AKU BERHASIL MENGELABUI BAPAK DAN MELARIKAN DIRI “BANGUN! SEDANG apa kau!” Aku m em buka m ata dan m elihat sekeliling. Mula-m ula tak tahu aku berada di m ana. Matahari telah terbit. Agaknya aku jatuh tertidur. Bapak berdiri di depanku, wajahnya m uram dan agaknya juga sakit. “Untuk apa senapan ini?” ia bertanya. Kupikir pastilah ia telah lupa akan perbuatannya sem alam , m aka aku m enjawab, “Ada orang m encoba untuk m asuk. Aku bersiap-siap untuk m enyam butnya.” “Mengapa tak kau bangunkan aku?” “Telah kucoba, tapi Bapak sam a sekali tak bergerak.” “Nah, baiklah. J angan ngom ong saja di situ, keluarlah dan lihat kalau-kalau ada ikan di kail kita untuk sarapan. Aku akan m enyusul nanti.” Bapak m em buka pintu dan aku keluar m enuju ke tepi sungai. Kulihat banyak sekali batang-batang kayu hanyut, m aka aku tahu
42 Mark Twain bahwa air sungai telah naik. Bila saja aku berada di kota, sudah pasti aku banyak m endapat uang. Kenaikan air sungai pada bulan J uni selalu menguntungkan aku, sebab begitu air sungai naik, banyak sekali batang kayu dan kayu-kayu bekas rakit hanyut, kadang-kadang dua belas batang balok kayu sekaligus telah terikat rapi hingga dengan m udah bisa kubawa ke penjual kayu api atau ke tempat penggergajian untuk kujual. Aku berjalan sepanjang tepi sungai, sebelah m ata m em - perhatikan kalau-kalau Bapak keluar, yan g sebelah lagi m em perhatikan barang-barang yang hanyut di sungai. Tiba-tiba tampak olehku sebuah biduk ramping, bagus sekali, dengan panjang kira-kira em pat m eter, hanyut cepat bagaikan seekor bebek. Tak berpikir panjang lagi aku terjun ke sungai, tanpa membuka pakaian terlebih dahulu, berenang ke arah biduk itu. Tadinya kukira itu hanya suatu tipuan, biasanya seseorang tidur diam -diam di dasar biduk dan m enghanyutkan diri, nanti bila ada seseorang mendekat, orang tadi akan bangkit dan menertawakan si pendatang. Nam un ternyata kali ini tidak. Betul-betul sebuah biduk yang hanyut! Aku cepat naik ke dalam nya dan berdayung ke tepi. Pikirku, Bapak pasti sangat gem bira m endapat ini. Harganya pastilah tak kurang dari sepuluh dolar. Tapi ketika aku sampai ke tepi, Bapak belum kelihatan. Aku m endayung biduk itu m asuk ke sebuah anak sungai kecil yang tertutup rapat oleh tum buhan sulur-suluran, dan muncullah sebuah pikiran lain di otakku. Lebih baik kusem bunyikan saja biduk itu, hingga nanti bila aku berhasil lari tak perlu aku susah payah berjalan kaki, nam un m enghilir sungai ini dengan biduk. Kira-kira lim a puluh m il saja bebas sudah. Tem pat aku m enyem bunyikan biduk itu dekat sekali dengan pondok, dan aku m erasa takut kalau-kalau Bapak m engetahui perbuatanku, tapi ternyata tidak. Dari balik sem ak-sem ak kulihat Bapak berada di ujung jalan setapak, sedang m engincar seekor burung dengan bedilnya. J adi ia sam a sekali tak m elihatku.
Petualangan Huckleberry Finn 43 Waktu Bapak m endekat, aku sedang sibuk m enarik sebuah tali kail. Aku dim arahinya karena terlalu lam a, tapi kujawab bahwa aku baru saja terjatuh ke sungai. Aku tahu ia pasti akan bertanya m engapa pakaianku basah kuyup, jadi jawabannya sudah tersedia. Kam i m endapat lim a ekor ikan besar dan pulang. Selesai sarapan, kam i berbaring untuk tidur. Aku berpikir alangkah baiknya bila saja aku m endapatkan suatu cara agar Bapak m aupun Nyonya J anda tak dapat m engikuti jejakku. Itu akan lebih daripada m enyandarkan nasib, karena m ungkin sebelum nya apa saja bisa terjadi. Beberapa saat aku tak m endapatkan jalan yang cukup baik, sam pai saat Bapak bangkit untuk m inum air dan berkata, “Bila orang yang kem arin datang lagi, bangunkan aku, m engerti? Orang itu pasti akan berbuat kurang ajar di sini. Akan kutem bak dia. Bangunkan aku bila ia datang lagi!” Bapak segera tertidur lagi, tapi kata-katanya tadi m em beri suatu ilham padaku. Kini aku bisa lari tanpa seorang pun akan mengikuti aku. Kam i terbangun kira-kira pukul dua belas. Berdua kam i pergi ke tepi sungai. Air telah pasang tinggi sekali, dan berbagai kayu tam pak hanyut. Tam pak sebagian dari rakit balok kayu hanyut, terdiri dari sem bilan batang kayu yang diikat erat. Bapak dan aku segera turun ke biduk untuk m engejar rakit itu, lalu m enariknya ke pinggir. Kem udian kam i m akan siang. Orang lain pastilah m enunggu dulu kalau-kalau ada lagi rakit kayu yang hanyut, tetapi Bapak tidak, sem bilan balok kayu itu sudah cukup baginya untuk segera pergi ke kota dan m enjualnya. Maka kira-kira setengah em pat, aku dikuncinya di dalam rum ah, dan ia berangkat ke kota di seberang sungai, naik perahunya dan m enyeret rakit tadi. Kukira ia tak akan pulang nanti m alam . Kutunggu sam pai ia berada jauh di tengah sungai baru kukeluarkan gergajiku dan m ulai bekerja. Sebelum Bapak m encapai pantai seberang, aku telah berada di luar pondok. Bapak dan rakitnya hanya setitik hitam di kejauhan.
44 Mark Twain Kuam bil karung tem pat jagung, kubawa ke bidukku yang tersem bunyi di balik sem ak-sem ak rapat. Selesai m enaruh karung itu, aku mulai mengangkuti barang-barang lain dari rumah. Daging, guci wiski, sem ua gula dan kopi yang ada, sem ua m esiu serta kertas sumbat peluru. Ember dan tempat air juga kuambil, gayung dan sebuah cangkir seng, gergajiku dan dua lem bar selim ut, tem pat penggorengan dan ceret kopi. Aku am bil juga tali-tali kail, korek api, dan lain-lain. Pokoknya sem ua benda yang berharga lebih dari satu sen. Pondok itu kubersihkan dari semua barang. Aku m em erlukan sebuah kapak, tetapi hanya ada satu kapak, yaitu kapak di tem pat kayu bakar, dan kapak itu terpaksa harus kutinggalkan. Paling akhir kuam bil senapan Bapak. Tanah di sekitar rum ah banyak sekali m enunjukkan bekas- bekas kesibukanku tadi, setelah m enyereti barang-barang dari lubang yang kubuat di dinding. Kuhilangkan jejak-jejak itu sebaik mungkin dengan menaburkan debu, hingga tanah bekas maupun serbuk gergaji tak terlihat lagi. Kupasang lagi balok kayu dinding yang tadi kupotong di tem patnya sem ula, kutaruh dua buah batu di bawahnya dan sebuah lagi untuk pengganjal karena tem pat itu kini agak m elengkung dan tak m enyentuh tanah. Dari jarak empat atau lima kaki tak akan tampak bahwa tempat itu pernah digergaji, lagi pula tempat itu berada di belakang pondok, jadi kecil kemungkinan akan diselidiki orang. Dari pondok ke biduk tanahnya berum put, jadi di situ aku tak m eninggalkan jejak. Aku m em perhatikan berkeliling. Aku pergi ke tepi sungai, m em perhatikan ke seberang. Sem uanya beres, tak ada tanda-tanda bahaya. Dengan m em bawa bedil Bapak, aku m asuk ke dalam hutan. Aku sedang m encari burung ketika m endadak kulihat seekor babi liar. Babi peliharaan cepat sekali menjadi babi liar di daerah itu, asal saja lepas dari peternakan segera juga m enjadi liar. Aku tem bak babi itu dan kubawa ke pondok.
Petualangan Huckleberry Finn 45 Dengan kapak, kuhancurkan pintu pondok. Kubawa babi tadi m asuk sam pai dekat m eja. Di situ kugorok lehernya, dan kubiarkan darahnya m em basahi lantai tanah pondok. Kem udian kuambil sebuah karung tua, kupenuhi dengan batu, cukup untuk bisa kuseret-seret dari tempat babi ke luar, melalui hutan ke sungai. Kulem parkan karung berisi batu itu ke sungai hingga terbenam dan tak akan tim bul lagi. Dari jejaknya, orang akan mengira bahwa sesuatu benda berat telah diseret dari dalam rum ah. Alangkah senangnya kalau waktu itu Tom Sawyer ada, ia pasti suka pada kejadian-kejadian semacam ini, dan ada-ada saja pikirannya untuk m em perindah rencana yang sedang kujalankan. Tak ada yang lebih pandai daripada Tom Sawyer dalam hal membuat rencana-rencana pelik. Terakhir, kucabuti beberapa helai rambutku, membasahi mata kapak dengan darah, dan menempelkan rambutku pada m ata kapak itu. Kapak itu kulem parkan ke sudut rum ah. Kuangkat babi tadi, kudekap di dadaku dan kubungkus dengan jaket agar darahnya tak m enetes. Babi itu pun kubuang ke sungai. Kini aku m endapat suatu pikiran lagi. Kuam bil karung jagung dan gergajiku dari biduk, kubawa kem bali ke pondok, ke tem pat biasanya karung itu berada. Dengan gergaji, kubuat sebuah lubang kecil di karung itu, di dasarnya. Terpaksa kupakai gergajiku karena sama sekali tak ada pisau atau garpu dalam pondok itu, untuk m akan atau m asak. Bapak selalu m enggunakan pisau lipatnya. Kem udian kubawa karung itu kira-kira seratus yard m elalui semak-semak ke sebelah timur rumah di mana terdapat sebuah danau dangkal yang lebarnya kira-kira lim a m il, penuh dengan rum put purun dan belibis bila m usim nya. Di seberang danau terdapat sebuah anak sungai yang entah berm uara di m ana, tetapi tidak di Sungai Mississippi. Sepanjang perjalanan itu beberapa butir jagung keluar dari karung lewat lubang yang kubuat, hingga bisa m enunjukkan arah yang tadi kutem puh. Di dekat danau
46 Mark Twain kujatuhkan batu asahan Bapak, seakan-akan tak sengaja. Dan kututup lagi lubang di karung serta kubawa kembali ke perahuku, juga gergajiku kubawa kembali. Hari telah m ulai gelap. Kubawa bidukku m em asuki sungai, kem udian berlabuh di balik tanam an-tanam an yang m enggantung dari atas tebing. Kutunggu terbitnya bulan. Setelah m engikatkan perahu ke sebuah dahan semak-semak, aku makan. Selesai makan aku tidur-tiduran di dasar biduk, merokok dan berpikir-pikir. Pastilah orang-orang nanti akan mengikuti jejak karung batu ke sungai, kem udian m encari m ayatku di sungai itu. J ejak karung jagung mereka ikuti, mungkin juga mereka akan terus mencari sepanjang anak sungai danau untuk m encari pencuri yang telah m engam bil barang-barang di pondok serta m em bunuhku. Yang mereka cari di sungai tak akan lain daripada bangkaiku, dan akhirnya m ereka akan bosan m encari dan tak m em ikirkan aku lagi. Nah, beres sudah, aku bisa tinggal di mana saja aku mau. Pulau J ackson cukup baik bagiku. Aku tahu betul keadaan pulau itu dan tak akan ada orang pergi ke kota m alam hari. Benar, pilihanku sudah tetap, Pulau J ackson. Aku am at lelah, tanpa kuketahui aku tertidur. Aku m elihat berkeliling, agak takut. Kem udian aku ingat. Sungai raksasa itu tam paknya lebar sekali. Bulan bersinar begitu terang sehingga aku bisa m enghitung kayu-kayu yang hanyut beberapa ratus yard dari tepi sungai. Sunyi, rasanya m alam telah berjalan lam a sekali. Aku m enguap sepuas-puasnya dan m enggeliat. Baru saja akan kulepaskan tambahan perahu, kudengar suatu suara di air. Aku m enahan napas. Segera juga aku tahu suara apa itu. Suara yang ditim bulkan oleh kayu pendayung di lubang dayung. Aku m engintai dari balik sem ak-sem ak, kulihat di kejauhan sebuah perahu. Masih jauh, tak bisa kulihat berapa orang ada di dalam nya. Ketika tepat berada di seberangku, kulihat ternyata hanya ada seorang m anusia di perahu itu. Mungkin itu bapakku,
Petualangan Huckleberry Finn 47 pikirku, walaupun tak kuharapkan ia telah muncul kembali. Perahu itu m enghanyut m elewatiku, kem udian berputar m asuk ke aliran sungai yang tak deras dan m ulai berdayung ke m udik. Ia melewatiku lagi, kini dekat sekali hingga bila aku mau bisa kusentuh dia dengan ujung senapan. Ternyata orang itu betul- betul Bapak. Dari gayanya berdayung, tahulah aku bahwa dia tidak mabuk. Aku tak m em buan g waktu lagi. Sem en it kem udian bidukku telah hanyut ke hilir, dalam bayang-bayang tebing sungai. Kubiarkan hanyut hingga dua setengah m il, baru aku m em belokkannya ke tengah sungai. Aku akan m elewati tem pat perahu tambangan, hingga besar kemungkinan aku akan terlihat oleh orang-orang di tepian. Kutem patkan bidukku di antara kayu-kayu hanyut di tengah sungai, kem udian aku berbaring di dasarnya, m em biarkannya hanyut lagi. Sam bil beristirahat, aku merokok dengan pipaku lagi. Di atasku langit jernih sekali, tanpa awan sepotong pun. Bila kita m em andang langit pada terang bulan, dalam sekali tam paknya langit itu. Belum pernah kuketahui hal itu sebelum nya. Dan betapa jauhnya kita m endengar suara- suara yang m eram bat di air. Kudengar orang-orang berbicara di pelabuhan kapal tambang, tiap kata kudengar jelas. Seseorang berkata bahwa kini tiba m usim nya siang-siang bertam bah pan jan g dan m alam -m alam bertam bah pen dek. Kawan n ya m enyahut bahwa dia kira m alam ini bukanlah salah satu dari m alam -m alam yang pendek itu. Mereka berdua tertawa terbahak- bahak akan ucapan ini. Sekali lagi kalimat itu diucapkan dan sekali lagi mereka tertawa. Mereka membangunkan seseorang dan kalim at itu diucapkan sekali lagi. Nam un orang yang baru terbangun itu tak ikut tertawa, bahkan membentak dan minta agar ia tak diganggu lagi. Orang yang pertam a berkata ia akan m engatakan kalim at tadi pada istrinya, pasti istrinya itu kagum akan kecerdikannya. Nam un itu sebenarnya belum apa-apa, bila
48 Mark Twain dibandingkan dengan kata-kata yang pernah diucapkannya di waktu ia m asih m uda. Kudengar seorang berkata bahwa m alam telah pukul tiga pagi, ia berharap fajar akan segera datang dan matahari tidak menunggu seminggu lagi untuk terbit. Setelah itu percakapan tadi m akin lam a m akin jauh hingga akhirnya tak bisa kum engerti lagi. Aku m asih bisa m endengar suara gum am dan tawa m ereka nam un kedengarannya sangat jauh sekali. Aku kini berada jauh di bawah pelabuhan kapal tam bang. Aku bangkit, kulihat Pulau J ackson kira-kira dua setengah m il di sebelah hilir. Berdiri di tengah sungai, hutannya lebat, besar dan kukuh bagaikan sebuah kapal uap tanpa lampu. Gosong pasir di ujung pulau tak tam pak, tertutup air yang pasang. Tak membutuhkan waktu lama untuk mencapai pulau itu. Ujung pulau kulewati dengan sangat cepat, karena arus yang kuat. Segera juga aku sam pai ke bagian sungai yang tenang airnya dan berlabuh di pantai pulau yang m enghadap ke daerah Illinois. Aku m asukkan bidukku ke sebuah teluk kecil di pantai pulau yang telah kukenal. Teluk itu pun tertutup semak-semak, hingga dari pantai tak akan tampak sungai di seberang perahuku. Aku naik ke darat, duduk di batang pohon rebah di kepala pulau, m erenungi sungai yang penuh dengan kayu hanyut dan kota di seberangnya, tiga m il dari tem patku. Dari kota tam pak tiga atau em pat kelipan lam pu. Sebuah rakit perusahaan kayu tampak satu mil di arah mudik, sedang mengikuti arus ke hilir dengan sebuah lentera di tengahnya. Aku m em perhatikannya terus, dan ketika rakit itu berseberangan denganku, aku dengar seseorang di rakit itu berteriak, “Dayung buritan, hei! Belokkan ke arah kanan!” jelas sekali seakan-akan orang itu ada di sisiku. Langit m ulai kelabu. Aku m asuk ke dalam hutan dan tidur.
AKU MENOLONG JIM, BUDAK NONA WATSON MATAHARI TELAH tinggi waktu aku bangun, sekitar pukul delapan kukira. Aku berbaring-baring di rum put, di tem pat teduh, memikirkan pengalamanku, merasa lepas lelahku. Hatiku senang dan puas. Aku bisa m elihat m atahari lewat dua atau tiga buah celah di antara daun-daunan rimbun di sekelilingku. Pohon-pohon besar yang m engelilingiku, m em buat tem pat itu sedikit gelap. Beberapa lingkaran cahaya sam pai ke tanah, kadang-kadang bergoyang-goyang bertukar tem pat m enunjukkan bahwa ada angin lalu mengguncangkan daun-daun di atas. Sepasang tupai bertengger di kaki sebatang pohon, dengan ramah mengajakku bercakap-cakap. Aku begitu gem bira hingga m erasa sangat m alas, tak ingin bangun untuk m em buat sarapan. Aku sudah ham pir tertidur lagi waktu kudengar sebuah suara berat, “Buum !” di arah m udik. Aku mengangkat kepala, memasang telinga. Segera juga kudengar
50 Mark Twain lagi suara itu. Aku m elom pat berdiri, m elihat keluar dari antara sem ak-sem ak yan g m en gelilin giku. Kulihat segum pal asap m engem bang di atas air di seberang tem pat tam bangan. Kapal tam bang itu m enghilir sungai, penuh penum pang. Aku tahu kini apa yang sedang terjadi. “Buum !” Dari sam ping kapal tam bang itu m enyem bur segum pal asap putih. Mereka sedang m enem bakkan m eriam di atas air untuk m em buat m ayatku m uncul. Aku m erasa sangat lapar, tapi tak m enguntungkan bagiku m em buat api, asapnya bisa terlihat oleh orang-orang di kapal tam bang. Karena itu aku duduk-duduk saja di situ, m em perhatikan asap m eriam dan m endengarkan dentum annya. Di tem pat itu lebar sungai mencapai satu mil, cuaca di pagi musim panas itu cerah, jadi senang juga bagiku memperhatikan mereka berusaha m encari m ayatku, asal saja aku m em punyai sesuatu untuk kum akan. Aku jadi teringat, biasanya untuk m enim bulkan m ayat juga digunakan roti yang diberi air rasa dan dihanyutkan, dengan kepercayaan bahwa roti tersebut akan berhenti hanyut tepat di atas tem pat m ayat orang yang dicari. Aku pun bersiap-siap, m em asang m ata kalau-kalau salah satu dari roti-roti itu hanyut di dekatku. Aku berpindah tem pat, ke pantai pulau yang m enghadap ke Illinois untuk m encoba keuntunganku. Dan ternyata aku tak kecewa. Sepotong besar roti ganda tampak terapung mendekat. hampir saja roti itu bisa kuambil dengan sebatang tongkat tapi kakiku tergelincir dan roti tersebut terus hanyut. Tentu saja aku berada di tepian arus sungai yang paling dekat dengan pantai pulau. Kem udian m uncul lagi sepotong roti yang lain, dan kali ini aku berhasil. Kuam bil sum batnya untuk m engeluarkan air rasa di dalam nya, dan aku m ulai m akan. Roti paling enak, yang biasa dim akan orang-orang kaya. Aku bersem bunyi lagi di sem ak-sem ak sam bil m akan roti, memperhatikan kapal tambang dan merasa sangat puas. Timbul suatu pikiran padaku. Aku tahu bahwa roti ini sebelum dilem par
Petualangan Huckleberry Finn 51 ke air didoakan lebih dahulu, m ungkin oleh Nyonya J anda atau oleh Tuan Pendeta untuk bisa m enem ui aku. Dan ternyata betul- betul roti itu m enem ukan aku. Kesim pulanku adalah sebuah doa akan berhasil bila yang m endoakan orang-orang sebangsa Nyonya J anda dan Tuan Pendeta, tapi bila yang berdoa orang semacam aku pasti tak akan berhasil. Kunyalakan pipaku. Alangkah nikm atnya m engisap pipa m elihat orang m encari bangkaiku. Kini kapal tam bang itu ber- hanyut-hanyut m engikuti arus. Kukira aku akan bisa m elihat siapa saja yang ada di kapal itu, sebab arus akan m em bawanya dekat sekali denganku, di tem pat aku m engam bil roti. Aku ber- baring di balik sebatang pohon kayu rebah di pantai. Di antara cabang-cabangnya aku bisa m elihat m ereka. Akhirnya kapal itu tiba, berhanyut begitu dekat hingga bila saja mereka mau memasang papan, dengan mudah mereka bisa naik ke darat. Ham pir sem ua orang ada di kapal itu. Bapak, Hakim Thatcher, Bessie Thatcher, J oe Harper, Tom Sawyer, Bibi Polly, Sid, Mary, dan banyak lagi. Sem ua orang ribut m em bicarakan soal diriku, sam pai kapten kapal m enyela dengan berteriak, “Awas! Lihat baik-baik! Arus sangat dekat sekali ke pantai di tempat ini, mungkin ia terdampar dan terkait di antara sem ak-sem ak itu. Mudah-m udahan m em ang begitu!” Tapi aku tak berharap demikian. Orang-orang itu semua berkerum un di pagar kapal, tepat di depan m ataku. Aku bisa melihat mereka dengan jelas, tapi mereka tak bisa melihatku. Kem udian kapten kapal berteriak, “Minggir!” Meriam berdentum dengan sangat hebat di depanku hingga pekak rasanya telingaku, serta buta m ataku oleh asapnya, dan kukira aku pun m am pus. Bila saja m eriam itu betul-betul berisi peluru, sudah pasti m ereka akan m endapatkan m ayat yang m ereka cari. Aku bersyukur bahwa aku tak m endapat cedera sam a sekali. Kapal itu m eneruskan perjalanan, lenyap di balik tikungan pulau. Aku m asih bisa
52 Mark Twain mendengar suara dentuman meriam, makin lama makin jauh dan setelah satu jam baru suara itu tak kudengar lagi. Pulau J ackson panjangnya tiga m il. Kukira kapal itu telah m encapai ujung bagian hilir pulau, dan telah putus asa. Tetapi ternyata tidak. Mereka memutari ujung pulau dan mulai memudik sungai lalu m enem bakkan m eriam nya. Aku m enyeberangi pulau untuk m elihat m ereka lagi. Ketika m ereka m endekati kepala pulau, mereka tak menembakkan meriam lagi, berbelok ke arah pantai Missouri dan pulang. Kini aku yakin bahwa tak akan ada lagi yang m encariku. Barang-barang kuam bil dari biduk, kubawa ke tengah-tengah semak. Dengan selimut kubuat semacam tenda untuk melindungi barang-barang. Kupancing seekor ikan dan kubersihkan ikan itu dengan gergaji. Menjelang m atahari terbenam , kunyalakan api untuk memasak makanan untuk malam nanti. Selesai memasak kupasang kail lagi, untuk sarapan besok. Ketika m alam tiba, aku duduk di dekat api unggun, m engisap pipa dan merasa lega. Tapi lama-kelamaan aku merasa sangat kesepian . Aku pergi ke pan tai, m en den garkan desauan air, m enghitung bintang dan kayu serta rakit hanyut. Akhirnya aku pergi tidur. Tak ada cara yang lebih baik untuk m elewatkan waktu daripada tidur bila merasa sangat kesepian. Begitulah keadaanku selam a tiga hari tiga m alam . Tak ada perubahan. Tapi pada hari keempat aku bermaksud menjelajahi pulau. Bisa dibilang pulau itu seluruhnya m enjadi m ilikku, jadi wajarlah bila aku ingin m engetahui seluk-beluknya. Tetapi m ak- sudku yang sebenarnya adalah untuk m elupakan rasa kesepianku. Ternyata di pulau itu banyak sekali tum buh sem ak-sem ak buah arbei tengah berm asakan. J uga banyak terdapat anggur m usim panas yang berwarna hijau, dan buah fram bos. Arbei hitam m ulai berputik, cukup banyak untuk persedian kelak. Aku berkeliaran di dalam rim ba lebat itu begitu lam a hingga menurut perkiraanku aku sudah tak jauh lagi dari ujung pulau
Petualangan Huckleberry Finn 53 sebelah hilir. Aku m em bawa bedil, tapi tak m enem bak apa pun. Bedil itu hanya untuk m elindungi diri, dan m ungkin juga aku akan berburu dekat-dekat kemahku. Saat itu, aku hampir saja m enginjak seekor ular yang cukup besar. Ular tersebut segera meluncur pergi memasuki semak-semak dan rumput. Aku m engejarnya dengan bedil siap m elepaskan peluru. Dan mendadak saja aku melihat sebuah bekas api unggun di tanah. Masih berasap! Rasa pecah dadaku oleh debaran jan tun gku. Aku tak m enunggu lagi. Kulepaskan lagi pelatuk bedil, dan cepat-cepat berjingkat m enyingkir. Sekali-sekali aku berhenti di sem ak-sem ak lebat, memasang telinga tapi napasku begitu keras hingga aku tak bisa mendengar apa-apa. Setiap berjalan beberapa langkah, aku berhenti m em asang telinga. Bila aku m elihat sebuah tunggul kayu, kukira itu adalah m anusia. Bila aku m enginjak patah sebatang dahan kering, kurasa seakan-akan seseorang memotong napasku jadi dua dan aku hanya m endapat sepotong, potongan yang terpendek lagi. Sam pai di kem ah, hatiku m asih belum tenang. Bukannya aku penakut, nam un saat itu bukan waktu yang tepat untuk berbuat sem brono. Kum asukkan lagi sem ua barangku ke dalam perahu agar tersem bunyi, kum atikan api dan kutebarkan abunya supaya tam pak seolah-olah api unggun dari tahun yang lalu. Kem udian aku memanjat sebatang pohon. Dua jam aku berada di puncak pohon itu, namun tak ada sesuatu yang m encurigakan, hanya dalam khayalanku berbagai peristiwa berlintasan. Aku tak bisa tinggal selam a-lam anya di puncak pohon, akhirnya aku turun. Nam un tak pernah lagi aku berada di tempat terbuka, dan mataku selalu kupasang. Terpaksa aku hanya m akan buah arbei dan sisa sarapan tadi. Waktu m alam tiba, aku jadi sangat kelaparan. Kutunggu sampai keadaan sangat gelap, kumasuki perahuku dan aku berdayung ke arah pantai Illinois yang hanya seperem pat m il
54 Mark Twain jauhnya. Segera aku m asuk rim ba di tem pat itu dan m asak m akanan untuk m akan m alam . Baru saja aku berpikir untuk tinggal di tempat itu sepanjang malam, kudengar suara depak kaki kuda m endekat, kem udian suara orang. Cepat-cepat kum asukkan lagi barang-barangku ke dalam perahu, kemudian merambat di antara pohon-pohon untuk m elihat siapa yang datang. Belum jauh aku berjalan kudengar seseorang berkata, “Lebih baik kita berm alam di sini. Kita cari tem pat yang baik, kuda kita telah am at lelah. Mari kita lihat berkeliling.” Aku tak m enunggu lagi, segera berdayung m enjauh tanpa bersuara kem bali ke tem patku berlabuh di Pulau J ackson. Aku tidur di dalam perahu. Tapi aku tak bisa tidur tenang di perahu. Setiap saat aku terbangun karena kupikir seseorang sedang mencekik leherku. Maka tidurku m alah m em buat badanku m erasa tak enak. Akhir- nya aku berpendapat bahwa bila keadaanku begini selam anya, aku akan sangat tersiksa, maka kuputuskan untuk melihat siapa sebenarnya yang ada di pulau itu selain aku. Apa pun yang akan terjadi, harus kuketahui orang itu. Hatiku agak tenang setelah kuambil keputusan tersebut. Kuam bil dayungku, dan perahu kudorong m eninggalkan pantai sedikit, berhanyut-hanyut di bayang-bayang sem ak. Bulan bersinar, di luar daerah bayang-bayang terangnya bagaikan siang. Aku m engikuti arus selam a kira-kira satu jam , sem ua yang ada tenang dan sunyi. Kucapai ujung pulau ketika kurasa angin dingin bertiup m enandakan pagi akan tiba. Kubelokkan perahuku ke pantai, aku naik ke darat dengan m em bawa senapanku. Aku duduk di batang kayu rebah, m em perhatikan sekelilingku dari balik daun-daunan. Bulan terbenam , gelap m eliputi sungai. Tapi segera juga kulihat cahaya pucat m enerangi puncak-puncak pohon. Pagi tiba. Kuangkat senapanku dan aku pergi ke tem pat bekas api unggun kemarin, sekali-sekali berhenti untuk memasang telinga.
Petualangan Huckleberry Finn 55 Aku tak beruntung, agaknya aku telah lupa tem patnya. Tapi lam a- kelam aan tam pak olehku setitik cahaya api jauh di antara pohon- pohon. Sangat hati-hati kudekati cahaya itu. Setelah dekat, aku melihat seseorang berbaring di tanah. Seluruh tubuhku gemetar ketakutan. Orang itu m em bungkus kepalanya dengan selim ut, dan kepala itu sangat dekat sekali ke api unggun. Aku bersem bunyi di balik sem ak-sem ak kira-kira enam kaki darinya, dan m em buka selim utnya. Ternyata J im , budak Nona Watson! Betapa gem bira hatiku, aku m elom pat keluar dan berteriak, “Halo, J im !” J im melonjak, memandangku dengan mata liar, kemudian ia berlutut m enyusun tangan, berkata, “J angan ganggu aku, jangan! Tak pernah aku m engganggu hantu, aku selalu m enyukai orang- orang yang telah m eninggal dan m em beri bantuan bilam ana aku bisa. Pergilah kembali ke sungai, tempatmu. J angan ganggu lagi si J im tua ini. Aku selalu berbuat baik padam u.” Segera aku m enerangkan bahwa aku sebetulnya tidaklah m eninggal dunia. Aku begitu gem bira bertem u dengan J im . Aku tak akan m erasa kesepian lagi kini. Kukatakan bahwa aku tak akan takut ia m enceritakan tem pat persem bunyianku pada orang lain. Banyak lagi bicaraku, nam un dia diam saja. Akhirnya aku berkata, “Hari telah siang. Mari kita sarapan. Nyalakan api u n ggu n .” “Untuk apa m enyalakan api? Untuk m em asak buah-buahan? Arbei dan lainnya? Tapi kulihat kau m em bawa senapan. Mungkin kita bisa makan daging kini.” “Buah arbei dan lainnya? Hanya itukah yang kau m akan?” “Tak bisa kudapat lain dari itu.” “Wah, sudah berapa lam a kau ada di sini?” “Aku kem ari pada m alam engkau terbunuh.” “Apa? Selam a itu?” “Ya, betul.” “Dan yang kau m akan hanya buah-buahan itu?”
56 Mark Twain “Hanya itu.” “Astaga, m estinya kau sudah sangat kelaparan.” “Kukira aku bisa m enghabiskan seekor kuda sekali m akan. Berapa lam a kau ada di pulau ini?” “Sejak m alam aku terbunuh.” “Wah! Lalu kau m akan apa? Tapi kau punya bedil. Ya, kau punya bedil. Bagus sekali. Kau cari sesuatu, akan kunyalakan api.” Kam i berdua pergi ke tem pat aku m enam batkan perahu. Sem entara J im m em buat api di tem pat terbuka yang dikelilingi semak-semak, aku mengambil jagung, daging, kopi, cerek kopi, penggorengan, gula, dan cangkir seng. Barang-barang itu m em buat m ata J im terbelalak, ia m engira sem uanya itu kudapat dari ilm u sihir. Aku berhasil m engail seekor ikan besar, J im m em bersihkannya dengan pisaunya. Kam i segera m akan sarapan begitu m asakan itu terangkat dari atas api. Dan ketika kam i telah kekenyangan, kam i berbaring- baring di rumput. Setelah agak lam a J im bertanya, “Huck, bila kau tidak m ati, lalu siapa yang terbunuh di pondok bapakm u m alam itu?” Kuceritakan sem ua dari awal hingga akhir. J im am at kagum akan kecerdikanku. Katanya, bahkan Tom Sawyer tak akan bisa membuat rencana sebagus itu. “Mengapa kau kem ari, J im , dan dengan apa?” tanyaku kem u d ia n . Ia kelihatan gelisah. Sesaat tak berkata apa-apa, kemudian ia m enjawab, “Lebih baik tak kukatakan, Huck.” “Kenapa, J im ?” “Banyak sekali alasannya. Tapi kau tak akan m engkhianati aku bila aku ceritakan?” “Terkutuklah aku bila berbuat begitu, J im .” “Aku percaya, Huck. Aku... aku m elarikan diri.” “J im !”
Petualangan Huckleberry Finn 57 “Ingat, kau berjanji untuk tidak m engatakannya, Huck, kau tahu itu.” “Mem ang, aku berjanji. Dan akan kutepati janjiku itu. Dem i Tuhan! Biarlah aku dikatakan orang Pem bebas Budak yang hina, biarlah semua orang memandang jijik padaku karena aku tutup m ulut... tapi biarlah. Aku tak akan m engkhianatim u, bagai- m anapun juga tak akan. Nah, ceritakan apa yang terjadi.” “Begini, Huck. Nona Watson terlalu keras m em perlakukan diriku, namun ia selalu berkata tak akan pernah menjualku ke daerah Selatan. Ke Orleans. Akhir-akhir ini kulihat ada seorang saudagar budak sering kali berkunjung ke rumah, aku jadi gelisah. Suatu m alam , jauh m alam sekali, aku m erayap ke pintu yang belum tertutup rapat. Kudengar Nona Watson berkata pada Nyonya J anda bahwa sebetulnya ia tak ingin menjualku ke Orleans, namun aku telah ditawar orang delapan ratus dolar, suatu jum lah yang am at banyak hingga m em buat hatinya bim bang. Nyonya J anda m em bujuk agar Nona Watson tidak menjualku, namun tak kutunggu lagi akhir percakapan itu, cepat-cepat aku lari dari sana. Aku lari ke kaki bukit, berharap bisa m encuri sebuah perahu. Tetapi ternyata m asih banyak orang berkeliaran, m aka aku bersem bunyi di toko tem baga tua di tepi sungai, m enunggu keadaan m enjadi sepi. Aku berada di tem pat itu sepanjang m alam . Tak pernah sepi tem pat itu. Kira- kira pukul enam pagi perahu-perahu mulai berkeliaran. Dan kira-kira pukul delapan atau sem bilan, setiap perahu yang lewat m em bicarakan betapa ayahm u datang ke kota dan m engatakan bahwa engkau terbunuh. Akhirnya perahu-perahu yang penuh dengan penum pang tuan-tuan dan nyonya-nyonya m ulai ram ai, m ereka ingin m elihat engkau terbunuh. Kadang-kadang sebelum m enyeberang, m ereka beristirahat dekat tem patku bersem bunyi. Dari percakapan mereka aku amat sedih tapi sekarang tidak lagi. Aku berada di tem pat itu sepanjang hari. Perutku lapar, nam un
58 Mark Twain aku tak m erasa takut. Aku tahu bahwa Nona Watson dan Nyonya J anda akan pergi ke pertemuan gereja segera setelah sarapan dan pertem uan itu akan m em akan waktu sehari penuh. Keduanya tahu bahwa biasanya aku pagi-pagi sekali telah berangkat m eng- gembalakan ternak, jadi mereka tak akan heran bila aku tak kelihatan sebelum m alam . Budak-budak yang lain tak akan tahu aku tiada, sebab begitu Nona dan Nyonya pergi, m ereka pun pasti pergi bersenang-senang. Ketika m alam tiba, aku keluar, m enyusuri tepi sungai ke arah m udik sam pai kira-kira dua m il, di tem pat yang tak ada rum ah. Aku telah m em punyai rencana ke m ana aku akan pergi. Kau tahu, bila aku terus berjalan kaki, jejakku akan bisa diikuti oleh anjing. Bila aku m encuri perahu untuk m enyeberang, orang yang kehilangan perahu pastilah ribut hingga orang tahu bahwa aku m enyeberangi sungai, dan di m ana perahu itu mendarat bisa dimulai lagi pencarian jejakku dengan anjing. Aku m em utuskan untuk m em akai rakit, yang tak akan meninggalkan jejak. Dari belokan sungai kulihat sebuah lampu. Aku m asuk ke sungai, dengan m enggunakan sebatang kayu aku berenang sam pai ke tengah sungai. Berenang di antara kayu- kayu hanyut, m enundukkan kepala, aku m enentang arus sam pai rakit itu tiba. Aku berenang ke buritan rakit, berpegang di situ. Sungai agak berkabut, keadaan gelap, maka aku memanjat naik dan berbaring di papan lantai rakit. Orang-orang rakit itu semua berkum pul di sekitar lam pu di haluan. Air sungai sedang naik, dan arus kencang, jadi menurut perkiraanku, menjelang pagi aku akan telah berada dua puluh mil di sebelah hilir sungai di mana aku m enyelinap ke pantai dan bersem bunyi di hutan daerah Illinois. Tetapi ternyata aku tak beruntung. Menjelang kepala pulau ini, seseorang membawa lentera ke arah buritan. Tak guna bagiku menunggu lebih lama, aku meluncur masuk air dan berenang ke pulau ini. Kukira aku bisa m endarat sesukaku, ternyata tidak, tepinya terlalu tinggi. Aku baru bisa m endarat dekat ujung pulau.
Petualangan Huckleberry Finn 59 Aku m asuk ke dalam hutan, dan pikirku aku tak akan berm ain- main dengan rakit lagi selama mereka selalu berkeliling dengan lenteranya. Untung pipa, tem bakau, dan korekku ada di topiku, dan tidak basah, jadi keadaanku cukup baik juga.” “J adi selam a ini kau tak m endapatkan roti atau daging untuk makananmu? Mengapa kau tak mencari balam lumpur?” “Bagaim an a aku bisa m en an gkapn ya? Aku tak bisa m enyergapnya, dan tak bisa m elem parnya dengan batu. Lagi pula tak bisa m alam -m alam aku m enangkapnya, bila siang bahaya bagiku untuk menampakkan diri di pantai.” “Mem ang benar. J adi kau terpaksa tinggal terus di dalam hutan . Apakah kau juga m en den gar tem bakan -tem bakan m er ia m ?” “Oh, ya. Aku tahu m ereka m encarim u. Kulihat m ereka berlalu, kuintai dari balik semak-semak.” Beberapa ekor burung m uda terbang rendah, dan beberapa kali hinggap di tanah. Kata J im , itu alam at hujan akan tiba. Biasanya bila anak-anak ayam berbuat begitu, hujan akan turun, jadi bila burung berbuat serupa akibatnya juga sam a. Aku sudah hendak menangkap burung-burung itu, namun dicegah oleh J im . Menangkap burung m em bawa akibat buruk, m aut. Kata J im , pernah waktu ayahnya sakit keras seorang saudaranya m enangkap burung. Neneknya berkata bahwa ayahnya pasti m ati, dan ternyata benar. Kata J im , m enghitung-hitung apa yang akan kita m asak untuk m akan siang juga m em bawa akibat buruk. Hal yang sama terjadi bila kita mengibaskan alas meja setelah matahari terbenam . Kata J im , bila seorang pem elihara tawon m eninggal, tawon-tawon harus diberi tahu tentang hal itu sebelum matahari terbit esok harinya, kalau tidak tawon-tawon itu akan jadi lem ak dan akhirnya ikut m ati juga. Kata J im , tawon-tawon tak akan m enyengat orang-orang tolol. Tapi aku tak percaya itu, sudah
60 Mark Twain kucoba, ternyata m ereka tak m au m enyengat aku, padahal aku bukan orang tolol. Beberapa pantangan kuketahui, tapi J im m engetahui sem ua pantangan yang ada. Aku berkata padanya bahwa kebanyakan pertanda m erupakan tanda akan datangnya nasib buruk, kutanya- kan apakah untuk nasib baik juga ada pertandanya. “Sedikit sekali, dan tak guna untuk diketahui. Untuk apa kita harus tahu bahwa suatu nasib baik akan datang? Ingin m encegahnya?” jawab J im . “Bila tangan dan dada kita berbulu, itu berarti bahwa kita akan kaya. Tanda-tanda serupa itu ada juga perlunya. Sebab, m ungkin kau harus m iskin untuk waktu yang lam a sekali. Bila kau tak tahu tanda yang m enunjukkan bahwa akhirnya kau akan jadi kaya, m ungkin kau akan putus asa dan bunuh diri sebelum kekayaan itu kau dapat.” “Apakah tangan dan dadam u berbulu, J im ?” “Untuk apa kau bertanya? Bukankah kau bisa m elihatnya sen d ir i?” “Nah, lalu, apakah kau kaya?” “Tidak. Tapi aku pernah kaya dan akan jadi kaya lagi. Sekali aku m em punyai uang em pat belas dolar. Tetapi uang itu kupakai untuk mengadu untung, dan aku bangkrut.” “Mengadu untung dalam hal apa, J im ?” “Kutanam kan sebagai m odal.” “Modal m acam apa?” “Modal hidup, yaitu tern ak. Yan g sepuluh dolar itu kutanamkan pada seekor sapi. Tapi aku tak akan menanam modal lagi, sapi itu mati dalam peliharaanku.” “J adi kau rugi sepuluh dolar?” “Tidak seluruhnya. Rugi sem bilan dolar. Sebab kulit sapi itu kujual satu dolar sepuluh sen.” “J adi uangm u tinggal lim a dolar sepuluh sen. Kau adu untung lagi, J im?”
Petualangan Huckleberry Finn 61 “Ya. Kau tahu negro berkaki satu budak Tuan Bradish? Dia berm aksud m endirikan sem acam bank. Katanya barang siapa yang m enyim pan uang sedolar padanya, di akhir tahun akan m endapatkan em pat dolar. Banyak negro yang m enyim pan padanya, tapi uang m ereka tak banyak. Hanya akulah yang beruang banyak. Maka kuancam si kaki satu itu, bila ia tak m au m enaikkan bunganya, aku akan m em buat bank sendiri dan m em bangkrutkan banknya. Tentu saja si kaki satu takut, lagi pula katanya tak baik bila ada dua bank, langganannya tak akan cukup. Maka ia m au m enerim a uangku yang lim a dolar itu, yang pada akhir tahun akan m enjadi tiga puluh lim a dolar, katanya. Kusim pan uangku padanya. Kem udian kupikir lebih baik uangku yang akan jadi tiga puluh lim a dolar itu kujalankan lagi. Ada seorang negro bernam a Bob yang berhasil m endapatkan sebuah rakit pengangkut kayu tanpa diketahui oleh tuannya. Kubeli rakit itu darinya, tidak kubayar, hanya kusuruh ia m engam bil uangku yang tiga puluh lim a dolar itu dari si kaki satu nanti di akhir tahun. Tetapi m alam harinya rakit itu dicuri orang, dan keesokan harinya si kaki satu berkata bahwa banknya bangkrut. J adi tak seorang pun di antara kam i yang m endapatkan uang.” “Yang sepuluh sen kau apakan, J im ?” “Tadinya akan kubelanjakan, tapi kem udian aku berm im pi. Mim pi itu m enyuruhku m em berikan uang sepuluh sen tersebut pada seorang negro bernam a Ballam , si Keledai Ballam kam i biasa m enyebutnya. Dia adalah salah satu dari orang-orang bebal, tahu kau, tetapi kata orang ia selalu beruntung. Mimpiku berkata bahwa Ballam bisa m enanam uang itu hingga bisa m enjadi banyak. Ballam m engam bil uangku. Pada waktu ia ke gereja, ia mendengar Tuan Pendeta berkata bahwa barang siapa memberikan sedekah pada orang miskin sama saja dengan m em injam kan uang pada Tuhan yang nanti akan m engem balikan uang itu seratus kali lipat. Maka begitu keluar dari gereja, Ballam
62 Mark Twain memberikan uang tersebut pada seorang miskin dan menunggu apa yang akan terjadi.” “Apa yang terjadi, J im ?” “Tak apa-apa. Aku tak bisa m engam bil uangku kem bali dari Ballam , begitu pula Ballam tak bisa m endapatkan uangnya kem bali. Lain kali aku tak akan m au m em injam kan uang tanpa barang tanggungan. Akan dibayar seratus kali lipat, kata pendeta itu! Wah, bila saja aku bisa m endapatkan uangku yang sepuluh sen itu kembali, cukup pantaslah bagiku untuk bergembira karena sempat meminjamkan uang pada Tuhan.” “Tapi tak apa bukan, J im , karena kau tahu bahwa suatu hari kau akan m enjadi orang kaya.” “Ya, dan sekarang pun bisa dikatakan aku kaya. Coba, kini tubuhku menjadi milikku sendiri, dan aku berharga delapan ratus dolar! Alangkah senangnya bila aku m em iliki uangku sebegitu banyak, aku tak akan punya keinginan lain lagi.”
RUMAH KEMATIAN HANYUT AKU INGIN sekali pergi dan m elihat sebuah tem pat tepat di tengah-tengah pulau, yang kutem ukan waktu aku m enjelajah beberapa hari yang lalu. Tak lam a tem pat itu telah kam i tem ukan, sebab panjang pulau itu hanya tiga m il sedang lebarnya hanya seperempat mil. Tem pat yang kum aksud itu m erupakan punggung sebuah bukit yang cukup tinggi, kira-kira dua belas m eter tingginya. Sukar juga sam pai ke puncaknya, sisinya terjal dan penuh sem ak. Kam i m enjelajahi bukit dengan teliti sam pai akhirnya kam i tem ui sebuah gua cukup besar di antara batu-batu karang dekat puncak, menghadap ke arah Illinois. Gua itu sebesar dua atau tiga buah kam ar dijadikan satu dan J im bisa berdiri tegak di dalam nya. Sejuk sekali di dalam gua. J im ingin agar barang-barang disimpan di gua, tapi kukatakan tentunya akan m elelahkan sekali bila tiap kali kami harus naik turun. J im berkata, bila perahu telah kam i sem bunyikan di tem pat yang baik dan barang-barang ada di dalam gua, akan m udah bagi
64 Mark Twain kam i untuk m elarikan diri ke sana bila ada orang yang datang ke pulau itu. Dan kami tak akan bisa ditemukan tanpa menggunakan anjing. Dan lagi, kata J im selanjutnya, bukankah burung-burung kecil tadi menandakan bahwa hari akan hujan? J adilah kam i kem bali, m engam bil perahu dan m endayungnya hingga kam i berada di dekat gua. Barang-barang kam i naikkan, dan perahu kam i sem bunyikan baik-baik di antara sem ak-sem ak dedalu. Setelah mengambil ikan dari mata kail dan memasang kail lagi, kami mempersiapkan makan siang. Pintu gua itu cukup lebar untuk diguling sebuah tong besar. Di pinggirnya, lantai gua m enonjol sedikit ke luar, sangat datar dan m erupakan tem pat yang baik untuk m em buat api unggun. Di situlah kami memasak makanan. Selimut kami tebarkan di dalam gua, kami pakai sebagai perm adan i, dan kam i m akan sian g di san a. Baran g-baran g lainnya kam i taruh di bagian belakang gua. Segera juga langit m enjadi gelap, guntur m ulai terdengar dibarengi kilat. Agaknya ramalan burung-burung tadi benar. Hujan mulai turun, deras sekali, bercam pur angin keras. Hujan angin yang selalu turun di musim panas. Segera saja kami tak bisa melihat keluar gua, hujan bagaikan tirai tebal hingga puncak-puncak pohon samar-samar sekali terlihat. Sesekali tiupan angin begitu hebat hingga pohon-pohon membungkuk dan daun-daun berbalikan m enam pakkan bagian yang kepucatan, disusul oleh tiupan yang lebih hebat, membuat dahan-dahan bagaikan gila berguncang- guncang. Dan bila keadaan sudah terlalu gelap, mendadak saja psst... by ar! Kilat m enyam bar m em buat hari terang benderang, hingga tam pak nyata betapa puncak-puncak pohon di kejauhan juga meronta-ronta dilanda badai. Sedikit lagi gelap berkuasa dan kem udian tibalah suara halilintar dahsyat, disusul oleh suara geluduk, berdentam-dentam makin lama makin jauh, seperti
Petualangan Huckleberry Finn 65 suara yang tim bul bila sebuah tong digelundungkan turun lewat tangga-tangga panjang. “J im , senang sekali rasanya,” kataku, “aku tak ingin pindah tem pat lagi. Tolong am bilkan sepotong ikan dan roti jagung yang p a n a s.” “Nah, untung kau bertem u dengan J im , apa jadinya kalau tidak. Kau m asih berada di hutan di sana tanpa m akanan dan m ungkin juga terbenam . Itulah yang akan terjadi padam u, Sayang, bila tak ada J im . Ayam tahu akan datangnya hujan, begitu juga burung-burung, Nak.” Air sungai naik terus selam a dua belas hari, sam pai akhirnya pantai sungai tak terlihat lagi. Di tempat-tempat rendah air telah m encapai tinggi satu atau satu setengah m eter. Begitu juga di daerah Illinois, yang kini pantainya m undur sam pai beberapa m il. Pantai daerah Missouri m asih tetap jaraknya dari pulau, yaitu setengah mil, sebab pantai tersebut terdiri dari tebing-tebing t in ggi. Siang hari biasanya kam i m enjelajahi pulau dengan naik perahu. Sejuk sekali berada di antara pohon-pohon, walaupun m atahari sedang besinar terik. Kam i berkelok-kelok di antara pohon-pohon dan kadang-kadang terpaksa mundur dan mencari jalan lain bila pohon terlalu rapat. Di tiap pohon yang tum bang tam pak kelinci-kelinci, ular dan binatang lainnya. Pada waktu banjir menguasai pulau kami selama sehari-dua hari, binatang- binatang itu menjadi jinak karena kelaparan, dan bila didekati tak akan m enghindar kecuali ular dan kura-kura yang segera m enyelinap m asuk ke dalam air. Bukit tem pat gua kam i penuh dengan binatang, hingga kalau mau mudah saja bagi kami untuk menternakkan mereka. Suatu malam kami berhasil menggaet sebagian kecil rakit penebang kayu. Rakit itu terbuat dari papan-papan pinus pilihan, lebarnya 3,60 m eter dan panjangnya kira-kira em pat setengah
66 Mark Twain m eter, lantainya kira-kira lim a belas sentim eter dari perm ukaan air, sangat rata. Pada suatu kali, menjelang pagi, kami berada di kepala pulau. Dan kam i m elihat sebuah hanyut lewat bagian barat pulau. Rum ah itu dua tingkat, dari kayu dan sangat condong. Kam i berdayung m endekat dan naik, m em anjat ke jendela tingkat atas, tetapi hari masih terlalu gelap hingga kami tak bisa melihat apa-apa. Maka kami ikatkan perahu kami di rumah itu dan kami tunggu terangnya hari. Sebelum sampai ke kaki pulau, matahari telah muncul. Dari jendela kami melihat sebuah tempat tidur, sebuah meja, dua buah kursi dan berbagai barang berserakan di lantai serta beberapa pakaian tergantung di dinding. Di sudut yang jauh dari jendela ada sesuatu di lantai yang m irip orang berbaring. J im berseru, “Halo, he!” Orang itu tak bergerak. Aku berseru, dan J im berkata, “Orang itu tidak tidur, ia m ati. Kau tunggu di sini.” J im masuk, membungkuk melihat orang itu dan berkata, “Benar, ia m ati. Ya, tertem bak punggungnya, telanjang bulat lagi. Kukira ia telah m ati dua atau tiga hari yang lalu. Masuklah, Huck, tapi jangan lihat wajahnya, sangat m enyeram kan.” Aku tak m elihat m ayat itu sam a sekali. J im m enutupi m uka m ayat tadi dengan beberapa potong kain, tapi m estinya tak perlu, sebab aku toh tak ingin m elihatnya. Di lantai berserakan kartu- kartu kumal, botol-botol wiski, dua buah topeng terbuat dari kain, dan di dinding terdapat banyak sekali gam bar-gam bar tak senonoh dari arang. Dua baju wanita dari kain kaliko, topi kain, dan beberapa pakaian dalam wanita bergantungan di dinding, dan beberapa pakaian pria juga. Barang-barang itu kam i angkut ke perahu, m ungkin ada m anfaatnya kelak. Aku juga m engam bil sebuah topi pandan yang m enggeletak di lantai. Ada juga sebuah botol susu dengan sam bat kain untuk diisap oleh bayi. Kalau botol
Petualangan Huckleberry Finn 67 itu tidak retak pastilah kam i bawa juga. Ada peti kayu dan koper, keduanya terbuka, kosong, kecuali beberapa benda yang tak ada harganya. Melihat barang-barang yang bertebaran itu, kam i kira penghuni rumah tersebut meninggalkan rumah dalam keadaan sangat tergesa-gesa dan tak bermaksud membawa semua barang m iliknya. Kam i m endapatkan sebuah lentera, sebilah pisau jagal tanpa gagang, sebilah pisau Barlow yang harganya dua puluh sen— masih baru, beberapa lilin, sebuah tempat lilin, sebuah tempat air, sebuah cangkir seng, sehelai selimut tua, sebuah tas sutera berisi jarum , peniti, kancing baju, benang dan sebagainya; juga kam i tem ukan seutas tali kail yang besarnya sebesar kelingkingku dengan beberapa mata kail raksasa. Selain itu kami dapatkan: segulung kulit kijang, kalung anjing dari kulit, sebuah sepatu kuda, beberapa botol obat tanpa merek; dan pada waktu kami akan meninggalkan rumah itu aku menemukan sebuah sisir kuda, sedang J im menemukan sebuah penggesek biola dan sebuah kelom . Kelom itu talinya sudah putus, tapi m asih baik walaupun terlalu besar untukku dan terlalu kecil untuk J im, pun tak bisa kam i tem ukan pasangannya. Selanjutnya kam i m endapat keuntungan yang sangat lum ayan juga. Kam i berada kira-kira seperem pat m il dari kaki pulau waktu kami siap untuk berangkat. Hari telah benderang. Terpaksa kusuruh J im tidur di dasar perahu dan kututupi dengan selim ut tua tadi. Bila ia duduk dari kejauhan pun akan kelihatan bahwa ia adalah seorang negro. Aku berdayung ke pantai Illinois dan terpaksa berhanyut setengah m il. Setelah itu aku m em udik sungai dengan m enyusur pantai di air tenang. Tak kutem ui seorang m anusia pun. Kam i tiba kem bali dengan selam at.
PANTANGAN TERHADAP KULIT ULAR SELESAI SARAPAN, aku ingin m em bicarakan tentang orang m ati di rum ah hanyut itu, m em perkirakan kenapa ia terbunuh. Nam un J im tak m au berbicara tentang orang m ati, katanya mendatangkan nasib buruk. Salah-salah hantu orang itu akan datang m engganggu kam i. Kata J im , seseorang yang tak dikubur m ayatnya akan lebih besar kem ungkinan untuk m enjadi hantu daripada orang yang dikubur. Itu m asuk di akalku, jadi aku tak berbicara lagi tentang m ayat tersebut, nam un dalam otakku aku selalu saja ingin tahu bagaimana orang itu tertembak, dan mengapa ia ditembak serta oleh siapa. Kam i m enggeledah pakaian-pakaian yang kam i dapat dan kami temukan uang delapan dolar perak terjahit di lipatan sebuah baju luar yang terbuat dari kain selim ut. J im m enduga orang di rumah itu mencuri baju tersebut, kalau tidak pasti mereka m engetahui bahwa di dalam baju itu ada uangnya. Aku berkata
Petualangan Huckleberry Finn 69 mungkin orang-orang itu membunuh pemilik baju, tapi J im tak mau membicarakan kemungkinan itu. “Nah, bagaim ana kini pendapatm u,” kataku kem udian, “kau bilang waktu aku mengambil kulit ular dari puncak bukit kemarin dulu kita akan m endapatkan nasib buruk. Kukatakan m em egang kulit ular adalah pantangan yang paling besar di dunia. Nam un apa buktinya, kita m alahan m endapatkan barang-barang ini dan ditam bah pula uang delapan dolar. Alangkah senangnya bila kita mendapatkan nasib buruk seperti ini tiap hari.” “J angan takut, Sayang, jangan takut. J angan terlalu girang. Nasib buruk yang disebabkan oleh kulit ular itu akan tiba juga nanti. Pasti tiba.” Tern yata kem udian kata-kata J im itu ben ar. Kam i membicarakan hal itu pada hari Selasa. Pada hari J umat, sesudah makan siang kami berbaring-baring di rumput di atas bukit. Ternyata kam i tak m em bawa tem bakau. Aku pergi ke gua untuk m engam bil tem bakau. Kudapatkan seekor ular keluntang di sana. Kubunuh ular itu, kulingkarkan dekat bangku di bagian kaki selim ut J im , pasti J im akan sangat terkejut m elihatnya nanti. Tapi m alam harinya aku telah lupa sam a sekali akan ular itu. Ketika J im m erebahkan diri untuk tidur dan aku sedang m enyalakan lilin, betina ular yang kubunuh ternyata berada di selim ut J im dan m enggigitnya. J im m elom pat dan m enjerit. Ketika lilin m enyala, terlihat ular betina itu telah bersiap-siap untuk menggigit lagi. Sekejap saja ia kubunuh dengan tongkat, sem entara J im m enyam bar guci wiski Bapak dan m em inum nya. J im selalu bertelenjang kaki, dan si ular menggigit tepat di tum itnya. Itulah akibat ketololanku tak m engingat bahwa bila seekor ular m ati m aka pasangannya akan datang untuk m elingkarinya. J im m enyuruhku m em otong ular itu dan m elem parkannya jauh-jauh. Kem udian aku disuruhnya m engupas
70 Mark Twain kulit dan memotong sedikit tubuh ular untuk dipanggang serta dimakan. Ini merupakan obat mujarab bila digigit ular, kata J im . Keluntang ular itu pun harus kupotong dan kuikatkan di pergelangan tangan J im yang katanya bisa m enolong. Diam -diam kuambil bangkai kedua ular tadi dan kubuang ke dalam semak- sem ak. Aku tak ingin J im tahu bahwa kecelakaan itu adalah akibat kelalaianku. J im terus-m enerus m inum dari guci Bapak, sekali-sekali m enjerit-jerit dan m eronta-ronta. Bila ia sadar, ia m eneguk wiski lagi. Kakinya m ulai bengkak, besar sekali, nam un akhirnya J im mabuk juga dan kukira ia tak akan merasakan sakit. Namun bagiku lebih baik aku digigit ular daripada harus minum wiski Ba p a k . J im terpaksa berbaring terus selama empat hari empat m alam , sam pai akhirnya bengkaknya kem pis dan ia m erasa sehat kem bali. Aku kini berjanji untuk tidak m em egang kulit ular lagi setelah tahu akibatnya. J im berkata m ungkin sekarang aku akan percaya akan kata-katanya. Mem egang kulit ular m erupakan pantangan terbesar, akibat buruknya bukan hanya sekali, tetapi pasti m asih ada lagi. Kata J im , lebih baik ia m elihat bulan baru lewat bahu kirinya seribu kali daripada m em egang kulit ular. Aku pun jadi punya perasaan serupa, walaupun aku pernah berpendapat bahwa melihat bulan lewat baju kiri adalah kelalaian yang paling sem brono yang bisa dilakukan oleh seseorang. Si tua Hank Bunker pernah m elakukannya dan m em bual tentang hal itu, kurang dari dua tahun setelah itu ia mabuk dan jatuh dari menara tem bak sehingga m ayatnya begitu gepeng; terpaksa sebagai peti m atinya dipakai orang dua buah pintu gudang, dan dengan dijepit di antara kedua pintu itulah ia dikubur. Begitulah kata orang, aku sendiri tak m elihatnya. Bapak yang bercerita padaku. Betapapun, itulah akibat melihat bulan baru lewat bahu kiri.
Petualangan Huckleberry Finn 71 Hari-hari cepat berlalu, dan air m ulai turun lagi. Yang m ula- m ula kam i kerjakan adalah m em asang tali kail raksasa yang kam i tem ukan di rum ah hanyut. Seekor kelinci yang telah kam i kuliti kami gunakan sebagai umpan pada salah satu mata kail. Dengan kail itu kami berhasil menangkap ikan sebesar manusia, panjangnya dua m eter, beratnya lebih dari dua ratus pon. Kam i tak bisa m enariknya, salah-salah kam i bisa dilem parkannya ke Illinois. Kam i biarkan dia m eronta-ronta terus sam pai akhirnya m ati. Dari dalam perutnya kam i dapatkan sebuah kancing baju tem baga, sebuah bola, dan banyak barang-barang kecil lainnya. Dengan kapak yang kam i dapat dari rum ah hanyut, kam i belah bola tadi. Ternyata di dalam nya terdapat sebuah gulungan benang. Menurut perkiraan J im pastilah gulungan benang itu sudah terlalu lama berada di dalam perut ikan tadi hingga terbungkus menjadi bola. Ikan itu adalah ikan terbesar yang pernah ditangkap di Mississippi, kukira, J im pun belum pernah melihat ikan sebesar itu. Pasti kam i m endapat uang banyak bila kam i bawa ke desa. Biasanya ikan sebesar ini dijual dengan tim bangan, orang-orang m em belinya sepotong-sepotong. Dagingnya seputih salju dan sangat enak. Pagi harinya aku m erasa sedikit bosan tinggal di pulau itu, aku ingin mencari berita ke tepi sungai. J im setuju tetapi ia m enyarankan agar aku pergi ke desa bila hari telah gelap saja. Kem udian setelah m enim bang-nim bang ia m engusulkan agar aku m em akai salah satu pakaian yang kam i dapat, berdandan sebagai seorang gadis. Usul yang baik! Kugulung celanaku dan dengan dibantu J im kukenakan gaun. Gaun itu pas sekali. Kupakai topi kain, m aka lengkaplah aku, seperti cerobong kom por. Kata J im, di siang hari pun akan susah mengenaliku. Sepanjang hari kupakai terus baju itu untuk m em biasakan diri. Lam a-kelam aan aku pun terbiasa, hanya m enurut J im , aku tidak bisa berjalan seperti seorang gadis, lagi pula aku terlalu sering merogoh-rogoh saku celanaku.
72 Mark Twain Begitu hari gelap, aku berangkat ke arah pantai Illinois. Dekat di bawah pelabuhan kapal, aku menunjukkan perahuku ke seberang, dan aliran arus sungai m enyebabkan aku m endarat di tepi kota sebelah hilir. Setelah mengikat perahu aku naik ke darat. Dari sebuah pondok yang tam pak tak berpenghuni kelihatan cahaya lam pu. Aku jadi heran, lalu m endekat dan m engintai dari jendela. Kulihat seorang wanita berum ur kita-kira em pat puluh tahun sedang m erajut dekat lilin di m eja. Aku tak kenal wajahnya, agaknya ia orang baru, sebab sem ua orang di kota itu dikenal dengan baik. Untung juga, sebab saat itu timbul rasa takutku kalau-kalau ada orang yang m engenaliku, m ungkin m engenal suaraku. Walaupun wanita ini orang baru, pasti ia akan tahu apa saja yang terjadi di kota, bila saja ia telah berada di tem pat ini kira-kira dua hari yang lalu. J adi kuketuk pintu dan kuingatkan sekali lagi diriku bahwa kali ini aku adalah seorang wanita.
KAMI DIKEJAR “MASUKLAH !” KATA wan ita itu. Aku m asuk. Ia berkata, “Duduklah.” Aku duduk. Ia m em perhatikan aku dengan m atanya yang bersinar-sinar dan bertanya: “Siapakah nam am u?” “Sarah William s.” “Di m ana kau tinggal? Dekat dari sini?” “Tidak, Nyonya. Rum ahku di Hookervile, tujuh m il ke sebelah hilir. Dari sana aku berjalan kaki terus, dan kini aku amat lelah.” “Dan lapar juga, kukira. Akan kuam bilkan sesuatu untukm u. “Tak usah Nyonya. Dua m il perjalanan m em buatku begitu lapar hingga terpaksa berhenti di sebuah rum ah petani. Kini aku tak lapar lagi. Itulah yang m em buatku begini terlam bat. Ibuku sakit, kam i kehabisan uang dan segalanya. Aku akan pergi ke rum ah pam anku, Abner Moore. Ia tinggal di tepi lain kota ini, kata Ibu. Aku belum pernah kem ari, apa Nyonya kenal pam anku itu?”
74 Mark Twain “Tidak, aku belum kenal banyak orang di sini, baru dua minggu aku tinggal di tempat ini. J auh juga ke ujung lain kota, lebih baik kau bermalam saja, copotlah topimu.” “Tidak, aku akan beristirahat sebentar dan m eneruskan perjalanan. Aku tak m erasa takut akan kegelapan.” Wanita itu berkata, ia tak akan membiarkanku berjalan sendiri. Satu setengah jam lagi suam inya akan datang dan akan disuruhnya m engantarkan. Kem udian ia berbicara panjang lebar tentang suam inya, tentang sanak keluarganya di bagian hilir sungai dan dibagian mudik, dan tentang keadaan mereka sebelum pindah kem ari yang jauh lebih baik. Menurut nyonya itu, sangat salah bagi mereka untuk pindah ke kota ini dan seterusnya dan seterusnya, hingga aku berpikir keliru sekali datang padanya untuk m engetahui keadaan kota. Tetapi akhirnya pembicaraan beralih pada bapakku dan peristiwa pembunuhan terhadap diriku. Ia berbicara tentang aku dan Tom Sawyer yang m enem ukan uang dua belas ribu dolar (m enurut katanya m alah dua puluh ribu dolar), tentang Bapak dan betapa kejam nya dia, serta tentang pembunuhan terhadapku. “Siapa yang m em bunuhnya?” tanyaku. “Berita pem bunuhan itu juga sam pai ke Hookerville, tetapi tak ada yang bisa m enduga siapa yang m em bunuh Huck Finn.” “Hm , banyak orang yang m enganggap dirinya pandai di sini, m engira bahwa yang m em bunuh adalah bapaknya sendiri.” “Astaga! Betulkah itu?” “H am pir sem ua oran g berpikiran dem ikian m ula-m ula. Nyaris ayah Huck Finn digantung karena itu. Tetapi sebelum malam terakhir, semua orang berubah pikiran, mereka menduga pem bunuh Huck ialah seorang budak negro bernam a J im yang melarikan diri.” “Astaga! Ia....” Ham pir saja aku lupa. Cepat-cepat aku m enutup m ulut. Untung wanita itu tak tahu bahwa aku baru saja membuka mulut.
Petualangan Huckleberry Finn 75 Ia berkata terus, “Negro itu m elarikan diri tepat pada m alam Huck Finn dibunuh orang. Maka barang siapa yang m enem ukan negro itu diberi hadiah, tiga ratus dolar. J uga ada hadiah untuk yang m enem ukan ayah Huck, dua ratus dolar. Bapak Finn yang m em bawa berita tentang kem atian anaknya ke kota, ia ikut m encari m ayat dengan naik kapal tam bang, tapi begitu pencarian m ayat selesai, ia m enghilang. Malam itu orang-orang sudah siap untuk m enggantungnya, tapi ia m enghilang. Hari berikutnya ternyata J im juga tak ada, rupanya negro itu m enghilang sejak pukul sepuluh pada malam Huck Finn terbunuh. Maka dakwaan orang jatuh pada si negro. Selagi orang ramai mendakwa si negro, bapak Huck muncul, memaki-maki Hakim Thatcher dan minta uang untuk bekal mencari negro itu ke Illinois. Tuan Hakim m em berinya sedikit uang, tapi uang itu digunakannya untuk mabuk-mabukan. Ia mabuk hingga lewat tengah malam bersam a dua orang asing yang berwajah kejam . Setelah itu ketiganya m enghilang. Ia tak pernah tam pak lagi, dan tak ada yang m engharapnya m uncul kem bali, sebab kini orang-orang punya dugaan bahwa dialah yang m em bunuh anaknya sendiri, agar bisa m enguasai uang anaknya tanpa repot berurusan dengan pengadilan. Ia mencoba menipu orang dengan mengatur segala sesuatu hingga tam paknya Huck Finn dibunuh oleh peram pok. Kata orang, Bapak Finn itu cukup cerdik, bila ia kem bali setahun lagi maka ia tak bisa dituntut oleh pengadilan, sebab tak ada bukti yang nyata. J adi bila keadaan telah tenang, tanpa susah payah ia bisa m enguasai uang anaknya.” “Ya, kukira m em an g begitu. Tak kulihat kem un gkin an lainnya. Apakah m asih ada orang yang m enyangka bahwa negro itu yang m em bunuh Huck Finn?” “Ada juga, tapi tak sem ua orang. Banyak juga yang berpikir begitu. Apabila negro itu tertangkap, ia bisa dipakai untuk m en ga ku .”
76 Mark Twain “Astaga, apakah orang m asih m engejarnya?” “Alangkah tololnya, engkau, Nak. Apakah tiga ratus dolar bisa kita tem ukan cum a-cum a setiap hari? Ada banyak orang yang punya dugaan bahwa negro itu berada tak jauh dari sini. Aku salah seorang yang punya pikiran dem ikian, tetapi tak kukatakan hal itu pada orang lain. Beberapa hari yang lalu aku berbicara dengan suam i-istri tua yang tinggal di rum ah sebelah. Dan kebetulan mereka berkata bahwa tak seorang pun pernah pergi ke Pulau J ackson. Aku bertanya apakah tak ada orang tinggal di pulau itu. Tidak ada, jawab m ereka. Aku tak berbicara lagi, tapi aku berpikir keras. Aku m erasa yakin bahwa sehari-dua hari sebelum itu, aku melihat asap mengepul dari bagian dekat kepala pulau itu. Mungkin sekali negro itu bersem bunyi di sana, pikirku. Betapapun tak ada ruginya bila tem pat itu digeledah. Tak pernah kulihat asap lagi, bila itu asap api unggun si negro, mungkin ia telah pergi. Namun suamiku akan berangkat memeriksa pulau itu. Suamiku dan seorang lagi. Hari ini suamiku baru pulang dari m udik, dan segera kuberi tahu tentang perkiraanku dua jam yang lalu.” Aku jadi begitu gelisah hingga aku tak bisa duduk tenang. Aku harus m engerjakan sesuatu dengan tanganku, m aka kuam bil sebuah jarum dan kumasukkan benang ke lubang jarum. Tanganku gem etar, lam a sekali baru berhasil. Ketika wanita itu berhenti berbicara, aku m engangkat kepala, ternyata ia m em andangku dengan penuh perhatian, bahkan tersenyum sedikit. Kutaruh kembali jarum dan benang tadi, dan aku pura-pura tertarik pada pendapatnya dan berkata, “Tiga ratus dolar m em ang uang yang sangat banyak. Alangkah senangnya bila ibuku bisa m em iliki uang itu. Apakah suam i Nyonya akan pergi ke pulau itu m alam in i?” “Oh, ya. Ia sedang ke kota dengan orang yang kuceritakan tadi untuk mencari perahu dan meminjam senapan satu lagi. Tengah m alam nanti m ereka akan m enyeberang ke pulau itu.”
Petualangan Huckleberry Finn 77 “Bukankah m ereka bisa m elihat lebih jelas bila hari siang?” “Benar. Tapi si negro juga bisa m elihat lebih jelas. Lewat tengah m alam kem ungkinan besar negro itu sedang tidur nyenyak. Malam -m alam lebih m udah untuk m encari unggun apinya, bila ada.” “Oh ya, tak terpikir olehku tadi.” Sementara itu wanita tadi terus memperhatikan diriku hingga aku m akin gelisah. Akhirnya ia bertanya, “Siapa nam am u tadi, Sayang?” “M... Mary William s.” Aku jadi bingung sendiri, rasanya tadi aku tidak m enyebut nam a Mary. Aku tak berani m engangkat m uka, teringat olehku tadi aku m enyebut Sarah. J adi aku m erasa tersudut dan takut kalau hal itu diketahui oleh nyonya itu. Betapa tertetekannya hatiku kala ia berkata, “Sayangku, kukira kau tadi berkata bahwa nam am u adalah Sarah. Bukankah dem ikian tadi, Nak?” “Oh ya, Nyonya, m em ang benar. Sarah Mary William s. Sarah adalah nam a pertam aku. Ada yang m em anggilku Sarah, ada yang m em anggilku Mary.” “Oh, begitukah?” “Benar, Nyonya.” Aku m erasa sedikit lega, tapi alangkah senangnya bila aku bisa cepat-cepat m eninggalkan tem pat itu. Aku m asih belum berani mengangkat muka. Wanita itu mulai berbicara lagi, berbicara tentang keadaan buruk yang harus m ereka derita, betapa m iskin keadaan m ereka dan betapa tikus-tikus di rumah itu begitu berani hingga seolah- olah tikus-tikus itulah yang m em iliku rum ah. Lam a-lam a aku tak gelisah lagi m endengar pem bicaraan yang sam a sekali tak m enyangkut diriku. Betul juga kata nyonya itu tentang tikus. Di sudut kam ar ada sebuah lubang dan sering kali sebuah kepala tikus muncul di situ. Kata wanita itu, ia terpaksa m enyediakan sesuatu untuk alat
78 Mark Twain pelempar tikus-tikus itu, kalau tidak binatang-binatang itu akan lebih m erajalela. Ditunjukkannya sepotong tem baga yang dipuntir hingga m erupakan sim pul. Katanya, ia cukup jitu m elem parkan benda itu, nam un sehari-dua hari yang lalu tangannya keseleo hingga tak bisa dipastikan apakah lem parannya m asih jitu. Tapi ia tak takut untuk mencoba, tepat saat itu muncul seekor tikus dan sekuat tenaga ia lem par. Lem paran itu jauh sekali dari sasaran, dan si wanita terpaksa m enjerit, “Ouh!” kesakitan. Disuruhnya aku mencoba melempar. Walaupun aku ingin segera pergi sebelum suam inya tiba, tak kuperlihatkan hal itu padanya. Tikus yang m uncul kem udian pasti akan m am pus kena lem paranku bila ia tak cepat-cepat m asuk lubang kem bali. Nyonya itu m em uji lem paranku, dan ia yakin pasti pada lem paran kedua aku akan berhasil. Diam bilnya gum palan tem baga itu, juga setukal benang yang akan digulungnya. Dia m inta bantuanku m em egangi benang itu. Kuacungkan kedua tanganku, dilingkarkannya tukalan benang tadi di situ. Sam bil bekerja ia berbicara lagi tentang suam inya. Mendadak ia berkata, “Perhatikan juga tikus-tikus itu. Lebih baik kau sim pan tem baga ini di pangkuanm u, Sayang.” Sam bil berkata dilem parkannya gum palan tim bel itu ke pangkuanku, kurapatkan pahaku untuk m enyam butnya. Ia m eneruskan pem bicaraannya. Nam un hanya kita-kira sem enit, diam bilnya tukalan benang di tanganku, sam bil m enatapku ia bertanya, “Nah, kini katakan nam am u yang sebenarnya.” “Ba... bagaim ana, Nyonya?” “Nam am u sebenarnya Bill, Tom , atau Bob? Atau apa?” Mestinya tubuhku gem etar bagaikan daun ditiup badai, dan beberapa saat aku tak tahu harus berbuat apa. Kem udian aku berkata, “J angan ganggu gadis m alang seperti aku ini, Nyonya. Bila aku m erepotkan saja di sini, lebih baik aku....” “Tidak, jangan pergi dulu. Duduklah, tetaplah di tem patku. Aku tak akan m enyakitim u, aku tak akan m em buka rahasiam u.
Petualangan Huckleberry Finn 79 Katakan saja rahasiam u, percayalah, aku tak akan m em bukanya pada siapa pun, dan lagi m ungkin aku bisa m enolongm u. Begitu juga suam iku bila kau m enghendakinya. Aku tahu, kau m urid pertukangan yang m elarikan diri, bukankah begitu? Itu bukan apa-apa. Tak perlu aku m erasa terlalu berdosa karenanya. Pastilah kau telah diperlakukan dengan sangat buruk. Selamatlah engkau kiranya, Nak, aku tak akan m engkhianatim u. Ayolah katakan apa yang telah terjadi.” Aku sadar bahwa tak ada gunanya m enyem bunyikan rahasia lebih lam a. Akan kuceritakan sem uanya dengan sejujur-jujurnya asal saja ia m enepati janjinya. Kukatakan ayah dan ibuku telah meninggal dunia, dan undang-undang menetapkan aku harus menjadi anak semang merangkap murid pada seorang petani kejam tiga puluh m il di sebelah hilir sungai. Aku diperlakukannya begitu buruk hingga aku tak betah lagi. Petani itu sedang pergi untuk dua hari, maka kuambil kesempatan melarikan diri dan m encuri pakaian bekas anak perem puannya. Tiga m alam aku telah berjalan, m enjalani jarak tiga puluh m il itu. Aku terpaksa berjalan di m alam hari dan siang harinya tidur dan bersem bunyi. Kantung berisi roti dan daging yang kubawa dari rum ah telah kosong kini, tapi tak pernah aku kelaparan. Aku percaya pam anku Abner Moore akan m au m em eliharaku, itulah sebanya aku datang ke kota Goshen ini. “Goshen, Nak? Astaga, ini bukan Goshen. Ini St. Petersburg. Goshen m asih sepuluh m il lagi. Siapa yang m engatakan padam u bahwa ini Goshen?” “Seorang lelaki yang kutem ui m enjelang pagi tadi, pada waktu akan m asuk hutan untuk tidur. Katanya pada persim pangan jalan aku harus belok kanan, dan setelah lima mil akan kucapai Gosh en .” “Ia sedang m abuk, m ungkin, yang dikatakannya sam a sekali sa la h .”
80 Mark Twain “Mem ang tam paknya ia m abuk, tapi tak apalah. Aku akan berangkat sekarang, dan sebelum pagi pasti telah sampai di Gosh en .” “Tunggu sebentar, kubungkuskan sedikit m akanan untukm u. Pasti akan kau perlukan nanti.” Ia m enyiapkan m akanan dan tiba-tiba bertanya, “Coba, bila seekor sapi berbaring dan akan berdiri, bagian yang m ana yang lebih dulu bangkit? Cepat jawab, tak usah berpikir. Bagian m ana?” “Bagian ekornya, Nyonya? “Seekor kuda?” “Bagian kepalanya.” “Bagian sebelah m ana dari sebatang pohon lum ut-lum ut terus tumbuh?” “Bagian sebelah utaranya.” “Bila lim a belas ekor sapi m erum put di lereng sebuah bukit, berapa ekor dari mereka makan dengan kepala menghadap ke satu arah?” “Sem uanya, Nyonya, lim a belas ekor” “Tepat sem ua, agaknya kau betul-betul pernah hidup di daerah pertanian. Tadinya kukira kau m enipuku lagi. Siapa nam am u yang sebenarnya?” “George Peters, Nyonya.” “Nah, cobalah m en gin gat-in gat n am am u den gan betul, George. J angan-jangan bila ditanya lagi kau bilang nam am u George Alexander. Dan jangan berlaku sebagai gadis di depan wanita. Kau sam a sekali tak bisa m eniru seorang gadis, bila di hadapan kaum pria mungkin masih bisa, tapi di depan wanita tidak. Diberkati uban kiranya engkau, Nak, bila kau m em asukkan benang ke lubang jarum, jangan kau gerakkan jarum ke arah benang, tapi benang ke arah jarum . Begitulah cara seorang wanita, sedang kebalikannya adalah cara lelaki m em asukkan benang ke jarum . Waktu kau m elem par, berdirilah berjinjit, ayunkan
Petualangan Huckleberry Finn 81 tanganmu dari atas kepala sekaku mungkin, jangan kenakan sasaranm u, lebih baik bila yang kau lem parkan itu jatuh enam atau tujuh kaki dari sasaran. Gerakkan tanganmu kaku-kaku dari bahu, seolah-olah ada engsel di tempat itu untuk memutar lengan, itulah cara perem puan m elem par dengan tangannya. Dan juga ingatlah, bila seorang gadis hendak m enerim a sesuatu yang dilem parkan ke pangkuannya, ia m alah m erenggangkan pahanya, membuka, tidak seperti kau tadi menangkupkan paha. Sejak kau memasukkan benang tadi aku sudah tahu bahwa kau seorang anak lelaki, lain-lainnya kucobakan untuk m eyakinkan diriku. Nah, berangkatlah kini ke pam anmu, Sarah Mary Williams George Alexander Peters, dan bila kau m endapatkan kesulitan, cepat- cepat kirim berita pada Nyonya Edith Loftus, itulah nam aku, dan akan kucoba nanti untuk menolongmu. Ikutilah terus jalan di tepi sungai ini, dan kali pakailah sepatu, jalan ini terlalu berbatu-batu hingga sampai di Goshen pastilah kakimu akan hancur.” Aku m engikuti jalan sungai yang ditunjukkannya itu sejauh kira-kira lim a puluh yard, kem udian aku m engam bil jalan berputar dan m enyelinap ke dalam perahuku yang sedikit berada di bawah rum ah nyonya tadi. Aku m eninggalkan pantai dengan tergesa- gesa. Aku m em udik sungai sam pai cukup jauh untuk m encapai kepala Pulau J ackson, lalu kuseberangkan perahu. Kubuka topiku agar kepalaku lebih bebas. Kira-kira di tengah sungai kudengar lonceng berbunyi. Aku berhenti untuk m endengarkan. Sayup- sayup terdengar di atas air sungai sebelah kali. Sesam painya di kepala pulau, aku tak membuang waktu untuk mengatur napas, walaupun aku sangat terengah-engah, aku cepat-cepat m enyelusup m asuk ke hutan, ke tem pat dulu aku berkem ah sebelum bertem u J im . Cepat-cepat kubuat sebuah api unggun besar di tempat kering dan ketinggian. Kem udian aku m elom pat ke dalam perahu, kukayuh ke tem pat persem bunyian kam i, satu setengah m il di sebelah hilir,
82 Mark Twain sekuat aku bisa. Aku m elom pat ke daratan, m enem bus rim ba dan m enaiki bukit tem pat gua kam i berada. J im sedang tidur nyenyak. Kubangunkan dia, “J im , bangun! Cepat! Tak ada waktu lagi! Kita d ike ja r !” J im tak bertanya, tak berkata sepatah pun. Setengah jam kam i m em indahkan sem ua m ilik kam i ke atas rakit. Cara J im bekerja m enunjukkan betapa besar rasa takutnya. Selesai berkem as, rakit kam i m eluncur keluar dari tem pat persem bunyian di antara sem ak-sem ak dedalu. Selam a bekerja tadi kam i hanya m enggunakan lilin, itu pun hanya terbatas di dalam gua. Api unggun di luar gua telah kumatikan ketika aku tiba tadi. Aku berdayung m enjauhi pantai. Tak kulihat apa-apa, tak kulihat sebuah perahu pun. Nam un aku tak yakin. Bulan tiada. Rakit kam i terus m eluncur, hanyut dalam kegelapan, m elam paui kaki pulau. Tak sepatah kata keluar dari mulut kami.
JANGAN CARI KESULITAN KIRA-KIRA PUKUL satu m alam barulah kam i m elam paui Pulau J ackson, dan rakit kam i hanyut perlahan sekali. Bila sebuah perahu mendekati kami, menurut rencana kami berdua akan m elom pat dari rakit ke perahu dan cepat-cepat berkayuh ke pantai Illinois. Untung saja tak sebuah perahu pun terlihat sebab ternyata senapan, kail, dan sem ua m akanan tak berada di rakit. Kam i tadi terlam pau tergesa-gesa. Sungguh tidak bijaksana untuk menaruh semua barang di rakit, sedang perahu kosong. Bila benar ada orang m endatangi pulau kam i, pastilah m ereka akan m endatangi unggun yang kubuat, dan m enunggu di sekitar tem pat itu untuk bisa m enyergap J im . Biar m ereka sem alam an m enunggui api unggun itu. Pokoknya m ereka jauh dari kam i. Dan bila tipuanku dengan api unggun itu tak berhasil, jangan salahkan aku. Tak bisa kupikirkan tipuan yang lebih keji dari itu. Ketika fajar m enyingsing, kam i berlabuh di sebuah gosong pasir yang penuh ditum buhi oleh pohon kapas. Gosong pasir itu
84 Mark Twain berada di tikungan sungai, di pantai Illinois. Rakit dan perahu kami ikat, dan dengan kapak kami potong dahan-dahan pohon kapas untuk menutupi rakit sehingga dari kejauhan tak akan tam pak, sedang yang tam pak seolah-olah di tem pat itu baru terjadi tanah longsor. Di pantai Missouri tanah berbukit-bukit, di pantai Illinois hutan rim ba. Arus lalu lintas di tem pat itu berada di tepi daerah Missouri, jadi kami tak usah mengkhawatirkan kalau-kalau kami kepergok orang. Sepanjang hari kami berada di tempat itu, m em perhatikan rakit-rakit dan kapal-kapal uap yang m enghilir sungai m eluncur di tepian Missouri, dan kapal-kapal uap yang m em udik sungai m elawan arus di tengah sungai. Kuceritakan pada J im pengalamanku waktu bercakap-cakap dengan wanita sem alam . Kata J im wanita itu sungguh-sungguh cerdik. Bila wanita itu sendiri yang m engejar kam i, kata J im , pastilah ia tak akan tertipu oleh api unggunku, pasti ia akan datang dengan m em bawa anjing pencari jejak. Mengapa ia tak m enyuruh suam inya m em bawa anjing, tanyaku. J im berani bertaruh bahwa pasti pada waktu orang-orang itu akan berangkat, si wanita cerdik tersebut akan mengingatkan mereka untuk membawa anjing, itulah sebabnya m ereka terlam bat datang, m ereka harus m em injam anjing-anjing itu dulu. Kalau tidak, pasti kam i tak akan bisa lolos dengan demikian mudah, sampai berhasil berada enam atau tujuh belas mil di bagian hilir sungai. Ketika hari m ulai gelap, kam i m enongolkan kepala keluar dari sem ak-sem ak, m elihat ke segala arah. Am an! J im m em bongkar beberapa papan lantai rakit untuk membuat semacam gubuk di atas rakit itu, tempat berteduh bila hari panas atau hujan, juga untuk tem pat m enyim pan barang-barang. Lantai gubuk itu berada satu kaki di atas lantai rakit, sehingga barang-barang di atasnya tak tercapai oleh sem buran air yang disebabkan oleh lalunya sebuah kapal uap. Tepat di tengah gubuk kami beri lapisan tanah
Petualangan Huckleberry Finn 85 setinggi lim a atau enam inci, dengan bingkai di sekelilingnya agar lapisan tanah tersebut tak buyar. Lapisan tanah tersebut akan kami gunakan sebagai tempat api unggun untuk pemanas tubuh bila udara dingin. Cahaya api kam i perhitungkan tak akan bisa terlihat dari jauh karena tertutup oleh dinding gubuk. Kam i juga m em buat sebuah dayung kem udi, untuk persediaan bila dayung yang lam a patah. Sebuah tongkat yang bercabang ujungnya kam i dirikan di lantai rakit, untuk m enggantungkan lentera. Lentera itu akan m enghindarkan kam i dari bahaya tertubruk oleh kapal uap yang sedang m enghilir sungai. Untuk kapal yang sedang berlayar ke m udik, kam i tak usah khawatir sebab air m asih tinggi, pangkalan sungai tiada, dan kapal-kapal itu tak menggunakan aluran lalu lintas perahu tetapi mengambil jalan di tengah sungai. Malam kedua, kam i berhanyut-hanyut selam a tujuh atau delapan jam , dengan arus yang berkecepatan kira-kira em pat m il per jam . Kerja kam i selam a itu hanyalah m enangkap ikan, om ong- omong, dan sekali-sekali berenang-renang untuk menghilangkan rasa kantuk. Keagungan sungai raksasa yang m engalir tenang itu serta langit luas berbintang di atas kami bila kami telentang di lantai rakit m em buat kam i jadi pendiam , setengah takut. Kam i jarang sekali tertawa keras. Sedikit sekali bicara. Udara dan cuaca baik sekali, kami tak mendapat gangguan pada malam-malam b er iku t n ya . Tiap m alam kam i lewati kota-kota. Kadang-kadang jauh sekali di punggung bukit-bukit, yang terlihat jelas. Malam kelim a kam i lewati kota St. Louis. Betapa cem erlangnya! Seakan lam pu- lampu seluruh dunia terkumpul di tempat itu. Pernah kudengar orang berkata di St. Petersburg bahwa St. Louis berpenduduk dua puluh atau tiga puluh ribu orang. Dulu aku tak percaya, tapi setelah m elihat lam pu-lam pu kota, terpaksa aku percaya. Kam i m elewati kum pulan ribuan cahaya yang indah itu sekitar pukul dua m alam . Sunyi sekali waktu itu, tak terdengar satu suara pun.
86 Mark Twain Tiap m alam setelah m elewati St. Louis, kira-kira pukul sepuluh, aku m enyelinap ke darat, m em asuki desa-desa kecil, untuk membeli bahan makanan seharga sepuluh atau lima belas sen. Kadang-kadang kusam bar juga ayam -ayam yang belum pulang ke kandangnya. Itu sesuai dengan nasihat bapakku, yaitu am billah ayam bila ada kesem patan, sebab bila kita sendiri tak m em erlukannya, toh bisa kita berikan pada orang lain yang m ungkin m em butuhkan ayam tersebut, yang berarti orang itu akan berutang budi pada kita, utang budi yang tak akan terlupakan. Tapi selama ini belum pernah aku melihat Bapak m em berikan ayam hasil curiannya pada orang lain, selalu dihabiskannya sendiri. Pagi-pagi m enjelang terbitnya m atahari biasanya juga kugunakan untuk menjelajah di ladang-ladang, meminjam semangka, labu, atau jagung-jagung muda atau hasil ladang lainnya yang bisa dim akan. Mem injam itu istilah Bapak, dan katanya hal tersebut bukanlah perbuatan jahat, sebab walaupun kita m engam bil tanpa seizin yang em punya, dalam hati kita punya m aksud untuk m em bayarnya kelak. Tapi kata Nyonya J anda, perbuatan semacam itu adalah suatu pencurian, dan terlarang bagi orang-orang yang sopan. J im berpendapat bahwa baik Nyonya J anda m aupun Bapak benar, jadi harus diam bil jalan tengah. Dari daftar kebutuhan yang ada, kam i akan m em injam dua atau tiga macam jika ada kesempatan, setelah itu kami berjanji untuk tidak lagi meminjam benda-benda itu sehingga kam i punya alasan untuk m em injam benda-benda lainnya. Suatu m alam kam i rundingkan m asak-m asak apa yang tidak akan kam i pinjam , satu per satu kam i pertim bangkan dari daftar hasil kebun yang panjang. Akhirnya m enjelang pagi kam i putuskan bahwa kam i tak akan m em injam apel kepiting dan persim on. Aku am at gembira akan putusan tersebut, sebab aku tak suka akan apel kepiting dan buah persimon baru akan masak kira-kira tiga bulan yang akan datang.
Petualangan Huckleberry Finn 87 Bila ada kesem patan, kam i juga m enem bak unggas-unggas air yang terlalu pagi bangun atau terlalu sore tidur. Kehidupan kam i di rakit itu boleh dikata cukup m enyenangkan. Malam kelim a di dekat St. Louis lewat tengah m alam kam i ditim pa badai hebat. Badai teriring kilat dan halilintar, sem entara hujan juga turun dengan lebatnya. Kam i berlindung dalam gubuk, m em biarkan rakit kam i berjalan sem aunya. Bila saja kilat m enyam bar, kam i bisa m elihat jelas sungai raksasa itu yang dipagari oleh tebing-tebing tinggi di sisinya. Tiba-tiba aku m elihat seseuatu. “Lihat J im , itu!” teriakku pada J im . Sebuah kapal uap terdam par di batu karang! Kam i sedang hanyut tepat ke arah kapal rusak itu. Cahaya kilat m em buat kam i bisa m elihatnya dengan sangat jelas. Kapal tersebut sangat m iring, sebagian geladak atasnya m asih berada di atas air. Cahaya kilat m enam pakkan cerobong asap yang bersih serta sebuah kursi dengan sebuah topi tergantung di sandarannya dekat lonceng besar. Di m alam yang gelap dan hujan badai terdapat sebuah kapal rusak yang tam paknya kosong dan ditinggalkan, hati anak-anak m ana yang tak akan penuh keinginan untuk m enyelidiki kapal rusak yang penuh rahasia itu. Aku ingin naik ke kapal tersebut, m elihat-lihat apa yang ada. Aku berkata pada J im , “Mari kita naik, J im.” Mula-m ula J im sam a sekali tak m au. “Aku tak in gin m em buang waktu di kapal rusak itu. Keadaan kita sam pai saat ini cukup baik. J angan cari-cari kesulitan. Mungkin sekali di situ ada penjaganya.” “Penjaga nenekm u!” tukasku. “Tak ada lagi yang perlu dijaga di kapal itu kecuali ruang pandu dan ruang pesta. Dan siapa mau berjaga di perahu itu yang setiap saat bisa pecah, hanyut dan hancur?” J im diam saja. “Dan lagi,” kataku selanjutnya, “m ungkin kita bisa meminjam barang-barang dari kamar kapten. Serutu yang berharga lim a sen satu, m isalnya. Kapten kapal uap selalu
88 Mark Twain kaya, gaji m ereka enam puluh dolar sebulan, dan m ereka tak sayang untuk m engham bur-ham burkan uang itu. Bawa sebatang lilin lagi, J im , aku tak akan m erasa puas sebelum m enyelidiki kapal ini. Coba, m ungkinkah Tom Sawyer m elepaskan begitu saja kesem patan seperti ini? Tak m ungkin. Keadaan seperti ini akan dianggapnya sebagai suatu petualangan yang tak ada bandingnya, dan ia pasti naik ke kapal itu walaupun jiwanya akan terancam karenanya. Dan betapa ia akan m enantang bahaya untuk dirinya!” J im m enggerutu, tapi akhirnya ia setuju. Kam i m eram bat dalam kegelapan, m eyusuri sisi kapal m enuju ruang pesta yang berjendela banyak itu, m eraba-raba dengan kaki keadaan yang begitu gelap. Segera juga kami berhasil mencapai ujung depan tingkap kaca ruang itu. Kam i naik ke atas tingkap itu dan beberapa langkah kemudian sampai ke pintu kamar kapten. Rakit telah kami ikat di derek sebelah kanan kapal uap itu. Pintu kamar kapten terbuka, dan astaga! Kam i dengar suara-suara m anusia dari ujung ruang pesta! Bahkan terlihat kelipan lilin! J im berbisik m engatakan bahwa perutnya tiba-tiba sangat terasa sakit. Ia ingin turun ke rakit, dan minta agar aku m engikutinya. Aku pun takut juga, tapi baru saja akan m elangkah kudengar dari ujung ruangan itu suara m enjerit, “J angan, oh, jangan, kawan! Aku bersum pah tak akan m em buka rahasia!” Sebuah suara lain, yang juga nyaring, terdengar berkata, “Kau dusta, J im Turner. Kau selalu bertingkah begini. Kau selalu m inta bagian lebih banyak dan selalu m endapatkannya, karena kau berjanji untuk tidak membuka rahasia. Tetapi kami telah bosan pada sum pahm u itu. Kaulah anjing yang paling berbahaya dan paling tak bisa dipercaya di negeri ini.” Waktu itu J im sudah tak ada di dekatku, ia telah pergi ke rakit, agaknya. Hatiku dipenuhi oleh rasa ingin tahu, kukatakan pada diriku sendiri tentunya Tom Sawyer tak akan m undur ketakutan dalam keadaan seperti ini, dan aku pun tidak. Aku m erangkak di
Petualangan Huckleberry Finn 89 gang, dalam kegelapan, sam pai aku hanya dipisahkan oleh sebuah kamar dari ruang bersilang tempat senang-senang itu. Di dalam ruang tersebut kulihat seorang lelaki terbaring di lantai, diikat kaki-tangannya. Di depannya berdiri dua orang lelaki lain, seorang m em bawa lentera yang lem ah nyalanya, seorang m em bawa pistol. Yang m em bawa pistol berkata sam bil m engacungkan pistolnya ke kepala orang yang terbaring, “Lega sekali bisa m em bunuhm u, dan m em ang itulah yang akan kulakukan, pengkhianat busuk!” Orang yang terbaring itu m erintih-rintih, “Oh, jangan, Bill, aku tak akan membuka rahasia.” Si pem bawa lentera tertawa, “Tepat sekali, kau m em ang tak akan bisa membuka rahasia lagi. Dengar, betapa ia m inta dikasihani! Tapi kalau saja bukan kita yang lebih dulu m engalahkannya, pasti kita berdua telah dibunuhnya tanpa sebab. Hanya karena kita m inta hak kita! Kukira kau tak akan bisa m engancam orang lagi, J im Turner. Sim pan pistolm u, Bill!” “Un tuk apa, J ake Packard? Aku in gin m em bun uhn ya, bukankah ia juga membunuh si Tua Hatield tanpa belas kasihan sedikit pun? Orang ini wajib kita bunuh!” “Tapi aku tak ingin terbunuh, aku punya alasan untuk itu.” “Kiranya Tuhan m em berkati engkau, J ake Packard! Takkan kulupakan engkau seum ur hidupku!” seru orang yang terbaring di lantai mengiba-iba. Packard tak m em perhatikannya, ia m enggantungkan lentera di paku kem udian m elangkah ke arah aku bersem bunyi, m em beri isyarat pada Bill untuk ikut. Aku terpaksa m erangkak secepatnya mundur, namun kapal itu begitu miring hingga amat sukar bagiku untuk bisa bergerak cepat. Terpaksa aku masuk sebuah kamar untuk m enghindari tubrukan dengan kedua orang itu. Keduanya berjalan dengan m eraba-raba dalam gelap, dan ternyata Packard m asuk juga ke kam ar yang kum asuki sam bil berkata, “Mari, m asuk kem ari!”
90 Mark Twain Bill m enyusul m asuk. Tapi sebelum m ereka berdua m asuk, aku telah memanjat ke bagian atas sebuah tempat tidur bersusun. Betapa m enyesal aku telah naik ke kapal rusak itu. J ake dan Bill berdiri di tepi tem pat tidur, bersandar dan berbicara. Aku tak bisa m elihat keduanya, tapi bisa kukira-kira di m ana m ereka berada dari bau wiski yang agaknya baru saja m ereka m inum . Aku gem bira bahwa aku tak m inum wiski, nam un seandainya aku minum pun mereka tak akan mengetahui tempatku, sebab aku sam a sekali tak bernapas. Aku takut sekali! Lagi pula orang tak akan bisa bernapas bila mendengarkan percakapan kedua orang itu. Mereka berbicara perlahan, bersungguh-sungguh. Bill in gin sekali m em bun uh Turn er. Katan ya, “Dia pern ah berkata akan membuka rahasia kita, suatu kali hal itu pasti dilakukannya. Bilapun kita beri dia bagian kita sem ua, itu tak akan m enghalanginya untuk m engadukan kita begitu dia bebas. Biarlah kubunuh saja dia.” “Aku pun berm aksud begitu,” sahut Packard tenang. “Terkutuk! Kukira tadi kau tak ingin ia dibunuh. Kalau begitu, mari kita bereskan saja sekarang.” “Tun ggu dulu, aku belum selesai berkata. Den garkan . Menem baknya m em ang cukup gam pang. Tapi ada jalan yang lebih baik dan tak terlalu ribut. Lagi pula apa gunanya m enam bah daftar kesalahan kita bila hal itu bisa kita hindari.” “Mem ang, tapi bagaim ana m aksudm u? Bagaim ana cara kita m em bunuhnya?” “Begini. Kita bereskan sem ua barang-barang yang ada di kapal ini dan kita sem bunyikan di pantai. Kita pergi diam -diam . Kita tunggu di pantai. Dalam dua jam saja kapal ini akan hancur dan hanyut. Nah! Ia akan m ati terbenam . Dan itu lebih baik daripada kita yang m em bunuhnya secara langsung. Aku sam a sekali tak setuju untuk membunuh seseorang, jika masih ada
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164
- 165
- 166
- 167
- 168
- 169
- 170
- 171
- 172
- 173
- 174
- 175
- 176
- 177
- 178
- 179
- 180
- 181
- 182
- 183
- 184
- 185
- 186
- 187
- 188
- 189
- 190
- 191
- 192
- 193
- 194
- 195
- 196
- 197
- 198
- 199
- 200
- 201
- 202
- 203
- 204
- 205
- 206
- 207
- 208
- 209
- 210
- 211
- 212
- 213
- 214
- 215
- 216
- 217
- 218
- 219
- 220
- 221
- 222
- 223
- 224
- 225
- 226
- 227
- 228
- 229
- 230
- 231
- 232
- 233
- 234
- 235
- 236
- 237
- 238
- 239
- 240
- 241
- 242
- 243
- 244
- 245
- 246
- 247
- 248
- 249
- 250
- 251
- 252
- 253
- 254
- 255
- 256
- 257
- 258
- 259
- 260
- 261
- 262
- 263
- 264
- 265
- 266
- 267
- 268
- 269
- 270
- 271
- 272
- 273
- 274
- 275
- 276
- 277
- 278
- 279
- 280
- 281
- 282
- 283
- 284
- 285
- 286
- 287
- 288
- 289
- 290
- 291
- 292
- 293
- 294
- 295
- 296
- 297
- 298
- 299
- 300
- 301
- 302
- 303
- 304
- 305
- 306
- 307
- 308
- 309
- 310
- 311
- 312
- 313
- 314
- 315
- 316
- 317
- 318
- 319
- 320
- 321
- 322
- 323
- 324
- 325
- 326
- 327
- 328
- 329
- 330
- 331
- 332
- 333
- 334
- 335
- 336
- 337
- 338
- 339
- 340
- 341
- 342
- 343
- 344
- 345
- 346
- 347
- 348
- 349
- 350
- 351
- 352
- 353
- 354
- 355
- 356
- 357
- 358
- 359
- 360
- 361
- 362
- 363
- 364
- 365
- 366
- 367
- 368
- 369
- 370
- 371
- 372
- 373
- 374
- 375
- 376
- 377
- 378
- 379
- 380
- 381
- 382
- 383
- 384
- 385
- 386
- 387
- 388
- 389
- 390
- 391
- 392
- 393
- 394
- 395
- 396