Petualangan Huckleberry Finn 141 Nona Charlotte m endengarkan Buck bercerita dengan kepala tegak bagaikan seorang ratu, cuping hidungnya m elebar dan m atanya bercahaya-cahaya. Kedua kakak lelakinya berwajah suram, tak berkata sepatah pun. Nona Sophia tampak sangat pucat, tapi wajahnya m enunjukkan rasa lega lagi ketika ternyata bahwa Harney tak menanggung cedera sama sekali. Segera setelah aku hanya berdua dengan Buck di dekat tem pat penyim panan jagung di bawah pepohonan, aku bertanya, “Apakah kau ingin m em bunuh Harney, Buck?” “Tentu saja.” “Apa salahnya padam u?” “Salahnya? Ia tak bersalah apa-apa padaku.” “Lalu, m engapa kau ingin m em bunuhnya?” “Tak apa-apa, hanya ada dendam kesum at antara keluarga ka m i.” “Apakah dendam kesum at itu?” “Wah, di m anakah kau ini dibesarkan? Tak tahukah kau arti dendam kesumat?” “Mendengar saja baru kali ini, katakan apa itu dendam kesu m at .” “Begini,” kata Buck, “dendam kesum at itu sebagai berikut. Seorang lelaki bertengkar dengan orang lain, dan m em bunuhnya. Saudara orang yang terbunuh itu kem udian m em bunuh orang pertam a tadi. Kem udian saudara-saudara kedua belah pihak sa- ling berbunuh-bunuhan, akhirnya kem enakan dan sanak keluarga lainnya ikut cam pur, dem ikian seterusnya sam pai seluruh anggota keluarga terbunuh habis, baru dendam kesumat itu selesai. Tapi hal itu akan memakan waktu lama sekali.” “Apakah den dam kesum at an tara keluargam u den gan keluarga Shepherdson telah berlangsung lam a, Buck?” “Aku hanya bisa m engira-ngira. Mulainya tiga puluh tahun yang lalu kalau tak salah. Ada kesulitan tentang sesuatu, yang
142 Mark Twain diputuskan di pengadilan. Putusan pengadilan itu merugikan salah satu pihak, m aka pihak itu m em bunuh pihak yang dim enangkan, sesuatu yang wajar.” “Apa yang diperebutkan, Buck? Tanah?” “Mungkin. Aku tak tahu.” “Siapa yang m ulai m enem bak? Orang Grangerford atau Sh ep h er d son ? “Bagaim ana kutahu? Hal itu terjadi lam a sekali sebelum aku la h ir .” “Tak adakah yang tahu?” “Oh ya, Ayah m ungkin tahu. Dan beberapa orang tua lainnya. Tapi sudah tak ketahuan apa yang diperebutkan m ula-m ula.” “Banyakkah yang terbunuh, Buck?” “Ya, cukup ban yak terjadi pen guburan . Tapi tak selalu tem bakan m em bawa m aut. Dalam tubuh ayah terpendam be- berapa butir peluru, tapi tak diperhatikannya, lagi pula beratnya pun tak seberapa. Bob pernah diiris-iris dengan pisau bowis, dan Tom pernah pula luka.” “Adakah yang m ati tahun ini, Buck?” “Ya. Di pihak kam i seorang dan di pihak m ereka seorang. Tiga bulan yang lalu sepupuku, Bud, berum ur em pat belas tahun, berkuda di hutan di seberang sungai tanpa membawa senjata, suatu perbuatan yang tolol. Di suatu tem pat yang sepi ia m endengar suara kuda m engejarnya. Ia m enoleh, ternyata si tua Baldy Shepherdson, m em acu kudanya sam bil m engacungkan senjata, ram but putihnya berkibar-kibar di tiup angin. Bud m alah m em acu kudanya m engira ia bisa m engalahkan si orang tua dalam berpacu. Mestinya ia bisa selam at bila turun dari kuda dan berlari ke dalam semak-semak. Mereka berpacu sampai melampaui jarak lim a m il sedang si orang tua m akin lam a m akin dekat. Akhirnya Bud tahu bahwa usahanya sia-sia. Ia berhenti, berpaling agar luka peluru terletak di bagian depan tubuhnya. Si tua itu betul-
Petualangan Huckleberry Finn 143 betul m enem baknya. Tapi ia tak m endapat kesem patan banyak untuk m enikm ati kem enangannya, karena dalam m inggu itu juga keluarga kam i telah berhasil m em bunuhnya.” “Kukira orang tua itu seorang pengecut, Buck.” “Oh, tidak. Sam a sekali tidak. Tidak ada seorang pun keluarga Shepherdson yang pengecut. Begitu juga keluarga Grangerford. Seperti si tua Baldy Shepherdson itu, suatu hari ia bertarung dengan tiga orang Grangerford selam a setengah jam , dan keluar sebagai pemenang. Mereka bertempur dengan berkuda. Si tua itu turun dari kuda dan bersem bunyi di balik setum pukan kayu serta m em pergunakan kudanya sebagai tam eng. Ketiga orang Grangerford tadi terus m engitarinya, m enghujani peluru. Si tua dan kudanya pulang dengan tubuh penuh lubang, tapi m asih bisa hidup terus, walupun cacat. Ketiga orang Grangerford tadi terpaksa dijem put pulang. Salah satu di antaranya tewas, sedang keesokan harinya seorang lagi m eninggal dunia. Tidak, Tuan, bila kau mencari pengecut, jangan dicari di antara keluarga Shepherdson, mereka sama sekali tak memelihara orang-orang macam itu.” Hari Minggu berikutnya kam i sem ua pergi ke gereja, m asing- masing naik kuda. Gereja itu tiga mil dari rumah. Semua lelaki m em bawa senapan. Buck juga. Dan senapan-senapan itu juga dibawa masuk ke dalam gereja, ditaruh di antara kaki atau disan darkan di din din g yan g dekat. Keluarga Shepherdson yang juga hadir berbuat serupa. Khotbah pendeta tentang cinta persaudaraan dan yang sem acam itu. Hal yang m em bosankan, tapi sem ua orang m engatakan bahwa khotbahnya bagus sekali. Semua orang membicarakan khotbah tersebut dalam perjalanan pulang, berbicara tentang iman, amal, berkat pemberian Tuhan dan takdir, dan entah apa lagi. Rasanya hari m inggu itu adalah hari yang paling m engesalkan bagiku. Kira-kira sejam setelah m akan siang, sem ua orang tidur. Ada yang tidur di kursi, ada yang di kam ar m asing-m asing. Sepi
144 Mark Twain rasanya. Buck dan seekor anjing tidur di rum put, di terik m atahari. Aku pergi ke kam arku untuk tidur pula. Kulihat Nona Sophia yang cantik itu berdiri di pintu m enarik tanganku, m asuk ke dalam kam arnya dan m enutup pintu perlahan-lahan. Ia bertanya apakah aku senang padanya, kujawab, “Ya.” Ia bertanya lagi apakah aku m au m engerjakan sesuatu untuknya tanpa m em beri tahu siapa pun. Aku jawab, “Ya.” Kem udian ia berkata bahwa ia telah kelupaan, buku Injilnya tertinggal di bangku gereja, terselip di antara dua buah buku lain. Aku disuruhnya pergi diam -diam ke gereja tanpa diketahui siapa pun, mengambilkan buku itu dan tak boleh berkata pada siapa saja. Tanpa berpikir lagi, aku m enyelinap keluar rum ah, pergi ke gereja. Gereja am at sepi, tak seorang pun kulihat. Hanya satu atau dua ekor babi, binatang-binatang itu masuk karena hawa di luar panas dan pintu gereja tak terkunci. Manusia pergi ke gereja hanya pada saat-saat m ereka harus hadir, tapi babi tidaklah d em ikia n . Aneh sekali, pikirku, m engapa seorang gadis begitu sangat m em ikirkan kitab Injilnya. Kuangkat kitab itu, kugoncangkan. Selem bar kertas kecil dengan tulisan pensil: “setengah tiga” terjatuh. Kugeledah kitab Injil itu, tapi tak ada isinya yang lain. Tak bisa kupikirkan arti tulisan itu, jadi kuletakkan kembali ke dalam kitab dan kubawa pulang. Nona Sophia menantikan kedatanganku di pintu kam arnya. Dibawanya aku m asuk, pintu ditutup. Ia mencari-cari di dalam kitab Injil itu sampai diketem ukannya kertas kecil tadi. Segera setelah ia m em baca tulisan di kertas itu tam pak sekali wajahnya jadi gem bira. Dan tiba-tiba aku dipeluknya erat-erat, sam bil m em bisikkan bahwa aku adalah anak yang terbaik di dunia serta m enyuruhku selalu tutup m ulut. Selam a satu m enit, m erah sekali pipinya, dan ia tam pak sangat cantik. Aku begitu tercengang hingga tak bisa berkata apa-apa. Kem udian kutanyakan apa isi kertas itu. Ia
Petualangan Huckleberry Finn 145 bertanya apakah aku telah m em bacanya, kujawab, “Sedikit,” hanya tulisan kasar. Baru ia berkata bahwa kertas itu hanyalah penunjuk halam an. Aku disuruhnya pergi berm ain. Aku pergi ke sungai, m em ikirkan hal yang baru kualam i tadi. Segera saja kuperhatikan bahwa budak negroku mengikuti aku. Ketika kam i telah jauh dari rum ah, ia m enoleh ke sana-kem ari, kem udian lari m endekat dan berkata, “Tuan George, m aukah Tuan pergi ke rawa denganku, akan kutunjukkan serumpun teratai.” Aneh sekali, kem arin ia juga ingin m enunjukkan rum pun teratai itu padaku. Seharusnya ia tahu bahwa aku bukanlah orang yang begitu gem ar akan bunga teratai. Apa sebenarnya yang dim aksudkannya? “Baiklah. Tunjukkan jalannya,” kataku. Aku m engikutinya kira-kira sejauh seten gah m il, negro itu kem udian berbelok m asuk rawa. Kam i berjalan dengan air setinggi mata kaki, kira-kira juga setengah mil. Dan sampailah kami di sebuah dataran, bertanah kering di tengah rawa itu, penuh ditumbuhi oleh pohon-pohonan dan semak-semak. Negro itu berkata, “Teruslah beberapa langkah, Tuan George, di balik sem ak-sem ak itu. Aku telah m elihatnya kem arin, aku tak ingin m elihatnya lagi.” Ia berjalan terus, sebentar saja hilang di antara pohon- pohon. Aku m em asuki sem ak-sem ak lebat di tanah datar tadi, dan setelah beberapa saat sampai di sebuah tempat terbuka kira-kira seluas sebuah kam ar tidur, dengan keem pat sisinya tertutup rapat oleh berbagai sulur-suluran. Dan di tempat terbuka itu berbaring seorang negro, tidur... dan, astaga, si J im! Aku m em bangunkannya, kukira pastilah ia terkejut m elihatku kem bali. Tapi tidak. Ia ham pir m enangis karena gem biranya, tapi tidak terkejut. Katanya ia berenang tepat di belakangku pada waktu rakit kami tertubruk kapal malam itu. Ia bisa mendengar
146 Mark Twain ketika aku m em anggilnya, tapi tak berani m enyahut sebab ia tak ingin ditolong orang, yang berarti ia akan tertangkap dan dikem balikan ke perbudakan lagi. Kata J im , “Aku m enderita sedikit luka, dan tak bisa berenang dengan cepat. J adi makin lama aku makin jauh darimu. Waktu kau mendarat, kupikir aku bisa mengejarmu di daratan tanpa harus berteriak. Tapi waktu m elihat rum ah itu aku terpaksa berjalan perlahan. Aku begitu jauh di belakangm u hingga tak tahu apa yang kau bicarakan. Aku takut pada anjing-anjing itu, dan waktu keadaan sepi kembali kutahu pastilah kau berada di dalam rumah, jadi aku pergi ke hutan dan bersem bunyi m enunggu pagi. Pagi harinya, orang-orang negro pergi ke ladang m en- jumpaiku. Ditunjukkan mereka tempat ini padaku, di mana anjing-anjing tak akan bisa menemukan karena tempat ini dikelilingi air. Tiap malam orang-orang negro itu membawa makanan untukku dan menceritakan keadaanmu.” “Mengapa tak kau suruh J ack m em anggilku sebelum ini?” “Tak ada gunanya m engganggum u, Huck, sebelum kita bisa m enyiapkan sesuatu. Aku telah m em beli beberapa alat m asak dan bahan makanan bila ada kesempatan. Dan sementara itu pun aku memperbaiki rakit kita.” “Rakit yang m ana?” “Rakit kita yang dulu.” “He, bukankah rakit kita itu hancur berantakan?” “Tidak, hanya rusak salah satu ujungnya, tak begitu berat rusaknya. Hanya barang kita ham pir lenyap sem uanya. Bila saja kita tak m enyelam begitu dalam dan berenang begitu jauh, dan malam tak begitu gelap, dan kita tak begitu ketakutan serta tak begitu tolol, pastilah kita masih bisa melihat rakit itu. Tapi ada juga baiknya, kini rakit itu sudah baik lagi seperti baru. Dan kita pun telah bisa m engganti barang-barang yang hilang.” “Tapi bagaim ana kau bisa m endapatkan rakit itu kem bali, J im?”
Petualangan Huckleberry Finn 147 “Bagaim ana aku bisa m endapatkannya kem bali sedangkan aku berada di dalam hutan? Bukan aku yang m enangkapnya. Beberapa orang negro m enem ukannya tersangkut di antara beberapa bonggol. Mereka kem udian m enyem bunyikan rakit itu di sungai kecil, di antara semak-semak dedalu. Mereka terlalu ram ai m em pertengkarkan siapa di antara m ereka yang paling berhak atas rakit itu, hingga aku sempat mendengar kejadian tersebut. Aku m em ecahkan persoalan m ereka dengan m engatakan bahwa tak ada seorang pun yang berhak atas rakit itu kecuali kau dan aku. Kutanyakan apakah m ereka berani m eram pas hak m ilik seorang tuan kulit putih kecil dan menerima cambukan sebagai ganjarannya. Aku beri m ereka m asing-m asing sepuluh sen, dan selesailah persoalan itu dengan menggembirakan segenap pihak. Mereka itu puas dan berharap sem oga banyak lagi rakit hanyut hingga m ereka bisa bertam bah kaya. Mereka itu sangat baik padaku, apa yang kum inta tak pernah perlu diulang. Dan si J ack itu juga negro yang baik, sangat cerdik.” “Mem ang. Tak pernah dikatakannya bahwa kau ada di sini. Ia hanya berkata bahwa di sini banyak rum pun teratai, jadi bila ada apa-apa ia tak ikut campur. Ia bisa berkata bahwa tak pernah ia m elihat kita berdua. Dan m em ang benar katanya itu.” Aku tak ingin berbicara banyak tentang hari berikutnya. Biarlah kejadian hari itu kuceritakan saja dengan singkat. Aku terbangun menjelang pagi, dan sudah akan kembali tidur lagi ketika aku sadar bahwa keadaan rum ah terlalu sunyi, sunyi luar biasa, seakan-akan seluruh isi rum ah telah pergi. Kem udian kulihat Buck tak ada di tem patnya. Terpaksa bangun, dan aku menuruni tangga ke ruang bawah dengan pikiran penuh perta- nyaan. Sunyi senyap di dalam dan di luar rum ah. Apa artinya ini? Dekat tem pat tum pukan kayu, aku bertem u dengan J ack. Aku bertanya, “Ada apa ini?” “Tak tahukah, Tuan George?”
148 Mark Twain “Tidak, aku tak tahu.” “Wah, Nona Sophia telah m elarikan diri! Kabur! Ia m ening- galkan rum ah kira-kira tengah m alam tadi, tak ada yang tahu dengan pasti, ia lari agar bisa kawin dengan si muda Harney Shepherdson. Begitulah dugaan sem ua orang. Setengah jam yang lalu baru diketahui, dan m ereka tak m enyia-nyiakan waktu lagi. Ribut sekali, sem ua orang m enyiapkan senjata dan kuda! Kaum wanita berangkat untuk memberi tahu semua keluarga, Tuan Saul dan para putranya berangkat ke sungai m encoba m enyergap Nona Sophia. Kukira akan hebat nanti jadinya!” “Buck pergi tanpa m em bangunkan aku!” “Tentu saja. Mereka tak ingin bila Tuan terlibat. Tuan Buck waktu m engisi senapannya bersum pah untuk m em bawa m ayat seorang Shepherdson pulang. Dan bila ia dapat kesempatan, pasti sum pahnya itu terpenuhi, sebab banyak sekali anggota keluarga Sh ep h er d son .” Aku cepat-cepat berlari ke arah sungai. Tak lam a kudengar suara tem bakan di kejauhan. Begitu toko kayu dan tum pukan kayu tem pat kapal uap berlabuh tam pak, aku m enyelinap m asuk ke bawah pohon-pohon dan semak-semak, sampai ke sebuah tem pat yang kukira cukup baik bagiku. Kupanjat sebatang pohon dan duduk pada sebuah cabangnya yang kira-kira tak tercapai oleh peluru-peluru nyasar. Agak jauh dari pohon itu terdapat sebuah tum pukan kayu setinggi kira-kira em pat kaki. Tadinya aku akan bersem bunyi di tem pat itu, untunglah tak jadi. Di depan toko kayu, em pat atau lim a orang berkuda m ondar- mandir, berteriak-teriak dan memaki-maki, mencoba untuk m enem bak m ati dua orang pem uda yang berada di belakang tum pukan kayu di sam ping pelabuhan. Orang-orang berkuda itu tak berhasil dalam usahanya. Setiap kali salah seorang menampakkan diri di tepi sungai, ditembak. Kedua anak m uda di belakang tum pukan kayu itu berjongkok saling membelakangi, jadi bisa melihat ke segala arah.
Petualangan Huckleberry Finn 149 Setelah agak lama orang-orang berkuda tadi berhenti mondar-mandir dan berteriak-teriak. Mereka berkuda ke arah kedai. Pada saat itu salah seorang dari antara kedua pemuda di belakang tum pukan kayu tadi berdiri dan m enem bak. Seorang di antara para penunggang kuda terjatuh dari pelananya. Tem annya m elom pat turun untuk m enolong orang yang terkena peluru itu dan m enggotongnya m asuk ke dalam toko. Saat itu dipergunakan oleh kedua anak muda tadi untuk berlari. Mereka hampir m encapai pohon tem patku bersem bunyi ketika orang-orang tadi m elihat keduanya. Serentak sem ua m enaiki kuda m asing-m asing dan mengejar. Namun kedua orang anak tadi sempat mencapai tum pukan kayu di depan pohonku. Kini aku bisa m elihat bahwa salah seorang dari kedua anak m uda tadi adalah Buck, sedang lainnya seorang pem uda ram ping berumur kira-kira sembilan belas tahun. Beberapa saat oran g-oran g berkuda itu m en gham bur- hamburkan peluru mereka, kemudian pergi meninggalkan tempat itu. Segera setelah mereka tak melihat aku memanggil Buck, m engatakan tem patku. Mula-m ula ia tak tahu di m ana aku berada. Ia sangat terkejut, m enyuruh aku m em asang m ata dan m em beri tahukan padanya bila orang-orang itu kem bali, pasti mereka sedang mengatur suatu siasat, tak akan lama pasti kembali. Ingin sekali aku meninggalkan pohon itu, tapi aku tak berani turun. Buck m enangis, katanya ia dan sepupunya, J oe (yaitu pem uda yang m enem aninya itu), akan m em enangkan pertem puran hari itu. Ayah dan kedua kakaknya telah tewas, begitu juga dua atau tiga orang di pihak m usuh. Keluarga Shepherdson telah memasang perangkap untuk mereka. Mestinya ayah dan saudara-saudaranya haruslah m enye- rahkan keluarga m ereka yang lain, karena kaum Shepherdson terlalu kuat. Aku bertanya apa jadinya dengan Harney dan Nona Sophia. Kata Buck, m ereka berdua selam at sam pai ke
150 Mark Twain seberang. Aku gem bira, tapi m enyesal juga m endengarkan betapa Buck m erasa kecewa waktu beberapa hari yang lalu ia tak bisa m em bunuh Harney. Tiba-tiba, dor! dor! dor! tiga atau empat senjata meletus. Kiranya orang-orang tadi m enyelinap m asuk hutan tanpa kuda m ereka, hinggga m ereka kini berada di belakang Buck berdua! Kedua orang anak itu m elom pat dan lari ke sungai, keduanya luka. Mereka berdua berenang mengikuti arus sementara orang- orang tadi berlari di sepanjang tepi sungai sambil menembak dan berteriak-teriak, “Bunuh m ereka! Bunuh m ereka!” Rasanya lem ah seluruh tubuhku, ham pir saja aku jatuh dari pohon. Betapa senangnya bila hari itu aku tak pergi ke tepi sungai untuk m enyaksikan sem ua kejadian itu. Tak akan pernah bisa kulupakan, dan sampai sekarang sering kali semua itu muncul kembali dalam mimpiku. Aku berada di atas pohon itu sam pai hari gelap, aku m erasa takut turun. Kadang-kadang kudengar suara tem bak- menembak di kejauhan, di hutan. Dua kali kulihat rombongan kecil penunggang kuda berpacu lewat depan toko kayu dengan bersenjata. Aku begitu sedih, aku berjanji untuk tidak pulang lagi ke rum ah keluarga Grangerford. Lagi pula aku m erasa bahwa sem ua ini gara-gara aku. Kini aku m engerti arti kertas kecil di buku Injil Nona Sophia. Pastilah itu berarti bahwa Nona Sophia harus menemui Harney Shepherdson di suatu tempat pada pukul setengah tiga m alam . Bila saja kukatakan tentang isi surat kecil itu pada ayahnya, dan kuceritakan tentang tingkah lakunya yang aneh, pastilah Tuan Grangerford bisa m engurungnya di dalam kamar dan kejadian ini tak akan terjadi. Aku turun dari pohon, m erangkak-rangkak di tepi sungai sam pai kutem ukan m ayat Buck dan tem annya. Kutarik kedua m ayat itu ke daratan, dan kututupi m uka m ereka cepat-cepat. Waktu m enutupi m uka Buck terpaksa aku m enitikkan air m ata, m engenangkan betapa baik sikapnya terhadapku.
Petualangan Huckleberry Finn 151 Hari telah gelap. Aku tak ingin m endekati rum ah. Masuk m enem bus hutan m enuju rawa-rawa. Tapi ternyata J im tak ada di tem pat persem bunyiannya. Tergesa-gesa aku m enuju anak sungai tem pat J im m enyem bunyikan rakit, karena aku ingin segera m eninggalkan daerah itu. Rakit itu telah tiada! Aduhai, betapa pedih! Aku tak bisa bernapas. Kem udian aku berteriak keras. Terdengar suara tak lebih dari dua puluh lima kaki dari tempatku berdiri m enyahut, “Astaga! Kaukah itu, Sayang? J angan ribut!” Suara J im ! Belum pernah ada suara yang begitu m elegakan hatiku. Aku berlari di tepi anak sungai itu dan m elom pat ke atas rakit. J im memeluk dan mendekap tubuhku, ia juga sangat gembira melihatku. “Kiranya Tuhan m em berkati engkau, Nak!” kata J im . “Aku tadi begitu yakin bahwa kau m ati lagi. J ack tadi kem ari, katanya mungkin kau juga tertembak sebab kau tak muncul lagi di rumah. Dan baru saja aku akan membawa rakit ini ke mulut anak sungai, untuk bersiap-siap meluncur pergi segera setelah J ack membawa berita bahwa kau betul-betul m ati. Tuhan! Aku betul-betul gem bira bisa bersam am u lagi, Sayang!” “Baiklah, sem uanya beres. Mereka tak akan m enem ukanku, dan m ereka pasti m engira bahwa aku terbunuh dan hanyut—ada sesuatu di atas sana yang pasti m eyakinkan m ereka tentang itu— jadi jangan buang waktu lagi, J im, cepat dorong masuk ke sungai besar, secepat kau bisa.” Aku gelisah terus sam pai kam i m encapai kira-kira dua m il di hilir dan m engapung di tengah-tengah Mississippi. Kem udian kami pasang lentera kami, dan kami merasa bebas dan selamat lagi. Karena sejak kem arin aku belum m akan, J im m engeluarkan jagung, m entega, daging, kubis, dan sayuran. Alangkah enaknya m akanan itu, bila m em asaknya cukup tepat. Kam i m akan sam bil berbicara dan bersen an g-sen an g. Aku begitu gem bira bisa meninggalkan pertempuran karena dendam kesumat itu, dan
152 Mark Twain J im gem bira bisa keluar dari persem bunyiannya di tengah-tengah rawa. Kam i setuju bahwa tak ada yang lebih m enyenangkan daripada hidup di rakit. Tempat-tempat lain bagi kami terasa terlalu m engekang dan m enyesakkan dada. Di rakit, tidak! Di rakit kami merasa bebas, lega, dan senang.
SANG PANGERAN DAN SANG RAJA IKUT RAKIT KAMI DUA ATAU tiga hari tiga m alam berlalu. Lam bat, tenang, halus, dan indah. Sungai itu makin ke hilir makin lebar, kadang-kadang sam pai satu setengah m il. Kam i berlayar pada m alam hari, siang berhenti, bersem bunyi. Segera setelah m alam akan berakhir, kam i berhenti berlayar, m enam batkan rakit di bawah sebuah gosong yang bersem ak lebar. Rakit kam i tutupi dengan tum pukan dahan-dahan patah dan sem ak-sem ak. Kem udian kam i pasang rangkaian mata kail. Setelah itu kami berenang-renang di sungai, untuk m enyegarkan tubuh. Selesai m andi kam i duduk di pasir yang airnya setinggi m ata kaki, m enunggu m unculnya m atahari. Waktu itu sem uanya sunyi, tak terdengar sedenting suara pun, seolah-olah seluruh dunia tidur. Hanya kadang-kadang terdengar suara katak. Mula-m ula yang terlihat adalah garis sam ar-sam ar, yaitu puncak pepohonan di tepi seberang. Lainnya tak tam pak. Kem udian secercah cahaya kepucatan m uncul di tepi langit.
154 Mark Twain Kepucatan ini m akin lam a m akin luas, sem entara warna sungai berubah dari hitam menjadi abu-abu dan bisa kita lihat beberapa titik hitam hanyut di atasnya, jauh sekali, perahu-perahu dagang. J uga benda-benda hitam panjang, rakit-rakit. Kadang-kadang bisa kam i dengar suara deritan dayung, atau cam puran suara- suara manusia, suara itu dibawa sampai jauh oleh keheningan sungai. Kem udian terlihat garis-garis di perm ukaan sungai, yang m enandakan bahwa di tem pat ada bonggol-bonggol yang diterjang oleh arus deras. Kabut tipis naik dari perm ukaan air, langit di timur memerah. Saat itu kami sudah bisa melihat sungai dengan jalas, dan bahkan sebuah rum ah kayu di seberang, yang agaknya tem pat pengum pulan kayu. Kayu-kayu itu biasanya ditum puk oleh pem iliknya sedem ikian rupa hingga bisa m enipu pem beli—tam paknya banyak nam un di dalam nya kosong. Setelah itu terasa angin dingin lembut bertiup, begitu dingin, segar dan manis oleh bau hutan dan bunga-bunga liar. Tetapi kadang- kadang juga tak sesegar itu baunya, m ungkin juga di seberang sungai tertumpuk bangkai-bangkai ikan atau sampah, sehingga baunya cukup m enusuk hidung. Lalu m uncullah m atahari, sem ua terang benderang, dan burung-burung pun bernyanyi. Dengan m unculnya m atahari kam i m engira bahwa asap yang mengepul sedikit saja tak akan diperhatikan orang dari kejauhan. Kam i m engangkat rangkaian m ata kail kam i, m engam bil ikannya dan m em asak sarapan. Setelah itu kam i m erenungi kesunyian sungai. Berm alas-m alasan hingga akhirnya tertidur. Bila kam i terbangun, kam i m elihat apa yang telah m em bangunkan kam i. Mungkin sebuah kapal uap yang sedang m em udik sungai, begitu jauh dari kami hingga kami tak bisa mengetahui jelas kapal itu, kecuali jentera dayungnya di sam ping atau di buritan. Setelah itu, mungkin sejam kami tak mendengarkan apa-apa lagi, tak melihat apa-apa lagi, sepi lagi. Kem udian sebuah rakit m enghanyut di kejauhan, dan m ungkin seseorang sedang m em buat kayu api,
Petualangan Huckleberry Finn 155 m em ecah balok kayu dengan kapak, seperti biasa dilakukan di atas setiap rakit. Kam i bisa m elihat kilatan kapak itu m enghantam kayu, tapi tak terdengar suatu suara pun. Kem udian setelah kapak itu diangkat lagi dan berada di atas kepala si pengapak, baru suara tadi kam i dengar “thung!” Lam a juga suara m eram bat. Begitulah setiap hari kami bermalas-malasan. Sekali kami diterjang oleh kabut tebal. Sem ua penum pang rakit dan perahu kecil yang berada di sungai itu memukuli piring-piring seng agar tak tertubruk oleh kapal uap. Sebuah perahu, atau mungkin juga sebuah rakit, lewat dekat sekali tempat kami hingga kami bisa mendengar suara pembicaraan, tertawa dan memaki-maki, jelas sekali. Tapi kami sama sekali tak bisa melihat mereka. Takut juga sedikit, seolah-olah sem ua itu hantu. J im yakin bahwa yang kam i dengar adalah suara-suara hantu, tapi aku berkata, “Tak m ungkin, hantu tak akan berkata: Terkutuk kiranya kabut terkutuk ini!” Begitu m alam tiba kam i berangkat lagi. Kam i bawa rakit kam i ke tengah sungai, setelah itu kam i biarkan saja ia hanyut, ke m ana ia dibawa arus. Kam i m engisap pipa, duduk berjuntai di tepi rakit dengan kaki kami di dalam air, berbicara tentang apa saja—kam i selalu telanjang, siang atau m alam , bila nyam uk m engizinkan—pakaian baru yang dibuatkan oleh keluarga Buck untukku terlalu bagus. Aku tak peduli akan pakaian. Kadang-kadang lam a sekali hanya kam i berdua yang ada di sungai raksasa itu. Kam i bisa m elihat tepi sungai dan pulau-pulau di kejauhan, dan kadang-kadang sebuah titik cahaya, sinar lilin m enem bus kaca jendela sebuah rum ah. Kadang-kadang ada juga titik cahaya di atas air, di rakit atau di perahu. Ada juga kam i m endengar suara biola atau nyanyian. Sungguh indah kehidupan di sebuah rakit. Seluruh langit seolah-olah menjadi milik kami. Sering kami tidur telentang memperhatikan bintang-bintang di langit, m em bicarakannya apakah kira-kira bintang-bintang itu
156 Mark Twain dicipta ataukah jadi dengan sendirinya. J im berpendapat bintang- bintang itu dicipta, tapi aku mengira pastilah bintang-bintang itu jadi sendirinya, sebab pastilah m em akan waktu yang sangat lam a untuk m encipta begitu banyak. J im berkata m ungkin sekali bulan telah m enelurkan bintang-bintang itu. Kupikir m asuk akal juga kata J im itu, jadi tak kubantah lagi. Aku pernah m elihat seekor katak bertelur banyak sekali, m ungkin sebanyak bintang-bintang di langit itu. Kam i juga m enyaksikan bintang jatuh berkilat ke bum i. J im m enduga pastilah itu bintang-bintang yang m em busuk dan terpaksa dibuang dari sarangnya. Sekali-dua kali di malam hari kami melihat sebuah kapal uap, melancar di kegelapan. Sekali-sekali kapal uap itu menge- luarkan bunga-bunga api dari cerobong asapnya; bunga-bunga api itu telah m em belok, cahayanya tak tam pak dan suaranya tak terdengar lagi, sungai sunyi kem bali. Baru kem udian om bak yang disebabkan oleh kapal uap itu mencapai kami, mengguncangkan rakit sedikit. Setelah itu tak ada yang bisa kam i pakai untuk m engukur waktu yang berlalu, tak ada suara lagi kecuali kadang- kadang bunyi katak. Setelah tengah malam, orang-orang di tepi sungai pergi tidur, selam a dua atau tiga jam kem udian sem uanya gelap, tak ada lagi kelipan lilin di jendela. Kelipan lilin itulah yang m enjadi jam kam i, bila kelipan pertama muncul, itu berarti pagi hampir tiba dan kam i m encari tem pat tam bahan rakit dan tem pat persem bunyian. Suatu hari menjelang pagi aku menemukan sebuah biduk. Dengan biduk itu aku m enyeberangi arus ke pantai, yang hanya berjarak dua ratus yard, kem udian berdayung m asuk ke sebuah anak sungai. Aku berdayung sam pai kira-kira satu m il di antara pohon-pohon sanobar untuk m encari sem ak-sem ak m urbei. Baru saja aku m elewati sebuah jalan kecil yang m elintasi anak sungai itu, kulihat dua orang berlari di jalan tersebut, berlari dengan amat tergesa-gesa. Aku sudah ketakutan, sebab bila orang m engejar
Petualangan Huckleberry Finn 157 orang lain, pastilah yang dikejar itu kalau bukan aku m estinya J im . Aku sudah akan m elarikan diri dari tem pat itu, tetapi mereka terlalu dekat dan mereka berseru minta tolong. Walaupun m ereka tak berdosa, m ereka dikejar-kejar orang banyak bahkan dengan anjing pula, begitu kata m ereka. Kiranya m ereka akan m elom pat m asuk ke dalam perahu, tetapi aku m elarangnya, “J angan m elom pat m asuk! Aku belum m endengar suara kuda ataupun anjing, jadi kalian masih ada waktu untuk lari ke semak- sem ak itu. Larilah agak jauh, baru m asuk ke sungai dan perahuku ini. Dengan begitu anjing-anjing itu akan tertipu” Mereka mengerjakan perintahku. Segera setelah mereka naik, aku berdayung tergesa-gesa ke tem pat persem bunyian kam i. Lim a atau sepuluh m enit kem udian kam i dengar suara-suara anjing dan orang-orang di kejauhan. Kam i dengar m ereka telah sam pai ke tepi anak sungai itu, tapi kam i tak bisa m elihatnya. Agaknya m ereka berhenti dan m em eriksa sekitar tem pat tadi. Dan m akin jauh kam i berdayung, m akin tak terdengar lagi suara- suara itu. Waktu kami berada kira-kira satu mil dari tempat itu dan telah m encapai sungai, keadaan telah sunyi. Kam i berdayung ke rakit kam i yang tersem bunyi di antara sem ak-sem ak pohon kapas. Selamat! Salah seorang yang kutolong itu berum ur kira-kira tujuh puluh lebih, kepalanya botak, jenggotnya telah putih. Ia m em akai topi tua, memakai baju wol biru kumal, celana blue-jean compang- cam ping dan sepatu laras. Di tangannya tersam pir sebuah jas panjang tua dari blue-jean berkancing tem baga. Kedua orang itu m asing-m asing m em bawa sebuah koper kain yang agaknya penuh. Tem annya berum ur kira-kira tiga puluh tahun, pakaiannya juga tak keruan. Selesai m akan pagi kam i berbicara, dan ternyata kedua orang itu saling tak mengenal. “Apa sebabnya kau dikejar?” tanya si botak pada yang sa t u n ya .
158 Mark Twain “Aku m enjual obat untuk m enghilangkan karang gigi. Dan obat itu memang manjur, bisa menghilangkan karang gigi, tapi biasanya lapisan giginya juga ikut hilang. Agaknya aku kelam aan satu m alam , aku sedang m enyelinap pergi ketika aku bertem u denganm u di jalan tepi kota itu. Kau katakan kau dikejar dan m inta tolong padaku. Aku m enjawab bahwa aku sendiri juga sedang dalam kesulitan, jadi terpaksa lari bersamamu. Nah, itulah ceritaku. Dan kau?” “Di kota itu aku m enyelenggarakan khotbah anti m inum an keras selam a kira-kira sem inggu. Aku berhasil m erebut setiap hati wanita, tua, muda, kecil, besar, sebab kubikin semua pecandu m inum an keras kelabakan. Tiap selesai khotbah aku biasanya mendapatkan uang sumbangan sampai lima atau enam dolar tiap m alam —karcisnya berharga sepuluh sen tiap orang, anak-anak dan budak negro bebas—keuntunganku m akin m enanjak tiap malam, tapi kemudian tersiar desas-desus bahwa aku melewatkan waktu luangku dengan diam-diam menghabiskan seguci minuman keras. Pagi ini seorang negro membangunkan aku, berkata bahwa orang-orang telah bersiap dengan kuda dan anjing, setengah jam lagi mereka akan datang untuk menangkapku. Mereka bermaksud melumuri diriku dengan ter, melekatkan bulu-bulu, dan mengikatku di roda pedati. Tanpa menunggu waktu sarapan, aku lari. Aku tak begitu lapar.” “Kukira kita bisa bergabung. Bagaim ana?” kata si m uda. “Aku tak m enolak. Apa biasanya pekerjaanm u?” “Biasanya tukang cetak, Bisa juga m em buat obat-obatan paten. Pem ain sandiwara—lakon-lakon sedih. Kadang-kadang jadi ahli hipnotis dan ahli ilmu tengkorak bila diperlukan. Sebagai selingan m engajar m enyanyi dan ilm u bum i di sekolah. J uga m em beri ceram ah, oh, apa saja yang kebetulan sem pat kukerjakan. Kau?” “Kadang-kadang aku m enjadi dokter. Menyem buhkan ta- ngan adalah kegem aranku, m enyem buhkan penyakit kanker atau
Petualangan Huckleberry Finn 159 lum puh. Aku pun bisa m eram al bila ada yang m em beritahukan kejadian-kejadian yang harus kuram al. Aku pun bisa berkhotbah, di pertem uan-pertem uan atau penyebaran agam a.” Untuk beberapa lam a tak ada yang berbicara kem udian si m uda m enarik napas panjang dan m engeluh, “Aaaah!” “Mengapa kau m engeluh?” tanya si botak. “Oh, betapa turunnya derajat hidupku, sehingga aku harus bergaul dengan orang-orang yang rendah tingkatannya.” Ia m ulai m engusap sudut m atanya dengan robekan kain. “Oh, kau kira kam i sem ua ini tak pantas jadi kawanm u?” tanya si botak dengan agak m engejek. “Ya, ya, cukup pan tas un tukku, cukup pan tas sebagai hukum anku. Sebab aku tahu bahwa yang m em buatku turun dari tingkat hidup yang begitu tinggi hingga begini rendahnya adalah aku sendiri. Aku tak m enyalahkan kalian, Tuan-tuan, jauh dari itu. Aku tak m enyalahkan siapa pun. Sudah nasibku. Biarlah dunia yang kejam ini m enyiksaku. Tapi kutahu pasti, ada sebuah kuburan yang disediakan untukku di suatu tem pat. Biarlah dunia seperti yang sudah-sudah m engam bil sem ua m ilikku, orang- orang yang kucinta, harta, sem ua, tapi kubur itu tak akan bisa diam bilnya. Suatu hari aku akan berbaring di dalam nya, dan m elupakan segala-galanya, dan hatiku yang kacau ini akan bisa beristirahat.” Ia terus saja m engusap-usap m atanya. “Terkutuk kiranya hatim u yang kacau,” tukas si botak, “untuk apa kau tum pukkan kekacauan hatim u pada kam i? Kam i tak berbuat apa-apa padamu.” “Aku tahu. Aku pun tak m enyalahkan kalian, Tuan-tuan. Akulah yang salah, akulah yang m enyebabkan kejatuhanku. Sudah sepantasnya bila aku m enderita, sangat pantas, aku tak akan mengeluh lagi.” “Menjatuhkanm u dari m ana? Dari m ana kau jatuh?” “Ah, ya, kau pasti tak akan m au percaya. Tak akan ada yang percaya, tapi apalah. Rahasia kelahiranku....”
160 Mark Twain “Rahasia kelahiranm u! Maksudm u...?” “Tuan-tuan,” kata orang yang lebih m uda itu dengan tenang, “akan kubuka rahasia in i pada kalian sebab aku m en aruh kepercayaan pada kalian. Nah, m enurut hukum , sebetulnya aku adalah seorang pangeran.” Mata J im m elotot. Agaknya m ataku pun dem ikian juga. Dan si botak berkata, “Tidak! Bagaim ana m ungkin?” “Ya. Ayah kakekku, an ak tertua Pan geran Bilgewater, m elarikan diri ke negara ini pada akhir abad yang lalu, untuk menghirup udara kebebasan. Ia kawin di sini, mati, meninggalkan seorang anak. Pada saat yang sam a ayahnya pun m angkat. Adiknya, putra kedua pangeran yang m angkat itu, m eram pas sem ua gelar dan harta m ilik, sem entara bayi yang sesungguhnya berhak atas sem ua itu tak diperhatikan orang. Aku turunan langsung dari bayi itu, akulah Pangeran Bilgewater yang sebenarnya. Dan lihat aku kini, dihina, dirampas hakku, dikejar, pakaian compang-camping, patah hati, dan terpaksa harus berkawan dengan orang-orang jahat di rakit!” J im sangat iba hatinya. Begitu juga aku. Kam i m encoba m enghiburnya. Tapi tak guna. Ia tak bisa dihibur. Ia berkata bila saja kam i m au m engakuinya sebagai seorang pangeran, hatinya sudah cukup lega. Kam i setuju, m inta supaya diajari bagaim ana caranya. Ia berkata kam i harus m em bungkuk bila berbicara den gan n ya, dan m em an ggiln ya sebagai “Yan g Mulia”, atau “Tuanku,” atau “Tuan Pangeran”, dan ia tak akan berkeberatan bila kam i m em anggilnya “Bilgewater” saja sebab itu bukan nama, melainkan gelar. Dan salah seorang di antara kami harus m enunggunya waktu ia m akan, m engerjakan sem ua apa yang d ip in t a n ya . Mudah sekali, jadi kami setuju untuk mengerjakan hal itu. Selam a m akan siang J im berdiri terus didekatnya, sekali- sekali bertanya, “Apakah Yang Mulia m enghendaki ini sedikit
Petualangan Huckleberry Finn 161 atau itu sedikit?” dan sebagainya. Tam paknya J im juga senang m elakukannya. Tapi kami perhatikan si botak makin lama makin pendiam, dan tampak tak bersenang hati karena kami mencurahkan semua perhatian pada sang pangeran. Agaknya si botak itu sedang memikirkan sesuatu. Menjelang sore, ia berkata pada sang pangeran, “Dengar, Bilgewater, aku sangat bersedih hati akan nasibm u. Tapi bukan hanya engkau yang m endapat kesulitan serupa.” “Oh, ya?” “Ya. Bukan engkau saja yang direnggut dari kedudukan tinggi dengan cara tidak sah.” “Aa a h !” “Bukan hanya engkau yang m em punyai rahasia kelahiran!” Dan demi Tuhan, si botak betul-betul menangis! “Tunggu! Apa m aksudm u?” “Bilgewater, dapatkah kau percaya?” tanya si orang tua, masih tersedu-sedu. “Sam pai m atiku!” sang pangeran m encengkeram tangan si tua. “Katakan, rahasia kelahiranm u!” “Akulah putra m ahkota yang hilang itu, Bilgewater.” Aku dan J im betul-betul m elotot kini. Sang pangeran bertanya lagi, “Kau siapa?” “Ya, kawan, aku berkata sebenarnya. Yang kau hadapi saat ini adalah putra m ahkota yang hilang itu, Louis ketujuh belas, putra Louis keenam belas dan perm aisurinya, Marie Antoinette, Raja dan Ratu Prancis!” “Kau? Setua ini! Oh, tidak! Kau m aksud dirim u ini alm arhum Raja Karel Martel. Um urm u pastilah sudah m endekati enam ratus tahun.” “Karena terlalu banyak m enderita, Bilgewater, karena terlalu banyak penderitaan. Itulah sebabnya ram butku telah putih dan
162 Mark Twain kepalaku botak. Ya, Tuan-tuan, di hadapan Tuan-tuan, bercelana blue-jean dan dalam penderitaan dikucilkan, diinjak-injak, akulah, Raja Prancis!” Si tua itu begitu sedih tam paknya, m enangis tersedu-sedu, hingga aku dan J im ikut bersedih dan tak tahu apa yang akan kam i buat. Kam i pun m erasa gem bira dan bangga sebab rakit kami sempat disinggahi turunan raja besar itu. Seperti tadi kami perbuat kepada sang pangeran, kami pun mencoba menghibur sang raja. Tapi ia berkata bahwa tak ada gunanya ia dihibur, ia lebih suka m ati dan m elupakan segala penderitaannya. Tapi kadang-kadang terhibur juga hatinya sedikit bila ia diperlakukan sebagai yang sudah m enjadi haknya, m isalnya bila orang berbicara padanya orang tersebut harus berlutut dengan satu kaki dan m em anggilnya “Sri Baginda”, m elayaninya pertam a kali pada waktu m akan, dan tak duduk di hadapannya sebelum ia m engizinkan. Maka J im dan aku m em perlakukannya seperti yang dikehendakinya itu, m engerjakan segala perintahnya dan berdiri terus sam pai ia m em erintah kam i duduk. Agaknya ini m em buat hatinya senang. Tetapi sang pangeran m asam saja rupanya, sam a sekali tak m erasa puas, dengan peristiwa yang baru terjadi itu. Walaupun dem ikian sang raja tetap m em perlakukannya dengan sangat ramah. Sang raja berkata bahwa kakek dari kakek sang pangeran selalu dikenang oleh ayahnya, begitu juga sem ua pangeran Bilgewater yang lain, sering diundang ke istananya. Tetapi sang pangeran tetap cemberut, sampai sang raja berkata, “Tam paknya kita akan lam a di rakit ini bersam a-sam a, Bilgewater. Mengapa kau berm uram saja? Hanya akan m em buat keadaan tak m enyenangkan bagi kita sem ua. Bukan salahku aku tidak dilahirkan sebagai pangeran, juga bukan salahmu kau tidak dilahirkan sebagai raja, untuk apa terlalu dipikirkan? Pergunakan kesem patan sebaik-baiknya, itulah sem boyanku. Keadaan yang kita tem ui ini bukannya tidak m enyenangkan. Makanan tersedia, hidup m udah. Ayolah, Pangeran, m ari kita bersahabat.”
Petualangan Huckleberry Finn 163 Sang pangeran menjabat uluran tangan sang raja, dan J im dan aku jadi gem bira. Rasa tidak senang pun lenyap, dan kam i merasa berterima kasih sebab akan tidak enak bagi kami bila di rakit itu terdapat rasa permusuhan. Sebab di tempat sekecil rakit itu semua orang harus merasa senang dan bersahabat terhadap ka wa n . Tak usah lama-lama, aku tahu sudah bahwa kedua orang itu hanyalah sepasang penipu, bukannya raja atau pangeran, m elainkan pem bual dan pem bohong yang paling jahat. Tapi aku tak membuka mulut tentang itu, tak kukatakan pada siapa pun. Itu adalah cara yang terbaik, dengan begitu tak akan ada pertengkaran dan tak akan ada kesulitan di antara kam i. Bila mereka ingin dipanggil sang raja dan sang pangeran, aku tak berkeberatan asal di antara kami selalu ada perdamainan. Tak ada gunanya m em beri tahu J im . Salah satu hal yang kupelajari dari Bapak adalah: cara terbaik untuk hidup bersam a orang-orang semacam dia adalah membiarkan mereka berbuat sekehendak hatinya sendiri.
APA YANG DIKERJAKAN SANG RAJA DI PARKVILLE BANYAK SEKALI yang ditanyakan m ereka pada kam i; m ereka ingin tahu m engapa rakit kam i tutupi begitu rupa, bersem bunyi di siang hari dan tidak m elakukan perjalanan. Apakah J im seorang budak yang m elarikan diri? “Astaga!” seruku, “m ungkinkah seorang negro yang m elarikan diri ke arah selatan?” Tidak, itu m em ang tak m ungkin. Kukira aku harus m enga- rang cerita untuk m enutupi hal yang sebenarnya, jadi aku berkata, “Keluargaku tinggal di daerah Pike, di Missouri. Aku lahir di sana. Sem ua keluarga m eninggal dunia keculi aku, Bapak, dan adikku Ike. Bapak berm aksud tinggal bersam a Pam an Ben, yang m em punyai sebidang tanah em pat puluh em pat m il di sebelah hilir New Orleans. Bapak sangat m iskin, banyak hutangnya lagi. J adi ketika sem ua hutang itu dilunasinya, kam i tak punya apa- apa lagi kecuali uang enam belas dolar dan budak negro kami, J im. Uang itu tak cukup untuk ongkos naik kapal uap, untuk
Petualangan Huckleberry Finn 165 jarak seribu empat ratus mil itu, dalam kelas mana pun. Pada waktu air sungai naik, Bapak beruntung m endapat rakit ini. Kam i berpendapat bisa pergi ke Orleans dengan naik rakit. Tapi nasib baik Bapak tak lam a, sebuah kapal uap m enubruk bagian depan rakit. Itu terjadi pada suatu m alam gelap. Kam i sem ua m elom pat ke sungai dan m enyelam di bawah jentera dayung. J im dan aku selam at. Bapak waktu itu sedang m abuk, sedang Ike baru berum ur em pat tahun, jadi keduanya tak m uncul lagi. Hari-hari berikutnya, aku dan J im selalu m endapat kesulitan, orang-orang berdatangan untuk mengambil J im dariku, mereka mengira J im adalah seorang pelarian. Karena itulah kam i tak pernah m elakukan perjalanan di siang hari. Di m alam hari tak ada yang mengganggu kami.” “Biarlah kupikirkan suatu cara agar kita bisa m engadakan perjalanan di siang hari bila diperlukan,” kata sang pangeran, “akan kupikirkan hal ini, dan akan kutem ukan cara pem ecahan- nya. Untuk hari ini biarlah beristirahat.” Menjelang m alam langit gelap, agaknya akan turun hujan. Kilat tam pak m enyam bar-nyam bar di kaki langit, dan dedaunan mulai gemetar, pastilah keadaan cuaca akan sangat buruk. Sang raja dan sang pangeran mulai memeriksa isi gubuk kami, untuk m elihat bagaim ana rupa tem pat tidurnya. Tem pat tidurku berkasur jeram i, lebih baik dari tem pat tidur J im yang berkasur kulit jagung. Kasur kulit jagung selalu ada bonggol jagungnya, yang kadang-kadang bisa m enyakitkan badan, lagi pula bila kita memutar tubuh, kasur itu bersuara gemersik hingga kita kadang- kadang bisa terbangun karenanya. Sang pangeran berkata bahwa ia akan m em akai tem pat tidurku, tetapi dicegah sang raja yang berkata, “Kukira perbedaan derajat antara kita berdua cukup besar untuk mengingatkan bahwa kasur kulit jagung itu cocok untukku. Yang Mulia kuharap m au tidur di kasur kulit jagung itu.” J im dan aku sudah khawatir kalau-kalau keduanya akan bertengkar. Betapa gem biranya kam i berdua waktu sang pangeran
166 Mark Twain m enjawab, “Mem ang sudah nasib dan sudah peruntunganku untuk selalu diinjak-injak oleh sepatu besi penindasan. Nasib sial telah m enjinakkan sem angatku yang tadinya berkobar-kobar. Aku m engalah, aku m enyerah, ini m em ang takdir. Aku seorang diri di dunia ini, biarlah aku m enderita, aku sanggup m enanggungnya.” Begitu hari gelap kam i berangkat. Sang raja m enyuruh kam i tetap m engam bil jalan sungai, dan tak m enyalakan lentera sebelum jauh dari kota. Kam i selam at m encapai kum pulan cahaya itu—kota yang ditakuti kedua penum pang kam i—dan m elewatinya dengan jarak kira-kira setengah m il dari tepi sungai. Tiga perempat mil di bawah kota itu lentera tanda kami pasang. Kira-kira pukul sepuluh hujan lebat bercam pur petir halilintar turun. Sang raja m enyuruh kam i berdua berjaga-jaga sam pai cuaca baik kembali. Ia dan sang pangeran masuk ke dalam gubuk untuk tidur. Biasanya sam pai jam dua belas m em ang giliranku berjaga, lagi pula walaupun aku m asih m em punyai tem par tidur, rasanya aku tak akan tidur, hujan badai seperti ini sangat jarang kujumpai. Minta ampun, betapa angin menjerit-jerit. Dan tiap setengah detik kilat m enyam bar, m enerangi sem ua benda, hingga setiap gosong di daerah sekitar setengah mil dari rakit terlihat jelas, begitu pula pulau-pulau yang terlihat tam pak kelabu seperti berdebu tertutup tirai hujan, dan pohon-pohon bertemperasan ditim pa angin. Kem udian m enyusul suara halilintar Dheeer! Dhung! Dhung! Gludug-gludug-gludug-gludug-dung-dung- dung-dung suara guntur menggelegar makin lama makin jauh hingga akhirnya lenyap, disusul oleh... by ar! Kilat dan langit menggelegar lagi. Ombak mulai membesar, kadang-kadang hampir merenggut tubuhku, tapi tak kupedulikan sebab aku telanjang bulat. Kam i pun tak usah khawatir akan bonggol- bonggol atau batu karang, kilat begitu sering hingga sem uanya bisa jelas terlihat dan bisa dihindari. Giliran jaga pertengahan malam juga giliranku. Tapi waktu itu aku sudah terlalu mengantuk, jadi J im menawarkan diri
Petualangan Huckleberry Finn 167 untuk m engganti. J im selalu baik hati. Aku m erangkak m asuk ke gubuk. Tapi ternyata kaki sang raja dan sang pangeran m elintang ke sana-kemari tak keruan hingga tak ada tempat lagi bagiku. Terpaksa aku tidur di luar, hujan tak menggangguku sebab airnya hangat kurasa, dan lagi om baknya tak begitu besar lagi. Tapi kira-kira pukul dua ombak mulai mengganas kembali. J im sudah ham pir m em bangunkan aku, nam un tak jadi, disangkanya om bak belum cukup m em bahayakan. Ternyata dugaannya keliru, sebuah ombak besar menampar rakit dan merenggutku ke sungai. Hampir J im mati karena tertawa geli melihat kejadian itu. Mem ang J im seorang negro yang paling m udah tertawa. Aku m engam bil giliran jagaku. J im berbaring dan segera m endengkur. Akhirnya hujan badai itu teduh juga. Pada kelipan pertam a lam pu di tepi sungai m enyala, kubangunkan J im . Berdua kam i m elabuhkan rakit di tem pat persem bunyian yang kam i temukan. Selesai makan pagi, sang raja mengeluarkan seperangkat kartu yang telah kum al. Ia dan sang pangeran berm ain seven- up dengan taruhan lim a sen tiap perm ainan. Lam a-kelam aan m ereka bosan m ain, keduanya kem udian ‘m erancang siasat’ bersam a. Sang pangeran m engam bil tasnya, m engeluarkan beberapa lem bar pengum um an tem pel, dan m em bacanya keras- keras. Salah satu kertas itu berbunyi, “Dr. Arm and de Montalban dari Paris, guru besar term asyhur dalam bidang ilm u tengkorak, akan m em beri kuliah di Anu pada tanggal titik-titik bulan titik- titik, dengan karcis seharga sepuluh sen, dan akan m enjual daftar ramalan watak dengan harga dua puluh lima sen selembar.” Kata sang pangeran yang m enjadi dokter itu adalah dia sendiri. Pada pengum um an lainnya ia ditulis sebagai “pem ain dram a Shakespeare yang term asyhur di seluruh dunia, Garrick si Muda dari Drury Lane, London.” Banyak lagi nam a sam arannya di surat- surat selebaran lainnya, yang m enyebutkan ia bisa m engerjakan
168 Mark Twain berbagai hal yang serba ajaib, m isalnya m enem ukan em as dan sum ber air dengan m em pergunakan ‘tongkat ajaib’, ‘m antra gaib’, dan sebagainya. Akhirnya ia berkata pada sang raja, “Tetapi perm ainan sandiwara adalah yang paling m enarik. Pernahkah kau m ain di panggung, Sri Baginda?” “Belum ,” jawab sang raja. “Kau akan m ain di panggung, Bangsawan Malang, sebelum um urm u bertam bah tiga hari,” kata sang pangeran. “Kota pertam a yang kita jum pai nanti akan m enyaksikan pertunjukan kita. Akan kita sewa sebuah gedung pertunjukan, kita pertontonkan adu pedang dahsyat dari kisah ‘Richard III’ dan adegan balkon dari kisah ‘Rom eo dan J uliet’. Bagaim ana?” “Aku setuju saja am bil bagian dalam apa saja yang bisa m endatangkan uang, Bilgewater, tapi harus diingat bahwa aku belum pernah main sandiwara, dan belum pernah nonton. Waktu ayahku sering m engadakan pertunjukan di istana, aku m asih terlalu kecil. Dapatkah kau mengajariku?” “Mu d a h !” “Baiklah kalau begitu. Aku pun ingin sekali m encoba hal yang baru. Marilah kita mulai.” Sang pangeran menceritakan semua hal tentang Romeo dan J uliet. Katanya ia biasa m enjadi Rom eo, jadi sang raja yang menjadi J uliet. “Tetapi, katam u J uliet itu seorang gadis m uda belia, Pange- ran, bukankah akan aneh sekali bila seorang gadis muda berkepala botak serta berjenggot putih seperti aku ini?” “Tidak, jangan khawatir. Orang-orang tolol di daerah ini tak akan pernah m em ikirkan hal itu. Lagi pula aku akan m em akai pakaian khusus untuk perm ainan itu, jadi tak akan banyak keanehannya. Waktu itu J uliet berada di balkon, m enikm ati cahaya bulan sebelum ia pergi tidur. Ia m em akai baju tidur dan topi tidur yang berenda-renda. Inilah pakaian untuk adegan itu.”
Petualangan Huckleberry Finn 169 Sang pangeran mengeluarkan beberapa lembar pakaian. Di antaranya dua atau tiga pasang pakaian dari kain m ori layar yang katanya adalah pakaian kebesaran Richard III dan sepasang pakaian tidur dari katun putih beserta topi tidurnya. Sang raja puas m elihat pakaian yang harus dikenakannya itu. Sang pangeran m engeluarkan bukunya, m em bacakan bagian yang harus dihapalkan sang raja dengan gaya gagah, m ondar- m andir dan bergaya, m enunjukkan bagaim ana bagian itu harus dim ainkan. Kem udian diberikannya buku ini pada sang raja untuk dipelajari. Tiga mil di sebelah bawah sebuah tikungan sungai terdapat sebuah kota kecil. Sehabis makan siang, sang pangeran berkata ia telah m enem ukan akal agar kam i bisa berlayar di siang hari tanpa m em bahayakan J im , jadi ia akan pergi ke kota untuk mengadakan rencana. Sang raja juga ingin pergi ke kota untuk m engetahui kalau-kalau ia bisa m encari keuntungan. Kam i telah kehabisan kopi, jadi J im mengusulkan agar aku juga ikut kedua orang itu ke kota untuk m em belinya. Kam i pergi ke kota itu dengan naik perahu. Sam pai di sana ternyata kota sangat sepi, jalan-jalan kosong, bagaikan kota m ati atau seperti suasana hari Minggu. Kam i m enem ukan seorang negro sakit yang sedang m enjem ur diri di sebuah halam an belakang. Ia berkata, sem ua orang kecuali yang sakit atau yang m asih bayi, atau terlalu tua, pergi ke pertemuan keagamaan di tempat terbuka kita-kira dua m il di dekat hutan. Sang raja m enanyakan dengan jelas arah tempat itu. Ia bermaksud menghadiri pertemuan tersebut, aku pun diajaknya. Sang pangeran membutuhkan sebuah kantor percetakan. Tak lama kami temukan tempat itu, sedikit kotor di atas sebuah toko kayu, sedang tukang kayu dan tukang cetaknya pergi ke pertem uan. Pintu-pintunya tak ada yang dikunci. Tem pat itu kotor, penuh sam pah dan bekas-bekas tinta. Dindingnya penuh
170 Mark Twain ditempeli pengumuman bergambar tentang kuda atau budak negro yang m elarikan diri. Sang pangeran m em buka jasnya, berkata bahwa ia bisa ditinggal kini, sem ua beres. Aku dan sang raja berangkat ke tempat pertemuan kegamaan itu. Kam i sam pai di tem pat yang kam i tuju setelah berjalan kira- kira setengah jam. Hari panas, keringat kami bercucuran. Tempat itu telah penuh m anusia, kira-kira seribu orang yang datang dari daerah sekitar dua puluh mil dari tempat itu. Hutan telah penuh dengan kuda, kereta dan gerobak. Kuda-kuda itu diikat di m ana saja, makan dari bak makan sambil menghentak-hentakkan kaki m engusir lalat. Banyak sekali gubuk-gubuk didirikan, dari batang kayu dihujam kan ke tanah dan diberi atap ranting, untuk m enjual lim un, roti, sem angka, jagung, dan sebangsanya. Gubuk-gubuk yang sam a tapi jauh lebih besar digunakan untuk berkhotbah. Di bawah atap gubuk-gubuk ini orang banyak berkum pul, duduk di bangku-bangku panjang dari batang kayu. Pendetanya berkhotbah di atas panggung. Para wanita m em akai topi kain, ada yang m em akai gaun dari kain lena yang m irip wol, ada yang dari kain cita, dan beberapa gadis m em akai pakaian dari kain m ori. Beberapa orang pem uda tak bersepatu, dan sebagian dari anak kecil yang ada di situ hanya berbaju saja, lain tidak. Kaum wanita yang sudah tua m endengarkan khotbah sam bil m erajut, sedang kaum m uda banyak juga yang m enggunakan kesem patan yang ada untuk berpacaran. Pada gubuk besar pertam a yang kam i datangi, pendetanya sedang m em im pin nyanyian. Ia m engucapkan dua baris syair lagi, sem ua orang m enyanyikannya, agung sekali m endengarkan lagu itu karena begitu banyak orang yang m enyanyikannya de- ngan penuh sem angat. Selesai dua baris itu dinyanyikan, pendeta m en gucapkan dua baris lagi dan seterusn ya. Karen a suara nyanyian itu, m akin lam a m akin banyak orang yang terbangun dari tidurnya, dan m akin keras pula m ereka bernyanyi. Menjelang
Petualangan Huckleberry Finn 171 akhir lagu beberapa orang mengeluh, beberapa lagi berteriak- teriak. Kem udian pendeta m ulai berkhotbah, khotbahnya penuh sem angat, kadang-kadang tubuhnya m eliuk ke kiri, kadang- kadang ke kanan atau ke depan. Tangan dan tubuhnya tak pernah tinggal diam , ia m eneriakkan khotbahnya itu keras- keras. Sekali-sekali diangkatnya Injil, lalu dibuka dan seolah-olah m enyebarkan isinya ke sem ua hadirin sam bil berteriak-teriak, “Itulah ular som bong di padang belantara! Waspadalah, dan hiduplah!” Para pendengar setiap kali juga berseru, “Puji Tuhan! A-a-am in!” Begitulah seterusnya. Pendeta m akin bersem angat berkhotbah dan hadirin m akin banyak yang berkeluh kesah, menangis dan meneriakkan amin. “Ayo, datanglah ke bangku doa! Datanglah, kau yang penuh dosa! (Am in!) Datanglah, yang sakit dan kesakitan! (Am in!) Datanglah, yang lum puh, bisu, dan buta! (Am in!) Datanglah, yang m iskin dan kekurangan! (Am in!) Datanglah yang tenggelam dalam m alu! Datanglah kau yang hancur hatim u dan m enderita! Datanglah dengan jiwa patah! Datanglah dengan hati penuh dosa! Datanglah dengan pakaian yang com pang-cam ping, kotor, dan dengan dosa-dosam u! Air yang akan m em bersihkan dosamu berlimpah, pintu surga tetap terbuka, oh, masuklah dan beristirahatlah!” (A-a-am in! Puji Tuhan! Puji Tuhan! Haleluya!) Begitulah seterusnya. Suara pendeta itu tak terdengar lagi, tenggelam dalam riuh rendah suara teriakan dan tangis. Dari berbagai tempat orang-orang berdiri, berdesak-desakan maju ke bangku doa; pipi mereka basah oleh air mata. Mereka bergerombol di bangku depan, m enyanyi, berteriak dan m elem parkan tubuh ke tanah, semua tampak bagaikan gila dan liar. Tiba-tiba sang raja juga kejangkitan, menangis dengan suara yang jauh lebih keras dari suara sem ua orang. Kem udian ia m enyerbu ke atas panggung. Ketika pendeta m enyuruh berbicara pada orang-orang yang ada di situ, m aka sang raja tam pil berbicara.
172 Mark Twain Menurut ceritanya, ia seorang bajak India. Musim sem i yang lalu anak buahnya berkurang banyak disebabkan oleh suatu pertempuran. Ia kini dalam perjalanan pulang untuk mencari beberapa tenaga baru untuk dijadikan bajak laut. Ia am at bersyukur m alam kem arin diram pok, dan diturunkan dari kapal uap tanpa uang sesen pun. Ia gem bira. Kejadian itu m erupakan kejadian yang paling m enguntungkan baginya sebab kini ia telah berubah, ia bagaikan dilahirkan kem bali. Baru kali inilah ia m erasa bahagia dalam hidupnya. Dan walaupun tak punya uang sam a sekali ia akan segera berangkat, bekerja untuk mencari dana agar ia bisa cepat kembali ke Samudra Hindia. Seluruh kehidupannya akan diabdikannya untuk m enunjukkan jalan yang benar pada peram pok-peram pok di tem pat itu. Ia yakin bisa m engerjakan hal itu lebih baik dari orang lain, sebab ia telah kenal betul akan segala kehidupan bajak laut di samudra itu. Walaupun akan m em akan waktu lam a sekali baginya untuk m encapai tem pat itu tanpa m em punyai uang, ia akan sam pai juga ke sana nanti. Dan setiap kali ia berhasil m enyadarkan seorang bajak laut, ia akan berkata “J angan berterim a kasih padaku, jangan anggap aku berjasa. Berterim akasihlah pada orang-orang baik hati di Parkville, pada penduduk yang hadir pada perkumpulan keagamaan di sana, merekalah saudara dan pelindung semua bajak laut, dan pendeta mereka adalah sahabat sejati para bajak laut!” Sang bajak m engakhiri ceritanya dengan m enangis tersedu- sedu, begitu juga para pen den garn ya. Kem udian seseoran g berteriak, “Kum pulkan uan g un tukn ya! Kum pulkan uan g untuknya!” Kira-kira setengah lusin orang berteriak setuju dan akan m engerjakan usul tadi, tetapi seseorang lainnya berseru, “Biarkan dia m engedarkan topinya!” dan sem ua orang berteriak serupa, bahkan tuan pendeta juga. Sang raja berjalan berkeliling di antara orang banyak, m enyodorkan topinya sam bil m engusap-usap m atanya,
Petualangan Huckleberry Finn 173 m em berkati, m em uji dan berterim a kasih pada orang-orang yang begitu baik hati pada para pelaut yang sangat jauh dari tem pat itu. Orang-orang itu bergantian memasukkan uang ke dalam topi sang raja. Sesekali gadis-gadis yang tercantik, dengan pipi basah air m ata, m endekatinya, m inta diperbolehkan m encium nya agar m ereka bisa selalu m engingatnya. Raja selalu m engabulkan permintaan itu, malah beberapa orang di antara gadis-gadis itu dicium dan dipeluknya sam pai lim a atau enam kali. Banyak yang m inta agar ia tinggal di tem pat itu selam a sem inggu, dan sem ua orang m engundangnya untuk tinggal di rum ah m asing- masing sebagai tamu kehormatan, tapi sang raja menolak dengan mengatakan bahwa karena pertemuan itu adalah pertemuan keagam aan terakhir, ia tak akan bisa m enyum bangkan tenaganya lagi. Dan lagi ia sudah sangat ingin untuk bisa segera berangkat ke Sam udra Hindia guna m enyelam atkan jiwa para peram pok. Waktu kami tiba kembali di rakit, kami hitung pendapatan sang raja hari itu. Ternyata ia berhasil m engum pulkan delapan puluh tujuh dolar tujuh puluh lima sen. Ditambah dengan sebuah guci yang berisi tiga galon wiski, yang ditem ukannya di bawah sebuah gerobak di dalam hutan dalam perjalanan pulang. Kata sang raja, hasil itu lebih banyak berlipat ganda daripada bila dia sendiri yang berkhotbah. Sebelum sang raja datang, sang pangeran mengira dialah yang m endapat hasil terbanyak. Di tem pat percetakan yang ditem uinya itu, ia telah m engerjakan pesanan dua orang petani— surat sebaran tentang kuda—dan m engantongi uangnya, em pat dolar. Ia juga menerima pesanan pemasangan iklan untuk koran setem pat. Mestinya iklan itu berharga sepuluh dolar, pem asangnya dibujuknya untuk m em bayar kontan hanya dengan em pat dolar saja. Uang langganan koran itu dua dolar setahun. Pada petani yang kebetulan lewat, ia berhasil m enawarkan langganan setahun dengan uang langganan setengah dolar, kontan. Dengan jalan
174 Mark Twain tersebut ia m endapatkan tiga orang langganan. Tadinya orang- orang itu akan m em bayar dengan kayu dan bawang putih sebagai biasanya. Tapi sang pangeran m engatakan bahwa ia baru saja m em beli perusahaan surat kabar itu, dan ia m enjalankan usahanya hanya dengan pem bayaran kontan walaupun untuk itu ia harus m enekan harga serendah-rendahnya. Ia m enyiapkan huruf-huruf sebuah sajak terdiri dari tiga bait untuk dicetak di koran. Sajak yang dikarangnya pada saat itu juga berjudul “Ya, Hancurkanlah, Dunia yang Kejam , Hati yang Hancur Ini,” indah susunannya dan isinya m engandung kesedihan, disiapkannya untuk dicetak di koran tanpa ia m em inta uang im balan. Seluruhnya ia berhasil m engum pulkan uang sem bilan setengah dolar, suatu hasil yang dianggapnya lum ayan juga. Ditunjukkannya juga suatu hasil kerja yang dibuatnya tanpa meminta upah, sebab hasil kerja itu untuk kami. Selembar surat sebaran, dengan gambar seorang negro membawa bungkusan kain di ujung tongkat yang dipanggulnya, bertulisan “Hadiah $ 20 0 .” Di bawah gambar itu tertera gambaran tentang diri J im, sangat jelas sekali, cocok dengan keadaan sebenarnya. Ditulis juga bahwa J im telah melarikan diri dari perusahaan pertanian di St. J aques, empat puluh mil di sebelah hilir New Orleans, musim dingin yang lalu diduga J im m elarikan diri ke daerah Utara, barang siapa yang berhasil m enangkap dan m engem balikan J im akan diberi hadiah 20 0 dolar, sedang ongkos perjalanan akan d iga n t i. “Kini,” kata sang pangeran, “kita bisa m engadakan perjalanan siang hari bila perlu, setelah m alam ini. Bila saja kita lihat seseorang mendekati kita, kita ikat kaki dan tangan J im, kita baringkan dia di gubuk, dan kita tunjukkan surat sebaran ini. Kita katakan kita m enangkapnya di bagian atas sungai. Terpaksa kita antarkan dengan rakit karena kita terlalu m iskin untuk m em bayar ongkos naik kapal uap, rakit ini saja kita pinjam dari kawan kita.
Petualangan Huckleberry Finn 175 Kita pergi ke Selatan untuk m engam bil hadiah kita. Rantai dan borgol sesungguhnya lebih pantas, tetapi bertentangan dengan cerita bahwa kita miskin. Seakan-akan J im memakai perhiasan. Tali tepat sekali, sem uanya harus serasi, begitulah akal dalam permainan sandiwara.” Kam i sem ua harus m engakui bahwa sang pangeran betul- betul cerdik. Kini tak akan ada kesulitan untuk berlayar siang hari. Kam i kira m alam itu kam i akan cukup jauh di luar jangkauan keributan yang diakibatkan oleh hasil kerja sang pangeran di kantor percetakan. Sejak malam itu kami bisa mengadakan perjalanan bila saja kami mau, baik siang maupun malam. Kam i sam a sekali tak m enam pakkan diri sam pai ham pir pukul sepuluh malam; saat itu rakit mulai kami dorong memasuki arus. Kam i m engam bil tem pat hanyut jauh di depan kota Parkville, dan tak m em asang lentera sebelum kota itu lenyap dari pandangan mata. Waktu J im membangunkanku untuk berjaga jam empat pagi, ia bertanya, “Huck, m ungkinkah kita akan bertem u dengan raja- raja lagi dalam perjalan ini?” “Tidak,” jawabku, “kukira tidak.” “Hm , baiklah kalau begitu. Satu atau dua orang raja m asih bisa kuterim a, tapi lebih dari itu, am pun! Raja agaknya sangat mabuk, sedang pangeran begitu juga.” Ternyata J im telah m encoba m inta agar sang raja berbicara bahasa Prancis agar ia tahu bagaimana suara bahasa tersebut. Tapi raja menjawab bahwa ia telah terlalu lama berada di Am erika, dan m enderita terlalu banyak kesulitan hingga ia lupa sam a sekali pada bahasa aslinya.
SUATU KESUKARAN DI ARKANSAS HARI TELAH siang, tapi kam i tak berhenti, tak m encari tem pat untuk bersem bunyi. Waktu sang raja dan sang pangeran akhir- nya bangun dan keluar dari gubuk, m ereka tam pak am at kum al. Tapi setelah mereka mencebur ke sungai dan berenang-renang, mereka tampak segar kembali. Selesai makan pagi raja duduk di sudut rakit, m encopot sepatu dan m enggulung celananya ke atas. Ia duduk berjuntai, kakinya direndam di air. Sam bil m engisap pipa ia m enghapalkan bagian yang harus diucapkannya dalam kisah “Rom eo dan J uliet”. Setelah ia hafal, ia berlatih bersam a sang pangeran. Sang pangeran terpaksa harus m engajarinya lagi cara m engucapkan kata-katanya. Diajarinya juga cara m engeluh, mendekapkan tangan di dada. Setelah agak lama, sang raja baru bisa m engerjakannya dengan baik. “Hanya,” kata sang pangeran, “caram u m em an ggil Rom eo m asih salah. J an gan m elen guh Rom eo, seperti lembu jantan, tapi harus lembut, bernada sedih
Petualangan Huckleberry Finn 177 dan mesra, begini– Ro-om eo! begitulah, dan bila ia tertawa ia tidak meringkik seperti keledai.” Setelah itu keduanya m engeluarkan sepasang pedang kayu yang dibuat sang pangeran dari kayu oak. Mereka berlatih main anggar. Sang pangeran menjadi Richard III, cara mereka bertempur di atas rakit itu sungguh sedap untuk dilihat. Tapi tiba- tiba sang raja tergelincir jatuh ke sungai. Mereka menghentikan latihan, beristirahat dan mempercakapkan semua pengalaman masing-masing selama berada di sepanjang sungai ini. Selesai m akan siang, sang pangeran berkata, “Nah, cepat, kita harus m em buat pertunjukan ini sebagus m ungkin. Kukira lebih baik bila kita tam bahi sedikit. Kita harus m em punyai acara untuk ‘encore’, lagi.” “Apakah ‘onkor’ itu, Bilgewater?” “Penonton m inta kita berm ain sekali lagi, karena bagusnya perm ainan kita. Aku akan m em enuhi dengan m elakukan tarian Skot atau menirukan suara terompet tanduk para pelaut. Dan kau– hm , tunggu– oh, ya, kau bisa m engerjakan ‘solilokui’ Ham let?” “Apanya Ham let?” “Solilokui, percakapan seorang diri. Kau tahu, percakapan seorang diri Ham let ini adalah hasil karya terbaik Shakespeare. Sangat indah, halus dan mulia! Selalu menawan hati para penonton. Sayang aku tak punya bukunya, aku hanya m em punyai sebuah karya Shakespeare, tapi tak apa, pasti bisa kususun dari ingatanku. Biarlah aku berjalan m ondar-m andir sejenak, dan lihat nanti, apakah aku bisa m enggalinya dari gudang kenanganku.” Sang pangeran betul-betul berjalan mondar-mandir, m engerahkan pikiran, kening berkerut sekali-kali. Kadang-kadang ia m engangkat alis, m em eras tangannya di dahi, terhuyung ke belakang dan mengerang. Ia juga mengeluh dan pura-pura m eneteskan air m ata. Senang sekali m elihat tingkah lakunya. Akhirn ya ia berhasil m en gin gat-in gat sem uan ya. Ia berdiri
178 Mark Twain dengan gagah, sebuah kaki terkangkang ke depan, tangan terjulur ke atas, kepala ditarik ke belakang menentang langit. Dan dengan suara lantang ia mulai merisau, membentak dan mengertakkan gigi. Berbagai tingkah nam pak selam a berpidato itu, berteriak, m eregangkan tubuh, m em busungkan dada, pokoknya hebat betul, lebih hebat dari pem ain sandiwara yang m ana pun juga yang pernah kulihat. Inilah pidato yang diucapkannya—aku bisa m enghafalkannya dengan m udah karena terlalu seringnya ia mengajari sang raja: Jadi ‘ada’atau ‘tak ada’, itulah keny ataan hidup y ang kejam Mem buat kekacauan sepanjang um ur. Siapa m au m enerim a nasib, sam pai Hutan Birnam m eram - bat ke Dunsinane, Tapi ketakutan akan sesuatu sesudah ajal Mengganggu kenyenyakan tidur, Jalan kedua y ang ditem puh alam agung, Lebih baik m em bidikkan panah keuntungan yang m enga- gum kan Daripada m inta tolong pada orang y ang tak kita kenal. Itulah y ang harus kita pikirkan lagi: Bangunkan Duncan dengan ketukanm u! Alangkah senangny a bila kau bisa; Sebab, siapa bisa m enanggung cam buk dan kem arahan sang w aktu, Dosa si penindas, rasa tak kenal m alu si som bong, penundaan hukum , kem atian y ang disebabkan oleh ketakutan, Pada sisa-sisa m ay at, di tengah m alam , kala kuburan ternganga Dalam pakaian hitam m uram y ang dilazim kan, Hany a daerah y ang belum dikenal itu, para pengunjung tak pernah kem bali,
Petualangan Huckleberry Finn 179 Menyem burkan w abah ke dunia, Sehingga orang-orang y ang berteguh hati, bagai kucing m alang tak bisa berkutik Mem busuk oleh kedukaan, Dan sem ua m ega y ang m erendah m enutupi puncak rum ah itu, Oleh sebab y ang sam a buy ar berpencaran Kehilangan day a gerak, Inilah kesem purnaan y ang harus kita capai dengan tulus. Tapi, diam lah, Ophelia cantik: Jangan buka rahang pualam m u y ang berat itu, Tapi pergilah ke biara– cepat! Sang raja sangat suka akan pidato itu, sehingga tak berapa lam a ia telah bisa m enguasainya. Agaknya m em ang dialah yang paling cocok untuk peranan itu. Hebat sekali tam paknya waktu sang raja m engucapkan pidato itu dengan gaya yang berkobar- kobar. Segera sang pangeran mencetakkan surat selebaran tentang pertunjukan yang akan diadakan. Setelah itu, dua atau tiga hari kam i berhanyut-hanyut, suasana di atas rakit kam i sangat sibuk. Selalu saja ada latihan main anggar dan sandiwara. Suatu pagi, waktu kam i telah berada di jantung negara bagian Arkansas, kam i m elihat sebuah kota kecil di pengkolan sungai. Kam i berlabuh tiga perem pat m il di atas kota itu, di m uara sebuah anak sungai yang tertutup rapat oleh pohon sipres. Kecuali J im , sem ua pergi ke kota dengan naik perahu, untuk melihat kemungkinan sandiwara kami bisa dipertunjukkan di sana. Kam i sangat beruntung. Sore itu akan ada pertunjukan sirkus, jadi para penduduk desa telah mulai berdatangan ke kota, dengan naik berbagai macam gerobak atau kuda. Sirkus itu akan m eninggalkan kota m enjelang m alam , jadi banyak kesem patan bagi sandiwara kami.
180 Mark Twain Sang pangeran m enyewa gedung pengadilan, dan berkeliling kota m enem pelkan surat selebaran. Surat selebaran itu berbunyi sebagai berikut: Pertunjukan Karya Shakespeare!!! Sangat Memikat Hati! Hanya Satu Malam ! Oleh Para Pem ain Dram a Yang Term asyhur: David Garick Muda dari Gedung Sandiwara Drury Lane, London dan Edm und Kean Tua, dari Gedung Sandiwara Royal Haym arket, di Whitechapel, J alan Poding, Piccadilly, London dan Gedung Sandiwara Kerajaan di Daratan Eropa, dalam adegan indah drama Shakespeare berjudul: Adegan Balkon dalam Romeo dan J uliet! Rom eo .................................................. Tuan Garick J uliet .................................................... Tuan Kean Dibantu oleh seluruh anggota perkumpulan! Perlengkapan baru, hiasan panggung baru! J uga: Pertarungan yang m enegangkan, m enyeram kan seru dan gemilang, dengan adegan adu anggar dalam: Richard III!!! Richard III ........................................... Tuan Garick Richm ond ........................................... Tuan Kean
Petualangan Huckleberry Finn 181 J uga: (atas permintaan istimewa) Pem bicaraan Seorang Diri Ham let yang Abadi! Oleh Kean yang Tersohor! Dim ainkan olehnya 30 0 m alam berturut di Paris! Hanya untuk satu m alam saja, Berhubung telah adanya pesanan yang m endesak untuk main di Eropa! Karcis m asuk 25 sen, anak-anak dan pelayan 10 sen. Selesai menempelkan surat-surat selebaran itu kami ber- jalan-jalan. Toko dan rum ah sem uanya terlihat sudah am at tua, kering dan ham pir roboh. Agaknya bangunan-bangunan itu tak pernah dicat. Kebanyakan didirikan di atas panggung setinggi tiga atau empat kaki, agar tak bisa dicapai air bila sungai banjir. Rum ah-rum ah kebanyakan punya kebun kecil m engelilinginya. Tapi kebun-kebun itu tak menghasilkan apa-apa kecuali akar jimson dan bunga matahari; di sana-sini tampak tumpukan abu, sepatu rombengan, botol-botol pecah, gombalan dan barang- barang kaleng yang tak terpakai lagi. Pagarnya dibuat dari berbagai macam papan, dipaku entah berapa kali, condong dan m iring dengan pintu pagar yang selalu hanya berengsel satu, dari kulit. Di antara pagar itu pernah dikapur, tapi agaknya telah lam a sekali, m ungkin sebelum benua Am erika diketem ukan oleh Colom bus. Biasanya selalu ada babi di kebun, dan ada orang yang sedang menghalau babi itu. Semua toko berdiri pada sebuah jalan. Toko-toko itu selalu m em asang tenda putih buatan sendiri di depannya, dan orang- orang desa selalu menggunakan tiang-tiang tenda ini untuk m enam batkan kuda m ereka. Di bawah tenda selalu terlihat banyak sekali kotak kosong, yang digunakan oleh para penganggur untuk beristirahat, sementara mereka mengerat kotak-kotak itu dengan
182 Mark Twain pisau, m engunyah tem bakau, m enguap, m enggeliat—kum pulan orang-orang yang betul-betul bebal. Orang-orang itu biasanya m em akai topi jeram i selebar payung, tapi tak ada yang m em akai jas atau jaket, dan biasanya m em anggil satu sam a lain dengan Bill, Buck, Hank, J oe, atau Andy. Mereka berbicara seperti orang m alas, m enggum am , tapi m enggunakan banyak sekali maki-makian. Di dekat setiap tiang tenda berdiri salah seorang di antara para pemalas itu, berdiri bersandar dengan tangan di saku celana atau terulur minta tembakau atau untuk menggaruk- garuk. Percakapan mereka selalu tentang tembakau sugi seperti berikut: “Beri aku sekunyahan tem bakau, Hank.” “Tak bisa. Kepunyaanku tinggal sekunyahan. Mintalah pada Bill.” Mungkin Bill m em berinya; m ungkin juga ia berdusta dan m engatakan tak punya. Para penganggur itu kebanyakan tak pernah punya uang sesen pun, atau segum pal tem bakau yang betul-betul m iliknya. Kebanyakan tem bakau yang m ereka kunyah m ereka dapat dari pin jam an den gan berkata, “Pinjam i aku sekunyahan tem bakau, J ack, aku baru saja m em injam kan pada Ben Thom pson sisa tem bakauku,” yang sesungguhnya adalah dusta sem ata. Dusta itu hanya bisa m enipu seorang asing, tapi J ack bukanlah orang asing, jadi m enjawab, “Kau m em berinya sekunyahan tem bakau? Aku lebih percaya kalau yang m em berikan itu adalah nenek kucing adikm u. Bayar kem bali tem bakau yang kau pinjam dariku, Lafe Buckner, dan akan kuberi kau sebagian kecil darinya, satu atau dua ton, tanpa harus kau kem balikan lagi.” “Tapi bukankah pernah aku m em bayar kem bali pinjam an tembakaumu?” “Yah, hanya enam kunyahan. Kau pinjam tem bakau, dan kau bayar tem bakau m entah.”
Petualangan Huckleberry Finn 183 Sugi tem bakau yang dijual di toko m erupakan segum pal tem bakau hitam . Sedang yang dim am ah oleh orang-orang ini adalah daun tem bakau asli yang digulung. Bila ada yang m em injam sekunyahan, biasanya sugi tem bakau itu tak dipotong dua dengan pisau. Mereka menggigit sugi itu, mengerat dengan gigi, sem entara yang punya m enarik dengan tangan. Sering kali setelah terputus, yang punya m elihat tem bakau di tangannya dengan sedih dan berkata m enyindir, “Oh, biarlah aku yang m endapatkan yang sekunyahan itu, kau suginya saja.” J alan dan lorong kota sem ua hanyalah lum pur sem ata, lum pur sehitam ter dan ham pir sekaki dalam nya di beberapa tem pat, dan dua atau tiga inci dalam nya di sem ua tem pat. Di m ana-m ana terlihat babi berkeliaran. Kadang-kadang seekor babi betina dengan sekelom pok anak seenaknya tidur di jalanan, sehingga orang terpaksa m engitarinya bila m elalui tem pat itu. Babi itu enak saja m enutup m ata, m enggoyangkan telinga sem entara anak-anaknya m enyusu, tam paknya si babi sangat berbahagia seolah-olah ia m akan gaji. Bila salah seorang penganggur m elihat ada babi, biasanya ia berseru, “Ayo! Kejar! Gigit! Ayo, Macan!” Terpaksa si babi harus bangkit, lari, sambil menjerit dikejar seekor atau dua ekor anjing, sementara tiga atau empat lusin ekor anjing lainnya berdatangan. Peristiwa begini m em buat para penganggur tadi bangkit dari kem alasannya, m em perhatikan sam pai binatang-binatang itu lenyap, tertawa terbahak-bahak dan senang karena beberapa saat keadaan jadi sangat ribut. Kem udian m ereka kem bali lem as lagi sam pai ada pertarungan anjing. Tak ada yang bisa m em buat orang-orang ini bangkit dan bergem bira kecuali pertarungan anjing—atau m enyiram anjing gelandangan dengan turpentin dan m em bakarnya, atau mengikatkan kaleng pada ekor anjing hingga anjing itu hampir m ati m elarikan diri dari suara yang m em buru di belakangnya. Di tepi sungai, banyak rum ah yang didirikan di atas tebing. Rum ah-rum ah ini sudah doyong, ham pir terguling m asuk ke
184 Mark Twain dalam sungai. Penghuninya sudah pindah sem ua. Ada juga rum ah yang m asih ditem pati, berada di atas tebing sedang bagian bawahnya sudah dikikis air hingga m erupakan gua. Sungguh berbahaya tinggal di rum ah seperti itu, sebab sering kali terjadi tanah longsor. Kadang-kadang tanah selebar seperem pat m il dikikis habis oleh sungai dalam sem usim panas. Kota itu seperti selalu digerogoti sebab sungai tak berhenti m engikisnya. Makin dekat tengah hari, m akin banyak orang desa yang datang. Kereta dan kuda m em enuhi jalan. Orang-orang itu kebanyakan m em bawa m akanan sendiri, lalu m akan di kereta m asing-m asing. Wiski juga banyak dim inum , dan kusaksikan ada tiga perkelahian. Kem udian seseorang berseru, “Si tua Boggs datang! Ia datang untuk mabuk lagi, seperti biasa, sekali sebulan! Ia datang, kawan!” Orang-orang yang tadi berm alas-m alasan itu tam pak gem bira. Agaknya m ereka sudah sering m em perm ainkan Boggs. Salah seorang berkata: “Entah siapa yang akan diancam nya kali ini. Kalau ia betul- betul m em bunuh sem ua orang yang diancam nya selam a dua puluh tahun ini, ia akan menjadi sangat terkenal.” “Senang diancam oleh Boggs,” kata yang lainnya lagi, “itu berarti kita tak akan mati seribu tahun lagi.” Boggs m em acu kudanya m endekat, berteriak dan m enjerit- jerit bagaikan orang Indian dan berseru, “Minggir! Minggir! Aku haus darah, harga peti m ati akan naik!” Tam paknya ia m abuk sekali. Bergoyang-goyang di atas pelana. Um urnya kira-kira lim a puluh tahun, wajahnya sangat m erah. Sem ua orang berteriak padanya, m enertawakannya dan m eng- olok-olokkannya. Boggs m em balas olok-olokan itu, dan berjanji untuk m enghajar m ereka m enurut urutan yang tepat nanti. Kini ia akan m enghadapi pekerjaan besar, ia akan m em bunuh Kolonel Sherburn; sedang sem boyannya: “Daging dulu, m akan dengan sendok kemudian.”
Petualangan Huckleberry Finn 185 Ia m elihatku, m endekat dan bertanya, “Dari m ana kau datang, Nak? Kau telah siap untuk m ati?” Ia m eneruskan perjalanannya. Aku m erasa takut, tapi sese- orang berkata, “Ia tak bersungguh-sungguh. Tapi ia adalah orang tolol yang paling baik hatinya. Selalu dem ikian tingkahnya bila sedang m abuk. Di seluruh Arkansas, tak pernah m enyakiti orang, baik dalam keadaan mabuk ataupun sadar.” Boggs berhen ti di depan sebuah toko yan g terbesar, membungkukkan kepala hingga ia bisa menengok ke dalam lewat tirai tenda toko itu dan berteriak, “Keluarlah, Sherburn! Keluarlah dan tem ui orang yang telah kau tipu! Kaulah anjing yang kucari, dan kau pasti akan kubunuh nanti!” Tak henti-hentinya ia m em aki-m aki Sherburn, m em ang- gilnya dengan kata kotor apa saja yang diingatnya. J alan itu pen uh den gan oran g yan g m en den garkan kata-kata Boggs, m enertawakannya dan m enunggu apa yang akan terjadi. Akhirnya seorang lelaki gagah, berumur kira-kira lima puluh lima tahun— pakaiannya jauh lebih baik dari pakaian sem ua orang di kota itu— keluar dari toko tadi. Sem ua orang di depan toko itu m enyingkir ke tepi, m em berinya jalan. Orang itu berkata, tenang dan perlahan, kepada Boggs, “Aku telah bosan akan tingkahm u, Boggs. Kuberi waktu padamu sampai pukul satu. Sampai pukul satu, ingat itu, tak akan lebih lam a lagi. Bila sesudah waktu itu kau m engoceh tentang diriku lagi, walaupun hanya sepatah kata, tak ada tem pat yang bisa kau pakai bersem bunyi dariku.” Kem udian ia berpalin g dan m asuk kem bali ke dalam toko. Sem ua orang terdiam , tak ada seorang pun yang tertawa. Boggs m asih juga m engikuti Sherburn dan m engolok-oloknya sekeras suara. Ia berkuda sepanjang jalan, kembali ke depan toko lagi, m asih juga m em aki-m aki Sherburn. Beberapa orang m engerum uninya, m inta agar ia bungkam . Orang-orang itu berkata pada Boggs bahwa jam satu tinggal lim a belas m enit lagi,
186 Mark Twain jadi ia harus segera pulang. Sem ua itu tiada hasilnya. Sekuat tenaga Boggs m em aki-m aki, m em banting topinya ke lum pur agar diinjak-injak oleh kudanya. Setelah itu ia berpacu ke ujung jalan, ram but kelabunya m elam bai-lam bai. Setiap orang berusaha keras m em bujuknya, m encoba m enyuruh ia turun dari kudanya agar ia bisa dikunci dalam suatu kam ar sam pai sadar dari m abuknya. Semua tak berhasil. Ia berpacu lagi ke ujung jalan dan memaki- m aki Sherburn. Akhirnya seseorang berkata, “Pan ggil an akn ya, cepat! J em put an ak perem puan n ya! Kadang-kadang ia m au m endengarkan kata-kata anaknya itu. Hanya dialah yang bisa m em bujuknya.” Seseorang berlari untuk m em anggil anak Boggs. Aku sudah akan meninggalkan tempat itu tapi kemudian berhenti berjalan. Lim a atau sepuluh m enit kem udian Boggs m uncul lagi. Kali ini ia berjalan kaki. Berjalan terhuyung-huyung m enyeberangi jalan ke arahku, tak bertopi, diapit oleh dua orang tem annya yang m em apah lengannya, setengah m enghela. Boggs diam saja, m alah kelihatan gelisah. Ia tak bertahan waktu dihela, bahkan ikut mempercepat langkah juga. Seseorang berseru: “Boggs!” Aku m enoleh, yang berteriak itu Kolonel Sherburn. Ia berdiri tenang di tengah jalan, tangannya teracung, m enggenggam pistol. Pistol itu belum terarah, larasnya teracung ke langit. Pada saat yang sam a, kulihat seorang gadis berlari m endatangi, diiringi oleh dua orang pria. Boggs dan kedua tem annya berpaling untuk m elihat siapa yang m em anggilnya. Melihat pistol itu kedua kawan Boggs m elom pat ke pinggir. Pistol berlaras dua itu turun perlahan sam pai m em bentuk suatu garis datar, picunya siap untuk ditarik. Boggs m engangkat kedua tangannya dan berseru, “Oh, Tuhan ! J an gan m en em bak!” Dor! Tem bakan pertam a m eletus, Boggs terhuyung ke belakang, m eraih-raih udara. Dor! Tem bakan kedua, Boggs terjengkang jatuh ke belakang, berat
Petualangan Huckleberry Finn 187 sekali tubuhnya m enghem pas tanah, tangannya terbuka lebar ke sam ping. Gadis yang lari tadi tiba di tem pat itu, ia m elem parkan tubuhnya m em eluk tubuh ayahnya sam bil m enjerit, m enangis, “Oh dia telah m em bun uhn ya! Dia m em bun uhn ya!” Oran g- orang bergegas berkerumun, saling bertolak untuk mendapatkan tempat terdepan. Semua mengulurkan kepala, mendesak maju, sem entara orang yang telah berada di depan m endorong m undur orang di belakang sam bil berseru, “Mundur! Mundur! Biar lapang. Beri dia udara!” Kolon el Sherburn m em buan g pistoln ya, berpalin g dan meninggalkan tempat itu. Boggs dibawa ke sebuah kedai obat kecil; orang-orang terus m engikutinya, dan agaknya seluruh isi kota juga berdatangan untuk m elihat. Aku bersicepat, bisa m endapat tem pat lega di jendela, hingga aku bisa berada dekat sekali dengan Boggs dan bisa melihat ke dalam. Ia dibaringkan di lantai, berbantalkan sebuah buku Injil besar. Dadanya ditutupi pula dengan buku Injil yang lain. Mereka telah m erobek bajunya hingga terbuka, dan aku bisa melihat lubang di mana salah sebuah peluru Sherburn m engeram . Boggs m egap-m egap kira-kira dua belas kali, napasnya m em buat Injil di dadanya terangkat dan turun tiap kali ia m enarik dan m enghem buskan napas. Akhirnya ia tak bergerak lagi. Ia m ati. Orang-orang m erenggut anaknya yang m asih m em eluknya sam bil m enjerit dan m enangis. Anak itu berumur kira-kira enam belas tahun, berwajah manis dan lembut, tapi tampak sangat pucat dan ketakutan. Segera juga seisi kota datang ke tem pat itu. Berdesak-desak, berhimpit-himpit, saling bertolak untuk mencapai jendela agar bisa m elihat ke dalam . Tapi orang-orang yang telah berada di tempat itu tak mau pergi, sehingga orang-orang di belakang berteriak-teriak, “Kawan-kawan, kau sudah cukup lam a m elihat. Tak adil bila kalian berada di tempat itu terus, tanpa memberi
188 Mark Twain kesem patan pada orang lain. Orang lain juga punya hak untuk m elihat, sam a dengan engkau!” Terjadi pertengkaran perebutan tempat, terpaksa aku m enyelinap keluar, takut kalau-kalau terjadi perkelahian. J alan itu kini penuh m anusia, sem uanya ribut sendiri-sendiri. Sem ua yang m enyaksikan penem bakan itu m enceritakan kejadiannya, dan m asing-m asing dikelilingi oleh banyak sekali pendengar, yang m endengarkan dengan leher terjulur. Seseorang bertubuh tinggi kurus, berambut gondrong, bertopi tinggi putih, dan membawa sebatang tongkat dengan kepala bengkok menandai tem pat-tem pat di m ana Boggs dan Sherburn berdiri. Sem ua orang terus mengikuti segala gerak-gerik orang itu, setiap kali menganggukkan kepala sebagai tanda bahwa mereka mengerti, membungkuk dengan tangan bersandar pada lutut waktu orang itu m enandai tem pat-tem pat tadi dengan tongkatnya. Kem udian orang tersebut berdiri tegak dan kaku di tempat Sherburn berdiri, m engerutkan kening dengan daun topinya turun hingga ke m ata dan berteriak, “Boggs!” tongkatnya yang sudah teracung turun m endatar, ia berteriak, “Dor!” terhuyung ke belakang, berteriak “Dor!” lagi, dan m enjatuhkan diri telentang. Orang-orang yang m enyaksikan kejadian sebenarnya m engatakan bahwa orang tersebut tepat sekali menirukan kejadian tadi, tepat seperti sesungguhnya. Kita-kira dua belas orang m engeluarkan botol minuman keras masing-masing untuk diberikan pada orang itu. Kem udian ada orang yang berkata bahwa Sherburn harus dihukum gantung. Dalam semenit saja semua orang mengatakan hal yang sam a. Sem ua jadi seperti gila, sem ua bergerak ke arah rum ah Sherburn, berteriak dan m enyam bar setiap tali jem uran yang m ereka jum pai untuk dipakai sebagai tali gantungan.
MENGAPA SHERBUN TAK JADI DIGANTUNG MEREKA MEMBANJ IR ke arah rum ah Sherburn, berteriak- teriak bagaikan orang Indian. Semua benda hancur berantakan. Anak-anak berlarian, m enjerit-jerit, m encoba m enghindar. Setiap jendela di rumah tepi jalan itu penuh dengan kepala wanita, dan pohon-pohon penuh dengan anak-anak negro. J uga di balik pagar, wanita dan anak-anak berkumpul. Namun bila gerombolan m anusia kalap itu m endekat, sem ua buyar m enjauh. Ham pir semua wanita dan gadis menangis menjadi-jadi, hampir mati ketakutan. Pagar rumah Sherburn segera dipenuhi oleh orang-orang itu, suaranya ribut sekali. Halam an rum ah itu panjangnya hanya enam m eter. Beberapa orang berteriak, “Hancurkan pagarnya! Hancurkan pagarnya!” Terdengar ribut, gem ertak dan berderak saat pagar itu dihancurkan dengan paksa. Bagitu pagar roboh, orang-orang itu meluap masuk halaman.
190 Mark Twain Tepat saat itu, Sherburn keluar dari jendela tingkat atas rum ahnya dan berdiri di atas atap seram bi depan. Ia m em bawa sepucuk senapan berlaras dua, berdiri tegak, acuh tak acuh, tak berkata sepatah pun. Melihat Sherburn muncul, keributan di halaman terhenti, orang-orang mundur. Sherburn m asih diam berdiri saja di tem patnya, m em andang ke bawah. Kesunyian m encengkam hati. Sherburn perlahan m engalihkan pandangannya, m engawasi sem ua orang di bawahnya. Tiap kali seseorang bertem u pandang dengannya, orang itu m encoba m enentang pandangan tersebut, tapi akhirnya terpaksa menundukkan mata, tak kuat. Orang-orang mulai gelisah. Tiba-tiba Sherburn tertawa, bukan tertawa nyaring, tetapi serak dan seram. Dan ia berkata, perlahan penuh penghinaan: “Huh! Kalian akan m enggantung orang? Lucu sekali! Lucu sekali bila kalian punya keberanian untuk m enggantung seorang lelaki! Karena kalian berani m elum urkan ter dan m elekatkan bulu-bulu pada orang-orang perem puan yang terlantar dan tak m em punyai pem bela, lalu kalian berpikir kalian cukup berani untuk m enyiksa seorang lelaki? Wah, ketahuilah, seorang lelaki selalu akan selamat, walaupun menghadapi puluhan ribu orang macam kalian asalkan hari siang dan kalian tak berada di belakang. Tak kenalkah aku pada kalian? Hm, aku mengenali kalian luar-dalam . Aku lahir dan dibesarkan di daerah Selatan, dan aku pernah hidup di daerah Utara. J adi aku bisa mengetahui keadaan sem uanya. Sem ua orang rata-rata berhati pengecut. Di daerah Utara orang mau saja diinjak-injak, menghibur diri dengan berdoa di rumah agar ia diberi kekuatan batin untuk menanggung siksaan itu. Di daerah Selatan, hanya dengan seorang diri saja bisa menodong sebuah kereta penuh lelaki di siang hari bolong. Koran-koran m enyebut kalian orang-orang berani. Begitu sering m ereka m enyebut hingga kalian m erasa lebih berani dari orang- orang lain. Sesungguhnya kalian sam a beraninya dengan orang-
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164
- 165
- 166
- 167
- 168
- 169
- 170
- 171
- 172
- 173
- 174
- 175
- 176
- 177
- 178
- 179
- 180
- 181
- 182
- 183
- 184
- 185
- 186
- 187
- 188
- 189
- 190
- 191
- 192
- 193
- 194
- 195
- 196
- 197
- 198
- 199
- 200
- 201
- 202
- 203
- 204
- 205
- 206
- 207
- 208
- 209
- 210
- 211
- 212
- 213
- 214
- 215
- 216
- 217
- 218
- 219
- 220
- 221
- 222
- 223
- 224
- 225
- 226
- 227
- 228
- 229
- 230
- 231
- 232
- 233
- 234
- 235
- 236
- 237
- 238
- 239
- 240
- 241
- 242
- 243
- 244
- 245
- 246
- 247
- 248
- 249
- 250
- 251
- 252
- 253
- 254
- 255
- 256
- 257
- 258
- 259
- 260
- 261
- 262
- 263
- 264
- 265
- 266
- 267
- 268
- 269
- 270
- 271
- 272
- 273
- 274
- 275
- 276
- 277
- 278
- 279
- 280
- 281
- 282
- 283
- 284
- 285
- 286
- 287
- 288
- 289
- 290
- 291
- 292
- 293
- 294
- 295
- 296
- 297
- 298
- 299
- 300
- 301
- 302
- 303
- 304
- 305
- 306
- 307
- 308
- 309
- 310
- 311
- 312
- 313
- 314
- 315
- 316
- 317
- 318
- 319
- 320
- 321
- 322
- 323
- 324
- 325
- 326
- 327
- 328
- 329
- 330
- 331
- 332
- 333
- 334
- 335
- 336
- 337
- 338
- 339
- 340
- 341
- 342
- 343
- 344
- 345
- 346
- 347
- 348
- 349
- 350
- 351
- 352
- 353
- 354
- 355
- 356
- 357
- 358
- 359
- 360
- 361
- 362
- 363
- 364
- 365
- 366
- 367
- 368
- 369
- 370
- 371
- 372
- 373
- 374
- 375
- 376
- 377
- 378
- 379
- 380
- 381
- 382
- 383
- 384
- 385
- 386
- 387
- 388
- 389
- 390
- 391
- 392
- 393
- 394
- 395
- 396