Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Petualangan Huckleberry Finn

Petualangan Huckleberry Finn

Published by Digital Library, 2021-01-28 01:37:56

Description: Petualangan Huckleberry Finn oleh Mark Twain

Keywords: Mark Twain,Sastra,Sastra Dunia

Search

Read the Text Version

Petualangan Huckleberry Finn 91 cara lain untuk m em atikannya. Dengan pem bunuhan yang tak langsung, pikiran kita tak dipenuhi rasa sesal nanti. Bukankah begitu?” “Ya, benar, tetapi bagaim ana kalau setelah dua jam kapal ini tak hancur atau hanyut?” “Tak ada ruginya bagi kita untuk m enunggu dua jam , bukan?” “Baiklah kalau begitu. Marilah!” Mereka berdua keluar dari kamar itu. Dengan tubuh penuh keringat dingin aku meluncur turun dan bergegas ke haluan. Gelap pekat di tem pat itu, dengan suara serak aku berbisik, “J im ,” dan J im m enyahut dengan suara seperti m erintih, kiranya ia tepat berada di sikuku. “Cepat, J im , tak ada waktu lagi untuk m erintih-rintih! Mereka adalah sekelom pok pem bunuh. Kita harus cepat-cepat m encari perahu m ereka untuk kita hanyutkan agar m ereka tak bisa lari dari kapal ini. Mereka akan membunuh kawan mereka sendiri! Bila kita bisa m enem ukan perahu m ereka, kita bisa m em buat m ereka sem ua terjepit, sehingga polisi tak usah bersusah payah m enangkap m ereka. Cepat, ayo! Akan kucari di sisi kanan, dan kau cari di sisi kiri kapal. Mulailah dari tempat kita menambatkan rakit dan....” “Oh, ya Tuhan! Rakit? Rakit kita telah lenyap, talinya putus dan rakitnya hanyut, Tuhan, dan kita terdam par di tem pat seperti in i!”

RAMPASAN HALAL DARI KAPAL UAP WALTER SCOTT NAPASKU TERHENTI, dan ham pir saja aku pingsan. Terdam par di sebuah kapal rusak dengan sekelompok bandit kejam! Tapi tak ada waktu untuk bersedih. Kam i terpaksa harus m enem ukan perahu para penjahat itu untuk kami gunakan sendiri. Dengan gem etar, kam i m enyusuri tepi kanan kapal. Betapa lam batnya kam i berjalan. Rasanya sem inggu baru kam i sam pai keburitan. Tapi tak kami temukan perahu itu. J im berbisik ia terlalu lemah untuk m eneruskan pencarian, sem ua tenaganya habis. Tapi kupaksa ia untuk berjalan terus, sebab kalau tidak nasib kami akan sangat sial. Kam i m ulai m erangkak-rangkak lagi. Kam i m encapai bagian buritan ruang peranginan. Kam i harus m erangkak di atas jendela-jendela atap ruang itu, lalu bergantungan di jendela- jendela tersebut, sebab tempat itu sudah berada di permukaan air. Akhirnya kam i sam pai di pintu ruang silang dan di situ kam i tem ukan perahu para bandit tersebut! Ham pir kelewatan. Betapa

Petualangan Huckleberry Finn 93 lega hatiku. Sedetik lagi pasti kam i telah berada di dalam nya, mendadak pintu terbuka, salah seorang dari para penjahat itu m enjengukkan kepala, hanya kira-kira dua kaki dari tem patku. Kukira m am pus sudah aku, tapi orang itu segera m asuk lagi dan berteriak, “Sem bunyikan lentera itu, Bill!” Orang itu melemparkan sebuah karung entah berisi apa ke dalam perahu, kemudian ia sendiri masuk duduk di perahu. J elas orang itu Packard. Bill keluar kini, Packard berbisik, “Ayo, cepat, kita berangkat.” Aku begitu lem as hingga ham pir saja terjatuh ke air. Tapi Bill berkata, “Tunggu, apakah dia telah kau geledah?” “Belum . Kau?” “Belum . Dia m asih m engantongi uang bagiannya.” “Kalau begitu, ayolah, rugi kita pergi tanpa m engam bil u a n gn ya .” “Tapi bisa-bisa dia curiga.” “Biarlah. Betapapun harus kita kerjakan itu. Ayo!” Keduanya naik kem bali ke kapal, m asuk kam ar. Pintu kam ar tertutup sendiri oleh m iringnya kapal, dan sekejap saja aku telah m elom pat ke dalam perahu, disusul oleh J im yang m enggulingkan diri m asuk. Pisau kukeluarkan kuputus talinya, dan perahu itu meluncur lepas! Kam i tak m enyentuh pendayung, tak berani bersuara, m alah ham pir sam a sekali tak bernapas. Cepat sekali kam i hanyut, tanpa suara, m elam paui kotak pendayung kapal, m elam paui buritan dan dalam satu atau dua detik saja kami telah berada seratus yard di bawahnya, kapal itu telah lenyap ditelan kegelapan. Kam i sela m a t ! Waktu kam i berada kira-kira tiga atau em pat ratus yard dari kapal rusak itu, sekilas tam pak kerlipan cahaya lentera. Pasti penjahat-penjahat itu kini tahu bahwa mereka juga terjebak seperti si J im Turner.

94 Mark Twain Kem udian J im m ulai m em egang pendayung, kam i coba mengejar rakit kami. Dan saat itu aku baru mengkhawatirkan nasib orang-orang di dalam kapal rusak itu, tadi sama sekali tak terpikir olehku. Terbayang olehku betapa seram nya keadaan m ereka walaupun m ereka itu penjahat yang tak kenal am pun, pembunuh-pembunuh. Terpikir olehku, bagaimana pula kelak aku bila seandainya m endapatkan nasib serupa? Aku berkata pada J im , “Bila kita lihat cahaya api, kita m endarat seratus yard di atas atau di bawahnya, di tem pat kita bisa m enyem bunyikan perahu in i. Aku akan m en coba un tuk m en yuruh seseoran g menolong para penjahat itu agar mereka bisa dihukum gantung secara wajar.” Tapi usulku itu ternyata tak bisa segera dilaksanakan, badai dan hujan turun lagi, lebih dahsyat dari sem ula. Hujan begitu lebat hingga walaupun ada cahaya di pantai tak akan terlihat oleh kam i. Lagi pula m estinya sem ua orang telah pergi tidur. Kam i terus berhanyut, m encari cahaya api dan m encari rakit kam i. Setelah agak lama, hujan mulai mereda, tapi awan tebal masih menutupi langit. Kilat m asih sam bung-m enyabung. Karena cahaya kilat kam i m elihat sesuatu benda hitam di depan kam i. Cepat berkayuh ke arah benda itu. Dugaan kam i benar, benda itu rakit kam i. Betapa gem bira kami bisa berpijak lagi di rakit itu. Dan tak lama pula kami lihat kelipan cahaya di bagian hilir, di tepi sebelah kanan. Aku berkata pada J im aku akan pergi ke tem pat cahaya itu. Perahu yang kami tumpangi hampir penuh oleh barang-barang rampasan para penjahat tadi. Barang-barang itu kam i lem parkan sem ua ke atas rakit, kem udian kusuruh J im untuk berhanyut terus, dan bila telah mencapai kira-kira dua mil ia kusuruh menepi serta m enyalakan api sam pai aku datang. Aku berdayung dalam perahu m enuju ke arah api yang kulihat tadi. Setelah dekat tam pak lagi beberapa nyala api, di punggung bukit. Agaknya yang kudekati itu adalah sebuah desa. Aku m enepi di atas cahaya api di pantai

Petualangan Huckleberry Finn 95 itu, kem udian kuangkat dayungku serta aku berhanyut m engikuti arus. Lam pu yang kulihat tadi ternyata sebuah lentera di tongkat penggantung sebuah kapal tam bang yang bergeladak kem bar. Aku m engelilingi kapal itu untuk m encari di m ana penjaganya tidur, dan kutemui dia meringkuk di haluan, tidur dengan kepala tertopang di antara lututnya. Kuguncangkan pundaknya dua atau tiga kali dan aku berpura-pura menangis. Penjaga itu tersentak bangun, nam un waktu dilihatnya bahwa yang m em bangunkannya hanyalah seorang anak, kem alas- m alasan ia m enggeliat dan m enguap, baru kem udian bertanya, “Halo, ada apa? J angan m enangis, Nak. Kenapa kau ini?” “Bapak, Em ak, Kakak, dan....” aku terisak-isak. “Oh, jangan m enangis lagi. Kita sem ua m asing-m asing punya kesulitan sendiri-sendiri. Percayalah, apa pun kesukaranm u, pasti akan beres juga nanti. Kenapa bapak, em ak, dan saudaram u?” “Mereka... m ereka... oh, apakah kau penjaga kapal tam bang in i?” “Ya,” katan ya den gan ban gga, “akulah kapten pem ilik, mualim, pandu kapal, penjaga, kepala kelasi, dan kadang-kadang juga m erangkap sebagai penum pang dan m uatan. Aku tidak sekaya seperti si Tuan J im Hornback yang dengan leluasa bisa m em beri derm a pada setiap orang yang datang padanya, tetapi sudah sering kukatakan aku takkan m au bertukar nasib dengannya; kehidupan yang paling cocok bagiku adalah kehidupan sebagai orang kapal. Tak bisa kupikirkan bagaim ana jadinya bila seperti Hornback, sepi, walaupun ia kaya raya. Kataku....” “Mereka sedang dalam bencana, dan....” tukasku. “Sia p a ?” “Bapak, Em ak, Kakak, dan Nona Hooker. Bila kau bisa membawa kapal ini ke sana....” “Ke m ana?” “Ke kapal rusak itu.” “Kapal rusak yang m ana?”

96 Mark Twain “Hanya ada satu kapal rusak di sini, yang m ana lagi?” “He, jangan-jangan kapal Walter Scott?” “Ben a r .” “Astaga! Untuk apa m ereka sem ua itu naik ke kapal rusak tersebut?” “Mereka tidak dengan sengaja naik ke kapal itu.” “Tentu saja, hanya orang gila yang sengaja naik ke kapal rusak itu. Mereka takkan punya harapan selam at bila tak segera ditolong. Bagaim ana m ereka bisa berada di kapal itu?” “Mudah saja. Nona Hooker sedang berkunjung ke kota dekat situ....” “Ya, Pangkalan Booth, lalu...?” “Nona H ooker sedang berkunjung ke Pangkalan Booth. Tepat waktu m atahari terbenam ia dan budak negronya, seorang perem puan, berm aksud untuk m enyeberang, akan m enginap di rum ah kawan-kawannya, entah siapa aku lupa. Mereka m enyeberang dengan naik kapal tam bang untuk m enyeberangkan kuda. Di tengah sungai, dayung kem udi m ereka hilang, kapal m ereka berputar dan hanyut dengan buritan m ereka di depan. Setelah dua m il m ereka m enubruk kapal rusak itu. Kuda-kuda, tukang tambang, dan budak negro itu hilang. Nona Hooker sem pat m enyam bar sebuah tiang dan naik ke kapal rusak tadi. Sejam setelah m alam tiba, kam i yang naik kapal tongkang untuk berdagang, menubruk kapal itu pula karena hari, sangat gelap. Sem ua selam at kecuali Bill Whippie, oh, dan dia adalah m akhluk Tuhan yang paling baik, alangkah senangnya bila aku saja yang jadi korban.” “Astaga! Ini peristiwa terseram yang kuketahui. Lalu apa yang kalian perbuat?” “Kam i berteriak-teriak sekuat m ungkin, tapi sungai terlalu luas hingga tak terdengar agaknya oleh orang-orang di tepi. Bapak berkata, seseorang harus ke tepi sungai untuk m encari pertolongan. Hanya akulah yang bisa berenang, jadi aku yang

Petualangan Huckleberry Finn 97 terpilih. Nona Hooker berkata kalau aku tak segera mendapatkan pertolongan, aku harus cepat-cepat ke tempat ini untuk mencari pam annya yang pasti akan sudi m enolongnya. Aku m encapai tepi sungai kira-kira satu m il dari kapal rusak itu, dan sudah banyak yang kujum pai, tetapi sem ua tak m au m enolong, kata m ereka, ‘Apa, di tengah m alam dan arus seperti ini? Pekerjaan gila, pergi saja ke kapal tambang.’ Nah, kini maukah Paman segera pergi ke kapal rusak itu?” “Dem i Tuhan, tentu saja aku m au, Nak. Tetapi siapa kiranya yang akan m em bayar? Mungkinkah bapakm u....” “Oh, jangan khawatir. Kata Nona Hooker, Tuan Hornback, pam annya, pasti akan....” “Astaga! H orn back itu pam an n ya? Lihat! Cepat lari ke cahaya lam pu yang di sana itu, nah, sesam painya di sana kau belok ke arah barat. Seperempat mil dari tempat itu kau akan m endapatkan sebuah rum ah penginapan. Katakan pada tukang kereta di rumah penginapan itu untuk membawamu cepat-cepat ke rum ah Hornback, katakan ia yang akan m em bayar ongkosnya. J angan berlalai-lalai lagi, pasti dia sangat membutuhkan kabar ini. Katakan padanya, keponakannya pasti sudah kuselam atkan sebelum ia sam pai ke kota. Ayo, cepat berangkat, aku akan ke rumah di perempatan jalan itu untuk membangunkan tukang m esin ku .” Aku pura-pura lari ke arah lam pu yang ditunjukkannya. Tapi begitu ia berbelok di pengkolan, cepat-cepat aku berlari kembali m asuk ke perahuku dan berdayung ke arah m udik sam pai kira-kira enam ratus yard. Aku bersem bunyi di antara perahu- perahu tukang kayu, sebab aku akan selalu gelisah sebelum kulihat sendiri kapal tam bang itu berangkat. Sesungguhnya aku sudah m erasa sedikit puas, sebab kurasa perbuatan baik yang kulakukan untuk para penjahat itu tak akan banyak orang lain yang m au m engerjakannya. Betapa senangnya bila Nyonya J anda

98 Mark Twain mengetahui perbuatanku ini. Pastilah ia akan bangga karena aku telah menolong para penjahat itu, sebab para penjahat dan orang- orang sesat sem acam itu sangat diperhatikan oleh Nyonya J anda dan orang-orang baik sebangsanya. Tapi tak lam a kem udian kapal rusak itu telah hanyut, bagaikan bayangan m engikuti arus! Tak terasa keringat dinginku terbesit. Kukayuh perahuku m endekati kapal hanyut itu. Tapi segera juga kuketahui aku tak akan bisa berbuat apa-apa, sudah terlalu dalam terbenam . Pasti tak akan ada yang hidup lagi di dalam nya. Aku m engitarinya dengan perahu, sebentar-sebentar berseru m em anggil. Nam un sepi saja, tak ada jawaban. Aku sangat terharu memikirkan nasib para penjahat itu, tapi tak lama, kupikir bila aku bisa m enahan penderitaan serupa yang m ereka alami, pastilah mereka juga tahan. Kem udian tam pak kapal tam ban g tadi m elepaskan diri dari pantai, cepat-cepat kutujukan perahu ke tengah sungai, kem udian berhanyut m enyerong. Ketika kukira aku telah berada di luar jarak pandangan orang-orang di kapal itu, aku berhenti m endayung. Kulihat kapal tam bang tadi m engitari kapal rusak tersebut, agaknya m encari m ayat Nona Hooker sebab kapten kapal tahu bahwa Tuan Hornback pasti akan sangat menghargai barang-barang bekas m ilik keponakannya. Tapi segera juga kapal tam bang itu tak m eneruskan pencariannya dan kem bali ke pantai. Kukayuh perahuku ke hilir, dengan didorong pula oleh arus. Rasanya lam a sekali baru tam pak olehku cahaya lentera J im . Dan ketika sudah tam pak rasanya lentera itu seribu m il dari tem patku. Fajar telah ham pir m enyingsing waktu aku m encapai tem pat J im . Kam i m em bawa rakit kam i ke sebuah pulau. Setelah m enyem bunyikan rakit serta m enenggelam kan perahu ram pasan, kami berdua tidur bagaikan orang mati.

BIJAKSANAKAH SULAIMAN? KAMI MENYELIDIKI barang apa saja yang telah diram pas oleh para penjahat itu. Banyak sekali. Beberapa pasang sepatu, selim ut, pakaian dan benda-benda lainnya, banyak sekali buku, sebuah kaca spion, dan tiga kotak cerutu. Belum pernah kam i sekaya ini dalam hidup kam i m asing-m asing. Cerutunya sungguh sedap. Di sore hari kami berbaring-baring di rumput, bersenang- senang sambil sekali-sekali kubacakan cerita-cerita dan buku untuk J im . Kuceritakan pada J im sem ua yang terjadi di kapal rusak dan di pelabuhan kapal tambang. Kukatakan bahwa sem ua pengalam anku itu adalah suatu petualangan yang hebat. Tapi J im tak m enghendaki petualangan. Katanya ia sudah ham pir m ati waktu m engetahui bahwa rakit kami lepas. Dengan terdampar di kapal rusak itu bagaimanapun juga ia tak akan selam at. Bila tidak m ati terbenam , harus ada orang yang m enolongnya. Dan bila ada orang m enolongnya, pasti orang itu akan m em bawanya kem bali pulang untuk m endapat hadiah, dan ia akan dijual ke daerah Selatan.

100 Mark Twain Kukira betul juga kata J im . Mem ang sering kali cara berpikir J im baik sekali, otaknya sangat luar biasa bagi seorang budak. Aku banyak m em bacakan J im cerita-cerita tentang raja, pangeran, dan para bangsawan lainnya. Kuceritakan betapa indah pakaian m ereka, betapa banyaknya lagak m ereka dan betapa m ereka m enyebut satu sam a lainnya sebagai paduka tuan, tuanku, duli yang m aham ulia, dan sebagainya, dan bukan hanya “tuan” saja. Mata J im m elotot, ia sangat tertarik. Katanya, “Tak kukira raja itu begitu banyak. Belum pernah kudengar ada raja lain kecuali Sulaim an, dan raja-raja di perm ainan kartu. Berapa gaji seorang raja?” “Gaji?” aku bertanya, “astaga, m ereka bisa m engam bil uang sesukanya. Seribu dolar sebulan bila m ereka m au. Sem ua benda jadi milik mereka.” “Senang sekali. Lalu apa kerja m ereka, Huck?” “Mereka sam a sekali tak usah bekerja, tolol benar kau ini. Mereka hanya duduk-duduk saja.” “Ben a r ka h ?” “Ten tu saja ben ar. Mereka han ya duduk-duduk saja, kecuali bila ada perang, m ereka ikut bertem pur. Kebanyakan m ereka hanya berm alas-m alasan saja, atau berburu dengan m em pergunakan elang atau... ssst! Kau dengar suara itu?” Kam i berdua m elongok dari sem ak-sem ak. Ternyata suara tadi hanyalah suara roda pendayung sebuah kapal uap yang baru saja m em belok. Kam i kem bali ke tem pat kam i tadi. “Ya,” kataku, “dan pada saat-saat lain bila m ereka telah bosan segala-galanya m ereka m engajak parlem en bertengkar. Kalau ada yang tak setuju dengan m ereka, pasti dipenggal kepalanya. Tapi yang sering kali dilakukan raja-raja itu berkeliaran di tem pat harem nya.” “Di m ana?” “Harem .”

Petualangan Huckleberry Finn 101 “Apakah harem itu?” “Tem pat raja m enyim pan istrinya. Tak tahukah kau tentang harem ? Raja Sulaim an juga punya, ia punya kira-kira sejuta istri.” “Astaga, oh ya, aku tahu kini. Harem itu tem pat asram a, ya? Dengan tem pat anak-anak yang selalu ram ai. Dan para istri itu selalu bertengkar sepanjang hari, untuk menambah ribut suasana. Hm , dan kata orang, Sulaim an adalah orang yang paling bijaksana di dunia. Aku tak percaya kini. Bijaksanakah orang yang m au hidup di tengah-tengah segala m acam keributan yang ditim bulkan oleh para istri itu? Sam a sekali tidak. Seorang yang bijaksana pasti akan m endirikan pabrik ketel uap dengan uangnya, dan bila ia ingin istirahat ia bisa m enutup pabriknya itu.” “Betapapun, ia m em ang orang yang paling bijaksana di dunia ini. Sebab begitulah kata Nyonya J anda padaku, dikatakannya sen d ir i.” “Tak peduli apa kata Nyonya J anda, Sulaim an bukanlah orang yang paling bijaksana. Sering kali ia m enunjukkan cara- cara yang am at gila. Pernah kau dengar cerita tentang bayi yang akan dipotongnya m enjadi dua?” “Ya, Nyonya J anda yang m enceritakan padaku.” “Nah, bukankah itu cara yang paling gila? Coba perhatikan. Tanggul itu, anggap seorang wanita. Dan kau, wanita yang lainnya. Aku jadi Raja Sulaim an. Dan uang dolar ini bayi yang kalian perebutkan. Kalian sam a-sam a berkeras untuk m em iliki uang ini. Dan apa yang kukerjakan? Apakah aku bertanya-tanya pada para tetangga, m enanyakan pada siapa sebenarnya uang ini harus kuberikan dengan utuh seperti yang akan diperbuat oleh seseorang yang berotak waras? Tidak. Kupotong uang ini m enjadi dua, separuh kuberikan padamu, separuh kuberikan perempuan lainnya itu. Kini yang ingin kutanyakan, untuk apa uang yang hanya separuh itu? Tak ada gunanya sam a sekali. Dan untuk apa

102 Mark Twain bayi yang hanya separuh? Walaupun sejuta aku tak akan m au m enerim a bayi separuh badan.” “Minta am pun, J im , kau sam a sekali tak m engerti inti sari cerita itu, sam a sekali tak m engerti!” “Siapa tak m en gerti? Aku? Ayolah, jan gan kau bicara tentang inti sari cerita. Aku bisa m em bedakan perbuatan orang waras dan perbuatan orang gila. Kedua orang perem puan itu m em perebutkan seorang bayi, dan bukanlah separuh bayi. Orang yang m endam aikan pertengkaran sem acam itu dengan m em belah dua bayinya betul-betul orang gila. J angan bicarakan Sulaim an denganku, Huck, aku tahu benar siapa dia.” “Tetapi kau salah m enangkap inti cerita itu, J im .” “Tak peduli inti sarinya! Aku tahu apa yang kutahu. Dan kau harus ingat bahwa inti sarinya lebih dalam lagi terkandung dalam cerita itu. Inti sarinya terletak bagaim ana Sulaim an hidup. Coba! Bila seseorang hanya m em punyai satu atau dua orang anak, apakah ia m udah saja m em berikan anaknya itu? Pasti tidak, tak m am pu ia berbuat begitu. Ia bisa m enghargai anak-anaknya. Lalu bagaim ana seseorang yang m em punyai kira-kira lim a juta anak? Pasti sangat berbeda. Dengan mudah ia akan memotong seorang anaknya seperti ia m em otong seekor kucing. Baginya m asih banyak yang lain, kurang satu atau dua tak akan terasa bagi Sulaim an. Itulah inti sari cerita!” Tak pernah kukenal seorang negro seperti J im . Bila ia telah memiliki suatu pendapat, tak bisa diubah lagi pandangan itu. J im adalah orang negro yang paling m em benci Sulaim an. J adi terpaksa aku m engalah, m enceritakan raja-raja lainnya dan tak m enyinggung-nyinggung Sulaim an lagi. Kuceritakan padanya tentang Raja Louis XVI, yang dipotong kepalanya di Prancis berpuluh-puluh tahun yang lalu. J uga tentang anaknya, putra m ahkota yang m asih kecil, yang dipenjarakan dan kata orang telah mangkat.

Petualangan Huckleberry Finn 103 “Kasihan betul anak itu,” kata J im . “Tetapi ada juga yang bilang bahwa ia berhasil m elarikan diri dan m enetap di Am erika sini.” “Bagus sekali. Tapi pasti ia kesepian, bukankah di sini tak ada raja, Huck?” “Tidak ada.” “J adi ia tak akan m erasa kerasan. Dan apa kerjanya di sini?” “Aku tak tahu. Ada para bangsawan pelarian itu yang m enjadi polisi. Ada pula yang m enjadi guru bahasa Prancis.” “He, Huck, apakah orang-orang Prancis bahasanya tidak seperti kita?” “Tidak, J im . Kau tak akan bisa m engerti sepatah kata pun bahasa mereka.” “Mengapa dem ikian?” “Aku tak tahu. Tapi begitulah. Aku pernah m em baca sedikit bahasa Prancis. Coba, bila seseorang m endekatim u dan bertanya, ‘Pallii vufransi?’ Apa yang kau kerjakan?” “Kuhantam saja kepalanya, yaitu bila orang itu tak berkulit putih. Tapi kukira tak akan ada orang negro yang m engataiku seperti itu.” “Astaga, ia tak m engataim u apa-apa. Itu berarti: Apakah kau bisa bahasa Prancis?” “Nah, m engapa tak dikatakannya secara terus terang?” “Itulah yang dikatakannya. Itulah cara orang Prancis m enga- t a ka n n ya .” “Aneh sekali. Tak ingin aku m endengarkannya lebih lanjut. Gila!” “Perhatikan, J im , apakah bahasa kucing sam a dengan bahasa kita?” “Tentu saja tidak, kucing tak bisa berbicara seperti kita.” “Nah, dapatkah sapi berbicara seperti kita?” “Tidak bisa juga.”

104 Mark Twain “Apakah seekor kucin g bicara seperti seekor sapi atau seb a likn ya ?” “Tid a k.” “Sungguh wajar, bahwa binatang-binatang itu bahasanya beda satu sama lain, bukan?” “Ya h .” “Wajar bukan, bahwa seekor sapi atau kucing bahasanya lain dari kita?” “Yah, tentu saja.” “Nah, m engapa kalau begitu kau anggap gila bila seorang Prancis bahasanya lain dari kita? J awablah, J im !” “Tunggu Huck. Apakah seekor kucing itu m anusia?” “Tid a k.” “Nah, jadi tak wajarlah bagi kucing untuk berbicara dalam bahasa m anusia. Apakah sapi itu m anusia, atau sapi itu kucing?” “Keduanya bukan.” “Nah, jadi keduanya tak punya hak untuk bicara seperti lainnya dan sebaliknya. Kini, apakah seorang Prancis itu m anusia?” “Ya.” “Nah, itulah. Di situlah letak gilanya. Bila ia seorang m anusia, m engapa ia tak berbicara seperti kita? Kau jawab itu, Huck.” Tak guna bagiku untuk memboroskan napas berbicara dengan J im . Kita tak akan m enang bertengkar dengannya. J adi terpaksa aku tutup mulut.

MENGGODA JIM KAMI KIRA tiga m alam lagi kam i akan sam pai ke Cairo, daerah terakhir Illinois, di mana sungai Ohio bergabung dengan sungai Mississippi. Cairo-lah tujuan perjalanan kam i. Di sana kam i bisa menjual rakit kami untuk mendapatkan ongkos bagi perjalanan dengan kapal uap memudik sungai Ohio, ke daerah-daerah di mana perbudakan dilarang. Di daerah itu kami tak akan mendapatkan kesukaran lagi. Malam kedua kabut tebal m enutupi. Kam i m em utuskan untuk berlabuh saja, sebab tak ada gunanya berhanyut-hanyut dalam kabut. Dengan membawa tali penambat rakit aku berkayuh ke darat. Tapi tak kudapati pohon-pohon besar untuk mengikatkan tali rakit itu, terpaksa kubelitkan tali itu pada sebatang pohon kecil di tepi sungai. Mendadak saja sebuah arus kuat m enyentakkan rakit dan sebelum aku bisa berbuat apa-apa rakit itu telah hanyut, talinya m encabut pohon kecil itu sam pai ke akar-akarnya, lenyap ditelan kabut. Aku begitu terkejut dan

106 Mark Twain ketakutan hingga selama hampir setengah menit aku sama sekali tak bergerak. Ketika aku sadar, rakit itu sam a sekali tak terlihat, dalam kabut setebal ini orang hanya bisa m elihat sam pai jarak dua puluh yard. Cepat-cepat aku m elom pat ke dalam perahu, berlari ke buritan, m enyam bar dayung, dan m enghujam kan dayung itu ke air. Tapi perahu itu sama sekali tak bergerak, baru aku sadar bahwa tali pengikat perahu belum kulepaskan! Aku bangkit lagi, kulepaskan tali perahu, tapi tanganku begitu gemetar hingga lama sekali baru berhasil. Segera setelah perahuku lepas, aku berkayuh sekuat tenaga mengejar ke mana rakit kami tadi menghilang. Selama aku m enyusuri tepi gosong tem pat kam i tadi akan berlabuh tak begitu sulit bagiku untuk berperahu cepat-cepat, tapi begitu ujung gosong kulewati dan aku memasuki gumpalan kabut putih, mataku tak lebih dari mata seorang buta. Berdayung tak bijaksana bagiku, bisa-bisa aku terdam par ke pantai, ke gosong atau benda-benda lain hingga perahuku rusak. Lebih baik aku diam saja dan m em biarkan perahuku hanyut. Tapi dalam saat-saat seperti itu akan sangat sukar untuk hanya berdiam diri. Aku berteriak m em anggil J im . Dari kejauhan di sebelah hilir sayup-sayup suara teriakan balasan. Tim bul harapanku. Cepat-cepat aku berkayuh ke arah suara teriakan itu, m em asang telinga untuk m endengarkan lagi. Ketika teriakan itu terdengar lagi, ternyata aku telah berada di sebelah kanannya. Kem udian terdengar lagi, kini aku disebelah kirinya! Dan sam a sekali tak bertambah dekat, sebab walaupun aku berkali-kali berganti arah dan m em percepat kayuhanku, suara itu selalu menjauh terdengar. Kuharap saja si tolol J im itu m au m em buat ribut terus- m enerus dengan m em ukuli piring seng, m isalnya, hingga aku tak usah merasa bingung pada saat-saat ia tak berteriak. Setelah lama bersusah payah, tiba-tiba kudengar teriakan-teriakan itu ada di

Petualangan Huckleberry Finn 107 belakangku! Pikiranku betul-betul kacau kini. Kalau bukan aku yang telah berputar, pastilah itu teriakan orang lain. Kuangkat pendayungku. Kudengar teriakan itu lagi, m akin m endekat, tapi tem patnya berpindah-pindah terus. Aku berteriak-teriak menjawab, sampai tiba-tiba terdengar teriakan itu berada di depanku. Kini kutahu bahwa arus telah m em utarkan ujung perahuku. Dan tak akan m enyulitkan bagiku bila teriakan yang kudengar itu betul-betul teriakan J im. Dalam kabut setebal ini aku tak bisa yakin akan apa yang kudengar m aupun yang kulihat. Suara teriakan itu terdengar terus. Semenit kemudian aku bagaikan dilem parkan ke sebuah tepian terjal dengan bayangan pohon-pohon raksasa di atasnya. Arus yang sangat cepat kini m erenggut aku ke kiri lewat banyak sekali bonggol-bonggol yang berdesau-desau suaranya oleh kerasnya arus. Sekejap kem udian suara ribut tadi lenyap kem bali. Kini sunyi sepi lagi, serta kabut putih saja yang tam pak. Aku m enahan napas, m em asang telinga. Yang kudengar hanyalah debaran jangungku. Habis harapanku kini. Aku tahu sudah apa yang terjadi. Tepian terjal tadi bukanlah tepi sungai, tapi pantai sebuah pulau, dan J im dihanyutkan ke sisi lain pulau itu. Sudah pasti yang kulewati tadi bukannya gosong pasir yang biasanya bisa kita lalui dengan hanya m em butuhkan waktu paling lam a sepuluh m enit. Di tepinya tadi tam pak pohon-pohon besar, pastilah pulaunya cukup besar, m ungkin panjangnya lim a atau enam m il dengan lebar setengah mil. Kira-kira lim a belas m enit aku berdiam diri. Aku berhanyut- hanyut m engikuti arus dengan kecepatan kira-kira em pat atau lima mil per jam. Tapi hal itu tak terasa. Seolah-olah aku terdiam tak bergerak. Dan bila perahuku melewati sebuah bonggol, rasanya bukan perahuku yang berjalan, tetapi bonggol itulah. Setelah itu, selama kira-kira setengah jan, sekali-sekali aku berteriak-teriak. Akhirnya kudengar juga teriakan balasan, jauh sekali. Kucoba untuk m engejarnya, tapi tak bisa, sebab ketika itu

108 Mark Twain juga aku memasuki daerah gosong, di mana-mana kulihat samar- sam ar gosong-gosong itu, kadang-kadang selatnya am at sem pit. Gosong-gosong yang tak terlihat bisa kupastikan ada karena kudengar suara arus berdesau di daun-daunan yang tum buh di gosong itu. Segera juga tak bisa kuikuti lagi suara teriakan di kejauhan tadi, lagi pula aku m erasa tak ada gunanya m engikuti suara tadi, sebab tak bisa kubayangkan bagaim ana suatu suara bisa berpindah tempat dengan sangat cepat dan sering. Kem udian aku terpaksa jadi sibuk sekali, m en ghin dari tubrukan dengan pulau-pulau kecil yang banyak sekali. Aku takut bila tertubruk oleh pulau-pulau itu. Kukira rakit yang dikem udikan J im itu lebih berbahaya. Rakit itu bisa hanyut lebih cepat daripada perahu. Rakit tadi agaknya tak tercapai lagi oleh suaraku. Tapi pada waktu perahuku telah berada di tempat terbuka lagi, masih belum juga terdengar olehku teriakan J im. Mungkin ia m enubruk bonggol kayu hingga rakitnya pecah dan ia tak tertolong lagi. Aku begitu lelah hingga aku tak peduli lagi. Kuangkat dayungku dan aku berbaring di dasar perahu. Sesungguhnya aku tak ingin tidur, namun tak bisa kucegah lagi, aku merasa sangat m engantuk. Maksudku hanya akan tidur sebentar saja. Ketika aku bangun, kabut lenyap, langit jernih dan bintang- bintang berkelipan, agaknya tidurku lebih lam a dari yang kuduga. Perahuku sedang mengitari suatu belokan sungai, dengan buritannya di depan. Mula-m ula aku tak tahu aku berada di m ana, kukira tadi yang kualam i hanyalah im pian dan bila aku teringat kem bali, sem uanya seolah-olah terjadi sem inggu yang lalu. Kulihat sungai m akin bertam bah luas di tem pat itu, tepinya dipagari oleh pohon-pohon raksasa bagaikan tembok kukuh dalam cahaya bintang. Kulihat di sebelah hilir, sangat jauh, sebuah titik hitam . Cepat-cepat aku berkayuh ke titik itu yang ternyata hanyalah dua batang kayu penggergajian yang diikat

Petualangan Huckleberry Finn 109 m enjadi satu. Kulihat titik yang lain, kukejar, kulihat yang lain lagi, dan kali ini dugaanku benar, rakit kami! Sesam painya di rakit, kulihat J im sedang duduk dengan kepala bertopang pada lutut, tidur. Tangan kanannya m em eluk tangkai dayung kem udi, sedang dayung lainnya patah. Rakit itu penuh dengan daun-daun, ranting-ranting dan lumpur. J adi dia juga repot sekali m enem bus pulau-pulau kecil yang kulalui tadi. Kuikatkan perahu pada rakit. Aku berbaring tepat di bawah hidung J im , m enggeliat dan m enguap serta m em ukulnya dan berkata “Halo, J im , tertidurkah aku? Mengapa tak kau b a n gu n ka n ?” “Tuhan Maha Besar! Astaga! Kaukah ini, Huck? Kau tidak m ati? Kau tidak terbenam ? Kau kem bali lagi? Aduhai, ham pir- ham pir tak bisa kupercaya, Sayang, biarkan aku m elihat m ukam u, Huck, biarkan aku m enjam ahm u. Ya, kau tidak m ati, kau m asih hidup, dan sehat, kau betul-betul Huck yang baik! Syukurlah! “Astaga, kau ini kenapa, J im ? Mabuk?” “Mabuk? Apakah aku m abuk? Sem patkah aku m abuk?” “Mengapa pem bicaraanm u aneh-aneh?” “Aneh bagaim ana?” “Bagaim ana? Wah, bukankah kau berbicara tentang aku kem bali dan sebagainya seolah-olah aku telah m eninggalkan rakit in i?” “Huck... Huck Finn, pandang m ataku, pandang m ataku. Apakah kau tadi tidak pergi?” “Baru saja pergi? Apa m aksudm u? Aku tak pernah pergi ke m ana-m ana. Ke m ana aku bisa pergi?” “Lihat kem ari, Tuan. Ada yang tak beres. Apakah aku ini aku, atau siapakah aku ini? Apakah aku ini di sini atau di m ana? Itulah yang ingin kuketahui.” “Kalau tak salah kau m em ang di sini, J im , tapi kukira otakm u sudah tak beres.”

110 Mark Twain “Betulkah? Kini jawablah. Bukankah kau telah pergi dengan m em bawa tali takit untuk m enam batkannya pada sebuah gosong?” “Tidak. Gosong yang m ana? Di sini tak ada gosong sam a sekali.” “Kau tak m eliaht gosong satu pun? Lihat padaku. Bukankah tali itu putus dan rakit ini hanyut dibawa arus? Dan kutinggalkan kau di dalam kabut? “Kabut yang m ana?” “Kabut yan g... kabut yan g turun sepan jan g m alam in i. Bukankah kau berteriak-teriak, dan bukankah aku berteriak- teriak hingga kita saling tak tahu arah lagi di antara pulau-pulau kecil, masing-masing tak tahu di mana berada? Dan bukankah aku menubruk pulau-pulau itu hingga hampir saja rakit ini pecah? Bukankah begitu, Tuan, bukankah begitu?” “Kau m em buatku bingung, J im . Aku tak pernah m elihat adanya kabut, atau pulau-pulau, atau... pokoknya sem ua yang kau katakan tadi aku tak tahu. Aku duduk di sini, berbicara denganm u sepanjang m alam sam pai kau tertidur sepuluh m enit yang lalu, dan kukira aku pun tertidur pula setelah itu. Tam paknya m em ang tak mungkin kau mabuk, jadi tentu kau bermimpi.” “Tapi bagaim ana aku bisa m em im pikan sem ua itu dalam sepuluh menit.” “J elas kau m im pi, sebab apa yang kau katakan tak pernah terjadi.” “Tapi, Huck, sem uanya jelas sekali dalam penglihatanku....” “Tak peduli bagaim ana jelasnya, tapi tak ada buktinya hal itu terjadi. Aku tahu betul hal itu sebab sepanjang m alam aku ada di sin i.” Selama lima menit J im terdiam, termenung berpikir. Kem udian ia berkata, “Wah, kalau begitu benarlah aku berm im pi, Huck, tapi dem i Tuhan, m im pi tadi m alam sangat nyata terasa. Dan tak pernah aku bermimpi sampai badanku lelah begini.”

Petualangan Huckleberry Finn 111 “Itu tak aneh, J im , m im pi kadang-kadang m em ang am at m elelahkan . Agakn ya m im pim u itu san gat ajaib, J im , coba cer it a ka n .” J im m ulai bercerita. Sem uanya diceritakannya, dari perm ulaan, hanya banyak sekali kejadian-kejadian yang dibesar- besarkannya. Selesai bercerita, ia ingin m enafsirkan im pian itu, sebab im pian seperti itu pastilah dikirim kan padanya sebagai suatu peringatan. Gosong pertam a yang akan kupakai sebagai tam bahan rakit dikatakannya sebagai seseorang yang akan m enolong kam i, sedang arus sungai adalah orang lain yang m em isahkan kam i dari orang tadi. Teriakan-teriakan yang didengarnya adalah peringatan-peringatan yang sesekali akan datang pada kam i, yang bila tidak kam i ikuti akan m em bawa kesialan. Gosong- gosong serta pulau-pulau kecil itu adalah kesulitan-kesulitan yang akan kam i dapat dalam berhadapan dengan orang-orang yang suka bertengkar dan orang-orang berhati jahat. Tapi bila kami berdua tak m enyanggah kem auan m ereka, dan selalu m engikuti peringatan mereka, maka kami akan selamat melewati kabut. Sam pai ke sungai luas lagi diartikannya sebagai tiba di negara- negara bebas perbudakan tanpa m endapat banyak kesulitan lagi. Pada waktu aku sampai ke rakit itu, hari masih gelap, tapi sehabis J im mengoceh, hari terang dan tampak jelas kini ranting-ranting, daun-daun, lum pur serta dayung yang patah. Kutunjukkan sem ua itu pada J im dan bertanya, “Bagus sekali caram u m engartikan, J im , lalu ini sem ua apa artinya?” J im memperhatikan sampah itu, kemudian memperhatikan aku dan balik m em perhatikan sam pah lagi. Im pian yang telah diceritakannya tadi agaknya kuat sekali tertanam di otaknya hingga sukar baginya untuk m encabut kem bali. Tapi ketika sem ua itu telah ditelaahnya, tanpa tersenyum ia m em andang m ataku tepat-tepat dan berkata, “Artinya? Baiklah, akan kuceritakan. Waktu aku telah lelah mengemudikan rakit ini, dan telah lelah

112 Mark Twain memanggilmu, aku tidur. Hatiku bagaikan pecah, terlalu sedih memikirkan kehilanganmu. Sama sekali aku tak peduli akan kese- lamatan diriku atau rakit ini. Dan ketika aku terbangun, kulihat kau telah berada di sini, selam at. Aku begitu gem bira hingga air m ataku bercucuran, m au rasanya aku berlutut di kakim u, m encium kakim u; aku begitu bersyukur atas keselam atanm u. Tapi yang kau pikirkan hanyalah bagaim ana kau bisa m em perm ainkan J im tua yang tolol ini dengan berdusta. Yang kau lihat ini adalah sam pah, dan itulah nam a yang cocok bagi orang yang m em buat m alu sahabat karibnya.” Perlahan J im bangkit, masuk ke dalam gubuk tanpa berkata- kata lagi. Tapi memang tak perlu ia berkata-kata lagi, cukup sudah bagiku. Kata-katanya m em buatku m erasa sangat kejam padanya, m au rasanya aku m encium kakinya agar ia m au m elupakan semua kata-kataku. Lim a belas m enit kuperlukan untuk m em beranikan diriku, m em inta m aaf pada orang negro itu. Ya, aku m erendahkan diriku di depan budak itu, tapi aku tak pernah m enyesal karenanya. Tak pernah lagi aku m engganggunya, dan bila saja aku tahu ia akan begitu sedih, aku pun tak akan m enipunya dengan om ong kosong tentang impian itu.

AKIBAT MELANGGAR PANTANGAN TERHADAP KULIT ULAR SEPANJ ANG HARI kam i tidur, baru berangkat lagi setelah m alam tiba. Kam i berakit di belakang sebuah rakit raksasa yang m em punyai em pat pendayung besar, jadi kira-kira ada tiga puluh orang di atasnya. Di atas rakit raksasa itu ada em pat buah gubuk yang terpisah-pisah, dengan sebuah tem pat api unggun di tengah- tengahnya dan pada tiap ujung terdapat sebatang tiang bendera. Pasti bangga menjadi pekerja di rakit besar itu. Kam i m elewati sebuah tikungan besar di sungai itu. Langit mulai mendung dan hawa terasa panas. Sungai masih melebar, dengan hutan lebar di kedua sisinya. Di kedua tepi itu tak sekali pun terlihat cahaya api atau daerah yang tak berhutan. J im dan aku berbicara tentang Cairo, tanpa m engetahui apakah kam i telah sampai di kota itu. Menurut pendapatku mungkin kami tak akan tahu, sebab kudengar di kota itu hanya ada dua belas

114 Mark Twain rumah, jadi bila kami lewat pada waktu malam dan di antara rum ah-rum ah itu tak ada yang m enyalakan lam punya, pastilah kami tak akan tahu. Tapi menurut J im, kota itu terletak pada pertemuan dua batang sungai, jadi mudah diketahui. Mungkin juga, kataku, kami melewati pertemuan kedua sungai itu, tapi kam i beranggapan bahwa yang kam i lewati hanyalah ujung sebuah pulau, dan sesungguhnya kam i m asih berada di sungai itu juga. Ini m em buat J im gelisah. Aku juga. Apa yang akan kam i perbuat? Aku m engusulkan untuk m enuju ke pantai bila kelihatan cahaya, lalu berkata pada orang pantai itu, bahwa aku m endahului bapak yang m em bawa perahu kedai dan tidak tahu m asih berapa jauh lagi Cairo. J im setuju akan usulku itu, m aka selesailah pembicaraan kami, lalu kami berbaring-baring sambil mengisap pipa. Kini yang kam i kerjakan hanyalah m em perhatikan kalau- kalau ada kota di tepi sungai. J im m erasa seluruh nasibnya bergantung pada hal tersebut. Pada saat kota itu tampak, ia akan menjadi orang bebas. Tetapi bila kota itu terlampaui, ia akan kem bali ke daerah perbudakan lagi dan tak akan punya kesempatan lagi untuk bebas. J im jadi sangat gelisah, setiap saat ia bangkit, berseru, “Itu! Ca ir o !” Tetapi ternyata bukan. Yang dilihatnya hanyalah kunang- kunang. Terpaksa J im duduk lagi, gelisah seperti semula. begitu dekat ke kebebasan m em buatnya gem etar bagaikan dem am . Dan mendengarkan celoteh budak negro itu membuat aku gelisah juga. Ia sudah ham pir m erdeka, dan siapa yang m em buatnya bebas? Aku! Hati nuraniku m engatakan bahwa m em bebaskan budak itu adalah suatu kesalahan besar. Tadinya m em ang tak terpikirkan hal itu olehnya. Tapi kini pikiran itu m enyiksa diriku. Aku m encoba m engurangi rasa salahku dengan m enyatakan pada diriku sendiri, bahwa aku tidak m elarikan J im dari pem iliknya

Petualangan Huckleberry Finn 115 yang sah, tetapi tak ada gunanya. Setiap saat hatiku berkata, “Kau tahu dia m elarikan diri. Mestinya kau harus m enyerahkannya pada seseorang di pantai.” Demikianlah, tak pernah aku bisa m engalahkan suara hatiku. Setiap saat hati kecilku berkata, “Apa sebenarnya yang telah diperbuat oleh Nona Watson padam u hingga kau tega m elihat budak negronya m elarikan diri, tepat di depan hidungm u tanpa m encegahnya? Apa yang telah dikerjakan oleh wanita tua yang m alang itu hingga kau bisa berbuat sekejam itu? Nona Watson telah mengajarmu menulis dan membaca. Mengajarmu bersikap sopan santun. Mengajarkan semua hal yang baik-baik. Itulah yang diperbuatnya bagim u. Dan apa b a la sa n m u ?” Mau rasanya aku m ati m engenangkan kejahatan yang kubuat itu. Aku berjalan m ondar-m andir di rakit itu, dalam hati m em aki- maki diriku sendiri, sementara J im juga berjalan mondar-mandir dengan arah yang berlawanan. Kam i berdua sangat gelisah. Setiap kali J im m elonjak dan berseru, “Itu Cairo!”, aku m erasa seolah- olah tubuhku ditem bus sebutir peluru, dan bila saja yang dilihat J im itu betul-betul Cairo, rasanya aku akan m ati tegak. Sementara aku sibuk berbicara sendiri dalam hati, J im berbicara keras-keras tentang rencana m asa depannya. Bila ia telah sam pai ke negeri bebas, ia akan m enabung setiap sen yang didapatnya, hingga cukup untuk m enebus istrinya yang m enjadi budak di sebuah desa pertanian dekat tempat asal Nona Watson. Setelah itu, setelah istrinya bebas, m ereka berdua akan bekerja keras untuk m enebus kedua anaknya. Dan bila m ajikan anak- anak itu tak mau menjual mereka. J im akan minta tolong pada kaum Pem bebas Budak untuk m encurinya. Terasa beku hatiku m endengar kata-katanya itu. Dahulu tak m ungkin J im berani berbicara seperti itu. Lihatlah betapa besar perubahannya karena tahu bahwa sebentar lagi akan bebas. Tepat seperti peribahasa, “Berilah seorang negro sejengkal, dan ia akan

116 Mark Twain m engam bil sehasta.” Inilah akibat kurang pikirku. Budak negro ini, yang telah kutolong untuk m elarikan diri, tanpa m alu-m alu m engatakan bahwa ia akan m encari anak-anaknya. Anak-anak yang dim iliki oleh orang yang tidak aku kenal, seseorang yang belum pernah m enyakiti hatiku sam a sekali. Betapa m enyesal aku m endengar kata-kata J im . Betapa rendahnya hati J im . Hati kecilku begitu tersiksa hingga akhir- nya aku berkata padanya dalam hati, “J angan siksa diriku lagi, m asih belum terlam bat, aku akan berkayuh ke tepi pada lam pu pertam a yang kulihat dan akan kubuka rahasia J im .” Seketika aku m erasa agak senang. Sem ua kerisauan hatiku lenyap. Aku pun ikut m em perhatikan kalau-kalau terlihat cahaya di pantai, dan rasanya aku pun ikut m enyanyi dalam hati. Akhirnya tam pak sebuah kerlipan lam pu. J im berseru, “Kita selam at, Huck, kita selam at! Ayo, pergilah ke sana, cepat! Itulah Cairo, akhirnya sam pai kita ke Cairo! Aku tahu pasti!” “Aku akan m elihat ke sana, J im . Mungkin juga itu bukan Ca ir o .” J im cepat-cepat m em persiapkan perahu. Dialasinya tem pat duduk perahu dengan baju tebal. Sam bil m em berikan dayung padaku, ia berkata, “Segera aku akan berteriak kegirangan, dan akan kukatakan padam u bahwa atas jerih payah Huck-lah aku jadi orang merdeka. Tanpa Huck aku tak akan bisa bebas. Huck yang m em bebaskan. J im tak akan pernah m elupakanm u, Huck. Kau sahabat terbaik J im dan kaulah satu-satunya sahabat J im kin i.” Tadi aku ingin sekali bergegas ke pantai untuk membuka rahasia J im , tapi kata-kata J im ini m em buatku bim bang lagi. Aku tak tahu apakah aku gem bira atau sedih waktu perlahan kudayung perahuku m eninggalkan rakit. Ketika aku berada kita-kira lim a puluh yard dari rakit, kudengar J im berkata-kata sendiri, “Huck yang dapat dipercaya telah berangkat kini, satu-satunya orang kulit putih yang baik dan m enepati janjinya pada J im si tua ini.”

Petualangan Huckleberry Finn 117 Kata-kata ini m em buat hatiku m akin bim bang. Nam un aku mengeraskan hatiku, tak ada jalan lain, J im harus kuserahkan pada orang di pantai itu. Tepat saat itu sebuah biduk dengan dua orang lelaki bersenjata di dalam nya m endekat. Mereka berhenti, aku pun berhenti. Salah seorang di antara m ereka bertanya padaku, “Apa itu di sana?” “Bagian dari rakit,” jawabku. “Kau dari sana?” “Ya, Tuan.” “Ada orang di dalam nya?” “Hanya seorang, Tuan.” “Hm , m alam ini ada lim a orang budak negro m elarikan diri. Orang di rakitmu itu putih atau hitam?” Aku tak segera m enjawab. Kucoba, tapi tak sepatah kata pun keluar. Kukuatkan hatiku untuk m em buka rahasia J im , tapi nyatanya aku tak berhati jantan untuk itu, aku sepenakut kelinci. Nyata bagiku bahwa tubuhku terasa lem as, m aka tak kucoba untuk m enguatkan hati lagi, dan aku m enjawab, “Putih, Tuan.” “Agaknya lebih baik bila kam i pergi ke sana untuk m elihat sen d ir i.” “Aku pun berharap dem ikian, Tuan,” kataku, “sebab orang itu adalah bapakku, dan mungkin Tuan-tuan mau menolongku m enarik rakit itu ke tepi dekat cahaya api itu. Bapak sakit, begitu juga Em ak dan Mary Ann.” “Oh, astaga, kam i sedang tergesa-gesa, Nak. Tapi baiklah, agaknya kau terpaksa kam i tolong. Ayo, kita ke sana!” Aku m em belokkan perahu, dan berkayuh ke arah rakit, diikuti oleh kedua orang itu. Ketika kam i telah berdayung dua kali, aku berkata, “Bapak akan sangat gem bira atas pertolongan Tuan-tuan ini. Setiap orang yang kupinta pertolongan untuk m enarik rakit kam i selalu pergi m enjauh. Aku sendiri tak akan bisa mengerjakan seorang diri.”

118 Mark Twain “Hm , orang-orang tak berperikem anusiaan. Tapi aneh juga. Sebenarnya kenapakah bapakm u, Nak?” “Ia... ia... sedang sakit... oh, tidak, tidak apa-apa, Tuan.” Mereka berdua berhenti berdayung. Waktu itu kam i telah dekat sekali ke rakit. Salah seorang di antara kedua orang itu berkata, “Nak, agaknya kau berdusta. Kenapa sebenarnya bapakm u? Katakan sebenarnya!” “Aku akan berkata sebenarnya, Tuan, sejujurnya... tapi, harap jangan tinggalkan kam i. Bapakku kena... kena... Tuan-tuan, bila saja Tuan lebih dahulu ke pantai, akan kulemparkan tali rakit pada Tuan-tuan, jadi Tuan-tuan tak usah mendekat ke rakit.” ”Mundurkan, J ohn, m undur!” seorang berseru, dan perahu m ereka m undur. “J angan m endekat, Nak, tetaplah di bawah angin. Astaga, pastilah angin telah m em bawa benih penyakit pada kam i. Bapakm u kena cacar, bukan? Mengapa tak kau katakan sedari tadi? Kau ingin seluruh daerah ini kejangkitan wabah cacar?” “Ti– tidak, Tuan ,” suaraku kubuat gem etar, “tadin ya kukatakan hal itu pada sem ua orang, akibatnya tak ada yang m au mendekati kami.” “Kasihan, tapi betul juga tindakan m ereka. Kam i sangat m enyesal akan keadaanm u, Nak, tapi kau harus tahu bahwa kami tak ingin kejangkitan cacar itu. Dengar, jangan coba-coba merapatkan rakitmu itu ke pantai tanpa bantuan, salah-salah akan pecah rakit itu terdam par. Berhanyutlah terus, kira-kira dua puluh m il dari sini, di tepi kiri, terdapat sebuah kota. Agaknya akan kau capai tempat itu di siang hari nanti. Mintalah tolong pada orang-orang di sana, tapi jangan katakan ayahm u kena cacar, katakan saja bahwa ia sakit demam. J angan berbuat tolol lagi. Kam i berm aksud baik padam u, jadi bikinlah jarak dua puluh m il di antara kita. Tak ada gunanya engkau m endarat di cahaya api itu, itu hanyalah tum pukan kayu perusahaan. Oh, ya, kukira

Petualangan Huckleberry Finn 119 ayahm u m iskin dan sedang sial juga. Nih, kutaruh uang em as dua puluh dolar di papan ini, kau bisa m engam bilnya nanti bila hanyut kem ari. Aku m enyesal sekali tak bisa m enolongm u, tapi penyakit cacar tak boleh dianggap enteng.” “Tunggu, Parker,” sela tem annya. “Ini sum banganku untuk anak itu, dua puluh dolar juga. Selamat jalan, Nak, lakukan nasihat Tuan Parker itu dan kau akan selamat.” “Benar, Nak, selam at jalan, selam at berpisah. Bila kau tem ui salah seorang budak negro yang lari itu, cepat cari pertolongan untuk m enangkapnya, kau akan m endapat hadiah.” “Selam at tinggal, Tuan, tak akan kubiarkan seorang budak negro yang m elarikan diri lepas dari tanganku,” sahutku. Mereka pergi, dan aku naik kembali ke rakit setelah mengam- bil uang yang em pat puluh dolar itu. Sedih hatiku, sebab ternyata aku telah berbuat salah lagi. Rasanya tak akan bisa aku m enem puh jalan yang benar, sebab bila sejak kecil aku tak bisa berbuat benar, maka kelak bila aku dalam keadaan terjepit aku tak akan bisa mendapatkan dukungan sedikit pun untuk berbuat benar, dan mampuslah aku. Tapi terpikir juga olehku, bila kuserahkan J im apakah hatiku akan tenang, lebih senang dari keadaan sekarang? Tidak, pasti aku juga akan segelisah ini. J adi apa gunanya mencoba berbuat baik bila dengan berbuat baik itu kita masih menghadapi kesulitan, sedang dengan berbuat salah kesulitan itu tak ada, sem entara hasil yang bisa dicapai oleh keduanya sam a? Pikiranku buntu. Aku tak bisa m enjawab pertanyaan itu. Maka lebih baik tak usah kupikirkan lagi, selain mengerjakan apa saja yang paling m udah di kelak kem udian hari. “Aku di sini, Huck! Apakah m ereka sudah jauh? J angan keras-keras berbicara.” Ternyata ia berada di dalam sungai, di bawah dayung besar buritan dengan hanya lubang hidungnya yang m uncul di atas air. Kukatakan bahwa orang-orang itu telah jauh. Ia naik kem bali dan

120 Mark Twain berkata, “Aku m endengarkan sem ua pem bicaraanm u, Huck. Aku m enyelinap ke air, dan bila m ereka ke rakit aku akan berenang ke tepi untuk kemudian berenang kembali ke rakit bila mereka telah pergi. Tapi demi Tuhan, kau betul-betul telah mampu menipu mereka, Huck! Sangat cerdik sekali! Dengar, Nak, kau telah menolong J im tua ini, dan J im tak akan bisa melupakanmu untuk hal itu, Sayang.” Kam i m em bicarakan tentang uang yang kam i dapat. Keuntu- ngan yang cukup besar, m asing-m asing dapat dua puluh dolar. Dengan uang itu, kata J im, kami bisa membeli karcis sebagai penum pang geladak pada kapal uap, bahkan m asih banyak sisanya untuk berpergian ke negara-negara bebas. Ia berkata dua puluh mil tak begitu jauh bagi perjalanan rakit kami, tapi alangkah lebih m enyenangkan bila jarak itu telah kam i lalui. Menjelang fajar kam i berlabuh. Rakit kam i tam batkan. J im sangat hati-hati dalam m enyem bunyikan rakit. Sepanjang hari ia m em bereskan barang-barang, m engum pulkannya dalam bungkusan-bungkusan besar, bersiap-siap untuk menginggalkan rakit. Aku m eninggalkan rakit dengan naik perahu untuk m e- nanyakan nam a kota itu. Segera saja aku bertem u dengan seorang lelaki yang sedang naik perahu juga, sedang m em asang um pan pada serentengan m ata kail. Aku berhenti di sam ping perahunya untuk bertanya, “Tuan, apakah itu kota Cairo?” “Cairo? Bukan. Agaknya kau seorang yang am at tolol.” “Kota apa itu, Tuan?” “Bila kau ingin tahu, pergi ke sana dan tanya sendiri. Bila kau ganggu aku lagi dengan ketololanmu setengah menit saja, akan kau dapatkan yang tak kau inginkan.” Aku kem bali ke rakit. J im sangat kecewa, tapi aku berkata m ungkin kota berikutnya adalah Cairo. Sebelum matahari terbit, kami melewati sebuah kota lagi, dan aku sudah akan berangkat untuk bertanya tetapi tak jadi

Petualangan Huckleberry Finn 121 sebab kulihat kota itu berada di atas tebing tinggi. Tak ada tebing tinggi di sekitar Cairo, kata J im . Dan m em ang begitu seingatku. Hari itu kam i berlabuh di sebuah gosong yang am at dekat dengan tepi sungai. Suatu kecurigaan muncul di hatiku, dan aku berkata pada J im , “J im , m ungkin kita telah m elam paui Cairo waktu kabut tebal turun itu.” “J angan berkata tentang Cairo lagi, Huck. Negro yang m alang seperti aku ini memang tak akan pernah mendapat kesenangan. Kukira nasib sial yang ditim bulkan oleh karena kau berm ain- main dengan kulit ular di Pulau J ackson itu belum juga habis,” “Oh, J im aku sungguh m enyesal, betul-betul m enyesal aku telah memegang kulit ular itu.” “Bukan kesalahanm u, Huck, kau m em ang tak tahu. J angan kau sesali dirimu.” Waktu hari siang apa yang kam i takutkan terbukti. J elas sekali ada dua macam air di sungai kini, air jernih sungai Ohio di tepi kiri dan di luarnya air berlum pur cokelat dari sungai Mississippi. Sungai Ohio telah bergabung dengan Mississippi! J adi pasti sudah bahwa Cairo telah kam i lewati. Kam i berunding lagi. Bahaya bagi kam i untuk berjalan kaki. Dan tak mungkin rakit kami bawa memudik sungai. J adi, tak ada jalan lain kecuali menunggu hari gelap, kemudian berperahu m udik, m enyerahkan diri pada nasib. Kam i tidur sepanjang hari di antara semak-semak pohon kapas untuk mengumpulkan tenaga. Dan ketika kam i kem bali ke rakit hari telah gelap, ternyata perahu kam i lenyap! Beberapa saat kam i tak bisa berbicara. Kam i cukup tahu bahwa ini pun hasil kerja si kulit ular. Apa gunanya dipercakap- kan lagi? Bila kam i m encari-cari sebab kesalahan kam i, tak akan ada gunanya, m alah m enam bah sial saja. Nasib sial akan terus menimpa kami bila kami tak bisa menutup mulut untuk tidak m en gelu h .

122 Mark Twain Akhirnya kam i m erundingkan apa yang akan kam i perbuat kini. Kam i sam pai pada keputusan untuk terus m enghilir sungai sam pai kam i punya kesem patan untuk m em beli perahu. Tak guna m em injam perahu bila yang punya tiada seperti kebiasaan Bapak, sebab orang yang kehilangan perahu itu pasti akan m encoba mencari kami. J adi kami berangkat lagi dengan rakit malam itu. Bila kalian tak percaya akan pantangan m engenai kulit ular, bisa kalian baca seterusnya apa yang terjadi pada kam i. Dan setelah itu kalian pasti percaya. Tempat untuk membeli perahu adalah di tempat tambangan rakit di pantai. Tapi kami tak melihat rakit tertambat, jadi selama lebih dari tiga jam kam i hanya berhanyut terus. Langit m endadak mendung, hingga malam amat gelap, sungai bagaikan diliputi kabut. Kita tak bisa m elihat jelas bentuk sungai, dan tak bisa m engira-ngira jarak. Agaknya m alam telah sangat larut ketika m endadak saja m uncul sebuah kapal uap m em udik sungai. Kam i nyalakan lentera agar orang-orang kapal itu m elihat kam i. Kapal uap yang m em udik biasanya tak m endekati jalur yang akan kam i lalui, sebab m ereka m encari tem pat-tem pat yang lem ah arusnya di antara batu-batu karang. Tetapi malam-malam gelap seperti ini m ereka tak pilih-pilih lagi, m ereka m enggunakan kekuatannya untuk menentang sungai raksasa ini. Kam i telah m endengar suaranya, tapi baru bisa m elihat waktu kapal itu telah sangat dekat. Dan dia mengarah tepat kepada kami! Memang sering kali juru mudi kapal uap itu bergurau, mencoba kepandaian mereka untuk mendekati sebuah rakit sedekat m ungkin hingga kadang-kadang jentera dayung m ereka m elanda sam pai patah dayung rakit, kem udian pandu kapal m elongokkan kepala sam bil tertawa m em banggakan kepandaiannya. Dan kapal ini begitu dekat, kam i kira juru m udinya juga sedang m ain-m ain. Nam un nyata sekali haluannya tak berubah sedikit pun. Kapal

Petualangan Huckleberry Finn 123 uap ini sangat besar, dan agaknya sedang tergesa-gesa, ia datang bagaikan sebuah m endung besar yang dikelilingi oleh ulat-ulat bercahaya. Mendadak saja yang berada di hadapan kam i adalah sesuatu benda mahabesar dengan deretan panjang pintu-pintu perapian yang terbuka dan m em perlihatkan api m em bara panas, sedang haluannya sudah berada di atas kam i. Kam i dengar suatu teriakan yang tertuju kepada kam i, serta suara lonceng berdering tanda bahwa mesin harus dimatikan, hiruk-pikuk makian serta siulan uap—ternyata J im terlem par ke sam ping, aku terlem par ke sisi lain. Kapal uap itu telah m enerjang rakit kam i tepat di tengah lu n a s. Aku m enyelam , m enyelam dalam -dalam , kalau bisa sam pai m encapai dasar sungai, sebab roda pendayung kapal uap itu bergaris tengah sembilan meter dan pasti akan berputar di atasku. Biasanya aku tak tahan berada di dalam air selam a satu m enit, tapi kai ini agaknya aku berada di dalam air selam a satu setengah m enit. Kem udian aku tergesa-gesa m elonjak ke perm ukaan air, dadaku serasa akan pecah. Kusem burkan air dari m ulutku, dan aku m egap-m egap kehabisan napas. Arus am at deras, sebab kapal uap itu paling-paling hanya m em atikan m esin selam a sepuluh detik sebab biasanya orang-orang kapal m em andang rendah pada orang-orang rakit. Kini kapal tersebut telah ditelan kegelapan m alam , dayungnya m em buat air bergolak. Tak kulihat lagi tapi suaranya m asih bisa kudengar. Aku berteriak-teriak m em anggil J im sekira dua belas kali, tapi rasanya tak ada jawaban. Aku m enyam bar-nyam bar sebuah papan yang m enyentuhku waktu aku sedang m engam bang. Dengan memegang papan sebagai pelampung, aku berenang ke arah pantai. Tetapi ternyata aku berada di sebuah belokan arus yang m enuju ke tepi kiri, terpaksa kuikuti arus yang kuat itu. Belokan arus itu panjangnya kira-kira dua m il, lam a sekali terasa baru kucapai pantai. Aku m endarat dengan selam at.

124 Mark Twain Kupanjat tebing sungai. Hari terlalu gelap, aku ham pir tak bisa m elihat apa-apa. Aku terpaksa m eraba-raba kira-kira sepanjang seperempat mil atau lebih, hingga tanpa kusadari aku berada di depan sebuah rum ah kuno yang am at besar, terdiri dari dua buah rum ah yang digandengkan m enjadi satu. Aku sudah berm aksud untuk meninggalkan tempat tersebut ketika mendadak saja banyak sekali anjing m uncul m elom patiku, m enyalak dan menggonggong. J alan terbaik bagiku adalah tak beranjak sedikit pun dari tempatku berdiri.

AKU TINGGAL PADA KELUARGA GRANGERFORD KIRA-KIRA SEMENIT kem udian seseorang berseru dari jendela tanpa m enongolkan kepala, “Diam , anak-anak! Siapa itu?” “Aku!” jawabku. “Aku siapa?” “George J ackson, Tuan.” “Mau apa kau?” “Tak apa-apa, Tuan. Aku hanya akan lewat saja, tapi anjing- anjing itu menahanku.” “Untuk apa kau berkeliaran di sini m alam -m alam begini, he?” “Aku tak berkeliaran, Tuan, aku jatuh dari kapal uap.” “Oh, begitukah? Ayo, nyalakan lam pu. Siapa nam am u?” “George J ackson, Tuan. Aku hanya seorang anak.” “Dengar. Bila kau berkata sebenarnya, kau tak usah takut, tak akan ada yang m enyakitim u. Tapi jangan coba-coba bergerak,

126 Mark Twain jangan beranjak dari tempatmu berdiri. He, kalian, bangunkan Bob dan Tom serta am bil senjata. George J ackson, kau bertem an?” “Tidak, Tuan.” Kudengar beberapa orang bergerak di dalam rum ah. Sebuah lam pu m enyala, dan suara tadi berkata, “J angan taruh lam pu itu di situ, Betsy, tolol engkau! Taruh di lantai di depan pintu. Bob, bila kau dan Tom telah siap, ambil tempatmu masing-masing.” “Sia p .” “Baiklah. George J ackson , ken alkah kau pada keluarga Sh ep h er d son ?” “Tidak Tuan, belum pernah kudengar nam a m ereka.” “Hm , m ungkin betul, m ungkin juga kau berdusta. Nah, sem ua siap kini. Majulah, George J ackson. Dan ingat, jangan bergerak terlalu tergesa-gesa, pelan-pelan saja. Bila kau bertem an, biarkan tem anm u itu tinggal di tem patnya, bila ia ikut m uncul, ia akan ditembak. Majulah. Perlahan. Dorong pintu di depanmu sampai cukup untukm u m enyelinap m asuk. Kau dengar sem ua itu?” Aku bergerak pelan sekali, selangkah dem i selangkah aku m aju, sunyi sekali, yang terdengar hanyalah detakan jantungku. An jin g-an jin g yan g m en gerum un iku juga telah diam sejak dibentak tadi, kini mereka terus mengikuti setiap langkahku. Ketika aku m encapai am bang pintu yang terbuat dari tiga buah balok kayu, kudengar dari dalam palang pintu dan kunci dibuka. Kudorong pintu perlahan sekali sam pai kudengar seseorang berkata, “Nah, cukup. Perlihatkan m ukam u!” Aku m enjengukkan kepalaku ke dalam. Lilin terletak di lantai, beberapa orang m em perhatikanku dan aku memperhatikan pula mereka selama seperempat menit. Tiga lelaki berbadan besar mengacungkan senapan mereka ke arahku, m em buatku sukar bernapas. Yang tertua ram butnya telah kelabu, um urnya kira-kira enam puluhan, yang lainnya sekitar tiga puluhan, sem uanya gagah dan tam pan; tam pak juga seorang

Petualangan Huckleberry Finn 127 nyonya tua yang cantik dan di belakanganya dua orang wanita lagi yang tak bisa kulihat jelas. Tuan tua tadi berkata, “Nah, kukira semua beres. Masuklah.” Begitu aku m asuk, orang tua itu m em asang palang pintu dan gerendelnya, m engajak kedua lelaki yang lebih m uda untuk m asuk dengan m em bawa senapan m asing-m asing. Kam i sem ua pergi ke sebuah ruang besar dengan permadani baru, berkumpul di sebuah sudut di luar daya tem bak dari jendela depan. Sam a sekali tak ada jendela sam ping. Dalam cahaya lilin sem ua m em perhatikan aku dan sem ua berkata, “Wah, ia betul-betul bukan keluarga Shepherdson, tak ada sedikit pun tanda-tanda keluarga itu padanya.” Si tuan tua m inta m aaf padaku sebelum ia menggeledah aku untuk mengetahui apakah aku tak membawa senjata. Ia tak m em eriksa isi sakuku, hanya m eraba-raba saja dari luar kem udian berkata bahwa kini sem uanya beres. Ia m enyuruh aku tenang-tenang saja, seolah-olah di rum ah sendiri, dan disuruhnya aku bercerita tentang diriku. Tapi nyonya tua tadi berkata, “Astaga, Saul, anak m alang itu basah kuyup, dan apakah kau tak mengira ia lapar?” “Benar, Rachel, aku lupa.” “Betsy!” nyonya itu m em anggil seorang wanita negro. “Cepat, cari m akanan untuknya, anak m alang. Dan salah satu di antara kalian, gadis-gadis, bangunkan Buck dan katakan... oh, ini Buck datang. Buck, bawa anak ini ke kam arm u, beri dia pakaianm u yang kering.” Tam paknya Buck sebaya denganku, um urnya sekitar tiga belas atau em pat belas tahun, walaupun tubuhnya agak lebih besar dariku. Dia tidak mengenakan apa-apa selain kemeja, ram butnya awut-awutan. Sam bil m enguap dan m enggosok-gosok m atanya, serta m enyeret sepucuk bedil ia m endekat dan bertanya, “Tak ada orang-orang Shepherdson?” Sem ua m enjawab tidak, ternyata keributan tadi hanyalah karena salah sangka.

128 Mark Twain “Hm , bila ada orang-orang Shepherdson, pastilah aku akan membunuh paling sedikit satu.” Sem ua tertawa, Bob berkata, “Wah, Buck, bila saja kau tak cepat datang, pasti kami semua telah dikuliti mereka.” “Aku tak pernah diberi tahu bila ada apa-apa. Sungguh tak adil, tak pernah aku diberi kesempatan.” “J angan khawatir, Buck, anakku,” kata si tua, “kau akan mendapatkan kesempatan nanti, jangan kau uring-uringan tak karuan. Kini lakukan perintah ibum u tadi.” Aku dibawa Buck naik ke kam arnya di tingkat dua. Diberinya aku sehelai kemeja kasar, selembar celana dan sebuah jaket. Sem entara aku berganti pakaian, Buck bertanya siapa nam aku. Tapi sebelum aku menjawab, ia telah bercerita tentang seekor burung dan seekor kelinci yang ditangkapnya kem arin dulu. Kem udian ia bertanya di m ana Musa pada waktu lilin padam . Aku tidak tahu, aku sama sekali belum pernah mendengar cerita Musa dan lilin itu. “Coba terka,” kata Buck. “Bagaim ana aku bisa m enerka bila belum pernah m endengar hal itu?” “Tetapi kau bisa m enerka sem aum u, bukan? Mudah saja.” “Baiklah, tapi katakan, lilin yang m ana?” “Lilin m ana saja.” “Aku tak tahu. Di m ana Musa?” “Wah! Tentu saja ia berada di kegelapan pada waktu lilin padam. Di mana lagi?” “Nah, bila kau telah tahu, m engapa kau tanyakan padaku?” “Minta am pun, ini suatu teka-teki, tak tahukah kau? Eh, berapa lam a kau akan tinggal di sini? Tinggallah selam anya. Kita akan punya banyak waktu untuk bersenang-senang. Sekolah sedan g libur. Apakah kau m em pun yai seekor an jin g? Aku m em punyai anjing yang cerdik, ia bisa m em bawa kem bali kayu

Petualangan Huckleberry Finn 129 yang kita lem parkan ke sungai. Apakah kau senang m enyisir ram butm u di hari-hari Minggu? Dan berdandan? Aku sam a sekali tak suka, tapi ibu memaksaku. Terkutuk celana ini, kukira aku terpaksa m em akainya kini, sesungguhnya aku tak suka m em akai celana, terlalu panas! Kau siap? Baiklah. Mari kita turun, Sobat.” J agung rebus, kornet, mentega, dan susu kental tersedia untukku di m eja, m akanan yang belum pernah kum akan selam a ini. Buck, ibunya, dan sem ua keluarganya m engisap pipa, kecuali budak wanita negro dan kedua orang gadis tadi. Sementara aku m akan, m ereka m engisap pipa dan m enanyaiku. Kini kulihat bahwa kedua gadis itu m em akai selim ut, m em bungkus tubuhnya; ram but m ereka panjang. Menjawab pertanyaan m ereka aku bercerita bahwa keluargaku tinggal di sebuah tanah pertanian di Arkan sas. Kukatakan saudaraku perem puan , Mary An n , m elarikan diri untuk kawin dan tak ketahuan di m ana tinggalnya kini. Saudaraku Bill m enyusul m ereka tapi tak juga kem bali, sedang Tom dan Mort m eninggal dunia hingga yang tinggal di rum ah hanyalah aku dan Bapak. Bapak sakit keras karena terlalu m em ikirkan kesukaran yang dihadapinya hingga akhirnya dia pun m eninggal dunia. Kukatakan karena tanah pertanian itu bukan m ilik kam i, terpaksa aku m engam bil barang-barang yang tinggal sedikit, kemudian naik kapal uap memudik sungai, tapi terjatuh di tem pat itu. Sem ua yang duduk di situ m engatakan aku bisa tinggal dengan mereka selama aku suka. Hari telah hampir pagi, sem ua orang pergi tidur. Aku tidur dengan Buck. ketika aku terbangun di pagi harinya, aku lupa nam a yang kupakai. Sejam aku berusaha m engingat-ingat nam a itu sam pai Buck terbangun dan aku bertanya padanya, “Buck, dapatkah kau m engeja?” “Tentu saja dapat,” jawabnya. “Aku berani bertaruh kau tak bisa m engeja nam aku.” “Aku bertaruh bisa.” “Baiklah, coba eja nam aku!”

130 Mark Twain “G-e-o-r-g-e J -a-x-o-n, nah, betul?” “Wah, benar. Kukira tadi kau tak bisa. Itu bukan nam a yang m udah untuk dieja, setidak-tidaknya tanpa dipelajari lebih d a h u lu .” Diam-diam kucatat dan kupelajari nama itu. Siapa tahu, suatu hari aku akan disuruh orang m engejanya, dan akan kueja nam a itu secepat m ungkin seolah-olah aku telah biasa m engerjakannya. Keluarga itu sangat baik hati, dan rum ahnya juga sangat bagus. Belum pernah aku m elihat rum ah sebagus dan bergaya seperti itu. Tidak seperti rum ah lainnya. Pada pintu depannya terdapat tom bol pem utar dari tem baga untuk m em bukanya seperti rum ah di kota. Rumah-rumah biasa memakai kancing pintu besi atau kayu dengan tali kulit, di kam ar tam u tak ada tem pat tidur atau bekas-belas tem pat tidur. Dasar tem pat perapiannya dari batu bata yang selalu dibersihkan dengan air dan digosok dengan bata, hingga selalu merah, malah kadang-kadang dicat pula dengan warna coklat Spanyol, seperti dikerjakan orang di kota. Kerangka besinya cukup besar untuk m enahan sebatang balok besar. Di atas selubung cerobong asap, tergantung sebuah lonceng, di pertengahan kaca terdapat gambar sebuah kota dengan gambar m atahari sebagai pusat jarum , bandulnya bergoyang-goyang di belakangnya. Senang sekali m endengarkan lonceng itu berdetak, sekali-sekali datang seorang penjaga yang m em bersihkan dan memperbaiki, dan lonceng itu bisa berdentang sampai seratus lim a puluh kali. Berapa pun akan dibeli, lonceng itu tak akan dijual. Di kedua sisi lonceng itu, terdapat masing-masing seekor burung kakaktua yang terbuat dari batu kapur, tapi dicat cemerlang. Dekat salah seekor kakaktua itu terdapat seekor anjing terbuat dari tembikar, dan di dekat kakaktua lain, ada seekor kucing juga dari tem bikar. Bila anjing atau kucing itu kita pijit, mereka akan mendecit tanpa membuka mulut atau merubah

Petualangan Huckleberry Finn 131 air m ukanya. Suara decit itu datang dari bawah. Di belakang benda-benda itu terdapat sebuah kipas dari bulu kalkun yang terbuka lebar. Di atas meja di tengah kamar tamu terdapat sebuah keranjang berisi buah-buahan dari tembikar; lebih merah, lebih kuning dan lebih indah dari buah-buahan yang asli, tetapi nyata sekali bahwa itu sem ua hanya tiruan sebab di beberapa tem pat tem bikarnya telah terkelupas hingga terlihat kapur atau entah apa di bawahnya. Alas m eja ini terbuat dari kain m inyak, dengan lukisan garuda dari cat m erah dan biru. Katanya alas itu datang dari Philadelphia. Di tiap sudut meja ditumpuk buku dalam susunan yang sam a tinggi. Salah satu di antaranya adalah sebuah kitab Injil yang besar, penuh gam bar. Ada juga buku yang berjudul Kem ajuan Kaum Ziarah tentang seorang lelaki yang m eninggalkan keluarganya, entah kenapa. Sering juga kubaca buku itu. Ceritanya m enarik, tapi bahasanya sulit dim engerti. Buku yang lain berjudul Persem bahan Persahabatan, isinya hal yang indah-indah dan syair-syair. Syairnya tak kubaca. J uga ada buku yang berisi pidato-pidato Henry Clay, dan karangan Dokter Gunn yang berjudul Obat Keluarga yang m enceritakan bagaim ana cara kita m erawat orang sakit atau m ati. Ada lagi sebuah buku nyanyian gereja, dan m asih banyak lagi. Kursi-kursi lipat yang ada di ruang itu serba bagus, tem pat duduknya tidak mengendur ke bawah seperti keranjang. Di dinding tergantung banyak lukisan, kebanyakan lukisan tentang Washington, Lafayettes dan pertem puran, serta sebuah lukisan tentang penandatanganan naskah proklamasi dan bebe- rapa lukisan wajah Ratu Mary. Di sam ping itu ada pula beberapa beberapa lukisan krayon, kapur berwarna, yang dibuat oleh salah seorang putri keluarga itu yang telah m eninggal dunia. Lukisan- lukisan itu dibuat pada waktu si gadis berumur lima belas tahun. Sangat berbeda dari lukisan yang pernah kulihat, terlalu banyak

132 Mark Twain warna hitam dari biasanya. Di antaranya terdapat sebuah lukisan seorang wanita berpakaian serba hitam, dengan pita hitam di bawah ketiaknya, lengan bajunya m engelem bung bagaikan kubis di tengah-tengah, topi kain hitam dengan tudung muka hitam, pergelangan kakinya putih, bersilang, dililiti pita hitam dan memakai sandal hitam lancip seperti tatah. Wanita itu memeluk sebuah nisan di bawah pohon dedalu dengan tangan kanan, tangan kirinya m em bawa sehelai sapu tangan putih dan sebuah tas sutra. J udul lukisan itu tertulis di bawahnya: “Aduhai, Aku Tak Akan Bisa Melihatm u Lagi.” Sebuah lukisan lagi menggambarkan seorang wanita muda yang ram butnya disisir lurus ke belakang, disanggul dengan sebuah sisir hingga mirip punggung kursi. Wanita itu menangis, m engusap m atanya dengan sapu tangan. Di tangan satunya seekor burung telentang dengan kaki kaku ke atas. Di bawah lukisan tertulis: “Aduhai, Aku Tak Akan Bisa Mendengarkan Kicauanm u Lagi.” Pada lukisan lainnya tergam bar seorang wanita m uda di jendela, memandang bulan dengan air mata membasahi pipi. Tangannya yang satu m em egang sepucuk surat yang terbuka, di tepinya tam pak tanda lilin cap berwana hitam . Tangan yang lain m enekan sebuah m edalion berantai ke bibirnya. Tulisan di bawah lukisan ini berbunyi: “Aduhai, Kau Pergi, Ya, Kau Telah Pergi.” Lukisan-lukisan itu cukup indah, tetapi berdiri bulu tengkukku bila m em perhatikannya lam a-lam a. Sem ua orang bersedih hati karena gadis itu m eninggal, sebab si gadis banyak sekali m em punyai lukisan, dan m elihat hasil yang telah ada sem ua orang tahu betapa mereka seakan dirugikan karena lukisan- lukisan itu tak terselesaikan. Tapi menurut pendapatku, melihat gejalanya si gadis akan lebih m erasa senang di dalam kubur. Dia sedang m engerjakan apa yang disebut orang sebagai hasil karyanya yang terbesar ketika jatuh sakit. Setiap hari, setiap m alam , si

Petualangan Huckleberry Finn 133 gadis berdoa agar ia diperkenankan m enyelesaikan lukisan itu sebelum m eninggal, nam un agaknya kesem patan untuk itu sudah tiada. Lukisan yang belum jadi itu m em perlihatkan seorang gadis bergaun putih, bersandar di pagar sebuah jembatan siap untuk melompat ke sungai, dengan rambut terurai ke belakang dan wajah menengadah ke arah bulan dan air mata mengalir di pipinya. Gadis itu m em punyai sepasang tangan bersilang di dada, sepasang lagi terjulur ke depan, dan sepasang pula meraih ke arah bulan agaknya untuk m elihat pasangan tangan yang m ana yang cocok agar yang lain bisa dihapus. Tetapi karena pelukisnya meninggal dunia sebelum lukisan itu selesai, maka tangan-tangan itu tak ada yang terhapus. Lukisan tersebut digantungkan di din- ding sebelah alas bantal alm arhum , di kam ar tidurnya. Setiap hari ulang tahun almarhum, bunga-bunga digantungkan di sekeliling lukisan itu. Pada saat-saat lain, lukisan itu ditutup dengan tirai hitam . Gadis dalam lukisan itu wajahnya cukup m anis, tapi lengan yang terlalu banyak m am buatnya m irip laba-laba. Waktu hidupnya, si gadis m em buat suatu buku tem pel. Yang ditempelkan di situ adalah berita-berita kematian, kecelakaan m aut, dan kejadian-kejdian sedih lainnya yang term uat dalam surat kabar Presby terian Observer. Berita-berita itu kem udian dibuatnya syair, dikarangnya sendiri. Syair-syairnya bagus. Di bawah ini contoh syair yang dibuatnya tentang seorang anak bernam a Stephen Dowling Bots yang jatuh ke dalam sum ur dan mati terbenam: ODE BAGI ALMARHUM STEPHEN DOW LING BOTS. Bila jatuh sakit Stephen si m uda, Hingga m aut m enjelangny a Dan adakah hati yang berduka, serta berderai air m ata? Tidak, bukan dem ikian nasibnya,

134 Mark Twain Stephen Dow ling Bots si m uda W alau hati di sekelilingny a berduka, Bukan karena sakit ny aw any a tercantum . Bukan batuk kering m em buatnya m ati, Oleh cam pak kulitny a tiada digerogoti; Bukan peny akit y ang m enodai nam a suci, Dari si m uda Stephen Dow ling Bots. Bukan cinta tak terbalas m em beri pukulan m aut Pada kepalany a y ang beram but keriting, Bukan pula kesakitan hebat di dalam perut Mem atikan si m uda Bots, Stephen Dow ling. O, tidak, dengarkan kini dengan m ata basah, Tentang kisahnya aku akan bertutur. Dari dunia dingin ini ny aw any a telah terpisah, Karena tubuhny a tercebur ke dalam sum ur. Dia cepat diangkat dan ditolong, Tetapi terlam bat sudah say ang, Ny aw any a telah terbuang m elay ang, Ke dunia y ang lebih indah dan agung. Bila saja Em m eline Grangerfords (nam a gadis yang telah m eninggal itu) bisa m em buat syair seperti di atas sebelum ia berum ur em pat belas tahun, entah apa yang bisa dikerjakannya adaikan ia tidak m eninggal dunia. Kata Buck, kakaknya itu bisa m engucapkan sebuah syair baru seolah-olah tanpa berpikir. Bila Em m eline tidak bisa m encari suatu kalim at yang bersajak dengan kalim atnya yang terdahulu, m aka dihapusnya kalim at yang terdahulu itu diganti kalim at lain, begitulah syairnya diram pungkan. Ia tak banyak m em ilih, bisa m em buat syair tentang apa saja asal bernada kesedihan. Tiap kali ada seseorang meninggal dunia, entah pria, wanita atau anak-anak, Emmeline selalu hadir pertam a kali dengan ‘persem bahannya’ sebelum

Petualangan Huckleberry Finn 135 alm arhum dingin tubuhnya. Syair-syair itu disebutnya sebagai ‘persem bahan’. Para tetangga sam pai punya peribahasa bila ada orang m ati selalu: ‘Mula-m ula tuan dokter, kem udian Em m eline, baru tukang urus m ayat yang datang’. Hanya sekali pengurus m ayat datang lebih dahulu dari Em m eline, ini m em buat Em m eline begitu m arah hingga ia m engarang sebuah syair bernada keras atas nam a orang yang m eninggal itu, yang bernam a Whisters. Emmeline jadi amat berubah setelah peristiwa tersebut. Ia tak pernah m engeluh, nam un seakan-akan tak punya keinginan untuk hidup lagi. Gadis malang. Sering kali aku pergi ke bekas kam arnya yang tak pernah ditem pati lagi. Bila lukisan-lukisannya m em buatku sedikit ketakutan, kukeluarkan buku tem pelnya, kubaca sem ua tulisan yang ada di situ. Aku m enyukai sem ua anggota keluarga itu, baik yang sudah m ati m aupun yang m asih hidup. Tak ingin aku membenci pada salah seorang di antara m ereka. Em m eline yang m alang itu selalu m em buat syair untuk orang-orang m ati sem asa hidupnya, m aka tak adillah bila tak ada yang m em buat syair untuk Em m eline kini. Maka kucoba m em buat beberapa baris syair, tapi selalu gagal. Kam ar Em m eline selalu bersih dan rapi, setiap benda tetap berada seperti pada waktu ia masih hidup. Tak seorang pun diperbolehkan tidur di kam ar itu. Walaupun banyak budak negro, Nyonya Grangerford yang tua itu sendirilah yang m em bersihkan kam ar itu. J uga sering kali nyonya tersebut m enjahit atau m em baca Injilnya di situ. Kem bali ke ruang tam u yang kuceritakan tadi. J endela- jendelanya ditutupi dengan gorden yang indah, warnanya putih dengan lukisan istana-istana yang dindingnya penuh dengan tum buh-tum buhan m eram bat, dan ternak yang sedang m inum . Di kam ar itu juga terdapat sebuah piano kecil yang sudah tua, agaknya di dalam nya terdapat beberapa piring seng, begitulah bunyinya. Tidak ada yang begitu indah bagiku seperti waktu gadis-

136 Mark Twain gadis Grangerford itu m enyanyikan lagu “Hubungan Terakhir Telah Putus” atau berm ain piano dengan lagu “Pertem puran di Praha.” Dinding dalam sem ua dilapis dengan kertas, lantainya hampir semua beralas permadani. Dinding luar dicat putih. Rumah besar itu terdiri dari dua rumah dihubungkan jadi satu, gang di antara kedua rumah itu diberi atap dan lantai. Kadang-kadang m eja m akan dipindahkan ke gang itu di tengah hari, sejuk untuk duduk-duduk di tempat tersebut. Senang sekali hidupku di tengah keluarga itu, Makanannya sangat enak dan tak terbatas jum lahnya.

MENGAPA HARNEY PERGI MENGAMBIL TOPINYA KOLONEL GRANGERFORD benar-benar seorang besar. Begitu juga sem ua keluarganya. Ia lahir dalam keluarga yang terhorm at, inilah yang m em buatnya berbeda dari orang kebanyakan, seperti pernah dikatakan oleh Nyonya J anda yang m erupakan contoh kebangsawanan utam a di kota kam i. Bahkan Bapak juga mengatakan demikian, walaupun ia tak lebih berharga dari seekor kucing lumpur. Kolon el Gran gerford oran gn ya tin ggi, ram pin g, warn a kulitnya pucat, tak ada warna m erahnya sam a sekali. Setiap pagi m ukanya tercukur bersih. Mukanya kurus, bibirnya am at tipis, begitu juga cuping hidungnya. Hidungnya m acung, alis m atanya tebal, m atanya am at hitam , tersem bunyi dalam rongga m ata yang m elekuk dalam hingga seakan-akan m ata itu m elihatnya keluar dari sebuah gua. Dahinya lebar, ram butnya abu-abu, panjang lurus hingga ke bahu. Tangannya panjang, kurus. Setiap hari ia

138 Mark Twain selalu memakai kemeja dan jas lengkap dari kain linen putih- bersih, begitu putih hingga m enyakitkan m ata. Tiap hari Minggu ia memakai jas panjang biru dengan kancing-kancing tembaga. Ia selalu m em bawa tongkat kayu m ahoni yang berkepala perak. Ia tak pernah membuang-buang waktu dan omong besar. Hati- nya am at baik—kita bisa m erasakan hal itu hingga m enaruh kepercayaan padanya. Kadang-kadang ia tersenyum , dan betapa senangnya m elihat senyum an itu. Tetapi bila ia m arah, dan m atanya bercahaya-cahaya, baiklah kita cepat-cepat m em anjat pohon yang tertinggi, baru kem udian m enyelidiki m engapa ia m arah. Ia tak pernah m enyuruh orang bersikap sopan santun, setiap orang yang berada di dekatnya m au tak m au terpaksa berbuat sopan. Semua orang senang bila ia ada di dekat mereka, seakan-akan ialah m atahari keluarga itu—yang kum aksud seolah- olah kehadirannya m em buat cuaca selalu baik. Bila ia m arah, maka selama setengah menit suramlah keadaan seluruh keluarga itu, tapi cukup selama itu saja, seminggu setelah itu tak akan ada yang berani berbuat salah. Bila ia dan Nyonya Grangerford m uncul di ruang m akan pagi hari, sem ua yang telah hadir berdiri dari kursi m asing- m asing, dan tak duduk lagi sebelum keduanya duduk. Kem udian Tom dan Bob pergi ke rak din din g tem pat guci m in um an ditaruh. Mereka mencampur suatu minuman pahit di gelas dan m em berikannya pada ayah m ereka yang m em egang gelas itu terus sam pai m inum an Tom dan Bob selesai dicam pur. Kem udian Tom dan Bob m em bungkuk ke arah ibu dan ayahnya sam bil berkata, “Horm at kam i untuk bapak berdua, Tuan dan Nyonya.” Tuan dan Nyonya Grangerford m em bungkuk juga sedikit dan mengucapkan terima kasih, dan serentak orang-orang itu minum sampai habis gelas di tangan masing-masing. Setelah itu Tom dan Bob m engisi gelas m ereka dengan sesendok air, gula, dan sedikit Whiski atau brandi apel, memberikan peles-peles itu padaku dan

Petualangan Huckleberry Finn 139 Buck. Kam i pun m inum sam bil m em beri horm at pada Tuan dan Nyonya Grangerford. Bob adalah anak tertua, Tom adiknya, keduanya bertubuh tinggi besar dan berwajah cokelat, tampan. Mata dan rambut m ereka hitam . Ram butnya juga sepanjang bahu. Pakaian m ereka pun selalu putih bersih seperti ayah m ereka. Dan m ereka selalu memakai topi panama lebar. Setelah Tom , Nona Charlotte yang berum ur dua puluh lim a tahun. Ia bertubuh tinggi sem am pai, sikapnya agung. Bila tidak m arah, hatinya sangat baik, tapi bila m arah cukup m enakutkan seperti ayahnya. Nona Charlotte sangat cantik. Begitu juga adiknya, Nona Sophia, tapi cantiknya berbeda. Nona Sophia lem but dan m anis bagaikan m erpati, um urnya baru dua puluh tahun. Setiap oran g m em pun yai seoran g budak n egro—Buck juga. Budak negro yang diberikan padaku ham pir tak ada yang dikerjakannya, sebab aku tak biasa dibantu dalam m engerjakan apa-apa. Sebaliknya budak negro Buck, boleh dikata tak pernah istirahat, ada saja perintah Buck padanya. Sesungguhnya m asih ada lagi anak keluarga itu, tiga orang anak lelaki yang terbunuh dan Em m eline. Tuan Grangerford m em iliki banyak sekali tanah pertanian dan lebih dari seratus oran g budak n egro. Kadan g-kadan g sekelompok orang datang bertamu, menunggang kuda; mereka datang dari daerah kira-kira sepuluh atau lim a belas m il jauhnya dari rum ah. Biasanya m ereka tinggal lim a atau enam hari. Dan selama itu ramai sekali tempat kami, pesta perahu di sungai dan danau, piknik di siang hari di hutan, dan pesta di rumah pada m alam hari. Ham pir sem ua yang datang adalah sanak keluarga Tuan dan Nyonya Grangerford. Sem ua pria tak lupa m em bawa senjata m ereka. Betul-betul keluarga besar yang gagah-gagah dan tampan-tampan.

140 Mark Twain Di daerah itu ada keluarga besar lain berdarah bangsawan. Mereka terdiri dari lima atau enam keluarga, sebagian besar bernam a Shepherdson. Mereka kaya, agung, dan terpandang seperti keluarga Grangerford. Kedua keluarga besar itu m em per- gunakan pelabuhan kapal uap yang sam a, yaitu kira-kira dua mil di bawah rumah kami. J adi kadang-kadang bila aku pergi bersam a anggota keluarga Grangerford ke pelabuhan, aku bisa m elihat anggota keluarga Shepherdson di sana m enaiki kudanya yang bagus-bagus. Suatu hari aku dan Buck sedang berburu di hutan ketika kudengar suara derap kaki kuda. Segera juga tampak seorang pem uda sangat tam pan m em acu kudanya di jalan, ia duduk tegak di punggung kuda itu bagaikan seorang perajurit. Senjata- nya m elintang di atas pelananya. Aku tahu siapa dia. Itulah si m uda Harney Shepherdson. Kudengar senapan Buck m eledak di telingaku, dan topi Herney terbang dari kepalanya. Cepat ia m enyam bar senapannya dan m em acu kudanya ke arah kam i berdua bersem bunyi. Kam i tak m enantinya, berlari m enerobos hutan. Hutan di tempat itu tak begitu lebat, sekali-sekali aku berpaling untuk menghindari peluru. Dua kali kulihat Harney m en un jukkan sen apan n ya tepat ke kepala Buck. Tapi tak terdengar tem bakan, Harney m em utar kudanya dan kem bali. Agaknya untuk m engam bil topinya, tapi aku tak tahu pasti. Kam i berdua terus berlari sampai ke rumah. Selama kira-kira semenit, m ata Tuan Grangerford tua bagaikan m enyala—agaknya karena gem bira—karena m endengarkan cerita Buck. Kem udian m ata itu kem bali tenang dan ia berkata, “Aku sam a sekali tak m enyukai caram u m enem bak dari balik sem ak-sem ak, Buck. Mengapa tak kau hadang dia di tengah jalan, Anakku?” “Orang-orang Shepherdson tak pernah m enyerang dengan berterang terang, Ayah. Mereka selalu m enem bak dari perlin- d u n ga n .”


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook