Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Selamat Datang, Saudaraku

Selamat Datang, Saudaraku

Published by buditjenggunawan, 2020-11-20 17:27:17

Description: Budi Tjenggunawan

Sebuah tulisan yang menceritakan tentang pengalaman penulis dalam tahun-tahun pertamanya menjawab panggilan Tuhan dengan menjalani kehidupan di Seminari Menengah Wacana Bhakti, Jakarta.

Keywords: Seminari,Seminari Wacana Bhakti,Katolik,Imam,Biara

Search

Read the Text Version

SELAMAT DATANG, SAUDARAKU BUDI TJENGGUNAWAN

PENDAHULUAN WB tuh apa sih? SWB, atau lengkapnya Seminari Menengah Wacana Bhakti adalah sebuah seminari menengah (tempat pendidikan calon imam setingkat SMA) yang terletak di Jl. Pejaten Barat No. 10A, Jakarta Selatan, satu kompleks dengan sekolah SMA Kolese Gonzaga. Di WB, ada 2 program yang dapat diikuti oleh seminaris berdasarkan usia. Yang baru lulus SMP masuk program KPP (Kelas Persiapan Pertama) selama 4 tahun (termasuk menempuh pendidikan SMA di SMA Kolese Gonzaga, dan yang baru lulus SMA/SMK masuk program KPA (Kelas Persiapan Atas) selama 1 tahun sebelum melanjutkan ke seminari tinggi. Tulisan ini untuk apa? Tujuan awalnya, tulisan ini saya buat untuk memenuhi tugas sekolah “Babak Jiwa Raga Utama: Proyek Personal Gladi Cipta”. Tetapi lebih dari itu, memang sejak lama saya termotivasi untuk membuat tulisan, atau mungkin semacam novel singkat mengenai gambaran kehidupan di seminari. Harapannya, mungkin ada teman- teman di luar sana yang penasaran dengan kehidupan di seminari/asrama, mendapatkan gambaran lebih mengenai seperti apa kehidupan di seminari, dan bahkan jadi

tertarik untuk masuk ke seminari. Saya sempat terinspirasi dari pengalaman saya sendiri, ketika saya tertarik masuk seminari karena membaca novel Negeri 5 Menara. Tetapi, itu kan novel yang menceritakan kisah di pesantren, novel dengan gaya Islam? Kenapa tidak ada novel semacam itu versi Katolik? Saya tidak ingin teman- teman dari generasi setelah saya tidak mendapatkan pengenalan yang cukup akan lingkungan seminari. Tidak semuanya mau ikut Live In, lomba, dan sebagainya. Siapa tahu, ada dari mereka yang hobi membaca dan mungkin asal-asal membaca tulisan saya. Biasanya, kalau sudah suka baca buku itu dikasih buku apapun juga pasti “disikat”, apalagi kalau bahasanya enteng. Meskipun tidak sehebat Negeri 5 Menara, saya ingin berusaha menulis untuk memperkenalkan mengenai seminari dengan versi saya. Sayangnya, keinginan untuk membuat tulisan itu lama tertunda karena kesibukan sekolah dan berbagai faktor lainnya. Pada akhirnya datang tugas dari sekolah untuk membuat suatu proyek, dan saya merasa ini saat yang tepat untuk berusaha membuat cerita-cerita mengenai kehidupan seminari yang benar-benar dari kisah nyata tanpa ada yang “ditutup-tutupi”, bahkan benar-benar mengisahkan mengenai kehidupan para seminaris sehari-hari, dengan segala suka-duka, keunikan, kearifan, dan lain-lainnya yang mungkin tidak pernah disangka oleh orang-orang.

Daftar isi A. Events ➢ Hari pertama di WB ➢ Karantina (dan 17an) ➢ HOTS (Hari Orang Tua Seminaris) ➢ Gonzaga Festival ➢ Jambore ➢ Natal ➢ Prapaskah dan Pekan Suci ➢ Expo Panggilan ➢ JP II Cup B. Jadwal Harian a. Hari Sekolah b. Kegiatan mingguan ➢ Sabtu (latihan koor, rekreasi, bidel toko, nonton film) ➢ Minggu (kunjungan, perutusan paroki, rekoleksi, ambulasi) c. Kegiatan khusus ➢ Opera Magna ➢ Latihan Orkestra ➢ Rapat Legio Maria ➢ Forum Komunitas C. Area WB

D. MK (Momen Ketika...) ➢ Darurat mengerjakan tugas ➢ Mencuci baju Selasa malam ➢ SKS (Sistem Kebut Semalam) dan Ujian ➢ Fogging dadakan

PROLOG Selamat datang, Saudaraku Kamis, 12 Juli 2018 Sekitar pagi hari, di kamar Sejak beberapa hari lalu, perasaanku campur aduk tak menentu. Semakin dekat masuk seminari, dan bahkan tanpa terasa, beberapa jam lagi aku akan meninggalkan rumah. Sejak kemarin aku mulai berpamitan dengan teman-teman SMP, PPA, keluarga, dan siapapun itu di media sosial. Pagi ini setelah Misa pagi aku juga sempat pamitan sama Romo paroki, sekalian minta berkat. Perasaanku campur aduk, lebih cenderung ke gelisah, khawatir, takut. Aku belum sepenuhnya memiliki bayangan akan seperti apa situasi di seminari, sekalipun aku sudah pernah mengikuti Live In dan menginap di sana saat tes masuk. Perasaanku terlalu berkecamuk, sampai aku bingung mau ngapain lagi di rumah. Sekitar siang hari, mungkin jam 12, masih di rumah Perasaanku makin dag dig dug. Semakin dekat waktunya tiba. Siang ini aku memakan sayur labu siam, masakan mama yang entah kapan lagi bisa kunikmati. Aku sangat menghargai momen makan siang ini, meskipun sejujurnya aku juga tak tahu lagi mau ngobrol apa sama

mama. Perasaan khawatir, gelisah, dan takut itu kemudian berubah jadi panik. Nggak tahu kenapa. 13.00 (?), masih di rumah Aku bersyukur sekali, Ibu Rani, ketua ASAK Parokiku pada waktu itu, menawarkan diri untuk mengantar kami ke seminari. Sekitar jam segini, aku sudah cemas menunggu kedatangan beliau di depan rumah, setelah berusaha berpisah dengan setiap sudut ruangan rumah ini. Kadang kalau dipikir lagi, aku melakukan seperti itu seakan aku tidak akan pernah kembali ke tempat ini lagi. Dan ketika Bu Rani akhirnya datang, aku semakin panik. Beberapa menit kemudian, aku, mama, Bu Rani, berangkat ke WB dengan bawaan koper, ember, tas sekolah, dan tas tenteng yang semuanya mungkin sudah mau jebol karena memuat terlalu banyak barang. Selama perjalanan (dan sejak masih di rumah tadi), aku sibuk chatting dengan 2 orang sahabatku, pokoknya kita sedih- sedihan karena mau pisah. Kalau diingat kembali, rasanya waktu itu kami benar-benar drama. Tapi ya sudahlah, memang begitu adanya. Sekitar jam 14 (?) OTWWB Aku lupa persisnya jam berapa, kami tiba di WB. Aku panik ketika akhirnya mobil berbelok di perempatan Pejaten Village ke Jalan Pejaten Barat. Beberapa menit kemudian, kami mulai memasuki ke area WB, lalu

registrasi. Aku lupa siapa among tamunya karena waktu itu aku belum mengenalnya, tetapi aku ingat sekali waktu itu aku diperlihatkan daftar nama, siapa kakak kelas yang akan membantuku mengangkut barang-barang ke kamar. Namanya Andhika, aku nggak tahu siapa, eh tapi kayaknya tahu. Akhirnya aku bertanya ke among tamunya, “Eh.. kak, Andhika ini yang suka bawain acara di panggung itu ya?” “Iya bener, biasa nge-MC dia,” jawab among tamu yang entah siapa itu, lupa pokoknya. Aku terlalu nervous saat itu, sampai tidak menemukan kosakata yang tepat untuk MC. Rasanya bodoh sekali kalau diingat. Kami juga sempat bersalaman dengan seseorang yang memperkenalkan diri sebagai frater subpamong (belakangan aku kenal sekali, yang sekarang sudah menjadi Pater Hario). Kami juga sempat ke bagian keuangan, Mas Bimbim, untuk mendiskusikan beberapa hal kepentingan administrasi. Setelah itu, baru kami duduk di asem (baca: aula seminari). Acara mulai jam 15.00, dan masih ada cukup waktu untuk ngobrol, chatting sama teman-teman, perpisahan untuk terakhir kalinya. 2 orang tante dan 1 sepupuku juga datang untuk menemani mama mengantarku, baik sekali. Rombongan pengantarku jadi cukup ramai. 15.00, Asem

Ketika menunggu acara dimulai, aku sempat memperhatikan suasana di sekitarku. Ada banyak sekali orang yang hadir, kebanyakan adalah orangtua KPP dan KPA yang mengantar anak-anaknya, sama seperti saya. Semua kakak kelas sudah masuk beberapa hari lebih awal dari kami, sehingga mereka menyiapkan beberapa hal untuk “menyambut” kami. Aku melihat panggung asem pada saat itu didekorasi. Meskipun sederhana dan terkesan seadanya, tulisan yang ada di sana entah mengapa membuatku agak terharu, tetapi juga membuatku panik: “Selamat datang, Saudaraku”, dengan beberapa huruf sempat terlepas. Entah mengapa, menurutku itu sambutan yang hangat, namun semakin membuatku gelisah karena aku akan segera menjadi bagian dari mereka ini, seminaris. Setelah ngaret beberapa menit, acara dimulai dengan perpaduan MC yang umumnya pada masa itu: Andhika dan Felix. Acara diawali dengan perkenalan, yaitu kami para seminaris baru satu per satu harus memperkenalkan diri dan rombongan yang mengantar kami. Aku masih ingat Octa, KPA angkatan kami, datang bawa mantan, gokil!. Ada juga Eman yang terlambat datang dan terlambat perkenalan, lantas langsung naik daun karena berasal dari Papua. Setelah basa-basi beberapa menit dan mendengarkan kata-kata dari Pater Yogo (pamong umum seminari waktu itu), kami disuruh mengecek kembali barang bawaan sebelum diangkut ke kamar, dan juga harus mengembalikan ke orangtua beberapa barang yang

tidak diperlukan/jumlahnya terlalu banyak. Akhirnya, setelah cukup lama pembicaraan yang menegangkan itu, tibalah saatnya: perpisahan dengan orangtua dan rombongan pengantar. Asli, jujur, awalnya aku gak sedih-sedih banget, tapi tiba-tiba lagu “Album Biru” mulai mengalun di seantero asem. Sialan! Gara-gara situasi yang dibikin dramatis kayak gitu, aku jadi berusaha keras untuk menahan air mataku, apalagi saat berpelukan dengan mama dan dengan yang lainnya. Setelah (belum) puas salam perpisahan, kami (dengan dibantu kakak-kakak itu) mengangkut barang bawaan kami menuju kamar yang sudah ditentukan. Kakak kelasnya waktu itu ramah, dan juga bilang jangan panggil kak. Saat itu aku masih canggung sekali buat manggil orang yang lebih tua dengan sebutan langsung nama. Sore itu, aku diantar ke kamar 25 di unit 3, dengan kapasitas 3 orang. Sampai saat itu, aku sama sekali belum kenal dengan 2 orang teman kamarku, padahal kami bertiga ada di kamar itu, menatap dan membereskan barang masing-masing. Awkward banget!!! Setelah beberapa saat, kami kembali ke asem. Sudah sangat sepi orangtua, kebanyakan sudah beranjak pulang. Aku masih merasa shock, terguncang, kaget, sedih, dan insecure. Meskipun tahu akan berpisah, nggak tahu kenapa, aku benar-benar merasakan momen kehilangan dan kesendirian, ketika aku tiba-tiba sama sekali tidak boleh komunikasi dengan orangtua, sementara di seminari ini

hanya 1-2 orang yang aku kenal. The quarantine has been started. Tadi sudah dijelaskan, kalau kami tidak diperkenankan berkomunikasi dengan siapapun di luar seminari, sampai pada perayaan Hari Orang Tua Seminaris (HOTS) tanggal 22 September. Sungguh, itulah untuk pertama kali dalam hidup, aku amat sangat merindukan dan menanti sebuah hari. Bahkan dalam beberapa hari pertama aku di seminari, motivasi hidup aku hanya untuk bertahan sampai 22 September. Aku masih ingat sekali, waktu itu aku menghitung hari menggunakan buku agenda: H-72, H-71, H-70… Dan sejak saat itu, entah kenapa aku selalu menahan tangis ketika mendengar beberapa kata kunci berikut: mama, orangtua, keluarga, paroki, dan sebagainya. Entah ada yang melihat atau tidak mataku berkaca-kaca, aku langsung berusaha menghapusnya secara diam-diam. Sekitar jam 16.00, area WB Kegiatan Masa Orientasi Seminaris Baru (MOSB) dimulai, dengan panitia ofisi inti. Salah satunya adalah Guter, separoki dan kakak seniorku di PPA, yang membuatku lega dan sekaligus bangga: jabatan tinggi di seminari, wow! Dan beruntungnya lagi, pendamping kelompokku adalah dia, aku senang sekali ada orang yang kukenal, meskipun tidak akrab. Saat itu kami dibagi

menjadi 4 kelompok berdasarkan 4S (pilar hidup seminari): Sanctitas (hidup rohani), Scientia (hidup studi), Sanitas (hidup bersih dan sehat), dan Societas (hidup berkomunitas). Aku absen 1, maka aku masuk ke kelompok 1, Sanctitas. Pertama-tama kami membuat yel-yel, dan aku cukup bangga aku sempat menyumbang 1 kalimat untuk mengisi kekosongan dalam yel-yel tersebut. Mungkin aku lupa- lupa ingat, tapi kurang lebih liriknya seperti ini, dinyanyikan dengan nada lagu “Aku Dengar Bisikan Suara- Mu”: Kami mendengar panggilan Tuhan Masuk Seminari Wacana Bhakti Kami ini kelompok Sanctitas Seminaris yang slalu cinta Indonesia SANCTITAS!!??? NIPPON PAINT!!! *memang callback-nya cringe, abaikan saja. Lupakan. Aku agak lupa siapa saja tepatnya anggota kelompok Sanctitas, tapi sepertinya aku masih memiliki catatannya

di buku agendaku waktu itu. Setelah bikin yel-yel, kami berkeliling lingkungan WB dan mendengarkan penjelasan dari beberapa perbidelan, misalnya mengenai peraturan refter (ruang makan), ruang studi, lab komputer, dan sebagainya. Perbidelan, sama seperti kepengurusan dalam OSIS atau semacamnya, adalah tugas yang diberikan kepada setiap seminaris untuk mengurusi urusan tertentu. Misalnya, bidel unit bertugas untuk membantu mengurusi segala hal yang berkaitan kebersihan dan fasilitas di unit. Selain perbidelan, ada juga ofisi inti (terdiri dari bidel umum, wakil bidel umum, sekretaris dan humas, serta ketua dari masing-masing angkatan yang disebut dengan bidel angkatan/bidak), yakni teman-teman yang memiliki tugas berkomunikasi langsung dengan kepamongan dan membantu mengatur agar kehidupan berkomunitas dapat berjalan sebagaimana mestinya. 18.00 Setelah keliling itu, kami mandi. Di situlah kami semakin mempermasalahkan satu hal: di kamarku tidak ada lampunya, dan hari mulai gelap. Agak susah untuk mengeluarkan barang-barang yang sebagian besar masih di tas. Setidaknya, lampu kamar mandi di kamarku masih bisa berfungsi. Setelah mandi kami sekomunitas berkumpul lagi di asem. Saat itulah terjadi momen yang agak lucu, apalagi setelah aku mulai kenal nama teman kamarku, Ando:

“Ndo, lampu kamar kita gimana jadinya?” tanyaku ketika sudah duduk di asem. Ando duduk di belakangku (meskipun disuruh nyebar duduknya, pasti beberapa ada yang berdekatan). “Gak tahu, coba tanya bidel unit aja kali,” jawab dia. “Bidel unit siapa ya?” tanyaku, yang sampai saat itu masih hampir tidak mengenal siapapun. “Eh, gue bidel unit, ada apa?” tiba-tiba kakak kelas yang duduk di sampingku nyeletuk. Saat itu aku belum kenal, tapi belakangan aku tahu, namanya Boni. Dan dia benar-benar “koordinator” bidel unit saat itu. Aku kaget juga tiba-tiba kakak kelas ngomong begitu, jadi aku agak canggung juga menjawabnya. “Eh, eee… itu kak, kamar saya.. enggak ada lampunya,” jawab aku sedikit terbata. Payah banget. “Oh,, oke deh lu kamar berapa?” “Kalo gak salah kamar 25,” untungnya aku sempat nengok ke nomor kamarku yang sudah agak pudar dan hampir menghilang. “Oke, sebentar ya nanti gue ke sana,” jawabnya “..Makasih kak,” ujar aku, masih berusaha sopan. Masih polos banget pokoknya! Acara pun dimulai, dibawakan oleh Pater Yogo untuk menjelaskan berbagai peraturan yang tertulis dalam buku putih yang sekarang kami pegang. Aku berusaha

mengikuti dengan cukup antusias, meskipun dalam hati perasaanku masih berkecamuk: kangen mama, takut, panik, lonely. Sekitar jam 19(?), di refter (ruang makan) Makan malam. Hari ini duduknya masih bebas di mana saja, dan aku yang masih malu-malu memilih duduk di area pojok. Di mejaku ada beberapa kakak kelas, tapi ada juga yang KPP, masih baru juga sama sepertiku. Tapi aku juga belum kenal, jadi ya sama saja. Aku hanya diam menyimak keramaian di sekitarku, memilih asyik dengan makananku. Pokoknya masih canggung banget deh. “Eh, lu Budi kan ya, paroki Matraman?” tanya seorang kakak kelas, aku tahu namanya Aldi. Dia juga separoki denganku, meskipun aku tidak terlalu mengenalnya. Cuma tahu saja orangnya yang itu, pernah dikenalin. “Eh, iya. “ udah, aku hanya menjawab begitu. Aku masih canggung sekali berbicara dengan kakak kelas, panggil langsung nama, apalagi pakai sebutan “lo-gue”. “Lu misdinar kan? Nanti pas liburan kenalin gue ke temen-temen lu yaa,” ujarnya ramah. Sejujurnya, sampai hari ini, ketika dia sudah lulus dari seminari, hal itu tidak terwujud. “Ohh, iyaa,” jawabku, masih kaku juga. Setidaknya, aku jadi sedikit merasa welcome di sini, yang cukup membuat aku lega. Ada yang kenal aku.

Beberapa menit kemudian, bel berbunyi. Entah bel apa. Tiba-tiba semua hening, lalu Guter (Guter!) naik ke podium, lalu membacakan pengumuman. Aku semakin bangga dan bertanya-tanya, orang penting seperti apakah Guter di WB? Hebat juga. 20.00, studio WB Aku tidak begitu ingat apa yang terjadi di sini, pokoknya ada satu kegiatan pembuka: mosing. Aku belum tahu apa-apa. Awalnya kita berdiri, lalu disetel musik, tiba- tiba semua joget. Namanya anak baru, malu-malu, aku dan yang lain cuma mojok, diem, menonton. Sampai akhirny,a kami ditarik juga untuk ikutan joget di daerah yang agak tengah. Lama-lama, joget-nya ini semakin brutal, bertenaga, barbar, lalu mulai rusuh. Dorong-dorongan, bahkan tonjok-tonjokan dan tendang-tendangan. Panik, aku berusaha ke pinggir tapi gak bisa. Dengan badan yang kecil, aku hanya bisa diam putus asa, membiarkan badanku terombang-ambing ke semua arah tanpa tujuan, sambil berusaha melindungi diri. Aku sempat jatuh karena terdorong dan tidak ada yang menahanku di arah aku jatuh, tetapi sebelum aku nyentuh lantai bahkan sudah ada yang menarikku, hanya untuk membuatku kembali terombang-ambing di tengah manusia yang aku gak tahu pada kenapa. Setelah beberapa saat, akhirnya berhenti juga. Studio langsung pengap, semua orang bermandikan

keringat, dan bahkan salah satu temanku, belakangan aku tahu namanya Bintang, kacamatanya patah. Kasian sekali. Aku bahkan masih belum sepenuhnya paham tadi itu maksudnya apa, bahkan setelah dijelaskan kalau ternyata itu namanya mosing, ketika kita bebas gebukin siapapun dan no hard feeling. Sungguh, itu pertama dan terakhir kali aku ikutan mosing. Beruntung aku baik-baik saja malam itu. Acara dilanjutkan dengan sharing dengan angkatan di atasku. Semua orang memperkenalkan diri, tetap saja aku belum meningat semuanya. Aku bukan kamera video yang bisa langsung ingat muka orang dan namanya saat pertama kali berkenalan, apalagi ini sangat, langsung bergantian dari 1 orang ke orang lainnya. Setidaknya, acara sharing berjalan dengan damai dan tenang. Kami dibagi menjadi 2 kelompok sharing agar tidak terlalu ramai. Kelas 1 mantan KPP-A dengan kelompok Sanctitas dan Scientia, sisanya di kelompok satunya. Aku tidak begitu ingat apa saja yang di-sharing-kan, pokoknya seputar kehidupan di seminari dan tanya jawab. Ada banyak pertanyaan dalam diriku, tapi tak ada satupun yang bisa aku keluarkan untuk ditanyakan. Nge-blank. Aku hanya menyimak, diam, dan mendengarkan. Sekitar pukul 22.00, di kapel WB Kalau tidak salah, kegiatan hari ini ditutup dengan Ibadat Malam yang namanya “Completorium”. Pakai buku

kecil warna hijau, aku juga baru dengar waktu itu. Semacam ibadat pakai mazmur, tapi lumayan keren sih. Aku juga belum tahu nyanyiannya, jadi aku berusaha ikut menyanyi sebisanya. Seperti selayaknya KPP baru, momen Completorium dan Laudes adalah momen yang membuat kami melongo karena belum mengerti tata caranya. Seusai ibadat, aku berdoa di kapel, mendoakan mama, keluarga dan sebagainya, sambil menahan tangis. Setelah itu, aku langsung kembali ke kamar. 22.30-?, di kamar 25, unit 3 Malam ini aku tetap melakukan tradisiku sejak kecil sebelum tidur: sikat gigi. Ketika aku bersiap sikat gigi, akhirnya Boni datang ke kamar kami, lalu memasang lampu yang entah dapat dari mana. Lampunya berwarna kuning temaram, lumayan. Setelah kami bertiga mengucapkan terima kasih, diapun pergi. Malam pertama ini kami bertiga sangat hening, masih canggung. Atau lebih tepatnya, kami terlalu sibuk dengan pikiran kami masing-masing. Aku sempat membereskan dan mengatur barang-barangku di lemari, lalu beranjak naik ke tempat tidur. Aku merasa beruntung mendapat tempat tidur di atas. Kenapa aku beruntung tidur di atas? Karena malam ini, setelah seharian kutahan, aku mau menangis. Iya, nangis. Terserah kalian mau bilang apa, tapi mungkin kalau kalian berada dalam posisi yang sama, kalian akan nangis juga. Baru hari pertama, udah kangen mama, kangen teman-teman, kangen rumah. Kangen

semuanya. Dan aku masih belum kenal siapa-siapa. Sampai kapan aku bisa bertahan? Malam ini aku mulai menghitung hari menuju HOTS. Menghitung manual, tanpa melihat kalender. Sampai akhirnya, aku tertidur dengan bayang-bayang motivasi: H-72. Dan keesokan paginya, aku bangun dengan bel alarm yang cukup keras dengan kata- kata pertama yang aku ingat: H-71. Terkadang, waktu terasa cepat berlalu ketika kita menengok masa lampau. Namun, waktu seringkali terasa lambat ketika kita sedang menantikan sesuatu yang akan terjadi di masa depan.



MASA KARANTINA Duc in Altum Jumat, 13 Juli 2018 04.45-05.15, di kamar dan kapel WB Hari keduaku di WB. Kami langsung bangun, mandi, lalu ke kapel. Di seminari, setiap pagi diawali dengan Laudes (Ibadat Pagi, pakai buku namanya brevir) dan Misa Harian. Sama seperti kemarin malam, kami KPP kebingungan dengan cara menggunakan brevir, yang harus bolak-balik halaman sesuai dengan kalender liturgi. Beberapa kali kakak kelas sampai mendatangi kami, hanya untuk memberi petunjuk halaman, dan sebagainya. Meskipun begitu, aku tetap berusaha untuk mengikuti dengan sungguh-sungguh, apalagi jenis doa ini cukup menarik bagiku. Misa di WB juga ternyata terbilang cepat, hanya sekitar 30 menit. Sampai saat ini, aku cuma kenal Romo Yogo dan Romo Andi, dan bahkan aku masih belum tahu ada sebutan “Pater” untuk romo. Entah karena tegang, masih baru atau bagaimana, pagi ini aku full terjaga di kapel. MOSB 12-15 Juli 2018

Pagi hari, di area WB Setelah sarapan, kami berkumpul di asem bersama teman-teman ofisi dan Pater Yogo. Ternyata MOSB sendiri tidak dibawakan oleh pihak seminari, tetapi dari kelompok temen maen, yaitu papi, mami, dan Kak Manus. MOSB, setelah aku lihat-lihat, lebih cenderung ke acara LDK daripada perkenalan WB, karena perkenalan itu sendiri sebenarnya kami alami secara langsung sehari- harinya tanpa ada acara khusus. Pagi ini kami mengawali dengan sesi permainan bingo. Singkatnya, kami diberi kertas yang berisi tabel yang harus diisi dengan nama teman-teman dan asal parokinya. Sebuah permainan yang “memaksa” orang untuk berkenalan satu sama lain. Aku masih ingat, saat itu akhirnya kertas bingo aku tidak penuh, tetapi ya sudah, syukurlah aku tidak dihukum karena itu. Acara dilanjutkan dengan berbagai sesi bersama temen maen, dan sesekali ada permainan outdoor per kelompok. Untuk seterusnya, aku tidak terlalu ingat apa saja yang kami lakukan selama MOSB, intinya adalah sesi, games, sesi, games¸ semacam itu. Sebagai anak asrama amatir, aku yang selalu takut kehabisan baju (dan tidak tahu mau ngapain lagi) hampir selalu memutuskan untuk mencuci baju di waktu-waktu kosong, Tempus Liberum/Templi (Latin, Tempus = waktu, Liberum = kebebasan). Beberapa momen MOSB yang kuingat adalah

permainan outdoor kelompok, ada “tali cinta”, “ring toss”, “I love you full”, “down to earth”, dan entah apa lagi, aku sudah lupa juga. Ada beberapa permainan yang “melatih keberanian dan kepercayaan diri” (kalau tidak mau dibilang cringe) dari temen maen. Di suatu sore, Ruang KPP Ada satu permainan di sore hari yang cukup unik menurutku, yaitu ketika masing-masing kelompok harus menyusun suatu alat dari kardus, koran, tali, dan beberapa bahan lain sehingga apabila sebutir telur mentah di jatuhkan ke dalam alat itu, telur tersebut bisa keluar lagi dengan keadaan mulus. Setiap kelompok mendapat 2 butir telur sebagai nyawa: pecah/retak 1 berarti hanya makan sayur saat makan malam, pecah/retak semua berarti hanya boleh makan nasi. Permainan dengan taruhan yang cukup genting. Kami mati-matian berdiskusi untuk membuat model alat tersebut, dan akhirnya berusaha membuatnya dengan waktu yang terbatas. Sampai akhirnya waktunya habis, dan kami harus uji coba. Telur pertama kelompokku retak (setidaknya nggak pecah, jadi kami tidak perlu membersihkan ruangan), lalu kami diberi kesempatan memodifikasi lagi alat yang kami buat. Aku bersyukur sekali, percobaan kedua sukses: telurnya keluar lagi dengan kondisi aman. Malam ini, kelompok Sanctitas hanya makan sayur. Aku tidak terlalu ingat dengan nasib

kelompok lain: ada yang berhasil semua, ada yang gagal semua. Realitanya, hukuman “hanya makan sayur” menjadi ambigu karena menu makan malam itu adalah nugget dan spaghetti. Karena bingung, akhirnya kami tetap memakan semuanya meskipun dengan porsi yang lebih sedikit. Entah bisa dibenarkan atau tidak, soalnya waktu itu juga aku jadi bingung. Di sore hari 14 Juli 2018, lapangan mini soccer Aku rasa, inilah puncak permainan selama MOSB. Setelah (kalau tidak salah) dimarahi papi dan mami akibat kesalahan dan kegagalan saat permainan, tiba-tiba kami semua disuruh membuka baju, lalu berkumpul di tengah lapangan. Awalnya semua ragu untuk melepas kaos, namun setelah dihitung dengan galak, semua pun nurut. Tidak hanya kaos yang dilepas, tapi juga kacamata dan name tag. Sudah diduga, kami akan bermain dengan air. Konsepnya adalah kami sebagai satu angkatan harus bisa menyambung potongan pipa untuk mengalirkan air dari gelas ke galon, sementara beberapa orang harus mengambil air dari kran lalu memberikan pada yang lain dengan cara membawanya di atas taplak meja yang dipegang 4 orang. Tambahan lagi, ada banyak kakak kelas yang menyirami kami selama perjalanan. Susah, dan alih- alih seru, aku malah merasa agak tegang juga karena dari tadi situasinya marah-marah. Pokoknya kita harus berhasil.

Kata mami, permainan tidak akan dihentikan sebelum kami berhasil, tidak peduli hari sudah malam, besoknya, atau besoknya lagi (begitulah, agak kejam juga kedengerannya) sebelum kami berhasil menyelesaikan misi ini. Tetapi nyatanya, kami berhasil sore itu juga. Permainan ini berlangsung seru, apalagi semua harus merasakan semua peran, baik pemegang pipa, gelas, taplak, dan merasakan disiram air. Seru. Dan terasa sekali euforia-nya ketika berhasil, semua senang, bahkan mami yang sejak tadi jutek juga tersenyum. Minggu, 15 Juli 2018 Pagi hari, Ruang KPP Setelah mandi, Misa, sarapan, kami berkumpul lagi di ruang KPP. Pagi ini masih ada sesi, meskipun hari terakhir MOSB. Selain mendengarkan nasehat dari papi-mami dan mulai belajar sikap dan menghafalkan Mars WB, kami juga berkumpul sebagai angkatan untuk membuat sebuah lagu angkatan. Entah tradisi atau bagaimana, tapi menurutku ini keren. Setelah berdiskusi beberapa saat, jadilah lagu angkatan kami, dengan lirik dan nada yang kami buat sendiri: Kami ini anak seminari Satu komunitas semua laki-laki Hidup bersama di Wacana Bhakti

Sebagai saudara saling melayani… (Tu, wa, ga!) Reff:Satukan hati, satukan jiwa angkatan tiga duaaa Satukan hati, satukan jiwa angkatan tiga dua Satukan hati satukan jiwa angkatan tiga dua Saling membantu bekerjasama s’bagai satu komunitas Lumayan lah. Meskipun jarang dipakai, setidaknya kami punya lagu kebanggaan tersendiri. Sekitar jam 12, koridor WB Berdasarkan tradisi, MOSB ditutup dengan makan bersama lesehan di koridor. Bukan makan siang biasa, melainkan kami sebagai satu komunitas (dibagi sekitar 15 kelompok) harus makan dari satu nampan yang sama, dan tidak menggunakan alat makan apapun. Meskipun pada awalnya terasa menjijikkan, aku merasakan adanya kebersamaan dan kekeluargaan dalam kegiatan ini. Seusai makan, temen maen pun pamit, MOSB selesai. Kegiatan nanti sore adalah kegiatan yang benar-benar kami tunggu. Welcome Party 2018: Duc in Altum 18.00, Asem

Sejak beberapa hari yang lalu, kakak kelas sibuk mendatangi kami di kamar untuk mengukur baju, katanya untuk mendata ukuran blazer yang akan dipakai saat Welcome Party. Ternyata benar ada acara yang diadakan cukup serius dan formal untuk menyambut kami seminaris baru. Tepat pukul 18 acara dimulai, bahkan diawali dengan kata sambutan rektor dan pamong. Tema yang digunakan pada Welcome Party tahun ini adalah “Duc in Altum”, yang berarti “Bertolak ke tempat yang lebih dalam”, mengambil makna filosofi agar kami KPP dan KPA semakin berani untuk “bertolak ke tempat yang lebih dalam” dan dengan sungguh-sungguh mengikuti panggilan Tuhan. Setelah itu ada penampilan angkatan, yang dipersiapkan secara dadakan. Aku lupa urutannya, pokoknya KPP terakhir. Yang kami siapkan sore itu adalah sebuah drama tentang jenis-jenis anak seminari: ada yang sedih, cuek, urakan, bahkan rempong, dan sebagainya. Sepertinya lumayan menghibur, meskipun mungkin agak cringe. Puncak acara merupakan momen yang cukup berkesan bagiku, yaitu ketika nama-nama KPP dan KPA baru dipanggil satu per satu ke depan, lalu disematkan pin WB, dipakaikan blazer, lalu berjalan keliling asem, bersalaman satu per satu dengan teman-teman komunitas yang udah membuat barisan melingkar. Berkenalan. Sembari melakukan prosesi seperti itu, mereka menyanyikan lagu Doa Seminaris karya L. Putut yang waktu itu aku masih belum tahu itu lagu apa. Tetapi

lagunya bagus sekali, bahkan menurut cerita sampai ada beberapa beberapa temanku yang menitikkan air mata. Di tengah metropolitan, dalam derap laju zaman Kala dunia menawarkan sorganya Aku dengar, panggilan-Mu Tuhan Tak tahu pantaskah aku, kau utus jadi gembala Yakin ku tegar besar kuasa cinta-Mu Kan membimbing setiap langkahku Kusandarkan semua harapanku Hanya pada kemurahan hati-Mu Yang tahu segalanya tentang diriku Bawalah diriku, kemana Kau mau Jadikanlah hidupku alat kasih-Mu Yah, dengan begitulah, aku dan teman-teman angkatan 32 resmi jadi anggota komunitas Seminari Menengah Wacana Bhakti. Rasanya malam itu menjadi malam yang indah bagi kami, ketika kami benar-benar resmi diterima masuk ke dalam komunitas WB.

Hari-hari awal karantina MOSB selesai, hari Senin tanggal 16 Juli kami langsung memulai pembelajaran. Berbeda dengan sekolah pada umumnya, kami “bersekolah” di salah satu ruangan di dalam seminari, dengan guru dari luar, dari Gonzaga, atau dari romo dan frater yang ada di lingkungan seminari. Ketika kakak kelas 1 sibuk dengan MIG, kami langsung memulai pelajaran dan berkenalan dengan guru-guru di kelas, serta berusaha beradaptasi dengan situasi sekolah dan belajar yang jelas berbeda dari sekolah kami yang lama. Hari-hari awal setelah MOSB menurutku lumayan berat. Banyak tekanan untuk adaptasi: harus hafal nama 100-an orang, bergaul (aku termasuk orang dengan kepribadian introvert sehingga agak sulit bagiku untuk itu), beradaptasi dengan suasana pelajaran, belum lagi kalau tiba-tiba masih rindu dengan orangtua. Sejujurnya, sampai saat itu kami masih sedikit merasakan senioritas di WB, meskipun tidak parah. Hari pertama pelajaran, jam pertama itu aku ingat sekali, pelajaran Matematika bersama Bu Indra. Guru yang baik, mungkin galak, tapi sejujurnya aku lumayan kangen setelah lama tidak bertemu dengannya. Aku juga belajar untuk mengatur pola hidup, menyesuaikan diri dengan jadwal komunitas, dengan cara terus memantau papan pengumuman yang isinya jadwal harian ter-update (yang ditulis oleh Guter sebagai humas). Membiasakan diri mencuci baju, bangun pagi, dan sebagainya. Aku juga belajar untuk memperluas

lingkungan pertemanan, bahkan pada minggu-minggu awal aku benar-benar memiliki motivasi untuk mempunyai banyak teman, membuat zona nyaman baru di WB. Sedikit banyak, aku juga berusaha untuk mengatasi kelemahanku, yaitu mudah berkaca-kaca ketika denger beberapa “kata kunci” yang pernah kusebutkan pada bagian sebelumnya. Aku masih ingat, pernah di salah satu siang hari di jam tidur siang, ketika teman-teman kamarku entah pergi ke mana. Saat itu aku juga tidak bisa tidur, akhirnya aku benar-benar membuka semua ingatanku tentang hal-hal yang sangat kurindukan selama ini. Bagaikan memecahkan celengan, aku menangis sesenggukan sejadi-jadinya. Tapi setidaknya, setelah itu aku menjadi lebih kuat dalam menghadapi perasaan rindu. Minggu, 22 Juli 2018 Tidak, tentu saja aku tidak lupa. Hari ini ulang tahun mama. Tapi aku sedih sekali, jangankan bertemu, aku bahkan tidak bisa mengirim surat atau berkomunikasi dengan cara apapun untuk mengucapkan selamat ulang tahun kepadanya. Setidaknya, hari ini juga ada kegiatan yang lumayan aku tunggu: ambulasi/ jalan-jalan. Setelah sekitar seminggu tidak keluar area seminari, hari ini kami mendapat kesempatan untuk ambulasi terpimpin ke Kebun Binatang Ragunan. Karena masih karantina, kami ambulasi bareng pamong dan teman-teman ofisi, jadinya

terasa seperti karyawisata. Bedanya, aku tidak perlu nulis laporan ini-itu tentang spesies hewan yang ada. Cukup berjalan-jalan, rekreasi. Pulang-pergi kami naik Transjakarta, dengan membawa bekal makanan dari suster. Di sana kami menghabiskan waktu bersama seangkatan, dan entah bagaimana kadang kami menemukan jokes receh. Meskipun tidak bisa bertemu dengan mama di hari ulang tahunnya kali ini, aku bersyukur bisa memiliki momen menyenangkan bersama teman-teman. Tahun ini memang berbeda. Minggu, 5 Agustus 2018 Sudah masuk bulan Agustus, waktu berjalan sangat lambat ketika aku masih menghitung hari menuju 22 September. Dan hari ini, aku berulang tahun yang ke-15. Aku ulang tahun, dan bahkan aku rasa di WB belum ada yang tahu kalau aku ulang tahun. Aku tidak tahu akan ada yang memberi ucapan atau tidak. Hari ini persis seperti 22 Juli kemarin, bedanya aku yang ulang tahun. Hari ini harusnya kunjungan orangtua, tapi karena masih karantina jadinya kami ambulasi lagi, kali ini ke Museum Nasional. Kami sudah memulai perjalanan, dan aku masih belum memberitahu siapapun kalau aku ulang tahun. Aneh juga dong, masa iya harus bilang-bilang, “Hei, hari ini aku ultah loh!!!”

Malam ini merupakan momen yang mungkin tidak pernah aku lupakan. Momen yang cukup memalukan. Sore hari setelah mandi, aku ingat akan kebiasaan atau tradisi di seminari ini. Setiap seminaris yang berulang tahun harus membacakan pengumuman ketika makan malam di refter. Aku langsung panik dan gugup karena sampai saat itu aku jarang berbicara di depan umum. Apalagi, aku masih belum begitu mengenal teman-teman di komunitas pada masa itu. aku mencoba menenangkan diri dan meyakinkan diri kalau aku pasti bisa. Cuma baca pengumuman, kok! Waktu terus berlalu. Jam makan malam pun tiba, aku mencoba makan dengan tenang. Namun tak dapat dipugkiri, aku deg-degan. Beberapa waktu kemudian aku dipanggil oleh Guter untuk mempersiapkan diri. Lalu bel refter dibunyikan, tanda bahwa pengumuman akan segera dibacakan sehingga para seminaris diharapkan untuk segera diam. Seperti biasanya, butuh waktu yang agak lama untuk menunggu semua tenang. Setelah berusaha menangkan diri (dan gagal), aku mulai dengan menyapa mereka terlebih dahulu. Tetapi karena grogi, aku malah teriak dan mengeluarkan suara yang melengking sehingga seisi refter pun tertawa. Aku makin kehilangan kepercayaan diri, malu. Setelah suasana sedikit lebih tenang, aku berusaha melanjutkan membacakan pengumuman. Salah satu pengumuman berisi tentang pemberitahuan kepada beberapa seminaris untuk berkumpul setelah makan malam. Ketika itu, ada seorang

seminaris bernama Yoga yang termasuk dalam pengumuman tersebut. Tetapi karena grogi dan tulisan di buku pengumuman yang kurang jelas, aku salah menyebutnya menjadi “Yogo”, nama romo pamong kami pada saat itu. Seketika itu pula seisi refter heboh, tertawa, dan aku jadi panik. Malu banget!! Butuh waktu yang sangat lama untuk menunggu tawa mereka semua mereda. Setelahnya aku berusaha minta maaf atas kesalahan membaca dan melanjutkan membacakan pengumuman. Sejak peristiwa itu hingga beberapa hari setelahnya, aku benar-benar malu dan merasa bersalah. Tetapi aku lama-lama sadar juga, pengalaman memalukan ini menjadi pelajaran berharga. Dalam kesempatan berikutnya, aku harus bisa lebih tenang dan santai ketika harus berbicara di depan umum. Sabtu, 16 Agustus 2018 Malam ini, seperti kebiasaan dari tahun ke tahun, ada tirakatan. Tirakatan adalah acara setahun sekali, selalu dirayakan setiap malam 16 Agustus, H-1 Hari Kemerdekaan Indonesia. Hari ini, paginya kelas 1,2,3 ada acara di Gonz, ada lomba katanya. Aku dan teman- temanku (KPP dan KPA) dibebani tugas untuk membuat membuat dekorasi panggung. Maka, meskipun libur, jadilah kami dari pagi sibuk mempersiapkan ini-itu. Seru sih, kerja bareng se-angkatan. Kami bekerja seharian

penuh untuk mempersiapkan segala macam tentang dekorasi, termasuk menyiapkan panggung itu sendiri. Sorenya, euforia 17-an mulai terasa. Panggung di lapangan WB sudah selesai didekor, sudah siap digunakan. Bidel perkap mulai menyiapkan lighting dan sound. Oh iya, ada persiapan penampilan angkatan juga. Karena sibuk mengurusi hal-hal teknis, akhirnya angkatanku memutuskan untuk membawakan puisi, persisnya seperti apa aku lupa. Aku ingat sekali, sore ini aku dan beberapa temanku masih sibuk sekali membetulkan bendera yang ditancapkan ke papan panggung memakai sedotan, jatuh terus, pokoknya susah untuk mengaturnya agar tidak jatuh-jatuh lagi. Sampai akhirnya acara dimulai (tentu saja kami sudah mandi), masalah bendera dan sedotan masih belum selesai juga. Kami akhirnya cuma bisa pasrah saja, melihat beberapa benderanya akhirnya jatuh dan tergeletak begitu saja di lantai panggung, kadang terinjak. Acara malam ini seru sekali. Ada penampilan angkatan yang keren-keren, banyak nyanyi bareng. Makanan malam ini juga tumben, enak-enak banget. Selagi menyaksikan penampilan, bidel refter sibuk membagikan snack dan minuman berwarna (jarang-jarang yang seperti ini ada di WB). Makan malam ini juga istimewa, ada bakar- bakaran! Setiap kelompok berdasarkan meja makan diberikan jatah nasi, ayam dsb, tetapi lauknya itu masih mentah. Kami diberi 1 set perlengkapan arang dan tungkunya untuk membakar sendiri. Ternyata susah sekali menyalakan api arang. Beruntung, di kelompokku ada Alex,

kakak kelasku WB XXIX, yang ternyata jago menyalakan api arang (katanya karena pengalaman live in di tukang sate, hahaha...). Selain itu juga ada Eman yang jago banget nyalain api arang, sampai banyak banget kelompok yang akhirnya menyerah dan meminta tolong padanya. Pokoknya, meskipun susah dan ribet, ini menjadi pengalaman unik dan seru buat kami semua. Sambil makan-makan “seadanya”, beberapa ada yang sambil nyanyi-nyanyi di panggung. Selesai makan, acara masih berlanjut meskipun tidak terlalu jelas konsepnya. Pokoknya ketika sudah malam, akhirnya, sekali lagi, ada mosing. Kali ini, aku yang bijak dan berpengalaman sudah terlebih dahulu menyingkir sejauh mungkin dari “area pertempuran”. Menyingkir yang jauh, karena kalau nonton di pinggiran nanti bisa ditarik. Aku ngeri juga meskipun dari jauh, menyaksikan orang-orang nyanyi sambil gelud dengan siapapun. Aku masih ingat sekali, malam itu Marcel, teman angkatanku, bibirnya kena tonjok salah satu kakak kelas, jadi bengkak gitu. Aku ngeri melihatnya, tapi ya sudahlah, risiko dia sendiri mau ikutan. Kalau tidak salah ada juga yang kacamatanya patah, tapi aku lupa siapa persisnya. Meskipun seperti itu, malam ini benar-benar acara yang indah dan berkesan bagiku. Acara kebersamaan komunitas WB, acara makrab, di H-1 17 Agustus. Keren! Aku harap, tahun-tahun ke depan acara ini tetap berlangsung dengan semakin seru dan semakin keren.

Minggu, 17 Agustus 2018 Dirgahayu RI ke-73. Setelah mengikuti acara hebat semalam, pagi ini kami bangun dengan semangat untuk mengikuti upacara 17 Agustus bersama rakyat SMA Kolese Gonzaga. Sudah sejak lama angkatanku berlatih paduan suara untuk upacara hari ini, sementara kakak kelas mempersiapkan orkestra. Hari ini, untuk pertama kalinya, kami KPP dan KPA “tampil” di depan seluruh rakyat Gonzaga. Oleh karena itu, kami jadi merasa tegang, apalagi kami masih dalam masa karantina, tidak boleh berkomunikasi dengan siapapun di luar komunitas seminari, termasuk tidak boleh berkomunikasi dengan rakyat Gonzaga. Sebelum upacara dimulai, kami sudah berbaris dan berdiri di tempat yang telah ditentukan, sesuai dengan arahan dari kakak kelas. Suasana terlihat begitu ramai, semua orang repot mempersiapkan urusannya masing-masing. Upacara hari ini berjalan dengan baik dan lancar. Meskipun demikian, sejujurnya kami sempat terheran- heran dengan gaya bicara petugas protokol yang unik. Kami juga terheran-heran dengan tata gerak paskibra Gonzaga yang menurutku aneh, karena berbeda dengan gerakan paskibra SMP-ku. Dari awal hingga akhir upacara, kakak kelas yang duduk di depan kami sesekali menengok ke arah kami, melemparkan pandangan tajam untuk mengingatkan agar mata kami tidak tertuju kepada anak-

anak Gonzaga. Aku berusaha sebisaku untuk menatap lurus ke depan, atau menatap pembina upacara, atau lebih aman lagi menatap kakak kelas dengan alat musik mereka. Seusai upacara, suasana terlihat ramai karena ada beberapa orang yang berfoto bersama, dan tiba-tiba aku melihat salah satu teman SMP-ku lewat di depanku. Syukurlah dia tidak melihatku, karena aku segera memalingkan wajah agar tidak dicurigai oleh kakak kelas. Ya, memang pada waktu itu peraturan masa karantina separah itu. Segera seusai bubaran upacara, kami kembali berbaris dan melangkah kembali ke dalam area seminari. Kami kecewa karena ternyata tahun ini pihak seminari tidak mengadakan lomba 17-an, sehingga sisa hari itu kami habiskan dengan berbagai macam kegiatan bebas. Jarang-jarang ada momen seperti ini di seminari, yaitu momen-momen gabut karena libur tanggal merah. Aku agak jengkel karena tetap disuruh oleh kakak kelas untuk melakukan beberapa pekerjaan bidel, namun aku tetap melakukannya. Setidaknya aku berusaha mengisi waktu dengan kegiatan-kegiatan yang positif. Di hari kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-73 itu, aku berharap aku dapat menjadi pribadi yang lebih baik lagi, dan semakin berguna bagi bangsa dan negara. Aku bersyukur atas pengalaman hari itu, pengalaman mengikuti upacara bersama komunitas SMA Kolese Gonzaga, dan mendapat kesempatan untuk menyaksikan penampilan orkestra kakak-kakak kelasku yang mengiringi lagu-lagu upacara. Aku pun tidak menduga,

bahwa tepat 1 tahun kemudian, aku menjadi salah satu di antara pemain orkes dalam upacara 17 Agustus, menjadi generasi penerus dari Wacana Bhakti Symphony Orchestra.

HOTS 2018 Perjalananku Bersama-Mu Masa-masa pertama di seminari terasa sangat lama bagi kami yang menjalani masa karantina. Rindu dengan berbagai macam hal, terutama keluarga. Seiring berjalannya waktu, kami semakin terbiasa dengan kehidupan seminari, menjalani kehidupan “normal” sebagai seminaris, dan terbiasa menahan rasa rindu itu... yang semakin lama semakin “terlupakan” dengan berbagai kesibukan di seminari. Selama itu, akupun berusaha untuk beradaptasi dengan segala hal yang ada di seminari, sambil tetap menghitung hari di dalam buku agenda pribadiku. 22 September, hari yang sangat nanti-nanti. Rasanya seumur hidup aku tidak pernah menantikan hari sampai seperti itu. Hari Orang Tua Seminaris, hari ketika akhirnya aku boleh berjumpa lagi dengan mama, dengan keluarga, dan dengan semua orang yang berada di luar lingkungan seminari. Meskipun belum pulang ke rumah, rasanya itu sudah lebih dari cukup untuk menyembuhkan rasa rindu yang dikekang selama 72 hari. Waktu berjalan dengan cepat sangat lambat, dan hari itu kian mendekat. Semakin mendekat, semakin campur aduk perasaan kami. Berbagai panitia dan persiapan mulai diadakan. Angkatan kami mendapat tugas untuk mendekorasi panggung dan menampilkan sebuah tampilan istimewa untuk orangtua kami. Saat itu, aku

ingat sekali betapa antusiasnya kami merencanakan proyek kami, bahkan sampai membentuk panitia tersendiri. Kami berlatih dan berusaha keras, pokoknya kami harus menampilkan yang terbaik untuk orangtua yang sangat sangat kami cintai dan kami rindukan. Sayangnya, keberuntungan tidak terlalu berpihak pada kami. Seminggu menjelang HOTS, kami KPP dan KPA harus dihadapkan dengan UTS. Masalahnya adalah, di seminari kami harus mengerjakan UTS 3 mata pelajaran sekaligus dalam sehari. Artinya, kami harus benar-benar belajar secara gila-gilaan. Bayangkan, 3 mata pelajaran! Ada beberapa kombinasi mata pelajaran yang agak tenang, tetapi ada yang justru benar-benar “neraka”. Sementara itu, dekorasi kami masih belum jadi apa-apa. Teman- teman tim dekorasi berjuang keras dan bahkan mengorbankan waktu belajar mereka untuk mendekorasi panggung. Setelah beberapa hari, mereka mulai mengaku kewalahan dan meminta bantuan seangkatan untuk turut membantu dekorasi. Pada waktu itu, aku merasa keberatan karena aku sendiri sudah sangat stress belajar 3 mata pelajaran sehari, dan itu banyak yang hafalan. Waktu itu, aku masih sangat egois dan hanya mementingkan kepentinganku sendiri. Aku selalu menolak ketika disuruh membantu, karena aku lebih memilih untuk belajar. Lagipula, bukannya itu urusan teman-teman bagian dekorasi? Jika dipaksa, terkadang kabur karena sesampainya di asem, tidak jelas apa yang harus kubantu. Bahkan sempat ada konflik di

antara kami mengenai hal ini, sampai kakak kelas ikut mengatasi masalah ini. Pada akhirnya, bersama-sama kami berusaha mendekorasi panggung. Harus kuakui, aku sangat kagum dengan ide tim dekorasi yang merancang sedemikian indah (dan rumit) sehingga menghasilkan dekorasi yang luar biasa. Sebagai konsekuensinya, beberapa dari kami harus tidur lebih malam dan jelas mengorbankan waktu belajar, padahal sedang UTS. Sampai pada titik itu, aku sempat mengeluh dan bertanya: kenapa harus kami yang mendekorasi? Bukankah kakak kelas yang sudah bersekolah di SMA Gonzaga katanya tidak ada UTS? Tetapi biarlah, itu tanggungjawab kami, sebagai persembahan kami untuk orangtua. Ketika itu kami sedang benar-benar bucin dengan orangtua dan dibutakan oleh kerinduan, sehingga apapun kami lakukan dengan harapan bisa membanggakan mereka. Sabtu, 22 September 2018 Pagi hari, di kamar Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Aku terbangun dari tidur dengan tatapan hampa, tidak percaya. “Hari ini... HOTS? Nanti ketemu mama... apa kabarnya? Semoga mama sampai ke seminari dengan selamat dan tidak terlambat...” ujarku berharap dalam hati.

Pagi ini tidak ada Misa, hanya ada Ibadat Pagi (Laudes). Sejak pagi, bahkan sejak kemarin malam, kami semua sudah sibuk membuat persiapan terakhir untuk perayaan besar ini. Semakin lama, jantung kami semakin berdebar-debar. Meskipun demikian, pagi ini terasa lama dan kosong, karena acara baru dimulai sekitar pukul 9. Aku masih ingat, bahkan pagi itu aku masih sempat mencuci baju (lah?). Semakin mendekati dimulainya acara, kami pun bersiap. Acara HOTS ini diawali dengan Perayaan Ekaristi yang dipimpin oleh Mgr. Ignatius Suharyo sebagai selebran utama (pada waktu itu, beliau belum menjadi kardinal). Aku masih ingat, sebelum Misa kami disuruh berbaris rapi oleh kakak kelas. Meskipun sudah hari H, kami masih belum boleh bertemu langsung dengan orangtua kami sebelum “saatnya”. Kami disuruh berbaris dari area parkiran, lalu memasuki asem dengan menunduk karena tidak boleh melihat para undangan (yang pastinya para orangtua). Aku masih ingat betapa gelisahnya aku saat itu. Kami penasaran ingin melihat tamu yang hadir sekalipun kami tidak mengenalnya, tetapi ada kakak kelas yang siap memukul kami jika berani mengangkat kepala. Saat itu, masih terasa “sedikit” senioritas di sini. Aku dan teman-teman bergegas menuju kursi khusus di bagian depan asem, tepat disebelah kanan (dari sudut pandang hadirin) panggung altar. Kursi khusus KPP dan KPA, padahal kami sama sekali tidak menjadi petugas dalam Misa tersebut. Selama Misa berlangsung,

aku sempat mencuri-curi pandang, dan sangat terperanjat ketika melihat mama datang. Ternyata mama tidak sendiri, tanteku juga datang lagi. Namun aku hanya berani menengok ke arah mama sepersekian detik, takut dimarahi kakak kelas kalau sampai berani menengok. Bagaimanapun juga, aku tidak terlalu fokus dengan Misa hari ini. Suasananya entah kenapa terasa tegang, dan terkadang aku mengagumi dekorasi kami yang nampak sangat indah pada hari H, meskipun ada beberapa tempelan yang sayangnya terlepas dan jatuh. Seusai Misa, kami segera “digiring” oleh kakak kelas menuju ruang kelas KPP. Di sana kami dikurung hingga tiba saatnya penampilan kami. Dengan kata lain, kami tidak diperbolehkan mengikuti acara HOTS hingga saatnya kami menampilkan tampilan yang sudah kami persiapkan. Kami benar-benar dikurung di kelas, tidak boleh kemana- mana, bahkan mau ke toilet saja harus izin kakak kelas. Aku tak tahu apakah memang harus seperti ini atau hanya sekadar “senioritas”, pokoknya kami menurut saja. Rasanya lama sekali kami berada di ruangan itu tanpa bisa melakukan apa-apa selain mengobrol satu sama lain atau tidur, kalau tidak salah sekitar 2 jam. Saat itu aku benar- benar bosan, dan aku berpikir, hanya seperti inikah hari yang kutunggu-tunggu? Dikurung di kelas, padahal jelas- jelas mama ada di asem dan ingin bertemu denganku? Aku berusaha menghabiskan waktu, tetapi aku tidak tahu apa yang bisa menghilangkan rasa bosan. Rasa gelisah dan perasaan tak sabar membuatku tidak bisa tertidur sama

sekali, apalagi situasi saat itu ramai sekali dengan obrolan teman-teman. Aku pun menunggu, menunggu, dan menunggu, hingga saat itupun tiba. Ketika kami bahkan sudah lupa kalau hari itu sedang HOTS, kakak kelas membuka pintu dan menyuruh kami bersiap untuk penampilan angkatan. Kami pun segera bersiap dan briefing terakhir sebelum benar-benar tampil. Ada cukup banyak rangkaian tampilan yang kami siapkan, dan ada beberapa properti yang kami gunakan. Setelah siap, kembali kami melangkah ke asem. Tetap saja, kami masih belum boleh berkomunikasi dengan orangtua kami. Kami ke asem hanya untuk fokus menampilkan penampilan kami. Penampilan kami saat itu, seingatku cukup berjalan dengan baik meskipun ada beberapa kesalahan fatal yang dilakukan secara tidak sengaja. Kuakui juga, sulit bernyanyi lagu untuk orangtua di saat seperti ini, tanpa suara menjadi bergetar dan sengau karena menahan tangis. Aku berusaha menyanyi dengan stabil, dan untuk saat ini bahkan sepertinya mataku tidak terlalu berkaca-kaca. Aku pasti kuat dan tidak menangis sekalipun ini cukup mengharukan. Setelah selesai dengan penampilan, kami disuruh keluar lagi dan berkumpul di studio. Di sana, mata kami ditutup dengan kain dan kami dituntun untuk masuk lagi ke asem. Ketika memasuki asem, suasana dan alunan musik diatur menjadi sedemikian rupa sehingga menjadi dramatis. Dalam hati aku membatin, sialan juga yang mengatur suasana seperti ini. Skenario acara benar-benar

dirancang untuk menjadi momen yang sangat dramatis dan mengharukan. Satu per satu kami masuk ke asem dengan mata tertutup, berpegangan pada pundak teman di depan sebagai tumpuan. Setelah itu kami mengatur posisi, dan setelah hitungan mundur oleh kakak kelas kami membuka penutup mata dan menoleh ke belakang, ada orangtua kami masing-masing. Begitu melihat mama, aku langsung memeluknya erat-erat dan menangis tersedu- sedu. Tidak peduli lagi rasa malu, tidak peduli apapun, aku memeluk mama erat-erat dan menangis sekencang- kencangnya. Semua rasa rindu itu terbayarkan sudah, setidaknya untuk saat itu. Rasa rinduku kepada mama ternyata jauh lebih besar daripada yang kusdari, dan semuanya tertumpah begitu saja melalui tangisanku di pelukan mama. Kami, angkatan 32, saat itu tidak lagi peduli kalau kami menangis di bagian depan asem, disaksikan oleh semua orangtua seminaris dan teman- teman yang lain. Setelah memeluk mama cukup lama, aku kembali ke panggung karena disuruh berkumpul untuk menyanyikan Mars Seminari Wacana Bhakti bersama seluruh teman-teman komunitas. Aku “berpisah” lagi sejenak dengan mama, dan sambil mengelap air mata menggunakan sapu tangan aku maju ke asem dan berusaha untuk tetap menyanyi dengan lantang, sekalipun suaraku masih agak bergetar karena habis menangis. Setelah itu, kegiatan yang paling kutunggu akhirnya tiba. Jadwal acara dilanjutkan dengan acara makan siang bersama, lalu aku mengajak mama dan kedua tanteku

(yang menemani mama ke seminari) berkeliling dan memperkenalkan satu per satu lingkungan seminari kepada mereka dengan rasa bangga. Aku memperkenalkan kamarku, ruang belajar, kapel, pokoknya semua sudut tempat di seminari yang bisa kuakses. Selesai berkeliling, kami seringkali berpapasan dengan orangtua seminaris lain dan berkenalan. Aku juga merasa senang karena ternyata mama membawakan beberapa barang yang aku butuhkan dan masakannya yang menjadi makanan favoritku, yang amat kurindukan selama ini. Pada hari itu waktu terasa berjalan dengan sangat cepat, hingga pada pukul 5 sore tibalah saatnya untuk mama dan tante kembali pulang. Aku mengantar mereka hingga ke gerbang terdepan SWB dan SMA Gonzaga, dan melambaikan tangan selagi mereka mulai berjalan pulang. HOTS tahun ini terasa sangat menyenangkan dan berkesan bagiku. Meskipun waktu tidak cukup untuk bertukar cerita lebih banyak, kami akan berjumpa kembali pada hari kunjungan orangtua bulanan nanti, tanggal 7 Oktober. Seusai acara HOTS, kami semua diminta untuk membersihkan Aula Seminari dan melepas semua atribut dekorasi di panggung. Pada malam harinya, kami tertidur dengan kelelahan tapi sangat gembira. Sejak hari itu, kami dapat kembali berkontak dengan dunia luar seperti biasa lagi, sebagai seorang seminaris. Indah sekali hari itu, dan besoknya, dan seminggu berikutnya. Masa-masa indah itu datang bertubi-tubi setelah HOTS. Kami merdeka dari UTS, kami boleh ambulasi (jalan-jalan pribadi keluar area

seminari) untuk pertama kalinya (yang langsung aku gunakan untuk bertemu dengan kedua temanku), serta acara Gonzaga Festival yang akan kami ikuti.

GONZAGA FESTIVAL 2018 Gebyar Gelora Muda Lihatlah gaya kami, WB MANIA! Datang dari Seminari Wacana Bhakti Pendukung setia anak seminari Satu komunitas semua laki-laki (hoi!) Pididididip pidididididip (hoi!) 2x Sejak beberapa minggu sebelum HOTS, kami seangkatan disuruh berkumpul oleh beberapa kakak kelas. Dalam beberapa pertemuan itu, kami diharuskan mencatat, menyanyikan, dan menghafalkan semua yel-yel The Webs, yang jumlahnya sekitar 20-an. Bahkan, kami juga diwajibkan untuk membuat yel-yel baru, yang terbaik akan dimasukkan ke dalam koleksi yel-yel resmi The Webs. Oh iya, The Webs adalah kelompok supporter seminaris WB yang kami bentuk untuk mendukung teman-teman kami sendiri ketika bertanding dalam berbagai kompetisi, khususnya Gonzaga Festival yang rutin diadakan setiap tahun oleh SMA Kolese Gonzaga. Pada waktu itu, kami sangat ditekankan untuk menghafal semua yel-yelnya. Sebenarnya, tanpa disuruh pun kami memang akan melakukannya, karena kami sangat antusias. The Webs mungkin menjadi salah satu “daya tarik” untuk masuk ke

seminari, karena seperti supporter pada umumnya, kami beraksi dalam pertandingan-pertandingan, dan itu seru sekali. Setelah ditunggu-tunggu, akhirnya momen ini datang juga, kami antusias sekali mempelajari yel-yel dan menghafalkannya. Akhirnya kami menjadi bagian dari The Webs. Dalam masa karantina, hal ini menjadi salah satu penyemangat kami. Bahkan aku masih ingat, yel-yel The Webs ini kami nyanyikan setiap saat, dan momen yang paling seru adalah ketika mencuci baju bersama sambil bernyanyi sekencang-kencangnya, sampai kadang ada romo yang datang karena berisik (untuk bagian ini, akan dibahas lebih lanjut nantinya). Semakin mendekati HOTS, bertepatan dengan semakin dekatnya Gonzaga Festival. Maka, selain persiapan UTS dan HOTS, angkatan kami juga disibukkan dengan menghafalkan yel-yel tersebut. Ada beberapa teman yang dengan mudah menghafalkannya, tetapi ada juga beberapa teman yang butuh waktu lama untuk itu. Bahkan, jangankan menghafalkan, ada juga yang kesulitan untuk menyanyikannya dengan benar. Kami berusaha untuk saling mengoreksi apabila ada yang salah, dan beberapa waktu luang kami habiskan untuk “latihan bareng”. Pada waktu acara pembukaan Gonzaga Festival, kami masih sibuk mempersiapkan dekorasi panggung untuk HOTS dan jelas tidak diperbolehkan untuk berpartisipasi, karena masih dalam masa karantina.

Namun ketika sudah hari Senin setelah HOTS, tepat 2 hari seusai masa karantina kami, pertandingan mulai dilaksanakan. Akhirnya kami boleh benar-benar turun ke lapangan menjadi The Webs! Pada waktu itu aku merasa senang sekali, ada euforia luar biasa yang terasa. Dengan bangga kami semua mengenakan kaos The Webs kuning- kuning, seragam The Webs pada tahun itu. Sepulang sekolah, kami tidak tidur siang seperti biasanya, melainkan bersama kakak kelas lainnya berkumpul di lapangan atau di tribun supporter ketika ada tim SWB yang bertanding. Teriknya matahari tidak menyurutkan semangat kami untuk bernyanyi sekencang-kencangnya. Pada momen inilah, dengan bebasnya kami dapat bernyanyi sekeras mungkin, penuh dengan euforia untuk menyemangati teman-teman kami yang sedang bertanding. Apabila jadwal bertanding sedang padat, maka kami terus bernyanyi, berpindah dari satu tempat ke lokasi pertandingan selanjutnya. Dan momen yang paling seru adalah ketika kami berhadapan dengan supporter “musuh bebuyutan” kami, yaitu Laskar Gonz, official supporter-nya SMA Kolese Gonzaga. Tidak seperti sekolah-sekolah lain yang mayoritas tidak memiliki supporter, Gonzaga benar- benar antusias untuk menyaingi kami dalam pertandingan dan dalam hal supporter. Oleh karena relasi antara WB dan Gonzaga yang berdekatan, pertandingan antara WB melawan Gonzaga pun menjadi pertandingan yang panas, seru, dan paling ditunggu-tunggu, tidak hanya oleh


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook