dkk membuat pemeriksaan sederhana untuk mendeteksi neuropati otonom pada pasien DM dengan memeriksa perubahan interval gelombang R-R dalam waktu singkat. Aplikasi parameter tersebut kemudian dilanjutkan oleh Wolf dkk (1978) yang menemukan bahwa penurunan HRV berhubungan dengan peningkatan mortalitas pasca-MI. Pada tahun 1981, Akselrod dkk mengenalkan analisis HRV spektral untuk menilai kontrol kardiovaskular hingga pada masing-masing denyutnya. Hal tersebut merupakan cikal bakal analisis domain frekuensi (selanjutnya disebut frequency domain) yang berperan penting dalam mempelajari efek persarafan otonom dalam fluktuasi interval R-R denyut jantung. Pada tahun 1996, perkumpulan masyarakat eropa pada dokter ahli jantung atau Task Force of The European Society of Cardiology The North American Society of Pacing and Electrophysiology yang melibatkan ahli kesehatan, teknik, matematika dan fisiolgois mengeluarkan suatu pedoman standar pengukuran interpretasi fisiologi dan penggunaan klinis (standard of measurement, physiological interpretation, and clinical use) untuk analisa sinyal HRV, dimana pengukuran HRV berdasarkan variasi detak ke detak (beat to beat) dari interval RR. Teknologi penilaian HRV semakin maju sehingga pada akhir 1980-an, berbagai studi telah berhasil membuktikan bahwa HRV merupakan prediktor kuat dan independen tehadap mortalitas pasca-MI.13,14,15 3.2 Faktor Fisiologis Yang Mempegaruhi HRV Kontrol otonom dilakukan pada setiap denyut jantung secara individual (beat-to- beat control) variasi denyut jantung dalam keadaan istirahat timbul karena stimulasi vagal akan menginduksi aktivitas kolinergik dan menghambat aktivitas adrenergik, demikian pula sebaliknya; pada aktivitas, variasi tersebut dipengaruhi stimulasi simpatis yang menginduksi aktivitas adrenergik dan menghambat aktivitas kolinergik. Untuk memberikan pengaruh maksimal, baik sistem simpatis maupun parasimpatis melepaskan neurotransmitter secara sinkron dengan siklus jantung yang diatur oleh pusat (seperti pusat vasomotor dan respirasi di medula oleh karena terdapat fluktuasi pada kedua jenis pengaturan tersebut, Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 89
maka pelepasan neurotransmitter juga berfluktuasi menyesuaikan dengan siklus jantung yang dibutuhkan sehingga timbul HRV. Dengan kata lain, analisis pada HRV sekaligus menilai 4 komponen, yaitu: (1) pusat osilator denyut jantung; (2) sistem saraf otonom; (3) faktor humoral, dan; (4) nodus SA.13 Pada orang yang sehat, nodus SA yang terletak pada dinding posterior atrium kanan menginisiasi timbulnya denyut jantung. Karena sel pacu tersebut memiliki membran potensial yang terus berubah-ubah, potensial aksi dibentuk secara periodik dalam frekuensi yang relatif konstan. Frekuensi yang relatif tetap tersebut timbul dari autoritmisitas nodus SA yang dipengaruhi komponen - komponen yang telah disebutkan sebelumnya dengan mengatur variabilitas pada frekuensi yang berbeda. Faktor endokrin yang mempengaruhi HRV meliputi tiroksin, hormon reproduksi, sistem renin-angiotensin, steroid, dan lain sebagainya. Sebagian besar hormon tersebut, terutama steroid dan angiotensin, meningkatkan HRV melalui mekanisme yang diduga terjadi dalam sistem saraf pusat. Selain hormon-hormon tersebut, terdapat pula substansi penting lainnya dalam pengaturan HRV, yaitu adenosin. Adenosin diproduksi di jantung dan kerjanya terbagi menjadi dua metode: (1) meningkatkan denyut jantung di reseptor adenosinergik jantung, dan; (2) meningkatkan denyut jantung dalam kadar sedang-tinggi (dan sebaliknya menurunkan denyut jantung dalam dosis rendah) melalui kemoreseptor traktus solitarius di sistem saraf pusat.13,16 Berhubungan dengan kedua jenis regulator tersebut, persarafan intrinsik jantung yang didominasi interneuron otonom ikut memegang peranan dalam menentukan HRV, namun cara kerjanya masih belum jelas. Di samping substansi fisik, komponen frekuensi dalam HRV dipengaruhi pula oleh faktor-faktor fisiologis lain seperti respirasi, aktivitas nodus SA, dan lain sebagainya. Komponen HF yang diatur oleh tonus vagal berhubungan dengan frekuensi respirasi, sedangkan komponen low frequency (LF) yang diatur oleh tonus simpatis berhubungan dengan aktivitas sel pacu jantung. Seiring dengan ditemukannya faktor-faktor yang mempengaruhi HRV, penggunaannya sebagai parameter independen dalam menggambarkan tonus otonom tidak selalu Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 90
konsisten. Hal tersebut disebabkan pengukuran HRV tidak hanya dipengaruhi oleh tonus otonom, melainkan multifaktorial. Di samping itu, komponen frekuensi dari HRV dapat saja berubah menyerupai gangguan keseimbangan otonom namun sebenarnya tidak. Terakhir, masing-masing persarafan simpatis dan parasimpatis tidak selalu bekerja secara searah, misalnya peningkatan laju denyut jantung pada inspirasi atau penurunannya pada ekspirasi yang sama-sama dimediasi oleh sistem parasimpatis. Oleh karena itu, dalam pengukuran HRV, komponen-komponen yang terkandung di dalamnya harus digunakan secara sinergis sebagai indeks pengukuran sehingga dapat meningkatan nilai prediksinya dalam sebuah kejadian kardiovaskular.13,16 3.3 Indeks Pengukuran HRV HRV dapat diukur dalam jangka pendek dalam hitungan menit atau dalam jangka panjang, misalnya 24 sampai 72 jam. Di dalam analisis pengukuran HRV dapat dibagi menjadi pengukuran time domain dan frequency domain. 13 3.3.1 Time Domain Pengukuran time domain adalah pengukuran berdasarkan waktu dan merupakan pengukuran yang sederhana dalam HRV. Pengukuran ini menganalisis laju jantung pada titik tertentu atau interval antara kompleks yang normal. Dalam perekaman EKG kontinu akan dikenali kompleks QRS dan interval RR atau normal to normal (NN) yang merupakan jarak antara kompleks QRS normal dari depolarisasi nodus sinus. Metode time domain dapat diukur secara statistik atau geometrik.13 Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 91
Pengukuran secara statistik adalah penghitungan variabel-variabel dengan menggunakan kaidah statistik seperti rata-rata dan standar deviasi (simpangan baku). Penghitungan secara statistik dapat dibagi dua kelompok yaitu yang dihitung dari interval NN atau yang diturunkan dari perbedaan dari interval NN. Berbagai studi telah menunjukkan bahwa penurunan HRV yang diukur lewat analisis time-domain berhubungan dengan prognostik PJK, kardiomiopati, gagal jantung, dan pasca-MI yang buruk. Selain sebagai parameter prognostik, dalam praktik sehari-hari analisis time domain juga digunakan sebagai pemantau keberhasilan terapi SKA menggunakan BB, PCI, dan anti-aritmia. Prinsip penggunaan analisis tersebut berdasarkan parameter-parameter yang terdapat dalam sistem biologis tubuh manusia seharusnya mengikuti distribusi normal kurva waktu, sehingga apabila terdapat Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 92
penyimpangan dari salah satu parameter tersebut maka dapat dikatakan terdapat gangguan dalam system. Keuntungan dari analisis time-domain adalah mudah dilakukan dan tetap memberikan informasi prognostik spesifik. Meski begitu, metode ini rentan terhadap bias sekunder yang disebabkan perubahan karakteristik dasar (misalnya peningkatan denyut jantung awal) dan kurang dapat membedakan denyut jantung yang memiliki tampilan numerik (rerata, rentang) yang hampir sama namun dengan gambaran ritme yang berbeda. Komponen yang digunakan dalam pengukuran time-domain dapat dilihat pada tabel 2.8,11,13 Tabel 3. Nilai rujukan normal pada metode time domain Variabel Nilai normal (ms) Rata-rata RR interval > 750 SDNN 141 ± 39 SDANN 127 ± 35 rMSSD 27 ± 12 Standar deviation normal to normal (SDNN), Standar deviation average normal to normal (SDANN), dan root mean square of successive differences (rMSSD). Diterjemahkan dari: Task Force of the European Society of Cardiology and the North American Society of Pacing and Electrophysiology. 13 Tabel 4. Nilai rerata dan rentang nilai Short term – HRV pada metode time domain Variabel Nilai normal (ms) Rentang (ms) Rata-rata RR interval 926 ± 90 785-1160 SDNN 50 ± 16 32-93 rMSSD 42 ± 15 19-75 Standar deviation normal to normal (SDNN) dan root mean square of successive differences (rMSSD).Diterjemahkan dari: Nunan D, et al. A Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 93
quantitative systematic review of normal values for short- term heart 17 rate variability in healthy adults. Pengukuran time domain secara geometrik menggunakan pengukuran bentuk geometri dari data yang disusun dengan gambaran histogram atau bentuk yang dibentuk secara matematis, seperti yang dicontohkan pada gambar 6. Pada gambar tersebut terlihat grafik dengan aksis horisontal merupakan durasi interval NN (D), dengan durasi interval NN distribusi terbanyak (X) dengan jumlah (Y). HRV triangular index dihitung dengan rumus D/Y. Sedangkan TINN dihitung dengan membuat interpolasi atau titik- titik baru dari histogram sehingga terbentuk sebuah segitiga baru, seperti titik (A) dan (B) pada gambar 6. TINN dihitung dengan rumus B - A.9 Gambar 6. Pengukuran HRV Triangular Index. Diterjemahkan dari: Yılmaz et a. 9 3.3.2 Frequency Domain Pengukuran frequency domain memiliki pemahaman yang lebih rumit dibandingkan time domain. Dari metode ini akan didapatkan informasi mengenai perubahan laju jantung dibandingkan laju osilasi pada 4 frekuensi utama. Total power adalah suatu estimasi dari daya total dari kerapatan spektrum dalam rentang keseluruhan keempat frekuensi yaitu 0 dan 0,4 Hz. Empat frekuensi utama pada HRV (gambar 7), dengan nilai normal pada tabel 5, adalah ultra low frequency (ULF), very low frequency (VLF), low frequency Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 94
(LF) dan high frequency (HF). Kesemua frekuensi ini menunjukkan aktivitas simpatis dan parasimpatis dari sistem saraf otonom.9,13 Gambar 7. Spektrum Frekuensi HRV. Dikutip dari: Diabetic cardiac autonomic neuropathy,inflammation and cardiovascular disease. 2013.18 Tabel 5. Nilai Normal Pengukuran Metode Frequency Domain pada HRV dengan Posisi Supinasi Selama 5 Menit Perekaman Variabel Nilai normal (ms2) Total power Low frequency (LF) 3466 + 1018 High frequency (HF) 1170 + 416 LF/HF 975 + 203 1,5 – 2,0 Diterjemahkan dari: Task Force of the European Society of Cardiology and the North American Society of Pacing and Electrophysiology. Heart Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 95
rate variability. Standards of measurement, physiological interpretation, and clinical use. Eur Heart J. 1996. 13 Ultra low frequency adalah daya spektrum dengan rentang frekuensi di bawah 0,0033 Hz. Karakteristik dan manfaatnya masih tidak diketahui. Untuk menilai frekuensi ini diperlukan perekaman 24 jam. Frekuensi ini biasanya tidak dapat direkam oleh kebanyakan alat holter.Very low frequency adalah daya spektrum dengan rentang frekuensi antara 0,0033 dan 0,04 Hz. Parameter ini kemungkinan menunjukkan aktvitas fungsi simpatis. VLF jarang diteliti dan digunakan, namun beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan yang erat dengan LF. Penurunan VLF berhubungan dengan peningkatan parameter inflamasi seperi C reactive protein, interleukin 6, dan hitung leukosit. Frekuensi ini juga tampaknya berperan pada proses termoregulasi dan sistem hormonal seperti renin-angiotensin dan testosteron. VLF ideal direkam secara jangka panjang.9,14 Low frequency adalah daya spektrum dengan rentang frekuensi antara 0,04 dan 0,15 Hz. Frekuensi ini menunjukkan aktivitas baroreseptor yang merupakan gabungan simpatis dan parasimpatis, yang berhubungan dengan termoregulasi dan aktivitas vasomotor perifer. Baroreseptor merupakan mekanoreseptor yang sensitif terhadap regangan (stretch) yang terletak di ruang jantung, vena kava, sinus karotis, dan arkus aorta. Frekuensi LF dapat direkam secara jangka pendek atau jangka panjang. High frequency adalah daya spektrum dengan rentang frekuensi antara 0,15 dan 0,4 Hz. Parameter ini menunjukkan aktivitas parasimpatis oleh nervus vagus. Frekuensi HF juga dikenal berhubungan dengan pernafasan karena berhubungan dengan respiratory sinus arrhythmia. Frekuensi ini dapat direkam secara jangka pendek atau jangka panjang. Low frequency dan high frequency dapat dibentuk menjadi sebuah rasio yang disebut rasio LF/HF, yang membandingkan kekuatan (power) frekuensi rendah dan frekuensi tinggi. Parameter ini menunjukkan keseimbangan menyeluruh antara sistem saraf simpatis dan parasimpatis yang disebut sebagai keseimbangan simpatovagal. Jika rasio LF/HF tinggi, maka hal ini mencerminkan dominasi dari sistem saraf simpatis, sementara jika sebaliknya maka menunjukkan sistem saraf parasimpatis yang lebih dominan. 9,14,13 3.4 Nilai Normal HRV berdasarkan Usia dan Jenis kelamin Usia adalah salah satu faktor yang mempengaruhi nilai HRV. HRV yang lebih rendah umumnya menunjukkan peningkatan usia dan nilai tinggi Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 96
berkorelasi dengan peningkatan kebugaran. Usia berkorelasi dengan kapasitas homeostatis, yang merupakan kemampuan tubuh untuk menstabilkan diri sebagai respons terhadap stresor. Selain usia dan faktor lain yang memainkan peran penting adalah jenis kelamin. Nilai tersebut menunjukkan bahwa laki- laki memiliki HRV yang lebih rendah daripada perempuan dalam rentang usia yang sama. Ini menunjukkan bahwa laki- laki menunjukkan kecenderungan simpatis yang lebih kuat daripada parasimpatis dibandingkan perempuan yang sebanding. Pengaruh Jenis Kelamin dan Usia pada subjek yang sehat telah diteliti oleh Voss dkk (2015). 19 Dalam studi tersebut, indeks HRV jangka pendek (pengukuran EKG 5 menit) terhadap 1.906 individu sehat yang berusia 25 - 74 tahun dianalisis berdasarkan jenis kelamin dan usia terhadap. Hasil penelitian menunjukkan bahwa wanita di bawah usia 55 menunjukkan nilai HRV time domain yang lebih tinggi untuk RMSSD, PNN50, dan, HF daripada pria dalam rentang usia yang sebanding. Secara khusus, RMSSD yang lebih tinggi, rasio Frequecy domain LF / HF yang lebih rendah dan Poincare SD1 / SD2 yang lebih rendah pada wanita di bawah usia 55 menunjukkan peningkatan dominasi parasimpatis. Perubahan HRV yang bergantung pada usia mengindikasikan berkurangnya aktivasi parasimpatis dengan bertambahnya usia. Hilangnya variabilitas dan kompleksitas detak jantung yang cukup besar terutama dapat disebabkan oleh perubahan struktural kardiovaskular, melalui hilangnya sel alat pacu jantung sinoatrial atau penurunan fleksibilitas arteri dan perubahan fungsional dalam proses pengaturan lainnya yang terjadi selama penuaan. 19 Tabel 6. Nilai normal HRV berdasarkan usia dan jenis kelamin. Dikutip dari: Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 97
Voss A, et al. Short-Term Heart Rate Variability-Influence of Gender and Age in Healthy Subjects. 19 3.5 Photoplethysmograph dalam Pengukuran HRV Pulse photoplethysmograph (PPG) diperkenalkan pertama kali oleh Hetzman pada tahun 1938 sebagai modalitas sederhana yang berguna untuk mengukur perubahan volume darah sewaktu pada mikrovaskular perifer (gambar 7). Nilai tersebut didapatkan melalui sistem oksimetri pulsasi dengan prinsip absorpsi gelombang cahaya. Gelombang PPG sendiri mengandung komponen direct current (DC) dan alternative current (AC) gelombang yang pertama timbul akibat komponen volume darah non-pulsatil dan perubahan jaringan sekitar arteri, sedangkan gelombang yang kedua timbul akibat komponen pulsatil arteri yang berasal dari denyut jantung. Dalam praktik klinis sehari-hari, hingga kini PPG digunakan secara luas sebagai alat evaluasi saturasi oksigen darah, laju denyut jantung, tekanan darah, keluaran jantung, dan respirasi. Hal tersebut disebabkan keuntungan PPG yang sederhana, murah, praktis, dan hanya menggunakan satu sensor. Oleh karena keuntungannya yang banyak dan kerjanya yang dipengaruhi oleh sistem persarafan otonom, maka selanjutnya PPG digunakan untuk pemantauan sistem kardiovaskular lebih dalam; pengukuran HRV (nilai yang terukur disebut pulse rate variability ( PRV).20,21 Gambar 7. Metode Pengukuran PPG. 21 Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 98
Perbedaan utama HRV dan PRV adalah waktu yang dibutuhkan gelombang pulsasi untuk sampai ke jari tempat alat PPG terpasang, yang disebut pulse transit time (PTT) diukur dengan cara mengukur interval waktu antara puncak gelombang R pada EKG dan puncak gelombang pulsasi pada PPG. Komponen tersebut menjadi penting dalam pengukuran PRV karena PTT yang berhubungan dengan komplians arteri dan tekanan darah juga memiliki variabilitas sehingga pengukuran HRV dengan PPG harus memperhitungkan koreksi PTT. Dewasa ini, seiring dengan perkembangan teknologi kedokteran, maka dalam praktik klinis sehari-hari modalitas yang non-invasif, real-time, mudah, dan efisien menjadi sangat penting, baik dalam menegakkan diagnosis, pemantauan terapi, hingga stratifikasi risiko. Penggunaan PPG sebagai modalitas pengukuran HRV yang lebih praktis dibandingkan EKG menjadi perhatian klinisi, mulai dari bidang kardiovaskular hingga non-kardiovaskular seperti psikiatri. Selain memiliki kegunaan lain (misalnya sebagai pengukur oksimetri), hal tersebut ditunjang dengan pengukuran PPG yang memiliki nilai diagnostik yang tidak dengan pengukuran konvensional secara stasioner. 22,23 Gambar 8. Gelombang HRV dari EKG dan PPG.21 Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 99
APLIKASI HRV PADA BIDANG KARDIOVASKULER 1. HRV dan Penyakit Jantung Koroner Faktor-faktor risiko dan lingkungan yang meningkatkan risiko PJK seperti merokok, obesitas, kurang aktivitas, hipertensi, diabetes dan hiperkolesterolemia, sudah dikenal luas. Faktor-faktor risiko ini mengubah fungsi otonom, yang berhubungan dengan berkembangnya PJK dan peningkatan mortalitas pada populasi umum. Peningkatan risiko ini mungkin disebabkan oleh ketidakstabilan listrik di jantung yang didominasi oleh pengaruh sistem saraf simpatik. Sistem saraf simpatis, penyakit arteri koroner, dan iskemia miokard berhubungan dengan beberapa mekanisme. Pertama, sistem simpatis dapat terlibat dalam proses aterosklerosis melalui aktivasi trombosit dan pembentukan platelet-derived growth factor dan dengan menginduksi cedera mekanik pada dinding pembuluh darah sebagai akibat dari peningkatan tekanan darah dan kecepatan aliran darah. Kedua, kontrol simpatik dari tonus vasomotor koroner, yang dalam kondisi normal tidak bermakna, namun menjadi signifikan setelah terjadi disfungsi endotel pada penyakit arteri koroner. Dalam keadaan ini, peningkatan tonus adrenergik simpatis dapat menyebabkan vasokonstriksi koroner dan ketika kebutuhan oksigen miokard meningkat maka iskemia miokard dapat terjadi. Iskemia miokard dapat juga mengaktifkan beberapa sistem neurohormonal, seperti simpatis dan sistem renin-angiotensin. Hal ini menyebabkan vasokonstriksi sistemik, dan juga meningkatkan iskemia miokard. Iskemia miokard yang berkepanjangan juga menghasilkan pelepasan norepinefrin progresif pada jantung.23 Dengan HRV dapat dinilai modulasi saraf simpatis dan parasimpatis pada tingkat eferen jantung, termasuk di miokardium. Gangguan pada pengaturan otonom kardiovaskular telah banyak diamati pada berbagai penyakit, termasuk salah satunya penyakit jantung koroner. Adanya keterkaitan ini ditemukan pada tahun 1987. Kleiger menemukan bahwa gangguan fungsi otonom ini dapat memperkirakan mortalitas pasien dengan PJK yang telah mengalami infark miokardium.24 Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 100
HRV dapat menilai secara dini pada pasien-pasien dengan berbagai faktor risiko seperti aterosklerosis, hipertensi, diabetes melitus yang memiliki risiko tinggi akan morbiditas dan mortalitas kardiovaskular, dengan menurunnya tonus vagal. Hal-hal di atas telah banyak dibuktikan pada pasien dengan penyakit jantung hipertensi, gagal jantung kronis, dan riwayat infark miokard, sedangkan pada sindrom koroner kronis masih tidak terlalu banyak dibanding lainnya, terutama pada pasien yang belum pernah mengalami infark. HRV telah banyak dipelajari pada pasien pasca infark miokardium. Pada fase sangat dini saat pasca infark, HRV menjadi menurun baik pada infark anterior maupun inferior. Hal ini tampaknya disebabkan oleh pengaruh zat adrenergik pada pasca infark, yang dibuktikan dengan dominasi simpatis yaitu meningkatknya rasio LF/HF. Komponen HF tampak menurun pada fase akut hingga pemulihan infark dan keadaan ini berbanding lurus dengan luasnya daerah infark. Saat pemulihan terjadi perbaikan pada HRV hingga satu tahun setelah kejadian infark. Valkama dkk (1993) menunjukkan adanya ketidakseimbangan simpatovagal yang mendahului timbulnya irama ektopik pada ventrikel. 25,26 Pada pasien pasca infark, HRV yang menurun merupakan prediktor independen terhadap kematian dan berkaitan dengan risiko kematian jantung mendadak, namun masih memiliki daya stratifikasi risiko yang rendah. HRV dapat digunakan sebagai parameter stratifikasi risiko jika digabungkan dengan paramter lain seperti fraksi ejeksi. Mironova dkk (2009) dalam observasinya selama 4 sampai 7 tahun pada pasien angina pectoris, HRV telah berubah pada pasien PJK pada fase gangguan metabolisme sebelum terjadinya disfungsi diastolik dengan berubahnya fungsi vagal pada nodus sinus sehingga mengurangi SDNN. Begitu pula ada beberapa pendapat yang berbeda mengenai korelasi HRV dengan derajat keparahan lesi koroner. Selain itu, HRV juga dapat digunakan sebagai stratifikasi risiko pada pasien PJK. Pada PJK, Huikuri (1995) berpendapat bahwa HRV dapat saja sudah berkurang saat proses PJK yang asimtomatik. Selain itu regularitas laju jantung juga mulai terganggung.8,27 Intervensi bedah, CABG, dihubungkan dengan penurunan HRV Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 101
perioperatif yang akan membaik selama perjalanan waktu sehingga diperkirakan nilai prognostik HRV tradisional menjadi kontroversial apabila seorang pasien menjalani CABG, penurunan HRV diduga lebih berhubungan dengan komplikasi pasca-operatif dibandingkan dengan komplikasi PJK pada umumnya. Adapun intervensi non- bedah masih menunjukkan hasil yang bervariasi; pemberian BB ditemukan meningkatkan nilai HRV pada pasien PJK, sedangkan anti-aritmia berhubungan dengan mortalitas akibat penurunan variabilitas. Faktor intervensi baik bedah maupun farmakologis ditemukan memiliki nilai prognostik, namun nilai tersebut tidak signifikan.8,28 2. HRV Dan Disfungsi Kardiak HRV telah banyak dipelajari pada keadaan disfungsi terutama pada hipertrofi pada berbagai keadaan seperti stenosis katup aorta, kardiomiopati hipertrofi, dan penyakit jantung hipertensi. Pada penyakit jantung koroner banyak diteliti mengenai disfungsi ventrikel kiri pasca infark, namun sangat sedikit yang meneliti saat sebelum infark. Seperti yang telah dijelaskan bahwa pada gagal jantung terdapat ketidakseimbangan otonomik dan pengeluaran zat-zat seperti epinefrin dan norepinefrin yang kemudian akan mempengaruhi HRV. Lebih lanjut oleh Alter et al ditemukan bahwa pengurangan HRV berkorelasi dengan left ventricular mass index (LVMI) dan usia pasien. Namun pada penelitian ini, menggunakan pasien stenosis aorta, kardiomiopati hipertofi, dan penyakit jantung hipertensi sebagai sampel.29 Perbandingan antara kelompok fungsi ventrikel kiri yang normal dengan kelompok disfungsi telah dipelajari oleh Shehab et al. Mereka meneliti 114 pasien dan menemukan bahwa laju jantung dan parameter HRV berhubungan terbalik secara signifikan pada pasien dengan fungsi ventrikel normal dan disfungsi, yang diukur dengan fraksi ejeksi menurut Simpson. Pada penelitian tersebut dikatakan HRV tidak dapat digunakan sebagai faktor prediksi terhadap penurunan fungsi sistolik ventrikel kiri, sehingga pada penelitian tersebut HRV belum dapat digunakan sebagai tes pemindai (screening) untuk mengenal dini disfungsi ventrikel Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 102
kiri.30 3. Peran Revaskularisasi Terhadap HRV Iskemia miokard merupakan pemicu dari keadaan hiperaktivitas saraf simpatis sehingga dengan menghilangkan pemicu tersebut diharapkan akan mengurangi aktivitas simpatis yang berlebih. Terdapat beberapa penelitian yang mendukung hal tersebut. Gomes dkk (2010) melakukan penelitian pada 20 pasien dengan SCAD yang memiliki gejala yang persisten meskipun dengan terapi farmakologis, dan pasien tersebut menjalani PCI Sistem simpatis dinilai dengan HRV selama 10 menit dan dilakukan sebelum tindakan dan 1 bulan setelah PCI. Dari penelitian tersebut didapatkan low frequency / high frequency (LF/HF) ratio turun sebelum dan sesudah tindakan PCI (3,7 ± 0,6 dan 2,4 ± 0,4; P<0.05). Mereka menyimpulkan bahwa revaskularisasi jantung dengan PCI dapat mengurangi aktivitas simpatis sentral pada pasien dengan iskemia miokard yang dapat memberikan efek menguntungkan terhadap peningkatan perfusi miokard.31 Abrootan dkk (2015) meneliti 64 pasien dengan SCAD yang terdiri dari 27 pria dan 37 wanita pada usia rata-rata 56,8 ± 9,1 tahun. Pasien tersebut menjalani tindakan revaskularasi dengan PCI dan dilakukan pemeriksaan short term HRV selama 5 menit yang diperiksa sebelum tindakan dan 24 jam setelah tindakan PCI. Pemeriksaan HRV dianalisa dengan menggunakan metode time domain. Terdapat perbedaan yang signifikan hanya antara SDNN sebelum dan sesudah revaskularisasi (27,5 ± 19,72 vs 41 ± 41,4; nilai p = 0,013). Parameter time domain lain tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan setelah PCI. Mereka menyimpulkan bahwa revaskularisasi pada SCAD dapat memperbaiki parameter dari HRV. Penelitian lain dari Aydinlar dkk juga meneliti peran revaskularisasi pada HRV. Mereka melakukan penelitian pada 26 pasien dengan penyakit jantung koroner dengan gangguan satu pembuluh darah yang menjalani PCI elektif. Short term HRV (selama 5 menit) dilakukan dengan metode time domain dan frequency domain. HRV dilakukan segera sebelum inflasi balon dan lima menit setelahbalon deflasi. Para peneliti mendapatkan pasien Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 103
dengan PJK yang menjalani PCI terdapat perbaikan hasil HRV yaitu perbaikan dari low frequency pada analisa spektral di mana parameter tersebut mencerminkan sistem simpatis.32,33 4. HRV pada Gagal Jantung dan Aritmia Sejumlah penelitian terbaru mengkonfirmasi bahwa HRV secara signifikan mengalami penurunan pada pasien dekompensasi gagal jantung dan penilaian HRV dapat digunakan untuk mengidentifikasi pasien gagal jantung dengan pronosa buruk. Boveda dkk (2010) memeriksa analisis domain waktu HRV pada 190 pasien dengan gagal jantung dan menemukan bahwa HRV yang menurun memiliki nilai prognostik independen. Pada tahun 1998 percobaan multisenter (n = 1071) The autonomic tone and reflexes after myocardial infarction (ATRAMI) menunjukkan bahwa HRV berkontribusi penting terhadap stratifikasi risiko pada pasien paska infark dan dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri <35% dan dilaporkan carvedilol, spironolakton dan beta-blocker mengurangi denyut jantung dan meningkatkan HRV pada gagal jantung kongestif. Bilchick dkk (2002) melaporkan bahwa pasien dengan SDNN < 65,3 ms memiliki peningkatan risiko kematian mendadak yang signifikan (p = 0,016). Mereka menunjukkan bahwa HRV adalah prediktor independen dari mortalitas dan secara bermakna dikaitkan dengan kematian mendadak pada pasien dengan kardiomiopati iskemik.34 Aritmia, terutama aritmia ventrikel (ventricular tachycardia/VT dan ventricular fibrillation/VF), merupakan penyebab kematian fase akut MI dengan penyebab yang bervariasi meliputi iskemia, gangguan elektrolit, mekanisme re-entry, dan peningkatan automatisitas. Aritmia ventrikel memiliki tingkat kematian dua kali lipat dibandingkan dengan aritmia lainnya. Faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian aritmia ventrikel antara lain: gagal jantung, hipotensi, takikardia, syok, dan skor TIMI yang tinggi. Laporan terbaru dari ATRAMI mengkonfirmasi nilai prediksi HRV untuk aritmia yang mengancam jiwa pada pasien setelah infark miokard. HRV (SDNN, SDANN) juga ditemukan berkurang secara signifikan pada korban yang meninggal mendadak dari berbagai etiologi. Schmitt dkk (2001) melakukan dua langkah stratifikasi Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 104
risiko untuk mengidentifikasi pasien yang berisiko tinggi pada aritmia ventrikel setelah infark miokard akut dan menggunakan HRV sebagai salah satu tes skrining non-invasif pada 1.436 pasien paska infark. Selama rata-rata 607 hari tindak lanjut, mortalitas jantung secara signifikan lebih tinggi pada subkelompok 96 pasien berisiko tinggi yang menolak studi elektrofisiologi.34,36 PERUBAHAN HRV TERKAIT KONDISI NON KARDIAK Beberapa gejala dari gangguan psikiatri berhubungan dengan disregulasi SSO. Contohnya, pasien depresi biasanya mengeluhkan mulut kering, konstipasi/ diare atau insomnia. Berdasarkan pengamatan klinis hal ini terjadi tidak terbatas hanya pada pasien depresi saja tetapi meluas untuk penyakit mental lainnya. Penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa depresi merupakan risiko independen dari morbiditas dan mortalitas kardiovaskular. Pasien yang menderita penyakit kardiovaskuler yang komorbid dengan depresi, diketahui memiliki pengurangan nilai HRV jangka pendek dan jangka panjang. Penelitian lebih lanjut lainnya menunjukkan bahwa pengurangan nilai HRV pada pasien dengan penyakit jantung iskemik dan depresi dapat diterapi dengan menggunakan anti depressan. Dalam mempelajari nilai HRV pada depresi sendiri, hasil kontra didapatkan, tetapi banyak artikel publikasi menunjukkan bahwa depresi sendiri berhubungan dengan pengurangan HRV. Walaupun demikian, laporan terbaru menjelaskan bahwa penggunaan antidepressant dapat berkontribusi pada pengurangan nilai HRV pada orang depresi. 37 Gangguan cemas biasanya dihubungkan dengan peningkatan mortalitas kardiovaskular. Pasien dengan gangguan panik atau kecemasan fobia memiliki risiko tinggi dalam penyakit kardiovaskular dibandingkan dengan subjek kontrol. Stress diketahui dapat mengubah keseimbangan simpatofagal terutama pada saraf simpatis. Penelitian terbaru menggunakan analisis HRV menunjukkan penurunan fungsi fagal jantung dan fungsi simpatis yang relatif meningkat pada pasien dengan gangguan cemas. Penelitian lainnya juga menjelaskan hubungan antara kecemasan Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 105
dengan disfungsi SSO menggunakan analisis HRV. Palpitasi, sebuah simptom khas pada serangan panik, berhubungan pada penurunan aktivitas parasimpatis pusat, merujuk pada peningkatan denyut jantung selama serangan panik. Pasien skizofrenia tanpa pengobatan medis menunjukkan penurunan RMSSD, pNN50, dan daya spektrum frekuensi tinggi dibandingkan dengan subjek kontrol yang sehat, menunjukkan penurunan modulasi vagal. Penelitian lain telah mengamati hubungan antara penurunan tonus vagal pada pasien skizofrenia dan peningkatan keparahan gejala psikosis. Obat antipsikotik tertentu diketahui memiliki efek buruk pada fungsi SSO. Pasien yang diobati dengan obat antipsikotik, terutama clozapine, menunjukkan disregulasi ANS dan repolarisasi jantung abnormal. Data-data tersebut menunjukkan bahwa baik penyakit skizofrenia dan Tanda neurologis seperti disfungsi otonom terkait dalam skizofrenia karena sistem limbik dan bagian otak subkortikal yang terkait terlibat dalam urutan kontrol tertinggi pada SSO. 38 Salah satu komplikasi serius dari DM baik tipe 1 maupun tipe 2 yang sering diabaikan adalah Cardiac Autonomic Neuropathy (CAN) atau neuropati otonomik jantung. Komplikasi ini meliputi kerusakan pada serabut saraf simpatis dan parasimpatis yang menginervasi jantung dan pembuluh darah, yang mengakibatkan kelainan pada kontrol denyut jantung dan dinamika vaskular. Keterlibatan serabut saraf somatis dan otonom sebagai komplikasi kronis pada pasien DM menunjukkan patofisiologi yang sangat kompleks, tetapi control glukosa yang buruk dipercaya berperan penting pada patogenesis terjadinya neuropati otonomik jantung. CAN terdapat subklinis sebelum manifestasi klinis hadir. Subklinis CAN dapat dideteksi dengan terdapatnya pengurangan HRV. Disfungsi otonom jantung dikaitkan dengan kematian pada pasien dengan penyakit ginjal stadium akhir. Ewing dkk (1985) mengevaluasi nilai analisis HRV pada 278 pasien dengan penyakit jantung untuk mengidentifikasi mereka berisiko tinggi kematian jantung mendadak. Mereka menunjukkan bahwa pasien penyakit jantung dengan penderita diabetes memiliki fungsi otonom yang terganggu pada pengukuran HRV domain waktu selama 24 jam. Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 106
Mereka menyimpulkan HRV memegang peranan penting untuk mengidentifikasi pasien pada peningkatan risiko kematian dimana pada penelitian ini terdapat 5 pasien kematian jantung mendadak. 18 Hubungan antara endotoksemia dengan menurunnya HRV juga diamati oleh Godin dkk (1996) secara prospektif. Mereka menemukan bahwa endotoksin dikaitkan dengan hilangnya variabilitas oleh semua ukuran HRV dengan sepsis. Terdapat hubungan terkait dengan rasio LF/HF <1,50 dalam penelitian terhadap 41 pasien. Para penulis menyarankan bahwa rasio rasio LF/HF <1,0 mungkin menjadi tes diagnostik untuk sepsis. Namun, reproduksibilitas rasio LF/HF pada temuan ini perlu dikonfirmasi dengan mempelajari populasi yang lebih besar. Dihipotesiskan bahwa syok septik mengakibatkan terputusnya interkonektivitas sistem organ sebagai penurunan dalam HRV. Ellenby dkk (2001) mengevaluasi 7 anak dengan syok septik dengan mengamati perubahan serial dalam HRV. Perubahan denyut jantung dianalisis pada interval 6 jam selama rawat inap di unit perawatan intensif anak. 6 dari 7 pasien menunjukkan peningkatan dari waktu ke waktu dalam komponen LF dan rasio LF/HF, sedangkan komponen HF dari HRV menurun. Studi juga membandingkan perubahan rata- rata denyut jantung, standar deviasi denyut jantung, dan nilai daya HRV spektral daya selama 24 jam pertama rawat inap unit perawatan intensif pediatrik. Dalam rawat inap, komponen LF dari HRV dan rasio LF/HF meningkat, sedangkan komponen HF dari HRV terus menurun selama perjalanan penyakit. Laporan ini menunjukkan potensi nilai pemantauan HRV pada pasien anak dengan syok septik. Hasil ini sesuai dengan studi awal menunjukkan bukti dekompleksifikasi dalam model eksperimental sepsis dan dengan studi terbaru dari HRV. 39,40 PENGARUH EXERCISE TRAINING PADA PENGUKURAN HRV Sudah lama diketahui bahwa atlet memiliki denyut nadi bradikardia. Mekanisme yang mendasari penurunan HR istirahat ini telah diselidiki secara luas. Sebagian dari penurunan ini disebabkan Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 107
oleh penurunan HR intrinsik, yaitu HR yang diperoleh dengan menurunkan pengaruh otonom yang terkait dengan stabilisasi membran sel-sel sistem konduksi. Peningkatan tonus vagal juga telah berperan dalam sinus bradikardia. Mekanisme yang mendasarinya di mana exercise training meningkatkan modulasi vagal dengan angiotensin II dan nitric oxide (NO). Angiotensin II dikenal menghambat aktivitas vagal jantung. Para peneliti juga menemukan bahwa tingkat aktivitas renin plasma lebih rendah pada atlet (pelari). Temuan ini penting mengingat bahwa atlet dengan aktivitas renin plasma yang lebih rendah mungkin akan memiliki angiotensin II yang lebih rendah terkait aktivitas vagal jantung. 41 Perbedaan HRV antara individu yang terlatih dan tidak terlatih juga terlihat variabel domain waktu dalam sebagian besar studi, individu yang terlatih memiliki interval R-R yang lebih tinggi secara signifikan SDNN, pNN50 dan RMSSD dibandingkan dengan kontrol menetap yang disesuaikan dengan usia dan berat badan mereka. Beberapa Dalam studi juga memberikan data Total Power, High Frequency (HF) dan low frequency (LF) secara signifikan lebih tinggi pada atlet dibandingkan dengan individu yang tidak aktif sementara hanya satu studi yang menunjukkan sebaliknya. Di sisi lain, individu yang terlatih dalam Memiliki LF yang secara signifikan lebih rendah dibandingkan dengan rekan kerja mereka yang tidak banyak bergerak. Variabel domain waktu dan variabel HF umumnya tampak lebih tinggi pada individu yang terlatih dibandingkan dengan individu yang tidak bergerak.41,42 Amano dkk (1991) mencoba untuk secara langsung menentukan apakah durasi pelatihan berpengaruh pada HRV dengan menguji subyek mereka setelah 5 dan 12 minggu pelatihan. Mereka melaporkan tidak ada perubahan signifikan setelah 5 minggu, tetapi peningkatan yang signifikan TP, HF, dan LF setelah 12 minggu. Durasi pelatihan yang relatif singkat 6 minggu dalam sebuah studi lainnya juga tidak menyebabkan perubahan apa pun. Studi yang menggunakan durasi pelatihan antara 12 dan 16 minggu menginduksi peningkatan signifikan dalam komponen HF dan program pelatihan antara 26 dan 39 minggu peningkatan SDNN Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 108
dengan demikian program pelatihan jangka panjang menunjukkan hasil yang lebih baik daripada program jangka pendek. 43 KESIMPULAN HRV merupakan jumlah dari fluktuasi laju jantung di antara laju jantung rata-rata dan menunjukkan modulasi fungsi kardiak dari saraf otonom. Berbagai studi menunjukkan HRV merupakan faktor prognostik independen terhadap mortalitas dan morbiditas berbagai penyakit. Penyakit-penyakit yang mempengaruhi persarafan otonom terutama penyakit kardiovaskular seperti MI, DM, hipertensi, atau gagal jantung dapat mempengaruhi HRV sehingga parameter tersebut dapat menjadi prediktor bagi prognosis penyakit-penyakit dimaksud. HRV membantu diagnostik yang dini terhadap komplikasi yang mungkin terjadi pada pasien kardiovaskular apabila pengukuran HRV menunjukkan risiko tinggi sehingga memberi pertimbangan untuk penyesuaian strategi terapi selama masa perawatan. Pengukuran HRV dapat dilakukan melalui EKG Holter namun pengukurannya yang sulit, tidak praktis dan memerlukan tenaga kesehatan yang terlatih. Penggunaan teknologi PPG membuat pengukuran lebih cepat,praktis dan real- time namun tetap spesifik dan sinergik dengan perubahan berbagai faktor intriksik mapun ekstrinsik sehingga dapat digunakan sebagai parameter rutin dalam praktik kardiovaskular sehari- hari. DAFTAR PUSTAKA 1. Kabo P. Bagaimana Menggunakan Obat-Obat Kardiovaskular secara Rasional. I. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2012. 1-2 p. 2. Singh, Nikhil, et al. \"Heart rate variability: an old metric with new meaning in the era of using mhealth technologies for health and exercise training guidance. part two: prognosis and training.\" Arrhythmia & electrophysiology review 7.4 (2018): 247. 3. Barret KE, Barman S, Boitano S, Brooks HL. Ganong’s Review of Medical Physiology. 23th ed. AS:McGraw-Hill. 2010. Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 109
4. Guyton, A. Guyton & Hall Buku Ajar Fisiologi Kedokteran ed-11. Jakarta:EGC,2007. Martini, FH. Fundamentals of anatomy & Physiology seventh edition. San Fransisco: Pearson, 2006. 5. Shier D, Butler J, Lewis R. Hole’s Essential of Human anatomy & Physiology Eleventh Edition. New York: Mc-Graw Hill;2009 6. Gordan, Richard, Judith K. Gwathmey, and Lai-Hua Xie. \"Autonomic and endocrine control of cardiovascular function.\" World journal of cardiology 7.4 (2015): 204. 7. Mycek, Mary J., et al. Pharmacology. Philadelphia, Pa.: Lippincott Williams & Wilkins,, 2000. 8. Huikuri HV. Heart rate variability in coronary artery disease. J Intern Med 1995;237:349- 57. 9. Yılmaz M, Kayançiçek H, Çekic Y. Heart rate variability: Highlights from hidden signals. J Integr Cardiol. 2018;4(5):1-8 10. What-is-heart-rate-variability at https://ouraring.com/what- is-heart-rate-variability 11. Seely AJ, Macklem PT. Complex systems and the technology of variability analysis. Crit Care 2004;8:R367-84. 12. Sayers BM. Analysis of heart rate variability. Ergonomics 1973;16:17-32. 13. Task Force of the European Society of Cardiology and the North American Society of Pacing and Electrophysiology. Heart rate variability: standards of measurement, physiological interpretation and clinical use. Circulation 1996;93(5):1043-65. 14. Gernot E. Heart Rate Variability. London: Springer-Verlag; 2014. 15. Billman, George E. \"Heart rate variability–a historical perspective.\" Frontiers in physiology 2 (2011): 86. 16. Stauss HM. Heart rate variability. Am J Physiol Regul Integr Comp Physiol 2003;285:R927-R931 17. Nunan D, Sandercock GR, Brodie DA. A quantitative systematic review of normal values for short-term heart rate variability in healthy adults. Pacing Clin Electrophysiol 2010;33:1407-17. 18. Ewing DJ, Martin CN, Young RJ, Clarke BF. The value of cardiovascular autonomic function tests: 10 years experience in diabetes. Diabetic Care 1985;8:491-8 Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 110
19. Voss A, Schroeder R, Heitmann A, Peters A, Perz S. Short-Term Heart Rate Variability- Influence of Gender and Age in Healthy Subjects. PLoS ONE. 2015; 10(3): e0118308. 20. Hertzman AB. The blood supply of various skin areas as estimated by the photo-electric plethysmograph. Am J Physiol 1938;124:328-40. 21. Allen J. Photoplethysmography and its application in clinical physiological measurement. Physiol Meas 2007;28:R1-39. 22. Hayano J, Barros AK, Kamiya A, Ohte N, Yasuma F. Assessment of pulse rate variability by the method of pulse frequency demodulation. Bio Med Eng Online 2005;4:62. 23. Arrebola-Moreno AL, Laclaustra M, Kaski JC. Noninvasive assessment of endothelial function in clinical practice. Rev Esp Cardiol 2012;65:80-90. 24. Kleiger RE, Miller JP, Bigger JT, Jr., Moss AJ. Decreased heart rate variability and its association with increased mortality after acute myocardial infarction. Am J Cardio 1987;59:256-62. 25. Casolo GC, Stroder P, Signorini C, Calzolari F, Zucchini M, Balli E, et al. Heart rate variability during the acute phase of myocardial infarction. Circulation. 1992;85(6):2073- 9. 26. Valkama J, Huikuri H, Airaksinen K, Linnaluoto M, Takkunen J. Changes in frequency domain measures of heart rate variability in relation to the onset of ventricular tachycardia in acute myocardial infarction. Int J Cardiol. 1993;38(2):177-82. 27. Mironova T, Mironov V, Antufiev V, Safronova E, Mironov M, Davydova E. Heart rate variability analysis at coronary artery disease and angina pectoris. Recent Pat Cardiovasc Drug Discov. 2009;4(1):45-54. 28. Stein PK, Domitrovich PP, Kleiger RE, CAST Investigators. Including patients with diabetes mellitus or coronary artery bypass grafting decreases the association between heart rate variability and mortality after myocardial infarction. Am Heart J 2004;147:309–16. 29. Alter P, Grimm W, Vollrath A, Czerny F, Maisch B. Heart rate variability in patients with cardiac hypertrophy--relation to left ventricular mass and etiology. Am Heart J. 2006;151(4):829-36. Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 111
30. Shehab A, Elnour AA, Struthers AD. Heart rate variability as an indicator of left ventricular systolic dysfunction. Cardiovasc J Afr. 2009;20(5):278-83. 31. Gomes ME, Aengevaeren WR, Lenders JW, Verheugt FW, Smits P, Tack CJ. Improving myocardial perfusion by percutaneous coronary intervention reduces central sympathetic activity in stable angina. Clin Cardiol 2010;33:E16-21. 32. Abrootan S, Yazdankhah S, Payami B, Alasti M. Changes in Heart Rate Variability Parameters after Elective Percutaneous Coronary Intervention. J Tehran Heart Cent 2015;10:80-4. 33. Aydinlar A, Senturk T, Ozdemir B, Kaderli AA, Aydin O. Effect of percutaneous transluminal coronary angioplasty on QT dispersion and heart rate variability parameters. Cardiovasc J Afr 2009;20:240-4. 34. Bilchick, K. C., Fetics, B., Djoukeng, R., Fisher, S. G., Fletcher, R. D., Singh, S. N. & Berger, R. D. (2002). Prognostic value of heart rate variability in chronic congestive heart failure (Veterans Affairs’ Survival Trial of Antiarrhythmic Therapy in Congestive Heart Failure). The American journal of cardiology, 90(1), 24- 28. 35. Boveda, S , Marijon, E, Chevalier, P., Bulava, A., Winter, J. B., Lambiez, M.& Mona Lisa Study Group. (2010). Monitoring of heart rate variability in heart failure patients with cardiac resynchronisation therapy: interest of continuous and didactic algorithm. International journal of cardiology, 144(1), 166-169. 36. Schmitt C, Barthel P, Ndrepepa G, Schreieck J, Plewan A, Schomig A et al. Value of programmed ventricular stimulation for prophylactic internal cardioverter-defibrillator implantation in postinfarction patients preselected by noninvasive risk stratifiers. J Am Coll Cardiol. 2001;37:1901-7. 37. Yeragani VK, Pohl R, Balon R, et al.: Heart rate vari-ability in patients with major depression. Psychiatry Res 1991;37:35-46. 38. Cohen H, Loewenthal U, Matar M, Kotler M: Association of autonomic dysfunction and clozapine. Heart rate variability and risk for sudden death in pa-tients with schizophrenia on long-term psychotropic medication. Br J Psychiatry Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 112
2001;179:167-71. 39. Godin PJ, Fleisher LA, Eidsath A, Vandivier RW, Preas HL, Banks SM et al. Experimental human endotoxemia increases cardiac regularity: results from a prospective, randomized, crossover trial. Crit Care Med. 1996;24:1117-24. 40. Ellenby MS, McNames J, Lai S, McDonald BA, Krieger D, Sclabassi RJ et al. Uncoupling and recoupling of autonomic regulation of the heart beat in pediatric septic shock. Shock 2001;16:274-7. 41. Buch AN, Coote JH, Townend JN. Mortality, cardiac vagal control and physical training–2002;87:423-35. 42. Townend JN, al-Ani M, West JN, Littler WA, Coote JH. Modulation of cardiac autonomic control in humans by angiotensin II. Hypertension 1995;25:1270 43. Amano M, Kanda T, Ue H, et al. Exercise training and auto- enced middle- and long- distance runners. Int J Sports Med nomic nervous system activity in obese individuals. Med Sci 1991; 12 (5): 444-52 Sports Exerc 2001; Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 113
5 Hipoglikemia & Risiko Kardiovaskular A.Idfa Muidah Idham, Pendrik Tandean, Makbul Aman PENDAHULUAN Hipoglikemia merupakan suatu kondisi klinik yang bersifat emergensi dengan gejala dan keluhan yang tidak spesifik. Hipoglikemia yang terjadi pada pasien diabetes disebut iatrogenik hypoglicemia, sedangkan pada non diabetes disebut hypoglicemia spontan. Penyebab utama kematian pada pasien diabetes mellitus adalah penyakit kardiovaskular, namun saat ini peneliti dan klinisi juga menemukan bahwa kejadian hipoglikemia pada pasien diabetes merupakan faktor risiko yang sangat penting untuk terjadinya penyakit kardiovaskular, memperburuk outcomes secara klinis dan meningkatkan mortalitas pada pasien tipe 2 diabetes.(1,2) Hipoglikemia menjadi penghalang utama untuk kontrol metabolik pada diabetes tipe 1 dan tipe 2. Ini harus menjadi perhatian khusus untuk klinisi dalam memulai terapi antihiperglikemik yang intensif .3 Hasil penelitian (Major Adverse Cardiac Events, MACE) menunjukkan bahwa meskipun mencapai kontrol glikemik yang baik, tidak ada pengurangan signifikan dalam penelitian ini. 4 Kontrol glikemik buruk berkontribusi sangat besar pada beban komplikasi dan mortalitas diabetes, terutama yang berhubungan dengan penyakit kardiovaskular (Cardiovascular Disease, CVD). Banyak uji klinis menunjukkan bahwa target glikemik yang lebih agresif harus dijalankan berdasarkan manfaat yang diharapkan dan adanya risiko hipoglikemia berat (Severe Hypoglicemic, SH)5 Data dari berbagai penelitian berbasis populasi menunjukkan insiden hipoglikemia lebih tinggi pada DM tipe 1 (DMT1) dibandingkan dengan DM tipe 2 (DMT2). Beberapa mekanisme hipoglikemia yang mungkin menyebabkan kejadian atau bahkan kematian kardiovaskular diantaranya melibatkan aktivasi simpatoadrenal, perubahan hemodinamik dan penurunan perfusi miokard, repolarisasi jantung abnormal; aritmia Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 114
,trombogenesis dan pelepasan marker inflamasi. (3,6,7,8,9) HIPOGLIKEMIA 1. Definisi dan Klasifikasi Definisi praktis yang sejak dulu digunakan adalah adanya “Whipple’s triad” yaitu kadar glukosa darah yang rendah yang disertai dengan timbulnya gejala dan keluhan yang berkaitan dengan hipoglikemia dan keluhan tersebut akan segera menghilang setelah kadar glukosa darah rendah tersebut dikoreksi.6 Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) dan American Diabetes Association (ADA) menggunakan patokan ≤ 70 mg/dl pada penderita diabetes mellitus dan pada individu non diabetes gejala gejala hipoglikemia akan timbul bila kadar glukosa ≤55 mg/dl. 10 Tabel 1. Klasifikasi hipoglikemia berdasarkan manifestasi klinis, kadar glukosa darah dan kemampuan untuk menolong diri sendiri10 Level 1 Glukosa darah ≤ 70 mg/dl, batas waspada dan Level 2 peringatan untuk segera melakukan evaluasi dan Level 3 pengaturan dosis obat anti diabetes atau segera memberikan karbohidrat (glukosa) extra Glukosa darah <54 mg/dl, suatu keadaan serius, pasien sudah mengalami hipoglikemia dengan segala konsekuensinya Hipoglikemia berat, suatu keadaan dimana sudah terjadi gangguan kognitif berat dan pasien membutuhkan bantuan orang lain untuk menolongnya. 2. Prevalensi Selama lebih dari 6 tahun follow up pada penelitian UK.Prospective Diabetes Study (UKPDS) untuk menilai efek terapi pada penderita DM tipe 2 didapatkan sebanyak 2,4 % pasien yang mendapat terapi golongan metformin, 3,3% yang mendapat terapi sulfonilurea dan 11,2 % pasien yang mendapat terapi insulin mengalami hipoglikemia yang membutuhkan pertolongan medis atau harus menjalani perawatan di rumah sakit. (6,11) Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 115
Kejadian hipoglikemia berat dilaporkan mencapai 62-320 episode per 100 pasien DMT1 dalam satu tahun sedangkan pada penderita DMT2 kejadian hipoglikemia berat mencapai 3-37 episode per 100 pasien dalam setahun. Pada DMT2 merupakan subjek yang rentan untuk mengalami efek efek yang merugikan bila terjadi hipoglikemia. Hal ini dibuktikan dari laporan tiga penelitian skala besar yaitu ACCORD (Action to Control Cardiovascular Risk in Diabetes), ADVANCE (Action in Diabetes and Vascular Disease: Preterax and diamicron MR Controlled Evaluation) dan VADT (Veterans Affairs Diabetes Trials). Ketiga studi ini secara acak sebanyak hampir 24.000 pasien dengan risiko tinggi terjadinya kejadian kardiovaskular kemudian digolongkan dalam 2 macam kelompok terapi yakni kontrol glikemik yang ketat dan kelompok lainnya terapi kontrol glikemik yang standar/ konvensional hingga 5 tahun. Dari ketiga penelitian ini didapatkan bahwa tingkat kematian dari kardiovaskular lebih tinggi pada kelompok terapi glikemik ketat daripada kelompok terapi standar pada gambar 1(6,12) Gambar 1. Presentasi kejadian hipoglikemia berat pada penelitian ACCORD, ADVANCE, VADT 12 3. Etiologi dan Faktor Risiko Kejadian hipoglikemia sering ditemukan dalam praktek sehari hari, dapat terjadi pada pasien rawat jalan maupun pada pasien yang sedang menjalani rawat inap di rumah sakit. Beberapa alasan berikut ini dapat Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 116
menjelaskan hipoglikemia pada penderita diabetes yakni iatrogenik (hipoglikemia yang terjadi pada pasien diabetes), perubahan diet dan infeksi. Hipoglikemia juga dapat ditemukan pada pasien non diabetes yang mempunyai penyakit dasar tertentu atau mendapat terapi obat yang bukan tergolong obat anti diabetes namun dapat mempengaruhi regulasi glukosa darah normal. Hipoglikemia bahkan dapat dialami oleh pasien dalam kondisi kesehatan normal, sedangkan hipoglikemia yang terjadi pada pasien non diabetes disebut hipoglikemia spontan. Hipoglikemia juga dapat terjadi akibat asupan makanan sedikit atau peningkatan aktivitas terkait dengan pengobatan dan asupan makanan. Penyebab lain seperti konsumsi alkohol, beberapa obat-obatan, stres dan infeksi juga harus dipertimbangkan. Hipoglikemia juga bisa menjadi gejala seperti pada sirosis dan penyakit ginjal karena peran utama yang dimainkan organ-organ ini dalam produksi glukosa dan pemeliharaan kadar gula darah. (6,13) Faktor risiko utama untuk hipoglikemia berat pada pasien dengan DMT1 yakni termasuk pernah mengalami episode hipoglikemia berat sebelumnya , HBA1C yang rendah (<6,0%) , hipoglikemia unawareness , durasi diabetes yang lama , neuropati otonom , usia remaja dan anak-anak usia prasekolah yang belum mampu mendeteksi dan menolong dirinya sendiri jika terjadi hipoglikemia ringan. Sedangkan faktor risiko hipoglikemia berat pada pasien dengan DMT2 termasuk usia lanjut, gangguan fungsi kognitif berat, tingkat pengetahuan kesehatan yang rendah , pola makan, peningkatan HbA1C , hipoglikemia unawareness ,durasi terapi insulin, gangguan ginjal dan neuropati . (6,14) Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 117
Tabel II. Etiologi Hipoglikemia 15 Causes of Hypoglycemia Iatrogenic Concurrent Illness Seemingly well Insulin or insulinsecretagogue Critical illness Endogenous Alcohol Hepatic, hyperinsulinism Others : renal, Insulinoma Moderately quality of evidence cardiac NIPHS/PGBH Quinine failure Insulin Gatifloxacine, Sepsis autoimmunity pentamidine Inanition Exogenous Indomethacin Hormone hyperinsulinism Glucagon (during deficiency Accidental endoscopy) Cortisol Factitious Low quality of evidence Growth Glucagon Lithium, IGF-1 hormone Chloroquinoxaline Glucagone sulfonamide, Non-beta cell propoxyphene tumors Dextropropoxyphene, artesunate IGF denotes insulin-like growth factor; NIPHS denotes noninsulinoma pancreatogenous hypoglicemia PGBH denotes post-gastric bypass hypoglicemia 4. Manifestasi Klinis Aktivasi CRR (Counter Regulatory Response) diawali respons pertama adalah penurunan produksi insulin bila kadar glukosa mencapai 82,8 mg/dl. Lalu, kadar glukosa kisaran hipoglikemik ringan yang asimptomatik (sekitar 58- 69 mg / dL) merangsang hormon kontra regulasi (glukagon dan epinefrin) . Gejalanya dimediasi oleh adrenergik terdiri dari palpitasi, tremor, dan kecemasan serta kolinergik yakni kelaparan, berkeringat, dan parestesia berasal dari asetilkolin yang dilepaskan oleh neuron simpatis postganglionik. Kedua hormon ini akan merangsang produksi glukosa di hati melalui proses glukogenesis dan glikogenolisis serta menghambat ambilan/uptake pada jaringan perifer. Pada kadar gula darah <50 mg/dl telah memberi dampak Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 118
fungsi serebral memberikan gejala defisiensi glukosa pada jaringan serebral (gejala neuroglikopenik) yakni sulit berpikir, bingung, sakit kepala, kejang kejang dan koma. Bila keadaan tidak cepat teratasi, maka dapat menimbulkan kecacatan bahkan kematian. (11,15,16,17) PATOFISIOLOGI HIPOGLIKEMIA MENYEBABKAN KEJADIAN KARDIOVASKULAR Pada kondisi hipoglikemia akan memicu berbagai kelainan yang bersifat maladaptif yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan profil risiko kardiovaskular (Gambar. 2). Walaupun patomekanisme yang menjelaskan hubungan antara kejadian hipoglikemia berat dan memburuknya outcomes kardiovaskular pada pasien diabetes belum diketahui dengan pasti, namun berbagai penelitian telah melaporkan adanya efek yang merugikan dari hipoglikemia terhadap pembuluh darah, baik mikrovaskular dan makrovaskular. (Tabel 5 ) dan (Gambar 3). 2 Gambar 2. Mekanisme efek kardiovaskular dari hipoglikemia 18 Tabel 3. Efek hipoglikemia terhadap vaskular2 Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 119
Mikrovaskular Makrovaskular Perubahan aliran darah kapiler Inflamasi dan disfungsi endotel Peningkatan faktor koagulasi Penurunan fibrinolisis Aktivasi trombosit Iskemia jantung Aktivasi neutrofil Efek pro aritmia Peningkatan aktivitas radikal bebas Disfungsi cardiac autonom Gambar 3. Hubungan yang kompleks antara hipoglikemia dengan penyakit kardiovaskular2 Beberapa faktor yang telah dibuktikan berperanan terhadap hubungan tersebut adalah: 1. Hipoglikemia dan gangguan koagulasi darah Peradangan, koagulasi dan disfungsi endotel saling terkait erat pada kondisi hipoglikemia. Karena hipoglikemia adalah peristiwa yang mengancam jiwa, tubuh manusia merespons secara dramatis dengan melepaskan gelombang hormon stres, terjadilah vasokonstriktif yang bertanggung jawab untuk kejadian kardiovaskular akut. Aktivitas simpatis meningkat dan sekresi bersamaan dari hormon dan peptida lain seperti vasokonstriktor endothelin selama hipoglikemia memiliki efek yang jelas pada hemorheologi intravaskular, koagulabilitas, dan viskositas sehingga menyebabkan viskositas darah meningkat dan mempengaruhi agregasi trombosit.(12,18,19,20) Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 120
Katekolamin dan hormon lain yang dilepaskan selama hipoglikemia meningkatkan viskositas darah, agregasi dan aktivasi trombosit. Hal ini menyebabkan peningkatan expresi P-selectin (suatu marker untuk aktivasi trombosit), peningkatan PAI-1, fibrinogen , kadar faktor VIII dan kompleks thrombin-antithrombin. Peningkatan viskositas plasma terjadi selama hipoglikemia oleh karena peningkatan konsentrasi eritrosit sedangkan koagulasi terjadi oleh aktivasi platelet dan peningkatan pada faktor VIII dan faktor von Willebrand .(2,12,20,21,22) Pada pasien DMT1 kejadian hipoglikemia akan mempengaruhi kadar PAI-1 (Plasminogen Activator Inhibitor-1) . Hal ini akan mengakibatkan penurunan keseimbangan fibrinolisis secara sistemik dan meningkatkan agregasi trombosit-monosit, yang secara biologik akan meningkatkan risiko trombosis dan kejadian iskemia akut. Namun, dalam laporan oleh Wright et al. menunjukkan peningkatan agregat trombosit monosit, gagal menunjukkan perubahan dalam P-selectin, faktor von Willebrand dan TPA pada pasien dengan DMT1 selama hipoglikemia . Joy et al juga gagal melihat efek hipoglikemia pada PAI-1 dan TPA . Namun, secara kolektif kita bisa menyimpulkan bahwa totalitas bukti menunjukkan bahwa hipoglikemia meningkatkan kecenderungan untuk meningkatkan pro-koagulasi dan trombosis. Pada pasien DMT2, kejadian hipoglikemia akan menyebabkan agregasi trombosit lebih massif walaupun diberikan terapi aspirin dan adenosine diphosphate receptor antagonist. Perubahan sistim koagulasi yang diinduksi oleh hipoglikemia akan mempengaruhi sistim kardiovaskular dan menjadi faktor risiko untuk terjadinya penyakit kardiovaskular seperti infark miokard . Dilain hal rodrigues dkk baru-baru ini menerbitkan sebuah artikel yang menunjukkan bahwa kadar fibrinogen lebih tinggi pada orang dewasa dengan T1D yang dapat memprediksi perkembangan kalsifikasi arteri koroner . (2,20,22,23) 2. Hipoglikemia dan hubungannya dengan inflamasi Sebagaimana halnya dengan aktivasi sistem koagulasi, hipoglikemia juga dapat meningkatkan marker marker inflamasi yang beredar dalam sirkulasi seperti CD40 pada monosit , ligan CD40 sebagai biomarker peradangan berasal dari trombosit teraktivasi dan juga menunjukkan peningkatan aktivitas trombosit, interleukin 1, interleukin-6, interleukin-8, C-reactive protein, TNF- a (tumor necrosis factor-a), endothelin-1, stress oksidatif dan berbagai Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 121
biomarker pro-inflamasi serta pro-thrombotik lainnya dan bertahan hingga beberapa hari setelah episode hipoglikemia dialami dan hanya bersifat sementara namun efek proinflamasi dan prokoagulan dapat langsung mempengaruhi aliran vaskular serta berkontribusi pada terjadinya kejadian vaskular utama yang berperan dalam mengakibatkan cedera endotel dan kelainan koagulasi yang meningkatkan risiko untuk kejadian kardiovaskular pembentukan aterosklerosis. Lebih lanjut, beberapa sitokin seperti IL-1 telah terbukti meningkatkan keparahan hipoglikemia, sehingga memberikan siklus umpan balik positif . (2,15,18,20) Oleh karena itu, menarik bahwa penelitian terbaru dalam hal ini masalah aterosklerosis diukur konsentrasi sirkulasi mediator inflamasi pada pasien dengan diabetes tipe 1 dalam hubungannya dengan hipoglikemia . Data gula darah dikumpulkan pada 101 pasien dengan diabetes tipe 1 pada terapi insulin pump (rata-rata HbA1c 7.1%) yang memantau gula darah mereka sendiri sekitar 7-9 kali sehari (puasa, sebelum makan, 2 jam setelah makan, waktu tidur dan selama situasi khusus seperti episode hipoglikemik, olahraga, dll) selama 7 hari. Setelah periode ini, mereka memberikan sampel darah puasa untuk mengukur konsentrasi IL-6, s-VCAM-1, s-ICAM-1 dan s-E-selectin. Berdasarkan HbAIC 7%, pasien dibagi menjadi 2 kelompok; <7% dan> 7%. Ada lebih banyak episode hipoglikemik pada kelompok yang lebih terkontrol (3,2 versus 2.1, p :0,04). Setiap pasien menderita rata-rata 2,6 episode hipoglikemia (didefinisikan sebagai gula darah <55 mg / dl) selama setiap minggu pengamatan. Menggunakan analisis regresi multiple, jumlah episode hipoglikemik adalah satu-satunya prediktor signifikan level sICAM-1, sVCAM-1, E-selectin dan IL-6. Tidak ada hubungan yang signifikan dengan variabilitas glukosa dan juga tidak ada hubungan yang signifikan antara mediator inflamasi dan jumlah episode hipoglikemik. 20 Beberapa batasan penelitian di atas perlu disebutkan yakni para pasien tidak menggunakan pemantauan glukosa secara terus menerus. Meskipun demikian, studi praktis oleh KiecWilk dkk akan meningkatkan kemungkinan bahwa pada pasien diabetes tipe 1 yang menderita episode hipoglikemia berulang juga hidup dalam situasi peradangan menyeluruh dan konstan. Dengan demikian mereka akan berada di risiko disfungsi endotel dan menecetuskan kejadian aterosklerosis yang lebih cepat. Dari penelitian studi SEARCH (The study of Effectiveness of Additional Reductions in Cholesterol and Homocysteines) juga menggambarkan peningkatan penanda inflamasi bahkan Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 122
pada orang muda dengan T1D dan kontrol metabolik yang baik dibandingkan dengan kontrol, menunjukkan penjelasan untuk percepatan aterosklerosis pada T1D.(20,22) Dalam penelitian yang dilakukan oleh Murata dkk dalam hubungannya hipoglikemia reaktif yang asimptomatik dengan reaksi inflamasi pada pasien dengan CAD menjelaskan bahwa kadar glukosa darah pada kelompok hipoglikemia yang mereka teliti adalah 64,0 (59,0-66,0) mg / dL. Kenaikan jumlah WBC yang dilakukan secara obyektif sebanding dengan data penelitian sebelumnya. Salah satu mekanisme peningkatan WBC adalah kerja hormon regulatory yang diinduksi oleh hipoglikemia, katekolamin, dan kortisol yang bertujuan dalam meningkatkan kadar glukosa darah. Hormon-hormon ini dan sitokin proinflamasi meningkatkan jumlah WBC, koagulasi, inflamasi, dan hemokonsentrasi yang menghasilkan kecenderungan pembentukan gumpalan. Lebih mungkin bahwa ketika kadar glukosa darah <70mg / dL, kadar kortisol meningkat dalam 1 jam dan meningkatkan jumlah neutrofil. 23 3. Hipoglikemia dan hubungannya dengan disfungsi endotel Fungsi endotel yang diinduksi oleh hipoglikemia merupakan efek dari peningkatan marker marker pro inflamasi dan terjadinya abnormalitas sistim koagulasi. Disfungsi endotel yang ditandai dengan peningkatan kadar VCAM-1 (vascular adhesion molecules vascular cell adhesion molecule-1), ICAM-1 (intercelular adhesion molecule – 1), E-selectin, VEGF (vascular endothelial growth factor). Peningkatan marker marker tersebut juga menunjukkan adanya peningkatan respon inflamasi, sementara peningkatan kadar PAI-1 dan aldosteron menunjukkan bahwa hipoglikemia juga dapat memprovokasi terjadinya disfungsi endotel. Sommerfield dan kawan kawan (2007) yang melakukan penelitian secara kohort pada pasien DM tipe 1 mendapatkan bahwa hipoglikemia akan merubah ketebalan dinding pembuluh darah dan menduga hal ini diinduksi oleh insulin yang merusak endotel arteri. Peningkatan kadar marker marker adhesi (VCAM,ICAM,E-selektin dan lainnya) akan mempermudah makrofag terikat pada endotel yang rusak dan hal ini merupakan titik awal pembentukan plak yang selanjutnya berkembang menjadi aterosklerosis pada dinding pembuluh darah. 2 Orang dengan diabetes mengalami kekakuan arteri sebelum waktunya dengan peningkatan yang signifikan diamati pada orang dewasa muda dengan diabetes tipe 1 dengan durasi panjang (> 15 tahun) dibandingkan dengan Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 123
relawan non diabetes yang cocok dengan usia dan mereka yang memiliki diabetes tipe 1 dengan durasi lebih pendek. Kekakuan arteri ini memiliki implikasi penting untuk aliran pembuluh darah koroner.21 Selain itu pasien dengan T1D dengan episode hipoglikemia berulang menunjukkan disfungsi endotel lebih besar yang diukur dengan dilatasi yang dimediasi oleh aliran (flow mediated dilatation, FMD) dan peningkatan ketebalan tunika intima media (carotid intima-media thickness, cIMT) pada karotid sebagai penanda aterosklerosis subklinis. Ketebalan cIMT dan penilaian fungsi endotel telah ditunjukkan sebagai penanda aterosklerosis praklinis dan berkorelasi dengan penyakit kardiovaskular. (16,22) Hipoglikemia berulang lebih lanjut menyebabkan gangguan vasodilatasi endotel , terdapat kenaikan epinefrin dan konsentrasi kortisol setelah hipoglikemia berulang dibandingkan dengan hanya satu episode hipoglikemia yakni peningkatan mediator inflamasi . Jadi ada data yang meyakinkan bahwa hipoglikemia menginduksi peradangan, prokoagulasi dan disfungsi endotel dan efek ini meningkat setelah hipoglikemia episode berulang. Karena itu hipoglikemia berkontribusi terhadap aterosklerosis jangka panjang dan karenanya dapat dianggap sebagai faktor risiko kejadian CVD. 20 Selanjutnya, sebuah penelitian kecil menemukan penebalan intima media pada femoralis pada 25 subjek dengan diabetes tipe 1 dan dengan episode hipoglikemik berulang dibandingkan dengan 20 subjek dengan diabetes tipe 1 tetapi tanpa hipoglikemia . Ini dapat dimediasi oleh disfungsi endotel, stres oksidatif, dan apoptosis sel endotel serta penurunan bioavailabilitas oksida nitrat. 7 4. Hipoglikemia dan aktivitas sistem simpatoadrenal Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa hipoglikemia akan mengaktifkan respon CRR dengan : Melepaskan hormon hormon anti insulin termasuk katekolamin (epinefrin dan nor-epinefrin). Katekolamin secara langsung akan mempengaruhi sistem kardiovaskular yang akan mencetuskan perubahan hemodinamik yakni menyebabkan penurunan tekanan darah sentral dan penurunan resistensi arteri di perifer (yang menyebabkan pelebaran tekanan nadi ) , peningkatan kontraktilitas jantung dan curah jantung (stroke volume dan cardiac output), peningkatan kerja otot jantung, peningkatan tekanan darah sistolik perifer dan meningkatkan kebutuhan oksigen jantung sehingga dapat menginduksi terjadinya iskemia Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 124
miokard dan penyakit jantung koroner. Yang kedua, katekolamin juga berperan langsung terhadap terjadinya reaktivitas trombosit . Dan yang ketiga katekolamin bersifat proaritmia, menginduksi hipokalemia dan meningkatkan kadar kalsium intraseluler serta menyebabkan interval QT yang memanjang. Hal tersebut berpotensi menyebabkan terjadinya aritmia yang mematikan.(2,13) Dampak Kardiovaskular dan Vaskular dari Hipoglikemia: 1.Hipoglikemia dan iskemia miokard Hipoglikemia dapat menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen miokard melalui aktivasi sistim simpatis dan pengeluaran hormon hormon anti insulin seperti epinefrin, nor epinefrin, kortisol, glukagon dan growth hormon, tetapi parasimpatis juga diaktifkan mempengaruhi respons jantung . Hormon hormon adrenergik tersebut akan meningkatkan afterload, inotropik dan kronotropik dari miokardium sehingga kebutuhan oksigen akan meningkat. Dilain pihak hormon hormon tersebut juga akan menyebabkan vasokonstriksi arteri koroner dengan akibat suplai oksigen ke miokardium mengalami penurunan. Permintaan oksigen yang lebih besar tidak terpenuhi bukan hanya oleh karena kekakuan pada vaskular, tetapi juga karena kegagalan vasodilatasi disfungsi endotel. Fungsi endotel dapat terganggu selama hipoglikemia oleh karena peningkatan C- Reactive protein , mobilisasi, aktivasi neutrofil dan aktivasi platelet. Perubahan ini mungkin menghasilkan koagulasi intravaskular dan trombosis serta mengakibatkan iskemia miokardium. Suplai energi (glukosa dan asam lemak bebas) juga akan terbatas bila terjadi hipoglikemia dan vasokonstriksi arteri koroner. Mekanisme tersebut pada akhirnya akan menginduksi terjadinya iskemia atau bahkan infark miokard. Leong dkk (2016) telah membuktikan bahwa pada pasien diabetes yang mengalami hipoglikemia, insiden penyakit jantung koroner meningkat sebesar 2 kali lipat. Risiko akan lebih meningkat pada pasien yang sebelumnya sudah mempunyai faktor risiko koroner dan pasien usia lebih lanjut (>65 tahun). Aktivasi hormon hormon anti insulin bila terjadi hipoglikemia juga dapat menyebabkan spasme koroner dan akan terikat pada reseptor beta adrenergik pada otot ventrikel jantung dengan akibat akan terjadi kardiomiopati. (2,12,18,19) Dalam studi hipoglikemia (glukosa plasma 3,0`q mmol / L[54 mg / dL]) pada peserta tanpa diabetes, terdapat peningkatan 12 kali lipat dalam Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 125
konsentrasi plasma epinefrin yang dikaitkan dengan peningkatan denyut jantung dan stroke volume jantung dan penurunan resistensi perifer. Pada orang dengan DMT1 dengan lama diabetes kurang lebih 15 tahun kekakuan dinding arteri jauh lebih besar dan arteri kurang elastis dalam respon terhadap hipoglikemia yang bermanifestasi terhadap penurunan terhadap tekanan darah sentral. Arteriosklerosis menyebabkan refleksi gelombang yang lebih cepat dan gelombang yang dipantulkan bisa kembali selama sistol. Pada kondisi ini akan memicu perubahan hemodinamik terkait dengan hipoglikemia meliputi peningkatan denyut jantung dan tekanan darah sistolik perifer dan mengurangi tekanan darah diastolik, peningkatan kontraktilitas miokard, volume stroke, dan curah jantung dan sebaliknya penurunan resistensi arteri perifer menyebabkan pelebaran tekanan denyut nadi dan penurunan perfusi miokardium selama diastole . Temuan pada penelitian ini konsisten dengan disfungsi diastolik dalam kecepatan aliran mitral. Diketahui bahwa disfungsi diastolik adalah indikator pertama untuk gagal jantung dengan EF (Ejection Fraction) yang rendah. Efek patofisiologis ini dapat mengganggu perfusi arteri koroner, mencetuskan iskemia miokard dan gagal jantung . Di samping itu , beberapa penulis berhipotesis bahwa efek buruk dari hipertensi dalam sistem kardiovaskular dapat diperkuat pada pasien dengan episode hipoglikemik berat dan tidak berat yang umum terjadi pada pasien T1D dan T2D yang menerima terapi insulin intensif. Selain itu, Feldman Billard dkk menggambarkan hipertensi yang diinduksi hipoglikemia dalam kelompok pasien diabetes. Jadi kesimpulannya dari beberapa penuturan para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa hipoglikemia dapat meningkatkan risiko kejadian kardiovaskular, terutama pada sebagian pasien dengan durasi diabetes yang lebih lama, penyakit komorbid kardiovaskular dan tentunya neuropati otonom yang berat. (2,12,16,18,19,22,24) Terdapat beberapa penelitian yang menjelaskan hipoglikemia dapat menyebabkan iskemia miokard akan dibahas sebagai berikut. Dalam sebuah penelitian di Amerika terhadap 19 pasien yang menderita DMT2 dengan penyakit jantung koroner , pemantauan glukosa terus menerus secara simultan dan perekaman EKG Holter. Dan telah didapatkan 10 episode hipoglikemia yang dikaitkan dengan nyeri dada (dengan total 54 pasien) dan kelainan EKG dengan iskemik akut yang diamati selama 6 tahun. Studi lain di Jepang secara retrospektif dengan 414 subjek dengan hipoglikemia berat dengan lima pasien penyakit vaskular yang baru didiagnosis (dengan 1 kasus infark miokard dan 4 Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 126
kasus penyakit serebrovaskular) . Sebuah laporan kasus juga menggambarkan seorang pasien berusia 58 tahun yang mengalami angina terkait dengan hipoglikemia menyebabkan perubahan EKG dan enzim terkait dengan ACS yang diikuti penggunaan dosis tinggi insulin dengan konsekuensi hipoglikemia berat. Egeli (1960) melakukan penelitian tentang efek insulin dan hipoglikemia pada perubahan EKG (gambar 5) . Pasien ini diabetes dengan hipoglikemik akibat insulin (glukosa darah terendah sekitar 2,5 mmol / L) dan perubahan EKG yang melibatkan segmen ST dan gelombang T . Di samping itu, Rezende dkk menjelaskan lebih lanjut tentang konsekuensi CV yang merugikan akibat hipoglikemia dengan menunjukkan asosiasi SH dengan peningkatan tingkat troponin jantung dengan 34% tingkat hsTnT yang lebih tinggi selama follow-up 1 tahun periode pada pasien dengan CAD stabil. Penting untuk dicatat bahwa banyak peningkatan troponin jantung ini tergantung pada tingkat keparahan dan frekuensi hipoglikemia serta durasi dan tingkat keparahan dari diabetes . Selaian itu pada kondisi hipoglikemia berulang, Gimenez dkk menyarankan bahwa episode berulang hipoglikemia dapat meningkatkan perkembangan penyakit makrovaskular pada diabetes tipe 1 dengan meningkatkan risiko aterosklerosis. Sementara hiperglikemia kronis mungkin merupakan pendorong utama aterosklerosis praklinis pada diabetes, paparan berulang terhadap hipoglikemia dapat berkontribusi pada proses ini dengan memperparah komplikasi mikro dan makrovaskuler yang memang telah terjadi. Informasi dari studi klinis lain yakni pasien dengan diabetes, yang dirawat di rumah sakit dengan ACS dan yang mengalami hipoglikemia berat selama mereka tinggal di rumah sakit, menunjukkan dua kali lipat tingkat kematian dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki hipoglikemia. (4,12,13,18,19,21) Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 127
Gambar 4. Gambaran EKG saat kejadian hipoglikemia. Gambaran EKG direkam saat glukosa nadir dan muncul ST depresi maksimal 21 2. Hipoglikemia dan Efek Elektrofisiological Jantung Hipoglikemia adalah suatu kondisi pro-arithmogenic. Hipoglikemia sudah lama diketahui mempengaruhi gambaran elektrokardiogram (EKG) ditunjukkan pada DMT1 dan DMT2 yakni menyebabkan pemanjangan interval QT dan menunjukkan terjadinya gangguan repolarisasi jantung. Pemanjangan interval QT dapat menyebabkan takikardia atrial maupun takikardia ventrikuler dan merupakan prediktor terkuat untuk terjadinya kematian jantung mendadak. (Gbr. 6). (2,12) Gambar 5. Gambaran interval QT pada EKG yang didapatkan saat percobaan hipoglikemia12 Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 128
Perubahan elektrofisiologi jantung terutama disebabkan oleh hipokalemia. Mekanisme terjadinya hipokalemia pada pasien hipoglikemia adalah melalui sekresi epinefrin dan efek langsung dari insulin. Insulin dan epinefrin akan merangsang fungsi Na+/K+ ATP ase yang mengakibatkan kadar kalium extraseluler mengalami penurunan dan terjadilah hipokalemia. Hipokalemia secara otomatis akan menganggu keseimbangan ion sel dan pemanjangan fase repolarisasi jantung yang tergambar dengan gelombang T yang datar atau flat. Masuknya kalium ke dalam sel dapat diinduksi oleh beberapa jenis obat, sebaliknya juga dapat dihambat oleh obat obatan tertentu. Turaihi dkk (1989) berhasil membuktikan bahwa masuknya kalium ke dalam intrasel dapat dirangsang dengan pemberian adrenalin, isoprenalin dan salbutamol di lain pihak dapat dihambat dengan pemberian timolol dan atenolol. Berdasarkan hal ini dapat diasumsikan bahwa hipokalemia yang diinduksi oleh hipoglikemia dapat dihambat dengan pemberian beta bloker. Kelainan gambaran EKG yang lain dapat ditemukan pada pasien hipoglikemia diantaranya adalah : PR interval yang memendek, depresi segmen ST, gelombang T yang datar dan penyempitan gelombang T. Yang lebih penting daripada hubungan antara hipoglikemia dan iskemia jantung adalah kemungkinan induksi aritmia jantung yang serius yang dapat menyebabkan kematian mendadak, seperti yang didokumentasikan dalam beberapa laporan kasus dibawah ini (2,12,19) 3. Hipoglikemia dan Sudden Cardiac Death Hipotesis yang menyebutkan bahwa hipoglikemia dapat menyebabkan kematian mendadak bukanlah sesuatu hal yang baru. Pada tahun 1968, Mallins J melaporkan kematian mendadak pada 14 orang pasiennya akibat hipoglikemia. Delapan orang diantaranya berusia > 60 tahun mempunyai riwayat hipoglikemia nocturnal dan tidak ada yang menemani saat kematiannya. Selanjutnya pada tahun 1991, Tattersal dan Gill memaparkan analisis dari kematian 50 orang pasien DM tipe 1 yang berumur <50 tahun. Laporan tersebut menyebutkan 22 orang diantara kematian tersebut terjadi pada waktu pasien tertidur di malam hari dan mengidentifikasi penyebab kematian tersebut dengan istilah “ dead in bed syndrome. Sejak saat itu survey yang sama telah diselenggarakan diberbagai negara telah diberlakukan untuk membuktikan hipotesisi tersebut. Weston JP (2012) telah melakukan review dan analisis terhadap berbagai laporan Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 129
yang dipublikasikan dan mendapatkan bahwa semua penelitian melaporkan adanya kematian mendadak sebesar 6-10% dari seluruh penyebab kematian pada pasien DMT1. Karakteristik pasien yang mengalami mati mendadadak tersebut pada umumnya berusia <40 tahun, sebagian besar meninggal pada waktu tidur di malam hari, tidak menderita penyakit lain kecuali diabetes, meninggal ditempat tidur tanpa kerusakan disekelilingnya, nampak sehat pada malam sebelum kematiannya dan banyak dari pasien ini tidak memiliki bukti kerusakan neuron yang diinduksi oleh hipoglikemia berat saat otopsi, menyiratkan bahwa aritmia jantung telah dipicu oleh hipoglikemia yang mengakibatkan kematian mendadak. (2,21) Sebuah penelitian di Jerman terhadap 16 remaja dengan DMT1 mengamati pemanjangan QTc selama hipoglikemia pada semua subjek dengan peningkatan terbesar yang tercatat pada saudara kandung seorang pasien yang telah meninggal sebelumnya dengan sindrom “dead in bed”. Skrining EKG rutin tampaknya menjadi terbatas digunakan dalam mendeteksi mereka yang berisiko karena tidak ada korelasi yang ditunjukkan antara pemanjangan QTc selama euglycaemia dan pemanjangan QTc selama hipoglikemia. Pada tahun 2009, Gill et al, dengan pemantauan glukosa secara kontinyu (Contionous Glucose Monitoring, CGM) dan elektrokardiografi berkelanjutan pada pasien umur 25 tahun dengan DMT1 usia 20-50 tahun, untuk mendokumentasikan pemanjangan interval QTc selama hipoglikemia nokturnal dengan gangguan irama dan denyut jantung sekitar 62% dari 13 episode hipoglikemia nokturnal. Beberapa menyarankan untuk evaluasi elektrokardiogram (EKG) selama induksi dan hipoglikemia terkontrol untuk menilai risiko aritmia dengan hipoglikemia nokturnal. Peningkatan penggunaan CGM untuk mengurangi frekuensi dan durasi hipoglikemia pada pasien DMT1 juga berpotensi menurunkan kejadian aritmia terkait hipoglikemia nokturnal dalam populasi ini.(16,21) Studi eksperimental pada hewan tentang hipoglikemia lethal pada tikus telah memberikan wawasan tentang gangguan stabilitas listrik jantung akibat hipoglikemia, meskipun temuan ini mungkin tidak dapat diterapkan secara langsung pada manusia. Hipoglikemia biokimiawi dengan (glukosa darah 0,6 mmol / L[12 mg / dL]) pada tikus yang awalnya menginduksi sinus takikardia dan pemanjangan interval QT, diikuti oleh denyut prematur ventrikel ventrikel takikardia dan blokade atrioventrikular. Pada saat henti Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 130
jantung kardiorespirasi menimbulkan bradikardi . Menariknya, perubahan EKG yang dilaporkan berkurang secara signifikan setelah suplementasi kalium atau pemberian glukosa untuk mencegah neuroglikopeni. Temuan keduanya menunjukkan peran yang kuat untuk aktivasi simpatoadrenal dalam inisiasi aritmia. Rekaman glukosa dan pemantauan EKG secara bersamaan dan berkelanjutan pada manusia dengan DMT2 dengan pengobatan insulin dengan penyakit kardiovaskular menunjukkan kejadian yakni bradikardia dan denyut prematur atrium dan ventrikel yang jauh lebih tinggi yang dikaitkan dengan hipoglikemia spontan terutama pada malam hari ketika pasien tertidur . (19,21) Dalam beberapa penelitian mekanik berfokus pada populasi berisiko tinggi yakni hubungan antara hipoglikemia dan aritmia dipengaruhi oleh kovariat misalnya grup yang menggambarkan tingkat takikardia ventrikel yang lebih tinggi pada pasien dengan kejadian hipoglikemik, tetapi VT terjadi bersamaan dengan frekuensi yang sama di siang hari dan saat tidur, sedangkan hipoglikemia adalah direkam dua kali lebih sering di malam hari daripada siang hari . Ini berbeda dari temuan Chow dkk, dimana bradikardia dan ektopik ventrikel sangat terkait dengan nokturnal hipoglikemia daripada siang hari dan hipoglikemia dapat mencerminkan respons simpatoadrenal yang didapat selama tidur , memungkinkan kompensasi dari aktivitas parasimpatis . 19 Berbagai mekanisme telah diajukan untuk menjelaskan keterkaitan antara kejadian hipoglikemia dengan kematian jantung secara mendadak diantaranya:2 1. Hipoglikemia yang diinduksi oleh pemberian terapi insulin akan menyebabkan perubahan kadar glukosa darah, elektrolit (kalium), hormon (insulin, epinefrin dan nor epinefrin) yang secara langsung bersifat aritmogenik terhadap jantung 2. Hipoglikemia akan terdeteksi oleh otak (sistim saraf pusat) sehingga akan merangsang terjadinya aritmia jantung secara tidak langsung melalui aktivasi sistim saraf eferen dan melalui pengeluaran nor epinefrin secara lokal pada ujung saraf terminal yang terdapat pada jantung. 3. Aktivasi sistim saraf autonom pada kelenjar adrenal juga akan merangsanag pengeluaran epinefrin pada kelenjar tersebut yang secara langsung akan menyebabkan aritmia pada jantung Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 131
4. Efek hipoglikemia baik secara langsung maupun secara tidak langsung akan menyebabkan pemanjangan interval QT (QT corrected/QTc prolongation) 5. Hipoglikemia juga akan meningkatkan signal adrenergik yang akan menyebabkan ritme jantung menjadi cepat (takikardi). Takikardi akan diikuti oleh blok jantung derajat 3 yang pada akhirnya menyebabkan bradikardia yang bersifat fatal. Gambar 6. Perubahan Gambaran EKG terhadap Hipoglikemia Berat.25 Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 132
Gambar 7. Mekanisme kematian jantung secara mendadak melalui hypoglikemia yang diinduksi oleh insulin 2 Namun, ada penyebab lain bahwa hadirnya mutasi genetik (misalnya dalam ion channel jantung) yang menjadi kecenderungan untuk terjadinya aritmia jantung dan menjadi prediktor kuat untuk kematian mendadak. Dalam situasi lain, sindrom pemanjangan interval QT adalah kondisi bawaan yang disebabkan oleh mutasi gen yang mengkode protein yang memberi voltage pada kanal ion yang berkontribusi pada potensi aksi jantung. Mereka yang terkena memiliki kelainan repolarisasi jantung dilihat dari interval QT yang memanjang pada elektrokardiogram dan peningkatan risiko kematian mendadak karena aritmia jantung . Karena hipoglikemia sering terjadi dan kematian mendadak jarang terjadi, repolarisasi jantung yang abnormal saja tidak dapat menjelaskan mengapa hipoglikemia mungkin terjadi dan menyebabkan kematian mendadak.(12,21) 4. Hipoglikemia dan Stroke Hipoglikemia juga memiliki efek signifikan pada pembuluh darah otak dengan mencetuskan peradangan, hipokagulabilitas, disfungsi endotel, dan stres oksidatif . Pada kondisi hipoglikemia terjadi peningkatan aliran darah dengan meningkatkan pasokan glukosa ke bagian otak yang paling rentan. Jika tidak tertangani perubahan ini dapat meningkatkan risiko iskemia otak yang mengarah pada peningkatan risiko kejadian Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 133
serebrovaskular . Dalam penelitian Yun Seung dkk tentang hipoglikemia berat dengan risiko kardiovaskular dan mortalitas pada pasien diabetes menjelaskan bahwa risiko stroke secara signifikan lebih tinggi pada kelompok dengan SH daripada kelompok tanpa SH.5 Risiko stroke iskemik meningkat dua hingga empat kali lipat orang yang menderita diabetes, terutama di antara mereka yang menderita DMT2 . Dalam ulasan oleh Radermecker dan Scheen, tindakan keseimbangan yang diperlukan antara hiperglikemia dan hipoglikemia pada pasien stroke bahwa hiperglikemia memiliki efek merugikan pada komplikasi stroke tetapi upaya untuk mengurangi hiperglikemia dapat menyebabkan hipoglikemia dan lebih lanjut dapat merusak jaringan otak. Dalam penelitian pada hewan tikus diobati dengan insulin dan terpapar episode hipoglikemik berulang dan dicatat mengalami peningkatan 44% dalam kematian neuron dibandingkan dengan tikus yang sama diobati dengan insulin tetapi tidak terpapar hipoglikemia. Hal ini menunjukkan bahwa hipoglikemia berulang dapat menyebabkan lebih banyak kerusakan iskemik otak yang luas. Dalam penelitian yang meneliti pencitraan resonansi magnetik otak dalam kelompok terdapat 22 pasien dengan T1D, lesi otak lebih umum pada pasien dengan T1D yang memiliki riwayat berulang (lima atau lebih) episode hipoglikemik. Whitmer dkk di Kaiser Permanente tepatnya di California Utara menyelidiki hubungan rawat inap atau kunjungan gawat darurat untuk hipoglikemia dan pengembangan demensia pada orang dewasa yang lebih tua dengan T2D dan melaporkan hubungan dosis-respons antara jumlah episode hipoglikemia dan risiko ke demensia.16 Sebuah penelitian baru menunjukkan kemungkinan hubungan antara hipoglikemia berat dan disfungsi kognitif. Penelitian Asvold dkk menjelaskan bahwa paparan awal hipoglikemia berat bisa memiliki efek yang relevan secara klinis pada kognisi untuk tahun kedepannya. Dalam penelitian ini skor kognitif keseluruhan untuk 9 anak diabetes yang mengalami hipoglikemia berat sebelum usia sepuluh tahun lebih rendah dari delapan belas anak-anak diabetes yang tanpa riwayat hipoglikemia berat. Hasil yang sama terbukti ketika semua anak tersebut diperiksa ulang sebagai orang dewasa pada 16 tahun kemudian. Gaudieri dkk menemukan bahwa faktor risiko untuk gangguan kognitif pada anak-anak dengan diabetes meliputi: hipoglikemia, durasi diabetes serta kontrol glikemik yang buruk . Pada diabetes tipe 2, satu studi kohort longitudinal pada pasien usia Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 134
lanjut mengungkapkan bahwa episode hipoglikemia berat dikaitkan dengan peningkatan risiko demensia , meskipun dampak episode ringan pada risiko demensia masih belum diketahui . Sebuah studi baru-baru ini menemukan bahwa hipoglikemia berat menyebabkan kerusakan otak di korteks dan daerah hippocampus serta tingkat kerusakan berkorelasi erat dengan adanya aktivitas seperti kejang. Hasilnya menunjukkan terdapat peningkatan sensitivitas korteks terhadap efek kerusakan setelah episode hipoglikemia berat . Penelitian-penelitian ini mengingatkan kita untuk waspada terhadap anak atau orang dewasa yang mengalami hipoglikemia berat di awal kehidupan. (13,18) RINGKASAN Hipoglikemia adalah konsekuensi umum yang dapat dihindari dari penanganan diabetes dan menjadi penghalang utama untuk kontrol metabolik pada diabetes tipe 1 dan tipe 2. Hipoglikemia akan memicu berbagai kelainan yang bersifat maladaptive yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan profil risiko kardiovaskular. Beberapa penelitian sebelumnya hipoglikemia pada penderita diabetes terjadi peningkatan dua kali lipat risiko kejadian dan kematian kardivaskular (CV). Beberapa mekanisme hipoglikemia yang mungkin menyebabkan kejadian atau bahkan kematian kardiovaskular diantaranya melibatkan aktivasi simpatoadrenal, perubahan hemodinamik dan penurunan perfusi miokard, repolarisasi jantung abnormal; aritmia ,trombogenesis dan pelepasan marker inflamasi. Dampak kardiovaskular dan vaskular dari hipoglikemia diantaranya adalah iskemia miokard, aritmia oleh karena pada kondisi hipoglikemia dapat menjadi proarrhythmogenic, sudden cardiac death , stroke dan penyakit arteri perifer. Studi epidemiologis menunjukkan bahwa kontrol glikemik yang lebih baik dikaitkan dengan risiko CVD yang lebih rendah, maka dari itu target glikemik yang kurang ketat harus direkomendasikan untuk pasien diabetes dengan durasi penyakit yang lebih lama, harapan hidup yang lebih pendek , komplikasi makrovaskuler lanjut dan penyakit ginjal kronis serta pasien yang rentan terhadap hipoglikemia. Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 135
DAFTAR PUSTAKA 1. Aguiar C, Duarte R, Carvalho D, et al. New approach to diabetes care: From blood glucose to cardiovascular disease . Rev Port Cardiol . 2019;38(1):53-63 2. Mansyur AM. Hipoglikemia dan Penyakit Kardiovaskular. Buku Hipoglikemia dalam praktik sehari hari. Departemen Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin . 2018 3. Morales J, Schneider D. Hypoglicemia. Amjmed. 2014 ;127: S17-S24 4. Deedwania P. Dangers of Hypoglycemia in Cardiac Patients With Diabetes. JACC. 2018;72:15 5. Yun JS, Park YM, Han K, et al. Severe hypoglycemia and the risk of cardiovascular disease and mortality in type 2 diabetes: a nationwide population‑based cohort study. Cardiovasc Diabetol.2019;18:103 6. Mansyur AM. Hipoglikemia pada Pasien Diabetes Melitus. Buku Hipoglikemia dalam praktik sehari hari. Departemen Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin . 2018 7. Magri CJ , Mintoff D, Camilleri L, et al. Relationship of Hyperglycaemia, Hypoglycaemia, and Glucose. Variability to Atherosclerotic Disease in Type 2 Diabetes. Hindawi . 2018 8. Zinman B, Marso S. Hypoglycemia, Cardiovascular Outcomes, and Death: LEADER. 2018 9. Zoungas S, Patel A, Chalmers J, et al. Severe Hypoglycemia and Risks of Vascular Events and Death. N Engl J Med. 2010;363:1410-8. 10. Mansyur AM. Definisi , Etiologi, Kriteria Diagnostik dan Klasifikasi Hipoglikemia. Buku Hipoglikemia dalam praktik sehari hari. Departemen Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin . 2018 11. Manaf A. Hipoglikemi : Pendekatan Klinis dan Penatalaksanaan. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed.VI. Interna Publishing Jakarta. 2014 12. Frier BM, Schernthaner G. Hypoglycemia and Cardiovascular Risks. Diabetesjournals 2011;34(Suppl 2) 13. Shafiee G, Tehrani M, Pajouhi M, et al. The importance of hypoglycemia in diabetic patients. Jmd 2012;11:17 14. François J , Paty B, Senior AP, et al . Hypoglicemia. Can J Diabetes 2018;S104–S108 Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 136
15. Martens P, Tits J. Approach to the patient with spontaneous hypoglycemia. Ejim 2014;415–421 16. Bergeon JKS, Paul W. Hypoglycemia, Diabetes, and Cardiovascular Disease. DTT 2012;14(Suppl 1) 17. Mansyur AM. Homeostasis Glukosa Darah. Buku Hipoglikemia dalam praktik sehari hari. Departemen Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin . 2018 18. Desouza CV, Bolli GB, Fonseca V, et al. Hypoglycemia, Diabetes, and Cardiovascular Events. ADA 2010;33:6 19. Hanefeld M, Frier BM, Heller SR, et al. Hypoglycemia and Cardiovascular Risk: Is There a Major Link. Diabetes Care 2016;39(Suppl 2) 20. Jialal I, Dhindsa S. Hypoglycemia and te predisposition to cardiovascular disease: Is the pro-inflammatory-pro-coagulant diathesis a plausible explanation?. Atherosclerosis 2016; 504-506 21. Graveling AG, Frier BM. Does hypoglycaemia cause cardiovascular events. Br J Diabetes Vasc Dis 2010; 10: 5-13 22. Gimenez M , Gilabert R, Monteagudo J, et al. Repeated Episodes of Hypoglycemia as a Potential Aggravating Factor for Preclinical Atherosclerosis in Subjects With Type 1 Diabetes.diabetescare 2011: 34;1 23. Murata M , Adachi H, Oshima S, et al. Asymptomatic Reactive Hypoglycemia and Inflammatory Reaction in Patients with Coronary Artery Disease. Int Heart J 2018; 59: 705-712 24. Ciftci FC , Tugcu AU, Ciftci O, et al. Sub-clinic atherosclerosis in patients with postprandial reactive hypoglycemia. Annalsmedres 2019;26(12):2941-7 25. Reno CM, Iken DD. Severe Hypoglycemia Induced Lethal Cardiac Arrhythmias Are Mediated by Sympathoadrenal Activation. Diabetes 2013; Vol. 62 Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 137
6 Karbon Dioksida (Co2): Efek Terhadap Pembuluh Darah Perifer Dan Aplikasi Klinis Adelaide Adiwana, Muzakkir Amir PENDAHULUAN Karbon dioksida (CO2) selain merupakan produk akhir dari metabolisme semua makhluk yang menggunakan oksigen (O2) sebagai sumber energi dan bahan dasar fotosintesis, telah digunakan sebagai terapi dengan spektrum aplikasi yang luas (Hartmann et al. 2009). Sejak abad pertengahan, air asam dan gas yang memancar dari dalam tanah diakui secara efektif dapat menyembuhkan penyakit St. Anthony`s Fire yang disebabkan oleh keracunan ergot dan sering terjadi pada waktu itu (Hartmann et al. 2009). Di seluruh Eropa, mata air berkarbonasi telah digunakan sebagai balneoterapi (natural bath spring) bagi pasien- pasien yang menderita hipertensi atau penyakit oklusi vaskular perifer. Beberapa literatur juga menyebutkan manfaat CO2 sebagai terapi paliatif pada nyeri muskuloskeletal, intervensi terapeutik dan rehabilitasi penyakit rematik, serta dapat membantu penyembuhan pada dermatopati infeksius. Pada tahun 1834-1856, Piderit dan Beneke adalah orang yang pertama kali menggambarkan efek utama yang langsung didapatkan dari balneoterapi dengan menggunakan CO2 pada bagian tubuh yang direndam, yaitu dapat memberikan sensasi kehangatan dan membuat kulit menjadi kemerahan atau flushing (erythematosus/hyperemic reaction) (Schmidt, 2009). Terapi CO2 pertama kali diperkenalkan berupa spa pada tahun 1932. Metode terapeutik dengan menggunakan CO2 yang diberikan secara transkutan ini ditujukan bagi pasien-pasien dengan gangguan vaskular. Sejak saat itu, sejumlah penelitian berkembang, di mana sebagian besar berupa studi observasional, untuk menjelaskan efek CO2 sebagai terapi dan bagaimana patofisiologinya. Banyak studi klinis telah menunjukkan Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 138
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164
- 165
- 166
- 167
- 168
- 169
- 170
- 171
- 172
- 173
- 174
- 175
- 176
- 177
- 178
- 179
- 180
- 181
- 182
- 183
- 184
- 185
- 186
- 187
- 188
- 189
- 190
- 191
- 192
- 193
- 194
- 195
- 196
- 197
- 198
- 199
- 200
- 201
- 202
- 203
- 204
- 205
- 206
- 207
- 208
- 209
- 210
- 211
- 212
- 213
- 214
- 215
- 216
- 217
- 218
- 219
- 220
- 221
- 222
- 223
- 224
- 225
- 226
- 227
- 228
- 229
- 230
- 231
- 232
- 233
- 234
- 235
- 236
- 237
- 238
- 239
- 240
- 241
- 242
- 243
- 244
- 245
- 246
- 247
- 248
- 249
- 250
- 251
- 252
- 253
- 254
- 255
- 256
- 257
- 258
- 259
- 260
- 261
- 262
- 263
- 264
- 265
- 266
- 267
- 268
- 269
- 270
- 271
- 272
- 273
- 274
- 275
- 276
- 277
- 278
- 279
- 280
- 281
- 282
- 283
- 284
- 285
- 286
- 287
- 288
- 289
- 290
- 291
- 292
- 293
- 294
- 295
- 296
- 297
- 298
- 299
- 300
- 301
- 302
- 303
- 304
- 305
- 306
- 307
- 308
- 309
- 310
- 311
- 312
- 313
- 314
- 315
- 316
- 317
- 318
- 319
- 320
- 321
- 322
- 323
- 324
- 325
- 326
- 327
- 328
- 329
- 330
- 331
- 332
- 333
- 334
- 335
- 336
- 337
- 338
- 339
- 340
- 341
- 342
- 343
- 344
- 345
- 346
- 347
- 348
- 349
- 350
- 351
- 352
- 353
- 354
- 355
- 356
- 357
- 358
- 359
- 360
- 361
- 362
- 363
- 364
- 365
- 366
- 367
- 368
- 369
- 370
- 371
- 372
- 373
- 374
- 375
- 376
- 377
- 378
- 379
- 380
- 381
- 382
- 383
- 384
- 385
- 386
- 387
- 388
- 389
- 390
- 391
- 392
- 393
- 394
- 395
- 396
- 397
- 398
- 399
- 400
- 401
- 402
- 403
- 404
- 405
- 406
- 407
- 408
- 409
- 410
- 411
- 412
- 413
- 414
- 415
- 416
- 417
- 418
- 419
- 420
- 421
- 422
- 423
- 424
- 425
- 426
- 427
- 428
- 429
- 430
- 431
- 432
- 433
- 434
- 435
- 436
- 437
- 438
- 439
- 440
- 441
- 442
- 443
- 444
- 445
- 446
- 447
- 448
- 449
- 450
- 451
- 452
- 453
- 454
- 455
- 456
- 457
- 458
- 459
- 460
- 461
- 462
- 463
- 464
- 465
- 466
- 467
- 468
- 469
- 470
- 471
- 472
- 473
- 474
- 475
- 476
- 477
- 478
- 479
- 480
- 481
- 482
- 483
- 484
- 485
- 486
- 1 - 50
- 51 - 100
- 101 - 150
- 151 - 200
- 201 - 250
- 251 - 300
- 301 - 350
- 351 - 400
- 401 - 450
- 451 - 486
Pages: