9. Jones, B. K. (2014). Ventricular septal rupture complicating acute myocardial infarction: a contemporary review. Eur Heart J, 35(31), 2060–2068. doi:https://doi.org/10.1093/eurheartj/ehu248 10. Krishna, M. Z. (2009). Principles of intra-aortic balloon pump counterpulsation. Continuing Education in Anaesthesia Critical Care & Pain, 9(1), 24-8. doi:https://doi.org/10.1093/bjaceaccp/mkn051 11. López-Sendón, J. G. (2010). Factors related to heart rupture in acute coronary syndromes in the Global Registry of Acute Coronary Events. Eur Heart J, 31(12), 1449-1456. doi:https://doi.org/10.1093/eurheartj/ehq061 12. Murday, A. (2003). Optimal management of acute ventricular septal rupture. Heart (British Cardiac Society), 89(12), 1462- 1466. doi:https://doi.org/10.1136/heart.89.12.1462 13. Na SJ, C. C. (2019). Vasoactive Inotropic Score as a Predictor of Mortality in Adult Patients With Cardiogenic Shock: Medical Therapy Versus ECMO. Rev Esp Cardiol , 72(1), 40-47. doi:10.1016/j.rec.2018.01.003 14. Nekic, P. (2016). Intra Aortic Balloon Counterpulsation Learning Package. Liverpool: Liverpool Hospital. 15. Novak, M. H. (2015). Ventricular Septal Rupture - A Critical Condition as a Complication of Acute Myocardial Infarction. J Crit Care Med, 1(4), 162–166. doi:https://doi.org/10.1515/jccm- 2015-0030 16. Oktaviono, Y. (2015). Case Report : USE OF INTRA-AORTIC BALLOON PUMP (IABP) IN HIGH-RISK PERCUTANEOUS. Folia Medica Indonesiana, 51(3), 196-202. 17. Overgaard, C. D. (2008). Inotropes and Vasopressors : Review of Physiology and Clinical Use in Cardiovascular Disease. Circ, 118, 1047-1056. doi:10.1161/CIRCULATIONAHA.107.728840 18. Patel, M. R. (2011). Intra-aortic balloon counterpulsation and infarct size in patients with acute anterior myocardial infarction without shock: the CRISP AMI randomized trial. JAMA, 306(12), 1329-1337. doi:https://doi.org/10.1001/jama.2011.1280 Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 141
19. Zhi-ping, Z. (2018). Ventricular Septal Rupture with Acute Myocardial Infraction: Primary Percutaneous Coronary Intervention and Delayed Transcatheter Closure of the Rupture. Heart Circ, 2(1). Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 142
8 Solving The Puzzle Of Pathogenesis In Diabetic Cardiomyopathy Adi Surya, Akhtar Fajar Muzakkir PENDAHULUAN Penyakit kardiovaskular telah menjadi masalah kesehatan global yang utama dikaitkan dengan berbagai faktor, termasuk pola makan, kebiasaan merokok, gaya hidup dan perubahan lingkungan. Peningkatan populasi diabetes sangat berhubungan erat dengan meningkatnya prevalensi penyakit kardiovaskular, menurut data statistik jumlah penderita diabetes di seluruh dunia saat ini telah menunjukkan peningkatan mencapai 1.8 milliar, meningkat dua kali sejak tahun 2000 silam. Diperkirakan bahwa populasi diabetes akan mengalami peningkatan pesat dari 285 juta menjadi 439 juta antara tahun 2010 dan 2030. Pada pasien yang menderita diabetes memiliki risiko terjadinya gagal jantung 2-5 kali dibandingkan dengan pasien yang tidak menderita diabetes.(1,2) Diabetic cardiomyopathy (DCM) pertama kali dilaporkan oleh Rubler dkk pada tahun 1972. Diabetic cardiomyopathy didefinisikan sebagai adanya perubahan struktur dan fungsi miokard pada pasien diabetes, tanpa adanya risiko kardiovaskular lainnya seperti iskemik, hipertensi, ataupun penyakit katup yang signifikan.(2) Pada tahap asimptomatik, DCM mencakup periode subklinis yang ditandai struktural dan fungsional, termasuk hipertrofi ventrikel kiri dan fibrosis miokard, peningkatan kekakuan miokard, dan disfungsi diastolik. Dari kondisi ini dapat berkembang menjadi gagal jantung dengan penurunan ejeksi fraksi.(3) Pada laporan kasus ini akan dilaporkan perempuan usia 42 tahun dengan Diabetic cardiomyopathy yang datang dengan presentasi awal nyeri dada dan sesak napas yang menyerupai gejala Acute Coronary Syndrome (ACS). Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 143
LAPORAN KASUS Seorang perempuan berusia 42 tahun dirujuk dari RS Andi Djemma Masamba dengan diagnosis unstable angina pectoris, CHF NYHA II, Diabetes melitus (DM) tipe 2 dan telah diberikan terapi furosemide 40 mg, candesartan 8 mg, aspilet loading 160 mg dilanjutkan 80 mg, clopidogrel loading 300 mg dilanjutkan 75 mg, concor 2.5 mg, simvastatin 20 mg, omeprazole 20 mg, serta insulin. Saat ini keluhan pasien nyeri dada seperti tertusuk-tusuk dengan skala nyeri 3/10, nyeri dirasakan tembus kebelakang namun tidak menjalar ke lengan kiri, nyeri dada disertai dengan keringat dingin dan sesak napas. Awalnya sesak napas sudah dirasakan sejak 3 minggu yang lalu, memberat 1 hari sebelum dirujuk ke RSWS. Sesak memberat jika pasien beraktivitas sedang, jika tidur pasien menggunakan 2 bantal, dan sering terbangun pada malam hari karena sesak. Pasien tidak mengeluhkan adanya batuk berlendir maupun demam sebelumnya. Mual kadang dirasakan, namun tidak disertai muntah, nyeri ulu hati tidak ada. Terdapat riwayat diabetes melitus sejak 10 tahun terakhir, saat ini pasien berobat dengan insulin novorapid 8 unit/8 jam/subkutan, dan Levemir 10 unit/24 jam/subkutan. Riwayat hipertensi sebelumnya disangkal, riwayat penyakit jantung sebelumnya tidak ada. Hasil pemeriksaan fisis menunjukkan pasien dengan kesadaran komposmentis dengan tanda vital tekanan darah 120/90 mmHg, laju nadi 100 kali per menit, pernapasan 24 kali per menit, dan suhu 36.7 C. pemeriksaan saturasi oksigen perifer menunjukkan 97% dengan modalitas oksigen nasal kanul. Pada pemeriksaan inspeksi leher didapatkan peningkatan vena jugularis R+3 cmH2O, pemeriksaan fisis paru didapatkan ronki basal pada kedua lapangan paru sementara pada pemeriksaan jantung ditemukan adanya pembesaran jantung dengan pergeseran apex cordis ke arah linea aksilaris anterior, tidak didapatkan abnormalitas suara jantung. Pada pemeriksaan ekstremitas didapatkan adanya edema pretibial bilateral, pada pemeriksaan fisis lainnya tidak didapatkan kelainan. Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 144
Gambar 2.1 Elektrokardiogram 12 sadapan di Instalasi Gawat Darurat Pemeriksaan elektrokardiogram 12 sadapan menunjukkan irama sinus ritme dengan laju jantung 100 kali per menit, dengan axis jantung yang normal (-10 derajat), tidak didapatkan tanda-tanda hipertrofi ventrikel kiri, didapatkan poor R wave namun tidak ada perubahan ST Segmen maupun gelombang T. Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya peningkatan kadar glukosa darah baik glukosa prandial maupun glukosa darah puasa yaitu 385 mg/dl, dan 196 mg/dl, disertai peningkatan kadar HbA1c 10.8%. Temuan hasil pemeriksaan laboratorium signifikan lainnya meliputi adanya penurunan kadar albumin 2.9 gr/dl. Hasil pemeriksaan untuk fungsi ginjal, fungsi hati, dan faktor koagulasi masih dalam batas normal. Pemeriksaan skrining tes cepat antibodi SARS-Cov-2 menunjukkan hasil non reaktif baik itu untuk IgM dan IgG. Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 145
Tabel 2.1 Hasil Pemeriksaan Laboratorium Hasil pemeriksaan Multi Slice CT-Scan Thorax pada tanggal 17/08/2020 menunjukkan adanya pembesaran jantung dengan CTI 0.59, dengan hepar membesar. Organ lainnya tidak terdapat kelainan. Dengan temuan ini dapat disimpulkan tidak tampak gambaran GGO, konsolidasi, infiltrate dan lesi noduler pad.a pulmo bilateral, cardiomegaly disertai atherosclerosis aortae, disertai hepatomegali. Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 146
Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 147
Pemeriksaan ekokardiografi menunjukkan hasil fungsi sistolik ventrikel kiri menurun dengan fraksi ejeksi 38.7% dan normal fungsi sistolik ventrikel kanan dengan Tricuspid annular plane systolic excursion (TAPSE) 2.2 cm. Disfungsi diastolik derajat berat. Terjadi pembesaran dimensi ventrikel kiri dengan hipertrofi ventrikel tipe eksentrik. Pergerakan miokard kesan hipokinetik segmental. Didapatkan regurgitasi sekunder yang ringan pada katup mitral dan tricuspid. Pemeriksaan angiografi koroner pada tanggal 3 september 2020 menunjukkan hasil stenosis pada distal dari Left anterior desending sekitar 40% dan proksimal stenosis pada right coronary artery sekitar 30% dengan hasil kesimpulan non signifikan stenosis. Oleh karena pemeriksaan angiografi koroner menunjukkan hasil yang demikian maka dilakukan pemeriksaan Cardiac Magnetic Resonance Imaging (CMR) pada tanggal 14 september 2020 dengan hasil didapatkan EF 33%, dan T1 mapping dengan nilai 1413 338, R2 = 0.996, disertai hasil Late gadolinium enhancement (LGE) positif yang menunjukkan adanya fibrosis atau infark pada miokardium. Dengan kesimpulan hasil CMR tanpa dan dengan kontras gadolinium DTPA sesuai dengan gambaran early cardiomyopathy, Left ventricle enlargement, Abnormal LV systolic function. Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 148
Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 149
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang, maka pasien didiagnosis dengan Diabetic Cardiomyopathy, Congestive heart failure NYHA II, diabetes melitus tipe 2. Pasien mendapatkan terapi cedocard 2 mcg/jam/syringepump, loading dual antiplatelet aspilet 160 mg dilanjutkan 80 mg/24 jam/oral, clopidogrel 300 mg dilanjutkan 75 mg/24 jam/oral, furosemide 40 mg/12 jam/intravena, atorvastatin 20 mg/24 jam/oral, candesartan 8 mg/24 jam/oral, lovenox 0,6 cc/12 jam/subkutan, novorapid 8 unit/8jam/subkutan, lantus 18 unit/24 jam/subkutan (pukul 22.00). Setelah dilakukan angiografi koroner dan CMR pada pasien direncanakan rawat jalan dan diberikan terapi aspilet 80 mg, candesartan 8 mg, furosemide 40 mg, concor 2.5 mg, atorvastatin 20 mg, nitrokaf retard 2.5 mg, insulin novorapid 8 unit/8jam/subkutan, dan insulin Levemir 10 unit/24 jam/subkutan. PEMBAHASAN Seorang pasien perempuan usia 42 tahun dirujuk dari RS Andi Djemma Masamba dengan Unstable Angina Pectoris (UAP), Congestive heart failure (CHF) NYHA III, Diabetes melitus tipe 2. Berdasarkan NSTE-ACS guideline ESC tahun 2020 pasien didiagnosa dengan UAP oleh karena adanya nyeri dada tipikal untuk Acute coronary syndrome (ACS) disertai dengan faktor risiko berupa diabetes melitus yang telah diderita selama 10 tahun, namun tidak ada perubahan dari gambaran elektrokardiografi maupun peningkatan dari serum biomarker jantung yang menunjukkan tidak adanya nekrosis dari kardiomiosit.(4) Berdasarkan Framingham criteria pasien didiagnosa dengan heart failure dikarenakan pasien sesak napas dan didapatkan peningkatan JVP R+3 cmH2O, adanya ronki basal pada kedua lapangan paru, kardiomegali, disertai edema pretibial pada kedua tungkai. Pasien juga didiagnosa dengan diabetes melitus tipe 2 berdasarkan oleh karena didapatkan adanya peningkatan glukosa darah sewaktu mencapai 385 mg/dl, gula darah puasa 196 mg/dl, disertai peningkatan HbA1C 10.8%. Pada pasien imi dilakukan tindakan angiografi koroner, dan menunjukkan hasil non significant stenosis. Menurut guideline ESC 2020 pada pasien tanpa iskemik atau Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 150
perubahan EKG pada 12 sadapan, dan normal hs-cTn, yang keluhan nyeri dada sudah berkurang, stress imaging, maupun cardiac magnetic resonance (CMR) dapat dilakukan pada saat perawatan maupun sesaat setelah keluar dari perawatan.(4) Pada pasien ini setelah dilakukan angiografi koroner tidak menunjukkan adanya stenosis yang significant, sehingga diagnosis dari Coronary artery disease (CAD) dapat disingkirkan, namun pada pasien ini masih sering mengeluhkan nyeri dada disertai sesak napas sehingga diputuskan untuk dilakukan pemeriksaan CMR dengan kecurigaan presentasi nyeri dada dan sesak napas akibat dari obtruksi mikrovaskuler yang disebabkan oleh DMC oleh karena adanya faktor risiko pasien menderita diabetes melitus sejak 10 tahun silam. Diabetes melitus dapat menimbulkan gejala penyakit jantung melalui 3 mekanisme utama diantaranya penyakit jantung koroner (PJK), kardiomipati, dan neuropati otonom jantung. Diabetes melitus juga dapat berkontribusi terjadinya gagal jantung, hubungan diantara keduanya mulai dilaporkan pada tahun 1972. Framingham study melaporkan pada pria dengan diabetes mengalami peningkatan risiko 2.4 kali lipat terhadap gagal jantung, sedangkan perempuan mengalami peningkatan risiko 5 kali lipat. Pada orang yang menderita DM, gagal jantung adalah presentasi awal yang lebih umum dibandingkan dengan infark miokard. Pada DM tipe 2, serangan jantung terjadi pada 30.9 per 1000 orang per tahunnya.(5) Gagal jantung merupakan penyakit multifaktorial pada pasien diabetes, baik DM tipe 1 maupun DM tipe 2 dikaitkan dengan peningkatan disfungsi makrovaskular dan mikrovaskular, yang mengakibatkan kejadian iskemik dan permeabilitas vaskular yang berubah. Aterosklerosis dan hipertensi sering ditemukan pada pasien diabetes dan berkontribusi terhadap kejadian PJK, namun selain pemicu patologis ini DM juga berkontribusi pada perkembangan gagal jantung melalui berbagai mekanisme yang lebih spesifik yang sebagian besar diakibatkan oleh hiperglikemia, hiperinsulinemia, perubahan metabolisme, stress oksidatif, peningkatan asam lemak bebas, kerusakan mikrovaskuler, perubahan metabolik seluler dari kardiomiosit akibat sitokin inflamasi, dan penurunan fungsi kardiak.(6,7) Diabetic cardiomyopathy didefinisikan sebagai gangguan Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 151
struktur serta fungsi tanpa adanya faktor risiko jantung lainnya, secara klinis jantung diabetik ditandai dengan disfungsi diastolik dengan preserved ejection fraction, dan jika sudah stadium lanjut dapat menimbulkan penurunan ejeksi fraksi. Perubahan-perubahan yang dapat terjadi disebabkan oleh peningkatan fibrosis interstisial dan perivascular, serta hipertrofi ventrikel kiri adalah tanda-tanda yang berhubungan erat dengan jantung diabetes.(6) Dalam kasus ini pasien menderita DM Tipe 2 sejak 10 tahun terakhir dan saat ini berobat dengan insulin, sesuai dengan riwayat penyakit pasien, DM sendiri memiliki kondisi yang menyebabkan hiperglikemia, resisten insulin sistemik, dan gangguan sinyal metabolik insulin pada kardiak yang menyebabkan terjadinya disfungsi dari kontraktilitas ventrikel yang menyebabkan gagal jantung pada DM tipe 2.(8) Gambar 3.1 Mekanisme patofisiologi dari kardiomiopati diabetes.(9) • Hiperglikemia Hiperglikemia memiliki peran penting terhadap patogenesis dari DCM. Hipergliekmia menyebabkan secara langsung ataupun tidak langsung terhadap kerusakan dari kardiomiosit, fibroblast dan sel endothelial yang merupakan akumulasi reactive oxygen Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 152
species (ROS).(2) Pada pasien ini parameter laboratorium glukosa darah menunjukkan peningkatan kadar glukosa darah sewaktu, puasa, maupun HbA1c, yang menunjukkan bahwa buruknya glikemik kontrol. Hiperglikemia yang persisten menyebabkan perubahan metabolik dan molekuler pada kardiomiosit. Peningkatan metabolisme glukosa pada hiperglikemia meningkatkan stress oksidatif melalui perkembangan ROS dari mitokondria. Tabel 3.1 Ilustrasi mekanisme hiperglikemia menyebabkan disfungsi kontraktilitas.(10) Stress oksidatif menyebabkan produksi yang berlebihan dari superoxide di mitochondrial respiratory chain sehingga menurunkan kontraktilitas miokard yang akhirnya menyebabkan fibrosis dari miokard. Stress oksidatif dan ROS dapat mempercepat apoptosis kardiomiosit dan kerusakan DNA seluler. Stress oksidatif menyebabkan kerusakan DNA juga mengaktivasi enzim reparative DNA seperti Poly ADP ribose polymerase (PARP). PARP mengalihkan metabolisme glukosa dari jalur biasa menjadi jalur alternatif biokimia yang menghasilkan perkembangan berbagai mediator yang menyebabkan kerusakan seluler akibat hiperglikemia. Kerusakan ini termasuk peningkatan heksosamin dan poliol flux, aktivasi CRP, dan peningkatan dari kada advance glycation end product (AGE).(11) Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 153
• Lipotoksisitas Kondisi diabetes, mengakibatkan peningkatan sintesis lemak dihati dan lisis lemak dalam adiposit dimana akan menambah sirkulasi asam lemak dan trigliserida. Pengangkutan asam lemak ke dalam kardiomiosit membutuhkan perantara insulin, hiperinsulin dan hiperlipidemia dapat meningkatkan pengangkutan asam lemak, dan dengan demikian menginduksi lipotoksisitas dalam kardiomiosit. Tiga mekanisme yang termasuk dalam lipotoksisitas diantaranya : peningkatan produksi ROS, peningkatan produksi ceranide, efek pada fungsi kontraktil miokard. Peningkatan kadar asam lemak di kardiomiosit dapat menyebabkan terbukanya kalium channel, mengakibatkan pemendekan durasi potensial aksi dan pembukaan kalsium channel tipe-I, yang pada akhirnya mempengaruhi penyimpanan kalsium dan mengakibatkan gangguan kontraktilitas miokard. Penyerapan asam lemak yang berlebihan tidak hanya menyebabkan akumulasi metabolik antara asam lemak, namun dapat meningkatkan kebutuhan oksigen dan pelepasan mitokondria, tetapi juga meningkatkan produksi ROS, dan meningkatkan apoptosis.(2) • Hiperinsulinemia Resistensi insulin dan hiperinsulinemia merupakan karakteristik patofisiologis tipikal dari DM. Pada jantung normal, 2/3 energi yang disediakan untuk kontraksi miokard berasal dari oksidasi asam lemak, dan 1/3 sisanya berasal dari metabolisme glukosa dan asam laktat. Pemanfaatan glukosa secara signifikan terbatas pada pasien dengan hiperinsulinemia atau resistensi insulin, oleh karena itu metabolisme energi miokard lebih bergantung pada oksidasi asam lemak, selain itu kondisi hiperinsulinemia juga menyebabkan hipertrofi kardiomiosit melalui berbagai mekanisme. Perubahan epigenetic dan genetik multipel disebabkan oleh hiperinsulinemia menyebabkan disregulasi ekspresi protein ekstraseluler dan intraseluler, terutama protein matriks ekstraseluler, yang menyebabkan hipertrofi kardiomiosit Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 154
dan fibrosis miokard.(2,12) • Gangguan homeostasis kalsium Regulasi yang seimbang dari metabolisme kalsium dalam kardiomiosit menjaga kontraktilitas jantung tetap normal. Stress oksidatif, agregasi asetilkarnitin rantai Panjang, dan perubahan komponen membran lipida dapat mempengaruhi homeostasis kalsium miokard. Beberapa studi melaporkan bahwa pompa kalsium aTPase, natrium-kalium aTPase dan pertukaran natrium- kalsium, serta perubahan fungsi reseptor ryanodine terlibat dalam patogenesis DCM.(2) • Abnormalitas sistem Renin-angiotensin-aldosteron (RAA) Mekanisme sistem RAA dalam patogenesis diabetes dan gagal jantung telah lama diketahui, beberapa penelitian telah melaporkan bahwa peningkatan regulasi sistem RAA pada pasien diabetes terkait erat dengan hipertrofi jantung dan fibrosis. Angiotensin bekerja langsung pada kardiomiosit dan fibroblast jantung melalui reseptor angiotensin-1, dan dapat menyebabkan hipertrofi jantung dan fibrosis.(13,14) Tabel 3.2 Staging DCM yang diadaptasi oleh Maisch.(15) Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 155
Sebagian besar pasien dengan DCM awalnya asimptomatik dengan HFpEF dan akhirnya menjadi disfungsi sistolik disertai dengan HFrEF. Maisch et.al mengusulkan beberapa klasifikasi mengenai staging DCM.(15) Pada kasus ini pasien telah menunjukkan beberapa tanda sesuai dengan patofisiologi yang dijelaskan sebelumnya, pasien digolongkan ke stage 3 diabetic cardiomyopathy dengan gejala yang sesuai dengan klasifikasi dimana pasien menunjukkan gejala CHF NYHA III, riwayat DM tipe 2 dengan komplikasi mikroangiopati yang ditemukan dari hasil CMR yaitu adanya obstruksi mikrovaskular tanpa disertai stenosis yang signifikan dari arteri koroner, adanya disfungsi diastolik derajat berat yang ditemukan dari pemeriksaan echocardiografi, disertai adanya penanda dari marker serological dalam kontrol glikemik yaitu peningkatan HbA1c 10.8%. Tabel 3.3 Modalitas diagnostik untuk DCM.(11) Pada tanggal 14 september 2020 dilakukan pemeriksaan CMR. CMR dilaporkan lebih superior dibandingkan modalitas imaging yang lain untuk mengidentifikasi scar pada jantung dan fibrosis lokal dan digunakan untuk melihat fungsi dari miokard, morfologi dari perfusi, edema, kontraktilitas. Dari hasil CMR didapatkan EF 34%, dan T1 mapping dengan nilai 1413 + 338, R2 = 0.996. T1 mapping adalah Teknik dari CMR untuk melihat karakteristik jaringan miokard dan sebagai kuantifikasi dari fibrosis interstisial. Pada kondisi miokardium normal memiliki waktu relaksasi T1 yang dapat diprediksi tetapi akan Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 156
berubah secara signifikan dengan adanya edema, fibrosis, maupun penyakit infiltratif. Oleh karena itu T1 dapat digunakan untuk mendeteksi defek fokal atau penyakit difus, serta untuk mendeteksi remodeling miokard tanpa adanya gejala yang tidak dapat diidentifikasi dengan teknik pencitraan non-invasif lainnya. Teknik ini sangat berguna untuk mendiagnosa dengan kecurigaan DCM.(16) Dalam hal ini, T1 mapping juga dapat membantu untuk memenuhi syarat perluasan volume ekstraseluler, yang telah terbukti secara signifikan berkorelasi dengan gangguan fungsi diastolik ventrikel kiri.(17,18) Pada kasus ini juga didapatkan hasil Late Gadolinium Enhancement (LGE) yang positif, dimana teknik CMR ini dilakukan 10- 15 menit setelah pemberian injeksi kontras gadolinium intravena. Gadolinium merupakan kontras ekstraseluler, pada miokardium yang normal yang tidak mempunyai ruang ekstraseluler, maka gadolinium tidak akan tersisa, sehingga pada gambaran CMR menunjukkan miokardium berwarna hitam, namun jika terdapat ruang ekstraseluler (misalnya infark, fibrosis, ataupun scar) maka miokardium akan tampak berwarna putih oleh karena terisi kontras gadolinium. Adanya pola infark dari LGE ini dapat memprediksi silent infarc miocard yang tidak dirasakan oleh pasien diabetes dan dikaitkan dengan prognosis yang lebih buruk terhadap kardiovaskular. Namun teknik LGE ini hanya mampu mengidentifikasi fibrosis yang fokal saja.(19) Setelah pasien menjalani perawatan dan tindakan, pasien diberikan terapi aspilet 80 mg, candesartan 8 mg, furosemide 40 mg, concor 2.5 mg, atorvastatin 20 mg, nitrokaf retard 2.5 mg, insulin novorapid 8 unit/8jam/subkutan, dan insulin Levemir 10 unit/24 jam/subkutan dan direncanakan rawat jalan. Saat ini, pemahaman tentang patofisiologi dan patogenesis pada pasien kardiomiopati diabetes telah memberikan pilihan terapi yang lebih baik, diantaranya modifikasi gaya hidup, kontrol glukosa darah, pengelolaan hipertensi yang menyertai, dan PJK jika ada, terapi penurun lipd, dan terapi gagal jantung. Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 157
Tabel 3.4 Strategi terapi untuk DCM.(11) Kontrol glikemik yang lebih baik dikaitkan dengan hasil yang lebih baik pada komplikasi mikrosirkulasi diabetes di beberapa penelitian. Namun, efek yang menguntungkan dari kontrol glikemik yang ketat pada hasil makrovaskular masih belum jelas. Karena penyakit mikrovaskular memiliki peran patogen penting dalam perkembangan kardiomiopati diabetes, kontrol glikemik yang ketat diharapkan dapat bermanfaat bagi pasien.(20) Kontrol glikemik yang ketat dapat memperbaiki disfungsi ventrikel yang diinduksi stress tanpa PJK pada pasien diabetes yang tidak terkontrol.(21) Studi kasus lainnya yang menggunakan CMR pada pasien DM Tipe 1 menunjukkan bahwa kontrol glikemik yang ketat dikaitkan dengan parameter hasil DCM yang lebih baik.(11) Obat antidiabetes yang dianjurkan untuk terapi pada pasien dengan gagal jantung sesuai dengan guideline Pre Diabetes dan Diabates ESC 2019 adalah Metformin, DPP-4 Inhibitor, GLP-1 Reseptor agonis, SGLT-2 Inhibitor, dan Insulin.(22) Sesuai dengan guideline Prediabetes-diabetes ESC 2019 pengobatan gagal jantung pada diabetes mencakup terapi farmakologis sesuai dengan pedoman Guideline Heart failure ESC 2016 diantaranya pemberian ACE-Inhibitor atau ARB yang dapat dikombinasikan dengan Angiotensin Renin Neprilysin inhibitors (ARNI), Beta-blocker, Ivabradine, Mineral corticoid receptor antagonist (MRA), Diuretik, Dan digoxin ditahap akhir.(23) Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 158
RINGKASAN Telah dilaporkan seorang perempuan berusia 42 tahun dengan diagnosa Diabetic cardiomyopathy, CHF NYHA II, Diabetes melitus (DM) tipe 2, hipoalbuminemia. Setelah pasien menjalani perawatan selama 14 hari pasien telah dilakukan pemeriksaan angiografi koroner serta cardiac magnetic resonance (CMR). Pada hasil angiografi koroner tidak ditemukan stenosis yang signifikan, sedangkan pada hasil CMR didapatkan tanda-tanda early cardiomyopathy disertai left ventricle hypertrophy. Pasien mengalami perbaikan kondisi klinis setelah mendapatkan terapi yang sesuai. Diharapkan temuan dari kasus ini dapat meningkatkan kewaspadaan kita dalam mendiagnosa pasien dengan kecurigaan DCM yang dapat memberikan manifestasi seperti acute coronary syndrome maupun gagal jantung dan memberikan perhatian yang lebih terhadap tatalaksana diabetes agar tidak terjadi komplikasi DCM. DAFTAR PUSTAKA 1. Regensteiner JG, Golden S, Anton B, Barrett-Connor E, Chang AY, Chyun D, et al. Sex differences in the cardiovascular consequences of diabetes mellitus a scientific statement from the American Heart Association. Circulation. 2015;132(25):2424–47. 2. Sun L, Yu M, Zhou T, Zhang S, He G, Wang G, et al. Current advances in the study of diabetic cardiomyopathy: From clinicopathological features to molecular therapeutics (review). Mol Med Rep. 2019;20(3):2051–62. 3. Aboumsallem JP, Muthuramu I, Mishra M, Kempen H, De Geest B. Effective treatment of diabetic cardiomyopathy and heart failure with reconstituted HDL (Milano) in mice. Int J Mol Sci. 2019;20(6). 4. Chairperson JC, Thiele H, Germany C, Barthe O, States U, France TF, et al. ESC Guidelines for the management of acute coronary syndromes in patients presentingwithoutpersistentST-segment Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 159
elevation The Task Force for the management of acute coronary syndromes in patients presenting without persistent ST-segment elevation of the E. Eur Heart J. 2020;1–79. 5. Marwick TH, Ritchie R, Shaw JE, Kaye D. Implications of Underlying Mechanisms for the Recognition and Management of Diabetic Cardiomyopathy. J Am Coll Cardiol. 2018;71(3):339–51. 6. Borghetti G, Von Lewinski D, Eaton DM, Sourij H, Houser SR, Wallner M. Diabetic cardiomyopathy: Current and future therapies. Beyond glycemic control. Front Physiol. 2018;9(OCT):1–15. 7. Kocabaş U, Yilmaz Ö, Kurtoǧlu V. Diabetic cardiomyopathy: Acute and reversible left ventricular systolic dysfunction due to cardiotoxicity of hyperglycaemic hyperosmolar state - a case report. Eur Hear J - Case Reports. 2019;3(2):1–4. 8. Jia G, Hill MA, Sowers JR. Diabetic cardiomyopathy: An update of mechanisms contributing to this clinical entity. Circ Res. 2018;122(4):624–38. 9. Palomer X, Pizarro-Delgado J, Vázquez-Carrera M. Emerging Actors in Diabetic Cardiomyopathy: Heartbreaker Biomarkers or Therapeutic Targets? Trends Pharmacol Sci [Internet]. 2018;39(5):452–67. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.tips.2018.02.010 10. Murtaza G, Virk HUH, Khalid M, Lavie CJ, Ventura H, Mukherjee D, et al. Diabetic cardiomyopathy - A comprehensive updated review. Prog Cardiovasc Dis [Internet]. 2019;62(4):315–26. Available from: https://doi.org/10.1016/j.pcad.2019.03.003 11. Lee WS, Kim J. Diabetic cardiomyopathy: Where we are and where we are going. Korean J Intern Med. 2017;32(3):404–21. 12. De Rosa S, Arcidiacono B, Chiefari E, Brunetti A, Indolfi C, Foti DP. Type 2 diabetes mellitus and cardiovascular disease: Genetic and epigenetic links. Front Endocrinol (Lausanne). 2018;9(JAN):1–13. 13. Drawz P, Ghazi L. Advances in understanding the renin- angiotensin-aldosterone system (RAAS) in blood pressure control and recent pivotal trials of RAAS blockade in heart failure and diabetic nephropathy. F1000Research. 2017;6(0):1–10. Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 160
14. Ohkura SI, Usui S, Takashima SI, Takuwa N, Yoshioka K, Okamoto Y, et al. Augmented sphingosine 1 phosphate receptor-1 signaling in cardiac fibroblasts induces cardiac hypertrophy and fibrosis through angiotensin II and interleukin-6. PLoS One. 2017;12(8):1–19. 15. Gilca GE, Stefanescu G, Badulescu O, Tanase DM, Bararu I, Ciocoiu M. Diabetic Cardiomyopathy: Current Approach and Potential Diagnostic and Therapeutic Targets. J Diabetes Res. 2017;2017. 16. Tadic M, Cuspidi C, Calicchio F, Grassi G, Mancia G. Diabetic cardiomyopathy: How can cardiac magnetic resonance help? Acta Diabetol [Internet]. 2020;57(9):1027–34. Available from: https://doi.org/10.1007/s00592-020-01528-2 17. Shang Y, Zhang X, Leng W, Chen L, Lei X, Zhang T, et al. Assessment of Diabetic Cardiomyopathy by Cardiovascular Magnetic Resonance T1 Mapping: Correlation with Left- Ventricular Diastolic Dysfunction and Diabetic Duration. J Diabetes Res. 2017;2017. 18. Puntmann VO, Peker E, Chandrashekhar Y, Nagel E. T1 Mapping in Characterizing Myocardial Disease: A Comprehensive Review. Circ Res. 2016;119(2):277–99. 19. Mordi. Non-Invasive Imaging in Diabetic Cardiomyopathy. J Cardiovasc Dev Dis. 2019;6(2):18. 20. Pappachan JM, Varughese GI, Sriraman R, Arunagirinathan G. Diabetic cardiomyopathy: Pathophysiology, diagnostic evaluation and management. World J Diabetes. 2013;4(5):177. 21. Aboukhoudir F, Rekik S. Left ventricular systolic function deterioration during dobutamine stress echocardiography as an early manifestation of diabetic cardiomyopathy and reversal by optimized therapeutic approach. Int J Cardiovasc Imaging. 2012;28(6):1329–39. 22. Cosentino F, Grant PJ, Aboyans V, Bailey CJ, Ceriello A, Delgado V, et al. 2019 ESC Guidelines on diabetes, pre-diabetes, and cardiovascular diseases developed in collaboration with the EASD. Eur Heart J. 2020;41(2):255–323. Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 161
23. Rydén L, Grant PJ, Anker SD, Berne C, Cosentino F, Danchin N, et al. ESC guidelines on diabetes, pre-diabetes, and cardiovascular diseases developed in collaboration with the EASD. Eur Heart J. 2013;34(39):3035–87. Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 162
9 Symptomatic Bradycardia As The Clinical Manifestation Of Covid-19 Infection In 59 Years Old Male Andi Renata Bastario S, Muzakkir Amir PENDAHULUAN Infeksi Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2) yang menyebabkan Coronavirus disease 2019 (COVID- 19) saat ini telah mencapai tingkat pandemi. Sampai saat tulisan ini dibuat terdapat 235 negara di dunia yang terkena dampak dari virus ini dengan jumlah total kasus di dunia saat ini telah mencapai angka 20.902.475 dan angka kematian total mencapai 748.878.1 Sementara itu di Indonesia jumlah total kasus COVID-19 telah mencapai angka 132.816 kasus dengan angka kematian mencapai 5.968 dan diperkirakan jumlah tersebut akan terus meningkat seiring dengan kecenderungan belum berkurangnya jumlah kasus baru setiap harinya di Indonesia.2 Berdasarkan data observasi, COVID-19 dapat bermanifestasi dalam berbagai tingkat severitas infeksi mulai dari penderita tanpa gejala hingga dengan gejala berat yang dapat mengancam sistem pernapasan. Dalam patogenesisnya SARS-CoV-2 menyerang jaringan paru-paru sebagai sumber utama infeksi sehingga presentasi klinis penderita COVID-19 yang mendapat perawatan di rumah sakit terutama terkait dengan gejala gangguan pernapasan.3 Namun pada beberapa kasus telah dilaporkan adanya manifestasi kardiak akibat infeksi COVID-19 baik sebagai gejala utama atau sebagai komplikasi dari cedera miokard akut. Data terbaru menunjukkan bahwa miokarditis, syok kardiogenik, tromboembolisme dan aritmia dapat menjadi salah satu komplikasi dari COVID-19 bahkan pada penderita yang tidak mempunyai faktor resiko penyakit kardiovaskuler sebelumnya.4 Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 163
Gambar 1.1 COVID-19 dan aritmia jantung 4 Berdasarkan laporan studi kasus dari Wuhan China, komplikasi aritmia jantung mencapai angka sekitar 17% dari semua penderita COVID-19 yang mendapatkan perawatan dan mencapai angka hingga 44% pada penderita yang mendapatkan perawatan intensif. Sementara itu laporan kasus dari 700 penderita COVID-19 di Amerika Serikat menunjukkan bahwa penderita COVID-19 yang mendapatkan perawatan intensif mempunyai resiko 10 kali lipat lebih tinggi untuk mengalami aritmia dibandingkan penderita yang dirawat di perawatan non intensif dan tingkat keparahan penyakit terbukti merupakan salah satu faktor independen untuk terjadinya aritmia dan henti jantung.4,5 Pada laporan kasus ini akan diilustrasikan seorang laki-laki berusia 59 tahun dengan infeksi COVID-19 yang datang ke unit gawat darurat dengan presentasi klinis awal bradikardi simptomatik. LAPORAN KASUS Seorang laki-laki berusia 59 tahun dirujuk ke Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo dengan keluhan utama hampir pingsan yang dirasakan sejak satu hari sebelumnya. Keluhan hampir pingsan yang dirasakan disertai dengan pusing, lemas seluruh badan dan terkadang diikuti oleh pandangan gelap. Pada saat pemeriksaan penderita terlihat sedikit gelisah dan tidak nyaman. Tidak ditemukan adanya riwayat pingsan atau hampir pingsan sebelumnya. Penderita menyangkal adanya keluhan gangguan pernapasan, Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 164
demam, sesak napas dan nyeri dada. Tidak terdapat riwayat penyakit kronis sebelumnya seperti penyakit kardiovaskuler, hipertensi dan diabetes melllitus. Penderita mempunyai riwayat merokok sejak 30 tahun yang lalu. Hasil dari pemeriksaan fisik menunjukkan penderita dalam kesadaran kompos mentis dengan tanda vital tekanan darah 144/84 mmHg, laju nadi 40 kali per menit, laju pernapasan 20 kali per menit dan suhu 36.7 C. Pemeriksaan saturasi oksigen perifer menunjukkan angka 94% tanpa modalitas suplementasi oksigen. Pada pemeriksaan paru-paru tidak ditemukan adanya ronki dan wheezing sementara pada pemeriksaan jantung tidak ditemukan adanya tanda pembesaran jantung maupun abnormalitas suara jantung. Tidak ditemukan kelainan pada pemeriksaan fisik lainnya. Gambar 2.1 Elektrokardiogram 12 sadapan dari rumah sakit perujuk Gambar 2.2 Elektrokardiogram 12 sadapan di instalasi gawat darurat Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 165
Pemeriksaan elektrokardiogram 12 sadapan menunjukkan irama sinus ritme dengan laju jantung 40 kali per menit disertai dengan beberapa junctional escape rhythm. Ditemukan adanya deviasi aksis jantung ke kiri (- 45 derajat), tanda hipertrofi ventrikel kiri berdasarkan kriteria Cornell (gelombang S di V3 + gelombang R di aVL 29 mm), fragmented kompleks QRS pada sadapan inferior (II, III, aVF) dan pada sadapan prekordial terlihat adanya gelombang U yang prominent setelah gelombang T. Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya neutrofilia (78.6%) dengan rasio neutrofil limfosit 8.3 tanpa disertai peningkatan jumlah hitung sel darah putih. Temuan hasil pemeriksaan laboratorium signifikan lainnya meliputi adanya penurunan kadar serum ion Natrium 117 mmol/L (hiponatremia berat) dan ion Kalium 3,0 mmol/L (hipokalemia moderat). Hasil pemeriksaan parameter hitung darah lainnya dalam batas normal. Hasil pemeriksaan fungsi ginjal, hati dan faktor koagulasi dalam batas normal. Pemeriksaan skrining tes cepat antibodi SARS-CoV-2 menunjukkan hasil non-reaktif baik itu untuk IgM dan IgG. Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 166
Hasil pemeriksaan Multi Slice CT Scan Thoraks menunjukkan hasil adanya gambaran Multifocal Ground Glass Opacity pada lobus superior paru kanan dan lobus superior, inferior, posterobasal paru kiri. Ukuran jantung dan pembuluh darah besar dalam batas normal. Dengan temuan gambaran tersebut hasil pemeriksaan MSCT thoraks pada penderita ini disimpulkan dengan Pneumonia Bilateral Tipikal untuk COVID 19. Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang diatas penderita didiagnosis dengan Bradikardi Simpomatik, Hiponatremia berat, Hipokalemia moderat, Hipertensi grade 1 dan termasuk dalam kategori pasien dalam pengawasan (PDP) COVID 19. Tatalaksana awal yang diberikan pada penderita ini meliputi pemberian dopamine 5mcg/kgBB/menit/syringepump untuk penanganan bradikardi, koreksi hiponatremia dengan NaCl 3% 150ml/bolus intravena selama 20 menit dilanjutkan 1500ml dalam 48 jam berikutnya, suplementasi kalium dengan tablet KSR 600mg/8jam/oral dan pemberian Candesartan 8mg/24jam/oral untuk penanganan hipertensi. Sementara tatalaksana terkait kecurigaan pneumonia yang disebabkan oleh COVID 19 penderita diberikan Azitrhomycin 500mg/24jam/oral, suplementasi vitamin C dan B serta direncanakan untuk pemeriksaan swab nasopharyngeal dan dirawat di ruang isolasi untuk COVID 19. • Hari perawatan pertama, penderita sudah ditransfer ke ruang Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 167
perawatan high care unit pusat infeksi. Penderita masih mengeluhkan badan lemas dan pusing. Hasil rekaman elektrokardiografi masih menunjukkan irama sinus bradikardi dengan laju jantung 40-45 kali per menit. Koreksi elektrolit sementara masih berjalan dengan NaCl 3% untuk hiponatremia dan suplementasi tablet KSR untuk hipokalemia. Penderita dijadwalkan untuk pemeriksaan swab nasopharyngeal pada hari selanjutnya • Hari perawatan kedua, penderita masih mengeluhkan badan lemas dan terkadang terlihat sedikit gelisah. Hasil rekaman elektrokardiografi menunjukkan irama sinus bradikardi dengan laju jantung 45 kali per menit. Pada hari ini penderita sudah menjalani pemeriksaan swab nasopharyngeal dan menunggu hasil interpretasi pemeriksaan tersebut. • Hari perawatan ketiga, keluhan badan lemas masih dirasakan dan penderita masih terlihat sering gelisah. Hasil rekaman elektrokardiografi menunjukkan irama sinus bradikardi dengan laju jantung 50 kali per menit. Hasil elektrolit kontrol pasca koreksi menunjukkan hasil yang kontradiktif dimana kadar Natrium turun dari 117 mmol/L ke 108 mmol/L dan kadar Kalium turun dari 3.0 mmol/L ke 2.7 mmol/L. Dengan hasil tersebut, koreksi hiponatremia dengan NaCl 3% masih dilanjutkan sampai 48 jam berikutnya dan koreksi hipokalemia saat ini menggunakan KCl 25 meq yang dilarutkan dalam NaCl isotonis dalam kurun waktu 6 jam. • Hari perawatan kelima, secara umum penderita merasakan perbaikan klinis dari gejala yang dirasakan seperti badan sudah sedikit bertenaga dan terlihat saat ini penderita sudah tidak terdapat episode gelisah. Hasil rekaman elektrokardiografi juga menunjukkan perbaikan dengan interpretasi irama sinus normal dan laju jantung 70 kali per menit. Hasil kontrol elektrolit pasca koreksi kedua menunjukkan perbaikan kadar Natrium dari 108 mmol/L ke 127 mmol/L dan kadar Kalium 2.7 mmol/L ke 3.1 mmol/L. Namun pemeriksaan sampel tes swab dua hari sebelumnya menunjukkan hasil yang positif sehingga penderita terkonfirmasi mengalamai infeksi COVID 19. Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 168
• Hari perawatan ke delapan, secara umum tidak terdapat keluhan keluhan yang signifikan dirasakan oleh penderita. Hasil rekaman elektrokardiografi dengan irama normal sinus ritme dan laju jantung 76 kali per menit. Pada hari ini dilakukan kontrol kembali untuk kadar elektrolit dan didapatkan hasil Natrium 136 mmol/L dan Kalium 4.2 mmol/L. Pada hari ini juga dilakukan pemeriksaan kadar enzim jantung hs-Troponin I untuk melihat adanya kemungkinan kerusakan miokard akibat invasi SARS-CoV-2 ke jantung. Hasil pemeriksaan menunjukkan angka yang normal 3.8ng/L. • Hari perawatan ke sebelas, secara umum penderita dalam keadaan baik dan tidak ditemukan adanya keluhan. Hasil rekaman elektrokardiografi dengan irama normal sinus ritme dan laju jantung 72 kali per menit. Hasil kontrol elektrolit pada hari ini menujukkan adanya penurunan sedikit kadar Natrium 136 mmol/L ke 134 mmol/L dan Kalium 4.2 mmol/L ke 3.8 mmol/L. Dengan adanya kecenderungan kadar Natrium yang kembali turun maka dilakukan tindak lanjut penegakan etiologi hiponatremia pada penderita ini. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi pemeriksaan elektrolit urin, fungsi tiroid dan kalkulasi osmolalitas serum dan urin. Berdasarkan hasil pemeriksaan hiponatremia pada penderita ini termasuk ke dalam kategori hiponatremia hipotonis dengan osmolalitas serum 244.87 mOsm/kg. Hasil kalkulasi osmolalitas urin menunjukkan hasil 142.6 mOsm/kg dan secara umum penderita dalam keadaan euvolemia maka penyebab hyponatremia pada penderita ini dicurigai disebabkan oleh Syndrome Inapropriate Anti Diuretic Hormone (SIADH) dengan mengeksklusi adanya penggunaan agen diuretik dan penyakit endokrin lainnya. Tatalaksana yang dilakukan terutama terfokus pada penanganan penyakit yang mendasari dalam hal ini COVID 19 dan restriksi cairan. • Hari perawatan ke delapan belas, secara umum tidak terdapat keluhan dan penderita dalam keadaan baik. Hasil rekaman elektrokardiografi dengan irama normal sinus ritme dan laju jantung 60 kali per menit. Hasil kontrol kadar elektrolit dalam Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 169
batas normal Natrium 135 mmol/L dan Kalium 4.0 mmol/L. • Hari perawatan ke sembilan belas sampai hari ke dua puluh tujuh, secara umum tidak terdapat keluhan dan penderita dalam keadaan baik. Tidak terdapat gejala maupun episode bradikardi yang ditemukan dalam kurun waktu tersebut. Namun hasil pemeriksaan tes swab masih terus positif sampai hari ke dua puluh tujuh perawatan. • Hari perawatan ke tiga puluh tes swab menunjukkan hasil yang negatif dan penderita diperbolehkan untuk rawat jalan dan menjalani isolasi mandiri di rumah. Gambar 2.4 Linimasa perjalanan penyakit Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 170
PEMBAHASAN 3.1 Aritmia pada COVID-19 Pada bulan desember 2019, telah dilaporkan penemuan kasus pertama penderita COVID-19 di Wuhan, Cina. Sejak saat itu, Severe Acute Respiratory Syndrome-Coronavirus 2 (SARS-CoV-2) telah menyebar dengan sangat cepat dan dalam beberapa bulan telah mencapai status infeksi pandemi. Sampai saat ini upaya penelitian yang sedang berlangsung telah memberikan sejumlah besar informasi terkait infeksi penyakit ini, namun masih banyak hal tentang virus ini yang masih belum diketahui dengan pasti. Secara garis besar, SARS- CoV-2 terutama menyerang jaringan paru sebagai sumber utama infeksi sehingga presentasi klinis yang paling sering ditemukan pada penderita COVID-19 merupakan keluhan terkait gejala gangguan pernapasan. Dari data perkembangan terbaru ditemukan bahwa dalam patogenesinya SARS- CoV-2 menggunakan ACE2 sebagai reseptor untuk dapat menginvasi sel jaringan tubuh manusia. ACE2 selain ditemukan pada sistem respirasi juga dieskpresikan di berbagai jaringan tubuh termasuk didalamnya sistem kardiovaskuler sehingga SARS-CoV-2 dapat menginvasi sistem tersebut dan menyebakan berbagai manifestasi klinis termasuk di dalamnya manifestasi pada jantung yang dapat menyebabkan miokarditis, disfungsi ventrikel kiri dan bahkan aritmia.6 Data yang tersedia saat ini tentang prevalensi aritmia pada COVID-19 sebagian besar terbatas pada studi observasi, serial kasus atau laporan kasus penderita rawat inap. Laporan awal dari China menunjukkan angka insidensi secara keseluruhan kejadian aritmia pada penderita COVID 19 yang menjalani perawatan mencapai sekitar 17% dengan insidensi aritmia lebih tinggi (44%) pada penderita COVID- 19 yang dirawat di unit perawatan intensif. Temuan ini menimbulkan kekhawatiran bahwa infeksi SARSCoV-2 dapat menyebakan cedera jantung sekunder dapat meningkat risiko terjadinya aritmia namun sampai saat ini mekanisme aritmia pada COVID-19 belum diketahui dengan pasti dan berbagai faktor seperti kerusakan miokard, aktivasi Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 171
berlebihan sistem imun serta efek sistemik lainnya diperkirakan berkontribusi terhadap resiko terjadinya aritmia.3 Pada kasus ini aritmia yang terjadi pada penderita dapat disebabkan oleh invasi langsung SARS-CoV-2 pada miokard, hipoksia atau bahkan dapat disebabkan oleh gangguan keseimbangan elektrolit (hipokalemia dan hiponatremia) yang memicu terjadinya bradiaritmia. 3.2 Peran invasi SARS-CoV-2 pada miokard dalam kejadian aritmia Gambar 3.1 Mekanisme aritmia jantung pada COVID-19 3 Ekspresi ACE2 pada sel miokard dapat memungkinkan invasi langsung dari SARS-CoV-2 pada jantung, hal ini dibuktikan oleh data dari autopsi post mortem penderita COVID-19 yang menunjukkan adanya genom SARS-CoV-2 yang disertai dengan fibrosis miokard, inflamasi dan penurunan ekspresi ACE2 pada sampel jantung yang diperiksa. Temuan tersebut mengindikasikan adanya cedera miokard akut yang saat ini diyakini sebagai penyebab utama terjadinya peningkatan aritmia jantung pada penderita COVID-19. Dalam praktik klinis kerusakan ini dapat teridentifikasi melalui peningkatan kadar enzim jantung (high sensitive Cardiac Troponin) dan terlepas dari adanya manifestasi klinis kelainan jantung yang ada, tingkat hs-cTn yang tinggi terbukti berkorelasi kuat dengan tingkat keparahan penyakit dan angka kematian yang lebih tinggi.3,7 Dalam kasus ini hasil pemeriksaan enzim jantung tidak menunjukkan adanya peningkatan kadar high sensitive Troponin I (3.8 ng/L), sehingga kemungkinan besar tidak terjadi kerusakan miokard Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 172
yang bermakna akibat dari invasi SARS-CoV-2 yang dapat berpotensi menimbulkan aritmia. Mekanisme lainnya yang dapat terjadi meliputi adanya aktivasi yang berlebihan pada sistem yang dapat menyebabkan badai sitokin, namun aritmia yang terjadi akibat mekanisme ini pada umumnya akan menyebabkan peningkatan aktivitas saraf simpatis yang akan menimbulkan manifestasi aritmia berupa takiaritmia bukan bradiaritmia seperti pada kasus ini. Aritmia akibat adanya pennggunaan obat yang berpotensi memperpanjang durasi QT juga tidak ditemukan pada penderita ini karena penderita tidak mempunyai riwayat penggunaan obat-obatan tersebut dan bradiaritmia yang terjadi muncul sebagai presentasi awal bukan setelah penderita mendapatkan perawatan terapi untuk COVID-19. Oleh karena itu dalam kasus ini diperkirakan aritmia yang terjadi lebih dominan disebabkan oleh adanya ketidakseimbangan elektrolit (hipokalemia dan hiponatremia). 3.3 Hipokalemia pada COVID-19 Hipokalemia (K+ < 3.5 mmol/L) merupakan salah satu kelainan elektrolit yang sering ditemukan terutama pada penderita yang menjalani hospitalisasi. Secara umum kalium merupakan ion yang sangat penting dalam menjaga potensial membran sel dan juga dalam proses aksi potensial. Kadar kalium yang rendah (hipokalemia) telah diketahui dapat menyebabkan aritmia mulai dari bradiaritmia hingga fatal takiaritmia. Mekanisme utama dari aritmia yang terjadi terutama disebabkan oleh hiperpolarisasi potensial membran sel dan pemanjangan waktu repolarisasi yang menyebabkan pemanjangan durasi potensial aksi dan pada kondisi yang berat dapat mencetuskan terjadinya Early After Diastole (EAD) yang mempunyai potensi berkembang menjadi suatu Torsade de Pointes (TdP).8,9 Dalam kasus ini bradiaritmia yang terjadi dapat disebabkan oleh adanya kondisi hipokalemia yang terjadi pada penderita. Hal ini didukung oleh temuan pada elektrokardiografi dimana aritmia yang terjadi adalah sinus bradikardi disertai dengan gelombang U yang prominent pada sadapan prekordial yang merupakan salah satu karakteristik temuan khas pada kondisi hipokalemia. Kemudian didukung juga oleh bukti dengan adanya perbaikan kadar Kalium pasca koreksi tidak terjadi episode bradiaritmia Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 173
berulang pada penderita ini. Mekanisme homeostasis kalium dalam tubuh terutama diatur melalui keseimbangan antara intake kalium dan ekskresi kalium. Hampir lebih dari 90% ekskresi kalium dari dalam tubuh dilakukan melalui ginjal dan sisanya melalui sistem pencernaan, sehingga sebagian besar kasus hipokalemia terjadi akibat adanya ekskresi yang berlebihan dari kalium melalui urin. Dalam kasus ini penderita diketahui tidak mempunyai permasalahan terkait konsumsi kalium hariannya dan tidak terdapat gejala muntah ataupun diare yang dapat meningkatkan hilangnya kalium dari saluran cerna sehingga diperkirakan hipokalemia yang terjadi disebabkan oleh eksreksi yang berlebihan melalui urin. Secara garis besar, ekskresi kalium melalui urin sangat dipengaruhi oleh aktivitas hormon aldosterone sehingga dengan adanya hipokalemia maka diperkirakan terjadi peningkatan aktivitas dari hormon tersebut pada penderita dalam kasus ini dan kemungkinan besar berkaitan dengan penyakit utamanya yaitu COVID-19.10 Gambar 3.2 Keseimbangan sistem renin angiotensin 7 Telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam patogenesisnya SARS-CoV-2 menggunakan ACE2 sebagai reseptor dalam menginvasi sel manusia. ACE2 sendiri dalam proses fisiologis merupakan suatu Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 174
enzim yang mempunyai fungsi utama yaitu mengkonversi Angiotensin I menjadi Angiotensin 1-9 dan Angiotensin II menjadi Angiotensi 1-7, sehingga enzim ini bertanggung jawab dalam fungsi kontra-regulasi sistem sumbu utama renin angiotensin dalam artian untuk menyeimbangkan sistem tersebut guna mempertahankan fungsi homeostasis tubuh baik itu dalam menjaga tekanan darah hingga keseimbangan elektrolit. Ikatan antara SARS-CoV-2 dan ACE2 pada permukaan membran sel akan meningkatkan degradasi dari ACE2 itu sendiri, hal ini akan menyebabkan penurunan kontra-regulasi terhadap sistem renin angiotensin yang berakibat pada peningkatan aktivitas dari sistem ini.7,11 Gambar 3.3 Peran ACE2 dalam sistem renin angiotensin 11 Penurunan aktivitas ACE2 dan peningkatan dari sistem renin angiotensin akan menyebabkan peningkatan efek dari angiotensin II seperti vasokontriksi, proliferasi sel, hipertrofi dan fibrosis yang pada COVID-19 dipercaya mempunyai peranan yang penting dalam meningkatkan resiko severitas infeksi dan bahkan kematian akibat terganggunya sistem kardiovaskuler. Selain itu angiotensin II juga bertanggung jawab atas peningkatan aktivitas sekresi dari hormon aldosterone pada kelenjar adrenal. 11 Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 175
Gambar 3.4 Hipokalemia akibat peningkatan aktivitas sistem renin angiotensin 8 Dengan adanya peningkatan kadar aldosterone maka sel prinsipal pada duktus kolektivus akan meningkatkan ekskresi dari Kalium ke dalam urin yang dapat berakibat pada berkurangnya kadar konsentrasi Kalium di dalam serum. Pada kasus ini hipokalemia yang terjadi diperkirakan disebabkan oleh terganggunya keseimbangan sistem renin angiotensin oleh karena efek dari patogenesis COVID-19. Hal ini didukung bukti bahwa selama perawatan penderita mendapatkan terapi Candesartan yang merupakan suatu obat golongan Angiotensin Receptor Blocker (ARB) yang secara umum berfungsi menurunkan aktivitas dari angiotensin II dan pada akhirnya dapat menurunkan kadar aldosterone yang diperkirakan bertanggung jawab terhadap ekskresi kalium yang berlebihan pada duktus kolektivus.8,11 3.4 Hiponatremia pada COVID-19 Hiponatremia didefinisikan sebagai penurunan kadar serum Natrium dibawah 135 mmol/L dan telah diketahui berhubungan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas. Hiponatremia dapat menimbulkan berbagai manifestasi klinis yang terutama berkaitan Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 176
dengan sistem neurologis dan gastrointestinal namun dapat juga mempengaruhi sistem konduksi jantung. Dalam beberapa studi kasus telah dilaporkan adanya hubungan antara hiponatremia dan gangguan konduksi jantung namun hingga saat ini mekanismes pasti dari hubungan tersebut belum dapat dibuktikan. Beberapa teori mengemukakan bahwa penurunan kadar Na+ ekstra sel dapat mengurangi aliran influx Na+ selama potensial aksi yang dapat berpotensi menurunkan eksitabilitas dan kecepatan konduksi dari sistem kelistrikan jantung. 12,13 Gambar 3.5 Algoritme diagnostik hiponatremia 14 Secara umum penegakkan diagnosis etiologi hiponatremia didasarkan pada kadar osmolalitas plasma, osmolalitas urin, kadar natrium urin dan status volume penderita.14 Dalam kasus ini berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil kalkulasi osmolalitas plasma menunjukkan angka 244.87 mOsm/kg yang dapat disimpulkan sebagai suatu kondisi hiponatremia hipotonis. Kemudian hasil kalkulasi osmalalitas urin menunjukkan angka 142.6 Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 177
mOsm/kg dengan kadar Na+ urin 34 mmol/L dan secara umum penderita dalam keadaan euvolemia. Sehingga kemungkinan penyebab hiponatremia pada penderita ini diperkirakan disebabkan oleh suatu Syndrome Inapropriate of Anti Diuretic Hormone (SIADH) mengingat sindrom ini merupakan penyebab hiponatremia paling sering dan tidak terdapat riwayat penggunaan obat diuretik serta penyakit endokrin lainnya seperti penyakit tiroid dan adrenal pada penderita ini. Gambar 3.6 Kriteria diagnosis SIADH 15 Secara fisiologis hormon anti diuretik mempunyai peranan yang penting dalam menjaga status volume dan tingkat osmolalitas plasma. Pada kondisi terjadi kekurangan volume intravaskuler hormon ini disekresikan dan menyebabkan terjadinya reabsorbsi air pada tubulus distal ginjal melalui reseptor aquoporin dan pada kadar yang tinggi dapat menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah. Sementara pada kondisi terjadinya peningkatan osmolalitas plasma maka akan terjadi aktivasi osmoreseptor pada kelenjar hipofisis posterior dan dengan mekanisme yang sama menyebabkan dilusi pada plasma melalui reabsorbsi air dan ekskresi zat terlarut terutama Na+. Pada SIADH terjadi pelepasan hormon anti diuretik yang tidak sesuai dengan kondisi kekurangan cairan ataupun peningkatan osmolalitas yang pada akhirnya menyebabkan dilusi yang berlebihan dan berakhir pada kondisi hiponatremia. 14,15 SIADH sendiri secara etiologi dapat disebabkan oleh berbagai macam penyakit termasuk di dalamnya keganasan, proses intracranial, Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 178
penggunaan obat-obatan dan bahkan infeksi terutama pneumonia. Dalam kasus ini SIADH yang terjadi diperkirakan mempunyai kaitan yang erat dengan pneumonia yang disebabkan oleh COVID-19. Mekanisme terjadinya SIADH pada COVID-19 dapat disebabkan oleh kondisi ketidaksesuaian ventilasi perfusi yang menyebabkan vasokontriksi dan berakhir pada penurunan pengisian atrium kiri yang memicu sekresi hormon anti diuretik, namun dapat juga melalui mekanisme pelepasan sitokin inflamasi yang secara langsung dapat meningkatkan sekresi hormone tersebut. Hal ini serupa dengan laporan kasus oleh Habib dkk yang melaporkan seorang penderita COVID-19 dengan presentasi hiponatremia simptomatik yang disebabkan oleh SIADH. Dan dalam kasus tersebut koreksi hiponatremia menggunakan NaCl 3% dan restriksi intake cairan sangat membantu perbaikan klinis penderita seperti halnya pada penderita dalam kasus ini.16,17 Gambar 3.7 Mekanisme SIADH pada COVID-19 17 Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 179
RINGKASAN Telah dilaporkan seorang laki-laki berusia 59 tahun yang datang ke unit gawat darurat dengan bradikardi simptomatik. Pemeriksaan skrining awal tes cepat antibodi SARS-CoV-2 menunjukkan hasil yang negatif namun temuan CT scan thoraks didapatkan gambaran pneumonia bilateral tipikal COVID-19 dan kemudian hasil tes swab pemeriksaan RT PCR mengkonfirmasi penderita positif untuk COVID- 19. Bradiaritmia pada penderita ini diperkirakan disebabkan terutama oleh ketidakseimbangan kadar elektrolit (hipokalemia dan hiponatremia) akibat proses patogenesis SARS-CoV-2 pada sistem renin angiotensin dan SIADH terkait pneumonia COVID-19. Selama perawatan penderita mengalami perbaikan kondisi klinis yang signifikan setelah dilakukan koreksi terhadap kadar elektrolit dan diperbolehkan rawat jalan setelah tes swab menunjukkan hasil yang negatif pada hari ke 30. Temuan kasus ini diharapkan dapat meningkatkan kewaspadaan klinisi terhadap berbagai macam presentasi dari COVID-19 pada sistem kardiovaskuler seperti bradikardi bahkan tanpa disertai adanya gejala gangguan pernapasan yang signifikan. DAFTAR PUSTAKA 1. Coronavirus cases. Worldometer. 2020. www.worldometers.info/coronavirus/ 2. Kasus virus corona di Indonesia.2020. www.covid19.go.id 3. Taqi et al. COVID-19 : Cardiac Arrhythmia. Heart (British Cardiac Society). May 2020 4. Bhatla et al. COVID-19 and Cardiac Arrhythmia. Heart Rhtyhm. 2020 5. Wang D et al. Clinical characteristics of 138 hospitalized patients with 2019 novel coronavirus infected pneumonia in Wuhan, China. JAMA. 2020;323:1061–1069 6. Amaratunge et al. Bradycardia in patients with COVID-19 : A calm Before the Storm?. Cureus 12(6): e8599. June 2020 7. Gheblawi et al. Angiotensin-Converting Enzyme 2: SARS- Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 180
CoV-2 Receptor and Regulator of Renin-Angiotensin System. Circulation Research. 2020;126:1457-1475 8. Chen, Dong et al. Assesment of Hypokalemia and Clinical Characteristic in Patients with Coronavirus Disease 2019 in Wenzhou, China. Jama Network Open, 2020;3(6):e2011122 9. Weiss, James et al. Electrophysiology of Hypokalemia and Hyperkalemia. Circ Arrhythm Electrophysiol. 2017;10:e004667 10. Kardalas, Efstration et al. Hypokalemia : a clinical update. Endocr Connect. 2018;7(4):R135-R146 11. Arnold, Ruth H. COVID-19 – Does This Disease Kill Due to Imbalance of the Renin Angiotensin System (RAS) Cause by Genetic and Gender Differences in the Response to Viral ACE 2 Attack?. Heart, Lung and Circulation. 2020 12. Berni, A et al. Hyponatremia, IL-6 and SARS-CoV-2 (COVID- 19) infection: may all fit together?. J Endocrinol Invest. 2020;25:1-3 13. Mouallem, M et al. Cardiac Conduction Defects Association with Hyponatremia. Clin Cardiol. 1991;14:165-168 14. Hoorns et al. Diagnosis and Treatment of Hyponatremia: Compilation of the Guidelines. JASN. 2017;28(5):1340-1349 15. Verbalis, Joseph et al. Diagnosis, Evaluation and Treatment of Hyponatremia : Expert Panel Recommendations. The American Journal of Medicine. 2013;07:006 16. Habib, Mhd et al. Acute symptomatic hyponatremia in setting of SIADH as an isolated presentation of COVID-19. IDCases 21. 2020:e00859 17. Yousaf, Zohaib et al. COVID-19 associated SIADH a clue in the times of pandemic. Am J Physiol Endocrinol Metab. 2020;318:E882-E885 Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 181
10 ST-elevation Myocardial Infarct (STEMI) pasca Coronary Artery Bypass Graft (CABG) pada Wanita 63 Tahun dengan Coronary Artery 3 Vessel Disease (CAD 3 VD) dan Diabetes Mellitus tipe 2 Levina Tri Ratana, Zaenab Djafar, Jayarasti Kusumanegara PENDAHULUAN Myocardial infarction (MI) tipe 5 adalah komplikasi pasca operasi yang dapat menurunkan kesintasan, meningkatkan angka morbiditas dan re-operasi, dan dapat memperpanjang lama rawat pasien pasca operasi coronary artery bypass graft (CABG). MI tipe 5 terjadi pada 2- 15% pasien pasca operasi jantung (Al-Attar,2011). Penegakkan diagnosis MI tipe 5 lebih sulit dibandingkan MI tipe lain, yang dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, gambaran EKG, dan peningkatan biomarka. Pada pasien pasca operasi, penilaian gejala iskemia dapat terganggu oleh nyeri pasca operasi, delirium, dan penggunaan analgesik. Selain itu, manipulasi perikardium dan miokardium selama operasi dapat menyebabkan perubahan EKG iskemia. Peningkatan biomarka adalah satu-satunya parameter yang dapat dipercaya dalam mendiagnosis MI tipe 5 (Al-Attar, 2011, Moussa et al., 2013). Namun, untuk MI tipe 5, ambang nilai tertentu sulit untuk ditentukan karena peningkatan troponin pasti terjadi pada setiap prosedur operasi jantung. Terdapat beberapa definisi yang berbeda mengenai MI tipe 5, masing-masing dengan ambang batas biomarka dan kriteria tambahan yang berbeda-beda (Thygesen et al., 2019, Garcia-Garcia et al., 2018, Moussa et al., 2013, Novack et al., 2012, Whitlock et al., 2015). Namun, nilai prognostik dari beberapa kriteria ini belum teruji secara klinis MI tipe 5 dapat disebabkan oleh kegagalan graft atau Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 182
oklusi baru pada arteri koroner native. Kegagalan graft dapat terjadi akibat trombosis, disfungsi endotel, vasospasme, dan stres oksidatif. Pada satu bulan pertama, kegagalan graft biasanya disebabkan oleh trombosis akut. Karakter morfologi dan fungsional dari graft, karakter arteri koroner target, seperti derajat stenosis, diameter, burden trombus, dan intervensi endovaskular sebelumnya, faktor teknis, seperti harvesting, protokol vasodilator, cairan yang digunakan untuk penyimpanan, dan teknik anastomosis, dan faktor risiko aterosklerotik sistemik, seperti umur, jenis kelamin, diabetes, hipertensi, dan dislipidemia juga berhubungan dengan kejadian kegagalan graft akut pasca operasi (Gaudino et al., 2017). Oklusi baru pada arteri koroner native dapat disebabkan oleh embolisasi distal pasca operasi dan kurangnya proteksi miokardium (Moussa et al., 2013). Kasus ini membahas mengenai seorang wanita 63 tahun yang dirawat dengan unstable angina pectoris (UAP) dan dilakukan urgent CABG sebagai usaha untuk mencapai revaskularisasi komplit. Pasien mengalami ST-elevation myocardial infarction (STEMI) 6 jam pasca CABG, dan dari gambaran EKG diperkirakan culprit artery adalah RCA. Dalam kasus ini, akan dibahas mengenai pemilihan teknik revaskularisasi pada pasien dengan multivessel disease, penilaian risiko pra operasi CABG, dan patofisiologi, penegakkan diagnosis, pencegahan, dan penanganan MI pada pasien pasca CABG. LAPORAN KASUS Pasien Ny. BP, wanita, tgl lahir 31 Desember 1955/63 tahun, RM: 534801, Alamat Wajo dengan keluhan utama nyeri dada yang dirasakan memberat sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit (VAS 7/10). Nyeri dada dirasakan seperti tertusuk, dirasakan di dada kiri, menjalar hingga ke lengan kiri, durasi >20 menit. Nyeri seperti ini sudah dirasakan sebelumnya hilang timbul sejak 2 tahun yang lalu. Pasien berobat tidak teratur di dokter spesialis penyakit dalam di Wajo. Pasien sudah 2 kali dirawat di CVCU PJT sebelumnya (April dan Mei 2019) dengan keluhan yang sama. Satu hari yang lalu, pasien merasakan nyeri semakin memberat setelah kurang istirahat. Nyeri dirasakan memberat dengan aktivitas. Nyeri tidak hilang dengan Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 183
istirahat maupun ISDN sublingual sebanyak 3 kali pemberian dengan jarak antar pemberian 10 menit. Pasien kemudian datang ke IGD PJT dan disarankan untuk dirawat inap di CVCU. Pasien telah dirawat 2 kali di CVCU PJT bulan April 2019 dan Mei 2019 dengan diagnosis unstable angina pectoris. Pasien telah menjalani kateterisasi jantung pada bulan April 2019, dikatakan terdapat sumbatan di 3 pembuluh darah dan disarankan untuk operasi bypass tetapi pasien masih belum setuju. Setelah itu, pasien merasakan nyeri dada hilang timbul yang dicetuskan oleh aktivitas yang hilang dengan istirahat atau minum ISDN di bawah lidah. Pasien menderita diabetes mellitus diketahui sejak 10 tahun yang lalu minum obat metformin dan glibenclamide. Sejak bulan April 2019 telah diganti menjadi insulin tetapi pasien tidak suntik teratur. Riwayat hipertensi ada diketahui sejak 5 tahun lalu tidak berobat teratur, riwayat merokok tidak ada, riwayat keluarga dengan penyakit jantung ada pada bapak. Pasien saat ini telah menopause sekitar 10 tahun. Saat ini pasien diberikan obat aspilet, clopidogrel, ISDN, glyceryl trinitrate, bisoprolol, insulin rapid acting 8-8-8 unit/subkutan, insulin long acting 10 unit/subkutan, tetapi pasien tidak minum obat teratur dan tidak menyuntik insulin teratur. Riwayat penyakit paru tidak ada. Riwayat infeksi telinga tidak ada. Riwayat infeksi gigi ada, gigi pasien telah seluruhnya dicabut dan menggunakan gigi palsu di seluruh gigi. Riwayat gangguan pembuluh darah pada kaki tidak ada. Dari pemeriksaan fisik ditemukan wanita dengan tinggi badan 155 cm dan berat badan 50 kg dengan keadaan umum tampak sakit sedang. Dari pemeriksaan fisik ditemukan tekanan darah 132/77 mmHg, denyut jantung: 80 kali/menit, laju nafas: 22 kali/menit, dan suhu tubuh 36.6 derajat Celsius di aksilla. Pada pasien konjungtiva tidak anemis, tidak ikterik, tekanan vena sentral R+1 cmH2O posisi 30 derajat, bunyi nafas vesikuler, rhonkhi wheezing tidak ada, bunyi jantung 1,2 murni regular, murmur tidak ada, peristaltik normal, hepar/lien tidak teraba, akral hangat, edema ekstremitas tidak ada. Pasien membawa hasil pemeriksaan angiografi koroner bulan April 2019 dengan laporan Left main : distal stenosis 70%, Medina 1-1-1 Left anterior descending : proksimal stenosis 80%, mid stenosis 90% Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 184
Left circumflex : distal total oklusi setelah OM1 Right coronary artery : osteal stenosis 90%, proximal stenosis 90%, mid stenosis 80%, distal stenosis 95% sebelum bifurkasio Syntax score 31 Kesimpulan : coronary artery 3 vessel disease + left main disease Saran : revaskularisasi Gambar 1. Hasil angiografi pasien Dari pemeriksaan laboratorium saat pasien masuk rumah sakit 1/7/2019 didapatkan hasil: Tabel 1. Hasil laboratorium pasien pada Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 185
saat awal masuk rumah sakit Tabel 1. Hasil laboratorium pasien pada saat awal masuk rumah sakit Rekaman EKG pada saat pasien masuk disimpulkan sebagai irama sinus 70 kali per menit, normoaksis, iskemia anterior ekstensif dan inferior, dan ST elevasi di avR. Gambar 2. Rekaman EKG pasien pada saat awal masuk rumah sakit Dari pemeriksaan foto thoraks ditemukan corakan bronkovaskular dalam batas normal, tidak tampak proses spesifik di kedua lapang paru, Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 186
cor kesan membesar dengan CTR 0.6, apeks tertanam sugestif pembesaran ventrikel kiri, dan kalsifikasi aorta. Gambar 3. Foto Thoraks pasien saat awal masuk rumah sakit Dari pemeriksaan ekokardiografi ditemukan fungsi sistolik ventrikel kiri dan ventrikel kanan baik, ejeksi fraksi 58.5%, TAPSE 2.0cm, hipertrofi ventrikel kiri konsentrik, regurgitasi mitral ringan, dan disfungsi diastolik ventrikel kiri derajat ringan. Gambar 4. Ekokardiografi pasien Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 187
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, pasien didiagnosis dengan unstable angina pectoris (GRACE score: 106, intermediate risk) subset prolonged angina at rest, coronary artery 3 vessel + left main disease, dan diabetes mellitus type 2 in critically ill. Pasien diterapi dengan natrium klorida 0.9% 500 cc/ 24 jam/ intravena, aspilet 80 mg/24 jam/oral, clopidogrel 75 mg/24 jam/oral, nitrogliserin 10 mcg/menit/syringepump uptitrasi, bisoprolol 2.5 mg/24 jam/oral, valsartan 80 mg/24 jam/oral, atorvastatin 40 mg/24 jam/oral, fondaparinux 2.5 mg/24 jam/subkutan. Pasien dikonsulkan ke bagian interna subdivisi endokrin dan metabolik dan didiagnosis dengan Diabetes mellitus type 2 in critically ill, dan diberikan terapi diet diabetes mellitus 1700 kkal/hari, insulin detemir 0-0-10 unit subkutan, insulin aspart 10-10-10 unit subkutan, dan direncanakan untuk periksa gula darah sewaktu premeal pagi, siang, malam dan periksa HbA1c dengan hasil 8.7. Pasien direncanakan untuk menjalani urgent coronary artery bypass graft jika pasien dan keluarga setuju. Saat di IGD pasien belum setuju untuk dilakukan operasi dan pasien dirawat inap di CVCU. Pada perawatan hari kedua, nitrogliserin diuptitrasi menjadi 20 mcg/min/syringepump, setelah dosis nitrogliserin dinaikkan, keluhan nyeri dada berkurang, lalu keesokan harinya dilakukan downtitrasi nitrogliserin dan dihentikan pada hari perawatan keempat. Malam hari keempat, setelah nitrogliserin dihentikan, pasien kembali mengeluhkan nyeri dada, dan diberikan terapi ISDN 5 mg sublingual sebanyak 2 tablet tetapi pasien masih mengeluhkan nyeri dada hilang timbul, sehingga pada hari kelima, pasien dan keluarga setuju untuk menjalani urgent CABG. Pasien dikonsulkan ke TS BTKV dan direncanakan untuk urgent CABG pada tanggal 11/7/2019. Oleh TS BTKV, terapi fondaparinux dihentikan dan diganti dengan heparin unfractionated 10.000 unit/24 jam/syringepump. Pasien dikonsulkan ke bagian gigi mulut, pulmonologi, dan THT untuk kelayakan operasi, dan tidak didapatkan kontraindikasi dari ketiga bagian tersebut untuk dilakukan operasi. Pasien dikonsulkan ke subdivisi vaskular, dan dilakukan echo Doppler vaskular dengan kesimpulan tidak tampak tanda chronic venous insufficiency ataupun deep vein thrombosis pada ekstremitas inferior dekstra et sinistra, tidak tampak peripheral artery disease pada ekstremitas inferior dextra et sinistra, tidak tampak tanda peripheral Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 188
artery disease pada ekstremitas inferior dekstra et sinistra, dengan diameter vena safena magna dekstra 2.5 mm dan vena safena magna sinistra 2.5 mm, arteri radialis kanan 2.6 mm, dan arteri radialis kiri 2.6 mm. Pasien juga dikonsulkan ke bagian rehabilitasi medik untuk persiapan rehabilitasi pra dan pasca operasi. Mulai hari keenam, hasil GDS premeal pasien mengalami peningkatan dengan hasil GDS pagi 170, GDS siang 239, dan GDS malam 289, sehingga dari bagian EMD insulin detemir dinaikkan menjadi 12 unit/24 jam/subkutan dan insulin aspart dinaikkan menjadi 14 unit/24 jam/subkutan. Keluhan nyeri dada membaik dan pasien tidak mengkonsumsi ISDN sublingual, sehingga terapi oral dari bagian kardiologi dilanjutkan. Heparin intravena dihentikan 6 jam sebeum operasi. Pasien menjalani operasi CABG pada tanggan 11/7/2019. Pasien posisi supine dalam general anesthesia, dilakukan asepsis dan antisepsis lapangan operasi dilanjutkan dengan draping steril. Insisi tungkai bawah kiri dan kanan dilanjutkan dengan preparasi vena safena magna, cabang-cabang vena safena magna diligasi, vena safena magna kiri kualitas baik, diameter 4 mm, vena safena magna kanan kualitas kurang baik, diameter 2 mm. Safenektomi dilakukan sampai pertengahan femoral, kemudian vena disimpan dalam larutan heparin. Luka operasi dijahit lapis demi lapis, kemudian ditutup perban steril dan elastis perban. Insisi kulit di atas sternum, perdalam hingga subkutis dan periosteum. Dilakukan sternotomi median dengan sternal saw. Rongga perikard dibuka dengan preservasi perikardium. Tampak jantung dalam irama sinus, ukuran jantung kesan membesar, kontraktilitas global baik. Diberikan heparinisasi sistemik, dilanjutkan dengan kanulasi aorta asendens dan atrium kanan untuk selanjutnya dihubungkan dengan heart lung machine. Setelah tercapai full bypass, dilakukan klem pada aorta asendens. Pemberian kardioplegia antegrade melalui kanul di aorta asendens. Jantung kemudian dalam keadaan asistol, dilakukan identifikasi koroner. RCA distal diameter 3 mm, kalsifikasi positif, anastomosis vena tungkai kanan ke RCA distal dengan Prolene 7/0, run off baik. Distal LCX kecil (ungraftable). Identifikasi LAD, diameter 3 mm, kalsifikasi positif, dilakukan anastomosis vena ke LAD dengan Prolene 7/0, run off baik. Jahit proksimal vena ke aorta asendens (central Kasus Klinik Kardiolog-1, 2020 | 189
anastomosis) dengan benang Prolene 6/0. Klem silang dilepas (Crossclamp time 72 menit) jantung dalam keadaan VT. Dilakukan defibrilasi, jantung kembali berdenyut sinus. Kontrol perdarahan dari anastomosis, cabut kanul kardioplegia, weaning off dari heart lung machine (bypass time 83 menit). Dekanulasi aorta dan vena. Kontrol perdarahan. Tampak perdarahan difus dari lubang tusukan jarum central anastomosis kesan karena vena kecil dan tipis sehingga diputuskan untuk memasang Beriplast. Pasang drain substernal, intraperikardial, intrapleura kanan. Sternum ditutup dengan wire. Luka operasi ditutup lapis demi lapis dengan perban steril. Pasien dikirim ke ICU dengan hemodinamik stabil, irama sinus, support dobutamine 5 mcg dan norepinefrin 0.05 mcg. Dilakukan echo hemodinamik pada saat pasien tiba di ICU dengan hasil LVOT VTI 8.8 cm, SV 28.9 mL, CO 3.06 L/menit, SVR 1281 dynes,TAPSE 0.89, dan eRAP 8mmHg. Dilakukan rontgen thoraks post CABG corakan bronkovaskular kedua paru dalam batas normal, tidak tampak proses spesifik, cor kesan membesar, aorta dilatasi dan kalsifikasi, kedua sinus dan diafragma baik, terpasang multiple wire pada midline kesan pada sternum, dengan kesimpulan: cardiomegaly dengan dilatatio et atherosclerosis aorta, pulmo normal, dan terpasang multiple wire pada midline kesan pada sternum. Lima jam setelah selesai operasi (mulai pukul 19.50), tekanan darah pasien semakin menurun walaupun dosis inotropik dan vasopressor terus diuptitrasi. Dilakukan EKG dengan hasil sebagai berikut Gambar 5. EKG pasien pada 11/7/2019, 20.00 Kasus Klinik Kardiologi-1, 2020 | 190
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164
- 165
- 166
- 167
- 168
- 169
- 170
- 171
- 172
- 173
- 174
- 175
- 176
- 177
- 178
- 179
- 180
- 181
- 182
- 183
- 184
- 185
- 186
- 187
- 188
- 189
- 190
- 191
- 192
- 193
- 194
- 195
- 196
- 197
- 198
- 199
- 200
- 201
- 202
- 203
- 204
- 205
- 206
- 207
- 208
- 209
- 210
- 211
- 212
- 213
- 214
- 215
- 216
- 217
- 218
- 219
- 220
- 221
- 222
- 223
- 224
- 225
- 226
- 227
- 228
- 229
- 230
- 231
- 232
- 233
- 234
- 235
- 236
- 237
- 238
- 239
- 240
- 241
- 242
- 243
- 244
- 245
- 246
- 247
- 248
- 249
- 250
- 251
- 252
- 253
- 254
- 255
- 256
- 257
- 258
- 259
- 260
- 261
- 262
- 263
- 264
- 265
- 266
- 267
- 268
- 269
- 270
- 271
- 272
- 273
- 274
- 275
- 276
- 277
- 278
- 279
- 280
- 281
- 282
- 283
- 284
- 285
- 286
- 287
- 288
- 289
- 290
- 291
- 292
- 293
- 294
- 295
- 296
- 297
- 298
- 299
- 300
- 301
- 302
- 303
- 304
- 305
- 306
- 307
- 308
- 309
- 310
- 311
- 312
- 313
- 314
- 315
- 316
- 317
- 318