Gambar 6. EKG serial 15 menit kemudian (11/7/2019, 20.15) Dilakukan optimalisasi penggunaan inotropik dan vasopressor dan pemberian loading cairan 200 cc. Pada pukul 21.00, denyut jantung pasien menjadi tidak teratur dan melambat Gambar 7. EKG pasien pada 11/7/2019, 21.00 Dilakukan edukasi kepada keluarga pasien mengenai kondisi pasien yang tidak stabil dan informed consent untuk tindakan resusitasi jantung paru dengan kondisi pasca operasi, keluarga menolak. Pasien dinyatakan meninggal bersama dengan TS BTKV dan TS Anestesi di depan perawat dan keluarga. Keluarga menerima. DISKUSI Pada pasien dilakukan revaskularisasi dengan CABG. Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 191
Berdasarkan 2018 ESC/EACTS Guidelines on Myocardial Revascularization, revaskularisasi komplit untuk lesi signifikan harus dilakukan pada pasien Non-ST elevation acute coronary syndrome (NSTEACS) dengan multivessel disease, karena prognosis pasien dengan revaskularisasi inkomplit lebih buruk dibandingkan pasien dengan revaskularisasi komplit (Neuman et al.,2019, Fox et al.,2010, Walentin et al., 2001). Revaskularisasi komplit didefinisikan dengan percutaneous coronary intervention (PCI) atau bypass seluruh pembuluh epikardium dengan diameter 1.5 mm dan pengurangan diameter luminal 50% pada setidaknya 1 view angiografi (Neuman et al., 2019). Namun, risiko komplikasi periprosedural pada pasien dengan NSTEACS jauh lebih tinggi dibandingkan pada pasien dengan coronary artery disease (CAD) stabil. 5-10% pasien dengan NSTEACS membutuhkan CABG, dan pasien dalam kondisi ini berisiko lebih besar dibandingkan pasien CABG elektif (Neuman et al., 2019, Lindholm et al., 2014). Tidak ada uji klinis acak yang khusus menilai luaran revaskularisasi dengan PCI dibandingkan CABG pada pasien NSTEACS, sehingga Guideline ESC menggunakan kriteria revaskularisasi yang sama dengan untuk pasien CAD stabil (Neuman et al., 2019). Sebuah meta-analisis dari data The Randomized Comparison of Coronary Artery Bypass Surgery and Everolimus-Eluting Stent Implantation in the Treatment of Patients with Multivessel Coronary Artery Disease (BEST) trial, Premier of Randomized Comparison of Bypass Surgery versus Angioplasty Using Sirolimus-Eluting Stent in Patients with Left Main Coronary Artery Disease (PRECOMBAT) trial, dan The Synergy between Percutaneous Coronary Intervention with Taxus and Cardiac Surgery (SYNTAX) trial membandingkan luaran pasien NSTEACS dengan hemodinamik stabil dan multivessel disease yang direvaskularisasi dengan PCI dibandingkan CABG, ternyata insidensi luaran primer (komposit kematian, infark miokard, dan stroke) lebih rendah pada grup CABG dibandingkan PCI. Khusus pasien dengan diabetes, luaran CABG jelas lebih baik dibandingkan PCI (Ramanathan et al., 2017), sehingga pada pasien ini pemilihan CABG untuk revaskularisasi pada pasien sudah sesuai. Pada pasien dengan CAD stabil dan diabetes, CABG Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 192
direkomendasikan dengan level of evidence IA pada pasien dengan three vessel disease dan SYNTAX score tinggi maupun rendah (Neuman et al., 2019). SYNTAX score pasien adalah 31, sehingga pasien diindikasikan untuk dilakukan CABG. Dilakukan penghitungan EuroSCORE II untuk menilai in-hospital mortality pasca CABG dengan hasil 1.5% dan skor STS dengan hasil risk of mortality 1.831% dan mortality or morbidity 11.551%. Tidak ada kontraindikasi operasi dari bagian lain. Sebelum bypass, episode iskemia perioperasi secara khusus telah diketahui berhubungan dengan insidensi MI pasca operasi yang lebih tinggi (Al-Attar, 2011). Tujuh puluh satu persen komplikasi pasca operasi terjadi pada pasien dengan acute coronary syndrome perioperasi (Leung et al., 1990). Enam jam pasca operasi, tekanan darah pasien tiba- tiba menurun dan terdapat gambaran sinus aritmia dan ST elevasi pada EKG monitor. Dilakukan EKG 12 sandapan ulang dan pemeriksaan biomarka jantung CK-MB dan troponin. Pada pasien pasca operasi, penilaian gejala iskemia dapat terganggu oleh nyeri pasca operasi, delirium, dan penggunaan analgesik. Selain itu, manipulasi perikardium dan miokardium selama operasi dapat menyebabkan perubahan EKG. Peningkatan biomarka adalah satu- satunya parameter yang dapat dipercaya dalam mendiagnosis MI tipe 5. Namun, untuk MI tipe 5, ambang nilai tertentu sulit untuk ditentukan karena peningkatan troponin pasti terjadi pada setiap prosedur operasi jantung. Terdapat banyak faktor yang dapat menyebabkan myocardial injury selama prosedur CABG. Pada saat prosedur operasi, terjadi trauma langsung pada jaringan miokardium akibat manipulasi bedah. Selain itu, penggunaan alat dan obat-obatan selama prosedur dapat menyebabkan myocardial injury baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh sebab itu, peningkatan kadar troponin jantung pasti terjadi setelah semua prosedur CABG (Moussa et al., 2013). Terdapat beberapa definisi MI tipe 5 dengan ambang batas troponin dan CK-MB yang berbeda-beda (Thygesen et al., 2019, Garcia-Garcia et al., 2018, Moussa et al., 2013, Novack et al., 2012, Whitlock et al., 2015). Namun, uji klinis nilai prognostik definisi ini terhadap pasien masih terbatas. Lee et al. melaporkan bahwa infark miokardium pasca Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 193
revaskularisasi dapat diprediksi dengan adanya lesi tipe B2/C dan fibroatheroma dengan daerah cap tipis pada optical coherence tomography (Lee et al., 2011). Studi lain menunjukkan asosiasi kuat antara pelepasan biomarka pasca revaskularisasi dengan burden plak aterosklerosis, burden thrombus, kalsifikasi koroner, dan eksentrisitas lesi dari angiografi dan intravascular ultrasound (Mehran et al., 2000, Kanaparti et al., 2000, van Gaal et al., 2009). Muschart et al menunjukkan bahwa bukti angiografi penyebab peningkatan biomarka (oklusi cabang, embolisasi distal, slow flow, no-reflow, thrombosis stent atau perforasi koroner) hanya ditemukan pada 60% pasien (Muschart et al., 2012). Temuan dari beberapa studi ini cukup membingungkan, peningkatan biomarka jantung pasca revaskularisasi dapat dijelaskan sebagai epifenomena dari beratnya lesi (Cutlip et al., 2012) atau disebabkan oleh oklusi graft atau arteri native baru. Kepentingan peningkatan biomarka tanpa bukti angiografi juga dipertanyakan. Dalam sebuah systematic review dari 6 studi, peningkatan biomarka tidak memiliki dampak prognostik kecuali disertai dengan temuan kegagalan graft atau komplikasi lain pada angiografi (Jeremias et al., 2014). Berdasarkan 4th Universal Definition of Myocardial Infarction (4th UDMI), MI tipe 5 didefinisikan sebagai peningkatan troponin >10 kali persentil 99 URL selama 48 pertama setelah CABG, pada pasien dengan nilai dasar troponin normal. Peningkatan troponin ini juga harus didukung oleh data EKG, angiografi, atau data pencitraan yang menunjukkan adanya iskemia miokardium baru atau adanya nonviabilitas miokardium yang baru. Deviasi segmen ST dan perubahan gelombang T sering terjadi pasca CABG dan bukan indikator terjadinya iskemia miokardium. Namun, elevasi segment ST yang disertai dengan depresi segmen resiprokal dapat menjadi penanda adanya kejadian iskemik pasca CABG (Thygesen et al., 2019). Pada pasien dengan nilai awal troponin yang meningkat sebelum prosedur (stabil (variasi <20%) atau menurun), troponin pasca prosedur harus meningkat lebih dari 20% nilai awal, dengan syarat nilai troponin pasca prosedur lebih dari 10 kali persentil 99 upper reference limit (URL). Peningkatan troponin ini harus disertai dengan salah satu dari: Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 194
1. Adanya gelombang Q patologis baru 2. Adanya bukti angiografi terjadinya oklusi graft atau adanya oklusi arteri koroner native baru 3. Adanya bukti kehilangan viabilitas miokardium baru atau regional wall motion abnormality baru yang konsisten dengan iskemia miokard. Gelombang Q patologis baru saja dapat memenuhi kriteria MI tipe 5 jika nilai troponin meningkat kurang dari 10 kali persentil 99 URL. Peningkatan nilai troponin tanpa disertai dengan bukti iskemia pada EKG/angiografi/pencitraan menandai adanya myocardial injury yang signifikan selama prosedur CABG. Keadaan ini berkaitan dengan beberapa komplikasi pasca operasi, tetapi bukan merupakan dasar diagnosis MI tipe 5 (Thygesen et al., 2019). Academic Research Consortium-2 (ARC-2) menyarankan nilai troponin pasca prosedur lebih dari sama dengan 35 kali persentil 99 URL pada pasien dengan nilai dasar troponin normal atau pasien dengan nilai awal troponin yang meningkat (stabil atau menurun) untuk prosedur PCI dan CABG dengan satu kriteria lain yaitu: 1. Pembentukan gelombang Q patologis baru atau ekuivalen 2. Gangguan aliran pada angiografi pada pembuluh epikardial mayor, atau cabang arteri koroner dengan diameter>1.5 mm, atau 3. Hilangnya viabilitas miokardium pada ekokardiografi setelah intervensi Peningkatan troponin lebih dari sama dengan 70 kali dari persentil 99 URL dapat menjadi kriteria sendiri untuk terjadinya MI periprosedural (Garcia-Garcia et al., 2018). Pada tahun 2013, the Society for Cardiovascular Angiography and Intervention menyarankan definisi lain, dengan menggunakan ambang batas biomarka yang berbeda dan adanya gelombang Q patologis atau blok cabang berkas kiri baru. Pasien dikatakan mengalami MI pasca CABG apabila; - Pada pasien dengan kadar CK-MB sebelum operasi normal, puncak CK-MB yang diukur dalam 48 jam pertama pasca operasi meningkat ≥10 kali upper limit of normal (ULN) dari lab lokal atau Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 195
≥5 kali dengan adanya gelombang Q patologis baru pada sandapan yang berdekatan, atau LBBB baru, - Pada pasien yang CK-MB dan troponin sebelum operasinya tidak diperiksakan, kadar troponin atau CK-MB meningkat hingga ≥70 kali ULN lab lokal, atau ≥35 kali batas atas normal dengan adanya adanya gelombang Q patologis baru pada sandapan yang berdekatan, atau LBBB baru. - Pada pasien dengan nilai awal CK-MB atau troponin yang meningkat dengan kadar biomarka stabil atau menurun, peningkatan sesuai dengan definisi di atas berlaku. - Pada pasien dengan nilai awal CK-MB atau troponin yang meningkat tetapi tidak dikerahui apakah stabil atau tidak, diperlukan peningkatan seperti yang disebutkan sebelumnya dan elevasi atau depresi segmen ST dan tanda yang konsisten dengan MI yang relevan secara klinis, seperti tanda gagal jantung baru, perburukan gagal jantung, atau hipotensi menetap (Moussa et al, 2013). Penelitian Steroids In caRdiac Surgery (SIRS) menggunakan definisi yang berbeda untuk MI tipe 5. Definisi ini adalah satu-satunya definisi berbasis prognostik dan membedakan antara mass assay dengan activity assay untuk pengukuran CK-MB. Definisi MI pasca operasi pada SIRS untuk mass assay adalah peningkatan CK-MB setidaknya enam kali URL pada pasien dengan operasi CABG, atau lima belas kali URL pada pasien dengan operasi jantung lain. Sedangkan untuk activity assay, diagnosis MI tipe 5 membutuhkan peningkatan CK-MB setidaknya 40 U/L pada pasien dengan CABG atau 120 U/L untuk pasien dengan operasi jantung lain, disertai bukti oklusi graft atau oklusi arteri koroner native baru dari angiografi, atau bukti adanya kehilangan viabilitas miokardium dari pencitraan. Pada pasien dengan nilai CK-MB yang sudah meningkat sebelum operasi, digunakan defisini peningkatan absolut dari CK-MB pada definisi sebelumnya. Peneliti lebih merekomendasikan mass assay dibandingkan sensitivity assay untuk diagnosis MI tipe 5 (Whitlock et al., 2015). Penggunaan upper reference limit (URL) dengan upper limit of normal (ULN) dapat menimbulkan perbedaan bermakna. 4th UDMI Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 196
dan SIRS menggunakan persentil 99 URL, yang didapatkan dengan cara mengukur troponin pada populasi normal dan membuat grafik persentil. Namun permasalahannya, sebagian besar alat mungkin tidak cukup sensitif untuk mengukur nilai troponin darah pada individu sehat, dimana sebagian besar hasil pasti jauh berada di bawah ambang deteksi alat tersebut. Selain itu, persentil 99 URL troponin bisa bervariasi berdasarkan populasi rujukan dan ukuran sampel. Perbedaan bermakna juga dapat terjadi akibat perbedaan jenis sampel (serum versus plasma). Akibat dari keterbatasan ini, sebagian besar laboratorium menggunakan nilai rujukan normal yang didapat dari nilai troponin dari 95% populasi. Beberapa studi mengenai MI pasca intervensi juga menggunakan batas atas normal lab lokal untuk CK-MB dan troponin (Moussa et al., 2013). Peningkatan biomarka pra operasi juga dapat mempengaruhi prognosis pasien. Maka dari itu, pada beberapa definisi di atas, kriteria peningkatan biomarka dibedakan antara pasien dengan nilai awal biomarka meningkat dan pasien dengan nilai awal normal. Penggunaan troponin atau CK-MB juga masih kontroversial. Troponin telah diketahui lebih sensitif dan spesifik untuk menegakkan diagnosis infark miokardium. Namun, berbeda halnya dengan pada MI tipe 1, troponin dinilai terlalu sensitif dalam diagnosis MI tipe 5. Hal ini terjadi akibat perubahan permeabilitas miosit pada iskemia miokardium berkepanjangan dapat menyebabkan pelepasan troponin dari sitosol miosit tanpa adanya kerusakan struktural (seperti pada pacu atrial cepat, takikardia supraventrikel, aktivitas fisik berlebihan, dan gangguan ginjal). Dengan menggunakan baku emas late gadolinium enhancement (LGE), Lim et al., melaporkan sensitivitas, spesifisitas, dan nilai prediksi positif peningkatan troponin >3 kali persentil 99 URL dalam mendiagnosis MI adalah 100%, 22%, dan 19%. Sedangkan, nilai untuk peningkatan CKMB >3 kali persentil 99 adalah 60%, 93%, dan 60%. Jika ambang troponin ditingkatkan menjadi 40 kali persentil 99 URL, spesifisitas meningkat pesat menjadi 93% dan sensitivitas tetap 100%. Dalam hal ini, Lim et al menjelaskan adanya bioekuivalensi troponin:CK-MB 13:1 (Lim et al., 2011), lebih tinggi dari nilai yang ditemukan pada registri evaluation of drug-eluting stents and ischemic events (EVENT), yaitu bioekuivalensi 7:1 (Lindsey et al., 2011). Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 197
Sebuah penelitian pada tahun 2020 menunjukkan adanya variasi pada insidensi MI tipe 5, tergantung pada definisi yang digunakan, dari 0.6% hingga 19% dan hazard ratio untuk mortalitas dalam 30 hari pasca operasi sebesar 2.7-6.9 jika menggunakan CK-MB. Sedangkan, apabila menggunakan kriteria troponin, insidensi MI tipe 5 bervariasi dari 1.7-13% dengan hazard ratio untuk mortalitas 30 hari pasca operasi sebesar 5.1-7.2. Pada penelitian ini, ambang batas 180 kali URL memberikan hazard ratio untuk mortalitas 30 hari sebesar 7.6 (95% CI 3.4-17.1) dibandingkan pasien dengan troponin <130 kali URL. Sedangkan jika ambang batas >130 kali digunakan, hazard rationya adalah 7.8 (95% CI 2.3-26.1) (Belley-Cote et al., 2020). Pada kasus ini, terjadi peningkatan troponin sekitar 240 kali dari ULN lab lokal. Berdasarkan beberapa definisi MI di atas, pasien memenuhi kriteria MI tipe 5. Komorbid dan faktor risiko kardiovaskular pra operasi merupakan determinan mayor komplikasi pasca operasi CABG. Dari EKG 12 sandapan, diperkirakan culprit artery adalah RCA (Fiol et al.,2004, Tierala et al., 2009). Dari hasil angiografi, telah terdapat stenosis pada osteal, proksimal, dan distal RCA, dan saat CABG, dibuat graft ke distal RCA, sehingga STEMI lebih mungkin disebabkan oleh kegagalan graft akut dibandingkan oklusi arteri koroner native. Gambar 8. Algoritma penentuan culprit artery dari EKG oleh Tierala et al. (Tierala et al., 2009) Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 198
Gambar 9. Algoritma penentuan culprit artery dari EKG oleh Fiol et al. (Fiol et al., 2013) MI pasca CABG dapat disebabkan oleh kegagalan graft, embolisasi distal, dan proteksi miokard yang kurang. Kegagalan graft didefinisikan sebagai oklusi total graft yang menyebabkan tidak adanya aliran darah ke distal. Kegagalan graft dapat terjadi akibat trombosis, disfungsi endotel, vasospasme, dan stres oksidatif. Pada satu bulan pertama, kegagalan graft biasanya disebabkan oleh trombosis akut, pada satu tahun pertama disebabkan oleh hiperplasia intima, dan setelah satu tahun disebabkan oleh aterosklerosis. Karakter morfologi dan fungsional dari graft sangat berperan dalam menentukan keberhasilan graft. Karakter arteri koroner target, seperti derajat stenosis, diameter, burden trombus, dan intervensi endovaskular sebelumnya juga penting dalam menentukan keberhasilan graft dan harus diperhatikan sebelum operasi. Faktor teknis, seperti harvesting, protokol vasodilator, cairan yang digunakan untuk penyimpanan, dan teknik anastomosis juga memegang peranan penting. Selain itu, faktor risiko aterosklerotik sistemik, seperti umur, jenis kelamin, diabetes, hipertensi, dan dislipidemia juga berhubungan dengan kejadian kegagalan graft (Gaudino et al., 2017). Patensi graft vena safena pada satu tahun dilaporkan berkisar antara 81-98% Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 199
(Fitzgibbon et al., 1996, Deb et al., 2012). Pada sebuah uji klinis, penggunaan teknik harvest atraumatik (harvest graft bersama dengan pedikel lemak dan menghindari overdistensi) menunjukkan tingkat patensi graft yang lebih tinggi dibandingkan teknik konvensional (Samano et al., 2015). Penggunaan stent eksternal untuk membantu graft vena safena dapat membantu mengurangi turbulensi, dan sehingga mengurangi hiperplasia intimal (Meirson et al., 2015). Kegagalan graft awal paling sering disebabkan oleh faktor teknis, tetapi dapat juga disebabkan oleh faktor terkait graft, seperti ketidakcocokan ukuran graft atau adanya patologi graft yang telah ada sebelumnya. Kegagalan graft awal juga dapat disebabkan oleh faktor ekstrinsik, seperti hiperkoagulabilitas yang dapat menyebabkan trombosis akut (Harskamp et al., 2013). Trauma endotel selama operasi dan aktivasi endotel dapat menyebabkan keadaan protrombotik. Deendotelialisasi akibat proses mekanik paling sering terlihat pada graft vena safena (Storey et al., 2011). Hal ini menyebabkan tereksposnya matriks ekstraselular, pelepasan tissue factor, dan berkurangnya bioavailabilitas prostasiklin dan nitrit oksida, yang pada akhirnya menyebabkan peningkatan aktivasi platelet, deposisi fibrin, dan pembentukan trombus (Manchio et al., 2014). Selain itu, platelet yang teraktivasi mengekspresikan beberapa molekul protrombotik, seperti P-selectin, dan mensekresikan beberapa zat yang bekerja parakrin, seperti platelet-derived growth factor, von Willebrand factor, dan CD40 ligand, yang meningkatkan trombosis dan inflamasi lokal melalui kemotaksis leukosit dan infiltrasi dinding vaskular (Storey et al., 2011). Sel endotel dapat teraktivasi akibat stress selama operasi, iskemia transien, atau pemicu sistemik seperti diabetes mellitus. Ekspresi molekul protrombotik pada permukaan luminal, gangguan proses vasodilatasi, dan bergesernya keseimbangan ke arah protrombosis menambah interaksi dari sel endotel yang teraktivasi dengan platelet dan leukosit, dan memulai kaskade inflamasi dan trombosis yang dapat menyebabkan trombosis dan kegagalan graft (Yahagi et al., 2016). Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 200
Gambar 10. Patofisiologi kegagalan graft. Diabetes mellitus menyebabkan aktivasi platelet persisten, disfungsi endotelium, peningkatan reaktivitas otot polos vaskular terhadap vasokonstriksi, dan akselerasi hiperplasia intima pada graft vena safena. Diabetes mellitus telah diketahui memberikan efek detrimental terhadap patensi graft (Choudary et al., 2007, Davi dan Patrono, 2007). Pada pasien dengan diabetes mellitus, proporsi oklusi graft lebih tinggi pada graft vena safena dibandingkan graft arteri radial (Deb et al., 2014). Konsekuensi kegagalan graft bervariasi tergantung pada lokasi anastomosis distal. Kegagalan graft ke LAD paling banyak menimbulkan gejala klinis (Lytle et al., 1992). Penyimpanan dan protokol vasodilator pasca graft harvesting juga berpengaruh pada patensi graft. Penggunaan verapamil- nitrogliserin lebih baik dibandingkan papaverin dalam menjaga patensi graft (Yoshizaki et al., 2008). Penyimpanan graft pada larutan garam fisiologis diketahui mengurangi vasodilatasi graft dibandingkan larutan buffer, blood based, atau larutan garam yang diberikan heparin (Wise et al., 2015). Trial PRoject of Ex-Vivo vein graft ENgineering via Transfection (PREVENT IV) menunjukkan bahwa angka kegagalan graft dalam 2 tahun menurun ketika graft disimpan menggunakan buffered Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 201
saline (Alexander et al., 2005). Pemberian vitamin C dan cerivastatin pra operasi dilaporkan dapat memaksimalkan vasodilatasi dan integritas endotel graft (Gaudino et al., 2017). Dari teknik harvesting, teknik terbuka lebih baik dalam menjaga patensi graft dibandingkan teknik endoskopik (Hess et al., 2014). Teknik atraumatik/no touch (mengambil vena bersama pedikel lemak atau tulang pada internal thoracic artery) diketahui lebih baik dibandingkan teknik konvensional (Samano et al., 2015). Teknik off- pump diketahui lebih inferior dibandingkan on pump dalam hal patensi graft (Shroyer et al., 2009). Perbedaan karakter arteri koroner target dapat mempengaruhi patensi graft jangka panjang. Penanaman graft di pembuluh darah yang tidak stenosis signifikan menyebabkan kompetisi aliran antara arteri asli dan graft. Berkurangnya aliran darah di graft dapat mengurangi bioavailabilitas NO, upregulasi gen proaterogenik, dan risiko trombosis. Namun, masalah ini biasanya timbul di graft arteri, dan tidak muncul pada graft vena (Davies et al., 2009). Goldman et al. Menemukan bahwa jika graft ditanam pada pembuluh darah target dengan diameter >2.0 mm, patensi graft vena safena adalah 88% dan 55% jika ditanam pada pembuluh darah target dengan diameter <2.0 mm (Goldman et al., 2004). Shah et al. menunjukkan diameter arteri target 1.0-1.4 mm menjadi determinan untuk kegagalan graft (dengan definisi stenosis >80%) (Shah et al., 2003). Souza et al. juga menemukan bahwa diameter pembuluh darah target >2.0 mm meningkatkan angka patensi graft secara signifikan (Souza et al., 2002). Stenosis diffuse pada arteri target diketahui meningkatkan angka kegagalan graft dibandingkan dengan lesi fokal (Shiono et al., 2016). Aterosklerosis diffuse mempengaruhi regulasi vasomotor dan mengurangi ketersediaan landing zone yang baik untuk konduit bypass. Kalsifikasi arteri koroner target juga mempengaruhi properti vasomotor dan membatasi area yang memungkinkan untuk anastomosis graft. Penjahitan pada arteri yang mengalami kalsifikasi membutuhkan endarterektomi yang dapat mengganggu anatomi koroner (Gaudino et al., 2017). European Society of Cardiothoracic Surgery menyarankan Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 202
penggunaan transit time flow measurement (TTFM) untuk menilai keberhasilan graft intraoperasi (LOE IIaC). Variabel yang diukur dalam TTFM adalah kecepatan aliran pada graft (mL/min) dan indeks pulsatilitas. Indeks pulsatilitas didapat dari kecepatan aliran maksimal dikurangi kecepatan minimal, dibagi dengan ekcepatan aliran rerata. Peningkatan resistensi aliran darah di graft akan meningkatkan indeks pulsatilitas. Nilai ambang untuk malfungsi graft adalah 20 mL/min untuk kecepatan aliran dan 5 untuk indeks pulsatilitas (Windecker et al., 2014). Selain TTFM, angiografi intraoperatif pada ruangan operasi hibrid dapat memverifikasi keberhasilan graft (Possati et al., 1998). Pencegahan sekunder pada pasien yang berisiko mengalami kegagalan graft dapat dilakukan dengan pemberian antiplatelet dan terapi lipid lowering pasca operasi. Untuk pasien dengan terapi aspilet jangka panjang, disarankan untuk melanjutkan terapi aspilet kecuali pada pasien dengan risiko perdarahan tinggi (Hastings et al., 2015, Valgimigli et al., 2018). Dual antiplatelet (DAPT) dapat diberikan sesegera mungkin pada pasien pasca CABG off pump (Gaudino et al., 2017), atau pasca CABG on pump pada pasien dengan sindroma koroner akut dalam waktu dekat dan diteruskan hingga 6 bulan pada pasien dengan high bleeding risk, atau 12 bulan pada pasien tanpa high bleeding risk (Valgimigli et al., 2018). Analisis post-hoc dari penelitian Platelet Inhibition and Patient Outcome (PLATO) menunjukkan ticagrelor menurunkan primary endpoint pada 1 tahun lebih baik dibandingkan clopidogrel, tetapi tidak signifikan secara statistik (10.6 vs 13.1%, HR 0.84, CI 0.6-1.16, nilai p 0.29) (Wallentin et al., 2009). High-intensity statin harus diberikan pada semua pasien <75 tahun segera setelah operasi. Moderate-intensity statin diberikan pada pasien yang tidak toleran terhadap high- intensity dan usia >75 tahun (Kulik et al., 2015). Kontrol glikemik <200 mg/dL pada pasien pasca CABG memperbaiki luaran perioperatif dan mengurangi kejadian iskemia berulang (Lazar et al., 2004). Mortalitas 30 hari pasca CABG pada penelitian oleh Sef et al. adalah 1.4% pada populasi umum, dan 9% pada pasien yang mengalami MI pasca CABG. Temuan angiografi pasca CABG pada pasien simptomatik meliputi anastomosis graft yang salah, spasme graft, oklusi trombotik akut, dan iskemia akibat revaskularisasi Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 203
inkomplit (Sef et al., 2019). Belum terdapat bukti yang cukup untuk menentukan tatalaksana yang tepat untuk MI pasca CABG. Kunci utama dalam tatalaksana adalah mengidentifikasi apakah pasien mengalami iskemia akibat kegagalan graft atau acute coronary event pada arteri native. Pada pasien simptomatik, oklusi graft akut diketahui sebagai penyebab iskemia pada 75% kasus. Angiografi koroner perioperatif menunjuukan oklusi akut pada 8% graft vena pasca CABG (Zhao et al., 2009). Penelitian lain menunjukkan graft failure pada 32 dari 39 pasien yang mengalami MI pasca CABG (Laflamme et al., 2012). PCI dengan deobstruksi atau stenting graft adalah alternatif dari reintervensi bedah dan diketahui memberikan hasil yang baik dengan komplikasi yang lebih sedikit. PCI sebaiknya dilakukan pada pembuluh darah native. Graft yang mengalami oklusi atau anastomosisnya sebaiknya tidak dijadikan target stenting karena risiko embolisasi atau perforasi. Reintervensi bedah harus dipilih jika graft atau arteri native tidak dapat dilakukan PCI, atau ada beberapa graft yang mengalami oklusi (Al-Attar et al., 2011). Pada pasien asimptomatik, reoperasi atau PCI hanya dipertimbangkan apabila arteri berukuran baik, mengalami stenosis signifikan, dan menyuplai teritori miokardium yang besar. Pemilihan metode intervensi harus diputuskan oleh heart team (intensivis, spesialis bedah, dan spesialis jantung). Beberapa faktor yang menjadi pertimbangan adalah anatomi koroner, oklusi graft vs oklusi pembuluh native, luasnya iskemia miokardium, jumlah miokardium yang masih viable, gejala klinis, status hemodinamik dan suppport inotropik, umur, dan komorbiditas (Thielmann et al., 2017). Keputusan harus dibuat personal untuk masing-masing pasien. KESIMPULAN Kejadian iskemia pra-operatif dan faktor risiko aterosklerotik diketahui menjadi determinan mayor untuk komplikasi pasca operasi CABG. Pada pasien acute coronary syndrome yang akan menjalani CABG, P2Y12 inhibitor disarakan untuk dihentikan 3-7 hari para operasi, sedangkan aspilet disarankan untuk dilanjutkan, kecuali pada pasien dengan risiko perdarahan tinggi. Tindakan operasi pada pasien Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 204
yang dirawat dengan acute coronary syndrome dan diabetes mellitus sebaiknya dilakukan dengan persiapan tindakan emergensi apabila terjadi komplikasi pasca operasi dan edukasi yang adekuat kepada keluarga akan kemungkinan risiko komplikasi pasca operasi. Kejadian MI pasca operasi biasanya diawali dengan tanda klinis MI, seperti hipotensi persisten dan tanda gagal jantung akut. Munculnya tanda ini pada pasien pasca CABG harus membuat klinisi waspada akan kejadian MI tipe 5. Terdapat beberapa kriteria yang berbeda untuk menegakkan diagnosis MI tipe 5. Penentuan diagnosis dan tatalaksana pasien masih belum teruji klinis secara luas dan sebaiknya disesuaikan untuk masing-masing pasien. Pengambilan keputusan untuk PCI atau pembedahan ulang sebaiknya melibatkan Heart Team (intensivis, spesialis bedah thoraks, dan spesialis jantung) dari masing-masing rumah sakit. DAFTAR PUSTAKA 1. Alexander JH, Hafley G, Harrington RA; PREVENT IV Investigators. (2005) ‘Efficacy and safety of edifoligide, an E2F transcription factor decoy, for prevention of vein graft failure following coronary artery bypass graft surgery: PREVENT IV: a randomized controlled trial’. JAMA. 294:2446–2454. 2. Al-Attar N. (2011) ‘Postoperative myocardial infaction’, E-journal of the ESC Council for Cardiology Practice. Vol 20, No4. 3. Belley-Cote et al.. (2020) ‘Definitions of post-coronary artery bypass grafting myocardial infarction: variations in incidence and prognostic significance’. Eur J Cardiothorac Surg 57(1):168-175 4. Botto F, Alonso-Coello P, Chan MT, et al. (2014) ‘Myocardial injury after noncardiac surgery: a large, international, prospective cohort study establishing diagnostic criteria, characteristics, predictors, and 30-day outcomes’. Anesthesiology 120:564–78. 5. Brener SJ, Lytle BW, Schneider JP, et al. (2002) ‘Association between CK-MB elevation after percutaneous or surgical revascularization and three-year mortality’. J Am Coll Cardiol Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 205
40:1961–7.\\ 6. Choudhary BP, Antoniades C, Brading AF et al. (2007) ‘Diabetes mellitus as a predictor for radial artery vasoreactivity in patients undergoing coronary artery bypass grafting’. J Am Coll Cardiol. 50:1047–1053. 7. Cutlip DE, Kuntz RE. (2005) ‘Cardiac enzyme elevation after successful percutaneous coronary intervention is not an Independent predictor of adverse outcomes’. Circulation 112:916–923. 8. Davies PF. (2009) ‘Hemodynamic shear stress and the endothelium in cardiovas- cular pathophysiology’, Nat Clin Pract Cardiovasc Med. 6:16–26. 9. Davì G, Patrono C. (2007) ‘Platelet activation and atherothrombosis’. N Engl J Med. 357:2482–2494. 10. Deb S, Cohen EA, Singh SK, RAPS Investigators. (2012) ‘Radial artery and saphenous vein patency more than 5 years after coronary artery bypass surgery: results from RAPS (Radial Artery Patency Study)’. J Am Coll Cardiol. 2012;60:28–35. 11. Deb S, Singh SK, Moussa F, et al; Radial Artery Patency Study Investigators. (2014) ‘The long-term impact of diabetes on graft patency after coronary artery bypass grafting surgery: a substudy of the multicenter Radial Artery Patency Study’. J Thorac Cardiovasc Surg. 148:1246–1253. 12. Fiol M, Cygankiewicz I, Carrillo A, et al. (2004) ‘Value of electrocardiographic algorithm based on “ups and downs” of ST in assessment of a culprit artery in evolving inferior wall acute myocardial infarction’. Am J Cardiol. 94:709–14. 13. Fitzgibbon GM, Kafka HP, Leach AJ, et al. (1996) ‘Coronary bypass graft fate and patient outcome: angiographic follow-up of 5,065 grafts related to survival and reoperation in 1,388 patients during 25 years’. J Am Coll Cardiol. 28:616–626 14. Fox KA, Clayton TC, Damman P, et al., FIR Collaboration. (2010) ‘Long-term outcome of a routine . versus selective invasive strategy in patients with non-ST-segment elevation acute coronary syndrome a me ta-analysis of individual patient data’ J Am Coll Cardiol 55:2435– 2445. Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 206
15. Garcia-Garcia HM, McFadden EP, Farb A, et al. (2018) ‘Standardized endpoint definitions for coronary intervention trials: The Academic Research Consortium-2 Consensus Document’. Eur Heart J 39:2192–2207. 16. Gaudino M et al.: the ATLANTIC Alliance. (2017) ‘Mechanism, Consequences, and Prevention of Coronary Graft Failure’, Circulation 136:1749-1764. 17. Goldman S, Zadina K, Moritz T, et al., VA Cooperative Study Group. (2004) ‘Long-term patency of saphenous vein and left internal mammary artery grafts after coronary artery bypass surgery: results from a Department of Veterans Affairs Cooperative Study’. J Am Coll Cardiol. 44:2149–2156. 18. Harskamp RE, Lopes RD, Baisden CE, et al. (2013) ‘Saphenous vein graft failure after coronary artery bypass surgery: pathophysiology, management, and future directions’. Ann Surg. 257:824–833. 19. Hastings S, Myles P, McIlroy D. (2015) ‘Aspirin and coronary artery surgery: a systematic review and meta-analysis’. Br J Anaesth. 115:376–385. 20. Hess CN, Lopes RD, Gibson CM, et al. (2014) ‘Saphenous vein graft failure after coronary artery bypass surgery: insights from PREVENT IV’. Circulation. 130:1445–1451. 21. Jeremias A, Baim DS, Ho KK, et al. (2004) ‘Differential mortality risk of postprocedural creatine kinase-MB elevation following successful versus unsuccessful stent procedures’. J Am Coll Cardiol 44:1210–1214 22. Laflamme M, DeMey N, Bouchard D, et al. (2012) ‘Management of early postoperative coronary artery bypass graft failure’, Interact Cardiovasc Thorac Surg, 14(4):452-456 23. Lazar HL, Chipkin SR, Fitzgerald CA, et al. (2004) ‘Tight glycemic control in diabetic coronary artery bypass graft patients improves perioperative outcomes and decreases recurrent ischemic events’ Circulation. 2004;109:1497–1502. 24. Lee T, Yonetsu T, Koura K, et al. (2011) ‘Impact of coronary plaque morphology assessed by optical coherence tomography Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 207
on cardiac troponin elevation in patients with elective stent implantation’. Circ Cardiovasc 4:378–386 25. Leung JM, O’kelly BF, Mangano DT. (1990) ‘Relationship of Regional Wall Motion Abnormalities To Hemodynamic Indices of Myocardial Supply and Demand In Patients Undergoing CABG Surgery’. Anesthesiology, 73:802-9 26. Lim CC, van Gaal WJ, Testa L, et al. (2011) ‘With the “universal definition,” measurement of creatine kinase-myocardial band rather than troponin allows more accurate diagnosis of periprocedural necrosis and infarction after coronary intervention’. J Am Coll Cardiol 57:653– 661. 27. Lindsey JB, Kennedy KF, Stolker JM, et al. Prognostic implications of creatine kinase-MB elevation after percutaneous coronary intervention: Results from the evaluation of drug-eluting stents and ischemic events (EVENT) registry. Circ Cardiovasc Interv 2011;4:474–480. 28. Lytle BW, Loop FD, Taylor PC et al. (1992) ‘Vein graft disease: the clinical impact of stenoses in saphenous vein bypass grafts to coronary arteries’. J Thorac Cardiovasc Surg. 103:831–840. 29. Manchio JV, Gu J, Romar L, et al. (2005) ‘Disruption of graft endothelium correlates with early failure after off-pump coronary artery bypass surgery’. Ann Thorac Surg. 79:1991– 1998. 30. Mehran R, Dangas G, Mintz GS, et al. (2000) ‘Atherosclerotic plaque burden and CK-MB enzyme elevation after coronary intervention: Intravascular ultrasound study of 2256 patients’. Circulation 101:604–610. 31. Meirson T, Orion E, Di Mario C, et al. (2015) ‘Flow patterns in externally stented saphenous vein grafts and development of intimal hyperplasia’. J Thorac Cardiovasc Surg, 150:871–878. 32. Moussa ID, Klein LW, Shah B, et al. (2013) ‘Consideration of a new definition of clinically relevant myocardial infarction after coronary revascularization: an expert consensus document from the Society for Cardiovascular Angiography and Interventions (SCAI)’. J Am Coll Cardiol 62:1563–70. Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 208
33. Muschart X, Slimani A, Jamart J, et al. (2012) ‘The different mechanisms of periprocedural myocardial infarction and their impact on in-hospital outcome’. J Invasive Cardiol 24:655– 660. 34. Neumann FJ et al for The Task Force on myocardial revascularization of the European Society of Cardiology (ESC) and European Association for Cardio-Thoracic Surgery (EACTS). (2019), ‘2018 ESC/EACTS Guidelines on myocardial revascularization’ Eur Heart J (2019) 40, 87-165 35. Novack V, Pencina M, Cohen DJ, et al. (2012) ‘Troponin criteria for myocardial infarction after percutaneous coronary intervention’. Arch Intern Med 172:502–508. 36. Possati G, Gaudino M, Alessandrini F, et al. (1998) ‘Systematic clinical and angiographic follow-up of patients undergoing minimally invasive coronary artery bypass’. J Thorac Cardiovasc Surg. 115:785–790. 37. Ramanathan K, Abel JG, Park JE, et al. (2017) ‘Surgical versus percutaneous coronary revascularization in patients with diabetes and acute coronary syndromes’ J Am Coll Cardiol, 70:2995–3006. 38. Samano N, Geijer H, Liden M,et al. (2015) ’The no-touch saphenous vein for coronary artery bypass grafting maintains a patency, after 16 years, comparable to the left internal thoracic artery: a randomized trial’. J Thorac Cardiovasc Surg. 50:880– 888. 39. Sef D et al. (2019) ‘Management of perioperative myocardial ischaemia after isolated coronary artery bypass graft surgery’. Open Heart, 6;1 40. Shah PJ, Gordon I, Fuller J, et al. (2003) ’Factors affecting saphenous vein graft patency: clinical and angio- graphic study in 1402 symptomatic patients operated on between 1977 and 1999’. J Thorac Cardiovasc Surg. 126:1972–1977. 41. Shiono Y, Kubo T, Honda K et al. (2016) ‘Impact of functional focal versus diffuse coronary artery disease on bypass graft patency’. Int J Cardiol. 222:16–21. doi: 10.1016/j.ijcard.2016.07.052. 42. Shroyer AL, Grover FL, Hattler B, et al; Veterans Affairs Randomized On/Off Bypass (ROOBY) Study Group. (2009) ‘On- Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 209
pump versus off-pump coronary-artery bypass surgery’. N Engl J Med. 361:1827–1837. 43. Souza DS, Dashwood MR, Tsui JC, et al. (2002) ‘Improved patency in vein grafts harvested with surrounding tissue: results of a randomized study using three harvesting techniques’. Ann Thorac Surg. 73:1189–1195. 44. Storey RF. (2011) ‘Exploring mechanisms of graft occlusion toward improved outcomes in coronary artery bypass graft surgery’. J Am Coll Cardiol. 57:1078–1080. 45. Thielmann M, Sharma V, Al Attar N et al. (2017) ‘ESC Joint Working Groups on Cardiovascular Surgery and the Cellular Biology of the heart Position Paper: Peri-operative Myocardial Injury and Infarction in patients undergoing Coronary Artery Bypass Graft Surgery’, Eur Heart J;ehx383(31) 46. Thygesen K et al for the Executive Group on behalf of the Joint European Society of Cardiology (ESC)/American College of Cardiology (ACC)/ American Heart Association (AHA)/World Heart Federation (WHF) Task Force for the Universal Definition of Myocardial Infarction. (2019) ‘Fourth universal definition of myocardial infarction (2018)’, Eur Heart J, 40, 237–269 doi:10.1093/eurheartj/ehy462 47. Tierala I, Nikus KC, Sclarovsky S, et al, The HAAMU Study Group. (2009) ‘Predicting the culprit artery in acute ST-elevation myocardial infarction and introducing a new algorithm to predict infarct-related artery in inferior ST-elevation myocardial infarction: correlation with coronary anatomy in the HAAMU Trial. J Electrocardiol. 42(2):120-7. 48. van Gaal WJ, Ponnuthurai FA, Selvanayagam J, et al. (2009) ‘The syntax score predicts peri- procedural myocardial necrosis during percutaneous coronary intervention’. Int J Cardiol 135:60–65. 49. Wallentin L, Lagerqvist B, Husted S, et al. (2000) ‘Outcome at 1 year after an invasive compared with a non-invasive strategy in unstable coronary-artery disease: The FRISC II invasive randomised trial. Fast Revascularisation during Instability in Coronary artery disease’. Lancet, 3:9–16. Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 210
50. Wallentin L, Becker RC, Budaj A; PLATO Investigators. (2009) ‘Ticagrelor versus clopidogrel in patients with acute coronary syndromes’. N Engl J Med. 361:1045–1057. 51. Whitlock RP, Devereaux PJ, Teoh KH, et al. (2015) ‘Methylprednisolone in patients undergoing cardiopulmonary bypass (SIRS): a randomised, double-blind, placebo-controlled trial’. Lancet 386:1243–53 52. Windecker S, Kolh P, Alfonso F, et al. (2014) ‘2014 ESC/ EACTS guidelines on myocardial revascularization: the Task Force on Myocardial Revascularization of the European Society of Cardiology (ESC) and the European Association for Cardio- Thoracic Surgery (EACTS) developed with the special contribution of the European Association of Percutaneous Cardiovascular Interventions (EAPCI)’. Eur Heart J. 35:2541–2619 53. Wise ES, Hocking KM, Eagle S, et al. (2015) ‘Preservation solution impacts physiologic function and cellular viability of human saphenous vein graft’. Surgery. 158:537–546. 54. Yahagi K, Kolodgie FD, Otsuka F, et al. (2016) ‘Pathophysiology of native coronary, vein graft, and in-stent atherosclerosis’. Nat Rev Cardiol. 13:79–98. 55. Yoshizaki T, Tabuchi N, Toyama M. (2008) ‘Verapamil and nitroglycerin improves the patency rate of radial artery grafts’. Asian Cardiovasc Thorac Ann. 16:396–400. 56. Zhao DX, Leacche M, Balaguer JM, et al. (2009) ‘Routine intraoperative completion angiography after coronary artery bypass grafting and 1-stop hybrid revascularization results from a fully integrated hybrid catheterization laboratory/operating room’, J Am Coll Cardiol, 53:232–241. Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 211
11 Patients With Acute Inferior Myocardial Infarction ; Where Is The Culprit ? Lia Susanti, Abdul Hakim Alkatiri, Muzzakir Amir PENDAHULUAN Elektrokardiogram (EKG) merupakan kunci untuk diagnosis ST Elevasi Miokard Infark (STEMI). Vektor deviasi segmen-ST pada EKG 12-lead selama iskemia transmural akut merupakan indikator lokasi oklusi arteri koroner (1). ST Elevasi lead Inferior, Culprit Artery dapat terjadi di Righ Coronary Artery ( RCA) atau left circumflex coronary artery (LCX) sedangkan pada Simultan ST elevasi di anterior dan inferior diakibatkan adanya oklusi pada ‘ Wrapped LAD”(2). Hal ini penting untuk prediksi hemodinamik dan perjalanan klinis . Pasien dengan oklusi LCx cenderung mengalami regurgitasi katup mitral sedangkan pasien dengan oklusi RCA dapat datang dengan infark ventrikel kanan, bradaritmia, dan gangguan konduksi. Oklusi pada Wrapround LAD berhubungan dengan kejadian ápical LV Remodelling” , insiden gagal jantung dan stroke yang lebih tinggi (3). Elektrokardiografi (EKG) antara oklusi kut LCx atau RCA saat ini masih menjadi tantangan. Sejumlah penelitian telah melaporkan berbagai kriteria EKG untuk mengidentifikasi arteri koroner yang mengalami oklusi (4). Algoritma EKG konvensional untuk identifikasi arteri koroner kanan (RCA) sebagai infarct-related artery (IRA) pada STEMI inferior mencakup kriteria berikut: (i) ST elevasi (STE) di lead III lebih tinggi dari lead II dan (ii) ST-segment Depresi (STD) >1 mm di lead I atau aVL. Namun kriteria EKG konvensional ini memiliki sensitivitas rendah untuk mendiagnosis oklusi RCA atau LCx pada STEMI Inferior (1). Adanya variasi anatomi arteri coroner dan arteri coroner dominan , Vector ST Cancellation, perubahan segera pada lokasi oklusi selama terapi dan penempatan elektroda precordial yang kurang tepat (5). Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 212
LAPORAN KASUS Pasien pertama Tn. A.M Laki-laki usia 45 tahun dirujuk dari rumah sakit Polewali Mandar dengan diagnosa ST Elevasi Inferolateral Post Litik dan tiba di pusat perawatan jantung, 10 Jam Post Litik . Pasien datang dengan keluhan nyeri dada, dirasakan sejak 8 hari sebelumnya hilang timbul, memburuk 1 jam sebelum pasien masuk RS Polewali .Tiba di PJT dengan sensasi seperti ditekan, menjalar ke belakang, durasi> 20 menit, disertai dengan diaforesis. Tidak ada sesak napas, ortopnea, atau PND. Faktor risiko koroner : Riwayat Hipertensi sejak 10 tahun lalu minum obat teratur (exforge 5/80) . Tidak ada riwayat Diabetes Mellitus. Riwayat dyslipidemia ada, berobat teratur. Riwayat merokok ada,1-2 batang per hari sejak 5 tahun lalu. Dari RS Rujukan pasien sudah mendapat Aspilet 160 mg/oral/loading, Clopidogrel 300 mg/oral/loading, Streptokinase 1.500.000 Unit/Intravena, Atorvastatin 40 mg/oral. Pada pemeriksaan fisis didapatkan hasil BB 74 kg, TB 165 cm, IMT 27 Kg/m2. Tekanan darah : 160/100 mmHg, nadi : 112 x / menit reguler, RR: 20 tpm, T: 36,7 °C. Konjungtiva tidak anemia, sklera tidak ikterik, JVP R + 2 cmH2O, Suara napas vesikuler, tidak ada ronchi dan mengi, S1 / S2 Reguler, tidak ada murmur, Peristaltik normal, hepar dan lien tidak teraba. Ekstremitas : hangat,edema extremitas tidak ada. Pasien juga sebelumnya telah menjalani pemeriksaan EKG di RS Polewali (Onset 1 jam) dengan kesimpulan: Irama Takikardi , HR 104 bpm, Normoaksis, Infark Inferolateral (Gambar 1). Kemudian dilakukan pengulangan Rekam EKG di RS Polewali post Litik dengan hasil sinus Takikardi, HR 104 bpm, Normoaksis.(Gambar 2). Keluhan nyeri dada berkurang dan penurunan ST Elevasi di lead II > 50% sehingga disimpulkan dengan Succesfull fibrinolytic Setelah tiba di Pusat Jantung Terpadu (PJT) RS Wahidin Sudirohusodo, dilakukan perekaman kembali untuk EKG dengan hasil Irama Sinus Takikardi, HR 115 bpm, Normoaksis, infark inferopesterior et lateral wall (Gambar 3). Pada pemeriksaan laboratorium, didapatkan adanya peningkatan Protrombi Time (10.5 mg/dl) (tabel 1). Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 213
Pada hari yang sama, dilakukan pula foto thorax dengan kesimpulan adanya kardiomegali disertai elongasi aorta tanpa kelainan organ Paru (gambar 4). Sedangkan pada pemeriksaan Ekokardiografi, disimpulkan Fungsi Sistolik LV Normal, EF 49 % (BIPLANE), LVH konsentris, Hipokinetik Segmental dan Disfungsi diastolik LV ringan. Gambar 1. Rekam EKG di RS Polewali 01/02/2020 (Onset 1 jam ) Bacaan : Sinus Takikardi , detak jantung 104 bpm, Axis 20o gelombang P 0,08 s, interval PR 0,12 s, durasi QRS 0,08s,ST Elevasi II,III,AVF , V5-V6, I, AVL .ST Depresi V1-V3,Upright T wave V1-V3. Kesimpulan : Sinus Takikardi , HR 104 bpm, Normoaksis, Infark Inferolateral Gambar 2. Rekam EKG di RS Polewali 01/02/2020 (Post litik) Bacaan : Irama sinus Takikardi , detak jantung 104 bpm, Axis 20o gelombang P 0,08 s, interval PR 0,12 s. sinus Takikardi, HR 104 bpm, Normoaksis Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 214
Gambar 3. Rekam EKG di PJT RSWS, tanggal 1/2/2020 22.00 WITA. ( 10 jam post litik ) Bacaan : Irama sinus takikardi , detak jantung 115 bpm, sumbu - 30 o, gelombang P 0,06 s, interval PR 0,16 s, durasi QRS 0,06s, QST Elevasi II,III,AVF, V5,V6. ST depresi V1-V3, Upright T V1-V3 Kesimpulan : Sinus Takikardi, HR 115 bpm, Normoaksis, infark inferior et lateral wall Gambar 4. Rekam EKG ( Kanan) di PJT RSWS, tanggal 1/2/202. 22.00 WITA. ( 10 jam post litik ). Bacaan : Irama sinus ritme , detak jantung 88 bpm, sumbu -0 o, gelombang P 0,06 s, interval PR 0,16 s, durasi QRS 0,06s, Q Patologis II,III,AVF, Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 215
Gambar 5. Rekam EKG ( Posterior) di PJT RSWS, tanggal 2/2/2020. Bacaan : Irama sinus ritme , detak jantung 88 bpm , sumbu -0 o, gelombang P 0,06 s, interval PR 0,16 s, durasi QRS 0,06s, Q Patologis II,III,AVF, V7-V9 Kesimpulan : Sinus Ritme, HR 88 bpm, Normoaksis, infark inferorposterior et lateral wall Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 216
Gambar 6. Foto Rontgen Thorax( 01/02/2020) Menunjukkan bercak bronkovaskular normal, Tidak ada gambaran infeksi / infiltrat di kedua paru-paru. Tampak kardiomegali Gambar 7. Echokardiografi ( 01/02/2020) Didapatkan dengan Penurunan fungsi sistolik Ventrikel kiri,EF 49 % (Biplane), LVH Konsentrik dan segmental hipokinetik. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, ditegakkan diagnosis ST Elevasi Miokardial Infark Inferoposterior et lateral Wall Onset 1 jam Killip I Succesfull Fibrinolitik [GRACE score: 80 (low risk), 2 % probability of death from admission to 6 months. CRUSADE score : 50 (High Risk ), 12.5% risk of In-hospital] dan Hypertensive Heart Disease.Pasien kami terapi dengan ASA 80mg / 24 jam / oral; Clopidogrel 75mg / 24 jam / oral; Fondaparinux 2.5mg / 24 jam / Subkutan; Atorvastatin 40mg / 24 jam / oral ; Amlodipin 5/valsartan 80 mg /24 jam/oral (exforge) disertai rencana Routine Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 217
Early Primary PCI Strategy dan perawatan di CVCU. Pada hari kedua perawatan keluhan nyeri dada sudah berkurang, Tensi 120/70 mmhg, Nadi 98x/menit. Tanda vital lain dan pemeriksaan fisis Jantung paru dalam batas normal. Dengan Diagnosa STEMI Inferoposterior et lateral Wall Onset 1 Jam Killip I Succesful Thrombolitic, Hypertensive Heart Disease Disease, Hiperuresemia Asymptomatic dan mendapat terapi Fondaparinux 2,5 mg/24 jam/Subkutan. Aspilet 80 mg/24 jam/oral, Clopidogrel 75 mg/24 jam/oral, atorvastatin 40 mg/24 jam/oral, Amlodipin 5mg /valsartan 80 mg /24 jam/oral (exforge), ISDN 5 mg/extra/Sublingual bila nyeri dada. Allopurinol 300 mg/24 jam/oral. Gambar 8 . Rekam EKG di PJT RSWS, tanggal 2/2/2020 ( H-2 Perawatan) Bacaan : Irama sinus Ritme, detak jantung 94 bpm, sumbu -10 o, gelombang P 0,06 s, interval PR 0,16 s, durasi QRS 0,06s, Q patologisII,III,AVF, T inverted I,AVL,V5-V6. Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 218
Tindakan angiografi koroner Standby PCI dilakukan Tanggal 3/2/2020 untuk mengevaluasi stenosis pada arteri koroner pasien dan PCI jika indikasi. Hasil angiografi koroner disimpulkan dengan Coronary Artery Disease 2 Vessel Disease ; Proximal- Mid Stenosis 90% pada segmen Left Anterior Descending Artery (LAD) dan Distal Subtotal oklusi pada Segmen Left Circumflexa (LCx) (Gambar 9) Gambar 9.Hasil angiografi koroner menunjukkan (kiri) Segmen RCA Normal Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 219
(kanan) Proximal- Mid Stenosis 90% pada segmen Left Anterior Descending Artery (LAD) dan Distal Subtotal oklusi pada Segmen Left Circumflexa (LCx) Diputuskan untuk melanjutkan tindakan dengan intervensi koroner perkutan dengan ballooning dan pemasangan 1 stent DES di Proximal-Mid LAD selama tindakan tidak timbul penyulit. Dilanjutkan dengan tindakan Balloning dan pemasangan 1 Stent DES di Proximal sampai Mid LAD , Evaluasi Angiografi baik, TIMI 3 Flow, tidak timbul penyulit selama tindakan. Selanjutnya dilakukan pemasangan 1 Stent DES ( Direct Stenting) di Distal LCx. Selama Tindakan Timbul keluhan nyeri dada dan pada Monitor EKG dengan gambaran ST Elevasi Tombstone di lead I (Gambar 10 ) . Keluhan nyeri berkurang setelah pemberian Morphin 2 mg/extra dan tindakan dilanjutkan sampai selesai dengan hasil < TIMI 3 Flow, dilanjutkan heparinisasi selama 1 hari. Pada hari Rawatan ke-4 (H-1 Post PCI) di CVCU Keluhan Nyeri dada berkurang, Hemodinamik stabil. Ekg Kesan Sinus Ritme, HR 96 x/menit,RAD, OMI lateral. Mendapat terapi Heparin 900 IU/jam/Syring pump selama 1 hari, Aspilet 80 mg/24 jam/oral, Clopidogrel 75 mg/24 jam/oral, atorvastatin 40 mg/24 jam/oral, cedocard 2 mg/jam/syring pump, concor 2,5 mg/24 jam/oral. Amlodipin 5/valsartan 80 mg /24 jam/oral (exforge), Allopurinol 300 mg/24 jam/oral. Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 220
Gambar 11. Rekam EKG di PJT RSWS, tanggal 4/2/2020 Bacaan : Irama sinus Ritme , detak jantung 94 x/menit, sumbu 120 o, gelombang P 0,06 s, interval PR 0,16 s, durasi QRS 0,06s, Q Patologis V5,V6, I,AVL. . Pada hari rawatan ke 6 Keluhan tidak ada, Pemeriksaan tanda vital dan pemeriksaan Fisis Jantung paru dalam batas normal, Ekg Kesan Sinus Ritme, HR 100 x/menit, RAD, OMI lateral. Sehingga pasien diizinkan pulang dan kontrol poli dengan dibekali terapi Aspilet 80 mg/24 jam/oral, Clopidogrel 75 mg/24 jam/oral, atorvastatin 40 mg/24 jam/oral, Concor 5 mg/24 jam/oral. Amlodipin 5/valsartan 80 mg /24 jam/oral (exforge), Allopurinol 300 mg/24 jam/oral. Gambar 12 . Rekam EKG di PJT RSWS, tanggal 6/2/2020 Bacaan : Irama sinus Ritme , detak jantung 94 x/menit, sumbu 120 o, gelombang P 0,06 s, interval PR 0,16 s, durasi QRS 0,06s, Q Patologis V5,V6, I,AVL. Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 221
Pasien Kedua Tn.S Laki-laki usia 72 th datang ke IGD RSWS datang dengan keluhan nyeri sejak 4 jam sebelumnya dengan sensasi seperti ditekan, menjalar ke belakang, durasi> 20 menit, disertai dengan diaforesis. Tidak ada sesak napas, ortopnea, atau PND. Faktor risiko koroner : Riwayat Hipertensi selama 20 tahun minum obat teratur (Amlodipin 5 mg) . Tidak ada riwayat Diabetes Mellitus. Riwayat merokok tidak ada. Pada pemeriksaan fisis didapatkan BB 50 kg, TB 160 cm, IMT 153 Kg/m2 . VAS 7/10. Tekanan darah : 140/90 mmHg, Nadi: 54 x / m reguler, RR: 20 tpm, T: 36,7 °C. Konjungtiva tidak anemia, sklera tidak ikterik, JVP R + 2 cm H2O, Suara napas vesikuler, tidak ada ronkhi dan mengi, S1 / S2 Reguler, tidak ada murmur, Peristaltik normal, hepar dan lien tidak teraba. Ekstremitas: hangat, edema extremitas tidak ada. Dilakukan pemeriksaan EKG dengan hasil Irama Sinus Bradikardi, HR 54 bpm, Normoaksis, infark inferoposterior et lateral (Gambar 13- 14). Pada pemeriksaan laboratorium, didapatkan peningkatan Hs Tropinin I 571 ng/ml. Pada hari yang sama dilakukan MSCT Toraks tanpa kontras dengan kesimpulan cor dalam batas normal, kalsifikasi aorta, LAD, RCA dan Brachiocephalica. Gambar 13. Rekam EKG di IGD RSWS (Onset 4 jam ) Sinus Bradikardi , HR 54 x/min, axis 45 ˚, P wave 0.08 s, PR interval Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 222
0.16 s , Durasi QRS 0,06,ST elevation at II, III, aVF, V5-V6, ST depression at V1-V 4 Kesimpulan : sinus Bradikardi, normoaxis, infark inferolateral Gambar14 . Rekam EKG Lead Kanan Posterior di IGD RSWS (Onset 4 jam ) Sinus Bradikardi , HR 54 x/min, axis 45 ˚, P wave 0.08 s, PR interval 0.16 s , Durasi QRS 0,06,ST elevation at II, III, aVF, V7-V9. Kesimpulan : sinus Bradikardi, normoaxis, infark inferoposterior Tabel 3 : Hasil pemeriksaan laboratorium (18/06/2020) Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan WBC 6500 4-10 x 103/mm3 103/mm3 N/L/M/E/B 75/20/4.3/0.2/0.5 HGB 13.5 12-16 g/dl HCT 40 37,0-48,0 % PLT 168 150-400 x 103/mm3 103/mm3 GDS 137 140 mg/dl SGOT 29 < 38 U/L SGPT 12 < 41 U/L UREUM 32 10-50 mg/dl KREATININ 10.92 L(<1,3) P<(1,1) mg/dl Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 223
PT/APTT 10.3/23.7 10-14/22,0-30,0 second INR 0.99 - - hs Troponin I 571 L(17-50), P (8-29) ng/ml Na 140 136-145 mmol/L K 4.2 3,5-5,1 mmol/L Cl 105 97-111 mmol/L Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, ditegakkan diagnosis ST Elevasi Miokardial Infark Inferoposterior et Lateral Wall Onset 4 jam Killip I [GRACE score: 124 (Intermediete risk) 2.8 % In hospital mortality after ACS, 9 % probability of death from admission to 6 months. CRUSADE score: 35 (Moderate Risk ), 8,5 % risk of In-hospital mayor bleeding] dan Hypertensive Heart Disease.Pasien kami terapi dengan ASA 160 mg /oral/loading ; Clopidogrel 300 mg /oral/loading , NTG 5 mcg/mnt/Syring Pump, Heparin 4200 IU/bolus /IV 420 IU/hr/Syring Pump heparin dan segera di dilakukan Primary Percutaneus Coronary Intervention.. Hasil angiografi koroner disimpulkan dengan Coronary Artery Disease 3 Vessel Disease; Proximal stenosis 70 %, Mid stenosis 70%, Distal stenosis 60 % pada segmen Right Coronary Artery. Proximal- Mid Stenosis 80- 90%, distal stenosis 80-90%pada segmen Left Anterior Descending Artery (LAD) dan Distal total oklusi pada Segmen Left Circumflexa (LCx) (Gambar 15 ) . Diputuskan untuk melanjutkan tindakan dengan intervensi koroner perkutan dengan ballooning dan pemasangan 1 stent DES di distal LCx dan ballooning di proksimal sampai mid LAD. Selama tindakan tidak timbul penyulit. Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 224
Gambar 15. Hasil angiografi koroner menunjukkan (kiri ) Proximal stenosis 70 %, Mid stenosis 70%, Distal stenosis 60 % pada segmen RCA (kanan ) Proximal- Mid Stenosis 80- 90%, distal stenosis 80-90% pada segmen Left Anterior Descending Artery (LAD) dan Distal total oklusi pada Segmen Left Circumflexa (LCx) Pada hari rawatan ke 2 ( H-1 post PCI) Keluhan nyeri dada tidak ada, Pemeriksaan tanda vital Tekanan darah 160/87 mmhg, Nadi 60x/menit dan pemeriksaan Fisis Jantung paru dalam batas normal, Ekg Sinus Ritme,HR 68 x/menit , Normoaxis ( Gambar. 16). Dengan diagnosa Coronary artery Disease 3 Vessel Disease post Primary PCI, STEMI Inferoposterior onset 4 jam killip I, Hypertensive Heart Disease, dan Retensi Uri ec.Susp Ruptur uretra anterior dan mendapat Clopidogrel 75 mg/24 jam/oral, atorvastatin 40 mg/24 jam/oral, NTG 5 mcg/menit/syring pump, dan dari TS Urologi dengan Retensi Uri ec.Susp Ruptur uretra anterior mendapat terapiceftriaxone 1 gram/12 jam/intravena, paracetamol 1 gram/8 jam/oral dengan rencana sitostomi. Pemeriksaan Ekokardiografi pada hari rawatan ke 5 tanggal 22/6/2020 disimpulkan Fungsi Sistolik LV menurun , EF 48% (BIPLANE), LVH konsentris, Hipokinetik Segmental . Mitral regurgitasi ringan, Pulmonal regurgitasi ringan dan Disfungsi diastolik LV ringan. Pada hari rawatan ke 7( 24/7/2020) Keluhan nyeri dada tidak ada, Pemeriksaan tanda vital tensi 140/70 mmhg, nadi 60x/menit tanda vital lainya dan pemeriksaan Fisis Jantung paru dalam batas normal, Ekg . Kesan Sinus ritme ,HR 60 x/menit , normoaxis . sehingga pasien diizinkan pulang dan kontrol poli dengan dibekali terapi dari bagian kardiologi , Clopidogrel 75 mg/24 jam/oral, atorvastatin 40 mg/24 jam/oral, Laxadine 30 mg/24 jam/oral. Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 225
Gambar 12 . Rekam EKG di CVCU PJT RSWS, tanggal 19/06/2020 Bacaan : Irama sinus Ritme , detak jantung 68 x/menit, sumbu 45o, gelombang P 0,08 s, interval PR 0,16 s, durasi QRS 0,06s, Kesimpulan : Sinus Ritme ,Detak jantung 60 x/menit,normoaxis Gambar 12 . Rekam EKG di CVCU PJT RSWS, tanggal 14/06/2020 Bacaan : Irama sinus Ritme , detak jantung 60 x/menit, sumbu 45o, gelombang P 0,08 s, interval PR 0,16 s, durasi QRS 0,06s, Kesimpulan : Sinus Ritme ,Detak jantung 68x/menit,normoaxis PEMBAHASAN Pada kasus ini dilaporkan seorang laki-laki usia 45 tahun rujukan dari RS daerah dengan diagnosa ST Elevation Myocardial Infarction Inferoposterolateral wall onset 1 jam Killip I , mendapat terapi fibrinolitik di RS Daerah dan disimpulkan dengan succesfull fibrinolitik , tiba di PJT (10 jam post litik ). Keluhan nyeri dada berkurang , tidak hipotensi dan dengan takikardi. Berdasarkan literature infark miokard akut inferior dengan insiden tinggi untuk kejadian bradikardi. Sinus Takikardi dialami pada sekitar 30% pasien terutama pada IMA anterior. Mekanisme sinus takikardi yakni respon pada disfungsi ventrikel kiri atau stimulasi dan overactivity system saraf simpatis akibat berbagai faktor seperti nyeri dan cemas (6). Untuk mencegah dan mengurangi komplikasi IMA inferior yang merugikan, diperlukan identifikasi dini IRA (6). Penyebab utama Infark Miokard Akut (IMA ) inferior adalah oklusi arteri koroner kanan (RCA) atau arteri sirkumfleksa kiri (LCX). Ketika RCA terbukti sebagai IRA, pasien sering mengalami infark ventrikel kanan, ganguan Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 226
konduksi jantung serta komplikasi hemodinamik yang parah, yang menyebabkan syok, aritmia, dan bahkan kematian sedangkan oklusi pada arteri LCx , pasien cenderung mengalami regurgitasi katup mitral. RCA terbukti menjadi arteri penyebab IMA Inferior jauh lebih sering daripada LCx (4). Sedangkan Simultan Infak Miokard inferior dan anterior menunjukan adanya oklusi distal - D1 pada arteri LAD dengan Wrap-aroud LAD ( LAD melingkupi dan memperdarahi ≥ ¼ dinding inferior LV) (2,3). Pada Pasien ini EKG Saat Masuk di RS Rujukan dengan ST Depresi di V1-V3, sehingga keterlibatan LAD sebagai Culprit dapat disingkirkan. Pemeriksaan EKG pada STEMI Inferior terdapat ST Elevasi sadapan II, III, dan AVF, tetapi tingkat elevasi sadapan inferior yang disebabkan oleh RCA dan LCX berbeda karena arah vektor ST Elevasi yang berbeda. Beberapa algoritma dapat digunakan untuk menentukan letak culprit pada STEMI Inferior. Berdasarkan EKG Tn.A.MM Saat di RS Rujukan Dengan Onset 1 Jam dengan mengunakan Algoritma Tierala ( Gambar .1) yakni ST Elevasi di lead II,III,AVF dan dengan ST Elevasi di lead II > Lead III memenuhi kriteria LCx sebagai culprit , Dengan Algoritma Fiol ( Gambar 2) ST Elevasi di II,III,AVF. Tahap 1 dengan ST Isolektrik di lead I l, kemudan lanjut ke tahap 2 dengan ST elevasi di lead II ≥ III memenuhi kriteria LCx sebagai culprit. Dengan Algoritma Borras (Gambar 3) yakni ST Elevasi di lead inferior, tidak ada ST depresi > 0.1 mV di I dan AVL dan Dengan ST elevasi di V6 ≥ 0,1 mV atau > lead II memenuhi kriteria LCx sebagai Culprit . Arteri LCx mensuplai dinding anterolateral (Lead I,AVL,V5 dan V6) , dinding Posterolateral (lead V7-V8) dari LV . Pada 10%-15% pasien mensuplai dinding inferior LV.(7) Oklusi Arteri LCx sekitar 20% dari seluruh Infark Miokard (8). Lesi pada LCx berhubungan dengan peningkatan resiko gagal jantung dan Mortalitas dalam 90 Hari dan 1 tahun dibandingkan lesi pda RCA dan LAD. Selain itu Ada beberapa laporan yang meyatakan puncak biomarker jantung jantung lebih tinggi , mengarah pada ukuran infark yang lebih besar dan nekrosis miokard lebih banyak (9). Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 227
Gambar. 13 Algoritma Tierala (2009) Untuk memprediksi RCA atau LCx sebagai Culprit. Spesifisitas 87%, Sensitifitas 53%,Akurasi 70%.(4) Gambar. 14 Algoritma Fiol (2004) Untuk memprediksi RCA atau LCx sebagai Culprit, terdiri dari 3 langkah. Spesifisitas 93 %, Sensitifitas 53%,Akurasi 74%.(4) Gambar. 15 Algoritma Borras (2019) Untuk memprediksi RCA atau LCx sebagai Culprit, terdiri dari 3 langkah. Spesifisitas 86 %, Sensitifitas 77 %, Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 228
Akurasi 82%.(4) Oklusi akut pada LCx atau RCA dapat menyebabkan Elevasi segmen ST pada sadapan II, III, dan / atau aVF, tetapi distribusi anatomi yang berbeda dari 2 arteri koroner ini dan lokasi spasial yang berbeda dari area miokard yang perfusi secara prediktif memperlihatkan perubahan khas pada EKG . Dilaporkan bahwa vektor ST Segment Injury sering ke arah kiri - posterior pada oklusi Arteri LCx dan ke kanan - bawah dalam oklusi RCA.(4) Gambar .16 Pada Sindrom Coroner Akut dengan ST elevasi di II,III dan AVF , adanya ST depresi pada Lead I menunjukkan bahwa lead tersebut mengarah ke ujung Vector Injury yang menuju ke kanan sehingga lokasi oklusi berada di RCA. Sebaliknya Jika oklusi berada di LCx, Lead I akan menghadap pangkal vector injury yang menuju ke kiri akan terekam sebagai ST elevasi di Lead I.(10) Gambar 17. Pada Sindrom Koroner akut dengan ST Elevasi di V1-V2 sampai V4-V6 merupakan pola paling jelas untuk oklusi pada arteri LAD.Terdapat hubungan ST Elevasi dianterior dengan Morfologi ST Segment di II,III dan AVF dalam menentukan letak oklusi di LAD . Pada LAD yang Panjang dengan oklusi di distal LAD dengan melibatkan miokard anterior yang lebih kecil Biasanya dengan injury vector Infark yang berbentuk “U –Shaped”( Inferoanterior ) yang menuju ke depan ( Forward) dan ke bawah ( downward) sehingga umumnya Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 229
menghasilkan gambaran ST elevasi di II,III dan AVF (5). Gambar 18. ST Elevasi – ACS dengan Proximal oklusi di RCA .(a) Lokasi Oklusi. (b) Area Miokard yang beresiko. (c) Peta “Bull’s Eyes” dengan proyeksi segmen yang terlibat dengan warna abu-abu (d). Proyeksi Vektor iskemia pada bidang frontal, Horizontal dan Sagital dengan vector mengarah ke depan dan ke bawah.(11) Gambar 19. ST Elevasi – ACS dengan oklusi pada arteri LCx dominan .(a) Lokasi Oklusi. (b) Area Miokard yang beresiko. (c) Peta “Bull’s Eyes” dengan proyeksi segmen yang terlibat dengan warna abu-abu (d). Proyeksi Vektor iskemia pada bidang frontal, Horizontal dan Sagital dengan Vektor mengarah ke belakang dan ke bawah (11). Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 230
Meskipun perubahan EKG 12-lead berperan penting untuk diagnosa MI dan identifikasi IRA namun maemiliki beberapa keterbatasan . Selanjutnya perlu dilakukan Angiografi Coroner untuk mengetahui letak Culprit (12). Pada Pasien Ini setelah dilakukan Angiografi diketahui dengan Proximal –Mid Stenosis 90% di LAD dan Distal Subtotal Oklusi di LCx .Yang kemudian dilanjutkan Tindakan Balloning dan pemasangan 1 Stent DES di Proximal sampai Mid LAD , Evaluasi Angiografi baik, TIMI 3 Flow, tidak timbul penyulit selama tindakan. Selanjutnya dilakukan pemasangan 1 Stent DES ( Direct Stenting ) di Distal LCx. Selama Tindakan Timbul keluhan nyeri dada dan pada Monitor EKG dengan gambaran ST Elevasi Tombstone di lead I . Disimpulkan Arteri LCx merupakan culpit pada kasus ini. Dari literature dilaporkan bahwa Gambaran EKG Tombstoning ST elevasi akibat oklusi mendadak pada arteri coroner yang mensuplai unprepared miokardium dengan area luas ; yakni miokardium yang tidak diproteksi oleh kolateral aatau ischeia preconditioning, menyebabkan complete transmural injury (13). Timbulnya keluhan nyeri dada intra prosedur PCI bisa disebabkan adanya sumbatan kateter, emboli udara, oklusi aliran ke distal oleh ballon, oklusiside branch, stretch pain akibat stenting, penanganan dengan pemberian analgetik opoid (14), Pada pasien ini keluhan nyeri dada saat tindakan PCI di LCx kemungkinan besar disebabkan sumbatan kateter atau stech pain akibat stenting. Pasien juga mengalami salah satu komplikasi tindakan Percutaneus Coronary Intervention yakni ‘No Reflow Phenomenon” No flow Phenomenon yakni ketidakmampuan reperfusi area iskemia akibat perubahan mikrovaskular coroner (edema sel endothelial, mikrothrombosis, infiltrasi inflamasi) dan merupakan salah satu tipe tipe ” Ischemia Reperfusion Injury” . Pada Angiografi coroner ,no – reflow dapat terlihat sebagai aliran pada infark related artery < TIMI 3, meskipun dengan rekanalisasi efektif dan komplit dan atau kurangnya blush pada miokardium sebagai gambaran adanyareperfusi pada tingkat mikrosirkulasi arteri (myocardial blush grade or TIMI myocardial perfusion grade < 2) . Tanda “no-reflow” pada EKG yakni tidak terjadi normalisasi penuh pada elevasi ST segmen setelah successful PCI .(15,16) Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 231
Pada Pasien Kedua, Pasien dari pemeriksaan fisis pasien dengan bradikardi, tanda vital dan pemeriksaan fisis lainya dalam batas normal, berdasarkan EKG saat pasien tiba di IGD RSWS dengan onset 4 jam dengan mengunakan ketiga algoritma tersebut diperkirakan culprit pada arteri circumflexa ( gambar 20). dan dibuktikan pada angiografi saat Primary PCI dengan Total oklusi pada distal Arteri Circumflexa . Gambar.20. Pengunaan Algoritma Tierala, fiol dan borras pada EKG Pasien kedua , diperkirakan dengan arteri Circumflexa sebagai culprit. RINGKASAN Telah dilaporkan seorang laki laki usia 45 tahun rujukan dari RS daerah dengan diagnosis ST Elevasi Miokardial Infark Inferiorposterior et lateral Wall Onset 1 jam Killip I Succesfull Fibrinolitik , dari Pemeriksaan fisis dengan takikardi , Tanda vital lainya dan Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 232
pemeriksaan fisis lainya dalam batas normal. Berdasarkan EKG dari RS daerah dengan Onset 1 jam dengan menggunakan 3 algoritma untuk menentukan culprit dari RCA atau LCx yakni algoritma Tierala (2009), Fiol (2004) dan Borras (2019) sesuai untuk Arteri LCx Sebagai Culprit. Dilanjutkan tindakan angiografi Koroner dengan hasil RCA normal, dan Distal Subtotal oklusi pada Segmen Left Circumflexa (LCx) , dilanjutkan PCI di arteri LAD dan LCx. Timbul keluhan nyeri dada dan peningkatan segmen ST dilead I dan II saat tindakan PCI pada Arteri LCx dan dengan evaluasi angiografi setelah tindakan TIMI 2 Flow. Disimpulkan arteri LCx sebagi culprit. Pasien kedua laki laki , 72 tahun diagnosis ST Elevasi Miokardial Infark Inferiorposterior et lateral Wall Onset 4 jam Killip I, Dari Pemeriksaan fisis dengan bradikardi. Tanda vital lainya dan pemeriksaan fisis lainya dalam batas normal. Berdasarkan EKG di IGD mengunakan 3 algoritma diatas sesuai untuk Arteri LCx Sebagai Culprit dan dibuktikan dengan Angiografi saat Primary PCI dengan distal total oklusi pada segmen Left Circumflexa (LCx). DAFTAR PUSTAKA 1. Henriques P, Baan J, Verouden NJ, Barwari K, Koch KT, Schaaf J Van Der, et al. Distinguishing the right coronary artery from the left circumflex coronary artery as the infarct- related artery in patients undergoing primary percutaneous coronary intervention for acute inferior myocardial infarction. Europace. 2009;(11):1517–21. 2. Narayanan T, Roy S, Nagham JS, Kumar RA. Acute Inferior Wall Myocardial Infarction due to Occlusion of the Wrapped Left Anterior Descending Coronary Artery. Case Rep Cardiol. 2013;1–3. 3. Kobayashi N, Maehara A. Left anterior descending artery wrapping around the left ventricular apex predicts additional risk of future events after anterior myocardial infarction. Anatol J Cardiol. 2019;(21):259–60. 4. Borras M vives, Maestro A, Hernando VG, Jorgensen D, Gregori AF, Moustafa AH, et al. Electrocardiographic Distinction of Left Circumflex and Right Coronary Artery Occlusion in Patients With Inferior Acute Myocardial Infarction. J Am Cardiol. Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 233
2019;(123):1019–25. 5. Luna AB. Clinical Electrocardiographt,A Textbook. Oxford: Wiles-Blackwell; 2012. p. 402–12. 6. Das B, Mishra TK. Prevention and Management of Arrhythmias in Acute Myocardial Infarction. Int J Contemp Med Res. 2016;3(5):1401–5. 7. Reddy CST, Rajasekhar D, Vanajakshamma V. Electrocardiographic localization of infarct related coronary artery in acute ST elevation myocardial infarction. J ClinSci Res. 2013;2:151–60. 8. From AM, Best PJM, Lennon RJ, Rihal CS, Prasad A. Acute Myocardial Infarction Due to Left Circumflex Artery Occlusion and Significance of ST-Segment Elevation. Am J Cardiol [Internet]. 2010;106(8):1081–5. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.amjcard.2010.06.016 9. Sohrabi B, Separham A, Madadi R, Toufan M, Mohammadi N. Difference between Outcome of Left Circumflex Artery and Right Coronary Artery Related Acute Inferior Wall Myocardial Infarction in Patients Undergoing Adjunctive Angioplasty after Fibrinolysis. J Cardiovasc Thorac Res. 2014;6(2):101–4. 10. Fiol M, Cygankiewicz I, Santoyo O, Bethencourt A. Value of Electrocardiographic Algorithm Based on “ Ups and Downs ” of ST in Assessment of a Culprit Artery in Evolving Inferior Wall Acute Myocardial Infarction. J Am Cardiol. 2004;(94):709–14. 11. Sala MF, Brnbaum Y, Nikus K, Luna AB. Electrocardiography in Ischemic Heart Disease Clinical and Imaging Correlations and Prognostic Implications. 2nd ed. Oxford: wilwy Blackwell; 2020. 111–120 p. 12. Li Q, Wang D, Chen B. Electrocardiogram in patients with acute inferior myocardial infarction due to occlusion of circum fl ex artery. Medicine (Baltimore). 2017;96(42):1–5. 13. Balci B. Tombstoning ST-Elevation Myocardial Infarction. Curr Cardiol Rev. 2009;5:273–8. 14. Lidsay A, Chitkara K, Dimario C, Buchanan GL, Chieffo A. Complication of Percutaneus Coronary Intervention, The Survival Handbook. london: Springer; 2016. p. 215. Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 234
15. Araszkiewicz A, Grygier M, Lesiak M, Grajek S. The impact of ischemia-reperfusion injury on the effectiveness of primary angioplasty in ST-segment elevation myocardial infarction. 2013;3(33):275–81. 16. Berg RA, Lim M. Complications of Coronary Intervention. In: Kern MJ, Seto AH, editors. SCAI Interventional Cardiology Review. third ed. philadelphia: Wolters Kluwer; 2018. p. 811. Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 235
12 Laki-Laki Dengan Kardiomiopati Dilatasi Terkait HIV : Perbaikan Signifikan Setelah Pemberian Terapi Ahmad Thotuching, Muzakkir Amir PENDAHULUAN Infeksi Human Immunodefficiency Virus (HIV) adalah salah satu penyebab terjadinya penyakit jantung yang didapat dan sering kali dengan gejala gagal jantung akibat kardiomiopati dilatasi. Komplikasi infeksi HIV terhadap jantung mempunyai kecenderungan terjadi lambat sesuai perkembangan penyakit HIV atau dihubungkan dengan terapi dan infeksi penyerta lainnya.1 Kardiomiopati dilatasi merupakan kelainan pada jantung yang sering terjadi pada penderita HIV , dengan kelainan adanya penurunan fungsi sistolik jantung disertai pelebaran ruang-ruang jantung.2 Keadaan tersebut disebabkan oleh banyak faktor dan penyebab pastinya belum dapat ditentukan. Gejala yang sering didapatkan adalah gagal jantung dengan klinis tergantung dari perkembangan penyakitnya. Penegakan diagnosis didasarkan dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisis, serta pemeriksaan penunjang yang mengarah pada gagal jantung. Terapi terhadap kardiomiopati dilatasi sama dengan terapi kardiomiopati non iskemik dengan tatalaksana mengatasi gagal jantung.3 Kardiomiopati Dilatasi telah didefinisikan oleh adanya (1) pemendekan fraksional <25% (> 2 SD) atau fraksi ejeksi <45% (> 2 SD), dan (2) LV diameter akhir diastolik> 117% (> 2 SD dari nilai prediksi 112% dikoreksi untuk usia dan luas permukaan tubuh) dengan menyingkirkan kemungkinan penyebab penyakit miokard yang diketahui.4 Penyebab kardiomiopati dilatasi pada penderita HIV masih belum diketahui secara jelas. Beberapa faktor diduga memiliki peranan dalam terjadinya kerusakan jantung. Berbagai hipotesis telah dikemukakan berkaitan dengan patogenesis penyakit miokardial pada Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 236
penderita infeksi HIV yaitu invasi HIV pada sel-sel miokardial, infeksi oportunistik, infeksi virus, respons autoimun terhadap virus, toksisitas obat-obatan terhadap jantung, defisiensi gizi, disfungsi endotel, disfungsi otonomik dan immunosupresi yang berkepanjangan.5 Dengan munculnya terapi antiretroviral yang sangat aktif (HAART), infeksi human immunodeficiency virus tipe 1 (HIV-1) telah menjadi penyakit kronis dengan harapan hidup yang lebih lama.1 Studi Rawat Jalan HIV menunjukkan bahwa, dengan penambahan terapi antiretroviral (ART) , mortalitas menurun dari 29,4 menjadi 8,8 per 100 orang-tahun.2 Data yang lebih baru menunjukkan bahwa proporsi pasien yang diharapkan bertahan selama 5, 10, dan 15 tahun setelah serokonversi di era ART adalah 99%, 93%, dan 89 %, masing-masing.3 Dengan meningkatnya harapan hidup dan penurunan morbiditas dari infeksi oportunistik, pengakuan dan pentingnya komplikasi kronis yang terkait dengan infeksi HIV-1 menjadi lebih jelas.6 Pada laporan kasus ini kami melaporkan seorang laki-laki usia 25 tahun yang sebelumnya didiagnosis HIV-1 dan menjalani terapi HAART yang dalam perjalanan penyakitnya mengalami kardiomiopati dilatasi, setelah menjalani terapi HAART selama dua tahun dan terapi kardiomiopati dilatasi pasien berespon baik dengan pengobatan ditandai dengan perbaikan gejala klinis dan toleransi aktivitas sehari- hari yang semakin membaik dan perbaikan pada fungsi jantung yang dinilai melalui pemeriksaan ekokardiografi. LAPORAN KASUS Seorang pasien laki-laki usia 25 tahun masuk ke Poliklinik Pusat Jantung Terpadu (PJT) dengan keluhan sesak nafas bila beraktivitas berat yang dialami sejak dua tahun terakhir. Tidak ada keluhan nyeri dada maupun jantung berdebar. Tidak ada riwayat penyakit jantung bawaan. Pasien didiagnosis AIDS pada Bulan Februari 2018. Saat itu pada pemeriksaan laboratorium didapatkan Hitung sel CD4 15 Cells/ml, semenjak itu pasien menjalani HAART (Highly Active Anti Retroviral Therapy) dengan regimen Lamivudin 150 mg 2x1, Evafiren 600 mg 1x1, Tenovofir 300 mg 1x1 di Poli Metadon/HIV Infection Centre. Pada bulan Februari 2019 Pasien mulai berobat di PJT RSWS. Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 237
Pada saat pertama kali berobat di Poli PJT, pasien mengeluhkan sesak nafas yang dipicu oleh aktivitas ringan serta sulit untuk berbaring di pada posisi terlentang, sering kali pasien terbangun pada malam hari akibat sesak nafas. Tidak ada riwayat penyakit jantung sebelumnya. Pasien memiliki riwayat pengobatan : - RSWS, November 2014, dengan Demam Tifoid - RSUD Daya, Desember 2017 di RSUD Daya dikatakan HIV Positif - IC RSWS, Januari 2018 dikatakan menderita infeksi jamur Paru - IC RSWS (Poli Metadon), April 2018 diberikan terapi Anti Retroviral - Poli PJT, Februari 2019 didiagnosis Kardiomiopati Dilatasi Pasien kemudian dilakukan pemeriksaan Echocardiogram dan Elektrokardiografi pada bulan April 2019 dengan hasil sebagai berikut : Gambar 1. Hasil Ekokardiografi April 2019 Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 238
Gambar 1a. Hasil Elektrokardiografi April 2019 : Sinus Rhytm, HR 108 bpm; axis: -20 degree; P wave 0.06s; PR interval 0.16 s, QRS duration 0,08s; Flattening T Wave I, aVL,II,III,aVF, V1-V2, T Inverted V3-V6, QTc 430 ms Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah saat masuk 110/70 mmHG, nadi 75 kali/menit, pernafasan 18 kali permenit, suhu 36,7 C. Pada pemeriksaan fisik secara umum tidak ditemukan kelainan, pada pemeriksan fisik jantung bunyi jantung regular, tidak ditemukan murmur dan bunyi jantung tambahan. Pada pemeriksaan elektrokardiografi didapatkan gambaran Sinus Ritme 70 kali per menit dan normoaksis (gambar 2.) Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan titer bermakna Anti Rubella IgG, Salmonella Paratyphi B dan Salmonella Paratyphi C, peningkatan kadar enzim transaminase, kadar CD4 291 cells/ul dan (Tabel 1) Pada pemeriksaan foto thoraks tampak kardiomegali dengan Cardio thoraks ratio (CTR) 0.55. (gambar 2.) Pada pemeriksaan ekokardiografi didapatkan penurunan fungsi sistolik ventrikel kiri 40.9% dengan Fraction Shortening 20 %, dilatasi ventrikel kiri, hipertrofi ventrikel kiri eksentrik, hipokinetik global, Regurgitasi Mitral derajat ringan, Disfungsi Diastolik derajat I (Gambar 4-9). Pasien disimpulkan menderita Kardiomiopati dilatasi terkait HIV. Selanjutnya pasien mendapatkan terapi warfarin 2 mg/24 jam/oral, Ramipril 2.5 mg/24 jam/oral, Concor 2.5 mg/24 jam/Oral, Furosemid 40 mg/24 jam/oral dan spironolakton 25 mg/24 jam/oral. Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 239
Tabel 1. Hasil Laboratorium (13/5/2020) Hasil Nilai Normal Satuan WBC 6.8 4-10 x 103/mm3 Diff Count % 59.0/27.9/8.3/ (N/L/M/E/B) 4. 2/0.6 HGB 14.7 12-16 g/dl MCV 90 80-97 fL MCH 32 26.5-33.5 Pg MCHC 36 31.5-35 gr/dl PLT 233 150-400 x 103/mm3 HCT 41 37-48 % PT 11.4 10-14 detik INR 1.1 APTT 25.9 22.0 – 30.0 detik SGOT 68 <38 U/L SGPT 109 <41 U/L Ureum 24 10-50 mg/dl Kreatinin 0.70 <1.1 mg/dl RBG 99 <140 gr/dl HS Trop I 11 17-50 ng/L LED I/II 11/27 <10 mm Anti TOXO IgG 0 <8 IU/ml Anti TOXO IgM 0.39 <0.65 COI Anti Rubella 33 <14 IU/ml IgG 0.18 <1.2 COI Anti Rubella IgM Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 240
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164
- 165
- 166
- 167
- 168
- 169
- 170
- 171
- 172
- 173
- 174
- 175
- 176
- 177
- 178
- 179
- 180
- 181
- 182
- 183
- 184
- 185
- 186
- 187
- 188
- 189
- 190
- 191
- 192
- 193
- 194
- 195
- 196
- 197
- 198
- 199
- 200
- 201
- 202
- 203
- 204
- 205
- 206
- 207
- 208
- 209
- 210
- 211
- 212
- 213
- 214
- 215
- 216
- 217
- 218
- 219
- 220
- 221
- 222
- 223
- 224
- 225
- 226
- 227
- 228
- 229
- 230
- 231
- 232
- 233
- 234
- 235
- 236
- 237
- 238
- 239
- 240
- 241
- 242
- 243
- 244
- 245
- 246
- 247
- 248
- 249
- 250
- 251
- 252
- 253
- 254
- 255
- 256
- 257
- 258
- 259
- 260
- 261
- 262
- 263
- 264
- 265
- 266
- 267
- 268
- 269
- 270
- 271
- 272
- 273
- 274
- 275
- 276
- 277
- 278
- 279
- 280
- 281
- 282
- 283
- 284
- 285
- 286
- 287
- 288
- 289
- 290
- 291
- 292
- 293
- 294
- 295
- 296
- 297
- 298
- 299
- 300
- 301
- 302
- 303
- 304
- 305
- 306
- 307
- 308
- 309
- 310
- 311
- 312
- 313
- 314
- 315
- 316
- 317
- 318