Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore GAMANG_master_final_mei_2008

GAMANG_master_final_mei_2008

Published by menangjateng, 2021-09-09 03:07:25

Description: GAMANG_master_final_mei_2008

Search

Read the Text Version

BABGAIAGNIA-IN, -MIIe: mMaehnacombiaMBaesrablauhat berbagai sumberdaya setempat, termasuk kotoran ternak sapi dan kambing-kambing mereka yang cukup melimpah. Pertanyaan semakin menukik: “Apakah selama ini mereka membawa kotoran-kotoran sapi dan kambing itu ke sawah untuk mempersubur sawah?” Kali ini, mereka terdiam sejenak, lalu sambil senyum-senyum menjawab lirih: “Tidak!”. Ketika ditanya lagi “Mengapa?”, mereka benar-benar terdiam tanpa jawaban apapun. Tetapi jawabannya sebenarnya sudah dapat terbaca dari bahasa tubuh mereka yang mulai nampak risih, bahwa mereka enggan melakukan hal itu. Lalu, akhirnya mereka kembali mengakui bahwa mereka semua selama ini lebih suka memilih menyiramkan limbah pabrik gula (tetes) untuk memupuk lahan dan tanaman mereka. Selain cukup mudah diperoleh, harganya nisbi lebih murah dibanding pupuk kimia pabrik, juga karena tidak menjijikkan seperti kotoran ternak. Tetapi, “Apakah mereka tahu kalau tetes itu sebenarnya juga sudah mengandung campuran limbah kimia pabrik yang akan berakibat buruk dalam jangka-panjang terhadap kesuburan lahan mereka?”. Lagi-lagi, mereka mengaku tahu soal itu dan juga sependapat bahwa harus ada cara untuk menghentikannya. Jika mereka tahu ada cara yang lebih baik, mereka bersedia untuk mengubah kebiasaan yang sebenarnya akan merusak kesuburan lahan yang akan mereka wariskan kepada anak-cucu mereka kelak. Dan, ujung dari perbincangan itu pun menjadi semakin jelas. Para petani Paculgowang itu tiba pada kesimpulan dan kesepakatan bersama: akan mulai berusaha mendatangkan dan menggunakan pupuk kandang di sawah-sawah mereka, dan itu harus dilakukan serempak secara bersama-sama. Mereka menyatakan perlu ada semacam ‘kordinator’ untuk pekerjaan ini. Mereka kemudian sepakat menunjuk beberapa orang dari mereka, yakni Muslimin sebagai Kordinator Umum, Ridwan sebagai Sekretaris, dan Abdul Mun’im sebagai Bendahara. Untuk urusan menjelaskan kepada para warga petani dan kepada semua pihak lainnya yang bersedia membantu, termasuk yang dari luar dusun, diamanahkan kepada Waris, sang Kamituwo; sementara urusan perlengkapan dipercayakan kepada Khoirul Anam. Mereka juga menyepakati bahwa untuk setiap 100 ru (satuan ukuran lokal, 1 ru = 14 m2) sawah akan diberi 10 karung pupuk kandang. Penaburan pupuk itu ke setiap sawah menjadi tanggungjawab pemilik atau penggarapnya masing-masing. Kordinator (Muslimin) akan bertanggungjawab mulai dari mendatangkan pupuk kandang itu sampai tiba di Paculgowang, sementara Bendahara (Abdul Mun’im) 201

GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial akan mengurus proses pembelian dan pembayarannya. Ongkos mendatangkan pupuk kandang itu ke setiap sawah adalah Rp 2.000 per karung. Sebagai permulaan, Tim STAIN Ponorogo menyatakan sumbangsih peran-sertanya dengan menanggung semua ongkos pengadaan itu saja, tetapi setiap petani itu sendiri wajib menyediakan karung-karungnya masing-masing sejumlah yang dibutuhkan. Terakhir, ‘gerakan’ bersama ini disepakati akan mulai dilaksanakan pada awal musim tanam berikutnya, yakni ketika tanaman padi semua petani Paculgowang sudah berumur rata-rata sebulan. Gerakan Teroganisir: Mulai dari ‘Langkah Kecil’ Adalah satu organisasi non pemerintah (ORNOP) bernama Yayasan Madani Jombang (YAMAJO) kemudian diajak melakukan pertemuan, pada hari Kamis, 16 Desember 2004, di rumah Ketua Tim PAR Jurusan Syari’ah STAIN Ponorogo di Kota Jombang. YAMAJO adalah satu ORNOP yang memang bergiat dalam proses-proses penguatan dan pengorganisasian masyarakat pedesaan. Mereka sudah cukup dikenal luas di wilayah Kabupaten Jombang, berkat kerja nyata mereka di banyak komunitas lokal di daerah ini. Dua orang aktivis YAMAJO, Muslimin Abdillah dan Saad, memenuhi undangan itu. Tim STAIN Ponorogo menjelaskan apa yang telah berlangsung di Paculgowang, termasuk gagasan awal dan dasarnya, yakni niat untuk mengembalikan peran-peran sosial Masjid al-Alawi serta peningkatan mutu kerja Pengurus Takmir nya. Dua orang aktivis YAMAJO itu kemudian menyarankan agar dana kecil (small grant) yang disiapkan oleh Tim STAIN Ponorogo sebaiknya lebih dipusatkan untuk membangun kesetiakawanan warga Paculgowang dalam kelompok- kelompok sejenis pekerjaan atau pencahariannya, selain para petani, juga peternak, pedagang, dan pengusaha kecil disana. Mereka menyarankan agar berhati-hati untuk tidak tampil di depan warga disana dengan kesan ‘membawa banyak uang’ yang akan membuat orang-orang dusun itu nanti hanya mengulang ‘cerita lama’ tentang ‘kekurangan modal uang tunai’. Harus ditemukan cara sedemikian rupa agar yang tumbuh adalah kesadaran dan pengertian tentang ‘modal’ yang tidak selalu harus berupa uang tunai, tetapi juga dan terutama sekali alat-alat produksi yang memang sudah ada disana: lahan sawah, ternak, cangkul, tenaga dan keahlian warga sendiri, bahkan juga lembaga-lembaga tradisional lokal seperti organisasi kerukunan warga, pemerintahan desa, masjid, dan sebagainya. ‘Kemandirian petani’ adalah kata kunci yang harus ditekankan. Jika 202

BABGAIAGNIA-IN, -MIIe: mMaehnacombiaMBaesrablauhat memang ‘terpaksa’ memberikan bantuan, maka sebaiknya berupa barang, misalnya, kambing atau sapi untuk diparo (bagi-hasil). Pemberian bantuan berupa uang tunai sangat beresiko, prilaku ‘selalu diberi dan suka meminta’ masih cukup kuat, sementara disiplin dan kebiasaan berorganisasi belum tertanam. Sebaiknya belajar dari pengalaman kasus Kredit Usaha Tani (KUT) beberapa tahun yang lalu, yang sempat menyeret tokoh-tokoh agama dan masyarakat sebagai tertuduh pelaku tindak pidana penyelewengan dana publik. Pertemuan ini juga membahas hasil pertemuan di Paculgowang, yakni keinginan para petani disana untuk belajar ketrampilan teknis pertanian, khususnya pertanian organik. YAMAJO menyarankan untuk tidak melakukannya dalam bentuk pelatihan dalam ruangan (in class training) seperti yang lazim selama ini, dan terutama jangan dislenggarakan di tempat-tempat seperti di hotel-hotel. Sebaiknya dilakukan secara informal sebagai ‘bagian dari proses kerja’ para petani itu sendiri, langsung di lahan-lahan pertanian mereka di desa. Pendekatannya harus ‘kerja kelompok’ untuk mulai membiasakan prilaku berorganisasi yang baik. Pelibatan Takmir Masjid setempat sangat penting dan strategis sebagai pendorong gerakan, karena para petani itu adalah juga jama’ah mereka. Berdasarkan pengalaman di banyak tempat selama ini, paling tidak dibutuhkan waktu sedikitnya dua tahun untuk melihat seluruh proses itu mulai membuahkan hasil nyata. Selama jangka waktu itu, semua yang terlibat sesungguhnya sedang melakukan proses belajar bersama. Selain pelatihan-pelatihan teknis praktis pertanian, proses belajar bersama itu juga harus dirancang sedemikian rupa agar para petani itu pun mulai dapat memahami ‘kedudukan mereka di tengah keseluruhan sistem’ yang ada selama ini: sebagai penghasil bahan pangan dan komoditi pertanian lainnya, tetapi anehnya tak berkuasa menentukan mekanisme dan harga pasar. Sementara itu, mereka semakin terjebak dalam pola konsumsi yang sangat tergantung pada barang-barang dan jasa keluaran industri perkotaan, mulai dari keperluan sehari-hari sampai alat-alat produksi yang mereka pun tak kuasa ikut menentukan mekanisme pasar dan harganya. Proses belajar bersama di kalangan para petani pedesaan itu harus diupayakan sampai ke tingkat pemahaman tentang hubungan-hubungan yang sangat timpang dan tidak adil tersebut. Diskusi lanjutan antara dua tim ini terselenggara lagi di tempat yang sama pada hari Jum’at, 24 Desember 2004. Selain Muslimin Abdillah, seorang aktivis YAMAJO lainnya, Sulthon, juga hadir dan akhirnya 203

GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial disepakati untuk membantu Tim STAIN Ponorogo langsung di lapangan sebagai ‘pengorganisir masyarakat’ (community organizer) di Paculgowang dan Wonosari. Pertemuan kali ini juga menyepakti beberapa kaidah asas (prinsip): „ Pertama; dalam tiga bulan mendatang, apa yang akan dilakukan dan yang akan terjadi merupakan ajang belajar bersama. Alur kegiatan akan dibuat menuruti dinamika perkembangan yang terjadi di lapangan. Selama itu, tidak boleh ada ‘cara pemaksaan’, tetapi lebih pada pemantauan (monitoring) dan evaluasi yang dilakukan terus- menerus bersama warga Paculgowang-Wonosari sendiri. Pemantauan dan evaluasi itu tidaklah mengandung sanksi bagi yang melakukan kesalahan, tetapi perbaikan terhadap apa yang masih mengandung kesalahan. „ Kedua, yang dinamakan pelatihan bisa berlangsung di sembarang waktu, tempat, dan keadaan. Di sawah atau di warung, misalnya, baik melalui perjanjian (appointment) maupun ‘secara kebetulan’. Pokoknya, ‘sesuai keadaaan’ saat itu. „ Ketiga, semua proses mengarah pada ‘penelitian aksi terlibat’ (participatory action research). Untuk itu, perlu dihilangkan terlebih dahulu berbagai ‘salah pengertian’ tentang siapa yang lebih pintar, lebih kaya, siapa yang bermasalah dan siapa yang harus memecahkannya, serta siapa yang harus melakukan pemantauan dan evaluasi. Dengan demikian, perlu ditegaskan bahwa para petani dan kelompok-kelompok lain yang terlibat keseluruhan atau bagian- bagian tertentu sepanjang proses ini, sebenarnya adalah orang-orang yang ‘sudah memiliki pengetahuan dan pengalaman’ sesuai dengan pekerjaan dan perjalanan hidup masing-masing selama ini. Peranan Tim STAIN Ponorogo dan YAMAJO semata-mata adalah sebagai ‘fasilitator’ yang bertugas membantu merumuskan masalah -masalah yang muncul, mengajak mencari jalan keluarnya secara bersama-sama, dan memperlancar proses evaluasi bersama atas apa yang telah berlangsung. Semua masalah yang muncul harus dianggap sebagai ‘masalah bersama’, bukan hanya masalahnya warga setempat, tetapi juga masalah nya Tim STAIN Ponorogo dan YAMAJO sendiri. Pemecahan masalahnya yang disepakati harus memberi manfaat juga, meskipun dalam bentuk dan kadar yang berbeda, kepada ketiga pihak ini. „ Keempat, segala kegiatan yang akan dirancang harus didasarkan pada kebutuhan setempat melalui ‘penjajakan kebutuhan’ (need assessment) yang cermat. Jangan pernah ada yang merasa paling tahu 204

BABGAIAGNIA-IN, -MIIe: mMaehnacombiaMBaesrablauhat dalam merancang kegiatan-kegiatan selama keseluruhan proses ini berlangsung. Berdasarkan kesepakatan kaidah-kaidah asas itu, maka Tim STAIN Ponorogo dan YAMAJO menuju ke Paculgowang, bertemu dengan para petani disana, pada tanggal 12 Januari 2005, di rumah Kamituwo Waris. Selain memperkenalkan orang-orang YAMAJO --khususnya Sulthon yang akan berperan sebagai ‘pendamping’ warga-- serta kesepakatan- kesepakatan kaidah asas yang telah dicapai antara Tim STAIN dengan YAMAJO, pertemuan yang dihadiri oleh 21 orang petani ini juga melanjutkan pembahasan dari pertemuan-pertemuan sebelumnya. Pertemuan menegaskan kembali kesepakatan untuk menuju ke ‘pertanian ramah lingkungan’. Tim STAIN dan YAMAJO menambahkan beberapa ‘informasi baru’, misalnya, data tentang kecenderungan semakin meningkatnya keadaran para konsumen hasil pertanian, terutama di kota-kota besar, tentang bahaya produk-produk pertanian tidak organik, yang tercampur dengan pupuk kimia dan pestisida buatan pabrik. Mereka kini semakin menginginkan produk pertanian yang ‘bebas racun’. Salah satu kesimpulan pokok pertemuan kali ini adalah kesepakatan untuk mulai juga memanfaatkan kotoran ayam sebagai pupuk alamiah, karena ternyata kotoran ayam --yang berasal dari kandang- kandang ayam petelur yang banyak sekali terdapat di Paculgowang dan sekitarnya-- cukup melimpah1. Tetapi, Kordinator para petani itu (Muslimin) mengajukan masalah baru, bahwa para petani sudah terlanjur menanam padi dan mereka ragu-ragu untuk langsung menyebarkan pupuk kandang dari kotoran ayam itu ke sawah-sawah mereka, khawatir malah berakibat buruk. Tetapi, kalau kotoran ayam itu tidak segera diambil, maka akan diambil oleh para petani dari Malang dan Batu. Akhirnya, disepakati melakukan ‘penimbunan sementara’ di satu lahan tertentu, untuk nantinya digunakan sehabis panen. Para petani itu juga sepakat bahwa setiap orang dari mereka nanti ‘wajib’ mengambil timbunan pupuk kandang itu untuk ditebarkan di sawahnya masing-masing dengan tenaga dan biaya sendiri. 1Hasil ‘survei’ (transect) singkat sebelumnya oleh Tim STAIN menemukan bahwa selama ini kotoran ayam yang melimpah di Paculgowang justru dimanfaatkan oleh para petani dari tempat lain, yaitu para petani sayur dan apel di daerah Batu dan Malang. Petani setempat malah tidak memanfaatkannya. 205

GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial Dan, kerja mengumpulkan dan menimbun kotoran ayam itu benar- benar mereka laksanakan pada pagi hari esoknya, 13 Januari 2005. Satu lahan dipilih, yaitu milik Koordinator, Muslimin. Beberapa orang diupah untuk membuat galian seluas 400 m2 dengan kedalaman 2 meter. Diperkirakan akan mampu menampung kotoran ayam sebanyak 4 ton yang berasal dari 8 kandang ayam. Sehabis panen padi nanti, timbunan kotoran ayam itu telah terfermentasi secara alamiah menjadi lebih kering dan sudah kurang berbau, sehingga penebaran di lahan pertanian akan berjalan lancar. Untuk mencegah kemungkinan pencemaran, penyebaran bau tak sedap, dan kerumunan lalat, timbunan itu ditutup dengan plastik pada bagian atasnya, kemudian ditutup dengan lapisan tanah permukaan. Para petani itu berkumpul lagi ‘membahas kembali’ (review) kerja penimbunan pupuk kandang itu. Selain beberapa ‘temuan-temuan kecil yang menarik’, mereka semua menyatakan senang dengan ‘pengalaman baru’ tersebut. Perbincangan kemudian mengalir ke masalah-masalah lainnya lagi, antara lain, soal pengairan. Mereka merasa hak-hak pengairan mereka semakin berkurang dengan berkurangnya jatah air yang dialirkan ke persawahan mereka. Mereka juga mulai mempersoalkan ‘keharusan memberikan uang pelicin’ kepada petugas pengairan yang sebenarnya telah mendapatkan gaji tetap bulanan dari pemerintah. Gayung bersambut. Tim YAMAJO cukup berpengalaman dalam soal ini. Mereka sudah melakukan proses pendampingan dan pengorganisasian kelompok-kelompok petani pengguna air di beberapa kecamatan lain dalam wilayah Kabupaten Jombang. Mereka menjelaskan kepada para petani Paculgowang itu bahwa yang pertama harus dilakukan adalah ‘menelusuri akar permasalahan’ dan ‘membuat peta permasalahan’ nya secara bersama-sama. Kegunaannya adalah untuk mengenali siapa saja pihak-pihak yang terlibat dalam pengaturan saluran pengairan. Setelah sebab permasalahannya sudah dipetakan dengan baik, kemudian perlu dilakukan perhitungan jumlah cadangan dan kebutuhan air yang senyatanya, sehingga bisa dibuat rencana-rencana tindakan penghematan air yang cenderung kian menipis. Untuk itu semua, perlu ada peta monografi desa Jatirejo untuk dipelajari. Monografi itu bisa diminta di Kantor (Balai) Desa. Mendengar penjelasan itu, para petani bersepakat untuk melakukannya belakangan, karena butuh waktu dulu untuk mengumpulkan semua informasi yang diperlukan. Mereka sepakat mendahulukan apa yang segera bisa dikerjakan dengan cepat. 206

BABGAIGANIA-NI, -MII:eMmeanhcaombiaMBaesrabluaaht Beberapa orang segera mengusulkan ada semacam ‘lahan percontohan’ pertanian organik, sehingga para para petani bisa melihat hasilnya. Kalau ternyata memang baik, mereka akan menirunya. Salah seorang pengusul bahkan menyatakan bersedia memberikan sebagian dari lahannya untuk kegiatan praktek percontohan itu. Tim YAMAJO menawarkan semacam pelatihan dulu, mulai dari pengadaan bibit sendiri, pengolahan tanah, pemupukan, maupun pengendalian hama nya yang memang benar-benar sesuai dengan kaidah-kaidah asas pertanian organik. Tetapi, para petani Paculgowang menjawab bahwa saat itu belum mungkin untuk melakukan pelatihan khusus, sebab mereka masih sibuk di lahan padi. Mereka mengatakan waktunya yang tepat adalah sebulan lagi, ketika pekerjaan di sawah sudah berkurang. Namun, semua sepakat untuk melakukan persiapan awalnya saja dulu, terutama penyediaan lahan. Maka, dua gagasan atau usulan baru itu disepakati untuk ‘ditunda’ saja dulu. Meskipun sebagian besar petani masih ragu-ragu untuk menebarkan kotoran ayam ke sawah-sawah mereka --khawatir berdampak buruk kepada tanaman-- namun ada salah seorang dari mereja yang berani langsung menebarkannya ke lahan padinya sendiri. Alasannya sangat sederhana tapi juga sangat masuk akal: selama sawah itu berair cukup, maka pupuk kandang yang masih baru pun tidak akan berakibat buruk. Air akan melarutkannya secara alamiah. Dia mendasari alasannya itu berdasarkan pengamatan dan pengalaman selama ini dimana banyak petani menabur pupuk kandang --dari kotoran kambing dan sapi yang masih baru-- justru pada lahan yang sudah kurang atau tidak berair sama sekali. Menurutnya, tanpa air yang cukup, kotoran kambing atau sapi --yang kandungan seratnya sangat banyak itu-- akan melepas gas yang menyebarkan hawa panas berlebihan kepada tanaman. Hawa panas itu tidak dapat ‘didinginkan’ lagi karena air memang sudah sangat kurang atau bahkan sudah tidak ada (kering). Beberapa hari setelah penimbunan pupuk kandang selesai, Kordinator Petani --yang juga Ketua Seksi Hubungan Masyarakat di kepengurusan Takmir Masjid al-Alawi-- mendapatkan tawaran pupuk kandang dari kandang-kandang lain yang baru saja dipanen telurnya. Setelah bermusyawarah, tawaran itu diterima. Maka penimbunan tahap kedua dilakukan, ditambah lagi isinya, sehingga mencapai jumlah diperkirakan lebih dari 6 ton dari total 14 kandang ayam. Pada penimbunan tahap kedua inilah, beberapa orang petani mulai mengajukan permintaan untuk menimbun tambahan pasokan baru 207

GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial pupuk kandang itu dibawa langsung saja ke dekat sawah mereka. Mungkin mereka sudah melihat apa yang sudah dikerjakan oleh salah seorang rekan mereka di atas tadi. Ternyata sawah dan tanaman padi orang itu tidak mengalami kerusakan apapun seperti yang mereka khawatirkan. Beberapa orang segera menirunya dan, setelah beberapa waktu, ternyata memang tak terjadi apa-apa. Bahkan, sekitar setengah bulan kemudian, ketika Ketua Tim STAIN Ponorogo berkunjung lagi ke Paculgowang dan melakukan pengamatan langsung ke sawah-sawah para petani itu, mereka menyatakan bahwa sawah-sawah yang telah ditaburi rabuk kotoran ayam malah tampak lebih hijau daripada yang tidak ditaburi. Beberapa petani malah ada yang khawatir tanamannya terlalu gemuk hingga mudah roboh. Menghadapi masalah baru tersebut, Ketua Tim STAIN kemudian menghubungi seorang insinyur pertanian, Munir BR, yang skripsinya adalah tentang penggunaan pupuk kandang dan unsur-unsur mikro. Sang insinyur pun datang ke Paculgowang pada tanggal 25 Pebruari 2005. Ia mengajak petani mengamati langsung tanaman padi mereka. Munir menjelaskan kepada mereka bahwa satu rumpun padi bisa memiliki paling banyak 24 anakan dengan 24 tangkai padi. Para petani Paculgowang itu menemukan bahwa padi mereka paling banyak hanya menghasilkan 12 anakan, sehingga mereka menjadi faham mengapa hasil sawah mereka selama ini hanya bisa sampai 4 ton per hektar, sementara di beberapa tempat lain bisa mencapai sampai 8 ton per hektar. Untuk mendongrak hasil pertanian, Munir menjelaskan bahwa setiap hektar sawah mampu menerima hingga 25 ton pupuk kandang. Untuk itu, pupuk kotoran sapi lebih baik, karena sudah menjadi kebiasaan petani untuk tidak mengembalikan residu panen padi dan jagung -- yang merupakan tanaman utama mereka sepanjang tahun-- kembali ke lahan. Mereka biasanya membakar atau membawa pergi jerami- jerami itu sebagai pakan ternak. Ini berarti sawah kehilangan unsur mikro yang tetap secara terus menerus. Unsur ini harus dikembalikan lagi, antara lain, dengan menebarkan kotoran sapi atau kambing yang --karena makanannya rumput-- memiliki kandungan unsur yang sama dengan residu padi dan jagung. Untuk menambah bobot bulir padi dan mengurangi kemungkinan roboh, bisa juga diberikan pupuk KCL dengan dosis 400 kg/ha. Bisa ditambah lagi dengan pupuk TSP dengan dosis 250 kg/ha. Kalau bisa pas hitungannya, dalam satu hektar bisa dihasilkan sampai 8 ton gabah. Unsur mikro juga bisa diberikan langsung kepada tanaman dengan semprotan obat ramuan sendiri 208

BABGAIAGNIA-IN, M-IIe:mMaehnacmobi aMBasearblauhat yang bisa dibuat dengan sangat mudah dan murah. Obat kimia hasil pabrik yang tinggal beli dan pakai saja, menurut hasil penelitiannya, hanya mengedepankan unsur urea nya saja, sehingga hanya menghijaukan daun, tetapi tidak meningkatkan produktifitas tanaman. Munir menyatakan bersedia memberikan pelatihan kepada para petani Paculgowang untuk hal-hal seperti itu. Tim STAIN kemudian memanfaatkan kesempatan itu untuk mengajak para petani Paculgowang menyusuri saluran air utama. Mereka mengatakan sebelumnya bahwa saluran air tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Di musim penghujan tidak bisa membuang kelebihan air, sedangkan di musim kemarau tidak bisa menyalurkan air secara mencukupi. Mulai dari kawasan persawahan di bagian barat laut dusun --yang paling jauh dari saluran utama-- mereka menyusuri saluran menuju hilir. Beberapa kali mereka menemukan saluran air yang tersumbat sampah dan rerumputan, yang menyebabkan penggiliran jatah air tidak lancar. Mereka secara serempak mengatakan bahwa petugas pengairan (kuwowo) tidak menjalankan tugas sebagaimana mestinya. “Mestinya ia membersihkan bekas bendungan setelah tidak dibutuhkan untuk membelokkan air, tapi ia hanya menyisihkannya saja”. Pada bagian lain mereka juga mengatakan, “Kuwowo juga tidak mau membersihkan rerumputan yang menyumbat, mestinya kan bawa cangkul dan tumbuhan begini mestinya dibersihkan”. Pada bagian lain lagi mereka menemukan pematang yang dibiarkan bocor oleh pemiliknya, menyebabkan air jatah untuk wilayah bawah meluap-luap hilang percuma. Mereka juga berkomentar, “Ini yang punya malas membetulkan pematangnya. Bocor bukannya ditambal tanah, tetapi hanya disumbat dengan sampah. Ya tetap saja bocor. Kita yang di bawah tidak kebagian air, yang di sini berlebih-lebih.” Ketua Tim STAIN bertanya, “Siapa yang wajib mengurusi soal saluran air ini?”. Serempak mereka jawab: “Ya, Kepala Dusun dan Kuwowo. Tapi mereka tidak melakukan tindakan apa-apa.” “Terus bagaimana?”, tanya Ketua Tim lagi. Jawab mereka: “Ya, harus kita temui dua orang itu.” Tetapi, akhirnya, mereka lalu sepakat untuk melakukan gotong- royong langsung saja memperbaiki saluran air, menutup kebocoran, dan membersihkan sumbatan-sumbatan. Tim STAIN menyumbangkan bahan bangunan, para petani itu menyumbangkan tenaga mereka. Untuk menanggulangi kelangkaan air yang semakin tahun semakin parah, mereka mengusulkan membuat 3 sumur bor. Beberapa waktu kemudian, setelah ketiga sumur itu selesai, langsung digunakan dan 209

GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial tampaknya berfungsi dengan baik. Para petani Paculgowang itu mulai merasakan sendiri hasil dan manfaat dari suatu proses yang dimulai beberapa bulan sebelumnya dari satu pertemuan kecil yang diorganisir oleh Pengurus Takmir Masjid al-Alawi. Suatu benih ‘gerakan’ nampaknya mulai terbentuk.... Langkah Berikutnya: Memelihara Momentum Gerakan apapun selalu membutuhkan ‘momentum’ agar tetap bergerak dan tidak berhenti. Ibarat permainan bola, momentum itu adalah sesuatu --misalnya kaki yang menendang atau tangan yang melemparkan bola itu-- agar terus bergerak dan menciptakan peristiwa yang disebut sebagai ‘permainan’. Jika tidak ada yang menendang dan melemparkannya, bola itu tidak akan bergerak kemana-mana, sehingga tidak akan ada ‘permainan bola’ sama sekali. Inilah tantangan tahap berikutnya dari apa yang telah dilakukan dan dicapai oleh para petani di Paculgowang, yakni menjaga agar tetap ada yang membuat mereka ‘tetap bergerak’ setiap saat. Untuk itu, mereka dikumpulkan lagi untuk ‘melihat kembali’ secara keseluruhan apa yang sudah mereka kerjakan dan capai selama beberapa bulan sebelumnya. Dalam pertemuan evaluasi ini, mereka menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut: (1) Kordinator atau Ketua Kelompok Petani telah melaksanakan perannya dengan baik, meskipun belum optimal. (2) Hanya separuh dari anggota kelompok yang mematuhi kesepakatan bersama untuk memperbaiki saluran pengairan. (3) Pembuatan sumur bor untuk menghadapi musim kemarau telah selesai dan telah berfungsi dengan baik, tinggal menyediakan mesin pompa. (4) Pemakaian pupuk kandang telah bisa dibuktikan hasil positifnya, sehingga perlu lebih ditingkatkan lagi untuk lebih menyehatkan struktur dan tekstur tanah, sekaligus mulai memperkecil ketergantungan kepada pupuk kimia buatan pabrik. Pertumbuhan tanaman padi juga lebih subur dan jarang yang roboh di musim penghujan. (5) Semua petani anggota telah menghentikan pemakaian limbah pabrik gula (tetes) sebagai pupuk cair, karena telah menyadari akibat buruknya terhadap struktur dan tekstur tanah. 210

BABGAIGAINA-NI,-MII:eMmeanhcaombiaMBaesrabluaaht (6) Pupuk kandang harus diganti dengan kotoran sapi, bukan kotoran ayam seperti pada tahun pertama. (7) Perlu bertemu dengan kepada Dinas Pengairan Kabupaten jombang untuk melaporkan keadaan dan masalah tentang saluran pengairan utama.2 Sesudah panen pertama, terhitung sejak dimulainya ‘gerakan’ ini pada bulan Nopember 2004, para petani Paculgowang itu melakukan evaluasi bersama lagi tentang hasil panen mereka. Mereka semua senang dan puas menyatakan bahwa pertumbuhan padi mereka bagus, sangat diduga karena gerakan pupuk kandang tahun sebelumnya.3 Akan tetapi hasil panen tampaknya merosot. Sebagian orang mengatakan karena hama kresek, sejenis kutu lembut. Tetapi yang lain tidak sependapat dan mengatakan itu karena memang musimnya lagi merosot di mana-mana. Tim STAIN bertanya: “Apa perlu dicari soal yang sebenarnya?” Mereka setuju dan mengusulkan agar petugas dari Dinas Pertanian didatangkan untuk melakukan pengamatan lapangan. Mereka akan bertanya banyak hal, intinya adalah bagaimana meningkatkan hasil pertanian dengan biaya serendah mungkin. Mereka menemukan bahwa meskipun hasil sawah pada tahun 1960an itu sebenarnya tidak sebanyak sekarang, akan tetapi petani pada masa itu nampaknya lebih sejahtera, mampu menyimpan hasil panen yang cukup sampai musim panen berikutnya. Mereka bertanya-tanya: mengapa sekarang kemampuan seperti itu tidak lagi dimiliki petani, padahal hasil sawah sebenarnya dua kali lipat dibanding tahun 1960an?4 Pada suatu ketika, Tim STAIN Ponorogo diajak oleh seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jombang menemui Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Cabang Jombang. Anggota DPRD itu meyakinkan Ketua Tim STAIN bahwa gagasan pertanian organik di Paculgowang itu sama dengan gagasan sang Ketua 2 Fieldnote A-01. 3 Fieldnote A-01. 4 Fieldnote A-06. 211

GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial HKTI, sehingga sangat mungkin dijalin kerjasama.5 Pada kesempatan berkunjung kepada Ketua HKTI Jombang, Sadar Estuwati, Ketua Tim STAIN menyampaikan apa yang telah mereka kerjakan dengan para petani jama’ah Masjid al-Alawi di Paculgowang. Ia menyanggupi untuk membantu, meskipun jumlah lahan para petani di Paculgowang itu tidak luas, juga jumlah petani yang berhimpun. Sebab, kata dia, justru dengan jumlah sedikit itu proses pembinaan bisa lebih baik, dan suatu organisasi besar memang selalu dimulai dari kelompok kecil. Estuwati mengatakan bahwa pertanian organik yang seutuhnya memang masih jauh dari jangkauan, tetapi yang bisa segera diwujudkan adalah paling tidak ‘pertanian tanpa-pestisida’ serta ‘penanaman padi sehat’. Hal ini saja, kalau tercapai, sudah bisa melipatduakan kesejahteraan petani padi.6 Ketua HKTI Jombang dan Sekretarisnya, Sukriyadi, tanggal 15 Mei 2006, datang menemui kelompok petani di Paculgowang dan pertemuan dengan mereka dimulai dengan pengamatan langsung di lahan padi ‘tanam kedua’ (gadu atau walikan). Dalam pertemuan, kedua tamu itu menegaskan bahwa tanah di persawahan itu tampaknya terlalu asam, sehingga rentan terhadap hama sundep, sementara tanaman padinya sendiri kurang optimal hasilnya. Petani membenarkan kesimpulan itu, karena memang hasil padi mereka selama ini hanya mencapai paling banyak 4-5 ton per hektar, masih di bawah yang seharusnya 8 ton per hektar. Dalam pertemuan tersebut juga ditemukan teknologi pemupukan yang tidak imbang, petani mengeluarkan banyak biaya untuk pupuk tetapi tidak membuahkan hasil optimal. Mereka juga merasa tertipu oleh pengusaha tetes (limbah pabrik gula) yang mencampur tetes itu dengan urea agar bisa dibuang. Tetes memang termasuk limbah yang merusak tanah, tetapi petani tidak terlindungi dari bahaya ini. Tanaman padi yang diberi tetes memang mengalami ‘pertumbuhan cepat’, tetapi lama kelamaan tingkat kesuburan lahan semakin rendah, sehingga hasil panen pun semakin berkurang atau tidak pernah bisa lebih meningkat lagi. Ketua HKTI Jombang menyampaikan kepeduliannya untuk membantu petani Paculgowang itu menemukan jalan keluar dari permasalahan mereka. Dia mengatakan bahwa HKTI sudah memiliki 10 5 Fieldnote A-04. 6 Fieldnote A-05. 212

BABGAIGANIA-NI, -MII:eMmeanhcaombiaMBaesrabluaaht laboratorium pertanian mini di seluruh Jombang yang dapat dimanfaatkan oleh para petani.7 Sementara itu, Tim STAIN Ponorogo masih terus berusaha agar -- menjelang musim tanam padi berikutnya-- telah ada satu gerakan yang dipilih petani secara bersama-sama. Setelah Ketua HKTI menduga bahwa kadar PH tanah di lahan persawahan disana terlalu rendah, maka Tim STAIN mengajak para petani belajar sendiri mengukur derajat keasaman tanah itu. Tim pernah bermaksud meminjam PH- meter dari Dinas Pertanian, tetapi petugas disana mengatakan bahwa kantornya tidak memiliki alat tersebut. Ini sangat mengherankan, tiada lain menunjukkan bahwa mereka memang tidak peka, bahkan mungkin tidak sepenuhnya peduli, pada masalah-masalah pertanian dan petani dalam wilayah kerja mereka. Tak ada jalan lain, Tim STAIN kemudian belajar dan kemudian melatih petani di Paculgowang melakukan pengujian sendiri. Caranya adalah menggunakan teknologi tepat-guna, yakni metoda ‘kertas lakmus empat warna’. Hasil pengujiannya menunjukkan bahwa PH tanah di tempat itu berkisar antara 4 sampai 4,5 --memang jauh di bawah bakuan wajar (6 sampai 6,5). Mereka bertanya tindak lanjutnya, Tim STAIN mengajak mereka menanyakan hal itu kepada pakarnya yang akan diundang datang beberapa hari lagi.8 Atas dasar ini, para petani meminta pakar dari HKTI Jombang untuk datang lagi melatih mereka tentang berbagai teknik mengkaji keadaan tanah. Maka terselenggara lah satu forum diskusi dan pelatihan, tanggal 16 Agustus 2006. Terlebih dahulu, Ketua Tim STAIN mengingatkan petani yang hadir bahwa selama ini, menurut pakar pertanian, yang dilakukan petani adalah ‘hanya memupuk tanaman’, ‘bukan memupuk tanah’. Oleh karena itu, meskipun tanaman mereka kelihatan hijau dan subur, kondisi tanah semakin lama semakin kurus karena kehilangan gizi. Orang yang diutus oleh HKTI Jombang itu, Sudarmo (dari HKTI Ranting Perak), pertama-tama melakukan ‘koreksi’ terhadap pengujian derajat keasaman tanah oleh Tim STAIN dan petani sendiri. Pada tingkat kadar PH seperti yang mereka temukan, sebenarnya sawah di Paculgowang tidak terlalu asam, bahkan cenderung normal. Akan tetapi, kalau masalahnya adalah 7 Fieldnote A-10. 8 Fieldnote A-15, A-16. 213

GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial merosotnya produksi padi, bisa jadi memang keasaman tanah disana menjadi masalah pada musim penghujan. Tambahan lagi, kalaupun keasaman tanah tidak lagi menjadi masalah, masih banyak hal lain lagi yang mungkin merupakan masalah sesungguhnya, misalnya, tekstur tanah, tingkat kemampuan menahan air (KMA) tanah, dasar kapiler tanah, dan kadar udara di dalam tanah (aerasi tanah).9 Semua itu perlu ditangani jika ingin meningkatkan produktivitas sawah sekaligus melestarikan kesuburan tanah.10 Sambil memperlihatkan beberapa kemasan produk, Sudarmo mengatakan bahwa di desanya sendiri, ia mempelopori pembuatan bokashi (sejenis pupuk alami) dan pestisida nabati untuk dijual. Akan tetapi ia sebenarnya lebih bergembira kalau para petani membuatnya sendiri, dan ia selalu menyediakan diri untuk memberikan pelatihan pembuatan bokashi secara cuma-cuma. Alasannya, karena membeli akan menambah ongkos produksi pertanian, padahal bahan-bahan baku untuk membuatnya sebenarnya cukup tersedia di sekitar lingkungan petani sendiri: pupuk kandang, sampah organik, sekam, abu, dan sebagainya. Sangat sayang kalau semua bahan organik itu tidak dimanfaatkan. Ia mengatakan pula, bahwa mengusung pupuk kandang ke areal persawahan sebenarnya sudah merupakan kebiasaan nenek moyang dulu. Hanya saja petani zaman sekarang tidak lagi mengikuti nenek moyang, maunya praktis, sehingga akibatnya sekarang sudah bisa terlihat, pupuk kimia dan pestisida kimia telah membuat persawahan menjadi gersang.Ia lalu menjelaskan bahwa bahan baku pembuatan bokashi adalah pupuk kandang, dedak, sekam, abu sekam, kemudian dicampur dengan bahan organik bernama EM- 4. Bahan kimia itu tersedia di toko, tetapi para petani juga bisa membuatnya sendiri, dari bahan tetes dan perasan kotoran sapi yang baru. Pokok bahasan berikutnya adalah tentang ekologi tanah. Sekretaris HKTI Jombang, Sukriyadi, menyajikan pokok bahasan ini, menjelaskan bahwa istilah ‘ekologi’ berasal dari kata oikos dalam Bahasa Yunani yang berarti ‘rumah tangga’. Sukriyadi mengajak para petani Paculgowang itu berdiskusi tentang analogi ‘tanah’ dengan ‘rumah tangga’. Hadirin lalu mendapatkan kesimpulan bahwa seperti rumah tangga, unsur-unsur dalam tanah juga harus lengkap dan tetap 9 Fieldnote A-19 10 Fieldnote A-19 214

BABGAGIAINA-NI,-IMI:eMmeanhcaombai MBaesrbaulaaht selaras, seimbang, agar keadaan tanah bisa tetap produktif dan tenteram. Dari pengertian ini, Sukriyadi mengajak mereka memperdalam lima hal pokok: (1) tekstur tanah; (2) KMA (kemampuan menahan air) dari tanah; (3) aerasi (kandungan udara) dalam tanah; (4) kapilasi (daya serap air) tanah; dan (5) PH (derajat keasaman) tanah. Kelima hal itu bisa diuji sendiri oleh para petani dengan alat-alat yang sederhana --seperti botol bekas air mineral, kantong plastik, dan balon-- kecuali hal kelima (uji PH tanah) yang memang memerlukan alat yang belum bisa dibikin sendiri oleh para petani. Dalam setiap pengujian tanah, selalu perlu disediakan tiga contoh (sampel) jenis tanah: tanah kebun, tanah pekarangan, dan tanah sawah, agar tampak perbandingannya. Berdasarkan semua uraian itu, para petani Paculgowang kemudian melakukan praktik langsung pengujian tiga contoh jenis tanah yang telah disediakan. Yang pertama adalah uji tekstur tanah. Uji ini dimaksudkan untuk mengetahui kandungan humus tanah. Makin banyak kandungan humus tanah, makin baik. Ketiga sampel tanah dalam jumlah yang sama dimasukkan ke dalam tiga kantong plastik bening panjang, lalu diberi sejumlah air dalam jumlah yang sama. Ketiga campuran air dan tanah tersebut dibuntu dengan ikatan tali, lalu dikocok terus-menerus pelan-pelan agar tidak pecah. Setelah tampak betul-betul larut, ketiga plastik itu digantungkan sekurang- kurangnya 6 jam agar tanah mengendap, lalu dilihat pelapisannya. Di bawah lapisan air itulah unsur humus, sementara yang ada di bawahnya adalah unsur tanah liat dan terakhir adalah unsur pasir. Dalam waktu 4 jam telah kelihatan tampakannya: yang paling baik adalah tanah kebun, disusul tanah sawah, dan terakhir tanah pekarangan. Tanah kebun memiliki unsur humus terbanyak, karena memang mengandung humus yang berasal dari dedaunan pohon yang tumbuh disana. Sementara tanah pekarangan selalu dibersihkan atau disapu sehingga tidak pernah mendapatkan tambahan unsur humus. Sementara itu, tanah sawah berada di antara keduanya. Narasumber mengatakan, petani harus berjuang agar tekstur tanah sawah sama dengan tekstur tanah kebun, yakni dengan cara menambahkan unsur humus sebanyak-banyaknya ke sawah. Tekstur tanah yang bagus akan memungkinkan perkembangan akar secara optimal, sehingga meningkatkan daya serap tumbuhan terhadap unsur mineral dan hara yang ada di dalam tanah. Pengujian KMA tanah dilakukan dengan alat satu botol air mineral ukuran besar. Botol itu dipotong di tengahnya menjadi dua bagian. 215

GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial Leher botol itu ditutup dengan kain kasa dan diplester rapat-rapat di pinggirnya. Tiga contoh jenis tanah yang akan diuji harus diayak dulu dengan saringan pasir halus, kemudian --dalam jumlah yang sama banyaknya-- dimasukkan ke dalam tiga potongan botol air minuman yang ada tutup kain kasanya, dalam posisi terbalik (bagian mulut botol ke bawah), lalu dimasukkan ke dalam potongan botol tadi. Air dalam jumlah yang sama dimasukkan ke dalam tiga botol air mineral itu dalam waktu yang sama pula. Tanah yang baik adalah tanah yang bisa menahan air lebih lama dengan bukti tidak cepat habis menetes ke bawah. Ditemukan bahwa yang paling baik adalah tanah persawahan, lalu tanah pekarangan, lalu tanah kebun. Tanah sawah menahan air lebih lama. Ini artinya, tanah sawah mungkin tidak memiliki masalah KMA. Akan tetapi antara petak sawah tertentu dan petak sawah yang lain bisa berbeda. Unsur humus akan bisa memperbaiki KMA. Daya KMA yang baik akan menjamin tanah tidak cepat kehilangan air yang masuk, sehingga kelembaban tanah tetap terjaga. Pengujian aerasi tanah dilakukan dengan alat yang sama, tetapi dengan rancang-bangun berbeda. Tiga botol air mineral ukuran sedang dilubangi kecil-kecil di dasarnya, lalu diisi dengan tiga contoh jenis tanah yang telah diayak dalam jumlah yang sama pula. Ketiga botol yang telah diisi tanah tersebut dicelupkan, dengan leher di bagian atas, ke dalam tiga rantang yang berisi air dalam jumlah yang sama pula. Tiga buah balon yang telah ditiup dalam volume yang sama kemudian disiapkan dan dipasang pada leher botol. Ketiga balon tadi dilepaskan dalam waktu yang sama, balon yang lebih cepat mengempis menunjukkan tanah yang lebih cepat dilalui udara, dan itulah yang terbaik. Ditemukan bahwa yang terbaik adalah tanah persawahan, lalu tanah kebun, baru kemudian tanah pekarangan. Antara satu petak lahan sawah dengan petak sawah lainnya juga bisa dibandingkan dengan cara yang sama. Aerasi bisa diperbaiki dengan sering membalik tanah dan menghancurkannya sampai halus. Pekerjaan ini sudah tidak begitu banyak dilakukan petani sekarang. Aerasi tanah yang baik mengakibatkan tersedianya udara yang cukup di dalam tanah dan hal ini akan memperbaiki proses metabolisme dalam tubuh tumbuhan sehingga mampu berkembang secara optimal. Uji kapilasi tanah dilakukan dengan botol air mineral yang berlubang- lubang kecil tadi. Tiga contoh jenis tanah --yang telah diayak dalam jumlah yang sama-- dimasukkan ke dalam tiga botol air mineral lalu 216

BABGAGIAINA-NI,-IMI:eMmeanhcaombai MBaesrbaulaaht dicelupkan, juga dengan leher botol di bagian atas, ke dalam air rantang yang sama jumlahnya. Air akan meresap ke atas pelan-pelan. Tanah yang mampu menyerap air ebih cepat adalah tanah yang terbaik. Hasilnya, tanah kebun yang berhumus menyerap air tercepat, disusul tanah sawah, dan terakhir adalah tanah pekarangan yang ternyata lebih kedap air. Penambahan unsur humus ke dalam tanah bisa meningkatkan daya serap air. Daya serap yang baik terhadap air akan menyebabkan penghematan air, karena air tidak lewat begitu saja, tetapi diserap dengan baik oleh tanah. Setelah melakkan semua praktik itu, para petani Paculgowang menyimpulkan sendiri bahwa penambahan unsur humus ke dalam tanah adalah tindakan yang terpenting, karena akan memperbaiki tekstur, daya KMA, kandungan udara, dan daya serap tanah terhadap air. Semua unsur itu sangat mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan, dan kesehatan tanaman. Satu pengujian lagi tersia, yakni uji PH tanah. Berbeda dengan pengujian tanggal 2 dan 3 Agustus 2006 yang dilakukan sendiri oleh para petani dengan metode kertas lakmus, kali ini pengujian dilakukan dengan PH-meter dan medium air sumur. Seperti telah disampaikan tadi, hasil pengujian tanggal 2 dan 3 Agustus 2006 menunjukkan hasil antara 4 sampai 4,5 (sangat kurang). Ternyata, hasil pengujian kali ini dengan PH-meter menunjukkan angka normal 6 sampai 7. Perbedaan ini segera dipertanyakan oleh para petani. Sukriyadi menjelaskan bahwa hasil pengujian tergantung kepada campuran airnya. Kalau airnya jernih, cenderung normal. Kalau keruh, cenderung asam. Sukriyadi mengatakan bahwa PH tanah tidak bisa diketahui secara pasti, hanya kira-kira saja. Musim penghujan akan memberikan hasil berbeda dari musim kemarau. Yang paling tepat adalah langsung saja ke lokasi sawah dengan tanah dan air yang lagi ada di sawah. Para petani pun berbondong menuju sawah membawa PH-meter. Pengujian di lakukan pada lima titik dan sawah yang berbeda. Hasilnya: nyaris sama semua, sekitar 6 sampai 7. Artinya, derajat keasaman tanah lahan-lahan sawah mereka sebenarnya wajar (normal). Tetapi, para petani Paculgowang itu tetap dan tambah penasaran. Mereka bertanya: “Kalau PH tanah normal, mengapa hasil panen tidak bisa bagus?”. Sukriyadi menegaskan lagi bahwa PH tanah bukan satu-satunya faktor, tetapi banyak faktor lain seperti yang telah diperbincangkan tadi. 217

GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial Acara terakhir pelatihan adalah praktek pembuatan bokashi. Pupuk kandang, sekam, dedak, dan arang sekam dengan takaran tertentu, semuanya dicampurkan, lalu disiram dengan larutan EM-4 dengan takaran tertentu pula, diaduk rata, lalu disiram air sedikit-sedikit sambil terus diaduk hingga rata dan lembab, tetapi tidak basah. Adukan ini selanjutnya diperam dalam terpal plastik dan dibiarkan selama seminggu. Setiap dua hari dibalik, sampai tidak mengeluarkan suhu panas lagi. Artinya, proses fermentasi telah rampung, dan bokashi siap digunakan. Ketika acara tanya-jawab mulai berlangsung makin bersemangat, Ketua Tim STAIN sengaja menghentikannya, dan meminta Sukriyadi tidak melanjutkan dengan menambah lagi penjelasan tentang SRI (System of Rice Intensification), suatu cara untuk meningkatkan produktivitas tanaman padi. Ketua Tim STAIN menyarankan pokok bahasan itu dapat dibahas pada kesempatan lain berikutnya. Pelajaran sebelumnya sudah cukup banyak dan, yang terpenting, sebenarnya adalah bagaimana agar semua ‘pengetahuan baru’ bagi para petani Paculgowang itu benar-benar mereka amalkan menjadi satu ‘gerakan bersama’. Ketua Tim memperingatkan kepada para petani itu pengalaman mereka sebelumnya, yakni ketika mulai menimbun pupuk kandang. Pupuk alam itu tinggal diambil secara cuma-cuma, tetapi masih banyak di antara mereka tidak mau melakukannya. Sukriyadi balik bertanya kepada para petani itu: “Apa hal itu benar?”. Sebagian petani mengiyakan. Sukriyadi lalu menanyakan alasannya. Para petani menjawab, tidak tahan bau, gatal, menyebabkan rumput tumbuh subur; sementara beberapa orang mengatakan hanya enggan saja. Sukriyadi mengatakan dengan teknologi bokashi, banyak halangan itu bisa diatasi. Bokashi adalah proses fermentasi yang menghilangkan bau pupuk kandang dan bakteri merugikan yang menyebabkan gatal. Bibit rumput yang ada di dalamnya juga mati sehingga tidak akan tumbuh. “Soalnya, ya, kalau enggan itu. Kalau enggan, ya mau bagaimana lagi. Tetapi patut saya ingatkan, saya pernah membawa tanah sawah di Jombang ini ke laboratorium di Jakarta untuk diukur kadar kandungan unsur organiknya. Ternyata hasilnya hanya 1,5% saja, padahal mestinya harus 5%. Kalau Bapak-bapak tidak mau mengembalikan kondisi tanah seperti dulu, maka, ya... tunggu saja akibatnya 10 tahun lagi”. Salah seorang petani masih mencoba berdalih, mengatakan bahwa kalau hasilnya bagus, pasti petani ikut tanpa perlu disuruh-suruh lagi. 218

BABGAIGAINA-NI,-MII:eMmeanhcaombai MBaesrbaulaaht Sukriyadi bertanya: “Bagaimana hasil menaburkan pupuk kandang tahun yang lalu itu?”. Petani menjawab hasilnya bagus. Sukriyadi menyergah, “Lha, itu sudah tahu hasilnya, kenapa tetap ada yang tidak mau?”. Para petani tersenyum-senyum. Kata mereka: “Para petani sudah lama rugi, karena biaya produksi semakin mahal, karena petani makin bergantung pada pupuk dan pestisida kimia, sementara produknya tidak meningkat harganya. Kalau kita tidak melakukan terobosan, ya makin miskinlah kita.11 Selain makin banyak tahu soal-soal teknis, para petani Paculgowang juga mulai pula trampil dan berani mengungkapkan persoalan- persoalan bukan teknis, menyangkut organisasi, persepakatan, dan mekanisme kerja. Ketua Tim STAIN diingatkan oleh para petani itu pada kesepakatan sebelumnya untuk menyediakan mesin pompa air, untuk menanggulangi kekurangan air di sawah-sawah di bagian barat dusun. Mereka katakan bahwa persoalan sering timbul, terutama hama, ketika kegiatan menanam tidak serentak. Ketidakserentakan itu disebabkan oleh ketidak serentakan petani mendapatkan air untuk menyemaikan benih. Jika mereka bisa menanam serentak, karena ada pertolongan air dari mesin pompa, maka serangan hama bisa ditekan pengaruhnya. Artinya, siklus hama bisa diputus dengan serempak, dan tidak ada lahan dengan tanaman yang menyendiri yang bisa dirusak dengan parah oleh hama. Di samping itu, jika para petani memiliki pompa air mereka sendiri, biaya pengairan di musim kemarau akan bisa ditekan.12 Tim STAIN kemudian mengajak mereka bermusyawarah mengenai pompa air itu. Mereka menyepakati merk pompa dan cara pengelolaannya, termasuk ketentuan penggunaannya oleh petani, juga keuntungan finansial yang akan didapatkan dari mesin tersebut. Tim menyerahkan uang Rp 5.000.000 untuk dibelikan pompa air. Biaya sewa penggunaannya disepakati adalah Rp 30.000 per 100 ru lahan. Jumlah ini dibagi-bagi: untuk operator mesin Rp 15.000; pemeliharaan mesin Rp 5.000; kas petani Rp 5.000; dan Rp 5.000 sisanya merupakan sumbangan untuk kepentingan umum, termasuk untuk masjid dan madrasah.13 11 Fieldnote A-19. 12 Fieldnote A-08, A-09 13 Fieldnote A-09 dan A-11. 219

GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial Bahkan, suatu ‘kesadaran dan prilaku politik’ yang lebih terbuka mulai terbentuk di kalangan petani Paculgowang itu. Di tengah pembahasan mengenai soal pengairan ini, mereka menyampaikan kritikan kepada para pemilik sawah yang tidak mempedulikan pematang sawah mereka yang berdampingan dengan saluran air. Pematang itu mereka biarkan hancur, sehingga saluran air itu bocor di mana-mana, menyebabkan air tidak sampai dengan semestinya pada sawah-sawah di bagian hilir. Para petani juga mengecam terbuka ketidakpedulian petugas pengairan (Kuwowo) yang memperparah keadaan dengan tidak membersihkan saluran air itu dari berbagai macam faktor penghambat seperti sampah, tumbuhan, dan sisa-sisa tanah bendungan. Kecaman- kecaman keras yang sekarang mereka sampaikan secara terang- terangan itu, akhirnya membuat sang Kuwowo berjanji akan melakukan perbaikan kinerjanya. Kamituwo (Kepala Dusun) juga dikritik karena tidak peduli dengan persoalan petani, khususnya dalam masalah saluran pengairan itu juga. Sang Kamituwo menerima kritik itu, membenarkannya, tapi tidak berjanji apapun seperti sang Kuwowo.14 Beberapa waktu kemudian, mereka akhirnya mendesak pergantian Ihsan (sang Kuwowo) yang ternyata tidak membaik kinerjanya. Mereka sepakat memilih Abdul Malik sebagai pengganti Ihsan, dan mereka terus melakukan pemantauan pada kinerja sang Kuwowo baru itu, antara lain, dengan cara bertanya kepada beberapa orang petani. Nampaknya memang ada perubahan dan perbaikan, karena sampai sekarang mereka belum pernah lagi mengajukan keluhan soal pengairan atau kritik kepada Abdul Malik. Awal dari Langkah Sesungguhnya Seluruh proses yang berlangsung di Paculgowang itu masih tetap berlangsung sampai sekarang. Tim STAIN Ponorogo juga masih tetap berkunjung kesana dan melakukan pertemuan berkala tetap dengan para petani. Mereka kini telah mewujudkan dua gagasan di awal proses ini dua tahun lalu, yakni tentang perlunya berorganisasi serta perlunya meningkatkan terus pengetahuan dan ketrampilan bertani mereka. Mereka telah memulai satu bentuk gerakan sosial petani, yakni ‘gerakan kembali ke alam’, menciptakan sinergi antara mereka, sebagai petani, dengan para peternak setempat. Mereka mengembalikan residu 14 Fieldnote A-07 220

BABGAIGANIA-NI, -MII:eMmeanhcaombiaMBaesrabluaaht tanaman padi dan jagung kembali ke lahan sawah-sawah mereka dengan menaburkan pupuk kandang, sementara para peternak mengambil residu itu --yang selama ini cuma dibakar saja-- sebagai pakan ternak-ternak mereka yang menghasilkan kotoran yang, pada gilirannya, diambil lagi sebagai pupuk kandang oleh para petani itu. Suatu daur hayati yang lengkap mulai terbentuk kembali dan ‘gerakan sosial’, sebenarnya, juga membutuhkan sifat organik semacam itu. Para petani jama’ah Masjid al-Alawi Paculgowang itu tidak hanya belajar soal-soal teknis pertanian dan ekosistem mikro lahan-lahan pertanian mereka. Seluruh proses yang mereka jalani telah memunculkan, paling tidak, tiga kesadaran struktural di kalangan mereka: „ Pertama; ‘kesadaran budaya’, yakni kemampuan untuk mulai memproduksi penegtahuan dan nilai-nilai mereka sendiri. Beberapa pertanda (indikator) pentingnya, antara lain: (1) kesepakatan dan kesepahaman mereka bahwa sudah sepatutnya Takmir Masjid menangani aspek ‘duniawi’ jama’ahnya; (2) pengertian bahwa tawakkal tidak bertentangan dengan usaha atau kerja keras untuk memperbaiki taraf dan mutu kehidupan mereka; dan (3) kesadaran baru bahwa budaya bertani juga memerlukan langkah-langkah dan tindakan yang efisien. „ Kedua; ‘kesadaran politik’, yakni kemampuan untuk mulai melihat bahwa para pejabat publik sebenarnya adalah ‘pelaksana fungsi atau peran’ yang diamanahkan kepadanya, bukan ‘pemegang kuasa’. Mereka telah tiba pada pengertian dasar bahwa seharusnya para petugas dinas pemerintah --seperti Dinas Pertanian Kabupaten-- dan Pamong Desa lebih berperan dan lebih berpihak pada mereka, mayoritas warga negara di lapisan akar-rumput. Beberapa pertanda penting dari tumbuhnya kesadaran politik ini, antara lain: (1) munculnya tuntutan mereka akan ‘hak pengairan’; (2) munculnya kritik mereka terhadap kinerja aparat pemerintahan desa dan Dinas Pertanian; dan (3) munculnya keluhan mereka tentang kemerosotan nilai tukar produk petani berhadapan dengan dunia pabrikan. „ Ketiga; ‘kesadaran ekonomi’, yakni kemampuan untuk mulai melihat celah melepaskan diri dari ketergantungan kepada asupan luar (external inputs) produk pertanian yang, pada ujungnya, sebenarnya semakin memiskinkan mereka saja. Mereka bahkan telah melakukan serangkaian tindakan nyata membuat sendiri asupan organik yang semakin memperkedil aliran keluar penghasilan (surplus outflow) mereka selama ini. Pertanda utamanya: (1) kesediaan untuk mulai 221

GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial menggunakan pupuk kandang yang kini mencapai luasan sekitar 6 hektar sawah; dan (2) kesungguhan mereka untuk benar-benar menerapkan pengetahuan dan ketrampilan baru membuat pupuk mikro yang langsung mereka terapkan pada tanaman padi dan kacang- kacangan. Seluruh proses itu telah menghasilkan banyak pengalaman dan pelajaran penting bagi mereka, juga bagi Tim Jurusan Syari’ah STAIN Ponorogo sendiri. Penerapan kaidah-kaidah asas metodologi dan proses PAR membutikan bahwa peranserta murni (genuine participation) dari para petani memang dapat ditumbuhkan dengan cara-cara yang lebih didasarkan pada kesetaraan, keterbukaan, dan penghargaan pada martabat kemanusiaan. Membangun kerjasama antara berbagai pihak (lembaga keagamaan, kalangan perguruan tinggi, dinas-dinas pemerintah, organisasi-organisasi non pemerintah, dan lain-lain) sesuai dengan peran dan kapasitasnya masing-masing, sangat penting dan berguna untuk menciptakan suatu ‘rangsangan pendorong’ kepada warga masyarakat mendinamisasikan diri mereka sendiri. Pada tataran metodologis ini, Tim STAIN Ponorogo juga belajar merangkum keseluruhan proses itu menjadi suatu kerangka kerja yang terbagi pada beberapa tahapan. Tahap yang dicapai oleh para petani Paculgowang itu kini adalah tahap ke-4 dari 5 tahap penumbuhan gerakan dan perubahan sosial dari bawah. Tahap ini adalah tahap dimana warga masyarakat sendiri mulai mencapai kemampuan melakukan kerja bersama dan mengorganisir diri secara lebih sistematis; kemampuan memproduksi pengetahuan mereka sendiri; kemampuan mengakses informasi dan pelayanan umum; serta kemampuan mencapai kesadaran kritis atas berbagai kebijakan publik. Semua itulah yang sangat dibutuhkan untuk melangkah ke tahap berikutnya, tahap yang sesungguhnya, yakni memberi sumbangsih langsung pada proses-proses penciptaan tatanan yang lebih adil, paling tidak, dalam lingkup kehidupan mereka sendiri dan masyarakat sekitarnya. Dan, semua itu dimungkinkan oleh satu tindakan awal yang sangat menentukan oleh Pengurus Takmir Masjid al-Alawi. Singkatnya, kesediaan dan prakarsa pengelola masjid itulah yang memungkinkan para petani jama’ah mereka memiliki kesempatan untuk belajar dan bergerak maju. Mereka telah mengembalikan salah satu peran mendasar dan strategis --yakni ‘peran sosial’-- dari masjid yang pernah terabaikan sekian lama. ™ 222

BAGIAN-I, Memahami Masalah KEMBALINYA 8 SURAU KAMI Masjid Raya Lantai Batu Menanggapi Kebijakan Otonomi Daerah IZA HANIFUDDIN * Hampir tidak ada satu pun orang Minangkabau yang tidak mengenal —paling tidak pernah mendengar, jika tidak pernah membaca— karya A.A.Navis, Robohnya Surau Kami. Judul buku itu cepat dan segera menancap dalam benak mereka, karena surau —sebutan khas Melayu- Minang tentang masjid atau mushallah yang berfungsi serbaguna— memang bukan hanya tempat melaksanakan ibadah sembahyang saja. Di surau lah, anak-anak –terutama anak lelaki— Minangkabau bertumbuh dewasa: mengaji kitab suci, belajar tentang ajaran dan hukum agama, membaca buku-buku ilmu pengetahuan umum, berdiskusi dan berdebat tentang perkara apa saja, sebelum akhirnya mereka menjadi orang dewasa, bekerja, atau pergi ‘merantau’ (mencari tambahan ilmu, pengalaman, dan juga sumber penghidupan baru) ke daerah lain. Selama di rantau, mereka tetap menyisihkan sebagian dari penghasilan mereka untuk dikirim kembali ke kampung asal, antara lain, membantu pendanaan pembangunan dan penyelenggaraan *Anggota Tim PAR, STAIN Batusangkar. Tulisan ini diringkas dari laporan lengkapnya yang ditulis bersama semua anggota tim (Eficendra, Sukri Iska, M. Faziz, Rizal, dan Desmita). 223

GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial surau. Banyak perantau Minang itu, pada masa tuanya, akhirnya juga kembali ke kampung asal mereka dan segera menjadi pengurus, penggerak, dan pengembang kegiatan surau kampung-kampung mereka. Jauh sebelum lembaga pendidikan formal (sekolah) dikenal di daerah ini, surau memang sudah merupakan ‘sekolah’ nya orang Minang. Semua nama-nama besar —mulai dari tokoh agama dan ulama seperti Imam Bonjol, Syekh Ahmad Khatib, Haji Miskin, Buya Hamka, Mahmud Yunus; sastrawan dan budayawan setaraf Sutan Takdir Alisyahbana, Chairil Anwar, Asrul Sani, dan A.A.Navis sendiri; sampai ke pemimpin gerakan sosial semacam Mohammad Syafe’i, Ibrahim Musa Parabek, Rahmah el-Yunusiah; atau tokoh -tokoh pergerakan politik nasional sekelas Mohammad Hatta, Agus Salim, Mohammad Natsir, juga Sutan Syahrir dan, bahkan, salah satu ‘legenda Komintern’ (Komunis Internasional), Tan Malaka— dapat dipastikan adalah hasil didikan surau di kampung mereka masing-masing. Singkatnya, surau lah sebenarnya yang pernah menjadi lembaga pendidikan dan pengembangan keilmuan terpenting dalam sejarah Minangkabau. Sampai pada taraf tertentu, surau juga merupakan wadah yang mempertemukan semua aspek dan sisi kehidupan orang Minang. Di surau-surau itulah mereka melaksanakan ibadah keagamaan sekaligus memperbincangkan berbagai urusan hidup sehari-hari serta penyelenggaraan kehidupan komunal mereka. Seorang pakar sosiologi yang mengajar di satu perguruan tinggi di Kota Batusangkar, tegas-tegas mengatakan bahwa surau adalah ‘basis sosial’ ke-Minangkabau-an itu sendiri. “Tanpa surau”, katanya, “sebenarnya tak akan ada juga yang namanya Minangkabau”. Tetapi, seperti yang dikiaskan dengan indah oleh Navis itu, kejayaan atau peran penting surau di Minangkabau mulai memudar, paling tidak sejak pertengahan abad-20. Beberapa nama besar yang disebutkan di atas mungkin adalah generasi terakhir yang pernah menikmati sepenuhnya proses-proses pertumbuhan awal mereka yang sangat menentukan (formative age) —paling tidak sejak kanak-kanak sampai masa remaja— mereka di surau. Seperti juga daerah-daerah lain di Indonesia, kebijakan ‘politik balas-budi’ (etischepolitiek) pemerintahan penjajahan Belanda –yang efektif sejak awal abad-20— telah memperkenalkan lembaga-lembaga sosialisasi baru dalam bentuk sekolah-sekolah modern dan liberal sampai ke pedalaman Ranah Minang. Sejak saat itu, surau mulai ‘tergusur ke pinggir’. Dan, ‘penggusuran’ itu menjadi benar-benar lengkap dan sempurna ketika 224

BABGAIGANIA-NI, -MII:eMmeanhcaombiaMBaesrabluaaht PETA-8.1: Letak Lantai Batu, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat INDONESIA PULAU SUMATERA SEBAGIAN WILAYAH PROPINSI SUMATERA BARAT BATUSANGKAR LANTAI BATU DANAU SINGKARAK PADANG rezim otoriter Oder Baru (1966-1998) memberlakukan kebijakan baru sistem pemerintahan daerah, terutama melalui Undang-undang (UU) Nomor 5/1969 tentang Desa Swparaja yang kemudian dipertegas dan lebih diperketat dengan UU Nomor 5/1979 tentang Pemerintahan Desa. Di antara banyak sekali dampak kerusakan parah yang diakibatkan oleh kebijakan tersebut, yang paling mendasar merombak keseluruhan tatanan sistem tradisional lokal adalah penyeragaman bentuk dan susunan pemerintahan sampai ke tingkat terbawah dan satuan terkecil, 225

GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial yakni: desa. Di Sumatera Barat, itu berarti perubahan mendasar dan besar-besaran sistem kemasyarakatan dan pemerintahan lokal tradisional Minang yang otonom —yakni: nagari— menjadi desa-desa administratif modern yang serba terpusat dan monolitik. Beberapa nagari disatukan menjadi satu desa atau, sebaliknya, malah dipecah- pecah menjadi beberapa desa baru yang terpisah secara sosial-politik, meskipun secara geografis masih tetap di tempat yang sama. Akibatnya, keutuhan dan keterpaduan sistem-sistem tradisional lokal pun terpecah-pecah dan cerai-berai. Yang paling penting, mereka tidak lagi memiliki otonomi penuh untuk mengatur diri sendiri, semuanya diputuskan dan ditentukan dari pusat kekuasaan politik tertinggi di ibukota negara, Jakarta. Hilangnya otonomi lokal nagari dengan serta-merta pula mempengaruhi keberadaan dan peran surau, karena surau memang adalah bagian tak terpisahkan dari keseluruhan tatanan sosial-politik, ekonomi, dan budaya yang terangkum dalam satu kesatuan nagari. Kedudukan dan peran tradisionalnya sebagai lembaga pendidikan dan keilmuan bagi warganya, telah diambil-alih oleh sekolah-sekolah modern. Lama kelamaan, nama surau pun semakin jarang dipakai, digantikan dengan ‘masjid’ atau ‘mushallah’. Dan, itu pula yang terjadi dan dialami oleh satu surau tua di tengah Kota Batusangkar. Dari Surau ke Masjid Pada tahun 1890, beberapa kaum (suku) di Nagari Baringin, bersepakat mendirikan satu surau bersama di Jorong Lantai Batu. Secara tradisional, setiap kaum punya surau nya masing-masing. Kesepakatan beberapa kaum Nagari Baringin itu adalah wujud dari keinginan mereka untuk memiliki satu surau yang lebih besar dimana berbagai kaum yang ada disana bisa berjama’ah bersama-sama. Letaknya yang strategis di dekat pasar di tengah kota Batusangkar – kota tua di dataran tinggi bagian tengah Sumatera Barat, yang pernah menjadi pusat pemerintahan kerajaan abad-14, dan sekarang menjadi ibukota Kabupaten Tanah Datar— membuat surau itu menjadi semacam simpul pertemuan antara berbagai kalangan, bukan hanya antar warga kaum Nagari Baringin saja. Pertemuan-pertemuan itu juga membawa arus informasi dan pengetahuan baru, membuat jama’ah surau itu menjadi lebih terbuka wawasan dan pandangannya melihat dunia luar. Pada tahun 1918, misalnya, jama’ah surau itu mengagetkan banyak warga muslim lainnya disana ketika mereka memperbolehkan untuk pertama kalinya penyampaian khutbah Jum’at dalam bahasa 226

BABGAIGANIA-NI, -MII:eMmeanhcaombiaMBaesrabluaaht Indonesia (sebelumnya selalu dan dianggap wajib harus dengan bahasa Arab). Pengkhutbahnya adalah Thaib Umar, guru dari pakar pendidikan Islam, Mahmud Yunus. Lama kelamaan, Surau Lantai Batu itupun benar-benar mewujud sebagai ‘surau besar’ yang secara fisik pun semakin membesar ukurannya. Penambahan luas dan perbaikan dilakukan terus-menerus sejak perbaikan pertama pada tahun 1926, sampai akhirnya berwujud seperti yang tampak saat ini: satu bangunan besar, luas, dan megah, bergaya arsitektur modern. Namanya pun resmi menjadi ‘Masjid Raya Lantai Batu’. Dan, benar-benar menjadi ‘masjid’, bukan ‘surau’ lagi. Tak ada lagi kegiatan khas surau pada masa lalu, seperti pengkajian kitab- kitab atau pasambahan (pidato, diskusi, dialog, bahkan debat) tentang suatu topik atau tema tertentu –termasuk masalah-masalah ‘duniawi’. Jama’ah tetapnya –warga sekitar yang sebagian besar bermata pencaharian sebagai pedagang di pasar dekat masjid itu dan tempat- tempat lain di berbagai penjuru kota— hanya datang kesana pada waktu shalat jama’ah. Sesudah itu, mereka bubar kembali ke rumah atau tempat kerja masing-masing. Sebelum dan sesudah shalat, biasanya memang terjadi perbincangan antar mereka, tetapi umumnya hanyalah merupakan tegur-sapa biasa saja. Memang ada acara pengajian berkala sekali seminggu, tetapi ternyata juga lebih banyak merupakan kegiatan membaca wirid bersama-sama, tanpa diskusi dan pembahasan apapun. Satu-satunya kegiatan bukan ritual di masjid ini adalah penyelenggaraan pelajaran membaca Al-Qu’ran untuk anak- anak (Taman Pendidikan Al-Qur;an, TPA) dan Taman Kanak-kanak (TK). Itupun sangat terkesan diselenggarakan secara seadanya saja. Padahal, ada banyak hal yang sangat mungkin dilakukan oleh para pengurus masjid itu. Yang nampak kasat mata saja adalah lahan pekarangannya yang luas. Berbagai kegiatan sosial dan budaya, temasuk menghidupkan kembali yang khas surau —seperti randai (pelatihan dan pertunjukan seni tradisional), atau perguruan pencak- silat— yang sangat mungkin diselenggarakan disana. Juga letaknya yang strategis dekat pasar dalam kota. Ada banyak anak-anak dan remaja setiap hari berkeliaran tanpa kegiatan yang jelas di kawasan sekitar pasar. Masjid bisa saja menyelenggarakan kegiatan-kegiatan rekreatif yang akan menarik minat mereka. Warga jama’ahnya yang sebagian besar adalah kaum saudagar Minang yang terkenal ulet dan pandai berdagang itu, merupakan potensi besar lainnya. Sanak kerabat mereka dirantau sangat mungkin diminta membantu mengirimkan buku-buku, misalnya, selain sumbangan dana pembangunan dan 227

GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial perbaikan prasarana dan sarana fisik masjid seperti yang sudah mereka lakukan selama ini. Adakah semua itu tak terpikirkan oleh pengurus dan pengelola —juga waga jama’ah— Masjid Raya Lantai Batu? Mengapa? Apakah masih tersisa dalam ingatan kolektif mereka tentang surau-surau yang semarak di masa lalu dan sedemikian berpengaruh dalam keseluruhan hidup perkauman orang Minangkabau? Masihkan mereka memiliki hasrat untuk melihat kembali tatanan sistem tradisional mereka itu menggeliat hidup kembali? Apa sebenarnya yang mereka fahami sekarang tentang makna surau? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang menjadi ‘titik masuk’ Tim STAIN Batusangkar memulai serangkaian proses dialog dan diskusi dengan takmir serta jama’ah Masjid Raya Lantai Batu. Dari serangkaian perbincangan awal yang sangat informal, jawaban-jawaban mereka cukup mengejutkan. Ternyata, mereka memahami surau dalam beragam pengertian. Warga jama’ah awam umumnya memahami surau dengan pengertian yang sangat sederhana pula. Misalnya, mereka mengartikan surau sebagai tempat melaksanakan ibadah shalat yang bangunan fisiknya lebih kecil dari masjid, dan biasanya tidak dipakai untuk shalat Jum’at. Mirip pengertian ‘mushalla’, atau ‘langgar’ seperti di Jawa. Kalangan tetua dan sesepuh memaknai surau sedikit lebih susbstansial. Sesuai dengan pengalaman mereka sendiri – yang masih sempat mengecap kehadiran dan suasana surau ketika mereka masih kanak-kanak dan remaja— mereka umumnya memahami surau sebagai tempat ibadah dimana orang lelaki Minang menginap pada malam hari sambil mengaji Al-Qur’an, membaca kitab-kitab agama, membahas masalah-masalah keagamaan dan juga adat, selain berbincang tentang berbagai hal. Beberapa orang pesilat tradisional bahkan tegas-tegas menyatakan surau sama sekali tak bisa disamakan dengan masjid. Bagi mereka, surau adalah pusat berbagai kegiatan warga, sementara masjid memang hanya untuk tempat beribadat saja. Meskipun terdapat keragaman pendapat tersebut, namun mereka semua ternyata punya kesamaan dalam satu hal: sangat ingin melihat surau-surau tradisional Minangkabau itu bangkit dan semarak kembali seperti di masa lalu! Sebagian besar memang beralasan romantisme sejarah, tetapi beberapa orang punya alasan aktual: pemberlakuan kebijakan baru otonomi daerah melakui UU No.22/1999 –yang kemudian diamandemen dengan UU No.32/2004. Dalam UU tersebut, bentuk 228

BABGAIGAINA-NI,-MII:eMmeanhcaombai MBaesrbaulaaht dan susunan pemerintahan lokal, khususnya pada tingkat desa, dikembalikan kepada ‘hak asal usul’. Di Sumatera Barat, itu berarti kembali ke konsep dan sistem nagari. Pemerintah daerah Propinsi Sumatera Barat segera tanggap. Keluarlah Peraturan Daerah (PERDA) No.9/2000 tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari. Pada tingkat kabupaten, pemerintah daerah Kabupaten Tanah Datar kemudian mengeluarkan PERDA No.17/2001 tentang Pemerintahan Nagari. Maka, dalam waktu nisbi singkat, lembaga nagari khas Minangkabau itu kembali tampil. Kerapatan Adat Nagari (KAN) segera terbentuk dimana-mana. Meskipun tidak sepenuhnya lagi persis sama seperti wujud nagari di masa lalu –terjadi berbagai penyesuaian sesuai dengan keadaannya yang sekarang— namun masyarakat Minangkabau sangat bersemangat menyambut dan menerapkan kebijakan baru otonomi daerah tersebut. Boleh dikata, Sumatera Barat merupakan salah satu propinsi yang paling cepat menanggapi dan melaksanakannya dibanding banyak propinsi lain di Indonesia. Bahkan PERDA No.9/2000 melangkah lebih jauh dengan merinci lebih dari 60 jenis kewenangan –mulai dari penentuan batas wilayah hukum, pengaturan tata kelola pemerintahan, sampai ke pengaturan penguasaan sumberdaya alam dan sumber-sumber pendapatan lokal— ‘dikembalikan lagi’ kepada nagari. Singkatnya, nagari kembali dakui dan memiliki hampir semua kekuasaan otonom nya seperti sediakala. Lalu, bagaimana dengan surau? Inilah salah satu pertanyaan yang mengemuka –dan menjadi bahan perbincangan utama— di kalangan pengurus dan warga jama’ah Masjid Raya Lantai Batu. Jika nagari ‘telah kembali’ ke Ranah Minang, mengapa surau tidak? Bukankah nagari dan surau adalah satu kesatuan yang tak terpisah? Mewujudkan Gagasan Bersama Jama’ah Gagasan untuk ‘kembali ke surau’ –atau, lebih tepatnya: ‘menghidupkan kembali surau’— ternyata menghadapi beberapa persoalan yang tidak sederhana. Di Masjid Raya Lantai Batu, perbincangan gagasan itu menghadapi kendala serupa. Meskipun ini masjid menurut sejarah asal-usulnya adalah ‘masjid nagari’, tapi perangkat nagari —bahkan wali nagari nya sendiri— sering tidak hadir berjamaa’ah di masjid. Meskipun mereka selalu menyatakan dukungannya secara lisan, namun para pemuka adat Nagari Baringin itu sangat sering tidak hadir memenuhi undangan untuk membahas gagasan tersebut. Beberapa kali terjadi benturan pendapat tentang 229

GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial konsep surau yang mereka kehendaki. Sebagian dari mereka malah berpendapat bahwa gagasan surau yang perlu dihidupkan kembali itu adalah suatu tempat lain yang tidak jauh dari Masjid Raya Lantai Batu sebagai basisnya, bukan Masjid Raya Lantai itu sendiri. Dengan kata lain, mereka menganggap masjid yang ada sekarang bukanlah wujud dari konsep surau seperti yang pernah ada di masa lalu. Masalah konseptual ini sangat mendasar. Dalam kenyataannya selama ini, apa yang disebut sebagai ‘jama’ah’ Masjid Raya Lantai Batu lebih dimaknai hanya sebatas ‘peserta shalat bersama’ di masjid tersebut. Itupun ternyata sebagian besarnya adalah orang-orang tua dan segelintir pengurus masjid. Bahkan ada di antara pengurus masjid itu sendiri yang hadir ke masjid hanya ketika ada kegiatan rapat kepengurusan saja. Meskipun demikian, kedudukan dan peran mereka kini menjadai sangat menentukan, terutama karena fakta bahwa Masjid Raya Lantai Batu itu –meskipun adalah masjid milik nagari— selama ini sebenarnya tidak diurus oleh wali nagari lagi. Meskipun pengurus masjid tetap melaporkan seluruh kegiatan mereka kepada wali nagari, dan meskipun wali nagari juga selalu menyatakan mendukung mereka, namun pengurus lah yang secara de facto berkuasa dan menentukan apapun yang terjadi dengan masjid tersebut. Karena itulah, akhirnya, diputuskan untuk memusatkan upaya mewujudkan gagasan ‘kembali ke surau’ tersebut di kalangan para pengurus dan jam’ah inti masjid yang tidak banyak jumlahnya itu. Namun demikian, ada dua orang tokoh penting di antara para pengurus Masjid Raya Lantai Batu itu yang sangat pontensial untuk menggerakkan gagasan ‘kembali ke surau’. Mereka adalah Afriyendra dan Datuk Penghulu Sutan. Mereka mewakili dua generasi dan peran yang berbeda, tetapi jika disatukan akan melahirkan sinergi perubahan yang cukup kuat. Afriyendra adalah sosok yang boleh dibilang mewakili kalangan cadiak pandai (akademisi) dalam konteks adatnya. Selain sedang melanjutkan pendidikan pasca-sarjana (S3) di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, dia juga adalah seorang pegawai negeri di lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten Tanah Datar. Adapun Datuk Penghulu Sutan, sesuai gelarnya, mewakili kalangan ninik mamak, salah seorang generasi terakhir yang pernah menimakti proses pendidikan tradisional surau khas Minang di surau Kumango di Rao-rao, salah satu daerah di Kabupaten Tanah Datar. Sang Datuk aktif di lembaga Kerapatan Adat Nagari (KAN) Lantai Batu, selain sebagai politisi yang masih aktif menjadi salah seorang anggota Dewan Perakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Tanah Datar. Kedua 230

BABGAIGANIA-NI, -MII:eMmeanhcaombiaMBaesrabluaaht tokoh ini menemukan ruang geraknya masing-masing yang saling melengkapi. Afriyendra bergerak di dalam masjid, sebagai salah seorang pimpinan dalam kepengurusan masjid; sementara sang Datuk bergerak di luar masjid. Sebagai pengurus masjid, Afriyendra mulai melakukan beberapa langkah pembenahan internal, termasuk dari beberapa hal yang sangat elementer, seperti perubahan nama masjid, dari ‘Masjid Quba Lantai Batu’ menjadi ‘Masjid Raya Lantai Batu’. Perubahan ini dipandang penting untuk menyatukan simpul adat di nagari Baringin Jorong Lantai Batu, karena masjid ini merupakan milik masyarakat Baringin Jorong Lantai Batu. Istilah ‘Masjid Raya’ biasanya digunakan untuk menyebut suatu masjid nagari yang dibangun oleh beberapa suku atau kaum yang ada di dalam satu nagari. Istilah ini tidak sama dengan ‘Masjid Jami’ atau ‘Masjid Agung’ seperti di Jawa yang biasanya didasarkan pada fungsinya –sebagai masjid utama— dan bentuk fisiknya –yang umumnya lebih besar dan megah. Lalu, ia melangkah lebih maju dengan perombakan struktur dan personalia kepengurusan masjid. Ia mampu meyakinkan bahwa kendati masjid ini adalah masjid nagari, namun tidak boleh menutup diri untuk melakukan kaderisasi dan merekrut anggota pengurus dari kalangan ‘bukan anak nagari’ setempat. Dia selalu menekankan pentingnya unsur kemampuan dan kelayakan, bukan terutama asal- usul. Karena, dalam kenyataannya, Masjid Raya Lantai Batu pun sudah sejak lama terbuka dimanfaatkan sebagai tempat ibadah oleh siapa saja. Selain itu, adalah juga fakta bahwa lingkungan sosial masjid itu sekarang bukan lagi sepenuhnya orang-orang asal Lantai Batu sendiri, tetapi sudah bercampur-baur dengan para pendatang dari luar, terutama yang memiliki keterkaitan usaha dan penghidupan dengan pasar di dekat masjid. Afriyendra menghadirkan beberapa orang ustadz dari tempat lain yang diminta untuk menjadi guru tetap dalam beberapa bidang, yaitu kitab kuning, tasawuf, dan kepemudaan. Pada hari-hari tertentu, para ustadz itu juga menyelenggarakan ceramah- ceramah keagamaan (wirid dalam bahasa keseharian di Minang) yang diikuti oleh para jama’ah dari berbagai kalangan. Bahkan, semua ustadz itu pun mulai dilatih dengan penggunaan multimedia, sehingga tidak melulu hanya ‘berpidato’. Peralatan elektronik – misalnya proyektor LCD— mulai diperkenalkan kepada mereka. Pemerintah Daerah Kabupaten Tanah Datar bahkan sudah menjanjikan akan menyumbangkan bantuan peralatan elektronik tersebut. Pengurus juga mulai menyusun suatu kurikulum pendidikan 231

GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial para ustadz yang tidak hanya terbatas pada ilmu-ilmu keagamaan, tetapi juga masalah-masalah sosial masyarakat. Suatu ‘pedoman baku penilaian’ kemampuan para ustadz itu untuk ‘berdakwah dengan cara baru’ juga sedang disiapkan oleh pengurus, dibantu oleh tim dari STAIN Batusangkar. Meskipun masih menghadapi perbedaan pendapat dari beberapa jama’ah –khususnya kalangan tua— yang masih sulit menerima semua gagasan dan langkah pembaharuan tersebut, namun pengurus tetap melanjutkannya tanpa hambatan yang berarti. Sebagian besar jama’ah pada dasarnya mendukung semua prakarsa tersebut. Langkah-langkah awal itu kemudian disusul dengan kegiatan-kegiatan lain yang belum pernah ada dilaksanakan di Masjid Raya Lantai Batu, antara lain, pembentukan dan penggiatan Majelis Taklim untuk ibu- ibu, serta pembentukan dan penggiatan Lembaga Dakwah Kepemudaan dengan berbagai bentuk kegiatan yang tidak hanya bersifat ritual keagamaan. Satu perpustakaan masjid mulai dibangun, terutama untuk menarik minat anak-anak, remaja, dan pemuda yang banyak berkeliaran setiap hari di sekitar masjid dan pasar. Pengurus masjid mengumumkan prakarsa ‘Gerakan Wakaf Seribu Buku’ dimana semua anggota pengurus dan jama’ah menyumbangkan buku-buku mereka. Bahkan, pengurus masjid kini proaktif melobi pemerintah daerah dan pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) setempat agar berkantor –atau paling tidak memusatkan semua kegiatannya— di masjid ini. Ibarat memperoleh ‘angin segar’, ternyata para jama’ah dan warga sekitar menyambut semua perkembangan kegiatan yang semakin marak itu. Beberapa kali ketika pengurus meminta jamaah dan masyarakat untuk memberikan bantuan makanan dan minuman, mereka segera antusias menyambutnya secara spontan, sehingga seringkali bantuan tersebut melimpah-limpah. Semua itu membentuk landasan yang kuat bagi pengurus masjid untuk melangkah lebih maju lagi. Afriyendra kemudian mengajak seluruh jama’ah tetap atau inti – yang semakin bertambah jumlahnya itu— membentuk LEM (Lembaga Ekonomi Masjid). Tujuan utama pembentukan LEM adalah selain sebagai lembaga keuangan mikro untuk membantu peningkatan perekonomian jama’ah, juga sekaligus sebagai pengelola sumberdaya ekonomi dan sumber pendanaan masjid sendiri. Salah satu fokus utama kegiatan LEM adalah membantu jama’ah, khususnya para pedagang kecil di sekitar masjid dan pasar, membebaskan diri dari jeratan para rentenir. Untuk itu, pengurus 232

BABGAIGAINA-NI,-MII:eMmeanhcaombai MBaesrbaulaaht masjid dan para jama’ah telah menyiapkan strategi dalam bentuk pemberian pinjaman kebajikan (qardhul hasan) tanpa bunga kepada pedagang kecil tersebut. Pembayaran cicilan pelunasan pinjaman ini sepenuhnya didasarkan pada ‘kepercayaan’ (amanah). Segera setelah diumumkan, puluhan pedagang kecil mengajukan permohonan pinjaman kepada pengurus masjid. Ini dimanfaatkan oleh pengurus dengan mencantumkan salah satu syarat pemberian pinjaman adalah kehadiran berjama’ah dan berbincang bersama di masjid pada waktu- waktu yang dispakati bersama. Dari pemberian pinjaman tunai, kegiatan LEM kemudian berkembang ke penyediaan ‘barang modal’ dalam bentuk gerobak dorong kepada para tukang angkut barang di pasar. Sistemnya adalah ‘sewa-beli’. Sekarang, pengelola LEM Masjid Raya Lantai Batu mulai menggagas dan memprakarsai pendirian badan usaha masjid, semacam ‘Koperasi Syari’ah’ atau Bait al-Maal wa Tamwil (BMT). Seluruh kegiatan LEM tersebut telah berjalan dan nampaknya mulai menarik minat pula pengurus masjid lain di daerah tersebut, antara lain, Masjid Ihsan dan Masjid Al-Faizin. Peluang ini dimanfaatkan oleh Afriyendra untuk membangun suatu jaringan kerjasama antar masjid. Bagi lelaki bertubuh tambun tersebut, jaringan kerjasama antar masjid itulah nanti yang menjadi cikal-bakal suatu ‘surau besar’ di seluruh Tanah Datar, dalam cara wjud dan perspektif yang baru sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. Ini sangat dimungkinkan oleh latarbelakang sosio-historis dan kultural Nagari Baringin Lantai Batu sebagai salah satu kampung tertua (luhuk nan tuo) di Tanah Datar. Sementara itu, Datuk Penghulu Sutan, memainkan perannya sendiri melalui pengaktifan kembali kegiatan olah-ragawi, yakni pelatihan seni bela-diri (silat) khas surau masa lalu. Dang Datuk sendiri memang seorang ‘pendekar silat Kumango’ –salah satu mata pelajaran wajib di surau Kumango di masa lalu— yang dianggap sebagai salah satu rumpun asal seni silat Minangkabau. Seperti juga filosofi olah kanuragan di lembaga-lembaga perguruan keagamaan di seluruh Indonesia di masa lalu, sang Datuk sayangat meyakini bahwa silat bukan hanya latihan kekuatan dan ketangkasan fisik, tetapi juga latihan disiplin pribadi dan watak. Sang Datuk menjelaskan bahwa kata ‘silat’ itu sendiri sebenarnya sangat lekat dengan kata bahasa Arab, ‘sillah’, yang berarti ‘penguatan hubungan antar sesama manusia’ (silaturrahim). Ini mirip dengan kata ‘surau’ itu sendiri yang berasal dari kata ‘syura’yang berarti ‘proses persepakatan’ atau ‘musyawarah’ untuk kemaslahatan bersama. Dengan demikian, pengajaran silat di 233

GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial surau-surau Minang di masa lalu sebenarnya adalah proses penguatan fisik dan pembentukan watak kepribadian secara perseorangan (individual) yang melengkapi proses-proses sosial penguatan kelembagaan secara kolektif dan komunal. Namun, Pak Datuk —demikianlah ia biasa disapa sehari-hari— masih harus bersabar melakukan kegiatan pelatihan silatnya di satu gedung pertunjukan tua yang ada di Kota Batusangkar. Ada banyak pertimbangan untuk tidak tergesa-gesa melakukannya saat ini di dalam kompleks Masjid Raya Lantai Batu. Salah satunya adalah ‘kesiapan’ para jama’ah dan warga sendiri untuk menerima ‘perkembangan baru’ tersebut. Harus diakui bahwa sampai sekarang masih terdapat perbedaan pendapat tentang apa dan bagaimana perwujudan gagasan besar ‘kembali ke surau’. Sementara perbedaan pendapat itu masih berlangsung, Pak Datuk secara arif memilih untuk tidak semakin ‘memperkeruh suasana’. Orangtua ini memilih untuk ‘mengalah sementara’. Meskipun demikian, pengurus Masjid Raya Lantai Batu sebenarnya tidak berkerberatan bila kegiatan silat tersebut menjadi bagian dari kegiatan masjid yang mulai berkembang. Apalagi, setelah terbukti bahwa pengikut perguruan silat nya Pak Datuk itu semakin banyak saja, termasuk hampir semua anak-anak, remaja, dan pemuda yang sudah mengikuti pula berbagai kegiatan baru yang diselenggarakan oleh pengurus masjid selama beberapa waktu terakhir. Masalahnya sekarang memang lebih merupakan masalah teknis saja, karena fokus utama dan prioritas pengurus masjid masih sepenuhnya tercurah pada pengembangan kegiatan-kegiatan seperti LEM. Dengan kata lain, ini hanyalah soal waktu untuk mencapai titik kordinasi yang lebih baik di masa mendatang. Agenda Besar Yang Belum Tuntas Sejauh ini, seluruh proses dan pencapaian hasil yang kini terjadi di Masjid Raya Lantai Batu masih menyisakan beberapa persoalan mendasar. Meskipun gagasan besar ‘kembali ke surau’, pada dasarnya, diterima secara normatif oleh semua pengurus, warga jama’ah, dan juga kalangan pemerintah daerah setempat, namun perbedaan pandangan dalam pemaknaan dan perwujudannya masih sering menjadi penghambat, terutama pada tataran pelaksanaan. Pengurus masjid –juga tim STAIN Batusangkar yang memfasilitasi mereka— harus sangat berhati-hati mengelola perbedaan-perbedaan ini agar tidak semakin mengarah pada ‘pertentangan-pertentangan kontraproduktif’. Perbedaan wawasan konseptual tersebut bahkan 234

BABGAGIAINAN-I,-IMI: eMmeanhcaombai MBearsbaulaaht mungkin tak pernah benar-benar bisa sepenuhnya ditiadakan, sehingga yang perlu dilakukan adalah bagaimana menjadikannya justru sebagai ‘ketegangan-ketegangan kreatif’ yang lebih mendorong ke langkah-langkah maju berikutnya. Landasan untuk mengolah semua itu sudah terbentuk. Struktur organisasi dan mekanisme internal kepengurusan masjid setidaknya telah menemukan format kerja yang memadai. Ini terbukti dari terlaksananya hampir semua gagasan dan rencana kegiatan-kegiatan baru yang makin menyemarakkan keberadaan Masjid Raya Lantai Batu tersebut. Proses-proses partisipatif yang ditempuh sejak awal pendampingan ini berlangsung, juga membawa dampak penting terhadap pembentukan wawasan dan sikap para pengelola dan jama’ah masjid. Mereka semakin terbiasa memutuskan segala sesuatu melalui musyawarah, tidak melulu hanya menggantungkannya kepada pengurus inti. Kebiasaan untuk berdiskusi mulai tumbuh, dan ini pada hakikatnya telah menyulut kembali tradisi demokrasi khas Minangkabau yang memang dikenal lebih egaliter, bahkan ‘cenderung liberal’, dibanding banyak kelompok etnis lain di Indonesia. Persoalan yang sangat mungkin akan muncul kemudian –meskipun sekarang belum terlalu terlihat— adalah kesinambungan kepemimpinan. Kaderisasi menjadi sangat penting, tetapi belum sepenuhnya tersentuh sampai sekarang. Keterlibatan orang-orang yang lebih muda dalam semua proses yang berlangsung saat ini, termasuk dalam struktur kepengurusan, juga belum optimal, sebagian besarnya masih terdiri dari kalangan tua saja. Tetapi, agenda utama (dan paling mendasar) yang masih tersisa adalah bagaimana mengaitkan seluruh proses dan pencapaian itu ke arah perwujudan gagasan besar dan konsep awal ‘kembali ke surau’. Seperti yang telah diuraikan pada awal tulisan ini, gagasan atau konsep ‘kembali ke surau’ tersebut pada dasarnya dipicu oleh pelaksanaan kebijakan ‘kembali ke nagari’. Sampai pada tingkat tertentu, nagari di Sumatera Barat mulai meraih kembali keberadaannya sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang otonom. Hal ini memang sangat ditentukan oleh dukungan pemerintah sendiri sebagai imperatif dari kebijakan nasional (UU No.22/1999 dan kemudian UU No.32/2004). Apakah ini berarti bahwa gagasan ‘kembali ke surau’ juga sebaiknya memiliki landasan hukum formal semacam itu? Perbedaan pendapat pun masih terjadi dalam hal ini. Campur-tangan pemerintah bisa jadi memang membantu, tetapi juga sangat mungkin justru sebaliknya. Karena itu, para pengurus dan seluruh warga jama’ah Masjid Raya 235

GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial Lantai Batu masih harus bekerja serius merumuskan langkah-langkah yang tepat untuk menemukan landasan mereka sendiri. Tetapi jika diharuskan memilih, sebaiknya memang ditempuh cara atau strategi ‘bergerak dari bawah’, yakni terlebih dahulu membuktikan bahwa surau –dalam pengertiannya yang lebih dinamis sesuai dengan konteks perkembangan— yang otonom memang adalah suatu entitas yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat Minangkabau saat ini dan di masa-masa mendatang. Ini penting untuk memberi imbangan terhadap kemajuan otonomi yang kini mulai dicapai oleh lembaga nagari. Dengan kata lain, kemajuan lembaga nagari tersebut jangan sampai nanti justru menjadi ‘lembaga super’ baru yang mengatasi semua lembaga kemasyarakatan lain seperti surau. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, hakiki dari struktur dan relasi sosial khas Minangkabau adalah justru perpaduan serasi, selaras, dan setara antara semua lembaga-lembaga tersebut sebagai suatu kesatuan. Dalam hal ini juga harus mulai dipertimbangkan lembaga yang semakin menentukan di luar nagari dan surau, yakni lapau (pasar). ™ 236

BAGIAN-I, Memahami Masalah MENCOBA 9 MENGUBAH SEJARAH Program Pemberdayaan Ekonomi Masjid Tua Bontonompo BASO MARANNU * Daeng Rani, Penjual Es Poteng Sore itu cukup cerah, langit diufuk barat sudah mulai nampak memerah. Seorang lelaki memasuki pelataran rumah kecil, memancal sepeda tua nya yang lusuh, membonceng satu keranjang yang ditutupi daun pisang. Daeng Rani, seorang warga Bonto Mate’ne yang tinggal sekitar 200 meter dari Masjid Bontonompo. Daeng Rani menempati balla irate (rumah atas) berdinding gamacca (anyaman bambu, gedhek) berukuran 4 x 6 meter. Tiang rumahnya setinggi satu meter, terbuat dari kayu dan nampaknya juga sudah mulai lapuk. Lelaki separuh baya itu --berumur 45 tahun dan berputri dua orang-- bekerja sebagai penjual es tape singkong (bahasa lokal Makassar: es poteng). Dia menjajakan jualannya berkeling dengan sepeda. Daerah menjualnya bukan di Bontonompo, tetapi di Kota Makassar --sekitar 25 kilometer ke arah utara, menyeberangi Sungai Je’neberang-- terutama di kawasan perumahan. *Anggota Tim PAR, Universitas Islam Makassar (UIM). Tulisan ini adalah ringkasan dari laporan lengkapnya yang ditulis oleh semua anggota Tim (Aminuddin dan Tajuddin) bersama jama’ah Masjid Botonompo. 237

GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial PETA-9.1: Letak Mesjid Bontonompo, Gowa, Sulawesi Selatan INDONESIA PULAU SULAWESI KABUPATEN GOWA dan sekitarnya, SULAWESI SELATAN KOTA MAKASSAR SUNGGUMINASA (ibukota Kabupaten Gowa) BONTONOMPO Jelang maghrib, Daeng Rani nampak bergegas menuju Masjid Raudhatussholihin untuk menunaikan shalat berjama’ah. Baju kaos bertuliskan ‘Bersama Kita Bisa’ masih dia gunakan dengan memakai songkok guru (peci khas Bugis-Makasar) dan lipa’ sabbe (sarung sutra khas Bugis). Setelah shalat, Daeng Rani terlihat mengambil Al-Qur’an, kemudian mengaji bersama jama’ah lainnya yang rata-rata berusia antara 40 sampai 50 tahun. Setelah mengayuh sepeda tuanya selama sekitar 60 menit dari Kota Makassar, lelaki yang tak lagi muda itu masih mampu menyempatkan diri melakukan shalat berjama’ah dan belajar mengaji bersama beberapa warga lain di masjid. Dan, itu dilakukannya setiap hari, selama sekian tahun. 238

BABGAIGAINA-NI,-MII:eMmeanhcaombai MBaesrbaulaaht Kalau modal untuk membeli ubi dan es balok tidak mencukupi, Daeng Rani terpaksa membantu membersihkan dan menjemur gabah milik seorang Anrong Guru --sebutan lokal untuk ustadz, ulama, atau tokoh agama-- yang masih berdarah ningrat di Bontonompo. Upah yang diberikan tidak menentu, terkadang dalam bentuk uang tunai, tetapi juga sering dalam bentuk beras. Itu semua tergantung pada sang Anrong Guru tadi. Jika sore hari, Daeng Bunga, isterinya, menyiapkan singkong untuk diolah menjadi tape yang akan dijual keesokan harinya. Modal yang mereka butuhkan sekitar Rp 50.000 setiap harinya. Selain untuk membeli bahan baku singkong segar, juga untuk membeli es balok dan makan siang selama berkeliling berjualan. Harga makanan di Kota Makassar termasuk mahal. Untuk sekali makan, Daeng Rani mengeluarkan paling sedikit Rp 6.500, itupun makanan sederhana saja, terdiri dari sepiring nasi dengan lauk telur atau ikan, serta teh tawar atau manis. Demikianlah hidup dan kerja Daeng Rani setiap hari. Jika nasib baik dan jualannya laku semua, dia menyebut laba kotornya adalah sekitar Rp 25.000. Penghasilan sebesar itu dakuinya cukup berat untuk mencukupi semua kebutuhan sehari-hari keluarganya. Tapi itulah kenyataan yang harus dijalani oleh mantan pengrajin bata-merah itu. Lahan-lahan tanah liat di Bontonompo dan sekitarnya --sebagai bahan baku pembuatan bata-merah-- semakin menyempit, dan sejak beberapa tahun silam Daeng Rani memutuskan untuk mengganti sumber penghidupan utamanya sebagai penjual es poteng. Dulu, ia mengaku, jarang ikut shalat berjama’ah di masjid Bontonompo yang hanya beberapa langkah dari rumahnya itu, meski hanya shalat maghrib saja seperti kebiasaan warga lainnya disana. Sekarang, “Alhumdulillah...”, katanya, dia mengaku tak pernah absen lagi shalat berjama’ah di masjid. Bahkan, dia pun sudah dapat membaca Al-Qur’an, padahal sebelumnya tidak mengenal satu pun huruf Arab maupun Latin. Semua itu dicapainya dengan tekun dan tidak segan-segan untuk belajar mengaji dari Remaja Masjid Bontonompo, orang-orang yang jauh lebih muda dan pantas menjadi anaknya sendiri. Kekuasaan Ningrat & Masjid Sebelum Belanda menaklukkan dan akhirnya menguasai seluruh daratan Sulawesi, wilayah Kecamatan Bontonompo memang berada di 239

GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial bawah daulat Sombayya ri Gowa (Kerajaan Gowa). Letaknya bahkan tidak terlalu jauh, hanya sekitar 12,5 kilometer, dari pusat salah satu kerajaan terkuat di Indonesia Timur masa itu, yakni Sungguminasa -- sekarang sebagai ibukota Kabupaten Gowa. Wilayah Bontonompo merupakan satu daerah Bate ana’ Karaeng (kerajaan kecil lokal dalam wilayah Gowa), dikepalai oleh seorang pimpinan adat yang disebut Anrong Guru (ulama sekaligus pemangku adat) bergelar Karaeng. Anrong Guru diangkat oleh Raja Gowa dari kalangan atau lapisan berpengaruh dalam masyarakatnya, biasanya dari turunan To-baji’ (orang baik-baik). Keluarga dan kerabat turunan Anrong Guru pertama itulah yang kini menjadi para pemimpin masyarakat di Bontonompo, termasuk pegawai syara’, petugas pemerintah untuk urusan keagamaan yang kini berada di bawah Dinas Agama Kabupaten. Anrong Guru yang menjadi pimpinan di Bontonompo sampai tahun 1905 adalah Poli Daeng Nyarrang, kemudian diganti oleh Manyaurang Daeng Sibali sampai tahun 1918. Tahun 1918 sampai tahun 1926, digantikan oleh Muntu Daeng Rombo. Tahun 1926 sampai tahun 1927, pemerintah kolonial Belanda mengangkat Patarai Daeng Rani sebagai Anrong Guru Bontonompo yang --dalam sistem pemerintahan saat itu-- menjadi satu wilayah berstatus onderdistrik (setingkat kecamatan sekarang). Selanjutnya, tahun 1927 sampai 1947, Anrong Guru Bontonompo dijabat oleh Mappassoleng Daeng Sija, kemudian digantikan oleh Daeng Lira, 1947-1951, lalu oleh Mannangari Daeng Lassa, 1952 -1962. Tahun 1950, terjadi perubahan status desa dari swapraja menjadi swatantra. Sejak saat itu, pemimpin desa disebut ‘Kepala Desa’. Bontonompo pun menjadi satu desa yang terdiri dari tujuh ‘lingkungan’ (setingkat dusun atau dukuh di Jawa): Rapppokaleleng, Kallasekrena, Kacci-kacci, Ansappu, Taipeleng, Romang Lasa, dan Bontonompo sendiri. Letaknya yang sangat dekat ke pusat --selain memang statusnya sebagai salah satu dari sembilan Bate ana’ Karaeng-- Kerajaan Gowa, menjadikan kehidupan warga Bontonompo juga sangat dipengaruhi oleh sistem kerajaan. Bahkan, secara tradisional, daerah ini menempati satu kedudukan khusus disana. Ada kesepakatan tidak tertulis yang berlaku di Kabupaten Gowa sekarang: bahwa mereka yang pernah berhasil memimpin Kecamatan Bontonompo, sangat layak direkomendasikan sebagai Bupati Gowa. Maksudnya jelas: Bontonompo menjadi semacam ‘ajang uji-coba’ kemampuan kepemimpinan yang dianggap layak memimpin seluruh kabupaten bekas Kerajaan Gowa itu. Semua itulah yang membuat kedudukan 240

BABGAIGAINA-NI,-MII:eMmeanhcaombai MBaesrbaulaaht Anrong Guru, terutama Anrong Guru Bontonompo, memiliki pengaruh sosial-politik yang masih cukup kuat di daerah ini. Terlebih lagi setelah agama Islam masuk dan menjadi agama resmi Kerajaan Gowa. Jabatan Anrong Guru bukan lagi hanya sekadar ‘pemimpin pemerintahan’ (sebagai wakil dan bawahan Raja Gowa di wilayahnya masing-masing), tetapi sekaligus juga sebagai ‘pemimpin agama’. Relasi politik dan agama ini merupakan fenomena menarik untuk dikaji lebih lanjut. Sampai sekarang, masyarakat di Kabupaten Gowa masih sangat kental dengan kebangsawanannya. Sampai akhir abad-19, orang-orang Makassar masih mengkultuskan arajang atau kalompoang tinggalan kepercayaan asli setempat. Ini yang membuat para penyebar pertama agama Islam disana pernah menghadapi hambatan yang tidak kecil. Sampai sekarang pun, setiap tahunnya, masih setia diselenggarakan upacara adat untuk membersihkan kalompoang (pusaka suci) Kerajaan Gowa dan Bate Salapang (sembilan kerajaan kecil, Bate ana’ Karaeng) tadi. Benda-benda pusaka suci kerajaan itu ada yang berupa tombak, badik (belati khas Bugis-Makassar), keris, bendera, mahkota Raja, dan sebagainya. Proses akulturasi antara Islam dan adat setempat telah melahirkan suatu sinkretisme ajaran di Sulawesi Selatan. Sinkretisme ini, tidak timbul secara spontan, tetapi sengaja diciptakan untuk memungkinkan penerimaan Islam oleh raja-raja Bugis dan Makassar -- yang mengaku sebagai keturunan langsung dari Tomanurung (dewa yang langsung turun ke bumi menjelma sebagai manusia pertama). Dalam kepercayaan asli Bugis-Makassar, kekuasaan Tomanurung dan turunannya adalah sakral dan mutlak. Pengakuan itu kemudian diwujudkan dalam berbagai upacara yang sangat berkaitan dengan arajang atau kalompoang, dengan pelaksana utama apacara adalah para bissu (lelaki ‘kebiri’, transvestite) sebagai pendeta dalam kepercayaan tradisional tersebut. Konteks tersebut dapat dipahami --seperti dikemukakan Woodwaard-- bahwa Islam yang diterima di Kerajaan Gowa --dan kemudian disebarkan ke kerajaan-kerajaan Bugis-Makassar lainnya di seluruh Sulawesi Selatan pada abad-17-- adalah ‘Islam sufi’, yang dianggap sebagai ‘jalan yang lebih baik’ (a better way) Jalinan politik dan agama itulah yang akhirnya membentuk suatu tradisi, yakni para pemuka agama (pejabat syara’) di Gowa juga mengikuti atau ‘dipadukan’ sekaligus sebagai ‘pemimpin adat’. Maka, struktur tradisional asli pemerintahan Kerajaan Gowa pun mengalami ‘penyesuaian’. Bate Salapang --sembilan Bate ana’ Karaeng sebagai 241

GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial ‘Dewan Kerajaan’ yang berfungsi membantu Sang Raja, Sombayya ri Gowa (Tuan yang disembah di Gowa), menjalankan tugasnya sehari- hari, sekaligus sebagai lembaga tertinggi yang membawakan suara rakyat dan dapat meminta pertanggunganjawab Raja atas suatu kebijakan yang diambilnya— mendapat tambahan satu mitra baru yang setara, yakni Daengta Kaliya (dari kata ‘kali’ yang berasal dari Bahasa Arab, qadli: hakim, pemutus hukum keagamaan) sebagai pemimpin agama dan ulama tertinggi dalam kerajaan. Daengta Kaliya bertugas mendampingi Raja dalam urusan keagamaan, dibantu oleh Imam pada tingkat Bate ana’ Karaeng. Pada mulanya, orang yang diangkat sebagai Daengta Kaliya dan Imam adalah para ningrat dari keluarga raja sendiri. Dalam perkembangan selanjutnya, jabatan- jabatan itu diangkat dari kalangan To-baji’ (orang baik-baik) yang pengetahuan agamanya dianggap berlebih dari orang kebanyakan. Sebagai penasehat Raja, Daengta Kaliya dan para Imam itu, tentu saja, juga harus sangat faham tentang hukum adat dan kepercayaan asli tradisional yang masih berakar kuat. Latar sejarah inilah yang juga berada di balik kerberadaan Masjid Besar Bontonompo. Di wilayah kecamatan ini --yang terdiri dari 23 kelurahan dan desa, dengan penduduk sejumlah 466 keluarga-- terdapat sebanyak 87 masjid, 5 mushalla, 78 Taman Pengajian Al- Qur’an (TPA) dan Taman Kanak-kanak (TK), 17 madrasah, hanya ada 1 pesantren, dan 49 kelompok Majelis Taklim. Jadi, dapat dikatakan hampir seratus persen warga Bontonompo adalah muslim. Di antara hampir seratusan masjid tersebut, adalah Masjid Raudhatussholihin di pusat kota kecamatan Bontonompo, sehingga sering juga disebut sebagai ‘Masjid Besar Bontonompo’. Mengikuti alur tradisi, masjid itu dikelola langsung oleh Anrong Guru Bontonompo secara turun-temurun. Mengkuti perkembangan zaman, masjid itu kini dikelola oleh satu badan hukum yayasan, yakni Yayasan Masjid Besar Bontonompo, tetapi Ketua Yayasan nya tetap sang Anrong Guru. Maka, sesungguhnya, kekuasaan tertinggi akan masjid itu masih tetap sepenuhnya berada di tangan ningrat lokal beserta para kerabat dan keturunannya. Tercatatlah dalam sejarah bahwa pernah terjadi Imam Masjid Bontonompo yang tidak berdarah bangsawan --sepenuhnya hanya dari kalangan awam To-baji’-- harus diganti dengan orang lain yang berdarah bangsawan yang juga memiliki kemampuan ilmu keagamaan. Masjid Besar Bontonompo bermula dari satu masjid tua, sekitar 50 meter sebelah barat masjid yang ada sekarang. Masjid tua itu, konon, 242

BABGAIGAINA-NI,-MII:eMmeanhcaombai MBaesrbaulaaht merupakan masjid pertama di seberang selatan Sungai Je’neberang. Menurut catatan pada prasasti yang masih ada disana, masjid tersebut dibangun pada tahun 1905 atas kerjasama seorang ulama, Haji Abdur Rahman, dengan Anrong Guru Poli selaku pemerintah adat saat itu, bersama Karaengta Tukkajannangngang sebagai Karaeng Bontonompo (wakil pemerintah Kerajaan Gowa di Bontonompo). Sekitar tahun 1950, seorang tokoh muda Bontonompo, Abdul Hadi Maddatuang Daeng Lallo, menyampaikan gagasan sekaligus memprakarsai untuk membangun masjid baru yang lebih besar. Namun, karena dia kemudian melanjutkan pendidikannya di Yogyakarta --selain keadaan yang sangat kacau di Sulawesi Selatan saat itu oleh peristiwa pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII)-- gagasan itu sangat susah diwujudkan. Barulah pada tahun 1960, ketika keadaan keamanan sudah mulai membaik, dan Abdul Hadi Maddatuang Daeng Lallo sudah pulang dari Yogyakarta, pencanangan pembangunan masjid tersebut dimulai kembali. Peletakan batu pertama terlaksana pada tahun 1961, di atas lahan seluas 1.834 m2, wakaf dari salah seorang warga, Supu Daeng Sija. Setelah melalui berbagai liku, masjid besar itu baru dapat dipergunakan pada tahun 1974, dengan luas lantai 20 x 25 m. Pada tahun 1995, Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten Gowa mengeluarkan Surat Keputusan No. Mt.23/2-c/BA.03.1/701/1995, tanggal 2 Agustus 1995, yang meresmikan status masjid itu sebagai ‘Masjid Besar Raudhatusshalihin, Kecamatan Bontonompo’. Untuk tetap menandai latar jejak sejarahnya yang panjang, pengurus masjid masih menyimpan prasasti pendiriannya yang dulu terpasang di mimbar masjid lama. Prasasti yang ditulis dengan kaligrafi Arab tetapi dalam bahasa Makassar itu, selengkapnya demikian: “Manassa Inakke Abdur Rauf, Anronggurunna Tukkajannanngang ampareki masigika lanri panngerokanna Karaeng Sultan Idris Anakna Karaeng Abdul Kadir bin Mahmud rewasana Qadli Hasan siagang Imam Abdur Rahman siagang Anrongguru Poli riwaktu 1301 Hijiriyyah. Apaji natanakellai Karaenga (Allah Taala) akkana lino tawwa ilalang ri masigika lanri makkanana Nabiyya : man takallama kalamaddun-ya fil masjidi ahbathallahu amalahu arbaina sanatan”. 243

GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial Terjemahan bebasnya: “Benar adanya saya Abdur Rauf, Pemangku adat di Desa Tukajannanggang membuat masjid ini lantaran keinginan Raja Sultan Idris anak dari Raja Abdul Kadir bin Mahmud turunan dari Qadli Hasan bersama Imam Abdur Rahman serta Guru Poli pada tahun 1301 Hijriyah. Hal-hal yang dilarang oleh Allah bahwasanya di dalam masjid menurut Nabi Muhammad adalah dilarang membicarakan tentang duniawi jika tidak ingin pahalanya terputus hingga empat puluh hari” Prasasti itu gamblang sekali menunjukkan tujuan awal pendirian Masjid Bontonompo: sepenuhnya sebagai tempat melaksanakan ritus keagamaan, bukan dan tidak boleh digunakan untuk fungsi yang lain, termasuk fungsi sosial. Sementara itu, data resmi mutakhir menunjukkan angka 19% penduduk Kecamatan Bontonompo adalah tidak sekolah, sementara hanya 3% yang berpendidikan tinggi (sarjana S1 dan S2). Ini berarti bahwa sebagian besar masyarakat Bontonompo hanya menamatkan pendidikan formalnya paling tinggi sampai pada sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) dan atas (SLTA). Sebagian besar warga Bontonompo memang lebih memilih berwiraswasta dan bertani setelah tamat SLTP atau SLTA, katimbang melanjutkan sampai ke perguruan tinggi. Ada beberapa alasan mengapa mereka lebih memilih menjadi petani atau pengrajin batu bata. Paling jelas adalah karena belum ada perguruan tinggi di ibukota kabupaten. Perguruan tinggi terdekat semuanya masih di Kota Makassar. Dari segi jarak memang nisbi tak terlalu juh, tetapi yang memberatkan mereka adalah biaya hidup di kota terbesar di Indonesia bagian timur itu. Akhirnya, banyak orang Bontonompo memilih untuk segera bekerja saja, umumnya sebagai pengusaha kecil, petani, atau pengrajin bata-merah. Hanya sebagian kecil saja mereka yang menjadi pegawai negeri sipil, polisi, atau tentara (8%); sementara yang berwirausaha cukup banyak (23%); dan yang terbanyak adalah menjadi petani sawah (46%). Adapun warga jam’aah inti Masjid Besar Raudhatusshalihin meliputi lima kerukunan warga (Bontonompo sendiri, Cambajawaya, Tanete Katangka, Kampung Mejang, dan Bonto Mate’ne --tempat Daeng Rani si penjual es poteng). Dari data pengamatan pengurus masjid, diperoleh keterangan bahwa pada waktu shalat berjama’ah (selain shalat Jum’at), 244

BABGAIGANIA-NI, -MII:eMmeanhcaombiaMBaesrabluaaht jumlah saf (baris) yang terisi hanya sekitar 10%. Pengurus masjid juga mendata bahwa hanya 73% warga jama’ahnya yang bisa mengaji (membaca) Al-Qur’an, sementara 27% sisanya mengaku tidak bisa atau tidak tahu. Dan, dari penduduk Bontonompo, ternyata sekitar 47% adalah keluarga miskin. Daeng Rani adalah bagian dari 47% keluarga miskin itu. Ia terpaksa menjual es poteng karena lahan tempat membuat bata-merah --yang dia kerjakan selama kurang lebih sepuluh tahun-- kini sudah semakin sempit. Karena sekian tahun terus dikeruk sebagai bahan baku utama bata-merah, maka lahan-lahan tanah liat itu pun telah kehabisan lapisan atas permukaan (top soil) nya yang subur untuk budidaya pertanian. Jajaran lahan-lahan berlubang besar yang tak lagi subur dan menganggur (tidak ditanami) nampak di banyak penjuru Bontonompo. Akibatnya lebih lanjut, daripada hanya menjadi ‘lahan tidur’ tak berguna, banyak pemilik lahan-lahan yang telah terkuras itu akhirnya menjualnya kepada para pengusaha dan pengembang (developers) kompleks perumahan baru. Lahan-lahan tersisa yang masih dapat ditanami, sepenuhnya mengandalkan curah hujan, sehingga panen padi mereka hanya dapat sekali setahun, terutama pada musim barat (musim hujan). Itupun sebagian besarnya adalah milik para ningrat lokal. Pemerintah daerah memang membangun banyak saluran pengairan, tetapi sebagian besar di wilayah lain, nyaris tak ada yang melintasi sawah-sawah tadah hujan di Bontonompo. Maka, semakin banyak pula warga senasib Daeng Rani disana. Dan, sama seperti mereka umumnya yang tergolong keluarga miskin, si penjual es poteng itu adalah juga salah seorang dari 17% warga yang tidak bisa membaca atau mengaji. Dalam jangka waktu cukup lama, kerasnya kehidupan sebagai penjaja es keliling dengan jarak-tempuh jauh itu, membuat Daeng Rani pun lama sekali kurang mempedulikan kehidupan beragamanya. Waktunya nyaris habis untuk mencari nafkah yang juga semakin tidak mudah. Seberapa jauh keadaan mereka itu juga terlihat oleh para pengurus masjid di Bontonompo? Apakah karena masjid itu dikuasai dan dikelola oleh kaum ningrat, lalu mereka tak memperhatikan nasib warga sekitarnya seperti Daeng Rani? Apa mungkin masjid itu memberikan pelayanan kepada jama’ahnya lebih dari sekedar tempat shalat, tempat berkumpulnya para santri TPA yang belajar mengaji setiap sore? Apakah para pengurus masjid memang berpandangan bahwa tugas dan fungsi mereka sebatas mengurusi perayaan hari-hari besar Islam dan urusan keagamaan saja? Sampai seberapa teguh 245

GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial sebenarnya pesan prasasti pendirian masjid itu masih sangat dipatuhi oleh para pengurusnya saat ini, sehingga mereka tidak menganggap masalah-masalah sosial warga sekitarnya adalah urusan masjid juga? Awalnya Hanya Dua Juta Rupiah Ada dua aras persoalan yang kemudian muncul, yakni ‘persoalan konseptual’ dan ‘persoalan struktural’. Persoalan pertama adalah pesan prasasti pendirian masjid Bontonompo itu sendiri. Persoalan kedua lebih menyangkut kenyataan dan praktik pengelolaan masjid itu saat ini. Persoalan pertama nisbi lebih mudah dilalui, terutama karena konsepsi prasasti itu (tentang larangan mengurus hal-hal duniawi di masjid) sendiri memang lemah argumennya: kutipan ‘perintah Nabi’ yang dikutip oleh sang pendiri (Abdul Rauf) itu memang bersumber dari hadist yang kuat (sahih), ataukah hadist yang lemah (dhaif)? Hal itu dengan mudah diperhadapkan dan dipertentangkan dengan kenyataan praktik-praktik sejarah Nabi sendiri yang sering membicarakan berbagai hal-hal duniawi di masjid --mulai dari soal- soal kehidupan sehari-hari umat sampai ke pembahasan strategi dakwah atau bahkan perang. Perbincangan soal konseptual ini dengan pengurus dan jama’ah Masjid Bontonompo tidak banyak menemui hambatan. Pada dasarnya, mereka juga mulai berpandangan lebih luas, sehingga pesan pada prasasti itu dianggap lebih sebagai suatu ‘pesan moral’ saja, menyiratkan suatu kearifan tertentu yang sesuai dengan keadaan pada waktu masjid tua itu didirikan. Persoalan kedua ternyata jauh lebih rumit. Ini bukan hanya sekadar soal argumentasi atau nalar rasional, tetapi juga menyangkut unsur- unsur yang sangat peka dalam relasi-relasi sosial tradisional yang telah berurat berakar di masyarakat setempat. Membicarakan soal sistem dan praktik pengelolaan masjid ini jelas akan menyinggung soal-soal kedudukan dan peran berbagai pihak, terutama kalangan ningrat lokal sebagai penguasa tradisional adat dan keagamaan. Karena itu, strategi yang ditempuh adalah membahas masalah itu secara perlahan, sublim, ‘sehalus mungkin’agar tidak menyinggung perasaan mereka yang memiliki otoritas tradisional tersebut. Dan, sementara hal itu dikemukakan secara bertahap, jalan utama yang ditempuh adalah ‘langsung ke soal-soal praktis’ melalui ‘tindakan-tindakan nyata’. Maka, diadakanlah beberapa kegiatan. Sebagai pintu masuk awal, yang paling mudah mereka terima, adalah suatu ‘Pelatihan Pengelolaan 246

BABGAGIAINA-NI,-IMI:eMmeanhcaombai MBaesrbaulaaht (Manajemen) Masjid’ bagi semua pengurus. Pokok bahasan dipusatkan pada pembenahan mekanisme internal. Mereka semua menerima dan menganggap itu penting, terutama karena mereka juga semakin di’hantui’ oleh fakta bahwa semakin sedikit warga yang datang setia berjama’ah ke masjid. Pikiran tentang perlunya ‘membuat sesuatu yang menarik minat dan menambah jumlah jama’ah’ menjadi pemicu yang efektif. Setelah, itu, menjadi lebih mudah menyelenggarakan beberapa kegiatan lanjutan, misalnya, pelatihan metoda pengajaran Al-Qur’an bagi para guru mengaji, pelatihan penyelenggaraan jenazah, bimbingan pengelolaan perpustakaan masjid, orientasi pengelolaan majelis taklim, pelatihan kader da’i muda khusus untuk organisasi Remaja Masjid, dan sebagainya. Semuanya berlangsung bersamaan dengan penggiatan kembali tadarus (membaca Al-Qur’an secara bersama-sama) setiap selesai shalat maghrib dan subuh. Semua itu --yang sedikit-banyak memang masih berkaitan langsung dengan ibadah ritual-- membuat pengurus dan jama’ah Masjid Bontonompo akhirnya menerima gagasan-gagasan yang mulai mengarah ke substansi yang sesungguhnya. Setelah beberapa waktu, mereka akhirnya menerima saran menyelenggarakan kegiatan penyuluhan pertanian, khususnya kepada mayoritas jama’ah yang memang petani. Munculnya berbagai masalah nyata yang dihadapi oleh para petani jama’ah masjid, menjadi bahan penting untuk langkah berikutnya. Pengurus masjid kemudian diajak membahas pengelolaan dana zakat dimana kaum miskin seperti para petani itu adalah salah satu pihak penerima manfaat utamanya menurut ajaran agama. Pengurus masjid kemudian difasilitasi untuk mengikuti ‘Pelatihan Pengelolaan Zakat’ yang diselenggarakan oleh pengelola Badan Amil Zakat (BAZ) Masjid al-Markaz al-Islami, masjid terbesar dan ‘termodern’ di Kota Makassar. Kegiatan inilah yang mengawali diskusi di kalangan pengurus Masjid Bontonompo tentang keadaan kehidupan perekonomian petani jama’ahnya. Mereka semakin tersadar pada fakta bahwa praktik-praktik rentenir yang mencekik petani memang masih terjadi. Para petani itu terpaksa terjerat ke dalam sistem yang sangat menghisap dan memeras itu karena nyaris tak ada pilihan lain. Dalam hal inilah, maka dana zakat yang dikelola oleh masjid dapat menjadi salah satu jalan keluarnya. Pengetahuan dan ketrampilan baru yang mereka peroleh dari BAZ Masjid Al-Markaz kini menjadi bekal sangat berguna untuk memulai satu fungsi sosial masjid di Bontonompo. Pengurus masjid 247

GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial segera memeriksa kembali sisa dana zakat yang masih ada dari tahun sebelumnya, yakni kumpulan zakat harta dari para petani setelah mereka panen. Ada yang in natura (gabah dan beras), ada juga dalam bentuk uang tunai. Ternyata, yang berbentuk uang tunai, jumlahnya tidak banyak, hanya Rp 2 juta! Namun, mereka tak putus asa dan menganggap bahwa jumlah kecil itu cukup untuk memulai sesuatu, asalkan dikelola dengan baik dan benar. Maka, pada suatu petang, selepas shalat maghrib berjama’ah, pengurus mengajak warga yang hadir --tidak banyak, hanya sekitar sepuluh orang, sebagiannya juga adalah anggota takmir sendiri sebagai jama’ah inti selama ini-- untuk memperbincangkan gagasan pemanfaatan sisa dana zakat harta tersebut. Diskusi bermula dengan penyamaan padangan terlebih dahulu. Tercetuslah kekhawatiran-kehawatiran mereka: apakah modal awal yang kelak akan diberikan kepada warga jama’ah itu dapat mereka kembalikan? Bagaimana sistem pengembaliannya? Dikenakan beban bunga atau tidak?; Apa tolok- ukur mereka yang berhak menerima dana bergulir tersebut? Apa jaminannya? Semua kekhawatiran itu sangat beralasan. Para pengurus Masjid Bontonompo juga tahu berita tentang banyak pengalaman pahit dalam pengelolaan dana bergulir (revolving funds) --entah apapun namanya-- selama ini, khususnya di Sulawesi Selatan. Salah satu pengalaman pahit yang sempat mencuat sebagai berita ‘skandal besar’ di daerah ini beberapa tahun sebelumnya adalah kasus Koperasi Simpan Pinjam (KOSPIN) di Kabupaten Pinrang dan beberapa kabupaten lain sekitarnya. Milyaran dana tabungan masyarakat di koperasi itu lenyap diselewengkan oleh para pengurus koperasi yang korup. Pengalaman buruk KOSPIN itu malah terulang lagi pada kasus Koperasi Serba Usaha (KSU) ‘Milik Bersama’ di Kota Makassar. Semua itu membuat pengurus Masjid Bontonompo bertekad bersama untuk tidak terjebak ke dalam perangkap yang sama. Mereka tidak ingin mengalami nasib seperti pengurus KOSPIN dan KSU itu yang kemudian diadili sebagai pelaku kejahatan, menjadi buronan polisi, ditangkap, dan akhirnya dihukum penjara. Mereka semua sepakat bahwa apa yang mereka akan lakukan dengan dana zakat harta dari umat itu adalah ibadah untuk membantu sesama warga yang miskin, bukan untuk mencari keuntungan pribadi. Setelah diskusi cukup panjang dengan soal-soal mendasar tersebut, akhirnya, mereka semua bersepakat untuk mendahulukan warga yang benar-benar miskin. Disetujuilah sebagai penerima bantuan pertama 248

BABGAIGAINA-NI,-MII:eMmeanhcaombai MBaesrbaulaaht adalah: 4 orang penjual kue dan jajanan tradisional; penjual eceran ikan 12 orang; penjual eceran bensin 6 orang; dan penjaja keliling es poteng 8 orang. Daeng Rani pun masuk dalam daftar terakhir ini. Awalnya, hanya ada 6 orang dari daftar itu yang memanfaatkan tawaran dari pengurus masjid. Warga miskin itu mungkin juga terpengaruh oleh semua gegap-gempita pemberitaan selama ini tentang penyelewengan dan penipuan seperti yang terjadi pada KOSPIN dan KSU ‘Milik Bersama’ tadi. Daeng Rani adalah salah seorang dari enam peminjam awal tersebut. Mereka diberikan pinjaman yang beragam, mulai dari Rp 100.000 sampai Rp 250.000, tergantung pada jenis dan skala usahanya. Syaratnya sederhana, dana tersebut harus kembali paling lama tiga bulan. Disarankan agar --pada saat pengembalian-- para peminjam itu menyisihkan sumbangan seikhlasnya kepada masjid, untuk kemudian dimanfaatkan (digulirkan lagi) kepada anggota jama’ah lainnya. Konsep keihklasan ini menjadi sesuatu yang menarik, karena tidak ada batasan. Mereka yang membayarkan cicilan pengembalian pinjamannya ternyata mengikuti anjuran itu, menyisihkan sedikit kelebihan sebagai sumbangan kepada masjid. Misalnya, cicilan yang mereka harus bayar adalah Rp 15.000. Pada saat menyetornya kepada pengurus masjid, mereka menambahkan Rp 5.000 lagi sebagai ‘sumbangan ikhlas’ itu. Sampai selesai bulan-bulan pertama, nampak semuanya berjalan lancar sesuai rencana. Bahkan, ada di antara warga peminjam yang baru berjalan dua bulan sudah melunasi seluruh cicilan pinjaman awalnya. Setahun kemudian, cadangan dana itu telah berkembang menjadi Rp 3 juta. Mulai banyak warga lain yang tergugah untuk ikut menyumbang pula. Memasuki tahun kedua, warga jama’ah yang memanfaatkan dana itu sudah mencapai 39 orang. Bukan hanya penjaja kecil seperti Daeng Rani, tapi juga beberapa petani yang membutuhkan dana untuk membeli pupuk atau bibit. Juga beberapa orang pengrajin batu bata, bahkan penjual bakso. Tingkat perputaran dana itu memang sangat lamban dalam jumlah yang tidak terlalu besar. Menjelang tahun ketiga, akumulasi cadangannya saat ini baru mencapai Rp 6 juta. Tetapi, jelas itu adalah kemajuan, meskipun kecil saja. Dan, yang paling penting, semua warga mengakui manfaatnya. Mereka merasa sangat terbantu mengatasi kesulitan dana selama ini, dan masjid tua mereka ternyata mampu membantu menemukan satu jalan pemecahan. Hal menarik lain adalah ketentuan yang disepakati bahwa pembayaran cicilan oleh warga harus dilaksanakan seluruhnya di masjid, selepas 249

GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial shalat Isya berjama’ah. Tidak boleh ada pembayaran cicilan di luar masjid, apalagi di rumah salah seorang pengurus masjid. Ada maksud berganda dari ketentuan ini. Selain tujuan transparansi --karena semua jama’ah menyaksikannya bersama-sama-- juga sekaligus tujuan menarik kembali pelan-pelan para warga untuk rajin datang berjama’ah di masjid. Terbukti, jumlah warga yang kini menjadi jam’ah inti dan rajin berjama’ah di masjid meningkat sampai 40% dari hanya sekitar 10% sebelumnya, terutama pada waktu shalat maghrib, isya dan subuh. Semakin banyaknya warga yang mulai rajin ke masjid itu, kemudian membuka kesempatan melakukan perbincangan tentang kehidupan dan pekerjaan mereka. Setiap selesai shalat Isya, perbincangan berlangsung mengenai banyak hal, mulai dari sistem pertanian sampai pengalaman-pengalaman lainnya. Penyuluhan pertanian yang diselenggarakan oleh masjid, mendapat sambuatan hangat dari jama’ah, terutama para petani. Pelan tapi pasti, suatu proses pengalaman panjang untuk memahami fungsi sosial masjid mulai berlangsung. Pelan tapi pasti, pandangan tentang masjid tidak hanya lagi terbatas sebagai tempat ibadat ritual, tetapi juga tempat untuk mencari dan menemukan cara-cara memecahkan persoalan hidup keseharian. Semua perkembangan itu, pada gilirannya, kini membuka wawasan pula bagi para pengurus masjid dan yayasan pengelolanya. Struktur kepengurusan dan mekanisme pengambilan keputusan yang selama ini terpusat pada seorang Anrong Guru, mulai tergantikan oleh suatu mekanisme keputusan kolektif yang dirapatkan dan dimusyawarahkan bersama. Dalam susunan kepengurusan, bukan hanya mereka yang berdarah ningrat lagi tercantum disana, tetapi juga kalangan awam, termasuk warga jama’ah dari lapisan keluarga miskin yang memanfaatkan dana zakat tadi. Untuk itu, manajemen pengelolaan dana itu kini dipisahkan tersendiri dalam satu badan bernama Lembaga Amil Zakat (LAZ) Masjid Bontonompo. Kalangan pemuda dan remaja juga mulai terlibat dalam banyak kegiatan masjid yang sesuai dengan mereka, termasuk kaum perempuan melalui Majelis Taklim. Pemerintah daerah pun memberikan apresiasinya dengan menobatkan masjid bersejarah panjang itu sebagai salah satu masjid terbaik di Kabuapten Gowa. Bahkan, serah-terima jabatan pejabat kelurahan setempat dilakukan di masjid itu. Namun, masih tetap banyak masalah yang harus diselesaikan. Para pengurus dan jama’ah masjid itu masih menghadapi kenyataan sulitnya melakukan pertemuan pada siang hari, karena sebagian besar 250


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook