GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan SosiBaAl GIAN-II: Mencoba Berbuat memperoleh kecakapan-kecakapan khusus dalam beberapa tingkatan: mulai dari thalib atau murid, qari’ atau santri yang sudah bisa membimbing membaca teks berbahasa Arab, badal atau asisten, mu’allim atau pengajar mata pelajaran, dan ustadz atau pengajar disiplin ilmu. Merekalah yang kemudian menjadi pelaksana dan pengelola pembelajaran di kedua lembaga pendidikan tersebut. Tanpa kehadiran santri dan murid, proses pembelajaran niscaya berhenti, demikian pula kaderisasi pengelola dan ustadz. PAMA adalah pelaku penting berikutnya. Persatuan Alumni Madrasah Aliyah NU Gondang ini dibentuk bersamaan dengan terselenggaranya Kemah Bhakti di Kompleks Madrasah Tsanawiyah Al-Irsyad Wirosari, di dekat sisi utara puncak Gunung Lawu, di Kecamatan Sine, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, Januari 2006. Di kemah bhakti itu wadah alumni disepakati berdiri. Anggota pertamanya 8 (delapan) orang; yaitu: Agung Sujanto sebagai Kordinator (alumnus angkatan pertama), Setiono, Ahmad Munadi, Muhammad Rifa’i, Bugiyanto, Muhammad Taufiq, Fathoni, dan Naily Filhah. Visi PAMA adalah terwujudnya organisasi alumni yang mandiri untuk mendukung pengembangan MANU. Visi ini akan ditempuh melalui empat misi; yaitu: (a) peningkatan sumberdaya alumni MANU; (b) mendukung MANU dalam kerja-kerja di luar pembelajaran kelas --seperti mengembangkan media untuk persiapan penerimaan siswa baru, mengembangkan media untuk memperkuat interaksi dengan masyarakat sekitar, termasuk jika mungkin mengembangkan inovasi model pengumpulan dana dari masyarakat untuk mendukung pengembangan MANU, menjalinkan kembali hubungan antara MANU dengan LP Ma’arif NU Kabupaten Sragen dan pembuat kebijakan atau Pemerintah Kabupaten Sragen; (c) membangun jaringan kerja antar alumnus maupun stakeholders lainnya untuk mendukung pengembangan PAMA dan MANU; dan (d) merintis pengembangan usaha untuk mendukung kemandirian PAMA. Pengurus PAMA terutama terdiri atas para santri senior yang masih belajar di Pesantren An-Najah di kelas calon ustadz. Kehadiran mereka mendukung tersedianya pembimbing (murabbi) di Pondok Pesantren An-Najah yang sebagian murid MANU adalah juga santri di pesantren itu. Beberapa orangtua santri dan murid juga mendukung keberadaan PAMA, karena dianggap berhasil memantapkan hasil didikan MANU sehingga lulusannya lebih kreatif, semakin tahu diri, dan bertanggungjawab. Keberhasilan PAMA yang lain adalah kemampuannya meningkatkan keterampilan para anggota, 264
BAGIAN-I, Memahami Masalah memberikan lapangan pekerjaan yang dapat mengurangi beban orang tua bagi kelanjutan pendidikan, dan menanamkan jiwa kewirausahaan pada anak-anak mereka. Suatu madrasah di pusat perdagangan kecamatan sudah selayaknya juga dituntut untuk mengasah jiwa dagang para muridnya. Itu setara dengan tuntutan agar madrasah yang juga berada di desa pertanian ini memperkenalkan cara bertani yang baik dan menguntungkan. PAMA mengemban mandat untuk menjembatani harapan para orangtua itu terhadap MANU Gondang. Guru dan karyawan menempati kedudukan menentukan sekaligus dilematis di lembaga pendidikan ini. Mereka lulusan berbagai perguruan tinggi dan pesantren; rela mencurahkan waktu dan kecakapannya untuk mengelola urusan-urusan kurikuler, ketenagaan, kesiswaan, hubungan masyarakat, sarana dan prasarana, keuangan, kelembagaan, dan pembangunan kultur belajar. Sementara, gaji mereka di bawah Upah Minimum Regional (UMR). Bahkan yang berstatus guru dan karyawan tetap harus rela menerima gaji lebih akhir jika murid-murid terlambat membayarkan Sumbangan Penyelenggaraan Pendidikan (SPP). Maka, sebagian guru MANU Gondang menyewa lahan sawah seluas seperempat hektar untuk menanam bawang merah, komoditas yang lebih baik nilai jualnya daripada padi. Diprakarsasi oleh salah seorang guru, lalu dia menawarkan kepada sejawatnya untuk ikut andil modal. Dari usaha itu terdapat lima orang guru yang memperoleh manfaat ekonomi. Murid-murid memperoleh manfaat pembelajaran. Murid dari keluarga tidak mampu memperoleh tambahan dana jika bekerja di sana di luar jam belajar. Di lahan pertanian itu, guru-guru dan murid-murid MANU Gondang menjadi sama dengan petani lain, warga sekitarnya. Sampai setahun yang lalu (2006), guru-guru dan karyawan MANU Godang masih menghadapi satu masalah internal, yakni mekanisme kerja yang hierarkis, terutama antara mereka dengan para pemimpin dan pendiri. Mereka terlebih dahulu harus menemui sejawatnya yang lebih senior untuk bertanya kepada pemimpin madrasah. Pemimpin madrasah ini, meskipun juga mengampu tugas sebagai pengasuh pesantren, masih harus menuggu hasil konsultasi dengan keluarga pendiri. Keluarga pendiri harus menunggu pendapat keluarga wakif. Keluarga wakif perlu menunggu persetujuan sesamanya yang dipandang lebih akomodatif terhadap berbagai pertimbangan. Akibatnya, sangat sering terjadi kelambanan pengambilan keputusan. Yang kurang memahami persoalan ini menganggap bahwa 265
GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan SosiBaAl GIAN-II: Mencoba Berbuat kepemimpinan kharismatis para pendiri dan keluarga wakif adalah penyebabnya. Padahal, pokok masalahnya adalah belum tuntasnya masalah pewakafan tanah madrasah itu sendiri. Barulah setelah keluarga pendiri dan wakif benar-benar yakin melihat kesungguhan pengelola madrasah untuk meneruskan usaha dakwah para pendahulu mereka, akhirnya, sejak tahun 2007, keluarga wakif menuntaskan permasalahan tersebut. Status tanah itu akhirnya jelas setelah dijariyahkan (dihibahkan) untuk dipergunakan madrasah diniyah sejak tahun 1972 dan surau sejak tahun 1940an. Sebelum berlokasi di lahan itu, madrasah diniyah yang dirintis tahun 1958, menempati ruang-ruang rumah kediaman keluarga pendiri pesantren. Karena jumlah murid selalu bertambah, maka lahan --yang di atasnya berdiri bangunan sederhana untuk gudang padi itu-- diubah menjadi ruang- ruang kelas belajar para santri dan murid. Masa penantian yang lama itu, dalam pandangan keluarga wakif, merupakan konsekuensi yang wajar karena memang butuh waktu yang lama untuk memastikan, siapa yang berkapasitas sebagai nadhir yang dapat mempertimbangkan kepentingan-kepentingan yang ada. Keluarga wakif tidak ingin madrasah itu berakhir tragis seperti yang terjadi di banyak desa lain di seluruh Sragen. Pewakafan tanah yang sudah ditempati oleh MANU dan Mushala Al-Mukhlishin melegakan banyak pihak. Organisasi penyelenggara lembaga pendidikan telah semakin lengkap dengan adanya nadhir. Dengan itu, wewenang atas pengelolaan aset menguat, sehingga pengambilan keputusan lebih jelas dan cepat. Keluarga wakif adalah keluarga Haji Muhammad Barmawi. Sesepuh ini adalah petani kaya lulusan sekolah pertanian dan memiliki tanah sawah dua hektar dan pekarangan sekitar setengah hektar. Ada yang menyebutkan bahwa tanah sawahnya mencapai empat hektar --suatu luasan yang terbilang besar di pedesaan Jawa saat ini. Ia rela meninggalkan desa asalnya di Kedungdowo, Mantingan. Peluang untuk menjadi kandidat lurah pun ditinggalkannya. Tokoh ini dikenal sebagai penganut tarekat yang taat dan dikenal tidak pernah berpidato atau khotbah. Isterinya keturunan ningrat dari Surakarta, RNgt Supartinah, berbakat besar dalam berdagang dan mengurus pertanian. Kedua tokoh ini wafat dalam usia lebih dari 90 tahun. Anak-anaknya, 14 orang, dikirim ke pesantren dan kemudian memilih bekerja sebagai pegawai negeri sipil dan wiraswastawan. Untuk mewujudkan cita- citanya membangun suatu komunitas belajar di Gondang, pilihan Mbah Barmawi jatuh kepada menantunya, Mas Djisam. Jika ada yang 266
BAGIAN-I, Memahami Masalah bertanya soal agama, maka tokoh sepuh ini selalu meminta penanya untuk menemui menantunya itu. Tanahnya seluas sekitar 500 meter persegi dipercayakan kepada Mas Djisam untuk dipergunakan menyelenggarakan madrasah. Adapun yang disebut sebagai keluarga pendiri adalah keluarga Mas Djisam sendiri. Ia beristerikan Sitti Fathonah, putri pertama dan anak kedua Mbah Barmawi. Semua anaknya, 8 orang, dikirim ke pesantren, tetapi menantunya yang dipercaya oleh keluarga ini dan masyarakat untuk menjadi penerus Mas Djisam. Keluarga ini menempatkan menantu Mas Djisam, KH Minanul Aziz Syathori, asal Brebes, sebagai penanggungjawab lembaga-lembaga pendidikan di sana, sekaligus nadhir dari tanah-tanah wakaf yang dipercayakan kepada Yayasan An- Najah. Ia didampingi isteri, Indiani Aminah, mendampingi ibu mertua, menjalankan tugas keluarga itu. Ibu Sitti Fathonah adalah seorang ibu, pekerja tekun, dan memainkan peranan sebagai ‘Mbah Putri’ bagi semua santri An-Najah dan murid MANU Gondang. Pengalaman kepesantrenannya memungkinkan tokoh ini mendengarkan keluh kesah santri, murid, guru, dan karyawan disana. Tokoh inilah yang meneruskan keluhan-keluhan itu kepada keluarga pendiri dan memberikan saran-saran. Perannya tidak sebatas itu, karena secara nyata ibu inilah yang menjadi penasihat utama keluarga pendiri dalam menyelenggarakan lembaga-lembaga pendidikan di sana, meskipun pendidikan formalnya hanya lulus pendidikan dasar di Madrasah Nahdlatul Muslimat Kauman, Surakarta. Mbah Ibnu adalah sebutan untuk Haji Ibnu Abdullah. Bersama keponakannya, Haji Ali Machfudz, belajar pada KH Ahmad Dahlan, pendiri Persyarikatan Muhammadiyah. Di lingkaran keluarga ini terdapat Haji Umar Santoso, lulusan Pondok Modern Gontor dan mantan Kepala SMA Muhammadiyah. Mereka adalah pendukung pesantren An-Najah dan MANU Gondang yang strategis. Dukungan keluarga-keluarga ini efektif sejak Mas Djisam mukim di Gondang, 1958. Peran penting lain keluarga ini adalah menjadi jembatan bagi kelompok-kelompok keagamaan di Gondang, terutama dengan Muhammadiyah. Dalam usianya yang sudah lebih dari 80 tahun, Mbah Ibnu masih menyediakan diri sebagai penilik, penyelia (supervisor) mata pelajaran Al-Qur’an dan Hadits di MANU. Beberapa kali tokoh ini menyatakan “yen pengin ngaji ngalor kono”. Maksudnya adalah “Kalau ingin mendalami ajaran agama Islam, silahkan ke utara sana”. Yang dimaksud ‘utara’ adalah Pesantren An-Najah dan 267
GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan SosBiaAl GIAN-II: Mencoba Berbuat madrasah-madrasah yang ada di lingkungannya. Anak dan cucu keluarga-keluarga itu juga belajar pada Mas Djisam. Di tanah milik Mbah Ibnu dibangun gedung untuk SMP An-Najah. Gedung ini semula dipergunakan untuk penyelenggaraan Madrasah Ibtidaiyah yang dikelola Mas Djisam, dan Mbah Ibnu adalah Ketua Pengurus nya. Tanah itu berbatasan dengan gedung SMA Muhammadiyah yang dibangun di pekarangan milik Haji Ali Machudz di sebelah selatannya. Setelah Haji Ali Machfudz wafat, maka peran sebagai mediator di tangan Mbah Ibnu dan Haji Umar Santoso. Karena Mbah Ibnu sudah beranjak uzur, maka Haji Umar Santoso menjadi tumpuan fungsi itu. Untuk meringankannya, ia dibantu oleh adiknya, Haji Bahrun Wahyoyo. Kakak beradik ini adalah pemilik toko material bangunan. Kepiawaian Haji Umar Santoso adalah menjadi muballigh. Ketegangan-ketegangan Kreatif Tali temali hubungan para pelaku dan perannya masing-masing itu, membentuk satu struktur besar yang melahirkan Pondok Pesantren An-Najah dan MANU Gondang. Kotak-kotak yang terbentuk belakangan --seperti ‘Muhammadiyah lawan NU’, atau ‘abangan lawan santri’, dan ‘penduduk pendatang lawan penduduk asli’-- sebenarnya sudah cair pada masa Mas Djisam mengelola komunitas belajar di sana. Namun kotak-kotak itu telah terlanjur melahirkan ketegangan- ketegangan yang membutuhkan adanya cara-cara pengelolaan nilai dan kepentingan yang selalu perlu diperbarui terus-menerus. Diantara sekian banyak hal yang melahirkan ketegangan-ketegangan itu, berikut adalah beberapa yang terpenting. Cakupannya cukup luas, mulai dari persoalan struktur dan mekanisme internal pengelolaan sampai ke yang lebih mendasar, seperti konsep pembelajaran dan kebijakan atau politik pendidikan. Pertama, tanah-tanah yang dipergunakan untuk penyelenggaraan madrasah semula cukup dalam status jariyah (hibah), boleh dipergunakan tanpa pengalihan hak. Dalam perkembangannya, status tanah itu dituntut untuk wakaf demi menjaga kelangsungan aset-aset milik publik dan komunitas. Wakaf meniscayakan pelepasan hak. Dalam status wakaf, kepentingan umat lebih menonjol daripada kepentingan wakif dan pengelola. Akses dan kontrol pemilik tanah asal melemah dengan pewakafan. Sebaliknya akses dan kontrol komunitas menguat. Implikasinya adalah kriteria Kyai pun meluas, dari kapasitas keilmuan dan otoritas keagamaan harus bertambah 268
BAGIAN-I, Memahami Masalah dengan kapasitas manajerial dan kepemimpinan. Hal ini bisa menjelaskan dibutuhkannya waktu sampai 49 tahun bagi keluarga wakif pesantren dan madrasah di Gondang ini untuk menuntaskan pewakafannya. Kedua, adanya tanah wakaf yang dikendalikan oleh komunitas, menjembatani rakyat untuk memperoleh pendidikan di tengah menguatnya tarik-menarik dua kecenderungan yang berlawanan: yaitu pendidikan bermutu sebagai ‘kebutuhan’ dan sebagai ‘hak’. Sebagai kebutuhan, maka pemenuhannya bisa digantungkan kepada keadaan perekonomian rakyat. Rakyat yang kaya berkemudahan memperoleh kesempatan pendidikan yang bermutu, dan sebaliknya. Sebagai hak, maka pemenuhannya tidak bisa digantungkan pada status sosial ekonomi. Rakyat, kaya dan miskin, berhak memperoleh pendidikan bermutu, dan negara adalah pengemban kewajiban untuk memenuhinya, sementara lembaga-lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat berperan sebagai simpul memperjuangkan hak-hak rakyat itu. Kerelaan warga masyarakat Gondang untuk ikut membangun sarana dan prasarana bagi Pesantren An-Najah dan MANU menunjukkan kesadaran mereka atas hak rakyat untuk memperoleh pendidikan, meskipun bukan anak mereka sendiri yang menikmatinya secara langsung. Ketiga, pembelajaran dialogis menjadi keniscayaan untuk diselenggarakan di lembaga-lembaga pendidikan yang mempergunakan tanah-tanah wakaf itu, karena pembelajaran dalam paradigma ini memperkuat warga belajar untuk mencerdasi lingkungannya, tempat tanah wakaf itu berada. Lembaga-lembaga pendidikan dituntut memihak kepentingan masyarakat setempat dan tidak bekerja untuk melayani kepentingan yang menghambat pemenuhan harkat dan martabat mereka. Di sinilah relevansi upaya MANU Gondang yang --dalam proses dan metodologinya-- memadukan antara pembelajaran dalam kelas (in class) dengan sumber-sumber belajar di luar kelas (seperti TPH Jagalan, Masjid Badrul Munir di Badran, pertanian bawang merah) dan juga dengan kehidupan sehari-hari masyarakat sekitarnya. Belajar dari realitas sosial masyarakat sekitarnya, Mas Djisam memandang bahwa penguasaan dalil saja tidak cukup. Uswah atau teladan pun sering baru menyentuh secara perseorangan saja. Jika tidak dikelola secara hati-hati, bisa menjadi selubung bagi praktek religio feodalism atau feodalisme berbaju keagamaan. Mas Djisam mengajarkan teks-teks agama. Di sini ia bergerak di ranah faqahah 269
GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan SosiaBl AGIAN-II: Mencoba Berbuat (pemahaman agama). Saat tokoh ini melaksanakan tuntutan agama yang diajarkannya dan memudahkan para muridnya untuk melakukan hal yang sama, maka pembelajarannya memasuki ranah thabi’ah (perangai, watak, atau karakter). Dan ranah berikutnya adalah kafa’ah (kecakapan operasional). Jika pendidikan merupakan upaya perubahan, maka yang berubah adalah ketiga ranah itu. Proses belajar pada ranah faqahah adalah ta’lim; yaitu pembelajaran tanda-tanda normatif, baik yang bersumber dari al-Qur’an, hadist, maupun hasil ijtihad para ulama. Hasilnya adalah penguasaan dalil. Penguasaan dalil umumnya dianggap sebagai ‘kompetensi ideal’ lulusan satu Madrasah Aliyah. Ketinggian penguasaan seseorang akan dalil, dalam perspektif pesantren, dianggap belum cukup, sebab hasil ta’lim itu masih harus diinternalisasi pada ranah thabi’ah dengan proses taslik. Taslik adalah peragaan, pengamalan, atau penerapan dalam lingkup individu. Pada tahap ini, terjadi proses pemindahan dalil dari nisbah ilahiah (tataran ketuhanan) ke nisbah insaniyah (tataran kemanusiaan). Hasilnya adalah uswah (teladan), baik sang pelaku itu sendiri yang berkualifikasi menjadi uswah maupun sang pelaku dapat menggali uswah dari orang, alam, dan peristiwa yang dijumpainya. Di sini dalil telah menjadi praktik perbuatan. Dalil itu telah menghasilkan atsar (tapak bukti pengamalan) pada diri seseorang. Tanpa meragakan atau mengamalkan hasil ta’lim, seseorang tidak akan dapat menjadi uswah dan gagal pula menggali uswah. Guna mewujudkan masyarakat yang diidamkan, uswah pun belum cukup, masih dibutuhkan pembiasaan, pelembagaan, atau pembudayaan. Pada tahap ini terjadi proses tatsqif; yaitu memindahkan dalil dan uswah dari nisbah ilahiyah dan insaniyah ke nisbah ijtima’iyah (tataran kemasyarakatan). Di sini penuntut ilmu agama terjun ke dalam kehidupan empirik bersama para pelaku lainnya. Hasilnya adalah syahadah (kesaksian). Hidup Mas Djisam mengikuti alur itu. Madrasah yang dirintisnya pun menerapkannya. Tidak aneh jika para pelaku kehidupan dari berbagai latar belakang diperlakukannya sebagai sumber belajar. Para pelaku kehidupan itulah perekam kesaksian yang berguna sebagai bahan untuk membangun ilmu pengetahuan. Keempat, PAMA membuat radio komunitas. Radio ini sempat mengundang sengketa antara pengelolanya dengan keluarga pengasuh pesantren, karena gangguan jadwal belajar di pondok dan isi siaran yang bermuatkan cokekan. Tembang pop Jawa itu disukai oleh pendengar, tetapi isinya dinilai tidak mencerminkan misi pesantren. 270
BAGIAN-I, Memahami Masalah Jalan tengah yang diambil adalah penataan ulang jadwal tugas santri di radio itu dan komposisi siarannya. Kasus ini mengantarkan anggota PAMA pada pemahaman tentang ketegangan budaya pesantren dan budaya masyarakat tempatnya berkembang. Dan mereka belajar bahwa meskipun pesantren menunjukkan pemihakan sosial yang kuat kepada masyarakat, dalam kenyataannya belum melengkapi diri dengan kerja-kerja budaya yang sepadan di tengah-tengah derasnya arus perubahan sosial di sekitarnya. Dari kasus itu mereka juga belajar tentang adanya lapisan-lapisan pengaruh pesantren. Para santri, ustadz, serta kiai, berada di pusat lingkaran. Di luar itu adalah lingkaran jama’ah, yaitu warga masyarakat yang menerapkan ukuran-ukuran taraf keberagamaan (religiosity) jlebih ketat dibandingkan dengan warga yang berada di lingkaran ketiga, yaitu mereka yang bisa disebut sebagai ‘warga binaan’. Dan semakin jauh warga menempati suatu lingkaran, maka ukuran ketaatan menjalankan ibadah semakin rendah, meskipun mereka tetap menaruh peduli kepada pesantren itu. Dengan ‘pemetaan sosiografis’ ini, mereka pun belajar pula bahwa umat itu tidaklah tunggal dan seragam dari segi keberagamaan nya. Justru karena itu, mereka disadarkan bahwa dakwah bukanlah penyeragaman apalagi penaklukan. Dakwah adalah interaksi dialogis untuk bersama-sama menata hidup. Untuk itu, sejumlah peristiwa tidak boleh dibiarkan berlalu berlalu begitu saja jika dapat diambil pelajaran. Saat itulah peristiwa telah menjadi momentum. Kelima, hak atas pengetahuan komunitas berbeda antara warga sekolah atau madrasah negeri dengan warga pesantren dan madrasah bukan negeri seperti MANU Gondang ini. Konsep Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) --jika dipersoalkan di sekolah atau madrasah negeri-- mungkin lebih menyangkut ketersediaan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknisnya. Bagi warga pesantren dan MANU Gondang, konsep itu ditanggapi secara berbeda. Ada yang langsung mengaitkannya dengan persoalan ‘dana’, karena KBK mengharuskan murid memiliki Lembar Kerja Siswa (LKS). Muhammad Sobirin, salah seorang guru, mengaitkannya dengan tuntutan agar madrasah segera melengkapi diri dengan perpustakaan dan laboratorium yang memadai. Guru Winarno lain lagi. Dia mengaitkannya dengan peningkatan jam kerja guru, karena dalam KBK beban guru bertambah sejak penyusunan rencana pembelajaran, tindakan kelas, sampai penilaian. Sholikul Hadi, anggota Komite Madrasah, malah tidak banyak menanggapi kebijakan tersebut karena yang terpenting baginya 271
GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan SosiBalAGIAN-II: Mencoba Berbuat MANU tetap mendampingi masyarakat di tengah hiruk-pikuknya zaman. Bagi murid, seperti Amirul, dengan atau tanpa KBK, media penunjang seperti LKS yang kurang memang menjadi kendala. Begitu juga banyaknya guru yang mengajar di sekolah dan madrasah lain, kurangnya persiapan guru saat mengajar, dan penggunaan waktu yang kurang efektif. Menurut murid-murid, kebijakan KBK ini perlu disikapi dengan peningkatan mutu guru dalam proses belajar mengajar, meningkatkan dukungan semua pihak --terutama dari berbagai unsur Nahdlatul Ulama (NU)-- serta menagih janji pemerintah yang sampai sekarang belum terwujud --yaitu anggaran pendidikan minimum 20% dari anggaran belanja pemerintah. Gagasan-gagasan itu kemudian dibawa ke forum analisis bersama yang dihadiri oleh lebih banyak peserta, baik dari kalangan guru, murid, maupun Komite Madrasah. Disimpulkan bahwa persoalan yang dihadapi bersama ini intinya adalah perbaikan sistem pembelajaran sebagai masalah terpenting dan utama. Agar tidak terjebak ke dalam ‘hantu istilah’, para guru mengusulkan ‘kekhasan pembelajaran’. Caranya adalah murid-murid menyelenggarakan lokakarya sendiri mengenai pembelajaran yang ideal. Guru-guru pun juga menyelenggarakan lokakarya serupa. Hasilnya dipertemukan dalam lokakarya bersama. Semula lokakarya murid dianggap sebagai sekadar kegiatan ekstra-kurikuler organisasi murid (OSIS), dalam arti tidak berdampak pada kebijakan pembelajaran di tingkat madrasah. Namun pendampingan yang dilakukan senior-senior mereka yang tergabung dalam PAMA, membuat diskusi dalam lokakarya para murid itu mampu ‘menjelajah’ sampai ke gagasan-gagasan tentang tolok-ukur guru ideal, murid ideal, pengajaran ideal, dan pembimbingan ideal. Masing-masing disertai dengan hambatan nyata yang mereka hadapi untuk mewujudkannya. Mereka juga menghasilkan satu rumusan rencana-rencana tindakan yang disepakati. Lokakarya murid ini dirancang untuk diselenggarakan lebih dulu dari lokakarya para guru. Maksudnya, para guru tidak dapat mengelak dari tugas untuk menanggapi apa yang dihasilkan oleh lokakarya para murid. Dalam lokakaryanya, para guru menggali penyakit-penyakit pendidikan yang kemudian diistilahkan sebagai ‘puritanisme’, ‘doktrinasi’, ‘individualisme’, ‘pabrikasi’, ‘dominasi laki-laki’, dan ‘godaan media cetak’. Rencana tindakan yang akan dilakukan adalah riset tindakan kelas, pengembangan kelompok minat murid, 272
BAGIAN-I, Memahami Masalah penguatan alumni, membangun jaringan kerja informasi dengan media massa, pembuatan film oleh murid dan PAMA, serta pembaharuan pembuatan alat peraga dengan sumberdaya setempat. Puncak rangkaian lokakarya itu adalah satu seminar bertajuk ‘Penerapan KBK yang Humanis dan Transformatif’, tanggal 25-26 Pebruari 2006. Dalam seminar itu diundang wakil-wakil guru Madrasah Aliyah Al-Manshur, Popongan, Tegalgondo, Klaten, yang sejak awal didudukkan sebagai mitra banding. Wakil-wakil masyarakat pun diundang dan hadir. Yang tidak hadir justru wakil dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Di tengah-tengah kuatnya wacana dan konsep yang ditawarkan untuk lembaga pendidikan, warga MANU Gondang tidak bersikap menerima atau menolak a priori, tetapi langsung mengkajinya, membandingkannya dengan daya dukung sumberdaya mereka yang tersedia, dan dengan idealisme mereka sendiri. Mereka merumuskan pengertian ‘pembelajaran humanis’ sebagai pembelajaran yang berpihak kepada kebutuhan murid, mengandalkan sumberdaya yang terjangkau, cermat dalam mengenali kebutuhan khas murid-murid, memanfaatkan keragaman jenis kecerdasan --visual, kinestetik, dan auditif -- yang ada pada murid, memampukan murid untuk menghubungkan pelajaran dengan kenyataan hidup, dan menempatkan pelajaran sebagai pergumulan bersama antara murid dan guru. Dan ‘pembelajaran transformatif’ mereka maknakan sebagai proses belajar mengajar yang mengubah cara pandang peserta didik terhadap diri, nilai-nilai, dan lingkungannya ke arah perbaikan hidup. Kedua rumusan pengertian itu tidak menyimpang dari konsep KBK yang ditawarkan, karena konsep itu --paling tidak, sampai pada aras konseptualnya-- memang juga menekanan pada kegiatan belajar mengajar yang berpusat pada peserta didik, mengembangkan kreativitas, menciptakan iklim belajar yang menyenangkan dan menantang, kontekstual, menyediakan pengalaman belajar yang beragam, dan memungkinkan peserta didik belajar melalui perbuatan atau tindakan nyata. Keenam, polemik APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah). “Abah melarang kita untuk meminta sumbangan”, demikian papar Sobirin ketika diskusi tentang ‘Status Madrasah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Sragen’. Yang dimaksud dengan Abah adalah Kepala MANU yang juga pengasuh Pesantren An-Najah. Pernyataan itu memancing diskusi lebih lanjut. Setelah ditelusuri ternyata persepsi para guru dan warga lainnya dalam memahami APBD dan bantuan pemerintah adalah “...jika ada bantuan 273
GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan SosiBalAGIAN-II: Mencoba Berbuat diterima, tetapi jika tidak mendapatkan bantuan maka jangan memohon-mohon; atau dengan kata lain, hindari meminta-minta kepada pemerintah.” Pandangan ini jelas bertumpu pada sikap menggantungkan sumber pendanaan utama madrasah dari siswa yang justru kebanyakan dari keluarga miskin. Jika terjadi keterlambatan siswa membayar SPP, yang diprioritaskan oleh bendahara madrasah untuk menerima gaji adalah para guru kontrak. Sementara gaji untuk 5 orang guru tetap --yang memiliki komitmen lebih tinggi-- justru dibelakangkan. Jika dikaitkan dengan hak masyarakat untuk memperoleh pendidikan, maka pandangan itu akan bertolak belakang dengan amanah Undang- undang --bahwa anggaran pendidikan 20% dari APBN-- terutama untuk mendekatkan akses keluarga miskin akan pendidikan. Diskusi yang terjadi juga belum mengaitkan antara pembelajaran di MANU Gondang dengan hak memperoleh alokasi anggaran masyarakat miskin dari APBD Sragen. Lebih jauh dari itu, manajemen keuangan di MANU sendiri hanya mengelola dana yang sangat kecil, sehingga sulit melakukan pengembangan media pembelajaran. Dari SPP siswa yang seharusnya diterima Rp 3.920.000,00 (tiga juta sembilan ratus dua puluh ribu rupiah)7 hanya berkisar Rp 1.870.000,00 (satu juta delapan ratus tujuh puluh ribu rupiah) yang diterima tepat waktu setiap bulannya.8 Sementara kebutuhan minimal untuk menggaji guru saja membutuhkan Rp 2.600.000,00 (dua juta enam ratus ribu rupiah). Lacakan sejarah atas munculnya pandangan tadi adalah politisasi anggaran semasa Orde Baru. Saat itu terbangun persepsi bahwa dana dari APBD dan APBN merupakan sumbangan dari pemerintah. Sumbangan dimaknai sebagai ‘kebaikan budi’. Dan dalam situasi politisasi itu, kebaikan budi meniscayakan ‘balas budi’. Untuk mendalami perihal itu dalam konteks sekarang, warga MANU Gondang sepakat untuk membaca Undang-undang Nomor 25 Tahun 7SPP MANU adalah Rp 35.000 (tiga puluh lima ribu rupiah) per murid per bulan, pada tahun 2003, dengan jumlah murid 112 orang. Saat laporan ini ditulis, Januari 2007, SPP masih tetap Rp 35.000 (tiga puluh lima ribu rupiah) per bulan dengan jumlah murid sebanyak 125 orang. 8Hanya Rp 700.000 (tujuh ratus ribu rupiah saja) yang berasal dari pembayaran murid secara langsung, sementara Rp 1.170.000 (satu juta seratus tujuh puluh ribu rupiah) berasal dari dana BKM-APBD untuk 9 orang murid, masing-masing Rp 65.000 per murid. 274
BAGIAN-I, Memahami Masalah 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Sementara itu, faktanya adalah bahwa sampai enam tahun usianya, MANU Gondang masih saja menumpang di gedung yang dikelola oleh Yayasan An-Najah, wakaf dari keluarga Haji Muhammad Barmawi. Sejak awal sudah diusahakan tanah tersendiri untuk madrasah ini, namun dana yang digalang dari warga masyarakat belum cukup untuk membeli tanah yang ditawarkan. Di antara beberapa lokasi tanah yang ditawarkan, dipilih yang seluas sekitar 2.000 meter persegi di jalan yang sama dengan kampus yang selama ini ditempati. Semua keprihatinan itu akhirnya menggeser kesadaran pengelola madrasah: dari sikap ‘menunggu jatah bantuan dana’ ke arah ‘memperjuangkan hak murid untuk memperoleh sarana pembelajaran yang lebih memadai’. Pembacaan APBD menjadi bagian kritis dalam rangkaian diskusi di MANU Godang itu. Anggaran pendidikan 20% dipahami kemudian sebagai ‘amanah’ yang penyelenggara madrasah swasta juga dituntut untuk ikut mewujudkannya dengan perencanaan dan pelaksanaan yang bertanggung-gugat (accountable). Polemik APBD untuk madrasah menguat setelah SMK An-Najah berdiri sendiri. SMK yang semula dirancang menjadi kelas keterampilan MANU Gondang itu, telah berdiri sendiri sesuai dengan kebijakan Dinas Pendidikan Kabupaten Sragen. Di awal tahun pelajaran 2005/2006, sekolah kejuruan itu berhasil menerima murid baru 24 orang. Kekhawatiran adanya konflik karena perebutan calon murid dirasakan oleh para guru MANU, apalagi SMK ini didukung dengan bantuan dana yang dapat menekan pengeluaran orangtua murid. MANU Gondang memiliki kekuatan tersendiri saat perundingan. Kelulusannya dalam Ujian Akhir Nasional (UAN) mencapai 100%, dan berada di peringkat kesatu dari seluruh SMA dan MA Swasta di Kabupaten Sragen; atau pada peringkat kedua dari seluruh SMA dan MA Negeri dan Swasta di Kabupaten itu. Sementara kekuatan SMK An-Najah jelas adalah dukungan dana bantuan untuk para siswa. Kekuatan MANU bersifat kualitatif, sementara kekuatan SMK An-Najah bersifat kuantitatif. Terjadilah ketegangan dalam hubungan antar guru dari kedua sekolah yang satu asal-muasal ini, terutama pada akhir tahun ajaran 2005/2006. Berbagai pertemuan terjadi dan ketegangan semakin mengeras. Demikian pula konsultasi kedua fihak ke Komite Madrasah. Berbagai kemungkinan jalan keluar terus diupayakan, tetapi hanya mampu mendinginkan, bukan menyelesaikan tuntas permasalahannya. Namun, proses itu juga 275
GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan SosBiaAl GIAN-II: Mencoba Berbuat ternyata membuat kedua fihak saling belajar, lalu baik para pengelola MANU dan SMK An-Najah menempuh langkah-langkah pra-mediasi mereka sendiri. MANU dan SMK An-Najah memang merupakan dua entitas yang secara kelembagaan terpisah sama sekali. Tetapi realitas sosial berbicara lain. Kedua satuan pendidikan itu berada dalam pembinaan Pesantren An-Najah. Kedua satuan pendidikan ini belum cukup memiliki sumberdaya untuk benar-benar terpisah. Sebagian guru SMK An-Najah adalah juga guru MANU. Dan sebagian murid keduanya adalah sekaligus juga santri di Pesantren An-Najah. Pertemuan gabungan antara pengelola MANU dan SMK An-Najah akkhirnya diselenggarakan. Beberapa pilihan diajukan. Pertama, masing-masing akan berjalan sendiri-sendiri dan membentuk Panitia Penerimaan Murid Baru yang terpisah. Kedua, panitia itu dibuat satu dimana terdapat sub-panitia yang akan menangani penerimaan murid sejak awal sampai akhir atas nama MANU dan SMK An-Najah. Ketiga, panitia itu dibuat satu dan pemilahan terjadi secara administratif untuk keperluan MANU dan SMK An-Najah. Masing-masing pilihan dibahas untung ruginya. Akhirnya disepakati pilihan ketiga dengan catatan masing-masing akan merancang strategi promosi yang saling dikomunikasikan dan MANU disetujui menerima murid baru sebanyak dua kelas. Ketujuh, selesai dengan konteks konflik MANU dan SMK An-Najah, marjinalitas MANU terangkat kembali sebagai isu (tema permasalahan). Pemicunya adalah ditemukannya beberapa diskriminasi kebijakan terhadap MANU. Antara lain: dibandingkan dengan sekolah dan madrasah swasta lainnya, hanya sedikit siswa yang mendapatkan dana BKM yang bersumber dari APBD Kabupaten Sragen sebesar Rp 65.000 (enam puluh lima ribu rupiah) per siswa. Dari 26 orang siswa baru yang masuk pada tahun 2005, hanya 9 siswa saja yang memperoleh BKM itu. Dana Bantuan dari APBD Propinsi Jawa Tengah tidak cair, padahal sudah sampai pada tahap verifikasi untuk realisasi. MANU juga tidak memperoleh bantuan operasional dari APBD seperti satuan pendidikan yang berada di bawah Departemen Pendidikan Nasional. Pada awal tahun pelajaran 2006, MANU tidak mendapatkan sosialisasi dari Departemen Pendidikan Nasional tentang Kurikulum 2006, sementara sekolah-sekolah di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional mendapatkannya. Panitia Peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia Ke-61 tingkat Kecamatan Gondang mewajibkan murid-murid MANU 276
BAGIAN-I, Memahami Masalah melepas jilbab (kerudung) untuk dapat diterima sebagai Pasukan Pengibar Bendera (PASKIBRA), padahal 10 orang murid dari MANU sudah mengikuti latihan selama beberapa minggu. Karena munculnya aturan ini, maka 5 orang siswi berjilbab mengundurkan diri dan digantikan oleh siswa putra. Madrasah Anggun Setelah terpuruk tahun 2004 dengan murid baru hanya sebanyak 19 orang, tahun berikutnya, 2005, jumlah murid baru meningkat menjadi 26 orang; dan setahun kemudian, 2006, berlipat menjadi 54 orang. Pada Juni 2006, MANU Gondang berhasil memperoleh akreditasi dengan peringkat B (Baik) dengan total nilai 435,1. Dari empat Madrasah Aliyah di Kabupaten Sragen yang diakreditasi pada tahun yang sama, MANU berada pada peringkat kedua, di bawah MAN 3 Sragen (dengan nilai 447,3), di atas MAN 2 Sragen (dengan nilai 430,5), dan MAN 1 Sragen (dengan 415,9).9 Dalam dua tahun terakhir, kelulusan murid MANU mencapai 100%. Peringkatnya persis di bawah SMA Negeri 1 Sragen, sekolah menengah favorit di kabupaten ini. Semua pencapaian itu mungkin penting dan ada gunanya. Tetapi perkembangan pemikiran dan pandangan yang terjadi dalam lingkungan MANU Gondang justru semakin menuju ke arah yang lain. Madrasah ini bukanlah contoh dari penganut paradigma ‘keunggulan’ pendidikan. Madrasah ini adalah contoh dari penganut paradigma ‘keanggunan’ pendidikan. Paradigma keunggulan pendidikan marak dengan hadirnya sekolah-sekolah dan madrasah-madrasah yang disebut ‘unggulan’ yang kemudian berbiaya mahal sebagai harga untuk sarana dan prasarana yang lengkap dan aneka proses pengajarannya. ‘Sekolah-sekolah unggulan’ itu sangat kompetitif sekaligus ‘meminggirkan’ sekolah-sekolah lain yang dianggap tidak setaraf dengannya. Terjadi semacam ‘eksklusivisme’ dan diskriminasi sekaligus. Padahal, apa yang mereka tawarkan sesungguhnya sama saja secara substansial. Adalah penyeragaman (uniformity) kurikulum menjadi pendorong munculnya sekolah dan madrasah semacam itu. 9Sumber: Surat Keputusan Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi Jawa Tengah, No. Kw.11.4/4/PP.03.2/1796/2005; tanggal: 7 Juni 2005. 277
GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan SosiBalAGIAN-II: Mencoba Berbuat Adapun paradigma ‘keanggunan’ pendidikan ditandai oleh kedekatannya dengan komunitas. Kontekstualitas pembelajaran menjadi ciri khasnya. Biaya untuk proses pengajaran ditekan dengan pengembangan watak belajar yang bersumberkan dari lingkungan terdekatnya. Biasanya penganut paradigma ini kritis terhadap gaya hidup konsumtif. Pola pengembangannya distributif, yaitu dengan mengambil bidang garap yang terjangkau dan menyerahkan bidang garap yang lain kepada satuan pendidikan yang lain tanpa memaksa diri untuk ikut-ikutan menggarapnya. Dengan demikian penganut paradigma ini memusatkan perhatiannya kepada kekhasan kurikuler yang dipilihnya secara sadar. Kesediaan madrasah penganut paradigma ini untuk mengikuti Ujian Nasional (UN) justru untuk membuktikan bahwa sosoknya yang mungil dan sederhana bukanlah alasan untuk tidak setara secara akademik dengan sekolah-sekolah atau madrasah ‘yang diunggulkan’. Paradigma keanggunan pendidikan mengingatkan kita kepada konsep ‘arsitektur tumbuh kembang’. Dalam konsep ini, satu bangunan telah dapat dihuni secara layak meskipun masih berukuran kecil, karena dana memang terbatas. Saat bangunan itu telah dapat diteruskan menjadi lebih besar, tidak perlu ada yang terbuang, tinggal menambah atau menyambungnya saja. Setiap tahapan menjadi lebih terjiwai dan dapat dinikmati. Paradigma ini juga mengingatkan pada Balai Pendidikan INS Kayutanam rintisan Tengku Mohammad Sjafei di Sumatera Barat. Lembaga pendidikan seperti ini terbukti di kemudian hari dapat menghasilkan para pemimpin dan intelektual yang berpihak kepada masyarakat dan bangsanya. Pergolakan pemikiran di kalangan dalam warga MANU Gondang, yang didukung penuh oleh warga masyarakat sekitarnya, dengan sadar memilih untuk bergerak ke arah itu. Madrasah di masa depan, terutama yang hidup di komunitas abangan dan merasa ‘terpinggirkan’ oleh kebijakan dan lingkungan yang dominan, dapat menempuh jalan keanggunan pendidikan ini. Jalan yang ditawarkan Mas Djisam tidaklah sulit; dapat dimulai dari isu sederhana yang diatasi dengan cara-cara yang terjangkau, yang ditempuh secara reflektif. Madrasah yang diwariskannya di Gondang, paling tidak sampai saat ini, masih tetap berusaha menjaga semangat dan teladan dari tokoh ugahari, rendah hati, dan merakyat itu. 278
BAGIAN-I, Memahami Masalah MENATA KEMBALI 11 RUANG KEHIDUPAN Kerja Tanggap Darurat STAIN Surakarta di Daerah Bencana SULEHAN HERMAWAN * Gempa Bumi Musibah gempa bumi yang berkekuatan 5.9 skala Richter terjadi pada hari Sabtu, tanggal 27 Mei 2006, telah menelan korban lebih dari 6.000 korban jiwa dan luka-luka serta menghancurkan puluhan ribu bangunan dan tempat tinggal di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta dan sebagian wilayah Jawa Tengah. Desa Dengkeng merupakan wilayah yang berada di jalur garis patahan (Sesar Opak) yang menjadi lokus terkuat gempa bumi tersebut, selain rambatan goncangan dari pusat gempa yang berada di Samudera Hindia. Maka, Desa Dengkeng dan sekitarnya pun merupakan daerah yang mengalami kerusakan cukup parah. Kerusakan bangunan mencapai lebih dari 90% (dari 55 rumah penduduk hanya 4 yang masih tegak berdiri). Di Rukun Tetangga (RT) 01, dari 27 rumah yang ada, 9 rumah di antaranya bahkan benar-benar rata dengan tanah; 17 rumah rusak berat dan harus dirobohkan karena berbahaya jika dibiarkan tetap tegak doyong, dan hanya 1 rumah yang masih berdiri *Anggota TRK STAIN Surakarta. Laporan lengkap aslinya ditulis bersama seuruh anggota Tim lainnya (Ahmad Hafidh, Abdullah Faishol, Masrukhin, Zainul Abas, Taufiq) serta warga Dukuh Dengkeng. Terima kasih pada kawan- kawan di LPTP Solo dan TRK INSIST, Yogyakarta, atas semua kerjasamanya. 279
GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial PETA-11.1: Letak Dukuh Dengkeng, Wedi, Klaten, Jawa Tengah INDONESIA PULAU JAWA KABUPATEN KLATEN, JAWA TENGAH ke Solo KOTA KLATEN ke Yogyakarta DUKUH DENGKENG, KECAMATAN WEDI utuh, tetapi penuh retak dan lobang-lobang. Di RT 03, dari 29 rumah yang ada, 14 rumah rata dengan tanah, sementara 15 rumah lainnya rusak berat dan harus dirobohkan. Yang benar-benar masih cukup kuat berdiri, hanya mengalami kerusakan ringan, adalah hampir semua kandang ternak --kambing, sapi, dan kerbau. Kandang-kandang yang terletak disamping atau belakang rumah tersebut terbuat dari bahan kayu, bambu, dan rotan, dengan konstruksi ikat, sehingga lebih tahan goncangan. Masjid Akbar, mesjid tua kecil di dusun Dukuh, salah satu dusun Desa Dengkeng, memang masih berdiri, tetapi penuh retakan di beberapa bagian dinding, sementara lantai keramiknya pecah-pecah 280
BABGAGIAINA-NI,-IMI:eMmeanhcaombai MBaesrbaulaaht dan bergelombang. Pos ronda yang berada di tepi jalan desa juga hancur lebur, tinggal menyisakan tembok tidak utuh setinggi 1 meter dari tanah. Korban jiwa di kedua RT ini tercatat 1 orang meninggal, 1 orang luka berat, dan beberapa orang luka ringan atau tidak mengalami luka apapun. Namun, semua orang mengalami goncangan jiwa yang cukup berat. Banyak di antara mereka yang tetap melongo sampai beberapa hari setelah gempa, panik dan bingung, tak tahu harus berbuat apa. Sebagian besar warga yang bermata-pencaharian utama sebagai buruh serabutan itu --baik sebagai buruh tani maupun buruh bangunan-- juga kehilangan pekerjaannya, karena praktis seluruh kegiatan pertanian dan penghidupan lainnya lumpuh selama beberapa minggu setelah gempa. Dukuh Sebelum Gempa Bumi Desa Dengkeng berada di pinggir bagian selatan kecamatan Wedi. Kabupaten Klaten, berbatasan dengan wilayah Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta. Kecamatan Wedi merupakan kecamatan yang menghubungkan beberapa kecamatan di bagian selatan-barat Kabupaten Klaten Selatan, antara lain, Kecamatan Gantiwarno dan Kecamatan Bayat. Salah satu dusun dalam wilayah Desa Dengkeng adalah Dukuh. Dusun ini terletak pada kawasan dataran rendah menuju ke daerah perbukitan dan pegunungan di kawasan Kabupaten Gunung Kidul. Kawasan pemukiman atau pusat perkampungan Dukuh dikelilingi oleh hamparan persawahan, tegalan, dan jalan-jalan desa. Tidak seperti dusun-dusun lain di desa tersebut, Dukuh terletak agak agak terpisah dari jalur jalan utama desa dan antar desa, sehingga warga biasanya lebih suka memilih ‘jalan pintas’ (menyusuri pematang- pematang sawah dan tegalan) untuk mencapai jalan utama antar desa (jalan kecamatan), atau jika ingin pergi ke beberapa desa lain sekitar Dengkeng. Dukuh terdiri dari tiga kerukunan tetangga yang seluruhnya terdiri dari 49 keluarga, dengan jumlah warga seluruhnya adalah 154 orang, sebagian besar (66,2%) adalah usia produktif (16-65 tahun). Tetapi, meskipun dikelilingi oleh hamparan sawah, hanya 16 dari 49 keluarga di dusun ini yang memiliki lahan sawah sendiri, rata-rata 1-2 pathok saja per keluarga. Ada 3 keluarga lain yang memiliki lahan sawah di dukuh lain, yakni pedukuhan Sulur, masih dalam wilayah Desa Dengkeng. 281
GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial Poniran, 45 tahun Seluruh sawah di Desa Dengkeng “Kulo niku namung lulusan SMA. Mau jadi masih merupakan pegawai, nggak diterima. Sawah kulo sawah tadah-hujan. mboten gadhah. Saya dan istri saya bekerja Saluran pengairan sebagai buruh, kadang buruh tani, kadang teknis tidak buruh bangunan atau kadang tidak ada yang melintasi hamparan menggunakan tenaga saya. Istri saya sawah di desa ini, buruh tani, bekerja ketika mau tanam padi, jauh di bagian timur ndaut dan tanem serta panen dengan upah dan utara, di wilayah 15 ewu sehari. Seringnya saya bekerja desa-desa lain. sebagai buruh bangunan. Kalau pas ada Karena itu, warga proyek besar, seperti di UIN Jogja, saya bisa dapat upah 30 ribu perhari.” menggali sumur- sumur dekat persawahan, kemudian mengangkat airnya dengan mesin pompa berbahan bakar bensin atau solar, kemudian dialirkan ke sawah-sawah dengan pipa-pipa karet atau plastik, atau galian saluran ‘selokan’ kecil. Ini membuat sawah-sawah disana memungkinkan untuk ditanami padi dan dipanen dua kali setahun. Pada musim kemarau, warga menanami sawah-sawah mereka yang kering dengan tanaman palawija, terutama kedelai. Karena harga kedelai juga tidak semakin membaik, beberapa warga setempat mulai beralih menanam semangka atau tebu untuk dijual ke pabrik penggilingan tebu (pabrik gula). Suharno, Ketua Rukun Warga atau Kepala Dusun Dukuh, adalah salah seorang penjual perantara (pengirim) tebu- Subeki, 22 tahun tebu itu ke pabrik yang terletak di dekat Kota Klaten. “Saya lulusan SMA, sudah punya Hampir setiap rumah di istri. Bagi saya, pertanian itu dusun ini memiliki tanaman rekoso (sengsara), saya gak mau pohon sukun dan kelapa di tani kayak Bapak. Dengan bekal pekarangan mereka yang tidak tenaga, saya dan istri saya bekerja terlalu luas, dipanen hasilnya di Bandung sebagai buruh pabrik. untuk dikonsumsi atau dijual Lumayanlah... saya dan istri bisa langsung. hidup dari kerja saya itu. Saya sudah punya rumah di sini, Sama seperti desa-desa dibuatkan orang tua dulu. Saya lainnya, biaya asupan pulang ke desa setiap bada’ melu pertanian di Desa Dengkeng riyayan. Kalau mau berangkat lagi, juga menjadi semakin tinggi, saya disangoni Bapak, meski karena semakin tergantung kadang harus cari kerja lagi di sana, di PT yang lain” 282
BABGAGIAINAN-I,-IMI: eMmeanhcaombai MBearsbaulaaht pada asupan luar industri pertanian (pupuk kimia, racun hama, benih). Sementara itu, nilai-tukar hasil pertanian mereka tetap rendah, harganya tidak pernah meningkat secara berarti, atau selalu lebih kecil dibanding peningkatan harga semua asupan luar yang mereka butuhkan. Akibatnya, pendapatan petani warga Dengkeng, khususnya warga Dukuh, pun sebenarnya nisbi tetap atau bahkan menurun. Akibat lanjutannya, banyak warga Dukuh terperangkap dalam ‘jerat utang’ terus-menerus hanya untuk menutupi biaya asupan luar tersebut. Maka, praktik ijon (menjual sebelum panen) sudah menjadi praktik umum di dusun ini. Dengan hasil pertanian yang tidak bisa lagi mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, maka kebanyakan remaja (sejak lulus SLTA, terutama yang tidak mampu melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi) lebih memilih meninggalkan desa dan bekerja di kota (Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surakarta) sebagai penjual kaki lima atau buruh bangunan. Remaja yang masih tinggal di Dukuh adalah remaja yang masih bersekolah atau --jika orangtuanya masih mampu-- kuliah di beberapa perguruan tinggi di Kota Klaten atau Yogyakarta. Ada 5 orang warga yang bergelar sarjana, selebihnya lulusan SLTA. Tetapi, sebagian besar hanyalah lulusan SLTP atau SD, umumnya adalah dari keluarga yang tidak memiliki lahan sendiri. Ada 30 orang warga yang tercatat bekerja sebagai buruh serabutan, 2 orang buruh bangunan, 5 orang karyawan usaha swasta, dan 6 orang guru sebagai pegawai negeri. Selebihnya adalah pengangguran. Ada 4 orang warga perempuan yang memiliki ketrampilan menjahit, memilih bekerja sebagai buruh di beberapa perusahaan pembuat pakaian-jadi (konveksi) di kota kecamatan Wedi, atau kadang-kadang menerima pesanan membuat rajut. Kota kecamatan Wedi memang dikenal sejak lama sebagai salah satu pusat industri pakaian-jadi --khususnya kaos dan jaket-- yang ada di wilayah Kabupaten Klaten. Ada beberapa kegiatan rutin yang berjalan di Dukuh, yakni kegiatan rondak kampung (SISKAMLING) bersama setiap bulan, pengajian yasinan, dan tahlilan bergantian setiap malam Jumat. Secara khusus, kaum perempuan juga memiliki forum tersendiri, yakni pengajian ibu- ibu yang didukung oleh Pengurus Muhammadiyah Ranting Wedi. Dalam penanggalan tertentu, warga juga memiliki kegiatan ritual sosial yang berupa rasulan. Kegiatan SISKAMLING di Dukuh malah telah membentuk satu perkumpulan khusus yang juga melakukan kegiatan usaha bersama berupa jasa penyewaan peralatan mesin pompa air dan barang-barang bolo pecah. Usaha bersama ini dikordinir 283
GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial oleh Nur Hidayat, ketua RT 03, dan hasilnya menjadi pemasukan kas untuk membiayai kegiatan-kegiatan rutin Dukuh, sumbangan bagi warga yang sedang menderita sakit, atau meninggal dunia, serta dipinjam oleh warga yang membutuhkan. Perkembangan keuangan usaha bersama ini dilaporkan setiap bulan dalam pertemuan, yang diadakan bergiliran di tiap keluarga. Ketika ada warga yang akan menyelenggarakan hajat seperti yasinan, mantenan, tetakan, Mbah Putri Adi Kuat, 68 tahun mendirikan rumah, “Saya tidak pernah ikut datang di pertemuan peringatan kematian, siskamling, soale kulo niku rondo. Kulo niku hampir semua warga mboten ngertos pripun asile siskamling. berkumpul dan Saya juga tidak tahu berapa jumlah uang saling membantu kas, digunakan untuk apa dan oleh siapa. dengan tenaga dan Saya sudah cukup koq dibiayai sawah dan sedikit uang atau tambahan dari anak saya” bahan makanan. Masyarakat merasakan bahwa fungsi pemerintah hanya sekadar urusan KTP, surat pindah, surat menikah, dan yang sejenisnya. Sementara untuk urusan jalan desa yang justru sangat vital bagi kegiatan perekonomian dan penghidupan sehai-hari masyarakat, sampai saat ini pemerintah tidak memikirkannya, sehingga jalan tanah masih saja becek dan lengket ketika hujan. Pemerintah kecamatan pernah ikut- ikut ‘mengurusi perbaikan’ jalan tersebut dengan sekedar ‘bersih- bersih rumput’ melalui ‘Program Padat Karya’ --warga diminta untuk gotong royong dan ‘dibayar’ ketika selesai tengah hari. Pemerintah pernah menggulirkan dana subsidi bahan bakar minyak (BBM) untuk warga miskin. Apa yang diketahui warga Dukuh adalah -- beberapa saat setelah pengumuman resmi pemerintah tentang kenaikan harga BBM (minyak tanah, bensin, dan solar )-- tiba-tiba ada edaran dan isian daftar yang diurusi oleh Ketua RT dan Carik (Sekretaris Desa), katanya dalam rangka pembagian uang kompensasi BBM. Karena diumumkan sebagai kompensasi BBM bagi keluarga miskin, maka semua orang berharap bisa menerimanya. “Biar saja dikatakan miskin, yang penting dapat duit,” kata warga umumnya. Namun, ketika dana tersebut turun tidak ke semua orang --dengan alasan tidak semua keluarga memenuhi tolok-ukur sebagai keluarga miskin, tetapi tolok-ukurnya sendiri tidak pernah diketahui oleh warga-- muncul lah kasak-kusuk tidak puas, dan tuduhan negatif pun secara gampang ditujukan kepada Ketua RT, Ketua RW dan Carik. 284
BABGAGIAINA-NI,-IMI:eMmeanhcaombai MBaesrbaulaaht Sementara, para pejabat Dalam guyonan yang tercetus pemerintahan desa dan ketika kumpul-kumpul warga sambil dusun tersebut (Ketua RT, bekerja dinyatakan, “Biyen dho Ketua RW dan Carik) juga rebutan ngaku dadi wong miskin, mengaku sangat tertekan dan ben entuk duwit seko pemerintah... terjepit di tengah, banyak saiki Gusti Allah ngijabahi awake ‘berkorban rasa’. Pada satu dhewe dadi miskin tenan, keno sisi, mereka ditekan dari atas lindhu..” (Dulu berebut mengaku (pimpinan kecamatan), pada jadi miskin supaya mendapatkan sisi lain mereka dicurigai uang.. sekarang Allah oleh warganya sendiri. mengabulkannya, kita jadi orang miskin beneran, terkena gempa Di Dukuh hanya ada dua bumi..) sarana umum, yakni masjid dusun yang sudah tua serta Meski ini guyonan, namun menjadi pos ronda yang dibangun salah satu indikasi dari ‘salah urus’ seadanya. Masjid berdiri di pemerintah untuk mengatasi atas tanah seorang warga kemiskinan di masyarakat. (yang dulu orang tuanya Kompensasi BBM sebesar 100 ribu berniat mewakafkan, namun rupiah per bulan yang diterima sampai saat ini belum setiap 3 bulan sekali, sama sekali terwujud juga, karena warga tidak menyelesaikan persoalan apapun, selain malah menambah masalah dan konflik di masyarakat. merasa sulit mengurus sertifikat tanah dan wakaf). Mulanya, masjid itu hanyalah satu mushalla kecil, lalu menjadi masjid seperti sekarang ini berkat sumbangan dana dari satu organisasi amal di Kabupaten Klaten serta patungan bahan bangunan dan swadaya tenaga dari warga sendiri. Pemilik tanah masjid pernah ditawari oleh warga untuk menukar tanahnya dengan tanah di tempat lain, namun banyak yang tidak setuju, karena masjid sering menjadi tempat kumpul warga untuk pengajian dan SISKAMLING, selain sebagai tempat sholat dan mengaji bagi anak-anak. Bagi warga yang tinggal di sekitar masjid memanfaatkan kamar mandi dan kakus (WC) masjid sebagai sarana umum untuk keperluan sehari-hari. Pos ronda yang berada di atas tanah sawah, di pinggir jalan milik keluarga Sulur, dibangun ketika gencar-gencarnya diadakan ronda oleh pemerintah kecamatan dan desa. Sulur merelakan sebagian tanahnya dibangun pos ronda, karena diminta oleh warga (melalui Ketua RT, Ketua RW dan Carik). Pos ronda ini menjadi tempat mangkal warga yang melakukan ronda. Namun, seringkali, di malam hari, pos ronda ini menjadi tempat anak-anak muda mabuk-mabukan dan berjudi. 285
GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial Di Balik Bantuan yang Datang Sehari sesudah gempa tanggal 26 Mei 2006, bantuan berdatangan ke daerah-daerah bencana tersebut di seluruh Yogyakarta (terutama Kabupaten Bantul) dan Jawa Tengah (terutama Kabupaten Klaten). Sebagian warga Dukuh yang memiliki keluarga atau teman di luar daerah gempa bumi, mendapatkan kiriman bantuan. Namun, yang lainnya, berebut dan mengantri sumbangan di tempat-tempat penurunan bantuan, seperti di lapangan Pesu, berjarak sekitar 5 km dari Dukuh. Sambil berharap ada dermawan yang datang ke Dukuh, masyarakat membangun satu pos darurat untuk menampung bantuan, sumbangan dari satu penyalur sepeda motor Honda di Kota Klaten (seorang warga Dukuh ada yang bekerja disana sebagai karyawannya) dan dari dana sumbangan melalui kotak amal di pinggir jalan. Ketika ada bantuan ke Dukuh, semua orang keluar, baik lelaki maupun perempuan, tua-muda, dan anak-anak, berebut mengantri menerima sumbangan. Masing-masing orang berpikir bagaimana bisa mendapatkan bantuan untuk keluarga sendiri-sendiri, tidak peduli keluarga lain yang selama ini menjadi tetangga dan saudara mereka. Dalam pikiran mereka, bagaimana mau memikirkan orang lain sedangkan diri sendiri tidak punya makanan. Kata-kata yang paling sering disuarakan ketika ada orang luar datang adalah ‘bantuan’. Kejadian ini berlangsung paling tidak selama satu minggu setelah hari kejadian. Nampak sekali, pikiran dan sikap mementingkan diri sendiri adalah ‘bencana baru’ yang tidak kalah dahsyatnya, akan lebih lama akibatnya meski tidak terasa secara fisik. Agaknya, masyarakat luar daerah gempa pada saat itu banyak yang berpikir untuk ‘memberi’, entah berupa bahan makanan, pakaian, obat-obatan, tenda, lampu, dapur umum, pos kesehatan, dan sebagainya. Semua orang seperti menjadi latah memberi bantuan dan menjadi dermawan (‘beramal saleh’). Beberapa hari kemudian, bahkan terjadi semacam ‘lomba mencari daerah yang belum terjangkau bantuan’, tentu saja, sesuai tolok-ukur masing-masing pemberi bantuan. Pemerintah, organisasi-organisasi non pemerintah (ORNOP), lembaga-lembaga sosial, bahkan partai-partai politik, semuanya melakukan tindakan perbantuan darurat berdasarkan niat dan tujuan mereka masing-masing. Bahkan, Presiden negeri ini juga melakukan hal yang sama, sampai membentuk ‘Posko Puri Cikeas’ -- nama daerah rumah kediaman Presiden di Bogor-- di desa Canan, Kecamatan Wedi, Kabupaten Klaten. Tidak terpikir oleh banyak orang ketika itu, bahwa ada akibat lain dari ‘asal memberi’ bantuan tersebut 286
BABGAIGANIA-NI, -MII:eMmeanhcaombiaMBaesrabluaaht kepada korban gempa, yaitu ‘ketergantungan’, menciptakan mental pengemis yang berebut bantuan dengan tetangganya sendiri. Gejala lain yang muncul, disengaja ataupun tidak, adalah ‘pawai bendera’. Lambang-lambang dan nama-nama organisasi pemberi bantuan dipasang besar-besar dan bertebaran hampir di semua penjuru di seluruh daerah bencana. Poster-poster dan spanduk- spanduk besar bertuliskan slogan-slogan hebat bermunculan dimana- mana, termasuk di tempelan-tempelan stiker di bungkusan barang- barang bantuan. Melihat semua itu, sulit untuk tidak berkesimpulan bahwa terjadi ‘pameran kedermawanan’ untuk berbagai kepentingan (dakwah agama, kampanye politik, ‘sekedar cari nama’, dan sebagainya). Para warga korban gempa sendiri --termasuk warga Dukuh di Dengkeng-- tentu saja, hanya bisa menerima saja. Mereka tidak pernah ditanya, apalagi diajak bicara, tentang apa sebenarnya bantuan yang paling mereka butuhkan dan bagaimana cara menyalurkannya. Di Dukuh saat itu, bahkan ada satu partai politik yang datang membawa bantuan dan beberapa orang relawan untuk melakukan ‘bersih-bersih’ puing-puing reruntuhan. Namun, yang mereka bersihkan hanyalah satu tempat ibadah (mushalla kecil) dimana para warga korban bencana yang adalah pemilih partai politik berkumpul. Mereka sama sekali tidak peduli pada reruntuhan bangunan dan warga yang lain, yang bukan pemilihnya selama ini. Mereka tidak mengindahkan kesepakatan warga korban gempa disana bahwa semua bantuan darimana pun harus dikumpulkan dahulu di satu tempat untuk kemudian dibagikan kepada seluruh warga secara musyawarah dan gotong-royong. Warga Dukuh memandang tindakan partai politik itu dengan plesetan getir: “Ya, pokoke ngenthengke gawean” (Pokoknya meringankan pekerjaan saja --maksudnya, mereka pun tak perlu pusing memikirkan gotong-royong membantu membersihkan reruntuhan rumah warga pemilih partai politik itu). Begitu juga dengan satu organisasi mahasiswa berlatar kegamaan yang (mengaku) memiliki hubungan langsung dengan seorang pejabat tinggi Departemen Dalam Negeri di Jakarta. Dengan penjelasan singkat kepada warga bahwa mereka akan melakukan survei tentang ‘penyaluran bantuan sebelumnya’ --yang dipertanyakan warga: “Bantuan yang mana?”-- seorang yang mengaku ‘utusan dari Jakarta’ menjanjikan alat-alat serta bahan bangunan untuk membangun rumah-rumah baru. Bantuan tersebut, kata mereka, harus disertai dengan sejumlah persyaratan, di antaranya ‘hanya akan diberikan kepada warga yang rumahnya benar-benar rata dengan tanah’. Meski 287
GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial ternyata ‘janji bangun rumah’ itu tak pernah terwujud, aktivis organisasi mahasiswa tadi (atas nama ‘wakil pejabat dari Jakarta’ yang datang sebelumnya) tetap datang juga, tetapi hanya membawa sejumlah kecil peralatan ringan, sekedar menambahi jumlah peralatan kerja sejenis yang sudah mulai bertumpuk di Dukuh. Menyaksikan bahwa ada relawan dari satu perguruan tinggi keagamaan yang berbeda yang tinggal dan bekerja bersama warga setempat, organisasi mahasiswa itu kemudian pergi dari Dukuh dengan alasan ‘pindah ke desa lain yang belum terjangkau’. Kejadian menarik lainnya, seorang wakil Palang Merah Indonesia (PMI) datang ke Dukuh sekitar 4 bulan setelah gempa. Sesuai dengan ‘kecenderungan bantuan’ pada masa itu, petugas PMI tersebut juga membawa sejumlah gedhek (anyaman bambu untuk dinding), tanpa pernah bertanya kepada warga setempat tentang perkembangan mutakhir dan jenis bantuan yang dibutuhkan. Karena, dalam kenyataannya, hampir semua warga saat itu telah selesai membangun rumah-rumah sementara yang memang berdinding gedhek, maka gedhek sumbangan PMI itupun akhirnya hanya digeletakkan terlantar di pinggir jalan desa. Beberapa warga juga menyatakan alasan lainnya, yakni bahwa gedhek sumbangan PMI itu sangat jauh lebih rendah mutunya dibanding gedhek yang selama ini mereka gunakan. Kata salah seorang warga: “Gedhek ngaten puniko mboten nate dipun ginaaken kangge griyo, paling-paling namung kangge kandang ayam” (gedhek seperti itu tidak pernah kami pakai untuk [dinding] rumah, kalau pun kami pakai, ya, tidak lebih untuk dinding kandang ayam). Memulai dengan Rembug Warga Masyarakat Dukuh korban gempa tidak tahu sampai kapan harus terus berharap dan berebut bantuan. Dalam bisik-bisik antar mereka -- ketika mengurusi pengisian formulir-formulir data korban dari pemerintah Kabupaten Klaten di rumah Ketua RT, Ketua RW dan Carik-- mereka jelas-jelas menyatakan bahwa hidup mereka saat itu sepenuhnya bergantung kepada bantuan dari luar, tidak tahu harus melakukan apa selanjutnya. Pada saat itu, yang terpenting bagi mereka adalah bahwa ‘hidup harus terus berjalan’, meskipun untuk itu mereka terpaksa harus menjadi pengemis. Anjuran untuk menggalang kebersamaan, bersikap lebih mandiri untuk membangunan ketahanan sosial, menjadi ‘barang aneh’ untuk dibicarakan dengan mereka saat itu. 288
BABGAIGANIA-NI, -MII:eMmeanhcaombiaMBaesrabluaaht Tetapi, tetap saja ada orang yang masih mampu bertahan ‘waras’ pada setiap keadaan darurat. Terlepas dari jabatannya sebagai Ketua RW, Suharno mencoba mengajak warga dusunnya untuk berkumpul dan berembug tentang keadaan mereka. Meski masih berkaitan dengan soal mencari bantuan di luar, Suharno menyatakan: “Menopo kito badhe ngaten punika terus? Kahanan meniko kedah kito rembag sesarengan” (Apakah kita akan terus hidup dalam keadaan seperti ini? Sebaiknya kita berembug untuk mencari jalan keluar). Ajakannya rupanya bersambut. Maka, langkah-langkah awal pun mulai mereka bicarakan dan sepakati bersama. Salah satu usulan yang muncul adalah membentuk suatu kepanitiaan. Ini terjadi sekitar seminggu sesudah hari bencana, dalam suatu pertemuan malam hari di ruang tamu rumah yang masih berdiri (rumah Hariyanto, Carik Desa Dengkeng), di bawah penerangan sinar lampu petromak, dipimpin langsung oleh Suharno sendiri --yang juga berwiraswasta sebagai penyalur panenan tebu warga ke pabrik gula di Kota Klaten. Kepanitiaan yang terbentuk adalah seorang Kordinator Umum yang bertanggungjawab secara keseluruhan; seorang Sekretaris yang menyiapkan urusan surat-menyurat, tulis0menulis, dan catat- mencatat; dan seorang Bendahara yang bertugas mengelola keuangan RW yang masih ada serta semua bantuan berbentuk uang tunai dari luar. Kepengurusan ini dilengkapi dengan Seksi Gotong Royong & Pembangunan yang bertugas mengkordinir pekerjaan gotong royong dan alat-alat yang dibutuhkan, terutama berkenaan dengan urusan kerusakan fisik bangunan. Lalu, ada Seksi Keamanan Lingkungan yang mengkordinir warga untuk menjaga keamanan bersama, terutama di malam hari yang gelap gulita --karena aliran listrik masih putus-- untuk mengawasi kemungkinan pencurian banyak harta warga yang masih terserak di tempat-tempat terbuka atau dititipkan di rumah yang tidak roboh. Kemudian, Seksi Logistik bertanggungjawab mengelola dan membagikan secara merata semua bantuan barang yang datang dari luar. Seksi Kesehatan bertugas mengurusi keadaan kesehatan warga yang sangat rentan dengan berbagai penyakit, dan membawa warga yang sakit ke tempat pengobatan yang disediakan. Seksi Pendidikan bertugas mengurusi kegiatan ‘sekolah darurat’ anak- anak yang diselenggarakan di beberapa rumah yang tidak roboh, di masjid, dan di pos Tim Pendamping STAIN Surakarta yang juga berfungsi sebagai ‘Balai Rembug Warga’. Akhirnya, Seksi Hubungan Masyarakat yang bertanggungjawab menggalang berbagai alternatif jaringan kesetiakawanan dari masyarakat di luar Dukuh. 289
GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial Pertemuan itu juga membahas rincian kerusakan yang diderita, terutama yang terkait dengan rumah roboh, pengelolaan bantuan, pengurusan warga yang sakit dan luka, serta rencana langkah berikutnya yang perlu diambil. Dimulailah diskusi tentang pemetaan rumah-rumah yang rusak dengan mempertimbangkan bahaya yang muncul pada masyarakat, khususnya anak-anak dan orang tua. Beberapa bangunan yang rusak berat dan miring ke tempat umum (misalnya ke arah jalan) dimasukkan ke dalam kelompok ‘bangunan berbahaya’ dan harus ditangani segera. Bangunan kategori ‘rusak berat’ dan ‘berbahaya’ itu disepakati segera dirobohkan secara gotong- royong. Berikutnya, bangunan yang tidak layak berdiri, meski tidak berbahaya, akan dirobohkan juga pada giliran berikutnya. Warga yang bekerja di pagi hari, akan ikut gotong royong di siang hari, setelah selesai kerja, dengan acuan bahwa setiap keluarga paling sedikit mengirimkan satu orang anggotanya sebagai wakil. Bahan bangunan diambil dari sediaan bantuan yang sudah ada, dikelola melalui pengurus kelompok kerja pada setiap RT. Bahan pangan disediakan oleh warga yang rumahnya dibangun secara bergotong- royong, sementara ibu-ibu yang lain secara bersama memasaknya di dapur umum di rumah salah seorang warga yang telah ditetapkan (rumah Madiyo yang mengalami kerusakan nisbi paling ringan). Beberapa hal yang dianggap mendasar saat itu juga dibahas dalam pertemuan tersebut, yakni: Untuk menjaga kekompakan gotong royong, tanpa hanya memikirkan nasib rumah sendiri-sendiri, dibuatlah mekanisme yang berkenaan dengan distribusi bantuan ‘tanpa alamat yang jelas’. Meski mungkin ini menjadi alat untuk ‘menakut-nakuti’, disampaikan bahwa keluarga yang tidak ikut gotong-royong dan ronda malam, tidak akan memperoleh distribusi bantuan melalui ‘panitia’. Keikutsertaan gotong royong berupa tenaga, masing-masing keluarga satu orang setiap gotong royong, atau mencari gantinya dengan orang lain. Ini mencakup gotong royong penanganan bangunan roboh dan masak memasak di dapur umum. Agar perkembangan pekerjaan dan keadaan lingkungan bisa diketahui bersama, direncanakan, setiap malam, semua seksi-seksi dalam kepanitiaan bersama, akan berkumpul di Pos Darurat, untuk mengevaluasi dan merencanakan langkah. Apabila kondisi menghendaki pertemuan semua warga, maka akan dibuat pertemuan seluruh warga, di tempat yang direncanakan kemudian. 290
BABGAIGANIA-NI, -MII:eMmeanhcaombiaMBaesrabluaaht (1) Pengelolaan bantuan dari luar. Disepakati agar semua bantuan yang datang dari luar, dikumpulkan terlebih dahulu di suatu tempat (semacam gudang sementara). Dengan demikian, dapat dilakukan perhitungan agar tidak semuanya dibagi habis sekaligus, tetapi selalu harus ada yang disisakan sebagai cadangan. Disepakati pula agar setiap bantuan tidak diterimakan kepada warga secara orang per orang, melainkan melalui kordinasi kelompok kerja per RT. Darimana pun asal bantuan (hasil mencari sendiri, memasang kotak amal di pinggir jalan, memperoleh dari teman, saudara, serta bantuan resmi pemerintah melalui perangkat desa, RW dan RT), semuanya harus dicatat. Prinsip dasar yang disepakati adalah terjadinya pemerataan pembagian dan, yang paling penting, menghindari kekurangan logistik pada saat yang sangat dibutuhkan. (2) Pengaturan penyaluan bantuan. Disepakati untuk dilakukan dengan cara yang tidak membuat warga harus antri dan saling berebut. Seluruh batuan harus dipilah-pilah: mana yang bisa segera dibagikan secara merata dan mana yang perlu dikelola untuk kepentingan bersama. (3) Pengadaan alat-alat kerja. Disepakati untuk mendata (mencatat) seluruh sediaan alat-alat kerja sehari-hari serta keadaannya (hilang, rusak, dan sebagainya). Prinsip dasar yang disepakati adalah terus berusaha mencari kemungkinan-kemungkinan untuk penambahan peralatan tersebut, agar tidak terjadi ketiadaan peralatan sama sekali pada saat pekerjaan berlangsung. (4) Jadwal dan cara kerja gotong royong. Disepakati tahapan- tahapan kerja sebagai berikut: mulai dari membersihkan puing-puing reruntuhan sebagai prioritas pertama; kemudian disusul dengan pemilahan dan pengumpulan bahan-bahan bangunan yang masih bisa dipakai lagi dari semua bangunan yang roboh atau rusak; lalu menguruk (menimbun) tempat-tempat yang rendah dan berlobang; dan akhirnya mengeraskan dan meratakan jalan-jalan. Barulah sesudah itu mulai kerja ‘rekonstruksi’, yakni membangun rumah- rumah darurat, memanfaatkan dahulu sisa-sisa bahan bangunan yang masih bisa dipakai. Pembangunan dilakukan secara bertahap bergilir, berurutan pada setiap RT menurut kesepakatan setiap kelompok kerja per RT yang bersangkutan. (5) Kedudukan dan peran pendamping. Disepakati apa kedudukan dan peran terpenting yang diharapkan dari beberapa orang ‘pendamping’ (yakni para relawan dari STAIN Surakarta) yang terlibat langsung dan telah memutuskan untuk mukim selama waktu yang 291
GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial dibutuhkan warga di Dukuh. Pertemuan ini juga menyepakati untuk memberi penjelasan lebih lengkap dan lebih mudah kepada seluruh warga tentang kedudukan dan peran para pendamping tersebut agar tidak terjadi ‘salah pengertian’. Prinsip dasar yang disepakati adalah warga harus memahami benar bahwa para pendamping itu ‘bukan juru selamat yang membawa dan menyalurkan bantuan’. Disepakati bahwa para pendamping itu diperbolehkan tinggal, tetapi mereka harus membangun tenda darurat dan mengadakan semua kebutuhan mereka sendiri, tidak menambah beban berat warga --meskipun dalam kenyataannya kemudian para warga, terutama ibu-ibu, tetap saja selalu datang ‘menyumbang’ makanan kepada para pendamping di tenda darurat mereka. Para pendamping diharapkan bisa membantu semua pekerjaan semampu mereka saja, tidak perlu memaksakan diri jika memang tak mampu. Mereka juga sangat diharapkan membantu menggalang hubungan antara warga Dukuh dengan berbagai fihak atau kalangan di luar yang bersedia membantu; memfasilitasi proses- proses pertemuan dan diskusi (rembug) warga; membantu teknis dan proses penyaluran bantuan; dan terlibat langsung semampu mereka dalam setiap kerja gotong-royong warga. Melaksanakan Kesepakatan Pengelolaan Bantuan dari Luar Bantuan-bantuan yang datang dari luar dikelola dengan mekanisme yang disepakati bersama. Prinsipnya, semua bantuan harus diperlakukan sebagai ‘milik bersama’ untuk kebutuhan bersama pula. Pembagiannya dilakukan melalui kordinasi oleh seorang kordinator yang telah disepakati. Dengan cara ini, warga Dukuh akhirnya mulai menyadari bahwa semua bantuan --terutama bahan pangan, pakaian, obat-obatan, peralatan dapur, dan barang-barang keperluan sehari-hari lainnya-- ternyata tidak akan mengalir terus-terusan, ada batas jumlah dan waktunya. Sementara itu, mereka memperkirakan kebutuhan semua barang tersebut belum bisa mereka penuhi sendiri selama paling sedikit 1-2 bulan ke depan, Karena itu, mereka mematuhi kesepakatan untuk menyisakan sebagian kecil dari semua jenis bantuan barang-barag tersebut sebagai cadangan bersama. Bantuan yang datang tidak langsung dibagi semua, melainkan akan disimpan sebagian dan dibagi lagi di kemudian hari, di samping juga akan digunakan untuk pemenuhan kebutuhan bersama ketika melakukan pekerjaan gotong royong. 292
BABGAIGAINA-NI,-MII:eMmeanhcaombai MBaesrbaulaaht Sementara itu, semua bantuan berupa bahan bangunan dan peralatan kerja konstruksi akan disimpan terpusat di satu tempat saja sebagai ‘gudang umum’. Setiap warga yang membutuhkan dapat mengambilnya melalui kelompok kerja per RT masing-masing. Semua pengambilan bahan dan peminjaman alat kerja harus tercatat. Semua alat kerja harus dikembalikan dan dicatat lagi segera setelah digunakan, sebagai aset bersama yang bisa digunakan secara bergilir oleh warga yang membutuhkan. Disepakati bahwa ‘gudang umum’ peralatan itu nantinya akan diusahakan menjadi satu ‘gudang dusun’ yang permanen yang dikelola oleh satu koperasi warga yang akan dibentuk nanti setelah masa darurat berlalu. Melalui mekanisme seperti ini, diharapkan, masyarakat bisa terjaga kerukunannya. “Nang urip bebrayan kuwi perlu didohi sipat-sipat pukil, ngongso lan menange dhewe” (Hidup bersama itu harus terbebas dari sifat-sfat culas, serakah, dan mau menang sendiri), kata seorang tetua dusun. Menghadapi mekanisme penyaluran bantuan melalui pemerintah atau ORNOP yang telah memiliki cara baku mereka sendiri, warga menyarankan kepada panitia yang telah dibentuk untuk merundingkan kemungkinan semua fihak luar tersebut bersedia mengkuti mekanisme internal yang telah disepakati oleh warga Dukuh, meskipun prosedur tertulis yang dipersyaratkan oleh semua fihak luar itu juga harus tetap berusaha dipenuhi. Membersihkan Reruntuhan dan Bangunan Berbahaya. Setelah terkumpul beberapa peralatan penting yang dibutuhkan dan kerja pembersihan puing-puing rumah yang memang hancur total juga selesai, warga bersama-sama meninjau semua bangunan yang dianggap ‘berbahaya’, lalu berembug menentukan cara penanganannya. Semuanya disesuaikan dengan hasil pemetaan (sketsa) bersama sebelumnya. Pekerjaan mengevakuasi (merobohkan) semua bangunan ‘berbahaya’ tersebut dipimpin oleh Madiyo --yang pekerjaan utama dan keahliannya memang adalah sebagai tukang batu, sekaligus seorang petani berhasil pemilik lahan di luar desa yang sedang menanam semangka, rumahnya bertingkat dua dan masih utuh berdiri dengan hanya sedikit kerusakan ringan di bagian dapurnya. Madiyo lah yang dipercaya menentukan siapa dan apa yang harus dikerjakan untuk merobohkan bangunan. Peralatan keamanan kerja seperti penutup hidung dan sepatu bot, dibagikan dan dipakai oleh semua yang terlibat pekerjaan berat itu. Khusus untuk pekerjaan memanjat ke tempat-tempat tertentu, dipilih beberapa orang yang memiliki kemampuan dan keberanian untuk melakukannya, seperti 293
GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial Suluri, seorang buruh bangunan berpengalaman, sekaligus seorang pemanjat kelapa yang handal, selain sebagai buruh serabutan di sawah. Satu persatu bangunan yang berbahaya dirobohkan secara gotong- royong. Semua bahan bangunannya yang masih sukup baik dan dianggap masih dapat digunakan lagi, dikumpulkan dan dicatat. Maka, hanya dalam waktu 5 hari, seluruh pekerjaan merobohkan bangunan yang berbahaya itu pun berhasil diselesaikan. Hanya tersisa 1 rumah ‘berbahaya’ yang tidak dirobohkan, selain karena memang tidak mengarah ke ruang umum terbuka, juga karena pemiliknya meminta untuk merobohkannya sendiri nanti, tentu saja atas tanggungan biayanya sendiri, karena masih ada banyak benda berharga di dalam rumah tersebut. Kebetulan sang pemilik rumah juga berputra seorang anggota BRIMOB Polisi (bertugas di Jakarta) yang di kemudian hari mengerahkan teman-temannya untuk merobohkan bangunan rumah Dengan semangat yang seakan baru orangtuanya tersebut. muncul, setelah sempat nglokro dalam beberapa hari, warga bahu-membahu Penderitaan bersama sesuai kemampuannya melakukan akibat gempa, tanpa pekerjaan bersama tersebut. Sambil disadari, perlahan-lahan bekerja, warga mengingat kembali telah menjadi satu bahwa sebelum gempa terjadi, pekerjaan ‘media’ untuk gotong royong secara ikhlas seperti ini, mengumpulkan kembali sudah lama menjadi benda langka. sisa-sisa warisan leluhur yang bernama ‘gotong- Dalam cerita terungkapkan bahwa warga royong’, dan ternyata mulai agak ‘susah’ melakukan gotong memang cukup berhasil. royong secara sebenarnya, setelah Semua warga sangat muncul pekerjaan gotong-royong yang berharap agar mendapatkan ‘upah’ dari pemerintah, ‘penemuan kembali’ itu seperti mengeraskan jalan, membangun dapat terus berlanjut di jembatan dan sebagainya. Di media masa depan, meskipun massa sering disebutkan pekerjaan tak ada lagi bencana. tersebut bernama ‘padat karya’. “Gotong royong kita sudah dibeli oleh padat Kesetiakawanan yang karya”, kata mereka. ditunjukkan oleh fihak luar berupa pemberian bantuan peralatan kerja dan bahan bangunan mulai berdatangan. Kesetiakawanan ini juga menambah kekuatan dan menumbuhkan kesadaran warga Dukuh untuk menjaga kebersamaan yang mulai tumbuh kembali di kalangan mereka sendiri. “Menawi piyantun sangking njawi kemawon ndherek mikiraken kito, mongko kito 294
BABGAGIAINAN-I,-IMI: eMmeanhcaombai MBearsbaulaaht kedah njagi kebersamaan kangge mikiraken kabetahan kita sami” (Orang- orang dari luar saja ikut memikirkan dan membantu, jadi tidak ada alasan untuk tidak menjaga kebersamaan kita sendiri), kata Suharno, sang Ketua RT dan Kordnator Umum, di depan pertemuan warga. Pembenahan rumah-rumah rusak dan pengumpulan bahan tersisa. Agar hati tidak sumpek melihat keadaan rumah yang rusak --dampak kejiwaan yang wajar terjadi, karena akan sealu mengingatkan betapa susahnya dulu mengumpulkan modal untuk membangun rumah yang telah rusak tersebut-- maka prioritas berikutnya adalah membenahi rumah yang rusak --yang roboh total dan ‘berbahaya’ sudah selesai dirobohkan dan dibersihkan semua. Ini juga perlu agar bisa segera dimulai membangun hunian sementara. Mempertimbangkan nilai aset pribadi yang hanya bisa dinilai oleh masing-masing pemilik rumah, maka pekerjaan ini dipimpin langsung oleh pemilik rumah yang akan dibenahi. Semua warga lain akan membantu secara bergiliran. Kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari 4-5 orang dari wakil-wakil setiap kelaurga mulai dibentuk untuk melaksanakan pekerjaan ini. Bahan-bahan bangunan yang masih bisa digunakan juga dikumpulkan untuk digunakan kembali membangun hunian sementara dan nanti --ketika sudah ada modal-- akan digunakan untuk membangun rumah permanen. Pada tahap inilah, mulai pula berdatangan tenaga-tenaga relawan dari berbagai desa atau daerah lain yang tidak terkena bencana. Para pendamping dari STAIN Surakarta bertugas utama mengerahkan dan mengkordinir para relawan dari luar tersebut, tetapi warga Dukuh sendiri yang mengatur pembagian kerja kepada relawan tersebut, terkecuali beberapa rombongan relawan yang memang sudah dipesan langsung sendiri oleh beberapa warga --umumnya adalah sanak keluarga, kerabat, atau kenalan mereka sendiri. Sampai saat itu, warga Dukuh umumnya masih tetap berharap banyak pada bantuan pemerintah yang sering dijanjikan melalui media massa. Tetapi, seiring dengan waktu yang terus berlalu tanpa tanda-tanda kepastian datagnya bantuan pemerintah tersebut, warga Dukuh akhirnya mulai menyadari bahwa di balik bantuan yang dijanjikan, akan ada sekian banyak persoalan yang menghadang, terutama terkait dengan birokrasi, kemungkinan KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) dalam penyalurannya, serta persoalan lainnya. Mereka mulai mendengar cerita-cerita tentang masalah serupa yang telah terjadi di Aceh yang --dua tahun sebelumnya, Desember 2004-- tertimpa bencana gempa dan tsunami yang lebih dahsyat. Pelan tapi pasti, 295
GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial mulai terbentuk sikap Media massa memberitakan bahwa untuk tidak terlalu banyak pemerintah akan membantu korban berharap. Warga Dukuh gempa yang rumahnya roboh melalui mulai belajar verifikasi fisik, didatangi dan difoto. Kalau memperkuat diri dan dalam verifikasi ternyata kondisi tekad mereka sendiri rumahnya yang roboh tidak bisa untuk bangkit bertumpu dibuktikan melalui foto, maka bantuan terutama pada kekuatan sebesar maksimal 30 juta tidak jadi sendiri dan bantuan diberikan atau akan dikurangi. kesetiakawanan spontan bukan dari pemerintah. Karena berita itu, pada awalnya, Membangun hunian sebagian besar warga Dukuh memilih sementara. membiarkan saja puing-puing reruntuhan rumah mereka, berharap supaya dalam Hidup di bawah tenda- verifikasi bisa lolos, meski tidak tahu tenda darurat, di bawah kapan dan bagaimana verifikasi dilakukan. terik matahari di siang hari dan udara dingin malam hari, membuat warga sudah merasa tidak aman dan tidak sehat, terutama anak-anak dan orang lanjut usia. Dinginnya malam di bawah tenda dan panasnya siang merupakan sebuah ‘kenyataan’ yang harus mereka lalui. Pada rembug warga tanggal 18 Juni 2006 di Masjid Akbar, mereka pun mulai membahas rencana kerja pembangunan hunian sementara. Direncanakan, meski akan disesuaikan dengan keadaan masing-masing, hunian sementara yang disepakati adalah bangunan ‘semi permanen’ berukuran dasar 4 x 6 meter, karena bisa leluasa menggunakan sisa kayu yang ada, tanpa merusak atau mengubahnya. Diperkirakan, genteng yang dibutuhkan untuk setiap unit bangunan seukuran tersebut adalah 500 keping per rumah. Didaftarkan juga rincian kebutuhan bambu, kayu, dan paku per unit bangunan. Kesepakatan yang dicapai adalah prioritas membangun hunian sementara keluarga yang akan segera melahirkan anaknya, yaitu keluarga Sadino, selain juga ada bayi lain dan orantua lanjut usia dalam keluarga ini. Prioritas lainnya adalah warga yang siap dan bisa menyediakan bahan pendukung lain berupa anyaman bambu (gedhek) untuk dinding, tali-tali, dan paku-paku. Mereka semua menyepakati sikap realistis bahwa warga yang belum memiliki bahan pendukung tambahan akan ditunggu kesiapannya, sambil menunggu bantuan baru yang diusahakan oleh Panitia Bersama dan para pendamping. Maka dimulai lah pembangunan hunian sementara atau semi permanen dalam kelompok-kelompok kerja kecil. Setiap kelompok 296
BABGAIGANIA-NI, -MII:eMmeanhcaombiaMBaesrabluaaht terdiri dari 5 keluarga yang rumahnya berdekatan. Kayu, batu bata, dan genteng yang masih bisa dipergunakan dari kumpulan sisa bangunan roboh atau rusak, dijadikan sebagai modal awal membangun hunian sementara ini. Pekerjaan membangun hunian sementara ini, menjadi terbantu secara lebih cepat ketika para pendamping berhasil menggalang dukungan kesetiakawanan berupa bantuan dari luar. Bantuan pertama adalah 3 truk besar bahan bambu segar jenis mutu terbaik dari satu komunitas lokal di Kabupaten Wonogiri, juga bantuan gedhek yang diperoleh dari satu ORNOP di Yogyakarta. Bahkan, komunitas lokal di Wonogiri itu juga datang beramai-ramai sebagai relawan menyumbangkan tenaga mereka selama beberapa hari di Dukuh. Semua itu semakin membuat warga Dukuh tumbuh kembali kepercayaan diri mereka, selain kepercayaan pada ketulusan dan kepedulian banyak orang luar, menjadikan mereka semakin percaya bahwa mereka ‘tidak sendirian dalam penderitaan’. Sampai sekarangpun, hubungan komunikasi dengan komunitas-komunitas lain yang pernah membantu mereka masih tetap terjalin dan berlanjut. Semua bantuan bambu dan gedhek itu segera dibagikan, setiap keluarga memperoleh 10 batang bambu besar, 3 lembar gedhek. Juga disepakati, untuk itu tiap keluarga hanya ‘membayar’ Rp 10.000 -- jumlah yang sangat kecil, hanya cukup untuk membeli sebatang bambu, tetapi tak cukup untuk membeli selembar gedhek pun saat itu, karena harganya tiba-tiba melambung tinggi oleh para spekulan. Uang itu dikumpulkan sebagai kas RW, digunakan untuk memenuhi kebutuhan bersama, seperti biaya pengangkutan bahan-bahan tersebut. Selebihnya direncanakan akan menjadi modal pembelian alat-alat rumah tangga --gelas, piring, alat masak dapur umum, kursi, dan lain-lain-- yang selanjutnya akan menjadi milik koperasi warga yang juganya nanti dapat dipinjam oleh setiap warga yang membutuhkan. Meski pernah diumumkan dalam rembug warga, namun ada saja beberapa orang yang mencurigai pengurus kepanitiaan penanganan gempa tidak adil dan menyembunyikan sesuatu. Hal ini terungkap dalam bisik-bisik antar beberapa warga. Untuk mengurangi dugaan- dugaan yang cukup meresahkan itu, suatu ‘Rembug Warga Luar Biasa’ segera mendadak digelar. Semua warga, terutama yang merasa tidak puas atau curiga, mengemukakan pendapatnya secara terbuka. Hanya terjadi ‘perdebatan kecil’, dan semua warga akhirnya menyatakan untuk lebih berhati-hati, bersepakat untuk selalu menyatakan semua perasaan mereka secara terbuka dalam rembug warga, dan bersepakat 297
GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial untuk selalu mendahulukan kepentingan bersama. ‘Badai kecil’ itupun segera berlalu dan terbukti hamoir tak pernah terulang lagi. Maka, sebulan setelah gempa, semua keluarga di Dukuh yang rumahnya roboh telah dapat menempati hunian sementara. Beberapa warga menyebutkan bahwa hunian sementara itu di masa mendatang - -setelah mereka mampu membangun rumah permanen-- akan mereka manfaatkan sebagai dapur atau bahkan juga kandang ternak sapi, kerbau atau kambing-kambing mereka. Pertemuan Rolasan menjadi Media Refleksi Untuk mendukung berjalannya kegiatan gotong royong yang dilakukan, ibu-ibu dan remaja putri berkumpul dan bekerja bersama di dapur umum. Keadaan alat-alat masak dan dapur di hampir semua rumah pada umumya rusak berat, terutama akibat tertimpa reruntuhan bangunan. Maka dapur umum itu dipusatkan di halaman rumah warga yang masih berdiri, dimasak dengan kayu-kayu puing reruntuhan yang tidak bisa digunakan lagi. Setelah mulai dibentuk kelompok-kelompok kecil, maka dapur umum kemudian disebar ke beberapa tempat sesuai dengan kelompok masing-masing RT. Direncanakan, kegiatan dapur umum ini akan terus dilakukan sampai setiap keluarga telah memiliki kembali alat-alat masak sendiri. Sebenarnya tradisi memasak bersama sudah ada sebelum bencana, yakni saat ada hajatan atau perhelatan, seperti yasinan, tahlilan, mantenan, tetakan, dan sebagainya. Tetapi, dapur umum yang terjadi akibat bencana gempa ini mendapatkan ‘warna baru’, karena sekaligus menjadi wadah bagi ibu-ibu untuk saling berbagi rasa, bertukar pikiran tentang keberlangsungan hidup mereka pasca bencana. Maka, ibu-ibu dan remaja putri Dukuh pun melontarkan usulan dalam rembug warga agar mereka juga diberi kesempatan belajar bersama tentang ketrampilan tertentu yang mendukung kehidupan di masa depan. Adanya koperasi alat rumah tangga dan lumbung menjadi bahan diskusi mereka yang paling sering terungkapkan. Mengerahkan Kesetiakwanan Antar Komunitas Semangat ‘ada atau tidak ada bantuan, kita tetap harus hidup’ yang mulai terbentuk sejak kegiatan gotong royong pembersihan reruntuhan sampai pembangunan hunian sementara, ternyata banyak dipengaruhi oleh adanya aliran bantuan kesetiakawanan dari komunitas-komunitas lokal dari luar. Selama masa itu, warga Dukuh menyaksikan sesuatu yang nyaris tak pernah mereka alami sebelumnya. Pada saat mereka mulai bergotong royong membersihkan 298
BABGAIGAINA-NI,-MII:eMmeanhcaombai MBaesrbaulaaht reruntuhan rumah roboh dan merobohkan bangunan ‘berbahaya’, misalnya, sekitar 30 orang dengan ratusan batang bambu datang dari dua desa (Bulurejo dan Tawangharjo) di Kecamatan Giriwoyo, Kabupaten Wonogiri. Kedua desa ini adalah penghasil jenis bambu ‘ori’ yang terkenal sabagai salah satu jenis bambu ‘kelas satu’ untuk bahan bangunan. Lalu, menyusul lagi sekitar 25 orang karyawan dari satu perguruan tinggi di Kota Surakarta, datang ke Dukuh sebagai relawan lengkap dengan peralatan kerja dan bekal pangan mereka masing-masing. Mereka juga membiayai perjalanan mereka sendiri dan, yang menarik, mereka semua tidak mengibarkan satupun bendera, spanduk, atau mengenakan atribut apapun. Pada saat mulai membersihkan dan membenahi rumah-rumah yang rusak, satu rombongan sekitar 15 orang dari satu desa di Muntilan, Kabupaten Magelang, juga datang dengan cara yang sama, tinggal dan bekerja bersama warga Dukuh selama 2 hari suntuk pula. Beberapa kelompok yang lebih kecil dari tempat lain juga datang pada beberapa minggu berikutnya. Semua itu membuat warga Dukuh makin merasa bahwa mereka sebanrnya tak perlu ‘mengemis’, membangkitkan kembali semangat hidup dan jalinan kesetiakawanan di antara mereka sendiri dan dengan semua ‘relawan tanpa bendera’ itu. Baik warga Dukuh maupun para ‘relawan tanpa bendera’ itu tidak pernah --dan memang tidak merasa perlu-- menghitung nilai dari bantuan ‘luar biasa’ mereka. Tetapi, para pendamping dari STAIN Surakarta cukup penasaran untuk mengetahuinya, sekaligus untuk menjadikannya sebagai ‘alat pembuktian’ kepada dunia luar bahwa kesetiakawanan antar warga masih tetap hidup di negeri ini dengan nilai yang tak bisa dipandang enteng. Para pendamping warga Dukuh itu kemudian mencoba menghitungnya sebagai berikut: (A) Nilai upah kerja setara; yakni 75 orang x 2 hari x Rp 25.000 per hari (upah minimum buruh bangunan di Kabupaten Klaten saat itu) = Rp 3.750.000; (B) Biaya transportasi; adalah 3 rombongan x 2 jalan x Rp 300.000 sekali jalan = Rp 1.800.000; (C) Bekal pangan; adalah 75 orang x 3 kali makan x 2 hari x Rp 10.0000 = Rp 4.500.000; (D) Nilai pendapatan sendiri karena meninggalkan pekerjaan; adalah 75 orang x 2 hari x Rp 25.000 (ukuran yang sama saja dengan upah harian buruh di Klaten) = Rp 3.750.000; 299
GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial (E) Nilai barang bantuan; adalah 3 truk bambu (total 600 batang) x Rp 10.000 per batang (harga lonjakan saat itu) = Rp 6.000.000; serta 40 gulungan (200 lembar) gedhek x Rp 50.000 (juga harga lonjakan saat itu) = Rp 10.000.000; sehingga total = Rp 16.000.000; (F) Pengadaan peralatan kerja; katakanlah rerata saja setiap kelompok menghabiskan Rp 3.000.000, maka 3 x Rp 3.000.000 = Rp. 9.000.000; (G) Sehingga total seluruhnya adalah A + B + C + D + E + F = Rp 38.800.000. Mungkin memang jumlah ini nisbi tidak besar, namun kalau di tempat lain juga berlaku yang serupa, maka misalnya dikalikan dengan 20 dusun di desa Desa Dengkeng saja, maka akan didapat hitungan sebesar 20 desa x Rp 38.800.000 = Rp 776.000.000 atau hampir Rp 0,8 milyar. Angka ini akan menjadi bertambah besar kalau dihitung di seluruh desa di Kecamatan Wedi, dan seterusnya di semua kecamatan lain daerah bencana di seluruh Kabupaten Klaten. Dapat dibayangkan betapa besar nilai kesetiakawanan antar warga tersebut. Ini belum mencakup bantuan lain dari warga kota, seperti beberapa kelompok anak-anak sekolah di Jakarta dan Yogyakarta yang menyumbangkan buku dan peralatan sekolah, tenda-tenda darurat, dan sebagainya, kepada sesama anak-anak seusia mereka korban gempa di seluruh Kabupaten Klaten maupun Kabupaten Bantul di Yogyakarta. Namun, agaknya pemerintah tidak terlalu paham tentang ‘pengerahan sumberdaya lokal’ (local resource mobilization) semacam itu, sehingga selalu cenderung menempuh pengerahan sumberdaya luar, khususnya luar negeri. Media massa saat itu bahkan sempat meributkan rencana pemerintah untuk mencari ‘utang luar negeri’ baru, meskipun hanya ‘utang bersyarat lunak’, lalu berlagak menjadi ‘pahlawan’ terhebat. Padahal, rakyat juga lah yang nantinya akan membayar kembali ‘beban utang’ tersebut. Ironis sekali. Menata Kembali Kehidupan Bersama Meski urusan makanan dan hunian menjadi prioritas yang harus segera ditangani, namun warga Dukuh diajak untuk tidak hanya berhenti pada persoalan kebutuhan pokok hidup sehari-hari itu. Rangkaian rembug warga --terutama setelah hamoir seluruh tahap darurat (perbantuan kebutuhan pokok, pembersihan puing reruntuhan, dan pembangunan hunian sementara) sudah selesai-- mulai dibahas pula wawasan ke masa depan, yakni bagaimana menata kembali kehidupan bersama secara lebih baik, jika perlu lebih baik 300
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164
- 165
- 166
- 167
- 168
- 169
- 170
- 171
- 172
- 173
- 174
- 175
- 176
- 177
- 178
- 179
- 180
- 181
- 182
- 183
- 184
- 185
- 186
- 187
- 188
- 189
- 190
- 191
- 192
- 193
- 194
- 195
- 196
- 197
- 198
- 199
- 200
- 201
- 202
- 203
- 204
- 205
- 206
- 207
- 208
- 209
- 210
- 211
- 212
- 213
- 214
- 215
- 216
- 217
- 218
- 219
- 220
- 221
- 222
- 223
- 224
- 225
- 226
- 227
- 228
- 229
- 230
- 231
- 232
- 233
- 234
- 235
- 236
- 237
- 238
- 239
- 240
- 241
- 242
- 243
- 244
- 245
- 246
- 247
- 248
- 249
- 250
- 251
- 252
- 253
- 254
- 255
- 256
- 257
- 258
- 259
- 260
- 261
- 262
- 263
- 264
- 265
- 266
- 267
- 268
- 269
- 270
- 271
- 272
- 273
- 274
- 275
- 276
- 277
- 278
- 279
- 280
- 281
- 282
- 283
- 284
- 285
- 286
- 287
- 288
- 289
- 290
- 291
- 292
- 293
- 294
- 295
- 296
- 297
- 298
- 299
- 300
- 301
- 302
- 303
- 304
- 305
- 306
- 307
- 308
- 309
- 310
- 311
- 312