Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore BAGIAN 1 LAPORAN KASUS KARDIOLOGI JULI 2020

BAGIAN 1 LAPORAN KASUS KARDIOLOGI JULI 2020

Published by khalidsaleh0404, 2021-11-03 12:22:17

Description: BAGIAN 1 LAPORAN KASUS KARDIOLOGI JULI 2020

Search

Read the Text Version

umumnya berkontribusi dalam terjadinya hipoksia namun tidak didapatkan pada pasien ini. Pada pasien ini juga tidak didapatkan hemoptisis serta pleuritis sehingga presentasi klinis pasien ini tidak khas dengan klinis oleh karena ‘infark pumonal’. (Burrowes et al., 2011) Gambar 5. Patofisiologi Emboli Paru. (Konstantinides SV et al., 2019) Pada beberapa kasus, PE dapat asimptomatik atau ditemukan secara insidental seperti pada pasien ini, dimana pemeriksaan CT scan dilakukan untuk evaluasi diagnosis kecurigaan penyakit PE. Pada pasien ini yang disertai dengan penyakit penyerta berupa gagal jantung seperti, ditandai dengan ejeksi fraksi sedikit menurun dengan nilai 52%, gejala yang terjadi dapat berupa sesak nafas yang semakin memberat. Riwayat kaki bengkak ada namun kemungkinan diakibatkan dari gagal jantung kanan bukan kecurigaan DVT, walaupun dari data didapatkan bahwa pada sekitar 40% pasien PE tidak didapatkan faktor predisposisi yang jelas (Righini et al., 2017). Indeks kecurigaan yang tinggi diperlukan dalam mendiagnosis emboli paru. Pemeriksaan X-ray thorax seringkali dengan hasil nonspesifik, tetapi dapat dipertimbangkan untuk mengeklusi Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 41

alternatif diagnosa lainnya. (Shopp et al., 2015) Perubahan elektrokardiografi yang menandakan strain pada ventrikel kanan seperti t inversi pada V1-V4 tidak ditemukan pada pasien ini. Namun pola S1Q3T3 didapatkan pada pasien ini. Sedangkan pola rSR’ di V1 dan V2 atau Right Bundle Branch Block (RBBB) inkomplit didapatkan pada pasien ini. Selain itu temuan EKG yang didapatkan pada pasien ini adalah sinus ritme yang merupakan temuan nonspesifik pada sekitar 40% kasus emboli paru. (Shopp et al., 2015) Kombinasi dari gejala dan temuan klinis ditambah dengan faktor risiko terjadinya VTE memungkinan klasifikasi pasien yang dicurigai dengan PE menjadi pre-test probabilitas. (Konstantinides SV et al., 2019) Tabel 3. Prediktor Klinis Emboli Paru Berdasarkan Geneva Rule. (Konstantinides SV et al., 2019) Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 42

Salah satu prediktor klinis yang sering digunakan adalah Geneva Rule dimana pada pasien ini memiliki skor 6, yaitu: denyut jantung ≥ 95 kali per menit (5 poin), dan usia (1 poin). Sehingga pasien ini termasuk dalam kategori intermediate probability jika menggunakan sistem “three level score” yang setara dengan kemungkinan sebesar 30% atau termasuk dalam kategori “PE likely” jika menggunakan sistem “two-level score. Oleh karena geometri ventrikel kanan (Right Ventricle / RV) yang berbeda, tidak ada satu parameter ekokardiografi tunggal yang dapat mewakili ukuran dan fungsi RV dengan sangat akurat. Temuan ekokardiografi akibat overload ventrikel kanan seperti yang ditemukan pada pasien ini antara lain adalah dilatasi ventrikel kanan yang ditemukan pada sekitar 25% pasien. Temuan ekokardiografi lainnya adalah penurunan kontraktilitas pada dinding lateral ventrikel kanan jika dibandingkan dengan apex (tanda McConell) yang hanya ditemukan pada 12-20% pasien. (Bova et al., 2003). Temuan ekokardiografi seperti yang disebutkan sebelumnya ditemukan pada pasien ini. Gambar 6. Temuan ekokardiografi pada emboli paru. (Konstantinides SV et al., 2019) Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 43

Berbagai macam parameter klinis, pencitraan dan laboratorium dikaitkan dengan severitas PE. Salah satu skor klinis yang dapat digunakan adalah skor Pulmonary Embolism Severity Index (PESI). Skor PESI dapat mengidentifikasi dengan akurat pasien dengan risiko mortalitas dalam 30 hari. (Kohn et al.,2015) Tabel 4. Skor Klinis Berdasarkan Pulmonary Emboli Severity Index (PESI). (Kohn et al.,2015) Pada pasien ini, pasien wanita 70 tahun (70 poin) dengan total jumlah poin 70 dan termasuk dalam PESI kelas II dengan risiko mortalitas rendah dalam 30 hari (1.7-3.5%). Selain itu severitas pasien emboli paru dapat diklasifikasikan berdasarkan tabel 5, dimana pada pasien ini termasuk dalam kategori ‘intermediate-low’ karena pasien termasuk dalam PESI kelas II dan sPESI ≥ 1, tanpa adanya tanda-tanda hemodinamik tidak stabil. (Konstantinides SV et al, 2019) Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 44

Tabel 5. Klasifikasi severitas emboli paru. (Konstantinides SV et al., 2019) Pada pasien dengan hemodinamik stabil seperti pasien ini, dalam menegakan diagnosis pertama harus dilakukan evaluasi probabilitas klinis PE dimana berdasarkan skoring Geneva Rule, pasien ini termasuk dalam probablitas intermediate. Selanjutnya pada pasien diperiksakan kadar D-dimer, kemudian dilakukan pemeriksaan CTPA segera oleh karena kecurigaan diagnosis PE. Sehingga temuan emboli paru pada kasus ini merupakan suatu temuan insidental yang tidak diperkirakan sebelumnya. (Konstantinides SV et al., 2019) Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 45

Gambar 7. Alur Diagnosis Pasien PE dengan Hemodinamik Stabil. (Konstantinides SV et al., 2019) Berdasarkan lokasi, PE dapat diklasifikasikan menjadi PE sentral apabila melibatkan MPA, arteri pulmonal dextra dan arteri pulmonal sinistra dan PE perifer apabila melibatkan arteri segmental dan subsegmental. Beberapa studi mendapatkan bahwa pasien dengan thrombus sentral memiliki mortalitas lebih tinggi, akan tetapi studi-studi tersebut tidak merinci jenis terapi yang dilakukan, sehingga hal ini masih inkonklusif. (Martinez JLA et al., 2016) Menurut studi oleh Jain CC et al, 269 pasien dengan PE masif dan submasif. Usia rata-rata 62.6±15.6 tahun, 137 laki-laki (50.9%). 172 pasien (63.9%) memiliki PE sentral, dan 97 pasien (36.1%) memiliki PE perifer. Tidak didapatkan perbedaan yang bermakna dalam hal takikardia dan hipoksemia diantara kedua grup. (Jain CC et al., 2016) Pasien dengan thrombus di sentral lebih sering terdapat RV strain pada ekokardiografi (76.7% vs. 57.7%; P=0.001) serta pada Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 46

pemeriksaan CT scan (58.1% vs. 32.0%; P<0.0001). Pasien dengan PE sentral lebih sering mendapatkan CDT (18.3% vs. 3.3%; P<0.001). Tidak didapatkan perbedaan bermakna dalam proporsi pasien yang mendapatkan IVC filter (25.8% vs. 22.2%; P=0.53) atau pada proporsi pasien yang mendapatkan thrombolitik sistemik. (6.6% vs 4.4%; P=0.47) antara PE sentral dan perifer. (Jain CC et al., 2016) Mortalitas pasien dengan thrombus sentral ditemukan sebesar 5.9% pada hari ke 7 (P=0.44). Sedangkan pada hari ke 90, tidak terdapat perbedaan bermakna dalam RV strain atau mortalitas antara PE sentral dan perifer (21.3% vs. 28.2%; P=0.23). Lokasi lesi tidak terkait dengan mortalitas akibat PE. (Jain CC et al., 2016) Temuan lainnya pada studi ini, pasien dengan PE sentral lebih sering mendapatkan terapi lanjutan (terapi selain antikoagulan seperti Catheter Directed Thrombolytic) walaupun memiliki presentasi klinis yang lebih ringan jika dibandingkan dengan pasien PE perifer. Hal ini disebabkan karena beberapa operator menganggap terapi seperti CDT tidak memungkinkan untuk dilakukan pada PE perifer. (Jain CC et al., 2016) Meskipun demikian, studi-studi belakangan ini yang dilakukan pada PE submasif mendapatkan bahwa CDT lebih superior jika dibandingkan terapi antikoagulan tunggal, walaupun studi ini tidak menganalisis lokasi thrombus secara spesifik. Literatur yang tersedia saat ini menganjurkan bahwa selain hipotensi, prediktor utama dari luaran akhir pada PE akut adalah RV strain. (Martinez JLA et al., 2016) Tatalaksana awal emboli paru seperti pada pasien ini terutama adalah antikoagulan. Antikoagulan yang diberikan bisa berupa heparin, Low Molecular Weight Heparin (LMWH) atau fondaparinux. Pada kasus ini, terapi awal diberikan heparin 4000 unit bolus dan dilanjutkan dengan heparin 1000 unit per jam karena memiliki efek kerja lebih cepat terpacainya reperfusi primer dan juga untuk mencegah perburukan kondisi dibandingkan dengan antikoagulan lainnya. (Van Der Hulle et al., 2014) Penggunaan obat-obatan thrombolitik baik secara sistemik ataupun melalui kateter (Catheter Directed Thrombolysis / CDT) tidak diindikasikan pada pasien ini karena pasien tidak termasuk dalam PE high risk. Pada pasien normotensif dengan risiko intermediate seperti Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 47

pada pasien ini (yang ditandai dengan disfungsi RV) penggunaan thrombolitik diteliti pada trial Pulmonary Embolism Thrombolysis (PIETHO). Berdasarkan data dari PIETHO, penggunaan thrombolitik pada pasien risiko interediate mengurangi risiko dekompensasi hemodinamik, akan tetapi disertai dengan peningkatan risiko perdarahan ekstrakranial dan intrakranial yang berat. Pertimbangan antara risiko yang lebih besar dibandingkan dengan keuntungan yang didapatkan menyebabkan kontraindikasi pada penggunaan thrombolitik pasien ini. Sedangkan, embolektomi secara pembedahan tidak diindikasikan pada pasien ini dan hanya dipertimbangkan jika didapatkan perburukan dari hemodinamik pasien. (Marti et al., 2015) Tabel 7. Rekomendasi terapi reperfusi pasien PE low-intermediate risk. (Konstantinides SV et al., 2019) Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 48

Tabel 8. Rekomendasi terapi reperfusi pasien PE high risk Tujuan lain dari terapi antikoagulasi adalah mencegah rekurensi PE untuk jangka panjang. Pada pasien dengan insidental PE seperti pada kasus ini dimana didapatkan emboli pada proximal arteri pulmonal kanan dan kiri, sebaiknya diterapi seperti pasien dengan PE simptomatik pada umumnya. Seluruh pasien PE seperti pasien ini harus mendapatkan antikoagulan selama ≥ 3 bulan. Dari uji klinis yang dilakukan, penggunaan antikoagulan yang dihentikan setelah 3-6 bulan jika dibandingkan dengan penghentian setelah 12- 24 bulan memiliki angka rekurensi yang sama. Penggunaan antikoagulan yang diteruskan jangka panjang mengurangi risiko PE ≤ 90%, akan tetapi disertai dengan peningkatan risiko perdarahan. Sehingga durasi penggunaan antikoagulan yang optimal harus dipertimbangkan kondisi klinis pasien serta melibatkan pasien dalam pengambilan keputusan dengan memperhatikan risiko perdarahan dan risiko rekurensi dari PE. (Van Der Hulle et al, 2014) Pada pasien kasus ini dapat dipertimbangkan untuk dilakukan terapi antikoagulan selama minimal 3 bulan, kemudian dilakukan Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 49

evaluasi ulang dengan pemeriksaan MSCT scan dan ekokardiografi. Pada pasien ini lebih dipilih untuk tindakan konservatif dengan menggunakan terapi antikoagulan karena pasien dengan risiko tinggi operasi dan disertai dengan komorbid terutama gagal jantung dengan ejeksi fraksi rendah dan penyakit jantung koroner. KESIMPULAN Emboli paru merupakan salah satu penyebab kematian kardiovaskular utama di negara maju. Emboli paru adalah penyakit yang seringkali terlewatkan dalam praktik klinis sehari-hari. Stratifikasi risiko mortalitas dengan status hemodinamik, skor PESI, serta evaluasi disfungsi ventrikel kanan dapat membantu dalam menstratifikasi risiko. Pada laporan kasus ini dilaporkan pasien dengan thrombus di lokasi sentral disertai tanda dan gejala nonspesifik sehingga emboli paru didapatkan sebagai temuan insidental. PE perifer lebih sering ditemukan sebagai temuan insidental, sehingga pada kasus ini, hal ini bersifat kontradiktif oleh karena PE sentral pada kasus ini justru menjadi temuan insidental. Akan tetapi baik PE sentral maupun PE perifer memiliki mortalitas akibat PE yang sama. Sehingga presentrasi klinis dan disfungsi RV tetap merupakan pedoman dalam tatalaksana dan sebagai prediktor dari prognosis. DAFTAR PUSTAKA 1. Bryce YC, Perez-Johnston R, Bryce EB, Homayoon B, Santos- Martin EG. Pathophysiology of right ventricular failure in acute pulmonary embolism and chronic thromboembolic pulmonary hypertension: A pictorial essay for the interventional radiologist. Insights Imaging. 2019;10:18. doi: 10.1186/s13244- 019-0695-9. 2. Burrowes KS, Clark AR, Tawhai MH. Blood flow redistribution and ventilation-perfusion mismatch during embolic pulmonary arterial occlusion. Pulm Circ. 2011;1:365–376. doi: Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 50

10.4103/2045- 8932.87302. 3. Jain CC, Chang Y, Kabrhel C, Giri J, Channick R, Rodriguez- Lopez J, Rosovsky RP, Fogerty A, Rosenfield K, Jaff MR. Impact of Pulmonary Arterial Clot Location on Pulmonary Embolism Treatment and Outcomes (90 Days) The American Journal of Cardiology. 2017;119:802–7. 4. Kohn CG, Mearns ES, Parker MW, Hernandez AV, Coleman CI. Prognostic accuracy of clinical prediction rules for early post- pulmonary embolism all-cause mortality: a bivariate meta- analysis. Chest. 2015 Apr;147(4):1043-1062. doi: 10.1378/chest.14-1888. PMID: 25317677. 5. Konstantinides, S. V., Torbicki, A., et al. (2015) ‘2014 ESC guidelines on the diagnosis and management of acute pulmonary embolism: The task force for the diagnosis and management of acute pulmonary embolism of the european society of cardiology (ESC)’, Russian Journal of Cardiology. doi: 10.15829/1560-4071-2015-08-67-110. 6. Konstantinides, S. V., Barco, S., Lankeit, M. and Meyer, G. (2016) ‘Management of Pulmonary Embolism: An Update’, Journal of the American College of Cardiology. doi: 10.1016/j.jacc.2015.11.061. 7. Marti C, John G, Konstantinides S, Combescure C, Sanchez O, Lankeit M, Meyer G, Perrier A. Systemic thrombolytic therapy for acute pulmonary embolism: a systematic review and meta-analysis. Eur Heart J. 2015 Mar 7;36(10):605-14. doi: 10.1093/eurheartj/ehu218. Epub 2014 Jun 10. PMID: 24917641; PMCID: PMC4352209. 8. Martinez, JoséLuis & Sánchez, FranciscoJavier & Echezarreta, MirenAranzazu & García, IoneVillar & Álvaro, JorgeRojo. (2016). Central Versus Peripheral Pulmonary Embolism: Analysis of the Impact on the Physiological Parameters and Long-term Survival. North American Journal of Medical Sciences. 8. 134. 10.4103/1947-2714.179128. 9. Righini, M, Robert-Ebadi, H, Le Gal, G, et al. Diagnosis of acute pulmonary embolism. J Thromb Haemost. 2017;15(7):1251– 1261. Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 51

10. Shopp JD, Stewart LK, Emmett TW, Kline JA. Findings From 12- lead Electrocardiography That Predict Circulatory Shock From Pulmonary Embolism: Systematic Review and Meta-analysis. Acad Emerg Med. 2015 Oct;22(10):1127-37. doi: 10.1111/acem.12769. Epub 2015 Sep 22. PMID: 26394330; PMCID: PMC5306533. 11. Smulders Y. Pathophysiology and treatment of haemodynamic instability in acute pulmonary embolism: The pivotal role of pulmonary vasoconstriction. Cardiovasc Res. 2000;48:23–33. doi: 10.1016/S0008-6363(00)00168-1. 12. Van der Hulle T, den Exter PL, Planquette B, et al. . Risk of recurrent venous thromboembolism and major hemorrhage in cancer-associated incidental pulmonary embolism among treated and untreated patients: a pooled analysis of 926 patients. J Thromb Haemost. 2016;14(1):105-113. 13. Wendelboe AM, Raskob GE. Global burden of thrombosis: epidemiologic aspects. Circ Res. 2016;118(9):1340-1347. 14. Wong L F, Akram A R, McGurk S, Van Beek E J, Reid J H, Murchison J T.Thrombus load and acute right ventricular failure in pulmonary embolism: correlation and demonstration of a “tipping point” on CT pulmonary angiography Br J Radiol 201285(1019):1471–1476. Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 52

4 Cardiomyopathy In Patient With Chronic Kidney Disease Andi Tihardimanto Kaharuddin, Pendrik Tandean PENDAHULUAN Penyakit gagal ginjal kronik, Chronic Kidney Disease (CKD) telah diketahui sebagai salah satu masalah utama kesehatan masyarakat global. Diperkirakan 10- 25% populasi dari Asia, Australia, Eropa, dan Amerika Serikat menderita CKD. Berbagai penelitian telah menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara CKD dengan mortalitas akibat kejadian kardiovaskular (Malik et al., 2018). Keterlibatan kardiovaskular terjadi pada sekitar 80% pasien yang menjalani hemodialisis, dan terbukti pada pasien CKD mulai stadium III-IV (Di Lullo et al., 2015). Penyakit kardiovaskular (CVD) adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada CKD (Di Lullo et al., 2015). CVD dan penyakit ginjal saling terkait erat dan penyakit pada satu organ menyebabkan disfungsi yang lain yang pada akhirnya menyebabkan kegagalan kedua organ dan ini sering disebut sebagai sindrom kardiorenal (CRS). Pada pasien CKD, gagal jantung, heart failure (HF) adalah komplikasi kardiovaskular utama dan prevalensinya meningkat dengan menurunnya fungsi ginjal. CKD dianggap sebagai faktor risiko kardiovaskular independen dan oleh karena itu, diagnosis CKD menyiratkan risiko kardiovaskular yang sangat tinggi (Liu et al., 2014). Hipertrofi ventrikel kiri, left ventricle ghypertrophy (LVH) adalah kelainan jantung yang paling umum pada pasien ini dan berhubungan erat dengan mortalitas. Perubahan struktur jantung yang merugikan ini adalah konsekuensi dari kardiomiopati terkait CKD, yang biasa disebut kardiomiopati uremik (de Albuquerque Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 53

Suassuna, Sanders-Pinheiro and de Paula, 2018). Kardiomiopati adalah gangguan pada otot jantung yang menyebabkan disfungsi mekanis dan/atau elektrik yang mengakibatkan kelainan ruang jantung yang membesar, hipertrofik, atau restriktif. Dilated cardiomyopathy (DCM) adalah penyakit otot jantung non- iskemik dengan kelainan struktural dan fungsional dari miokard. Gambaran klinis DCM didefinisikan sebagai dilatasi ventrikel kiri atau biventrikular dan disfungsi sistolik dengan tidak adanya penyakit arteri koroner, hipertensi, penyakit katup atau penyakit jantung bawaan (Schultheiss et al., 2019). Namun, patogenesis dari kardiomiopati uremik bersifat multifaktorial dan kurang dipahami. Meskipun terdapat kemajuan dalam terapi dialisis dan dalam manajemen hipertensi, hipervolemia, anemia, dan penyakit ginjal kronik yang meningkat, pasien CKD dengan gangguan mineral dan tulang (CKD-MBD), terus mengalami remodeling miokard yang abnormal yang mengakibatkan tingginya tingkat kejadian kardiovaskular dan mortalitas (de Albuquerque Suassuna, Sanders- Pinheiro and de Paula, 2018). Pada makalah ini dipaparkan satu kasus pasien perempuan muda dengan CKD yang disertai dengan kardiomiopati yang kemungkinan disebabkan oleh pengaruh gangguan fungsi ginjal terhadap miokardium. Pembahasan kasus fokus pada evaluasi, patofisiologi, dan tata laksana dari kardiomiopati uremikum. LAPORAN KASUS Seorang perempuan 35 masuk rumah sakit dengan keluhan sesak napas yang dialami sejak 2 bulan sebelum masuk rumah sakit dan memberat 1 minggu terakhir. Sesak memberat saat melakukan aktivitas, berkurang bila beristirahat. Pasien tidak mampu berjalan jauh atau menaiki tangga. Pasien biasa tidur dengan 3 bantal sejak 2 bulan terakhir. Nyeri dada tidak ada. Riwayat nyeri dada sebelumnya tidak ada. Batuk dirasakan sesekali dirasakan sejak 1 minggu yang lalu disertai lendir berwarna putih, bercampur darah tidak ada. Riwayat batuk lama tidak ada. Demam tidak ada, riwayat demam tidak ada. Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 54

Mual ada sejak 3 hari, muntah tidak ada. Nyeri ulu hati ada, nafsu makan menurun disertai penurunan berat badan, namun jumlah penurunan badan tidak diketahui. Keluhan lemas dirasakan sejak 1 bulan terakhir, tidak dipengaruhi aktivitas. Buang air kecil (BAK) kesan kurang, volume ¼ gelas air mineral per hari warna kuning pekat. BAK disertai nyeri perut bawah dan nyeri pinggang. Riwayat BAK berpasir tidak ada. Riwayat BAK berdarah tidak ada. Nyeri saat BAK ada. Buang air besar kesan biasa, terakhir 1 hari yang lalu berwarna kuning, konsistensi biasa. Riwayat feses encer hitam tidak ada. Pasien sebelumnya dirawat di RS Sinjai selama 1 hari dan kemudian dirujuk ke RSWS untuk tindakan cuci darah. Pasien mengetahui menderita tekanan darah tinggi dan gangguan ginjal sejak 3 bulan yang lalu, berobat dengan Amlodin, namun tidak teratur. Pasien memiliki riwayat asma yang terakhir kambuh saat SMP. Riwayat bengkak seluruh tubuh tidak ada. Riwayat DM tidak ada. Riwayat rambut rontok, ruam merah pada wajah, nyeri sendi seluruh tubuh, atau sariawan pada mulut disangkal. Pasien sudah menikah dan memiliki 2 anak. Anak pertama berumur 10 tahun. Anak kedua berumur 6 tahun. Selama kehamilan dan persalinan tidak ada komplikasi yang terjadi. Riwayat konsumsi herbal dan jamu-jamuan tidak ada. Riwayat keluhan yang sama dalam keluarga tidak ada Pada pemeriksaan fisis didapatkan kesadaran komposmentis, GCS 15, Tekanan darah 140/100 mmHg, Nadi 100 kali/menit reguler, Pernapasan 24 kali/menit, suhu 370C. Pasien dengan tinggi badan 150 cm dan berat badan 40 kg dengan Indeks Massa Tubuh 17,7 kg/m2. Pemeriksaan fisis yang bermakna didapatkan konjungtiva pucat. Peningkatan desakan vena sentral R+4 cm H2O (posisi 300). Ronki halus di kedua basal paru, ronki kasar di medial paru terutama paru kanan, wheezing tidak ada. Bunyi jantung I/II murni regular, murmur kesan tidak ada. Pemeriksaan abdomen peristaltik kesan normal, hepar dan lien tidak teraba. Edema dorsum pedis minimal. Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 55

Gambar 2. 1 Elektrokardiografi (5 Mei 2020) Pada pemeriksaan elektrokardiografi (gambar 2.1) pada tanggal 5 Mei 2020 didapatkan sinus ritme, denyut jantung 100 kali per menit, normoaksis, amplitudo QRS pada sadapan ekstremitas 0.5 mV dengan kesimpulan sinus ritme, normoaksis, low voltage at limb leads. Pada pemeriksaan laboratorium rutin (tabel 2.1) didapatkan hasil yang bermakna yaitu anemia normositik normokrom dengan Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 56

hemoglobin 5.7 gr/dl, trombositopenia, peningkatan enzim transaminase, penurunan fungsi ginjal dengan estimated glomerular filtration rate (eGFR) 2.0 ml/min/1.73 m2, serta hiperkalemia dengan kalium 6.7 mmol/L. Pada pemeriksaan urinalisis didapatkan proteinuria (+3), blood (+1), leukosit (+1), bakteriuria, dan epitel squamous. Pada tanggal 6 Mei dilakukan pemeriksaan laboratorium kontrol setelah dilakukan transfusi darah PRC 2 kantong dan didapatkan hasil hemoglobin meningkat menjadi 8.7 gr/d, leukositosis dengan rasio neutrophil limfosit 13.6, perbaikan hiperkalemia menjadi 6,7 mmol/l, dan platelet menjadi 153.000/mm3. Gambar 2.2 Ekokardiografi yang menujukkan penurunan fungsi sistolik ventrikel kiri dan kanan Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 57

Gambar 2.3 Ekokardiografi yang menujukkan dilatasi semua ruang jantung Pada pemeriksaan foto toraks di Rumah Sakit Sinjai (3 Mei 2020) didapatkan hasil kardiomegali, edema paru, dan efusi pelura bilateral. Hasil MSCT toraks tanpa kontras yang dilakukan di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo (4 Mei 2020) didapatkan gambaran pneumonia bilateral dan efusi pelura bilateral. Pemeriksaan USG abdomen yang dilakukan pada tanggal 6 Mei 2020 hanya didapatkan efusi pelura bilateral. Pemeriksaan ekokardiografi dilakukan pada tanggal 6 Mei 2020 (gambar 2.2 dan 2.3) dengan hasil fungsi sistolik ventrikel kiri dan ventrikel kanan yang menurun dengan fraksi ejeksi 30,8% dan Tricuspid annular plane systolic excursion (TAPSE) 1,6 cm. Disfungsi diastolik derajat berat. Dimensi seluruh ruang jantung membesar dengan hipertrofi ventrikel kiri tipe eksentrik. Pergerakan miokard kesan global hipokinetik. Didapatkan regurgitasi katup tricuspid Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 58

sedang dengan tanda hipertensi pulmonal. Efusi perikard ringan di bagian posterior. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang, maka pasien didiagnosis dengan Congestive Heart Failure NYHA III, Dilated Cardiomyopathy, Hypertensive Heart Disease, Valvular Heart Disease, efusi perikard ringan, Chronic Kidney Disease G5A3, hiperkalemia, dan Community Acquired Pneumonia, dan efusi pleura bilateral. Pasien mendapatkan terapi Furosemide 40 mg/8 jam/intravena, Amlodipin 5 mg/24 jam/oral, Kalitake 1 sachet/8 jam/oral, dan Azitromisin 500 mg/24 jam/oral. Saat masuk di rumah sakit, pasien direncanakan untuk menjalani hemodialisa. Selama perawatan hari kedua sampai keempat, keluhan sesak pada pasien dirasakan semakin berkurang, namun pada perawatan hari ke-5, tanggal 8 Mei 2020, keadaan umum pasien menurun. Pasien mengeluh sesak napas yang dirasakan semakin berat dan akhirnya mengalami gagal napas. Pasien kemudian mengalami henti jantung dan diresusitasi selama 15 menit, namun tidak berespon, kemudian pasien dinyatakan meninggal. DISKUSI KASUS Seorang pasien perempuan 35 tahun masuk ke RS Wahidin Sudirohusodo, dirujuk dari RSUD Sinjai, dengan Chronic Kidney Disease untuk direncanakan hemodialisis. Berdasarkan Kidney Disease Improving Global Outcomes (KDIGO) tahun 2012, pasien ini didiagnosis CKD atas dasar adanya bukti abnormalitas fungsi ginjal lebih dari 3 bulan sebelumnya. Pasien telah didiagnosis CKD di RSUD Sinjai sejak 3 bulan yang lalu dan disarankan untuk menjalani hemodialisa, namun saat itu pasien belum bersedia. Saat dirawat di RSWS, pasien dalam keadaan anemia dengan hemoglobin 8.7 gr/dl, peningkatan kreatinin dengan eGFR 2.0 ml/min/1.73m2, dan hiperkalemia (6.7 mmol/l). Adapun etiologi CKD pada pasien ini belum dapat dipastikan karena secara struktural melalui pemeriksaan USG abdomen tidak didapatkan kelainan sehingga pemeriksaan biopsi ginjal sangat direkomendasikan pada pasien ini. Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 59

Pasien kemudian dikonsulkan ke bagian kardiologi dengan Congestive Heart Failure. Gejala yang mendukung ke CHF seperti orthopnea, dyspnea on effort, dan paroxysmal nocturnal dyspnea yang mulai dirasakan oleh pasien sejak 2 bulan terakhir. Riwayat sesak napas sebelumnya disangkal. Keluhan nyeri dada khas angina tidak pernah dirasakan Pasien memiliki faktor risiko kardiovaskuler, yaitu hipertensi dengan tekanan darah sistolik rata-rata 140 mmHg, yang baru diketahui sejak 3 bulan yang lalu, bersamaan dengan saat pasien diketahui menderita CKD stadium akhir. Pasien sama sekali belum pernah dirawat di rumah sakit dengan keluhan sesak napas. Pasien memiliki 2 orang anak dengan umur anak paling muda 6 tahun dimana pada saat hamil maupun persalinan tidak ada komplikasi atau kelainan yang bermakna. Pada pemeriksaan fisis didapatkan adanya tanda- tanda gagal jantung, diantaranya desakan vena sentral meningkat, ronki di basal kedua paru, dan edema kedua tungkai. Pada pemeriksaan ekokardiografi didapatkan penurunan fungsi sistolik ventrikel kiri dengan ejeksi fraksi 30%, dilatasi semua ruang jantung, dan global hipokinetik. Berdasarkan dari anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang, dapat ditarik kesimpulan bahwa CHF yang diderita oleh pasien disebabkan oleh kardiomiopati akibat dari gangguan ginjal kronik, yang dikenal sebagai kardiomiopati uremikum. Beberapa hal yang mendasari pasien ini didiagnosis dengan kardiomiopati uremikum diantaranya adalah : 1. Pasien telah diketahui lebih dulu menderita gagal ginjal kronik yang memerlukan tindakan hemodialisa sejak 3 bulan sebelum masuk RSWS. Hal ini memberikan informasi bahwa gangguan fungsi ginjal pada pasien ini sudah berlangsung sangat lama sampai akhirnya masuk pada kondisi stadium akhir yang memerlukan terapi pengganti fungsi ginjal. 2. Gejala dan tanda gagal jantung mulai dirasakan memberat 1 bulan sejak pasien diketahui menderita gagal ginjal stadium akhir. Oleh karena itu, dapat diasumsikan bahwa gangguan fungsi ginjal pada pasien ini lebih dulu terjadi dan makin progresif sehingga berimplikasi ke sistem kardiovaskuler terutama gangguan jantung. Patomekanisme ini dikenal sebagai Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 60

cardiorenal syndrome tipe 4. 3. Penyebab kardiomiopati pada pasien ini kemungkinan bukan akibat iskemik koroner, tidak terkait kehamilan atau peripartum cardiomyopathy, tidak terkait gangguan nutrisi atau konsumsi alkohol, ataupun hypertrophy cardiomyopathy sehingga kemungkinan besar penyebab kardiomiopati pada pasien ini akibat pengaruh gangguan fungsi ginjal yang kronik 3.1 Risiko Kardiovaskuler pada CKD Penyakit kardiovaskular adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada CKD. Pasien yang memasuki fase paling lanjut dari kondisi ini, yaitu, penyakit ginjal stadium akhir, end stage renal disease (ESRD), menunjukkan risiko yang sangat tinggi. Meskipun proporsi pasien yang meninggal karena CVD dalam populasi pasien CKD tidak berbeda dari proporsi yang terjadi pada populasi umum, risiko absolut untuk semua penyebab dan kematian akibat CVD pada ESRD sangat tinggi sehingga kemungkinan risiko pada pasien ESRD sekitar 100 kali lebih tinggi dari itu pada usia dan individu yang sesuai dengan jenis kelamin pada populasi secara umum (Benedetto, Perticone and Zoccali, 2010; Nuhu and Bhandari, 2018). Risiko gagal jantung kongestif, fibrilasi atrium, stroke, penyakit arteri koroner (CAD) dan penyakit arteri perifer, peripheral artery disease (PAD), meningkat dua kali lipat pada pasien dengan laju filtrasi glomerulus (eGFR) <70ml/min/1.73m2. Selain itu, dalam dua meta analisis terpisah dari 14 negara yang berbeda, eGFR dan albuminuria ditemukan secara independen terkait dengan peningkatan risiko semua penyebab mortalitas kardiovaskular (Malik et al., 2018). Pada pasien dalam kasus ini, risiko kardiovakuler terkait CKD di antaranya eGFR yang sangat rendah 2.0 ml/min/1.73 m2 dan proteinuria (+3). Diagnosis klinis gagal jantung kongestif, congestive heart failure (CHF), suatu kondisi yang paling sering didahului oleh hipertrofi ventrikel kiri, left ventricular hypertrophy (LVH), pada populasi ESRD menunjukkan risiko yang sangat tinggi, dengan kelangsungan hidup 3 tahun hanya 17% pada pasien ini. Studi prospektif secara konsisten Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 61

menunjukkan bahwa LVH adalah hal yang biasa didapatkan (sekitar 40- 50%) pada tahap predialisis CKD dan kelainan ini sangat sering terjadi (70-80%) pada pasien ESRD (Benedetto, Perticone and Zoccali, 2010). Abnormalitas jantung yang dominan pada pasien CKD dan ESRD berhubungan dengan struktur dan fungsi struktur ventrikel kiri, left ventricle (LV). Sekitar 73,4% pasien ESRD, yang memulai dialisis, menderita hipertrofi LV, sementara 35,8% menunjukkan dilatasi LV, dan 14,8% lainnya mengalami disfungsi sistolik LV. Di antara masalah jantung lainnya yang berkontribusi terhadap iskemia, kerusakan sel miokard, dan fibrosis, yang lebih signifikan adalah penyakit arteri koroner, yang sering terlihat pada pasien dengan CKD dan ESRD. Telah dipertimbangkan bahwa hipertrofi miokard dan fibrosis dapat menyebabkan penurunan densitas kapiler, yang pada gilirannya menyebabkan pasokan dan permintaan oksigen tidak seimbang sehingga terjadi iskemia dan sangat meningkatkan risiko aritmia ventrikel dan kematian jantung mendadak. Iskemia diketahui meningkatkan apoptosis kardiomiosit dan akumulasi matriks ekstraseluler dan kolagen sehingga menyebabkan fibrosis interstitial, yang berujung pada kekakuan LV, peningkatan tekanan pengisian LV, gangguan pengisian diastolik, dan disfungsi diastolik (Liu et al., 2014). Ada beberapa hubungan antara sistem kardiovaskular dan ginjal yang mengarah pada hubungan yang kompleks antara obat kardiovaskular dan ginjal. Hubungan kompleks CKD dengan CVD mungkin disebabkan oleh pengelompokan beberapa faktor risiko kardiovaskular, termasuk \"faktor tradisional\" (misalnya, usia lanjut, hipertensi, diabetes mellitus, dan dislipidemia) dan \"faktor non- tradisional\" yang khusus untuk CKD (misalnya anemia, volume berlebih, kelainan metabolisme mineral, proteinuria, malnutrisi, stres oksidatif, dan peradangan), pada pasien CKD. Faktor non-tradisional mampu memberikan beberapa penjelasan dalam hal penebalan dan kalsifikasi pembuluh darah, untuk peningkatan risiko CVD pada pasien CKD (Hruska et al., 2010; Liu et al., 2014). Faktor non-hemodinamik seperti hiperfosfatemia, yang berhubungan dengan tekanan darah tinggi, peningkatan massa LV dan disfungsi diastolik juga berkontribusi pada perkembangan LVH dan kardiomiopati pada pasien CKD. Akumulasi Angiotensin II di jantung Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 62

dapat meningkatkan hipertrofi miosit, fibrosis interstitial dan gangguan mikrovaskular. Telah diteliti bahwa kadar aldosteron serum yang meningkat, baik karena aktivasi sistem renin-angiotensin atau jalur lain, dapat menginduksi fibrosis miokard, kemungkinan dengan melepaskan transformasi growth factor b. Pada pasien CKD, gagal jantung adalah presentasi jantung yang paling umum, sedangkan LVH merupakan prediksi mortalitas kardiovaskuler. Aterosklerosis tampaknya bukan menjadi kontributor utama CVD pada pasien CKD karena hanya 15-25% kematian jantung pada pasien ini disebabkan oleh penyakit jantung iskemik, setengahnya negatif untuk aterosklerosis koroner. Di sisi lain, patologi kardiovaskular yang dominan pada pasien CKD, yaitu, fibrosis interstitial jantung dan penyakit pembuluh darah non- obstruktif keduanya tidak tergantung pada hipertensi. namun berkontribusi pada tingginya insiden kematian jantung mendadak karena tidak adanya aterosklerosis pada pasien CKD (Liu et al., 2014). Gambar 3.1 Hubungan faktor risiko CVD dan CKD (Liu et al., 2014). Beberapa hipotesis telah diajukan untuk memahami dasar molekuler untuk hubungan antara CKD dan CVD. Faktor risiko kardiovaskular tradisional tidak cukup untuk menjelaskan tingginya insiden CVD di antara pasien CKD (Gambar 3.1). Meskipun faktor risiko terkait CKD yaitu, anemia, hipertensi dan hemostasis kalsium-fosfor yang abnormal terbukti terkait erat dengan patologi kardiovaskular, Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 63

namun koreksi faktor-faktor risiko ini tidak secara signifikan menurunkan kematian akibat CVD sehingga dipikirkan pasti ada missing link dalam hubungan penyakit antara jantung dan ginjal (Gambar 3.1). Toksin uremik telah dipikirkan sebagai missing link dalam hubungan ini. Bukti yang ada menunjukkan bahwa protein-bound uraemic toxins (PBUT), khususnya indoxyl sulfate (IS) dan p-cresyl sulfate (pCS) merupakan faktor potensial dalam patogenesis dan perkembangan CRS. IS dan pCS telah terbukti berhubungan dengan perkembangan ginjal dan peningkatan mortalitas kardiovaskular. Baik itu IS maupun PBUT ini telah terbukti memberikan efek yang merugikan pada patologi kardiovaskular dan ginjal, termasuk peradangan ginjal dan fibrosis, peningkatan sintesis protein dan kolagen pada jantung dan disfungsi endotel. Peningkatan PBUT terutama IS telah terlibat dalam kalsifikasi vaskular, yang umumnya ditemukan pada pasien CKD stadium lanjut dan berhubungan dengan hasil kardiovaskular yang buruk. Selain itu, IS juga mempercepat stres oksidatif ginjal dan jantung. Faktanya, telah dinyatakan bahwa IS menginduksi fibrosis kardiorenal melalui jalur ROS-NF-κB-TGF-β1 (Liu et al., 2014). Pasien dengan CKD, dari tahap awal penyakit, memberikan gambaran metabolisme mineral dan tulang yang abnormal yang disebut CKD-mineral and bone disorder (MBD), yang menghadirkan risiko kardiovaskular yang kuat untuk pasien CKD. Penemuan fibroblast growth factor 23 (FGF23) telah menambahkan dimensi lain pada umpan balik endokrin yang kompleks antara ginjal, kelenjar paratiroid, usus, dan tulang. FGF23 telah dilaporkan terkait erat dengan risiko kardiovaskular, hipertrofi ventrikel kiri, dan aksis kalsifikasi vaskular dan FGF23- Klotho telah terbukti ada dalam pembuluh darah (Zoccali, Yilmaz and Mallamaci, 2013; Liu et al., 2014). Sebagian besar laporan observasi klinis menggambarkan hubungan positif antara konsentrasi FGF23 dan kalsifikasi vascular (Jimbo and Shimosawa, 2014). Kadar FGF23 sirkulasi meningkat pada pasien CKD. Kadar FGF23 dapat meningkat 2-5 kali dari kadar normal selama tahap awal dari CKD dan dengan mudah mencapai lebih dari 200 kali tingkat normal Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 64

pada kasus gagal ginjal lanjut (Di Lullo et al., 2015). FGF23 bertindak pada ginjal dan kelenjar paratiroid dengan mengikat reseptor FGF di hadapan ko-reseptor Klotho dan meningkatkan fosfaturia, dan menghambat 1-α hidroksilase ginjal, yang menyebabkan berkurangnya produksi vitamin D. Menariknya, PBUT baru-baru ini terlibat dalam defisiensi Klotho. Namun, pekerjaan lebih lanjut diperlukan untuk memastikan apakah IS dan FGF23 secara mekanis saling terkait dalam patofisiologi CRS. Klotho juga mungkin terlibat dalam fibrosis ginjal yang diinduksi PBUT yang dimediasi melalui jalur ROS-NF-κB- TGF-β1 (Lu and Hu, 2017). Selain itu, fibrosis ginjal yang disebabkan oleh IS atau pCS dikaitkan dengan aktivasi RAAS ginjal dan transisi epitel ke mesenkimal sel tubular ginjal. Aktivasi simpatis dan RAAS, perubahan bioavailabilitas oksida nitrat, peradangan, dan pembentukan ROS yang berlebihan merupakan jalur patofisiologis umum yang memediasi hasil klinis CVD dan CKD. Penargetan terapi dari jalur ini menawarkan manfaat pasti pada pasien dengan CKD atau CVD (Liu et al., 2014). Pada kasus ini, pasien memiliki faktor risiko kardiovaskuler berupa hipertensi yang baru diketahui sejak 3 bulan terakhir, bersamaan dengan diagnosis CKD yang diderita oleh pasien. Tidak ada data dari pasien atau dari rekam medis sebelumnya yang memberikan informasi apakah hipertensi yang muncul terlebih dahulu atau sebaliknya. Namun, dari pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan seperti USG abdomen, tidak didapatkan adanya gangguan struktural dari kedua ginjal pasien sehingga diasumsikan bahwa penyebab CKD pada pasien ini adalah karena hipertensi yang kronik yang baru diketahui oleh pasien dalam beberapa bulan ini. Adapun manifestasi kardiovaskuler yang timbul pada pasien ini yaitu gagal jantung kongestif (CHF) yang kemungkinan diakibatkan oleh kardiomiopati uremikum, suatu jenis kardiomiopati akibat dari gangguan fungsi ginjal yang kronik. Penyebab kardiomiopati pada pasien dalam kasus ini dipikirkan akibat dari mekanisme yang telah dijelaskan sebelumnya, meliputi adanya faktor risiko terkait CKD seperti anemia, hipertensi, gangguan metabolisme mineral, inflamasi, dan tentunya toksin uremik yang mempresipitasi gangguan fungsi dan struktural dari miokard sehingga Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 65

menyebabkan terjadinya kardiomiopati. Adapun penyebab lain terjadinya kardiomiopati seperti kardiomiopati akibat iskemia, alkohol, atau peripartum cardiomyopathy (PPCM) tidak didukung oleh data yang ada, baik dari anamnesis maupun pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan. 3.2 Kardiomiopati pada CKD Dilated cardiomyopathy (DCM) adalah penyakit otot jantung non-iskemik dengan kelainan struktural dan fungsional dari miokard. Gambaran klinis DCM didefinisikan sebagai dilatasi ventrikel kiri atau biventrikular dan disfungsi sistolik dengan tidak adanya penyakit arteri koroner, hipertensi, penyakit katup atau penyakit jantung bawaan (Schultheiss et al., 2019). American Heart Association (AHA) mengklasifikasikan DCM sebagai akibat genetik, campuran atau yang didapat, sedangkan European Society of Cardiology (ESC) mengelompokkan kardiomiopati menjadi familial (genetik) atau nonfamilial (nongenetik). World Health Organisation mendefinisikan DCM sebagai gangguan jantung serius di mana kelainan struktural atau fungsional dari otot jantung dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang substansial akibat komplikasi seperti gagal jantung dan aritmia (Schultheiss et al., 2019). Ada beberapa kelainan kardiovaskular yang umumnya ditemui pada pasien dengan CKD atau ESRD, di antaranya adalah LVH, dilatasi LV, dan disfungsi sistolik dan diastolik LV. Namun, studi epidemiologis dan studi pencitraan resonansi magnetik (MRI) menunjukkan bahwa manifestasi utama kardiomiopati uremik adalah LVH. Meskipun istilah yang berbeda, tumpang tindih, dan membingungkan digunakan untuk menggambarkan kondisi ini, kardiomiopati uremik dianggap sebagai deskripsi paling ringkas dari hipertrofi jantung patologis, yang menunjukkan pengaruh gangguan fungsi ginjal pada miokardium (Alhaj et al., 2013). Karakteristik patologis jantung pada pasien dialisis dengan DCM berupa hipertrofi miosit yang berat dan area fibrosis yang luas. Temuan serupa didapatkan pada mereka yang berada dalam fase dilatasi pada kardiomiopati hipertrofik. Luasnya fibrosis ventrikel kiri merupakan prediktor tinggi kematian jantung (Aoki et al., 2005) Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 66

Berdasarkan pemeriksaan ekokardiografi, kelainan kardiovaskuler yang didapatkan pada pasien dalam kasus ini di antaranya adalah dilatasi LV dengan LVH tipe eksentrik, disfungsi sistolik dengan EF 35%, dan gangguan fungsi diastolik derajat berat. Hal ini sesuai dengan kelainan utama yang didapatkan pada pasien- pasien dengan kardiomiopati uremikum berupa LVH. Oleh karena sudah terjadi gangguan struktural berupa dilatasi dari LV dan gangguan fungsi LV baik itu sistolik maupun diastolik, kemungkinan besar gangguan metabolisme akibat penurunan fungsi ginjal yang mendasari kardiomiopati ini sudah terjadi dalam waktu yang cukup lama. Awareness pasien yang rendah terhadap keluhan-keluhan yang muncul menjadi salah satu penyebab mengapa manifestasi kardiovaskuler yang menuncul saat ini sudah terbilang berat. 3.3 Patomekansime Kardiomiopati pada CKD Kardiomiopati uremik pada pasien dengan CKD atau ESRD adalah akibat dari pressure overload, volume overload, dan keadaan uremik itu sendiri. Pressure overload LV sering terjadi dari hipertensi dan arteriosklerosis, dan kadang-kadang dari stenosis aorta. Volume LV yang berlebihan terjadi akibat adanya fistula arterivena, anemia, dan hipervolemia. Tekanan LV atau volume yang berlebihan mengarah ke terjadinya LVH dalam upaya untuk mempertahankan wall stress. Oleh karena itu, LVH awalnya merupakan respons adaptif yang bermanfaat. Overload dari LV yang terus-menerus menyebabkan perubahan kardiomiosit maladaptif dan kematian kardiomiosit yang selanjutnya dapat diperburuk oleh berkurangnya perfusi, malnutrisi, uremia, dan hiperparatiroidisme. Hilangnya kardiomiosit ini menyebabkan dilatasi LV dan akhirnya terjadi disfungsi sistolik (Alhaj et al., 2013). Pressure overload dan volume overload bekerja dengan efek aditif dan sinergis. Akibatnya, hipertrofi miokard menginduksi aktivasi sinyal apoptosis seluler dan mengaktifkan jalur metabolisme yang mampu meningkatkan produksi matriks ekstraseluler hingga fibrosis. Fibrosis menyebabkan gangguan progresif dalam kontraktilitas dengan pengerasan dinding miokard, disfungsi sistolik dan diastolik, Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 67

kardiomiopati dilatasi dan gagal jantung kongestif. Hal ini juga menyebabkan gangguan elektrofisiologi jantung karena gangguan konduksi listrik ventrikel sehingga menimbulkan aritmia (Di Lullo et al., 2015). Oleh karena itu, LVH merupakan manifestasi awal dan ciri khas dari sindrom ini, pada tahap yang lebih lanjut, kardiomiopati uremik dapat hadir dengan dilatasi LV, bersama dengan disfungsi sistolik dan fraksi ejeksi LV yang berkurang (LVEF) (Alhaj et al., 2013). Pressure dan volume overload juga menstimulasi LVH melalui integrin yang memulai pensinyalan intraseluler sebagai respons terhadap bentangan matriks ekstraseluler. Peregangan juga dapat mempromosikan pelepasan ligan lokal, seperti angiotensin II dan endothelin 1 yang berikatan dengan reseptor serumpun pada permukaan kardiomiosit, merangsang jalur pensinyalan intraseluler. Tidak tergantung pada tekanan dan volume yang berlebihan, LVH pada CKD terjadi karena akumulasi zat hipertrofik yang terkait dengan keadaan uremik; contoh zat ini adalah endotelin 1, hormon paratiroid, tumor necrosis factor alpha (TNF- ), leptin, interleukin 1a, dan interleukin 6. Di antara zat-zat ini adalah steroid kardiotonik (CTS) (juga disebut sebagai zat seperti digitalis endogen), yang baru- baru ini dipelajari sebagai target terapi yang baik karena berat molekulnya rendah dan berpotensi untuk disaring oleh membran dialisis- semipermeable (Alhaj et al., 2013). Studi terbaru menunjukkan biomarker baru yang terlibat dalam patogenesis LVH, yaitu FGF23, salah satu fibroblast growth factor yang terutama terlibat dalam CKD-MBD dan hiperparatiroidisme sekunder. Salah satu studi menemukan bahwa kadar FGF23 secara independen terkait dengan derajat LVH dan terkait dengan indeks massa LV dan LVH. Kadar C-terminal FGF23 yang lebih tinggi secara independen terkait dengan penurunan EF, indeks massa LV yang lebih besar dan prevalensi LVH eksentrik dan konsentris. Beberapa studi menunjukkan hubungan antara vitamin D, kelangsungan hidup, kalsifikasi vaskular dan peradangan, terkait erat dengan manifestasi klinis CKD-MBD. Vitamin D juga terlibat dalam pengaturan sistem kekebalan, kardiovaskular, dan endokrin melalui aktivasi high- affinity nuclear vitamin D receptor (VDR). Hubungan antara polimorfisme gen LVH dan VDR baru-baru ini telah diteliti, dan telah dilaporkan bahwa Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 68

polimorfisme gen VDR BsmI terlibat dalam LVH pada pasien ESRD dan secara independen terkait dengan perkembangan LVH pada pasien dialisis dan pasien CKD stadium IIIb. Adanya varian mutasi dari BsmI dari gen VDR pada pasien ESRD telah dipikirkan sebagai penanda baru dari jalur pensinyalan vitamin D yang terganggu, yang mendorong peningkatan indeks massa LV (Di Lullo et al., 2015). Dua dari steroid kardiotonik ini adalah Ouabain dan Marinobufagenin, yang merupakan CTS endogen yang berinteraksi dengan sub-subunit protein trans- membran K-ATPase Na pada protein kardiomiosit di permukaan kardiomiosit. Zat- zat ini ditemukan dalam konsentrasi tinggi pada pasien dengan CKD dan dianggap sebagai komponen molekul utama yang terlibat dalam patogenesis kardiomiopati uremik, melalui mekanisme yang belum didefinisikan dengan baik. Mekanisme patologis lain yang terlibat dalam pengembangan kardiomiopati uremik adalah resistensi insulin dan jalur Akt. Hal ini baru-baru ini diteliti sebagai target terapi potensial lain untuk kardiomiopati uremik. Telah diketahui bahwa resistensi insulin merupakan faktor risiko independen untuk CVD pada CKD. Resistensi insulin yang mendasari pada pasien dengan uremia menyebabkan gangguan keseimbangan aksi pleiotropik dan metabolik insulin yang dicerminkan oleh perubahan jalur pensinyalan insulin intra seluler. Secara khusus, protein kinase atau jalur Akt dapat dilihat pada gambar 3.2. Jalur ini diyakini memainkan peran penting tidak hanya dalam mengatur perkembangan LVH, tetapi juga dalam angiogenesis koroner postnatal, fibrosis jantung, apoptosis seluler, siklus kalsium, dan disfungsi metabolisme. Resistensi insulin menghasilkan perubahan maladaptif pada jalur Akt, meningkatkan kontribusinya terhadap perkembangan kardiomiopati uremik (Alhaj et al., 2013). Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 69

Gambar 3.2 Transduksi sinyal insulin intraseluler 3.4 Target Terapi Kardiomiopati Uremikum Telah diketahui dengan baik bahwa pedoman umum yang diikuti untuk manajemen gagal jantung pada populasi normal tidak dapat diterapkan sepenuhnya pada pasien dengan CKD. Pencegahan CVD pada pasien CKD adalah pilihan terbaik untuk meningkatkan peluang kelangsungan hidup pasien. Tujuan utama terapi HF pada pasien CKD adalah (1) untuk menurunkan preload dan after load dan untuk mengurangi LVH, (2) untuk mengobati iskemia miokard, dan (3) untuk menghambat hiperaktif neurohumoral, terutama sistem saraf simpatis dan RAAS. Kekurangan vitamin D telah ditemukan terkait dengan disfungsi LV dan risiko kejadian kardiovaskuler, termasuk gagal jantung pada pasien CKD. Dengan demikian, pemberian kalsitriol intravena pada pasien dengan hiperparatiroidisme sekunder menyebabkan regresi parsial LVH dan penurunan aktivitas renin plasma dan tingkat angiotensin II. Hasil serupa menunjukkan pengurangan massa LV yang signifikan terlihat dengan suplementasi cholecalciferol untuk pasien dengan penurunan kadar vitamin D dan hormon paratiroid. Pedoman American College of Cardiology Foundation / American Heart Association menunjukkan bahwa beta-blocker harus Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 70

diresepkan untuk pasien dengan gagal jantung stabil karena disfungsi sistolik, kecuali dikontraindikasikan atau tidak dapat ditoleransi. Penggunaan beta-blocker pada pasien CKD dengan gagal jantung sistolik terbukti menyebabkan pengurangan risiko relatif 28% pada semua penyebab kematian dan 34% pada mortalitas kardiovaskular dibandingkan dengan plasebo. Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) dengan menghambat RAAS jantung dan dengan menghalangi pemecahan bradikinin, mencegah hipertrofi dan disfungsi LV, melalui merangsang sintesis prostaglandin dan nitrat oksida, yang berpotensi mencegah LVH. ACEi juga mengurangi aktivitas simpatis, meningkatkan fungsi endotel, menurunkan sitokin proinflamasi dan faktor protrombotik, dan merangsang faktor fibrinolitik. Semua mekanisme ini berpotensi berkontribusi pada peningkatan fungsi otot paru, ventrikel kanan, dan rangka. Perubahan gaya hidup, khususnya, berhenti merokok, olahraga, penurunan berat badan, dan diet rendah garam, telah diusulkan pada pasien CKD untuk mencegah / mengurangi risiko gagal jantung. Demikian pula, kontrol glikemik sangat disarankan pada pasien CKD diabetik untuk perlindungan kardiovaskular dan ginjal (Liu et al., 2014). Hal penting lain dalam pengelolaan kardiomiopati uremikum adalah untuk mengelola sesi hemodialisis dan dialisis peritoneum dengan lebih baik. Hemodialisis yang lebih sering (termasuk dialisis pendek harian atau panjang di malam hari) telah disarankan sebagai paradigma baru pengobatan dan studi observasi telah menunjukkan seberapa sering dan lebih lama sesi hemodialisis terkait dengan prevalensi yang lebih rendah dari LVH (Di Lullo et al., 2015). RINGKASAN Dilaporkan kasus seorang perempuan dewasa muda usia 35 tahun dengan keluhan sesak napas yang dialami sejak 3 bulan sebelum masuk rumah sakit dan memberat 1 minggu terakhir. Dyspnea on effort ada, orthopnea ada, paroxysmal nocturnal dyspnea ada. Pasien telah didagnosis CKD stadium 5 sejak 3 bulan yang lalu. Pada pemeriksaan fisis didapatkan konjungtiva pucat, peningkatan desakan vena sentral, ronki halus di kedua basal paru, dan edema pada dorsum Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 71

pedis. Dari pemeriksaan penunjang didapatkan anemia, hiperkalemia, dan penurunan fungsi ginjal dengan eGFR 2.0 ml min/1.73 m2, foto thorax didapatkan kardiomegali dan edema paru, Pada pemeriksaan ekokardiografi didapatkan fungsi sistolik ventrikel kiri dan ventrikel kanan yang menurun, disfungsi diastolik derajat berat, dialatasi semua ruang jantung, LVH eksentrik, global hipokinetik, dan efusi perikard ringan. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang, maka pasien didiagnosis dengan Congestive Heart Failure NYHA III, Dilated Cardiomyopathy, efusi perikard ringan, Chronic Kidney Disease G5A3, hiperkalemia, dan Community Acquired Pneumonia, dan efusi pleura bilateral. Adapun kardiomiopati uremikum merupakan kemungkinan penyebab gangguan kardiovaskuler yang terjadi pada pasien ini yang berujung pada insiden gagal jantung. Kardiomiopati uremikum merupakan keadaan patologis pada miokardium aKibat dari pengaruh gangguan fungsi ginjal. DAFTAR PUSTAKA 1. de Albuquerque Suassuna, P. G., Sanders-Pinheiro, H. and de Paula, R. B. (2018) ‘Uremic cardiomyopathy: A new piece in the chronic kidney disease-mineral and bone disorder puzzle’, Frontiers in Medicine, 5(JUL), pp. 1–10. doi: 10.3389/fmed.2018.00206. 2. Alhaj, E. et al. (2013) ‘Uremic cardiomyopathy: An underdiagnosed disease’, Congestive Heart Failure, 19(4). doi: 10.1111/chf.12030. 3. Aoki, J. et al. (2005) ‘Clinical and pathologic characteristics of dilated cardiomyopathy in hemodialysis patients’, Kidney International, 67(1), pp. 333–340. doi: 10.1111/j.1523- 1755.2005.00086.x. 4. Benedetto, F. A., Perticone, F. and Zoccali, C. (2010) ‘Cardiomyopathy in chronic kidney disease and in end-stage renal disease’, Cardiorenal Syndrome: Mechanisms, Risk and Treatment, pp. 175–187. doi: 10.1007/978-88-470- 1463-3_13. 5. Hruska, K. A. et al. (2010) ‘Cardiovascular risk in chronic kidney disease (CKD): The CKD-mineral bone disorder (CKD-MBD)’, Pediatric Nephrology, 25(4), pp. 769–778. doi: 10.1007/s00467- Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 72

009-1337-0. 6. Jimbo, R. and Shimosawa, T. (2014) ‘Cardiovascular risk factors and chronic kidney disease - FGF23: A key molecule in the cardiovascular disease’, International Journal of Hypertension. Hindawi Publishing Corporation, 2014. doi: 10.1155/2014/381082. 7. Liu, M. et al. (2014) ‘Cardiovascular disease and its relationship with chronic kidney disease’, European review for medical and pharmacological sciences, 18(19), pp. 2918–2926. 8. Lu, X. and Hu, M. C. (2017) ‘Klotho/FGF23 Axis in Chronic Kidney Disease and Cardiovascular Disease’, Kidney Diseases, 3(1), pp. 15–23. doi: 10.1159/000452880. 9. Di Lullo, L. et al. (2015) ‘Left Ventricular Hypertrophy in Chronic Kidney Disease Patients: From Pathophysiology to Treatment’, CardioRenal Medicine, 5(4), pp. 254–266. doi: 10.1159/000435838. 10. Malik, A. O. et al. (2018) ‘Cardiovascular Aspects of Patients with Chronic Kidney Disease and End-Stage Renal Disease’, Chronic Kidney Disease - from Pathophysiology to Clinical Improvements. doi: 10.5772/intechopen.69294. 11. Nuhu, F. and Bhandari, S. (2018) ‘Oxidative stress and cardiovascular complications in chronic kidney disease, the impact of anaemia’, Pharmaceuticals, 11(4), pp. 1–15. doi: 10.3390/ph11040103. 12. Schultheiss, H. P. et al. (2019) ‘Dilated cardiomyopathy’, Nature Reviews Disease Primers. Springer US, 5(1). doi: 10.1038/s41572-019-0084-1. 13. Zoccali, C., Yilmaz, M. I. and Mallamaci, F. (2013) ‘FGF23: A mature renal and cardiovascular risk factor?’, Blood Purification, 36(1), pp. 52–57. doi: 10.1159/000351001. Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 73

5 COVID-19 Concomitant Infective Endocarditis with Presentation of Acute Decompensated Heart Failure : A Case- Report Albert Sudharsono, Muzakkir Amir PENDAHULUAN Pada Desember 2019 di Wuhan, Provinsi Hubei, Tiongkok ditemukan pertama kali sebuah kasus pneumonia dengan etiologi yang berbeda dengan penyakit pneumonia sebelumnya. Setelah dievaluasi penyakit ini disebabkan oleh virus yang sekarang dikenal dengan Novel coronavirus disease (2019-nCoV). Ini merupakan awal dari serentetan kasus pneumonia COVID-19 yang kemudian menyebar ke seluruh dunia sehingga ditetapkan sebagai pandemi oleh WHO sejak tanggal 11 Maret 2020, lebih dari 200 negara mengkonfirmasi kejadian penyakit ini dan menyerang lebih dari 1 juta orang dengan tingkat rasio kematian positif antara 2-10 persen dengan rata-rata 5,97 persen. Indonesia mengklaim kasus pertama terjadi pada tanggal 2 Maret 2020, hingga kini telah berkembang hingga lebih dari 4200 kasus dengan angka case fatality rate (CFR) atau rasio kematian pasien positif corona di dalam negeri berada di level 8,79 persen. Di Sulawesi Selatan sendiri, kasus pertama diumumkan pada tanggal 19 Maret 2020. Hingga kini terkofirmasi lebih dari 300 orang positif, kategori orang dengan pemantauan mencapai 2340 orang dan 324 kasus orang pasien dalam pengawasan. Meskipun secara umum menyerang sistem pernafasan dan paru- paru dengan gejala yang ditimbulkan berupa sesak nafas, batuk kering hingga berdahak, berdebar-debar, demam dan lemas, dalam beberapa laporan penyakit ini memiliki kemiripan dengan gejala penyakit kardiovaskular, dalam beberapa kasus disebutkan pasien datang Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 74

dengan gejala sesak nafas, nyeri dada, berdebar-debar dan penurunan kesadaran.1 Pada penderita COVID-19 yang memiliki riwayat komorbid penyakit diabetes mellitus, hipertensi, dan penyakit kardiovaskular sebelumnya dapat memperberat dan meningkatkan kematian pneumonia yang diakibatkan oleh COVID-19 ini.2 Jauh sebelum COVID-19 menyebabkan pandemi di negara berkembang seperti Indonesia, penyakit infeksi dan gizi buruk merupakan penyebab terbanyak angka kesakitan dan kematian, dari tahun 1980 hingga sekarang masalah penyakit infeksi belum bisa diberantas dengan tuntas, pada saat yang bersamaan dominasi kesehatan mulai bergeser menjadi penyakit tidak menular seperi penyakit metabolik, hipertensi, degenerative dan kardiovaskular. Faktor kemiskinan, padat penduduk, tingkat pendidikan dan psikososial merupakan penyebab penyakit infeksi sulit diatasi. Salah satu penyakit infeksi penyakit kardiovaskular adalah demam rematik yang diakibatkan oleh infeksi kuman Streptococcus pyogenes (group A streptococcus), infeksi ini dimulai dari usia dini dan berkembang hingga dewasa. Komplikasi dari penyakit ini adalah Penyakit Jantung Rematik (PJR), penyakit ini menyebabkan kerusakan pada katup jantung akibat reaksi antigen-antibodi. Lebih lanjut PJR (46.9%) merupakan faktor resiko penyakit Infektif Endokarditis (IE); diikuti penyakit jantung bawaan (28.6%), penggunaan katup prostetik (10.4%), prolaps katup mitral (3.1%), penyakit jantung degeneratif (3.1%), dan etiologi tidak diketahui (7,8%). PJR paling banyak dijumpai di negara berkembang termasuk Indonesia, meskipun penyakit ini juga bisa dijumpai di negara maju. Penderita IE dapat tetap asimptomatik hingga usia dewasa, gejala baru akan muncul ketika terdapat komplikasi seperti gagal jantung, stroke, sepsis, hingga penurunan kesadaran. Kejadian konkomitan penderita IE dengan pneumonia COVID-19 akan banyak dijumpai di negara berkembang sehingga pengenalan akan presentasi klinis, komplikasi, tatalaksana, dan keluaran yang diharapkan sangat penting. Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 75

LAPORAN KASUS Seorang pasien laki-laki usia 61 tahun datang dengan keluhan sesak nafas, sesak nafas dirasakan sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit, sesak nafas bertambah berat saat aktifitas dan berkurang saat istirahat, dan tidak bisa tidur terlentang. Sesak nafas pertama kali dirasakan sejak 1 tahun lalu, namun pasien tidak pernah memeriksakan kesehatan secara menyeluruh. Pasien juga menyeluh rasa tidak nyaman di dada sebelah kiri tidak dipengaruhi oleh aktifitas, pasien juga mengeluh nyeri sendi dan rasa tidak nyaman di seluruh tubuh. Pasien memiliki riwayat penyakit hipertensi sebelumnya namun tidak rutin berobat, riwayat penyakit lainya tidak ada. Riwayat penyakit jantung sebelumnya disangkal oleh pasien. Pasien mengaku riwayat berpergian umroh selama 10 hari dan kembali ke Indonesia 2 minggu sebelum masuk rumah sakit. Pada saat tiba di tanah air, pasien tidak memiliki keluhan bermakna selain kelelahan. Pada pemeriksaan fisik di Instalasi Gawat Darurat (IGD) didapatkan tekanan darah 130/60 mmHG, nadi 90 kali/menit, suhu 36.50C, pernafasan 24 kali permenit, saturasi oksigen 94% tanpa pemberian O2, dan peningkatan JVP R+3 cmH20. Pada pemeriksaan auskultasi dada didapatkan ronchi basah halus di basal bilateral kedua paru dan ronchi kasar di medial paru kanan, didapatkan bunyi jantung pansistolik murmur di apex grade 4/6 yang menjalar ke daerah apex dan bunyi jantung diastolik di sela iga 2 kanan atas grade 2/4. Pada pemeriksaan palpasi abdomen didapatkan kesan hepatomegali di lobus dextra 2 cm dibawah arcus costae kanan dengan sudut tumpul. Pada pemeriksaan fisik di ekstremitas ditemukan bengkak di kedua tungkai. Pada pemeriksaan penunjang elektrokardiografi di IGD didapatkan kesan sinus ritme, regular, deviasi aksis ke kiri, iskemik dinding anteroseptal. (gambar 1) Pada pemeriksaan radiologi di dapatkan kesan kardiomegali, dilatasi dan elongasi aorta, dan edema paru bilateral (gambar 2), sedangkan pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis, peningkatan enzim transaminase, gangguan fungsi ginjal, hiponatermia ringan. (tabel 1) Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 76

Pasien dilakukan pemeriksaan ekokardiografi didapatkan pembesaran ruang jantung atrium kanan, atrium kiri, ventrikel kanan, penurunan fungsi sitiolik ventrikel kanan, katup trikuspid regurgitasi moderate, katup aorta regurgitasi modertate, katup mitral regurgitasi berat. Selain itu ditemukan vegetasi di katup mitral anterior ukuran 1.03 cm x 0.3 cm dan fungsi sitolik ventrikel kiri dalam batas normal. (gambar 3) 1a 1b Gambar 1 Elektrokardiografi 12 sandapan 1a. Irama sinus, HR 91 bpm; axis: -45 derajat; P wave 0.04s; PR interval 0.16 s, QRS duration 0,08s; Inversi gelombang T di V1-V4 1b. skala diperkceil menjadi 25 mm/5 mv untuk melihat hipertrofi ventrikel kiri dan fokus di segmen ST dan gelombang T Pasien dicurigai menderita COVID-19 dikarenakan riwayat berpergian ke daerah endemik COVID-19, disertai keluhan batuk dan sesak nafas. Sehingga pasien diputuskan untuk dilakukan pemeriksaan Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 77

awal penyaring sesuai panduan internasional dari European Society of cardiology (ESC) dilakukan pemeriksaan Computed Tomography (CT) rongga thoraks dilanjutkan dengan pemeriksaan swab nasofaring reverse-transcription polymerase-chain- reaction (RT-PCR) untuk menyingkirkan diagnosis COVID-19. Pasien sementara di asses dengan gagal jantung kongestif NYHA III, possible infective endocarditis, mitral regurgitasi berat, tricuspid regurgitasi moderate, aorta regurgitasi moderate, peningkatan enzim transaminase, dan gagal ginjal akut. Sementara itu pasien mendapatkan terapi pemberian oksigen 3 lpm nasal kanul, furosemide 40 mg per 8 jam intravena, ampicillin 3 gr per 6 jam intravena, gentamicin 180 mg per 24 jam intravena, ramipril 2,5 mg per 24 jam oral. Pasien dikonsul ke bagian ginjal hipertensi untuk tatalaksana gagal ginjal akut dan mendapatkan terapi berupa rehidarasi cairan 1500-2000 cc natrium chloride 0.9% intravena. Hasil pemeriksaan CT scan rongga thoraks menunjukan pneumonia bilateral dan kardiomegali (gambar 4), sehingga pasien dikonsul ke bagian pulmonologi. Bagian pulmonologi menegakan diagnosis sementara berupa pasien pneumonia curiga COVID-19 sehingga pasien dirawat di ruang isolasi khusus Pasien Dengan Pneumonia (PDP) Infection Center (IC) sambil menunggu hasil pemeriksaan swab nasofaring Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 78

Pada perawatan hari kedua, keluhan sesak nafas semakin memberat, batuk semakin produktif, pada pemeriksaan fisik ekstremitas pasien saat rawat inap ditemukan lesi di jempol tangan kanan terasa nyeri jika ditekan (osler node) dan sebuah bercak kehitaman (splinter hemorrhages) di telunjuk tangan tidak nyeri dan tidak disertai riwayat trauma, pasien mengaku lesi itu sudah lama dan tidak ingat kapan pertama kali timbul. Pasien mendapatkan perubahan terapi antibiotik, ampicillin dihentikan diganti dengan golongan kuinolon moxiflocacin 400 mg per 24 intravena dan ditambahkan mukolitik N- acetylcysteine 200 mg per 8 jam oral. Pada perawatan hari ketiga hingga keempat batuk semakin berat disertai gatal pada tenggorokan, namun sesak berkurang dan nafsu makan berkurang karena mual. Pada pemeriksaan darah didapatkan leukositosis (WBC 17400/uL), Trombositopenia (143.000/uL), peningkatan enzim transaminase hati ( GOT 1135 U/L dan GPT 1634 U/L), dan hiponatermia (132 mmol/l), diuresis kesan baik 0.7-0.9 cc/kgbb/jam. Nasal kanul diganti menjadi simple mask dengan dosis 6 lpm, obat golongan penghambat ACE ramipril dihentikan, ditambahkan pemberian codein 10 mg per 8 jam oral, antihistamin cetririzine 10 mg per 24 jam oral, lansoprazole 30 mg per 24 jam intravena, selain itu diberikan obat hepatoprotektor curcuma 200 mg oral per 8 jam dan maxilive 1 caps per 8 jam oral. Pasien juga dilakukan pemeriksan urin lengkap untuk mencari fokus infeksi, namun tidak ditemukan kelainan bermakna. Pada hari perawatan ke 5 pasien mengeluh sesak menetap, hasil pemeriksaan C- Reactive Protein (CRP) meningkat 18.9 mg/l dan peningkatan prokalsitonin 0.12 ng/ml. Hasil pemeriksan hasil pemeriksaan swab nasofaring menyatakan pasien positif menderita COVID- 19, pasien dipindahkan ke perawatan isolasi khusus COVID-19. Pada perawatan hari ke 6 keluhan sesak nafas menetap, batuk dirasakan berkurang, diberikan tambahan obat antiviral berupa oseltamivir 75 mg per 12 jam oral, terapi adjuvant berupa vitamin C 300 mg per 8 jam oral dan vitamin B 1 tablet per 24 jam oral. Pemberian obat ini didasari ketersediaan obat dan beberapa uji coba klinis yang sudah dilakukan di negara lain.3 Pada perawatan hari ke 7, keluhan sesak nafas mulai berkurang, Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 79

batuk sudah berkurang, pada pemeriksaan fisik tanda vital dalam batas normal, saturasi 97% dengan O2 3 lpm nasal kanul. Moxifloxacin diganti dengan pemberian Levofloxacin 500 mg per 24 jam intravena. Pada perawatan hari 8 hingga 10, keluhan sesak semakin berkurang batuk semakin jarang, pemeriksaan fisik lain menunujukan perbaikan suara nafas, oksigen tidak terpasang, pasien sudah mulai bisa mobilisasi ringan. Pada hari perawatan ke 11 pasien dilakukan swab nasofaring ulang permeriksaan swab nasofaring ulang menunjukan hasil negatif COVID-19. Pada hari perawatan ke 13 dilakukan pemeriksaan CT scan thoraks kembali dan pemeriksaan swab nasofaring ulang kembali, hasil pemeriksaan swab menunjukan hasil negatif COVID-19 dan pada pemeriksaan CT scan menunjukan perbaikan sehingga pasien dipulangkan. Gambar 2 Foto thoraks Posterior Anterior Cor : CTI = 0.68, Aorta dilatasi, Kerley B-lines positif, Kesan Kardiomegali Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 80

Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 81

Gambar 4 Hasil Pemeriksaan Echocardiografi Normal left ventricular systolic function, Ejection Fraction 69.7% (TEICH), LA, RA, RV dilatation, TR moderate, PR mild, MR severe, vegetation AML, AR moderate, calsification LCC, NCC, RCC Pasien kembali lagi masuk ke Instalasi gawat darurat 2 hari paska dipulangkan dari rawat inap dengan keluhan sesak nafas, sesak nafas dirasakan sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit, sesak nafas bertambah berat saat aktifitas dan berkurang saat istirahat, dan tidak bisa tidur terlentang. Keluhan nyeri dada tidak ada, berdebar tidak ada, konsumsi obat tidak teratur dan minum air banyak. Pada pemeriksaan fisik di IGD didapatkan tekanan darah 110/60 mmHG, nadi 110 kali/menit, suhu 36.50C, pernafasan 24 kali permenit, saturasi oksigen 94% tanpa pemberian O2, dan peningkatan JVP R+3 cmH20. Pada pemeriksaan auskultasi dada didapatkan ronchi basah halus di mediobasal bilateral kedua paru, bunyi jantung pansistolik murmur di apex grade 4/6 yang menjalar ke daerah apex dan bunyi jantung diastolik di sela iga 2 kanan atas grade 2/4. Pada pemeriksaan fisik di ekstremitas ditemukan bengkak di kedua tungkai dan pasien mengaku terdapat pembesaran di skrotum bilateral. Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 82

Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan penurunan fungsi ginjal yang persisten seperi saat perawatan, terdapat perbaikan fungsi enzim hati, dan terdapat hiponatremia berat. low osmolarity hipervolume. Pasien kembali di asses dengan acute decompensated heart failure, hyponatremia Infective Endocarditis, Mitra regurgitasi berat, Post infeksi Covid-19, Acute Kidney Injury, Hyperuricemia Asymptomatic, Pasien mendapatkan terapi NaCl 3% 500cc per 24jam intravena dilanjutkan NaCl 0.9% 500cc per 24jam intravena, Furosemid 10 mg per jam syringepump, Amlodipine 10 mgper 24 jam oral, N-ace 200mg per 8 jam oral, Maxiliv tab per 8 jam oral dan antibiotik ceftriaxone 2gr per 24jam intravena. Pada hari perawatan ke 2, pasien masih mengeluh sesak nafas, tanda vital dalam batas normal, ronchi basah halus masih ada di mediobasal kedua paru, disertai kedua tungkai paru, sehingga diberikan terapi tambahan diuretik vasopressin-2 (V2) berupa Tolvaptan (Samsca) 15 mg per 24 jam oral selama 3 hari.4 Pada perawatan hari ke 3 hingga ke 5, keluhan sesak semakin berkurang, nyeri dada tida ada, pasien kembali mobilisasi ringan. Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda vital stabil, ronchi minimal di basal bilateral paru, oedema scrotum dan tungkai tidak ada. Diuresis per hari rata-rata 2.1-2.4 cc/kg/bb/jam dan balance cairan selalu negatif. Pada perawatan hari ke 5 pasien diperbolehkan pulang, pasien direncanakan untuk dilakukan pemeriksaan serologi dan PCR untuk mengetahui bakteri pathogen yang menyebabkan infektif endocarditis dan keungkinan operasi saat setelah pandemi berakhir. Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 83

DISKUSI KASUS 3.1 Infektif Endokarditis dan COVID-19 Seiring dengan berkembangnya keadaan pandemik dunia saat ini, dalam praktek sehari- hari kita akan menemukan infeksi COVID-19 bersamaan dengan komorbid penyakit lain-nya. Pasien yang memiliki riwayat penyakit sebelumnya seperti darah tinggi, diabetes dan penyakit jantung sebelumnya adalah kelompok pasien dengan resiko tinggi menderita COVID-19. Pada pasien dengan COVID-19 meskipun paling banyak datang dengan keluhan sesak nafas dan gangguan pernafasan, pada beberapa kasus dilaporkan pasien datang dengan keluhan nyeri dada, sesak nafas, hingga aritmia.2 Setidaknya terdapat 6 buah teori yang menyebabkan keterlibatan organ jantung pada infeksi COVID-19 yaitu : (1) perlukaan langsung SARS-COV- 2 yang berikatan dengan reseptor angiotensin-converting enzyme 2 (ACE2), (2) Inflamasi sistemik sehingga menyebabkan kegagalan multi organ ditandai dengan peningkatan marka pro inflamasi, (3) Perubahan kebutuhan dan suplai ditandai perubahan metabolik ditandai infeksi sistemik, (4) rupture plak dan thrombosis koroner akibat peningkatan “shear stress” akibat peningkatan aliran darah koroner, (5) Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 84

pengobatan antivirus, (6) keseimbangan elektrolit pada setiap kejadian infeksi berat dan interaksi sistem SARS-CoV-2 dengan renin- angiotensin- aldosterone.1 Pada pasien dengan IE manifestasi klinis biasanya baru akan keluar pada usia dewasa di atas usia 40 tahun, hal ini dikarenakan semakin bertambah usia terjadi degenerasi di katup jantung. Manifestasi klinis yang biasa nya timbul adalah demam, anemia, hematuria, nyeri sendi hingga gejala gagal jantung akut.5 Strategi diagnostik (Modified Duke Criteria) menggunakan kombinasi temuan klinis, mikrobiologis, patologis, dan ekokardiografi. Kriteria ini mengelompokkan pasien dengan dugaan IE ke dalam tiga kategori: kasus \"pasti\", diidentifikasi secara klinis atau patologis, kasus \"mungkin\" (tidak memenuhi kriteria untuk IE tertentu), dan kasus \"ditolak\".6 Pada kasus ini dilaporkan pasien dengan riwayat infektif endokarditis berdasarkan pemeriksaan echocardiografi, karena pada anamnesis dan pemeriksaan fisik serta elektrokardiografi, pasien dikategorikan sebagai gagal jantung kongestif, namun pada pemeriksaan echocardiografi kami menegakan diagnosis infektif endocarditis, hal ini dikarenakan pasien memenuhi kriteria Modified Duke Criteria yaitu 1 kriteria mayor berupa ditemukan-nya vegetasi pada anterior katup mitral berukuran 1.3 x 0.3 cm, 3 kriteria minor berupa fenomena imunologi lesi osler node, fenomena vaskular splinter hemmorhages, dan riwayat demam lebih dari 38oC.7 Hubungan langsung COVID-19 dapat menyebabkan IE kami bantah dalam laporan kasus ini meskipun belum ada teori yang membenarkan atau menolak hipotesa tersebut, pada pasien ini diagnosis IE didapatkan pada pemeriksaan echocardiografi dan pemeriksaan fisik setelah dilakukan pemeriksaan secara menyeluruh. Pada anamnesis pasien sudah memiliki riwayat sesak nafas dan gejala gagal jantung sejak 1 tahun sebelum masuk rumah sakit, pada pemeriksaan echocardiografi terdapat pembesaran ruang jantung dan kelaianan katup jantung yang menandakan proses sudah berlangsung kronis. Infektif Endokarditis pada pasien ini disebabkan oleh penyakit jantung rematik, hal ini ditegakan berdasarkan pemeriksaan echocardiography ditemukan regurgitasi katup mitral berat dengan panjang jet ≥2 cm, velositas ≥ 3 m/s dan dapat dilihat di apical 4 Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 85

chamber dan 2 chamber. Pada katup aorta juga terdapat jet regurgitasi moderate yang terlihat pada apical 5 chamber dan 2 chamber.8 Pada katup anterior ditemukan vegetasi pada anterior katup mitral, vegetasi merupakan proses antibodi antigen yang dinisiasi dengan pelepasan thromboplastin dan endotel yang mengaktivasi agregrasi platelet dan perlekatan fibrin oleh thrombin sehinga berikatan dengan lapisan endothelium. Proses ini terjadi sebagai mekanisme pertahanan tubuh agar bakteri tidak terpapar oleh antibodi respon humoral.9 Gambar 6 Kriteria diagnosis PJR pada pemeriksaan ekokardiografi menurut World Heart Federation 2012 Infektif endokarditis disebabkan oleh infeksi mikroorganisme seperti bakteri dan jamur, hingga kini belum ada literature yang menyebutkan bahwa IE dapat disebabkan oleh virus.10 Bakteri yang tersering menyebakan IE adalah Streptococcus, Staphylococcus aureus, Staphylococcus coagulase negative, Enterococcus spp, grup Haemophilus species, Aggregatibacter species, Cardiobacterium hominis, Eikenella corrodens, and Kingella species (HACEK), dan Polymicrobial.5 Penyakit jantung rematik merupakan faktor risiko utama pada era pra-antibiotik, namun kelompok pasien berisiko ini telah digantikan oleh kelompok berisiko baru, termasuk seperti golongan pengguna obat intravena, orang tua dengan sklerosis katup, Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 86

pasien dengan prostesis intravascular seperti operasi katup jantung, penyakit nosokomial, dan pasien hemodialisis.11 Pada kasus ini hasil kultur menunujukan hasil negatif, tidak semua kasus menunjukan hasil positif karena disebabkan oleh beberapa hal, dalam literatur disebutkan hingga 70% kasus IE memberikan hasil negatif, hal ini dapat disebabkan beberapa faktor seperti letak goegrafis, penggunaan antibiotik sebelumnya, cara pengambilan sampel yang tidak sesuai, hingga keterlibat pathogen yang tidak lumrah dikenal.12 Pada kasus ini di Indonesia sering terjadi hasil negatif dalam pemeriksaan kultur darah, hal ini disebabkan penggunaan antibiotik yang masif pada praktek sehari-hari, cara pengambilan sampel darah yang tidak adekuat dan media kultur yang tidak sesuai. Pada panduang European Society of cardiology (ESC) IE jika hasil kultur negative, dilakukan pemeriksaan tambahan serologi spesies yang mungkin terkena seperti C burnetiid, Bartonella quintana, B henselae, Legionella pneumophila, Brucella melitensis dan Mycoplasma pneumoniae , dilanjutkan dengan pemeriksaan PCR darah jika pada pemeriksaan serologi negatif.6 Gambar 7 Alur Pemeriksaan pada pasien IE Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 87

3.2 Prioritas, Dilema, dan Komplikasi Tatalaksana COVID-19 dan Infektif Endokarditis 3.2.1.ACE inhibitor dan Angiotensin Reseptor Blocker (ARB) Tatalaksana pada pasien dengan COVID-19 dan konkomitan penyakit IE merupakan diskusi baru. Pada pasien dengan presentasi gagal jantung akut menurut panduan ESC terapi pada pasien gagal jantung maka akan mendaptkan terapi berupa ACE-inhbitor atau Angiotensin Receptor Blocker (ARB). Sistem renin-angiotensin- aldosteron (RAAS) mempertahankan konsentrasi natrium plasma melalui umpan balik dari tekanan darah, baroreseptor, dan kadar natrium dan kalium. Pertama, ginjal mengeluarkan renin, yang memetabolisme angiotensinogen menjadi angiotensin I. Selanjutnya, ginjal dan paru-paru mengeluarkan ACE, yang mengubah angiotensin I menjadi angiotensin II. Akhirnya, angiotensin II merangsang vasokonstriksi, respons kardiovaskular, dan produksi aldosteron dan ADH; ini pada akhirnya meningkatkan tekanan darah dan volume cairan tubuh melalui natrium, kalium, dan resorpsi air bebas. Reseptor ACE2, homolog dari reseptor angiotensin I-converting enzyme (ACE), adalah transmembran aminopeptidase tipe I dengan ekspresi tinggi di jantung dan jaringan paru-paru tetapi yang juga diekspresikan dalam endotelium dan ginjal (Gambar 8). Reseptor ACE2 tampaknya melawan regulasi aktivasi RAAS dengan menurunkan angiotensin II. Sistem RAAS banyak terlibat dalam DM, hipertensi, dan gagal jantung. Obat ACEI dan ARB, berdasarkan bukti ilmiah, umumnya digunakan dalam manajemen hipertensi, gagal jantung, perawatan infark pasca miokard, dan memperlambat perkembangan penyakit ginjal yang berhubungan dengan diabetes. Penyebab kerusakan jantung pada pasien dengan COVID-19 masih belum jelas, tetapi reseptor ACE2 dapat berperan karena afinitas tinggi terhadap SARS-CoV. Sebuah hipotesa Lancet Respiratory Medicine melaporkan penggunaan obat yang menambahkan reseptor ACE2 berisiko tinggi untuk infeksi COVID-19 yang berat. ACE-I menghambat ACE yang menyebabkan penurunan kadar angiotensin I, menyebabkan umpan balik negatif yang pada akhirnya meningkatkan lebih banyak reseptor ACE2 untuk dapat berinteraksi dengan Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 88

penurunan substrat angiotensin I yang tersedia (Gambar 8). Peningkatan regulasi reseptor ACE2 ini menghasilkan peningkatan situs pengikatan untuk SARS-CoV-2, yang mengarah pada infeksi COVID-19 preferensial. Pendapat ini dirilis oleh British Medical Journal.sebelum temuan yang diterbitkan oleh Peng et al..13 Komentar editorial oleh Watkins et al.14, berdasarkan temuan oleh Ferrario et al. menunjukkan peningkatan 5 kali lipat dalam tingkat ACE2 dengan lisinopril dan peningkatan 3 kali lipat dalam tingkat ACE2 dengan losartan15, Gambar 8 Jalur RAAS menunjukkan mekanisme aksi ACEI / ARB dan mekanisme infeksi SARS-COV2 melalui reseptor ACE216 Sebaliknya, beberapa peneliti berpendapat bahwa penggunaan ACEI atau ARB mungkin bermanfaat dalam pencegahan infeksi COVID- 19. Li et al. mengusulkan bahwa ACE-I dapat merangsang umpan balik negatif (mengingat kurangnya angiotensin II, meningkatkan reseptor ACE2 dan mengurangi peradangan keseluruhan . Sun et al. berpendapat bahwa penggunaan ACEI meningkatkan jalur reseptor ACE / angiotensin II / angiotensin-1, oleh karena itu, mengganggu integritas ACE2 / angiotensin 1-7 / MAS (reseptor yang digabungkan protein G terkait MAS). Gangguan jalur ACE2 / angiotensin 1-7 / MAS dapat menyebabkan penurunan produksi ACE2, mengurangi kemungkinan SARS-CoV-2 memasuki sel. Beberapa model hewan yang dilemahkan dengan RAAS menunjukkan pengurangan gejala pada pneumonia berat akut dan kegagalan pernapasan, melalui mekanisme vasokonstriksi. Temuan terbaru juga menunjukkan bahwa pasien yang Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 89

menggunakan ARB olmesartan mengalami peningkatan sekresi ACE2 kemih, kemungkinan dari mekanisme upregulasi, meskipun tidak jelas. Terlepas dari hipotesis peningkatan ACE2 ini, hubungan sebab akibat yang menurunkan angka kematian belum ditunjukkan.17 Menngingat hipotesis yang kontradiktif, sifat penyakit yang berkembang pesat, dan histeria terkait media sosial, beberapa asosiasi kardiologi (HFSA / ACC / AHA dan ESC Hypertension Council) mengeluarkan pernyataan resmi mengenai kelanjutan ACEI dan ARB untuk COVID-19 pasien. Asosiasi sangat merekomendasikan melanjutkan pengobatan dengan ACEI / ARB pada pasien yang sebelumnya menggunakan kedua kelas obat. Sehingga pengguaan ACE-I pada pasien dengan COVID-19 tidak dapat disalahkan maupun dibenarkan dikarenakan kurang nya data dan bukti klinis pada pasien naïve maupun pasien yang sudah rutin menggunakan ACE-I/ARB. Melihat efek positif penggunaan obat tersebut pad apasien dengan diabetes, penyakit ginjal kronik dan proteinuria maka terapi akan terus dilanjutkan.18 3.2.2 Pemberian Antiviral, Mukolitik, dan Antibiotik Hingga kini belum terdapat panudan tatalaksana internasional dalam penanganan COVID-19 baik murni maupun dengan konkomitan. Uji coba klinis dilakukan di dalam penanganan COVID-19 langsung pada tahap 3 dan 4. Pada kasus ini pasien mendapatkan terapi oseltamivir sebagai anti viral dengan dosis 75 mg per 12 jam, hingga kini uji klinis pemberian obat ini masih dilakukan di Tongji Tiongkok dan Rajavithi India pada fase 4. Obat anti viral ini digunakan sebagai pengobatan virus influenza A dan B, obat ini menghambat neuroaminidase virus sehingga menghambat pelepasan viral dari sel inang dalam traktus respiratori.3 Dalam penanganan COVID-19 baru ada beberapa kasus melaporkan efek samping berupa ekserbasi pada pasien psoriasis19. Namun pada sebuah laporan yang dilakukan oleh Sanders et al. dalam sebuah laporan tinjauan pustaka menjelaskan oseltamivir tidak memiliki efek positif pada tatalaksana COVID-19 jika tidak konkomitan dengan virus Influeza A atau B. Dalam studi tersebut penulis melaporkan penggunaan Umifenovir (juga dikenal sebagai Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 90


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook