Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Materi Diklat1 Family Strengthening YBM BRILiaN 2023

Materi Diklat1 Family Strengthening YBM BRILiaN 2023

Published by sujono bms, 2023-07-10 03:36:45

Description: Materi Diklat1 Family Strengthening YBM BRILiaN 2023

Search

Read the Text Version

Setelah perkara perceraian diputus dan mempunyai kekuatan hukum tetap, Materi Diklat #1| 295 akan dikeluarkan akta cerai sebagai bukti otentik bahwa perceraian telah sah terjadi. Pentingnya pencatatan ini adalah untuk memenuhi Pasal 34 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, yang menentukan bahwa perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat-akibat hukumnya terhitung sejak pendaftaran. Kecuali bagi mereka yang beragama Islam terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah berkekuatan hukum tetap. Sidang Perceraian Proses persidangan perceraian biasanya memakan waktu antara dua sampai lima bulan. Untuk proses perceraian di pengadilan agama, ada delapan kali sidang, yakni Sidang pembacaan gugatan/perdamaian; Sidang jawaban; Sidang replik; Sidang duplik; Sidang Bukti-saksi Penggugat; Sidang Bukti-saksi Tergugat; Sidang Kesimpulan; Sidang Putusan; Ucap Talak (jika yang ajukan gugatan cerai adalah si suami). Sementara untuk proses perceraian di pengadilan negeri ada 10 kali pertemuan sidang yakni Sidang mediasi (perdamaian) pertama; Sidang Mediasi ke-2; Sidang Mediasi ke-3; Sidang Jawaban; Sidang Replik; Sidang Duplik; Sidang Bukti-saksi Penggugat; Sidang Bukti-saksi Tergugat; Sidang Kesimpulan, dan Sidang Putusan. Menurut UU nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, perceraian di peradilan agama dibagi menjadi dua jenis yaitu cerai talak dan cerai gugat. Cerai talak diajukan oleh pihak suami sebagai pemohon dan istri sebagai termohon, sedangkan cerai gugat diajukan oleh istri sebagai penggugat dan suaminya sebagai tergugat. Dampak Perceraian di Luar Pengadilan Sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan, perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan, setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Berdasarkan ketentuan tersebut, tidak dimungkinkan terjadinya perceraian di luar prosedur pengadilan. Pada dasarnya, hukum Islam memang membenarkan seorang suami yang akan menceraikan suaminya hanya cukup diucapkan di depan istrinya. Akan tetapi, dalam kehidupan bernegara seharusnya menaati peraturan pemerintah selama tidak bertentangan dengan hukum Islam. Secara prinsip, hukum Islam mempersulit terjadinya perceraian. Perceraian yang dilakukan di luar sidang pengadilan akan mempunyai dampak negatif terhadap istri. Perceraian yang dilakukan di luar sidang pengadilan tidak memiliki surat cerai yang mempunyai kekuatan hukum. Dengan demikian, seorang janda akan mendapatkan kesulitan dengan pihak KUA apabila akan menikah lagi. Bagi janda yang hendak menikah lagi, harus memiliki surat cerai dari pengadilan, sehingga tak jarang menempuh nikah di bawah tangan. Jika terjadi perceraian (di luar pengadilan), istri tidak mendapatkan hak-haknya, seperti nafkah selama masa idah, tempat untuk tinggal, pakaian, dan kecukupan pangan. Akibat perceraian di luar pengadilan juga berpengaruh terhadap suami. Para suami yang melakukan perceraian di luar pengadilan juga akan mengalami kesulitan ketika hendak menikah lagi dengan perempuan lain.

Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 296 Perceraian yang dilakukan di luar pengadilan tidak akan memiliki surat cerai yang sah dan tidak memiliki kekuatan hukum tetap. Sehingga jika hendak menikah lagi melalui pihak KUA tidak akan mengizinkan sampai ada surat yang sah dari pengadilan. Akhirnya, banyak yang memilih menikah di bawah tangan. Perceraian di luar sidang pengadilan juga akan berpengaruh pada anak-anak. Sering terjadi si ayah tidak mau memberi nafkah secara tertib. Ini karena perceraian di luar pengadilan tidak mempunyai kekuatan hukum sehingga tidak dapat memaksa si ayah memberi nafkah kepada anak. Baik dari segi kontinuitas, waktu memberi nafkah, maupun dari jumlah nafkah yang diberikan. Jika perceraian dilakukan di pengadilan agama, hal tersebut akan ditetapkan oleh pengadilan, sesuai dengan Pasal 156 poin f Kompilasi Hukum Islam. Dengan demikian lebih bisa menjamin hak-hak semua pihak. Alasan Perceraian Menurut Hukum Positif di Indonesia Perceraian harus disertai dengan alasan-alasan yang dibenarkan hukum. Sebagaimana ketentuan yang terdapat pada Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan, “Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.” Alasan-alasan perceraian dalam UU Perkawinan tidak diatur secara detail. Ketentuan mengenai alasan-alasan perceraian secara limitatif diatur pada Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Pasal 19 PP 9/1975 menyatakan, “Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan • salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan; • salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya; • salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung; • salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain; • salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri; • antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.” Pasal 116 KHI menyatakan, “Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan • salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan; • salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya; • salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

• salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang Materi Diklat #1| 297 membahayakan pihak lain; • salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri; • antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga; • suami melanggar taklik talak; • peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga. Dengan demikian, bagi pasangan suami istri yang beragama Islam, saat mengajukan perceraian di depan sidang pengadilan harus memenuhi alasan- alasan yang terdapat dalam PP 9/1975 dan KHI tersebut. Hal ini dimaksudkan agar suami ataupun istri tidak cepat dan mudah bercerai. Akibat Hukum Putusnya Perkawinan karena Perceraian Sebagaimana termaktub dalam Pasal 41 Undang-Undang Perkawinan, akibat hukum yang terjadi karena perceraian adalah sebagai berikut. • Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak- anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan memberi keputusannya. • Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, maka pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut. • Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri. Oleh karena itu, dampak atau akibat dari putusnya hubungan perkawinan karena perceraian, telah jelas diatur dalam Undang-undang Perkawinan. Harta Gono-Gini Harta bersama (gono-gini) adalah harta benda atau hasil kekayaan yang diperoleh selama berlangsungnya perkawinan. Meskipun harta tersebut diperoleh dari hasil kerja suami saja, istri tetap memiliki hak atas harta bersama. Jadi, harta bersama meliputi harta yang diperoleh dari usaha suami dan istri berdua atau usaha salah seorang dari mereka. Ini berarti baik suami maupun istri mempunyai hak dan kewajiban yang sama atas harta bersama dan segala tindakan hukum atas harta bersama harus mendapat persetujuan kedua belah pihak. Harta bersama dapat berupa benda berwujud, benda tidak berwujud (hak dan kewajiban), benda bergerak, benda tidak bergerak, dan surat-surat berharga. Sepanjang tidak diatur lain dalam perjanjian perkawinan, apabila terjadi perceraian, masing-masing pihak istri maupun suami berhak atas separuh (seperdua) dari harta bersama. Harta warisan yang diperoleh suami atau istri, tidak termasuk harta gono-gini, karenanya tidak dapat dibagi akibat adanya perceraian. Penyelesaian utang

suami/istri dengan pihak ketiga, dapat dilaksanakan sesuai kesepakatan di antara suami dan istri, tetapi umumnya, utang tersebut ditanggung oleh masing-masing pihak yang berutang. Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 298

Dampak Negatif Perceraian Materi Diklat #1| 299 Tujuan Pembelajaran Umum: Membangun pemahaman dan penghayatan akan dampak perceraian sehingga terbangun kesadaran pentingnya keutuhan keluarga, sikap positif dan konstruktif di tengah keluarga, serta kesadaran akan pentingnya mempelajari ilmu-ilmu membina ketahanan keluarga. Tujuan Pembelajaran Khusus: 1. Peserta memahami fakta (sebab-sebab) di balik fenomena tingginya angka perceraian di Indonesia. 2. Peserta membangun kesadaran akan dampak perceraian dan menghindari perceraian. 3. Peserta giat secara mandiri atau mengikuti program edukasi yang meningkatkan kapasitas yang menunjang upaya menjaga keutuhan keluarga. Alternatif Kegiatan Pembelajaran: 1. Peserta mendapat contoh-contoh sebab terjadinya perceraian. 2. Peserta memberikan tanggapan terhadap contoh sebab terjadinya perceraian. 3. Peserta mendapat penjelasan serta penafsiran data perceraian di Indonesia. 4. Pendamping mengajak diskusi tentang alternatif program apa saja untuk menjaga keutuhan keluarga. Uraian Materi: Seorang istri bercerita bahwa setiap kali mengalami pertengkaran, suami selalu mengucapkan kata cerai. Setelah suasana mereda, ia bilang bahwa ucapan cerai tadi hanya emosi saja. Ia tidak bermaksud menceraikan istri. Namun, kejadian itu terulang lagi berkali-kali. Cerai menjadi kata-kata yang sangat sering diucapkan suami, setiap kali melampiaskan kekesalan terhadap istri. Seakan-akan cerai adalah sesuatu yang boleh dilakukan semau gue atau dianggap sebagai perbuatan yang menyenangkan. Suami seperti ini, pasti tidak mengerti dampak yang akan mereka alami setelah bercerai. Terlalu mudah baginya mengucapkan kata cerai, terlalu ringan ia memandang sebuah perceraian karena tidak mengetahui dampak buruk yang terjadi pasca-bercerai. Perceraian selalu menimbulkan dampak yang tidak diinginkan. Itulah sebabnya, dalam ajaran agama Islam perceraian bukan merupakan sesuatu yang dimudahkan untuk dilaksanakan. Berbeda dengan pernikahan, yang hendaknya dilakukan dengan mudah tanpa ada pihak yang mempersulit. Dalam buku The Good Enough Teen: Raising Adolescents with Love and Acceptance, Brad E. Sachs Ph.D menyinyalir adanya persepsi keliru pada pasangan yang hendak memutuskan bercerai. Seakan cerai adalah akhir penderitaan hidup berumah tangga.

Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 300 Brad menyatakan, “Pasangan yang akan berpisah memimpikan perceraian yang sempurna—langsung terbebas dari konflik sengit yang menekan secara permanen, lalu digantikan oleh kedamaian dan ketenangan yang menyegarkan dan menyejukkan, tetapi keadaan semacam itu sama mustahilnya dengan perkawinan yang sempurna.” Ego yang Terluka Bagi laki-laki maupun perempuan, perceraian pasti menimbulkan luka dan duka. Namun, ternyata ditemukan ada luka yang spesifik pada diri laki-laki usai bercerai. Sesuatu dampak buruk yang harus sangat diperhatikan agar tidak sampai terjadi. Setelah bercerai, laki-laki melalui krisis yang sering kali dianggap remeh oleh masyarakat, bahkan oleh dirinya sendiri. Menurut Kyle Morrison dari Huffington Post, hal ini berkaitan dengan ego, emosi, dan harga diri yang dimiliki oleh laki- laki. Ada ego yang terluka. Bagi laki-laki, rasa duka dan kehilangan pasca-perceraian berimbas pada sisi egonya. Seperti diketahui, ego adalah hal bagaimana seseorang melihat dirinya sebagai bagian dari orang lain. Ego memberikan pandangan mengenai peran, posisi, dan nilai diri seseorang berdasarkan interaksi yang dibangun selama ini. Ego adalah hal penting yang membuat setiap orang merasa berfungsi, berharga, dan bermakna bagi orang lain. Dengan ini, seseorang akan mendapatkan harga diri serta kepercayaan diri, sesuatu yang sangat diperlukan oleh laki-laki. Maka, akan menjadi masalah besar ketika seseorang kehilangan perasaan itu. Terlebih lagi ketika ego berkaitan dengan keluarga, cinta, dan pernikahan. Sepanjang kehidupan pernikahan, lelaki mengambil peran penting sebagai suami, ayah, pemimpin, dan kepala keluarga. Melalui peran-peran ini, laki-laki mendapatkan harga diri dan kepercayaan dirinya. Ia merasa bermakna bagi keluarga. Ia merasa berharga. Pada lelaki yang mengalami perceraian, ia “dipaksa” untuk kehilangan perannya selama ini dalam keluarga. Baik sebagai suami, ayah, pemimpin, maupun kepala keluarga. Semua peran itu hilang begitu saja. Laki-laki kehilangan semua peran penting tersebut secara bersamaan, dengan semua kepercayaan dan harga diri yang selama ini dimiliki. Lelaki seolah terbuang tanpa mengetahui tempat dan perannya dalam kehidupan selanjutnya. Ia merasa tercampakkan, merasa tidak bermakna, merasa tidak berharga. Hal inilah yang berubah menjadi kesedihan, kemarahan, kecemasan, serta depresi bagi dirinya. Dampak Negatif bagi Perempuan Sedangkan dampak perceraian yang lebih dominan dirasakan pada kaum perempuan adalah sebagai berikut. 1. Stres Journal of Health and Social Behaviour pada 2006 pernah menulis analisis bahwa perempuan mengalami tekanan secara psikologis lebih tinggi dan signifikan daripada laki-laki dalam perceraian. Tekanan ini biasanya berdampak pada perempuan untuk tidak percaya lagi pada laki-laki. 2. Cemas

Ketika dilanda suatu masalah secara umum, kaum perempuan telah mengalami Materi Diklat #1| 301 rasa khawatir atau perasaan cemas yang lebih dibanding laki-laki. Apalagi saat dihadapkan dengan perceraian. Perasaan cemas sudah pasti akan lebih dirasakan. Apalagi kekhawatiran terkait masa depan bersama anak-anak. 3. Takut Akibat kekhawatiran yang berlebih terutama dengan masa depan yang tidak pasti, sebagian perempuan mengalami perasaan takut. Mereka takut untuk memulai hubungan baru, takut untuk jatuh cinta lagi, takut untuk berkomitmen, hingga takut untuk bersosialisasi dengan laki-laki. 4. Marah Kemarahan biasanya dialami perempuan dengan proses perceraian yang rumit. Apalagi jika sudah menyangkut anak dan hak-hak psikologisnya. Dampak negatif jika perasaan marah ini telah muncul adalah, perempuan bisa berlaku kasar bahkan dapat melakukan tindakan yang membahayakan. Di lain sisi, perempuan juga dapat melakukan aksi balas dendam akibat kemarahannya. 5. Dihantui perasaan bersalah Pada beberapa perempuan yang bercerai, mereka dihantui perasaan bersalah. Terlebih, pandangan masyarakat terhadap perempuan yang bercerai sering negatif. Ada stigma yang membuat mereka tidak nyaman. Hindari Cara Instan Berbagai upaya untuk mendapatkan kembali rasa percaya diri dan harga diri yang terluka akibat perceraian, tidak selalu berhasil. Semua ini berkaitan dengan ego yang terluka. Memang tidak mudah memulihkan ego yang terlanjur terluka. Pada beberapa kalangan, mereka menempuh cara instan untuk mendapatkan kembali rasa percaya diri dan harga diri. Cara instan ini banyak yang cenderung negatif dan makin memperburuk situasi. Misalnya dengan membangun hubungan gelap untuk menyenangkan dan menenangkan diri. Sebagian yang lain melakukan dengan cara yang lebih praktis, seperti mabuk, obat terlarang, maupun melakukan hubungan seks bebas. Tak cukup mudah untuk mendapatkan kembali harga diri, kepercayaan, dan rasa kebermaknaan yang terlanjur tercabik. Untuk itu, Morrison menyarankan, kaum lelaki maupun perempuan yang baru mengalami perceraian, hendaknya tidak menempuh cara instan dalam menghilangkan rasa depresi atau memperbaiki rasa percaya diri. Berbagai cara instan tidak akan memberikan hasil seperti yang diharapkan. Bisa jadi justru makin memperburuk kondisi dan situasi, terlebih bagi mereka yang memilih aktivitas negatif yang berorientasi kesenangan sesaat. Lebih baik fokus membangun kembali harga diri dan rasa percaya diri melalui berbagai aktivitas yang positif dan produktif, sekaligus memberi waktu pada diri sendiri untuk bisa melepaskan rasa kecewa, amarah, sakit hati, atau depresi akibat perceraian. Pilih aktivitas yang akan berdampak positif jangka panjang, seperti memperbanyak kegiatan ibadah, melakukan kontemplasi, memperbanyak tobat dan perbaikan diri, membangun persahabatan dengan komunitas orang-orang saleh untuk menjaga kebaikan diri, dan lain sebagainya.

Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 302 Miliki fokus yang positif dan konstruktif untuk memulihkan harga diri dan rasa percaya diri pasca-bercerai. Menekuni hobi, mengembangkan minat, mengembangkan bisnis, dan berbagai kegiatan positif serta konstruktif lainnya akan bisa mempercepat proses move on dari rasa sakit akibat perceraian. Penutup Sekali lagi, tidak ada perceraian yang tidak melukai. Cerai melukai ego suami, cerai menyakitkan bagi istri, juga bagi anak-anak. Oleh karena itu, bagi lelaki yang tengah menjalani kehidupan pernikahan, jangan pernah menyepelekan istri dan anak-anak. Rawat dan jaga sebaik-baiknya cinta dalam keluarga Anda. Disebabkan karena merekalah, harga diri dan rasa percaya diri sebagai lelaki bisa Anda miliki dengan sempurna. Anda menjadi suami, karena ada istri. Anda menjadi ayah, karena ada anak-anak. Anda menjadi kepala keluarga, karena ada keluarga yang utuh bersama Anda. Hindari penggunaan kata cerai sebagai ancaman dan kata-kata kemarahan. Tidak layak mengucapkan kata-kata cerai ketika tengah emosi atau dalam situasi pertengkaran dengan istri. Tundukkan ego, tarik napas dalam-dalam, duduklah dengan pasangan untuk menemukan jalan keluar terbaik dari setiap persoalan.

Menyiapkan Kehidupan Setelah Materi Diklat #1| 303 Perceraian Tujuan Pembelajaran Umum: Membangun pemahaman konsep menyiapkan kehidupan setelah perceraian sehingga terbangun kesadaran pentingnya keutuhan keluarga, sikap positif dan konstruktif di tengah keluarga, serta kesadaran akan pentingnya mempelajari ilmu-ilmu membina ketahanan keluarga. Tujuan Pembelajaran Khusus: 1. Peserta membangun kesadaran akan konsekuensi pilihan perceraian dan menghindari perceraian. 2. Peserta memiliki keterampilan mengakses bantuan dari mitra baik unsur pemerintah, swasta, maupun NGO seperti KUA, RKI, Pendamping IP2BK yang berkompeten melayani konseling keluarga. 3. Peserta memiliki gambaran cara menyikapi kehidupan setelah perceraian. 4. Peserta memiliki keterampilan mengakses bantuan dari mitra baik unsur pemerintah, swasta, maupun NGO yang berkompeten membimbing kehidupan setelah perceraian. 5. Peserta giat secara mandiri atau mengikuti program edukasi yang meningkatkan kapasitas yang menunjang upaya menjaga keutuhan keluarga. Alternatif Kegiatan Pembelajaran: 1. Peserta mendapat contoh-contoh sebab terjadinya perceraian. 2. Peserta memberikan tanggapan terhadap contoh sebab terjadinya perceraian. 3. Peserta mendapat penjelasan serta penafsiran data perceraian di Indonesia. 4. Pendamping mengajak diskusi tentang alternatif program apa saja untuk menjaga keutuhan keluarga. Uraian Materi: Tidak ada pasangan yang menghendaki perceraian. Terlebih anak-anak. Perceraian adalah hal sangat menakutkan bagi anak-anak. Mereka akan merasakan ketidakamanan dan ketidaknyamanan. Mereka khawatir akan masa depan yang akan dijalani. Namun, jika perceraian tidak bisa dihindari dan—apalagi sudah terjadi, yang harus dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan adalah menata kehidupan untuk menjalani masa yang akan datang. Hidup harus terus berjalan. Anak-anak harus mendapatkan perlindungan dan kasih sayang. Hal yang harus dilakukan oleh laki-laki dan perempuan pasca-perceraian adalah segera bangkit, move on dari keterpurukan. Jangan berlama-lama dalam kesedihan, kemarahan, atau rasa bersalah.

Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 304 Karen Tucker, seorang konselor sosial yang banyak membantu klien menghadapi kesulitan kehidupan, memberikan beberapa saran untuk menyiapkan kehidupan yang lebih baik setelah menghadapi perceraian. Berikut beberapa saran Karen Tucker. 1. Menerima Perasaan Sedih Pasca-perceraian Beberapa orang lebih memilih mengingkari rasa sedih pasca-perceraian. Namun, Karen Tucker menyarankan agar menerima perasaan kesedihan tersebut. Menurutnya, membiarkan diri sendiri merasakan kepahitan dari perceraian justru membuat mereka akan pulih lebih baik dalam jangka panjang. “Pengalaman emosional valid dan unik milik Anda sendiri,” ujar Tucker. “Orang-orang secara umum bersedih karena kehilangan impian mereka,” sambungnya. Ia menyarankan suami dan istri yang bercerai agar membiarkan diri merasakan berbagai emosi pasca perceraian. 2. Berkonsultasi dengan Ahli Ada baiknya pasca-perceraian segera melakukan konsultasi dengan pihak profesional agar mendapat dukungan. Mereka bisa mendapatkan banyak tips tentang cara mengelola kehidupan setelah berpisah dari pasangan dan harus menjalani hidup baru. “Sangat penting untuk memanfaatkan sistem pendukung selama masa sulit atau perubahan emosional,” ujar Tucker. “Terapis dapat berfungsi sebagai pendengar yang tidak menghakimi, memberikan bimbingan dan pelatihan keterampilan,” tambahnya. Menurut Tucker, “Dengan mengembangkan respons yang sehat terhadap stresor kehidupan, Anda belajar bagaimana menghindari memperburuk keadaan.” 3. Lakukan Mekanisme Koping yang Tepat Suasana pasca-perceraian memang sering tidak menentu. Diperlukan mekanisme koping yang tepat untuk cepat mendapatkan pemulihan pasca- perceraian. Mekanisme koping adalah cara yang digunakan individu dalam menyelesaikan masalah, mengatasi perubahan yang terjadi, dan menghadapi situasi yang sulit serta mengancam—baik secara kognitif maupun perilaku. “Orang-orang yang mengalami perceraian pada awalnya berada dalam mode bertahan hidup dan sering kali tidak fokus pada kondisi mereka sendiri,” ujar Tucker. Fokus pada diri sendiri bisa dilakukan dengan melakukan kegiatan positif yang menenangkan jiwa, serta berlatih mengendalikan emosi. “Harapannya Anda merasa segar kembali dan mampu mengelola stresor yang tidak terhindarkan,” jelas Tucker. “Keterampilan itu mengurangi kerentanan Anda terhadap penderitaan emosional, terutama ketika emosi yang menyakitkan sedang menguasai Anda,” ungkap Tucker. 4. Fokus pada Tanggung Jawab Merawat Anak Bercerai adalah urusan pasangan suami istri. Namun, tidak boleh mengabaikan hak-hak dasar anak. Oleh karena itu, Tucker menyarankan orang tua yang bercerai untuk fokus memberikan yang terbaik bagi anak-anak.

Mereka akan tetap menyandang status sebagai orang tua, meskipun status Materi Diklat #1| 305 pernikahan telah kandas. Tidak ada mantan orang tua. Maka, tanggung jawab merawat anak harus diutamakan. “Anak sudah berjuang dengan perubahan besar dalam hidupnya. Anak mengkhawatirkan Anda, masa depan, dan mencoba memahami apa artinya semua ini bagi keluarga,” ujar Tucker. 5. Merawat Diri Sendiri Orang-orang yang bercerai sering terjebak dalam kemarahan, kebencian, dendam, dan perasaan pedih lainnya. “Ini memang waktu yang sulit. Banyak yang tidak siap untuk menghadapi semua komplikasi yang mungkin ditimbulkan oleh perceraian,” ujar Tucker. Tucker menyarankan agar pasangan yang telah bercerai, bisa memperhatikan perawatan diri sendiri. Hal ini penting dilakukan, karena mereka yang bercerai sering menyalahkan diri sendiri. “Jika Anda rentan terhadap kecemasan dan depresi pada saat-saat perceraian ini, Anda dapat mengambil manfaat dari pengobatan dan terapi bicara,” kata Tucker. 6. Jangan Berlebihan dalam Rasa Takut Rasa takut pasca-perceraian bisa saja terjadi, tetapi jangan berlebihan dan jangan terjebak dalam ketakutan. Suami atau istri mungkin mengalami ketakutan saat bercerai karena selama ini mereka banyak ketergantungan kepada pasangan. Rasa takut dalam perceraian bisa menyangkut banyak aspek, seperti masalah keuangan, tempat tinggal, masa depan anak, dan lain sebagainya. “Orang-orang takut akan hal yang tidak diketahui,” kata Tucker. “Di sini, pengacara dan terapis dapat menjadi sumber yang baik. Kita membutuhkan bantuan untuk menantang pikiran dan keyakinan negatif,” ujar Tucker. “Kita membutuhkan informasi yang baik karena perpisahan dan perceraian sering membuat kita merasa tidak enak,” lanjutnya. 7. Jangan Terburu-buru Menjalin Hubungan Baru Beberapa orang setelah bercerai segera berusaha mencari pelarian. Salah satunya dengan mencari dengan pasangan baru karena takut sendirian atau takut tidak mendapatkan pasangan hidup lagi. Keputusan seperti ini disebut Tucker sebagai tidak tepat karena mereka masih membutuhkan waktu untuk memulihkan diri. “Sembuhkan diri dari kesedihan, kehilangan, dan rasa sakit dari suatu hubungan yang telah berakhir,” ujar Tucker. Kalau terlalu cepat mencari pasangan baru, bisa jadi hanya karena pelarian dari kondisi emosi sesaat sehingga kurang perhitungan. Pastikan bahwa mereka sudah bisa berdamai dan menerima diri sendiri sehingga bisa memercayai kehadiran pasangan yang baru. Hendaknya belajar dan mengambil pelajaran penting dari perceraian. 8. Lakukan Aktivitas Positif, Produktif dan Menyenangkan Pasca-bercerai, hendaknya banyak melakukan aktivitas yang positif, produktif sekaligus menyenangkan. Salah satunya adalah dengan membaca buku yang

Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 306 bermanfaat untuk menyembuhkan diri. Tucker mengatakan, ada banyak buku self-help yang bisa membantu orang-orang setelah berpisah dari pasangan. Aktivitas lain yang positif dan produktif sekaligus menyenangkan adalah bergabung dengan komunitas yang membantu pemulihan diri. Ada sangat banyak komunitas yang menyibukkan dan memberikan kemanfaatan baik bagi diri maupun lingkungan sekitar. Selain itu, hendaknya melakukan perawatan diri dengan ibadah, olahraga, menulis, melukis, atau mencoba hal-hal baru lainnya. Ini akan mempercepat proses pemulihan pasca-perceraian. 9. Bersikap Optimistis Banyak orang menjalani kehidupan pasca-perceraian dengan kesedihan dan kegundahan. Cobalah melihat ke depan. Masih ada sangat banyak harapan baru bisa dibangun. Ada sangat banyak peran bisa dijalankan. Hidup Anda akan bermanfaat bila peduli dan berbagi dengan orang lain. Menjalani kehidupan penuh makna, dengan memberikan kepedulian kepada sesama. Hidup Anda tidak akan hampa saat menyaksikan peran Anda yang sangat bermakna bagi mereka.

Materi Pengasuhan Materi Diklat #1| 307

Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 308 Kewajiban Orang Tua terhadap Anak Tujuan Pembelajaran Umum: Membangun pemahaman dan penghayatan konsep kewajiban orang tua terhadap anak sehingga memiliki kesadaran akan pentingnya mempelajari ilmu, sikap positif dan konstruktif di tengah keluarga, serta keterampilan membina ketahanan keluarga. Tujuan Pembelajaran Khusus: 1. Peserta menghayati bahwa kewajiban orang tua terhadap anak adalah bentuk ibadah terindah dan sangat bernilai di sisi Allah dan bernilai strategis bagi peradaban manusia. 2. Peserta pendampingan memahami pengertian kewajiban orang tua terhadap anak. 3. Peserta pendampingan memahami pentingnya implementasi kewajiban orang tua terhadap anak. 4. Peserta pendampingan mampu mengidentifikasi kewajiban orang tua terhadap anak. 5. Peserta pendampingan membangun kesadaran pentingnya belajar sepanjang hayat secara mandiri atau mengikuti program edukasi keluarga agar mampu menjalani kewajiban orang tua terhadap anak. Alternatif Kegiatan Pembelajaran: 1. Pendamping memantik dengan cara menyampaikan contoh dampak dari terabaikannya kewajiban orang tua terhadap anak. 2. Peserta diminta memberikan contoh kasus dan saling memberikan tanggapan terhadap problem terabaikannya kewajiban orang tua terhadap anak. 3. Peserta mendapat penjelasan tentang kewajiban orang tua terhadap anak. 4. Pendamping memfasilitasi diskusi tentang alternatif program apa saja untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, serta keterampilan menjalankan kewajiban orang tua terhadap anak. Uraian Materi: Syariat Islam telah memberikan perhatian yang sangat detail tentang anak, sejak proses konsepsi, kehamilan, kelahiran, sampai pendidikan ketika anak lahir dan masa tumbuh kembang hingga dewasa. Semua mendapatkan perhatian dan tuntunan yang teliti. Ini menunjukkan demikian penting menjaga, merawat, serta mendidik anak sejak awal. Dalam agama Islam, ada beberapa tata cara dalam menyambut kelahiran bayi. Keseluruhan tuntunan menyambut kelahiran bayi, pada dasarnya adalah bagian utuh dari upaya membangun bonding antara orang tua dengan anak. Terlebih bagi ayah, yang berkesempatan untuk melakukan bonding yang kuat dengan anak pada saat kelahirannya.

Saat Menyambut Kelahiran Bayi Materi Diklat #1| 309 Di antara tuntunan untuk orang tua saat kelahiran bayi adalah sebagai berikut. 1. Mendoakan Keberkahan bagi Bayi Hendaknya orang tua mendoakan untuk keberkahan bagi bayi yang baru lahir. Bukan hanya orang tua, bahkan orang lain turut mendoakan ketika mendengar berita kelahiran bayi. Dari Abu Musa r.a., beliau mengatakan, “Ketika anakku lahir, aku membawanya ke hadapan Nabi saw. Beliau memberi nama bayiku, Ibrahim dan menahnik dengan kurma, lalu mendoakannya dengan keberkahan. Kemudian beliau kembalikan kepadaku. (HR. Bukhari 5467 dan Muslim 2145). Doa adalah bonding spiritual yang sangat efektif. Jangan pernah lalai untuk mendoakan anak, sejak dalam kandungan, saat kelahiran, pada masa pertumbuhan, hingga dewasa. Doa orang tua adalah mustajab di sisi Allah. 2. Mengazankan di Telinga Kanan dan Ikamah di Telinga Kiri Bayi Setelah bayi lahir, hendaknya ayah segera mengazani di telinga kanan bayi yang baru lahir. Kumandang azan ini salah satu tujuannya agar kalimat yang pertama kali didengar sang bayi adalah kalimat tauhid, dan dijauhkan dari segala gangguan setan yang terkutuk. Memang terdapat ragam pendapat ulama tentang amalan ini, tetapi ada sangat banyak nilai penting pada makna dan hikmah yang terkandung di dalamnya. Para ulama Hanafiyah menukil perkataan Imam Asy-Syafi’i dan mereka tidak menolak pendapat Imam Asy-Syafi’i yang menganjurkan azan di telinga bayi. Imam Malik memiliki pendapat yang berbeda. Beliau membenci perbuatan ini, bahkan menggolongkannya sebagai perkara yang tidak ada tuntunannya. Syeikh A’idh Al-Qarni berkomentar bahwa dengan dikumandangkannya azan di telinga bayi, suara yang pertama kali didengar oleh bayi adalah kalimat-kalimat tauhid dan kata-kata mulia seperti Allahuakbar dan La ilaha Illallah. Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqh Sunah menyatakan, “Termasuk sunah dilakukan, mengazani telinga kanan dan mengikamahi telinga kiri bayi yang baru dilahirkan, supaya yang pertama kali didengar telinga anak adalah asma Allah Swt.” Ulama yang berpendapat bahwa azan di telinga kanan dan iqamah di telinga kiri bayi adalah sunah, di antaranya adalah Hasan Al-Bashri, Umar bin Abdul ‘Aziz, ulama mazhab Syafi’i dan Hanbali. Ulama lain yang menganjurkan azan di telinga bayi adalah Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman dan Ibnu Qayyim Al-Jauzi dalam Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud. Ulama kontemporer, Wahbah Az-Zuhaili juga menyunnahkan hal ini dalam kitab Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu, “Disukai bagi orang tua untuk mengazani di telinga kanan bayi yang baru dilahirkan dan diikamahi seperti ikamah untuk salat di telinga kirinya.” Imam An-Nawawi, tokoh ulama mazhab Asy-Syafi’i dalam kitab Al-Majmu’ menyatakan, “Berkata sekelompok ulama dari sahabat-sahabat kami (ulama Syafi’iyyah), disukai untuk diazani di telinga kanan dan diikamahi di telinga kiri bayi yang baru dilahirkan.” Syeikh Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz, yang pernah menjabat sebagai ketua Al-Lajnah Ad Daimah, pernah ditanya tentang azan di telinga kanan bayi dan ikamah di telinga kiri bayi. Beliau menjawab, “Hal tersebut dituntunkan menurut

Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 310 sejumlah ulama. Ada beberapa hadis mengenai hal ini, tetapi ada pembicaraan mengenai kualitas sanadnya. Jika ada seorang mukmin yang melakukannya, itu adalah suatu hal yang baik karena amalan ini termasuk amalan yang dianjurkan. Hadis tentang masalah ini dalam sanadnya terdapat perawi yang bernama ‘Ashim bin ‘Ubaidillah bin ‘Ashim bin Umar bin Khaththab dan beliau adalah perawi yang memiliki kelemahan, tetapi terdapat sejumlah riwayat yang menguatkannya. “Ketika Nabi memberi nama untuk anaknya Ibrahim tidak terdapat riwayat yang menunjukkan bahwa berazan di telinga kanan Ibrahim dan mengumandangkan iqamah di telinga kirinya. Demikian pula bayi dari kalangan Anshar yang dibawa ke hadapan Nabi untuk ditahnik dan diberi nama, tidak dijumpai riwayat yang menunjukkan bahwa Nabi mengumandangkan azan dan iqamah pada telinga bayi tersebut,” ujar Syeikh Bin Baz. “Akan tetapi, jika ada yang melakukannya menimbang hadis yang telah disebutkan maka tidak mengapa karena riwayat yang ada menguatkan sebagian yang lain. Ringkasnya ada kelonggaran dalam masalah ini. Jika ada yang mengamalkannya, itu baik mengingat hadis hadis dalam masalah ini sebagiannya menguatkan sebagian yang lain. Tidak melakukannya juga tidak mengapa,” lanjut Syeikh Bin Baz. Terlepas dari ragam pendapat ulama, tetapi ada hal sangat penting dalam prosesi azan dan ikamah pada bayi. Kesempatan emas bagi ayah untuk membangun bonding dengan bayi yang baru lahir. • Ayah menggendong bayi setelah bayi dibersihkan oleh tenaga medis yang membantu kelahiran. Kesempatan ayah membangun bonding dengan anak, bahwa kulit yang pertama kali menyentuh kulit bayi adalah kulit sang ayah. • Berikutnya ayah mengazankan di telinga kanan dan iqamah di telinga kiri bayi. Ini juga kesempatan emas membangun bonding, bahwa suara yang pertama kali di dengar anak adalah suara ayahnya. 3. Tahnik Kita perhatikan tindakan yang dilakukan Rasulullah saw. terhadap bayi yang baru saja lahir adalah menahnik, sebagaimana penuturan istri beliau, ‘Aisyah r.a. “Apabila didatangkan bayi yang baru lahir ke hadapan Rasulullah saw., maka beliau mendoakan barakah kepadanya dan menahniknya” (HR. Imam Bukhari nomor 5468 dan Imam Muslim nomor 2147). Yang dimaksud dengan tahnik adalah mengunyah kurma sampai lumat hingga bisa ditelan, kemudian menyuapkan kurma lembut tersebut ke mulut bayi. Apabila tidak didapatkan kurma, diganti dengan makanan manis lain yang bisa digunakan untuk menahnik. Para ulama bersepakat bahwa istihbab (disenangi) melakukan tahnik pada hari kelahiran anak. Demikian dijelaskan oleh Imam An-Nawawi rahimahullah ketika menerangkan tahnik ini. Tujuan tahnik adalah persiapan agar bayi nantinya mudah untuk merasakan manisnya air susu ibu. Selain itu, dimaksudkan juga agar mulut bayi kuat sehingga mampu menghisap air susu ibunya. Cara menahnik bayi adalah dengan meletakkan sedikit buah kurma di atas jari telunjuk dan dimasukkan ke mulut bayi serta dengan perlahan-lahan digerakkan ke kanan dan kiri. Ini dilakukan agar kurma tadi bisa menyentuh seluruh mulut bayi hingga terkena rongga tekaknya.

4. Akikah Materi Diklat #1| 311 Menurut bahasa, kata “aqiqah” berarti memotong. Dinamakan aqiqah karena dipotongnya leher binatang. Ada yang mengatakan bahwa akikah adalah nama bagi hewan yang disembelih, dinamakan demikian karena lehernya dipotong. Ada pula yang mengatakan bahwa aqiqah itu asalnya ialah rambut yang terdapat pada kepala si bayi ketika ia keluar dari rahim ibu, rambut ini disebut aqiqah, karena ia mesti dicukur. Hukum akikah adalah sunah (muakkad) sesuai pendapat Imam Malik, penduduk Madinah, Imam Syafi′i dan sahabat-sahabatnya, Imam Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur dan kebanyakan ulama ahli fikih (fuqaha). Dalil akikah ini dari Samurah bin Jundab dia berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Semua anak bayi tergadaikan dengan akikahnya yang pada hari ketujuh disembelih hewan (kambing), diberi nama dan dicukur rambutnya” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad). Jumlah kambing akikah bayi bisa dilihat dari hadis ‘Aisyah r.a., bahwa Rasulullah saw. telah bersabda, “Bayi laki-laki diakikahi dengan dua kambing yang sama dan bayi perempuan satu kambing” (HR. Ahmad Tirmidzi, Ibnu Majah). 5. Memberi Nama yang Baik “What’s in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet.” Demikian kata William Shakespeare. Apalah arti sebuah nama? Meskipun kita menyebut mawar dengan nama lain, wanginya akan tetap harum. Kalimat ini sering digunakan untuk menyatakan bahwa nama itu tidak penting karena yang lebih penting adalah jati dirinya. Menurut saya, kalimat ini tidak menunjukkan tidak pentingnya nama, tetapi ingin menunjukkan kepada sesuatu yang lebih esensial. Yaitu seseorang akan dinilai dengan perbuatannya, dengan amal, dengan karya dan kinerjanya, tidak semata-mata dengan namanya. Salah satu kewajiban orang tua adalah memberi nama yang baik untuk anaknya. Nama anak merupakan doa dan harapan dari orang tua. Memberi nama tidak boleh sembarangan, dengan nama-nama yang sekadar indah atau unik, tetapi harus mengandung makna yang baik. Memberi nama anak bisa dilakukan pada hari kelahirannya, hari ketiga, atau hari ketujuh. Ciri nama yang baik adalah enak didengar, mudah diucapkan oleh lisan, mengandung makna yang mulia dan sifat yang benar dan jujur, jauh dari segala makna dan sifat yang diharamkan atau dibenci agama. Dianjurkan menamai anak laki-laki dengan nama Abdu (penghambaan) yang disambungkan dengan asmaulhusna, seperti Abdul ‘Aziz, Abdul Malik, dan sebagainya. Yang sangat dianjurkan adalah Abdullah atau Abdurrahman, sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Sesungguhnya nama yang paling dicintai Allah adalah Abdullah dan Abdurrahman” (HR. Muslim). Sebenarnya, apakah makna dari sebuah nama? Mengapa setiap manusia harus memiliki nama? Ibnu Qayyim Al-Jauzi menyatakan, “Sesungguhnya, hakikat penamaan adalah memperkenalkan sesuatu yang diberi nama. Sebab, jika sesuatu itu ada dan tidak diketahui namanya, tentu tidak ada sesuatu yang menyebabkannya dikenal.” Lalu, apakah ada pengaruh nama bagi kepribadian dan keadaan seseorang? Ternyata ada. Itulah sebabnya, Nabi saw. mengganti nama-nama yang bermakna negatif menjadi nama-nama yang bermakna positif.

Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 312 Pepatah Arab mengatakan, “Setiap orang akan mendapatkan pengaruh dari nama yang diberikan padanya.” Mari kita simak kisah Sa’id bin Al-Musayyib, tatkala Nabi saw. mengarahkan kakeknya agar mengganti namanya. Nama kakek Sa’id adalah Hazn, yang artinya keras, kaku, dan kasar. Nabi saw. meminta agar diganti dengan Sahl, yang artinya mudah dan lunak, tetapi Hazn tidak mau mengubah namanya. Sa’id bin Al-Musayyib rahimahullah meriwayatkan dari bapaknya, bapaknya dari kakeknya, bahwa ia datang kepada Nabi saw. maka Nabi bertanya, “Siapa namamu?” Ia (kakeknya Sa’id) menjawab, “Hazn.” Nabi saw. berkata, “Engkau Sahl.” Hazn berkata, “Aku tidak akan mengubah nama yang diberikan oleh bapakku.” (HR. Bukhari nomor 6190) Sa’id bin Al-Musayyib bin Hazn rahimahullah berkata, “Perangai kaku/keras selalu ada di tengah-tengah (keluarga) kami.” Kisah Sa’id bin Al-Musayyib ini menunjukkan, bahwa nama memiliki pengaruh terhadap kepribadian dan keadaan seseorang. Oleh karena itu, orang tua hendaknya memilihkan nama anak yang terbagus, yang memiliki makna positif, dan tidak akan dikonotasikan secara negatif. Begitu orang mendengar suatu nama, langsung terbayang hal-hal yang baik dan positif. Syeikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin memberikan penjelasan yang sangat menarik dalam hal memberi nama kepada anak. Beliau menyatakan, “Hendaknya seorang memilihkan untuk anaknya nama yang nantinya anak tidak akan menanggung celaan pada saat dewasa dan tidak merasa tersakiti dengan nama itu.” “Terkadang seorang ayah menyukai suatu nama tertentu akan tetapi, di kemudian hari sang anak merasa tersakiti dengan nama tersebut sehingga menjadi sebab anak itu terganggu. Suatu hal yang maklum bahwa menyakiti seorang mukmin itu haram, maka seseorang (hendaknya) memilihkan nama yang terbagus dan paling dicintai Allah” (Lihat: Asy-Syarhul Mumti’ 7/320–321) Mari kita garis bawahi penjelasan Syeikh Utsaimin di atas. Bahwa orang tua harus memberikan nama kepada anak dengan nama yang baik, yaitu ketika si anak tidak akan menanggung celaan pada saat dewasa dan tidak merasa tersakiti dengan nama itu. Tentu saja si bayi tidak bisa ditanya, apakah ia akan malu atau tersakiti atau menjadi beban dengan nama itu. Namun, orang tua harus bijak memberi nama anak jangan hanya asal aneh, unik, atau sekadar mengabadikan kenangan. Berikan nama anak yang membuatnya bangga dengan nama itu, yang membuatnya baik dengan nama itu, yang membuatnya terhormat dengan nama itu. Dan jangan dilupakan, setiap kali kita mendengar nama seseorang disebut, kita langsung bisa membayangkan karakter ayah yang memberinya nama. Seperti pepatah Arab mengatakan, “Dari namamu, aku bisa mengetahui bagaimanakah ayahmu.” 6. Mencukur Rambut Bayi Pada hari ketujuh kelahiran bayi, disunahkan untuk memotong rambut si bayi. Hal ini sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. ketika cucunya Hasan dan Husain lahir. Rasulullah saw. memerintahkan untuk memotong rambut dan menimbangnya ukuran perak, kemudian disedekahkan kepada fakir miskin.

Pada hari ketujuh kelahiran bayi, disunahkan untuk memotong rambut si bayi. Materi Diklat #1| 313 Hal ini sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. ketika cucunya Hasan dan Husain lahir. Rasulullah saw. memerintahkan untuk memotong rambut dan menimbangnya ukuran perak, kemudian disedekahkan kepada fakir miskin. Salah satu dalil yang biasa dijadikan acuan dalam hal ini adalah hadis dari Ali bin Abi Thalib r.a., bahwa Nabi saw. mengakikahi Hasan dengan kambing dan beliau menyuruh Fatimah untuk mencukur rambutnya. “Cukur rambutnya, dan bersedekahlah dengan perak seberat rambut itu.” Fatimah pun menimbang rambut itu, dan ternyata beratnya sekitar satu dirham atau kurang dari satu dirham. (HR. Tirmidzi 1519, Ibnu Abi Syaibah dalam Mushanaf 24234, disahihkan Al-Hakim dalam Mustadrak 7589 dan didiamkan Adz-Dzahabi). 7. Memandikan Bayi Salah satu aktivitas ayah dan anak yang bisa meningkatkan bonding dengan anak adalah dengan memandikan bayi. Mandi adalah salah satu kegiatan yang menyenangkan bagi bayi. Kesempatan itu bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan ikatan antara ayah dengan anak. Menurut studi, rutinitas memandikan bayi oleh sang ayah bisa membuat anak memiliki perkembangan motorik dan sosial yang lebih baik. Syeikh Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz, pernah menjabat sebagai ketua Al- Lajnah Ad-Da’imah, ditanya, “Aku pernah masuk kamar mandi bersama anak perempuanku yang berusia beliau 5 dan 7 tahun. Aku melakukannya dalam rangka untuk membantu mereka membersihkan rambut mereka. Apakah berdosa jika aku melihat aurat mereka?” Syeikh Bin Baz menjawab, “Seperti itu tidaklah mengapa. Selama anak tersebut di bawah tujuh tahun, maka tidak ada aurat yang terlarang dilihat baginya, baik itu anak laki-laki maupun anak perempuan. Tidak mengapa memandikan atau membantu mereka ketika mandi. Semuanya tidaklah mengapa.” “Adapun jika anak tersebut sudah di atas tujuh tahun, maka jangan lakukan. Tutuplah aurat mereka dan jangan aurat mereka disentuh kecuali bila ada hajat. Kalau ada hajat, maka tidak mengapa jika ibu atau pembantunya memandikan mereka ketika anak tersebut belum bisa mandiri untuk mandi,” lanjut Syeikh Bin Baz. Para ayah juga bisa terlibat untuk mengganti popok dan pakaian bayi. Tindakan ini juga bermanfaat untuk meningkatkan hubungan antara ayah dengan anak (Elizabeth Pantley, Gentle Baby Care, 2003). Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa saat mengganti popok, antara ayah dan anak akan ada kedekatan secara fisik. Selain itu, kenyamanan yang dirasakan bayi, hingga kontak mata dan komunikasi, terbukti dapat memperkuat bonding dengan sang ayah. Kewajiban Orang Tua terhadap Anak Ada banyak kewajiban orang tua terhadap anak-anak mereka, yang telah dinyatakan dalam Al-Qur’an dan sunah Nabi saw. 1. Memberikan Nutrisi yang Mencukupi untuk Kehidupan

Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 314 Di antara kewajiban orang tua adalah memberikan jaminan nutrisi yang cukup untuk anak. Sejak dalam kandungan, orang tua telah berkewajiban memberikan nutrisi terbaik untuk janin. Setelah bayi lahir, wajib atas seorang ibu untuk menyusui anaknya, sebagaimana firman Allah, “Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan” (QS. Al- Baqarah: 233). Demikian pula Allah telah berfirman, “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan” (QS. Al-Ahqaf: 15). Al ‘Allamah Siddiq Hasan Khan berkata, “Mengandungnya sampai menyapihnya adalah 30 bulan maksudnya adalah jumlah waktu selama itu dihitung dari mulai hamil sampai disapih.” 2. Mendidik dan Mengarahkan Anak Menuju Kebaikan Di antara kewajiban paling penting bagi orang tua adalah mendidik dan mengarahkan anak menuju kebaikan dunia dan akhirat. Kewajiban pendidikan termasuk hal yang sangat asasi untuk dilakukan orang tua. Para ulama menyatakan, “Bapak dan ibu serta wali dari anak hendaknya sudah mengajarkan sejak dini hal-hal yang diperlukan anak ketika ia balig nanti. Hendaklah anak sudah diajarkan akidah yang benar mengenai keimanan kepada Allah, malaikat, Al-Qur’an, Rasul dan hari akhir. Begitu pula hendaknya anak diajarkan ibadah yang benar. Anak semestinya diarahkan untuk mengerti salat, puasa, thaharah (bersuci) dan semacamnya” (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, 13: 11). Nabi saw. telah bersabda, “Perintahkan anak-anak kalian untuk mengerjakan salat ketika mereka berumur 7 tahun. Pukul mereka jika tidak mengerjakannya ketika mereka berumur 10 tahun. Pisahkanlah tempat-tempat tidur mereka.” (HR. Abu Daud nomor 495. Al-Hafizh Abu Thahir menilai hadis ini sahih). Mengajarkan anak-anak untuk menjalankan salat secara benar, adalah kewajiban orang tua. Tanamkan dengan sungguh-sungguh agar anak tidak pernah meninggalkan salat dalam keadaan apa pun. Allah berfirman, “Maka datanglah sesudah mereka pengganti yang jelek yang menyia-nyiakan salat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan kecuali orang yang bertobat serta mengerjakan amal saleh” (QS. Maryam: 59– 60). 3. Menjauhkan Anak dari Kerusakan dan Penyimpangan Di antara kewajiban orang tua adalah menjauhkan anak dari berbagai bentuk kerusakan serta penyimpangan. Sebagaimana telah diperintahkan Allah, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka” (QS. At Tahrim: 6). Disebutkan dalam Tafsir Ibnu Katsir (7: 321). Sahabat Ali r.a. mengatakan bahwa yang dimaksud ayat ini adalah, “Biasakanlah adab dan ajarilah keluargamu.” Para ulama menyatakan, “Hendaklah anak juga diperkenalkan haramnya zina dan liwath, juga diterangkan mengenai haramnya mencuri, meminum khamr (miras), haramnya dusta, ghibah dan maksiat semacam itu. Sebagaimana pula

diajarkan bahwa jika sudah balig (dewasa), maka sang anak akan dibebankan Materi Diklat #1| 315 berbagai kewajiban. Dan diajarkan pula pada anak kapan ia disebut balig” (Al- Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, 13: 11) 4. Menanamkan Nilai Keimanan dan Ketakwaan Nabi saw. memberikan contoh penanaman nilai-nilai keimanan dan ketakwaan kepada jiwa anak. Abdullah bin Abbas bercerita, bahwa pada suatu hari ia membonceng di belakang Nabi saw. Kemudian Nabi saw. berkata, “Wahai anak, sesungguhnya aku mengajarimu beberapa kalimat, yaitu jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu. Jagalah Allah niscaya engkau mendapati-Nya di hadapanmu. Apabila engkau meminta, maka mintalah kepada Allah dan apabila engkau mohon pertolongan maka mohonlah pertolongan kepada Allah.” “Ketahuilah seandainya seluruh umat berkumpul untuk memberimu satu manfaat, niscaya mereka tidak akan dapat memberimu manfaat kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan untukmu. Dan jika mereka berkumpul untuk memberimu satu bahaya niscaya mereka tidak akan bisa membahayakanmu kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan atasmu. Pena-pena telah diangkat dan tinta telah kering” (HR. Tirmidzi, ia berkata, hadis hasan sahih). 5. Mengajarkan Anak Cinta Ilmu Di antara kewajiban orang tua adalah mengajarkan anak suka belajar dan mencintai ilmu. Allah memuji ilmu dan ahli ilmu dalam ayat-Nya, “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara para hamba-hamba-Nya hanyalah ulama” (QS. Fathir: 28). Allah juga mengajarkan doa meminta tambahan ilmu. “Dan katakanlah, ‘Ya Rabb, tambahkanlah kepadaku ilmu” (QS. Thaha: 114). Orang-orang saleh zaman dahulu telah memberi contoh kesungguhan dalam mencari ilmu. Dzar bin Hubasyi bercerita, “Aku mendatangi Shafan bin ‘Assal Al- Muradi, lalu dia berkata, “Untuk tujuan apa engkau datang kemari.” Aku menjawab, “Karena mengharapkan ilmu.” Shafan berkata, “Sesungguhnya malaikat meletakkan sayap-sayapnya bagi penuntut ilmu karena rida dengan apa yang mereka cari.” Para ibu bersemangat mendorong anak-anak agar belajar ilmu agama. Imam Ahmad menceritakan, bahwa Ummu Sufyan berkata kepada anaknya, Sufyan, “Wahai anakku, tuntutlah ilmu dan aku akan mencukupimu lewat (menenun kain) dengan alat pemintalku.” 6. Mengajarkan Adab Di antara kewajiban orang tua adalah mengajarkan adab kepada anak-anaknya. Ada sangat banyak adab yang harus ditanamkan sejak dini. Misalnya adab meminta izin di dalam rumah. Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki dan orang-orang yang belum balig di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari), yaitu sebelum salat Subuh, ketika kamu sedang menanggalkan pakaian (luarmu) di tengah hari dan sesudah salat Isya. (Itulah) tiga aurat bagi kamu” (QS. An-Nur: 58).

Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 316 “Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur balig, maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang sebelum mereka minta izin” (QS. An- Nur: 59). Ayat-ayat di atas menjelaskan waktu-waktu yang tidak diperbolehkan bagi anak-anak yang belum balig untuk masuk kecuali setelah mendapat izin. Adapun selain tiga waktu tersebut, maka tidak berdosa atas mereka masuk kamar orang tua tanpa izin. Ibnu Katsir menjelaskan, “Allah memerintahkan orang-orang beriman agar para budak yang mereka miliki dan anak-anak yang belum balig untuk meminta izin kepada mereka dalam tiga waktu. Pertama, sebelum salat fajar, karena manusia pada waktu itu sedang tidur di tempat tidur mereka.” “Kedua, ketika menanggalkan pakaian pada siang hari yaitu pada waktu qailulah (tidur siang), karena manusia sering kali sedang menanggalkan pakaiannya bersama istrinya. Ketiga, setelah salat Isya, karena itu adalah waktu tidur. Maka, diperintah kepada para budak dan anak-anak (yang belum balig) untuk tidak masuk kamar orang tua tanpa izin karena dikhawatirkan ketika itu suami sedang bersama istrinya atau sedang melakukan hal lainnya (yang tidak patut dilihat anak).” Demikian penjelasan Ibnu Katsir. Adapun bagi anak-anak yang telah balig, mereka harus minta izin setiap waktu apabila hendak masuk kamar orang tua. Al-Auza’i berkata dari Yahya bin Katsir, “Apabila anak masih berumur empat tahun, maka dia meminta izin kepada kedua orang tuanya dalam tiga waktu. Apabila mereka telah balig maka dia harus minta izin setiap waktu.” 7. Bersikap Adil di Antara Anak-Anak Orang tua wajib bersikap dan berlaku adil terhadap semua anak. Tidak boleh membeda-bedakan atau pilih kasih; misalnya ada anak yang mendapat perhatian lebih, sedangkan ada anak lain yang ditelantarkan. Dari Nu’man bin Basyir, Rasulullah saw. bersabda, “Bersikap adillah di antara anak-anakmu, adillah di antara anak-anakmu, adillah di antara anak-anakmu” (HR. Abu Dawud, An-Nasa’i dan Imam Ahmad). Demikianlah beberapa kewajiban orang tua terhadap anak. Semoga kita mampu menjadi orang tua yang memberikan hak-hak anak dengan sebaik- baiknya.

Mengenal dan Memilih Pola Asuh Anak Materi Diklat #1| 317 Tujuan Pembelajaran Umum: Membangun pemahaman dan penghayatan konsep pola asuh anak sehingga memiliki kesadaran akan pentingnya mempelajari ilmu, sikap positif dan konstruktif di tengah keluarga, serta keterampilan membina ketahanan keluarga. Tujuan Pembelajaran Khusus: 1. Peserta menghayati bahwa pola asuh anak berperan sangat penting dalam keberhasilan pengasuhan. 2. Peserta pendampingan mengenal dan memilih pola asuh anak yang terbaik bagi anaknya. 3. Peserta pendampingan menemukan pola asuh anak yang paling tepat. 4. Peserta meneladani Rasulullah dalam membangun pola asuh bagi anaknya. 5. Peserta pendampingan membangun kesadaran pentingnya belajar sepanjang hayat secara mandiri atau mengikuti program edukasi keluarga agar mampu menjalani kewajiban orang tua terhadap anak. Alternatif Kegiatan Pembelajaran: 1. Pendamping memantik dengan cara menyampaikan contoh dampak dari buruknya pola asuh anak. 2. Peserta diminta memberikan contoh kasus dan saling memberikan tanggapan terhadap problem pengasuhan anak. 3. Peserta mendapat penjelasan tentang berbagai pola asuh anak. 4. Pendamping memfasilitasi workshop menemukan pola pengasuhan yang tepat bagi anak masing-masing peserta. 5. Pendamping memfasilitasi diskusi tentang alternatif program apa saja untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, serta keterampilan menemukan dan menerapkan pola asuh terbaik bagi anak. Uraian Materi: Jika kita cermati dalam kehidupan sehari-hari akan bisa kita temukan beragam pola asuh yang diterapkan orang tua terhadap anak. Masing-masing orang tua tumbuh dalam latar belakang yang berbeda, pemahaman, pengalaman yang beragam sehingga pola asuh yang mereka terapkan juga berbeda-beda. Dalam buku Human Development karya Diane E. Papalia, Sally Wendkos OLD, Ruth D. Feldman (2008), dikemukakan empat jenis pola pengasuhan dari Baumrind, yaitu 1. Pola Asuh Demokratis Pola asuh demokratis adalah pola asuh yang bercirikan adanya hak dan kewajiban, orang tua dan anak adalah sama dalam arti saling melengkapi. Anak dilatih untuk bertanggung jawab dan menentukan perilakunya sendiri agar dapat

Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 318 berdisiplin. Pola asuh demokratis mendorong remaja untuk bebas tetapi tetap memberikan batasan dan mengendalikan tindakan-tindakan mereka. Orang tua memiliki kontrol yang tinggi dalam kehidupan anak, tetapi hubungannya dengan anak sangatlah hangat. Dalam pola asuh ini, orang tua membuat aturan, bersikap tegas tetapi fleksibel, memberikan dukungan, dan melatih anak untuk mengatur dirinya sendiri. Orang tua biasanya menentukan peraturan dan disiplin dengan memperhatikan dan mempertimbangkan alasan–alasan yang dapat diterima, dipahami, dan dimengerti oleh anak. Memberikan pengarahan tentang perbuatan baik yang perlu dipertahankan dan yang tidak baik agar ditinggalkan. Orang tua memberikan bimbingan dengan penuh pengertian. Dapat menciptakan keharmonisan dalam keluarga dan dapat menciptakan suasana komunikatif antara orang tua dan anak serta sesama keluarga. Dampak pola asuh demokratis akan menghasilkan karakteristik anak yang mandiri, dapat mengontrol diri, mempunyai hubungan baik dengan teman- temannya, mampu menghadapi stres, bebas berkreasi dan mengeksplorasi berbagai hal, ceria, menyenangkan, cerdas, dan percaya diri. 2. Pola Asuh Otoriter Pola asuh otoriter adalah pengasuhan yang kaku, diktator, dan memaksa anak untuk selalu mengikuti perintah orang tua tanpa banyak alasan, biasanya ditemukan penerapan hukuman fisik dan aturan-aturan tanpa merasa perlu menjelaskan kepada anak apa guna dan alasan di balik aturan tersebut. Orang tua cenderung menetapkan standar yang mutlak harus dituruti, biasanya bersamaan dengan ancaman-ancaman. Orang tua cenderung memaksa, memerintah, menghukum. Orang tua tidak mengenal kompromi dalam komunikasi biasanya bersifat satu arah dan orang tua tidak memerlukan umpan balik dari anaknya untuk mengerti mengenai anaknya. Pola asuh otoriter biasanya berdampak buruk pada anak, seperti ia merasa tidak bahagia, sering merasa ketakutan, tidak terlatih untuk berinisiatif, penakut, pendiam, tertutup, gemar menentang, suka melanggar norma-norma, berkepribadian lemah, cemas, dan terkesan menarik diri. Anak tidak mempunyai keberanian untuk mengatakan tidak dan selalu merasa takut bersalah. Anak tidak mempunyai kemampuan untuk memilih, tidak bisa mengambil keputusan sendiri, dan takut mengungkapkan pendapat. 3. Pola Asuh Permisif Pada pola asuh permisif, orang tua memberikan kebebasan sebesar mungkin kepada anak untuk mengatur dirinya. Anak tidak dituntut untuk bertanggung jawab dan tidak banyak kontrol oleh orang tua. Orang tua tidak menegur atau memperingatkan anak meskipun anak sedang dalam bahaya dan sangat sedikit bimbingan yang diberikan oleh orang tua. Orang tua cenderung memberikan kebebasan kepada anak untuk menyatakan dorongan atau keinginannya. Orang tua tidak menegur atau bahkan tidak berani menegur perilaku anak, meskipun perilaku tersebut sudah keterlaluan atau di luar batas kewajaran. Pola asuh permisif ini akan membentuk anak yang manja, kurang dewasa, tidak teratur, tidak disiplin, tidak patuh, mau menang sendiri, dan tidak bisa

mengendalikan keinginan. Namun, anak akan tumbuh menjadi percaya diri dan Materi Diklat #1| 319 kreatif. 4. Pola Asuh Neglectful Ini adalah pola pengasuhan yang dikemukakan oleh Eleanor Maccoby dan John Martin (2008). Pada pola asuh neglectful atau lalai/penelantaran, hubungan orang tua dengan anak kurang hangat, orang tua memiliki waktu untuk berinteraksi yang sangat sedikit dengan anak-anaknya. Mereka lebih mementingkan diri sendiri, mengabaikan kedekatan fisik maupun psikis dengan anak. Kepribadian anak yang bisa terbentuk dengan pola seperti ini adalah cenderung kurang perhatian, pemurung, terhambat dalam penyesuaian diri, lebih agresif. Pengasuhan penelantaran merupakan pengasuhan yang berisiko paling tinggi. Gejala-gejala perilaku negatif tersebut akan makin tampak pada anak usia 8 hingga 12 tahun. Bahkan pada anak dengan pola asuh penelantar, kecenderungan negatif sering kali mengarah pada perilaku negatif orang dewasa seperti merokok, minum-minuman beralkohol, seks bebas, dan tidak jarang terlibat tindakan kriminal. Pola asuh yang neglectful akan berdampak kepada psikologis anak, yaitu anak akan mempunyai harga diri yang rendah, tidak memiliki kontrol diri yang baik, kemampuan sosialnya buruk, dan merasa bukan bagian yang penting untuk orang tuanya. Dampak yang ditimbulkan dari pola asuh neglectful akan terbawa hingga anak menjadi remaja bahkan dewasa. Pola Asuh Islami Sangat berbeda dengan semua pola asuh di atas, dalam Islam ada serangkaian tuntunan dalam mengasuh anak. Islam mengajarkan pola asuh yang penuh dukungan dan kasih sayang terhadap anak, menanamkan nilai-nilai tauhid sebagai fondasi kebaikan, menanamkan perasaan ketuhanan yang kuat dalam jiwa anak. Dalam pola asuh Islami, orang tua mengajarkan cinta kepada Allah dan Rasul, memberikan asupan pendidikan yang sesuai dengan kemampuan anak, memberikan aturan yang konsisten, serta komunikasi timbal balik yang nyaman. Orang tua merasa selalu memerlukan bimbingan Allah sehingga mereka banyak berdoa agar dimampukan mendidik anak. Anak akan tumbuh dalam perasaan Ketuhanan yang kuat. Memiliki keimanan yang membuatnya selalu siap menghadapi tantangan kehidupan. Anak merasa diawasi dan dijaga Allah sehingga berada dalam kondisi tenang, aman, dan nyaman. Mereka takut melakukan kejahatan dan dosa karena meyakini Allah selalu melihat di mana pun mereka berada. Inilah pola asuh yang selayaknya dipilih oleh orang tua muslim. Bukan pola otoriter, bukan pola permisif, bukan pula neglectful, bukan pula pola demokratis. Namun, pola asuh Islami yang berpijak pada Al-Qur’an dan sunah Nabi saw. Mencontoh Nabi saw. dalam Pengasuhan Anak Nabi saw. adalah sosok pendidik yang paling utama. Beliau memberikan contoh nyata kepada kita, bagaimana seharusnya mendidik anak-anak dan generasi penerus kita. Berikut beberapa panduannya.

Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 320 1. Nabi Sangat Penyayang terhadap Anak Anas bin Malik r.a. menceritakan, “Aku tidak pernah melihat orang yang lebih penyayang kepada anak-anak melebihi Rasulullah saw. Dahulu Ibrahim disusukan di suatu daerah yang bernama ‘Iwal Madinah (daerah perbukitan yang letaknya lebih kurang 10 km dari masjid Nabawi). Suatu hari beliau saw. pergi menjenguknya dan kami pun bersama beliau. Lalu beliau masuk ke rumah tersebut dan pada saat itu benar-benar banyak asap sebab suami ibu susu ini adalah seorang pandai besi. Beliau saw. mengambil Ibrahim, menciumnya, dan kemudian pulang. 2. Mengajarkan Kasih Sayang kepada Umatnya Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi saw. mencium Al-Hasan bin Ali r.a., lalu Al-Aqra’ berkomentar, “Sesungguhnya aku mempunyai sepuluh orang anak; tidak pernah aku mencium seorang pun di antara mereka.” Maka, Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa tidak menyayangi, maka tidak disayangi.” Anas bin Malik r.a. telah mengisahkan, “Kami pergi bersama Rasulullah saw. menuju rumah Abu Saif Al-Qayyin—seorang pandai besi. Dia ini adalah bapak susu Ibrahim (karena istri Abu Saif menyusui putra Nabi saw). Kemudian Rasulullah saw. pun mengambil Ibrahim, lalu menciumnya dengan mulut (bibir) dan hidung beliau” (HR. Bukhari nomor 1303). 3. Sangat Sedih ketika Putranya Wafat ‘Amr r.a. mengatakan, ‘Ketika Ibrahim wafat, Rasulullah saw. mengatakan, “Sesungguhnya Ibrahim adalah putraku. Sesungguhnya dia telah wafat di usia masih disusui. Sesungguhnya kelak akan ada dua orang (wanita) yang akan menggenapkan susuannya di surga” (HR. Muslim nomor 2316) Anas berkata, “Sungguh aku melihat Ibrahim berada di pelukan Nabi saw. saat dia meregang nyawanya. Kedua mata Rasulullah saw. pun berlinang. Lalu beliau berucap, ‘Sesungguhnya air mata telah berlinang dan hati pun sedih. Namun, kami tidak mengucapkan kecuali ucapan yang diridai Rabb kami. Demi Allah, wahai Ibrahim, sesungguhnya kami benar-benar sedih karenamu.’” (HR. Muslim nomor 2315) 4. Salat Sambil Menggendong Cucu Dari Qatadah Al-Anshari r.a., ia menceritakan “Saya melihat Rasulullah saw. salat mengimami para Sahabat sambil menggendong Umamah bin Abi al-Ash, anak Zainab putri Beliau saw., di atas bahunya, maka apabila rukuk beliau meletakkannya dan apabila selesai sujud beliau menggendongnya kembali.” (HR. Muslim). Dalam riwayat lain, “Apabila berdiri beliau menggendongnya dan apabila sujud beliau meletakkannya” (Shahih Muslim juz 1, hal 385, bab Jawazu Hamlu Shibyan fish Salat, nomor 543). 5. Membiarkan Cucu Menaikinya saat Sujud Rasulullah saw. pernah memperlama sujudnya karena ada cucu yang naik ke atas punggungnya. Dari Syaddan Al-Laitsi r.a., ia berkata, “Rasulullah saw. keluar untuk salat di siang hari entah zuhur atau asar, sambil menggendong salah satu cucu beliau, entah Hasan atau Husain.

“Ketika sujud, beliau melakukannya panjang sekali. Lalu aku mengangkat Materi Diklat #1| 321 kepalaku, ternyata ada anak kecil berada di atas punggung beliau saw. Maka aku kembali sujud. Ketika Rasulullah saw. telah selesai salat, orang-orang bertanya, “Ya Rasulullah, Anda sujud lama sekali hingga kami mengira sesuatu telah terjadi atau turun wahyu.” Beliau saw. menjawab, “Semua itu tidak terjadi, tetapi anakku (cucuku) ini menunggangi aku, dan aku tidak ingin terburu-buru agar dia puas bermain” (HR. Ahmad, An-Nasai, dan Al-Hakim) 5. Tegas dalam Mendidik Anak Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata: Al-Hasan bin Ali r.a. mengambil sebiji kurma dari harta zakat, lalu memasukkannya ke dalam mulutnya. Rasulullah saw. berkata, “Khih, khih!”—isyarat untuk mengeluarkan dan membuangnya. Kemudian beliau berkata, “Tidakkah engkau tahu bahwa kita tidak boleh memakan harta zakat?” (HR. Bukhari nomor 1491 dan Muslim nomor 1069). Diriwayatkan dari Abul Haura’, bahwa ia bertanya kepada Al-Hasan r.a., “Adakah sesuatu yang engkau ingat dari Rasulullah saw?” Al-Hasan menjawab, “Aku masih ingat, (yaitu) ketika aku mengambil sebiji kurma dari harta zakat, lalu aku masukkan ke dalam mulutku. Rasulullah saw. mengeluarkan kurma itu beserta saripatinya, lalu mengembalikannya ke tempat semula. Ada yang berkata, ‘Wahai, Rasulullah. Tidaklah mengapa kurma itu dimakan oleh bocah kecil ini?’ Rasulullah saw. berkata, ‘Sesungguhnya, keluarga Muhammad tidak halal memakan harta zakat.’” Doa Orang Tua agar Mampu Mendidik Anak Sesungguhnya doa orang tua untuk anaknya adalah doa yang mustajab, sebagaimana sabda Nabi saw., “Ada tiga doa yang mustajab yang tidak diragukan lagi yaitu doa orang tua, doa orang yang bepergian (safar) dan doa orang yang terzalimi.” (HR. Abu Daud nomor 1536, Ibnu Majah nomor 3862 dan Tirmidzi nomor 1905) Berikut contoh doa yang diabadikan dalam Al-Qur’an. 1. Doa Nabi Ibrahim a.s. ‫َر ِّب َه ْب ِّلي ِّم َن ال َّصاِّل ِّحي ََن‬ “Rabbi habli minash shalihin. Ya Rabbku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh” (QS. Ash Shaffat: 100). 2. Doa Nabi Zakariya a.s َ‫َر ِّب َه ْب ِّلي ِّم ْن َل ُد ْن َك ُذ ِّرَّي ًة َط ِّي َب ًة ِّإ َّن َ َك َس ِّمي ُع ال ُّد َعا ِّء‬ “Rabbi habli min ladunka dzurriyyatan thayyibatan, innaka sami’ud du’a’. Ya Rabbku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar doa” (QS. Ali Imran: 38). 3. Doa ‘Ibadurrahman ‫َرَّب َنا َه ْب َل َنَا ِّم ْن َأ ْزَوا ِّج َنا َو ُذ ِّرَّيا ِّت َنا ُق َّرَة َأ ْعَ ُي ٍن َوا ْج َع ْل َنا ِّل ْل ُم َّت ِّقي َن ِّإ َما ًما‬ “Rabbana hablana min azwajina wa dzurriyatina qurrota a’yun waj’alna lil muttaqiina imama. Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami, istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa” (QS. Al-Furqan: 74).

Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 322 Peran Ayah dalam Pendidikan Anak Tujuan Pembelajaran Umum: Membangun pemahaman dan penghayatan konsep peran ayah dalam pendidikan anak sehingga memiliki kesadaran akan pentingnya mempelajari ilmu, sikap positif dan konstruktif di tengah keluarga, serta keterampilan membina ketahanan keluarga. Tujuan Pembelajaran Khusus: 1. Peserta menghayati bahwa peran ayah dalam pendidikan anak adalah bentuk ibadah terindah dan sangat bernilai di sisi Allah dan bernilai strategis bagi peradaban manusia. 2. Peserta pendampingan memahami pengertian peran ayah dalam pendidikan anak. 3. Peserta pendampingan memahami pentingnya peran ayah dalam pendidikan anak. 4. Peserta pendampingan mampu mengidentifikasi peran ayah dalam pendidikan anak. 5. Peserta pendampingan membangun kesadaran pentingnya belajar sepanjang hayat secara mandiri atau mengikuti program edukasi keluarga agar mampu menjalani peran ayah dalam pendidikan anak. Alternatif Kegiatan Pembelajaran: 1. Pendamping memantik dengan cara menyampaikan contoh dampak dari terabaikannya peran ayah dalam pendidikan anak. 2. Peserta diminta memberikan contoh kasus dan saling memberikan tanggapan terhadap problem terabaikannya peran ayah dalam pendidikan anak. 3. Peserta mendapat penjelasan tentang peran ayah dalam pendidikan anak anak. 4. Pendamping memfasilitasi diskusi tentang alternatif program apa saja untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, serta keterampilan menjalankan peran ayah dalam pendidikan anak. Uraian Materi: Ketahanan keluarga bukan saja sebuah harapan yang bersifat individual, tetapi bahkan diamanahkan oleh Undang-Undang nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga. Menurut UU tersebut, pembangunan keluarga bertujuan untuk meningkatkan kualitas keluarga agar dapat timbul rasa aman, tenteram, dan harapan masa depan yang lebih baik dalam mewujudkan kesejahteraan lahir dan kebahagiaan batin. UU juga menyatakan bahwa keluarga yang berkualitas adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan perkawinan yang sah dan bercirikan sejahtera, sehat, maju,

mandiri, memiliki jumlah anak yang ideal, berwawasan ke depan, bertanggung Materi Diklat #1| 323 jawab, harmonis, dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa. Ketahanan keluarga adalah kondisi dinamik suatu keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan serta mengandung kemampuan fisik materiil dan psikis mental spiritual guna hidup mandiri dan mengembangkan diri dan keluarganya untuk hidup harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan lahir dan kebahagiaan batin (pasal 1 angka 15 UU nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera). Dari berbagai tinjauan tersebut, peran ayah menjadi sangat signifikan untuk mewujudkan tujuan keluarga maupun ketahanan keluarga. Pengaruh Kehadiran Ayah bagi Perkembangan Anak Sangat banyak studi yang menunjukkan, bahwa anak-anak yang tumbuh dari pola asuh yang secara aktif melibatkan ayah, memiliki kehidupan sosial dan akademik yang cenderung lebih baik dibandingkan anak-anak yang berjarak atau tidak berhubungan baik dengan ayahnya. “Kami menemukan anak-anak yang pada pola asuhnya melibatkan ayah cenderung punya masalah lebih sedikit,” ungkap Maureen Black, PhD, peneliti dan profesor pediatrik di University of Maryland School of Medicine. Studi Maureen Black menunjukkan, anak-anak yang mendapatkan pengasuhan dari ayah—bukan hanya dari ibu, memiliki skill komunikasi yang lebih baik serta memiliki masalah yang lebih sedikit. Hasil ini konsisten, ketika diterapkan terhadap anak-anak yang tidak tinggal satu rumah dengan ayah mereka, misalnya pada kasus perceraian. Sebuah studi di University of Illinois menunjukkan bahwa ayah yang rutin menanyakan kehidupan sekolah dan aktivitas sosial anak, cenderung memiliki hubungan yang baik di sekolah, ketimbang anak-anak yang mengalami hal sebaliknya dari ayahnya. Para peneliti dari University of Oxford juga menemukan hasil serupa. Penelitian yang melibatkan 17.000 anak usia sekolah di Inggris ini mendapatkan temuan, ada kaitan erat antara kedekatan ayah terhadap kesuksesan akademis anak. Psikolog Eirine Flouri, salah satu penulis laporan studi menjelaskan, ayah yang benar-benar terjun dalam pengasuhan anak, tampak terlibat aktif dalam hal- hal sederhana. Contohnya, membacakan cerita untuk sang anak, pergi bermain dengan anak, antusias dengan kondisi perkembangan akademik anak dan melakukan peran bersama sang istri dalam pengasuhan anak. “Anak-anak yang memiliki ayah dengan tipe seperti ini cenderung mendapatkan nilai yang lebih bagus di sekolahnya,” ujar Flouri. Lalu, apa manfaat pola asuh ayah terhadap anak laki-laki dan perempuan secara spesifik? Terhadap anak laki-laki, selain manfaat yang telah disebutkan sebelumnya, ada beberapa dampak positif yang spesifik dari hubungan erat ayah dan anak laki-laki. Contohnya, para peneliti dari University of Oxford menemukan, anak-anak tersebut cenderung jauh dari masalah dengan polisi ketika mereka tumbuh besar. Hal lainnya, menurut para pakar, ayah yang hebat dalam pola pengasuhan anak bisa menjadi role model positif bagi anak. Ayah semacam ini pun membantu

Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 324 mereka memahami identitas gender ketika tumbuh dewasa, sama seperti bagaimana mereka lebih memahami perasaan dan emosi. Sementara itu, sosok laki-laki selain ayah biologis, juga bisa memberikan manfaat lebih. Misalnya figur kakek, paman, atau teman baik ibu. Hubungan ayah dan anak perempuan yang kuat juga memiliki manfaat tersendiri. Menurut riset dari Vanderbilt University, anak-anak perempuan yang punya hubungan dekat dengan ayahnya selama lima tahun masa awal kehidupan cenderung mencapai masa pubertas lebih lambat. Selain itu, University of Oxford mencatat, anak-anak perempuan tumbuh dalam pola asuh ayah cenderung lebih jauh dengan masalah kesehatan mental di kemudian hari. Kata-kata pujian yang sering dilontarkan ayah juga membantu anak perempuan mereka mampu tumbuh menjadi seorang wanita yang independen dan percaya diri. Hasil studi Roggman (2002) menyatakan bahwa walaupun penelitian tentang ayah terus meningkat selama tiga dekade terakhir, tetapi penelitian tentang keluarga lebih banyak difokuskan pada figur ibu. Dengan demikian, informasi dan pengetahuan mengenai peran ibu dalam pengasuhan anak lebih dominan dibandingkan dengan peran ayah. Sudah sangat banyak studi yang dilakukan para ahli, tentang urgensi keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak. Berikut poin-poin penting dari hasil telaah ilmiah yang dilakukan oleh Farida Hidayati, Dian VS. Kaloeti, dan K. Karyono, dari Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro, yang dimuat dalam Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol 9 nomor 1 tahun 2011, dengan judul “Peran Ayah dalam Pengasuhan Anak.” 1. Peran serta perilaku pengasuhan ayah memengaruhi perkembangan serta kesejahteraan anak dan masa transisi menuju remaja (Cabrera, 2000). 2. Perkembangan kognitif, kompetensi sosial dari anak-anak sejak dini dipengaruhi oleh kelekatan, hubungan emosional serta ketersediaan sumber daya yang diberikan oleh ayah (Hernandez & Brown, 2002). 3. Anak yang ayahnya terlibat dalam pengasuhan dirinya akan memiliki kemampuan sosial dan kognitif yang baik, serta kepercayaan diri yang tinggi (Palkovits, 2002) 4. Bayi yang telah menerima perlakuan serta pengasuhan dari figur ayah akan menunjukkan peningkatan kemampuan kognitif pada usia enam bulan. Pada saat menginjak usia satu tahun, anak-anak menunjukkan peningkatan fungsi kognitif dalam hal pemecahan masalah (Goldberg, 1984). 5. Bayi yang mendapat pengasuhan dari ayah, pada usia tiga tahun memiliki tingkat intelegensi lebih tinggi dari anak-anak seusianya (Yogman, dkk., 1995). 6. Anak yang mendapat pengasuhan dari ayah akan menunjukkan prestasi akademik. Dukungan akademik yang diberikan oleh ayah, berkorelasi positif dengan motivasi akademik remaja (Alfaro, 2006). 7. Anak yang mendapat pengasuhan dari ayah akan termotivasi untuk melakukan performansi akademik terbaik, dan mengutamakan nilai akademik dalam hidup. Secara jangka panjang, anak yang dibesarkan dengan keterlibatan ayah dalam pengasuhan akan memiliki prestasi akademik serta

ekonomi yang baik, kesuksesan dalam karier, pencapaian pendidikan terbaik, Materi Diklat #1| 325 dan kesejahteraan psikologis (Flouri, 2005). 8. Keterlibatan ayah dalam kehidupan anak berkorelasi positif dengan kepuasan hidup dan kebahagiaan anak (Flouri, 2005) 9. Keterlibatan ayah dalam kehidupan anak berkorelasi positif dengan rendahnya tingkat depresi anak (Dubowits, 2001; Formoso, 2007). 10. Penerimaan ayah terhadap anak secara signifikan memengaruhi penyesuaian diri remaja (Veneziano,2000) 11. Penerimaan ayah terhadap anak merupakan salah satu faktor penting dalam pembentukan konsep diri dan harga diri anak (Culp, 2000). 12. Secara keseluruhan kehangatan yang ditunjukkan oleh ayah akan berpengaruh besar bagi kesehatan dan kesejahteraan psikologis anak, dan meminimalkan masalah perilaku yang terjadi pada anak (Rohner & Veneziano, 2001). 13. Keterlibatan ayah dalam pengasuhan secara positif berkorelasi dengan kompetensi, inisiatif, kematangan sosial dan relatedness anak (Stolz, 2005). 14. Partisipasi langsung ayah dalam pengasuhan anak membawa pengaruh bagi perkembangan perilaku pro-sosial bagi anak usia tiga tahun (Kato, 2002). 15. Remaja yang memiliki kelekatan dengan ayah memiliki interaksi yang minimal konflik dengan teman sebayanya (Ducharme, 2002). 16. Kehangatan, bimbingan, serta pengasuhan yang diberikan oleh ayah menguatkan kematangan moral anak, yang diasosiasikan dengan perilaku prososial dan perilaku positif yang dilakukan baik oleh anak perempuan maupun anak laki-laki (Mosely & Thompson, 1995). 17. Suami yang memberikan dukungan emosional kepada istri yang hamil, menyebabkan terjadinya kondisi kehamilan prima dan proses persalinan normal serta anak yang sehat (Teitler, 2001). 18. Anak-anak yang tidak tinggal bersama ayah, sebagian besar mengalami masalah kesehatan (Horn dan Sylvester, 2002). Masih sangat banyak hasil penelitian yang menunjukkan pengaruh positif keterlibatan ayah—bersama ibu—dalam pengasuhan anak. Namun, 18 poin yang saya sarikan di atas sudah sangat memadai untuk menjelaskan alasan, mengapa ayah perlu sekolah. Menguatkan Peran Ayah dalam Pengasuhan Anak Hasil studi yang dilakukan oleh Farida Hidayati dkk. dari Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro (2011) menunjukkan, sebagian besar ayah menyatakan bahwa mereka mendidik anak sebagaimana mereka dahulu dididik oleh orang tua. Padahal jika dicermati, cara yang digunakan orang tua terdahulu belum tentu tepat. Terlebih lagi, lingkungan strategis juga sudah sangat berubah. Untuk itu, perlu dilakukan usaha aktif para ayah agar terus belajar dan meningkatkan pengetahuan serta keterampilan pengasuhan anak. Hasil studi Farida Hidayati dkk. juga menemukan, banyak persoalan kenakalan anak dimulai dari ketidakberfungsian keluarga. Salah satunya adalah peran ayah yang tidak optimal.

Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 326 Di sisi lain, studi juga menemukan bahwa menguatnya kesadaran peran ayah yang multifungsi dalam proses pengasuhan bersama ibu, dapat meningkatkan kualitas pendidikan keluarga. Diharapkan dengan makin optimalnya fungsi dan peran keluarga akan menciptakan keluarga yang harmonis sehingga akan lahir pribadi-pribadi yang matang yang akan memimpin bangsa ini dengan baik. Mewujudkan Peran Ayah Jika Anda seorang lelaki, kemudian menikah dan memiliki anak, sejak saat itu Anda adalah seorang ayah. Anda akan disebut bapak, ayah, daddy, abi—atau sebutan lain semacam itu—oleh anak Anda. Status Anda secara resmi dan formal adalah seorang suami dan sekaligus seorang ayah. Namun, pertanyaannya adalah, apakah Anda sudah “menjadi” ayah? “Menjadi” adalah sebuah proses, tetapi juga hasil. Proses menjadi ayah, dan hasil akhirnya: Anda benar-benar seorang ayah. Untuk menjadi ayah tentu saja memerlukan sejumlah langkah dan usaha nyata. Langkah yang dimaksud bukan hanya menikah dan memiliki anak, tetapi lebih penting lagi adalah proses untuk memenuhi peran sebagai ayah. Sebagaimana telah disebutkan di depan, ketahanan keluarga mengacu kepada kondisi dinamik suatu keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan serta mengandung kemampuan fisik materiil dan psikis mental spiritual guna hidup mandiri dan mengembangkan diri dan keluarganya untuk hidup harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan lahir dan kebahagiaan batin. Hal ini memberikan penegasan bahwa keluarga harus memiliki perhatian yang utuh menyeluruh dalam segala aspeknya. Ayah sebagai bagian penting dari sebuah keluarga, memiliki peran yang sangat signifikan dalam pembentukan ketahanan keluarga. Tentu saja semua pihak dalam keluarga memiliki peran masing-masing, tetapi dalam kesempatan kali ini saya akan lebih fokus dalam mewujudkan peran ayah. Ada sejumlah peran sebagai ayah untuk menciptakan ketahanan keluarga, di antaranya adalah peran kepemimpinan, keteladanan, pendidikan, pengarahan, dan kehadiran. 1. Peran Kepemimpinan Kepemimpinan adalah salah satu peran yang menonjol pada diri seorang ayah. Ia harus memimpin anak-anaknya menuju kebaikan. Ia harus memimpin rumah tangganya menuju surga. Sebagai pemimpin, ia bertanggung jawab atas kebaikan ataupun keburukan yang terjadi pada keluarga. Sebagai pemimpin, ayah juga harus mampu mengelola sumber daya yang ada di dalam keluarga dengan baik. Ia tidak boleh menjadi pemimpin yang otoriter, bahkan harus memimpin keluarga dengan penuh cinta. John M. Gottman dan nan Silver menyatakan, “Kami menemukan bahwa pernikahan yang paling bahagia dan stabil dalam jangka panjang adalah pernikahan yang sang suami memperlakukan istrinya dengan hormat dan tidak menolak berbagi kekuasaan, dan membuat keputusan bersama. Saat suami istri itu berselisih paham, para suami ini secara aktif mencari jalan tengah daripada memaksakan jalannya sendiri.”

2. Peran Keteladanan Materi Diklat #1| 327 Pemimpin tidak cukup hanya memerintah dan mengeluarkan arahan, tetapi ia harus memberikan contoh teladan dalam pemikiran, perasaan, perbuatan, dan perkataan. Semua anak akan merasa senang apabila mereka dipimpin dengan penuh keteladanan oleh ayah mereka. Keteladanan merupakan karakter yang harus sangat menonjol pada ayah, tentu saja dalam konteks yang positif. Sebagai ayah tidak mungkin bisa menghindar dari tanggung jawab memberikan teladan dalam kehidupan rumah tangga. Pernikahan telah membuatnya menjadi seseorang yang harus memimpin— mau tidak mau—kehidupan keluarga dan seperti apakah kondisi keluarga yang terbentuk sangat bergantung kepada keteladanan dirinya. Maka, ia tidak mungkin akan bisa menghindar dari tanggung jawab untuk memberikan keteladanan. Seorang anak kelas tiga sekolah dasar berkomentar tentang ayahnya, “Ayah itu kalau di rumah pasti tidak melek, dan kalau melek pasti tidak di rumah.” Demikian komentarnya. Pekerjaan telah menyandera kehidupan sang ayah sehingga ia sangat lelah dan sangat disibukkan untuk kerja sehingga pulang ke rumah baginya tidak memiliki makna lain kecuali tidur dan istirahat. Keteladanan apakah yang diberikan oleh ayah ketika anaknya memiliki kesimpulan seperti itu? 3. Peran Pendidikan Seorang ayah dituntut untuk memiliki kemampuan memberikan pendidikan dalam keluarga. Di dalam rumah, ia adalah salah satu pusat “kehidupan”. Jika ayah tidak memberikan pendidikan yang baik dalam keluarga akan menyebabkan kelemahan dan kerapuhan fondasi kehidupan berumah tangga. Untuk mampu mendidik keluarga, seorang ayah dituntut memiliki kecerdasan. Ayah yang cerdas, smart, dan memiliki semangat menimba ilmu pengetahuan akan membuat anak-anak bangga dan berbesar hati terhadap ayahnya. Mendidik memerlukan ukuran kecerdasan tertentu, maka hanya ayah cerdas yang bisa sukses mendidik anak-anaknya. Berbagai metode pendidikan bisa diterapkan di dalam rumah, seperti pemberian reward and punishment, penugasan, pelatihan dan lain sebagainya. Namun, yang paling penting adalah konsistensi dan kedisiplinan dalam menerapkan aturan. 4. Peran Pengarahan Seorang ayah dituntut memiliki dan memberikan arahan (direction) serta bimbingan (guidance) dalam mengarungi kehidupan. Sebagai nahkoda kapal keluarga, ia harus mengajak semua penumpang kapal untuk menghadapi ombak dan badai di tengah lautan kehidupan. Kendati ombak sangat besar dan badai datang silih berganti, seorang nahkoda harus tetap optimistis akan bisa melalui semua rintangan tersebut dengan selamat dan sukses. Ia mengetahui dengan pasti arah yang hendak dituju. Anak-anak akan memiliki semangat yang menyala apabila dipimpin oleh ayah yang bisa memberikan pengarahan dan bimbingan dalam menghadapi setiap tantangan. Namun, jika ayah menunjukkan kebingungan, pasti akan mengalir pula

Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 328 ketakutan pada diri anak-anak. Mereka tidak percaya diri akan bisa mengalahkan ombak dan badai kehidupan. 5. Peran Kehadiran Seorang ayah dituntut untuk hadir membersamai perkembangan dan pertumbuhan anak. Hadir untuk menemani masa-masa sulit anak, hadir untuk membersamai masa-masa transisi dalam kehidupan mereka. Kehadiran ini tentu saja dalam makna yang luas, baik kehadiran jiwa, kehadiran doa, kehadiran raga, termasuk kehadiran sumber daya yang diperlukan untuk kebutuhan pertumbuhan dan perkembangan anak. Anak-anak akan mengalami pertumbuhan dan perkembangan dengan positif apabila merasakan kehadiran ayah dalam menghadapi berbagai persoalan hidup mereka. Anak-anak merasakan ayah yang hadir dalam doa-doa dan munajat untuk kesuksesan anak-anak, ayah yang hadir dalam memberikan dorongan, motivasi dan bimbingan untuk masa depan yang mereka inginkan.

Peran Ibu dalam Pendidikan Anak Materi Diklat #1| 329 Tujuan Pembelajaran Umum: Membangun pemahaman dan penghayatan konsep peran ibu dalam pendidikan anak sehingga memiliki kesadaran akan pentingnya mempelajari ilmu, sikap positif dan konstruktif di tengah keluarga, serta keterampilan membina ketahanan keluarga. Tujuan Pembelajaran Khusus: 1. Peserta menghayati bahwa peran ibu dalam pendidikan anak adalah bentuk ibadah terindah dan sangat bernilai di sisi Allah dan bernilai strategis bagi peradaban manusia. 2. Peserta pendampingan memahami pengertian peran ibu dalam pendidikan anak 3. Peserta pendampingan memahami pentingnya peran ibu dalam pendidikan anak. 4. Peserta pendampingan mampu mengidentifikasi peran ibu dalam pendidikan anak. 5. Peserta memahami pentingnya sinergi peran ayah dan ibu dalam Pendidikan anak. 6. Peserta pendampingan membangun kesadaran pentingnya belajar sepanjang hayat secara mandiri atau mengikuti program edukasi keluarga agar mampu menjalani peran ibu dalam pendidikan anak. Alternatif Kegiatan Pembelajaran: 1. Pendamping memantik dengan cara menyampaikan contoh dampak dari terabaikannya peran ibu dalam pendidikan anak. 2. Peserta diminta memberikan contoh kasus dan saling memberikan tanggapan terhadap problem terabaikannya peran ibu dalam pendidikan anak. 3. Peserta mendapat penjelasan tentang peran ayah dalam pendidikan anak. 4. Pendamping memfasilitasi diskusi tentang alternatif program apa saja untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, serta keterampilan menjalankan peran ibu dalam pendidikan anak. Uraian Materi: Dalam kitab Tanbih Al-Ghafilin dikisahkan, suatu ketika datang seorang lelaki kepada khalifah Umar bin Khaththab. Lelaki itu mengadukan perihal kedurhakaan anaknya. Umar bin Khaththab minta agar anak tersebut dihadirkan. Kepada anak itu, Umar memperingatkan bahwa dia telah durhaka terhadap ayahnya. Akan tetapi, si anak berkata, “Wahai Amirul Mukminin, bukankah seorang anak memiliki hak atas ayahnya?” Umar menjawab, “Benar.” “Hak apakah itu, wahai Amirul Mukminin?” tanya si anak.

Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 330 Umar menjawab, “Ia harus mencarikan seorang ibu yang salihah untuknya, memberikan nama yang bagus dan mengajarkannya Al-Qur’an.” “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya ayahku tidak pernah mengerjakan satu pun dari hal-hal yang engkau sebutkan tadi. Ibuku adalah seorang keturunan Afrika yang beragama Majusi, dia memberiku satu nama yang buruk, dia juga tidak pernah mengajarkan Al-Qur’an walau satu huruf.” Khalifah Umar berpaling kepada sang ayah. “Engkau datang kepadaku mengadukan anakmu yang durhaka, padahal engkau telah mendurhakainya sebelum dia mendurhakaimu, engkau telah berbuat keburukan kepadanya sebelum dia melakukan keburukan itu kepadamu.” Memahami Pengaruh Ibu Keluarga memiliki pengaruh besar pada proses kehidupan anak. Di dalam keluarga terdapat interaksi yang terjadi secara berulang dan memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan anak (Bronfenbrenner, 1994). Cooper (2009) menjelaskan bahwa proses interaksi keluarga mampu menciptakan kenangan yang melekat pada ingatan anak dan membangun keterikatan antar sesama anggota keluarga. Ibu memiliki peran penting yang bisa membuat ayah terlibat lebih banyak dalam pengasuhan anak (de Luccie, 1995; Puhlman & Pasley, 2013; SchoppeSullivan, Brown, Cannon, Mangelsdorf, & Sokolowski, 2008). Posisi ibu dianggap sebagai posisi yang strategis sebagai mediator hubungan antara anak dan ayah. Makin tinggi keyakinan ibu tentang pentingnya peran ayah dalam tumbuh kembang anak, membuat keterlibatan ayah dalam pengasuhan menjadi makin tinggi pula. Di Jepang, perempuan zaman dahulu memandang aktivitas mendidik anak sama penting dan sama profesionalnya dengan perempuan karier di perusahaan atau instansi bergengsi. Di Jepang dikenal istilah “ryosai kentro” yang artinya istri yang baik dan ibu yang arif. Sebuah pernyataan yang menggambarkan posisi strategis, peran dan tanggung jawab seorang ibu atas segala sesuatu yang terjadi di dalam rumah tangga. Menggambarkan sosok seorang ibu sebagai manajer rumah tangga sekaligus pendidik utama bagi anak-anaknya. Apa motivasi perempuan Jepang pada waktu itu, yang rela melepas karier profesionalnya, demi memilih menjadi ibu rumah tangga? Jawabannya ada pada konsep “kyoiku mama” yaitu ibu adalah sekolah bagi anak-anak. Dalam bahasa Arab dikenal istilah “al-ummu madrasatun”. Ibu adalah madrasah utama bagi anak-anaknya. Proses aktif kyoiku mama secara langsung terlibat dalam pembangunan karakter bangsa Jepang. Kyoiku mama meletakkan dasar pendidikan moral dan perilaku sejak dini kepada anak-anaknya di rumah. Begitu sentral peran seorang ibu dalam kehidupan manusia, sampai Nabi saw. memberikan posisi yang sangat mulia untuk para ibu. Diriwayatkan dari Mu’awiyyah bin Jahimah, bahwasanya ia datang kepada Rasulullah saw. untuk bertanya. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, aku hendak berperang, maka aku datang untuk meminta pendapatmu.” Rasulullah saw. menjawab, “Apakah engkau mempunyai ibu?” Jawabnya, “Iya.” Lalu Rasulullah saw. bersabda, “Berbuat baiklah

kepadanya. Sesungguhnya surga itu berada di bawah kedua kakinya” (HR. Imam Materi Diklat #1| 331 An-Nasa’i dan Ath-Thabarani dengan sanad hasan. Al-Hakim menyahihkan hadis tersebut dan disetujui oleh Imam Adz-Dzahabi serta Imam Al-Mundziri). Imam Adz-Dzahabi dalam kitab Siyar A’lamin Nubala mengisahkan dari Muhammad bin Ahmad bin Fadhal Al-Balkhi, ia mendengar ayahnya mengatakan bahwa kedua mata Imam Al-Bukhari sempat buta semasa kanak-kanak. Namun, pada suatu malam, ibunya bermimpi bahwa ia berjumpa dengan Nabi Ibrahim. Nabi Ibrahim berkata kepadanya, “Hai Ibu, sesungguhnya Allah telah berkenan mengembalikan penglihatan anakmu karena cucuran air mata dan banyaknya doa yang kau panjatkan kepada-Nya.” Keesokan harinya ternyata penglihatan Al-Bukhari benar-benar telah kembali. Masyaallah, betapa doa ibu sangat didengar Allah. Ibu, Pendidik Terbaik bagi Anak-anaknya Telah diyakini bahwa ibu merupakan madrasah terbaik bagi anak-anaknya. Ibu adalah sosok yang pertama kali berinteraksi dengan anaknya, sosok pertama pula yang memberikan rasa aman dan nyaman serta sosok yang dia percaya. Karena itu, ibu menjadi sekolah pertama bagi anak-anaknya. Peran ibu dalam mendidik anaknya ini sangat penting karena dapat menentukan kualitas generasi masa depan suatu masyarakat dan negara. Salah satu aspek penting keberhasilan dalam pendidikan anak adalah adanya kedekatan fisik dan emosional antara seorang ibu dengan anaknya. Secara alami, kedekatan fisik dan emosional ibu dengan anaknya sudah terjalin sejak anak berada dalam kandungan, menyusui, dan masa pengasuhan. Kasih sayang seorang ibu merupakan jaminan awal untuk tumbuh kembang anak dengan baik dan aman. Karena itu, ibu mempunyai peran yang penting dan mulia dalam mendidik anak sejak usia dini. Untuk bisa menjalankan peran ini, Allah telah memberikan konstruksi yang khas pada diri ibu berupa kemampuan untuk hamil, menyusui serta naluri keibuan. Allah juga menetapkan anjuran kepada para ibu untuk menyusui anaknya selama dua tahun, mengamanahkan para ibu untuk mengasuh anaknya selama masa pengasuhan (hadhanah), yaitu sampai anak bisa mengurus dirinya. Setelah anak mulai memasuki bangku sekolah, setiap ibu hendaknya mengetahui kegiatan yang dilakukan anak-anaknya agar dapat mengontrol dan memberikan arahan terhadap kegiatan yang dilakukan anak. Dengan menjalin komunikasi yang baik, ibu dapat mengetahui semua kegiatan anaknya. Selalu meluangkan waktu pada sore atau malam hari pada saat istirahat untuk berbagi cerita tentang kegiatan yang telah dilalui pada hari tersebut merupakan suatu momen yang sangat baik bagi ibu untuk dapat mengarahkan anaknya menuju kemuliaan. Sebuah studi menunjukkan bahwa secara umum anak merasa tidak nyaman ketika ia pulang mendapati ibunya tidak berada di rumah. Perasaan ini menunjukkan adanya kedekatan hubungan antara anak dan ibunya. Anak-anak ketika pulang ke rumah selalu berharap dapat bertemu ibunya untuk mendapatkan kasih sayang dan perhatian.

Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 332 Bila anak pulang tidak pernah bertemu ibu, rumah selalu dalam keadaan sepi. Hal ini dapat membuat anak mencari pelarian untuk melampiaskan perasaannya. Lambat laun perasaan tidak nyaman itu akan hilang karena keberadaan ibu sudah tidak lagi diharapkan karena dapat digantikan oleh teman-teman pergaulannya. Ibu Membawa Pengaruh bagi Anak sejak Dalam Kandungan Anak-anak yang sehat mental dan fisik, lahir dari ibu yang sehat mental dan fisiknya. Ternyata, kondisi mental ibu hamil bisa memberikan pengaruh terhadap janin yang dikandungnya, bahkan berlanjut menjadi pengaruh pasca-kelahiran. Sebuah penelitian (2019) meminta ibu hamil untuk melaporkan kondisi mental mereka setiap bulan. Hasil penelitian dilaporkan dalam British Journal of Psychiatry, menemukan bahwa stres berkepanjangan dan dalam level tinggi selama kehamilan berpotensi memiliki efek panjang terhadap anak-anak. Anak-anak yang terpapar stres dari ibunya, kemungkinan mengalami gangguan kepribadian 9,53 kali lipat dibanding mereka yang ibunya tidak mengalami stres. Adapun anak-anak yang terpapar stres sedang, memiliki peluang gangguan kepribadian empat kali lipat. Ross Brannigan dari Royal College of Surgeons di Irlandia yang menulis hasil penelitian tersebut mengatakan, “Studi ini menyoroti pentingnya dukungan untuk mengatasi stres dan kesehatan mental bagi para perempuan hamil dan keluarga selama masa kehamilan dan setelah melahirkan.” Studi tersebut menunjukkan dengan jelas bahwa kondisi mental ibu hamil berpengaruh terhadap kondisi janin hingga masa-masa perkembangannya setelah lahir. Dr. Trudi Senevirante dari Royal College of Psychiatrists menyatakan, kehamilan bisa menjadi masa yang penuh tekanan dan para calon ibu membutuhkan bantuan. “Jika stres tidak ditanggulangi, ada kemungkinan besar itu akan masuk ke periode pasca-kelahiran,” ujar Trudi. Para calon ibu harus mendapatkan dukungan selama di rumah dan di tempat pekerjaan selama kehamilan dan diberikan strategi bagaimana menyesuaikan diri ketika mereka stres, lanjutnya. Untuk itu, ibu hamil harus bisa mendeteksi kondisi mentalnya dengan baik. Apabila ada ketertekanan mental yang membuatnya depresi dan tidak bahagia, ia harus segera berusaha mencari bantuan. “Mereka perlu belajar untuk beristirahat, meminta dukungan dan berbicara dengan seseorang tentang bagaimana perasaan mereka,” lanjut Trudi Senevirante. Penelitian lain yang diterbitkan JAMA Open Network mengungkapkan, stres yang dirasakan perempuan selama kehamilan dapat berpengaruh terhadap perkembangan otak janin yang dikandungnya. Kesimpulan ini didapat setelah peneliti melihat hasil dari dokumentasi pada pemindaian otak janin. Janin dari ibu hamil dengan tingkat kecemasan lebih tinggi, cenderung mempunyai koneksi yang lebih lemah antara dua area otak yang terlibat dalam fungsi eksekutif dan kognitif lanjut; serta koneksi yang lebih kuat antara bagian- bagian otak yang terhubung dengan kontrol emosi dan perilaku. “Tingkat kecemasan, tampaknya mempunyai efek langsung pada cara otak janin dibentuk dan diatur dalam rahim,” ungkap Catherine Lymperopoulos, penulis laporan studi dari Children’s National Washington D.C. Lebih lanjut

Lymperopoulos menyatakan, “Apa yang dialami ibu hamil, juga dialami bayi yang Materi Diklat #1| 333 dikandungnya,” lanjutnya. Penelitian-penelitian sebelumnya telah mengungkapkan hubungan antara stres, kecemasan, dan depresi pada ibu hamil dengan masalah sosial, emosional, dan perilaku pada anak ketika telah mencapai usia lebih dewasa. Studi klinis telah menemukan adanya defisit neurobehavioral seperti gangguan koordinasi motorik, reaktivitas emosional yang lebih tinggi, dan keterlambatan bahasa, pada anak yang lahir dari ibu yang mengalami stres. Lymperopoulos menerbitkan hasil sebuah penelitian yang menemukan bahwa tingkat stres yang tinggi selama kehamilan mengganggu biokimia otak bayi dan pertumbuhan hipokampus, area otak yang terlibat dalam pembentukan ingatan baru, yang juga terkait dengan pembelajaran dan emosi. Setiap Hari Dalam Rahim Adalah Penting bagi Janin Studi menyatakan, stres pada ibu hamil juga terkait dengan kelahiran prematur. Ibu hamil yang merasa kewalahan dan tidak mampu mengatasinya selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun sebelum pembuahan, memiliki kehamilan yang lebih pendek daripada wanita lain. “Setiap hari di dalam rahim penting untuk pertumbuhan dan perkembangan janin,” ungkap Christine Dunkel Schetter, profesor psikologi dan psikiatri Universitas California, Los Angeles. Maka kehamilan yang sempurna akan ikut menentukan kualitas bayi yang dilahirkan. Bayi prematur, ungkap Schetter, mempunyai risiko kesehatan lebih tinggi, termasuk cacat perkembangan dan masalah kesehatan fisik. Untuk itu, ibu hamil tidak boleh stres. Ibu hamil yang mengalami stres berpengaruh secara tidak baik bukan saja untuk si ibu, tetapi juga untuk si bayi. Penelitian yang dimuat dalam jurnal Psychological Science menyebutkan bahwa bayi dalam kandungan bisa merasakan kondisi psikologis ibunya. Perasaan ibu harus selalu dijaga sebaik-baiknya agar tidak memberikan dampak negatif terhadap perkembangan janin di dalam kandungan. Saat janin tumbuh, ia terus-menerus menerima pesan dari ibunya, termasuk bisa merasakan perasaan ibu ketika sedih atau bahagia. Penelitian lain yang dilakukan oleh Association for Psychological Science tahun 2011 ini menyebutkan, jika ibu mengalami depresi akan memengaruhi perkembangan bayi setelah lahir baik fisik maupun mental. Salah satu studi tentang pengaruh kondisi ibu hamil terhadap janin, dilakukan oleh Curt Sandman, Elysia Davis dan Laura Glynn dari University of California- Irvine. Mereka melakukan studi tentang keadaan psikologis ibu dan pengaruhnya terhadap perkembangan janin. Para peneliti melibatkan wanita hamil dan memeriksa kondisi depresi yang mereka hadapi baik sebelum maupun sesudah melahirkan. Selanjutnya, melakukan uji terhadap bayi setelah dilahirkan. Sandman dan tim mendapatkan temuan yang menarik. Ternyata, yang penting bagi bayi adalah lingkungan yang konsisten sebelum dan sesudah lahir. Bayi yang lahir dan berkembang dalam kondisi terbaik adalah yang memiliki ibu sehat, baik sebelum maupun sesudah lahir. Demikian pula, bayi yang ibunya depresi sebelum lahir dan tetap depresi sesudah lahir.

Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 334 Yang memperlambat perkembangan bayi adalah perubahan kondisi. Misalnya seorang ibu yang berubah dari depresi sebelum lahir menjadi sehat setelahnya atau sehat sebelum lahir menjadi depresi setelahnya. “Harus kami akui, temuan ini sangat mengejutkan,” ujar Sandman. Pertanyaannya, jika seorang ibu mengalami depresi sebelum kelahiran, apakah harus membiarkannya tetap depresi hingga lahir demi kebaikan perkembangan bayinya? “Pendekatan yang lebih masuk akal adalah, harus melakukan terapi terhadap perempuan yang mengalami depresi prenatal,” ungkap Sandman. Artinya, jangan biarkan ibu mengalami depresi sejak sebelum hamil, saat hamil, dan setelah melahirkan. Inilah kondisi paling ideal yang akan menjadikan janin tumbuh kembang dengan optimal. “Kami tahu bagaimana menangani depresi,” ujar Sandman. “Masalahnya adalah, perempuan kadang tidak diperlakukan agar tidak depresi selama kehamilan.” Studi Sandman dan tim tersebut menemukan, dalam jangka panjang, memiliki ibu yang depresi dapat menyebabkan masalah neurologis dan gangguan kejiwaan pada anak-anak yang dilahirkan. Anak yang lahir dari ibu yang cemas dan depresi selama kehamilan, memiliki perbedaan dalam struktur otak bagian tertentu, dibandingkan dengan anak yang lahir dari ibu tidak cemas dan tidak depresi. “Kami percaya bahwa janin manusia adalah subjek aktif dalam perkembangannya sendiri dan mengumpulkan informasi untuk kehidupan setelah lahir,” ungkap Sandman. “Janin mempersiapkan kehidupan berdasarkan pesan yang diberikan ibu sejak dalam kandungan.” Agar ibu hamil selalu dalam kondisi bahagia dan tidak depresi, peran suami sangat dominan. Jika suami selalu menunjukkan sikap peduli, care, bertanggung jawab, dan membersamai sepenuhnya istri yang tengah hamil, niscaya sang istri akan bahagia. Namun, jika suami cuek, tidak peduli dengan kehamilan istri, bahkan tidak memberikan dukungan mental dan teknis akan membuat sang istri menderita. Terlebih ketika suami melakukan perbuatan tercela—misalnya selingkuh, pada saat sang istri hamil dan memerlukan dukungan mental dari sang suami. Penyelewengan suami akan membuat ketersiksaan pada diri istri yang tengah hamil. Beberapa Hasil Studi Penting Lainnya Berikut cuplikan hasil berbagai studi akademik yang menunjukkan pentingnya menjaga kesehatan mental dan fisik ibu hamil. Karena kondisi ibu hamil sangat besar pengaruhnya terhadap janin maupun bayi yang dilahirkan. (1) Sarah Foley, Claire Hughes, Great Expectations? Do Mothers’ and Fathers’ Pre-natal Thoughts and Feelings About the Infant Predict Parent- infant Interaction Quality? https://doi.org/10.1016/j.dr.2018.03.007, Developmental Review, Vol 48, Juni 2018, https://www.sciencedirect.com Sebuah studi menunjukkan, para ibu yang “terhubung” dengan bayinya selama kehamilan lebih mudah berinteraksi dengan cara yang lebih positif dengan

bayi mereka setelah lahir. Para peneliti di Center for Family Research mengambil data dari 14 penelitian yang melibatkan 1.862 ibu dan ayah dalam jurnal Developmental Review. “Penelitian menunjukkan bahwa interaksi orang tua dan anak sangat penting untuk perkembangan dan pembelajaran anak,” kata Dr Sarah Foley, penulis pertama dalam studi tersebut. Penelitian juga menunjukkan bahwa peningkatan kesadaran bayi selama kehamilan dikaitkan dengan perilaku sehat selama kehamilan, seperti berhenti merokok. (2) Materi Diklat #1| 335 University of Edinburgh, Stress in Pregnancy May Influence Baby Brain Development, 24 November 2020, ScienceDaily, https://www.sciencedaily.com Studi menunjukkan otak bayi dipengaruhi oleh tingkat stres yang dialami ibu selama kehamilan. Tingkat stres pada ibu menyebabkan perubahan di area otak bayi yang terkait dengan perkembangan emosional. Peneliti utama, Prof. James Boardman dari Universitas Edinburgh mengatakan, temuan tersebut telah menunjukkan kebutuhan mendesak bagi wanita untuk mendapatkan dukungan yang lebih baik terkait kesehatan mental dan fisik mereka sebelum dan selama kehamilan. Ibu hamil yang merasa stres atau tidak sehat harus mencari bantuan dari tenaga kesehatan atau konsultan. Dengan dukungan yang memadai, sebagian besar masalah kesehatan dapat dikelola dengan baik selama kehamilan. (3) Robert Winston, Rebecca Chicot, The Importance of Early Bonding on The Long-term Mental Health and Resilience of Children, DOI: 10.1080/17571472.2015.1133012, Februari 2016, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/ Kondisi bayi saat dilahirkan sangat bergantung kepada orang tuanya. Mereka menjalani perkembangan otak yang sangat besar, pertumbuhan dan pemangkasan neuron dalam dua tahun pertama kehidupan. Perkembangan otak bayi (serta perkembangan sosial, emosional dan kognitif mereka) bergantung pada ikatan kasih sayang atau hubungan keterikatan dengan pengasuh utama, biasanya orang tua. Ada makin banyak bukti dari bidang psikologi perkembangan, neurobiologi, dan studi epigenetik hewan bahwa pengabaian, ketidakkonsistenan orang tua dan kurangnya cinta dapat menyebabkan masalah kesehatan mental jangka panjang serta mengurangi potensi dan kebahagiaan secara keseluruhan. (4) Christine Dunkel Schetter, Lynlee Tanner, Anxiety, Depression and Stress in Pregnancy: Implications for Mothers, Children, Research, and Practice, DOI: 10.1097/YCO.0b013e3283503680, Maret 2012, https://www.ncbi.nlm.nih.gov Kecemasan, depresi, dan stres dalam kehamilan merupakan faktor risiko yang merugikan ibu dan anak. Kecemasan dalam kehamilan dikaitkan dengan usia kehamilan yang lebih pendek dan memiliki implikasi yang merugikan bagi perkembangan saraf janin. (5)

Holly Tiret, Healthy, Happy Mama Means Healthy, Happy Baby, 6 Mei 2014, https://www.canr.msu.edu Michigan State University Extension menyampaikan pentingnya nutrisi sehat selama kehamilan karena hal itu memiliki efek positif pada bayi yang sedang berkembang. Misalnya dengan mengonsumsi vitamin pra-kehamilan, meningkatkan asam folat, dan banyak minum air putih. Selain itu, ditemukan efek merugikan dan berpotensi bahaya dari merokok, minum minuman keras, dan semua jenis penggunaan narkoba selama kehamilan. Kebiasaan tidak sehat akan berpengaruh buruk terhadap kesehatan bayi. Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 336 (6) Live Science, Happy Moms Make for Happy Kids, 4 April 2011, https://www.livescience.com Studi menunjukkan, anak-anak lebih bahagia ketika ibu puas dalam hubungannya dengan pasangan. Penemuan tersebut berdasarkan 6.441 wanita, 5.384 pria dan 1.268 anak-anak usia 10 hingga 15 tahun. Hal yang membuat anak-anak yang paling bahagia antara lain, hidup dengan dua orang tua; tidak sering bertengkar dengan orang tua; makan malam bersama keluarga; serta memiliki ibu yang bahagia dalam hubungannya dengan suami. (7) Vivette Glover, The Effects of Pre-natal Stress on Child Behavioural and Cognitive Outcomes Start at the Beginning, April 2019, http://www.child- encyclopedia.com Stres pada ibu hamil meningkatkan risiko anak mengalami berbagai persoalan saraf. Tidak semua anak terpengaruh dan mereka yang terpengaruh dengan cara yang berbeda. Implikasi dari penelitian ini adalah, jika menginginkan hasil terbaik untuk anak- anak, harus memberikan perawatan emosional terbaik untuk ibu hamil. Ibu hamil harus didorong untuk menjaga diri mereka sendiri secara emosional dan untuk mencari bantuan jika diperlukan. Perlu ada lebih banyak edukasi kepada masyarakat tentang hal ini. Bukan hanya gangguan yang dapat didiagnosis yang dapat memengaruhi perkembangan janin, melainkan berbagai gejala stres, kecemasan, dan depresi, termasuk hubungan yang buruk dengan pasangan. Hal ini berpotensi untuk mencegah berbagai masalah perkembangan saraf yang timbul pada sebagian besar anak-anak secara klinis. (8) Carmen Hernandez-Martinez, Victoria Arija dkk., Do the Emotional States of Pregnant Women Affect Neonatal Behaviour? DOI: 10.1016/j.earlhumdev.2008.05.002, Juli 2008, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov Studi menunjukkan, keadaan emosional wanita hamil memengaruhi perjalanan kehamilan, persalinan, dan perilaku serta perkembangan bayi mereka. Studi dilakukan terhadap 163 bayi baru lahir sehat. Stabilitas emosional ibu selama kehamilan meningkatkan pengaturan diri bayi dan beberapa aspek perilaku bayi yang dapat memengaruhi mereka untuk berinteraksi lebih baik dengan orang tua.

(9) Anna-Lena Zietlow, Corinna Reck dkk., Emotional Stress During Pregnancy—Associations With Maternal Anxiety Disorders, Infant Cortisol Reactivity, and Mother—Child Interaction at Pre-school Age, DOI: 10.3389/fpsyg.2019.02179, September 2019, https://www.ncbi.nlm.nih.gov Studi menunjukkan bahwa stres pada ibu hamil memberikan pengaruh buruk pada perkembangan janin. Studi terbaru menunjukkan pengaruh jangka panjang pada berbagai domain perkembangan, seperti fungsi metabolik, perkembangan kognitif dan emosional. (10) Julien O. Teitler, Father Involvement, Child Health and Maternal Health Behavior, https://doi.org/10.1016/S0190-7409(01)00137-2, 2001, dalam: https://psycnet.apa.org Teitler melakukan penelitian melibatkan 2.425 ibu dan 1.859 ayah. Hasil studi menunjukkan bahwa keterlibatan ayah dapat memengaruhi ibu untuk mempertahankan atau menerapkan perilaku kehamilan yang sehat. Materi Diklat #1| 337

Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 338 Peran Orang Tua dalam Pendidikan Anak di Era Digital Tujuan Pembelajaran Umum: Membangun pemahaman dan penghayatan konsep sinergi peran ibu dan ayah dalam pendidikan anak sehingga memiliki kesadaran akan pentingnya mempelajari ilmu, sikap positif dan konstruktif di tengah keluarga, serta keterampilan membina ketahanan keluarga. Tujuan Pembelajaran Khusus 1. Peserta menghayati bahwa peran ibu dan ayah dalam pendidikan anak adalah bentuk ibadah terindah dan sangat bernilai di sisi Allah dan bernilai strategis bagi peradaban manusia. 2. Peserta pendampingan memahami peran ibu dan ayah dalam pendidikan anak. 3. Peserta pendampingan memahami pentingnya implementasi peran ibu dan ayah dalam pendidikan anak. 4. Peserta pendampingan mampu mengidentifikasi peran ibu dan ayah dan bersinergi dalam pendidikan anak. 5. Peserta memiliki keterampilan orang tua menjalin sinergi dengan lingkungan sekitar dalam pendidikan anak. 6. Peserta pendampingan membangun kesadaran pentingnya belajar sepanjang hayat secara mandiri atau mengikuti program edukasi keluarga agar mampu menjalani peran ibu dan ayah dalam pendidikan anak. Alternatif Kegiatan Pembelajaran: 1. Pendamping memantik dengan cara menyampaikan contoh dampak dari terabaikannya peran ibu dan ayah dalam pendidikan anak. 2. Peserta diminta memberikan contoh kasus dan saling memberikan tanggapan terhadap problem terabaikannya peran ibu dan ayah dalam pendidikan anak. 3. Peserta mendapat penjelasan tentang peran ibu dan ayah dalam pendidikan anak. 4. Pendamping memfasilitasi diskusi tentang alternatif program apa saja untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, serta keterampilan menjalankan peran ibu dan ayah dalam pendidikan anak. Uraian Materi: Setiap zaman selalu memiliki tantangan dan kegelisahan yang harus dijawab. Pada zaman dahulu kala, kita sibuk membahas dampak televisi terhadap anak- anak bangsa. Jurnal Educational Researcher pada 3 April 1992, misalnya, telah memuat artikel “Compliant Cognition: The Misalliance of Management and Instructional

Goals in Current School Reform”, tulisan Mary McCaslin dan Thomas Good. Materi Diklat #1| 339 Dalam artikel itu dinyatakan kegelisahan terhadap maraknya budaya menonton televisi pada pelajar Amerika. McCaslin dan Good menganggap dampak menonton televisi terhadap prestasi belajar anak bukanlah hal sederhana. “Clearly, the answer to America’s educational problems does not lie in simply extending school boundaries into the home nor can it be reduced to the simple equation: more homework + less television = school progress,” ujar MacCaslin. Prestasi belajar anak tidak bisa disimplifikasi dengan rumus memperbanyak PR dan mengurangi jam menonton teve. Rupanya kegelisahan yang sama diungkapkan oleh Ralph Tyler dalam artikelnya “What Have We Learned About Learning?” pada tahun 1979. “The time lost in these kinds of experiences has largely been taken up by TV,” ujarnya. Secara miris Tyler menambahkan, “The average American child between the ages of 10 and 14 spends about 1,500 hours per year viewing TV and only about 1,100 hours per year in school.” Pada masa itu, masyarakat dunia khawatir dengan pendidikan anak akibat serbuan tayangan televisi. Masa itu kini telah lewat. Kini, kita berada pada zaman yang sama sekali baru. Saat ini kita hampir tidak lagi bicara atau khawatir soal televisi, karena ada banyak hal yang lebih mengkhawatirkan. Era digital telah membawa suasana baru yang sangat berbeda dengan era sebelumnya. Perubahan dan pengaruh era digital dirasakan pada semua bidang kehidupan, secara positif maupun negatif. Berdasarkan survei dari UNICEF bersama para mitra, termasuk Kementerian Komunikasi dan Informatika dan Universitas Harvard. Survei tersebut menemukan, sebanyak 98% anak dan remaja mengaku tahu tentang internet, dan 79,5% anak dan remaja adalah pengguna internet. Masih ada sekitar 20% responden yang tidak menggunakan internet, alasan utamanya, mereka tidak memiliki perangkat untuk mengakses internet, atau mereka dilarang orang tua untuk mengakses internet. Zaman terus berubah. Saat ini kita berada dalam era revolusi industri keempat atau 4.0 yaitu ketika ada efisiensi mesin, data, dan manusia sudah mulai terkoneksi dengan internet of things. Industri 4.0 adalah nama yang diberikan untuk tren otomatisasi dan pertukaran data saat ini. Hal ini termasuk sistem cyber- fisik, internet, komputasi awan dan komputasi kognitif. Era 4.0 di antaranya ditandai dengan artificial intelligence (AI), internet of things (IOT), Unmanned Vehicles (UAV), Mobile Technology (5G), Shared Platform, Block Chain, Robotics dan Bio-Technology. Industri 4.0 bakal menghasilkan banyak kreativitas dan kebaruan, yaitu kekayaan intelektual yang perlu dilindungi dan ditegakkan. Anak-anak kita berinteraksi dengan sangat cepat pada era ini, sementara orang tua terengah-engah mengejar dan belajar memahami. Tidak bijak untuk menutup diri sama sekali dari teknologi, sebagaimana juga tidak bijak untuk membuka akses terhadap teknologi tanpa ada batasan sama sekali. Yang diperlukan adalah tindakan yang positif dan konstruktif dalam mendidik, mengasuh, mendampingi, mengarahkan, dan membina anak-anak kita, baik di rumah, di sekolah, maupun pada lingkungan sekitarnya.

Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 340 Hendaknya anak-anak tetap menjadi asuhan dan didikan orang tua serta guru, bukan asuhan internet dan gadget. Pada zaman atau era apa pun mereka hidup dan berkembang. Sinergitas Ayah dan Ibu Jika kita cermati, dalam kehidupan keluarga, semua titik interaksi antara orang tua dengan anak adalah bagian dari pendidikan. Orang tua yang disiplin, rajin ibadah, rajin bekerja, rapi dalam penampilan, senang silaturahmi, memuliakan tamu, bertutur kata sopan, lembut dalam pergaulan, menghormati pasangan, menyayangi anak-anak, merawat rumah dan lingkungan, semua itu menjadi interaksi yang bermuatan pendidikan kebaikan. Sebaliknya, orang tua yang kehidupannya berantakan, malas ibadah, kasar dalam berbicara, senang mengumpat, suka memukul, tidak merawat rumah dan halaman, ruang keluarga dan kamar tidur yang porak poranda, memelihara pertengkaran dengan pasangan, suka membentak, itu semua menjadi interaksi yang bermuatan pendidikan keburukan. Walaupun menyekolahkan anak di sekolah agama atau pesantren, ketika di rumah orang tua memberikan teladan negatif akan menjadi pendidikan negatif pula bagi anak-anak. Anak-anak yang tumbuh dalam keluarga harmonis akan cenderung memiliki kesehatan mental dan fisik yang lebih baik dibanding dengan anak-anak yang tumbuh dari keluarga bermasalah. Sudah banyak survei yang menunjukkan pengaruh kondisi kehidupan orang tua dengan perkembangan mental anak saat mereka dewasa. Carey Oppenheim, chief executive Early Intervention Foundation (EIF), organisasi nirlaba yang fokus pada anak-anak bermasalah menyebut pertengkaran orang tua memberi pengaruh besar pada anak. Oppenheim mengingatkan bahwa konflik suami istri dalam kehidupan rumah tangga bisa menjadi kendala yang besar dalam perkembangan emosi anak pada masa depan. Profesor Gordon Harold, dari Fakultas Psikologi University of Sussex menyatakan, dari studi yang mereka lakukan bisa disimpulkan bahwa hubungan orang tua dengan anak memiliki pengaruh paling kuat dalam kesehatan mental anak jangka panjang. Menurutnya, hal ini bukan hanya memengaruhi satu generasi, tetapi juga generasi selanjutnya pada masa depan. Oleh karena itu, proses pendidikan di dalam keluarga harus mewujudkan pemberdayaan yang aktif. Di rumah tidak sekadar terjadi transformasi pengetahuan secara sepihak dan searah dari orang tua kepada anak-anak. Akan tetapi, terjadi proses pembelajaran bersama sebagai wujud kesadaran kosmopolis manusia terhadap alam dengan landasan kesadaran akan nilai-nilai rabbani (ketuhanan). Di rumah, semua saling belajar dan tumbuh berkembang bersama dalam ketaatan dan kebaikan. Interaksi pendidikan yang terjadi dalam keluarga tidak boleh terkungkung hanya kepada upaya untuk menghafalkan teori-teori atau mengumpulkan konsep- konsep, akan tetapi harus sampai kepada dataran pencarian makna serta hakikat yang lebih mendalam untuk mendapatkan pemahaman yang utuh akan hakikat kehidupan dan kemanusiaan. Untuk apa manusia diciptakan, dari mana manusia berasal, dan akan kembali ke mana kelak ketika sudah meninggal.

Jadi tidak sekadar menemani anak-anak mengerjakan PR matematika dan Materi Diklat #1| 341 menghafalkan rumus-rumus kimia, tetapi pembelajaran dalam rumah itu komprehensif dalam segala sisinya. Juga bukan hanya sekadar membatasi pemakaian internet dan gadget, pemblokiran situs porno, pendampingan dalam penjelajahan di dunia maya dan pengawasan dalam berbagai kegiatan anak. Tentu saja itu semua sangat diperlukan, tetapi jangan sampai mengabaikan hal yang lebih esensial dan fundamental. Segala sisi yang bisa memberikan kebaikan kepada anak harus diupayakan dengan serius oleh semua pihak terkait. Sejak dari penanaman fondasi keimanan hingga penjagaan dan pengarahan untuk mengoptimalkan berbagai potensi kebaikan mereka. Semua harus dimulai dari keluarga, dari sinergitas ayah bunda. Prof. Schoppe-Sullivan dan rekan dari Ohio State University menyurvei 112 pasangan orang tua yang memiliki anak berusia empat tahun. Pasangan diminta mengisi kuesioner yang menanyakan seberapa sering orang tua terlibat dalam kegiatan bermain dengan anak-anaknya serta seberapa intens kegiatan pengasuhan mereka. Peneliti kemudian mengamati pasangan selama 20 menit dalam membantu anaknya menyelesaikan dua tugas yaitu menggambar foto keluarga dan membangun rumah-rumahan dari balok-balok kayu. Kedua tugas ini terlalu sulit untuk dilakukan anak-anak dan membutuhkan bimbingan orang tua. Tugas-tugas ini memberikan peneliti kesempatan untuk mendeteksi seberapa banyak orang tua yang saling mendukung atau justru saling menjatuhkan satu sama lain dalam hal pengasuhan. Secara umum hasil penelitian menunjukkan ketika ayah memiliki waktu untuk bermain dengan anak-anaknya maka pasangan ini akan menunjukkan pola pengasuhan yang saling mendukung satu sama lain. Studi ini dilaporkan dalam jurnal Developmental Psychology. Hasil temuan ini tetap sama bahkan ketika peneliti membandingkan beberapa faktor lain seperti pendapatan keluarga, pendidikan ayah dan jam kerjanya, besarnya keluarga serta berapa lama pasangan tersebut menjalin hubungan. Penelitian ini makin meneguhkan urgensi kehadiran ayah dan ibu dalam mengasuh dan mendidik anak-anak karena mereka tidak hanya memerlukan materi, tetapi mereka sangat memerlukan perhatian dan kebersamaan. Pedoman untuk Mendidik Anak Orang tua tidak perlu dibuat bingung dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, karena teknologi akan terus berkembang dengan sangat cepat. Bahkan melebihi kemampuan kita untuk mempelajarinya. Pada zaman kakek moyang kita, mungkin mereka sibuk menasihati anak agar tidak terus-menerus duduk di dekat radio untuk mendengarkan siaran. Pada zaman orang tua kita, mereka sibuk menasihati anak-anak agar tidak kecanduan tayangan televisi. Pada zaman kita, semua sibuk mengondisikan anak agar tidak kecanduan gadget. Lima tahun dari sekarang, persoalan sudah berganti lagi. Seperti apa pun perkembangan zaman dan perkembangan teknologi, selalu ada garis lurus yang bisa diikuti. Yang membuat kita tidak menjadi bingung dan galau. Berikut beberapa pedoman untuk mendidik anak di era digital saat ini, yang harus diaplikasikan secara kolektif oleh semua komponen anak bangsa, dimulai

Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 342 dari keluarga. Hendaknya ayah dan ibu berusaha untuk menerapkan delapan pedoman berikut ini dalam mendidik anak-anak sejak di rumah. 1. Selalu Minta Pertolongan kepada Allah Kita semua hanyalah makhluk yang lemah, tidak memiliki daya dan kekuatan untuk melakukan kebaikan, kecuali karena pertolongan dan karunia Allah. Oleh karena itu, jangan merasa bisa mendidik anak. Jangan merasa mampu karena telah menempuh pendidikan tinggi di bidang pendidikan. Yang bisa memperbaiki karakter anak kita hanyalah Allah Ta’ala, maka mintalah pertolongan dan kekuatan dari Allah. Hendaknya orang tua tidak putus munajat kepada Allah karena doa orang tua untuk anaknya adalah doa yang mustajab. Nabi saw. bersabda, “Ada tiga doa yang mustajab yang tidak diragukan lagi yaitu doa orang tua, doa orang yang bepergian (safar) dan doa orang yang terzalimi” (HR. Abu Daud nomor 1536, Ibnu Majah nomor 3862 dan Tirmidzi nomor 1905. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadis ini hasan). Al Qur’an mengabadikan, doa para Nabi yang meminta kepada Allah agar diberi keturunan yang baik. Jika para Nabi saja berdoa, meminta pertolongan kepada Allah dalam mendidik anak, apalagi kita yang sangat lemah ini. Jangan lelah untuk terus-menerus meminta dan berharap kepada Allah, agar Allah memperbaiki karakter anak-anak kita. 2. Ambil Tanggung Jawab Hendaknya orang tua mengambil tanggung jawab sepenuhnya dalam mendidik anak, karena inilah hakikat tugas utama orang tua. Pihak lain—seperti sekolah, madrasah, pesantren, hanyalah membantu orang tua dalam mendidik anak-anak. Orang tua penuh dengan keterbatasan, tidak mampu untuk mengajarkan segala hal kepada anak-anak, maka mereka memerlukan mitra untuk mendidik anak berupa guru, ustaz, sekolah, madrasah atau lembaga-lembaga pendidikan lainnya. Namun, tanggung jawab utama pendidikan anak tetap ada pada orang tua. Ada banyak hadis Nabi saw. yang dengan jelas dan tegas menyatakan hal tersebut, “Setiap manusia dilahirkan oleh ibunya di atas fitrah. Kedua orang tuanya yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi” (HR. Muslim). “Setiap anak yang lahir dilahirkan di atas fitrah hingga ia fasih (berbicara). Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi” (HR. Baihaqi dan Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jamul Kabir). “Setiap anak dilahirkan di atas fitrah. Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Sebagaimana permisalan hewan yang dilahirkan oleh hewan, apakah kalian melihat pada anaknya ada yang terpotong telinganya?” (HR. Bukhari). Dengan jelas Nabi saw. menyatakan, orang tuanya yang menyebabkan anak keluar dari fitrah itu, padahal sejak kelahirannya Allah telah menjadikan manusia berada dalam fitrah. Nabi tidak menyatakan “gurunya”, atau “sekolahnya”, atau “masyarakatnya”, atau “pemerintahnya”, atau “gadgetnya”. Namun, yang disebutkan adalah orang tua. Ini menandakan, orang tua harus mengambil tanggung jawab pendidikan anak secara sepenuhnya, walaupun secara teknis bisa meminta bantuan kepada sekolah, madrasah, pesantren, kampus, dan lain sebagainya.

3. Bangun Kebersamaan dan Kekompakan Materi Diklat #1| 343 Hendaknya orang tua memiliki sinergi yang positif dalam mendidik dan mengarahkan anak. Harus ada sinergi antara ayah dan ibu dalam proses pendidikan anak. Jangan sampai pendidikan anak diserahkan sepenuhnya kepada ibu saja, atau kepada ayah saja, padahal mereka adalah keluarga yang utuh. Tentu berbeda kondisinya dengan keluarga single parent yang memang harus mengasuh dan mendidik anak secara sendirian. Ayah harus terlibat dalam pendidikan anak, demikian pula ibu harus terlibat dalam pendidikan anak. Mendapatkan pengasuhan dari kedua orang tua secara utuh akan berpengaruh secara sangat positif terhadap perkembangan kejiwaan anak hingga dewasa kelak. Salah satu catatan penting dalam pendidikan anak dalam keluarga adalah perlunya keseimbangan antara aktivitas di dalam dan di luar rumah. Hendaknya suami dan istri pandai mengatur waktu, pandai mengelola kegiatan, pandai membagi perhatian sehingga semua tugas dan kewajiban baik di dalam rumah maupun di luar rumah bisa terlaksana secara optimal. Suami dan istri harus kompak dalam menjalankan kehidupan berumah tangga hingga pendidikan anak. Sejak dari kompak dalam visi, kompak dalam pola asuh, kompak dalam komunikasi, kompak dalam sikap dan kompak dalam aturan. 4. Jadilah Orang tua yang Kuat, Smart, Hangat, dan Bersahabat Jadilah orang tua yang kuat, smart, hangat dan bersahabat untuk mendampingi anak-anak pada era siber ini. Orang tua kuat, memiliki spiritualitas yang tinggi, memiliki visi, cita-cita dan berusaha mewujudkannya dalam keluarga. Orang tua smart, terus belajar dan menambah ilmu pengetahuan yang diperlukan untuk mendidik anak-anak. Orang tua hangat, selalu berlaku lembut, penyayang, penuh cinta kasih terhadap anak. Orang tua bersahabat, selalu berkomunikasi, mendengarkan curhat anak, mengerti keinginan anak, dan bisa mengarahkan dengan cara yang menyenangkan anak. Dengan cara seperti ini, anak akan betah bersama orang tua di rumah, sekaligus mudah untuk diarahkan dan diingatkan. Anak nyaman bersama orang tua, dan tidak memberontak atau lari dari keluarga. Tidak ada alasan bagi anak untuk menjauh atau memberontak terhadap orang tua, apabila mereka memiliki ayah ibu yang kuat, smart, hangat serta bersahabat. Tidak ada cara lain bagi ayah dan ibu agar bisa memiliki karakter tersebut kecuali dengan terus belajar dan memperbaiki diri. Ada sangat banyak sarana pembelajaran bagi ayah dan ibu untuk terus-menerus meningkatkan kapasitas diri. 5. Tanamkan Nilai Hal penting yang harus dilakukan orang tua dalam mendidik anak adalah menanamkan nilai-nilai kebenaran dan kebaikan kepada anak. Penanaman nilai ini sudah dilakukan sejak sebelum kehamilan. Islam mengajarkan adab hubungan suami istri agar jika dari hubungan itu muncul kehamilan, bisa menghindarkan janin dari godaan setan.

Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 344 Islam mengajarkan sejumlah tuntunan saat menyambut kelahiran bayi, itu semua adalah bagian utuh dari cara menanamkan nilai tauhid, nilai kebenaran, nilai kebaikan kepada anak sejak dini. Bahkan sejak mereka belum ada. Seiring pertambahan usia, anak harus mendapatkan penanaman nilai yang lebih lengkap dan lebih sempurna, sebagaimana telah dicontohkan oleh Luqman Alhakim dalam Al-Qur’an. Luqman sebagai ayah telah menanamkan keyakinan tauhid ke dalam jiwa anaknya. Luqman menanamkan keyakinan akan pengawasan Allah, sekaligus menanamkan nilai-nilai kebaikan yang akan menjadi pedoman bagi sang anak untuk menjalani kehidupan hingga akhir hayatnya. Jika anak memiliki fondasi nilai yang benar dan kuat akan menjadi modal terbesar dalam menghadapi seluruh bentuk tantangan pada berbagai keadaan dan beragam zaman. 6. Mentoring dan Monitoring Anak-anak memerlukan mentoring tentang berbagai macam hal dalam kehidupannya. Misalnya tentang teknologi, anak harus mendapatkan edukasi tentang penggunaan internet dan gadget secara positif. Ada tutorial atau mentoring tentang cara pemanfaatan internet, mentoring tentang rambu-rambu boleh serta tidak boleh sehingga anak sejak awal sudah mengerti batasan. Kadang orang tua sekadar memberikan segala sesuatu yang diinginkan anak tanpa mentoring. Misalnya membelikan HP, gadget, tablet, laptop, sarana game online dan akses internet tanpa batas kepada anak, tetapi tidak diawali dengan mentoring tentang cara pemanfaatannya secara positif. Dampaknya anak berpesta pora dengan semua fasilitas yang diberikan orang tua tersebut tanpa mengetahui batasan yang semestinya mengikat dirinya. Selain mentoring untuk memberikan pengajaran, juga diperlukan monitoring. Hendaknya orang tua berusaha memonitor anak dalam penggunaan teknologi, jangan sampai kecanduan atau menggunakan untuk hal yang tidak sejalan dengan kebaikan. Orang tua perlu memonitor sahabat-sahabat dekat anak baik yang offline maupun online. Orang tua perlu memonitor lingkungan permainan, lingkungan pergaulan anak, sehingga menjadi tahu apakah anak berada dalam koridor kebenaran dan kebaikan ataukah sudah menyimpang dan bahkan terjerumus ke dalam kejahatan. Sangat berbahaya jika anak lepas kontrol, tanpa monitoring dari orang tua. 7. Terapkan Aturan dalam Rumah Tangga Hidup berumah tangga sering disamakan dengan sebuah lembaga. Namun, keluarga bercorak sangat khas, tidak sama dengan lembaga pada umumnya karena tidak ada jam buka dan jam tutup. Di dalam keluarga ada pemimpin, ada yang dipimpin, yang berinteraksi sepanjang waktu. Oleh karena kehidupan keluarga banyak memiliki kemiripan dengan lembaga pada umumnya, pasti memerlukan aturan agar semua bisa berjalan sebagaimana semestinya. Ada hal-hal prinsip yang mengikat semua anggota keluarga, karena sudah inhern dengan keberadaannya sebagai makhluk Allah. Sebagai bangsa yang dikenal religius, sudah seharusnya kita menjadikan tuntunan dan pemahaman


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook