Tabel 1. Makna diagnostik dan klinis dari FFR, CFIp, CFR, IMR16 Selain pengukuran CFR, terdapat berbagai parameter yang dapat digunakan untuk mengetahui mikrosirkulasi pembuluh darah koroner dan juga mempunyai makna diagnostik dan klinis. Salah satu parameter pengukuran yang sering dipakai adalah fractional flow reserve (FFR). FRACTIONAL FLOW RESERVE (FFR) Penelitian FAME (Fractional Flow Reserve Versus Angiography for Mutivessel Evaluation) menekankan pentingnya menilai konsekuensi fungsional dari stenosis koroner16,17. Pada penelitian di berbagai centre yang melibatkan 1.005 pasien PJK, PCI yang dilanjutkan dengan penilaian fungsional stenosis koroner secara signifikan menurunkan angka morbiditas dan mortalitias 2 tahun lebih rendah dibandingkan dengan PCI yang hanya dipandu oleh anatomi koroner. Penilaian kapasitas fungsional ini berdasarkan Fractional Flow Reserve (FFR), yaitu suatu metode invasif yang mengukur penurunan tekanan pada bagian distal pembuluh darah koroner yang Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 339
disebabkan adanya stenosis selama hiperemia maksimal. Pada pembuluh darah koroner yang normal, hanya sedikit hambatan aliran darah selama hiperemia, sehingga tekanan koroner sepenuhnya dipertahankan sepanjang arteri koroner epikardial dan tekanan pada koroner distal sama dengan tekanan aorta sentral (FFR = tekanan koroner bagian distal saat istirahat dibandingkan dengan tekanan aorta [Pd/Pa] selama hiperemia)16. Bila ditemukan adanya stenosis fokal pada pembuluh darah koroner, tekanan distal koroner berkurang selama hiperemia sesuai dengan derajat keparahan stenosis. FFR < 0.80 dikatakan sebagai batas iskemik, dimana terdapat penyakit obstruktif pembuluh darah koroner yang perlu mendapatkan terapi revaskularisasi. Bila FFR > 0.80, terapi medikal lebih dipilih daripada revaskularisasi18. Gambar 3. Perbedaan FFR dengan CFR15 Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 340
Gambar 4. Diagnosis dan terapi berdasarakan FFR dan CFR19 Gabungan pengukuran derajat stenosis antara CFR dan FFR dapat memberikan informasi yang lebih jelas mengenai patofisiologi pembuluh darah koroner. Selain itu dapat pula membantu dalam menentukan target terapi dan menilai respon terapi pada penyakit aterosklerosis pembuluh darah koroner yang difus dan penyakit pembuluh darah kecil, yang keduanya sangat sering ditemukan pada PJK tahap lanjut19. 5. METODE PENGUKURAN CORONARY FLOW RESERVE Hingga saat ini, belum ada teknik yang dapat melihat secara visual mikrosirkulasi koroner pada manusia. Masalah utama dari beberapa studi yang dilakukan untuk mengukur CFR adalah ketidakpastian apakah aliran koroner maksimal telah dicapai. Semua metode yang dapat digunakan untuk mengukur aliran darah koroner memiliki keterbatasan. Beberapa pengukuran dengan menjumlahkan aliran darah yang melalui sirkulasi koroner sering digunakan untuk menilai fungsi dari mikrovaskular koroner. Aliran darah koroner adalah pengukuran dari jumlah aliran yang melalui pembuluh darah koroner per unit dalam suatu waktu (mililiter per menit)20. Jantung yang normal dapat meningkatkan aliran darah koroner hingga 4-5 kali dari nilai saat istirahat selama latihan. Sangatlah penting selama pengukuran aliran darah koroner, aliran basal dan maksimal distimulasi, lalu diukur secara akurat. Aliran darah koroner bisa lebih ditingkatkan secara farmakologis daripada dengan latihan21. Metode yang dapat digunakan untuk Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 341
membuat vasodilatasi maksimal pembuluh darah koroner antara lain dipyridamole intravena, papaverine intrakoroner, adenosine intrakoroner, asetilkolin dan intrakoroner. Beberapa metode dapat dilakukan untuk mengukur CFR. Metode- metode tersebut antara lain: invasif (intracoronary Doppler flow wire), yang mahal dan masih jarang tersedia (Positron Emission Tomography), atau semi- invasif dan relatif sukar (transesofageal Doppler), sehingga sangat terbatas penggunaannya dalam klinis. PET dan intracoronary Doppler flow wire melibatkan paparan radiasi, dengan segala risikonya, dampak terhadap lingkungan dan bahaya yang berhubungan dengan penggunaan tes ionisasi22. Tabel 2. Perbandingan metode pengukuran CFR24 Karena pengukuran CFR sangat penting dalam klinis, maka diperlukan metode yang mudah, non-invasif, dapat diulang dan tidak mahal untuk evaluasi fungsional koroner. Nilai absolut aliran darah koroner dapat disubstitusi dengan kecepatan aliran darah koroner yang dapat dihitung dengan teknik Doppler, bukan saja secara invasif, namun dapat pula secara non-invasif dengan ekokardiografi23,24. 5.1 INVASIF (INTRACORONARY DOPPLER FLOW WIRE) Karena aliran darah koroner berbanding terbalik dengan resistensi pembuluh darah, maka fungsi mikrovaskular koroner dapat dihitung dengan mengukur tekanan dan temperatur secara simultan dari aliran darah arteri koroner. Pengukuran ini dapat dilakukan dengan menggunakan pressure- and temperature-sensitive coronary guidewire, yang dapat memberikan informasi mengenai fungsi vaskular koroner25. CFR mencerminkan kemampuan vasodilatasi koroner selama hiperemia Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 342
dan diukur dengan indikator termodilusi. Injeksi bolus cairan (± 3 ml) pada suhu ruangan melalui kateter guide akan bercampur dengan aliran darah koroner secara antegrade sesuai suhu tubuh, menyebabkan penurunan suhu secara transien yang terukur pada thermistor yang diletakkan sejauh 3 cm dari ujung guidewire bagian distal. Kurva termodilusi terbentuk dari waktu transit. Dengan metode pengukuran ini, akan ditemukan variabilitas yang dapat terjadi sehingga rata-rata waktu transit untuk tiga cairan injeksi dicatat saat istirahat dan selama hiperemia menggunakan farmakologis26. Tabel 3. Pengukuran thermodilusi26 Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 343
Gambar 5. Skematik pressure-temperature wire27 Gambar 6. Kurva thermodilusi27 Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 344
Gambar 7. Contoh registrasi EKG, Pa, Pd, suhu koroner, dan kecepatan aliran27 Flowmeter Doppler yang kecil dapat secara langsung mencapai arteri koroner, sehingga memungkinkan untuk dilakukan pengukuran terhadap kecepatan aliran darah koroner yang sebanding dengan aliran darah. CFR lantas dapat dihitung sebagai rasio antara kecepatan aliran darah saat istirahat dengan saat maksimal, dan bila digabungkan dengan pemeriksaan angiografi koroner kuantitatif, dapat mengukur aliran koroner. Pengukuran kecepatan aliran darah memerlukan area cross sectional dari pembuluh darah tempat probe Doppler tetap konstan selama pengukuran. Keterbatasan dari probe Doppler adalah adanya obstruksi relatif dari pembuluh darah koroner terhadap kateter yang masuk. Akan tetapi, saat ini telah tersedia kateter dengan ukuran kecil dan Doppler guidewire yang baru untuk pengukuran kecepatan aliran darah arteri koroner secara intravaskular27. 5.2 NON-INVASIF (EKOKARDIOGRAFI) Awalnya, pengukuran CFR hanya bisa dilakukan secara invasif dan nuklir untuk melihat perfussion imaging. Saat ini, pengukuran CFR dapat dilakukan dengan kombinasi antara pengukuran CFR dengan Doppler dan vasodilator stress. Pengukuran CFR dengan Transthoracic Doppler Echocardiography (TDE) telah diakui oleh banyak studi klinis. Dengan menggunakan TEE (Transesophgaeal Echocardiography) untuk melihat bagian proksimal (Gambar 8) atau TTE (Transthoracal Echocardiography) untuk melihat bagian Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 345
mid-distal (Gambar 9), kecepatan aliran darah koroner dapat dilihat dengan pulse wave Doppler dengan guiding color Doppler flow mapping yang mencerminkan patofisiologi koroner28. Gambar 8. Visualisasi left main dan bifurcatio dari left anterior descending dan circumflexa coronary artery dengan transesophageal echocardiography28 Gambar 9. Visualisasi left anterior descending coronary artery dengan transthoracal echocardiography29 Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 346
Dengan berkembangnya teknik pengambilan gambar transthoracic (variasi orientasi dari transducer beam), memungkinkan mengambil gambar aliran darah koroner pada Left Circumflexa Artery (LCX) dan Right Coronary Artery (RCA). Pengukuran CFR dengan TDE pada RCA memungkinkan untuk mengukur kecepatan aliran koroner di bagian RCA proksimal dan cabang-cabang distalnya, misalnya Right Posterior Descending Artery. Berdasarkan fakta bahwa stenosis pada RCA sering ditemukan pada bagian proksimal dari crux cordis, maka pengukuran CFR pada Right Posterior Descending Artery berguna untuk evaluasi post-stenotic. Pengukuran CFR dengan TDE dapat ditingkatkan dengan menaikkan kontras dan dengan teknik second-harmonic imaging29,30. Gambar 10. Gambaran TDE pada cabang septal RCA dan right posterior descending artery30 Left Anterior Descending (LAD) adalah arteri pertama yang dapat diinvestigasi dengan menggunakan transesofageal atau transthorakal ekokardiografi. Struktur anatomi pertama adalah LAD proksimal. Left Atrial Appendage dan arteri pulmonal adalah patokan untuk mendapatkan LAD proksimal31. Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 347
Gambar 11. Left main dan LAD proksimal dengan TDE31 Gambar 12. Aliran darah koroner dengan spectral doppler pada LAD proksimal31 Struktur anatomi kedua adalah LAD intermediet. Cabang-cabang septal perforans adalah kunci yang dapat diperoleh dengan mengatur probe sedikit ke bawah tetap fokus pada sulkus interventrikular anterior. Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 348
Gambar 13. Stenosis arteri koroner pada bagian mid-segmen LAD32 Struktur anatomi ketiga adalah LAD distal yang dapat diperoleh dengan mencari bagian yang lebih rendah dari sulkus interventrikular anterior yang dekat dengan apex di bawah guiding Color Doppler dengan frekuensi tinggi (5- 7 MHz) untuk investigasi aliran darah koroner (Gambar 14A)32, sedangkan frekuensi rendah (1.8-2.5 MHz) untuk melihat gerakan dinding miokard yang lebih dalam. Bagian distal dari LAD sangat cocok untuk melihat fungsi mikrovaskular koroner karena terletak di antara pembuluh darah besar epikardial LAD dengan mikrovaskular. Dengan menggunakan Pulse Doppler, kita dapat memperoleh spektrum koroner dan mengukurnya (Gambar 14B)32. Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 349
Gambar 14. Aliran darah koroner LAD dengan menggunakan transthoracic color Doppler32 5.2.1 Cara Menyeting TDE (Transthoracal Doppler Echocardiography) Sangatlah penting menentukan parameter yang menunjukkan LAD: 1. Frekuensi probe yang digunakan adalah 5-7 MHz (second harmonic) 2. Kecepatan aliran color Doppler berkisar antara 12-24 sentimeter/detik 3. Menggunakan wall filter yang tinggi 4. Menggunakan pulse Doppler filter yang rendah Penambahan pewarnaan untuk mendapatkan gambar yang lebih optimal32. Gambar 15. Hasil transthoracic Doppler echocardiography31 Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 350
5.2.2 Posisi dari Probe TDE Gambaran acoustic window diperoleh di sekitar linea midclavicularis pada celah interkostal ke-4 dan ke-5 pada posisi left lateral decubitus. Sorotan ultrasound diarahkan ke arah jantung untuk memvisualisasikan aliran darah koroner di bagian distal LAD dengan color Doppler flow mapping. Pertama- tama, mencari gambaran ventrikel kiri dari penampang long-axis (Gambar 14A), lalu probe digeser ke arah lateral. Selanjutnya, mencari aliran darah koroner di bagian distal LAD dengan color Doppler flow mapping guidance (Gambar 14B). Setelah memposisikan sample volume (lebar 2.0-2.5 atau 3.0 mm) pada color signal di distal LAD, Doppler spectral tracings dari kecepatan aliran direkam dengan analisis transformasi fast Fourier. Koreksi sudut pengambilan perlu diperhatiakan setiap mengambil gambar untuk mencegah kesalahan. Spectral Doppler tracing dari aliran darah LAD memberikan gambaran karakteristik bifasik dengan komponen diastolik lebih besar daripada komponen sistolik (Gambar 2 dan 14A). Untuk memperoleh hasil CFR yang benar, sample volume harus diposisikan seakurat mungkin dan dipertahankan dengan injeksi agen vasodilator. Walaupun dipyridamole (0.84 mg/kg/menit kontinyu selama 6 menit) dan adenosin (140 µg/kg/menit diinfus selama 2-6 menit, tergantung dari kemampuan operator) bisa digunakan sebagai stressor hiperemik, adenosin lebih disarankan karena dapat mencapai puncak hiperemik dalam waktu 1 menit, bekerja terutama pada sirkulasi mikrovaskular, dan tidak signifikan merubah diameter arteri koroner. Adenosin juga memiliki waktu paruh yang lebih singkat (10 detik) dan onset kerja yang cepat, sehingga pengukuran CFR lebih cepat dan efek samping lebih sedikit. Walaupun adenosin aman, namun dikontraindikasikan bagi pasien dengan asma bronkial33. Pilihlah stimulus yang sesuai. Penggunaan adenosin maupun dipyridamole untuk mengukur CFR lebih menguntungkan daripada dengan dobutamine ataupun excercise21. 5.2.3 Aplikasi Klinis Terdapat dua manfaat aplikasi klinis pengukuran penurunan CFR dengan TDE, yaitu: stenosis dari LAD epicardial dan gangguan vasodilatasi dari mikrovaskular koroner23. Angiografi koroner hanya mampu melihat signifikan fisiologis dari stenosis koroner secara terbatas. Maka dari itu, CFR menjadi suatu parameter yang berguna untuk beberapa kasus klinis seperti yang disajikan pada Tabel Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 351
4. Tabel 4. Manfaat Pengukuran CFR dalam Praktek Klinis32 5.2.3.1 Menilai Fungsional Stenosis Intermediet (40-70%) Memahami dampak fungsional stenosis sangat penting dalam pengambilan keputusan klinis (misalnya untuk merujuk atau tidak pasien dengan stenosis intermediet untuk Percutaneus Transluminal Coronary Angioplasty [PTCA]). Penanganan stenosis intermediet sangat menantang, dan pengukuran CFR distal dari stenosis menentukan hemodinamik stenosis yang signifikan. Pada studi dengan menggunakan transtoracic Doppler echocardiography, CFR < 2 menandakan stress-induces ischaemia, dan berkurangnya nilai CFR menunjukkan stenosis fungsional yang penting, bahkan bila hasil angiografi koroner adalah derajat sedang. Sebagai pembanding, pada pasien dengan intermediet stenosis tetapi nilai CFR adekuat, PTCA tidak perlu dilakukan. Pengukuran CFR dengan TDE memberikan data yang equivalen dengan pemeriksaan scintigraphy dengan menggunakan Thallium-201 untuk perkiraan fisiologis dari derajat stenosis pada LAD34. Indeks spesifik stenosis, seperti fractional flow reserve (FFR) menilai peningkatan aliran pada tempat stenosis (dengan mengukur gradien tekanan transstenotik) telah dikenal dalam studi invasif untuk memeriksa stenosis intermediet. Saat ini telah dikenal teknik non-invasif dengan menggunakan TDE untuk mengukur kecepatan aliran darah koroner pada tempat yang mengalami stenosis untuk mengukur fractional flow reserve31. 5.2.3.2 Deteksi Critical Stenosis (>90%) Dengan menggunakan TDE, sangat mungkin untuk mengukur stenosis LAD yang berat >90%. CFR < 2 menandakan stenosis LAD yang signifikan Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 352
(>75%) dengan sensitivitas 86% dan spesifisitas 70%. Kriteria CFR yang sama juga diterapkan untuk arteri koroner kanan dan arteri sirkumfleksa kiri35. CFR < 1 merupakan prediktor adanya coronary steal pada stenosis dengan derajat berat (> 90%). Coronary steal adalah penurunan dari CFR pada regio vaskular tertentu yang mendukung area lain selama vasodilatasi maksimal koroner, yaitu CFR < 1. Pola aliran darah koroner saat istirahat bisa berkurang pada stenosis arteri yang berat. Tanpa penggunaan stress farmakologis, batas nilai CFR 1.6 saat puncak diastolik dibandingkan rasio kecepatan aliran sistolik memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi untuk prediksi stenosis arteri koroner (> 85%) dan defek perfusi yang reversibel dengan single photon emission computed tomography menggunakan Thallium 20134. 5.2.3.3 Penilaian Gabungan Aliran Koroner dan Pergerakan Dinding Pemeriksaan CFR dapat memberikan tambahan informasi bila digabungkan dengan pemeriksaan pergerakan dinding (wall motion) dengan 2DE. Gabungan pemeriksaan ini memerlukan tes stress ekokardiografi dengan menggunakan dipyridamole. Berdasarkan data dari Rigo, dkk,32 aliran darah koroner dan fungsi kontraktilitas dari miokardium memberikan informasi tambahan mengenai prediksi kelainan anatomi angiografi yang tidak terdeteksi, karena gerakan dinding jantung yang abnormal dapat disebabkan oleh penyakit arteri koroner, sehingga hasil CFR yang negatif dapat mengeksklusinya. Sensitivitas untuk mendeteksi kelainan pada LAD adalah 74% untuk echokardiografi 2-dimensi dan 81% untuk CFR < 1.9 spesifisitas 91% untuk echokardiografi 2-dimensi dan 84% untuk CFR. Akurasi 86% untuk ekokardiografi 2D dan 83.5% untuk CFR. Bila ekokardiografi 2D digabung dengan pemeriksaan CFR, maka sensitivitas meningkat menjadi 93% dan spesifisitas menjadi 80.6%. Beberapa studi dari Argentina dan Jepang menunjukkan bahwa pengukuran CFR secara simultan dilakukan dengan pengukuran regional wall motion dengan dipyridamole stress- echocardiography, meningkatkan sensitivitas, terutama bagi pasien yang mendapat terapi beta-bloker atau pasien dengan single vessel LAD disease yang sering diperoleh hasil negatif palsu. CFR ≤ 1.92 merupakan prediktor terbaik untuk kejadian kardiovaskular di masa mendatang pada pasien yang telah diketahui atau diduga menderita penyakit jantung koroner, dan kriteria wall motion yang negatif setelah dilakukan stress echocardiography dan nilai Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 353
prognostik dari CFR tidak dipengaruhi dengan penggunaan terapi anti-iskemik yang bersamaan digunakan pasien saat dilakukan tes. 5.2.3.4 Monitoring Perubahan CFR Sebelum, Setelah PTCA untuk Mendeteksi Oklusi Arteri, Mikrovaskular Stunning Doppler intrakoroner telah diketahui dapat mengoptimalkan hasil PTCA, namun secara mengejutkan menunjukkan gangguan CFR setelah ballon angioplasty atau stenting, bahkan pada stenosis angiografi tanpa residual36. Fenomena ini dapat dijelaskan dengan dua teori. Pertama, PTCA dapat menginduksi terjadinya microvascular stunning karena mikroemboli, trombogenisitas (oleh pelepasan trombin) dan vasokonstriktor (oleh pelepasan endotelin). Alternatif kedua karena hiperemik reaktif temporer, di mana baseline kecepatan aliran post-iskemik menutupi kapasitas normal. Pengukuran CFR secara invasif yang dilakukan setelah inflasi balon multipel, injeksi kontras dan obat-obat vasoaktif dapat menyebabkan ketidakstabilan immediete post-procedural vasomotion. Oleh karena itu, pengukuran CFR sebaiknya ditunda beberapa hari setelah PTCA. Pada saat itu, pengaruh farmakologis, metabolik, humoral, atau faktor-faktor miogenik yang mempengaruhi autoregulasi aliran darah koroner dapat diabaikan, sehingga insidensi gangguan CFR post-procedural dengan menggunakan TDE dapat berkurang. Pemeriksaan CFR dengan TDE sangat membantu dalam pemeriksaan klinis sehari-hari karena non-invasif, dapat diulang, relatif tidak mahal dan mudah. Komplikasi reoklusi dini pada arteri koroner setelah PTCA dengan mudah dapat segera terdeteksi dengan TDE35. 5.2.3.5 Pemeriksaan CFR Serial Setelah PTCA untuk Memprediksi Restenosis Pemeriksaan CFR serial setelah PTCA dapat pula dilakukan pada mid- dan long-term follow up untuk menilai adanya restenosis37. Penurunan CFR < 2 selama follow up merupakan indikator sensitif dan spesifik dari restenosis. Metode ini digunakan sebagai data tambahan dari excercise test, atau sebagai pengganti pada pasien yang tidak mampu untuk menjalani excercise test secara adekuat. Selain pengukuran CFR distal dari stenosis, metode lain yang telah berkembang dan dapat digunakan untuk mendeteksi restenosis setelah PTCA adalah dengan direct imaging pada tempat stenosis/restenosis pada Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 354
pembuluh darah LAD bila bagian panjang dari LAD terlihat. Area restenosis terlihat sebagai aliasing warna lokal yang sesuai dengan peningkatan arus lokal dengan turbulensi. Hal ini bertujuan untuk mengukur derajat keparahan restenosis dengan mengukur peningkatan kecepatan aliran darah koroner (rasio antara pre-stenotik dengan kecepatan stenotik)38. 5.2.3.6 Pengukuran CFR Pasca Infark Ada beberapa laporan terbaru mengenai manfaat pengukuran CFR secara transthorakal setelah reperfusi pada infark miokard akut anteior. Menurut studi Ueno, dkk, penurunan CFR < 1.5 menandakan peningkatan volume ventrikel kiri (remodelling) setelah reperfusi infark miokard. Ditemukan korelasi negatif yang signifikan antara CFR dengan dilatasi ventrikel kiri yang progresif dalam 6 bulan follow up. Pada studi Colonna, dkk39 mengatakan bahwa preconditioning karena angina preinfark mempunyai makna protektif pada fungsi mikrovaskular, yang ditandai dengan peningkatan CFR (> 2.5) setelah infark miokard. 5.2.3.7 Mengukur Patensi dari Graft Koroner Aplikasi lain dari TDE adalah penilaian patensi dari graft arteri koroner, yaitu arteri mammary interna dan vena saphena. Pada studi besar dikatakan identifikasi terhadap graft arteri mammay adalah 100%, sedangkan graft vena saphena untuk arteri koroner LAD adalah 91%, untuk graft vena pada arteri koroner kanan 96%, dan untuk graft vena arteri circumflexa 90%. CFR < 1.9 untuk stenosis graft arteri mammary memiliki sensitivitas 100%, spesifisitas 98%. CFR < 1.6 untuk stenosis graft vena yang significant memiliki sensitivitas 91% dan spesifisitas 87%40. 5.2.3.8 Gangguan Vasodilatasi Mikrovaskular Koroner Aplikasi lainnya dari TDE adalah dapat mendeteksi gangguan vasodilatasi mikrovaskular dengan berkurangnya CFR meskipun hasil angiografi arteri koroner epikardial normal. Beberapa penyakit seperti hipertrofi (karena stenosis aorta, kardiomiopati hipertrofi, hipertensi), diabetes melitus, merokok, menopause menyebabkan kelainan struktural dan / atau fungsional pada mikrosirkulasi. Pengukuran CFR dengan Doppler secara invasif tidak rutin dikerjakan pada pasien dengan nyeri dada dan arteri koroner normal. Oleh karena itu, gangguan mikrovaskular pada keadaan tersebut sering tidak Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 355
terdiagnosis. Berdasarkan studi-studi terbaru didapatkan bahwa 50% pasien dengan nyeri dada dan hasil angiografi normal ataupun mendekati normal memiliki nilai CFR yang menurun. Pengukuran CFR secara non-invasif menggunakan TDE telah dilakukan pada pasien-pasien hipertrofi kardiomiopati, stenosis aorta, dan perokok (baik aktif maupun pasif). Cold pressor test, handgrip, dan pacing digunakan untuk stimulus stress. Metode pengukuran non-invasif sangat penting untuk menilai pasien-pasien asimptomatik41. Pengukuran CFR dengan TDE sangat berguna untuk menilai hipertrofi fisilogis pada jantung atlet dengan nilai CFR normal hingga supra- normal dengan kardiomiopati hipertrofi dimana nilai CFR jelas menurun. Vasospasme koroner difus berhubungan dengan berkurangnya reaksi vasodilatasi yang signifikan dibandingkan dengan vasospasme fokal, meskipun telah diketahui bahwa respon vasodilatasi dari arteri koroner epicardial dengan isosorbide dinitrate ditemukan baik pada pasien dengan fokal maupun vasospasme difus dibandingkan dengan kontrol. Beberapa studi yang menggunakan teknik thermal dilution yang berbeda menunjukkan bahwa gangguan mikrovaskular dapat menjelaskan berkurangnya nilai CFR pada pasien dengan vasokonstriksi difus. Sebagai tambahan, nilai CFR tetap konstan dan fungsi mikrovaskular normal pada pasien-pasien dengan vasokonstriksi fokal. Nitrat dapat mengurangi vasokonstriksi fokal, tetapi kurang efektif pada pasien dengan vasokonstriksi difus yang lebih memerlukan vasorelaxan untuk pembuluh darah mikro, seperti potassium channel openers. Lesi atherosklerotik yang minimal ditemukan pada vasospasme fokal dengan menggunakan intravascular ultrasound. Nilai CFR tetap konstan pada vasospasme fokal bila mekanisme patologik berhubungan dengan disfungsi endotel terlokalisir karena adanya lesi aterosklerotik yang terbatas sehingga tidak menimbulkan gangguan mikrovaskular42. Sebagai tambahan, metode non-invasif dengan TDE memungkinkan pengukuran CFR secara serial untuk menilai efek terapi dari berbagai obat- obatan dan untuk menilai efek penggantian katup aorta pada stenosis aorta41. Aplikasi klinis pengukuran CFR dapat dirangkum pada Tabel 5. Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 356
Tabel 5. Rangkuman aplikasi klinis pengukuran CFR34 5.2.4 Keterbatasan Pengukuran CFR dengan TDE Sudut antara sinar Doppler dan arteri dapat besar (> 30o), menyebabkan kesalahan pengukuran kecepatan aliran darah sebenarnya. Namun pada pengukuran CFR, nilai kecepatan absolut tidak diperlukan karena CFR adalah hasil bagi dari dua kecepatan diastolik. Pada ultrasound window yang buruk, seperti pada keadaan obesitas dan penyakit paru-paru kronis, penggunaan kontras intravena dapat meningkatkan kelayakan dan kualitas pengukuran CFR43. CFR harus diukur pada bagian distal dari stenosis karena apabila diukur pada tempat stenosis akan terjadi peningkatan kecepatan aliran baseline yang dapat menyebabkan kekeliruan dalam pengukuran CFR. Sebagai tambahan, aliran pada cabang LAD dapat menyebabkan kekeliruan interpretasi sebagai aliran pada cabang utama LAD. 5.2.4.1 Aliran Volumetrik Absolut Versus Kecepatan Aliran Walaupun LAD dapat diidentifikasi dengan kombinasi Doppler dan two- dimensional imaging, gambaran yang diperoleh tidak dapat digunakan untuk mengukur diameter pembuluh darah secara akurat. Tanpa perkiraan diameter arteri koroner, yang dapat diukur adalah perubahan kecepatan aliran darah koroner, tetapi bukan perubahan aliran darah koroner. Maka dari Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 357
itu, pengukuran CFR dengan menggunakan TDE terbatas pada pengukuran kecepatan aliran darah koroner. Pada studi invasif skala besar seperti DEBATE44 dan DESTINI45, pengukuran CFR hanya dari perubahan kecepatan aliran darah koroner telah diterima daripada aliran darah koroner absolut yang diukur dengan metode invasif. Perbandingan keakuratan pengukuran CFR dengan TDE (non-invasif) dengan metode invasif menunjukkan hasil yang memuaskan. 5.2.4.2 Contrast Enhancement Versus Non-Contrast Study Pengukuran aliran koroner LAD pada sebagian besar pusat penelitian tidak menggunakan kontras. Shapiro, dkk pada awal tahun 1990an mempelopori penggunaan kontras sehingga kapasitas deteksi aliran koroner meningkat dari 34% menjadi 77%. Keterbatasan ini dapat diminimalisasi dengan menggunakan echo-contrast agents enhancing Doppler signal intensity yang tentunya sangat mahal46. 5.3 POSITRON EMISSION TOMOGRAPHY (PET) Positron Emission Tomography (PET) adalah teknologi pencitraan canggih yang dapat menilai perfusi miokard, baik dalam skala relsatif spasial maupaun absolut, sehingga dapat mengevaluasi aliran darah jantung/myocardial blood flow (MBF) dan CFR secara non-invasif47. Penilaian aliran darah miokardium secara non-invasif dengan teknik pencitraan nuklir telah diakui secara luas memiliki nilai diagnostik dan prognostik yang tinggi. PET dapat mengukur nilai absolut dari CFR pada jantung manusia, sedangkan Single-Photon Emission Computed Tomography (SPECT) hanya dapat mengestimasi aliran darah miokard relatif. Oleh karena itu, pengukuran CFR dengan PET merupakan metode sensitif yang dapat digunakan untuk deteksi awal pada kelainan pembuluh darah koroner yang berhubungan dengan PJT47. 5.3.1 Aplikasi Klinis dari PET Perfusion Imaging 82Rb dan [13N] ammonia adalah dua isotop PET yang telah diakui FDA Amerika untuk penggunaan klinis dalam menilai perfusi miokard. Keuntungan penggunaan perfusion imaging dengan PET daripada SPECT antara lain resolusi lebih tinggi, meningkatkan koreksi gambar yang tersebar, dan potensial untuk mengukur aliran darah regional. Oleh karena itu, beberapa Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 358
penelitian dengan menggunakan isotop 82Rb dan [13N] ammonia mendapatkan hasil yang lebih sensitif dan spesifik (hingga 95%) untuk mendeteksi penyakit arteri koroner dibandingkan dengan SPECT48. Gambar 16. Contoh Hasil Gambar Kualitas Tinggi Perfusion Images dengan PET Saat Stress dan Istirahat dengan Menggunakan Isotop 82Rb47 Akan tetapi, penggunaan perfusi miokard dengan PET pada aplikasi klinis terbatas karena diperlukan on-site cyclotron untuk [13N] ammonia dan penggantian generator yang sangat mahal tiap bulan untuk penggunaan 82Rb. Selain itu, waktu paruh kedua isotop relatif singkat, sehingga penggunaan perfusi PET terbatas hanya untuk pasien dengan stress farmakologis. Karena komponen exercise pada studi myocardial perfusion imaging mempunyai nilai prognostik dan diagnostik yang independent, maka keterbatasan ini menjadi penting. Di sisi lain, pengukuran aliran darah koroner dan CFR sangat diperlukan untuk aplikasi klinis. Sebagai contoh, pasien dengan penyakit arteri koroner multivessel mempunyai nilai CFR yang rendah, dan data perfusi relatif dari SPECT mungkin gagal untuk mendeteksi ”balanced” iskemik ini. Sedangkan deteksi abnormalitas CFR derajat ringan dengan PET mampu mengidentivikasi PJK dini yang ditandai dengan disfungsi endotel pada pasien asimptomatik dengan kadar kolesterol yang tinggi, perokok, hipertensi, dan resistensi insulin. Selain itu, nilai CRF yang abnormal pada pemeriksaan PET dapat digunakan sebagai prediktor kejadian kardiovaskular pada pasien dengan kardiomiopati tanpa PJK, seperti pada Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 359
pasien kardiomiopati dilatasi dan kardiomiopati hipertrofi48. Bagan 1. Algoritme Tata Laksana PET Perfusion Imaging dan CFR48 5.3.2 Pencitraan PET Stress Perfusion untuk Diagnosis Penyakit Jantung Koroner Pencitraan stress perfusion dengan menggunakan PET dapat membedakan stenosis arteri koroner dengan/ tanpa gangguan aliran darah dengan sensitivitas 90%, spesifisitas 89%, nilai prediksi positif 94%, nilai prediksi negatif 73%, dan akurasi 90%. Salah satu kelemahan stress PET dan SPECT dibandingkan dengan MRI dan CT perfussion imaging adalah pada PET dan SPECT hanya terlihat daerah yang tidak tersuplai karena ada stenosis derajat berat pada pembuluh koroner, sedangkan gambaran perluasan dari angiografi obstruksi tidak dapat terlihat secara akurat, khususnya pada PJK multivessel. Hal ini terkait dengan metodologi PET yang menggambarkan daerah perfusi rendah terhadap area dengan perfusi relatif baik, sedangkan pada CT dan MRI menangkap daerah perfusi rendah di bagian sub- endokardial (iskemia). Pengukuran ruang ventrikel kiri dengan PET dan selisih ejeksi fraksi ventrikel kiri (∆LVEF) saat istirahat dan saat puncak stress, sangat membantu untuk mendeteksi penyakit jantung koroner resiko tinggi. Pada pasien normal dan single vessel disease, ejeksi fraksi ventrikel kiri (LVEF) Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 360
meningkat selama puncak stress vasodilator. Pada pasien dengan PJK risiko tinggi, ∆LVEF menurun. Maka dari itu, ∆LVEF dapat digunakan untuk mendeteksi penyakit multivessel dari 50% menjadi 79%49. Hasil pencitraan perfusi dengan PET dapat mengetahui nilai prognostik, di mana bila didapatkan perfusi miokard yang normal, maka pasien tersebut memiliki resiko kejadian kardiovaskular yang rendah, dan resiko meningkat secara linier dengan peningkatan derajat keparahan dari hasil stress perfusion. Studi-studi terkini menunjukkan bahwa pengukuran CFR dengan PET dapat memberikan informasi prognostik yang penting dibandingkan data perfusi semikuantitatif. Pasien dengan perfusi normal, nilai CFR yang abnormal merupakan variabel independent yang berhubungan dengan peningkatan kejadian kardiovaskular dalam 3 tahun ke depan dibandingkan dengan nilai CFR yang normal (1.4% vs. 6.3%; P<0.05) dan cardiac death (0.5% vs. 3.1%; P<0.05)50. 5.3.3 Mengukur Aliran Darah Miokard dari Serial Dynamic Scan pada Perfusi Imaging PET dynamic scanning dengan injeksi tracer merupakan metode kombinasi dari kedokteran nuklir yang telah diakui dapat mengukur nilai aliran darah miokard absolut dalam ml/g.min unit dan rasio CFR. Metode ini lebih superior daripada SPECT perfusion scanning karena data yang diperoleh dari PET dapat digunakan untuk menilai kurva aktivitas-waktu tanpa membebani pasien dari segi biaya dan paparan radiasi. Pada pasien dengan PJK difus dan stenosis multivessel, pengukuran CFR dapat mengetahui area miokardium yang beresiko dengan detail yang lebih baik daripada dengan perfusion imaging. ATP, dipyridamole, regadenoson, dan dobutamin digunakan sebagai stress agent. Agen stressor ini sebagai variabel dependent tidak bersifat informatif terhadap prediksi kejadian kardiovaskular, sehingga kardiolog dapat memilih jenis stressor sesuai kondisi masing-masig pasien untuk mengukur CFR. Studi terdahulu mengatakan bahwa nilai CFR normal pada orang dewasa muda adalah 2.2 dengan rata-rata minus 2 standar deviasi. Pada kenyataannya, nilai terbaik untuk mendeteksi pasien dengan PJK dengan risiko tinggi adalah < 2.051. 5.3.3.1 Contoh Kasus CFR Kuantitatif Seorang wanita usia 85 tahun dengan riwayat hipertensi dan obesitas Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 361
dirujuk untuk evaluasi nyeri dada atipikal. Ternyata ditemukan penyakit arteri koroner yang luas dan berat pada left main, proximal left anterior descending, dan left circumflex coronary arteries (Gambar 17A). Pencitraan perfusi pada penampang short-axis stress/rest myocardial menunjukkan transient ischemic dilation ukuran sedang tetapi dengan gangguan perfusi derajat berat pada dinding lateral ventrikel kiri yang dapat reversibel secara sempurna. Setelah mengatur daerah ventrikel kiri yang akan diperiksa, maka akan diperoleh kurva waktu-intensitas dari dinding dan ruang ventrikel kiri. Nilai aliran darah miokard (MBF = myocardial blood flow) akan diperoleh dengan model ruang-ruang jantung (Gambar 15B). Tujuh belas segmen regional dan global dari CFR dihitung dengan stress MBF/rest MBF. Daerah iskemik memiliki nilai CFR sangat rendah (0.5-0.7). Penting diketahui bahwa CFR yang rendah (0,7-1.4) dinilai tidak hanya pada segmen yang diduga iskemik atau dengan stenosis derajat berat (downstream of left main disease), tetapi juga pada segmen non-iskemik/non-obstruktif (right coronary artery). Gambar 17. Contoh hasil pemeriksaan dengan PET49 Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 362
5.3.3.2 Contoh Kasus (High Versus Low CFR for Outcome) Dua pasien yang menjalani pemeriksaan dengan 82-rubidium PET dan CAC (Coronary Artery Calcium) scan CT (Gambar 18). Keduanya tidak ditemukan adanya iskemik namun memiliki nilai calcium score yang tinggi. Pasien dengan CFR normal tidak mengalami kejadian kardiovaskular dalam 1.1 tahun setelah pemeriksaan PET/CT, sedangkan pasien dengan CFR rendah meninggal karena penyebab non-kardiak dalam 6 bulan setelah pemeriksaan. Gambar 18. Gambaran PET pada dua pasien tanpa obstruksi penyakit arteri koroner50 6. RINGKASAN Metabolisme miokardium bersifat aerob, maka peningkatan konsumsi oksigen miokard memerlukan peningkatan aliran darah koroner. Hal ini dapat dicapai dengan vasodilatasi, terutama pada sirkulasi mikrovaskular pembuluh darah koroner. Autoregulasi koroner sangat kompleks, dengan berbagai faktor yang mempengaruhinya dan juga oleh beberapa keadaan patologis. Pengertian dan pengukuran CFR sangatlah penting untuk dipahami untuk mengetahui kontrol fisiologis dari sirkulasi koroner beserta patofisiologinya. Penilaian terhadap CFR dapat mengidentifikasi efek dari stenosis pembuluh Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 363
darah koroner epikardial dan untuk mengevaluasi hasil dari revaskularisasi. CFR dapat pula digunakan untuk mengidentifikasi mekanisme patofisiologi dari sindrom nyeri dada pada pasien-pasien dengan arteri koroner epikardial yang normal, seperti pada sindrom X, mikrovaskular angina, dan kardiomiopati dilatasi. Beberapa metode dapat dilakukan untuk mengukur CFR. Metode-metode tersebut antara lain: (1) invasif (intracoronary Doppler flow wire), (2) sangat mahal dan masih jarang tersedia (Positron Emission Tomography), (3) semi- invasif dan relatif sukar (transesofageal Doppler), (4) metode yang mudah, non- invasif, dapat diulang dan tidak mahal dengan teknik Doppler dengan ekokardiografi. DAFTAR PUSTAKA 1. Nilsson S, Scheike M, Engblom D, et al., Chest Pain and Ischaemic Heart Disease in Primary Care. Br J Gen Pract. 2003;53(490):378–82. 2. Montalescot G, Sechtem U, Achenbach S, et al., 2013 ESC Guidelines on The Management of Stable Coronary Artery Disease: The Task Force on The Management of Stable Coronary Disease of the European Society, Eur Heart J. 2013;34(38):2949–3003. 3. Cooper A, Calvert N, Skinner J, et al., Chest Pain of Recent Onset: Assessment and Diagnosis of Recent Onset Chest Pain or Discomfort of Suspected Cardiac Origin. London, UK: National Clinical Guideline Centre for Acute and Chronic Conditions. 2010:35. 4. Fihn SD, Gardin JM, Abrams J, et al. 2012 ACCF/AHA/ ACP/AATS/PCNA/SCAI/STS Guideline for The Diagnosis and Management of Patients With Stable Ischemic Heart Disease: A Report of The American College of Cardiology Foundation/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines, and the American College of Physicians, American Association for Thoracic Surgery, Preventive Cardiovascular Nurses Association, Society for Cardiovascular Angiography and Interventions, and Society of Thoracic Surgeons. Circulation. 2012;126(25): 354–471. 5. Gould KL, Lipscomb K, Hamilton GW. Physiologic Basis for Assessing Critical Coronary Stenosis. Instantaneous Flow Response and Regional Distribution During Coronary Hyperemia As Measures of Coronary Flow Reserve. AmJ Cardiol 1974;33:87-94. Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 364
6. Crea F, Camici PG, De Caterina R, et al. Chronic Ischaemic Heart Disease. In: Camm AJ, Luescher TF, Surruys PW, editors. The ESC Textbook of Cardiovascular Medicine. Oxford, England: Blackwell Publishing; 2006. p. 391-424. 7. Kuo L, Chilian WM, Davis MJ. Coronary Arteriolar Myogenic Response is Independent of Endothelium. Circ Res 1990;66: 860-6. 8. Berne RM. The Role of Adenosine in The Regulation of Coronary Blood Flow. Circ Res 1980;47:807-13. 9. Feletou M, Vanhoutte PM. Endothelium-Dependent Hyperpolarization of Canine Coronary Smooth Muscle. BrJ Pharmacol 1988;93:515-24. 10. Moncada S, Vane JR. Pharmacology and Endogenous Roles of Prostaglandin Endoperoxides, Thromboxane A2, and Prostacyclin. Pharmacol Rev 1978;30:293-33. 11. Kasuya Y, Ishikawa T, Yanagisawa M, et al. Mechanism of Contraction to Endothelin in Isolated Porcine Coronary Artery. AmJr Physiol (Heart Circulation Physiology 26) 1989;257:H1828-35. 12. Ludmer PL, Selwyn AP, Shook TL, et al. Paradoxical Vasoconstriction Induced by Acetylcholine in Atherosclerotic Coronary Arteries. N Engl J Med 1986;315:1046-51. 13. Gross GJ, Buck JD, Warltier DC. Transmural Distribution of Blood Flow During Activation of Coronary Muscarinic Receptors. Am J Physiol 1981;240:H 941-6. 14. Gould KL, Lipscomb K: Effects of Coronary Stenosis on Coronary Flow Reserve and Resistance. Am J Cardiol 1974, 34:48-55. 15. Uren NG, Melin JA, De Bruyne B, et al.: Relation Between Myocardial Blood Flow and The Severity of Coronary Artery Stenosis. N Engl J Med 1994. 330:1782-1788. 16. Tonino PA, De Bruyne B, Pijls NH, et al. Fractional Flow Reserve Versus Angiography for Guiding Percutaneous Coronary Intervention. N Engl J Med. 2009;360:213–24. 17. Pijls NH, Fearon WF, Tonino PA, et al. Fractional Flow Reserve Versus Angiography for Guiding Percutaneous Coronary Intervention in Patients With Multivessel Coronary Artery Disease: 2-year follow-up of the FAME (Fractional Flow Reserve Versus Angiography for Multivessel Evaluation) Study. J Am Coll Cardiol. 2010;56:177–84. Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 365
18. Meuwissen M, Siebes M, Chamuleau SA, et al. Hyperemic Stenosis Resistance Index for Evaluation of Functional Coronary Lesion Severity. Circulation 2002;106:441–6. 19. Johnson NP, Kirkeeide RL, Gould KL. Is Discordance of Coronary Flow Reserve and Fractional Flow Reserve Due to Methodology or Clinically Relevant Coronary Pathophysiology? J Am Coll Cardiol Img 2012;5:193– 202. 20. Kaufmann PA, Camici PG. Myocardial Blood Flow Measurement by PET: Technical Aspects and Clinical Applications [Erratum appears in J Nucl Med. 2005;46:291]. J Nucl Med 2005;46:75e88. 21. Holmberg S, Serzysko W, Varnauskas E. Coronary Circulation During Heavy Exercise in Control Subjects and Patients With Coronary Heart Disease. Acta Medica Scandinavica 1971;190:465-80. 22. Picano E: Stress Echocardiography: A Historical Perspective. Am.J Med 2003. 114:126-130. 23. Dimitrow PP: Coronary Flow Reserve-Measurement and Application: Focus on Transthoracic Doppler Echocardiography. Boston/Dordrecht/London: Kluwer Academic Publishers; 2002. 24. Saraste M, Koskenvuo J, Knuuti J, et al.: Coronary Flow Reserve: Measurement With Transthoracic Doppler Echocardiography is Reproducible and Comparable With Positron Emission Tomography. Clin.Physiol 2001. 21:114 -122 25. Wijns W, Kolh P, Danchin N, et al., Guidelines on Myocardial Revascularization. Eur Heart J. 2010;31(20):2501–55. 26. Barbato E, Aarnoudse W, Aengevaeren WR, et al. Validation of Coronary Flow Reserve Measurements by Thermodilution in Clinical Practice. Eur Heart J. 2004;25(3):219–23. 27. Doucette JW, Corl PD, Payne HM, et al. Validation of A Doppler Guide Wire For Intravascular Measurement of Coronary Artery Flow Velocity. Circulation 1992. 85: 1899-911. 28. Iliceto S, Marangelli V, Memmola C, et al.: Transesophageal Doppler Echocardiography Evaluation of Coronary Blood Flow Velocity in Baseline Conditions and During Dipyridamole Induced Coronary Vasodilation. Circulation 1991. 83:61-9. 29. Tries HP, Lambertz H, Lethen H: Transthoracic Echocardiographic Visualization of Coronary Artery Blood Flow and Assessment of Coronary Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 366
Flow Reserve in The Right Coronary Artery: A First Report of 3 Patients. J Am.Soc.Echocardiogr. 2002. 15:739-742. 30. Voci P, Pizzuto F, Mariano E, et al.: Measurement of Coronary Flow Reserve in The Anterior and Posterior Descending Coronary Arteries by Transthoracic Doppler Ultrasound. Am.J Cardiol 2002. 90:988 -991. 31. Hozumi T, Yoshida K, Ogata Y, et al.: Noninvasive Assessment of Significant Left Anterior Descending Coronary Artery Stenosis by Coronary Flow Velocity Reserve With Transthoracic Color Doppler Echocardiography. Circulation 1998. 97:1557-1562. 32. Rigo F. Coronary Flow Reserve in Stress-Echo Lab. From Pathophysiologic Toy to Diagnostic Tool. Cardiovasc Ultrasound. 2005;3:8. 33. Wilson RF, Wyche K, Christensen BV, et al. Effects of Adenosine on Human Coronary Arterial Circulation. Circulation 1990;82:1595e606. 34. Daimon M, Watanabe H, Yamagishi H, et al.: Physiologic Assessment of Coronary Artery Stenosis by Coronary Flow Reserve Measurements With Transthoracic Doppler Echocardiography: Comparison With Exercise Thallium-201 Single Positon Emission Computed Tomography. J.Am.Coll.Cardiol. 2001, 37:1310 -1315. 35. Pizzuto F, Voci P, Mariano E, et al.: Assessment of Flow Velocity Reserve by Transthoracic Doppler Echocardiography and Venous Adenosine Infusion Before and After Left Anterior Descending Coronary Artery Stenting. J.Am.Coll.Cardiol. 2001, 38:155-162. 36. Di Mario C, Moses JW, Anderson TJ, et al.: Randomized Comparison of Elective Stent Implantation and Coronary Balloon Angioplasty Guided by Online Quantitative Angiography and Intracoronary Doppler. DESTINI Study Group (Doppler Endpoint STenting International Investigation). Circulation 2000. 102:2938 -2944. 37. Ruscazio M, Montisci R, Colonna P, et al.: Detection of Coronary Restenosis After Coronary Angioplasty by Contrast-Enhanced Transthoracic Echocardiographic Doppler Assessment of Coronary Flow Velocity Reserve. J Am.Coll.Cardiol 2002. 40:896 -903. 38. Hozumi T, Yoshida K, Akasaka T, et al.: Value of Acceleration Flow and The Prestenotic to Stenotic Coronary Flow Velocity Ratio by Transthoracic Color Doppler Echocardiography in Noninvasive Diagnosis of Restenosis After Percutaneous Transluminal Coronary Angioplasty. J.Am.Coll.Cardiol. 2000. 35:164 -168. Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 367
39. Colonna P, Cadeddu C, Montisci R, et al.: Reduced Microvascular and Myocardial Damage in Patients With Acute Myocardial Infarction and Preinfarction Angina. Am.Heart J 2002. 144:796-803. 40. Chirillo F, Bruni A, Balestra G, et al.: Assessment of Internal Mammary Artery and Saphenous Vein Graft Patency and Flow Reserve Using Transthoracic Doppler Echocardiography. Heart 2001. 86:424-431. 41. Dimitrow PP, Krzanowski M, Nizankowski R, et al.: Verapamil Improves The Response of Coronary Vasomotion To Cold Pressor Test in Asymptomatic and Mildly Symptomatic Patients with Hypertrophic Cardiomyopathy. Cardiovasc.Drugs Ther. 1999. 13:259-264. 42. Akasaka T, Yoshida K, Hozumi T, et al. Comparison of Coronary Flow Reserve Between Focal and Diffuse Vasoconstriction Induced by Ergonovine in Patients With Vasospastic Angina. AmJ Cardiol 1997;80:705e10. 43. Takeuchi M, Lodato JA, Furlong KT, et al. Feasibility of Measuring Coronary Flow Velocity and Reserve in The Left Anterior Descending Coronary Artery by Transthoracic Doppler Echocardiography in A Relatively Obese American Population. Echocardiography 2005;22:225e32 44. Serruys PW, de Bruyne B, Carlier S, et al.: Randomized Comparison of Primary Stenting and Provisional Balloon Angioplasty Guided by Flow Velocity Measurement. Doppler Endpoints Balloon Angioplasty Trial Europe (DEBATE) II Study Group. Circulation 2000, 102:2930-2937. 45. Di Mario C, Moses JW, Anderson TJ, et al.: Randomized Comparison of Elective Stent Implantation and Coronary Balloon Angioplasty Guided by Online Quantitative Angiography and Intracoronary Doppler. DESTINI Study Group (Doppler Endpoint STenting International Investigation). Circulation 2000, 102:2938 -2944. 46. Caiati C, Montaldo C, Zedda N, et al.: Validation of A New Noninvasive Method (Contrast-Enhanced Transthoracic Second Harmonic Echo Doppler) For The Evaluation of Coronary Flow Reserve: Comparison With Intracoronary Doppler Flow Wire. J.Am.Coll.Cardiol. 1999. 34:1193-1200. 47. Yoshinaga K, Tomiyama Y, Suzuki E, et al. Myocardial Blood Flow Quantifiation Using Positron-Emission Tomography: Analysis and Practice in The Clinical Setting. Circ J 2013; 77: 1662 –1671 48. Sampson UK, Dorbala S, Limaye A, et al. Diagnostic Accuracy of Rubidium- 82 Myocardial Perfusion Imaging with Hybrid Positron Emission Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 368
Tomography/Computed Tomography in The Detection of Coronary Artery Disease. J Am Coll Cardiol 2007; 49:1052 –1058 49. Dorbala S, Vangala D, Sampson U, et al. Value of Vasodilator Left Ventricular Ejection Fraction Reserve in Evaluating The Magnitude of Myocardium At Risk and The Extent of Angiographic Coronary Artery Disease: A 82Rb PET/CT study. J Nucl Med 2007; 48: 349 –358. 50. Naya M, Di Carli MF. Myocardial Perfusion PET/CT To Evaluate Known and Suspected Coronary Artery Disease. Q J Nucl Med Mol Imaging 2010; 54: 145 –156. 51. Marwick TH, Shan K, Patel S, et al. Incremental Value of Rubidium-82 Positron Emission Tomography For Prognostic Assessment of Known or Suspected Coronary Artery Disease. Am J Cardiol 1997; 80: 865 –870. Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 369
14 Kegawatdaruratan Pada Usia Lanjut Dalam Kardiologi Sitti Rahmah, Wasis Udaya, Pendrik Tandean PENDAHULUAN Pada tahun 2015 terdapat 901 juta jiwa penduduk usia lanjut di dunia Berdasarkan data Perserikaan Bangsa-bangsa (PBB) tentang World Population Ageing. Jumlah tersebut diproyeksikan terus meningkat mencapai dua miliar jiwa pada tahun 2050. Seperti halnya yang terjadi di negara-negara di dunia, Indonesia juga mengalami penuaan penduduk. Tahun 2019, jumlah usia lanjut di Indonesia diproyeksikan akan meningkat menjadi 27,5 juta atau 10,3%, dan 57,0 juta jiwa atau 17,9% pada tahun 2045.1 Populasi lanjut usia didefinisikan sebagai peningkatan proporsi jumlah lansia (mereka yang berusia 60 tahun keatas) pada total populasi yang ada di seluruh dunia.2 Pasien usia lanjut sering memiliki riwayat penyakit terdahulu yang kompleks dan isu psikososial yang saling berhubungan, hingga keadaan mereka saat ini. Meskipun stabilisasi awal dari pasien usia lanjut tetap sama dengan pasien umum namun perlu diingat bahwa pada usia lanjut dilakukan evaluasi biopsikososial. Hal ini memberikan banyak tantangan termasuk pengumpulan riwayat penyakit terdahulu yang akurat, permasalahan diagnosa medis dalam konteks perubahan fisiologis yang berhubungan dengan usia, masalah penanganan medis yang kompleks bersamaan dengan polifarmasi, menilai fungsi kognitif dan status fungsional, serta menentukan keputusan end-of-life dan tujuan akhir dari perawatan.3 Kejadian penyakit kardiovaskular diperkirakan akan meningkat terutama pada usia lanjut. Diperkirakan pasien gagal jantung saat ini di Eropa sekitar 6,5 juta jiwa dan 5 juta di Amerika Serikat. Sekitar satu dari 35 orang pada usia 65-74 tahun menderita gagal jantung, angka prevalensi ini meningkat menjadi satu dari 15 pada usia 75-84 tahun, dan hanya satu dari tujuh orang berusia diatas 85 tahun. Kondisi lainnya berupa artrial fibrilasi yang merupakan aritmia tersering pada usia lanjut. Prevalensinya Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 370
diperkirakan meningkat dua kali lipat setiap dekade usia, dari 0,5% pada usia 50-59 tahun menjadi hampir 9% pada usia 80-89 tahun. Di Amerika Serikat, prevalensi dari atrial fibrilasi adalah 3-4% pada orang sehat yang berusia diatas 60 tahun, 10 kali lebih tinggi daripada populasi muda.4 KEGAWATDARURATAN DALAM KARDIOLOGI Kejadian penyakit kardiovaskular diperkirakan akan meningkat terutama penyakit jantung kronis pada usia lanjut yaitu penyakit arteri koroner, gagal jantung dan atrial fibrilasi. Presentasi klinis meliputi silent ischemia, angina pectoris, sindroma koroner akut (misalnya unstable angina dan infark miokard) dan kematian jantung mendadak. Pada populasi usia lanjut, gagal jantung menjadi isu medis yang serius.4 Penyakit arteri koroner (CAD) merupakan penyebab kematian utama pada populasi usia lanjut. Angka kejadian CAD dan yang behubungan dengan CAD meningkat sejalan dengan usia. Pada umumnya, sekitar 60-65% pasien berusia 65 tahun atau lebih mengalami infark miokard dan 80% dihubungkan dengan kematian. Usia merupakan faktor independen dari CAD disamping faktor resiko tradisional termasuk merokok, hipertensi, hiperlipidemia dan diabetes. Usia yang dihubungkan dengan perubahan kardivaskular termasuk penurunan komplians arteri, peningkatan afterload jantung dan disfungsi diastolik ventrikel kiri. Sebagai tambahan, pasien usia lanjut menunjukkan peningkatan dari biomarker sitokin dan inflamasi dimana berhubungan dengan berkembangnya penyakit kardiovaskular.3 Dikarenakan tingginya angka mortalitias dan morbiditas pasien lansia dengan penyakit kardiovaskular sehingga perlunya mengenal keluhan utama pasien usia lanjut saat masuk ke unit gawat darurat serta penatalaksanaannya. Di unit gawat darurat, nyeri dada merupakan gejala utama yang paling sering ditemui, namun hanya 10% dari seluruh pasien di unit gawat darurat yang terdiagnosa dengan acute myocardial infarction (AMI) dan 36% nyeri dada berhubungan dengan kondisi muskuloskeletal, 19% gastrointestinal dan 5% kondisi respirasi. Angka 10% tersebut merupakan angina stabil dan 1,5% merupakan acute cardiac ischemia. Seringkali pula atipikal dan beberapa pasien mempunyai multi-morbiditas.5 1. Dispnea Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 371
Kesulitan bernapas adalah salah satu dari sekian banyak keluhan utama dan merupakan penyebab utama pasien usia lanjut masuk ke unit gawat darurat rumah sakit. Dispnea adalah gejala subjektif dari kesulitan bernapas. Kegagalan respirasi akut adalah suatu konsisi kegagalan sistem kardiorespirasi dalam satu fungsi pertukaran gas dan/atau keduanya (PaO2 < 60 mmHg atau PaCO2 > 45 mmHg). Dispnea disebabkan oleh abnormalitas dinding dada dan pleura, penyakit paru-paru dan jalan napas, gagal jantung akut atau kondisi sistem saraf perifer. Diagnosa awal yang tepat serta perawatan pasien yang dengan dispnea di unit gawat darurat dihubungkan dengan berkurangnya lama perawatan di rumah sakit dan di intensive care unit (ICU) serta memiliki prognosis jangka pendek yang baik.5 Diagnosa banding dari dispnea pada pasien usia lanjut di unit gawat darurat biasanya ditegakkan sesuai dari riwayat penyakit klinis, pemeriksaan fisis, elektrokardiogram (EKG) 12-lead, foto thoraks dan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan lanjutan seperti biomarker, analisa gas darah arteri atau vena, ultrasound, computed tomography, ventilation/perfusion scan atau pemeriksaan lainnya yang harus dilakukan sesuai pertimbangan dari temuan sebelumnya. Diagnosa gagal jantung berdasarkan elektrokardiogram, foto thoraks dan nilai natriuretic peptide type B dan diagnosa emboli paru berdasarkan kriteria Wells dan Geneva, D-dimer (nilai batasan disesuaikan usia) dan computerized tomography.5 Anamnesa mengenai gejala yang berhubungan seperti nyeri dada, palpitasi, diaphoresis, paroxysmal nocturnal dyspnea, orthopnoea, bengkak kedua tungkai bawah, demam, batuk dan perubahan sputum atau hemoptisis harus dipertimbangkan. Usia lanjut cenderung menunjukkan gejala yang lebih atipikal (misalnya kebingungan, jatuh, gangguan fungsional atau dekompensasi dari penyakit kronik) dan gejala khas yang lebih sedikit (misalnya paroxysmal nocturnal dyspnea pada gagal jantung, nyeri dada pada infark miokard, demam, batuk, sputum dan dispnea pada pneumonia) dibandingkan dengan dewasa muda. Pemeriksaan fisis jantung dan paru dapat memperlihatkan kondisi yang abnormal, seperti stridor inspiratori atau ekspiratori, mengik atau ronchi atau berkurangnya suara napas atau suara jantung dan murmur. Pemeriksaan EKG dapat memperlihatkan gambaran iskemik jantung akut (segmen ST atau gelombang T), emboli paru (S1Q3T3) serta kondisi lainnya. Pemeriksaan foto thoraks biasanya digunakan untuk mendiagnosa Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 372
pneumonia (infiltrat), pneumothorax (udara pada rongga pleura) dan gagal jantung akut (kardiomegali, redistribusi dari pembuluh darah pulmonar, Kerley lines, peribronchial cuffing, konsolidasi, cotton wool appearance, efusi pleura).5 Troponin merupakan penanda kerusakan miokard dan sangat berguna untuk mendiagnosa suatu kejadian koroner akut sesuai etiologinya namun juga dalam stratifikasi prognosis jangka pendek. Meskipun demikian, troponin memiliki keterbatasan yang spesifik dan dapat meningkat pada kondisi lain, misalnya sepsis. Nilai D-dimer diperoleh pada beberapa kasus dengan risiko rendah ke sedang pada emboli paru (misalnya pada kriteria Wells atau Geneva) dikarenakan nilai negatif D-dimer memungkinkan emboli paru dapat disingkirkan.5 Gambar 1. Algoritme penatalaksaan dispnea pada pasien usia lanjut5 2. Nyeri Dada Akut Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 373
Nyeri dada merupakan satu dari empat keluhan utama pasien masuk ke unit gawat darurat di Amerika Serikat. Etiologi dari nyeri dada berkisar dari penyakit jantung yang mengancam jiwa seperti MI dan diseksi aorta, hingga penyebab lainnya yang tidak mengancam jiwa seperti heartburn dan ketegangan otot. Angka kejadian, morbiditas dan mortalitas dari beberapa penyebab nyeri dada meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Sangatlah penting mengetahui dengan cepat antara nyeri dada yang mengancam jiwa maupun yang tidak mengamcam jiwa, dimana diketahui ada “big five of chest pain” yakni AMI, emboli paru, diseksi aorta, tension pneumothorax dan kasus yang sangat jarang ditemukan Boerhaave’s syndrome. Diseksi aorta tipe A dan Boerhaave’s syndrome harus sesegera mungkin mendapatkan intervensi pembedahan tanpa memandang usia.5 Gambar 2. Penatalaksanaan nyeri dada pada usia lanjut5 Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 374
3. Sinkop Sinkop atau pingsan didefinisikan sebagai suatu hilangnya kesadaran yang bersifat sementara, dimana hal ini disebabkan oleh hilangnya aliran darah serebral dalam waktu singkat. Sinkop menghasilkan periode tidak responsifnya sementara dan hilangnya postural tone, akhirnya akan menghasilkan pemulihan spontan yang tidak memerlukan resusitasi.3,5 Dilaporkan setidaknya ada satu episode sinkop selama 17 tahun follow up. Angka kejadian dari sinkop adalah 6,2 per 1000 jiwa per tahun dengan peningkatan yang tajam diusia setelah 70 tahun dari 5,7 kejadian per 1000 jiwa per tahun pada laki-laki usia 60-69 menjadi 11,1 pada usia 70-79, angka ini setara dengan angka perkiraan kejadian kumulatif 10 tahun.6 Diperkirakan sekitar 30-50% dari seluruh kasus sinkop tidak diketahui etiologi yang jelas meskipun telah dilakukan evaluasi medis. Kondisi yang menyebabkan gejala seperti ini pada usia lanjut yakni penyakit sistem elektrokonduksi jantung dan iskemik jantung, penyakit ini mungkin tidak ditemukan dan berpotensi mengancam jiwa. Kekhawatiran ini mungkin menjadi faktor yang hatus diperhatikan oleh dokter di unit gawat darurat untuk melakukan evaluasi yang lebih lanjut dan merawatinapkan pasien lansia yang datang ke unit gawat darurat dengan keluhan sinkop. Penyebab dari sinkop beragam, mulai dari yang tidak mengacam jiwa hingga yang mengancam jiwa. Sinkop sering pada lansia dapat dibedaka menjadi penyebab kardiak dan non-kardiak. Pada pasien dibawah 65 tahun, penyebab non-kardiak mencapai 40% dari kasus sinkop, sedangkan 20% merupakan kelainan jantung. Penyebab dari kardiak ditemui pada hampir 40% kasus pada pasien 65 tahun keatas, sedangkan penyebab non-kardiak hanya 20%.3 Sinkop oleh karena kardiak memiliki karakteristik berupa prodromal absent atau singkat yakni kurang dari 5 detik, palpitasi dan kehilangan kesadaran yang singkat. Penyebab sinkop oleh karena kardiak sangat sering ditemui pada populasi usia lanjut. Sinkop yang singkat dan pulih tiba-tiba, yang terjadi saat terlentang, selama exercise atau dihubungkan dengan palpitasi atau nyeri dada harus dipertimbangkan merupakan penyebab kardiak hingga terdapat bukti sebaliknya.5,6 Riwayat penyakit jantung merupakan prediktor indipenden dari sinkop oleh karena kardiak dengan sensitifitas 95% dan spesifisitas 45%.6 Sinkop oleh karena kardiak harus Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 375
dipikirkan pada pasien yang diketahui atau dicurigai disfungsi sistolik ventrikel kiri, penyakit katup, obstruksi aliran ventrikel kiri, massa jantung, ACS, kardiomiopati iskemik, pada yang memiliki EKG abnormal dan pada klinis serta pemeriksaan konkomitan menyerupai emboli paru.5,6 Disaritmia adalah penyebab oleh karena kardiak yang menginduksi gangguan hemodinamik dapat menyebabkan penurunan dari cardiac output dan aliran darah kardiak. Bardikardia merupakan disaritmia yang paling sering ditemukan pada populasi lansia dan sering disebabkan oleh disfungsi sinus nodal, penyakit konduksi atrioventrkular ataupun malfungsi dari alat implan jantung. Takikardia termasuk disaritmia supraventrikular dan ventrikular.5 Pasien lansia seringkali mengkonsumsi banyak obat, terutama beberapa obat yang memiliki resiko menyebabkan sinkop akibat obat. Nitrat dan anti hipertensi seperti beta blockers paling sering menyebabkan sinkop..5 Anamnesa terstruktur harus selalu diulang pada setiap pasien sinkop untuk mendekumentasikan setiap detail yang tepat dari peristiwa sinkop tersebut. Apa yang sedang pasien lakukan saat itu, dan apakah terjadi gejala prodromal? Dibutuhkan kehati-hatian untuk membedakan peritiwa jatuh dari setiap episode sinkop pada populasi ini. Difokuskan pada aspek- aspek dari setiap peristiwa sinkop seperti keadaan sekitar saat itu, saksi mata dan kecepatan serta keadaan pemulihan. Dokter harus mencari petunjuk yang akan mengarahkan pada penyebab kardiak untuk mengidentifikasi populasi yang beresiko tinggi. 7 Aspek yang penting dari pemeriksaan fisis pasien sinkop adalah pengukuran tanda-tanda vital ortostatik. Tanda-tanda vital ortostatik diabaikan saat pemeriksaan awal pada hampir dua pertiga pasien, meskipun ini merupakan pemeriksaan yang cepat dan murah. Maneuver pemeriksaan fisis tambahan dapat dipandu oleh riwayat pasien dan usianya dan diarahkan untuk mengungkap potensi cidera akibat terjatuh.7 Tidak ada pemeriksaan gold standard yang hasilnya dapat mendiagnosa suatu sinkop. Semua pasien harus menjalani pemeriksaan dasar seperti EKG dan tes glukosa darah sewaktu saat masuk dengan keluhan sinkop. Temuan di EKG dapat memperlihatkan disritmik atau abnormalitas konduksi intraventrikular, Mobitz II blok derajat dua atau derajat tiga, VT yang tidak berkelanjutan, pemanjangan interval QT, sinus Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 376
penelitian menunjukkan hasil EKG dalam menentukan penyebab sinkop hanya pada 5% pasien.3 Pemeriksaan darah seperti enzim jantung, elektrolit, darah rutin, laktat, kultur darah dan modalitas pemeriksaan CT scan kepala, echocardiography dan USG karotid dapat dilakukan berdasarkan riwayat dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan darah rutin biasanya hanya mengkonfirmasi kecurigaan klinis sinkop karena hanya mengungkap etiologi pada 2% pasien saja. Enzim jantung bernilai kecil jika diambil secara rutin pada pasien lansia yang masuk ke rumah sakit dengan sinkop.3 Pedoman ESC memberikan pendekatan sinkop yang sangat terorganisir, logis dan menyeluruh. Pada analisa menggunakan pendekatan ini, peneliti menemukan bahwa diagnosa pasti dibuat pada 98% pasien dan 50% kasus dapat didiagnosa dari evaluasi awal saja. Sumber daya ini sangat berharga dalam detail dan daftar lengkap mengenai fitur klinis, temuan EKG, modalitas pengujian khusus dan sebagainya. Ringakasan dari pendekatan yang direkomendasikan ESC tercantum sebagai berikut:7 1. Evaluasi awal yang bertujuan untuk membedakan sinkop murni dengan yang gejalanya serupa, mengesampingkan penyakit jantung dan mengidentifikasi fitur riwayat yang berhubungan dengan diagnosa. Tujuan ini dicapai melalui anamnesa riwayat penyakit, pemeriksaan fisis dan EKG awal. 2. Diagnosa tertentu atau diduga dalam berberapa kasus, tidak diperlukan pemeriksaan lebih lanjut setelah evaluasi awal dan pemeriksaan mengidentifikasi “diagnosa pasti”. Umumnya, ketika dokter menyakatan “diagnosa diduga” maka akan dilakukan pemeriksaan lanjutan. 3. Sinkop yang tidak dapat dijelaskan pada beberapa kasus ketika penyebabnya belum diketahui, dokter harus fokus untuk mengesampingkan penyebab jantung dengan pemeriksaa provokatif stress, echocardiography atau mendeteksi aritimia. Apabila hasil evaluasi kardiak negatif, neurally mediated syncope (NMS) perlu diperiksan dengan pengujian lebih lanjut. 4. Penilaian ulang dilakukan apabila masih beluam diketahui penyebabnya, dokter harus memulai kembali dari awal, menganamnesa ulang dan pemeriksaan fisis serta mencari petunjuk Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 377
untuk pemeriksaan selanjutnya. Pada pedoman Dua-langkah sederhana, Croci dkk menggambarkan gugus tugas pada pendekatan sinkop untuk mengevaluasi sinkop di unit gawat darurat. Langkah pertama, atau evaluasi awal, termasuk riwayat, pemeriksaan fisis, tanda-tanda vital ortostatik dan EKG pada pasien diatas 45 tahun atau dengan riwayat penyakit jantung. Dokter dapat menentukan penyebab dari sinkop dari langkah ini saja, tanpa melalukan pemeriksaan tambahan. Sebaliknya, pasien harus melanjutkan ke langkah kedua atau pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan ini dipandu oleh evaluasi awal untuk menyelidiki penyebab potensial kardiak, NMS atau saraf. Menggunakan pendekatan ini, evaluasi awal menentukan diagnosis penyebab sinkop pada 23% pasien. Sebagai tambahan, 21% pasien hanya memerlukan satu pemeriksaan untuk menegakkan diagnosa, 21% lainnya membutuhkan dua pemeriksaan dan 16% membutuhkan setidaknya tiga pemeriksaan. Secara keseluruhan, para peneliti menyimpulkan bahwa dengan mengikuti pendekatan ini dapat menetapkan diagnosa dengan pemeriksaan yang sederhana.7 Sindroma Koroner Akut (ACS) Sekitar 20-25% pasien yang masuk ke unit gawat darurat dengan keluhan nyeri dada menderita ACS. Menurut pedoman AHA dan ESC, suatu pemariksaan EKG harus dilakukan dalam 10 menit pertama setelah pasien masuk ke unit gawat darurat pada pasien dengan keluhan rasa tidak nyaman pada dada atau gejala lainnya yang konsisten dengan ACS.5 Gejala yang dominan dari lebih setengah pasien dengan ACS tanpa nyeri dada adalah dispnea. Dispnea yang disertai diaphoresis, nausea, muntah atau pingsan menggambarkan pasien usia lanjut yang kemungkinan mengalami ACS. Sindrom koroner akut dengan gejala atipikal dihubungkan dengan prognosis yang buruk. Gangguan kognitif, sirkulasi kolateral miokardial dari CAD kronik yang progresif dan menurunkan sensitifitas merasakan nyeri merupakan hipotesis untuk menjelaskan tampulan atipikal pada usia lanjut yang mengalami infark miokard. Sebagai tambahan, gangguan pendengaran dan penglihatan dan faktor sosioekonomi dapat memperlambat atau mengaburkan tampilan pasien usia lanjut dengan ACS.3 Sindroma koroner akut merupakan suatu terminologi dimana Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 378
termasuk AMI (Non ST-segment elevation atau NSTEMI atau disebut juga Non ST-segment elevation-acute coronary syndrome atau NSTE-ACS dan ST- segment elevation atau STEMI) dan unstable angina didalamnya. Gejala tipikal dari suatu ACS adalah rasa sesak pada dada, nyeri dada dan menjalar pada lengan dan rahang kiri, sering disertai dengan dispnea dan gejala vegetatif seperti berkeringat (diaphoresis) dan mual/muntah. Gejala atipikal didefinisikan sebagai tidak dirasakannya nyeri dada dan terjadi lebih sering pada pasien usia lanjut dengan ACS hingga 40%. Literatur menunjukkan bahwa usia rata-rata pasien dengan gejala atipikal adalah 73 tahun dan usia rata-rata pasien dengan gejala tipikal adalah 66 tahun. Dikarenakan keterlambatan dalam menetapkan diagnosa dan penanganan awal, tampilan tipikal dari ACS terbukti menjadi prediktor negatif menuju kematian dengan tingkat kematian tertinggi di rumah sakit tiga kali lipat lebih tinggi daripada ACS yang tipikal. Canto dkk menemukan bahwa pada 434.877 pasien yang didiagnosa dengan infark miokard, hingga 33% tidak menampilkan suatu nyeri dada yang tipikal. Meskipun nyeri dada merupakan gambaran umum dari ACS tanpa memandang usia, lansia lebih cenderung mengalami dispnea (49%), diaphoresis (26%), mual dan muntah (24%) dan sinkop (19%) sebagai keluhan utama. Terutama pada pasien usia lanjut yang telah menderita banyak penyakit akut (infeksi atau kondisi komorbiditas yang memburuk) sehingga meningkatkan resiko terjadinya ACS.5 Penyebab utama yang mendasari mengapa pasien ACS tanpa nyeri dada belum dapat dijelaskan. Nyeri dada dapat timbul akibat stimulasi oleh serat nyeri viseral atau somatik. Pasien usia lanjut tampaknya memiliki persepsi nyeri yang kurang dan cenderung memiliki lebih banyak komorbiditas seperti diabetes. Diabetes berhubungan dengan disfungsi saraf otonom dan telah terbukti menjadi faktor predisposisi untuk kejadian iskemik miokard asimtomatik. Pasien diabetes juga diketahui biasanya dengan intoleransi terhadap olahraga dan menderita kelelahan yang berat, dimana hal ini mungkin dapat dikacaukan dengan gejala gagal jantung atau pusing.8 Angka kejadian nyeri dada atipikal ditemukan lebih tinggi pada perempuan yang disebabkan oleh tingginya gejala simultan seperti nyeri pada leher dan bahu, mual, kelelahan dan dispnea. Selain itu, populasi perempuan cenderung menderita penyakit CAD post-menstruasi, dimana Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 379
yang dapat menyebabkan komorbiditas lebih tinggi seperti diabetes atau hipertensi.8 Pada beberapa kasus, ACS dapat terjadi sebagai hasil dari meningkatnya kebutuhan oksigenasi miokard dari proses patologis sebelumnya atau yang terjadi bersamaan. Pasien usia lanjut yang datang setelah jatuh, infeksi berat saat ini, atau proses penyakit yang menyebabkan stres fisik mungkin mengalami ACS juga. Kebanyakan pasien ini memiliki penyakit dasar atherosklerosis, dimana hal ini menurunkan ambang dekompensasi jantung dan meningkatkan kebutuhan miokardnya saat stres.5 Pemeriksaan fisik tidak terlalu bermakna dalam menegakkan diagnosa ACS. Didapatkan hipotensi, ronchi dan edema perifer merupakan tanda kegagalan pompa yang kronis maupun akut dan berkonotasi pada prognosis yang buruk. Angka kejadian infark miokard yang secara klinis tidak tampak dapat dideteksi dengan EKG rutin pada 21-68% usia lanjut. Satu EKG normal tidak menyingkirkan suatu ACS. Selain itu, pasien usia lanjut cenderung memiliki EKG awal yang abnormal dikarenakan adanya sekuele akibat riwayat infark miokard, hipertrofi ventrikel kiri (LVH), riwayat block dan adanya gelombang ST dan T non spesifik yang abnormal sehingga pelu diketahui EKG dasarnya sebagai perbandingan.3 Berdasarkan pengertiannya infark miokard STEMI adalah suatu sindroma dengan gejala iskemik miokard yang disertai dengan karakteristik perubahan EKG yakni elevasi segmen ST yang baru di J-point pada setidaknya dua sadapan yang berdekatan minimal 0,1 mV kecuali sadapan V2-3. Peningkatan segmen ST minimal 0,25 mV pada laki-laki usia lebih muda dari 40 tahun dan minimal 0,2 mV pada laki-laki usia lebih tua dari 40 tahun. Pada wanita, batas bawah peningkatan segment ST pada sadapan V2-3 adalah 0,15 mV. Munculnya left bundle branch block (LBBB) baru yang disertai dengan ejala tipikal untuk ACS merupakan setara dengan STEMI. Kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan troponin. Berbeda dengan STEMI, pada NSTE-ACE tidak ditemukan perubahan EKG. Pada NSTE-ACS troponin meningkat.5 Pemeriksaan troponin jantung dengan sensitivitas tinggi atau biasa dikenal dengan high-sensitivity cardiac troponin memiliki hasil diagnostik yang sangat baik dalam mendiagnosa infark miokard dini pada pasien usia lanjut. Namun, spesifisitas pemeriksaan ini lebih rendah dibandingkan pada pasien usia muda dan peningkatan kadar troponinnya Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 380
lebih sering dikaitkan dengan kondisi selain ACS.9 Secara umum, pasien yang lebih tua memiliki resiko komplikasi yang tinggi selama terapi antitrombotik dan revaskularisasi. Pedoman ACC/AHA dengan demikian merekomendasikan untuk pasien suia lanjut, sebagai berikut:5 1. Keputusan dalam penatalaksanaan harus sesuai pertimbangan kesehatan secara umum, komorbid, status kognitif dan harapan hidup; 2. Perhatian mengenai perubahan farmakokinetik dan sensitifitas terhadap obat hipotensi; 3. Penatalaksanaan ACS secara medis dan intervensi yang intensif dapat dilakukan tetapi dengan pengamatan yang cermat mengenai efek samping dari terapi ini. Penatalaksanaan STEMI merupakan time sensitive dengan tujuan untuk reperfusi adalah 90 menit untuk percutaneous coronary intervention (PCI) dan 30 menit untuk trombolitik ketika PCI tidak tersedia. PCI lebih diutamakan pada pasien usia lanjut dengan onset 6-12 jam. PCI pada STEMI lebih menguntungkan dibandingkan trombolitik dan terapi medis dengan obat-obatan pada semua kelompok usia.3,10 Bukti saat ini menunjukkan bahwa pada usia lanjut manfaat dari terapi invasif lebih besar meskipun memiliki komorbid yang berhubungan dengan usia. Oleh sebab itu, PCI disarankan dibandingkan trombolitik pada pasien usia lanjut. Pasien yang menjalani PCI harus dipantau dengan ketat terkait komplikasi termasuk stroke, pendarahan hebat, komplikasi mekanik dan nefropati akibat kontras. Hal ini terjadi secara signifikan tinggi pada pasien yang sangat tua dan pasien perempuan usia lanjut. Kontraindikasi relatif dilakukannya PCI atau fibrinolitik pada pasien usia lanjut termasuk gambaran EKG dasar yang abnormal untuk durasi waktu yang tidak diketahui, hipertensi yang tidak terkontrol, masuk ke unit gawat darurat lebih dari 6 jam setelah onset gejala, riwayat stroke, dementia atau dalam terapi antikoagulan dalam jangka waktu yang lama. Pasien lansia yang menerima terapi reperfusi memiliki resiko kematian yang lebih rendah dibandingkan yang tidak.3 Menurut pedoman ESC tahun 2015, Penatalaksanaan pasien NSTE-ACS disarankan untuk menjalani strategi invasif dini dengan PCI Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 381
dalam 48 jam setelah keluhan awal untuk semua pasien NSTE-ACS yang resiko tinggi, dimana indikator resiko tinggi yaitu angina berulang, peningkatan marker jantung, depresi segmen ST, gagal jantung, aritmia, riwayat coronary bypass atau PCI.5,9 Aspirin memperlihatkan peningkatan manfaat pada pasien usia lanjut. Clopidogrel juga direkomedasikan pada kasus yang sesuai selama memiliki manfaatnya setara pada pasien usia lanjut. Bukti penggunaan dari GIIb/IIIa inhibitors masih kurang jelas, dengan dilaporkannya komplikasi peningkatan perdarahan pada pasien usia lanjut.3 Saat kelas obat-obatan ini diresepkan di unit gawat darurat, penghitungan dosis mengunakan klirens kreatinin dan berat badan akurat sangat penting untuk menurunkan resiko komplikasi perdarahan.3,9,10 Nitrat memperlihatkan efektivitas dan keamanan untuk menurunkan iskemia berulang pada pasien usia lanjut dan penggunaannya harus sesuai dengan klinis pasien tanpa memandang usia.3 Pedoman ESC mengenai pasien NSTE-ACS menggunakan terapi dual antiplatelet yaitu penggunaan aspirin dan satu dari dua P2Y12 inhibitors poten seperti ticagrelor atau prasugrel pada pasien curiga ACS sangat disarankan. Manfaat dari aspirin tidak dipengaruhi dengan usia dan manfaatnya paling besar pada populasi beresiko tinggi seperti pada pasien usia lanjut. Pada pedoman ACC/AHA tahun 2014 untuk penatalaksanaan pada pasien dengan NSTE-ACS menyarankan clopidogrel atau ticagrelor harus diberikan selain aspirin hingga 12 bulan pada seluruh pasien dengan NSTE-ACS tanpa kontraindikasi yang diterapi dengan strategi invasif dini.5 Suatu sub-penelitian Platelet Inhibition and Patient Outcomes (PLATO) yang diterbitkan tahun 2012 menunjukkan manfaat klinis dari ticagrelor dibandingkan clopidogrel pada pasien ACS sehubungan dengan beberapa penyebab kematian kardiovaskular, infark miokard dan stroke atau semua penyebab kematian tidak berbeda secara signifikan antara keterbatasan khususnya pada usia lanjut. Obat ini tidak dapat diberikan pada pasien dengan riwayat stroke atau TIA atau pasien diatas 75 tahun dan yang berat badannya dibawah 60 kg. Masih belum jelas bagaimana keuntungan klinik ticagrelor atau prasugrel pada pasien usia lanjut dengan NTE-ACS ketika dibandingkan dengan clopidogrel.5 Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 382
Gagal Jantung Kongestif (CHF) Gagal jantung kongestif merupakan salah satu penyebab utama dyspnea dan menjadi alasan tersering pasien usia lanjut masuk rawat inap. Penelitian menunukkan disfungsi distolik ataupun sistolik sedang ke berat didapatkan pada lebih 10% dari jumlah keseluruhan orang berusia diatas 65 tahun. 3 Tingginya angka CHF pada populasi usia lanjut adalah bagian dari perubahan fisiologis dihubungkan dengan usia. Aorta dan pembuluh darah besar lainnya memperlihatkan penurunan elastisitas dikarenan usia. Hal ini meningkatkan afterload, menyebabkan LVH, meningkatkan kebutuhan oksigen dan hingga akhirnya menyebabkan kegagalan jantung sistolik dan/atau diastolik. Sebagai tambahan, ukuran kardiomiosit bertambah sejalan usia, menyebabkan kekakuan miokard dan akhirnya membentuk kembali ventrikel kiri. Semakin bulat remodeling dari ventrikel kiri maka akan menghasilkan penurunan efisiensi dari kontraktilitas jantung. Proses ini kemudian dipersulit oleh penurunan curah jantung (cardiac output) sehingga mengurangi perfusi ke ginjal yang menyebabkan retensi cairan dan gejala memburuk bila volume berlebih (overload) disertai dengan pompa yang tidak mencukupi. Kegagalan jantung dengan ejeksi fraksi preserved lebih sering ditemukan pada pasien usia lanjut.3 Diagnosa CHF pada pasien usia lanjut yang mengalami dispnea seringkali tertunda akibat gejalanya yang atipikal dan komorbiditiasnya yang banyak. Gambaran klinis yang klasik CHF seperti bunyi jantung ketiga, ronchi, peningkatan distensi vena jugular dan edema ekstremitas bawah, tidak sensitif dan tidak spesifik pada pasien usia lanjut. Sebaliknya, pasien usia lanjut mungkin mengeluh dispnea dengan berbagai gejala yang tidak jelas seperti kelelahan, penurunan toleransi latihan, penurunan tingkat aktivitas, nafsu makan berkurang dan konfusi. Seringkali terjadi tumpang tindih signifikan antara keluhan ini dengan diagnosa PPOK, gagal ginjal dan anemia. Penyebab dari CHF onset baru pada pasien usia lanjut termasuk hipertensi (ejeksi fraksi preserved), CAD (kegagalan jantung sistolik), penyakit katup (tersering yaitu stenosis aorta dan regurgitasi mitral), atau atrial fibrilasi onset baru (sering dengan respon ventrikular cepat (RVR)). Eksaserbasi dari riwayat terdiagnosa CHF dapat terjadi karena ACS, hipertensi tidak terkontrol, infeksi dan stresor fisiologis lainnya. Faktor Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 383
penyebab tersering pada kasus pasien usia lanjut dengan CHF dekompensata adalah ketidakpatuhan meminum obat. Alasan tersering dari ketidakpatuhan mengkonsumsi obat adalah polifarmasi, dosis regimen yang kompleks, kesulitan mengunyah pil (disebabkan oleh penurunan fisiologis dari fungsi mengunyah), gangguan kognitif, depresi dan masalah finansial.3 Pemeriksaan BNP dan NT-proBNP akurat dalam mendiagnosa kegagalan jantung akut dan direkomendasikan untuk menyingkirkan penyebab dispnea oleh karena jantung. Hal ini diketahui bahwa nilai dapat mengalami peningkatan berhubungan dengan usia, jenis kelamin, fungsi ginjal, status nutrisi dan dihubungkan pula dengan kondisi akut lainnya (misalnya atrial fibrilasi, tromboemboli paru, sepsis, anemia, penyakitk jantung iskemik, miokardiopati, dan sebagainya). Pada umumnya, nilai BNP < 100 pg/mL dan NT-proBNP <300 pg/mL diketahui dapat menyingkirkan diagnosa kegalalan jantung akut. Sebaliknya, dari sudut pandang diagnosa, batasan berbeda pada NT-proBNP yang digambarkan berdasarkan kelompok usia (<50 tahun : 450 pg/mL, 50-75 tahun : 900 pg/mL, >75 tahun : 1.800 pg/mL). Sehubungan dengan nilai prognostik dari NT- mortalitas dalam 30 hari pada populasi usia lanjut dengan kegagalan jantung akut yang masuk di unit gawat darurat, terlepas dari faktor-faktor lain yangmana dapat mempengaruhi interpretasi seperti adanya episode akut yang berat atau adanya penurunan laju filtrasi glomerulus.5 Pengobatan pasien usia lanjut dengan CHF mencakup obat-obatan serta penggunaan ventilator tergantung pada tingkat keparahannya. Pada umumnya, terapi medis untuk CHF pada pasien usia lanjut serupa dengan pasien non-lansia. Diuretik, angiotensin-converting-enzyme (ACE) inhibitors, beta-blockers dan digoksin merupakan rekomendasi untuk penatalaksanaan gejala gagal jantung pada pasien usia lanjut. 3 Usia menyebabkan penurunan dilusi dan kapasitas konsentrasi serta penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR) ginjal. Pasien usia lanjut yang mengkonsumsi diuretik cenderung mengalami gangguan elektrolit dan hipovolemia. Hipokalemia, hiponatremia dan hipovolemia meningkatkan resiko terjadinya aritmia, jatuh, perubahan kognitif dan cidera renal pada pasien usia lanjut. 3 Angiotensin-converting-enzyme (ACE) inhibitors dan angiotensin II Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 384
receptor blockers (ARB) dapat berkontribusi pada perburukan fungsi ginjal dan spesifiknya menyebabkan hiperkalemia. Penurunan fungsi ginjal karena usia dapat mempersulit penggunaan digoksin karena meningkatkan konsenstrasi darah pada dosis rendah sehingga beresiko toksik. 3 Beta-blockers sangat efektif untuk penatalaksanaan CHF pada pasien usia lanjut namun dikontraindikasikan pada pasien dengan komorbid penyakit paru dan dapat menyebabkan bradikardia simptomatik dan penyakit gangguan konduksi nodal atrioventrikular (AV). Meskipun dua pertiga pasien usia lanjut dapat mentolerir terapi beta-blockers, dosis yang ditoleransi biasanya 40-70% dari dosis yang ditargetkan. Ketika meresepkan salah satu kelas obat untuk penatalaksanaan CHF pada pasien usia lanjut gunakanlah dosis terendah dan memantau fungsi ginjal, elektrolit dan status volume pasien sangat direkomendasikan. Pada pasien yang sadar dan koperatif namun mengalami gangguan pernapasan yang signifikan dapat diintervensi segera dengan noninvasive ventilation sebagai intervensi life-saving dan mencegah kebutuhan dilakukannya intubasi.3 Atrial Fibrilasi Atrial fibrilasi merupakan disaritmia yang mengancam hidup tersering pada pasien usia lanjut dengan angka kejadian 5% dari pasien yang berusia diatas 65 tahun.3 atrial fibrilasi mencapai 8% pada pasien iliki berbagai komorbiditas yang meningkatkan resiko terjadinya thromboemboli dan/atau perdarahan dan kematian.11 Komorbiditas dihubungkan dengan atrial fibrilasi pada lansia termasuk hipertensi, gagal jantung, CAD, diabetes melitus, obesitas, PPOK dan obstructive sleep apnea. Atrial fibrilasi dapat meningkatkan resiko terjadinya penyakit kognitif dan demensia pada pasien usia lanjut.3 Pasien usia lanjut memperlihatkan gejala dispnea pada nyeri dada, pingsan, jatuh atau sensasi kecemasan memerlukan evaluasi pada atrial fibrilasi (dengan atau tanpa RVR) sebagai etiloginya. Atrial fibrilasi biasanya terjadi pada usia lanjut sebagai respon terhadap stresor primer seperti infeksi, dekompensasi jantung, dekompensasi pernapasan atau prosedur tindakan bedah. Sebagai hasilnya, pendekatan diagnostik pada Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 385
pasien usia lanjut yang dispnea dengan atrial fibrilasi harus difokuskan untuk mengidentifikasi pemicunya. Abnormalitas elektrolit dan efek samping obat merupakan kemungkinan kontributor lainnya.3 Penatalaksanaan akut pada atrial fibrilasi pada pasien usia lanjut meliputi dua isu yaitu mengontrol gejala dan pencegahan terjadinya stroke. Penatalaksanaan optimal pada gejala akut pasien usia lanjut masih diperdebatkan.3 Pasien yang sangat tua dengan atrial fibrilasi akan lebih baik bila diberi antikoagulan daripada tanpa antikoagulan. Terapi antiplatelet meningkatkan resiko perdarahan terutama terapi dengan dual antiplatelet. Terapi antiplatelet tidak direkomendasikan untuk pencegahan strok pada pasien atrial fiblrilasi.11 Pasien usia lanjut yang tidak stabil dengan atrial fibrilasi dan RVR harus dilakukan synchronized electrical cardioversion. Kardioversi kimiawi dengn amiodarone namun kontrol irama keseluruhan merupakan pilihan yang kurang efektif pada pasien usia lanjut. Strategi ini sangat terbatas oleh angka kejadian komorbid gagal jantung, sama dengan disfungsi ginjal dan disfungsi hepar dimana dapat mengubah metabolism dari obat anti-aritmia. Hasil penelitian memperlihatkan bahkan dalam kondisi akut lebih sering digunakan. Beta-blockers intravena pada umumnya direkomendasikan, terutama pada pasien dengan CAD atau gagal jantung. Penggunaan digoksin pada pasien usia lanjut disarankan harus berhati-hati sesuai dengan klirens ginjal.3 Pedoman sangat mendukung penggunaan antagonis vitamin K pada pasien usia lanjut dibandingkan aspirin untuk mencapai tujuan ini. Penggunaan antagonis vitamin K pada pasien usia lanjut juga memperlihatkan peningkatan resiko perdarahan, terutama jika pasien dengan peningkatan resiko dari interaksi obat-obatan, disfungsi hati atau ginjal, jatuh yang berulang, ketidakpatuhan yang disebabkan penyakit kognitif atau malnutrisi energi-protein.3 Warfarin aman dikonsumsi oleh pasien usia lanjut bahkan pasien yang sangat tua meskipun terdapat pendapat yang berbeda mengenai target INR yang optimal dan efek protektif tergantung pada waktu dalam rentang terapeutik.11 Obat antikoagulan oral terbaru dengan dosis lebih rendah telah menunjukkan penurunan resiko perdarahan intrakranial dibandingkan antagonis vitamin K. Contoh obat tersebut adalah dabigatran dan rivaroxaban, dapat digunakan pada pasien lansia namun membutuhkan penurunan dosis dan Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 386
mempertimbangkan terlebih dahulu kreatinin klirens sebelum pemberian resep.3 Emboli Paru (PE) Bertambahnya usia merupakan salah satu faktor resiko untuk thrombosis vena. Apakah resiko tersebut disebabkan oleh faktor usia itu sendiri ataukah merupakan akumulasi faktor usia dan komorbid belum dapat diketahui. Sangatlah aman dan bijaksana bila mempertimbangkan bertambahnya usia dengan kondisi komorbid yang sangat dikaitkan dengan peningkatan resiko. Angka kejadian thrombosis vena meningkat lima kali lipat pada pasien diatas 75 tahun. Angka mortalitas PE dalam 1 tahun pada pasien usia lanjut menjadi 39%. Dengan terjadinya peningkatan angka kejadian dan mortalitas emboli paru merupakan langkah awal dan sangat penting untuk menegakkan diagnosa pada pasien usia lanjut.3 Pasien usia lanjut biasanya mengalamai gejala atipikal dan tidak spesifik untuk emboli paru sehingga menyebabkan lambatnya terdiagnosa dan penanganannya. Keterlambatan ini dapat meningkatkan keparahan saat terdiagnosa. Dispnea dapat menjadi keluhan utama pasien dengan emboli paru12,13 Emboli paru pada usia lanjut terkadang datang ke unit gawat darurat dengan nyeri dada pleuritik dan dapat menampilkan sinkop.3,12 Emboli paru harus dipertimbangkan pada populasi usia lanjut dengan faktor resiko, hipoksia atau dispnea. Penyebab sinkop pada umumnya mesenteric steal syndrome, insufisiensi aorta dan aneurisme aorta abdominalis atau diseksi aorta juga perlu dipikirkan pada pasien usia lanjut. Faktor resiko pasien, anamnesa, obat-obatan, riwayat penyakit dahulu dan keluhan sebelumnya harus diperhitungkan saat menentukan seberapa agresif untuk mengetahui penyebabnya.3 Ada beberapa alasan fisiologis mengapa pasien usia lanjut tidak memiliki tampilan dramatik dari penyakitnya, yakni oleh karena diperburuk oleh komorbid yang selanjutnya dapat memperumit interpreasi denyut jantung, tekanan darah dan oksimetri nadi.3 Pada pemeriksaan fisis didapatkan takikardia, takipnea, atau penurunan saturasi oksigen. Pada EKG memperlihatkan S1Q3T3, sinus takikardi, right bundle branch block atau abnormalitas ST-T non-spesifik.12 Langkah diagnosa utama pada pasien yang dicurigai emboli paru adalah menghitung pretest probability menggunakan skoring Wells yang Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 387
kemudian diikuti dengan melakukan tes diagnosis lanjutan, apakah itu tes D-dimer ataupun suatu CT scan dada (tergantung dari hasil pretest probability). Bukan hanya skoring Wells saja tapi juga nilai Batasan D- dimer hampir tidak dievaluasi pada pasien usia lanjut, sehingga tidak mengherankan apabila hanya 5% pasien diatas 80 tahun memiliki D-dimer negatif (dibandingkan dengan 50% pasien dibawah 50 tahun). Nilai D- dimer lebih mungkin meningkat palsu pada pasien usia lanjut (sensitifitas pemeriksaan D-dimer Elisa sekitar 100% terlepas dari usia, spesifisitas lebih rendah dari 15% pada pasien usia lanjut dengan frailty disebabkan adanya banyak komorbid yang mendasari).14 Dengan demikian tingkat kegagalan skoring Wells dikombinasikan dengan tes D-dimer untuk menyingkirkan emboli paru terlihat 6% pasien usia lanjut, dimana pasien yang lebih muda didapatkan angka kegagalan dibawah 1% pada beberapa penelitian.5 Nilai D-dimer yang disesuaikan usia dimulai diimplementasikan menjadi suatu skor keputusan, seperti “not high” pada skoring Geneva atau “low” pada skoring Wells. 3 Ultrasound kompresi pada vena dan CT scan helical dada memiliki karakteristik yang serupa pada usia lanjut dan usia muda. Ultrasound bersifat noninvasif dan walaupun ada kemungkinan pasien memiliki emboli paru tanpa disertai DVT, ada kemungkinan pula pasien akan memiliki DVT. Keuntungan dari pemeriksaan ultrasound meliputi tanpa radiasi, tanpa bahan kontras dan meminimalkan ketidaknyamanan selama pemeriksaan. Ketika DVT ditemukan maka pasien dengan kemungkinan emboli paru tidak memerlukan lagi pemeriksaan lanjutan dan dapat segera diberikan terapi inisiasi apabila terapinya belum dimulai.3 Emboli paru dapat didiagnosa dengan computed tomography pulmonary angiongraphy (CTPA) atau lung ventilation-perfusion scan, dimana CT scan merupakan pemeriksaan gold standard.5 Keuntungan dari CT scan, selain mendiagnosa emboli paru, dapat pula mengidentifikasi alasan lain dari gejala pasien.3 Keterbatasan dari CT scan adalah cidera ginjal akibat kontras (CIN) pada pasien usia lanjut.3,5 Menurut penelitian Motohiro dkk, resiko terjadinya CIN adalah 14% pada pasien lansia (>75 tahun).3 Antikoagulan merupakan terapi pilihan utama untuk emboli paru. Terapi fase akut terdiri dari pemberian antikoagulan parenteral (unfractionated heparin, low-molecular-weight heparin or fondaparinux) Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 388
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164
- 165
- 166
- 167
- 168
- 169
- 170
- 171
- 172
- 173
- 174
- 175
- 176
- 177
- 178
- 179
- 180
- 181
- 182
- 183
- 184
- 185
- 186
- 187
- 188
- 189
- 190
- 191
- 192
- 193
- 194
- 195
- 196
- 197
- 198
- 199
- 200
- 201
- 202
- 203
- 204
- 205
- 206
- 207
- 208
- 209
- 210
- 211
- 212
- 213
- 214
- 215
- 216
- 217
- 218
- 219
- 220
- 221
- 222
- 223
- 224
- 225
- 226
- 227
- 228
- 229
- 230
- 231
- 232
- 233
- 234
- 235
- 236
- 237
- 238
- 239
- 240
- 241
- 242
- 243
- 244
- 245
- 246
- 247
- 248
- 249
- 250
- 251
- 252
- 253
- 254
- 255
- 256
- 257
- 258
- 259
- 260
- 261
- 262
- 263
- 264
- 265
- 266
- 267
- 268
- 269
- 270
- 271
- 272
- 273
- 274
- 275
- 276
- 277
- 278
- 279
- 280
- 281
- 282
- 283
- 284
- 285
- 286
- 287
- 288
- 289
- 290
- 291
- 292
- 293
- 294
- 295
- 296
- 297
- 298
- 299
- 300
- 301
- 302
- 303
- 304
- 305
- 306
- 307
- 308
- 309
- 310
- 311
- 312
- 313
- 314
- 315
- 316
- 317
- 318
- 319
- 320
- 321
- 322
- 323
- 324
- 325
- 326
- 327
- 328
- 329
- 330
- 331
- 332
- 333
- 334
- 335
- 336
- 337
- 338
- 339
- 340
- 341
- 342
- 343
- 344
- 345
- 346
- 347
- 348
- 349
- 350
- 351
- 352
- 353
- 354
- 355
- 356
- 357
- 358
- 359
- 360
- 361
- 362
- 363
- 364
- 365
- 366
- 367
- 368
- 369
- 370
- 371
- 372
- 373
- 374
- 375
- 376
- 377
- 378
- 379
- 380
- 381
- 382
- 383
- 384
- 385
- 386
- 387
- 388
- 389
- 390
- 391
- 392
- 393
- 394
- 395
- 396
- 397
- 398
- 399
- 400
- 401
- 402
- 403
- 404
- 405
- 406
- 407
- 408
- 409
- 410
- 411
- 412
- 413
- 414
- 415
- 416
- 417
- 418
- 419
- 420
- 421
- 422
- 423
- 424
- 425
- 426
- 427
- 428
- 429
- 430
- 431
- 432
- 433
- 434
- 435
- 436
- 437
- 438
- 439
- 440
- 441
- 442
- 443
- 444
- 445
- 446
- 447
- 448
- 449
- 450
- 451
- 452
- 453
- 454
- 455
- 456
- 457
- 458
- 459
- 460
- 461
- 462
- 463
- 464
- 465
- 466
- 467
- 468
- 469
- 470
- 471
- 472
- 473
- 474
- 475
- 476
- 477
- 478
- 479
- 480
- 481
- 482
- 483
- 484
- 485
- 486
- 1 - 50
- 51 - 100
- 101 - 150
- 151 - 200
- 201 - 250
- 251 - 300
- 301 - 350
- 351 - 400
- 401 - 450
- 451 - 486
Pages: