mertua. Namun, secara psikologis mereka sudah “meninggalkan” lingkaran Materi Diklat #1| 145 keluarga masing-masing, untuk memulai sebuah keluarga baru. Dalam keluarga baru ini, hanya ada suami dan istri. Mereka melakukan proses penyesuaian peran dan fungsi. Masing-masing belajar hidup bersama serta beradaptasi dengan kebiasaan sendiri dan pasangannya, seperti pola makan, tidur, bangun pagi, kebiasaan berpakaian, bepergian, dan lain sebagainya. Mereka akan melewati masa-masa indah saat fase romantic love, tetapi akan mengalami pula masa ketegangan saat berada pada fase disappointment atau distress. Tahap 2: Keluarga dengan Kelahiran Anak Pertama Keluarga baru yang sudah terbentuk akan mulai mengalami perubahan ketika sudah terjadi kehamilan. Ada yang mulai berubah dalam interaksi di antara suami dan istri karena hadirnya “pihak ketiga” berupa janin yang harus dijaga dan dirawat oleh mereka berdua. Semula, hanya ada seorang suami dan seorang istri, yang mereka bebas melakukan apa pun dalam rumah tangganya. Namun, kehadiran janin membuat ada yang mulai membatasi. Ada aktivitas tertentu sebagai suami istri yang harus menenggang kondisi janin dan ibu hamil. Tahap kedua ini, menurut Duvall, dimulai dari kelahiran anak pertama hingga bayi pertama ini berusia 30 bulan atau 2,5 tahun. Namun, saya cenderung menarik ke garis yang lebih awal, yaitu sejak mulai terjadi kehamilan, karena sudah ada perubahan yang nyata pada keluarga baru setelah sang istri hamil. Ada status yang mulai berubah pada diri suami dan istri tersebut. Kini mereka menjadi calon ayah dan calon ibu bagi janin yang tengah dikandung. Mereka harus mulai belajar dan bersiap untuk menyambut kelahiran anak pertama. Apalagi sudah lahir bayi pertama, status sudah berubah lagi. Kini mereka resmi menjadi ayah dan ibu. Mereka tidak lagi berdua, tetapi sudah nyata bertiga. Ada bayi di antara mereka. Dulu mereka tidur, bangun, berkegiatan, berdua saja. Kini harus bertiga, karena si bayi tidak mungkin ditinggalkan begitu saja tanpa pengawasan salah satu dari mereka atau bahkan kedua-duanya. Tahap 3: Keluarga dengan Anak Usia Prasekolah Tahap ketiga sebuah keluarga dimulai ketika anak pertama melewati usia 2,5 tahun, dan berakhir saat ia berusia 5 tahun. Pada rentang waktu sekitar 2,5 tahun ini, ada hal yang spesifik pada sebuah keluarga. Anak pertama mereka sudah mulai menjadi balita yang mungil, imut, dan lucu, dengan segala tingkah polahnya. Orang tua mulai disibukkan oleh seorang balita yang menyita habis waktu serta perhatian, terutama dari sang ibu. Anak mulai berulah, anak mulai punya keinginan, dan anak mulai dipersiapkan untuk memasuki bangku sekolah. Di Indonesia, ada pendidikan anak usia dini (PAUD) yang menampung anak- anak usia pra-sekolah. Pada contoh orang tua yang keduanya bekerja serta sibuk, anak-anak dititipkan di PAUD, karena di rumah tidak ada yang menjaga. Corak interaksi sudah sangat berubah dibandingkan dengan dua tahap sebelumnya. Kondisi keluarga pada tahap ketiga ini lebih majemuk. Ada status
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 146 sebagai suami dan istri, ada status sebagai ayah dan ibu, serta ada anak balita yang sudah mulai menyibukkan orang tua dengan segala tingkah lakunya. Pada beberapa keluarga, di tahap ketiga ini mereka sudah memiliki lebih dari satu anak. Pada keluarga muda dengan dua atau tiga anak kecil-kecil, menjadikan suasana yang sangat dinamis dalam keluarga tersebut. Orang tua merasakan kesibukan yang sangat berubah dibanding dengan tahap sebelumnya. Tahap 4: Keluarga dengan Anak-anak Sekolah Tahap keempat dalam kehidupan keluarga dimulai ketika anak pertama mulai berumur 6 tahun, berakhir pada saat anak berumur 12 tahun. Anak pertama mulai masuk sekolah dasar, maka orang tua harus menyesuaikan diri dengan kebutuhan anak pada usia sekolah tersebut. Saat masih usia prasekolah, kendati anak mengikuti program PAUD, isinya relatif lebih banyak bermain dan bersenang-senang. Begitu sudah masuk SD, anak mulai mengenal stres karena memasuki lingkungan dan tantangan baru. Mulai ada PR yang harus dikerjakan di rumah. Pada tahap ini biasanya keluarga mencapai jumlah maksimal sehingga suasana menjadi sangat sibuk. Selama enam tahun pada tahap keempat, rata- rata keluarga di Indonesia sudah memiliki lebih dari satu anak. Jika anak pertama sudah kelas 6 SD, anak kedua mungkin sudah kelas 3 SD dan anak ketiga mungkin sudah TK. Jika kita bayangkan satu keluarga dengan tiga anak yang sekolah di SD dan TK seperti ini, tampak jelas betapa tingkat kesibukan, kerepotan, keributan, dalam keluarga tersebut sangat tinggi. Ayah dan ibu yang harus mempersiapkan keperluan sekolah anak-anak, urusan PR, urusan pembagian perhatian terhadap tiga anak. Di sisi yang lain, suami dan istri sudah mencapai posisi yang lebih “tinggi” dalam pekerjaan atau karier mereka, sehingga memiliki kesibukan yang juga sangat padat. Pada keluarga yang belum mapan secara ekonomi, maka mengurus tiga anak usia sekolah ini benar-benar membuat mereka harus bekerja ekstra untuk biaya sekolah maupun biaya keperluan hidup keluarga secara layak. Tahap 5: Keluarga dengan Anak Remaja Tahap kelima kehidupan sebuah keluarga dimulai ketika anak pertama mencapai umur 13 tahun, berlangsung sampai enam atau tujuh tahun kemudian ketika anak pertama berumur 19 atau 20 tahun. Suasana keluarga kembali berubah, karena mulai ada anak usia remaja di antara mereka, yang pada tahap sebelumnya belum ada. Orang tua harus kembali belajar bagaimana mendidik anak remaja. Pada saat yang sama, bisa jadi mereka masih tetap harus mendidik anak-anak lain yang masih sekolah SD dan TK. Pada tahap kelima ini, orang tua harus mulai memberikan tanggung jawab serta pendidikan yang lebih baik guna mempersiapkan anak mencapai kedewasaan baik secara biologis maupun psikologis. Corak interaksi di antara suami dan istri, demikian pula corak interaksi antara orang tua dengan anak, termasuk interaksi antar-anak, sudah berubah lagi, dibandingkan pada empat tahap sebelumnya. Anak usia remaja, yang sekolah SMP dan SMA, memiliki kepribadian dan karakter yang khas. Di Indonesia kita menyaksikan fenomena kenakalan remaja
yang marak, yang menjadi salah satu persoalan yang harus dihadapi dalam Materi Diklat #1| 147 keluarga. Pada contoh keluarga di Indonesia, banyak anak usia SMP dan SMA yang belajar di sekolah boarding ataupun pondok pesantren. Ketika anak masuk asrama atau pesantren, artinya mereka sudah meninggalkan rumah sejak masa remaja. Interaksi dengan orang tua menjadi minim, dan berganti dengan interaksi di asrama atau di pesantren. Kondisi keluarga pun mengalami perubahan karena ada yang berkurang pada anggota keluarga. Meski demikian, orang tua tetap memiliki tanggung jawab mendidik anak remaja mereka yang tengah belajar di boarding school atau pesantren. Tahap 6: Launching, Keluarga dengan Anak Dewasa Tahap keenam dimulai sejak anak pertama meninggalkan rumah, berakhir pada saat anak terakhir meninggalkan rumah sehingga rumah menjadi kosong. Maka, disebut sebagai launching family, karena ada peristiwa “pelepasan” anak meninggalkan rumah induk. Di Indonesia, fase launching adalah ketika anak menikah sehingga secara administrasi sudah pisah Kartu Keluarga dengan orang tua. Lamanya tahapan ini tergantung jumlah anak dan ada tidaknya anak yang belum berkeluarga serta tetap tinggal bersama orang tua. Pada contoh anak tunggal, maka tahap keenam ini menjadi sangat pendek. Saat satu-satunya anak pergi meninggalkan rumah, maka suasana keluarga kembali tinggal suami dan istri saja, tanpa anak. Namun, pada keluarga dengan sepuluh anak, maka tahap ini menjadi panjang. Pada tahap keenam ini, mulai ada sangat banyak perubahan dalam komposisi keluarga. Ada yang berkurang, tetapi juga ada yang bertambah. Berkurang pada contoh anak yang menikah sehingga mereka meninggalkan rumah orang tua untuk hidup mandiri bersama pasangannya. Namun, secara hitungan riil bertambah, yaitu karena memiliki menantu dan cucu. Setelah anak menikah, dalam keluarga ada status baru, yaitu anak menantu. Ditambah lagi ada relasi kekeluargaan yang baru, yaitu besan. Lagi-lagi, ada perubahan corak interaksi, baik yang bersifat mengecil maupun membesar, menyempit, maupun meluas. Bertambah lagi ketika anak yang sudah menikah sudah memiliki anak. Maka, ada anak “baru” yang statusnya adalah cucu dalam keluarga inti. Perubahan ini sangat nyata, yang pada tahap sebelumnya belum ada. Hal-hal baru pada tahap ini adalah adanya menantu, besan dan cucu. Maka, anak-anak dalam keluarga ini pun mengalami perubahan karena mulai memiliki saudara baru bernama ipar dan keluarga baru bernama kemenakan. Semua harus berusaha menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan ini. Tahap 7: Keluarga Usia Pertengahan Tahap ketujuh dalam kehidupan sebuah keluarga dimulai saat anak yang terakhir telah meninggalkan rumah dan tahap ini berakhir saat masa pensiun kerja atau salah satu dari suami atau istri meninggal dunia. Pada tahap sebelumnya, masih ada anak yang ikut bersama orang tua, pada tahap ini sudah tidak ada lagi anak yang tinggal bersama mereka.
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 148 Semua anak sudah “meninggalkan” rumah, baik dalam artian fisik maupun dalam artian psikologis. Anak-anak sudah dewasa semua, sudah menikah, dan tinggal bersama keluarga barunya. Pada beberapa pasangan, tahap ketujuh ini dianggap berat dan sulit dilalui karena adanya perubahan suasana kejiwaan akibat orang tua mulai memasuki usia lanjut. Ada sangat banyak hal yang berubah, dimulai dari peristiwa perpisahan dengan anak-anak, yaitu ketika anak-anak mulai membentuk keluarga sendiri dan memulai tahapan perkembangannya sendiri, hingga proses penuaan yang dalam beberapa kasus disertai perasaan gagal sebagai orang tua. Pada contoh keluarga yang berantakan, anak-anak berulah tidak seperti harapan orang tua. Maka, pada masa ini orang tua merasakan kegagalan dalam mendidik anak. Banyak orang tua mengalami penyesalan akibat pola asuh yang salah atau abai dalam mendidik anak. Tahap 8: Keluarga Orang tua Usia Lanjut Tahap kedelapan yang menjadi tahap terakhir dari perjalanan sebuah keluarga, dimulai ketika salah satu dari suami dan istri atau keduanya sudah mulai pensiun kerja, sampai salah satu atau keduanya meninggal dunia. Sebagian dari pasangan manula ini hidup berdua saja, karena sama sekali tidak ada anak atau cucu atau anggota keluarga lain yang tinggal bersama mereka. Namun, banyak pula—pada contoh di Indonesia—yang memilih untuk tinggal bersama keluarga salah satu anak mereka. Di negara-negara Barat, ketika pasangan sudah meninggal dunia, banyak yang memutuskan untuk tinggal di panti jompo sampai akhir usia. Pertimbangannya, daripada hidup sendiri dalam kondisi sudah tua dan lemah, lebih baik tinggal di panti jompo yang ada perawat dan pengelolanya. Di Indonesia, ada tradisi pertemuan keluarga pada momentum tertentu, seperti Idulfitri atau Natal atau saat liburan bersama, ketika semua anak dan cucu mengunjungi orang tua atau kakek nenek mereka. Peristiwa ini adalah hiburan yang sangat menyenangkan pada pasangan manula, atau pada lelaki dan perempuan yang hidup sendiri karena ditinggal mati pasangan. 8 Stages of The Family Life Cycle (Duvall & Miller) Stages Life Cycle Kondis Tugas 1 i Perkembangan Beginning Penguatan nilai, 2 Family/Keluarg Pengan adaptasi, a Baru tin baru komunikasi, interaksi Childbearing Anak Ilmu dan Family/Keluarg pertam keterampilan a dengan a lahir parenting Kelahiran Anak Pertama
3 Family With Anak - Ilmu dan Preschoolers/ masuk keterampilan Keluarga TK/play parenting dengan Anak group/ - Manajemen Pra-Sekolah PAUD rumah tangga 4 Family With Anak - Ilmu dan School-age pertam keterampilan Children/ a parenting Keluarga masuk - Manajemen dengan Anak SD rumah tangga Sekolah 5 Family With Anak - Memahami Teenagers/ pertam psikologi Keluarga a remaja dengan Anak masuk - Bersahabat Remaja SMP/S dengan MA remaja 6 Launching Anak - Menyiapkan Family/Keluarg sudah anak untuk Materi Diklat #1| 149 a dengan Anak mulai mandiri Dewasa mandiri - Belajar melepas anak 7 Middle‐age Semua Tetap produktif Family/ anak Menggapai Keluarga Usia sudah husnulkhatimah Pertengahan mandiri 8 Aging Family/ Tinggal Tetap produktif Keluarga Usia tersisa Menggapai Lanjut satu husnulkhatimah orang Siklus yang Selalu Berulang Mari kita perhatikan. Sebuah keluarga memulai tahap pertama dari dua orang saja, yaitu seorang suami dan seorang istri, dan akan mengakhiri tahap kehidupannya dengan dua orang saja, yaitu seorang suami dan istri, seperti tahap pertama saat mereka memulai. Bahkan jika ditarik dari kondisi sebelum menikah, situasinya pun berulang. Dari seorang lajang, kemudian memiliki pasangan setelah menikah, lalu berkembang beranak pinak, bermenantu dan bercucu, tetapi akhirnya kembali tinggal berdua saja, dan saat pasangan meninggal tinggal sendiri lagi, dan akhirnya ia pun mati. Sebuah siklus yang berulang dan akan terjadi pada semua manusia dan semua keluarga, walaupun kisah hidup dan dinamikanya bisa berbeda-beda. Sebab ada yang tidak menikah seumur hidupnya, atau menikah beberapa kali dalam rentang kehidupannya. Selalu ada dinamika pada setiap keluarga, tetapi bisa diambil pola umum yang relatif sama.
Selesailah riwayat satu keluarga, ketika keduanya sudah meninggal dunia. Namun, di sisi lain, keluarga-keluarga baru generasi berikutnya sedang melewati proses tahapannya sendiri. Sekarang coba perhatikan keluarga Anda, sudah sampai tahap ke berapa? Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 150
Prinsip-Prinsip Strong Family (Keluarga Materi Diklat #1| 151 Kuat) Tujuan Pembelajaran Umum: Membangun pemahaman dan penghayatan konsep tentang meningkatkan kualitas hidup keluarga melalui internalisasi 20 prinsip strong family sehingga memiliki kesadaran akan pentingnya mempelajari ilmu, sikap positif dan konstruktif di tengah keluarga, serta keterampilan membina ketahanan keluarga. Tujuan Pembelajaran Khusus: 1. Peserta pendampingan memahami pengertian 20 prinsip strong family. 2. Peserta pendampingan memahami peran dalam mewujudkan 20 prinsip strong family. 3. Peserta pendampingan memahami pentingnya meningkatkan kapasitas SDM anggota keluarga. 4. Peserta pendampingan mampu mengidentifikasi prinsip mana saja dari 20 prinsip strong family yang ada pada keluarganya dan mampu mempertahankan serta mengembangkannya. 5. Peserta pendampingan membangun kesadaran pentingnya belajar sepanjang hayat secara mandiri atau mengikuti program edukasi keluarga agar menjadi keluarga yang tangguh. Alternatif Kegiatan Pembelajaran: 1. Pendamping memantik dengan cara menyampaikan isu terkini atau contoh positif dan negatif dari ada atau ketiadaan salah satu dari 20 prinsip strong family, baik lingkup lokal di lingkungan sekitar maupun nasional, bahkan global. 2. Peserta diminta memberikan tanggapan tentang isu-isu terkini berkenaan dengan problem seputar 20 prinsip strong family. 3. Peserta mendapat penjelasan tentang 20 prinsip strong family. 4. Pendamping memfasilitasi diskusi tentang alternatif program apa saja untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, serta keterampilan mewujudkan 20 prinsip strong family . Uraian Materi: Keluarga adalah unit sangat mendasar yang menentukan corak kehidupan manusia, masyarakat, bangsa, negara bahkan peradaban dunia. John Defrain dan tim telah mengontribusikan waktu lebih dari 30 tahun untuk melakukan serangkaian penelitian di lebih dari 40 negara di semua benua. Studi yang ia lakukan adalah untuk menemukan faktor apa yang membuat keluarga menjadi kuat (strong family). Temuan Defrain dan tim telah memberikan
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 152 banyak perspektif penting dalam ilmu ketahanan keluarga, yang terus berkembang dari waktu ke waktu. Di antara temuan penting Defrain yang dilaporkan dalam “Strong Families Around the World: An Introduction to the Family Strengths Perspective” (2019) adalah adanya 20 prinsip keluarga kuat, yang selalu ditemukan di semua keluarga kuat. Studi Defrain menunjukkan, di negara mana pun, pada budaya apa pun, prinsip-prinsip ini telah berlaku. Adapun 20 prinsip strong family tersebut adalah sebagai berikut. Prinsip 1: Keluarga beserta keberagamannya, merupakan fondasi dasar dari kebudayaan manusia di dunia. Defrain menyatakan, “Families, in all their remarkable diversity, are the basic foundation of human cultures.” Sistem keluarga ada pada berbagai kebudayaan manusia di mana pun mereka berada. Keluarga adalah fondasi dasar pada semua kebudayaan manusia di muka bumi. Temuan ini telah menjadi prinsip yang dikembangkan dalam studi ketahanan keluarga bahwa untuk membangun peradaban yang kuat, harus dimulai dari penguatan keluarga. Perkembangan studi terkait keluarga yang dilakukan oleh Defrain berbagai ahli lainnya, makin menguatkan pandangan ini. Prinsip 2: Keluarga yang kuat merupakan hal kritis untuk perkembangan komunitas dan budaya. Komunitas dan budaya yang kuat akan mempromosikan dan menjaga keluarga yang kuat. Defrain menyatakan, “Strong families are critical to the development of strong communities, and strong communities promote and nurture strong families.” Hubungan antara keluarga, komunitas, dan budaya merupakan hubungan yang resiprokal. Jika keluarga kuat akan membangun masyarakat dan bangsa yang kuat, sebaliknya, masyarakat dan bangsa yang kuat akan bisa menjaga dan menguatkan ketahanan keluarga. Hal ini menjadi dasar untuk membangun relasi saling menguatkan antara keluarga, masyarakat, dan bangsa. Tidak akan tercipta bangsa yang kuat jika tidak dimulai dari keluarga yang kuat. Prinsip 3: Merupakan hal yang penting untuk mempelajari apa yang membuat keluarga dapat berkembang dengan baik. Ketika dalam masyarakat dijumpai ada keluarga yang rapuh, penting bagi kita untuk mengetahui alasan mengapa keluarga tersebut gagal dan rapuh. Namun, lebih penting bagi kita untuk mengetahui alasan keluarga menjadi sukses dan kuat. Mengetahui alasan suatu keluarga menjadi rapuh bisa membantu kita menjauhi alasan-alasan itu. Dibandingkan fokus kepada kegagalan keluarga, kita dapat belajar banyak ketika menelusuri sebab kesuksesan dan kekuatan keluarga. Berbagai faktor yang membuat keluarga menjadi kuat akan menjadi inspirasi bagi keluarga lainnya. Prinsip 4: Jika fokus mencari permasalahan, Anda hanya akan menemukan masalah di keluarga. Defrain menyatakan, “If one looks only for problems in a family, one will see only problems. If one also looks for strengths, one will find strengths.” Banyak
keluarga yang cenderung fokus mencari masalah-masalah dalam kehidupan Materi Diklat #1| 153 keluarga. Jika yang dicari masalah, yang akan ditemukan hanyalah masalah. Maka, lebih baik fokus mencari kekuatan, dan kita akan menemukan banyak hal yang digunakan oleh keluarga untuk menghadapi masalah dengan sukses. Kita menemukan realitas bahwa manusia cenderung lebih mudah melihat sisi-sisi masalah dalam diri dan keluarganya dibandingkan melihat dan menemukan sisi kekuatan. Prinsip 5: Semua masalah di dunia ini dapat bermula atau berakhir di keluarga. Defrain menemukan bahwa berbagai macam masalah di dunia ini dapat bermula atau bersumber dari kondisi keluarga. Jika kita menemukan remaja bermasalah, atau orang dewasa yang bermasalah, bisa dilacak sejak dari kondisi keluarganya. Studi yang dilakukan Olson juga menemukan hal serupa, bahwa keluarga terkadang membuat masalahnya sendiri dan terkadang lingkungan terlalu banyak memberikan masalah pada keluarga. Berita baiknya, semua masalah tersebut juga bisa berakhir di keluarga apabila memiliki keluarga yang kuat. Prinsip 6: Kita harus dapat berupaya menguatkan keluarga baik pada level mikro maupun makro. Melihat kondisi keluarga tidak bisa hanya dari sisi mikro, ataupun hanya dari sisi makro. Kedua sisi itu sama penting dalam membentuk kekuatan sebuah keluarga. Program mikro dibutuhkan untuk membimbing pasangan suami istri dan keluarga agar bisa berinteraksi dengan baik dan mampu mengatasi masalah dengan lebih efektif. Sedangkan program makro diperlukan untuk membantu keluarga yang terperangkap dalam masalah yang berasal dari lingkungan atau sistem. Keluarga tidak bisa hidup sendiri, mereka memerlukan lingkungan besar berupa masyarakat, bangsa, dan negara. Prinsip 7: Tidak semua keluarga kuat, tetapi semua keluarga memiliki kekuatan. Secara sangat positif, Defrain menyatakan, “All families have strengths.” Kenyataan yang kita lihat dalam kehidupan sehari-hari, tidak semua keluarga adalah keluarga yang tangguh. Akan tetapi, semua keluarga memiliki kekuatan. Bahkan dalam keluarga yang paling bermasalah sekalipun, kita akan dapat menemukan orang baik, perbuatan baik, atau hal baik yang bisa digunakan sebagai kekuatan keluarga. Berbagai potensi kekuatan ini dapat digunakan sebagai fondasi perkembangan keluarga di masa yang akan datang. Prinsip 8: Keluarga bukanlah tentang struktur, melainkan tentang fungsi. Defrain menemukan, “It’s not about structure, it’s about function”, bahwa kekuatan keluarga tidak bertumpu semata kepada adanya struktur dalam keluarga itu. Namun, lebih ditentukan bagaimana struktur itu berfungsi dengan baik. Sekadar mengetahui struktur suatu keluarga tidak bisa memberikan informasi tentang kekuatan dari keluarga tersebut. Kekuatan keluarga lebih ditentukan oleh sikap saling mencintai, saling mengasihi, saling peduli, saling menjaga, saling
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 154 memberikan yang terbaik, dari semua anggota keluarga. Inilah yang dimaksud dengan fungsi. Prinsip 9: Ketahanan keluarga bukan tentang kelompok etnis atau budaya tertentu. Keluarga adalah hal yang universal. Mengetahui latar belakang budaya suatu keluarga, tidak memberikan informasi seberapa kuat keluarga tersebut. Artinya, keluarga tangguh itu bukan milik satu budaya tertentu saja, sebagaimana keluarga rapuh tidak identik dengan suatu budaya tertentu. Dalam masyarakat Islam, kita menjumpai ada sangat banyak keluarga yang tangguh, tetapi kita juga menjumpai keluarga yang rapuh. Demikian pula dalam berbagai komunitas masyarakat lainnya. Prinsip 10: Segala yang terjadi padamu terjadi padaku. Defrain mengungkapkan sebuah relasi sistemik dalam keluarga, “Everything that happens to you, happens to me.” Keluarga adalah sebuah sistem, ketika satu pihak selalu bergantung kepada pihak lain. Satu pihak selalu memengaruhi pihak lainnya. Maka, ketika sesuatu hal terjadi pada salah satu anggota keluarga, hal tersebut dirasakan pula dampaknya oleh anggota keluarga lainnya. Jika seorang suami memberikan perhatian dan kasih sayang yang penuh terhadap istri, membuat sang istri merasa bahagia. Jika istri bahagia, ia akan mengurus anak- anak dengan baik. Begitu pula apabila terjadi kondisi yang sebaliknya. Prinsip 11: Hubungan yang kuat antara suami dan istri merupakan hal sentral di banyak keluarga. Defrain menemukan, “Strong marriages are the center of many strong families. The couple relationship is an important source of strength in many families with children who are doing well.” Bahwa hubungan antara suami dan istri merupakan hal yang sentral untuk penguatan keluarga. Namun, untuk menjadi keluarga yang kuat, tidak selalu mensyaratkan kondisi hubungan tersebut. Karena kekuatan keluarga bisa berasal dari beragam faktor yang berbeda. Misalnya, keluarga single parent tetap bisa membangun keluarga yang kuat, apabila pandai memanfaatkan berbagai faktor untuk menguatkan keluarganya. Prinsip 12: Keluarga yang kuat cenderung menghasilkan generasi yang kuat. Defrain menemukan, “Strong families tend to produce great kids; and a good place to look for great kids is in strong families.” Tempat paling tepat untuk menemukan generasi yang tangguh adalah pada keluarga yang tangguh. Keluarga yang tangguh merupakan tempat yang baik untuk membesarkan anak. Artinya, jika ingin memproduksi generasi yang hebat untuk membangun bangsa dan negara, kuncinya adalah pada penguatan keluarga. Mustahil tercipta generasi yang kuat apabila tidak membangun kekuatan keluarga. Prinsip 13 : Jika Anda besar di dalam keluarga yang kuat, akan lebih mudah bagi Anda untuk membentuk keluarga yang kuat di masa dewasa. Defrain menemukan, “If you grew up in a strong family as a child, it will probably be easier for you to create a strong family of your own as an adult.” Anak yang tumbuh dalam keluarga yang kuat, akan lebih mudah bagi mereka untuk
membentuk keluarga yang kuat pula kelak ketika mereka sudah hidup berumah Materi Diklat #1| 155 tangga. Meskipun mereka bisa banyak belajar tentang hidup berumah tangga dari banyak referensi, sumber inspirasi utama mereka untuk membangun keluarga adalah kondisi keluarga orang tuanya. Meskipun demikian, tetap ada kemungkinan bahwa anak yang besar di keluarga yang bermasalah, masih dapat mengembangkan keluarga yang kuat pada masa dewasa. Prinsip 14: Hubungan antara ketahanan keluarga dan uang cenderung lemah. Defrain menemukan, “The relationship between money and family strengths is tenuous.” Ada banyak contoh, bahwa keluarga yang kuat memiliki kondisi keuangan yang bagus. Akan tetapi, banyak pula dijumpai keluarga kuat yang dengan kondisi keuangan yang lemah. Maka, akan tampak realitas bahwa keluarga kaya memiliki faktor-faktor kekuatan, tetapi pada keluarga miskin juga memiliki banyak faktor kekuatan. Apabila terpenuhi kebutuhan dasar hidup seperti makan, pakaian, tempat tinggal, akses pendidikan, dan kesehatan, setiap keluarga dapat mengembangkan keluarga yang kuat. Prinsip 15: Kekuatan berkembang seiring berjalannya waktu. Defrain menemukan, “Strengths develop over time.” Ketika pasangan suami istri mengawali kehidupan berumah tangga, ada banyak tantangan, hambatan dan permasalahan yang mereka temui. Apabila mereka pandai menghadapi berbagai permasalahan kehidupan tersebut, kekuatan keluarga akan makin bertumbuh. Banyak pasangan yang menghadapi masa-masa berat pada awal pernikahan, tetapi mampu membangun keluarga yang sehat dan bahagia. Waktu adalah bagian penting dari proses penguatan sebuah keluarga. Semua membutuhkan waktu, tidak ada yang tiba-tiba. Prinsip 16: Kekuatan sering kali berkembang sebagai respons dari tantangan kehidupan. Defrain menemukan, “Strengths are often developed in response to challenges.” Makin pandai sebuah keluarga menghadapi dan mengelola permasalahan akan makin bagus ketahanan keluarga mereka. Sebaliknya, jika pasangan suami istri cepat berputus asa dan tidak siap menghadapi berbagai persoalan kehidupan, akan cenderung melahirkan keluarga yang rapuh. Ketahanan keluarga diuji oleh tekanan kehidupan dan krisis besar yang berhasil mereka lalui. Seperti kredo para pelaut, “Hanya lautan dengan ombak besar yang akan melahirkan nahkoda tangguh.” Prinsip 17: Keluarga yang kuat tidak banyak berpikir mengenai kekuatannya, mereka hidup bersamanya. Defrain menemukan, “Strong families don’t tend to think much about their strengths, they just live them.” Pada keluarga yang kuat, sering kali tidak dapat menyebutkan faktor-faktor kekuatannya. Hal itu karena mereka telah menjadikan kekuatan sebagai bagian utuh dari kehidupan mereka. Hal ini bisa kita lihat dengan mudah pada banyak keluarga di daerah-daerah dengan akses pendidikan yang terbatas. Misalnya kakek nenek kita zaman dahulu yang tidak banyak belajar tentang teori berumah tangga, mereka mampu
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 156 membangun keluarga yang kokoh. Hal itu karena faktor-faktor kekuatan sudah menyatu dalam kehidupan mereka. Prinsip 18: Keluarga yang kuat selayaknya manusia, bukanlah merupakan hal yang sempurna. Defrain menyatakan, “Strong families, like people, are not perfect.” Keluarga adalah organisme hidup yang selalu bertumbuh dan berkembang. Kondisinya sangat dinamis. Keluarga yang sudah mencapai kekuatan pada satu masa, bisa mengalami perubahan pada masa berikutnya. Demikian pula keluarga yang rapuh, bisa menjadi kuat pada masa berikutnya. Keluarga bukan sistem yang statis, tetapi selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Sebagaimana manusia, keluarga juga tidak sempurna. Selalu ditemukan kekurangan dan kelemahan. Namun, semua bisa diperbaiki dari waktu ke waktu. Prinsip 19: Upaya untuk menyatukan manusia, komunitas, dan bahkan negara, didasarkan pada ketahanan keluarga, adalah suatu strategi yang kuat. Defrain menyatakan, “When seeking to unite groups of people, communities, and even nations, uniting around the cause of strengthening families –a cause we can all sanction– can be a powerful strategy.” Keluarga merupakan ikatan umum yang dapat ditemukan di segala penjuru dunia. Oleh karena itu, strategi yang powerful untuk menyatukan sumber daya manusia, masyarakat, bangsa, dan negara, bisa dimulai dengan pembangunan keluarga yang kuat. Pandangan ini telah meletakkan keluarga sebagai hal sentral dalam pembangunan peradaban. Prinsip 20: Manusia memiliki hak dan tanggung jawab untuk merasa aman, nyaman, bahagia, dan dicintai. Defrain menyatakan, “Human beings have the right and responsibility to feel safe, comfortable, happy, and loved.” Pada dasarnya, semua manusia memiliki hak dan tanggung jawab yang sama untuk merasa aman, nyaman, bahagia, dan dicintai. Oleh karena itulah, semua pihak harus ikut bertanggung jawab terhadap kuatnya sistem keluarga. Makin kuat keluarga, makin tercipta perasaan aman, nyaman, bahagia, dan dicintai. Dengan dukungan komunitas besar, banyak keluarga memiliki kapabilitas untuk berkembang ke arah yang lebih positif.
Memahami Urgensi Resiliensi Keluarga Materi Diklat #1| 157 Tujuan Pembelajaran Umum: Membangun pemahaman dan penghayatan konsep tentang urgensi resiliensi keluarga sehingga memiliki kesadaran akan pentingnya mempelajari ilmu, sikap positif dan konstruktif di tengah keluarga, serta keterampilan membina ketahanan keluarga. Tujuan Pembelajaran Khusus: 1. Peserta pendampingan memahami pengertian resiliensi keluarga. 2. Peserta pendampingan memahami peran dalam mewujudkan resiliensi keluarga. 3. Peserta pendampingan memahami pentingnya meningkatkan kapasitas SDM anggota keluarga. 4. Peserta pendampingan mampu mengidentifikasi faktor-faktor pemicu kerentanan keluarga dan faktor pembentuk resiliensi yang ada pada keluarganya dan mampu mempertahankan serta mengembangkannya. 5. Peserta pendampingan membangun kesadaran pentingnya belajar sepanjang hayat secara mandiri atau mengikuti program edukasi keluarga agar menjadi keluarga yang tangguh. Alternatif Kegiatan Pembelajaran: 1. Pendamping memantik dengan cara menyampaikan isu terkini atau contoh kasus kerentanan keluarga, baik lingkup lokal di lingkungan sekitar maupun nasional, bahkan global. 2. Peserta diminta memberikan tanggapan tentang isu-isu terkini berkenaan dengan kerentanan keluarga. 3. Peserta mendapat penjelasan tentang resiliensi keluarga. 4. Pendamping memfasilitasi diskusi tentang alternatif program apa saja untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, serta keterampilan mewujudkan resiliensi keluarga. Uraian Materi: Mari kita simak sejenak kisah keluarga berikut ini. Susi adalah seorang ibu rumah tangga yang telah menjalani kehidupan bersama Anton, sang suami, lebih dari 15 tahun. Pada sebagian besar rentang kehidupannya, Susi sangat banyak ditimpa kemalangan dan kesengsaraan hidup. Bermula dari suami yang terkena PHK, kemudian disusul kebangkrutan dalam berbagai bisnis dan usaha, bahkan akhirnya Anton mengalami kelumpuhan akibat penyakit yang menderanya. Susi adalah perempuan yang tegar. Setiap hari, ia sudah bangun sejak pagi buta kemudian mengerjakan semua urusan rumah tangga. Menyiapkan sarapan,
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 158 menyiapkan keperluan anak sekolah, hingga mengantar anak-anak sekolah dengan sepeda motor tua. Usai itu, Susi segera mengurus sang suami yang lumpuh dan mengantarkannya berobat ke dokter serta tempat pengobatan alternatif. Ia boncengkan sang suami dengan susah payah, tetapi ia tabah menjalani itu sekian lama. Sedang Anton adalah tipe suami yang sangat bertanggung jawab. Sikap positif Anton tetap tampak sampai saat ia mengalami kelumpuhan. Anton tidak pernah mengeluh dan menghadapi kemalangan tersebut dengan penuh kesabaran. Faktor apakah yang membentuk sikap hidup Susi serta Anton? Mengapa mereka demikian tegar menghadapi sejumlah masalah berat dalam kehidupan berumah tangga? Inilah yang disebut sebagai resiliensi (kelentingan) keluarga. Dalam kehidupan berumah tangga, kita melihat ada sikap yang berbeda-beda antara satu keluarga dengan keluarga lainnya dalam hal menghadapi situasi krisis atau situasi darurat. Pada sebagian keluarga, mereka bisa keluar dari situasi krisis tersebut dengan mudah dan cepat. Namun, pada keluarga yang lain tampak sedemikian berat dan payah bahkan ada keluarga yang tidak mampu keluar dari situasi krisis. Ada banyak pribadi yang menderita dalam kehidupan berumah tangga. Salah satu sebab yang bisa menjelaskan perbedaan itu, seperti yang juga disebutkan di atas adalah tingkat resiliensi (kelentingan) yang dimiliki oleh keluarga tersebut. Masing-masing keluarga memiliki tingkat resiliensi yang berbeda-beda, karena individu penyusun setiap keluarga memiliki kondisi internal maupun eksternal yang juga berbeda-beda. Makin tinggi tingkat resiliensi seseorang atau satu keluarga akan makin cepat mengalami penyembuhan dan pemulihan setelah mengalami keterpurukan. Sebaliknya, makin rendah tingkat resiliensi mereka, makin lama pula untuk mengalami pemulihan. Faktor Risiko Pemicu Kerentanan Keluarga Kehidupan berumah tangga selalu ada dinamika berupa permasalahan dan tantangan silih berganti. Bahkan bisa dikatakan, kehidupan keluarga tidak pernah sepi dari permasalahan dan tantangan, baik dari dalam maupun dari luar. Terdapat sejumlah hal dalam keluarga yang diidentifikasi sebagai faktor- faktor risiko yang berpotensi memunculkan kerentanan, permasalahan, dan tantangan. Faktor-faktor risiko ini berbeda antara keluarga yang satu dengan keluarga yang lainnya. Ariel Kalil (2003) menyebutkan enam faktor risiko, yaitu kemiskinan, pengangguran, perceraian, kematian, penyakit kronis, dan ketidaksuburan reproduksi. Sedangkan Eldridge (1994) menambahkan faktor perkembangan teknologi, sosial, budaya, dan politik sebagai sumber stres kolektif yang secara langsung memengaruhi kehidupan serta kondisi keluarga. Berikut tujuh faktor pemicu kerentanan dalam keluarga. a. Kemiskinan Kemiskinan yang teramat sangat akan memberikan dampak tekanan kehidupan pada semua anggota keluarga. Mereka tidak mampu hidup secara layak, bahkan dalam memenuhi kebutuhan yang sangat mendasar: pangan, papan, sandang.
Dalam situasi kemiskinan yang sangat menyulitkan, keluarga benar-benar Materi Diklat #1| 159 menghadapi tekanan yang sangat berat. Pada pasangan yang tidak memiliki daya resiliensi, kemiskinan mudah menyulut konflik hingga sampai tingkat perceraian. Kemiskinan adalah faktor penyebab perceraian yang cukup tinggi di Indonesia. b. Pengangguran Persaingan dunia kerja yang makin keras menimbulkan risiko pengangguran yang lebih besar. Bukan hanya pada mereka yang tidak berpendidikan, risiko ini bisa menimpa orang-orang dengan pendidikan tinggi sekalipun karena tidak berhasil mendapatkan job yang sesuai dengan kapasitas keilmuannya. PHK permanen pada berbagai perusahaan makin menambah angka pengangguran. Suami yang biasa bekerja mapan, mendadak berhenti bekerja karena PHK, bisa menjadi stresor berat. Suami yang menganggur di rumah, bisa menjadi pemicu masalah lebih lanjut dalam kehidupan berumah tangga. c. Perceraian Perceraian menimbulkan tekanan kejiwaan baik pada pihak suami, istri maupun anak-anak. Kebersamaan yang sudah dinikmati selama bertahun-tahun, harus rusak oleh persoalan tertentu yang berdampak perceraian. Setelah bercerai, masalah muncul lagi pada masing-masing anggota keluarga, terlebih pada anak-anak. Mereka bisa mengalami alienasi, keterasingan, kesepian, kehilangan figur, dan kehilangan kehangatan karena perubahan pola dalam kehidupan. Yang semula berada dalam kondisi keluarga yang utuh, setelah bercerai menjadi tidak lagi utuh. Anak-anak paling rentan mengalami faktor risiko tekanan kehidupan setelah orang tua bercerai. d. Kematian Kematian salah satu atau beberapa anggota keluarga menimbulkan tekanan dan persoalan kehidupan. Kehilangan orang yang dicintai bisa menjadi penyebab stres dalam waktu panjang dan memengaruhi kestabilan kehidupan keluarga. Ditinggal mati suami, ditinggal mati istri, anak, atau orang tua, bisa menjadi faktor pemicu stres yang harus disiapkan dan dikelola dengan baik. Pada pribadi dan keluarga yang memiliki resiliensi tinggi, kematian salah seorang dari anggota keluarga tidak akan menimbulkan stres berkepanjangan. Mereka bisa bersikap dengan matang dan dewasa, sehingga kesedihan yang muncul tidak sampai berlarut-larut. e. Penyakit Kronis Penyakit kronis dan parah yang diderita salah satu atau beberapa anggota keluarga bisa menjadi sumber stres yang berkelanjutan. Pada contoh suami sebagai tulang punggung ekonomi keluarga, apabila mendadak mengalami penyakit parah yang membuatnya tidak mampu bekerja produktif akan sangat berpengaruh bagi kelangsungan hidup keluarga. Istri dan anak-anak bisa mengalami stres karena kebutuhan hidupnya tidak terpenuhi. Demikian pula pada contoh istri yang mengalami penyakit berat yang membuatnya tidak mampu melayani suami, bisa menjadi tekanan berat bagi suami. Daya resiliensi pribadi maupun keluarga sangat diperlukan dalam menghadapi masalah berat seperti ini.
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 160 f. Ketidaksuburan Reproduksi Salah satu tujuan menikah dan berumah tangga adalah memiliki anak. Maka, tatkala dalam pernikahan tidak bisa memiliki keturunan karena ketidaksuburan reproduksi, bisa memunculkan persoalan tersendiri yang cukup pelik. Kadang terjadi suasana saling menyalahkan antara suami dan istri, keduanya saling menuduh pasangannya sebagai pihak penyebab tidak memiliki anak. Hasil cek medis kadang bertolak belakang, yang justru makin membuat keduanya saling menyalahkan. Jika kedua belah pihak memiliki daya resiliensi tinggi, situasi seperti ini akan bisa diatasi dengan baik. g. Perkembangan Teknologi Tidak bisa dipungkiri teknologi informasi dan komunikasi telah melaju dengan sangat cepat. Kecepatan perkembangan teknologi tidak sebanding dengan kecepatan daya antisipasi yang bisa dilakukan oleh manusia. Dampaknya, sering kali manusia terjajah oleh teknologi. Sangat banyak dijumpai keretakan dan kehancuran keluarga dipicu oleh faktor teknologi komunikasi dan informasi yang terlalu deras dan tidak bijak dalam memanfaatkannya. Akhirnya, teknologi menjadi petaka dalam keluarga. Muncul pihak ketiga melalui fitur-fitur komunikasi, ketidaksetiaan telah dipermudah oleh perkembangan teknologi. h. Perkembangan Sosial, Budaya, dan Politik Salah satu faktor eksternal yang bisa memicu stres pada pribadi dan keluarga adalah perkembangan sosial, budaya, dan juga politik. Situasi kehidupan yang terus-menerus berubah, tuntutan hidup yang terus berkembang, sering kali tidak diikuti dengan kemampuan untuk segera beradaptasi. Apalagi pergaulan pada zaman siber saat ini tidak lagi terbatas pada lokal yang sempit, tetapi sudah menjadi pergaulan global yang tidak memiliki batas- batas wilayah yang tegas. Akhirnya, berbagai pengaruh dengan mudah masuk dalam kehidupan pribadi dan keluarga. Ketidaksiapan mengantisipasi perubahan- perubahan kondisi sosial, budaya, dan politik, bisa memicu risiko stres pada pribadi dan keluarga. Pengertian Resiliensi Keluarga Resiliensi atau kelentingan adalah kemampuan individu atau komunitas untuk mengatasi dan beradaptasi terhadap kejadian yang berat atau masalah dan penderitaan yang terjadi dalam kehidupan. Resiliensi juga dipahami sebagai kemampuan untuk bertahan dalam keadaan tertekan dan bahkan berhadapan dengan kesengsaraan (adversity) atau trauma yang dialami dalam kehidupannya. Resiliensi juga merupakan kemampuan individu atau komunitas untuk mengelola perubahan (tantangan atau keberagaman hidup) untuk menjaga kesejahteraan mental. Resiliensi keluarga menggambarkan kondisi keluarga yang mampu beradaptasi dan berhasil melalui stres, baik pada saat sekarang maupun waktu-waktu berikutnya (Hawley & DeHaan, 1996, dalam Kalil, 2003). Keluarga yang resilien akan merespons secara positif setiap kesulitan dengan menggunakan cara-cara yang unik, sesuai konteks, tingkat permasalahan, serta dengan mempertimbangkan sudut pandang seluruh anggota keluarga. Menurut
National Network for Family Resiliency (1995), resiliensi keluarga adalah Materi Diklat #1| 161 kemampuan keluarga untuk menggunakan kekuatan yang dimilikinya guna menghadapi setiap kesulitan, hambatan, maupun tantangan hidup secara positif. Hal ini mencakup pula kemampuan keluarga untuk kembali ke level kondisi sebelum terjadinya krisis. Artinya, ketika suatu saat keluarga menghadapi permasalahan berat yang membuat situasi keluarga menjadi terpuruk dan penuh tekanan, dengan kemampuan yang dimiliki, keluarga tersebut dapat mengupayakan untuk mengatasi persoalan secara tuntas dan segera kembali pada kondisi stabil seperti saat persoalan belum dihadapi. Olson & DeFrain (dalam: Kalil, 2003) mendefinisikan resiliensi keluarga sebagai sebuah kondisi keluarga yang kuat dan kokoh sehingga keluarga tersebut mampu menghadapi dan menyelesaikan berbagai persoalan. Lebih lanjut dikatakan bahwa resiliensi akan dimiliki oleh keluarga yang committed, yang di antara individu di dalamnya dapat saling menghargai satu sama lain, menghabiskan waktu bersama, mampu berkomunikasi secara jelas dan mampu menghadapi krisis dengan cara yang positif. Resiliensi bukanlah hal yang statis, tetapi dapat berubah sewaktu-waktu seiring dengan perubahan situasi dan kondisi. Perubahan dalam kehidupan berumah tangga akan terus-menerus terjadi mengingat kondisi keluarga yang sangat dinamis. Tantangan akan datang silih berganti, persoalan akan selalu dihadapi. Maka, memiliki resiliensi menjadi kebutuhan setiap keluarga. Seseorang atau keluarga yang memiliki resiliensi tinggi, lebih mampu untuk menghadapi tuntutan perkembangan yang mereka alami dari sisi biologis, fisiologis, psikologis, dan sosial. Keluarga akan lebih mampu menghadapi situasi kemalangan, kenelangsaan, kesedihan, dan cepat pulih setelah mengalami keterpurukan. Mereka akan merdeka dari kesengsaraan. Fungsi Resiliensi Dalam kehidupan pribadi maupun keluarga, ada sangat banyak fungsi resiliensi. Di antara fungsi resiliensi sebagai berikut. Pertama, menghindarkan keluarga dari penderitaan. Keluarga bisa saja menemui kesengsaraan atau masalah yang menimbulkan penderitaan dalam kehidupan. Oleh karena itu, keluarga membutuhkan resiliensi untuk menghindar dari kesengsaraan dan penderitaan tersebut. Di antara cara yang dapat dilakukan adalah dengan menganalisis kondisi dan mengubah cara pandang menjadi lebih positif. Selain itu, bisa dilakukan dengan mengarahkan kehidupan keluarga agar dapat termotivasi, produktif, memiliki keterlibatan sosial, dan selalu merasa bahagia meskipun dihadapkan pada berbagai tekanan baik yang terduga maupun yang tidak terduga. Kedua, memandu keluarga untuk melalui situasi sulit. Pribadi dan keluarga yang mempunyai resiliensi tinggi akan mampu memandu sumber daya dari dalam dirinya sendiri untuk mengatasi setiap masalah yang ada, tanpa harus bersikap negatif terhadap masalah tersebut. Daya resiliensi akan membuat keluarga mampu mengendalikan semua permasalahan dalam kehidupan dengan baik. Bahkan dalam kejadian
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 162 penderitaan yang berat, keluarga bisa melakukan self-efficacy yaitu keyakinan terhadap diri sendiri bahwa dirinya dapat menguasai lingkungan secara efektif serta dapat memecahkan berbagai masalah yang ada. Keluarga akan terbimbing atau terpandu untuk melalui berbagai situasi dan kondisi sulit yang mereka alami. Ketiga, mempercepat melakukan pemulihan. Kadang keluarga mengalami persoalan yang sangat berat dalam kehidupan sehingga diperlukan resiliensi yang lebih tinggi untuk menghadapi dan mengendalikan persoalan. Dalam situasi ketertekanan yang hebat, keluarga yang mempunyai resiliensi tinggi akan mampu kembali kepada kehidupan normal jauh lebih cepat daripada keluarga lainnya. Resiliensi membuat keluarga mampu kembali normal setelah mengalami keterpurukan. Bahkan bisa menjadi lebih baik dari kondisi semula. Oleh karena itu, keluarga harus mengetahui cara mencari sumber bantuan yang tepat dan berhubungan dengan orang lain sebagai upaya untuk mengatasi persoalan yang mereka hadapi. Faktor-Faktor Pembentuk Daya Resiliensi Mari kita cermati fenomena beberapa rumah tangga. Secara selintas kita menyaksikan ada keluarga yang tangguh dan ada keluarga yang rapuh. Ada keluarga yang kerap ditimpa kemalangan, tetapi sanggup mereka hadapi dengan penuh kedewasaan, kesabaran, dan ketabahan. Mereka tidak suka mengeluh, dan cepat pulih setelah mengalami keterpurukan. Inilah keluarga yang tangguh. Namun, ada pula keluarga yang begitu ditimpa kemalangan, begitu cepat mengeluh, dan tidak mampu bangkit dari keterpurukan. Keluarga ini mudah hancur berantakan. Inilah keluarga yang rapuh. Untuk memahami fenomena perbedaan kondisi keluarga tersebut, mari kita lihat sisi-sisi resiliensi. Paling tidak ada tujuh faktor yang membentuk daya resiliensi dalam diri seseorang. Apabila suami dan istri memiliki daya resiliensi yang tinggi, keluarga akan menjadi tangguh. Keluarga yang resilien atau lenting, yaitu mampu menghadapi setiap permasalahan dengan cepat dan tepat, tanpa membahayakan kebaikan dan keutuhannya. Dari berbagai studi, ditemukan setidaknya tujuh faktor yang membentuk daya resiliensi pada diri seseorang. Tujuh faktor itu adalah sebagai berikut. Pertama, Regulasi Emosi Para ahli menyatakan, yang dimaksud dengan regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang di bawah kondisi yang menekan. Orang yang tidak memiliki kemampuan mengatur emosi, cenderung mengalami kesulitan dalam membangun dan menjaga hubungan dengan orang lain. Penjelasan yang sederhananya, tidak ada orang yang mau menghabiskan waktu bersama orang yang mudah marah, cepat merengut, selalu cemas, khawatir, serta gelisah di setiap saat. Suami atau istri yang tidak mampu mengatur dan mengelola emosi akan membuat pasangannya merasa tidak nyaman. Bahkan dalam kondisi tertentu, bisa membuat seseorang menjadi sangat tertekan karena sikap emosional pasangannya. Demikian pula dalam relasi antara orang tua dengan anak. Jika orang tua tidak memiliki kemampuan regulasi emosi akan membuat anak merasa tidak nyaman berada di dekat mereka. Dalam kehidupan keluarga, emosi yang
dirasakan dan dimiliki oleh seorang anggota keluarga akan cenderung Materi Diklat #1| 163 berpengaruh terhadap anggota keluarga lainnya. Uniknya, makin seseorang terasosiasi dengan kemarahan, ia akan makin menjadi pemarah. Misalnya, seorang suami yang dikenal dan disebut sebagai pemarah oleh istri dan anak-anak akan membuat dia menjadi makin mudah marah. Dengan sikap yang mudah marah tersebut, membuat istri dan anak-anak makin tertekan. Inilah suasana keterkaitan dan keterikatan yang terjadi dalam suatu keluarga. Ada tiga keterampilan yang dapat memudahkan individu untuk melakukan regulasi emosi, yaitu yaitu sikap tenang (calming), fokus (focusing), dan mengubah posisi (positioning). a. Calming Keterampilan untuk bersikap tenang (calming) ini mampu membantu individu untuk mengontrol emosi ketika tengah banyak hal yang mengganggu. Sikap tenang juga akan mampu meredam stres yang tengah terjadi. Jika suami dan istri memiliki kemampuan kemampuan untuk menjaga sikap tenang, berbagai masalah dan persoalan akan sangat mudah untuk diselesaikan. Karena pada dasarnya, masalah menjadi mudah apabila dihadapi dengan sikap tenang dan tidak emosional. Bagi setiap muslim, sikap tenang akan muncul melalui sarana pendekatan kepada Allah. Berbagai sarana spiritual telah dituntunkan dalam Islam untuk melakukan regulasi emosi. Allah berfirman, “Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan berzikir (mengingat) Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram” (QS. Ar-Ra’du: 28). Rasulullah saw. bersabda, “Sungguh saya mengetahui ada satu kalimat, jika dibaca oleh orang ini, marahnya akan hilang. Jika dia membaca A’udzu billahi minas syaithanir rajim, marahnya akan hilang” (HR. Bukhari dan Muslim). Nabi saw. bersabda, “Sesungguhnya marah itu dari setan, dan setan diciptakan dari api, dan api bisa dipadamkan dengan air. Apabila kalian marah, hendaknya berwudu” (HR. Ahmad dan Abu Daud). Ibnu Qayyim Al-Jauzi menjelaskan, “Sesungguhnya hati tidak akan (merasakan) ketenangan, ketenteraman, dan kedamaian, melainkan jika pemiliknya berhubungan dengan Allah—dengan melakukan ketaatan kepada- Nya.” Ibnu Qayyim Al-Jauzi menambahkan, “Barangsiapa yang tujuan utama (dalam hidupnya), kecintaannya, rasa takutnya, dan ketergantungannya hanya kepada Allah, maka ia telah mendapatkan kenikmatan dari-Nya, kelezatan dari- Nya, kemuliaan dari-Nya, dan kebahagiaan dari-Nya untuk selama-lamanya.” b. Focusing Ketika seseorang tengah berada dalam situasi emosi, ia bisa mengalihkan fokus perhatiannya kepada hal-hal lain yang bisa meredakan emosinya. Jika ia terus- menerus fokus kepada hal yang membuatnya emosi, hal ini justru tidak akan bisa segera meredakan emosi. Seharusnya, ia segera melakukan tindakan yang lain sehingga fokus dengan tindakan itu. Seorang muslim bisa fokus melakukan muhasabah atas kekurangan dirinya sehingga ia menjadi menyadari adanya kelemahan dan aib diri. Pada dasarnya,
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 164 semua manusia memiliki kekurangan, kelemahan, dan aib. Jika Anda ingin Allah menutupi aib Anda, jangan izinkan emosi negatif menguasai diri Anda. Nabi saw. telah bersabda, “Siapa yang menahan emosinya, maka Allah akan tutupi kekurangannya. Siapa yang menahan marah, padahal jika dia mau, dia mampu melampiaskannya, maka Allah akan penuhi hatinya dengan keridaan pada hari kiamat” (HR. Ibnu Abi Dunya). Cara lain untuk focusing adalah dengan membayangkan keindahan surga. Barangsiapa bisa mengendalikan marah, baginya dijamin surga. Nabi saw. telah bersabda, “Jangan marah, bagimu surga” (HR. Thabrani). Bahkan Nabi saw. memberitakan rincian keindahan surga bagi siapa pun yang bisa mengendalikan emosi negatifnya. Dari Muadz bin Anas Al-Juhani r.a., Rasulullah saw. bersabda, “Siapa yang berusaha menahan amarahnya, padahal dia mampu meluapkannya, maka dia akan Allah panggil di hadapan seluruh makhluk pada hari kiamat, sampai Allah menyuruhnya untuk memilih bidadari yang dia kehendaki.” (HR. Abu Daud, Turmudzi) c. Positioning Salah satu cara melakukan regulasi emosi adalah dengan perubahan posisi. Rasulullah saw. bersabda, “Apabila kalian marah, dan dia dalam posisi berdiri, hendaknya dia duduk. Karena dengan itu marahnya bisa hilang. Jika belum juga hilang, hendak dia mengambil posisi tidur.” (HR. Ahmad dan Abu Daud). Kedua, Pengendalian Impuls Yang dimaksud dengan pengendalian impuls adalah kemampuan untuk mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri sendiri. Mengendalikan keinginan adalah salah satu hal yang sering kali sulit dilakukan. Saat memiliki suatu keinginan atau kesukaan tertentu, kecenderungan orang pada umumnya adalah dengan sesegera mungkin memenuhi atau mewujudkannya. Seseorang yang tidak memiliki kemampuan pengendalian impuls, cepat mengalami fluktuasi emosi yang pada akhirnya mengendalikan pikiran dan perilakunya. Saat memiliki sesuatu keinginan, ia ingin segera mendapatkan. Ia tidak bisa menahan untuk menunda atau untuk membatalkan keinginannya. Jika seorang istri tidak mampu mengendalikan keinginan, akan memunculkan sikap emosional terhadap suami karena menganggap suami tidak peduli bahkan tidak cinta lagi, disebabkan tidak segera memenuhi keinginannya. Demikian pula suami yang tidak mampu mengendalikan keinginan akan mudah meledak kemarahan terhadap istri hanya karena istri tidak segera memenuhi keinginannya. Oleh karena itu, kemampuan pengendalian impuls menjadi hal yang sangat penting agar resiliensi keluarga bisa tercapai dan bisa makin tinggi. Makin bagus kemampuan pengendalian impuls dalam diri suami dan istri, makin bagus pula kemampuan resiliensi mereka. Orang yang tidak memiliki kemampuan pengendalian impuls, menampilkan perilaku mudah marah, kehilangan kesabaran, impulsif, dan berlaku agresif. Perilaku seperti ini membuat anggota keluarga merasa tidak nyaman sehingga berakibat pada buruknya hubungan di antara mereka. Pengendalian impuls bisa dilakukan dengan banyak cara. Ada pendekatan spiritualitas agama, ada pula dengan pendekatan manajemen pikiran serta perilaku.
a. Pendekatan Spiritualitas Agama Materi Diklat #1| 165 Dalam perspektif spiritualitas agama, puasa adalah salah satu ibadah yang memberikan latihan untuk mengendalikan impuls. Ada dorongan dan keinginan untuk makan, minum, maupun hubungan suami istri. Namun, harus dengan sengaja dan sadar menahan diri untuk tidak memenuhi karena sedang puasa. Membayarkan zakat, bersedekah dan infak, juga memiliki dimensi pengendalian impuls. Seseorang harus rela menunda keinginan membeli sesuatu karena mengutamakan membayar zakat, infak, dan sedekah. Salat juga memiliki dimensi pengendalian impuls. Saat ada keinginan melakukan tindakan yang menyenangkan—tetapi terlarang, maka salat mengingatkan agar tidak melakukan hal terlarang. Demikian pula zikir. b. Pendekatan Manajemen Pikiran dan Perilaku Dalam perspektif manajemen pikiran, pengendalian impuls bisa dilakukan dengan selalu berpikir positif serta konstruktif. Hal ini penting untuk mencegah terjadinya kesalahan pemikiran sehingga dapat memberikan respons yang tepat pada permasalahan yang ada. Seseorang dapat melakukan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat rasional yang ditujukan kepada dirinya sendiri, seperti, “Apakah kesimpulan yang aku ambil atas masalah ini benar-benar berdasarkan fakta atau hanya persangkaanku saja?” “Apakah aku sudah melihat permasalahan secara komprehensif ataukah hanya permukaannya saja?” “Adakah hikmah dan manfaat dari semua masalah ini?” Pertanyaan tersebut mengarahkan seseorang untuk lebih mampu mengendalikan impuls dalam dirinya. Kemampuan mengendalikan impuls ini memang sangat terkait dengan faktor yang sebelumnya, yaitu regulasi emosi. Keduanya berhubungan dengan sangat erat. Ketiga, Sikap Optimistis Pada dasarnya, individu yang resilien adalah individu yang optimistis. Seseorang dikatakan optimistis apabila ia mampu melihat masa depannya cemerlang, atau lebih baik dari saat ini. Pasangan suami istri yang yakin bahwa mereka memiliki kemampuan untuk mengatasi permasalahan atau kemalangan yang bisa saja terjadi sewaktu-waktu, menjadi faktor pembentuk resiliensi. Sikap optimistis yang dimiliki suami istri ini membuat mereka lebih tenang dalam menghadapi dan menyelesaikan setiap permasalahan. Sebaliknya, pribadi yang pesimistis, membuat dirinya memandang segala sesuatu secara negatif, memandang lemah diri sendiri dan pasangan, merasa tidak berdaya, dan pada akhirnya membuat mereka mudah mengalami kegagalan saat menghadapi beratnya permasalahan. Optimisme diperlukan oleh semua orang karena pada dasarnya berat atau ringan suatu masalah sangatlah relatif. Namun, sikap optimis menghadapi kehidupan pada masa depan akan membuat semua orang lebih nyaman dengan berbagai kondisi yang dihadapi saat ini. Masyarakat Indonesia memiliki pepatah, berakit-rakit ke hulu berenang- renang ketepian. Bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian. Ini adalah
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 166 contoh sikap optimistis bahwa kalaupun saat ini susah dan sakit, tetap ada harapan perbaikan pada masa depan. Sikap optimis adalah ajaran Islam. Al-Hulaimi rahimahullah mengatakan, “Nabi saw. suka dengan optimistis karena pesimistis merupakan cermin persangkaan buruk kepada Allah tanpa alasan yang jelas.” “Optimisme diperintahkan dan merupakan wujud persangkaan yang baik. Seorang mukmin diperintahkan untuk berprasangka baik kepada Allah dalam setiap kondisi,” lanjut Al-Hulaimi sebagaimana dinukil dalam Fathul Bari’, 10/226. Rasulullah saw. bersabda, “Bersemangatlah atas hal-hal yang bermanfaat bagimu. Dan minta tolonglah kepada Allah. Dan jangan kau lemah.” (HR. Muslim). Nabi bahkan menyatakan, “Jika terjadi hari kiamat sementara di tangan salah seorang dari kalian ada sebuah tunas, maka jika ia mampu sebelum terjadi hari kiamat untuk menanamnya maka tanamlah.” (HR. Ahmad) Dalam Al-Jami’ Al-Kabir karya Imam As-Suyuthi, dikisahkan Umar bin Khaththab memberikan nasihat kepada seseorang tua renta. Dari Amarah bin Khuzaimah berkata, “Aku mendengar Umar bin Khaththab berkata kepada bapakku. “Apa yang menghalangimu untuk menanam lahanmu?” Bapakku berkata, “Aku tua renta yang akan mati besok.” Umar berkata, “Aku yakinkan, engkau harus menanamnya.” Keempat, Analisis Penyebab Causal analysis atau analisis penyebab, merujuk pada kemampuan individu untuk mengidentifikasikan secara akurat penyebab dari permasalahan yang mereka hadapi. Orang yang tidak mampu mengidentifikasikan penyebab dari permasalahan yang dihadapi secara tepat akan terus-menerus berbuat kesalahan yang sama. Dalam sebuah keluarga, kemampuan suami dan istri untuk melihat penyebab atau akar masalah menjadi penting. Agar mereka bisa menghindari masalah yang sama pada waktu yang akan datang. Semua persoalan dalam hidup berumah tangga, pada dasarnya bermula dari mereka sendiri. Oleh karena itu, sikap yang paling tepat adalah melakukan evaluasi atas diri mereka sendiri dan tidak melempar kesalahan kepada pihak lain. Pribadi yang resilien tidak akan menyalahkan orang lain atas kesalahan yang mereka perbuat, demi menjaga harga diri mereka atau membebaskan mereka dari rasa bersalah. Mereka tidak terlalu terfokus pada faktor-faktor yang berada di luar kendali mereka. Sebaliknya, mereka memfokuskan dan memegang kendali penuh pada pemecahan masalah, perlahan mereka mulai mengatasi permasalahan yang ada, mengarahkan hidup mereka, bangkit dan meraih kesuksesan. Causal analysis di dalam sebuah keluarga merupakan tindakan yang penting untuk dilakukan. Masalah akan selalu ada dalam kehidupan rumah tangga yang merupakan manifestasi dari adanya akar masalah. Masalah dalam rumah tangga mudah terlihat dan mudah dirasakan. Akan tetapi, akar masalah yang menjadi penyebab munculnya masalah bukanlah sesuatu yang langsung terlihat. Pentingnya causal analysis bagi kehidupan rumah tangga adalah • menemukan akar dari berbagai masalah yang sering muncul dalam rumah tangga;
• melakukan tindakan pencegahan agar masalah yang sama tidak terus Materi Diklat #1| 167 berulang; • melakukan perbaikan untuk masa yang akan datang dan dapat dibandingkan dengan kondisi sebelum perbaikan; dan • menciptakan kebiasaan “sedia payung sebelum hujan” dalam rumah tangga. menerapkan causal analysis pada awalnya terasa sulit, tetapi apabila tidak dilakukan akan menjadi bertambah sulit dalam menyelesaikan permasalahan keluarga. Langkah melakukan causal analysis, antara lain sebagai berikut. a. Define and measure the problem. Langkah pertama adalah mengidentifikasi dan merumuskan masalah. Definisikan dan ukurlah masalah rumah tangga. Apa masalah yang sering dijumpai dalam kehidupan rumah tangga? Seberapa sering muncul? Apa tindakan yang bisa dilakukan untuk mencegah masalah yang sama terjadi lagi di waktu mendatang? Kapan dan dalam situasi seperti apa masalah itu terjadi? b. Analyze cause and effect relationship. Ketika permasalahan sudah berhasil didefinisikan, carilah akar penyebab masalah dan pahami bagaimana masalah itu saling berhubungan satu sama lainnya. Analisis ini akan membentuk dasar untuk menentukan solusi yang mampu mencegah terulangnya kembali masalah yang sama. c. Implement and control the best solutions. Carilah alternatif solusi berdasarkan hasil dari analisis penyebab. Solusi terbaik harus dipilih dan sekaligus memantau untuk menjaga agar masalah yang sama terjadi lagi. Kelima, Sikap Empati Empati adalah sikap menempatkan diri pada posisi orang lain. Hal ini sangat erat kaitannya dengan kemampuan individu untuk membaca tanda-tanda kondisi emosional dan psikologis orang lain. Beberapa individu memiliki kemampuan yang cukup mahir dalam menginterpretasikan bahasa-bahasa nonverbal yang ditunjukkan oleh orang lain. Misalnya ekspresi wajah, intonasi suara, bahasa tubuh, dan mampu menangkap apa yang dipikirkan dan dirasakan orang lain. Oleh karena itu, seseorang yang memiliki kemampuan empati cenderung memiliki hubungan sosial yang positif. Dalam kehidupan keluarga, suami istri yang mampu bersikap empati satu dengan yang lain akan memiliki hubungan yang lebih menyenangkan. Mereka akan saling mengerti, saling memahami, dan saling menjaga perasaan yang lain. Dengan cara seperti ini, sikap terhadap diri dan pasangan akan positif, demikian pula sikap terhadap permasalahan akan lebih konstruktif. Masalah keluarga akan lebih dihadapi bersama apabila mereka berdua memiliki sikap empati. Ketidakmampuan bersikap empati berpotensi menimbulkan kesulitan dalam hubungan dengan orang lain. Suami dan istri yang tidak peka terhadap bahasa nonverbal dari pasangan, tidak akan mampu untuk menempatkan dirinya pada posisi pasangan, tidak mampu merasakan apa yang dirasakan pasangan dan memperkirakan maksud pasangan. Komunikasi dan interaksi akan tersekat jika memiliki sikap tidak empati seperti ini. Ketidakmampuan suami dan istri untuk membaca bahasa nonverbal pasangan
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 168 dapat berdampak sangat merugikan. Hal ini karena salah satu kebutuhan dasar manusia adalah ingin dipahami, dihargai, diakui, dan diterima. Ada beberapa jenis empati yang bisa membentuk daya resiliensi pada individu dan keluarga. a. Empati Kognitif Empati kognitif adalah kemampuan untuk menempatkan diri pada posisi orang lain. Dengan kata lain kita memiliki kemampuan untuk melihat berdasarkan perspektif mereka. Empati kognitif berguna dalam aspek negosiasi atau manajerial. Sebab, empati kognitif bisa dikatakan bekerja dalam ranah profesional tanpa melibatkan aspek emosional. Proses kerjanya lebih rasional dan logis, seperti sebutannya hanya melibatkan pikiran atau kognisi dan bukan perasaan. b. Empati emosional Empati emosional dikenal sebagai “penularan emosional” karena memiliki kedekatan pada aspek emosi. Empati ini dianggap lebih jujur dan tulus, seperti perasaan anak-anak. Jenis empati ini dapat diekspresikan dengan memberikan motivasi dan menyemangati orang lain yang tertimpa kesedihan atau kemalangan. d. Empati Somatik Empati somatik dirasakan ketika orang lain merasakan sakit secara fisik. Misalnya, jika melihat pasangan terluka, Anda akan merasakan rasa sakitnya. Ketika pasangan Anda diejek atau disakiti, Anda ikut merasakan sakitnya disertai dorongan untuk menuntut keadilan. e. Empati Spiritual Empati spiritual lebih bercorak transenden atau keterhubungan langsung dengan Allah. Empati spiritual bisa dilakukan melalui mendoakan, melakukan ibadah, dan berbagai bentuk pendekatan diri kepada Allah. Keenam, Self Efficacy Self-efficacy atau efikasi diri adalah sebuah keyakinan bahwa seseorang mampu memecahkan masalah yang dihadapi dan mampu mencapai kesuksesan dengan upayanya. Albert Bandura (1997) mengemukakan bahwa self-efficacy merupakan keyakinan seseorang tentang kemampuan mereka untuk menghasilkan tingkat kinerja serta menguasai situasi yang memengaruhi kehidupan mereka. Self-efficacy akan menentukan bagaimana orang merasa, berpikir, memotivasi diri, dan berperilaku. Bandura juga menyatakan bahwa self-efficacy memiliki dampak yang penting, bahkan berfungsi sebagai motivator utama terhadap keberhasilan seseorang. Orang lebih mungkin mengerjakan aktivitas yang yakin dapat mereka lakukan daripada pekerjaan yang mereka yakini tidak akan bisa mereka lakukan. Self-efficacy merupakan hal yang sangat penting untuk mencapai resiliensi karena sugesti atas kemampuan diri sangat berpengaruh positif dalam menghadapi setiap permasalahan. Suami dan istri yang memiliki efikasi diri akan cenderung menghadapi semua hal dalam dirinya dengan sikap yang positif. Dalam menghadapi setiap kerumitan, ada keyakinan akan potensi diri dalam menghadapi masalah. Efikasi ini akan sangat kuat apabila benar-benar bersumber dari dalam dirinya sendiri, bukan hasil sugesti orang lain. Namun,
terkadang seseorang memerlukan bantuan orang lain untuk menunjukkan bahwa Materi Diklat #1| 169 dalam dirinya memiliki banyak potensi untuk keluar dari masalah dengan baik. Di dalam menghadapi berbagai persoalan, individu yang mempunyai self- efficacy tinggi diketahui sebagai pribadi yang bersikap sangat baik. Mereka yang mempunyai self-efficacy tinggi merasa lebih ringan dalam menghadapi persoalan dan tantangan. Individu yang memiliki self-efficacy yang tinggi memiliki ciri-ciri sebagai berikut. • Mampu menangani masalah yang mereka hadapi secara efektif. • Yakin terhadap kesuksesan dalam menghadapi masalah atau rintangan. • Masalah dipandang sebagai suatu tantangan yang harus dihadapi bukan untuk dihindari. • Gigih dalam usahanya menyelesaikan masalah. • Percaya pada kemampuan yang dimilikinya. • Cepat bangkit dari kegagalan yang dihadapinya. • Suka mencari situasi yang baru. Menurut Bandura, ada empat proses psikologis dalam self-efficacy yang turut berperan dalam diri manusia, yakni proses kognitif, motivasi, afeksi, dan proses seleksi. a. Proses Kognitif Proses kognitif merupakan proses berpikir. Di dalamnya termasuk pemerolehan, pengorganisasian, dan penggunaan informasi. Kebanyakan tindakan manusia bermula dari sesuatu yang dipikirkan terlebih dahulu. Individu yang memiliki self-efficacy yang tinggi lebih senang membayangkan tentang kesuksesan. Sebaliknya individu yang memiliki self-efficacy rendah, lebih banyak membayangkan kegagalan dan hal-hal yang dapat menghambat tercapainya kesuksesan. b. Proses Motivasi Individu memberi motivasi bagi diri sendiri dan mengarahkan tindakan melalui tahap pemikiran-pemikiran sebelumnya. Kepercayaan akan kemampuan diri dapat memengaruhi motivasi dalam beberapa hal, yakni menentukan tujuan yang telah ditentukan individu, seberapa besar usaha yang dilakukan, seberapa tahan mereka dalam menghadapi kesulitan-kesulitan dan ketahanan mereka dalam menghadapi kegagalan. c. Proses Afektif Proses afeksi merupakan proses pengaturan kondisi emosi dan reaksi emosional. Menurut Bandura, keyakinan individu akan coping mereka turut memengaruhi level stres saat menghadapi situasi sulit. Persepsi self-efficacy tentang kemampuannya mengontrol sumber stres memiliki peranan penting dalam timbulnya kecemasan. Individu yang percaya akan kemampuannya untuk mengontrol situasi cenderung tidak memikirkan hal- hal yang negatif. b. Proses Seleksi Kemampuan individu untuk memilih aktivitas dan situasi tertentu turut memengaruhi efek dari suatu kejadian. Individu cenderung menghindari aktivitas dan situasi yang di luar batas kemampuan mereka.
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 170 Bila individu merasa yakin bahwa mereka mampu menangani suatu situasi, mereka cenderung tidak menghindari situasi tersebut. Dengan adanya pilihan yang dibuat, individu kemudian dapat meningkatkan kemampuan, minat, dan hubungan sosial mereka. Self-efficacy adalah ekspektasi-keyakinan (harapan) tentang seberapa jauh seseorang mampu melakukan suatu perilaku dalam suatu situasi tertentu. Self efficacy yang positif adalah keyakinan untuk mampu melakukan yang lebih baik. Tanpa self-efficacy (keyakinan tertentu yang sangat situasional), orang bahkan enggan mencoba melakukan suatu perilaku. Self efficacy menentukan apakah seseorang akan menunjukkan perilaku tertentu, sekuat apa seseorang dapat bertahan saat menghadapi kesulitan atau kegagalan dan bagaimana kesuksesan atau kegagalan dalam satu tugas tertentu memengaruhi perilaku seseorang pada masa depan. Self-efficacy adalah keyakinan bahwa seseorang mampu melakukan suatu perilaku dengan baik (Friedman & Schustack, 2008). Ketujuh, Reaching Out Yang dimaksud dengan reaching out adalah kemampuan seseorang untuk menemukan dan membentuk suatu hubungan positif dengan orang lain. Bisa bersifat meminta bantuan, berbagi cerita dan perasaan, untuk saling membantu dalam menyelesaikan masalah baik personal maupun interpersonal atau membicarakan konflik dalam keluarga. Individu yang tidak memiliki kemampuan reaching out cenderung untuk melebih-lebihkan (over-estimate) dalam memandang kemungkinan hal-hal yang buruk yang akan terjadi pada masa datang. Sedangkan reaching out memiliki dimensi yang positif, yang menghantarkan pribadi mampu menjalani kehidupan tidak hanya dalam batas standar minimal. Reaching out merupakan upaya mendatangkan aspek-aspek positif dalam kehidupan, baik pribadi maupun keluarga. Pribadi yang “reaching out” tidak hanya menjalani kehidupan dengan standar, tetapi berani untuk menghadapi dan menerima kegagalan dalam kehidupan. Reaching out menggambarkan kemampuan seseorang untuk mencapai keberhasilan. Menunjukkan adanya keberanian untuk melihat masalah sebagai tantangan, bukan ancaman. Mampu meraih aspek positif dari kehidupannya setelah mengalami kesulitan hidup dan berani mengambil tantangan baru dan kesempatan. Pribadi yang reaching out, dapat memaknai setiap peristiwa yang terjadi dalam kehidupannya sebagai sebuah tahapan naik level dalam kehidupan yang dijalaninya. Suami dan istri yang berhasil meningkatkan aspek positif dalam hidup akan mampu membedakan risiko yang realistis dan tidak realistis, sekaligus memiliki makna dan tujuan hidup yang benar. Mereka mampu melihat gambaran besar dari kehidupan, sehingga tidak terjebak dalam fenomena yang bersifat sesaat. Saat menghadapi permasalahan atau tekanan dalam kehidupan berumah tangga, mereka lebih mampu mendayagunakan semua potensi secara positif sehingga mampu bertahan dan keluar dari masalah dengan sukses.
Dalam realitas keseharian, ditemukan banyak orang yang tidak mampu Materi Diklat #1| 171 melakukan reaching out karena sejak kecil telah ditanamkan untuk menghindari kegagalan dan kemalangan. Mereka adalah pribadi yang lebih memilih memiliki kehidupan standar dibandingkan meraih kesuksesan yang lebih besar, tetapi memiliki risiko kegagalan dalam hidup. Terjebak dalam pemaknaan secara tidak tepat terhadap sikap pasrah dan tawakal. Tujuh Karakteristik Utama Individu Resilien Menurut Wolin dan Wolin (1999), terdapat tujuh karakteristik utama yang dimiliki oleh individu resilien. Karakteristik inilah yang membuat individu mampu beradaptasi dengan baik saat menghadapi masalah, mengatasi berbagai hambatan, serta mengembangkan potensi yang dimilikinya secara maksimal. a. Insight Insight adalah kemampuan mental untuk bertanya pada diri sendiri dan menjawab dengan jujur. Hal ini untuk membantu individu untuk dapat memahami diri sendiri dan orang lain, serta dapat menyesuaikan diri dalam berbagai situasi. b. Kemandirian Kemandirian adalah kemampuan untuk mengambil jarak secara emosional maupun fisik dari sumber masalah dalam hidup seseorang. Kemandirian melibatkan kemampuan untuk menjaga keseimbangan antara jujur pada diri sendiri dan peduli pada orang lain. c. Hubungan Individu yang resilien dapat mengembangkan hubungan yang jujur, saling mendukung dan berkualitas bagi kehidupan, atau memiliki role model yang sehat. d. Inisiatif Inisiatif melibatkan keinginan yang kuat untuk bertanggung jawab atas diri sendiri atau masalah yang dihadapi. Individu yang resilien selalu berusaha memperbaiki diri maupun memperbaiki situasi yang dapat diubah, serta meningkatkan kemampuan untuk menghadapi hal-hal yang tidak dapat diubah. e. Kreativitas Kreativitas melibatkan kemampuan memikirkan berbagai pilihan, konsekuensi, dan alternatif dalam menghadapi tantangan hidup. Kreativitas melibatkan daya imajinasi yang digunakan untuk mengekspresikan diri dalam seni, serta membuat seseorang mampu menghibur dirinya sendiri saat menghadapi kesulitan. f. Humor Humor adalah kemampuan untuk melihat sisi lain dari kehidupan. Mampu menertawakan diri sendiri dan menemukan kebahagiaan dalam situasi apa pun. Individu yang resilien menggunakan rasa humornya untuk memandang tantangan hidup dengan cara yang baru dan lebih ringan. g. Moralitas Moralitas adalah orientasi pada nilai-nilai ditandai dengan keinginan untuk hidup secara baik dan produktif. Individu yang resilien dapat mengevaluasi berbagai hal dan membuat keputusan yang tepat tanpa rasa takut akan pendapat orang lain.
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 172 Faktor Dasar Pembangun Resiliensi Keluarga Tujuan Pembelajaran Umum: Membangun pemahaman dan penghayatan konsep tentang faktor dasar pembangun resiliensi keluarga sehingga memiliki kesadaran akan pentingnya mempelajari ilmu, sikap positif dan konstruktif di tengah keluarga, serta keterampilan membina ketahanan keluarga. Tujuan Pembelajaran Khusus: 1. Peserta pendampingan memahami pengertian resiliensi keluarga. 2. Peserta pendampingan memahami faktor dasar pembangun resiliensi keluarga. 3. Peserta pendampingan memahami pentingnya meningkatkan kapasitas SDM anggota keluarga. 4. Peserta pendampingan mampu mengidentifikasi faktor-faktor dasar pembentuk resiliensi yang ada pada keluarganya dan mampu mempertahankan serta mengembangkannya. 5. Peserta pendampingan membangun kesadaran pentingnya belajar sepanjang hayat secara mandiri atau mengikuti program edukasi keluarga agar menjadi keluarga yang tangguh. Alternatif Kegiatan Pembelajaran: 1. Pendamping memantik dengan cara menyampaikan isu terkini atau contoh kasus kerentanan keluarga, baik lingkup lokal di lingkungan sekitar maupun nasional, bahkan global. 2. Peserta diminta memberikan tanggapan tentang isu-isu terkini berkenaan dengan kerentanan keluarga. 3. Peserta mendapat penjelasan tentang faktor dasar pembentuk resiliensi keluarga. 4. Pendamping memfasilitasi diskusi tentang alternatif program apa saja untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, serta keterampilan mewujudkan faktor resiliensi keluarga. Uraian Materi: Ada dua faktor dasar yang dapat meningkatkan resiliensi, yaitu faktor agama dan faktor lingkungan. Faktor agama, menjadi basic untuk menguatkan resiliensi individu maupun keluarga.
Faktor dasar pembangun resiliensi keluarga yang pertama adalah faktor Materi Diklat #1| 173 agama. Pada keluarga yang mengalami keterpurukan, kemalangan, atau kenelangsaan, program pemulihan bisa dilakukan dengan meningkatkan resiliensi baik individu maupun keluarga. Bagi bangsa Indonesia yang terkenal religius, ajaran agama adalah pokok fondasi membangun resiliensi. Keyakinan bahwa semua kejadian dalam hidup selalu ada hikmah dan pelajaran. Keyakinan bahwa selalu ada jalan keluar bagi orang yang bertakwa, keyakinan bahwa kesabaran mendatangkan kebaikan, keyakinan bahwa ada hari pembalasan, semua menjadi faktor peningkat resiliensi. Dalam kehidupan seseorang dan keluarga, resiliensi ini sangat terkait dengan nilai dan keyakinan hidup setiap orang. Makin bagus kehidupan keagamaan seseorang akan makin bagus pula tingkat resiliensinya. Dalam setiap agama, selalu ada ajaran tentang pahala dan dosa, tentang surga dan neraka, tentang pengadilan kelak di hari akhir. Keyakinan seperti ini membuat seseorang bisa menerima apa pun yang menimpa dirinya karena akan ada balasan pahala dan surga bagi orang yang berbuat benar dan baik. Sebaliknya, akan ada dosa dan siksa bagi orang yang berbuat salah dan jahat, walaupun mereka juga bisa memperbaiki diri dengan bertobat. Dalam ajaran Islam, ini masuk kategori keyakinan akidah. Jika ada suami yang jahat, kasar, galak, suka membentak, suka memukul istri, tentu sangat menyedihkan, menakutkan dan mengerikan bagi sang istri. Namun, karena sang istri memiliki kehidupan religius yang baik, maka ia mampu bersikap sabar, bahkan mendoakan agar suaminya bisa dilembutkan hatinya oleh Allah dan menjadi suami yang baik. Bahkan saat suami tidak juga bisa berubah menjadi baik, maka sang istri tetap yakin bahwa perbuatan jahat suami itu kelak akan dihisab dan diadili pada hari akhir, maka sang istri menyerahkan dan pasrah kepada Allah. Agama juga mengajarkan tentang kesabaran, keikhlasan, memaafkan kesalahan orang, berprasangka baik, berbuat baik, kemampuan pengendalian diri, juga optimisme menghadapi hari esok. Ini menjadi fondasi kelentingan individu dan keluarga yang apabila suatu ketika mendapatkan luka akan sangat cepat sembuhnya. Jika suatu ketika merasakan sakit hati akan cepat hilangnya. Ikhlas artinya menjalani kehidupan dengan berorientasi untuk pengabdian kepada Allah semata-mata, tidak peduli perlakuan manusia kepada dirinya. Sistem kehidupan yang religius ini membuat suami dan istri memiliki tingkat resiliensi yang tinggi. Agama mengajarkan sikap hidup optimistis. Segala kejadian dalam hidup selalu ada nilai kebaikan bagi orang yang pandai untuk mengambil pelajaran darinya. Setiap manusia beriman yakin bahwa tidak ada yang sia-sia dalam penciptaan alam semesta, tidak ada yang sia-sia dalam setiap kejadian yang menimpa manusia. Semua ada hikmah besar untuk kebaikan kehidupan seseorang pada masa sekarang dan yang akan datang. Bahwa keterpurukan pada hari kemarin bisa menjadi awal untuk bangkit menuju kehidupan lebih baik pada masa yang akan datang.
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 174 Sangat banyak orang terpuruk dalam kehidupan yang makin buruk setelah terjatuh dalam permasalahan. Mereka tidak memiliki resiliensi yang memadai sehingga tidak segera pulih dan bangkit dari permasalahan. Bahkan makin mengurung diri dalam ketidakbaikan. Maka, sangat penting meningkatkan kehidupan keberagamaan bagi seluruh anggota keluarga. Ada beberapa sisi dalam konteks agama yang bisa menjadi faktor utama pembentuk resiliensi, yaitu kekuatan iman, kedalaman takwa, tawakal kepada Allah, sikap sabar dalam semua kondisi, selalu bersyukur, kemampuan memaafkan, serta realisasi ukhuwah. Berikut kita bahas satu per satu. 1. Kekuatan Iman Iman adalah fondasi dalam kehidupan manusia. Keimanan dalam diri manusia ibarat pohon yang berdiri di atas akar yang kokoh, dengan cabang yang menjulang dan memberikan buah kebaikan pada setiap zaman. Dengan keimanan yang kuat akan memberikan fondasi yang kuat bagi kehidupan manusia, baik dalam skala pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa bahkan peradaban dunia (QS. Ibrahim: 24-25). Pokok iman adalah keimanan kepada Allah, yang dari pokok ini akan melahirkan banyak cabang. Keimanan kepada Nabi dan Rasul, keimanan kepada para malaikat, keimanan kepada kitab-kitab suci, keimanan kepada hari akhir serta keimanan kepada takdir adalah konsekuensi dari pokok iman kepada Allah. Dari keimanan yang benar dan kuat akan melahirkan amal saleh yang menjadi kontribusi kebaikan manusia dalam kehidupan keseharian (QS. Al-Baqarah: 177). Al-Qur’an menyebutkan bahwa keimanan kepada Allah Ta’ala adalah merupakan pokok atau dasar, di mana setiap rukun akidah bersandar kepadanya atau mengikutinya (QS. An-Nisa’: 136). Dr. Muhammad Na’im Yasin mengungkapkan bahwa makna iman kepada Allah adalah “Mengitikadkan diri secara benar-benar bahwa Allah itu rabb dari segala sesuatu. Dialah yang menguasai, memiliki dan menciptakannya dan bahwa Allah adalah satu-satunya zat yang berhak diibadahi, baik yang menyangkut salat, puasa, berdoa, berharap, takut, rendah diri, patuh dan pasrah.” “Hanya Dia yang patut disifati dengan sifat-sifat yang Maha Sempurna serta Maha Suci dari segala kekurangan.” Iman yang kuat dan benar, melahirkan akhlak yang mulia. Tidak akan ada akhlak mulia, jika tidak dilandasi dengan iman yang kuat. Contoh nyata dari kebaikan akhlak yang muncul dari keimanan yang kuat adalah pribadi Nabi Muhammad saw.” Beliau adalah teladan terbaik dalam sepanjang kehidupan sejarah manusia, sepanjang zaman. Pribadi luhur telah beliau saw. tampakkan dan untuk keluhuran akhlak itu pula beliau diutus. Nabi saw. telah bersabda, “Sesungguhnya tidaklah aku diutus kecuali untuk menyempurnakan akhlak yang mulia” (HR. Bukhari). Bahkan, menyingkirkan rintangan dari jalan yang dilewati orang, dimasukkan dalam cabang iman. Demikian pula rasa malu, adalah cabang iman. Hal ini menandakan, iman adalah fondasi dalam kehidupan manusia, yang akan melahirkan berbagai perbuatan baik. Nabi saw. bersabda, “Iman itu ada tujuh puluh cabang lebih atau enam puluh cabang lebih yang paling utama adalah ucapan ‘La ilaha illallah’ dan yang paling rendah adalah menyingkirkan rintangan (kotoran) dari tengah jalan, sedang rasa malu itu (juga) salah satu cabang dari iman” (HR. Muslim).
Salah satu faktor fundamental dalam membentuk resiliensi keluarga adalah Materi Diklat #1| 175 kekuatan iman. Resiliensi tidak berdiri di atas ruang hampa, justru ia memerlukan fondasi yang kuat untuk menopang dan membentuknya. Manusia akan selalu terjaga kebaikan dirinya apabila selalu menjaga keimanan. Manusia akan selalu berlaku lurus dalam kehidupan, tidak melakukan hal-hal tercela karena selalu meyakini adanya pertolongan, pengawasan, perlindungan Allah terhadap dirinya. Itulah iman yang selalu menjaga kebaikan dan kekuatan manusia. Tanpa iman, manusia akan rapuh bahkan menuju kepada kehancuran. Sejarah telah mencatat kehancuran berbagai peradaban yang meninggalkan dan menolak iman. Tiga peradaban materialisme terdahulu telah diungkapkan Al- Qur’an sebagai sebuah pemberitaan mengenai usang dan rapuhnya paham serba materi yang mereka miliki. Allah Ta’ala telah mencatat sejarah kesombongan dan akhirnya kejatuhan dari tiga peradaban besar, Aad, Tsamud, serta Fir’aun. Pada zamannya, ketiganya adalah peradaban yang dianggap besar dan kuat. Namun, karena meninggalkan iman, mereka rapuh bahkan hancur (QS. Al-Fajr: 6-14). Hanya iman, dan hanya dalam iman, peradaban kemanusiaan akan mencapai titik kejayaan, karena tidak menuhankan kebendaan yang amat nisbi. Ada landasan berpijak yang sangat kokoh dalam iman. Ada cakrawala pemikiran yang luas dan berjangka panjang, tidak hanya berhenti kepada kehidupan dunia, tetapi sampai menjangkau dimensi keakhiratan. 2. Kedalaman Takwa Hakikat takwa adalah takut kepada Allah. Kedalaman takwa yang dimiliki oleh manusia akan membuat dirinya selalu berada dalam keterjagaan. Perhatikan bagaimana sahabat Nabi dan para salafus shalih yang sangat memahami tuntunan Al-Qur’an, mempunyai perhatian besar terhadap takwa. Dalam satu riwayat disebutkan bahwa Umar bin Khaththab r.a. bertanya kepada Ubai bin Ka’ab tentang takwa. Ubai r.a. menjawab, “Bukankah Anda pernah melewati jalan yang penuh duri?” “Ya,” jawab Umar. “Apa yang Anda lakukan saat itu?” tanya Ubai. “Saya bersiap-siap dan berjalan dengan hati-hati,” ungkap Umar. “Itulah takwa!” jawab Ubai. Bermula dari jawaban Ubai bin Ka’ab atas pertanyaan Umar bin Khaththab tersebut, Sayyid Quthb berkata dalam tafsir Fi Zhilalil Qur’an, “Itulah takwa; kepekaan batin, kelembutan perasaan, rasa takut terus-menerus, selalu waspada dan hati-hati jangan sampai kena duri jalanan.” “Jalan kehidupan yang selalu ditaburi duri-duri godaan dan syahwat, kerakusan dan angan-angan, kekhawatiran dan keraguan, harapan semu atas segala sesuatu yang tidak bisa diharapkan, ketakutan palsu dari sesuatu yang tidak pantas untuk ditakuti, dan masih banyak duri-duri yang lainnya,” lanjut Sayyid Quthb. Orang yang bertakwa akan memiliki selalu berhati-hati dalam menjalani hidup. Sikap ini sangat penting bagi kita semua agar bisa hidup dalam kehati-hatian. Terlebih pada zaman siber saat ini, kita menghadapi berbagai bentuk ujian dan tantangan yang sangat kompleks, maka sebaik-baik bekal adalah takwa. Dengan
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 176 ketakwaan, kita akan terbimbing dan terkuatkan. Bahkan, takwa adalah sebaik- baik pakaian bagi manusia (QS. Al-A’raf: 26). Takwa juga menjadi bekal yang sangat mendasar dalam mengarungi perjalanan kehidupan (QS. Al-Baqarah: 197). Takwa juga menjadi parameter kebaikan hamba di hadapan Allah. Derajat kemuliaan seseorang bukanlah karena banyaknya harta yang dimiliki, jabatan yang disandangnya, keindahan jasmani, kemuliaan keturunan dan kebesaran yang dimilikinya, melainkan dari takwanya (QS. Al-Hujurat:13). Takwa diraih melalui ketaatan terhadap segala aturan Allah. Pada dasarnya, manusia sejak masih dalam kandungan telah mengikat perjanjian dengan Allah Ta’ala, yang dengan perjanjian itu manusia telah mengakui eksistensi Allah sebagai Tuhan pencipta alam semesta (QS. Al-A’raf:172). Inilah janji manusia yang pertama, yaitu janji untuk menjadikan Allah sebagai penguasa dan pemeliharanya. Sebagai konsekuensi atas janji ini, manusia harus senantiasa mematuhi perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya dengan sepenuh ketaatan. Tidak layak manusia membangkang dan menolak aturan Allah karena dirinya diciptakan dan dihidupi oleh Allah. Dengan memenuhi aturan Allah, selalu mendekatkan diri kepada-Nya, insyaallah akan menjadikan manusia makin bertakwa kepada Allah. Apabila takwa sudah didapatkan, Allah akan memberikan berbagai kemudahan dalam kehidupan manusia (QS. Ath-Thalaq: 2-3). Dengan takwa, manusia akan mendapatkan ilmu dan pelajaran dari Allah. Semua hal menjadi mudah, karena dimudahkan oleh Allah. Allah mengajari segala sesuatu yang diperlukan oleh manusia untuk kebaikan hidupnya (QS. Al- Baqarah: 282). Dengan jiwa yang bertakwa, keluarga akan memiliki resiliensi yang sangat tinggi. Segala persoalan selalu ada jalan keluar yang mudah. Segala hal selalu mendapatkan pengarahan dari Allah karena Allah akan mengajari manusia yang bertakwa untuk menjalani kehidupan dengan benar. 3. Tawakal kepada Allah Hidup manusia tak selalu berjalan sesuai harapan. Adakalanya kejadian dalam kehidupan terasa begitu menyakitkan. Misalnya saja dalam hidup berumah tangga, ketika mendapati pasangan hidup melakukan tindakan yang mengecewakan, setelah semua pengorbanan yang diberikan. Atau ketika mengalami keterpurukan ekonomi sehingga berada dalam kondisi kehidupan yang sulit dan berbagai kondisi tidak menyenangkan lainnya. Harapan harus senantiasa dibangun karena tanpa harapan, manusia akan menyerah. Harapan atas rahmat dan kasih sayang Allah pada hamba-Nya. Di antara ciri orang yang beriman adalah tidak berputus asa dari rahmat Allah. Bahwa cepat atau lambat, maka Allah akan mengabulkan doa. Allah pasti menurunkan pertolongannya. Harapan ini membuat manusia tak berhenti berusaha dan berdoa. Mulai dari mengubah diri sendiri, memberikan nasihat dan pengarahan hingga melakukan langkah konkret untuk mencari jalan keluar. Berkonsultasi pada orang yang dipercaya, dapat memberikan pandangan baik atau pengaruh baik untuk menyelesaikan masalah maupun menolong dengan menemukan ide-ide solutif.
Tawakal kepada Allah adalah sikap dasar setiap orang yang beriman. Materi Diklat #1| 177 Tawakal harus dimiliki sejak awal, ada saat berusaha, dan setelah semua usaha dilakukan. Hal ini akan membuat jiwa manusia tenang. Imam Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Hakikat tawakal adalah hati benar- benar bergantung kepada Allah dalam rangka memperoleh maslahat (hal-hal yang baik) dan menolak madarat (hal-hal yang buruk) dari urusan-urusan dunia dan akhirat.” Syeikh Ibnu ‘Utsaimin menjelaskan, “Tawakal adalah menyandarkan permasalahan kepada Allah dalam mengupayakan yang dicari dan menolak apa- apa yang tidak disenangi, disertai percaya penuh kepada Allah Ta’ala dan menempuh sebab (sebab adalah upaya dan aktivitas yang dilakukan untuk meraih tujuan) yang diizinkan syariat.” Banyak orang yang salah memahami dan menempatkan arti tawakal yang sesungguhnya. Sehingga tatkala kita mengingatkan mereka tentang pentingnya tawakal yang benar dalam kehidupan manusia, tidak jarang ada yang menanggapinya dengan ucapan, “Iya, tetapi kan bukan cuma tawakal yang harus diperbaiki, usaha yang maksimal juga harus terus dilakukan.” Ucapan di atas sepintas tidak salah. Akan tetapi, kalau kita amati dengan saksama, kita akan dapati bahwa ucapan tersebut menunjukkan kesalahpahaman banyak orang tentang makna dan kedudukan yang sesungguhnya. Ucapan di atas terkesan memisahkan antara tawakal dan usaha. Padahal, menurut penjelasan para ulama, tawakal adalah bagian dari usaha, bahkan usaha yang paling utama untuk meraih keberhasilan. Pada dasarnya, tawakal harus dibangun di atas dua hal pokok yaitu bersandarnya hati kepada Allah, dan mengupayakan sebab yang dihalalkan. Keduanya harus terjadi dalam waktu yang bersamaan. Manusia yang hanya menempuh sebab dengan berbagai macam usaha saja, tetapi tidak bersandar kepada Allah, ia belum benar keimanannya. Adapun orang yang hanya bersandar kepada Allah, tetapi tidak berusaha menempuh sebab yang dihalalkan, ia telah cacat akalnya. Tawakal bukanlah pasrah tanpa berusaha, tetapi harus disertai usaha. Rasulullah saw. telah memberikan contoh tawakal yang disertai usaha yang memperjelas bahwa tawakal tidak lepas dari ikhtiar dan penyandaran diri kepada Allah. Dari Umar bin Al-Khaththab, bahwa Nabi saw. bersabda, “Seandainya kalian betul-betul bertawakal pada Allah, sungguh Allah akan memberikan kalian rezeki sebagaimana burung mendapatkan rezeki. Burung tersebut pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore harinya dalam keadaan kenyang.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, dan Al-Hakim) Rezeki dalam hal ini bukan hanya terkait kebutuhan materi, tetapi juga rezeki jalan keluar dari masalah. Ketenangan hati jauh dari gundah gulana dan stres, adalah juga rezeki. Itulah kenapa salah satu faktor fundamental dalam membentuk resiliensi keluarga adalah faktor agama. Resiliensi tidak berdiri di atas ruang hampa, justru ia memerlukan fondasi yang kuat untuk menopang dan membentuknya. Apabila seorang hamba bertawakal kepada Allah dengan benar-benar ikhlas dan terus mengingat keagungan Allah, hati dan akalnya serta seluruh kekuatannya akan makin kuat mendorongnya untuk melakukan semua amalan.
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 178 Hati manusia yang memimpin seluruh anggota tubuh untuk bergerak merealisasikan harapan (QS. Yunus: 107). Ibnu Qayyim Al-Jauzi berkata, “Tawakal kepada Allah adalah termasuk sebab yang paling kuat untuk melindungi diri seorang hamba dari gangguan, kezaliman dan permusuhan orang lain yang tidak mampu dihadapinya sendiri. Allah akan memberikan kecukupan kepada orang yang bertawakal kepada-Nya.” “Barangsiapa yang telah diberi kecukupan dan dijaga oleh Allah, maka tidak ada harapan bagi musuh-musuhnya untuk bisa mencelakakannya. Bahkan dia tidak akan ditimpa kesusahan kecuali sesuatu yang mesti (dirasakan oleh semua makhluk), seperti panas, dingin, lapar dan dahaga. Adapun gangguan yang diinginkan musuhnya maka selamanya tidak akan menimpanya,” ungkap Ibnu Qayyim. Ini semua menunjukkan kepada kita bahwa kesempurnaan iman dan tauhid seorang hamba ditentukan oleh sejauh mana ketergantungan hatinya kepada Allah semata dan upayanya dalam menolak segala sesembahan dan tempat berlindung selain-Nya. Jika kita yakin bahwa Allah Ta’ala yang menguasai hidup dan mati kita, mengapa kita menyandarkan hati kita kepada makhluk yang lemah yang tidak bisa memberikan manfaat dan mudarat kepada kita? Ketika seseorang merasakan gelisah menghadapi kehidupan, atau gelisah membayangkan masa depan, coba ingat, berapa kali kita naik bus antar-kota, dan bisa tidur nyenyak, tanpa mengenal sopir yang mengemudikan. Berapa kali kita naik kereta api antar-provinsi dan bisa tidur pulas tanpa mengenal masinis yang menjalankan. Berapa kali kita naik pesawat antar pulau bahkan antar-negara, dan bisa tidur tenang tanpa mengenal pilot yang mengendalikan. Lalu mengapa harus gelisah menjalani kerasnya kehidupan padahal kita meyakini Allah Maha Pengasih dan Maha Penyayang? Mengapa gelisah menyambut masa depan padahal meyakini Allah Maha Memberi rezeki kepada semua insan? Mengapa gelisah menghadapi persoalan padahal meyakini Allah Maha Memberi jalan keluar yang sangat lapang? Mengapa gelisah menghadapi persaingan, padahal kamu meyakini rezeki sudah ditentukan dan tidak pernah tertukar” Mengapa gelisah menghadapi fitnah orang padahal meyakini Allah Maha Adil dan Maha Melindungi hamba yang beriman? Mengapa gelisah menghadapi kegilaan zaman padahal meyakini Allah Maha Rahman dan Belas Kasihan. Masih perlukah kegelisahan dan ketidaktenangan, padahal meyakini Allah tidak akan membiarkan dan menelantarkan? Inilah pentingnya tawakal, untuk menghadirkan ketenteraman. 4. Sabar dalam Semua Kondisi Kehidupan berumah tangga itu sangatlah dinamis. Bahkan pada bagian tertentu seakan kita melewati roller coaster yang menegangkan. Ada yang menaik, menurun, menikung. Terasa di beberapa bagian itu mengerikan. Namun, kehidupan berumah tangga itu memang harus dijalani sebagai pilihan sadar orang beriman. Hakikat ujian bagi manusia, telah dinyatakan oleh Allah sebagai sebuah kemestian dan keniscayaan (QS. Al-Baqarah: 155). Kesabaran adalah kunci utama menghadapi setiap permasalahan kehidupan, termasuk dalam kehidupan pernikahan. Permasalahan hidup berumah tangga
sangatlah unik dan renik. Misalnya kesenjangan antara harapan dengan Materi Diklat #1| 179 kenyataan. Setiap perempuan pasti mendambakan suami yang saleh, lembut, setia, pengertian, bertutur kata halus, berilmu, membimbing, bertanggung jawab, dan kriteria-kriteria ideal lainnya. Namun, harus diingat bahwa suami itu adalah manusia bukan malaikat. Begitu pun setiap laki-laki, tentu juga menginginkan istri yang cantik, lembut, selalu perhatian, terampil mengerjakan pekerjaan rumah tangga, dan penyayang. Namun, tentu tidak ada wanita yang sempurna tanpa cela. Ketika sang istri mengharapkan kebaikan dari suaminya, ia berusaha menasihatinya dengan harapan sang suami berubah. Namun, yang ia dapatkan terkadang adalah penolakan dari suami yang egonya terluka karena merasa digurui. Ketika sang suami ingin menasihati istri, terkadang istri justru ngambek dan sakit hati, yang akhirnya sang suami pun gagal menyampaikan nasihatnya. Inilah potret kehidupan sebuah keluarga, yaitu ketika sang suami dan istri hanyalah manusia biasa. Mereka terkadang melakukan salah, mereka juga punya banyak kekurangan dan kelemahan. Untuk itu, hal pertama yang selayaknya dimiliki seorang suami dan seorang istri adalah bersabar dengan kesabaran yang tidak ada batasnya. Sabar adalah menahan diri dalam ketaatan kepada Allah, dalam meninggalkan perbuatan dosa, dan dalam menghadapi musibah. Dengan sabar dalam ketaatan kepada Allah, seorang suami dan istri selayaknya tetap menunaikan hak-hak dan perannya masing-masing, meskipun sedang mengalami konflik. Dengan sabar dalam meninggalkan maksiat, suami dan istri tetap dilarang untuk melanggar batasan-batasan Allah, meski dalam keadaan marah atau kecewa. Dengan sabar ketika menghadapi musibah, suami dan istri selayaknya saling mendukung dan menguatkan ketika menghadapi masalah, bukannya saling menyalahkan. Sabar adalah perbuatan yang membutuhkan perjuangan keras. Karenanya, Allah memberikan pahala yang begitu besar kepada orang-orang yang sabar (QS. Az-Zumar:10). Syeikh As-Sa’di menjelaskan, “Sabar di sini mencakup seluruh macam kesabaran, yaitu sabar dalam menerima takdir Allah yang menyakitkan sehingga ia tidak mengeluh, sabar dalam menahan diri dari maksiat sehingga ia tidak melakukan perbuatan maksiat, dan sabar dalam taat kepada Allah sehingga ia menjalankan kewajibannya, kemudian Allah menjanjikan bagi orang-orang yang bersabar pahala yang tanpa batas, yaitu tanpa batasan tertentu dan tidak bisa dihitung maupun diperkirakan” (Tafsir As-Sa’di: 720). Selain itu, Allah juga menyatakan bersama orang-orang yang bersabar (QS. Al-Baqarah: 153). Makna Allah bersama orang-orang yang sabar adalah, “Allah akan menolongnya, memberi taufik kepadanya, dan membimbingnya dalam menghadapi segala problematika, sehingga kesulitan pun terasa ringan, perkara yang besar pun terasa kecil, kesulitan pun terasa mudah bahkan hilang sama sekali” (Tafsir As-Sa’di: 74). Seseorang yang sabar dalam menghadapi pasangannya atau masalah rumah tangganya yang mungkin terkadang menyakitkan dan ia yakin bahwa apa yang ia lakukan adalah ladang ibadah, niscaya Allah akan memberikan kemudahan
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 180 kepadanya dalam menghadapi dan menyelesaikan permasalahan yang ia hadapi (QS. Al-Mulk: 2). Rumah tangga sakinah bukanlah yang terbebas dari ujian. Rumah tangga sakinah adalah yang mampu menghadapi ujian bersama seraya berpegang teguh pada syariat-Nya. Ujian juga harus dipandang sebagai rahmat dari Allah Ta’ala Karena tidak ada manusia yang lepas dari dosa, Allah menetapkan salah satu cara pembersihan dosa manusia dengan ujian-ujian yang diberikannya. Jika tak ada ujian, manusia akan sulit bersyukur dan jarang tebersihkan dosanya. “Tidak ada satu musibah yang menimpa setiap muslim, baik rasa lelah, sakit, bingung, sedih, gangguan orang lain, resah yang mendalam, sampai duri yang menancap di badannya, kecuali Allah jadikan hal itu sebagai sebab pengampunan dosa-dosanya” (HR. Bukhari). Dengan memiliki sikap sabar, manusia akan memiliki daya tahan yang sangat hebat dalam menghadapi berbagai ujian kehidupan. Resiliensi keluarga akan menjadi kuat apabila dibangun di atas sikap sabar dalam segala kondisi. Kesabaran yang tidak ada batasnya karena pahala yang Allah berikan untuk orang yang sabar pun tidak ada batasnya (QS. Az Zumar: 10). Asy Syeikh Abdurrahman As-Sa’di menjelaskan di dalam kitab tafsir beliau, “Barangsiapa yang Allah beri taufik untuk bersabar ketika terjadinya musibah- musibah ini, maka dia pun menahan dirinya dari kemurkaan baik dalam ucapan maupun perbuatan, dan dia pun mengharapkan pahala dari sisi Allah.” “Dia pun mengetahui pahala yang dia peroleh lebih besar daripada musibah yang menimpanya, bahkan musibah tersebut telah menjadi sebuah kenikmatan baginya, karena musibah ini adalah telah menjadi jalan baginya untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik dan lebih bermanfaat baginya.” “Sesungguhnya orang yang bersabar telah menunaikan apa yang menjadi perintah Allah dan telah sukses meraih pahala. Oleh karena itu, Allah lalu berfirman, ‘Kemudian sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. Yaitu sampaikanlah berita gembira bahwa mereka telah memperoleh pahala yang tak terbatas (atas kesabaran mereka),’” demikian penjelasan Syeikh As-Sa’di. 5. Selalu Bersyukur Setiap agama telah mengajarkan umatnya akan pentingnya rasa syukur dalam kehidupan. Belakangan ini, kajian tentang syukur banyak dibahas dalam psikologi. Istilah gratitude (yang kemudian diartikan sebagai syukur), muncul sebagai kajian psikologi positif. Kata gratitude berasal dari kata gratia (bahasa Latin), yang mengandung arti menyukai, dan kata gratus yang berarti memuji. Dalam ajaran Islam, kita biasa mengucap syukur dengan alhamdulillah yang mengandung arti pujian bagi Allah Swt., disertai keyakinan dan kesadaran akan berlimpahnya nikmat dan karunia dari-Nya. Beberapa tokoh psikologi menyebutkan bahwa syukur adalah kesadaran seseorang untuk menunjukkan respons berterima kasih terhadap sesuatu yang dimilikinya. Juga terhadap situasi dan keadaan dalam kehidupannya maupun terhadap pengalaman dan pelajaran yang diperolehnya. Juga terhadap kebaikan atau tindakan positif yang dilakukan orang lain terhadap dirinya; serta terhadap sumber spiritual yang diyakininya. Rasa syukur
patut ditunjukkan saat seseorang memperoleh kebaikan dari orang lain karena Materi Diklat #1| 181 akan membangun dan menjaga hubungan sosial. Ketika kita tunjukkan rasa syukur kepada orang yang melakukan hal baik kepada kita, secara tidak langsung dapat memengaruhi orang tersebut untuk merasa bersyukur dan melakukan tindakan kebaikan lagi di kemudian hari. Saat kita memiliki rasa syukur yang cukup tinggi, kita dapat berinteraksi dengan sosial lebih baik dan dapat menghabiskan waktu lebih banyak dengan orang lain, termasuk orang yang kita cintai. Syukur dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan sebagai rasa terima kasih kepada Allah Swt., dan untunglah (menyatakan perasaan lega, senang, dan sebagainya). Secara bahasa syukur adalah pujian kepada yang telah berbuat baik atas apa yang dilakukan kepadanya. Hakikat syukur adalah menampakkan nikmat, sedangkan hakikat kekufuran adalah menyembunyikannya. Menampakkan nikmat antara lain berarti menggunakannya pada tempat dan sesuai dengan yang dikehendaki oleh pemberinya, juga menyebut-nyebut nikmat dan pemberinya dengan lidah. Menurut istilah syara’, syukur adalah pengakuan terhadap nikmat yang diberikan oleh Allah Ta’ala dengan disertai ketundukan kepada-Nya dan mempergunakan nikmat tersebut sesuai dengan kehendak Allah Swt. Imam Ghazali menjelaskan bahwa syukur tersusun atas tiga perkara, yakni Pertama, pengetahuan tentang nikmat dan pemberinya. Meyakini bahwa semua nikmat berasal dari Allah Ta’ala. Semua hal yang lain hanyalah sebagai perantara untuk sampainya nikmat dari Allah. Dengan pengetahuan ini membuat manusia akan selalu memuji Allah Ta’ala dan tidak akan muncul keinginan memuji yang lain. Gerak lidah dalam memuji-Nya hanya sebagai tanda keyakinan. Kedua, kondisi spiritual. Pengetahuan dan keyakinan tadi melahirkan jiwa yang tenteram. Membuatnya senantiasa senang dan mencintai yang memberi nikmat, dalam bentuk ketundukan dan kepatuhan. Mensyukuri nikmat bukan hanya dengan menyenangi nikmat tersebut melainkan juga dengan mencintai yang memberi nikmat yaitu Allah Ta’ala Ketiga, amal perbuatan. Hal ini berkaitan dengan hati, lisan, dan anggota badan. Hati yang berkeinginan untuk melakukan kebaikan, lisan yang menampakkan rasa syukur dengan pujian kepada Allah Swt., dan anggota badan yang menggunakan nikmat-nikmat Allah Ta’ala dengan melaksanakan perintah Allah Ta’ala dan menjauhi larangan-Nya. Amir An-Najjar, mengutip dari Al-Kharraz menyatakan, “Syukur terbagi menjadi tiga bagian, yaitu syukur dengan hati, syukur dengan lisan dan syukur dengan jasmani atau anggota badan.” Yang dimaksud dengan syukur dengan hati adalah mengetahui bahwa nikmat-nikmat itu berasal dari Allah Ta’ala bukan selain dari-Nya. Syukur dengan lisan adalah dengan mengucapkan hamdalah dan memuji-Nya. Sedangkan syukur dengan jasmani adalah dengan tidak mempergunakan setiap anggota badan dalam kemaksiatan, tetapi untuk ketaatan kepada-Nya. Termasuk juga mempergunakan apa yang diberikan oleh Allah Ta’ala berupa kenikmatan dunia untuk menambah ketaatan kepada-Nya bukan untuk kebatilan. Beberapa bukti menunjukkan dengan bersyukur maka kualitas hubungan pernikahan makin membaik. Ketika kita mampu menunjukkan rasa syukur kepada
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 182 pasangan artinya kita memberi penilaian positif dan penghargaan terhadap pasangan kita. Rasa syukur dapat melindungi kita dari perasaan-perasaan yang merusak seperti rasa iri, marah, kerakusan, dan kebencian yang dapat mengantarkan kita kepada jurang pernikahan. 6. Realisasi Ukhuwah Islam memiliki ajaran sosial yang luar biasa hebatnya. Semua orang beriman adalah bersaudara, ini yang disebut sebagai persaudaraan iman, atau persaudaraan sesama muslim (ukhuwah islamiyah). Allah telah berfirman, “Sesungguhnya kaum mukminin adalah bersaudara, maka perbaikilah hubungan di antara saudara kalian, dan bertakwalah kepada Allah agar kalian dirahmati.” (QS. Al-Hujurat: 10). Sistem persaudaraan inilah salah satu hal yang membedakan antara Islam dengan peradaban Barat yang cenderung mengedepankan sisi individualisme. Orang modern yang tidak melandasi kehidupannya dengan iman, mereka akan cenderung menjadi pribadi-pribadi yang merdeka dan tidak peduli dengan yang lain. Islam datang membawa ajaran bahwa dalam harta kita ada hak orang lain. Dalam kehidupan kita, ada sisi yang harus memberikan kontribusi kebaikan bagi manusia lain. Sisi sosial yang sangat indah dalam Islam, telah menciptakan sistem kehidupan yang saling menguatkan satu dengan yang lain. Saling menasihati, saling memberi, saling mendoakan, ini semua hanya ada dalam sistem sosial yang diajarkan Islam. Di atas landasan keimanan, Allah mempersatukan hati orang beriman sehingga mereka menjadi bersaudara. Sungguh, yang membuat terciptanya suasana persaudaraan bukanlah materi, bukanlah harta benda, bukanlah jabatan dunia, tetapi keimanan kepada Allah Ta’ala. Sebanyak apa pun harta yang kita miliki, tidak akan bisa menciptakan persaudaraan (QS. Al-Anfal: 63). Kisah persaudaraan kaum Muhajirin dengan kaum Anshar menjadi contoh nyata bagaimana iman bisa mempersatukan hati manusia dari berbagai suku bangsa yang berbeda. Imam Ahmad meriwayatkan, ketika Abdurrahman bin ‘Auf berhijrah ke Madinah, Rasulullah mempersaudarakannya dengan Sa’ad bin Rabi’. Waktu itu Rabi’ berkata, “Hai saudaraku, aku adalah orang yang terkaya di Madinah, karena itu ambillah separuh hartaku, dan aku punya dua istri, maka pilihlah salah seorang yang kamu senangi untuk aku kawinkan denganmu setelah aku ceraikan,” jawab Abdurrahman bin ‘Auf, “semoga Allah memberikan bagimu berkat pada harta dan istrimu, tunjukkanlah aku manakah pasar kota ini?” Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa orang Anshar berkata kepada Nabi, “Ya Rasulullah, bagikan kebun kami dengan Muhajirin.” Jawab Nabi, “Tidak, aku tidak akan membagikan dengan mereka.” Orang Anshar bertanya, “Kalau demikian bantulah kami dalam bekerja agar kami dapat membantu mereka dalam membagi hasilnya.” Kata Nabi, “Saudara kamu Muhajirin itu adalah yang keluar ke tempatmu dengan meninggalkan harta dan keluarganya.” Jawab orang Anshar, “Kami akan membagikan kepada mereka kebun kami.” Rasulullah bertanya lagi, “Apa selain itu?” Jawab Anshar, “Ya Rasulullah, apakah yang engkau maksudkan?”
Nabi bersabda, “Mereka itu datang dari Makkah dan mereka tidak bisa Materi Diklat #1| 183 bercocok tanam sepertimu. Karena itu, bertanamlah kamu dan berikan kepada kaum Muhajirin sebagian hasilnya.” Jawab orang Anshar, “Kami rela dengan keputusan Nabi.” Al-Bazzar meriwayatkan dari Jabir r.a., katanya, “Biasanya orang Anshar jika musim panen mereka membagi hasil panen kurmanya menjadi dua bagian yaitu bagian pertama lebih banyak dari bagian yang kedua, sedang bagian yang sedikit mereka tambah dengan pelepah kurma. Kemudian kaum muslimin (Muhajirin) mengambil bagian yang terbanyak dan kaum Anshar bagian yang sedikit.” Setelah Nabi menaklukan perkebunan Khaibar, beliau berkata, “Hai orang Anshar, kamu telah banyak memberikan pertolongan kepada kami, sekarang kami menaklukan perkebunan Khaibar dan kamu juga boleh merasa cukup dengan tanaman kamu sendiri.” Jawab Anshar, “Ya Rasulullah, dahulu engkau menjanjikan kami dengan surga, jika kami menolongmu, kini aku akan menolongmu, apakah janji itu akan terpenuhi?” Nabi saw. menyatakan, “Janji itu akan terpenuhi.” Seluruh kisah di atas adalah contoh nyata dari realisasi ukhuwah dalam kehidupan orang beriman pada zaman kenabian. Ukhuwah telah membuat setiap muslim berusaha untuk memberikan yang terbaik bagi saudaranya. Mereka tidak akan membiarkan saudaranya berada dalam kesengsaraan, penderitaan, ketidakmampuan, keterpurukan (QS. Al-Hasyr: 9). Inilah sistem sosial yang sangat kokoh, yang mampu melahirkan kekuatan dalam pribadi setiap manusia, sekaligus menjadi faktor yang menguatkan keluarga Maka, apabila kita mampu merealisasikan ukhuwah dalam kehidupan akan tercipta sebuah fondasi yang mampu membentuk resiliensi bagi pribadi maupun keluarga. Resiliensi akan makin kokoh apabila ada dukungan sosial yang positif, sehingga semua orang berinteraksi saling menguatkan satu dengan yang lain. Faktor dasar pembangun resiliensi keluarga yang kedua adalah penerimaan dan dukungan lingkungan sosial. Penerimaan dan dukungan lingkungan sosial sangat berperan dalam proses pemulihan keluarga, dari kondisi terpuruk kepada kondisi yang normal. Lingkungan ini bisa dari keluarga inti, keluarga besar, lingkungan kerja, organisasi, maupun dari lingkungan masyarakat. Sikap positif lingkungan sangat menentukan pemulihan dan kebaikan keluarga pasca mengalami keterpurukan. Sebaliknya, saat lingkungan memberikan sikap yang negatif akan memperlama proses pemulihan mereka dari guncangan persoalan. Pada saat orang tengah mengalami masalah, atau selesai dari suatu masalah, sering kali berada dalam suasana yang sangat sensitif. Jika dalam suasana itu lingkungan masih menganggapnya sebagai “orang bermasalah” maka akan membuatnya tidak mudah kembali kepada kondisi yang nyaman. Namun, jika ia mendapatkan lingkungan yang bisa menerimanya apa adanya, menerima dengan baik, akan sangat mudah menuju pemulihan. Cepat kembali
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 184 dalam keharmonisan hubungan setelah retak, cepat kembali dalam kebahagiaan setelah sempat mengalami kenelangsaan, cepat bangkit setelah terpuruk. Pada dasarnya semua orang memerlukan lingkungan sosial yang bisa menerima dirinya apa adanya. Tidak mempersoalkan dan mengungkit hal-hal yang ingin dilupakannya. Pengertian Dukungan Sosial Manusia adalah makhluk sosial yang selalu memerlukan orang lain dalam kehidupan. Manusia tidak bisa hidup sendirian atau hidup dalam kesendirian. Kebahagiaan akan lebih optimal, jika berbagi dengan orang lain. Kesedihan akan mudah berkurang dan hilang, jika berbagi dengan orang lain. Lingkungan sosial yang menerima dan mengakui dirinya apa adanya adalah faktor penting untuk meningkatkan resiliensi individu dan keluarga. Di sini pentingnya menciptakan lingkungan yang kondusif dan ramah keluarga. Karena kita selalu terhubung satu dengan yang lainnya, yang membuat keluarga kita juga saling memengaruhi satu dengan yang lainnya. Dukungan sosial merupakan suatu ungkapan perasaan yang ditujukan kepada individu lain agar lebih yakin dalam menerima kenyataan (Olds & Feldman, 2009). Hobfull (1986) menyatakan bahwa dukungan sosial bisa berasal dari interaksi sosial atau hubungan sosial yang memberikan bantuan nyata atau perasaan kasih sayang kepada individu yang dapat dirasakan sebagai perhatian atau cinta dan penghargaan terhadap individu tersebut. Johnson & Johnson (1991) menjelaskan bahwa dukungan sosial yang meliputi dukungan emosional dan dukungan informasional, dapat meningkatkan kesejahteraan mental. Karena dengan adanya orang yang memberikan pertolongan akan mendorong semangat, penerimaan, perhatian sehingga dapat mempermudah individu dalam menghadapi berbagai situasi yang penuh tekanan. Dukungan sosial mampu membantu individu untuk beradaptasi dengan segala situasi dan peristiwa yang berkaitan dengan kondisi fisik maupun kondisi psikologis yang tidak menyenangkan (Bootzin dkk dalam Puspita, 2013). Bisa disimpulkan bahwa dukungan sosial merupakan dukungan dari keluarga atau teman yang diberikan kepada seseorang yang sedang mengalami masalah. Dukungan bisa berupa materiil, informasi, penghargaan, maupun emosional yang dapat menimbulkan perasaan dihargai, diperhatikan, dilindungi, dan dicintai sehingga dapat meningkatkan individu untuk lebih produktif. Urgensi Dukungan Sosial Cohen dan Syme (1985) mendefinisikan dukungan sosial sebagai suatu keadaan bermanfaat atau menguntungkan yang diperoleh individu dari orang lain. Bentuk dukungan ini bisa berasal dari hubungan sosial struktural yang meliputi keluarga/teman dan lembaga pendidikan, maupun berasal dari hubungan sosial yang fungsional yang meliputi dukungan emosi, informasi, penilaian, dan instrumental. Ketika seseorang dihadapkan pada masalah atau kesulitan hidup dan ia mendapatkan dukungan sosial dari lingkungannya, orang tersebut akan merasa lebih nyaman. Ia merasa diperhatikan, merasa memiliki tempat untuk berbagi
keluh kesah yang dialami sehingga beban psikologis yang terasa berat, jika harus Materi Diklat #1| 185 ditanggung sendirian, bisa lebih ringan. Dukungan sosial itu bisa berupa tersedianya orang yang dapat memberikan motivasi yang diperlukan ketika sedang “down”, mendengarkan keluh kesah, memberikan informasi yang diperlukan, diajak berdiskusi dan bertukar pikiran. Merasa diperhatikan dan diterima adalah bagian dari proses pemulihan psikologis. Jika dukungan sosial tidak ia peroleh, beban yang dialami orang tersebut akan terasa lebih berat. Dengan demikian bisa memunculkan stres dan frustrasi saat menghadapi masa-masa sulitnya. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Safree dan Yasin (2010), menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara dukungan sosial dan masalah psikologis. Ini menunjukkan bahwa makin tinggi dukungan sosial, makin rendah pula masalah psikologis. Begitu pula penelitian oleh Glozah (2013) di Ghana menunjukkan bahwa tingkat stres akademik pada siswa dipengaruhi oleh dukungan sosial. Makin bagus dukungan sosial, makin kecil kecemasan siswa, dan berlaku sebaliknya. Penelitian yang dilakukan Dzulkifli (2010) melibatkan 120 mahasiswa menghasilkan kesimpulan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara dukungan sosial dengan masalah psikologis. Artinya makin tinggi dukungan sosial yang diberikan, makin berkurangnya stres yang dialami siswa. Jenis Dukungan Sosial Ada beragam jenis dukungan sosial yang sangat bermanfaat untuk memulihkan individu dari keterpurukan. House (dalam Sarafino 1994) membedakan empat jenis dukungan sosial. 1. Dukungan Emosional Mencakup ungkapan empati, kepedulian dan perhatian. Misalnya, ketika seseorang sedang mengalami keterpurukan, orang-orang yang ada di sekitarnya menunjukkan sikap empati dan peduli. 2. Dukungan Penghargaan Mencakup ungkapan hormat (penghargaan) positif untuk orang lain, dorongan maju untuk persetujuan dengan gagasan atau perasaan individu, dan perbandingan positif dengan orang yang lebih buruk keadaannya. Cara ini akan menambah penghargaan diri seseorang yang sedang terpuruk. 3. Dukungan Instrumental Mencakup bantuan langsung yang diperlukan. Seperti memberi pinjaman uang/fasilitas kepada orang yang sangat memerlukan atau menolong dengan pekerjaan ketika sedang mengalami kesulitan ekonomi. 4. Dukungan Informatif Mencakup pemberian nasihat, petunjuk, saran, atau informasi yang berguna. Misalnya, memberikan informasi jenis dan tempat pengobatan gratis yang bisa diakses oleh seseorang yang sedang mengalami sakit berat, tetapi kondisi ekonominya buruk. Menguatkan Dukungan Sosial
Dukungan sosial yang diberikan oleh lingkungan sekitar akan membawa pengaruh yang sangat besar bagi seseorang yang sedang terpuruk. Dukungan tersebut akan memberikan rasa aman sehingga individu lebih bisa menjalani kehidupan tanpa gangguan rasa takut dan cemas. Ia merasa kebutuhannya telah terpenuhi dan yakin akan bantuan atau dukungan dari orang lain. Studi menunjukkan terdapat hubungan positif antara dukungan sosial dengan penerimaan diri pada individu yang sedang mengalami masalah berat. Makin tinggi dukungan sosial akan makin tinggi pula penerimaan dirinya. Sebaliknya, apabila dukungan sosial yang diterima makin rendah, maka penerimaan diri juga makin rendah. Itulah pembahasan tentang resiliensi. Ketika kita memahami pentingnya resiliensi dan faktor-faktor yang membangun dan menguatkannya, harapannya kita bisa menciptakan resiliensi itu dalam keluarga kita. Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 186
Upaya Meningkatkan Resiliensi Keluarga Materi Diklat #1| 187 Tujuan Pembelajaran Umum: Membangun pemahaman dan penghayatan konsep tentang upaya meningkatkan resiliensi keluarga sehingga memiliki kesadaran akan pentingnya mempelajari ilmu, sikap positif dan konstruktif di tengah keluarga, serta keterampilan membina ketahanan keluarga. Tujuan Pembelajaran Khusus: 1. Peserta pendampingan memahami pengertian resiliensi keluarga. 2. Peserta pendampingan memahami pentingnya upaya meningkatkan resiliensi keluarga. 3. Peserta pendampingan memahami pentingnya meningkatkan kapasitas SDM anggota keluarga. 4. Peserta pendampingan mampu mengidentifikasi faktor-faktor dasar pembentuk resiliensi yang ada pada keluarganya dan mampu mempertahankan serta mengembangkannya. 5. Peserta pendampingan membangun kesadaran pentingnya belajar sepanjang hayat secara mandiri atau mengikuti program edukasi keluarga agar menjadi keluarga yang tangguh. Alternatif Kegiatan Pembelajaran: 1. Pendamping memantik dengan cara menyampaikan isu terkini atau contoh kasus kerentanan keluarga, baik lingkup lokal di lingkungan sekitar maupun nasional, bahkan global. 2. Peserta diminta memberikan tanggapan tentang isu-isu terkini berkenaan dengan kerentanan keluarga. 3. Peserta mendapat penjelasan tentang faktor dasar pembentuk resiliensi keluarga. 4. Pendamping memfasilitasi diskusi tentang alternatif program apa saja untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, serta keterampilan meningkatkan resiliensi keluarga. Uraian Materi: Sangat penting untuk meningkatkan resiliensi (kelentingan) keluarga. Dengan resiliensi yang bagus, setiap keluarga memiliki kemampuan untuk cepat pulih setelah mengalami berbagai persoalan baik ringan maupun berat dalam kehidupan. Seperti telah dipahami, resiliensi atau kelentingan adalah kemampuan untuk bangkit kembali setelah sempat terpuruk dalam permasalahan yang berat. Kemampuan untuk kembali ke suasana bahagia setelah sempat berada dalam kepedihan yang sangat berat. Sebuah benda dikatakan lenting (resilien) apabila benda itu ketika ditekuk atau diremas dengan kuat, ia bisa segera kembali ke bentuknya semula.
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 188 Bayangkan botol wadah air mineral kemasan, saat airnya habis lalu botol plastik itu Anda remas. Dengan mudah Anda bisa mengembalikan ke bentuk semula. Itu benda yang lenting. Benda dikatakan “tidak lenting” apabila saat diubah bentuk karena benturan atau tekukan atau remasan, benda itu tidak bisa kembali lagi ke bentuknya semula. Tingkat kelentingannya sangat rendah, maka sulit kembali ke bentuk semula. Bayangkan botol wadah minuman softdrink bersoda, saat Anda remas, ia tidak akan bisa kembali ke bentuk semula. Ia sudah rusak, dan tidak bisa kembali lagi ke bentuk asalnya. Inilah keinginan semua orang: memiliki keluarga bahagia tanpa derita. Bagaimana caranya? Tingkatkan resiliensi keluarga Anda! Pada dasarnya semua orang memiliki potensi positif dalam dirinya untuk dioptimalkan, serta memiliki lingkungan sekitar yang bisa diolah untuk menjadi daya dukung kebaikan dirinya. Prinsip peningkatan resiliensi dalam diri seseorang maupun keluarga, bisa dilakukan dengan mendayagunakan semua potensi kebaikan dalam diri sendiri dan dalam diri orang yang ada di sekitar. Grotberg (1995) menyatakan, ada tiga kemampuan atau tiga faktor yang membentuk resiliensi. Untuk dukungan eksternal dan sumber-sumbernya, digunakan istilah “I Have”. Untuk kekuatan individu, dalam diri pribadi digunakan istilah “I am”, sedangkan untuk kemampuan interpersonal digunakan istilah “I Can”. Satu, Konsep “I Am” Yang dimaksud dengan prinsip “I am” adalah optimalisasi kekuatan atau potensi yang sudah ada dalam diri seseorang atau keluarga. Potensi tersebut meliputi keyakinan, perasaan, pemikiran, serta tingkah laku yang ada dalam dirinya. Pada dasarnya, setiap manusia telah diberikan potensi kebaikan, keutamaan, kemuliaan dalam dirinya, yang harus dikenali, diolah, dan dimanfaatkan untuk menghadapi berbagai macam perubahan serta permasalahan dalam kehidupan. Allah tidak membebani seseorang di luar kemampuan orang itu untuk menanggungnya, maka Allah berikan berbagai potensi dalam diri setiap manusia yang memungkinkannya untuk menghadapi berbagai beban dalam kehidupan. Individu yang resilien merasa bahwa mereka mempunyai potensi positif yang bisa diolah untuk makin memperbaiki diri dan bisa diterima oleh orang lain. Mereka berusaha agar selalu dicintai dan mencintai orang lain, agar diterima dan menerima orang lain, agar dimaafkan dan memaafkan orang lain. Mereka sensitif terhadap perasaan orang lain dan mengerti yang diharapkan orang lain terhadap dirinya. Keluarga yang resilien memiliki empati dan sikap kepedulian yang tinggi terhadap semua anggota keluarga. Mereka saling peduli terhadap kondisi yang terjadi pada anggota keluarga lain. Mereka merasakan ketidaknyamanan dan penderitaan yang dirasakan oleh anggota keluarga lain dan berusaha membantu untuk mengatasi masalah yang terjadi. Suami dan istri saling berusaha untuk bisa empati, orang tua dengan anak berusaha untuk saling empati. Mereka saling peduli dan saling berbagi karena
meyakini masing-masing memiliki potensi dan kemampuan untuk melakukan hal Materi Diklat #1| 189 itu. Ketika mendapatkan masalah atau kesulitan, rasa percaya diri yang tinggi akan membantu mereka dalam mengatasi kesulitan tersebut. Mereka bisa bersikap mandiri dan bertanggung jawab atas kemalangan atau kenelangsaan yang menimpa. Mereka dapat melakukan penyesuaian diri dengan baik, serta menyelesaikan permasalahan dengan kemampuan mereka sendiri. Mereka mampu mengambil keputusan untuk melakukan suatu tindakan serta berani menanggung segala konsekuensinya. Keluarga yang resilien memiliki harapan dan kesetiaan yang baik. Mereka yakin bahwa akan kondisi masa depan yang lebih baik. Dua, Konsep “I Have” Yang dimaksud dengan prinsip “I Have” adalah dukungan dari lingkungan di sekitar. Dukungan ini berupa hubungan yang baik dengan semua anggota keluarga, hubungan yang baik dengan keluarga besar, lingkungan pergaulan yang menyenangkan, hubungan dengan tetangga yang harmonis, hubungan dengan teman kerja atau teman organisasi yang menguatkan sisi kebaikan, dan yang semacam itu. Dengan prinsip “I Have” seseorang merasa memiliki hubungan yang penuh kepercayaan. Corak hubungan seperti ini menjadi sebuah dukungan yang positif bagi seseorang untuk memiliki kekuatan dan daya tahan dalam kehidupan. Membuat dirinya makin resilien (lenting) dalam menghadapi berbagai permasalahan dan suasana krisis yang bisa saja datang sewaktu-waktu. Corak hubungan seperti ini bisa diperoleh dari pasangan hidup, orang tua, anak-anak, anggota keluarga yang lain, guru, tetangga, dan teman-teman yang mencintai dan menerima dengan tulus. Pada keluarga yang memiliki resiliensi tinggi, semua anggota keluarga saling mendukung untuk mandiri dan dapat mengambil keputusan berdasarkan pemikiran serta inisiatifnya sendiri. Pengertian dan dukungan yang penuh dari suami, membuat istri merasa sangat berarti dan memiliki makna dalam keluarga. Penghormatan dan dukungan istri, membuat suami merasa nyaman dan berdaya dalam keluarga. Demikian pula dukungan yang diberikan oleh orang tua atau pun anggota keluarga lainnya akan sangat membantu pembentukan sikap mandiri dalam diri anak. Suasana keluarga yang saling mendukung satu dengan yang lain akan membuat mereka memiliki daya tahan yang baik dalam menghadapi berbagai permasalahan dan perubahan. Mereka tidak mudah terpuruk dalam penderitaan dan kehancuran karena memiliki lingkungan keluarga yang positif dan saling mendukung serta saling menguatkan dalam kebaikan. Tiga, Konsep “I Can” Yang dimaksud dengan prinsip “I Can” adalah kemampuan untuk melakukan hubungan sosial dan interpersonal yang positif dalam keluarga. Keluarga yang resilien cenderung memiliki kemampuan berkomunikasi efektif antara satu dengan yang lain serta mampu berinteraksi dengan corak yang menyenangkan. Keluarga yang resilien mampu memecahkan masalah dengan baik dan mampu mengekspresikan pikiran dan perasaan masing-masing dengan baik.
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 190 Ketika terjadi permasalahan dalam keluarga, mereka bisa duduk bersama membahas dan mencari solusi atas masalah tersebut. Mereka mampu mengendalikan emosi dan kemarahan sehingga tidak melakukan tindakan kekerasan serta tindakan yang bisa mengancam atau membahayakan pihak lain. Walaupun memiliki perbedaan pendapat dan pandangan, mereka tetap saling bisa menghargai. Kemampuan berkomunikasi dan berinteraksi inilah yang menyebabkan berbagai permasalahan menjadi mudah diselesaikan. Apabila masalah dalam keluarga sudah tidak mampu mereka selesaikan secara mandiri, mereka bisa menentukan pihak yang tepat untuk meminta bantuan guna mencari penyelesaian masalah keluarga tersebut. Mereka tidak melarikan diri dari masalah atau melempar kesalahan pada pihak lain karena merasa benar sendiri. Mereka juga tidak melakukan curhat secara sembarangan karena menyadari bahwa permasalahan harus diselesaikan secara tepat tanpa membongkar aib pihak lain secara terbuka. Tiga prinsip dari Grotberg (1995), bisa digunakan dalam mengoptimalkan potensi dalam diri dan potensi orang-orang di sekitar.
Materi Materi Diklat #1| 191 Keluarga Sakinah
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 192 Psikologi Suami Istri Tujuan Pembelajaran Umum: Membangun pemahaman dan penghayatan konsep tentang psikologi suami istri sehingga memiliki kesadaran akan pentingnya mempelajari ilmu, sikap positif dan konstruktif di tengah keluarga, serta keterampilan membina ketahanan keluarga. Tujuan Pembelajaran Khusus: 1. Peserta pendampingan memahami pengertian psikologi suami istri. 2. Peserta pendampingan memahami karakteristik laki-laki dan perempuan dalam tinjauan psikologi. 3. Peserta pendampingan mampu mengidentifikasi karakteristik psikologi pada diri dan pasangan. 4. Peserta menyadari bahwa pernikahan menjadi sarana ibadah mengelola perbedaan karakteristik antara suami dan istri. 5. Peserta pendampingan membangun kesadaran pentingnya belajar sepanjang hayat secara mandiri atau mengikuti program edukasi keluarga agar menjadi keluarga yang tangguh. Alternatif Kegiatan Pembelajaran: 1. Pendamping memantik dengan cara menyampaikan contoh kasus konflik keluarga yang disebabkan gagalnya memahami karakteristik laki-laki dan perempuan. 2. Peserta diminta memberikan contoh kasus hubungan suami istri dan saling memberikan tanggapan. 3. Peserta mendapat penjelasan tentang psikologi suami dan istri dan manfaatnya dalam meningkatkan kadar hubungan suami istri. 4. Pendamping memfasilitasi diskusi tentang alternatif program apa saja untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, serta keterampilan meningkatkan kualitas hubungan suami istri. Uraian Materi: Kita sering menyebut keluarga idaman atau keluarga ideal dengan sebutan keluarga harmonis. Saya sering menuliskan bahwa harmonis itu justru karena berbeda. Banyak pasangan suami istri tidak menyadari bahwa mereka berdua tidak sama. Kenyataannya, laki-laki dan perempuan adalah dua makhluk yang berbeda dan tidak akan pernah menjadi sama berapa pun lamanya mereka hidup berkeluarga. Sampai akhir usianya, suami adalah seorang lelaki yang lengkap dengan segala potensi dan ego kelelakiannya. Sampai akhir usianya, istri adalah perempuan yang lengkap dengan segala potensi dan ego keperempuanannya. Sebagaimana telah banyak ditulis di berbagai media, lelaki dan perempuan memiliki banyak sisi perbedaan. Tentu saja ada sangat banyak persamaan, tetapi kita tidak boleh mengingkari adanya perbedaan tersebut.
Michael Gurian dalam bukunya yang berjudul Boys and Girls Learn Materi Diklat #1| 193 Differently: A Guide for Teachers and Parents menjelaskan bahwa ternyata otak laki-laki dan perempuan memang berbeda. Perbedaan itu berlaku di seluruh dunia kendati ras dan budaya berbeda. Bahkan menurut Gurian, pengaruh kultur pun tidak cukup kuat mengalahkan struktur alami otak tersebut. Daniel G. Ameen, seorang neurosaintis, juga telah mengulas perbedaan pemikiran antara perempuan dan laki-laki dalam bukunya Unleash The Power of The Female Brain. Setelah mempelajari hampir 80.000 hasil pindai otak manusia dan mencermati banyak hasil penelitian, Daniel menemukan bukti ilmiah bahwa otak laki-laki dan perempuan pada dasarnya berbeda. Pindai otak membantu para ilmuwan mendapatkan gambaran jelas tentang bagaimana otak merespons dan bekerja ketika seseorang melakukan suatu pekerjaan atau tindakan. Perbedaan otak laki-laki dan perempuan ini meliputi: amygdala (berkaitan dengan emosi, rasa takut, dan agresi), hippocampus (prinsip emosi dan pembentukan memori), hypothalamus (kontrol terhadap organ dan sistem tubuh), limbic system (bagian otak yang menghasilkan emosi), visual cortex (bagian dari otak yang mengolah informasi visual), corpus callosum (pengirim sinyal dalam otak yang menghubungkan antara otak kiri dan kanan). Terbukti bahwa laki-laki dan perempuan memang berbeda. Maka, mereka harus saling memahami adanya titik-titik perbedaan ini agar bisa menghindari potensi konflik yang besar. Memahami realitas adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan akan efektif membantu meredakan ketegangan komunikasi dan mencegah munculnya konflik antara suami dengan istri. Ayo terus berusaha memahami realitas perbedaan kita dengan pasangan agar bisa saling mengerti dan memahami. Suami dan Istri Sama-Sama Pintar Secara umum, para peneliti menemukan struktur otak yang berbeda antara laki- laki dan perempuan, yang menyebabkan laki-laki dan perempuan memiliki beberapa kecenderungan yang khas. Studi menunjukkan, otak laki-laki memiliki ukuran 8% sampai 10% lebih besar dibanding perempuan. Namun, bukan berarti laki-laki lebih pintar karena ukuran otak ini. Salah satu yang membedakan adalah komposisi dan pemanfaatan dari otak tersebut. Otak manusia terdiri dari materi abu-abu yang melakukan pemikiran dan materi putih yang menghubungkan tindakan yang berbeda dari otak. Daniel G. Ameen menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama pintar, tetapi mereka menggunakan bagian otak yang berbeda untuk memecahkan masalah atau mencapai tujuan. Secara umum, perempuan memerlukan waktu yang lebih lama untuk memutuskan sesuatu, hal itu karena sel-sel otak perempuan ditemukan lebih banyak pada bagian pre-frontal. Ini daerah otak yang bekerja ketika mengontrol penilaian, perencanaan, dan kesadaran. Laki-laki lahir dengan lobus parietalis yang lebih besar, di mana bagian ini berhubungan dengan dunia fisik. Otak laki-laki memiliki materi abu-abu yang lebih sedikit sehingga cenderung bertindak dengan single-minded focus, tidak memperhitungkan lebih dalam bertindak.
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 194 Banyak orang mengatakan, laki-laki itu bertindak dahulu, akibatnya dipikirkan kemudian. Ketika memutuskan sesuatu, tidak memerlukan banyak pertimbangan. Sedangkan perempuan lebih banyak pertimbangan karena memiliki materi putih yang lebih banyak di otaknya. Laki-laki sering mengeluhkan “kelambanan” istrinya dalam urusan mengambil keputusan. Laki-laki memiliki amigdala, bagian dari otak yang memproses rasa takut dan marah, lebih besar ketimbang perempuan. Namun, laki-laki memiliki lebih sedikit sel-sel otak di pusat memori utama sehingga mereka akan lebih cepat lupa akan kemarahannya. Laki-laki juga memiliki sel-sel otak yang lebih besar di bagian hipotalamus, yaitu yang berfokus pada perilaku seksual. Para ilmuwan lainnya menyatakan bahwa perempuan memiliki struktur otak majemuk yang memungkinkannya memiliki kemampuan multitasking. Seorang perempuan bisa mengerjakan empat sampai lima pekerjaan yang berbeda dalam satu kesempatan. Sementara kaum laki-laki dengan struktur otak tunggal cenderung fokus pada satu pekerjaan dan sulit berkonsentrasi untuk dua atau lebih pekerjaan dalam waktu yang bersamaan. Laki-laki mengerjakan kegiatan satu demi satu dan cenderung tidak mau diganggu ketika sedang serius bekerja. Memahami realitas adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan akan sangat membantu meredakan ketegangan komunikasi dan mencegah munculnya konflik antara suami dengan istri. Ayo terus berusaha memahami realitas perbedaan kita dengan pasangan agar bisa saling mengerti dan memahami. Umumnya Perempuan Lebih Cepat Menyelesaikan Pekerjaan Para peneliti menyatakan, perempuan bisa melakukan berbagai tugas lebih cepat dan lebih baik dibanding laki-laki. Tim Peneliti dari University of California dan beberapa universitas di Madrid, Spanyol menyatakan bahwa meskipun perempuan memiliki otak lebih kecil dibandingkan dengan laki-laki, tetapi mereka bisa melakukan berbagai tugas lebih cepat dan lebih baik. Hal ini dikarenakan neuron yang menyusun otak perempuan berkomunikasi lebih baik antara satu dengan lainnya, daripada neuron yang ditemukan di dalam otak laki-laki. Perempuan memiliki kemampuan menyelesaikan tugas yang diberikan tanpa harus melibatkan neuron dalam jumlah besar pada prosesnya. Responden berjumlah 90 orang yang terdiri dari 59 relawan perempuan dan 45 relawan laki-laki. Bagian otak yang diperhatikan secara khusus dalam tes ini adalah hippocampus, yang diyakini bertanggung jawab atas memori, kecerdasan, dan perilaku. “Penelitian ini menunjukkan bahwa pada perempuan makin kecil hippocampus, maka makin baik kerjanya. Ukuran struktur tidak selalu berkaitan dengan seberapa baik melakukan dan menyelesaikan tugasnya,” ujar peneliti dari Universitas Cambridge Profesor Trevor Robbins. Robbins menambahkan, ukuran yang lebih kecil dapat mewakili kemasan sel saraf yang lebih intens atau sinyal yang lebih aktif pada perempuan sehingga mereka dapat beroperasi atau bekerja lebih efisien dalam berbagai hal. Perempuan memiliki area yang lebih besar di otak yang bekerja pada insting pelacakan, inilah yang membuat mereka bekerja lebih cepat ketika yang lain
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164
- 165
- 166
- 167
- 168
- 169
- 170
- 171
- 172
- 173
- 174
- 175
- 176
- 177
- 178
- 179
- 180
- 181
- 182
- 183
- 184
- 185
- 186
- 187
- 188
- 189
- 190
- 191
- 192
- 193
- 194
- 195
- 196
- 197
- 198
- 199
- 200
- 201
- 202
- 203
- 204
- 205
- 206
- 207
- 208
- 209
- 210
- 211
- 212
- 213
- 214
- 215
- 216
- 217
- 218
- 219
- 220
- 221
- 222
- 223
- 224
- 225
- 226
- 227
- 228
- 229
- 230
- 231
- 232
- 233
- 234
- 235
- 236
- 237
- 238
- 239
- 240
- 241
- 242
- 243
- 244
- 245
- 246
- 247
- 248
- 249
- 250
- 251
- 252
- 253
- 254
- 255
- 256
- 257
- 258
- 259
- 260
- 261
- 262
- 263
- 264
- 265
- 266
- 267
- 268
- 269
- 270
- 271
- 272
- 273
- 274
- 275
- 276
- 277
- 278
- 279
- 280
- 281
- 282
- 283
- 284
- 285
- 286
- 287
- 288
- 289
- 290
- 291
- 292
- 293
- 294
- 295
- 296
- 297
- 298
- 299
- 300
- 301
- 302
- 303
- 304
- 305
- 306
- 307
- 308
- 309
- 310
- 311
- 312
- 313
- 314
- 315
- 316
- 317
- 318
- 319
- 320
- 321
- 322
- 323
- 324
- 325
- 326
- 327
- 328
- 329
- 330
- 331
- 332
- 333
- 334
- 335
- 336
- 337
- 338
- 339
- 340
- 341
- 342
- 343
- 344
- 345
- 346
- 347
- 348
- 349
- 350
- 351
- 352
- 353
- 354
- 355
- 356
- 357
- 358
- 359
- 360
- 361
- 362
- 363
- 364
- 365
- 366
- 367
- 368
- 369
- 370