Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Petualangan Huckleberry Finn

Petualangan Huckleberry Finn

Published by Digital Library, 2021-01-28 01:37:56

Description: Petualangan Huckleberry Finn oleh Mark Twain

Keywords: Mark Twain,Sastra,Sastra Dunia

Search

Read the Text Version

Petualangan Huckleberry Finn 241 itu dengan ketiga gadis majikan mereka. Semua menangis tak henti-hentinya, m em buat hatiku jadi m akin tak enak. Gadis-gadis itu tak pernah m enyangka bahwa keluarga budak m ereka akan dicerai-beraikan atau dijual ke luar kota. Tak akan terhapus dari kenanganku betapa gadis-gadis m alang dan budak-budaknya itu saling memeluk dan menangis bersama. Hatiku sudah tak tahan lagi, dan pasti aku akan membuka rahasia bila saja aku tahu bahwa pembelian itu tidak sah, jadi tak lama lagi pasti orang- orang negro itu akan berkumpul kembali. Penjualan itu m em buat sedikit keributan di kota. Banyak orang cukup berani m enyatakan bahwa m em isahkan keluarga budak negro itu keji sekali. Nama kedua penipu jadi sedikit suram, tapi si bajingan itu tak akan ambil pusing, tak mau mendengarkan nasihat sang pangeran yang betul-betul sangat gelisah. Hari berikutnya adalah hari lelangan um um . Pagi-pagi, raja dan pangeran naik ke bilikku dan membangunkanku. Dari wajah m ereka aku tahu ada sesuatu yang tak beres. “Apakah kau pergi ke kam arku m alam kem arin dulu?” tanya raja. “Tidak, Sri Baginda,” jawabku dengan panggilan yang selalu kupakai bila kam i hanya bertiga. “Kem arin atau m alam tadi, kau ke sana?” “Tidak, Sri Baginda.” “Betul? Kau tak berdusta?” “Dem i Tuhan, Tuanku,” jawabku berdusta, “aku berkata sebenarnya. Sejak Nona Mary J ane m enunjukkan kam ar itu pada Tuanku dan Tuan Pangeran, tak pernah aku menginjak kamar itu.” “Kau m elihat seseorang m asuk ke sana?” tanya sang pange- ran. “Tidak, Yang Mulia, seingatku tidak.” “Berpikirlah dulu sebelum m enjawab.”

242 Mark Twain Aku berpikir-pikir, dan m enem ukan suatu jalan, kataku, “Yah, kulihat orang-orang negro itu m asuk ke sana beberapa kali.” Kedua orang itu terlonjak sedikit, tam paknya sam a sekali hal itu tak pernah mereka duga, tapi kemudian mereka berbuat seolah-olah telah m enduganya. Sang pangeran bertanya, “Apa? Sem uanya pernah m asuk ke sana?” “Tidak, setidak-tidaknya tak pernah m ereka m asuk bersam a- sama, maksudku aku tak pernah melihat mereka keluar bersama- sama, kecuali sekali.” “Hah? Kapan itu?” “Pada hari pem akam an. Pagi hari. Tidak pagi-pagi benar, sebab aku bangun terlambat. Waktu aku sedang menuruni tangga, kulihat mereka.” “Benar? Teruskan, teruskan! Apa yang m ereka kerjakan? Bagaim ana m ereka bertindak?” “Mereka tidak m engerjakan apa-apa. J uga tak bertindak apa-apa, sejauh yang kulihat. Mereka berjalan berjingkat, jadi kukira agaknya m ereka akan m em bersihkan kam ar Sri Baginda tapi Baginda belum bangun, jadinya m ereka m enyelinap keluar karena takut kalau-kalau tidur Baginda terganggu.” “Astaga, ini nam anya kesialan!” seru sang raja. Kedua orang tampak seakan-akan sakit mendadak dan linglung. Mereka termenung, menggaruk-garuk kepala beberapa saat, dan tiba- tiba sang pangeran tertawa m enggum am dan berkata, “Betul- betul pandai budak-budak itu bersandiwara! Mereka berbuat seolah-olah sedih karena harus pergi dari daerah ini. Dan aku pun sam pai percaya bahwa m ereka sedih, begitu juga engkau, begitu juga semua orang. J angan berkata padaku lagi bahwa orang negro tak punya bakat untuk m ain sandiwara. Cara m ereka bermain hari itu betul-betul bisa menipu semua orang! Menurut hem atku, orang-orang negro bisa dipergunakan dengan baik. Bila saja aku punya m odal dan punya gedung sandiwara, aku tak akan

Petualangan Huckleberry Finn 243 membutuhkan cerita lain kecuali kejadian hari itu dan kita jual sem ua orang itu cum a-cum a! Ya, secara cum a-cum a, sebab kita belum mendapatkan wesel itu.” “Wesel itu ada di bank, siap untuk kita am bil. Tak usah khawatir.” “Kalau begitu, baiklah, kita harus bersyukur.” Dengan pura-pura m alu aku bertanya, “Apakah ada yang tidak beres?” San g raja berpalin g padaku dan m em ben tak, “Bukan urusanm u! Kau tutup m ulut saja, dan urus sendiri urusanm u bila kau m em punyai urusan. Selam a kau ada di sini, jangan lupa itu, d en ga r ?” Kem udian ia berkata pada sang pangeran, “Terpaksa harus kita terima saja kesialan ini, dan tak berkata apa-apa pada siapa p u n .” Waktu mereka menuruni tangga, pangeran tertawa bergumam lagi, “Penjualan cepat dan sedikit laba! Usaha yang sangat bagus, ya!” San g raja berpalin g, m en ggeram , “Aku sudah berusaha sebaik-baiknya dalam m enjual barang-barang warisan itu dengan cepat. Bila labanya tak ada, kurang banyak, dan tak ada yang bisa kita bawa, apakah itu kesalahanku saja, dan kau tak bersalah sama sekali?” “Setidak-tidaknya barang-barang itu akan m asih ada di dalam rumah ini, sedang kita sudah jauh dari tempat ini, bila saja nasihatku ada yang m au m endengarnya.” Sang raja m em bentaknya lagi, seolah-olah tak m em bahaya- kan dirinya, kem udian kem bali m em arahi aku lagi. Dim arahinya aku karena tak segera m em beritahukan padanya bahwa orang- orang negro itu keluar dari kam arnya dan bertingkah sangat m encurigakan, katanya, setiap orang tolol akan segera tahu bahwa ada yang tak beres. Kem udian sang raja m em aki-m aki

244 Mark Twain dirinya sendiri, m engatakan bahwa ini sem ua disebabkan karena ia tidur terlalu larut sehingga paginya ia terlalu lam bat bangun. Ia tak akan berbuat begitu lagi. Begitulah, kedua orang itu terus saja bertengkar. Aku sangat gem bira bisa m elem parkan segala kesalahan pada orang-orang negro itu tanpa mereka harus menerima hukuman.

DUSTA TAK MENGUNTUNGKAN WAKTU UNTUK bangun tiba. Aku turun dan m enuju ke tangga yang m enuju ke bagian bawah rum ah. Waktu m elewati kam ar ketiga gadis Wilks, kulihat pintu terbuka. Tampak olehku Mary J ane duduk bersim puh dekat koper ram butnya, m em bereskan pakaian, bersiap-siap untuk pergi ke Inggris. Tapi ia tak berbuat sesuatu waktu aku lewat itu. Di pangkuannya terlipat sebuah gaun, tangannya m enutupi m uka, m enangis. Aku terharu sekali m elihat keadaannya, kukira sem ua orang akan m em punyai perasaan yang serupa dalam keadaan itu. Aku m asuk dan berkata, “Nona Mary J ane. Kau tak tahan m elihat orang lain bersedih. Aku begitu pula, walaupun tak selam anya. Coba katakan apa yang m enyedihkan h a t im u .” Mary J ane m enceritakan kesedihannya. Seperti telah kuduga, orang-orang negro itulah penyebabnya. Katanya perjalanan yang m enyenangkan ke Inggris ini tak m enarik hatinya lagi. Ia tak tahu bagaimana ia akan merasa bahagia di Inggris, bila ia tahu bahwa

246 Mark Twain keluarga negro itu tak akan bisa berkumpul lagi untuk selama- lam anya. Agaknya m akin lam a gadis itu bertam bah sedih juga, sam pai akhirnya tangisnya m enjadi-jadi, ia m engangkat tangannya dan berkata, “Aduhai, rasakan pecah hatiku m em ikirkan betapa mereka, bahkan tak akan bisa lagi bertemu muka, untuk selama- lam anya!” “Tetapi m ereka akan berkum pul lagi dan hanya dalam waktu dua m inggu lagi, aku tahu betul itu!” kataku. Astaga! Aku telah lancang bicara! Dan sebelum aku bisa m enghindar, aku telah dipeluknya, dan ia m inta agar aku mengatakan kalimat tadi sekali lagi dan sekali lagi dan sekali lagi. Sesaat aku sangat bingung. Kum inta agar dia m em beri kesem - patan padaku untuk berpikir. Mary J ane menunggu, tak sabar, gelisah dan tampak sangat cantik, tetapi tampak juga bahagia dan lega seperti orang yang sakit gigi selesai dicabut. Kupikir, seseorang yang m enceritakan keadaan sebenarnya pada waktu ia sudah am at tersudut, akan m enghadapi bahaya, walaupun aku begitu yakin, sebab belum berpengalam an dalam hal itu. Tapi dalam keadaan ini, agaknya lebih m enguntungkan bila kukatakan hal yan g seben arn ya daripada harus berdusta. Aku harus memikirkan lagi persoalan ini bila ada waktu, sebab rumit sekali tam paknya– belum pernah aku m enghadapi persoalan serum it ini. Akhirnya kuputuskan untuk m encobanya, akan kucoba untuk tidak berdusta kali ini, walaupun keadaannya seperti kita duduk di atas tong m esiu yang kita sulut sum bunya untuk m elihat sam pai di m ana kita akan terlem par oleh ledakannya. “Nona Mary J ane, apakah ada suatu tem pat di luar kota ini yang bisa nona tinggali untuk kita-kira tiga atau em pat hari?” t a n ya ku . “Ya. Tem pat Tuan Lothrop. Kenapa?” “J angan bertanya m engapa dulu. Bila kukatakan padam u bahwa orang-orang negro itu akan berkumpul kembali paling

Petualangan Huckleberry Finn 247 lambat dua minggu lagi dan kubuktikan bagaimana aku bisa seyakin itu, m aukah kau pergi ke rum ah Tuan Lothrop dan tinggal selama empat hari?” “Em pat hari!” kata Mary J ane. “Setahun pun aku sanggup.” “Baiklah. Aku hanya m em butuhkan kesediaanm u saja untuk bisa kupercaya. Kesediaanm u lebih berharga daripada sum pah orang lain.” Mary J ane tersenyum dengan pipi m em erah hingga tam pak sangat cantik. Aku berkata lagi, “Bila kau tak berkeberatan, akan kututup pintu dan kukunci.” Selesai menutup dan mengunci pintu, aku duduk lagi, dan berkata, “J angan kau berteriak, jangan kau m enjerit. Kau m enerim a kabar ini dengan bersikap jantan. Akan kukatakan suatu kebenaran, dan kau harus bersiap saja untuk itu, Nona Mary J ane, sebab ini adalah kabar paling buruk dan sangat pahit, tapi terpaksa kukatakan juga. Pam an-pam an ini sebenarnya bukanlah pam anm u! Mereka hanyalah sepasang penipu ulung. Nah, itulah bagian yang terburuk dari kabar ini. Kini kau bisa m enerim a yang lainnya dengan lebih m udah.” Tentu saja kata-kataku itu sangat m engguncangkan hatinya, tapi tak ada jalan mundur lagi bagiku, jadi kuceritakan saja sem uanya. Makin lam a m atanya m akin berapi-api. Kuceritakan sem uanya, dari saat kam i m em bawa si orang tolol ke kapal uap sam pai saat ia m elem parkan dirinya ke dalam pelukan sang raja di pintu depan dan sang raja m encium nya enam atau tujuh belas kali saat itu. Mary J ane melompat dengan wajah semerah langit di senja hari, “Bangsat itu! Ayo, jangan buang waktu sedikit pun, kita lumuri mereka dengan aspal dan kita lekati dengan bulu, lalu kita buang ke sungai!” “Ayolah, tapi kapan? Sebelum kau pergi ke rum ah Tuan Lothrop atau....” “Oh!” Mary J ane terkejut, duduk lagi. “Apa yang kupikirkan! J angan pedulikan kata-kata tadi, kumohon jangan-jangan kau

248 Mark Twain tak akan m em pedulikan kata-kataku tadi, bukan?” Diletakkannya tangannya yang selem but sutra itu pada tanganku, begitu rupa hingga kujawab aku akan merasa lebih baik mati daripada m en gin gat-in gat kata-katan ya tadi. “Aku begitu tak bisa m engendalikan am arahku.” kata Mary J ane selanjutnya, “kini teruskan. Aku tak akan berbuat tanpa otak lagi, dan apa saja katamu akan kukerjakan.” “Baiklah,” aku berkata, “kedua orang itu betul-betul suatu kom plotan yang paling jahat, dan aku terpaksa ikut m ereka untuk sem entara waktu, tak peduli aku m au atau tidak—lebih baik tak kukatakan padam u sebabnya. Bila kau berm aksud m em bekuk keduanya, aku tahu kota ini akan m em bebaskan aku dari cengke- ram an keduanya. Tapi akan ada orang lain yang tak kau kenal yang akan m endapat kesulitan besar karenanya. Kita harus menolong orang itu, bukan? Tentu saja, jadi tak boleh kedua orang itu kita bekuk sekarang juga.” Waktu aku berkata itu, aku mendapat suatu cara bagaimana aku dan J im bisa membebaskan diri dari kedua orang penipu itu, membuat mereka terpenjara di kota ini, sementara aku dan J im kabur. Tapi aku tak ingin kabur hari itu juga, di siang hari. Tak ingin aku m enjalankan rakit di siang hari dengan hanya aku saja yang harus m enjawab pertanyaan-pertanyaan bila kam i kupergok orang. J adi terpaksa rencanaku baru bisa dijalankan nanti malam. “Nona Mary J ane, akan kukatakan apa yang harus kita kerjakan. Kau pun tak usah tinggal terlalu lam a di rum ah Tuan Lothrop. Berapa jauhkah rum ahnya itu dari sini?” “Kira-kira em pat m il, di desa.” “Cukup, kukira. Pergilah ke sana, dan jangan m em buka rahasia ini sampai kira-kira jam sembilan malam nanti. Saat ini suruhlah orang mengantarkanmu pulang, katakan ada sesuatu yang terpaksa kau kerjakan m alam ini juga. Bila kau sam pai ke rumah ini sebelum pukul sebelas, pasang lilin di jendela ini.

Petualangan Huckleberry Finn 249 Bila aku tak m uncul sam pai pukul sebelas, dan bila tak m uncul- muncul lagi, itu berarti aku telah pergi dan tak akan mendapat bahaya lagi. Saat itulah kau sebarkan rahasia ini, dan kau penjarakan kedua penipu itu. “Bagus! Akan kukerjakan rencana itu.” “Dan bila ternyata aku tak bisa lari, tertangkap bersam a mereka, kau harus membelaku dengan berkata bahwa telah kuceritakan sem ua ini sebelum rahasia m ereka terbongkar. Kalau bisa kau harus m enyelam atkan aku.” “Menyelam atkanm u? Tentu saja! Akan kujaga jangan sam pai sehelai rambutmu disentuh orang,” sahut Mary J ane dengan cuping hidung berkem bang dan m ata m enyala. “Bila aku berhasil lari, aku tak akan ada di sini untuk m em buktikan bahwa kedua orang ini hanyalah penipu belaka. Walaupun aku ada di sini, aku pun tak akan bisa mengerjakan hal itu, tak akan ada yang m em percayaiku. Aku hanya bisa bersum pah bahwa mereka itu penipu dan gelandangan. Tapi ada orang-orang yang bisa m em beri bukti lebih baik lagi, orang-orang yang tak akan begitu m udah diragukan kata-katanya. Akan kutunjukkan bagaim ana kau bisa m enghubungi orang-orang tersebut. Coba, m inta pena dan kertas. Nah: “Keajaiban Kerajaan, Bricksville”. Sim pan kertas ini, jangan sam pai hilang. Bila pengadilan ingin tahu lebih banyak tentang kedua orang ini, suruh seseorang pergi ke Bricksville, katakan pada orang-orang di sana bahwa orang- orang yang m em ainkan ‘Keajaiban Kerajaan’ ada di sini dan m inta beberapa orang saksi. Rasanya dalam sekejap m ata seisi kota itu akan ada di sini, Nona Mary, dan m ereka akan datang dengan penuh kemarahan pula.” Kukira sudah beres sem uanya, jadi aku pun berkata: “J angan khawatir lagi, Nona Mary, biarkan pelelangan ini berlangsung terus. Tak akan ada yang harus m em bayar sam pai sehari setelah lelang karena sem pitnya waktu. Kedua penipu itu tak akan pergi

250 Mark Twain dari sini sebelum uangnya m ereka dapat sem ua. Dan bila rencana kita berjalan lancar, mereka tak akan mendapatkan uang sama sekali. Orang-orang negro itu juga akan m engalam i hal yang sam a– penjualannya akan dinyatakan tak berlaku, m ereka akan kembali lagi kemari. Uang untuk orang-orang negro itu tak akan bisa m ereka am bil, Nona Mary, m ereka kini sangat tersudut.” “Baiklah kalau begitu. Aku akan segera sarapan dan langsung pergi ke rum ah Tuan Lothrop.” “J angan begitu, Nona Mary J ane, jangan. Pergilah sebelum sa r a p a n .” “Men ga p a ?” “Tahukah kau kenapa harus pergi dulu?” “Oh, ya, tak terpikir olehku, dan setelah kupikirkan rasanya aku tak tahu. Kenapa?” “Sebab Nona bukanlah orang yang pandai bersandiwara. Mukam u bagaikan buku yang terbuka, setiap orang dengan m udah bisa m engetahui apa yang sedang kau pukirkan. Kau kira kau bisa menghadapi kedua orang pamanmu itu waktu sarapan, di mana mereka akan memberi ciuman selamat pagi padamu d a n ....” “Oh, jangan teruskan lagi. Ya, aku akan pergi sebelum sarapan. Aku akan gem bira karenanya. Tapi bagaim ana saudara- saudaraku?” “Mereka tak akan apa-apa, m ereka harus m en an ggun g kegilaan ini untuk beberapa saat lagi. Kedua orang itu akan curiga bila kalian bertiga pergi bersam a-sam a. Aku tak ingin kau pam it pada mereka, pada saudara-saudaramu, atau siapa pun juga di kota ini. Bila seseorang m enyapa engkau dan bertanya bagaim ana kabar pam an-pam anm u, wajahm u jangan sam pai m enyatakan ada sesuatu yang tak beres. J adi pergilah sekarang juga, Nona Mary J ane, akan kuurus saudara-saudaram u. Akan kusuruh Nona Susan m enyam paikan salam horm at dan cintam u pada

Petualangan Huckleberry Finn 251 kedua pamanmu, dan akan kukatakan bahwa kau pergi beberapa jam untuk beristirahat atau untuk mengunjungi seorang teman sampai malam nanti.” “Katakan bahwa aku m en gun jun gi seoran g tem an , tapi jangan katakan aku berkirim salam hormat dan cintaku pada kedua bangsat itu.” “Baiklah,” kataku, “tak apalah m enipunya sedikit.” Berbohong sedikit tak apa, m alah bohong yang sedikit itulah yang biasanya melicinkan jalan di daerah Selatan ini. Dustaku akan membuat hati Mary J ane lega dan aku sendiri tak akan rugi karenanya. Kem udian aku berkata, “Ada satu hal lagi, kantung uang itu.” “Telah dim iliki m ereka. Betapa m alunya aku bila m engingat bagaimana cara mereka memiliki kantung uang itu.” “Dalam hal ini kau keliru. Kantung uang tersebut tak ada pada mereka.” “Astaga, lalu siapa yang m em bawanya?” “Aku juga tak tahu. Dulu aku tahu, sebab kucuri dari m ereka. Kucuri untuk kuberikan padam u. Aku tahu di m ana kusem bu- nyikan, tapi aku takut kalau kantung itu kini tak ada di tem pat itu lagi. Aku am at m enyesal, Nona Mary J ane, am at sangat m enyesal sekali. Telah kuusahakan sekuatku, demi Tuhan! Hampir saja aku tertangkap basah oleh mereka, dan terpaksa kutaruh di tempat yang m ula-m ula kutem ui, kem udian aku lari. Ternyata tem pat itu bukanlah tem pat yang baik.” “Oh, jan gan m en yesali dirim u, tak kuperken an kan kau m enyesali dirim u, kau terpaksa, jadi bukan salahm u. Di m ana kau sem bunyikan waktu itu?” Aku tak ingin Mary J ane jadi sedih lagi. Tak dapat aku m em aksa diriku berkata, yang akan m em buat ia m em bayangkan m ayat itu m em eluk kantung uang di perutnya. Sem enit aku diam saja, kem udian kataku, “Lebih baik tak kukatakan padam u, Nona Mary J ane, bila Nona tak berkeberatan. Tapi akan kutulis pada

252 Mark Twain secarik kertas dan bisa kau baca nanti dalam perjalanan ke rumah Tuan Lothrop, bagaim ana?” “Ba ikla h .” Kutulis: “Kutaruh di dalam peti m ati. Saat itu kau sedang m enangis, di tengah m alam . Aku berada di belakang pintu, dan sangat sedih m elihat keadaannya.” Air m ataku tergen an g sedikit m en gen an g ia m en an gis seorang diri di tengah malam itu, sedang kedua setan penipu itu tidur nyenyak di bawah atap rum ahnya, kulihat bahwa m atanya pun penuh air m ata. Dijabatnya tanganku dan katanya, “Selam at berpisah. Akan kukerjakan sem ua yang kau nasihatkan. Bila aku tak bertemu lagi denganmu, aku tak akan lupa padamu, dan sam pai kapan pun aku akan selalu m engenangm u. Aku pun akan berdoa untukm u!” Lalu ia berangkat. Berdoa untukku! Kukira bila ia tahu betapa banyak dosaku, pastilah ia akan m encari pekerjaan yang lebih ringan daripada berdoa untukku. Tetapi kukira ia akan betul-betul mengerjakan apa yang dikatakannya, tak peduli betapa beratnya. Bahkan kukira ia cukup punya kekerasan hati untuk m endoakan keselam atan Yudas, bila saja hal itu terpikir olehnya—ia tak akan pedulikan segala rintangan yang ada. Menurut pendapatku, hanya Mary J ane gadis yang berhati baja di dunia ini. Ini bukan san jun gan , begitulah m em an g. Apalagi kalau diban din gkan tentang kecantikan serta kebaikan hati, tak akan ada yang bisa mengalahkan Mary J ane. Sejak ia keluar dari kamar itu, tak pernah lagi aku bertem u dengannya. Tapi jutaan kali gam baran wajahnya m uncul dalam kenanganku, saat ia keluar dan saat ia berkata bahwa ia akan berdoa untukku. Bila kutahu bahwa doaku bisa diterima Tuhan, maka sudah pasti aku pun akan berdoa untuknya, apa pun rintangan yang akan kuhadapi. Agaknya Mary J ane keluar lewat pintu belakang, tak seorang pun m elihatnya. Ketika aku bertem u Susan dan si Sum bing, aku

Petualangan Huckleberry Finn 253 bertanya, “Siapa itu yang tinggal di seberang sungai, yang sering kalian kunjungi?” “Banyak sekali, tapi yang paling sering ialah keluarga Proctor.” “Tepat, itulah nam anya.” kataku. “Ham pir aku lupa. Nona Mary J ane berpesan bahwa ia akan ke tempat mereka, ia sangat tergesa-gesa hingga tak sempat berpamit pada kalian. Salah seorang di antara mereka sakit.” “Yang m ana?” “Aku tak tahu. Aku tahu, tapi lupa, kalau tak salah nam a- n ya ....” “J angan-jangan Hanner?” “Astaga, m em ang itulah. Hanner yang sakit, aku ingat kini.” “Ya am pun, m inggu kem arin ia m asih segar bugar. Beratkah sa kit n ya ?” “Bukan berat lagi. Kata Non a J an e sem alam -m alam an keluarganya tak bisa tidur, berjaga-jaga. Dan m ereka berpikir Hanner tak mungkin hidup lama lagi.” “Aduh! Sakit apa dia?” Tak terpikir olehku nam a penyakit yang cukup berat, langsung kujawab saja, “Penyakit gondok.” “Gondok nenekm u! Masakan orang sakit gondok diajak berjaga-jaga sepanjang m alam !” “Mengapa tidak? Ini adalah gondok jenis baru. Berbeda dengan gondok lainnya, kata Nona Mary J ane.” “Apa bedanya?” “Bercam pur dengan penyakit-penyakit lain.” “Penyakit apa saja?” “Banyak, cam pur sakit cam pak, batuk kering, sakit perut, sakit kuning, demam otak, dan entah apa lagi.” “Astaga! Dan itu dinam akan sakit gondok?” “Begitulah kata Nona Mary J ane.” “Men gapa pen yakit yan g begitu ban yak itu din am akan gon d ok?”

254 Mark Twain “Sebab m em an g gon dok. Bukan kah sem ua itu dim ulai dengan gondok?” “Tapi toh itu tolol sekali. Misaln ya seseoran g teran tuk kakinya, jari jem polnya sakit. Kem udian ia tanpa sengaja m inum racun, jatuh ke dalam sum ur, lehernya patah dan otaknya hancur, m am pus. Lalu ada orang bertanya, kenapa orang itu m ati. Seseorang m enjawab, ia m ati karena ibu jari kakinya terantuk. Bukankah itu suatu jawaban yang tolol? Bukankah dalam hal ini juga suatu ketololan bila penyakit yang begitu banyak itu dinam akan gondok? Menularkah penyakit itu?” “Men ular? Wah, om on gm u! Bila kau berjalan dalam kegelapan, di depanmu terletak sebuah garu, kalau kau tak terinjak salah satu giginya, kau akan terinjak gigi yang lain bukan? Dan kalau kau sudah terinjak salah satu giginya, kau tak akan bisa melepaskan diri tanpa seluruh garu itu tertarik olehmu, bukan? Nah, demikian juga gondok jenis baru ini, boleh dikatakan sem acam garu—bukan garu yang lam ban kerjanya lagi, sekali kena tak kan mudah lepas.” “Mengerikan sekali kalau begitu,” kata si sum bing, ”akan kukatakan pada Pam an Harvey dan....” “Oh ya, tentu saja, tentu saja. Akan kukatakan pada Pam an Harvey!” aku m engejeknya. “Oh ya, tentu saja, aku tak akan membuang-buang waktu lagi.” “Lalu kenapa?” “Pikirkan dulu. Bukankah pam anm u harus segera ke Inggris? Dan kau kira mereka akan tega meninggalkan engkau semua di sini? Kau kira m ereka akan m em biarkan kalian m engadakan perjalanan ke Inggris? Tanpa ditem ani m ereka? Kau tahu m ereka tak akan berbuat begitu. Nah, pam anm u Harvey adalah seorang pendeta, bukan? Apakah seorang pendeta akan m enipu seorang juru tulis kapal? Hanya untuk m em ungkinkan Nona Mary J ane

Petualangan Huckleberry Finn 255 naik ke kapal? Kau tahu, hal itu tak akan m ungkin terjadi. Paling- paling yang akan diperbuatnya adalah berkata ‘Sayang sekali, tapi rasanya gerejaku di Inggris terpaksa m enungguku lebih lam a lagi, sebab keponakanku ada kemungkinan telah kejangkitan salah satu penyakit gondok, jadi sudah m enjadi kewajibanku untuk menunggu di sini sampai tiga bulan, untuk mengetahui apakah keponakanku kejangkitan atau tidak.’ Tapi tak usah kau pikirkan lagi, cepatlah pergi ke pam anm u Harvey....” “Bah! Dan karena itu kam i harus m enghabiskan waktu di sini menunggu sampai ada kepastian bahwa Mary J ane kejangkitan atau tidak, sedang sesungguhnya kam i akan sudah berada di I n ggr is?” “Setidak-tidaknya kau bisa m engatakan kejadian ini pada para tetangga.” “Kau ini betul-betul tolol! Tak tahukah kau bahwa m ereka pasti akan m em beri tahu Pam an Harvey? J alan yang terbaik adalah tidak memberi tahu siapa pun tentang hal ini.” “Kukira kau betul, ya, aku yakin kau benar.” “Tapi kukira kita harus m em beri tahu Pam an Harvey bahwa Mary J ane pergi untuk beberapa waktu, supaya dia tidak gelisah?” “Ya, Nona Mary J ane m em ang berpesan padaku. Katanya, ‘Suruh adik-adikku m en yam paikan salam dan horm at, dan cintaku serta cium untuk Pam an Harvey dan Pam an William , katakan aku pergi ke seberang, ke rum ah Tuan-tuan—siapa yang sering ditulis dalam surat pam anm u Peter—itu keluarga kaya ya n g....” “Maksudm u keluarga Lothrop, bukan?” “Oh, ya sulit betul nam a-nam a di sini, susah diingat! Ya, Nona Mary J ane berkata ia akan pergi ke rum ah Tuan Lothrop, minta agar mereka datang waktu lelang. Ia akan minta agar Tuan Lothrop m em beli rum ah ini, sebab m enurut pendapatnya,

256 Mark Twain pam annya Peter akan lebih senang bila rum ah ini dim iliki keluarga itu daripada orang lain. Ia akan berada di sana sampai m ereka m enyanggupi perm intaannya itu. Dan bila ia tak terlalu lelah, ia akan pulang malam ini. Tapi kalau terpaksa besok pagi ia akan kembali kemari lagi. Nona Mary J ane berpesan kalian tak boleh m engatakan apa-apa tentang keluarga Proctor, hanya tentang keluarga Lothrop saja, yang sam a benarnya, sebab toh ia memang akan mengunjungi mereka juga untuk berbicara tentang rum ah ini. Aku tahu betul, sebab ia sendiri yang berkata begitu.” “Baiklah!” kedua orang gadis itu m enunggu pam an-pam an m ereka untuk m enyam paikan salam horm at, cinta, dan cium Mary J ane, dan mengatakan pesan gadis itu. Semua beres kini. Susan dan si Sumbing tak akan bicara apa-apa sebab mereka ingin pergi ke Inggris. Sang raja dan sang pangeran lebih senang bila Mary J ane tak ada, daripada gadis itu sem pat dipengaruhi oleh Dokter Robinson. Aku gem bira, kukira rencanaku berjalan sangat lancar, bahkan Tom Sawyer agaknya tak akan bisa membuat suatu rencana secerdik itu. Tentu saja ia akan m em beri gaya yang cukup m engagum kan pada rencananya, suatu hal yang tak dapat kutiru sebab aku tak terbiasa akan hal itu. Lelang diadakan di lapangan, m enjelang sore. Sang raja hadir juga, bergaya sepenuh hati di sam ping tukang lelang, setiap saat m engocehkan sesuatu ungkapan dari Kitab Suci, atau kata-kata m utiara lainnya. Sang pangeran m em bawakan tingkah bisu- tulinya, berusaha keras untuk m enarik perhatian um um . Lam a-kelam aan barang yang akan dijual berangsur habis, tinggal beberapa bidang tanah kecil di perkuburan. Sang raja juga ingin menjual tanah-tanah itu. Tak pernah aku melihat seseorang rakus seperti dia. Di saat-saat lelang hampir berakhir, sebuah kapal uap berlabuh. Dua menit kemudian datanglah segerombolan orang,

Petualangan Huckleberry Finn 257 berteriak-teriak, tertawa-tawa, berseru-seru: “In ilah, in ilah lawanm u! Ini ada sepasang lagi ahli waris si tua Peter! Ayo, pasang taruhan, pilih m ana yang asli!”

AKU MENGHINDARI BADAI ORANG-ORANG ITU m engiringi seorang tuan tua yang tam pan dan rapi serta seorang yang lebih m uda, juga tam pan dan rapi, tangannya digantung dengan kain pem bebat. Ya am pun, betapa orang-orang itu berteriak-teriak dan tertawa bising sekali. Tapi aku tak tahu di m ana letak kelucuannya, dan kukira sang raja dan sang pangeran akan m erasa sangat cem as. Tapi ternyata tidak. Mereka sama sekali tidak terlihat pucat sedikit pun. Sang pangeran berbuat seolah-olah tak tahu sam a sekali apa yang terjadi, terus saja bertingkah bisu-tuli dan tampak bahagia dan lega. Sem entara itu sang raja hanya term enung, wajahnya m uram , seolah-olah hatinya sangat sedih m em ikirkan betapa jahatnya orang-orang yang m em perlakukan dirinya. Oh, pandai sekali sang raja berm ain sandiwara. Banyak sekali pem uka kota yang berkerum un di sekitar sang raja untuk m enunjukkan di pihak m ana m ereka berada. Tuan tua yang baru datang itu tam pak sangat heran, kem udian ia m ulai bicara, dan suaranya

Petualangan Huckleberry Finn 259 tepat seperti orang Inggris, bukan seperti cara bicara sang raja, walaupun sang raja juga bagus bicaranya tapi hanya tiruan. Tak bisa kutuliskan di sini kata-kata tuan itu, atau menirukan bunyinya, tapi waktu ia berbicara pada orang banyak kata- katanya sebagai berikut: “Ini betul-betul sesuatu yang tak kuduga sebelum nya, harus kuakui secar jujur. Aku tak bersiap-siap untuk menghadapi keadaan seperti ini, sebab aku dan saudaraku ini juga baru saja mendapat sedikit kesulitan, ia terjatuh hingga lengannya patah dan barang-barang kam i keliru diturunkan di kota di sebelah atas kota ini. Aku saudara Peter Wilks yang bernam a Harvey, dan ini saudaranya yang bernam a William , yang tak bisa m endengar dan tak bisa bicara—dan kini tak pula bisa m em beri isyarat, sebab terpaksa hanya m enggunakan sebelah tangan saja. Kini betul-betul m engatakan apa adanya, dan sehari dua lagi bila barang-barang kami tiba, akan kami buktikan hal itu. Tapi sam pai saat itu aku tak akan banyak bicara lagi, aku akan pergi ke hotel, dan menunggu.” Tuan itu dan si bisu-tuli berbalik untuk pergi, dan sang raja tertawa m engejek, “Tangannya patah, m udah sekali bukan? Dan m em perm udah ia berm ain sandiwara, agaknya ia belum begitu tahu cara berisyarat. Barang-barangnya keliru diturunkan! Sangat bagus sekali, sangat cerdik, setidak-tidaknya dalam keadaan seperti ini!” Ia tertawa lagi, begitu juga semua orang, kecuali tiga atau empat orang, atau mungkin setengah lusin orang. Salah satu di antara yang tak tertawa itu adalah Dokter Robinson; seorang tuan lagi berwajah tajam, membawa tas kain model kuno terbuat dari kain perm adani, yang agaknya juga baru turun dari kapal uap, kini berbicara perlahan dengan Dokter Robinson, sekali-sekali m enoleh pada sang raja dan m enganggukkan kepala. Itulah Levi Bell, si ahli hukum yang baru pulang dari Louisville. Seorang lagi yang bertubuh tinggi besar, wajahnya kasar, yang tadi

260 Mark Twain dengan penuh perhatian mendengarkan kata-kata si tuan tua, kini ganti m endengarkan kata-kata sang raja. Begitu sang raja selesai berbicara, raksasa ini bertanya: “He, lihat kem ari, bila kau m em ang Harvey Wilks, kapan kau tiba di kota ini?” “Sehari sebelum pem akam an, kawan,” jawab sang raja. “Waktunya, kutanya waktunya.” “Sore hari, kira-kira sejam atau dua jam sebelum m atahari t er ben am .” “Kau naik apa?” “Naik kapal Susan Powell dari Cincinnati.” “Kalau begitu, m engapa kau berada di Ujung, pagi hari, naik p er a h u !” “Aku tak berada di Ujung, pagi hari itu.” “Du s t a !” Beberapa orang m elom pat m endekati si raksasa, m inta agar tak berbicara begitu pada seorang tua yang juga seorang pendeta. “Pendeta om ong kosong! Ia seorang penipu dan pem bohong! Ia berada di Ujung pagi itu. Aku ingin tinggal di Ujung. Nah, aku ada di sana, dan ia ada di sana. Aku lihat di sana. Ia naik perahu, dengan Tom Collins dan seorang anak lagi.” Dokter Robinson m aju, bertanya, “Tahukah kau siapa anak itu, Hines? Bisa kau kenali lagi bila kau lihat dia?” “Kukira bisa, aku tak tahu. Nah, itu dia! Aku bisa m engenali- nya dengan m udah.” Akulah yang ditunjuknya. Dokter Robinson berkata, “Kawan- kawan! Aku tak tahu apakah orang-orang yang baru datang tadi palsu, tapi aku yakin bahwa pasangan yang ini pasti palsu. Aku pikir menjadi tugas kita untuk mengurus agar mereka tak bisa kabur dari sini sebelum perkara ini selesai. Marilah Hines, dan sem uanya juga. Kita bawa orang-orang ini ke hotel, dan kita hadapkan dengan pasangan yang baru datang. Kukira kita akan mengetahui sesuatu sebelum pemeriksaan kita ini berakhir.”

Petualangan Huckleberry Finn 261 Semua orang bersorak gembira, kecuali sahabat-sahabat sang raja m ungkin. Kam i sem ua berangkat. Waktu itu sudah menjelang matahari terbenam. Dokter Robinson menggandeng tanganku, ia cukup ram ah, tapi sam a sekali tak dilepaskannya t a n ga n ku . Kam i sem ua berkum pul di sebuah ruang besar di hotel, dan kedua orang yang baru datang itu disuruh hadir. Lilin-lilin dinyalakan. Mula-m ula Dokter Robinson berbicara, “Aku tak ingin berlaku terlalu kejam pada kedua orang ini, tapi aku kira m ereka hanyalah sepasang penipu. Bila benar, sangat boleh jadi m ereka m em punyai pem bantu-pem bantu yang tak kita ketahui. Bila itu benar, bukankah sangat m ungkin para pem bantu m ereka ini kabur dengan membawa kantung uang Peter Wilks? Sangat m ungkin. Bila kedua orang ini bukan penipu, pasti m ereka tak akan berkeberatan untuk m enyuruh am bil uang itu dan m em perbolehkan kita m enyim pannya sam pai terbukti bahwa m ereka benar. Bukankah begitu?” Sem ua oran g setuju. Kupikir pastilah gerom bolan ku sudah sangat tersudut dari m ula pertam anya. Tapi sang raja tak terlihat kaget, ia tam pak sedih dan berkata, “Tuan-tuan, alangkah senangnya bila uang itu m asih ada padaku, sebab aku tak berkeberatan sam a sekali akan pem eriksaan ini, yang adil, terbuka dan teliti. Tapi, ooh, uang itu tak ada lagi padaku, kalau tak percaya boleh digeledah seluruh isi rum ah.” “Di m ana kalau begitu uang tersebut?” “Waktu keponakanku m em berikannya padaku, kusim pan di dalam kasur jerami tempat tidurkku, tak ingin kusimpan di bank, sebab kam i hanya sebentar saja di sini. Lagi pula kukira tem pat penyim pananku itu cukup am an, sam a sekali tak terpikir olehku bahwa budak-budak negro di sini tidaklah sejujur pelayan- pelayan kam i di Inggris. Orang-orang negro itu m encurinya, pagi berikutnya, waktu aku ke ruang bawah. Waktu aku m enjual

262 Mark Twain m ereka, aku belum tahu akan kehilangan itu. Pelayanku bisa menceritakan hal itu, Tuan-tuan.” Dokter Robinson dan beberapa orang berseru, “Bah!” dan kulihat sem ua orang tak m em percayai kata-kata sang raja. Seseorang bertanya padaku apakah kulihat orang-orang negro itu m encuri uang tersebut. Kujawab tidak, tapi kulihat m ereka berjingkat keluar dari kam ar. Kukatakan, aku tak m encurigai mereka, kukira orang-orang negro takut kalau-kalau tuanku terbangun. Hanya itulah yang ditanyakan orang-orang padaku, kemudian tiba-tiba Dokter Robinson berpaling padaku dan bertanya, “Apakah kau juga orang Inggris?” Kujawab, “Ya,” ini m em buat ia dan banyak orang lain tertawa dan berseru, “Cih!” Pem eriksaan dim ulai. Kam i betul-betul m engalam i saat-saat gawat, pertanyaan bertubi-tubi, jam -jam berlalu tanpa ada yang memperhatikan, tak seorang pun ingat akan makan malam— mereka sama sekali tak mau melepaskan kami dari cengkeraman. Sang raja diperiksa untuk bercerita, kem udian tuan tua yang baru datang itu. Dan semua orang kecuali beberapa orang tolol akan yakin bahwa tuan tua itu m engatakan hal yang sebenarnya, sedangkan sang raja hanya berdusta. Akhirnya aku juga disuruh bercerita, apa saja yang kuketahui. Sang raja m elirik tajam , jadi tahulah aku pihak m ana yang harus kupilih. Aku bercerita tentang Shefield, bagaimana kami hidup di sana, dan tentang keluarga Wilks di Inggris, dan seterusnya. Tapi aku tak usah bercerita terlalu lama, sebab Dokter Robinson tertawa terus dan akhirnya ahli hukum Levi Bell berkata padaku: “Duduk sajalah, Nak, jangan paksakan dirim u. Kukira kau tak biasa berdusta, tak terlalu baik kau m elakukannya. Tapi agaknya ada bakatm u, jadi yang kau perlukan hanyalah latihan yang cukup banyak.” Aku tak peduli akan pujiannya, nam un gem bira juga hatiku sebab aku tak diganggu lagi. Dokter Robinson berkata pada ahli

Petualangan Huckleberry Finn 263 hukum itu, “Andaikata kau sejak sem ula ada di kota ini, Levi Bell....” Sang raja m enukas pem bicaraannya, m engulurkan tangan pada Levi Bell dan berkata, “Astaga! J adi inikah sahabat karib saudaraku yang m alang itu, yang sering ditulisnya dalam surat- su r a t n ya ?” Kedua orang itu berjabat tangan dengan hangat. Si ahli hukum tersenyum dan tam pak lega, keduanya berbicara beberapa saat. Kem udian m ereka pergi ke sam ping dan berbicara berbisik- bisik, akhirnya terdengar si ahli hukum berkata, “Baiklah, beres sudah. Tulis pesanmu itu, juga pesan saudaramu William, akan kukirimkan sekarang juga hingga mereka akan tahu bahwa segalanya telah beres.” Seseorang memberikan kertas dan setangkai pena. Sang raja duduk, m em iringkan kepala dan m enggigit lidahnya, m enulis sesuatu, kemudian memberikan pena itu pada sang pangeran. Dan kali ini sang pangeran tam pak sedikit pucat. Tapi diam bilnya juga pena itu dan m ulai m enulis. Levi Bell berpaling pada pasangan tuan yang baru datang tadi dan berkata, “Tuan dan saudaramu juga harus menulis di sini, sebaris atau dua baris, dan tanda tangani pula.” Si tuan tua m enulis, tapi tak ada orang yang bisa m em baca tulisan itu. Levi Bell tam pak sangat heran, katanya, “Minta am pun! Ini di luar dugaan!” Ia m engeluarkan beberapa lem bar surat tua dari sakunya, m em eriksa tulisannya, m em eriksa tulisan si tuan tua dan memeriksa tulisan sang raja dan sang pangeran, kem udian ia berkata, “Surat-surat ini dari Harvey Wilks. Dan lihat kedua tulisan ini, semua orang akan bisa melihat bahwa orang- orang ini bukanlah yang m enulis surat-surat Harvey Wilks (sang raja dan sang pangeran tampak sekali kaget karena telah tertipu oleh si ahli hukum ). Kini lihat tulisan tuan tua ini. Sem ua orang juga akan tahu bahwa bukan dia yang m enulis surat-surat Harvey

264 Mark Twain Wilks—m alah tulisannya boleh dikata bukan tulisan, m elainkan hanya cakar ayam saja. Kini m ari kita lihat surat-surat dari....” “Tunggu!” si tuan tua m enukas. “Beri kesem patan padaku untuk menerangkan. Tak seorang pun bisa membaca tulisanku kecuali saudaraku William ini, jadi ialah yang biasanya m enuliskan surat-suratku. Tulisan yang tuan bawa itu adalah tulisannya, bukan tulisanku.” “Waaah!” kata si ahli hukum . “Ini betul-betul sulit. Aku pun punya surat-surat dari William di sini, jadi coba suruh dia m enulis sebaris saja supaya bisa kam i lihat dan kam i banding....” “Ia tak bisa m enulis dengan tangan kirinya,” kata si tuan tua, kalau ia bisa m enggunakan tangan kanannya, akan terlihat bahwa ialah yang m enulis surat-surat William dan suratku juga. Coba perhatikan kedua surat itu, pasti akan nyata bahwa keduanya ditulis oleh tangan yang sam a. Si ahli hukum m engerjakan perm intaannya, dan berkata, “Kukira m em ang benar, walaupun tak nyata, tapi terlihat lebih banyak persam aan tulisan daripada yang kuperhatikan sebelum peristiwa ini. Wah, wah, wah, tadinya kukira dengan ini persoalan bisa selesai, tapi ternyata tidak. Setidak-tidaknya baru selesai sebagian. Suatu hal telah terbukti, kedua orang ini bukanlah Harvey dan William Wilks!” Ia m enganggukkan kepala pada sang raja dan sang pangeran. Coba, apa yang terjadi? Si keledai tua itu tak m au m enyerah! Sam a sekali tidak. Katanya, percobaan tulisan tadi bukanlah suatu cara yang adil. Katanya, William m em ang seorang yang paling suka bercanda, sejak mula pertama ia memegang pena, sudah disangkanya bahwa William tak akan m encoba untuk m enulis dengan baik. Begitulah, terus saja ia m engoceh, hingga m akin lam a m akin m eyakinkan bahwa m em ang dirinyalah Harvey Wilks yang asli. Tetapi si tuan tua tadi m enukas, berkata, “Terpikir olehku sesuatu yang m em ungkinkan bisa dipakai untuk m enyelesaikan persoalan ini. Apakah di sini ada orang-orang,

Petualangan Huckleberry Finn 265 yang telah m enolong m enyiapkan tubuh saudaraku, m enyiapkan tubuh almarhum Peter Wilks untuk dimakamkan?” “Ya,” seseorang m enjawab, “aku dan Ab Turner, kam i berdua ada di sini.” Si tuan tua berpaling pada sang raja, bertanya, “Mungkin tuan bisa m engatakan padaku, apa yang tergam bar dengan rajah di dada Peter Wilks?” Pertanyaan yang tiba-tiba itu sam a sekali tak m em buat sang raja terkejut! Menurut pendapatku pertanyaan serupa itu pastilah akan membuat si tua itu terguling, sebab bagaimana ia bisa m engetahui. Wajah sang raja agak m em ucat, tanpa diketahuinya. Sunyi sekali seketika di ruangan itu. Sem ua orang m engeluarkan kepala dan m em perhatikan sang raja, jawaban apakah yang hendak diberikan. Semua mendengarkan penuh perhatian akan apa yang dikatakannya nanti. Pikirku, kini pastilah ia m enyerah, tak berguna lagi untuk berdusta. Tapi betulkah begitu? Hampir tak bisa dipercaya, ia tidak juga m enyerah! Agaknya ia ingin agar pemeriksaan ini berlarut-larut hingga semua orang lelah dan pulang, dan nanti bila orang-orang tinggal sedikit, ia dan sang pangeran akan melarikan diri. Sesaat sang raja terdiam, kem udian sam bil tersenyum ia berkata, “Hm , pertanyaan yang sangat sukar, he? Ya, Tuan, aku tahu apa yang tergam bar di dadanya. Sebatang anak panah, kecil, tipis, biru. Itulah. Dan bila tak dilihat dari dekat, gam bar itu tak akan tam pak. Nah, apa yang katamu sekarang, he?” Ya am pun, betapa berani penipu itu. Si tuan tua cepat berpaling pada Ab Turner dan kawannya, dengan m ata bercahaya seolah-olah kini ia berhasil mengalahkan sang raja. Ia berkata, “Kau dengar kata-katanya! Betulkah tergam bar seperti itu di dada Peter Wilks?” Kedua orang itu berkata keras, “Kam i tak m elihat tanda se- perti itu.”

266 Mark Twain “Bagus!” kata si tuan tua. “Nah, yang kau lihat di dadanya adalah huruf-huruf P, B (singkatan nam a tengahnya yang tak dipakainya lagi sejak m uda), dan W, kecil-kecil dan sam ar-sam ar, di antara huruf-huruf itu ada garis-garis pendek, jadi seperti ini P—B—W,” dituliskannya pada secarik kertas. “Nah, bukankah dem ikian yang kalian lihat?” “Tidak!” jawab Ab Turner dan kawannya, “di dadanya tak ada gam bar apa pun juga!” J awaban ini membuat semua orang gempar! Mereka dengan suara bulat berseru serem pak, “Sem uanya penipu! Mari kita benamkan! Mari kita tenggelamkan! Mari kita ikat di roda pedati!” Ribut sekali, sem ua orang berteriak-teriak. Tapi si ahli hukum menghentikan semua itu dengan melompat ke atas meja dan berteriak keras sekali, “Tuan-tuan! Tuan-tuan! Dengarkan! Sepatah kata saja, hanya sepatah kata saja, harap diam ! Masih ada satu cara untuk m em buktikan. Mari kita gali lagi m ayat Peter Wilks, dan kita lihat!” Semua orang setuju. “Hooreee!” sorak-sorai orang-orang dan m ereka sudah akan berangkat waktu Levi Bell dan Dokter Robinson berseru, “Tunggu! Tunggu! Tahan sem ua orang ini, keem patnya dan si anak itu juga! Bawa m ereka ikut kita!” Aku sangat ketakutan. Tapi tak bisa lolos lagi. Kam i sem ua dicengkeram , dipaksa ikut ke pekuburan, yang jauhnya satu setengah m il di sebelah hilir. Rasanya sem ua isi kota ikut rom bongan itu, derap kakinya sangat ribut. Waktu itu kira-kira pukul sembilan malam. Ketika m elewati rum ah, tim bul sesalku m engapa Mary J ane kusuruh pergi. Bila saja ia ada, dengan m engejapkan m ata saja pasti ia akan menolongku. Kam i m em bajiri jalan di tepi sungai, berbuat liar sekali bagaikan sekelom pok binatang buas. Keadaan m akin seram

Petualangan Huckleberry Finn 267 sebab langit m ulai m endung, kilat m ulai bersam baran. Angin m ulai berdesau di antara dedaunan. Inilah kesulitan yang paling buruk dan paling m enakutkan dari segala yang pernah kualam i. Aku bagaikan terpukau. Sem ua berjalan jauh dari apa yang telah kurencanakan. Tidak seperti yang kuharapkan, tak lagi bisa aku ikut m enonton keram aian yang m estinya terjadi bila aku m au, tak ada Mary J ane yang bisa m enolongku dalam keadaan terdesak. Kini antara aku dan kem atian hanyalah terpisah oleh gam bar rajah di dada sesosok m ayat. Bila gam bar rajah itu tak ada? Tak berani kupikirkan apa yang akan terjadi, tapi aku pun tak bisa m em ikirkan hal lainnya. Hari m akin gelap juga, m estinya itu m erupakan saat yang tepat untuk m eloloskan diri, tapi tanganku dicengeram oleh raksasa itu, Hines, dan untuk melepaskan diri dari cengkeram an itu rasanya sam a dengan m elepaskan diri dari cengkeram an Goliath. Ia m enyeretku, hingga aku terpaksa lari untuk m engikuti kecepatan langkahnya. Gerombolan kami membajiri tempat pemakaman. Sesampai- nya di kuburan, baru sem ua orang sadar bahwa walaupun m ereka m em punyai sekop seratus kali dari jum lah yang diperlukan, tapi tak seorang pun yang punya pikiran untuk m em bawa lentera. Tapi itu tak jadi halangan. Sekop-sekop mulai terhunjam ke tanah, dengan penerangan kilat dari langit. Sementara itu seseorang disuruh lari untuk mengambil lentera. Orang-orang itu menggali bagaikan gila. Malam sangat gelap, hujan m ulai turun. Angin berem bus kencang, kilat m akin sering m enyam bar, halilintar m enggelegar. Sem ua itu tak ada yang m em perhatikan. Yang terpikir hanyalah apa yang akan m ereka lihat. Bila kilat m enyam bar, sesaat terlihat wajah orang-orang itu, dan gum palan tanah yang terlem par keluar dari kuburan, sesaat kemudian hitam pekat, tak terlihat apa-apa. Akhirnya peti m ati berhasil diangkat keluar, sekeru-sekerup tutupnya m ulai dibuka. Alangkah ributnya! Sem ua berdesak-

268 Mark Twain desakan maju, saling dorong, saling sikut untuk bisa melihat lebih dekat. Seram sekali, berdesak-desakan dalam keadaan begitu gelap. Tanganku sangat sakit dalam cengkeram an Hines yang juga berdesak-desakan, lupa bahwa aku masih ada di dunia ini. Hines sampai terengah-engah kehabisan napas. Mendadak sebuah kilat m enyam bar, m enyinarkan cahaya yang terang benderang sesaat. Seseorang berteriak, “Astaga! Kantung uang em as itu ada di dadanya!” Seperti orang-orang lainnya, H ines m enjerit kaget, m elepaskan tanganku dan sekuat tenaga m enyeruak di antara orang banyak untuk bisa m enyaksikan kebenaran teriakan tadi. Tak bisa digam barkan bagaim ana aku m enyelinap keluar dari gerombolan itu dan lari dalam kegelapan menuju ke jalan. Hanya aku sendiri yang berda di jalan itu, dan rasanya aku terbang, begitu cepat aku berlari. J alan amat gelap, sebentar- sebentar diterangi kilat. Hujan menderu, angin menghempas, halilintar m enyam bar. Sem ua tak kupedulikan, aku lari terus. Kota sepi, tak seorang pun terlihat dalam hujan badai ini, jadi aku tak perlu mencari jalan-jalan samping, terus saja berlari di jalan besar. Mendekati rumah keluarga Wilks, aku m em asang m ata. Tak ada cahaya sam a sekali di rum ah itu, hatiku sedikit kecewa, tak tahu kenapa. Tapi akhirnya waktu rum ah itu ham pir kulewati, kulihat sekilas cahaya di jendela kam ar Mary J ane! Dadaku rasanya akan m eledak karena gem bira. Sebentar kemudian rumah itu telah jauh di belakangku, ditelan kegelapan. Tak akan kulihat lagi rum ah itu selam anya di dunia ini. Begitu kurasa aku telah cukup jauh ke hulu untuk bisa m encapai gosong tem pat persem bunyian rakit kam i, aku m ulai m em asang m ata m encari-cari perahu yang tak terikat untuk kupinjam . Pertam a kali cahaya kilat m enunjukkan perahu yang hanya terikat dengan tali, aku m elom pat ke dalam nya, sesaat kem udian telah m eluncur ke tengah sungai. Rakit itu tersem bunyi

Petualangan Huckleberry Finn 269 jauh di tengah sungai, tapi aku tak membuang-buang waktu, berdayung sekuatku. Maka ketika aku sam pai, rasanya tak akan kuat lagi aku berdiri bila tak mengumpulkan napas dulu. Namun itu tak kulakukan, aku m elom pat ke rakit dan berseru, “Keluar, J im , luncurkan rakit! Bersyukurlah kita telah lepas dari m ereka!” J im keluar, mendekatiku dengan tangan terbuka lebar, begitu gem bira hatinya. Nam un ketika tam pak olehku wajahnya di kilatan cahaya, hatiku serasa terlonjak ke m ulut, dan aku terlem par ke air. Aku telah lupa bahwa ia m erupakan gabungan si tua Raja Lear dan orang Arab yang m ati terbenam . betul-betul membuatku tak bisa bernapas! J im cepat mengangkat aku dari air, dan sudah hendak m em eluk dan m engucapkan syukur lagi, sebab ia juga sangat gembira kami bisa lolos dari sang raja dan sang pangeran. Cepat-cepat aku berkata, “Besok saja, J im ! Besok saja! Lepaskan ikatan, luncurkan cepat!” Dalam dua detik saja kami telah meninggalkan tempat itu, dan betul-betul gem bira karena bisa bebas lagi! Kini sungai luas itu menjadi milik kami lagi. Tak terasa aku melonjak-lonjak kegirangan. Tapi baru dua kali aku melonjak, kudengar suatu suara yang sangat kukenal. Aku m enahan napas, m em asang telinga, dan m enunggu. Benar saja, waktu kilat m enyam bar kulihat m ereka datang, berkayuh m ati-m atian hingga perahu mereka meluncur cepat. Sang raja dan sang pangeran! Aku terkulai ke geladak, tak bisa berbuat apa-apa. Masih untung aku bisa menahan diri untuk tidak menangis.

EMAS MENOLONG KEDUA PENIPU BEGITU IA m elom pat ke geladak rakit, sang raja m encengkeram leher bajuku dan m enggeram , “Mencoba m eninggalkan kam i, he, anjing! Bosan kam i kawani lagi, he?” “Tidak, Sri Baginda,” jawabku, “tidak... aduh, jangan, Sri Ba gin d a !” “Cepat kalau begitu, un tuk apa kau m elun curkan rakit tanpa m enunggu kam i? Katakan, kalau tidak kuguncangkan isi perutm u!” “Akan kuceritakan sebenarnya, Sri Baginda. Orang yang m enahanku sangat baik hatinya, dan selalu berkata bahwa ia punya anak sebesar aku yang m ati tahun lalu. Ia tak tega m elihatku dalam keadaan yang begitu berbahaya. J adi waktu sem ua orang terkejut melihat emas itu, dan berdesakan untuk melihat peti m atinya, ia berbisik padaku ‘Larilah, pasti kau akan digantung!’ Tak bisa kuberbuat lain, dan aku tak mau digantung bila saja

Petualangan Huckleberry Finn 271 masih ada kesempatan untuk lari. J adi aku berlari tanpa berhenti lagi sampai kutemui sebuah perahu. Dan waktu aku sampai di sini, kusuruh J im bergegas, kalau tidak aku akan ditangkap dan digantung. Aku berkata padanya m ungkin sekali paduka dan sang pangeran telah tak bernyawa lagi saat itu. Aku betul-betul sedih, begitu juga J im . Alangkah gem biranya kam i waktu paduka dan sang pangeran m uncul. Kalau tak percaya, boleh tanya J im .” J im m em benarkan kata-kataku, tapi sang raja m em bentaknya, dan berkata, “Oh, begitukah kejadiannya, he?” dan diguncangnya aku keras-keras lagi, dan mengancam akan membenamkan aku. Tapi sang pangeran m enyela, “Lepaskan anak itu, tolol! Apakah kau akan berbuat lain seandainya kau dia? Apakah kau m encarinya dulu waktu kau akan m elarikan diri? Aku tak ingat kau berbuat begitu.” Sang raja m elepaskan aku, dan m em aki-m aki kota yang baru kam i tinggalkan dan sem ua orang yang ada di dalam nya. Tapi kem bali sang pangeran m enyela, “Tutup m ulut, lebih baik kau m aki dirim u sendiri, sebab kaulah yang paling berhak untuk dimaki. Sejak permulaan kau tak pernah berbuat tidak tolol, kecuali waktu kau dengan tenang dan berani mengatakan tentang gam bar panah biru itu. Hanya itulah yang betul-betul cerdik, betul-betul hebat, dan itu jugalah yang m enolong kita. Kalau tidak, m ungkin kita akan dipenjarakan sam pai barang- barang orang Inggris itu tiba, dan kemudian, rumah penjara! Kecerdikanm u m em buat m ereka sem ua pergi ke pekuburan, dan kantung uang itu tak melepaskan pegangan terhadap kita untuk bisa melihat, malam ini kita sudah tidur di tiang gantungan, lama sekali, lebih lam a daripada yang kita perlukan.” Selam a sem enit m ereka diam , berpikir. Kem udian seoalah acuh tak acuh sang raja berkata: “Hm ! dan kita kira orang-orang negro itulah yang m encuri.” Dadaku berdebar keras seketika.

272 Mark Twain “Ya,” sahut sang pangeran, perlahan, acuh tak acuh dan sedikit m engejek, “kita kira.” Setelah setengah m enit, sang raja m enggeram . “Setidak- tidaknya akulah yang punya perkiraan begitu.” “Sebaliknya, akulah!” sahut sang pangeran dengan lagu yang sama. “Dengar Bilgewater,” kata sang raja sedikit m arah, “apa maksudmu?” “Kebetulan kau bertan ya begitu, kau tak berkeberatan bukan kalau aku bertanya serupa padam u?” balas sang pangeran m en d esis. “Bah!” sahut sang raja, sangat m enghina, “tapi aku tak tahu m ungkin waktu itu kau sedang tidur dan tak tahu apa yang sedang kau kerjakan.” “Oh, terus terang saja!” sang pangeran m arah kini. “Kau kira aku ini tolol? Kau kira aku tak tahu siapa yang m enyem bunyikan uang itu di dalam peti mati?” “Ya, Tuan! Aku tahu bahwa kau tahu. Sebab kau sendiri yang m enyem bunyikan uang itu di sana!” “Kau berdusta!” san g pan geran m en ubruk san g raja, m encengkeram lehernya sam pai ia berteriak, “Aduh, lepaskan! Lepaskan leherku! Kutarik kem bali kata-kataku!” “Akui dulu bahwa kaulah yang m enyem bunyikan uang di sana. Dengan maksud suatu hari kau akan meninggalkanku, kem bali ke tem pat itu dan m enggalinya hinga sem ua bisa kau miliki sendiri.” “Tunggu, Pangeran, tunggu! J awablah pertanyaanku ini dengan sejujur-jujurnya, bila bukan kau yang m encuri dan m enyem bunyikan di peti m ati, jawablah, aku percaya akan kata- katamu serta kutarik semua kata-kataku kembali.” “Kau bajingan tua! Kau tahu bukan aku yang m encuri! Nah!” “Aku percaya padam u, Pangeran. Tapi jawab pertanyaanku ini, satu saja, jangan m arah dulu. Apakah tak terpikir olehm u untuk m encuri dan m enyem buyikan uang itu?”

Petualangan Huckleberry Finn 273 Sang pangeran terdiam sejenak, kem udian berkata, “Hm , tak peduli aku bila tim bul m aksudku yang sedem ikian, pokoknya maksud itu tak kukerjakan. Tapi kau bukan saja terpikir olehmu, tapi juga kau kerjakan!” “Mati pun aku m au bila aku yang m engerjakan, Pangeran. Memang terpikir olehku, tapi kau, maksudku orang lain, telah m en d a h u lu iku .” “Dusta! Kau yang m engerjakan, dan kau harus m engaku, kalau tidak....” Napas sang raja tersengal-sengal, kemudian ia berteriak, “Cukup! Aku m engaku!” Aku sangat gem bira m endengar ia m engaku, hatiku jadi lebih lega. Sang pangeran m elepaskan tangannya dan berkata, “Bila kau pungkiri lagi, kubenam kan kau! Bagus sekali untukm u, m erengek-rengek ingin m enelan sem ua kekayaan, cocok sekali dengan caram u bertindak. Belum pernah aku m engenal orang seserakah engkau. Dan kupercayai kau seolah-olah kau ayahku sendiri. Kau haruslah m alu, tenang-tenang saja m elem parkan segala kesalahan pada orang-orang negro yang tak berdosa, tanpa sedikit pun menunjukkan rasa kasihan. Malu sekali aku sam pai bisa kau tipu begitu rupa. Terkutuk engkau! Kini aku tahu mengapa kau begitu ingin menambah kekurangan pada uang itu, kau ingin m encaplok juga uang yang kudapat dari ‘Keajaiban Kerajaan’ dan lainnya juga. Kau ingin m encaplok sem uanya!” “Tapi, Pangeran,” sahut sang raja m alu-m alu dan m asih tersedu-sedu, “bukan aku yang punya pikiran untuk m engganti kekurangan jum lah uang di kantung uang itu, m alahan kaulah!” “Diam ! Aku tak ingin dengar suaram u lagi! Kini kau tahu akibat keserakahanmu! Orang-orang itu mendapatkan kembali uangnya, ditam bah dengan uang kita, sem ua, kecuali dua atau tiga sen lainnya. Pergi tidur kau, bila kau berani m engatakan tentang kekurangan uang di kantung itu, awas!”

274 Mark Twain Sang raja m erayap m asuk ke gubuk, m enghibur diri dengan m inum an keras. Tak lam a ia disusul oleh sang pangeran yang juga m eneguk isi botolnya sendiri. Tak sam pai setengah jam , kedua orang itu telah bersahabat karib lagi. Makin banyak m ereka m inum , m akin erat persahabatan m ereka, hingga akhirnya m ereka mendengkur dengan saling berpelukan. Mereka sangat mabuk. Tapi sang raja tidak cukup m abuk untuk berani m enyangkal bahwa bukan ia yang m enyem bunyikan uang ram pasan m ereka. Aku jadi lega dan puas karenanya. Tentu saja waktu keduanya telah tidur nyenyak, aku bercerita panjang lebar kepada J im tentang semua kejadian di kota itu.

DUSTA TAK DAPAT DIDOAKAN BERHARI-HARI KAMI terus berlayar, sam a sekali tak berhenti. Kini kam i berada jauh di daerah Selatan, udara sangat panas, dan kam i telah am at jauh sekali dari rum ah. Kam i jum pai kini pohon- pohon yang berlum ut Spanyol, berjurai-jurai bagaikan jenggot kelabu, panjang-panjang. Baru kali itu kulihat lum ut m acam itu, hutan tam paknya jadi lebih seram . Kedua penipu itu kini m erasa bahwa mereka telah cukup jauh untuk bisa memulai kegiatan lagi. Mula-m ula m ereka m em beri kuliah tentang bahayanya m inum an keras, tapi hasilnya tak cukup untuk m em buat m ereka m abuk. Di desa berikutnya m ereka m encoba m endirikan suatu sekolah dansa. Nam un m ereka ternyata tak bisa berdansa lebih baik daripada seekor kanguru, baru saja akan mulai memberi contoh suatu langkah, para hadirin mengusir mereka. Di tempat lain lagi mereka mencoba memberi pelajaran cara mengucapkan kata-kata, namun belum sampai pelajaran berakhir semua orang bangkit memaki-maki mereka. Mereka juga diusir dari tempat ini.

276 Mark Twain Mereka mencoba berkhotbah, main hiptonis, jadi dokter, m eram al dan entah apa lagi setiap ada kesem patan. Tapi agaknya nasib sial selalu m em buntuti m ereka, hingga akhirnya m ereka betul-betul bangkrut, terpaksa tak keluar lagi dari rakit. Tiap hari bepikir dan berpikir, kadang-kadang setengah hari tak berbicara sepatah pun, tampak sedih dan putus asa. Tapi lam a-kelam aan terjadi suatu perubahan. Kedua orang mulai sering berbicara berbisik-bisik di dalam gubuk, kadang- kadang sampai dua atau tiga jam sekali waktu. J im dan aku jadi gelisah. Kam i pikir pastilah m ereka sedang m erencanakan suatu rencana yang lebih jahat dari sebelum nya. Kam i perbincangkan diam -diam , kira-kira apa yang akan m ereka kerjakan. Akhirnya kami sampai pada kesimpulan bahwa mereka akan merampok rum ah atau toko atau akan m em buat uang palsu, atau yang sem acam itu. Karena itu kam i jadi sangat ketakutan, kam i berjanji untuk tidak ikut cam pur dalam urusan serupa itu, apa pun yang terjadi. Bila ada kesem patan, betapapun kecilnya kesem patan itu, akan kami tinggalkan kedua orang itu. Suatu pagi, pagi-pagi sekali, kam i sem bunyikan rakit kam i di sebuah tempat terlindung kira-kira dua mil di bawah sebuah kota kecil bernam a Pikesville. Sang raja naik ke darat, untuk m em asang telinga apakah berita tentang ‘Keajaiban Kerajaan’ telah m encapai tem pat itu. (“Maksudm u m encari rum ah untuk kau ram pok,” kata hatiku, “dan kalau kau selesai m eram pok dan kem bali kem ari, kau akan bingung, tak tahu apa yang telah terjadi akan diriku, J im dan rakit ini, dan kau akan kebingungan bagaim ana harus m em bawa lari hasil curianm u itu.”) Kam i disuruhnya tinggal dulu bersem bunyi di rakit. Bila sam pai tengah hari ia tak kem bali, berarti segalanya beres, aku dan pangeran disuruhnya m enyusul ke darat. Kam i m enunggu. Sang pangeran tam pak sangat gelisah, wajahnya m uram selalu. Kam i dibentak-bentaknya, tak pernah

Petualangan Huckleberry Finn 277 ada hasil kerja kam i yang sesuai dengan keinginannya. Apa saja kerja kam i pasti disalahkannya. Sesuatu sedang akan terjadi, pikirku. Aku gem bira waktu tengah hari tiba dan sang raja tak m uncul. Agaknya akan ada perubahan bagi kam i, dan m ungkin inilah kesem patan yang telah kam i nanti-nantikan. Sang pangeran dan aku naik ke darat, pergi ke desa untuk mencari sang raja. Setelah agak lama mencari, kami temukan sang raja di kamar belakang sebuah kedai minum murahan, sedang mabuk, digoda oleh banyak sekali orang-orang penganggur. Sang raja m em aki-m aki dan m engancam para penggodanya, tapi ia sudah terlalu banyak m inum hingga bergerak pun am at sukar. Sang pangeran m ulai ikut m em aki-m akinya, m engatakannya sebagai keledai tua yang tolol. Sang raja m em balas. Keduanya segera bertengkar ram ai. Aku m enyelinap keluar, dan berlari secepat kakiku bisa sepanjang jalan di tepi sungai. Inilah kesem patan yang kam i nantikan itu! Kuputuskan bahwa akan berabad-abad lagi baru sang raja dan sang pangeran bisa bertem u dengan aku dan J im lagi. Aku sam pai di rakit dengan napas hampir habis tapi hati penuh kegembiraan, aku berteriak, “Lepaskan tam batan, J im ! Kini kita bebas!” Tapi tak ada yang m enjawab, tak ada yang keluar dari gubuk. J im telah pergi! Aku berteriak, dan berteriak sekali lagi. Aku berlari ke sana-kemari di dalam hutan, sekali-sekali berseru dan m enjerit, tapi tak ada hasilnya, J im betul-betul tiada. Aku duduk menangis. Tak bisa kutahan lagi tangisan itu. Tapi aku tak bisa duduk diam terlalu lam a. Kutinggalkan hutan, berjalan di pinggir sungai, m em ikirkan apa yang harus kukerjakan. Aku bertem u dengan seorang anak sebayaku, kutanyakan apakah ia bertem u dengan seorang negro, ia m enjawab, “Ya.” “Di m ana?” tanyaku. “Di tem pat Silas Phelps. Dua m il di sebelah hilir. Ia negro pelarian, dan kini tertangkap. Kau m encarinya?”

278 Mark Twain “Tentu saja tidak. Aku bertem u dengannya di dalam hutan, sejam atau dua jam yang lalu, ia m engancam akan m engeluarkan isi perutku bila aku berteriak. Disuruhnya aku berbaring dan tak beranjak dari tem patku. Terpaksa kukerjakan. Lam a sekali aku di dalam hutan, takut keluar.” “Kau tak perlu takut lagi, ia telah tertangkap. Ia lari dari suatu daerah di Selatan.” “Bagus sekali kalau ia sudah tertangkap.” “Tentu saja. Disediakan hadiah dua ratus dolar untuk siapa yang bisa m enangkapnya. Enak sekali, dapat uang sebanyak itu dengan mudah.” “Ya, enak sekali. Bila saja aku cukup besar, akulah yang akan m endapat hadiah itu. Siapa yang m enangkapnya?” “Seorang lelaki tua, orang asing, dan dijualnya hak atas negro itu dengan harga empat puluh dolar, sebab ia harus bepergian ke hulu sungai dan tak bisa m enunggu. Coba pikirkan, kalau aku, walau tujuh tahun pun akan kutunggu sampai hadiah itu bisa ku t er im a .” “Aku pun begitu pula. Tapi m ungkin juga kesem patan untuk m endapatkan hadiah itu sangat kecil, m ungkin ada sesuatu yang tak beres dalam hal ini.” “Beres sekali. Aku sen diri ikut m em baca pen gum um an tentang negro itu. Pengumuman itu tepat sekali menggambarkan si negro. Dikatakan juga tem pat asalnya, dari sebuah tem pat dekat New Orleans. Tidak, Tuan, tak ada kesulitan. Tak ada kecurigaan tentang kemungkinan kecurangan di sini. Eh, coba beri aku sekunyah tem bakau. Punya?” Aku tak punya, m aka anak itu segera pergi. Aku kem bali ke rakit, duduk di dalam gubuk dan berpikir-pikir. Tapi tak ada yang bisa kupikirkan. Aku berpikir hingga kepalaku sakit, tak bisa kulihat jalan keluar dari kesulitan ini. Setelah perjalanan yang dem ikian jauhnya, setelah kam i bersusah payah m elayani kedua

Petualangan Huckleberry Finn 279 bangsat itu, ternyata jerih payah kam i hilang percum a. Sem ua impian kami hilang musnah. Tak kukira mereka sampai hati m enipu J im dem ikian kejam , m em buatnya m enjadi budak untuk seluruh sisa hidupnya, di antara orang-orang asing pula, hanya dengan uang empat puluh dolar! Sekali pernah akan berkata pada diriku sendiri, bila memang J im terpaksa harus jadi budak, m aka baginya lebih baik seribu kali jadi budak di rum ah tem pat ia bisa dekat dengan keluarganya, daripada di negeri asing. Kuputuskan berkirim surat kepada Tom Sawyer, agar ia m em beri tahu pada Nona Watson di m ana J im berada. Tapi keputusan itu segera pula kucabut karena dua alasan: Nona Watson akan marah dan jijik pada J im, karena kejahatan dan rasa tak tahu terima kasih, jadi pasti segera saja ia akan dijual ke hilir sungai; bilapun tidak begitu, seorang negro yang tak kenal terim a kasih akan dibenci dan dihina oleh seluruh isi kota, hingga J im akan selalu m enderita batin karenanya. Lagi pula apa yang akan terjadi pada diriku! Akan tersiar luas bahwa Huck Finn m enolong seorang negro m elarikan diri! Rasanya m alu yang kutanggung akan lebih berat daripada bila aku harus m enjilat sepatu orang-orang kotaku. Begitulah kebiasaan dunia, seseorang berbuat sesuatu yang m em alukan, dan ia tak ingin m enanggung akibatnya, berpikir bahwa selam a ia bisa bersem bunyi m aka ia tak usah malu. Tepat seperti keadaanku. Makin kupikirkan m akin kurasa hati nuraniku m enyiksa, m akin nyata betapa jahat, tak tahu malu dan keras kepala aku ini. Dan seketika aku sadar bahwa ini sem ua adalah tam paran keras dari Yang Maha Kuasa, yang selalu m em perhatikan segala tingkah laku m akhluknya, sebagai hukuman atas perbuatanku mencuri budak seorang wanita tua yang tak pernah m enggangguku. Inilah bukti bahwa Dia yang selalu waspada tak akan m em perkenankan segala kejahatan berlangsung. Mengingat ini sem ua, lem as rasanya seluruh tubuhku. Aku begitu ketakutan. Kucoba m enghibur diri

280 Mark Twain dengan berkata bahwa memang aku telah salah didik dari semula, jadi bukan aku yang harus m em ikul segala tanggung jawab, tetapi sesuatu di hatiku selalu m em bantah ‘Kau punya kesem patan untuk belajar di Sekolah Minggu, dan bila kau belajar dengan baik pasti kau tahu bahwa hadiah untuk perbuatanmu ini adalah api yang abadi!’ Aku gem etar. Ham pir kuputuskan untuk berdoa, untuk m encoba apakah aku bisa m engubah diriku sendiri. Aku berlutut. Tapi tak sepatah kata pun keluar dari m ulutku. Mengapa? Karena aku tahu, tak guna untuk m enyem bunyikan sesuatu dari Dia. Dan juga dariku. Aku tahu betul m engapa doaku tak bisa keluar. Sebab hatiku bercabang. Aku berpura-pura m elepaskan diri dari dosa, tetapi jauh di dalam hati kusim pan suatu dosa yang paling besar. Aku m encoba m em buat m ulutku m engatakan aku akan berjalan di jalan yang benar, berkirim surat pada pem ilik J im dan m enga- takan di m ana ia berada. Kutulis surat itu. Kem udian terkenang aku betapa baik sikap J im terhadapku, dan saat-saat bahaya yang kami alami berdua. Ia selalu memanggilku dengan kata-kata kasih sayang, selalu berbuat apa saja yang bisa m enyenangkan hatiku; akhirnya terkenang olehku waktu aku m engatakan pada dua orang yang m endekati rakit, bahwa di rakit ada penyakit cacar. Betapa gem biranya J im waktu itu, dikatakannya bahwa akulah sahabatnya yang terbaik, satu-satunya sahabat di dunia ini, dan tepat saat itu terpandang olehku surat yang baru saja ditulis. Ham pir saja. Kuam bil kertas itu, kubaca sekali lagi. Tanganku gemetar, sebab aku harus menentukan antara dua pilihan, kutahan itu. Aku pelajari baik-baik kedua pilihan tersebut, sam bil m enahan napas, kem udian aku berkata, “Baiklah kalau begitu, aku akan pergi ke neraka!” Kurobek surat tersebut. Pikiran jahat, dan kata-kata jahat, tapi sudah terlanjur kuucapkan. Tak akan kuubah lagi kata-kata itu, tak akan kupikirkan lagi apakah aku akan menjadi anak

Petualangan Huckleberry Finn 281 baik. Kukosongkan pikiran sem acam itu dari otakku. Aku akan kem bali ke jalan yang jahat, tak ada pilihan lain, sebab begitulah aku dibesarkan. Untuk memulai lagi, aku akan mencuri J im dari perbudakan lagi. Bila ada pikiran yang lebih jahat lagi, pasti akan kukerjakan pula, sebab kupikir kini tak usah kepalang tanggung, kalau m au jadi nakal, harus yang paling nakal pula. Aku m em ikirkan jalan untuk m encuri J im . Beberapa cara kutinjau, sam pai akhirnya kudapat suatu cara yang agaknya tepat. Aku m encari-cari pulau hutan di sebelah hilir. Aku m enunggu sam pai cukup gelap, untuk m enghanyutkan rakitku ke pulau itu. Kusem bunyikan rakit sesam painya di sana, dan aku tidur. Aku bangun lagi sebelum fajar m enyingsing. Setelah sarapan kukenakan pakaianku yang baru, pakaian lainnya kubungkus dengan kain. Aku naik perahu m enuju pantai, m endarat di bawah tem pat yang kukirakan tanah m ilik Phelps. Kusem bunyikan bungkusan pakaianku di hutan. Kuisi perahuku dengan batu dan kutenggelam kan di tem pat yang bisa kutem ui kem bali bila kuperlukan, kira-kira seperempat mil di sebelah hilir penggergajian kayu yang berm esin uap di tepi sungai itu. Aku pergi ke jalan, m enyusuri jalan itu hingga kulihat sebuah papan nam a yang berbunyi ‘Penggergajian Phelps’. Kem udian kulihat rumah-rumah pertanian di tanah Phelps itu, dua atau tiga ratus yard dari tem pat itu. Kupasang m ataku baik-baik. Tak tampak seorang manusia pun di tanah pertanian itu, walaupun kini hari telah siang. Tapi malah kebetulan, sebab saat itu aku tak ingin dilihat orang, aku hanya ingin m engetahui letak tanah pertanian itu. Menurut rencanaku, aku akan masuk ke tanah pertanian itu dari arah desa, jadi dari hulu. Puas melihat-lihat di kota kulihat sang pangeran, sedang memakukan selembar pengum um an untuk pertunjukan ‘Keajaiban Karajaan’ lagi—tiga kali pertunjukan—seperti dulu. Berani benar m ereka, penipu- penipu itu! Aku kepergok, tak ada waktu untuk m enyingkir

282 Mark Twain lagi. Sang pangeran tam pak terkejut, berkata, “Halo! Dari m ana kau datang?” kem udian dengan gem bira ia bertanya, “Di m ana rakitnya? Kau sem bunyikan di tem pat yang baik?” “He, aku ingin bertanya tentang rakit itu, Yang Mulia.” “Kau pikir tahukah aku di m ana rakit itu?” kini ia tak tam pak gem bira lagi. “Apa yang m em buatm u berpikir begitu?” “Waktu kem arin kulihat sang raja m abuk di kedai itu, kupikir akan lama sekali untuk menunggu hingga ia sadar. Untuk menghabiskan waktu aku berkeliaran di kota. Seseorang m enjanjikanku sepuluh sen untuk m endayungkan perahunya ke seberang sungai dan kem balinya m em bawa seekor biri-biri. Aku setuju, dan ikut orang itu. Waktu kam i tarik kam bing itu ke dalam perahu, aku m enarik dan orang itu m endorong, tali yang kupegang lepas, kambing itu lari. Terpaksa harus kami kejar sam pai lelah, sebab kam i tak m em bawa anjing. Baru tertangkap setelah hari gelap, kami bawa ke seberang dan aku kembali ke rakit. Waktu kulihat rakit tak ada, aku berpikir ‘m ereka dalam bahaya, dan terpaksa pergi, dan m ereka m em bawa negroku, satu-satunya negro yang kupunyai di dunia ini. Kini aku di negeri asing, tak punya harta m ilik lagi, tak punya pekerjaan, m aka terpaksa aku m enangis. Aku tidur di hutan sepanjang m alam . Apa yang terjadi dengan rakitku? Dan J im yang m alang itu?” “Aku tak tahu, setidak-tidaknya tentang rakit itu. Si tua tolol itu berhasil mengadakan suatu penjualan dan ia mendapat uang empat puluh dolar. Waktu kita temukan dia di kedai, semua uangnya habis dipakai bertaruh, kecuali yang telah dibelikanya wiski. Dan ketika ia kubawa pulang larut malam kemarin, kami tem ui rakit telah tiada, kam i berkata ‘Bajingan cilik itu telah mencuri rakit kami, meninggalkan kami, dan lari ke hilir sungai.” “Aku tak akan m eninggalkan negroku, bukan? Negro m ilikku satu-satunya di dunia, satu-satunya m ilikku!”

Petualangan Huckleberry Finn 283 “Tak pernah terpikir hal itu oleh kam i. Kam i kira ia juga negro kam i, ya, begitulah. Kau tahu sendiri kam i telah m enem puh banyak kesulitan untuknya. J adi waktu kam i lihat rakit sudah tak ada dan kam i pun tak punya uang, tak ada yang bisa kam i kerjakan selain m encoba m em ainkan ‘Keajaiban Kerajaan’ lagi. Dan tenggorokanku sejak kemarin telah sekering tabung mesiu. Mana uangm u yang sepuluh sen itu? Berikan padaku.” Aku m asih punya uang yang cukup banyak, jadi kuberikan yang sepuluh sen itu, tapi kum inta dengan sangat agar ia m em beli makanan saja, dan memberiku sedikit sebab uang itulah uangku yang terakhir dan aku tak m akan sejak kem arin. Ia diam saja, tiba-tiba berpaling padaku dan bertanya, “Kau kira, m ungkinkah negro itu m em buka rahasia kam i? Kam i kuliti dia bila ia berani berbuat begitu.” “Bagaim ana ia berani? Bukankah ia m elarikan diri?” “Tidak! Si tua tolol itu telah m enjualnya, dan tak m au m em bagi hasil penjualannya denganku.” “Menjualnya?” tanyaku. Aku m ulai m enangis. “Ia negroku! Dan penjualan itu berarti uangku. Di m ana dia? Kem balikan n egr oku !” “Kau tak akan bisa m en gam bil kem bali n egrom u itu! J adi jangan m enangis lagi! Dan, eh, tunggu! Kau pikir kau akan membuka rahasia kami? Terkutuk, bagaimana aku bisa m em percayaim u?” Ia m em andangku dengan pandangan m ata yang sangat m enakutkanku. Aku terus saja tersedu-sedu dan m enjawab, “Aku tak ingin m em buka rahasia siapa pun, dan aku tak punya waktu untuk itu. Aku harus m encari negroku.” Sang pangeran tampak gelisah, memandang terus dengan kertas-kertas pengum um an di tangannya, dahinya berkerut. Akhirnya ia berkata, “Baiklah, kukatakan sesuatu padam u. Kam i harus berada di kota ini kira-kira tiga hari. Bila aku berjanji

284 Mark Twain bahwa baik kau maupun negromu itu tak akan membuka rahasia kami, akan kuberi tahu di mana bisa kau temui negro itu.” Aku berjanji. Dan ia berkata, “Seorang petani bernam a Silas Ph—” ia tertegun. Kukira tadinya ia akan m engatakan hal yang sebenarnya, nam un agaknya pikirannya berubah. J adi ia tak m em percayaiku, ia ingin agar aku tak berada di tem pat itu paling sedikit untuk tiga hari. Segera ia m eneruskan kata-katanya, ”Yang m em belinya bernam a Abram Foster, Abram G. Foster, ia tinggal em pat puluh m il di pedalam an, di jalan yang m enuju ke Lafayette.” “Baiklah. Aku akan bisa m encapai tem pat itu dengan berjalan selam a tiga hari. Aku akan berangkat nanti sore.” “Tidak, berangkatlah sekarang juga. Dan jangan m em buang- buang waktu lagi, atau mengoceh di sepanjang jalan. Tutup mulutmu erat-erat dan terus saja berjalan. Dengan begitu kau tak akan dapat kesulitan dari kami. Dengar?” Itulah perintah yang sudah lam a kunanti-nantikan. Aku ingin bebas untuk menjalankan rencanaku. “Cepat pergi!” katanya. “Bisa kau katakan apa saja pada Tuan Foster. Mungkin ia bisa percaya bahwa kaulah pem ilik J im —ada orang tolol yang tak m em butuhkan surat-surat sah—sedikitnya begitulah yang kudengar tentang kota-kota di Selatan ini. Katakan padanya bahwa pengum um an dan hadiah tentang J im hanyalah palsu, m ungkin ia bisa percaya bila kau katakan alasannya. Pergilah kini, katakan apa saja, tapi jangan kau buka mulutmu antara tempat ini dan tempat tujuanmu.” Aku berangkat, ke arah pedalam an. Aku m erasa bahwa sang pangeran terus m em perhatikanku. Tapi aku tahu akhirnya ia akan lelah. Aku terus berjalan di jalan yang lurus itu sam pai kira- kira satu mil, kemudian berhenti dan berjalan kembali dengan lewat hutan ke arah tem pat pertanian keluarga Phelps. Kukira

Petualangan Huckleberry Finn 285 paling baik bila rencanaku kukerjakan sekarang juga, sebelum m ulut J im terbuka. Aku tak ingin J im m em buka rahasia sebelum sang raja dan sang pangeran sem pat m eloloskan diri. Aku tak ingin mendapat kesulitan dari orang-orang macam mereka itu. Aku ingin sekali bebas dari m ereka.

AKU MENDAPAT NAMA BARU RUMAH PERUSAHAAN pertanian itu sangat sunyi bagaikan suasana di hari Minggu, hawanya panas, m atahari terik. Sem ua pekerja telah pergi ke ladang. Terdengar semacam suara kumbang m endengung, yang m em buat suasana seakan-akan sem ua orang di situ telah m ati. Bila ada angin berem bus hingga daun-daun berdesau, akan kita rasakan suatu suasana seperti suasana berkabung, sebab kita akan mengira bahwa jiwa orang mati berbisik-bisik, orang-orang yang telah m ati puluhan tahun, dan m em bicarakan diri kita. Pada um um nya keadaan sem acam itu membuat seseorang merasa ingin mati pula. Pertanian milik Phelps ini seperti pertanian kapas kecil lainnya, tak ada bedanya. Halam an rum ahnya berpagar kayu, luasnya dua are. Balok-balok kayu digergaji tidak sam a panjang dan diatur berderet bersandar pada pagar tersebut, untuk tangga bila kita ingin melewati pagar atau untuk tempat para wanita m enopang bila ingin naik kuda. Di halam an yang luas itu di sana-

Petualangan Huckleberry Finn 287 sini tampak beberapa petak rumput, tapi sebagian besar gundul, bagaikan sebuah topi tua tengkurap tanpa tepi. Rumah balok kem bar disatukan, untuk tinggal orang-orang kulit putih. Celah- celah dindingnya dilapis tanah liat atau sem en kem udian dikapur. Dapurnya dari balok bulat, dihubungkan ke rum ah dengan gang lebar yang beratap. Di seberang rum ah pengasap terlihat berderet tiga buah pondok kayu untuk para budak negro. J auh di dekat pagar belakang terlihat sebuah pondok lagi. Ada beberapa bangunan lainnya di seberang halam an. Ada periuk besar untuk membuat sabun di dekat gubuk kecil tadi. Di dekat pintu dapur terlihat sebuah bangku yang di atasnya terletak em ber dan kantung air. Nam pak anjing tidur di sinar m atahari. Beberapa ekor anjing lainnya tidur di m ana-m ana. Di sudut terdapat tiga batang pohon naungan, beberapa semak arbei di dekat pagar. Di luar pagar tampak sebuah kebun, sepetak kebun semangka, kem udian ladang-ladang kapas, selanjutnya hutan. Aku m elom pati pagar den gan m en ggun akan tan gga di pagar belakang, dekat tempat abu, kemudian berjalan ke arah dapur. Beberapa saat kem udian kudengar suara roda pintalan, melengking naik turun, membuat aku sangat ketakutan sebab suara itu membuat suasana begitu seram. Tapi aku terus saja berjalan, tak punya rencana yang pasti, m enyerahkan nasib ke tangan Tuhan. Aku percaya bila tiba waktunya nanti Yang Maha Kuasa akan m enuntutku dengan kata- kata yang tepat. Baru saja aku m encapai setengah jalan, anjing-anjing itu terbangun dan berlari mendekatiku. Tentu saja aku berhenti, m enghadapi m ereka dan diam tak bergerak. Ributnya m ereka itu! Dalam seperempat detik saja aku menjadi semacam sumbu roda-roda yang terbuat dari kum pulan anjing itu. Lim a belas ekor melingkariku rapat-rapat, leher dan hidung mereka terjulur,

288 Mark Twain m elolong. Masih banyak lagi yang datang m endekat, dari setiap arah anjing-anjing berlarian berterbangan mendatangi. Seorang wanita negro berlari keluar dapur, membawa sebatang tongkat penggiling, berteriak, “Pergi! Kau, Can! Kau, Belan g! Pergi!” Den gan tan gkas ton gkatn ya itu diayun kan , m em ukuli anjing anjing itu. Anjing-anjing itu berdengkingan, lari bertebaran. Sebentar kemudian mereka kembali, menggerak- gerakkan ekor, m engajak bersahabat denganku. Anjing-anjing m em ang tak terlalu berbahaya. Di belakang wanita negro itu muncul seorang anak negro perempuan dan dua orang anak negro lelaki. Mereka bergantungan di gaun ibunya, m engintai ke arahku dengan m alu- malu seperti kebiasaan anak negro. Dari dalam rumah, seorang wanita kulit putih berlari keluar, mendekat. Ia berumur kira-kira empat puluh lima atau lima puluh tahun, tak bertopi, membawa tongkat pem intal. Di belakangnya berlarian anak-anak kulit putih, berbuat seperti anak-anak negro tadi. Wanita itu tersenyum lebar, m endekat dan bertanya, “Kau ini, bukan?” Tanpa kupikir aku m enjawab, “Ya, Nyonya.” Aku disam butn ya, dipeluk erat-erat. Kedua tan gan ku dijabatnya, diguncang-guncangkan. Air m atanya m engalir, dan rasanya ia tak puas-puas m em eluk dan m engguncang diriku, seraya katanya, “Kau sam a sekali tak m irip ibum u seperti yang kuduga sem ula, tapi tak apa. Aku sangat gem bira m elihatm u! J angan takut, aku tak akan m em akanm u! Anak-anak, inilah sepupum u, Tom . Ayo, katakan selam at datang!” Tetapi anak-anak itu m alah m enyem bunyikan kepala, dan memasukkan tangan ke dalam mulut masing-masing serta bersem bunyi di belakang wanita itu. Maka nyonya itu berkata lagi, “Lize, cepat, siapkan sarapan yang hangat untuknya juga, atau mungkin kau sudah sarapan di kapal?”

Petualangan Huckleberry Finn 289 Aku m enjawab sudah. Ia m engajakku ke rum ah, m enyeret tanganku, dan anak-anak itu m engikuti. Sesam painya di rum ah, aku didudukkan di sebuah kursi lipat, ia duduk di bangku kecil rendah di depan kakiku, memegangi kedua tanganku dan m em andangiku sepuas-puasnya. “Kini bisa kupandangi wajahm u dengan puas, oh, betapa aku telah lam a sekali m erindukanm u. Akhirnya setelah ham pir habis harapanku, kau datang juga. Kam i telah m enunggu sejak dua hari yang lalu. Kenapa kau terlam bat? Kapalm u kandas?” “Ya, Nyonya, kap....” “J angan panggil aku nyonya, panggil aku Bibi Sally. Di m ana ka n d a sn ya ?” Sesaat aku tak tahu apa yang akan kukatakan, sebab aku tak tahu apakah kapal itu sedang dalam perjalanan ke hilir atau ke m udik. Tapi aku m engira bahwa kapal yang dim aksud itu sedang memudik sungai, dari New Orleans. Tapi perkiraan itu tak bisa menolongku, sebab aku tak tahu nama gosong-gosong pasir di sebelar hilir kota. Terpaksa harus kubuat suatu nama atau kukatakan saja aku lupa, atau... aku dapat akal, kataku, “Bukan karena kandas kam i terlam bat, tetapi karena pecahnya salah satu silinder uap.” “Astaga! Ada yang luka?” “Tidak, Nyonya, hanya seorang negro terbunuh.” “Masih untung. Kadang-kadang kecelakaan itu m em bawa korban banyak. Dan tahun yang lalu, di hari Natal, pam anm u naik kapal dari New Orleans. Kapalnya bernam a Lally Rook, silinder- nya pecah, m elukai seseorang. Mungkin orang itu kem udian m ati. Ia seorang Baptist. Pam anm u Silas kenal seseorang di Baton Rouge dan kenal akan keluarga orang itu. Ya, aku ingat sekarang, orang itu m em ang m ati. Lukanya m em busuk. Dipotong, tapi tak m enolong nyawanya. Ya, lukanya m em busuk. Seluruh tubuhnya jadi biru, ia m ati dengan harapan keselam atan yang dijanjikan

290 Mark Twain Tuhan. Hebat sekali tubuhnya waktu m ati itu. Pam anm u setiap hari pergi ke kota untuk menjemputmu. Saat ini ia juga pergi ke sana, sudah sejam yang lalu. Sebentar lagi ia akan tiba kem bali. Mungkin kau bertem u dengannya di jalan, seorang lelaki agak tua d en ga n ....” “Tidak aku tak m elihat siapa pun, Bibi Sally. Kapal berlabuh tepat pada saat m atahari terbit. Kutinggalkan pakaian di perahu dermaga dan aku berjalan-jalan ke kota serta ke daerah pedalaman untuk menghabiskan waktu dan agar tak terlalu pagi sampai kemari. J adi aku kemari lewat jalan balakang.” “Kepada siapa kau berikan barang-barangm u?” “Tak seorang pun.” “Wah, Nak, pasti dicuri orang nanti.” “Tak m ungkin, kusem bunyikan dengan sangat baik.” “Mengapa sepagi itu kau sudah dapat sarapan?” Bahaya, pikirku, tapi kujawab saja, “Kapten kapal m elihat aku berdiri seorang diri, disuruhnya aku m akan dulu sebelum pergi ke darat. Aku diberinya m akan di ruang m akan para perwira.” Aku begitu gelisah hingga tak bisa m endengarkan dengan baik. Selam a itu pikiranku tertuju pada anak-anak yang ada di situ. Bila saja aku bisa m em bawa m ereka m enyingkir sebentar untuk kutanyai siapa sebenarnya aku ini, m ungkin akan sedikit lega hatiku. Tapi aku sama sekali tak dapat kesempatan. Segera juga nyonya itu m em buat keringat dinginku berpancaran, “Tapi kita sudah terlalu jauh m enyim pang. Kau sam a sekali belum berkata apa-apa tentang Sis, atau keluarga yang lain. Kini biarlah aku yang tutup m ulut dan kau yang berbicara, ceritakan sem uanya saja, ceritakan tentang m ereka sem ua, setiap orang. Ceritakan bagaim ana keadaan m ereka, apa yang m ereka kerjakan kini, apa yang m ereka inginkan agar kau ceritakan padaku dan sem ua saja yang terpikir olehm u.” Aku betul-betul tersudut, sam a sekali tak bisa bergerak. Sam pai saat ini Yang Maha Kuasa telah m endam pingiku, tapi


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook