Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore BAGIAN 1 LAPORAN KASUS KARDIOLOGI JULI 2020

BAGIAN 1 LAPORAN KASUS KARDIOLOGI JULI 2020

Published by khalidsaleh0404, 2021-11-03 12:22:17

Description: BAGIAN 1 LAPORAN KASUS KARDIOLOGI JULI 2020

Search

Read the Text Version

Arbidol) adalah anti viral dengan mekanisme aksi menargetkan interaksi S protein / ACE2 dan menghambat fusi membran dari amplop virus dengan dosis 200 mg oral setiap 8 jam untuk influenza sedang dipelajari untuk pengobatan COVID-19. Pengalaman klinis terbatas dengan umifenovir untuk COVID-19 telah dijelaskan di Cina. Sebuah studi uji control tidak acak dari 67 pasien dengan COVID-19 menunjukkan bahwa pengobatan dengan umifenovir untuk durasi rata-rata 9 hari menunjukan kematian yang lebih rendah (0% [0/36] vs 16% [5/31]), tetapi RCT yang sedang berlangsung di Cina selanjutnya mengevaluasi obat ini.20 Klorokuin sebagai obat antimalaria bekerja dengan melindungi Hemoglobin terhadap invasi oleh parasit malaria, obat ini juga bs digunakan sebagai anti virus pada penderita Human Immunodefisiensi Virus (HIV). Mekanisme yang antivirus dengan cara menghambat glikosilasi sehingga menyebabkan perubahan protein yang baru terbentuk paska translasi.21 Kombinasi Bersama dengan azithromycin golongan obat makrolid untuk mencegah infeksi sekunder memberikan kesembuhan hingga 100 persen pada pasien tanpa komorbid dibandingkan dengan 57.1% pada pasien dengan hydrokloroquin saja dan 12.5% pada pasien kontrol.22 Pada pasien ini diberikan terapi antibiotic golongan kuinolon ( Moxifloxacin diganti Levofloxacin) untuk mencegah infeksi sekunder, meskipun tidak ada bukti khusus pengobatan pada COVID-19, pemberian kuinolon didukung oleh beberapa literature.23, 24 Pasien tidak mendapatkan hidroklorokuin karena bisa terjadi resiko pemanjangan interval QT.25 Favipiravir (Avigan®) adalah obat coronavirus anti-novel terbaru dari Jepang dengan efek terapi spesifik RNA-dependent RNA polymerase (RdRp inhibitor). Dalam Favipiravir, ligan yang paling kritis adalah 1RP, yaitu 6 - fluoro - 3 - oxo - 4 - (5 - O - phosphono - beta - D - ribofuranosyl) - 3, 4 - dihydropyrazine - 2 - carboxamide. Favipiravir tidak dapat mengikat E2 glikoprotein dan Nukleokapsid, dan energi pengikatannya pada protein amplop virus, atau F7a, atau f1ab lebih tinggi dari pada porfirin. Favipiravir mampu memblokir replikasi flavi-, alpha-,filo-,bunya-,arena-,noro-,dan virus RNA lainnya. Favipiravir diubah menjadi bentuk fosforibosilasi aktif (favipiravir-RTP) dalam sel dan dikenali sebagai substrat oleh RNA polimerase virus, sehingga Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 91

menghambat RNA aktivitas polimerase Fungsi utama protein Envelope adalah untuk membantu virus memasuki sel inang, yang menunjukkan bahwa Favipiravir dapat secara efektif mencegah virus dari menginfeksi sel manusia.26 3.2.3 Terapi ajuvan pada pasien COVID-19 Pada pasien menderita hyponatremia low osmlaritas hypervolume, pasien mendapatkan terapi natrium klorida 3% 500 cc per 24 jam intravena, disertai dengan gagal ginjal akut, pasien tidak merespon pemberian natrium dan obat diuretic. Sehingga diputuskan diberikan tambahan obat tolvaptan. Obat ini merupakan diuretik yang berkerja dengan berikatan pada reseptor V2 (1 dari 3 reseptor vasopresin: V1a, V1b, dan V2), mengganggu pergerakan aquaporin 2 ke sisi luminal sel-sel saluran pengumpul kortikal melalui aktivasi cAMP, dan menghambat reabsorpsi air. Dengan demikian menggunakan mekanisme aksi baru untuk memproduksi diuresis urin. Efek tolvaptan berbeda dengan efek diuretik konvensional dan efek jangka pendeknya untuk gagal jantung telah dilakukan dalam studi ACTIVE dan EVEREST. Pemberian obat ini harus hati-hati karena penurunan volume oleh diuresis menyebabkan penurunan aliran darah ginjal. Pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal yang berat dapat semakin memperburuk fungsi ginjal. Sebuah studi telah menyarankan bahwa aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus (GFR) tidak berkurang oleh tolvaptan. Selain itu obat ini memberikan efek proteksi pada fungsi ginjal karena memberikan efek diuretik tanpa mengaktifkan sistem renin-angiotensin27, 28 Pada sebuah studi pemberian tolvaptan pada pasien gagal jantung dengan penyakit ginjal kronik stadium 4 atau lebih dengan dosis inisial 7,5 mg per hari dilaprokan tidak terjadi hipernatremia. Volume urin meningkat secara signifikan (P <0,0001), begitu pula osmolaritas urin (P = 0,0053). Tingkat kreatinin serum tidak berubah secara signifikan, dan tidak dilaporkan perubahan efek yang jelas pada fungsi ginjal. Namun, pada pasien dengan stadium 5 CKD, tingkat kreatinin serum menurun secara signifikan (n = 5, P = 0,0435).29 Tolvaptan adalah diuretik yang efektif untuk pasien dengan CKD. Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 92

Setelah di diagnosis dengan COVID-19 pasien mendapatkan terapi Vitamin C hingga 1 gr per hari, obat ini memiliki aktivitas antioksidan dan dapat mengurangi stres oksidatif dan peradangan, efek yang meningkatkan sintesis vasopresor, meningkatkan fungsi sel kekebalan tubuh, meningkatkan fungsi endovaskular, dan menyediakan modifikasi imunologis epigenetik. Uji klinis telah menunjukkan data yang menjanjikan pada peningkatan mortalitas pada sepsis, tetapi penelitian yang lebih luas diperlukan untuk memvalidasi obat ini pada COVID-19.30 Obat ini juga digunakan di China dengan melibatkan 140 subjek, studi masih dalam pengerjaan. Gambar 9 Alur Tatalaksana Pengobatan Hiponatermia Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 93

3.3 Tatalaksana Jangka Panjang dan Hasil Keluaran yang diharapkan pada IE dengan COVID-19 Pedoman pemberian antibitoik pada kultur negative IE masih belum jelas, menurut salah satu panduan Jurnal Antimicrobia Chemotheraphy protokol antimikroba dalam IE dari etiologi yang tidak diketahui mencakup empat agen antimikroba intravena yaitu: amoksisilin, vankomisin, gentamisin, dan amfoterisin B. Studi tersebut membagi dua jenis protokol untuk mengobati BCNE. (1) IE kultur negatif yang didapat masyarakat (komunitas) dan terdiri dari 6 minggu amoksisilin (12 g / hari) dan 3 minggu gentamisin (3 mg / kg / hari), (2) IE kultur negative di rumah sakit (nosokomial), termasuk IE terkait kesehatan (dengan perangkat akses vena implan atau pasien dialisis) dan IE pasca bedah (, 12 bulan) (operasi katup atau implantasi perangkat intracardiac). Pada kelIni terdiri dari 6 minggu vankomisin (30 mg / kg / hari) dan 3 minggu gentamisin (3 mg / kg / hari). 31 Pada pasien dengan operasi kardiovaskular kurang dari 3 minggu diberikan liposomal amfoterisin B (3 mg / kg / hari) ditambahkan jika demam tetap ada setelah 48 jam, terkait dengan perawatan antibiotik empiris sebelumnya. Gentamicin, vancomycin dan tingkat palt amfoterisin dilakukan dalam waktu 48 jam setelah memulai pengobatan dan kemudian dua kali seminggu. Fungsi ginjal diikuti oleh urea harian dan uji kreatinin. 31 Pada pasien ini protokol terebut tidak bisa kami lakukan dikarenakan pasien paska menderita COVID-19 dan ada kekhawatiran pasien dapat menularkan kembali karena dalam beberapa laporan kasus bisa terjadi re-infeksi walau hasil PCR sudah melaporkan negative 32, 33, selain itu fungsi ginjal pasien yang tidak membaik dengan pemberian obat dan rehidrasi adekuat. Pemberian antibiotik aminoglikosida seperti gentamicin akan memperberat fungsi ginjal pasien. Terapi definitif pada pasien gagal jantung dengan IE dan gagal jantung disertai kelainan katup dan gambaran vegetasi adalah operasi berupa pergantian katup 6, dalam keadaan pandemi ini tidak memungkinkan untuk dilakukan operasi bedah jantung, terlebih pada dengan riwayat paska COVID-19. Hingga kini belum ada litertur yang mendukung maupun membantah operasi katup jatung pada pasien COVID-19. Pembedahan tidak hanya ditujukan untuk operasi, namun Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 94

juga bisa dilakukan penegakan diagnosis dengan melakukan PCR pada jaringan vegetasi. Menurut guideline ESC, vegetasi di katup mitral > 10 mm disertai regurgitasi merupakan indikasi operasi dengan rekomendasi kelas IIa. Terapi bedah dapat dipertimbangkan pada vegetasi berukuran besar lebih dari 15 mm, jika sudah lebih besar dari 15 mm terapi bedah untuk pencegahan emboli sebaiknya dilakukan segera sesudah dimulainya antibiotik. 34, 35 Gambar 10 Indikasi operasi pada pasien dengan IE Terapi antibiotik profilaksis pada pasien IE dengan kultur negatif masih kontroversial. Menurut pedoman AHA dan ESC, pemberian antibiotik profilaksis hanya diberikan apabila pasien yang akan mendapatkan prosedur perawatan gigi geligi dan mempunyai riwayat penyakit jantung yang berisiko tinggi mengalami IE. Sedangkan menurut pedoman United Kingdom National Institute for Health and Care Excellence (NICE), pemberian antibiotik profilaksis tidak disarankan. Tingkat mortalitas pasien rawat inap di rumah sakit bervariasi dari 15% hingga 30% Prognosis IE dipengaruhi oleh empat faktor utama: karakteristik pasien, ada atau tidak adanya komplikasi jantung dan non-jantung, organisme yang menginfeksi dan temuan ekokardiografi. Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 95

Gambar 11 Faktor yang berperan pada mortalitas pasien dengan IE RINGKASAN Telah dilaporkan seorang laki-laki usia 61 tahun dengan keluhan sesak nafas, nyeri dada, batuk dan demam. Pasien memiliki riwayat berpergian ke luar negeri umroh 2 minggu sebelum masuk rumah sakit. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang pasien didiagnosis dengan COVID-19 dan Infektif Endokarditis et causa Penyakit Jantung Rematik. Anamnesis dan skrining dengan ekokardiografi penting untuk menegakkan diagnosis, pada ssat pandemic penggunaan alat pelindung diri sangat penting, selalu menempatakan pasien sdicurigai sebagai pasien dengan COVID- 19 sampai terbukti bukan. Dalam memulai terapi antibiotic, seringkali tanpa harus menunggu hasil kultur, walaupun hasil kultur jadi lebih sering negatif. Berdasarkan Modified Duke criteria, pasien termasuk kelompok definitif IE (memenuhi 1 kriteria mayor dan 3 kriteria minor. Di antara kasus yang dilaporkan dari COVID-19 dan infektif endokarditis, kami melaporkan kasus pertama penanganan kasus COVID-19 dengan manifestasi gejala kardiovaskular. Kasus ini Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 96

menggambarkan potensi keparahan komplikasi dan tantangan dalam mengembangkan manajemen standar untuk penyakit tersebut mengingat masih banyak yang belum diketahui mengenai manajemen COVID-19 pada populasi khusus. Meskipun prognosis pada kasus ini tidak terlalu baik dikarenakan terbatasnya alat, fasilitas, dan alat pelindung diri, melalui kasus ini, kami berharap dapat memperluas dana pengetahuan dan pendekatan yang bijaksana untuk kasus berikutnya agar dapat memberikan DAFTAR PUSTAKA 1. Bansal M. Cardiovascular disease and COVID-19. Diabetes Metab Syndr. 2020;14(3):247-50. 2. Guan WJ, Liang WH, Zhao Y, Liang HR, Chen ZS, Li YM, et al. Comorbidity and its impact on 1590 patients with Covid-19 in China: A Nationwide Analysis. Eur Respir J. 2020. 3. Rosa SGV, Santos WC. Clinical trials on drug repositioning for COVID-19 treatment. Rev Panam Salud Publica. 2020;44:e40. 4. Dubois EA, Rissmann R, Cohen AF. Tolvaptan. Br J Clin Pharmacol. 2012;73(1):9-11. 5. Holland TL, Baddour LM, Bayer AS, Hoen B, Miro JM, Fowler VG, Jr. Infective endocarditis. Nat Rev Dis Primers. 2016;2:16059. 6. Habib G, Lancellotti P, Antunes MJ, Bongiorni MG, Casalta JP, Del Zotti F, et al. 2015 ESC Guidelines for the management of infective endocarditis: The Task Force for the Management of Infective Endocarditis of the European Society of Cardiology (ESC). Endorsed by: European Association for Cardio-Thoracic Surgery (EACTS), the European Association of Nuclear Medicine (EANM). Eur Heart J. 2015;36(44):3075-128. 7. Li JS, Sexton DJ, Mick N, Nettles R, Fowler VG, Jr., Ryan T, et al. Proposed modifications to the Duke criteria for the diagnosis of infective endocarditis. Clin Infect Dis. 2000;30(4):633-8. 8. Remenyi B, Wilson N, Steer A, Ferreira B, Kado J, Kumar K, et al. World Heart Federation criteria for echocardiographic diagnosis of rheumatic heart disease--an evidence-based guideline. Nat Rev Cardiol. 2012;9(5):297-309. Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 97

9. McCormick JK, Tripp TJ, Dunny GM, Schlievert PM. Formation of vegetations during infective endocarditis excludes binding of bacterial-specific host antibodies to Enterococcus faecalis. J Infect Dis. 2002;185(7):994-7. 10. Fournier PE, Charrel R, Raoult D. Viral endocarditis or simple viral disseminated infection? Clin Infect Dis. 2011;53(12):1298; author reply 9-300. 11. Que YA, Moreillon P. Infective endocarditis. Nat Rev Cardiol. 2011;8(6):322-36. 12. Fournier PE, Gouriet F, Casalta JP, Lepidi H, Chaudet H, Thuny F, et al. Blood culture- negative endocarditis: Improving the diagnostic yield using new diagnostic tools. Medicine (Baltimore). 2017;96(47):e8392. 13. Peng YD, Meng K, Guan HQ, Leng L, Zhu RR, Wang BY, et al. [Clinical characteristics and outcomes of 112 cardiovascular disease patients infected by 2019-nCoV]. Zhonghua Xin Xue Guan Bing Za Zhi. 2020;48(0):E004. 14. Watkins J. Preventing a covid-19 pandemic. BMJ. 2020;368:m810. 15. Ferrario CM, Jessup J, Chappell MC, Averill DB, Brosnihan KB, Tallant EA, et al. Effect of angiotensin-converting enzyme inhibition and angiotensin II receptor blockers on cardiac angiotensin-converting enzyme 2. Circulation. 2005;111(20):2605-10. 16. Rico-Mesa JS, White A, Anderson AS. Outcomes in Patients with COVID-19 Infection Taking ACEI/ARB. Curr Cardiol Rep. 2020;22(5):31. 17. Speth RC. Keep Taking Your ACE Inhibitors and ARBs During the COVID 19 Pandemic. J Travel Med. 2020. 18. Rossi GP, Sanga V, Barton M. Potential harmful effects of discontinuing ACE-inhibitors and ARBs in COVID-19 patients. Elife. 2020;9. 19. Kutlu O, Metin A. A case of exacerbation of psoriasis after oseltamivir and hydroxychloroquine in a patient with COVID-19: Will cases of psoriasis increase after COVID-19 pandemic? Dermatol Ther. 2020:e13383. Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 98

20. Sanders JM, Monogue ML, Jodlowski TZ, Cutrell JB. Pharmacologic Treatments for Coronavirus Disease 2019 (COVID-19): A Review. JAMA. 2020. 21. Raoult D, Hsueh PR, Stefani S, Rolain JM. COVID-19 Therapeutic and Prevention. Int J Antimicrob Agents. 2020:105937. 22. Gautret P, Lagier JC, Parola P, Hoang VT, Meddeb L, Mailhe M, et al. Hydroxychloroquine and azithromycin as a treatment of COVID-19: results of an open- label non-randomized clinical trial. Int J Antimicrob Agents. 2020:105949. 23. Tang B, Li S, Xiong Y, Tian M, Yu J, Xu L, et al. Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) Pneumonia in a Hemodialysis Patient. Kidney Med. 2020. 24. Rismanbaf A. Potential Treatments for COVID-19; a Narrative Literature Review. Arch Acad Emerg Med. 2020;8(1):e29. 25. Singh AK, Singh A, Shaikh A, Singh R, Misra A. Chloroquine and hydroxychloroquine in the treatment of COVID-19 with or without diabetes: A systematic search and a narrative review with a special reference to India and other developing countries. Diabetes Metab Syndr. 2020;14(3):241-6. 26. Dong L, Hu S, Gao J. Discovering drugs to treat coronavirus disease 2019 (COVID-19). Drug Discov Ther. 2020;14(1):58-60. 27. Okada T, Sakaguchi T, Hatamura I, Saji F, Negi S, Otani H, et al. Tolvaptan, a selective oral vasopressin V2 receptor antagonist, ameliorates podocyte injury in puromycin aminonucleoside nephrotic rats. Clin Exp Nephrol. 2009;13(5):438-46. 28. Onogawa T, Sakamoto Y, Nakamura S, Nakayama S, Fujiki H, Yamamura Y. Effects of tolvaptan on systemic and renal hemodynamic function in dogs with congestive heart failure. Cardiovasc Drugs Ther. 2011;25 Suppl 1:S67-76. 29. Otsuka T, Sakai Y, Ohno D, Murasawa T, Sato N, Tsuruoka S. The effects of tolvaptan on patients with severe chronic kidney disease complicated by congestive heart failure. Clin Exp Nephrol. 2013;17(6):834-8. 30. Gasmi A, Noor S, Tippairote T, Dadar M, Menzel A, Bjorklund G. Individual risk management strategy and potential therapeutic options for the COVID-19 pandemic. Clin Immunol. Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 99

2020:108409. 31. Menu E, Gouriet F, Casalta JP, Tissot-Dupont H, Vecten M, Saby L, et al. Evaluation of empirical treatment for blood culture- negative endocarditis. J Antimicrob Chemother. 2017;72(1):290- 8. 32. Chen D, Xu W, Lei Z, Huang Z, Liu J, Gao Z, et al. Recurrence of positive SARS-CoV-2 RNA in COVID-19: A case report. Int J Infect Dis. 2020;93:297-9. 33. Jiang DM. Recurrent PCR positivity after hospital discharge of people with coronavirus disease 2019 (COVID-19). J Infect. 2020. 34. Thuny F, Grisoli D, Cautela J, Riberi A, Raoult D, Habib G. Infective endocarditis: prevention, diagnosis, and management. The Canadian journal of cardiology. 2014;30(9):1046-57. 35. Habib G, Lancellotti P, Antunes MJ, Bongiorni MG, Casalta JP, Del Zotti F, et al. 2015 ESC Guidelines for the management of infective endocarditis: The Task Force for the Management of Infective Endocarditis of the European Society of Cardiology (ESC). Endorsed by: European Association for Cardio-Thoracic Surgery (EACTS), the European Association of Nuclear Medicine (EANM). European heart journal. 2015;36(44):3075- 128. Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 100

6 Management of Pregnancy And Peripartum Period In Patient With Severe Mitral Stenosis: A Case Report Maya Shofia, Akhtar Fajar Muzakkir PENDAHULUAN Insidensi penyakit jantung pada pasien hamil di negara maju berkisar 0.2 hingga 3%. Meskipun insidensi penyakit jantung rematik (PJR) telah menurun di negara-negara maju, tetapi PJR masih menyumbang sebagian besar kematian ibu terkait penyakit jantung di negara-negara berkembang (Weiner MM et al., 2011). Di Amerika Serikat dan Kanada, wanita dengan PJR, dimana mitral stenosis adalah manifestasi paling umum, terdiri dari <25% wanita hamil dengan penyakit jantung (Siu SC et al., 2001). Demikian pula, di antara 1.321 wanita dengan penyakit jantung termasuk dalam European Registry on Pregnancy and Cardiac disease (ROPAC), 334 memiliki penyakit katup, yang 79 (6%) mengalami mitral stenosis (Roos-Hesselink JW et al., 2013). Mitral stenosis adalah lesi katup yang paling sering didapat pada wanita hamil dan hampir selalu disebabkan oleh PJR. Kehamilan dan periode peripartum merupakan beban fisiologis yang dapat memperburuk gejala bahkan pada tingkat sedang penyakit jantung. Akibatnya, banyak wanita pertama kali didiagnosis menderita penyakit jantung selama kehamilan (Weiner MM et al., 2011). Kehamilan merupakan periode risiko tinggi pada wanita dengan mitral stenosis. Perubahan fisiologis selama kehamilan dan dampak mitral stenosis pada kehamilan dan persalinan penting untuk diketahui (Abidine Z et al., 2013). Dalam laporan kasus ini, kami membahas manajemen kehamilan dan periode peripartum pasien dengan penyakit katup mitral stenosis berat. Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 101

LAPORAN KASUS Wanita usia 24 tahun masuk rumah sakit dengan rencana operasi sectio caesarea (SC). Pasien dalam kondisi hamil anak pertama dengan usia kehamilan 41 minggu. Keluhan sesak napas dirasakan sejak usia kehamilan 4 bulan, sesak terutama saat aktivitas sedang sampai berat, orthopneu tidak ada, paroxysmal nocturnal dyspneu tidak ada. Tidak ada riwayat sesak napas atau bengkak kaki sebelumnya. Keluhan nyeri dada tidak ada. Berdebar-debar tidak ada, riwayat berdebar-debar sebelumnya tidak ada. Pasien tidak pernah berobat jantung sebelumnya. Pasien rutin kontrol ke dokter umum sejak usia kehamilan 1 bulan dan saat usia kehamilan 4 bulan pasien kontrol di dokter kandungan lalu dirujuk ke PJT karena didapatkan ada kelainan suara jantung. Pasien mendapat terapi simarc 2mg/24jam/oral namun 1 bulan terakhir sebelum melahirkan pasien tidak minum obat. Riwayat hipertensi tidak ada, riwayat diabetes mellitus tidak ada, tidak ada anggota keluarga memiliki keluhan yang sama, tidak ada riwayat merokok sebelumnya. Riwayat menjalani prosedur operasi sebelumnya tidak ada. Riwayat minum alkohol atau penggunaan obat terlarang tidak ada. Riwayat sakit berat saat masih kecil tidak ada. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 90 kali permenit, respirasi 20 kali permenit, dan suhu 36.6°C. Pemeriksaan fisik bermakna didapatkan konjunctiva anemis, terdapat murmur diastolik di apeks grade 2/4. Pemeriksaan laboratorium rutin dengan hasil penurunan hemoglobin 9.4 g/dl. Elektrokardiografi (EKG) 12 sandapan menunjukkan sinus ritme, HR 90 kali per menit, RAD, LAE, RVH. Pada pemeriksaan USG kandungan didapatkan gravid tunggal hidup intrauterin, presentasi kepala, punggung kiri, plasenta letak corpus anterior grade II, amniotic fluid index 6.34 cm, estimated fetal weight 2556 gram, biometri janin sesuai usia kehamilan 34 minggu 5 hari. Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 102

Gambar 2.1. EKG 12 Sandapan. Pada pasien ini kami lakukan pemeriksaan ekokardiografi pada Desember 2019 dengan hasil fungsi sistolik LV baik, ejeksi fraksi 73.2%, fungsi sistolik RV baik, TAPSE 2.2, mitral stenosis berat (Wilkins score 2-2-2-2), moderate mitral regurgitasi, dilatasi LA, mild trikuspid regurgitasi, intermediate probability of pulmonary hypertension. Gambar 2.2. Ekokardiografi 2 dimensi tampak color flow Doppler MS (kiri), MVA planimetry dari MS (kanan). Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 103

Gambar 2.3. Ekokardiografi 2 dimensi tampak pengukuran mean pressure gradient (kiri) dan pressure half time (kanan) pada MS. Gambar 2.4. Pengukuran fraksi ejeksi by TEICH (kiri) dan pengukuran fungsi sistolik RV (kanan). Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, pasien kami diagnosis dengan mitral stenosis berat, moderate mitral regurgitasi, intermediate probability of pulmonary hypertension, G1P0A0 gravid 41 minggu. Penatalaksanaan pada pasien ini yaitu dengan pemberian bisoprolol 2.5mg/24jam/intravena, heparin 650 iu/jam/syringe pump sampai 12 jam sebelum operasi sectio caesarea dilakukan, lanjut heparin kembali setelah 6 jam post SC dan bridging warfarin 2mg/24jam/oral post SC jika tidak ada perdarahan aktif pada luka operasi, edukasi dan motivasi untuk pemakaian kontrasepsi. Pada perawatan hari ke-4 pasien menjalani operasi SC dengan anastesi regional epidural dan melahirkan bayi laki-laki berat 2680 gram dan tinggi badan 47 cm dengan APGAR score 8/10. Pasien juga Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 104

menjalani tubektomi bilateral, selanjutnya pasien dipindahkan ke ICU untuk monitoring ketat post operasi. Saat 6 jam post SC dilakukan kontrol darah rutin didapatkan penurunan hemoglobin menjadi 6.6 g/dl tanpa ada perdarahan aktif pada luka operasi namun pemberian heparin dan warfarin masih kami tunda. Dari TS obgyn, pasien mendapat transfusi PRC 2 bag, misoprostol 800 mcg per rektal dan drips oksitosin 20 iu sampai 24 jam post SC. Kontrol hemoglobin post transfusi yaitu 11.2 g/dl sehingga pada hari kedua post SC kami berikan terapi heparin 650 iu/jam/syringe pump dan warfarin 2mg/24jam/oral. Setelah 3 hari pasien menjalani perawatan di ruang ICU, pada perawatan hari ke-6 pasien dipindahkan ke ruang perawatan biasa. Setelah perawatan selama 8 hari, pasien dan bayi dalam kondisi stabil dan selanjutnya pasien diijinkan rawat jalan dengan terapi bisoprolol 2.5mg/24jam/oral dan warfarin 2mg/24jam/oral. PEMBAHASAN 3.1. Adaptasi fisiologis pada kehamilan Kehamilan menginduksi perubahan dalam sistem kardiovaskular untuk memenuhi peningkatan kebutuhan metabolisme ibu dan janin. Volume plasma dan cardiac output (CO) mencapai maksimum 40-50% di atas baseline pada usia kehamilan 32 minggu, sedangkan 75% dari peningkatan ini terjadi pada akhir trimester pertama. Peningkatan CO dicapai dengan peningkatan stroke volume pada paruh pertama kehamilan dan secara bertahap terjadi peningkatan denyut jantung. Diameter atrium dan ventrikel meningkat pada fungsi ventrikel yang normal. Pada wanita dengan penyakit jantung, adaptasi left ventricle (LV) dan right ventricle (RV) terhadap kehamilan dapat menjadi suboptimal. Disfungsi jantung selama hamil berhubungan dengan gangguan aliran uteroplasenta dan menyebabkan pertumbuhan janin suboptimal. Systemic and pulmonary vascular resistances menurun selama masa kehamilan (Regitz-Zagrosek V et al., 2018). Pada usia subur, penyakit jantung katup sering karena PJR. Pada penyakit katup stenotik, peningkatan CO menyebabkan peningkatan gradien transvalvular sebesar 50%, terutama antara trimester pertama Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 105

dan kedua, yang meningkatkan risiko komplikasi ibu dan janin (Regitz- Zagrosek V et al., 2018). Karena mitral stenosis merupakan obstruksi tetap pada aliran ventrikel kiri, perubahan hemodinamik kehamilan biasanya menyebabkan dekompensasi dari mitral stenosis yang sebelumnya tanpa gejala. Pasien dengan mitral stenosis ringan biasanya mentolerir kehamilan dan persalinan dengan baik, sedangkan pasien dengan mitral stenosis sedang atau berat asimptomatik biasanya mengalami gejala gagal jantung, terutama pada trimester kedua kehamilan, ketika efek hemodinamik puncak terjadi (Youssef GS, 2018). Pada kasus ini pasien mulai merasakan ada gejala gagal jantung saat usia kehamilan 4 bulan yaitu pasien mulai mengalami sesak napas saat melakukan aktivitas berat, hal ini disebabkan karena terjadi peningkatan CO sampai 75% pada akhir trimester pertama sehingga menyebabkan volume darah di LA meningkat yang akhirnya terjadi backward failure ke paru-paru bermanifestasi klinis sebagai gagal jantung. 3.2. Risiko komplikasi kardiovaskular pada kehamilan. Klasifikasi Modified World Health Organization (mWHO) saat ini merupakan sistem penilaian risiko yang paling akurat, meskipun mungkin lebih tepat untuk negara-negara maju, daripada negara berkembang. Indikasi untuk intervensi (bedah atau kateter) tidak berbeda pada wanita hamil atau pada pasien lain. Pada wanita dengan risiko komplikasi sedang atau tinggi selama kehamilan (mWHO II-III, III, dan IV), konseling dan manajemen pra- kehamilan selama kehamilan dan sekitar persalinan harus dilakukan di pusat ahli oleh tim multidisiplin. Persyaratan minimum tim adalah seorang ahli jantung, dokter kandungan, dan ahli anestesi, semua dengan keahlian dalam manajemen kehamilan berisiko tinggi pada wanita dengan penyakit jantung (Regitz-Zagrosek V et al., 2018). Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 106

Tabel 3.1. Modified World Health Organization classification of maternal cardiovascular risk (Regitz-Zagrosek V et al., 2018). Berdasarkan tabel diatas, pasien kami termasuk dalam mWHO class IV yaitu dengan diagnosis mitral stenosis berat, dengan extremely high risk of maternal mortality or severe morbidity, maternal cardiac event rate 40-100%, minimal follow up during pregnancy setiap bulan sesuai dengan yang telah kami edukasi ke pasien, jika telah terjadi kehamilan maka dianjurkan untuk terminasi namun pasien dan Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 107

keluarga tidak setuju. Tatalaksana selanjutnya pada pasien ini telah kami diskusikan dengan bagian obstetri dan anastesi sesuai dengan guideline. Terminasi kehamilan harus didiskusikan jika ada risiko morbiditas atau mortalitas ibu yang tinggi, dan / atau terdapat kelainan janin. Metode medis dan bedah keduanya efektif dengan tingkat komplikasi utama yang serupa, tetapi kebutuhan yang lebih besar untuk evakuasi operasi yang tidak dapat diantisipasi (2,1 vs 0,6%) mendukung pendekatan bedah lebih dipilih pada kelompok wanita ini. Pasien berisiko tinggi harus dikelola di pusat yang berpengalaman dengan operasi jantung di tempat. Antibiotik diberikan untuk mengurangi risiko endometritis dan ini harus dimodifikasi untuk memberikan profilaksis endokarditis. Terminasi medis dapat dilakukan hingga 9 minggu kehamilan menggunakan dosis misoprostol rendah 100 mg (Regitz-Zagrosek V et al., 2018). 3.3. Pengaturan antikoagulan pada pasien mitral stenosis dengan kehamilan Vitamin K-antagonist (VKA) dapat melintasi plasenta dan penggunaannya pada trimester pertama dapat menyebabkan embriopati (defek tungkai dan hipoplasia hidung) pada 0,6-10% kasus (Sillesen M et al., 2011). Pergantian VKA dengan unfractionated heparin (UFH) atau low molecular weight heparin (LMWH) dalam minggu 6-12 hampir menghilangkan risiko embriopati. Ada bukti bahwa risiko embriopati dengan VKA juga tergantung pada dosis. Risiko adalah 0,45-0,9% pada kehamilan dengan warfarin dosis rendah menurut dua ulasan sistematis terbaru (Xu Z et al., 2016). Selain risiko embriopati yang terbatas pada trimester pertama, ada risiko 0,7-2% untuk foetopati (mis. Kelainan sistem saraf pusat dan mata dan perdarahan intrakranial) ketika VKA digunakan pada trimester kedua dan ketiga (D’Souza R et al., 2017). Foetopathy juga telah dideskripsikan dengan UFH tetapi tidak dengan LMWH selama kehamilan. Persalinan pervaginam saat ibu menggunakan VKA dikontraindikasikan karena risiko perdarahan intrakranial janin. Komplikasi hemoragik pada ibu dapat terjadi pada semua rejimen Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 108

(Regitz-Zagrosek V et al., 2018). Pada kasus ini, pasien mendapat terapi warfarin sejak usia kehamilan 20 minggu sampai 37 minggu, sesuai literatur diatas penggunaan warfarin masih dianggap aman karena telah masuk trimester kedua. Pemberian antikoagulan harus mengikuti pedoman standar, yaitu melanjutkan warfarin selama kehamilan jika dosis harian yang diperlukan untuk mencapai target INR (2.0-3.0) kurang dari atau sama dengan 5 mg / hari. Jika dosis melebihi 5 mg / hari, maka pasien harus beralih ke LMWH atau UFH pada trimester pertama, beralih kembali ke warfarin sampai usia kehamilan 36 minggu, berbeda pada penggunaan LMWH/UFH dapat digunakan sampai persalinan. Dalam kasus ketidakstabilan hemodinamik, pengendalian irama dengan kardioversi listrik dapat digunakan untuk mengembalikan irama sinus normal, dengan risiko rendah untuk ibu dan janin (Youssef GS, 2018). Pada kasus ini, saat pasien pertama kali berobat ke PJT yaitu usia kehamilan 4 bulan (trimester kedua), pasien belum pernah mendapat terapi antikoagulan, dari pengukuran INR didapatkan 1.05 sehingga kami mulai memberikan warfarin 2mg/24jam/oral dengan target INR 2-3 kontrol tiap 2 minggu lalu pasien direncanakan operasi SC saat usia kehamilan 41 minggu sehingga saat di rawat inap kami mengganti warfarin dengan UFH intravena. Kami rencanakan untuk stop heparin 6 jam sebelum operasi namun dari TS anastesi menyarankan penghentian 12 jam sebelum operasi dan kami rencanakan untuk lanjut heparin setelah 6 jam post SC. Namun setelah post SC pasien mengalami anemia dengan hemoglobin 6.6 mg/dl sehingga pemberian heparin kami tunda sampai hemoglobin kontrol normal yaitu 2 hari post SC. 3.4. Timing and mode of delivery Induksi persalinan harus dipertimbangkan pada usia kehamilan 40 minggu pada semua wanita dengan penyakit jantung; ini mengurangi risiko operasi caesar darurat sebesar 12%, dan manfaatnya cenderung lebih besar untuk wanita dengan penyakit jantung yang memiliki tingkat komplikasi obstetri yang lebih tinggi. Waktu induksi akan tergantung pada status jantung, evaluasi Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 109

kebidanan termasuk penilaian serviks, kesejahteraan janin, dan kematangan paru janin (Regitz-Zagrosek V et al., 2018). Sesuai dengan kasus ini, pasien direncanakan untuk persalinan yaitu saat usia kehamilan 41 minggu setelah dilakukan pemeriksaan untuk memastikan kondisi janin memang sudah layak untuk dilahirkan. Data ROPAC menunjukkan bahwa operasi caesar elektif tidak membawa manfaat bagi ibu hamil dan menghasilkan kelahiran lebih awal dengan berat badan lahir lebih rendah. Persalinan pervaginam dikaitkan dengan kehilangan darah yang lebih sedikit, risiko infeksi yang lebih rendah, trombosis vena, dan emboli, sehingga harus disarankan untuk sebagian besar wanita. Seksio sesarea harus dipertimbangkan untuk indikasi kebidanan dan untuk pasien yang datang melahirkan dalam pengobatan antikoagulan oral, dengan patologi aorta agresif, dan gagal jantung akut. Operasi caesar disarankan pada hipertensi pulmonal yang berat (termasuk sindrom Eisenmenger) (Regitz-Zagrosek V et al., 2018). Sehingga pada kasus ini, karena terdapat tanda-tanda intermediate probability of PH serta pasien dalam pengobatan dengan oral antikoagulan maka mode delivery yang aman untuk pasien ini adalah SC. 3.5. Manajemen anastesi Tujuan dari manajemen anestesi pasien dengan MS adalah: mempertahankan detak jantung tetap lambat, perawatan segera bila terjadi fibrilasi atrium akut dan mengembalikan ke irama sinus, menghindari kompresi aorto-kaval, pemeliharaan aliran balik vena yang memadai, pemeliharaan tekanan darah normal dan mencegah rasa sakit sebelum mulai, tetapi tidak dilupakan untuk melawan hipoksia, hiperkapnia dan asidosis. Tidak ada penelitian yang meneliti jenis teknik anestesi terbaik pada pasien ini. Anestesi umum memiliki kelemahan berupa peningkatan tekanan arteri paru dan takikardia selama intubasi endotrakeal. Selain itu, efek berbahaya dari ventilasi tekanan positif pada aliran balik vena akhirnya dapat menyebabkan gagal jantung. Anestesi regional telah terbukti menjadi teknik yang aman pada pasien jantung dengan operasi caesar (Kannan M and Vijayanand G, 2010). Apapun cara persalinan dan teknik anestesi, Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 110

pasien-pasien ini berisiko tinggi mengalami stres hemodinamik akibat transfusi darah otomatis dari rahim. Hal ini dapat menyebabkan hipertensi paru, edema paru dan gagal jantung kongestif (Abidine Z et al., 2013). Anestesi regional paling baik diberikan dengan teknik titratable, seperti epidural dan anestesi spinal kontinu pada stenosis mitral (Celik M et al, 2013). Meskipun persalinan mungkin dikelola dengan aman melalui anestesi epidural untuk stenosis mitral ringan hingga sedang, ada sangat sedikit laporan tentang wanita dengan stenosis mitral berat yang menjalani operasi sesar melalui anestesi regional. Kocum et al. melaporkan anestesi epidural lumbar yang dititrasi secara bertahap pada wanita hamil dengan MS berat dan hipertensi paru. Mereka memberi total 20 mL bupivacaine dari kateter epidural dan hemodinamik stabil selama operasi tanpa vasopressor (Kocum A et al, 2010). Celik et al. memilih anestesi spinal kontinu dengan pemantauan invasif serupa pada dua pasien hamil dengan hipertensi paru karena MS. Mereka memberikan efedrin 15 mg pada satu pasien karena terjadi penurunan tekanan darah 20% (Kayhan GE et al., 2016). Analgesia epidural dapat mengurangi nyeri saat persalinan dan dapat digunakan untuk memberikan anestesi pada operasi caesar. Namun, hal itu dapat menyebabkan hipotensi sistemik (10%) dan harus dititrasi dengan hati-hati, terutama pada pasien dengan lesi katup obstruktif atau fungsi ventrikel yang berkurang (Regitz-Zagrosek V et al., 2018). Pada kasus ini, pasien mendapat anastesi epidural dan dilanjutkan analgesia epidural yaitu dengan pemberian bupivacaine 0.125% + fentanil 30 mcg/jam/intravena. 3.6. Manajemen postpartum Pada MS menyebabkan penurunan pengisian diastolik ventrikel kiri, yang menghasilkan transmitral gradien dan tekanan atrium kiri menjadi tinggi, selama kehamilan terjadi peningkatan volume darah dan takikardia fisiologis, yang meningkatkan risiko edema paru. Risiko ini berlanjut dan meningkat selama persalinan karena kontraksi uterus, dan sehubungan dengan kembalinya darah vena dari tungkai bawah ketika rahim dikosongkan. Peningkatan pre-load yang tiba-tiba Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 111

segera setelah persalinan, autotransfusi akibat rahim, dapat membanjiri sirkulasi pusat, menghasilkan edema paru yang berat. Selain itu, adanya darah autologous selama 24-72 jam setelah melahirkan. Dengan demikian, risiko ini meluas selama beberapa hari setelah persalinan (Abidine Z et al., 2013). Sehingga pada kasus ini kami melakukan monitoring ketat terhadap pasien dengan memindahkan perawatan ke ICU untuk kontrol terjadinya kemungkinan komplikasi post partum. Untuk mengurangi risiko perdarahan dan meminimalisir perubahan pada parameter kardiovaskular maka perlu pemberian infus oksitosin (2 U oksitosin diberikan lebih dari 10 menit segera setelah lahir, diikuti oleh 12 mU / menit selama 4 jam) post partum. Analog PGE [sulprostone (100-500 mg / jam) dan misoprostol (200– 1000 mg)] dapat digunakan untuk mengobati perdarahan postpartum. Namun, analog ergometrine dan prostaglandin F harus dihindari. Sulprostone harus digunakan dengan hati-hati, mengingat hubungannya dengan gejala kardiovaskular atau respirasi. Perawatan kaki dengan stocking yang elastis, dan ambulasi dini penting untuk mengurangi risiko tromboemboli. Periode post-partum dikaitkan dengan perubahan hemodinamik dan pergeseran cairan yang signifikan, terutama dalam 24- 48 jam pertama setelah persalinan, yang dapat memicu HF. Pemantauan hemodinamik harus dilanjutkan selama setidaknya 24-48 jam pada mereka yang berisiko. Pada pasien yang telah mendapat beta-blokade sebelumnya, pemantauan bayi selama 48 jam dianjurkan (Regitz- Zagrosek V et al., 2018). Sesuai dengan kasus ini, dari TS obgyn memberikan terapi drip oksitosin setelah operasi SC serta melakukan pemantauan secara intensif di ruang ICU selama 72 jam. 3.7. Metode kontrasepsi Risiko menggunakan jenis kontrasepsi tertentu perlu diseimbangkan dengan risiko kehamilan, diperkirakan menggunakan klasifikasi WHO yang dimodifikasi, yang menilai risiko dengan setiap metode untuk setiap kondisi medis tertentu. Kontrasepsi yang mengandung etinilestradiol memiliki risiko trombosis terbesar dan Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 112

tidak disarankan pada wanita dengan risiko tinggi penyakit tromboemboli; selain itu juga menyebabkan peningkatan TD dan dikontraindikasikan pada pasien hipertensi. Kontrasepsi yang hanya mengandung progestin menjadi suatu alternatif, karena mereka mempunyai sedikit (implan atau suntikan depot) atau tidak (levonorgestrel – loaded intrauterine device atau desogestrel oral) berpengaruh pada faktor koagulasi, TD, dan kadar lipid. Levonorgestrel-based long-acting reversible contraception implants atau intrauterine devices adalah alat kontrasepsi yang paling aman dan paling efektif. Namun, pemasangan alat intrauterin dapat menyebabkan respons vasovagal; akibatnya, ini harus dilakukan di rumah sakit, terutama untuk pasien sindrom Fontan dan Eisenmenger. Perangkat intrauterin yang mengandung levonorgestrel menyebabkan amenorea pada <60% wanita, berbeda dengan perangkat intrauterin tembaga, yang menyebabkan periode lebih berat. Perangkat intrauterin berbasis levonorgestrel yang lebih baru dan lebih kecil lebih mudah dimasukkan, mengurangi risiko nyeri dan karenanya respons vasovagal. Kombinasi antara metode penghalang dengan long-acting reversible contraception (levonorgestrel-based long-acting reversible contraception, progestin- releasing implant, or progestin- releasing intrauterine devices) juga bisa menjadi pilihan. Untuk kontrasepsi darurat, copper intrauterine device paling efektif dan memberikan kontrasepsi berkelanjutan. Atau, dosis tunggal levonorgestrel 1,5 mg efektif jika digunakan dalam 72 jam setelah hubungan seks tanpa kondom (tingkat kegagalan 1,1%), tanpa ada bukti peningkatan angka trombosis. Modulator reseptor progesteron ulipristal asetat (UPA) telah terbukti lebih efektif daripada levonorgestrel. UPA tidak terkait dengan peningkatan risiko trombosis. Sterilisasi dengan ligasi tuba bukan menjadi pilihan jika kehamilan dikontraindikasikan karena laparoskopi bukan tanpa risiko rawat inap pada pasien PAH, sianosis, dan sirkulasi Fontan, dan risikonya mungkin lebih rendah dengan metode histeroskopi yang dilakukan dengan anestesi regional. Vasektomi adalah pilihan yang efektif (Regitz- Zagrosek V et al., 2018). Pada kasus ini, beberapa pilihan alat kontrasepsi yang bisa dipakai yaitu yang hanya mengandung progestin Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 113

baik yang berupa implan atau suntikan karena tidak berpengaruh pada faktor koagulasi, Levonorgestrel-based long-acting reversible contraception implants atau intrauterine devices yang keluaran baru karena mengurangi resiko nyeri dan respon vasovagal. Sterilisasi dengan ligasi tuba menjadi pilihan metode kontrasepsi pada pasien ini dan dilakukan dengan aman karena pasien dalam kondisi anastesi regional saat dilakukan operasi SC. 3.8. Indikasi intervensi pasien mitral stenosis dengan kehamilan Mitral stenosis ringan (MS) umumnya dapat ditoleransi dengan baik. HF terjadi pada sepertiga wanita hamil dengan area katup <1.0 cm2 dan pada setengahnya wanita dengan area katup <1.5 cm2, paling sering terjadi selama trimester kedua, bahkan dapat terjadi tanpa adanya gejala sebelum kehamilan. Kelas NYHA > II, PAP sistolik >30 mmHg, stenosis berat, dan usia yang lebih tua dikaitkan dengan komplikasi ibu. Diagnosa MS dianggap signifikan secara klinis jika area katup <1.5 cm2. Pengukuran referensi keparahan MS adalah planimetri, Doppler-derived pressure half-time kurang dapat diandalkan tetapi dapat digunakan selama kehamilan. Mean gradient dan PAP dapat menilai konsekuensi hemodinamik dan prognosis. Penilaian anatomi katup mitral dan regurgitasi terkait adalah penting ketika komisurotomi mitral perkutan dipertimbangkan. Sebelum kehamilan, exercise test bermanfaat untuk menilai toleransi olahraga secara objektif dan exercise ekokardiografi juga dapat memberikan informasi tambahan. Ketika gejala PH signifikan secara klinis (PAP sistolik diperkirakan secara ekokardiografis >50 mmHg), aktivitas harus dibatasi dan penghambat selektif beta-1 (lebih dipilih metoprolol atau bisoprolol) dapat diberikan. Diuretik dapat digunakan jika gejalanya menetap, tetapi hindari dosis tinggi. Antikoagulan UFH, LMWH, atau antagonis vitamin K (VKA), direkomendasikan dalam kasus AF paroksismal atau permanen, trombosis atrium kiri, atau riwayat emboli sebelumnya. Antikoagulan harus dipertimbangkan pada wanita dalam irama sinus dengan MS yang signifikan dan spontaneous echocardiographic contrast di atrium kiri, atrium kiri besar (> 60 mL/m2), atau gagal jantung kongestif. Semua pasien Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 114

dengan MS signifikan kontraindikasi untuk terjadi kehamilan dan intervensi harus dipertimbangkan sebelum hamil, lebih dipilih intervensi perkutan, bahkan pada pasien tanpa gejala, atau jika area katup <1,0 cm2 (Regitz- Zagrosek V et al., 2018). Pada kasus ini, dari pemeriksaan ekokardiografi menunjukkan MS signifikan yaitu MVA planimetry didapatkan 0.9 cm2 artinya kehamilan merupakan kontraindikasi pada pasien ini dan intervensi sebelum terjadi kehamilan harus dilakukan bahkan dengan yang asimtomatik tetapi pasien baru mengetahui penyakitnya setelah pasien hamil 4 bulan sehingga intervensi perlu dipertimbangkan lebih lanjut. Pasien juga mendapat terapi antikoagulan warfarin sesuai indikasi adanya MS signifikan meskipun gambaran EKG masih irama sinus. Selama kehamilan, percutaneous mitral commissurotomy lebih dipilih untuk dilakukan setelah usia kehamilan 20 minggu. Ini hanya harus dipertimbangkan pada wanita dengan NYHA kelas III / IV dan / atau PAP sistolik >50 mmHg, meskipun telah mendapat terapi yang optimal tanpa adanya kontraindikasi. Commissurotomy tertutup tetap menjadi alternatif di negara-negara berpenghasilan rendah. Karena risiko janin, operasi jantung terbuka harus dicadangkan untuk kasus- kasus di mana semua tindakan lain telah gagal dan kehidupan ibu terancam (Regitz-Zagrosek V et al., 2018). Selama kehamilan, trimester kedua adalah waktu yang dipilih untuk prosedur invasif apa pun. Valvuloplasty menggunakan teknik balon menjadi pengobatan yang diterima untuk pasien dengan gejala MS, dan tingkat keberhasilan hampir 100% (Abidine Z et al., 2013). Pada kasus ini, intervensi percutaneous mitral commissurotomy tidak perlu dilakukan karena sesuai pedoman diatas, pasien kami masuk dengan NYHA II dan pengukuran PASP 44 mmHg. Pasien mitral stenosis yang mengalami perburukan dari gagal jantung atau yang rekuren meskipun telah mendapat terapi medis dapat secara efektif dilakukan PBMV. Skor ekokardiografi yang dikembangkan oleh Wilkins et al. digunakan untuk memilih pasien yang mungkin menjadi kandidat yang tepat. Pasien dengan skor ekokardiografi 8 atau kurang memiliki hasil terbaik dari PBMV, sedangkan skor lebih tinggi dari 11 dikaitkan dengan peningkatan Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 115

kejadian hasil yang buruk. Skor ekokardiografi 9-11 kurang prediktif untuk hasil yang baik, tetapi pasien dengan penyakit subvalvular yang luas cenderung memiliki hasil yang lebih buruk. Prosedur ini biasanya dilakukan pada akhir trimester kedua untuk mengurangi efek negatif radiasi pengion pada janin. Komplikasi potensial termasuk atrial fibrilasi, emboli sistemik, perdarahan, tamponade jantung, regurgitasi mitral, kontraksi uterus, dan persalinan prematur. Saat ini, tidak jelas apakah PBMV meningkatkan berat dan kematangan janin. Mempertimbangkan potensi risiko prosedural, PBMV selama kehamilan harus disediakan untuk pasien bergejala dengan stenosis mitral parah yang tidak cukup menanggapi terapi medis. Operasi katup mitral dicadangkan untuk mereka yang refrakter terhadap terapi medis yang bukan kandidat yang cocok untuk PBMV karena operasi kardiovaskular selama kehamilan dikaitkan dengan kematian janin pada sekitar sepertiga kasus (Weiner MM et al., 2011). Pada kasus ini, sebelumnya riwayat terjadinya RHD pada pasien ini tidak jelas, keluhan sesak napas awalnya muncul saat beraktivitas sedang pada awal trimester kedua. Pada pemeriksaan ekokardiografi didapatkan mitral stenosis berat dan regurgitasi mitral sedang, sehingga PBMV dikontraindikasikan. Pasien mendapat terapi bisoprolol sehingga toleransi olahraga meningkat. Dengan blokade beta dan pembatasan aktivitas fisik, kehamilannya berlanjut tanpa kesulitan. RINGKASAN Telah dilaporkan kasus seorang wanita usia 24 tahun dengan diagnosis mitral stenosis berat, moderate mitral regurgitasi, intermediate probability of pulmonary hypertension, G1P0A0 gravid 41 minggu. Pasien termasuk dalam mWHO kelas IV sehingga kehamilan dikontraindikasikan. Pasien direncanakan untuk operasi SC, semua risiko terkait kondisi pasien telah dijelaskan saat awal pasien masuk. Selama pemantauan perioperatif tidak didapatkan adanya penyulit yang bermakna. Pasien telah menjalani tubektomi bilateral untuk menghindari kehamilan selanjutnya. Pasien dan bayi dipulangkan dalam kondisi baik setelah 8 hari perawatan. Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 116

DAFTAR PUSTAKA 1. Abidine, Z. el, Ahmaidi, H., Rachidi, K., & Omari, D. (2013). Mitral stenosis with term pregnancy: how to manage this case? Pan African Medical Journal, 14. 2. Celik M, Dostbil A, Alici HA, Sevimli S, Aksoy A, Erdem AF, et al. Anaesthetic management for caesarean section surgery in two pregnant women with severe pulmonary hypertension due to mitral valve stenosis. Balkan Med J. 2013; 30: 439-41. 3. D’Souza R, Ostro J, Shah PS, Silversides CK, Malinowski A, Murphy KE, Sermer M, Shehata N. Anticoagulation for pregnant women with mechanical heart valves: A systematic review and meta-analysis. Eur Heart J 2017;214:S351–S351. 4. Kannan M, Vijayanand G. Mitral stenosis and pregnancy: Current concepts in anaesthetic practice. Indian J Anaesth . 2010; 54(5): 439-444. 5. Kayhan GE, Kacmaz O, Gulhas N, Durmus M. Anesthesia Management for Cesarean Delivery in a Pregnant with Severe Mitral Stenosis and Pulmonary Hypertension. Ann Clin Case Rep. 2016; 1: 1137. 6. Kocum A, Sener M, Calıskan E, Izmirli H, Tarım E, Kocum T, et al. Epidural anesthesia for cesarean section in a patient with severe mitral stenosis and pulmonary hypertension. J Cardiothorac Vasc Anesth. 2010; 24:1022-1023. 7. Regitz-Zagrosek, V., Roos-Hesselink, J. W., Bauersachs, J., Blomström-Lundqvist, C., Cífková, R., De Bonis, M., … Kranke, P. (2018). 2018 ESC Guidelines for the management of cardiovascular diseases during pregnancy. European Heart Journal. 8. Roos-Hesselink JW, Ruys TP, Stein JI, et al. Outcome of pregnancy in patients with structural or ischaemic heart disease: results of a registry of the European Society of Cardiology. Eur Heart J 2013; 34:657. 9. Sillesen M, Hjortdal V, Vejlstrup N, Sorensen K. Pregnancy with prosthetic heart valves - 30 years’ nationwide experience in Denmark. Eur J Cardiothorac Surg 2011;40:448–454. Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 117

10. Siu SC, Sermer M, Colman JM, et al. Prospective multicenter study of pregnancy outcomes in women with heart disease. Circulation 2001; 104:515. 11. Weiner, M. M., Vahl, T. P., & Kahn, R. A. (2011). Case Scenario: Cesarean Section Complicated by Rheumatic Mitral Stenosis. Anesthesiology, 114(4), 949–957. 12. Xu Z, Fan J, Luo X, Zhang WB, Ma J, Lin YB, Ma SH, Chen X, Wang ZP, Ou JS, Zhang X. Anticoagulation regimens during pregnancy in patients with mechanical heart valves: A systematic review and meta-analysis. Can J Cardiol 2016;32:1248.e1–1248.e9. 13. Youssef GS, 2018. Mitral stenosis in pregnant patients. E-Journal of Cardiology Practice - Volume 16. Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 118

7 Post Infarction Ventricular Septal Rupture : The Role Of Intra Aortic Balloon Pump Nurhidayah, Akhtar Fajar Muzakkir PENDAHULUAN Ruptur ventrikel septum paska infark (PI-VSR) merupakan komplikasi mekanik yang jarang terjadi namun berpotensi fatal pada infark miokard akut. Sebelum era terapi reperfusi, angka kejadian VSR berkisar sekitar 1% hingga 3% dari semua infark. Dengan penggunaan obat antitrombotik yang agresif dan intervensi koroner perkutan primer, insiden VSR telah menurun hingga kurang dari 1% pada individu dengan infark miokard. Insiden VSR pada pasien IMA semakin meningkat pada usia tua, hipertensi, infark miokard dengan kurangnya kolateral; namun demikian belum ada data resmi mengenai insiden VSR di Indonesia. Bergantung pada ukuran infark, derajat pirau, dan disfungsi RV, pasien dengan VSR dapat bermanifestasi sebagai hemodinamik relatif stabil maupun syok kardiogenik (Zhi-ping, 2018) (Goyal, 2018). Intra-Aortic Balloon Pump (IABP) merupakan alat pendukung mekanik pada penanganan syok kardiogenik. Penggunaan IABP akan memperbaiki perfusi perifer dan miokardium, mengurangi afterload dan konsumsi oksigen miokard. Studi IABP-SHOCK II menyebutkan bahwa IABP tidak menambah manfaat pada angka mortalitas pasien 30 hari. Namun studi meta analisis dari Bahekar dkk mengatakan bahwa terdapat penurunan angka mortalitas yang signifikan pada pemakaian IABP (Dwipawana, 2017) (Bahekar, 2012). Berikut ini kami melaporkan sebuah kasus, penggunaan IABP pada pasien perempuan 58 tahun dengan infark anterior dengan komplikasi ruptur septum ventrikel paska IMA. Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 119

LAPORAN KASUS Perempuan usia 58 tahun tiba di IGD PJT dengan keluhan nyeri dada sejak 2 hari yang lalu, nyeri dada saat istirahat, seperti rasa tertekan, menjalar ke bagian punggung dan lengan kiri. Nyeri dada berlangsung lebih dari 30 menit, terus menerus, tidak dipengaruhi posisi. Nyeri dada disertai dengan keringat dingin dan mual. Riwayat nyeri dada sebelumnya ada, terutama saat beraktivitas dan hilang dengan istirahat. Sesak nafas ada, dialami sejak 2 hari yang lalu, memberat 6 jam terakhir. Rasa sesak tidak dipengaruhi aktivitas, sesak saat berbaring telentang ada. Rasa berdebar-debar tidak ada, mual dan muntah tidak ada. Riwayat nyeri dada sebelumnya tidak ada. Riwayat hipertensi sejak 10 tahun yang lalu namun tidak teratur minum obat amlodipin. Riwayat diabetes tidak ada. Riwayat merokok tidak ada. Tidak ada riwayat mengkonsumsi jamu atau minuman beralkohol. Tidak terdapat riwayat penyakit ginjal, stroke, penyakit jantung koroner, ataupun tuberkulosis sebelumnya. Pasien rujukan dari Rumah Sakit Syekh Yusuf, dan telah mendapatkan perawatan selama 4 hari dengan obat Aspilet, Clopidogrel, Farsorbid, Herbesser, dan Fondaparinux. Dari pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 100/70 mmHg, nadi 117 kali per menit regular, pernapasan 26 kali per menit, suhu afebris, dengan saturasi oksigen 99 % dengan modalitas. Dari pemeriksaan fisik ditemukan peningkatan DVS R+4 cm H2O, bunyi nafas vesikuler, suara nafas menurun hemithoraks dextra, disertai rhonki mediobasal hemithorax bilateral. Ditemukan pula murmur sistolik 4/6 left lower sternal border menjalar ke apex. Dari pemeriksaan laboratorium ditemukan WBC 19.940/ul, neut 77.2%, GDS 192 mg/dl, Ureum 118 mg/dl, Kreatinin 1.49 mg/dl, eGFR 38.3, GOT 685 U/L,GPT 227 U/L, CK 3020.04, CKMB 105, Troponin I > 10.0. Dari pemeriksaan elektrokardiografi didapatkan irama sinus, axis 20°, P wave 0.06 s, PR interval 0.16 s, QRS complex 0.12 s, ST Elevasi lead V1-V6, ventricular extra systole, dengan kesimpulan sinus ritme, normoaksis, acute extensive anterior wall myocardial infarction. Dari pemeriksaan foto thoraks didapatkan hasil kardiomegali dengan edema paru, efusi pleura dextra, dilatatio et elongatio aortae. Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 120

Gambar 1. Elektrokardiografi Gambar 2. Foto Thoraks Dari pemeriksaan ekokardiografi yang dilakukan, didapatkan hasil Fungsi sistolik ventrikel kiri menurun, ejeksi fraksi 37.8%, ventrikel kiri aneurismatik, hipertrofi ventrikel kiri konsentrik, hipokinetik regio mid basal anterior, anteroseptal, anterolateral, apicoanterior; Trikuspid regurgitasi moderate, Moderate probability of Pulmonary Hypertension, defek septum interventrikular sugestif suatu ventricular septal rupture. Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 121

Gambar 3. Ekokardiografi Setelah beberapa jam observasi di IGD, pasien mengeluh semakin lemah dan sesak. Dari pemeriksaan fisik didapatkan penurunan tanda-tanda vital disertai dengan gambaran monitor ventricular tachycardia. Pasien dilakukan kardioversi 100 J didahului dengan pemberian Midazolam 5 mg/intravena. Setelah kardioversi, irama kembali sinus dan pasien ditambahkan inotropik dan vasopressor Gambar 4. Gambaran Ventricular Tachycardia Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 122

Gambar 5. Elektrokardiografi post kardioversi Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan penunjang, pasien kami diagnosa dengan ST Elevation Myocardial Infarction Anterior onset > 24 jam Killip IV (TIMI score: 11, Estimated 30-day Mortality 35.9 %), Ventricular Septal Rupture, Post VT dengan nadi, Acute Kidney Injury DD/ Acute on CKD, Elevated Liver Enzyme.Sebagai tatalaksana, pasien diberikan Natrium Clorida 0.9% 500 cc/intravena, Aspilet 80 mg/24jam/oral, Clopidogrel 75 mg/24jam/oral, Fondaparinux 2.5 mg/ 24 hours/ subkutan, Furosemide 40mg/24jam/intravena, Amiodaron 150mg/ intravena dilanjutkan dengan 360 mg/ syringepump dalam 6 jam, Dobutamin 7mcg/kgBB/min/sp dosis titrasi dan Norepinefrin 0.1 dosis titrasi mcg/kgBB/min/sp. Vasoactive Inotropic Score (VIS) pada pasien ini didapatkan sebesar 17. Pasien direncanakan pemasangan Intra Aortic Balloon Pump, namun ukuran balon yang dibutuhkan saat itu tidak tersedia. Pasien lalu dikonsulkan pada TS Bedah Toraks Kardiovaskuler, dan direncanakan tindakan pembedahan setelah 3 minggu. Pemberian inotropik cukup berespon terhadap hemodinamik pasien selama 2 minggu pertama, dengan dosis maksimal Dobutamin 10mcg/kgBB/min/sp dosis titrasi dan Norepinefrin 0.2 dosis titrasi mcg/kgBB/min/sp. Namun kemudian dalam pemantauan di CVCU, Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 123

kondisi pasien semakin menurun dan mengalami syok kardiogenik. Pasien kemudian dilakukan pemasangan Intra Aortic Balloon Pump sebagai bridging tindakan pembedahan saat ukuran balon yang dibutuhkan telah tersedia. Namun setelah bertahan selama sekitar 20 hari, pasien mengalami perburukan kondisi dan kemudian terjadi disfungsi multi organ yang menyebabkan kematian. PEMBAHASAN 1. Faktor resiko kejadian Ruptur Septum Ventrikel Ruptur septum ventrikel (VSR) merupakan bentuk komplikasi serius dari infark miokard akut yang jarang ditemukan. Tanpa intervensi yang tepat, maka angka kematian dari kasus VSR cukup tinggi. Insidensinya 1-3% pada era sebelum reperfusi dikenal luas, dan menurun dengan dikenalnya terapi trombolitik. Faktor risiko independen untuk terjadinya VSR pada pasien dengan infark miokard akut termasuk di antaranya usia tua, jenis kelamin perempuan, hipertensi, tidak memiliki riwayat angina atau infark miokard sebelumnya, non- smoker; memiliki riwayat stroke, penyakit ginjal kronik, CHF. Pasien dengan VSR lebih sering dengan elevasi segmen ST, penanda biomarka jantung yang positif, syok kardiogenik, cardiac arrest, kelas KILLIP yang lebih tinggi, dan door to balloon atau door to needle time yang lebih lama (Jones, 2014) (López- Sendón, 2010). Pada kasus ini, ditemukan bahwa pasien diketahui memiliki faktor risiko untuk kejadian VSR berupa jenis kelamin wanita, memiliki riwayat hipertensi,bukan perokok, tidak memiliki riwayat angina maupun infark miokard sebelumnya. Pasien juga datang ke rumah sakit > 24 jam setelah keluhan angina muncul, sehingga pasien mengalami keterlambatan reperfusi yang memicu terjadinya ruptur. Pasien seorang ibu rumah tangga (tidak beraktifitas berat), sehingga dapat diasumsikan bahwa sirkulasi kolateral yang dapat memproteksi bisa jadi kurang berkembang sehingga memperbesar peluang terjadinya ruptur septum ventrikel. Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 124

2. Mekanisme dan klasifikasi Ruptur Septum Ventrikel Mekanisme konvensional terjadinya ruptur septum adalah nekrosis koagulasi dari jaringan iskemia dengan infiltrasi neutrofil, yang menyebabkan penipisan dan kelemahan pada septum miokard. Proses sub-akut ini membutuhkan paling tidak 3-5 hari, sebagaimana waktu yang dilaporkan pada literatur terdahulu sebelum era reperfusi. Ruptur yang terjadi dalam 24 jam pertama lebih sering disebabkan oleh diseksi hematoma intramural atau perdarahan. Secara klasik hal ini terjadi akibat robekan fisik pada zona infark, dikombinasikan dengan hiperkontraktilitas dari segmen miokard (Jones, 2014). Gambar 6. Ekokardiografi transtorakal yang memperlihatkan simple VSR (A dan B), dan kompleks VSR (C dan D) (Jones, 2014) Becker dan Mantgem mengklasifikasikan gambaran patologis rupture of free wall (dianggap dapat diaplikasikan pada VSR karena memiliki patofisiologi yang sama) menjdi tiga tipe, yaitu ruptur tipe I menggambarkan ruptur yang tiba-tiba, slit-like tear dan berhubungan degan infark akut < 24 jam, ruptur tipe II menggambarkan erosi pada infark miokard, dan berkorelasi dengan presentasi sub-akut, serta ruptur tipe III memperlihatkan terbentuknya aneurisma dengan Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 125

penipisan septum yang signifikan lalu terjadi rupture (Birnbaum, 2002). Berdasarkan klasifikasi tersebut, pasien diduga mengalami ruptur septum ventrikel tipe II, yakni ruptur yang menggambarkan terjadinya erosi pada miokard yang mengalami infark. Dipikirkan demikian sebab pasien datang dengan presentasi infark miokard sub- akut (> 24 jam) disertai dengan hemodinamik yang masih dapat mengkompensasi kondisi jantung yang mengalami infark dengan komplikasi mekanik. 3. Tatalaksana diagnostik Ruptur Septum Ventrikel Pada semua pasien yang mengalami gangguan hemodinamik selama infark miokard, harus dilakukan evaluasi secara cepat mengenai karakteristik murmur sistolik yang kasar di prekordial. Pada pemeriksaan fisik lain dapat ditemukan peningkatan aliran sisi kanan, termasuk di dalamnya bising komponen pulmonal dari bunyi jantung II, gallop S3 kiri atau kanan, ataupun regurgitasi katup trikuspid (Jones, 2014). Rekaman EKG akan menunjukkan infark anterior atau inferior. Meskipun lokasi ruptur dapat diprediksi dari lokasi infark, namun pada beberapa keadaan, ruptur terjadi pada regio apikal atau bahkan sentral meskipun pada kondisi infark inferior. Foto rontgen dada menunjukkan kombinasi kardiomegali, peningkatan airan interstitial paru dan efusi pleura, meskipun temuan ini tentu tidak spesifik untuk ruptur septal ventrikel dan dapat muncul pada pasien dengan komplikasi lain setelah suatu infark miokard (Murday, 2003). Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 126

Gambar 7. A). Ekokardiografi transtorakal 2D apical four-chamber view pada pasien dengan Ruptur Septum Ventrikel post Infark Miokard Akut Anterior; B) Ekokardiografi transesofageal four-chamber view pada pasien dengan Ruptur Septum Ventrikel post Infark Miokard Akut Posterior (Birnbaum, 2002). Diagnosa VSR secara umum ditegakkan dengan pemeriksaan cepat transtorakal ekokardiografi yang mengidentifikasi terputusnya septum ventrikel dalam gambaran 2D dan menunjukkan adanya aliran yang melintasi septum dengan menggunakan colour Doppler. Bukti adanya dilatasi ventrikel kanan dan hipertensi pulmonal juga merupakan petunjuk penting untuk diagnosa. Sisa bagian dari ventrikel kiri seringkali terlihat hiperdinamik kecuali terdapat area infark yang luas, atau iskemik sebelumnya yang menyebabkan gangguan fungsi. Evaluasi Color Doppler juga dapat berguna untuk menilai ukuran anatomis dari defek. Ketika pasien memiliki poor echo window akibat ventilasi mekanik atau bentuk tubuh, maka ekokardiogarfi transesofageal harus dipertimbangkan (Jones, 2014). Pada pasien ini, diagnosa VSR ditegakkan dari pemeriksaan fisik berupa bising pansistolik derajat III di apeks jantung yang menjalar ke linea parasternal kiri, serta pemeriksaan penunjang yaitu ekokardiografi transtorakal yang memperlihatkan adanya defek Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 127

septum interventrikular dan menyebabkan pirau kiri ke kanan. 4. Tatalaksana terapeutik Ruptur Septum Ventrikel Waktu optimal untuk mengoreksi ruptur terutama ditentukan oleh status hemodinamik pasien. Untuk memastikan stabilnya jahitan dari ruptur, sebaiknya menunda manajemen bedah sekitar 2–3 minggu untuk pembentukan jaringan parut pada daerah miokard yang mengalami ruptur, sebab dalam kondisi akut, miokard yang mengalami infark bersifat lemah dan rapuh, dan tahanan jahitan yang buruk akan mengarah pada peningkatan risiko robekan dan cacat septum berulang. Prinsip perbaikan yang berhasil termasuk debridemen jaringan infark kembali ke miokardium sehat (bahkan jika hal tersebut melibatkan pembesaran ukuran defek), dan menghindari ketegangan pada saat perbaikan dengan menggunakan patch berukuran tepat (Jones, 2014). Gambar 8. Pendekatan terapi ruptur septum ventrikel multidisipliner (Jones, 2014) 4.1. Topangan Sirkulasi Medikamentosa 4.1.1. Dobutamin Dobutamine adalah katekolamin sintetis dengan afinitas reseptor β1 dan β2 yang kuat. Dengan efek stimulasi β1, dobutamin merupakan inotropik yang poten, dengan aktivitas kronotropik yang lebih kecil. Ikatan otot polos pembuluh darah menghasilkan gabungan agonis dan antagonis α1- adrenergik, serta stimulasi β2, sehingga efek Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 128

terhadap jaringan vaskular seringkali berupa vasodilatasi ringan, terutama pada dosis yang lebih rendah (≤5 µg/kg-1/mnt-1). Dosis hingga 15µg/kg-1/mnt-1 akan meningkatkan kontraktilitas jantung tanpa mempengaruhi resistensi perifer, kemungkinan karena efek penyeimbang vasokonstriksi yang dimediasi α1 dan vasodilatasi yang dimediasi β2 (Overgaard, 2008). Pada pasien dengan syok kardiogenik, pemberian dobutamin memiliki efek terbatas pada tekanan arteri, mampu meningkatkan tekanan darah dengan meningkatkan curah jantung atau dapat menurunkan tekanan darah karena efek vasodilatasi perifer. Pada pasien ini, meskipun pemberian dobutamin memiliki efek hemodinamik yang menguntungkan, perbaikan hemodinamik tetap meningkatkan kebutuhan konsumsi oksigen miokard. 4.1.2. Norepinefrin Adalah neurotransmitter endogen utama yang dilepaskan oleh saraf adrenergik postganglionik, merupakan agonis reseptor α1- adrenergik poten dengan aktivitas β-agonis yang ringan, yang menjadikannya vasokonstriktor kuat dengan sifat inotropik langsung yang kurang kuat.. Selanjutnya, agen ini memiliki efek kronotropik minimal, yang membuatnya menarik untuk digunakan dalam pengaturan di mana stimulasi denyut jantung mungkin tidak diinginkan. Aliran koroner meningkat karena meningkatnya tekanan darah diastolik dan stimulasi kardiomiosit indirek, yang melepaskan vasodilator lokal (Overgaard, 2008). Pada pasien ini, pemberian norepinefrin dipertimbangkan sebab dengan pemberian dobutamin sendiri, tidak memperlihatkan peningkatan curah jantung yang signifikan dengan tekanan darah < 80 mmHg. Namun pemberian norepinefrin menimbulkan efek klinis berupa peningkatan tahanan vaskular sistemik akibat peningkatan aktivitas reseptor α. 4.1.3. Epinefrin Epinefrin adalah katekolamin endogen dengan afinitas tinggi Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 129

terhadap reseptor β1, β2 dan α1 yang berada pada jantung dan otot polos pembuluh darah. Aliran darah koroner meningkat melalui peningkatan durasi relatif diastolik pada laju jantung yang lebih tinggi dan melalui stimulasi miosit untuk melepaskan vasodilator lokal, yang sebagian besar mengimbangi langsung vasokonstriksi koroner yang dimediasi α1. Tekanan pulmonar arteri dan vena meningkat melalui vasokontriksi langsung dan peningkatan aliran darah paru. Dosis yang lebih tinggi dan penggunaan yang lebih lama dapat menyebabkan toksisitas langsung pada jantung melalui kerusakan dinding arteri, yang menyebabkan nekrosis area fokal pita kontraksi miokard, dan melalui stimulasi langsung apoptosis miosit (Overgaard, 2008). Pemberian epinefrin pada kondisi syok kardiogenik menyebabkan peningkatan laju jantung dan volume sekuncup yang menghasilkan peningkatan curah jantung dan kebutuhan oksigen miokard. Namun terapi epinefrin memiliki keterbatasan dimana pemberiannya dapat memicu disritmia. 4.1.4. Dopamin Merupakan neurotransmitter sentral endogen, adalah prekursor langsung terhadap norepinefrin dalam katekolamin jalur sintetis katekolamin. Pada dosis rendah (0,5 - 3 µg/kg-1/mnt-1), stimulasi reseptor dopaminergik D1 postinaptik terkonsentrasi pada koroner, ginjal, mesenterika, dan serebral, dan reseptor presinaptik D2 yang berada dalam pembuluh darah dan jaringan ginjal mendorong vasodilatasi dan meningkatkan aliran darah pada jaringan ini. Pada dosis sedang (3 sampai 10 µg/kg-1/mnt-1), dopamin berikatan lemah dengan reseptor adrenergik β1, mendorong pelepasan norepinefrin dan menghambat reuptake di terminal saraf simpatis presinaptik, yang menghasilkan peningkatan kontraktilitas dan kronotropik jantung, dengan peningkatan SVR yang ringan. Pada tingkat pemberian yang lebih tinggi (10 hingga 20 µg/kg- 1/min-1), didominasi oleh vasokonstriksi yang dimediasi reseptor adrenergik α1 (Overgaard, 2008). Pemberian dopamine pada syok kardiogenik menyebabkan efek klinis berupa peningkatan resistensi vaskular sistemik, peningkatan Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 130

laju jantung dimana pada syok kardiogenik akibat komplikasi mekanik dapat memperberat kerja jantung akibat peningkatan konsumsi oksigen miokard. 4.1.5. Levosimendan Sensitizer kalsium adalah kelas agen inotropik yang dikembangkan baru- baru ini, dan levosimendan menjadi agen yang paling dikenal. Agen ini memiliki mekanisme aksi ganda yaitu sensitisasi kalsium dari protein kontraktil dan pembukaan kanal kalium (K+) yang tergantung ATP. Ikatan kalsium dependen pada troponin C akan meningkatkan kontraktilitas ventrikel tanpa meningkatkan konsentrasi Ca2+ intraseluler atau gangguan relaksasi diastolik, yang mungkin berdampak positif terhadap perubahan energi miokardial yang relatif terhadap terapi inotropik tradisional. Pembukaan kanal K+ pada otot polos vaskular menyebabkan vasodilatasi arteriol dan vena dan dapat memberikan tingkat proteksi miokard selama iskemia (Overgaard, 2008). Tidak seperti dobutamin, pemberian levosimendan meningkatkan konsumsi oksigen miokard secara moderat, tidak mengubah fungsi diastolik, dan memiliki efek pro-aritmia yang lebih sedikit. Selain itu, levosimendan bekerja secara independen dari aktivasi reseptor beta- adrenergik dan oleh karena itu tidak sensitif terhadap kerja dari penghambat beta, sehingga dapat digunakan pada pasien dengan syok kardiogenik akibat komplikasi mekanik infark miokard. Terapi medikamentosa terdiri dari pengurangan afterload, diuretik, dan biasanya ditambahkan agen inotropik. Oksigenasi harus dipertahankan dengan pemberian oksigen baik dengan masker, tekanan jalan napas positif kontinyu (CPAP), tekanan jalan napas positif bilevel (BiPAP) ataupun intubasi dengan ventilasi mekanis (Birnbaum, 2002). Terapi suportif sekali lagi ditentukan secara signifikan oleh status hemodinamik pasien. Dalam kasus pasien yang benar-benar stabil, langkah tepat untuk memodifikasi hipertensi dapat dengan menggunakan penghambat beta yang diberikan secara intravena Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 131

untuk jangka waktu yang sangat singkat, dan mungkin dikombinasikan dengan nitrat atau nitroprusside. Nitroprusside dapat mengurangi pirau kiri-ke-kanan dan meningkatkan curah jantung, namun dapat pula menyebabkan hipotensi. Penggunaannya dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal ginjal akut. Ketika terjadi penurunan progresif curah jantung dan tekanan darah sistemik, dukungan sirkulasi dengan menggunakan vasopresor atau mungkin dengan obat-obatan inotropik positif (dobutamin atau levosimendan) umumnya diperlukan. Namun, peningkatan tekanan ventrikel kiri meningkatkan pirau kiri ke kanan (Birnbaum, 2002) (Bolek, 2013). Pada kondisi syok kardiogenik, meskipun pemberian inotropik meningkatkan konsumsi oksigen miokard dan dapat menyebabkan aritmia ventrikel, nekrosis pita kontraksi, dan perluasan infark, namun hipotensi kritis sendiri mengganggu perfusi miokard,yang menyebabkan peningkatan tekanan pengisian ventrikel kiri (LVEDP), peningkatan kebutuhan oksigen miokard, dan penurunan lebih lanjut dari gradien perfusi koroner. Dengan demikian, manfaat hemodinamik biasanya lebih besar daripada risiko pemberian terapi inotropik ketika digunakan sebagai jembatan menuju tindakan perawatan yang lebih pasti (Overgaard, 2008). Tujuan dari manajemen farmakoterapi adalah mempertahankan aliran darah arteri koroner, pengurangan resistensi vaskular sistemik yang bertujuan mengurangi pirau kiri-ke-kanan, dan mempertahankan curah jantung dan tekanan darah arteri rata-rata untuk memastikan perfusi organ akhir yang memadai. Pada pasien diberikan terapi berupa dual anti platelet serta fondaparinux injeksi subkutan sebagai tatalaksana untuk Infark miokard Akut, pemberian furosemide untuk mengoptimalisasi preload, dan ditambahkan dengan pemberian inotropik serta vasopressor untuk mempertahankan tekanan arteri rerata > 65 mmHg. Sebagai optimalisasi afterload, pasien diberikan nitrogliserin dan direncanakan pemasangan IABP sebagai sokongan sirkulasi mekanik untuk meningkatkan curah jantung. Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 132

4.2. Topangan Sirkulasi Mekanik IABP umumnya merupakan langkah awal dalam bantuan sirkulasi mekanik pada kasus syok kardiogenik. IABP dimasukkan secara perkutan pada arteri femoralis dan menyediakan bantuan hemodinamik dengan jalan mengurangi afterload, sehingga menurunkan tekanan dinding ventrikel dan kebutuhan oksigen, juga menyebabkan peningkatan tekanan perfusi diastolik pada arteri koroner, yang mungkin penting pada keadaan peningkatan tekanan diastolik ventrikel. IABP menyebabkan peningkatan cardiac output hingga lebih dari 0.3–0.5 l/min (Krishna, 2009). Gambar 9. Kiri: mesin IABP, Kanan : inflasi (fase diastolik) dan deflasi (fase sistolik) dari balon IABP (Oktaviono, 2015) Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 133

Gambar 10. Satu siklus jantung dan bentuk gelombang IABP yang sesuai selama inflasi dan deflasi (Krishna, 2009) Penentuan ukuran kateter IABP ditentukan berdasarkan tinggi badan pasien. Ukuran dari tiap dikateter IABP dapat dilihat pada boks kateter (Nekic, 2016). Gambar 11. Jenis-jenis balon intra aortic (Nekic, 2016) Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 134

Gambar 12. Referensi ukuran balon intra aortik (Nekic, 2016) Pada pasien dilakukan pemasangan balon intra aortik melalui arteri femoralis kanan, dengan menggunakan balon IAB Maquet 34 cc yang sesuai dengan tinggi badan pasien, dimana tip dari IAB berada pada distal dari Arteri Subklavia kiri dan bagian proksimal berada diatas pangkal Arteri Renalis. Untuk penyesuaian mesin diatur dengan trigger ECG, inflasi 1:1, TDS 110 mmHg, TDD 70 mmHg, augmentasi 124 mmHg. Konterpulsasi adalah istilah yang menggambarkan balon inflasi saat diastole dan deflasi pada awal sistol. Inflasi balon menyebabkan ‘perpindahan volume’ darah di dalam aorta, baik di proksimal maupun Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 135

distal. Tujuan utama dari insersi IABP adalah untuk meningkatkan kinerja ventrikel dari penurunan fungsi jantung dengan memfasilitasi peningkatan pasokan oksigen miokard dan penurunan kebutuhan oksigen miokard. Meskipun efek ini sebagian besar terkait dengan peningkatan kinerja LV, IABP juga memiliki efek yang menguntungkan pada fungsi ventrikel kanan (RV) oleh mekanisme yang kompleks termasuk aksentuasi dari aliran darah RV, penurunan beban ventrikel kiri menyebabkan berkurangnya tekanan atrium kiri dan vaskular paru serta afterload RV. IABP mengembang pada permulaan diastolik, dengan demikian meningkatkan tekanan diastolik dan mengempis sesaat sebelum sistolik, sehingga mengurangi afterload LV. Besarnya efek ini tergantung pada: • Volume balon: jumlah darah yang dipindahkan sebanding dengan volume darah balon. • Denyut jantung: waktu pengisian diastolik LV dan aorta berbanding terbalik dengan denyut jantung; waktu diastolik yang lebih pendek menghasilkan lebih sedikit augmentasi balon per satuan waktu. • Komplians aorta: saat komplians aorta meningkat (atau SVR menurun), yang besarnya augmentasi diastolik berkurang (Khrisna, 2009). Pemantauan pada pasien yang menjalani penanganan dengan IABP meliputi: • Evaluasi status hemodinamik, perfusi sistemik, dan perbaikan gejala; • Observasi tanda awal komplikasi termasuk iskemia ekstremitas, malposisi balon, pembentukan trombus, perdarahan, dan infeksi; • Memastikan IABP berfungsi dengan baik, termasuk ketepatan waktu, pemicuan yang konsisten, dan pemecahan masalah alarm. Pada pasien ini, insersi IABP dilakukan pada hari ke 18 perawatan. Pilihan untuk tidak segera dilakukan pemasangan IABP pada saat pasien diketahui mengalami suatu PI-VSR disebabkan selain Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 136

karena ukuran IABP yang sesuai untuk pasien saat itu sedang tidak tersedia sedangkan pasien sudah dikonsul ke bagian Bedah Thoraks Kardiovaskular untuk direncanakan operasi bedah jantung untuk revaskularisasi namum dari operasi direncanakan setelah 21 hari untuk menurunkan angka kematian hingga berkisar 10%. Waktu terbaik pemasangan IABP hingga kini belum ada jurnal yang membahas secara spesifik, berdasarkan Murday waktu terbaik pemasangan IABP adalah sesegera mungkin pada pasien dengan PI- VSR agar dapat membantu hemodinamik sambil menunggu revaskularisasi (Murday, 2003). Pada sebuah studi lainya yang dilakukan oleh Jiang dkk, pemasangan IABP pada pasien dengan syok kardiogenik yang akan dilakukan operasi bedah jantung, waktu pemasangan terbaik adalah 60 hingga 120 menit setelah pasien terdiagnosis dengan syok kardiogenik dengan angka mortalitas sebesar 36.6% dibandingkan pada pasien yang dipasang lebih dari 120 menit atau dibawah 60 menit. Namun tidak hanya waktu pemasangan, analisis multifaktor regresi menunujukan semakin tinggi angka VIS sebelum pemasangan IABP, maka akan semakin tinggi resiko kematian (Jiang, 2017). Vasoactive Inotropic Score (VIS) adalah sebuah skor yang digunakan sebagai modalitas untuk menghitung reskio kematian pada pasien anak maupun dewasa yang menggunakan inotropic dan vasopressor dan akan menjalani bedah jantung. Cara menghitung VIS adalah dopamine dose (mg/kg/min) + dobutamine dose (mg/kg/min) + 100 x epinephrine dose (mg/kg/ min) + 10 x milrinone dose (mg/kg/min) + 10 000 x vasopressin dose (unit/kg/min) + 100 x norepinephrine dose (mg/kg/min). Pada pasien ini didapatkan 17, berdasarkan studi yang dilakukan oleh Na dkk, semakin tinggi angka VIS maka akan semakin tinggi mortalitas pada pasien ini hingga 14.1% (Na SJ, 2019). Berdasarkan studi IABP-Shock Trial II menyebutkan bahwa tidak adanya perbedaan angka mortalitas pada populasi syok kardiogenik paska IMA yang menjalani pemasangan IABP dengan kontrol. Meskipun penggunaan IABP selama intervensi koroner berisiko tinggi, namun cukup efektif dalam menyokong sirkulasi (pada beberapa data registri dan serial kasus), namun peningkatan komplikasi vaskular dan Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 137

hemoragik terkait dengan penggunaannya menuntut pemilihan pasien yang cermat. Dampak dari keterlambatan insersi IABP menyebabkan durasi penggunaan obat- obatan inotropik yang lebih panjang, dimana hal ini dapat memperberat kondisi pasien disebabkan efek dari obat- obat vasoaktif ini seperti peningkatan resistensi vaskular sistemik dan peningkatan kebutuhan oksigen miokard, yang dapat memperburuk prognosis dari rupture septum ventrikel. 5. Prognosis Ruptur Septum Ventrikel Mortalitas pasien pada studi Society of Thoracic Surgeons Database (STS Database) yang dilakukan pada 2876 individu dengan usia >18 tahun yang menjalani operasi VSR paska infark miokard pada tahun 1999–2010 bervariasi sesuai dengan waktu operasi. Pasien yang menjalani operasi pada 7 hari awal memiliki mortalitas 54,1% dibandingkan bila operasi ditunda diatas 7 hari (18,4%). Mortalitas paling tinggi (>60%) didapatkan pada pasien yang dilakukan operasi pada 24 jam pertama, yang sesuai dengan studi lain. Luaran yang membaik pada penundaan operasi berhubungan dengan perubahan infark, peningkatan stabilitas jaringan miokard, dan juga akibat bias kesintasan dimana pada operasi dini dilakukan pada pasien dengan instabilitas hemodinamik dan gangguan sirkulasi. Hanya 886 dari 2876 pasien (30,8%) dilakukan operasi diatas 7 hari yang mencerminkan hasil minor dari pasien yang selamat sampai dilakukan operasi elektif. Sesuai dengan GUSTO–I Trial yang menunjukkan mortalitas 30 hari sebesar 47% pada 34 pasien yang menjalani operasi segera (median 3,5 hari, 95% CI) dibanding mortalitas sebesar 94% pada 35 pasien tanpa operasi. Sehingga kedua studi diatas menunjukkan meskipun angka kematian pada pasien yang dilakukan operasi tinggi, angka kematian pada pasien tidak dilakukan operasi jauh lebih tinggi. Sehingga klinisi harus mempertimbangkan manfaat dan resiko pada tiap pasien dan pertimbangan kapan dilakukan tindakan operasi sebelum terjadi perburukan klinis lebih lanjut (Crenshaw B.S., 2000) (Holmes, 1995) (Thiele, 2012). Pasien telah dikonsultasikan pada bagian Bedah Thoraks Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 138

Kardiovaskular, dan direncanakan untuk tindakan operasi setelah stabilisasi selama kurang lebih 3 minggu. Penundaan tindakan operasi memberikan waktu untuk pertumbuhan jaringan pada daerah infark, menurunkan resiko residual pada defek, dan meningkatkan prognosis. Dalam mempertahankan hemodinamik pasien, selain penggunaan agen farmakologik, penggunaan IABP dipertimbangkan sebagai bridging sebelum dilakukannya tindakan penutupan defek karena mampu memperbaiki perfusi perifer dan miokardium, mengurangi aferload dan konsumsi oksigen miokard. Dalam follow up, pasien mengalami perburukan kondisi, dimana terjadi penurunan fungsi ginjal yang disebabkan oleh berkurangnya volume intravaskular sehingga menyebabkan berkurangnya laju filtrasi glomerulus. Pasien direncanakan menjalani Continous Renal Replacement Therapy (CRRT) namun tidak dapat dilakukan, sehingga kondisi pasien tidak mengalami perbaikan dan berakhir dengan kematian. RINGKASAN Perempuan usia 58 tahun dengan keluhan nyeri dada khas infark yang dialami sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit, disertai dengan sesak nafas. Setelah dilakukan pemeriksaan fisik maupun penunjang pasien didiagnosis sebagai ST Elevation Myocardial Infarction Anterior onset > 24 jam Killip IV (TIMI score: 11, Estimated 30-day Mortality 35.9 %), Ruptur Septum Ventrikel, Post Takikardi Ventrikular dengan nadi, Acute Kidney Injury Stage 3. Selama perawatan 20 hari terjadi perburukan keadaan umum akibat penurunan fungsi ginjal yang disebabkan oleh kondisi syok kardiogenik akibat komplikasi mekanik dari infark miokard akut, dalam hal ini ruptur septum ventrikel. Komplikasi mekanik yang mengikuti suatu infark miokard merupakan keadaan darurat yang membutuhkan ekokardiografi diagnostik segera. Manajemen dari pasien VSR sendiri (baik waktu koreksi dan teknik yang digunakan) ditentukan oleh status hemodinamik pasien. Ketidakstabilan sirkulasi hemodinamik merupakan tanda untuk mempercepat terapi intervensi, khususnya dengan menggunakan bantuan sirkulasi mekanik dan mempertimbangkan indikasi urgensi untuk koreksi ruptur. Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 139

DAFTAR PUSTAKA 1. Bahekar, A. S. (2012). Cardiovascular outcomes using intra-aortic balloon pump in high- risk acute myocardial infarction with or without cardiogenic shock: a meta- analysis. J Cardiovasc Pharmacol Ther, 17(1), 44-56. 2. Birnbaum, Y. F. (2002). Ventricular Septal Rupture After Acute Myocardial Infarction. N Eng J Med, 347(18), 1426–1432. doi:https://doi.org/10.1056/NEJMra020228 3. Bolek, O. e. (2013). Ventricular septal rupture with hemodynamically important left-to- right shunt, RV myocardial infarction, transient type III AV block and the development of LV aneurysm as a complication of sub-acute MI of the bottom wall accompanied by PI-UAP. Cor et Vasa, 55, 536-540. doi:10.1016/j.crvasa.2013.05.004. 4. Briguori, C. S. (2003). Elective versus provisional intra-aortic balloon pumping in high- risk percutaneous transluminal coronary angioplasty. American Heart J, 145(4), 700-707. doi:https://doi.org/10.1067/mhj.2003.14 5. Crenshaw B.S., G. C. (2000). Risk factors, angiographic patterns, and outcomes in patients with ventricular septal defect complicating acute myocardial infarction. GUSTO-I (Global Utilization of Streptokinase and TPA for Occluded Coronary Arteries) Trial Investigators. Circulation, 101, 27-32. 6. Dwipawana, I. P. (2017). Intervensi koroner perkutan pada infark miokard akut disertai elevasi. Intisari Sains Medis, 8(2), 93-96. doi: 10.1556/ism.v8i2.114 7. Goyal, A. M. (2018, July 30). Retrieved from acc.org: https://www.acc.org/latest-in cardiology/articles/2018/07/30/06/ 58/ contemporary- management-of-post-mi- ventricular-septal-rupture 8. Jiang, X. Z. (2017). Clinical application of intra-aortic balloon pump in patients with cardiogenic shock during the perioperative period of cardiac surgery. Exp Ther Med, 13(5), 1741-1748. doi:10.3892/etm.2017.4177 Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 140


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook