Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore BAGIAN 1 LAPORAN KASUS KARDIOLOGI JULI 2020

BAGIAN 1 LAPORAN KASUS KARDIOLOGI JULI 2020

Published by khalidsaleh0404, 2021-11-03 12:22:17

Description: BAGIAN 1 LAPORAN KASUS KARDIOLOGI JULI 2020

Search

Read the Text Version

Pemeriksaan Computed Tomography (CT) scan atau Magnetic Resonance Imaging (MRI) dapat digunakan untuk mendeteksi kelainan ini. Scintigraphy dapat digunakan ketika pemeriksaan pencitraan CT scan atau MRI gagal untuk melokalisasi tumor. Pemeriksaan Positron Emission Tomography (PET) scan menunjukkan hasil yang menjanjikan sebagai modalitas pencitraan untuk feokromositoma (Yamamoto S et al., 2012). Di Indonesia, hingga saat ini masih belum ada pemeriksaan metanefrin dan VMA urin, sehingga urin 24 jam pasien yang telah ditampung, dikirim ke laboratorium di Amerika Serikat dengan tempat penampungan khusus. Hasil pemeriksaan metanefrin urin 24 jam menunjukkan peningkatan lebih dari empat kali batas nilai normal. Pada pemeriksaan MSCT abdomen dengan kontras, didapatkan hasil massa adrenal dekstra ukuran ± 3,7x2,6x2,9 cm. Berdasarkan klinis dan pemeriksaan penunjang, pasien ini sesuai untuk didiagnosis sebagai feokromositoma. Terapi utama dari feokromositoma adalah reseksi total tumor. Terapi farmakologis preoperatif yang direkomendasikan adalah golongan α bloker. Phenoxybenzamyne merupakan obat golongan α bloker non selektif yang dapat menurunkan tekanan darah dan mengontrol aritmia. Phenoxybenzamine bersifat irreversibel dengan kerja panjang. Efek samping berupa kongesti nasal, kelelahan, hipotensi ortostatik sering timbul, dan harus dijelaskan kepada pasien. Akibat penggunaan α bloker yang berkepanjangan dapat menyebabkan vasodilatasi persisten hingga hipotensi pada saat pengangkatan tumor. Untuk mencegah hal ini, dianjurkan diet tinggi garam dan intake cairan yang besar selama persiapan operasi. Karena efek samping ini, maka penggunaan α1 bloker (Terazosin, Prazosin, dan Doxazosin) dapat digunakan sebagai alternatif terapi. Penggunaan α1 bloker dapat menurunkan tekanan diastolik preoperatif, menurunkan laju jantung intraoperatif, pemulihan hemodinamik yang lebih baik, dan efek samping hipotensi post operasi yang lebih kecil jika dibandingkan dengan α bloker non selektif. (Melmed S et al., 2011). Obat golongan β bloker diberikan untuk mengontrol takikardi setelah pemberian α bloker. Namun hingga saat ini, belum ada Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 291

literatur yang menjelaskan mengenai penggunaan β bloker selektif lebih baik dibandingkan β bloker non selektif (Melmed S et al., 2011). Calcium channel blocker dihydropyridine seperti Amlodipin, Nifedipine, atau Nikardipin juga dapat digunakan untuk mengontrol tekanan darah. Mekanisme kerjanya adalah dengan memblokade masuknya kalsium di otot polos vaskuler yang dimediasi oleh norepinefrin. Target tekanan darah yang ingin dicapai adalah < 130/80 mmHg dalam posisi duduk dan tekanan darah sistolik > 90 mmHg setelah berdiri. Terapi preoperative diberikan 7 hingga 14 hari untuk untuk menstabilkan tekanan darah dan laju jantung (Lenders JW et al., 2014; Goldstein DP et al., 2017). Tekanan darah pada pasien ini terkontrol dengan pemberian terapi Terazosin, Propanolol, dan Amlodipin. Prosedur pembedahan yang direkomendasikan adalah prosedur minimal invasif adrenalectomy (laparoskopi). Reseksi terbuka dilakukan bila ukuran tumor besar (> 6 cm) atau pada feokromositoma invasif untuk meyakinkan tumor telah direseksi total, mencegah ruptur tumor, dan mencegah rekurensi lokal (Lenders JW et al., 2014). Pemantauan selama 24 jam post operasi harus dilakukan untuk mendeteksi hipertensi, hipotensi, atau hipoglikemia. Untuk meyakinkan tumor telah direseksi secara komplit, maka dilakukan pemeriksan metanefrin urin 24 jam pada 2- 6 minggu post operasi. Walaupun sebagian besar pasien sembuh setelah permbedahan berhasil, tetap ada resiko rekuren lokal ataupun metastase sekitar 5% dalam 5 tahun follow up. Resiko rekuren tinggi pada pasien usia muda (<20 tahun), paraganglioma, dan ukuran tumor yang besar (Goldstein DP et al., 2017; Plouin PF et al., 2016). Pasien ini telah direncanakan untuk tindakan operasi namun tidak terlaksana karena fasilitas pemantauan post operasi di ICU tidak tersedia. Setelah dijadwalkan ulang, pasien menolak tindakan. Reseksi tumor adrenal biasanya dapat menurunkan tekanan darah tinggi, namun sebanyak 30% pasien yang telah menjalani operasi didapatkan hipertensi yang menetap. Pada follow up jangka panjang, sekitar 17% tumor muncul kembali, di mana setengahnya menunjukkan tanda-tanda keganasan. Hingga saat ini, belum ada Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 292

literatur yang menyebutkan cara untuk menyingkirkan potensi kekambuhan atau keganasan. Oleh karena itu, follow up jangka panjang secara berkala direkomendasikan untuk semua kasus feokromositoma (Lennard TWJ, 2013). RINGKASAN Telah dilaporkan sebuah kasus, laki-laki usia 44 tahun dengan nyeri dada khas infark yang semula didiagnosis suatu SKA. Namun saat perawatan, ditemukan episode-episode lonjakan tekanan darah yang cukup tinggi dan tergolong suatu hipertensi emergensi disertai gejala-gejala hiperaktif simpatis. Setelah dilakukan pemeriksaan lebih lanjut, ditegakkanlah diagnosis feokromositoma. Idealnya, penatalaksanaan feokromositoma adalah dengan tindakan operatif untuk pengangkatan tumor, tetapi pasien menolak. Pasien terkontrol baik dengan pemberian terapi farmakologis, yaitu dengan Terazosin, Propanolol, dan Amlodipin. DAFTAR PUSTAKA 1. Amar L, Bertherat J, Baudin E, et al. Genetic testing in pheochromocytoma or functional paraganglioma. J Clin Oncol 23 (34): 8812-8, 2005. 2. Beard CM, Sheps SG, Kurland LT, et al. Occurrence of pheochromocytoma in Rochester, Minnesota, 1950 through 1979. Mayo Clin Proc: 1983.58 (12): 802-4,. 3. Canto JG, Fincher C, Kiefe CI, et al. Atypical presentations among Medicare beneficiaries with unstable angina pectoris. Am J Cardiol 2002; 90:248–253. 4. Chen H, Sippel RS, O'Dorisio MS, et al. The North American Neuroendocrine Tumor Society consensus guideline for the diagnosis and management of neuroendocrine tumors: pheochromocytoma, paraganglioma, and medullary thyroid cancer. Pancreas. 2010 Aug. 39(6):775-83. 5. Chen Y, Xiao H, Zhou X, et al. Accuracy of Plasma Free Metanephrines In The Diagnosis Of Pheochromocytoma And Paraganglioma: A Systematic Review And Meta-Analysis. Endocr Pract. 2017 Jul 13. 6. Encyclopedia Britannica. 2012. Cathecolamine. https://www.britannica.com/ science/dopamine Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 293

7. Farrugia FA, Martikos G, Tzanetis T,et al. Pheochromocytoma, Diagnosis, and Treatment: Review of The Literature. Endoc Regul. 2017 ; 51 (3) : 168- 181. 8. Garg SK, Pragya G, dan Mehmet U. An Interesting Presentation of Pheochromocytoma. Indian J Crit Care Med. 2018 ; 22 (1) : 40-42. 9. Goldstein DP, Marcia RV, Daniel R. Current Preoperative of Pheochromocytoma /Paraganglioma Syndrome. Clin In Surgery-Endoc Surgery. 2017 ; (2) : 1-7. 10. Grani C, Senn O, Bischof M, et al. Diagnostic performance of reproducible chest wall tenderness to rule out acute coronary syndrome in acute chest pain: a prospective diagnostic study. BMJ Open 2015; 5:e007442. 11. Lenders JW, Duh QY, Eisenhofer G, et al. Pheochromocytoma and paraganglioma: an endocrine society clinical practice guideline. J Clin Endocrinol Metab. 2014 Jun. 99(6):1915-42. 12. Lenders JW, Pacak K, Walther MM, et al. Biochemical diagnosis of pheochromocytoma: which test is best?. JAMA. 2002 Mar 20. 287(11):1427-34. 13. Lennard TWJ. The adrenal glands and other abdominal endocrine disorders. In: Williams NS, Bulstrode CJK, O'Connell PR, editors. Bailey & Love's Short Practice of Surgery. 26th Edition. CRC Press, Taylor & Francis Group, 2013; pp. 778-797. 14. Manger WM. Diagnosis and Management of Pheochromocytoma Recent Advances and Current Concept. Kidney International. 2006 ; (70) : S30-35. 15. Marco Roffi, Carlo Patrono, Jean-Philippe Collet, et al. 2015 ESC Guidelines for the management of acute coronary syndromes in patients presenting without persistent ST-segment elevation. Eur Heart J 2016; 37:267-315. 16. Melmed S, Kenneth SP, Hendr MK, et al. Pheochormocytoma In: William Textbook in Endocrinology 12th Edition. USA : Elseiver. 2011 : 211-222. 17. Neumann HP, Bausch B, McWhinney SR, et al. Germ-line mutations in nonsyndromic pheochromocytoma. N Engl J Med 346 (19): 1459-66, 2002. 18. Omura M, Saito J, Yamaguchi K, et al. Prospective study on the prevalence of secondary hypertension among hypertensive patients visiting a general outpatient clinic in Japan. Hypertens Res 27 (3): 193-202, 2004. 19. Plouin PF, Amar L, Dekkers OM, et al. European Society of Endocrinology Clinical Practice Guideline for Long-term Follow-up of Patients Operated on for a Phaeochromocytoma or a Paraganglioma. Eur J Endocrinol. 2016; (174): G1-10. 20. Rubini Gimenez M, Reiter M, Twerenbold R, et al. Sex specific chest pain characteristics in the early diagnosis of acute myocardial infarction. JAMA Intern Med 2014; 174:241–249. Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 294

21. Steg PG, James SK, Atar D, et al. ESC guidelines for the management of acute myocardial infarction in patients presenting with ST-segment elevation. Eur Heart J 2012; 33:2569 – 2619. 22. Valentina L. Brashers. Alterations of cardiovascular function in disease of arteries: hypertension. Basic Medical Key 2016. 23. Yamamoto S, Hellman P, Wassberg C, et al. 11C-hydroxyephedrine positron emission tomography imaging of pheochromocytoma: a single center experience over 11 years. J Clin Endocrinol Metab. 2012 Jul. 97(7):2423-32. 24. Young WF Jr. Adrenal causes of hypertension: Pheochromocytoma and primary aldosteronism. Rev Endocr Metab Disord 2007a;8:309–320. 25. Zuber SM, Vitaly K, Karel P, et al. Hypertension in Pheochromocytoma: Characteristics and Treatment. Endocrinol Metab Clin North. 2011; 40 (2): 295-311. Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 295

15 Fenomena Raynaud Sekunder Pada Artritis Reumatoid Nurhidayah, Akhtar Fajar Muzakkir, Femi Syahriani, Idar Mappangara PENDAHULUAN Propanolol, dan Amlodipin. Artritis Reumatoid (AR) adalah penyakit autoimun yang etiologinya belum diketahui dan ditandai oleh sinovitis erosif yang simetris dan pada beberapa kasus disertai keterlibatan jaringan ekstraartikular. Perjalanan penyakit AR ada 3 macam yaitu monosiklik, polisiklik dan progresi. Sebagian besar kasus perjalanannya kronik fluktuatif yang mengakibatkan kerusakan sendi yang progresif, kecacatan dan bahkan kematian dini (Guidelines, 2002). Salah satu penyakit yang berhubungan pada kejadian AR adalah Fenomena Raynaud (RP). Fenomena ini pertama kali dijelaskan oleh dokter Maurice Raynaud di Perancis pada tahun 1862. Klasifikasi RP dibagi menjadi dua kategori yaitu (1) varietas idiopatik, disebut RP primer, dan (2) varietas sekunder yang terkait dengan kondisi penyakit lain atau penyebab vasospasme yang telah diketahui. RP ditandai dengan perubahan warna paroksismal putih-biru-merah atau hanya perubahan warna putih dan biru pada jari tangan dan kaki; dimana serangan tersebut dipicu oleh dingin atau stres, biasanya berhenti setelah tidak lebih dari beberapa menit (rata-rata 23 menit), tetapi bisa juga bertahan selama berjam-jam dan dapat disertai dengan berbagai tingkat parestesia dan nyeri. Prevalensi RP pada pasien dengan RA tidak didefinisikan dengan baik, namun pada literatur dikatakan bervariasi, mulai dari 2% - 17% (Hartmann, 2011) (Carroll, 1981). Berikut kami paparkan laporan kasus laki-laki dengan Fenomena Raynaud Sekunder dengan AR. Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 296

LAPORAN KASUS Laki-laki, 38 tahun, masuk Rumah Sakit dengan keluhan rasa nyeri dan kesemutan disertai kebiruan pada ujung jari kaki dan tangan, dirasakan hilang timbul, diawali bercak warna putih pada ujung jari tangan dan kaki yang kini berubah menjadi kebiruan lalu kemerahan. Keluhan ini pada awalnya muncul di kedua jari-jari kaki 3 bulan lalu dan sejak 3 hari yang lalu mulai muncul pada jari-jari tangan. Pemicu munculnya keadaan ini tidak disadari oleh pasien, namun keluhan nyeri makin memberat saat cuaca dingin atau saat pasien sedang kelelahan, dan membaik dengan kompres air hangat. Pasien memiliki riwayat penyakit Artritis Reumatoid sejak tahun 2018 namun tidak berobat secara teratur. Pasien memiliki riwayat mengonsumsi Arava (Leflunomide) 20 mg, Metilprednisolon 4 mg dan Metotrexat. Pasien juga memiliki riwayat merokok sebanyak 2-3 bungkus/hari selama 16 tahun terakhir. Riwayat Hipertensi dan Diabetes Mellitus tidak ada. Riwayat penyakit yang sama dalam keluarga tidak ada. Pada pemeriksaan fisik pasien ditemukan tanda vital dalam batas normal. Dari pemeriksaan fisik ekstremitas ditemukan : • Ekstremitas Superior Dextra et Sinistra Warna kulit biru kemerahan, poikilotermi (+), Pain (+), paresthesia (+), Paralisis (-), Pulsasi a. radialis dextra sama dengan sinistra, kuat angkat, pulsasi a. ulnaris dextra sama dengan sinistra, kuat angkat • Ekstremitas Inferior Dextra et Sinistra Warna kulit biru kemerahan, poikilotermi (+), Pain (+), paresthesia (+), Paralisis (-), Pulsasi a. dorsalis pedis dextra sama dengan sinistra, kuat angkat, pulsasi a. tibialis posterior dextra sama dengan sinistra, kuat angkat. Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 297

AB Gambar 1. A) Ekstremitas superior bilateral. B) Ekstremitas inferior bilateral Dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil WBC 10.200/mm3, LED I/II 89/135 mm, GDS 86 mg/dl, GOT 140 U/L, GPT 64 U/L, Rheumatoid Factor 797.2 U/L, Gamma_GT 253 U/L. Dari pemeriksaan elektrokardiografi didapatkan kesan sinus ritme, heart rate 98 kali per menit, normoaksis. Dari pemeriksaan foto thoraks didapatkan kesan slight cardiomegaly (CTI 0.52). Pasien dilakukan pemeriksaan ekokardiografi dengan hasil fungsi sistolik LV baik, EF 63.4%. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan hasil pemeriksaan penunjang, pasien didiagnosa awal dengan Fenomena Raynaud dengan diagnosa banding Buerger Disease. Sebagai tatalaksana awal, pasien diberikan Nifedipin 10mg/8jam/oral dan Aspilet 80mg/24jam/oral. Untuk menunjang diagnosis, kemudian dilakukan pemeriksaan Doppler vaskuler dan pemeriksaan Antinuclear Antibodies (ANA) profile. Dari pemeriksaan ANA profile didapatkan antigen RNP/Sm (+++), Nucleosomes (+++), dan Histones (+++). Dari hasil pemeriksaan Doppler vascular didapatkan adanya flow yang kurang lancar pada extremitas superior bilateral setinggi arteri radialis dan pada extremitas inferior bilateral setinggi arteri tibialis, tidak ditemukan gambaran cork screw serta tidak tampak tanda Deep Vein Thrombosis atau Chronic Venous Insuffiency pada extremitas Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 298

superior et inferior bilateral. Pasien dilanjutkan pemeriksaan MSCT Angiografi dengan kesimpulan tidak tampak kelainan vaskular pada MSCTA Run Off Upper Extremity Bilateral maupun pada Lower Extremity Bilateral. Gambar 2. Doppler Vascular Ekstremitas Superior et Inferior Bilateral Dengan adanya data tambahan dari pemeriksaan penunjang berupa Doppler vascular, MSCTA Run Off Ekstremity Bilateral serta ANA profile, maka pasien kemudian didiagnosa dengan Fenomena Raynaud Sekunder dengan Artritis Reumatoid. Pasien kemudian diberikan terapi Nifedipine 10mg/8jam/oral, ASA 80mg/24jam/oral, Metotreksat 10mg/minggu, Metilprednisolon 8mg/8jam/oral, Losartan 50mg/24jam/oral, Atorvastatin 20mg/24jam/oral, Kalxetine 20 mg/12jam/oral, Golimumab 50mg/subcutan. Pasien menjalani perawatan selama 18 hari sebelum diijinkan untuk rawat jalan. Pasien kontrol pada poliklinik 3 hari berikutnya dan dilanjutkan pemberian obat-obatan oral. PEMBAHASAN Pada RP sekunder yang sering dihubungkan dengan kondisi autoimun, terjadi remodeling patologis progresif pada mikrovaskulatur, pembuluh darah makro dan kompartemen ekstravaskuler. Hal ini mengakibatkan cedera jaringan yang substansial dan progresif. Serangan vasospastik yang terkait dengan RP pada dasarnya adalah gangguan mekanisme kontrol termoregulasi vaskular. Meskipun serangan dapat dimulai dengan aktivasi refleks dari system vasokonstriktor adrenergik simpatik, misalnya sebagai respons terhadap stres, potensi vasospastik meningkat pesat oleh paparan dingin lokal (Flavahan, 2014). Pada kasus ini, pasien laki-laki, 38 tahun masuk dengan keluhan Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 299

utama rasa nyeri dan kesemutan disertai perubahan warna pada ujung jari tangan dan kaki yang diawali bercak warna putih yang berubah menjadi kebiruan lalu kemerahan dimana keluhan ini dirasakan makin memberat saat cuaca dingin atau saat pasien sedang kelelahan, dan membaik dengan kompres air hangat. Pasien juga memiliki riwayat merokok sebanyak 2-3 bungkus/hari selama 16 tahun terakhir Adanya presentasi klinis yang menunjukkan tanda hipoperfusi distal ekstremitas, sehingga pasien dipikirkan mengalami fenomena Raynaud dengan diagnosa banding penyakit Buerger dan penyakit aterosklerotik pembuluh darah perifer. Namun, dengan adanya perubahan warna trifasik yang reversible pada episode serangan, sehingga kemungkinan besar pasien mengalami Fenomena Raynaud, namun pemeriksaan lanjutan berupa doppler vaskular dan MSCT scan vaskular tetap diperlukan untuk menyingkirkan diagnosis banding yang lainnya. Gambar 3 . Diagnosis Banding Inisial Pada Kasus Ini Terdapat berbagai metode yang dapat digunakan dalam usaha diagnostik kelainan vaskular perifer. Metode yang bersifat non-invasif dan umum tersedia adalah berupa ultrasonografi doppler untuk menilai gambaran struktural pembuluh darah serta evaluasi fungsi aliran darah di dalamnya, dan MSCT angiografi yang dapat lebih akurat dalam memberikan gambaran struktural pembuluh darah secara luas. Dari pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien, berupa ultrasonografi Doppler, tidak ditemukan gambaran plak, kalsifikasi maupun oklusi dari pembuluh darah distal ekstremitas. Pasien dilanjutkan dengan pemeriksaan MSCT Angiografi, dengan kesimpulan tidak tampak kelainan vaskular pada MSCTA Run Off Upper Extremity Bilateral maupun pada Lower Extremity Bilateral. Temuan ini Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 300

memperkuat kemungkinan fenomena Raynaud sebagai kondisi yang mendasari keluhan pasien. Gambar 4 . Alur Eksklusi Diagnosis Banding Pada Kasus Ini Berbagai metode, termasuk nailfold capillaroscopy, thermography, laser Doppler imaging, termografi dan pletismografi, telah digunakan untuk mengevaluasi vaskularisasi digital bagian distal dan menilai kerusakan mikrovaskular yang telah terakumulasi Namun, karena metode tersebut kurang tersedia, mudah dan presisi, sehingga tidak satupun dari metode di atas yang diterima secara umum dalam pemeriksaan klinis rutin. (Keberle, 2000) Fenomena Raynaud dibagi menjadi RP primer (idiopatik) dan RP sekunder yang terkait dengan kondisi penyakit lain atau penyebab vasospasme yang telah diketahui. Hal ini mungkin mempengaruhi arteri digital itu sendiri, jaringan ikat di sekitarnya, karakteristik aliran darah, atau saraf yang menginervasi tangan (Zeller, 2014). Pada RP sekunder, defek/kerusakan mungkin dapat beragam tergantung dari penyakit dasar yang mengganggu fisiologis normal dari jari dan arteri kulit. Pasien diketahui memiliki riwayat penyakit Artritis Reumatoid sejak tahun 201. Hal ini ditunjang dengan adanya pemeriksaan laboratorium berupa peningkatan kadar faktor Reumatoid dan adanya riwayat konsumsi obat antirematik pemodifikasi penyakit (Disease-Modifying AntiRheumatic Drugs/ DMARDs) sebelumnya. Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 301

Gambar 5. Kriteria diagnostik Fenomena Raynaud (Maverakis, 2014) Gambar 6. Beberapa kemungkinan penyebab RP sekunder (Zeller, 2014) Kelainan vaskular menyebabkan ketidakseimbangan di antara vasokonstriksi dan vasodilatasi. Kemungkinan terdapat ketidakcocokan antara vasokonstriktor turunan endotelium seperti endotelin-1 dan vasodilator seperti nitrit oksida dan prostasiklin. Kelainan intravaskular yang menyebabkan Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 302

vasokonstriksi bisa terjadi akibat aktivasi trombosit dengan peningkatan tromboksan, kemungkinan terjadinya fibrinolisis dan aktivasi sel darah putih. Sel darah merah mungkin mengalami penurunan deformabilitas dan terjadi peningkatan viskositas. Pada akhirnya, cedera reperfusi iskemik dapat menyebabkan stres oksidatif tambahan. Anastomosis arteri vena dikontrol oleh aktivitas saraf simpatik adrenergik dan jika terjadi peningkatan stres, terjadi peningkatan vasospasme (Temprano, 2016). Gambar 7. Mekanisme berkontribusi terhadap Raynaud Phenomenon (Herrick, 2005) Program tatalaksana harus disesuaikan secara individual dan dirancang sesuai dengan penyebab yang mendasari RP serta tingkat keparahan dari gejala yang muncul. Terapi ditujukan spesifik pada gejala RP dapat dikategorikan sebagai (1) tatalaksana konservatif, (2) intervensi farmakologis dan (3) bedah simpatektomi. Pada individu dengan penyebab sekunder yang jelas dari fenomena Raynaud, pengobatan juga harus diarahkan secara spesifik pada penyebab yang mendasarinya (Creager, 2013). Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 303

Gambar 8. Tatalaksana Non Farmakologi dan Diagnosis Klinis Fenomena Raynaud (Wigley F. F., 2016) Manajemen medis konservatif untuk mencegah serangan fenomena Raynaud adalah dengan perubahan gaya hidup, termasuk menghindari paparan dingin, tetap hangat, menghindari stimulan, menghindari kecemasan atau stres emosional, dan berhenti merokok (Musa, 2019). Penghambat kanal kalsium adalah obat yang paling efektif untuk mengobati Fenomena Raynaud. Sebagian besar studi terbaru yang telah dikumpulkan melibatkan nifedipine, yang mengganggu kontraksi otot polos pembuluh darah dengan melawan masuknya kalsium. Obat ini mengurangi resistensi vaskular digital pada pasien dengan Fenomena Raynaud selama Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 304

paparan dingin dan meningkat lingkungan digital SBP dan suhu kulit digital selama paparan dingin local. Pada beberapa uji kontrol plasebo, nifedipine mengurangi frekuensi dan keparahan fenomena Raynaud (Creager, 2013). Gambar 9. Gambaran dinding Pembuluh Darah Kulit dan Pendekatan Tatalaksana pada Pasien dengan Fenomena Raynaud (Wigley F. F., 2016) Jika CCB tidak efektif, atau tidak dapat digunakan karena efek sampingnya, atau masih terdapat lesi yang persisten dengan penggunaan CCB, maka dapat dipertimbangakn untuk menggunakan phosphodiesterase type 5 (PDE-5) inhibitor atau nitrat topikal. Agen ini dapat digunakan sendiri atau dikombinasikan dengan CCB (Khanna, 2010). Terdapat beberapa bukti yang mendukung penggunaan Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRIs) dan Angiotensi II Receptor Blocker (ARB). Studi open label crossover SSRI (fluoxetine 20 mg) selama 6 minggu dibandingkan dengan CCB (nifedipine 40mg) menunjukkan bahwa fluoxetione efektif pada RP primer dan sekunder (Coleiro et al., 2001). Dziadzio et al. (1999) membandingkan antara ARB (losartan 50 mg) dengan CCB (nifedipin 40mg) menunjukkan hasil losartan lebih rendah frekuensi serangan dan keparahan serangan baik pada RP primer maupun sekunder (Khanna, 2010). Intervensi bedah dapat dipertimbangkan pada kondisi jika terdapat kritikal iskemik atau resisten ulkus dan terapi vasodilator tidak dapat Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 305

meningkatkan aliran darah. Simpatektomi pada jari direkomendasikan pada kondisi kritikal iskemik yang tidak berespon dengan terapi medik yang agresif. Efektivitas simpatektomi pada RP sekunder belum memiliki bukti yang kuat pada uji klinis (Khanna, 2010). Sebagai tatalaksana non farmakologi, pasien kami edukasi untuk mempertahankan suhu tubuh tetap hangat dan menjauhi faktor pencetus seperti paparan suhu dingin, terutama pada perubahan suhu yang tiba-tiba, menjaga jari-jari tangan dan kaki tetap hangat dengan sarung tangan dan kaos kaki serta berhenti merokok. Sedangkan agen farmakologi yang diberikan mencakup pemberian Nifedipin sebagai vasodilator arterial, juga memiliki efek antiplatelet serta mengurangi stress oksidatif. Pasien juga diberikan antagonis reseptor Angiotensin II (Losartan) sebagai tambahan vasodilatasi, juga sebagai anti-inflamasi dan menghambat efek fibrogenik dari Angiotensin II. Statin diberikan untuk memperbaiki disfungsi sel endotel dan menurunkan agregasi platelet dan mengurangi proliferasi sel otot polos vaskuler. Pemberian antiplatelet seperti aspirin diketahui efektif pada krisis iskemia. Sedangkan untuk terapi utama pada Artritis Reumatoid diberikan Disease Modifying Antirheumatic Drugs (DMARDs) yaitu Metotrexat dan anti-TNF-α (Golimumab). Pemberian NSAID dan kortikosteroid jangka pendek untuk mengontrol nyeri dan inflamasi. RINGKASAN Telah dilaporkan laki-laki 38 tahun dengan Fenomena Raynaud Sekunder pada Artritis Reumatoid, dengan keluhan terdapat rasa nyeri dan kesemutan disertai perubahan warna kulit pada jari tangan dan kaki yang berubah menjadi kebiruan lalu kemerahan. Keluhan disertai dengan suhu kulit jari tangan yang terkena menjadi dingin. Setelah dilakukan berbagai follow up dan test diagnostik didapatkan diagnosa Fenomena Raynaud Sekunder dengan Artritis Reumatoid. Penderita diberikan edukasi untuk mempertahankan suhu tubuh tetap hangat dan menjauhi faktor pencetus, pemberian agen farmakoterapi dengan calcium channel blocker (CCB), ACE inhibitor, statin, NSAID dan kortikosteroid, serta biologik dan non biologik DMARDs untuk tatalaksana Rheumatoid Arthitis. DAFTAR PUSTAKA Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 306

1. Carroll, G. J. (1981). The prevalence of Raynaud's syndrome in rheumatoid arthritis. Ann Rheum Dis, 40(6), 567-570. doi:https://doi.org/10.1136/ard.40.6.567 2. Creager, A. B. (2013). Vascular Medicine : A Companion to Braunwald's Heart Disease (2nd ed.). Philadelphia: Elsevier Inc. 3. Flavahan, N. (2014). A vascular mechanistic approach to understanding Raynaud phenomenon. Nat Rev Rheumatol, 11. doi:11. 10.1038/nrrheum.2014.195 4. Guidelines, A. C. (2002). Guidelines for the Management of Rematoid Arthritis : 2002 Update. Arthritis Rheum, 46(2), 328-46. doi:10.1002/art.10148 5. Hartmann, P. M. (2011). The association of Raynaud's syndrome with rheumatoid arthritis--a meta-analysis. Clin Rheumatol, 30(8), 1013‐ 1019. doi:10.1007/s10067-011-1727-0 6. Herrick, A. (2005). Pathogenesis of Raynaud's phenomenon. Rheumatol, 44(5), 587‐596. doi:10.1093/rheumatology/keh552 7. Keberle, M. T. (2000). Assessment of Microvascular Changes in Raynaud's Phenomenon and Connective Tissue Disease using Colour Doppler Ultrasound. Rheumatol, 39, 1206-1213. 8. Khanna, P. P. (2010). The minimally important difference and patient acceptable symptoms state for Raynaud condition score in patient with Raynaud’s phenomenon in a large randomized control trial. Ann Rheum Dis, 69(3), 588-591. doi:https://doi.org/10.1136/ ard.2009.107706 9. Lilly, L. S. (2011). Pathophysiology of heart disease: A collaborative project of medical students and faculty. Baltimore: Wolters Kluwer/Lippincott Williams & Wilkins. 10. Maverakis, E. P.-C. (2014). International consensus criteria for the diagnosis of Raynaud's phenomenon. J Autoimmun(48-49), 60-65. doi:10.1016/j.jaut.2014.01.020 11. McMahan, Z. W. (2010). Raynaud’s phenomenon and digital ischemia: a practical approach to risk stratifcation, diagnosis and management. Int J Clin Rheumatol, 5(3), 355-70. doi:10.2217/IJR.10.17 12. Musa, R. Q. (2019). Raynaud Disease (Raynaud Phenomenon, Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 307

Raynaud Syndrome). StatPearls [Internet]. Retrieved from https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK499833/ 13. Paleolog, E. (2009). The vasculature in rheumatoid arthritis: cause or consequence? Int J Exp Path, 90, 249–261. doi:10.1111/j.1365- 2613.2009.00640.x 14. Sandoo, A. V. (2011). Vascular function and morphology in rheumatoid arthritis: a systematic review. Rheumatol, 50(11), 2125- 39. doi:10.1093/rheumatology/ker275 15. Stone, L. V. (2018). Pathophysiology and management of Raynaud's Phenomenon. Int J of Acad Med, 4(2), 178-83. doi: 10.4103/IJAM.IJAM_78_16 16. Temprano, K. (2016). A Review of Raynaud's Disease. Mo Med, 113(2), 123–126. 17. Wigley, F. (2002). Clinical Practice Raynaud's Phenomenon. N Engl J Med, 347(13), 1001-8. doi:10.1056/NEJMcp013013 18. Wigley, F. F. (2016). Raynaud’s Phenomenon. N Engl J Med, 375(6), 556–565. doi:10.1056/nejmra1507638 19. Zeller, T. C. (2014). Vascular Medicine Therapy and Practice. Berlin: Thieme. Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 308


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook