Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore GAMANG_master_final_mei_2008

GAMANG_master_final_mei_2008

Published by menangjateng, 2021-09-09 03:07:25

Description: GAMANG_master_final_mei_2008

Search

Read the Text Version

BAGIAN-I, Memahami Masalah Sejak awal pembangunannya pada tahun 2003, para petani di Klaten menyatakan keberatan. Protes yang dilakukan dari berbagai unsur masyarakat --terutama para petani yang merasa akan dirugikan karena akan terjadi pengurangan debit air ke lahan-lahan pertanian mereka-- sempat marak di berbagai tempat, Kekhawatiran mereka memang terbukti. Segera setelah pabrik Aqua- Danone berdiri, pengurangan debit air terjadi di beberapa kecamatan seperti Polanharjo sendiri --dimana pabrik tersebut terletak-- juga di Delanggu, Trucuk, Pedan, Ceper, Wonosari, Juwiring, dan Karanganom --dimana Sumberejo terletak. Dampaknya besar, sering terjadi perebutan air antar petani dan peningkatan biaya-biaya produksi usaha tani mereka --terutama karena harus membuat sumur-sumur baru dan membeli mesin pompa penyedot air. Mengahadapi semua gejolak itu, pemerintah daerah Kabupaten Klaten ternyata bersikap dan berpikir sangat pragmatis. Mereka hanya melihat kehadiran pabrik Aqua-Danone dari sudut peningkatan pendapatan daerah dan pembukaan lapangan kerja baru. Namun, alasan klasik tersebut dibantah oleh Putut Iriyanto, Kordinator KRAKED (Koalisi Rakyat Klaten untuk Keadilan), suatu jaringan organisasi non pemerintah yang giat melakukan advokasi masalah- masalah sosial di daerah ini. Dia mengajukan data perhitungannya bahwa PT. Tirta Investama membayar pajak Rp 30 juta per bulan ke pemerintah daerah. Padahal, perusahaan itu menyedot air alam Ponggok dan Cokro sekitar 30.000 - 40.000 meter kubik per bulan dengan nilai total hasil penjualan mencapai Rp 3 - 4 milyar (Kompas, 14 Februari 2005). Dengan kata lain, pendapatan daerah yang diperoleh dari setoran pajak mereka hanyalah 1,0% dari total pendapatan perusahaan, sehingga penikmat keuntungan terbesar sebenarnya adalah perusahaan itu sendiri. Padahal masalah air bagi para petani, khususnya petani padi sawah, adalah masalah hidup dan mati. Pak Samidi, salah seorang petani sawah Sumberejo, yang hidupnya hanya menggantungkan dari hasil pertanian, ketika ditanya tentang bagaimana caranya agar petani bisa makmur, dengan singkat dan tegas mengatakan: “...Asal ada air, ya makmur!”. Jawaban sederhana ini tak terbantah. Semua petani dimana pun di dunia ini akan mengatakan hal yang sama dan kita, yang bukan petani, juga akan mengiyakannya. Pak Samidi sendiri mendasarkan jawabannya pada pengalaman nyatanya sehari-hari sebelum dan sesudah munculnya perusahaan raksasa Aqua-Danone dan, juga, 51

GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) milik pemerintah daerah yang mengambil bahan baku mereka dari sumber-sumber air alam disana. Pak Sarmidi hanya menyatakan apa adanya. Reaksi yang lebih keras muncul dari beberapa orang warga lain Sumberejo seperti Rohmat Mulyono, Bambang, dan Suratman. Ketika melakukan penelurusan kawasan (transect) ke sumber mata air alam di Ponggok dan Cokro, pada saat melewati dan melihat langsung beberapa pipa-pipa besar perusahaan disana, Rohmat berteriak spontan: “Ternyata air kami telah dicuri oleh perusahaan raksasa”. Hasil penelusuran tersebut memperlihatkan bahwa luas total lahan sawah milik petani di Desa Troso adalah sekitar 128 pathok atau sekitar 42 hektar. Jaringan saluran pengairan yang memintasi desa ini ada dua, yaitu saluran dari sumber mata air di Ponggok dan sumber mata air kapiler. Tetapi, saluran air yang dapat dimanfaatkan oleh petani desa ini hanyalah yang berasal dari sumber mata air di Ponggok yang kini --setelah pabrik Aqua-Danone menyedotnya untuk dikemas dan dijual-- debitnya sangat rendah dan semakin menurun. Adapun saluran air dari sumber kapiler hanya melintasi desa ini tanpa dapat dimanfaatkan sama sekali oleh petani Sumberejo, sekalipun bangunan talutnya mengelilingi desa. Keadaan ini adalah persis seperti ungkapan orang Arab tentang unta pengangkut barang yang mati kehausan, padahal sedang membawa air di atas punggungnya. Rusaknya Jaringan Pengairan Penelusuran kawasan yang dilakukan adalah dalam rangka membantu warga Sumberejo memahami kerusakan jaringan saluran pengairan yang melanda desa mereka. Pusat perhatian utama penelusuran ini adalah kawasan pemukiman, jaringan saluran pengairan, dan mata air yang menjadi sumbernya.3 Untuk penelusuran saluran pengairan, langkah pertama adalah menelusuri sumber mata air di kawasan Ponggok dan Cokro yang juga menjadi sumber bahan baku utama 3Penelusuran kawasan pemukiman dilakukan sekali oleh satu tim yang terdiri dari 2 orang fasilitator dan 4 orang warga setempat. Sementara penelusuran saluran pengairan dilakukan dua kali. 52

BAGIAN-I, Memahami Masalah pabrik Aqua-Danone dan PDAM4. Langkah kedua adalah menelusuri titik-titik kebocoran air sepanjang saluran pengairan yang membuat debit air semakin rendah di wilayah Desa Troso.5 (selengkapnya, lihat: Peta-1.4). Peta-1.4: Jaringan pengairan dan titik-titik kebocoran serta pendangkalannya di Dusun Sumberejo & sekitarnya. DESA KUNDEN Persawahan DESA BLANCIRAN Balai Desa Persawahan Persawahan Persawahan TROSO (9 hektar) (19 hektar) (9 hektar) Dukuh Gemblongan PDeErsSawAahan Persawahan Dukuh batas desa TARUBASAN (12 hektar) Sumberejo jalan gorong-gorong Persawahan pintu-bagi (14 hektar) pendangkalan Kali Buntung Bendungan Trate Bendungan Biru kebocoran Pada titik-titik pendangkalan terjadi pengendapan lumpur karena air semakin sedikit yang menggelontorkannya, akhirnya aliran air terputus dari saluran induk sekunder dan tersier. Pada titik-titik kebocoran, pembocoran dilakukan petani setempat karena debit air semakin berkurang dari sumber utamanya di lokasi pabrik Aqua-Danone. 4Penelusuran ini dilakukan oleh 2 orang fasilitator dan 3 orang warga setempat, dimulai dari pusat desa dan kawasan persawahan Sumberejo ke arah hulu, berjalan kaki menempuh jarak sekitar 5-7 kilometer. 5Penelusuran kedua ini dilakukan oleh tim yang terdiri atas 4 orang fasilitator dan 4 orang warga setempat. Dalam kegiatan penelusuran kawasan ini, tim fasilitator mendiskusikan dengan warga tentang semua yang mereka temukan di lapangan, terutama yang berkaitan dengan berkurangnya debit air yang mengakibatkan kekeringan sawah-sawah mereka, khususnya di musim kemarau. 53

GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial Hasil penelusuran menunjukan: (1) terjadi kebocoran sepanjang saluran sehingga membuat penggerusan tanah yang berakibat terjadinya erosi; (2) terjadi kerusakan pada empat pintu air; (3) terjadi pendangkalan saluran air akibat terjadi endapan (walet) sampai setebal 80 cm; (4) tempat pembuangan sampah warga masyarakat yang kurang terkendali; (5) perawatan lingkungan saluran yang kurang baik; dan (6) sistem pembagian air diatur oleh masing-masing petani sendiri akibat debit yang semakin menurun, sehingga pembagian air pun menjadi tidak merata. Terutama hal yang terakhir yang memicu semakin seringnya terjadi konflik antar petani setempat. Berdasarkan hasil pengukuran6 ditemukan bahwa debit air dari Bendungan Biru yang bersumber dari mata air Ponggok adalah sebesar 20,9 liter per detik. Sedangkan luas lahan pertanian di wilayah Troso adalah 42 hektar (128 pathok) yag terbagi atas: (1) tanah lungguh, yaitu tanah yang diperuntukkan bagi pejabat atau aparat pemerintahan desa seluas 42 pathok; dan (2) sisanya adalah milik para warga. Dengan kata lain, debit air dari saluran sumber mata air Ponggok tadi secara ideal sebanrnya hanya mampu mengairi sawah seluas 21 hektar, sehingga 21 hektar lebihnya mengalami kekurangan air atau bahkan kekeringan. Rincian perhitungannya (yang dilakukan oleh para petani sendiri) adalah pada tabel berikut: TABEL-1.1: Hasil Penghitungan Debit Air Pengairan Sawah Dusun Sumberejo oleh Petani Setempat, 7 September 2006. Jumlah air yang hilang setiap detiknya sebagai akibat kebocoran pada beberapa titik adalah: Q (debit) = volume air (mililiter) per satuan waktu (detik) = 600 ml/4,34 detik = 0,6 liter/4,34 detik = 0,13 liter/detik 6Pengukuran debit air dilakukan pada tanggal 7 September 2006 oleh tim fasilitator dan petani warga setempat. 54

BAGIAN-I, Memahami Masalah Sedangkan debit air pada saluran pengairan: Q = luas penampang (kedalaman air x lebar penampang) x kecepatan air = ( 13 cm x 85 cm) x 0,19 m/detik = ( 0,13 m x 0,85 m) x 0,19 m/detik = 0,0209 m3/detik = 20,9 liter/detik Dengan luas lahan 42 hektar, maka air dari saluran ini hanya mampu mengairi lahan seluas 20,9 (dibulatkan menjadi 21) hektar saja. Mengalir kepada Si Kaya Sekalipun telah diprotes keras oleh masyarakat, pemerintah Kabupaten Klaten tetap saja mengizinkan PT.Tirta Investama terus beroperasi disana. Sumberdaya air yang --menurut konstitusi negeri ini Undang- undang Dasar (UUD) 1945-- seharusnya dikelola oleh negara terutama untuk kesejahteraan rakyatnya, kini telah dikelola oleh perusahaan swasta dengan keuntungan terbesar bagi para pemilik perusahaan itu sendiri. Willy Sidharta, Wakil Ketua Komisaris (Vice President) Bidang Industrial PT Tirta Investama (PT TI), mampu meyakinkan pemerintah daerah bahwa perusahaannya tidak mengambil air sebagai bahan baku dari mata air Sigedang yang terletak di Desa Ponggok.7 Dia menyatakan hal itu dalam acara dengar-pendapat (hearing) di Ruang Paripurna gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Klaten8. Dalam acara itu --yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPRD Klaten, Anang Widayaka-- hadir hampir semua unsur jajaran eksekutif dan 7Kompas Jogja, Senin, 14 Februari 2003. 8Kompas, Sabtu, 12 Februari 2003 55

GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial legislatif kabupaten; selain pakar geologi PT TI sendiri, Hendra Kosasih; dua orang pakar hidrogeologi dari Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Gajah Mada (PSLH-UGM), Eko Sugiharto dan Dr Heru Hendrayana; serta beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan puluhan wakil petani. Acara dengar-pendapat di parlemen kabupaten itu tidak menghasilkan tindak-lanjut yang berarti dan lebih memihak kepada tuntutan dan kepentingan warga petani. Ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah memang masih kuat menganut pandangan yang sempit tentang keuntungan ekonomis, lebih mementingkan angka-angka pertumbuhan pada tingkat agregatif makro katimbang pemenuhan kebutuhan dasar dan hak-hak warganya sendiri. Anggapan dasar mereka adalah bahwa suatu sumberdaya alam --seperti sumberdaya air-- hanya dapat dikelola secara ekonomis menguntungkan oleh perusahaan-perusahaan swasta atau pemodal besar. Pandangan pemerintah tersebut tidak jauh berbeda dengan cara pandang Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank, ADB) bahwa sumberdaya air yang terbatas haruslah berada dalam tangan yang dapat memberikan nilai ekonomis paling tinggi (“...water must be utilized by those who render the most economic advantage”) (ADB, 2001). Padahal, masalah mendasarnya bukanlah pada apakah sumberdaya itu dapat dikelola untuk menghasilkan keuntungan, tetapi apakah kebutuhan dasar dan hak-hak warga negara telah dipenuhi atau tidak? Jika dianalisis lebih lanjut, semua itu menyembunyikan agenda yang sesungguhnya dari proses swastanisasi, yakni menyerahkan seluruh proses pemenuhan kebutuhan pokok rakyat ke mekanisme pasar. Persis seperti yang pernah ditegaskan oleh Bank Dunia (World Bank) bahwa negara-negara berkembang --seperti Indonesia-- masih terlalu miskin untuk terus-terusan memberikan subsidi kepada rakyatnya. Karena itu, harga untuk mendapatkan beberapa kebutuhan pokok seperti air, sebaiknya ditentukan saja oleh mekanisme pasar. Jika perlu, semua bentuk subsidi sosial harus dihapuskan. Swastanisasi yang menempatkan mekanisme pasar sebagai penentu utama ini, pada dasarnya, adalah untuk menjamin pembayaran utang luar negeri negara-negara berkembang kepada para kreditor, yakni negara-negara maju dan beberapa lembaga-lembaga keuangan internasional yang juga dikuasai oleh negara-negara kaya tersebut. Singkatnya, dana negara tidak disalurkan kepada rakyatnya dalam bentuk subsidi sosial. Sebaliknya, rakyat lah yang membayar utang 56

BAGIAN-I, Memahami Masalah negara kepada kreditor dengan membeli hampir semua kebutuhan pokok mereka seperti air bersih melalui mekanisme pasar. Kemana Peran Negara? Air merupakan karunia Allah yang begitu besar manfaatnya bagi kehidupan di bumi ini. Mendapatkan air bagi setiap orang adalah hak dasar yang bersifat asasi. Penegasan ini jelas-jelas tercantum dalam konstitusi negara ini, yakni Undang-undang Dasar (UUD) 1945, terutama pada bagian Mukaddimah, Pasal 33 dan, yang mutakhir, Amandemen Keempat nya. Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 jelas-jelas menyebutkan: “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Dengan kata lain, negara --dalam hal ini adalah pemerintah pada semua aras-- berkewajiban memberikan pelayanan untuk memenuhi dan menjamin hak warga negara untuk mendapatkan hak yang setara atas sumberdaya yang menjadi salah satu kebutuhan pokok kehidupan tersebut. Sungguh ironis bila amanah konstitusi tersebut justru tidak ditaati oleh penyelenggara kekuasaan negara sendiri --yakni pemerintah-- yang malah menyerahkannya kepada kaum kapitalis asing, perusahaan-perusahaan multinasional. Pemanfaatan sumberdaya alam untuk pemenuhan kebutuhan pokok warga --sebagai bagian dari hak asasi manusia-- telah menjadi kesepakatan internasional, antara lain, bahwa air merupakan barang publik (public goods), dan akses masyarakat terhadap air bersifat terbuka (open access). Pada bulan November 2002, Komite Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) untuk Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya kembali menegaskan bahwa akses terhadap air bersih adalah hak dasar (a fundamental right) semua orang dan setiap warga negara. Dinyatakan pula bahwa air adalah ‘barang (kekayaan) sosial dan budaya’, bukan hanya ‘komoditi ekonomi’. Komite ini menekankan bahwa 145 negara telah meratifikasi Konvenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) bahkan telah mensahkannya menjadi Undang-udang (UU) Nomor 11/ 2005. Ini berarti bahwa pemerintah negeri ini telah terikat dengan perjanjian untuk menjamin akses pada air bersih secara setara tanpa diskriminasi apapun kepada seluruh rakyatnya. Walaupun pernyataan Komite PBB itu tidak menyebutkan secara tersurat mengenai swastanisasi --guna menghindari konflik terbuka 57

GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial dengan negara maju yang menjadi pendukung utama swastanisasi-- namun pernyataan itu mengandung makna bahwa penyediaan kebutuhan dasar oleh pemerintah adalah pilihan terbaik atas sumberdaya yang terbatas serta komoditas publik yang fundamental bagi kesehatan dan kehidupan9. Komisi PBB Untuk Hak Asasi Manusia (United Nations Committee for Human Rights, UNCHR) juga menyerukan agar negara-negara anggota Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization, WTO) mempertimbangkan dampak liberalisasi perdagangan terhadap penyediaan kebutuhan dasar publik, khususnya penyediaan air bersih, pendidikan, dan pelayanan kesehatan. Maka, pertanyaannya yang paling mendasar adalah: Apa sebenarnya peran pemerintah untuk melindungi kepentingan rakyatnya? Kemana negara selama ini sehingga banyak sekali kebutuhan pokok dan hak- hak dasar warga negara diabaikan? Paguyuban Petani: Tempat Belajar Rakyat “Masalahe awake dewe ki ayo bareng-bareng dipecahke” (Masalah kita ini, mari kita selesaikan sendiri bersama-sama), demikian ajak Abu Thoyib10 kepada para warga petani sedesanya yang mengeluhkan berbagai kesulitan yang mereka hadapi sekarang, terutama masalah kekurangan air di musim kemarau. Ajakan itu mengingatkan warga Sumberejo ke masa lalu, ketika Mbah Lim pertama kali datang masuk kesana dan mengajak mereka mendirikan mushalla Sidodadi yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya Pesantren Al-Muttaqien11. 9Social Watch Report, 2003 10Ketua Rukun Warga (RW) Dusun Sumberejo adalah termasuk salah seorang dari ‘Pendawa Lima’ yang bekerjasama dengan Mbah Lim merintis dan mendirikan Pesantren Al-Muttaqien. 11Waktu itu, Mbah Lim hanya mengatakan: “Yuk bareng-bareng gawe langgar” (Ayo bersama-sama membangun musholla). 58

BAGIAN-I, Memahami Masalah Ajakan itu akhirnya menghidupkan kembali pertemuan-pertemuan bekala tetap yang mulai menghilang sejak beberapa tahun terakhir. Dari berbagai pertemuan itulah muncul berbagai gagasan yang intinya adalah kesepakatan menyelesaikan persoalan yang melilit mereka untuk meningkatkan kesejahteraan warga secara keseluruhan. Forum warga ini akhirnya menyepakati untuk membentuk Paguyuban Petani Sumberejo, sebagai tempat belajar bagi mereka sendiri. Susunan pengurus disepakati, terdiri dari Abu Thoyib dan Sunarto (sebagai Ketua dan Wakil Ketua), Lindra Harmoko dan Sugeng Hartoko (sebagai Sekretaris dan Wakil Sekretaris), dan Subroto (sebagai Bendahara). Selain masalah utama penyusutan debit air saluran pengairan, diskusi- diskusi dalam rangkaian forum warga juga membahas berbagai permasalahan lain, misalnya, keadaan perekonomian petani yang sangat minim, ketergantungan pada pupuk kimia dan racun-racun pembasmi hama, dan sebagainya. Berkembang pula keinginan- keinginan mereka untuk meningkatkan kesejahteraan petani melalui peningkatkan keuntungan usaha tahi dan usaha-usaha lainnya. Lebih jauh lagi, diskusi-diskusi mereka juga mulai merambah ke pembahasan-pembahasan kritis mengenai penguatan kembali kelembagaan masyarakat sebagai bentuk penguatan ketahanan sosial mereka, seperti gagasan mendirikan koperasi simpan-pinjam, sehingga warga tidak perlu berutang ke para tengkulak atau tempat lain jika ingin membeli pupuk, pestisida, dan lainnya. Keuntungan hasil usaha sendiri ini juga akan dinikmati oleh warga sendiri, bukan para tengkulak atau juragan. Satu cikal-bakal gerakan rakyat petani lokal pun telah terbentuk di Sumberejo. Gairah hidup mereka seperti bangkit kembali dari tidur yang lama. Saking bersemangatnya, mereka melakukan apa saja untuk menegaskan kebangkitan itu, misalnya, mengikuti upacara pada tanggal 17 Agustus 2006 yang diselenggarakan oleh Mbah Lim di halaman Pondok Pesantren Al-Muttaqien. Mereka --berjumlah 21 orang (satu pleton)-- dengan menggunakan pakaian dan peralatan yang biasa dipakai sehari-hari di sawah --seperti caping, cangkul, dan lain-lain-- melakukan upacara bendera nasional. Mereka mendaulat mantan Kepala Staf Angkatan Darat --Letnan Jenderal (purnawirawan) Harsudiono Hartas-- yang sedang berkunjung disana saat itu sebagai inspektur upacara. Peristiwa tak lazim ini serta-merta menarik perhatian warga lainnya. Ketika itu, Mbah Lim yang ikut menyaksikannya, memuji mereka dan menyarankan agar tahun depan 59

GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial jangan hanya petani lelaki saja yang terlibat, tetapi juga kaum perempuan. Mereka kemudian mengumumkan resmi berdirinya ‘Paguyuban Petani’ tersebut pada tanggal 16 September 2006, dimeriahkan dengan pementasan wayang kulit sehari semalam, melibatkan dua dalang sekaligus dari Surakarta. Paguyuban Petani Sumberejo tersebut, pada hakikinya, adalah ‘sekolah’ bagi mereka. Dari rangkaian pertemuan mereka selama ini, terlahirlah beberapa agenda penting, antara lain: „ Membudayakan kembali tradisi rembug warga untuk memikirkan nasib petani. „ Menggerakan budaya gotong-royong yang dirasa mulai mengendor. „ Menyelesaikan masalah yang biasanya berjalan secara perseorangan untuk diselesaikan secara bersama-sama (kolektif). „ Membangun hubungan petani antar desa untuk menghindari ‘kelompok-isme’ yang sering menimbulkan konflik antar desa karena berebut air. „ Mengkomunikasikan dengan pihak-pihak lain, seperti Dinas Pengairan Kabupaten dan aparat pemerintahan desa, tentang saluran pengairan yang menjadi salah satu masalah utama mereka selama beberapa tahun terakhir. Para pengurus paguyuban ternyata memiliki kemampuan mengorganisir para anggotanya dan gagasan-gagasan yang muncul dari para warga. Cara-cara dan langkah-langkah yang mereka tempuh, antara lain: „ Memfasilitasi proses-proses diskusi dan dialog kritis antar para petani untuk membangun pemahaman bersama. Dari proses-proses inilah akhirnya mereka mampu mengungkap kembali sejarah saluran pengairan desa mereka. Penemuan kembali sejarah lokal itu membantu mereka mengurangi kemungkinan terjadinya konflik antar warga akibat berebut air. „ Memfasilitasi penelusuran kawasan untuk menemukan fakta-fakta tentang sumber-sumber penyebab permasalahannya, terutama penelusuran saluran pengairan dan sumber mata airnya, mencakup: (1) aliran air dari Bendungan Biru sepanjang 3 kilometer; (2) aliran air dari saluran kapiler sepanjang 2 kilometer; (3) sumber mata air Ponggok yang terletak 5 kilometer dari pusat desa; (4) sumber mata air lain sejauh 8 kilometer; (5) mengukur debit air; dan (6) membuat peta jaringan pengairan tersebut. 60

BAGIAN-I, Memahami Masalah „ Memfasilitasi aksi bersama warga untuk membangkitkan kembali tradisi gotong- royong yang mulai menghilang selama beberapa tahun terakhir, antara lain: (1) membersihkan walet di saluran pengairan yang ternyata sudah mencapai ketebalan rata-rata 80 cm sepanjang 500 m; dan (2) memperbaiki saluran pengairan dari sumber mata air kapiler. Jangan Anggap Remeh Seluruh uraian di atas adalah hasil dari suatu proses ‘penelitian bersama’ dengan warga Sumberejo sendiri. Tim P3M STAIN Surakarta, pada dasarnya, hanya bertindak selaku fasilitator saja bagi mereka. Pada awalnya, banyak di antara warga Sumberejo yang berpandangan bahwa ‘penelitian’ kami ini harus melibatkan warga yang berpendidikan saja. Artinya, mereka yang ikut bergabung dalam proses kegiatan ini, paling tidak, adalah mereka yang memang berpendidikan formal memadai, yakni sampai ke perguruan tinggi. Dengan kata lain, masih kuat pula tertanam dalam pikiran dan anggapan mereka bahwa hanya yang berpendidikan tinggi lah yang bisa berbicara dan melakukan analisis. Mereka menganggap diri mereka sendiri, para petani desa yang berpendidikan rendah, tidak memiliki kemampuan untuk itu. Ternyata, setelah proses penelitian ini berlangsung sekian waktu, mereka akhirnya mengakui sendiri bahwa anggapan umum itu tidak seluruhnya benar. Mereka yang terlibat dalam proses penelitian ini terdiri dari berbagai kalangan dan lapisan, sebagian besarnya justru adalah para petani yang berpendidikan formal rendah. Memang, pada tahap-tahap awal, pembicaraan lebih dikuasai oleh warga yang berpendidikan tinggi dan ‘pandai bicara’. Namun, pada tahap-tahap berikutnya, terutama pada tahap pelaksanaan, mereka yang semula kurang banyak berbicara, tetapi sebenarnya memiliki pengamatan yang jauh lebih tajam dan rinci, akhirnya mampu membuktikan diri bahwa justru mereka lah yang sesungguhnya paling tahu dan faham persoalan nyata desa itu. Jelas, karena mereka lah yang memang paling mengalaminya secara langsung. Hasil-hasil pendataan dan analisisnya yang disajikan dalam tulisan ini --terutama mengenai masalah pengairan dan sumberdaya air disana-- membuktikan bahwa kemampuan petani awam teresebut tidak lebih rendah dibanding mereka yang mengecap pendidikan tinggi. Maka jika persoalan-persoalan nyata rakyat dibicarakan bersama mereka --sebagai mitra diskusi yang setara-- akan terjadi produksi dan 61

GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial reproduksi pengetahuan yang, pada gilirannya, menjadi dasar tumbuhnya kesadaran baru yang lebih kritis terhadap realitas yang selama ini mengenyampingkan mereka, termasuk kesadaran akan kedudukan mereka sebagai warga negara yang memiliki hak-hak dasar. Kesadaran baru inilah yang sesungguhnya akan menggerakkan mereka melakukan sejumlah tindakan untuk mengubah realitas tersebut, bukan karena adanya ‘keharusan’ dari fihak lain atau ‘orang luar’. Kemampuan untuk bertindak atas dasar pengetahuan dan kesadaran sendiri adalah puncak pencapaian dalam proses-proses pendidikan rakyat. Apa yang telah terjadi di Sumberejo memang belum mencapai puncak tersebut tetapi, paling tidak, mereka telah merintis langkah-langkah awal ke arah itu. ™ 62

BAGIAN-I, Memahami Masalah MEREBUT HAK 2 UNTUK HIDUP SEHAT Pencemaran Lingkungan dan Gugatan terhadap Negara di Karangjompo MAGHFUR AHMAD* Selain Solo, Yogyakarta, dan Cirebon, maka Pekalongan di pesisir utara Jawa Tengah adalah salah satu pusat industri batik terbesar dan terkemuka di Indonesia. ‘Batik Pekalongan’ sudah menjadi satu marka dagang (trade mark) tersendiri. Pemasarannya tidak hanya terbatas di Jawa dan Indonesia, tetapi juga diekspor ke beberapa negara (Nigeria, Saudi Arabia, Malaysia, Dubai, Amerika Serikat, Australia, dan Singapura). Sampai tahun 2005, menurut Biro Pusat Statistik (BPS), jumlah usaha batik di Pekalongan --dari berbagai jenis dan skala-- adalah 12.448 unit, dengan total nilai produksi mencapai Rp 214,02 milyar, dan menyerap tenaga kerja sampai 82.080 orang. *Anggota Tim PAR, LPM-STAIN Pekalongan. Tulisan ini adalah ringkasan dari laporan lengkapnya yang ditulis bersama seluruh anggota tim (Musoffa Basyir-Rasyad, Amat Zuhri,Miftahul Ula, dan Khoirul Basyar). Laporan itu sendiri berdasarkan kesaksian para warga Desa Karangjompo, Kecamatan Tirto, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah. Namun, atas permintaan mereka, kami menulisnya dengan tidak menyebutkan banyak nama dan jati-diri mereka. 63

GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial TABEL-2.1: Industri Batik Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, 2005. Jenis Unit Usaha Jumlah Unit Nilai Produksi Tenaga kerja Usaha (Rp) terserap (orang) Menengah formal 55 43.410.700.000 2.519 Menengah non-formal 2.440 59.085.420.000 53.197 Kecil formal 76.072.160.000 Kecil non-formal 174 24.237.403.000 4.362 Industri rumah-tangga 3.667 11.221.632.000 22.002 Jumlah 6.112 214.027.375.000 12.448 (n.a) 82.080 sumber: BPS Kabupaten Pekalongan, 2007 Jumlah di atas belum termasuk berbagai usaha tekstil lainnya yang berkaitan erat dengan industri batik --seperti pertenunan, percetakan kain, penjahitan, dan pembuatan pakaian jadi-- yang berjumlah 21.706 unit dengan total nilai produksi mencapai Rp 1,8 trilyun, menyerap tenaga kerja sebanyak 159.971 orang. Ini berarti bahwa dari seluruh industri tekstil di Pekalongan, maka industri batik masih merupakan yang terbesar dalam jumlah (57,3%) maupun tenaga kerja yang diserapnya (51,3%), meskipun nilai produksinya bukan yang terbesar (hanya 11,8%). Namun, harus dicatat bahwa data BPS ini belum mencantumkan unit-unit usaha yang tidak punya izin dan tidak melapor. Dalam kenyataannya, ada cukup banyak unit usaha batik di Pekalongan yang mengaku tidak punya izin dan tidak pernah melaporkan diri, padahal nilai produksi mereka bahkan bisa mencapai tidak kurang dari Rp 1 milyar. Dengan kata lain, industri batik di Pekalongan selama ini telah menciptakan lapangan kerja dan sumber pendapatan yang tidak kecil baik bagi warga maupun pemerintah daerah setempat. Namun, bukan tanpa masalah sama sekali. Salah satu persoalan besar yang telah ditimbulkannya adalah pencemaran lingkungan hidup sekitar, terutama pencemaran air, yang terjadi di hampir semua kecamatan dan desa di Kabupaten Pekalongan. 64

BAGIAN-I, Memahami Masalah PETA-2.1: Sebaran Industri Batik di Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah KABUPATEN LAUT JAWA PEKALONGAN, Sijambe (7) Karangjompo (37) JAWA TENGAH ke SEMARANG ke JAKARTA batas kabupaten Kedungwuni (8) Pegumengan Mas (15) garis-pantai Kemplong (7) jalan utama Kepatihan (9) Wonopringgo (20) jalan Gumawang (6) Kampil (8) Rowo Kembu (10) Kayu Gentan (25) Waru Lor (23) Wiradesa (7) Waru Kidul (5) Kemasan (40) Jajar Wayang (300) Babalan Kidul (6) Angka dalam kurung di belakang setiap nama tempat adalah jumlah industri batik berbagai skala dan jenis. Sebaran terbanyak adalah di Jajar Wayang (300), Kemasan (40), dan Karangjompo (37). Industrialisasi Batik & Pencemaran Salah satu desa yang paling parah tingkat pencemaran airnya akibat limbah industri batik di Pekalongan adalah Desa Karangjompo di Kecamatan Tirto. Terletak tepat di tepi jalan raya utama pantai utara Jawa, desa yang penduduknya berjumlah sekitar 4.500 jiwa (2006) ini mengalami pencemaran limbah cair dari industri batik secara besar-besaran. 65

GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial Malapetaka ini bermula pada akhir dasawarsa 1960an, ketika pemerintah mulai menerapkan kebijakan pembangunan yang sangat berorientasi ekspor demi memacu laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Industrialiasi pun digalakkan di seluruh negeri, termasuk pengembangan industri batik tradisional di Pekalongan. Pada tahun 1967, satu pabrik besar, Indahtek, dibangun di Karangjompo, persis di depan kawasan pemukiman warga desa. Selang beberapa tahun kemudian, dibangun pula pabrik Dupantek dan Indratek. Letaknya berdampingan dengan pabrik Indahtek, di tepi jalan raya Jakarta- Semarang, sehingga sampai sekarang ada tiga pabrik besar di Desa Karangjompo. Selain itu, dari hasil pemetaan oleh warga sendiri, ternyata terdapat 69 unit usaha batik sebagai industri rumah tangga (home industry) yang tersebar di seluruh penjuru Karangjompo. PETA-2.2: Sebaran Industri Batik & Aliran Saluran Pengairan serta Pembuangan Limbah di Desa Karangjompo, Pekalongan. Kali Pencongan/SingkarangKAWASANKAWASAN Kali WiduriPEMUKIMANPERSAWAHAN jalan raya Jakarta-Semarang-Surabaya jalan inindduusstrtriirruummaahh-ttaannggggaa saluran sekunder pabrik-pabrik Indahtek, Dupantek saluran tersier & Indratek & kuartier 66

BAGIAN-I, Memahami Masalah Bahkan sejak awal pendiriannya, kehadiran pabrik besar tersebut sudah meresahkan warga Karangjompo. Pada saat pendirian pabrik Indahtek, warga setempat menyatakan menolak dan melakukan unjuk-rasa. Tetapi, seperti yang sangat lazim terjadi di masa pemerintahan Orde Baru yang sangat represif waktu itu, banyak warga Karangjompo yang terintimidasi dan termanipulasi, sehingga mereka kemudian menandatangani ‘pernyataan persetujuan’ pendirian pabrik- pabrik tersebut. Menurut kesaksian salah seorang warga, Kepala Desa saat itu ikut terlibat memuluskan rencana pendirian pabrik. Kepala Desa dan pemilik pabrik telah membuat suatu kesepakatan terselubung yang tidak pernah diketahui oleh seluruh warga. Maka, pada tahun 1987, warga Karangjompo mulai menyaksikan dampaknya: saluran pengairan ke sawah-sawah mereka mulai tercemar limbah buangan pabrik. Mereka kemudian melakukan aksi unjuk-rasa lagi. Setelah melalui serangkaian perundingan yang cukup panjang dan alot, akhirnya pihak Indahtek dan Dupantek memenuhi tuntutan warga untuk membuat saluran khusus pembuangan limbah yang dibenamkan dalam tanah (gorong-gorong) langsung menuju ke Sungai Pencongan. Namun, limbah pabrik-pabrik besar itu ternyata jumlahnya semakin meningkat, seiring dengan meningkatnya kapasitas produksi mereka. Pencemaran juga mulai merembes ke sumur-sumur warga, menimbulkan masalah kekurangan air bersih. Maka, warga pun kembali protes. Setelah rangkaian panjang proses perundingan, maka pada tahun 2001, pabrik-pabrik itu akhirnya memenuhi tuntutan warga, membangun sarana ‘Instalasi Pengolah Air Limbah’ (IPAL) serta membayar ganti-rugi berupa penyediaan air bersih selama 24 jam penuh. Pabrik juga mengaspal jalan-jalan dalam dan sekitar desa, menerima banyak warga Karangjompo sebagai karyawan baru, dan membagi-bagikan paket bingkisan hari raya setiap tahunnya kepada seluruh warga desa. Meskipun sarana IPAL sudah dibangun oleh pabrik Indahtek dan Dupantek --sekarang, kedua pabrik itu telah melakukan penggabungan (merger) dan berada di bawah satu manajemen-- namun, banyak warga Karangjompo yang tetap curiga bahwa kedua sarana itu tidak berfungsi dengan baik, atau dibangun tanpa memenuhi persyaratan baku. Karena, pencemaran masih saja tetap terjadi sampai saat ini. Pada suatu tengah malam, beberapa orang warga bersepakat melakukan ‘investigasi’. Mereka pun menemukan bahwa kedua pabrik itu ternyata tetap saja menggelontorkan limbahnya ke selokan-selokan dan saluran pengairan sawah. Mereka melanjutkan investigasi itu sampai beberapa 67

GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial kali agar lebih yakin. Ternyata, pabrik memang melakukan pelanggaran itu terus-menerus. Warga akhirnya berksimpulan bahwa sarana IPAL pabrik itu --yang diresmikan secara meriah dan dihadiri sejumlah pejabat penting pemerintah dan kepolisian-- hanyalah ‘tipuan formalitas’ belaka. Sementara itu, satu pabrik lainnya, yakni Indratek --yang bergerak di bidang jasa pemutihan dan pencelupan kain-- ternyata menghasilkan limbah cair berupa kustik yang sangat berbahaya, meskipun bening, sehingga warga terkecoh sekian lama tidak mencurigainya. Lebih parah lagi, pabrik ini ternyata belum memiliki IPAL. Limbah cair yang dihasilkan pabrik ini masih tetap dibuang melalui gorong-gorong langsung ke Sungai Pencongan. Namun, sebagiannya masih tetap mengalir ke selokan dan pekarangan rumah beberapa warga yang ada di sekitar pabrik. Seperti hasil temuan investigasi warga pada pabrik Indahtek dan Dupantek, pabrik yang satu ini juga melakukan praktik kecurangan yang sama: limbah mereka yang tanpa diolah terlebih dahulu itu dibuang pada tengah malam agar tidak diketahui oleh warga. Selain itu, pabrik ini juga ternyata menghasilkan pencemaran udara. Sebagai akibat kenaikan harga bahan bakar minyak --yang melonjak lebih 100% pada tahun 2005-- Indratek beralih menggunakan batu bara sebagai sumber energi mesin-mesin yang dimilikinya. Setiap satu jam, pabrik ini membutuhkan batu bara sebanyak 1 ton. Jadi, dalam satu hari, pabrik menghabiskan 24 ton batu bara yang memuntahkan asap tebal hitam ke udara melalui cerobong-cerobong asap besar. Maka warga sekitar pun akhirnya merasakan dampaknya, temasuk warga Desa Pacar, desa tetangga Karangjompo. Warga kedua desa pun segera melancarkan protes. Selama unjuk-rasa beberapa kali itulah akhirnya ketahuan pula bahwa kedua pabrik lainnya, Indahtek dan Dupantek, pun sebenarnya telah menggunakan batu bara sebagai bahan bakar utama mereka. Melihat kapasitas produksinya yang jauh lebih besar dari Indratek --secara gampangan dapat diperbandingkan dari jumlah tenaga kerja mereka: Indratek hanya mempekerjakan buruh 137 orang, sementara Indahtek sekitar 200 orang dan Dupantek sekitar 500 orang-- maka dapat diduga bahwa volume pencemaran udara yang dihasilkannya pun jauh lebih besar dari Indratek. Sampai sekarang, protes warga akan pencemaran udara ini belum menghasilkan penyelesaian apapun dan masih terus berlangsung. Pencemaran di Karangjompo ternyata bukan hanya dilakukan oleh ketiga pabrik besar tersebut, tetapi juga oleh unit-unit usaha rumah 68

BAGIAN-I, Memahami Masalah tangga yang tersebar di seluruh desa. Sampai tahun 1976, usaha pembatikan di Karangjompo --yang telah dimulai sejak 1917 (atau bahkan mungkin jauh sebelumnya)-- pada umumnya hanyalah untuk memenuhi kebutuhan warga sendiri dan pasar lokal. Sampai saat itu, usaha batik di Karangjompo --dan di Pekalongan umumnya-- lebih merupakan usaha kerajinan tradisional yang tidak menggunakan zat kimia buatan sebagai bahan pencelup dan pewarnanya. Pencemaran yang diakibatkannya sangat kecil. Bencana dimulai pada awal 1980an ketika kerajinan batik kemudian ‘disulap’ menjadi industri besar untuk produksi massal memenuhi permintaan pasar ekspor. Modal besar dari luar pun masuk ke sektor usaha tradisional rakyat ini. Cara dan teknik produksi pun berubah, mulai menggunakan mesin-mesin dan zat-zat kimia buatan untuk pencelupan dan pewarnaannya. Meskipun masih tetap ada pengrajin batik tradisional yang terus melanjutkan memproduksi ‘batik tulis’ (buatan tangan), namun sebagian besarnya telah beralih memproduksi ‘batik cetak’ (menggunakan mesin dan zat- zat kimia buatan) meniru cara-cara dan mengikuti logika produksi industri modern untuk produksi massal dan memenuhi permintaan pasar ekspor tersebut. Maka, pencemaran pun tak dapat dhindarkan lagi. Tetapi bukan hanya cara dan alat produksi yang berubah --yang kemudian terbukti menghasilkan pencemaran berat-- tetapi juga sekaligus sistem kepemilikannya. Industrialisasi batik itu telah ikut menghancurkan koperasi-koperasi batik rakyat yang pernah berjaya di tahun-tahun 1950-1970an, masa ketika Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI) menjadi salah satu gerakan perekonomian rakyat terkuat di Indonesia dengan aset trilyunan rupiah --antara lain, satu gedung pencakar langit di daerah elit dekat Jembatan Semanggi, Jakarta, yang kini menjadi Gedung Pusat Bank Rakyat Indonesia (BRI). Jejak-jejak nya pun masih tersisa di Karangjompo dan seluruh Pekalongan: rumah-rumah tua berukuran besar dengan konstruksi beton megah, tetapi kini mulai kumuh dan kurang terawat sebagai salah satu dampak lanjutan dari kehancuran koperasi-koperasi batik rakyat tersebut. Padahal, di tahun 1970-1980an, koperasi-koperasi batik rakyat di Pekalongan bukan cuma memainkan peran utama menggerakkan roda perekonomian, tetapi juga memiliki pengaruh politik yang sangat kuat. Sebagai muslim yang taat, para pengrajin dan pengusaha batik --dan juga warga lain-- Pekalongan umumnya adalah pendukung Partai Persatuan Pembangunan (PPP) --gabungan berbagai partai-partai berlatar Islam sebagai akibat kebijakan ‘fusi partai’ oleh 69

GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial pemerintah Orde Baru saat itu. Koperasi-koperasi batik rakyat di Pekalongan itulah yang sebenarnya menjadi sumber dana utama PPP di daerah ini. Kenyataan inilah yang melahirkan anggapan bahwa kehancuran koperasi-koperasi batik rakyat di Pekalongan --dan di seluruh Jawa umumnya-- adalah suatu ‘rekayasa politik’ partai penguasa waktu itu (Golongan Karya, GOLKAR) untuk mematikan salah satu sumber dana PPP sebagai partai pesaing utama dan cenderung selalu bersikap oposisi terhadap berbagai kebijakan pemerintah saat itu. Industrialisasi batik di Pekalongan akhirnya kini menyeret pula para pengusaha batik berskala rumah tangga masuk ke dalam ‘perangkap pasar bebas’. Persaingan ketat bukan hanya terjadi di antara sesama mereka, tetapi juga dengan pabrik-pabrik besar yang menguasai jaringan pemasaran dan sumber-sumber modal. Selain menjadi sangat tergantung pada mekanisme pasar yang sudah berada di luar kendali mereka, para pengrajin dan pengusaha batik skala rumah tangga di Pekalongan juga tidak memiliki lagi lembaga keuangan sendiri (koperasi) sebagai sumber permodalan mandiri mereka seperti pada masa kejayaannya dulu. Kini, mereka berhubungan dengan bank -- milik pemeirntah maupun swasta-- atau ‘koperasi’ yang juga sepenuhnya dikendalikan oleh pemerintah. Banyak pengrajin dan pengusaha batik di Pekalongan menganggap ‘koperasi-koperasi’ yang ada sekarang itu tak lebih dari lembaga jasa keuangan komersial biasa, tidak memiliki visi dan misi gerakan pekeronomian rakyat seperti seharusnya suatu koperasi sejati. Banyak di antara mereka yang kemudian mencari sumber modal baru yang lain, tetapi kemudian malah terjerat oleh para rentenir, bank tongol atau bank tithil, dan sejenisnya. Sekarang, banyak di antara mereka yang hidup susah dan terbelit utang. Di Karangjompo, kini terdapat 69 unit usaha batik sebagai industri rumah tangga, belum termasuk jenis usaha lain yang terkait erat dengan perbatikan, seperti usaha penjahitan (konveksi) dan pembuatan pakaian jadi (garment). Di satu sisi, keberadaan usaha- usaha rumah tangga ini mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 849 - 1.400 orang --konjungtural, naik-turun sesuai perkembangan permintaan pasar-- yang umumnya adalah warga setempat sendiri, anggota keluarga atau kerabat sang pemilik usaha, mulai dari tukang cap, tukang pewarna, pembatik, sampai ke tukang celup (ngelorot). Hasil kegiatan pemetaan oleh warga sendiri memperlihatkan bahwa usaha-usaha rumah tangga itu terbagi dalam dua kelompok dari segi 70

BAGIAN-I, Memahami Masalah ukuran atau skalanya. Pertama, yang dimiliki oleh para juragan batik yang bergerak mulai dari proses pembatikan dan konveksi sampai ke pemasaran, termasuk menerima pesanan proses pembatikan saja. Mereka umumnya sudah berhubungan dengan lembaga-lembaga keuangan seperti bank dan koperasi sebagai salah satu sumber modal. Tenaga kerja yang mereka serap rerata lebih dari 10 orang. Kedua, yang berukuran lebih kecil, yang hanya menerima pesanan proses pembatikan saja dengan kekuatan modal yang beragam, tetapi umumnya adalah modal sendiri, tidak berhubungan dengan lembaga- lembaga keuangan seperti bank dan koperasi. Tenaga kerja yang mereka serap rerata kurang dari 10 orang. Karena terbatasnya modal dan sangat tergantung kepada para pemesan yang bermodal besar (juragan sejati), maka para pengrajin dalam kelompok kedua tersebut, pada dasarnya, hanyalah buruh atau lebih tepatnya buruh babar atau sanggan, bukan juragan yang sesungguhnya. Mereka hanya memproduksi batik sesuai dan jika ada pesanan dari para pemilik modal yang berasal dari luar Karangjompo. Beberapa di antara mereka menjelaskan bahwa untuk jenis kain batik santung, para pemesan umumnya datang dari Kota Pekalongan, Solo, Yogyakarta, Jakarta, dan Surabaya. Untuk jenis kain batik mori primis, pemesan datang dari Jakarta, Solo dan Kota Pekalongan sendiri. Sedangkan pemesan jenis kain batik sutera umumnya datang dari Kota Pekalongan dan Jakarta. Apa yang menarik adalah bahwa para pemesan yang berasal dari Kota Pekalongan --para juragan pemilik modal besar-- justru memesannya tidak dari produsen yang ada dalam wilayah Kota Pekalongan sendiri. Mereka memesan ke produsen-produsen di wilayah Kabupaten Pekalongan --termasuk ke Karangjompo-- ternyata karena banyak dari pesanan mereka itu tak dapat diproduksi lagi di wilayah Kota Pekalongan akibat pemberlakuan ketat peraturan dampak lingkungan disana. Menyadari hal itu, salah seorang warga Karangjompo berkomentar, mengungkapkan kekesalannya: “Desa kita hanya jadi tempat membuang limbah orang-orang kota itu”. Hasil pemetaan oleh warga memang memperlihatkan bahwa hampir semua unit usaha batik rumah tangga di Karangjompo terletak menyebar di sekitar selokan-selokan, saluran pengairan, dan sungai. Ke sana pulalah semua limbah cair dari industri batik itu dibuang, tanpa ada pengolahan terlebih dahulu. Ada juga yang dibuang ke pekarangan atau kebun sendiri, meskipun jumlahnya sedikit. Salah seorang pemilik usaha rumah tangga itu mengatakan: “Kami 71

GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial membuang limbah langsung ke sungai. Memang begitulah yang terjadi sejak dahulu, limbah dibuang langsung ke sungai”. Menanggapi keresahan dan protes warga lain tentang pencemaran yang mereka timbulkan, seorang pemilik unit usaha batik yang lainnya lagi mengatakan: “Kalau sungai di sini bening, maka masyarakat tidak dapat makan”. Ungkapan spontan ini memang sudah lumrah diucapkan oleh warga Kota dan Kabupaten Pekalongan, sehingga selalu dijadikan alasan bagi para pejabat pemerintah untuk mengelak dari tanggungjawab dan kewajban mereka memberlakukan aturan dampak lingkungan secara ketat, seolah-olah pencemaran disana adalah sesuatu yang memang ‘sudah sewajarnya’ terjadi. Sebenarnya, uji laboratorium terhadap limbah cair dari industri batik sudah dilakukan beberapa kali. Namun, karena dilakukan oleh pemerintah, warga Karangjompo umumnya tidak pernah mengetahui hasilnya sama sekali. Maka, warga pun berprakarsa melakukan uji laboratorium sendiri, sampai beberapa kali. Hasil uji laboratorium terakhir adalah pada bulan Juni 2006, bekerjasama dengan Laboratorium Kesehatan Masyarakat Cito --lembaga independen uji air limbah yang beralamat di Jalan Indraprasta No.81A, Kota Semarang. Dari empat contoh (sample) air limbah batik dari empat titik berbeda di Karangjompo, ternyata menunjukkan bahwa tingkat pencemarannya memang sudah melampaui ambang-batas yang diperbolehkan oleh peraturan resmi. (1) Zat-zat pencemar dalam limbah ‘obat batik’ Para pengrajin dan pengusaha batik di Karangjompo --dan seluruh Pekalongan pada umumnya-- menggunakan zat-zat kimia buatan (mereka menyebutnya sebagai ‘obat batik’) bercap ‘Porsen’ dan ‘Base’. Contoh kedua zat kimia buatan ini diambil dari dua unit usaha rumah tangga yang berbeda pada tanggal 8 Juni 2006. Hasil uji laboratoriumnya dapat dilihat pada Tabel-2.2 (di halaman berikutnya). Data pada tabel itu jelas-jelas menunjukkan bahwa limbah yang berasal dari ‘obat batik’ Porsen banyak mengandung zat-zat kimia yang sudah melampaui ambang batas yang diperbolehkan, antara lain, mangan (Mn) dan amoniak (NH3) serta tingkat BOD dan COD nya. Kandungan mangan nya mencapai 5,61 miligram per liter (mgl), melampaui batas maksimum 5,0 mgl yang ditetapkan resmi dalam Peraturan Menteri Kesehatan No.416/Menkes/Per/IX/1990. Jumlah mangan yang tinggi dalam air membuat air tersebut tidak memenuhi syarat lagi bagi kesehatan, terutama apabila air tersebut digunakan 72

BAGIAN-I, Memahami Masalah TABEL-2.2: Kandungan Zat-zat Kimia dalam ‘Obat Batik’ yang Digunakan Industri Batik di Karangjimpo, Pekalongan, Juni 2006 No Kandungan kimia Satuan Batas toleransi Hasil uji-lab min max PROSEN BASE 1 Besi (Fe) mgl 5,0 10,0 0,16 0,53 2 Mangan (Mn) mgl 2,0 5,0 5,61 0,19 3 Seng (Zn) mgl 5,0 10,0 0,47 1,27 4 Kadmium (Cd) mgl 0,05 0,1 0,003 0,008 5 Amoniak bebas (NH3) mgl 9,80 8,62 6 Fenol (C6H5OH) mgl - 8,0 0,016 0,72 7 BOD mgl - 0,5 1.590,00 24,0 8 COD mgl - 30,0 2.130,00 32,2 9 Deterjen mgl - 80,0 1,210 1,24 5,0 10,0 sumber: Laboratorium Kesehatan Masyarakat ‘Cito’, Semarang, 2006 untuk kebutuhan hidup seperti memasak dan minum. Pada ‘obat batik’ Base, kandungan mangannya memang masih di bawah ambang batas (hanya 0,19 mgl), tetapi kandungan amoniak nya sudah tinggi (8,62 mgl) melampuai batas yang diperbolehkan (8,0 mgl), sama halnya dengan pada Prosen yang lebih tinggi lagi (9,80 mgl). Kandungan amoniak yang tinggi dalam air akan menyebabkan tanaman nampak subur, tapi tidak baik bagi organisme lain, sebab amoniak yang banyak akan diubah menjadi nitrat oleh bakteri. Akibat proses perubahan dari amoniak menjadi nitrat akan menghasilan nitrit dalam air --atau ketika dikonsumsi oleh manusia akan berubah menjadi nitrit dalam perut-- yang mengakibatkan keracunan, antara lain, ditandai oleh wajah berubah warna menjadi biru dan dapat menyebabkan kematian. Hasil uji tingkat BOD (biochemical oxygen demand) dalam limbah Prosen mencapai 1590,00 mgl, sedangkan BOD dalam limbah Base mencapai 240 mgl, keduanya sudah sangat jauh melampaui ambang batas minimum yang diperbolehkan (30,0 mgl). Jumlah BOD dalam limbah dari kedua ‘obat batik’ tersebut telah melewati batas maksimal yang telah ditentukan dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.03/1998 tentang Baku Mutu Limbah Cair bagi Kawasan Industri (yakni 50,0 mgl). Angka BOD menunjukkan jumlah oksigen yang hilang dalam setiap satu liter air. Banyaknya oksigen yang hilang ini disebabkan karena banyaknya bakteri aerobik yang menguraikan zat- 73

GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial zat organik dalam air, sekaligus menujukkan banyaknya jumlah bakteri aerobik itu sendiri. Hal ini bisa disebabkan oleh banyaknya tanaman yang mati di dalam air. Di samping menghabiskan banyak oksigen di dalam air, bakteri aerobik itu juga menghasilkan gas metana dan hidrogen sulfida yang baunya busuk. Hasil uji kadar COD (chemical oxygen demannd) yang tinggi --yaitu 2130,00 mgl dalam limbah Prosen dan 322,40 mgl dalam limbah Base-- ada hubungannya dengan BOD yang tinggi tadi. Kadar COD dari kedua limbah tersebut juga melewati batas minimum yang telah ditentukan dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.03/1998 (yaitu 100,0 mgl). Tingkat COD yang tinggi ini terjadi apabila jumlah organisme yang mati dalam air terlalu banyak sehingga tidak bisa diuraikan lagi secara cepat oleh bakteri aerobik. Deterjen merupakan bahan sintetis dan terbagi dalam dua kelompok: ‘deterjen lunak’ yang dapat terurai di dalam air; dan ‘deterjen keras’ yang tidak dapat larut serta melawan reaksi bakteri. Deterjen yang kedua ini berbahaya bagi ikan, walaupun konsentratnya kecil, dan dapat merusak tanaman air jika kadarnya terlalu tinggi. Deterjen ini tidak dapat terurai di dalam tanah sehingga berbahaya bagi manusia jika sampai merembes ke dalam sumur-sumur sumber air minum penduduk setempat. (2) Zat-zat kimia dalam air selokan Contoh air selokan ini diambil dari beberepa titik sepanjang saluran pengairan yang selama ini digunakan untuk mengairi sawah-sawah penduduk. Hasil uji laboratorium nya dapat dilihat pada Tabel-2.3 (di halaman berikutnya). Amoniak (NH3) adalah senyawa antara satu atom nitrogen dan tiga atom hidrogen. Kandungan amoniak (NH3) yang tinggi (14,45 mgl) pada contoh air dari saluran pengairan di Karangjompo itu mengakibatkan tingginya kadar nitrat nya (3,74 mgl). Artinya, kadar nitrogen dalam air tersebut juga tinggi. Kandungan nitrogen dalam air yang diperbolehkan adalah di bawah 0,30 mgl oleh Peraturan Pemerintah (PP) No.82/2001. Hasil uji laboratorium juga memperlihatkan zat besi (Fe) dan mangan (Mn) --keduanya adalah jenis logam berat-- dalam saluran pengairan disana juga sangat tinggi (masing-masing 111,65 mgl dan 2,65 mgl). Jika air mengandung zat besi dan mangan yang cukup tinggi, maka air tersebut tidak layak untuk dikonsumsi. Adapun unsur klorida dan sulfat yang ditemukan juga sangat tinggi (masing-masing 248,15 mgl dan 808,60 mgl), 74

BAGIAN-I, Memahami Masalah TABEL-2.3: Kandungan Zat-zat Kimia dalam Contoh Air Saluran Pengairan di Karangjompo, Juni 2006 No Kandungan kimia Satuan Batas maksimum Hasil uji-lab 1 Nitrat (NO3) mgl > 0,30 3,74 2 Amoniak (NH3-N) mgl 8,0 14,45 3 Besi (Fe) mgl 111,65 4 Mangan (Mn) mgl 2,0 5 Seng (Zn) mgl 250 - 500,0 2,65 6 Klorida (C6H5OH) mgl 250 - 500,0 0,47 7 Sulfat (SO4) mgl 248,15 8 Deterjen mgl 10,0 808,60 0,275 sumber: Laboratorium Kesehatan Masyarakat ‘Cito’, Semarang, 2006 melampaui batas maksimum yang diperbolehkan. Kedua unsur ini adalah ion-ion yang menyebabkan kesadahan air yang bersifat tetap atau permanen. Kehadiran ion-ion ini biasanya disebabkan oleh keadaan geologi tanah di sekitarnya. Kesadahan tidak menguntungkan. Air yang dianggap bermutu tinggi adalah air yang tingkat kesadahannya rendah. Untuk air minum, kesadahan di bawah 250 mgl masih dapat diterima, di atas 500 mgl akan merusak kesehatan. (3) Zat-zat kimia dalam air sumur Contoh air sumur diambil dari beberapa sumur warga secara acak, salah satunya tepat berada di depan Balai Desa, di pusat desa Karangjompo. Hasil uji laboratorium nya adalah pada Tabel-2.4 (di halaman berikutnya). Nampak jelas sekali, kandungan zat besi (1,03 mgl), mangan (2,85 mgl) dan klorida (177,25 mgl), semuanya sudah melampau batas maksimum yang diperbolehkan oleh Peraturan Menteri Kesehatan No:416/990. Singkatnya, air sumur-sumur warga di Karangjompo sudah tidak memenuhi syarat sebagai air bersih. Dalam satu perbincangan informal tentang sejarah desa ini, seorang warga petani yang pernah merantau ke Sumatera dan masih meninggalkan beberapa anggota keluarganya disana, mengungkapkan bahwa sekarang ini lahan pertanian yang ada di Karangjompo sudah tidak dapat digunakan, karena jenis tanaman apapun tidak bisa hidup 75

GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial TABEL-2.4: Kandungan Zat-zat Kimia dalam Contoh Air Sumur-sumur Warga di Karangjompo, Juni 2006 No Kandungan kimia Satuan Batas maksimum Hasil uji-lab 1 Sulfida mgl 0,05 < 0,05 2 Kesadahan mgl 5,00 320,00 3 Besi (Fe) mgl 1,00 1,03 4 Mangan (Mn) mgl 5 Seng (Zn) mgl 0,5 2,85 6 Klorida (C6H5OH) mgl 2,0 0,47 7 Sulfat (S04) mgl 8 Zat-zat organik mgl - 177,25 9 Nitrat (NO3) mgl 4,00 33,27 10,0 23,70 10,0 0,660 sumber: Laboratorium Kesehatan Masyarakat ‘Cito’, Semarang, 2006 akibat air dan tanahnya sudah tercemar limbah industri batik. Seingatnya, itu terjadi sejak akhir tahun 1980an, sebelum dia pergi merantau ke Sumatera. Menurutnya, banyak lahan pertanian yang dulunya produktif berubah menjadi lahan tidak produktif, lalu akhirnya dialih-gunakan sebagai kawasan baru pemukiman penduduk. Tidak hanya itu, ikan-ikan dan hewan-hewan air tidak mampu lagi bertahan hidup disana. Bagi kesehatan manusia, dampak negatif pencemaran itu dirasakan hampir seluruh warga dengan berbagai jenis penyakit. Apalagi di musim hujan, genangan air limbah tersebut menjadi sarang nyamuk, menyebabkan wabah demam berdarah, menyerang semua warga, tak terkecuali para pemilik usaha pembatikan yang melakukan pencemaran. Petani tua itu mengenang masa-masa sebelum ada pencemaran pada tahun 1980an, ketika saluran pengairan masih dapat berfungsi serbaguna juga sebagai tempat mandi, mencuci, bahkan memancing ikan. Semua itu kini tercemari oleh limbah industri batik, bahkan sampai ke Sungai Pencongan dan Meduri. Belakangan, warga Karangjompo akhirnya juga menemukan bahwa pencemaran di desa mereka ternyata juga diperparah oleh kiriman limbah dari bagian hulu (selatan). Desa ini yang terletak di bagian hilir (utara), mendapat kiriman limbah yang berasal dari desa-desa yang ada di kecamatan Karang Anyar, Wonopringgo, Bojong dan Buaran di bagian hulu (lihat kembali Peta-1). Banyak desa lain di 76

BAGIAN-I, Memahami Masalah bagian hulu itu juga menderita pencemaran, tetapi tidak separah di Karangjompo. Karena letaknya di bagian hilir, maka Karangjompo menjadi seamcam ‘muara penampungan’ bagi semua limbah pencemar yang mengalir dari desa-desa lain tersebut. Berkah atau Bencana? Peristiwa kegagalan besar panen padi yang diderita petani Karangjompo pada musim tanam bulan Oktober 2005, telah memicu mereka ‘memaksa’ para pemilik usaha batik untuk bertanggungjawab. Peristiwa itu persis dua minggu sebelum Hari Raya Idul Fithri, jadi masih dalam suasana puasa ramadhan yang mestinya tenteram dan damai. Mereka tak dapat lagi menahan amarah karena padi-padi mereka sebagian terbesar tak berisi (kopong), sementara sedikit sekali yang tersisa dan dapat dipanen ternyata rasanya pahit sekali. Menurut para petani itu, ini bukan kegagalan pertama bagi mereka. Sejak tahun 1990an, mereka telah berkali-kali mengalaminya. Tetapi yang terjadi pada tahun 2005 itu adalah yang terbesar dan sudah menghabiskan semua kesabaran mereka. Salah seorang petani itu menuturkan bahwa limbah yang dihasilkan oleh pabrik dan industri batik rumah tangga telah membuat hasil panen padinya menyusut setiap panen sampai 50% dari biasanya. Jika sebelumnya 1 hektar sawah dapat menghasilkan panen padi sebanyak 6 ton gabah kering, sekarang ini hanya mampu menghasilkan tidak lebih dari 3 ton saja. Luas total sawah padi di desa ini adalah 17 hektar --jumlah yang semakin menyusut karena konversi lahan akibat pencemaran yang membuatnya tidak subur lagi sebagai lahan pertanian. Jika panen dua kali setahun --jumlah yang juga berkurang dari sebelumnya yang sampai bisa tiga kali setahun-- maka hasil panen seluruh Karangjompo adalah 120 ton gabah kering per tahun. Dengan harga gabah kering Rp 115.000 per kuintal, maka para petani disana kehilangan penghasilan rerata Rp 115.230.000 per tahun. Dan, keadaan ini sudah berlangsung bertahun-tahun sejak 1990an. Selain kerugian akibat berkurangnya hasil panen, para petani Karangjompo juga kini harus mengeluarkan lebih banyak biaya-biaya tambahan untuk membeli pupuk buatan. Sawah-sawah mereka --yang sudah tercemari limbah industri batik-- telah jauh menurun tingkat keseburuannya. Dibutuhkan pupuk lebih banyak untuk hanya mempertahankan hasil panen agar tidak semakin merosot. Sebagai perbandingan, di desa-desa lain yang belum terkena pencemaran, 77

GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial hanya dibutuhkan 2 kuintal pupuk untuk setiap 1 iring (sekitar 0,25 hektar) sawah. Di Karangjompo, paling sedikit sekarang dibutuhkan 3 kuintal pupuk untuk luas yang sama. Ini berarti bahwa untuk setiap 1 hektar sawah, dibutuhkan tambahan 4 kuintal pupuk, sehingga untuk total 17 hetar sawah di desa ini dibutuhkan tambahan pupuk 68 kuintal untuk setiap musim tanam dengan harga Rp 50.000 per kuintal. Jika setahun ada dua kali musim tanam, maka tambahan biaya yang dikeluarkan oleh para petani di Karangjompo adalah Rp 6.800.000 per tahun. Jumlah ini jelas harus ditambahkan dalam biaya kerugian mereka. Maka, konflik dengan para pemilik usaha batik pun tak terelakkan. Tentu saja, para pengusaha industri batik itu menolak tudingan kesalahan ditimpakan sepenuhnya kepada mereka, antara lain, dengan mengatakan bahwa limbah mereka tidak seberapa banyak dibanding limbah dari ketiga pabrik besar yang ada disana. “Limbah yang dihasilkan home industry yang ada di desa ini tidak banyak dibanding milik pabrik dan kiriman limbah dari desa lain. Jika seluruh limbah home industry yang ada di desa ini dikumpulkan menjadi satu, maka hal itu tidak akan dapat mengalahkan limbah yang dihasilkan pabrik besar”. Pernyataan ini dibantah keras oleh para petani dan semakin memancing amarah mereka. Bagi para petani itu, bukan soal siapa yang lebih besar melakukan pencemaran, tetapi pencemaran itu sendiri memang terjadi dan sangat merugikan mereka, tidak peduli siapa pun yang melakukan dan berapa besar pun kadar pencemarannya. Pokoknya, semua pencemar harus bertanggungjawab. Masalahnya memang menjadi tidak sederhana lagi. Fakta bahwa para pemilik usaha batik itu adalah juga warga setempat, menjadikan mereka sebenarnya adalah korban yang juga menderita akibat pencemaran tersebut. Beberapa orang di antara mereka menyadri benar akan hal ini. “Meskipun punya home industry”, kata salah seorang dari mereka, “tapi kami ini pada dasarnya adalah buruh. Karena, kami hanya mengerjakan pesanan dari para pemilik modal dari luar. Saya juga terpaksa mendirikan home industry ini. Kalau ada usaha lain yang lebih menjanjikan, mungkin saya juga akan ganti usaha. Kami kesulitan modal. Karena itu, kami hanya mengerjakan pesanan orang. Untuk membayar karyawan saja kami sering mengalami kesulitan”. Apa yang dikatakannya tidak seluruhnya salah. Mayoritas dari mereka sebenarnya memang hanyalah buruh babar atau sanggan dari para pemodal besar. Sampai taraf tertentu, kedudukan mereka juga semakin sulit, karena harus menanggung semua beban 78

BAGIAN-I, Memahami Masalah biaya dan resiko produksi, termasuk biaya-biaya jaminan kesehatan dan keselamatan kerja, yang mestinya menjadi tanggung jawab para pemodal yang memesan barang produksi mereka. Menurut mereka, para pemilik modal itu pulalah yang juga mestinya menanggung seluruh biaya atas semua pencemaran yang terjadi. Sebenarnya, keuntungan yang diperoleh para pengrajin batik skala rumah tangga di Karangjompo --dan seluruh Pekalongan pada umumnya-- adalah sangat kecil. Jika diurai rinci dari seluruh rangkaian proses produksi, biaya-biaya, dan hasil penjualan akhirnya, maka untuk selembar kain batik seharga Rp.12.500, para pengrajin itu sebenarnya hanya memperoleh margin bersih sebesar Rp 500 saja. Jika mereka jual kepada juragan, harganya bisa mencapai Rp 15.000, sehingga mereka mendapat tambahan keuntungan Rp 2.500, itupun setelah dipotong biaya jahit sebanyak 20%. Setelah itu, para juragan atau pemesan menjual lagi kain itu di tempat lain atau diekspor ke luar negeri. Para pengrajin di Karangjompo tidak pernah tahu lagi berapa harganya pada tingkat tersebut, kecuali bahwa sudah berjumlah sekian kali lipat dan dinilai dengan dollar. Jadi, jika dipetakan, pihak yang paling dieksploitasi dalam bisnis batik ini sebenarnya dalah para pengrajin atau pemilik unit usaha skala rumah tangga seperti yang ada di Karangjompo. Mereka harus menggaji karyawan secara tunai dan membeli alat-alat produksi (canting, ‘obat batik’, dan sebagainya) secara tunai pula. Pada saat kain yang dipesan oleh juragan atau pembeli itu sudah selesai, mereka masih harus menunggu pula beberapa waktu sebelum pembeli atau pemesan itu merasa puas dengan hasil kerja mereka. Jika mereka tidak puas dan menolaknya, maka resiko kerugiannya menjadi sepenuhnya tangungjawab sang pengrajin sendiri. Akibatnya, para pengrajin batik skala rumah tangga di Karangjompo tidak mampu memenuhi semua persyaratan resmi ketenagakerjaan, seperti memberi tunjangan kesehatan dan keselamatan kerja kepada para pekerja atau buruh mereka. Sehingga, para buruh itu juga menjadi korban eksploitasi berikutnya. Pernah ada satu buruh sakit selama satu minggu. Selama itu, ia tidak sekali pun ditengok pengrajin majikannya, apalagi memberi dana santunan kesehatan. Meski terus berkelit dan tidak mau mengakui kesalahannya, amarah para petani --yang notabene adalah masih kerabat atau tetangga mereka juga sesama warga Karangjompo-- membuat para pengrajin batik itu kemudian bersedia mengalah. Mereka akhirnya memenuhi salah satu tuntutan petani untuk membangun satu saluran air yang terbebas dari 79

GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial limbah pencemar, terletak di sebelah selatan kawasan persawahan. Meskipun demikian, para petani itu belum puas. Seorang petani penggarap asal Karawang mengatakan bahwa hal itu belum cukup dan tidak memecahkan seluruh permasalahan secara tuntas. Kenyataannya, aliran limbah dari arah barat masih terus terjadi, antara lain, langsung masuk ke sawah garapannya. Para petani itu juga tidak puas lantaran tuntutan utama mereka mengganti semua kerugian akibat gagal panen tidak terpenuhi. “Kami hanya kebagian limbah hingga gagal panen, sementara mereka untung besar karena pesanan batik menjelang lebaran pasti melonjak naik”, tutur salah seorang petani. Seorang mantan petani sukses yang kini jadi pegawai negeri mengungkapkan bahwa menjadi petani kini memang sungguh berasa “Panas perih, panas perih, perihe wong nandur pari” (Sangat pedih, pedihnya orang menanam padi). Limbah pencemar dari industri batik memang telah berdampak buruk bukan hanya kepada para petani sawah, tetapi kepada seluruh warga Karangjompo, karena sudah merembes pula masuk ke dalam sumur- sumur air bersih mereka. Warga sudah tidak berani lagi mengambil air dari sumur-sumur itu untuk keperluan minum dan memasak. Satu- satunya andalan bagi pemenuhan kebutuhan air bersih mereka saat ini adalah air bersih yang disediakan pihak pabrik Dupantek yang -- sebagaimana diuraikan sebelumnya-- dibangun sebagai hasil protes dan tuntutan warga beberapa tahun lalu. Tetapi, warga sangat menyayangkan air itu tidak disalurkan melalui pipa ke rumah-rumah mereka. Mereka harus meluangkan waktu dan mengorbankan tenaga untuk mengangsu (pergi mengambil dan mengangkut) nya. Ini berarti mereka kehilangan waktu dan tenaga yang mestinya bisa digunakan untuk melakukan pekerjaan lain yang menghasilkan pendapatan. Bagi mereka yang tidak bisa mengangsu sendiri, maka harus membeli kepada orang lain yang mengangsu. Harga air yang dijual oleh para pengangsu itu beragam, tergantung jaraknya dari sumber air ke rumah yang memesan. Untuk warga yang rumahnya dekat dengan sumber air itu, maka harganya adalah Rp 1.000 per jerigen (jerrycan) berisi 20 liter; lebih jauh sedikit adalah Rp 1.500 per jerigen; dan yang paling jauh adalah Rp 2.000 per jerigen. Ini jelas merupakan tambahan biaya baru bagi semua rumah tangga di Karangjompo yang tidak pernah ada sebelum pencemaran terjadi disana. Jika kebutuhan setiap orang terhadap air bersih untuk minum dan memasak dihitung rata-rata menghabiskan satu jerigen (jumlah minimal) saja per minggu, maka kerugian yang dialami warga 80

BAGIAN-I, Memahami Masalah sangatlah besar. Dalam satu tahun ada 52 minggu, maka dalam satu tahun setiap warga harus mengeluarkan biaya untuk membeli air atau kehilangan penghasilan --karena waktu dan tenaganya digunakan untuk mengangsu air bersih-- sebanyak Rp 78.000. Pada tahun 2006, jumlah penduduk Karangjompo adalah 4.500 jiwa. Maka kita dapat menghitung kerugian seluruh warga desa tersebut untuk mendapatkan air bersih yang layak untuk dikonsumsi adalah total Rp 351.000.000 per tahun! Jika mengikuti ukuran baku kebutuhan pokok setiap orang akan air bersih dan bermutu menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dari Peserikatan Bangsa-bangsa (PBB), maka kerugian yang diderita warga Karangjompo malah mencapai angka Rp 19.4 milyar per tahun. Dengan harga tengah Rp 1.500 per jerigen sebagai patokan, maka rincian perhitungannya adalah sebagai berikut: TABEL-2.5: Kebutuhan Air-bersih & Kerugian Ekonomis Warga akibat Pencemaran di Karangjompo, Pekalongan Kebutuhan Jumlah Kebutuhan Harga Jumlah Total biaya Pengguna baku (Rp/liter) hari setahun untuk sebagai keperluan (jiwa) (liter per setahun dasar saja hari) kerugian (Rp) (minum, 4.500 masak, 160 75 360 19.440.000.000 mandi dan cuci) sumber: pendataan lapangan, 2006 Terhadap kesehatan warga, limbah industri batik yang mencemari Karangjompo itu jelas turut pula menyumbang munculnya berbagai jenis penyakit. Pada musim kemarau, air di semua selokan, saluran pengairan, sungai, dan genangan lainnya, berubah menjadi hitam seiring dengan debit air yang menyusut tajam. Di samping warna hitam yang terlihat, baunya juga sangat menyengat. Karena tidak ada gelontoran air dari hulu, limbah itu pun menggumpal dan mengendap menjadi gendot. Pada musim hujan, genangan air limbah tersebut 81

GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial menjadi sarang nyamuk demam berdarah. Sejak beberapa tahun terakhir, sudah menjadi gejala umum jika dalam satu keluarga -- termasuk keluarga para pencemar sendiri-- ditemukan lebih dari satu anggota keluarga yang menderita demam berdarah. Kandungan beberapa zat kimia dari limbah itu juga mengakibatkan banyak warga menderita penyakit kulit dan gatal. Dalam satu pertemuan warga, mereka berhasil menyusun satu daftar penyakit yang semakin sering dan umum mereka derita. Meskipun belum ada pengujian medis secara menyeluruh apakah semua jenis penyakit ini memang diakibatkan langsung atau tidak langsung dari pencemaran yang terjadi, namun faktanya adalah berbagai jenis penyakit ini semakin sering dan semakin merata diderita oleh warga sejak pencemaran terjadi di Karangjompo. Daftar yang disusun oleh warga itu adalah sebagai berikut: TABEL-2.6:Jenis Penyakit Umum yang Diderita Warga Karangjompo No Jjenis Penyakit Gejala 1 Paru-paru Batuk keluar darah, badan makin kurus, 2 Eksim sulit tidur, panas dingin, gairah seks meningkat Gatal-gatal, kulit berair dan pecah-pecah 3 Kadas (gudig) Gatal-gatal, kulit kering 4 Panu Gatal-gatal, jamur kulit 5 Demam berdarah Panas tinggi, kulit berbintik-bintik merah, kejang-kejang 6 Asam urat Pegal linu, dipegang sakit, otot kaki dingin 7 Hati (kuning) Air kencing kotor, mata kuning, badan kuning, kulit kuning, kuku kuning, bengkak-bengkak 8 Sakit kepala (migrain) Kepala pusing, bersin-bersin 9 Muntah-berak Muntah-muntah, berak-berak, perut sakit 10 Rabun Pandangan kabur, tidak melihat sumber: pendataan lapangan, 2006 Sempat terjadi perbedaan pendapat di antara para warga tentang penentuan tim dokter ahli yang akan memeriksa kesepuluh jenis penyakit tersebut. Sebagian ada yang mengusulkan tim dari Dinas Kesehatan Kabupaten Pekalongan, sebagian lagi ada yang 82

BAGIAN-I, Memahami Masalah mengusulkan tim dokter independen. Akhirnya disepakati meminta tim dokter dari Dinas Kesehatan Kabupaten Pekalongan untuk memeriksanya lebih lanjut. Ada dua alasan yang mendasarinya. Pertama, sebagai test case apakah tim medis pemerintah itu memang berpihak kepada mereka atau tidak. Kedua, pemeriksaan itu sebagai strategi dari rencana mengusulkan Karangjompo sebagai ‘Desa Siaga’, sehingga akan mendapat perhatian lebih serius dari pemerintah. Warga Karangjompo juga pernah melakukan perhitungan kerugian ekonomis (economic loss) yang mereka derita akibat semakin sering dan meningkatnya jumlah orang sakit di desa ini. Dengan merujuk pada data BPS Kabupaten Pekalongan tahun 2005, hasil perhitungannya adalah sebagai berikut. TABEL-2.7:Kerugian Ekonomis akibat Penyakit Warga Kabupaten Pekalongan A Jumlah penduduk Kabupaten 886.398 orang Pekalongan B Angka morbiditas per bulan Kabupaten Pekalongan adalah 1,95%, 17.285 orang sehingga jumlah orang sakit per bulan = 1,95% x A C Rerata lama sakit per orang adalah 4 829.680 hari hari, sehingga jumlah hari sakit per tahun = 4 x 12 bulan x B Jumlah orang sakit usia produktif (14- D 64 tahun) adalah 17% dari jumlah total 141.046 hari orang sakit yang tercatat, sehingga (dibulatkan) jumlah hari produktif yang hilang per tahun = 17% x C Upah Minimum Regional (UMR) Rp. 2.538.828.000 per Pekalongan adalah Rp 18.000/hari, tahun E sehingga nilai kerugian hari produktif yang hilang = 18.000 x D Biaya terendah berobat rata-rata per Rp. 41.484.000.000 per orang yang sakit adalah Rp 50.000/ tahun F hari; maka total biaya pengobatan semua orang sakit di Pekalongan selama setahun = 50.000 x C Maka total kerugian adalah nilai Rp. 44.022.828.000 per G kerugian hari produktif + biaya tahun pengobatan = E + F sumber: diolah dari BPS Kabupaten Pekalongan, 2005 83

GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial Dari hasil hitungan di atas, nampak betapa besar kerugian ekonomis daerah ini akibat penyakit warganya, yaitu Rp. 44 milyar lebih per tahun. Ini berarti 2,4% dari total nilai produksi industri tekstil (Rp 1,8 trilyun), atau 20,5% dari total nilai produksi industri batik (Rp 214 milyar) di seluruh Kabupaten Pekalongan. Dari jumlah orang sakit usia produktif saja (17% dari total orang sakit, yakni 2.938 orang per bulan atau 35.268 orang per tahun) adalah sudah sebesar lebih dari seperlima (22,05%) dari total tenaga kerja (159.971 orang) yang diserap oleh industri tersebut. Dengan kata lain, semua angka-angka pencapaian industri tersebut menjadi kurang berarti dengan dampak kesehatan yang ditimbulkannya terhadap warga setempat. Mari kita lihat lebih jauh. Dalam Anggaran Pendapatan & Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Pekalongan tahun 2005, disebutkan bahwa total Pendapatan Asli Daerah (PAD) kabupaten ini adalah Rp 29.079.225.142. Disebutkan bahwa Rp 6. 682.298.599 di antaranya berasal dari pajak daerah, sehingga dapat diperkirakan bahwa jumlah itu juga sudah mencakup pemasukan pajak dari sektor industri tekstil dan batik. Ini berarti bahwa pendapatan daerah dari sektor industri tekstil dan batik tersebut sangat tidak mencukupi untuk menutupi kerugian ekonomis yang diakibatkan oleh dampaknya. Bahkan seluruh jumlah PAD itu pun tetap saja masih kurang dari jumlah kerugian ekonomis yang terjadi akibat memburuknya kesehatan warga Pekalongan. Selanjutnya, APBD Pekalongan 2005 itu menyebutkan angka total Rp 337.490.914.190 dimana sebesar Rp 103,382,175,074 dialokasikan untuk belanja administrasi umum; Rp 234,108,739,116 untuk belanja pelayanan publik; dan Rp 5.958.188.475 untuk belanja tak tersangka. Untuk belanja sektor kesehatan yang dikelola Dinas Kesehatan, tersedia Rp 18.602.877.070 atau hanya 5,5% dari total APBD. Itupun, sebesar 38,4% (Rp 7.155.342.070) diperuntukkan bagi belanja aparatur daerah (gaji, perjalanan dinas, dan sebagainya), sehingga hanya 61,6% (Rp 11.447.535.000) yang diperuntukkan bagi pelayanan kesehatan masyarakat, jumlah yang sangat tidak mencukupi untuk menutupi jumlkah kerugian ekonomis akibat keadaan kesehatan penduduk kabupaten ini, yakni hanya 26,0% atau sekitar seperempatnya saja. Sementara itu, pada bulan Juli 2007, media massa memberitakan bahwa Bupati dan Waki Bupati Pekalongan telah membeli mobil dinas seharga Rp 970 juta. Pembelian mobil mewah ini sebelumnya juga dilakukan untuk Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). 84

BAGIAN-I, Memahami Masalah Dalam satu analisis di media massa tersebut, dinyatakan bahwa anggaran pembelian mobil itu tidak sebanding dengan alokasi lain yang langsung bersentuhan dengan kebutuhan rakyat, misalnya dengan alokasi untuk sektor pertanian. Sektor yang memberikan andil terbesar dalam produk domestik regional bruto (PDRB) ini hanya mendapatkan jatah anggaran Rp 3,6 milyar, hampir sama dengan nilai pembelian mobil mewah Bupati, Wakil Bupati, dan Ketua DPRD sekaligus. Bahkan, untuk perbaikan gizi masyarakat dalam APBD Pekalongan 2007 hanya disediakan alokasi sebesar Rp 50 juta, itu pun masih dipotong untuk belanja pegawai sebesar Rp 10,5 juta. Padahal, sesuai data BPS, jumlah penduduk miskin kurang gizi di kabupaten ini mencapai 202.465 orang. Jika dihitung reratanya, maka tiap penderita kurang gizi di kabupaten ini hanya dibiayai oleh pemerintah daerahnya sebesar Rp 172,87 per kepala! Contoh lain, adalah anggaran pembangunan sarana sanitasi (MCK) yang hanya sebesar Rp. 630 juta. Padahal, jumlah penduduk rawan jamban mencapai 63.588 jiwa. Jika dibagi rata, tiap jiwa hanya memperoleh Rp 907,53! Celakanya lagi, di kantor Dinas Kesehatan Kabupaten, tercatat ada uang Rp 2 juta untuk anggaran makan siang para pegawainya. Bangkitnya Kesadaran Warga Semua kenyataan getir itu akhirnya menggerakkan warga Karangjompo mulai mengorganisir diri mereka. Seperti yang dicetuskan oleh seorang warga disana: “...Ini semua menganggu kehidupan masyarakat, dan kita harus segera mengambil tindakan”. Maka, serangkaian pertemuan dan diskusi antar warga pun berlangsung. Pada awalnya, hanya sekitar 8-15 orang saja yang rajin hadir, tetapi lambat laun mulai diminati warga lain, terutama warga yang air sumurnya tidak bisa lagi digunakan untuk minum, mandi, dan keperluan lainnya. Bertambah terusnya jumlah warga yang mengikuti pertemuan-pertemuan ini, sebenarnya dimulai dari kegiatan sederhana, yakni penyodetan saluran-saluran tersier pengairan dan beberapa selokan di seluruh desa, sehingga mengurangi gumpalan dan genangan limbah pencemar disana sampai hampir 60%. Manfaat nyata ini mengundang mereka untuk menghadiri dan kemudian ikut aktif terlibat dalam pertemuan-pertemuan yang telah dirintis oleh hanya beberapa orang saja tadi. Sudah dapat diduga, rangkaian pertemuan itu terutama membahas berbagai tema kunci (generative themes) yang berkaitan dengan 85

GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial masalah pencemaran oleh limbah industri dan dampaknya terhadap kehidupan warga sehari-hari. Dalam setiap pertemuan, para pengurus Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) serta aparat pemerintahan desa juga selalu diundang, bahkan Kepala Desa (Lurah) dan Sekretaris Desa (Carik) Karangjompo tercatat sebagai salah seorang anggota pertemuan yang paling aktif. Setiap pembahasan masalah yang diangkat dalam pertemuan tersebut diikuti secara partisipatif dan antusias oleh semua yang hadir. Setiap orang yang hadir dalam forum, menyampaikan pendapat, saran, kritik, dan keluhan masing-masing. Tak jarang pula, terjadi perdebatan yang hangat, terutama jika di antara yang hadir ada tokoh agama dan pemilik industri rumah tangga. Beberapa waktu kemudian, rangkaian pertemuan warga itu bersepakat membentuk satu perkumpulan dengan nama ‘Paguyuban BENAR’ (Bersama Ekosistem Nampak Asri dan Ramah). Nama ini diusulkan oleh Abdul Aziz, seorang petani yang sangat berani. Pada mulanya, ada keengganan menggunakan nama yang dianggap ‘terlalu menyolok’ itu, dikhawatirkan akan terlepas dari ikatan-ikatan sosial tradisional yang sudah ada. Namun, dengan dilandasi perasaan senasib satu kampung atas pencemaran limbah yang terjadi, forum akhirnya menyetujui nama itu. Struktur kepengurusan paguyuban terdiri atas masing- masing seorang kordinator dan wakil kordinator, sekretaris dan wakil sekretaris, bagian penelitian, bagian kampanye, serta bagian dukungan dana dan logistik. Pada saat kegiatan rembug warga, dirumuskan tujuan utama yang ingin dicapai, yaitu mennghasilkan pemecahan masalah pencemaran limbah industri di Karangjompo. Ada dua langkah utama yang dirumuskan untuk mencapai tujuan tersebut. Pertama, menuntut tanggung jawab negara. Caranya adalah dengan menuntut negara melakukan penegakan hukum yang tegas kepada para pelaku pencemaran (utamanya pemodal besar). Dalam pengertian ini adalah juga termasuk upaya mempengaruhi kebijakan pemerintah --baik peraturan maupun alokasi anggaran publik-- untuk penanganan pencemaran (seperti pembangunan prasarana IPAL, khususnya untuk industri rumah tangga) dan anggaran lain untuk perbaikan kesehatan warga. Itu semua tentu membutuhkan berbagai kerja pendukung, antara lain, lobi-lobi ke Bupati, DPRD, Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Kesehatan, partai-partai politik, serta menggalang dukungan masyarakat luas melalui kampanye di radio, media cetak, pamflet, ceramah umum, khutbah Jum’at, kaos, spanduk, 86

BAGIAN-I, Memahami Masalah dan sebagainya. Paguyuban memberi perhatian khusus pada kebijakan dan alokasi anggaran publik, karena selama ini dianggap proses perencanaannya sama sekali tidak partisipatif, tidak melibatkan masyarakat luas, termasuk warga Karangjompo. Padahal, anggaran publik merupakan salah satu instrumen penting untuk menjamin keadilan bagi kesejahteraan semua anggota masyarakat. Karena pengetahuan para warga dan anggota Paguyuban umumnya masih terbatas dalam soal ini, maka pengurus Paguyuban mencantumkan kegiatan pendidikan dan pelatihan tentang hal itu sebagai salah satu program utamanya. Kedua, membangun prakarsa kemandirian warga sendiri. Negara memang harus menunaikan kewajibannya dalam pemenuhan hak-hak dasar rakyat melalui berbagai kebijakan dan alokasi anggaran publik, tetapi warga masyarakat pun sesungguhnya bisa membuat sejumlah prakarsa dalam bentuk teknologi alternatif dalam mengatasi masalah pencemaran limbah. Ada empat hal yang akan dikaji dan dikembangkan dalam hal ini: (1) Pembangunan kincir air. Selama beberapa tahun terakhir, lahan pertanian di Karangjompo lebih mengandalkan dan mulai tergantung pada curah hujan --karena saluran pengairan teknis sudah tercemar limbah industri batik. Jadi, sementara masalah pencemaran itu belum dapat terselesaikan tuntas, maka harus dicari jalan keluar lain dahulu, yakni memanfaatkan beberapa sumber air yang cukup melimpah di bagian selatan desa yang nisbi belum tercemar. Karena harga dan biaya operasional mesin diesel untuk memompa air tersebut cukup mahal, disepakati untuk membangun kincir air. Selain lebih murah, teknologinya nisbi lebih sederhana dan ada beberapa warga yang sudah menguasainya. Tentu saja, juga karena lebih ramah lingkungan. (2) Penyaringan atau pemurnian air. Akibat pencemaran limbah industri, mutu air di Karangjompo mnenjadi sangat buruk, warnanya telah berubah menjadi merah kecoklatan dan berlendir. Hasil uji laboratorium juga menunjukkan adanya kandungan zat-zat kimia yang berbahaya bagi kesehatan. Untuk itu, diperlukan teknologi penjernihan dan pemurnian air yang tepat-guna sesuai dengan kemampuan seluruh warga. Salah seorang warga, Mas Effendi, memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam bidang ini dan, karena itu, Paguyuban menugaskannya dengan beberapa warga lain untuk melakukan percobaan dan menemukan teknologinya. (3) Penggunaan ‘obat batik’ yang ramah lingkungan. ‘Obat batik’ yang digunakan para pengusaha batik tergolong sangat berbahaya, dan 87

GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial karena itu tidak ramah lingkungan. Sebenarnya, saat ini telah ditemukan berbagai zat pewarna alamiah maupun buatan yang ramah lingkungan, berasal dari bahan dedaunan. Sebenarnya ini bukan penemuan baru sama sekali, tetapi pengetahuan dan praktik tradisional yang telah lama ditinggalkan akibat serbuan cara dan teknik modern sejak industrialisasi batik dimulai pada tahun 1980an. Karena itu, upaya ‘penemuan kembali’ zat-zat pencelup dan pewarna alamiah itu menjadi salah satu prioritas kerja Paguyuban, selain mencoba terus mempengaruhi para pengusaha batik untuk kembali menggunakannya. (4) Pengolahan daur-ulang limbah rumah tangga. Jumlah limbah rumah tangga di Karangjompo tergolong besar dan belum dikelola dengan baik. Misalnya, belum ada tempat pembuangan akhir. Warga biasanya membakar langsung sendiri sampah rumah tangga mereka, sementara ada juga yang membuangnya sembarangan dan membiarkannya begitu saja, bahkan dibuang langsung ke sungai. Akibatnya, terjadi pemandangan yang tidak mengenakkan dan munculnya sumber-sumber penyakit. Untuk itu, Paguyuban menugaskan beberapa warga anggotanya untuk mulai mempelajari teknologi pengolahan daur-ulang sampah, terutama sampah organik, jika perlu sampa ke taraf menjadikannya sumber pendapatan baru baik bagi Paguyuban sendiri maupun bagi seluruh warga Karangjompo. Menuntut Keadilan Negara Dalam salah satu rangkaian pertemuan Paguyuban, terungkaplah informasi dari Lurah Karangjompo sendiri bahwa pemerintah desa tidak bisa menindak tegas para pelaku pencemaran limbah yang terjadi di desa ini. Lurah mengatakan: “Masalah limbah di Karangjompo memang sangat pelik. Kalau kami menggunakan pendekatan hukum yang berlaku, maka para pelaku pencemaran itu mestinya dihukum membayar denda kepada korban pencemaran antara Rp. 50 -500 juta. Kami tidak tego menegakkan hukum semacam ini, karena pelaku pencemaran itu adalah para pemilik industri rumah tangga. Terbukti, keadaan ekonomi mereka juga nyatanya lemah”. Semua orang juga mengakui fakta yang dibeberkan Pak Lurah itu. Masalahnya adalah warga menyesalkan pemerintah desa selama ini tidak melakukan upaya-upaya penanganan pencemaran limbah secara sistemik, seperti membuat Peraturan Desa (PERDES) atau 88

BAGIAN-I, Memahami Masalah menyediakan alokasi anggaran untuk, paling tidak, membatasi tingkat pencemaran yang terus-menerus terjadi, jika memang ternyata belum mampu menghentikannya sama sekali. Selama ini, upaya-upaya pemerintah desa lebih pada bagaimana agar air cemaran yang ada di saluran pengairan dan selokan-selokan desa dapat mengalir terus dan tidak menggenang. Pada satu sisi, upaya ini mungkin dapat mengurangi ancaman banjir dan sumber penyakit, tetapi di sisi lain upaya itu jelas tidak menyentuh akar persoalan. Namun, akhirnya seluruh pengurus dan anggota Paguyuban berusaha memahami kerumitan yang dihadapi oleh pemerintah desa. Masalahnya memang sangat tidak sederhana, bahkan dilematis. Para pemilik industri rumah tangga itu adalah juga warga Karangjompo yang keadaan ekonominya tidak jauh berbeda dengan yang lain. Mereka sudah cukup berjasa menyediakan lapangan kerja kepada warga yang lain, sehingga kalau mereka digugat secara hukum dan akhirnya menutup usaha mereka, maka banyak warga yang akan kehilangan lapangan kerja. Padahal, lapangan kerja lain belum jelas tersedia. Kembali bertani adalah pilihan yang sulit, selain luasan lahannya semakin berkurang dari tahun ke tahun, banyak di antara warga yang juga sudah tidak trampil (bahkan ‘malu’) menjadi petani lagi. Penutupan industri rumah tangga di Karangjompo hanya akan memicu mereka akhirnya berbondong-bondong lari ke kota --entah menjadi kuli bangunan, pembantu ruah tangga, tukang ojek, dan semacamnya-- yang sebenarnya juga tidak bisa menjamin kehidupan mereka akan lebih baik. Selain itu, warga Karangjompo juga belajar dari pengalaman dan pengamatan mereka selama ini. Gugatan hukum ternyata tidak selamanya menyelesaikan persoalan. Bersama warga Desa Pacar --desa tetangganya yang bersikap lebih keras dan sebagian wilayahnya juga masuk dalam lokasi pabrik-- mereka pernah melakukan gugatan hukum terhadap pabrik Indratek. Ternyata, sampai hari ini, gugatan hukum oleh warga Desa Pacar --antara lain, agar Indratek membangun IPAL untuk limbah cair dan limbah batu bara mereka-- belum juga selesai tuntas, bahkan terkesan semakin rumit dan tanpa ujung. Padahal, gugatan yang dilayangkan resmi sejak tanggal 17 Oktober 2005 itu telah melibatkan banyak unsur pemerintah daerah dan DPRD Kabupaten Pekalongan. Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kabupaten telah melakukan pemeriksaan saluran pembuangan limbah cair dan batu bara Indratek. Dinas Pekerjaan Umum (DPU) juga telah melayangkan surat peringatan --sampai tiga 89

GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial kali-- kepada Indratek agar segera mengurus kembali semua perijinan prinsip mereka (Izin Mendirikan Bangunan, Izin Gangguan) serta kaji- ulang kelayakan lingkungan. DLHK dan DPU bahkan telah meminta pihak Indratek menghentikan sementara pengoperasian boiler batu bara mereka. Komisi-A DPRD Kabupaten Pekalongan juga sempat mengadakan peninjauan langsung ke pabrik Indratek dan meminta penyelesaian sengketa antara warga dan pabrik itu segera dipercepat. Kenyataannya, hingga hari ini, pabrik Indratek masih tetap beroperasi seperti sediakala. Pelajaran lain adalah peristiwa gugatan hukum oleh 67 warga Kelurahan Setono dan Dekoro, Kota Pekalongan Timur, terhadap 4 pabrik tekstil berskala besar --Ezritex, Bintang Triputratex, Kismatex-2 dan Kismatex-3-- yang membuang limbahnya ke Kali Banger. Meskipun warga Setono dan Dekoro diputuskan menang sampai pada tingkat pengadilan kasasi di Mahkamah Agung, namun kenyataannya mereka ‘tidak mendapatkan apa-apa’. Jika dibagi rata dengan semua warga yang terkena dampak pencemaran, maka masing-masing orang hanya mendapat bayaran ganti rugi dari empat pabrik raksasa itu tidak lebih dari Rp 10.000 saja! Demikian pula dengan pengalaman warga Desa Buyat di Sulawesi Utara --yang menggugat perusahaan pertambangan multinasional, Newmont, atas pencemaran pantai yang mengakibatkan kematian dan penyakit-- juga tidak jauh berbeda, bahkan diputuskan kalah di pengadilan. Berdasarkan semua pengalaman itu, maka pengurus dan anggota Paguyuban Benar di Karangjompo bersepakat untuk tidak menempuh jalur hukum, tetapi lebih memusatkan perhatian pada empat langkah utama yang telah diuraikan di atas tadi. Untuk keempat langkah itu, mereka tetap akan selalu menuntut tanggungjawab dan kewajiban negara terutama dalam pengadaan peraturan hukum yang lebih tegas dan alokasi anggaran yang lebih besar. Jadi, sasaran utamanya justru adalah pemerintah sebagai pelaksana tugas negara, bukan pihak pabrik, apalagi pengrajin batik industri rumah tangga di Karangjompo yang notabene sebenarnya adalah ‘korban’ juga. Salah seorang warga mengungkapkan: “Kalau memang semua industri rumah tangga itu pelakunya, maka kita harus menuntut kepada negara untuk menunaikan kewajiban mereka, yakni membangun IPAL di desa ini. Industri rumah tangga yang mencemari lingkungan itu juga sebenarnya harus dilindungi oleh negara sebagai usaha kecil milik rakyat. Dengan demikian, upaya-upaya menuntut negara menunaikan kewajibannya juga harus menyertakan para pemilik industri rumah 90

BAGIAN-I, Memahami Masalah tangga itu. Mereka pun sebenarnya sangat mau diajak berjuang bersama-sama. Saya semalam bertemu dengan beberapa dari mereka yang sama-sama anggota jama’ah thariqoh. Mereka berpandangan sama bahwa persoalan pencemaran ini terutama adalah tanggungjawab negara, jangan mereka saja yang terus dipersalahkan”. Dengan kata lain, tuntutan hukum yang akan ditempuh oleh warga Karangjompo adalah lebih pada tuntutan penegakan hukum (law enforcement) oleh pemerintah sebagai pelaksana tugas negara, bukan gugatan hukum langsung kepada para pencemar, para pengrajin batik skala rumah tangga tadi. Jika sanksi hukum hendak diberlakukan kepada mereka, maka biarlah itu dilakukan oleh aparat negara sebagai penunaian tugas dan kewajiban mereka yang banyak diabaikan selama ini, sehingga warga Karangjompo tidak ‘berhadap-hadapan langsung’ (vis a vis) dengan sesama warga desa mereka, tetapi ‘berhadap-hadapan langsung’ dengan negara. Intinya adalah lebih menekankan penunaian kewajiban negara untuk menjamin hak-hak dasar warganya untuk memperoleh lingkungan hidup yang sehat. Bagi warga Karangjompo yang tergabung dalam Paguyuban Benar, inilah justru inti permasalahan yang jarang sekali dipersoalkan selama ini, dan memang selalu sengaja diabaikan oleh aparat negara yang korup. Maka, sejak itu, Paguyuban Benar mulai melancarkan aksinya langsung ke sasaran aparat negara, yakni pemerintah daerah Kabupaten Pekalongan. Dalam salah satu pertemuan berkalanya -- mereka menyebutnya sebagai kegiatan ‘Belajar Bersama Mengubah Kebijakan’-- mereka menoba mengkaji APBD Kabupaten Pekalongan untuk sektor lingkungan hidup, terutama anggaran penanganan limbah industri batik. Mereka mengundang salah seorang anggota DPRD asal Karangjompo, Abdurrahman Nuh, untuk membantu menjelaskan APBD tersebut. Ternyata, alokasi untuk sektor lingkungan hidup memang kecil sekali, hanya 1,6% (Rp 7,2 milyar) dari total APBD yang berjumlah total Rp 456 milyar. Jumlah sekecil itu, ternyata juga lebih banyak dialokasikan untuk biaya administrasi, gaji pegawai, dan kegiatan-kegiatan lain yang tidak berhubungan langsung dengan perlindungan dan perbaikan lingkungan hidup. Ternyata hanya sekitar Rp 500 juta saja yang langsung berhubungan dengan penanganan pencemaran limbah, itu pun untuk penangan limbah industri tahu- tempe, bukan limbah industri batik. Padahal, untuk membangun satu unit IPAL saja, dibutuhkan tidak kurang dana sebanyak Rp 1 milyar. Dengan kata lain, pemerintah daerah memang tidak serius menangani dampak pencemaran lingkungan oleh limbah industri batik di 91

GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial Pekalongan. Pertemuan dengan Abdurrahman Nuh itu juga memperjelas kepada warga Karangjompo bahwa banyak ‘wakil rakyat’ (anggota DPRD) yang selama ini sebenarnya berdusta kepada rakyat. Ketika kampanye dulu, mereka menjanjikan akan memperjuangkan kepentingan dan melindungi hak-hak dasar rakyat. Padahal, mereka sebenarnya tidak melakukan apa-apa bagi kesejahteraan rakyat. Hal itu terungkap, ketika Abdurrahman Nuh yang anggota DPRD asal Karangjompo itu tidak mampu menjawab pertanyaan warga tentang upaya-upaya apa saja yang selama ini ia dan anggota DPRD lain telah perbuat dalam mengatasi pencemaran limbah di desa asalnya. Sama saja halnya salah seorang warga asal Karangjompo lain yang terpilih sebagai Bupati Pekalongan masa bakti 2006-2001, yakni Siti Qomariyah. Sewaktu menjabat Wakil Bupati pada masa bakti sebelumnya, selama itu pula ia tidak pernah menyentuh persoalan pencemaran limbah industri batik di Karangjompo. Selama masa kampanye untuk menjadi Bupati, hampir semua pidato kampanyenya tidak pernah menyinggung masalah lingkungan hidup. Dalam pernyataan resmi (deklarasi) pencalonan dirinya sebagai Bupati, dia hanya menyinggung masalah lingkungan hidup pada bagian terakhir, itupun tidak substansial sama sekali, tanpa visi yang jelas. Dalam beberapa pertemuan anggota Paguyuban Benar, juga terungkap kekecewaan warga terhadap para pemimpin agama. Ketika Siti Qomariyah mencalonkan diri sebagai Bupati, para pemimpin agama di daerah ini hanya ‘berpesan’ kepadanya agar --jika terpilih menjadi Bupati nanti-- lebih memperhatikan kesejahteraan para ustadz dan guru-guru mengaji, sama sekali tidak ada yang menyinggung masalah lingkungan hidup, apalagi nasib rakyat yang menderita akibat dampak pencemaran limbah industri seperti yang dialami oleh warga Karangjompo. Semua itu mengecewakan warga Karangjompo, sehingga perolehan suara Siti Qomariyah di desa asalnya ini tidak mencapai kemenangan mutlak atau mayoritas seperti yang umumnya terjadi di banyak daerah lain. Dia hanya memperoleh 1.509 suara, sementara saingannya --yang sama sekali bukan berasal dan tidak dikenal oleh warga Karangjompo-- merebut separuhnya, yakni 735 suara. Meskipun kecewa dengan para pejabat pemerintah, namun anggota Paguyuban Benar tetap beranggapan bahwa para pejabat pemerintah itu lah yang justru harus dijadikan sasaran utama advokasi menuntut hak-hak rakyat. Ketidakpedulian para pejabat itu selama ini justru 92

BAGIAN-I, Memahami Masalah harus dijadikan dasar untuk memperingatkan akan kewajiban mereka yang hakiki sebagai aparat negara untuk melayani, melindungi, dan memenuhi hak-hak dasar rakyat, warga negara. Karena itu, Paguyuban aktif sekali mencari informasi perkembangan berbagai kebijakan pemerintah. Ketika mereka mendengar adanya rencana pemerintah untuk melakukan ‘normalisasi saluran pengairan’ di Karangjompo dan dua desa lain di sekitarnya, Paguyuban segera melancarkan tekanan, terutama melalui Lurah dan aparat PSDA (Pengelolaan Sumber Daya Air) di Kecamatan Tirto, untuk meminta jaminan ketegasan pemerintah daerah agar rencana itu benar-benar dilaksanakan. Tidak sampai tiga bulan, rencana itu benar-benar dilaksanakan. Selama pengerjaan proyek tersebut, warga melakukan pengawasan ketat dan menemukan banyak sekali penyimpangan, antara lain, tingkat kedalam pengerukan saluran di bagian hulu tidak sesuai dengan rencana. Contoh lain, Paguyuban menindak-lanjuti usulan warga untuk melakukan penyodetan sungai. Pengurus Paguyuban dan 5 orang wakil warga kemudian mendatangi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pekalongan untuk membantu mereka melakukan advokasi kepada pemerintah daerah. Maksud warga sebenarnya adalah untuk ‘menguji’ apakah STAIN --sebagai perguruan tinngi agama milik negara-- memang memiliki kepedulian kepada nasib umat, tidak seperti banyak pemimpin agama yang selama ini hanya memikirkan kepentingannya sendiri. Ternyata, pimpinan STAIN Pekalongan menanggapi serius, bahkan menyumbang dana Rp 15,5 juta untuk menambah dana swadaya warga Karangjompo yang hanya Rp 3 juta untuk melakukan penyedotan sungai yang --menurut perhitungan warga-- membutuhkan total biaya Rp 25 juta. Bagi Paguyuban Benar dan warga Karangjompo, bukan jumlahnya yang penting, tetapi fakta bahwa masih ada lembaga negara yang cepat-tanggap memperhatikan masalah rakyat kecil. Sejak saat itu, STAIN Pekalongan pun aktif terlibat mendampingi kerja- kerja Paguyuban Benar dan warga Karangjompo. Meski diwarnai beberapa kali perdebatan teknis yang cukup seru antar warga, rencana penyodetan sungai itu pun akhirnya berhasil dilaksanakan dengan hasil yang cukup memuaskan: aliran air dari berbagai selokan di seluruh Karangjompo menjadi lebih lancar, mengurangi genangan air yang telah tercemar limbah industri batik yang semakin meninggi dan menimbulkan bau serta pemandangan yang tak sedap di berbagai penjuru desa. 93

GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial Penyodetan sungai itu memang tidak memecahkan inti permasalahan sampai tuntas. Tapi, bagi para anggota Paguyuban Benar, ini adalah salah satu ‘strategi’ untuk memperlihatkan kepada seluruh warga desa dan orang luar bahwa mereka pun dapat melakukan hal-hal yang selama ini dianggap hanya bisa dilakukan oleh pemerintah atau pengusaha yang bermodal besar. Contoh ‘keberhasilan kecil’ semacam itu ternyata penting untuk melangkah lebih jauh, melakukan konsolidasi kembali kekuatan warga, sekaligus menumbuhkan kepercayaan diri sendiri di kalangan semua pengurus dan anggota Paguyuban. “Kami Juga Sebenarnya Tahu dan Mampu” Kegiatan penyodetan sungai yang dilakukan pada tanggal 1 - 15 juli 2006 itu menyadarkan warga Karangjompo tentang satu hal yang selama ini tidak mereka sadari, yakni adanya potensi pengetahuan dan pengalaman mereka sendiri untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi. Adalah Chamim Qomari --biasa dipanggil Pak De’-- adalah salah seorang warga yang merancang ‘teknologi’ penyodetan itu. Dia merancang cara dan peralatan kerjanya secara sangat sistematis, dan ternyata berhasil menyelesaikan penyodetan itu sesuai dengan rencana. Dia merancang semua itu semata-mata berdasarkan pengalaman praktisnya ketika masih muda dulu pernah mengikuti saudaranya yang bekerja sebagai kontraktor pembangunan berbagai prasarana. “Dulu”, kata Pak De’, “begitu saya lulus dari SMEP, saya sebetulnya ingin melanjutkan belajar ke sekolah yang lebih tinggi. Tetapi waktu itu diiming-imingi oleh bapaknya Pak Basyar diajak kerja, agar dapat uang. Mulai dari situlah saya sering melihat insinyur- insinyur menggambar untuk proyek-proyek pembangunan. Ya saya belajar dari lihat-lihat itu”. Sementara itu, adalah Mas Effendi, salah seorang warga dan anggota Paguyuban yang ditugaskan melakukan percobaan teknologi tepat- guna untuk penyaringan air bersih. Teknik ini dia miliki berdasarkan pengalaman ketika dia merantau ke Lampung beberapa tahun sebelumnya. Selain dia, ternyata ada beberapa orang warga lain yang juga mengetahui dasar-dasarnya. Maka dimulai lah satu lagi kegiatan utama Paguyuban untuk membuktikan bahwa rakyat kecil pun mampu melakukan sesuatu untuk memecahkan permasalahan yang mereka hadapi. Bahan dan cara kerja teknologi penyaringan air a la Mas Effendi 94

BAGIAN-I, Memahami Masalah sebenarnya sederhana saja. Bahan yang dibutuhkan hanyalah tiga drum besar --masing-masing digunakan untuk penyaringan satu, dua dan tiga-- batu besar, batu koral, dan dan pasir secukupnya --yang bisa diganti dengan batu bata-- serta selang secukupnya untuk mengalirkan air. Ketiga drum diletakkan secara bertingkat dengan jarak ketinggian dan lebar masing-masing 50 cm. Masing-masing dihubungkan dengan selang berukuran ¾ sampai 1 inci. Teknik ini, menurut Mas Effendi, hanya digunakan untuk menyaring dan menjernihkan warna air, tidak bisa digukan untuk menetralisir zat-zat kimia pencemar yang ada dalam air. Untuk itu, Mas Efendi dan kawan-kawannya masih melanjutkan terus percobaannya untuk menemukan teknik menetralisir zat-zat kimia pencemar dalam air di Karangjompo. Meskipun belum berhasil sampai saat ini, namun dia telah mengilhami warga Karangjompo dengan teladan semangat dan kerja keras yang luar biasa. Haji Mughni, misalnya, menjadi tergerak dan mengusulkan agar di sepanjang kedua tepi sungai diplester semen atau beton agar zat-zat kimia pencemar dalam air sungai itu tidak merembes ke dalam sumur-sumur milik warga. Sepanjang tepi sungai yang dibeton itu, di beberapa titik, menurut Pak Haji Mughni harus ada teknologi murah untuk mengurangi zat kimia. Walaupun usulan itu tidak terlalu baru dan nampaknya terlalu menyederhanakan persoalan, namun yang terpenting adalah bahwa warga yang selama ini lebih banyak diam dan tidak pernah mengajukan pendapat, gagasan, atau saran apapun --seperti Haji Mughni-- kini mulai membuka diri dan wawasan mereka untuk terlibat membicarakan masalah bersama. Maka segera lah bermunculan berbagai usulan dan tambahan informasi dari semakin banyak warga lain. Ada seorang warga memperoleh dan kemudian menyampaikan informasi dalam pertemuan Paguyuban bahwa satu perguruan tinggi swasta di Bandung telah menemukan satu teknologi tepat-guna memanfaatkan limbah organik kulit kacang— untuk treatment limbah industri. Para warga kemudian mengusulkan agar Paguyuban segera membangun hubungan dengan perguruan tinggi tersebut. Paguyuban juga kini mulai mengumpulkan informasi dari berbagai perguruan tinggi dan lembaga penelitian lain. Lalu, Alimin, seorang dari pengrajin batik Karangjompo yang pernah merintis usaha batik di Denpasar, Bali, pada tahun 1999, juga mengajukan usulan dan gagasannya berdasarkan pengalamannya di Bali tentang teknik pembuatan IPAL secara sederhana untuk industri skala rumah tangga seperti yang banyak terdapat di Karangjompo. Inti 95

GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial rancangannya terdiri dari bak pengolahan limbah berukuran 6 x 2 meter atau sesuai dengan kebutuhan. Bak tersebut dibagi menjadi tiga sekat dengan kedalaman masing-masing 1,5 meter. Masing-masing sekat dilubangi di sisi atas dan bawahnya agar pengolahan limbah berjalan optimal. Dengan cara ini, air limbah yang keluar dari sekat ketiga (terakhir) akan menjadi bersih. Sebelum limbah diolah ke dalam bak pengolahan ini, terlebih dahulu limbah ditampung di dalam satu bak terpisah dengan ukuran sesuai kebutuhan, tetapi diletakkan pada tempat yang lebih tinggi. Agar penyaringan berjalan optimal untuk mengurangi tingkat kepekatan limbah, bak dapat diberi koral dan ijuk pada masing-masing sekatnya. Untuk mempercepat proses netralisasinya, Alimin menyarankan menggunakan bubuk kimia organik yang dinamakan ‘flok’ atau ‘firo’ --entah apa nama kimia yang sebenarnya. Jika kedua bahan itu sulit diperoleh, dapat diganti dengan tawas. Bahan ini dilarutkan di dalam bak pengolahan sekat pertama. Untuk mengubah warna limbah, dapat digunakan kapurit seperti umumnya dikenal luas selama ini. Alimin sendiri sudah mempraktikkan cara itu pada pembuangan limbah produksi batik di rumahnya, dan cukup berhasil. Sambil masih mencari terus cara lain yang lebih efektif, Paguyuban segera memasyarakatkan ‘teknologi’ nya Alimin itu kepada para pengrajin yang lain. Di luar prakiraan para pengurus dan anggota Paguyuban Benar sendiri, ternyata seluruh proses itu telah melahirkan suatu dinamika baru di kalangan warga Karangjompo. Proses pertukaran informasi pengetahuan dan pengalaman mulai terjadi, sesuatu yang sebelumnya tidak menjadi prilaku dan kebiasaan disana. Dan, yang lebih menarik lagi adalah bahwa mereka yang kemudian ikut tergerak dalam proses dinamis itu adalah mereka yang juga selama ini tidak memperlihatkan tanda-tanda minat sama sekali untuk terlibat membahas dan mencari jalan keluar atas permaslahan bersama. Bahkan, pengrajin batik seperti Haji Mughni dan Alimin --yang selama ini dituding sebagai penyebab masalah-- juga melibatkan diri secara sukarela dan sadar tanpa mempedulikan lagi apa persepsi warga lain terhadap mereka selama ini. Kepentingan bersama yang ditempatkan dalam konteks pemahaman yang lebih baik tentang peran dan kedudukan negara, secara pelan tapi pasti mulai menjadi tema sentral keprihatinan sebagian besar warga di Karangjompo. Dan, ini merupakan permulaan yang baik untuk suatu proses perubahan sosial yang lebih besar dan substansial. 96

BAGIAN-I, Memahami Masalah Catatan Akhir Dalam retorikanya selama ini, industrialisasi selalu digembar- gemborkan adalah jalan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat. Karena itu, pemerintah mengundang para pemodal untuk mendanai proses industrialisasi tersebut. Lalu, dibangunlah jalan-jalan raya, pelabuhan-pelabuhan besar, pabrik- pabrik raksasa, lembaga-lembaga keuangan, jaringan telekomunikasi dan saluran-saluran pemasaran. Lapangan kerja pun terbuka luas, sehingga warga setempat dan sekitarnya akan memperoleh peningkatan pendapatan. Daya-beli dan tingkat konsumsi pun meningkat, semakin memperbesar dan memperlancar arus barang- barang dan jasa. Roda perekonomian pun secara keseluruhan berputar kencang dengan kecepatan penuh, sehingga kesejahteraan atau kemakmuran pun terwujud. Tetapi, apa yang terjadi di Karangjompo hanyalah salah satu contoh lagi --dari sekian banyak contoh sejenis sebelumnya-- bahwa retorika industrialisasi itu tidak pernah benar-benar sepenuhnya terbukti di berbagai bagian dunia yang pernah dimasukinya, terutama di negara- negara sedang berkembang seperti Indonesia. Paling tidak, seperti dalam kasus Karangjompo, retorika bahwa industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi yang dihasilkannya akan mengatasi masalah kemiskinan dan keterbelakangan, ternyata justru melahirkan lebih banyak masalah baru yang jauh lebih pelik. Sebagian besar warga setempat bukannya makin sejahtera dan makmur, malah sebaliknya semakin miskin dan dimiskinkan. Bukannya menerima tetesan berkah industrialisasi, malah mereka menerima limbah yang mencemari lingkungan dan semakin memerosotkan mutu kehidupan mereka. Apa yang terjadi adalah upaya mengatasi masalah itu malah menimbulkan masalah yang lebih sulit lagi diatasi. Pencemaran oleh limbah industri di Karangjompo dimungkinkan terjadi oleh kelalaian aparat negara melaksanakan tugas dan kewajibannya untuk melindungi kepentingan dan hak-hak warganya, rakyat yang mestinya mereka layani jauh lebih penting daripada melayani kepentingan modal besar dan permintaan pasar bebas. Dalam kasus ini, salah satu hak dasar rakyat yang diabaikan oleh aparat negara adalah hak untuk hidup sehat. Berbagai kebijakan dalam bentuk peraturan hukum resmi tak pernah benar-benar ditegakkan secara bersungguh-sungguh. Alokasi anggaran publik yang disediakan untuk sektor kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup tidak pernah mencapai angka dua digit dalam proporsi prosentasinya 97

GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial terhadap total anggaran belanja pemerintah daerah. Padahal, sudah sangat jelas bahwa kebutuhan akan lingkungan hidup yang sehat, termasuk ketersediaan air bersih, adalah hak dasar rakyat yang wajib dipenuhi oleh negara. Perserikatan Bangsa-bangsa melalui Komisi untuk Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, pada Nopember 2002, telah menyatakan bahwa air merupakan barang sosial dan budaya, dan akses terhadap air merupakan hak dasar (fundamental right) manusia yang harus dilindungi. Untuk itu, negara sangat berperan sentral dalam melindungi sumberdaya air sebagai kebutuhan dasar. Pernyataan Pembangunan Milenium PBB tahun 2000 menegaskan secara sangat gamblang agar semua negara dan pemerintahnya secara bersungguh-sungguh “...to stop the unsustainable exploitation of water resources by developing water management strategies at the regional, national and local levels which promote both equitable access and adequate supplies.” Setelah sekian lama hak-hak dasarnya itu diabaikan, warga Karangjompo kini bangkit menuntutnya. Pelaku langsung dari pencemaran air yang membuat hak mereka akan air bersih tidak terpenuhi itu, dalam praktinya, memang adalah para pemodal dan pengusaha. Mereka mengetahui benar hal itu. Namun, mereka lebih memilih untuk menuntut pemenuhan hak-hak dasar mereka itu kepada aparat negara yang selama ini lalai menunaikan kewajibannya. Mereka tidak terpancing untuk berkonfrtontasi langsung dengan para pelaku pencemaran yang notabene menjadi leluasa melakukan semua pelanggaran hak rakyat itu justru karena diizinkan dan didukung oleh aparat negara. Bahkan, mereka mencoba merangkul sebagian dari pelaku tersebut --para pengusaha kecil yang hakikinya adalah juga ‘korban’ seperti mereka juga-- untuk meggugat kelalaian aparat negara melaksanakan kewajibannya. Sampai tingkat tertentu, apa yang dilakukan oleh warga Karangjompo ini menjadi lebih menarik karena, paling tidak, membuka beberapa kemungkinan baru tentang metodologi advokasi kebijakan publik.™ 98

BAGIAN-I, Memahami Masalah BADAI di LAUT, 3 PRAHARA di DARAT Buruh Nelayan, Elit Lokal dan Industrialisasi di Kranji YAKIN NURUL HAQ ABDUL KHOLIQ * Kranji --desa di pantai utara-timur Pulau Jawa yang sebagian besar masyarakatnya adalah nelayan tradisional-- punya cerita yang sama dengan kebanyakan desa-desa pantai di berbagai daerah di Indonesia. Para nelayan di Kranji masih sering mengenang masa lalu yang lebih baik: tidak perlu harus melaut jauh dari pantai jika hanya untuk mendapatkan ikan, cukup nyerok (menangkap ikan dengan alat jaring kecil) saja di sepanjang pantai. Pada masa itu, hasil tangkap mereka selalu cukup atau bahkan melimpah. Untuk sekali melaut selama sehari suntuk, mereka dapat menangkap rata-rata sekitar 1 ton. Bahkan pernah terjadi mereka membuang kembali ke laut hasil tangkapan mereka, karena harga ikan di pasaran tiba-tiba menjadi sangat murah akibat kelebihan hasil tangkap yang sangat melimpah. Konon, di masa itu, banyak nelayan sering kebingungan membelanjakan uang hasil penjualan ikan-ikan mereka. Rumah-rumah tua berukuran besar dan cukup megah yang masih tersisa di desa ini adalah tanda-tanda kemakmuran dari masa lalu tersebut. Para nelayan di Kranji selalu mengenang masa makmur itu yang -- dalam ingatan kolektif mereka-- terjadi sampai duapuluhan tahun yang lalu, yakni pada akhir dasawarsa 1980an. Terutama sejak sepuluh tahun terahir, telah terjadi perubahan besar-besaran. Armada tangkap yang dulunya hanya menggunakan perahu yang digerakkan dengan tenaga manusia (dayung) dan angin (layar), umumnya hanya *Anggota Tim PAR, BP2M-STAIDRA Lamongan. Tulisan ini adalah ringkasan dari laporan lengkapnya yang ditulis bersama seluruh anggota tim (Ali Syamsuri, Rahmat Dasi, Zainul Fuad, dan Wardah). 99

GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial berkapasitas muat 2-3 kuintal. Kini, hampir semuanya telah beralih ke perahu bertenaga mesin, berukuran lebih besar. Hampir semua kapal- kapal itu adalah buatan lokal, produksi galangan kapal milik KH. Muhammad Baqir yang juga adalah pengasuh Pondok Pesantren Tarbiyatuth Tholabah. Galangan kapal ini mulai berproduksi sejak tahun 1970an, sehingga sangat dikenal oleh para nelayan di Kranji dan banyak desa nelayan lain di sepanjang pantai utara Pula Jawa. Namun, sejak beberapa tahun terakhir, usaha galangan kapal itu mulai menurun, terutama sejak dan setelah krisis moneter kawasan tahun 1997. PETA-3.1: Letak Desa Kranji di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur INDONESIA PULAU JAWA KABUPATEN LAMONGAN, JAWA TIMUR KRANJI Kawasan Pengembangan Pesisir Terpadu Lamongan (Lamongan Shorebase Integrated Development Area) Lamongan Bangkalan PULAU MADURA Gresik Kawasan Industri Utama Jawa Timur SURABAYA 100


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook