BAGIAN-I, Memahami Masalah 1
GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial 2
BAGIAN-I, Memahami Masalah GAMANG LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM MENGHADAPI PERUBAHAN SOSIAL PENYUNTING: AHMAD MAHMUDI TOTO RAHARDJO ROEM TOPATIMASANG 3
GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial PERPUSTAKAAN NASIONAL INDONESIA Katalog Dalam Terbitan (KDT) GAMANG: Lembaga Pendidikan Islam Menghadapi Perubahan Sosial; DIKTI Islam, Jakarta, 2008. Penulis: Abdullah Faishol (STAIN Surakarta); Maghfur Ahmad (STAIN Pekalongan); Yakin Nurul Haq & Abdul Kholiq (STAIDRA Lamongan); Agus Affandi (IAIN Sunan Ampel Surabaya); Wawan Djunaedi & Iklilah Muzayyanah (STAINU Jakarta); Tatang Astaruddin & Dudang Ghozali (UIN Bandung); Abdul Mun’im Saleh (STAIN Ponorogo); Iza Hanifuddin (STAIN Batusangkar); Baso Marannu (UIMakassar); Muhammad Dian Nafi’ (UNU Surakarta); Sulhani Hermawan (STAIN Surakarta). Penyunting: Ahmad Mahmudi, Toto Rahardjo, Roem Topatimasang SERI PENERBITAN HASIL PENELITIAN AKSI PARTISIPATIF Dewan Redaksi: Mohammad Ali, Mundzir Suparta, Abdurrahman Mas’ud Arief Furqan, Affandi Mochtar, Muharam Marzuki, Syafiuddin ISBN 978-979-8442-06-3 17 x 24 cm, 310 halaman 1 Pendidikan 2 Islam 3 Perubahan Sosial I Judul ©DIKTI Islam Cetakan pertama, Juni 2008 Rancang sampul & kompugrafi: Rumah Pakem Peta-peta & grafik: Beta Pettawaranie Gambar-gambar: Donald Bason Diterbitkan sebagai bagian dari kerjasama antara Direktorat Pendidikan Tinggi Agama Islam Negeri (DIKTI Islam), Deprtemen Agama Republik Indonesia, Jakarta, dengan Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan (LPTP), Solo. ABCD0987654321 Dicetak oleh: INSISTPrinting Jalan Ganesha II/09, Timoho, Umbulharjo Yogyakarta 55281, Indonesia Tel/Fax.+62 274 556433 Email: press@insist.or.id Website: www.insist.or.id 4
BAGIAN-I, Memahami Masalah buku ini dedikasikan kepada almarhum Prof. H. Ahmad Qodri A. Azizy, Ph.D; mantan Direktur Jenderal Kelembagaan Agama Islam, Departemen Agama Republik Indonesia, 2002-2005. Buku ini sebagai penghargaan atas gagasan-gagasannya yang pertama kali di lingkungan Departemen Agama untuk pemberdayaan madrasah dan pesantren melalui pendekatan riset aksi partisipatif, yang lebih membumi dan manusiawi. almarhum Dr. Mansour Faqih; mantan Kordinator Program Perhimpunan Pengembangan Pesantren & Masyarakat (P3M), 1985-1987; Direktur INSIST (Indonesian Society for Social Transformation), 1996-2004; dan anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM), 2001-2004. Buku ini sebagai penghormatan kepada prakarsanya memperkenalkan metodologi PAR dan pendidikan kerakyatan ke lingkungan pesantren dan perguruan tinggi Islam di Indonesia. 5
GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial 6
BAGIAN-I, Memahami Masalah DEPARTEMEN AGAMA RI DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN ISLAM Jalan Lapangan Banteng Barat No.3–4, Jakarta. Telpon: 3812344, 3812642, 3811654, 3812216, 3812679, 3811214 Website: www.ditpertais.net dan www.bagais.go.id SAMBUTAN Sebagaimana tercermin dalam Tri Dharma, perguruan tinggi memiliki tiga pilar yang tak terpisahkan, yakni pendidikan, penelitian, dan peng- abdian kepada masyarakat. Ibarat sebuah rumah, tiga pilar ini berdiri sa- ma tegak dan memiliki fungsi yang saling berkait. Jika pincang salah sa- tunya saja, maka rumah itu akan roboh, minimal doyong yang akan mem- bahayakan penghuninya, civitas akademika. Artinya, jika ada satu pilar yang hilang dari Tri Dharma itu, maka suatu penyelenggaraan pendidikan tidak bisa disebut perguruan tinggi atau lembaga pendidikan tinggi. Begi- tu juga, jika misalnya salah satu pilar diabaikan dan ‘mati suri’, maka perguruan tinggi itu tidak bisa disebut normal dan sempurna. Adapun keterkaitan Tri Dharma dapat dijelaskan sebagai berikut. Materi pendidikan yang diajarkan di perguruan tinggi seharusnya adalah hasil dari riset dosen yang bersangkutan atas bidang ilmu yang menjadi kompe- tensinya. Penelitian yang dilakukan dosen harus bermanfaat dan dapat digunakan untuk memperkaya bahan perkuliahan dan ditindaklanjuti dengan kegiatan pengabdian kepada masyarakat. Sementara kegiatan ke- pada masyarakat yang dilakukan dosen seharusnya berbasis riset dan hasil refleksi atas pendidikan yang dilakukannya bersama mahasiswa di kelas. Jika semua dharma ini berjalan secara sinergis dan simultan, maka pergu- ruan tinggi jelas bukan ‘menara gading.’ Dosen dan mahasiswa yang men- jadi civitas akademika juga bukan pengkhotbah ‘kebenaran’ yang bersila di atas menara itu, tanpa melihat bumi. Mereka akan turun bersama ma- syarakat untuk menjelaskan dan mewujudkan ‘kebenaran.’ Dosen dan 7
GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial mahasiswa juga bukan ‘mesin’ yang bekerja secara mekanik dan anti peru- bahan. Kegiatan pembelajaran akademis dan aksi-aksi sosial dosen atau mahasiswa harus didasarkan pada hasil riset ilmiah yang serius, bukan atas dasar kepentingan-kepentingan non-akademis. Ini artinya teori, prak- tik, dan transformasi sosial tidak bisa dipisahkan sebagai bagian dari rit- me gerak perguruan tinggi. Dalam konteks ini, moto ‘ilmu amaliah, amal ilmiah, dan amal shalih’ atau ‘pikir, dzikir, dan amal shalih’ relevan dile- katkan pada Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI). Atas dasar ini, maka ukuran mutu suatu perguruan tinggi tidak semata- mata dilihat pada mutu lulusan yang dihasilkan, tetapi juga sejauhmana perguruan tinggi berhasil memberikan sumbangan terhadap pengem- bangan ilmu pengetahuan, menjawab problem-problem dasar kemanu- siaan yang dihadapi masyarakat, dan sejauhmana perguruan tinggi mam- pu menciptakan perubahan sosial dalam bidang keilmuan yang menjadi mandatnya. Ukuran ini penting diperhatikan karena fungsi pendidikan tinggi tidak semata-mata menyelenggarakan pendidikan yang menghasil- kan lulusan, tetapi juga mengelola penelitian yang menghasilkan temuan- temuan ilmiah teoritis dan praktis, serta mengelola program pengabdian sebagai bentuk tanggungjawab sosial kepada masyarakat. Di antara ikhtiar untuk memberikan sumbangan terhadap pengembang- an ilmu pengetahuan dan menjawab problem-problem dasar kemanu- siaan yang dihadapi masyarakat adalah menerbitkan dan mempubli- kasikan hasil penelitian yang dilakukan dosen Perguruan Tinggi Agama Islam agar dapat dibaca secara luas oleh publik. Selain hasil penelitian, refleksi yang mendalam (teorisasi) atas praktik pendidikan dan aksi peng- abdian kepada masyarakat juga penting diterbitkan dan dipublikasikan secara luas, selain sebagai dokumen ilmiah yang penting, juga bisa dita- warkan kepada publik sebagai model pendidikan dan pemberdayaan yang bisa diterapkan di tempat lain. Atas dasar pemikiran ini, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Departe- men Agama sangat mendukung program penerbitan dan publikasi ilmiah dan menyambut hangat atas terbitnya tiga buku yang dikelola Direktorat 8
BAGIAN-I, MPeemngaahnatmari PMeansearlbaiht Pendidikan Tinggi Islam. Tiga buku itu adalah dua buku hasil penelitian kompetitif yang dibiayai oleh Direktorat Jenderal, yakni Post-Tradisionalis- me Islam: Wacana Intelektualisme dalam Komunitas NU karya Dr. Rumadi, dosen Fakultas Syari’ah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Nalar Islam Nusantara: Studi Ala Muhammadiyah, Al Irsyad, Persis, dan NU karya kolektif dosen IAIN Walisongo Semarang, M. Mukhsin Jamil, Musahadi, Choirul Anwar, dan Abdul Kholiq. Dua buku ini penting untuk pengembangan studi pemikiran dan kelembagaan Islam Indonesia, suatu varian Islam terbesar di dunia, yang seharusnya menjadi perhatian PTAI. Banyak pemi- kiran keislaman dan refleksi gerakan Islam yang toleran, humanis, dan responsif atas modernitas dari Indonesia yang bisa ditawarkan kepada intelektualisme dunia. Sayangnya, studi ini masih belum populer di ka- langan Perguruan Tinggi Agama Islam sendiri. Buku yang ketiga, yang anda pegang dan baca sekarang, bertajuk ‘Gamang: Lembaga Pendidikan Islam Menghadapi Perubahan Sosial’, adalah bunga rampai hasil penelitian aksi partisipatoris (participatory action research) yang dilakukan dosen Perguruan Tinggi Agama Islam atas biaya dari Di- rektorat Jenderal Pendidikan Islam, selama empat tahun sejak 2003-2007. Buku ini mengambil empat fokus riset sebagai dampingan Perguruan Tinggi Agama Islam, yakni madrasah, pe-santren, masjid, dan komunitas sosial yang terpinggirkan. Ada banyak hal menarik yang bisa dipetik dari buku ini, baik sebagai hasil riset maupun sekaligus pemberdayaan, ter- utama penjelasan transformasi yang terjadi pada setiap komunitas itu ketika berhadapan dengan situasi sosial, politik, dan kebudayaan yang terus berubah dari suatu waktu ke waktu lain hingga sekarang. Selain penyajian buku ini yang menarik, juga model riset aksi partisipa- toris ini sesuai dengan prinsip integrasi teori, paktik, dan transformasi sosial atau ilmu amaliyah, amal ilmiah, dan amal shalih. Riset ini juga mendorong civitas akademika tidak saja berselancar dengan teori-teori, menggali sedalam-dalamnya pengetahuan baru yang bersifat lokal, me- nyadarkan dan membebaskan komunitas sosial yang diteliti dari keter- kungkungannya, tetapi juga menuntut tanggungjawab sosial civitas aka- 9
GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial demika untuk mengantarkan komunitas ini menuju keberdayaan, keadil- an, dan kemaslahatan hidupnya melalui transformasi sosial yang dilaku- kan komunitas itu sendiri. Sungguh, ini sesuatu yang menarik dan tepat bagi pendidikan tinggi kita. Oleh karena itu, kami berharap Perguruan Tinggi Agama Islam bisa me- ngembangkan metodologi ini sebagai bagian dari inovasi, dan diterapkan secara kreatif, baik dalam konteks program penelitian, pengabdian kepada masyarakat, maupun pendidikan di kelas dan di luar kelas. Tiga dharma ini memungkinkan didekati dengan metodologi apa saja yang sesuai un- tuk mencapai visi dan misi pendidikan tinggi yang bersangkutan. Melalui pengantar ini, kami menyampaikan apresiasi yang setinggi-ting- ginya kepada semua pihak yang turut membantu, berpartisipasi, dan ter- libat dalam setiap langkah proses penerbitan dan publikasi ilmiah yang sangat berarti ini. Semoga amal baik ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, peradaban, dan kemanusiaan. Selamat membaca. Jakarta, 30 Desember 2007 Direktur Jenderal, Prof. Dr. H. Mohammad Ali, MA NIP. 130809424 10
BAGIAN-I, Memahami Masalah Mengapa PAR hadir di PTAI? Buku ini bukan sekadar buku. Isinya bukan sekadar tulisan yang dapat dibaca, tetapi juga kenyataan yang terwujud dalam gerak perubahan pada beberapa komunitas yang ditulis. Penulisnya tidak saja mencatat, tetapi juga berbuat bersama komunitas yang dicatat. Oleh karena itu, buku ini bukan sekadar laporan penelitian, tetapi juga rekaman nyata praksis gerakan pemberdayaan madrasah, pesantren, masjid, dan komunitas sosial yang didampingi oleh sejumlah dosen Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) melalui metodologi participatory action research (PAR)—riset aksi partisipatoris. Berbicara PAR di PTAI yang dimotori oleh Departemen Agama RI, khususnya Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, saya jadi teringat pernyataan Kang Moeslim Abdurrahman ketika sidang tim penilai proposal penelitian kompetitif tahun 2006, “Ketemu pirang perkoro DEPAG mendanai penelitian PAR, kok iso?” Kang Moeslim tampak kaget, karena PAR yang selama ini akrab dan selalu digunakan oleh aktivis organisasi non-pemerintah (ORNOP), kok sekarang menjadi kebijakan pemerintah, bahkan pemerintah sendiri memfasilitasi pelatihan-pelatihannya dan mendanai pelaksanaan PAR di sejumlah UIN, IAIN, STAIN, dan PTAIS. “Apa ini tidak terbalik? Apa zaman ini sudah berubah?” komentarnya. Akan tetapi, di akhir pembicaraan Kang Moeslim memuji bahwa ini adalah perubahan radikal di dunia birokrasi dan dunia akademik pendidikan tinggi Islam. Sayang sekali, saya tidak memperoleh penjelasan lanjut dari Kang Moeslim kenapa dia menyebut perubahan radikal akibat PAR. PAR sebagai metodologi riset yang berorientasi pada transformasi sosial dan pembebasan masyarakat dari ketertindasan dan keterbelengguannya, memang merupakan keseluruhan kritik atas positivisme, dan peran intelektual yang hanya berkhutbah kebenaran dari puncak menara gading. Ini sangat bertolak belakang dengan kenyataan dominan keilmuan yang berkembang di perguruan tinggi dan ideologi pembangunan yang dianut oleh pemerintah hingga 11
GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial sekarang, yang sangat positivistik. Selain itu, PAR juga tidak memisahkan antara teori, praktik, dan transformasi sosial, serta komitmen untuk membangun ilmu pengetahuan rakyat (people knowledge) yang berbasis lokalitas, suatu cara strategis untuk lepas dari ketergantungan global. Melalui pengantar ini, saya ingin bercerita mengapa PAR menjadi pilihan (alternatif) metodologis bagi penelitian dan pengabdian kepada masyarakat di perguruan tinggi Islam. Awalnya sederhana saja, dalam evaluasi pertama kali saya bergabung dengan Direktorat Pendidikan Tinggi Islam—dulu bernama Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam—sebagai kepala seksi penelitian dan publikasi ilmiah pada tahun 2002, ternyata sebagian besar hasil penelitian di PTAI hanya dinikmati dan menguntungkan peneliti dan kalangan terdidik saja. Jika tidak menjadi hiasan perpustakaan, hasil penelitian pada umumnya dijadikan bahan pembelajaran atau diterbitkan dalam jurnal ilmiah atau buku. Semua ini hanya dapat dinikmati dan bermanfaat bagi kalangan terdidik belaka. Bahwa ada hasil penelitian yang berhasil mempengaruhi kebijakan publik dan memiliki implikasi kepada masyarakat, tetapi hal itu sangat sedikit. Dalam kenyataannya, masyarakat miskin, masyarakat pinggiran, dan komunitas unik yang menjadi obyek penelitian tidak memperoleh manfaat dan timbal balik yang konstruktif dari hasil penelitian itu, kecuali pengalaman, pandangan, pendapat, dan pengetahuan yang mereka miliki terus menerus ‘dieksploitasi’ untuk kepentingan kesempurnaan penelitian kaum terdidik itu. Posisi mereka tidak pernah berubah, bahkan acap kali memperoleh stigma dan disudutkan, meski penelitian ratusan kali dilakukan di tempat dan berkaitan dengan mereka. Walhasil, penelitian hanyalah kepentingan dari oleh dan untuk peneliti sendiri, sementara masyarakat hanya dijadikan obyek (maf’ul) yang terus dieksploitasi dan dieksplorasi. Noktah evaluasi-2002 lain yang saya catat adalah hampir semua program pengabdian kepada masyarakat (aksi sosial) perguruan tinggi 12
BAGIAN-I, MPenmgaahnatamriPMeansearlbaiht tidak didasarkan pada hasil penelitian atau tidak ada penelitian pendahuluan (preliminary research) untuk program aksi sosial, baik yang dilaksanakan dosen secara individual maupun secara kolektif kelembagaan perguruan tinggi. Artinya, penelitian dengan pengabdian kepada masyarakat, dua pilar perguruan tinggi yang semestinya berkaitan, dalam kenyataannya terpisah sama sekali, mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi. Demikian juga hubungan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat dengan pendidikan, tiga dharma ini tak berkait sama sekali. Pendidikan didesain sesuai dengan keinginan dan pikiran perancangnya, penelitian dilakukan sesuai dengan tawaran agenda orang lain, sementara pengabdian kepada masyarakat dilakukan karena tuntutan sosial yang mendesak, yang seringkali bersifat karitatif dan developmentalistik. Inilah ironi pendidikan tinggi yang terus berlangsung. Ternyata dua noktah evaluasi penelitian dan pengabdian kepada masyarakat ini selaras dengan pokok-pokok kebijakan Direktur Jenderal Kelembagaan Agama Islam saat itu, Almaghfurlah Prof. Dr. HA. Qodri A Azizy, yang selalu mendorong agar penelitian di UIN, IAIN, STAIN, dan PTAIS tidak lagi ngawang-ngawang (melangit), tetapi membumi, menjawab kenyataan sosial, dan mampu mengubahnya menjadi lebih baik. Selain itu, Pak Qodri juga memiliki program agar dosen PTAI turut melakukan pemberdayaan terhadap madrasah dan pesantren, dua institusi pendidikan Islam yang berjumlah sangat banyak di nusantara, tetapi kualitasnya tidak lebih baik ketimbang pendidikan umum. Atas kebijakan Dirjen inilah, pada tahun 2003, Direktur Perguruan Tinggi Agama Islam saat itu, Prof. Dr. H. Arief Furqan, merancang program pemberdayaan mutu madrasah dan pesantren dampingan PTAI melalui dana BOMM (Bantuan Operasional Manajemen Mutu) PTAI. Kebetulan, untuk pertama kalinya saya ditunjuk sebagai pimpinan bagian proyek, semacam manajer program, BOMM PTAI itu. Pak Arief sangat respek dan memiliki perhatian yang sangat besar 13
GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial terhadap program pemberdayaan ini. Karena, menurutnya, inilah cara lain yang strategis untuk meningkatkan mutu lulusan PTAI, melalui perbaikan inputs mahasiswa PTAI yang tiada lain adalah lulusan madrasah dan pesantren. Muncul pertanyaan penting: setelah gagasan bulat, program jelas, dana tersedia, dan problem penelitian dan pengabdian kepada masyarakat gamblang, lalu apa solusi yang tepat untuk mengatasi keterasingan keilmuan dengan realitas sosial, keperpisahan pendidikan dengan penelitian, dan kesenjangan penelitian dengan problem sosial yang dihadapi masyarakat. Inilah kegelisahan metodologis yang terus megusik pikiran saya. Tanpa menunggu waktu terlalu lama, pada tahun 2003, saya berdiskusi dengan Mas Helmi Ali, aktivis dan seniorku di PP LAKPESDAM-NU, untuk merancang kegiatan Workshop Pemberdayaan dan Pengorganisasian Masyarakat Partisipatif untuk Dosen PTAI se-Indonesia di Semarang. Dalam rangka pencarian fasilitator dan narasumber kegiatan ini, saya dikenalkan dengan Mas Ahmad Mahmudi dari LPTP Solo. Dia adalah aktivis senior ORNOP dan pegiat penelitian PAR di berbagai pelosok nusantara. Melalui diskusi bertiga, disepakatilah PAR (Participatory Action Research) sebagai metodologi riset untuk pemberdayaan madrasah dan pesantren yang telah kita rancang. PAR dinilai sangat tepat, karena metodologi ini tidak memisahkan— bahkan mengharuskan adanya keterkaitan—antara penelitian kritis, pendidikan orang dewasa, dan aksi sosial sekaligus dalam satu ritme gerakan perubahan sosial. Artinya, PAR tidak memisahkan antara teori, praktik, dan transformasi sosial. PAR juga meniscayakan keterlibatan penuh komunitas sosial sebagai subyek dalam penelitian yang dilaksanakan. Masyarakat tidak lagi menjadi obyek yang terus dieksploitasi, tetapi bersama-sama peneliti malah harus berdaya, terbebas dari ketertindasan dan keterkungkungan sistem dan struktur yang melilitnya. Selain perubahan sosial (social transformation) yang dituju dalam PAR, juga membangun ilmu pengetahuan sosial lokal 14
BAGIAN-I, MPeemnaghaanmtairMPaesnaelrabhit adalah komitmen yang tak terpisahkan. PAR sangat membumi, populis, partisipatif, dan menjawab kebutuhan nyata masyarakat, baik pada tataran praktis, strategis, maupun intelektual. Sejak inilah, setiap tahunnya, Direktorat Pendidikan Tinggi Islam terus mengembangkan secara intensif metodologi PAR melalui pelatihan- pelatihan yang diselenggarakan untuk dosen PTAI, pemberian bantuan dana (grant for research), pemantauan dan evaluasi, serta publikasi hasil PAR. Melalui bantuan dan dukungan banyak pihak, terutama senior saya di ORNOP, PAR kini telah menjadi agenda bersama (common agenda) PTAI se-Indonesia. PAR tidak saja telah digunakan untuk kegiatan penelitian dan program pemberdayaan madrasah, pesantren—yang kini bertambah menjadi—masjid, dan komunitas sosial, tetapi juga telah digunakan secara kreatif oleh sejumlah PTAI untuk mengubah pelaksanaan KKN (Kuliah Kerja Nyata) mahasiswa PTAI. Telah beberapa kali, melalui fasilitasi Direktorat, lembaga- lembaga penelitian, pengkajian, dan pengabdian masyarakat (LPM, P2M, P3M) PTAI berkumpul merumuskan dan berbagi (sharing) pengalaman mereka dalam melaksanakan KKN berbasis PAR, dan sejumlah kegiatan pengabdian kepada masyarakat yang menggunakan metodologi PAR. Lebih dari itu, PAR kini telah dijadikan sebagai mata kuliah yang diajarkan kepada mahasiswa di sejumlah PTAI. Bahkan, IAIN Sunan Ampel Surabaya sejak tahun 2006 telah mendirikan Kantor PAR, sejajar dengan Kantor Penjamin Mutu, yang tugas utamanya adalah merancang, mengembangkan konsep, melaksanakan kegiatan, dan mengumpulkan bahan-bahan kepustakaan serta hasil-hasil PAR di IAIN Sunan Ampel Surabaya. Di luar publikasi hasil PAR yang dilakukan oleh PTAI masing-masing, setelah empat tahun berjalan, sejak tahun 2003-2007, Direktorat Pendidikan Tinggi Islam berprakarsa memilih, menyunting, dan akhirnya menerbitkan sejumlah laporan hasil PAR tersebut atas biaya Direktorat. Buku yang sekarang dalam genggaman tangan pembaca 15
GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial adalah publikasi yang dimaksud. Proses penyusunan dan penyuntingan buku ini cukup lama, sejak Juli 2007 hingga Mei 2008. Lamanya proses ini karena tim penyunting harus melakukan ‘bongkar-pasang’ tulisan dan data lapangan yang disajikan tim peneliti serta melakukan penyelarasan konseptual antara satu fokus program PAR dengan fokus program yang lain, sehingga menjadi kesatuan yang utuh sebagai satu ritme gerakan sosial pendidikan Islam dalam perkembangan sosial yang terus berubah. Oleh karena itu, meski ditulis oleh banyak orang dan pada tempat yang berbeda-beda, penyajian materi dalam buku ini tampak sinergis dan berada dalam lanskap yang sama, yakni perubahan sosial. Atas terbitnya buku ini, Direktorat Pendidikan Tinggi Islam Departemen Agama RI menyampaikan penghargaan yang tinggi dan terima kasih yang luar biasa atas komitmen dan kesungguhan tim penyunting buku ini, yakni Ahmad Mahmudi, Roem Topatimasang, dan Toto Rahardjo (ketiganya dari INSIST Yogyakarta). Meski mereka bukan dari genealogi PTAI, tetapi mereka memiliki komitmen yang luar biasa dan tampak ada benang ikatan batin dan jalinan ideologis yang sama dengan kami, karena mengusung perubahan sosial yang diusahakan secara partisipatif. Selain sebagai tim penyunting buku ini, mereka juga sering kami minta menjadi narasumber atau fasilitator dalam pelatihan PAR yang kami selenggarakan. Semoga Allah membalas lebih baik atas jasa dan kesungguhan mereka. Terima kasih yang sama juga kami sampaikan kepada seluruh penulis yang rela menuliskan pengalaman, pandangan, dan analisisnya atas penelitian dan pemberdayaan yang dilakukan. Para penulis ini adalah dosen-dosen PTAI yang pada dasarnya juga adalah peneliti PAR. Tulisan-tulisan yang tersaji dalam buku ini sangat beragam, ada tulisan hasil PAR yang sudah dilaksanakan selama 4 tahun --misalnya, tulisan mengenai pemberdayaan MA Nahdlatul Ulama di Gondang, Sragen, oleh UNU Surakarta-- dan ada juga tulisan hasil PAR yang sudah dilaksanakan selam 3 tahun --seperti tulisan tentang pemberdayaan 16
BAGIAN-I, MPeemnaghaanmtair MPeansaelrabhit masyarakat nelayan Kranji, Lamongan, oleh STAIDRA Lamongan. Ada juga tulisan hasil PAR yang baru dilaksanakan selama 2 tahun --seperti tulisan tentang pemberdayaan masyarakat Karangjompo, Pekalongan, oleh STAIN Pekalongan-- dan ada pula tulisan hasil PAR yang baru dilaksanakan selama 1 tahun --seperti tulisan tentang pemberdayaan komunitas pemulung di Pondok Labu, Jakarta Selatan, oleh STAINU Jakarta. Keragaman lamanya penelitian di setiap komunitas ini mungkin juga berpengaruh pada kedalaman data yang diperoleh. Sekaligus melalui pengantar ini, kami juga ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang tiada tara kepada Helmi Ali (Rahima, Jakarta), Yahya Ma’shum (PKBI, Jakarta), Ahmad Suaedy (the Wahid Institute, Jakarta), Rahadi (LPTP Solo), Lies Marcoes-Natsir (The Asia Foundation, Jakarta), Lilis Nurul Husna (PP LAKPESDAM- NU, Jakarta), Enceng Sobirin Najmuddin (LP3ES, Jakarta), Abdul Mun’im Dz (NU Online PBNU, Jakarta), Mufid A.Busyairi ( Anggota DPR-RI, Jakarta), Otong Abdurrahman (LKKNU, Jakarta), dan Ellyasa KH Dharwis (Jakarta). Mereka inilah tim ahli dan penilai proposal pemberdayaan berbasis PAR yang kami selenggarakan setiap tahunnya. Bahkan, di antara mereka juga sering menjadi narasumber atau fasilitator dalam pelatihan PAR yang kami selenggarakan. Semoga Allah membalas mereka dengan balasan yang luhur. Selamat membaca! Arjawinangun, Cirebon, 25 Mei 2008. Marzuki Wahid Kepala Seksi Penelitian Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Departemen Agama RI. 17
GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial 18
BAGIAN-I, Memahami Masalah daftar isi GAMANG Pengantar Penyunting h. 23-38 BAGIAN PERTAMA: MEMAHAMI MASALAH 1 PETANI, PESANTREN, PERUSAHAAN, NEGARA Perebutan Sumberdaya Air & Proses-proses Pendidikan Rakyat di Sumberejo Abdullah Faishol h. 41-62 2 MEREBUT HAK HIDUP SEHAT Pencemaran Lingkungan & Gugatan Tanggungjawab Negara di Karangjompo Maghfur Ahmad h. 63-98 3 BADAI di LAUT, PRAHARA di DARAT Buruh Nelayan, Elit Lokal & Industrialisasi di Kranji Yakin Nurul Haq & Abdul Kholiq h. 99-120 4 BELAJAR MENGHADAPI PERUBAHAN Industrialisasi, Pesantren & Perempuan Pedesaan di Madura Agus Affandi h. 121-154 5 PENDIDIKAN SEBAGAI PENGUKUHAN JATI-DIRI Pergulatan Internal & Relasi Kuasa di Komunitas Pemulung Pondok Labu Wawan Djunaedi & Iklilah Muzayyanah h. 155-170 6 NAFSU NYEDEK, TANAGA MIDEK Pesantren di Kawasan Pelacuran Saritem Tatang Astarudin & Dudang Ghozali h. 171-193 19
GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial BAGIAN KEDUA: MENCOBA BERBUAT 7 SEKOLAH PETANI Menghidupkan Kembali Fungsi Sosial Masjid Dusun Paculgowang Abdul Mun’im Saleh h. 197-222 8 KEMBALINYA SURAU KAMI Masjid Raya Lantai Batu Menanggapi Kebijakan Otonomi Daerah Iza Hafinuddin h. 223-236 9 MENCOBA MENGUBAH SEJARAH Program Pemberdayaan Ekonomi Ummat Masjid Tua Bontonmpo Yakin Nurul Haq & Abdul Kholiq h. 237-252 10 UNGGUL ATAU ANGGUN? Madrasah Aliyah Gondang Menolak Elitisme Pendidikan Muhammad Dian Nafi’ h. 253-278 11 MENATA KEMBALI RUANG KEHIDUPAN Kerja Tanggap-Darurat STAIN Surakarta di Daerah Bencana Sulehan Hermawan h.279-310 20
BAGIAN-I, Memahami Masalah DAFTAR TABEL, PETA, BAGAN & GRAFIK TABEL-1.1 Hasil perhitungan debit air pengairan sawah Dusun Sumberejo dan sekitarnya oleh petani setempat, 7 September 2006 h. 54 TABEL-2.1 Industri batik di Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, 2005 h.64 TABEL-2.2 Kandungan zat-zat kimia dalam ‘obat batik’ yang digunakan oleh industri batik di Karangjompo, Pekalongan, Juni 2006 h.73 TABEL-2.3 Kandungan zat-zat kimia dalam contoh air dari saluran pengairan di Karangjompo, Pekalongan, Juni 2006 h.75 TABEL-2.4 Kandungan zat-zat kimia dalam contoh air dari sumur-sumur warga di Karangjompo, Pekalongan, Juni 2006 h.76 TABEL-2.5 Kebutuhan air bersih dan kerugian ekonomis warga akibat pencemaran di Karangjompo, Pekalongan h.81 TABEL-2.6 Jenis penyakit umum yang diderita warga Karangjompo, POekalongan h.82 TABEL-2.7 Kerugian ekonomis akibat penyakit warga Kabupaten Pekalongan, h.82 TABEL-4.1 Kalender harianwarga Kampung Langgar, Bangkalan, Madura h.139 TABEL-11.1 Keputusan Rembug Warga Dukuh tetang Pengelolaan Peralatan Pertanian Koperasi Warga h.306-307 PETA-1.1 Letak Desa Sumberejo, Tloso, Karanganom, Klaten, Jawa Tengah h.46 PETA-1.2 Denah rumah-rumah & pemilikan lahan pekarangan Dusun Sumberejo, Tloso, Karanganom, Klaten, Jawa Tengah h.48 PETA-1.3 Lokasi sumber air alam yang telah dieksplorasi sebagai air dalam kemasan di seluruh Indonesia h.50 PETA-1.4 Jaringan pengairan & titik-titik kebocoran serta pendangkalannya di Dusun Sumberejo & sekitarnya h.52 PETA-2.1 Sebaran industri batik di Kabupaten Pekalongan h.64 21
GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial PETA-2.2 Sebaran industri batik & aliran saluran pengairan serta pembuangan limbah di Desa Karangjompo, Pekalongan h.66 PETA-3.1 Letak Desa Kranji, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur h.100 PETA-4.1 Letak Kampung Langgar & Jembatan Suramadu, Jawa Timur h.122 PETA-4.2 Denah Kampung Langgar, Sukolilo, Bangkalan, Pulau Madura, Jawa Timur h.138 PETA-5.1 Letak Kawasan Pondok Labu, Cilandak, Kota Jakarta Selatan h.156 PETA-6.1 Letak Kawasan Saritem di Tengah Kota Bandung, Jawa Barat h.172 PETA-7.1 Letak Dusun Paculgowang, Diwek, Jombang, Jawa Timur h.198 PETA-8.1 Letak Masjid Lantai Batu, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat h.225 PETA-9.1 Letak Masjid Bontonompo, Gowa, Sulawesi Selatan h.238 PETA-10.1 Letak Desa Gondang, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah h.257 PETA-10.2 Letak MANU dan beberapa lembaga terkait di Desa Gondang h.259 PETA-6.1 Letak Dukuh Dengkeng, Wedi, Klaten, Jawa Tengah h.280 BAGAN-3.1 Struktur relasi dan kepemilikan alat produksi nelayan di Kranji, Lamongan h.106 BAGAN-3.2 Pola-pola pemasaran ikan nelayan di Kranji, Lamongan h.109 BAGAN-5.1 Negosiasi identitas Komunitas Pemulung Pondok Labu h.164 BAGAN-5.2 Keterakaitan para pelaku dalam pendidikan anak-anak di Komunitas Pemulung Pondok Labu h.169 GRAFIK-6.1 Perasaan tinggal di Kawasan Saritem h.179 GRAFIK-6.2 Hubungan dengan penghuni Saritem h.179 22
BAGIAN-I, Memahami Masalah GAMANG PENGANTAR PENYUNTING Jika lembaga-lembaga pendidikan --terutama lembaga pendidikan formal persekolahan-- selalu dan semakin gencar dihadapkan pada pertanyaan tentang kesesuaiannya dengan tuntutan kehidupan keseharian; maka lembaga-lembaga agama sering dipertanyakan tentang kepemihakan sosialnya menghadapi berbagai masalah pelik kemanusiaan selama ini. Nah, lembaga-lembaga pendidikan Islam di Indonesia khususnya langsung menghadapi dua gugatan keras itu sekaligus: apakah mereka memang masih penad (relevan) menjawab masalah-masalah kehidupan nyata, sekaligus juga mampu bersikap tegas memihak kepada lapisan terbesar umat yang paling tidak diuntungkan oleh berbagai permasalahan kehidupan fana tersebut? Gugatan itu sudah lama, bukan sesuatu yang muncul mendadak belakangan ini saja. Bahkan, juga sudah lama gugatan itu pernah menghunjam langsung ke akar persoalannya yang paling mendasar, mempertanyakan landasan-landasan teologis dan epistemologis dari sistem keyakinan dan keilmuan yang umumnya dianut oleh lembaga- lembaga agama serta lembaga-lembaga pendidikan yang menyandang namanya. Bahkan, gugatan itu juga muncul dari kalangan inti dalam (inner core) yang menggelutinya setiap hari. Pada dasawarsa 1970- 80an, misalnya, beberapa orang gurubesar di lingkungan Institut Agama Islama Negeri (IAIN), terutama di Yogyakarta dan Jakarta, seperti Mukti Ali --yang sangat elegan merintis pandangan-pandangan serta sikap terbuka dan dialogis-- dan Harun Nasution --yang mengaduk-aduk pikiran para mahasiswanya dengan pandangan- pandangan yang menyentak konservatisme ajaran yang sudah sangat mapan. Banyak murid-muridnya kemudian menjadi pemaju pemikiran- pemikiran yang dapat dikatakan cukup menentang arus utama (against the mainstream) masa itu. Tentu saja, yang paling fenomenal adalah Nurcholis Madjid yang --bersama beberapa rekan seangkatannya, seperti Ahmad Wahib-- melangkah lebih jauh membawa pemikiran- pemikiran kritis itu menjadi wacana terbuka di masyarakat luas, tidak 23
GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial lagi terbatas hanya di dalam ruang-ruang kuliah dan perpustakaan saja. Bersama beberapa penggiat gerakan pemikiran Islam seangkatannya dari latar yang berbeda-beda dan cukup beragam -- mulai dari Abdurrahman Wahid, Johan Effendie, Dawam Rahardjo, Utomo Dananjaya, Muslim Abdurrahman, juga Djalaluddin Rahmat, sampai ke orang-orang yang lebih muda seperti Mansour Fakih, Azyumardi Arsya, Komaruddin Hidayat, Syaiful Mudjani, Masdar Farid Masu’di, Budi Munawar Rahman, Yudi Latief-- mencoba menjawab gugatan lama itu. Beberapa pelaku gerakan-gerakan politik berlatar Islam --seperti Adi Sasono, Amien Aziz, Ekkie Syahruddin, Aldy Anwar; dan belakangan juga orang-orang yang lebih muda seperti Hidayat Nur Wahid, Jimly Asshiddiqie, Hadimulyo, Arief Mudatsir, Nursyahbani Katjasungkana, Hasballah Saad-- ikut menyemarakkan gelombang pemikiran itu. Sampai pada tingkat tertentu, mereka mempertemukan kembali dua poros yang selama ini cenderung selalu ‘[dianggap] bertentangan’ atau ‘[sengaja] dipertentangkan’. Pada satu sisi adalah ‘orang-orang pondok’ (para kyai, ulama, ustadz, santri) yang masih berakar kuat di lingkungan komunalnya masing-masing --mulai dari Ali Yafie, Sahal Mahfudz, Hamam Dja’far, Wahid Zaini, Mustofa Bisyri, Ilyas Muhammad, sampai ke ‘budayawan organik’ seperti Emha Ainun Nadjib. Pada sisi lain, adalah ‘orang-orang kampus dan kantoran’ (para akademisi, peneliti, teknokrat, bahkan juga birokrat profesional) yang mengecap pendidikan sekuler dan liberal --seperti Ahmad Syafi’i Ma’arif, Kuntowidjojo, Amien Rais, Mochtar Mas’oed, Rozy Munir, Mohammad Sobari, Umar Basalim, dan masih banyak lagi. Mereka memungkinkan terjadinya arus pertukaran pemikiran yang sangat bernuansa. Maka, sejak pertengahan 1980an, misalnya, banyak pesantren tradisional mulai marak mengusung ‘tafsir-tafsir progresif’ atas ‘kitab- kitab kuning’ klasik. Muncul lah, misalnya, istilah-istilah seperti fiqh al-siyaasah, fiqh al-nisaa, dan semacamnya. Teks baku ajaran pun mulai dibenturkan dengan konteks kenyataan. Sementara itu, di kampus- kampus perguruan tinggi Islam --terutama di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Solo, dan Surabaya-- pemikiran-pemikiran teologi pembebasan, baik dari kalangan luar, khususnya Katolik Amerika Latin --mulai dari Gustavo Gutierrez sampai Leonardo Boff dan Oscar Romero-- maupun dari kalangan dalam Islam sendiri --seperti Asghar Ali Enginer atau Fazlur Rahman, bahkan juga yang radikal tipikal Syiah seperti Ali Syariati atau Mutthahhari-- segera menjadi bahan diskusi 24
BAGIAN-IP, eMnegmanathaarmPieMnyausnatlianhg meluas. Sejak saat itu, kita menyaksikan bagaimana para santri atau mahasiswa perguruan tinggi Islam menjadi sangat fasih mengamalkan anjuran Ali putra Abu Thalib --personifikasi utama dalam sejarah Islam tentang orang muda yang bersemangat, cerdas, tegas, bahkan radikal, tetapi sangat rasional dan terbuka-- bahwa: “Lihat pada apa yang dikatakannya (maa qaala), jangan lihat pada siapa yang berkata (man qaala).” Adalah para praktisi dan aktivis organisasi-organisasi non pemerintah (ORNOP) yang kemudian meramu semua dinamika pemikiran itu menjadi suatu ‘sinergi baru’ pada tataran praxis. Selain membumikan nya dalam berbagai program dan kegiatan pengembangan masyarakat dan pelayanan kemanusiaan, mereka juga merajutnya menjadi kerangka-kerangka kerja untuk memperbaharui substansi dan metodologi pendidikan serta kajian keilmuan di lembaga-lembaga pendidikan Islam. Salah satu bentuk pengembangannya adalah pengenalan metodologi Riset Aksi Partisipatif (Participatory Action Research, PAR) yang sangat dipengaruhi oleh, antara lain, teori kritis nya Sekolah Frankfurt; filosofi dan teori-teori gerakan sosialnya Mahatma Gandhi, Andre Gunder Frank, Arturo Escobar, juga Julius Nyerere; metoda konsientisasi dan aksi kebudayaan nya Paulo Freire; teori-teori psikologi sosial nya Kurt Lewin; serta teknik-teknik simulatif nya Robert Chambers. Secara terpisah maupun bersama-sama, para aktivis dan praktisi di lingkungan berbagai ORNOP berlatar Islam --antara lain, Mansour Fakih, Mochtar Abbas, Mufid Busyairi, Helmi Ali, MM.Billah, Abdul Mun’im Saleh, Lies Marcoes, Chamsiah Djamal, Nani Zulminarni, Saleh Abdullah, Ahmad Mahmudi-- bergiat mengembangkan metodologi PAR di pondok-pondok pesantren, ‘sekolah-sekolah lapang’ bagi para petani, organisasi-organisasi perempuan, dan berbagai ORNOP lainnya. Belakangan, pada tahun 2004, Marzuki Wahid --seorang lulusan pelatihan metodologi PAR ketika masih aktivis mahasiswa, kemudian menjadi birokrat karir di Departemen Agama Republik Indonesia di Jakarta-- berprakarsa dan bekerjasama dengan Ahmad Mahmudi --aktivis senior Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan (LPTP) di Solo-- mulai mengembangkan satu program nasional pelatihan metodologi PAR di lingkungan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) --sebagian besarnya adalah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)-- di seluruh Indonesia. Setiap tahun, puluhan pengajar dari PTAIN itu mengikuti pelatihan tersebut dengan semangat tinggi dan kesungguhan. Bahkan, sebagian 25
GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial besarnya kemudian memutuskan untuk memberlakukan metodologi PAR sebagai salah satu ‘kurikulum wajib’ para mahasiswa dan staf pengajar mereka. Buku ini adalah kumpulan tulisan terpilih dari beberapa orang lulusan angkatan pertama (2004) dan kedua (2005) dari program pelatihan tersebut. Pada awalnya, kumpulan tulisan ini adalah berkas-berkas laporan dan catatan lapangan mereka selama setahun melakukan praktik PAR. Semuanya telah dilaporkan kembali ke warga masyarakat dimana PAR itu dilaksanakan. Beberapa di antaranya bahkan sudah melahirkan beberapa tindak-lanjut yang masih terus berlangsung sampai saat ini, sebagai bagian dari proses PAR itu sendiri yang hakikinya memang merupakan suatu ‘daur proses tanpa henti’. Itu sesungguhnya yang terpenting dan paling asas dalam pendekatan PAR. Lalu, dalam satu pertemuan antar semua peserta program untuk saling bertukar pengalaman, mereka bersepakat untuk menerbitkan laporan- laporan itu sebagai buku untuk bacaan umum: “Agar orang lain juga tahu apa yang pernah kami lakukan”, kata mereka. Namun, tentu saja, semua laporan itu perlu diolah terlebih dahulu agar lebih sesuai sebagai buku bacaan umum. Masalahnya, semua laporan itu adalah mimeografi yang cukup tebal, masing-masing terdiri dari ratusan halaman naskah naratif, dilengkapi puluhan halaman lainnya lagi berisi bagan-bagan dan tabel, peta-peta, sketsa, gambar dan foto, serta catatan-catatan pinggir tulisan tangan. Maka mereka diminta untuk menulis ulang dan menyuntingnya kembali menjadi seringkas dan sepadat mungkin. Beberapa orang dianjurkan untuk lebih menonjolkan hasil-hasil temuan dan analisisnya, sementara yang lainnya disarankan justru menonjolkan uraian proses dan metodologi pelaksanaannya. Hasilnya, adalah 23 berkas naskah mentah. Setelah melalui proses tilik-ulang (review) beberapa kali yang cukup melelahkan, akhirnya hanya dipilih 11 tulisan saja yang kemudian diterbitkan menjadi buku yang anda pegang dan baca sekarang. Singkatnya, apa yang anda baca ini bukan lagi laporan utuh dari suatu proses PAR. Ini hanyalah bagian atau penggalannya saja yang disajikan dalam gaya penulisan buku pada umumnya. Jika laporan-laporan aslinya ditulis bersama seluruh anggota Tim PAR dari lembaga mereka masing-masing --termasuk warga masyarakat dimana mereka melakukan PAR-- maka tulisan yang terpilih dalam buku ini sudah merupakan hasil kerja para peserta program pelatihan itu sendiri, sehingga disini dimuat atas nama mereka. *** 26
BAGIAN-IP, MenegmaanhtaarmPieMnyausnatlainhg Secara keseluruhan, kumpulan tulisan dalam buku ini menggambarkan bagaimana para pengajar dan staf lembaga penelitian dan pengabdian masyarakat dari beberapa perguruan tinggi Islam itu, mencoba menjawab gugatan lama tentang keberadaan dan keberpihakan mereka. Enam tulisan pada bagian pertama memperlihatkan bagaimana mereka berusaha keras memahami masalah-masalah masyarakat dimana mereka melakukan PAR. Pilihan tema-tema pokoknya menunjukkan bahwa mereka tidak lagi terpaku pada cara-pandang lama yang selalu melihat masalah utama umat adalah kerusakan moral, ketidaksusilaan, ketidaksalehan, ketidaktaatan menjalankan ritus atau liturgi keagamaan. Bersama warga masyarakat setempat, mereka menggali dan menemukan tema- tema yang sangat duniawi (profane), persoalan aktual hidup keseharian yang memang sangat dirasakan oleh warga disana. Cara mereka mengungkapkan masalah-masalah sosial itu juga tidak lagi ‘menghakimi para korban’, tetapi lebih mencoba memahami dengan empati mengapa warga masyarakat disana mengalami semua ketidakberuntungan tersebut. Tak pelak, mereka pun tegas-tegas bersikap memihak kepada para wong cilik itu. Pemihakan inilah yang penting dicatat, karena justru sikap semacam itu yang selama ini selalu dihindari oleh banyak lembaga-lembaga agama dan para tokoh pemuka atau pemimpinnya, tentu saja, ‘atas nama umat’. Terutama selama lebih tiga dasawarsa (1966-1998) masa pemerintahan Orde Baru yang sangat represif, lembaga-lembaga agama seperti ‘kehilangan nyali’ dan lupa pada salah satu misi utamanya sebagai ‘pewarta keadilan’, al-dien al-adala, ‘berkah kehidupan dan kemanusiaan’, rahmat lil alamin. Banyak di antara mereka malah tercaplok (co-opted) menjadi sekedar ‘corong penguasa’, menjadikan lembaga-lembaga pendidikan dan kajian keagamaan yang mereka pimpin sebagai ‘lembaga pembenaran’ nya melalui tafsir ajaran sesuai pesanan sang juragan, their master’s voices. Maka, menjadi tambah menarik jika keberanian berpihak tegas kepada jelata awam itu, kini mulai disuarakan justru dari lingkungan lembaga- lembaga pendidikan dan kajian keagamaan milik negara (PTAIN) yang dibiayai oleh dana pemerintah --sehingga dengan sendirinya mereka adalah juga pegawai negeri, aparat pemerintahan. Enam tulisan di bagian pertama buku ini bahkan terang-terangan menyatakan kebijakan negara dan pemerintah lah sebagai sumber penyebab utama semua penderitaan berkepanjangan mayoritas warganya. Hal itu terutama tampak pada tulisan pertama --tentang konflik sumberdaya 27
GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial air di Sumberejo, Klaten, Jawa Tengah (h.39-60); tulisan kedua -- tentang pencemaran oleh limbah industri batik di Karangjompo, Pekalongan, Jawa Tengah (h.61-98); dan tulisan ketiga --tentang proses pemiskinan buruh nelayan di Kranji, Lamongan, Jawa Timur (h.99- 120). Mereka tak lagi canggung menggunakan berbagai istilah seperti ‘hak-hak dasar’ (basic rights), atau ‘relasi kuasa’ (power relations) --satu konsep sentral dalam teori-teori struktural perubahan sosial. Reformasi sistem politik dan hukum nasional sejak 1998 memang menjadi pemicu utama semua perubahan itu. Dengan kata lain, perubahan itu sangat dipengaruhi --atau, paling tidak, lebih dimungkinkan-- oleh ‘unsur luar’. Namun, tak bisa disepelekan sama sekali adanya ‘dorongan dan kehendak asali dari dalam’. Sekuat apapun pengaruh unsur luar, jika tak ada dorongan dan kehendak untuk berubah dari dalam, tetap saja tidak akan menghasilkan perubahan apapun. Mao Tse Tung pernah memberi amsal jitu tentang ini dengan ‘teori telur emas’ nya: jika kita memberi sebutir telur emas —atau sebutir telur biasa yang telah disuntikkan ke dalamnya cairan emas— kepada seekor induk ayam terpilih dan terbaik sekalipun untuk dierami, pasti tak akan pernah menetas, tak akan pernah melahirkan anak ayam emas. Sebaliknya, sebutir telur biasa, meskipun hanya dierami dengan induk tiruan atau buatan sekalipun, tetap saja akan menetas dan melahirkan seekor anak ayam hidup. Amsal ini gamblang: telur emas itu memang tidak memiliki ‘benih dan geliat kehidupan’ di dalamnya sebagaimana telur ayam biasa yang alami, yang kodrati. Dengan kata lain, jika suatu sistem atau entitas sosial seperti yang ditunjukkan oleh PTAIN itu bisa berubah, maka kita harus percaya bahwa memang ‘masih tetap ada benih-benih dan geliat perubahan itu di dalamnya’, meskipun cukup lama sebelumnya dinafikan dengan berbagai dalih dan pamrih. Sejarah telah mengajarkan kepada kita bahwa sifat organik, daya hidup, suatu sistem sosial memang membentuk kekuatan terbaiknya --ibarat pemilahan nutfah (division of an organism) yang menghasilkan suatu wujud hayati baru yang utuh; atau pembelahan unsur (fission) atom yang menghasilkan inti daya yang lebih bertenaga-- justru pada saat ditekan dan disangkali habis-habisan. “I’tazalah...!” (kita memang beda dan, karena itu, saya memilih memisahkan diri), tegas Wazil putra Walid yang kemudian melahirkan aliran pemikiran Mu’tazilah yang tak pernah mati itu, meskipun sepanjang sejarahnya tetap saja minoritas dan selalu ditindas oleh hegemoni kekuasaan dan histeria pendapat umum. 28
BAGIAN-IP, eMnegmanathaarmPieMnyausnatlianhg Masalahnya adalah sejauh mana entitas sistem sosial itu mampu memelihara terus ‘denyut’ --sekecil atau selemah apapun pada awalnya-- dari benih dan geliat perubahan yang masih tersisa dalam diri mereka, agar tetap hidup dan tak mati. Ini penting diperhatikan, karena ‘anak ayam baru’ yang telah menetas di lingkungan PTAIN itu memang ‘masih anak ayam’ yang baru belajar berdiri, berjalan, dan mencicit. Meskipun telah menggunakan pisau bedah berbagai teori kritis struktural terhadap kenyataan yang mereka temukan di lapangan, namun enam tulisan terpilih dalam kumpulan ini masih ‘belum terlalu tajam’ dalam analisisnya. Misalnya, pada tulisan keempat --tentang dampak industrialisasi pada perempuan pedesaan di Kampung Langgar, Bangkalan, Madura, Jawa Timur (h.121-154). Meskipun memberi beberapa ‘kejutan menarik’ --misalnya, tentang peran pemimpin agama (Kyai) lokal sebagai salah satu pelaku utama pelepasan lahan-lahan pertanian warga ke orang luar-- namun analisisnya masih terlalu umum dan melebar kemana-mana. Malah lebih banyak menguraikan konsep-konsep feminisme yang sudah dikenal luas --seperti kedudukan, peran, dan beban-ganda kaum perempuan yang memang bermula dan sangat dipengaruhi oleh perkembangan masyarakat industri yang sangat tegas memilah antara ‘sektor publik’ dengan ‘sektor domestik’. Akan memberi lebih banyak wawasan baru jika tulisan itu justru memusatkan rincian analisisinya pada ketajaman konsepsi dikhotomis tersebut sebagai pisau analisis utama untuk memahami dampak proses industrialisasi pada suatu masyarakat agraris tradisional pedesaan seperti di Madura. Tanpa mengurangi hormat pada keberaniannya menyentuh sekaligus mengungkapkan hal-hal yang masih sangat peka, tulisan ini masih menyisakan beberapa pertanyaan besar tentang, misalnya, seberapa erat sebenarnya keterkaitan langsung antara pengalihan kepemilikan dan fungsi-fungsi lahan pertanian tradisional disana dengan dampak proses industrialisasi yang mengarah pada pemisahan dikhotomis kedudukan dan peran kaum perempuan? Dan, apakah pembedaan dikhotomis itu memang sama pengertiannya antara yang berlangsung di masyarakat pedesaan agraris dengan masyarakat industri perkotaan? Tulisan ini memperlakukan kedua konteks itu seakan-akan sama persis pada semua keadaan, tempat, dan waktu yang berbeda. Hampir sama halnya dengan tulisan kelima --tentang pergulatan jati- diri para pemulung di Pondok Labu, Cilandak, Jakarta Selatan (h.155- 170). Tulisan ini malah terlalu asyik menguraikan pergulatan itu sendiri pada sisi dalam (internal) komunitas tersebut, belum mencoba 29
GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial mengulitinya sampai ke analisis tentang hakiki dari pendidikan yang mereka pilih sebagai alat untuk mengukuhkan jati-diri di mata pihak luar. Para penulisnya memang bermaksud ‘membatasi diri dulu’ hanya pada pergulatan internal tersebut, tetapi analisis itu seperti kehilangan hubungan kontekstualnya dengan sistem dan kebijakan pendidikan di negeri ini, seakan-akan apa yang mereka sebut sebagai ‘kesadaran palsu’ para pemulung itu memang bisa terselesaikan dengan menyelenggarakan pendidikan anak-anak mereka, sama seperti yang lazimnya terjadi di kalangan luar. Padahal, bukankah kesadaran palsu semacam itu sebenarnya juga dihasilkan dan sebati (inherent) dalam sistem pendidikan yang mereka coba tiru itu? Dengan kata lain, bukankah mereka nanti justru pada akhirnya akan terjebak lagi dalam lingkaran kesadaran palsu lainnya? Akan lebih menarik jika tulisan ini merinci lanjut apa yang mereka sebut sebagai peniruan jati-diri (imitation of self), sehingga kita bisa melihat apakah gejala itu memang sama seperti yang dimaksudkan oleh para pemuka teori sohor kesadaran palsu --sejak Georg Hegel, Carl Gustav Jung sampai Frantz Fanon atau Paulo Freire. Meskipun penguraiannya sangat runtut --dapat dikatakan sebagai salah satu yang paling terjaga ketat fokusnya dari semua tulisan dalam buku ini-- namun ada kesan kuat tulisan ini terlalu banyak terpana pada pengulangan-pengulangan konsepsi atau peristilahan yang sudah terlalu jamak, tanpa berusaha menguraikan dan menemukan penjelasan orisinalnya sendiri. Keterpusatan yang runtut (coherency) analisis semua tulisan dalam kumpulan ini memang masih lemah. Ada kecenderungan kuat untuk melebar, tidak menukik ke dasar dan menghunjam ke dalam pokok permasalahan yang dibahasnya. Sementara itu, kesemuanya juga kurang mengemukakan telaah-telaah kritis dari konsepsi-konsepsi ajaran Islam sendiri. Padahal, ada banyak celah dan relung pada setiap tulisan itu yang memungkinkan melakukan ‘perbenturan’ tersebut. Misalnya, pada tulisan keenam, tulisan terakhir di bagian pertama -- tentang penggusuran pekerja seks komersial di Saritem, Kota Bandung, Jawa Barat (h.171-193). Keprihatinan para penulisnya pada kelompok masyarakat yang paling sering dicap ‘najis sosial’ itu, tak perlu diragukan lagi. Tetapi, mereka masih tetap lebih banyak menggunakan analisis yang juga sudah terlalu umum. Analisis tentang cara-cara artifisial penanggulangan masalah serta kegagalan sistem dan kebijakan pemerintah menyediakan lapangan kerja, memang cukup menyentuh akar persoalan, tetapi tidak memberi pemahaman yang 30
BAGIAN-IP, eMnegmanathaarmPieMnyausnatlianhg benar-benar baru. Padahal, jika mereka memusatkan perhatian merinci dinamika kehadiran pesantren Daar al-Taubah di kawasan pelacuran terbesar dan tertua di Kota Bandung itu, mungkin kita akan memperoleh pemahaman yang lebih tajam dan mendalam. Mengapa mereka tidak melanjutkan mengurai-rinci (elaborating) lebih dalam lagi --padahal sudah mulai mereka singgung pada beberapa bagian-- tentang nama dan konsepsi ‘al-Daar’, atau bahkan ‘al-Taubah’ itu sendiri --yang jelas-jelas sangat penad dengan konotasi ‘ajaran moralitas’ dan ‘moralitas ajaran’? Ini menarik karena, perhatikan saja, sebagian terbesar pondok pesantren atau madrasah di seluruh negeri ini paling suka menggunakan imbuhan nama itu, misalnya, ‘Daar al-Ulum’, ‘Daar al- Taufiq’, ‘Daar al-Salam’, ‘Daar al-Najah’, dan sebagainya, seolah-olah ‘ilmu pengetahuan’, ‘petunjuk keselamatan’, ‘ketenteraman’, atau ‘keberhasilan’ memang hanya terdapat dan dapat diperoleh di tempat- tempat itu saja, tidak di tempat-tempat lain. Konsepsi ‘al-Daar’ itu sejauh ini lebih banyak ditekankan pada pengertian harafiahnya sebagai ‘tempat [tertentu, khusus] yang berbeda’ (laisa minna) dengan lingkungan luar atau sekelilingnya, bukan keseluruhan ‘ruang kehidupan’ (lebensraum) itu sendiri. Sehingga, akan sangat menarik jika tulisan ini mengulas lebih dalam akan konsepsi pemikiran dan penghadiran suatu ‘ruang kehidupan untuk bertaubah di dalam (bukan ‘di luar’, meskipun fisiknya berada di dalam kawasan) keseluruhan ruang kehidupan Saritem’, namun tanpa ‘jarak, sekat, dan prasangka ideografis’ lagi. Inikah yang dapat menjelaskan mengapa lembaga-lembaga pendidikan Islam --juga lembaga-lembaga pendidikan umum-- cenderung semakin tercerabut (disinherited) dan tidak menyatu lagi dengan keseluruhan sistem kehidupan masyarakat sekitarnya? *** Pertanyaan itu mengantar kita kembali pada gugatan lama tentang kepenadan dan keberpihakan lembaga-lembaga agama dan pendidikan agama. Tafsir makna yang umumnya sangat harafiah yang mungkin dapat menjelaskan mengapa --ketika berupaya menanggapi perubahan dan menyesuaikan diri dengan kenyataan-kenyataan baru-- banyak lembaga-lembaga pendidikan agama akhirnya juga belum sepenuhnya mampu menemukan bentuk-bentuk keterlibatan dan keberpihakan mereka yang sungguh substansial. Hal ini sangat nampak pada lima tulisan berikutnya pada bagian kedua buku ini. 31
GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial Berbeda dengan enam tulisan sebelumnya di bagian pertama --yang memusatkan pembahasan pada masalah-masalah sosial serta sikap lembaga keagamaan menghadapinya-- lima tulisan di bagian kedua ini lebih berpusat pada pergulatan internal lembaga-lembaga agama (masjid, surau) dan lembaga pendidikan agama (pesantren, madrasah, perguruan tinggi) itu sendiri untuk ‘mentransformasikan diri’ mereka. Melihat pilihan tema-tema dan lokasinya saja yang kurang lazim, kita segera penasaran untuk melihat apa sebenarnya yang telah mereka lakukan, bagaimana, dan mengapa? Ada harapan besar untuk membaca temuan-temuan baru yang unik dan berbeda dari yang pernah ada selama ini. Dalam beberapa hal dan sampai taraf tertentu, harapan itu cukup terpenuhi, terutama pada beberapa tulisan seperti tulisan pertama --tentang masjid desa di Paculgowang, Jombang, Jawa Timur (h.197-222). Nama desa itu saja sudah menggelitik minat. Dalam bahasa Jawa, ‘paculgowang’ artinya adalah ‘cangkul yang sudah rompal (sobek, rusak) mata paculnya’ dan, karena itu, semakin tumpul. Metafora ini benar-benar menggambarkan keadaan sebagian besar warga dusun itu: para petani subsisten yang selama bertahun-tahun cuma pasrah menerima nasib, tanpa tahu apa sebenarnya yang telah membuat kehidupan mereka selama ini semakin susah. Tetapi, yang benar-benar menarik adalah proses-proses pendidikan dan pengorganisasian para petani itu untuk memahami masalah- masalah kegureman mereka, sumber-sumber penyebab dan akibat- akibatnya, serta tindakan-tindakan praktis maupun strategis yang perlu dan mampu mereka lakukan. Selain memperkenalkan teknik-teknik baru untuk memperbaiki cara dan hasil usaha tani mereka --seperti pengendalian hama terpadu secara alamiah, pengenalan ekosistem mikro lahan pertanian, penggunaan teknologi tepat-guna pasca panen, dan sebagainya-- para pelaku PAR dari Jurusan Syari’ah STAIN Ponorogo itu tetap setia memusatkan perhatian pada proses-proses inti penumbuhan kesadaran kritis para petani disana untuk mengorganisir diri secara lebih sistematis, memproduksi pengetahuan genuine mereka sendiri, mencoba meningkatkan kesejahteraan hidup secara swadaya, sehingga menjadi lebih percaya diri, lebih bermartabat. Dan, mesjid tua dusun itu menjadi pusat dari seluruh proses tersebut. Pelan tapi pasti, para petani di Paculgowang telah dan masih terus menjadikan masjid dusun mereka bukan hanya sekedar ‘tempat bersujud’ saja --dalam bahasa aslinya, masjid memang adalah kata benda tempat, isim maqam, dari kata dasar sajadah, alas untuk bersujud (menyentuhkan wajah mencium bumi) saat shalat, sebagai 32
BAGIAN-IP, eMnegmanathaarmPieMnyausnatlianhg pertanda penyerahan diri dan ketundukan kepada Tuhan-- tetapi juga ‘tempat untuk menegakkan kepala’ memandang dan menjawab tantangan permasalahan kehidupan nyata sehari-hari. Ya, ini bukan gagasan atau temuan baru sama sekali. Sejarah sosiologis masjid memang memperlihatkan ‘fungsi serbaguna’ nya sebagai ‘balai besar terbuka bagi seluruh umat’, selain memang fungsi utama dan awalnya sebagai tempat melaksanakan ritual keagamaan. Tafsir ajaran yang sempit lah --selain pengaruh kekuasaan politik dan ekonomi yang sangat berkepentingan untuk selalu mengendalikannya-- yang pernah sedemikian rupa mengerdilkannya. Dan, itulah yang juga terbaca pada tulisan kedua --tentang upaya menghidupkan kembali konsep khas surau di satu masjid di Lantai Batu, Tanah Datar, Sumatera Barat (h223-236). Jama’ah Masjid Raya Lantai Batu memanfaatkan momentum pelaksanaan kebijakan nasional ‘pengembalian otonomi desa’ melalui Undang-undang (UU) No.22/1999 --kemudian diamandemen dengan UU No.32/2004. Di Sumatera Barat, kebijakan itu diterjemahkan dalam gerakan ‘Kembali ke Nagari’ --sistem politik, hukum, ekonomi, dan budaya lokal otonom khas Minangkabau. Kebijakan itu mengilhami jama’ah Mesjid Raya Lanti Bantu untuk juga ‘Kembali ke Surau’ --konsep khas Minangkabau tentang masjid yang multifungsi, bukan hanya tempat sembahyang. Surau memang telah menjadi suatu legenda tersendiri di daerah ini. Sejarah menunjukkan bahwa bukan hanya ulama dan pemuka agama yang terlahir dan dibesarkan dari surau, tetapi juga semua tokoh pergerakan sosial dan politik asal Minangkabau, bahkan yang ‘paling sekuler’ --seperti Sutan Syahrir-- atau yang ‘paling komunis’ sekalipun --seperti Tan Malaka. Yang menarik adalah bahwa kebangkitan kembali surau di Lantai Batu itu tidak dilakukan langsung oleh imperatif kekuasaan, tetapi melalui proses diskusi yang diprakarsai oleh jama’ah masjid sendiri, difasilitasi oleh satu lembaga pendidikan agama setempat (STAIN Batusangkar). Adalah masih sangat sedikit masjid yang memiliki kesigapan semacam itu. Bahkan, hampir bisa dipastikan bahwa sebagian besar pengurus (takmir) masjid di seluruh Indonesia, sampai saat ini mungkin tidak pernah tahu bahwa telah ada kebijakan baru yang justru mengembalikan otonomi lembaga-lembaga kemasyarakatan tradisional sesuai ‘hak asal-usul’ (indigenous rights) nya, termasuk lembaga-lembaga lokal keagamaan seperti masjid. Pemahaman tentang hal ini memang hanya bisa dicapai jika pandangan dasarnya juga jelas: bahwa fungsi masjid memang tidak terbatas dan sempit 33
GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial hanya sebagai tempat melaksanakan ritual keagamaan. Sayangnya, tukisan ini tidak memberikan penjelasan rinci kepada kita tentang serunya pergolakan internal di dalam tubuh kepengurusan masjid tua di Batusangkar tersebut. Uraiannya terlalu umum dan masih banyak pengulangan saja. Tulisan berikutnya, yakni tulisan ketiga --tentang pemberdayaan ekonomi umat oleh satu masjid tua di Bontonompo, Gowa, Sulawesi Selatan (h.237-252) juga menampilkan semangat yang sama. Takmir masjid itu bahkan mengubah sejarah, menyempal dari prasasti pendirian masjid itu sendiri yang melarang ‘rumah ibadah’ itu digunakan untuk ‘kegiatan-kegiatan duniawi’. Tetapi, lagi-lagi sama seperti tulisan sebelumnya tentang masjid di Batusangkar, tulisan ini juga masih terlalu umum dan terlalu singkat untuk menjelaskan bagaimana sesungguhnya proses pemaknaan ulang masjid itu berlangsung. Meskipun cukup jelas diuraikan gagasan dasar keberpihakan pengurus masjid itu kepada lapisan masyarakat yang paling tidak diuntungkan oleh sistem ekonomi dan politik, namun bentuk-bentuk tindakan nyata yang mereka tempuh sebenarnya lebih merupakan ‘pengulangan’ --atau bahkan ‘peniruan’-- saja dari sistem yang sudah ada. Apa yang dilakukan oleh masjid tua di Bontonompo memang mengesankan, paling tidak, sampai pada taraf dimana masjid --yang tadinya dikuasai oleh kaum ningrat lokal dan benar-benar murni sebagai tempat peribadatan saja— kini mulai melakukan beberapa peran sosialnya yang membantu kesulitan hidup umat di lapisan sosial terbawah. Tetapi, tulisan ini tidak memberikan penjelasan memadai: apakah hal itu benar-benar didasarkan pada suatu pandangan perubahan sosial yang mendasar, ataukah hanya suatu tindakan ‘kedermawanan sosial’ (charity) yang lumrah? Mendayagunakan Badan Amil Zakat (BAZ) sebagai lembaga keuangan mikro adalah suatu praktik umum oleh semua masjid dimana pun, dan hal itu memang sudah digariskan dengan jelas dan rinci dalam teks ajaran tentang peruntukan dana zakat. Mungkin justru akan memberi wawasan baru yang lebih segar jika tulisan ini --dan proses-proses PARnya sendiri-- mencoba memusatkan perhatian pada bagaimana mentransformasikan sistem pengelolaan dan dana zakat sebagai ‘dana publik’, sehingga lebih memungkinkan kita melihat relasi-relasi kuasa yang terjadi antara sektor negara, pasar, dan warga masyarakat sipil. Kita semakin perlu memperjelas fa’al (anatomi) lembaga-lembaga keagamaan tradisional: apakah mereka memang ‘masih merupakan bagian dari masyarakat 34
BAGIAN-IP, eMnegmanathaarmPieMnyausnatlianhg sipil’ atau, sebenarnya, ‘sudah merupakan bagian dari masyarakat politik’ yang disebut negara, atau bahkan pasar? Sebenarnya, ada lebih dari sepuluh tulisan lagi yang mengulas peran sosial masjid, pesantren, dan madrasah ini, mulai dari satu masjid kecil di tepi kawasan hutan lindung di Sulawesi Utara sampai ke beberapa pondok pesantren dan madrasah di Jawa dan di Bengkulu. Tetapi, semuanya tidak memberi gambaran yang lebih jelas tentang bagaimana lembaga-lembaga keagamaan tradisional itu mentransformasikan diri ke arah suatu visi perubahan dan keberpihakan sosial. Selain cara dan susunan penyajiannya terlalu berbelit-belit dan melebar, tanpa pendalaman yang rinci pada fokus permasalahan, kesemua tulisan itu juga terlalu terpaku pada dinamika internal lembaga-lembaga keagamaan tersebut. Ataukah ini memang realitas keberadaan lembaga-lembaga pendidikan Islam yang sesungguhnya di Indonesia? Selain itu, ada kecenderungan pada semua tulisan yang tak terpilih itu untuk terlalu menyederhanakan persoalan, sekaligus masih tetap kuat kebiasaan menggunakan banyak ‘istilah hebat-hebat’ (big words) lebih sebagai jargon saja, tidak jarang menimbulkan kerancuan pengertian (contradictio in terminum) yang lumayan parah. Sering sangat sulit menemukan keterkaitan logis antara berbagai istilah yang mereka gunakan dengan praktik tindakan atau langkah yang ditempuh. Misalnya, ada tulisan tentang proses-proses pengenalan konsep- konsep kesetaraan gender di satu pesantren di Serang, Banten, Jawa Barat. Serangkaian diskusi berlangsung di pondok itu, tetapi tindakan nyata yang mereka lakukan kemudian adalah kegiatan-kegiatan peningkatan pendapatan (income generating) seperti yang dilakukan oleh banyak lembaga-lembaga sosial kharitatif selama ini. Tidak ada penjelasan apapun tentang apakah kegiatan itu memang ada kaitannya dengan rangkaian diskusi tadi; memang dirancang secara bersengaja untuk meningkatkan kedudukan dan peran sosial perempuan disana? Dan, yang terpenting, apakah wujud ketidaksetaraan gender yang dialami kaum perempuan disana memang persis sama seperti yang mereka diskusikan? Lalu, di akhir tulisan, hanya ada kesimpulan sangat serampangan (arbitrary) bahwa ‘telah terjadi transformasi dalam pandangan para uztadz dan santri disana tentang relasi-relasi gender’! Sama rancunya dengan apa yang terjadi di satu madrasah di Kota Salatiga yang menyebut diri sebagai sekolah nya ‘kaum yang dimiskinkan’ (mustadh’afin). Ternyata, penamaan diri itu bukanlah pilihan sadar berdasar suatu visi perubahan sosial yang jelas, tetapi 35
GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial semata-mata karena fakta bahwa murid-muridnya adalah anak-anak keluarga miskin setempat. Rekaman proses-proses diskusi para pengelola madrasah itu selama PAR berlangsung memperlihatkan keinginan mereka sebenarnya adalah justru ‘keluar dari cap miskin’ itu, sangat mendambakan untuk diakui sebagai ‘sekolah yang layak’ pada umumnya. Dalam hampir semua tulisan yang tak terpilih itu, ternyata semua pengelola pesantren dan madrasah secara tersurat menyatakan keinginan mereka untuk menjadi ‘seperti sekolah-sekolah unggulan’ yang sedang trendy. Ukuran-ukuran mereka juga tetap konvensional: jumlah murid, tingkat kelulusan, dan pengakuan resmi pemerintah maupun pendapat umum khalayak ramai. Jadi, bukan hanya para pemulung --seperti yang dituturkan oleh satu tulisan pada bagian pertama-- yang mengalami gejala ‘peniruan jati- diri’, tetapi juga banyak atau bahkan mungkin sebagian terbesar pesantren dan madrasah di negeri ini. Kecenderungan kuat untuk ‘selalu meniru pihak lain yang dianggap lebih’, pada dasarnya, adalah karena ‘ketidak-yakinan’ atau ‘kekurang-percayaan pada diri sendiri’. Kepercayaan diri yang rendah selalu menyebabkan keraguan untuk bersikap dan bertindak tegas, lalu timbul kebingungan berkepanjangan. Bahasa Jawa punya satu kosa kata bagus untuk menggambarkan semua campuran kegalauan itu: gamang!. Dan, orang gamang memang selalu memilih ‘lebih baik tak melakukan apa-apa’ atau, paling baik, ‘menempuh jalan aman’, ‘ikut arus besar’ saja. Maka menjadi menarik untuk membaca tulisan berikutnya --tentang ketegaran satu madrasah di Gondang, Sragen, Jawa Tengah (h.251- 276). Sejarah kelahiran dan perkembangan madrasah ini cukup unik dan agak berbeda dengan kebanyakan madrasah umumnya di Indonesia. Cikal-bakalnya ternyata bermula dari satu ruang bengkel, warung, sekaligus rumah, salah seorang warga yang tidak pernah sudi menonjolkan dirinya sendiri. Seluruh warga Gondang tetap saja memanggilnya dengan nama kecilnya. Meskipun menyandang nama Madrasah Aliyah Nahdlatul Ulama (MANU), ternyata banyak orang Muhammadiyah yang menjadi pendukung utamanya, bahkan mewakafkan tanah mereka. Semua warga Gondang, termasuk kalangan ‘pendosa’ --yang selama ini dijauhi oleh lembaga-lembaga keagamaan-- juga warga yang berbeda agama, memberikan sumbangsih masing-masing untuk terus membuat madrasah itu tetap hidup disana. Tetapi yang lebih menarik dari semua prilaku terbuka dan sikap setara itu adalah bahwa mereka semua tak tergoda sama sekali untuk 36
BAGIAN-IP, eMnegmanathaarmPieMnyausnatlianhg ‘menjadi seperti yang lain’. Mereka secara sadar memilih untuk ‘tidak ikut-ikutan mode’ menjadi ‘sekolah unggulan’, meskipun memiliki cukup potensi untuk melakukannya --dan telah membuktikannya dengan hasil akreditasi resmi dari pemerintah. Waktu lah yang akan membuktikan nanti sampai kapan ketegaran --dalam istilah mereka sendiri: ‘keanggunan’-- madrasah di Gondang itu bisa bertahan. *** Walhasil, jika benar-benar ingin menjawab tuntas gugatan lama tentang kepenadan dan keberpihakan sosialnya, maka ketegaran dan sikap taat-asas (istiqomah) --seperti yang ditampilkan oleh madrasah Gondang-- itulah justru yang patut diteladani oleh lembaga-lembaga pendidikan Islam di negeri ini. Semua tulisan dalam buku ini semakin memperjelas bahwa sebagian terbesar pesantren dan madrasah memang ‘belum selesai dengan diri mereka sendiri’. Pada salah satu dari tulisan yang tak terpilih untuk dimuat disini, bahkan dilaporkan ada satu pondok pesantren terkenal di Bantul, Yogyakarta, yang para pengelola serta warga sekitarnya jelas-jelas beranggapan bahwa ‘sekolah bermutu’ adalah seperti pada ‘masa- masa jaya’ mereka beberapa tahun lalu (1980-90an), ketika pesantren itu menjadi salah satu ‘pajangan kesukaan’ pemerintahan otoriter Orde Baru. Para pengurus dan warga setempat dengan bangga menyebut kunjungan berbagai tamu pejabat tinggi negara dan tamu asing yang selalu datang kesana pada masa itu. Sekarang, masa ‘bulan madu’ itu telah lewat dan pamor pesantren itu pun semakin merosot: jumlah santrinya semakin berkurang, prasarana dan sarananya semakin banyak yang tak terawat, dan para pengelolanya ‘semakin dalam terlibat dalam konflik internal’ mengenai kepemilikan semua harta (asset) pesantren. Sementara itu, kehidupan warga masyarakat sekitarnya tetap saja seperti sediakala, bahkan semakin susah dihimpit kesulitan ekonomi, kehilangan lahan pertanian dan, last but not least, bencana alam gempa-bumi dahsyat tahun 2006. Adalah STAIN Surakarta yang kemudian bertindak cepat melakukan serangkaian kegiatan tanggap-darurat (emergency response) segera setelah bencana gempa bumi, tanggal 26 Mei 2006, itu meluluh- lantakkan sebagian besar wilayah Bantul dan Klaten. Ini adalah tindakan kemanusiaan yang juga lumrah dan sudah seharusnya. Banyak lembaga keagamaan lainnya juga terlibat melakukan hal yang sama disana. Tetapi --seperti yang dilaporkan oleh tulisan terakhir 37
GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial dalam buku ini (h.279-310)-- apa yang dilakukan oleh Tim Relawan Kemanusiaan (TRK) STAIN Surakarta adalah justru menggunakan peristiwa bencana itu sebagai titik tolak untuk memulai suatu ‘penataan ulang ruang kehidupan’ di satu dusun kecil di daerah bencana itu. Selain melakukan kegiatan penyaluran bantuan yang umum, mereka sekaligus mengorganisir para korban gempa untuk bersama-sama menyusun dan melaksanakan gagasan suatu ‘tatanan baru’ dusun mereka sesuai dengan kemampuan warga setempat sendiri. Jika banyak organisasi atau pihak lain hanya datang sesekali kesana untuk memberikan bantuan kepada korban --itupun selama beberapa minggu pertama saja-- para relawan STAIN Surakarta justru membangun pondok darurat mereka sendiri dan mukim disana selama berbulan-bulan, bekerja langsung bersama warga setempat. Sekarang, mereka mulai melakukan tahap ‘tarik diri keluar’ (phasing out) untuk memungkin warga setempat mengambil-alih dan lebih mandiri melakukan dan melanjutkan semua yang telah mereka sepakati dan kerjakan bersama. Kerja para relawan STAIN Surakarta itu kian menarik jika menyaksikan betapa banyak organisasi --termasuk lembaga-lembaga keagamaan-- yang hadir di daerah bencana itu dengan ‘pawai bendera’. Bahkan, ada banyak tempelan tulisan (poster, stiker, dan sebagainya) yang sangat reaktif di sepanjang jalan ke desa-desa bencana itu, misalnya: “Apapun yang terjadi, Islam tetap agamaku!”, termasuk yang ditempel di dinding depan rumah-rumah baru untuk para korban, berdampingan dengan papan-tanda bertuliskan “Sumbangan Umat Buddhis Singapura”, dan semacamnya. Maka, apa yang dilakukan oleh para relawan STAIN Surakarta itu --dari satu pondok bambu kecil tanpa tulisan dan bendera apapun-- memberi harapan munculnya suatu penemuan bentuk kepenadan dan keberpihakan sosial yang lebih hakiki dari lembaga-lembaga pendidikan agama Islam. Metodologi PAR hanyalah salah satu cara untuk mewujudkannya. Tetapi, yang paling penting sebenarnya adalah ‘ada atau tidaknya keinginan untuk berubah dan bertindak’, melepaskan diri dari kungkungan ketakutan dan prasangka. Dan, semua itu sangat ditentukan oleh ada atau tidaknya ‘pemahaman lebih mendasar dan mendalam akan konteks ajaran’, bukan sekadar ‘hafalan teks ajaran’ itu sendiri. Ya, lembaga-lembaga pendidikan Islam di negeri ini masih perlu belajar banyak dan terus-menerus untuk mengembangkan metodologi kontekstualisasi nya sendiri, tanpa rasa gamang! [RT] 38
BAGIAN-I, Memahami Masalah Bagian Pertama MEMAHAMI MASALAH 39
GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial 40
BAGIAN-I, Memahami Masalah PETANI, PESANTREN, PERUSAHAAN, 1 NEGARA Perebutan Sumberdaya Air & Proses-proses Pendidikan Rakyat di Sumberejo ABDULLAH FAISHOL* Kami (Allah) menurunkan air dari langit agar tumbuh spesies hidup di muka bumi ini. (al- Qur’an). Tahun 2003, perusahaan multinasional air minum dalam kemasan, Aqua-Danone, membuka pabrik baru mereka di sumber air alam di kawasan Ponggok dan Cokro, Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Sejak saat itu, petani di Desa Sumberejo --dan beberapa desa lain sekitarnya di bagian hilir aliran sumber air itu-- mulai mengeluh karena terjadi penyusutan air yang mengalir ke desa dan sawah-sawah mereka. Penyusutan itu bahkan semakin meningkat setiap tahunnya. Padahal, mata pencaharian utama warga Sumberejo *Anggota Tim PAR, P3M-STAIN Surakarta. Tulisan ini adalah ringkasan dari laporan lengkapnya yang ditulis bersama seluruh anggota tim (Zainul Abbas, Masrukhin, Sulhani Hermawan, Ahmad Hafidh, dan Abdul Ghofur). 41
GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial adalah di sektor pertanian, sebagai petani penggarap maupun buruh tani. Para petani itu memberikan kesaksian bahwa sebelum pabrik Aqua-Danone dibangun disana, aliran air ke desa dan sawah-sawah mereka sangat mencukupi, termasuk untuk memenuhi seluruh kebutuhan air bersih mereka untuk keperluan sehari-hari. Saluran pengairan peninggalan Belanda masih berfungsi dengan baik, bahkan mereka biasa mencari ikan di saluran tersebut atau menangkap belut di sawah-sawah. Akibatnya, pasokan bahan-baku kripik belut --salah satu sumber penghasilan tambahan warga setempat-- pun semakin berkurang, selain punahnya beberapa jenis ikan dan berkurangnya jumlah ternak itik. Banyak warga Sumberejo dan sekitarnya menghadapi permasalahan baru tersebut dengan cara jalan-pintas, yaitu membuat sumur-sumur panthek, sumur-sumur bor dengan mesin pompa. Akibatnya, mereka terpaksa harus mengeluarkan banyak biaya tambahan baru yang sebelumnya tak perlu mereka keluarkan. Mereka juga terpaksa harus membeli mesin-mesin pompa untuk menyedot air dari sumur-sumur tersebut agar dapat dialirkan ke sawah-sawah. Dengan kata lain, biaya- biaya pengelolaan lahan pertanian mereka juga membengkak, semuanya gara-gara debit air yang kian menyusut. Padahal, ketika aliran air masih mencukupi, sebelum Aqua-Danone membangun pabrik baru disana, tingkat pendapatan petani setempat sebenarnya sudah tidak memadai pula, meskipun waktu itu mereka masih dapat memanen padi tiga kali setahun. Seperti juga yang dialami oleh sebagian besar petani padi di seluruh Indonesia sejak dimulainya ‘revolusi hijau’ pada dasawarsa 1970an, salah satu penyebab utamanya adalah pola pertanian padi sawah mereka yang kian tergantung pada asupan luar (external inputs), terutama benih, pupuk kimia, dan racun pembasmi hama. Kini, setelah penyusutan air memperpanjang daftar permasalahan yang mereka hadapi, para petani Sumberejo mulai putus-asa pula melihat hasil panen mereka yang semakin menurun. Panen tiga kali setahun tidak ajeg lagi. Semua itu membuat mereka semakin tidak bergairah pula melanjutkan kegiatan berorganisasi. Banyak di antara mereka yang suka menerawang ke beberapa tahun sebelumnya, ketika desa mereka masih rejo (Jawa: ‘makmur’) dan organisasi kelompok tani yang pernah mereka bentuk masih aktif. Waktu itu, mereka rajin melakukan pertemuan berkala tetap membahas berbagai hal dan masalah pertanian, termasuk soal-soal pengairan sawah-sawah mereka. Sekarang, setelah air menyusut, sebagian besar mereka akhirnya sibuk 42
BAGIAN-I, Memahami Masalah mengurus dan peduli dengan sawah mereka sendiri saja. Beberapa orang yang cukup mampu dari segi keuangan, membeli mesin pompa penyedot air dari sumur-sumur ke sawah-sawah mereka. Hubungan antar mereka pun semakin renggang, pertemuan-pertemuan berkala- tetap semakin jarang, sehingga organisasi kelompok tani mereka nyaris tak berjalan lagi. Kelemahan organisasi petani dan ikatan persatuan di antara mereka yang kian merenggang itu, pada gilirannya, membuat semakin melemahnya pula daya-tawar (bargaining power) mereka kepada fihak luar, termasuk pemerintah. Hal ini nampak pada semakin seringnya keluhan mereka --termasuk masalah baru kekurangan air tadi-- tidak diperhatikan oleh pemerintah setempat. Sampai sekarang pun, belum ada tanda-tanda pemerintah setempat menanggapi serius dan membantu mereka mengatasi masalah tersebut. Perpaduan antara kemerosotan kekuatan politik --organisasi petani yang semakin tidak berperan-- dengan kemerosotan kekuatan ekonomi --hasil panen yang kian menurun, penghasilan tambahan kian berkurang, sementara biaya-biaya pengelolaan kian bertambah-- itulah semua yang, pada akhirnya, melemahkan ketahanan sosial (communal, collective resilience) mereka secara keseluruhan. Gejala-gejalanya semakin nampak jelas, antara lain, ketergantungan mereka yang semakin besar kepada berbagai fihak luar seperti para tengkulak. Sumberejo yang Tak Lagi Rejo Awal-Mula Sebelum kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1945, Dusun Sumberejo pada mulanya bernama Klabakan Tegal Bedrek. Penyebutan dusun ini mengalami tiga kali perubahan. Mula-mula bernama Klabakan, kemudian berubah menjadi Tegalan (Tegal Bedrek), lalu berubah menjadi Sumberejo. Klabakan adalah suatu istilah Bahasa Jawa yang acapkali digunakan untuk para pelancong yang tidak jelas tempat tujuannya. Menurut salah seorang sesepuh desa ini, Siswo (lahir tahun 1932), sambil mengenang masa remajanya ketika itu, anak-anak desa ini selalu menjadi bahan ejekan warga desa lain -- misalnya: “...Dasar anak tegalan”-- untuk mengumpat mereka sebagai anak-anak nakal yang tidak tahu sopan santun dan tata krama, tidak berbudaya. Saksi sejarah yang kini masih hidup sulit membayangkan keadaan pada masa itu yang demikian kacau dan gelap. Hukum seakan-akan tidak ada. Pencurian sering terjadi setiap waktu, bahkan 43
GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial mencuri istri orang lain juga pernah terjadi. Sekalipun mengetahui, suami perempuan itu lebih sering tidak berani melakukan perlawanan untuk merebut kembali istrinya. Semua itulah yang akhirnya menggerakan lurah desa ini sebelum tahun 1945, yakni Lurah Atmo, mengubah nama Tegal Bedrek menjadi Sumberejo (Jawa: ‘sumber kemakmuran’). Menurut Abu Toyib, sesepuh lainnya, perubahan nama yang dilakukan oleh Lurah Atmo itu bukan hanya untuk memperbaiki citra desa ini di kalangan orang luar, tetapi juga sebagai upaya melakukan perubahan di kalangan warga desa itu sendiri, mengubah cara berpikir dan berperilaku, citra-diri mereka sendiri. Lebih jauh lagi, Lurah Atmo juga memaknai pergantian nama itu sebagai upaya untuk mengubah tatanan ekonomi masyarakatnya sehingga menjadi kuat, maju, dan makmur (rejo). Saat ini (2006), penduduk Dusun Sumberejo terdiri atas 2 rukun tetangga (RT), dengan 336 kepala keluarga (KK). Seluruhnya (100%) pemeluk agama Islam. Di desa ini terdapat dua masjid --Masjid Al- Muttaqien dan Masjid Baiturrohman-- yang dikelola oleh kalangan yang condong ke Muhammadiyah. Meski lokasinya berdekatan, namun bisa saling memahami. Sekalipun demikian, mayoritas penduduk desa ini melakukan shalat Jum’at di Masjid Al-Muttaqien. Saat ini, aroma santri agaknya bisa dirasakan di seluruh Sumberejo, dengan melihat banyaknya mushalla yang tersebar dan keaktifan penduduk dalam menggunakannya sebagai tempat shalat berjama’ah. Segera setelah peristiwa pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun1965, desa ini dan sekitarnya juga mendapat sebutan sebagai ‘daerah merah’, suatu sebutan umum untuk daerah-daerah yang penduduknya dianggap bukan pemeluk agama yang taat. Secara teologis, kepercayaan warga Sumberejo saat itu memang boleh dikatakan masih bersifat animisme-dinamisme dan belum mengenal Islam dengan baik. Kala itu, warga disana dikenal suka minuman keras dan berjudi. Pos ronda setiap malam dipakai sebagai tempat perjudian (main kartu). Bagi sebagian kecil warga muslim yang taat , mereka akhirnya mengirim anak-anak mereka mengaji (belajar agama Islam) ke desa lain yang jaraknya sekitar tiga kilometer dari Sumberejo. Menyaksikan keadaan tersebut, seorang lajang yang datang dari Desa Pengging, Boyolali, sekitar 45 kilometer dari Sumberejo, memutuskan untuk mulai menetap di desa ini. Lelaki itu bernama Muslim Imampuro yang kemudian lebih dikenal luas dengan panggilan ‘Mbah Lim’. Dia datang pertama kali ke Sumberejo, pada tahun 1959, memang dengan maksud membenahi moral warga setempat. Mulanya, 44
BAGIAN-I, Memahami Masalah dibantu oleh sekelompok kecil warga muslim yang taat, Mbah Lim mendirikan satu mushalla dengan nama ‘Sidodadi’, pada tahun 1960, di atas tanah waqah dari Mbah Iman Dikromo. Setelah selesai dan mulai rutin digunakan sebagai tempat shalat Jum’at, mushalla itu kemudian diganti namanya menjadi ‘Masjid Al-Muttaqien’. Nama baru itu diharapankan dapat membuat semua warga Sumberejo benar- benar menjadi orang yang bertaqwa kepada Allah. Kehadiran mesjid itu benar-benar memicu dan menyemarakkan kehidupan beragama warga Sumberejo. Mereka membentuk kelompok pengajian ‘Walisongo’ yang, pada gilirannya kemudian, menjadi cikal- bakal kelahiran satu pondok pesantren yang --meskipun kegiatannya sudah berlangsung sejak lama-- baru diresmikan pada awal September 1979. Pondok pesantren ini diberi nama yang sama dengan nama masjid mereka, ‘Al-Muttaqien’. Sebagaimana layaknya pesantren yang baru lahir, sarana dan prasarananya pada masa-masa awal tersebut masih sangat sederhana dan terbatas, hanya terdiri dari satu masjid kecil, rumah Mbah Lim sebagai pemimpin pondok (kyai), dan satu bangunan besar sebagai tempat tinggal para santri. Pondok Pesantren Al-Muttaqien berkembang pesat. Selain pesantren tradisional, mereka kemudian juga membangun lembaga-lembaga pendidikan formal seperti Madrasah Aliyah, setelah itu Madrasah Tsanawiyah, dan beberapa lembaga lainnya sebagai bagian dari pesantren Al-Muttaqien secara keseluruhan. Para pengelolanya kemudian bersepakat mendirikan satu yayasan sebagai badan hukum nya. Orang yang dipercaya mengurus pendirian yayasan saat itu adalah H. Yasin Habib, Abu Toyib, dan beberapa orang lainnya, sebelum akhirnya dialihkan kepada putra-putri Mbah Lim seperti sekarang ini. Dengan demikian, secara formal sesuai dengan akta pendirian yayasan nya yang ditandatangani oleh notaris H. Muhammad Imron SH, pesantren ini berdiri pada tahun 1986, tepatnya tanggal 31 Januari 1986. Tata Ruang Desa Dusun Sumberejo atau lengkapnya Sumberejo Wangi— persisnya terletak di Desa Troso, Kecamatan Karanganom, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah (lihat: Peta-1.1 di halaman berikutnya). Dusun ini terdiri dari tiga pedukuhan: Troso, Gemblongan, dan Sumberejo Wangi sendiri. Luas keseluruhan Desa Troso adalah 93,2 hektar yang dibagi ke dalam beberapa peruntukan, yaitu: kawasan pemukiman penduduk, pekarangan, sawah, dan sarana pelayanan 45
GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial PETA-1.1: Letak Dusun Sumberejo, Tloso, Karanganom, Klaten, Jawa Tengah INDONESIA PULAU JAWA KABUPATEN KLATEN, JAWA TENGAH ke Solo Sumberejo KOTA KLATEN ke Yogyakarta umum. Kawasan pemukiman dari tiga dusun tadi masing-masing dibatasi oleh kawasan persawahan. Hamparan persawahan yang terletak di tepi jalan raya Solo-Jogyakarta adalah milik warga Desa Ceper. Di bagian belakang kawasan pemukiman Desa Ceper inilah terletak hamparan sawah milik warga Sumberejo yang dikelilingi oleh talut (saluran pengairan) yang terbuat dari beton dan dibangun sejak zaman Belanda. Ironisnya, sekalipun gemericik suara air yang mengitari bibir desa dapat mereka dengar sepanjang hari, namun para petani Sumberejo tidak bisa memanfaatkannya, karena saluran 46
BAGIAN-I, Memahami Masalah tersebut memang diperuntukkan hanya untuk kawasan persawahan di Kecamatan Ceper yang berbatasan dengan desa mereka. Kawasan pemukiman penduduk Sumberejo Wangi adalah lahan tanah liat. Rumah-rumah penduduk umumnya terbangun dari bahan batu bata, walaupun masih terdapat beberapa rumah kayu dan gedhek (anyaman bambu). Bangunan beton bertingkat hanya terlihat di kompleks pondok pesantren Al-Muttaqien, milik keluarga pengasuh dan pengelola pondok. Demikian pula bangunan pesantren dan madrasah UNMRI yang berada di luar kawasan pemukiman warga, tampak kokoh dan megah. Di desa ini terdapat 223 rumah yang dihuni oleh 212 keluarga. Dengan kata lain, ada 11 keluarga yang memiliki 2 rumah. Namun, beberapa rumah juga sebenarnya dihuni oleh lebih dari satu keluarga pati (nucleas family) sebagai ‘keluarga gantung’ dari satu keluarga besar (extended family). Hampir semua rumah penduduk tersebut berdiri di atas tanah milik sendiri. Hasil pemetaan1 menunjukkan sebagian besar rumah warga terkumpul di bagian timur desa, agak terpisah dari kompleks pesantren di bagian barat desa. Rumah-rumah warga yang berdekatan dengan kompleks pesantren umumnya tidak memiliki lahan pekarangan atau halaman, hanya teras rumah yang menjorok ke jalan (selengkapnya, lihat: Peta-1.2 di halaman berikutnya). 1Pemetaan yang dilakukan dimulai dengan sketsa seluruh wilayah desa. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan warga memahami keseluruhan wilayah desa mereka sendiri. Hasil pemetaan awal inilah yang menggambarkan pola penyebaran dan tata-letak seluruh rumah warga, letak kompleks pesantren dan rumah putra-putri kyai, serta berbagai prasarana dan sarana umum yang ada di desa. Hasil pemetaan ini menjadi dasar kegiatan berikutnya, yakni pendataan dan analisis dinamika demografi desa serta penghidupan dan ekonomi masyarakat. 47
GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial PETA-1.2: Denah rumah-rumah dan pemilikan lahan pekarangan Dusun Sumberejo, Tloso, Karanganom, Klaten, Jawa Tengah saluran irigasi (sekunder) SAWAH SD SAWAH SAWAH batas dusun batas lahan jalan pengairan BALAI DESA SD/Madrasah masjid rumah warga s(saelukruanndierirg)asi KOMPLEKS PESANTREN Pesantren dan Masyarakat 2 Memahami masyarakat Sumberejo tidak bisa terlepas dari Pesantren Al-Muttaqien. Demikian pula halnya mengenal Pesantren Al- Muttaqien tidak bisa terlepas dari peran masyarakat Sumberejo yang ketika itu menginginkan adanya satu lembaga pendidikan Islam 2Pendataan tentang sejarah dan dinamika perkembangan Pesantren Al- Muttaqien ini --dan dalam hubungannya dengan sejarah dan dinamika perkembangan desa Sumberejo sendiri-- dilakukan dengan melibatkan langsung warga setempat. Cara yang ditempuh adalah melalui rangkaian 48
BAGIAN-I, Memahami Masalah (pesantren). K.H. Muslim Imampura (Mbah Lim) sebagai pendiri dan pemimpin utama pesantren tersebut, tidak dapat berjalan sendiri tanpa dibantu oleh para sahabatnya dari warga setempat yang kemudian disebut ‘Pendawa Lima’. Para ‘Pendawa Lima’ inilah sebenarnya yang berperan sebagai local organizer, mengorganisir sesama warga Sumberejo untuk mendukung gagasan Mbah Lim membangun Pesantren Al-Muttaqien. Karena itu, sejarah Sumberejo maupun sejarah Pesantren Al-Muttaqien merupakan dua pilar yang saling terkait dalam proses perubahan sosial masyarakat Sumberejo dan sekitarnya. Keterpaduan dan hubungan saling-imbal (reciprocality) antara masyarakat Sumberejo dengan Pesantren Al-Muttaqien itu mencapai masa jayanya terutama pada periode 1960-1970an. Pada masa itu, kesetaraan sosial dalam masyarakat Sumberejo --yang di dalamnya juga adalah Pesantren Al-Muttaqien-- terlihat begitu nyata. Hampir semua persoalan kemasyarakatan dibahas bersama. Apa yang menjadi masalah warga juga menjadi masalah bagi pesantren, dan sebaliknya. Pesantren bahkan bersedia menerima kenyataan masih hidupnya praktik-praktik sinkretisme lokal. Pertunjukan wayang setiap bulan Sya’ban --yang menjadi kepercayaan masyarakat dusun ini untuk menolak bala dan mencapai kemakmuran desa-- pernah dilaksanakan di dalam kompleks pesantren. Keselarasan itu kemudian memudar perlahan dalam beberapa tahun terakhir, terutama sejak putra-putri Mbah Lim dan pengurus yayasan mengambil-alih pengelolaan pesantren sejak tahun 2000. Mulai muncul berbagai ungkapan yang bernada menggugat keberadaannya di Sumberejo, bahkan juga dari kalangan para sesepuh yang dahulu pertemuan kelompok-kelompok kecil terpisah dimana mereka bebas menyampaikan informasi dan menyatakan pendapat serta pikiran mereka sendiri tentang berbagai hal mengenai desa dan kehidupan mereka. Pada saat itu, tim penulis menempatkan diri lebih sebagai ‘orang luar yang belajar’ (mendengar, mencatat, dan bertanya) kepada warga tersebut sebagai narasumber utama. Warga yang terlibat dalam proses ini mewakili berbagai kalangan dan lapisan, lelaki maupun perempuan, bahkan juga kaum remaja dan anak-anak. Untuk anak-anak, mereka memang tidak dilibatkan dalam proses-proses diskusi, tetapi sebagai narasumber yang diwawancarai secara mendalam mengenai berbagai hal yang mereka ketahui dan bayangkan tentang desa mereka. 49
GAMANG, Lembaga Pendidkan Islam & Perubahan Sosial bahu-membahu bersama Mbah Lim merintisnya. Mereka mulai mengajukan pertanyaan seperti: “Pesantren (Al-Muttaqien) itu berada di dalam Sumberejo, ataukah Sumberejo yang berada di dalam pesantren?”. Masalahnya adalah karena pesantren itu memang mulai lebih disibukkan mengurus dinamika internalnya sendiri. Keterlibatannya secara langsung dalam berbagai persoalan kemasyarakatan warga seperti selama ini, mulai berkurang, termasuk ketika warga Sumberejo kini menghadapi masalah penyusutan air sebagai dampak dari pembangunan pabrik baru Aqua-Danone di bagian hulu. Eksploitasi PDAM dan AQUA-DANONE Sumber air alam di kawasan Ponggok dan Cokro di Kecamatan Polanharjo, Klaten, adalah salah satu sumber air alam di Indonesia yang telah diekspolitasi oleh perusahaan air minum dalam kemasan (lihat: Peta-1.3). PETA-.1.3: Lokasi sumber air alam yang telah dieksplorasi sebagai air dalam kemasan di seluruh Indonesia Pabrik AQUA-DANONE Polanharjo, Klaten, Jawa Tengah Sumber air alam di Ponggok dan Cokro tersebut dieksploitasi oleh PT. Tirta Investama, perusahaan multinasional produsen air minum dalam kemasan merek Aqua-Danone, perintis air minum dalam kemasan dan mungkin merupakan produsen terbesar di Indonesia sampai saat ini. 50
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164
- 165
- 166
- 167
- 168
- 169
- 170
- 171
- 172
- 173
- 174
- 175
- 176
- 177
- 178
- 179
- 180
- 181
- 182
- 183
- 184
- 185
- 186
- 187
- 188
- 189
- 190
- 191
- 192
- 193
- 194
- 195
- 196
- 197
- 198
- 199
- 200
- 201
- 202
- 203
- 204
- 205
- 206
- 207
- 208
- 209
- 210
- 211
- 212
- 213
- 214
- 215
- 216
- 217
- 218
- 219
- 220
- 221
- 222
- 223
- 224
- 225
- 226
- 227
- 228
- 229
- 230
- 231
- 232
- 233
- 234
- 235
- 236
- 237
- 238
- 239
- 240
- 241
- 242
- 243
- 244
- 245
- 246
- 247
- 248
- 249
- 250
- 251
- 252
- 253
- 254
- 255
- 256
- 257
- 258
- 259
- 260
- 261
- 262
- 263
- 264
- 265
- 266
- 267
- 268
- 269
- 270
- 271
- 272
- 273
- 274
- 275
- 276
- 277
- 278
- 279
- 280
- 281
- 282
- 283
- 284
- 285
- 286
- 287
- 288
- 289
- 290
- 291
- 292
- 293
- 294
- 295
- 296
- 297
- 298
- 299
- 300
- 301
- 302
- 303
- 304
- 305
- 306
- 307
- 308
- 309
- 310
- 311
- 312