konsekuensi dari adanya perbedaan kepentingan, pendapat, dan cara pandang Materi Diklat #1| 245 di antara keduanya (Falcke, Wagner & Mosmann, 2013; Fincham, 2009; Mosmann & Wagner, 2008). Para ahli memahami, konflik adalah pertentangan/perlawanan terbuka antara suami dan istri, yang menimbulkan ketidaksepakatan dan kesulitan hubungan (Falcke, Wagner & Mosmann, 2013; Fincham, 2009; Mosmann & Wagner, 2008). Jika pertentangan tersebut tidak sampai menimbulkan disagreement (ketidaksepakatan) dan kesulitan hubungan, tidak bisa disebut sebagai konflik. Sears (1985) menyatakan, pada pasangan yang sudah menikah, konflik merupakan hal biasa terjadi. Bahkan penelitian yang dilakukan oleh Gurin menyimpulkan bahwa konflik mesti terjadi dalam kehidupan pernikahan. Sebanyak 45% responden menyatakan bahwa setelah menikah mereka selalu dilanda konflik, sedangkan 32% responden yang menyatakan bahwa kehidupan pernikahan mereka harmonis, juga menyatakan sering mengalami konflik. Ditinjau dari intensitas kecenderungan laki-laki dan perempuan untuk terlibat dalam suatu lingkaran konflik rumah tangga, perempuan cenderung lebih rentan mengalami konflik. Menurut Eva dan Basti (2008), hal ini disebabkan perempuan ketika telah menikah sanggup untuk menyerahkan diri secara total pada pasangannya. Inilah yang mendorong mereka untuk mengorientasikan segenap perhatiannya dalam menjaga dan mempertahankan kehidupan rumah tangga. Dampaknya, perempuan lebih mudah didominasi oleh prasangka dan perasaan curiga dan pada akhirnya memicu munculnya konflik dengan suami. Studi menunjukkan, terdapat dua kelompok faktor primer yang memengaruhi resolusi konflik perkawinan, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal terdiri dari regulasi emosi, keterikatan (attachment), dan sifat. Sedangkan faktor eksternal adalah anak dan keluarga besar (Murdiana & Agustiani, 2015). Pasangan suami istri yang melaporkan ketegangan pernikahan yang lebih besar di tahun pertama pernikahan, atau menunjukkan peningkatan ketegangan dari tahun pertama pernikahan, melaporkan kesejahteraan pernikahan yang lebih rendah (Jasmine A. Manalel, 2019). Empat Dimensi Konflik Konflik suami istri bukanlah dimensi tunggal yang hanya dilihat dari satu cara pandang. Dalam realitasnya, konflik memiliki empat dimensi, yaitu konten, frekuensi, intensitas, dan resolusi (Delatorre & Wagner, 2018). Keempatnya memiliki peran dan pengaruh terhadap kualitas hubungan. Pertama, Konten Konflik “Conflict content refers to the themes causing disagreements between partners” (Delatorre & Wagner, 2018). Konten konflik mengacu pada tema yang menyebabkan ketidaksepakatan di antara pasangan. Studi menyebutkan beberapa tema konflik yang sering muncul antara suami dan istri. Di antara konten konflik adalah praktik mendidik anak, waktu senggang pasangan, keuangan, pekerjaan rumah tangga, seksualitas (Mosmann & Falcke, 2011; Wagner & Grzybowski, 2014). Studi lainnya menyebut perselisihan/perebutan kekuasaan, ketidakpercayaan, keintiman (Kurdek, 1994), gagasan yang berbeda, kepribadian
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 246 pasangan dan kerabat (Wagner & Grzybowski, 2014), sebagai konten konflik yang biasa muncul pada pasangan suami istri. Setiap keluarga bisa memiliki konten konflik yang berbeda, demikian pula kultur kehidupan keluarga tersebut. Kedua, Frekuensi Konflik Frekuensi konflik mengacu kepada seberapa sering konflik terjadi pada pasangan suami istri. Realitas dalam kehidupan pernikahan, setiap pasangan memiliki konflik, tetapi berbeda-beda dalam hal frekuensinya. “Research show that the frequency with which conflicts occur is related to marital dissatisfaction” (Delatorre & Wagner, 2018). Penelitian menunjukkan bahwa frekuensi terjadinya konflik terkait dengan ketidakpuasan perkawinan (Caughlin & Vangelisti, 2006) dan persoalan anak (Stutzman, Miller, Hollist, & Falceto, 2009). Ini menandakan, makin sering terjadi konflik, makin rendah tingkat kepuasan dalam pernikahan. Demikian pula, makin sering konflik, makin banyak melahirkan persoalan bagi anak. Ketiga, Intensitas Konflik Intensitas konflik mengacu kepada seberapa dalam, seberapa kuat, dan seberapa hebat pertengkaran terjadi. Setiap pasangan memiliki pengalaman yang berbeda dalam hal intensitas konflik di sepanjang kehidupan pernikahan mereka. “Intensity of disagreements also contributes to emotional and social skills problems for children, especially in high intensity conflicts involving violence” (Lindahl & Malik, 2011). Intensitas perselisihan berkontribusi terhadap keterampilan emosional dan sosial anak-anak, terutama dalam konflik intensitas tinggi yang melibatkan kekerasan. Studi menunjukkan frekuensi dan intensitas konflik banyak berpengaruh terhadap anak-anak. Konflik dengan intensitas tinggi, memberikan dampak buruk bagi kejiwaan, kesehatan, dan kesejahteraan anak-anak. Keempat, Pilihan Resolusi Konflik Para ahli mendefinisikan resolusi konflik sebagai perilaku di mana pasangan berusaha mengelola perselisihan mereka (Marchand & Hock, 2000). Setiap pasangan suami istri memiliki pengalaman dan preferensi yang berbeda dalam pilihan resolusi konflik. “The way couples manage their conflicts influences not only the marital dynamic, but also the whole family system” (Fincham, 2003). Studi menunjukkan, cara pasangan mengelola konflik tidak hanya memengaruhi dinamika perkawinan, tetapi juga seluruh sistem keluarga. Pilihan resolusi adalah salah satu faktor penentu dampak konflik pada hubungan (Reese-Weber & Bartle-Haring, 1998). Makin tepat pilihan resolusi konflik, makin baik pula dampaknya dalam membangun hubungan bersama pasangan. Pada umumnya, resolusi konflik pasangan melibatkan strategi konstruktif atau destruktif. Strategi konstruktif mengarah kepada usaha untuk menerima sudut pandang pasangan, terbuka untuk mendiskusikan motif konflik dan melakukan upaya untuk memecahkan masalah. Sedangkan strategi destruktif mengarah kepada permusuhan, kompetisi, dan penarikan diri dari konflik (Rubenstein & Feldman, 1993; Sillars, Canary, & Tafoya, 2004).
Masalah dalam Manajemen Konflik Materi Diklat #1| 247 Memahami dimensi konflik dalam kehidupan pasangan suami istri membuat kita menjadi lebih berhati-hati dalam menghadapi konflik. Pada dasarnya, konflik adalah untuk dihadapi dengan bijaksana dan dewasa. Bukan untuk dihindari. Oslon dan DeFrain (2003, h. 135) menyatakan bahwa ada lima masalah besar dalam cara penyelesaian konflik yang dilakukan ketika menjalani peran dalam pernikahan sebagai suami-istri, yaitu a. salah satu pasangan tidak memedulikan masalah yang ada; b. salah satu pasangan memilih mengambil langkah lain untuk menghindari masalah dengan pasangan; c. tidak ada titik temu dalam penyelesaian masalah; d. perbedaan ide dalam menyelesaikan masalah; dan e. memperdebatkan masalah yang sebenarnya bukan masalah utama. Tiga Tingkat Konflik Konflik suami istri tidaklah terjadi secara tiba-tiba, tetapi ada proses dan tingkatannya. Secara teoritis, konflik terjadi dalam tiga tingkatan. Tingkatan pertama adalah the invisible conflict. Konflik yang terjadi pada tingkatan ini masih ada di batin atau perasaan. Ada beberapa ketidakcocokan antara suami dengan istri, tetapi ketidakcocokan itu tidak tampak atau tidak muncul dalam ucapan, sikap, dan tindakan. Ini adalah sebentuk ketidaknyamanan hubungan yang tidak diekspresikan, tetapi lebih banyak dipendam dalam hati dan pikiran. Suami dan istri sama-sama merasakan ada sesuatu yang mengganjal, tetapi tidak diungkapkan. Tingkatan kedua adalah the perceived/experienced conflict. Konflik yang terjadi pada tingkatan ini sudah sama-sama diketahui, dialami, atau sudah tampak di permukaan. Suami dan istri sudah sama-sama mengalami perbedaan yang muncul dalam bentuk percekcokan, pertengkaran, atau perlawanan. Pemicu konflik bisa jadi karena perbedaan pendapat antara suami dan istri, perbedaan harapan, keinginan, atau karena adanya tindakan yang tidak menyenangkan. Konflik bisa terjadi dalam bentuk kalimat yang diucapkan atau sikap yang ditampakkan. Tingkatan ketiga adalah the fighting. Pada tingkatan ini, konflik sudah berubah menjadi tindakan fisik, seperti pukulan, tendangan, tamparan, atau tindakan lain yang bersifat fisik. Menurut kamus, fighting adalah melawan orang lain dengan pukulan atau senjata (blow or weapon). Dalam kehidupan rumah tangga, banyak terjadi pertengkaran suami dan istri yang melibatkan aktivitas fisik dan “senjata” seperti menggunakan alat pemukul, memecah piring, melempar gelas, merusak perabotan rumah tangga, dan lain sebagainya. Memahami tingkatan konflik ini akan sangat membantu bagi suami dan istri untuk bisa menentukan sikap yang tepat pada saat menghadapinya. Hendaknya suami dan istri tidak membiarkan konflik berkembang dari tingkatan pertama menuju tingkatan kedua dan ketiga. Deteksi dini adanya konflik di tingkatan
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 248 pertama sangat diperlukan agar bisa segera mencari jalan keluar dan tidak membiarkannya berlarut-larut atau berlama-lama. Etika Konflik Suami Istri Tidak ada interaksi yang tidak menimbulkan konflik, baik konflik ringan sampai konflik yang berat. Dalam pernikahan, sering dikatakan bahwa “konflik adalah bumbu kehidupan pernikahan.” Meski demikian, jangan sampai bumbu lebih banyak dibanding masakan utamanya. Apa pun jenis masakannya, kalau bumbu lebih banyak dari bahan pokok, justru akan mengacaukan rasa. Bumbu baru menjadi membuat enak masakan apabila diberikan dengan takaran yang proporsional. Pertengkaran dan konflik dianggap wajar sebagai bumbu kehidupan berumah tangga, apabila proporsional dan bisa segera diselesaikan. Tidak berlarut-larut, apalagi sampai melakukan tindakan kekerasan dalam mengekspresikan konflik. 1. Hindari Melakukan Kekerasan Fisik terhadap Pasangan Walau tengah ada masalah dengan pasangan, berjanjilah untuk tidak memukul, menampar, menendang, meninju, mencakar, serta tindakan kekerasan fisik lainnya. Jangan melukai dan menyakiti fisik pasangan dengan cara atau sarana apa pun. Dengan tangan kosong ataupun dengan alat pemukul, pisau, dan aneka sarana lainnya. Anda wajib menjaga fisik pasangan. Jangan ada satu pun luka Anda torehkan kepada badan pasangan Anda. Tidak layak suami memukuli istri, tidak layak istri memukuli suami. Tindakan kekerasan fisik yang dilakukan dalam situasi emosi akan sangat membahayakan kesehatan dan keselamatan pasangan. Seorang istri mengadu di ruang konseling, bahwa dirinya kerap menjadi objek pelampiasan kemarahan suami. Tendangan, tamparan, bahkan pada saat dirinya tengah hamil, sering didapatkan. Banyak bekas-bekas luka dan lebam akibat pukulan suami, masih bisa dilihat di beberapa bagian tubuhnya. Tindakan kekerasan fisik seperti ini sangat merugikan dan membahayakan. Tidak pantas dilakukan oleh dua orang yang berhimpun atas nama cinta. Tidak patut dilakukan oleh manusia yang bertakwa. Menyiksa binatang saja dilarang agama, apalagi menyiksa pasangan hidupnya, kekasih hatinya. Tentu sama sekali tidak bisa dibenarkan. Sebagai sepasang kekasih, hendaknya mereka berusaha untuk meredam konflik dan tidak mengekspresikan dengan tindakan yang bisa membahayakan jiwa pasangan. 2. Hindari Melakukan Kekerasan secara Psikis terhadap Pasangan Walau tengah emosi karena sedang konflik, berjanjilah untuk tidak memaki, membentak, mengeluarkan sumpah serapah, kata-kata jorok dan kotor, serta tindakan lain yang menyakiti hati pasangan. Pada saat suami dan istri tengah mengalami konflik, biasanya justru memilih kata-kata yang paling pedas dan menyakitkan hati. Kata-kata yang paling jorok sekalipun mudah terucapkan pada saat suasana emosi tidak terkendali. Masih ditambah dengan tindakan yang makin melecehkan pasangan seperti meludah atau mengusir dari rumah. Ini sungguh sangat menyakitkan pasangan.
Anda wajib menjaga hati dan perasaan pasangan. Tidak layak suami mencaci Materi Diklat #1| 249 maki istri, demikian pula tidak layak istri memaki-maki suami. Kewajiban suami adalah melindungi istri, kewajiban istri adalah menghormati suami. Sepanjang Anda terikat sebagai suami dan istri, Anda harus saling menjaga hati dan perasaan pasangan. Tidak saling menyakiti, tidak saling melukai. Kekerasan secara psikis bisa lebih menyakitkan dibanding kekerasan fisik. Walau tidak mengucurkan darah, walau tidak ada bagian tubuh yang cedera, walau tidak ada luka yang menyayat badan pasangan, tetapi hati yang terluka lebih lama sembuhnya. Perasaan yang tersayat-sayat lebih dalam dan lebih lama rasa sakitnya. Maka, sangat tidak patut suami dan istri saling melakukan kekerasan secara psikologis terhadap pasangan. Bukankah Anda berdua sepasang kekasih yang diikat oleh cinta? 3. Hindari Melakukan Konflik Terbuka di Depan Anak Walaupun sedang konflik dengan pasangan, jangan melakukan konflik terbuka di depan anak-anak. Hal itu akan menyebabkan munculnya kekecewaan, ketakutan, dan trauma dalam kehidupan anak di masa depan mereka. Pertunjukan “peperangan” baik secara fisik atau adu mulut antara suami dan istri yang dilihat anak-anak, sama dengan mengajarkan kekerasan, permusuhan, dan kebencian pada benak mereka. Suami dan istri harus mampu meredam konflik secara dewasa, menyelesaikan permasalahan secara bijak. Jangan sampai pertempuran dahsyat justru ditampakkan di hadapan anak-anak. Mereka tidak siap dan tidak sanggup menyaksikan berbagai konflik di antara orang-orang yang sangat mereka cintai. Mereka tidak akan sanggup untuk memilih antara ayah atau ibu. Trauma dalam waktu panjang bisa muncul akibat anak-anak terbiasa menyaksikan kekerasan di antara ayah dan ibu mereka. Jangan biarkan anak-anak menyaksikan pertengkaran kedua orang tuanya. Bahkan pertengkaran dalam bentuk diam-diaman sekalipun. Anak-anak akan cepat menangkap bahwa antara ayah dan ibu mereka ada sesuatu karena sudah tidak bisa saling berbicara satu dengan yang lain. Tidak bisa saling tertawa satu dengan yang lain. Ini akan menyakitkan bagi anak-anak yang masih sangat berharap mendapat kehangatan kasih sayang kedua orang tua secara utuh dan penuh. 4. Hindari Mengumbar Konflik di Muka Umum Konflik suami dan istri tidak patut di buka di depan umum. Ada suami istri bertengkar di depan rumah mereka sehingga menjadi tontonan tetangga. Ada suami dan istri bertengkar di stasiun kereta api, terminal bus, bahkan bandara. Ada suami istri bertengkar hebat di hadapan karyawan dan anak buah perusahaan. Pemandangan konflik suami istri, tentu sangat tidak layak dipertontonkan di muka umum. Bahkan sangat memalukan apabila sampai ketahuan pihak lain. Ada istri yang hobi bercerita detail-detail konfliknya dengan suami, kepada teman-teman pergaulan. Saat ngerumpi bersama komunitas sosialita, cerita tentang konflik dengan suami menjadi salah satu agenda yang mereka buka. Dampaknya, aib suami menjadi konsumsi publik.
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 250 Ada pula suami yang suka menceritakan konflik dengan istri, kepada teman- teman kerja atau teman di grup-grup chatting. Tindakan seperti ini jelas tidak bijaksana dan tidak dewasa, apalagi menyebarkan aib istri kepada pihak-pihak yang tidak memiliki kepentingan untuk mengetahui. Hal seperti ini tidak patut dilakukan karena konflik dengan pasangan bukanlah tontonan atau entertainment. Konflik dengan pasangan semestinya dikelola di ruang privat sembari mencari solusi bersama, bukan diumbar di muka umum. Apalagi kalau sampai menggalang dukungan dari teman-teman pergaulan, tentu sudah sangat jauh dari etika. Konflik menjadi makin melebar ke mana-mana, dan makin meruncing suasananya. 5. Hindari Kesenangan Curhat Saat tengah konflik dengan pasangan, jangan cepat-cepat curhat kepada pihak lain, apalagi “curhat jalanan” kepada pihak yang tidak berkompeten. Tindakan curhat jalanan setiap mengalami konflik ini justru bisa makin memperluas medan konflik, bukan menyelesaikan. Yang dimaksud dengan curhat jalanan adalah curhat kepada sembarang orang. Bahkan cepat-cepat curhat kepada orang tua pun bukanlah tindakan yang tepat karena akan membebani hati dan pikiran orang tua. Suasana hati suami dan istri itu cepat sekali berubah. Dalam hitungan menit bahkan detik, kemarahan bisa berubah menjadi kehangatan kasih sayang. Istri yang marah atas perilaku suami, tiba-tiba bisa hilang lenyap kemarahannya berganti kasih sayang, saat suami dengan tulus memeluk dan mengucapkan kata cinta. Karena situasi hati suami istri mudah sekali berbolak-balik, maka saat tengah menghadapi konflik, jangan mudah curhat dan menceritakan konflik itu kepada orang lain. Situasinya bisa sangat cepat berubah. Pihak yang menerima curhat bisa memiliki persepsi permanen atas persoalan itu, padahal suami dan istri telah mengalami berbagai macam perubahan perasaan dalam waktu yang sangat singkat. Tindakan cepat curhat ketika menghadapi pertengkaran dengan pasangan satu sisi menunjukkan ketidakdewasaan dalam hidup berumah tangga dan di sisi lain membahayakan kebahagiaan rumah tangga. Curhat hanya pantas dilakukan kepada pihak yang memiliki kompetensi, itu pun dilakukan secara privat di ruang tertutup. Dilakukan curhat setelah usaha mereka berdua untuk menyelesaikan masalah tidak berhasil menemukan jalan keluar. Pada hakikatnya, masalah bukan untuk diobral, bukan untuk diumbar, dan bukan dilakukan di depan umum. 6. Hindari Menumpahkan Emosi Konflik Melalui Media Sosial Media sosial bukanlah sarana untuk berkonflik dan bukan pula sarana untuk menumpahkan emosi kepada pasangan. Saat tengah menghadapi konflik dengan pasangan, hindari menuliskan suasana emosional melalui Facebook, Twitter, Instagram, dan lain sebagainya. Tindakan curhat terbuka melalui media sosial tersebut justru potensial untuk menimbulkan perluasan medan konflik, serta mengumbar aurat keluarga ke ranah publik.
John M. Gottman melontarkan istilah “banjir emosi” untuk menggambarkan Materi Diklat #1| 251 suasana hati suami istri yang memulai interaksi dengan “awal yang buruk”. Suasana jiwa mereka dibanjiri emosi dan membuat suami maupun istri sulit mengontrol diri. Pada titik seperti itu membuat mereka mudah meluapkan “banjir emosi” tersebut melalui berbagai macam sarana, termasuk media sosial. Tindakan menggunakan media sosial untuk konflik suami istri, atau untuk menumpahruahkan emosi kepada pasangan, sama sekali tidak memberikan efek penyelesaian permasalahan. Maka, jangan pernah membuka konflik dengan pasangan melalui media sosial. Istri menulis status “perang” pada Facebook dan aneka fitur media sosial lainnya, kemudian ditanggapi oleh suami. Mereka perang terbuka melalui media sosial yang bisa diakses oleh orang di seluruh dunia. Saat diri tengah dibanjiri emosi, hilanglah rasa malu, hilang pula pertimbangan akal sehat. Yang ada adalah dorongan untuk menumpahkan kemarahan, kekecewaan, kekesalan kepada pasangan melalui media yang mereka miliki. 7. Jangan Menjauh dari Pasangan Salah satu tindakan yang membuat konflik makin memanas dan sulit diselesaikan adalah ketika suami dan istri saling menjauh. Saat merasakan gejala konflik, suami makin jarang pulang, mencari-cari alasan untuk pergi meninggalkan rumah agar tidak bertemu istri. Demikian pula istri makin malas melayani suami, makin cuek dengan suami, dan tidak mau bertemu suami. Walau sama-sama di rumah, mereka berdua memilih diam, saling menghindar, dan tidak berinteraksi satu sama lain. Inilah yang dimaksud dengan gejala menjauh. Suasana saling menjauh menjadi lebih nyata ketika ditambah dengan saling mengkritik serta mencela dan menyalahkan pasangan. Suami konsisten melontarkan kritikan, celaan, dan menyalahkan istri, demikian pula istri konsisten melontarkan kritikan, celaan, dan menyalahkan suami. Masing-masing berdiri pada posisi yang berhadap-hadapan dan saling berlawanan. Padahal seharusnya mereka berada pada satu pihak dan tidak saling menyerang satu dengan yang lain. Suasana kejiwaan mereka akan makin menjauh apabila meletakkan diri secara berhadap-hadapan, seakan-akan menjadi musuh. Padahal mereka adalah pasangan, hanya saja sedang menghadapi pertengkaran. Semestinya, pada saat menghadapi konflik, mereka justru harus makin mendekat satu sama lain. Konflik tidak akan selesai apabila dihindari, tetapi akan menjadi tuntas apabila dihadapi dengan bijak dan dewasa. Suami harus mengupayakan menghadirkan suasana yang kondusif agar konflik segera mereda dan terselesaikan dengan baik, demikian pula istri harus berusaha agar bisa lebih dekat dengan suami sehingga mudah untuk mendapatkan solusi. 8. Jangan Biarkan Masalah Tanpa Penyelesaian Yang harus Anda lakukan adalah segera duduk berdua untuk mencari penyelesaian masalah. Tutup rapat masalah Anda berdua, bicarakan baik-baik berdua saja, cari solusi berdua. Jangan emosi, jangan terbakar kemarahan,
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 252 berpikirlah secara rasional dengan hati yang tenang. Bukankah Anda dua orang yang saling mencinta? Sebagai sepasang kekasih, tentu sangat mudah bagi Anda untuk merujuk kembali kisah cinta yang telah Anda bangun sejak awal berumah tangga. Merunut kembali motivasi yang mendorong Anda berdua menjalani hidup berumah tangga. Itu akan membawa Anda kepada suasana pengantin baru. Mengingat kembali masa-masa indah sejak sebelum menikah hingga awal-awal menjalani kehidupan keluarga, bisa membangkitkan cinta dan kasih sayang. Jika Anda berdua benar-benar tidak mampu menyelesaikan persoalan dan konflik, segera lakukan mediasi menggunakan bantuan pihak yang Anda percaya bersama. Bisa mediasi melalui psikolog, konselor, pemuka agama, atau pihak keluarga yang tepercaya agar memberikan advice atas masalah yang tengah melilit Anda berdua. Mediasi ini merupakan salah satu bentuk upaya mencari jalan penyelesaian terhadap masalah. Agar masalah Anda berdua segera selesai dan segera menemukan titik terang untuk mengakhiri “peperangan”. Pilih Resolusi Konflik yang Tepat Menurut Firtzpatrick, ada empat model penyelesaian konflik antara suami dengan istri, yaitu menghindari konflik, mengalah, diskusi, dan kompetensi. Pertama, Model Menghindari Konflik Berlanjut Yang dimaksud adalah perilaku suami dan istri yang berusaha untuk mengalihkan perhatian atau mengalihkan pembicaraan kepada tema yang lain, apabila pembicaraan di antara mereka sudah mulai mengarah kepada terjadinya konflik. Misalnya, sepasang suami istri tengah dilanda konflik mengenai pola pendidikan anak mereka. Ada perbedaan yang sangat mencolok dalam pendidikan anak yang mereka yakini. Setiap kali berbicara tentang pendidikan anak, emosi masing-masing langsung bangkit dan mulai terjadi konflik lanjutan dari konflik yang sudah ada sebelumnya. Metode ini dilakukan dengan jalan mengalihkan perhatian atau mengalihkan bahan pembicaraan sehingga tidak menyangkut wilayah sensitif yang bisa membuat mereka terlibat konflik. Tentu saja suatu saat nanti mereka harus menemukan kesepakatan tentang pola pendidikan anak, tetapi harus dilakukan dalam suasana yang nyaman dan tenang, bukan emosional. Mereka perlu mencari waktu khusus untuk menyelesaikan persoalan perbedaan pendapat tentang pendidikan anak tersebut. Namun, untuk sementara waktu, mereka bisa mengalihkan pembicaraan terlebih dahulu untuk menghindarkan dari konflik harian. Kedua, Model Mengalah Metode mengalah ini dilakukan dengan jalan salah satu pihak atau kedua belah pihak mengalah tanpa harus berusaha mencari penyelesaian masalah yang sedang terjadi di antara mereka, Jika konflik mulai menyulut dan tidak ada yang mau mengalah, akan menyebabkan konflik terus berkembang tanpa segera ada penyelesaian. Maka, mengalah adalah metode yang sederhana dan simpel dan tidak memerlukan logika atau pembenaran yang rumit dalam penyelesaian konflik.
Yang diperlukan hanyalah kesediaan untuk menundukkan ego dan mengalah Materi Diklat #1| 253 demi kebaikan keluarga. Namun, metode mengalah ini harus disertai kesepakatan kedua belah pihak bahwa mereka tidak saling memanfaatkan sikap mengalah pasangan tersebut untuk mengulang kesalahan atau konflik yang sama. Yang lebih bagus adalah ketika kedua belah pihak bersedia berlomba mengalah demi kebaikan hubungan dengan pasangan. Tidak perlu memperpanjang diskusi tentang siap benar dan siapa salah, tidak perlu saling menyalahkan, cukup dengan saling mengalah. Metode mengalah ini tepat dilakukan untuk menyelesaikan konflik yang terkait dengan persoalan pribadi, seperti ketersinggungan, komunikasi yang tidak nyaman, prasangka yang tidak disertai data, dan lain sebagainya. Urusannya hanya kepada harga diri suami atau istri, perasaan tersinggung secara pribadi dari suami atau istri, dan seterusnya. Mengalah tidak akan menyebabkan seseorang jatuh wibawanya. Ketiga, Model Diskusi Cara lain adalah dengan diskusi antara suami dan istri untuk mencari alternatif penyelesaian masalah yang paling memuaskan dan paling diterima oleh mereka berdua. Suami dan istri harus menyempatkan waktu berduaan dalam suasana yang tepat dan kondisi yang nyaman. Mereka berdua duduk untuk membahas akar persoalan dan mencari jalan penyelesaian yang bisa diterima oleh kedua belah pihak. Metode diskusi ini tepat untuk menyelesaikan konflik yang terkait dengan sesuatu yang bersifat strategis dan berjangka panjang. Misalnya saja konflik yang bermula dari prinsip dan keyakinan hidup, tentang pendidikan anak, tentang memilih tempat tinggal atau rumah, dan lain sebagainya. Keputusan tentang hal-hal tersebut bersifat strategis dan berjangka panjang karena akan menentukan kebaikan keluarga tersebut selama hidupnya. Atau untuk menyelesaikan konflik yang melibatkan orang ketiga sehingga perlu kesepakatan bagaimana menghadapi pihak ketiga tersebut. Keempat, Model Kompetensi Salah satu pihak dari suami atau istri mengerahkan kompetensinya untuk mencari solusi, kemudian mengajak pasangannya untuk menyelesaikan masalah dengan cara yang telah ditemukannya. Cara mengajak pasangan ini bisa dengan membujuk, merayu, mengiba, atau bahkan dalam contoh kasus tertentu memaksa agar bersedia menyelesaikan masalah dengan caranya. Model ini biasa terjadi pada pasangan suami istri, yaitu ketika salah satu di antara mereka bersifat sangat dominan sehingga terbiasa menentukan keputusan dengan caranya sendiri dan mengajak pasangannya untuk mengikuti cara yang diinginkan. Misalnya seorang suami yang dominan dan powerful, terbiasa mengambil keputusan sendiri tanpa melibatkan sang istri. Maka, ketika terjadi konflik, suami ini cenderung memaksa sang istri untuk mengikuti caranya dalam menyelesaikan konflik. Masalah bisa selesai sesaat, tetapi bisa menimbulkan tumpukan ketidaknyamanan istri dalam waktu yang panjang.
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 254 Keempat model tersebut dan model-model lainnya dalam penyelesaian konflik suami istri, bisa bersifat pilihan, bisa pula bersifat kombinasi. Tergantung suasana, kondisi, dan situasi hubungan antara suami dan istri. Namun, yang paling penting adalah itikad baik dari kedua belah pihak untuk menyelesaikan masalah dan menguatkan keharmonisan keluarga. Mungkin slogan Pegadaian tepat untuk dijadikan rujukan suami dan istri dalam menyelesaikan konflik, “Menyelesaikan masalah tanpa masalah.” Selesai dari Diri Anda Terlebih Dahulu Saat suami dan istri mulai merasakan ketegangan hubungan, sesungguhnya tanda-tandanya sangat banyak dan mudah dikenali. Misalnya komunikasi tidak lancar. Istri tidak bisa atau tidak berani berbicara dengan suami. Takut menyinggung, takut dimarahi, takut tidak ditanggapi. Suami tidak nyaman berbicara dengan istri. Takut tidak nyambung, takut salah paham, takut direspons dengan berlebihan. Akhirnya saling memilih untuk diam, tetapi memendam perasaan yang tidak nyaman. Bisa juga suami dan istri berada dalam suasana sensitif yang berlebihan. Kata-kata kecil yang diucapkan suami atau istri, mudah memunculkan emosi dan kemarahan pasangan, walaupun tidak diekspresikan. Komunikasi sering tidak nyaman karena mudah salah paham dan berlebihan memahami kalimat yang diucapkan pasangan. Seakan-akan pasangan tengah menyindir atau mengejek dirinya. Inilah gejala suami dan istri sudah memasuki gelanggang konflik pada tingkat yang pertama. Ada suasana tidak nyaman, suasana ketidakcocokan antara suami dan istri, tetapi hanya dipendam di dalam hati. Tidak ditampakkan, tidak diekspresikan. Masing-masing memendam rasa yang tidak mengenakkan kepada pasangan. Jika gejala konflik tingkat pertama ini sudah dirasakan, segeralah mencari jalan keluar. Jangan biarkan perasaan tidak nyaman kepada pasangan ini bercokol dan bertahan berlama-lama dalam jiwa. Itu akan sangat menyakitkan dan menyiksa hati serta perasaan. Bahkan dikhawatirkan lama-lama akan menggerogoti cinta yang sudah ditanam dalam dada. Segeralah keluar dari zona tidak nyaman ini agar tidak membahayakan keharmonisan hubungan Anda bersama pasangan tercinta. Sebaiknya Anda segera berinisiatif, bukan menunggu pasangan. Mulai dari Anda, untuk mengajak pasangan menemukan solusi. Jangan pasif, tetapi harus proaktif. Jika Anda tidak memulai, bisa jadi masalah tidak akan pernah menemukan jalan keluar karena tidak pernah dibahas bersama. Cari waktu dan suasana yang tepat. Ajak pasangan Anda berbicara dalam suasana jiwa yang bening, pikiran yang jernih, dan hati yang tidak diliputi emosi. Sampaikan permintaan maaf Anda kepada pasangan karena menyimpan perasaan yang tidak nyaman kepadanya. Jika perasaan itu berupa praduga tertentu kepada pasangan, konfirmasikan hal itu kepadanya. Ingat, jangan menyalahkan pasangan. Obrolan ini hanyalah untuk menyalurkan ganjalan yang selama ini mengendap di hati. Bukan forum untuk menghakimi atau saling menyalahkan di antara suami dan istri.
Bahkan lebih bagus lagi jika menggunakan canda agar suasana lebih cair dan Materi Diklat #1| 255 nyaman bagi semua. Ada banyak kelucuan yang selama ini disimpan dalam kehidupan berumah tangga yang bisa diungkapkan agar suasana menjadi santai dan tidak tegang. Dalam kenyamanan suasana, saling tertawa, saling menampakkan canda, perlahan-lahan kebekuan hubungan akan tercairkan. Berbagai hal yang mengganjal bisa dikeluarkan dan disalurkan sehingga hati tidak lagi menyimpan sesuatu yang mengganjal dan tidak mengenakkan dari pasangan. Keteladanan Nabi saw. dalam Menyelesaikan Konflik Rumah Tangga Dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, Imam Al-Ghazali menyampaikan kisah adanya konflik dalam rumah tangga Nabi saw. Terjadi perdebatan antara Nabi saw. dengan ‘Aisyah r.a., sampai keduanya meminta Abu Bakar menjadi penengah di antara keduanya dan memintanya untuk menjadi saksi. Rasulullah berkata kepada ‘Aisyah, “Kamu yang berbicara atau aku?” ‘Aisyah menjawab, “Engkau saja yang berbicara dan jangan berkata kecuali yang benar.” Lalu Abu Bakar menampar ‘Aisyah sehingga mulutnya berdarah dan berkata, “Pernahkah beliau berkata tidak benar, wahai musuh dirinya sendiri?’ Kemudian ‘Aisyah berlindung kepada Nabi saw. dan duduk di belakang punggungnya. Nabi saw. berkata, “Kami tidak memanggilmu untuk ini dan kami tidak menginginkan darimu berbuat hal ini.” Al-Ghazali memuat hadis dalam kitab Ihya’ Ulumuddin juz 2 hal 43. Al-Iraqi saat menakhrij hadis Ihya tersebut dalam kitab Al-Mughni ‘an Hamlil Asfar hal 481, mengatakan: diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam Al-Awsath dan Al-Khatib dalam At-Tarikh dari hadis ‘Aisyah, dengan sanad dhaif. Selain hadis yang dinukil Imam Al-Ghazali di atas, terdapat hadis lain yang memiliki kemiripan tema, yaitu adanya perselisihan dalam rumah tangga Nabi saw. Dari ‘Aisyah r.a., bahwa Nabi saw. meminta kepada Abu Bakar menyelesaikan masalah tentang ‘Aisyah. Dan Nabi saw. tidak mengira akan apa menimpa ‘Aisyah. Abu Bakar mengangkat tangannya kemudian menampar dan memukul dada ‘Aisyah. Ketika Nabi saw. melihat kejadian itu beliau berkata, “Wahai Abu Bakar saya tidak minta bantuan kepadamu tentang ‘Aisyah setelah ini selamanya” (HR. Ibnu Hibban nomor 4185. Syeikh Al-Albani menilai, hadis ini sahih lighairihi). Dari contoh kejadian tersebut, ada beberapa pelajaran penting yang bisa kita ambil dari keteladanan Nabi saw. dalam menyelesaikan konflik rumah tangga. 1. Selalu Mengedepankan Akhlak Mulia Nabi saw. tidak pernah melakukan tindakan yang tidak terpuji. Sungguh akhlak beliau telah dipuji oleh Allah Ta’ala sebagai “khuluqun azhim” atau akhlak yang agung. Dengan keagungan akhlak inilah Nabi saw. berinteraksi dengan semua manusia, termasuk dengan keluarga beliau. Bahkan, ketika menyebut manusia yang terbaik, beliau menjadikan kebaikan akhlak sebagai patokan utama.
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 256 Nabi saw. bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik bagi istrinya dan aku adalah orang yang terbaik di antara kalian terhadap istriku” (HR. At-Tirmidzi nomor 3895 dari hadis ‘Aisyah dan Ibnu Majah nomor 1977. Disahihkan oleh Syeikh Al-Albani dalam Ash-Sahihah nomor 285). “Orang yang imannya paling sempurna di antara kaum mukminin adalah orang yang paling bagus akhlaknya di antara mereka, dan sebaik-baik kalian adalah yang terbaik akhlaknya terhadap istri-istrinya” (HR. At-Tirmidzi nomor 1162 dari hadis Abu Hurairah dan Ibnu Majah nomor 1987. Disahihkan oleh Syeikh Al- Albani dalam Ash-Sahihah nomor 284). Ketika memberikan pengarahan kepada para suami, Rasulullah saw. bersabda, “Kamu harus memberi makan kepadanya sesuai yang kamu makan, kamu harus memberi pakaian kepadanya sesuai kemampuanmu memberi pakaian, jangan memukul wajah, jangan kamu menjelekkannya, dan jangan kamu melakukan boikot kecuali di rumah” (HR. Ahmad nomor 20011, Abu Daud nomor 2142 dan disahihkan Al-Albani). Dari arahan beliau tersebut, tampaklah akhlak yang sangat mulia dalam berinteraksi suami istri. Di antaranya, Nabi saw. bersabda, “Jangan kamu menjelekkannya.” Dalam Syarah Sunan Abu Daud dinyatakan, “Jangan kamu ucapkan kalimat yang menjelekkan dia, jangan mencacinya, dan jangan mendoakan keburukan untuknya.” Ini adalah akhlak yang sangat mulia dalam berkonflik. 2. Memahami dan Menghormati Perasaan Pasangan Nabi saw. tidak menyalah-nyalahkan atau menuduh ‘Aisyah, beliau saw. tetap husnuzan dengan ‘Aisyah. Jika beliau mau, bisa saja beliau—sebagai Nabi Allah—langsung memutuskan sesuatu; dan pasti ‘Aisyah pun akan mengikuti keputusan tersebut. Namun, hal itu tidak beliau lakukan, justru beliau meminta tolong kepada Abu Bakar—ayahanda ‘Aisyah. Ini adalah bentuk pengertian dan penghormatan beliau terhadap ‘Aisyah. Mungkin saja ada sesuatu dalam diri ‘Aisyah yang ingin disampaikan, tetapi tidak nyaman atau sungkan, bisa jadi akan lebih nyaman apabila melalui Abu Bakar, sang ayah. Ini adalah sebuah bentuk pengertian dan penghormatan yang luar biasa. Terdapat contoh kisah yang lain dalam rumah tangga Nabi saw. yang bisa kita teladani dalam penyelesaian konflik. Dari Anas bin Malik, ia berkata, “Ketika Nabi saw. berada di tempat salah seorang istrinya, salah seorang istri beliau (yang lain) mengirim sepiring makanan. Maka, istri beliau yang beliau sedang di rumahnya pun memukul tangan pembantu sehingga jatuhlah piring dan pecah (sehingga makanan berhamburan). Lalu Nabi saw. mengumpulkan pecahan piring tersebut dan mengumpulkan makanan yang berhamburan, sambil berkata, ‘Ibu kalian cemburu’” (HR. Bukhari V/2003 nomor 4927). Al-Hafizh Ibnu Hajar menjelaskan, “Perkataan Nabi saw., ‘Ibu kalian cemburu,’ adalah uzur dari Nabi saw. (untuk istri beliau yang menyebabkan pecahnya piring) agar sikap istrinya tersebut tidak dicela, akan tetapi, sikap tersebut biasa terjadi di antara seorang istri dengan madunya karena cemburu. Rasa cemburu itu memang merupakan tabiat yang terdapat dalam diri (perempuan) yang tidak mungkin untuk ditolak” (Fathul Bari V/126).
Demikianlah sikap Nabi saw. yang mengerti dan menghormati perasaan para Materi Diklat #1| 257 istri. Ini yang membuat konflik tidak berkembang, dan selalu cepat diselesaikan. 3. Tidak Bersikap Otoriter terhadap Pasangan Mari kita meneladani perilaku Nabi saw. terhadap para istri beliau. Dalam kisah sengketa dengan ‘Aisyah pada hadis di atas, tampak bahwa Nabi saw. tidak bersikap otoriter dalam mengambil keputusan. Saat ada masalah, sesungguhnya beliau bisa saja memutuskan sendiri— bahkan tanpa harus meminta persetujuan dari ‘Aisyah. Namun, beliau tidak melakukan hal tersebut. Beliau justru meminta tolong kepada ayah mertua untuk menengahi dan menyelesaikan masalah dengan ‘Aisyah. Terdapat kisah yang disampaikan oleh ‘Aisyah, “Kami keluar bersama Rasulullah saw. pada sebagian safar beliau (yaitu tatkala Rasulullah saw. beserta para sahabatnya berangkat berperang melawan Yahudi kabilah Bani Mushthaliq), hingga tatkala kami sampai di Al-Baida’ di Dzatuljaisy kalung milikku terputus. Maka, Rasulullah saw. pun berhenti untuk mencari kalung tersebut dan orang- orang yang beserta beliau pun ikut terhenti, padahal mereka tatkala itu tidak dalam keadaan bersuci” (HR. Bukhari I/127 nomor 327). Masyaallah, beliau menghentikan pasukan karena kalungnya ‘Aisyah terputus. Sesungguhnya beliau bisa saja untuk tetap berjalan dan pasti ‘Aisyah akan menaati beliau. Namun, beliau adalah sosok suami yang sangat santun kepada istri dan tidak berlaku otoriter terhadap para istri. Demikian pula dalam kisah para istri Nabi saw. meminta tambahan nafkah kepada Nabi saw., hingga Allah menurunkan surah Al-Ahzab ayat 28 dan 29. Beliau saw. tidak langsung menolak permintaan itu atau langsung mengambil keputusan, tetapi meminta petunjuk kepada Allah. 4. Menghadirkan Mediator yang Dipercaya Kedua Belah Pihak Kehadiran Abu Bakar adalah untuk memediasi urusan Nabi saw. dengan ‘Aisyah. Sosok Abu Bakar adalah orang yang dipercaya oleh kedua belah pihak. Nabi saw. sangat percaya kepada Abu Bakar, sementara ‘Aisyah adalah anak Abu Bakar. Keduanya memiliki kedekatan dengan Abu Bakar, hal ini lebih menjamin Abu Bakar akan bersikap adil karena tidak hanya dekat dengan salah satu dari keduanya. Hal ini menjadi pelajaran penting bagi kita. Apabila konflik suami istri sudah tidak bisa diselesaikan dengan nyaman oleh mereka berdua, bisa melibatkan pihak ketiga sebagai mediator untuk membantu mencari solusi. Mediator ini haruslah orang yang dipercaya kebaikan dan kompetensinya untuk menyelesaikan masalah sekaligus dipercaya oleh kedua belah pihak. Jangan sampai mediator justru menambah rumit dan peliknya masalah. 5. Menghindari Tindak Kekerasan Fisik maupun Psikis Dalam hadis riwayat Ibnu Hibban di atas, terdapat pernyataan, “Nabi saw. tidak mengira akan apa yang menimpa ‘Aisyah. Abu Bakar mengangkat tangannya kemudian menampar dan memukul dada ‘Aisyah. Ketika Nabi saw. melihat kejadian itu beliau berkata, “Wahai Abu Bakar saya tidak minta bantuan kepadamu tentang ‘Aisyah setelah ini selamanya.” Perkataan Nabi saw. kepada Abu Bakar, “Saya tidak minta bantuan kepadamu tentang ‘Aisyah setelah ini selamanya” menunjukkan sikap Nabi saw.
yang tidak ingin melakukan dan melihat tindak kekerasan fisik dan kekerasan psikis terhadap istri beliau. Beliau sendiri tidak pernah menggunakan kekerasan fisik maupun psikis dalam berinteraksi dengan istri, maka beliau juga tidak menghendaki orang lain melakukan kekerasan itu terhadap istri beliau. Pelajaran penting bagi kita semua, dalam kondisi emosi, marah, atau konflik sehebat apa pun, hindarilah melakukan tindakan kekerasan fisik terhadap pasangan. Kekerasan fisik bisa menyebabkan cedera, bahkan cacat permanen dan sampai bisa merenggut nyawa orang yang seharusnya dicintai, dikasihi, dan dilindungi. Pasangan suami istri harus saling melindungi satu dengan yang lain, kendati tengah ada masalah dan konflik di antara mereka berdua. Tetaplah berusaha menyelesaikan masalah dengan cara bijak dan dewasa, sebagai sesama insan beriman, sebagai sepasang kekasih yang saling mencintai dan menyayangi. Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 258
Manajemen Keuangan Keluarga Materi Diklat #1| 259 Tujuan Pembelajaran Umum: Membangun pemahaman konsep manajemen keuangan keluarga sehingga memiliki kesadaran akan pentingnya mempelajari ilmu, sikap positif dan konstruktif di tengah keluarga, serta keterampilan membina ketahanan keluarga. Tujuan Pembelajaran Khusus: 1. Peserta pendampingan memahami urgensi manajemen keuangan keluarga. 2. Peserta memahami manajemen keuangan dalam pernikahan. 3. Peserta memahami manajemen keuangan setelah pernikahan. 4. Peserta menginternalisasi norma menghadirkan rezeki yang halal lagi tayib bagi keluarga. 5. Peserta mampu membuat dan menjalankan perencanaan keuangan keluarga. 6. Peserta pendampingan membangun kesadaran pentingnya belajar sepanjang hayat secara mandiri atau mengikuti program edukasi keluarga agar menjadi keluarga yang tangguh. Alternatif Kegiatan Pembelajaran: 1. Pendamping memantik dengan cara menyampaikan contoh manajemen keuangan keluarga yang sehat dan bertumbuh. 2. Peserta difasilitasi workshop pembuatan perencanaan manajemen keuangan keluarga. 3. Peserta mendapat penjelasan tentang manajemen keuangan keluarga. 4. Pendamping memfasilitasi diskusi tentang alternatif program apa saja untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, serta keterampilan manajemen keuangan keluarga. Uraian Materi: Pertama, Manajemen Keuangan dalam Acara Pernikahan Akad nikah dan resepsi pernikahan adalah momen terindah yang akan dikenang sepanjang hidup manusia. Oleh karena itu, untuk bisa mendapatkan kenangan pernikahan yang indah, banyak pasangan mengabadikan hari sakral tersebut dengan pesta yang berkesan. Persiapan acara pernikahan yang panjang dan melelahkan, biaya pernikahan yang cukup besar seolah terbayar oleh kebahagiaan dan kepuasan pengantin dan keluarga. Pada acara pernikahan tersebut, pengantin larut dalam kebahagiaan, berbaur dengan canda tawa para sahabat, sanak keluarga, tetangga maupun kolega yang turut hadir merayakan hari bahagia.
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 260 Merencanakan Anggaran Pesta Pernikahan Tidak sedikit pasangan pengantin ataupun orang tuanya yang pusing usai menggelar pesta pernikahan. Mereka terpaksa terbelit utang yang tidak sedikit, demi mengejar gengsi dan kemewahan pesta pernikahan. Padahal bagian terpenting dari sebuah pernikahan adalah prosesi akad yang harus dilaksanakan dengan benar sesuai tuntunan agama dan aturan negara. Bukan meriah dan mewahnya pesta walimah. Setelah acara pesta pernikahan, justru pengantin akan memulai kehidupan rumah tangga. Mereka memerlukan biaya yang lebih banyak dan lebih penting dibandingkan dengan meriahnya pesta sesaat. Untuk itulah diperlukan perencanaan yang matang untuk mempersiapkan kegiatan akad nikah dan pesta walimah agar tidak menjadi beban bagi siapa pun seusai pesta dilaksanakan. a. Rencanakan Anggaran dan Tetapkan Besaran Biaya Pernikahan Ketika sudah mantap memutuskan menikah, segera rencanakan detail acara akad nikah maupun walimah. Rencanakan anggaran yang realistis dan tetapkan besaran biaya pernikahan. Berapa biaya yang bisa Anda persiapkan untuk acara akad dan walimah tersebut? Dari mana sumber dananya? Dalam menetapkan besaran biaya pernikahan ini, ada sangat banyak komponen untuk dihitung. Namun, semua harus didasarkan kepada kemampuan riil dari kedua belah pihak keluarga dalam menanggungnya. Dengan ditetapkannya besaran biaya pernikahan, segala sesuatu menyesuaikan dengan besaran biaya ini. Misalnya, apakah tempat resepsi di gedung atau cukup di halaman rumah, berapa jumlah tamu, dan lain sebagainya. Batas anggaran juga berfungsi sebagai alat kendali pasangan pengantin dalam mempersiapkan pernikahan. Sangat banyak keinginan calon pengantin yang ingin dipenuhi. Namun, jika itu melampaui batas maksimal budget yang telah ditetapkan, sebaiknya keinginan tersebut disesuaikan. Yang membuat biaya pernikahan membengkak adalah keinginan calon pengantin atau keluarga kedua belah pihak yang dipaksakan untuk dipenuhi. Semuanya harus menyesuaikan dengan anggaran yang telah ditetapkan. Sebisa mungkin hindari utang, kalaupun terpaksa utang, hendaknya dalam jumlah yang masih realistis untuk pengembalian tanpa menjadikan beban bagi pengantin maupun orang tuanya. Dalam perencanaan teknis acara pernikahan, buatlah anggaran yang tidak melebihi besaran biaya yang sudah Anda tetapkan. b. Gunakan Standar Anda Sendiri Ketika merencanakan besaran anggaran untuk keperluan pesta pernikahan, gunakanlah standar Anda sendiri. Masing-masing kita memiliki kemampuan yang berbeda dalam kehidupan sosial dan ekonomi, maka jangan menggunakan standar orang lain yang lebih tinggi dari kemampuan kita. Biarkan saja orang lain memiliki pesta yang sangat meriah dan mewah, jangan terpengaruh oleh mereka. Semua orang memiliki standar yang berbeda. Catatan pentingnya adalah disiplin terhadap anggaran yang sudah ditetapkan. Jika anggaran sangat terbatas, jangan mengada-adakan hal-hal yang di luar kemampuan. Jangan minder atau malu atau gengsi karena pesta yang sederhana dan tidak meriah, karena semua orang punya ukuran kemampuan yang berbeda. Ingat,
pesta hanya sehari atau dua hari, sementara hidup Anda setelah pesta masih Materi Diklat #1| 261 sangat panjang membentang. Terlebih lagi, ajaran agama melarang kita melakukan segala sesuatu yang berlebih-lebihan. Agama mengajarkan hidup hemat, tidak boros, menjauhi utang, dan bersikap sederhana. Jangan memaksakan diri mengadakan pesta yang di luar kemampuan, hanya karena mengejar gengsi, atau kepatutan, atau kebanggaan, yang berdampak menjadikan beban dalam kehidupan selanjutnya. c. Bicarakan Pembagian Porsi Pembiayaan Pernikahan bukan hanya menyatukan dua insan, melainkan juga penyatuan dua keluarga besar menjadi hubungan persaudaraan. Maka, dalam merencanakan biaya pernikahan, sebaiknya dibicarakan baik-baik antara kedua belah pihak. Besaran biaya pernikahan tersebut akan ditanggung oleh siapa dan bagaimana teknis kontribusinya. Pembicaraan dan keterbukaan seperti itu penting agar tidak terjadi hal-hal yang tidak mengenakkan pada kedua belah pihak. Bisa saja pembahasan itu dilakukan dalam sebuah rapat bersama dari kedua belah pihak keluarga. Atau kalaupun tidak dalam forum rapat, bisa ditempuh dengan saling menanyakan baik langsung maupun melalui calon pengantin agar dikomunikasikan dengan orang tua masing-masing. Pembagian pembiayaan tergantung dari kesepakatan kedua pihak sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan ataupun diuntungkan. Keduanya saling bersepakat, saling rela, dan saling membantu dalam urusan biaya pernikahan. d. Buat Perincian Anggaran Belanja Sangat penting bagi sahabat muda membuat rincian pengeluaran untuk keperluan pesta pernikahan. Rincian ini yang akan digunakan sebagai bahan kontrol antara daftar keinginan dengan realitas kemampuan. Biasanya calon pengantin memiliki banyak keinginan dan impian. Mereka sudah membayangkan meriahnya pesta pernikahan dengan segala pernik-pernik dan aksesori yang mengesankan. Tentu saja impian dan keinginan seperti itu tidaklah dilarang, hanya saja semua harus “tunduk” pada batasan anggaran yang sudah ditetapkan. Dengan membuat rincian rencana pengeluaran akan segera tampak poin-poin yang bisa diwujudkan dan poin-poin yang harus dilupakan karena tidak mungkin untuk diwujudkan. Anda harus cermat memilahkan mana yang menjadi daftar keinginan dengan realitas kemampuan. Dari situlah Anda harus “tega” untuk merasionalisasi daftar keinginan dan impian Anda. Hal-hal yang tidak esensial dan hanya merupakan kembang-kembang pesta, tidak selalu harus diadakan. Karena esensi yang sangat penting dan fundamental adalah keabsahan akad nikahnya sesuai ajaran agama dan aturan negara. Untuk membuat sebuah pesta pernikahan, biayanya bisa sangat minimalis, sangat hemat, tetapi juga bisa tidak terbatas. Semua kembali kepada kemampuan masing-masing, dengan standar masing-masing, yang tidak sama antara satu orang dengan orang lainnya.
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 262 Berikut ini adalah beberapa poin yang akan menentukan berapa biaya pernikahan. Namun, catatan sekali lagi, semua harus disesuaikan dengan batas maksimal anggaran yang disediakan. Poin-poin berikut ini biasanya masuk dalam rincian anggaran belanja pesta pernikahan. 1. Biaya Pengurusan Administrasi Pernikahan Besaran biaya administrasi pernikahan telah ditentukan oleh pemerintah. Misalnya, untuk wilayah Bantul DIY, jika akad nikah dilaksanakan di Kantor KUA pada jam kerja, tidak ada biaya yang dikenakan pada pengantin. Namun, apabila akad nikah dilaksanakan di tempat lain, seperti di rumah pengantin perempuan, di masjid atau di gedung pernikahan, ada biaya yang dikenakan sesuai peraturan. Itu pun membayarnya melalui transfer bank yang resmi ditunjuk oleh pemerintah. Selain biaya administrasi pernikahan, tentu ada biaya pengurusannya. Misalnya saja, jika semua diurus sendiri oleh pengantin dan keluarganya, tentu memerlukan biaya transportasi, fotokopi dokumen, dan lain-lain selama proses pengurusan berjenjang itu berlangsung. Proses sejak dari ketua RT, ketua RW, kelurahan/desa, kecamatan, dan KUA, itu semua memerlukan perjalanan dan waktu. Perjalanan tentu memerlukan biaya bensin, ini bisa dimasukkan dalam anggaran. 2. Pemeriksaan Kesehatan Sebelum melaksanakan akad nikah, calon pengantin harus memeriksakan kesehatan di puskesmas atau rumah sakit. Ada banyak pilihan pemeriksaan kesehatan pra-nikah, apakah ingin yang minimalis, atau sekalian periksa kesehatan secara umum. Hal ini agar bisa diketahui dari awal tingkat kesehatan atau risiko penyakit pada kedua calon pengantin. Biaya pemeriksaan ini berbeda-beda tergantung tempat periksa dan pilihan jenis pemeriksaannya. 3. Surat Undangan Pilih jenis dan model surat undangan pernikahan sesuai budget yang telah ditentukan. Bahkan bisa jadi tidak memerlukan surat undangan karena tradisi di kampung yang cara mengundangnya secara lisan, tidak menggunakan surat undangan. Sangat banyak jenis surat undangan. Sejak yang mewah dan super mahal, sampai yang murah meriah. Sesuaikan kemampuan diri dalam memilih jenisnya agar tidak menjadi beban. Saat ini, sudah banyak perusahaan percetakan yang menyediakan jasa cetak beserta pengetikan nama yang diundang beserta alamat sampai pada jasa pengantaran atau pengiriman undangan tersebut ke alamat masing-masing. Tawaran seperti ini pun harus dimasukkan ke dalam budget, apakah masih dalam rentang batas anggaran atau sudah tidak bisa diterima. 4. Biaya Gedung Jika akad nikah dan resepsi pernikahan dilaksanakan di masjid atau di gedung pertemuan, di restoran atau di hotel, tentu ada biaya yang harus diperhitungkan dalam penganggaran.
Ada banyak gedung yang favorit untuk dijadikan tempat resepsi pernikahan, Materi Diklat #1| 263 biasanya untuk mendapatkan jadwal pemakaian, harus sudah memesan tempat setahun atau bahkan dua tahun sebelumnya. Jika ternyata budget terbatas dan tidak memungkinkan menggunakan gedung pertemuan, harus realistis untuk menggunakan halaman rumah sendiri atau menggunakan sebagian badan jalan di depan rumah, atau meminjam gedung yang bisa gratis tanpa menyewa. 5. Perlengkapan Pesta Jika melaksanakan pesta pernikahan di gedung pertemuan, biasanya perlengkapan pesta sudah tersedia di dalamnya, seperti kursi, meja, sound system, dan lain-lain. Untuk suguhan, jika menggunakan jasa katering, perlengkapan juga sudah sekaligus sudah disediakan oleh pihak katering, seperti gelas, piring, mangkuk, sendok, dan lain-lain. Namun, jika melaksanakan pesta pernikahan di rumah sendiri, perlu dihitung biaya sewa tenda tambahan, sewa kursi, meja, sound system, dan lain-lain. Demikian pula apabila makanan untuk tamu dimasak dan dikelola sendiri, perlu dihitung biaya sewa peralatan makan, seperti piring, gelas, sendok, mangkuk, dan lain sebagainya. 6. Baju Pengantin Jika anggaran cukup besar, tentu bisa leluasa memilih dan menggunakan jasa desainer ternama untuk merancang dan membuatkan baju pengantin. Namun, jika anggaran terbatas, Anda bisa membuat baju pengantin di tukang jahit langganan atau menyewa baju pengantin di tempat persewaan atau bahkan membuat sendiri jika memiliki keterampilan. Tidak perlu gengsi untuk menyewa baju pengantin karena baju itu hanya akan dipakai sekali saja. Harga sewa baju pengantin pun sangat beragam, sesuai kelas dan kualitas yang dikehendaki. Semua harus tunduk pada anggaran biaya yang sudah ditetapkan. Ingat, baju pengantin hanya aksesoris. Intinya ada pada akad nikah yang sah sesuai syariat. 7. Rias Pengantin Walau hanya sederhana, pengantin perlu dirias. Jika ingin hemat, bisa dirias oleh pihak keluarga sendiri, misalnya dirias oleh ibu, atau kakak, atau adik pengantin. Tujuannya adalah untuk menekan biaya, agar tetap sesuai dengan budget yang sudah ditetapkan dari awal. Rias ini bermaksud membuat tampilan pengantin yang lebih patut, tanpa melanggar batas-batas aturan tampilan yang diajarkan agama dan norma susila. Jika memang memiliki cukup anggaran, bisa mendatangkan juru rias pengantin sesuai kelas yang diinginkan. Yang paling penting adalah menghindari riasan yang melanggar aturan agama serta menghindari riasan yang melanggar kepatutan umum yang berlaku di masyarakat. Hindari bermewah-mewah dalam segala hal walau memiliki kemampuan untuk itu, karena rias hanya satu aspek aksesoris saja. Bukan bagian yang esensial.
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 264 8. Konsumsi Tamu Untuk keperluan konsumsi, tetap harus mematuhi batasan budget yang sudah ditetapkan. Bisa dipertimbangkan dan dibandingkan total besaran biaya yang harus dikeluarkan menggunakan beberapa alternatif. Misalnya, memasak serta mengurusi sendiri semua konsumsi tamu dengan memanfaatkan bantuan dari saudara atau tetangga; atau memesan konsumsi melalui jasa katering. Keduanya merupakan pilihan, mana yang lebih sesuai anggaran dan juga pertimbangan kepraktisan. Jika memesan melalui jasa katering, tentu harus dipastikan bahwa masakan yang disajikan hanya yang halal dan tayib saja. Sedangkan jenis dan kualitas masakan, semua bisa disesuaikan dengan anggaran dengan tetap mempertimbangkan kepatutan. Hitung dengan cermat jumlah tamu yang diundang untuk disesuaikan dengan jumlah hidangan yang harus disediakan. Jangan sampai jumlah tamu melebihi perkiraan sehingga hidangan tidak mencukupi. Jika menggunakan jasa katering, ajak pihak katering berdiskusi tentang hal ini karena mereka yang lebih berpengalaman dalam menghitung jumlah tamu dengan jumlah hidangan yang harus disiapkan. 9. Suvenir Kehadiran Suvenir bukanlah suatu keharusan. Namun, jika memang anggaran masih mencukupi, bisa menambah kenangan bagi para tamu apabila ada suvenir kehadiran. Yang harus dipertimbangkan adalah nilai kemanfaatan dari suvenir yang akan dihadiahkan. Jangan sekadar hadiah yang tidak memiliki nilai kemanfaatan sehingga hanya akan dibuang atau ditinggal di sembarang tempat, tidak dibawa pulang oleh para tamu. Sangat banyak jenis suvenir pernikahan, dengan harga yang sangat variatif. Saya pernah mengunjungi sebuah kedai suvenir pernikahan di Yogyakarta, di sana tersedia aneka jenis suvenir sejak harga dua ribu rupiah, sampai ratusan ribu rupiah. Jika memang tidak ada anggaran untuk suvenir, tidak perlu memaksakan diri. Karena tanpa suvenir pun tidak akan mengurangi kebahagiaan pernikahan. 10. Transportasi Pengantin Tidak ada keharusan menggunakan mobil saat menjadi pengantin. Namun, apabila melaksanakan akad nikah di kantor KUA kemudian dilanjutkan pesta walimah di gedung yang berbeda, secara teknis memerlukan sarana transportasi untuk kelancaran perjalanan pengantin dan rombongan yang mengiringi. Tentu bentuknya tidak harus mobil. Bisa motor, bisa becak, bisa andong, atau sarana transportasi lainnya yang memungkinkan. Apabila menyewa sarana transportasi, apakah mobil, becak hias, andong hias, kereta mini atau kereta kelinci berhias, tentu harus diperhitungkan besaran anggaran yang tidak boleh melebihi budget. Namun, jika ingin jalan kaki sambil diarak keluarga, tentu akan menjadi kenangan manis tersendiri. 11. Dekorasi Sebagai sebuah peristiwa bersejarah, wajar jika ingin dibuat suasana yang meriah dan berkesan. Maka biasa dibuat dekorasi, baik pada saat akad nikah maupun saat pesta walimah.
Tujuan pembuatan dekorasi ini adalah untuk menghadirkan suasana yang Materi Diklat #1| 265 ceria, bahagia, dan hangat berkesan. Sebagaimana suasana kebahagiaan yang semestinya hadir dalam pesta pernikahan. Biaya dekorasi ini juga harus disesuaikan dengan anggaran yang sudah ditetapkan. Jika ingin hemat, bisa dibuat dekorasi sendiri yang dilakukan secara sederhana dan gotong royong oleh pihak keluarga, tetangga, atau teman-teman calon pengantin. Namun, jika anggaran memungkinkan, bisa menggunakan jasa usaha dekorasi yang sudah sangat banyak ada di berbagai kota dan desa. Semua sesuai situasi dan kondisi. 12. Dokumentasi Upacara akad nikah maupun pesta walimah merupakan peristiwa sakral, maka sangat sayang jika terlewatkan tanpa kenangan yang tersimpan. Untuk itu, perlu dianggarkan biaya untuk dokumentasi, baik dilakukan sendiri oleh pihak keluarga, ataupun menggunakan jasa pihak lain yang spesialis menangani dokumentasi pernikahan. Bentuk dokumentasi bisa beraneka ragam, sejak dari pemotretan atau pengambilan gambar, sampai video shooting. Jasa tenaga dokumentasi ini juga relatif beragam, sesuai dengan kondisi keuangan yang telah direncanakan. 13. Kamar Pengantin Untuk menghadirkan suasana romantis dan berkesan pada pengantin, biasanya disiapkan sebuah kamar pengantin dengan hiasan yang sesuai. Jika tidak memiliki anggaran yang cukup, dekorasi kamar pengantin bisa dilakukan sendiri oleh pihak keluarga atau panitia pernikahan bagian dekorasi. Mungkin dengan membersihkan kamar yang dipersiapkan bagi pengantin, serta menghias dengan beberapa bunga dan kain yang ada di rumah sehingga bebas biaya, tetapi tampak indah. Pada keluarga yang menyediakan cukup dana, kamar pengantin bisa disewakan di sebuah vila atau hotel, lengkap dengan dekorasi dan hiasannya. Tentu semua harus disesuaikan dengan anggaran yang sudah ditetapkan. 14. Pelaksana Acara Dalam sebuah pesta pernikahan, dikenal ada master of ceremony atau MC, disebut juga sebagai pembawa acara atau dalam bahasa Jawa dikenal sebagai pranata adicara. Sebagai MC dalam acara pesta pernikahan, bisa dari kalangan keluarga sendiri atau diambil dari mereka yang memang memiliki profesi di bidang itu sehingga memerlukan anggaran tersendiri untuk menghadirkannya. MC ini berfungsi untuk mengarahkan jalannya acara dan menciptakan suasana sebagaimana sifat acaranya. Dalam acara akad nikah memerlukan suasana yang hening dan khidmat. Dalam acara pesta walimah memerlukan suasana yang ceria dan segar menyenangkan. Itu semua akan bisa dibawakan dengan tepat apabila tepat memilih MC.
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 266 15. Hiburan Walimah Jika dalam pesta walimah menghadirkan hiburan, tentu harus dimasukkan ke dalam anggaran pula. Jenis hiburan ini sangat beragam, sesuai dengan situasi dan kondisi. Ada yang menampilkan kelompok nasyid, ada yang menghadirkan hadrah, rebana, selawatan, gambus, atau kesenian tradisional. Keseluruhannya harus tampil dengan mengindahkan akhlak dan batasan kepatutan sesuai ajaran agama. 16. Pengisi Acara Dalam sebuah pesta pernikahan, kadang menghadirkan seseorang tokoh untuk memberikan nasehat pernikahan, atau wejangan bagi pengantin dan para tamu. Anggaran untuk pengisi acara seperti ini tentu sangat beragam. Bisa tanpa anggaran sama sekali karena dilakukan oleh pihak keluarga atau tetangga dekat sehingga bisa datang sendiri tanpa antar dan jemput. Namun, bisa juga memerlukan anggaran yang besar karena mengundang tokoh profesional atau selebritas terkenal. 17. Biaya Adat Yang dimaksud dengan biaya adat ini terkait dengan tradisi khas yang ada di masing-masing kebudayaan masyarakat. Berbeda tradisi antara satu komunitas dengan komunitas lainnya. Misalnya di Aceh dikenal ada adat “mayam” dan “uang hangus”. Tentu ini memerlukan anggaran tersendiri dari pihak laki-laki. Di Sulawesi Selatan dikenal ada adat “uang naik”, ini juga memerlukan anggaran tersendiri. Di tempat lain, masing-masing memiliki ada tersendiri yang khas, berbeda dengan tempat lain. Di desa tempat kami tinggal, ada adat yang memerlukan biaya cukup besar. Biasanya keluarga pengantin perempuan yang akan melaksanakan pesta pernikahan, memberikan bingkisan makanan kepada para tetangga dan calon tamu undangan yang diharapkan hadir saat pesta pernikahan nanti. Setelah selesai pesta pernikahan, masih memberikan bingkisan makanan kepada para tetangga dan tamu yang hadir tersebut. Untuk dua kali memberikan bingkisan makanan tersebut, tentu memerlukan biaya yang tidak sedikit. 18. Panitia Pernikahan Pada sebuah pesta pernikahan, biasanya dibentuk “panitia” untuk membantu pengantin maupun keluarga dalam mengurus berbagai hal yang bersifat teknis. Biasanya panitia berasal dari kalangan keluarga, tetangga, maupun sanak kerabat Biaya yang bisa muncul dari adanya panitia itu, misalnya untuk pengadaan hidangan saat digelar musyawarah atau rapat panitia. Selain itu, kadang diperlukan seragam panitia untuk membedakan dari tamu pada umumnya. Sebagian dari panitia ini akan dipersiapkan menjadi penerima tamu saat acara akad nikah maupun pesta walimah. Kadang diperlukan seragam among tamu pada saat acara pesta pernikahan berlangsung. Ini juga untuk memudahkan pengenalan dan memunculkan kepatutan. Kalaupun panitia tidak mendapatkan honor karena bercorak sosial, biasanya panitia mendapatkan bingkisan dari tuan rumah sebagai rasa terima kasih karena
telah membantu melaksanakan berbagai macam persiapan dan pelaksanaan Materi Diklat #1| 267 acara. 19. Parkir dan Keamanan Untuk keperluan parkir bagi kendaraan tamu sudah akan diurus oleh pihak gedung pertemuan, jika pesta dilaksanakan dengan menyewa gedung. Hanya saja perlu berkomunikasi dengan pihak pengelola gedung untuk memastikan bahwa parkir tamu dan keamanan sudah diatur oleh manajemen. Namun, jika pesta pernikahan dilaksanakan di halaman rumah, perlu dibahas oleh panitia tentang pengamanan dan pengatur parkir para tamu. Kadang untuk parkir dan keamanan dilakukan secara profesional oleh petugas keamanan desa atau kampung atau lingkungan. Ini ada biaya tersendiri yang harus masuk dalam anggaran. Namun, kadang dilakukan secara sukarela dan gotong royong oleh panitia pernikahan. 20. Wedding Planner dan Wedding Organizer Saat ini sudah sangat banyak penyedia jasa perencanaan pernikahan (wedding planner/WP) dan pelaksana pernikahan (wedding organizer/WO). Jika tidak memiliki anggaran yang cukup, semua bisa dikerjakan sendiri oleh calon pengantin bersama keluarga kedua belah pihak dengan dibentuk panitia pernikahan. Namun, jika memiliki anggaran yang memadai, bisa memanfaatkan jasa WP maupun WO untuk merancang dan melaksanakan seluruh prosesi pernikahan dari A sampai Z. Pengantin dan keluarga kedua belah pihak tinggal membayar sejumlah uang sesuai kesepakatan. Pihak WP maupun WO akan melaksanakan seluruh bagian yang telah disepakati bersama calon pengantin dan keluarga. Dengan cara ini akan sangat membantu pihak pengantin maupun keluarga karena mereka bisa konsentrasi untuk acara pokoknya, yaitu akad nikah yang harus berjalan dengan benar dan lancar. Catatan Penting Sekali lagi, catatan pentingnya adalah, disiplin terhadap anggaran yang sudah ditetapkan. Jika anggaran sangat terbatas, jangan mengada-adakan hal-hal yang di luar kemampuan. Jangan minder atau malu atau gengsi karena pesta yang sederhana dan tidak meriah, karena semua orang punya ukuran kemampuan yang berbeda. Ingat pesta hanya sehari atau dua hari, sementara hidup Anda setelah pesta masih sangat panjang membentang. Jangan memaksakan diri untuk mengejar gengsi dalam gebyar serta kemewahan pesta pernikahan. Kebahagiaan kehidupan berumah tangga tidak ditentukan oleh seberapa mewah pesta pernikahan, seberapa banyak tamu yang datang, seberapa keramaian saat resepsi, atau seberapa unik acara digelar dalam pesta walimah. Kebahagiaan hidup berumah tangga justru ditentukan oleh kesediaan kalian berdua untuk saling menyesuaikan diri, saling menghormati, saling menghargai, saling mencintai, saling menyayangi, saling menjaga, saling mengisi, saling memaklumi, saling memaafkan, dan saling memberikan yang terbaik bagi pasangan.
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 268 Catatan penting berikutnya, bicarakan baik-baik soal biaya pernikahan dengan keluarga kedua belah pihak. Harus jelas bagaimana pola pembiayaan dalam pesta pernikahan ini, agar tidak menjadi ganjalan dan hambatan dalam pernikahan. Kejadian yag dirilis merdeka.com berikut hendaknya menjadi renungan bagi kita semuanya. Kedua, Manajemen Keuangan dalam Kehidupan Pernikahan Ajaran agama memberikan tanggung jawab yang seimbang kepada suami dan istri dalam kehidupan rumah tangga. Masing-masing memiliki peran yang saling melengkapi sehingga kehidupan keluarga bisa berjalan harmonis dan serasi. Seorang suami mendapatkan tanggung jawab finansial dalam rumah tangga. Segala kebutuhan ekonomi yang muncul setelah terjadinya pernikahan, menjadi tanggung jawab suami untuk memenuhinya. Oleh karena itu, seorang suami yang tidak mau bekerja mencari nafkah sehingga tidak bisa memberikan nafkah kepada istri dan anak-anak, ia telah melanggar kewajiban agama. Nabi saw. bersabda, “Dan kamu wajib memberi nafkah kepada mereka (istri) dan memberi pakaian secara makruf.” Nafkah diartikan sebagai biaya yang wajib dikeluarkan oleh seseorang terhadap pihak yang berada dalam tanggungannya meliputi biaya untuk kebutuhan pangan, sandang, papan, termasuk juga kebutuhan sekunder seperti perabot rumah tangga dan juga pembantu. Para ulama menyebutkan bahwa sebab wajibnya nafkah kepada orang lain karena tiga hal. Karena zaujiyyah atau pernikahan, karena qarabah atau kerabat, dan karena milkiyyah atau kepemilikan. Allah Ta’ala berfirman, “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka” (QS. An-Nisa: 34). Allah telah berfirman, “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekadar apa yang Allah berikan kepadanya” (QS. Ath-Thalaq: 7). Allah telah berfirman, “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada istrinya dengan cara makruf” (QS. Al-Baqarah: 233). Ibnu Katsir menjelaskan makna ayat tersebut, “Ayah dari si anak mempunyai kewajiban dengan cara yang makruf (baik) memberi nafkah pada ibu si anak, termasuk pula dalam hal pakaian. Yang dimaksud dengan cara yang makruf adalah dengan memperhatikan kebiasaan masyarakatnya tanpa bersikap berlebih-lebihan dan tidak pula pelit. Hendaklah ia memberi nafkah sesuai kemampuannya dan yang mudah untuknya, serta bersikap pertengahan dan hemat” (Tafsir Al-Qur’an Al-’Azhim). Nabi saw. bersabda dalam haji wada’, “Bertakwalah kepada Allah pada (penunaian hak-hak) para wanita, karena kalian sesungguhnya telah mengambil mereka dengan amanah Allah dan kalian menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Kewajiban istri bagi kalian adalah tidak boleh permadani kalian ditempati oleh seorang pun yang kalian tidak sukai. Jika mereka melakukan
demikian, pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakiti. Kewajiban Materi Diklat #1| 269 kalian bagi istri kalian adalah memberi mereka nafkah dan pakaian dengan cara yang makruf” (HR. Muslim no. 1218). Dari Mu’awiyah Al-Qusyairi r.a., ia bertanya kepada Rasulullah saw. mengenai kewajiban suami pada istri. Rasulullah saw. bersabda, “Engkau memberinya makan sebagaimana engkau makan. Engkau memberinya pakaian sebagaimana engkau berpakaian —atau engkau usahakan, dan engkau tidak memukul istrimu di wajahnya, dan engkau tidak menjelek-jelekkannya serta tidak memboikotnya (dalam rangka nasehat) selain di rumah” (HR. Abu Daud no. 2142. Syeikh Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih). Aisyah meriwayatkan, bahwa Hindun binti ‘Utbah berkata kepada Rasulullah saw., “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang suami yang pelit. Dia tidak memberi untukku dan anak-anakku nafkah yang mencukupi kecuali jika aku mengambil uangnya tanpa sepengetahuannya.” Rasulullah saw. bersabda, “Ambillah dari hartanya yang bisa mencukupi kebutuhanmu dan anak-anakmu dengan kadar sepatutnya” (HR. Bukhari no. 5364). Berapa besar nafkah yang menjadi kewajiban suami? Allah telah berfirman, “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.” (QS. Ath-Thalaq: 7). Dalam ayat yang lain Allah berfirman, “Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula)” (QS. Al- Baqarah: 236). Sabda Nabi saw. kepada Hindun, “Ambillah dari hartanya yang bisa mencukupi kebutuhanmu dan anak-anakmu dengan kadar sepatutnya” (HR. Bukhari no. 5364). Dari Abu Hurairah r.a., Nabi saw. bersabda, “Satu dinar yang engkau keluarkan di jalan Allah, lalu satu dinar yang engkau keluarkan untuk memerdekakan seorang budak, lalu satu dinar yang engkau keluarkan untuk satu orang miskin, dibandingkan dengan satu dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu maka pahalanya lebih besar (dari amalan kebaikan yang disebutkan tadi).” (HR. Muslim, no. 995). Imam An-Nawawi membuat judul untuk hadis ini, “Keutamaan nafkah bagi keluarga dan hamba sahaya, serta dosa bagi orang yang melalaikan dan menahan nafkahnya untuk mereka.” Imam Nawawi juga mengatakan, “Nafkah kepada keluarga itu lebih afdal dari sedekah yang hukumnya sunah.” Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Yang tepat dan lebih benar sebagaimana yang dinyatakan oleh kebanyakan ulama (baca: jumhur) bahwa nafkah suami pada istri kembali pada kebiasaan masyarakat (kembali pada ‘urf) dan tidak ada besaran tertentu yang ditetapkan oleh syariat. Nafkah itu berbeda sesuai dengan perbedaan tempat, zaman, keadaan suami istri dan adat yang ada” (Majmu’ah Al-Fatawa).
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 270 Menghadirkan Rezeki Halal dan Tayib Suami harus berusaha semaksimal mungkin untuk memenuhi kewajiban mencari rezeki di muka bumi karena berbarengan dengan adanya kehidupan, Allah telah memberikan sumber-sumber penghidupan. Khalifah Umar bin Khaththab r.a. pernah berkata, “Jangan sekali-kali seseorang di antara kamu hanya duduk-duduk saja dan tidak berusaha untuk mencari rezeki dan hanya berdoa, ‘Ya Allah berilah hamba rezeki!’ Tahukah kamu dan semua telah tahu bahwa langit itu tidak akan menurunkan hujan berupa emas atau perak.” Hal ini karena semua agama tidak menghendaki adanya kemalasan dan kejumudan. Justru agama sangat mendorong umatnya agar senantiasa aktif, dinamis, bergerak melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi diri dan orang lain. Ibnu Mas’ud r.a. pernah berkata, “Saya benar-benar benci kalau melihat orang hanya menganggur saja, tidak berusaha untuk kepentingan dan urusan keduniaannya dan tidak pula berusaha untuk akhirat.” Imam Ahmad bin Hambal pernah ditanya, “Bagaimana pendapat Anda mengenai seseorang yang hanya duduk di rumah atau di masjid dan dia berkata, ‘Saya tidak mengerjakan sesuatu apa pun, sehingga rezekiku akan datang nanti dengan sendirinya.’ Imam Ahmad menjawab, “Orang tersebut sangat bodoh dan tidak mengerti ilmu agama sama sekali. Apakah orang yang demikian itu tidak mendengar sabda Nabi, ‘Sesungguhnya Allah telah menjadikan rezekiku terletak di bawah tombakku.’” Selanjutnya Imam Ahmad menambahkan, “Juga apakah orang tersebut tidak mendengar sabda Nabi saw. ketika beliau menyebutkan perihal cara burung mencari kehidupannya, dan mengatakan, ‘Berangkat pagi-pagi dengan perut kosong dan pulang sore-sore dengan perut kenyang.’” Seorang suami yang penuh rasa cinta, tentu saja dalam mencari rezeki hanyalah yang halal, dengan cara yang halal, serta menjauhi berbagai sumber yang diharamkan. Ia tidak akan mau memasukkan sesuatu yang haram dan syubhat ke dalam rumahnya sehingga akan menjadi konsumsi bagi istri dan anak- anaknya. Suami yang dipenuhi rasa cinta meyakini bahwa Islam melarang berkembangbiaknya riba, penipuan, pemalsuan timbangan, perjudian, dan berbagai bentuk kecurangan dalam berusaha. Imam Al-Ghazali memberikan perhatian khusus mengenai larangan melakukan penipuan dalam mengembangkan usaha, dengan menyatakan, “Segala hal yang menyebabkan timbulnya sesuatu yang merugikan orang lain dalam berinteraksi ekonomi adalah penganiayaan. Janganlah seseorang memuji dagangan yang dimilikinya dengan pujian yang baik-baik padahal ia tahu ada cacat di dalam dagangan tersebut.” Al-Ghazali melanjutkan, “Janganlah seseorang bersumpah dengan menyebutkan nama Allah padahal antara sumpah dan realitanya justru berkebalikan. Hal ini adalah termasuk dosa yang besar. Ingatlah akan sabda Nabi saw., “Sumpah palsu itu merusakkan dagangan dan melenyapkan keberkahan pekerjaan.”
Suami yang tidak memiliki cinta dalam hatinya akan cenderung mencari Materi Diklat #1| 271 nafkah dengan nafsu keserakahan. Ia mengumpulkan harta dengan menghalalkan segala cara, tidak memedulikan apakah harta tersebut halal atau haram, tidak peduli apakah akan menimbulkan kerugian bagi orang lain atau tidak. Yang dipikirkan hanyalah mengumpulkan harta, bisa menyenangkan hati istri dan anak-anaknya. Bahkan pada sebagian kalangan ada yang sempat berpikir, “Mencari harta yang haram saja susah, apalagi yang halal.” Berhati-hati dalam Memberi Nafkah Keluarga Cinta yang suci, yang keluar dari jiwa yang bersih, tidak akan melakukan tindakan yang dibenci Allah. Seorang suami akan berpikir jernih dalam mencari penghasilan, ia tidak akan tega memasukkan bara api neraka ke dalam perut anak-anak dan istrinya, justru karena ia mencintai mereka semua. Lihatlah contoh keteladanan dari seorang Khalifah Rasyidah Umar bin Abdul Aziz. Ketika bertemu dengan putra-putrinya, Umar bin Abdul Aziz berpesan, “Anak- anakku sayang, aku ingin meninggalkan warisan yang banyak supaya kalian hidup berkecukupan dan bergelimang dalam kenikmatan. Namun, aku yakin bahwa kalian tidak akan rela bergelimang kenikmatan, sedangkan ayah kalian kesulitan mempertanggungjawabkan di peradilan Allah kelak atas semua yang ayah wariskan untuk kalian.” Kebaikan diri Khalifah Umar telah tertanam dengan amat kuat pada seluruh keluarga, istri dan anak-anaknya. Pada suatu malam selepas Isya, Umar memasuki kamar putri-putrinya. Segera mereka berpura-pura memasukkan tangan ke mulut dan cepat-cepat pergi. Umar merasa sikap putri-putrinya itu tidak seperti biasa. Segera ia memanggil pembantunya. “Mengapa mereka meninggalkan kamarnya?” tanya Khalifah Umar. “Karena mereka tidak mempunyai makanan selain makanan orang awam, yaitu kacang adas dan bawang, dan mereka tidak ingin Anda mengetahui hal itu,” jawab sang pembantu. Mendengar penuturan itu, Umar menangis. Ia berkata, “Wahai putri-putriku, apalah artinya kalian memakan bermacam-macam makanan yang lezat kalau nantinya bisa mengantarkan ayah kalian ke lembah api neraka.” Mendengar ungkapan Khalifah, putri-putri beliau pun menangis terharu, merasakan berat tanggung jawab ayah mereka sebagai penguasa. Demikianlah cinta sang Khalifah Rasyidah terhadap keluarganya. Ia hanya memberikan nafkah yang halal dan tayib saja kepada mereka. Perlu dipikirkan, bagaimana agar nafkah bisa didapatkan sehingga mencukupi kebutuhan hidup layak, akan tetapi, tidak menghabiskan seluruh waktu untuk itu.
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 272 Hubungan Sosial dengan Tetangga Tujuan Pembelajaran Umum: Membangun pemahaman konsep hubungan social dengan tetangga sehingga memiliki kesadaran akan pentingnya mempelajari ilmu, sikap positif dan konstruktif di tengah keluarga, serta keterampilan membina ketahanan keluarga. Tujuan Pembelajaran Khusus: 1. Peserta pendampingan memahami urgensi hubungan sosial dengan tetangga. 2. Peserta menginternalisasi norma-norma berhubungan baik dengan tetangga. 3. Peserta terbangun kesadaran akan sejauh mana posisi keluarga dan berusaha meningkatkan hubungan sosial dengan tetangga. 4. Peserta membangun pola hubungan berkelanjutan yang baik dengan tetangga. 5. Peserta terampil menunjukkan sikap mulia dalam menjalin hubungan sosial dengan tetangga. 6. Peserta pendampingan membangun kesadaran pentingnya belajar sepanjang hayat secara mandiri atau mengikuti program edukasi keluarga agar menjadi keluarga yang tangguh. Alternatif Kegiatan Pembelajaran: 1. Pendamping memantik dengan cara menyampaikan contoh hubungan yang positif dan negatif dengan tetangga. 2. Peserta mendapat penjelasan tentang hubungan sosial dengan tetangga. 3. Peserta difasilitasi workshop pembuatan program meningkatkan hubungan sosial dengan tetangga. 4. Pendamping memfasilitasi diskusi tentang alternatif program apa saja untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, serta keterampilan membangun hubungan sosial dengan tetangga. Uraian Materi: Manusia diciptakan Allah dalam format sebagai makhluk sosial. Mereka tidak dapat hidup sendiri dan selalu memerlukan manusia lainnya. Jika kita lihat secara fitrah, manusia suka hidup bersama manusia lainnya dalam komunitas. Mereka tinggal dalam satu kompleks permukiman, membentuk sebuah kehidupan kemasyarakatan. Dari sinilah muncul istilah tetangga. Karena kita tidak hidup sendirian di tengah hutan atau di puncak gunung. Manusia memerlukan kehadiran orang lain di sekitarnya dalam menjalankan misi kehidupan. Orang-orang lain yang tinggal di sekitar rumah kita, itulah tetangga. Tentu saja tetangga ini bisa sangat beragam. Ada yang masih saudara atau kerabat, ada yang memang sudah berteman dari dulu, tetapi sebagian besarnya
baru bertemu saat kita mulai tinggal di lingkungan itu. Semuanya itu, disebut Materi Diklat #1| 273 secara sama, yaitu tetangga. Luar biasa, setelah kita bertetangga, ada hak-hak dan kewajiban yang harus ditunaikan. Sedemikian penting nilai tetangga, Allah memberikan perintah berbuat baik kepada tetangga dalam satu ayat yang sama dengan perintah untuk menyembah Allah dan memurnikan tauhid. Allah Ta’ala berfirman, “Beribadahlah kepada Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh” (QS. An Nisa: 36). Dalam ayat di atas, Allah telah menyatakan dua jenis tetangga yang kita diperintahkan untuk berbuat baik, yaitu tetangga dekat dan tetangga jauh. Keduanya disetarakan dalam satu deretan perintah berbuat baik kepada ibu bapak, karib kerabat, anak yatim serta orang miskin. Ketika menjelaskan surah An-Nisa’ ayat ke 36 di atas, Imam Al-Qurthubi menyatakan, “Oleh karena itu, bersikap baik kepada tetangga adalah satu hal yang diperintahkan dan ditekankan, baik dia muslim maupun kafir” (Tafsir Al- Qurthubi, 5:184). Batasan Tetangga Jika kita lihat dalam hadis Nabi saw., sangat banyak arahan yang terkait dengan berbuat baik terhadap tetangga. Hal ini menandakan sedemikian penting nilai tetangga dalam pandangan syariat Islam. Seseorang tidak cukup menjadi baik hanya dengan memperbaiki dan keluarga, tetapi harus berlaku baik pula kepada tetangga. Namun, siapakah yang disebut sebagai tetangga? Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan batasan tetangga. Sebagian dari mereka mengatakan, tetangga adalah “orang-orang yang salat subuh bersamamu”. Sebagian ulama mengatakan tetangga dibatasi pada 40 rumah dari setiap sisi, atau 40 rumah di sekitarmu, ada pula pendapat 10 rumah dari tiap sisi, serta beberapa pendapat lainnya (lihat Fathul Bari, 10 / 367). Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani berkata, “Semua riwayat dari Nabi saw. yang berbicara mengenai batasan tetangga adalah lemah tidak ada yang sahih. Maka zahirnya, pembatasan yang benar adalah sesuai ‘urf atau kebiasaan” (Silsilah Ahadits Dha’ifah, 1/446). Kaidah fiqhiyyah menyatakan al-‘urfu haddu maa lam yuhaddidu bihi asy- syar’u (adat kebiasaan adalah pembatas bagi hal-hal yang tidak dibatasi oleh syariat). Dengan kaidah ini, yang disebut sebagai tetangga bagi kita adalah setiap orang yang menurut adat kebiasaan setempat dianggap sebagai tetangga kita. Kedudukan Tetangga bagi Seorang Muslim Siapa pun yang menjadi tetangga kita, jangan pernah meremehkannya. Tetangga memiliki hak dan kedudukan yang sangat besar dan mulia. Bahkan sikap terhadap tetangga dijadikan sebagai salah satu indikasi keimanan. Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya ia muliakan tetangganya” (HR. Bukhari 5589, Muslim 70)
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 274 Sedemikian penting kedudukan tetangga bagi seorang muslim, sampai Rasulullah saw. bersabda, “Jibril senantiasa menasihatiku tentang tetangga, hingga aku mengira bahwa tetangga itu akan mendapat bagian harta waris” (HR. Bukhari 6014, Muslim 2625) Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menjelaskan, “Bukan berarti dalam hadis ini Jibril mensyariatkan bagian harta waris untuk tetangga karena Jibril tidak memiliki hak dalam hal ini. Namun, maknanya adalah beliau sampai mengira bahwa akan turun wahyu yang mensyariatkan tetangga mendapat bagian waris. Ini menunjukkan betapa ditekankannya wasiat Jibril tersebut kepada Nabi saw.” (Syarh Riyadhus Shalihin, 3/177). Kemuliaan Tetangga yang Baik Jika kita berada dalam satu komunitas pemukiman, akan sangat nyaman dan tenang apabila dikelilingi oleh tetangga yang baik. Mereka memberikan dukungan berupa suasana kondusif untuk melakukan kebaikan. Maka, Rasulullah saw. memberikan penghargaan dan pemuliaan tetangga yang baik. Nabi saw. bersabda, “Teman terbaik di sisi Allah adalah mereka yang terbaik dalam berinteraksi dengan temannya. Dan tetangga terbaik di sisi Allah adalah mereka yang terbaik dalam berinteraksi dengan tetangganya” (HR. At-Tirmidzi, Ad-Darimi, Al-Hakim, Imam Ahmad). Dari Nafi’ ibnu ’Abdil Harits ia berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Di antara kesenangan bagi seorang muslim adalah tempat tinggal yang luas, tetangga yang saleh dan kendaraan yang tenang” (HR. Ibnu Hibban no. 4032, Al- Baihaqi dalam Syu’abul Iman nomor 9556). Ibnu Mas’ud ra bercerita, bahwa seorang bertanya kepada Nabi saw., “Bagaimana saya bisa mengetahui, apakah saya orang baik ataukah orang jahat?” Nabi saw. menjawab, “Jika tetanggamu berkomentar kamu orang baik maka berarti engkau orang baik. Sementara jika mereka berkomentar engkau orang tidak baik, berarti kamu tidak baik” (HR. Imam Ahmad nomor 3808, Ibnu Majah nomor 4223). Yang dimaksud komentar tetangga di sini adalah komentar dari tetangga yang baik, saleh, dan memperhatikan aturan syariat (lihat: At-Taisir Syarh Jamius Shaghir, 1:211). Anjuran Berbuat Baik kepada Tetangga Karena demikian penting dan besarnya kedudukan tetangga bagi seorang muslim, Islam pun memerintahkan umatnya untuk berbuat baik terhadap tetangga. Nabi saw. bersabda, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya dia berbuat baik pada tetangganya, barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya dia menghormati tamunya, dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya dia berbicara yang baik atau diam” (HR. Bukhari dan Muslim) Allah Ta’ala berfirman dalam An-Nisa ayat ke 36, berisi perintah beribadah kepada Allah, tidak mempersekutukan Allah, dan perintah berbuat baik kepada beberapa golongan manusia—salah satunya adalah tetangga. Syaikh Abdurrahman As-Sa’di menjelaskan ayat ini, “Tetangga yang lebih dekat tempatnya, lebih besar haknya. Maka, sudah semestinya seseorang
mempererat hubungannya terhadap tetangganya, dengan memberinya sebab- Materi Diklat #1| 275 sebab hidayah, dengan sedekah, dakwah, lemah-lembut dalam perkataan dan perbuatan serta tidak memberikan gangguan baik berupa perkataan dan perbuatan” (Tafsir As-Sa’di, 1/177). Dalam hadis Nabi saw., sangat banyak kita jumpai anjuran dan arahan agar selalu berbuat baik kepada tetangga. Beliau saw. bersabda, “Sahabat yang paling baik di sisi Allah adalah yang paling baik sikapnya terhadap sahabatnya. Tetangga yang paling baik di sisi Allah adalah yang paling baik sikapnya terhadap tetangganya” (HR. At Tirmidzi 1944, Abu Daud 9/156). Nabi saw. juga menyatakan, bersikap baik kepada tetangga adalah tanda muslim sejati. Dari Abu Hurairah r.a., Nabi saw. bersabda, “Jadilah orang yang wara’, maka kamu akan menjadi manusia ahli ibadah. Jadilah orang yang qanaah, maka kamu akan menjadi orang yang paling rajin bersyukur. Berikanlah yang terbaik untuk orang lain, sebagaimana kamu memberikan yang terbaik untuk dirimu, niscaya kamu menjadi mukmin sejati. Bersikaplah yang baik kepada tetangga, niscaya kamu akan menjadi muslim sejati” (HR. Ibnu Majah 4217). Berikut beberapa bentuk perbuatan baik terhadap tetangga, sebagai hak tetangga atas kita. Semoga kita bisa melaksanakannya. 1. Menghormati Tetangga Nabi saw. bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tetangganya” (Muttafaq ‘alaih). Al-Hafizh Ibnu Hajar menyatakan, “Syaikh Abu Muhammad bin Abi Jamrah mengatakan, ‘Dan terlaksananya wasiat berbuat baik kepada tetangga dengan menyampaikan beberapa bentuk perbuatan baik kepadanya sesuai dengan kemampuan. Seperti hadiah, salam, wajah yang berseri-seri ketika bertemu, memperhatikan keadaannya, membantunya dalam hal yang ia butuhkan dan selainnya, serta menahan sesuatu yang bisa mengganggunya dengan berbagai macam cara, baik secara hissiyyah (terlihat) atau maknawi (tidak terlihat)’” (Fathul Bari: X/456). Al-Hafizh Ibnu Hajar menjelaskan, yang dimaksud tetangga di sini, mencakup tetangga muslim maupun nonmuslim, ahli ibadah maupun bukan ahli ibadah, orang asing maupun penduduk asli, yang memberikan manfaat maupun yang memberi mudharat, kerabat dekat maupun bukan kerabat dekat, rumah yang paling dekat maupun yang paling jauh. 2. Bersedekah dan Memberi Bantuan kepada Tetangga Di antara perbuatan baik kepada tetangga adalah bersedekah dan membantu mereka yang membutuhkan. Beliau saw. juga bersabda, “Jika engkau memasak sayur, perbanyaklah kuahnya. Lalu lihatlah keluarga tetanggamu, berikanlah sebagiannya kepada mereka dengan cara yang baik” (HR. Muslim 4766). Rasulullah saw. bersabda, “Wahai Abu Dzar, apabila engkau membuat suatu masakan, maka perbanyaklah kuahnya. Kemudian undanglah tetanggamu atau engkau dapat membaginya kepada mereka” (HR. Muslim). Rasulullah saw. bersabda, “Wahai para wanita yang beriman janganlah salah seorang wanita dari kalian meremehkan (pemberian) tetangganya walaupun hanya berupa betis kambing yang dibakar” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad).
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 276 3. Empati dan Murah Hati kepada Tetangga Di antara perbuatan baik kepada tetangga adalah memiliki empati atas kondisi tetangga, menerima kehadirannya, terbuka untuk memberikan bantuan, dan tidak pelit dalam membantu. Muslim tidak boleh bersikap cuek dan masa bodoh terhadap kondisi tetangga di sekitarnya. Tentang empati dan peduli terhadap kondisi tetangga, Rasulullah saw. telah bersabda, “Bukan mukmin, orang yang kenyang perutnya sedang tetangga sebelahnya kelaparan” (HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra 18108). Syaikh Al-Albani mengatakan, “Dalam hadis ini terdapat dalil yang tegas, bahwa haram bagi orang yang kaya untuk membiarkan tetangganya dalam kondisi lapar. Karena itu, dia wajib memberikan makanan kepada tetangganya yang cukup untuk mengenyangkannya. Demikian pula dia wajib memberikan pakaian kepada tetangganya jika mereka tidak punya pakaian, dan seterusnya, berlaku untuk semua kebutuhan pokok tetangga” (Silsilah As-Sahihah, 1:280) Nabi saw. juga menyatakan, bahwa kelak di hari kiamat akan ada aduan dari tetangga yang kesulitan dan tidak mendapat bantuan. Rasulullah saw. bersabda, “Berapa banyak tetangga yang akan memegang tangan tetangganya di hari kiamat sambil berkata, ‘Wahai Rabb-ku orang ini menutup pintunya dariku dan dia enggan memberi apa yang ia miliki’” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad). 4. Membolehkan Tetangga Memanfaatkan Dinding Rumah Kita Jika kita tinggal dalam sebuah pemukiman yang padat, dengan lahan yang terbatas, sering kali antara satu rumah dengan rumah lainnya sangat rapat hampir tak berjarak. Terkadang tetangga memerlukan tembok kita untuk menaruh kayu— untuk suatu kepentingan tertentu. Hendaknya kita tidak menghalangi tetangga untuk menancapkan kayu atau meletakkan kayu pada dinding rumah kita. Mungkin untuk menguatkan atap yang sederhana atau kepentingan lainnya yang sangat penting baginya. Rasul saw. bersabda, “Janganlah salah seorang di antara kalian melarang tetangganya menancapkan kayu di dinding/temboknya” (HR.Bukhari nomor 1609 dan Muslim nomor 2463). Tentu saja ada syarat umum yang berlaku bahwa tindakan meletakkan kayu di dinding rumah kita ini tidak merusak fungsi serta tidak membahayakan. Jika menimbulkan bahaya, tentu tidak diperbolehkan sesuai kaidah “la dharara wala dhirar”, tidak boleh membahayakan dan merugikan. Berkenaan dengan hadis di atas, Syeikh Salim bin Ied Al-Hilali membawakan beberapa pelajaran yang berkaitan dengan hak tetangga. Pertama, saling membantu dan bersikap toleran sesama tetangga merupakan hak-hak tetangga (yang wajib dipenuhi) sekaligus merupakan wujud kekokohan bangunan masyarakat Islam. Kedua, jika seseorang memiliki rumah, kemudian ia memiliki tetangga dan tetangganya itu ingin menyandarkan sebatang kayu di temboknya tersebut, boleh hukumnya bagi si tetangga untuk meletakkannya dengan izin atau tanpa izin pemilik rumah, dengan syarat hal tersebut tidak menimbulkan mudharat bagi si empunya rumah, karena Islam telah menetapkan satu kaidah umum ( َلا اض ار ار او َلا ) ِض ارا ار.
5. Memberikan Nasihat Kebaikan dengan Cara yang Baik Materi Diklat #1| 277 Sebagai muslim, melekat kewajiban kepada kita untuk saling menasihati dalam kebenaran dan dalam kebaikan, disertai kasih sayang. Dari Tamim bin Aus Ad- Dari r.a. bahwa Nabi saw. bersabda, “Agama itu nasihat.” Para sahabat bertanya, “Untuk siapa wahai Rasulullah?” Beliau saw. menjawab, “Untuk Allah, Kitab-Nya, rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin dan seluruh kaum muslimin” (HR. Muslim nomor 55; Imam Ahmad nomor 16493; An-Nasa’i nomor 4197; dan Abu Dawud nomor 4944). Apabila kita bertetangga dengan sesama muslim, menjadi bagian dari perbuatan baik adalah apabila saling memberikan nasehat kebaikan dengan cara yang baik. Tidak meremehkan, tidak menggurui, tidak merasa lebih baik, tetapi nasihat dilakukan penuh ketulusan. 6. Bersabar atas Perilaku Tetangga yang Tidak Menyenangkan Interaksi manusia satu dengan manusia lainnya berpeluang menimbulkan ketidaknyamanan. Mungkin karena perbedaan karakter, mungkin karena perbedaan latar belakang suku, ras, bahkan kewarganegaraan. Ketika mendapatkan perlakuan yang kurang menyenangkan dari tetangga, jangan langsung berburuk sangka kepadanya. Bersabar atas gangguan tetangga termasuk sunah Nabi saw. Rasulullah saw. bersabda, “Ada tiga kelompok manusia yang dicintai Allah, (salah satunya) “seseorang yang mempunyai tetangga, ia selalu disakiti (diganggu) oleh tetangganya, namun ia sabar atas gangguannya itu hingga keduanya dipisah boleh kematian atau keberangkatannya” (HR. Imam Ahmad, disahihkan oleh Al-Albani). Kemampuan bersabar dan memaafkan orang lain, termasuk perbuatan berpahala yang mendapatkan pujian dari Allah. Dalam Al-Qur’an Allah Ta’ala berfirman, “Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi maaf” (QS. Asy-Syura: 37). Allah Ta’ala juga berfirman, “Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan” (QS. Ali ‘Imran:134). 7. Mengutamakan Tetangga Dekat Sebenarnya kita ingin membantu, memberi hadiah, dan memberikan kesenangan kepada semua tetangga. Namun, sering kali kita memiliki banyak keterbatasan. Oleh karena itu, yang harus diutamakan adalah tetangga dekat. ‘Aisyah ra bertanya, “Wahai Rasulullah, aku memiliki dua tetangga, manakah yang aku beri hadiah?” Nabi saw. menjawab, ‘Yang pintunya paling dekat dengan rumahmu’” (HR. Bukhari nomor 6020; Imam Ahmad nomor 24895; dan Abu Dawud nomor 5155). Mengapa tetangga yang paling dekat lebih didahulukan daripada hak tetangga yang jauh? Karena tetangga yang paling dekat bisa jadi mengetahui hal- hal yang ada di rumah kita yang akan kita hadiahkan. Misalnya saat memasak, aroma masakan dari rumah kita tercium oleh tetangga terdekat. Bagaimana
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 278 perasaannya jika ia justru tidak mendapat kiriman hadiah, sementara tetangga yang jauh justru mendapatkannya? Hikmah lainnya, tetangga yang paling dekat lebih cepat memberi pertolongan ketika terjadi hal-hal yang kita sangat memerlukan pertolongan. Saya ingat kisah sebuah keluarga, ketika seorang istri melahirkan bayi (tanpa sengaja) di kamar mandi. Sang suami panik dan minta tolong kepada ibu-ibu yang rumahnya paling dekat dengan rumahnya. Alhamdulillah sang istri maupun bayinya bisa tertolong. Larangan Mengganggu Tetangga Sedemikian tinggi Islam memuliakan tetangga, sampai kita dilarang untuk memberikan atau menimbulkan gangguan bagi tetangga. Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah dia mengganggu tetangganya’”(HR. Bukhari nomor 1609 dan Muslim nomor 2463). Nabi saw. bersabda, “Demi Allah, tidak beriman. Demi Allah, tidak beriman. Demi Allah, tidak beriman.” Sahabat bertanya, “Siapa wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Yang tetangganya tidak aman dari keburukannya” (HR. Bukhari no. 6016). Nabi saw. bersabda, “Tidak masuk surga orang yang tetangganya tidak aman dari keburukannya” (HR. Muslim nomor 46; Imam Ahmad nomor 8638; Al-Bukhari nomor 7818). Lantaran Islam tidak menghendaki adanya gangguan bagi tetangga, Nabi menegaskan bahwa “tidak ada istilah sedikit dalam mengganggu tetangga”. Dari Abdah bin Abi Lubabah rahimahullah, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tidak ada istilah sedikit dalam mengganggu tetangga” (HR. Ibnu Abi Syaibah dengan sanad sahih namun mursal). Di sisi lain, kita juga tidak ingin mendapatkan gangguan dan keburukan tetangga. Maka, Nabi saw. mengarahkan kita agar berlindung dari tetangga yang buruk. Dari Abu Hurairah r.a., Nabi saw. berpesan, “Mintalah perlindungan kepada Allah dari tetangga yang buruk di tempat tinggal menetap, karena tetangga yang tidak menetap akan berpindah dari kampungmu” (HR. Nasa’i nomor 5502). Ancaman Keras Atas Sikap Buruk kepada Tetangga Agama Islam benar-benar menghendaki kebaikan dalam segala sesuatu. Islam datang membawa kedamaian dan kebaikan dalam kehidupan. Termasuk dalam kehidupan bermasyarakat, Islam mengancam keras orang-orang yang bersikap buruk kepada tetangga. Nabi saw. bersabda, “Demi Allah, tidak beriman, tidak beriman, tidak beriman. Ada yang bertanya, ‘Siapa itu wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Orang yang tetangganya tidak aman dari bawa’iq-nya (kejahatannya)’” (HR. Bukhari nomor 6016, Muslim Nomor 46). Syeikh Ibnu Utsaimin menjelaskan, “Bawa’iq maksudnya culas, khianat, zalim, dan jahat. Barangsiapa yang tetangganya tidak aman dari sifat itu, ia bukanlah seorang mukmin. Jika itu juga dilakukan dalam perbuatan, lebih parah lagi. Hadis ini juga dalil larangan menjahati tetangga, baik dengan perkataan atau
perbuatan. Dalam bentuk perkataan, yaitu tetangga mendengar hal-hal yang Materi Diklat #1| 279 membuatnya terganggu dan resah.” “Jadi, haram hukumnya mengganggu tetangga dengan segala bentuk gangguan. Jika seseorang melakukannya, ia bukan seorang mukmin, dalam artian ia tidak memiliki sifat sebagaimana sifat orang mukmin dalam masalah ini,” lanjut Syeikh Utsaimin (Syarh Riyadhus Shalihin, 3/178). Mengganggu tetangga termasuk dosa besar dan pelakunya diancam dengan neraka. Rasulullah saw. bersabda, “Seorang yang senantiasa mengganggu tetangganya niscaya tidak akan masuk surga” (HR. Muslim). Ada seorang sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, si Fulanah sering salat malam dan puasa. Namun, lisannya pernah menyakiti tetangganya. Rasulullah bersabda, ‘Tidak ada kebaikan padanya, ia di neraka’” (HR. Al-Hakim dalam Al- Mustadrak 7385). Mengapa perempuan tersebut masuk neraka? Al-Mulla Ali Al-Qari menjelaskan, “Disebabkan ia mengamalkan amalan sunah yang boleh ditinggalkan, tetapi ia malah memberikan gangguan yang hukumnya haram dalam Islam” (Mirqatul Mafatih, 8/3126). Sebagaimana Imam Adz-Dzahabi memasukan poin “mengganggu tetangga” dalam kitab Al-Kaba’ir (dosa-dosa besar). Bahkan ketika di hari akhirat kelak, sengketa dengan tetangga menjadi sengketa pertama yang akan dihadirkan. Dari Uqbah bin Amir ra, bahwa Nabi saw. bersabda, “Sengketa pertama pada hari kiamat adalah sengketa antar tetangga” (HR. Ahmad 17372). Al-Munawi mengatakan, “Maksud hadis, sengketa antara dua orang yang pertama diputuskan pada hari kiamat adalah sengketa dua orang bertetangga. Yang satu menyakiti lainnya. Sebagai bentuk perhatian besar tentang hak tetangga, yang dimotivasi oleh syariat untuk diperhatikan.” (At-Taisir bi Syarh al- Jami’ ash-Shaghir, 1:791).
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 280
Materi Perceraian Materi Diklat #1| 281
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 282 Data Perceraian Indonesia Tahun 2022 Tujuan Pembelajaran Umum: Membangun pemahaman dan penghayatan data perceraian Indonesia sehingga terbangun kesadaran pentingnya keutuhan keluarga, sikap positif dan konstruktif di tengah keluarga, dan kesadaran akan pentingnya mempelajari ilmu-ilmu membina ketahanan keluarga. Tujuan Pembelajaran Khusus: 1. Peserta memahami fakta (sebab-sebab) di balik fenomena tingginya angka perceraian di Indonesia. 2. Peserta membangun kesadaran diri akan komitmen menjaga keutuhan keluarga. 3. Peserta giat secara mandiri atau mengikuti program edukasi yang meningkatkan kapasitas yang menunjang upaya menjaga keutuhan keluarga. Alternatif Kegiatan Pembelajaran: 1. Peserta mendapat contoh-contoh sebab terjadinya perceraian. 2. Peserta memberikan tanggapan terhadap contoh sebab terjadinya perceraian. 3. Peserta mendapat penjelasan serta penafsiran data perceraian di Indonesia. 4. Pendamping mengajak diskusi tentang alternatif program apa saja untuk menjaga keutuhan keluarga. Uraian Materi: Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, terdapat 516.344 kasus perceraian di Indonesia pada 2022. Jumlah tersebut meningkat 15,3% dibandingkan pada tahun sebelumnya sebanyak 447.743 kasus. Penyebab Perceraian Tiga tema penyebab perceraian yang paling besar, yaitu • perselisihan dan pertengkaran: 284.169 kasus. • faktor ekonomi: 110.939 kasus. • meninggalkan salah satu pihak: 39.359 kasus. Lima Provinsi dengan Kejadian Cerai Terbanyak Lima Provinsi di Indonesia dengan tingkat perceraian paling tinggi, yaitu • Jawa Barat: 113.643 kasus. • Jawa Timur: 102.065 kasus. • Jawa Tengah: 85.412 kasus. • Sumatera Utara: 20.029 kasus. • DKI Jakarta: 19.908 kasus.
*) Data perceraian ini hanya mencatat penduduk beragama Islam. Beberapa provinsi tidak tersedia data perceraiannya karena masih tergabung dengan provinsi lain. Materi Diklat #1| 283
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 284 Perceraian Menurut Hukum Islam Tujuan Pembelajaran Umum: Membangun pemahaman dan penghayatan dan menghayati perceraian menurut hukum Islam, menerima bahwa value hukum Islam adalah yang terbaik, serta berusaha menerapkannya sebagai norma di lingkungan keluarga. Tujuan Pembelajaran Khusus: 1. Peserta meyakini bahwa mencegah perceraian perspektif hukum Islam adalah yang terbaik dan solusi utama dari berbagai problematika kehidupan keluarga di Indonesia. 2. Peserta memahami syariat dan KHI mengatur tata cara perceraian yang baik. 3. Peserta memahami pengertian perceraian secara syari dan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI). 4. Peserta memahami posisi perceraian dalam ajaran Islam dan implementasinya dalam KHI. 5. Peserta memahami tata cara perceraian dalam Islam dan sesuai dengan KHI. 6. Peserta mematuhi dengan menerapkan tata cara pernikahan menurut ajaran Islam dan sesuai dengan KHI. Alternatif Kegiatan Pembelajaran: 1. Pendamping mengisahkan contoh-contoh perceraian pada zaman para sahabat Nabi. 2. Pendamping mengajak peserta studi kasus contoh-contoh proses perceraian yang tidak sesuai dengan cara Islam dan dampak negatifnya. 3. Peserta mendapat penjelasan nilai sakralnya proses perceraian dengan tata cara Islam. 4. Pendamping mengajak diskusi tentang solusi dari dampak negatif proses perceraian yang tidak sesuai dengan cara Islam. Uraian Materi: Pada dasarnya, Islam memerintahkan umatnya agar menjaga kelanggengan perkawinan. Meski demikian, Islam juga memberikan peluang untuk keluar dari kesulitan perkawinan dengan membolehkan perceraian bila memang keadaan menuntut demikian. Spirit ajaran Islam adalah menyatukan, bukan mencerai-beraikan. Semangat ini tercermin dari doa Nabi saw., “Allahumma allif baina qulubina wa aslih dzata bainina. Ya Allah, satukanlah hati-hati kami dan perbaikilah urusan kami” (HR. Abu Dawud, nomor 969). Cerai Adalah Tujuan Iblis Perceraian adalah perbuatan halal yang tidak disukai dalam Islam. Di antara dalil tidak disukainya perceraian adalah hadis dari Ibnu Umar r.a., bahwa Nabi saw.
bersabda, “Perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah talak” (HR. Abu Materi Diklat #1| 285 Dawud nomor 2178, Ibnu Majah nomor 2018, dan Al-Hakim 2/196). Sebagian ulama menilai hadis ini adalah dhaif atau lemah. Di antara yang menyatakan lemahnya hadis ini adalah Al-Baihaqi, Syeikh Al-Albani, dan Syeikh Musthofa Al- ’Adawi. Syeikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin berpendapat, meskipun hadis tersebut dhaif, secara makna ia sahih atau benar. Beliau menyatakan, “Diriwayatkan dari Nabi saw., bahwa beliau bersabda, ‘Perkara halal yang dibenci Allah adalah perceraian,’ dan hadis ini tidaklah sahih. Akan tetapi,, maknanya sahih karena Allah Ta’ala membenci perceraian, tetapi Dia tidaklah mengharamkan perceraian atas para hamba-Nya untuk mempermudah mereka. Jika di sana terdapat sebab yang syari atau alasan yang umum dan jelas untuk bercerai, maka dibolehkan dan semua tergantung pada sebab-sebab yang membuat ia menahan istrinya.” “Namun, jika menahan sang istri membuatnya menghampiri perkara-perkara yang terlarang secara syariat, tidaklah mungkin baginya untuk mengatasi perkara- perkara tersebut kecuali dengan menceraikannya, maka ia (boleh) menceraikannya. Sebagaimana jika sang istri ternyata kurang berkomitmen terhadap agama atau kurang akhlaknya dan sulit untuk meluruskannya. Maka, di sini kami katakan, ‘Yang afdal adalah menceraikan,’” lanjut Syeikh Utsaimin. “Adapun jika tanpa ada sebab yang dibenarkan syariat atau alasan yang umum, yang afdal adalah tidak bercerai, bahkan jika bercerai dalam kondisi seperti ini hukumnya makruh.” Demikian penjelasan Syeikh Al-Utsaimin. Senada dengan itu, Syeikh Al-Arna’uth juga berpendapat, walaupun hadis ini dhaif, maknanya sahih. Beliau menjelaskan, “Akan tetapi,. bersamaan dengan keterputusan sanadnya, hadis ini dijadikan hujjah di sisi para imam yang tiga— Abu Haniifah, Malik, dan Ahmad—jika dalam bab ini tidak ada hadis yang menyelisihinya.” Perceraian adalah anjuran dan suruhan dari setan dan para tukang sihir, sebagaimana firman Allah, “Mereka belajar dari keduanya sihir yang bisa memisahkan antara seseorang dengan istrinya” (QS. Al-Baqarah: 102). Dalam hadis dari Jabir bin Abdillah , Nabi saw. bersabda, “Sesungguhnya iblis singgasananya berada di atas laut. Dia mengutus para pasukannya. Setan yang paling dekat kedudukannya adalah yang paling besar godaannya. Di antara mereka ada yang melapor, ‘Saya telah melakukan godaan ini.’ Iblis berkomentar, ‘Kamu belum melakukan apa-apa.’ Datang yang lain melaporkan, ‘Saya menggoda seseorang, sehingga ketika saya meninggalkannya, dia telah berpisah (talak) dengan istrinya.’ Kemudian iblis mengajaknya untuk duduk di dekatnya dan berkata, ‘Sebaik-baik setan adalah kamu’” (HR. Muslim 2813). Abu Yusuf berkata, “Ketahuilah—barakallahu fikum—bahwa asal hukum cerai adalah makruh dan terlarang, tetapi bisa berubah pada hukum lainnya. Hal ini sangat tergantung pada kondisi rumah tangga tersebut. Bisa menjadi haram, mubah, sunah, bahkan wajib.” Demikian pula, Nabi saw. telah bersabda, “Wanita mana saja yang minta cerai pada suaminya tanpa sebab (yang dibenarkan), maka haram baginya bau surga” (HR. Abu Dawud: 2226, Darimi: 2270, Ibnu Majah 2055, Amad: 5/283, dengan sanad hasan).
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 286 Jangan Bermain-main dengan Kalimat Talak Talak atau cerai bisa jatuh dalam berbagai kondisi. Nabi saw. bersabda, “Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw. bersabda, ‘Ada tiga perkara yang serius dan bercandanya sama-sama teranggap yaitu (1) nikah, (2) talak, dan (3) rujuk.’” (HR. Abu Daud, nomor 2194; Tirmidzi, nomor 1184; Ibnu Majah, nomor 2039). Imam Nawawi menyatakan, “Orang yang menalak dalam keadaan rida, marah, serius, maupun bercanda, talaknya teranggap” (Al-Majmu’, 17: 68). Syeikh Muhammad Al-’Utsaimin berkata, “Pendapat yang mengatakan jatuhnya talak bagi orang bergurau ada manfaat di dalamnya. Hal ini akan meredam tingkah laku orang yang sering bercanda. Jika seseorang tahu bahwa bermain-main dengan talak (cerai) dan semacamnya bisa teranggap, tentu ia tidak akan nekat bergurau seperti itu selamanya” (Syarh Al-Mumthi’, 13; 64). Hukum Talak Pada dasarnya, talak adalah bagian dari ajaran Islam yang diatur dalam syariat. Allah Ta’ala berfirman, “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik” (QS. Al- Baqarah: 229) “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) idahnya (yang wajar)” (QS. Ath-Thalaq: 1). Abdullah bin ‘Umar pernah menalak istrinya dalam keadaan haid. ‘Umar bin Khaththab menanyakan masalah ini kepada Rasulullah. Beliau saw. bersabda, “Hendaklah ia merujuk istrinya kembali, lalu menahannya hingga istrinya suci kemudian haid hingga ia suci kembali. Bila ia (Abdullah bin Umar) mau menceraikannya, maka ia boleh menalaknya dalam keadaan suci sebelum ia menggaulinya. Itulah al-’idah sebagaimana yang telah diperintahkan Allah.” Ibnu Qudamah Al-Maqdisi menyatakan bahwa para ulama sepakat akan dibolehkannya talak. Karena dalam rumah tangga mungkin saja pernikahan berubah menjadi hal yang hanya membawa mafsadat. Yang terjadi ketika itu hanyalah pertengkaran dan perdebatan saja yang tidak kunjung henti. Karena adanya kemungkinan muncul kondisi seperti inilah, sehingga syariat Islam membolehkan talak demi menghilangkan mafsadat. Ibnu Hajar Al-Asqalani menyatakan bahwa hukum talak ada yang haram, ada yang makruh, ada yang wajib, ada yang sunah, dan ada yang mubah. • Pertama, talak yang haram yaitu talak bid’i (bid’ah) yang memiliki beberapa bentuk. • Kedua, talak yang makruh yaitu talak yang tanpa sebab apa-apa, padahal masih bisa jika pernikahan yang ada diteruskan. • Ketiga, talak yang wajib yaitu talak yang di antara bentuknya adalah adanya perpecahan (yang tidak mungkin lagi untuk bersatu atau meneruskan pernikahan). • Keempat, talak yang sunah yaitu talak yang disebabkan karena si istri tidak memiliki sifat ‘afifah (menjaga kehormatan diri) dan istri tidak lagi
memperhatikan perkara-perkara yang wajib dalam agama (seperti tidak Materi Diklat #1| 287 memperhatikan salat lima waktu), saat itu ia pun sulit diperingatkan. • Kelima, talak yang hukumnya boleh yaitu talak ketika butuh pada saat istri berakhlak dan bertingkah laku jelek dan mendapat efek negatif jika terus dengannya tanpa bisa meraih tujuan dari menikah. Jenis Talak Talak pada dasarnya hanya dikenal dalam hukum Islam dan telah diatur pada Kompilasi Hukum Islam (KHI). Pasal 117 KHI menjelaskan, “Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal 129, 130, dan 131.” Setidaknya terdapat 3 jenis talak yang diatur dalam KHI, yaitu a. Talak Raj’i Merupakan talak pertama atau kedua yang dijatuhkan suami kepada istrinya. Dalam hal ini suami berhak untuk rujuk selama istri masih dalam masa idah (Pasal 118 Kompilasi Hukum Islam). b. Talak Ba’in Shugra Talak ba’in shugra merupakan talak yang tidak dapat dirujuk. Sehingga jika ingin kembali hidup bersama mantan suami dan mantan istri harus melangsungkan akad nikah baru. Talak jenis ini dapat terjadi pada keadaan-keadaan sebagai berikut. • Talak yang terjadi qabla al-dukhul (sebelum adanya hubungan suami istri); • Talak dengan tebusan atau khuluk; dan • Talak yang dijatuhkan oleh pengadilan agama. Pada hakikatnya talak ba’in shugra serupa dengan talak raj’i yaitu talak pertama atau kedua. Namun, perbedaannya terletak pada telah selesainya masa idah pihak mantan istri. Pasal 119 ayat (1) dan (2) huruf a, b, c KHI menyatakan, “Talak ba’in shughra adalah talak yang tidak boleh dirujuk, tetapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam idah. Talak ba’in shughra sebagaimana tersebut pada ayat (1) adalah talak yang terjadi qabla al-dukhul, talak dengan tebusan atau khuluk, dan talak yang dijatuhkan oleh pengadilan agama. c. Talak Ba’in Kubra Merupakan talak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali kecuali jika pernikahan itu dilakukan setelah mantan istri menikah dengan orang lain. Kemudian terjadi perceraian ba’da al-dukhul dan habis masa idahnya, baru kemudian dapat menikah kembali dengan mantan suaminya yang sebelumnya (Pasal 120 Kompilasi Hukum Islam). Selain tiga jenis talak tersebut di atas, KHI juga membagi talak dari segi waktu pengucapannya, yaitu a. Talak Sunni. Merupakan talak yang diperbolehkan, yaitu talak yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut (Pasal 121 Kompilasi Hukum Islam). b. Talak Bid’i. Merupakan talak yang dilarang karena dijatuhkan pada waktu istri dalam keadaan haid, atau istri dalam keadaan suci, tetapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut (Pasal 122 Kompilasi Hukum Islam).
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 288 Rukun Talak a. Suami, jika selain suami tidak boleh menalak. b. Istri, orang yang dilindungi oleh suami dan akan ditalak. c. Lafaz yang ditujukan kepada menalak, sama berat itu disebutkan secara langsung maupun dilakukan dengan sindiran dengan ditemani niat. Syarat Talak a. Benar-benar suami yang sah. Yaitu keduanya terdapat dalam ikatan pernikahan yang sah. b. Telah balig. Tidak dibenarkan jika yang menalak adalah anak-anak. c. Berakal sehat yaitu tidak gila. d. Orang yang menjatuhkan talak mesti dengan ingatan. Tidak sah menjatuhkan talak tanpa ingatan dan karena terlanjur dalam lisan. e. Orang yang menjatuhkan talak mesti orang yang pintar, mengerti makna dari bahasa talak. Tidak sah orang yang tidak mengerti guna talak. f. Orang yang menjatuhkan talak tidak boleh dipaksa tidak sah menjatuhkan talak dengan dipaksa. Tata Cara Perceraian Menurut Kompilasi Hukum Islam, tata cara perceraian adalah sebagai berikut. Pasal 129 Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada istrinya mengajukan permohonan baik lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu. Pasal 130 Pengadilan Agama dapat mengabulkan atau menolak permohonan tersebut, dan terhadap keputusan tersebut dapat diminta upaya hukum banding dan kasasi. Pasal 131 1) Pengadilan agama yang bersangkutan mempelajari permohonan dimaksud pasal 129 dan dalam waktu selambat-lambatnya tiga puluh hari memanggil pemohon dan istrinya untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud menjatuhkan talak. 2) Setelah Pengadilan Agama tidak berhasil menasihati kedua belah pihak dan ternyata cukup alasan untuk menjatuhkan talak serta yang bersangkutan tidak mungkin lagi hidup rukun dalam rumah tangga, Pengadilan Agama menjatuhkan keputusannya tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talak. 3) Setelah keputusannya mempunyai kekuatan hukum tetap suami mengikrarkan talaknya di depan sidang Pengadilan Agama, dihadiri oleh istri atau kuasanya. 4) Bila suami tidak mengucapkan ikrar talak dalam tempo 6 (enam) bulan terhitung sejak putusan Pengadilan Agama tentang izin ikrar talak baginya mempunyai kekuatan hukum yang tetap maka hak suami untuk mengikrarkan talak gugur dan ikatan perkawinan yang tetap utuh.
5) Setelah sidang penyaksian ikrar talak Pengadilan Agama membuat Materi Diklat #1| 289 penetapan tentang terjadinya Talak rangkap empat yang merupakan bukti perceraian bagi bekas suami dan istri. Helai pertama beserta surat ikrar talak dikirimkan kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami untuk diadakan pencatatan, helai kedua dan ketiga masing-masing diberikan kepada suami istri dan helai keempat disimpan oleh Pengadilan Agama. 6) Pasal 132 1) Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya pada Pengadilan Agama, yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali istri meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin suami. 2) Dalam hal tergugat bertempat kediaman di luar negeri, Ketua Pengadilan Agama memberitahukan gugatan tersebut kepada tergugat melalui perwakilan Republik Indonesia setempat. 3) Pasal 133 1) Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam pasal 116 huruf b, dapat diajukan setelah lampau 2 (dua) tahun terhitung sejak tergugat meninggalkan gugatan meninggalkan rumah. 2) Gugatan dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau menunjukkan sikap tidak mau lagi kembali ke rumah kediaman bersama. Pasal 134 Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam pasal 116 huruf f, dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi Pengadilan Agama mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu dan setelah mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami istri tersebut. Pasal 135 Gugatan perceraian karena alasan suami mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat sebagai dimaksud dalam pasal 116 huruf c, maka untuk mendapatkan putusan perceraian sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan salinan putusan pengadilan yang memutuskan perkara disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Pasal 136 1) Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan, Agama dapat mengizinkan suami istri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah. 2) Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat, Pengadilan Agama dapat (a) menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami; (b) menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami istri atau
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 290 barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak istri Pasal 137 Gugatan perceraian gugur apabila suami atau istri meninggal sebelum adanya putusan Pengadilan Agama mengenai gugatan perceraian itu. Pasal 138 1) Apabila tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tergugat tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, panggilan dilakukan dengan cara menempelkan gugatan pada papan pengumuman di Pengadilan Agama dan mengumumkannya melalui satu atau beberapa surat kabar atau media massa lain yang ditetapkan oleh Pengadilan Agama. 2) Pengumuman melalui surat kabar atau surat-surat kabar atau media massa tersebut ayat (1) dilakukan sebanyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu satu bulan antara pengumuman pertama dan kedua. 3) Tenggang di waktu antara panggilan terakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan persidangan ditetapkan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan. 4) Dalam hal sudah dilakukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan tergugat atau kuasanya tetap tidak hadir, gugatan diterima tanpa hadirnya tergugat, kecuali apabila gugatan itu tanpa hak atau tidak beralasan. Pasal 140 Apabila tergugat berada dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 132 ayat (2), panggilan disampaikan melalui perwakilan Republik Indonesia setempat. Pasal 141 1) Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya berkas atau surat gugatan perceraian 2) Dalam menetapkan waktu sidang gugatan perceraian perlu diperhatikan tentang waktu pemanggilan dan diterimanya panggilan tersebut oleh penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka. 3) Apabila tergugat berada dalam keadaan seperti tersebut dalam pasal 116 huruf b, sidang pemeriksaan gugatan perceraian ditetapkan sekurang- kurangnya 6 (enam) bulan terhitung sejak dimasukkannya gugatan perceraian pada Kepaniteraan Pengadilan Agama. Pasal 142 1) Pada sidang pemeriksaan gugatan perceraian, suami istri datang sendiri atau mewakilkan kepada kuasanya. 2) Dalam hal suami atau istri mewakilkan, untuk kepentingan pemeriksaan Hakim dapat memerintahkan yang bersangkutan untuk hadir sendiri. Pasal 143 1) Dalam pemeriksaan gugatan perceraian Hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak.
2) Selama perkara belum diputuskan usaha mendamaikan dapat dilakukan pada Materi Diklat #1| 291 setiap sidang pemeriksaan. Pasal 144 Apabila terjadi perdamaian, maka tidak dapat diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan alasan atau alasan-alasan yang ada sebelum perdamaian dan telah diketahui oleh penggugat pada waktu dicapainya perdamaian. Pasal 145 Apabila tidak dicapai perdamaian, pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup. Pasal 146 1) Putusan mengenai gugatan perceraian dilakukan dalam sidang terbuka. 2) Suatu perceraian dianggap terjadi beserta akibat-akibatnya terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Pasal 147 1) Setelah perkara perceraian itu diputuskan, maka panitera Pengadilan Agama menyampaikan salinan surat putusan tersebut kepada suami istri atau kuasanya dengan menarik Kutipan Akta Nikah dari masing-masing yang bersangkutan. 2) Panitera Pengadilan Agama berkewajiban mengirimkan satu helai salinan putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap tanpa bermaterai kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal istri untuk diadakan pencatatan. 3) Panitera Pengadilan Agama mengirimkan surat keterangan kepada masing- masing suami istri atau kuasanya bahwa putusan tersebut ayat (1) telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan merupakan bukti perceraian bagi suami dan bekas istri. 4) Panitera Pengadilan Agama membuat catatan dalam ruang yang tersedia pada Kutipan Akta Nikah yang bersangkutan bahwa mereka telah bercerai. Catatan tersebut berisi tempat terjadinya perceraian, tanggal perceraian, nomor dan tanggal surat putusan serta tanda tangan panitera. 5) Apabila Pegawai Pencatat Nikah dengan Pegawai Pencatat Nikah tempat pernikahan mereka dilangsungkan, maka satu helai salinan putusan Pengadilan Agama sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dikirimkan pula kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat perkawinan dilangsungkan dan bagi perkawinan yang dilangsungkan di luar Negeri Salinan itu disampaikan kepada Pegawai Pencatat Nikah Jakarta. 6) Kelalaian mengirimkan salinan putusan tersebut dalam ayat (1) menjadi tanggung jawab Panitera yang bersangkutan, apabila yang demikian itu mengakibatkan kerugian bagi bekas suami atau istri atau keduanya.
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 292 Pasal 148 1) Seorang istri yang mengajukan gugatan perceraian dengan jalan khuluk, menyampaikan permohonannya kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggalnya disertai alasan atau alasan-alasannya. 2) Pengadilan Agama selambat-lambatnya satu bulan memanggil istri dan suaminya untuk didengar keterangannya masing-masing. 3) Dalam persidangan tersebut Pengadilan Agama memberikan penjelasan tentang akibat khuluk, dan memberikan nasihat-nasihatnya. 4) Setelah kedua belah pihak sepakat tentang besarnya iwadl atau tebusan, maka Pengadilan Agama memberikan penetapan tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talaknya di depan sidang Pengadilan Agama. Terhadap penetapan itu tidak dapat dilakukan upaya banding dan kasasi. 5) Penyelesaian selanjutnya ditempuh sebagaimana yang diatur dalam pasal 131 ayat (5) 6) Dalam hal tidak tercapai kesepakatan tentang besarnya tebusan atau iwadl Pengadilan Agama memeriksa dan memutuskan sebagai perkara biasa. Itulah tata cara perceraian menurut Kompilasi Hukum Islam.
Perceraian Menurut Hukum Positif di Materi Diklat #1| 293 Indonesia Tujuan Pembelajaran Umum: Membangun pemahaman dan penghayatan perceraian menurut hukum positif di Indonesia dan sejalan dengan hukum Islam, menerima bahwa value hukum Islam adalah yang terbaik, serta berusaha menerapkannya sebagai norma di lingkungan keluarga. Tujuan Pembelajaran Khusus: 1. Peserta memahami bahwa hukum positif di Indonesia mengatur tata cara perceraian dan sejalan dengan hukum Islam. 2. Peserta memahami tata cara perceraian menurut hukum positif di Indonesia. 3. Peserta memahami posisi perceraian dalam hukum positif di Indonesia diperbolehkan tidak semata karena alasan teknis dan emosional, tetapi karena adanya peristiwa krusial dan substantif yang menodai sakralnya lembaga keluarga. 4. Peserta memahami dampak perceraian di luar pengadilan. 5. Peserta memahami akibat putusnya perceraian di pengadilan. 6. Peserta giat secara mandiri atau mengikuti program edukasi yang meningkatkan kapasitas yang menunjang upaya menjaga keutuhan keluarga. Alternatif Kegiatan Pembelajaran: 1. Pendamping mengisahkan contoh-contoh perceraian. 2. Pendamping mengajak peserta studi kasus contoh-contoh proses perceraian yang tidak mengindahkan hukum positif di Indonesia dan konsekuensinya. 3. Peserta mendapat penjelasan perceraian menurut hukum positif di Indonesia, 4. Pendamping mengajak diskusi tentang solusi dari dampak negatif proses perceraian yang tidak sesuai dengan hukum positif di Indonesia. Uraian Materi: Sebagaimana telah menjadi pemahaman umum, tidak semua perkawinan dapat berlangsung abadi. Sebagian pasangan suami istri memilih bercerai dengan alasan dan kondisi masing-masing. Dalam hukum positif di Indonesia, perceraian diatur dalam Pasal 39–41 UU Nomor 1 Tahun 1974 jo pasal 19–36 PP nomor 9 tahun 1975, serta pasal 207– 232 a KUH Perdata. Untuk bisa bercerai, pasangan suami istri harus memiliki alasan-alasan yang sah sebagaimana disebutkan dalam aturan Perundang- undangan. Tidak boleh atas dasar persetujuan kedua belah pihak saja.
Edukator dan Motivator Ketahanan Keluarga | 294 Bagi warga yang beragama Islam, putusnya perkawinan karena perceraian ada dua macam, yaitu • cerai talak, yaitu putusnya perkawinan karena talak oleh suami; atau • cerai gugat, yaitu perceraian yang disebabkan oleh adanya suatu gugatan lebih dahulu oleh salah satu pihak kepada pengadilan dan dengan suatu putusan pengadilan. Gugatan cerai bagi yang beragama Islam diajukan ke pengadilan agama, sedangkan bagi yang beragama lainnya diajukan ke pengadilan negeri. Bagi yang beragama Islam, perceraian beserta akibat-akibatnya, terhitung sejak dijatuhkannya putusan. Sedangkan bagi yang beragama lainnya terhitung sejak pendaftarannya pada daftar pencatatan oleh pegawai pencatat (Pasal 34 ayat (2) PP nomor 9 tahun 1975). Cerai Harus Dilakukan di Sidang Pengadilan Menurut hukum positif, talak yang dilakukan di luar pengadilan adalah tidak sah. Merujuk pada ketentuan Pasal 39 ayat (1) UU Perkawinan, perceraian hanya bisa dilakukan melalui proses sidang di pengadilan. Untuk orang yang beragama Islam, proses sidang di Pengadilan Agama. Pasal 39 ayat (1) UU Perkawinan menyatakan, “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan.” Ayat (2) menyatakan, “Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.” Berdasarkan Pasal 114 Kompilasi Hukum Islam (KHI), putusnya ikatan perkawinan karena perceraian dapat diakibatkan karena adanya talak dari suami atau adanya gugatan dari istri. Pasal 114 KHI menyatakan, “Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian, dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian.” Dengan demikian, perceraian baik cerai karena talak maupun cerai karena gugatan, hanya bisa dilakukan dan sah secara hukum apabila melalui proses sidang di pengadilan agama yang mewilayahi tempat tinggal istri. Di dalam hukum yang berlaku di Indonesia, tidak diatur dan tidak dikenal pengertian talak di bawah tangan. Pasal 117 KHI menyatakan, “Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang pengadilan agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129, 130, dan 131.” Sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 39 Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Pengadilan yang berwenang untuk memeriksa, memutus, dan mengadili perkara perceraian bagi orang yang beragama Islam adalah pengadilan agama. Dengan demikian, talak menurut hukum positif adalah ikrar suami yang diucapkan di depan sidang pengadilan agama. Apabila talak dilakukan di luar pengadilan, perceraian sah secara hukum agama saja, tetapi belum sah secara hukum negara karena belum dilakukan di depan sidang pengadilan agama.
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164
- 165
- 166
- 167
- 168
- 169
- 170
- 171
- 172
- 173
- 174
- 175
- 176
- 177
- 178
- 179
- 180
- 181
- 182
- 183
- 184
- 185
- 186
- 187
- 188
- 189
- 190
- 191
- 192
- 193
- 194
- 195
- 196
- 197
- 198
- 199
- 200
- 201
- 202
- 203
- 204
- 205
- 206
- 207
- 208
- 209
- 210
- 211
- 212
- 213
- 214
- 215
- 216
- 217
- 218
- 219
- 220
- 221
- 222
- 223
- 224
- 225
- 226
- 227
- 228
- 229
- 230
- 231
- 232
- 233
- 234
- 235
- 236
- 237
- 238
- 239
- 240
- 241
- 242
- 243
- 244
- 245
- 246
- 247
- 248
- 249
- 250
- 251
- 252
- 253
- 254
- 255
- 256
- 257
- 258
- 259
- 260
- 261
- 262
- 263
- 264
- 265
- 266
- 267
- 268
- 269
- 270
- 271
- 272
- 273
- 274
- 275
- 276
- 277
- 278
- 279
- 280
- 281
- 282
- 283
- 284
- 285
- 286
- 287
- 288
- 289
- 290
- 291
- 292
- 293
- 294
- 295
- 296
- 297
- 298
- 299
- 300
- 301
- 302
- 303
- 304
- 305
- 306
- 307
- 308
- 309
- 310
- 311
- 312
- 313
- 314
- 315
- 316
- 317
- 318
- 319
- 320
- 321
- 322
- 323
- 324
- 325
- 326
- 327
- 328
- 329
- 330
- 331
- 332
- 333
- 334
- 335
- 336
- 337
- 338
- 339
- 340
- 341
- 342
- 343
- 344
- 345
- 346
- 347
- 348
- 349
- 350
- 351
- 352
- 353
- 354
- 355
- 356
- 357
- 358
- 359
- 360
- 361
- 362
- 363
- 364
- 365
- 366
- 367
- 368
- 369
- 370