Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Materi Diklat1 Family Strengthening YBM BRILiaN 2023

Materi Diklat1 Family Strengthening YBM BRILiaN 2023

Published by sujono bms, 2023-07-10 03:36:45

Description: Materi Diklat1 Family Strengthening YBM BRILiaN 2023

Search

Read the Text Version

“Ketahanan keluarga berada pada ketahanan sosial budaya,” ujar Agus. Materi Diklat #1| 45 Menurutnya, elemen dasar dalam sebuah keluarga adalah adanya pemenuhan persyaratan pada kesehatan, kebugaran jasmani dan intelektual para anggota keluarga. Hubungan dalam keluarga akan dimaknai dari hubungan antar-anggota keluarga. Kemampuan memadukan kapasitas individual dari anggota keluarga menjadi sebuah kapasitas yang terintegrasi secara komprehensif dalam kesatuan hukum keluarga. Agus menegaskan bahwa pembentukan karakter seorang manusia secara individu, bukan karena pengembangan alamiah atau karena pendidikan formal, melainkan terbentuk melalui pendidikan dari keluarga, kerabat, teman, dan lingkungan sosial. Terwujudnya ketahanan nasional tidak terlepas dari peran keluarga karena keluarga merupakan pilar pertama dan utama dalam membangun bangsa dan merupakan unit terkecil yang menentukan bangsa. Keluarga memiliki peran langsung untuk mewujudkan sikap asah, asih, dan asuh, serta merupakan tumpuan untuk menumbuhkembangkan dan menyalurkan potensi setiap anggota keluarga. Sejalan dengan hal tersebut, keluarga sebagai wahana pembelajaran dan pembiasaan yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak, menjadikan keluarga sebagai satuan kelompok yang sangat rentan jika hubungan emosional antara orang tua dan anak tidak dikelola dengan baik dan tidak dijalin dalam sebuah interaktif yang positif. Pembentukan karakter individu bergantung pada karakter keluarga yang berkembang menjadi karakter suatu bangsa. Baik buruknya karakter bangsa ditentukan pada karakter keluarga yang menentukan ketahanan nasional. “Memperkuat ketahanan keluarga berarti memperkuat ketahanan nasional,” tutur Agus Widjojono. Agus menyatakan bahwa pembagian peran, fungsi, dan tugas masing-masing anggota keluarga sangat penting bagi ketahanan keluarga. Oleh karena itu, dibutuhkan kebijakan makro yang dapat membuat keluarga menjalankan peran fungsi dan tugas dengan tepat. Namun, sekuat apa pun pemerintah tidak akan mungkin bertindak sendiri dalam menghadapi masalah-masalah yang menghambat terciptanya keluarga yang sejahtera. Adalah sangat penting untuk mencurahkan perhatian terhadap pembangunan keluarga di Indonesia karena keluarga merupakan sistem mikro yang memengaruhi sistem yang lebih besar yang ada. “Ketahanan keluarga merupakan fondasi ketahanan nasional,” ungkap Agus. Menurutnya, bentuk dan corak keluarga yang membangun karakter bangsa adalah keluarga yang berkualitas dari sisi kesehatan, pengetahuan, pendidikan. Selain itu, diperkuat dengan keteraturan dan norma sosial yang tertanam di dalamnya sehingga keluarga menanamkan nilai etika sosial dengan praktik nyata dalam hubungan antar-sesama.

Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 46 Karakteristik Keluarga “Mengapa keluarga dapat dikatakan sebagai batu pertama untuk membangun negara?” demikian pertanyaan Husain Muhammad Yusuf (1992) mengawali pembahasan tentang “Posisi Keluarga dalam Negara.” “Sebab,” tulisnya, “sejauh mana keluarga dalam suatu negara memiliki kekuatan dan ditegakkan pada landasan nilai, maka sejauh itu pula negara tersebut memiliki kemuliaan dan gambaran moralitas dalam masyarakatnya.” Keluarga, dalam terminologi sosial sebagaimana dikemukakan Robert MZ. Lawang, dipahami sebagai kelompok orang-orang yang dipersatukan oleh ikatan perkawinan, darah atau adopsi; yang membentuk satu rumah tangga; yang berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain dengan melalui peran-perannya sendiri sebagai anggota keluarga; dan yang mempertahankan kebudayaan masyarakat yang berlaku umum, atau bahkan menciptakan kebudayaan sendiri. Empat karakteristik universal keluarga, tercermin dari definisi di atas. Pertama, keluarga terdiri dari orang-orang yang bersatu karena ikatan perkawinan, darah, atau adopsi. Kedua, mereka hidup bersama dalam satu rumah dan membentuk satu rumah tangga (household). Ketiga, mereka merupakan satu kesatuan yang berinteraksi dan berkomunikasi. Keempat, mempertahankan kebudayaan bersama yang sebagian besar berasal dari kebudayaan umum yang luas, atau mereka menciptakan kebudayaan sendiri. Hibbah Rauf Izzat (1997) menyatakan, keluarga adalah unit yang sangat mendasar di antara unit-unit pembangunan alam semesta. Ismail Raji Al-Faruqi bahkan menganggap keluarga merupakan infrastruktur bagi masyarakat dalam mewujudkan tujuan-tujuan konsep kekhalifahan di muka bumi. Fungsi Edukatif Keluarga William J. Goode menyebutkan tiga fungsi keluarga, yaitu fungsi reproduktif, ekonomi, dan edukatif. Sedangkan William Ogburn, selain fungsi edukatif dan ekonomi, menambahkan dengan fungsi perlindungan, rekreasi, agama, dan status pada individu. Ajaran Islam telah memberikan perhatian yang amat spesifik dalam masalah keluarga dan menempatkan keluarga sebagai batu bata kokoh dalam membangun peradaban umat. Di antara fungsi penting keluarga adalah edukatif. Dari keluarga inilah segala sesuatu tentang pendidikan bermula. Apabila salah dalam pendidikan awalnya, peluang untuk terjadi berbagai distorsi pada diri anak demikian tinggi. Demikian pula sebaliknya. Pada dasarnya, Islam telah menjadikan edukasi sebagai atensi yang dominan dalam kehidupan. Di antara bukti yang bisa diungkapkan adalah banyaknya istilah Ar-Rabb yang digunakan dalam Al-Qur’an, yang menurut Ibnu Manzhur, diturunkan dari akar yang sama dengan kata tarbiyah. Abul A’la Al-Maududi menyatakan, “Mendidik dan memberikan perhatian adalah salah satu dari makna-makna implisit kata Rabb. Al-Qurthubi berpendapat, kata Rabb dipakai untuk menggambarkan siapa saja yang melakukan pembinaan menurut cara yang sempurna. Ar-Razi membuat perbandingan antara Allah sebagai Pendidik dan manusia sebagai pendidik, menyatakan bahwa Allah sebagai Pendidik—tidak seperti

manusia—tahu betul segala kebutuhan yang dididik-Nya lantaran Dia adalah Dzat Materi Diklat #1| 47 Pencipta. “Perhatian-Nya tidak terbatas hanya pada sekelompok manusia; Allah memperhatikan dan mendidik seluruh makhluk dan karenanya kemudian digelari Rabbul Alamin,” lanjut Ar-Razi. Penulis tafsir Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil, Imam Baidhawi, menyebutkan bahwa pada dasarnya kata Ar-Rabb itu bermakna edukasi, yang artinya menyampaikan sesuatu hingga mencapai kesempurnaannya setahap demi setahap. Senada dengan itu, penulis Al-Mufradat, Ar Raghib Al-Asfahani berpendapat bahwa Ar-Rabb berarti tarbiyah yang bermakna menumbuhkan sesuatu setahap demi setahap hingga mencapai batas kesempurnaannya. Berdasarkan makna itu, Abdurrahman Al-Bani mengambil empat unsur penting dalam pendidikan. Pertama, menjaga dan memelihara fitrah objek didik. Kedua, mengembangkan bakat dan potensi objek didik sesuai kekhasan masing- masing. Ketiga, mengarahkan potensi dan bakat tersebut agar mencapai kebaikan dan kesempurnaan. Keempat, seluruh proses tersebut dilakukan secara bertahap. Peran Keluarga dalam Membangun Kualitas SDM Tak bisa disangkal lagi bahwa pendidikan bermula dari rumah, bukan dari sekolah. Bahkan, meminjam istilah Bobbi DePorter dan Mike Hernacki dalam teori quantum learning-nya, pembelajaran masa kecil di rumah adalah saat-saat yang amat menyenangkan. DePorter menyebut contoh yaitu belajar berjalan pada anak usia satu tahun. Kendati dengan tertatih dan berkali-kali jatuh, toh anak pada akhirnya mampu berjalan, tanpa merasa ada kegagalan. Suatu hal yang amat berbeda dengan pembelajaran orang dewasa. Fungsi edukatif dalam keluarga menjadi sedemikian vital untuk mempersiapkan masa depan umat. Khalid Ahmad Asy-Syantut (1991) menyebutkan, pendidikan merupakan sarana perombakan yang fundamental. “Sebab,” katanya, “ia mampu merombak jiwa manusia dari akar-akarnya.” Seluruh anggota keluarga harus mendapatkan sentuhan tarbiyah untuk menghantarkan mereka menuju optimalisasi potensi, pengembangan kepribadian, peningkatan kapasitas diri menuju batas-batas kebaikan dan kesempurnaan dalam ukuran kemanusiaan. Adapun tujuan tertinggi dari proses pendidikan, menurut Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany (1979), bisa dirumuskan dengan beberapa rumusan berikut: perwujudan diri, persiapan untuk kewarganegaraan yang baik, pertumbuhan yang menyeluruh dan terpadu, serta persiapan untuk kehidupan dunia dan akhirat. Dengan demikian, pendidikan dalam keluarga tengah menyiapkan anggotanya mencapai tujuan tertinggi tersebut atau disebut dengan ungkapan ringkas, “manusia yang baik” sebagaimana ungkapan Al-Qur’an, “Sesungguhnya orang yang terbaik di antara kalian adalah yang paling bertakwa” (QS. Al-Hujurat: 13). “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya,

Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 48 laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki- laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang menjaga kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah; Allah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar” (QS. Al- Ahzab: 35). “Muhammad itu adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah tegas terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka; kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan- Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud” (QS. Al- Fath: 29). Kapan Dimulainya Pendidikan? Glenn Doman pernah menuturkan kisah seorang ibu yang bertanya kepada ahli perkembangan anak tentang mulai kapan ia harus mulai mendidik anaknya. “Kapan anak ibu akan lahir?” tanya sang ahli. “Oh, anak saya telah berusia lima tahun sekarang,” jawab ibu. “Cepatlah ibu pulang. Anda telah menyia-nyiakan lima tahun yang paling baik dari hidup anak Anda.” Kisah di atas diangkat dari pertanyaan: kapan mulai mengajar anak membaca? Apabila kita perluas dalam bahasa pendidikan, pendidikan anak dimulai tidak saja ketika bayi telah lahir atau ketika masih dalam kandungan si ibu. Akan tetapi, prosesi pendidikan itu telah dimulai sejak seorang laki-laki memilihkan calon ibu bagi calon anak-anaknya dan ketika seorang wanita memilihkan calon bapak bagi calon anak-anaknya. Ikatan perkawinan merupakan awal mula terjadinya pendidikan dan awal mula pendirian laboratorium peradaban. Husain Muhammad Yusuf berpendapat, “Islam tidak menganggap perintah untuk melaksanakan perkawinan sebatas jalan resmi menurut hukum untuk membentuk keluarga, atau sebagai cara yang mulia untuk melahirkan anak-anak saleh, atau untuk menundukkan pandangan mata, atau untuk merendahkan gejolak nafsu, atau untuk memenuhi tuntutan biologis saja. Namun, Islam menganggap perkawinan sebagai sesuatu yang lebih agung dari masalah- masalah tersebut. Islam menganggap keluarga sebagai jalan untuk merealisasikan tujuan yang lebih luas lagi, yang mencakup seluruh sektor kehidupan masyarakat Islam. Perkawinan mempunyai pengaruh yang lebih luas dalam kehidupan orang-orang Islam dan pembentukan umat Islam,” ujar Muhammad Yusuf. Dengan demikian, pendidikan telah dimulai dari awal: pembentukan pribadi muslim yang bertemu dalam ikatan pernikahan untuk membentuk sebuah keluarga. Pendidikan tidak dimulai ketika bayi telah lahir atau ketika sudah saatnya sekolah. Sejak awal, orang tuanya telah mempersiapkan bekal yang baik bagi calon anak-anak yang diharapkan baik pula. Kendati demikian, prosesi pendidikan secara operasional baru dapat dilakukan ketika anak sudah maujud. Adnan Hasan Shalih Baharits mengemukakan bahwa pada lima tahun pertama dalam kehidupan anak, 90% pendidikan sudah dapat dilakukan secara tuntas.

Sejalan dengan itu adalah pernyataan ulama besar Ibnu Qayyim Al-Jauzi Materi Diklat #1| 49 bahwa pembinaan yang paling baik adalah pada waktu kecil. Hal ini menuntut peran orang tua sebagai pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya, sebagai suatu kewajiban besar yang tak mungkin dihindarkan. Pendidikan Integratif dalam Keluarga Di antara fungsi keluarga dalam tinjauan sosiologis, baik menurut Goode maupun Ogburn, adalah fungsi edukatif. Secara normatif, Abdullah Nasih Ulwan menyebutkan tujuh macam pendidikan integratif dalam keluarga, yaitu pendidikan iman, pendidikan moral, pendidikan fisik, pendidikan intelektual, pendidikan psikis, pendidikan sosial, dan pendidikan seksual. Ketujuh macam pendidikan tersebut harus terintegrasikan secara sistemik dalam keluarga. Hibbah Rauf Izzat menambahkan perlunya pendidikan politik dalam keluarga, sekaligus melancarkan kritik pedas terhadap wacana fikih keluarga yang cenderung mengabaikan perhatian terhadap masalah politik. Izzat mengatakan, “Sisi-sisi politik di dalam institusi keluarga tidak mendapatkan perhatian di dalam pemikiran dan fikih Islam. Tulisan-tulisan filsafat yang memberikan perhatian kepada politik kaum lelaki telah mempergunakan politik dengan makna kaidah-kaidah pergaulan antara manusia dan perilaku mereka dan berpusat pada kerangka moralitas.” “Berbagai tulisan yang membahas politik agama sama sekali tidak pernah menyebut institusi keluarga sebagai salah satu unit politik, sedangkan buku-buku fikih hanya bertumpu kepada segi-segi muamalah, hukum perkawinan dan perceraian, serta tidak menyentuh sama sekali kepada bidang-bidang yang lainnya. Begitulah institusi keluarga tetap menjadi medan kajian fikih dan akhlak, dan tidak pernah dikaji dalam kerangka politik agama,” lanjut Izzat. Pendidikan iman merupakan fondasi yang kokoh bagi seluruh bagian-bagian pendidikan. Komitmen ideologis yang tertanam pada diri setiap anggota keluarga akan memungkinkannya mengembangkan potensi fitrah dan beragam bakat. Pendidikan moral akan menjadi bingkai kehidupan manusia, setelah memiliki landasan kokoh berupa iman. Pada saat budaya masyarakat menyebabkan degradasi moral, penguatan moralitas melalui pendidikan keluarga menjadi makin signifikan kemanfaatannya. Pendidikan psikis membentuk berbagai karakter positif kejiwaan, seperti keberanian, kejujuran, kemandirian, kelembutan, sikap optimistis, dan seterusnya. Karakter ini akan menjadi daya dorong manusia melakukan hal-hal terbaik bagi urusan dunia dan akhiratnya. Pendidikan fisik tak kalah penting. Keluarga muslim harus menampakkan berbagai kekuatan, termasuk kekuatan fisik agar tubuh menjadi sehat dan kuat. Kekuatan fisik termasuk alasan yang diberikan Allah atas diangkatnya Thalut sebagai pemimpin Bani Israil, bashthatan fil ilmi wal jismi. Konsumsi fisik yang halal dan tayib harus mengarah kepada penyiapan kekuatan peradaban masa depan. Pendidikan intelektual harus dilakukan dalam keluarga sejak dini karena peradaban masa depan umat amat bergantung kepada kapasitas intelektual mereka. Anggota keluarga harus memiliki kecerdasan yang memadai sebab

Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 50 mereka harus bersaing dengan beraneka kebudayaan sebagai konsekuensi logis globalisasi informasi. Pendidikan sosial bermaksud menumbuhkan kepribadian sosial anggota keluarga agar mereka memiliki kemampuan bersosialisasi dan menebarkan kontribusi positif bagi upaya perbaikan masyarakat. Keluarga muslim tidak boleh menjadi eksklusif dengan keislamannya sebab Islamlah agama yang melarang sikap-sikap anti-sosial. Pendidikan sosial memunculkan solidaritas sosial yang pada gilirannya akan mengoptimalkan peran sosial seluruh anggota keluarga. Wanita, yang kadang tersterilkan peran sosialnya lantaran pemahaman tradisional, dalam keluarga muslim harus memiliki kontribusi yang sejalan dengan fitrahnya. Muhammad Abdul Halim Abu Syuqqah menyebutkan, wanita berperan serta dalam kegiatan sosial, politik, dan tindakan lain yang dapat dikerjakannya pada masa Rasulullah saw. Malah menurut Abu Syuqqah, peran serta dalam bermasyarakat ini tidak diikat kecuali oleh sejumlah tata cara luhur yang melindungi mereka. Pendidikan seksualitas juga diperlukan dalam keluarga muslim. Kesadaran diri sebagai laki-laki atau perempuan, penting untuk mendapatkan perhatian sejak dini agar tidak menimbulkan bias. Pengertian tentang kesehatan reproduksi bukan hanya diberikan kepada anak perempuan, tetapi juga kepada anak laki-laki. Penghormatan satu pihak dengan pihak yang lainnya—antara laki-laki dan perempuan—sehingga tidak terjadi dominasi laki-laki atas perempuan, bagian dari kesadaran gender yang mesti ditumbuhkan. Keluarga dan Negara Pendidikan politik dalam keluarga, sebagaimana disampaikan oleh Izzat, mendesak untuk mendapatkan perhatian. Ia menuliskan, “Keluarga (suami istri) atau keluarga kecil, dianggap sebagai proyek percontohan kecil umat dengan berbagai karakteristik yang dimilikinya. Hal ini tercermin dalam nilai-nilai mendasar yang menentukan sistem Islam dan pada saat yang sama dianggap sebagai tonggak Islam dan batu fondasi yang sangat penting bagi sistem ini. Barangkali konsep kepemimpinan dan konsep syura merupakan karakteristik yang paling menonjol padanya.” Sebenarnya, kajian mengenai pendidikan politik telah dimulai bersamaan dengan munculnya pandangan Plato dan Aristoteles yang mengasumsikan pendidikan anak-anak itu serupa dengan tabiat negara. Pemikir lainnya, Boden, dalam tulisan-tulisannya mengemukakan mengenai urgensi ketaatan dalam institusi keluarga sebagai dasar ketaatan terhadap institusi pemerintah. Kendati demikian, kesadaran akan adanya pendidikan politik dalam keluarga seperti ini memang belum dimiliki oleh sebagian masyarakat kita. Mereka hanya memberikan hak pendidikan politik ini kepada pemerintah dan partai politik. Pendidikan politik bisa dilakukan melalui berbagai macam media, seperti keluarga, sekolah, kelompok, dan sarana informasi. Media-media itulah yang dapat memindahkan budaya politik suatu masyarakat kepada generasi lainnya, yang dalam hal ini satu konsep berkaitan dengan konsep-konsep lainnya seperti syariat, identitas, kepemimpinan, dan kewarganegaraan.

Semua itu, menurut Ahmad Jamal Zhahir dalam bukunya At Tansyi’ah Al- Materi Diklat #1| 51 Ijtima’iyah wa As Siyasiyyah fil Alam Al-Arabi, ditujukan untuk mewujudkan stabilitas dalam hubungan antara rakyat dengan negara. Praktik pendidikan politik dalam institusi keluarga dapat berlangsung dengan baik apabila didukung oleh berbagai perangkat dan mekanisme. Menurut Izzat, yang paling penting, pertama hierarki kekuasaan dalam institusi keluarga, kedua suasana keluarga, dan ketiga bahasa, konsep, serta simbol-simbol. Hierarki kekuasaan dalam keluarga merupakan cara pendidikan politik karena institusi keluarga merupakan negara mini bagi anak-anak. Bagi Dean Jaros dalam bukunya Socialization to Politics, pengetahuan anak-anak tentang kekuasaan yang ada dalam institusi keluarga merupakan awal pengetahuannya terhadap kekuasaan di dalam negara dan kedudukannya di dalam negara. Sumbangan besar dari hierarki dalam keluarga beserta segala implikasinya dalam konteks pendidikan keluarga, bisa dilihat dari beberapa tema berikut. Konsep kepemimpinan (al-qiwamah), ketaatan dalam kebaikan, serta konsep syura. Keluarga harus memiliki kepemimpinan yang jelas, dan untuk itu Allah menunjuk laki-laki sebagai pemimpin (al-qawwam) dalam rumah tangga. Perkataan al-qiwamah (kepemimpinan) ini muncul tiga kali dalam Al-Qur’an, yaitu • “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita” (An Nisa’: 34). • “Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah…” (An Nisa’: 135). • “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan keadilan karena Allah” (Al-Maidah : 8). Dengan demikian, kepemimpinan mengharuskan sikap adil terhadap yang dipimpinnya. Agar bisa berlaku adil dalam memimpin sehingga kepemimpinannya layak ditaati, diperlukan prinsip syura. Dalam keluarga, Islam menuntunkan umatnya untuk membina kehidupan di atas prinsip syura. “Oleh karena itulah,” kata Yusuf Qardhawi, “nash-nash syariat menolak adanya paksaan seorang ayah untuk menikahkan putrinya tanpa meminta pendapatnya, walaupun putri itu masih gadis. Sebaliknya, Islam mewajibkan agar anak gadis itu dimintai izin, meskipun ia merasa malu, maka keizinannya adalah diamnya.” Rasul saw. memerintahkan kepada wali pihak wanita (yaitu ayah) untuk bermusyawarah dengan ibu wanita tersebut dalam urusan pernikahannya, yaitu suami melakukan musyawarah dengan istrinya untuk menikahkan anak gadisnya, sebagaimana hadis berikut. “Bermusyawarahlah dengan kaum wanita (istri-istri kalian) dalam urusan anak-anaknya” (HR. Imam Ahmad). Al-Qur’an menyebutkan pentingnya syura dan saling rida antara suami dan istri dalam kaitannya dengan menyusui anak dan menyapihnya, meski setelah cerai di antara keduanya sekalipun. “Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya” (QS. Al- Baqarah: 233). Suasana keluarga juga memegang peranan penting dalam pendidikan politik. Cinta, kasih sayang, dan kemesraan hubungan yang diperoleh anak-anak dalam

Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 52 keluarga merupakan sesuatu yang dapat mencetak jiwa dan perilaku sosial serta politik mereka. Kajian yang dilakukan oleh Kenneth P. Langton dan M. Kent Jennings untuk masyarakat Barat memberikan petunjuk bahwa ketika anak kecil dihadapkan kepada pemilihan afiliasi partai politik kedua orang tuanya, ia akan cenderung kepada orientasi ibunya. Ini dianggap sebagai pengaruh ibu dalam pembinaan orientasi politik individu. Langton juga menunjukkan hasil kajian yang lain, adanya pengaruh ayah terhadap perilaku politik anak-anaknya sebagai pemain politik dalam masyarakat. Izzat mengungkapkan bahwa simbol-simbol politik bukanlah simbol-simbol yang berkaitan dengan kekuasaan dan negara saja, melainkan semua simbol budaya memiliki muatan makna politik. Bahkan, sesungguhnya simbol-simbol itu sifatnya tidak langsung, tetapi terkadang lebih besar dan lebih dalam pengaruhnya dalam membentuk kesadaran politik anak-anak daripada simbol- simbol yang langsung. Dalam hal ini institusi sosial khususnya keluarga, lebih efektif dibandingkan dengan institusi-institusi politik pada umumnya. Contoh simbol-simbol yang memiliki indikasi pendidikan politik banyak sekali dijumpai dalam keluarga. Simbol ini bisa terkandung dalam kisah kanak-kanak sebagai tokoh sentral atau pahlawan, atau nilai-nilai yang terkandung dalam kisah kepahlawanan pada umumnya. Permainan senjata pada anak-anak bisa menghantarkan pada nilai perjuangan dan patriotisme. Bahkan nama anak itu sendiri bisa mencerminkan suatu simbolisasi politik yang diambil dari nama tokoh- tokoh dalam sejarah. Pendidikan integratif yang terjadi dalam keluarga akan menghasilkan produk yang berkualitas, sebagai bahan baku meretas peradaban baru. Perubahan sosial, budaya, dan politik dari masyarakat senantiasa beranjak dari perubahan individu, sebagaimana justifikasi Qur’an. “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” (QS. Ar Ra’du: 11). Maa bi anfusihim, apa yang ada pada diri mereka sendiri adalah faktor kejiwaan masyarakat. Tentu saja pembinaan kepribadian ini harus dimulai dari rumah. “Atas dasar ini,” kata Hibbah Rauf Izzat, “perhatian pandangan Islam memulai perubahan dari institusi keluarga, kemudian melangkah kepada kelompok, dan akhirnya menjangkau umat untuk menciptakan kemajuan kepada Islam.” Tak bisa disangsikan lagi bahwa keluarga merupakan laboratorium bagi sebuah peradaban yang dicitakan. Model Pendidikan Keluarga Di depan telah diuraikan secara ringkas bahwa pendidikan dalam keluarga bersifat integratif, yaitu ketika segala aspek potensi kemanusiaan mesti teberdayakan. Paulo Freire mengembangkan wacana pendidikan yang humanis, ungkapan antagonistik dari sistem pendidikan dominasi dan dehumanisasi. Dalam pandangan Freire, salah satu perbedaan utama antara pendidikan sebagai sebuah kewajiban humanis dan liberal di satu sisi—dengan dominasi dan dehumanisasi di sisi yang lain—adalah bahwa dehumanisasi merupakan proses

transformasi ilmu pengetahuan, sedangkan humanisasi merupakan proses Materi Diklat #1| 53 pemberdayaan masyarakat melalui ilmu pengetahuan. Dalam hubungannya dengan kesadaran manusia dan dunia, menurut Freire, pendidikan yang dilihat sebagai bentuk dominasi menganggap kesadaran manusia semata-mata merupakan wadah kosong yang harus diisi; sedangkan pendidikan sebagai sebuah proses pembebasan dan humanisasi memandang bahwa kesadaran itu sebagai suatu hasrat (intention) terhadap dunia. Selanjutnya Freire menambahkan, “Dengan mengasumsikan pendidikan sebagai proses dominasi, orang yang menguasai ilmu pengetahuan justru meniadakan prinsip kesadaran aktif. Pendidikan ini menjalankan praktik-praktik yang digunakan orang untuk “menjinakkan” kesadaran manusia, mentransformasikannya ke dalam sebuah wadah kosong. Pendidikan budaya dalam dominasi ini diarahkan pada situasi ketika guru merupakan satu-satunya orang yang mengetahui dan mengajarkan ilmu pengetahuan kepada peserta didik sebagai orang yang tidak tahu apa-apa.” Dalam wacana pendidikan keluarga, yang terjadi haruslah sebuah pemberdayaan yang aktif. Kendati ada kekuatan dominasi karena otoritas kepemimpinan laki-laki (suami) dalam rumah tangga, tidak boleh mengarah kepada prosesi pendidikan yang melakukan praktik dehumanisasi. Di rumah tak sekadar terjadi transformasi pengetahuan secara sepihak dan searah dari suami kepada istri dan anak-anak. Akan tetapi, terjadi proses pembelajaran bersama sebagai wujud kesadaran kosmopolis manusia terhadap alam. Dalam bahasa Freire, pendidikan dan aksi budaya yang membebaskan, “merupakan proses yang otentik untuk mencari ilmu pengetahuan guna memenuhi hasrat keinginan peserta didik dan guru dengan kesadaran untuk menciptakan ilmu pengetahuan baru.” Interaksi yang terjadi dalam keluarga tidak boleh terkungkung hanya kepada upaya untuk menghafalkan teori-teori, atau mengumpulkan konsep-konsep, kendatipun tentang kebenaran, akan tetapi harus sampai kepada dataran pencarian-pencarian makna serta hakikat yang lebih mendalam untuk mendapatkan kebaruan. Pendidikan dalam keluarga juga tidak cukup sebatas upaya preventif terhadap munculnya ketidakbaikan. Eksplorasi optimal terhadap potensi-potensi kebaikan harus dimunculkan secara seimbang dalam keluarga. Model pendidikan dalam keluarga ditentukan oleh banyak faktor, di antaranya adalah landasan keyakinan keluarga, model interaksi dan komunikasi yang dibangun di dalamnya, juga lingkungan sosial, politik serta budaya yang melingkupi keluarga tersebut. Bagi keluarga muslim, landasan ideologis mereka amat kokoh, yaitu Islam, sehingga menggampangkan untuk merunut model pendidikan yang diinginkan. Tatkala keluarga memiliki keterikatan yang kuat dengan keyakinan hidup materialisme, model-model pendidikan yang ada di dalamnya juga bersifat material sentris. Artinya, model pendidikan yang terjadi tak bisa dipisahkan dari keyakinan primordial keluarga tersebut. Model interaksi yang dibangun dalam keluarga amat menentukan model pendidikan yang terjadi di dalamnya. Allah memerintahkan Rasul saw. dalam

Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 54 surah Al-Hijr ayat 88 agar bersikap rendah hati dalam berkomunikasi dengan pengikutnya. Ungkapan wahfidz janahaka dalam ayat tersebut dipahami oleh Al-Qurthubi sebagai keintiman hubungan Rasul dan para sahabat, yang pada awalnya digunakan untuk mendeskripsikan burung-burung yang menyelimuti anak-anak mereka dengan sayapnya. Keluarga hendaknya memiliki hubungan yang akrab dan intim satu dengan yang lain karena akan memudahkan untuk proses pencerapan nilai-nilai. “Akan tetapi, keintiman hubungan saja tidak cukup,” kata Abdurrahman Shalih Abdullah. “Diperlukan perangkat lainnya berupa metode, pertimbangan waktu, dan kondisi.” Prinsip ini dianggap sesuai dengan makna hadis Nabi saw. dari Ibnu Mas’ud, “Nabi saw. biasa mengajari kami dengan memilih hari (waktu) yang tepat sehingga kami tidak merasa bosan” (HR. Bukhari). Segala sisi yang memungkinkan hasil pendidikan menjadi lebih baik, perlu mendapat perhatian dalam keluarga. Akan tetapi, model yang dipilih tentu yang akan membawa anggota keluarga menuju nilai kebaikan optimal mereka. Sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad Quthb bahwa metodologi Islam dalam melakukan pendidikan adalah dengan melakukan pendekatan yang menyeluruh terhadap wujud manusia. Tidak ada yang tertinggal dan terabaikan sedikit pun, baik jasmani maupun rohani, baik kehidupannya secara fisik maupun kehidupan secara mental, serta segala kegiatannya di bumi ini. Bukan model pendidikan yang akan mematikan potensi dan memandulkan bakat mereka sebagaimana digambarkan Freire sebagai proses dehumanisasi. Muhammad Quthb menggambarkan proses pendidikan dalam Islam seperti menggesek biola. “Ia menganalisis fitrah manusia itu secara cermat, lalu menggesek seluruh senar dan seluruh nada yang dimiliki oleh senar-senar itu, kemudian menggubahnya menjadi suara yang merdu.” “Di samping itu, ia juga menggesek senar-senar secara menyeluruh, bukan satu demi satu yang akan menimbulkan suara sumbang dan tak serasi. Tidak pula menggeseknya hanya sebagian dan mengabaikan bagian yang lain, yang menyebabkan irama tidak sempurna, tidak mengungkapkan irama yang indah sampai ke tingkat gubahan yang paling mengesankan,” lanjutnya.

Peran Motivator dalam Menguatkan Materi Diklat #1| 55 Ketahanan Keluarga Tujuan Pembelajaran Umum: Membangun pemahaman dan penghayatan peran motivator ketahanan keluarga dalam meningkatkan kualitas hidup keluarga sehingga memiliki kesadaran akan pentingnya keberadaanya sebagai salah satu sumber mempelajari ilmu, sikap positif dan konstruktif, serta keterampilan membina ketahanan keluarga di tengah masyarakat. Tujuan Pembelajaran Khusus: 1. Peserta pendampingan memahami urgensi program edukasi keluarga dan peran motivator ketahanan keluarga di dalamnya. 2. Peserta pendampingan memahami peran dan tugas motivator ketahanan keluarga. 3. Peserta pendampingan memahami pentingnya meningkatkan kebahagiaan keluarga. 4. Peserta pendampingan membangun kesadaran pentingnya belajar sepanjang hayat secara mandiri atau mengikuti program edukasi keluarga agar menjadi keluarga yang berkualitas. Alternatif Kegiatan Pembelajaran: 1. Pendamping memantik dengan cara menyampaikan isu terkini atau contoh penanganan kasus tentang problem keluarga, baik lingkup lokal di lingkungan sekitar maupun nasional, bahkan global. 2. Peserta menyampaikan cerita tentang bagaimana selama ini menyampaikan keluhan dan mencari solusi dari problem keluarganya. 3. Peserta mendapat penjelasan tentang peran motivator ketahanan keluarga 4. Pendamping memberikan informasi dan cara mengakses SDM motivator, penyuluh, konselor, atau konsultan ketahananan keluarga di wilayah terdekat. Uraian Materi: Salah satu pilar dalam membangun ketahanan keluarga adalah program pendampingan keluarga. Program ini bertujuan membantu masyarakat untuk menguatkan ketahanan keluarga mereka. Hal ini sangat relevan dengan semangat bangsa Indonesia untuk mewujudkan keluarga yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia dan berbudi luhur, sehat, sejahtera, maju dan mandiri, menjunjung kesetaraan dan keadilan gender serta kesadaran hukum dan lingkungan.

Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 56 Ketika melakukan pendampingan keluarga, modal pertama yang harus dimiliki adalah adanya sumber daya manusia yang bertanggung jawab atasnya. Sumber daya dimaksud adalah para edukator dan motivator ketahanan keluarga. Seperti yang sudah dituliskan sebelumnya, pendampingan keluarga adalah bantuan yang diberikan oleh seorang motivator ketahanan keluarga, kepada seseorang atau sekelompok orang untuk a. memberikan dasar-dasar pemahaman mengenai pembentukan keluarga; b. menyegarkan (refresh) kehidupan berumah tangga agar bisa harmonis, sejahtera, dan bahagia; c. memotivasi masyarakat untuk menjaga keutuhan dan keharmonisan keluarga; dan d. mengatasi problem yang dihadapi dalam kehidupan berumah tangga dengan maksud agar seseorang atau sekelompok orang tersebut mengerti lebih jelas tentang pembentukan keluarga yang sejahtera dan bahagia, termotivasi untuk menjaga keutuhan dan keharmonisan keluarga, mengerti problem keluarga serta mampu memecahkan problem sesuai dengan kemampuannya, dengan mempelajari saran-saran yang diterima dari motivator. Pendampingan bersifat berkelanjutan, dan merupakan sebuah interaksi yang bersifat dinamis. Peran dan Tugas Motivator Ketahanan Keluarga Ada sangat banyak peran yang bisa dilakukan oleh para motivator dalam menguatkan ketahanan keluarga, di antaranya, • menjalankan fungsi edukasi dan penyuluhan tentang ketahanan keluarga; • memberikan bimbingan pra-nikah dan kehidupan keluarga; • melakukan pembinaan kebahagiaan hidup berumah tangga; dan • melakukan pembinaan di sepanjang rentang kehidupan. Sesungguhnya pernikahan dan kehidupan keluarga dengan segala pernik- perniknya, sudah cukup untuk menjadi satu sekolah tinggi tersendiri, atau satu fakultas tersendiri dalam sebuah universitas. Hal ini karena sedemikian kompleks kehidupan berumah tangga dengan segala persoalan dan seluk-beluknya. Idealnya, sebelum menjalani pernikahan setiap pemuda sudah mendapatkan pembekalan yang memadai tentang hal ihwal kehidupan berumah tangga. Tatkala membahas pembentukan sebuah keluarga, sangat banyak ilmu diperlukan di dalamnya. Sejak ilmu agama, ilmu psikologi, ilmu komunikasi, ilmu ekonomi, manajemen, sosial, politik, seni, budaya, bahasa, pedagogik, kesehatan, reproduksi, lingkungan, sanitasi, gizi, sejarah, hukum, teknologi, olah raga, tata rias, tata boga, tata busana, bahkan ilmu pertanian, biologi, kimia, fisika, matematika, dan lain sebagainya. Bukan hanya itu, pada dasarnya berbagai ilmu dalam rangka untuk mengokohkan ketahanan keluarga, diperlukan untuk dipahami dan dipraktikkan oleh semua anggota keluarga dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, berbicara rumah tangga dan keluarga tidak ada habisnya. Aneka persoalan hidup berumah tangga sangat dinamis dan sangat banyak dimensinya, yang memerlukan tinjauan akademis dari berbagai sisi.

Bentuk edukasi dan penyuluhan bisa diwujudkan dalam bentuk pengajian, Materi Diklat #1| 57 majelis taklim, diskusi terbuka, kajian intensif, obrolan ringan, pelatihan, dan lain sebagainya. Pesertanya untuk mereka yang belum menikah atau akan menikah, dengan tujuan memberikan bekal-bekal pengetahuan tentang tata cara menikah dan membentuk keluarga sakinah. Upgrading Kebahagiaan Berkeluarga Kendati sudah mengetahui dan menguasai berbagai ilmu yang diperlukan untuk membentuk keluarga yang kokoh, harmonis, dan bahagia, manusia memerlukan dorongan motivasi untuk tetap terjaga dalam kebaikan. Manusia memiliki jiwa yang dinamis sehingga mudah mengalami fluktuasi kondisi. Kadang bersemangat, kadang lemah. Kadang memiliki tekad menyala, kadang tampak seperti orang putus asa. Kadang tampak tertata, kadang mengalir apa adanya. Oleh karena itu, untuk membuat semua anggota keluarga—terutama suami dan istri—selalu berada dalam koridor kebaikan, mereka memerlukan dorongan motivatif. Mengikuti forum pembelajaran menjadi penting bagi pasangan suami istri agar selalu termotivasi melakukan aktivitas untuk pengokohan dan pengharmonisan keluarga. Usai mengikuti forum pembelajaran, muncullah dorongan semangat dan motivasi dalam diri untuk melakukan hal terbaik bagi keluarga. Muncul keinginan untuk melakukan kebaikan dan meninggalkan berbagai keburukan demi keutuhan dan keharmonisan keluarga. Namun, seiring berjalannya waktu, motivasi itu pun bisa kembali melemah sehingga akhirnya kembali seperti keadaan semula. Maka, motivasi ini diperlukan secara periodik agar suami dan istri mendapat penyegaran secara rutin. Tidak ada keluarga yang tidak memiliki masalah. Semua keluarga pasti memiliki masalah. Yang membedakan antara satu keluarga dengan keluarga lainnya adalah bagaimana mereka mengelola dan keluar dari setiap masalah yang datang. Dengan demikian, semua pasangan suami istri berhajat atas peningkatan kemampuan untuk menghadapi dan menyelesaikan masalah hidup berumah tangga yang pasti datang di setiap perjalanan waktu. Semua keluarga memerlukan kemampuan dan ketahanan dalam menghadapi masalah, memerlukan keterampilan menyelesaikan masalah, memerlukan ilmu dan pengetahuan yang memadai untuk menyikapi masalah secara tepat. Kadang masalah menjadi makin membesar, padahal hanya bermula dari hal kecil dan sepele karena ketidaktahuan atau tidak dimilikinya keterampilan dalam menghadapi serta menyelesaikannya. Lebih-lebih lagi, kondisi keluarga itu bisa diibaratkan sebagai organisme hidup. Suami, istri dan anak-anak tumbuh setiap hari. Selalu ada yang berubah setiap saat, selalu ada yang baru dan berkembang dari semua anggota keluarga. Oleh karena semua mengalami pertumbuhan dan perkembangan, corak interaksi di antara mereka juga selalu mengalami perubahan. Suami dan istri tidak pernah selesai saling mengenal karena hal yang sudah dikenal pada suatu waktu, sudah berubah lagi pada waktu berikutnya. Begitulah setiap hari kondisi rumah tangga. Selalu ada yang baru, selalu ada yang berubah.

Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 58 Pembelajaran selalu diperlukan setiap saat oleh pasangan suami istri. Keluarga adalah laboratorium hidup, laboratorium bernyawa yang tidak pernah selesai kita mempelajarinya, justru karena selalu ada hal baru di dalamnya. Maka, semua orang memerlukan pengingatan, motivasi dan upgrading untuk membina keluarganya. Ciri-Ciri Keluarga yang Kuat Sudah banyak konsep diajukan para ahli terkait kekuatan keluarga, sifat keluarga, serta fungsi keluarga. Setiap model yang mereka ajukan adalah unik (Stinnett dan DeFrain 1985). Meskipun konsep tentang model keluarga berasal dari riset terhadap keluarga nyata di seluruh dunia, bagaimanapun model adalah konstruksi subjektif berdasarkan persepsi peneliti dan anggota keluarga. Kesamaan di antara model kekuatan keluarga lebih jelas daripada perbedaannya (Olson dan DeFrain 2000). Para peneliti di seluruh dunia telah menemukan berbagai kesamaan terkait keluarga dalam budaya yang berbeda. Pada keluarga yang kuat, cenderung memiliki sejumlah kualitas atau sifat yang sama (DeFrain dan Lepard 1994). John Defrain dan tim mengemukakan ciri-ciri keluarga yang kuat (strong family), yaitu sebagai berikut. 1. Adanya Kesejahteraan Spiritual dalam Keluarga Penelitian yang dilakukan oleh Stinnet dan Defrain menyimpulkan bahwa keluarga yang tidak ditopang dengan nilai-nilai spiritual, mempunyai risiko empat kali lipat untuk tidak menjadi keluarga bahagia. Bahkan berakhir dengan broken home, perceraian, hilangnya kesetiaan, kecanduan alkohol, dan lain sebagainya. 2. Memiliki Waktu Berkualitas untuk Keluarga Kebersamaan ini bisa diisi dengan berbagai agenda, baik bersifat serius, maupun ringan dan santai. Suasana kebersamaan diciptakan untuk maintenance (pemeliharaan) keluarga. Ada kalanya suami meluangkan waktu hanya untuk sang istri tanpa kehadiran anak-anak. Interaksi sesama anggota keluarga harus menciptakan hubungan yang baik antar-anggota keluarga, serta berkualitas. 3. Menciptakan Apresiasi dan Afeksi Sesama Anggota Keluarga Dalam kehidupan keluarga, hendaknya dibangun sikap saling menghargai. Seorang anak bisa menghargai orang tua. Begitu juga orang tua menghargai anak-anaknya. Seorang istri menghargai suami dan sebaliknya suami menghargai istri. Ada apresiasi dan afeksi antara satu dengan yang lainnya. 4. Menguatkan Komitmen terhadap Keluarga Komitmen terhadap keluarga ditunjukkan dengan menjaga kesakralan lembaga keluarga, serta kesetiaan terhadap semua anggota keluarga. Jika memahami keluarga adalah hal yang sakral, seseorang tidak akan pernah meremehkan nilai dan fungsi keluarga. 5. Mampu Membangun Komunikasi Positif Keluarga yang kuat mampu membangun komunikasi positif antara satu anggota dengan yang lainnya. Dimulai dari komunikasi suami istri yang saling mendekat dan hangat, komunikasi orang tua dengan anak yang sehat dan bersahabat, serta komunikasi antar-anak yang mendekatkan.

6. Menghadapi Krisis secara Efektif Rumah tangga harus dipertahankan sekuat mungkin. Apabila muncul persoalan yang rumit, apalagi sampai menimbulkan suasana krisis, keluarga memiliki kemampuan untuk mengelola krisis dengan efektif. Itulah ciri-ciri keluarga kuat, yang bisa menjadi tolok bagi para motivator keluarga untuk mendampingi keterwujudannya pada masyarakat binaan. Materi Diklat #1| 59

Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 60

Materi Pernikahan Materi Diklat #1| 61

Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 62 Memahami Pernikahan dalam Perspektif Hukum Islam Tujuan Pembelajaran Umum: Membangun pemahaman dan penghayatan dan menghayati indahnya hukum- hukum pernikahan dalam Islam, menerima bahwa hukum pernikahan dalam Islam adalah yang terbaik, serta berusaha menerapkannya di lingkungan keluarga yang sejalan dengan tata hukum negara Republik Indonesia. Tujuan Pembelajaran Khusus: 1. Peserta meyakini bahwa pernikahan dalam perspektif hukum Islam adalah yang terbaik dan solusi utama dari berbagai problematika kehidupan keluarga di Indonesia. 2. Peserta memahami kedudukan KHI dalam tata hukum Negara Republik Indonesia. 3. Peserta memahami pengertian pernikahan secara syari dan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) 4. Peserta memahami kedudukan pernikahan dan keluarga dalam ajaran Islam dan implementasinya dalam KHI. 5. Peserta memahami tata cara pernikahan dalam Islam dan sesuai dengan KHI. 6. Peserta mematuhi dengan menerapkan tata cara pernikahan menurut ajaran Islam dan sesuai dengan KHI. Alternatif Kegiatan Pembelajaran: 1. Pendamping mengisahkan contoh-contoh pernikahan pada zaman para sahabat Nabi. 2. Pendamping mengajak peserta studi kasus contoh-contoh proses pernikahan yang tidak sesuai dengan cara Islam dan dampak negatifnya. 3. Peserta mendapat penjelasan kemudahan dan mulianya, serta nilai sakralnya proses pernikahan dengan tata cara Islam 4. Pendamping mengajak diskusi tentang solusi dari dampak negatif proses pernikahan yang tidak sesuai dengan cara Islam. 5. Pendamping dapat juga menggunakan games bermain peran (role play) proses taaruf, khitbah, akad nikah, dan lain sebagainya. Uraian Materi: Pendahuluan Ketika membahas fikih munakahat atau tata cara pernikahan menurut syariat Islam, kita akan menemukan sangat banyak khazanah pendapat fikih dari berbagai madzahib. Hal ini tentu bisa membingungkan, terutama bagi kalangan

masyarakat yang tidak memiliki fondasi pemahaman yang memadai tentang Materi Diklat #1| 63 syariat. Maka, untuk mempermudah pembahasan, kita akan banyak menggunakan rujukan Kompilasi Hukum Islam atau disingkat KHI, dalam menyajikan tata cara pernikahan. Hal ini untuk menghindari rumitnya pembahasan karena sangat banyak aspek ikhtilaf (perbedaan pendapat) dalam berbagai sisi fikih, yang ada dalam kitab-kitab fikih berbagai mazhab. Kompilasi Hukum Islam terbentuk dengan cara menghimpun dan menyeleksi berbagai pendapat fikih mengenai persoalan kewarisan, perkawinan, dan perwakafan dari kitab-kitab fikih. Kompilasi Hukum Islam disahkan melalui Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991. KHI mempunyai kedudukan yang penting dalam tata hukum Indonesia karena merupakan sebuah produk hukum dari proses politik sekaligus satu-satunya hukum materiil Islam yang memperoleh legitimasi politik dan yuridis Negara. KHI juga bisa dipandang sebagai fikih Indonesia. Pengertian Nikah secara Syari Secara bahasa, kata nikah (bahasa Arab: an-nikah) bermakna himpunan atau kesatuan, yaitu berhimpunnya sesuatu dengan yang lainnya. Ada pendapat dari Al-Azhari yang menyebutkan bahwa kata nikah dalam bahasa Arab berarti jimak (hubungan suami istri). Orang yang bersuami atau beristri dinamakan menikah karena apa yang dilakukannya menjadi jalan menuju praktik jimak. Al-Farisi berpendapat bahwa orang Arab membedakan secara tipis antara nikah dengan jimak. Jika dikatakan bahwa si Fulan menikah dengan Fulanah, yang dimaksud adalah akad nikah, tetapi jika dikatakan seseorang menikahi istrinya, yang dimaksud adalah jimak. Al-Qadhi Husain, misalnya, ia berpendapat bahwa makna asal dari kata nikah adalah jimak, sedangkan akad merupakan makna kiasan. Akan tetapi, Al-Qadhi Abu Thalib dan Mutawalli berpendapat sebaliknya. Mereka meyakini bahwa makna asal dari kata nikah adalah akad, sedangkan jimak adalah makna kiasan. Makna kedua inilah yang sesuai dengan pemaknaan ayat Allah, “Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (jika kamu mengawininya) maka nikahilah wanita-wanita lain yang kamu senangi, dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” (QS. An-Nisa’: 3). Pengertian Perkawinan atau Pernikahan Menurut KHI Secara bahasa, kata nikah bermakna himpunan atau kesatuan, yaitu berhimpunnya sesuatu dengan yang lainnya. Dalam KHI dinyatakan, perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah (Bab II Pasal 2 dan 3 KHI). Sedangkan definisi perkawinan menurut undang-undang ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan

Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 64 tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa (Bab I Pasal 1 UU Nomor 1 tahun 1974). Menikah Adalah Syariat yang Dibawa Nabi Perkawinan bukan saja syariat yang dibawa sejak kenabian Muhammad saw., bahkan perkawinan telah menjadi tuntunan para Nabi terdahulu, sebagaimana firman Allah, “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan.” (QS. Ar- Ra’du: 38). Nabi Adam diciptakan Allah dengan memiliki istri, sebagaimana firman-Nya, “Dan Kami berfirman, Hai Adam, diamilah oleh kamu dan istrimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik dimana saja kamu sukai” (QS. Al-Baqarah: 35). Nabi Nuh dan Luth a.s. juga memiliki istri, kendatipun dibuat percontohan dalam konteks yang tidak positif, “Allah membuat istri Nuh dan istri Luth perumpamaan bagi orang-orang kafir” (QS. At-Tahrim: 10). Demikian juga Nabi Ibrahim a.s. memiliki istri yang amat setia, sebagaimana digambarkan dalam Al-Qur’an, “Dan istrinya berdiri (di balik tirai) lalu dia tersenyum. Maka kami sampaikan kepadanya kabar gembira tentang (kelahiran) Ishak, dan dari Ishak (akan lahir putranya) Ya’kub” (QS. Hud: 71). Pernikahan juga telah dicontohkan dalam kehidupan Muhammad saw. Beliau mencontohkan kepada umatnya menikahi beberapa wanita dan menjadikan pernikahan bagian dari aplikasi keberislaman seseorang. Inilah rahmat Islam bagi semesta alam, dengan pernikahan tercegahlah kerusakan moral. Dengan pernikahan terjagalah keturunan. Dengan pernikahan, terciptalah ketenangan kehidupan. Keutamaan Nikah Islam meletakkan pernikahan sebagai bagian yang utuh dari keberagamaan seseorang, artinya dengan seseorang beragama Islam, pada saat yang sama kepadanya dikenakan aturan pernikahan. Rasulullah saw. telah bersabda, “Apabila seseorang melaksanakan pernikahan, berarti telah menyempurnakan separuh agamanya, maka hendaklah ia menjaga separuh yang lain dengan bertakwa kepada Allah” (QS. Baihaqi dari Anas bin Malik). Demikian juga pengarahan Nabi saw., “Menikah adalah sunahku, maka barangsiapa tidak suka dengan sunahku, ia bukan termasuk golonganku. Menikahlah, karena aku akan membanggakan jumlahmu yang banyak di hari akhir nanti” (HR. Ibnu Majah dari ‘Aisyah r.a.). Anas bin Malik r.a. menceritakan ada tiga kelompok orang (yang jumlahnya di bawah sepuluh) datang ke rumah-rumah para istri Nabi saw. untuk menanyakan tentang ibadah Nabi saw. Setelah mereka diberi tahu maka mereka merasa ibadah mereka sangat sedikit. Mereka berkata, “Di manakah kita ini dibandingkan dengan Nabi saw. padahal kesalahan beliau pasti diampuni baik yang terdahulu maupun yang akan datang.” Berkatalah salah seorang di antara mereka, “Saya akan salat malam terus- menerus.” Yang lain berkata, “Saya akan berpuasa sepanjang masa dan tidak

akan berbuka.” Yang lain lagi berkata, “Saya akan menjauhi wanita dan tidak akan Materi Diklat #1| 65 menikah selama-lamanya.” Rasulullah saw. datang kepada mereka sembari bersabda, “Kaliankah yang telah mengucapkan begini dan begini? Ketahuilah demi Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut di antara kamu kepada Allah dan paling takwa kepada-Nya., tetapi aku berpuasa dan aku berbuka, aku salat malam dan aku tidur, dan aku menikah dengan wanita. Maka barangsiapa yang membenci sunahku, ia bukan dari golonganku” (HR. Bukhari dan Muslim). Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “...maka barangsiapa membenci sunahku, ia bukan termasuk golonganku” yang dimaksud dengan sunah adalah jalan hidup; sedangkan jalan hidup Nabi saw. benar-benar lurus dan lapang. Beliau saw. berbuka agar kuat berpuasa, beliau tidur agar kuat melaksanakan salat malam, dan beliau menikah untuk mengendurkan syahwat, menjaga kesucian jiwa dan mengembangkan keturunan.” “Perkataan beliau falaisa minni—maka ia bukan dari golonganku—jika kebenciannya itu karena kekeliruan dalam menakwilkan, dia dimaafkan. Makna dari falaisa minni ialah tidak mengikuti jalan hidupku, dan hal ini tidak sampai menjadikannya keluar dari agama Islam. Jika dia berpaling dan berlebih-lebihan dengan itikadnya yang mengungguli amalan Nabi, maka makna dari falaisa minni itu ialah bukan dari golongan agamaku, karena itikad yang demikian itu merupakan kekafiran.” demikian penjelasan Al-Hafizh Ibnu Hajar. Alqamah bin Qais menceritakan bahwa suatu ketika ia tengah berjalan bersama Abdullah bin Mas’ud di Mina. Di tengah jalan ia bertemu dengan Utsman, kemudian berbincang-bincang. Utsman berkata kepada Abdullah bin Mas’ud, “Wahai Abu Abdurrahman, tidak maukah engkau kunikahkan dengan wanita muda agar dapat mengingatkan masa mudamu yang telah lewat?” Abdullah menjawab, “Jika kau berkata begitu, sesungguhnya Rasulullah saw. sendiri pernah bersabda, “Wahai para pemuda, barangsiapa telah mampu di antara kalian hendaklah melaksanakan pernikahan, karena ia dapat menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan (kehormatan). Barangsiapa tidak mampu hendaklah berpuasa, karena ia menjadi benteng perlindungan” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Nasa’i). Sebagian ulama kita memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud dengan “mampu” dalam hadis di atas adalah kemampuan berjimak. Akan tetapi, menilik dari tujuan pernikahan yang sangat agung, yaitu menciptakan keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah, maka kesiapan dalam bentuk kemampuan berjimak saja tentu tidaklah cukup. Allah Ta’ala telah berfirman, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa cinta kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda- tanda bagi kaum yang berpikir (QS. Ar-Rum: 21). Manusia, laki-laki maupun wanita pada kewajaran fitrahnya akan memiliki rasa suka atau tertarik pada pasangan jenis. Islam menjadikan pernikahan sebagai jalan terhormat untuk memformat kasih sayang di antara dua jenis manusia. Dengan pernikahan itu pula akan terlahir keturunan secara terhormat.

Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 66 Maka, wajar pula jika pernikahan menjadi sesuatu peristiwa yang diharapkan oleh mereka yang memiliki kesucian fitrah. “Tidak ada yang bisa dilihat (lebih indah) oleh orang-orang yang saling mencintai seperti halnya pernikahan” (HR. Al-Hakim, disahihkan dengan syarat- syarat Muslim). Rasulullah saw. bersabda kepada ‘Ukaf bin Wada’ah Al-Hilali, “Apakah engkau telah beristri wahai ‘Ukaf?” Ia menjawab, “Belum.” Rasul saw. bersabda, “Tidakkah engkau mempunyai budak perempuan?” Jawabnya, “Tidak.” Sabda beliau, “Bukankah engkau sehat lagi berkemampuan?” Jawab ‘Ukaf, “Ya, alhamdulillah.” Maka beliau bersabda, “Kalau begitu engkau termasuk teman setan. Karena engkau mungkin termasuk pendeta Nasrani, lantaran itu berarti engkau termasuk dalam golongan mereka. Atau mungkin engkau termasuk golongan kami, lantaran itu hendaklah engkau berbuat seperti yang menjadi kebiasaan kami, karena kebiasaan kami adalah beristri. Orang yang paling durhaka di antara kalian ialah yang membujang, dan orang mati yang paling hina di antara kamu ialah kematian bujangan. Sungguh celaka kamu wahai ‘Ukaf. Oleh karena itu menikahlah!” “Wahai Rasulullah, “jawab ‘Ukaf, “aku tidak akan mau menikah sebelum engkau menikahkan aku dengan orang yang engkau sukai.” “Kalau begitu, dengan nama Allah dan berkah-Nya, aku nikahkan engkau dengan Kultsum Al-Khumairi” (Riwayat Ibnu Atsir dan Ibnu Hajar). Hukum Pernikahan Hukum pernikahan tidak sama untuk setiap kondisi manusia. Para ulama menjelaskan lima hukum menikah. a. Wajib Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Para ulama membagi orang dalam perkawinan menjadi beberapa macam. Pertama orang yang sudah berkeinginan untuk menikah dan mampu membiayai kehidupan serta merasa khawatir terhadap dirinya (akan terjerumus ke dalam perbuatan tercela jika tidak menikah), maka orang ini dianjurkan (disunahkan) untuk menikah menurut semua ulama, dan dari mazhab Hanbali dalam salah satu riwayat menambahkan bahwa dia wajib menikah.” Abu Awanah Al-Isfarayani dari mazhab Syafi’iyah juga berpendapat demikian—yakni wajib—dan dia menegaskan hal ini dalam sahihnya. Al-Mashishi mengutip dalam syarah Mukhtashar Al-Juwaini dalam satu sisi, yaitu pendapat Daud dan para pengikutnya. Ibnu Hazm menegaskan wajibnya dengan mengatakan, “Dan bagi orang yang mampu melakukan hubungan biologis—jika ia mampu menikah atau mengambil budak—wajib melakukan salah satu dari keduanya. Kalau tidak dapat melakukan, hendaklah ia banyak berpuasa; sebagaimana pendapat sejumlah ulama salaf.” Sedangkan Al-Qurthubi mengatakan, “Orang yang mampu menikah yang dikhawatirkan akan membahayakan dirinya dan agama jika ia membujang, yang kekhawatiran itu tidak dapat hilang melainkan dengan menikah, maka tidak ada perselisihan lagi tentang wajib menikah baginya.”

b. Sunah Materi Diklat #1| 67 Syeikh Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnah menjelaskan, “Apabila seseorang telah memiliki keinginan menikah dan telah memiliki kemampuan tetapi masih bisa menjaga diri dengan baik, sunah baginya menikah.” c. Haram Syeikh Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnah menjelaskan, “Apabila seseorang tidak mampu memenuhi kewajiban lahir maupun batin kepada pasangannya dan nafsunya tidak mendesak, haram baginya menikah.” Al-Qurthubi berpendapat, “Bila seorang lelaki sadar tidak mampu memberikan nafkah istrinya atau membayar mahar atau memenuhi hak-hak istri, tidak boleh ia menikah sebelum dengan terus terang menjelaskan keadaan itu kepada calon istrinya atau sampai ia mampu memenuhi hak-hak istri. Begitu pula kalau karena sesuatu sebab ia menjadi lemah, tidak mampu menggauli istri, wajib baginya menjelaskan kondisi itu kepada pihak wanita agar tidak tertipu.” d. Makruh Syeikh Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnah menjelaskan, “Makruh menikah bagi seseorang yang lemah syahwat dan tidak mampu memberikan nafkah kepada istrinya, walaupun tidak merugikan istri karena ia kaya dan tidak memiliki keinginan syahwat yang kuat.” e. Mubah Syeikh Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnah menjelaskan, “Apabila seseorang tidak terdesak oleh alasan-alasan yang mewajibkannya segera menikah atau karena alasan-alasan yang mengharamkannya menikah, hukumnya mubah.” Syarat Sah Menikah • Pertama, pihak wanita halal dinikahi oleh lelaki yang akan menikahinya. Artinya, calon pengantin wanita bukan pihak yang haram dinikahi oleh calon pengantin lelaki. • Kedua, akad nikahnya dihadiri para saksi. Jumhur ulama berpendapat, pernikahan yang tidak dihadiri para saksi adalah tidak sah. Apabila saat ijab kabul tidak ada saksi yang menyaksikan, sekalipun pernikahan tersebut diumumkan secara terbuka dengan cara lain, pernikahannya tidak sah. Ketentuan tentang Umur Calon Mempelai Sebenarnya syariat Islam tidak secara spesifik memberikan batasan umur calon mempelai. Syariat hanya mensyaratkan calon mempelai adalah seorang yang akil dan balig. Namun, KHI menyatakan, untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No.1 tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun. Adapun bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun, KHI menyatakan harus mendapat izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2),(3),(4) dan (5) UU No.1 Tahun 1974.

Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 68 Rukun Nikah Menurut KHI Menurut KHI, untuk melaksanakan perkawinan harus ada: (a) calon suami (b) calon istri (c) wali nikah (d) dua orang saksi, dan (e) ijab dan kabul. Persetujuan Calon Mempelai KHI menyatakan, perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai. Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan atau isyarat;, tetapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas. KHI menyatakan, sebelum berlangsungnya perkawinan, Pegawai Pencatat Nikah menanyakan lebih dahulu persetujuan calon mempelai di hadapan dua saksi nikah. Bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon mempelai, perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan. Sedangkan bagi calon mempelai yang menderita tuna wicara atau tuna rungu, persetujuan dapat dinyatakan dengan tulisan atau isyarat yang dapat dimengerti. Saksi Pernikahan Dari Aisyah r.a., Nabi saw. bersabda, “Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil” (HR. Daruquthni). Adapun syarat menjadi saksi pernikahan adalah a. berakal sehat; b. dewasa; c. mendengarkan ucapan akad nikah; d. memahami bahwa ucapan tersebut bermaksud sebagai ijab kabul pernikahan; e. saksi harus adil. Menurut mazhab Syafi’i. Menurut Imam Hanafi tidak disyaratkan harus adil. Nikah yang disaksikan orang fasik hukumnya sah; f. saksi harus laki-laki. Menurut mazhab Syafi’i dan Hanbali. Namun, mazhab Hanafi tidak mengharuskan laki-laki. Kesaksian seorang lelaki dan dua orang perempuan tetap sah; g. orang merdeka. Menurut Abu Hanifah dan Syafi’i. Namun, Imam Ahmad menganggap sah pernikahan yang disaksikan oleh dua budak; h. Islam. Menurut Imam Ahmad dan Syafi’i. Namun, Abu Hanifah menganggap sah, apabila pernikahan itu antara lelaki muslim dan perempuan ahli kitab, dengan saksi dua orang ahli kitab. Saksi Nikah Menurut KHI KHI menyatakan, saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah. Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi. Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, akil balig, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli. KHI menyatakan, saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani Akta Nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan.

Wali dalam Pernikahan Materi Diklat #1| 69 Salah satu ajaran spesifik dalam pernikahan adalah menyangkut perwalian. Di antara rujukan untuk memahami masalah ini adalah hadis Abu Musa secara marfu’, bahwa Nabi saw. telah bersabda, “Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ahmad). Juga berdasarkan hadis ‘Aisyah yang diriwayatkan secara marfu’, “Barangsiapa di antara perempuan yang menikah tanpa seizin walinya, maka nikahnya dinyatakan batal.” Hal ini diucapkan Nabi hingga tiga kali (Riwayat Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah). ‘Aisyah berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tidak ada nikah kecuali dengan wali, dan sultan (penguasa) adalah wali bagi orang yang tidak mempunyai wali” (HR. Ahmad). Rasulullah saw. juga bersabda, “Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali dan dua orang saksi yang adil” (HR. Baihaqi). Dalam praktik kehidupan saat ini, dikenal ada pendapat yang berbeda dalam menetapkan hukum wali dalam pernikahan. Sebagian ulama mengatakan bahwa wali adalah syarat nikah, dan mereka berpendapat wanita sama sekali tidak boleh menikahkan dirinya sendiri, sebagaimana maksud hadis-hadis di atas. Ibnul Mundzir mengatakan bahwa dia tidak mengetahui seorang pun dari sahabat- sahabatnya yang memiliki pendapat yang berbeda dengan pendapat tersebut. Imam Abu Hanifah beserta murid-muridnya berpendapat lain. Mereka berpendapat bahwa perempuan berhak mengawinkan diri sendiri walaupun tanpa meminta restu ayah dan wali terlebih dahulu, asalkan calon suami sekufu dengannya. Menurut mereka, hadis-hadis di atas dinilai tidak sah. Mereka beralasan bahwa kata nikah yang disebutkan dalam Al-Qur’an selalu dinisbatkan kepada perempuan itu—dan bukan pada wali. Firman Allah Ta’ala, “Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka menikah lagi dengan bakal suaminya “ (QS. Al-Baqarah: 232). Demikian juga firman-Nya, “Hingga dia menikah dengan suami yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 230). Serta firman-Nya, “Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut” (QS. Al-Baqarah: 234). Dalam ayat-ayat di atas dan lainnya kata nikah selalu disandarkan kepada perempuan, bukan kepada wali. Bahkan wali dilarang oleh Al-Qur’an menghalangi perempuan menikah dengan lelaki yang disukai. Perkawinan itu merupakan hak perempuan sepenuhnya dan ia layak menangani pernikahan secara langsung tanpa meminta restu terlebih dahulu kepada wali. Karena itu, nikah yang dilakukan tetap dinyatakan sah. Hanya saja, Abu Hanifah mensyaratkan perempuan yang boleh mengawinkan diri sendiri, calon suami harus sekufu dengannya. Kalau ternyata calon suami tidak sekufu, wali berhak membatalkan pernikahan itu. Jika seorang wali telah memberikan restu pada perempuan untuk mengawinkan diri sendiri, tetapi dalam akad nikah wali tidak sempat hadir dalam majelis tersebut, menurut sebagian fuqaha nikahnya tetap dinyatakan sah. Sedangkan, jumhur ulama mensyaratkan wali harus hadir dalam majelis akad nikah sehingga apabila wali tidak hadir, akad nikah itu dianggap batal.

Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 70 Ibnu Qudamah menjelaskan, “Jika dalam akad nikah yang tidak dihadiri wali itu diputuskan sah oleh pihak penguasa atau yang menangani akad itu adalah pihak penguasa, akad nikah itu tidak boleh dibatalkan. Jika dalam masalah ini seorang hakim mengeluarkan pendapat tertentu yang membatalkan akad nikah tersebut karena dianggap menyalahi nash, maka pendapat pertama yang patut dipegang.” “Namun, masalah ini masih diperselisihkan di kalangan ulama yang memungkinkan seseorang berijtihad sehingga keputusan penguasa tersebut tidak boleh dibatalkan. Hukum ini berlaku sama terhadap apa yang diputuskan oleh penguasa syuf’ah (hak beli bagian rumah atau yang dipunyai oleh dua orang yang berserikat) bagi tetangga,” lanjut Ibnu Qudamah. Dr. Musthafa As Siba’i memberikan penjelasan mengenai masalah wali ini sebagai berikut, “Tradisi masyarakat kita—khususnya di desa-desa—hampir- hampir merampas kebebasan wanita di dalam memilih calon suami. Pada umumnya dia wajib menerima laki-laki yang dikehendaki bapak atau ibunya, sedangkan dia sendiri seperti gadis pingitan yang malu untuk mengutarakan pendapat.” “Demikian juga kondisi masyarakat tempat dia hidup tidak memberikan hak kepadanya untuk tidak menerima keinginan ayah atau wali. Dalam kondisi seperti ini, maka banyak perkawinan yang mengalami kegagalan dan menimbulkan penyesalan di belakang hari,” lanjut As-Siba’i. “Tata aturan seperti itu tidak memiliki sandaran sama sekali dari syariat, kecuali hasil ijtihad sebagaimana orang yang berpendapat bahwa ayah mempunyai hak memaksa terhadap anak yang masih gadis—bukan janda—untuk menikah, meskipun dianjurkan bagi ayah untuk menerima pendapat anak. Pendapat seperti itu ditentang oleh Imam Abu Hanifah dan orang-orang yang sependapat dengannya.” “Mereka—Imam Abu Hanifah dan yang sependapat—mengatakan bahwa ayah dan wali lain tidak mempunyai hak untuk meng-ijbar (memaksa) anak gadis yang sudah dewasa untuk menikah, dan wajib bagi ayah atau wali untuk mengajak musyawarah dengan anak gadis dalam pernikahannya. Jika si anak setuju, sahlah pernikahannya, jika tidak setuju, pernikahan juga tidak sah. Ayah atau wali tidak mempunyai jalan untuk menekan dan memaksa anak perempuannya untuk menikah dengan laki-laki yang tidak dikehendaki si anak gadis.” Sebaiknyalah dan selayaknya perkawinan itu dilaksanakan setelah mendapat restu dari kedua belah pihak, yaitu restu ayah, ibu dan anak putri itu sendiri. Dengan demikian perkawinan itu kelak tidak akan menimbulkan ekses negatif di kalangan keluarga dan masyarakat. Apalagi pernikahan itu disyariatkan Allah untuk mendatangkan cinta dan kasih sayang. Ketentuan Mengenai Wali Nikah Menurut KHI KHI menyatakan, wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya. Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, akil, dan balig. KHI menyatakan, wali nikah ada dua jenis, yaitu

1. Wali Nasab Materi Diklat #1| 71 Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita. Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya. Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka. Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka. Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah dan keturunan laki-laki mereka. Ketentuan terkait wali nasab menurut KHI adalah sebagai berikut. a. Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama- sama berhak menjadi wali, yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita. b. Apabila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatannya, yang paling berhak menjadi wali nikah ialah kerabat kandung dari kerabat yang seayah. c. Apabila dalam satu kelompok, derajat kekerabatannya sama yakni sama- sama derajat kandung atau sama-sama dengan kerabat seayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali. d. Apabila wali nikah yang paling berhak, urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau oleh karena wali nikah itu menderita tuna wicara, tuna rungu atau sudah uzur, hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya. 2. Wali Hakim Menurut KHI, wali hakim ialah wali nikah yang ditunjuk oleh menteri agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah. KHI menyatakan, wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya; atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan. Dalam hal wali adlal atau enggan, maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan agama tentang wali tersebut. Pelaksanaan Akad Nikah Peristiwa akad nikah sendiri secara syari sesungguhnya tuntunan dan tuntutannya sederhana, tidak rumit dan tidak menyulitkan. Pada saat pelaksanaan akad nikah hanya dituntut adanya mempelai laki-laki dan perempuan, wali perempuan, dua saksi, serta mahar. Adanya wali dari pihak perempuan menjadi tuntutan syari untuk menjadikan pernikahan menjadi lebih bertanggung jawab, kendati sebagian ulama tidak bersepakat dalam hal ini. Wali dari pihak perempuan yang berkewajiban menikahkan, dengan ungkapan pokok “Saya nikahkan kamu…” dan dijawab oleh mempelai laki-laki, “Saya terima pernikahannya…” Inilah ungkapan yang sering disebut sebagai ijab kabul. Ungkapan pertama disebut sebagai ijab, ucapan kedua disebut sebagai

Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 72 kabul. Bisa diucapkan dengan bahasa apa pun, selama memenuhi maksud ijab dan kabul dalam pernikahan. Ucapannya sederhana, akan tetapi, menggambarkan sebuah akad atau transaksi yang sangat jelas. “Saya nikahkan kamu, Ahmad bin Sulaiman, dengan anak perempuan saya, Aisyah binti Mahmud, dengan maskawin seperangkat alat salat dan sebuah buku berjudul Di Jalan Dakwah Aku Menikah, tunai.” “Saya terima pernikahan diri saya, dengan Aisyah binti Mahmud, dengan maskawin seperangkat alat salat dan sebuah buku berjudul Di Jalan Dakwah Aku Menikah, tunai.” Wali dari pihak wanita berkewajiban menikahkan anaknya, karena ialah yang selama ini bertanggung jawab atas kehidupan anak wanita tersebut. Dengan ia menikahkan dengan seorang lelaki, ia telah menyerahkan tanggung jawab kepada lelaki tersebut. Al-Hafizh Ibnu Hajar berpendapat bahwa para ulama telah berbeda pendapat tentang disyaratkannya wali dalam pernikahan, sebagaimana telah diuraikan dalam bagian terdahulu. Jumhur ulama berpendapat demikian— yaitu wali sebagai syarat nikah, dan mereka berkata, “Wanita sama sekali tidak diperbolehkan menikahkan diri sendiri.” Sebelum dilaksanakan akad nikah tersebut, disunahkan untuk disampaikan khotbah nikah yang berisi pesan-pesan kepada mempelai. Contoh khotbah nikah yang terjadi pada zaman Nabi saw. adalah sebagaimana hadis yang diriwayatkan Abu Dawud, An Nasa’i, Darimi, dan Ahmad berikut. “Segala puji hanya bagi Allah, kami memuji-Nya, memohon pertolongan serta meminta ampunan kepada-Nya. Kami berlindung kepada Allah dari kejelekan diri kami dan dari keburukan amal kami. Barangsiapa mendapat hidayah dari Allah maka tiada seorang pun dapat menyesatkannya, dan barangsiapa disesatkan oleh Allah maka tiada seorang pun dapat memberinya petunjuk. Saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, tiada sekutu bagi-Nya, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya.” “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar- benar takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam” (Ali Imran: 102). “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakanmu dari jiwa yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya, dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama- Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi.” (QS. An-Nisa: 1). “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul- Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (QS. Al- Ahzab: 70–71). Setelah ini, disampaikanlah kelanjutan khotbah yang disampaikan kepada pihak laki-laki. Di antara contoh khotbah lanjutan ini seperti yang diriwayatkan dari Umar bin Abdul Aziz, ketika Muhammad bin Walid meminang saudara

perempuannya. Ibnu Abdi Rabbihi Al-Andalusi mengutip kata-kata khotbah Umar Materi Diklat #1| 73 bin Abdul Aziz dalam pernikahan tersebut. “Puji syukur hanyalah bagi Allah yang berhak sombong, selawat dan salam semoga tercurahkan kepada Muhammad saw., Nabi akhir zaman. Sungguh keinginanmu telah mendorongmu datang kepada kami, dan keinginanmu itu mengharapkan jawaban dari kami. Seorang yang mempercayakan saudara perempuannya kepada dirimu, sudah tentu ia menaruh persangkaan baik kepadamu, dan telah menjatuhkan pilihan kepadamu dari yang selain kamu. Dan aku telah menikahkan kamu dengan dia atas dasar kitab Allah dengan syarat: dipertahankan dengan makruf, atau diceraikan dengan bijak.” Akad Nikah Menurut KHI Menurut KHI, akad nikah ialah rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali dan kabul yang diucapkan oleh mempelai pria atau wakilnya disaksikan oleh dua orang saksi. KHI memberikan ketentuan, ijab dan kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak berselang waktu. Akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang bersangkutan, tetapi wali nikah juga bisa mewakilkan kepada orang lain. Sedangkan yang berhak mengucapkan kabul ialah calon mempelai pria secara pribadi. Dalam hal-hal tertentu ucapan kabul nikah dapat diwakilkan kepada pria lain dengan ketentuan calon mempelai pria memberi kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah untuk mempelai pria. Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai pria diwakili, akad nikah tidak boleh dilangsungkan. Mahar dalam Pernikahan Mahar atau maskawin adalah pemberian wajib dari calon suami kepada perempuan yang akan dinikahi, baik berupa materi ataupun non-materi. Allah berfirman, “Dan berikanlah mahar kepada perempuan-perempuan yang kamu nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan” (QS. An-Nisa: 4). Dalam bahasa Arab, maskawin disebut sebagai al-mahr, an nihlah, Al- faridhah, ash-shadaq dan an-nikah. Para ulama telah bersepakat bahwa mahar adalah suatu hal yang disyariatkan, tetapi menyebutkan mahar bukan merupakan syarat dalam akad nikah. Seandainya akad nikah dilaksanakan tanpa menyebutkan mahar, nikahnya tetap sah dan sang suami tetap berkewajiban memberikan mahar kepada istri. Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni menjelaskan, “Sesungguhnya nikah dianggap sah tanpa menyebutkan nama mahar saat akad nikah menurut sebagian besar ulama.” Akan tetapi, Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Menyebutkan mahar saat akad nikah bermanfaat untuk menghindari perselisihan dan dapat mencegah terjadinya pertengkaran dan permusuhan.” Selanjutnya, Ibnu Taimiyah menjelaskan dalam kitab Majmu’ Al-Fatawa, “Mahar adalah salah satu rukun nikah dan menikah harus dengan mahar baik dengan ditentukan ataupun tidak. Pendapat yang mengatakan bahwa mahar bukanlah tujuan utama dari pernikahan adalah suatu pendapat yang tanpa hakikat

Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 74 dan tidak memiliki dasar. Sebab mahar adalah salah satu rukun nikah dan jika meletakkan persyaratan dalam mahar maka lebih berhak untuk dipenuhi. Sebagaimana sabda Nabi saw., “Sesungguhnya suatu syarat yang paling berhak untuk kalian penuhi adalah syarat yang dengannya dihalalkan bagi kalian untuk (menikmati) faraj wanita” (HR. Bukhari). “Harta bisa menjadi halal dengan adanya ganti,” lanjut Ibnu Taimiyah, “akan tetapi, faraj tidak dihalalkan kecuali dengan mahar. Nikah dapat sah tanpa menentukan dan menetapkan mahar, tetapi bukan berarti meniadakan mahar. Sedangkan nikah muthlaq (tanpa menyebutkan mahar), tetap mewajibkan suami memberikan mahar mitsli (mahar yang senilai dengan yang biasa diberikan kepada kerabat wanita tersebut). Yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an, As-Sunah, dan ijma para ulama adalah bahwa menikah dianggap sah tanpa menentukan mahar.” Karena mahar itu pemberian wajib dari calon suami, calon istri adalah penerima hak mahar tersebut. Dengan demikian, apa bentuk mahar yang akan diberikan dan berapa banyak hendaknya dibicarakan kedua belah pihak sehingga saling meridai dan tidak merepotkan salah satu pihak. Beberapa prinsip berikut hendaknya diperhatikan tatkala menentukan bentuk dan besarnya mahar. a. Mahar Hendaknya Sederhana Tidak ada batasan baku mengenai besarnya mahar apabila berupa materi, karena dalam nash-nash syari tidak ada dalil yang menunjukkan batas maksimal mahar. Allah Ta’ala telah berfirman, “Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali daripadanya barang sedikit pun “ (QS. An-Nisa: 20). Muhammad Shadiq Khan menjelaskan ayat di atas, “Memberikan harta yang banyak dalam ayat tersebut bukan sebagai pemberian batas maksimal mahar, melainkan sekadar ungkapan kiasan yang berarti banyak.” Jika Allah Ta’ala memaksudkan ayat ini sebagai batasan maksimal mahar sudah pasti Allah akan melarang kita melebihinya. Kendati tidak ada batas maksimal, bukan berarti boleh berlomba-lomba memperbesar mahar, sebab Islam menghendaki agar mahar ini tidak menjadi faktor pemberat yang akan menyebabkan kesulitan dalam pelaksanaan pernikahan. Rasulullah saw. telah bersabda, “Sungguh sebaik-baik kaum perempuan adalah yang paling ringan tuntutan maharnya” (HR. Ibnu Hibban dari Ibnu Abbas). Demikian pula Rasul saw. pernah bersabda, “Sebaik-baik mahar adalah yang paling ringan.” Bukannya Rasul saw. ingin meremehkan kaum perempuan dengan rendahnya mahar, tetapi beliau tidak menginginkan kesulitan dalam proses pernikahan. Semangat ini jualah yang tampak pada diri Umar bin Khaththab tatkala ia berpesan, “Janganlah berlebihan dalam memberikan mahar kepada perempuan, sebab Rasulullah saw. menikah dan menikahkan putrinya tidak lebih dari mahar 400 dirham. Seandainya meninggikan nilai mahar ada manfaat bagi kemuliaan perempuan di dunia atau menambah ketakwaannya, tentu Rasulullah saw. adalah orang yang pertama kali melakukan.”

Pernah Rasul saw. memberikan mahar 4000 dirham atau senilai dengan 400 Materi Diklat #1| 75 dinar, ketika menikah dengan Ummu Habibah. Mahar yang termasuk besar itu merupakan hadiah dari raja Najasyi yang berkuasa di Habasyah pada waktu itu, sehingga untuk ukuran seorang penguasa nilai itu tidaklah besar. Diriwayatkan oleh Urwah, dari Ummu Habibah, bahwa Rasul saw. menikahinya ketika dia berada di negeri Habasyah. Dia dinikahkan oleh An-Najasyi—raja Habasyah—dan diberikan maharnya 400 dirham, yang disiapkan oleh Najasyi. Waktu itu Najasyi mengirimkan bersama Syurahbil bin Hasanah, dan Rasulullah saw. tidak mengirimkan sesuatu pun kepadanya, sedang mahar istri-istrinya 400 dirham (Riwayat Nasa’i). Namun, dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa mahar Nabi saw. kepada istri-istrinya adalah 500 dirham. Diriwayatkan oleh Abu Salamah bin Abdurrahman bahwa dia bertanya kepada ‘Aisyah, istri Nabi saw., “Berapa besar mahar Rasulullah saw?” ‘Aisyah menjawab, “Mahar beliau kepada istri-istrinya adalah sebesar 12 uqiyah dan satu nasy. Tahukah kamu apakah satu nasy itu?” Abu Salamah menjawab, “Tidak.” ‘Aisyah menjawab, “Setengah uqiyah. Semua itu berarti 500 dirham. Maka, inilah mahar Rasulullah saw. kepada istri-istrinya” (Riwayat Muslim). Ada contoh mahar senilai 5000 dirham. Uqbah bin Amir menceritakan bahwa Nabi saw. bersabda kepada seorang laki-laki, “Maukah engkau aku nikahkan dengan Fulanah?” Dia menjawab, “Mau.” Beliau bertanya kepada si wanita, “Maukah aku nikahkan kamu dengan Fulan?” Dia menjawab, “Mau.” Kemudian beliau menikahkan keduanya, dan si laki-laki menggauli istrinya, tetapi belum menentukan mahar dan belum memberikan sesuatu. Laki-laki ini mengikuti peristiwa Hudaibiyah, sedangkan mereka yang ikut peristiwa Hudaibiyah mendapatkan bagian kebun di Khaibar. Ketika laki-laki itu hendak meninggal dunia, dia berkata, “Rasulullah saw. telah menikahkan aku dengan Fulanah, tetapi aku belum menentukan maharnya dan belum memberikan sesuatu apa pun. Sekarang aku persaksikan kepada kalian bahwa aku memberinya mahar berupa bagianku di Khaibar.” Kemudian si wanita mengambil bagian di Khaibar itu dan menjualnya dengan harga 100.000 dirham (Riwayat Abu Dawud). Ada contoh lain, mahar berupa emas sebesar biji kurma. Anas menceritakan bahwa Nabi saw. melihat pada Abdurrahman bin Auf bekas berwarna kekuningan, lalu beliau bertanya, “Apa ini?” Dia menjawab, “Saya menikah dengan seorang wanita dengan mahar emas sebesar biji kurma.” Beliau saw. bersabda, “Mudah- mudahan Allah memberi berkah kepadamu” (HR. Bukhari dan Muslim). Namun, pada sisi yang lain Rasul juga pernah menikahkan seorang lelaki fakir yang tidak memiliki harta, dengan mahar berupa hafalan Al-Qur’an. “Apakah engkau memiliki sesuatu untuk mahar?” Laki-laki itu menjawab, “Demi Allah, tidak punya wahai Rasulullah.” Beliau berkata, “Pergilah ke rumah keluargamu dan lihatlah barangkali engkau dapat memperoleh sesuatu.”

Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 76 Lalu ia pergi dan kembali lagi sambil berkata, “Tidak ada wahai Rasulullah, saya tidak mendapatkan sesuatu apa pun.” Beliau saw. bersabda lagi, “Lihatlah, walaupun hanya sebentuk cincin dari besi.” Lalu dia pergi dan kembali lagi sembari berkata, “Tidak ada wahai Rasulullah, bahkan cincin besi pun tidak ada. Hanya ini izar—pakaian untuk menutup separuh tubuh bagian bawah.” Sahl bin Sa’ad As-Sa’di berkata, “Dia tidak memiliki rida’—pakaian untuk menutup separuh tubuh bagian atas- untuk setengahnya.” Rasulullah saw. bersabda, “Apa yang akan engkau lakukan dengan izarmu? Jika engkau pakai maka dia tidak mendapatkan apa-apa, dan jika dia pakai maka kamu tidak mengenakan apa-apa.” Maka, duduklah laki-laki itu dalam waktu cukup lama. Kemudian dia pergi dan Rasulullah melihatnya, lalu menyuruh agar dia dipanggil. Setelah dia datang, beliau bertanya, “Apa yang engkau hafal dari Al-Qur’an?” Dia menjawab, “Saya hafal surah ini dan surah ini.” Sambil menghitung surah- surah itu. Rasulullah bertanya, “Apakah engkau dapat membacakan kepadanya dengan hafalan?” Dia menjawab, “Bisa.” Beliau bersabda, “Pergilah, aku telah mengawinkanmu dengannya dengan mahar ayat Al-Qur’an yang ada padamu” (HR. Bukhari dan Muslim). Ibnu Abbas menceritakan, bahwa ketika Ali menikah dengan Fatimah, Rasulullah saw. berkata kepada Ali, “Berikanlah sesuatu (mahar) kepadanya.” Ali menjawab, “Saya tidak punya apa-apa.” Beliau bertanya, “Mana baju besi huthamiyah punyamu?” Ali menjawab, “Dia ada padaku.” Sabda Nabi, “Berikanlah kepadanya” (HR. Nasa’i). Demikian juga pernah seorang wanita dari Bani Fazarah dinikahi seorang lelaki dengan mahar sepasang alas kaki. Rasulullah saw. bertanya, “Apakah engkau relakan dirimu dengan (mahar berupa) sepasang alas kaki?” Wanita itu menjawab, “Ya.” Maka, beliau saw. membolehkan mahar itu diberikan kepada wanita tersebut (HR. Tirmidzi). Pada contoh pernikahan Ummu Sulaim dengan Abu Thalhah, maharnya berupa keislaman Abu Thalhah. Dengan demikian, bagi orang-orang kaya diperbolehkan memberikan mahar setingkat dengan kekayaannya, dan orang- orang miskin memberikan mahar sesuai kemampuan dirinya. Ibnu Qayyim Al-Jauzi menyimpulkan, “Maka dengan demikian hadis-hadis ini menunjukkan bahwa tidak ada ketetapan tentang batas minimal mahar, dan sesungguhnya segenggam makanan, cincin yang terbuat dari besi dan sepasang alas kaki adalah sah untuk dijadikan mahar. Hadis-hadis tersebut juga memberikan pengertian bahwa berlebih-lebihan dalam mahar adalah makruh hukumnya di samping hal itu menunjukkan sedikitnya berkah dalam perkawinan tersebut.” Senada dengan itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menegaskan, “Barangsiapa yang dalam dirinya timbul keinginan untuk menambahkan mahar putrinya melebihi mahar yang diberikan kepada putri-putri Rasulullah saw. yang mereka

semua adalah sebaik-baik wanita dari seluruh segi karakter, maka orang tersebut Materi Diklat #1| 77 merupakan seorang bodoh yang amat bodohnya.” “Sama bodohnya,” lanjut Ibnu Taimiyah, “dengan mereka yang ingin memberikan mahar kepada istri mereka yang lebih banyak dari mahar yang diberikan Rasulullah saw. kepada istri-istri beliau yang mendapat julukan Ummahatul Mukminin. Itu pun bagi orang yang dalam keadaan mampu, maka bagi orang fakir dan miskin tidak patut baginya untuk memberikan mahar yang tidak bisa ia penuhi selain dengan bersusah payah. Yang patut baginya adalah memberikan mahar yang mudah didapati tanpa harus bersusah payah.” b. Hendaknya Mahar Memberikan Manfaat Optimal Mahar boleh berbentuk uang, barang, ataupun sesuatu yang bersifat non-materi. Mahar yang berbentuk uang ataupun barang, hendaknya dipikirkan kemanfaatannya, bukan sensasi dari adanya mahar tersebut. Mahar bisa berupa non-materi, ini pun harus dipilihkan pemberian yang memberikan kemanfaatan optimal. Apa yang dilakukan oleh Ummu Sulaim tatkala dilamar oleh Abu Thalhah yang kafir merupakan salah satu pelajaran berharga bagaimana mahar non-materi bisa memberikan kemanfaatan optimal. Ia ingin mahar pernikahannya adalah keislaman Abu Thalhah. Ungkapan Tsabit r.a. berikut menggambarkan betapa bermanfaat mahar tersebut, “Aku belum pernah mendengar seorang perempuan yang lebih mulia maharnya daripada Ummu Sulaim” (Riwayat Nasa’i, dari Tsabit). c. Mahar Tidak Boleh Diambil Kembali Setelah selesai akad nikah, apalagi ketika telah terjadi hubungan suami istri, mahar tidak boleh diminta lagi oleh pihak suami, sebab mahar adalah milik atau hak mutlak istri. Kecuali ketika sang istri merelakan sebagian atau seluruh mahar tersebut dikembalikan kepada suami, maka tidak ada larangan bagi mereka, sebagaimana firman Allah, “Kemudian jika menyerahkan kepada kamu sebagian dari mahar itu dengan senang hati, maka ambillah pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya” (QS. An Nisa: 4). d. Pemerintah Membantu Urusan Mahar Pemerintah Islam berkewajiban memberikan bantuan baik secara moral maupun material kepada setiap warganya yang akan melaksanakan pernikahan, sementara mereka tidak mampu membayarkan mahar. Diceritakan dari Abdul Muthalib bin Al-Harits bahwa Rasulullah saw. berkata kepada Mahmiyah— seorang pegawai yang mengurus soal khumus rampasan perang, “Bayarlah mahar untuk kedua orang ini—yakni Al-Fadhil bin Al-Abbas dan Abdul Muthalib bin Rabi’ah- dari harta khumus sebesar ini dan ini” (HR. Muslim). Diriwayatkan pula dari Uyainah bin Abdurrahman dari ayahnya, ia berkata bahwa seorang wanita datang kepada Samurah bin Jundub, lalu ia melaporkan bahwa suaminya tidak lagi berhubungan dengannya. Lalu Samurah bertanya kepada laki-laki (suami) itu, tetapi dia menyangkal. Samurah menulis surat kepada Muawiyah r.a. berkenaan dengan peristiwa ini, “Hendaklah engkau nikahkan dia dengan seorang wanita dengan biaya dari baitul mal; wanita itu cantik dan beragama” (riwayat Baihaqi). Kisah di atas menunjukkan peran pemerintah dalam membantu kelancaran warga negara yang melaksanakan pernikahan. Biaya mahar bisa diambilkan dari

Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 78 baitul mal negara, sebagai bentuk khidmah dan perhatian serta tanggung jawab negara terhadap warganya. Ketentuan Mahar Nikah Menurut KHI Menurut KHI, mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. KHI menyatakan, calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak. Adapun penentuan mahar dilakukan berdasarkan atas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam. Mahar diberikan langsung kepada calon mempelai wanita dan sejak itu menjadi hak pribadinya. Penyerahan mahar dilakukan dengan tunai. Apabila calon mempelai wanita menyetujui, penyerahan mahar boleh ditangguhkan baik untuk seluruhnya atau sebagian. Mahar yang belum ditunaikan penyerahannya menjadi utang calon mempelai pria. KHI menyatakan, apabila istri menolak untuk menerima mahar karena cacat, suami harus menggantinya dengan mahar lain yang tidak cacat. Selama penggantinya belum diserahkan, mahar dianggap masih belum dibayar. Perkawinan yang Dilarang KHI menyatakan, dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan oleh tiga hal berikut. 1. Karena Pertalian Nasab Yang masuk kategori pertalian nasab adalah (a) wanita yang melahirkan atau yang menurunkannya, atau keturunannya; (b) wanita keturunan ayah atau ibu; dan (c) wanita saudara yang melahirkannya. 2. Karena Pertalian Kerabat Semenda Yang masuk kategori pertalian kerabat semenda adalah (a) wanita yang melahirkan istrinya atau bekas istrinya; (b) wanita bekas istri orang yang menurunkannya; (c) wanita keturunan istri atau bekas istrinya, kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas istrinya itu qobla al-dukhul; dan (d) wanita bekas istri keturunannya. 3. Karena Pertalian Sesusuan Yang masuk kategori pertalian sesusuan adalah (a) wanita yang menyusui dan seterusnya menurut garis lurus ke atas; (b) wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah; (c) wanita saudara sesusuan, dan kemanakan sesusuan ke bawah; (d) wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas; (e) anak yang disusui oleh istrinya dan keturunannya. Larangan karena Keadaan Tertentu KHI menyatakan, dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena beberapa keadaan tertentu, yaitu a. karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain; b. seorang wanita yang masih berada dalam masa idah dengan pria lain; c. seorang wanita yang tidak beragama Islam.

KHI menyatakan, dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria Materi Diklat #1| 79 a. dengan seorang wanita bekas istrinya yang ditalak tiga kali; kecuali apabila kalau bekas istri tadi telah kawin dengan pria lain, kemudian perkawinan tersebut putus ba’da dukhul dan telah habis masa idahnya. b. dengan seorang wanita bekas istrinya yang dili’an. KHI menyatakan, seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam. Walimah, Pesta Pernikahan Walimatul ‘ursy atau biasa disebut walimah adalah pesta pernikahan yang disunahkan, sebagai pemberitaan kepada khalayak dan ungkapan syukur atas terjadinya pernikahan yang prosesnya cukup panjang. Walimah harus menampakkan syiar kebaikan, sehingga ada nilai ibadah, dakwah dan sosial yang terhimpun di dalamnya. Sebagian ulama bahkan menghukuminya sebagai wajib, bukan saja sunah. Secara bahasa walimah berarti sempurnanya dan berkumpulnya sesuatu, sedangkan arti walimah menurut syara’ adalah suatu sebutan untuk hidangan makanan pada saat pernikahan. Ibnu Al-Arabi berkata, “Dikatakan aulama ar rajulu tatkala telah menyatu antara akal pikiran dengan tingkah lakunya, dan dikatakan pada ikatan (walam) karena menyatukan sebelah kaki dengan kaki yang lain, kemudian nama walimah berubah menjadi sebutan khusus untuk hidangan makanan saat nikah, dan tidak bisa diartikan pada hidangan selain pesta pernikahan.” Abu Hurairah menceritakan bahwa Rasulullah saw. telah bersabda, “Walimah adalah suatu perkara yang haq dan sunah, barangsiapa yang diundang untuk menghadiri walimah lalu ia tidak memenuhi undangan itu maka ia telah melakukan perbuatan dosa” (HR. Thabrani). Ibnu Bathal menjelaskan, “Sabda Nabi saw. yang berbunyi “adalah suatu perkara yang haq” menunjukkan bukan sesuatu yang bathil melainkan sunah dan utama, dan bukan sesuatu yang wajib.” Sebagaimana juga pendapat Ibnu Qudamah, “Hukum walimah secara mutlak tidak wajib.” Rasulullah saw. bersabda dalam hadis yang dibawakan Buraidah bin Khashif, ketika Ali meminang Fatimah r.a., “Perkawinan harus membuat walimah.” Selanjutnya Sa’ad berkata, “Saya akan menyumbang seekor kambing.” Yang lain menyambut, “Saya akan menyumbang gandum sekian sekian.” Dalam riwayat lain, “Maka terkumpullah dari kelompok kaum Anshar sekian gantang gandum” (HR. Ahmad dan Ath Thabrani). Anas r.a. menceritakan, “Rasulullah saw. telah masuk pengantin dan memerintahkan saya untuk mengundang orang makan-makan dalam pesta perkawinan itu” (Riwayat Bukhari, Baihaqi, dan lain-lain). Sebagian riwayat menunjukkan beliau saw. melaksanakan pesta walimah selama tiga hari. Dari Anas r.a., ia berkata, “Rasulullah saw. telah menikah dengan Shafiyah dengan mahar pembebasannya (sebagai tawanan Perang Khaibar) dan mengadakan upacara pesta perkawinan selama tiga hari” (dibawakan oleh Abu Yu’la dalam Sahih Bukhari). Mengenai kapan dilaksanakannya walimah, para ulama tidak bersepakat pendapat. Imam An-Nawawi dalam Nailul Authar menjelaskan, “Para ulama

Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 80 berselisih pendapat tentang hal ini. Al-Qadhi Iyadh meriwayatkan bahwa yang paling benar adalah pendapat Imam Malik bahwa disunahkan walimah ketika kedua pengantin sudah bercampur. Sementara ulama yang lain berpendapat bahwa walimah dilaksanakan pada saat akad nikah, dan menurut Ibnu Jundub walimah dilaksanakan pada saat akad nikah dan setelah bercampur.” Dengan demikian, ada rentang pelaksanaan walimah dalam pandangan para ulama, yaitu pada saat akad nikah, atau setelah akad nikah ketika pengantin sudah bercampur. Keduanya bisa diterima, dan kita bisa memilih pendapat yang paling memungkinkan dengan situasi dan kondisi. Di antara tuntunan yang hendaknya diperhatikan dalam mengadakan walimah adalah tidak boleh ada unsur kemaksiatan di dalamnya. Pernikahan adalah prosesi ibadah, oleh karena itu tidak boleh menghadirkan kemaksiatan di dalam setiap langkah dan tahapannya. Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, janganlah duduk di meja makan yang menghidangkan minuman keras” (riwayat Tirmidzi, Ahmad dan lain-lain). Yang dilakukan Pengantin setelah Walimah Seusai acara akad nikah dan walimah tersebut, hendaknya pengantin laki-laki dan perempuan masuk ke kamar pengantin, berdua saja. Inilah yang disebut dengan khalwah. Para ulama menjelaskan khalwah adalah “berkumpulnya istri dan suami setelah akad nikah yang sah, di suatu tempat yang memungkinkan bagi keduanya untuk bermesraan secara leluasa, dan keduanya merasa aman atau terjamin dari datangnya seseorang kepada mereka berdua. Pada mereka berdua tidak ada sesuatu penghalang yang bersifat alami, atau jasmani, atau syari, yang dapat mengganggu mereka berdua dalam bermesraan atau bercumbu.” (Wahbah Az- Zuhaili dalam Fiqhul Islam wa Adillatuhu). Jika pengantin perempuan sudah mendahului berada di kamar, pihak laki-laki mengetuk pintu perlahan-lahan sembari mengucapkan salam yang lembut bagi istrinya yang telah menunggu di dalam. Segera suami masuk ke dalam kamar dan melakukan hal-hal berikut ini. a. Mendoakan Istri Di antara sunah kenabian adalah, suami mendoakan istri ketika bertemu setelah akad nikah dan walimah. Caranya adalah dengan meletakkan tangan kanan suami ke bagian kening istri (tempat tumbuhnya rambut), sembari mengucapkan doa. Rasulullah saw. bersabda, “Apabila kalian menikah atau membeli budak, peganglah bagian keningnya, ucapkan nama Allah, mohonkan keberkahan dengan mengucapkan, ‘Aku mohon perlindungan-Mu (ya Allah) dari kejahatannya dan kejahatan naluriahnya’” (HR. Bukhari, Abu Dawud, dan Ibnu Majah). b. Salat Sunah Bersama Suami dan istri hendaknya melaksanakan salat berjemaah dua rakaat, dengan suami sebagai imam. Hal ini untuk membuat awalan yang baik dalam kehidupan rumah tangga mereka.

Diriwayatkan oleh Abu Sa’id, budak Abi Asid, ia berkata, “Saya menikah Materi Diklat #1| 81 padahal posisi saya waktu itu masih sebagai budak. Saya mengundang beberapa sahabat Rasul saw., antara lain Ibnu Mas’ud, Abu Dzar dan Hudzaifah. Salat hendak dimulai dengan bacaan ikamah. Abu Dzar bangkit dan maju ke depan untuk mengimami. Para hadirin menyuruh saya untuk maju, “Engkau saja.” Saya bertanya kepada mereka, “Apakah saya pantas menjadi imam?” Serentak mereka menjawab, “Ya.” Kemudian saya maju ke depan menjadi imam, padahal saya masih menjadi budak. Mereka mengajarkan kepada saya, “Kalau engkau masuk menemui istrimu, salatlah bersama dua rakaat, kemudian mohonlah kepada Allah agar dianugerahi kebajikan dan dilindungi dari kejahatan. Sesudah itu terserah engkau dan istrimu.” Diriwayatkan oleh Syaqiq, bahwa telah datang seorang laki-laki bernama Abu Jarir, lalu berkata, “Saya telah menikahi seorang wanita muda (perawan) dan saya khawatir ia akan membangkitkan marah saya.” Ibnu Mas’ud menjawab, “Kerukunan itu datangnya dari Allah dan kemarahan itu datangnya dari setan. Ia ingin engkau membenci apa yang dihalalkan Allah kepadamu. Kalau istrimu masuk menemuimu, ajaklah ia salat dua rakaat di belakangmu.” Dalam riwayat lain, dari Ibnu Mas’ud, ada tambahan, “Ucapkanlah doa, ‘Ya Allah berilah keberkahan kepadaku dengan istriku dan berikan keberkahan kepada mereka (keluarga istri) dengan aku. Ya Allah, persatukanlah kami berdua selama persatuan itu mengandung kebajikan-Mu, dan pisahkanlah kami berdua jika perpisahan itu menuju kebaikan-Mu’” (dikeluarkan oleh Abu Bakar bin Abi Syaiban). c. Membina Suasana Setelah menunaikan salat sunah bersama, hendaknya pengantin laki-laki dan perempuan berusaha mencairkan suasana yang mungkin saja tegang atau masih sangat kaku karena baru pertama kali itu mereka berdua dalam satu kamar. Anda berdua bisa melakukan pembicaraan ringan di seputar lelahnya acara walimah, banyaknya tamu yang datang, teman-teman kuliah dan kerja yang hadir, keluarga yang mengiringi dan seterusnya. Anda berdua bisa mulai melebarkan perbincangan awal ini, sekaligus sebagai taaruf yang lebih dalam antara suami dan istri secara lebih dekat dan tanpa berjarak. Pihak laki-laki jangan tergesa-gesa meminta kepada istri untuk membuka pakaiannya, sebab bisa jadi ia masih sangat risih dan malu. Selama ini ia sangat rapat menjaga aurat dari pandangan dan jamahan laki-laki, maka tidak gampang untuk melepaskan perasaan psikologis, bahwa Anda, suami yang sah, pada mulanya adalah orang asing baginya. Suami harus bisa lebih menahan diri dengan membuat suasana yang akrab, enak, dan menyenangkan bagi istri. Sebaliknya, istri harus mengusahakan bersikap tenang, bersahabat, dan mempercepat terbangunnya suasana suami istri. Suasana awal ini memang sangat menegangkan, terutama bagi pasangan yang menikah tanpa diawali oleh proses pacaran berkepanjangan sebagaimana banyak kalangan pemuda saat ini.

Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 82 d. Pelan dan Lembutlah Para suami hendaklah berlaku lembut kepada istri dengan sikap yang tenang dan tidak tergesa-gesa menyambut sang istri. Suami atau istri bisa menyuguhkan hal- hal yang ringan, seperti memberikan minum atau makanan kecil untuk pasangannya. Asma’ bin Yazid bin As Sakan menceritakan, “Sesungguhnya aku mendandani ‘Aisyah untuk Rasulullah saw., kemudian aku datang kepada beliau dan memanggil beliau agar melihat ‘Aisyah dengan dandanannya. Rasulullah saw. duduk di samping ‘Aisyah dan membawakan segelas susu lalu beliau minum susu itu kemudian diberikan kepada ‘Aisyah; hingga ‘Aisyah menundukkan kepala karena malu.” “Lalu aku mendekatinya dan berkata kepada ‘Aisyah, ‘Ambillah dari tangan Rasulullah. Lalu ‘Aisyah mengambil gelas berisi susu itu dan meminumnya sedikit” (riwayat Ahmad). Jangan tergesa-gesa. ‘Aisyah saja begitu malu disandingkan pertama kali dengan Rasulullah saw., sehingga ia menunduk. Begitulah Nabi saw., beliau datang dengan lembut, tidak tergesa-gesa, dan memberikan gelas berisi susu kepada ‘Aisyah. Beliau amat santun dan lembut kepada istri-istrinya. Beliaulah sebaik-baik manusia, beliaulah sebaik-baik suami. Bersikap lembutlah terhadap pasangan Anda, perhatikan bagaimana pengarahan Nabi saw. kepada kaum laki-laki, “Sesungguhnya orang yang paling baik di antara kalian adalah orang yang paling baik kepada istrinya, dan aku adalah orang yang terbaik di antara kalian terhadap istri-istri” (HR. Al-Hakim). Dalam haji wada’ Rasul saw. berpesan, “Hendaknya kalian saling ingat mengingatkan. Berlaku baiklah terhadap kaum wanita, karena mereka itu di sisimu bagaikan lahan. Kalian tidak boleh sewenang-wenang terhadap mereka, kecuali kalau mereka melakukan perbuatan keji...” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, dan yang lainnya). Dalam kesempatan yang lain Rasulullah saw. bersabda, “Mukmin yang sempurna imannya ialah yang paling baik akhlaknya, dan yang paling murah hati ialah yang paling murah hati terhadap istri-istrinya” (riwayat Tirmidzi, Ahmad, dan yang lainnya). Syuraih Al-Qadhi pernah menceritakan kehidupan rumah tangganya kepada seorang sahabat, Asy-Sya’bi. “Sejak 20 tahun yang lalu saya tidak pernah melihat istriku berbuat sesuatu yang membuatku marah,” kata Syuraih. “Mengapa demikian?” tanya Asy Sya’bi. “Mulai malam pertama yang aku lihat padanya adalah keindahan dan kecantikan belaka. Di malam pertama, aku berniat dalam hati untuk menjalankan salat dua rakaat sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah Ta’ala. Ketika aku menoleh untuk melakukan salam, aku melihat istriku pun ikut menjalankan salat di belakangku,” jawab Syuraih. Istri Syuraih mengulurkan tangannya seraya berkata, “Selamat datang wahai Abi Umayah. Alhamdulillah aku memuji dan memohon pertolongan-Nya. Semoga selawat dan salam tetap terlimpahkan kepada Nabi Muhammad saw. dan keluarganya. Sungguh aku adalah perempuan asing bagimu. Aku sama sekali tidak tahu akhlakmu. Terangkanlah kepadaku apa-apa yang engkau senangi dan

yang tidak engkau senangi. Apa-apa yang engkau senangi akan aku penuhi, Materi Diklat #1| 83 sedangkan yang tidak engkau sukai aku akan berusaha menjauhinya.” “Aku yakin,” lanjut istri Syuraih, “di antara kaummu pasti ada orang yang ingin mengawinkan wanitanya denganmu. Begitu pula kaumku, ada laki-laki yang sekufu denganku. Akan tetapi, apa yang telah ditetapkan Allah harus dilaksanakan. Nah, sekarang aku telah menjadi milikmu. Lakukanlah sesuai dengan yang telah diperintahkan Allah. Aku mengucapkan ini dengan memohon ampun kepada Allah untukku dan untukmu.” “Demi Allah, Sya’bi. Dalam keadaan seperti itu akan amat membutuhkan khotbah seperti yang diucapkan istriku,” lanjut Syuraih kepada sahabatnya. Maka, Syuraih menjawab ungkapan istrinya, “Alhamdulillah segala puji bagi Allah. Selawat dan salam untuk Nabi Muhammad saw. dan keluarganya. Engkau telah mengatakan sesuatu yang jika engkau teguh memegangnya maka itulah bagianmu. Jika engkau hanya berpura-pura maka akan menjadi hujjah atasmu. Apa yang kamu lihat baik, maka sebarkanlah. Dan apa yang engkau lihat jelek, buanglah jauh-jauh.” “Apakah engkau senang mengunjungi keluargaku?” tanya istri Syuraih. “Aku ingin suami anak perempuanku tidak membosankanku,” jawab Syuraih. “Siapa saja tetangga yang kamu senangi yang dapat aku izinkan masuk rumah? Siapa pula yang kau benci agar aku tidak membiarkannya masuk ke rumahmu?” tanya istri Syuraih. Maka, Syuraih pun menghabiskan malam pertama tersebut dengan perbincangan penuh dengan kelembutan dan kebahagiaan. “Aku hidup bersamanya selama satu tahun pertama, aku tidak pernah melihat kecuali yang menyenangkan.” Demikian Syuraih menceritakan kebahagiaan keluarganya kepada Asy-Sya’bi. Demikian lembut penampilan istri Syuraih pada malam pertama itu. Ia tampak memiliki kematangan emosional yang amat bagus, tenang, tidak tergesa-gesa, dan mampu berbicara dengan lancar. Sikap ini amat mendukung terbangunnya suasana yang indah dan menyebabkan Syuraih pun mengambil sikap yang sama, tenang, lembut, dan tidak tergesa-gesa. Demikianlah di antara adab kenabian, bahwa pergaulan dan interaksi suami istri adalah penuh kelembutan, dimulai sejak pertemuan pertama. Diharapkan untuk waktu-waktu selanjutnya dalam menempuh hidup berumah tangga, kelembutan adalah ciri utama bagi suami dan istri muslim. e. Hubungan Suami Istri Hubungan suami istri tidak mesti dilakukan pada saat pertemuan pertama tersebut. Pada prinsipnya, hubungan suami istri dilakukan ketika sudah ada kesiapan penuh dari kedua belah pihak. Apabila istri masih ada perasaan takut, cemas, dan khawatir, karena belum terbangun suasana yang enak di antara keduanya, sebaiknya hubungan suami istri ditunda sampai ada suasana yang kondusif. Bisa jadi kesiapan penuh tersebut baru didapatkan pada hari kedua, ketiga, atau bahkan lebih lama dari itu. Hal ini tergantung bagaimana pernikahan tersebut diproses, bagaimana situasi dan kondisi hati dari kedua belah pihak tatkala melaksanakan akad nikah, dan bagaimana mereka membina suasana pada malam pertama. Pada pasangan yang pernikahannya ada unsur keterpaksaan

Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 84 dari salah satu pihak, mungkin diperlukan waktu adaptasi yang cukup untuk bisa menerima pasangannya yang semula tidak dikehendaki. Namun, pada pasangan yang pada proses awalnya berjalan baik, mereka telah saling melihat dan mencoba mengenali calon pasangannya secara wajar dan benar, dan mampu membangun komunikasi yang bagus pada malam pertama, maka tidak ada kesulitan bagi mereka berdua untuk melakukan hubungan suami istri pada malam pertama tersebut. Apabila suasana mental kedua belah telah siap, keduanya bisa meningkatkan kedekatan secara lebih intim, disertai dengan cumbu rayu sebagai sebuah pengantar untuk melakukan hubungan suami istri. Itulah fasilitas yang Allah berikan kepada suami dan istri, bahwa mereka berdua bisa saling menikmati keindahan-keindahan ciptaan Allah dari diri pasangannya. Allah Ta’ala telah berfirman, “Istri-istri kalian itu seperti sawah ladang kalian, maka datangilah ladang kalian itu dari arah mana pun yang kalian suka” (Al- Baqarah: 223). Ayat ini menunjukkan kebebasan dalam bersenang-senang antara suami dan istri sehingga mereka berdua bisa mengekspresikan kegembiraan secara optimal. Dahulu pada zaman kenabian, ada beberapa kepercayaan masyarakat Yahudi yang membatasi ekspresi kesenangan suami istri, sebagaimana diceritakan oleh Jabir r.a. berikut. “Orang-orang Yahudi mengatakan, ‘Kalau seorang suami bercampur dengan istrinya dari arah belakang, mata anaknya nanti akan juling, maka Allah menurunkan ayat 223 surah Al-Baqarah. Rasulullah saw. menjelaskan ayat ini: Boleh dari depan atau dari belakang, asalkan pada faraj, bukan pada duburnya.’” (Riwayat Bukhari, Muslim, dan yang lainnya). Sedangkan Ibnu Abbas menceritakan, “Di negeri kaum Anshar ini masyarakat menyembah berhala, sementara Yahudi ahli kitab merasa lebih utama dan berilmu dari mereka. Mereka banyak meniru tingkah laku kaum Yahudi, yaitu ketika mereka tidak bercampur dengan istri mereka kecuali dalam keadaan miring agar aurat kaum wanita terpelihara. Kaum wanita Anshar pun terbiasa dengan cara itu. Sedangkan kaum Quraisy berhubungan dengan istri mereka dalam bermacam-macam posisi untuk mendapatkan kenikmatan yang lebih sempurna, dengan posisi berhadap-hadapan, dari arah belakang, dan dalam posisi berbaring.” “Setelah mereka hijrah ke Madinah ada di antara mereka yang menikah dengan wanita Anshar dan hendak memperlakukan istri sekehendak hatinya. Ternyata sang istri menolak sembari berkata, “Kami di sini biasa melakukan hubungan suami istri dalam posisi miring. Lakukan seperti itu atau jauhi saya.” “Berita itu segera beredar dan terdengar Rasul saw., dan Allah menurunkan ayat 223 surah Al-Baqarah yang mengajarkan boleh dalam posisi apa pun asalkan pada faraj-nya” (HR. Abu Dawud, Al-Hakim, Baihaqi, dan lain-lain). Islam menghendaki hubungan suami istri adalah bagian yang utuh dari ibadah, sehingga diperlukan sejumlah etika di dalam menunaikannya. Di antaranya adalah dengan doa yang dibaca oleh suami dan istri sebelum mereka melakukan hubungan, “Dengan nama Allah, Ya Allah, jauhkanlah kami dari setan dan jauhkan setan itu dari anugerah yang akan Engkau berikan kepada kami” (Ditakhrij oleh Abu Bakar bin Abi Syaiban).

Dengan doa itu, maka Rasulullah saw. menjelaskan, “Apabila Allah Materi Diklat #1| 85 menakdirkan keduanya memperoleh anak, maka anak itu akan mempunyai daya tahan (imunitas) tidak diusik setan” (HR. Bukhari dan lain-lain). Dengan doa ini menunjukkan bahwa mereka berdua memanfaatkan fasilitas kenikmatan yang Allah berikan secara benar di jalan Allah, bukan di jalan setan. Hubungan yang mereka lakukan akan bernilai sedekah dan berpahala di sisi Allah. Sebagaimana keterangan Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Dzar, ketika beberapa orang sahabat datang dan bertanya kepada beliau, “Ya Rasulullah, orang-orang kaya dengan kekayaannya telah memborong beberapa pahala besar. Mereka melaksanakan salat dan puasa sebagaimana kami melakukan, dan memberikan sedekah dari kelebihan hartanya. Sedangkan kami tidak bisa bersedekah.” “Bukankah Allah telah memberikan sesuatu kepada kalian yang dapat dijadikan sebagai sarana bersedekah? Sungguh setiap bacaan tasbih adalah sedekah, setiap bacaan tahlil adalah sedekah, setiap perintah menuju kebaikan adalah sedekah, setiap larangan terhadap kemungkaran adalah sedekah, bahkan sampai menggauli istri pun sedekah,” jawab Nabi saw. “Ya Rasulullah, adakah mendapatkan pahala bila salah seorang di antara kami menyalurkan syahwat kepada istrinya,” tanya sahabat. “Bagaimana kalian tidak mendapatkan pahala, bukankah bila kalian menyalurkan syahwat lewat cara yang haram akan mendapatkan dosa?” tanya Nabi. “Benar, ya Rasulullah,” jawab sahabat. “Demikian halnya bila kalian menyalurkan syahwat lewat cara yang halal, pasti mendapatkan pahala.” Imam An-Nawawi dalam menjelaskan hadis tersebut mengatakan, “Hadis tersebut menunjukkan bahwa hal-hal yang mubah bisa menjadi ibadah yang berpahala asal dibarengi dengan niat yang benar.” “Berhubungan suami istri dapat menjadi suatu ibadah yang mendatangkan pahala, jika bertujuan untuk menunaikan hak istri dan untuk mempergauli secara baik sebagaimana yang diperintahkan Allah Ta’ala atau untuk memperoleh keturunan yang saleh, atau untuk menjaga kesucian diri dan harga diri suami istri, atau untuk mencegah keduanya dari perbuatan yang diharamkan, atau tujuan- tujuan baik lainnya,” lanjut Imam An-Nawawi.

Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 86 Perkawinan Menurut Hukum Positif di Indonesia Tujuan Pembelajaran Umum: Membangun pemahaman dan penghayatan dan menghayati nilai-nilai pernikahan dalam hukum positif di Indonesia, menerima bahwa hukum pernikahan dalam hukum positif adalah terbaik bagi warga negara Indonesia, serta berusaha menerapkannya di lingkungan keluarga. Tujuan Pembelajaran Khusus: 1. Peserta memahami dan meyakini bahwa pernikahan dalam perspektif hukum positif adalah yang terbaik bagi warga negara Indonesia. 2. Peserta memahami kedudukan hukum positif pernikahan dalam tata hukum negara Indonesia. 3. Peserta memahami pengertian pernikahan menurut hukum positif di Indonesia. 4. Peserta memahami kedudukan pernikahan dan keluarga dalam hukum positif Indonesia 5. Peserta memahami tata cara pernikahan dalam hukum positif Indonesia. 6. Peserta mematuhi dengan menerapkan tata cara pernikahan sesuai dengan hukum positif di Indonesia. Alternatif Kegiatan Pembelajaran: 1. Pendamping mengisahkan contoh-contoh pernikahan sederhana di KUA. Dapat juga memutar video tata cara pernikahan sederhana di KUA. 2. Pendamping mengajak peserta studi kasus contoh-contoh proses pernikahan yang tidak sesuai dengan hukum positif di Indonesia dan dampak negatifnya. 3. Peserta mendapat penjelasan kemudahan dan nilai sakralnya pembentukan keluarga sesuai hukum positif di Indonesia. 4. Pendamping mengajak diskusi tentang solusi dari dampak negatif proses pernikahan yang tidak sesuai dengan hukum positif di Indonesia. 5. Pendamping dapat juga menggunakan games bermain peran (role play) proses pernikahan di KUA Uraian Materi: Pernikahan atau perkawinan, telah diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Menurut Pasal 1 UU Nomor 1/1974, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa. Pengertian ini menunjukkan bahwa perkawinan Materi Diklat #1| 87 bukan hanya ikatan lahir, tetapi juga ikatan batin. Pada dasarnya perkawinan di Indonesia menganut asas monogami. Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Untuk mewujudkan tujuan perkawinan tersebut, perkawinan harus melalui prosedur dan syarat-syarat sebagaimana telah diatur dalam undang-undang. Pernyataan Keabsahan Perkawinan Perkawinan dinyatakan sah apabila dilaksanakan dengan memenuhi seluruh ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dengan perkawinan yang sah secara hukum akan memberikan kepastian hukum bagi pihak pengantin. Kepentingan hukum pihak yang melangsungkan perkawinan akan terlindungi oleh negara. Dalam penjelasan Pasal 1 UU Nomor 1/1974 disebutkan, sebagai negara yang berdasarkan Pancasila yang mana sila yang pertamanya ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi unsur batin/rohani juga mempunyai peranan yang penting. Membentuk keluarga yang bahagia erat hubungannya dengan keturunan, yang merupakan tujuan perkawinan sekaligus pemeliharaan dan pendidikan anak yang menjadi hak dan kewajiban orang tua. Inilah mengapa perkawinan bukan saja ikatan lahir, bukan saja ikatan batin, melainkan juga ikatan lahir batin. Sebagai ikatan lahir, perkawinan merupakan hubungan hukum antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk hidup bersama sebagai suami istri. Ikatan ini merupakan hubungan formal yang sifatnya nyata, baik bagi yang mengikatkan dirinya serta bagi orang lain maupun masyarakat. Apabila perkawinan telah dilaksanakan secara legal formal, yaitu dengan dilaksanakannya akad nikah menurut agama Islam (dan tata cara lain menurut agama selain Islam), membuktikan telah terjadinya ikatan lahir dari pasangan suami istri tersebut. Sebagai ikatan batin, perkawinan merupakan hubungan jiwa yang terjalin karena adanya kemauan yang sama, dengan niat ikhlas antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Mereka bersepakat untuk hidup bersama sebagai pasangan suami istri. Dalam tahap awal, ikatan batin ditandai dengan adanya persetujuan dari calon mempelai untuk melangsungkan perkawinan. Asas Kerelaan Pada dasarnya, UU mengatur bahwa perkawinan dilaksanakan atas dasar sukarela dari kedua calon mempelai. Maka, perkawinan dianggap tidak sah apabila dilakukan dengan terpaksa atau ada tekanan dari salah satu calon mempelai atau dari pihak lain (kawin paksa). Apabila perkawinan dilaksanakan secara paksa, tujuan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 UU Nomor 1/1974 tidak mungkin dapat diwujudkan. Bagi yang beragama Islam, sebelum berlangsung akad nikah, petugas pencatat nikah (naib/penghulu) menanyakan kepada kedua calon mempelai, apakah dalam perkawinan yang akan dilaksanakan ada paksaan. Hal ini untuk

Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 88 memastikan bahwa perkawinan tersebut dilaksanakan atas dasar keikhlasan (sukarela) oleh kedua calon mempelai, tanpa ada keterpaksaan. Perkawinan Harus Seagama Dalam UU No 1/1974 dinyatakan dengan tegas bahwa pembentukan keluarga (rumah tangga yang bahagia dan kekal itu berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini berarti perkawinan harus berdasarkan agama dan kepercayaan masing- masing. Oleh karena perkawinan harus didasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa, Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) mempertegas mengenai sahnya perkawinan. 1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. 2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kemudian dalam penjelasan Pasal 2 tersebut secara tegas dinyatakan, “Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini , tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu sesuai dengan Undang- Undang Dasar 1945.” Yang dimaksud dengan “hukum masing-masing agama dan kepercayaan” termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agama dan kepercayaan masing-masing, sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang. Dari ketentuan Pasal 2 UU Nomor 1 Tahun 1974 tersebut menunjukkan, tidak mungkin dapat dilaksanakan perkawinan berbeda agama antara kedua calon mempelai. Sebab bagi umat beragama Islam tidak sah melaksanakan perkawinan di luar syariat agama Islam, begitu juga bagi umat beragama Kristen tidak sah apabila dilakukan di luar ajaran agama Kristen. Secara normatif, tidak dimungkinkan untuk dilakukan perkawinan berbeda agama di Indonesia. Selain perkawinan harus dilaksanakan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, perkawinan juga tidak boleh bertentangan dengan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dengan demikian, meskipun perkawinan tersebut dilaksanakan menurut masing-masing agama dan kepercayaannya itu, apabila bertentangan dengan UU Nomor 1 Tahun 1974 dan UU Nomor 16 Tahun 2019, perkawinan tersebut tidak sah menurut hukum positif di Indonesia. Syarat-Syarat Perkawinan Pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Untuk dapat mewujudkan tujuan perkawinan tersebut, setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan harus memenuhi syarat-syarat dan prosedur tertentu sebagaimana diatur dalam UU tersebut. Syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 dan UU Nomor 16 Tahun 2019, diatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 12 sebagai berikut.

1. Adanya persetujuan kedua calon mempelai (Pasal 6 ayat (1)). Materi Diklat #1| 89 2. Adanya izin kedua orang tua/wali bagi calon mempelai yang belum berusia 21 tahun (Pasal 6 ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan (6)). 3. Usia calon mempelai laki-laki dan perempuan sudah 19 tahun (Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 16 Tahun 2019). 4. Antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita tidak dalam hubungan darah/keluarga yang tidak boleh kawin (Pasal 8). 5. Tidak berada dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain (Pasal 9). 6. Bagi suami istri yang bercerai, lalu kawin lagi satu sama lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, agama dan kepercayaan mereka tidak melarang mereka untuk kawin ketiga kalinya (Pasal 10). 7. Tidak berada dalam waktu tunggu bagi calon mempelai wanita yang janda. Berikut penjelasan tentang syarat-syarat perkawinan sesuai ketentuan yang diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 dan UU Nomor 16 Tahun 2019. 1. Adanya Persetujuan Kedua Calon Mempelai Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan, “Perkawinan harus berdasarkan persetujuan kedua calon mempelai.” Dalam penjelasannya dinyatakan, “Oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan istri dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia dan sesuai pola dengan hak asasi manusia, maka perkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut, tanpa ada paksaan dari pihak mana pun.” Saidus Syahar dalam buku yang berjudul Undang-Undang Perkawinan dan Masalah Pelaksanaannya Ditinjau dari Segi Hukum Islam menjelaskan sebagai berikut. “Syarat perkawinan ini memberikan jaminan agar tidak terjadi lagi adanya perkawinan paksa dalam masyarakat kita. Ketentuan ini sudah selayaknya mengingat masalah perkawinan sebenarnya merupakan urusan pribadi seseorang sebagai bagian daripada hak asasi manusia.” “Oleh karena itu, sudah seharusnya apabila urusan perkawinan ini lebih banyak diserahkan kepada keinginan masing-masing pribadi untuk menentukan pilihan sendiri siapa yang akan dijadikan kawan hidupnya dalam berumah tangga. Pilihan ini harus benar-benar dilakukan secara bebas tanpa ada paksaan dari pihak mana pun.” 2. Adanya Izin Kedua Orang Tua/Wali bagi Calon Mempelai yang Belum Berusia 21 Tahun Dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4), (5), dan (7) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan sebagai berikut. 1) Untuk melangsungkan perkawinan, seorang yang belum berusia mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua. 2) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.

Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 90 3) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya. 4) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut ayat (2), (3), dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih dari mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal ini. 5) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu tidak menentukan lain. Ketentuan tersebut yang mensyaratkan adanya izin dari kedua orang tua/wali bagi calon mempelai yang belum berusia 21 tahun, oleh karena perkawinan bukan semata-mata menyatukan kedua mempelai sebagai suami istri, melainkan juga menyatukan keluarga kedua belah pihak. Di sisi lain, seseorang yang belum berusia 21 tahun dianggap masih memerlukan pertimbangan orang tua/wali agar tujuan perkawinan tersebut dapat diwujudkan. 3. Usia calon mempelai laki-laki dan perempuan sudah mencapai 19 tahun. Dalam Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 16 Tahun 2019 dinyatakan “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun. Ini adalah poin yang direvisi dari UU Nomor 1/1974, yang membedakan umur laki-laki dan perempuan dalam pernikahan.” Ketentuan umur bermaksud untuk mencegah terjadinya perkawinan anak- anak di bawah umum. Diharapkan, suami dan istri yang telah melangsungkan perkawinan telah cukup matang jiwa dan raganya sehingga mampu mewujudkan tujuan-tujuan perkawinan. 4. Antara Calon Mempelai Pria dan Calon Mempelai Wanita Tidak dalam Hubungan Darah/Keluarga yang Tidak Boleh Kawin. Hubungan darah/keluarga yang tidak boleh melangsungkan perkawinan diatur dalam Pasal 8 yaitu a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah dan ke atas; b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara nenek; c. berhubungan semenda yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri; d. berhubungan susuan yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan; e. berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal suami beristri lebih dari satu; dan f. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.

Dalam Pasal 8 huruf f UU Nomor 1/1974 juga dinyatakan bahwa hubungan Materi Diklat #1| 91 yang dilarang kawin adalah hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin. Maka, larangan kawin tersebut mungkin akan bisa bertambah, dengan larangan-larangan kawin menurut hukum agama atau peraturan lain tersebut. Dari perspektif syariat Islam, masih ada larangan kawin yang belum tercantum dalam Pasal 8 undang-undang tersebut. Demikian juga jika dilihat dari segi hukum adat yang berlaku dalam masyarakat kita, maka larangan perkawinan itu juga masih akan bisa bertambah. 5. Tidak Berada dalam Ikatan Perkawinan dengan Pihak Lain Pasal 9 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 menyatakan, “Seseorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain, tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada Pasal 3 ayat 2 dan Pasal 4 undang-undang ini. Pasal 3 menyebutkan (1) pada asasnya dalam perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami; (2) pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Poligami menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 hanya diperuntukkan bagi mereka yang hukum dan agamanya mengizinkan seorang suami beristri lebih dari seorang. Hal ini ditegaskan dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pada angka 4c, yang menyatakan, “Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkannya, seorang suami dapat beristri lebih dari seorang. Namun demikian, perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang istri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan.” Dalam penjelasan Pasal 3 dinyatakan sebagai berikut. 1) Undang-undang ini menganut asas monogami. 2) Pengadilan dalam hal memberi putusan selain memeriksa apakah syarat yang tersebut dalam Pasal 4 dan 5 telah dipenuhi harus mengingat pula apakah ketentuan-ketentuan hukum perkawinan dari calon suami mengizinkan adanya poligami. Pada prinsipnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menganut asas monogami, tetapi poligami dimungkinkan apabila memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam undang-undang. 6. Suami Istri yang Menikah Lagi Bagi suami istri yang bercerai lalu kawin lagi satu sama lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, agama dan kepercayaan mereka tidak melarang mereka untuk kawin ketiga kalinya. Dalam Pasal 10 UU Nomor 1/1974 disebutkan, “Apabila suami istri telah bercerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka di antara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang

Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 92 hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.” Dalam penjelasan Pasal 10 UU No 1/1974 disebutkan, “Oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami istri dapat membentuk keluarga yang kekal, maka suatu tindakan yang mengakibatkan putusnya perkawinan harus benar-benar dapat dipertimbangkan dan dipikirkan masak-masak. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah tindakan kawin cerai berulang kali, sehingga suami maupun istri benar-benar saling menghargai satu sama lain.” Pada prinsipnya meskipun perceraian itu diperbolehkan, tetapi sedapat mungkin dihindari. Semangat Islam adalah mempersatukan, bukan memisahkan. Dalam undang-undang perkawinan, urusan perceraian dipersulit. 7. Tidak Berada dalam Waktu Tunggu bagi Calon Mempelai Wanita yang Janda Dalam Pasal 11 UU No 1/1974 dinyatakan bahwa wanita yang putus perkawinannya, tidak boleh begitu saja kawin lagi dengan lelaki lain. Ia harus menunggu sampai waktu tunggu itu habis. Konteks dari aturan ini adalah untuk menentukan dengan pasti siapa ayah dari anak yang lahir selama tenggang waktu itu. Kesimpulan 1) Perkawinan bukan semata-mata ikatan lahir, tetapi perkawinan juga merupakan ikatan batin. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 2) Perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. 3) Perkawinan sah menurut hukum positif Indonesia apabila dilaksanakan sesuai dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 4) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Persiapan Sebelum Menikah Materi Diklat #1| 93 Tujuan Pembelajaran Umum: Membangun pemahaman dan penghayatan dan menghayati aspek-aspek persiapan sebelum menikah dan memiliki kepedulian terhadap program-program edukasi pra-nikah di tengah masyarakat. Tujuan Pembelajaran Khusus: 1. Peserta memahami bahwa membina keluarga yang tangguh dimulai dari persiapan yang baik. 2. Peserta memahami aspek-aspek apa saja yang seharusnya dipenuhi sebelum menikah. 3. Peserta tergugah dan terbangun kesadaran untuk berbenah apabila ada aspek pada keluarganya yang belum terpenuhi sebelumnya. 4. Peserta turut membina kesadaran anggota keluarga sejak usia remaja/balig (kanak-kanak akhir) mulai memiliki agenda utama mempersiapkan diri sebelum menikah. 5. Peserta terlibat aktif di keluarga dan masyarakat turut mengatasi problem keluarga yang disebabkan ketidaksiapan sebelum menikah. 6. Peserta pendampingan membangun kesadaran pentingnya belajar sepanjang hayat secara mandiri atau mengikuti program edukasi keluarga agar menjadi keluarga yang berkualitas. Alternatif Kegiatan Pembelajaran: 1. Pendamping mengisahkan contoh-contoh dampak ketidaksiapan pada setiap aspek persiapan menikah bagi pembentukan keluarga yang berkualitas. 2. Peserta mendapat penjelasan urgensi persiapan sebelum menikah. 3. Pendamping mengajak diskusi tentang solusi dari dampak negatif proses pernikahan yang tidak sesuai dengan hukum positif di Indonesia. 4. Pendamping dapat mengajak workshop mendata warga setempat yang memasuki usia siap menikah dan merancang bentuk kepedulian membuat program edukasi pra nikah bagi mereka. Uraian Materi: Persiapan melakukan apa pun adalah awal dari keberhasilan. Apalagi untuk sebuah pernikahan, momen besar dalam kehidupan seorang laki-laki dan seorang perempuan. Momen besar bagi mempelai laki-laki karena ia akan bertambah amanah—dari tanggung jawab atas dirinya sendiri menjadi tanggung jawab terhadap sebuah keluarga. Untuk sebuah peristiwa bersejarah itulah laki-laki dan perempuan hendaknya memiliki kesiapan diri secara moral spiritual, konsepsional, fisik, material, dan sosial.

Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 94 Pertama, Persiapan Moral dan Spiritual Kesiapan secara spiritual ditandai oleh mantapnya niat dan langkah menuju kehidupan rumah tangga. Tidak ada rasa gamang atau keraguan tatkala memutuskan untuk menikah, dengan segala konsekuensi atau risiko yang akan dihadapi pasca-pernikahan. Jika Anda seorang laki-laki, ada kesiapan dalam diri Anda untuk bertindak sebagai suami yang baik dalam rumah tangga untuk berfungsi sebagai bapak bagi anak-anak yang akan lahir nantinya dari pernikahan. Ada kesiapan dalam diri Anda untuk menanggung segala beban-beban yang disebabkan oleh karena posisi Anda sebagai suami dan bapak. Jika Anda seorang perempuan, harus ada kesiapan dalam diri untuk membuka ruang baru bagi intervensi seorang mitra yang bernama suami. Kesiapan untuk mengurangi sebagian otoritas atas dirinya sendiri lantaran telah memiliki suami. Kesiapan untuk hamil, melahirkan dan menyusui. Kesiapan untuk menanggung beban-beban baru yang muncul akibat hadirnya anak. Sebelum memutuskan untuk menikah, persiapan diri dari segi moral amat signifikan. Jika Anda ingin mendapat pasangan yang baik, jadikan diri baik terlebih dahulu. Jika ingin mendapatkan istri yang salihah, jadikan diri Anda saleh terlebih dahulu, dan sebaliknya. Jika ingin memiliki suami yang setia, jadikan diri Anda wanita yang setia. Jika ingin memiliki istri yang suci, jadikan diri Anda laki-laki yang suci. Jika ingin mendapatkan pasangan hidup yang menjaga kehormatan diri, jadikan Anda orang yang menjaga kehormatan diri. Kedua, Persiapan Konsepsional Kesiapan konsepsional ditandai dengan dikuasainya berbagai hukum, etika, aturan, dan pernik-pernik pernikahan serta kerumahtanggaan. Kadang dijumpai di kalangan masyarakat kita, mereka menikah tanpa mengetahui ilmu tentang pernikahan dan kerumahtanggaan. Wajar kalau kemudian dalam hidup berumah tangga terjadi berbagai permasalahan yang disebabkan oleh ketidakmengertian. Seorang ibu rumah tangga bertanya tentang etika hubungan suami istri, padahal ia telah menikah sembilan tahun yang lalu, dan anaknya sekarang sudah berusia delapan tahun. Contoh kecil ini menunjukkan betapa masyarakat kita tidak begitu memedulikan ajaran dan hukum-hukum agama tatkala mereka melaksanakan pernikahan. Masih sangat banyak kita menyaksikan masyarakat melakukan sesuatu tanpa landasan pengetahuan. Betapa pembagian peran dalam rumah tangga juga masih banyak yang semata-mata bercorak tradisional, tanpa mengetahui bagaimana sebenarnya peran laki-laki dan perempuan harus dilakukan. Seorang laki-laki dan perempuan harus mengetahui dengan baik dan benar posisi dan peran masing-masing pihak dalam konteks rumah tangga. Apa hak dan kewajiban masing-masing pihak dan juga hak serta kewajiban bersama. Tata krama pergaulan suami istri dalam rumah tangga dan berbagai pengetahuan yang menyebabkan kebaikan sebuah keluarga perlu dimengerti. Belajar dan menyiapkan diri secara konsepsional merupakan suatu keharusan bagi setiap pribadi.


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook