Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Materi Diklat1 Family Strengthening YBM BRILiaN 2023

Materi Diklat1 Family Strengthening YBM BRILiaN 2023

Published by sujono bms, 2023-07-10 03:36:45

Description: Materi Diklat1 Family Strengthening YBM BRILiaN 2023

Search

Read the Text Version

agama sebagai aturan prinsip dalam kehidupan keluarga. Masing-masing Materi Diklat #1| 345 keluarga akan memiliki aturan prinsip sesuai tuntunan agama yang dianut keluarga tersebut. Semua anggota keluarga harus melaksanakan aturan prinsip karena inilah yang akan memberikan kebaikan, keselamatan dan kebahagiaan hidup bagi semua anggota keluarga. Di antara aturan prinsip dalam rumah tangga adalah semua anggota keluarga harus menunaikan tuntunan agama dengan jalan melaksanakan hal-hal yang diwajibkan dan disunahkan oleh agama, maupun yang berbentuk akhlak mulia. Demikian juga semua anggota keluarga harus menjauhi hal-hal yang dilarang dan dibenci agama maupun yang berbentuk perbuatan tercela. Ini menjadi aturan tidak tertulis yang harus selalu diingatkan. Selain aturan prinsip, semua anggota keluarga juga harus bersepakat untuk berbagai macam aturan teknis agar tercipta keteraturan dan ketertiban hidup berumah tangga. Aturan teknis ini pada hakikatnya untuk mengatur aktivitas keseharian agar tercapai kebaikan bagi semua pihak. Contoh aturan teknis, di antaranya adalah pembagian peran bagi semua anggota keluarga tugas untuk menyelesaikan semua pekerjaan kerumahtanggaan. Termasuk aturan pemakaian atau pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi, seperti HP, televisi, internet, jejaring sosial, dan lain sebagainya. Harus ada family time, yaitu ketika pada waktu tersebut seluruh perangkat harus diletakkan dan dijauhkan dari keluarga. Mereka berinteraksi dan berkomunikasi, atau berkegiatan secara bersama-sama, tanpa gangguan teknologi. Inilah hakikat “screen time” atau diet teknologi, bahwa ada pembatasan pemakaian secara ketat sehingga keluarga tidak terjajah oleh teknologi. Sangat sering dijumpai, satu keluarga yang berkumpul di rumah atau bepergian bersama-sama dalam rombongan, tetapi tidak ada interaksi di antara mereka. Semua asyik dengan gadget, semua asyik dengan dunia masing-masing, tanpa peduli lingkungan sekitar. Kondisi ini, walaupun satu keluarga sedang berada di tempat yang sama, tidak bisa disebut sebagai family time. Itulah screen time yang harus dibatasi, dan dibuat kesepakatan bersama dalam keluarga. Kehangatan kasih sayang dalam keluarga tidak boleh tergantikan oleh kehangatan interaksi dengan teknologi. 8. Komunikasi Positif Komunikasi bukanlah sekadar berbicara atau berkata-kata. Dalam konteks pendidikan anak, makna komunikasi sangat luas dan terkait langsung dengan proses pendidikan dan pembentukan karakter anak. Maka, lakukan komunikasi positif untuk membentuk karakter anak. Jangan asal mengucapkan kata-kata karena semua kata-kata orang tua akan berpengaruh kepada anak, positif maupun negatif. Kata-kata memiliki kekuatan yang luar biasa. Jangan pernah menyepelekan kata-kata karena akan berpengaruh bagi perkembangan anak-anak kita. Imam Al- Ghazali menceritakan dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin tentang dialog antara Sahal bin Abdullah At-Tustari dan pamannya Muhammad Ibnu Siwar.

Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 346 “Ketika aku berusia tiga tahun, aku selalu bangun malam. Aku melihat salat pamanku, Muhammad Ibnu Siwar. Pada suatu hari ia berkata kepadaku, apakah engkau tidak ingat kepada Allah yang telah menciptakan kamu?” “Bagaimana aku mengingatnya?” Pamanku berkata, “Katakan di dalam hatimu ketika kamu berbolak-balik di atas tempat tidurmu, tiga kali, tanpa menggerakkan lidahmu ‘Allahu ma’i (Allah bersamaku), Allahu hafizhi (Allah menjaga aku), Allahu nazhirun ilayya (Allah menyaksikan aku).’” Dan aku kerjakan itu lalu aku laporkan kepadanya. “Ucapkan setiap malam tujuh kali “, kata paman. Aku kerjakan kemudian aku laporkan kepadanya. “Ucapkan itu setiap malam sebelas kali.” Aku pun laksanakan pesan tersebut, maka aku merasakan rasa nyaman dalam kalbuku. Setelah satu tahun berlalu, pamanku berkata, “Peliharalah apa yang telah aku ajarkan kepadamu, dan tetapkan mengerjakannya hingga kamu masuk kubur. Karena sesungguhnya yang demikian itu bermanfaat untuk kamu di dunia dan di akhirat.” Dalam beberapa tahun, aku terus mengerjakannya, maka aku dapatkan rasa nyaman dalam kesunyianku. Kemudian pamanku berkata padaku pada suatu hari, “Wahai Sahal, barangsiapa merasa Allah bersamanya, melihat dan menyaksikannya, apakah ia akan mendurhakai-Nya? Janganlah sekali-kali kamu durhaka.” Kata-kata apakah yang sudah Anda ucapkan pada anak Anda hari ini? Pastikan semuanya kata-kata positif, untuk membentuk karakter positif pada anak. 9. Kerja Sama dengan Pihak Sekolah Orang tua tidak bisa sendirian dalam mendidik anak, maka harus ada kerja sama dengan pihak sekolah dan lingkungan sekitar dalam mewujudkan generasi bangsa yang berkualitas. Orang tua dan guru di sekolah harus saling mendukung upaya mewujudkan “good digital citizens”, sebab pihak sekolah kerap memiliki pelajaran dan tugas terhadap siswa yang menggunakan perangkat gadget serta koneksi internet. Kadang dengan alasan mengerjakan tugas sekolah, anak minta dibelikan fasilitas gadget canggih, padahal tuntutan pihak sekolah tidak sampai ke tingkat itu. Hal-hal seperti inilah yang harus terus-menerus dikomunikasikan dan disepakati antara orang tua dengan pihak sekolah. Nilai-nilai yang ditanamkan di rumah dengan di sekolah, hendaknya saling sinergi dan tidak berbenturan. Pada dasarnya, semua menghendaki lahirnya anak-anak yang saleh salihah, takwa, cerdas, terampil, sehat, kuat, kreatif, inovatif, dan berbagai karakter positif lainnya. Hanya saja, terkadang dijumpai tidak sinkron antara aturan dan nilai-nilai yang ditanamkan di rumah dengan di sekolah. Dampaknya anak akan mengalami keterpecahan, harus percaya kepada siapa. Harus mengikuti siapa. Tentu situasi ini membingungkan bagi anak. Maka, sangat penting kerja sama serta sinergi orang tua dengan sekolah agar semua tujuan pembelajaran bisa tercapai dengan optimal.

10. Ciptakan Lingkungan Pembelajaran Materi Diklat #1| 347 Lingkungan masyarakat juga harus mendapatkan edukasi dan diajak membuat kesepakatan positif untuk menciptakan suasana kondusif dalam pembelajaran anak. Jika suasana di rumah, sekolah dan lingkungan sekitar sudah kondusif akan memudahkan untuk mengarahkan anak-anak menuju kebaikan karakter mereka. Kita ingat kejadian lama, saat masyarakat tengah dihadapkan pada realitas anak-anak yang kecanduan dengan televisi. Muncullah formula JBM alias Jam Belajar Masyarakat, yaitu ketika masyarakat diminta mematikan televisi pada jam 18.00–20.00 karena itu merupakan jam mengaji dan belajar bagi anak. Formula itu menjadi sangat menarik, bukan soal angka jam yang dipersoalkan akan tetapi pada keterlibatan masyarakat dalam menciptakan situasi dan kondisi pembelajaran bagi anak-anak. Inilah yang dimaksudkan sebagai lingkungan pembelajaran, karena anak-anak Indonesia tumbuh berkembang di tengah kehidupan masyarakat. Jika di rumah teve dimatikan, seorang anak bisa keluar untuk menonton teve di rumah tetangga. Jika tetangga terdekat tevenya juga dimatikan, ia bisa numpang nonton di rumah tetangga sebelahnya lagi. Maka, begitu masyarakat semuanya kompak mematikan teve, anak-anak tidak lagi memiliki alternatif. Penutup Pada zaman sekarang, ide JBM itu masih tetap relevan. Bisa diberlakukan untuk jam mematikan gadget bagi seluruh anggota keluarga, guna mendukung anak- anak untuk belajar dengan sebaik-baiknya, dalam suasana yang kondusif. Relevansi JBM lebih bertumpu kepada model pembentukan lingkungan pembelajaran di tengah masyarakat. Sungguh ini ide keren karena suasana pembelajaran akan kondusif apabila mendapatkan dukungan nyata dari lingkungan sekitar. Hendaknya masyarakat selalu memberikan suasana yang kondusif bagi proses pembelajaran anak-anak. Namun, yang lebih utama dan paling utama adalah suasana di dalam keluarga itu sendiri. Sebab, segala sesuatu dimulai dari keluarga. Maka, apabila keluarga terjaga kebaikannya akan berpeluang untuk melahirkan anak-anak yang baik, anak-anak yang saleh dan salihah. Orang tua yang kompak dalam kebaikan, mampu membangun cinta dan kasih sayang, mampu memberikan suasana yang nyaman dalam keluarga akan berdampak positif bagi anak hingga mereka dewasa kelak. Sebaliknya, orang tua yang tidak konflik, sering bertengkar, sering konflik akan memberikan dampak negatif bagi anak-anak. Bahkan psikolog E. Mark Cummings, PhD dari Universitas Notre Dame menyatakan bahwa pertengkaran orang tua bisa berdampak kepada anak di segala usia. Artinya, dalam konteks pertengkaran orang tua ini, tidak bisa dikatakan bahwa anak tidak akan terdampak jika ia masih sangat kecil, maupun ketika sudah dewasa. Baik masih bayi maupun anak yang sudah dewasa bahkan sudah berkeluarga, pertengkaran orang tua memiliki dampak negatif bagi mereka. Maka, hendaklah menjadi orang tua yang kompak dalam kebaikan, kompak dalam cinta dan kasih sayang sehingga anak-anak akan tumbuh dalam suasana yang positif dan konstruktif.

Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 348 Bijak Memanfaatkan Teknologi Tujuan Pembelajaran Umum: Membangun pemahaman pemanfaatan teknologi dalam pendidikan dan pengasuhan anak sehingga terbangun kesadaran pentingnya keutuhan keluarga, sikap positif dan konstruktif di tengah keluarga, serta kesadaran akan pentingnya mempelajari ilmu-ilmu membina ketahanan keluarga. Tujuan Pembelajaran Khusus: 1. Peserta memahami fakta munculnya karakter yang unik pada anak dampak dari kehadiran teknologi. 2. Peserta menyadai akan dampak dari gagalnya memanfaatkan teknologi. 3. Peserta memiliki program terencana pemanfaatan teknologi dalam pendidikan dan pengasuhan anak. 4. Peserta mendapatkan gambaran cara mengatasi dampak negatif kecanduan teknologi. 5. Peserta menemukan sebanyak-banyaknya alternatif kegiatan anak yang menjauhkan dari ketergantuungan pada teknologi (gadget). 6. Peserta giat secara mandiri atau mengikuti program edukasi yang meningkatkan kapasitas yang menunjang upaya pemanfaan teknologi dalam pendidikan dan pengasuhan anak. Alternatif Kegiatan Pembelajaran: 1. Peserta mendapat contoh-contoh kasus penyimpangan perilaku anak akibat kecanduan gadget. 2. Peserta memberikan tanggapan terhadap contoh kasus anak kecanduan gadget. 3. Peserta mendapat penjelasan tentang bijak memanfaatkan teknologi. 4. Pendamping mengajak workshop merumuskan alternatif program apa saja untuk memanfaatkan teknologi dan mengatasi problem anak kecanduan gadget. Uraian Materi: Istilah digital native dan digital immigrant pertama kali diungkapkan oleh seorang konsultan pendidikan bernama Marc Prensky pada tahun 2001 dalam artikelnya “Digital natives, Digital Immigrants”. Prensky membahas kesenjangan antara siswa yang lahir sebagai digital native dengan para pendidik yang menggunakan metode digital immigrant. Menurutnya, teknologi telah mengubah cara siswa berpikir dan memproses informasi. Sulit bagi siswa—menurut Prensky, untuk unggul secara akademis jika dididik menggunakan metode pengajaran yang sudah usang. Generasi digital Immigrants alias pendatang digital, adalah generasi yang lahir sebelum 1990, ketika saat mereka lahir hingga dewasa, teknologi belum

terlalu digital. Sedangkan digital native alias pribumi digital, adalah generasi yang Materi Diklat #1| 349 lahir ketika teknologi sudah berada di dekatnya. Generasi pertama digital native, lahir setelah tahun 1990. Memasuki tahun 2000, seiring dengan perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang makin canggih, anak-anak yang lahir pada periode ini adalah generasi kedua dari digital native. Memasuki tahun 2010, penetrasi teknologi gadget serta smartphone makin masif, anak-anak yang lahir setelah 2010 adalah generasi ketiga dari digital native yang bercorak sangat digital. Kedua orang tua dari generasi ini bisa jadi bertemu di dunia maya melalui chatting sebelum menikah. Mereka mengunggah undangan pernikahan dan foto-foto pernikahan melalui media sosial. Saat hamil, sang ibu rajin melaporkan kehamilannya melalui Instagram dan Twitter. Wajar jika bayi generasi digital sangat cepat berinteraksi dengan teknologi digital. Ada video unik yang diunggah di Youtube, bisa menggambarkan situasi generasi era digital ini. Sebuah gambaran ekstrem dari seorang bayi yang lahir pada era digital, yang membuat orang tua dan tenaga medis yang menolong kelahiran kaget bahkan shock. Digambarkan, sejak lahir si bayi sudah mengenal berbagai perangkat canggih. Karakter Generasi Digital Native Generasi digital natives memiliki karakteristik yang khas, berbeda dengan generasi sebelumnya. Karakter ini terbentuk salah satunya dari respons atas berbagai perkembangan lingkungan dinamis yang melingkupi mereka. Orang tua maupun guru harus memahami karakter ini agar bisa menempatkan diri secara tepat dalam mendidik, membina, mengarahkan, dan mendampingi mereka menuju keluhuran nilai sebagai hamba Allah yang beriman dan bertakwa. 1. Menuntut Kebebasan Secara umum, generasi digital native senang menuntut kebebasan. Sebagaimana ciri era digital, yaitu ketika orang bebas mengakses sumber informasi dari mana pun, maka generasi ini tidak suka dibatasi dalam akses informasi. Sifat seperti ini perlu diarahkan oleh orang tua maupun guru agar tidak salah arah. Hendaknya selalu dalam koridor yang positif dan konstruktif. 2. Rentang Perhatian yang Pendek Generasi digital native cepat berpindah-pindah perhatian dari hal menarik yang satu ke hal menarik lainnya. Tidak betah berlama-lama melakukan aktivitas. Rentang perhatian yang pendek membuat generasi ini cenderung melakukan aktivitas multitasking. Orang tua dan guru perlu memiliki banyak kreativitas saat mendidik anak, agar tidak membosankan. 3. Senang Mengekspresikan Diri Generasi digital native memiliki banyak akun media sosial untuk menyatakan eksistensi. Dalam dunia digital, mereka bisa hadir dan diakui sebagai individu. Benar-benar sebagai diri mereka sendiri. Hal ini sangat mereka senangi. Lagi, lagi, orang tua dan guru harus berusaha untuk mengarahkan agar ekspresi mereka selalu dalam koridor positif konstruktif.

Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 350 4. Berpikir Cepat, tetapi Kehilangan Kedalaman Generasi digital native mampu berpikir cepat seperti membaca tweet atau membaca berita pendek. Dampaknya, mereka tahu banyak hal, tetapi hanya pada sisi permukaan saja, tidak mengetahui detailnya. 5. Bisa Tahu Banyak Ilmu Agama, tetapi Kehilangan Adab Generasi digital native bisa belajar banyak konten keislaman untuk mendalami ilmu agama melalui internet. Jika mereka mencari pengetahuan agama hanya melalui Youtube, tidak mengaji langsung kepada ustaz atau ulama, mereka hanya mendapatkan pengetahuan tentang agama, tetapi tidak mendapatkan adab. Maka muncul banyak orang pintar, tetapi kurang beradab. 6. Berpikir Instan Generasi digital native dibiasakan dengan segala sesuatu yang serba instan karena sudah tersedia semua kebutuhan belajar mereka. Tidak perlu menghafal rumus kimia atau matematika, tidak perlu mengikuti proses logis, semua tinggal ditanyakan ke mesin pencari. 7. Belajar Bukan dari Instruksi, tetapi dengan Mencari Generasi digital native lebih memilih belajar dengan mencari sendiri konten di dunia digital melalui mesin pencari. Mereka lebih suka mengakses video tutorial atau bahan pembelajaran melalui berbagai situs, daripada mengerjakan PR dari sekolah. 8. Unduh dan Unggah Generasi digital native bukan hanya mengunduh, melainkan juga mengunggah konten. Mereka merasa tidak eksis bila tidak mengunggah konten. Maka, banyak waktu mereka habiskan untuk aktivitas unduh dan unggah ini. 9. Interaksi di Media Sosial Generasi digital native senang menjalin pertemanan melalui media sosial. Mereka bisa melakukan aktivitas kesenangan bersama teman-teman di media sosial, bahkan antar negara. Tiktok, Instagram, Pinterest membuat generasi ini suka berbagi karya dan berkolaborasi bersama teman-teman online untuk melakukan karya bersama. 10. Suka Menyendiri Kegiatan online yang mengasyikkan cenderung dilakukan sendirian di tempat yang memerlukan privasi. Mereka kurang sosialisasi dengan lingkungan. Dampaknya, defisit perhatian dan cenderung mengalami pikun digital. Mendidik “Anak Digital” di Era Digital Sedemikian seru kondisi anak-anak yang mendadak digital. Di sisi lain, ada senjang antara generasi digital native yang sangat cepat akses dengan teknologi mutakhir dengan orang tua dan guru yang gagap teknologi alias gaptek. Keseluruhan karakter generasi digital native di atas tidak sekadar untuk dimaklumi dan dibenarkan, tetapi justru untuk diarahkan agar semua selalu berada dalam koridor positif dan konstruktif. Jangan sampai sifat-sifat khas

mereka justru membuat mereka berada dalam keadaan negatif serta destruktif, Materi Diklat #1| 351 na’udzubillah min dzalik. Ini kisah tentang seorang anak, sebut saja namanya Irvan. Pada saat kelas satu SD, orang tuanya mengizinkan Irvan untuk bermain gadget satu jam pada hari Sabtu dan satu jam pada hari Ahad. Ketika naik kelas dua SD, orang tuanya memberi tambahan kesempatan menggunakan gadget menjadi dua jam pada hari Sabtu dan dua jam pada hari Ahad. Irvan tertib mematuhi batasan waktu tersebut. Walau kadang merengek minta tambahan waktu, orang tua tidak memberikan tambahan waktu yang diminta itu. Ketika Irvan naik kelas tiga SD, rengekannya untuk menambah waktu bermain gadget makin menjadi. Ia tidak mau dibatasi waktu dan menuntut untuk dibolehkan menggunakan gadget di seluruh hari, bukan hanya Sabtu dan Ahad sebagaimana sebelumnya. Orang tua Irvan menolak permintaan itu. Setiap hari Sabtu dan Ahad, orang tua memberikan kesempatan Irvan untuk bermain gadget maksimal tiga jam. Namun, Irvan protes bahkan sering menangis setiap kali diingatkan waktunya sudah habis. Pada saat itulah orang tua Irvan menyadari bahwa anaknya sudah mulai kecanduan gadget. Tentu orang tua tidak ingin anaknya kecanduan makin parah. Maka, mereka bersepakat untuk menghentikan memberikan izin kepada Irvan menggunakan gadget. Bukan dengan cara bertahap—seperti anjuran beberapa kalangan, melainkan dengan cara langsung. Stop sejak hari itu juga tanpa toleransi. Apa yang terjadi? Tentu Anda sudah bisa menduga. Ya benar, Irvan berontak, marah, dan menangis keras. Setiap kali dia menyatakan ingin main gadget, langsung ditolak oleh orang tuanya, dan tidak dipinjamkan kepadanya gadget. Kedua orang tua telah siap dengan adegan berulang: Irvan berontak, marah, dan menangis keras. Inilah tanda makin nyata bahwa Irvan sudah kecanduan gadget. Ciri-Ciri Anak Kecanduan Gadget Ada sangat banyak tanda pada anak yang sudah mulai kecanduan gadget. Hendaknya orang tua cermat melihat ciri-ciri ini pada anak. • Menggunakan gadget secara terus-menerus tanpa mau dibatasi dan dilarang. • Selalu meminta diberikan gadget dan jika tidak diberi, anak akan mengamuk. • Berkurangnya minat untuk bersosialisasi, lebih suka menyendiri. • Tidak mau beraktivitas di luar rumah, misalnya bersikeras meminta pulang saat diajak bepergian agar bisa bermain game di rumah. • Menolak melakukan rutinitas sehari-hari dan lebih memilih bermain gadget, seperti tidak mau disuruh salat, belajar, makan, tidur, atau mandi. Demikianlah beberapa ciri yang mudah dikenali pada diri anak, ketika mereka mulai kecanduan gadget. Jika ciri dan gejala itu sudah nyata—apalagi sempurna adanya, orang tua harus waspada. Segera ambil langkah nyata penyelamatan anak dari kecanduan gadget yang lebih parah.

Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 352 Menyembuhkan Anak dari Kecanduan Gadget Apa yang harus kita lakukan ketika anak bersikap seperti itu? Hanya satu kata: tega! Ya, harus tega melihat anak yang sangat kita cintai marah-marah dan menangis keras. Sebagai orang tua, kita sering tidak tega melihat pemandangan seperti itu. Maka, rasa tidak tega inilah yang menyebabkan orang tua tidak disiplin menerapkan pembatasan dan larangan kepada anak. Orang tua kalah setiap kali anak marah dan menangis keras, langsung dipenuhi keinginannya. Anak akhirnya mengenali pola ini: jika ingin dibolehkan main gadget harus marah dan menangis keras terlebih dahulu. Pada sebagian orang tua, rasa tidak tega membuat mereka melakukan negosiasi dengan anak. Mereka membuat kesepakatan, boleh main gadget satu jam apabila mereka telah membaca Al-Qur’an satu jam atau setara dengan setoran hafalan ayat Al-Qur’an setengah halaman, misalnya. Anak akhirnya menggunakan membaca Al-Qur’an atau setoran hafalan sebagai pola tetap. Jika ingin dibolehkan main gadget, ia harus memperbanyak tilawah dengan hitungan jam atau memperbanyak setoran ayat. Seakan ini positif, tetapi bisa jadi kita telah melatih ketidaktulusan pada anak. Yang harus dimiliki oleh ayah dan ibu adalah rasa tega yang berdiri di atas cinta dan kasih sayang terhadap anak. Kita harus tega melihat anak marah, tega melihat anak berontak, tega melihat anak menangis berguling-guling. Semua itu justru karena cinta dan kasih sayang kita terhadap anak. Karena kita tidak tega jika pada masa depan nanti, anak menjadi tidak bisa dikendalikan, tidak bisa menjadi anak saleh/salihah, tidak mengerti batasan boleh dan tidak boleh, serta selalu ingin menuruti keinginan sesaat. Maka, harus tega sekarang karena kita tidak tega dengan hal buruk menimpa mereka pada masa yang akan datang. Penelitian di Bristol University tahun 2010 mengungkapkan, bahaya penggunaan gadget pada anak dapat meningkatkan risiko depresi, gangguan kecemasan, kurang atensi, autisme, kelainan bipolar, psikosis, dan perilaku bermasalah lainnya. Hasil studi ini sudah sangat mengerikan bagi orang tua. Kita semua tidak akan tega jika anak kita harus mengalami depresi, kelainan bipolar, apalagi psikosis. Maka, harus tega mendengar tangis keras anak lantaran tidak diizinkan bermain gadget, harus tega melihat anak berguling-guling sebagai bentuk protes karena tidak diizinkan menggunakan gadget. TEGA, Pola Menghindarkan Anak dari Kecanduan Gadget TEGA, ini yang harus dimiliki oleh orang tua. Jika yang berkembang adalah tidak tega, maka akan sangat sulit menghindarkan anak dari kecanduan gadget. TEGA terdiri dari empat komponen: T - Tegas menerapkan aturan E - Edukasi sepanjang hari G - Gemarkan membaca dan berkegiatan kreatif A - Ajak bersosialisasi Kita bahas satu per satu unsur TEGA tersebut.

Pertama, Tegas Menerapkan Aturan Materi Diklat #1| 353 Sangat penting bagi setiap keluarga untuk memiliki aturan family time serta screen time, dan tegas dalam menerapkan aturan. Yang dimaksud dengan family time adalah waktu berkualitas bersama keluarga. Sedangkan screen time adalah waktu yang disepakati untuk tidak menggunakan gadget. Mereka mengobrol dan berkegiatan bersama keluarga, tanpa ada yang memegang gadget. Di antara contoh aturan screen time adalah dengan membatasi penggunaan gadget sesuai dengan rekomendasi kelompok umurnya. Ayah dan ibu harus kompak dalam menjawab pertanyaan ini: mulai umur berapa anak dibolehkan bermain gadget? Berapa lama anak dibolehkan bermain gadget? Inilah contoh aturan yang harus dijalankan dengan tegas. Pada contoh aturan yang kami terapkan pada anak bungsu—Irvan, semenjak kelas 3 SD sampai lulus SD ia tidak boleh menggunakan gadget. Untuk masyarakat Amerika dan Kanada, telah ada rekomendasi dari The American Academy of Pediatrics (2013) dan Canadian Pediatric Society (2010) terkait batasan waktu maksimal penggunaan gadget pada anak. Menurut dua lembaga tersebut, anak-anak di bawah usia 2 tahun sebaiknya tidak dibiarkan bermain gadget sendirian, termasuk televisi, smartphone, dan tablet. Anak-anak usia dua sampai empat tahun: kurang dari satu jam sehari. Usia lima tahun ke atas: sebaiknya tidak lebih dari dua jam sehari untuk penggunaan rekreasional, di luar kebutuhan belajar. Jika Anda ingin menerapkan rekomendasi tersebut, harus disertai satu syarat: bahwa Anda mampu memastikan batasan tersebut dipenuhi. Caranya adalah dengan mendampingi anak saat diberi kesempatan menggunakan gadget. Jika Anda tidak bisa mendampingi dan tidak mampu memastikan terpenuhinya batasan tersebut, keputusan Anda memberikan waktu menggunakan gadget pada anak-anak sangat berisiko. Selain membuat mereka kecanduan, Anda juga tidak mengetahui apa saja yang mereka akses dengan gadget. Maka, nomor satu harus ada kesamaan pandangan dari ayah dan ibu dalam membuat batasan dan menerapkan aturan terkait family time serta screen time. Setelah ada aturan yang disepakati, harus diterapkan secara tegas tanpa kompromi. Semua demi kebaikan anak-anak pada masa sekarang maupun masa depan. Kedua, Edukasi Sepanjang Hari Orang tua bukan hanya bisa melarang dan membatasi, tetapi harus mengedukasi. Inilah sisi yang membuat aturan menjadi seimbang dan dipahami. Anak-anak tidak hanya menerima dan menjalankan aturan, tetapi mengerti esensi dari aturan tersebut. Namun, yang harus mendapat perhatian lebih awal justru edukasi pada orang tua itu sendiri. Sebelum mengedukasi anak, orang tua harus sudah mengerti berbagai hal yang diperlukan dalam mengedukasi anak-anaknya. Sebagai contoh, orang tua harus mengerti persis apa bahaya gadget bagi anak-anak. Terlebih lagi, apa bahaya kecanduan gadget bagi anak-anak. Hal ini akan membuat orang tua benar-benar tersadarkan bahwa gadget dan internet bukanlah hal yang ramah dan aman untuk anak-anak.

Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 354 Kehadiran gadget dan internet tidak didesain untuk mereka, tetapi ternyata mereka—anak-anak itu, yang menjadi korbannya. Jika orang tua tidak mengetahui apa bahaya gadget dan bahaya kecanduan gadget pada anak, mereka tidak mengerti pula urgensi pembatasan. Di antara contoh edukasi yang harus diberikan kepada anak-anak terkait gadget adalah perbedaan orang dewasa dengan anak-anak. Sering muncul pertanyaan pada anak, “Mengapa ayah dan ibu boleh menggunakan gadget, sedangkan aku tidak boleh menggunakan?” Menghadapi pertanyaan seperti itu, orang tua harus menjawab dengan tepat. Tidak boleh menjawab secara asal-asalan atau sekadar menunjukkan kekuasaan sebagai orang tua dengan model jawaban “pokoknya”. Misalnya, “pokoknya kamu tidak boleh” atau “pokoknya bapak dan ibu boleh”. Irvan bertanya kepada orang tuanya, mengapa ayah dan ibu boleh menggunakan gadget? Maka, ayah dan bunda Irvan menunjukkan kepadanya apa yang mereka lakukan dengan gadget. Mereka tunjukkan bahwa yang dilakukan dengan gadget adalah membuat konten tausiyah, konten edukatif untuk di-share ke berbagai media sosial serta grup-grup chatting, dengan menggunakan gadget tersebut. Termasuk menggunakan gadget untuk koordinasi pekerjaan kantor, juga menggunakan gadget untuk jualan online. Maka Irvan menjadi mengerti, apa perbedaan orang dewasa dengan dirinya selaku anak-anak dalam penggunaan gadget. Ketiga, Gemarkan Membaca Buku dan Berkegiatan Kreatif Dunia anak adalah berimajinasi, bermain dan berkreasi. Maka, larangan atau pembatasan penggunaan gadget harus disertai dengan penyaluran yang produktif agar tidak terjadi pemandulan potensi pada anak. Buat mereka gemar membaca buku atau ensiklopedia, sesuai usia mereka. Buat mereka gemar berkegiatan kreatif dengan aneka sarana. Ini akan mengisi hari-hari mereka, semenjak masih di rumah belum masuk sekolah, maupun ketika sudah mulai menginjakkan kaki ke playgroup, TK, SD, dan sekolah menengah. Ada sangat banyak buku serta ensiklopedia bermutu sekaligus menyenangkan untuk dibaca anak-anak. Jika anak gemar membaca, pikiran mereka akan terarah. Otak mereka akan terisi dengan ilmu pengetahuan yang diperlukan. Mereka akan asyik dengan tumpukan buku serta ensiklopedia yang membuat waktu mereka termanfaatkan secara positif. Sangat berbeda dengan sifat gadget yang menuntut pemuasan secara liar dan tidak ada batasan. Buku memberikan ilmu, gadget memberikan magnet yang akan membuat anak lekat tanpa mau dipisahkan dengan gadget. Selain dikondisikan untuk gemar membaca, anak juga harus diajak berkegiatan kreatif, sesuai dengan usia masing-masing. Untuk anak-anak balita, ada papan kegiatan yang mengasyikkan, semacam busyboard atau yang lainnya. Untuk anak-anak usia SD, bisa diajak berkegiatan fisik yang lebih banyak sehingga membuat badan mereka terolah dengan baik, serta waktu tergunakan secara positif. Untuk anak-anak remaja, bisa diajak melakukan kegiatan yang mengenalkan mereka kepada aneka industri kreatif sehingga bisa mulai melakukan hal produktif dalam kehidupan.

Keempat, Ajak Anak Bersosialisasi Materi Diklat #1| 355 Catherine Steiner Adair, seorang peneliti di Harvard Medical School sekaligus penulis buku The Big Disconnect: Protecting Childhood and Family Relationship in the Digital Age menjelaskan kunci untuk mengatasi kecanduan gadget pada anak. “Anak-anak belajar dari bermain, terutama anak-anak pra-sekolah dan anak- anak usia dini. Untuk mengatasi kondisi ini, pastikan anak menghabiskan lebih banyak waktu untuk bermain dan belajar secara langsung bukan dari layar.” Demikian ujar Adair. Sangat penting bagi anak untuk bersosialisasi terutama dengan teman sebaya. Maka, pada contoh Irvan, orang tuanya memilihkan beberapa teman bermain sebaya yang ada di sekitar rumah mereka. Tidak sembarang teman, tetapi dipilih berdasarkan kriteria tertentu, misalnya orang tuanya sama-sama menghendaki anaknya bebas dari kecanduan gadget, umur sebaya, tempat tinggal berdekatan, bersedia mengikuti aturan. Akhirnya ada lima anak sebaya yang setiap hari bermain bersama Irvan di lingkungan sekitar, sepulang mereka dari sekolah sampai menjelang waktu magrib. Satu sisi, ini adalah upaya untuk mengajarkan nilai-nilai sosial, pertemanan, sportivitas, kepedulian, dan lain sebagainya. Di sisi lain, ini yang membuat anak menjadi asyik satu dengan yang lainnya, dengan aktivitas fisik nyata. Bukan berkumpul untuk bermain gadget, bukan berkumpul untuk bermain game online. Namun, berkumpul untuk bermain sepeda keliling kampung, sepak bola di tanah lapang, futsal, dan lain sebagainya. Sesekali waktu berkumpul bersama di rumah untuk membaca ensiklopedia atau bermain menyusun lego. Semua aktivitas itu sangat mengasyikkan bagi mereka. Menuju “Bahagia Tanpa Gadget” Semenjak kelas 3 hingga kelas 6 SD, Irvan tidak lagi bermain gadget sama sekali. Saat Irvan mulai masuk sekolah boarding, ia tetap tidak berinteraksi dengan gadget karena telah menjadi peraturan pihak sekolah. Kredo yang disepakati ayah bunda bersama Irvan adalah “Bahagia Tanpa Gadget”. Nyatanya, semenjak kelas 3 hingga kelas 6 SD, hal itu bisa terwujud. Yang diperlukan adalah tekad dari orang tua untuk TEGA terhadap anaknya, dalam makna yang positif. Dengan empat aktivitas TEGA, insyaallah bisa membuat anak-anak terjauhkan dan tersembuhkan dari kecanduan gadget.

Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 356

Daftar Pustaka Materi Diklat #1| 357 A. Mudjab Mahalli. Menikahlah Engkau Menjadi Kaya. Yogyakarta: Mitra Pustaka. 2001 Abdul Halim Muhammad Abu Syuqqah. Kebebasan Wanita. Gema Insani Press. Jakarta, 1999 Abdul Manan. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Kencana, Jakarta. 2005 Abdul Wahhab Hamudah. Manajemen Rumah Tangga Nabi saw., Pustaka Hidayah, Bandung, 2002 Abdullah Nasih Ulwan. Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam. Asy Syifa, Semarang. 1988 Abdullah Nasih Ulwan. Pendidikan Anak Dalam Islam. Insan Kamil. 2015 Abdullah Nasih Ulwan. Perkawinan Masalah Orang Muda, Orang Tua, dan Negara. Gema Insani Press. 1992 Abdurrahman An-Nahlawi. Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat. Gema Insani Press. Jakarta. 1983 Abdurrahman Shalih Abdullah. Landasan Pendidikan menurut Al-Qur’an serta Implementasinya. CV. Diponegoro. Bandung. 1991 Abi Muhammad at-Tihamy, 2009. Keluarga Sakinah, Terjemahan Qurratul Uyun. Al-Miftah Surabaya Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja. Suami Sejati. www.firanda.com. 2011 Abu Al-Hamd Rabi’. Baitul Muslim Al-Qudwah. Era Adicitra Intermedia. 2015 Abu Al-Hamd Rabi’. Membumikan Harapan Rumah Tangga Islam Idaman. Era Adicitra Intermedia. Solo. 2015 Abu Hudzaifah Ath-Thalibi. 30 Inspirasi Keluarga Harmonis. Penerbit Zamzam. Solo. 2011. Adil Fathi Abdullah. Ketika Suami Istri Hidup Bermasalah. Gema Insani Press. Jakarta. 2005. Adnan Hasan Shalih Baharits. Tanggung Jawab Ayah terhadap Anak Laki-laki. Gema Insani Press. Jakarta, 1996 Adriana S Ginanjar. Sebelum Janji Terucap. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 2011 Agung Sulistyanto, Generasi Digital natives dan Digital Immigrants, CodePolitan, 24 April 2017 Agustina Catur, Persiapan Pra-nikah dari Sisi Kesehatan Reproduksi, https://web.bapelkessemarang.id, 13 November 2021 Ahmad Azhar Bashir. Hukum Perkawinan Islam. UI Press. 2000 Aidh bin Abdullah Al-Qarni. Keluarga Idaman. Darul Haq. Jakarta. 2004.

Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 358 Akhmad Munawar. Sahnya Perkawinan Menurut Hukum Positif yang Berlaku di Indonesia. Jurnal Al-’Adl, Vol VII nomor 13, Januari-Juni 2015. Diakses dari https://ojs.uniska-bjm.ac.id/ Alan dan Barbara Pease. Why Men Don’t Listen and Women Can’t Read Maps. Jakarta: Ufuk Press, 2006 Alfaro, E.C., Umana-Taylor, A.J. & Bamaca, M.Y. (2006). The influence of academic support on Latino adolescents’ academic motivation. Family Relations, 55 (3), 279-291. Ali Ahmad Utsman. Dasar-dasar Pernikahan dalam Islam. Media Insani Press. 2002 Almanhaj. Bertetangga yang Sehat dan Kiat Menghadapi Tetangga Jahat. https://almanhaj.or.id. Diakses 15 Maret 2022 Amalia Ismail. Hubungan Dukungan Sosial dengan Penerimaan Diri Ibu dari Anak Autis. Perpustakaan Unika nomor 4 Vol 23, 2008 Amar Hadid. Premarriage Journal. Era Intermedia. 2021 Ambarwati D. Rutiana. Adab Bertetangga. https://muslimah.or.id. Diakses 15 Maret 2022 Amir Syarifuddin. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. Kencana. Jakarta. 2009. Ammi Nur Baits. Hak Bertetangga. https://konsultasisyariah.com. Diakses 15 Maret 2022 Ariel Kalil. Family Resilience and Good Child Outcomes: A Review of the Literature. Centre for Social Research and Evaluation. Wellington. 2003 Association for Psychological Science. Can Fetus Sense Mother’s Psychological State? Study Suggests Yes, www.sciencedaily.com. 10 November 2011 Ayah Edy. Ayah Edy Menjawab. Penerbit Qanita. 2011 Ayah Edy. Membangun Indonesia yang Kuat dari Keluarga! Tangga Pustaka, Jakarta. 2012 Benjamin H. Gottlieb, Social Support Strategies, Guidelines for Mental Health Practice, London: Sage Publications. 1983. BKKBN. Modul 8 Fungsi Keluarga. Pusat Diklat Kependudukan dan Keluarga Berencana BKKBN. Jakarta. 2020 BKKBN. Modul Pembangunan Keluarga. Pusat DIklat Kependudukan dan Keluarga Berencana. Jakarta. 2022 Bobbi DePorter dan Mike Hernacki. Quantum Learning Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan. Kaifa. Bandung. 1999 Brad E Sachs Ph.D. The Good Enough Teen: Raising Adolescents with Love and Acceptance (Despite How Impossible They Can Be). William Morrow Paperbacks. 2005 Cabrera, N., Tamis-Lemonda, C., Bradley, R., Hofferth, S. & Lamb, M. (2000). Fatherhood in the 21st Century. Child Development, 71, 127-136. Cahyadi Takariawan. 2004. Izinkan Aku Meminangmu. Solo: Intermedia. Cahyadi Takariawan. 2005. Agar Cinta Menghiasi Rumah Tangga Kita. Solo: Intermedia. Cahyadi Takariawan. Wonderful Couple. Era Intermedia. 2019 Cahyadi Takariawan. Wonderful Family. Era Adicitra Intermedia. 2016

Cahyadi Takariawan. Wonderful Love. Era Adicitra Intermedia. Solo. 2018 Materi Diklat #1| 359 Cahyadi Takariawan. Wonderful Marriage. Era Adicitra Intermedia. 2017 Cahyadi Takariawan. Wonderful Parent. Era Adicitra Intermedia. Solo. 2019 Cleveland Clinic. Life After Divorce: How You Can Start Again. https://health.clevelandclinic.org. 9 Mei 2022 Culp. R.E., Schadle. S., Robinson. L. & Culp. A.M. (2000). Relationships Among Paternal Involvement and Young Children’s Perceived Self-Competence And Behavioral Problems. Journal of Child and Family Studies. 9 (1). 27-38 Dahwadin. dkk. Hakikat Perceraian Berdasarkan Ketentuan Hukum Indonesia. Yudisia: Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam. Volume 11- Nomor 1. Juni 2020. halaman 92. Daniel Goleman. Emotional Intelligence. PT Gramedia Pustaka Utama. 2000 Darlene Powell Hopson dan Derek S. Hopson. Menuju Keluarga Kompak. Kaifa. 2002 David O. Sears., Jonathan L. Freedman., L. Anne Peplau. Psikologi Sosial. Erlangga. Jakarta. 1985 Diana Setiyawati. Ph.D. Modul Resiliensi. Fakultas Psikologi UGM. Yogyakarta. 2016 Diane E. Papalia., Sally Wendkos OLDS., Ruth D. Feldman. Human Development. McGraw-Hill Education. 2008 Dubowitz. H., Black. M.M., Cox. C.E., Kerr. M.A., Litrownik. A.J., Radhakrishna. A., English. D.J., Wood Schneider. M. & Runyan. D.K. (2001). Father involvement and children’s functioning at age 6 years: A multisite study. Child Maltreatment. 6. 300–309. Ducharme. J. Doyle. A.B. & Markiewicz. D. (2002). Attachment security with mother and father: Association with adolescents’ reports of interpersonal behavior with parents and peers. Journal of Social and Personal Relationships. 19. 203–231. Edith Grothberg. A Guide to Promoting Resilience in Children: Strengthening the Human Spirit. Benard van Leer Foundation. 1995 Elizabeth B. Hurlock. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta. Erlangga. 1993. Elizabeth B. Hurlock. Psikologi Perkembangan. Erlangga. 2006. Elizabeth Miller dkk., Premarital Mental Disorders and Physical Violence in Marriage: Cross-national Study of Married Couples. Br J Psychiatry. Oktober 2011 Euis Sunarti. Ketahanan Keluarga Indonesia: dari Kebijakan dan Penelitian Menuju Tindakan. Orasi Guru Besar Tetap Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor. 6 Juni 2015 Euis Sunarti. Modul Ketahanan Keluarga. IPB Press. Bogor. 2018 Euis Sunarti. Program Pemberdayaan dan Konseling Keluarga. Makalah di Fakultas Ekologi Manusia IPB. Bogor. 2015 Eva Meizara Puspita Dewi dan Basti. Konflik Perkawinan dan Model Penyelesaian Konflik pada Pasangan Suami Istri. Jurnal Psikologi. Vol 2. nomor 1. Desember 2008 Evelyn M. Duvall & Brent C. Miller. Marriage and Family Development. Philadelphia; J.B. Lippincott Company. 1997

Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 360 Farida Hidayati, Dian VS. Kaloeti, dan K. Karyono. dari Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro. Peran Ayah dalam Pengasuhan Anak. Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol 9 nomor 1 tahun 2011. Febi Anindya Kirana. Penelitian Membuktikan. Ibu Hamil harus Bahagia Karena Bayi Bisa Merasakannya. https://www.fimela.com. 15 Jul 2021 Feni Arifiani. Ketahanan Keluarga Perspektif Maslahah Mursalah dan Hukum Perkawinan di Indonesia. Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syari. Vol 8 nomor 2 Tahun 2021 Flouri. E. (2005). Fathering and child outcomes. West Sussex. England: John Wiley & Sons Ltd. Formoso. D., Gonzales. N.A., Barrera. M., & Dumka. L.E. (2007). Interparental Relations. Maternal Employment. and Fathering In Mexican American Families. Journal of Marriage and Family. 69,26-39. Franklin N. Glozah. Effect of Academic Stress and Perceived Social Support on the Psychological Wellbeing of Adolescents in Ghana. Open Journal of Medical Psychology. Vol 2 nomor 4. 2013. Guesehat. 7 Dampak Perceraian terhadap Psikologis Wanita. https://www.guesehat.com. 21 April 2018 Hibbah Rauf Izzat. Wanita dan Politik: Pandangan Islam. Remaja Rosdakarya. Bandung. 1997 Horn. W.F. & Sylvester. T. (2002). Father Facts (4th ed.). National Fatherhood Initiative. [On-line]. Available: http://www.fatherhood.org/fatherfacts. htm https://dataindonesia.id/ragam/detail/ada-516344-kasus-perceraian-di-indonesia- pada-2022 https://www.bps.go.id/indikator/indikator/view_data_pub/0000/api_pub/aWhSR0 ViS3hxc1hWZlZEbExjNVpDUT09/da_04/1 Hussain Muhammad Yusuf. Motivasi Berkeluarga. Pustaka Al-Kautsar. Jakarta. 1992 Ida Nur Laila. Menyayangi Anak Sepenuh Hati. Era Adicitra Intermedia. 2007 Ida Nur Laila. Smart Parenting: Menyayangi Anak Sepenuh Hati. Era Adicitra Intermedia. 2012 Imam Mustofa. Keluarga Sakinah dan Tantangan Globalisasi. Program Studi Hukum Islam UII. Yogyakarta. 2008 Indra & Nunik Noveldy. 2013. Menikah untuk Bahagia. Jakarta: Noura Books. Isham Muhammad Asy Syarif. Beginilah Nabi saw. Mencintai Istri. Gema Insani Press. Jakarta. 2005 J.W. Santrock. Life-Span Development: Perkembangan Masa Hidup. Jilid 2. Erlangga. Jakarta. 2003 Jamal Abdurrahman. Tahapan Mendidik Anak. Isyad Baitus Salam. Bandung. 2005 Jasim Badr Al-Muthawwi. Menggapai Cinta Suami Istri. Citra Islami Press. Solo. 1997 Jasmine A. Manalel dkk. Beyond Destructive Conflict: Implications of Marital Tension for Marital Well-being. https://www.ncbi.nlm.nih.gov. 14 Februari 2019. DOI: 10.1037/fam0000512

John DeFrain & Silvia M. Asay. 2019. Focusing on the Strengths and Challenges of Families. International Course on Advocacy Skills in Mental Health System Development from Research to Policy. Yogyakarta. John Gray. Men Are from Mars. Women Are from Venus. Jakarta: Gramedia. 2001 John M Gottman & Joan De Claire. The Relationship Cure: 5 Langkah Memperkuat Perkawinan, Keluarga, dan Persahabatan. Java Media. 2007 John M Gottman & Nan Silver. Disayang Suami Sampai Mati. Kaifa. 2001 Kato. K., Ishii-Kuntz. M., Makino. K, & Tsuchiya. M. (2002). The Impact Of Paternal Involvement And Maternal Childcare Anxiety On Sociability Of Three-Year-Olds: Two Cohort Comparisons. Japanese Journal of Developmental Psychology. 13 (1). 30–41. Kemenag RI. Kompilasi Hukum Islam. Jakarta. 2018 Kemenkes RI. 7 Jenis Tes dalam Cek Pra-Nikah yang akan Dijalani Calon Pengantin. https://promkes.kemkes.go.id. 21 Oktober 2019 Ken Hirai. Di Balik Anak yang Hebat Selalu Ada Ibu yang Hebat. Kompasiana. 21 April 2013 Ken Hirai. Di Balik Anak yang Hebat Selalu Ada Ibu yang Hebat. Kompasiana. 21 April 2013 Khalid Ahmad Asy-Syantut. Tarbiyah Al-Banat Fi Al-Usrah Al-Muslimah. Darul Materi Diklat #1| 361 Mujtama’. 1991 Kompilasi Hukum Islam. Yogyakarta: Pustaka Widyatama. 2000. Kyle Morrison. Men After Divorce: Ego, Self Esteem, & Recovery: Why Do Men Especially Seem to Struggle with Divorce? Huffington Post. 1 Juli 2013 Lemhannas RI. Agus Widjojo: Ketahanan Keluarga Merupakan Fondasi Ketahanan Nasional. https://www.lemhannas.go.id. 18 Agustus 2020 Les & Leslie Parrott. 2012. Hubungan Autentik. Real Relationships. Jakarta: Indeks. Magister Ilmu Hukum Universitas Medan Area. Info Mengenai Hukum Perceraian. https://mh.uma.ac.id. 12 Maret 2022 Maharati Marfuah. Hukum Fikih Seputar Nafkah. Ebook. Rumah Fikih Publishing. 27 Mei 2020. www.rumahfikih.com/pdf/317 Marc Prensky. Digital natives. Digital Immigrants. On the Horizon. MCB University Press. Vol. 9 nomor 5. October 2001 Maria Krysan. Kristin A. Moore. Nicholas Zill. 1990. Identifying Successful Families: An Overview of Constructs and Selected Measures. U.S. Department of Health and Human Services. https://aspe.hhs.gov Marilyn M. Friedman. Family Nursing: Theory and Assessment. Fleschner Publishing Company. 1986 Marina Zanella Delatorre & Adriana Wagner. Marital Conflict Management of Married Men and Women. Psico-USF 23 (2). Juni 2018 • https://doi.org/10.1590/1413-82712018230204. diakses dari https://www.scielo.br Marriage and Family Encyclopedia. The Qualities Of Strong Families. https://family.jrank.org. diakses 26 Mei 2022.

Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 362 Marsiglio. W. (2004). Studying Fathering Trajectories: In-Depth Interviewing And Sensitizing Concepts. In R. Day & M. Lamb (Eds.). Conceptualizing and measuring father involvement. p. 61- 82. Mela Arnani. Studi: Stres pada Ibu Hamil Bisa Pengaruhi Perkembangan Otak Janin. https://www.kompas.com. 15 Desember 2020. Moch. Isnaeni. Hukum Perkawinan Indonesia. Refika Aditama. Bandung. 2016 Mohammad Sochib. Pola Asuh Orang Tua Dalam Membantu Anak Mengembangkan Disiplin Diri. Rineka Cipta. Jakarta. 2000. Mosley. J. & Thompson. E. (1995). Fathering Behavior and Child Outcomes: The Role of Race and Poverty. In W. Marsiglio. (Ed.). Fatherhood: Contemporary theory. research. and social policy (pp. 148–165). Thousand Oaks. CA: Sage. 1995. Muhammad Abduh Tuasikal. Hak Tetangga. https://rumaysho.com. 22 November 2015 Muhammad Abduh Tuasikal. Kewajiban Suami. https://rumaysho.com. 15 Februari 2012 Muhammad Iqbal. Psikologi Pernikahan. Menyelami Rahasia Pernikahan. Gema Insani Press. Jakarta. 2019 Muhammad Nashiruddin Al-Albani. 1990. Bagaimana Anda Menikah. Jakarta: Gema Insani Press. Muhammad Quthb. Sistem Pendidikan Islam. PT. Al-Ma’arif. Bandung. 1984 Muhammad Rasyid Al-Uwaiyyid. Pembebasan Perempuan. Izzan Pustaka. Yogyakarta. 2002 Muhammad Salih Al-Utsaimin. Penjelasan Mendasar Rukun Iman. Darul Haq. 2022 Muhammad Thalib. 2001. Tuntunan dan Keutamaan Pernikahan dalam Islam. Bandung: Irsyad Baitus Salam. Muhammad Utsman Al-Khusyt. Penyelesaian Problema Rumah Tangga secara Islami. Pustaka Mantiq. Solo. 1992 NebGuide. 2008. Creating a Strong Family. Why Are Families is So Important? https://extensionpublications.unl.edu Nick Stinnet dan John Defrain. Secrets of Strong Families. Berkley Publisher. 1986 Nilam Widyarini. 2009. Menuju Perkawinan Harmonis. Jakarta: Elex Media Komputindo Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany. Falsafah Pendidikan Islam. Bulan Bintang. Jakarta. 1979 Palkovitz. R. (2002). Involved Fathering and Child Development: Advancing Our Understanding of Good Fathering. In C. S. Tamis-LeMonda & N. Cabrera (Eds.). Handbook of father involvement: Multidisicplinary perspectives (pp. 119–140). Mahwah. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates. Paulo Freire. Politik Pendidikan: Kebudayaan. Kekuasaan dan Pembebasan. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 1999 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 tentang Perkawinan

Pleck. J.H. (1997). Paternal Involvement: Levels. Sources. And Materi Diklat #1| 363 Consequences. In M.E. Lamb (Ed.) The role of the father in child development (3rd ed.. pp. 66- 103). New York: John Wiley & Sons. Inc. Rachael Rettner. Pregnant Mom’s Mood Changes May Harm Baby. https://www.livescience.com. 22 November 2011 Ramin Mojtabai dkk. Long-term Effects of Mental Disorders on Marital Outcomes in the National Comorbidity Survey Ten-year Follow-up. Soc Psychiatry Psychiatr Epidemiol. Oktober 2017 Robert MZ. Lawang. Pengantar Sosiologi. Depdikbud. Jakarta. 1985 Ross Brannigan. The Role of Pre-natal Stress as a Pathway to Personality Disorder: Longitudinal Birth Cohort Study. Cambridge University Press. https://www.cambridge.org. 6 September 2019 Rowe. M.L.. Cocker. D. & Pan. B.A. (2004). A Comparison Of Fathers’ And Mothers’ Talk To Toddlers In Low-Income Families. Social Development. 13. 278- 291. S.W. Sarwono. Psikologi Remaja. Rajawali. Jakarta. 2013 Sarlito Wirawan Sarwono. Psikologi Remaja. Rajawali Press. 2006 Saudus Syahar. Undang-undang Perkawinan dan Masalah Pelaksanaannya Ditinjau dari Segi Hukum Islam. Alumni. Bandung. 1981 Sayid Sabiq. 2010. Fiqih Sunnah. Jakarta: Al-I’tishom Shaun Wooler. Stress in Pregnancy Linked to Personality Disorders in Children. https://nypost.com. 6 September 2019 Sheldon Cohen & Leonard Syme. Social Support. Academic Press. Inc. 1985 Singgih Gunarsa. Psikologi Untuk Keluarga. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2000 Sitti Murdiana & Hendriati Agustiani. Marital Conflict Resolution and Influencing Factors. Studies on Married Women in Makassar. Proceeding ISETH (International Conference on Science. Technology and Humanity). 2015. http://eprints.unm.ac.id/ Stolz. H.E.. Barber. B.K. & Olsen. J.A. (2005). Toward disentangling fathering and mothering: An assessment of relative importance. Journal of Marriage and Family 67. 1076 1092. Sudarsono. Hukum Perkawinan Nasional. PT Rineka Cipta. Jakarta. 2005 Susan Forward. Toxic Parents: Overcoming Their Hurtful Legacy and Reclaiming Your Life. Bantam. 2002 Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Halabi. Hak Dan Keutamaan Tetangga Dalam Sunnah. https://almanhaj.or.id. diakses 15 Maret 2022 Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid. Etika Bertetangga. Yayasan Al-Madinah. Surakarta Syeikh Hasan Ayyub. Fikih Keluarga. Pustaka Al-Kautsar. 1999 Syeikh Haytham Tamim. Marriage is Not a Life Sentence. https://www.utrujj.org. 27 Juni 2019 Teitler. J.O. (2001). Father Involvement, Child Health, and Maternal Health Behavior. Children and Youth Services Review. 23(4/5). 403-425. Thariq Kamal An-Nu’aimi. Psikologi Suami Istri. Mitra Pustaka. Jakarta. 2015 Tim IICWC. 2011. Tatanan Berkeluarga dalam Islam. Jakarta: LK3I. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 364 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Usman Rachmadi. Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia. Sinar Grafika. Jakarta. 2006 Veneziano. R.A. (2000). Perceived Paternal and Maternal Acceptance and Rural African American and European American Youths’ Psychological Adjustment. Journal of Marriage and Family. 62 (1). 123–132. Vivi Hayati. Dampak Yuridis Perceraian di Luar Pengadilan. Jurnal Hukum Samudra Keadilan. Vol 10 No 2 Tahun 2015. Diakses https://media.neliti.com WHO. Kesehatan Mental. https://www.who.int. 17 Juni 2022 Willa Wahyuni. Alasan Perceraian yang Dibolehkan oleh Undang-undang. https://www.hukumonline.com. 11 Agustus 2022 Wiwi Fauziah dan Muhammad Fathan Ansori. Keharusan Perceraian di Pengadilan Agama. https://pa-pulangpisau.go.id. 8 Juli 2021 Yazid bin Abdul Qadir Jawas. 2011. Panduan Keluarga Sakinah. Pustaka Imam Asy-Syafi’i Yogman. M.W. Kindlon. D. & Earls. F. (1995). Father Involvement and Cognitive/Behavioral Outcomes of Preterm Infants. Journal of the American Academy of Child and Adolescent Psychiatry. 34. 58–66. Yulian Purnama. Akhlak Islami dalam Bertetangga. https://muslim.or.id. diakses 15 Maret 2022 Yunahar Ilyas. Kuliah Aqidah Islam. UMY. Yogyakarta. 1988.


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook