Petualangan Huckleberry Finn 191 orang lain, tak lebih. Mengapa anggota pengadilan kalian tak berani menggantung seorang pembunuh? Sebab mereka takut kalau-kalau kawan dari orang yang digantung itu akan m enem bak m ereka dari belakang dalam kegelapan yang m em ang pasti akan terjadi. Karena itu selam anya pengadilan m em bebaskan pem bunuh. Dan pada m alam harinya seorang jantan dengan diikuti oleh seratus penakut bertopeng, m engam bil orang yang dibebaskan oleh pengadilan itu untuk digantung. Kesalahan kalian kali ini ialah, kalian tidak diiringi oleh seorang yang betul- betul lelaki, betul-betul jantan. Dan juga kalian tidak datang di hari gelap dan lupa m em bawa topeng. Kalian telah m em bawa separuh lelaki itu, Buck Harkness itu, dan bila ia tak m engajak kalian, kalian pasti sudah lari m engepit ekor! Sebenarnya kalian tak ingin datang kemari. Rata-rata orang takut akan kesulitan dan bencana. Kalian tak inginkan kesulitan dan bencana. Tapi bila seorang banci seperti Buck Harkness itu berteriak ‘Gantung dia! Gantung dia!’ kalian takut untuk m undur, takut kalau terbuka kedok kalian sebagai pengecut. Maka kalian pun membalas teriakan itu, dengan berpegang pada jas orang. Yang paling harus dikasihani di dunia ini adalah suatu gerombolan liar, seperti juga sebuah pasukan yang juga m enyerupai gerom bolan liar. Gerombolan liar itu tak bertarung dengan keberanian hati masing-masing, tetapi dengan keberanian karena mereka terdiri dari banyak orang. Itu bila suatu pasukan tentara. Dalam suatu gerombolan liar seperti kalian, tanpa seorang lelaki sebagai pem im pin, keadaannya betul-betul kasihan! Kini, apa yang harus kalian kerjakan adalah, gulung ekor kalian, jepitkan di antara kaki, dan pulanglah, bersem bunyilah dalam lubang-lubang sarang kalian. Bila kalian akan diadakan penggantungan, adakan di waktu m alam , yang sesuai dengan watak orang daerah Selatan ini. Datang juga dengan bertopeng, dan suruh seseorang yang betul-betul lelaki untuk m em im pin kalian. Sekarang, pergi! Bawa
192 Mark Twain juga banci-banci kalian bersam am u!” Sherburn m engangkat senjatanya, m enyiapkan picunya. Serentak sem ua orang m undur dan buyar, bertebaran ke segala arah. Buck Harness juga ikut pergi, tam pak m alu-m alu. Bila aku m au, aku berani tinggal terus di tem pat itu. Tapi aku kira tak ada gunanya, jadi aku pun ikut pergi. Aku pergi ke tem pat sirkus. Mondar-m adir di bagian belakang sam pai penjaganya lengah. Kem udian aku m enyeruak m asuk lewat bagian bawah tenda. Aku m asih m em iliki uang dua puluh dolar emas dan beberapa dolar lagi, tapi kukira lebih baik bila uang itu aku simpan saja, sebab kita tak tahu kapan kita sangat m em butuhkan uang nanti, apalagi di negeri asing ini. Kita harus hati-hati. Bukan aku tak m au m engeluarkan uang untuk m elihat sirkus, tapi bila masih ada jalan lain untuk apa membuang-buang u a n g. Sirkus itu betul-betul hebat. Tak ada yang m engalahkan waktu semua penunggang kuda masuk ke dalam lapangan berdua-dua, pria dan wanita berpasangan. Para pria hanya memakai celana dan baju dalam, tanpa sepatu tanpa sanggurdi, tangannya diletakkan di atas paha, kelihatannya tak sedikit pun m erasakan kesukaran dalam m engendarai kuda. Kira-kira ada dua puluh orang pria. Wanitanya berkulit segar, sem ua cantik- cantik sekali bagaikan sekum pulan ratu, pakaiannya berharga jutaan dolar, penuh dengan kerlipan intan permata. Indah sekali. Tak pernah aku m elihat keindahan seperti itu. Kem udian satu per satu mereka berdiri, sementara kuda terus berlari mereka meliuk- liukkan tubuh, gerakannya lem but dan indah. Para pem ain pria bertubuh tinggi-tinggi, tegap, tampan, kepala mereka naik turun mengikuti gerakan kuda. Dan gaun para pemain wanita bagaikan daun bunga-bunga m awar berkibaran atau payung-payung yang sangat indah. Kuda m ereka berlari m akin cepat. Para penunggangnya menari-nari di atas punggung kuda masing-masing. Mula-mula
Petualangan Huckleberry Finn 193 m engangkat satu kaki, kem udian ganti kaki yang lain. Kuda berlari makin cepat. Pelatih berdiri di tengah gelanggang, melecutkan cam buknya sam bil berseru, “Hai! Hai!” Di belakangnya seorang badut m elucu. Kini sem ua orang m elepaskan tali kendali kuda masing-masing. Para penunggang wanita menggenggamkan tangan, dirapatkan di paha. Para pria bersedekap, sementara kuda-kuda berpacu bagaikan gila. Dan satu per satu keluar dari gelanggang, setiap kali membungkuk memberi hormat dengan gerakan yang indah. Suara tepuk tangan gem uruh mengguncangkan tenda permainan sirkus itu. Pertunjukan-pertunjukan lainnya tak kalah hebat. Dan badutnya betul-betul sangat lucu. Apa saja yang dikatakan pelatih padanya selalu dijawabnya cepat, tepat, dan lucu. Bagaim ana ia m em ikirkan begitu banyak jawaban yang tiba-tiba dan tepat, aku tak bisa membuat jawaban seperti itu. Mendadak dari tempat penonton muncul seorang pemabuk. Ia ingin naik kuda juga, katanya ia pun bisa naik kuda seperti para pem ain. Para petugas sirkus m encoba m enyuruhnya kem bali ke tem patnya, tapi ia tak mau. Terjadi pertengkaran hingga pertunjukkan berhenti. Semua penonton jadi kesal, berteriak-teriak memaki pemabuk itu. Si pemabuk makin marah, ia berteriak-teriak mengejek. Para penonton mulai marah juga, beberapa orang lelaki m elom pat turun ke gelanggang sam bil berteriak, “Pukul dia! Lem par ke luar!” Ribut sekali, beberapa orang wanita m ulai menjerit. Pemilik sirkus itu mengharap jangan terjadi keributan. Ia mau memberi kesempatan naik kuda pada si pemabuk asal saja orang itu berjanji untuk tidak ribut lagi, dan bila ia jatuh janganlah m enyalahkan orang-orang sirkus. Sem ua penonton tertawa, berpendapat bahwa keputusan itu m em ang baik. Begitu pem abuk tadi berada di pelana, kuda yang ditungganginya m elom pat-lom pat bagaikan gila, dipegang dengan susah payah oleh dua orang petugas sirkus. Si pemabuk merangkul leher kuda,
194 Mark Twain tiap kali kuda itu m elonjak, kedua kakinya terlem par ke udara. Semua penonton berdiri, berteriak-teriak, tertawa hingga air m ata bercucuran. Kedua petugas sirkus tadi agaknya kewalahan, pegangnya lepas, dan kudanya berlari bagaikan anak panah lepas dari busurnya. Kuda tadi perpacu m engelilingi gelanggang, dengan si pem abuk bergantung di lehernya, kaki kirinya bergantian ham pir m enyentuh tanah di kiri atau kanan sisi kuda. Para penonton bagaikan gila m elihat itu. Bagiku kejadian itu tak lucu sama sekali, tubuhku gemetar mengkhawatirkan keselamatan penunggang kuda tolol itu. Tapi akhirnya si pem abuk berhasil m eraih tali kendali walaupun tubuhnya m asih terjuntai. Dan tiba-tiba ia melompat berdiri di atas pelana! Sementara itu, kudanya berlari bagaikan kebakaran ekor. Si penunggang terus saja berdiri, tak peduli betapa tingkah kudanya, seolah-olah ia tak pernah m abuk dalam hidupnya dan kem udian m ulai m encopoti pakaiannya. Ternyata ia m em akai pakaian berlapis-lapis. Ada kira-kira tujuh belas pasang pakaian dilepaskan dari tubuhnya. Ketika pakaian-pakaian itu habis tam pak ia bertubuh bagus, langsing, dengan pakaian ketat yang sangat indah ! Kudanya makin ganas karena dicambuk dan setelah beberapa lama ia membungkuk memberi hormat, keluar dari gelanggang, masuk ke tem pat ganti pakaian. Kem bali tenda besar itu bergetar oleh jeritan para penonton yang m erasa gem bira dan tertipu. Tetapi yang tam pak sangat kecewa adalah si pelatih. Ternyata pem abuk tadi salah seorang anak buahnya! Agaknya ia m engarang lelucon itu tanpa m em beri tahu siapa pun. Bila saja aku yang m enjadi pelatih itu, tak bisa kubayangkan m aluku, diupah seribu dolar pun aku tak akan m erasa gem bira lagi. Aku tak tahu, m ungkin ada sirkus lain yang lebih indah dari sirkus yang kutonton itu, tapi bagiku sirkus ini tak ada bandingannya lagi. Aku berjanji bila kapan berjum pa lagi dengan rom bongan sirkus ini, aku akan m em bayar ongkos m asuk.
Petualangan Huckleberry Finn 195 Malam harin ya, giliran kam i m engadakan pertunjukan. Nam un yang m enonton hanyalah dua belas orang, hasilnya hanya cukup untuk m enutup biaya. Lagi pula para penonton itu tertawa terus, hingga sang pangeran m arah. Betapapun, sem ua orang m eninggalkan tem patnya sebelum pertunjukan selesai, kecuali seorang anak yang tertidur. Sang pangeran berkata agaknya orang-orang tolol Arkansas itu tak bisa m enghargai Shakespeare. Agaknya m ereka m eninginkan suatu kom edi m urahan. Baiklah, kata sang pangeran selanjutnya, aku akan memenuhi selera mereka. Pagi harinya sang pangeran m em beli kertas-kertas pem - bungkus dan cat hitam . Di tiap kertas yang berukuran besar itu ia m em buat suatu pengum um an. Kam i m enem pelkan pengum um an itu di beberapa tempat di desa. Dengan huruf besar-besar tertulis pada kertas-kertas itu: DI GEDUNG PENGADILAN! HANYA UNTUK TIGA MALAM! Para pem ain sandiwara yang term asyhur di seluruh dunia: DAVID GARRICK SI MUDA! DAN EDMUND KEAN SI TUA! Anggota perkum pulan sandiwara di London dan Daratan Eropa, Mempersembahkan suatu cerita tragedi mengharukan J ERAPAH SANG RAJ A atau KEAJ AIBAN KERAJ AAN!!! Ongkos masuk 50 sen. KAUM WANITA DAN ANAK-ANAK DILARANG KERAS MASUK/ MENONTON.
196 Mark Twain Baris terakhir itu ditulis dengan huruf-huruf raksasa. “Nah,” kata sang pangeran waktu m enuliskan baris terakhir tadi, “bila ini tidak m em buat m ereka terpikat, anggap saja aku tak pernah m enginjakkan kaki di Arkansas!”
KENEKATAN SANG RAJA DAN SANG PANGERAN SEPANJ ANG HARI raja dan pangeran am at sibuk, m em persiapkan panggung, tirai, dan memasang sebaris lilin untuk penerangan panggung. Dan m alam nya, gedung itu segera penuh sesak dengan penonton, sem uanya lelaki. Setelah tem pat itu tak dapat m em uat lagi, sang pangeran menutup pintu, dan masuk ke panggung lewat jalan belakang. Di depan layar panggung ia berpidato. Mem uji- m uji lakon yang akan dim ainkannya, m engatakan bahwa lakon itu adalah lakon yang paling m enyeram kan. J uga ia m em bual tentang Edm und Kean si Tua, yang akan m em egang peran utam a dalam lakon tersebut. Akhirnya, ketika sem ua orang sudah sangat ingin m enyaksikan lakon yang dibualkannya itu, ia m enggulung layar ke atas. Masuklah sang raja, m erangkak bertingkah bagaikan kuda. Ia telanjang bulat, seluruh tubuhnya dicat berbagai warna, garis-garis dan lingkaran-lingkaran, cemerlang seperti pelangi. Dan, tak usah kukatakan lagi bagaimana ia berdandan, tapi
198 Mark Twain betul-betul am at lucu. Para penonton rasanya akan m ati karena tertawa. Setelah agak lama sang raja bertingkah gila di atas panggung, ia masuk ke dalam. Para penonton terus saja tertawa terbahak-bahak, bertepuk tangan, berteriak-teriak sampai sang raja keluar lagi untuk bertingkah kembali. Dua kali lagi sang raja terpaksa keluar untuk memenuhi permintaan para penonton yang terus saja tertawa. Mem ang, rasanya seekor sapi pun akan tertawa melihat tingkah laku bajingan tua itu. Kem udian sang pangeran m enurunkan layar, m em bungkuk pada para penonton, dan berkata bahwa tragedi itu akan dipertontonkan dua malam lagi. Terpaksa, sebab akan diper- tunjukkan di London dan karcis-karcisnya telah terjual habis. Ia m em bungkuk lagi dan berkata agaknya pertunjukkannya telah m em buat para penonton cukup terhibur m enyaksikan, karena itu ia mohon agar semua mengatakan tentang pertunjukan tadi pada yang belum m enonton, dan m enganjurkan agar m ereka juga menonton. Dua puluh suara bertanya, “Apa? Apakah pertunjukan sudah habis? Hanya itu tadi?” Sang pangeran berkata, “Ya.” Keributan terjadi. Setiap orang berseru dengan m arah, “Kita tertipu!” Mereka sudah bergerak ke panggung untuk merenggut para dramawan itu. Tetapi seorang bertubuh besar, tampan, melompat berdiri ke atas sebuah bangku dan berteriak, “Tunggu! Dengar kataku, Tuan-tuan!” Orang- orang diam , untuk m endengarkan. “Kita telah tertipu, m em ang, tertipu dengan licik sekali. Tapi kita tak ingin menjadi bahan tertawaan seluruh kota karenanya. Bila orang lain tahu kejadian ini, seumur hidup kita akan menjadi ejekan semua orang, karena ketololan kita hingga sampai tertipu. J adi kita harus menutup mulut tentang hal ini. Harus kita puji pertunjukan ini sehingga orang-orang lain pun tertipu juga. J adi setelah itu seluruh isi kota m engalam i nasib yang sam a. Sam a-sam a tolol dan tertipu.
Petualangan Huckleberry Finn 199 Bukankah betul kataku ini?” (“Betul! Betul! Tuan Hakim benar!” teriak sem ua orang.) “Nah, kalau begitu, jangan katakan pada siapa pun bahwa kita telah tertipu. Pulanglah. Nasihatkan pada sem ua orang agar m enonton pertunjukan ini!” Hari berikutnya, yang tedengar di kota itu hanyalah tentang kebagusan pertunjukan sang pangeran. Malam nya, ruangan penuh sesak lagi, dan kami berhasil menipu para penonton seperti m alam sebelum nya. Selesai pertunjukan kam i pulang ke rakit, untuk m akan m alam . Kira-kira tengah m alam , J im dan aku diperintahkan m em bawa rakit itu ke tengah, berhanyut dan berlabuh lagi kira-kira dua mil di bawah kota. Malam ketiga, ruang itu penuh sesak lagi, dan yang datang bukan orang-orang baru, tapi orang-orang yang telah nonton pada m alam -m alam sebelum nya. Aku dan sang pangeran berdiri dekat pintu, m enarik ongkos m asuk. Kulihat orang-orang yang m asuk sem uanya m em bawa sesuatu, dalam kantung baju atau di balik jaket m asing-m asing. Dan benda-benda yang dibawa mereka itu bukanlah wangi-wangian, aku tahu pasti, jauh dari itu. Hidungku m encium banyak sekali telur busuk, kubis busuk, dan yang sem acam itu. Dan aku berani bertaruh, pasti ada enam puluh empat bangkai kucing lewat masuk. Sebentar aku masuk ke ruang campur aduk. Waktu ruang sudah tak bisa memuat orang lagi, sang pangeran mengupah seorang pemuda untuk menjaga pintu, kemudian ia pergi ke bagian belakang gedung, ke pintu masuk panggung. Aku m engikutinya. Tetapi begitu kam i m em belok di sudut, dan berada dalam kegelapan, ia berkata, “Kini berjalanlah cepat-cepat hingga kau lewati semua rumah, kemudian larilah ke rakit seolah-olah dikejar hantu!” Aku m enuruti perintah itu. Ia pun berbuat serupa. Kam i berdua tiba di rakit pada saat yang sam a. Dan kurang dari dua detik, rakit kami telah meluncur ke hilir, tanpa memasang lentera, makin lama makin ke tengah sungai, tak seorang pun berkata-
200 Mark Twain kata. Kukira sang raja akan repot sekali sendirian m enghadapi para penonton itu, tapi ternyata tidak. Segera juga ia m erangkak keluar dari gubuk dan bertanya, “Bagaim ana hasilnya m alam ini, P a n ger a n ?” Ternyata ia sam a sekali tidak pergi ke kota. Kam i sam a sekali tak m em asang lentera sebelum jarak sepuluh mil kami lampaui. Setelah itu, lampu kami pasang, dan kami makan malam. Sang raja dan sang pangeran tak henti- hentinya tertawa, m engingat bagaim ana m ereka m em perdaya orang banyak itu. Sang pangeran berkata: “Sudah kukira, penonton rom bongan pertam a akan m enutup mulut. Mereka pasti akan membiarkan dulu orang-orang lain tertipu juga. Tolol sekali. Aku pun tahu juga bahwa pada m alam ketiganya m ereka akan m em balas, m engira bahwa m alam itu tiba giliran mereka. Memang malam itu giliran mereka. Ingin sekali aku mengetahui bagaimana mereka mempergunakan kesempatan itu. Agaknya m ereka akan berpikir, banyak sekali perbekalan yang m ereka bawa.” Kedua bajingan itu berhasil m engum pulkan em pat ratus enam puluh lim a dolar dalam tiga m alam . Belum pernah kulihat orang m engum pulkan uang sebanyak itu dalam waktu yang begitu singkat. Waktu sang raja dan sang pangeran telah mendengkur, J im bertanya padaku, “Apakah kau tak m erasa heran akan tingkah laku kedua bangsawan tinggi itu, Huck?” “Tidak,” jawabku. “Mengapa tidak, Huck?” “Sebab m em ang begitulah para bangsawan. Mereka selalu kegila -gila a n .” “Tetapi Huck, raja dan pangeran ini kerjanya hanyalah m enipu orang saja. Mereka hanyalah penipu belaka.” “Itulah yang ingin kukatakan. Sem ua raja hanyalah bajingan- bajingan belaka, setidak-tidaknya sejauh yang aku ingat.”
Petualangan Huckleberry Finn 201 “Benarkah dem ikian, Huck?” “Baca sekali saja tentang raja-raja itu, kau akan percaya. Misalnya Henry VIII. Dibandingkan dengannya, raja kita ini hanyalah seorang pengawas Sekolah Minggu saja. Dan lihat saja Charles II, Louis XIV, Louis XV, dan J am es II. J uga Edward II, Richard III, dan empat puluhan lagi, di samping raja-raja Saxon yang m erajalela dalam zam annya. Wah, kau akan heran m elihat Henry VIII waktu ia sedang berkuasa. Ia m em ang am at kuasa. Ia kawin setiap hari, dan keesokan harinya dipenggalnya kepala istrinya itu. Dan dikerjakannya ini sem ua seperti ia m em esan telur saja. ‘Panggil Nell Gwynn!’ perintahnya. Nell Gwynn m enghadap. Esok harinya, ‘Penggal kepalanya!’ dan dipenggallah kepala Nell Gwynn. ‘Panggil J ane Shore!’ katanya. J ane Shore datang. Esok harinya, ‘Penggal kepalanya,’ dipenggallah kepala J ane Shore. ‘Bunyikan lonceng untuk Rosam un Cantik!” Rosam un Cantik m en jawab pan ggilan itu. Esok harin ya ‘Pen ggal kepalan ya!’ Dan setiap istrinya diharuskan m enceritakan suatu dongeng padanya tiap m alam . Dikum pulkannya dongeng-dongeng itu hingga mencapai jumlah seribu satu dongeng, dijadikan buku dan diberi judul Buku Hari Kiam at, yang m erupakan suatu judul yang cocok sekali. Kau sam a sekali tak tahu tingkah laku raja- raja, J im , aku telah banyak sekali m em baca tentang m ereka. Kukira kedua orang yang ada pada kita ini, tingkah lakunya boleh dianggap sangat suci, dibandingkan dengan raja-raja dalam sejarah. Coba, waktu Henry ingin berperang dengan negara kita, apa yang diperbuatnya? Apakah ia m em beri surat tantangan agar kita m endapat kesem patan m enyusun kekuatan? Tidak. Tiba-tiba saja ia m em buang sem ua teh yang ada di pelabuhan Boston ke laut, m engum um kan suatu Proklam asi Kem erdekaan, dan m enantang kita untuk bertem pur terus. Itulah caranya, tak pernah memberi kesempatan pada siapa pun. Ia menaruh curiga pada ayahnya, Pangeran Wellington. Nah, apa yang diperbuatnya?
202 Mark Twain Minta agar ayahnya itu m em bela diri? tidak, dibenam kannya ayahnya itu ke dalam sebuah tong berisi anggur, persis kalau kita m em benam kan kucing di sungai. Bila ada orang m enaruh uang di dekatnya, apa yang dikerjakannya? Dicopetnya uang tersebut. Bila ia dibayar untuk m engerjakan sesuatu, dan orang yang m em bayar itu tak m enungguinya, apa yang dikerjakannya? Ia tak akan mengerjakan pekerjaan tadi. Setiap kali ia membuka m ulut, yang keluar hanyalah dusta sem ata. Itulah Henry. Bila yang ada pada kita Henry, dia pasti m enipu penduduk kota itu lebih buruk lagi. Aku tak berm aksud m engatakan bahwa raja kita ini bagaikan anak dom ba yang suci, m aksudnya m ereka bukanlah apa-apa bila dibandingkan dengan bajingan besar m acam Henry. Kesim pulannya, seorang raja adalah raja, tak akan bisa berubah lagi, jadi kita harus maklum. Mereka semua berhati jahat. Memang begitulah bakat mereka.” “Tapi yang dua ini busuk sekali, Huck, tingkah lakunya.” “Mereka sem ua begitu, J im . Kita tak bisa m em buat seorang raja berbau wangi, begitu dikatakan dalam sejarah.” “Kalau sang pangeran, kadang-kadang baik juga hatinya.” “Seorang pangeran m em ang berbeda, tapi tak besar bedanya. Pangeran kita ini m em ang terlalu lunak. Bila seorang pangeran m abuk, tak bisa kita bedakan yang m ana pangeran yang m ana raja.” “Betapapun aku tak ingin m enerim a keluarga bangsawan lagi, Huck, ini saja sudah hampir tak tahan aku.” “Aku pun begitu juga, J im . Tapi apa boleh buat, m ereka telah jadi tanggungan kita, jadi kita harus selalu ingat bahwa mereka raja dan pangeran, kita harus m aklum akan segala tindakannya. Alangkah senangnya bila kita berada di suatu negara yang sam a sekali tak punya raja.” Apa gunanya m em beri tahu J im bahwa kedua orang ini sebe- tulnya bukan raja dan pangeran yang sebenarnya? Tak akan ada
Petualangan Huckleberry Finn 203 faedahnya. Lagi pula m ereka m em ang tak beda dengan raja dan pangeran sebenarnya. Aku tidur. J im tak m em bangunkanku waktu giliranku berjaga tiba. Ia sering begitu. Waktu aku bangun tepat sebelum matahari terbit, ia m asih duduk di tem patnya, kepala di antara lutut, m engeluh dan bersedih. Aku pura-pura tidak tahu. Aku tahu, ia m em ikirkan istri dan anak-anaknya, jauh di sebelah hulu sungai. Ia rindu pada mereka, belum pernah ia mengadakan perjalanan sedem ikian jauh. Dan aku yakin seperti orang kulit putih, J im pun m encintai keluarganya. Mem ang tam paknya tak m asuk akal, tapi begitulah. Sering di waktu m alam bila dikiranya aku tidur ia berkeluh kesah, “Elizabeth-ku sayang, J honny kecilku yang m alang! Rasanya tak tertahan lagi bagiku. Mungkin kita tak akan berjum pa lagi, tak akan lagi!” J im m em ang seorang negro yang sangat baik. Tapi kali ini entah bagaim an aku berhasil m engajaknya berbicara tentang istri dan anak-anaknya. Dan akhirnya ia berkata, “Apa yang m em buatku sedih kali ini, tadi kudengar suara seperti seseorang sedang memukul, menampar, di rumah di tepi pantai itu. Aku jadi teringat betapa kejinya aku m em perlakukan Elizabeth, anakku yang m asih kecil. Waktu itu ia sedang berum ur em pat tahun, baru saja sem buh dari m alaria yang am at berat. Suatu hari ia berdiri dekatku, dan aku berkata padanya, ‘Tutup pintu!’, tapi ia sam a sekali tak beranjak dari tem patnya, m alah tersenyum -senyum padaku. Aku jadi m arah, kubentak ia dengan suara keras, ‘Tak dengarkah kau? Tutup pintu!’Ia m asih saja diam , terus tersenyum . Marahku tak tertahan lagi, sam bil m em bentak ‘Kuhajar kau, tak m enuruti kataku!’ kutam par sisi kepalanya hingga ia jatuh terguling. Setelah itu aku pergi ke kam ar yang lain. Waktu aku kembali lagi setelah sepuluh menit, kulihat pintu masih saja terbuka, dan anak itu duduk di depan pintu tersebut, m enundukkan kepala, bersedih, pipinya basah oleh air m ata.
204 Mark Twain Betapa m arahnya aku. Kudekati anak itu, akan kuhajar, tapi tepat saat itu—pintu itu m enutup ke arah dalam —tepat saat itu angin bertiup keras, menghempaskan pintu hingga tertutup dengan keras di belakang Elizabeth. Suaranya keras sekali, tapi anak itu bergerak pun tidak! Sesak napasku. Dan aku... aku... oh, entah apa yang kurasakan waktu itu. Diam -diam aku m asuk, m engam bil jalan berkeliling hingga aku sampai ke belakang pintu di belakang Elizabeth. Tubuhku gem etar. Kubuka pintu perlahan, kujulurkan kepalaku tanpa suara di belakang anak itu, dan mendadak kubentak dia ‘Baaa!’ sekeras aku bisa. Tapi, ia tak bergerak sam a sekali! Oh, Huck, seketika itu juga aku menangis, kupeluk dia dan aku berkata. ‘Oh, anakku sayang, anakku m alang! Sem oga Tuhan Yang Maha Kuasa m engam puni si J im tua ini, sebab ia tak akan bisa m engam puni dirinya sendiri, selam a ia hidup!’ Oh, ternyata ia telah jadi bisu tuli, Huck, karena penyakit m alaria, jadi bisu tuli! Dan aku m alah m enghajarnya!”
SANG RAJA JADI PENDETA H ARI BERIKUTNYA, m en jelan g m alam , kam i berlabuh di sebuah gosong yang penuh sem ak dedalu di tengah sungai. Di kedua sisi sungai terdapat desa. Sang pangeran dan sang raja merundingkan siasat untuk menipu orang-orang kedua desa itu. J im berkata pada sang pangeran, minta agar dia jangan terlalu lam a ditinggalkan, sebab tak tertahankan baginya lam a-lam a sendirian di rakit dengan kaki tangan terikat. Memang, setiap kali J im kami tinggalkan, kami ikat dia, untuk berjaga-jaga kalau ada seseorang m endatangi rakit kam i. Kalau ia tak terikat, m aka orang akan m enyangka bahwa ia bukanlah seorang negro pelarian yang sudah tertangkap. Sang pangeran berkata m em ang tak enak diikat sepanjang hari, ia berjanji untuk memikirkan cara pem ecahan kesulitan J im itu yang terbaik. Sang pangeran ternyata m em ang sangat cerdik, sebentar saja telah ditem ukannya cara itu. J im disuruhnya m em akai pakaian sandiwara Raja Lear—sebuah gaun panjang terbuat dari kain m ori
206 Mark Twain layar, disuruhnya juga J im m em akai ram but palsu putih panjang lengkap dengan jenggot berjulai, keduanya dibuat dari ram but kuda. Dengan alat rias sandiwaranya, sang pangeran m engecat muka, tangan, telinga, dan leher J im dengan warna biru. Setelah selesai, J im tam pak seperti orang yang telah terbenam selam a sem bilan hari. Mengerikan sekali tam paknya. Sang pangeran kemudian menulis di sebuah papan: ORANG ARAB SAKIT!!! TAK BERBAHAYA BILA TAK KUMAT GILA. Papan itu dipakukan pada sebatang tongkat, dan didirikan em pat atau lim a kaki di depan gubuk. J im m erasa puas. Baginya itu lebih baik daripada berbaring terikat tiap hari, dan gemetar tiap ada suatu suara. Sang pangeran berkata kini J im boleh berbuat apa saja bila ditinggal. Bila seseorang datang m endekat, J im hanya harus m elom pat keluar dari gubuk, berteriak sekali atau bertingkah bagaikan binatang buas. Menurut perkiraan sang pangeran pastilah pendatang itu akan lari ketakutan dan tak berani m endekati lagi. Aku pun m engira dem ikian. Tapi kiraku orang itu tak akan menunggu sampai J im berteriak. J im bukan saja kelihatan seperti orang mati, lebih dari itu. Kedua bangsat itu ingin m encoba m em ainkan ‘Keajaiban Kerajaan’ lagi, sebab sandiwara itu banyak m endatangkan uang. Tapi m ereka khawatir kalau-kalau beritanya telah sam pai ke tem pat itu. Lam a m ereka berunding, tak m enem ukan cara lain untuk m endapatkan uang. Akhirn ya sang pangeran berkata ia akan pergi ke desa itu di tepi sungai yang term asuk daerah Arkansas untuk m elihat-lihat dulu sam bil m encari akal. Sang raja pun berkata ia akan mengunjungi desa lain, tanpa rencana, m enyerahkan nasib pada takdir untuk m enuntunnya ke suatu sum ber keuntungan, dengan jalan penipuan m estinya, pikirku. Pada pemberhentian terakhir sebelum ini, kami semua telah
Petualangan Huckleberry Finn 207 m em beli baju baru. Kini sang raja m em akai pakaian barunya, dan aku pun disuruhnya berbuat serupa. Aku terpaksa m enuruti perintah itu. Pakaian sang raja serba hitam, dalam pakaian itu ia tam pak tam pan dan gagah. Belum pernah aku m enyaksikan betapa pakaian bisa m engubah orang. Sebelum nya ia tam pak seperti bangsat tua yang paling kum al. Tapi kini bila ia m engangkat topi kulit beaver putihnya, m em bungkuk m em beri horm at, ia tam pak agung dan suci, bagaikan Nabi Nuh yang baru turun dari perahunya. J im m em bersihkan perahu, aku m enyiapkan dayungku. Di sebelah hilir, kira-kira tiga m il di atas desa yang akan kami tuju, sebuah kapal uap besar sedang berlabuh. Sudah berada di tem pat itu kira-kira dua jam yang lalu, m em uat barang. Kata sang raja, “Melihat caraku berpakaian, pastilah aku datang dari St. Louis atau Cincinnati, atau kota besar lainnya. Karena itu, dayunglah ke arah kapal uap itu, Huckleberry, kita akan naik kapal itu ke desa.” Aku tak usah diperintah dua kali untuk naik kapal uap. Perahu kudayung hingga m encapai tepi sungai kira-kira setengah m il di atas desa, setelah itu aku berdayung ke arah udik di bagian arus yang tenang. Tak berapa lam a kam i m elihat seorang pem uda desa yang tam paknya bodoh, duduk di batang kayu rebah m engusap keringat di m ukanya. Hari m em ang panas, dan pem uda itu agaknya baru saja beristirahat dari m enjinjing dua buah koper kain besar yang terletak di dekatnya. “Belokkan ke darat,” perintah sang raja. Perintah itu ku- laksanakan. Sang raja bertanya pada pem uda tadi, “Kau m au ke mana, anak muda?” “Ke pelabuhan kapal uap. Aku akan pergi ke Orleans.” “Ayo, naik,” ajak sang raja. “Oh, tunggu, biar pelayanku ini menolongmu mengangkat koper-koper itu. Turunlah ke darat dan bantu tuan itu, Adolphus.” Tanpa diberi tahu aku m engerti bahwa saat itu nam aku adalah Adolphus.
208 Mark Twain Perintahnya itu pun kukerjakan. Kem udian kam i bertiga berangkat m em udik sungai. Anak m uda itu kelihatan sangat berterim a kasih, katanya berat sekali m em bawa barang-barang dalam hawa sepanas itu. Ia bertanya ke m ana sang raja akan pergi. Sang raja berkata ia datang dari atas sungai, mendarat di desa di seberang sungai pagi tadi. Kini ia akan berkunjung ke seorang tem an yang berada di sebuah tanah pertanian beberapa m il di sebelah udik. Anak m uda itu berkata, “Pertam a kali kulihat Tuan, aku berkata pada diriku sendiri, ‘Itulah Tuan Wilks, tak salah lagi, ia ham pir datang tepat pada waktunya.’ Tetapi kem udian aku berkata lagi, ‘Tak m ungkin itu Tuan Wilks, m asakan ia berdayung ke hulu sungai’ Tuan bukannya dia, bukan?” “Bukan, nam aku Blodgett. Elexander Blodgett. Tuan Pendeta Elexander Blodgett lebih tepat, kukira, sebab aku adalah salah seorang pelayan Tuhan. Betapapun aku ikut m erasa sedih bahwa Tuan Wilks tak bisa datang tepat waktunya, sebab m ungkin ka- rena keterlam batannya itu ia akan kehilangan sesuatu. Mudah- mudahan saja tidak.” “Mem ang ia tak kehilangan suatu harta karenanya, sebab harta itu lam bat atau cepat pasti akan diperolehnya. Tetapi ia tidaklah bisa m enyaksikan kem atian saudaranya, Peter. Mungkin juga ia tak akan peduli karenanya, tak ada orang yang bisa m engetahui hal itu dengan tepat, hanya saudaranya tadi, Peter, sangat ingin m elihatnya lagi sebelum ajalnya sam pai. Peter m enjelang ajalnya, selam a tiga m inggu, tak lain yang dipercakapannya kecuali saudaranya itu. Mereka berpisah pada waktu m asih sesam a kanak-kanak. Begitu juga saudaranya yang lain, William , yang m enderita cacat bisu-tuli. William berum ur kira-kira tiga puluh atau tiga puluh lim a tahun. Peter dan George sajalah yang m eninggalkan tanah kelahirannya dan datang ke negeri ini. George satu-satunya saudara m ereka yang kawin. Ia
Petualangan Huckleberry Finn 209 dan istrinya m eninggal dunia tahun lalu. Kini yang m asih hidup tinggal Harvey dan William s, dan, seperti kataku tadi, m ereka terlambat datang kemari.” “Apakah m ereka telah diberi kabar?” “Oh, ya, sebulan atau dua bulan yang lalu, waktu Peter pertama kali menderita sakit. Waktu itu Peter mendapat irasat bahwa kali ini ia tak akan bisa sembuh lagi. Ia telah sangat tua, anak-anak George terlalu m uda untuk m enem aninya dengan baik, kecuali Mary J ane si ram but m erah. Agaknya setelah George dan istrinya m eninggal dunia, Peter m erasa kesepian dan tak ingin hidup lebih lam a lagi. Keras sekali keinginannya untuk bertem u kem bali dengan Harvey, dan William juga, sebab ia term asuk orang yang tak sam pai hati untuk m em buat surat wasiat. Ia m eninggalkan suatu surat untuk Harvey, dan di surat itu dikatakannya pada Harvey di m ana ia m enyem bunyikan uangnya dan bagaim ana ia ingin harta bendanya dibagikan sehingga sem ua anak gadis George terjam in hidupnya, sebab George tak m eninggalkan warisan sedikit pun. Hanya surat itulah yang ditulis oleh Peter.” “Kenapa kira-kira Harvey belum juga datang? Di m ana ia t in gga l?” “Oh, ia tinggal di Inggris, Shefield, jadi pendeta di sana. Sam a sekali belum pernah ke negeri ini. Agaknya ia tak punya waktu, lagi pula boleh jadi surat untuknya itu tak sam pai.” “Kasihan Peter, tak tercapai keinginannya untuk m elihat kem bali saudara-saudaranya. Kau akan pergi ke Orleans?” “Ya, tapi itu hanya sebagian saja dari perjalananku. Aku akan pergi naik kapal laut, hari Rabu depan, ke Rio de J aneiro, ke rumah pamanku.” “J auh sekali perjalanan yang akan kau tem puh. Tapi pasti m enyenangkan, ingin juga aku ikut. Apakah Mary J ane itu yang tertua? Berapa um ur yang lain?”
210 Mark Twain “Mary J ane sem bilan belas, Susan lim a belas. J oanna kira- kira em pat belas. J oanna itulah yang sering m enyum bangkan tenaga untuk pekerjaan am al, bibirnya sum bing.” “Kasihan, dan kini m ereka tak bertem an lagi di dunia yang kejam ini.” “H m , tapi keadaan m ereka cukup baik. Peter pun ya banyak sekali sahabat yang pasti tak akan m em biarkan para keponakannya itu m enderita. Misalnya saja Hobson, si Pendeta Baptis. Kem udian Pendeta Lot Hovey. J uga Ben Rucker, Abner Shackleford, Dokter Robinson, dan ahli hukum Levi Bell. Dan istri-istri sem ua orang itu, juga Nyonya J anda Bartley, itulah sahabat-sahabat Peter yang terkarib. Ia sering m enulis tentang m ereka dalam surat-suratnya ke Inggris, jadi Harvey pasti akan tahu siapa saja yang bisa dianggapnya sahabat bila ia tiba di sini.” Si tua itu terus saja bertanya, hingga seolah-olah m em om pa habis segala yang diketahui si pem uda. Ia bertanya tentang ham pir sem ua orang dan sem ua hal yang ada di kota, juga tentang keluarga Wilks. Ia juga bertanya tentang pekerjaan Peter (tukang sam ak), George (tukang kayu), dan Harvey (pendeta), dan tentang banyak hal lagi. Kem udian ia bertanya, “Mengapa kau berjalan kaki ke hulu untuk naik kapal uap itu?” “Kapal itu kapal besar dari Orleans. Aku takut ia tak m au berhenti di desa. Kapal besar biasanya tak m au berhenti bila kita panggil. Kapal Cincinnati m ungkin m au berhenti, tapi ini kapal St. Louis.” “Apakah Peter Wilks itu kaya?” “Oh, ya, sangat kaya. Ia punya banyak sekali rum ah dan tanah. Menurut dugaan, uangnya ada sekitar tiga atau em pat ribu dolar, yang disem bunyikan entah di m ana.” “Kapan dia m eninggal?” “Malam tadi.” “Penguburannya besok, m ungkin?” “Ya, m enjelang tengah hari.”
Petualangan Huckleberry Finn 211 “Oh, sedih sekali. Tapi suatu waktu kita m em ang harus pergi. J adi kita harus bersiap-siap, bila kita telah bersiap, kita tak usah khawatir lagi.” “Ya, Tuan, itulah cara terbaik. Ibuku selalu m engatakan begitu juga.” Waktu kami mencapai kapal uap itu, ia hampir selesai menaikkan muatan. Tak berapa lama ia berangkat. Sang raja sama sekali tak berkata apa-apa tentang kapal itu, jadi itu berarti bahwa akhirnya aku tak bisa naik kapal. Seperginya kapal tadi, sang raja m enyuruhku berdayung terus ke arah hulu kira-kira satu m il, ke sebuah tem pat yang sepi. Ia naik ke darat dan berkata: “Cepat pulang dan panggil sang pangeran, bawa kem ari, suruh ia m em bawa tas-tas yang baru juga. Bila ia telah pergi ke seberang, susul, sedang apa pun juga ia harus segera datang kem ari. Berangkatlah!” Aku tahu apa yang akan dikerjakannya. Tapi aku tak berkata sepatah pun. Waktu sang pangeran telah kubawa ke tempat itu, perahu kam i sem bunyikan baik-baik. Sang raja dan sang pangeran duduk di atas sebatang pohon rebah. Sang raja menceritakan setiap patah kata yang diucapkan oleh anak m uda tadi. Dan selam a itu ia berbicara m eniru gaya orang Inggris. walaupun canggung, tam paknya ia berhasil. Aku tak bisa m enirukannya, dan aku tak akan mencoba, namun betul-betul baik sekali ia memainkan perannya. Kem udian ia bertanya pada sang pangeran, “Bisakah kau m eniru seseorang yang bisu dan tuli, Pangeran?” Kata san g pan geran , tan ggun g beres saja, ia sudah berpengalaman dalam membawakan peran bisu-tuli di panggung sandiwara. Kini m ereka tinggal m enantikan lewatnya sebuah kapal uap. Pertengahan sore, dua buah kapal uap lewat, tapi kapal- kapal itu datang dari tem pat yang tak berapa jauh. Akhirnya sebuah kapal besar muncul, raja dan pangeran melambai-lambai,
212 Mark Twain m em beri tanda bahwa m ereka ingin m enum pang. Kapal itu m engirim kan sekocinya untuk m enjem put m ereka, dan aku juga. Ternyata itu adalah kapal Cincinnati. Ketika orang kapal tahu bahwa kam i hanya ingin m enum pang em pat atau lim a m il ke hilir, mereka marah besar, memaki-maki dan mengancam tak akan mau menurunkan kami. Sang Raja tenang-tenang saja berkata, “Bila serom bongan tuan besar sanggup m em bayar masing-masing satu dolar untuk tiap mil, diambil dan diantar dengan sekoci, apakah kapal uap itu sanggup m em bawanya?” Orang-orang kapal itu hilang m arahnya m endengar itu, dan setuju untuk m em bawa kam i. Sesam painya kam i di desa, kam i diantarnya ke pantai dengan sekoci. Di tepi sungai telah menunggu kira-kira dua lusin manusia, mereka berkumpul di tem pat itu, tertarik akan penum pang yang diantarkan dengan sekoci ke darat dari sebuah kapal besar. Waktu sang raja bertanya pada m ereka, “Adakah di antara Tuan-tuan ini yang bisa m enunjukkan rum ah Tuan Peter Wilks?” Orang-orang itu saling pandang dan saling menganggukkan kepala, seolah-olah berkata: “Benar kataku, bukan?” Kem udian salah seorang m enjawab pertanyaan sang raja dengan suara yang dilem butkan, “Maaf, Tuan, yang bisa kam i kerjakan hanyalah menunjukkan rumah di mana ia pernah hidup kemarin.” Sang raja bagaikan disam bar petir, m enyatukan diri ke pelukan orang yang berkata itu, dengan janggut bersandar ke bawahnya, ia m enangis, “Aduh! Oooh! Saudaraku yang m alang, ia telah pergi, kam i tak sem pat m elihatnya lagi, oh, oh, ini tak bisa kam i tanggungkan lagi!” Si tua berpaling, membuat suara tak keruan dan memberi tanda-tanda kegila-gilaan pada sang pangeran dengan tangannya. Ya am pun, sang pangeran tam pak sangat terkejut hingga tas yang dipegangnya terjatuh! Ia pun m enangis keras sekali. Aku tak habis mengerti bagaimana kedua orang itu begitu pandai m em bawakan perannya.
Petualangan Huckleberry Finn 213 Orang-orang berkerumun mengelilingi kedua penipu itu, m encoba m enghibur m ereka. Beberapa orang m em biarkan dirinya jadi sandaran tubuh kedua orang tadi yang terus saja m enangis. Beberapa orang lagi m enceritakan keadaan saudaranya di saat- saat terakhir hidupnya. Setiap kali sang raja m enerjem ahkan cerita-cerita itu kepada sang pangeran dengan tanda-tanda gerakan tangan. Kedua orang itu m enghabiskan air m ata m ere- ka, meratapi kematian si tukang samak Peter Wilks seolah-olah m ereka m eratapi kem atian kedua belas orang Rasul. Betul-betul tak akan mungkin aku menemui kejadian serupa itu untuk kedua kalinya. Perbuatan m ereka cukup untuk m em buat setiap orang malu bila ia termasuk golongan manusia.
HUJAN AIR MATA KABAR TENTANG kedatangan m ereka itu cepat sekali tersebar ke seluruh kota. Dari segala jurusan tampak orang-orang berlarian m endekat; ada yang berlari sam bil m engenakan pakaiannya. Segera saja kami berada di tengah-tengah segerombolan orang, suara langkah mereka bagaikan derap langkah para prajurit. Setiap jendela dan halaman rumah penuh manusia, dan setiap saat seseorang berteriak bertanya dari balik pagar, “Itulah m ereka?” “Ben a r !” Waktu kam i telah sam pai di rum ah yang kam i tuju, jalan di depannya penuh sesak dengan m anusia. Di depan pintu berdiri tiga orang gadis. Mary J ane memang berambut merah, tapi ia sangat cantik, wajahnya bagaikan bercahaya, begitu gem bira para pam annya datang. Sang raja m engem bangkan tangannya, dan Mary J ane m elom pat ke dalam pelukannya, sem entara si sumbing melompat pada sang pangeran. Dan mulailah hujan air m ata. Sem ua orang m enangis, sedikitnya sem ua wanita, m enangis
Petualangan Huckleberry Finn 215 gem bira karena keluarga yang terpisah jauh kini bertem u kem bali dengan mesra. Sang raja diam -diam m em beri isyarat pada sang pangeran— aku m elihat isyarat itu—kem udian m elihat berkeliling, sam pai dilihatnya peti m ayat di sudut kam ar, di atas dua buah kursi. Dia dan sang pangeran, saling bergandengan sem entara tangan yang lain menutup mata, berjalan perlahan dan khidmat mendekati peti m ati itu. Sem ua orang m enyisih, sem ua suara terhenti, beberapa orang berseru, “Sssst!” Sem ua pria m encopot topi m asing-m asing, m enundukkan kepala. Begitu sunyi keadaannya, hingga bilapun ada jarum jatuh pasti akan terdengar. Sang pangeran dan sang raja melihat ke dalam peti mati, sekejap kemudian mereka menangis m eraung-raung, begitu keras agaknya hingga bisa terdengar di Orleans. Mereka saling peluk kini, saling menopang dagu pada bahu, dan ya am pun, belum pernah aku m elihat dua orang lelaki mencucurkan air mata begitu deras, selama tiga atau empat menit, seperti kedua orang itu. Dan harus diingat bahwa semua hadirin juga berbuat serupa, betul-betul tempat itu jadi lembab oleh air m ata! Kem udian sang raja dan sang pangeran berlutut di kedua sisi peti mati itu, menumpangkan dahi mereka pada bibit peti dan pura-pura berdoa. Ini lebih membuat suasana kesedihan makin berat menimpa hadirin, kini semua orang tanpa kecuali menangis keras sekali tersedu-sedu. Gadis-gadis tadi juga, dan hampir semua wanita bangkit bediri, tanpa bersuara mendekati ketiga gadis tersebut, dengan khidmat mencium dahi mereka, menengadah ke langit sebentar dengan air mata bercucuran. Tak pernah aku m elihat sesuatu yang begitu m em ualkan. Setelah agak lama sang raja bangkit, mendekati para tamu dan dengan suara terputus-putus m engucapkan pidato. Pidato yang penuh air m ata dan om ong-kosong, tentang cobaan berat yang harus diderita olehnya dan saudaranya yang kehilangan saudara tercinta. Penderitaan batin karena ternyata setelah m elakukan
216 Mark Twain perjalanan em pat ribu m il, ia tak bisa m enjum pai saudaranya itu dalam keadaan hidup. Tapi penderitaannya itu sangat diperingan oleh keakraban sem ua orang yang m encoba m enghiburnya, serta oleh air m ata suci yang m ereka cucurkan. Ia berterim a kasih pada m ereka, rasa terim a kasih tulus yang keluar dari hatinya dan hati almarhum, sebab tak bisa ia mengucapkan rasa terima kasih tersebut, tak ada kata-kata yang bisa m enggam barkannya. Dem ikian seterusnya, kata-katanya m alahan m em buat hatiku am at sakit. Sam pai akhirnya ia m engucapkan “Am in” m enutup pidatonya, kem bali m enangis m eraung-raung. Begitu sang raja selesai berpidato, seseorang di antara hadirin itu m ulai m enyanyi, diikuti oleh sem ua orang dengan penuh pera- saan. Menyenangkan sekali kedengarannya, seperti saat hendak pulang dari gereja. Lagunya m em ang indah, dan sesudah m elihat om ong-kosong yang dikatakan oleh sang raja, lagu tadi terdengar begitu jujur dan sedap didengar. Sang raja m ulai berbicara lagi. Katanya ia dan sem ua kepona- kannya akan sangat gem bira bila beberapa sahabat karib keluarga almarhum mau hadir di rumah itu untuk makan malam nanti, m em bantu m em persiapkan jenazah. Bila saja alm arhum yang terbaring di situ bisa berkata, ia akan tahu siapa yang diundang, sebab nama-nama mereka sudah sering disebut dalam surat- suratnya, seperti: Tuan Pendeta Hobson, Pendeta Lot Hovey, Tuan Ben Rucker, Abner Shackleford, Levi Bell, Dokter Robinson, sem ua beserta istri m ereka, dan Nyonya J anda Bartley. Pendeta Hobson dan Dokter Robinson sedang melakukan suatu pekerjaan di pinggir kota—m aksudku, dokter m engirim kan seorang pasiennya ke tem pat lain, sedang pendeta m em beri petunjuk pada pasien tadi akan jalan yang harus ditem puhnya. Ahli Hukum Levi Bell sedang pergi ke Louisville untuk urusan dinas. Yang lain hadir di situ, sem ua m aju dan berjabat tangan dengan sang raja, berterim a kasih padanya dan berbicara sedikit.
Petualangan Huckleberry Finn 217 Kem udian m ereka berjabat tangan dengan sang pangeran, yang tak berkata apa-apa, hanya tersenyum dan m enganggukkan kepala bagaikan sekumpulan orang tolol, sementara sang pangeran m em buat berbagai tanda dengan tangannya dan m ulutnya m enge- luarkan suara “Goo-goo... goo-goo-goo” terus-m enerus. Sang raja tak berhenti di situ saja, ia berhasil mena- nyakan tentang ham pir sem ua orang dan sem ua anjing di kota, m enanyakan dengan m em anggil nam a m ereka. J uga tentang beberapa kejadian kecil yang terjadi di kota, pada keluarga George atau Peter. Ia selalu berkata bahwa sem ua itu diketahuinya dari surat Peter. Tapi itu hanyalah dusta. Aku tahu benar, sem uanya diketahuinya dari orang m uda goblok yang kam i bawa ke kapal uap tadi. Kem udian Mary J ane m engam bil surat yang ditinggalkan almarhum. Sang raja membaca surat itu keras-keras, sambil menangis. Surat tadi menerangkan bahwa rumah tinggal dan uang sejumlah tiga ribu dolar emas diberikan kepada ketiga orang gadis itu. Perusahaan penyam akan (yang m asih m endatangkan hasil), beberapa buah rumah dan tanah (seharga tujuh ribu dolar), serta uang tiga ribu dolar diberikan kepada Harvey dan William. Dikatakan juga bahwa keenam ribu dolar emas itu disem bunyikan di gudang bawah tanah. Kedua bajingan berkata m ereka akan m engam bil uang tersebut agar sem uanya diketahui oleh umum, bahwa pembagian harta akan berlangsung dengan seadil-adilnya. Aku disuruhnya ikut untuk m em bawa lilin. Setelah pintu gudang kami tutup, mereka mencari dan menemukan karung berisi uang em as itu. Dicurahkan m ereka isinya ke lantai. Indah sekali kelihatannya taburan uang em as itu, dan m ata sang raja bercahaya-cahaya. “Oh, ini betul-betul di luar dugaan! Di luar dugaanku! Wah, Bilge, ini m engalahkan hasil kita dalam perm ainan sandiwara ajaib dulu, bukan?”
218 Mark Twain Sang pangeran membenarkan. Mereka bermain-main dengan uang em as itu, m enggerincingkannya ke lantai, dan sang raja berkata, “Tak ada gunanya berbicara banyak, m em ang kita sangat beruntung m enjadi saudara seorang kaya, dan m enjadi wakil dari para ahli warisnya. Itulah yang harus kita kerjakan, Bilge. Ini hasilnya kalau kita m em percayakan nasib pada takdir. Selalu jalan yang paling baik yang pernah kucoba selam a ini.” Orang biasa akan merasa puas dengan melihat tumpukan itu; tak begitu dengan m ereka, m ereka harus m enghitungnya. Dan ternyata jum lahnya kurang em pat ratus lim a belas dolar dari jum lah yang disebutkan, yaitu enam ribu. “Terkutuk dia. Dipakai untuk apa yang em pat ratus lim a belas dolar itu?” Mereka m erasa khawatir sebentar, m enyelidiki ke segala tem pat. Kem udian sang pangeran berkata, “Ia sedang sakit, dan agaknya salah hitung, begitulah kukira. Cara yang terbaik adalah kita biarkan saja, dan tak m engatakan pada siapa pun. Kita toh sudah dapat cukup banyak.” “Ya, m em ang kita sudah dapat cukup banyak. Tapi bukan itu yang kupikirkan. Kita harus berbuat pura-pura sangat jujur dan adil, serta terbuka. Kita harus m em bawa uang ini ke atas sana dan m enghitungnya di depan orang banyak, agar m ereka tak m enaruh curiga. Alm arhum m engatakan bahwa jum lahnya enam ribu dolar, apa kata orang nanti bila– ” “Tun ggu,” kata san g pan geran , “baik kita tam bah i kekurangannya.” Ia m engeluarkan uang em as dari kantungnya. “Pikiran yang sangat bagus, Pangeran, kau betul-betul punya otak cem erlang,” kata sang raja, “ternyata keajaiban m enolong kita lagi.” Ia pun m engeluarkan uang em asnya. Karena pengeluaran itu, boleh dikata kedua orang tersebut tak punya uang lagi, nam un kini jumlah uang di hadapan mereka tepat enam ribu dolar.
Petualangan Huckleberry Finn 219 “Dengar,” kata sang pangeran, “aku punya pikiran lain. Kita bawa sem ua ini ke atas, m enghitungnya di depan orang banyak, dan m em berikan sem uanya pada ketiga orang gadis itu.” “Astaga, Pangeran! Ingin sekali aku m em elukm u! Pikiran yang terhebat yang bisa dipikirkan m anusia. Betul-betul kau punya otak yang paling luas biasa. Oh, inilah cara terbaik untuk m enghilangkan segala kecurigaan yang m asih ada. Biarlah m ereka mencurigai kita kini, tapi caramu ini akan bisa menghapuskan sem ua!” Kam i naik ke atas. Sem ua orang berkum pul m engelilingi m eja. Sang raja m enghitung uang yang baru didapatnya. Menum puknya tiap tiga ratus dolar, menjadi dua puluh tumpukan rapi. Semua memandang tumpukan itu dengan pandangan lapar, beberapa orang menjilat-jilat bibir. Selesai dihitung, uang tadi dimasukkan kembali ke dalam karung. Sang raja membusungkan dada lagi, siap untuk mengucapkan pidato. “Kawan -kawan sem ua. Saudara kam i yan g terbarin g di sana itu telah sangat berm urah hati pada orang-orang yang ditinggalkannya di lem bah duka. Ia telah berm urah hati pada anak-anak ini, yang dicintai dan dilindunginya, yang telah ditinggalkan ayah dan ibu m ereka. Ya, kita yang tahu benar sifat alm arhum , akan m erasa yakin bahwa sebenarnya alm arhum ingin berbuat lebih murah hati lagi. Tapi ia merasa takut, takut perbuatannya akan m elukai hati saudara-saudara yang am at dicintainya, yaitu Harvey dan William . Bukankah dem ikian? Tak perlu bagiku m em ikirkan pertanyaan itu lebih lanjut, sebab aku yakin dem ikianlah halnya. Nah, saudara-saudara, m acam apakah ini yang begitu tak berjantung untuk m enghalangi m aksud yang begitu m ulia? Pam an-pam an m acam apakah kam i ini yang tega m eram pok—ya, sekali lagi m eram pok—tiga orang anak-anak m anis yang begitu dicintai oleh alm arhum ? Aku am at kenal akan hati William —setidak-tidaknya dem ikianlah dugaanku—
220 Mark Twain ia– tunggu, baik kutanya dia,” sang raja berpaling pada sang pangeran, m em beri berbagai isyarat dengan tangannya. Sang pangeran m em perhatikan isyarat-isyarat itu, beberapa saat wajahnya tak berubah, seakan-akan tak m engerti. Kem udian tiba-tiba wajah itu jadi gembira, ia melompat, mengeluarkan suara tak keruan, dengan gembira memeluk sang raja lima belas kali. Sesudah dilepaskan sang pangeran, sang raja berkata, “Aku telah tahu, kukira itu tadi cukup m eyakinkan sem ua orang tentang pendapatnya. Nah, inilah, Mary J ane, Susan, dan J oanna, am billah uang ini– am bil sem uanya! Ini adalah pem berian dari dia yang terbaring di sana itu, sudah dingin kini, tapi pasti juga akan ikut bergembira akan peristiwa ini.” Mary J ane memeluk sang raja, Susan dan si Sumbing m em eluk san g pangeran . Belum pern ah aku m elihat oran g berpelukan dan berciuman begitu gembira. Semua orang mulai mencucurkan air mata lagi, dan semua orang ingin berjabat tangan dengan kedua bajingan itu sam pai agaknya tangan m ereka akan putus. Setiap kali berjabat tangan orang-orang itu berkata, “Betapa sucinya jiwa Tuan, betapa indahnya, oh, betapa agungnya perbuatan Tuan!” Setelah itu semua orang ribut membicarakan almarhum lagi. Tentang kebaikan hatinya, dan tentang betapa sedihnya m ereka ditinggalkan almarhum. Tanpa diketahui siapa pun seseorang bertubuh besar dan berahang menonjol masuk, memasang telinga dan m em perhatikan sem ua yang sedang terjadi. Ia tak berkata sepatah pun, dan tak ada orang yang m enyapanya sebab waktu itu sang raja sedang berbicara lagi dan semua orang sibuk m endengarkan. Sang raja sedang berkata, “...karena m ereka adalah sahabat-sahabat karib alm arhum . Karena itulah mereka semua kuundang untuk makan malam nanti. Tetapi besok, kuingin agar semua datang, semua saja, sebab almarhum m enghorm ati sem ua orang, m enyukai sem ua orang, m aka sangat wajar bila orgies– pesta pem akam annya– terbuka bagi um um .”
Petualangan Huckleberry Finn 221 Begitulah, ia terus saja m engoceh dan berceloteh, agaknya sangat senang m endengarkannya sendiri. Setiap ada kesem patan ia selalu m engatakan ‘orgies’ lagi, sam pai sang pangeran tak tahan lagi. Ia m enulis pada secarik kertas: “OBSEQUIES– upacara pem akam an– goblok, pandir, bebal!” Kertas itu dilipatnya kecil- kecil, dengan mengeluarkan suara goo-goo-goo ia mengeluarkan kertas tadi pada sang raja lewat atas kepala orang-orang di sekelilingnya. Sang raja m em bacanya, m em asukkan kem bali ke sakun ya dan berkata, “William yan g m alan g, walaupun cacat, hatinya betul-betul m ulia. Ia m inta padaku agar sem ua orang diundang ke pemakaman, minta padaku agar diharapkan kehadirannya. Tapi ia tak usah khawatir, m em ang m aksudku d em ikia n .” Ia terus berbicara, sangat tenang, dan kembali mengucapkan ‘orgies’ lagi. Waktu ia m engucapkan kata itu untuk ketiga kalinya, ia m enam bahkan, “Aku m em akai istilah ‘orgies’, bukan karena itu adalah istilah yang biasa dipakai, istilah yang biasa dipakai adalah ‘obsequies’, tetapi karena orgies lebih tepat untuk digunakan. Obsequies kini tak pernah dipakai di Inggris, tak digunakan lagi. Kini di Inggris dipergunakan kata orgies. Orgies dipakai sebab lebih m enggam barkan apa yang kita m aksud. Kata itu berasal dari kata Yunani: orgo, yang berarti di luar, terbuka atau tersinar; dan kata Yunani: jeesum , yang berarti m enanam , m enutupi, jadi: m em asukkan. Nah, nyata kini bahwa orgies pem akam an berarti pemakaman terbuka atau pemakaman umum.” Tak pernah aku berjumpa dengan orang begitu licik! Orang tinggi besar yang baru datang tadi tiba-tiba tertawa terbahak- bahak keras sekali. Semua orang terkejut, semua orang berseru, “Astaga, Dokter, jangan berbuat tak sopan!” Abner Shackleford berkata pada orang itu, “Hei, Robinson, belum lah kau dengar berita? Inilah Harvey Wilks!”
222 Mark Twain Senyum sang raja m elebar, ia m engacungkan tangannya dan berkata gem bira, “Oh, inikah sahabat karib dan perawat kesehatan saudaraku? Aku...” “J angan sentuh aku!” bentak dokter itu. “Kau kira kau berbicara seperti orang Inggris, he? Tiruan terburuk yang pernah kudengar! Dan kau m engaku jadi saudara Peter Wilks! Kalian p en ip u !” Ribut seketika! Semua orang mengelilingi dokter itu, mencoba m enenangkannya. Sem ua m encoba m enerangkan padanya lebih dari empat puluh hal untuk menunjukkan bahwa kedua orang ini saudara Peter. Harvey ini juga tahu nam a sem ua orang, nam a semua anjing. Mereka memohon dan memohon agar dokter itu tak m enyakiti hati Harvey dan perasaan ketiga orang gadis itu. Tapi sem ua tak berguna. Dokter tadi dengan nekat tak m au percaya, katanya setiap orang yang m engaku orang Inggris tapi tak bisa m enirukan bahasanya sebaik dia adalah bajingan dan penipu. Gadis-gadis itu bergantung di kedua tangan sang raja. Mereka menangis. Tiba-tiba Dokter Robinson berpaling pada mereka dan berkata, “Aku sahabat ayah kalian, pun sahabat kalian. Kuperingatkan kalian sebagai seorang sahabat. Sebagai seorang sahabat yang jujur dan tak m enginginkan kalian terjerum us dalam kesulitan dan kesusahan. J angan percaya pada kedua orang ini, jangan bergaul dengan mereka, gelandangan tolol dengan bahasa Inggris dan Yunani gila, seperti katanya tadi. Ia adalah pem alsu yang paling goblok yang pernah kujum pai. Ia datang kem ari dengan nam a-nam a yang entah diam bilnya dari mana. J uga beberapa kejadian. Dan itu kalian sangka sebagai bukti. Kalian tertipu, dem ikian juga beberapa kawan di sini yang secara tolol telah m em bantu kedua penipu ini m eyakinkan kalian. Seharusnya kawan-kawan harus berpikir lebih dalam . Mary J ane Wilks, kau tahu aku sahabatm u, kau tahu aku sahabatm u yang tak pernah m engenal pam rih dalam bersahabat denganm u. Kini
Petualangan Huckleberry Finn 223 dengarkan. Usir kedua penipu yang tak patut dikasihani ini, aku minta kau mengerjakan kataku ini. Maukah kau?” Mary J ane menegakkan kepala, ia jadi bertambah cantik berlipat ganda. Katanya, “Inilah jawabku!” Diangkatnya karung uang berisi enam ribu dolar tadi dan ditaruhnya di tangan sang raja, dan berkata, “Am billah yang enam ribu dolar ini. Atur pem akam annya bagi kam i, aku dan adik-adikku, sesuka Pam an. Kam i tak m em butuhkan tanda terim a kasih untuk uang ini.” Kem udian ia m em eluk sang raja di satu sisi, Susan dan si Sum bing di sisi yang lain. Sem ua orang bertepuk tangan dan m enghentakkan kaki ke lantai hingga gem uruh suaranya. Sang raja tersenyum bangga. Dokter Robinson berkata, “Baiklah kalau begitu. Aku cuci tangan akan peristiwa ini. Tapi ingat. Suatu waktu akan datang m asanya, kalian akan jadi sakit setiap kali kalian ingat peristiwa hari ini.” Ia berpaling, keluar. “Baiklah, Dokter,” sang raja berkata m engejek, ”J ika ada yang sakit, kam i akan m em anggil Tuan!” Sem ua orang tertawa m endengar jawaban ini yang dianggap sangat tepat.
AKU MENCURI HASIL RAMPOKAN SANG RAJA SETELAH SEMUA orang pergi, sang raja bertanya pada Mary Jane tentang kamar mereka. Mary Jane berkata ada sebuah kam ar kosong yang bisa dipakai oleh Pam an William , kam arnya sendiri diberikannya pada Pam an Harvey. Kam arnya itu lebih besar dari kam ar lainnya, ia akan tidur bersam a adiknya di sebuah dipan. Di loteng terdapat sebuah bilik kecil dengan sebuah kamar jerami. Sang raja berkata bilik di loteng itu cukup untuk pelayannya, yaitu aku. Mary J ane m enunjukkan kam ar-kam ar, yang walaupun sederhana tapi sangat m enyenangkan. Bila pakaian dan beberapa barangnya yang lain m engganggu Pam an H arvey, ia akan m engam bil sem uanya itu. Tapi sang raja berkata bahwa ia tak terganggu oleh barang-barang itu. Baju, gaun, dan pakaian lain milik Mary J ane itu digantung berderet di dinding, ditutupi oleh tirai yang terbuat dari kain m ori, terjuntai hingga ke lantai. Di
Petualangan Huckleberry Finn 225 suatu sudut terdapat koper ram but yang sudah tua, dan di sudut lainnya sebuah kotak gitar. J uga terlihat benda-benda tetek bengek yang selalu m em enuhi kam ar seorang gadis. Kata sang raja barang-barang itu m alah m em buatnya m erasa kerasan, jadi tak usah dipindah tem patnya. Kam ar sang pangeran lebih kecil, tetapi cukup bagus. Begitu pun kam arku. Malam nya kam i m engadakan suatu perjam uan m akan m alam . Meriah sekali. Sem ua yang diundang datang. Aku berdiri di belakang sang raja dan sang pangeran, m elayani m ereka, orang- orang lain dilayani oleh budak-budak negro. Mary J ane duduk di kepala m eja, Susan di sam pingnya. Mereka tak habis-habisnya berkata bahwa biskuitnya jelek, m akanan sim panannya tak enak, ayam panggangnya liat, dan cacat-cacat lainnya, cara yang biasa digunakan oleh kaum wanita untuk memancing-mancing pujian. Para tam u yang tahu bahwa sem ua yang terhidang itu tak bisa dicela lagi berkata, “Oh, bagaim ana kau bisa m em buat biskuit sebagus ini?” dan ”Dari m ana kau beli acar yang lezat ini?” dan lain-lain om ong-kosong yang selalu diucapkan orang pada jamuan semacam itu. Waktu jamuan makan selesai, aku dan si Sumbing makan di dapur, m akan yang tersisa dari jam uan tersebut, sem entara saudara-saudaranya m em bantu para pelayan m em bersihkan alat- alat makan. Si Sumbing menguras segala pengetahuan tentang Inggris. Dan kerap kali aku m engalam i detik-detik berbahaya. “Pernahkah kau m elihat Sang Raja?” tanyanya. “Siapa? William IV? Tentu saja. Ia anggota gereja kam i.” Aku tahu bahwa William telah m angkat bertahun-tahun yang lalu, tapi tak kukatakan hal itu. Ketika kukatakan bahwa sang Raja pergi ke gereja kam i, ia bertanya: “Apa? Setiap Minggu ia datang?” “Ya, setiap Minggu. Bangkunya tepat berseberangan dengan bangku kami, di sebelah mimbar.”
226 Mark Twain “Bukankah ia tinggal di London?” “Mem ang. Di m ana lagi?” “Tapi, bukankah kau tinggal di Shefield?” Aku terjebak. Aku pura-pura tercekik karena m enelan tulang ayam , agar punya kesem patan untuk berpikir. Kem udian aku berkata: “Yang kumaksud, bila ia ada di Shefield setiap Minggu selalu pergi ke gereja kam i. Yaitu pada m usim panas. Waktu itu ia ke Shefield untuk mandi air laut.” “Oh, bualmu! Sheield tidak berada di tepi laut!” “Siapa yang m engatakan begitu?” “Ka u !” “Tak pernah aku berkata begitu.” “P er n a h .” “Tid a k.” “P er n a h .” “Aku tak m engatakan begitu.” “Lalu apa yang kau katakan?” “Aku berkata ia datang ke Shefield untuk mandi air laut.” “Nah, bagaim ana ia bisa m andi air laut bila tidak di tepi laut?” “Lihat kem ari,” kataku. “Pern ahkah kau m elihat air di Congress yang ditaruh di dalam tong?” “Ten t u .” “Nah, apakah kau haus ke Congress untuk m endapatkan air itu?” “Tentu saja tidak.” “Begitu juga William IV. Untuk m andi air laut ia tak usah pergi ke laut.” “Kalau tidak, bagaim ana?” “Ia m engam bil air laut itu seperti orang-orang sini m engam bil air Congress, bertong-tong. Di istananya di Sheield disediakan
Petualangan Huckleberry Finn 227 perapian untuk memanaskan air itu. Di tepi laut tak akan bisa orang m em anaskan begitu banyak air. Tak ada alatnya, sedang William ingin agar air lautnya panas.” “Aku m engerti kini. Kenapa tak kau katakan sedari tadi, jadi tak usah membuang-buang waktu.” Dengan perkataannya itu tahulah aku telah lolos dari lubang jarum . Hatiku tenteram lagi, dan gem bira. Kem udian si Sum bing bertanya lagi, “Apakah kau juga pergi ke gereja?” “Ya, setiap Minggu.” “Di m ana kau duduk?” “Di bangku kam i.” “Bangku siapa?” “Bangku kam i. Bangku pam anm u, Harvey.” “Bangkunya? Untuk apa bangku baginya?” “Untuk duduk. Untuk apa lagi?” “Wah, bukankah ia ada di m im barnya?” Terkutuk! Aku lupa bahwa ia seorang pendeta. Aku terjebak lagi. J adi terpaksa berpura-pura tertelan tulang lagi untuk berpikir. Kem udian kataku, “Astaga, kau kira di gereja kam i hanya ada seorang pendeta?” “Untuk apa banyak-banyak?” “Untuk apa? Berkhotbah di depan raja hanya dengan seorang pendeta? Belum pernah kulihat seorang gadis seperti engkau. Ada tujuh belas orang pendeta di gereja kami.” “Tujuh belas! Ya am pun! Tak akan tahan aku m enghadiri gereja seperti itu, walaupun terpaksa habis dalam seminggu.” “Wah, m ereka tak berkhotbah sem ua dalam sehari itu. Hanya seor a n g.” “Nah, lalu apa kerja yang lainnya?” “Oh, tak ban yak kerjan ya. Berkelilin g, m en gum pulkan sum bangan, dan kerja sam pingan lainnya. Tapi kebanyakan m ereka hanya m enganggur.”
228 Mark Twain “Lalu untuk apa sebanyak itu?” “Agar lebih sem purna. Astaga, apakah kau tak tahu apa-apa sama sekali?” ”Aku tak in gin m en getahui ketololan sem acam itu. Bagaim anakah pelayan diperlakukan di Inggris? Lebih baik daripada perlakuan orang di sini terhadap budak-budak negro?” “Tidak! Seorang pelayan sam a sekali tak dianggap m anusia di sana. Mereka diperlakukan lebih jelek daripada anjing.” “Tidak diberi hiburan seperti kita di sini, m isalnya Natal, minggu tahun baru, dan ulang tahun kemerdekaan tanggal empat J uli?” “Oh, nyata sekali bahwa kau belum pernah ke Inggris. Mereka sam a sekali tak punya hari libur dari awal tahun sam pai akhir. Mereka tak boleh ke sirkus, ke gedung sandiwara, ke pertunjukan orang negro, atau ke mana saja.” “J uga ke gereja?” “J uga ke gereja!” “Tapi kau selalu pergi ke gereja.” Astaga, aku lupa bahwa aku jadi pelayan si tua itu. Cepat- cepat kubuat jawaban berbelit-belit untuk menerangkan bahwa aku ini bujang, yang banyak berbeda dari seorang pelayan biasa. Seorang bujang malah diharuskan pergi ke gereja, mau atau tidak, dan harus duduk bersam a keluarga tuannya. Tapi agaknya sulit sekali m eyakinkan anak itu. Ia bertanya, “Dem i kejujuran, apakah kau tidak menceritakan kebohongan saja semua ini padaku?” “Dem i kejujuran!” “Sam a sekali kau tak berdusta?” “Sam a sekali. Tak pernah aku berdusta sekali pun.” “Letakkan tanganm u di buku ini, katakan bahwa kau tak berdusta.” Kulihat buku yang dim aksud hanyalah buku kam us, jadi kuletakkan tanganku pada buku itu dan kukatakan apa yang
Petualangan Huckleberry Finn 229 dim intanya. Mendengar itu J oanna terlihat sedikit lega, dan berkata, “Baiklah, kalau begitu akan kupercayai beberapa bagian dari ceritamu. Mudah-mudahan Tuhan memperkenankan aku p e r ca ya .” “Apa yang tak bisa kau percayai, J o?” tanya Mary J ane yang datang bersam a Susan. “Salah sekali dan tak baik bila kau berkata begitu padanya. Ia seorang asing di sini, jauh dari keluarganya. Maukah kau diperlakukan seperti itu?” “Begitulah kau selalu, Maim . Selalu m enolong seseorang sebelum orang itu terluka hatinya. Ia tak kuapa-apakan. Kukira ia menceritakan beberapa isapan jempol, dan kukatakan aku tak m au percaya cerita seluruhnya.” “Tak peduli apakah kau m enyakiti hatinya, sedikit atau ba- nyak. Ia berada di rum ah kita dan seorang asing, tak pantas bila kau berkata begitu. Coba, kalau kau jadi dia, bukankah kau akan m alu? Karena itu kau tak boleh m engatakan sesuatu yang bisa membuat malu orang lain.” “Tapi, Maim , ia berkata....” “Tak peduli apa katanya, itu tak penting. Yang penting kau harus m em perlakukannya dengan baik. Kau tak boleh m enga- takan apa-apa yang m em buatnya teringat bahwa ia tak berada di negerinya sendiri dan tak berada di antara bangsanya.” Aku berkata pada diriku sendiri, inilah gadis yang akan kubiarkan dirampok oleh kedua binatang melata itu. Susan ikut-ikutan memarahi J oanna, hingga si Sumbing itu mati kutu. Kataku pada diriku lagi, inilah yang kubiarkan lagi diram pok bajingan tua itu. Kem bali Mary J ane am bil giliran, kini dengan nasihat- nasihat yang m anis dan lem but, yang m em ang m erupakan kebiasaannya bila berbicara. Serangan terakhir ini m erem ukkan hati si Sumbing. Terpaksa ia menangis.
230 Mark Twain “Sudahlah,” kata kedua saudaranya, “kini m intalah m aaf p a d a n ya .” Si Sumbing meminta maaf padaku, tulus sekali. Senang untuk m endengarkan kata-katanya. Betapa senangnya bila aku bisa meceritakan seribu dusta lagi agar ia mau minta maaf pula. Dan terpikir pula olehku, ini satu lagi yang kubiarkan diram pok uangnya. Selesai J oanna m inta m aaf, bertiga m ereka berusaha m enyenangkan hatiku, agar aku kerasan dan tahu bahwa aku berada di antara sahabat-sahabat. Makin lama aku makin benci pada diriku sendiri, terasa betapa berdosa dan jahatnya aku ini. Aku m engam bil keputusan, apa pun yang akan terjadi, akan kuambil uang itu dari sang raja dan sang pangeran. Dengan keputusan itu aku melepaskan diri dari ketiga gadis itu dengan dalih akan pergi tidur, artinya aku akan tidur tapi entah kapan. Setelah sendirian, kupikirkan apa yang akan kukerjakan. Apakah tidak lebih baik bila diam -diam aku pergi ke Dokter Robinson dan membuka rahasia para penipu itu? Tidak, tak akan baik jadinya. Dokter itu m ungkin akan m engatakan siapa yang telah m em buka rahasia, dan sang raja serta sang pangeran pasti akan m em balas dendam padaku. Bagaim ana kalau diam-diam aku memberitahukan Mary J ane? Tidak, aku tak berani. Wajah gadis itu sangat polos. Sang pangeran dan sang raja pasti akan tahu bahwa sesuatu yang tak beres telah terjadi, dan m ereka akan pergi dengan m em bawa uang ram pokannya. Bila Mary J ane m inta bantuan untuk m enangkap kedua penipu itu, pasti aku akan ikut menerima hukuman sebelum ia sempat m enerangkan duduk perkaranya. Tidak, bahwa ada satu cara yang baik. Entah bagaim ana aku harus m encuri uang itu, tanpa ada yang m encurigaiku. Sang raja dan sang pangeran tak akan tergesa-gesa meninggalkan tempat ini, sebab mereka pasti tak akan sam pai hati m eninggalkan sum ber kekayaan yang dem ikian baiknya, m ereka akan m em eras habis sem ua yang ada. J adi
Petualangan Huckleberry Finn 231 akan banyak kesem patan bagiku untuk m engam bil uang itu. Akan kucuri dan kusem bunyikan di suatu tem pat. Kelak bila aku telah jauh berada di hilir sungai, aku akan berkirim surat pada Mary J ane m enunjukkan tem pat persem bunyian uangnya. Tapi agaknya lebih baik bila uang itu kusem bunyikan m alam ini. Aku tak bisa m enduga berapa banyak yang sudah diketahui oleh Dokter Robinson, mungkin ia berhasil menakut-nakuti kedua penipu itu hingga mereka melarikan diri lebih cepat. J adi, sekaranglah saatnya untuk m encari dan m enggeledah kamar mereka. Gang di tingkat atas gelap, tapi bisa kutentukan kam ar sang pangeran. Aku m eraba-raba di dalam nya sam pai aku teringat bahwa tak mungkin sang raja mau menitipkan uangnya pada orang lain, jadi kutinggalkan kam ar sang pangeran, pergi ke kamar raja. Di sana aku pun meraba-raba dalam gelap. Rasanya tanpa m enggunakan lilin tak m ungkin tujuanku tercapai, tetapi tentu saja aku tak berani m enyalakan lilin. J adi aku cari cara yang lebih m udah, yaitu m enunggu sam pai m ereka m asuk dan m engintai di m ana tem pat m ereka m enyem bunyikan uang itu. Baru saja aku berpikir begitu, kudengar suara langkah kaki m endekat. Kupikir aku harus segera m enyusup ke bawah tem pat tidur. Tapi ternyata tem pat tidur itu tidak di tem pat yang kuperkirakan. Tanganku bukan m enyentuh tem pat tidur, m elainkan m enyentuh tirai kain yang dipakai untuk m enutupi pakaian Mary J ane. Tak ada waktu lagi, aku m enyuruk m asuk di antara gaun-gaun yang banyak itu dan m enahan napas. Sang raja dan sang pangeran m asuk, m enutup pintu. Yang dikerjakan sang pangeran mula-mula ialah melihat ke bawah tem pat tidur. Gem bira sekali aku tadi tak bersem bunyi di sana. Mem ang bawah tem pat tidur adalah tem pat yang terpikir m ula- m ula bila kita akan bersem bunyi. Kedua orang itu duduk, dan sang raja bertanya, “Ada apa? Cepat katakan dengan ringkas, sebab lebih baik bila kita berada di bawah sana membuat orang
232 Mark Twain makin berduka daripada kita di sini sehingga orang-orang itu bisa membicarakan kita.” “Begini, Capet. Aku m erasa khawatir. Dokter itu m engganggu pikiranku. Aku punya usul yang baik.” “Apa itu, Pangeran?” “Lebih baik bila kita m eninggalkan tem pat ini jam tiga nanti, cepat-cepat m enghilir sungai dengan apa yang telah kita dapat. Lagi pula uang itu kita dapat dengan cara halal, diberikan ke kepala kita, bahkan boleh kata dilemparkan ke kepala kita, walaupun sebelum nya kita punya rencana untuk m encurinya kem bali. Aku m engusulkan m eninggalkan tem pat ini dengan segera.” Aku jadi bingung. Satu atau dua jam yang lalu tak banyak tim bul persoalan, tetapi rencana yang begitu m endadak itu m em buat rencanaku sendiri buyar. Sang raja m em bentak, “Apa? Tanpa m enjual harta yang lain? Pergi bagaikan sepasang orang tolol yang m eninggalkan harta berharga delapan atau sem bilan ribu dolar yang sudah m enunggu untuk diciduk? Sem uanya mudah dijual pula.” Sang pangeran m enggerutu, katanya sekarang uang em as sudah cukup baginya, ia tak ingin lebih kaya lagi. Ia tak ingin m eram pok para yatim piatu itu sam pai licin tandas. “Oh, om on gm u!” tukas san g raja. “Kita tak m eram pok m ereka sam pai licin tandas. Yang kita curi dari m ereka hanya uang ini. Orang yang m em beli harta benda itulah nanti yang akan m enanggung rugi, sebab segera setelah ternyata bahwa kita bukanlah pem ilik yang sebenarnya—yang akan segera diketahui begitu kita lenyap—penjualan akan batal m enurut hukum , sem ua akan dikem balikan pada pem iliknya. Anak yatim piatu ini akan m endapatkan kem bali rum ahnya, dan itu cukup bagi m ereka. Mereka masih muda dan kuat, masih bisa bekerja untuk mencari nafkah. Pikir saja, m asih banyak orang yang tak sebaik m ereka keadaan hidupnya.”
Petualangan Huckleberry Finn 233 Akhirnya sang raja berhasil m eyakinkan sang pangeran, walaupun sang pangeran masih berpendapat sangat tolol untuk tinggal di tem pat itu lebih lam a dengan terus dibayang-bayangi oleh Dokter Robinson. “Terkutuklah dokter itu. Tapi untuk apa kita pedulikan dia? Bukankah kita telah m endapat dukungan dari banyak sekali orang di kota ini? Bukankah jum lah yang percaya pada kita jauh lebih banyak daripada yang tidak percaya?” Mereka berdua siap untuk turun ke bawah, ketika sang pangeran berkata, “Tunggu, kukira tem pat kita m enyim pan uang itu tak begitu baik.” Bagus, pikirku. Kukira tadi aku tak akan m udah m enem ukan di m ana m ereka yang m enyim pan uang itu. “Men ga p a ?” “Mulai besok Mary J ane akan selalu berpakaian berkabung. J adi ia tak akan memakai pakaian-pakaian bagus ini. Pasti ia akan m enyuruh budak negronya untuk m em bereskan pakaian-pakaian ini dan m em asukkannya ke dalam peti. Apa kau kira seorang negro bisa menjumpai sekarung uang tanpa meminjam beberapa dolar darinya?” “Otakm u berjalan dengan baik, Pangeran,” kata sang raja. Ia meraba-raba di bawah tirai dua atau tiga kaki dari tempatku bersem bunyi. Aku m erapatkan diri ke dinding, m encoba untuk berdiam diri walau kurasakan seluruh tubuhku gem etar. Apa yang akan dilakukan m ereka bila aku ketahuan, apa yang kukatakan pada m ereka bila aku tertangkap, apa yang akan kukerjakan. Tapi sang raja telah m enem ukan kantung uangnya sebelum aku selesai berpikir, dan agaknya ia tak m enaruh curiga bahwa aku berada di situ. Kantung itu dim asukkannya ke dalam kasur jeram i yang terletak di bawah kasur bulu, m em asukkannya satu atau dua kaki di antara jerami-jerami itu. Mereka puas dengan tempat itu, sebab seorang budak hanya akan m em bereskan kasur bulu,
234 Mark Twain sedang kasur jeram i hanya akan dibalik dua kali dalam setahun, jadi tak ada bahaya uang itu akan ditem ukan tanpa sengaja. Tapi aku lebih sigap. Sebelum kedua orang itu mencapai pertengahan tangga ke bawah, kantung uang itu telah kuambil. Aku m eraba-raba dalam kegelapan m enuju bilikku di loteng, m enyem bunyikan uang itu di sana sebelum aku m endapatkan tem pat persem bunyian lain yang lebih baik. Kukira tem pat persem bunyian yang baik ialah di luar rum ah, sebab bila kehilangan ini sudah diketahui, kedua orang itu pasti akan m enggeledah seluruh rum ah. Aku tahu itu. Aku tidur tanpa membuka pakaianku. Tapi aku tak bisa tertidur, begitu gelisah aku untuk m enyelesaikan rencanaku. Akhirnya kudengar raja dan pangeran naik ke tingkat atas. Aku berguling dari kasurku, meletakkan daguku di puncak tangga bilik, menunggu kalau- kalau terjadi sesuatu. Tetapi tak terjadi apa-apa. Aku terus berjaga sam pai rum ah benar-benar sunyi. Lalu aku turun tanpa mengeluarkan suara.
MAYAT PETER MENYIMPAN UANGNYA KEMBALI AKU MERAMBAT hingga ke pintu kam ar kedua orang itu, dan m em asang telinga. Mereka berdua telah tidur. Aku berjingkat, berhati-hati sekali, dan mencapai tingkat bawah dengan selamat. Tak ada suara apa pun. Aku m engintai m elalui sebuah celah di pintu ruang tengah. Kulihat orang-orang yang m enjaga m ayat sudah tidur pulas di kursi masing-masing. Pintu ke ruang tamu tem pat peti m ayat, terbuka. Aku m elewati ruang tengah, yaitu ruang m akan m alam tadi. Kulihat tak ada seorang pun di ruang tam u kecuali m ayat Peter, jadi aku m asuk ruang tam u itu m enuju ke pintu. Tapi ternyata pintu depan terkunci dan kuncinya tak ada di tem patnya. Tepat saat itu kudengar seseorang m enuruni tangga di belakangku. Aku m elihat ke sekeliling ruang tam u itu, m encari tem pat persem bunyian untuk uangku. Satu-satunya yang tam pak olehku hanyalah peti itu. Tutup peti m ati itu tergeser kira-kira satu kaki, hingga terlihat wajah almarhum, tertutup
236 Mark Twain oleh selem bar kain basah, dan kain kafannya. Aku selundupkan kantung uang tadi jauh di bawah tutup peti mati, di bawah tangan alm arhum yang bersilang. Berdebar hatiku, tersentuh olehku tangannya yang dingin itu. Aku berlari kem udian, ke balik pintu. Yan g datan g tern yata Mary J an e. Perlahan sekali ia m endekati peti m ati dan berlutut, m elihat pada wajah pam annya. Ia mengangkat sapu tangan, mulai menangis, walaupun tak ku- dengar suaranya dan ia m em belakangiku. Aku m enyelinap keluar, waktu m elewati kam ar m akan kupikir aku harus m eyakinkan diri bahwa para penjaga tadi tak m elihatku m asuk. Kuintai m ereka dari celah pintu. Tapi sem ua beres. Tak ada di antara m ereka yang bergerak. Aku m enyelinap m asuk ke bilikku, pikiranku kacau sebab rencanaku buyar berantakan setelah aku bersusah payah dan m enem puh bahaya untuk m elaksanakannya. Bila saja uang itu tak akan berpindah dari tem patnya, bereslah, bila aku telah berada seratus mil atau dua ratus mil di hilir aku bisa menulis surat pada Mary J ane agar ia m em buka kem bali kubur pam annya untuk m endapatkan uangnya. Tapi rasanya tak akan terjadi seperti rancanganku. Uang itu akan ditemukan pada saat tutup peti m ati itu akan dipaku. J adi setelah aku bersusah payah, uang itu akan kembali ke tangan raja, dan akan lebih sulit lagi untuk dicuri. Tentu saja aku ingin turun kembali untuk memindahkan uang tersebut, tapi aku tak berani. Menit-menit berlalu dengan cepat, hari mulai mendekati pagi, para penjaga pasti sudah ada yang terbangun, besar kem ungkinan aku akan tertangkap dengan enam ribu dolar di tanganku karena tak ada yang m em erintahkan padaku untuk m enyim pan uang itu. Aku tak ingin terlibat dalam kejadian seperti itu. Ketika pagi harinya aku turun, ruang tam u telah ditutup, para penjaga telah pergi. Tak ada seorang pun kecuali anggota keluarga dan Nyonya J anda Bertley serta gerom bolanku. Kuperhatikan
Petualangan Huckleberry Finn 237 wajah mereka untuk mengetahui apakah telah terjadi sesuatu yang luar biasa. Tapi tak tam pak apa-apa pada wajah m ereka. Menjelang tengah hari, pengurus jenazah dan pem bantunya datang. Mereka m enaruh peti m ayat itu di tengah ruangan, di atas dua buah kursi. Mereka juga mengatur semua kursi dalam rumah itu berderet-deret, berlapis-lapis. Kursi-kursi tetangga dipinjam untuk keperluan serupa hingga ruang makan, ruang tamu dan seram bi penuh. Kulihat, tutup peti m ayat m asih tetap seperti tadi m alam , tapi aku tak berani m elihat ke dalam nya, sebab terlalu banyak orang. Orang-orang m ulai berdatangan. Kedua bajingan dan para gadis Wilks duduk di barisan kursi terdepan, dekat kepala peti m ayat. Selam a satu setengah jam orang berjalan perlahan satu persatu m enengok jenazah alm arhum . Ada yang m eneteskan air m ata, hening dan khidm at. Hanya terdengar sedu sedan para gadis Wilks itu dan kedua orang penipu di samping mereka, kelima orang itu menundukkan kepala, menutupi mata dengan sapu tangan. Suara lainnya hanyalah suara geseran kaki dan suara orang m em bersitkan hidung. Agaknya orang paling senang membersitkan hidung pada upacara-upacara pemakaman daripada di tempat-tempat lain dengan perkecualian di gereja. Waktu tem pat duduk telah penuh sem ua, pengurus jenazah m enyelinap ke sana-kem ari, m engatur agar sem ua orang bisa duduk dengan senang dan lega, mengatur semua persiapan, de- ngan gerak geriknya yang selem but gerak-gerik kucing. Pengurus jenazah itu tak pernah m engeluarkan perkataan sepatah pun, digiringnya orang-orang ke tem pat-tem pat yang telah disediakan, pendatang-pendatang terlam bat dijejal-jejalkannya di tem pat yang tadinya tam pak tak m uat lagi, dibukanya jalan-jalan yang dibutuhkan oleh orang-orang yang berkelom pok. Sem ua itu dikerjakannya hanya dengan anggukan dan isyarat tangan; tangan yang m em akai sarung tangan hitam . Setelah sem ua
238 Mark Twain dirasanya beres, baru ia m engam bil tem patnya sendiri, bersandar ke dinding. Tak pernah kulihat orang yang begitu lincah tapi lembut, bisa bergerak licin dan selalu waspada. Dan tak ada orang yang tersenyum padanya. Sebuah harm onika yang telah agak sum bang suaranya dipinjam dari tetangga. Ketika sem uanya siap, seorang wanita m uda duduk dan m ulai m em ainkannya. Suara harm onika itu berderit-derit bagaikan suara orang sakit. Dengan diiringi harm onika itu, sem ua orang m enyanyi. Menurut pendapatku, hanya Peter-lah yang beruntung karena tak harus m enyanyi m engikuti harm onika itu. Selesai m enyanyi, Tuan Pendeta Hobson m em ulai khotbahnya, perlahan dan penuh khidm at. Tepat pada saat yang sam a suatu keributan m aha hebat terdengar dari arah gudang di bawah tanah. Suara seekor anjing, tapi ributnya tak kepalang tanggung, dan tak m au berhenti pula. Sang pendeta terpaksa menunggu, termenung dekat kepala peti m ayat, sebab suaranya tak akan terdengar karena terbenam oleh suara ribut anjing itu. Sem ua bingung, tak tahu apa yang akan dikerjakan. Tetapi segera terlihat pengurus jenazah yang berkaki panjang itu m em beri isyarat ‘J angan khawatir, serahkan saja padaku’ pada Tuan Pendeta. Tanpa bersuara ia mulai m enyusuri tem bok, hanya bahunya saja yang terlihat di atas kepala orang banyak itu. Ia terus m enyusuri tem bok ruangan itu, sementara keributan makin lama makin hebat di dalam gudang di bawah tanah. Akhirnya dua dinding telah dilewati si pengurus jenazah, dan ia lenyap m asuk ke dalam gudang. Kira-kira dua detik kemudian semua orang mendengar suara gedebuk, diikuti oleh suara lolongan dan dengkingan yang luar biasa kerasnya. Sesudah itu keadaan sunyi senyap. Tuan Pendeta m eneruskan khotbahnya, m enyam bung kata-kata khidm atnya yang terputus tadi. Satu atau dua m enit berlalu, baru pengurus jenazah tadi m uncul, punggung dan bahunya tam pak m eluncur di atas kepala
Petualangan Huckleberry Finn 239 orang banyak, m enyusuri tiga dinding ruangan itu, baru ia berdiri tegak setinggi tubuh yang sebenarnya, dengan m enutupi mulut dengan tangan, ia menjulurkan kepala hingga mencapai dekat telinga tuan pendeta, berbisik dengan suara keras hingga sem ua orang m endengar, “Anjing itu m enangkap seekor tikus!” Ia membungkuk lagi, meluncur sepanjang dinding kembali ke tem pat duduknya. Bisikannya tadi untuk m em uaskan hati sem ua orang yang m em ang ingin tahu apa yang m enyebabkan anjing di gudang itu begitu ribut. Suatu perbuatan sederhana, yang tak membuat rugi siapa pun, tapi berdasarkan perbuatan sederhana itulah seseorang akan menjadi terkenal. Setelah waktu itu tak ada yang lebih dihorm ati orang di kota kecil itu kecuali si pengurus jen a za h . Khotbah pem akam an cukup baik, nam un terlalu panjang dan melelahkan. Setelah khotbah selesai, sang raja ikut-ikut berkhotbah dengan om ong kosongnya seperti biasa. Akhirnya selesai juga pidatonya, si pengurus jenazah m enyelinap ke dekat m ayat, m ulai m em asang sekerup dan m em utarnya hingga terpancang kuat. Aku gelisah, kuperhatikan baik-baik pengurus jenazah itu. Tapi ia tak banyak tingkah, m endorong tutup peti hingga rapat, dan m em asang sekerupnya. Astaga, jadi aku tak tahu apakah uang m asih ada di sana atau tidak. Bagaim ana kalau seseorang telah mengambil uang itu dengan diam-diam? Apakah aku m asih perlu atau tidak m enulis surat pada Mary J ane? Misalkan ia menerima suratku, kemudian menggali kubur pam annya, tapi ternyata uang itu tak ada, apa pikirannya tentang diriku? Terkutuk! Pasti aku akan diburu dan dipenjarakan. Yah, paling baik aku tutup mulut saja, tak menulis apa-apa. Rencanaku betul-betul kacau, kini m akin berantakan lagi. Betapa senangnya bila aku tak begitu usil untuk ikut campur urusan ini. Peter selesai dikubur, kam i pulang. Aku m ulai m em per- hatikan setiap wajah lagi. Terpaksa, aku gelisah terus. Tetapi wajah-wajah itu tak m engisyaratkan apa-apa padaku.
240 Mark Twain Sore harinya sang raja berkunjung pada para tetangga, bercengkeram a dengan m ereka dan m em buat dirinya m akin dikenal. Ia juga m engatakan pada sem ua orang bahwa jem aatnya di Inggris akan gelisah m enunggunya, karena itu ia akan membereskan semua persoalan harta warisan Peter, kemudian bergegas pulang. Ia sangat m enyesal tak bisa tinggal terlalu lam a, begitu juga sem ua orang yang diajaknya bicara. Orang-orang itu juga ingin agar sang raja dan sang pangeran tinggal lebih lama di situ, namun mereka maklum bahwa hal itu tak mungkin. Sang raja berkata tentu saja ia dan William akan mengajak Mary J ane, Susan, dan J oanna pulang ke Inggris. Ini membuat semua orang gembira, sebab dengan begitu para gadis itu akan terjamin hidupnya, lagi pula m ereka akan hidup di antara sanak keluarga m ereka sendiri. Ketiga gadis itu juga sangat gem bira, hingga m ereka sam a sekali lupa akan segala kesedihan yang pernah mereka derita. Gadis-gadis itu malah mendesak sang raja untuk menjual semua benda warisan secepat dan sekehendak penipu- penipu itu. Begitu gem bira dan bahagia ketiga gadis tadi, sakit rasanya hatiku m engetahui bahwa sebenarnya m ereka ditipu m entah-m entah. Tapi aku tak punya cara baik untuk m engubah apa yang sedang terjadi. Ya am pun, betul-betul saat itu juga raja m engum um kan bahwa rumah, semua budak negro, dan semua harta benda akan dilelang. Hari penjualannya dua hari setelah pem akam an, tapi yang berm inat bisa m em beli barang-barang yang m ereka kehendaki sebelum waktu itu. Sehari setelah upacara pemakaman, kegembiraan para gadis itu mendapat goncangan pertama. Dua orang saudagar budak datang, sang raja m enjual sem ua negro yang ada dengan harga yang pantas dan akan dibayar dengan wesel tiga hari kemudian. Dua anak negro dikirim ke Memphis, ibu mereka ke Orleans. Mengharukan sekali perpisahan antara budak negro
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164
- 165
- 166
- 167
- 168
- 169
- 170
- 171
- 172
- 173
- 174
- 175
- 176
- 177
- 178
- 179
- 180
- 181
- 182
- 183
- 184
- 185
- 186
- 187
- 188
- 189
- 190
- 191
- 192
- 193
- 194
- 195
- 196
- 197
- 198
- 199
- 200
- 201
- 202
- 203
- 204
- 205
- 206
- 207
- 208
- 209
- 210
- 211
- 212
- 213
- 214
- 215
- 216
- 217
- 218
- 219
- 220
- 221
- 222
- 223
- 224
- 225
- 226
- 227
- 228
- 229
- 230
- 231
- 232
- 233
- 234
- 235
- 236
- 237
- 238
- 239
- 240
- 241
- 242
- 243
- 244
- 245
- 246
- 247
- 248
- 249
- 250
- 251
- 252
- 253
- 254
- 255
- 256
- 257
- 258
- 259
- 260
- 261
- 262
- 263
- 264
- 265
- 266
- 267
- 268
- 269
- 270
- 271
- 272
- 273
- 274
- 275
- 276
- 277
- 278
- 279
- 280
- 281
- 282
- 283
- 284
- 285
- 286
- 287
- 288
- 289
- 290
- 291
- 292
- 293
- 294
- 295
- 296
- 297
- 298
- 299
- 300
- 301
- 302
- 303
- 304
- 305
- 306
- 307
- 308
- 309
- 310
- 311
- 312
- 313
- 314
- 315
- 316
- 317
- 318
- 319
- 320
- 321
- 322
- 323
- 324
- 325
- 326
- 327
- 328
- 329
- 330
- 331
- 332
- 333
- 334
- 335
- 336
- 337
- 338
- 339
- 340
- 341
- 342
- 343
- 344
- 345
- 346
- 347
- 348
- 349
- 350
- 351
- 352
- 353
- 354
- 355
- 356
- 357
- 358
- 359
- 360
- 361
- 362
- 363
- 364
- 365
- 366
- 367
- 368
- 369
- 370
- 371
- 372
- 373
- 374
- 375
- 376
- 377
- 378
- 379
- 380
- 381
- 382
- 383
- 384
- 385
- 386
- 387
- 388
- 389
- 390
- 391
- 392
- 393
- 394
- 395
- 396