Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore menjadi orang tua efektif

menjadi orang tua efektif

Published by perpus smp4gringsing, 2021-12-09 04:27:13

Description: menjadi orang tua efektif

Search

Read the Text Version

Dr. Thomas Gordon Menjadi Orang Tua Efektif Petunjuk Terbaru Mendidik Anak yang Bertanggung Jawab Kata Pengantar Prof. Dr. Saparinah Sadli Penerbit PT Gramedia, Jakarta, 1985

Judul asli “P.E.T. Parent Effectiveness Training The Tested New Ways to Raise Responsible Children” (A Plume Book, New American Library, New York, 1975) Judul Terjemahan Indonesia Menjadi Orang Tua Efektif Petunjuk Terbaru Mendidik Anak yang Bertanggung Jawab Oleh: Dr. Thomas Gordon Alihbasa: Tim Psikolog Klinis: Dra. Farida Lestira Subardja (koordinator), Dra. Suprapti Sumarmo, Dra. Jeanette Murad Lesmana, Dra. Istiwidayanti, Dra. Pamugari Sutomo Diperiksa dan disunting oleh Drs. Alois A. Nugroho GM 83.092 Copyright © 1970,1975 by Thomas Gordon Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang All rights reserved Disain sampul, perwajahan, dan lay-out oleh Purnama Sidhi Diterbitkan pertama kali dalam terjemahan Indonesia oleh Penerbit PT Gramedia, anggota IKAPI, Jakarta, 1983 Cetakan pertama: Agustus 1983 Cetakan kedua: Maret 1984 Cetakan ketiga: Mei 1985 Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia ii

Daftar Isi “Diagram Penerimaan” bagi Para Orang Tua/ Orang Tua Dapat dan Boleh Tidak Konsisten/ Orang Tua Tidak Perlu Tampil Sebagai “Satu Pihak”/ Penerimaan Palsu/Dapatkah Anda Menerima Anak Anda Tanpa Menerima Tingkah Lakunya?/ Definisi Kami Mengenai Orang Tua Selaku Pribadi Sejati Kekuatan Bahasa Penerimaan/ Sikap Menerima Harus Ditunjukkan/ Menyampaikan Rasa Menerima Tanpa Kata-kata/ Menyatakan Rasa Menerima Tanpa Campur Tangan/ Mendengarkan Secara Pasif Menunjukkan Sikap Menerima/ Mengutarakan Penerimaan Dengan Kata- kata/Apakah “12 Ciri” Itu?/ Membuka Pintu/Mendengar Aktif?/ Mengapa Orang Tua Harus Belajar Mendengar Aktif?/ Syarat-syarat untuk Menggunakan Cara Mendengar Aktif/ Akibat dari Cara Mendengar Aktif Bilakah Anak Mempunyai “Masalah”?/ Bagaimanakah Orang Tua Dapat Mendengar Aktif?/ Kapan Orang Tua Memutuskan untuk Menggunakan Mendengar Aktif?/ Kesalahan-kesalahan Umum dalam Menggunakan Mendengar Aktif/ Menanggapi dengan “Bimbingan”/ Membuka Pintu Kemudian Menutupnya/ Orang Tua yang Membeo/ Mendengar Tanpa Empati/ Mendengar Aktif pada Saat yang Salah Apakah Sebenarnya “Bayi” Itu?/ Memahami Kebutuhan-kebutuhan dan Persoalan-persoalan Bayi/ Menggunakan Cara Mendengar Aktif untuk Menolong Bayi-bayi/ Berilah Anak Kesempatan untuk Memuaskan Sendiri Kebutuhan-kebutuhannya Bila Pemilik Persoalan Adalah Orang Tua/ Cara-cara yang Tidak Efektif untuk menanggapi Anak-anak/ Mengirim Suatu “Pesan Pemecahan”/ Mengirim Suatu “Pesan yang Meremehkan”/ Cara-cara Efektif untuk Menghadapi Anak/ “Pesan Kamu” dan “Pesan Aku”/ Mengapa “Pesan Aku” Lebih Efektif “Pesan Kamu” yang Terselubung/ Jangan Terpaku pada yang Negatif/ Menyuruh Anak Melakukan Pekerjaan Orang Dewasa/ Menghadapi Letusan Merapi/ Pengaruh “Pesan Aku” yang Efektif/ Mengirim “Pesan Aku” yang Tanpa Kata pada Anak-anak yang Sangat Kecil/ Tiga Masalah pada “Pesan Aku” Memperkaya Lingkungan/ Mempermiskin Lingkungan/ Menyederhanakan Lingkungan/ Membatasi Ruang Gerak Anak/ Menciptakan Lingkungan “Tahan Anak”/ Mengganti Satu Kegiatan dengan Kegiatan Lain/ Mempersiapkan Anak untuk Mengalami Perubahan-perubahan Lingkungan/ Membuat Rencana dengan Anak-anak yang Lebih Besar Adu Kekuatan antara Orang Tua dan Anak/ Dua Cara Pendekatan Menang- Kalah/ Kenapa Metode I Tidak Efektif?/Kenapa Metode II Tidak Efektif?/ Beberapa Masalah Tambahan dari Penggunaan Metode I dan Metode II Apakah Kekuasaan Itu?/ Keterbatasan-keterbatasan Serius dari Kekuasaan Orang Tua/ Kekuasaan Orang Tua pada Akhirnya Surut/ Remaja-remaja yang Membuat Cemas/ Mendidik dan Menggunakan Kekuasaan Membutuhkan Kondisi-kondisi yang Ketat/ Pengaruh Kekuasaan Orang Tua atas Diri Anak/ iii

Mempertahan Diri, Menentang, Memberontak, Menyangkal/ Perasaan Benci, Marah, Bersikap Bermusuhan/ Menyerang, Mendendam, Membalas/ Berbohong, Menyembunyikan Perasaan/ Menyalahkan Orang Lain, Mengadu, Menipu/ Menguasai, Mengatur, Memaksakan Kehendak/ Mau Menang Sendiri, Tidak Mau Kalah/ Membentuk Persekutuan, Berorganisasi Melawan Orang Tua/ Bersikap Tunduk, Patuh, dan Menurut/ Mengambil Hati, Menjilat/ Menyesuaikan Diri, Tidak Memiliki Kreativitas, Takut Mencoba Sesuatu yang Baru, Membutuhkan Sesuatu Jaminan Akan Mencapai Suatu Sukses/ Menarik Diri, Menghindar, Berfantasi, Regresi/ Tinjauan Lebih Mendalam tentang Kekuasaan Orang Tua/ Apakah Anak-anak Memang Tidak Menghendaki Sikap Otoriter dan Pembalasan?/ Apakah Sikap Otoriter Itu Dapat Dibenarkan, Apabila Dilaksanakan Orang Tua secara Konsisten?/ Bukankah Orang Tua Bertanggung Jawab untuk Memengaruhi Anak?/ Mengapa Kekuasaan Masih Digunakan dalam Mendidik Anak? Kenapa Metode III Begitu Efektif?/ Anak Tergerak untuk Melaksanakan Penyelesaian/ Lebih Banyak Kemungkinan untuk Menemukan Pemecahan yang Bermutu/ Metode III Mengembangkan Ketrampilan Berpikir Anak/ Rasa Bermusuhan Berkurang-Cinta Bertambah/ Kurang Butuh Pemaksaan/ Metode III Menghilangkan Kebutuhan Akan Kekuasaan/ Metode III Mengena pada Masalah Sebenarnya/ Memperlakukan Anak Sebagai Orang Dewasa/ Metode III Sebagai “Terapi” bagi Anak Hanya Nama Baru bagi Musyawarah Keluarga Biasa?/ Metode III Dilihat Sebagai Kelemahan Orang Tua/ “Kelompok Tak Dapat Membuat Keputusan”/ “Metode III Terlalu Banyak Makan Waktu”/ “Orang Tua Boleh Menggunakan Metode I, Bukankah Mereka Lebih Bijaksana?”/ “Dapatkah Metode III Diterapkan Kepada Anak-anak Kecil?”/ “Apakah Ada Saat-saat Metode I Harus Digunakan?”/ “Apakah Saya tak Akan Kehilangan Wibawa?” Bagaimana Anda Harus Mulai?/ Keenam Langkah Anti-Kalah/ Membuat Identifikasi dan Menentukan Konflik/ Melahirkan Pemecahan-pemecahan Pengganti/ Menentukan Pemecahan Paling Baik yang Dapat Diterima/ Melaksanakan Keputusan/ Melakukan Tindak Lanjut/ Kebutuhan untuk Mendengar Aktif dan “Pesan Aku”/ Usaha Anti-Kalah yang Pertama/ Persoalan-persoalan yang Akan Dihadapi Orang Tua/ Rasa Tak Percaya dan Penolakan/ “Bagaimana Seandainya Kami Tak Bisa Menemukan Jalan Keluar yang Dapat Diterima?”/ Kembali ke Metode I Bila Metode III Mengalami Kemacetan/ Apakah Pemberian Hukuman Juga Harus Dimasukkan Sebagai Bagian dari Kesepakatan yang Dibuat?/ Bila Persetujuan Dilanggar/ Bila Anak Sudah Biasa Menang/ Metode Anti-Kalah untuk Konflik Antar-Anak/ Bila Kedua Orang Tua Tersangkut dalam Konflik Orang Tua-Anak/ Setiap Orang untuk Diri Sendiri/ Salah Satu Menggunakan Metode III, yang Lain Tidak/ iv

“Dapatkah Kami Menggunakan Ketiga Metode Tersebut?”/ “Apakah Metode Anti-Kalah Pernah Gagal?” Masalah Nilai-nilai/ Masalah Hak-hak Asasi/ “Tidak Dapatkah Saya Mengajarkan Nilai-nilai Saya?”/ Orang Tua Sebagai Contoh/ Orang Tua Sebagai Konsultan/ “Menerima Hal-hal yang Tidak dapat Saya Ubah”/ Metode Pembagian Kertas untuk Mulai Pemecahan Masalah Anti-Kalah Apakah Anda Dapat Lebih Menerima Diri?/ Anak-anak Siapakah Mereka?/ Apakah Anda Benar-benar Menyukai Anak-anak atau Hanya Jenis Anak Tertentu?/ Apakah Nilai-nilai dan Keyakinan-keyakinan Anda Saja yang Benar?/ Apakah Hubungan Anda dengan Suami/Istri Anda Utamakan?/ Dapatkah Orang Tua Mengubah Sikap-sikap Mereka? 1. Mendengarkan Perasaan (Suatu Latihan)/ 2. Mengenali Pesan- pesan Tak Efektif/ 3. Mengirim “Pesan-pesan Aku” (Suatu Latihan)/ 4. Daftar Tentang Akibat Cara Bereaksi Orang Tua Terhadap Anak v

Kata Pengantar Buku ini merupakan hasil terjemahan yang telah ditangani oleh sejumlah anggota/staf Bagian Psikologi Klinis dan Psikoterapi Fakultas Psikologi U.I. Mereka telah mengambil prakarsa untuk menerjemahkan buku dari Dr. T. Gordon, seorang Ahli Psikologi Klinis dari Amerika, atas dasar pertimbangan bahwa masih sedikit sekali buku yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia dalam bidang Pendidikan Orang Dewasa. Pilihan telah jatuh pada buku Dr. T. Gordon dengan judul asli Parent Effectiveness Training karena buku ini terdiri dari petunjuk praktis yang dapat diterapkan seorang tanpa perlu mengikuti suatu kursus, khususnya bila yang bersangkutan mau membacanya dengan serius. Petunjuk-petunjuk praktis tersebut menyangkut cara-cara apa yang dapat ditugaskan untuk meningkatkan kualitas hubungan yang akhir-akhir ini dirasakan menimbulkan berbagai kesulitan oleh cukup banyak orang tua. Saya sendiri menganggap bahwa prakarsa dari beberapa anggota staf Bagian Psikologi Klinis dan Psikoterapi Fakultas Psikologi U.I. untuk menerjemahkan buku Dr. T. Gordon sebagai suatu sumbangan kongkret terhadap kebutuhan orang tua di kalangan kita untuk memperoleh pegangan kongkret dalam menghadapi tugasnya mengasuh dan mendidik putra-putrinya. Tidak berbeda dengan apa yang dikatakan oleh Dr. T. Gordon peranan yang diisi orang dewasa pada umumnya berdasarkan pada metode-metode yang telah diturunkan dari generasi ke generasi lainnya. Berbagai permasalahan dan kesulitan yang dirasakan orang tua masa kini dalam menghadapi pendidikan putra-putrinya menggambarkan bahwa tidak setiap orang tua merasa telah mempunyai bekal yang cukup untuk dapat mengisi peranannya secara baik. Bahwa perasaan ini ada pada cukup banyak orang tua terungkap dari kebutuhan mereka untuk mengikuti kursus-kursus Kesehatan Mental yang diselenggarakan oleh berbagai organisasi; adanya permintaan akan ceramah- ceramah mengenai pendidikan anak, mengenai kenakalan remaja, mengenai berbagai aspek yang menyangkut hubungan orang tua anak. Pengalaman dalam lingkungan kita selama ini juga menunjukkan bahwa permintaan dan kebutuhan tersebut tidak terbatas pada ibu-ibu dalam kelompok arisan, tetapi juga berasal dan dirasakan oleh instansi formal, oleh pendidik, ulama, dan lain-lain anggota masyarakat yang mempunyai perhatian dan minat terhadap masa depan anak-anak sebagai generasi muda yang perlu mendapat bimbingan dan pembinaan agar menjadi orang dewasa yang mengerti akan tanggung jawabnya. Karena Dr. Gordon telah mencoba untuk menghindarkan diri dari memberikan petunjuk-petunjuk yang abstrak seperti anak ibu membutuhkan kasih sayang, atau: anak itu memerlukan pengertian dari orang tua sesuai dengan tahap usianya, atau: berilah ia bimbingan tanpa memberikan perasaan bahwa ia diarahkan. Kesemuanya ini betul, tetapi sangat sulit dilaksanakan dalam keadaan kongkret menghadapi berbagai vi

perilaku anak yang tidak selalu dapat diterima oleh orang tua. Dan tepat sekali pembukaan dari bab pertama dalam buku ini, ialah: bahwa orang tua disalahkan tetapi tidak diberi latihan. Betapa seringnya kita harus mendengarkan atau membaca dalam pidato resmi, dalam ceramah para ahli, dalam ucapan pendidik, ulama, maupun sesama orang tua bahwa permasalahan anak merupakan kesalahan orang tua. Isi dari buku ini telah disusun untuk membantu orang tua dalam meningkatkan ketrampilannya agar dapat mengisi peranannya sebagai orang tua seoptimal mungkin. Konsep-konsep teoritis yang pada dasarnya berasal dari teori hubungan antar-manusia oleh Dr. Gordon telah dituangkan dalam petunjuk-petunjuk praktis berikut cara-cara melakukannya. Karena buku ini merupakan terjemahan maka tidak semua contoh yang ada akan dirasakan relevan bagi lingkungan kita. Dr. Gordon telah menyusun buku ini berdasarkan pengalamannya dengan orang tua di lingkungan budaya di mana ia berada. Namun demikian, hal ini tidak mengurangi nilai dari petunjuk- petunjuk praktis yang telah ia bukukan, karena konsep-konsep dasar yang dipilihnya diperlukan oleh setiap orang tua. Umpamanya, bahwa perasaan memegang peranan penting dalam menghadapi orang lain (anak); bahwa dalam mendidik anak disiplin diri perlu dikembangkan; bahwa bukan hanya anak yang mempunyai kebutuhan tetapi orang tua pun mempunyai kebutuhan yang perlu dipertimbangkan, dan lain sebagainya. Buku ini terutama dibuat untuk orang tua yang ingin meningkatkan ketrampilannya sebagai pengasuh dan pendidik anak-anaknya, dan sedang mencari metode yang dapat diterapkan secara langsung dalam lingkungan keluarganya. Tujuan dari berbagai ketrampilan yang dapat dipelajari dengan membaca isi buku ini ialah agar orang tua dapat sejak semula menghindari terjadinya permasalahan anak di kemudian hari. Dr. Gordon memang pada mulanya membantu orang tua yang anak-anaknya bermasalah, seperti membolos, yang suka nyontek, yang tidak mau mendengarkan nasihat orang tua, yang minum obat atau sering berkelahi, dan lain-lain kenakalan yang semuanya bukan lagi suatu hal asing bagi kita, khususnya bagi orang tua yang hidup di kota-kota besar. Namun demikian, isi buku ini yang disusun berdasarkan pengalamannya yang bertahun-tahun ternyata juga berguna bagi orang tua yang belum mengalami permasalahan kongkret, tetapi sebagai orang tua merasa perlu pegangan jelas dan pengetahuan mengenai pendidikan anak yang melebihi daripada yang telah dimilikinya. Saya sangat senang dengan prakarsa dari teman-teman sejawat di Bagian Psikologi Klinis dan Psikoterapi di samping kesibukan sehari-harinya sesuai dengan pengalaman kerja dan pengamatannya mengenai kebutuhan masyarakat telah mengambil inisiatif menyumbangkan terjemahan buku Parent Effectiveness Training ini pada para orang tua. Mudah-mudahan orang tua vii

dapat mengambil manfaat dari usaha mereka, dan dapat menemukan pedoman praktis yang dicari. Saran dan kritik terhadap terjemahan ini akan diterima dengan hati terbuka. Jakarta, Januari 1983 Prof. Dr. Saparinah Sadli viii

1 Orang Tua Disalahkan Tapi Tidak Dilatih Semua orang menyalahkan orang tua atas kesulitan-kesulitan remaja dan kesulitan-kesulitan dalam masyarakat yang nampak disebabkan oleh kaum muda. Semua adalah kesalahan orang tua, demikian keluhan para ahli kesehatan jiwa, setelah mempelajari statistik yang mencemaskan mengenai cepat meningkatnya jumlah anak-anak remaja yang dirundung masalah emosional yang serius atau melumpuhkan, yang menjadi korban penyalahgunaan obat bius, atau yang melakukan bunuh diri. Pemimpin- pemimpin politik dan para penegak hukum menyalahkan orang tua yang mereka anggap telah membesarkan generasi yang tidak tahu terima kasih, pemberontak, pembangkang, hippies, pelaku demonstrasi damai, dan pengacau. Dan apabila anak-anak gagal di sekolah maka para guru dan para penyelenggara sekolah menuduh bahwa orang tualah yang salah. Lantas siapakah yang membela para orang tua? Berapa banyak usaha yang dilakukan untuk membantu orang tua agar lebih efektif dalam membesarkan anak-anak? Dari manakah orang tua dapat mengetahui bahwa apa yang mereka lakukan itu salah dan bahwa ada cara lain yang dapat mereka lakukan? Orang tua disalahkan, tetapi tidak dilatih. Berjuta-juta kaum ibu dan ayah yang masih muda menerima tugas yang paling sulit setiap tahunnya, yakni memperoleh bayi, seorang manusia kecil yang hampir tidak berdaya sama sekali, bertanggung jawab penuh bagi kesehatan badan dan jiwa anak itu serta membesarkannya sehingga ia dapat menjadi warga negara yang produktif, koperatif serta berguna bagi masyarakat. Adakah tugas lain yang lebih sukar dan lebih menyita perhatian? Namun begitu, sudah berapa banyak orang tua dilatih untuk ini? Sekarang tentu lebih banyak jika dibandingkan dengan tahun 1962, ketika di Pasadena, California, saya memutuskan untuk menyusun suatu program latihan bagi para orang tua. Hanya ada 17 orang dalam kelompok saya yang pertama, kebanyakan adalah para orang tua yang sedang mengalami masalah serius dengan anak- anak mereka. Kini, beberapa tahun kemudian, setelah melatih sekitar seperempat juta orang tua, kami dapat menunjukkan bahwa kursus ini, yang dinamakan Melatih Orang Tua menjadi Efektif (MOE), dapat mengajarkan kepada kebanyakan orang tua ketrampilan-ketrampilan yang mereka perlukan agar lebih berhasil dalam tugas mereka membesarkan anak-anak. Kami telah membuktikan dalam program yang mengasyikkan ini, bahwa dengan suatu latihan tertentu, banyak orang tua dapat meningkatkan secara pesat kemampuan mereka dalam bertugas sebagai orang tua. Mereka dapat 1

memperoleh ketrampilan-ketrampilan yang amat khusus yang dapat membuat saluran-saluran komunikasi antara orang tua dan anak senantiasa terbuka dalam dua arah. Dan mereka dapat mempelajari suatu metode baru dalam menyelesaikan konflik antara orang tua dengan anak yang akan lebih mempererat hubungan mereka, bukan malah merusaknya. Program ini telah memberi keyakinan kepada kami bahwa orang tua dan anak-anaknya dapat mengembangkan hubungan yang hangat dan akrab yang didasarkan atas saling mengasihi dan saling menghargai. Program ini juga membuktikan bahwa “jurang antar-generasi” tidak perlu terjadi dalam keluarga. Sebagai seorang psikolog klinis yang berpraktek, dulu pun saya sama yakinnya dengan kebanyakan orang tua, bahwa masa “remaja yang penuh pergolakan” adalah normal dan tak dapat dielakkan – yang merupakan akibat dari keinginan umum kaum remaja untuk menegakkan kebebasan mereka dan memberontak terhadap orang tua mereka. Saya yakin bahwa masa remaja sebagaimana telah ditunjukkan melalui kebanyakan studi, selalu merupakan masa badai dan ketegangan dalam keluarga. Pengalaman kami dengan MOE telah membuktikan bahwa hal ini salah. Berkali-kali, orang tua yang telah dilatih MOE melaporkan kenyataan mengejutkan mengenai tidak adanya pemberontakan dan pergolakan dalam keluarga mereka. Kini saya yakin bahwa anak remaja tidak memberontak terhadap orang tua. Mereka hanya memberontak terhadap beberapa metode disiplin tertentu yang bersifat merusak yang hampir selalu dipakai oleh orang tua. Pergolakan dan perselisihan di dalam keluarga akan menjadi suatu perkecualian, dan bukan suatu kecenderungan umum, apabila orang tua belajar untuk beralih pada suatu metode baru dalam menyelesaikan konflik. Program MOE juga telah memberikan pandangan baru mengenai hukuman – dalam mendidik anak. Banyak di antara orang tua MOE kami telah menunjukkan kepada kami bahwa pemberian hukuman dapat ditiadakan untuk seterusnya dalam menanamkan disiplin anak – maksud saya semua jenis hukuman, bukan hanya yang bersifat fisik saja. Orang tua dapat membesarkan anak-anak yang bertanggung jawab, memiliki disiplin diri dan koperatif, tanpa menakut-nakuti; mereka dapat belajar bagaimana mempengaruhi anak-anak untuk bertindak atas dasar pertimbangan tulus bagi kebutuhan-kebutuhan orang tua dan bukan atas dasar takut dihukum atau dikurangi hak-hak mereka. Apakah hal ini kedengaran terlalu indah? Mungkin hal ini saya rasakan sendiri sebelum saya memperoleh pengalaman melatih para orang tua dalam MOE. Sebagaimana umumnya orang profesional, saya telah menilai orang tua terlalu rendah. Orang tua dari MOE telah mengajarkan kepada saya betapa besarnya kemampuan mereka untuk berubah, jika diberi 2

kesempatan berlatih. Saya mempunyai keyakinan baru mengenai kemampuan para ibu dan ayah untuk memahami pengetahuan baru dan memperoleh ketrampilan-ketrampilan baru. Para orang tua dari MOE kami, dengan sedikit perkecualian, ternyata sangat berhasrat mempelajari suatu pendekatan baru dalam membesarkan anak-anak namun pertama-tama mereka harus yakin bahwa cara-cara baru itu akan berhasil. Kebanyakan orang tua telah mengetahui bahwa cara-cara yang mereka gunakan tidaklah berhasil. Jadi orang tua masa kini telah siap untuk mengadakan perubahan, dan program MOE kami menunjukkan bahwa mereka dapat berubah. Kami memetik satu hasil lain dari program MOE. Salah satu tujuan kami semula adalah untuk mengajarkan kepada orang tua beberapa ketrampilan yang digunakan oleh seorang terapis dan penyuluh profesional yang telah mengikuti pendidikan formal dalam menolong anak-anak mengatasi masalah emosional dan tingkah laku yang mengganggu. Memang nampaknya aneh atau bahkan sombong kalau kami mempunyai niat seperti itu. Meskipun kedengarannya mustahil bagi beberapa orang tua (dan bagi beberapa ahli) kami mengetahui kini bahwa orang tua meski belum pernah mengikuti kursus dasar formal psikologi, terbukti dapat mempelajari ketrampilan ini, dan dapat belajar bagaimana dan bilamana menggunakannya secara efektif untuk membantu anak-anak mereka. Selama perkembangan MOE kami telah dihadapkan pada kenyataan yang kadang-kadang membuat kami putus asa, tetapi lebih sering membuat kami merasa semakin ditantang: para orang tua masa kini hampir selalu percaya pada metode yang sama dalam membesarkan anak-anak dan menyelesaikan masalah-masalah dalam keluarga, metode yang telah digunakan oleh orang tua mereka, oleh kakek dan nenek mereka, oleh orang tua dari kakek-nenek mereka. Berlainan dengan hampir semua lembaga dalam masyarakat, hubungan orang tua – anak nampaknya tetap tak berubah. Orang tua mengandalkan metode-metode yang telah digunakan dua ribu tahun yang lalu. Ini bukan karena manusia tidak mendapat pengetahuan yang baru mengenai hubungan-hubungan manusiawi. Bahkan sebaliknya. Psikologi, ilmu perkembangan anak, dan lain-lain ilmu mengenai tingkah laku telah menyodorkan pengetahuan baru yang mengagumkan mengenai anak, orang tua, hubungan antar manusia, bagaimana membantu seseorang mengembangkan diri, bagaimana menciptakan iklim psikologis yang sehat bagi manusia. Banyak yang sudah diketahui mengenai komunikasi efektif antar pribadi, mengenai pengaruh kekuasaan terhadap hubungan antar manusia, mengenai penyelesaian konflik secara konstruktif, dan selanjutnya. Sayangnya, mereka yang telah menyingkapkan kenyataan-kenyataan baru dan mengembangkan metode-metode baru itu tidak berbaik hati untuk 3

menyampaikan kenyataan-kenyataan itu kepada para orang tua. Kami menyebarluaskan itu kepada rekan-rekan kami melalui buku, jurnal profesional, tetapi tidak menyampaikan sebaik itu kepada para orang-tua, yang merupakan konsumen paling berhak atas metode-metode baru ini. Beberapa ahli tentu saja telah mencoba gagasan-gagasan dan metode- metode baru kepada para orang tua, khususnya Haim Ginott, yang menjelaskan dalam bukunya Antara Orang Tua dan Anak, bagaimana orang tua dapat berbicara secara lebih terapetis dengan seorang anak dan menghindari gangguan dari harga diri. Meskipun demikian dari relatif sedikit orang tua yang telah membaca buku itu atau buku-buku lainnya hanya dalam kelompok kami yang menunjukkan bukti-bukti bahwa mereka telah mengubah tingkah laku mereka secara berarti, khususnya pendekatan mereka terhadap disiplin dan penanganan konflik antara orang tua dan anak. Buku ini mungkin terbukti mempunyai keterbatasan yang sama seperti buku-buku sebelumnya, tetapi saya berharap mudah-mudahan tidak demikian, karena buku ini memberikan suatu falsafah yang lebih menyeluruh mengenai apa yang perlu untuk menegakkan dan mempertahankan suatu hubungan total yang efektif dengan seorang anak, dalam setiap dan semua keadaan. Dalam buku ini orang tua dapat mempelajari bukan saja metode-metode dan ketrampilan-ketrampilan, tetapi juga bilamana dan mengapa metode dan ketrampilan ini harus digunakan, dan untuk tujuan apa. Sebagaimana dalam kelompok-kelompok MOE kami, orang tua akan diberi sebuah sistem yang lengkap – prinsip-prinsip dan juga teknik-teknik. Saya yakin bahwa para orang tua harus diberi tahu mengenai keseluruhan – semua yang kami ketahui mengenai penciptaan hubungan antara orang tua dan anak yang efektif, dimulai dari beberapa dasar mengenai apa yang terjadi bila dua orang berhubungan. Kemudian mereka akan mengerti mengapa mereka menggunakan metode-metode MOE, kapan saja metode itu cocok untuk digunakan, dan apa hasil yang akan dicapai. Orang tua akan diberi kesempatan untuk menjadi ahli-ahli dalam menangani masalah-masalah yang tidak terelakkan, yang muncul dalam semua hubungan antara anak dan orang tua. Dalam buku ini, sebagaimana dalam program MOE kami, orang tua akan diberi segala hal yang kami ketahui, tidak hanya sebagian-sebagian atau sepotong-sepotong. Sebuah model lengkap mengenai hubungan antara orang tua dengan anak akan diuraikan secara terperinci dan sering dibubuhi ilustrasi berupa kasus-kasus yang berasal dari pengalaman kami, kebanyakan orang tua menganggap MOE amat revolusioner karena MOE secara dramatis berbeda dengan tradisi. MOE juga cocok bagi orang tua 4

yang mempunyai anak-anak yang masih kecil, maupun anak-anak remaja, anak-anak cacat ataupun anak-anak yang “normal”. Sebagaimana dalam program kelompok kami, MOE akan diuraikan dalam istilah-istilah yang jelas bagi setiap orang tua, tidak dalam istilah teknis. Beberapa orang tua mungkin pada mulanya merasa tidak setuju dengan beberapa di antara konsep-konsep baru, tetapi akan sedikit sekali yang tidak mengerti konsep-konsep itu. Karena pembaca tidak mungkin menyatakan minatnya secara tatap muka dengan seorang pendamping, maka di sini akan dikemukakan beberapa pertanyaan dengan jawaban-jawabannya yang mungkin dapat membantu pembaca sebagai permulaan. PERTANYAAN: Apakah MOE ini merupakan suatu pendekatan permisif jenis lain dalam mendidik anak-anak? JAWAB: Jelas tidak. Orang tua yang permisif menghadapi masalah-masalah yang sama banyaknya seperti orang tua yang terlalu keras, oleh karena anak-anak mereka ternyata sering menjadi anak-anak yang egois, tidak dapat dikendalikan, tidak dapat bekerja sama dan tidak mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan orang tua mereka. PERTANYAAN: Dapatkah salah satu orang tua menggunakan cara pendekatan ini secara efektif bila yang lain tetap menggunakan cara pendekatan lama? JAWAB: Ya dan tidak. Bila hanya salah satu orang tua mulai menggunakan pendekatan baru, maka akan terjadi perbaikan yang yang jelas dalam hubungan antara orang tua itu dan anak-anak. Tetapi hubungan antara orang tua yang lain dengan anak-anak akan memburuk. Dengan demikian jauh lebih kalu kedua orang tua mempelajari metode-metode baru ini. Lagi pula bila kedua orang tua mencoba mempelajari pendekatan baru ini bersama-sama mereka dapat saling banyak menolong. PERTANYAAN: Apakah orang tua akan kehilangan pengaruh mereka terhadap anak mereka dengan pendekatan baru ini? Apakah mereka akan melepaskan tanggung jawab selaku pembimbing dan pengarah kehidupan anak-anak mereka? JAWAB: Bila orang tua membaca bab-bab pertama, mereka akan memperoleh kesan itu. Sebuah buku hanya memaparkan sebuah sistem secara bertahap. Bab-bab pertama membahas cara-cara membantu seorang anak menemukan pemecahan masalah-masalah yang mereka hadapi sendiri. Dalam keadaan-keadaan ini, peranan orang tua yang efektif akan nampak berbeda – jauh lebih pasif atau “nondirektif” daripada yang biasa mereka lakukan. Tetapi dalam bab-bab selanjutnya akan dibahas bagaimana cara mengubah tingkah laku anak yang dapat diterima, dan bagaimana mempengaruhi mereka untuk mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan Anda sebagai orang tua. Untuk keadaan- keadaan demikian, kepada Anda akan diperlihatkan cara-cara khusus untuk menjadi orang tua yang lebih bertanggung jawab. Lebih berpengaruh, daripada apa yang kini telah Anda miliki. Sebaiknya Anda memeriksa Daftar Isi untuk melihat pokok-pokok apa yang dibahas dalam bab-bab kemudian. Buku ini – sebagaimana lokakarya MOE – mengajarkan kepada para orang tua sebuah metode yang agak mudah dipelajari untuk mendorong 5

anak memikul tanggung jawab dalam usaha memecahkan masalah-masalah mereka sendiri dan melukiskan bagaimana orang tua dapat segera melaksanakan metode ini di rumah. Orang tua yang mempelajari metode ini (yang dinamakan “Mendengarkan secara aktif”) dapat mempelajari sendiri apa yang dilukiskan oleh orang tua yang telah mengikuti lokakarya MOE: “Alangkah leganya saya kini, tidak perlu berpikir bahwa saya harus mempunyai semua pemecahan atas masalah-masalah anak-anak saya”. “MOE telah menjadikan saya seorang yang mempunyai penghargaan yang jauh lebih besar terhadap kemampuan anak-anak untuk memecahkan masalah- masalah mereka sendiri”. “Saya kagum pada metode mendengarkan secara aktif. Anak-anak saya muncul dengan pemecahan-pemecahan bagi masalah-masalah mereka yang sering kali jauh lebih baik daripada pemecahan yang mungkin akan saya usulkan”. “Saya selalu merasa tidak senang menjalankan peranan sebagai Tuhan – merasa bahwa saya tahu apa yang harus dilakukan oleh anak-anak bila mereka mempunyai masalah”. Dewasa ini beribu-ribu anak remaja sudah tidak lagi mendengarkan orang tua mereka dan ini dilakukan dengan alasan yang baik, sejauh hal itu yang menyangkut anak-anak. “Orang tua saya tidak dapat memahami anak seusia saya”. “Saya benci untuk pulang dan di beri kuliah tiap makan”. “Saya tidak pernah menceritakan apa pun kepada orang tua saya; bila saya lakukan hal itu, mereka tidak akan memahami”. “Saya ingin orang tua saya tidak membebani saya”. “Saya secepatnya akan meninggalkan rumah – saya tidak tahan diomeli terus-menerus”. Orang tua anak-anak ini biasanya sadar bahwa mereka tidak didengarkan lagi, sebagaimana terbukti dari pernyataan-pernyataan anggota kelompok MOE ini “Saya sama sekali tidak mempunyai pengaruh terhadap putra saya yang berumur 16 tahun”. “Kami telah putus asa dengan Sri”. “Tini tidak pernah mau makan bersama dengan kami lagi, dan ia hampir tedak pernah bicara dengan kami. Sekarang ia minta sebuah kamar di luar, di garasi”. “Maman tidak pernah di rumah. Ia tidak pernah memberi tahu ke mana ia pergi atau apa yang dilakukannya. Bila saya bertanya padanya, ia menjawab bahwa hal itu bukan urusan saya”. Adalah suatu tragedi bagi saya, bahwa satu di antara hubungan- hubungan yang paling akrab dan memuaskan dalam kehidupan, demikian seringnya menimbulkan hubungan yang tidak baik. Mengapa demikian banyak remaja melihat orang tua mereka sebagai “musuh”? Mengapa 6

jurang pemisah antara generasi satu dengan yang lain begitu lebar dalam keluarga-keluarga masa kini? Mengapa ada permusuhan antara orang tua dan anak-anak mereka dalam masyarakat ini? Bab 14 akan membahas pertanyaan-pertanyaan ini dan akan menunjukkan mengapa anak-anak tidak perlu menentang dan memberontak terhadap orang tua mereka. MOE adalah revolusioner, ya, tapi bukan merupakan metode yang mengundang revolusi. MOE malah merupakan metode yang dapat membantu agar nasihat orang tua didengar, mencegah permusuhan dalam rumah, dan lebih mendekatkan orang tua dengan anak- anak bukan sebagai dua kelompok yang saling bertentangan. Para orang tua yang semula cenderung menolak metode-metode kami karena terlalu revolusioner mungkin memperoleh motivasi untuk mempelajarinya dengan pikiran terbuka bila membaca kutipan suatu riwayat hidup yang dikemukakan oleh seorang ibu dan ayah setelah mereka mengikuti MOE: “Budi, pada waktu ia berumur 16 tahun, merupakan masalah kami paling utama. Ia menyendiri. Ia menjadi liar dan sama sekali tidak bertanggung jawab. Mula-mula ia mendapat nilai kurang di sekolah. Kalau ia pergi, ia tidak pernah pulang pada waktu yang telah dijanjikan, dan sebagai alasan ia mengatakan bahwa ban mobil kempes, arloji tidak jalan, dan bensin habis. Kami memata- matinya dan ia membohongi kami. Kami melarang dia mengendarai mobil. SIM-nya kami ambil. Kami kurangi uang sakunya. Percakapan kami penuh dengan tuduh-menuduh. Semua tidak ada hasilnya. Sesudah suatu pertengkaran sengit, ia berbaring di lantai dapur serta menyepak-nyepak, berteriak dan menjerit-jerit bahwa ia akan menjadi gila. Atas dasar itu kami kemudian mendaftarkan diri dan mengikuti lokakarya untuk orang tua dari Dr. Gordon. Perubahan tidak terjadi dalam satu malam ... Kami tidak pernah merasa sebagai satu kesatuan, suatu keluarga yang hangat, diliputi kasih sayang dan saling mengasuh. Keadaan ini baru terjadi setelah ada perubahan besar dalam sikap dan nilai-nilai kami ... Gagasan baru mengenai menjadi seorang pribadi yang kuat dan berdiri sendiri, yang menganut nilai-nilainya sendiri tanpa memaksanya pada orang lain, selain sebagai model kebaikan merupakan titik balik. Kami mempunyai pengaruh yang jauh lebih besar ... Dari pemberontakan dan serangan-serangan marah, dari kegagalan di sekolah, Budi berubah menjadi satu pribadi yang ramah, penyayang sesama manusia, dan menyebut kedua orang tuanya sebagai “dua di antara orang yang saya senangi” ... Saya menemukannya kembali dalam keluarga ... Saya mempunyai hubungan dengan dia sebagaimana pernah saya yakini, penuh kasih sayang serta penuh kepercayaan dan kebebasan. Ia memiliki dorongan-dorongan yang datang dari dalam dan bilamana masing-masing dari kita juga demikian keadaannya, maka kita akan betul-betul hidup dan berkembang sebagai satu keluarga. Para orang tua yang belajar mengunakan cara-cara baru di dalam menyampaikan perasaan-perasaan mereka, tidak mungkin menghasilkan 7

anak seperti sorang pemuda berumur 16 tahun yang mendatangi kantor saya dan dengan wajah yang polos mengaku: “Tak ada yang perlu saya lakukan di rumah. Mengapa tidak? Tugas orang tualah untuk mengurusi saya. Secara hukum mereka berkewajiban demikian. Saya tidak minta untuk dilahirkan, bukan? Selama saya masih kecil mereka berkewajiban mencukupi sandang pangan saya. Saya tidak wajib melakukan apa-apa. Saya sama sekali tidak berkewajiban untuk membuat mereka senang”. Pada waktu saya mendengar apa yang dikatakan oleh orang muda ini dan tentu mempercayainya, saya berpikir, “Manusia-manusia apakah yang kita hasilkan bila anak-anak itu dibiarkan tumbuh menjadi besar dengan sikap bahwa dunia berutang budi sedemikian besar padanya meskipun mereka sendiri tidak banyak menyumbang kembali? Warga negara macam apakah yang diturunkan orang tua ke bumi ini? Masyarakat bagaimanakah yang akan diciptakan oleh manusia-manusia yang hanya memikirkan kepentingan mereka sendiri seperti ini?” Hampir tanpa kecuali, para orang tua dapat digolongkan secara kasar dalam 3 kelompok – mereka yang “menang”, yang “kalah”, dan yang “menang-kalah”. Para orang tua yang tergolong dalam kelompok pertama gigih mempertahankan dan membenarkan hak mereka untuk menggunakan otoritas ataupun kekuasaan atas anak. Mereka percaya perlunya mengekang, menentukan batas, menuntut tingkah laku tertentu, memberi perintah, dan mengharapkan sikap taat, mereka menggunakan ancaman agar anak menurut, dan melaksanakan hukuman bila ia tidak menurut, bilamana timbul konflik antara kebutuhan orang tua dan anak, para orang tua ini selalu memecahkannya dengan cara yang sedemikian rupa sehingga orang tualah yang menang dan anak yang kalah. Umumnya para orang tua ini merasionalisasikan “kemenangan” mereka dengan pikiran yang stereotif seperti “Ayahlah yang paling tahu”, “Semua demi kebaikan si anak”, “Anak-anak umumnya membutuhkan otoritas dari orang tua”, ataupun mereka menyebutkan secara samar-samar bahwa “Adalah tanggung jawab orang tua untuk menggunakan otoritas mereka demi kebaikan anak, orang tualah yang paling mengetahui apa yang benar dan apa yang salah”. Kelompok orang tua yang kedua, yang berjumlah lebih sedikit daripada kelompok pertama, hampir selalu memberikan anak-anak mereka kebebasan. Mereka secara sadar menghindari pemberian batas-batas kepada anak-anak mereka, dan dengan bangga mengemukakan bahwa mereka bukan penganut metode otoriter. Bila terjadi konflik antara kebutuhan orang tua dengan kebutuhan anak, maka agak secara konsisten anaklah yang menang dan orang tualah yang kalah, karena orang tua seperti itu percaya bahwa menghambat kebutuhan-kebutuhan anak berakibat kurang baik. Barangkali kelompok terbesar daripada orang tua terdiri dari mereka yang beranggapan bahwa sulit untuk mengikuti secara konsisten salah satu 8

di antara kedua pendekatan tadi. Akibatnya, untuk mencoba sampai pada “perpaduan yang adil” dari masing-masing cara pendekatan itu, mereka bergerak hilir-mudik antara menjadi orang tua yang keras dan yang lemah, sulit dan mudah, membatasi dan membiarkan, menang dan kalah. Sebagaimana cerita salah seorang ibu kepada kami: “Saya mencoba untuk bersikap permisif terhadap anak-anak saya sampai mereka menjadi sedemikian buruknya sehingga saya tidak tahan lagi. Kemudian saya merasa bahwa harus mengubahnya dan mulai menggunaan kekuasaan saya hingga saya menjadi demikian kerasnya sampai saya sendiri tidak tahan”. Para orang tua yang mengungkapkan perasaan semacam itu dalam kelompok MOE secara diam-diam mengungkapkan itu atas nama sejumlah besar orang tua dalam “kelompok ragu-ragu”. Mungkin orang tua ini adalah yang paling bingung dan ragu-ragu, namun seperti akan kami tunjukkan kelak, anak-anak merekalah yang sering kali justru paling terganggu. Dilema utama dari orang tua masa kini ialah bahwa mereka hanya melihat dua cara pendekatan dalam mengatasi konflik di rumah – konflik yang mau tak mau akan timbul antara orang tua dengan anak. Mereka hanya melihat dua alternatif dalam pendidikan anak. Beberapa memilih pendekatan “saya menang – kamu kalah”, beberapa yang lain memilih “kamu menang – saya kalah”. Sedangkan yang lain nampaknya tidak memutuskan yang mana yang harus dipilih. Para orang tua MOE heran setelah mengetahui bahwa ada alternatif lain dari metode “menang-kalah” itu. Kami menamakannya metode “antikalah” dalam menyelesaikan konflik, dan salah satu tujuan pokok dari program MOE adalah membantu orang tua menggunakannya secara efektif. Meskipun metode ini telah bertahun-tahun lamanya digunakan untuk menyelesaikan konflik-konflik lain, hanya sedikit di antara orang tua yang pernah memikirkannya sebagai suatu metode untuk menyesaikan konflik orang tua dan anak. Banyak di antara pasangan suami-istri yang menyelesaikan konflik mereka melalui pemecahan masalah antara kedua pihak. Demikian pula partner-partner dalam usaha. Serikat-serikat kerja dan pimpinan perusahaan merundingkan kontrak-kontrak yang mengikat kedua. Pengaturan hak milik atau harta benda dalam perceraian sering kali dicapai melalui pengambilan keputusan bersama. Bahkan anak-anak sering kali menyelesaikan konflik antara mereka melalui kesepakatan bersama atau pengikatan-pengikatan informal yang dapat diterima oleh dua pihak (“Kalau Anda melakukan ini, maka saya akan menyetujui”). Organisasi-organisasi perusahaan semakin meningkatkan frekuensinya untuk melatih pegawai-pegawai mereka dalam hal penggunaan proses pengambilan keputusan melalui partisipasi dalam menyelesaikan konflik-konflik. 9

Tak ada alat atau cara seketika untuk menjadi orang tua efektif, metode “anti-kalah” ini menuntut suatu perubahan mendasar dalam sikap-sikap dari kebanyakan orang tua terhadap anak-anak mereka. Diperlukan waktu untuk dapat menerapkannya di rumah, dan dari pihak orang tua pertama-tama diminta untuk mempelajari ketrampilan-ketrampilan untuk dapat mendengarkan tanpa memberi penilaian dan melangsungkan komunikasi yang jujur dari perasaan-perasaan mereka. Selanjutnya metode “anti-kalah” ini akan diuraikan dan digambarkan dalam bab-bab berikutnya. Kedudukannya dalam buku ini, sekalipun demikian, tidaklah mencerminkan kepentingan sebenarnya dari metode “anti-kalah” untuk pendekatan kami secara menyeluruh terhadap pendidikan anak. Sebenarnya metode baru dalam mengembangkan disiplin di rumah melalui penanganan yang efektif terhadap konflik-konflik, merupakan nafas kehidupan dan falsafah kami. Hal ini adalah kunci utama menuju efektivitas orang tua. Orang tua yang meluangkan waktu untuk memahaminya dan kemudian secara sungguh-sungguh menerapkannya di rumah sebagai kemungkinan daripada kedua metode menang-kalah itu akan memperoleh manfaat yang besar, yang biasanya melampaui harapan dan keinginan mereka. 10

2 Orang Tua Adalah Manusia, Bukan Malaikat Apabila seseorang menjadi orang tua, maka terjadilah suatu keganjilan yang patut disesali. Mereka akan mulai memainkan suatu peran atau jabatan tertentu dan lupa bahwa sesungguhnya mereka adalah pribadi manusia. Setelah ditahbiskan sebagai orang tua dengan segala kekudusannya, mereka merasa harus mengenakan jubah “orang tua”. Secara sungguh-sungguh mereka kini mencoba untuk bertindak menurut cara-cara tertentu karena mereka mengira memang demikianlah orang tua seharusnya bertindak. Ati dan Win Basarudin, dua makhluk manusia secara mendadak berubah menjadi orang tua, sebagai Tuan dan Nyonya Basarudin. Secara serius, perubahan ini tidaklah menguntungkan, karena sering berakibat orang tua lupa mereka tetaplah manusia dengan segala keterbatasan yang bersifat manusiawi, pribadi dengan segala keterbatasan pribadi, manusia yang nyata dengan dengan pelbagai perasaan yang nyata pula. Dengan melupakan kenyataan manusiawi ini, maka seorang yang menjadi orang tua sering berhenti menjadi manusia. Mereka tidak lagi merasa bebas untuk menjadi diri sendiri, apa pun yang mereka rasakan pada saat-saat yang berbeda. Kini sebagai orang tua, mereka mempunyai tanggung jawab untuk menjadi lebih baik daripada sekedar sebagai manusia. Beban tanggung jawab yang amat berat ini merupakan tantangan bagi manusia yang telah berubah menjadi orang tua. Mereka merasa bahwa mereka harus selalu bersikap konsisten dalam perasaan-perasaan mereka, harus selalu menyayangi anak-anak, harus menerima dan bersikap toleran tanpa syarat, harus mengesampingkan kebutuhan-kebutuhan diri sendiri dan berkorban demi anak-anak, harus senantiasa adil, dan yang terpenting adalah tidak boleh membuat kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh orang tua terhadap mereka. Meskipun niat baik ini dapat dipahami dan dapat dipuji, namun niat-niat ini biasanya menjadikan para orang tua menjadi kurang efektif. Melupakan sifat-sifat manusiawi itu sendiri adalah kesalahan serius pertama yang mungkin dibuat seseorang sewaktu memainkan peran sebagai orang tua. Sepasang orang tua yang efektif akan tetap membiarkan dirinya sendiri sebagai pribadi-pribadi sejati. Anak-anak sungguh-sungguh akan menghargai sifat manusiawi ini dan sifat tidak berpura-pura dari orang tua mereka ini. Mereka sering kali mengatakan demikian: “Ayah saya betul- betul manusia tulus”, atau “Ibuku adalah pribadi yang menyenangkan”. Bila mereka menginjak masa remaja, kadang-kadang mereka mengatakan, “Orang tua saya lebih sebagai teman daripada orang tua. Mereka adalah 11

orang-orang hebat. Tentunya mereka mempunyai kelemahan-kelemahan sebagaimana orang lain, namun saya menyukai mereka sebagaimana adanya”. Apakah yang dikatakan oleh anak-anak ini? Jelas bahwa mereka ingin agar orang tua mereka menjadi manusia bukan malaikat. Mereka menunjukkan reaksi yang baik terhadap terhadap orang tua sebagai manusia pribadi, tidak sebagai pemain sandiwara, berpura-pura menjadi tokoh yang bukan dirinya yang sejati. Bagaimana orang tua dapat menjadi pribadi-pribadi manusia terhadap anak-anak mereka? Bagaimana orang tua dapat mempertahankan sifat-sifat kepribadian mereka? Dalam bab ini kami ingin menunjukkan kepada orang tua bahwa untuk menjadi orang tua yang efektif tidak perlu membuang sifat kemanusiaan mereka. Anda dapat menerima diri Anda sebagi seorang yang dapat mempunyai perasaan positif maupun perasaan negatif terhadap anak- anak. Anda bahkan tidak perlu bersikap konsisten untuk tetap menjadi orang tua yang efektif. Anda tidak perlu berpura-pura untuk menerima dan mencintai seorang anak apabila Anda sungguh-sungguh tidak merasakannya demikian. Anda juga tidak harus merasakan derajat kecintaan dan penerimaan yang sama terhadap semua anak Anda. Akhirnya, Anda dan pasangan Anda tidak perlu membuat benteng bersama dalam menghadapi anak-anak. Tapi sangatlah penting bagi Anda untuk belajar mengetahui apa yang sungguh-sungguh sedang Anda rasakan. Di dalam kelas-kelas MOE, kami memakai beberapa diagram untuk para orang tua mengenali apa yang mereka rasakan, dan mengenali penyebab timbulnya pelbagai perasaan dan pelbagai keadaan. “Diagram Penerimaan” bagi Para Orang Tua Semua orang tua adalah pribadi-pribadi yang dari masa ke masa mempunyai dua macam perasaan yang berbeda terhadap anak-anak mereka – menerima dan tidak menerima. Orang tua yang menunjukkan “pribadi yang sesungguhnya” kadang-kadang merasa dapat menerima apa yang dilakukan anak-anak dan kadang-kadang tidak dapat menerimanya, atau menolaknya. Semua tingkah laku yang mungkin dilakukan anak – apa yang mungkin ia lakukan atau katakan – dapat digambarkan dengan sebuah segi empat. semua tingkah laku yang mungkin dilakukan oleh anak-anak Anda Jelasnya, beberapa di antara tingkah laku anak dapat Anda terima; beberapa tidak. Ini dapat kami gambarkan dalam segi empat yang terbagi dalam daerah yang diterima dan daerah yang tidak dapat diterima. 12

daerah yang dapat diterima daerah yang tidak dapat diterima Anak Anda yang sedang menonton acara Minggu pagi di TV, memberi Anda kesempatan untuk melakukan tugas-tugas rumah tangga, akan jatuh ke dalam daerah yang dapat diterima. Apabila ia membesarkan suara TV sedemikian kerasnya sehingga menjengkelkan Anda, maka tingkah laku yang demikian masuk ke dalam daerah yang tidak dapat diterima. Garis pemisah antara kedua daerah itu jelas akan berlainan bagi orang tua yang berlainan pula. Seorang ibu mungkin saja tidak banyak menemukan perilaku anaknya yang tidak dapat diterima dan tentu saja lebih sering menunjukkan sikap hangat dan dapat menerima anaknya. Orang tua yang daerah yang dapat diterima relatif “menerima” daerah yang tidak dapat diterima Seorang ibu lain mungkin menganggap bahwa banyak tingkah laku anaknya yang tidak dapat dia terima dan ia jarang secara tulus mampu bersikap hangat dan menerima anaknya. Orang tua yang daerah yang dapat diterima relatif “tidak dapat menerima” daerah yang tidak dapat diterima Bagaimana sikap menerima dari orang tua terhadap anak itu sebagian merupakan fungsi dari sifat pribadi orang tua. Ada beberapa orang tua, yang oleh karena bawaan mereka, memiliki kemampuan untuk sangat dapat menerima anak-anak. Orang tua seperti itu, menarik sekali, mereka biasanya pun dapat menerima orang lain pada umumnya. Mereka juga ditandai oleh sifat menerima diri – rasa aman dalam diri, tingkat toleransi yang tinggi, kenyataan bahwa mereka menyukai dirinya sendiri, kenyataan bahwa perasaan mereka mengenai dirinya sendiri tidak ada hubungannya, atau bebas dari apa yang terjadi di sekitar mereka, dan sejumlah besar variabel kepribadian yang lain. Setiap orang mempunyai kenalan semacam 13

itu, meskipun Anda mungkin tidak mengetahui apa yang membuat mereka menjadi demikian, Anda menganggap sebagai “orang-orang yang mudah dapat menerima”. Orang akan merasa senang berada di sekitar mereka – Anda dapat berbicara secara terbuka dengan mereka, secara terus terang. Masing-masing merupakan dirinya sendiri. Orang tua lain, sebagai manusia, barangkali sukar sekali untuk dapat menerima orang lain. Agaknya mereka beranggapan bahwa banyak tingkah laku orang lain tidak dapat mereka terima. Apabila Anda mengamati mereka sedang bersama dengan anak-anak mereka, Anda mungkin akan heran mengapa demikian banyak tingkah laku anak yang nampaknya dapat Anda terima, tidak dapat diterima oleh mereka. Dalam hati Anda mungkin akan berkata pada diri Anda sendiri, “Ah, biarkan anak-anak itu bermain sendiri – mereka tidak mengganggu siapa-siapa!” Sering kali mereka merupakan orang-orang yang berpendapat tegas dan kaku tentang bagaimana orang lain “seharusnya” bertingkah laku, tingkah laku manakah yang “benar” dan mana yang “salah” – bukan hanya mengenai anak-anak tetapi terhadap setiap orang. Anda akan merasa canggung untuk berada di sekitar orang-orang yang demikian karena Anda sangsi apakah mereka dapat menerima Anda. Baru-baru ini saya mengamati seorang ibu beserta dua putranya yang masih kecil di sebuah toko serba ada. Bagi saya, anak-anak itu nampaknya bertingkah laku wajar. Mereka tidak ribut-ribut ataupun menimbulkan gangguan apa-apa. Namun ibu tersebut tak henti-hentinya mengatakan pada putra-putranya apa yang harus mereka lakukan dan apa yang tidak boleh mereka lakukan: “Ikuti saya, sekarang”. “Jangan menyentuh kereta dorong”. “Minggir, jangan menghalang-halangi”. “Cepat sedikit!”. “Biarkan kue-kue itu”. “Jangan memegang makanan”. Seolah-olah ibu itu tidak dapat menerima apa pun yang dilakukan oleh anak-anaknya. Garis pemisah antara daerah-daerah yang dapat diterima dan yang tidak dapat diterima selain sebagian dipengaruhi oleh faktor-faktor yang hanya terdapat di dalam diri orang tua, hal itu pun ditentukan oleh si anak. Terhadap anak-anak tertentu sering sukar sekali orang tua mempunyai sikap menerima. Mungkin karena anak-anak itu bersikap sangat agresif dan aktif, ataupun kurang menarik penampilan fisiknya, atau mungkin saja mereka menunjukkan sifat-sifat tertentu yang khususnya tidak kita sukai. Seorang anak yang pada awal hidupnya terus sakit-sakitan, atau sukar tidur, ataupun sering menangis, atau sering kejang akan dengan sendirinya lebih sukar dapat diterima oleh orang tua. Gagasan-gagasan yang ditampilkan dalam banyak buku serta artikel yang ditulis untuk para orang tua selalu harus adil dalam sikap dapat menerima terhadap tiap anak, bukan hanya merupakan sesuatu yang keliru, tetapi telah menyebabkan rasa bersalah pada banyak orang tua bila mereka 14

benar-benar merasakan adanya perbedaan derajat penerimaan terhadap orang-orang dewasa yang mereka jumpai. Apa bedanya dengan perasaan mereka terhadap anak-anak? Kenyataan bahwa penerimaan orang tua terhadap anak tertentu itu dipengaruhi oleh ciri-ciri dari anak itu dapat digambarkan sebagai berikut: daerah yang daerah yang dapat diterima dapat diterima daerah yang tidak daerah yang tidak dapat diterima dapat diterima Orang tua dengan anak A Orang tua dengan anak B Beberapa orang tua akan merasa lebih mudah untuk menerima anak-anak perempuan daripada anak laki-laki – orang tua yang lainnya merasakan hal yang sebaliknya. Bagi beberapa orang tua, anak-anak yang sangat aktif, lebih sulit untuk diterima. Anak-anak yang secara aktif ingin mengetahui sesuatu dan yang senang menyelidiki banyak hal secara bebas, lebih sulit untuk dapat diterima oleh orang tua tertentu daripada anak-anak yang lebih pasif dan mempunyai sifat tergantung. Saya mengenal beberapa anak yang entah dari mana memiliki pesona dan daya tarik yang demikian rupa sehingga seolah-olah saya dapat menerima hampir semua yang mereka lakukan. Saya juga pernah secara tidak beruntung menjumpai beberapa anak yang kehadirannya tidak menyenangkan saya, banyak di antara tingkah laku mereka tidak dapat saya terima. Kenyataan lain yang mempunyai arti yang besar adalah garis pemisah antara daerah yang dapat diterima dan daerah yang tidak dapat diterima tidak statis tapi bergerak naik-turun. Ini dipengaruhi oleh banyak hal, termasuk keadaan jiwa, fikiran sesaat dari orang tua dan situasi di mana anak dan orang tua itu berada. Orang tua yang pada suatu saat tertentu merasa bersemangat, sehat, dan bahagia dengan dirinya sendiri, mungkin sekali lebih banyak dapat menerima tingkah laku anaknya. Lebih sedikit di antara yang dilakukan si anak yang akan mengganggu orang tua bila ia sedang merasa senang dengan dirinya sendiri. Orang tua yang daerah yang sedang senang dapat diterima dengan daerah yang tidak dirinya sendiri dapat diterima 15

Bila orang tua merasa lelah sekali karena kurang tidur atau karena sakit kepala, ataupun merasa jengkel kepada diri sendiri, maka banyak hal yang dilakukan anak akan terasa merepotkan mereka. Ketidakserasian ini dapat digambarkan sebagai berikut: Orang tua yang daerah yang merasa tidak dapat diterima senang dengan daerah yang tidak keadaan dirinya dapat diterima Perasaan dapat menerima dari orang tua juga berubah dari satu situasi ke situasi berikutnya. Semua orang tua sering mengalami bahwa mereka biasanya kurang dapat menerima ulah anak mereka apabila mereka sekeluarga mengunjungi rumah kenalan dibandingkan dengan apabila terjadi di rumah. Dan betapa tiba-tiba tingkat toleransi orang tua terhadap anak-anak mereka berubah bila nenek dan kakek datang berkunjung! Tentu sering nampak membingungkan anak-anak bahwa orang tua mereka menjadi marah melihat tata cara anak-anak makan di meja makan bila sedang ada tamu, meskipun tata cara yang sama dapat mereka terima bila keluarga itu tidak sedang menerima tamu. Ketidakserasian ini dapat dilukiskan sebagai berikut: daerah yang daerah yang dapat diterima dapat diterima daerah yang tidak daerah yang tidak dapat diterima dapat diterima situasi A situasi B Adanya dua orang tua menambah rumit gambaran mengenai mana yang dapat dan mana yang tidak dapat diterima dalam keluarga. Pertama-tama, sering kali salah seorang dari orang tua itu lebih dapat menerima dibandingkan dengan yang lain. Joko, seorang anak laki-laki yang berumur 5 tahun yang kuat dan aktif, mengambil sebuah bola dan melemparkannya kepada adiknya di ruang tamu. Ibu marah dan jelas tidak dapat menerima hal ini karena takut kalau-kalau Joko merusak sesuatu di ruangan itu. Tetapi ayah bukan hanya dapat menerima tindakan tersebut, melainkan dengan bangga mengatakan “Lihat itu Joko – ia akan menjadi pemain bola yang baik. Lihat lemparannya itu!”. Lagi pula, garis pemisah dari masing-masing orang tua itu bergerak naik-turun pada saat-saat yang berbeda tergantung pada situasi dan pikiran masing-masing orang tua iu. Jadi seorang ayah dan seorang ibu tidak selalu mempunyai perasaan yang sama mengenai tingkah laku yang sama dari anak mereka pada suatu saat tertentu. 16

Orang Tua Dapat dan Boleh Tidak Konsisten Tidak dapat dihindarkan kenyataan bahwa orang tua menjadi tidak konsisten. Bagaimana mereka dapat berbuat lain, bila perasaan mereka berubah dari hari ke hari, dari anak ke anak, dari situasi ke situasi? Bila orang tua mencoba menjadi konsisten, mereka tidaklah jujur. Nasehat tradisional kepada orang tua bahwa mereka harus konsisten bagaimanapun juga mengabaikan fakta bahwa situasi adalah berbeda, anak-anak berbeda, dan ibu serta ayah adalah manusia yang berbeda. Lagi pula, nasehat semacam itu mempunyai akibat buruk yakni mendorong orang tua untuk berpura-pura, untuk bersandiwara menjadi seorang manusia dengan perasaan yang senantiasa sama. Orang Tua Tidak Perlu Tampil Sebagai “Satu Pihak” Bahkan lebih penting lagi, nasehat untuk bersikap konsisten telah mengarahkan banyak ibu dan ayah berpikir bahwa harus selalu seia sekata dalam hal peresaan mereka, menampilkan satu kesatuan sebagai orang tua di depan anak-anak mereka. Ini mustahil. Kendatipun demikian, ini merupakan keyakinan yang sudah sangat berakar dalam pendidikan anak. Orang tua menurut pandangan tradisional ini harus senantiasa saling mendukung hingga anak menjadi percaya bahwa terhadap seatu tingkah laku tertentu kedua orang tuanya mempunyai perasaan yang sama. Terlepas dari tidak adilnya siasat ini – mengelompokkan anak dalam kelompok dua lawan satu – hal ini sering kali mendorong terjadinya kepura- puraan dari pihak orang tua. Kamar seorang gadis berumur 16 tahun umunya tidak bersih sebagaimana dikehendaki ibunya. Kebiasaan membersihkan pada gadis ini tidak dapat diterima oleh sang ibu (berada dalam daerah tidak dapat diterima). Tetapi ayahnya, menganggap bahwa kamar itu cukup bersih dan rapi. Tingkah laku yang sama berada dalam daerah dapat berbeda. Ibu menekan ayah untuk merasakan hal seperti dirinya, hingga mereka berdua berada di satu pihak (yang mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap anak gadis mereka). Bila ayah mengikuti ini, maka ia tidak jujur dengan memalsukan perasaan yang sebenarnya. Seorang anak laki-laki berumur 6 tahun sedang gaduh bermain mobil- mobilan truk melebihi apa yang dapat diterima oleh sang ayah. Ibu, sama sekali tidak merasa terganggu olehnya. Ia bersyukur bahwa si anak bermain sendiri dan bukannya sebentar-sebentar mengganggu dirinya sebagaimana biasa dilakukannya sepanjang hari. Ayah mendekati ibu, “Mengapa kamu tidak berbuat sesuatu agar ia berhenti berbuat gaduh seperti itu?”. Apabila sang ibu mengikutinya, ia akan menyangkal perasaannya yang sebenarnya. Penerimaan Palsu 17

Tak ada orang tua yang pernah merasa dapat menerima semua tingkah laku seorang anak. Beberapa tingkah laku anak akan selalu terletak dalam “daerah yang tidak dapat diterima” dari orang tua. Saya mengenal para orang tua yang “garis penerimaan”-nya sangat rendah daam empat persegi panjang kit, tapi tak pernah saya menjumpai orang tua yang “dapat menerima tanpa syarat”. Beberapa orang tua berpura-pura dapat menerima banyak dari tingkah laku anak-anak mereka, tetapi semua orang tua itu sebenarnya memainkan peranan sebagai orang tua yang baik. Karenanya, sebagian tertentu dari sikap dapat menerimanya adalah palsu. Secara lahir mereka mungkin bertindah seolah-olah dapat menerima, tetapi secara batin mereka sebenarnya merasa tidak dapat menerima. dapat diterima penerimaan palsu tak dapat diterima Misalkan ada orang tua merasa gusar karena anaknya yang berusia 5 tahun terlambat tidur. Orang tua ini mempunyai kebutuhannya sendiri – katakanlah membaca sebuah buku yang baru. Ia jauh lebih menyukai untuk melakukan hal ini daripada mencurahkan waktu untuk anaknya. Juga, ia khawatir mengenai kemungkinan si anak kekurangan tidur dan menjadi rewel keesokan harinya atau menjadi pilek. Meskipun demikian sang ibu, yang mencoba untuk mengikuti pendekatan “permisif”, bersikap lunak dalam mengajukan tuntutan kepada anaknya karena ia takut bahwa hal ini akan tidak konsisten dengan prinsip-prinsipnya. Orang tua ini tidak dapat menghindar dari penampilan “penerimaan palsu”. Ia mungkin bertindak seolah-olah ia menerima bahwa anaknya belum tidur tetapi dalam batinnya ia sama sekali tidak dapat menerimanya; ia merasa sangat terganggu, mungkin marah, dan jelas frustrasi karena kebutuhan-kebutuhannya sendiri tak terpenuhi. Apakah akibatnya terhadap anak jika orang tua secara palsu bersikap dapat menerimanya? Anak-anak, sebagaimana umumnya diketahui, sangatlah peka terhadap sikap-sikap orang tua mereka. Mereka amat peka menangkap perasaan sejati orang tua mereka, karena orang tua menyampaikan “pesan-pesan tanpa kata” kepada anak-anak mereka – isyarat-isyarat yang ditangkap oleh anak-anak, kadang-kadang secara sadar, kadang-kadang secara tak sadar. Orang tua yang sikap batinnya terganggu atau marah, tak dapat tidak akan menyampaikan isyarat-isyarat halus, mungkin berupa kerutan kening, alis terangkat, nada bicara yang khusus, sikap tubuh tertentu, ketegangan otot-otot muka. Bahkan anak-anak kecil sekalipun dapat menangkap isyarat-isyarat seperti itu, yang dipelajari dari 18

pengalaman bahwa isyarat-isyarat seperti itu biasanya berarti ibunya tidak sungguh-sungguh dapat menerima apa yang mereka lakukan. Akibatnya, anak muda merasa bahwa dirinya tidak disetujui – pada saat khusus itu ia merasa bahwa orang tuanya tidak menyukai dirinya. Apa yang terjadi bila ibu sungguh-sungguh merasa tidak dapat menerima, tapi tingkah lakunya tampil pada anak sebagai dapat menerima? Anak dapat juga menangkap tingkah laku ini. Kini ia betul-betul bingung. Ia menerima “pesan-pesan campuran” atau isyarat-isyarat yang saling bertentangan – tingkah laku yang menyatakan padanya bahwa “belum tidur” (waktu sudah malam) tidak apa-apa, tapi juga isyarat-isyarat non verbal yang mengatakan padanya bahwa ibu sebenarnya tidak suka jika ia belum tidur. Anak berada dalam keadaan “terjepit”. Keadaan si anak bahwa ia belum tidur nampaknya dapat diterima sang ibu, namun ada kerutan kening di wajah ibu. Kini apa yang harus ia lakukan? Menempatkan anak dalam keadaan terjepit semacam itu dapat mempengaruhi kesehatan psikologis anak secara serius. Tiap orang mengetahui betapa terhambat dan tidak enak bila Anda tidak tahu tingkah laku mana yang harus Anda pilih karena Anda mendapat pesan-pesan tercampur dari orang lain. Misalkan Anda menanyakan kepada tuan rumah apakah Anda boleh mengisap rokok dengan pipa di rumahnya. Ia menjawab, “Saya tidak keberatan”. Tetapi wajahnya menunjukkan isyarat- isyarat tanpa kata yang mengatakan pada Anda bahwa sebenarnya ia keberatan. Apa yang akan Anda lakukan? Anda dapat menanyakan, “Apakah Anda yakin Anda tidak keberatan?” Anda dapat meletakkan pipa Anda dalam saku dan merasa kecewa. Atau Anda terus merokok, dan untuk selanjutnya merasa bahwa tuan rumah tidak menyukai tingkah laku ini. Anak-anak menghadapi dilema dari jenis yang sama, dihadapkan dengan penerimaan yang mereka anggap sebagai tidak jujur. Penampilan yang berulang-ulang dari keadaan-keadaan yang semacam itu dapat membuat anak sering kali harus meragukan keadaan, menyebabkan anak-anak memikul bebas kecemasan yang berat, memupuk perasaan cemas, dan selanjutnya. Saya percaya bahwa bagi anak-anak yang tersulit adalah bergaul dengan orang tua bermulut manis, “mengalah”, tidak menuntut, yang bertingkah laku seolah-olah ia menerima, tetapi secara halus mengkomunikasikan sikap tidak dapat menerima. Ada akibat samping yang serius dari sikap dapat menerima yang palsu ini, dan pada akhirnya hal ini mungkin lebih merusak hubungan anak dan orang tua. Bila anak menerima “pesan-pesan campuran”, ia dapat mulai mempunyai keragu-keraguan yang hebat mengenai kejujuran atau ketidakaslian dari orang tuanya. Ia belajar dari pengalaman-pengalaman bahwa ibu sering kali mengatakan begini bila ia merasa begitu. Akibatnya, 19

anak tumbuh untuk tidak mempercayai orang tua semacam itu. Berikut ini dikemukakan beberapa perasaan yang diungkapkan oleh beberapa remaja: “Ibu saya pembohong. Ia bertindak begitu manis tapi sebenarnya ia tidak begitu”. “Saya tidak pernah dapat mempercayai orang tua saya, karena meskipun mereka tidak mengatakannya, tapi saya tahu bahwa mereka tidak setuju dengan banyak hal yang saya lakukan”. “Saya terus berpikir bahwa orang tua saya tidak peduli kapan saya pulang. Dan jika saya pulang terlambat saya didiamkan keesokan harinya”. “Orang tua saya sama sekali tidak galak. Mereka membiarkan saya melakukan hal-hal yang saya sukai. Tapi saya dapat mengatakan apa yang mereka tidak setujui”. “Tiap kali saya datang ke meja makan tanpa sandal, ibu saya cemberut. Namun ia tidak pernah mengatakan sesuatu”. “Ibu saya demikian manis dan penuh pengertian selalu, namun saya tahu bahwa ia tidak menyukai adik saya karena adik lebih mirip dengan dia”. Bila anak mempunyai perasaan-perasaan seperti itu, jelaslah bahwa orang tua tidak sungguh-sungguh menyembunyikan persaa mereka yang sesungguhnya, meskipun mereka pikir hal itu telah mereka lakukan. Dalam suatu hubungan yang erat dan abadi seperti hubungan orang tua dan anak, perasaan-perasaan yang sebenarnya dari pihak orang tua jarang dapat disembunyikan dari kepekaan anak. Jadi bila orang tua telah dipengaruhi oleh para pendukung “sikap-sikap permisif” untuk mencoba berlaku dengan cara menerima, yang sebenarnya jauh sekali dari sikap-sikap mereka sendiri yang sejati, maka mereka merusak secara serius hubungan mereka dengan anak-anak mereka dan juga menghasilkan kerusakan-kerusakan psikologis anak-anak itu sendiri. Orang tua perlu mengerti bahwa mereka lebih baik tidak mencoba untuk memperluas daerah dapat menerima mereka melebihi apa yang sudah merupakan sikap mereka yang sejati. Lebih baik jika orang tua menyadari bila mereka merasa tidak menerima, daripada berpura-pura dapat menerima. Dapatkah Anda Menerima Anak Anda Tanpa Menerima Tingkah Lakunya? Saya tidak tahu dari mana asalnya gagasan ini, tetapi gagasan ini memperoleh persetujuan dan daya tarik yang besar, khususnya bagi orang tua yang telah dipengaruhi oelh penganut-penganut sikap permisif, tapi yang masih cukup jujur terhadap dirinya sendiri untuk menyadari bahwa mereka tidak selalu menerima tingkah laku anak mereka. Saya jadi percaya bahwa ini merupakan salah satu gagasan keliru dan merusak gagasan yang menghambatorang tua menjadi manusia sejati. Meskipun gagasan ini telah meringankan rasa salah yang diderita para 20

orang tua bia mereka tidak dapat menerima anak-anak mereka, gagasan ini banyak merugikan hubungan orang tua dan anak. Orang tua diperbolehkan memakai kekuasaan atau otoritas mereka untuk membatasi tingkah laku tertentu yang tidak dapat mereka terima. Orang tua beranggapan bahwa mengendalikan, membatasi, melarang, menuntut, atau menyangkal adalah benar asal dilakukan dengan cara yang cerdik hingga anak melihatnya bukan sebagai suatu yang menolak dirinya, melainkan tingkah lakunya. Disinilah letak kekeliruannya. Bagaimana Anda dapat menerima anak Anda, lepas dari bahkan bertentangan dengan perasaan Anda yang sebenarnya tidak dapat menerima apa pun juga yang dilakukan atau dikatakan oleh anak Anda itu? Apakah “anak-anak” itu kalau bukan dia bertingkah laku, bertindak dengan suatu cara yang khas pada waktu tertentu? Perasaan menerima tataupun tidak menerima adalah perasaan orang tua terhadap anak dengan segala tingkah lakunya, bukan terhadap sesuatu yang abstrak yang disebut “anak”. Saya yakin bahwa dari sudut pandangan anak nampaknya kedua hal ini sama saja. Bila ia merasa bahwa Anda tidak menerima kalau ia meletakkan sepatu yang kotor di atas kursi malas Anda yang baru, saya amat menyangsikan apakah anak kemudian akan membuat kesimpulan “tingkat tinggi” bahwa meskipun Anda tidak menyukai tingkah laku meletakkan sepatu di atas kursi tadi, Anda masih merasa dapat menerima dirinya sebagai “pribadi”. Bukan sebaliknya, ia jelas merasa bahwa karena apa yang ia lakukan pada saat itu dilakukannya sebagai pribadi total, maka tidak menerima kelakuannya berarti tidak menerima dirinya sama sekali. Meskipun orang tua dapat memisahkan kedua hal itu, namun bagi anak sulitlah mengerti bahwa orang tua hanya tidak dapat menerima kelakuannya dan bukan dirinya, itu sama sulitnya seperti mengusahakan agar anak percaya bahwa suatu pukulan yang sedang dilakukan orang tua terhadap dirinya “lebih menyakiti orng tua daripada menyakiti dirinya”. Perasaan seorang anak bahwa dia sebagai pribadi tidak dapat diterima ditentukan oleh berapa banyak tingkah lakunya yang tidak dapat diterima. Orang tua yang tidak dapat menerima banyak sekali kelakuan dan kata-kata anak-anaknya, tidak bisa tidak akan memupuk perasaan mendalam pada diri anak-anak bahwa mereka sebagai pribadi tidak diterima. Sebaiknya Anda mengakui pada diri sendiri (dan anak) bahwa Anda tidak dapatmenerimya sebagai pribadi bia ia melakukan atau mengatakan sesuatu, dengan cara tertentu, pada waktu tertentu. Dengan jalan ini anak akan belajar melihat Anda sebagai seorang yang terbuka dan jujur, oleh karena Anda adalah manusia sejati. Juga, bila Anda mengatakan kepada seorang anak: “Saya menerimamu, tetapi hentikan apa yang sedang kau lakukan”, Anda mungkin tidak akan dapat mengubah reaksinya sedikit pun terhadap penggunaan kekuasaan 21

Anda. Anak-anak tidak suka disangkal, dibatasi ataupun dilarang oleh orang tua mereka, tidak perduli jenis penjelasan apa yang menyertai penggunaan otoritas dan kekuasaan semacam itu. “Menggariskan batas-batas” mengandung kemungkinan besar akan terjadinya serangan balasan terhadap orang tua dalam bentuk hambatan, pemberontakan, bohong, dan kekesalan. Lagi pula ada cara-cara yang jauh lebih efektif untuk mendorong anak-anak mengubah tingkah laku mereka yang tidak dapat diterima daripada sekedar menggunakan kekuasaan orang tua untuk “menggariskan batas-batas” ataupun membatasi. Definisi Kami Mengenai Orang Tua Selaku Pribadi Sejati “Diagram dapat menerima” membantu orang tua untuk memahami perasaan-perasaan yang tidak terelak dan kondisi-kondisi yang mempengaruhi perubahan perasaan-perasaan ini. Orang tua yang jujur tentu akan merasakan kedua-duanya, dapat menerima dan tidak dapat menerima anak-anak mereka; sikap mereka terhadap tingkah laku yang sama tidak selalu konsisten; sikap ini berbeda-beda dari waktu ke waktu. Mereka tidak dapat dan tidak perlu menyembunyikan perasaan mereka yang sesungguhnya; mereka harus menerima kenyataan bahwa satu orang tua mungkin dapat menerima sedangkan orang tua lain tidak dapat menerima tingkah laku yang sama; dan mereka harus sadar ada tingkatan-tingkatan yang berbeda dalam penerimaan mereka terhadap masing-masing anak mereka. Singkatnya, orang tua adalah manusia, bukan malaikat. Mereka tidak harus bersikap dapat menerima tanpa syarat atau dapat menerima secara konsisten. Juga mereka tidak harus berpura-pura bersikap dapat menerima bila mereka sebenarnya tidak dapat menerima. Meskipun anak-anak jelas lebih suka untuk dapat diterima, namun mereka akan mampu mengatasi secara konstruktif perasaan-perasaan tidak dapat menerima dari orang tua mereka, bila orang tua mengirim pesan-pesan yang jelas dan jujur, yang sesuai dengan perasaan-perasaan mereka yang sebenarnya. Hal ini tidak saja memudahkan anak-anak untuk menyesuaikan diri, tetapi akan membantu setiap anak untuk melihat orang tua mereka sebagai pribadi yang sejati – transparan, manusiawi, menyenangkan. 22

3 Bagaimana Cara Anda Mendengarkan Sehingga Anak-anak Mau Berbicara pada Anda: Bahasa Penerimaan Seorang gadis 15 tahun, sesudah konseling dengan saya, sebelum keluar ruang, berhenti sebentar dan berkata: “Alangkah senangnya dapat mengungkapkan perasaan saya yang sesungguhnya kepada seseorang. Belum pernah saya ceritakan hal-hal ini pada orang lain sebelumnya. Saya tidak akan bisa berbicara seperti ini dengan orang tua saya”. Orang tua dari seorang laki-laki berusia 16 tahun yang gagal sekolahnya bertanya pada saya: “Bagaimana caranya agar Budi mempercayai kami? Kami tidak pernah tahu apa yang dipikirkannya. Kami tahu bahwa ia tidak berbahagia, tapi kami tidak tahu apa yang terjadi pada diri anak itu”. Seorang anak perempuan cerdas berusia 13 tahun setelah lari dari rumah bersama dua orang teman perempuannya, menceritakan kepada saya mengenai hubungannya dengan ibunya: “Sekarang ini kami sama sekali tidak bisa saling mempercayai lagi, bahkan tentang hal-hal yang kecil sekalipun ... seperti pekerjaan sekolah. Saya khawatir hasil ulangan saya buruk dan saya katakan pada ibu bahwa ulangannyatidak saya kerjakan dengan baik. Ibu berkata: “Mengapa begitu” dan kemudian ia marah. Selanjutnya saya mulai bohong. Sebenarnya saya tidak suka berbohong, tapi saya melakukannya juga. Akhirnya ibu dan saya seperti dua orang asing saja kalau bicara – hanya basa-basi saja, tidak ada yang menyatakan apa yang sesungguhnya kami rasakan dan pikirkan”. Contoh-contoh itu merupakan contoh yang umum, bagaimana anak menarik diri dari orang tuanya, dan segan mengungkapkan perasaan-perasaannya. Anak-anak itu belajar dari pengalaman bahwa berbicara dengan orang tu tidaklah menolong malah membuat tidak aman. Akibatnya banyak orang tua kehilangan beribu-ribu kesempatan untuk menolong anak-ananya yang menghadapi pelbagai masalah hidup. Mengapa begitu banyak orang tua yang oleh anak-anak mereka tidak “dianggap” sebagi sumber pertolongan? Mengapa anak-anak tidak lagi berbicara kepada orang tua tentang masalah-masalah yang mereka hadapi? Mengapa hanya sedikit orang tua yang berhasil mempertahankan hubungan saling menolong dengan anak-anak mereka? Dan mengapa anak-anak merasa lebih mudah berbicara dengan konselor daripada dengan orang tua mereka sendiri? Apakah yang dilakukan oleh konselor profesional sehingga ia dapat mengadakan hubungan saling menolong dengan anak-anak? 23

Dalam tahun-tahun terakhir ini, ahli psikologi telah menemukan beberapa jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan ini. Melalui penelitian dan penglaman klinis, mulai dimengerti unsur-unsur yang penting bagi hubungan tolong-menolong yang efektif. Unsur yang paling penting adalah ”bahasa penerimaan”. KEKUATAN BAHASA PENERIMAAN Jika seorang dapat merasa dan dapat mengungkapkan bahwa ia memahami serta menerima oarang lain sebagaimana adanya, adalah faktor penting guna menjalin hubungan, di mana orang lain dapat tumbuh, berkembang, membuat perubahan-perubahan yang membangun, belajar memecahkan masalah-masalah, secara psikologis semakin sehat, semakin produktif dan kreatif, dan mampu mengaktualisasikan potensi sepenuhnya. Ini merupakan salah satu paradoks yang indah dalam hidup: Bila seseorang merasa ia sepenuhnya diterima oleh orang lain, sebagaimana adanya, maka ia merasa bebas dan mulai memikirkan perubahan yang diingini, bagaimana ia akan mengembangkan diri, bagaiman ia dapat menjadi lain, bagaimana ia dapat menjadi lebih daripada yang kini ada. Penerimaan adalah bagaikan tanah yang subur, yang memungkinkan benih kecil berkembang menjadi bunga yang indah. Tanah hanya memberi kemungkinan benih berkembang menjadi bunga, tetapi kemampuan berkembang sepenuhnya tetletak pada benih itu sendiri. Seperti benih, seorang anak mempunyai kemampuan sepenuhnya di dalam dirinya untuk berkembang. Penerimaan – seperti halnya dengan tanah – hanya memberi kemungkinan bagi anak untuk mengaktualisasikan potensinya. Mengapa rasa diterima oleh orang tua mempunyai pengaruh positif yang amat berarti bagi anak-anak? Hal ini umumnya tidak diketahui oleh orang tua. Banyak yang mengira bahwa bila orang tua “menerima” anaknya, si anak tidak akan berubah; bahwa cara terbaik untuk menolong anak agar jadi lebih baik pada masa mendatang adalah mengatakan sekarang apa-apa yang tidak dapat diterima. Oleh karena itu, banyak orang tua berpegang pada “bahasa penolakan” dalam mendidik anak-anak, berdasarkan keyakinan bahwa itulah cara terbaik untuk menolong anak. Tanah yang disediakan oleh kebanyakan orang tua untuk pertumbuhan anak-anak, penuh dengan penilaian, kritik, nasihat, peringatan, anjuran moral, dan perintah – pesan-pesan yang mengisyaratkan bahwa anak tidak diterima sebagaimana adanya. Saya teringat kata-kata seorang gadis berusia 13 tahun yang baru mulai menentang nilai-nilai dan patokan-patokan orang tuanya: “Mereka sering sekali mengatakan betapa buruknya saya dan betapa bodohnya gaagasan-gagasan saya, dan betapa saya tidak dapat dipercaya dan bahwa saya banyak melakukan hal-hal yang tidak mereka sukai. Bila mereka 24

telah menganggap saya buruk dan bodoh, lebih baik saya terus melakukan hal- hal yang tidak mereka sukai”. Anak yang cerdik ini cukup bijaksana untuk mengerti pepatah kuno: “Katakan pada anak bahwa ia buruk, kemudian ia benar-benar akan menjadi buruk”. Anak-anak sering menjadi apa yang dikatakan oleh orang tuanya. Kecuali itu, bahasa penolakan membuat anak-anak tertutup. Anak berhenti bicara dengan orang tuanya. Mereka beranggapan bahwa jauh lebih baik menyimpan perasaan-perasaan dan masalah-masalahnya. Bahasa penerimaan membuat anak-anak terbuka. Anak-anak menjadi bebas mengungkapkan perasaan-perasaannya dan persoalan-persoalannya. Terapis dan konselor profesional telah menunjukkan betapa besarnya peranan “rasa diterima” itu. Para terapis dan konselor itu dapat meyakinkan orang-orang yang datang membutuhkan pertolongan, bahwa mereka benar-benar diterima. Inilah sebabnya mengapa sering kali terdengar orang berkata bahwa dalam konseling atau terapi merekamerasa sepenuhnya bebas dari penilaian konselor. Mereka mengatakan bahwa mereka mengalami suatu kebebasan untuk menceritakan hal-hal terburuk mengenai diri mereka – mereka merasa bahwa konselor akan menerima apa pun yang mereka katakan atau rasakan. Penerimaan ini adalah salah satu unsur terpenting agar seseorang dapat tumbuh dan berubah melalui konseling dan terapi. Sebaliknya, kita juga belajar dari “para pembaharu profesional” ini bahwa rasa tidak diterima sering kali menjadikan orang tertutup, mereka merasa “defensif”, tidak senang, takut bicara atau melihat diri sendiri. Jadi, sebagian dari “rahasia keberhasilan” para terapis profesional untuk menimbulkan pertumbuhan dan perubahan pada orang-orang yang mengalami kesukaran terletak pada tiadanya rasa tidak diterima dalam hubungannya dengan mereka dan kemampuan untuk mengucapkan bahasa penerimaan. Dalam kursus MOE telah diperlihatkan bahwa orang tua dapat mempelajari ketrampilan yang dipergunakan oleh para konselor profesional. Sebagian besar orang tua ini mengurangi tindakan-tindakan yang mengandung pesan tidak menerima dan secara mengagumkan meraoh kemahiran dalam mengucapkan bahasa penerimaan. Apabila orang tua belajar bagaimana mengungkapkan melalui kata-kata suatu perasaan tulus menerima seorang anak, maka mereka memiliki alat yang dapat memberikan hasil-hasil yang menakjubkan. Ini dapat memberikan pengaruh dalam usahanya untuk menerima dan menyukai diri sendiri serta untuk memiliki harga diri. Itu juga dapat mendorong ia berkembang serta mengaktualisasikan potensi-potensinya. Itu dapat mempercepat pergeseran untuk melepaskan diri dari ketergantungan ke arah kemandirian dan penentuan diri. Itu dapat menolong memecahkan masalah- masalah yang timbul dalam hidup, dan dapat memberikan kekuatan untuk 25

mengatasi secara konstruktif kekecewaan-kekecewaan dan ketidaksenangan yang dialami pada masa kanak-kanak serta masa remaja. Dari semua akibat penerimaan, tak ada yang lebih penting dari timbulnya rasa yang tulus dari anak bahwa ia dicintai. Sebab menerima orang lain “sebagaimana adanya” sesungguhnya merupakan tindakan cinta kasih; merasa diterima adalah merasa dicintai. Dalam psikologi kita baru mengakui betapa besarnya pengaruh rasa dicintai; ia dapat mendorong perkembangan jiwa dan raga dan merupakan kekuatan terapeutis paling efektif untuk memperbaiki kerusakan psikologis maupun fisik. Sikap Menerima Harus Ditunjukkan Bagi orang tua, merasa “menerima” anak dan menunjukkan perasaan tersebut sehingga anak yang bersangkutan merasakannya, adalah dua hal berbeda. “Rasa menerima” tidak akan ada pengaruh bagi anak, bila anak tidak merasakannya. Orang tua harus belajar untuk memperlihatkan “rasa menerima” ini sehingga anak dapat merasakannya. Untuk melakukan hal ini diperlukan suatu keahlian khusus. Kebanyakan orang tua menganggap “rasa menerima” merupakan sesuatu yang pasif – suatu keadaan jiwa, suatu sikap, suatu perasaan. Benar, rasa ini berasal dari dalam tetapi agar merupakan suatu kekuatan efektif dalam mempengaruhi orang lain, haruslah secara aktif dikomunikasikan atau diperlihatkan. Saya tidak bisa yakin bahwa diri saya diterima oleh orang lain sebelum ia memperlihatkannya secara aktif. Konselor psikologis profesional atau psikoterapis yang keberhasilannya sebagai pemberi pertolongan sangat tergantung pada kemampuannya untuk memperlihatkan penerimaannya terhadap klien, membutuhkan waktu lama untuk mengamalkan sikap ini melalui kebiasaannya berkomunikasi. Melalui pendidikan formal dan pengalaman yang banyak, konselor profesional memperoleh keahlian khusus dalam mengkomunikasikan rasa diterima. Para ahli ini belajar bahwa apa yang mereka katakan merupakan tolok ukur bagi kemampuannya menolong, atau sebaliknya keridakmampuannya menolong. Berbicara dapat menyembuhkan, dan dapat menimbulkan perubahan yang konstruktif. Tetapi pembicaraan harus merupakan pembicaraan yang benar. Demikian juga halnya dengan orang tua. Bagaimana mereka berbicara kepada anak-anaknya, akan menentukan apakah mereka menolong atau justru menghancurkan. Orang tua yang efektif, sebagaimana halnya dengan konselor yang efektif, harus belajar mengkomunikasikan rasa penerimaannya. Di kelas kami ada orang tua yang secara ragu bertanya: “Apakah mungkin bagi orang yang bukan ahli seperti saya untuk mempelajari 26

keahlian seorang konselor profesional?”. Sepuluh tahun yang lalu kita akan mengatakan: “Tidak mungkin”. Namun, di dalam kursus, telah kita tunjukkan bahwa orang tua dapat mempelajari bagaimana menjadi penolong efektif bagi anak-anak mereka. Kita mengetahui sekarang, bahwa bukan pengetahuan tentang psikologi atau pengertian intelektual tentang manusia, yang membuat seorang konselor menjadi konselor yang baik. Itu pada pokoknya terletak pada usaha untuk berbicara secara konstruktif. Ahli psikologis menyebutnya sebagai “komunikasi terapeutis”, yang berarti bahwa beberapa macam pesan mempunyai pengaruh “terapeutis” pada orang yang ditolong. Mereka dapat merasa lebih baik, terdorong untuk berbicara, mengekspresikan perasaan-perasaan memiliki harga diri, mengutangi rasa takut atau terancam, merangsang pertumbuhan dan perubahan yang membangun. Jenis pembacaraan lain adalah pembicaraan “tidak terapeutis” atau destruktif. Pembicaraan jenis ini cenderung membuat orang merasa dinilai atau bersalah, membatasi pengungkapan perasaan-perasaan yang sebenarnya, mengancam, membangkitkan perasaan tidak berharga atau harga diri yang rendah, menghambat pertumbuhan dan perubahan konstruktif dengan membuat seseorang semakin defensif. Hanya sedikit saja orang tua yang memiliki kemampuan terapeutis ini secara naluriah dan alamiah, kebanyakan orang tua harus menjalani suatu proses, mula-mula untuk menghilangkan cara-cara komunikasi yang merusak dan kemudian mempelajari cara-cara yang lebih membangun. Ini berarti bahwa orang tua harus memaparkan bagi diri sendiri kebiasaan berkomunikasi mereka agar dapat melihat bahwa kebiasaan mereka itu adalah destruktif atau tidak terapeutis. Setelah itu kepada mereka diajarkan beberapa cara baru dalam memberikan tanggapan kepada anak-anak. MENYAMPAIKAN RASA MENERIMA TANPA KATA-KATA Pesan-pesan dapat disampaikan melalui kata-kata (apa yang diucapkan) atau melalui apa yang oleh ahli-ahli sosial disebut sebagai pesan-pesan nonverbal atau pesan-pesan tanpa kata (apa yang tidak diucapkan). Pesan- pesan nonverbal disampaikan melalui isyarat, sikap, ekspresi wajah, atau tingkah laku lainnya. Arahkan telunjuk kanan kepada anak, maka kemungkinan anak akan mengartikannya sebagai “Pergi” atau “Jangan dekat-dekat” atau “Aku tidak mau diganggu sekarang”. Lambaikan tangan ke arah tubuh Anda dan anak akan menerima isyarat ini sebagai pesan untuk “Mendekat”, “Kemarilah” atau “Aku ingin kau bersamaku”. Isyarat pertama menunjukkan rasa tidak menerima, yang kedua rasa menerima. Menyatakan Rasa Menerima Tanpa Campur Tangan 27

Orang tua dapat menyatakan rasa menerima dengan tidak mencampuri kegiatan-kegiatan anaknya. Seorang anak mencoba membuat bangunan istana dari pasir di pantai misalnya. Orang tua yang mengambil jarak dan sibuk dengan kegiatannya sendiri memperbolehkan anak untuk membuat “kesalahan-kesalahan” atau menciptakan suatu istana yang unik (yang mungkin tidak sama dengan disain orang tua, atau bahkan sama sekali tidak menyerupai istana) – orang tua ini menyampaikan penerimaannya melalui pesan tanpa kata. Anak akan merasa “Apa yang kulakukan adalah baik”, “Istanaku diterima”, “Ibu menerima apa yang sedang kulakukan sekarang”. Tidak mencampuri anak yang sedang sibuk melakukan sesuatu adalah cara penyampaian rasa menerima tanpa kata. Banyak orang tua tidak menyadari betapa sering mereka menyampaikan rasa tidak menerima hanya karena turut campur, memaksakan pendapat, mengawasi, menggabungkan diri. Sering kali orang tua tidak membiarkan anak-anaknya. Mereka memasuki dunia anak-anak dengan masuk kamarnya, ingin tahu apa yang dipikirkan, tidak mengijinkan suatu perpisahan. Acap kali ini merupakan akibat dari rasa takut dan kecemasan orang tua, rasa tidak aman mereka sendiri. Orang tua ingin anak-anak belajar (“Beginilah seharusnya membuat istana”). Mereka tidak senang biala anak-anak membuat kesalahan (“Buatlah istana jauh dari air, sehingga tidak akan terkena gelombang”). Mereka ingin dapat membanggakan hasil kerja anak-anaknya (“Lihatlah, istana yang bagus itu buatan anakku”). Mereka memaksakan konsep baik- buruk dari orang dewasa yang kaku (“Apakah istanamu tidak sebaiknya diberi pagar?”). mereka mempunyai ambisi tersendiri untuk anak-anak mereka (“Kamu tidak akan belajar sesuatu dengan membuat istana sepanjang hari”). Mereka sangat mementingkan pendapat orang lain tentang anak-anak mereka (“Kamu dapat membuat istana yang lebih bagus”). Mereka ingin merasa dibutuhkan oleh anaknya (“Mari ayah tolong”), dan sebagainya. Dengan demikian, sikap “tidak melakukan sesuatu” ketika anak sibuk dalam suatu kegiatan dapat menunjukkan dengan jelas bahwa orang tua menerimanya. Pada umumnya orang tua tidak terlalu menyukai keadaan “terpisah” seperti ini, dapat dimengerti, bahwa sikap “lepas tangan” adalah sukar. Pada suatu pesta yang diselengarakan oleh anak gadis saya, saya ingat betapa saya merasa tidak berguna dan ditolak, setelah anak saya mengatakan bahwa ia tidak memerlukan saran saya yang baik untuk menjamu tamu- tamunya. Setelah saya dapat mengatasi perasaan sedih ini, baru saya menyadari betapa banyak saya menyampaikan pesan tidak menerima. “Kamu tidak bisa menyelenggarakan pesta yang baik”, “Kamu membutuhkan bantuan ibu”, “Ibu tidak mempercayai pandanganmu”, “Kamu tidak dapat 28

menjadi nyonya rumah yang baik”, “Kamu akan membuat kesalahan”, “Ibu tidak ingin pesta ini gagal”, dan sebagainya. Mendengarkan secara Pasif Menunjukkan Sikap Menerima Tidak mengatakan sesuatu juga merupakan cara penyampaian dari rasa menerima. Diam atau “mendengar pasif” – merupakan pesan tanpa kata yang manjur dan dapat digunakan secara efektif untuk membuat seseorang sungguh-sungguh merasa diterima. Para ahli mengetahui hal ini dan menggunakannya dalam wawancara-wawancara mereka. Seseorang yang melukiskan pengalamannya dalam wawancara pertama dengan ahli psikologi atau psikiater, mengatakan: “Ia tidak mengatakan sesuatu, saya yang terus berbicara”. Atau “Saya ceritakan hal-hal yang buruk tentang diri saya, tapi sedikitpun ia tidak menyangkalnya”. Atau, “Saya kira saya tidak bisa mengatakan sesuatu kepadanya, tapi ternyata saya bicara terus selama satu jam”. Apa yang dikatakan adalah pengalamannya berbicara kepada seseorang yang hanya mendengarkan. Mungkin hal ini merupakan pengalamannya yang pertama. Pengalaman ini dapat merupakan pengalaman yang menyenangkan, bila diamnya seseorang membuat Anda merasa diterima. Tidak mengadakan komunikasi sesungguhnya berarti mengkomukasikan sesuatu, seperti contoh di bawah ini: ANAK: “Saya dipanggil ke kantor kepala sekolah tadi.” IBU: “Oh ya?” ANAK: “Ya, Pak Kosim mengatakan saya ngobrol terus di kelas.” IBU: “Begitu.” ANAK: “Saya tidak suka guru tua itu.” Ia duduk dan menceritakan kesusahannya atau cerita tentang cucu-cucunya dan mengharapkan murid-murid mendengarkan. ANAK: “Saya bosan.” IBU: “Hmm …..” ANAK: “Saya tidak bisa duduk diam. Bisa gila jadinya. Tini dan saya ngobrol sendiri selama pak guru berbicara. Ah, ia guru yang paling saya tidak sukai.” IBU: (diam saja) ANAK: “Kalau gurunya baik, saya senang dan mau mendengarkan. Tapi dari Pak Kosim kita tidak belajar apa-apa. Kenapa ia diperbolehkan mengajar?” IBU: (mengangkat bahu) ANAK: “Barangkali saya harus membiasakan diri, karena tidak selamanya saya akan mendapat guru-guruyang baik. Lebih banyak guru yang tidak menyenangkan dibandingkan dengan guru yang menyenangkan. Dan kalau saya terpengaruh, nilai saya bisa merosot. Saya merugikan diri sendiri.” 29

Dalam adegan singkat ini, arti dari sikap diam jelas terlihat. Orang tua yang mendengarkan dengan pasif, memungkinkan anak melihat lebih jauh daripada sekedar melaporkan bahwa ia dipanggil Kepala Sekolah. Hal itu membuat anak mengaku mengpa ia dihukum; rasa amarah dan benci kepada guru tersalurkan; merenungkan akibat-akibat yang timbul bila terus- menerus bereaksi demikian terhadap guru yang kurang baik; dan akhirnya mencapai kesimpulan bahwa ia akan menyakiti diri sendiri dan rugi dengan sikap demikian. Ia berkembang dalam waktu singkat, yaitu selama ia merasa diterima. Ia diperbolehkan mengutarakan perasaan-perasaannya; ia ditolong untuk bergerak sendiri ke arah memecahkan masalah dengan inisiatifnya sendiri. Dari sini timbul penyelesaian yang konstruktif, walaupun sementara. Sikap diam orang tua memungkinkan adanya suatu “perkembangan”, “pertumbuhan”, suatu kesempatan bagi suatu makhluk untuk menjalani proses perubahan yang diarahkan oleh diri sendiri. Alangkah menyedihkan bila orang tua kehilangan kesempatan ini, bila ia mencampuri ungkapan- ungkapan anak dengan memberikan reaksi tidak menerima, seperti: “Apa? Kau dipanggil Kepala Sekolah? Celaka!” “Tahu rasa!” “Guru itu kan tidak terlalu menjengkelkan.” “Kau harus belajar mengendalikan diri.” “Sebaiknya kau belajar menyesuaikan diri dengan bermcam-macam guru.” Semua pesan semacam ini, tidak hanya menyampaikan rasa tidak menerima anak, tetapi dapat menghentikan komunikasi dan mencegah suatu penyelesaian masalah. MENGUTARAKAN PENERIMAAN DENGAN KATA-KATA Kebanyakan orang tua menyadari bahwa dalam interaksi manusia, seseorang tidak dapat tetap diam dalam waktu lama. Orang menginginkan semacam interaksi verbal. Jelaslah bahwa orang tua harus bicra dengan anak-anak, dan anak-anak butuh bicara dengan orang tua, bila mereka menghendaki hubungan yang erat. Bicara memang penting, tetapi bagaimana orang tua bicara kepada anak- anak adalah lebih menentukan. Saya dapat bercerita banyak tentang hubungan orang tua-anak hanya dengan mengamati jenis komunikasi verbal yang terjadi antara orang tua dan anak, terutama dari cara orang tua mengajukan tanggapan terhadap komunikasi anak. Orang tua perlu meneliti bagaimana mereka secara verbal menanggapi anak-anak, karena di sinilah kunci keefektifan orang tua. Dalam kelas-kelas MOE, kami menggunakan latihan untuk menolong para orang tua mengenali jenis tanggapan verbal mereka bila anak-anak mengutarakan perasaan-perasaan atau masalah-masalahnya. Bila Anda 30

ingin melakukan latihan ini, yang diperlukan hanyalah secarik kertas dan pensil. Misalkan anak Anda berusia 15 tahun pada suatu malam mengatakan di meja makan: “Sekolah ini brengsek. Yang diajarkan adalah hal-hal yang tidak penting dan tidak berguna. Saya telah memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolah lagi. Untuk menjadi seorang penting, tidak diperlukan pendidikan tinggi. Ada banyak cara untuk maju di dunia ini.” Sekarang tulislah di atas secarik kertas bagaiman tanggapan verbal Anda terhadap pesan di atas. Tulis dengan tepat kata-kata Anda. Setelah Anda lakukan, cobalah situasi lain. Anak gadis Anda berusia 10 tahun berkata: “Saya tidak tahu apa salah saya. Biasanya Tati senang pada saya, tetapi sekarang tidak lagi. Dan bila saya ke rumahnya, ia selalu bermain dengan Yanti. Mereka bermain dan bersenang-senang. Sedang saya berdiri saja sendirian. Saya benci mereka.” Tulislah dengan tepat apa yang Anda katakan pada anak gadis Anda. Sekarang situasi lain lagi, di mana anak Anda berusia berusia 11 tahun berkata: “Mengapa saya harus membersihkan halaman dan membuang sampah keluar? Ibu Yono tidakpernah menyuruh Yono mengerjakan pekerjaan semacam itu. Ibu tidak adil. Anak-anak tidak perlu mengerjakan pekerjaan sebanyak yang saya kerjakan.” Tulislah tanggapan Anda. Situasi terakhir. Anak Anda laki-laki berumur 5 tahun makin lama makin merasa kecewa karena tidak dapat perhatian dari ayah, ibu dan kedua tamunya. Anda berempat asyik bercakap-cakap karena sudah lama tidak berjumpa. Tiba-tiba Anda terkejut ketika anak Anda berteriak dan mengatakan: “Saya benci. Semua nakal.” Lagi, tulislah dengan tepat apa tanggapan Anda kepada pesan tersebut. Macam-macam tanggapan terhadap pesan-pesan yang dikatakan dalam situasi-situasi tadi, dapat digolongkan ke dalam beberapa kategori. Pilihan kategori yang tepat bagi tanggapan Anda. 1. MEMERINTAH, MENGARAHKAN Mengatakan kepada anak untuk mengerjakan sesuatu, memberikan perintah: “Tak peduli apa yang dikerjakan orang tua lainnya, kau harus membersihkan halaman!” “Jangan bicara begitu kepada ibu!” “Jangan mengeluh!” 31

2. MENGANCAM, MEMPERINGATKAN Mengatakan akibat-akibat yang akan terjadi bila anak melakukan sesuatu: “Kau akan menyesal kalau kau melakukan hal itu!” “Sekali lagi bicara kau harus keluar dari ruang ini!” “Sebaiknya tidak kau lakukan kalau kau sudah apa-apa yang baik buatmu!” 3. MENDESAK, MEMBERI KHOTBAH Mengatakan apa yang harus atau boleh dilakukan: “Kamu tidak boleh berbuat begitu.” “Kamu harus ….” “Kamu harus selalu menghormati orang tuamu.” 4. MENASEHATI, MEMBERI PENYELESAIAN ATAU SARAN-SARAN Mengatakan bagaimana menyelesaikan suatu masalah, memberi nasihat atau saran-saran,menyediakan jawaban atau penyelesaian- penyelesaian bagi masalah anak: “Mengapa tidak undang Tati dan Yanti main ke sini?” “Tunggu beberapa tahun lagi sebelum memutuskan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi.” “Saya anjurkan kau bicarakan dengan guru-gurumu tentang hal itu.” “Bergaullah dengan gadis-gadis.” 5. MEMBERI KULIAH, MENGAJARI, MEMBERI ALASAN-ALASAN LOGIS Berusaha mempengaruhi anak dengan fakta-fakta, kontra argumen, logika, informasi atau pendapat-pendapat pribadi: “Anak-anak harus belajar bagaimana menyesuaikan diri.” “Mari kita lihat fakta-fakta mengenai lulusan akademis.” “Lihatlah, ibumu membutuhkan bantuan untuk menyelesaikan urusan rumah tangga.” “Ketika ibu seumurmu, ibu harus mengerjakan dua kali lebih banyak dari apa yang kau kerjakan sekarang.” 6. MENILAI, MENGRITIK, TIDAK SETUJU, MENYALAHKAN Membuat penilaian negatif atau memberi pendapat negatif: “Kau tidak berpikir dengan baik.” “Itu pandangan yang terlalu kekanak-kanakan.” “Dalam hal ini, engkau salah.” 7. MEMUJI, MENYETUJUI Melontarkan pujian, menyetujui, memberi penilaian positif: “Hm, ibu kira kau cukup cantik.” “Kau mempunyai kemampuan untuk melakukan sesuatu dengan baik.” “Ayah berpendapat, kau benar.” “Saya setuju.” 8. MENCEMOOH, MEMBUAT MALU Membuat anak merasa bodoh, menggolongkan anak ke dalam suatu kategori, membuat malu: “Kau anak manja.” 32

“Lihat sini, Tuan sok tahu.” “Kau bertingkah seperti binatang buas.” “Baiklah, Anak manis.” 9. MEMBUAT INTERPRETASI, ANALISA, DIAGNOSIS Mengatakan pada anak apa motivasinya, menganalisa mengapa ia melakukan ataupun mengatakan sesuatu; memberitahukan bahwa Anda mempelajari anak atau membuat diagnosis tentang dirinya: “Kau hanya iri hati, Tuti.” “Kau katakan itu untuk membujuk.” “Kau sebenarnya tidak mempercayai hal itu.” “Kau merasa begitu karena kau tidak menyelesaikan dengan baik pekerjaanmu di sekolah.” 10. MEYAKINKAN, MEMBERI SIMPATI, MENGHIBUR, MENDORONG Berusaha agar anak merasa senang; menghilangkan perasaan- perasaan yang tidak menyenangkan; memberi dorongan: “Besok kau akan merasa lebih baik.” “Setiap anak tentu mengalaminya.” “Jangan khawatir, segalanya akan beres nanti.” “Dengan potensimu, kau akan jadi murid yang baik.” “Ibu tahu, kadang-kadang sekolah membosankan juga.” 11. MENYELIDIKI, MENGUSUT Berusaha mencari alasan, sebab-sebab, mencari informasi lebih banyak untuk menolong menyelesaikan masalah: “Kapan perasaan itu mulai timbul?” “Mengapa kau tidak menykai sekolah?” “Apakah teman-teman mengatakan mengapa mereka tidak mau bermain denganmu?” “Siapa yang mengatakan hal itu kepadamu?” “Apa yang akan kau lakukan bila kau tidak lanjutkan ke universitas?” 12. MENGHINDAR, MENGALIHKAN PERHATIAN, MENERTAWAKAN, MEMBELOKKAN Berusaha menjauhkan anak dari masalahnya; menarik diri dari persoalan, mengalihkan perhatian, mengolok-olokkan; mengesampingkan masalah: “Lupakan saja hal itu.” “Jangan bicara hal itu sekarang.” “Marilah kita bicarakan hal yang lebih menyenangkan.” “Bagaimana pertandingan basket tadi?” “Mengapa tidak kau coba membakar gedung sekolahmu?” “Kita pernah mengalami sebelumnya.” Bila Anda mencocokkan tanggapan-tanggapan Anda daam salah satu penggolongan di atas, Anda adalah orang tua rata-rata. Bila satu di antara tanggapan-tanggapan tidak sesuai dengan kedua belas kategori di atas, dapat Anda sesuaikan dengan kategori-kategori lain yang akan kami berikan. 33

Dalam kelas MOE kami, lebih dari 90% tanggapan-tanggapan orang tua dapat digolongkan dalam 12 kategori ini. Kebanyakan orang tua tidak menyangka adanya keseragaman ini. Juga, orang tua tidak pernah memikirkan bagaimana mereka bicara dengan anak-anak. Komunikasi bagaimana yang mereka gunakan sebagai reaksi terhadap perasaan dan masalah anak-anak. Biasanya, salah satu orang tua akan mengajukan pertanyaan: “Apa yagn dapat kita pelajari setelah kita ketahui bahwa kita semua menggunakan kategori “dua belas ciri”?” Apakah “12 Ciri Itu? Untuk mengerti pengaruh-pengaruh “12 ciri” pada anak-anak atau pengaruhnya terhadap hubungan orang tua – anak, terlebih dulu harus diketahui bahwa tanggapan-tanggapan verbal orang tua biasanya dapat diartikan lebih dari satu arti, atau menyampaikan lebih dari satu pesan. Misalnya, anak mngeluh bahwa temannya tidak mau bermain lagi dengannya. Terhadap keluhan ini, ibu berkata: “Ibu anjurkan agar kau bersikap lebih baik kepada Tati, nanti barangkali ia mau bermain denganmu”. Di samping “isi” anjuran, anak dapat menangkap pesan-pesan lain: “Ibu tidak mengerti perasaan saya, sehingga saya harus berubah.” “Ibu tidak percaya saya dapat mengatasi masalah ini sendiri.” “Kalau begitu,ibu menganggap saya salah.” “Ibu kira saya tidak sepandai ibu.” Atau, bila seorang anak berkata, “Saya tidak senang sekolah”, dan reaksi orang tua adalah, “Ah, kita semua pernah merasa demikian, perasaan itu nanti akan hilang”, anak dapat menangkapnya sebagai berikut: “Ibu tidak menganggap penting perasaan saya.” “Ibu tidak memperdulikan perasaanku.” “Ibu pikir bukan sekolahnya, tapi saya yang salah.” Bilamana orang tua mengatakan sesuatu kepada anak, sering kali mereka mengatakan sesuatu tentang dirinya sendiri, inilah sebabnya mengapa komunikasi dengan anak mempunyai arti tertentu baginya sebagai individu dan mempunyai arti tersendiri bagi hubungan orang tua – anak. Setiap saan Anda berbicara dengan anak Anda, Anda menambah landasain lain untuk merumuskan hubungan yang sedang dijalin antara Anda dan anak Anda. Setiap pesan memberi gambatan tentang bagaimana Anda memandangnya sebagai satu pribadi. Bicara dapat merupakan suatu yang konstruktif bagi anak dan hubungan anak – orang tua. Atau juga dapat merupakan suatu yang destruktif. 34

Satu cara untuk menolong orang tua mengerti bagaimana “12 ciri” dapat merusak adalah dengan meminta mereka mengingat-ingat tanggapan mereka sendiri bila sedang mengungkapkan perasaan-perasaan mereka dengan seorang teman. Para orang tua dalam kelas-kelas kami hampir semua menyatakan bahwa pada umumnya “12 ciri” mempunyai pengaruh yang merusak baik pada anak maupun pada hubungan anak dengan orang yang mereka keluhi. Di bawah ini adalah beberapa pernyataan orang tua: Hal itu membuat saya berhenti bicara. Hal itu membuat saya mempertahankan diri (bertahan keras). Hal itu membuat saya berdebat, menyerang. Hal itu membuat saya rendah diri. Hal itu membuat saya merasa benci atau marah. Hal itu membuat saya merasa bersalah atau buruk. Hal itu membuat saya merasa diperlakukan seperti anak kecil. Hal itu membuat saya merasa tidak dimengerti. Hal itu membuat saya merasa bahwa perasaan-perasaan saya tidak dibenarkan. Hal itu membuat saya merasa kecewa. Hal itu membuat saya merasa diganggu. Hal itu membuat saya merasa sebagai saksi yang sedang diperiksa. Hal itu membuat saya merasa bahwa yang mendengar tidak menaruh minat. Para orang tua segera melihat bahwa bila “12 ciri” menimbulkan akibat- akibat yang kurang baik pada mereka dalam hubungannya dengan orang lain, hal itu juga dapat menimbulakan akibat yang sama terhadap anak-anak mereka. Dan mereka benar. Kedua belas jenis tanggapan verbal tersebut adalah hal-hal yang sangat dihindari oleh terapis profesional dan konselor bila menghadapi anak-anak. Cara-cara demikian secara potensial adalah tidak terapeutis” atau “destruktif”. Para ahli belajar untuk berpegang pada cara- cara lain untuk menanggapi pernyataan anak-anak yang tidak mengakibatkan anak berhenti bicara, merasa bersalah, mengurangi harga diri, menimbulkan rasa benci, merasa tidak diterima, dan sebagainya. Dalam lapiran buku ini, dimuat secara terperinci pengaruh-pengaruh destruktif yang bisa ditimbulkan oleh “12 ciri” tanggapan. Bila orang tua sadar betapa mereka mengandalkan pada “12 ciri”, mereka akan bertanya: “Bagaimana lagi kami harus berespons? Apa ada cara-cara lain?” kebanyakan orang tua tidak dapat menemukan kemungkinan lain, tetapi kemungkinan itu ada. MEMBUKA PINTU 35

Salah satu cara efektif dan konstruktif dalam menanggapi ungkapan perasaan atau ungkapan persoalan anak-anak adalah “membuka pintu” atau “mengundang untuk berbicara lebih banyak”. Ini adalah tanggapan- tanggapan yang tidak berhubungan dengan pendapat, gagasan atau perasaan si pendengar, namun yang mengundang anak untuk membagi pendapat, gagasan atu perasaan-perasaannya. Hal ini membuka pintu bagi anak, mengajaknya untuk berbicara. Sebagai tanggapan sederhana itu adalah seperti berikut: “Saya mengerti.” “Bagaimana?” “Oh.” “Sungguh.” “Mm hmm.” “Oh begitu?” “Ya.” “Tidak main-main.” “Sangat menarik.” Cara lain adalah dengan jelas mengajak anak bicara lebih banyak, misalnya: “Ceritakan.” “Saya ingin mendengar itu.” “Ceritakan lebih banyak.” “Saya berminat pada pendapatmu.” “Maukah kau membicarakannya?’ “Mari kita bicarakan.” “Ceritakan seluruhnya.” “Teruskan, saya mendengarkan.” “Apa yang hendak kau katakan.” “Agaknya kau akan mengatakan sesuatu tentang hal ini.” “Kelihatannya ini penting bagimu.” Membuka pintu atau menyilahkan berbicara dapat memudahkan komunikasi. Hal itu mendorong orang untuk mulai atau meneruskan bicara. Cara ini juga membuat masalah tetap pada tempatnya, yaitu masalah anak; cara ini tidak mengakibatkan pengambilalihan masalah dari anak, sebagaimana halnya bila orang tua mengajuka pertanyaan-pertanyaan, memberi nasihat, mengajari, memberi khotbah, dan sebagainya. Cara buka pintu ini menjauhkan perasaan-perasaan dan pendapat-pendapat orang tua dari proses komunikasi. Reaksi anak-anak dan para remaja terhadap cara buka pintu ini dapat membuat para orang tua terheran-heran. Anak-anak muda merasa terdorong untuk mendekat serta mencurahkan isi hati mereka. Sebagaimana halnya dengan orang dewasa, anak-anak senang berbicara, terlebih-lebih bila ada seseorang mengajaknya untuk berbicara. Cara buka pintu ini juga menimbulkan rasa diterima dan menghargai anak sebagai seorang pribadi, dengan mengatakan: “Kau berhak mengutarakan perasaanmu.” 36

“Saya hargai kau sebagai seorang dengan perasaan-perasaan dan gagasan- gagasan.” “Saya bisa belajar sesuatu darimu.” “Saya sungguh-sungguh ingin mengetahui pandanganmu.” “Pendapatmu patut didengar.” “Saya menaruh minat padamu.” “Saya ingin mengenalmu lebih baik.” Siapa yang tidak senang dengan sikap demikian? Orang dewasa mana yang tidak merasa senang bila ia dihargai, diterima, dan dianggap penting? Anak- anak juga deikian. Lontarkan suatu ajakan verbal, kemudian janganlah menghalangi mereka ynag sedang mengutarakan diri. Dalam proses ini, Anda mempelajari sesuatu tentang mereka atau tentang diri Anda sendiri. MENDENGAR AKTIF Ada cara lain yang lebih efektif daripada cara “buka pintu” semata-mata ialah hanya ajakan untuk berbicara. Cara itu hanya membuka pintu untuk anak agar ia berbicara. Orang tua perlu mempelajari bagaimana caranya agar pintu tetap terbuka. Jauh lebih efektif daripada mendengar pasif (diam), mendengar aktif adalah cara yang baik untuk melibatkan “pengirim” dengan “penerima”. Penerima aktif dalam proses, sebagaiman di pengirim. Untuk belajar bagaimana mendengar secara aktif, umumnya orang tua perlu mengerti lebih banyak tentang proses komunikasi antara dua orang. Beberapa diagram di bawah ini dapat mempermudah. Bilamana seorang ank memutuskan untuk mengadakan komunikasi dengan orang tua, berarti ia mempunyai suatu kebutuhan. Selalu ada sesuatu yang terjadi dalam dirinya. Ia menginginkan sesuatu, ia merasa tidak senang, ia mempunyai suatu perasaan tentang sesuatu. Atau ia terganggu katakanlah bahwa organisme anak berada dalam ketidakseimbangan. Untuk mengembalikan organisme dalam keadaan seimbang, anak memutuskan untuk bicara. Misalnya anak merasa lapar. ANAK lapar Untuk menghilangkan rasa lapar (keadaan tidak seimbang) anak menjadi “pengirim”, ia mengkomunikasikan sesuatu yang diperkirakan dapat memberi makan. Ia tidak dapat melukiskan apa yang sesungguhnya terjadi di dalam dirinya (rasa laparnya), karena lapar adalah suatu proses fisiologis yang kompleks, yang terjadi di dalam organisme. Karenanya, untuk 37

menyatakan rasa laparnya kepada orang lain, ia harus memilih beberapa isyarat yang dapat merepresentasikan “Saya lapar”. Proses memilih ini disebut “pengisyaratan” (encoding) – anak memilih suatu isyarat. ANAK lapar proses pengisyaratan (encoding) Misalkan anak ini memilih isyarat “Kapan makanan siap, Bu?” Isyarat atau kombinasi dari simbol-simbol verbal ini kemudian dikirimkanke dalam suasana di mana penerima (ibu) dapat menerimanya. ANAK lapar proses Isyarat pengisyaratan “Kapan makanan siap?” (encoding) Bila ibu menerima pesan melalui isyarat itu, ia harus mengadakan proses mengurai (decoding), agar ia mengerti apa yang dimaksud oleh anak. ANAK Ibu lapar proses Isyarat proses “Ia lapar” pengisyaratan penguraian “Kapan (decoding) (encoding) makanan siap?” Jika ibu mengurai isyarat dengan tepat, ia akan mengerti bahwa anak lapar. Tetapi bila ibu mengartikan isyarat itu bahwa anak ingin cepat-cepat makan agar bisa segera bermain sebelum tidur, ia akan salah mengerti; proses komunikasi terputus. Timbullah kesukaran – anak tidak mengetahui hal ini, demikian juga ibu, karena anak tidak dapat melihat apa yang dipikirkan oleh ibudan ibu juga tidak dapat melihat apa yang terjadi dalam diri anak. Kesalahan ini sering terjadi dalam proses komunikasi antara dua orang; terjadi salah paham atau salah mengerti antara si pengirim pesan dan penerima pesan dan kedua belah pihak tidak sadar bahwa telah terjadi salah paham itu. Misalkan, ibu memutuskan untuk memeriksa kebenaran uraian terhadap isyarat yang diterimanya, untuk meyakinkan bahwa ia tidak salah paham. Hal ini dapat dilakukan dengan mengatakan apa yang dipikirkan – hasil proses uraiannya, “Kau ingin segera bermain di luar sebelum tidur?”. Mendengar “umpan balik” ibu, anak mengetahui bahwa ibu telah salah tangkap. 38

ANAK: “Bukan itu maksud saya, Bu. Maksud saya, saya benar-benar lapar dan ingin segera makan.” IBU: “Oh begitu. Kau sangat lapar. Mau makan biskuit dulu? Kita tunggu Ayah pulang sebentar lagi, baru kita makan.” ANAK: “Baik, saya makan biskuit dulu.” Bila ibu dalam memberi “umpan balik” memberikan pengertiannya tentang isyarat anak, maka berarti ia terlibat daam mendengar aktif. Tetapi dalam contoh di atas, mula-mula ibu salah mengerti, dan melalui umpan baliknya anak mengetahui kesalahan ini, sehingga ia memberi isyarat lain dan akhirnya tercapailah saling pengertian. Bila ibu dari mula menguraikan pesan berita dengan tepat, prosesnya dapat digambarkan sebagai berikut: ANAK Ibu lapar proses Isyarat proses “Ia lapar” pengisyaratan penguraian “Kapan (decoding) (encoding) makanan siap?” Mendengar aktif “Kau sangat lapar” Beberapa contoh mendengar aktif: 1. ANAK: (menangis) “Budi mengambil mobil-mobilanku.” ORANG TUA: “Kau merasa tidak senang – kau tidak menyukai bila ia berbuat begitu.” ANAK: “Ya” 2. ANAK: “Saya tidak punya teman bermain; Toto pergi berlibur dengan orang tuanya, saya tidak tahu apa yang harus saya akukan.” ORANG TUA: “Kau kehilangan Toto dan tidak tahu apa yang kau lakukan.” ANAK: “Ya, saya harap sayatahu apa yang dapat saya lakukan.” 3. ANAK: “Wah, saya dapat guru yang tidak menyenangkan tahun ini. Saya tidak suka Ibu guru itu.” ORANG TUA: “Tampaknya kau kecewa dengan gurumu.” ANAK: “Memang.” 4. ANAK: “Kesebelasan saya menang.” ORANG TUA: “Kau merasa bangga.” ANAK: “Tentu.” 5. ANAK: “Pak, waktu bapak masih muda, apa yang Bapak sukai dari seorang gadis? Apayang menyebabkan Bapak menyukai seorang gadis?” BAPAK: “Sepertinya kau ingin tahu bagaimana caranya agar anak laki-laki menyukaimu.” ANAK: “Betul Pak, rasanya mereka tidak menyukai saya. Entah mengapa.” 39

Dalam setiap contoh di atas, orang tua menguraikan perasaan anak dengan tepat – mengerti apa yang terjadi “di dalam” diri anak. Kemudian anak membenarkan ketepatan uraian orang tua dengan pernyataan- pernyataan yang menunjukkan “Ibu (atau Bapak) mendengar dengan tepat”. Dalam mendengar aktif, penerima berusaha untuk mengerti perasaan pengirim, atau berusaha mengerti arti dari pesan yang dikirim. Kemudian pengertiannya dinyatakan dalam kalimat dan dikirim kembali kepada pengirim. Penerima tidak mengirim pesannya sendiri – seperti penilaian, pendapat, nasihat, analisa, dan pertanyaan. Yang diumpanbalikkan Hanyalah apa yang dianggapnya sebagai arti pesan si pengirim. Itu saja. Di bawah adalah suatu percakapan yang lebih panjang, di mana orang tua terus-menerus mendengar aktif. Perhatikan bagaimana anak setiap kali membenarkan umpan balik oarang tua. Perhatikan juga bahwa mendengar memudahkan anak untuk bercerita lebih banyak. Perhatikan bahwa anak mulai merumuskan kembali masalahnya, kemudian lambat-lain mencapai wawasan tentang dirinya sendiri, dan mulai dapat mengatasi masalahnya. TUTI: “Sekali-kali saya ingin sakit demam seperti Wati. Ia beruntung.” AYAH: “Kau merasa agak dibohongi.” TUTI: “Ya, ia tidak masuk sekolah sedang saya selalu masuk.” AYAH: “Kau ingin lebih sering tidak sekolah.” TUTI: “Benar. Saya tidak suka sekolah setiap hari, dari hari ke hari. Saya bosan.” AYAH: “Kau benar-benar bosan sekolah.” TUTI: “Kadang-kadang saya tidak menyukainya.” AYAH: “Malahan kadang-kadang kau membenci sekolah.” TUTI: “Benar. Saya benci pekerjaan rumah, saya benci pelajaran-pelajaran, dan saya benci guru-guru.” AYAH: “Kau benci semuanya.” TUTI: “Tidak semua guru saya benci, hanya dua orang. Terutama yang satu itu. Dia yang paling menjengkelkan.” AYAH: \"Kau benci Ibu guru itu?” TUTI: “Bukan main bencinya saya. Rasanya saya tidak bisa melihatnya. Padahal satu tahun ini ia mengajar.” AYAH: “Kau terikat dengan Ibu guru itu selama setahun.” TUTI: “Ya, saya tak tahu bagaimana menghadapinya. Setiap hari kami mendapat pelajaran yang panjang-panjang, ia berdiri di depan kelas dan senyum seperti begini (menirukan) dan mengajarkan bagaimana seorang murid harus bertingkah laku, bagaimana caranya agar bisa mencapai nilai terbaik. Ah, memuakkan.” AYAH: “Kau benci mendengarnya.” TUTI: “Ya, seolah-olah tidak mungkin murid mencapai nilai terbaik, kecuali ia seorang yang sangat pandai, atu murid kesayangan guru.” AYAH: “Kau merasa putus asa sebelum kau berusaha, karena rasanya tidak mungkin mencapai nilai terbaik.” 40

TUTI: “Ya, dan saya tidak mau menjadi murid kesayangan guru. Teman-teman akan membenci saya. Mereka sekarang sudah tidak menyukai saya (menangis).” AYAH: “Kau merasa tidak disukai, tidak populer. Dan hal ini membuatmu sedih.” TUTI: “Tentu saja, Ayah. Ada kelompok anak-anak yang top di sekolah. Anak- anak perempuan itu yang paling populer. Saya ingin masuk dalam kelompok itu. Tapi saya tidak tahu bagaimana caranya.” AYAH: “Kau ingin sekali masuk dalam kelompok itu, tapi tak tahu caranya.” TUTI: “Betul, Terus terang, say tidak tahu bagaimana teman-teman bisa mesuk kelompok itu, mereka tidak cantik dan juga tidak selalu mendapat nilai tinggi. Ada yang lebih bodoh daripada saya.” AYAH: “Kau heran dan bingung.” TUTI: “Ya, mereka semuanya ramah, banyak bicara dan mau berteman. Mereka menegur dengan ramah dan mudah ngobrol. Saya tidak bisa.” AYAH: “Kau pikir mungkin itu sebabnya.” TUTI: “Saya tahu saya tidak pandai bicara. Saya dapat bicara dengan mudah pada satu orang, tetapi tidak pada sekelompok orang. Saya lebih banyak diam. Saya tidak tahu apa yang harus dibicarakan.” AYAH: “Kau merasa lancar bicara dengan satu orang tetapi di hadapan banyak orang kau merasa lain.” TUTI: “Saya selalu takut kalau-kalau saa mengatkan sesuatu yang salah. Jadi saya diam saja dan merasa dikucilkan. Tidak enak rasanya.” AYAH: “Pasti kau tidak menyukai perasaan itu.” TUTI: “Saya benci dikucilkan, tetapi saya tidak berani ikut ngobrol.” Dalam percakapan Tuti dan ayah, ayah mengesampingkan pendapat dan perasaannya sendiri (“pesan saya”) untuk dapat mendengar, menguraikan dan mengerti pendapat serta perasaan-perasaan Tuti. Perhatikan bahwa umpan balik ayah umumnya selalu dimulai dengan “Kau”. Perhatikan juga bahwa ayah Tuti menahan diri untuk menggunakan “12 ciri” tadi. Dengan terus-menerus mendengar aktif, ayah menunjukkan pengertian terhadap perasaan-perasaan Tuti, tetapi tetap membiarkan ia bertanggung jawab terhadap persoalannya. Mengapa Orang Tua Harus Belajar Mendengar Aktif? Beberapa orang tua yang telah mengenal tehnik ini mengatakan: “Rasanya tidak wajat buat saya.” “Bukan begitu caranya orang bicara.” “Apa tujuannya ‘mendengar aktif’?” “Saya merasa bodoh bereaksi demikian terhadap anak saya.” “Anak saya akan menertawakan saya kalau saya mulai menggunakan ‘mendengar aktif’ kepadanya.” 41

Reaksi-reaksi semacam ini bisa dimengerti karena orang tua terbiasa mengajari, menggurui, bertanya, mengancam, menilai, atau meyakinkan. Dengan sendirinya wajarlah biala mereka bertanya apa perlu mereka mengubah dan belajar mendengar aktif. Dalam kelas MOE, seorang ayah yang semula amat sangsi, menjadi yakin akan manfaat cara ini, setelah mengalaminya sendiri dengan anak gadisnya yang berusia 15 tahun. “Saya ingin melaporkan pengalaman saya yang menakjubkan minggu ini. Anak saya, Anti dan saya, selama sekitar dua tahun tidak pernah berbicara, kecuali beberapa patah kata, seperti “buatkan minum”. Pada suatu malam, ia dan teman laki-lakinya duduk di teras depan ruah ketika saya pulang. Saya dengar Anti bercerita betapa ia benci sekolah dan bagaimana ia tidak menyukai sebagaian besar teman-teman perempuannya. Saya putuskan saat itu duduk tanpa berbuat sesuatu, hanya mendengar secara aktif, walau tidak menyenangkan. Mengherankan, hal tersebut tidak terlampau buruk. Percaya atau tidak, mereka berdua mulai berbicara pada saya dan selama dua jam tidak berhenti. Saya belajar mengenal anak saya lebih banyak dalam dua jam itu, lebih dari lima tahun terakhir. Setelah itu, ia menjadi dekat dan ramah pada saya. Suatu perubahan yang menyenangkan!” Ayah yang heran ini bukanlah satu-satunya. Banyak orang tua memperoleh hasil yang baik setelah mencoba teknik baru ini. Bahkan sebelum mereka menguasai teknik ini dengan baik, mereka telah melaporkan hasilnya yang memuaskan. Banyak orang menganggap bahwa mereka dapat mengatasi perasaan- perasaan mereka dengan cara menekannya, melupakan, atau memikirkan hal-hal lain. Sebenarnya, mereka terlepas dari beberapa kesulitan perasaan bila mereka didorong untuk mengungkapkannya secara terbuka. Mendengar aktif mendorong terjadinya katarsis. Hal ini menolong anak-anak menemukan apa yang sesungguhnya mereka rasakan. Sesudah mereka mengutarakan perasaan-perasaan mereka, mereka merasa lega, perasaan- perasaan yang menyusahkan seolah-olah menghilang. Mendengar aktif, menolong anak-anak menjadi tidak terlalu takut terhadap perasaan-perasaan negatif. “Perasaan itu menyenangkan”, itulah penyataan yang kami gunakan di dalam kelas MOE untuk menolong orang tua menyadari bahwa perasaan-perasaan tidaklah “buruk”. Bila orang tua melalui mendengar aktif memperlihatkan bahwa ia menerima perasaan- perasaan anak, anak juga tertolong untuk dapat menerima perasaan- perasaannya sendiri. Dari tanggapan orang tuanya, ia belajar bahwa perasaan-perasaan adalah menyenangkan. Mendengar aktif, mengembangkan hubungan yang hangat antara orang tua dan anak. Pengalaman didengar serta dimengerti orang lain demikian memuaskan sehingga membuat penerima merasa hangat terhadap 42


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook