Anti CMV IgG <6 IU/ml COI Anti CMV IgM 0.10 <0.9 Salmonella O Neg Typhi Positif atif Salmonella 1/80 Neg Paratyphi A Negatif atif Salmonella O Neg Paratyphi B Positif atif 1/80 H Neg Salmonella Positif atif Paratyphi C 1/320 Negatif O Positif 1/320 Februari 2018 14 November 2019 5 Mei 2020 CD4 14 Cells/ul 248 cells/ul 291 cells/ul HIV 1 Viral Negative <40 copies/ml Undetected Load Negative Negative Rapid Test Single Syphilis Gambar 2. Elektrokardiografi 12 sandapan Irama sinus (13 Mei 2020) Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 241
HR 70 Kali bpm; axis: 10 derajat; P wave 0.06s; PR interval 0.16 s, QRS duration 0,08s; Gambar 3. Foto thoraks Posterior Anterior Cor : CTI = 0.55, Aorta Normal, Kesan Kardiomegali Gambar 4. Hasil LV Study dengan Metode M-Mode Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 242
Gambar 5. LVEF dengan metode Simpson Gambar 7. Gambaran Diameter Vena Cava Inferior melalui tampilan Subkostal Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 243
Gambar 8. Gambaran Regurgitasi Mitral Gambar 9. Tricuspid annular plane systolic excursion (TAPSE) DISKUSI Menurut Departemen Kesehatan sampai dengan September 2011 diperkirakan 15.589 orang penderita HIV dan 1.805 penderita AIDS di Indonesia. Angka ini meningkat lebih dari dua kali lipat disbanding data tahun 2006. Case fatality rate (CFR) AIDS pada tahun Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 244
2011 adalah 1 %. Kelompok penderita terbanyak berusia 20-29 tahun (45.9 %).3 Tingginya proporsi penderita pada kelompok usia ini dapat mencerminkan bahwa kebanyakan penderita terinfeksi HIV pada usia anak-anak atau remaja, namun dapat pula mencerminkan bahwa banyak penderita HIV/AIDS yang belum atau tidak dapat melewati batas usia tersebut.7 HIV Associated Cardyomyopathy (HIVAC) telah berkembang sejak penemuan kasus pertama pada pertengahan 1980-an. Sepanjang 1980-an dan 1990-an, sebelum ketersediaan ART , keberadaan gagal jantung pada orang yang terinfeksi HIV terutama dalam konteks miokarditis, terkait dengan efek langsung HIV, infeksi oportunistik, autoimunitas, defisiensi nutrisi, atau penekanan kekebalan yang parah . HIVAC ditandai sebagai gejala, disfungsi sistolik yang terkait dengan ventrikel kiri melebar dan menunjukkan prognosis yang buruk untuk pasien yang terinfeksi HIV. Kelangsungan hidup rata-rata adalah 101 hari untuk pasien yang terinfeksi HIV setelah diagnosis dengan dilatasi kardiomiopati, dibandingkan dengan 472 hari untuk pasien dengan temuan normal pada ekokardiogram pada tahap imunosupresi yang serupa.8 Saat ini, disfungsi sistolik digantikan oleh disfungsi diastolik subklinis sebagai ciri khas HIVAC pada individu dengan HIV yang terkontrol dengan baik.9 Tidak ada kriteria konsensus saat ini untuk mendefinisikan “kardiomiopati terkait HIV,” tetapi penelitian telah menguraikan beberapa subtipe dari penyakit yang berkembang ini. Manifestasi HIVAC termasuk gagal jantung simtomatik dengan disfungsi ventrikel kiri dengan atau tanpa dilatasi ventrikel, setiap gangguan sistolik atau disfungsi diastolik pada pasien HIV tanpa gejala, dan gagal jantung onset baru pada penyakit HIV stadium IV.10 Kardiomiopati ini dihubungkan dengan jumlah CD4 kurang dari 100 sel/mL. Studi kohort GISCA (Gruppo Italiano per lo Studio Cardiologico dei pazienti affetti da AIDS) pada 952 pasien HIV tanpa gejala yang diamati selama 5 tahun, kemudian dilakukan pemeriksaan ekokardiografi, didapati 76 pasien dengan gambaran kardiomiopati dilatasi dengan insidens pertahunnya sekitar 15.9 kasus per 1000 pasien.11 Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 245
Gambar 10. Etiologi dan karakteristik Fenotip HIVAC. Dikutip dari Lumsden, Rebecca & Bloomfield, Gerald. (2016). The Causes of HIV-Associated Cardiomyopathy Mekanisme pasti terjadinya kardiomiopati dilatasi pada pasien HIV sampai saat ini belum dapat dipastikan. Terdapat beberapa kemungkinan penyebab mekanisme terjadinya kardiomiopati, diantaranya adalah infeksi miokard akibat HIV, infeksi oportunistik, infeksi virus, respon autoimun terhadap infeksi virus, kardiotoksisitas atau jejas mitokondria akibat terapi maupun obat, defisiensi nutrisi dan ekspresi berlebihan dari sitokin.8 Kardiomiopati dilatasi dapat terjadi akibat aksi langsung HIV terhadap miokard ataupun enzim proteolitik serta mediator sitokin yang dipicu oleh HIV maupun virus lainnya.11 Toxoplasma gondii, coxsackie virus kelompok B, virus Epstein-Barr, virus sitomegali, adenovirus dan HIV sendiri yang terdapat pada miosit ditemukan dalam spesimen biopsi. Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 246
Gambar 11 Patofisiologi HIVAC. Dikutip dari Remick J, Georgiopoulou V, Marti C, et al. Heart failure in patients with human immuno deficiency virus infection: epidemiology, pathophysiology, treatment, and future research. Circulation. 2014;129:1781–1789. Infeksi HIV meningkatkan produksi tumor necrosis factor alpha (TNF-α), yang mengubah homeostasis kalsium intaseluler dan meningkatkan produksi nitrit oksida, membentuk growth factor-β dan peningkatan endotelin-1 .1 Kadar nitrit oksida yang tinggi akan menginduksi efek inotropik negatif dan sitotoksik terhadap miosit. 11 Kadar TNF-α dan nitrit oksida sintase lebih tinggi terdapat pada miosit pasien HIV dibandingkan dengan koinfeksi virus lainnya serta kadarnya berbanding terbalik dengan jumlah CD4.1Infeksi sel dendritik dan sel miokardial atau neuronal oleh HIV-1 atau virus-virus lainnya mungkin berperan dalam pelepasan sitokin- sitokin spesifik (TNF- α; Interleukin- 1, IL-1; IL-6; IL-10) yang akan mengaktifkan nitrit oksida sintase . Interaksi antara limfosist T sitotoksik dan kompleks reseptor Fas/ligan Fas pada lokasi permukaan sel target mungkin akan menyebabkan kerusakan mitokondria dengan pelepasan faktor proapoptosis mitokondria [sitokrom C, apoptosis inducing factor (AIF)]. Kerusakan mitokondria yang sama mungkin dapat disebabkan oleh reactive oxygen species (ROS) yang dilepaskan dari limfomonosit teraktivasi. Interaksi antara otoantigen dan molekul kompleks histokompatibilitas mayor (MHC) pada permukaan sel dendritik atau makrofag, sel miokard (MHC-I) dan limfosit B (MHC-II) menentukan produksi antibodi (Æ-antimiosin) yang berperan dalam kerusakan seluler secara langsung. Kerusakan neuronal secara spesisfik pada kerusakan sistem autonomik, akan meningkatkan kerusakan fungsional sel miokard karena peningkatan aktivitas adrenergik dan penurunan reseptor adrenergik.11 Miokarditis dengan infiltrasi limfositik dilaporkan pada 40- 52% pasien yang meninggal karena AIDS di era sebelum ART, walaupun tidak ada patogen spesifik yang dilaporkan pada sebagian besar pasien Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 247
yang terkena dan presentasi klinis heterogen dengan sebagian besar asimptomatik yang tersisa meskipun edema miokard subklinis dan inflamasi yang sedang berlangsung. (Gambar 11).9 Dalam penelitian berbeda mengenai kardiomiopati terkait HIV, biopsi endomiokardial dari hampir kasus menunjukkan miokarditis dengan infeksi virus kardiotropik.9 Prevalensi miokarditis dan genom virus kardiotropik pada kardiomiopati terkait HIV, pasien kardiomiopati dilatasi idiopatik yang tidak terinfeksi HIV dan penerima transplantasi jantung ortotopik dibandingkan dengan menggunakan EMB dan kriteria imunohistologis dari Federasi Jantung Dunia pada 33 pasien. Miokarditis hadir pada 44% kardiomiopati terkait HIV, 36% penerima transplantasi jantung dan 25% peserta dengan DCM idiopatik. Banyak virus diidentifikasi dalam banyak kasus. Infeksi virus kardiotropik hadir pada semua pasien kardiomiopati terkait HIV, dengan kardiomiopati terkait HIV, penerima transplantasi jantung dan pasien DCM idiopatik yang memiliki rata-rata 2,5, 2,2 dan 1,1 virus per orang, masing-masing.9 Pengetahuan terkini tentang patogenesis seluler dan molekuler miokarditis postviral dan autoimun hanya didasarkan pada model hewan. Dalam model ini, perkembangan dari cedera akut menjadi DCM kronis dapat disederhanakan menjadi proses tiga tahap. Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 248
Cedera akut menyebabkan kerusakan jantung, paparan antigen intraseluler seperti myosin jantung, dan aktivasi sistem kekebalan tubuh bawaan. Selama berminggu-minggu, kekebalan spesifik yang dimediasi oleh limfosit T dan antibodi yang diarahkan melawan patogen dan epitop jantung endogen yang serupa menyebabkan peradangan yang kuat. Pada kebanyakan pasien, patogen dibersihkan dan reaksi kekebalan diatur ke bawah, dengan sedikit gejala sisa. Pada pasien lain, bagaimanapun, virus tidak dibersihkan, dan itu menyebabkan kerusakan miosit yang berkelanjutan; peradangan spesifik jantung dapat bertahan karena kesalahan pengenalan antigen jantung endogen sebagai entitas patogen. Infeksi virus dan oportunistik memicu miokarditis dalam pengaturan infeksi HIV yang tidak terkontrol. Invasi langsung miosit jantung oleh virus kardiotropik, termasuk HIV, mengarah pada pelepasan sitokin lokal dan infiltrasi miokardium selanjutnya dengan ekspansi klon.9 Gambar 13 Kriteria Diagnostik Miokarditis. Dikutip dari Caforio A et al., Eur Heart J2013;34:2636-2648 Pasien terduga miokarditis secara klinis jika ≥1 presentasi klinis dan ≥1 kriteria diagnostik dari berbagai kategori, tanpa adanya: (1) penyakit arteri koroner yang terdeteksi secara angiografis (stenosis koroner ≥ 50%); (2) penyakit kardiovaskular yang diketahui sebelumnya atau penyebab ekstra jantung yang dapat menjelaskan Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 249
sindrom tersebut (mis. Penyakit katup, penyakit jantung bawaan, hipertiroidisme, dll.) Kecurigaan lebih tinggi dengan jumlah kriteria terpenuhi yang lebih tinggi. Defisiensi nutrisi sering kali terjadi pada pasien HIV terutama pada tahap akhir penyakit HIV. Absorbsi yang buruk dan diare kronik akan menyebabkan ketidakseimbangan elektrolit dan defisiensi nutrisi elemental. Defisiensi Selenium akan meningkatkan virulensi virus Cosackie terhadap jaringan kardiak. Pemberian nutrisi Selenium mengatasi kardiomiopati dan mempertahankan fungsi ventrikel kiri pada pasien yang kurang nutrisi. Kadar vitamin B12, karnitin dan hormon pertumbuhan serta tiroid dapat berubah pada pasien dengan HIV , kesemuanya berhubungan dengan disfungsi ventrikel kiri.11 Manifestasi klinis pasien kardiomiopati dilatasi penderita HIV adalah gagal jantung. Beberapa pasien memperlihatkan gejala tersebut pada awal penyakit dengan perkembangan yang cepat dan sisanya timbul seiring dengan perkembangan keparahan penyakit yang dideritanya.3 Pasien dengan kelainan ini dapat menunjukkan gejala asimptomatik atau dengan gejala gagal jantung fungsional kelas (New York Heart Association, NYHA) III atau IV.2 Pasien dengan gagal jantung memperlihatkan gejala beragam, yang paling sering muncul adalah cepat lelah, sesak nafas saat aktifitas, sesak nafas, nafas cepat, batuk, aktivitas yang berkurang, ortopnea, paroxysmal nocturnal dispnea, nokturia, penurunan berat badan, edema, nyeri perut, kehilangan nafsu makan, riwayat Cheyne-Stokes saat tidur serta somnolens.12 Panduan klinis European Society of Cardiology (ESC) memberikan definisi gagal jantung dengan adanya gejala dan tanda gagal jantung serta bukti objektif keterlibatan abnormalitas struktur maupun fungsi jantung. Gejala dapat berupa sesak saat istirahat maupun beraktivitas dan cepat lelah. Tanda gagal jantung meliputi retensi cairan seperti kongesti paru atau kaki bengkak. Bukti keterlibatan struktur maupun fungsi jantung adalah kardiomegali, suara jantung ke tiga, bising jantung, gangguan fungsi jantung pada ekokardiogram, tingginya konsentrasi natriuretik peptida.13 Hipertrofi ventrikel kiri lebih sering terjadi pada pasien yang terinfeksi HIV daripada pada kontrol). Dalam satu penelitian, peserta Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 250
yang terinfeksi HIV memiliki indeks massa ventrikel kiri yang 8 g / m2 (rata-rata) lebih besar dari indeks massa pada kontrol (P = 0,001) . Indeks massa ventrikel kiri yang lebih tinggi secara independen terkait dengan jumlah CD4 yang lebih rendah, memberi kesan bahwa defisiensi imun mungkin berperan dalam proses ini. Setelah penyesuaian usia dan faktor risiko tradisional, pasien HIV 2,4 kali lebih mungkin mengalami disfungsi diastolik daripada kontrol. Studi lain membandingkan massa ventrikel kiri pada pasien dengan dan tanpa infeksi HIV dan dengan dan tanpa hipertensi. Pada orang yang hipertensi dan normotensi, pasien HIV memiliki massa ventrikel kiri yang lebih besar dan disfungsi diastolik yang lebih besar daripada kontrol yang tidak terinfeksi.14 ART bukan terapi yang khusus digunakan untuk kardiomiopati; Namun, kejadian kardiomiopati telah menurun secara dramatis sejak ART. Apakah ART dapat menimbulkan perbaikan ireversibel pada kardiomiopati tidak diketahui. Di sisi lain, obat ART seperti AZT memiliki toksisitas miokard secara langsung, dan ART dapat mempercepat aterosklerosis koroner, yang akhirnya mengarah ke disfungsi ventrikel kiri. Peran peradangan dan respon imun dalam kardiomiopati terkait HIV dibahas oleh penelitian pada anak yang terinfeksi HIV dengan dilatasi ventrikel kiri; kontraktilitas ventrikel kiri yang lebih baik terlihat pada mereka dengan kadar IgG endogen yang lebih tinggi dan mereka yang diobati dengan imunoglobulin intravena. Yang perlu diperhatikan, di antara orang yang terinfeksi HIV secara periodik, ART tampaknya memiliki efek perlindungan pada struktur jantung, serta efek menghambat perkembangan gagal jantung lebih lanjut, menandakan bahwa ART memiliki efek protektif.14 Kardiomiopati terkait HIV di era sebelum ART membawa prognosis yang buruk. Dalam satu penelitian, waktu kelangsungan hidup rata-rata pada pasien dengan AIDS dan kardiomiopati adalah 101 hari, dibandingkan dengan 472 hari pada pasien dengan AIDS saja. Dalam penelitian lain, rasio hazard yang disesuaikan untuk kematian untuk pasien dengan kardiomiopati terkait dengan AIDS adalah 5,86, dibandingkan dengan kardiomiopati idiopatik.14 Sejak ART, epidemiologi dan prognosis kardiomiopati terkait HIV telah meningkat secara dramatis. Gejala gagal jantung atau bukti Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 251
kardiomiopati ekokardiografi sangat meningkatkan risiko kematian. Kematian jantung mendadak pada pasien HIV terjadi pada 4,5 kali laju yang diharapkan, dan disfungsi sistolik dan diastolik diketahui terjadi pada lebih dari setengah kasus tersebut. Kehadiran cadangan kontraktil sebagaimana dinilai oleh ekokardiografi stres dobutamin telah dilaporkan sebagai penanda untuk tingkat kelangsungan hidup yang lebih baik pada pasien HIV dengan kardiomiopati. Pasien dengan cadangan kontraktil juga lebih mungkin mengalami peningkatan fraksi ejeksi.14 KESIMPULAN Pada laporan kasus ini dilaporkan seorang laki-laki usia 25 tahun yang sebelumnya didiagnosis HIV-1 dan menjalani terapi HAART yang dalam perjalanan penyakitnya mengalami kardiomiopati dilatasi. Penegakkan diagnosis kardiomiopati yang dicurigai akibat proses miokarditis berdasarkan tanda dan gejala yang terdapat pada pasien dan ditunjang oleh hasil pemeriksaan ekokardiografi. Pasien menjalani terapi HAART selama dua tahun dan terapi gagal jantung sesuai panduan tatalaksana yang berlaku. Gejala sesak nafas yang dirasakan sebelumnya jauh berkurang bahkan toleransi aktivitas sehari-hari pasien semakin membaik. Kekurangan pada kasus ini yaitu tidak dilakukannya CMR yang dapat membuktikan Miokarditis sebagai penyebab dari Kardiomiopati Dilatasi terkait HIV serta Endomyocardial Biopsi yang dapat membuktikan kemungkinan infeksi oportunistik sebagai penyebab langsung terjadinya Miokarditis. DAFTAR PUSTAKA 1. Fisher SD, Bowles NE, Towbin JA, Lipshultz SE 2003. Mediators in HIV- associated cardiovascular disease: a focus on cytokines and genes. AIDS 2003;17 Suppl 1:S29-35. 2. Breuckmann F, Neumann T, Kondratieva J et al., 2005. Dilated cardiomyopathy in two adult human immunodeficiency positive (HIV+) patients possibly related to highly active antiretroviral therapy (HAART). Eur J Med Res 2005;10:395-9. Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 252
3. Hare JM 2012. The Dilated, Restrictive, and Infiltrative Cardiomyopaties. In: Robert O Bonow DLM, Douglas P Zipes, Peter Libby, ed. Braundwald's Heart Disease A Textbook of Cardiovascular Medicine. 9th ed. Philadelphia: Elsevier Saunder; 2012:1561-71. 4. Mestroni L, Maisch B, McKenna WJ, Schwartz K, Charron P, Rocco C, Tesson F, Richter A, Wilke A, Komajda M. Guidelines for the study of familial dilated cardiomyopathies. Collaborative Research Group of the European Human and Capital Mobility Project on Familial Dilated Cardiomyopathy.Eur Heart J. 1999; 20:93–102. 5. Currie PF, Jacob AJ, Foreman AR, Elton RA, Brettle RP, Boon NA 1994. Heart muscle disease related to HIV infection: prognostic implications. BMJ 1994;309:1605-7 6. Lumsden, Rebecca & Bloomfield, Gerald. (2016). The Causes of HIV-Associated Cardiomyopathy: A Tale of Two Worlds. BioMed Research International. 2016. 1-9. 10.1155/2016/8196560. 7. Sejati, Arif & Wijaya, Ika. (2017). Kardiomiopati pada Penderita Infeksi HIV. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia. 1. 132. 10.7454/jpdi.v1i2.47. 8. P. F. Currie, A. J. Jacob, A. R. Foreman, R. A. Elton, R. P. Brettle, and N. A. Boon, “Heart muscle disease related to HIV infection: prognostic implications,” British Medical Journal, vol. 309, no. 6969, pp. 1605–1607, 1994. 9. J. Remick, V. Georgiopoulou, C. Marti et al., “Heart failure in patients with human immunodeficiency virus infection: epi- demiology, pathophysiology, treatment, and future research,” Circulation, vol. 129, no. 17, pp. 1781–1789, 2014. 10. K. Sliwa, M. J. Carrington, A. Becker, F. Thienemann, M. Ntsekhe, and S. Stewart, “Contribution of the human immun- odeficiency virus/acquired immunodeficiency syndrome epi- demic to de novo presentations of heart disease in the Heart of Soweto Study cohort,” European Heart Journal, vol. 33, no. 7, pp. 866–874, 2012. Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 253
11. Barbaro G, Di Lorenzo G, Grisorio B, Barbarini G 1998. Incidence of dilated cardiomyopathy and detection of HIV in myocardial cells of HIV-positive patients. Gruppo Italiano per lo Studio Cardiologico dei Pazienti Affetti da AIDS. N Engl J Med 1998;339:1093-9. 12. Barry Greenberg AMK 2012. Clinical Assessment of Heart Failure. In: Robert O Bonow DLM, Douglas P Zipes, Peter Libby, ed. Braundwald's Heart Disease A Textbook of Cardiovascular Medicine. 9th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2012:505-6. 13. McMurray JJ, Adamopoulos S, Anker SD et al., 2012. ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure 2012: The Task Force for the Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic Heart Failure 2012 of the European Society of Cardiology. Developed in collaboration with the Heart Failure Association (HFA) of the ESC. Eur Heart J 2012. 14. Mann, Douglas L.,, et al. Braunwald's Heart Disease: A Textbook of Cardiovascular Medicine. Tenth edition. Philadelphia, PA: Elsevier/Saunders, 2015. Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 254
13 Temuan Persistent Left Superior Vena Cava Saat Pemasangan Alat Pacu Jantung Permanen Dervin Ariansyah, Muzakkir Amir, Az Hafid Nashar PENDAHULUAN Persisten left vena cava superior (PLSVC) adalah sindrom yang jarang terjadi dengan angka kejadian 0,3% dari populasi tanpa kelainan jantung kongenital Sindrom ini pada umumnya tidak memiliki gejala dan ditemukan secara tidak sengaja saat autopsi atau alat pacu jantung atau pemasangan kardioverter-defibrillator. Sembilan puluh dua persen kasus menunjukkan bahwa vena cava superior kiri persisten melewati sinus koroner yang membesar dan kemudian ke atrium kanan. Persisten left vena cava superior dialami sekitar 10% dari populasi dengan kelainan jantung bawaan. PLSVC terjadi ketika berkembangnya sistem vena yang menyimpang pada tahap awal evolusi embrio. Selain itu, hal ini juga menjadi sangat penting untuk kepentingan intervensi karena PLSVC akan mempersulit prosedur dan dapat mengakibatkan perpanjangan waktu yang signifikan yang diperlukan untuk pengenalan dan pemasangan elektroda pacemaker serta meningkatkan risiko komplikasi peri- dan pasca-intervensi. TUJUAN Adapun tujuan dari laporan kasus ini adalah untuk memaparkan dan membahas lebih dalam mengenai persistent left superior vena cava Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 255
ILUSTRASI KASUS Seorang laki-laki 60 tahun masuk ke UGD Pusat Jantung Terpadu RS Dr. Wahidin Sudirohusodo dengan mengeluhkan lemas sejak 3 bulan lalu dan menetap sejak 3 minggu terakhir sebelum masuk rumah sakit yang disertai dengan pusing. Riwayat pingsan maupun perasaan mau pingsan tidak ada, Pasien juga mengeluhkan nyeri dada tembus belakang sejak 14 jam sebelum masuk RS dengan VAS 9/10 saat dirumah dan menjadi 4/10 saat tiba di rumah sakit, nyeri dada terpengaruh aktivitas, keluhan disertai mual, tanpa muntah. Sesak napas tidak ada. Riwayat hipertensi ada sejak 5 tahun terakhir namun tidak berobat teratur, riwayat diabetes mellitus tidak ada, riwayat merokok ada 30 tahun, berhenti sejak 2 tahun terakhir, riwayat penyakit jantung keluarga tidak ada Berdasarkan pemeriksaan fisik didapatkan deskripsi umum pasien dengan kesan sakit sedang, status gizi obese (IMT 31 kg/m2), kesadaran compos mentis. Pada tanda vital, didapatkan tekanan darah 116/72 mmHg, pernafasan 20 kali per menit, Nadi 76 kali permenit, Suhu 36.5 C, pemeriksaan auskultasi paru tidak terdapat ronkhi maupun wheezing. Auskultasi jantung tidak terdengar murmur. Edem tungkai tidak ada. Pada pemeriksaan penunjang elektrokardiografi di IGD didapatkan kesan disosiasi AV, deviasi axis kanan, infark anteroseptal. Pada pemeriksaan radiologi di dapatkan kesan kardiomegali disertai dilatasi aorta. sedangkan pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis ringan dan peningkatan troponin I Pasien dilakukan pemeriksaan ekokardiografi didapatkan fungsi sistolik ventrikel kiri menurun, dilatasi ventrikel kiri, mitral regurgitasi ringan, aorta regurgitasi ringan, left ventricular hypertrophy eccentric, akinetik dan hipokinetik segmental. Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 256
Gambar 1. Elektrokardiografi 12 sandapan AV disosiasi, atrial rate 120 x/menit, ventricle rate 30x/menit, axis: 120 derajat,, QRS 0.08 s, qST elevation V2-V5, T inverted II, III, avF, V5-V6 60:129.March 2020: retrospective cohort study. bmj, 369. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang. Pasien di diagnosa sementara dengan ST elevasi myocard Infarction Anterospetal onset > 12 jam Killip I, total atrioventricular block with junctional escape rhytm dan elevated liver enzyme Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 257
Tabel 1. Hasil Laboratorium (15/03/2020) Sementara itu pasien mendapatkan terapi NaCl 0,9% 500 ml/24 jam/oral, Dopamin 5mcg/kgBB/jam/syringe pump, loading aspilet 160 mg kemudian aspilet 80 mg/24jam/oral, loading clopidogrel 300 mg kemudian lanjut clopidogrel 75 mg/24jam/oral, serta direncanakan untuk primary PCI dilanjutkan PPM dengan backup temporary pacemaker . Gambar 2. Foto Thorax Posterior Anterior Cor : CTI 0.61, kardiolomegali, dilatasi aorta, pulmo dalam batas normal Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 258
Fungsi sistolik ventrikel kiri menurun ejeksi fraksi 41 % (BIPLANE), dilatasi ventrikel kiri, hipertrofi ventrikel kiri konsentrik, akinetik dan hipokinetik segmental, disfungsi diastolik derajat ringan, efusi pericard ringan Tindakan Primary PCI diawali dengan tindakan angiografi coroner. Punksi dilakukan pada arteri radialis kanan, kemudian dimasukkan sheat 6F. Selanjutnya dilakukan kanulasi dengan SBS 3,5/6F, didapatkan hasil diagnostic angiography sebagai berikut : • Left Main : normal • Left Anterior Descending : proximal stenosis 95 % • Left circumflex : distal stenosis 40-50 % • Right Coronary Artery: proximal stenosis 40-50 % Kemudian diputuskan melakukan PCI dengan target lesi di LAD. Dilakukan wiring ke distal LAD dengan hypercoat. Selanjutnya dilakukan pemasangan 1 stent DES Cre8 3,0x25 mm. Evaluasi angiografi baik, TIMI 3 flow, diseksi (-), residual stenosis (-) , thrombus (-) Setelah tindakan primary percutaneous coronary intervention, diputuskan untuk pemasangan alat pacu jantung (permanent pacemaker). diawali pemasangan temporary pace maker sebagai Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 259
backup terlebih dahulu dilakukan pemasangan temporary pacemaker sebagai back up dengan akses femoral. Setting TPM dengan rate 70 kali/menit, output 5,0 mA, sensitivity 5,0 mV. Selanjuntya dilakukan disenfeksi pada area deltoidopectoral junction kiri, dilakukan tindakan venografi pre-prosedur, didapatkan gambaran kontras mengalir dari vena subclavia kiri menuju ke sinus coronarius yang bermuara ke atrium kanan yang sesuai gambaran persistent left superior vena cava sehingga diputuskan mengganti akses ke deltoidopectoral junction kanan sebagai akses pemasangan permanent pacemaker. Setelah dilakukan tindakan asepsis pada area deltoid-pectoral junction area, dilakukan punksi dan kanulasi melalui vena subclavia kanan. Adapun jenis permanent pacemaker yang digunakan adalah Biotronik dengan mode VVI (single chamer pacemaker). Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 260
Pada hari perawatan ke 5, pasien dipulangkan dalam keadaan stabil, keluhan lemas tidak ada, luka post pemasangan pacemaker tampak kering dan tidak ada pendarahan. Pasien mendapatkan terapi rawat jalan: Aspilet 80 mg/24 jam/oral, Clopidogrel 75 mg/24 jam/ oral, furosemide 40 mg/24 jam/oral, cefixime 200 mg/12 jam/oral, ramipril 2,5mg/24 jam/oral, atorvastatin 40 mg/24jam/oral, ramipril 2,5 mg/24 jam/oral. Serta pasien direncanakan untuk dilakukan pemeriksaan MSCT angiografi dengan kontras dan rekonstruksi 3D Gambar 5. Hasil Pemeriksaan MSCT thorax dengan kontras Saat kontrol di poliklinik rawat jalan, dilakukan pemeriksaan MSCT angiografi dengan kontras dan rekonstruksi 3D dengan tujuan melihat tipe PLSVC serta untuk clinical judgement, yakni menjadi panduan atau guideline oleh operator ketika dilakukan tindakan invasive/operasi yang melibatkan vena subclavia atau vena cava inferior Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 261
DISKUSI 3.1 Prevalensi Persistent Left Superior Vena Cava Persistent left superior vena cava (PLSVC) pertama kali dilaporkan oleh Le Chat pada tahun 1738 yang merupakan anomali vena toraks sisa bawaan dari vena Marshall, yang berfungsi sebagai “lawan” dari vena cava superior (SVC) dalam perkembangan embriologis awal. Vena ini gagal mengalami regresi seiring perkembangan, sebagai akibatnya, darah vena kembali ke RA melalui koneksi PLSVC ke sinus koroner. (Schummer, Schummer and Fröber, 2003) Meskipun angka kejadian 0,5% dari populasi umum, PLSVC, tanpa adanya kelainan jantung bawaan lainnya, hampir tidak pernah didiagnosis karena cenderung tidak bermakna secara hemodinamik, jarang menyebabkan gejala. Namun, hal ini lebih sering dijumpai pada pasien yang akan dipasangi alat pacu jantung atau defibrillator jantung implan (ICD). Dalam satu penelitian terhadap 300 pasien dengan aritmia yang menjalani penelitian elektrofisiologi sebelum penempatan PM atau ICD, sekitar 4% memiliki anomali drainase Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 262
vena. (Rawal et al., 2016) Gambar 7 . Klasifikasi anomali anatomi vena cava superior menurut Schumar : 1, vena cava superior kanan; 2, vena subklavia kanan; 3, vena jugularis interna kanan; 4, vena jugularis interna kiri; 5, meninggalkan vena subklavia; 6, vena innominated (tipe IIIb: vena dilenyapkan atau hilang); 7, meninggalkan vena cava superior; 8, sinus koroner; 9, vena cava inferior Prevalensi deteksi persistent left superior vena cava yang lebih tinggi ini selama penempatan pacemaker permanen atau ICD kemungkinan disebabkan oleh fakta bahwa pasien dengan anomali vena kongenital memiliki peningkatan risiko kelainan yang terkait dengan sistem konduksi jantung, yang menyebabkan aritmia yang mungkin memerlukan penempatan pacemaker atau defibrillator.(Brickner et al., 1990; González, 2001) Jaringan pacemaker embriologis jantung berasal dari dua situs (kanan dan kiri) di dekat muara superior vena cava (SVC). Selama perkembangan normal, sisi sisi kanan (terletak di sinus venosus) biasanya membentuk simpul sedangkan sisi sisi kiri (terletak di vena kardinal) bermigrasi ke bawah ke daerah dekat sinus koroner. Jaringan yang terakhir ini (sisi kiri) dalam perkembangan normal akan kehilangan kemampuan konduksi ketika vena mengalami degenerasi, tetapi akan menetap jika jaringan ini gagal mengalami regresi dan sebagai gantinya terbentuk persistent left superior vena cava. Akibatnya, fungsi elektrofisiologis abnormal dapat muncul dari Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 263
situs ini, sepeerti takiaritmia (takikardi supraventrikular, fibrilasi atau flutter atrium, atau sindrom Wolff-Parkinson-White) dan bradaritmia (karena pengembangan blok konduksi atrioventrikular). (Rigatelli, 2007; Chokr et al., 2018) Selain itu, aritmia dapat timbul akibat adanya penyebab sekunder, seperti tekanan fisiologis yang ditempatkan pada jaringan konduktif sebagai akibat dari anatomi abnormal pasien yang dapat menyebabkan pembesaran atrium kanan atau pelebaran sinus coroner. Dalam sebagian besar kasus di mana persistent left superior vena cava ditemukan selama atau sebelum prosedur, akses dialihkan ke vena subklavia kanan, memungkinkan untuk rute yang lebih mudah. Namun, pada beberapa kasus, pendekatan sisi kanan bukan pilihan yang baik misalnya riwayat trauma sebelumnya pada sisi kanan pasien, kendala waktu dalam situasi yang muncul, atau bahkan tidak adanya dari SVC sisi kanan yang normal (persistent left superior vena cava tipe 2).(Paval and Nayak, 2007) Ada banyak laporan kasus keberhasilan implantasi berbagai jenis alat jantung dari pendekatan subklavia kiri pada pasien dengan PLSVC, termasuk pacemaker, ICD dan ICDs biventrikular yang melintasi sinus koroner ke LV, memberikan sinkronisasi ventrikel kanan dan kiri. (Morgan et al., 2002; Tak, Crouch and Drake, 2002) Pemahaman yang tepat tentang embriologi dan patofisiologi PLSVC akan mengurangi pengujian yang tidak perlu dan berpotensi berbahaya, rujukan subspesialisasi, dan kecemasan pasien sambil memberikan perawatan yang optimal untuk beberapa pasien yang benar-benar membutuhkan evaluasi dan pengobatan lebih lanjut. (Alam et al., 2009) Pasien ini memiliki dua vena cava superior yakni persistent left superior vena cava dan right superior vena cava ( bilateral superior vena cava). Berdasarkan klasifikasi Schumer, termasuk dalam tipe 3 dengan angka kejadian sekitar 82-90% dari seluruh kasus PLSVC. Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 264
Gambar 8. (a) PLSVC mengarah ke atrium kanan (b) PLSVC mengarah ke sinus coronaries dan terdapat jendela ke dalam atrium kiri (c) PLSVC bermuara ke atrium kiri (d) PLSVC bermuara ke vena pulmonary kiri. 3.2 Gambaran Klinik Persistent Left Superior Vena Cava Persistent Left Superior Vena Cava pada umumnya asimptomatik bila tidak disertai dengan kelainan jantung lainnya dan keberadaannya biasanya ditemukan selama kateterisasi vena sentral atau implantasi alat pacu jantung. Komplikasi serius dapat terjadi selama kateterisasi akibat syok, henti jantung atau angina, akibat manipulasi kateter yang berlebihan pada sinus koroner, atau perforasi vena brakiosefalika dapat terjadi jika right superior vena cava tidak ada. (Gharini, Maharani and Krisdinarti, 2016; Otero, Stoddard and Ikram, 2020) Pada pasien ini, tidak ditemukan gejala tertentu yang berkaitan dengan anomali anatomi akibat persisten left superior vena cava karena PLSVC pada pasien ini merupakan tipe 3B tanpa adanya kelainan penyakit jantung kongenital yang menyertainya. Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 265
3.3 Embriologi Persistent Left Superior Vena Cava Di minggu kelima, tiga pasang vena utama dapat dikenali: (1) vena vitelina, atau vena omfalomesenterika, membawa darah dari yolk sac ke sinus venosus; (2) vena umbilikalis, berasal dari vilus korion dan membawa darah yang teroksigenasi ke mudigah; dan (3) vena kardinalis, yang mengalirkan darah dari tubuh mudigah Mula-mula, vena kardinalis membentuk sistem drainase vena utama pada mudigah. Sistem ini terdiri dari vena kardinalis anterior, yang mengalirkan darah dari bagian sefalik mudigah, dan vena kardinalis posterior, yang mengalirkan darah dari bagian tubuh mudigah lainnya. Vena kardinalis anterior dan posterior bergabung sebelum masuk ke kornu sinus dan membentuk vena kardinalis komunis yang pendek. Selama minggu keempat, vena kardinalis membentuk sistem yang simetris (Hospital, 1966) Gambar 9. Komponen utama arteri dan vena pada mudhigah ukuran 4 mm (akhir minggu keempat) Selama minggu kelima hingga ketujuh, terbentuk sejumlah vena tambahan: (1) vena subkardinalis, yang terutama mengalirkan darah dari ginjal; (2) vena sakrokardinalis, yang mengalirkan darah dari ekstremitas bagian bawah; dan (3) vena suprakardinalis, yang mengalirkan darah dari dinding tubuh melalui vena interkostalis, Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 266
mengambil alih fungsi vena kardinalis posterior Pembentukan sistem vena kava ditandai dengan munculnya anastomosis antara bagian kiri dan kanan sedemikian rupa sehingga darah dari kiri disalurkan ke sisi kanan. Anastomosis antara vena kardinalis anterior berkembang menjadi vena brakiosefalika kiri. Sebagian besar darah dari sisi kiri kepala dan bagian atas ekstremitas kiri kemudian disalurkan ke kanan. (Verniquet and Kakel, 2012; Sohns et al., 2014) Gambar 10. perkembangan vena kava inferior, vena azigos dan vena kava superior (a) minggu ke tujuh, anastomosis terletak diantara vena subkardinalis, vena suprakardinalis, vena sakrokardinalis dan vena kardinalis anterior. (b) Sistem vena saat lahir menunjukkan komponen vena kava inferior Bagian terminal vena kardinalis posterior kiri yang masuk ke dalam vena brakiosefalika kiri dipertahankan sebagai suatu pembuluh darah kecil, vena interkostalis superior kiri. Pembuluh darah ini menerima darah dari ruang interkostal kedua dan ketiga. Vena kava superior dibentuk oleh vena kardinalis komunis kanan dan bagian proksimal vena kardinalis anterior kanan. Vena kardinalis an terior merupakan drainase vena primer dari kepala selama minggu keempat perkembangan dan pada akhirnya, membentuk vena jugularis interna. Vena jugularis eksterna berasal dari pleksus pembuluh darah vena di wajah dan mengalirkan darah dari wajah Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 267
dan bagian samping kepala ke vena subklavia. Anastomosis antara vena subkardinalis membentuk vena renalis kiri. Saat hubungan ini telah terbentuk, vena subkardinalis kiri lenyap, dan hanya bagian distalnya yang tersisa sebagai vena gonadalis kiri. Dengan demikian, vena subkardi- nalis kanan menjadi saluran drainase utama dan berkembang menjadi segmen renalis, vena kava inferior Anastomosis antara vena sakrokardinalis membentuk vena iliaka komunis kiri. Vena sakrokardinalis kanan menjadi segmen sakrokardinal vena kava inferior. Ketika segmen renalis vena kava inferior terhubung dengan segmen hepatika, yang berasal dari vena vitelina kanan, maka vena kava inferior, yang terdiri dari segmen hepa- tika, renalis dan sakrokardinal, terbentuk dengan sempurna. (Hospital, 1966; Savu et al., 2020) Dengan obliterasi pada bagian utama vena kardinalis posterior, vena suprakardinalis mengambil peran yang lebih besar dalam mengalir darah dari dinding tubuh. Vena interkostalis kanan IV hingga XI mengosongkan isinya ke dalam vena suprakardinalis kanan, yang bersama dengan sebagian vena kardinalis posterior membentuk vena azigos. Di sisi kiri, vena interkostalis IV hingga VII masuk ke dalam vena suprakardinalis kiri dan kemudian vena suprakardinalis kiri, yang dikenal sebagai vena hemiazigos, mengosongkan isinya ke vena hemiazigos. Vena kava superior ganda ditandai dengan persistensi vena kardinalis anterior kiri dan kegagalan terbentuknya vena brakiosefalika kiri. Persistensi vena kardinalis anterior kiri, vena kava superior kiri, mengalirkan darahnya ke dalam atrium kanan melalui sinus koronarius. (Otero, Stoddard and Ikram, 2020) Pada pasien ini, persistent left superior vena cava merupakan tipe 3B yakni adanya right superior vena cava dan left persistent vena cava tanpa disertai adanya vena innominate. Hal terjadi karena kegagalan regresi vena kardinal superior kiri untuk membentuk ligamentum Marshall selama minggu awal perkembangan embriologis, yang mengakibatkan pembuluh darah vena sisi kiri persisten yang, melalui sinus koroner, mengalir ke atrium kanan. Ini menyebabkan dilatasi sinus koroner karena peningkatan aliran balik Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 268
vena namun tidak menyebabkan konsekuensi hemodinamik.(Otero, Stoddard and Ikram, 2020) Dalam kasus PLSVC tipe lain, aliran ke atrium kiri yang mengakibatkan pirau sisi ke kiri, atau ke vena cava inferior atau vena hepatik PLSVC biasanya asimptomatik dan secara hemodinamik tidak bermakna, tetapi dapat dikaitkan dengan gangguan irama jantung. Diagnosis biasanya insidental selama pencitraan kardiovaskular (echogram kardiogram menunjukkan dilatasi sinus koroner), implantasi alat pacu jantung atau pencitraan dada setelah penempatan kateter vena sentral. (Rawal et al., 2016) 3.4. Implikasi Klinis Persistent Left Superior Vena Cava 3.4.1 Pemasangan CVC dan Akses HD Nefrologis harus mewaspadai adanya anomali anatomi yang tidak umum, walaupun tidak terlalu jarang ditemukan yakni vena cava superior persisten kiri (PLSVC) yang bias ditemukan pada beberapa pasien yang mungkin tidak diketahui kelainan bawaan Pemasangan kateter dialisis untuk akses vaskular yang bersifat sementara diperlukan untuk terapi hemodialisis merupakan prosedur rutin untuk para nefrologist. Vena jugularis interna merupakan akses yang sering dipilih karena penempatan vena femoralis membatasi mobilitas dari pasien dan resiko infeksi yang lebih besar terkait pemasangan kateter. Penempatan kateter Swan-Ganz dapat menjadi tantangan karena dilakukan tanpa pencitraan dalam banyak keadaan, seperti di samping tempat tidur terutama saat mengakses vena subklavia kiri yang digunakan untuk akses ke sisi kanan jantung atau pembuluh darah paru. Temuan PLSVC yang tidak sengaja setelah kateterisasi vena sentral dapat menyebabkan salah penafsiran yang berbahaya terhadap hasil radiografi pasca operasi. Bantuan rontgen per prosedur yang digunakan oleh dokter yang memiliki informasi dapat mencegah komplikasi jangka pendek karena upaya kateterisasi yang berulang, dialisis yang tertunda atau penggunaan media kontras berlebih. (Schummer, Schummer and Fröber, 2003; Sohns et al., 2014) Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 269
3.4.2 Teknik implantasi dual chamber pacemaker Insersi elektroda endokardial melalui vena cava superior sisi kiri selama implantasi alat pacu jantung permanen dapat menjadi rumit akibat ketidakstabilan dan perpindahan elektroda. Keberhasilan implantasi sistem pacing dual chamber melalui vena cava superior kiri menggunakan fiksasi aktif di atrium agar lead menjadi sensing dan kejadian flail elektroda dapat dihindari. Vena cava superior kanan tetap memberikan akses alternatif ke atrium kanan melalui vena subklavia kanan. Pacing transvenous ventrikel menggunakan pendekatan sisi kiri pada pasien dapat dilakukan menggunakan stilet dan teknik khusus untuk mencapai atrium kanan sehingga lead terfiksasi aktif dan mencegah perpindahan elektroda. (Roberts, Bellamy and Ramsdale, 1992) 3.4.3 Teknik kardioplegia saat open heart surgery Selama operasi jantung, 270oroner anatomi persistent left superior vena cava merupakan kontraindikasi 270oroner270 terhadap penggunaan 270orone retrograde kardioplegia. Adanya sinus 270oroner yang melebar pada vena cava superior persisten kiri dapat menyebabkan masalah 270orone retrograde cardioplegia dilakukan. Aliran larutan kardioplegik dari sinus 270oroner ke dalam vena cava superior persisten kiri harus dihindari. Teknik ini masih dapat dilakukan dengan syarat menutup sementara persistent left superior vena cava menggunakan Teknik oklusi tourniquet intermiten sehingga aliran cairan kardioplegik dari sinus 270oroner melebar ke kanan atrium dicapai dengan kompresi digital untuk mencegah regurgitasi aliran kardioplegia atau perfusi retrograde PLSVC dan cabangnya dengan cara mengatur tekanan yang adekuat pada sinus koronarius selama dilakukan retrograde kardioplegia sehingga perfusi cairan kardioplegik menjadi merata dan berdampak pada perlindungan miokard lebih adekuat. Teknik modifikasi ini pertama kali diperkenalkan oleh Drinkwater dan rekan. (Shahian, 1992) Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 270
3.4.3 Abses serebral akibat PLSVC yang bermuara ke atrium kiri Kondisi jantung kongenital dengan pirau kanan ke kiri diketahui berperan pada kejadian abses serebral dan tromboemboli. Bakteremia transien dari flora orofaringeal dapat meyebar akibat menyikat gigi atau prosedur sederhana pada gigi. Bakteri patogen ini tidak dapat bertahan hidup di lingkungan kaya oksigen dari sirkulasi paru-paru dan dapat dihilangkan oleh makrofag alveolar atau sistem limfatik. Sebuah pirau kanan-ke-kiri memungkinkan organisme ini memintas paru-paru dan langsung memasuki sirkulasi arteri dan mencapai otak. (Lee et al., 2011) PLSVC yang mengalir ke atrium kiri sering dikaitkan dengan unroofing dari sinus koroner. Sinus koronarius yang tidak tertutup berhubungan langsung dengan atrium kiri, di samping hubungan normal dengan atrium kanan. Jenis-jenis morfologis dari sindrom sinus koronarius unroofing atau tidak tertutup diklasifikasikan menjadi 4 kelompok, sebagai berikut ; tipe I : completely unroofed with PLSVC; tipe II, completely unroofed without PLSVC; tipe III, partially unroofed mid portion; dan tipe IV, partially unroofed terminal portion Tingkat pirau kiri-ke-kanan tergantung pada jumlah dan ukuran pembuluh darah yang menghubungkan PLSVC ke system vena sisi kanan, resistensi relatif aliran ke setiap ventrikel, dan ada tidaknya cacat pada jantung.(Rawal et al., 2016) Dalam penggunaan akses vena sentral pada pasien dengan PLSVC yang bermuara ke atrium kiri, penting untuk menghindari menggunakan vena ekstremitas atas sebelah kiri, karena aliran vena ini mengarah ke PLSVC. Jika diperlukan jalur vena sentral, sisi kanan lebih diutamakan. Koreksi bedah diindikasikan jika komplikasi terkait shunt kanan-ke-kiri terjadi. Meskipun penelitian masih terbatas, pendekatan endovaskular menggunakan Amplatzer occluder atau embolisasi koil telah dilaporkan untuk perawatan pirau kanan-ke-kiri pada pasien dengan PLSVC. (Lee et al., 2011) Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 271
RINGKASAN Telah dilaporkan seorang laki-laki 60 tahun dengan presentasi STEMI anteroseptal dan total AB block yang ditandai dengan presentasi nyeri dada tipikal disertai dengan keluhan lemas sejak beberapa bulan sebelumnya serta ditunjang dengan temuan pada pemeriksaan EKG dan biomarker jantung. Pada pasien diberikan penanganan sesuai tatalaksana STEMI dan total AV block serta direncanakan pemeriksaan angiografi koroner dan primary percutaneous coronary intervention lalu dilanjutkan pemasangan permanent pacemaker dengan backup temporary pacemaker . Namun saat dilakukan venografi rutin sebelum tindakan pemasangan permanent pacemaker, ditemukan anomali aliran kontras yang diduga disebabkan kelainan anatomi dari cabang vena subclavia kiri, Setelah itu, dilakukan pemeriksaan MSCT thorax dan 3D reconstruction pada pasien, dengan hasil persisten left superior vena cava tipe 3B. Kasus ini mempunyai beberapa implikasi klinis seperti saat pemasangan vena sentral, akses hemodialisa, maupun teknik pemasangan pacemaker serta teknik anastesi bila dilakukan open heart surgery. Hal ini menjadi tantangan dalam penanganan manajemen standar sehubungan dengan anomali anatomi tersebut. DAFTAR PUSTAKA 1. Alam, M. et al. (2009) ‘Persistent Left Superior Vena Cava: An Incidental Finding’, JAC. American College of Cardiology Foundation, 53(13), p. 1159. doi: 10.1016/j.jacc.2008.10.062. 2. Brickner, M. E. et al. (1990) ‘Left-Sided Inferior Vena Cava Draining Into the Coronary Sinus Via Persistent Left Superior Vena Cava : Case Report and Review of the Literature’, 192. 3. Chokr, M. O. et al. (2018) ‘Atrioventricular nodal reentrant tachycardia and persistent left superior vena cava : A tough nut to crack . Successful ablation with transseptal approach’, Heart Rhythm Case Reports. Elsevier Inc., 4(12), pp. 589– Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 272
593. doi: 10.1016/j.hrcr.2018.09.004. 4. Gharini, P., Maharani, E. and Krisdinarti, L. (2016) ‘image demonstrates that the right superior vena ca left superior vena cava ( PLSVC ).’, pp. 1–5. 5. González, R. U. (2001) ‘Persistent Left Superior Vena Cava : Case Report’, pp. 4492–4494. 6. Hospital, M. (1966) ‘Congenital Anomalies Involving the Coronary’, pp. 317–327. 7. Lee, M. et al. (2011) ‘Images in Cardiovascular Medicine Cerebral Abscess Due to Persistent Left Superior Vena Cava Draining Into the Left Atrium’, pp. 2362–2364. doi: 10.1161/CIRCULATIONAHA.111.046102. 8. Morgan, D. R. et al. (2002) ‘Anomalies of cardiac venous drainage associated with abnormalities of cardiac conduction system’, pp. 281–287. doi: 10.1053/eupc.2002.0248. 9. Otero, D., Stoddard, M. and Ikram, S. (2020) ‘Dilated Coronary Sinus : An Indicator of Persistent Left Superior Vena Cava’, pp. 116–117. 10. Paval, J. and Nayak, S. (2007) ‘A persistent left superior vena cava’, 48(3), pp. 90–93. 11. Rawal, G. et al. (2016) ‘Persistent Left Superior Vena Cava : A Rare Case with Clinical Significance’, 10(5), pp. 17–18. doi: 10.7860/JCDR/2016/20319.7774. 12. Rigatelli, G. (2007) ‘Congenitally persistent left superior vena cava : a possible unpleasant problem during invasive procedures’. 13. Roberts, D. H., Bellamy, C. M. and Ramsdale, D. R. (1992) ‘Implantation of a dual chamber pacemaker in a patient with persistent left superior vena cava’, 36, pp. 242–243. 14. Savu, C. et al. (2020) ‘Persistent Left Superior Vena Cava – Accidental Finding’, 941, pp. 935–941. doi: 10.21873/invivo.11861. 15. Schummer, W., Schummer, C. and Fröber, R. (2003) ‘Persistent left superior vena cava and central venous catheter position: Clinical impact illustrated by four cases’, Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 273
Surgical and Radiologic Anatomy, 25(3–4), pp. 315–321. doi: 10.1007/s00276-003-0138-6. 16. Shahian, D. M. (1992) ‘Retrograde Coronary Sinus Cardioplegia in the Presence of Persistent Left Superior Vena Cava Notice From the American Board of Thoracic Surgery’, The Annals of Thoracic Surgery, 54(6), pp. 1214– 1215. doi: 10.1016/0003-4975(92)90103-B. 17. Sohns, J. M. et al. (2014) ‘Persistent left superior vena cava detected after central venous catheter insertion’, pp. 1–4. 18. Tak, T., Crouch, E. and Drake, G. B. (2002) ‘Persistent left superior vena cava : incidence , significance and clinical correlates’, 82, pp. 91–93. 19. Verniquet, A. and Kakel, R. (2012) ‘Persistent left superior vena cava : implications during central venous cannulation’, pp. 109–111. doi: 10.1007/s12630-011-9617-0. Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 274
14 Feokromositoma yang Menyerupai Gejala Sindrom Koroner Akut Adelaide Adiwana, Peter Kabo, Himawan Sanusi PENDAHULUAN Nyeri dada merupakan gejala utama yang muncul pada pasien dengan sindrom koroner akut (SKA) (Marco Roffi et al., 2016). Akan tetapi, keluhan nyeri dada tidak selalu disebabkan oleh adanya stenosis pembuluh darah jantung. Stenosis aorta, emboli paru, sindrom aorta akut, mioperikarditis dapat menimbulkan keluhan nyeri dada. Nyeri dada dapat pula timbul akibat adanya patologi pada organ ekstrakardiak, seperti pneumothoraks, pneumonia, penyakit muskuloskeletal, dan kelainan pada organ abdomen (spasme esofageal, esofagitis, ulkus gaster, kolesistitis, pankreatitis) (Grani C et al., 2015; Rubini et al., 2014). Ketelitian dalam menganamnesis tanda, gejala, dan sifat nyeri dada menjadi kunci utama dalam membantu mendiagnosis suatu SKA, di samping pemeriksaan elektrokardiografi (EKG) dan enzim jantung. Nyeri dada khas pada SKA ditandai dengan sensasi tekanan atau berat di bagian retrosternal (angina), menjalar ke lengan kiri (jarang ke kedua lengan atau lengan kanan), leher atau rahang, biasanya intermiten (berlangsung beberapa menit) atau persisten. Gejala tambahan seperti berkeringat, mual, sakit perut, dyspnoe, dan sinkop mungkin ada. Keluhan nyeri dada yang muncul karena aktivitas dan menghilang saat istirahat menjadi karakteristik adanya iskemia miokard. Hilangnya keluhan nyeri dada setelah pemberian nitrat tidak spesifik pada nyeri dada angina akibat penyempitan koroner karena hal tersebut dapat pula terjadi pada nyeri dada akut yang disebabkan oleh penyebab lain. Pasien dengan nyeri dada akut yang masuk Instalasi Gawat Darurat (IGD) menjadi tantangan tersendiri dalam mendiagnosis suatu SKA. Usia tua, jenis kelamin Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 275
laki-laki, riwayat keluarga dengan penyakit jantung koroner (PJK), diabetes, hiperlipidemia, hipertensi, insufisiensi ginjal, manifestasi PJK sebelumnya serta penyakit arteri perifer atau karotis meningkatkan kemungkinan suatu SKA (Canto JG et al., 2002; Rubini et al., 2014). Salah satu penyebab timbulnya keluhan nyeri dada adalah hipertensi. Sistem saraf simpatis (SSS) berkontribusi pada patogenesis hipertensi pada beberapa orang. Pada individu yang sehat, SSS berkontribusi dalam menjaga tekanan darah dan perfusi jaringan dengan meningkatkan kontraktilitas dan denyut jantung sehingga curah jantung mencukupi, dan dengan menginduksi vasokonstriksi arteriolar untuk mempertahankan resistensi perifer yang memadai. Pada individu dengan hipertensi, aktivitas berlebihan SSS dapat diakibatkan oleh peningkatan produksi katekolamin (epinefrin dan norepinefrin) atau dari peningkatan reaktivitas reseptor yang melibatkan neurotransmiter ini. Peningkatan aktivitas SSS tidak hanya meningkatkan denyut jantung dan resistensi perifer tetapi juga menyebabkan remodeling vaskular dengan penyempitan dan vasospasme arteri. SSS berkontribusi terhadap resistensi insulin, yang berhubungan dengan disfungsi endotel dan penurunan produksi vasodilator, seperti nitric oxide. SSS juga memiliki sifat prokoagulan, membuat spasme vaskular dan trombosis. Semua faktor ini berkontribusi pada peningkatan tekanan darah yang berkelanjutan (Valentina, 2016). Bila hipertensi tidak terkontrol disertai dengan adanya episode lonjakan tekanan darah yang tinggi sekali walaupun dengan obat- obatan standar, perlu dipikirkan salah satu penyebabnya adalah oleh karena tingginya kadar katekolamin dalam darah. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya tumor pada medula adrenal yang mensekresikan katekolamin, yaitu feokromositoma. Feokromositoma biasanya jinak (90% kasus), hanya sedikit yang bersifat ganas. Gambaran klinis klasik disebabkan oleh stimulasi sistem saraf simpatis berlebihan dan melibatkan krisis tekanan darah episodik dengan trias gejala berupa sakit kepala paroksismal, diaforesis, dan palpitasi. Namun, feokromositoma juga dapat muncul tanpa gejala atau dengan hipertensi persisten (Gark SK et al; 2018). Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 276
Feokromositoma merupakan tumor yang sangat jarang terjadi. Insidensi penyakit ini berkisar antara 2-8 per satu juta penduduk per tahun (Beard CM et al., 1983). Sebanyak 0,1-1% pasien dengan hipertensi disebabkan oleh feokromositoma, di mana sekitar 5% pasien ditemukan massa adrenal secara tidak sengaja (Omura M et al., 2004). Insidensi puncak penyakit ini terjadi pada dekade ketiga hingga kelima kehidupan dengan usia rata-rata saat didiagnosis adalah 24,9 tahun pada kasus herediter dan 43,9 tahun pada kasus sporadis (Neumann HP et al., 2002). Insidensi baik pada pria maupun wanita adalah sama (Amar L et al., 2005). Berikut ini akan dilaporkan suatu kasus seorang laki-laki usia 44 tahun yang semula didiagnosis SKA tetapi ternyata merupakan suatu feokromositoma dengan manifestasi nyeri dada. LAPORAN KASUS Seorang laki-laki berusia 44 tahun dirujuk oleh spesialis penyakit dalam dari Enrekang ke Pusat Jantung Terpadu (PJT) Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo (RSWS) Makassar dengan diagnosis Unstable Angina Pectoris (UAP) DD/ Non ST Elevasi Myocardial Infarct (NSTEMI), bradikardi simtomatik, dan Acute Kidney Injury (AKI) prerenal. Pasien telah dirawat selama 6 hari di Enrekang dengan keluhan utama nyeri dada, sudah diterapi dengan Miniaspi 80 mg/24 jam/oral, Clopidogrel 75 mg/24 jam/oral, Farsorbid 10 mg/8 jam/oral, Amlodipine 10 mg/24 jam/oral, Omeprazole 20 mg/12 jam/oral, Antasida syrup 15 cc/8jam/oral, Simvastatin 20 mg/24 jam/oral, dan Alprazolam 0.5 mg/24 jam/oral. Nyeri dirasakan pada dada sebelah kiri, tembus ke belakang, durasi kurang lebih 20 menit, disertai keringat dingin dan rasa mual. Nyeri dada dirasakan hilang timbul, kadang disertai rasa berdebar-debar dan sakit kepala. Sesak nafas timbul bila nyeri dada. Keluhan nyeri dada sudah tidak ada ketika pasien tiba di PJT. Keluhan rasa tidak nyaman di dada disertai berdebar, sakit kepala dan keringat dingin telah dialami pasien sejak 2 tahun terakhir. Riwayat pingsan dan pandangan gelap sesaat tidak ada. Riwayat penurunan berat badan ada, perlahan- lahan, sejak 2 tahun terakhir, kurang lebih 8 kg. Riwayat hipertensi Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 277
baru diketahui 6 hari lalu saat dirawat di Enrekang. Riwayat merokok ada, kurang lebih 16 batang/hari, berhenti 10 tahun lalu. Riwayat diabetes tidak ada. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang, gizi cukup, compos mentis. Tensi saat masuk 132/72 mmHg, nadi 60 kali/menit, respirasi 20 kali/menit, suhu 36.8oC, saturasi oksigen 99%. Pemeriksaan fisik lain dalam batas normal. Pemeriksaan elektrokardiografi (EKG) didapatkan sinus ritme, 60 kali/menit, normoaksis. Gambar 1. EKG pasien Hasil laboratorium bermakna didapatkan adanya peningkatan kadar Troponin I sebesar 0.1 ng/ml (normal: <0.01 ng/ml), CK dan CK- MB tidak meningkat. Pemeriksaan laboratorium lain dalam batas normal. Sedangkan pada pemeriksaan foto thoraks tidak didapatkan adanya kelainan. Gambar 2. Foto thoraks pasien Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 278
Dari pemeriksaan ekokardiografi didapatkan hasil dengan kesimpulan fungsi sistolik ventrikel kiri dan ventrikel kanan baik, ejeksi fraksi (EF) 59.7%, hipertrofi ventrikel kiri konsentrik, dan global normokinetik. Gambar 3. Ekokardiografi pasien Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, pasien kami diagnosis dengan NSTEMI. Pasien diberi Aspilet 80 mg/24 jam/oral, Clopidogrel 75 mg/24 jam/oral, Fondaparinux 2.5 mg/24 jam/subkutan, Farsorbid 10 mg/8 jam/oral, Atorvastatin 40 mg/24 jam/oral, Ramipril 2.5 mg/24 jam/oral, dan Lansoprazole 30 mg/24 jam/oral. Pasien direncanakan untuk Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 279
dilakukan pemeriksaan angiorafi koroner. Keesokan harinya, sekitar pukul 12 siang, pasien mengeluh nyeri dada dengan skala 8/10, disertai nyeri kepala, mual dan keringat dingin. Tensi saat itu didapatkan 240/110 mmHg, nadi 57 kali/menit, respirasi 24 kali/menit. Tidak ditemukan kelainan saat pemeriksaan fisik. Kami lakukan pemeriksaan ekokardiografi hemodinamik pasien, didapatkan peningkatan systemic vascular resistance (SVR) sebesar 3.479 dyne, eRAP 3 cmH2O. LVOT VTI, stroke volume, dan cardiac output dalam batas normal. Pasien kami asses dengan hipertensi emergensi dan diberikan Nitrogliserin (NTG) 10 mcg/menit/syringpump (up titration), Ramipril 2.5 mg distop dan diganti dengan Valsartan 80 mg/24 jam/oral. Tekanan darah berangsur-angsur turun diikuti dengan menghilangnya keluhan pasien. Terjadi peningkatan tekanan darah kembali saat sore hari sekitar pukul 18. Dosis NTG kami naikkan hingga 30 mcg/menit/syringpump, akan tetapi tekanan darah turun terlalu cepat, sehingga dosis NTG kami kembalikan ke dosis semula. Gambar 4. Grafik tanda-tanda vital pasien Kenaikan tekanan darah pada waktu siang dan menjelang malam disertai gejala nyeri dada, keringat dingin, sakit kepala, mual dan disertai muntah ini terus berulang selama perawatan. Diberikan tambahan obat anti-hipertensi dengan Amlodipin 10 mg/24 jam/oral, Clonidin 0.075 mg/12 jam/oral (up titration), dan peningkatan dosis Valsartan menjadi 160 mg/24 jam/oral dengan Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 280
pengaturan waktu pemberian sebelum jam tensi pasien melonjak drastis. Akan tetapi tetap tidak mampu mengontrol lonjakan kenaikan tekanan darah. NTG diganti dengan pemberian Perdipine start 0.5 mcg/kgBB/menit/syringpump, namun tensi menjadi turun drastis, sehingga Perdipine kami stop dan kembali diberikan NTG dosis maintenance 10 mcg/min/syringpump. Dilakukan kembali pemeriksaan Troponin I, dan didapatkan hasil 0.08 ng/ml, sehingga diagnosis sindrom koroner akut menjadi diragukan. Tindakan angiografi sementara ditunda hingga keadaan hemodinamik pasien stabil. Pasien dikonsulkan ke bagian neurologi dan diasses dengan acute cephalgia et causa suspect vascular headache. Dilakukan pemeriksaan CT scan kepala dan didapatkan hasil tidak tampak lesi hipodens maupun hiperdens patologik intrakranial. Pasien diberi terapi dengan kapsul racikan yang berisi Paracetamol 500 mg, Diazepam 2 mg, Amitriptilin 6.25 mg per 8 jam/oral dan Mecobalamin 500 mcg/24 jam/oral. Akan tetapi, pemberian obat- obatan tersebut tidak terlalu mengurangi keluhan nyeri kepala yang timbul bersamaan dengan nyeri dada, terutama saat siang dan menjelang malam hari. Gambar 5. CT scan kepala pasien Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 281
Semula, keadaan ini membuat dugaan ke arah hipertiroid. Pasien dikonsulkan ke bagian Endokrin dan Metabolik, dilakukan pemeriksaan kadar FT4 dan TSHs, serta dilakukan pemeriksaan ultrasonografi (USG) leher. Akan tetapi, semua pemeriksaan tersebut didapatkan hasil normal dan tidak ditemukan kelainan. Gambar 6. USG leher pasien Setelah dilakukan analisis ulang mengenai penyebab kenaikan tekanan darah yang tidak terkontrol dengan obat-obatan standar, maka timbul dugaan penyakit feokromositoma pada pasien ini. Untuk menunjang diagnosis, dilakukan pemeriksaan MSCT abdomen dengan kontras disertai pemeriksaan metanefrin urin dan vanillylmandelic acid (VMA) urin. Kedua pemeriksaan urin ini tidak terdapat di Indonesia, sehingga urine pasien dikirim ke Amerika Serikat untuk pemeriksaan tersebut. Pemeriksaan MSCT abdomen dengan kontras ditemukan lesi heterogen (18-56 HU) bentuk bulat, batas tegas, non kalsifikasi yang menyangat heterogen (27-157 HU) dengan ukuran ± 3,7x2,6x2,9 cm kesan berasal dari kelenjar adrenal kanan. Organ intraabdomen lain dalam batas normal. Sehingga disimpulkan suatu massa adrenal dextra. Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 282
Gambar 7. MSCT abdomen dengan kontras Hasil pemeriksaan metanefrin urin dan VMA urin didapatkan: Tabel 1. Hasil pemeriksaan urin Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan VMA urin >8 ≤8 mg/24jam Metanephrine 7571 58 – 203 mcg/24jam Normetanephrine 2046 6.8 – 10.2 mcg/24jam Metanephrine total 10517 182 – 735 mcg/24jam Pasien diterapi dengan Terazosin 1 mg/24jam/oral dan Propanolol 10 mg/12jam/oral. Obat anti-hipertensi dan antiplatelet yang telah diberikan sebelumnya dihentikan. Lonjakan tekanan darah menjadi lebih terkontrol setelah pemberian obat-obatan ini. Gambar 8. Grafik tanda-tanda vital pasien setelah pemberian Terazosin dan Propanolol Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 283
Pasien kemudian dikonsul ke bagian Bedah Urologi dan direncanakan untuk dilakukan transabdominal laparoscopic adrenelectomy 3 bulan setelah perawatan. Rencana angiografi yang sempat tertunda karena ketidakstabilan hemodinamik tidak dilakukan karena pasien merasa lebih baik dan menolak tindakan tersebut. Tiga bulan pasca perawatan, pasien masuk RSWS untuk dilakukan transabdominal laparoscopic adrenelectomy oleh Bedah Urologi. Pasien mendapatkan terapi Terazosin 2 mg/24jam/oral, Propanolol 10 mg/8jam/oral, dan Amlodipine 5 mg/24jam/oral untuk kontrol tekanan darah pre-operatif. Tekanan darah dapat diturunkan hingga 140/80 mmHg. Namun, operasi ditunda karena fasilitas pemantauan pasca operasi di Intensive Care Unit (ICU) saat itu penuh, maka pasien direncanakan kembali untuk operasi dua minggu berikutnya, namun pasien menolak. Pasien kembali ke kampung halamannya tanpa operasi. Pasien mengaku tidak pernah timbul keluhan berat seperti waktu dirawat dulu dan dapat beraktivitas seperti biasa. PEMBAHASAN Manifestasi klinis nyeri dada akut memiliki banyak sekali diagnosis banding, seperti terlihat pada Tabel 2. Diperlukan anamnesis yang teliti disertai pemeriksaan fisik dan penunjang yang mendukung agar dapat menegakkan suatu diagnosis yang benar dan pada akhirnya terapi yang tepat dapat diberikan. Keluhan nyeri dada akut tipikal angina (timbul pada dada sebelah kiri dengan rasa seperti tertekan benda berat, disertai gejala sistemik berupa diaforesis dan mual, durasi lebih > 20 menit) yang diderita oleh seorang laki-laki dengan usia di atas 40 tahun dengan adanya faktor risiko kardiovaskular berupa hipertensi dan merokok, maka tidaklah mengherankan bila SKA menjadi diagnosis banding yang pertama. Apalagi didukung dengan peningkatan enzim jantung yang semakin memperkuat diagnosis SKA. Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 284
Tabel 2. Diagnosis banding SKA pada manifestasi nyeri dada akut (Marco Roffi et al., 2016) Selama perawatan, beberapa kali pasien mengeluh nyeri dada hebat disertai diaforesis, nyeri kepala, mual dan muntah. Keadaan ini semula disimpulkan karena masih adanya sumbatan pada arteri koroner yang belum terbuka, mengingat pasien tidak direperfusi. Dilakukan pemeriksaan EKG saat keluhan timbul dan pengecekan enzim jantung serial, namun tidak ditemukan perubahan EKG dan tidak ditemukan pula peningkatan maupun penurunan enzim jantung yang bermakna. Sesuai prosedur, pasien direncanakan untuk dilakukan immediate invasive strategy dengan assesment NSTEMI very high risk karena nyeri dada yang masih timbul walaupun sudah mendapat terapi optimal. Akan tetapi, saat dilakukan pengukuran tekanan darah, ternyata didapatkan tensi yang sangat tinggi (mencapai 240/110 mmHg), sehingga tindakan ditunda. Hal ini tentu saja mengejutkan karena pasien masuk dengan tensi normal dan tidak didiagnosis menderita hipertensi. Setelah diperhatikan, ternyata terdapat episode-episode lonjakan kenaikan tensi setiap keluhan nyeri dada, diaforesis, sakit kepala, mual dan muntah muncul. Maka, saat itu timbul keraguan apakah pasien ini nyeri dada karena menderita SKA atau karena hipertensi emergensi yang bermanifestasi nyeri dada. Enzim jantung (troponin I) dapat meningkat bukan saja pada SKA, tetapi juga pada keadaan lain, salah satunya adalah hipertensi emergensi. Berbagai keadaan yang dapat meningkatkan kadar troponin I selain pada SKA dapat dilihat pada Tabel 3. Hal ini Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 285
menjelaskan tidak adanya kenaikan atau penurunan nilai troponin I yang signifikan saat dilakukan pemeriksaan enzim jantung serial saat nyeri dada timbul kembali. Idealnya, dilakukan tindakan angiografi koroner untuk memastikan ada tidaknya penyempitan pembuluh darah koroner yang menyebabkan nyeri dada. Akan tetapi, setelah tekanan darah terkontrol, pasien menolak untuk dilakukan angiografi koroner. Pasien juga sempat dicurigai menderita hipertiroid karena adanya peningkatan tekanan darah yang tinggi, namun dari hasil pemeriksaan laboratorium tidak ditemukan adanya kelainan pada fungsi kelenjar tiroid. Tabel 3. Keadaan lain selain SKA yang dapat menyebabkan peningkatan troponin (Marco Roffi et al., 2016) Hipertensi emergensi dapat menimbulkan nyeri dada karena adanya pengaruh sistem saraf simpatis (SSS) yang berlebihan. Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 286
Aktivitas SSS yang berlebihan dapat disebabkan oleh peningkatan produksi katekolamin (epinefrin dan norepinefrin) atau dari peningkatan reaktivitas reseptor yang melibatkan neurotransmiter ini. Peningkatan aktivitas SSS tidak hanya meningkatkan denyut jantung dan resistensi perifer tetapi juga menyebabkan remodeling vaskular dengan penyempitan dan vasospasme arteri. SSS berkontribusi terhadap resistensi insulin, yang berhubungan dengan disfungsi endotel dan penurunan produksi vasodilator, seperti nitric oxide. SSS juga memiliki sifat prokoagulan, membuat spasme vaskular dan trombosis (Valentina, 2016). Keadaan ini membuat ketidakseimbangan supply dan demand pada pembuluh darah koroner sehingga timbul manifesasi nyeri dada. Patofisiologi SSS sehingga dapat menimbulkan hipertensi dapat dilihat pada Gambar 9 berikut ini: Gambar 9. Peran SSS terhadap hipertensi (Valentina, 2016) Salah satu penyakit yang dapat menyebabkan tingginya aktivitas simpatis, meskipun sangat jarang, dengan inisdensi 2-8 per satu juta penduduk per tahun adalah feokromositoma (Beard CM et al., 1983). Feokromositoma merupakan tumor yang berasal dari sel kromafin medulla adrenal yang umumnya memproduksi satu atau lebih katekolamin (norepinefrin, epinefrin, dan dopamin). Feokromositoma sebagian besar terdapat pada kelenjar adrenal dan sekitar 10% di luar adrenal (abdomen, pelvis, throraks, leher, dan kepala). Paraganglioma adalah tumor yang berasal dari sel kromafin Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 287
ekstra adrenal di ganglia simpatis paravertebra thorakal, abdomen, dan pelvis. Paraganglioma juga kadang ditemukan di sepanjang nervus vagus dan glossopharyngeal di leher dan basal tengkorak. Paraganglioma lebih sering pada anak-anak (30%) dibandingkan dewasa (15%). Lebih dari 50% kasus feokromositoma ditemukan pada saat autopsi karena tumor ini jarang dipikirkan sebagai diagnosis pasien. Sekitar 25% feokromositoma dapat bersifat familial. Beberapa sindrom genetik ditransmisikan secara autosomal dominan dan diketahui meningkatkan resiko feokromositoma, sindrom ini diantaranya Von Hippel-Lindau (VHL) syndrome, multiple endocrine neoplasia type 2 (MEN 2), dan neurofibromatosis type 1 (NF1) (Farrugia FA et al., 2017). Katekolamin disintesis dan disekresi dari sel kromafin yang berlokasi di medulla adrenal dan paraganglia simpatis. Katekolamin (norepinefrin, epinefrin, dopamin) bekerja melalui ekspresi protein G bersama dengan resptor adrenegik. Norepinefrin bekerja melalui reseptor α1, α2, dan β1, sementara epinefrin hanya menstimulasi reseptor β1 dan β2. Pada kadar normal, dopamin tidak memiliki efek terhadap reseptor adrenegik, namun jika konsentrasi plasma meningkat, dopamin dapat menstimulasi reseptor α dan β. Cara kerja reseptor α dan β dapat dilihat pada Gambar 10 dan Gambar 11. Gambar 10. Cara kerja epinefrin dalam menstimulasi reseptor β (Encyclopedia Britannica, 2012) Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 288
Gambar 11. Cara kerja norepinefrin pada reseptor α (diadaptasi dari dexmedetomidine.com) Kadar dopamin, norepinefrin, dan epinefrin bervariasi dalam setiap tumor, tergantung dari mekanisme enzimatiknya. Pola sekresi katekolamin juga bervariasi, dapat kontinu, episodik, ataupun keduanya. Episode hipertensi disertai manifestasi klinik hiperkatekolamin dapat terjadi setiap pekan, tapi dapat juga beberapa saat dalam sehari atau hanya beberapa saat dalam sebulan. Hal ini menjelaskan adanya episode-episode lonjakan tensi yang tinggi pada waktu tertentu pada pasien ini disertai gejala simpatis lainnya seperti diaforesis. Serangan ini dapat dipresipitasi oleh perabaan tumor, perubahan posisi, anxietas, trauma, nyeri, penggunaan obat-obatan, ataupun konsumsi makanan yang mengandung tyramine (keju, bir, dan wine). (Manger WM, 2006; Zuber SM et al., 2011). Endocrine Society, American Association for Clinical Chemistry, dan European Society of Endocrinology merilis pedoman praktik klinis untuk diagnosis dan tata laksana feokromositoma dan paraganglioma. Pemeriksaan biokimiawi melalui pengukuran metanefrin bebas plasma atau metanefrin fraksinasi urin harus Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 289
dilakukan pada pasien yang diduga memiliki feokromositoma (Lenders JW et al., 2014). Katekolamin yang diproduksi oleh feokromositoma dimetabolisme dalam sel kromafin. Norepinefrin dimetabolisme menjadi normetanefrin dan epinefrin dimetabolisme menjadi metanefrin. Feokromositoma paling baik didiagnosis dengan pengukuran metabolitnya daripada dengan pengukuran katekolamin langsung (Chen Y et al., 2017; Chen H et al., 2010). Pilihan pemeriksaan diagnostik harus didasarkan pada kecurigaan klinis feokromositoma. Tes metanefrin plasma memiliki sensitivitas tertinggi (96%) untuk mendeteksi feokromositoma, tetapi memiliki spesifisitas yang lebih rendah (85%). Sebagai perbandingan, pengumpulan urin 24 jam untuk katekolamin dan metanefrin memiliki sensitivitas 87,5% dan spesifisitas 99,7% (Lenders JW et al., 2002). Gambar 12. Algoritma diagnosis dan tatalaksana feokromositoma (Young WF Jr, 2007) Pemeriksaan pencitraan dilakukan hanya setelah pemeriksaan biokimiawi terkonfirmasi diagnosis feokromositoma. Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 290
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164
- 165
- 166
- 167
- 168
- 169
- 170
- 171
- 172
- 173
- 174
- 175
- 176
- 177
- 178
- 179
- 180
- 181
- 182
- 183
- 184
- 185
- 186
- 187
- 188
- 189
- 190
- 191
- 192
- 193
- 194
- 195
- 196
- 197
- 198
- 199
- 200
- 201
- 202
- 203
- 204
- 205
- 206
- 207
- 208
- 209
- 210
- 211
- 212
- 213
- 214
- 215
- 216
- 217
- 218
- 219
- 220
- 221
- 222
- 223
- 224
- 225
- 226
- 227
- 228
- 229
- 230
- 231
- 232
- 233
- 234
- 235
- 236
- 237
- 238
- 239
- 240
- 241
- 242
- 243
- 244
- 245
- 246
- 247
- 248
- 249
- 250
- 251
- 252
- 253
- 254
- 255
- 256
- 257
- 258
- 259
- 260
- 261
- 262
- 263
- 264
- 265
- 266
- 267
- 268
- 269
- 270
- 271
- 272
- 273
- 274
- 275
- 276
- 277
- 278
- 279
- 280
- 281
- 282
- 283
- 284
- 285
- 286
- 287
- 288
- 289
- 290
- 291
- 292
- 293
- 294
- 295
- 296
- 297
- 298
- 299
- 300
- 301
- 302
- 303
- 304
- 305
- 306
- 307
- 308
- 309
- 310
- 311
- 312
- 313
- 314
- 315
- 316
- 317
- 318