BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN PENYAKIT Prinsip dalam menentukan jumlah cairan 5. Tidak ada infus set serta cairan infus di inisial yang dibutuhkan adalah: BJ plasma fasilitas pelayanan dengan rumus: Penatalaksanaan pada Pasien Anak 3. Menentukan jadwal pemberian cairan: Menurut Kemenkes RI (2011), prinsip tatalaksana a. Dua jam pertama (tahap rehidrasi diare pada balita adalah LINTAS DIARE (Lima inisial): jumlah total kebutuhan cairan Langkah Tuntaskan Diare), yang didukung menurut BJ plasma atau skor Daldiyono oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia dengan diberikan langsung dalam 2 jam ini rekomendasi WHO. Rehidrasi bukan satu- agar tercapai rehidrasi optimal secepat satunya cara untuk mengatasi diare tetapi mungkin. memperbaiki kondisi usus serta mempercepat b. Satu jam berikutnya/jam ke-3 (tahap penyembuhan/menghentikan diare dan ke-2) pemberian diberikan berdasarkan mencegah anak kekurangan gizi akibat diare kehilangan selama 2 jam pemberian juga menjadi cara untuk mengobati diare. cairan rehidrasi inisial sebelumnya. Adapun program LINTAS DIARE yaitu: Bila tidak ada syok atauskor Daldiyono 1. Rehidrasi menggunakan Oralit osmolalitas kurang dari 3 dapat diganti cairan per oral. rendah c. Jam berikutnya pemberian cairan Untuk mencegah terjadinya dehidrasi dapat diberikan berdasarkan kehilangan cairan melalui tinja dan insensible dilakukan mulai dari rumah tangga dengan water loss. memberikan oralit osmolaritas rendah, dan bila tidak tersedia berikan cairan rumah Kondisi yang memerlukan evaluasi lebih tangga seperti larutan air garam. Oralit saat lanjut pada diare akut apabila ditemukan: ini yang beredar di pasaran sudah oralit yang 1. Diare memburuk atau menetap setelah 7 baru dengan osmolaritas yang rendah, yang dapat mengurangi rasa mual dan muntah. hari, feses harus dianalisa lebih lanjut Oralit merupakan cairan yang terbaik bagi 2. Pasien dengan tanda-tanda toksik (dehidrasi, penderita diare untuk mengganti cairan yang hilang. Bila penderita tidak bisa minum disentri, demam ≥ 38,5oC, nyeri abdomen harus segera di bawa ke sarana kesehatan yang berat pada pasien usia di atas 50 tahun untuk mendapat pertolongan cairan melalui 3. Pasien usia lanjut infus. Pemberian oralit didasarkan pada 4. Muntah yang persisten derajat dehidrasi (Kemenkes RI, 2011). 5. Perubahan status mental seperti lethargi, a. Diare tanpa dehidrasi apatis, irritable 6. Terjadinya outbreak pada komunitas • Umur < 1 tahun: ¼-½ gelas setiap 7. Pada pasien yang immunokompromais. kali anak mencret (50–100 ml) Konseling dan Edukasi • Umur 1-4 tahun: ½-1 gelas setiap kali Pada kondisi yang ringan, diberikan edukasi anak mencret (100–200 ml) kepada keluarga untuk membantu asupan cairan. Edukasi juga diberikan untuk mencegah • Umur diatas 5 Tahun: 1–1½ gelas terjadinya GE dan mencegah penularannya. setiap kali anak mencret (200– 300 Kriteria Rujukan ml) 1. Tanda dehidrasi berat 2. Terjadi penurunan kesadaran b. Diare dengan dehidrasi ringan sedang 3. Nyeri perut yang signifikan Dosis oralit yang diberikan dalam 3 jam 4. Pasien tidak dapat minum oralit pertama 75 ml/ kg bb dan selanjutnya diteruskan dengan pemberian oralit seperti diare tanpa dehidrasi. c. Diare dengan dehidrasi berat Penderita diare yang tidak dapat minum harus segera dirujuk ke Puskesmas untuk diinfus. 82 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA
BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN PENYAKIT Tabel 3.6 Kebutuhan Oralit per Kelompok Umur Umur Jumlah oralit yang diberikan tiap Jumlah oralit yang disediakan di rumah BAB < 12 bulan 400 ml/hari (2 bungkus) 1-4 tahun 50-100 ml 600-800 ml/hari (3-4 bungkus) > 5 tahun 100-200ml 800-1000 ml/hari (4-5 bungkus) Dewasa 200-300 ml 300-400 ml 1200-2800 ml/hari Untuk anak dibawah umur 2 tahun terutama pada anak agar tetap kuat dan cairan harus diberikan dengan sendok tumbuh serta mencegah berkurangnya berat dengan cara 1 sendok setiap 1 sampai badan. Anak yang masih minum ASI harus 2 menit. Pemberian dengan botol tidak lebih sering diberi ASI. Anak yang minum boleh dilakukan. Anak yang lebih besar susu formula juga diberikan lebih sering dari dapat minum langsung dari gelas. Bila biasanya. Anak usia terjadi muntah hentikan dulu selama 10 menit kemudian mulai lagi perlahan- 6 bulan atau lebih termasuk bayi yang lahan misalnya 1 sendok setiap 2-3 telah mendapatkan makanan padat harus menit. Pemberian cairan ini dilanjutkan diberikan makanan yang mudah dicerna sampai dengan diare berhenti. dan diberikan sedikit lebih sedikit dan lebih sering. Setelah diare berhenti, pemberian 2. Zinc diberikan selama 10 hari berturut-turut makanan ekstra diteruskan selama 2 minggu Pemberian zinc selama diare terbukti untuk membantu pemulihan beratbadan mampu mengurangi lama dan tingkat 4. Antibiotik Selektif keparahan diare, mengurangi frekuensi buang air besar, mengurangi volume tinja, Antibiotika tidak boleh digunakan secara serta menurunkan kekambuhan kejadian rutin karena kecilnya kejadian diare pada diare pada 3 bulan berikutnya. Berdasarkan balita yang disebabkan oleh bakteri. bukti ini semua anak diare harus diberi Zinc Antibiotika hanya bermanfaat pada segera saat anak mengalami diare. penderita diare dengan darah (sebagian Dosis pemberian Zinc pada balita: besar karena Shigellosis) dan suspek kolera • Umur < 6 bulan : ½ tablet (10 mg) per hari Obat-obatan anti diare juga tidak boleh selama 10 hari. diberikan pada anak yang menderita diare • Umur > 6 bulan : 1 tablet (20 mg) per hari karena terbukti tidak bermanfaat. Obat anti muntah tidak dianjurkan kecuali muntah selama 10 hari. berat. Obat-obatan ini tidak mencegah Zinc tetap diberikan selama 10 hari dehidrasi ataupun meningkatkan status gizi anak, bahkan sebagian besar walaupun diare sudah berhenti. menimbulkan efek samping yang berbahaya Cara pemberian tablet zinc : Larutkan tablet dan bisa berakibat fatal. Obat anti protozoa digunakan bila terbukti diare disebabkan dalam 1 sendok makan air matang atau ASI, oleh parasit (amuba, giardia). sesudah larut berikan pada anak diare. 3. Teruskan pemberian ASI dan Makanan 5. Nasihat kepada orang tua/pengasuh Pemberian makanan selama diare bertujuan untuk memberikan gizi pada penderita Ibu atau pengasuh yang berhubungan erat PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA 83
BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN PENYAKIT dengan balita harus diberi nasehat tentang: Referensi a. Cara memberikan cairan dan obat di 1. Departemen Kesehatan RI. 2009. Pedoman rumah pemberantasan penyakit diare. Jakarta: b. Kapan harus membawa kembali balita Ditjen PPM dan PL. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2009) ke petugas kesehatan bila : 2. Kementrian Kesehatan RI. 2011. Panduan • Diare lebih sering sosialisasi tatalaksana diare pada balita. • Muntah berulang Jakarta: Ditjen PP dan PL (Kementerian • Sangat haus Kesehatan Republik Indonesia, 2011) • Makan/minum sedikit 3. Simadibrata, M. D. Diare akut. In: Sudoyo, • Timbul demam A.W. Setiyohadi, B. Alwi, I. Simadibrata, M.D. • Tinja berdarah Setiati, S. Eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. • Tidak membaik dalam 3 hari. 5th Ed. Vol. I. Jakarta: Pusat Penerbitan Konseling dan Edukasi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2009: p. 548-556. Pencegahan diare menurut Pedoman Tatalaksana 4. Makmun, D. Simadibrata, M.D. Abdullah, Diare Departemen M. Syam, A.F. Fauzi, A. Konsensus Kesehatan RI (2006) adalah sebagai berikut: Penatalaksanaan Diare Akut pada Dewasa 1. Pemberian ASI di Indonesia. Jakarta: Perkumpulan 2. Pemberian makanan pendamping ASI Gastroenterologi Indonesia. 2009. 3. Menggunakan air bersih yang cukup 5. Setiawan, B. Diare akut karena Infeksi. 4. Mencuci tangan In: Sudoyo, A.W. Setiyohadi, B. Alwi, I. 5. Menggunakan jamban Simadibrata, M. Setiati, S.Eds. Buku ajar 6. Membuang tinja bayi dengan benar ilmu penyakit dalam. 4thEd. Vol. III. Jakarta: 7. Pemberian imunisasi campak Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006: p. 1794-1798. Kriteria Rujukan 6. Sansonetti, P. Bergounioux, J. Shigellosis. In: 1. Anak diare dengan dehidrasi berat dan tidak Kasper. Braunwald. Fauci. et al. Harrison’s Principles of Internal Medicine.Vol II. 17thEd. ada fasilitas rawat inap dan pemasangan McGraw-Hill. 2009: p. 962-964. (Braunwald, intravena. et al., 2009) 2. Jika rehidrasi tidak dapat dilakukan atau 7. Reed, S.L. Amoebiasis dan Infection with tercapai dalam 3 jam pertama penanganan. Free Living Amoebas. In: Kasper. Braunwald. 3. Anak dengan diare persisten Fauci. et al. Harrison’s Principles of Internal 4. Anak dengan syok hipovolemik Medicine.Vol I. 17thEd. McGraw-Hill. 2009: p. 1275-1280. Peralatan Infus set, cairan intravena, peralatan laboratorium untuk pemeriksaan darah rutin, feses dan WIDAL Prognosis Prognosis sangat tergantung pada kondisi pasien saat datang, ada/tidaknya komplikasi, dan pengobatannya, sehingga umumnya prognosis adalah dubia ad bonam. Bila kondisi saat datang dengan dehidrasi berat, prognosis dapat menjadi dubia ad malam. 84 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA
BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN PENYAKIT 8. DISENTRI BASILER DAN DISENTRI AMUBA No. ICPC-2 : D70 Gastrointestinal infection No. ICD-10 : A06.0 Acute amoebic dysentery Masalah Kesehatan Penegakan Diagnostik (Assessment) Disentri merupakan tipe diare yang berbahaya Diagnosis Klinis dan seringkali menyebabkan kematian Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, dibandingkan dengan tipe diare akut yang lain. pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Penyakit ini dapat disebabkan oleh bakteri 1. Diagnosis Banding disentri basiler yang disebabkan oleh 2. Infeksi Eschericiae coli shigellosis dan amoeba (disentri amoeba). 3. Infeksi Escherichia coli Enteroinvasive Hasil Anamnesis (Subjective) (EIEC) 4. Infeksi Escherichia coli Enterohemoragik Keluhan 1. Sakit perut terutama sebelah kiri dan (EHEC) Komplikasi buang air besar encer secara terus menerus 1. Haemolytic uremic syndrome (HUS) bercampur lendir dan darah 2. Hiponatremia berat 2. Muntah-muntah 3. Hipoglikemia berat 3. Sakit kepala 4. Komplikasi intestinal seperti toksik 4. Bentuk yang berat (fulminating cases) biasanya disebabkan oleh S. dysentriae megakolon, prolaps rektal, peritonitis dan dengan gejalanya timbul mendadak dan perforasi berat, dan dapat meninggal bila tidak cepat ditolong. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan Faktor Risiko 1. Mencegah terjadinya dehidrasi Higiene pribadi dan sanitasi lingkungan yang 2. Tirah baring kurang. 3. Dehidrasi ringan sampai sedang dapat Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang dikoreksi dengan cairan rehidrasi oral Sederhana (Objective) 4. Bila rehidrasi oral tidak mencukupi dapat Pemeriksaan Fisik diberikan cairan melalui infus Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan: 5. Diet, diberikan makanan lunak sampai 1. Febris 2. Nyeri perut pada penekanan di bagian frekuensi BAB kurang dari 5 kali/hari, kemudian diberikan makanan ringan biasa sebelah kiri bila ada kemajuan. 3. Terdapat tanda-tanda dehidrasi 6. Farmakologis: 4. Tenesmus a. Menurut pedoman WHO, bila telah Pemeriksaan Penunjang terdiagnosis shigelosis pasien diobati Pemeriksaan tinja secara langsung terhadap dengan antibiotik. Jika setelah 2 hari kuman penyebab. pengobatan menunjukkan perbaikan, terapi diteruskan selama 5 hari. Bila tidak ada perbaikan, antibiotik diganti dengan jenis yang lain. b. Pemakaian jangka pendek dengan PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA 85
BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN PENYAKIT dosis tunggal Fluorokuinolon Kriteria Rujukan seperti Siprofloksasin atau makrolid Pada pasien dengan kasus berat perlu dirawat Azithromisin ternyata berhasil baik intensif dan konsultasi ke pelayanan kesehatan untuk pengobatan disentri basiler. Dosis sekunder (spesialis penyakit dalam). Siprofloksasin yang dipakai adalah 2 x 500 mg/hari selama 3 hari sedangkan Peralatan Azithromisin diberikan 1 gram dosis Laboratorium untuk pemeriksaan tinja tunggal dan Sefiksim 400 mg/hari selama 5 hari. Pemberian Siprofloksasin Prognosis merupakan kontraindikasi terhadap Prognosis sangat tergantung pada kondisi anak-anak dan wanita hamil. pasien saat datang, ada/tidaknya komplikasi, dan c. Di negara-negara berkembang di pengobatannya. Pada umumnya prognosis dubia mana terdapat kuman S.dysentriae ad bonam. tipe 1 yang multiresisten terhadap obat- obat, diberikan asam nalidiksik dengan Referensi dosis 3 x 1 gram/hari selama 5 hari. 1. Sya’roni Akmal. Buku Ajar Ilmu Penyakit Tidak ada antibiotik yang dianjurkan dalam pengobatan stadium karier Dalam. Jilid III. Edisi ke 4. Jakarta: FK disentribasiler. UI.2006. Hal 1839-41. d. Untuk disentri amuba diberikan 2. Oesman, Nizam. Buku Ajar Ilmu Penyakit antibiotik Metronidazol 500mg 3x Dalam Edisi III. Jakarta: FKUI.2006. sehari selama 3-5 hari 3. Kroser, AJ. Shigellosis. 2007. Diakses dari www.emedicine.com/med/topic2112.htm. Rencana Tindak Lanjut Pasien perlu dilihat perkembangan penyakitnya karena memerlukan waktu penyembuhan yang lama berdasarkan berat ringannya penyakit. Konseling dan Edukasi 1. Penularan disentri amuba dan basiler dapat dicegah dan dikurangi dengan kondisi lingkungan dan diri yang bersih seperti membersihkan tangan dengan sabun, suplai air yang tidak terkontaminasi serta penggunaan jamban yang bersih. 2. Keluarga ikut berperan dalam mencegah penularan dengan kondisi lingkungan dan diri yang bersih seperti membersihkan tangan dengan sabun, suplai air yang tidak terkontaminasi, penggunaan jamban yang bersih. 3. Keluarga ikut menjaga diet pasien diberikan makanan lunak sampai frekuensi BAB kurang dari 5 kali/hari, kemudian diberikan makanan ringan biasa bila ada kemajuan. 86 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA
BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN PENYAKIT 9. PERDARAHAN GASTROINTESTINAL No. ICPC-2 : D14 Haematemesis/vomiting blood D15 Melaena D16 Rectal Bleeling No. ICD-10 : K92.2 Gastrointestinal haemorrhage, unspecified K62.5 Haemorrhage of anus and rectum Tingkat Kemampuan 3B a. Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas riwayat mengkonsumsi NSAID, obat rematik, alkohol, jamu- jamuan, obat untuk penyakit Masalah Kesehatan jantung, obat stroke, riwayat penyakit ginjal, Manifestasi perdarahan saluran cerna riwayat penyakit paru dan adanya perdarahan bervariasi mulai dengan perdarahan masif yang ditempat lainnya. Riwayat muntah-muntah mengancam jiwa hingga perdarahan samar yang sebelum terjadinya hematemesis sangat tidak dirasakan. Hematemesis menunjukkan mendukung kemungkinan adanya sindroma perdarahan dari saluran cerna bagian atas, Mallory Weiss. proksimal dari ligamentum Treitz. Melena biasanya akibat perdarahan saluran cerna Faktor Risiko bagian atas, meskipun demikian perdarahan dari Konsumsi obat-obat NSAID usus halus atau kolon bagian kanan, juga dapat menimbulkan melena. Faktor Predisposisi Di Indonesia perdarahan karena ruptur varises Riwayat sirosis hepatis gastroesofagus merupakan penyebab tersering yaitu sekitar 50-60%, gastritis erosif sekitar Hasil pemeriksaan fisik dan penunjang 25-30%,tukak peptik sekitar 10-15% dan sederhana (Objective) karena sebab lainnya <5%. Mortalitas secara keseluruhan masih tinggi yaitu sekitar 25%, Pemeriksaan Fisik kematian pada penderita ruptur varises bisa 1. Penilaian hemodinamik (keadaan sirkulasi) mencapai 60% sedangkan kematian pada 2. Evaluasi jumlah perdarahan. perdarahan non varises sekitar 9-12%. 3. Pemeriksaan fisik lainnyayaitu mencari Hasil Anamnesis (Subjective) stigmata penyakit hati kronis (ikterus, Keluhan spider nevi, asites, splenomegali, eritema Pasien dapat datang dengan keluhan muntah palmaris, edema tungkai), massa abdomen, darah berwarna hitam seperti bubuk kopi nyeri abdomen, rangsangan peritoneum, (hematemesis) atau buang air besar berwarna penyakit paru, penyakit jantung, penyakit hitam seperti ter atau aspal (melena). rematik dll. Gejala klinis lainya sesuai dengan komorbid, 4. Rectal toucher seperti penyakit hati kronis, penyakit paru, 5. Dalam prosedur diagnosis ini penting penyakit jantung, penyakit ginjal dsb. melihat aspirat dari Naso Gastric Tube (NGT). Pada anamnesis yang perlu ditanyakan adalah Aspirat berwarna putih keruh menandakan riwayat penyakit hati kronis, riwayat dispepsia, perdarahan tidak aktif, aspirat berwarna merah marun menandakan perdarahan masif sangat mungkin perdarahan arteri. PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA 87
BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN PENYAKIT Pemeriksaan Penunjang di fasilitas pelayanan Konseling dan Edukasi kesehatan tingkat pertama Keluarga ikut mendukung untuk menjaga diet 1. Laboratorium darah lengkap dan pengobatan pasien. 2. X ray thoraks Kriteria Rujukan 1. Terhadap pasien yang diduga kuat karena Penegakan diagnostik (Assessment) ruptura varises esophagus di rujuk ke Diagnosis Klinis anamnesis, pelayanan kesehatan sekunder Diagnosis ditegakkan berdasar 2. Bila perdarahan tidak berhenti dengan pemeriksaan fisik dan penunjang. penanganan awal di layanan tingkat pertama Diagnosis Banding 3. Bila terjadi anemia berat Hemoptisis, Hematokezia Peralatan 1. Kanula satu sungkup oksigen Komplikasi 2. Naso Gastric Tube (NGT) Syok hipovolemia, Aspirasi pneumonia, Gagal 3. Sarung tangan ginjal akut, Anemia karena perdarahan 4. EKG 5. Laboratorium untuk pemeriksaan darah Penatalaksanaan komprehensif (Plan) lengkap, fungsi hati, dan fungsi ginjal. Prognosis Penatalaksanaan Prognosis untuk kondisi ini adalah dubia, 1. Stabilkan hemodinamik. mungkin tidak sampai mengancam jiwa, namun ad fungsionam dan sanationam a. Pemasangan IV line umumnya dubia ad malam. b. Oksigen sungkup/kanula Referensi c. Mencatat intake output, harus dipasang 1. Soewondo. Pradana. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi ke 4. Jakarta: FK UI. kateter urin 2006: Hal 291-4. d. Memonitor tekanan darah, nadi, 2. Panduan Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit saturasi oksigen dan keadaan lainnya Dalam FKUI/RSCM. 2004:Hal 229. sesuai dengan komorbid yang ada. (Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2. Pemasangan NGT (nasogatric tube) RSCM, 2004) Melakukan bilas lambung agar 3. Galley, H.F. Webster, N.R. Lawler, P.G.P. Soni, N. mempermudah dalam tindakan endoskopi. Singer, M,Critical Care. Focus 9 Gut. London: 3. Tirah baring BMJ Publishing Group. 2002. (Galley, et al., 4. Puasa/diet hati/lambung 2002) a. Injeksi antagonis reseptor H2 atau 4. Elta, G.H.Approach to the patient penghambat pompa proton (PPI) with gross gastrointestinal bleeding in b. Sitoprotektor: sukralfat 3-4 x1 gram Yamada, T.Alpers, D.H. Kaplowitz, N. Laine, c. Antasida L. Owyang, C. Powell, D.W.Eds. Text Book d. Injeksi vitamin K untuk pasien dengan of Gastroenetrology. 4tEd. Philadelphia: penyakit hati kronis Lippincot William & Wilkins. 2003. (Elta,2003) Rencana Tindak Lanjut Walaupun sudah dilakukan terapi endoskopi pasien dapat mengalami perdarahan ulang. Oleh karena itu perlu dilakukan asesmen yang lebih akurat untuk memprediksi perdarahan ulang dan mortalitas. 88 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA
BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN PENYAKIT 5. Rockey, D.C. Gastrointestinal bleeding faeces. in Feldman, M Friedman, L.S. Sleisenger, 5. Pasien dengan perdarahan samar saluran M.H.Eds.Sleisenger & Fordtran’s Gastrointestinal and Liver Disease. 7thEd. cerna kronik umumnya tidak ada gejala Philadelphia: W.B. Sauders.2002. (Rockey, atau kadang hanya rasa lelah akibat 2002) anemia. 6. Nilai dalam anamnesis apakah 6. Gilbert, D.A. Silverstein, F.E. Acute upper bercampur dengan feses (seperti terjadi gastrointestinal bleeding in Sivak, M.V.Ed. pada kolitis atau lesi di proksimal rektum) Gastroenterologic endoscopy. Philadelphia: atau terpisah/menetes (terduga hemoroid), WB Sauders. 2000. (Gilbert & Silverstein, pemakaian antikoagulan, atau terdapat 2000) gejala sistemik lainnya seperti demam lama (tifoid, kolitis infeksi), menurunnya berat b. Perdarahan Saluran Cerna Bagian Bawah badan (kanker), perubahan pola defekasi Masalah Kesehatan (kanker), tanpa rasa sakit (hemoroid intema, Perdarahan saluran cerna bagian bawah angiodisplasia), nyeri perut (kolitis infeksi, umumnya didefinisikan sebagai perdarahan yang iskemia mesenterial), tenesmus ani (fisura, berasal dari usus di sebelah bawah ligamentum disentri). Treitz. Hematokezia diartikan darah segar yang keluar melalui anus dan merupakan Hasil pemeriksaan fisik dan penunjang manifestasi tersering dari perdarahan saluran sederhana (Objective) cerna bagian bawah. Pemeriksaan Fisik Penyebab tersering dari saluran cerna bagian 1. Pada colok dubur ditemukan darah segar bawah antara lain perdarahan divertikel kolon, 2. Nilai tanda vital, terutama ada angiodisplasia dan kolitis iskemik. Perdarahan saluran cerna bagian bawah yang kronik dan tidaknya renjatan atau hipotensi postural berulang biasanya berasal dari hemoroid dan (Tilt test). neoplasia kolon. 3. Pemeriksaan fisik abdomen untuk menilai Hasil Anamnesis (Anemnesis) ada tidaknya rasa nyeri tekan (iskemia Keluhan mesenterial), rangsang peritoneal 1. Pasien datang dengan keluhan darah segar (divertikulitis), massa intraabdomen (tumor kolon, amuboma, penyakit Crohn). yang keluar melalui anus (hematokezia). 2. Umumnya melena menunjukkan perdarahan Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan darah perifer lengkap, feses rutin di saluran cerna bagian atas atau usus halus, dan tes darah samar. namun demikian melena dapat juga berasal dari perdarahan kolon sebelah kanan Penegakan diagnostik (Assessment) dengan perlambatan mobilitas. Diagnosis Klinis 3. Perdarahan dari divertikulum biasanya Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, tidak nyeri. Tinja biasanya berwarna merah pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. marun, kadang-kadang bisa juga menjadi merah. Umumnya terhenti secara spontan Diagnosis Banding dan tidak berulang. Haemorhoid, Penyakit usus inflamatorik, 4. Hemoroid dan fisura ani biasanya Divertikulosis, Angiodisplasia, Tumor kolon menimbulkan perdarahan dengan warna merah segar tetapi tidak bercampur dengan Komplikasi 1. Syok hipovolemik PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA 89
BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN PENYAKIT 2. Gagal ginjal akut Rujuk ke pelayanan kesehatan sekunder untuk 3. Anemia karena perdarahan diagnosis definitif bila tidak dapat ditegakkan Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama Penatalaksanaan 1. Stabilkan hemodinamik Peralatan 1. Laboratorium untuk pemeriksaan darah a. Pemasangan IV line b. Oksigen sungkup/kanula lengkap dan faeces darah samar c. Mencatat intake output, harus dipasang 2. Sarung tangan kateter urin Prognosis d. Memonitor tekanan darah, nadi, Prognosis sangat tergantung pada kondisi pasien saat datang, ada/tidaknya komplikasi, saturasi oksigen dan keadaan lainnya dan pengobatannya. sesuai dengan komorbid yang ada. 2. Beberapa perdarahan saluran cerna bagian Referensi bawah dapat diobati secara medikamentosa. 1. Abdullah. Murdani, Sudoyo. Aru, W. dkk. Hemoroid fisura ani dan ulkus rektum soliter dapat diobati dengan bulk-forming agent, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. sitz baths, dan menghindari mengedan. Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Dep. IPD. 3. Kehilangan darah samar memerlukan FKUI.2007. (Sudoyo, et al., 2006) suplementasi besi yaitu Ferrosulfat 325 mg 2. Panduan Pelayanan Medik Ilmu Penyakit tiga kali sehari. Dalam. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM. 2004. Hal 234. Konseling dan Edukasi (Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI Keluarga ikut mendukung untuk menjaga diet RSCM, 2004) dan pengobatan pasien. Kriteria Rujukan Perdarahan saluran cerna bagian bawah yang terus menerus 10. HEMOROID GRADE 1-2 No. ICPC-2 : D95 Anal fissure/perianal abscess No. ICD-10 : I84 Haemorrhoids Tingkat Kemampuan 4A Masalah Kesehatan 2. Prolaps suatu massa pada waktu defekasi. Massa ini mula-mula dapat kembali spontan Hemoroid adalah pelebaran vena-vena didalam sesudah defekasi, tetapi kemudian harus pleksus hemoroidalis. dimasukkan secara manual dan akhirnya tidak dapat dimasukkan lagi. Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan 3. Pengeluaran lendir. 1. Perdarahan pada waktu defekasi, darah 4. Iritasi didaerah kulit perianal. berwarna merah segar. Darah dapat menetes keluar dari anus beberapa saat setelah 5. Gejala-gejela anemia (seperti : pusing, defekasi. lemah, pucat). 90 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA
BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN PENYAKIT Faktor Risiko Pemeriksaan Penunjang 1. Penuaan Pemeriksaan darah rutin, bertujuan untuk 2. Lemahnya dinding pembuluh darah mengetahui adanya anemia dan infeksi. 3. Wanita hamil 4. Konstipasi Penegakan Diagnostik (Assessment) 5. Konsumsi makanan rendah serat 6. Peningkatan tekanan intraabdomen Diagnosis Klinis 7. Batuk kronik 8. Sering mengedan Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, 9. Penggunaan toilet yang berlama-lama pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. (misal : duduk dalam waktu yang lama di Klasifikasi hemoroid, dibagi menjadi : toilet) 1. Hemoroid internal, yang berasal dari bagian Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang proksimal dentate line dan dilapisi mukosa. Hemoroid internal dibagi menjadi 4 grade, Sederhana (Objective) yaitu : Pemeriksaan Fisik a. Grade 1 hemoroid mencapai lumen anal kanal 1. Periksa tanda-tanda anemia 2. Pemeriksaan status lokalis b. Grade 2 hemoroid mencapai sfingter eksternal dan tampak pada a. Inspeksi: saat pemeriksaan tetapi • Hemoroid derajat 1, tidak dapat masuk kembali secara menunjukkan adanya suatu kelainan spontan. diregio anal. • Hemoroid derajat 2, tidak terdapat c. Grade 3 hemoroid telah keluar dari benjolan mukosa yang keluar melalui anal canal dan hanya dapat anus, akan tetapi bagian hemoroid masuk kembali secara manual yang tertutup kulit dapat terlihat oleh pasien. sebagai pembengkakan. • Hemoroid derajat 3 dan 4 yang besar d. Grade 4 hemoroid selalu keluar dan akan segera dapat dikenali dengan tidak dapat masuk ke anal adanya massa yang menonjol dari kanal meski dimasukkan lubang anus yang bagian luarnya secara manual ditutupi kulit dan bagian dalamnya oleh mukosa yang berwarna 2. Hemoroid eksternal, berasal dari bagian keunguan atau merah. dentate line dan dilapisi oleh epitel mukosa yang telah termodifikasi serta banyak b. Palpasi: persarafan serabut saraf nyeri somatik. • Hemoroid interna pada stadium awal merupaka pelebaran vena yang lunak Diagnosis Banding dan mudah kolaps sehingga tidak dapat dideteksi dengan palpasi. Kondiloma Akuminata, Proktitis, Rektal prolaps • Setelah hemoroid berlangsung lama dan telah prolaps, jaringan ikat Komplikasi mukosa mengalami fibrosis sehingga hemoroid dapat diraba ketika jari Anemia tangan meraba sekitar rektum bagian bawah. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan Hemoroid di layanan tingkat pertama hanya untuk hemoroid grade 1 dengan PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA 91
BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN PENYAKIT terapi konservatif medis dan menghindari obat- Kriteria Rujukan obat anti-inflamasi non-steroid, serta makanan pedas atau berlemak. Hemoroid interna grade 2, 3, dan 4 dan hemoroid eksterna memerlukan penatalaksanaan di Hal lain yang dapat dilakukan adalah mengurangi pelayanan kesehatan sekunder. rasa nyeri dan konstipasi pada pasien hemoroid. Peralatan Konseling dan Edukasi Sarung tangan Melakukan edukasi kepada pasien sebagai upaya pencegahan hemoroid. Pencegahan hemoroid Prognosis dapat dilakukan dengan cara: Prognosis pada umumnya bonam 1. Konsumsi serat 25-30 gram perhari. Hal ini bertujuan untuk membuat feses Referensi menjadi lebih lembek dan besar, sehingga mengurangi proses mengedan dan tekanan 1. Thornton, Scott. Giebel, John. Hemorrhoids. pada vena anus. Emedicine. Medscape. Update 12 September 2012. (Thornton & Giebel, 2012) 2. Minum air sebanyak 6-8 gelas sehari. 3. Mengubah kebiasaan buang air besar. 2. Chong, PS & Bartolo, D.C.C. Hemorrhoids and Fissure in Ano Gastroenterology Clinics Segerakan ke kamar mandi saat merasa of North America. 2008. akan buang air besar, jangan ditahan karena akan memperkeras feses. Hindari mengedan. 11. HEPATITIS A : D72 Viral Hepatitis No. ICPC-2 : B15 Acute Hepatitis A No. ICD-10 Tingkat Kemampuan 4A Masalah Kesehatan 6. Mual dan muntah Hepatitis A adalah infeksi akut di liver yang 7. Warna urine seperti teh disebabkan oleh hepatitis A virus (HAV), sebuah 8. Tinja seperti dempul virus RNA yang disebarkan melalui rute fekal oral. Lebih dari 75% orang dewasa simtomatik, Faktor Risiko sedangkan pada anak <6 tahun 70% asimtomatik. 1. Sering mengkonsumsi makanan atau Kurang dari 1% penderita hepatitis A dewasa berkembang menjadi hepatitis A fulminan. minuman yang tidak terjaga sanitasinya. 2. Menggunakan alat makan dan minum dari Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan penderita hepatitis. 1. Demam 2. Mata dan kulit kuning Hasil pemeriksaan fisik dan penunjang 3. Penurunan nafsu makan sederhana (Objective) 4. Nyeri otot dan sendi Pemeriksaan Fisik 5. Lemah, letih, dan lesu. 1. Febris 2. Sklera ikterik 3. Hepatomegali 4. Warna urin seperti teh 92 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA
BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN PENYAKIT Pemeriksaan Penunjang orang-orang yang berisiko tinggi terinfeksi. 1. Tes laboratorium urin (bilirubin di dalam 3. Keluarga ikut menjaga asupan kalori urin) dan cairan yang adekuat, dan membatasi 2. Pemeriksaan darah : peningkatan kadar aktivitas fisik pasien selama fase akut. Kriteria Rujukan bilirubin dalam darah, kadar SGOT dan 1. Penegakan diagnosis dengan pemeriksaan SGPT ≥ 2x nilai normal tertinggi, dilakukan penunjang laboratorium pada fasilitas pelayanan kesehatan tingkat 2. Penderita Hepatitis A dengan keluhan pertama yang lebih lengkap. ikterik yang menetap disertai keluhan 3. IgM anti HAV (di layanan tingkat lanjutan) yang lain. Penegakan Diagnostik (Assessment) 3. Penderita Hepatitis A dengan penurunan Diagnosis Klinis kesadaran dengan kemungkinan ke arah Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, ensefalopati hepatik. pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Peralatan Diagnosis Banding Laboratorium darah rutin, urin rutin dan Ikterus obstruktif, Hepatitis B dan C akut, Sirosis pemeriksaan fungsi hati hepatis Prognosis Komplikasi Prognosis umumnya adalah bonam. Hepatitis A fulminan, Ensefalopati hepatikum, Referensi Koagulopati 1. Dienstaq, J.L. Isselbacher, K.J. Acute Viral Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Hepatitis. In: Braunwald, E. et al. Harrison’s Penatalaksanaan Principles of Internal Medicine,16thEd. 1. Asupan kalori dan cairan yang adekuat New York: McGraw-Hill. 2004. 2. Tirah baring 2. Sherlock, S. Hepatitis B virus and hepatitis 3. Pengobatan simptomatik delta virus. In: Disease of Liver and Biliary a. Demam: Ibuprofen 2 x 400 mg/hari. System. Blackwell Publishing Company. b. Mual: antiemetik seperti Metoklopramid 3 2002: p.285-96. (Sherlock, 2002) x 10 mg/hari atau Domperidon 3 x 10mg/ 3. Sanityoso, Andri. Buku Ajar Ilmu Penyakit hari. Dalam. Jilid I. Edisi ke 4. Jakarta: FK UI. 2006: c. Perut perih dan kembung : H2 Bloker Hal 429-33. (Simetidin 3 x 200 mg/hari atau Ranitidin 2 4. Soemohardjo, Soewignjo. Gunawan, x 150 mg/hari) atau Proton Pump Inhibitor Stephanus. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. (Omeprazol 1 x 20 mg/hari). Jilid I. Edisi ke 4. Jakarta: FK UI. 2006:Hal Rencana Tindak Lanjut 435-9. Kontrol secara berkala untuk menilai hasil 5. Panduan Pelayanan Medik Ilmu Penyakit pengobatan. Dalam. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Konseling dan Edukasi Dalam FKUI/RSCM. 2004:Hal15-17. 1. Sanitasi dan higiene mampu mencegah penularan virus. 2. Vaksinasi Hepatitis A diberikan kepada PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA 93
BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN PENYAKIT 12. HEPATITIS B : D72 Viral Hepatitis No. ICPC-2 : B16 Acute Hepatitis B No. ICD-10 Tingkat Kemampuan 3A Masalah Kesehatan bila ditekan di bagian perut kanan atas. Hepatitis B adalah virus yang menyerang hati, Setelah gejala tersebut akan timbul fase masuk melalui darah ataupun cairan tubuh dari resolusi. seseorang yang terinfeksi. Virus ini tersebar luas di seluruh dunia dengan angka kejadian Faktor Risiko yang berbeda- beda. Tingkat prevalensi hepatitis 1. Mempunyai hubungan kelamin yang tidak B di Indonesia sangat bervariasi berkisar 2,5% di Banjarmasin sampai 25,61% di Kupang, aman dengan orang yang sudah terinfeksi sehingga termasuk dalam kelompok negara hepatitis B. dengan endemisitas sedang sampai tinggi. 2. Memakai jarum suntik secara bergantian Infeksi hepatitis B dapat berupa keadaan yang terutama kepada penyalahgunaan obat akut dengan gejala yang berlangsung kurang suntik. dari 6 bulan. Apabila perjalanan penyakit 3. Menggunakan alat-alat yang biasa melukai berlangsung lebih dari 6 bulan maka kita sebut bersama-sama dengan penderita hepatitis B. sebagai hepatitis kronik (5%). Hepatitis B kronik 4. Orang yang bekerja pada tempat-tempat dapat berkembang menjadi sirosis hepatis, 10% yang terpapar dengan darah manusia. dari penderita sirosis hepatis akan berkembang 5. Orang yang pernah mendapat transfusi menjadihepatoma. darah sebelum dilakukan pemilahan terhadap donor. Hasil Anamnesis (Subjective) 6. Penderita gagal ginjal yang menjalani Keluhan hemodialisis. 1. Umumnya tidak menimbulkan gejala 7. Anak yang dilahirkan oleh ibu yang menderita hepatitis B. terutama pada anak-anak. 2. Gejala timbul apabila seseorang telah Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) terinfeksi selama 6 minggu, antara lain: a. gangguan gastrointestinal, seperti: Pemeriksaan Fisik 1. Konjungtiva ikterik malaise, anoreksia, mual dan muntah; 2. Pembesaran dan sedikit nyeri tekan pada b. gejala flu: batuk, fotofobia, sakit kepala, hati mialgia. 3. Splenomegali dan limfadenopati pada 15- 3. Gejala prodromal seperti diatas akan 20% pasien menghilang pada saat timbul kuning, tetapi keluhan anoreksia, malaise, dan kelemahan Pemeriksaan Penunjang dapat menetap. 1. Tes laboratorium urin (bilirubin di dalam 4. Ikterus didahului dengan kemunculan urin berwarna gelap. urin) Pruritus (biasanya ringan dan sementara) 2. Pemeriksaan darah : peningkatan kadar dapat timbul ketika ikterus meningkat. Pada saat badan kuning, biasanya diikuti oleh bilirubin dalam darah, kadar SGOT dan pembesaran hati yang diikuti oleh rasa sakit SGPT ≥ 2x nilai normal tertinggi, dilakukan pada fasilitas pelayanan kesehatan tingkat 94 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA
BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN PENYAKIT pertama yang lebih lengkap. 2. Pada fase akut, keluarga ikut menjaga 3. HBsAg (di pelayanan kesehatan sekunder) asupan kalori dan cairan yang adekuat, dan membatasi aktivitas fisik pasien. Penegakan Diagnostik (Assessment) 3. Pencegahan penularan pada anggota Diagnosis Klinis keluarga dengan modifikasi pola hidup Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, untuk pencegahan transmisi dan imunisasi. pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Peralatan Diagnosis Banding Laboratorium darah rutin, urin rutin dan Perlemakan hati, penyakit hati oleh karena pemeriksaan fungsi hati obat atau toksin, hepatitis autoimun, hepatitis Prognosis alkoholik, obstruksi akut traktus biliaris Prognosis sangat tergantung pada kondisi pasien saat datang, ada/tidaknya komplikasi, dan Komplikasi pengobatannya. Pada umumnya, prognosis pada Sirosis hepar, Hepatoma hepatitis B adalah dubia, untuk fungtionam dan sanationamdubia ad malam. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Referensi 1. Dienstaq, J.L. Isselbacher, K.J. Acute Viral Penatalaksanaan 1. Asupan kalori dan cairan yang adekuat Hepatitis. In: Braunwald, E. et al. Harrison’s 2. Tirah baring Principles of Internal Medicine. 16th Ed. 3. Pengobatan simptomatik McGraw-Hill. New York. 2004. 2. Sherlock, S. Hepatitis B virus and hepatitis a. Demam: Ibuprofen 2 x 400 mg/hari. delta virus. In: Disease of Liver and Biliary b. Mual: antiemetik seperti System. Blackwell Publishing Company. 2002: p.285-96. Metoklopramid 3 x 10 mg/hari atau 3. Sanityoso, Andri. Buku Ajar Ilmu Penyakit Domperidon 3 x 10 mg/hari. Dalam. Jilid I. Edisi ke 4. Jakarta: FK UI. 2006: c. Perut perih dan kembung: H2 Bloker Hal 429-33. (Simetidin 3 x 200 mg/hari atau 4. Soemohardjo, Soewignjo. Gunawan, Ranitidin 2 x 150 mg/hari) atau Proton Stephanus. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Pump Inhibitor (Omeprazol 1 x 20 mg/ Jilid I. Edisi ke 4. Jakarta: FK UI. 2006:Hal hari). 435-9. 5. Panduan Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Rencana Tindak Lanjut Dalam. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM. 2004. Hal 15-17. Kontrol secara berkala untuk menilai hasil pengobatan. Kriteria Rujukan 1. Penegakan diagnosis dengan pemeriksaan penunjang laboratorium di pelayanan kesehatan sekunder 2. Penderita hepatitis B dengan keluhan ikterik yang menetap disertai keluhan yang lain. Konseling dan Edukasi 1. Memberi edukasi pada keluarga untuk ikut mendukung pasien agar teratur minum obat karena pengobatan jangka panjang. PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA 95
BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN PENYAKIT 13. KOLESISTITIS No. ICPC-2 : D98 Cholecystitis/cholelithiasis No. ICD-10 : K81.9 Cholecystitis, unspecified Tingkat Kemampuan 3B Masalah Kesehatan 3. Sering mengkonsumsi makanan berlemak 4. Adanya riwayat kolesistitis akut sebelumnya. Kolesistitis adalah reaksi inflamasi akut atau kronisdinding kandung empedu. Faktor yang Hasil Pemeriksaan dan Penunjang Sederhana mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis (Objective) adalah stasis cairan empedu, infeksi kuman dan iskemia dinding kandung empedu. Penyebab Pemeriksaan Fisik utama kolesistitis akut adalah batu kandung empedu (90%) yang terletak di duktus sistikus 1. Ikterik bila penyebab adanya batu di yang menyebabkan stasis cairan empedu. saluran empedu ekstrahepatik Hasil Anamnesis (Subjective) 2. Teraba massa kandung empedu 3. Nyeri tekan disertai tanda-tanda peritonitis Keluhan lokal, tanda Murphy positif Kolesistitis akut: Pemeriksaan Penunjang adanya 1. Demam 2. Kolik perut di sebelah kanan atas atau Laboratorium darah menunjukkan leukositosis epigastrium dan teralihkan ke bawah angulus scapula dexter, bahu kanan atau Penegakan Diagnostik (Assessment) yang ke sisi kiri, kadang meniru nyeri angina pektoris, berlangsung 30-60 menit tanpa Diagnosis Klinis peredaan, berbeda dengan spasme yang cuma berlangsung singkat pada kolik bilier. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, 3. Serangan muncul setelah konsumsi pemeriksaan fisik,dan pemeriksaan laboratorium. makanan besar atau makanan berlemak di malam hari. Diagnosis Banding 4. Flatulens dan mual Angina pektoris, Apendisitis akut, Ulkus Kolesistitis kronik peptikum perforasi, Pankreatitis akut 1. Gangguan pencernaan menahun Komplikasi 2. Serangan berulang namun tidak mencolok. 3. Mual, muntah dan tidak tahan makanan Gangren atau empiema kandung empedu, Perforasi kandung empedu, Peritonitis umum, berlemak Abses hepar 4. Nyeri perut yang tidak jelas disertai dengan Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) sendawa. Penatalaksanaan Faktor Risiko 1. Tirah baring 1. Wanita 2. Puasa 2. Usia >40 tahun 3. Pemasangan infus 4. Pemberian anti nyeri dan anti mual 5. Pemberian antibiotik: 96 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA
BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN PENYAKIT a. Golongan penisilin: Ampisilin injeksi Kriteria rujukan 500 mg/6 jam dan Amoksilin 500 mg/8 jam IV, atau Pasien yang telah terdiagnosis kolesistitis dirujuk ke layanan sekunder (spesialis penyakit b. Sefalosporin: Seftriakson 1 gram/ 12 dalam) sedangkan bila terdapat indikasi untuk jam, Sefotaksim 1 gram/8 jam, atau pembedahan pasien dirujuk pula ke spesialis bedah. c. Metronidazol 500 mg/ 8 jam Peralatan Konseling dan Edukasi Laboratorium untuk pemeriksaan darah rutin Keluarga diminta untuk mendukung pasien untuk menjalani diet rendah lemak dan menurunkan Prognosis berat badan. Prognosis umumnya dubia ad bonam, Rencana Tindak Lanjut tergantung komplikasi dan beratnya penyakit. 1. Pada pasien yang pernah mengalami Referensi serangan kolesistitis akut dan kandung empedunya belum diangkat kemudian 1. Soewondo, P. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. mengurangi asupan lemak dan menurunkan Jilid III. Edisi ke 4. Jakarta: FK UI. 2006: Hal berat badannya harus dilihat apakah terjadi 1900-2. kolesistitis akut berulang. 2. Panduan Pelayanan Medik Ilmu Penyakit 2. Perlu dilihat ada tidak indikasi untuk Dalam. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit dilakukan pembedahan. Dalam FKUI/RSCM. 2004: Hal 240. 14. APENDISITIS AKUT No. ICPC-2 : S87 (Appendicitis) No. ICD-10 : K.35.9 (Acute appendicitis) Tingkat Kemampuan 3B Masalah Kesehatan Nyeri perut kanan bawah, mula-mula daerah Apendisitis akut adalah radang yang timbul epigastrium kemudian menjalar ke Mc Burney. secara mendadak pada apendik, merupakan Apa bila telah terjadi inflamasi (>6 jam) salahsatu kasus akut abdomen yang paling penderita dapat menunjukkan letak nyeri karena sering ditemui, dan jika tidak ditangani segera bersifat somatik. dapat menyebabkan perforasi. Gejala Klinis Penyebab: 1. Muntah (rangsangan viseral) akibat aktivasi 1. Obstruksi lumen merupakan faktor nervus vagus. penyebab dominan apendisitis akut 2. Anoreksia, nausea dan vomitus yang 2. Erosi mukosa usus karena parasit Entamoeba timbul beberapa jam sesudahnya, hystolitica dan benda asing lainnya merupakan kelanjutan dari rasa nyeri yang timbul saat permulaan. Hasil Anamnesis (Subjective) 3. Disuria juga timbul apabila peradangan Keluhan apendiks dekat dengan vesika urinaria. 4. Obstipasi sebelum datangnya rasa nyeri dan beberapa penderita mengalami diare, timbul PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA 97
BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN PENYAKIT biasanya pada letak apendiks pelvikal yang Colok dubur merangsang daerah rektum. Nyeri tekan pada jam 9-12 5. Gejala lain adalah demam yang tidak terlalu Tanda Peritonitis umum (perforasi) : tinggi, yaitu suhu antara 37,50C - 38,50C 1. Nyeri seluruh abdomen tetapi bila suhu lebih tinggi, diduga telah 2. Pekak hati hilang terjadi perforasi. 3. Bising usus hilang 6. Variasi lokasi anatomi apendiks akan Apendiks yang mengalami gangren atau menjelaskan keluhan nyeri somatik yang perforasi lebih sering terjadi dengan gejala- beragam. Sebagai contoh apendiks yang gejala sebagai berikut: panjang dengan ujung yang mengalami 1. Gejala progresif dengan durasi lebih dari 36 inflamasi di kuadran kiri bawah akan menyebabkan nyeri di daerah tersebut, jam apendiks retrosekal akan menyebabkan 2. Demam tinggi lebih dari 38,5oC nyeri flank atau punggung, apendiks pelvikal 3. Lekositosis (AL lebih dari 14.000) akan menyebabkan nyeri pada supra pubik 4. Dehidrasi dan asidosis dan apendiks retroileal bisa menyebabkan 5. Distensi nyeri testikuler, mungkin karena iritasi pada 6. Menghilangnya bising usus arteri spermatika dan ureter. 7. Nyeri tekan kuadran kanan bawah 8. Rebound tenderness sign Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang 9. Rovsing sign Sederhana (Objective) 10. Nyeri tekan seluruh lapangan abdominal Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Penunjang Inspeksi 1. Laboratorium darah perifer lengkap 1. Penderita berjalan membungkuk sambil a. Pada apendisitis akut, 70-90% hasil memegangi perutnya yang sakit laboratorium nilai leukosit dan neutrofil 2. Kembung bila terjadi perforasi akan meningkat. 3. Penonjolan perut kanan bawah terlihat pada b. Pada anak ditemuka lekositosis 11.000- appendikuler abses. 14.000/mm3, dengan pemeriksaan Palpasi hitung jenis menunjukkan pergeseran Terdapat nyeri tekan McBurney ke kiri hampir 75%. 1. Adanya rebound tenderness (nyeri lepas c. Jika jumlah lekosit lebih dari 18.000/ tekan) mm3 maka umumnya sudah terjadi 2. Adanya defans muscular perforasi dan peritonitis. 3. Rovsing sign positif 4. Psoas signpositif d. Pemeriksaan urinalisa dapat digunakan 5. Obturator Signpositif sebagai konfirmasi dan menyingkirkan Perkusi kelainan urologi yang menyebabkan Nyeri ketok (+) nyeri abdomen. Auskultasi Peristaltik normal, peristaltik tidak ada pada e. Pengukuran kadar HCG bila dicurigai illeus paralitik karena peritonitis generalisata kehamilan ektopik pada wanita usia akibat appendisitis perforata. subur. 2. Foto polos abdomen a. Pada apendisitis akut, pemeriksaan foto polos abdomen tidak banyak 98 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA
BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN PENYAKIT membantu.. 1. Bed rest total posisi fowler (anti b. Pada peradangan lebih luas dan Trandelenburg) membentuk infiltrat maka usus pada 2. Pasien dengan dugaan apendisitis bagian kanan bawah akan kolaps. sebaiknya tidak diberikan apapun melalui c. Dinding usus edematosa, keadaan mulut. seperti ini akan tampak pada daerah kanan bawah abdomen kosong dari 3. Penderita perlu cairan intravena untuk udara. mengoreksi jika ada dehidrasi. d. Gambaran udara seakan-akan terdorong ke pihak lain. 4. Pipa nasogastrik dipasang untuk e. Proses peradangan pada fossa mengosongkan lambung agar mengurangi iliaka kanan akan menyebabkan distensi abdomen dan mencegah muntah. kontraksi otot sehingga timbul skoliosis ke kanan. Komplikasi f. Bila sudah terjadi perforasi, maka pada 1. Perforasi apendiks foto abdomen tegak akan tampak udara 2. Peritonitis umum bebas di bawah diafragma. 3. Sepsis g. Foto polos abdomen supine pada abses Kriteria Rujukan appendik kadang- kadang memberi pola Pasien yang telah terdiagnosis harus dirujuk ke bercak udara dan air fluid level pada layanan sekunder untuk dilakukan operasi cito. posisi berdiri/LLD (dekubitus), kalsifikasi Peralatan bercak rim-like (melingkar) Labotorium untuk pemeriksaan darah perifer sekitar perifer mukokel yang asalnya lengkap dari appendik. Prognosis Penegakan Diagnostik (Assessment) Prognosis pada umumnya bonam tetapi Diagnosis Klinis bergantung tatalaksana dan kondisi pasien. Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik masih Referensi merupakan dasar diagnosis apendisitis akut. 1. Sjamsuhidajat, R., Jong, W.D., editor., “Usus Diagnosis Banding 1. Kolesistitis akut Halus, Apendiks, Kolon, dan Anorektum”, 2. Divertikel Mackelli dalam Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2. EGC, 3. Enteritis regional Jakarta, 2005,hlm.639-645. 4. Pankreatitis 2. Schwartz, Seymour, (2000), Intisari 5. Batu ureter Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah, Penerbit Buku 6. Cystitis Kedokteran, EGC. Jakarta. (Seymour, 2000). 7. Kehamilan Ektopik Terganggu (KET) 8. Salpingitis akut Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Pasien yang telah terdiagnosis apendisitis akut harus segera dirujuk ke layanan sekunder untuk dilakukan operasi cito. Penatalaksanaan di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama sebelum dirujuk: PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA 99
BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN PENYAKIT 15. PERITONITIS : D99 Disease digestive system, other No. ICPC-2 : K65.9 Peritonitis, unspecified No. ICD-10 Tingkat Kemampuan 3B Masalah Kesehatan 6. Pekak hati dapat menghilang akibat udara Peritonitis adalah inflamasi dari peritoneum. bebas di bawah diafragma Peritonitis dapat disebabkan oleh kelainan di dalam abdomen berupa inflamasi dan 7. Bising usus menurun atau menghilang penyulitnya misalnya perforasi apendisitis, 8. Rigiditas abdomen atau sering disebut perut perforasi tukak lambung, perforasi tifus abdominalis. Ileus obstruktif dan perdarahan papan oleh karena perforasi organ berongga karena 9. Pada colok dubur akan terasa nyeri di semua trauma abdomen. arah, dengan tonus muskulus sfingter ani Hasil Anamnesis (Subjective) menurun dan ampula rekti berisi udara. Keluhan 1. Nyeri hebat pada abdomen yang dirasakan Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang tidak dilakukan di terus-menerus selama beberapa jam, dapat layanan tingkat pertama untuk menghindari hanya di satu tempat ataupun tersebar di keterlambatan dalam melakukan rujukan. seluruh abdomen. Intensitas nyeri semakin kuat saat penderita bergerak seperti jalan, Penegakan Diagnostik (Assessment) bernafas, batuk, atau mengejan. Diagnosis Klinis 2. Bila telah terjadi peritonitis bakterial, suhu Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis dan badan penderita akan naik dan terjadi pemeriksaan fisik dari tanda-tanda khas yang takikardia, hipotensi dan penderita tampak ditemukan pada pasien. letargik dan syok. Diagnosis Banding: - 3. Mual dan muntah timbul akibat adanya Komplikasi kelainan patologis organ visera atau akibat 1. Septikemia iritasi peritoneum. 2. Syok 4. Kesulitan bernafas disebabkan oleh adanya cairan dalam abdomen, yang dapat Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) mendorong diafragma. Penatalaksanaan Pasien segera dirujuk setelah penegakan Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang diagnosis dan penatalaksanaan awal seperti Sederhana (Objective) berikut: 1. Memperbaiki keadaan umum pasien Pemeriksaan Fisik 2. Pasien puasa 1. Pasien tampak letargik dan kesakitan 3. Dekompresi saluran cerna dengan pipa 2. Dapat ditemukan demam 3. Distensi abdomen disertai nyeri tekan dan nasogastrik atau intestinal 4. Penggantian cairan dan elektrolit yang nyeri lepas abdomen 4. Defans muskular hilang yang dilakukan secara intravena 5. Hipertimpani pada perkusi abdomen 5. Pemberian antibiotik spektrum luas intravena. 100 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA
BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN PENYAKIT 6. Tindakan-tindakan menghilangkan nyeri Referensi dihindari untuk tidak menyamarkan gejala 1. Wim de jong. Sjamsuhidayat, R. Buku Ajar Kriteria Rujukan Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta: EGC. 2011. Rujuk ke layanan sekunder yang memiliki dokter 2. Schwartz. Shires. Spencer. Peritonitis spesialis bedah. Peralatan dan Abses Intraabdomen dalam Intisari Nasogastric Tube Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah. Edisi 6. Jakarta: Prognosis EGC.2000. Prognosis untuk peritonitis adalah dubia ad 3. Rasad, S. Kartoleksono, S. Ekayuda, I. malam. Abdomen Akut, dalam Radiologi Diagnostik. Jakarta: Gaya Baru. 1999. (Rasad, et al.,1999) 4. Schrock, T.R. Peritonitis dan Massa abdominal dalam IlmuBedah. Ed7.Alih bahasa dr. Petrus Lukmanto. Jakarta: EGC. 2000. (Shrock, 2000) 16. PAROTITIS : D71. Mumps / D99. Disease digestive system, other No. ICPC-2 : B26. Mumps No. ICD-10 Tingkat Kemampuan 4A Masalah Kesehatan Onset akut, biasanya < 7 hari Parotitis adalah peradangan pada kelenjar d. Gejala konstitusional: malaise, parotis. Parotitis dapat disebabkan oleh infeksi virus, infeksi bakteri, atau kelainan autoimun, anoreksia, demam f. Biasanya bilateral, dengan derajat kelainan yang bervariasi dari namun dapat pula unilateral ringan hingga berat. Salah satu infeksi virus 2. Parotitis bakterial akut pada kelenjar parotis, yaitu parotitis mumps a. Pembengkakan pada area di depan (gondongan) sering ditemui pada layanan telinga hingga rahang bawah tingkat pertama dan berpotensi menimbulkan b. Bengkak berlangsung progresif c. Onset epidemi di komunitas. Dokter di fasilitas akut, biasanya < 7 hari d. Demam pelayanan kesehatan tingkat pertama dapat c. Rasa nyeri saat mengunyah berperan menanggulangi parotitis mumps 3. Parotitis HIV dengan melakukan diagnosis dan tatalaksana a. Pembengkakan pada area di depan yang adekuat serta meningkatkan kesadaran telinga hingga rahang bawah masyarakat terhadap imunisasi, khususnya MMR. b. Tidak disertai rasa nyeri Hasil Anamnesis (Subjective) c. Dapat pula bersifat asimtomatik Keluhan 4. Parotitis tuberkulosis 1. Parotitis mumps a. Pembengkakan pada area di depan telinga hingga rahang bawah a. Pembengkakan pada area di depan b. Onset kronik telinga hingga rahang bawah c. Tidak disertai rasa nyeri d. Disertai gejala-gejala tuberkulosis b. Bengkak berlangsung tiba-tiba lainnya e. Parotitis autoimun (Sjogren c. Rasa nyeri pada area yang bengkak d. syndrome) e. Pembengkakan pada area di depan telinga hingga rahang bawah PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA 101
BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN PENYAKIT f. Onset kronik atau rekurens h. Tidak Pemeriksaan Penunjang disertai rasa nyeri dapat unilateral atau Pada kebanyakan kasus parotitis, pemeriksaan bilateral penunjang biasanya tidak diperlukan. Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk g. Gejala-gejala Sjogren syndrome, menentukan etiologi pada kasus parotitis misalnya mulut kering, mata kering bakterial atau parotitis akibat penyakit sistemik tertentu, misalnya HIV, Sjogren syndrome, h. Penyebab parotitis lain telah tuberkulosis. disingkirkan Penegakan Diagnostik (Assessment) Faktor Risiko Diagnosis Klinis 1. Anak berusia 2-12 tahun merupakan Diagnosis parotitis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. kelompok tersering menderita parotitis Komplikasi mumps 1. Parotitis mumps dapat menimbulkan 2. Belum diimunisasi MMR 3. Pada kasus parotitis mumps,terdapat riwayat komplikasi berupa: Epididimitis, Orkitis, atau adanya penderita yang sama sebelumnya di atrofi testis (pada laki-laki), Oovaritis (pada sekitar pasien perempuan), ketulian, Miokarditis, Tiroiditis, 4. Kondisi imunodefisiensi Pankreatitis, Ensefalitis, Neuritis Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang 2. Kerusakan permanen kelenjar parotis yang Sederhana (Objective) menyebabkan gangguan fungsi sekresi Pemeriksaan Fisik saliva dan selanjutnya meningkatkan risiko 1. Keadaan umum dapat bervariasi dari tampak terjadinya infeksi dan karies gigi. sakit ringan hingga berat 3. Parotitis autoimun berhubungan dengan 2. Suhu meningkat pada kasus parotitis infeksi peningkatan insiden limfoma. 3. Pada area preaurikuler (lokasi kelenjar parotis), terdapat: Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) a. Edema Penatalaksanaan b. Eritema 1. Parotitis mumps c. Nyeri tekan (tidak ada pada kasus parotitis HIV, tuberkulosis, dan autoimun) a. Nonmedikamentosa 4. Pada kasus parotitis bakterial akut, bila Pasien perlu cukup beristirahat dilakukan masase kelanjar parotis dari arah Hidrasi yang cukup posterior ke anterior, nampak saliva purulen Asupan nutrisi yang bergizi keluar dari duktur parotis. b. Medikamentosa : Pengobatan bersifat Gambar 3.2 Edema pada area preaurikuler dan simtomatik (antipiretik, analgetik) mandibula kanan pada kasus parotitis mumps 2. Parotitis bakterial akut a. Nonmedikamentosa Pasien perlu cukup beristirahat Hidrasi yang cukup Asupan nutrisi yang bergizi b. Medikamentosa Antibiotik Simtomatik (antipiretik, analgetik) 3. Parotitis akibat penyakit sistemik (HIV, tuberkulosis, Sjogren syndrome) Tidak dijelaskan dalam bagian ini. 102 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA
BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN PENYAKIT Konseling dan Edukasi Prognosis 1. Ad vitam : Bonam 1. Penjelasan mengenai diagnosis, 2. Ad functionam : Bonam penyebab, dan rencana tatalaksana. 3. Ad sanationam : Bonam 2. Penjelasan mengenai pentingnya menjaga kecukupan hidrasi dan higiene oral. Peralatan 3. Masyarakat perlu mendapatkan informasi 1. Termometer yang adekuat mengenai pentingnya 2. Kaca mulut imunisasi MMR untuk mencegah epidemi parotitis mumps. Referensi 1. Fox, P. C. & Ship, J. A., 2008. Salivary Gland Kriteria Rujukan 1. Parotitis dengan komplikasi Diseases. Dalam: M. Greenberg, M. Glick & 2. Parotitis akibat kelainan sistemik, seperti J. A. Ship, penyunt. Burket’s Oral Medicine. Hamilton: BC Decker Inc, pp. 191-222. (Fox HIV, tuberkulosis, dan Sjogren syndrome. & Ship, 2008) 17. ASKARIASIS (INFEKSI CACING GELANG) No. ICPC II : D96 Worms/ other parasites No. ICD X : B77.9 Ascariaris unspecified Tingkat Kemampuan 4A Masalah Kesehatan disertai dengan batuk, demam, dan eosinofilia. Pada foto thoraks tampak infiltrat yang Askariasis adalah suatu penyakit yang menghilang dalam waktu 3 minggu. Keadaan ini disebabkan oleh infestasi parasit Ascaris disebut sindroma Loeffler. lumbricoides. Gangguan yang disebabkan cacing dewasa biasanya ringan, dan sangat tergantung dari Di Indonesia prevalensi askariasis tinggi, banyaknya cacing yang menginfeksi di usus. terutama pada anak. Frekuensinya antara 60- Kadang-kadang penderita mengalami gejala 90%. Diperkirakan lebih dari 1 milyar orang di gangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan dunia terinfeksi Ascaris lumbricoides. berkurang, diare, atau konstipasi. Pada infeksi berat, terutama pada anak dapat Hasil Anamnesis (Subjective) terjadi malabsorpsi sehingga memperberat keadaan malnutrisi. Gejala klinis yang paling Keluhan menonjol adalah rasa tidak enak di perut, kolik Nafsu makan menurun, perut membuncit, lemah, akut pada daerah epigastrium, gangguan selera pucat, berat badan menurun, mual, muntah. makan, mencret. Ini biasanya terjadi pada saat Gejala Klinis proses peradangan pada dinding usus. Pada Gejala yang timbul pada penderita dapat anak kejadian ini bisa diikuti demam. Komplikasi disebabkan oleh cacing dewasa dan migrasi yang ditakuti (berbahaya) adalah bila cacing larva. dewasa menjalar ketempat lain (migrasi) dan Gangguan karena larva biasanya terjadi pada menimbulkan gejala akut. Pada keadaan saat larva berada diparu. Pada orang yang infeksi yang berat, paling ditakuti bila terjadi rentan, terjadi perdarahan kecil pada dinding muntah cacing, yang akan dapat menimbulkan alveolus dan timbul gangguan pada paru yang PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA 103
BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN PENYAKIT komplikasi penyumbatan saluran nafas oleh Penegakan diagnosis dilakukan dengan cacing dewasa. Pada keadaan lain dapat terjadi anamnesis, pemeriksaan fisik dan ditemukannya ileus oleh karena sumbatan pada usus oleh larva atau cacing dalam tinja. massa cacing, ataupun apendisitis sebagai akibat masuknya cacing ke dalam lumen apendiks. Bisa Diagnosis Banding: jenis kecacingan lainnya dijumpai penyumbatan ampulla Vateri ataupun saluran empedu dan terkadang masuk ke Komplikasi: anemia defisiensi besi jaringan hati. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Gejala lain adalah sewaktu masa inkubasi dan pada saat cacing menjadi dewasa di dalam usus Penatalaksanaan halus, yang mana hasil metabolisme cacing dapat menimbulkan fenomena sensitisasi 1. Memberi pengetahuan kepada masyarakat seperti urtikaria, asma bronkhial, konjungtivitis akan pentingnya kebersihan diri dan akut, fotofobia dan terkadang hematuria. lingkungan, antara lain: Eosinofilia 10% atau lebih sering pada infeksi dengan Ascaris lumbricoides, tetapi hal ini tidak a. Kebiasaan mencuci tangan dengan sabun menggambarkan beratnya penyakit, tetapi lebih dan air mengalir banyak menggambarkan proses sensitisasi dan eosinofilia ini tidak patognomonis untuk infeksi b. Menutup makanan Ascaris lumbricoides. c. Masing-masing keluarga memiliki jamban Faktor Risiko keluarga d. Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk 1. Kebiasaan tidak mencuci tangan. e. Kondisi rumah dan lingkungan dijaga agar 2. Kurangnya penggunaan jamban. 3. Kebiasaan menggunakan tinja sebagai tetap bersih dan tidak lembab. 2. Farmakologis pupuk. 4. Kebiasaan tidak menutup makanan sehingga a. Pirantel pamoat 10 mg/kg BB/hari, dosis tunggal, atau dihinggapi lalat yang membawa telur cacing b. Mebendazol, dosis 100 mg, dua kali Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang sehari, diberikan selama tiga hari Sederhana (Objective) berturut-turut, atau Pemeriksaan Fisik c. Albendazol, pada anak di atas 2 tahun dapat diberikan 2 tablet (400 mg) atau 1. Pemeriksaan tanda vital 20 ml suspensi, dosis tunggal. Tidak 2. Pemeriksaan generalis tubuh: konjungtiva boleh diberikan pada ibu hamil anemis, terdapat tanda- tanda malnutrisi, Pengobatan dapat dilakukan secara perorangan nyeri abdomen jika terjadi obstruksi. atau secara masal pada masyarakat. Syarat untuk pengobatan massal antara lain: Pemeriksaan Penunjang 1. Obat mudah diterima dimasyarakat Pemeriksaan penunjang untuk penyakit ini 2. Aturan pemakaian sederhana adalah dengan melakukan pemeriksaan tinja 3. Mempunyai efek samping yang minimal secara langsung. Adanya telur dalam tinja 4. Bersifat polivalen,sehingga dapat berkhasiat memastikan diagnosis Askariasis. terhadap beberapa jenis cacing Penegakan Diagnostik (Assessment) 5. Harga mudah dijangkau Diagnosis Klinis Konseling dan Edukasi Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga mengenai pentingnya menjaga kebersihan diri dan lingkungan, yaitu antara lain: 104 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA
BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN PENYAKIT 1. Masing-masing keluarga memiliki jamban Prognosis keluarga. Sehingga kotoran manusia tidak menimbulkan pencemaran pada tanah Pada umumnya prognosis adalah bonam, karena disekitar lingkungan tempat tinggal kita. jarang menimbulkan kondisi yang berat secara klinis. 2. Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk. 3. Menghindari kontak dengan tanah yang Refensi tercemar oleh tinja manusia. 1. Gandahusada, S. 2000. Parasitologi 4. Menggunakan sarung tangan jika ingin Kedokteran. Edisi ketiga. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas mengelola limbah/sampah. Indonesia. (Gandahusada, 2000) 5. Mencuci tangan sebelum dan setelah 2. Written for World Water Day. 2001. Reviewed melakukan aktifitas dengan menggunakan by staff and experts from the cluster on sabun dan air mengalir. Communicable Diseases (CDS) and Water, 6. Kondisi rumah dan lingkungan dijaga agar Sanitation and Health unit (WSH), World tetap bersih dan tidak lembab. Health Organization (WHO). Kriteria Rujukan: - 3. King CH. Hookworms. In: Berhman RE, Kliegman RM, Arvin AM, editors. Nelson’s Peralatan Tetxbook of Pediatrics. 19th ed. Philadelphia: W.B.Saunders Company; 2012. p.1000-1. Peralatan laboratorium mikroskopik sederhana untuk pemeriksaan spesimen tinja. 18. ANKILOSTOMIASIS (INFEKSI CACING TAMBANG) No. ICPC II : D96 Worms/other parasites No. ICD X : B76.0 Ankylostomiasis B76.1 Necatoriasis Tingkat Kemampuan 4A Masalah Kesehatan terinfeksi pada usia 9 tahun. Intensitas infeksi Penyakit cacing tambang adalah suatu penyakit meningkat sampai usia 6-7 tahun dan kemudian yang disebabkan oleh infestasi parasit Necator stabil. americanus dan Ancylostoma duodenale. Di Hasil Anamnesis (Subjective) Indonesia infeksi oleh N. americanus lebih sering Keluhan dijumpai dibandingkan infeksi oleh A.duodenale. Migrasi larva Hospes parasit ini adalah manusia, cacing ini 1. Sewaktu menembus kulit, bakteri piogenik menyebabkan nekatoriasis dan ankilostomiasis. Diperkirakan sekitar 576 – 740 juta orang di dapat terikut masuk pada saat larva dunia terinfeksi dengan cacing tambang. Di menembus kulit, menimbulkan rasa gatal Indonesia insiden tertinggi ditemukan terutama pada kulit (ground itch). Creeping eruption didaerah pedesaan khususnya perkebunan. (cutaneous larva migrans), umumnya Seringkali golongan pekerja perkebunan yang disebabkan larva cacing tambang yang langsung berhubungan dengan tanah, mendapat berasal dari hewan seperti kucing ataupun infeksi lebih dari 70%. Dari suatu penelitian anjing, tetapi kadang-kadang dapat diperoleh bahwa separuh dari anak-anak yang disebabkan oleh larva Necator americanus telah terinfeksi sebelum usia 5 tahun, 90% ataupun Ancylostoma duodenale. PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA 105
BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN PENYAKIT 2. Sewaktu larva melewati paru, dapat terjadi Pemeriksaan Fisik pneumonitis, tetapi tidak sesering oleh larva 1. Konjungtiva pucat Ascaris lumbricoides. 2. Perubahan pada kulit (telapak kaki) bila Cacing dewasa banyak larva yang menembus kulit, disebut Cacing dewasa umumnya hidup di sepertiga sebagai ground itch. bagian atas usus halus dan melekat pada mukosa usus. Gejala klinis yang sering terjadi Pemeriksaan Penunjang tergantung pada berat ringannya infeksi; makin Pemeriksaan mikroskopik pada tinja segar berat infeksi manifestasi klinis yang terjadi ditemukan telur atau larva atau cacing dewasa. semakin mencolok seperti : 1. Gangguan gastro-intestinal yaitu anoreksia, Penegakan Diagnostik (Assessment) Diagnosis Klinis mual, muntah, diare, penurunan berat Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, badan, nyeri pada daerah sekitar pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. duodenum, jejunum dan ileum. Klasifikasi: 2. Pada pemeriksaan laboratorium, umumnya 1. Nekatoriasis dijumpai anemia hipokromik mikrositik. 2. Ankilostomiasis 3. Pada anak, dijumpai adanya korelasi positif Diagnosis Banding: - antara infeksi sedang dan berat dengan Komplikasi: anemia, jika menimbulkan tingkat kecerdasan anak. perdarahan. Bila penyakit berlangsung kronis, akan timbul gejala anemia, hipoalbuminemiadan edema. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Hemoglobin kurang dari 5 g/dL dihubungkan Penatalaksanaan dengan gagal jantung dan kematian yang tiba- 1. Memberi pengetahuan kepada masyarakat tiba. Patogenesis anemia pada infeksi cacaing tambang tergantung pada 3 faktor yaitu: akan pentingnya kebersihan diri dan 1. Kandungan besi dalam makanan lingkungan, antara lain: 2. Status cadangan besi dalam tubuh pasien a. Masing-masing keluarga memiliki 3. Intensitas dan lamanya infeksi jamban keluarga. Faktor Risiko b. Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk 1. Kurangnya penggunaan jamban keluarga c. Menggunakan alas kaki, terutama saat 2. Kebiasaan menggunakan tinja sebagai berkontak dengan tanah. pupuk 2. Farmakologis 3. Tidak menggunakan alas kaki saat a. Pemberian Pirantel pamoat dosis bersentuhan dengan tanah tunggal 10 mg/kgBB, atau 4. Perilaku hidup bersih dan sehat yang kurang. b. Mebendazole 100 mg, 2 x sehari, selama Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang 3 hari berturut-turut, atau Sederhana (Objective) Gejala dan tanda klinis infestasi cacing tambang c. Albendazole untuk anak di atas 2 tahun bergantung pada jenis spesies cacing, jumlah 400 mg, dosis tunggal, sedangkan cacing, dan keadaan gizi penderita. pada anak yang lebih kecil diberikan dengan dosis separuhnya. Tidak diberikan pada wanita hamil. Creeping eruption: tiabendazol topikal selama 1 minggu. Untuk cutaneous laeva migrans 106 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA
BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN PENYAKIT pengobatan dengan Albendazol 400 mg Peralatan selama 5 hari berturut-turut. 1. Peralatan laboratorium mikroskopis d. Sulfasferosus sederhana untuk pemeriksaan spesimen tinja. Konseling dan Edukasi 2. Peralatan laboratorium sederhana untuk Memberikan informasi kepada pasien dan pemeriksaan darah rutin. keluarga mengenai pentingnya menjaga kebersihan diri dan lingkungan, yaitu antara lain: Prognosis Penyakit ini umumnya memiliki prognosis 1. Sebaiknya masing-masing keluarga bonam, jarang menimbulkan kondisi klinis yang memiliki jamban keluarga. berat, kecuali terjadi perdarahan dalam waktu yang lama sehingga terjadi anemia. 2. Sehingga kotoran manusia tidak menimbulkan pencemaran pada tanah Referensi disekitar lingkungan tempat tinggal kita. 1. Gandahusada, S. 2000. Parasitologi 3. Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk. Kedokteran. Edisi ketiga. Jakarta. Balai 4. Menghindari kontak dengan tanah yang Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. (Gandahusada, 2000) tercemar oleh tinja manusia. 2. Written for World Water Day. 2001. Reviewed 5. Menggunakan sarung tangan jika ingin by staff and experts from the cluster on Communicable Diseases (CDS) and Water, mengelola limbah/sampah. Sanitation and Health unit (WSH), World 6. Mencuci tangan sebelum dan setelah Health Organization (WHO). 3. King CH. Hookworms. In: Berhman RE, melakukkan aktifitas dengan menggunakan Kliegman RM, Arvin AM, editors. Nelson’s sabun dan air mengalir. Tetxbook of Pediatrics. 19th ed. Philadelphia: 7. Menggunakan alas kaki saat berkontak W.B.Saunders Company; 2012. p.1000-1. dengan tanah. Kriteria Rujukan: - 19. SKISTOSOMIASIS No. ICPC II : D96 Worm/outer parasite No. ICD X : B65.9 Skistosomiasisunspecified B65.2 Schistomiasis due to S. japonicum Tingkat Kemampuan 4A Masalah Kesehatan adalah Schistosoma japonicum khususnya di Skistosoma adalah salah satu penyakit daerah lembah Napu dan sekitar danau Lindu infeksi parasit yang disebabkan oleh cacing di Sulawesi Tengah. Untuk menginfeksi manusia, trematoda dari genus schistosoma (blood Schistosoma memerlukan keong sebagai fluke). Terdapat tiga spesies cacing trematoda intermediate host. Penularan Schistosoma utama yang menjadi penyebab skistosomiasis terjadi melalui serkaria yang berkembang dari yaitu Schistosoma japonicum, Schistosoma host dan menembus kulit pasien dalam air. haematobium dan Schistosoma mansoni. Skistosomiasis terjadi karena reaksi imunologis Spesies yang kurang dikenal yaitu Schistosoma terhadap telur cacing yang terperangkap dalam mekongi dan Schistosoma intercalatum. Di jaringan. Prevalensi Schistosomiasis di lembah Indonesia spesies yang paling sering ditemukan Napu dan danau Lindu berkisar 17% hingga 37%. PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA 107
BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN PENYAKIT Hasil Anamnesis (Subjective) e. Urtikaria Keluhan f. Buang air besar berdarah (bloody stool) 1. Pada fase akut, pasien biasanya datang 2. Pada skistosomiasiskronik bisa ditemukan: a. Hipertensi portal dengan distensi dengan keluhan demam, nyeri kepala, nyeri tungkai, urtikaria, bronkitis, nyeri abdominal. abdomen, hepatosplenomegaly Biasanya terdapat riwayat terpapar dengan b. Gagal ginjal dengan anemia dan air misalnya danau atau sungai 4-8 minggu sebelumnya, yang kemudian berkembang hipertensi menjadi ruam kemerahan (pruritic rash). c. Gagal jantung dengan gagal jantung 2. Pada fase kronis, keluhan pasien tergantung pada letak lesi kanan 3. misalnya: d. Intestinal polyposis a. Buang air kecil darah (hematuria), rasa e. Ikterus tak nyaman hingga nyeri saat berkemih, Pemeriksaan Penunjang disebabkan oleh urinary schistosomiasis Penemuan telur cacing pada spesimen tinja dan biasanya disebabkan oleh S. hematobium. pada sedimen urin. b. Nyeri abdomen dan diare berdarah biasanya Penegakan Diagnostik (Assessment) disebabkan oleh intestinal skistosomiasis, Diagnosis Klinis biasanya disebabkan oleh S. mansoni, S. Diagnosis ditegakkan dari anamnesis, Japonicum juga S. Mekongi. pemeriksaan fisik dan juga penemuan telur c. Pembesaran perut, kuning pada kulit dan cacing pada pemeriksaan tinja dan juga mata disebabkan oleh hepatosplenic sedimen urin. skistosomiasis yang biasanya disebabkan Diagnosis Banding: - Komplikasi: oleh S. Japonicum. 1. Gagal ginjal 2. Gagal jantung Faktor Risiko: Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Orang-orang yang tinggal atau datang Penatalaksanaan berkunjung ke daerah endemik di sekitar 1. Pengobatan diberikan dengan dua lembah Napu dan Lindu, Sulawesi Tengah dan tujuan yakni untuk menyembuhkan pasien mempunyai kebiasaan terpajan dengan air, baik atau meminimalkan morbiditas dan di sawah maupun danau di wilayah tersebut. mengurangi penyebaran penyakit. 2. Prazikuantel adalah obat pilihan yang Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang diberikan karena dapat membunuh semua Sederhana (Objective) spesies Schistosoma. Walaupun pemberian single terapi sudah bersifat kuratif, namun Pemeriksaan Fisik pengulangan setelah 2 sampai 4 minggu 1. Pada skistosomiasis akut dapat ditemukan: dapat meningkatkan efektifitas pengobatan. Pemberian prazikuantel dengan dosis a. Limfadenopati sebagai berikut: b. Hepatosplenomegaly c. Gatal pada kulit d. Demam 108 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA
BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN PENYAKIT Tabel 3.7. Dosis Prazikuantel Spesies Schistosoma Dosis Prazikuantel S. Mansoni, S. haematobium, S. intercalatum 40 mg/kg berat badan per hari oral dan dibagi dalam dua dosis perhari S. Japunicum, S. mekongi 60 mg/kg berat badan per hari oral dan dibagi dalam tiga dosis perhari Rencana Tindak Lanjut Schistosomiasis. July 25, 2013. http://www. 1. Setelah 4 minggu dapat dilakukan cdc.gov/parasites/schistosomiasis. (Center for Disease and Control, 2013) pengulangan pengobatan. 3. World Health Organization. Schistosomiasis. 2. Pada pasien dengan telur cacing positif July 25, 2013. http://www.who.int/topics/ shcistosomiasis/end (World Health dapat dilakukan pemeriksaan ulang setelah Organization, 2013) satu bulan untuk memantau keberhasilan 4. Kayser, F.H., Bienz, K.A., Eckert, J., pengobatan. Zinkernagel, R.M. 2005. Schistosoma in Medical Microbiology. Germany. Thieme. Konseling dan Edukasi Stutgart. (Kayser, et al., 2005) 1. Hindari berenang atau menyelam di 5. Sudomo, M., Pretty, S. 2007. Pemberantasan Schistosomiasis di Indonesia. Buletin danau atau sungai di daerah endemik Penelitian Kesehatan. Vol. 35, No. 1. (Sudomo skistosomiasis. & Pretty, 2007) 2. Minum air yang sudah dimasak untuk 6. King CH. Hookworms. In: Berhman RE, menghindari penularan lewat air yang Kliegman RM, Arvin AM, editors. Nelson’s terkontaminasi. Tetxbook of Pediatrics. 19th ed. Philadelphia: W.B.Saunders Company; 2012. p.1000-1. Kriteria Rujukan Pasien yang didiagnosis dengan skistosomiasis (kronis) disertai komplikasi. Peralatan Peralatan laboratorium sederhana untuk pemeriksaan tinja dan sedimen urin (pada S.haematobium). Prognosis Pada skistosomiasis akut, prognosis adalah dubia ad bonam, sedangkan yang kronis, prognosis menjadi dubia ad malam. Referensi 1. Gandahusada, S. 2000. Parasitologi Kedokteran. Edisi ketiga. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2. Centers for Disease Control and Prevention. PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA 109
BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN PENYAKIT 20. TAENIASIS : D96 Worms/other parasites No. ICPC II : B68.9 Taeniasis No. ICD X Tingkat Kemampuan 4A Masalah Kesehatan 8. Pusing Taeniasis adalah penyakit zoonosis parasiter yang 9. Pruritus ani disebabkan oleh cacing pita yang tergolong 10. Diare dalam genus Taenia (Taenia saginata, Taenia solium, dan Taenia asiatica) pada manusia. Faktor Risiko Taenia saginata adalah cacing yang sering 1. Mengkonsumsi daging yang dimasak ditemukan di negara yang penduduknya banyak makan daging sapi/kerbau. Infeksi setengah matang/mentah, dan mengandung lebih mudah terjadi bila cara memasak daging larva sistiserkosis. setengah matang. 2. Higiene yang rendah dalam pengolahan Taenia solium adalah cacing pita yang ditemukan makanan bersumber daging. di daging babi.Penyakit ini ditemukan pada orang 3. Ternak yang tidak dijaga kebersihan kandang yang biasa memakan daging babi khususnya dan makanannya. yang diolah tidak matang. Ternak babi yang tidak dipelihara kebersihannya, dapat berperan Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang penting dalam penularan cacing Taenia solium. Sederhana (Objective) Untuk T. solium terdapat komplikasi berbahaya yakni sistiserkosis. Sistiserkosis adalah kista Pemeriksaan Fisik T.solium yang bisa ditemukan di seluruh organ, 1. Pemeriksaan tanda vital. namun yang paling berbahaya jika terjadi di 2. Pemeriksaan generalis: nyeri ulu hati, ileus otak. juga dapat terjadi jika cacing membuat Hasil Anamnesis (Subjective) obstruksi usus. Keluhan Pemeriksaan Penunjang Gejala klinis taeniasis sangat bervariasi dan 1. Pemeriksaan laboratorium mikroskopik tidak khas. Sebagian kasus tidak menunjukkan gejala (asimptomatis). Gejala klinis dapat timbul dengan menemukan telur dalam spesimen sebagai akibat iritasi mukosa usus atau toksin tinja segar. yang dihasilkan cacing. Gejala tersebut antara 2. Secara makroskopik dengan menemukan lain: proglotid pada tinja. 1. Rasa tidak enak pada lambung 3. Pemeriksaan laboratorium darah tepi: 2. Mual dapat ditemukan eosinofilia, leukositosis, 3. Badan lemah LED meningkat. 4. Berat badan menurun Penegakan Diagnostik (Assessment) 5. Nafsu makan menurun 6. Sakit kepala Diagnosis Klinis 7. Konstipasi Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis Banding:- Komplikasi: Sistiserkosis 110 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA
BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN PENYAKIT Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Kriteria Rujukan Bila ditemukan tanda-tanda yang mengarah Penatalaksanaan pada sistiserkosis. 1. Menjaga kebersihan diri dan lingkungan, Peralatan untuk antara lain: Peralatan laboratorium sederhana a. Mengolah daging sampai matang dan pemeriksaan darah dan feses. menjaga kebersihan hewan ternak. Prognosis b. Menggunakan jamban keluarga. Prognosis pada umumnya bonam kecuali jika 2. Farmakologi: terdapat komplikasi berupa sistiserkosis yang a. Pemberian albendazol menjadi terapi dapat mengakibatkan kematian. pilihan saat ini dengan dosis 400 mg, Referensi 1 x sehari, selama 3 hari berturut-turut, 1. Gandahusada, S. 2000. Parasitologi atau b. Mebendazol 100 mg, 3 x sehari, selama Kedokteran. Edisi ketiga. Jakarta. Balai 2 atau 4 minggu. Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Pengobatan terhadap cacing dewasa dikatakan Indonesia. berhasil bila ditemukan skoleks pada tinja, 2. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 424 sedangkan pengobatan sistiserkosis hanya Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian dapat dilakukan dengan melakukan eksisi. Kecacingan. 3. King CH. Hookworms. In: Berhman RE, Konseling dan Edukasi Kliegman RM, Arvin AM, editors. Nelson’s Memberikan informasi kepada pasien dan Tetxbook of Pediatrics. 19th ed. Philadelphia: keluarga mengenai pentingnya menjaga W.B.Saunders Company; 2012. p.1000-1. kebersihan diri dan lingkungan, yaitu antara lain: 1. Mengolah daging sampai matang dan menjaga kebersihan hewan ternak 2. Sebaiknya setiap keluarga memiliki jamban keluarga. 21. STRONGILOIDIASIS No. ICPC II : D96 Worms/other parasites No. ICD X : B78.9 Strongyloidiasis Tingkat Kemampuan 4A Masalah Kesehatan AIDS, transplantasi organ serta pada pasien yang Strongiloidiasis adalah penyakit kecacingan mendapatkan pengobatan kortikosteroid jangka yang disebabkan oleh Strongyloides stercoralis, panjang. cacing yang biasanya hidup di kawasan Hasil Anamnesis (Subjective) tropik dan subtropik. Sekitar 100 juta orang Keluhan diperkirakan terkena penyakit ini di seluruh Pada infestasi ringan Strongyloides pada dunia. Infeksi cacing ini bisa menjadi sangat umumnya tidak menimbulkan gejala khas. berat dan berbahaya pada mereka yang dengan status imun menurun seperti pada pasien HIV/ PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA 111
BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN PENYAKIT Gejala klinis anamnesis, pemeriksaan fisik dan ditemukannya 1. Rasa gatal pada kulit larva atau cacing dalam tinja. 2. Pada infeksi sedang dapat menimbulkan Diagnosis Banding: - Komplikasi: - gejala seperti ditusuk- tusuk di daerah epigastrium dan tidak menjalar Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) 3. Mual, muntah 4. Diare dan konstipasi saling bergantian Penatalaksanaan 1. Menjaga kebersihan diri dan lingkungan, Faktor Risiko 1. Kurangnya penggunaan jamban. antara lain: 2. Tanah yang terkontaminasi dengan tinja a. Menggunakan jamban keluarga. b. Mencuci tangan sebelum dan sesudah yang mengandung larva Strongyloides stercoralis. melakukan aktifitas. 3. Penggunaan tinja sebagai pupuk. c. Menggunakan alas kaki. 4. Tidak menggunakan alas kaki saat d. Hindari penggunaan pupuk dengan bersentuhan dengan tanah. tinja. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang 2. Farmakologi Sederhana (Objective) a. Pemberian Albendazol menjadi terapi Pemeriksaan Fisik pilihan saat ini dengan dosis 400 mg, 1. Timbul kelainan pada kulit “creeping 1-2 x sehari, selama 3 hari, atau eruption” berupa papul eritema yang b. Mebendazol 100 mg, 3 x sehari, selama menjalar dan tersusun linear atau berkelok- 2 atau 4 minggu. kelok meyerupai benang dengan kecepatan 2 cm per hari.Predileksi penyakit ini Konseling dan Edukasi terutama pada daerah telapak kaki, bokong, Memberikan informasi kepada pasien dan genital dan tangan. keluarga mengenai pentingnya menjaga 2. Pemeriksaan generalis: nyeri epigastrium. kebersihan diri dan lingkungan, yaitu antara lain: Pemeriksaan Penunjang 1. Sebaiknya setiap keluarga memiliki jamban 1. Pemeriksaan laboratorium mikroskopik : keluarga. menemukan larva rabditiform dalam tinja 2. Menghindari kontak dengan tanah yang segar, atau menemukan cacing dewasa Strongyloides stercoralis. tercemar oleh tinja manusia. 2. Pemeriksaan laboratorium darah: dapat 3. Menggunakan sarung tangan jika ingin ditemukan eosinofilia atau hipereosinofilia, walaupun pada banyak kasus jumlah sel mengelola limbah/sampah. eosinofilia normal. 4. Mencuci tangan sebelum dan setelah Penegakan Diagnostik (Assessment) melakukan aktifitas dengan menggunakan sabun. Diagnosis Klinis 5. Menggunakan alas kaki. Penegakan diagnosis dilakukan dengan 112 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA
BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN PENYAKIT Kriteria Rujukan: - Pasien strongyloidiasis dengan keadaan imunokompromais seperti penderita AIDS Peralatan untuk Peralatan laboratorium sederhana pemeriksaan darah dan feses. Prognosis Pada umumnya prognosis penyakit ini adalah bonam, karena jarang menimbulkan kondisi klinis yang berat. Referensi 1. 1. Gandahusada, S. 2000. Parasitologi Kedokteran. Edisi ketiga. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2. Ganesh S, Cruz RJ. Review Strongyloidiasis: a multifaceted diseases. Gastroenetrology & hepatology 2011;7:194-6. (Ganesh & Cruz, 2011) 3. King CH. Hookworms. In: Berhman RE, Kliegman RM, Arvin AM, editors. Nelson’s Tetxbook of Pediatrics. 19th ed. Philadelphia: W.B.Saunders Company; 2012. p.1000-1. PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA 113
BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN PENYAKIT D. MATA 1. MATA KERING/DRY EYE No. ICPC-2 : F99 Eye/adnexa disease, other No. ICD-10 : H04.1 Otherdisorders of lacrimal gland Tingkat Kemampuan 4A Masalah Kesehatan Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Mata kering adalah suatu keadaan keringnya Sederhana (Objective) permukaan kornea dan konjungtiva yang diakibatkan berkurangnya produksi komponen Pemeriksaan Fisik air mata (musin, akueous, dan lipid). Mata kering 1. Visus normal merupakan salah satu gangguan yang sering 2. Terdapat foamy tears pada konjungtiva pada mata dengan insiden sekitar 10-30% dari populasi dan terutama dialami oleh wanita forniks berusia lebih dari 40 tahun. Penyebab lain 3. Penilaian produksi air mata dengan tes adalah meningkatnya evaporasi air mata akibat faktor lingkungan rumah, kantor atau akibat Schirmer menunjukka hasil <10 mm (nilai lagoftalmus. normal ≥20 mm). Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan Gambar 4.1. Tes Schirmer Pasien datang dengan keluhan mata terasa gatal Penegakan Diagnostik (Assessment) dan seperti berpasir. Keluhan dapat disertai sensasi terbakar, merah, perih dan silau. Pasien Diagnosis Klinis seringkali menyadari bahwa gejala terasa makin berat di akhir hari (sore/malam). Diagnosis ditegakkan berdasarkan: Faktor Risiko 1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik 2. Tes Schirmer bila diperlukan 1. Usia > 40 tahun 2. Menopause Komplikasi 3. Penyakit sistemik, seperti: sindrom Sjogren, 1. Keratitis sklerosis sistemik progresif, sarkoidosis, 2. Penipisan kornea leukemia, limfoma, amiloidosis, dan 3. Infeksi sekunder oleh bakteri 4. hemokromatosis 4. Neovaskularisasi kornea 5. Penggunaan lensa kontak 6. Penggunaan komputer dalam waktu lama 114 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA
BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN PENYAKIT Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) 4. Sastrawan, D. dkk. Standar Pelayanan Medis Mata.Palembang: Departemen Ilmu Penatalaksanaan Kesehatan Mata RSUP M. Hoesin. 2007. (Sastrawan, 2007) Pemberian air mata buatan, yaitu tetes mata karboksimetilselulosa atau sodium hialuronat. 5. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III. Cetakan V.Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2008. Pemeriksaan penunjang lanjutan umumnya (Ilyas, 2008) tidak diperlukan 6. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Ed 14. Konseling dan Edukasi Cetakan I.Jakarta: Widya Medika. 2000. (Vaughn, 2000) Keluarga dan pasien harus mengerti bahwa mata kering adalah keadaan menahun dan 7. Sumber Gambar : http://www. pemulihan total sukar terjadi, kecuali pada kasus thevisioncareinstitute.co.uk/library/ ringan, saat perubahan epitel pada kornea dan konjungtiva masih reversibel. Kriteria Rujukan Dilakukan rujukan ke spesialis mata jika keluhan tidak berkurang setelah terapi atau timbul komplikasi. Peralatan 1. Lup 2. Strip Schirmer (kertas saring Whatman No. 41) Prognosis 1. Ad vitam : Bonam 2. Ad functionam : Bonam 3. Ad sanationam : Bonam Referensi 1. Gondhowiardjo, T. D. Simanjuntak, G. Panduan Manajemen Klinis Perdami. 1th Ed. Jakarta: CV Ondo. 2006. (Gondhowiardjo & Simanjuntak, 2006) 2. James, Brus.dkk. Lecture Notes Oftalmologi. Jakarta: Erlangga. 2005. (Brus, 2005) 3. Riordan, Paul E. Whitcher, John P. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum. Ed 17. Jakarta: EGC. 2009. (Riordan & Whitcher, 2009) PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA 115
BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN PENYAKIT 2. BUTA SENJA : F99 Eye/adnexa disease other No. ICPC-2 : H53.6 Night blindness No. ICD-10 Tingkat Kemampuan 4A Masalah Kesehatan Penatalaksanaan Buta senja atau rabun senja, disebut juga 1. Pada defisiensi vitamin A, diberikan vitamin nyctalopia atau hemarolopia, adalah ketidakmampuan untuk melihat dengan baik A dosis tinggi. pada malam hari atau pada keadaan gelap. 2. Lubrikasi kornea. Kondisi ini lebih merupakan tanda dari suatu 3. Pencegahan terhadap infeksi sekunder kelainan yang mendasari. Hal ini terjadi akibat kelainan pada sel batang retina yang berperan dengan tetes mata antibiotik. pada penglihatan gelap. Penyebab buta senja adalah defisiensi vitamin A dan retinitis Konseling dan Edukasi pigmentosa. 1. Memberitahu keluarga bahwa rabun Hasil Anamnesis (Subjective) senja disebabkan oleh kelainan mendasar, Keluhan yaitu defisiensi vitamin A dan retinitis Penglihatan menurun pada malam hari atau pigmentosa. pada keadaan gelap, sulit beradaptasi pada 2. Pada kasus defisiensi vitamin A, keluarga cahaya yang redup. Pada defisiensi vitamin A, perlu diedukasi untuk memberikan buta senja merupakan keluhan paling awal. asupan makanan bergizi seimbang dan suplementasi vitamin A dosis tinggi. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) Peralatan 1. Lup Pemeriksaan Fisik 2. Oftalmoskop Dapat ditemukan tanda-tanda lain defisiensi vitamin A: Prognosis 1. Kekeringan (xerosis) konjungtiva bilateral 1. Ad vitam : Bonam 2. Terdapat bercak bitot pada konjungtiva 2. Ad functionam : Dubia Ad bonam 3. Xerosis kornea 3. Ad sanasionam : Bonam 4. Ulkus kornea dan sikatriks kornea 5. Kulit tampak xerosis dan bersisik Referensi 6. Nekrosis kornea difus atau keratomalasia 1. Gerhard, K.L. Oscar, Gabriele. Doris, Peter. Pemeriksaan Penunjang :- Ophtalmology a short textbook. 2nd Ed. Penegakan Diagnostik (Assessment) New York: Thieme Stuttgart. 2007. (Gerhard, et al., 2007) Diagnosis Klinis 2. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G. Panduan Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis Manajemen Klinis Perdami. 1th Ed. Jakarta: dan pemeriksaan fisik. CV Ondo. 2006. 3. James, Brus. dkk. Lecture Notes Oftalmologi. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Jakarta: Erlangga. 2005. 4. Riordan, P.E. Whitcher, J.P. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum. Ed.17.Jakarta: EGC. 2009. 5. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Ed. III. Cetakan V. Jakarta: BalaiPenerbit FK UI. 2008. 6. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Edisi 14. Cetakan I.Jakarta: Widya Medika. 2000. 116 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA
BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN PENYAKIT 3. HORDEOLUM No. ICPC-2 : F72 Blepharitis/stye/chalazion No. ICD-10 : H00.0 Hordeolum and other deep inflammation of eyelid Tingkat Kemampuan 4A Masalah Kesehatan 1. Selulitis preseptal Hordeolum adalah peradangan supuratif 2. Kalazion kelenjar kelopak mata. Biasanya merupakan 3. Granuloma piogenik infeksi Staphylococcus pada kelenjar sebasea kelopak. Dikenal dua bentuk hordeolum Komplikasi internum dan eksternum. Hordeolum eksternum 1. Selulitis palpebra merupakan infeksi pada kelenjar Zeiss atau 2. Abses palpebra Moll. Hordeolum internum merupakan infeksi kelenjar Meibom yang terletak di dalam tarsus. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Hordeolum mudah timbul pada individu yang menderita blefaritis dan konjungtivitis menahun. Penatalaksanaan 1. Mata dikompres hangat 4-6 kali sehari Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan selama 15 menit setiap kalinya untuk Pasien datang dengan keluhan kelopak yang membantu drainase. Tindakan dilakukan bengkak disertai rasa sakit. Gejala utama dengan mata tertutup. hordeolum adalah kelopak yang bengkak 2. Kelopak mata dibersihkan dengan air bersih dengan rasa sakit dan mengganjal, merah dan atau pun dengan sabun atau sampo yang nyeri bila ditekan, serta perasaan tidak nyaman tidak menimbulkan iritasi, seperti sabun dan sensasi terbakar pada kelopak mata bayi. Hal ini dapat mempercepat proses penyembuhan. Tindakan dilakukan dengan Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang mata tertutup. Sederhana (Objective) 3. Jangan menekan atau menusuk Pemeriksaan Fisik Oftalmologis hordeolum, hal ini dapat menimbulkan Ditemukan kelopak mata bengkak, merah, dan infeksi yang lebih serius. nyeri pada perabaan. Nanah dapat keluar dari 4. Hindari pemakaian make-up pada mata, pangkal rambut (hordeolum eksternum). Apabila karena kemungkinan hal itu menjadi sudah terjadi abses dapat timbul undulasi. penyebab infeksi. 5. Jangan memakai lensa kontak karena dapat Pemeriksaan Penunjang menyebarkan infeksi ke kornea. Tidak diperlukan 6. Pemberian terapi topikal dengan Oxytetrasiklin salep mata atau Penegakan Diagnostik (Assessment) kloramfenikol salep mata setiap 8 jam. Diagnosis Klinis Apabila menggunakan kloramfenikol tetes Penegakan diagnosis dengan anamnesis dan mata sebanyak 1 tetes tiap 2 jam. pemeriksaan fisik. 7. Pemberian terapi oral sistemik dengan Eritromisin 500 mg pada dewasa dan anak Diagnosis Banding sesuai dengan berat badan. PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA 117
BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN PENYAKIT Pemeriksaan Penunjang Lanjutan: - Peralatan Konseling dan Edukasi Peralatan bedah minor Penyakit hordeolum dapat berulang sehingga Prognosis perlu diberi tahu pasien dan keluarga untuk 1. Ad vitam : Bonam menjaga higiene dan kebersihan lingkungan. 2. Ad functionam : Bonam Rencana Tindak Lanjut 3. Ad sanationam : Bonam Bila dengan pengobatan konservatif tidak berespon dengan baik, maka prosedur Referensi pembedahan mungkin diperlukan untuk 1. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G. Panduan membuat drainase pada hordeolum. Kriteria rujukan Manajemen Klinis Perdami, 1th Ed. Jakarta: 1. Bila tidak memberikan respon dengan CV Ondo. 2006. 2. Riordan, Paul E. Whitcher, John P. Vaughan & pengobatan konservatif Asbury Oftalmologi Umum. Edisi 17. Jakarta: 2. Hordeolum berulang EGC. 2009. 3. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III. Cetakan V. Jakarta:Balai Penerbit FK UI. 2008. 4. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Edisi 14. Cetakan I. Jakarta: Widya Medika. 2000. 4. KONJUNGTIVITIS Konjungtivitis infeksi No. ICPC-2 : F70 Conjunctivitis infectious No. ICD-10 : H10.9 Conjunctivitis, unspecified Konjungtivitis alergi No. ICPC-2 : F71 Conjunctivitis allergic No ICD-10 : H10.1 Acute atopic conjunctivitis Tingkat Kemampuan 4A Masalah Kesehatan Faktor Risiko Konjungtivitis adalah radang konjungtiva yang 1. Daya tahan tubuh yang menurun dapat disebabkan oleh mikroorganisme (virus, 2. Adanya riwayat atopi bakteri), iritasi, atau reaksi alergi. Konjungtivitis 3. Penggunaan kontak lens dengan perawatan ditularkan melalui kontak langsung dengan sumber infeksi. Penyakit ini dapat menyerang yang tidak baik semua umur. 4. Higiene personal yang buruk Hasil Anamnesis (Subjective) Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) Keluhan Pemeriksaan Fisik Pasien datang dengan keluhan mata merah, rasa mengganjal, gatal dan berair, kadang disertai 1. Visus normal sekret. Keluhan tidak disertai penurunan tajam 2. Injeksi konjungtival penglihatan. 3. Dapat disertai edema kelopak, kemosis 4. Eksudasi; eksudat dapat serous, mukopurulen, atau purulen tergantung penyebab 118 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA
BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN PENYAKIT 5. Pada konjungtiva tarsal dapat ditemukan Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) folikel, papil atau papil raksasa, flikten, membrane, atau pseudomembran. Penatalaksanaan Pemeriksaan Penunjang (bila diperlukan) Pemberian obat mata topikal 1. Sediaan langsung swab konjungtiva dengan 1. Pada infeksi bakteri: Kloramfenikol tetes perwarnaan Gram atau Giemsa sebanyak 1 tetes 6 kali sehari atau salep 2. Pemeriksaan sekret dengan perwarnaan biru mata 3 kali sehari selama 3 hari. metilen pada kasus konjungtivitis gonore 2. Pada alergi: Flumetolon tetes mata dua kali sehari selama 2 minggu. Gambar 4.2. Konjungtivitis Penegakan Diagnostik (Assessment) 3. Pada konjungtivitis gonore: Kloramfenikol Diagnosis Klinis tetes mata 0,5- Penegakan diagnosis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. 4. 1%sebanyak 1 tetes tiap jam dan suntikan Klasifikasi Konjungtivitis pada bayi diberikan 1. Konjungtivitis bakterial: Konjungtiva 5. 50.000 U/kgBB tiap hari sampai tidak hiperemis, sekret purulen atau ditemukan kuman GO mukopurulen dapat disertai membran atau pseudomembran di konjungtiva tarsal. 6. pada sediaan apus selama 3 hari berturut- Curigai konjungtivitis gonore, terutama pada turut. bayi baru lahir, jika ditemukan konjungtivitis pada dua mata dengan sekret purulen yang 7. Pada konjungtivitis viral: Salep Acyclovir 3%, sangat banyak. 5 kali sehari selama 10 hari. 2. Konjungtivitis viral: Konjungtiva hiperemis, sekret umumnya mukoserosa, dan Pemeriksaan Penunjang Lanjutan pembesaran kelenjar preaurikular 3. Konjungtivitis alergi: Konjungtiva hiperemis, Umumnya tidak diperlukan, kecuali pada riwayat atopi atau alergi, dan keluhan gatal. kecurigaan konjungtivitis gonore, dilakukan Komplikasi pemeriksaan sediaan apus dengan pewarnaan Keratokonjuntivitis Gram Konseling dan Edukasi 1. Konjungtivitis mudah menular, karena itu sebelum dan sesudah membersihkan atau mengoleskan obat, penderita harus mencuci tangannya bersih-bersih. 2. Jangan menggunakan handuk atau lap bersama-sama dengan penghuni rumah lainnya. 3. Menjaga kebersihan lingkungan rumah dan sekitar. Kriteria rujukan 1. Jika terjadi komplikasi pada kornea 2. Bila tidak ada respon perbaikan terhadap pengobatan yang diberikan Peralatan 1. Lup 2. Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan Gram PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA 119
BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN PENYAKIT Prognosis 3. Riordan. Paul, E. Whitcher, John P. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum. Ed 17. Jakarta: 1. Ad vitam : Bonam EGC. 2009. 2. Ad functionam : Bonam 3. Ad sanationam : Bonam 4. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III. Cetakan V.Jakarta:Balai Penerbit FK UI. 2008. Referensi 5. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Ed 14. 1. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G. Panduan Cetakan I.Jakarta:Widya Medika. 2000. Manajemen Klinis Perdami, 1th Ed. Jakarta: CV Ondo. 2006. 6. h t t p : / / w w w . a d v a n c e d v i s i o n c a r e . co.uk/wpcontent/uploads/2013/09/ 2. James, Brus. dkk. Lecture Notes Oftalmologi. conjunctivitis0.jpg, Erlangga. Jakarta. 2005 5. BLEFARITIS No. ICPC-2 : F72 Blepharitis/stye/chalazion No. ICD-10 : H01.0 Blepharitis Tingkat Kemampuan 4A Masalah Kesehatan Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) Blefaritis adalah radang pada tepi kelopak mata (margo palpebra) yang dapat disertai Pemeriksaan Fisik terbentuknya ulkus dan dapat melibatkan folikel rambut. 1. Skuama atau krusta pada tepi kelopak. 2. Bulu mata rontok. Hasil Anamnesis (Subjective) 3. Dapat ditemukan tukak yang dangkal pada Keluhan tepi kelopak mata. 4. Dapat terjadi pembengkakan dan merah 1. Gatal pada tepi kelopak mata 2. Rasa panas pada tepi kelopak mata pada kelopak mata. 3. Merah/hiperemia pada tepi kelopak mata 5. Dapat terbentuk krusta yang melekat 4. Terbentuk sisik yang keras dan krusta erat pada tepi kelopak mata. Jika krusta terutama di sekitar dasar bulu mata dilepaskan, bisa terjadi perdarahan. 5. Kadang disertai kerontokan bulu mata Pemeriksaan Penunjan: Tidak diperlukan (madarosis), putih pada bulu mata (poliosis), dan trikiasis Penegakan Diagnostik (Assessment) 6. Dapat keluar sekret yang mengering selama tidur, sehingga ketika bangun kelopak mata Diagnosis Klinis sukar dibuka Penegakan diagnosis dilakukan berdasar-kan Faktor Risiko anamnesis dan pemeriksaan fisik. 1. Kelainan kulit, misalnya dermatitis seboroik Komplikasi 2. Higiene personal dan lingkungan yang 1. Blefarokonjungtivitis kurang baik 2. Madarosis 3. Trikiasis 120 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA
BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN PENYAKIT Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) 1. Tajam penglihatan menurun 2. Nyeri sedang atau berat Penatalaksanaan 3. Kemerahan yang berat atau kronis 4. Terdapat keterlibatan kornea 1. Non-medikamentosa 5. Episode rekuren a. Membersihkan kelopak mata dengan 6. Tidak respon terhadap terapi lidi kapas yang dibasahi air hangat b. Membersihkan dengan sampo atau Peralatan sabun c. Kompres hangat selama 5-10 menit 1. Senter 2. Lup 2. Medikamentosa Prognosis Apabila ditemukan ulkus pada kelopak mata, dapat diberikan salep atau tetes mata antibiotik 1. Ad vitam : Bonam hingga gejala menghilang. 2. Ad functionam : Bonam 3. Ad sanationam : Bonam Konseling dan Edukasi Referensi 1. Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga bahwa kulit kepala, alis mata, 1. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G. Panduan dan tepi palpebra harus selalu dibersihkan Manajemen Klinis Perdami, 1th Ed. Jakarta: terutama pada pasien dengan dermatitis CV Ondo. 2006. seboroik. 2. Riordan. Paul, E. Whitcher, John P. Vaughan 2. Memberitahu pasien dan keluarga untuk & Asbury Oftalmologi Umum. Ed 17. Jakarta: menjaga higiene personal dan lingkungan. EGC. 2009. Kriteria Rujukan 3. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III. Cetakan V. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2008. Pasien dengan blefaritis perlu dirujuk ke layanan sekunder (dokter spesialis mata) bila terdapat 4. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Ed 14. minimal satu dari kelainan di bawah ini: Cetakan I. Jakarta: Widya Medika. 2000. 6. PERDARAHAN SUBKONJUNGTIVA No. ICPC-2 : F75 Contusion/ haemorrhage eye No. ICD-10 : H57.8 Other specified disorders of eye and adnexa Tingkat Kemampuan 4A Masalah Kesehatan subkonjungtiva sebagian besar terjadi unilateral Perdarahan subkonjungtiva adalah perdarahan (90%). akibat ruptur pembuluh darah dibawah lapisan konjungtiva yaitu pembuluh darah konjungtivalis Hasil Anamnesis (Subjective) atau episklera. Sebagian besar kasus perdarahan Keluhan subkonjungtiva merupakan kasus spontan 1. Pasien datang dengan keluhan adanya atau idiopatik, dan hanya sebagian kecil kasus yang terkait dengan trauma atau kelainan darah pada sklera atau mata berwarna sistemik. Perdarahan subkonjungtiva dapat merah terang (tipis) atau merah tua (tebal). terjadi di semua kelompok umur. Perdarahan 2. Sebagian besar tidak ada gejala simptomatis PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA 121
BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN PENYAKIT yang berhubungan dengan perdarahan 2. Pengobatan penyakit yang mendasari bila subkonjungtiva selain terlihat darah pada ada. bagian sklera. 3. Perdarahan akan terlihat meluas dalam 24 Pemeriksaan penunjang lanjutan: Tidak jam pertama setelah itu kemudian akan diperlukan berkurang perlahan ukurannya karena Konseling dan Edukasi Memberitahu keluarga diabsorpsi. bahwa: Faktor Risiko 1. Tidak perlu khawatir karena perdarahan 1. Hipertensi atau arterosklerosis 2. Trauma tumpul atau tajam akan terlihat meluas dalam 24 jam pertama, 3. Penggunaan obat, terutama pengencer namun setelah itu ukuran akan berkurang darah perlahan karena diabsorpsi. 4. Manuver valsava, misalnya akibat batuk atau 2. Kondisi hipertensi memiliki hubungan muntah yang cukup tinggi dengan angka terjadinya 5. Anemia perdarahan subkonjungtiva sehingga 6. Benda asing diperlukan pengontrolan tekanan darah 7. Konjungtivitis pada pasien dengan hipertensi. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) Kriteria rujukan Perdarahan subkonjungtiva harus segera dirujuk Pemeriksaan Fisik ke spesialis mata jika ditemukan penurunan 1. Pemeriksaan status generalis visus. 2. Pemeriksaan oftalmologi: Peralatan a. Tampak adanya perdarahan di sklera 1. Snellen chart dengan warna merah terang (tipis) atau 2. Oftalmoskop merah tua (tebal). Prognosis b. Melakukan pemeriksaan tajam penglihatan umumnya 6/6, jika visus 1. Ad vitam : Bonam <6/6 maka dicurigai terjadi kerusakan 2. Ad functionam : Bonam selain di konjungtiva 3. Ad sanationam : Bonam c. Pemeriksaan funduskopi adalah Referensi perlu pada setiap penderita dengan 1. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G. Panduan perdarahan subkonjungtiva akibat trauma. Manajemen Klinis Perdami, 1th Ed. Jakarta: CV Ondo. 2006. Pemeriksaan Penunjang 2. James, Brus.dkk. Lecture Notes Oftalmologi. Tidak diperlukan Erlangga. Jakarta. 2005. 3. Riordan. Paul, E. Whitcher, John P. Vaughan Penegakan Diagnostik (Assessment) & Asbury Oftalmologi Umum. Ed 17. Jakarta: EGC. 2009. Diagnosis Klinis 4. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III. Penegakan diagnosis berdasarkan anamnesis Cetakan V. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. dan pemeriksaan fisik. 2008. 5. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Ed 14. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Cetakan I. Jakarta: Widya Medika. 2000. Penatalaksanaan 1. Perdarahan subkonjungtiva akan hilang atau diabsorpsi dalam 1-2 minggu tanpa diobati. 122 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA
BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN PENYAKIT 7. BENDA ASING DI KONJUNGTIVA No. ICPC-2 : F76 Foreign body in eye No. ICD-10 : T15.9 Foreign body on external eye, part unspecified Tingkat Kemampuan 4A Masalah Kesehatan Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis dan Benda asing di konjungtiva adalah benda pemeriksaan fisik. yang dalam keadaan normal tidak dijumpai Diagnosis banding Konjungtivitis akut di konjungtiva dandapat menyebabkan iritasi Komplikasi jaringan. Pada umumnya kelainan ini bersifat 1. Ulkus kornea ringan, namun pada beberapa keadaan dapat 2. Keratitis berakibat serius terutama pada benda asing Terjadi bila benda asing pada konjungtiva yang bersifat asam atau basa dan bila timbul tarsal menggesek permukaan kornea dan infeksi sekunder. menimbulkan infeksi sekunder. Reaksi inflamasi berat dapat terjadi jika benda asing merupakan Hasil Anamnesis (Subjective) zat kimia. Keluhan Pasien datang dengan keluhan adanya benda Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) yang masuk ke dalam konjungtiva atau Penatalaksanaan matanya. Gejala yang ditimbulkan berupa nyeri, 1. Non-medikamentosa: Pengangkatan benda mata merah dan berair, sensasi benda asing, dan fotofobia. asing. Berikut adalah cara yang dapat Faktor Risiko dilakukan: Pekerja di bidang industri yang tidak memakai a. Berikan tetes mata Tetrakain 0,5% kacamata pelindung, seperti: pekerja gerinda, pekerja las, pemotong keramik, pekerja yang sebanyak 1-2 tetes pada mata yang terkait dengan bahan-bahan kimia (asam-basa). terkena benda asing. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang b. Gunakan kaca pembesar (lup) dalam Sederhana (Objective) pengangkatan benda asing. c. Angkat benda asing dengan Pemeriksaan Fisik menggunakan lidi kapas atau jarum 1. Visus biasanya normal. suntik ukuran 23G. 2. Ditemukan injeksi konjungtiva tarsal dan/ d. Arah pengambilan benda asing dilakukan dari tengah ke tepi. atau bulbi. e. Oleskan lidi kapas yang dibubuhkan 3. Ditemukan benda asing pada konjungtiva Povidon Iodin pada tempat bekas benda asing. tarsal superior dan/atau inferiordan/atau 2. Medikamentosa konjungtiva bulbi. Antibiotik topikal (salep atau tetes mata), Pemeriksaan Penunjang :Tidak diperlukan. misalnya Kloramfenikol tetes mata, 1 tetes Penegakan Diagnostik (Assessment) setiap 2 jam selama 2 hari Diagnosis Klinis Konseling dan Edukasi 1. Memberitahu pasien agar tidak menggosok PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA 123
BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN PENYAKIT matanya agar tidak memperberat lesi. 4. Tetes mata Tetrakain HCl 0,5% 2. Menggunakan alat / kacamata pelindung 5. Povidon Iodin pada saat bekerja atau berkendara. Prognosis 3. Menganjurkan pasien untuk kontrol bila 1. Ad vitam : Bonam keluhan bertambah berat setelah dilakukan 2. Ad functionam : Bonam tindakan, seperti mata bertambah merah, 3. Ad sanationam : Bonam bengkak, atau disertai dengan penurunan visus. Referensi Kriteria Rujukan 1. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G. Panduan 1. Bila terjadi penurunan visus 2. Bila benda asing tidak dapat dikeluarkan, Manajemen Klinis Perdami, 1th Ed. Jakarta: misal: karena keterbatasan fasilitas CV Ondo. 2006. Peralatan 2. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III. 1. Lup Cetakan V. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2. Lidi kapas 2008. 3. Jarum suntik 23G 3. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Ed 14. Cetakan I. Jakarta: Widya Medika. 2000. 8. ASTIGMATISME No. ICPC-2 : F91 Refractive error No. ICD-10 : H52.2 Astigmatisme Tingkat Kemampuan 4A Masalah Kesehatan Pemeriksaan visus dengan Snellen Chart akan Astigmatisme adalah keadaan di mana sinar menunjukkan tajam penglihatan tidak maksimal sejajar tidak dibiaskan pada satu titik fokus yang dan akan bertambah baik dengan pemberian sama pada semua meridian. Hal ini disebabkan pinhole. oleh kelengkungan kornea atau lensa yang tidak Penegakan Diagnostik (Assessment) sama pada berbagai meridian. Diagnosis Klinis Penegakan diagnosis dilakukan berdasarkan Hasil Anamnesis (Subjective) anamnesis dan pemeriksaan refraksi. Tajam penglihatan akan mencapai maksimal dengan Keluhan pemberian lensa silindris. Pasien biasanya datang dengan keluhan Diagnosis Banding penglihatan kabur dan sedikit distorsi yang Kelainan refraksi lainnya. kadang juga menimbulkan sakit kepala. Pasien Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) memicingkan mata, atau head tilt untuk dapat Penatalaksanaan melihat lebih jelas. Penggunaan kacamata lensa silindris dengan koreksi yang sesuai. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) Pemeriksaan Fisik Keadaan umum biasanya baik. 124 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA
BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN PENYAKIT Pemeriksaan Penunjang Lanjutan Prognosis Tidak diperlukan. 1. Ad vitam : Bonam 2. Ad functionam : Bonam Konseling dan Edukasi 3. Ad sanationam : Bonam Memberitahu keluarga bahwa astigmatisma merupakan gangguan penglihatan yang dapat Referensi dikoreksi. 1. Gerhard, K.L. Oscar, Gabriele. Doris, Peter. Kriteria Rujukan Ophtalmology a short textbook. 2nd Ed. New Pasien perlu dirujuk ke layanan sekunder bila: York. Thieme Stuttgart. 2007. 1. koreksi dengan kacamata tidak memperbaiki 2. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G. Panduan Manajemen Klinis Perdami, 1th Ed. Jakarta: visus, atau CV Ondo. 2006. 2. ukuran lensa tidak dapat ditentukan 3. James, Brus.dkk. Lecture Notes Oftalmologi. Erlangga. Jakarta. 2005. (misalnya astigmatisme berat). 4. Riordan. Paul, E. Whitcher, John P. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum. Ed 17. Jakarta: Peralatan EGC. 2009. 1. Snellen Chart 5. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III. 2. Satu set lensa coba (trial frame dan trial Cetakan V. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2008. 6. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Ed 14. lenses) Cetakan I. Jakarta: Widya Medika. 2000. 3. Pinhole 9. HIPERMETROPIA No. ICPC-2 : F91 Refractive error No. ICD-10 : H52.0 Hypermetropia ringan Tingkat Kemampuan 4A Masalah Kesehatan strain) terutama bila melihat pada jarak Hipermetropia (rabun dekat) merupakan keadaan yang tetap dan diperlukan penglihatan jelas gangguan kekuatan pembiasan mata dimana pada jangka waktu yang lama, misalnya sinar sejajar jauh tidak cukup kuat dibiaskan menonton TV dan lain- lain. sehingga titik fokusnya terletak di belakang 3. Mata sensitif terhadap sinar. retina. Kelainan ini menyebar merata di berbagai 4. Spasme akomodasi yang dapat menimbulkan geografis, etnis, usia dan jenis kelamin. pseudomiopia. Mata juling dapat terjadi karena akomodasi yang berlebihan akan Hasil Anamnesis (Subjective) diikuti konvergensi yang berlebihan pula. Keluhan 1. Penglihatan kurang jelas untuk objek yang Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) dekat. 2. Sakit kepala terutama daerah frontal Pemeriksaan Fisik 1. Pemeriksaan visus dengan Snellen Chart dan makin kuat pada penggunaan mata 2. Pemeriksaan refraksi dengan trial lens dan yang lama dan membaca dekat. Penglihatan tidak enak (asthenopia akomodatif = eye trial frame PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA 125
BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN PENYAKIT Pemeriksaan Penunjang :Tidak diperlukan jika tidak, maka mata akan berakomodasi Penegakan Diagnostik (Assessment) terus menerus dan menyebabkan komplikasi. Diagnosis Klinis Penegakan diagnosis dengan anamnesis dan Kriteria rujukan pemeriksaan refraksi. Rujukan dilakukan jika timbul komplikasi. Komplikasi 1. Esotropia atau juling ke dalam terjadi akibat Peralatan 1. Snellen chart pasien selamanya melakukan akomodasi 2. Satu set trial frame dan trial frame 2. Glaukoma sekunder terjadi akibat hipertrofi Prognosis otot siliar pada badan siliar yang akan 1. Ad vitam : Bonam mempersempit sudut bilik mata 2. Ad functionam : Bonam 3. Ambliopia 3. Ad sanationam : Bonam Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan Referensi Koreksi dengan lensa sferis positif terkuat yang 1. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G. Panduan menghasilkan tajam penglihatan terbaik. Konseling dan Edukasi Manajemen Klinis Perdami, 1th Ed. Jakarta: Memberitahu keluarga jika penyakit ini harus CV Ondo. 2006. dikoreksi dengan bantuan kaca mata. Karena 2. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III. Cetakan V. Jakarta:Balai Penerbit FK UI. 2008. 3. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Edisi 14. Cetakan I. Jakarta: Widya Medika. 2000 10. MIOPIA RINGAN No. ICPC-2 : F91 Refractive error No. ICD-10 : H52.1 Myopia Tingkat Kemampuan 4A Masalah Kesehatan Faktor Risiko Miopia ringan adalah kelainan refraksi dimana Genetik dan faktor lingkungan meliputi sinar sejajar yang masuk ke mata dalam keadaan kebiasaan melihat / membaca dekat, kurangnya istirahat (tanpa akomodasi) akan dibiaskan ke aktivitas luar rumah, dan tingkat pendidikan titik fokus di depan retina. yang lebih tinggi. Hasil Anamnesis (Subjective) Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Keluhan Sederhana (Objective) Penglihatan kabur bila melihat jauh, mata Pemeriksaan Fisik cepat lelah, pusing dan mengantuk, cenderung Pemeriksaan visus dengan Snellen Chart memicingkan mata bila melihat jauh. Tidak terdapat riwayat kelainan sistemik, seperti Penegakan Diagnostik (Assessment) diabetes mellitus, hipertensi, serta buta senja. Diagnosis Klinis Penegakan diagnosis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan refraksi. 126 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA
BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN PENYAKIT Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Referensi Penatalaksanaan 1. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G. Panduan Koreksi dengan kacamata lensa sferis negatif terlemah yang menghasilkan tajam penglihatan Manajemen Klinis Perdami, 1th Ed. Jakarta: terbaik CV Ondo. 2006. Konseling dan Edukasi 2. Grosvenor,T. Primary Care Optometry. 2nd 1. Membaca dalam cahaya yang cukup dan Ed. New York: Fairchild Publication. 1989. (Grosvenor, 1989) tidak membaca dalam jarak terlalu dekat. 3. Casser, L. Atlas of Primary Eyecare 2. Kontrol setidaknya satu kali dalam setahun Procedures. 2ndEd. Stamfort Connecticut: Appleton&Lange. 1997. (Casser, 1997) untuk pemeriksaan refraksi, bila ada keluhan. 4. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III. Kriteria rujukan Cetakan V. Jakarta:Balai Penerbit FK UI. 2008. 1. Kelainan refraksi yang progresif (Ilyas, 2008) 2. Kelainan refraksi yang tidak maju dengan 5. Soewono, W. Kuliah ilmu penyakit mata. RSUD Dr.Soetomo. Surabaya. 1999. koreksi atau tidak ditemukan ukuran lensa (Soewono, 1999) yang memberikan perbaikan visus 6. RSUD Dr.Soetomo. Pedoman Diagnosis dan 3. Kelainan yang tidak maju dengan pinhole. Terapi. Bag/SMF Ilmu Penyakit Mata. 3rd Ed. Peralatan 2006 (Bag/SMF Ilmu Penyakit Mata RSUD 1. Snellen char Dr. Soetomo, 2006) 2. Satu set lensa coba dan trial frame 7. Pan C-W, Ramamurthy D & Saw S-M. Prognosis Worldwide prevalence and risk factors for 1. Ad vitam : Bonam myopia. Ophthalmic Physiol Opt 2012, 32, 2. Ad functionam : Bonam 3–16. (Pan, et al., 2012) 3. Ad sanationam : Bonam 11. PRESBIOPIA : F91 Refractive error No. ICPC-2 : H52.4 Presbyopia No. ICD-10 Tingkat Kemampuan 4A Masalah Kesehatan Hasil Anamnesis (Subjective) Presbiopia adalah suatu kondisi yang Keluhan berhubungan dengan usia dimana penglihatan 1. Penglihatan kabur ketika melihat dekat. kabur ketika melihat objek berjarak dekat. 2. Gejala lainnya, setelah membaca mata Presbiopia merupakan proses degeneratif mata yang pada umumnya dimulai sekitar usia terasa lelah, berair, dan sering terasa perih. 40 tahun. Kelainan ini terjadi karena lensa 3. Membaca dilakukan dengan menjauhkan mata mengalami kehilangan elastisitas dan kemampuan untuk berubah bentuk. kertas yang dibaca. 4. Terdapat gangguan pekerjaan terutama pada malam hari dan perlu sinar lebih terang untuk membaca. PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA 127
BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN PENYAKIT Faktor Risiko yang dialami hampir semua orang dan dapat Usia lanjut umumnya lebih dari 40 tahun. dikoreksi dengan kacamata. 2. Pasien perlu kontrol setiap tahun, untuk Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang memeriksa apakah terdapat perubahan Sederhana (Objective) ukuran lensa koreksi. Pemeriksaan Fisik 1. Pemeriksaan refraksi untuk penglihatan Peralatan 1. Kartu Jaeger jarak jauh dengan menggunakan Snellen 2. Snellen Chart Chart dilakukan terlebih dahulu. 3. Satu set lensa coba dan trial frame 2. Dilakukan refraksi penglihatan jarak dekat dengan menggunakan kartu Jaeger. Lensa Prognosis sferis positif (disesuaikan usia - lihat 1. Ad vitam : Bonam Tabel 1) ditambahkan pada lensa koreksi 2. Ad functionam : Bonam penglihatan jauh, lalu pasien diminta untuk 3. Ad sanationam : Bonam menyebutkan kalimat hingga kalimat terkecil yang terbaca pada kartu. Target Referensi koreksi sebesar 20/30. 1. Gerhard, K.L. Oscar, Gabriele. Doris, Peter. Pemeriksaan Penunjang : Tidak diperlukan Penegakan Diagnostik (Assessment) Ophtalmology a short textbook. 2nd Ed. New Diagnosis Klinis York. Thieme Stuttgart. 2007. (Gerhard, et al., Penegakan diagnosis berdasarkan anamnesis 2007) dan pemeriksaan fisik. 2. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Panduan Manajemen Klinis Perdami, 1th Ed. Penatalaksanaan Jakarta: CV Ondo. 2006. (Gondhowiardjo & Koreksi kacamata lensa positif Simanjuntak, 2006) 3. James, Brus.dkk. Lecture Notes Oftalmologi. Tabel 4.1 Koreksi lensa positif disesuaikan usia Erlangga. Jakarta. 2005. 4. Riordan. Paul, E. Whitcher, John P. Vaughan Usia Koreksi Lensa & Asbury Oftalmologi Umum. Ed 17. Jakarta: 40 tahun +1,0 D EGC. 2009. 45 tahun +1,5 D 5. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III. 50 tahun +2,0 D Cetakan V. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 55 tahun +2,5 D 2008. 60 tahun +3,0 D 6. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Ed 14. Cetakan I. Jakarta: Widya Medika. 2000. Pemeriksaan Penunjang Lanjutan: Tidak diperlukan Konseling dan Edukasi 1. Memberitahu pasien dan keluarga bahwa presbiopia merupakan kondisi degeneratif 128 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA
BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN PENYAKIT 12. KATARAK PADA PASIEN DEWASA No. ICPC-2 : F92 Cataract No. ICD-10 : H26.9 Cataract, unspecified Tingkat Kemampuan 2 Masalah Kesehatan mudah dilakukan setelah dilakukan dilatasi Katarak adalah kekeruhan pada lensa yang pupil dengan tetes mata Tropikamid 0.5% menyebabkan penurunan tajam penglihatan atau dengan cara memeriksa pasien pada (visus). Katarak paling sering berkaitan dengan ruang gelap. proses degenerasi lensa pada pasien usia di atas 40 tahun (katarak senilis). Selain katarak senilis, Pemeriksaan Penunjang katarak juga dapat terjadi akibat komplikasi Tidak diperlukan. glaukoma, uveitis, trauma mata, serta kelainan sistemik seperti diabetes mellitus, riwayat Penegakan Diagnostik (Assessment) pemakaian obat steroid, dan lain- lain. Katarak Diagnosis Klinis biasanya terjadi bilateral, namun dapat juga Penegakan diagnosis dilakukan berdasarkan pada satu mata (monokular). anamnesis dan pemeriksaan visus dan pemeriksaan lensa Hasil Anamnesis (Subjective) Komplikasi Keluhan Glaukoma dan uveitis Pasien datang dengan keluhan penglihatan Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) menurun secara perlahan seperti tertutup asap/kabut. Keluhan disertai ukuran kacamata Penatalaksanaan semakin bertambah, silau, dan sulit membaca. Pasien dengan katarak yang telah menimbulkan Faktor Risiko gangguan penglihatan yang signifikan dirujuk ke 1. Usia lebih dari 40 tahun layanan sekunder yang memiliki dokter spesialis 2. Riwayat penyakit sistemik, seperti diabetes mata untuk mendapatkan penatalaksanaan selanjutnya. Terapi definitif katarak adalah mellitus operasi katarak. 3. Pemakaian tetes mata steroid secara rutin 4. Kebiasaan merokok dan pajanan sinar Konseling dan Edukasi 1. Memberitahu keluarga bahwa katarak matahari adalah gangguan penglihatan yang dapat Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang diperbaiki. Sederhana (Objective) 2. Memberitahu keluarga untuk kontrol teratur jika sudah didiagnosis katarak agar tidak Pemeriksaan Fisik terjadi komplikasi. 1. Visus menurun yang tidak membaik dengan Kriteria Rujukan pemberian pinhole 1. Katarak matur 2. Pemeriksaan shadow test positif 2. Jika pasien telah mengalami gangguan 3. Terdapat kekeruhan lensa yang dapat dengan penglihatan yang signifikan jelas dilihat dengan teknik pemeriksaan 3. Jika timbul komplikasi jauh (dari jarak 30 cm) menggunakan oftalmoskop sehingga didapatkan media yang keruh pada pupil. Teknik ini akan lebih PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA 129
BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN PENYAKIT Peralatan 2. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G. Panduan 1. Senter Manajemen Klinis Perdami, 1th Ed.Jakarta: 2. Snellen chart CV Ondo. 2006. 3. Tonometri Schiotz 4. Oftalmoskop 3. James, Brus. dkk. Lecture Notes Oftalmologi. Prognosis Jakarta: Erlangga. 2005. 1. Ad vitam : Bonam 2. Ad functionam : Dubia ad bonam 4. Riordan, P.E, Whitcher, J.P. Vaughan & Asbury 3. Ad sanationam : Dubia ad bonam Oftalmologi Umum. Ed17.Jakarta: EGC. 2009. Referensi 1. Gerhard, K.L. Oscar, Gabriele. Doris, Peter. 5. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata, Ed III. Cetakan V. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2008. Ophtalmology a short textbook. 2ndEd. New York: Thieme Stuttgart. 2007. 6. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Edisi 14. Cetakan I. Jakarta: Widya Medika. 2000. 13. GLAUKOMA AKUT No. ICPC-2 : F93 Glaucoma No. ICD-10 : H40.2 Primary angle-closure glaucoma Tingkat Kemampuan 3B Masalah Kesehatan Faktor Risiko Glaukoma akut adalah glaukoma yang Bilik mata depan yang dangkal diakibatkan peninggian tekanan intraokular yang mendadak. Glaukoma akut dapat bersifat Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang primer atau sekunder. Glaukoma primer timbul Sederhana (Objective) dengan sendirinya pada orang yang mempunyai bakat bawaan glaukoma, sedangkan glaukoma 1. Visus turun sekundertimbul sebagai penyulit penyakit mata 2. Tekanan intra okular meningkat lain ataupun sistemik. Umumnya penderita 3. Konjungtiva bulbi: hiperemia kongesti, glaukoma telah berusia lanjut, terutama bagi yang memiliki risiko. Bila tekanan intraokular kemosis dengan injeksi silier, injeksi yang mendadak tinggi ini tidak diobati segera konjungtiva akan mengakibatkan kehilangan penglihatan 4. Edema kornea sampai kebutaan yang permanen. 5. Bilik mata depan dangkal 6. Pupil mid-dilatasi, refleks pupil negatif Hasil Anamnesis (Subjective) Gambar 4.3. Injeksi silier pada glaukoma Keluhan 1. Mata merah 2. Tajam penglihatan turun mendadak 3. Rasa sakit atau nyeri pada mata yang dapat menjalar ke kepala 4. Mual dan muntah (pada tekanan bola mata yang sangat tinggi) 130 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA
BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN PENYAKIT Pemeriksaan Penunjang a. Snellen chart b. Tonometri Schiotz Tidak dilakukan pada fasilitas pelayanan c. Oftalmoskopi kesehatan tingkat pertama. Prognosis Penegakan Diagnostik (Assessment) 1. Ad vitam : Bonam Diagnosis Klinis 2. Ad functionam : Dubia ad malam 3. Ad sanationam : Dubia ad malam Penegakan diagnosis dilakukan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan oftalmologis. Referensi Diagnosis Banding: 1. Gerhard, K.L. Oscar, Gabriele. Doris, Peter. Ophtalmology a short textbook. 2ndEd. New 1. Uveitis Anterior York: Thieme Stuttgart. 2007. 2. Keratitis 3. Ulkus Kornea 2. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G. Panduan Manajemen Klinis Perdami, 1th Ed.Jakarta: Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) CV Ondo. 2006. Penatalaksanaan 3. James, Brus. dkk. Lecture Notes Oftalmologi. Jakarta: Erlangga. 2005. Penatalaksanaan kasus glaukoma pada layanan tingkat pertama bertujuan menurunkan tekanan 4. Riordan, P.E, Whitcher, J.P. Vaughan & Asbury intra okuler sesegera mungkin dan kemudian Oftalmologi Umum. Ed17.Jakarta: EGC. 2009. merujuk ke dokter spesialis mata di rumah sakit. 5. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata, Ed III. Cetakan 1. Non-Medikamentosa V. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2008. Pembatasan asupan cairan untuk menjaga 6. Vaughan, D.G.Oftalmologi Umum. Edisi 14. agar tekanan intra okular tidak semakin Cetakan I. Jakarta: Widya Medika. 2000. meningkat 2. Medikamentosa 7. Sumber Gambar http://www.studyblue.com a. Asetazolamid HCl 500 mg, dilanjutkan 4 x 250 mg/hari. b. KCl 0.5 gr 3 x/hari. c. Timolol 0.5%, 2 x 1 tetes/hari. d. Tetes mata kombinasi kortikosteroid + antibiotik 4-6 x 1 tetes sehari e. Terapi simptomatik. Konseling dan Edukasi Memberitahu keluarga bahwa kondisi mata dengan glaukoma akut tergolong kedaruratan mata, dimana tekanan intra okuler harus segera diturunkan Kriteria Rujukan Pada glaukoma akut, rujukan dilakukan setelah penanganan awal di layanan tingkat pertama. Peralatan PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA 131
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164
- 165
- 166
- 167
- 168
- 169
- 170
- 171
- 172
- 173
- 174
- 175
- 176
- 177
- 178
- 179
- 180
- 181
- 182
- 183
- 184
- 185
- 186
- 187
- 188
- 189
- 190
- 191
- 192
- 193
- 194
- 195
- 196
- 197
- 198
- 199
- 200
- 201
- 202
- 203
- 204
- 205
- 206
- 207
- 208
- 209
- 210
- 211
- 212
- 213
- 214
- 215
- 216
- 217
- 218
- 219
- 220
- 221
- 222
- 223
- 224
- 225
- 226
- 227
- 228
- 229
- 230
- 231
- 232
- 233
- 234
- 235
- 236
- 237
- 238
- 239
- 240
- 241
- 242
- 243
- 244
- 245
- 246
- 247
- 248
- 249
- 250
- 251
- 252
- 253
- 254
- 255
- 256
- 257
- 258
- 259
- 260
- 261
- 262
- 263
- 264
- 265
- 266
- 267
- 268
- 269
- 270
- 271
- 272
- 273
- 274
- 275
- 276
- 277
- 278
- 279
- 280
- 281
- 282
- 283
- 284
- 285
- 286
- 287
- 288
- 289
- 290
- 291
- 292
- 293
- 294
- 295
- 296
- 297
- 298
- 299
- 300
- 301
- 302
- 303
- 304
- 305
- 306
- 307
- 308
- 309
- 310
- 311
- 312
- 313
- 314
- 315
- 316
- 317
- 318
- 319
- 320
- 321
- 322
- 323
- 324
- 325
- 326
- 327
- 328
- 329
- 330
- 331
- 332
- 333
- 334
- 335
- 336
- 337
- 338
- 339
- 340
- 341
- 342
- 343
- 344
- 345
- 346
- 347
- 348
- 349
- 350
- 351
- 352
- 353
- 354
- 355
- 356
- 357
- 358
- 359
- 360
- 361
- 362
- 363
- 364
- 365
- 366
- 367
- 368
- 369
- 370
- 371
- 372
- 373
- 374
- 375
- 376
- 377
- 378
- 379
- 380
- 381
- 382
- 383
- 384
- 385
- 386
- 387
- 388
- 389
- 390
- 391
- 392
- 393
- 394
- 395
- 396
- 397
- 398
- 399
- 400
- 401
- 402
- 403
- 404
- 405
- 406
- 407
- 408
- 409
- 410
- 411
- 412
- 413
- 414
- 415
- 416
- 417
- 418
- 419
- 420
- 421
- 422
- 423
- 424
- 425
- 426
- 427
- 428
- 429
- 430
- 431
- 432
- 433
- 434
- 435
- 436
- 437
- 438
- 439
- 440
- 441
- 442
- 443
- 444
- 445
- 446
- 447
- 448
- 449
- 450
- 451
- 452
- 453
- 454
- 455
- 456
- 457
- 458
- 459
- 460
- 461
- 462
- 463
- 464
- 465
- 466
- 467
- 468
- 469
- 470
- 471
- 472
- 473
- 474
- 475
- 476
- 477
- 478
- 1 - 50
- 51 - 100
- 101 - 150
- 151 - 200
- 201 - 250
- 251 - 300
- 301 - 350
- 351 - 400
- 401 - 450
- 451 - 478
Pages: