masih berpikir. Ketika perempuan berpikir, mereka menggunakan sisi kanan otak Materi Diklat #1| 195 yang mengkhususkan diri dalam masalah emosional. Ini bisa menjelaskan mengapa perempuan memiliki kemampuan yang lebih baik dalam menangkap isyarat seperti bahasa tubuh, nada suara, dan lain sebagainya. Namun, kecakapan intuisi seperti ini telah menyebabkan perempuan kurang tidur dan memicu peningkatan hormon, stres, dan penyakit gula. Penelitian membuktikan bahwa perempuan memiliki sel otak yang lebih besar pada bagian yang mengontrol empati. Sementara pola aktivitas pada otak laki-laki menyatakan mereka fokus pada pemecahan masalah dan kurang peduli tentang emosional. Ini mengapa perempuan bisa berurai air mata ketika menonton sinetron. Perempuan lebih bisa menjaga kemarahan karena mereka memiliki lebih besar sel otak pada bagian otak yang berhubungan dengan kemarahan dan emosi. Pindai otak menunjukkan ketika perempuan sedang agresif dia lebih mungkin untuk meluncurkan serangan verbal ketimbang fisik. Perempuan dan laki-laki mengungkapkan khawatir dengan cara berbeda. Perempuan memiliki kekhawatiran berlebih karena memiliki tingkat lebih rendah akan serotonin kimia dibandingkan laki-laki. Ini yang membuat perempuan lebih mudah terserang perasaan khawatir. Sementara dengan kadar serotonin yang tinggi, membuat laki-laki bisa lebih meredam kekhawatirannya. Selama laki-laki dan perempuan tidak mau memahami adanya titik-titik perbedaan ini, maka selamanya mereka memiliki potensi konflik yang besar. Memahami realitas adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan akan sangat membantu meredakan ketegangan komunikasi dan mencegah munculnya konflik antara suami dengan istri. Ayo terus berusaha memahami realitas perbedaan kita dengan pasangan agar bisa saling mengerti dan memahami. Suami dan Istri Harus Saling Melengkapi Bridget Brennan menyimpulkan, perbedaan otak antara laki-laki dan perempuan terletak pada beberapa hal berikut. Pertama, perbedaan pada sisi emosi. Dalam limbic system, ikatan emosi ini lebih besar pada perempuan yang bisa menjelaskan mengapa perempuan lebih memiliki aspek memelihara dan perhatian pada anak. Kedua, perbedaan kapasitas memori. Hippocampus pada perempuan lebih besar sehingga ini bisa menjelaskan kemampuan perempuan untuk mengekspresikan emosi dan memperhatikan lebih detail pada setiap aspek. Ketiga, perbedaan kemampuan komunikasi verbal. Perempuan cenderung menggunakan kedua bagian otak sehingga lebih mampu mengemukakan komunikasi verbal dan memiliki kosakata yang lebih banyak daripada laki-laki. Laki-laki cenderung untuk berkomunikasi langsung pada pokok permasalahan. Keempat, perbedaan apresiasi terhadap seks. Laki-laki memiliki kekuatan apresiasi lebih besar terhadap seks daripada perempuan sehingga secara biologi menunjukkan bahwa industri berkaitan pornografi cenderung didominasi oleh laki- laki.
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 196 Kelima, perbedaan kemampuan sosialisasi. Laki-laki cenderung memiliki aspek sosialisasi yang lebih rendah karena dipengaruhi oleh hormon testosteron yang tidak begitu aktif untuk aspek ini. Keenam, kemampuan multitasking. Perempuan memiliki koneksi yang lebih kuat pada dua otak sehingga perempuan memiliki kemampuan untuk multitasking dalam mengerjakan sesuatu. Ketujuh, kemampuan memahami bahasa tubuh. Perempuan memiliki kapasitas lebih besar dalam memahami wajah dan mendengarkan suara yang menyenangkan atau tidak menyenangkan dari pihak lawan bicara. Kedelapan, perbedaan dalam penyelesaian masalah. Perempuan dan laki- laki menggunakan strategi yang berbeda ketika menyelesaikan masalah. Perempuan lebih menggunakan aspek visual (landmark) sedangkan laki-laki cenderung menggunakan aspek rasional atau petunjuk-petunjuk yang berisi tahap-tahap penyelesaian masalah (euclidean). Nah, sedemikian detail dan jelas, bahwa laki-laki dan perempuan itu berbeda, maka dalam kehidupan berumah tangga, suami dan istri harus berusaha untuk saling melengkapi dan memberikan yang terbaik untuk pasangannya. Seluruh perbedaan yang bercorak kodrati itu, makin menjelaskan bahwa suami dan istri itu selama-lamanya tidak akan pernah menjadi sama. Diperlukan kesadaran untuk selalu saling memahami, saling mengerti, saling membantu, saling melengkapi, saling berbagi, dan menjauhkan diri dari pertengkaran yang tidak perlu. Si Pendiam dan si Cerewet Dalam kehidupan sehari-hari, sering kita menemukan banyak orang yang saling heran dengan pasangannya. Suami menceritakan keheranan atas sikap dan perilaku istri, demikian pula istri menceritakan keheranan atas sikap dan perilaku suami. Ungkapan seperti ini sering didengar oleh para konselor keluarga: • “Suami saya itu orangnya aneh. Sulit dipahami. Kalau di rumah seringnya diam saja, tidak banyak bicara,” kata seorang istri. • “Istri saya itu orangnya aneh banget. Maunya ngomong terus, hal-hal yang tidak penting saja diomongkan,” kata seorang suami. Sebenarnya mereka hanya kurang saling memahami dan mengerti. Ada hal yang membuat lelaki dan perempuan memang berbeda karena memiliki susunan otak yang tidak sama. Allan dan Barbara Pease menceritakan bahwa kebanyakan perempuan memiliki susunan otak yang membuatnya bisa menang berbicara dan menang mengomel dibanding semua lelaki. Bagian otak perempuan yang digunakan untuk berbicara dan berbahasa lebih banyak dibanding pada otak laki-laki. Hal ini membuat dua sudut pandang yang berbeda. Di mata perempuan, laki- laki tampak tidak banyak bicara. Sedangkan di mata laki-laki, perempuan tampak tidak bisa diam. Menurut kaum perempuan, laki-laki banyak diam sampai hal-hal penting saja tidak dibicarakan. Menurut laki-laki, para perempuan terlalu banyak bicara, sampai hal-hal yang tidak penting pun diomongkan. Otak perempuan memiliki susunan yang memungkinnya memiliki kemampuan “jalur majemuk”. Perempuan bisa bermain lempar empat atau lima
bola sekaligus. Perempuan dapat menjalankan program komputer sambil Materi Diklat #1| 197 berbicara di telepon dan mendengarkan pembicaraan kedua yang berlangsung di belakangnya; sambil minum secangkir teh hangat. Perempuan dapat berbicara mengenai beberapa hal yang tidak berhubungan dalam satu percakapan dan menggunakan lima jenis suara untuk mengganti pokok pembicaraan atau memberi tekanan pada suatu hal tertentu. Laki-laki hanya mampu mendengarkan tiga dari banyak suara tersebut sehingga laki-laki sering kehilangan alur cerita pada waktu mendengarkan perempuan berbicara. “Jalur majemuk” dapat terjadi dalam satu percakapan. Budi: “Apakah Wulan akan datang pada pertemuan keluarga besok?” Novi: “Wulan bilang kemungkinan akan datang, tergantung kondisi order kue yang sekarang tengah menurun karena situasi ekonomi yang tengah labil. Sedangkan Dewi mungkin tidak datang karena Arya harus periksa ke dokter spesialis, bahkan Bambang tengah kehilangan pekerjaan, jadi dia sedang berusaha mencari pekerjaan baru, dan Sony tidak mendapatkan izin cuti. Bosnya ketat sekali. Jadi, Wulan bahkan mungkin datang lebih awal, supaya bisa mempersiapkan acara dan berbelanja berbagai keperluan, termasuk membelikan kado bagi pernikahan Ema. Mungkin sebaiknya kita nanti mengantar Wulan untuk ….” Budi: Apakah itu artinya “datang” atau “tidak”? Novi: “Iya, tetapi juga masih tergantung dengan kondisi Diana, apakah mobilnya bisa dipinjam atau tidak, karena semenjak mobil barunya dipakai Erik, Diana selalu mengeluhkan mobilnya yang tua dan sering masuk bengkel … bla bla bla ….” Budi merasa hanya bertanya sebuah pertanyaan sederhana, dan mestinya bisa dijawab ringkas dengan “datang” atau “tidak datang.” Bukankah sekadar bertanya, “Apakah Wulan akan datang pada acara pertemuan keluarga besok?” Mengapa jawabannya begitu panjang dan menghubungkan dengan banyak orang serta banyak kondisi yang tidak ditanyakan? Yang ditanyakan Budi hanya soal Wulan, tetapi Novi menjawab dengan menyebut tujuh nama orang lainnya, dengan beraneka topik yang menyertainya. Sementara otak laki-laki tersusun dalam bentuk “jalur tunggal”. Rata-rata kaum lelaki hanya bisa memusatkan perhatian pada satu hal pada satu saat. Jika seorang perempuan mengajak bicara laki-laki yang tengah menyetir mobil di jalan melingkar, jalan keluar akan terlewatkan olehnya, dan laki-laki ini akan menyalahkan perempuan karena berbicara. Jika laki-laki tengah melaksanakan satu pekerjaan di kantor, ia tidak mau diganggu dengan diajak mengobrol. Begitu mengobrol, maka pekerjaan ditinggalkan. Bahkan, saat menerima telepon, laki-laki cenderung mencari tempat yang sepi karena tidak mau diganggu suara lainnya. Konon, banyak perempuan yang merasa bahwa hanya merekalah satu- satunya orang dewasa yang berpikiran sehat dalam keluarga. Mereka merasa, suami mereka berkelakuan seperti anak-anak. Sementara kaum laki-laki menganggap istri mereka tidak bisa diajak diskusi ilmiah dan rasional sehingga kadang suami merasa malu jika mendengar istrinya berbicara di depan orang banyak.
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 198 Sudahlah. Ini ‘kan natural. Jangan saling heran dengan pasangan Anda. Mengerti perbedaan harus membuat suami dan istri makin bisa menerima satu dengan yang lainnya. Tidak saling menyalahkan, tidak saling menjelekkan, tetapi berusaha selalu lebih mendekat kepada pasangan. Tidak perlu membesar- besarkan perbedaan. Bentuk dan struktur otaknya saja sudah beda, mau diapakan lagi. Terima saja apa adanya pasangan Anda. Saat Istri Tengah “Belanja Perasaan” Apakah Anda memperhatikan, apa beda laki-laki dan perempuan saat berbelanja sebuah barang ke toko? Ternyata pada umumnya perilaku mereka berbeda. Menurut John Gray, pada kebanyakan laki-laki, jika berbelanja ke sebuah toko, ia akan mencari apa yang diinginkan, membelinya, dan secepat mungkin keluar dari toko itu. Namun, pada banyak kalangan perempuan, mereka sangat senang ketika bisa melihat-lihat banyak barang sebelum membeli. Perempuan lebih bisa menikmati peristiwa berbelanja, dibanding kebanyakan laki-laki. Bukan saja soal bayar membayar, tetapi laki-laki cenderung tidak tertarik untuk berlama-lama memilih suatu barang. Jika perempuan hendak membeli baju, mereka bisa berkeliling ke banyak pusat perbelanjaan, melihat-lihat display, mencoba beberapa baju, dan membeli satu yang diyakini paling sesuai dengan selera dan keinginannya. Waktu yang diperlukan untuk menetapkan pilihan satu potong baju menjadi lebih panjang, tetapi itu semua terasa menyenangkan bagi dirinya. Proses yang dilalui, memilih- milih dari banyak jenis dan model, melihat-lihat di berbagai distro dan toko, hingga memutuskan membeli, adalah hal yang dinikmati. Saat memilih-milih baju tersebut dan mencoba beberapa, ia selalu bersifat ragu. Apakah memang baju ini yang sesuai untuk dirinya? Apakah memang baju ini yang dicarinya? Apakah model seperti ini yang cocok dengan keperluannya? Maka akan muncul kepuasan tersendiri setelah memilih-milih dan mencoba, hingga menemukan satu yang paling sesuai dengan keinginannya. Kebanyakan suami merasa tidak nyaman dengan panjangnya waktu dan lamanya proses yang diperlukan istri, hanya untuk membeli sepotong baju. Maka, banyak suami yang memilih istirahat di restoran atau kafe saat istrinya asyik melihat-lihat dan memilih-milih barang belanjaan. Mereka menunggu dan merasa sangat lama karena bisa menghabiskan beberapa cangkir kopi atau teh. Sedemikian lama waktu yang diperlukan untuk menunggu istri melihat-lihat, memilih, mencoba, padahal hanya untuk sepotong baju. Aktivitas seperti ini menjadi sesuatu yang menyenangkan bagi banyak kalangan perempuan. Anak perempuan saya harus bertanya kepada banyak pihak secara terpisah untuk menentukan pilihan sepotong baju atau sepasang sepatu. Ia bertanya kepada dua kakak perempuannya, bertanya kepada istri saya, lalu bertanya kepada saya. “Modelnya bagus mana, yang ini atau yang ini?” “Warnanya lebih cocok mana, yang ini atau yang ini?” Dengan cepat saya menjawab, “Bagus yang ini.” Dengan berharap ia segera menentukan pilihan sehingga saya cepat membayar. Namun, ternyata kejadiannya tidak begitu. Ia akan datang lagi kepada saya dengan membawa dua
potong baju yang berbeda lagi, sambil bertanya dengan pertanyaan yang sama Materi Diklat #1| 199 seperti sebelumnya. Bagi saya, hal ini memang melelahkan, bahkan kadang serasa menjemukan. Namun, karena sayang kepada keluarga, saya tetap menemani mereka berlama- lama berdiskusi tentang pilihan sepotong baju atau sepatu. Perempuan adalah makhluk yang sangat verbal. Mengungkapkan perasaan adalah hal yang melegakan dan meringankan beban bagi mereka. Namun, sayangnya banyak suami yang merasa tidak nyaman saat sang istri mulai curhat dan berbicara panjang lebar. Para suami merasa tidak nyaman karena pada penangkapan mereka, sang istri tengah menuduh dan menyalahkan mereka. Semua ungkapan perasaan istri tampak sebagai lemparan tuduhan dan dakwaan. Saat istri mengungkapkan kekesalan dan ketidaknyamanan, suami segera merasa sebagai tertuduh. Dengan cepat ia mengambil sikap defensif dan membela diri. Istri: “Akhir-akhir ini aku sering merasa kesepian dan tidak memiliki teman bicara. Sepertinya aku butuh rekreasi ...” Suami: “Engkau menuduhku ...” Istri: “Aku tidak menuduhmu. Aku hanya mengungkapkan perasaanku. Aku sering merasa kesepian dan tidak memiliki teman bicara.” Suami: “Itu artinya engkau menuduhku telah mengabaikan kamu dan tidak memperhatikan kamu, sehingga kamu merasa kesepian.” Istri: “Aku sungguh tidak menuduhmu seperti itu. Aku hanya mencoba mengutarakan apa yang sedang aku rasakan saat ini. Dan perasaan ini sangat mengganggu aku, membuatku tidak nyaman.” Suami: “Engkau makin menegaskan tuduhanmu kepadaku. Perasaanmu itu semuanya adalah tentang aku.” Istri: “Aku tidak mengatakan apa pun tentang dirimu. Aku bahkan hanya mengatakan tentang perasaanku sendiri.” Inilah yang oleh John Gray disebut sebagai “belanja perasaan”, seperti peristiwa belanja sepotong baju yang saya ceritakan di atas. Perhatikan penjelasan John Gray atas peristiwa pertengkaran suami istri tersebut. Apa yang sebenarnya terjadi pada keduanya dan mengapa sering muncul salah paham seperti itu? “Seorang perempuan yang marah berbicara tentang perasaan-perasaannya, seperti halnya ketika dia berbelanja. Dia tidak mengharapkan Anda untuk membeli suatu perasaan tertentu karena dia akan pergi untuk membelinya sendiri.” Demikian penjelasan Gray. “Pada dasarnya dia mencoba “pakaian-pakaian perasaan” untuk melihat apakah ada yang cocok. Hanya karena dia membutuhkan banyak waktu untuk mencoba sebuah pakaian atau menguji sebuah emosi, tidaklah berarti bahwa emosi itu “miliknya”. Kaum perempuan yang menampakkan perasaan- perasaannya tidaklah terikat pada perasaan-perasaan itu, melainkan sedang dalam proses menemukan perasaan mana yang sungguh cocok baginya,” tambah Gray. Bagi kebanyakan istri, mengungkapkan perasaan adalah bagian dari “kebutuhan dasar” untuk bisa merasakan nyaman dan tenang. Cukuplah istri
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 200 merasa tersiksa dan tidak bahagia hanya karena tidak bisa mengungkapkan perasaan. Mengungkapkan perasaan adalah semacam katarsis yang melegakan bagi para istri. Mereka selalu memiliki kebutuhan untuk mengekspresikan perasaan yang dimilikinya. Kendati itu berbentuk emosi negatif, akan segera mendapatkan situasi emosi baru yang positif setelah berhasil mengungkapkan. Hendaknya para suami tidak memahami hal itu sebagai tuduhan atau serangan terhadap dirinya karena itu hanya ekspresi peristiwa sesaat. Bukan ungkapan yang nilainya permanen. Kesalahan banyak suami adalah ketika menganggap ungkapan istri tentang perasaan itu sebagai tuduhan dan memiliki nilai yang permanen atau tetap. Padahal emosi negatif itu tidaklah permanen dan menjadi sesuatu yang abadi dalam diri perempuan. Saat dia bisa mengutarakannya akan segera terasa ringan dan tidak lagi menjadi beban baginya. Setelah itu, suasana akan segera berubah. Sungguh tidak melekat permanen. Mengungkapkan berbagai perasaan, bagi para istri tidak ubahnya seperti melihat-lihat baju, memilih-milih, mencoba, dan akhirnya akan menentukan pilihan satu baju yang paling pas baginya. Setelah itu ia akan keluar dari toko dengan membawa pilihan bajunya. Mungkin memerlukan waktu yang cukup lama dan prosesnya terasa panjang dirasakan para suami. Namun, yang diperlukan adalah pengertian dan kesabaran suami untuk menemani sang istri “belanja perasaan” tersebut, sampai menghasilkan sebuah keputusan akhir untuk menetapkan pilihan. Sepanjang apa waktu yang diperlukan untuk belanja, pasti akan keluar dari toko juga. Demikian pula saat istri tengah memerlukan waktu untuk mengekspresikan perasaan tertentu. Pada akhirnya, istri akan merasa lega dan puas setelah bisa menyampaikan semua perasaan dan emosi negatif dalam dirinya. Bahkan, John Gray meyakini pelepasan emosi negatif tersebut harus diberikan kanal serta saluran yang positif dan konstruktif jika mengharapkan berkembangnya cinta dalam diri sang istri. Ini adalah semacam peristiwa “keluar dari toko dengan membawa baju pilihannya”. Lega dan bahagia. Para suami juga harus mengerti bahwa perasaan itu bukanlah fakta. Namanya saja perasaan, itu adalah proses emosi dalam diri seseorang. Maka, ketika seorang istri mengungkapkan berbagai perasaan dalam dirinya, itu lebih kepada pelepasan emosi yang selama ini mengganggu dirinya. Bukan soal fakta empiris yang harus dibuktikan secara faktual, melainkan lebih kepada kebutuhan untuk mengeluarkan semua endapan negatif yang menggelisahkan jiwa. Jadi, jika istri Anda mengungkapkan perasaan marah dan jengkel terhadap Anda, itu bukan soal fakta tentang diri Anda. Dan itu tidaklah permanen. Itu adalah perasaan istri Anda yang sangat bagus jika diutarakan, dikemukakan secara bebas, dan diekspresikan secara leluasa. Setelah itu, istri Anda akan merasa tenang dan lega karena telah berhasil melepaskan perasaan yang menekan selama ini. Mungkin dia akan menangis untuk bisa lebih ekspresif dalam mengungkapkan perasaan. Namun, pada akhirnya istri Anda akan “keluar dari toko” setelah proses panjang “belanja perasaan” tersebut selesai ia lakukan.
Istri Anda akan memiliki suasana jiwa yang positif terhadap Anda, justru ketika Materi Diklat #1| 201 Anda tidak merespons curhat istri sebagai tuduhan. Jika Anda memandang curhat istri sebagai tuduhan, Anda akan defensif dan balik menyerang. Anda harus merespons curhat istri dengan positif, mendengarkan dengan saksama dan penuh minat, serta mengapresiasi dengan pengertian. Istri Anda tengah “belanja perasaan” dan Anda harus betah menemani serta bersabar melewati proses yang tampak rumit bagi Anda. Yakinlah ia akan segera keluar dari toko dengan perasaan gembira dan penuh cinta. Sederhana, bukan? Seberapa Jauh Jarak Akal dan Perasaan? Saya tidak ingin membesar-besarkan perbedaan. Namun, sekadar berbagi agar bersiap diri dan bisa menghindari. Bagi saya, mudah memahami mengapa kaum perempuan lebih cepat merasakan ketidakpuasan dalam hidup berumah tangga. Mudah juga bagi saya memahami fakta bahwa 70% perceraian terjadi karena gugat cerai pihak istri. Kami menyaksikan fenomena “jarak akal dan perasaan” ini setiap hari di ruang konseling. Ini yang sering saya sampaikan di kelas pra-nikah. “Kelak saat kalian menikah, air mata perempuan mudah tumpah karena merasa tersakiti oleh ucapan dan tindakan suami. Sementara suami merasa heran mengapa istri bisa menangis oleh ucapan yang baginya ‘cuma kayak gitu’, atau tindakan yang baginya biasa saja.” Ada yang Terluka, Ada yang Tidak Merasa Seorang istri datang ke ruang konseling, bercerita dengan air mata yang tumpah ruah. Menyampaikan semua kegetiran yang dialami selama hidup berumah tangga. Seakan tidak ada sisi bahagia sama sekali karena tertutup oleh berbagai kesedihan yang dipendam dalam-dalam. “Namun, yang saya heran, suami saya merasa tidak ada masalah. Setiap saya ajak berbicara tentang masalah rumah tangga, ia selalu mengatakan tidak ada masalah. Ia merasa baik-baik saja, jadi ia menyimpulkan sayalah yang bermasalah,” ungkap sang istri. Mengapa suami merasa tidak ada masalah, sedangkan sang istri merasa ada sangat banyak masalah dalam keluarga? Benarkah suami tidak pernah memiliki masalah? Salah satu yang membuat suasana perbedaan tersebut adalah sebanyak apa suami dan istri menggunakan potensi akal dan perasaannya. Ketika menghadapi masalah, lelaki cenderung lebih banyak menggunakan akal sehingga selalu berusaha bersikap rasional dalam memahami realitas masalah. Lelaki memiliki ukuran-ukuran tersendiri tentang berat atau ringannya suatu masalah, tentang sulit atau mudahnya menyelesaikan masalah. Ego kelelakiannya dan konstruksi sosial yang terbentuk di masyarakat selama ini, mengajak ia untuk tidak mau tampak ada masalah di mata istri. “Aku bisa” adalah kata akal lelaki. Pantang disebut tidak bisa dan tidak mampu. Berbeda dengan perempuan yang lebih banyak menggunakan potensi perasaan. Dengan perasaannya, istri merasakan tekanan yang berat saat menghadapi masalah. Menangis bagi kaum perempuan adalah bahasa perasaan,
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 202 tidak saja soal kesedihan atau keberatan suatu masalah, bahkan perempuan bisa menangis untuk hal-hal yang tidak mampu ia jelaskan. Sulit memahami karakter suami, cukup membuat para istri menangis. Sambil merasakan keheranan, betapa anehnya laki-laki. Ini di sisi istri. Di sisi suami, mereka pun sulit mengerti mengapa istrinya demikian cemas dan banyak menuntut. Banyak suami tidak mengerti tuntutan istri, sambil merasa keheranan, betapa anehnya perempuan. Ketika menghadapi persoalan keluarga, suami dengan akalnya memerlukan bahan perbandingan untuk mengatakan suatu masalah sebagai berat atau ringan. Bagi kaum perempuan karena ia banyak menggunakan potensi perasaan, lebih mudah baginya untuk merasakan tingkat keberatan atau kerumitan masalah tersebut. Tanpa harus membandingkan dengan masalah lain. Menuju Harmoni Saya selalu meyakini bahwa semua hal dalam hidup berumah tangga itu bisa dipelajari. Ada sebab-sebab yang bisa dipelajari dan dijelaskan secara akademik, mengapa sebuah keluarga bisa harmonis dan bahagia. Ada pula sebab-sebab yang bisa dijelaskan secara akademik, mengapa sebuah keluarga lebih sering mengalami benturan, konflik, dan pertengkaran dari hari ke hari. Hingga akhirnya banyak yang memilih untuk bercerai. Tidak sulit memahami laki-laki, tidak sulit memahami perempuan. Tidak sulit memahami karakter suami, tidak sulit memahami karakter istri. Sepanjang kedua belah pihak saling membuka diri untuk terus belajar dan mengerti, mencari informasi, selalu berusaha memahami. Sangat banyak buku dan kepustakaan untuk bisa dipelajari sebagai fondasi memahami siapa suami dan siapa istri. Yang sulit adalah fase membuka diri. Ego yang sama-sama tinggi membuat suami dan istri selalu menciptakan jarak, enggan melakukan hal terbaik untuk pasangan. Saling membuat syarat untuk hadirnya cinta. “Aku mau berubah, jika kamu pun berubah. Sayangnya aku tidak melihat kamu mau berubah, maka aku pun tidak mau berubah. Sampai kapan pun aku tidak akan memaafkan kamu kalau kamu tidak meminta maaf kepada aku.” Itulah yang sering terjadi. Saling menciptakan jarak, saling membuat syarat. Akhirnya tercipta jarak, makin lama makin jauh. Jika suami dan istri berhasil membuka diri untuk mengerti, memahami, menerima, dan berubah bersama-sama pasangan menuju kondisi yang lebih baik, harapan penyatuan sangat terbuka lebar. Jika saling menutup diri, saling menuduh, saling melukai, saling menghukum, saling mencela, saling mengkritik, saling menyalahkan, saling menyerang, saling mendiamkan, saling menjauh, selamanya mereka tidak akan pernah mengalami penyatuan hati dan jiwa. Saling membuka diri, saling mengerti, saling memahami, saling memberi yang terbaik, itulah kunci untuk selalu menjaga kebahagiaan dan keharmonisan keluarga.
Studi Kasus: Berdamai dengan Perbedaan Karakter Pasangan Materi Diklat #1| 203 Joko menikah dengan Sri saat dirinya berumur 25 tahun dan Sri berumur 23 tahun. Mereka berasal dari daerah yang berbeda, bertemu karena kuliah di kota yang sama, dan mengikuti organisasi yang sama. Dari segi suku, keduanya sama-sama dari Jawa. Joko dari Jawa Tengah, Sri dari Jawa Timur. Keduanya sama-sama beragama Islam, bahkan dengan corak ormas yang sama. Namun, karakter, sifat dan kepribadian keduanya benar-benar berbeda dan makin lama hidup berumah tangga makin terasa betapa banyak perbedaan di antara mereka berdua. Pada awal hidup berumah tangga, perbedaan karakter itu sudah terasa, tetapi tidak mereka pedulikan karena tengah berusaha saling menyesuaikan. Keduanya berusaha saling menerima dan beradaptasi. Alih-alih bisa menyesuaikan diri, yang terjadi justru suasana saling menjauh dan saling menyalahkan. Pertengkaran demi pertengkaran mewarnai sepanjang kehidupan, dari tema-tema kecil hingga tema-tema yang sensitif. Saat pernikahan mereka memasuki tahun kesepuluh, pertengkaran hebat terjadi dan tidak terelakkan. Sri merasa sakit hati oleh sikap cuek Joko, dan Joko tersinggung oleh sikap perfect Sri. Apa Perbedaan Mereka? Sri terlahir dari keluarga perkotaan yang sangat rapi dan disiplin dalam segala sesuatu. Keluarga besar Sri terbiasa dengan perencanaan, musyawarah, evaluasi, dan memiliki target-target dalam setiap tahap kehidupan. Orang tua Sri adalah pengusaha yang sangat disiplin dan bertipe pekerja keras. Semua saudara Sri dididik menjadi pribadi yang penuh perencanaan, kehati-hatian, pencapaian target, visi besar, manajemen, strategi, evaluasi, sampai penentuan indikator keberhasilan. Ada target peningkatan produksi, target peningkatan penjualan, target pelipatan pendapatan, dan lain sebagainya. Segala sesuatu harus ada tolok ukur dan indikator yang jelas. Hidup yang serba rapi, terencana, teratur, dan dengan target yang jelas bahkan sangat detail. Dengan model pendidikan yang sangat ketat dan disiplin seperti itu, Sri meyakini bahwa kesuksesan hidup akan didapatkan apabila menerapkan pola yang sama dengan yang dicontohkan oleh orang tua. Sri meyakini tiga saudara kandungnya menjadi orang sukses semua, berkat penerapan manajemen kehidupan yang ketat, jelas, dan detail. Hal seperti itulah yang diinginkan Sri dalam kehidupan keluarganya bersama Joko. Sementara itu Joko terlahir dari keluarga petani desa yang lugu sangat bersahaja. Keluarga yang hidup mengalir bagai air, hidup melayang bagai angin. Tidak mengerti manajemen, tidak mengenal perencanaan, tidak mengetahui evaluasi. Ayah dan ibu Joko mengajarkan prinsip hidup yang simpel. Menanam padi, menyiangi, memupuk, panen, mengolah hasil panenan, kemudian persiapan menanam, dan begitu seterusnya. Mengalir saja, tidak ada target produksi padi harus berapa kuintal, produksi tahun ini harus berapa kali lipat, tidak ada perencanaan dan target tertentu.
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 204 Semua berjalan secara mekanis mengikuti aliran musim. Jika tiba musim tanam, mereka menanam. Jika tiba musim panen, mereka melakukan panen. Berapa pun hasilnya, selalu disyukuri. Hidup itu harus dinikmati. Yang penting mau berusaha, apa pun hasilnya harus disyukuri, tidak boleh mengeluh, tidak boleh menggerutu. Hidup prihatin, apa adanya, mengalir begitu saja dan toh nyatanya semua anak berhasil menjadi sarjana. Dengan prinsip hidup yang mengalir bagai air itu, semua bisa bahagia menjalani kehidupan. Joko tercetak menjadi seorang lelaki yang tidak terbiasa dengan impian dan visi besar. Ia tumbuh menjadi lelaki yang berjiwa bebas, tidak memiliki beban dalam hidup karena semua bisa dinikmati dan disyukuri. Ia menjalani hidup dengan simpel, mengalir bagai air, tidak pernah mengeluh, tidak pernah ngoyo dalam kehidupan. Joko meyakini, cara hidup yang diajarkan orang tuanya lebih menjamin lahirnya kebahagiaan bagi keluarga. Hal itu karena selalu melihat segala sesuatu dalam bingkai kepasrahan, nrimo ing pandum, tidak ngoyo, dan selalu bersyukur. Dua pribadi, dua karakter, dua watak, dua sifat, dua sikap yang sangat berbeda, bahkan bisa dikatakan bertolak belakang. Hal yang membuat Sri merasa stres adalah sikap santai Joko. Bagi Sri, Joko adalah tipe lelaki yang tidak bertanggung jawab. Ukuran tanggung jawab bagi Sri adalah perencanaan, target, manajemen, strategi, evaluasi, disiplin, dan kerja keras. Ia tidak melihat hal-hal itu ada pada diri Joko. Di mata Sri, Joko adalah suami yang pemalas, senang bersantai-santai, dan tidak memiliki semangat untuk mencapai sesuatu yang lebih baik di masa depan. Joko adalah lelaki yang apatis dan statis, tidak memiliki visi. Itu sebabnya, Sri melihat Joko tidak akan bisa kaya dan tidak akan bisa bahagia karena hidupnya terlalu santai tanpa target yang jelas. Sikap-sikap santai Joko ini yang membuat Sri makin tertekan dan tidak nyaman. Ia membandingkan dengan kedua orang tua serta saudara-saudaranya yang sangat disiplin dalam segala sesuatu. Sebaliknya, Joko merasa stres karena sikap perfect Sri dalam menjalani kehidupan. Semua harus direncanakan, semua harus dengan target, tolok ukur, indikator, evaluasi, manajemen, pengawasan, dan lain sebagainya. Itu semua terasa menyiksa dan menjadi beban bagi Joko. Di mata Joko, Sri adalah tipe wanita materialistis, suka menuntut suami, dan tidak pernah bersyukur dengan apa yang dimiliki. Menurut Joko, Sri adalah istri yang obsesif dengan harta kekayaan, segala sesuatu diukur dengan uang dan jabatan. Itu sebabnya Joko melihat Sri tidak bisa bahagia karena selalu bersikap ngoyo dan tidak pandai bersyukur. Joko selalu mengajak Sri untuk hidup sederhana dan menikmati serta mensyukuri apa yang ada. Sikap Sri yang selalu mempersoalkan visi, strategi, evaluasi, dan target-target dalam kehidupan berumah tangga, makin membuat Joko menjadi tertekan dan tidak nyaman. Setiap kali Sri menanyakan, “Apa visi hidupmu, apa target tahun ini, apa strategi untuk mencapainya, apa indikator keberhasilannya,” semua pertanyaan ini terasa sebagai siksaan yang sangat tidak menyenangkan bagi Joko. Dirinya merasa diteror dan diadili oleh Sri setiap hari.
Pertengkaran demi pertengkaran tidak terelakkan lagi. Sepuluh tahun hidup Materi Diklat #1| 205 bersama, anak sudah tiga, tetapi pertengkaran tidak juga mereda. Bahkan makin lama terasa makin menyiksa bagi keduanya. Apa Keluhan Mereka? Perhatikan keluhan Sri berikut ini. Sri: “Saya lelah punya suami yang tidak bertanggung jawab seperti dia. Orang yang hidup mengalir seperti air. Tidak punya rencana apa-apa, tidak mengerti strategi, tidak mengerti evaluasi. Tidak punya target, tidak punya ambisi. Mau menjadi seperti apa keluarga kita kalau hidup mengalir seperti itu? Keluarga kita bisa hancur karena berjalan tanpa arah yang jelas. Ini semua karena Joko sebagai suami yang tidak punya visi dan misi.” Perhatikan jawaban Joko atas keluhan Sri. Joko: “Dia lelah menjalani hidup karena terlalu berobsesi. Coba kalau dia bisa bersikap lebih santai, tentu dia akan lebih bisa menikmati hidup. Keluarga kita tidak akan hancur hanya karena tidak punya rencana. Keluarga kita hancur kalau sikap hidupnya selalu materialistis dan tidak bisa bersyukur. Saya tersinggung dikatakan tidak bertanggung jawab. Kalau dikatakan penghasilan saya tidak sesuai harapan dia, itu benar. Tetapi bukan berarti saya tidak bertanggung jawab.” Sekarang perhatikan keluhan Joko berikut ini. Joko: “Saya sangat tertekan memiliki istri yang selalu menyalah-nyalahkan kondisi saya. Memang saya berasal dari keluarga petani miskin yang tidak berpendidikan, tetapi jangan mengejek keluarga saya, dong. Dia harus tahu bahwa semua keluarga besar saya hidup bahagia dalam kesederhanaan mereka, Justru saya lihat keluarga besar Sri tidak bisa bahagia walaupun mereka semua pengusaha kaya, karena terlalu ngoyo dalam menjalani hidup. Dia terlalu materialistis dan tidak pernah bersyukur atas apa yang sudah dimiliki. Perhatikan jawaban Sri atas keluhan Joko. Sri: “Saya tidak menyalahkan dia, juga tidak mengejek keluarganya. Saya juga tidak materialistis. Saya hanya ingin dia punya rencana, punya target, punya strategi, evaluasi, dan indikator keberhasilan dalam hidup. Jangan mengalir seperti air. Apa keinginan seperti itu salah? Apa keinginan seperti itu berlebihan? Hidup terencana seperti itulah yang diajarkan orang tua saya, dan dilaksanakan oleh semua saudara saya. Menurut saya, itu permintaan yang sederhana saja. Semua demi kebaikan masa depan keluarga.” Menikmati Perbedaan Hal penting dalam kehidupan keluarga Joko dan Sri adalah adaptasi dan sinergi. Keduanya harus bersedia menerima pengaruh pasangan, saling mendekat, saling menyesuaikan diri dengan harapan pasangan. Sikap bersikukuh dengan prinsip dan keyakinan masing-masing seperti itu yang membuat mereka selalu bertengkar. Mereka tidak bisa berdamai dengan berbagai perbedaan yang ada pada diri pasangannya. Dampaknya, masing- masing merasa benar sendiri dan tidak mau mengalah atau mengubah untuk beradaptasi.
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 206 Ada hal sederhana yang harus mereka pahami bersama. Coba dirunut dari sejarah pernikahan Joko dan Sri, sepuluh tahun yang lalu. 1. Mereka menikah dengan kesadaran, bukan paksaan. Joko dan Sri menikah dengan kesadaran mereka berdua. Tidak ada pihak yang menjodohkan mereka, tidak ada pihak yang memaksa mereka untuk menikah. Keputusan menikah benar-benar mereka buat dengan sepenuh kesadaran sebagai orang dewasa. Bukan kawin paksa. Ini adalah hal mendasar dalam memahami situasi pernikahan mereka saat ini. Mereka berdua adalah orang dewasa yang telah membuat pilihan bersama, maka tidak ada pihak lain yang bisa disalahkan dalam pernikahan mereka tersebut. Sangat berbeda dengan peristiwa kawin paksa. Ketika sepasang suami istri dinikahkan secara paksa tanpa ada persetujuan atau kecocokan dari awal, wajar jika mereka merasa tidak bisa menerima adanya perbedaan yang muncul kemudian. Mereka saling kecewa karena merasa dipaksa. Pada contoh keluarga Joko dan Sri, mereka menikah suka sama suka, tidak ada pihak yang memaksa. Harusnya mereka berdua selalu berusaha untuk menyesuaikan diri dan menikmati. Karena apa pun yang ada pada diri pasangan, itu adalah pilihan sadarnya sendiri. 2. Mereka saling tidak punya andil membentuk kepribadian pasangan. Saat Joko menikahi Sri, usia Sri sudah 23 tahun. Tidak ada kontribusi Joko untuk membentuk karakter dan kepribadian Sri sampai usianya yang 23 tahun itu, Kepribadian Sri dibentuk oleh orang tua, keluarga, sekolah, dan lingkungan yang selama ini dihadapi. Demikian pula, Sri tidak memiliki kontribusi untuk membentuk karakter dan kepribadian Joko sampai umur 25 tahun itu. Kepribadian Joko dibentuk oleh orang tua, keluarga, sekolah, dan lingkungannya. Bagaimana Joko mengharap Sri bisa sama dengan dirinya, bagaimana Sri bisa memaksa Joko untuk sama dengan dirinya, padahal saat menikah keduanya sudah memiliki karakter hasil bentukan masa lalu masing-masing. Perbedaan itu muncul dari hasil pembiasaan dan pendidikan dalam masa yang panjang sejak lahir hingga saatnya mereka menikah. Tidak mungkin bisa berubah dalam waktu yang singkat. Harusnya Joko dan Sri bisa berdamai dengan perbedaan tersebut. 3. Mereka jelas-jelas dari latar belakang keluarga yang berbeda. Latar belakang keluarga Joko dan Sri yang berbeda sudah mereka pahami sejak awal mula. Joko tahu keluarga Sri dan Sri juga tahu keluarga Joko. Perbedaan itu sudah mereka ketahui dan sudah mereka terima sejak dari awal. Artinya, adanya perbedaan yang mencolok pada dua keluarga besar tersebut bukanlah hal yang baru saja mereka ketahui belakangan ini. Sejak sebelum menikah mereka berdua sudah mengetahui perbedaan ini. Nah, bukan waktunya lagi untuk saling menyalahkan satu dengan yang lain. Bukan saatnya untuk saling menuntut. Sekarang adalah waktu untuk lebih berusaha menyesuaikan diri dengan harapan pasangan. Keduanya harus bersedia menerima pengaruh pasangan. Keduanya harus mendekat makin dekat.
Jangan menjauh yang membuat mereka berdua makin jauh dan tidak bisa Materi Diklat #1| 207 disatukan lagi. Joko harus belajar untuk mengurangi kadar “mengalir” serta berupaya untuk belajar membuat perencanaan agar hidupnya lebih tertata. Sebaliknya, Sri harus belajar untuk menurunkan kadar perfeksionisnya serta belajar untuk menikmati hidup yang mengalir agar hidupnya bisa lebih bahagia. Joko harus belajar menerima cara hidup Sri yang tertib, tanpa kehilangan sisi spontanitas dan kemampuan menikmati serta mensyukuri kehidupan. Sebaliknya, Sri harus belajar menerima cara hidup Joko yang santai dan nrimo, tidak ngoyo, tanpa kehilangan sisi perencanaan dan manajemen kehidupan. Sinergi Suami Istri Keduanya bisa bersinergi, saling memacu, saling mengisi, saling melengkapi. Jika keduanya bersinergi, tidak perlu ada yang tersakiti. Keduanya justru akan menjadi keluarga istimewa yang punya visi, punya mimpi, punya target, punya strategi dan evaluasi, tetapi pandai menikmati hidup dan bersyukur. Tidak stres jika target belum tercapai, tetapi juga tidak putus asa karena punya etos kerja yang tinggi. Bukankah itu formula yang sangat menenteramkan hati? Jika keduanya saling menjauh, saling menyalahkan, yang mereka dapatkan adalah ketertekanan dan keterpaksaan. Keduanya tidak bahagia karena melihat pasangannya sebagai pihak yang salah dan tidak mau mengerti. Jadi, Joko dan Sri bisa saling bersinergi menjadi keluarga yang bervisi, tetapi tetap indah berseri. Keluarga yang terencana, tetapi tetap mampu mengalir seperti aliran air. Keluarga yang memiliki target, tetapi tidak tertekan oleh besaran target itu sendiri. Itulah makna sinergi, itulah makna saling melengkapi, itulah makna saling mengisi. Meminjam istilah John Gray, itulah sinergi makhluk Mars dan Venus. Lelaki dan wanita sudah banyak perbedaan dari “sananya”, ditambah perbedaan pola asuh, perbedaan pembiasaan dan pendidikan sejak masa kecil. Tentu tidak mungkin untuk menuntut keseragaman. Harus berdamai dengan perbedaan. Harus bersedia berubah, beradaptasi, menerima pengaruh pasangan, dan bersinergi dengan pasangan.
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 208 Komunikasi Suami Istri Tujuan Pembelajaran Umum: Membangun pemahaman dan penghayatan konsep tentang upaya meningkatkan kualitas komunikasi suami istri sehingga memiliki kesadaran akan pentingnya mempelajari ilmu, sikap positif dan konstruktif di tengah keluarga, serta keterampilan membina ketahanan keluarga. Tujuan Pembelajaran Khusus: 1. Peserta pendampingan memahami pengertian dan urgensi komunikasi yang baik antara suami dan istri. 2. Peserta pendampingan memahami pentingnya upaya meningkatkan kualitas komunikasi suami istri. 3. Peserta pendampingan mampu mengidentifikasi faktor-faktor hal-hal negatif serta pada diri yang menurunkan kualitas komunikasi suami istri. 4. Peserta pendampingan membangun kesadaran pentingnya belajar sepanjang hayat secara mandiri atau mengikuti program edukasi keluarga agar menjadi keluarga yang tangguh. Alternatif Kegiatan Pembelajaran: 1. Pendamping memantik dengan cara menyampaikan contoh kasus konflik keluarga yang disebabkan teknis komunikasi suami istri. 2. Peserta diminta memberikan contoh kasus dan saling memberikan tanggapan terhadap problem komunikasi suami istri. 3. Peserta mendapat penjelasan tentang urgensi komunikasi yang baik dan kiat kiat komunikasi suami istri. 4. Pendamping memfasilitasi diskusi tentang alternatif program apa saja untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, serta keterampilan meningkatkan kualitas komunikasi suami istri. Uraian Materi: Syeikh Mazin bin Abdul Karim Furaih memandang bahwa dialog yang baik merupakan bagian dari tanda keimanan seseorang. Hal ini menunjukkan, dialog yang baik bukanlah perkara yang boleh dikesampingkan atau disepelekan. Ia merupakan masalah keimanan, bukan semata-mata masalah kemanusiaan dalam berinteraksi antara seseorang dengan orang lainnya. Perhatikan ungkapan Syeikh Mazin berikut ini. “Al-Qur’anul Karim sangat memperhatikan persoalan dialog sehingga lafadz qaala (berkata) disebutkan secara berulang-ulang sebanyak 500 kali lebih. Ini tidak aneh sebab dialog merupakan salah satu cara untuk memberi kepuasan intelektual dan kepuasan intelektual merupakan dasar keimanan. Karena keimanan tidak dapat muncul begitu saja, ia muncul dari dalam jiwa manusia.”
Komunikasi merupakan aktivitas yang sangat penting dalam kehidupan Materi Diklat #1| 209 semua orang. Tidak bisa dibayangkan bagaimana seseorang tidak berbicara dan tidak berkomunikasi dengan orang lain satu minggu saja. Pasti orang itu akan stres atau depresi karena merasa hidup sendirian di muka bumi ini. Berkomunikasi adalah kebutuhan, sekaligus sarana yang mampu membahagiakan pelakunya. Apalagi bagi pasangan suami istri. Dalam kehidupan keluarga, suami dan istri harus menjadi satu kesatuan karena telah diikat dengan akad nikah yang sakral. Mereka tidak sekadar tinggal bersama dalam sebuah rumah, atau tidur bersama di suatu kamar. Pasangan suami istri harus selalu berkomunikasi dan berinteraksi secara positif satu dengan yang lain. Tidak bisa dibayangkan bagaimana suami dan istri yang saling mendiamkan tanpa komunikasi, padahal mereka hidup bersama dalam sebuah rumah tangga. Tentu akan sangat menyiksa. Namun, tidak jarang problematika suami dan istri justru bermula dari komunikasi ini. Seakan sudah saling mengerti, tetapi ternyata masih banyak yang gagal membangun komunikasi yang nyaman antara suami dan istri. Pertengkaran, salah paham, ingin menang sendiri, kata-kata yang menyakitkan, saling menyalahkan, saling menuduh, ungkapan yang kasar, dan lain sebagainya, sering melanda kehidupan keluarga yang akhirnya mengarah kepada konflik berkepanjangan dan membahayakan keutuhan serta kebahagiaan rumah tangga. Sepuluh Kiat Komunikasi Suami Istri Agar komunikasi antara suami dan istri bisa efektif, ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh kedua belah pihak, sebagai berikut. 1. Komunikasi Berlandaskan Cinta Suami dan istri hendaknya selalu mengembangkan perasaan cinta dan kasih sayang di antara mereka. Dengan landasan cinta inilah akan muncul suasana komunikasi yang menyenangkan dan melegakan kedua belah pihak. Suami dan istri menjauhkan diri dari perasaan saling curiga, saling tidak percaya, saling menuduh, saling menyalahkan karena mereka berdua saling mencintai dan mengasihi serta saling menyayangi. Sangat berbeda antara komunikasi yang berlandaskan cinta dengan benci. Jika landasannya benci, sangat mudah bagi suami dan istri untuk saling mencaci maki dan saling menyakiti. Muncullah kata-kata yang keras dan pedas, tidak ada kelemahlembutan dalam pergaulan sehari-hari sehingga makin lama mereka berdua makin menjauh satu dengan lainnya. 2. Mengetahui Ragam Komunikasi Hendaknya suami dan istri mengetahui bahwa komunikasi itu bukan hanya berbicara atau mengomong. Komunikasi itu adalah menyampaikan pesan secara tepat, maka media yang digunakan bisa beraneka macam. Sejak dari berbicara, menulis, ekspresi wajah, bahasa tubuh, hingga menyampaikan pesan lewat berbagai teknologi. Ketika hanya mengetahui satu cara komunikasi, menyebabkan mereka akan cepat menemukan kesulitan saat satu-satunya cara tersebut mengalami kendala.
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 210 Misalnya, suami istri yang selama ini hanya mengandalkan komunikasi verbal dengan obrolan. Ketika mereka tengah menghadapi masalah, menjadi tidak bisa mengobrol dan tidak mengerti cara lain untuk menyampaikan pesan kepada pasangan. Maka, sangat penting untuk mengetahui berbagai ragam komunikasi, baik verbal maupun non verbal, baik langsung maupun tidak langsung. 3. Bersikap Empati Yang dimaksud dengan empati adalah memosisikan diri pada situasi perasaan dan pikiran yang sedang dialami pasangan. Jangan memaksakan kehendak kepada pasangan atau memaksa pasangan berpikir dan merasakan seperti situasi pikiran serta perasaan dirinya. Hendaknya memahami situasi yang tengah dihadapi oleh pasangan sehingga lebih tepat dalam membangun komunikasi. Misalnya, ketika istri tengah sedih dan menangis, hendaknya suami bisa empati perasaan tersebut dan mencoba memahami kesedihannya. Atau ketika suami sedang emosi, hendaknya istri mencoba memahami situasi yang tengah dihadapi suami sehingga tidak dihadapi dengan emosi pula. Komunikasi lebih nyaman jika saling bisa mengerti suasana jiwa dan pikiran pasangan. 4. Fleksibel dan Egaliter Hendaknya suami dan istri bisa fleksibel dalam gaya komunikasi dan menjauhi sikap-sikap kaku. Suatu ketika komunikasi memerlukan suasana dan gaya yang serius, tetapi ada kalanya lebih efektif menggunakan suasana dan gaya yang santai, tergantung materi pembicaraan dan tujuan dari komunikasi yang dilakukan. Suami dan istri yang bisa luwes dalam berkomunikasi akan menjadi pribadi yang memikat karena akan cenderung menyenangkan pasangan. Ketika membangun sikap yang kaku, feodal, serta berjarak antara suami dan istri akan muncul pula kekakuan dan jarak dalam hubungan secara umum. Misalnya, suami yang tidak bisa bercanda, hendaknya bisa menikmati gaya istri yang senang bercanda. Atau seorang istri yang tidak suka suasana serius, hendaknya bisa berkomunikasi dengan suami walau suasananya serius. Keluwesan komunikasi akan menciptakan tautan hati antara suami dan istri. 5. Memahami Bahasa Nonverbal Komunikasi tidak selalu dilakukan dengan cara-cara formal dan verbal. Kadang ekspresi wajah dan bahasa tubuh pasangan Anda sudah mengisyaratkan sesuatu pesan tertentu. Tanpa berbicara, tanpa mengobrol, tanpa menulis pesan, tetapi ada banyak pesan tersampaikan lewat ekspresi wajah dan bahasa tubuh lainnya. Belaian, tangisan, elusan, pelukan, senyum mesra, kerlingan mata, anggukan kepala, jabat tangan, ciuman di kening, wajah yang merona, dan lain sebagainya, sesungguhnya sudah menyampaikan banyak pesan. Kemampuan memahami dan mengerti pesan yang tersampaikan lewat komunikasi nonverbal ini akan sangat banyak membantu mengatasi kebuntuan hubungan antara suami dengan istri.
6. Menjadi Pendengar yang Baik Materi Diklat #1| 211 Jangan menguasai komunikasi dengan terlalu banyak bicara dan tidak mau mendengar. Suasana komunikasi menjadi tidak nyaman jika bercorak searah, dari suami ke istri atau dari istri ke suami. Satu pihak mendominasi pembicaraan dan yang lain hanya mendengarkan. Hendaknya, suami dan istri mampu menjadi pendengar yang baik bagi pasangannya. Kadang dijumpai gaya komunikasi yang sangat dominan pada satu pihak sehingga membuat pihak lainnya menjadi tidak berdaya dan tidak bisa mengungkapkan keinginan serta pendapatnya. Padahal, salah satu maksud komunikasi adalah agar keinginan, pendapat, dan curahan perasaan bisa tersampaikan kepada pasangan. Jika komunikasi berjalan searah, bisa dipastikan ada pihak yang tertekan secara perasaan dan kejiwaan karena tidak bisa mengekspresikan keinginan dan pendapat. 7. Tidak Menyakiti Hati Komunikasi akan membuat bahagia, apabila dilakukan dengan penuh kelegaan. Tidak ada kalimat dan gaya bahasa yang menyakiti hati pasangan atau menyinggung perasaannya. Walaupun rutin berkomunikasi, ketika dilakukan dengan arogan, banyak umpatan, banyak kritikan, dengan cara dan gaya yang menyinggung perasaan, justru akan makin menambah parah persoalan keluarga. Suami dan istri hendaknya saling menjaga agar kedua belah pihak saling menghormati, saling menghargai, saling mengerti, saling memahami, walaupun dalam komunikasi kadang dijumpai perbedaan keinginan serta perbedaan pendapat. Kendati muncul beda pendapat, beda keinginan, beda persepsi, tetapi tidak boleh saling menyakiti hati dan perasaan. Suami dan istri harus tetap saling menghormati dan menjaga kebaikan hubungan mereka. 8. Lembut dan Bijak Salah satu kunci tersampaikannya pesan dalam komunikasi adalah cara penyampaian pesan itu sendiri. Komunikasi suami dan istri bukanlah antara atasan dengan bawahan, bukan pula antara komandan dengan prajurit, bukan antara majikan dengan buruh. Komunikasi antara suami dengan istri hendaklah dilakukan dalam suasana yang menyejukkan dan melegakan, bukan dengan bentakan dan hardikan. Sampaikan pesan dengan lembut dan bijak. Jangan berlaku kasar dalam komunikasi karena suami dan istri adalah sepasang kekasih yang saling mencintai dan saling mengasihi. Tidak layak mereka saling berlaku keras dan kasar dalam komunikasi. Sampaikan keinginan dengan bahasa yang sopan dan enak didengarkan. Sampaikan pendapat dengan cara yang lembut dan bijak, tidak terkesan arogan, menggurui, dan memaksakan kehendak. 9. Mengalah Demi Kebaikan Bersama Suami dan istri sama-sama memiliki ego dan masing-masing berkecenderungan untuk memenangkan egonya. Ketika suami dan istri bersedia menundukkan ego, bersedia mengalah demi kebaikan bersama, komunikasi akan sangat lancar dan tidak berbelit-belit. Ego yang mengajak manusia untuk selalu merasa benar,
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 212 selalu ingin menang, tidak mau mengalah dan dikalahkan. Ego yang mengajak manusia untuk berat meminta maaf dan mengakui kesalahan. Jika suami dan istri bersedia menundukkan ego masing-masing, segala persoalan di antara mereka akan sangat mudah diselesaikan. Mengalah itu tidaklah berarti kalah. Mengalah itu adalah bagian dari seni berkomunikasi. Apalagi ketika hal itu dilakukan antara suami dengan istri, sudah sepantasnya mereka berlomba mengalah demi kebaikan pasangan. 10. Tepat Memilih Waktu, Tempat, dan Suasana Sesungguhnya komunikasi harus dilakukan kapan pun dan di mana pun. Namun, komunikasi akan lebih nyaman apabila dilakukan pada waktu yang tepat, tempat yang kondusif, dan suasana yang mendukung. Pilih waktu, suasana, dan tempat yang tepat untuk mendukung kelancaran berkomunikasi, terutama apabila materi komunikasi menyangkut hal yang sangat serius atau hal-hal yang besar. Ketepatan dalam memilih waktu, tempat, dan suasana ini menjadi faktor penting yang menentukan keberhasilan tersampaikannya pesan-pesan dalam komunikasi dan terselesaikannya berbagai persoalan yang dibicarakan dalam komunikasi. Suami dan istri harus pandai menentukan untuk berbincang tentang sesuatu tema. Dilakukan kapan, di mana, dan dalam suasana seperti apa. Jika memilih waktu, tempat, dan suasana yang tidak tepat akan menjadi kendala yang menghalangi kehangatan komunikasi. Demikianlah sepuluh kiat yang perlu diperhatikan dalam berkomunikasi antara suami dengan istri. Selamat membangun komunikasi yang sehat bersama pasangan. Dan rasakan, betapa bahagia hati kita apabila mampu membangun komunikasi yang nyaman dengan pasangan. Empat Kesalahan Komunikasi Suami Istri Tidak semua komunikasi berdampak mendekatkan dan menguatkan hubungan suami istri. Ada perilaku komunikasi yang justru membuat suami dan istri makin menjauh. Mereka menciptakan jarak dan pada akhirnya membuat jarak makin terbentang. John M Gottman dan Nan Silver (2001) menyatakan, ada empat perilaku komunikasi suami istri yang justru membuat mereka saling menjauh. Empat perilaku ini menjadi kesalahan yang harus dihindari dalam membangun komunikasi. Seperti apa perilaku komunikasi yang berdampak menjauhkan suami dan istri? Mari kita pahami satu per satu, agar bisa menghindari kesalahan komunikasi. Pertama, Criticism Yang dimaksud dengan criticism adalah kebiasaan suami dan istri saling melontarkan kritik terhadap pasangannya. Senang mengkritik pasangan ternyata berdampak menjauhkan mereka. Kalimat kritik berfokus pada “kamu” dan fokus pada sisi kekurangan pasangan. Gottman menawarkan alternatif solusi agar lebih berfokus kepada “aku” dengan membangun harapan kebaikan kepada pasangan. Perhatikan contoh komunikasi criticism berikut.
(1) Materi Diklat #1| 213 Criticism: “Kamu selalu bangun kesiangan.” Alternatif: “Aku merasa lebih nyaman kalau kamu bangun lebih awal.” (2) Criticism: “Kamu tidak pernah jujur kepadaku.” Alternatif: “Aku merasa bahagia jika kamu menyampaikan apa adanya.” Kedua, Contempt Yang dimaksud dengan contempt adalah perilaku suami dan istri saling yang menghina dan melecehkan pasangannya. Setiap bentuk hinaan, baik secara verbal atau nonverbal, pasti menimbulkan perasaan terluka pada pasangan. Terlebih ketika suami atau istri menunjukkan ekspresi merendahkan pasangan akan menyebabkan hadirnya sakit hati. Gottman menawarkan alternatif solusi agar suami dan istri membangun sikap empati, penghargaan, dan pemuliaan kepada pasangan. Perhatikan contoh komunikasi berikut. (1) Contempt: “Bau badanmu busuk, berapa tahun kamu tidak mandi?” Alternatif: “Aku mengerti kamu sangat sibuk mengurus rumah, tetapi aku ingin kamu selalu segar dan wangi.” (2) Contempt: “Kondisimu sangat menyedihkan, uang bulanan darimu bahkan tidak cukup untuk beli jajan anak kita.” Alternatif: Aku memahami kamu sudah sangat keras bekerja, tetapi rupanya kita harus menemukan usaha tambahan untuk mencukupi kebutuhan harian keluarga Ketiga, Defensiveness Yang dimaksud dengan defensiveness adalah kebiasaan suami atau istri berfokus pada usaha pembelaan diri dan selalu menyalahkan pasangan. Dengan kata lain, ada kecenderungan untuk melarikan diri dari tanggung jawab. Defensiveness akan membuat suami dan istri makin menjauh satu dengan yang lain. Gottman memberikan alternatif solusi agar suami dan istri bersedia mengambil tanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan, melakukan introspeksi, sekaligus melakukan perbaikan. Perhatikan contoh komunikasi defensiveness berikut. (1) Istri: “Kamu sering pulang terlambat akhir-akhir ini...” Suami (defensiveness): “Karena aku sebel dengan rumah kita yang selalu berantakan. Kamu tidak pernah mau merapikan.” Istri: “Kamu sering pulang terlambat akhir-akhir ini.” Suami (alternatif): Maafkan aku, sepertinya aku terlalu asyik mengobrol dengan teman setelah jam kerja berakhir.... (2) Suami: “Mengapa kamu pergi ke rumah ayahmu tanpa pamit padaku?”
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 214 Istri (defensiveness): “Karena bicaramu selalu ketus padaku, tidak ada gunanya minta izin darimu.” Suami: “Mengapa kamu pergi ke rumah ayahmu tanpa pamit padaku?” Istri (alternatif): “Maafkan aku, kemarin aku terlalu sedih sehingga tidak mampu mengungkapkan apa-apa lagi padamu.” Keempat, Stonewalling Yang dimaksud dengan stonewalling (membangun benteng) adalah tindakan suami atau istri saling mengabaikan, dan membuat jarak dengan pasangan. Ketika sedang dilanda konflik, suami atau istri menarik diri atau menjauhkan diri dari pasangan. Gottman memberikan alternatif solusi agar suami dan istri menenangkan diri dan mengendalikan emosi. Ini yang membuat benteng itu tidak terbangun sehingga suami dan istri tidak makin menjauh. Contoh perilaku komunikasi stonewalling adalah berikut. • Kondisi kelelahan psikologis, emosi tidak terkendali, biasanya diikuti respons menarik diri dan membuat jarak dengan pasangan. • Meninggalkan pasangan saat belum selesai pembicaraan. Alternatif solusi, hendaknya suami atau istri menyatakan kepada pasangan: • “Aku minta waktu untuk menenangkan diri sejenak...” • “Kita selesaikan hal ini besok pagi, aku ingin istirahat dulu...” Demikianlah empat kesalahan komunikasi suami istri yang banyak ditemukan dalam studi John Gottman dan Nan Silver. Hendaknya kita bisa menghindarinya agar suami dan istri makin mendekat. Bukan makin menjauh.
Membangun Keluarga Harmonis Materi Diklat #1| 215 Tujuan Pembelajaran Umum: Membangun pemahaman dan penghayatan konsep tentang membangun keluarga harmonis sehingga memiliki kesadaran akan pentingnya mempelajari ilmu, sikap positif dan konstruktif di tengah keluarga, serta keterampilan membina ketahanan keluarga. Tujuan Pembelajaran Khusus: 1. Peserta pendampingan memahami pengertian dan norma yang membentuk keharmonisan keluarga. 2. Peserta pendampingan memahami berbagai ciri-ciri keluarga harmonis. 3. Peserta pendampingan mampu mengidentifikasi ciri-ciri keluarga harmonis apa saja yang sudah dan belum ada di keluarganya mampu mempertahankan serta mengembangkannya. 4. Peserta pendampingan membangun kesadaran pentingnya belajar sepanjang hayat secara mandiri atau mengikuti program edukasi keluarga agar menjadi keluarga yang tangguh. Alternatif Kegiatan Pembelajaran: 1. Pendamping memantik dengan cara menyampaikan contoh kasus ketidakharmonisan keluarga. 2. Peserta diminta memberikan contoh kasus ketidakharmonisan keluarga dan saling memberikan tanggapan. 3. Peserta mendapat penjelasan tentang membangun keluarga harmonis. 4. Pendamping memfasilitasi diskusi tentang alternatif program apa saja untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, serta keterampilan meningkatkan keharmonisan keluarga. Uraian Materi: Setiap manusia pasti menginginkan kehidupan yang harmonis, bisa merasakan berbahagia di dunia maupun kelak di surga. Termasuk dalam kehidupan keluarga. Tidak ada seorang pun yang menghendaki keluarganya rusak dan berantakan, tidak ada orang yang ingin rumah tangganya hancur dengan mengenaskan. Semua orang membayangkan keindahan saat memasuki kehidupan berumah tangga. Saya yakin semua orang pasti setuju, jika harapan itu berada dalam kehangatan keluarga. Harapan itu ada pada keluarga yang dipenuhi keindahan, diliputi oleh kebahagiaan. Keluarga yang memunculkan produktivitas, keluarga yang menghadirkan kontribusi bagi masyarakat luas. Sebuah keluarga yang menghargai potensi, menjunjung tinggi budi pekerti, menghormati nilai-nilai. Sebuah keluarga yang menaati tatanan Ilahi, mengikuti tuntunan Nabi.
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 216 Itulah keluarga sakinah, mawaddah, wa rahmah. Dalam bahasa yang lebih umum disebut sebagai keluarga harmonis. Sebagaimana diketahui, kata sakinah, mawaddah dan rahmah itu diambil dari ayat berikut. “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri (pasangan) dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram (sakinah) kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih (mawaddah) dan sayang (rahmah). Sesungguhnya pada yang demikian itu benar- benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir” (QS. Ar-Rum: 21). Keluarga harmonis bukan hanya khayalan, tetapi sesuatu yang nyata dan bisa diwujudkan dalam kehidupan keseharian. Ia memiliki berbagai ciri, di antaranya adalah sebagai berikut. 1. Berdiri di Atas Fondasi Keimanan yang Kokoh Keluarga harmonis bukan berdiri di ruang hampa, tidak berada di awang-awang. Keluarga sakinah berdiri di atas fondasi keimanan kepada Allah. Sebagai bangsa yang religius, kita semua percaya bahwa kebahagiaan hidup berumah tangga tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai keimanan. Suami dan istri yang memiliki keimanan yang kokoh kepada Allah akan merasakan pengawasan dari-Nya. Mereka akan terjaga dalam kebaikan, terjauhkan dari kejahatan dan keburukan karena yakin selalu dijaga dan diawasi Allah. Mereka hidup dalam kesejukan iman yang membuat suasana spiritualitas dalam keluarga menjadi makin kuat. Inilah yang akan menjadi fondasi kebahagiaan dan kesuksesan hidup berumah tangga. Iman akan membimbing arah dan tujuan, iman akan memandu visi dan misi kehidupan, iman akan menghantarkan kepada jalan yang lurus dan menjauhkan dari penyimpangan. Kebahagiaan yang hakiki hanya didapatkan dari keimanan yang benar. Tidak ada kebahagiaan yang landasannya hanya materi atau hanya kesenangan duniawi. 2. Menunaikan Misi Ibadah dalam Kehidupan Kehidupan kita tidak hanya untuk bersenang-senang dan bermain-main, tetapi ada misi ibadah yang harus kita tunaikan. Menikah adalah ibadah, hidup berumah tangga adalah ibadah, interaksi dan komunikasi suami istri adalah ibadah, berhubungan seksual adalah ibadah, mengandung, melahirkan, dan menyusui anak adalah ibadah. Demikian pula mendidik anak adalah ibadah, mencari rezeki adalah ibadah, membersihkan rumah adalah ibadah, mandi adalah ibadah, makan adalah ibadah, berbuat baik kepada tetangga adalah ibadah, semua kegiatan hidup kita hendaknya selalu berada dalam motivasi ibadah. Dengan motivasi ibadah itu maka kehidupan berumah tangga akan selalu lurus, di jalan yang benar, tidak mudah menyimpang. Jika ada penyimpangan segera mudah diluruskan lagi karena semua telah menyadari ada misi ibadah yang harus ditunaikan dalam kehidupan. Bahwa menikah tidak hanya karena keinginan nafsu kemanusiaan, tetapi ada misi yang sangat jelas untuk menunaikan ibadah.
3. Menaati Ajaran Agama Materi Diklat #1| 217 Sebagai insan beriman, sudah menjadi kewajiban kita untuk selalu menaati ajaran agama. Mengikuti ajaran Allah dan tuntunan Nabi-Nya. Ajaran ini meliputi melaksanakan hal-hal yang diwajibkan atau disunahkan ataupun menghindarkan diri dari hal-hal yang diharamkan atau dimakruhkan. Semua ajaran agama pasti mengandung maksud untuk mendatangkan kebaikan atau kemaslahatan dan menghindarkan manusia dari kerusakan. Misalnya dalam mencari dan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, hendaknya selalu sesuai dengan tuntunan agama. Hendaknya kita menghindari mata pencaharian yang haram dan syubhat, menghindari rezeki yang tidak halal dari segi zat maupun asalnya. Kita harus berusaha mendapatkan penghidupan yang halal dan tayib, dengan cara yang halal dan tayib pula. Demikian pula dalam mengelola rumah tangga, selalu mendasarkan diri pada ajaran agama. Hal-hal yang dilarang agama tidak akan dijumpai di dalam rumah, baik berupa keyakinan, tradisi, sampai kepada peralatan, perhiasan, teknologi, ataupun benda-benda yang digunakan sehari-hari. Semua yang ada dalam rumah hanya yang dibenarkan menurut ajaran agama. 4. Saling Mencintai dan Menyayangi Keluarga harmonis memiliki suasana yang penuh cinta dan kasih sayang. Suami dan istri saling mencintai dan saling menyayangi. Untuk itu, mereka selalu berusaha untuk melakukan hal terbaik bagi pasangan. Mereka menghindarkan diri dari tindakan atau ucapan yang saling menyakiti, saling mengkhianati, saling melukai, saling mendustai, saling menelantarkan, saling membiarkan, saling meninggalkan. Mereka berusaha saling memaafkan kesalahan, saling mendahului meminta maaf, saling membantu pasangan dalam menunaikan tugas dan kewajiban. Karena cinta, mereka tidak mudah emosi. Karena cinta, mereka tidak mudah marah. Karena cinta, mereka akan selalu setia kepada pasangannya. 5. Saling Menjaga dan Menguatkan dalam Kebaikan Pasangan suami istri saling menjaga dan bahkan selalu berusaha saling menguatkan dalam kebaikan. Dalam kehidupan berumah tangga, seiring dengan bertambahnya usia pernikahan, kadang terjadi penurunan nilai-nilai kebaikan. Suami dan istri menjadi malas melaksanakan ibadah, malas melakukan kebaikan, malas menunaikan kewajiban sehingga suasana keluarga menjadi kering kerontang dan tidak menyenangkan. Mereka selalu berusaha saling menguatkan dalam kebaikan sehingga tidak membiarkan terjadinya suasana kekeringan spiritual dalam kehidupan keluarga. Semua orang memiliki sisi kelemahan dan kekurangan. Bahkan semua manusia berpeluang melakukan kesalahan dan dosa. Maka, pasangan suami istri dalam keluarga sakinah selalu berusaha saling mengingatkan dan menasihati dalam kebenaran. Mereka mengerti cara mengingatkan pasangan agar tidak menimbulkan salah paham dan kemarahan. Saling mengingatkan dan menasihati antara suami dan istri adalah cara untuk saling menjaga dan menguatkan dalam kebaikan. 6. Saling Memberikan yang Terbaik untuk Pasangan
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 218 Suami dan istri selalu berusaha memberikan yang terbaik bagi pasangan. Suami dan istri saling memberikan pelayanan terbaik, memberikan penampilan terbaik, memberikan perhatian terbaik, memberikan bantuan terbaik, memberikan kata- kata terbaik, memberikan senyuman terbaik. Mereka berusaha memberikan sentuhan terbaik, memberikan motivasi terbaik, memberikan inspirasi terbaik, memberikan suasana terbaik, memberikan hadiah terbaik, memberikan waktu terbaik, memberikan komunikasi terbaik, memberikan wajah terbaik untuk pasangan. Dengan kondisi seperti ini, suami dan istri akan selalu berada dalam kenyamanan hubungan. Mereka tidak menuntut hak dari pasangannya, tetapi justru berlomba melaksanakan kewajiban untuk pasangan. 7. Mudah Menyelesaikan Permasalahan Keluarga harmonis bukan berarti tidak ada permasalahan, bukan berarti tanpa pertengkaran, bukan berarti bebas dari persoalan. Namun, dalam keluarga sakinah berbagai persoalan mudah diselesaikan. Suami dan istri bergandengan tangan saling mengurai persoalan. Mereka bersedia duduk berdua, berbincang berdua, mengurai berbagai keruwetan hidup berumah tangga. Tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan sepanjang mereka berdua bersedia menyelesaikannya. Keluarga sakinah menjadikan permasalahan sebagai pemacu semangat untuk melakukan perbaikan. Dengan hati yang bersih dan pikiran yang jernih, mereka akan mudah keluar dari setiap masalah. 8. Membagi Peran Berkeadilan Suami dan istri dalam keluarga sakinah selalu berusaha untuk melakukan pembagian peran secara berkeadilan. Tidak boleh ada salah satu pihak yang terzalimi atau terbebani secara berlebihan, sementara pihak lainnya tidak peduli. Oleh karena itu, sejak awal hidup berumah tangga, suami dan istri telah menerapkan prinsip keadilan di dalam membagi peran. Ada peran yang sudah ditetapkan oleh ajaran agama, maka tinggal melaksanakannya sesuai ketentuan agama. Namun, untuk peran yang tidak diatur oleh agama, hendaknya bisa dibagi secara berkeadilan oleh suami dan istri itu sendiri. Suami dan istri bisa duduk berdua untuk membicarakan peran yang bisa mereka laksanakan dalam kehidupan keseharian. Apa yang menjadi tanggung jawab istri dan apa pula yang menjadi tanggung jawab suami. Dengan cara pembagian seperti ini, mereka akan merasa nyaman dan lega karena tidak ada pihak yang terbebani atau terzalimi. 9. Kompak Mendidik Anak-Anak Suami dan istri dalam keluarga harmonis sadar sepenuhnya bahwa mereka harus mencetak generasi yang tangguh, generasi yang unggul, yang akan meneruskan upaya pembangunan peradaban. Anak-anak harus terwarnai dalam nilai-nilai kebenaran dan kebaikan sehingga menjadi saleh dan salihah. Anak-anak yang memberikan kebanggaan bagi orang tua, masyarakat, bangsa, dan negara. Bukan menjadi anak durhaka yang membangkang terhadap
orang tua dan menjauhi tuntunan agama. Bukan anak-anak yang menjadi beban Materi Diklat #1| 219 bagi keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Itu semua harus diawali dengan kedua orang tua yang kompak dalam mendidik dan membina anak-anak. Suami dan istri yang kompak dalam mengarahkan anak menuju kesuksesan dunia maupun akhirat dengan pendidikan yang integratif sejak di dalam rumah. 10. Berkontribusi untuk Kebaikan Masyarakat, Bangsa, dan Negara Keluarga harmonis selalu berusaha memberikan kontribusi optimal untuk perbaikan masyarakat, bangsa, dan negara. Suami dan istri terlibat dalam berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan, cepat memberikan kemanfaatan bagi warga sekitar, ringan memberikan bantuan bagi mereka yang memerlukan. Keluarga harmonis selalu terlibat dalam dinamika pembangunan dalam berbagai bidang kehidupan. Mereka bukan tipe orang-orang yang individualis atau egois yang tidak peduli masyarakat sekitar. Namun, keluarga sakinah selalu peduli dan bersedia berbagi dengan apa yang mereka miliki. Suami dan istri terlibat aktif dalam kegiatan kemasyarakatan yang positif, seperti kegiatan pertemuan RT atau pertemuan RW, dasa wisma, pertemuan PKK, posyandu, ronda, kerja bakti, menjenguk tetangga yang sakit, silaturahmi, dan lain sebagainya. Demikian pula mereka peduli dengan nasib warga sekitar ataupun nasib masyarakat yang memerlukan bantuan. Ini adalah bentuk kontribusi positif bagi kebaikan masyarakat, bangsa dan negara.
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 220 Corak Relasi Suami Istri Tujuan Pembelajaran Umum: Membangun pemahaman dan penghayatan konsep corak hubungan timbal balik suami istri sehingga memiliki kesadaran akan pentingnya mempelajari ilmu, sikap positif dan konstruktif di tengah keluarga, serta keterampilan membina ketahanan keluarga. Tujuan Pembelajaran Khusus: 1. Peserta pendampingan memahami pengertian dan urgensi hubungan timbal balik suami istri. 2. Peserta pendampingan memahami pentingnya upaya meningkatkan kualitas kadar hubungan timbal balik suami istri. 3. Peserta pendampingan mampu memetakan berbagai corak relasi antar suami istri. 4. Peserta dapat menempatkan dan memerankan diri dengan baik berbagai corak relasi suami istri. 5. Peserta pendampingan membangun kesadaran pentingnya belajar sepanjang hayat secara mandiri atau mengikuti program edukasi keluarga agar menjadi keluarga yang tangguh. Alternatif Kegiatan Pembelajaran: 1. Pendamping memantik dengan cara menyampaikan contoh kasus dalam relasi suami istri. 2. Peserta diminta memberikan contoh kasus problem relasi suami istri dan saling memberikan tanggapan. 3. Peserta mendapat penjelasan tentang berbagai corak relasi suami istri. 4. Pendamping memfasilitasi diskusi tentang alternatif program apa saja untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, serta keterampilan meningkatkan kualitas komunikasi suami istri. Uraian Materi: Paling tidak, ada lima corak relasi suami istri yang disebutkan di dalam Al-Qur’an. Apabila kita menghendaki keluarga yang harmonis, sakinah, mawaddah, wa warahmah, hendaknya relasi ini kita aplikasikan dengan sebaik-baiknya. Lima corak relasi tersebut adalah sebagai berikut. 1. Relasi sebagai Pasangan Al-Qur’an menggambarkan, suami dan istri adalah pasangan. Bukan lawan, bukan permusuhan, bukan persaingan. Jika memahami laki-laki dan perempuan adalah “lawan jenis”, suami dan istri akan selalu bertengkar dan tidak pernah akur. Namun, jika memahami sebagai “pasangan jenis”, suami dan istri akan saling memberi dan saling mengisi.
Allah telah berfirman, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia Materi Diklat #1| 221 menciptakan untukmu istri-istri/pasangan dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir” (QS. Ar Rum: 21). Dalam kitab Tafsir Al-Wajiz karya Syeikh Wahbah Az-Zuhaili dijelaskan, “Di antara ayat-ayat Allah yang menunjukkan kepada kebangkitan adalah Dia menciptakan untuk kalian pasangan-pasangan dari golongan manusia agar kalian dapat mewujudkan ketenangan dan kesenangan. Dia juga menumbuhkan cinta dan kasih antara suami istri.” Sebagai pasangan, hendaknya suami dan istri saling memberikan yang terbaik, saling mengisi, saling menguatkan, saling melengkapi, dan saling menutupi kelemahan. Jangan sampai bersikap sebagai lawan yang saling menyalahkan, saling merendahkan, saling menghina, dan saling mencela. 2. Relasi Kepemimpinan Dalam kehidupan keluarga, harus ada pemimpinnya. Suami ditunjuk oleh Al- Qur’an menjadi pemimpin (qawwam) dalam keluarga. Allah berfirman, “Kaum laki- laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka” (QS. An-Nisa: 34). Dalam ayat yang lain Allah berfirman, “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan tetapi, para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”(QS. Al-Baqarah: 228). Imam Ath-Thabari menjelaskan ayat 228 surah Al-Baqarah di atas, “Tingkatan kelebihan itu ialah kewenangan untuk memerintah dan ditaati, yakni kepemimpinan.” Ibnu Abbas menjelaskan, “Derajat (tingkat kelebihan) yang disebutkan Allah tersebut mengisyaratkan dianjurkannya kaum laki-laki untuk bergaul dengan baik dan bersikap lapang terhadap istri dalam hal harta dan akhlak. Yakni, yang lebih utama ialah selayaknya suami membebani tugas terhadap diri sendiri.” Abu Syuqqah menjelaskan, “Laki-laki yang memiliki kelebihan itu—baik kelebihan itu berupa jihad, kepemimpinan, atau dalam memuliakan istrinya dan menoleransi sebagian hak yang merupakan kewajiban istrinya—seyogianya memikul beban atas dirinya sendiri karena kasih sayang kepada yang dipimpin. Apabila qiwamah ini memiliki kelebihan dan kemuliaan, itu adalah kelebihan kepemimpinan yang penuh kasih sayang dan kemuliaan memikul tanggung jawab.” 3. Relasi Kelekatan Kendati ada peran kepemimpinan pada suami atas istrinya, dalam interaksi keseharian, suami dan istri tidak berposisi sebagai atasan dengan bawahan, atau bos dengan karyawan, atau majikan dengan buruh. Justru suami dan istri harus berinteraksi dengan lekat, layaknya pakaian.
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 222 Allah berfirman, “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka” (QS. Al-Baqarah: 187). Salah satu penggambaran yang sangat mendalam adalah, suami dan istri ibarat pakaian (libas). Suami adalah pakaian bagi istri dan istri adalah pakaian bagi suami, sebagaimana ayat di atas. Sekarang coba perhatikan baik-baik, pakaian yang menempel di tubuh Anda masing-masing. Rasakan, hayati, resapi, mengapa suami dan istri diibaratkan saling menjadi pakaian satu dengan yang lainnya. Apa yang kita rasakan dari pakaian yang menempel di tubuh kita? a. Pakaian Itu Sangat Lekat dengan Tubuh Pakaian selalu melekat dan menempel dengan badan. Hal ini mengisyaratkan kedekatan suami istri, tanpa jarak. Coba perhatikan pakaian yang Anda kenakan sehari-hari. Terlepas apa pun corak, bahan, model, dan kualitasnya, ada satu hal yang pasti bahwa Anda selalu memilih pakaian yang memberikan kelekatan yang nyaman saat Anda kenakan. Anda tidak akan mau mengenakan pakaian yang saat Anda pakai membuat sesak bernapas, atau membuat gatal di kulit, atau membuat tidak nyaman karena terlalu sempit ataupun terlalu longgar. Semahal ataupun semewah apa pun pakaian, Anda tidak akan mau memakai apabila membuat tubuh Anda tersiksa dengan mengenakannya. Maka, suami istri harus saling memberikan kelekatan yang nyaman. Bukan kelekatan yang menyesakkan, bukan kelekatan yang menyakiti, bukan kelekatan yang melukai. Suami istri akan selalu hidup bahagia apabila mampu saling memberikan kelekatan yang nyaman. Persis seperti sifat pakaian. Demikianlah seharusnya interaksi antara suami dan istri. Saling melekat satu dengan yang lain. Ada kedekatan perasaan, kedekatan pemikiran, juga kedekatan badan. Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyatakan, “Tidak ada persatuan (kedekatan) antar dua roh yang lebih besar dibandingkan suami dan istri. b. Pakaian Itu Menutupi Aurat Salah satu fungsi penting pakaian adalah menutupi aurat dari pandangan orang yang tidak berhak untuk melihatnya. Maka, hendaknya suami dan istri saling menutupi aurat atau aib, kekurangan dan kelemahan pasangan. Jangan sampai mengumbar aib pasangan dan menyebarkannya kepada khalayak. Allah menyatakan, “Wahai anak Adam, sungguh telah Kami turunkan kepada kalian pakaian yang menutupi aurat kalian” (QS. Al-A’raf: 26). c. Pakaian Itu Melindungi Tubuh Di antara fungsi pakaian adalah untuk melindungi manusia dari udara dan cuaca, seperti melindungi dari terik panas matahari dan juga melindungi dari udara dingin. Pada masa terdahulu, ada pakaian yang melindungi tubuh manusia pada saat pertempuran.
Allah berfirman, “Dan Dia (Allah) menjadikan untuk kalian pakaian yang Materi Diklat #1| 223 melindungi kalian dari panas dan pakaian yang melindungi kalian saat perang” (QS. An Nahl: 81). Maka, hendaknya suami dan istri mampu saling melindungi dan menjaga. Sang istri selalu merasa aman di sisi suami karena terlindungi, pun sang suami selalu merasa nyaman di sisi istri karena terjaga. d. Pakaian Itu Memberikan Ketenteraman Jika kita mengenakan pakaian akan muncul rasa tenang dan tenteram karena bagian aurat tubuh kita telah terlindungi. Demikianlah semestinya corak interaksi suami istri. Mereka saling memberikan ketenangan, kenyamanan, dan ketenteraman. Dalam kitab Tafsir Ath-Thabari, dinukilkan pernyataan sahabat Ibnu Abbas, “Mereka (para istri) memberikan ketenangan kepada kalian, dan kalian pun memberikan ketenangan kepada mereka.” e. Manusia Memperlakukan dengan Baik Pakaiannya Apa yang Anda lakukan terhadap pakaian Anda selama ini? Setelah memakai, pasti Anda merawat dan memperlakukan dengan baik. Mencuci, menjemur, menyeterika, dan menyimpan di tempat yang baik. Demikian pula interaksi antara suami dan istri, hendaknya saling memperlakukan dengan baik. Para suami harus memberikan hak bagi istri dan istri harus memberikan hak bagi suami, sebagaimana firman Allah, “Dan mereka (para istri) berhak mendapatkan perlakuan baik sebagaimana mereka wajib memperlakukan (suami) dengan baik” (QS. Al-Baqarah: 228). f. Pakaian Itu Kebutuhan Dasar Manusia Anda mengenakan pakaian, apakah suatu keterpaksaan atau kebutuhan? Jika manusia telah dewasa, mereka akan memiliki rasa malu jika tidak berpakaian. Bahkan pada masyarakat primitif sekalipun, mereka tetap mengenal pakaian. Mereka membutuhkan pakaian. Demikian pula antara suami dan istri, corak interaksi di antara mereka berdua adalah saling membutuhkan. Keberadaan suami adalah kebutuhan bagi istri, pun keberadaan istri adalah kebutuhan bagi suami. Bukan keterpaksaan. Jika suami dan istri sudah merasa saling terpaksa, itulah pertanda mereka tidak lagi seperti pakaian. Keluarga akan mulai dilanda petaka apabila suami dan istri tidak lagi saling membutuhkan. Pada saat itu, mereka mulai saling menjauh dan tidak peduli lagi dengan pasangan. Hendaknya suami istri selalu saling menjaga satu dengan yang lain, selalu merasa saling membutuhkan satu dengan yang lain, serta saling tergantung satu dengan yang lain. Syeikh Muhammad bin Salih Al-Utsaimin menyatakan, “Karena suami membutuhkan istrinya, sebagaimana pakaian (yang dibutuhkan).” g. Pakaian Terbaik Adalah Ketakwaan Pakaian yang paling baik adalah ketakwaan. Maka, suami istri harus selalu berusaha untuk saling menjaga dan menguatkan ketakwaan. Allah Ta’ala berfirman, “Pakaian ketakwaan, itu adalah yang terbaik” (QS. Al-A’raf: 26)
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 224 Demikianlah semestinya relasi suami dan istri. Bukan relasi yang menindas dan mengintimidasi. Bukan relasi yang menakutkan dan menyeramkan. Namun, relasi penuh kasih sayang, yang saling lekat satu dengan yang lainnya, seperti pakaian. 4. Relasi yang Melegakan Corak relasi antara suami dan istri, hendaknya saling memberikan kelegaan. Allah telah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu memusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak” (QS. An-Nisa’: 19). Pada penggal ayat َال يا ِح ُّل لا ُك ْم أا ْن تا ِرثُوا ال ِن اسا اء اك ْرهterkait dengan kebiasaan sebagian masyarakat Arab Jahiliah. Pada masa itu, apabila seorang lelaki meninggal dunia, anak tertua atau anggota keluarga yang lain berhak mewarisi jandanya. Janda tersebut boleh dikawini sendiri atau dikawinkan dengan orang lain yang maharnya diambil oleh pewaris atau tidak dibolehkan kawin lagi. Dalam kitab tafsirnya, Imam Al-Qurtubi menjelaskan, maksud ayat ini adalah menghilangkan adat kebiasaan jahiliah dan bahwa wanita tidak boleh dijadikan seperti harta yang dapat diwarisi dari suaminya. Sedangkan Ibnu Katsir menjelaskan, ayat ini mencakup berbagai kebiasaan masyarakat jahiliah tersebut. Sedangkan ayat اوَال تا ْع ُضلُو ُهنAllah Ta’ala mengarahkan pembicaraan kepada para suami yang berlaku jelek, kasar, atau zalim terhadap istrinya. Maksudnya, seseorang memiliki istri yang ia tidak sukai padahal sudah diberikan mahar, lalu ia susahkan wanita itu agar mau menebus dirinya dengan mahar tersebut. Demikian dikatakan Adh-Dhahak dan Qatadah serta Ibnu Jarir. Pada penggalan ayat او اعا ِش ُرو ُه َّن ِبا ْل ام ْع ُرو ِفAllah memerintahkan para suami untuk bergaul secara baik dan patut dengan istri (mu’asyarah bil ma’ruf). Kata al-ma’ruf artinya segala sesuatu yang dimaklumi atau dikenali kepatutan, kebaikan, atau kebenarannya, menurut aturan Allah dan Rasul-Nya, maupun ukuran kemanusiaan dan masyarakat pada umumnya. Para ulama memahami kalimat او اعا ِش ُرو ُه َّن بِا ْل ام ْع ُرو ِفsebagai perintah untuk berbuat baik kepada istri yang dicintai ataupun tidak dicintai. Kata makruf mencakup tidak mengganggu, tidak menyakiti, tidak memaksa, tidak berlaku kasar, dan selalu berbuat baik kepada istri. Dalam kitab tafsirnya Ibnu Katsir menjelaskan, “Baguskanlah perkataan kalian kepada istri kalian, perbaikilah tingkah laku dan penampilan kalian sebatas kemampuan kalian. Sebagaimana kalian senang istri kalian berlaku seperti itu, berlakulah seperti itu pula. Hal ini sesuai dengan firman-Nya, “Bagi istri berhak mendapat kebaikan seperti kewajibannya.” dan sabda Nabi, “Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik terhadap istrinya. Dan akulah yang terbaik terhadap istri.” Muhammad Abduh menjelaskan, “Artinya wajib bagi kalian wahai orang- orang mukmin untuk mempergauli istri-istri kalian dengan bijak, yaitu menemani dan mempergauli mereka dengan cara yang makruf yang mereka kenal dan
disukai hati mereka, serta tidak dianggap mungkar oleh syara’, tradisi, dan Materi Diklat #1| 225 kesopanan.” “Maka, mempersempit nafkah dan menyakitinya dengan perkataan atau perbuatan, banyak cemberut dan bermuka masam ketika bertemu mereka, semua itu menafikan pergaulan secara makruf. Diriwayatkan dari salah seorang salaf bahwa dia memasukkan ke dalam hal ini perihal laki-laki berhias untuk istri dengan sesuatu yang layak baginya, sebagaimana istri berhias untuknya.” Demikian penjelasan Syeikh Muhammad Abduh. 5. Relasi Kesenangan Relasi antara suami dan istri bukan hanya menyangkut aspek-aspek fundamental seperti visi dan misi, tetapi juga relasi yang saling memberikan kesenangan. Allah menghalalkan kesenangan-kesenangan antara suami dan istri dengan memberikan keleluasaan untuk bersenang-senang secara halal. Allah berfirman, “Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman” (QS. Al-Baqarah: 223). Dalam Tafsir Al-Mukhtashar di bawah pengawasan Syeikh Dr. Shalih bin Abdullah bin Humaid dijelaskan, “Istri-istri kalian adalah tempat kalian bercocok tanam. Merekalah yang melahirkan anak-anak kalian. Seperti tanah yang menghasilkan buah-buahan. Maka, datangilah ladangmu—yakni kubul istri kalian—dari arah mana pun dan dengan cara bagaimanapun yang kalian kehendaki jika melalui kubul.” Dalam kitab Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir karya Syeikh Dr. Muhammad Sulaiman Al-Asyqar dijelaskan, ِن اسآ ُؤ ُك ْم اح ْر ٌث لَّ ُك ْمistri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, yakni mereka adalah tempat untuk menanam keturunan sebagaimana kebun tempat untuk menaman tumbuhan. ۖ أانَّ ٰى ِشئْتُ ْم, maka datangilah bagaimana saja kamu kehendaki—yakni dari arah yang kalian inginkan, dari belakang, depan, duduk, terlentang, atau tengkurap asalkan di tempat yang bercocok tanam yang dibolehkan. Dalam kitab Tafsir Al-Wajiz karya Syeikh Wahbah az-Zuhaili dijelaskan, “Istri- istri kalian adalah tempat melahirkan dan ladang sperma, maka datangilah mereka dengan cara apa pun yang kalian kehendaki baik berdiri maupun duduk, duduk maupun tidur, baik tengkurap atau terlentang, ketika hal itu di tempat melahirkan keturunan.” Hendaknya suami dan istri saling bisa memberi dan menikmati kesenangan bersama pasangannya. Bukan hanya suami yang mendapat kesenangan, sementara sang istri kesakitan. Sebagaimana bukan hanya istri yang mendapat kesenangan, sementara sang suami kesakitan. Keduanya saling rela, dan saling menikmati kesenangan halal. Langkah Praktis Membangun Keluarga Harmonis Menurut Gunarsah Singgih (1978), keluarga yang bahagia adalah ketika seluruh anggota keluarga merasa bahagia yang ditandai dengan berkurangnya ketegangan dan kekecewaan. Mereka merasa puas terhadap seluruh keadaan
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 226 dan keberadaan dirinya (eksistensi dan aktualisasi diri) yang meliputi aspek fisik, mental, emosi, dan sosial. Keluarga yang tidak bahagia adalah bila ada seorang atau beberapa orang anggota keluarga yang kehidupannya diliputi ketegangan, kekecewaan, dan tidak pernah merasa puas dan bahagia terhadap keadaan serta keberadaan dirinya di dalam keluarga tersebut. Sebuah keluarga akan menjadi harmonis jika di dalamnya terdapat kehidupan yang seimbang dalam hak dan kewajiban antar-anggotanya. Hal tersebut bisa dilakukan dengan menjalankan beberapa prinsip berikut. a. Meluangkan Waktu Berkualitas Di tengah kesibukan yang tiada habisnya, suami, istri, dan anak-anak perlu meluangkan waktu berkualitas bersama-sama. Untuk itu, perlu kecermatan dalam mengatur aktivitas sehari-hari sehingga tersedia waktu untuk bercengkerama dan berkegiatan bersama. b. Menjalin Komunikasi Dengan komunikasi yang baik dan nyaman, setiap permasalahan yang dihadapi keluarga lebih mudah dicarikan jalan keluarnya. Suami dan istri harus bijak dalam menentukan model komunikasi, termasuk dengan anak yang berbeda karakter satu dengan yang lainya. c. Berlaku Adil Adil berarti melakukan atau memberikan sesuatu sesuai dengan proporsinya sehingga tidak berat sebelah. Adil berarti tidak hanya menuntut hak, tetapi bersedia melakukan kewajiban. d. Saling Menghargai Kemampuan suami istri untuk saling menghargai menjadi faktor penting keharmonisan keluarga. Kehidupan keluarga akan berantakan jika terjadi suasana yang tidak bisa menghargai dan memuliakan pasangan serta anak-anak. e. Mencintai dengan Ketulusan Hati Suami dan istri hendaknya bisa saling mencintai dengan ketulusan hati. Mereka saling menerima kekurangan dan kelebihan pasangan. Demikian pula antara orang tua dengan anak. f. Mengedepankan Toleransi Hendaknya suami dan istri tidak saling memaksakan kehendaknya dan bisa saling menghormati perbedaan yang muncul, sepanjang tidak melanggar syariat. g. Memberikan Rasa Aman Dalam suatu keluarga, pasangan suami istri harus saling memberi dan merasa aman secara lahir dan batin. Demikian pula terhadap anak, mereka memerlukan rasa aman sehingga merasa terlindungi. h. Saling Memiliki Sebuah keluarga harus merasa saling memiliki sehingga ikatan batin yang kuat akan tercipta. Dengan perasaan saling memiliki sebuah keluarga akan merasa kehilangan dan sedih jika salah satu dari keluarga dalam keadaan susah atau tidak ada bersama mereka.
i. Saling Percaya Hendaknya suami, istri dan anak bisa mengembangkan sikap saling percaya. Namun, kepercayaan tersebut dapat dimaknai dengan penuh tanggung jawab sehingga tidak disalahgunakan. Itulah langkah-langkah untuk membangun keluarga yang harmonis dan bahagia. Materi Diklat #1| 227
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 228 Pembagian Peran dalam Rumah Tangga Tujuan Pembelajaran Umum: Membangun pemahaman dan penghayatan konsep pembagian peran dalam rumah tangga sehingga memiliki kesadaran akan pentingnya mempelajari ilmu, sikap positif dan konstruktif di tengah keluarga, serta keterampilan membina ketahanan keluarga. Tujuan Pembelajaran Khusus: 1. Peserta pendampingan memahami pembagian peran dalam rumah tangga. 2. Peserta pendampingan memahami pentingnya upaya meningkatkan kualitas pembagian peran dalam rumah tangga. 3. Peserta pendampingan mampu memetakan berbagai pandangan dalam pembagian peran dalam rumah tangga. 4. Peserta dapat menempatkan dan memerankan diri secara proporsional sesuai kondisi keluarganya. 5. Peserta pendampingan mampu merencanakan peningkatan kapasitas SDM anggota keluarga dalam menjalankan perannya. 6. Peserta pendampingan membangun kesadaran pentingnya belajar sepanjang hayat secara mandiri atau mengikuti program edukasi keluarga agar menjadi keluarga yang tangguh. Alternatif Kegiatan Pembelajaran: 1. Pendamping memantik dengan cara menyampaikan contoh kasus pembagian peran dalam rumah tangga. 2. Peserta diminta memberikan tanggapan atas contoh kasus pembagian peran dalam rumah tangga. 3. Peserta mendapat penjelasan tentang berbagai pandangan pembagian peran dalam rumah tangga. 4. Peserta mengidentifikasi peran apa saja dalam rumah tangga dan pendistribusiannya terhadap anggota keluarganya. 5. Pendamping memfasilitasi diskusi tentang alternatif program apa saja untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, serta keterampilan menjalankan peran dalam berumah tangga. Uraian Materi: Ada hal yang sangat berbeda antara seseorang yang belum menikah dengan mereka yang telah menikah. Di antara hal yang membedakannya adalah peran dan tanggung jawab. Peran dan tanggung jawab yang semula belum ada, semula tidak dimiliki, tetapi karena akad nikah, maka beban tanggung jawab itu pun harus diambil sepenuhnya.
Akad nikah mewajibkan suami memberi hak-hak istri dan mewajibkan istri Materi Diklat #1| 229 memberi hak-hak suami. Hak dan kewajiban suami istri bersifat timbal balik. Masing-masing pihak memiliki hak serta kewajiban. Masing-masing pihak memiliki peran untuk ditunaikan. Fondasi Peran Kerumahtanggaan Allah memerintahkan kepada suami dan istri agar berinteraksi secara bijak. Allah berfirman, “Dan bergaullah dengan mereka dengan cara yang makruf” (QS. An Nisa: 19). Juga dalam ayat, “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf” (QS. Al-Baqarah: 228). Perlakuan yang baik terhadap istri akan membuat ketenangan dan kebahagiaan batin pada istri. Ibnu Katsir memberikan penjelasan mengenai ayat tersebut, “Berkatalah yang baik kepada istri kalian, perbaguslah amalan dan tingkah laku kalian kepada istri. Berbuat baiklah sebagaimana engkau suka jika istri kalian bertingkah laku demikian kepada kalian” (Lihat: Tafsir Al-Quran Al- Azhim, 3: 400). Para ulama memahami ayat di atas berlaku timbal balik, dari suami ke istri dan dari istri ke suami. Maka, berlaku pula tuntutan bagi para istri agar memperlakukan suami dengan cara sebaik-baiknya. Untuk itu, para suami maupun istri hendaknya selalu berbuat dan bersikap yang terbaik sesuai dengan yang dituntunkan agama. Dari ‘Aisyah, Nabi saw. bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah yang berbuat baik kepada keluarganya. Sedangkan aku adalah orang yang paling berbuat baik pada keluargaku” (HR. Tirmidzi no. 3895, Ibnu Majah no. 1977, Ad Darimi 2: 212, Ibnu Hibban 9: 484). Beda Pendapat Fikih dalam Pembagian Peran Kerumahtanggaan Jika kita runut dalam khazanah keilmuan Islam tentang hak dan kewajiban atau peran kerumahtanggaan, dengan mudah kita jumpai adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama sejak zaman dahulu kala sampai ulama zaman sekarang. Hal ini karena dalam hal-hal yang bersifat teknis kegiatan kerumahtanggaan, tidak ada nash yang dengan tegas memberikan beban kewajiban kepada suami atau kepada istri. Wajar jika muncul ijtihad yang beragam di kalangan para ulama. Di antara hal yang sangat banyak dijumpai perbedaan di kalangan ulama adalah tentang hal-hal teknis kerumahtanggaan, seperti pekerjaan memasak, membersihkan rumah, mencuci dan menyeterika baju, dan hal-hal teknis lainnya semacam itu. Apakah hal-hal teknis seperti itu menjadi kewajiban suami, ataukah menjadi kewajiban istri. Banyaknya pendapat ini justru menjadi ragam “pilihan” yang bisa diambil sesuai dengan situasi dan kondisi setiap keluarga. Atsar dari Khalifah Umar Adz Dzahabi dalam kitab Al-Kaba’ir dan Al-Haitami dalam kitab Az Zawajir menceritakan bahwa suatu ketika seorang laki-laki mendatangi Umar r.a. untuk mengadukan perilaku istrinya. Ia menunggu Umar di depan pintu rumahnya. Tiba-tiba laki-laki tersebut mendengar istri Umar sedang memarahinya dan Umar diam saja tidak menanggapi. Laki-laki itu akhirnya pulang dan berkata
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 230 dalam hatinya, “Jika keadaan Amirul Mukminin seperti itu, lalu bagaimana dengan saya?” Tidak lama kemudian, Umar keluar dan melihatnya berpaling. Umar memanggil laki-laki tersebut. “Apa keperluanmu?” tanya Umar. “Wahai Amirul Mukminin, sebenarnya saya datang untuk mengadukan sikap dan perbuatan istri saya kepada saya, tetapi saya mendengar hal yang sama pada istri Anda, akhirnya saya pulang dan berkata (dalam hati): Jika keadaan Amirul Mukminin seperti ini lalu bagaimana dengan saya?” “Wahai saudaraku, aku sabar (atas perbuatannya), karena memang itu kewajibanku. Istriku yang memasakkan makanan untukku, membuatkan roti untukku, mencucikan pakaian, dan menyusui anak-anakku, sedang semua itu bukanlah kewajibannya. Di samping itu, hatiku merasa tenang (untuk tidak melakukan perbuatan haram). Karena itulah aku tetap bersabar atas perbuatannya itu,” jawab Umar. “Wahai Amirul Mukminin, istri saya pun demikian,” kata laki-laki tersebut. “Karena itu, bersabarlah wahai saudaraku. Ini hanya sebentar,” kata Umar. Kisah di atas memberikan sebuah perspektif dalam relasi suami dan istri menyangkut pekerjaan kerumahtanggaan. Dalam pandangan Umar bin Khaththab, memasak makanan, membuat roti, mencuci baju suami, bukanlah kewajiban istri. Umar melihat istrinya telah melakukan banyak kebaikan dengan melakukan kegiatan kerumahtanggaan untuk dirinya. Maka, wajib bagi suami untuk bersabar atas perangai istrinya. Pendapat Mazhab Hanafiyah Imam Al-Kasani dalam kitab Bada-i’ush Shanai’ menyebutkan, “Seandainya suami pulang membawa bahan pangan yang masih harus dimasak dan diolah, tetapi istrinya enggan memasak atau mengolahnya, maka istri itu tidak boleh dipaksa. Suaminya diperintahkan untuk pulang membawa makanan yang siap santap. Dalam kitab Al-Fatawa Al-Hindiyah fi Fiqhil Hanafiyah juga disebutkan hal yang serupa, “Seandainya seorang istri berkata, ‘Saya tidak mau masak dan membuat roti’, maka istri itu tidak boleh dipaksa untuk melakukannya. Dan suami harus memberinya makanan siap santap, atau menyediakan pembantu untuk memasak makanan.” Pendapat Mazhab Syafi’iyah Al-Imam Asy-Syairazi dalam kitab Al-Muhadzdzab menuliskan, “Tidak wajib bagi istri membuat roti, memasak, mencuci dan bentuk khidmat lainnya untuk suaminya Karena yang ditetapkan (dalam pernikahan) adalah kewajiban untuk memberi pelayanan seksual (istimta’), sedangkan pelayanan lainnya tidak termasuk kewajiban.” Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Atsqalani, salah seorang ulama mazhab Syafi’i menjelaskan tentang kehidupan keluarga Asma’ binti Abu Bakar, yaitu ketika seluruh pekerjaan kerumahtanggaan dilaksanakan sendiri oleh Asma’. Ia mengadoni roti, mengambil air, mengambil kurma dari kebun, bahkan memberi makan kuda milik Az-Zubair, suaminya.
Al-Hafizh Ibnu Hajar menyatakan, “Tetapi yang menjadikan Asma’ bersabar Materi Diklat #1| 231 melakukan hal itu ialah karena kesibukan suami dan ayahnya melaksanakan jihad dan sebagainya yang diperintahkan dan ditegakkan oleh Nabi saw., dan mereka tidak mempunyai kesempatan untuk melaksanakan urusan rumah tangga sendiri, serta tidak mempunyai kemampuan untuk mengambil pelayan.” “Oleh karena itu, diserahkanlah urusan itu kepada istri-istri mereka, maka istri- istri itulah yang menggantikan mereka mengurusi rumah tangga mereka agar dapat berjuang secara optimal dalam membela Islam, di samping tradisinya sendiri tidak menganggap yang demikian sebagai suatu cela.” “Kisah ini, telah dijadikan dalil untuk menetapkan bahwa wanita harus melakukan semua pelayanan yang dibutuhkan oleh suami, demikian pendapat Abu Tsaur. Akan tetapi, ulama-ulama lain mengatakan bahwa yang demikian itu bagi wanita bersifat sukarela, bukan suatu keharusan, demikian pendapat Al- Mahlab dan lain-lain. Namun, yang jelas peristiwa ini dan yang semacamnya terjadi dalam kondisi darurat sebagaimana dijelaskan di muka. Oleh karena itu, hukumnya tidak dapat diberlakukan bagi orang yang kondisinya tidak seperti itu.” “Telah dijelaskan pula bahwa Fatimah, penghulu para wanita sedunia, mengadu karena tangannya melepuh akibat memutar penggiling, lalu ia meminta pembantu kepada ayahnya (yakni Nabi saw.), kemudian Nabi menunjukkan kepada sesuatu yang lebih baik, yaitu berzikir kepada Allah. Pendapat yang kuat ialah memberlakukan hal itu sesuai dengan kebiasaan negeri setempat, karena kebiasaan di satu negeri dalam hal ini berbeda dengan negeri lain.” Demikian Imam penjelasan Al-Hafizh. Imam An-Nawawi—salah seorang ulama mazhab Syafi’i, berkomentar atas kisah keluarga Asma’ binti Abu Bakar, “Semua ini termasuk kepatutan dan kelakuan yang dipraktikkan manusia, yaitu bahwa wanita melayani suaminya dengan hal-hal yang disebutkan itu dan sebagainya.” “Membuat roti, memasak, mencuci pakaian dan lain-lain, semua itu merupakan sumbangan dan kebaikan wanita kepada suaminya, pergaulan yang bagus, pergaulan yang makruf, yang tidak wajib sama sekali atasnya, bahkan seandainya ia tidak mau melaksanakannya, maka ia tidak berdosa.” Demikian penjelasan Imam An-Nawawi. Pendapat Mazhab Hanabilah Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat, “Seorang istri tidak diwajibkan untuk berkhidmat kepada suaminya, baik berupa mengadoni bahan makanan, membuat roti, memasak, dan yang sejenisnya, termasuk menyapu rumah, menimba air di sumur. Karena akadnya hanya kewajiban pelayanan seksual. Dan pelayanan dalam bentuk lain tidak wajib dilakukan oleh istri, seperti memberi minum kuda atau memanen tanamannya.” Dalam kitab AI-Fatawa (2/234 - 235), Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah—salah seorang ulama mazhab Hambali, menjelaskan, “Para ulama berbeda pendapat tentang kewajiban para istri dalam membantu mencuci baju, memasak makanan, menyiapkan minuman, membuat adonan, memberi makanan untuk hewan ternaknya, dan yang sejenisnya. Sebagian dari ulama ada yang berpendapat bahwa istri tidak wajib melakukan hal-hal tersebut.”
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 232 Pendapat Mazhab Malikiyah Imam Ad-Dardir dalam kitab Asy-Syarhu Al-Kabir menyebutkan, “Wajib atas suami melayani istrinya walau istrinya punya kemampuan untuk berkhidmat bila suami tidak pandai memberikan pelayanan, maka wajib baginya untuk menyediakan pembantu buat istrinya.” Fatwa Syeikh Nashiruddin Al-Albani Bahwasanya hadis-hadis telah menunjukkan dalil yang jelas tentang kewajiban wanita untuk taat kepada suami mereka, membantu suami, dan mengabdi kepadanya dalam batas yang sesuai dengan kadar kemampuannya. Tidak diragukan lagi, bahwa di antara kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada wanita dalam hal ini adalah mengurus urusan rumah tangganya dan hal-hal yang berhubungan dengan pengurusan keluarga, seperti mendidik anak dengan pendidikan yang baik dan yang sejenisnya. Pendapat ini (—yakni pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang menyatakan “Sebagian dari ulama ada yang berpendapat bahwa istri tidak wajib melakukan hal-hal tersebut”), adalah dhaif (lemah). Sebagaimana lemahnya pendapat yang mengatakan bahwa tidak wajib bagi laki-laki berhubungan seks dengan istri, sebab hal ini bukan termasuk ke dalam perilaku yang muasyarah bil ma’ruf. Sebagian lagi mengatakan—dan inilah pendapat yang benar—bahwa istri wajib berbuat hal yang demikian, sebab seorang laki-laki adalah tuan bagi kaum wanita, sebagaimana yang diungkap dalam Al-Qur’an.” Hak dan Kewajiban Suami Istri Menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU nomor 1 Tahun 1974, telah mengatur secara ringkas beberapa aspek terkait pembagian peran kerumahtanggaan. Pengaturan tentang hak dan kewajiban suami istri dapat ditemukan pada Bab VI pasal 30 hingga Pasal 34. Berikut beberapa kutipannya. Pasal 30 menyatakan: Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat. Pasal 31 menyatakan: (1) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat (2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum (3) Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga. Pasal 32 menyatakan: (1) Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap (2) Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini ditentukan oleh suami istri bersama. Pasal 33 menyatakan: Suami istri wajib saling mencintai, hormat-menghormati, setia, dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain. Pasal 34 menyatakan:
(2) Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan Materi Diklat #1| 233 hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya (3) Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya (4) Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan. Hak dan Kewajiban Suami Istri Menurut KHI Pasal 77 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menjelaskan mengenai hak dan kewajiban suami istri, sebagai berikut. (1) Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat. (2) Suami istri wajib saling mencintai, saling menghormati, setia, dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain. (3) Suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya. (4) Suami istri wajib memelihara kehormatannya. (5) Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama. Pasal 78 Kompilasi Hukum Islam menyatakan: (1) Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap. (2) Rumah kediaman yang dimaksud dalam ayat (1), ditentukan oleh suami istri bersama. Pasal 79 Kompilasi Hukum Islam menyatakan: (1) Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga. (2) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. (3) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum Pasal 80 Kompilasi Hukum Islam menyatakan: (1) Suami adalah pembimbing, terhadap istri dan rumah tangganya. Akan tetapi, mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami istri bersama. (2) Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. (3) Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada istrinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa, dan bangsa. (4) Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung: a. nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri; b. biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan anak; dan c. biaya pendidikan bagi anak. (5) Kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari istrinya.
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 234 (6) Istri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b. (7) Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila istri nusyuz. Pasal 83 Kompilasi Hukum Islam menyatakan: (1) Kewajiban utama bagi seorang istri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam yang dibenarkan oleh hukum Islam. (2) Istri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya. Pasal 84 Kompilasi Hukum Islam menyatakan: (1) Istri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban- kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah. (2) Selama istri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap istrinya tersebut pada pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya. (3) Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) di atas berlaku kembali sesudah istri nusyuz (4) Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari istri harus didasarkan atas bukti yang sah. Empat Konsep Penunaian Peran Kerumahtanggaan Terlepas dari beragam pendapat para ulama hadis dan ulama fikih terkait penunaian peran kerumahtanggaan, hendaknya pasangan suami istri lebih mengedepankan kebersamaan, bukan ego keilmuan, ego mazhab, ego kelelakian, ataupun ego keperempuanan. Perbedaan pendapat dalam hal-hal yang bersifat ijtihadiyah adalah lumrah dan harus disikapi dengan wajar serta saling menghormati, bukan saling mencela atau saling menyalahkan. Untuk itu, hendaknya pasangan suami istri menunaikan peran kerumahtanggaan dengan tetap bergandengan tangan, penuh keterbukaan, mengedepankan musyawarah agar semua pihak merasakan suasana nyaman. Jangan ada paksaan atau keterpaksaan karena hidup berumah tangga bisa dikelola dengan sepenuhnya menghadirkan cinta. Berikut empat konsep penunaian peran kerumahtanggaan yang bisa menjadikan perasaan yang damai dan nyaman pada semua pihak, tanpa ada keterpaksaan. 1. Menunaikan Peran yang Sudah Ditetapkan oleh Syariat Ada peran kerumahtanggaan yang disepakati para ulama dan ada pula peran yang menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan ulama. Hal yang telah menjadi kesepakatan para ulama adalah tentang kewajiban memenuhi nafkah keluarga bahwa itu merupakan kewajiban suami karena suami adalah pemimpin dalam rumah tangga sebagaimana dinyatakan Allah dalam surah An-Nisa’ ayat 34. Dalam hal-hal yang sudah menjadi kesepakatan ulama seperti ini, tinggal dilaksanakan oleh masing-masing pihak dari suami dan istri. Tidak perlu mempersoalkan hal yang sudah menjadi ketentuan agama karena dengan cara inilah hidup kita akan bahagia. Sebagai manusia yang beriman, kita patuh kepada ketentuan agama agar hidup kita bahagia dunia dan akhirat.
Namun, dalam hal-hal yang terdapat khilaf di kalangan para ulama, Materi Diklat #1| 235 hendaknya disepakati bersama oleh suami dan istri dengan cinta dan kasih sayang. Bukan dengan pemaksaan kehendak. Bicarakan baik-baik antara suami dan istri, bagaimana membagi peran yang mereka sepakati. Apabila suami menghendaki untuk menyelesaikan semua urusan praktis kerumahtanggaan dan istri rela dengan itu, tidak ada masalah. Apabila istri menghendaki untuk menyelesaikan semua urusan praktis kerumahtanggaan dan suami rela dengan itu, tidak ada masalah. Bahkan apabila keduanya tidak berkenan menunaikan sendiri, bisa diselesaikan semua hal praktis dan teknis itu oleh pembantu rumah tangga. Intinya, jangan berdebat, jangan salah menyalahkan, jangan adu argumen sampai menimbulkan konflik antara suami dan istri, dalam menata peran kerumahtanggaan yang para ulama pun berbeda pendapat sejak zaman dahulu kala. Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam kitab Fathul Bari menukilkan riwayat Ahmad, bahwa Ali berkata kepada Fatimah, “Demi Allah, aku selalu menimba air dari sumur sehingga dadaku terasa sakit.” Fatimah menjawab, “Dan aku, demi Allah, memutar penggiling hingga kedua tanganku melepuh.” Pernyataan Ali dan Fatimah di atas menunjukkan, kedua belah pihak saling bekerja sama menyelesaikan pekerjaan “domestik” kerumahtanggaan. Mereka berdua telah bekerja sama dengan harmonis untuk menyelesaikan pekerjaan praktis di rumah. 2. Menunaikan Peran sebagai Bahasa Cinta yang Umum Suami dan istri harus saling mengembangkan perasaan cinta dan kasih sayang dalam kehidupan berumah tangga. Istri memberikan pelayanan terbaik kepada suami karena cinta dan sayang. Suami memberikan pelayanan terbaik kepada istri karena cinta dan sayang. Bukan karena hak dan kewajiban. Bukan karena mereka adalah pembantu rumah tangga. Namun, karena sebagai sepasang kekasih yang saling mencinta. Ketika pagi hari istri memasak untuk sarapan sang suami, hal itu karena dorongan rasa cinta dan kasih sayang. Ketika suami membereskan rumah yang kotor, hal itu karena dorongan rasa cinta dan kasih sayang. Masing-masing dari suami dan istri berusaha untuk memberikan bantuan dan pelayanan untuk pasangannya karena mereka ingin mengungkapkan cinta dengan cara yang nyata. Jika demikian cara memaknainya, ini akan sangat menyenangkan bagi suami dan istri dalam menjalani rutinitas kehidupan sehari- hari. Al-Aswad bertanya kepada ‘Aisyah, “Apakah yang dikerjakan Rasulullah saw. di rumah?” Dia menjawab, “Beliau biasa dalam tugas sehari-hari keluarganya— yakni melayani keluarganya—maka apabila telah datang waktu salat, beliau keluar untuk menunaikan salat” (HR. Bukhari). Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Dalam hadis itu terdapat anjuran untuk bersikap tawadu dan tidak sombong, serta menganjurkan laki-laki untuk melayani istrinya.”
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 236 3. Menunaikan Peran sebagai Bahasa Cinta yang Khusus Pelayanan yang dilakukan dengan tulus dan karena dorongan cinta, secara umum akan sangat menyenangkan bagi pasangan. Terlebih lagi bagi suami atau istri yang memiliki tipe bahasa cinta pelayanan akan teramat sangat membahagiakan hatinya. Ini yang disebut sebagai bahasa cinta yang khusus, yaitu suami atau istri yang tipe bahasa cintanya adalah pelayanan. Maka, dirinya sangat mengharapkan pelayanan dari pasangan dalam berbagai bentuknya. Sebagaimana diketahui, ada lima bahasa cinta yang biasanya dimiliki suami dan istri, yaitu kata-kata apresiasi, waktu berkesan, pelayanan, hadiah, dan sentuhan fisik. Jika pasangan memiliki bahasa cinta pelayanan, berikan pelayanan lebih sempurna untuk membahagiakan dirinya. Seorang suami atau istri yang tipe bahasa cintanya pelayanan akan merasa dicintai sepenuh hati oleh pasangan apabila dirinya mendapatkan berbagai bentuk pelayanan. Maka, pahami, apa tipe bahasa cinta pasangan Anda. 4. Menunaikan Peran sebagai Kebiasaan Adat Setempat Setiap daerah dan wilayah bisa memiliki adat yang berbeda dalam pembagian peran kerumahtanggaan. Ini adalah sebentuk kearifan lokal yang bisa diambil untuk “standar kepatutan” dalam konteks adat. Sepanjang tidak sampai melanggar syariat dan dilakukan atas dasar kesukarelaan, maka tidak masalah mengikuti adat setempat. Sebagai contoh, apa yang sudah lazim dilakukan di sebagian besar wilayah Indonesia dalam memahami peran kerumahtanggaan bahwa perempuan mengurus dan mengampu pekerjaan kerumahtanggaan. Hal ini tidak masalah untuk diikuti, selain karena menjadi pendapat sebagian ulama, tetapi juga sudah mendarah mendaging dalam kehidupan di masyarakat secara turun-temurun. Namun, jika kita hidup di sebuah masyarakat yang secara turun-temurun memahami bahwa pekerjaan kerumahtanggaan dilakukan sepenuhnya oleh suami, maka hal itu pun bisa ditoleransi. Selain karena ada pendapat sebagian ulama yang menguatkan hal tersebut, juga karena hal itu yang dianggap patut oleh masyarakatnya. Di Indonesia, jika kita ke pasar mayoritas isi pasar adalah perempuan. Namun, di beberapa negara Arab, isi pasar mayoritas adalah laki-laki. Ini menunjukkan adanya kebiasaan yang berbeda di setiap daerah. Demikianlah empat konsep dalam menunaikan peran kerumahtanggaan. Jangan sampai suami dan istri bersitegang dalam urusan hak dan kewajiban atau pembagian peran kerumahtanggaan. Hal-hal yang sudah menjadi kesepakatan para ulama, hendaknya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan. Namun, untuk hal-hal yang menimbulkan perselisihan pendapat di kalangan ulama, maka menunaikan peran bisa dilakukan dengan nyaman apabila dilandasi oleh rasa cinta dan kasih sayang. Hal itu dilakukan bukan karena definisi wajib atau tidak wajib, tetapi sebagai sepasang kekasih yang saling mencintai dan berusaha untuk membahagiakan pasangan dengan pelayanan terbaik.
Upaya Membangun Kepercayaan kepada Materi Diklat #1| 237 Pasangan Tujuan Pembelajaran Umum: Membangun pemahaman dan penghayatan konsep upaya membangun kepercayaan pada pasangan sehingga memiliki kesadaran akan pentingnya mempelajari ilmu, sikap positif dan konstruktif di tengah keluarga, serta keterampilan membina ketahanan keluarga. Tujuan Pembelajaran Khusus: 1. Peserta pendampingan memahami urgensi upaya membangun kepercayaan kepada pasangan. 2. Peserta mampu mengidentifikasi nilai-nilai apa saja yang harus ditegakkan dalam membangun kepercayaan pada pasangan. 3. Peserta menginternalisasi pada diri nilai-nilai apa saja yang membangun kepercayaan pada pasangan. 4. Peserta pendampingan mampu membangun kepercayaan satu sama lain secara individu dan bersama pasangan. 5. Peserta pendampingan membangun kesadaran pentingnya belajar sepanjang hayat secara mandiri atau mengikuti program edukasi keluarga agar menjadi keluarga yang tangguh. Alternatif Kegiatan Pembelajaran: 1. Pendamping memantik dengan cara menyampaikan contoh kasus krisis kepercayaan pada pasangan. 2. Peserta diminta memberikan tanggapan atas contoh kasus krisis kepercayaan pada pasangan. 3. Peserta mendapat penjelasan tentang upaya membangun kepercayaan pada pasangan. 4. Peserta mengidentifikasi nilai-nilai apa saja yang membangun kepercayaan pada pasangan. 5. Pendamping memfasilitasi diskusi tentang alternatif program apa saja untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, serta keterampilan membangun kepercayaan kepada pasangan. Uraian Materi: Di antara hal yang harus dilakukan secara sadar dan bertanggung jawab oleh suami dan istri adalah selalu berusaha membangun kepercayaan. Secara value, kepercayaan bukanlah hal yang bisa muncul dengan tiba-tiba. Ia memerlukan alasan sekaligus pembuktian.
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 238 Harus ada alasan yang kuat mengapa suami bisa memercayai istri dan mengapa istri bisa mempercayai suami. Juga harus ada pembuktian bahwa suami dan istri memang layak dipercaya oleh pasangannya. Hendaknya suami dan istri melakukan usaha yang sifatnya individual— dilakukan oleh masing-masing individu; maupun usaha bersama untuk saling menguatkan kepercayaan. Usaha pertama, menjadi tanggung jawab masing- masing dari suami dan istri secara individual. Sedangkan usaha kedua, menjadi tanggung jawab bersama. Tanggung jawab suami dan istri secara individual adalah membangun “reason” untuk dipercaya, yaitu kredibilitas personal. Agar suami menjadi individu yang layak dipercaya oleh istri dan agar istri menjadi individu yang layak dipercaya oleh suami. Tanggung Jawab Individual “Optimal marriages require that both parties agree, on all matters that directly shape their future, including household conditions, children, finances, career and other big decisions”—Karen Phillips. Karen Phillips, seorang psikoterapis dan penulis buku Communication Harmony menyatakan bahwa pernikahan yang optimal mengharuskan kedua belah pihak untuk memiliki kesepakatan nilai. Kesepakatan itu terjadi dalam semua hal yang secara langsung membentuk masa depan mereka, termasuk kondisi rumah tangga, anak-anak, keuangan, karier, dan keputusan besar lainnya. Upaya untuk membangun kepercayaan kepada pasangan, harus dimulai dari membangun kredibilitas personal. Suami dan istri memiliki tanggung jawab individual untuk menunjukkan kredibilitas sebagai suami dan istri yang baik. Kredibilitas moral dan spiritual sebagai suami saleh dan istri salihah. 1. Mendekat kepada Allah Pada zaman siber yang serba mudah mendapat akses saat ini, suami dan istri harus berusaha untuk mendekat kepada Allah. Akses kepada Allah harus sangat diperkuat. Jangan sampai kalah oleh akses kepada godaan. Dengan mendekatkan diri kepada Allah, suami dan istri akan terbimbing dalam jalan kebenaran. Mereka akan menapaki kehidupan yang selamat dunia maupun akhirat. Nabi saw. bersabda, bahwa Allah telah berfirman, “Apabila Aku telah mencintainya, Aku menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika dia meminta kepada- Ku, pasti Aku beri. Jika dia meminta perlindungan kepada-Ku pasti Aku lindungi” (HR. Bukhari nomor 6502). Hadis qudsi di atas memberikan petunjuk bahwa ketika seseorang hamba telah dicintai Allah, Allah akan mengarahkan semua kegiatan hidupnya. Dengan demikian, tidak perlu khawatir berlebihan akan jatuh ke dalam godaan. Bukankah mereka telah mendapat dukungan kebaikan oleh Allah? 2. Menjaga Kehormatan Diri Suami dan istri harus selalu menjaga dirinya agar tidak tergelincir dalam penyimpangan dan penyelewengan. Seorang suami yang tidak mampu menjaga
diri sendiri akan sulit menjaga anak dan istri. Demikian pula istri yang tidak pandai Materi Diklat #1| 239 menjaga diri sendiri, tidak akan bisa menjaga suami dan anak-anak. Dalam sebuah riwayat, Nabi saw. bersabda, “Berbaktilah kepada kedua orang tuamu, maka anak-anakmu akan berbakti kepadamu. Jagalah kehormatan dirimu maka istrimu pun akan menjaga kehormatan dirinya” (HR. Thabrani). Dalam hadis tersebut, Nabi mengarahkan agar para suami memberi teladan dalam kebaikan. “Jagalah kehormatan dirimu maka istrimu pun akan menjaga kehormatan dirinya” menandakan suami yang harus memulai dari dirinya. Tidak layak menuntut istri untuk menjaga diri sementara sang suami tidak bisa menjaga kehormatan diri. Jika suami mampu menjaga kehormatan diri, insyaallah sang istri pun akan lebih mudah untuk menjaga kehormatan dirinya. Jika suami tidak mampu menjaga kehormatan dirinya, sang istri akan mempertanyakan, “Untuk apa aku harus menjaga diri, sedangkan suamiku pun tidak menjaga diri.” 3. Menjauhi Penyimpangan dan Pengkhianatan Suami dan istri harus berjuang untuk menjauhi penyimpangan dan pengkhianatan. Semua bentuk penyimpangan, meskipun tidak ketahuan oleh pasangan akan memberikan dampak berupa keburukan dan kerusakan. Maka, berjuanglah untuk tidak tergoda dan tidak menyimpang agar bisa menjaga keutuhan keluarga Ibnu Qayyim Al-Jauzi dalam kitab Al-Jawabul Kafi mengatakan, “Di antara akibat dari berbuat dosa adalah menghilangkan nikmat dan akibat dosa adalah mendatangkan bencana (musibah). Oleh karena itu, hilangnya suatu nikmat dari seorang hamba adalah karena dosa. Begitu pula datangnya berbagai musibah juga disebabkan oleh dosa.” Jangan bangga dengan penyimpangan yang “aman” karena tidak ketahuan oleh pasangan. Berbagai musibah dan bencana bisa menimpa keluarga karena perbuatan dosa yang dilakukan oleh suami dan istri. Kenikmatan dan kebahagiaan hidup berumah tangga bisa hilang, lantaran tindakan penyimpangan yang dilakukan. 4. Memilih Lingkungan Positif Lingkungan pergaulan sangat menentukan jati diri seseorang. Sebuah studi yang dilakukan Gary Neuman menunjukkan, banyak laki-laki selingkuh akibat berteman dengan orang-orang yang suka selingkuh. Ini menandakan pengaruh pertemanan dalam menjaga kebaikan diri seseorang dan menjaga kebaikan keluarga. Nabi saw. bersabda, “Seseorang tergantung agama temannya, maka hendaklah seorang di antara kalian melihat teman bergaulnya” (HR. Abu Dawud, At -Tirmidzi, dan Imam Ahmad). Jika berteman dengan orang saleh yang menjauhi dosa akan lebih mudah untuk menjadi saleh dan menjauhi dosa. Jika berteman dengan para pendosa yang bersenang-senang dengan perbuatan dosa akan lebih mudah untuk terjerumus ke dalam kesalahan yang sama. Maka, perhatikan dengan siapa Anda berteman. 5. Menjauhi Lingkungan Negatif Bukan hanya pertemanan dalam konteks yang khusus dan sempit. Lingkungan yang buruk juga bisa memengaruhi seseorang untuk mudah melakukan
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 240 keburukan. Nabi saw. bersabda, “Sesungguhnya, perumpamaan teman baik dengan teman buruk, seperti penjual minyak wangi dan pandai besi; adapun penjual minyak, maka kamu mendapatkan olesan atau membeli darinya atau mendapatkan aromanya; dan adapun pandai besi, maka boleh jadi ia akan membakar pakaianmu atau engkau menemukan bau anyir.” (HR. Bukhari dan Muslim). Perhatikan Anda sedang berada di lingkungan seperti apa? Apakah lingkungan religius yang mengajak kepada keimanan dan amal saleh. Atau lingkungan rusak yang selalu mengajak kepada kejahatan. Seperti apa lingkungan terdekat Anda akan sangat berpengaruh terhadap jati diri Anda. Tanggung Jawab Bersama Suami Istri “A healthy spouse never dismisses their partner’s feelings, thoughts or opinions, and never tells their partner what to do, say or think”—Karen Phillips. Untuk mewujudkan suasana saling percaya secara timbal balik, diperlukan usaha bersama dari suami dan istri. Karen Phillips menyatakan, “Pasangan yang sehat tidak pernah mengabaikan perasaan, pikiran, atau pendapat pasangannya, dan tidak pernah memberi tahu pasangannya apa yang harus dilakukan, dikatakan, atau dipikirkan.” Pernikahan yang sehat—tidak beracun, sudah mencapai kesejiwaan antara suami dan istri. Dalam level tertentu mereka sudah saling “klik” satu dengan yang lain sehingga tidak perlu memberi tahu pasangannya apa yang harus dilakukan, dikatakan, atau dipikirkan. Ini menandakan, mereka telah memiliki standar nilai yang sama. Tanggung jawab bersama suami istri untuk membangun kepercayaan timbal balik, bisa dilakukan dengan beberapa langkah berikut. 1. Menerapkan Standar Nilai yang Sama dengan Pasangan Jika suami dan istri memegangi serta menerapkan standar nilai yang berbeda akan sangat sulit membangun kepercayaan. Misalnya, menurut suami, pergi berduaan menggunakan mobil bersama seorang staf perempuan itu tidak masalah. Mereka pergi berdua untuk mengurus sebuah proyek selama beberapa hari. Menurut sang istri, tindakan itu sudah berlebihan dan tidak patut dilakukan. Pun sebaliknya, ketika seorang istri merasa pekerjaan profesional menuntut dia untuk menemani tamu seorang laki-laki selama beberapa hari dalam kaitan pengembangan bisnis, di mata suami tindakan itu sudah berlebihan dan menyimpang. Perbedaan standar nilai seperti ini harus segera diselesaikan sehingga mereka berdua memiliki kesamaan cara pandang. Bagaimana akan muncul saling percaya, jika standar nilai mereka berbeda? “Selingkuh itu indah,” kata seorang suami. “Selingkuh itu menyakitkan,” kata seorang istri. Bagaimana akan bisa diwujudkan kepercayaan timbal balik, jika standar nilai terhadap tindakan selingkuh saja berbeda? Standar nilai dalam keluarga muslim, tentu saja adalah Al-Qur’an dan sunah Nabi saw. Semua tindakan, keinginan, perbuatan, maupun perkataan, dinilai dengan fondasi yang jelas dari kedua rujukan umat muslim tersebut. Apakah tindakan tersebut benar atau salah, mengacu kepada rujukan yang sama. Bukan mengambil rujukan sendiri-sendiri.
“Selingkuh itu berdosa, Pah. Jangan lakukan perselingkuhan,” ujar istri. Materi Diklat #1| 241 “Itu kata siapa?” tanya suami. “Itu nasihat ustazahku, yang diambil dari ayat Al-Qur’an, jangan mendekati zina,” jawab istri. “Itu kan pendapat ustazahmu. Aku punya pendapat sendiri,” jawab suami. Lalu bagaimana bisa saling percaya, jika masing-masing memiliki rujukan nilai yang berbeda? Maka, di antara tanggung jawab bersama dari suami dan istri adalah menetapkan standar nilai yang sama. Agar mereka bisa bersikap secara sama dalam memahami segala sesuatu. 2. Saling Terbuka dengan Pasangan Dalam pernikahan yang sehat, ada suasana keterbukaan antara suami dan istri dalam banyak hal. Mereka tidak banyak menyembunyikan sesuatu dari pasangan. Pasangan suami istri terbiasa mengobrol dan bercengkerama, mendiskusikan segala sesuatu. tidak ada sumbatan di antara mereka tatkala mengobrol berdua berlama-lama. Dalam pernikahan yang toxic, pasangan suami istri lebih banyak memendam informasi. Ada banyak hal yang mereka sembunyikan dari pasangan. Password HP, email, media sosial, dirahasiakan dari pasangan. tidak ada akses yang diberikan kepada pasangan untuk mengetahui isi smartphone masing-masing. Jika ingin terbangun saling percaya dengan pasangan, suami dan istri harus belajar terbuka satu dengan yang lain. Memulai keterbukaan dari hal-hal sederhana. Menyempatkan waktu untuk mengobrol berdua. Menjadikan obrolan sebagai kebiasaan rutin setiap hari. Dengan cara ini, mereka akan memulai bercerita tentang apa saja. Jika suami dan istri bisa lancar berkomunikasi, perlahan-lahan akan tumbuh pengenalan dan pemahaman. Suami mengerti dunia dan kesibukan istri. Demikian pula istri mengenal dunia dan kesibukan suami. Mereka saling mengenal teman-teman dekat pasangan. Saling mengerti aktivitas pasangan. Jika kita cermati, Nabi saw. memberikan contoh teladan suasana keterbukaan yang melegakan dengan istri beliau. Imam Bukhari meriwayatkan dalam Sahih Bukhari pada bab “Bergaul dengan Baik terhadap Keluarga”, sebuah hadis dari ‘Aisyah. Bahwa ‘Aisyah bercerita tentang sebelas perempuan pada masa terdahulu, yang sedang berkumpul dan berjanji untuk tidak menyembunyikan sedikit pun seluk-beluk suami mereka. Perempuan pertama berkata, “Suamiku adalah daging unta yang kurus, berada di puncak gunung yang sulit, tidak mudah didaki dan tidak gemuk sehingga mudah diangkat.” Hingga ‘Aisyah bercerita kepada Nabi saw. tentang perempuan kesebelas. Satu per satu kisah sebelas perempuan tersebut disampaikan ‘Aisyah dan didengarkan dengan saksama oleh Nabi saw. Ini adalah teladan nyata, bagaimana suami dan istri saling terbuka, membicarakan segala sesuatu. Hal ini menimbulkan suasana saling mengerti dan saling memahami di antara suami dan istri. Jika tradisi ini dikembangkan dalam keluarga, niscaya suasana saling percaya akan bisa terbina dengan nyata. 3. Membangun Kembali Keintiman “Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka” (QS. Al-Baqarah: 187).
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 242 Dalam Al-Qur’an, kelekatan suami dan istri diibaratkan sebagai libas atau pakaian. Pakaian selalu menempel dan memberikan kehangatan kepada pemakainya. Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya menyatakan, “Tidak ada persatuan (kelekatan) antar dua roh yang lebih besar dibandingkan suami dan istri.” Dr. Muhammad Sulaiman Al-Asyqar dalam kitab Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir menyatakan, menyatunya antara suami dan istri seperti menyatunya antara pakaian dan orang yang memakainya. Dalam kitab tafsir Li Yaddabbaru Ayatih karya Markaz Tadabbur di bawah pengawasan Prof. Dr. Umar bin Abdullah Al-Muqbil dinyatakan, “Adakah di antara manusia yang tidak butuh dengan pakaian? Pakaian adalah penutup bagi tubuh, lalu kenapa sebagian orang menyingkirkan pasangan hidupnya yang telah diciptakan untuknya sebagai pelindung baginya?” “Pakaian adalah lencana yang menjadikan diri seseorang berwibawa, akan tetapi, kenapa kehidupan berkeluarga seseorang terkadang penuh dengan kekecewaan dan akhirnya menjadi sirna? Pakaian adalah di antara perhiasan yang paling indah bagi seseorang, lalu kapan dua pasang suami-istri menjadi perhiasan salah satu dari keduanya untuk pasangannya? Pakaian adalah pelindung dan pemberi kehangatan bagi tubuh, maka apakah setiap dari kita sudah menjadi pelindung dan telah memberikan kehangatan bagi pasangannya?” (Li Yaddabbaru Ayatih, Markaz Tadabbur). Bagaimana membangun intimacy antara suami dan istri? Mumpung masih bulan Ramadan, mari kita mengambil keteladanan dari keluarga Nabi saw. Ternyata, Nabi saw. sangat pandai menjaga intimacy dengan para istri. Tindakan beliau yang lekat dengan istri dalam berbagai aktivitas, membuat para istri selalu intim dengan beliau. Perhatikan beberapa keteladanan Nabi saw. dengan para istri berikut ini. Beliau memberi teladan membangun keintiman dalam hubungan keseharian. Nabi saw. rela menjadikan lutut beliau sebagai pijakan bagi Shafiyah, istri beliau, untuk naik ke unta tunggangan. Anas bin Malik berkata, “Aku melihat Nabi saw. mempersiapkan kelambu di atas unta untuk Shafiyah, lalu beliau saw. duduk di dekat unta lalu meletakan lutut beliau. Shafiyah menginjakkan kakinya di atas lutut beliau untuk naik di atas unta” (HR. Al-Bukhari II/778 nomor 2120, III/1059 nomor 2736). ‘Aisyah pernah bercerita intimacy yang dibangun bersama Nabi saw. “Nabi saw. berdiri di pintu lalu aku mendatanginya dan aku letakkan daguku di atas pundaknya dan aku sandarkan wajahku di pipinya. Rasulullah saw. berkata, “Sudah cukup (engkau melihat mereka bermain).” Aku berkata, “Wahai Rasulullah, jangan terburu-buru.” Lalu beliau (tetap) berdiri untukku (agar aku bisa terus melihat mereka). (HR. Al-Bukhari V/2006 nomor 4938, Muslim II/608 nomor 892, An-Nasai nomor 1594). ‘Aisyah menceritakan bahwasanya ia pernah bersafar bersama Rasulullah saw., dan berlomba lari dengan beliau. “Maka aku pun berlomba dengannya dan aku mengalahkannya.” Pada kesempatan yang lain, ‘Aisyah kembali bersafar bersama beliau saw., dan kembali berlomba lari. ‘Aisyah berkata, “Maka aku pun berlomba dengannya lalu Rasulullah saw. mendahuluiku. Beliau tertawa dan berkata, “Ini untuk kekalahanku yang dulu” (Al-Albani berkata, “Sanadnya sahih”).
Dari Urwah, dari ‘Aisyah bahwasanya Nabi saw. mencium salah seorang istrinya kemudian keluar untuk salat dan beliau tidak berwudu (HR. Abu Dawud nomor 179, At-Tirmidzi nomor 86, Ibnu Majah nomor 502, Ahmad VI/210 nomor 25807). Ummu Salamah berkata bahwasanya Rasulullah saw. menciumnya dan ia sedang puasa, ia juga mengabarkan bahwasanya ia dan Rasulullah saw. mandi janabah bersama di sebuah tempayan (HR. Al-Bukhari I/122 nomor 316, II/681 nomor 1828, Muslim I/243 nomor 296). Demikianlah beberapa contoh dari Nabi saw. dan para istri dalam membangun intimacy. Mari kita teladani. Materi Diklat #1| 243
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 244 Manajemen Konflik Pasangan Suami Istri Tujuan Pembelajaran Umum: Membangun pemahaman konsep mengelola konflik pasangan suami istri sehingga memiliki kesadaran akan pentingnya mempelajari ilmu, sikap positif dan konstruktif di tengah keluarga, serta keterampilan membina ketahanan keluarga. Tujuan Pembelajaran Khusus: 1. Peserta pendampingan memahami urgensi manajemen konflik pasangan suami istri. 2. Peserta memahami dimensi konflik pasangan suami istri. 3. Peserta memahami tiga tingkatan konflik untuk mengidentifikasi di mana level konflik yang sedang atau jika terjadi pada keluarganya. 4. Peserta menginternalisasi etika apa saja yang harus dijaga ketika sedang berkonflik dengan pasangan. 5. Peserta memiliki keterampilan menggunakan berbagai pilihan resolusi konflik. 6. Peserta lebih berfokus pada pembenahan diri terlebih dahulu jika terjadi konflik dengan pasangan. 7. Peserta menghayati dan meneladani Rasulullah dalam mengelola konflik rumah tangga. 8. Peserta pendampingan membangun kesadaran pentingnya belajar sepanjang hayat secara mandiri atau mengikuti program edukasi keluarga agar menjadi keluarga yang tangguh. Alternatif Kegiatan Pembelajaran: 1. Pendamping memantik dengan cara menyampaikan contoh konflik pasangan suami istri. 2. Peserta diminta memberikan tanggapan solusi atas contoh konflik pasangan suami istri. 3. Peserta mendapat penjelasan tentang manajemen konflik pasangan suami istri. 4. Peserta diminta mengidentifikasi potensi apa saja pada diri dan pasangan yang rentan menjadi sebab konflik pasangan. 5. Pendamping memfasilitasi diskusi tentang alternatif program apa saja untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, serta keterampilan mengelola konflik pasangan suami istri. Uraian Materi: Tidak ada pasangan suami istri yang tidak pernah berkonflik dalam kehidupan pernikahan mereka. Semua pasangan pasti memiliki konflik. Bahkan dalam rumah tangga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah, juga ada konflik. Studi menunjukkan, konflik merupakan fenomena yang wajar dan melekat dalam hubungan suami istri (Delatorre & Wagner, 2018). Konflik muncul sebagai
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164
- 165
- 166
- 167
- 168
- 169
- 170
- 171
- 172
- 173
- 174
- 175
- 176
- 177
- 178
- 179
- 180
- 181
- 182
- 183
- 184
- 185
- 186
- 187
- 188
- 189
- 190
- 191
- 192
- 193
- 194
- 195
- 196
- 197
- 198
- 199
- 200
- 201
- 202
- 203
- 204
- 205
- 206
- 207
- 208
- 209
- 210
- 211
- 212
- 213
- 214
- 215
- 216
- 217
- 218
- 219
- 220
- 221
- 222
- 223
- 224
- 225
- 226
- 227
- 228
- 229
- 230
- 231
- 232
- 233
- 234
- 235
- 236
- 237
- 238
- 239
- 240
- 241
- 242
- 243
- 244
- 245
- 246
- 247
- 248
- 249
- 250
- 251
- 252
- 253
- 254
- 255
- 256
- 257
- 258
- 259
- 260
- 261
- 262
- 263
- 264
- 265
- 266
- 267
- 268
- 269
- 270
- 271
- 272
- 273
- 274
- 275
- 276
- 277
- 278
- 279
- 280
- 281
- 282
- 283
- 284
- 285
- 286
- 287
- 288
- 289
- 290
- 291
- 292
- 293
- 294
- 295
- 296
- 297
- 298
- 299
- 300
- 301
- 302
- 303
- 304
- 305
- 306
- 307
- 308
- 309
- 310
- 311
- 312
- 313
- 314
- 315
- 316
- 317
- 318
- 319
- 320
- 321
- 322
- 323
- 324
- 325
- 326
- 327
- 328
- 329
- 330
- 331
- 332
- 333
- 334
- 335
- 336
- 337
- 338
- 339
- 340
- 341
- 342
- 343
- 344
- 345
- 346
- 347
- 348
- 349
- 350
- 351
- 352
- 353
- 354
- 355
- 356
- 357
- 358
- 359
- 360
- 361
- 362
- 363
- 364
- 365
- 366
- 367
- 368
- 369
- 370