Ketiga, Persiapan Mental Menjelang Pernikahan Materi Diklat #1| 95 Banyak pemuda yang merasa belum memiliki kesiapan mental, sehingga merasa belum siap untuk menikah. Sesungguhnya, kesiapan secara mental ditandai oleh mantapnya niat dan langkah menuju kehidupan rumah tangga. Tidak ada rasa gamang atau keraguan tatkala memutuskan untuk menikah, dengan segala konsekuensi atau risiko yang akan dihadapi pasca-pernikahan. Berikut beberapa sisi persiapan mental sebelum menikah. a. Mental Memimpin dan Dipimpin Jika Anda seorang laki-laki, harus ada kesiapan dalam diri Anda untuk bertindak sebagai qawwam (pemimpin) dalam rumah tangga. Bersiap menjadi pemimpin dan pelindung bagi istri dan anak-anak, bersiap untuk berfungsi sebagai bapak bagi anak-anak yang akan lahir nantinya dari pernikahan. Harus ada kesiapan dalam diri Anda untuk menanggung segala beban-beban kepemimpinan yang disebabkan oleh karena posisi Anda sebagai suami dan bapak. Misalnya saja siap untuk menjadi contoh teladan yang baik bagi istri dan anak-anak, siap untuk membimbing istri dan anak-anak menuju surga, siap untuk berlaku bijak dalam interaksi dengan istri dan anak-anak. Bagi seorang perempuan, harus ada kesiapan dalam diri untuk membuka ruang baru bagi intervensi seorang mitra yang bernama suami. Kesiapan untuk mengurangi sebagian otoritas atas diri sendiri lantaran kemitraan dengan suami dalam kebaikan. Harus ada kesiapan dalam diri Anda untuk menyediakan ruang “dipimpin” oleh suami. Sebagai istri, Anda akan mengelola rumah tangga bersama suami. Bagaikan pilot dan kopilot tatkala menjalankan tugas mengendalikan penerbangan, Anda berdua harus kompak dan memiliki kesamaan visi sehingga pesawat bisa terbang dengan nyaman dan aman hingga sampai tujuan. b. Mental Menafkahi dan Mengelola Keuangan Bagi kaum laki-laki, harus ada kesiapan mental untuk menafkahi seluruh anggota keluarga. Bukan semata terkait besaran finansial yang telah dan akan dimiliki, yang lebih penting adalah memiliki kesiapan mental untuk menanggung beban kehidupan finansial seluruh anggota keluarga. Mentalitas ini ditunjukkan dengan etos kerja yang tinggi dan sikap pantang menyerah dalam mencari rezeki yang halal. Memiliki semangat yang tinggi untuk mencari penghidupan yang layak bagi keluarga. Kaum laki-laki harus sepenuhnya mengerti bahwa memenuhi kebutuhan hidup keluarga adalah kewajiban dan tanggung jawabnya. Pernikahan bukan hanya butuh cinta, melainkan juga butuh biaya. Bagi perempuan, boleh saja bekerja mencari nafkah bagi keluarga, tetapi itu bukan merupakan kewajibannya. Oleh karena itu, apabila istri bekerja, harus sepersetujuan suami agar berkah semuanya. Selain itu, harus dengan mempertimbangkan tugas untuk melakukan pendidikan anak dan mengelola aktivitas rumah tangga. Tentu harus berbagi porsi dengan suami. Sangat penting bagi kaum perempuan untuk memiliki kesiapan mengelola keuangan sehingga bisa tepat dalam pembelanjaan dan menghindarkan dari
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 96 kemubaziran serta pemborosan. Istri bersama suami harus mengelola keuangan rumah tangga dengan cermat, hemat, dan tepat. c. Mental Menjadi Bapak dan Ibu Rumah Tangga Sebagai suami, Anda adalah bapak rumah tangga. Harus memiliki kesiapan mental untuk menjadi bapak, disebut sebagai bapak, dan tentu harus memiliki sejumlah keterampilan teknis dalam mengelola urusan renik-renik berumah tangga. Anda bukan bos, Anda adalah suami sekaligus bapak. Anda harus mengayomi, melindungi, menjaga, mengarahkan, mendidik, sekaligus memberi keteladanan untuk keluarga. Anda juga harus bisa mengerjakan aneka kegiatan kerumahtanggaan. Sangat penting untuk memiliki kesiapan untuk mendidik anak-anak dan menghantarkannya untuk mencapai kebaikan dan kesuksesan hidup dunia akhirat. Mengingat tidak gampang mendidik anak pada zaman sekarang. Jika Anda seorang istri, Anda adalah ibu rumah tangga. Harus ada kesiapan mental untuk menjadi ibu, disebut sebagai ibu, kesiapan untuk hamil, melahirkan, dan menyusui. Anda adalah partner suami dalam mengelola kehidupan rumah tangga. Anda adalah kopilot yang harus bersinergi dengan sang pilot dalam mengarahkan perjalanan menuju kebahagiaan dunia akhirat. Kesiapan untuk menanggung beban-beban baru yang muncul akibat hadirnya anak. Kesiapan untuk mendidik anak dan menghantarkannya sampai dewasa. Tentu saja harus pula memiliki sejumlah keterampilan praktis kerumahtanggaan. d. Mental Membangun Keseimbangan dalam Kebaikan Jika Anda ingin mendapat pasangan yang baik, jadikan diri baik terlebih dahulu. Jika ingin mendapatkan istri yang salihah, jadikan diri Anda saleh terlebih dahulu, dan sebaliknya. Bagaimana Anda menuntut istri Anda sekualitas Fatimah, sedangkan Anda sendiri tidak sekapasitas Ali? Bagaimana mungkin Anda berharap istri Anda setabah Sarah dan Hajar, sedangkan Anda tidak sekokoh Ibrahim a.s? Jika ingin memiliki suami yang setia, jadikan diri Anda wanita yang setia. Jika ingin memiliki istri yang suci, jadikan diri Anda laki-laki yang suci. Jika ingin mendapatkan pasangan hidup yang menjaga kehormatan diri, jadikan Anda orang yang menjaga kehormatan diri. Mulailah dari diri Anda sendiri, jangan hanya menuntut pasangan Anda melakukannya. Keempat, Persiapan Fisik Kesiapan fisik ditandai dengan adanya kesehatan dan kebugaran yang memadai. Harapannya kedua belah pihak akan mampu melaksanakan fungsi diri sebagai suami atau istri dengan optimal. Apabila di antara indikator “mampu” yang dituntut dalam pelaksanaan pernikahan adalah kemampuan melakukan jimak, kesehatan yang dituntut pada laki-laki dan perempuan salah satunya menyangkut kemampuan berhubungan suami istri secara wajar. Orang yang secara medis dinyatakan tak mampu melakukan hubungan seksual bisa terhalangi pernikahannya.
Hal lain yang amat penting dalam konteks kesehatan ini adalah pada sisi Materi Diklat #1| 97 kesehatan reproduksi. Bahwa laki-laki dan perempuan akan mampu melakukan fungsi reproduksi dengan baik. Mereka berdua dipastikan tidak mandul sehingga nantinya akan memiliki keturunan, sebagai salah satu tujuan dari pernikahan. Rasulullah saw. menganjurkan agar menikahi wanita yang penyayang lagi punya peluang banyak anak. Melakukan pemeriksaan kesehatan kepada ahlinya merupakan salah satu langkah yang bisa ditempuh menjelang pernikahan. Masing-masing pihak juga bisa mendeteksi dalam diri sendiri adanya penyakit tertentu yang dirasakan selama ini. Hendaknya masing-masing bisa terbuka menyampaikan riwayat kesehatan diri kepada calon pasangannya untuk menjadi bahan pertimbangan memutuskan terjadinya pernikahan atau tidak. Laki-laki dan perempuan muslim hendaklah rajin melaksanakan olahraga sebagai bagian dari penjagaan kesehatan dan kebugaran diri. Untuk menggapai keharmonisan keluarga, dua kata ini, yaitu sehat dan bugar, amat diperlukan. Kita tidak hanya membutuhkan kesehatan, tetapi juga kebugaran. Orang yang tidak sakit adalah orang yang sehat. Akan tetapi, orang yang sehat ini mungkin saja dia mengalami gejala mudah lelah, cepat mengantuk, tidak energik, lambat dalam berbuat dan lain sebagainya. Seorang laki-laki yang sehat, bisa jadi tidak mampu memberikan kepuasan optimal kepada istrinya dalam hak istimta’—bersenang-senang antara suami istri. Demikian pula, istri yang sehat belum tentu mampu melayani suami dengan baik di tempat tidur. Yang akan lebih memberikan garansi kesenangan dan kepuasan optimal, selain kesehatan, adalah kebugaran tubuh. Dengan badan yang sehat dan bugar, seseorang akan bisa tidur dengan nyenyak, makan terasa enak, dan dalam melaksanakan hubungan suami istri akan mencapai kepuasan bersama. Oleh karena itu, diperlukan kebugaran. Bukan saja kesehatan agar bisa senantiasa energik, tidak malas-malasan, tidak mudah lelah, dan senantiasa memiliki vitalitas tinggi. Hidup teratur, makan seimbang dan bergizi, cukup istirahat, olahraga teratur merupakan langkah-langkah untuk menuju kesehatan dan kebugaran fisik. Kelima, Persiapan Material Persiapan material tidak menghendaki kita berpikiran materialistis, bahwa orientasi dalam kehidupan hanyalah materi. Akan tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa materi merupakan salah satu sarana ibadah. Persiapan material sebelum pernikahan dimaksudkan lebih kepada kesiapan pihak laki-laki untuk menafkahi dan kesiapan perempuan untuk mengelola keuangan keluarga. Bukan berapa jumlah tersedianya dana untuk bisa melaksanakan pernikahan. Sebab apabila kita berhitung kelewat matematis, kita tidak akan bisa mencari jumlah minimal kebutuhan uang untuk hidup berkeluarga. Seorang laki-laki harus memiliki kesiapan untuk menafkahi keluarganya sehingga sebelum menikah ia sudah harus mengetahui pintu-pintu rezeki yang akan menghantarkan dia kepada pemenuhan kewajiban ini. Sebelum menikah ia sudah memiliki pandangan dan rencana untuk melakukan tindakan ekonomi
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 98 tertentu, baik berusaha wiraswasta, menjadi pegawai swasta ataupun negeri, dan usaha-usaha lainnya yang halal. Mengenai berapa penghasilan yang didapatkan dari usaha tersebut, jangan dijadikan tolok ukur utama untuk menilai kesiapan menikah. Hal itu akan membuat ketertipuan. Seseorang yang pada saat menjelang pernikahan gajinya sangat besar, bisa saja bulan depan sudah mengalami kebangkrutan karena di-PHK dari perusahaan. Di sisi lain berapa banyak pengusaha yang kini sukses, dulunya ketika muda memulai usaha dari nol sehingga melaksanakan pernikahan dalam keadaan tidak memiliki harta benda. Yang penting adalah etos kerja dari pihak laki-laki untuk berusaha mencari nafkah dengan seluruh kemampuan yang dimiliki. Islam sangat menghargai etos kerja dan mengecam para pemalas yang tidak mau bekerja produktif. Kendati kaum perempuan tidak mendapatkan beban kewajiban material, bukan berarti tidak boleh bekerja produktif. Dalam kehidupan sekarang, ketika kebutuhan hidup makin kompleks, telah banyak dijumpai suami dan istri sama-sama bekerja, sejak mereka belum berumah tangga. Hal seperti ini tidaklah tercela selama mereka berdua saling meridai dan memilih pekerjaan halal serta sesuai fitrah masing-masing pihak. Keenam, Persiapan Sosial Menikah menyebabkan pelakunya mendapatkan status sosial di tengah masyarakat. Jika sewaktu lajang dia masih menjadi bagian dari keluarga bapak ibunya sehingga belum diperhitungkan dalam kegiatan kemasyarakatan, setelah menikah mereka mulai dihitung sebagai keluarga tersendiri. Membiasakan diri terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan merupakan cara melakukan persiapan sosial. Apabila laki-laki dan perempuan muslim telah mencapai usia dewasa, hendaknya mereka mengambil peran sosial di tengah masyarakat sebagai bagian utuh dari cara mereka belajar berinteraksi dalam kemajemukan masyarakat. Jika sebelum menikah tidak terbiasa melakukan interaksi sosial seperti ini, biasanya muncul kekagetan ketika telah berumah tangga dengan sejumlah tuntutan sosial yang ada. Memberikan perhatian, mengirimkan hadiah kepada tetangga, adalah salah satu contoh bagaimana interaksi positif bersama mereka. Oleh karena itu, belajar berinteraksi dengan realitas kehidupan masyarakat merupakan salah satu langkah yang perlu diambil oleh laki-laki dan perempuan agar nantinya tidak canggung ketika hidup berumah tangga dan bermasyarakat secara riil. Sangat diperlukan pembelajaran dari awal dalam konteks sosial agar tidak terjadi kekagetan yang berlebih dalam mengarungi hidup berumah tangga. Kadang-kadang dalam hidup bermasyarakat diperlukan “ilmu basa-basi” agar mampu mensosialisasikan diri di tengah komunitas masyarakat luas. Perlu wajah sosial, murah senyum, mudah mendahului menyapa orang, dan lain sebagainya yang merupakan bagian dari bumbu-bumbu hidup dengan baik bersama tetangga dan lingkungan terdekat.
Kesehatan Fisik dan Mental untuk Materi Diklat #1| 99 Kebahagiaan Pernikahan Tujuan Pembelajaran Umum: Membangun pemahaman dan penghayatan dan menghayati urgensi kesehatan fisik dan mental untuk kebahagiaan pernikahan, serta berupaya mewujudkannya di lingkungan keluarga dan lingkungan sekitar. Tujuan Pembelajaran Khusus: 1. Peserta memahami pengaruh kesehatan secara fisik dan mental dalam mewujudkan kebahagiaan pernikahan. 2. Peserta memahami aspek-aspek tinjauan kesehatan fisik dan mental apa saja yang perlu diperhatikan dalam pernikahan. 3. Peserta tergugah dan terbangun kesadaran untuk berbenah apabila ada aspek pada keluarganya yang belum terpenuhi sebelumnya. 4. Peserta turut membina kesadaran anggota keluarga sejak usia remaja/balig (kanak-kanak akhir) mulai memiliki agenda utama mempersiapkan diri secara fisik dan mental sebelum menikah. 5. Peserta peduli, terlibat aktif di keluarga dan masyarakat untuk turut mengatasi problem keluarga yang disebabkan oleh sakit fisik dan mental. 6. Peserta mengetahui cara mendapatkan akses fasilitas kesehatan fisik dan mental baik milik pemerintah, privat, dan charity. 7. Peserta pendampingan membangun kesadaran pentingnya belajar sepanjang hayat secara mandiri atau mengikuti program edukasi keluarga agar menjadi keluarga yang berkualitas. Alternatif Kegiatan Pembelajaran: 1. Pendamping menyajikan contoh-contoh dampak ketiadaan perhatian terhadap Kesehatan fisik dan mental dalam kebahagiaan pernikahan. 2. Peserta mendapat penjelasan urgensi kesehatan fisik dan mental dalam pernikahan. 3. Pendamping mengajak diskusi tentang solusi dari dampak dari tidak perhatian terhadap Kesehatan fisik dan mental dalam pernikahan. 4. Pendamping memberikan arahan cara mengakses fasilitas kesehatan fisik dan mental terdekat di wilayah tempat tinggal peserta. 5. Pendamping dapat mengajak workshop merancang dan menggelar program sederhana mewujudkan Kesehatan fisik dan mental di lingkungan peserta. Uraian Materi: Sesungguhnyalah banyak di antara kita yang tidak sepenuhnya mengetahui status kesehatan kita sendiri secara detail. Baik kesehatan fisik maupun
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 100 kesehatan mental. Inilah kondisi sebagian besar masyarakat, yang memang tidak melaksanakan general check up secara rutin. Mungkin seseorang terlihat sehat atau merasa sehat, padahal bisa saja sebenarnya ia adalah silent carrier atau pembawa dari beberapa penyakit infeksi dan hereditas. Jika ia perempuan, saat hamil dapat memengaruhi janin yang dilahirkannya nanti. Untuk itulah sebelum menikah, sangat direkomendasikan bagi calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan untuk melakukan pre-marital screening atau pre-marital check up alias tes kesehatan pra-nikah. Periksa kesehatan pra-nikah dilakukan dengan tujuan untuk memastikan bahwa kedua calon mempelai secara medis dinyatakan sehat untuk menjalani dan melangsungkan pernikahannya. Tidak hanya sehat fisik, tetapi juga sehat psikis. Dengan melakukan tes kesehatan, Anda bisa memperdalam pengenalan terhadap diri dan calon pasangan. Tes kesehatan pra-nikah juga memungkinkan Anda mendapatkan keturunan yang sehat, maka kalangan medis menyatakan pemeriksaan pra-nikah merupakan salah satu tahap dalam persiapan menikah yang tidak boleh dilewatkan. Dalam kehidupan rumah tangga, ada konflik antara suami dan istri, bahkan bisa berujung pada perceraian, yang dipicu oleh masalah kesehatan, kesuburan, dan keturunan. Dengan saling mengenal kondisi kesehatan masing-masing, masalah itu dapat diantisipasi dan dicegah sejak awal menikah. Premarital check up bukan bertujuan untuk membatalkan pernikahan bila ditemukan masalah, tetapi justru untuk dicarikan solusi yang tepat guna mencegah timbulnya masalah di kemudian hari. Beberapa negara sudah memasukkan pre-marital screening sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan izin menikah secara hukum legal. Negara seperti Taiwan, Turki, Mesir, Spanyol, dan Italia, bahkan mewajibkan pemeriksaan kesehatan premarital sebagai hal yang wajib. Kementerian Kesehatan Saudi Arabia sejak tahun 2004 juga mewajibkan pre-marital screening untuk menurunkan angka terjadinya kelainan genetis generasi selanjutnya. Programnya dinamakan pre-marital medical test. Pada tahun 2008 program ini diperbaharui dengan dimasukkannya screening Hepatitis B, Hepatitis C, dan HIV sebagai syarat wajib pasangan yang akan menikah dan program ini dinamakan program of healthy marriage. Negara lain yang mengimplementasikan pre-marital screening ini adalah Cina. Selain pemeriksaan kesehatan, diadakan pula program konseling atau pembekalan di bidang kesehatan kepada pasangan yang akan menikah. Program Pre-Marital Screening Pre-marital screening atau pre-marital check up terdiri atas beberapa kelompok tes yang dirancang untuk mengidentifikasi adanya masalah kesehatan saat ini atau masalah kesehatan yang akan muncul di kemudian hari saat pasangan hamil dan memiliki anak. Rangkaian pemeriksaan kesehatan tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, Pemeriksaan Kesehatan secara Umum Pemeriksaan kesehatan umum ini terdiri dari: 1. Pemeriksaan Fisik/Klinis Lengkap
Di antara manfaat pemeriksaan fisik lengkap adalah untuk mengetahui status Materi Diklat #1| 101 tekanan darah seseorang. Tekanan darah yang normal adalah salah satu kunci kesehatan. Tekanan darah tinggi atau hipertensi berbahaya saat perempuan hamil karena dapat menyebabkan pertumbuhan janin terhambat. Pemeriksaan fisik juga bisa mendeteksi gejala obesitas, karena obesitas dapat memengaruhi tingkat kesuburan. Obesitas selama kehamilan dapat menyebabkan munculnya beberapa risiko seperti diabetes, pre-eklampsia, infeksi saluran kemih, sulit untuk melahirkan tepat waktu, juga meningkatkan risiko keguguran dan kesulitan saat melahirkan. 2. Pemeriksaan Darah Rutin Pemeriksaan darah rutin ini meliputi kadar hemoglobin (HB), hematokrit, sel darah putih (leukosit), dan faktor pembekuan darah (trombosit). Para calon ibu perlu mengetahui kadar HB-nya untuk mendeteksi gejala anemia, juga perlu mengetahui adanya gangguan faktor pembekuan darah. Dari hasil pemeriksaan darah dapat diketahui kondisi kadar kolesterol tinggi yang meningkatkan risiko penyakit jantung koroner dan strok. Pemeriksaan gula darah yang dilakukan sewaktu puasa dan tidak puasa, dapat mengetahui adanya diabetes melitus, atau adanya kelainan yang dapat berkembang menjadi diabetes melitus, seperti intoleransi glukosa. Ibu hamil yang menderita diabetes tidak terkontrol dapat mengalami beberapa masalah seperti janin yang tidak sempurna atau cacat, hipertensi, hydramnions atau meningkatnya cairan ketuban, meningkatkan risiko kelahiran prematur, serta macrosomia—yaitu bayi menerima kadar glukosa yang tinggi dari Ibu saat kehamilan sehingga janin tumbuh sangat besar. 3. Golongan Darah dan Rhesus Rhesus adalah sebuah penggolongan atas ada atau tiadanya substansi antigen- D pada darah. Rhesus positif berarti ditemukan antigen-D dalam darah dan rhesus negatif berarti tidak ada antigen-D. Kebanyakan warga bangsa Asia memiliki rhesus positif (+), sedangkan kebanyakan warga bangsa Eropa memiliki rhesus negatif (-). Banyak pasangan suami istri tidak mengetahui rhesus darah pasangan masing-masing. Padahal, jika rhesus mereka bersilangan, bisa memengaruhi kualitas keturunan. Jika seorang perempuan (rhesus negatif) menikah dengan laki-laki (rhesus positif), bayi pertamanya memiliki kemungkinan untuk memiliki rhesus negatif atau positif. Jika bayi mempunyai rhesus negatif, tidak ada masalah. Namun, jika bayi memiliki rhesus positif, masalah mungkin timbul pada kehamilan berikutnya. Bila ternyata kehamilan yang kedua merupakan janin yang memiliki rhesus positif, kehamilan ini berbahaya karena antibodi antirhesus dari ibu dapat memasuki sel darah merah janin. Sebaliknya, tidak masalah jika perempuan memiliki rhesus positif dan lelaki rhesus negatif. Apabila ibu bergolongan darah O sedangkan bayi bukan bergolongan darah O adalah salah satu faktor risiko jaundice atau kuning pada bayi (ABO Incompatibility). Bila diketahui janin memiliki rhesus positif (+) sedangkan ibu memiliki rhesus negatif (-) akan menimbulkan inkompatibilitas rhesus yang bisa mengakibatkan kematian pada janin. Dengan mengetahui rhesus sebelum hamil, dokter dapat segera mengatasinya.
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 102 4. Urinalisis Lengkap Pemeriksaan urine penting dilakukan agar bisa diketahui adanya infeksi saluran kemih (ISK) dan adanya kondisi darah, protein, dan lain-lain yang menunjukkan adanya penyakit tertentu. Penyakit ISK saat kehamilan berisiko baik bagi ibu maupun bayi, seperti kelahiran prematur, berat janin yang rendah, bahkan risiko kematian saat persalinan. Kedua, Pemeriksaan Penyakit Hereditas Yang dimaksud dengan penyakit hereditas adalah yang diturunkan dari orang tua. Calon pengantin harus memiliki pemahaman bahwa bila orang tua atau garis keturunannya mengidap penyakit genetik, maka anak yang akan lahir nanti bisa berisiko mengidap penyakit yang sama. Pemeriksaan ini meliputi: 1. Talasemia Talasemia adalah salah satu penyakit kelainan darah. Penderita penyakit ini tidak mampu memproduksi hemoglobin yang normal. Talasemia telah menjadi salah satu isu kesehatan di Indonesia karena 3–10% populasi di Indonesia adalah carrier atau pembawa gen talasemia beta dan 2,6–11% adalah pembawa gen talasemia alfa. Jika diasumsikan terdapat 5% saja carrier dan angka kelahiran 23 per mil dari total populasi 240 juta jiwa di Indonesia, maka diperkirakan terdapat 3.000 bayi penderita talasemia setiap tahunnya. Saat ini paling tidak tercatat 5.000 pasien talasemia di Indonesia dan diperkirakan angka ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan jumlah penderita talasemia di Indonesia yang tidak terdata. Talasemia mayor merupakan jenis talasemia yang disebabkan “sifat” darah yang dibawa kedua orang tua. Penyakit ini membuat seseorang menjadi tergantung pada transfusi darah dan kesempatan hidupnya terbatas. Di sisi lain, talasemia minor tidak menyebabkan gejala berat dan penderitanya dapat hidup normal, tetapi ia tetap membawa “sifat” penyakit talasemia dalam tubuhnya. Jika kedua orang tua mengidap talasemia minor, 25% kemungkinan anaknya akan mengidap talasemia mayor, 50% akan mengidap talasemia minor, dan 25% akan normal. Jika hanya salah satu orang tua mengidap talasemia minor, 50% kemungkinan si anak akan mengidap talasemia minor dan 50% akan normal. Rumus penurunan talasemia berlaku juga pada penyakit hemofilia dan albino. Dengan pengecekan darah, kita dapat memprediksi kemungkinan yang akan muncul dan mencegah hal yang tidak kita inginkan. 2. Hemofilia Darah pada seorang penderita hemofilia tidak dapat membeku dengan sendirinya secara normal. Proses pembekuan darah pada seorang penderita hemofilia tidak secepat dan sebanyak orang lain yang normal. Penderita hemofilia lebih banyak membutuhkan waktu untuk proses pembekuan darahnya. 3. Sickle Cell Disease Sickle Cell Disease (SCD) disebut juga penyakit sel sabit, merupakan penyakit kelainan sel darah merah yang mudah pecah sehingga menyebabkan anemia.
Secara statistik penyakit ini lebih banyak ditemukan pada ras Afrika, Timur Materi Diklat #1| 103 Tengah, dan beberapa kasus di Asia, terutama India. Ketiga, Pemeriksaan Penyakit Menular Beberapa penyakit menular bisa terdeteksi melalui pemeriksaan pra-nikah, di antaranya 1. HIV, Hepatitis B (HBV) dan Hepatitis C (HCV) Menurut data WHO, saat ini terdapat 4,1 juta jiwa di dunia yang terinfeksi HIV, 95% di antaranya berada di negara berkembang seperti sub-sahara Afrika dan Asia Tenggara. Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan RI, pada tahun 2012 ditemukan 21.511 penderita HIV dan jumlah ini jauh lebih banyak dibanding tahun sebelumnya. Untuk penderita Hepatitis B saat ini diperkirakan sebanyak 1,8 miliar manusia di dunia, dengan 350 juta jiwa sudah mengalami infeksi kronis; dan diperkirakan 170 juta jiwa di dunia terinfeksi virus Hepatitis C. Penyakit HIV, Hepatitis B dan C adalah penyakit yang mengancam jiwa manusia. Infeksi virus ini dapat ditularkan melalui darah, hubungan seksual, dan cairan tubuh. Penularan HIV juga bisa melalui transfusi darah dan transplantasi organ tubuh. Sedangkan penularan virus Hepatitis B dan C rentan terjadi pada pemakai obat-obatan terlarang melalui jarum suntik. Pemeriksaan tiga jenis penyakit infeksi ini sangat penting karena virus-virus ini dapat “diam” atau “tidur” dalam jangka waktu yang lama tanpa menunjukkan gejala apa pun. Menikah dengan seseorang yang membawa virus ini berisiko membahayakan pasangan dan juga calon bayi. Jika seorang laki-laki mengidap hepatitis B dan akan menikah, calon istrinya harus memiliki kekebalan terhadap penyakit ini. Caranya adalah dengan mendapatkan imunisasi hepatitis B. Inilah manfaat pemeriksaan kesehatan pra- nikah. 1. TORCH (Toxoplasma, Rubella, Cytomegalovirus, Herpes Simplex Virus) Tes TORCH berfungsi untuk menguji adanya infeksi penyakit yang bisa menyebabkan gangguan pada kesuburan laki-laki maupun perempuan. Tubuh yang terinfeksi TORCH dapat mengakibatkan cacat atau gangguan janin dalam kandungan. Infeksi TORCH saat kehamilan dapat menyebabkan keguguran, bayi lahir prematur, atau bahkan kelainan bawaan pada bayi. 2. Venereal Disease Screen (Pemeriksaan untuk Penyakit Sifilis) dan IMS Pemeriksaan untuk penyakit sifilis dan penyakit-penyakit lain yang ditularkan melalui hubungan seksual—sexually transmitted infections (STI), infeksi saluran reproduksi (ISR) atau infeksi menular seksual (IMS)—selain dapat mendeteksi adanya penyakit tersebut, juga sekaligus bisa melakukan pengobatan sekaligus mengubah gaya hidup menjadi lebih sehat. Penyakit seperti chlamydia, gonorrhea, dan HPV atau Human papillomavirus, herpes, penyakit ini semua dapat menimbulkan masalah kesuburan dan masalah saat kehamilan. Jika salah satu calon pengantin atau keduanya menderita ISR/IMS/STI, sebelum menikah ia harus berobat dahulu sampai sembuh. Sebuah survei yang dilakukan Durex, mengungkapkan fakta bahwa 21% masyarakat Indonesia tidak mengetahui apakah pasangan mereka pernah mengidap infeksi menular seksual (IMS) atau tidak. Sekitar 27% laki-laki tidak
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 104 mengetahui bahwa pasangan mereka pernah menderita IMS dan hanya 13% perempuan yang tidak mengetahui bahwa pasangannya pernah mengidap IMS. Keempat, Pemeriksaan yang Berhubungan dengan Organ Reproduksi dan Kesuburan Pemeriksaan kesehatan yang berhubungan dengan organ reproduksi dan kesuburan ini dilakukan baik untuk laki-laki maupun untuk perempuan. 1. Untuk Perempuan Pemeriksaan untuk perempuan meliputi USG, agar diketahui kondisi rahim, saluran telur dan indung telur. Pemeriksaan lebih lanjut seperti HSG (Hysterosalpingogram) untuk mengetahui kondisi tuba falopi dan adakah sumbatan akibat kista, polip endometrium, tumor fibroid, dan lain-lain. Pemeriksaan selanjutnya diperlukan untuk perempuan yang siklus haidnya tidak teratur atau sebaliknya berlebihan. Hormon yang diperiksa misalnya hormon FSH (follicle stimulating hormone), LH (luteinizing hormone) dan Estradiol (hormone estrogen). 2. Untuk Laki-Laki Selain dilakukan pemeriksaan fisik seperti pemeriksaan penis, skrotum, prostat juga dilakukan pemeriksaan hormon FSH yang berperan dalam proses pembentukan sperma serta kadar hormon testosteron. Dapat dilakukan juga analisis semen dan sperma. Kelima, Pemeriksaan Tambahan Selain berbagai jenis pemeriksaan di atas, diperlukan juga beberapa pemeriksaan dan tindakan kesehatan lainnya. 1. Alergi Salah satu yang sering terlewatkan adalah alergi. Alergi adalah sistem kekebalan tubuh yang bereaksi di luar normal terhadap beberapa substansi (alergen) yang tidak berbahaya bagi sebagian besar manusia. Kecenderungan seseorang memiliki alergi adalah karena faktor keturunan, walaupun tidak selalu orang tua yang memiliki bakat alergi akan menurunkannya kepada anak-anaknya. Penting untuk membuat daftar hal-hal yang memicu alergi dari kedua pasangan terutama bila pasangan ada yang pernah mengalami reaksi anafilaksis yang dapat menyebabkan kematian. 2. Vaksinasi Dewasa Vaksin yang berkaitan langsung dengan kehamilan adalah vaksin hepatitis B, tetanus, MMR (Measles, Mumps, Rubella), varisela (cacar air), influenza, serta vaksin dewasa lainnya sesuai jadwal imunisasi yang dikeluarkan oleh petugas Satgas Imunisasi Dewasa. Keenam, Pemeriksaan Kesehatan untuk Ibu dan Calon Ibu Selain pemeriksaan di atas, ada lima pemeriksaan yang juga direkomendasikan untuk dilakukan oleh calon pengantin perempuan karena mereka akan menjadi calon ibu, juga penting dilakukan oleh para ibu yang sudah memiliki anak, yaitu 1. Pemeriksaan Periodontal Pemeriksaan ini meliputi pembersihan rutin dan pemeriksaan gusi untuk menjaga gigi dan gusi agar tetap sehat dan bebas dari infeksi serta penyakit. Bagian yang
diperiksa adalah sambungan antara gusi dan gigi serta kemungkinan adanya Materi Diklat #1| 105 peradangan di sekitar gusi. Hal ini menjadi penting karena perempuan yang memiliki penyakit gusi berisiko tujuh kali lipat lebih tinggi melahirkan prematur. Selain itu pada ibu hamil lebih rentan mengalami peradangan gusi akibat adanya perubahan hormon. Karenanya ibu hamil harus lebih sering memeriksakan diri ke dokter yaitu setiap 3–4 bulan sekali, terutama jika sering mengalami gusi berdarah. 2. Pemeriksaan Thyroid Stimulating Hormone (TSH) Pemeriksaan ini akan menunjukkan apakah kadar hormon tiroid seseorang kurang aktif (hipotiroid) atau justru terlalu aktif (hipertiroid). Karena kadar hormon ini bisa memengaruhi kesehatan perempuan. Pemeriksaan ini penting karena gangguan tiroid dapat mengganggu kesempatan seseorang untuk hamil, misalnya perempuan yang mengalami hipotiroid akan terganggu proses ovulasinya sedangkan hipertiroid bisa meningkatkan risiko keguguran atau kelahiran prematur. 3. Pemeriksaan Hitung Darah Lengkap (Complete Blood Count/CBC) Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengevaluasi seberapa baik sumsum tulang belakang dan sistem kekebalan tubuh bekerja. Jika sel darah putihnya tinggi, hal ini menunjukkan adanya infeksi. Jika kadar hemoglobin rendah, menunjukkan adanya anemia, dan jika kadar platelet rendah menunjukkan adanya masalah dalam pembekuan darah. Setelah seorang perempuan memiliki anak, cenderung memiliki periode menstruasi yang berat sehingga membuat seseorang rentan terhadap anemia. Selain itu untuk mengetahui apakah ada gangguan dalam jumlah komponen darahnya. 4. Pap Smear Pap smear dilakukan untuk mendeteksi perubahan pra-kanker atau kanker pada leher rahim. Biasanya dokter akan mengambil sedikit sampel cairan di leher rahim dan memeriksakannya di laboratorium. Pemeriksaan ini penting dilakukan oleh perempuan yang sudah menikah. Deteksi dini bisa mencegah kondisi yang lebih serius seperti kanker leher rahim. 3. Pemeriksaan Kepadatan Mineral Tulang Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui kepadatan mineral tulang yang dapat memicu osteoporosis. Kondisi ini terjadi pada saat tulang mulai tipis dan lemah. Untuk memeriksanya biasanya digunakan mesin yang disebut dengan dual energy photon absorptiometry (DEXA). Pemeriksaan ini lebih penting lagi untuk dilakukan bagi perempuan yang memiliki riwayat osteoporosis, atau mengonsumsi obat tiroid dan steroid. Masalah bisa bertambah parah saat seorang ibu menyusui. Jika ia tidak mendapatkan kalsium yang cukup, maka tubuh akan mengambilnya dari tulang dan diberikan pada bayi. Karenanya penting untuk mengetahui apakah kepadatan mineral tulangnya masih baik atau sudah berkurang.
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 106 Enam Bulan Sebelum Menikah Kapan harus melakukan pemeriksaan kesehatan pra-nikah? Pada dasarnya premarital medical check up dapat dilakukan kapan pun, tetapi waktu yang tepat adalah enam bulan sebelum hari pernikahan. Sangat baik jika kedua calon mempelai dapat mengetahui kondisi kesehatan masing-masing jauh hari sebelum menikah. Sekali lagi, hal ini tidak untuk membatalkan pernikahan, tetapi untuk mendapatkan pertolongan medis guna mengatasi masalah kesehatan yang dialami oleh calon pengantin, sekaligus mengubah pola hidup menjadi lebih sehat. Semua demi kebaikan dan kebahagiaan hidup berumah tangga. Kesehatan Mental Sebelum Menikah Menurut WHO (2022), kesehatan mental adalah keadaan kesejahteraan mental yang memungkinkan orang mengatasi tekanan hidup, menyadari kemampuan mereka, belajar dengan baik, bekerja dengan baik, dan mampu berkontribusi pada komunitas mereka. Kesehatan mental adalah komponen integral dari kesehatan dan kesejahteraan yang mendukung kemampuan individu dan kolektif, untuk membuat keputusan, membangun hubungan, dan membentuk dunia tempat kita tinggal. Mengapa pemeriksaan kesehatan mental diperlukan sebelum menikah? Banyak studi menunjukkan, pernikahan berpotensi mengalami masalah serius jika terdapat gangguan kesehatan mental pada diri calon pengantin. Studi selama sepuluh tahun yang mengamati pernikahan individu dengan gangguan kecemasan, gangguan suasana hati dan pengguna zat adiktif telah menyimpulkan bahwa orang dengan penyakit mental memiliki peluang lebih besar untuk putusnya perkawinan serta lebih kecil kemungkinan untuk memasuki hubungan perkawinan berikutnya (Ramin Mojtabai dkk., 2017). Studi menunjukkan bahwa kekerasan dalam hubungan pernikahan banyak disebabkan oleh gangguan kesehatan mental yang sudah ada sebelumnya. Berbagai studi telah menunjukkan adanya hubungan langsung antara kekerasan dalam pernikahan, dengan penyalahgunaan zat, depresi, dan gangguan perilaku sebelum menikah (Elizabeth Miller, 2011). Manfaat Pemeriksaan Kesehatan Mental Sebelum Menikah Ada sangat banyak manfaat pemeriksaan kesehatan mental sebelum menikah. Manfaat ini bukan hanya kembali kepada individu yang menjalani pernikahan— calon suami dan istri, tetapi juga bermanfaat bagi anak keturunan kelak, bagi keluarga besar, masyarakat bahkan bangsa dan negara. 1. Mencegah Penularan Gangguan Mental Gangguan mental yang belum teratasi sebelum menikah berpotensi menulari pasangan setelah menikah. Bila dirasakan ada gangguan mental, misalnya inner child, luka pengasuhan masa lalu, atau trauma, usahakan untuk menyembuhkan terlebih dahulu sebelum menikah. Penyembuhan bisa dilakukan secara mandiri atau dengan bantuan ahli. Jika tidak mampu menyembuhkan sendiri, bisa mengakses psikolog, psikiater, atau konselor.
2. Memperkecil Kemungkinan KDRT Materi Diklat #1| 107 Studi menunjukkan, tindakan kasar dan gangguan mental adalah hal yang saling berhubungan. Kekerasan dalam rumah tangga besar kemungkinan disebabkan adanya gangguan kesehatan mental. Cek kesehatan mental diri dan calon pasangan sebelum menikah. Untuk deteksi dini adanya potensi gangguan mental yang bisa memunculkan tindak kekerasan dan kekasaran sepanjang pernikahan. 3. Mengurangi Stres Seseorang yang sedang memulihkan kesehatan mentalnya dari depresi atau kecemasan, bisa memerlukan waktu yang lama. Bisa berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun. Suami atau istri dapat mengalami stres karena kehidupan pernikahan dihabiskan untuk merawat kesehatan mental pasangan, sementara dia harus bekerja keras untuk mempertahankan hubungan pernikahan ini sendirian. Dalam situasi seperti itu, kesehatan fisik dan mentalnya sendiri bisa terganggu. 4. Menjaga Kedekatan Suami dan istri yang sedang merasakan tekanan mental, bisa menyebabkan hubungan merenggang. Salah satu atau keduanya cenderung menjauhkan diri. Tidak nyaman saat berduaan. Untuk itulah cek kesehatan jiwa perlu dilakukan sebelum menikah agar bisa menghindari situasi buruk pernikahan yang bisa membuat frustrasi dan rasa putus asa dalam menghadapi pasangan. Apa yang Perlu Diperiksa? Ada beberapa hal yang perlu diperiksa dalam cek kesehatan mental sebelum menikah, yaitu • kondisi kesehatan mental secara umum; • ada tidaknya gangguan mental yang berisiko mengganggu pernikahan; • ada tidaknya kondisi mental yang mungkin diturunkan atau “ditularkan” baik secara genetik ataupun lewat interaksi sosial; dan • kondisi relasi atau hubungan sosial diri dan calon pasangan. Apa Saja Bentuk Tesnya? Tes kesehatan mental atau tes psikologi bisa dilakukan dengan berbagai instrumen penilaian. Contohnya adalah menggunakan SRQ 29 dan MMPI. 1. SRQ 29 Bila melakukan pemeriksaan kesehatan pra-nikah di Puskesmas, instrumen tes psikologi yang akan digunakan adalah self reporting questionnaire 29 (SRQ 29). Instrumen ini merupakan kuesioner yang dikembangkan oleh World Health Organization (WHO) sebagai alat ukur masalah/gangguan jiwa. SRQ 29 berisi 29 pertanyaan yang berhubungan dengan masalah yang mungkin mengganggu selama 30 hari terakhir. Calon pasangan pengantin diminta untuk menjawab 29 pertanyaan dengan jawaban “ya” atau “tidak”. Bila hasilnya mengindikasikan adanya gangguan kesehatan mental, maka calon pengantin akan diminta konsultasi ke psikolog untuk penanganan selanjutnya.
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 108 2. MMPI Instrumen tes psikologi lainnya adalah minnesota multiphasic personality inventory (MMPI). MMPI adalah salah satu bentuk tes psikologi untuk menilai kepribadian dan psikopatologi. Ada berbagai dimensi kejiwaan yang bisa ditemukan dari pemeriksaan menggunakan instrumen ini. Karakteristik Pribadi yang Memiliki Kesehatan Mental Pribadi yang memiliki kesehatan mental, ditandai oleh adanya beberapa karakteristik, sebagai berikut. 1. Berpikir dan Bertindak Positif dan Konstruktif Jiwa yang sehat membuat seseorang selalu berpikir dan berbuat hal positif serta konstruktif . Jiwa yang tidak sehat banyak didominasi pemikiran negatif. Dalam keluarga yang sehat, terdapat pola pikir positif dan konstruktif dari para anggotanya. Demikian pula terdapat interaksi yang positif dan konstruktif. 2. Kemampuan Penyesuaian Diri Penyesuaian diri (self adjustment) adalah proses untuk memenuhi kebutuhan (needs satisfaction), dan mengatasi berbagai masalah dalam kehidupan. Seseorang dapat dikatakan memiliki penyesuaian diri yang normal apabila dia mampu memenuhi kebutuhan dan mengatasi masalahnya secara wajar, tidak merugikan diri sendiri, keluarga, dan lingkungan. Keluarga akan melalui fase-fase perkembangan yang menuntut adanya penyesuaian diri. Tanpa kemampuan penyesuaian diri akan cenderung mengalami banyak persoalan yang mengganggu ketahanan keluarga. 3. Kemampuan Mengoptimalkan Potensi Individu yang sehat mentalnya adalah yang mampu memanfaatkan berbagai potensi yang dimilikinya untuk kebaikan. Dalam keluarga sehat, berbagai potensi yang ada pada setiap anggota keluarga mampu dikelola dengan baik sehingga menghasilkan produktivitas. Semua bisa saling bekerja sama dan menguatkan dalam mengoptimalkan potensi. 4. Kemampuan Mengekspresikan Cinta dan Kasih Sayang Cinta dan kasih sayang adalah salah satu kebutuhan emosional manusia. Menikah dan hidup berumah tangga adalah salah satu sarana menyalurkan fitrah cinta dan kasih sayang tersebut. Merasa dicintai dan disayangi adalah kebutuhan penting untuk menjadi sehat jiwa. Keluarga sehat jiwa mampu mengekspresikan cinta dan kasih sayang sesama mereka secara tepat. Serta memiliki kemampuan menghadirkan dan menjaga kehangatan hubungan sebagai keluarga. 5. Kemampuan Mencapai Kebahagiaan Pribadi dan Orang Lain Kebahagiaan pribadi akan didapatkan apabila diakui, diterima, dihargai, dan mendapatkan perlakuan layak sesuai dengan harkat dan martabat manusia. Bentuk nyata perwujudan terhadap hak tersebut tecermin dari dukungan psikologis yang diberikan keluarga kepada setiap anggota keluarganya. Pribadi yang sehat mental cenderung menampilkan perilaku atau respons yang tepat terhadap berbagai situasi dan kondisi. Mereka mampu mendapatkan kebahagiaan dalam diri, dan mampu memberikan kebahagiaan bagi orang lain.
6. Mampu Mencukupi Nafkah Lahir Batin Keluarga yang sehat mental akan mampu mencukupi kebutuhan nafkah lahir dan batin. Nafkah lahir adalah tercukupinya kebutuhan sandang, papan, pangan, dan kesehatan yang layak. Nafkah batin adalah terpenuhinya sisi afeksi, termasuk kebutuhan biologis. Ketidakmampuan memenuhi nafkah lahir batin menjadi salah satu sebab gangguan kesehatan jiwa. 7. Mampu Memiliki Kehidupan Sosial yang Baik Pribadi sehat mental ditandai dengan kemampuan membangun relasi sosial yang positif. Keluarga yang sehat mental mampu membangun kehidupan sosial yang baik di tengah masyarakat. Mereka mampu beradaptasi dan berperan dalam kehidupan masyarakat, serta mampu berkontribusi positif dalam kegiatan masyarakat. Itulah hal-hal penting dan manfaat dari pemeriksaan baik fisik ataupun mental sebelum pernikahan. Walaupun pemeriksaan ini bukan hal yang wajib, ketika pemeriksaan-pemeriksaan ini dilakukan, maka akan meminimalkan dampak dan konflik yang terjadi dalam rumah tangga nanti. Materi Diklat #1| 109
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 110
Materi Materi Diklat #1| 111 Ketahanan Keluarga
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 112 Pilar-Pilar Ketahanan Keluarga Tujuan Pembelajaran Umum: Membangun pemahaman dan penghayatan konsep tentang meningkatkan kualitas hidup keluarga melalui menegakkan pilar-pilar ketahanan keluarga sehingga memiliki kesadaran akan pentingnya mempelajari ilmu, sikap positif dan konstruktif di tengah keluarga, serta keterampilan membina ketahanan keluarga. Tujuan Pembelajaran Khusus: 1. Peserta pendampingan memahami pengertian pilar-pilar ketahanan keluarga. 2. Peserta pendampingan memahami peran pada setiap proses tahapan membina keluarga. 3. Peserta pendampingan memahami pentingnya meningkatkan kapasitas SDM anggota keluarga. 4. Peserta pendampingan memahami pentingnya usaha pencegahan masalah dan langkah mencari solusi permasalahan keluarga. 5. Peserta pendampingan memahami pentingnya kontribusi keluarga bagi lingkungan sekitar. 6. Peserta pendampingan membangun kesadaran pentingnya belajar sepanjang hayat secara mandiri atau mengikuti program edukasi keluarga agar menjadi keluarga yang berkualitas. Alternatif Kegiatan Pembelajaran: 1. Pendamping memantik dengan cara menyampaikan isu terkini atau contoh kasus tentang problem keluarga, baik lingkup lokal di lingkungan sekitar maupun nasional, bahkan global. 2. Peserta diminta memberikan tanggapan tentang isu-isu terkini berkenaan dengan problem seputar pilar-pilar ketahanan keluarga 3. Peserta mendapat penjelasan tentang konsep pilar-pilar ketahanan keluarga 4. Pendamping memfasilitasi diskusi tentang alternatif program apa saja untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, serta keterampilan mewujudkan pilar-pilar ketahanan keluarga Uraian Materi: Menurut undang-undang, ketahanan keluarga adalah kondisi dinamik suatu keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan serta mengandung kemampuan fisik materiil dan psikis, mental spiritual, guna hidup mandiri dan mengembangkan diri dan keluarganya untuk hidup harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan lahir dan kebahagiaan batin (pasal 1 angka 15 UU Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera). Sedangkan berdasar Undang-Undang Nomor 52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga dan Undang-
Undang Nomor 10 tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Materi Diklat #1| 113 Pembangunan Keluarga Sejahtera, yang dimaksud dengan keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami, istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya. Agar setiap keluarga memiliki ketahanan yang mantap, diperlukan pilar yang kokoh untuk menjaganya. Paling tidak ada sepuluh pilar ketahanan keluarga yang harus selalu diusahakan oleh setiap keluarga dan difasilitasi oleh pemerintah maupun semua komponen anak bangsa yang peduli keluarga. Pilar Pertama: Persiapan Menjelang Pernikahan Bermula dari penyiapan sebaik-baiknya semua calon pengantin agar mengerti tentang seluk-beluk dan renik-renik kehidupan berumah tangga, sehingga mereka bisa menjalani suka-duka hidup dalam keluarga secara dewasa dan bertanggung jawab. Semua calon pengantin perlu disiapkan secara mental, spiritual, moral, konsepsional, finansial dan juga medikal. Hal ini sangat penting mengingat pernikahan adalah gerbang satu-satunya pembentuk keluarga. Maka siapa pun yang membentuk keluarga harus melalui proses pernikahan secara matang persiapannya. Bukan accident, bukan coba-coba, bukan iseng, bukan sekadar untuk senang-senang. Pembentukan keluarga diawali dengan pernikahan. Maka, untuk menciptakan ketahanan keluarga, harus diawali dengan pembekalan dan penyiapan pra-nikah. Ketahanan keluarga tidak bisa dilakukan hanya dengan menunggu keluarga yang bermasalah untuk diperbaiki. Sangat mengherankan, bahwa untuk urusan mengendarai motor dan mobil diperlukan Surat Izin Mengemudi (SIM), tetapi untuk urusan yang sangat mendasar dalam menjalani hidup berumah tangga tidak ada pihak yang mengeluarkan Surat Izin Menikah atau Sertifikat Kelayakan Menikah. Orang yang ingin menikah di Indonesia sangat mudah, langsung saja menikah, tanpa ada pendidikan, pembekalan, atau kursus yang membuat mengerti dan lebih siap menjalani kehidupan berumah tangga nantinya. Kecelakaan di jalan raya sangat membahayakan diri dan orang lain, demikian pula kecelakaan dalam hidup berumah tangga bisa membahayakan kebudayaan dan peradaban kemanusiaan. Kecelakaan lalu lintas bisa menimbulkan cacat dan kematian manusia, demikian pula kecelakaan berumah tangga bisa menimbulkan cacat dan kematian kebudayaan serta punahnya peradaban kemanusiaan. Sama- sama membahayakan, dengan skala dan kondisi yang berbeda. Pembekalan Menjelang Pernikahan Untuk itulah calon pengantin laki-laki dan perempuan harus mendapatkan pembekalan yang memadai tentang seluk-beluk kehidupan berumah tangga. Setiap calon pengantin harus memiliki kemampuan untuk memverbalkan visi pernikahan mereka sehingga pernikahan benar-benar visioner. Bagian yang sangat penting bagi para calon pengantin adalah bab penguatan dan pelurusan motivasi menikah. Jangan sampai menikah hanya karena accident belaka, atau hanya coba-coba, atau hanya karena pengin, atau karena naluri manusia dewasa semata-mata.
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 114 Menikah dan hidup berumah tangga harus dilandasi dengan motivasi ketuhanan, bahwa menikah adalah ibadah, menunaikan misi peradaban kemanusiaan yang sangat mulia. Menikah adalah tuntunan syariah, dan meneladani sunah Nabi saw., bukan semata-mata karena menyalurkan hasrat kemanusiaan. Menikah memiliki tujuan-tujuan dan misi yang sangat mulia. Ini merupakan bagian fondasi yang sangat penting untuk dimiliki oleh semua orang yang akan melaksanakan pernikahan. Di antara pembekalan pra-nikah adalah tentang keterampilan hidup berumah tangga, bagaimana menjadi suami, bagaimana menjadi istri, bagaimana menjadi orang tua, bagaimana manajemen kehidupan berumah tangga, dan berbagai renik kerumahtanggaan. Penting juga untuk disampaikan tentang proses pernikahan yang baik dan benar. Banyak kalangan muda yang terjebak pergaulan bebas hingga melampaui batas kepatutan budaya dan melanggar aturan agama. Ini harus diluruskan dan dibimbing dengan cara yang baik. Banyaknya KDRT, konflik hingga perceraian, salah satunya disebabkan karena minimnya persiapan menjelang menikah dan tidak adanya penjagaan setelah menikah. Hidup berumah tangga di Indonesia itu ibarat terjun bebas tanpa instruktur, tentu saja sangat membahayakan. Menikah tidak didasari oleh ilmu dan kesiapan yang memadai, menikah hanya karena desakan-desakan situasi dan kondisi. Sangat disayangkan program pembekalan belum dilakukan juga dalam masing-masing keluarga. Kursus Calon Pengantin (Suscatin) Sesungguhnya program Suscatin (Kursus Calon Pengantin) sudah menjadi salah satu tugas Kementerian Agama, tetapi sayangnya tidak bisa berjalan dengan baik di berbagai daerah dengan beragam alasan. Banyak pihak KUA tidak menjalankan Suscatin menyatakan karena tidak ada dukungan dana. Hal ini sangat disayangkan, karena program Suscatin sangat penting untuk memberikan landasan pemahaman dan kesiapan diri untuk kehidupan berumah tangga yang kokoh dan baik. Beberapa negara tetangga sudah mempraktikkan pembekalan menjelang perkawinan. Di Malaysia, pembekalan calon pengantin dilakukan dengan kegiatan Kursus Praperkahwinan. Sertifikat kelulusan menjadi salah satu syarat untuk bisa memproses pernikahan. Di Singapura, setiap calon pengantin harus mengikuti kursus dan mendapatkan sertifikat. Di dalam tradisi gereja juga sudah dilakukan hal yang demikian. Justru di lingkungan masyarakat muslim, yang belum memiliki tradisi sertifikasi untuk menyatakan kesiapan menikah. Sebenarnya Kementerian Agama RI telah mengeluarkan regulasi yang mengatur pembekalan pra-nikah melalui Peraturan Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama nomor DJ.II/491 Tahun 2009 tentang Kursus Calon Pengantin. Dalam regulasi tersebut diatur materi pembekalan yang cukup memadai dengan waktu pelaksanaan sekitar 24 jam pelajaran, dengan materi berikut. a. Tata cara dan Prosedur Perkawinan (2 jam); b. Pengetahuan Agama (5 jam); c. Peraturan Perundangan di Bidang Perkawinan dan Keluarga (4 jam);
d. Hak dan Kewajiban Suami Istri (5 jam); Materi Diklat #1| 115 e. Kesehatan Reproduksi (3 jam); f. Manajemen Keluarga (3 jam); g. Psikologi Perkawinan dan Keluarga (2 jam). Menurut aturan, calon pengantin pun sebenarnya diwajibkan memiliki sertifikat Suscatin saat hendak mendaftarkan pencatatan pernikahan. Sayangnya, aturan ini tidak berjalan. Seharusnya pemerintah pusat dan pemerintah daerah, baik legislatif maupun eksekutif, kembali menguatkan perhatian terhadap persoalan ketahanan keluarga ini, mengingat sudah makin banyaknya persoalan yang terjadi. Tidak perlu menunggu korban berjatuhan makin banyak, segera berikan sentuhan perhatian dan kebijakan agar program pembekalan menjelang pernikahan bisa berjalan sesuai dengan semestinya. Karena Pemerintah belum menunjukkan kesungguhan dalam menjalankan agenda ketahanan keluarga, menjadi kewajiban bagi Ormas, LSM, pihak masjid, dan semua komponen yang peduli dengan ketahanan keluarga untuk mewujudkan dan merealisasikannya. Bahkan bisa dimulai dari dalam keluarga kita masing-masing. Pilar Kedua: Pembinaan Hidup Berumah Tangga Bagian penting berikutnya adalah pembinaan hidup berumah tangga, yang membuat suami dan istri mengerti bagaimana menjalani fungsi, peran, tugas, dan kewajiban dalam rumah tangga. Jika kita membaca isi perjanjian shighat taklik yang dibaca saat akad nikah menurut agama Islam, tampak bahwa ada antisipasi dari Pemerintah RI agar tidak ada kesewenang-wenangan dalam rumah tangga. Mungkin dari zaman dahulu kala, ditemukan banyak kasus suami yang menelantarkan istri, tidak menafkahi istri dan bahkan meninggalkan begitu saja tanpa kejelasan status. Itu semua tidak sesuai dengan makna ikatan pernikahan, maka dibuat dalam ikrar janji yang dibaca suami saat usai akad nikah. Sayangnya, rata-rata pernikahan di Indonesia terjadi dengan “terjun bebas” alias tidak ada pembekalan yang memadai bagi para calon pengantin. Program Suscatin (Kursus Calon Pengantin) yang sudah dimiliki Pemerintah RI ternyata belum bisa direalisasikan dengan berbagai macam alasan. Pada saat menjelang menikah tidak ada pembekalan pra-nikah dan tidak ada lembaga yang berwenang menyatakan apakah seseorang memang layak menikah atau tidak. Ditambah lagi, setelah menikah dan hidup berumah tangga, juga tidak ada pendidikan dan pembinaan yang terprogram dan berkelanjutan. Masih bagus kalau pasangan suami istri rajin membaca buku, mengikuti seminar atau menghadiri kajian tentang keluarga sakinah. Jika itu pun tidak, benar-benar tidak ada asupan pengetahuan, pemahaman, pengingatan, penguatan, dan penyegaran tentang ketahanan keluarga. Ternyata hidup berumah tangga memang unik, tidak ada sekolah berjenjang, perguruan tinggi maupun pendidikan lanjutnya. Maka, ketika keluarga menghadapi persoalan, rata-rata tidak diselesaikan secara akademis, tetapi diselesaikan secara “adat.” Yang menyedihkan, bahkan pemahaman yang sangat mendasar untuk keperluan hidup berumah tangga pun banyak tidak dipahami. Seperti pemahaman
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 116 tentang hak dan kewajiban suami istri, hak dan kewajiban orang tua dan anak, pembagian peran dalam rumah tangga, pendidikan anak, dan lain sebagainya. Pembinaan Rutin dan Terprogram Pembinaan hidup berumah tangga merupakan kebutuhan yang sangat penting dan mendesak, mengingat banyaknya permasalahan dalam kehidupan rumah tangga. Semestinya, pembinaan hidup berumah tangga bersifat seumur hidup. Begitu selesai akad nikah, maka mereka sudah sah menjadi pasangan suami istri yang berinteraksi dan berkomunikasi sebagai suami dan sebagai istri. Untuk itu, perlu ada ilmu tentang komunikasi suami istri, pembagian peran, harmonisasi keluarga, interaksi orang tua dengan anak, penyiapan kehamilan, kelahiran, pendidikan anak, bahkan menyiapkan masa-masa tua dan menghadapi kematian. Ajaran agama telah komplet merawat setiap fase kehidupan dan sangat jeli memberikan perhatian terhadap keluarga. Perjalanan sejak dari pengantin baru yang masih muda usia, lalu menjadi ayah dan ibu, lalu mendidik dan membesarkan anak-anak hingga dewasa, kemudian menjadi mertua, akhirnya menjadi kakek dan nenek, kemudian menjadi sendirian karena ditinggal pasangan, hingga akhirnya dirinya pun menghadap Tuhan. Perhatikan, betapa seluruh rentang waktu tersebut selalu berbeda situasi dan kondisinya. Maka, mestinya berbeda pula materi pembelajarannya. Satu fase berganti ke fase berikutnya, dan mestinya segera belajar untuk menghadapi fase yang tengah dihadapi. Tidak ada waktu untuk berhenti belajar, berhenti memahami, berhenti mengerti, karena waktu terus berlalu. Kondisi terus berganti. Begitulah hidup berumah tangga, harus selalu ada pembinaan, pengingatan, penyegaran dan pengarahan. Sayangnya, justru dalam sisi ini belum ada institusi yang mengerjakan dengan serius, terprogram, dan sistematis. Kursus Calon Pengantin saja tidak bisa berjalan, masih ditambah dengan tidak ada perhatian terhadap pembinaan hidup berumah tangga. Belajar Di Mana? Untuk menjadi direktur perusahaan saja ada sekolah dan pendidikan lanjutnya. Lulus S-1 Manajemen, bisa lanjut S-2 dan S-3. Bisa mengambil Spesialisasi Manajemen Perusahaan. Untuk menjadi dokter, ada kuliah serta pendidikan lanjutnya. Sejak masuk Fakultas Kedokteran, kemudian bisa lanjut S-2 dan S-3, atau bisa meneruskan ke jenjang spesialisasi. Untuk menjadi apoteker, ada pendidikan S-1, dilanjutkan profesi, lalu bisa meneruskan S-2 dan S-3. Untuk menjadi jenderal TNI, ada sekolah dan pendidikan lanjutnya. Tiap akan kenaikan pangkat, selalu ada pendidikan yang menyertainya. Ternyata menjadi suami, menjadi istri, menjadi ayah, menjadi ibu, menjadi mertua, menjadi kakek, menjadi nenek, tidak ada pendidikan yang terprogram. Tidak ada Sekolah Suami, Akademi Istri Salihah, Sekolah Orang Tua, Akademi Mertua, atau Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen Rumah Tangga, dan Universitas Kehidupan. Itu hanya sekolah, akademi dan sekolah tinggi dalam angan-angan. Semacam cita-cita dan impian, tetapi sulit diwujudkan.
Nah, kalaupun tidak ada sekolah dan kampus formal untuk belajar hidup Materi Diklat #1| 117 berumah tangga, paling tidak ada modul dan kurikulum yang bisa membuat semua kalangan masyarakat belajar mandiri. Bisa diselingi dengan program pelatihan, seminar, workshop, pengajian dan yang semacam itu, untuk saling berbagi pengalaman dan saling memberikan pembelajaran satu dengan yang lain. Lagi-lagi, ini menjadi kewajiban semua pihak—baik pemerintah maupun komponen masyarakat, untuk mewujudkannya. Pilar Ketiga: Pembinaan Sepanjang Rentang Kehidupan Manusia Pembinaan diperlukan sepanjang rentang kehidupan manusia, sejak sebelum lahir sampai dengan saat sudah menjadi manula dan siap menunggu panggilan Yang Maha Kuasa. Pembinaan yang berkelanjutan dan tidak ada kesudahan, sepanjang hidup manusia. Long life education, karena kehidupan kita selalu berada dalam suasana dan tantangan yang berbeda dari masa ke masa. Tidak ada manusia yang lulus atau tamat belajar karena lulus atau tamat itu hanya ada dalam dataran pendidikan formal. Hakikat pembinaan dan pendidikan selalu kita perlukan di sepanjang rentang dan fase kehidupan. Keberadaan manusia di muka bumi ini memiliki makna yang sangat agung, yaitu sebagai khalifah yang harus memimpin dan mengelola alam semesta ini dengan baik dan benar. Maka, agama, negara, dan ideologi-ideologi dunia selalu memberikan posisi penting bagi pembinaan kehidupan manusia, bahkan telah menyiapkan segala sesuatu untuk menyambut kelahirannya. Keluarga adalah kumpulan dari individu-individu yang memiliki peran dan fungsi saling melengkapi dan saling terhubung satu dengan yang lainnya. Maka, keluarga akan menjadi sehat dan produktif apabila terdiri dari individu yang sehat dan produktif pula. Demikian pula sebaliknya, keluarga akan menjadi sakit dan rentan apabila terdiri dari individu yang sakit serta rentan. Kondisi dan situasi yang ada pada diri suami akan berpengaruh pada istri. Kondisi dan situasi yang ada pada istri akan berpengaruh kepada suami. Demikian pula antara orang tua dengan anak secara timbal balik. Mereka selalu saling terhubung. Sejak Belum Ada Kehidupan Di sisi yang lain, manusia selalu berada dalam situasi yang terus-menerus tumbuh dan berkembang sesuai fase-fase kehidupan yang harus dilaluinya. Maka, setiap anak manusia harus mendapatkan bimbingan dan pembinaan secara memadai untuk bisa melewati semua fase hidup dengan baik. Secara umum, pembinaan manusia sepanjang rentang kehidupannya, dilakukan dengan sepuluh bagian sebagai berikut, berdasarkan 8 tahapan kehidupan yang sudah dijelaskan di awal. 1. Pembinaan Pre-konsepsi Ini adalah bagian paling awal dari proses pembinaan manusia di sepanjang rentang hidupnya. Bahkan dilakukan sejak belum terjadi pembuahan dan belum ada janin. Pembinaan ini dilakukan terhadap pasangan suami istri atau calon pasangan suami istri untuk memberikan bekal pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan dalam menyiapkan kehamilan.
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 118 Bagaimana kehamilan bisa terjadi dan bagaimana mempersiapkan kehamilan dengan sebaik-baiknya. Calon orang tua sudah harus memiliki kesiapan lahir batin untuk menyambut kehamilan sehingga akan bisa menerima hadirnya janin dengan sikap yang positif. 2. Pembinaan Pre-natal Setelah terjadi kehamilan, janin mulai diasuh dan dijaga dengan penuh kasih sayang oleh kedua orang tuanya. Dalam ajaran agama, nilai-nilai spiritual sudah bisa ditanamkan sejak janin masih dalam kandungan. Perhatian terhadap gizi, kesehatan, dan pola hidup sehat terutama pada ibu hamil, menjadi satu bagian penting dalam membentuk janin yang tengah tumbuh di dalam perut. Di sini diperlukan pembinaan bagi calon ayah dan calon ibu untuk bisa memerankan fungsi mereka dengan baik. Peran suami dalam mendampingi istri yang tengah hamil sangat penting dalam memberikan perasaan aman dan nyaman pada ibu hamil, yang akan berdampak terhadap kesehatan ibu maupun bayi. 3. Menyambut Kelahiran Bayi Pada saat ibu melahirkan bayi hendaknya mendapatkan dukungan secara penuh oleh ayah. Agama memberikan tuntunan yang detail terhadap kelahiran bayi, sejak dari ritual kelahiran hingga beberapa hari setelah kelahirannya. Hendaknya bayi telah dikenalkan dengan nilai-nilai ketuhanan, maka sebagian masyarakat muslim menyambut kelahiran bayi dengan azan di telinga kanan bayi dan ikamah di telinga kiri. Hal ini bagian pembinaan nilai-nilai kebaikan pada diri anak sejak dini. 4. Pendidikan Anak Balita Setelah janin lahir, dilanjutkan dengan pembinaan pada hari-hari awal kehidupannya. Sangat penting untuk memberikan pendidikan keimanan sejak dini, pada anak sejak hari kelahiran hingga lima tahun yang merupakan usia emas dalam kehidupan manusia. Anak balita sudah harus dikenalkan dengan nilai ibadah, akhlak, juga berbagai sisi keterampilan praktis seperti berbicara, membaca, berhitung, dan lain sebagainya. Hingga menyiapkan anak untuk memasuki pendidikan anak usia dini (PAUD), playgroup, dan taman kanak-kanak. 5. Pembinaan Anak Usia Sekolah Dasar Pada saat anak sudah masuk pendidikan sekolah dasar, orang tua tetap membina dan mendampingi untuk menguatkan dan mengoptimalkan berbagai potensi positifnya. Orang tua tidak boleh merasa cukup hanya dengan menitipkan anak pada lembaga pendidikan karena sesungguhnya pendidik yang paling utama adalah orang tua. Maka, harus diperhatikan penanaman nilai-nilai yang fundamental dalam diri anak, memberikan pelajaran yang lebih detail tentang syariat, akidah, ibadah, akhlak, dan muamalah. Memberikan makanan yang halal dan tayib, memberikan kasih sayang yang membuat anak selalu berada di jalan yang benar. 6. Pendidikan Anak Remaja
Masa remaja merupakan fase yang rumit dan sulit pada diri anak yang harus Materi Diklat #1| 119 dilalui dengan baik. Anak-anak sudah memasuki bangku sekolah menengah, yang mengalami berbagai perubahan dan perkembangan sangat signifikan, seiring dengan pertambahan usianya. Lingkungan pergaulan dan pengaruh teknologi yang sangat hebat saat ini membuat orang tua harus terus-menerus mendampingi dan mengarahkan dengan cara yang bijak dan tepat. Anak remaja tidak suka indoktrinasi, maka metode dialogis menjadi hal yang bisa mendekatkan orang tua dengan anak remaja. 7. Menyiapkan Anak untuk Dewasa Lulus SMA, saatnya anak memasuki bangku kuliah, sebagian yang lain memilih untuk mencari kerja. Pada waktu itu, anak-anak harus disiapkan untuk memasuki kehidupan yang lebih dewasa. Mereka bukan lagi anak-anak dan juga sudah mulai meninggalkan masa remaja. Kini mereka harus mulai bertanggung jawab terhadap berbagai keputusan besar yang akan berdampak panjang dalam kehidupannya kelak. Mereka harus mampu memilah dan memilih, mampu mengambil keputusan dengan benar, dan bersedia menanggung risiko atas segala keputusan serta tindakan yang dilakukannya. Pada masa itu juga, anak sudah saatnya memasuki kehidupan baru dengan proses pernikahan. Orang tua harus mendampingi anak yang sudah dewasa untuk mengetahui prinsip, langkah, dan tata cara pernikahan menurut aturan agama dan negara. Anak-anak harus didampingi dalam memilih dan memutuskan calon pendamping hidupnya, serta menentukan batas waktu kesiapan menikah. Jangan sampai anak terjebak dalam pergaulan bebas yang membuatnya berkubang dalam kemaksiatan dan salah dalam menentukan pilihan. Matangnya persiapan sangat penting untuk membentuk kebahagiaan hidup berumah tangga. 8. Menyiapkan Masa Tua Pada akhirnya, ditinjau dari segi orang tua, setelah mulai menikahkan anak, berarti mereka mulai memasuki masa tua. Mungkin mereka mulai menyiapkan diri untuk pensiun atau mengakhiri pekerjaan karena sudah mencapai umur untuk itu. Memasuki masa tua harus disiapkan dengan baik agar tetap sehat, segar, dan produktif. Pada saat sudah berusia tua itu, mereka masih harus tetap belajar menjadi mertua yang baik, dan menjadi kakek atau nenek yang baik. Mereka dituntut untuk memberikan teladan dalam kebaikan bagi anak-anak dan cucu serta cicit. 9. Menyiapkan Ditinggal Pasangan Semua manusia pasti akan meninggal dunia, hanya masalah hitungan usia yang tidak bisa diketahui bilangannya. Mungkin suami meninggal dunia terlebih dahulu atau istri meninggal dunia terlebih dahulu. Ini tidak bisa diketahui oleh semua manusia. Oleh karena itu, harus ada persiapan mental spiritual yang baik untuk ditinggal orang-orang yang kita cintai. Tidak mudah untuk menerima kenyataan melanjutkan sisa hidup sendiri tanpa pasangan yang telah berpuluh tahun setia
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 120 menemani. Banyak orang yang mengalami kesedihan berkepanjangan bahkan depresi karena ditinggal pasangan, ini karena kurang menyiapkan diri secara mental dan spiritual. 10. Menyiapkan Akhir yang Baik (Husnulkhatimah) Pada ujungnya semua manusia akan kembali menghadap Tuhan Yang Maha Esa, Allah Ta’ala. Maka, perlu menyiapkan bekal yang mencukupi untuk bisa kembali dalam keadaan sebaik-baiknya, mencapai kondisi akhir yang baik, dan bisa menghadap Allah dalam situasi yang terbaik. Inilah yang dimaksud sebagai husnulkhatimah atau akhir hidup yang baik. Setiap pribadi wajib menyiapkan diri sebaik-baiknya dengan iman dan amal saleh, karena hanya itu yang akan dibawa mati. Bukan kekayaan dan harta benda. Sepuluh tahapan tersebut menjadi tanggung jawab setiap pribadi dan setiap keluarga untuk mewujudkannya. Namun, Pemerintah dan pihak-pihak terkait bisa membantu untuk memberikan pembinaan berkelanjutan terhadap semua anak manusia di sepanjang rentang kehidupan mereka, mengingat kebaikan sumber daya manusia menjadi modal utama kebaikan bangsa dan negara. Pilar Keempat: Pemberdayaan Keluarga Keluarga juga memerlukan proses pemberdayaan karena hal yang membuat masalah serta konflik adalah tidak berdayanya keluarga dalam mencukupi kebutuhan hidup yang pokok dan mendasar. Ketidakberdayaan adalah kelemahan dan akan mempercepat runtuhnya ketahanan keluarga. Sangat banyak perceraian dilatarbelakangi oleh faktor kesulitan ekonomi, walaupun tidak dipungkiri bahwa ada problem lain bagi mereka yang sudah berkecukupan secara materi. Keluarga harus diberdayakan dengan serangkaian program dan kegiatan yang bisa melibatkan semua anggota keluarga hingga mereka mandiri dan mampu memenuhi kebutuhan asasinya. Keluarga menjadi rentan terhadap permasalahan, salah satunya karena kurang berdaya atau bahkan tidak berdaya. Di antara penyebab munculnya persoalan bahkan sampai perceraian di Indonesia adalah karena faktor ekonomi. Hal ini menandakan, ada faktor kerentanan yang disebabkan karena ketidakmampuan ekonomi sehingga membuat fondasi keluarga menjadi rapuh. Maka, untuk menjaga keharmonisan keluarga tidak cukup hanya dengan melakukan persiapan menjelang pernikahan dan pembinaan hidup berumah tangga, tetapi juga harus ada upaya untuk menjadikan keluarga mandiri dan produktif. Hal ini juga menandakan bahwa romantisme, kata-kata cinta, dan tindakan mesra saja tidak cukup untuk mempertahankan keluarga. Karena hidup berumah tangga memerlukan biaya. Ternyata cinta perlu dirawat dengan sejumlah biaya. Tujuan Pemberdayaan Keluarga Program pemberdayaan merupakan upaya meningkatkan harkat dan martabat keluarga agar bisa mencapai tujuan hidup berkeluarga. Tujuan pemberdayaan keluarga adalah memampukan dan memandirikan keluarga sehingga bisa mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, bisa memberikan pendidikan terbaik bagi anak-anak, bisa mendapatkan kesehatan yang prima, dan bahkan memiliki
tabungan untuk hal-hal penting atau darurat yang tidak diduga dalam kehidupan. Materi Diklat #1| 121 Ujungnya adalah keluarga yang harmonis, bahagia, dan sejahtera. Pemberdayaan juga bermaksud menjadikan keluarga sebagai basis perubahan dan perbaikan bagi masyarakat sekitar. Semua anggota keluarga terlibat aktif dalam kegiatan lingkungan sekitar, tidak menjadi beban bagi masyarakat dan negara, dan tidak membuat kerusakan bagi lingkungannya. Program pemberdayaan ini membuat semua keluarga memiliki makna dan kemanfaatan baik secara internal maupun eksternal, ke dalam maupun keluar rumah. Secara internal, program pemberdayaan membuat keluarga bisa mandiri dan mencukupi kebutuhan hidup mereka tanpa menjadi beban bagi pihak lain. Secara eksternal, hal ini akan memberikan pengaruh positif bagi lingkungan sekitar. Menurut Prof. Dr. Euis Sunarti, pemberdayaan keluarga memiliki dimensi tujuan yang sangat luas. a. Membantu keluarga untuk menerima, melewati, menjalani dan mempermudah proses perubahan yang akan dan tengah dialami keluarga. Keluarga akan selalu berada dalam situasi yang dinamis dan mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Dari keluarga baru yang belum punya anak akan terus berkembang saat mulai punya anak dengan perkembangan usia dan fasenya. Tentu saja kebutuhan hidup akan selalu berkembang dari waktu ke waktu yang harus disikapi, dilewati, dan dijalani dengan tepat. Program pemberdayaan harus berupaya untuk membantu keluarga dalam melewati proses perubahan ini dengan sebaik-baiknya. b. Menggali potensi dan kapasitas anggota keluarga baik dari segi kepribadian maupun dari segi keterampilan dan manajerial. Program pemberdayaan tidak boleh menciptakan ketergantungan atau bahkan pelemahan. Aktivitas yang murni charity, sering kali menyenangkan pihak yang mendapat bantuan, tetapi dalam jangka panjang hal itu tidak memandirikan, bahkan sering menimbulkan ketergantungan. Untuk itu, semua anggota keluarga harus digali potensi dan kapasitasnya baik dari segi mental spiritual, maupun dari segi manajerialnya. Inilah yang menjadi esensi pemberdayaan, yaitu membuat semua anggota keluarga memiliki keberdayaan. Bukan ketergantungan. c. Mendorong keluarga agar memiliki daya ungkit yang memadai untuk mandiri. Pada kondisi keluarga tengah menghadapi persoalan ekonomi yang berat dan rumit, mereka harus mendapatkan dorongan yang memadai agar memiliki daya ungkit untuk mandiri. Kesulitan mereka yang bercorak sangat mendesak bisa dibantu dengan charity, tetapi hal itu bukanlah daya ungkit. Yang sangat diperlukan adalah spirit untuk bangkit, juga harus mengetahui peluang serta memiliki keterampilan yang diperlukan untuk mandiri. d. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan hidup seluruh anggota keluarga sepanjang tahap dan siklus hidup keluarga.
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 122 Karena keluarga akan melalui berbagai tahap dalam kehidupan mereka, sangat penting bagi semua anggota keluarga untuk memiliki pengetahuan dan keterampilan hidup. Jangan sampai mereka menjadi kaget oleh karena adanya perubahan-perubahan dalam siklus kehidupan yang terus berubah, tanpa adanya persiapan untuk menghadapinya. Program pemberdayaan berorientasi untuk membuat semua anggota keluarga memiliki pengetahuan dan keterampilan hidup yang berkembang sesuai dengan tahap kehidupan berumah tangga. e. Membangun daya tahan dan daya adaptasi yang tinggi terhadap perubahan dalam kehidupan. Sangat penting bagi semua anggota keluarga untuk memiliki daya tahan dan daya adaptasi terhadap adanya perubahan agar mereka mampu menjalani kehidupan dengan sukses tanpa kesulitan dan hambatan yang berarti. Perubahan bisa terjadi secara tiba-tiba dan drastis, tetapi bisa pula terjadi secara gradual dan bertahap. Misalnya, dari kondisi mapan ekonomi tiba-tiba mengalami kebangkrutan total akibat kegagalan bisnis. Atau sebaliknya, dari kondisi miskin tiba-tiba mendapatkan keuntungan yang sangat besar dalam waktu cepat. Perubahan seperti ini harus dihadapi dengan daya tahan dan daya adaptasi yang baik, sehingga tidak kaget dan tidak salah dalam menyikapi. f. Membina dan mendampingi proses perubahan sampai tahap kemandirian. Program pemberdayaan harus berupaya memberikan pembinaan dan pendampingan dalam setiap proses perubahan yang dihadapi oleh keluarga hingga mereka mampu mandiri. Banyak dijumpai keluarga yang rentan dalam menghadapi perubahan karena tidak siap dengan situasi dan kondisi yang cepat berubah. Ada perubahan yang disebabkan oleh karena situasi umum di Indonesia maupun di dunia, atau perubahan yang disebabkan karena situasi regional serta lokal, tetapi ada perubahan yang terjadi hanya dalam suatu keluarga tertentu. Tiga Program Pemberdayaan Pemberdayaan keluarga semestinya mengacu pada Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menyatakan, “Keluarga sebagai wahana untuk mendidik, mengasuh dan sosialisasi anak, mengembangkan seluruh anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik serta memberikan kepuasan dan lingkungan sosial yang sehat guna tercapainya keluarga sejahtera.” Pemberdayaan berorientasi memampukan keluarga dalam menghadapi situasi kenelangsaan dan kesulitan hingga mampu keluar dari kondisi sulit itu. Untuk mencapai berbagai tujuan mulia tersebut, menurut Prof. Euis Sunarti, bisa dilakukan melalui tiga program, yaitu peningkatan kapasitas SDM anggota keluarga, penguatan ekonomi keluarga, serta kegiatan pendukung. Contoh kegiatan peningkatan kapasitas SDM anggota keluarga adalah dengan program penguatan motivasi, pelatihan entrepreneurship dan kewirausahaan untuk menciptakan jiwa wirausaha serta jiwa kemandirian. Semua
anggota keluarga harus memiliki semangat bekerja, berusaha, dan memiliki Materi Diklat #1| 123 kemampuan untuk mengelola kehidupan berumah tangga tanpa mengabaikan semua sisinya. Contoh kegiatan penguatan ekonomi keluarga adalah pelatihan keterampilan aneka kreasi yang bisa memberikan keterampilan praktis sebagai bekal berproduksi secara mandiri. Ada sangat banyak jenis kegiatan kreatif dalam rumah tangga yang bisa melibatkan seluruh anggota keluarga untuk berproduksi. Pengolahan barang-barang bekas menjadi sesuatu yang produktif sudah banyak contoh keberhasilannya, bahkan dari sampah sekalipun. Jika semua anggota keluarga memiliki mental wirausaha dan memiliki keterampilan kreatif, keluarga tersebut mampu mandiri bahkan bisa memberdayakan masyarakat sekitar. Keluarga yang teberdayakan semua potensinya, membuat mereka sibuk dalam hal-hal yang produktif. Dengan cara itu, keluarga menjadi tidak sempat mempersoalkan hal-hal sepele dalam kehidupan karena semua memiliki kegiatan positif yang menyibukkan. Sebaliknya, keluarga yang tidak berdaya, membuat suasana sangat sensitif di antara anggotanya. Mereka mudah saling menyalahkan satu dengan yang lainnya dan akhirnya mudah terjatuh dalam persoalan-persoalan yang rumit. Pilar Kelima: Pencegahan Masalah Selanjutnya, keluarga harus diberikan “imunisasi” sebagai upaya pencegahan dari berbagai permasalahan. Masalah tidak mungkin dihindari, tetapi sesungguhnya ada sangat banyak masalah yang bisa dicegah. Suami dan istri harus saling menguatkan dan secara sadar menciptakan mekanisme imun dalam diri dan keluarga. Pada dasarnya, setiap keluarga memerlukan “Pintu Darurat Keluarga” (PDK) yang membuat mereka mengerti akan melakukan tindakan apa jika suatu ketika mereka berada dalam situasi darurat. Sediakan terlebih dahulu pintu daruratnya sebelum terjadi persoalan keluarga yang memberatkan. Dengan demikian, bisa meminimalkan peluang terjadinya masalah, sekaligus sudah mengerti apa yang harus dilakukan saat kondisi darurat keluarga benar-benar terjadi. Banyak pasangan suami istri merasa sudah buntu, tidak mengerti jalan keluar dari masalah yang tengah mereka hadapi. Akhirnya, tidak jarang yang memilih untuk menempuh jalan pintas dengan bercerai. Pada saat situasi darurat dalam keluarga telah terjadi, mereka tidak memiliki kesepakatan tentang tindakan pengamanan dan penyelamatan yang harus dilakukan. Akhirnya masing-masing memilih jalannya sendiri yang kian menjauhkan satu dengan yang lain. Mencegah Lebih Baik daripada Mengobati Dalam dunia kesehatan, berlaku idiom “lebih baik mencegah daripada mengobati”, demikian pula dalam konteks kebahagiaan keluarga secara umum dan luas. Keluarga harus diberi kemampuan untuk melakukan pencegahan dari berbagai permasalahan. Sesungguhnya keluarga tidak perlu terjebak atau terjatuh ke dalam persoalan yang rumit dan membahayakan, selama mereka sudah memiliki kemampuan pencegahan yang baik.
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 124 Sepanjang kami menjadi konselor keluarga, hampir semua persoalan hidup berumah tangga bermula dari hal-hal kecil dan sederhana. Seperti membiarkan persoalan-persoalan kecil menumpuk, akhirnya membesar tanpa bisa dikendalikan. Bermula dari komunikasi yang tidak nyaman, tidak saling terbuka satu dengan yang lain, lebih suka menutup diri, lebih percaya kepada orang lain daripada pasangan sendiri, hingga merembet kepada persoalan yang lebih besar. Sedikit- sedikit lama-lama menjadi bukit, demikian kata pepatah mengatakan. Kami menyebut kondisi ini sebagai “fenomena gunung pasir.” Mengapa gunung pasir? Karena itulah yang kami lihat setiap hari di Yogyakarta. Begitu saya membuka jendela rumah, langsung tampak Gunung Merapi. Usai erupsi besar tahun 2010, masyarakat sekitar Merapi mendapat limpahan berkah berupa pasir yang berkualitas bagus untuk bahan bangunan. Kini pasir itu ditumpuk di berbagai tempat, dari kejauhan tampak seperti gunung yang sangat tinggi. Namun, begitu kita dekati, lalu kita ambil dengan tangan kita, ternyata “hanyalah” tumpukan butir-butir pasir yang sangat kecil dan halus. Demikian juga persoalan hidup berumah tangga. Pasangan suami istri yang dilanda persoalan besar dan rumit, pada dasarnya adalah tumpukan dari butir- butir persoalan kecil yang dibiarkan menumpuk. Tidak ada upaya mencegah agar tidak terjadi penumpukan, justru yang sering terjadi adalah gejala pembiaran. Masalah demi masalah dibiarkan, konflik demi konflik dibiarkan, akhirnya muncul tumpukan permasalahan yang menjadi berat. Tidak selalu karena adanya partikel masalah yang besar, tetapi lebih karena bertumpuknya partikel-partikel masalah kecil. Sama seperti fenomena gunung pasir. Jika kita melihat dari segi satuan, butir pasir hanyalah partikel yang kecil dan ringan. Namun, jangan pernah menyepelekan. Karena jika partikel kecil dan ringan itu ditumpuk hingga menggunung, niscaya akan menjadi gunung masalah yang siap meledak sewaktu-waktu. Tergantung ada pemicu atau tidak dan sepanjang apa sumbu ledaknya. Jika ada faktor pemicu dan termasuk tipe sumbu pendek, ini akan sangat mudah meledak. Konflik atau pertengkaran antara suami dan istri, atau antara orang tua dengan anak, tidak akan terjadi dan membesar begitu saja. Semua ada prosesnya, ada tahap dan levelnya. Yang sering terjadi adalah membiarkan saja gejala awal munculnya konflik hingga akhirnya berubah level dan sampai puncak ledakan yang tak terelakkan. Jika mereka mengenal gejala konflik, sesungguhnya bisa melakukan pencegahan sejak dini agar konflik tidak berkembang dan meluas. Konflik segera bisa diakhiri dengan damai dan aman. Untuk itu setiap keluarga, hendaknya memiliki Pintu Darurat Keluarga (PDK) yaitu ketika mereka sudah mengerti akan melakukan tindakan apa jika suatu ketika mereka berada dalam situasi darurat. PDK dimaksudkan agar suami dan istri mengerti apa yang harus mereka lakukan saat konflik, tetapi sudah terumuskan jauh sebelum adanya konflik. Sediakan terlebih dahulu pintu daruratnya, sebelum terjadi persoalan keluarga yang memberatkan. Dengan demikian, bisa meminimalkan peluang
terjadinya masalah, sekaligus sudah mengerti apa yang harus dilakukan saat Materi Diklat #1| 125 kondisi darurat keluarga benar-benar terjadi. Prinsip PDK sama dengan pintu darurat pada pesawat terbang. Saat kita naik pesawat, selalu ada peragaan dan petunjuk dari pramugari mengenai berbagai sisi keselamatan penerbangan. Salah satunya diberitahukan tentang pintu-pintu darurat. Pramugari mengatakan, “Pesawat ini dilengkapi dengan sepuluh pintu darurat. Empat di bagian depan, dua di bagian tengah, dan empat di bagian belakang. Pada saat terjadi kondisi darurat, lampu petunjuk akan menyala yang menuntun Anda ke pintu darurat terdekat... bla bla bla...” Pintu darurat dan cara mencapainya, cara membuka dan menggunakannya, semua sudah lengkap dijelaskan. Sementara itu pilot dan kopilot—suami dan istri, dalam kehidupan berumah tangga—berusaha untuk menerbangkan pesawat dengan senyaman mungkin, yang menjamin penumpang sampai tujuan bukan hanya dengan selamat, tetapi juga dengan tenang, damai, dan bahagia. Pada saat terjadi kondisi darurat, semua anggota keluarga sudah tahu apa yang harus dilakukan untuk penyelamatan. Ini membuat kondisi darurat cepat teratasi dan tidak berlarut-larut. Ini juga bermanfaat untuk mencegah munculnya kondisi darurat yang berkelanjutan apalagi permanen. Pada dasarnya, pembuatan PDK dalam setiap keluarga merupakan salah satu upaya pencegahan agar keluarga tidak perlu terjatuh ke dalam permasalahan yang berat. Keluar dari Konflik sejak Mengenali Gejalanya Keluarga juga perlu dibekali dengan kemampuan dan keterampilan mengelola konflik yang pasti datang dalam kehidupan. Hendaknya suami dan istri bisa memahami sisi-sisi perbedaan kejiwaan dan karakter antara suami dan istri, mampu meredam konflik, mengerti cara keluar dari konflik, serta memahami cara menghindari pertengkaran berkelanjutan dalam kehidupan rumah tangga. Keterampilan mengelola konflik ini masuk kategori aspek pencegahan karena sesungguhnya konflik bisa dicegah dengan prinsip “keluar dari konflik pada level pertama.” Artinya, begitu merasa ada gejala konflik, langsung melakukan tindakan pencegahan sehingga tidak membesar dan tidak masuk ke level berikutnya yang lebih besar dan lebih membahayakan. Tidak perlu menunggu konflik menjadi sekam yang diam-diam siap membakar seluruh bangunan kehidupan berumah tangga. Karena sejak masuk level pertama konflik yang berupa the unvisible conflict. Konflik yang terjadi pada tingkatan ini masih ada di batin atau perasaan. Belum tampak pada permukaan. Suami dan istri bisa merasakan gejalanya, berupa ketidaknyamanan perasaan, tidak nyaman komunikasi, tidak bisa saling berbicara, dan lain sebagainya. Segera keluar dari level pertama ini. Program bimbingan bisa dilakukan untuk upaya pencegahan agar tidak perlu terjadi persoalan berat yang bisa merusak kebahagiaan yang mengancam keutuhan keluarga. Prinsip mencegah lebih baik daripada mengobati hendaknya benar-benar dipahami dan diterapkan oleh semua keluarga agar tidak perlu menghadap konselor atau psikolog. Semua bisa diselesaikan secara adat di rumah tangga masing-masing.
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 126 Pilar Keenam: Penyelesaian Masalah Terkadang keluarga terpaksa berada dalam situasi darurat masalah, maka harus ada upaya untuk menyelesaikan secara dewasa dan matang. Jangan terbawa emosi atau suasana melow, atau sengaja didramatisasi sehingga suasana makin rumit dan sulit diselesaikan. Suami dan istri harus berkolaborasi secara positif untuk mencari solusi terbaik dalam setiap persoalan yang dihadapi keluarga. Namun, apabila suami dan istri sudah tidak mampu menyelesaikan masalah keluarga, diperlukan kehadiran pihak ketiga untuk membantu menemukan solusi. Pihak ketiga yang dimaksud harus dipercaya dan memiliki kompetensi untuk menyelesaikan masalah keluarga. Suasana konflik suami istri dengan saling menyalahkan pasangan sangat sering dijumpai di ruang konseling. Suami dan istri merasa tidak bersalah dan melempar kesalahan hanya pada pihak pasangan. Seakan-akan pasangannya yang salah dan dia berada pada pihak yang benar. Ketika sudah terlanjur terjadi problem, masalah atau konflik dalam keluarga, maka pada dasarnya problem tersebut harus diselesaikan secara mandiri oleh setiap keluarga. Suami dan istri harus berusaha secara bersungguh-sungguh mengurai dan mencari solusi atas masalah dan konflik yang terjadi sepanjang kehidupan. Mereka harus memiliki kemampuan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan hidup berumah tangga karena sesungguhnya tidak ada yang bisa menyelesaikan persoalan keluarga kecuali mereka sendiri. Suami dan istri harus kompak sehingga mudah mencari solusi atas setiap persoalan yang datang. Berani Berbuat, Berani Menanggung Akibat Sepanjang pengalaman menjadi pendamping permasalahan keluarga, kami meyakini bahwa permasalahan keluarga selalu ada andil dari kedua belah pihak, dari suami dan istri. Artinya, jangan melempar kesalahan hanya pada satu pihak saja. Seakan-akan hanya murni kesalahan suami atau murni kesalahan istri. Kesalahan terbesar dari suami dan istri adalah ketika mereka tidak merasa bersalah. Bahkan dalam kasus yang parah sekalipun—seperti perselingkuhan—selalu ada andil dari kedua belah pihak hingga memunculkan kesalahan seperti itu. Misalnya, dalam kasus suami berselingkuh dengan perempuan lain, tentu yang salah adalah sang suami, karena dia yang selingkuh. Namun, bisa ditelisik sikap istri selama ini, apakah sudah melayani dan menjaga suami dengan baik? Demikian pula ketika ada istri selingkuh, tentu yang salah adalah sang istri, karena dia yang selingkuh. Namun, bisa dilihat sikap suami selama ini, apakah sudah menyayangi dan melindungi istri dengan baik? Oleh karena itu, sikap merasa tidak bersalah dan melempar kesalahan hanya kepada pasangan, merupakan sebentuk kesalahan tersendiri dari suami atau istri. Jika seseorang terkena penyakit influenza, kita bisa menyalahkan virus yang menyerang karena dampak dari serangan virus itulah seseorang bisa terkena influenza. Namun, yang harus lebih dievaluasi lagi adalah kondisi imunitas orang tersebut karena virus influenza itu ada di mana-mana dan siap menyerang siapa
saja. Jika imunitas seseorang baik, ia tidak akan terkena infeksi virus walau Materi Diklat #1| 127 tengah berada di ruang yang penuh dengan virus. Suami dan istri harus menguatkan imunitas dalam diri masing-masing, lalu secara bersama-sama meningkatkan imunitas dalam keluarga mereka. Sebagai pasangan, mereka harus selalu bergandengan tangan untuk menguatkan, menjaga, melindungi satu dengan yang lainnya. Begitu “gandengan” ini lepas, mereka berdua mudah untuk terkena “virus pergaulan” atau terjebak dalam persoalan-persoalan yang bisa mengganggu keharmonisan rumah tangga. Hendaknya suami dan istri ingat bahwa keputusan dan tindakan apa pun yang mereka lakukan, selalu bisa berdampak bagi pasangan dan keluarga. Misalnya, suami yang diam-diam berutang dalam jumlah banyak melalui sebuah bank. Semula ia membayangkan utang itu adalah tanggungan dirinya sendiri. Namun, saat ia tidak bisa mengembalikan utang, bisa jadi tanggungan berat bagi istri maupun anggota keluarga yang lain. Ada rumah yang disita oleh bank karena digunakan sebagai agunan utang. Dampaknya semua keluarga ikut menanggung. Itu hanya contoh sederhana untuk menggambarkan bahwa kehidupan keluarga itu saling terhubung satu dengan yang lain. Maka, segala tindakan dan sikap bisa memiliki dampak yang luas bagi pasangan. Dengan memahami hal seperti ini, sikap merasa tidak bersalah menjadi sulit diterima. Bagaimana ia merasa tidak bersalah? Padahal semua saling terhubung dan saling memengaruhi. Keduanya selalu memiliki saham kesalahan dalam setiap persoalan hidup berumah tangga. Besar atau kecilnya saham tentu berbeda- beda, tetapi tidak bisa melepaskan diri dari tanggung jawab. Oleh karena itulah pada saat suami dan istri tengah menghadapi badai permasalahan rumah tangga, mereka berdua hendaknya siap melakukan perbaikan dengan jalan mencari solusi secara bersama-sama. Jangan mencari solusi sendiri-sendiri yang berdampak mereka makin terjauhkan satu dengan yang lainnya. Pada situasi mereka menghadapi konflik atau permasalahan, justru harus makin kuat berpegangan dan bergandengan. Bukan berlepasan dan saling menyalahkan. Apa pun yang terjadi dalam rumah tangga kita adalah akibat dari perbuatan dan sikap kita. Saat Memerlukan Bantuan Pihak Lain Namun, kadang ada kondisi di mana keluarga sudah tidak mampu lagi menyelesaikan persoalan internal mereka. Pada situasi seperti itu, diperlukan kehadiran pihak ketiga untuk membantu mencari penyelesaian masalah keluarga. Pihak ketiga ini bisa berasal dari keluarga, dari orang-orang dekat yang dipercaya, dari tokoh agama dan tokoh masyarakat, atau dari kalangan profesional. Yang dimaksud kalangan profesional adalah seperti psikolog, psikiater, konselor, mediator, dan yang semacam itu. Pemerintah dan berbagai pihak terkait hendaknya memfasilitasi bimbingan dan konseling keluarga bagi masyarakat yang memerlukan. Pemerintah dan berbagai pihak terkait bisa menyediakan tenaga konselor keluarga maupun relawan yang dibekali untuk melakukan konseling keluarga. Konseling keluarga bertujuan memberikan penguatan setiap keluarga untuk menyelesaikan problematika mereka sendiri.
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 128 Nah, di sini kita melihat, program konseling itu hanya satu bagian kecil dari seluruh aspek pembentuk ketahanan keluarga, tetapi perannya sangat vital. Jika dilihat dari porsinya, konseling itu “hanya” sepotong kecil dari seluruh aspek ketahanan keluarga. Namun, tanpa konseling, makin banyak persoalan hidup yang tidak terpecahkan. Porsi terbesar pembentuk ketahanan keluarga adalah aspek pembinaan hidup berumah tangga. Karena aspek yang ini bercorak long life education, pembelajaran tiada henti sepanjang hidup manusia. Pembinaan hidup berumah tangga tidak terkait dengan ada tidaknya masalah, tetapi sudah menjadi kewajiban hidup untuk terus-menerus belajar menjadi diri dan keluarga yang lebih baik. Sedangkan konseling hanya dilakukan saat sudah menghadapi masalah yang tidak mampu diselesaikan secara mandiri oleh suami dan istri. Pilar Ketujuh: Pemulihan dari Masalah Kadang ada suasana yang sangat berat menimpa sebuah keluarga hingga mereka terpuruk saat mengalami permasalahan. Untuk itu, keluarga harus disembuhkan jika ada penyakit, juga harus kembali dipulihkan dan bahkan disegarkan. Untuk kasus tertentu, kadang memerlukan pendampingan dalam waktu yang lama untuk menyembuhkan dan memulihkan. Hal ini terkait dengan trauma dan kondisi krisis yang berat. Namun, jika keluarga memiliki resiliensi (kelentingan) yang bagus, mereka akan cepat pulih dan kembali bangkit setelah sempat jatuh terpuruk. Setelah sempat mengalami persoalan berat, keluarga perlu memiliki kelentingan untuk pulih dari kondisi terpuruk. Dalam kasus yang ringan hingga sedang, pemulihan ini tidak memerlukan waktu yang lama. Namun, pada kasus tertentu yang spesifik, bahkan memerlukan terapi dan pendampingan secara intensif serta memerlukan waktu yang panjang untuk pemulihan. Program pemulihan dilakukan dengan meningkatkan tingkat resiliensi baik individu maupun keluarga. Bagi bangsa Indonesia yang terkenal religius, ajaran agama adalah pokok fondasi membangun resiliensi. Keyakinan bahwa semua kejadian dalam hidup selalu ada hikmah dan pelajaran, keyakinan bahwa selalu ada jalan keluar bagi orang yang bertakwa, keyakinan bahwa kesabaran mendatangkan kebaikan, keyakinan bahwa ada hari pembalasan, semua menjadi faktor untuk meningkatkan resiliensi. Dalam kehidupan seseorang dan keluarga, resiliensi ini sangat terkait dengan nilai dan keyakinan hidup setiap orang. Makin bagus kehidupan keagamaan seseorang akan makin bagus pula tingkat resiliensinya. Dalam ajaran setiap agama selalu ada ajaran tentang pahala dan dosa, tentang surga dan neraka, tentang pengadilan kelak di hari akhir. Keyakinan seperti ini membuat seseorang bisa menerima apa pun yang menimpa dirinya karena akan ada balasan pahala dan surga bagi orang yang berbuat benar dan baik. Sebaliknya, akan ada dosa dan siksa bagi orang yang berbuat salah dan jahat, walaupun mereka juga bisa memperbaiki diri dengan bertobat. Dalam ajaran Islam, ini masuk kategori keyakinan akidah. Jika ada suami yang jahat, kasar, galak, suka membentak, suka memukul istri, tentu sangat
menyedihkan, menakutkan dan mengerikan bagi sang istri. Namun, karena sang Materi Diklat #1| 129 istri memiliki kehidupan religius yang baik, ia mampu bersikap sabar, bahkan mendoakan agar suaminya bisa dilembutkan hatinya oleh Allah dan menjadi suami yang baik. Bahkan saat suami tidak juga bisa berubah menjadi baik, sang istri tetap yakin bahwa perbuatan jahat suami itu kelak akan dihisab dan diadili di hari akhir. Maka, sang istri menyerahkan dan pasrah kepada Allah. Ajaran agama juga mengajarkan tentang kesabaran, keikhlasan, memaafkan kesalahan orang, berprasangka baik, berbuat baik, kemampuan pengendalian diri juga optimisme menghadapi hari esok. Ini menjadi fondasi kelentingan individu dan keluarga yang apabila suatu ketika mendapatkan luka akan sangat cepat sembuhnya. Jika suatu ketika merasakan sakit hati, akan cepat hilangnya. Sistem kehidupan yang religius ini membuat suami dan istri memiliki tingkat resiliensi yang tinggi. Sangat banyak orang terpuruk dalam kehidupan yang makin buruk setelah terjatuh dalam permasalahan. Mereka tidak memiliki resiliensi yang memadai sehingga tidak segera pulih dan bangkit dari permasalahan. Bahkan, makin mengurung diri dalam ketidakbaikan. Maka, sangat penting meningkatkan kehidupan keberagamaan bagi seluruh anggota keluarga. Penerimaan Lingkungan Penerimaan lingkungan juga sangat berperan dalam proses pemulihan keluarga, dari kondisi terpuruk kepada kondisi yang normal. Lingkungan ini bisa dari keluarga besar, lingkungan kerja, organisasi, maupun dari lingkungan masyarakat. Sikap positif lingkungan sangat menentukan pemulihan dan kebaikan keluarga pasca mengalami keterpurukan. Sebaliknya, saat lingkungan memberikan sikap yang negatif akan memperlama proses pemulihan mereka dari guncangan persoalan. Pada saat orang tengah mengalami masalah atau selesai dari suatu masalah, sering kali berada dalam suasana yang sangat sensitif. Jika dalam suasana itu lingkungan masih menganggapnya sebagai “orang bermasalah” akan membuatnya tidak mudah kembali kepada kondisi yang nyaman. Namun, jika ia mendapatkan lingkungan yang bisa menerimanya apa adanya, menerima dengan baik, akan sangat mudah menuju pemulihan. Cepat kembali dalam keharmonisan hubungan setelah retak, cepat kembali dalam kebahagiaan setelah sempat mengalami kenelangsaan, cepat bangkit setelah terpuruk. Pada dasarnya semua orang memerlukan lingkungan sosial yang bisa menerima dirinya apa adanya. Tidak mempersoalkan dan mengungkit hal-hal yang ingin dilupakannya. Di sini pentingnya menciptakan lingkungan yang kondusif dan ramah keluarga. Karena kita selalu terhubung satu dengan yang lainnya yang membuat keluarga kita juga saling memengaruhi satu dengan yang lainnya. Pilar Kedelapan: Penyehatan Keluarga Keluarga dikatakan sehat apabila memiliki kondisi sejahtera baik dari segi spiritual, mental, fisik, material, dan sosial yang memungkinkan keluarga tersebut
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 130 untuk hidup secara normal dan layak dalam menjalankan fungsi dan mencapai tujuan-tujuannya. Keluarga yang tengah sakit tidak memiliki kondisi tersebut, baik dari segi spiritual, mental, fisik, material, maupun sosial. Fungsi dan peran masing-masing pihak tidak bisa tegak sebagaimana mestinya dan tidak mampu berkomunikasi dan berinteraksi secara positif yang disebabkan karena adanya gangguan dari segi mental spiritual. Seorang suami yang tengah mengalami gangguan jiwa, bisa membuat suasana sakit semua anggota keluarga. Seorang istri yang mengalami sakit mental, bisa membuat suasana tidak sehat pada semua anggota keluarga. Untuk itu diperlukan upaya penyehatan keluarga. Sebagai organisme hidup, keluarga juga bisa mengalami sakit. Untuk itu, perlu upaya penyembuhan dan penyehatan ketika tengah sakit. Berbeda dengan masalah, sakit sudah mengindikasikan adanya gangguan berat yang bersifat klinis maupun psikologis. Kami selalu menyatakan bahwa semua keluarga pasti memiliki masalah, tidak ada keluarga yang tidak memiliki masalah. Yang membedakan antara satu keluarga dengan keluarga lainnya adalah bagaimana mereka keluar dari masalah itu. Tidak demikian dengan sakit. Oleh karena itu, tidak bisa dinyatakan bahwa semua keluarga itu sakit atau mengalami gejala penyakit. Ada banyak keluarga yang sehat, walaupun memiliki masalah. Namun, ada keluarga yang memang sakit atau memiliki gejala penyakit. Perbedaan “Masalah” dan “Sakit” dalam Keluarga Masalah adalah kesenjangan antara harapan ideal dengan kenyataan. Baik dalam skala individu maupun dalam skala keluarga. Itulah yang memunculkan pernyataan bahwa semua orang dan semua keluarga pasti memiliki masalah. Karena tidak ada satu orang pun atau satu keluarga pun yang hidup pada zaman kita ini yang seluruh harapan idealnya telah terwujud menjadi kenyataan. Rasanya itu mustahil. Ideal itu adalah semacam kriteria atau cita-cita dan daftar keinginan, sedangkan realitas yang kita hadapi selalu tidak sempurna. Maka, muncul konsep tentang masalah. Dengan pemahaman seperti itulah kita bisa menyatakan bahwa semua orang hidup di muka bumi ini selalu memiliki masalah. Setiap manusia selalu memiliki masalah dalam kehidupannya, entah lajang ataupun sudah berkeluarga, yang belum punya anak maupun yang sudah memiliki anak, yang anaknya satu maupun yang anaknya banyak, yang penghasilannya kecil maupun yang penghasilannya besar. Selalu ada permasalahan yang dihadapi dan harus diatasi. Inilah ciri kehidupan, dan ciri manusia hidup. Ada keinginan, ada harapan, tetapi tidak semua bisa didapatkan. Sedangkan sakit, telah menunjukkan adanya kondisi yang spesifik yang memerlukan perawatan, terapi, atau penyembuhan dari ahli pada bidangnya. Beberapa ahli medis menyatakan, yang dimaksud dengan sakit adalah gangguan dalam fungsi normal individu sebagai totalitas termasuk keadaan organisme sebagai sistem biologis dan penyesuaian sosialnya.
Sakit juga merupakan keadaan yang tidak menyenangkan yang menimpa Materi Diklat #1| 131 seseorang sehingga menimbulkan gangguan aktivitas sehari-hari baik dalam aktivitas jasmani, rohani, dan sosial. Dalam konteks yang lebih spesifik terkait mental atau jiwa, dikenal adanya penyakit jiwa atau gangguan kejiwaan, yang didefinisikan sebagai suatu ketidakberesan kesehatan dengan manifestasi psikologis atau perilaku, terkait dengan penderitaan yang nyata dan kinerja yang buruk dan disebabkan oleh gangguan biologis, sosial, psikologis, genetik, fisis, atau kimiawi. Gangguan jiwa mewakili suatu keadaan tidak beres yang merupakan penyimpangan dari suatu konsep normatif. Maka, sebuah keluarga yang tengah “sakit” berarti tengah mengalami gangguan fungsi normal sebagai keluarga. Suami dan istri tidak bisa melaksanakan fungsi sebagaimana mestinya, tidak bisa bekerja sama dalam sebuah tim untuk mencapai tujuan-tujuan bersama, dan tidak bisa saling menikmati keindahan dalam kebersamaan. Mereka merasakan penderitaan yang nyata dan kinerja yang buruk sebagaimana kondisi orang yang tengah mengalami sakit, baik fisik maupun mental. Mereka memerlukan proses terapi penyembuhan dan penyehatan. Keluarga yang tengah menghadapi konflik atau masalah, memerlukan konseling. Sedangkan keluarga yang tengah sakit, memerlukan terapi. Contoh yang sangat jelas untuk membedakan, mana yang berkategori “masalah” dan yang berkategori “sakit” adalah pada gejala umum yang tampak pada keluarga tersebut. Sebagai konselor sosial, saya membedakan dengan sederhana. Jika suami dan istri datang ke ruang konseling masih bisa berkomunikasi dengan lancar, mampu bercerita, mampu mendeskripsikan masalah yang tengah dihadapi, dan anggota tubuhnya masih terkoordinasi dengan baik, itu adalah klien yang perlu dibantu memecahkan masalah mereka di ruang konseling. Namun, jika salah satu dari keduanya, atau kedua-duanya, sudah tidak mampu berkomunikasi dengan baik, tidak bisa bercerita, tidak mampu mengungkapkan kondisi yang dihadapi, anggota tubuh sudah tidak terkoordinasi dengan baik, tidak mampu menjawab pertanyaan dengan baik, berbeda jauh antara pertanyaan dengan jawaban, mereka adalah pasien yang memerlukan proses terapi. Ini sudah di luar kapasitas dan kewenangan konselor sosial karena memerlukan keahlian dan keilmuan untuk melakukan tindakan penyembuhan. Sebagai konselor sosial yang bekerja berdasarkan panggilan jiwa untuk membantu orang lain, saya dan tim hanya membantu para klien untuk menemukan solusi terbaik atas masalah yang tengah mereka hadapi. Sedangkan untuk keluarga yang telah menampakkan gejala sakit atau penyakit, mereka memerlukan sentuhan ahli untuk terapi, sejak trauma healing hingga tindakan psikologi, terapi psikiater, maupun terapi medis oleh para dokter. Ini adalah kawasan yang memerlukan otoritas dan lisensi, tidak bisa dilakukan oleh para relawan (helper) atau konselor sosial. Kadang ada pasangan suami istri yang datang dalam kondisi yang memang sakit. Suami atau istri tidak bisa bercerita, tidak mampu menjawab pertanyaan sederhana, bahkan anggota tubuhnya sudah tidak mampu dikoordinasikan dengan baik, seperti tindakan memberontak, teriak, histeris, mata memandang
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 132 dengan tatapan kosong, berbicara tidak pada konteksnya, tangan dan gerakan tubuh tidak sesuai dengan isi ucapan, dan seterusnya. Orang seperti ini jelas ada gangguan kejiwaan atau mental yang perlu ditolong oleh para ahli di bidangnya. Bukan oleh para helper dan para pekerja sosial. Apabila ada anggota keluarga yang terindikasi mengalami gangguan jiwa, harus segera dilakukan upaya terapi untuk penyembuhan dan penyehatan. Karena masalah akan selalu datang berulang apabila persoalan gangguan jiwa ini tidak diterapi dan disembuhkan. Mereka tidak sekadar memerlukan bantuan untuk mengurai permasalahan karena yang tengah dihadapi adalah situasi sakit. Orang sakit harus diterapi sesuai konteksnya, apakah sakit fisik atau sakit mental kejiwaan. Sebagaimana keluarga sakit, mereka harus disembuhkan dan disehatkan, bukan diceramahi atau dinasihati. Contoh lain adalah ketika salah seorang dari suami istri mengalami penyimpangan orientasi seksual. Pada contoh kasus suami yang mengidap gay, maka ia memerlukan terapi penyembuhan dan penyehatan. Demikian pula pada kasus istri yang mengalami penyimpangan lesbi, ia memerlukan tindakan serius untuk penyembuhan dan penyehatan. Karena normalnya hidup berumah tangga, sebagai suami dan istri mereka harus saling setia dengan pasangannya. Ketika pengidap gay dan lesbi tidak diterapi dan tidak disembuhkan, ini akan tetap menjadi penyakit yang bisa merusak fungsi normal sebuah keluarga. Menuju Keluarga Sehat Keluarga dikatakan sehat apabila memiliki kondisi sejahtera baik dari segi spiritual, mental, fisik, material, dan sosial yang memungkinkan keluarga tersebut untuk hidup secara normal dan layak dalam menjalankan fungsi dan mencapai tujuan-tujuannya. Hal ini mencakup aspek-aspek yang sangat luas karena kesehatan keluarga bermula dari kesehatan semua anggotanya, dan kesehatan mereka dalam berkomunikasi, berinteraksi serta bekerja sama dalam satu tim untuk mencapai tujuan hidup berumah tangga. Keluarga yang tengah sakit tidak memiliki kondisi tersebut, baik dari segi spiritual, mental, fisik, material maupun sosial. Fungsi dan peran masing-masing pihak tidak bisa tegak sebagaimana mestinya dan tidak mampu berkomunikasi dan berinteraksi secara positif, yang disebabkan adanya gangguan dari segi mental spiritual. Seorang suami yang tengah mengalami gangguan jiwa, bisa membuat suasana sakit semua anggota keluarga. Seorang istri yang mengalami sakit mental, bisa membuat suasana tidak sehat pada semua anggota keluarga. Keluarga yang sehat memiliki kemampuan untuk menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi secara dewasa dan bertanggung jawab. Artinya, kendati semua keluarga selalu menghadapi permasalahan, akan lebih mudah diselesaikan pada keluarga yang sehat. Pada keluarga yang tengah mengalami sakit, maka berbagai permasalahan menjadi tidak bisa diselesaikan dengan baik atau memerlukan waktu yang lama untuk menyelesaikan setiap masalah.
Tenaga yang bisa membantu orang yang tengah mengalami gangguan Materi Diklat #1| 133 kejiwaan—baik yang bercorak sosial murni maupun profesional, sering disebut sebagai terapis. Ada sangat banyak pendekatan yang digunakan oleh para terapis dalam menerapi para pasien gangguan jiwa, sejak dari pendekatan spiritual, pendekatan pengubahan pola pikir, pendekatan pengubahan perilaku, pendekatan psikologi, ataupun pendekatan psikiatri, dan lain sebagainya. Pada contoh pendekatan spiritual, ada banyak istilah yang digunakan oleh para terapis, seperti pendekatan taubat nasuha, pendekatan akidah, pendekatan ruqyah syariyah, pendekatan ingat kematian, dan lain sebagainya. Pilar Kesembilan: Penyegaran Keluarga Keluarga adalah organisme hidup, maka ia selalu mengalami pertumbuhan, perkembangan, dan perubahan dari waktu ke waktu. Kondisi dan situasi keluarga tidak pernah flat, selalu berubah sesuai dengan siklus kehidupan dan logika permasalahan yang ada dalam setiap siklusnya. Karena organisme hidup, keluarga juga bisa mengalami kelesuan, kejenuhan, kelayuan, bahkan kematian, apabila tidak ada upaya untuk menjaga dan menyegarkannya. Untuk itu, setiap keluarga harus pandai melakukan berbagai usaha untuk menyegarkan situasi dan kondisi keluarga. Tidak perlu menunggu situasi layu atau mengering, tetapi perlu tindakan nyata dan terus-menerus untuk menyegarkan kehidupannya. Tidak cukup hanya pulih dari permasalahan, tetapi keluarga harus selalu dijaga kesegarannya. Agar menjadi keluarga yang selalu segar sepanjang masa pertumbuhannya, walau didera dengan aneka masalah dan dihadapkan pada aneka persoalan. Tetap segar walau usia keluarga telah senja. Tetap segar walau tengah mengalami badai yang datang melanda. Keluarga adalah organisme hidup, maka ia selalu mengalami pertumbuhan, perkembangan dan perubahan dari waktu ke waktu. Kondisi dan situasi keluarga tidak pernah flat, selalu berubah sesuai dengan siklus kehidupan dan logika permasalahan yang ada dalam setiap siklusnya. Karena organisme hidup, keluarga juga bisa mengalami kelesuan, kejenuhan, kelayuan, bahkan kematian, apabila tidak ada upaya untuk menjaga dan menyegarkannya. Menyegarkan Kehidupan Keluarga Untuk itu setiap keluarga harus pandai melakukan berbagai usaha untuk menyegarkan situasi dan kondisi keluarga. Tidak perlu menunggu situasi layu atau mengering, tetapi perlu tindakan nyata dan terus-menerus untuk menyegarkan kehidupannya. Ada beberapa usaha yang bisa dilakukan oleh suami istri dalam menyegarkan kehidupan berumah tangga. 1. Ingat Selalu “Nilai Sakral” Pernikahan Sebagai manusia beriman, kita selalu meyakini bahwa pernikahan memiliki posisi dan nilai sakral. Dihalalkannya “segala sesuatu” antara seorang lelaki dan seorang perempuan, adalah atas nama Allah. Karena ada kehalalan yang disahkan oleh agama, karena ada contoh teladan dari kehidupan Nabi Mulia, karena ada pengesahan dari negara.
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 134 Ikatan pernikahan bukan semata janji hati dan ikrar lisan dua insan yang bersepakat membangun rumah tangga. Pernikahan adalah ikatan suci atas nama Ilahi dan melaksanakan arahan Nabi. Pernikahan dinyatakan dalam kitab suci sebagai “mitsaqan ghalizha”, sebuah ikatan yang kokoh, yang tidak boleh diurai secara sembarangan tanpa alasan yang bisa dibenarkan. Pernikahan bukanlah sebuah uji coba atau semata-mata sarana penyaluran kesenangan antara dua manusia. Jika dipahami semata-mata sarana memperoleh kesenangan, tatkala rasa senang itu sudah mulai berkurang atau hilang, akan segera mengakhiri ikatan pernikahan dan mencari kesenangan yang baru. Kawin cerai, demi mendapatkan kesenangan-kesenangan baru. Jika dipahami semata-mata untuk mendapatkan teman dalam menjalani kehidupan, tatkala mengalami kebosanan dan ketidakcocokan sifat maupun karakter akan segera mengakhiri ikatan pernikahan untuk mendapatkan teman baru yang lebih mengasyikkan. Kawin cerai demi mendapatkan teman-teman baru yang lebih menyenangkan. Seakan-akan pernikahan tidak memiliki nilai sakral sama sekali, semata-mata hanya demi mendapatkan kesenangan dan keasyikan saja. Hal yang menyegarkan kehidupan berumah tangga adalah dengan selalu mengingat posisi dan nilai sakral pernikahan. Bahwa menikah berarti ibadah, bahwa menikah berarti menjalankan sunah, maka tidak layak dijadikan permainan atau semata dipahami sebagai kesenangan. Oleh karena itu, saat mengalami ketidaksenangan, saat mengalami kebosanan, saat mengalami kenelangsaan, saat mengalami kepahitan, tidak layak cepat-cepat memutuskan untuk mengakhiri pernikahan, karena ada nilai yang sangat sakral. 2. Kembali kepada Motivasi Awal Istri Anda cantik, suami Anda ganteng, dan Anda dahulu menikah karena tertarik oleh kecantikan dan kegantengannya? Mungkin saja, tetapi tentu ada motivasi yang lebih asasi dibanding sejumlah aksesori yang menjadi penghias keindahan pernikahan. Sebagai insan beriman, kita memiliki motivasi yang suci dan mulia dalam membangun hidup berumah tangga. Motivasi untuk ibadah kepada Allah, motivasi untuk menjalani sunah Nabi saw., motivasi untuk membangun peradaban kemanusiaan yang bermartabat, motivasi untuk menjaga kehormatan diri, motivasi untuk mewariskan generasi Rabbani. Ini adalah sejumlah motivasi suci yang sudah menjadi kesadaran setiap insan beriman dalam menjalani pernikahan. Berbagai motivasi itu merupakan idealisme yang dibangun menjelang proses pernikahan. Hendaknya motivasi ini selalu dijaga dan dijadikan pengingat di sepanjang kehidupan. Motivasi ini yang mampu menjadi daya tahan terhadap keperihan hidup, yang membuat suami dan istri segera melenting berdiri saat sempat terpuruk dan terjatuh. Semacam adegan film action Hollywood di bagian akhir yang sang jagoan sempat kalah, tetapi segera bangkit berdiri dengan gagah memenangkan pertarungan di bagian akhir.
Dalam kisah-kisah heroik manusia zaman sekarang, sekadar balas dendam Materi Diklat #1| 135 saja bisa menjadi motivasi yang sanggup menyalakan api semangat dalam diri seseorang. Sekadar ingin menang dalam sebuah perlombaan saja bisa melejitkan gelora semangat untuk melakukan banyak hal. Apalagi ketika motivasi itu bercorak profan, yang melibatkan ikatan yang paling dalam dan paling primordial dalam diri seseorang. Tentu akan lebih dahsyat lagi ledakan yang ditimbulkan. Dengan selalu kembali kepada motivasi awal dalam membangun keluarga, suami dan istri akan selalu bisa melawan kejenuhan, kebosanan, kegersangan, kehambaran, dan kelayuan kehidupan berumah tangga. Suami dan istri akan sanggup menahan berbagai kegetiran dan kesakitan yang bisa didapatkan dalam mengarungi hidup berkeluarga. Maka, keluarga akan bisa disegarkan suasananya dengan menghadirkan kekuatan dan kesucian motivasi awal dalam membangun rumah tangga. 3. Konsisten dengan Tujuan Coba ingat kembali tujuan Anda menikah dan membentuk keluarga. Tidak mungkin Anda menikah begitu saja. Mustahil Anda tidak memiliki kesadaran tentang tujuan saat melaksanakan prosesi pernikahan. Bisa saja tujuan itu sejak Awal Anda nyatakan dengan yakin, tetapi bisa pula tujuan itu Anda ciptakan kemudian. Sedangkan naik angkot saja Anda punya tujuan, bagaimana mungkin menikah tidak memiliki tujuan? Pasti semua orang memiliki. Di antara tujuan penting dari pernikahan adalah membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Membentuk keluarga yang menjadi sarana pengabdian kepada Allah dan sarana mengoptimalkan potensi kemanusiaan. Tujuan menikah adalah untuk menciptakan keseimbangan dalam kehidupan, juga memberikan kebahagiaan yang tidak mungkin bisa didapatkan kecuali dengan menjalani pernikahan. Tujuan menikah adalah merawat hasrat syahwat dengan menyalurkan secara benar dan halal serta bertanggung jawab. Semua tujuan itu adalah proses yang harus diusahakan dan diperjuangkan karena tidak akan tercapai dengan sendirinya hanya dengan melaksanakan akad nikah. Semua tujuan mulia dari pernikahan adalah sebuah obsesi yang memerlukan tindakan nyata, memerlukan daya dan upaya untuk menggapainya. Bagian-bagian dari tujuan itu ada yang sudah didapatkan sejak awal menjalani kehidupan pernikahan. Ada juga tujuan jangka panjang yang harus diusahakan di sepanjang perjalanan. Mengingat tujuan-tujuan pernikahan ini merupakan sarana penyegaran bahwa suami dan istri tidak bisa semena-mena menyatakan mengakhiri ikatan pernikahan hanya karena ada permasalahan atau pertengkaran. Cepat memutuskan untuk bercerai hanya karena ketidakcocokan atau karena didera kekecewaan. Bukankah ada sangat banyak tujuan yang hendak Anda wujudkan dan belum semuanya bisa didapatkan? Maka, sudah seharusnya suami dan istri fokus memikirkan dan mengupayakan tercapainya berbagai tujuan tersebut. Karena ada sejumlah tujuan itulah dahulu Anda menikah, maka upayakan terwujudnya tujuan secara bersama-sama.
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 136 4. Memutar Ulang Kehidupan Jika Anda telah melewati sepuluh tahun usia pernikahan, ada baiknya Anda mencari waktu untuk duduk bercengkerama berdua dengan pasangan tercinta. Putar ulang kehidupan Anda sejak awal pertemuan. Ingat kembali rekaman kejadian yang membahagiakan. Hadirkan kembali momentum romantis yang pernah Anda lalui bersama pasangan. Datangi kembali tempat-tempat yang sangat mengesankan dalam sepanjang kehidupan pernikahan. Anda memerlukan kebersamaan untuk menikmati waktu-waktu istimewa sembari merasakan getaran-getaran cinta yang dahulu Anda temukan bersama pasangan. Sunset yang sangat indah, sunrise yang berkesan, ombak pantai yang menawan, panorama yang memberikan kejutan, cerahnya udara yang pernah Anda abdikan, hujan yang memberikan kesempatan Anda berdua menikmati basah kuyup dan kedinginan, pengalaman tersesat di jalan yang tak terlupakan, dan aneka peristiwa berkesan lainnya. Putar ulang rekaman indah kehidupan Anda bersama pasangan. Jangan memutar ulang hal-hal yang menyedihkan dan menyakitkan. Jangan menghadirkan kembali kenangan pahit yang menimbulkan luka tak tersembuhkan. Biarkan kenangan buruk itu dikuburkan tanpa perlu dibangkitkan kembali pada kehidupan saat ini. Anda hanya memerlukan waktu khusus untuk melewati berdua saja dengan pasangan tercinta, di tengah berbagai kesibukan kerja yang mendera Anda. Jangan biarkan waktu selalu berlalu tanpa ada kesempatan untuk melewati bersama pasangan. Itulah pentingnya menciptakan momentum romantis dalam hidup berumah tangga. Karena momentum inilah yang bisa Anda putar ulang kapan saja terutama pada saat Anda berdua tengah mengalami konflik dan ketegangan bersama pasangan. Redakan dan segarkan hubungan dengan memutar ulang kehidupan roman terindah bersama pasangan. Rasakan kembali sensasi keindahan dan percintaan yang dahulu telah Anda nikmati. Walau kini itu hanya kenangan, tetap akan memberikan semangat untuk Anda lakukan kembali. 5. Fokus kepada Masa Depan Jangan hidup pada masa lalu. Hiduplah pada masa kini dan masa yang akan datang. Masa lalu Anda sudah selesai, ia tinggal sejarah dan kenangan. Maka, lihatlah hidup Anda pada hari ini untuk melakukan hal terbaik, demi masa depan yang jauh lebih baik lagi. Maka, fokuslah menatap masa depan. Anda memiliki peran sejarah yang harus Anda tulis dan Anda pertanggungjawabkan. Jika pada masa lalu banyak mengalami kegetiran, itu adalah pembelajaran agar kita semua lebih dewasa dan memiliki daya tahan. Jika hari ini Anda merasakan kepahitan, itu ada hikmah untuk membuat Anda bisa menikmati manisnya masa depan. Pandanglah masa depan yang masih panjang membentang. Anda memiliki anak-anak, Anda memiliki aset kehidupan, Anda memiliki keluarga dan orang-orang yang mencintai Anda. Tutup saja masa lalu yang buram, untuk diganti dengan lembaran baru yang lebih memberikan harapan perbaikan.
Fokuslah menata kebaikan masa depan, baik dunia maupun akhirat. Ini akan Materi Diklat #1| 137 membuat Anda selalu berpandangan optimistis bahwa keluarga harus dijaga dan dirawat keutuhannya, untuk meraih kebaikan masa depan. Mungkin saja ada banyak kenangan buram di sepanjang perjalanan hidup berumah tangga, tetapi itu semua pasti ada hikmah kebaikan untuk masa yang akan datang. Mungkin ada suasana yang tidak Anda kehendaki pada fase tertentu dalam hidup berumah tangga, tetapi itu akan menjadi keindahan saat Anda mampu melewatinya dengan penuh kedewasaan bersama pasangan. Inilah beberapa cara untuk selalu menyegarkan kehidupan berumah tangga, sebagai salah satu bagian penting untuk mewujudkan ketahanan keluarga. Semoga keluarga Indonesia selalu berada dalam suasana yang segar cerah ceria, sehingga menjadi aset untuk menyegarkan masa depan bangsa dan negara. Pilar Kesepuluh: Kontribusi Keluarga Keluarga akan makin kokoh dan eksis apabila selalu memiliki kontribusi bagi orang-orang lain yang ada di sekitarnya, maupun bagi masyarakat pada umumnya. Jika hanya berpikir tentang diri sendiri dan keluarganya saja, ini membuat keluarga menjadi terasing atau teralienasi dari realitas kehidupan. Namun, jika peduli, selalu berbagi, selalu memberikan kontribusi terbaik untuk tetangga, kerabat, keluarga besar, maupun masyarakat luas, nilai sebuah keluarga menjadi makin nyata. Ketahanan keluarga bisa dikokohkan dengan mekanisme kontribusi karena semua sibuk dalam berbagai kegiatan positif bersama komponen masyarakat lainnya. Dalam kehidupan sehari-hari di tengah masyarakat, kita bisa melihat ada berbagai tipe keluarga. Ada keluarga yang tampak terbuka dan membuka diri terhadap lingkungan, tetapi ada pula keluarga yang tampak tertutup dan menutup diri terhadap lingkungan. Ada keluarga yang tampak begitu peduli dan care terhadap masalah sosial yang ada di sekitarnya, tetapi ada pula keluarga yang sedemikian cuek dan tidak peduli dengan kondisi orang lain. Ada keluarga yang suka berbagi dan memberikan bantuan kepada pihak lain, tetapi ada pula keluarga yang justru menjadi beban dan masalah bagi lingkungan sekitarnya. Salah satu hal yang membahagiakan kehidupan manusia adalah berbagi atau berkontribusi. Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial, yang selalu memerlukan kehadiran orang lain dalam kehidupannya. Manusia tidak akan bisa hidup sendiri, untuk itu ada perasaan kebersamaan yang kuat untuk saling memberi, saling berbagi, saling membantu dalam menjalani kehidupan. Bahkan dalam hal berbagi, manusia memerlukan orang lain untuk berbagi kesedihan maupun kebahagiaan. Kontribusi keluarga kepada pihak-pihak lain di luar rumah mereka merupakan salah satu indikasi kesehatan sosial yang akan memberikan sumbangan besar bagi terciptanya kekokohan dan keharmonisan keluarga. Sebagai makhluk sosial, keluarga tidak akan mungkin bisa hidup normal dan bahagia apabila mengurung diri dari pergaulan. Tinggal di rumah tertutup rapat dan terisolasi dari tetangga dan lingkungan, tidak berkomunikasi dan berinteraksi
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 138 dengan masyarakat sekitar, merupakan perilaku asosial atau antisosial yang membahayakan keluarga. Sesungguhnya keluarga bersama lingkungannya adalah faktor penjaga dan pengaman yang paling dekat dan paling efektif. Pada kasus atau kejadian yang memerlukan pertolongan cepat, tetangga dan lingkungan terdekat adalah pihak yang paling bisa memberikan respons pertama dan utama. Bukan keluarga jauh, bukan teman-teman yang tinggal di tempat berlainan, tetapi tetangga kanan dan kiri yang paling bisa memberi pertolongan pertama. Inilah makna dan urgensi kontribusi keluarga, mereka saling memerlukan dan saling terhubung satu dengan yang lainnya. Kelalaian sebuah keluarga bisa mencelakakan lingkungan sekitar, seperti dalam kasus kebakaran rumah. Ruang Lingkup Kontribusi Hendaknya setiap keluarga selalu memiliki perhatian dan program untuk memberikan kontribusi kebaikan bagi pihak-pihak lain, sebagai berikut. a. Kontribusi terhadap Tetangga dan Lingkungan Terdekat Hal yang paling utama bagi keluarga dalam memberikan kontribusi adalah kepada tetangga dan lingkungan terdekat. Jangan sampai menjadi keluarga yang terasing dan terisolasi dari tetangga, karena hal itu akan menjadi sorotan negatif dan bahkan bisa menjadi potensi bahaya bagi keluarga tersebut. Berikan kontribusi kebaikan dalam berbagai bentuk dan sarananya kepada tetangga dan lingkungan terdekat. Bentuk yang paling sederhana adalah tidak memberikan gangguan kepada tetangga dan lingkungan sekitar atau sekadar memberikan senyum cerah serta sapaan ramah. Bentuk lainnya adalah memberikan bantuan praktis terhadap kerepotan dan hajat dari tetangga terdekat. b. Kontribusi terhadap Kerabat dan Keluarga Besar Kontribusi berikutnya adalah kepada sanak kerabat dan keluarga besar dari suami maupun istri. Pernikahan telah mengikat dua keluarga besar dengan sanak kerabat masing-masing, dalam satu ikatan kekeluargaan yang lebih besar lagi. Maka, suami dan istri hendaknya bisa berbagi dan berkontribusi kebaikan bagi orang tua, mertua, saudara kandung, sanak kerabat, dan handai tolan agar mereka mendapatkan kemanfaatan positif dari keberadaan keluarga tersebut. Kontribusi terhadap kerabat dan keluarga besar bisa diwujudkan dalam berbagai bentuknya, baik yang bersifat material maupun nonmaterial, sesuai dengan situasi dan kondisi. c. Kontribusi terhadap Lingkungan Kerja dan Organisasi Selain tetangga dan keluarga besar, ada kontribusi yang juga sangat penting diberikan yaitu terhadap lingkungan kerja maupun organisasi. Suami dan istri memiliki teman-teman dan lingkungan tempat kerja atau teman-teman dan lingkungan organisasi tempat berkegiatan. Berkontribusi terhadap lingkungan kerja dan organisasi akan membuat penerimaan positif sehingga bisa ikut membuat suasana nyaman dan bahagia di tempat kerja maupun di organisasi. Bentuk kontribusi terhadap lingkungan kerja dan organisasi juga sangat beragam, sesuai kemampuan juga menyesuaikan dengan situasi dan kondisi.
d. Kontribusi Terhadap Alam dan Lingkungan Hidup Materi Diklat #1| 139 Kebiasaan hidup sehari-hari dalam keluarga bisa berpengaruh dan berdampak terhadap alam dan lingkungan hidup di sekitarnya. Dari keluarga bisa menimbulkan limbah dan pencemaran lingkungan, perusakan alam, tetapi dari keluarga juga bisa berkontribusi untuk perawatan, penjagaan dan pelestarian alam. Keluarga yang sibuk merawat dan melestarikan alam dan lingkungan hidup di sekitarnya akan berdampak secara positif terhadap keseimbangan ekosistem secara luas. Sebaliknya keluarga yang tidak peduli dengan alam dan lingkungan hidup akan berkontribusi merusak dan mencemari alam. Bentuk yang paling sederhana adalah dengan pengelolaan sampah dan limbah keluarga yang baik, menanam dan merawat tanaman untuk menciptakan lingkungan hijau dan lain sebagainya. e. Kontribusi Terhadap Pihak Lain yang Memerlukan Hendaknya keluarga juga membudayakan kepedulian dan kontribusi terhadap pihak-pihak lain yang memerlukan. Keluarga yang produktif dalam memberikan bantuan dan perhatian pada pihak-pihak yang memerlukan, merupakan keluarga yang memiliki ketahanan sosial dan berpotensi makin mengokohkan kebahagiaan bagi semua anggotanya. Di Indonesia, masih sangat banyak orang-orang yang memerlukan bantuan untuk bisa menjalani kehidupan dengan layak. Ada sangat banyak anak-anak memerlukan bantuan untuk bisa melanjutkan sekolah atau kuliah, ada sangat banyak orang-orang yang memerlukan bantuan untuk bangkit dari keterpurukan sosial serta ekonomi. Itu adalah ladang amal yang nyata untuk kontribusi keluarga. Apabila keluarga memiliki kontribusi positif terhadap berbagai pihak, akan membuat mereka tidak hanya mengurus ruang lingkup yang kecil dan sempit di dalam rumah tangga sendiri. Namun, memiliki peran dan kontribusi yang luas bagi berbagai kalangan sehingga semua potensi dalam keluarga bisa diberdayakan. Situasi ini akan membuat keluarga menjadi dinamis, memiliki kepekaan dan kepedulian sosial yang tinggi, serta mampu mengoptimalkan seluruh potensi anggota keluarga dalam kebaikan. Hidup akan terasa lebih indah, nyaman dan damai jika selalu berkontribusi dan tidak sekadar memikirkan kehidupannya sendiri. Dengan kontribusi positif di semua sisi akan memungkinkan suami, istri, dan anak-anak memiliki lingkungan kehidupan yang menyenangkan dan saling mendukung satu dengan yang lainnya. Hal ini berdampak secara langsung maupun tidak langsung dalam penguatan ketahanan keluarga. Ketahanan Keluarga Tanggung Jawab Semua Komponen Bangsa Demikianlah, ketahanan keluarga harus diciptakan, diwujudkan, dan dijaga dengan sepuluh pilar tersebut. Tentu saja semua pihak harus saling bekerja sama, bantu membantu untuk mewujudkan keseluruhannya karena tidak bisa diserahkan begitu saja kepada masing-masing individu atau keluarga untuk menciptakan sendiri-sendiri. Pemerintah maupun pihak swasta, ormas, parpol, LSM, tokoh agama, tokoh masyarakat, publik figur, dan semua komponen
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 140 bangsa, wajib memiliki andil peran untuk pengokohan ketahanan keluarga. Semua memiliki peran yang penting. Misalnya peran lembaga pendidikan, baik sekolah, kampus, pesantren, mereka memiliki peran penting untuk mewujudkan beberapa bagian dari pilar-pilar ketahanan keluarga tersebut. Publik figur memiliki peran yang penting. Jika mereka memberikan contoh teladan dalam hidup berumah tangga, juga akan menjadi inspirasi positif bagi kalangan masyarakat yang menjadi pengagum mereka. Para artis, selebritas, politisi nasional, dan tokoh-tokoh yang diidolakan masyarakat, wajib memberikan keteladanan positif dalam menciptakan kebahagiaan dan keharmonisan keluarga. Jika yang dicontohkan hanyalah konflik, kawin cerai, dan perselingkuhan, masyarakat akan mudah menjadikan mereka sebagai rujukan dan justifikasi. Media massa, media sosial, netizen juga memiliki peran penting. Jika semua media memberikan informasi, pemberitaan, dan ilmu pengetahuan yang konstruktif akan terbangun pula suasana ketahanan keluarga yang kokoh. Namun, jika yang diekspos hanya sisi-sisi negatif, menonjolkan sensasi demi rating dan oplah media, yang muncul adalah berita-berita bombastis yang bisa memberikan pengaruh negatif bagi upaya penguatan keluarga. Masyarakat modern saat ini tidak bisa dipisahkan dari gadget, smartphone, dan alat-alat komunikasi lainnya. Maka, mereka ini pun patut dituntut peran positifnya dalam membangun ketahanan keluarga. Demikianlah pada dasarnya ini menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah dengan semua komponen bangsa. Namun, fondasi utamanya tetap berada di masing-masing keluarga. Siapkah kita mewujudkan sepuluh pilar ketahanan keluarga dalam kehidupan keluarga kita? Semua dari kita yang harus menjawabnya.
Delapan Fungsi Keluarga Materi Diklat #1| 141 Tujuan Pembelajaran Umum: Membangun pemahaman dan penghayatan dan menghayati delapan fungsi keluarga sehingga memiliki kesadaran akan pentingnya mempelajari ilmu, sikap positif dan konstruktif sebagai anggota keluarga, serta keterampilan membina ketahanan keluarga. Tujuan Pembelajaran Khusus: 1. Peserta pendampingan memahami pengertian delapan fungsi keluarga. 2. Peserta pendampingan memahami peran pada setiap proses tahapan membina keluarga. 3. Peserta pendampingan memahami pentingnya meningkatkan kapasitas SDM setiap anggota keluarga agar menjadi bagian menghidupkan fungsi keluarga. 4. Peserta pendampingan memahami pentingnya usaha pencegahan masalah dan langkah mencari solusi permasalahan keluarga. 5. Peserta pendampingan membangun kesadaran pentingnya belajar sepanjang hayat secara mandiri atau mengikuti program edukasi keluarga agar menjadi keluarga yang berkualitas. Alternatif Kegiatan Pembelajaran: 1. Pendamping memantik dengan cara menyampaikan isu terkini atau contoh kasus tentang ketiadaan fungsi keluarga, baik lingkup lokal di lingkungan sekitar maupun nasional, bahkan global. 2. Peserta diminta memberikan tanggapan tentang isu-isu terkini berkenaan dengan problem seputar delapan fungsi keluarga. 3. Peserta mendapat penjelasan tentang konsep delapan fungsi keluarga. 4. Pendamping memfasilitasi diskusi tentang alternatif program apa saja untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, serta keterampilan mewujudkan delapan fungsi keluarga. Uraian Materi: Menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN), keluarga memiliki delapan fungsi sebagai berikut. • Fungsi Agama Yang dimaksud fungsi agama, keluarga adalah tempat penanaman nilai-nilai keagamaan sekaligus pemberian identitas agama pada setiap anak yang lahir. Nilai-nilai agama harus diberikan, diajarkan, dan dipraktikkan di dalam kehidupan keluarga. Dengan demikian semua anggota keluarga bisa mendapatkan fondasi yang sangat kokoh berupa kehidupan beragama yang didapatkan sejak dari dalam rumah.
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 142 • Fungsi Sosial Budaya Keluarga adalah tempat pertama kali semua anggotanya mendapatkan pengertian dan penanaman nilai-nilai sosial budaya yang ada di tengah masyarakat. Sikap hidup, tata nilai, etika, sopan santun, budi pekerti yang sudah menjadi milik masyarakat, didapatkan dan ditanamkan sejak awal dalam kehidupan keluarga. • Fungsi Cinta Kasih Keluarga harus menjadi tempat untuk menumbuhkan dan menyemai rasa cinta dan kasih sayang di antara semua anggotanya. Jika anak-anak mendapatkan suasana cinta dan kasih sayang dalam keluarga, mereka akan tumbuh menjadi manusia yang penuh cinta dan kasih sayang. Hal ini akan menjadi modal besar bagi semua anggota keluarga untuk mengembangkan sikap cinta dan kasih sayang dalam kehidupan yang lebih luas. • Fungsi Perlindungan Keluarga harus menjadi tempat yang aman, nyaman, dan menenteramkan semua anggotanya karena adanya suasana saling melindungi. Semua anggota keluarga merasa tenang, aman, dan damai karena merasa terlindungi. Tidak ada tindakan diskriminasi, kekerasan, dan pemaksaan kehendak yang membuat ada anggota keluarga merasa terancam dan tidak aman. • Fungsi Reproduksi Keluarga adalah satu-satunya sarana yang sah dan halal untuk mengembangkan keturunan. Melalui keluarga, muncullah anak sebagai generasi penerus bangsa dan negara. Dalam kehidupan keluarga, salah satu tujuan utama adalah mendapatkan keturunan. Hal ini tidak bisa didapatkan secara sah dan halal jika tidak melalui proses pernikahan dan pembentukan keluarga. • Fungsi Sosialisasi dan Pendidikan Keluarga juga harus menjadi tempat semua anggotanya untuk bersosialisasi, berkomunikasi, dan berinteraksi secara sehat dan produktif antara satu dengan yang lainnya. Keluarga juga menjadi tempat pertama kali diberikannya pendidikan bagi semua anak. Dalam kehidupan keluarga, proses pendidikan berjalan dengan sangat efektif karena interaksi yang terjadi dengan sangat intensif. • Fungsi Ekonomi Keluarga akan kokoh apabila ada kecukupan dari segi ekonomi. Kesejahteraan keluarga memiliki andil cukup signifikan dalam menciptakan keutuhan, keharmonisan, kelanggengan, dan kebahagiaan keluarga. Maka, harus ada proses pemberdayaan ekonomi dalam keluarga yang bisa melibatkan semua anggotanya secara proporsional. • Fungsi Pembinaan Lingkungan Keluarga memiliki peran untuk membina lingkungan masyarakat dan lingkungan alam sekitar. Keluarga tidak boleh eksklusif yang tidak mengenal tetangga dan masyarakat di sekitar. Demikian pula keluarga harus peduli dengan kelestarian lingkungan alam yang dimulai dari dalam kehidupan sehari-hari.
Family Life Cycle Stages, Delapan Tahap Materi Diklat #1| 143 Perkembangan Kehidupan Keluarga Tujuan Pembelajaran Umum: Membangun pemahaman dan penghayatan dan menghayati delapan tahap perkembangan kehidupan keluarga, memiliki kesadaran akan pentingnya mempelajari ilmu, sikap positif dan konstruktif sebagai anggota keluarga, serta keterampilan membina kualitas kehidupan keluarga. Tujuan Pembelajaran Khusus: 1. Peserta pendampingan memahami pengertian delapan tahap perkembangan kehidupan keluarga. 2. Peserta pendampingan memahami peran pada setiap proses delapan tahap perkembangan kehidupan keluarga. 3. Peserta pendampingan memahami pentingnya meningkatkan kapasitas SDM setiap anggota keluarga agar menjadi bagian meraih sukses di setiap tahap perkembangan kehidupan keluarga. 4. Peserta pendampingan memahami pentingnya usaha pencegahan masalah dan langkah mencari solusi permasalahan keluarga. 5. Peserta pendampingan membangun kesadaran pentingnya belajar sepanjang hayat secara mandiri atau mengikuti program edukasi keluarga agar menjadi keluarga yang berkualitas. Alternatif Kegiatan Pembelajaran: 1. Pendamping memantik dengan cara menyampaikan isu terkini atau contoh kasus di setiap tahapan kehidupan keluarga. 2. Peserta diminta memberikan tanggapan tentang isu-isu terkini berkenaan dengan problem seputar delapan tahapan kehidupan keluarga. 3. Peserta mendapat penjelasan tentang delapan tahap perkembangan kehidupan keluarga. 4. Pendamping memfasilitasi diskusi tentang alternatif program apa saja untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, serta keterampilan menjalani peran di setiap tahapan dari delapan tahap perkembangan kehidupan keluarga. Uraian Materi Memahami perjalanan sebuah keluarga adalah pembelajaran yang luas tanpa batas, meliputi sangat banyak dimensi, dan mencakup banyak sisi ilmu pengetahuan. Seperti sudah sering saya tuliskan bahwa keluarga adalah “organisme hidup” yang terus tumbuh dan berkembang. Selalu ada perubahan dari waktu ke waktu, tidak pernah stagnan, tidak pernah flat. Ada perkembangan yang terus-menerus terjadi tanpa pernah
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 144 berhenti, seiring dengan usia biologis anggota keluarga maupun usia pernikahan mereka. Hal yang harus sangat dipahami oleh suami dan istri sebagai dua orang pembentuk keluarga adalah adanya perubahan atau perkembangan. Yang dimaksud dengan perkembangan keluarga adalah proses perubahan yang terjadi pada sistem keluarga, meliputi sangat banyak hal seperti perubahan pola interaksi dan hubungan antar anggota keluarga di sepanjang waktu. Hal itu terjadi karena suami dan istri secara individu selalu tumbuh dan berkembang, maka akan memengaruhi corak interaksi di antara mereka di sepanjang perjalanan kehidupan. Secara akademis diketahui, perkembangan ini terjadi melalui beberapa tahapan (stage) dan kurun waktu tertentu. Para ahli menyebutkan, pada setiap tahapan mempunyai tugas perkembangan yang harus dipenuhi agar dapat dilalui dengan positif dan konstruktif. Friedman (1986) menyatakan, meskipun setiap keluarga melalui tahapan perkembangannya masing-masing secara unik, pada dasarnya seluruh keluarga mengikuti pola yang relatif sama. Masing-masing memiliki kondisi dan memerlukan waktu yang berbeda-beda untuk menempuh setiap tahapan perkembangan, tetapi ada pola yang sama. Delapan Tahap Kehidupan Keluarga Duvall dan Miller mengajukan teori “8 stages of the family life cycle” yang banyak digunakan oleh dunia akademik untuk menjelaskan tahap-tahap perjalanan kehidupan sebuah keluarga dari awal sampai akhirnya. Pada dasarnya perkembangan sebuah keluarga melalui delapan tahap, sebagai berikut. Stage 1: Beginning Family/Keluarga Baru Stage 2: Childbearing Family/Keluarga dengan Kelahiran Anak Pertama Stage 3: Family With Preschoolers/Keluarga dengan Anak Pra-Sekolah Stage 4: Family With School-age Children/Keluarga dengan Anak Sekolah Stage 5: Family With Teenagers/Keluarga dengan Anak Remaja Stage 6: Launching Family/Keluarga dengan Anak Dewasa Stage 7: Middle‐age Family/Keluarga Usia Pertengahan Stage 8: Aging Family/Keluarga Usia Lanjut Mari kita pahami siklus yang terjadi pada kehidupan sebuah keluarga, sejak dari awal pembentukan dengan pernikahan, hingga berakhirnya sejarah keluarga tersebut. Tahap 1: Keluarga Baru Tahap pertama sebuah keluarga dimulai pada saat seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk keluarga melalui proses perkawinan. Setelah menikah, mereka berdua mulai diakui sebagai sebuah keluarga yang eksis di tengah kehidupan masyarakat. Pengantin laki-laki dan pengantin perempuan meninggalkan keluarga masing-masing karena sudah memiliki keluarga baru. Mereka sudah dianggap mandiri dan bertanggung jawab atas diri serta keluarga yang dibentuknya bersama pasangan. Istilah “meninggalkan keluarga” tidak selalu terjadi secara fisik karena kenyataannya banyak keluarga baru yang masih tinggal bersama orang tua atau
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164
- 165
- 166
- 167
- 168
- 169
- 170
- 171
- 172
- 173
- 174
- 175
- 176
- 177
- 178
- 179
- 180
- 181
- 182
- 183
- 184
- 185
- 186
- 187
- 188
- 189
- 190
- 191
- 192
- 193
- 194
- 195
- 196
- 197
- 198
- 199
- 200
- 201
- 202
- 203
- 204
- 205
- 206
- 207
- 208
- 209
- 210
- 211
- 212
- 213
- 214
- 215
- 216
- 217
- 218
- 219
- 220
- 221
- 222
- 223
- 224
- 225
- 226
- 227
- 228
- 229
- 230
- 231
- 232
- 233
- 234
- 235
- 236
- 237
- 238
- 239
- 240
- 241
- 242
- 243
- 244
- 245
- 246
- 247
- 248
- 249
- 250
- 251
- 252
- 253
- 254
- 255
- 256
- 257
- 258
- 259
- 260
- 261
- 262
- 263
- 264
- 265
- 266
- 267
- 268
- 269
- 270
- 271
- 272
- 273
- 274
- 275
- 276
- 277
- 278
- 279
- 280
- 281
- 282
- 283
- 284
- 285
- 286
- 287
- 288
- 289
- 290
- 291
- 292
- 293
- 294
- 295
- 296
- 297
- 298
- 299
- 300
- 301
- 302
- 303
- 304
- 305
- 306
- 307
- 308
- 309
- 310
- 311
- 312
- 313
- 314
- 315
- 316
- 317
- 318
- 319
- 320
- 321
- 322
- 323
- 324
- 325
- 326
- 327
- 328
- 329
- 330
- 331
- 332
- 333
- 334
- 335
- 336
- 337
- 338
- 339
- 340
- 341
- 342
- 343
- 344
- 345
- 346
- 347
- 348
- 349
- 350
- 351
- 352
- 353
- 354
- 355
- 356
- 357
- 358
- 359
- 360
- 361
- 362
- 363
- 364
- 365
- 366
- 367
- 368
- 369
- 370