Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore BAGIAN 1 TINJAUAN PUSTAKA PENYAKIT JANTUNG JULI 2020

BAGIAN 1 TINJAUAN PUSTAKA PENYAKIT JANTUNG JULI 2020

Published by khalidsaleh0404, 2021-11-03 14:20:03

Description: BAGIAN 1 TINJAUAN PUSTAKA PENYAKIT JANTUNG JULI 2020

Search

Read the Text Version

keefektifan terapi CO2 terhadap mikrosirkulasi tanpa ditemukan adanya toksisitas serta efek samping yang bermakna (Toriyama T et al, 2002; Hartmann et al., 1997). TINJAUAN PUSTAKA 1. SIFAT KIMIA DAN FISIKA DARI CO2 Karbon dioksida (CO2) merupakan atom karbon tunggal yang terikat pada dua atom oksigen oleh ikatan kovalen ganda sehingga membentuk molekul nonpolar. CO2 memiliki sifat tidak berwarna dan tidak berbau sehingga secara visual tidak dapat dibedakan dengan udara. CO2 juga memiliki sifat 20 kali lebih mudah larut dibandingkan dengan oksigen. Kelarutan sebagian besar gas dipengaruhi oleh suhu. Ketika suhu menurun, lebih banyak CO2 yang larut dalam air. Hal ini dapat terlihat pada minuman berkarbonasi yang mengeluarkan gas saat dipanaskan (Cherniack et al., 1970). Gambar 1. Kurva perbandingan kelarutan oksigen dengan CO2 yang dipengaruhi oleh suhu (Cherniack et al., 1970) CO2 mempunyai peran penting dalam darah. Kadar CO2 dalam darah diatur melalui transpor CO2 ke paru-paru untuk kemudian dikeluarkan saat ekspirasi sehingga pH darah dapat terjaga. Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 139

Gambar 2. Reaksi pembentukan bikarbonat dalam tubuh (Loerting et al., 2010) Gambar 2 memperlihatkan bagaimana CO2 larut dalam darah. CO2 yang larut dalam darah bereaksi dengan air membentuk asam karbonat (H2CO3). Reaksi ini dikatalisis oleh enzim karbonik anhidrase sehingga terjadi sangat cepat (Forster dan N. Itada, 1980). Asam karbonat pada gilirannya dapat melepaskan ion hidrogen menjadi bikarbonat (HCO3-). Sebagian besar karbon dioksida dalam darah ditemukan dalam bentuk bikarbonat. Perubahan asam karbonat (H2CO3) menjadi ion hidrogen dan bikarbonat (H+ + HCO -) hampir terjadi secara spontan. Bila konsentrasi CO2 meningkat, maka pH darah akan sedikit menurun atau menjadi sedikit lebih asam. Sejumlah kecil CO2 terlarut menghasilkan sedikit kenaikan ion hidrogen yang mampu mengubah pH darah. Rasio antara CO2 dan HCO – kira-kira 1:20. Setiap kenaikan 1 CO2 membutuhkan 20 HCO – untuk mencegah perubahan pH darah dan melindungi tubuh dari peningkatan keasaman. Seperti yang dijelaskan dalam reaksi di atas, hanya 1 HCO3– yang dihasilkan dari setiap CO2 sehingga pH darah akan menjadi lebih asam karena kelebihan ion hidrogen. Oleh karena itu, harus ada metode transportasi alternatif untuk mencegah asidosis berat setiap kali kita bernafas dan menghasilkan CO2 (Loerting et al., 2010). 2. TRANSPOR CO2 DALAM DARAH CO2 merupakan produk sisa utama dari respirasi aerobik. Jumlah CO2 yang terlalu banyak atau terlalu sedikit dalam darah dapat menyebabkan konsekuensi yang serius. Maka dari itu, diperlukan transportasi CO2 dalam darah yang berfungsi menjaga pH darah. CO2 dalam darah diangkut melalui 3 cara, yaitu berikatan dengan hemoglobin membentuk senyawa karbamino, sebagai ion bikarbonat (HCO3-), dan sebagai CO2 terlarut (Geers et al., 2000). Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 140

2.1 Senyawa Karbamino Sekitar 30% dari semua CO2 diangkut sebagai senyawa karbamino. Pada konsentrasi tinggi, CO2 berikatan langsung dengan asam amino dan gugus amina hemoglobin (Hb) untuk membentuk senyawa karbaminohemoglobin. Pembentukan karbamino paling efektif terjadi di jaringan perifer, di mana produksi CO2 tinggi karena respirasi sel (Hsia CC, 1998). Efek Haldane juga berkontribusi pada pembentukan senyawa karbamino, yaitu bila konsentrasi O2 lebih rendah (seperti pada jaringan perifer aktif di mana O2 dikonsumsi), maka kapasitas pengangkutan CO2 dari darah meningkat. Hal ini terjadi karena pelepasan O2 dari Hb meningkatkan afinitas CO2 (Hsia CC, 1998; Geers et al., 2000). Pembentukan senyawa karbamino memiliki 2 tujuan, yaitu: 1. Stabilisasi pH: CO2 tidak dapat meninggalkan sel darah untuk berkontribusi terhadap perubahan pH 2. Efek Bohr: membantu pelepasan O2 dari subunit lain hemoglobin ke dalam jaringan yang aktif, di mana respirasi paling banyak terjadi dan menghasilkan paling banyak CO2 (Jensen FB, 2004). Ketika sel darah mencapai daerah konsentrasi tinggi O2 lagi (seperti paru-paru), maka O2 akan terikat lagi. Hal ini menyebabkan pelepasan CO2 (efek Haldane) yang memungkinkan lebih banyak O2 untuk diambil dan diangkut dalam darah (Jensen FB, 2004). Efek Haldane mencerminkan perbedaan kandungan CO2 antara hemoglobin teroksigenasi dengan tereduksi pada PCO2 yang sama. Efek ini sebagian disebabkan oleh kemampuan hemoglobin untuk membuffer ion hidrogen dan sebagian disebabkan oleh daya ikat hemoglobin tereduksi dengan karbon dioksida yang 3,5 kali lebih efektif daripada oksihemoglobin (Geers et al., 2000). 2.2 Ion bikarbonat (HCO3-) Sekitar 60% dari semua CO2 diangkut melalui produksi ion HCO3- dalam sel darah merah. CO2 berdifusi ke dalam sel darah merah dan dikonversi menjadi H+ dan HCO3– oleh enzim karbonik anhidrase. HCO3– Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 141

kemudian diangkut kembali ke dalam darah melalui penukar ion klorida- bikarbonat (chloride shift). Maka HCO3– dapat bertindak sebagai buffer terhadap hidrogen dalam plasma darah (Berend K et al., 2015). Rangkaian reaksi ini dapat dilihat pada Gambar 3. Ion H+ yang dihasilkan dari reaksi karbonik anhidrase dalam sel darah merah berikatan dengan hemoglobin menghasilkan deoksihemoglobin. Hal ini berkontribusi pada efek Bohr, yaitu pelepasan O2 dari hemoglobin terjadi pada jaringan yang aktif, di mana konsentrasi H+ lebih tinggi. Hal ini juga mencegah hidrogen memasuki darah yang dapat menurunkan pH, sehingga kestabilan pH dapat terjaga (Berend K et al., 2015). Gambar 3. Transpor CO2 dalam darah (Berend K et al., 2015) Ketika sel-sel darah merah mencapai paru-paru, oksigen berikatan dengan hemoglobin dan terjadi pelepasan ion H+. Ion hidrogen ini menjadi bebas bereaksi dengan ion bikarbonat untuk menghasilkan CO2 dan H2O, di mana CO2 dihembuskan. Dengan demikian, konsentrasi O2 yang tinggi mengurangi kapasitas darah dalam mengangkut CO2. Hal ini sesuai dengan efek Haldane (Hsia CC, 1998; Geers et al., 2000). 2.3 Senyawa terlarut dalam plasma Sekitar 10% dari semua CO2 diangkut sebagai senyawa terlarut dalam plasma. Jumlah gas terlarut dalam cairan tergantung dari kelarutan dan tekanan parsial gas tersebut. CO2 sangat larut dalam air (20 kali lebih larut daripada O2) dan tekanan parsial CO2 inspirasi adalah sekitar 40 mmHg. Meskipun kelarutannya tinggi, namun hanya sebagian kecil dari total CO2 dalam darah yang benar-benar diangkut sebagai senyawa terlarut dalam Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 142

plasma (Geers et al., 2000; Forster R. E dan N. Itada, 1980). Tekanan parsial lebih tinggi di jaringan perifer, di mana CO2 diproduksi, dan lebih rendah di alveoli tempat CO2 dilepaskan. Hal ini menyebabkan lebih banyak CO2 yang terlarut di jaringan perifer dan dilepaskan dalam bentuk gas di alveoli di mana tekanan parsial lebih rendah (Geers et al., 2000; Forster R. E dan N. Itada, 1980). 3. EFEK FISIOLOGIS CO2 PADA PEMBULUH DARAH PERIFER CO2 merupakan hasil akhir dari metabolisme aerobik. Bila metabolisme meningkat, maka jumlah CO2 yang dihasilkan juga akan meningkat. Metabolisme yang berlangsung aktif dan terus-menerus memerlukan kecukupan supply oksigen dalam darah. Kecepatan aliran darah bergantung pada kebutuhan metabolisme. Kadar CO2 yang tinggi menandakan ketidakcukupan supply darah pada jaringan. Bila keadaan ini berlangsung terus menerus, maka akan merangsang pembentukan pembuluh darah baru untuk memenuhi kecukupan aliran darah pada jaringan. Sebagai contoh spesifik, stimulasi aktivitas metabolisme aerobik pada otot skelet akan membentuk pembuluh darah baru. Beberapa penelitian mengatakan, peningkatan kadar CO2 pada otot akan meningkatkan faktor-faktor biologis yang dapat merangsang pembentukan sel otot dan pembuluh darah baru, sehingga pelepasan CO2 pada metabolisme menjadi sangat penting untuk pembentukan pembuluh darah dan jaringan baru yang sangat diperlukan pada proses penyembuhan luka (Tune JD et al., 2002). Perlu dicatat bahwa mekanisme pembentukan pembuluh darah baru karena kebutuhan metabolisme berbeda dengan mekanisme pembentukan pembuluh darah yang terjadi akibat kondisi iskemik (O2 rendah) di mana metabolisme berlangsung secara anaerobik dan terbentuk pula asam laktat. Dalam kondisi iskemik, pembuluh darah baru yang terbentuk dalam kondisi anaerobik berkompetisi dengan mekanisme yang berhubungan dengan kematian sel dan apoptosis yang pada akhirnya menyebabkan fibrosis dan terbentuk jaringan parut. Hal ini sangat berbeda dengan pembentukan pembuluh darah baru pada metabolisme aerobik (pembentukan CO2) yang menstimulasi terbentuknya jaringan baru yang sehat (Hudlicka O et al., 1984). Selain dapat menstimulasi pembentukan pembuluh darah baru, CO2 juga dapat meningkatkan konsentrasi O2 dalam jaringan dan secara langsung Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 143

dapat meningkatkan kecepatan aliran darah melalui vasodilatasi kapiler (Ito et al., 1989). CO2 yang dilepaskan jaringan sebagai produk akhir metabolisme yang akan memasuki aliran darah dan diabsorbsi oleh sel darah merah. Di dalam sel darah merah, sebagian akan berubah menjadi asam karbonat dan berikatan dengan hemoglobin yang pada akhirnya akan menyebabkan pelepasan O2 dari hemoglobin. Dilepaskannya O2 karena CO2 dikenal sebagai efek Bohr (Sakai Y et al., 2011). Kondisi lingkungan yang menguntungkan untuk pelepasan O2 adalah suhu tinggi, konsentrasi CO2 yang tinggi, dan pH rendah atau lingkungan asam. Semua kondisi ini menyebabkan kurva disosiasi O2, yang menunjukkan kemampuan pelepasan O2, bergeser ke kanan. Artinya, hemoglobin melepaskan O2 lebih mudah dari biasanya, sehingga lebih banyak O2 yang masuk ke dalam sel. Bila kadar O2 tinggi dalam sel, maka metabolisme sel diaktifkan sehingga kemampuan regenerasi sel menjadi lebih tinggi. CO2 dapat dengan mudah mencapai pembuluh darah melalui penyerapan kulit dan mudah larut dalam darah, sehingga hemoglobin melepaskan lebih banyak O2. Semakin tinggi konsentrasi CO2, maka semakin kuat efeknya (Oe K et al., 2011). Beberapa studi juga menunjukkan bahwa CO2 dapat menstimulasi sel endotel pembuluh darah untuk melepaskan nitric oxide (NO). Nitric oxide dapat merelaksasi otot polos pembuluh darah sehingga terjadi vasodilatasi dan meningkatkan aliran darah pada jaringan (Carr P et al., 1993). 4. PERAN CO2 PADA PENYAKIT PEMBULUH DARAH PERIFER Penyakit arteri perifer menyebabkan aliran darah berkurang sehingga terjadi hipoksia jaringan. Rendahnya kadar O2 akan meningkatkan hypoxia inducible factor (HIF) yang menyebabkan translasi dari protein yang berfungsi melindungi sel selama hipoksia, sehingga pada akhirnya terjadi apoptosis (Gao L et al., 2012). Proses ini juga menyebabkan inflamasi (nyeri dan bengkak). CO2 yang diberikan secara transkutan dapat meningkatkan aliran darah dan oksigenasi jaringan, menurunkan konsentrasi HIF1alfa (Selfridge AC et al., 2016), dan secara langsung menurunkan senyawa biologis utama yang mengontrol inflamasi, yaitu NFkB. Mekanisme kerja ini serupa dengan obat anti-inflamasi, misalnya aspirin (Keogh CE et al., 2017). Inflamasi merupakan suatu proses metabolik aktif di mana dihasilkan banyak sel radang, enzim-enzim serta sitokin oleh jaringan yang meradang. Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 144

Hal ini akan meningkatkan kebutuhan O2. Hipoksia yang terjadi karena meningkatnya kebutuhan O2 akibat peradangan akan diperburuk dengan adanya gangguan transpor O2. Keadaan ini terjadi terutama pada peradangan kronis, di mana kombinasi antara inflamasi yang berkepanjangan akan membentuk jaringan fibrosis dan trombosis yang pada akhirnya menurunkan aliran darah dan suplai O2. Oleh karena itu, peningkatan konsumsi O2 dan infiltrasi sel-sel imun pada daerah peradangan disertai dengan disfungsi pembuluh darah yang mengganggu suplai O2 akan merusak jaringan selama terjadi inflamasi kronis (Flück K dan Fandrey J, 2016). CO2 merupakan molekul yang sangat kecil yang dapat berdifusi secara cepat sesuai dengan gradien konsentrasi. CO2 dapat melewati kulit, jaringan lemak, dan otot untuk mencapai mikrosirkulasi di mana ia dapat memberikan efek terapeutiknya. CO2 sangat larut dalam air (20 kali lebih larut dibandingkan O2). Bahkan kelarutan CO2 dalam jaringan lemak dan otot dikatakan lebih tinggi lagi (Sutton I, 2015; Jakobsen M dan Bertelsen G, 2006). Telah banyak bukti ilmiah yang mengatakan bahwa CO2 akan berdifusi melewati kulit berdasarkan gradien konsentrasi. Setelah mencapai jaringan dan masuk mikrosirkulasi, secara langsung CO2 menyebabkan vasodilatasi, membentuk pembuluh darah baru, dan membuat darah melepaskan O2 untuk menyembuhkan jaringan yang rusak (Oe K et al., 2011). 5. DIFUSI CO2 MELALUI KULIT Jaringan target untuk terapi CO2 adalah kulit, jaringan lunak, atau bahkan sendi. Gas CO2 harus dapat menembus kulit dan berdifusi lebih jauh ke dalam jaringan yang diinginkan. Difusi CO2 dalam otot adalah 14 kali lebih cepat daripada melalui kulit. Meskipun demikian, difusi melalui kulit cukup adekuat untuk mendapatkan respons terapeutik pada jaringan yang lebih dalam. CO2 sangat larut dalam jaringan lunak dan bergerak menuju konsentrasi yang lebih rendah bersama dengan aliran darah yang mengalir dalam jaringan (Shaw et al., 1992). Terdapat empat variabel yang mempengaruhi kedalaman penetrasi CO2 ke dalam jaringan, yaitu: 1. massa jaringan yang akan menyerap gas 2. transpor gas oleh darah 3. konsentrasi CO2 pada kulit (koefisien difusi CO2 dalam kulit) Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 145

4. waktu/lamanya difusi Variabel-variabel ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan, anatomi, serta jenis dan derajat keparahan penyakit, sehingga perhitungan konsentrasi yang tepat dalam jaringan hampir tidak mungkin dilakukan. Yang dapat diketahui adalah CO2 dapat menembus kulit, kecepatan difusi meningkat 2-4 kali lipat dalam kondisi basah (mendekati difusi dalam air), dan CO2 sangat larut dalam jaringan lunak (Bedu M et al., 1989). 6. PENGGUNAAN CO2 DALAM PRAKTIK KLINIS CO2 telah lama digunakan untuk pengobatan dalam spektrum aplikasi yang luas. Sejak abad pertengahan, air asam dan gas yang memancar dari dalam tanah diakui secara efektif dapat menyembuhkan penyakit St. Anthony`s Fire yang disebabkan oleh keracunan ergot dan sering terjadi pada waktu itu (Hartmann et al. 2009). Di seluruh Eropa, mata air berkarbonasi telah digunakan sebagai balneoterapi (natural bath spring) bagi pasien-pasien yang menderita hipertensi atau penyakit oklusif perifer. Beberapa literatur juga menyebutkan manfaat CO2 sebagai terapi paliatif pada nyeri muskuloskeletal, intervensi terapeutik dan rehabilitasi penyakit rematik, serta dapat membantu penyembuhan pada dermatopati infeksius. Pada tahun 1834-1856, Piderit dan Beneke adalah orang yang pertama kali menggambarkan efek utama yang langsung didapatkan dari balneoterapi dengan menggunakan CO2 pada bagian tubuh yang direndam, yaitu dapat memberikan sensasi kehangatan dan membuat kulit menjadi kemerahan atau flushing (erythematosus/hyperemic reaction) (Schmidt, 2009). Sejak saat itu, sejumlah penelitian berkembang, di mana sebagian besar berupa studi observasional, untuk menjelaskan efek CO2 sebagai terapi dan bagaimana patofisiologinya. Sekitar tahun 1950-1960an, setelah melalui berbagai tahap uji klinis dan keamanan, gas CO2 digunakan sebagai kontras pada sirkulasi vena untuk memberikan gambaran jantung kanan dan mengevaluasi ada tidaknya efusi perikardial (Boyd-Kranis R et al., 1999). Pada tahun 1970an, gas CO2 digunakan sebagai kontras intra-arterial. Dengan ditemukannya Digital Subtraction Angiography (DSA) pada tahun 1980an, angiografi menggunakan kontras CO2 menjadi alat diagnosis yang sangat berguna, terutama bagi pasien yang hipersensitif terhadap kontras Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 146

Iodine dan memiliki gangguan fungsi ginjal (Hawkins IF, 1082). Selain digunakan untuk pencitraan baik vena maupun arteri, CO2 juga digunakan pada intervensi vaskular, seperti angioplasti dan pemasangan stent, embolisasi transkateter, dan endovascular aortic repair (EVAR) pada aneurisma aorta abdominalis. Penggunaan kontras CO2 intra-arterial sebaiknya dihindari pada arteri di atas diafragma karena dapat menyebabkan emboli gas pada spinal, koroner, dan arteri serebral (Kyung J Cho et al, 2007; Taylor FC et al., 1998). Savin, dkk melaporkan bahwa transfer CO2 melalui kulit memiliki efek vasomotor lokal yang bermanfaat (Savin E et al., 1995). Hartmann, dkk mengatakan bahwa peningkatan kadar O2 jaringan disebabkan oleh efek Bohr selain efek vasodilatasi oleh CO2 dan penurunan kadar katekolamin plasma (Hartmann et al., 1997). Toriyama, dkk juga melaporkan bahwa efek air yang diperkaya CO2 pada mikrosirkulasi subkutan menyebabkan vasodilatasi perifer yang dihasilkan dari peningkatan aktivitas saraf parasimpatis dan penurunan saraf simpatis (Toriyama T et al., 2002). Sedangkan penemuan pada sirkulasi koroner dan aorta menyebutkan bahwa vasodilatasi yang terjadi sebagai respons terhadap CO2 dimediasi sebagian oleh NO (Fukuda S et al., 1990). Berdasarkan hasil studi-studi yang telah dilakukan, CO2 sebagai terapi dapat digunakan pada kasus-kasus penyakit pembuluh darah perifer, membantu penyembuhan luka, dan regenerasi kulit. Terapi CO2 sebagian besar diberikan secara transkutan/topikal dalam bentuk air rendaman yang mengandung CO2 konsentrasi tinggi (imersi). Selain itu, CO2 dapat pula diberikan dalam bentuk hydrogel (Sakai Y et al., 2011). CO2 dalam bentuk gas sangat jarang digunakan karena sulitnya mengontrol kadar gas yang diperlukan. Pemberian terapi gas CO2 dalam bentuk inhalasi hanya untuk kepentingan penegakkan diagnosis dan penelitian semata (Ito T, 1989). 7. RENDAMAN AIR KAYA CO2 (IMERSI) Di Eropa, perendaman dengan air dan CO2 telah digunakan untuk mengobati hipertensi dan penyakit oklusi arteri perifer (Nishimura et al., 2002). Bahkan, penggunaan CO2 dalam dunia medis telah dibuktikan melalui teknik pencitraan pada hewan coba dan telah dibuktikan bahwa CO2 aman dan dapat ditoleransi dengan baik oleh tubuh. Namun, teknik dan Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 147

pemahaman sifat CO2 harus dikuasai dengan baik (Cho, 2015). Telah banyak penelitian yang dilakukan untuk mengetahui manfaat pemberian CO2 secara transkutan, dan secara signifikan diperoleh hasil bahwa CO2 dapat meningkatkan aliran darah, merangsang neovaskularisasi, dan meningkatkan oksigenasi jaringan, bahkan lebih baik daripada oksigen itu sendiri. Perlu diketahui pula bahwa CO2 memiliki sifat bakteriostatik sehingga bakteri tidak akan bermultiplikasi pada lingkungan yang mengandung CO2. Hal ini memungkinkan terapi CO2 dapat digunakan untuk mengobati penyakit yang disebabkan oleh sirkulasi darah yang buruk (Xu Y et al., 2017), seperti pada penderita peripheral artery disease (PAD), kaki diabetik dengan ulkus atau gangren disertai hilangnya jari-jari dan ekstremitas, bahkan juga dapat mengurangi gejala yang disebabkan oleh penyakit Raynaud (Toriyama T et al., 2002). Sebagian besar penelitian pada manusia menggunakan air yang mengandung CO2 konsentrasi tinggi yang diberikan secara berkala dengan merendam bagian tubuh (ekstremitas bawah dan atas) yang mengalami gangguan pada pembuluh darah perifer. Terdapat 2 efek yang diperhatikan dan meninggalkan kesan bagi pasien yang direndam, yaitu gelembung air yang tak terhitung jumlahnya di permukaan kulit dan warna kulit yang memerah (bisa jelas dibedakan dari bagian tubuh yang tidak direndam dalam bak CO2). Gelembung air tersebut adalah gelembung air berkarbonasi yang menempel pada kulit seperti bulu halus, kadang disebut sebagai \"sikat gas.\" Efek kedua adalah kemerahan pada kulit yang dapat dilihat pada imersi air CO2 dengan konsentrasi 300-400 ppm. Hal ini dipengaruhi oleh suhu air perendaman. Fenomena ini disebabkan oleh dilatasi arteriol prekapiler dan kapiler. Selain itu, CO2 dapat menghambat reseptor dingin di kulit dan menstimulasi reseptor hangat. Dengan kata lain, air tawar terasa dingin pada suhu 33 °C, sedangkan dalam rendaman CO2 tidak terasa dingin pada suhu yang sama. Efek langsung dari rendaman CO2 juga dapat menurunkan laju jantung dan pernapasan (Schmidt KL, 2009). Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 148

Gambar 4. Gelembung CO2 pada lengan yang direndam dalam air CO2 (Schmidt KL, 2009) Efek primer dan sekunder dari rendaman air CO2 dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini: Tabel 1. Efek primer dan sekunder dari rendaman CO2 terhadap kulit (Schmidt KL, 2009) Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 149

Terdapat beberapa faktor yang perlu diperhatikan saat terapi imersi dengan menggunakan air rendaman kaya CO2 ini karena dapat mempengaruhi hasil akhir. Faktor- faktor tersebut antara lain: konsentrasi CO2, suhu, dan waktu (durasi dan frekuensi perendaman) (Ito T, 1989). 7.1. Pengaruh konsentrasi CO2 Efek dari aplikasi CO2 sangat dipengaruhi oleh konsentrasinya. Kadar terendah CO2 untuk dapat menimbulkan efek terapeutik adalah 400 mg CO2/kg air (= 400 ppm). Efek akan meningkat secara linier hingga 1.400 mg CO2/kg air (= 1.400 ppm). Bila kadarnya lebih tinggi dari itu, maka tidak akan menimbulkan efek (Bauer C, 1980). Didukung dengan banyaknya penelitian yang telah membuktikan manfaat imersi air dengan kandungan CO2 konsentrasi tinggi, khususnya bagi penderita penyakit pembuluh Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 150

darah perifer, maka banyak perusahaan terutama di negara Jepang dan Eropa berlomba-lomba untuk membuat suatu alat yang dapat menghasilkan campuran air dengan CO2 kadar tinggi yang mudah digunakan untuk terapi sehari-hari. Saat ini, telah ditemukan alat yang dapat menghasilkan air dengan kandungan CO2 kadar tinggi hingga 1.300 ppm, di mana sumber air dengan konsentrasi lebih dari 1.000 ppm diklasifikasikan sebagai sumber air berkarbonasi tinggi. Alat tersebut dibuat oleh salah satu perusahaan dari Jepang, dan telah digunakan pula di Indonesia, khususnya di Makassar. Alat tersebut bernama Bicarbonated CREA (JesC, 2013). Bicarbonated CREA diciptakan untuk mencampurkan dua senyawa yang berbeda fisiknya, yaitu air dan gas. Alat ini memiliki membran komposit tiga lapis dengan serat berongga. Membran tersebut terdiri dari film ultra tipis non-berpori dengan permeabilitas selektif terhadap gas yang terletak di antara 2 lapisan. Lapisan tengah membran memungkinkan gas seperti oksigen, nitrogen, dan karbon dioksida dapat melewatinya, namun tidak dapat dilalui oleh air. Di dalam alat tersebut, pada saluran yang terpisah dialirkan air dengan suhu tertentu. Saluran air tersebut dikelilingi oleh membran yang ketika menerima karbon dioksida bertekanan tinggi, maka gas CO2 akan berdifusi melalui struktur molekul film tipis dari membran tersebut dan larut ke dalam air menuju tekanan lebih rendah sehingga mengeluarkan air yang kaya akan CO2 (Aratel Group, 2012). Gambar 5. Penggabungan air dan CO2 dalam Bicarbonated CREA (JesC, 2013) Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 151

7.2 Pengaruh suhu Aktivitas CO2 juga menunjukkan respon terhadap efek termal (Nishimura et al., 2002). Berdasarkan kesimpulan dari beberapa hasil studi mengatakan bahwa aplikasi imersi campuran air dan CO2 pada suhu tertentu dapat meningkatkan aliran darah dan tekanan oksigen (PO2) (Hartmann et al., 1997). Pada suhu 34oC didapatkan peningkatan absolut laju aliran darah kutaneus 2 kali lipat lebih baik dibandingkan pada suhu 23oC. Sebaliknya, pada suhu 41oC efek CO2 terhadap laju aliran darah kutaneus sangat kurang. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ada suhu tertentu dimana CO2 dapat memberikan efek yang besar pada laju aliran darah kutaneus. Penyebab CO2 memberikan dampak yang besar pada suhu 34oC karena suhu tersebut sangat dekat dengan suhu netral yang dapat membantu menyembuhkan luka dan ulkus kronik (Ito T dan Moore JI, 1989). Gambar 6. Efek CO2 pada aliran darah kutaneus pada suhu perendaman yang berbeda (Ito T dan Moore JI, 1989) Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 152

Peningkatan aliran darah kutaneus sangat penting karena merupakan kunci stimulus fisiologis untuk meningkatkan fungsi vasodilator mikrosirkulasi. Termoregulasi pada vasodilatasi kutaneus memicu peningkatan shear stress di conduit artery dan meningkatkan fungsi endothelial sebagai vasodilator (Ogoh et al., 2016). Hal ini tergambar pada grafik berikut yang menjelaskan hubungan antara FMD (Flow Mediated Dilatation) dan SkBF (Skin Blood Flow) dengan membandingkan antara imersi air biasa dan air CO2 serta sebelum dan selama imersi (Ogoh et al.,2016). Gambar 7. Hubungan antara FMD (Flow Mediated Dilatation) dan SkBF (Skin Blood Flow) (Ogoh et al., 2016) 7.3. Pengaruh waktu (durasi dan frekuensi) Terapi dengan merendam ekstremitas yang mengalami gangguan pembuluh darah perifer (PAD, kaki diabetik, ulkus, gangen) pada air yang mengandung kadar tinggi CO2 kurang dirasakan manfaatnya bila hanya diberikan satu kali perendaman. Efek permanen yang diharapkan akan dicapai bila perendaman dilakukan secara berulang karena dibutuhkan waktu untuk pembentukan pembuluh darah baru sehingga dapat memperbaiki suplai oksigen ke jaringan dan secara permanen menurunkan inflamasi (Toriyama T et al., 2002). Perendaman air CO2 dapat meningkatkan aliran darah Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 153

mencapai 200-250% dari nilai pra imersi. Kecepatan peningkatan aliran darah kutaneus terlihat paling besar selama 10 menit pertama, setelah itu mulai berkurang. Hal ini sangat kontras dengan perendaman dalam air murni yang menunjukkan tidak adanya peningkatan aliran darah kutaneus yang signifikan seperti yang tampak pada gambar di bawah ini (Nishimura et al., 2002). Gambar 8. Perbandingan laju aliran darah pada air biasa dengan air CO2 (JesC, 2013) Berdasarkan pemaparan di atas mengenai efek perendaman air CO2, berikut ini adalah contoh kaki penderita Arteriosclerosis Obliterans yang secara berkala menjalani intervensi perendaman kaki dalam campuran air CO2 dan hasilnya memberikan perbaikan jaringan yang sangat signifikan dalam 1 tahun terapi (JesC, 2013). Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 154

Gambar 9. Contoh kasus efek perendaman terhadap pasien Arteriosclerosis Obliterans (JesC, 2013) 8. HYDROGEL Alternatif lain untuk aplikasi CO2 transkutan adalah dengan menggunakan hydrogel yang dioleskan pada kulit. Komposisi dari hydrogel ini adalah carbomer (0.65%), glycerin (5.00%), sodium hydroxide (0.18%), sodium alginate (0.15%), sodium dihydrogen phosphate (0.15%), methylparaben (0.10%), dan deionized water (balance) yang sudah dipatenkan dengan merek NeoChemir buatan Kobe, Jepang (Sakai Y et al., 2011). Pertama-tama, hydrogel dioleskan pada kulit yang diinginkan untuk terapi dan ditutup dengan plastik berbahan polietilen hingga melekat pada anggota badan dan disegel. Kemudian gas CO2 100% diberikan ke dalam kantong selama 20 menit. Terapi ini dilakukan setiap hari selama 20 menit/hari selama 4 minggu perawatan di rumah sakit (Niikura T et al., 2019). Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 155

Gambar 10. Hydrogel terapi dengan pemberian gas CO2 pada (A) ekstremitas atas dan (B) ekstremitas bawah (Sakai Y et al., 2011) Pemberian CO2 transkutan dengan menggunakan cara ini akan menyebabkan kulit berkeringat dan kemerahan diikuti dengan peningkatan laju aliran darah. 9. INDIKASI DAN KONTRA INDIKASI TERAPI CO2 Indikasi dan kontra indikasi dari terapi CO2 dapat dilihat dari Tabel 2 berikut ini: Tabel 2. Indikasi dan kontra indikasi terapi CO2 (Xu Y et al., 2017) Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 156

RINGKASAN Terapi CO2 terbukti efektif dan tidak memiliki efek samping bila digunakan sesuai indikasi dan dalam dosis yang tepat. Berbagai hasil penelitian menunjukkan efek CO2 pada pembuluh darah perifer, yaitu dapat memperbaiki mikrosirkulasi dengan meningkatkan laju aliran darah, membuat vasodilatasi kapiler, neovaskularisasi, dan memiliki efek anti-inflamasi sehingga dapat membantu penyembuhan penyakit dengan gangguan pembuluh darah perifer seperti PAD, kaki diabetik dan penyakit Raynaud. Beberapa literatur juga menyebutkan manfaat CO2 sebagai terapi paliatif pada nyeri muskuloskeletal, intervensi terapeutik dan rehabilitasi penyakit rematik, serta dapat membantu penyembuhan pada dermatopati infeksius. Akan tetapi, terlepas dari banyaknya studi yang telah dilakukan, hingga saat ini masih belum ada konsensus umum mengenai standar terapi CO2 (dosis optimal, cara pemberian, dsb). DAFTAR PUSTAKA 1. Aratel Group. 2012. CARBOTHERA – ARATEL GROUP, Carbothera. 2. Bauer. C, G. Gros, H. Bartels. Biophysics and physiology of carbon dioxide. Springer, Heidelberg-New York (1980). 3. Bedu M, Cheynel J, Gascard J, et al. Transcutaneous CO2 diffusion comparison between CO2 spa water and dry gas in Royal thermal spa. In: Advances n Vascular Pathology, edited by Strano A, and Novo S. Elsevier Science Publishers B. V. (Biomedical Division); 1989:1109-1113. 4. Berend K, de Vries AP, Gans RO. Physiological approach to assessment of acid-base disturbances. N. Engl. J. Med. 2015 Jan 08;372(2):195. 5. Boyd-Kranis R, Sullivan KL, Eschelman DJ, et al. Accuracy and safety of carbon dioxide inferior vena cavography. J Vasc Interv Radiol. Oct 1999. 10(9):1183-9. Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 157

6. Carr P, Graves JE, Poston L. Carbon dioxide induced vasorelaxation in rat mesenteric small arteries precontracted with noradrenaline is endothelium dependent and mediated by nitric oxide. Pflügers Archiv : European journal of physiology. 1993. 423(3-4):343-345. 7. Cherniack, Neil S., and G. S. Longobardo. Oxygen and carbon dioxide gas stores of the body. Physiol Rev 50.2. 1970: 196- 243. 8. Cho, K. J. 2015. Carbon Dioxide Angiography : Scientific Principles and Practice. 31(3). 9. Flück K and Fandrey J. Oxygen sensing in intestinal mucosal inflammation. Pflugers Arch European Journal Physiology 468: 77-84, 2016. 10. Forster, R. E., and N. Itada. Carbonic anhydrase activity in intact red cells as measured by means of 18O exchange between CO2 and water. Biophysics and Physiology of Carbon Dioxide. Springer Berlin Heidelberg, 1980. 177-183. 11. Fukuda S, Matsimoto M, Nishimura N, et al. Endothelial modulation of norepinephrine- induced constriction of rat aorta at normal and high CO2 tensions. Am J Physiol. 1990;258:H1049–H1054. 12. Gao L, Chen Q, Zhou X, et al. The role of hypoxia-inducible factor 1 in atherosclerosis. Journal of Clinical Pathology 65: 872, 2012. 13. Geers, Cornelia, and Gerolf Gros. Carbon dioxide transport and carbonic anhydrase in blood and muscle. Physiological Reviews 80.2. 2000: 681-715. 14. Hartmann B, Pittler M, Drews B. 2009. CO2 Balneotherapy for arterial occlusion diseases: Physiology and Clinical Practise. 15. Hartmann B, Bassenge E, Pittler M. Effect of carbon dioxide- enriched water and fresh water on the cutaneous microcirculation and oxygen tension in the skin of the foot. Angiology. 1997; 48:337–343. 16. Hawkins IF. Carbon dioxide digital subtraction arteriography. AJR Am J Roentgenol. Jul 1982. 139(1):19-24. Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 158

17. Hsia CC. Respiratory function of hemoglobin. N. Engl. J. Med. 1998 Jan 22;338(4):239- 47. 18. Hudlicka O, Wright AJ, Ziada AM. Angiogenesis in the heart and skeletal muscle. Can J Cardiol. 1984. 2:120-123. 19. Ito, T., J.L. Moore, M.C. Koss. Topical application of CO2 increases skin blood flow. J. Invest. Dermatbl. 93. 1989. 259- 262. 20. Jakobsen M, Bertelsen G. Solubility of carbon dioxide in fat and muscle tissue. Journal of Muscle Foods. 2006;17(1):9- 19. 21. Jensen FB. Red blood cell pH, the Bohr effect, and other oxygenation-linked phenomena in blood O2 and CO2 transport. Acta Physiol. Scand. 2004 Nov;182(3):215-27. 22. JesC. 2013. Bicarbonated.pdf. 23. Keogh CE, Scholz CC, Rodriguez J, et al. Carbon dioxide- dependent regulation of NF- kappaB family members RelB and p100 gives molecular insight into CO2-dependent immune regulation. The Journal of Biological Chemistry 292: 11561-11571, 2017. 24. Kyung J. Cho, Irvin F, Hawkins. Carbon dioxide angiography. Informa healthcare; 2007. 25. Loerting, Thomas, and Juergen Bernard. Aqueous carbonic acid (H2CO3). ChemPhysChem 11.11. 2010: 2305-2309. 26. Niikura T, Iwakura T, Omori T, et al. Topical cutaneous application of carbon dioxide via a hydrogel for improved fracture repair: results of phase I clinical safety trial. BMC Musculoskeletal Disorders. 2019;20:563. 27. Nishimura, N., J. Sugenoya, T. Matsumoto, et al. 2002. Effects of repeated carbon dioxide- rich water bathing on core temperature, cutaneous blood flow and thermal sensation. Eur. J. Appl. Physiol. 87:337–342. 28. Oe K, Ueha T, Sakai Y, et al. The effect of transcutaneous application of carbon dioxide (CO2) on skeletal muscle. Biochemical and Biophysical Research Communications. 2011. 407(1):148-152. Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 159

29. Ogoh, S. et al. 2016. Acute vascular effects of carbonated warm water lower leg immersion in healthy young adults, 4, pp. 1–11. doi: 10.14814/phy2.13046. 30. Sakai Y, Miwa M, Oe K, et al. A novel system for transcutaneous application of carbon dioxide causing an \"artificial bohr effect\" in the human body. PloS one. 2011. 6(9):e24137. 31. Savin E, Balliart O, Bonnin P, et al. Vasomotor effects of transcutaneous CO2 in stage II peripheral occlusive arterial disease. Angiology. 1995;46:785–791. 32. Schmidt KL. 2009. Carbon dioxide bath (Carbon dioxide spring). Center for Clinical Research in Rheumatology, Physical Medicine and Balneotherapy;Bad Nauheim, Germany 33. Selfridge AC, Cavadas MAS, Scholz CC, et al. Hypercapnia Suppresses the HIF- dependent Adaptive Response to Hypoxia. The Journal of Biological Chemistry 291: 11800- 11808, 2016. 34. Shaw LA, Messer AC, Weiss S. Cutaneous respiration in manned : I. factors affecting the rate of carbon dioxide elimination and oxygen absorption. American Journal of Physiology Legacy Content. 1992;90(1):107-118. 35. Sutton I. Solubility of O2, N2, H2 and CO2 in water. In: Process risk and reliability management. 2nd Edition ed. Elsevier; 2015:209-239. 36. Taylor FC, Smith DC, Watkins GE, et al. Cardiovasc and Intervent Radiol. 1998. 22:150- 151. 37. Toriyama T, Kumada Y, Matsubara T, et al. Effect of artificial carbon dioxide foot bathing on critical limb ischemia (Fontaine IV) in peripheral arterial disease patients. International angiology : a journal of the International Union of Angiology. 2002.21: 367. 38. Tune JD, Richmond KN, Gorman MW, et al. Control of coronary blood flow during exercise. Exp Biol Med. Maywood. 2002. 227(4):238-250. Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 160

39. Xu Y, Elimban V dan Dhalla NS. Carbon Dioxide Water-bath Treatment Augments Peripheral Blood Flow through the Development of Angiogenesis. Can J Physiol Pharmacol 2017. Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 161

7 Mekanisme Kerja Obat-Obat Antiplatelet Mardhiyah Yamani, Zaenab Djafar PENDAHULUAN Trombosis arteri yang bermanifestasi sebagai infark miokard dan stroke iskemik, menyebabkan lebih dari 14 juta kematian setiap tahun dan merupakan penyebab umum morbiditas dan mortalitas secara global. Aterosklerosis adalah proses inflamasi kronis yang diketahui sebagai penyebab penyakit jantung koroner. Selain menjadi langkah pertama hemostasis primer, trombosit memainkan peran penting dalam proses trombotik (pembentukan thrombus) yang mengikuti ruptur, fisura, atau erosi plak aterosklerotik. Sumbat (plug) trombosit di bawah kondisi patofisiologis dapat mengobstruksi patensi sistem sirkulasi menyebabkan penyakit jantung iskemik (infark miokard, angina tidak stabil), stroke iskemik, dan kondisi lain yang berhubungan.1-3 Trombosit memiliki peranan penting dalam hemostasis normal dan dalam patogenesis penyakit aterotrombotik karena kemampuannya untuk melekat pada pembuluh darah yang cedera dan berakumulasi pada lokasi cedera. Walaupun adhesi dan aktivasi trombosit dapat dipandang sebagai respon perbaikan fisiologis terhadap fisura atau ruptur plak aterosklerotik, progresi yang tidak terkontrol dari proses ini dapat menyebabkan pembentukan thrombus intraluminal, oklusi vaskular, dan iskemia atau infark. Dengan demikian, antiplatelet memengaruhi hasil proses penyakit kardiovaskular. Antiplatelet menghambat beberapa tahapan proses pembentukan thrombus yang meliputi adhesi, aktivasi, degranulasi, dan agregasi trombosit. Namun karena fungsi patologis dan fisiologis trombosit disebabkan oleh mekanisme yang sama, sulit untuk memisahkan manfaat terapi antiplatelet dari efek berbahaya, seperti peningkatan resiko perdarahan. Mekanisme antiplatelet mengganggu fungsi trombosit Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 162

melibatkan enzim atau reseptor yang penting untuk sintesis atau aksi mediator penting dari respons fungsional ini.4-6 Mengingat peran mendasar trombosit dalam memediasi aterotrombosis, sehingga perlu digarisbawahi tentang pentingnya agen antiplatelet, yang mewakili landasan pengobatan terutama dalam menatalaksana pasien dengan acute coronary syndromes (ACS), pasien yang menjalani percutaneous coronary intervention (PCI), pasien angina pectoris stabil, dan pasien dengan penyakit arteri perifer. Tinjauan kepustakaan ini bertujuan untuk menjelaskan mekasisme kerja dari obat-obat antiplatelet yang merupakan landasan terapi yang digunakan untuk mencegah dan mengobati aterotrombosis. TINJAUAN PUSTAKA 1. Respon Trombosit terhadap Cedera Vaskular Trauma fisik pada sistem vaskular menyebabkan interaksi kompleks antara trombosit, sel endotel, dan kaskade koagulasi. Interaksi ini menyebabkan hemostasis atau pembatasan hilangnya darah dari pembuluh darah yang rusak. Trombosit merupakan inti dari proses ini. Awalnya, terjadi vasospasme pembuluh darah yang rusak untuk mencegah hilangnya darah lebih lanjut. Selanjutnya melibatkan pembentukan sumbat (plug) trombosit- fibrin pada daerah yang cedera. Pembentukan thrombus yang tidak dinginkan melibatkan banyak tahapan yang sama seperti pembentukan bekuan (clot) normal, kecuali jika stimulus pencetusnya merupakan kondisi patologis pada sistem vaskular daripada trauma fisik eksternal.7 A. Resting Platelets (Trombosit Istirahat) Trombosit berperan sebagai penjaga vaskular bertugas memantau integritas endotel vaskular. Jika tidak ada cedera, trombosit bersirkulasi secara bebas, karena keseimbangan sinyal kimiawi mengindikasikan bahwa sistem vaskular tidak rusak.7 1. Mediator-mediator kimia disintesis oleh sel endotel Mediator kimia, seperti prostasiklin dan nitric oxide (NO), disintesis melalui sel endotel yang intak dan berperan sebagai inhibitor agregasi Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 163

trombosit. Prostasiklin (Prostaglandin I2) bekerja dengan cara berikatan dengan reseptor membran trombosit diikuti dengan sintesis cyclic adenosine monophosphate (cAMP) yang merupakan messenger intraselular. Peningkatan kadar cAMP intraselular dihubungkan dengan penurunan kalsium intraselular. Hal ini mencegah aktivasi trombosit dan selanjutnya mencegah terjadinya pelepasan agen agregasi trombosit. Sel endotel yang rusak mensintesis lebih sedikit prostasiklin dibandingkan sel sehat, menyebabkan rendahnya kadar prostasiklin. Karena sedikitnya prostasiklin untuk mengikat reseptor trombosit, maka sedikit pula cAMP intaselular yang disintesis sehingga menyebabkan agregasi trombosit.7 2. Peran trombin, thromboxane, dan kolagen Membran trombosit juga mengandung reseptor yang dapat mengikat trombin, thromboxane, dan kolagen yang terekspos. Pada pembuluh darah normal dan intak, kadar trombin dan thromboxane yang bersirkulasi rendah, dan endotel yang intak menutup kolagen pada lapisan subendotelial. Reseptor trombosit yang sesuai dengan demikian tidak dihuni dan sebagai akibatnya aktivasi dan agregasi trombosit tidak terjadi. Walaupun ketika reseptor tersebut dihuni, masing-masing reseptor ini memicu serangkaian reaksi yang menyebabkan pelepasan granul- granul intraselular dari trombosit ke dalam sirkulasi. Hal ini akhirnya menstimulasi agregasi trombosit.7 B. Adhesi Trombosit Ketika endotel mengalami cedera, trombosit melekat dan menutupi kolagen subendotel yang terekspos. Hal ini memicu serangkaian kompleks reaksi kimia yang menyebabkan aktivasi trombosit.7 C. Aktivasi Trombosit Reseptor pada permukaan trombosit yang beradhesi diaktivasi oleh kolagen yang berada di bawah jaringan penghubung. Hal ini menyebabkan perubahan morfologi trombosit dan pelepasan granul-granul trombosit yang mengadung mediator-mediator kimia, seperti adenosine diphosphate (ADP), thromboxane A2 (TxA2), serotonin, platelet activation factor (PAF), dan trombin. Molekul-molekul ini berikatan dengan reseptor-reseptor pada membran luar dari trombosit istirahat yang beredar di dekatnya. Fungsi Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 164

reseptor-reseptor ini sebagai sensor yang diaktifkan oleh sinyal yang dikirimkan dari trombosit yang beradhesi. Trombosit yang dorman sebelumnya menjadi teraktivasi dan mulai beragregasi. Aksi ini dimediasi oleh beberapa sistem messenger yang akhirnya menyebabkan peningkatan kadar kalsium dan penurunan kadar cAMP di dalam trombosit.7 Gambar 1. Pembentukan sumbat hemostatik (hemostatic plug) (Sumber: Anderson KV, Cogan P. Anticoagulants and Antiplatelet Agents. In: Lippincott Illustrated Reviews: Pharmacology 6th ed. Philadelphia: Wolters Kluwer.2015) D. Agregasi Trombosit Peningkatan kalsium sitosol yang menyertai aktivasi adalah Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 165

akibat pelepasan cadangan sekuestrasi di dalam trombosit. Hal ini menyebabkan: 1) pelepasan granul-granul trombosit yang mengandung mediator-mediator, seperti ADP dan serotonin yang mengaktifkan trombosit-trombosit lainnya; 2) aktivasi sintesis TxA2; dan 3) aktivasi reseptor glikoprotein (GP) IIb/IIIa yang mengikat fibrinogen dan akhirnya meregulasi interaksi trombosit ke trombosit dan pembentukan thrombus. Fibrinogen yang merupakan GP plasma yang dapat larut secara simultan berikatan dengan reseptor GPIIb/IIIa pada dua trombosit yang berdekatan menyebabkan tautan silang trombosit dan agregasi trombosit. Hal ini menyebabkan banyaknya agregasi trombosit karena setiap trombosit yang teraktivasi dapat merekrut trombosit-trombosit lainnya.7 Gambar 1. Pembentukan sumbat hemostatik (hemostatic plug) (lanjutan) Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 166

E. Pembentukan clot (gumpalan) Stimulasi lokal kaskade koagulasi oleh faktor jaringan (tissue factor=TF) yang dilepaskan dari jaringan yang cedera dan melalui mediator-mediator pada permukaan trombosit menyebabkan pembentukan trombin (faktor IIa). Trombin sebagai protease serin mengkatalisasi hidrolisis fibrinogen menjadi fibrin yang dimasukkan ke dalam gumpalan (clot). Pengikatan silang berikutnya dari untaian fibrin menstabilkan gumpalan dan membentuk sumbat trombosit- fibrin.7 F. Fibrinolisis Selama pembentukan gumpalan, jalur fibrinolitik secara lokal diaktifkan. Plasminogen secara enzimatik diproses menjadi plasmin (fibrinolysin) melalui aktivator plasminogen pada jaringan (tissue plasminogen activator). Plasmin membatasi pertumbuhan gumpalan (clot) dan melarutkan jaring-jaring fibrin saat luka sembuh. 7 Peristiwa yang memicu terjadinya pembentukan thrombus arteri patologis biasanya akibat ruptur plak aterosklerotik atau erosi akut pada lapisan endotel. Akibatnya, protein matriks subendotel yang sangat reaktif seperti von Willebrand factor (vWF) dan kolagen terpapar. Pada tingkat seluler, trombosis diinisiasi oleh platelet tethering ke vWF subendotel via glycoprotein Ib (GPIb). Interaksi GPIbα-vWF memediasi tahapan awal adhesi trombosit ke matriks ekstraseluler dengan tingkat geser tinggi (high shear rates >500/s). GPIbα juga berperan terhadap adhesi trombosit ke dinding pembuluh darah yang intak melalui interaksi dengan P-selectin yang terekspos pada sel endotel yang teraktivasi. Di bawah kondisi shear stress arteri, vWF terikat ke kolagen, memungkinkan adhesi sementara trombosit melalui kompleks GPIb-V-IX. Namun, adhesi trombosit yang stabil membutuhkan interaksi antara GPVI, integrin- α2β1, dan kolagen, dan antara integrin-α5β1 dan fibronectin. Pada tempat cedera vaskular, interaksi GPVI-collagen menginisiasi jalur pensinyalan intraselular diikuti dengan perubahan afinitas integrin ke kondisi afinitas tinggi dan pelepasan agonis aksi sekunder (seperti ADP, serotonin, dan kalsium) serta sintesis thromboxane dari asam Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 167

arakidonat (AA). Di waktu yang sama, tissue factor (TF) yang terekspos secara lokal memicu pembentukan trombin (jalur ekstrinsik). Aktivasi faktor XII dan faktor XI juga menyebabkan pembentukan trombin.1,3,8 Aktivasi trombosit diperkuat oleh pelepasan agonis terlarut seperti ADP, TxA2, dan trombin, yang masing-masing bekerja pada purinoreseptor P2Y1 dan P2Y12, reseptor thromboxane (TP), dan protease activated receptor (PAR). Pada waktu yang sama, trombosit yang teraktivasi bertindak sebagai permukaan katalitik untuk pembentukan trombin dari proenzim plasmanya (jalur intrinsik). Sinyal intraselular yang dihasilkan oleh stimulasi reseptor trombosit oleh agonis terlarut menghasilkan perubahan konformasi reseptor adhesi trombosit utama, GPIIb/IIIa (juga dikenal sebagai integrin- αIIbβ3). GPIIb/IIIa ada dalam konformasi afinitas rendah pada trombosit istirahat, yang dapat mengikat fibrinogen yang tidak bergerak, tetapi tidak larut. Setelah aktivasi trombosit, sinyal yang dihasilkan di dalam trombosit dipropagasi ke arah luar (disebut pensinyalan dalam-ke luar), yang mengarah ke perubahan konformasi GPIIb/IIIa dari afinitas rendah ke afinitas tinggi. Aktivasi GPIIb/IIIa memungkinkan pengikatan protein plasma terlarut, termasuk vWF, fibronectin, dan fibrinogen sebagai ligand GPIIb/IIIa utama, sehingga memfasilitasi agregasi trombosit yang stabil dan pembentukan thrombus. Thrombus arteri yang baru diperkuat oleh pembentukan trombin, yang menguatkan aktivasi trombosit dan mengaktifkan koagulasi, menyebabkan pembentukan jaring-jaring fibrin yang menstabilkan trombus di dalam dan di sekitar trombus trombosit.1,3,4 Gambar 2. Mekanisme adhesi dan agregasi trombosit. (Sumber: McFadyen Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 168

JD, Schaff M, Peter K. Current and future antiplatelet therapies: emphasis on preserving haemostasis. Nat Rev Cardiol.2018) 2. Mekanisme Kerja Obat-Obat Antiplatelet Inhibitor trombosit, juga disebut agen antiplatelet, mengganggu sejumlah fungsi trombosit, termasuk agregasi, pelepasan konten granula, dan penyempitan pembuluh darah yang diperantarai trombosit. Berdasarkan mekanisme kerjanya, inhibitor trombosit biasanya diklasifikasikan ke dalam lima kelompok berikut:3,9 1. Inhibitor cyclo-oxygenase 1 (COX-1) (aspirin, triflusal) 2. Inhibitor reseptor ADP P2Y12 (ticlopidine, clopidogrel, prasugrel, ticagrelor, cangelor, dan elinogrel) 3. Antagonis protease activated receptor 1 (PAR-1) (vorapaxar, atopaxar) 4. Inhibitor phosphodiesterase (dipyridamole, cilostazol) 5. Inhibitor GP IIb/IIIa (abciximab, eptifibatide, tirofiban) Berikut adalah bagan yang menunjukkan situs aksi dari obat- obat antiplatelet.10 Gambar 3. Situs Aksi Obat-Obat Antiplatelet. (Sumber: Hogg K, Weitz JI. Blood Coagulation and Anticoagulant, Fibrinolytic, and Antiplatelet Drugs. In: Goodman and Gilman’s The Pharmacological Basis of Therapeutics 13th ed. New York: McGraw-Hill Education; 2018) Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 169

2.1. Inhibitor cyclo-oxygenase 1 (COX-1) Stimulasi trombosit oleh trombin, kolagen, dan ADP menyebabkan aktifasi fosfilipase membran trombosit yang melepaskan asam arakidonat dari fosfolipid membran. Asam arakidonat pertama-tama dikonversi menjadi prostaglandin G2 melalui cyclooxygenase 1 (COX-1). Prostaglandin G2 selanjutnya dikonversi menjadi prostaglandin H2 melalui aktivitas hydroperoxidase (HOX) dari PGH synthase-1. Pada trombosit, prostaglandin H2 selanjutnya dimetabolisme menjadi thromboxane A2 (TxA2) oleh TxA2 synthase. TxA2 adalah produk yang menyebabkan trombosit berubah bentuk, melepaskan granul- granulnya dan beragregasi, serta merupakan vasokonstriktor poten. TxA2 memicu proses agregasi yang penting untuk pembentukan cepat sumbat hemostatik. Thromboxane receptor α (TPα), juga dikenal sebagai TP receptor merupakan Gq linked 7-transmembrane G-protein-coupled-receptor (GPCR) yang berpasangan dengan Gq dan G12/13. Ikatan TPα dengan agonisnya TxA2 dapat menyebabkan aktivasi trombosit melalui sejumlah jalur intraselular yang meningkatkan aktivasi trombosit primer melalui trombin atau kolagen.1,7,10,11 A. Aspirin Aspirin (asam asetilsalisilat) adalah obat antiplatelet pertama yang digunakan secara klinis. Aspirin secara ireversibel menghambat aktivitas COX-1 trombosit sehingga menyebabkan penurunan sintesis prostaglandin dan TxA2. Aspirin menghambat TxA2 yang disintesis melalui asetilasi residu serin pada posisi 529 (Ser529), sehingga mencegah akses asam arakidonat ke situs katalitik COX-1 melalui penghalang sterik. Karena trombosit non-nukleasi kekurangan kemampuan biosintetik yang diperlukan untuk mensintesis protein baru, defek yang diinduksi aspirin tidak dapat diperbaiki untuk masa hidup trombosit selama 7 hingga 10 hari.7,9,10,12,13 Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 170

Gambar 4. Aspirin secara ireversibel menghambatcyclooxygenase-1 trombosit (Sumber: Anderson KV, Cogan P. Anticoagulants and Antiplatelet Agents. In: Lippincott Illustrated Reviews: Pharmacology 6th ed. Philadelphia: Wolters Kluwer.2015) Selama aktivasi trombosit hidrolisis fosfolipid membran menghasilkan asam arakidonat, yang dikonversi menjadi prostaglandin H2 (PGH2) oleh aktivitas katalitik enzim COX. PGH2 kemudian dikonversi melalui thromboxane synthase menjadi TxA2. TxA2 menyebabkan perubahan dalam bentuk trombosit, meningkatkan rekrutmen dan agregasi trombosit melalui ikatannya dengan reseptor thromboxane (TP) dan prostaglandin endoperoksida. Oleh karena itu, aspirin mengurangi aktivasi trombosit dan proses agregasi yang dimediasi oleh jalur reseptor TP. TxA2 satu dari beberapa agonis trombosit yang disintesis secara in vivo hanya dengan trombosit teraktivasi. Oleh karena itu, dengan menghambat sintesis TxA2, aspirin tidak secara langsung menghambat aktivasi atau agregasi trombosit, melainkan mencegah proses amplifikasi yang bergantung pada thromboxane yang terjadi dalam pengaturan stimulus trombogenik.13,14 Sebagai respon terhadap berbagai stimulus, trombosit menghasilkan TxA2, proses yang sangat sensitif terhadap inhibisi dengan aspirin dan sebagian besar dimediasi oleh COX-1. Sebaliknya, endotelium menghasilkan prostaglandin I2 (PGI2), sebuah proses yang jauh kurang sensitif terhadap inhibisi oleh aspirin dan sebagian besar dimediasi oleh COX-2. Sel-sel endotel dan sel-sel otot polos, ketika dirangsang oleh cedera fisik atau kimia menyebabkan COX Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 171

mengubah asam arakidonat menjadi prostasiklin (PGI2), yang kemudian dilepaskan. Prostasiklin adalah penghambat kuat agregasi trombosit serta vasodilator yang kuat. Oleh karena itu, prostasiklin dapat membantu menjaga dinding pembuluh darah tetap bersih. Produksi prostasiklin sangat berkurang di arteri yang sakit. Aspirin lebih lanjut mengurangi pembentukan prostasiklin di dinding pembuluh darah, dan ini adalah efek yang tidak diinginkan. Dosis rendah aspirin menghambat sintesis TxA2 dan agregasi trombosit dan tidak menghambat produksi PGI2 secara signifikan.15,16 Aspirin pada dosis rendah menghambat aktivitas COX-1 dan efeknya berlangsung seumur hidup trombosit. Penghambatan kuat ireversibel COX-1 (bentuk utama COX dalam trombosit) menghambat pembentukan TxA2, sekresi dan agregasi trombosit yang dimediasi TxA2, dan vasokonstriksi. Pada dosis yang lebih tinggi, aspirin juga dapat menghambat pembentukan PGI2 (juga dikenal sebagai prostasiklin) yang dikatalisis oleh COX dalam sel endotel. PGI2 bersifat melindungi pembuluh darah melalui vasodilatasi dan menghambat agregasi trombosit. Mungkin karena alasan inilah aspirin dosis rendah biasanya digunakan untuk indikasi kardiovaskular.5,9 Gambar 5. Mekanisme kerja aspirin. Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 172

Aspirin secara ireversibel menghambat aktivitas cyclooxygenase (COX). Efek ini dicapai dengan asetilasi residu serin (serin 529 pada COX-1 dan serin 516 pada COX-2), yang mencegah asam arakidonat mencapai situs katalitik enzim COX menyebabkan blok biosintesis prostanoid dan pada akhirnya inhibisi pembentukan TxA2 dan prostasiklin (PGI2). Trombosit matur hanya mengekspresikan COX-1 dan menghasilkan TXA2 sebagai respons terhadap berbagai rangsangan. Sel-sel endotel vaskular, yang mengekspresikan COX-1 dan COX-2, mewakili situs utama pembentukan PGI2. Aspirin dosis rendah secara selektif menghambat aktivitas COX-1, sedangkan dosis yang lebih tinggi menghambat COX-1 dan COX-2. ADP: adenosin difosfat; HOX: hydroperoxidase. (Sumber: Capodanno D, Angiolillo DJ. Aspirin for Primary Cardiovascular Risk Prevention and Beyond in Diabetes Mellitus. Circulation. 2016;134) Sejumlah uji coba menunjukkan bahwa aspirin, bila digunakan sebagai obat antitrombotik, efektif secara maksimal pada dosis 50–325 mg/hari. Dosis yang lebih tinggi tidak meningkatkan efikasi dan berpotensi kurang manjur karena penghambatan produksi prostasiklin, yang sebagian besar dapat dihindari dengan menggunakan dosis aspirin yang lebih rendah. Dosis yang lebih tinggi juga meningkatkan toksisitas, terutama perdarahan. Oleh karena itu, dosis aspirin harian 100 mg atau kurang digunakan untuk sebagian besar indikasi. Pada dosis tinggi (sekitar 1 g/hari), aspirin juga menghambat COX-2, isoform COX yang dapat diinduksi dan ditemukan dalam sel endotel dan sel inflamasi. Dalam sel endotel, COX-2 memulai sintesis prostasiklin yang merupakan vasodilator poten dan penghambat agregasi trombosit. Inaktivasi COX pada endotel vaskular dapat mengurangi pembentukan prostasiklin antiaggregatorik serta TxA2. Terlepas dari efek aspirin yang berpotensi bertentangan ini, efek klinis yang luar biasa adalah antitrombotik. Selain itu COX vaskular dapat disintesis kembali dalam beberapa jam, sedangkan COX trombosit hanya dapat mengalami reformasi dengan kelahiran trombosit baru tanpa adanya aspirin.10,17,18 Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 173

Aspirin tersedia dalam bentuk tablet 81 mg (low strength) dan tablet 325 mg (regular strength). Ketika diberikan secara oral, aspirin diabsorbsi secara difusi pasif dan dihidrolisis secara cepat menjadi asam salisilat di hati. Asam salisilat selanjutnya dimetabolisme di hati dan beberapa diekskresikan ke urine. Rentang waktu paruh aspirin 15 – 20 menit dan untuk asam salisilat 3 – 12 jam. Mengunyah aspirin atau menggunakan larutan aspirin meminimalkan waktu untuk inhibisi maksimal sintesis thromboxane menjadi sekitar 20 menit, sedangkan menelan aspirin yang dilapisi enterik secara keseluruhan menunda efek antiplatelet maksimal 2 hingga 4 jam. Dosis pemuatan 325 mg diperlukan untuk menghambat sintesis thromboxane lebih dari 99%. Meskipun waktu paruh plasma aspirin hanya 20 menit, karena trombosit tidak dapat mensintesis siklooksigenase baru efek aspirin bertahan selama masa hidup trombosit (sekitar 10 hari). Oleh karena itu setelah terapi aspirin dihentikan, 10 hari diperlukan untuk pembaruan lengkap trombosit, tetapi hemostasis dapat kembali normal dengan sedikitnya 20% trombosit yang memiliki aktivitas COX normal. Pasien yang memiliki indikasi, perlu mengonsumsi aspirin setiap hari untuk menghambat trombosit baru yang secara konstan dilepaskan ke dalam sirkulasi, karena setelah biosintesis thromboxane trombosit telah diblokir, dosis aspirin kronis yang relatif rendah diperlukan untuk mempertahankan penekanan kronis agregasi trombosit yang bergantung pada thromboxane.7,9,13,20 B. Triflusal Triflusal, atau 2-(acetyloxy)-4-(trifluoromethyl) benzoic acid adalah agen antiplatelet dengan struktur kimia yang mirip dengan aspirin, tetapi dengan profil farmakokinetik dan farmakodinamik yang berbeda. Obat ini diberikan secara oral dan bioavailabilitasnya berkisar antara 83 hingga 100%. Obat ini mengikat hampir seluruhnya (99%) protein plasma. Triflusal dideasetilasi di hati, membentuk metabolit utamanya 2-hydroxy-4-trifluoromethyl benzoic acid (HTB). Berbeda dengan asam salisilat metabolit aspirin yang tidak aktif, HTB menunjukkan aktivitas antiplatelet dan memiliki paruh plasma yang panjang sekitar 40 jam. Triflusal menghambat Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 174

COX-1 dan mengurangi produksi TxA2, tetapi pada tingkat yang lebih rendah dibandingkan dengan aspirin. Obat ini menghambat metabolisme COX-1 dan AA secara selektif dalam trombosit dan mempertahankan sintesis PGI2 dalam sel endotel vaskular. Selain menghambat aktivitas COX-1 trombosit, triflusal dan khususnya HTB menghambat phosphodiesterase, enzim yang mendegradasi nukletida siklik cAMP dan cGMP, dimana keduanya menghambat fungsi trombosit. Triflusal memiliki efikasi yang mirip dengan aspirin untuk pencegahan sekunder kejadian vaskular pada pasien dengan infark miokard akut dan stroke, sementara itu mengurangi kejadian perdarahan intrakranial dan gastrointestinal dibandingkan dengan aspirin. Triflusal dapat ditoleransi dengan baik pada pasien dengan asma yang diinduksi aspirin.12 2.2. Inhibitor reseptor ADP P2Y12 Trombosit memiliki berbagai reseptor membran yang mengenali asam nukleat dan metabolitnya sebagai ligan. Nomenklatur reseptor termasuk huruf P untuk menandai ligan mereka sebagai purin. Purinoceptor P1 diaktifkan oleh adenosin. Reseptor P2, diikat oleh nukleotida adenosin trifosfat (ATP) dan adenosin difosfat (ADP), dikategorikan menjadi tiga jenis: P2X1, P2Y1, dan P2Y12.21 Reseptor P2Y (P2Y1 dan P2Y12) adalah protein transmembran dengan tujuh domain hidrofobik. Reseptor terikat dan diaktifkan pada permukaan luar trombosit oleh ADP. Jumlah situs pengikatan pada permukaan luar trombosit cukup kecil, diperkirakan kurang dari 1000 per sel. Ikatan ADP ke reseptor P2Y1 menstimulasi aktivasi reseptor GP IIb/IIIa yang menyebabkan mobilisasi simpanan kalsium intraselular. Peningkatan konsentrasi kalsium intraselular yang dihasilkan kemudian menyebabkan perubahan bentuk trombosit, diikuti oleh agregasi trombosit transien. Ikatan ADP ke reseptor P2Y12 menstimulasi aktivasi reseptor GP IIb/IIIa yang menyebabkan degranulasi trombosit dan produksi thromboxane serta agregasi trombosit berkepanjangan.21,22 ADP dilepaskan dari trombosit selama aktivasi trombosit dan Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 175

ketika dieksternalisasi, berinteraksi dengan dua reseptor purinergik trombosit yang berpasangan dengan protein G (P2Y1, P2Y12), yang bertindak melalui sinyal intraselular yang berbeda. Reseptor P2Y1 yang diaktifkan oleh ADP berpasangan dengan Gq linked 7- transmembrane G-protein-coupled-receptor (GPCR) atau jalur Gq- PLC-IP3-Ca2+ dan menginisiasi aktivasi GP IIb/IIIa, sedangkan reseptor P2Y12 berpasangan dengan Gi-protein dan ketika diaktifkan oleh ADP, menghambat adenylyl cyclase, menghasilkan tingkat cAMP intraselular yang lebih rendah dan dengan demikian lebih sedikit penghambatan aktivasi trombosit yang bergantung pada cAMP. Reseptor P2Y12 mempertahankan aktivasi GP IIb/IIIa dan menstabilkan agregasi trombosit. Meskipun kedua reseptor diperlukan untuk agregasi, aktivasi jalur P2Y12 memainkan peran utama, yang mengarah pada agregasi trombosit berkelanjutan dan stabilisasi agregat trombosit.7,10,14,18 Antagonis reseptor ADP P2Y12 juga disebut antagonis reseptor ADP. Pengikatan ADP ke reseptor P2Y12 trombosit berperan penting dalam aktivasi dan agregasi trombosit, memperkuat respons trombosit awal terhadap kerusakan vaskular. Antagonis reseptor P2Y12 direkomendasikan untuk pencegahan kejadian iskemik pada fase pengobatan akut dan jangka panjang. Antagonis reseptor P2Y12 adalah terapi utama dalam ACS.9,13Ada 4 antagonis P2Y12 yang telah disetujui oleh FDA yaitu Ticlopidine, Clopidogrel, Prasugrel, dan Ticagrelor. Tiga lainnya masih dalam tahap pengembangan (Elinogrel, Cangrelor dan BX667).1 Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 176

Gambar 6. Mekanisme kerja antagonis reseptor ADP P2Y12 (Sumber: Li, Y.Robert. Anticoagulants, Platelet Inhibitors, and Thrombolytic Agents. In: Cardiovascular Diseases: From Molecular Pharmacology to Evidence-Based Therapeutics. USA: Wiley.2015) Clopidogrel adalah agen yang paling banyak digunakan dalam kelompok ini, dengan agen yang lebih baru adalah prasurgel dan ticagrelor. Ticlopidine adalah agen pertama dari kelompok ini, namun sekarang jarang digunakan karena efek samping yang berpotensi serius. Clopidogrel dan prasugrel adalah prodrug, yang harus dimetabolisme oleh sistem enzim sitokrom P450 (CYP) hati untuk dapat bekerja, penghambatan aktivasi dan agregasi trombosit terjadi melalui ikatan ireversibel metabolit aktifnya dengan reseptor ADP P2Y12 pada trombosit. Di sisi lain, ticagrelor dan metabolit utamanya berinteraksi secara reversibel dengan reseptor ADP P2Y12 trombosit untuk mencegah transduksi sinyal dan aktivasi trombosit.9,17,18 A. Ticlopidine Ticlopidine merupakan kelas thienopyridine oral generasi pertama memblokir reseptor ADP sehingga menyebabkan inhibisi jalur penting dalam fisiologi trombosit. Obat ini adalah prodrug yang diubah menjadi senyawa bioaktif oleh enzim sitokrom P450 3A4 hati. Metabolit aktif ini secara ireversibel mengikat reseptor ADP P2Y12 di Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 177

membran trombosit, membentuk ikatan disulfid dan secara permanen menonaktifkan reseptor.21 Ticlopidine diberikan dengan dosis 250 mg dua kali sehari. Konsentrasi plasma puncak ticlopidine terjadi 1 hingga 3 jam setelah pemberian dosis tunggal 250 mg oral, hingga 90% dari obat diserap. Efek inhibisi maksimum agregasi trombosit oleh ticlopidine adalah 3- 4 hari setelah pemberian dosis harian. Pemulihan fungsi trombosit terjadi 3-4 hari setelah penghentian 250 mg dosis harian dan 11-13 hari setelah 500 mg dosis berulang. Kombinasi ticlopidine dan aspirin meningkatkan efek inhibisi trombosit dibandingkan jika diberikan salah satu obat saja.21,22 Salah satu fitur yang sangat penting dari obat kardiovaskular adalah kecepatan aksi, karena banyak penyakit kardiovaskular yang merupakan proses dinamis yang membutuhkan terapi segera. Pada ticlopidine, dosis pemuatan belum diteliti dengan baik, dan memulai terapi hanya dengan dosis pemeliharaan tidak menghasilkan aksi secepat yang sering diperlukan dalam kedokteran kardiovaskular. Jadi dengan kata lain, ticlopidine tidak cocok ketika efek antiplatelet cepat diinginkan. Pada praktik klinis, ticlopidine secara luas telah digantikan oleh clopidogrel, karena onset kerjanya lambat dan efek samping hematologi yang nyata, termasuk neutropenia dan thrombotic thrombocytopenic purpura (TTP).1,7,21 B. Clopidogrel Clopidogrel merupakan kelas thienopyridine oral generasi kedua yang membutuhkan metabolime sitokrom P450 sebelum menghambat agregasi trombosit yang diinduksi ADP dengan cara memblok reseptor P2Y12 secara ireversibel sehingga mencegah aktivasi reseptor GP IIb/IIIa. Clopidogrel sebagian besar menggantikan ticlopidine karena clopidogrel lebih kuat dan kurang toksik, dengan efek samping trombositopenia dan leukopenia jarang terjadi.1,7,12,18 Clopidogrel adalah prodrug yang membutuhkan aktivasi metabolik di hati melalui proses oksidasi ganda yang dimediasi oleh beberapa isoform sitokrom P450 (CYP), yang akhirnya dikonversi menjadi metabolit aktifnya, yang secara ireversibel menghambat Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 178

reseptor ADP P2Y12 trombosit. Karena itu, obat ini memiliki onset aksi yang lambat. Obat ini juga memiliki offset aksi yang lambat arena efeknya yang ireversibel pada P2Y12. Karena blokade reseptor P2Y12 yang ireversibel, efek clopidogrel bertahan selama umur trombosit (7-10 hari).12,14 Gambar 7. Mekanisme Kerja Clopidogrel (Sumber: Hasan MS, et al. Genetic Polymorphisms and Drug Interactions Leading to Clopidogrel Resistance: Why the Asian Population Requires Special Attention. Int J Neurosci 2013; 123 (3) Setelah pemberian clopidogrel secara oral, obat ini secara bervariasi diserap dengan bioavaibilitas sekitar 50%. Mayoritas clopidogrel yang diserap dari usus (85%) dihidrolisis oleh esterase dan diubah menjadi turunan asam karboksilat tidak aktif. Sisanya (15%) mengalami metabolisme oleh sitokrom P450 (CYP) hati dan diubah menjadi metabolit antara, 2-oxo- clopidogrel. Metabolit antara ini mengalami oksidasi lebih lanjut oleh beberapa isoenzim, Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 179

menghasilkan pembentukan gugus karboksil yang tidak aktif dan turunan tiol aktif yang sangat tidak stabil. Di hati, clopidogrel dimetabolisme dalam 2-tahap terutama oleh CYP 2C19 dan CYP 3A4/5 dengan kontribusi tambahan oleh CYP 2B6, CYP 1A2, CYP 2C9 menjadi metabolit aktif berumur pendek, yang bertanggung jawab atas pengaruhnya terhadap agregasi trombosit. Baru-baru ini, ditunjukkan bahwa cincin g-thiobutyrolactone dari 2- oxo- clopidogrel dapat dibuka dan selanjutnya 2-oxo-clopidogrel diubah menjadi metabolit tiol aktif melalui pembelahan hidrolitik yang dikatalisis oleh enzim paraoxonase-1 (PON-1) dan bukan dengan oksidasi yang dikatalisis oleh CYP2C19. Metabolit tiol aktif clopidogrel menginaktifkan reseptor ADP P2Y12 membran trombosit secara ireversibel dengan membentuk ikatan disulfida dengan dua residu serin (Cys17 dan Cys270) yang ada pada domain ekstraselular dari reseptor P2Y12. Blokade reseptor P2Y12 oleh metabolit aktif clopidogrel berpotensi menghambat agregasi trombosit yang diinduksi ADP dan juga mengurangi sekresi dense granule trombosit yang mungkin berperan untuk terjadinya pengurangan aktivasi trombosit yang diinduksi AA, kolagen, dan trombin, karena sekresi dense granule dikaitkan dengan amplifikasi jalur tersebut. Hasil akhir dari inaktivasi reseptor ini adalah penghambatan agregasi trombosit yang tergantung dosis.12,20,21,23,24 Clopidogrel tersedia dalam bentuk tablet 75 mg dan 300 mg. Inhibisi trombosit signifikan terjadi dalam 1 – 2 jam setelah dosis pemuatan tunggal clopidogrel. Level maksimal pada rata-rata 30% inhibisi trombosit dicapai dalam 4-5 jam setelah dosis 300 mg dan dipertahankan setidaknya 24 jam. Level inhibisi trombosit ini umumnya dipertahankan sampai dosis dihentikan. Inhibisi trombosit menurun ke tingkat pretreatment 1 minggu setelah pengobatan dihentikan. Hanya sedikit peningkatan dalam inhibisi yang diperoleh dengan dosis lebih besar dari 600 mg karena penyerapan obat yang terbatas. Pemberian dosis pemuatan lebih besar dari 300 mg atau dosis pemeliharaan lebih tinggi 75 mg mengurangi proporsi pasien dengan respons rendah, meskipun masih ada variabilitas dalam respons pasien.9,22 Clopidogrel 50% diekskresikan dalam urin dan 46% dalam Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 180

feses selama lima hari setelah pemberian dosis. Waktu paruh eliminasi metabolit utama yang bersirkulasi adalah 8 jam (setelah dosis tunggal dan berulang). Penghambatan agregasi trombosit mencapai tingkat sekitar 40% hingga 60% setelah 3 hingga 7 hari pemberian dosis harian 75 mg, tetapi kali ini dapat diperpendek secara signifikan dengan pemberian dosis pemuatan awal.16,21 Variabilitas antar pasien yang signifikan dalam efek antitrombotik dari clopidogrel telah dikaitkan dengan variabilitas dalam penyerapan obat serta perubahan dan perbedaan genetik dalam metabolisme hati. Aktivasi metabolik clopidogrel dapat dipengaruhi oleh polimorfisme pada CYP 2C19. Polimorfisme genetik CYP 2C19 (misalnya, hilangnya fungsi alel CYP 2C19*2) menyebabkan penurunan respon klinis pada pasien yang “poor metabolizers” terhadap clopidogrel tetapi hal ini dapat diatasi dengan memantau dan menyesuaikan dosis berdasarkan reaktivitas trombosit atau dapat dipertimbangkan pemberian agen antiplatelet lain seperti prasugrel atau ticagrelor. Selain itu, obat-obat yang menghambat CYP 2C19 seperti omeprazole dan esomeprazole sebaiknya tidak diberikan bersamaan dengan clopidogrel. Polimorfisme ini berkontribusi terhadap efek bervariasi clopidogrel pada agregasi trombosit yang diinduksi ADP.7,10,16,23 Saat ini, clopidogrel menjadi standar dual antiplatelet therapy bersama dengan aspirin pada pasien ACS, walaupun dua regimen ini berhubungan dengan peningkatan resiko perdarahan dibandingkan dengan placebo. Selain itu clopidogrel memiliki efek inhibisi trombosit yang paling sederhana, namun dibandingkan kekurangannya obat ini lebih poten dan stabil.1 C. Prasugrel Prasugrel merupakan kelas thienopyridine generasi ketiga, yang secara ireversibel menghambat reseptor P2Y12 trombosit. Obat ini kira-kira 10 kali lebih poten dibandingkan clopidogrel. Subyek yang berespon lemah terhadap clopidogrel menunjukkan respon inhibisi yang lebih baik setelah diberikan prasugrel.1,7 Pada trial TRITON-TIMI 38 (Trial to Assess Improvement in Therapeutic Outcomes by Optimizing Platelet Inhibition with Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 181

Prasugrel-Thrombolysis in Myocardial Infarction), trial fase III, menunjukkan prasugrel secara signifikan menurunkan insidens kematian kardiovaskular dan stent thrombosis. Walaupun pemberian prasugrel meningkatkan resiko perdarahan, termasuk perdarahan fatal. Obat ini dikontraindikasikan pada pasien dengan riwayat stroke atau transient ischemic attack (TIA).1 Prasugrel adalah prodrug yang membutuhkan aktivasi metabolik di hati. Aktivasi metabolik prasugrel lebih efisien daripada clopidogrel. Akibatnya, prasugrel menghasilkan blokade P2Y12 yang lebih cepat, lebih tinggi, dan lebih seragam daripada clopidogrel sehingga inhibisi trombosit lebih besar dengan variabilitas respon yang lebih sedikit. Keunggulan ini terutama karena bioavailabilitasnya yang lebih besar, yang berkaitan dengan metabolisme yang lebih sederhana yang memungkinkan pembentukan metabolit aktif ex vivo clopidogrel-equipotent yang lebih cepat dan ekstensif. Paparan metabolit aktif dosis pemuatan standar prasugrel (60 mg) secara signifikan lebih besar daripada paparan metabolit aktif ekuipoten setelah pemberian dosis dengan 300 atau 600 mg clopidogrel. Selanjutnya, polimorfisme genetik yang membatasi efektivitas clopidogrel tampaknya tidak mempengaruhi prasugrel. Pasien yang diobati dengan prasugrel yang memerlukan pembedahan memerlukan periode pencucian 7 hari untuk meminimalkan komplikasi perdarahan.14,15,22 Prasugrel menghambat reseptor P2Y12 secara ireversibel dan nonkompetitif pada situs yang sama dengan clopidogrel. Seperti clopidogrel, prasugrel adalah prodrug dan harus dimetabolisme menjadi metabolit aktif untuk menunjukkan efek antiplateletnya. Konversi prasugrel untuk metabolit aktifnya lebih cepat daripada clopidogrel yang menyebabkan peningkatan kadar metabolit aktif dan karenanya meningkatkan efek klinis. Obat ini tidak terdeteksi dalam plasma setelah pemberian oral, dihidrolisis dengan cepat di usus menjadi tiolakton, yang kemudian dikonversi di hati menjadi metabolit aktif dengan satu langkah, terutama oleh CYP 3A4 dan CYP 2B6. Metabolit aktif memiliki waktu paruh eliminasi sekitar 7 jam (kisaran 2-15 jam). Karena metabolit aktif prasugrel berikatan dengan reseptor P2Y12, efeknya berlangsung seumur hidup Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 182

trombosit. Tanpa diduga, inhibitor CYP 3A seperti verapamil dan diltiazem tampaknya tidak mengubah aktivitas prasugrel, tetapi dapat menurunkan konsentrasi maksimum (Cmax) masing- masing sebesar 34% menjadi 46%. Penghambatan agregasi trombosit yang dimediasi prasugrel kira-kira 5 sampai 9 kali lebih kuat daripada clopidogrel dan mencapai inhibisi trombosit yang lebih besar dari 600 mg clopidogrel dengan onset aksi dalam 1 jam.10,18 Prasugrel tersedia dalam bentuk tablet 5 mg dan 10 mg. Inhibisi trombosit diamati 15-30 menit setelah pemberian dosis pemuatan 60 mg prasugrel dan maksimum 60-70% inhibisi trombosit biasanya dicapai dalam 2-4 jam. Selama terapi pemeliharaan dengan 10 mg sekali sehari, keadaan stabil terjadi pada rata-rata 50% inhibisi trombosit. Setelah pengobatan dihentikan, agregasi trombosit menurun ke tingkat pretreatment dalam 7-10 hari. Inhibisi trombosit tergantung pada dosis; dengan tingkat inhibisi maksimum 65- 75% terjadi setelah pemberian dosis lebih besar dari 20-30 mg. Pemberian dosis pemuatan atau pemeliharaan prasugrel menghasilkan onset yang jauh lebih cepat, dan inhibisi trombosit yang lebih konsisten dan lebih besar daripada pemberian clopidogrel pada subyek sehat dan pada pasien dengan coronary artery disease (CAD).9,12 Metabolisme prasugrel tampaknya kurang terpengaruh oleh variasi genetik dalam CYP 2C19 dan CYP 2C9 daripada clopidogrel dan kurang terpengaruh oleh interaksi obat yang melibatkan CYP 3A4 untuk metabolisme yang menghasilkan variabilitas yang rendah dalam pembentukan metabolit aktif.9,16 D. Ticagrelor Ticagrelor adalah antagonis reseptor ADP atau inhibitor P2Y12 oral reversibel pertama. Obat ini bukan thienopyridine, melainkan kelas obat cyclopentyl-triazolo- pyrimidines (CPTP). Obat ini bekerja secara langsung tanpa membutuhkan biotransformasi sitokrom P450 di hati, diberikan secara oral dengan onset kerja cepat, ikatan reversibel, dan afinitas rendah terhadap reseptor P2Y12. Ticagrelor secara reversibel berikatan dengan P2Y12 di lokasi yang berbeda dari situs pengikatan ADP dan memblokir aktivasi Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 183

reseptor yang dimediasi ADP dengan cara yang tidak kompetitif, kemungkinan melalui mekanisme alosterik. Karena tidak memerlukan aktivasi metabolik, ticagrelor memiliki onset aksi yang lebih cepat daripada clopidogrel atau prasugrel.1,17,21,25 Ticagrelor diberikan dua kali sehari dan tidak hanya memiliki onset dan offset aksi yang lebih cepat daripada clopidogrel, tetapi juga menghasilkan penghambatan agregasi trombosit yang diinduksi ADP yang lebih besar dan lebih dapat diprediksi. Bioavailabilitas ticagrelor adalah sekitar 36%. Ticagrelor tersedia dalam bentuk tablet 90 mg. Dosis pemuatan dan pemeliharaan yang direkomendasikan adalah 180 mg sekali pemberian dan 90 mg dua kali sehari. Obat ini dapat diberikan sebagai tablet utuh atau dihancurkan dalam air dan diberikan melalui pipa nasogastrik.10,20,23 Ticagrelor menghasilkan rata-rata 50-60% inhibisi agregasi trombosit maksimal yang diinduksi ADP 2-4 jam setelah dosis pemuatan 180 mg, dan tingkat inhibisi ini dipertahankan selama terapi pemeliharaan dengan 90 mg dua kali sehari. Meskipun konsentrasi plasma ticagrelor tergantung pada dosis, peningkatan inhibisi trombosit dengan peningkatan dosis di atas 90 mg dua kali sehari relatif kecil. Ticagrelor dimetabolisme oleh CYP 3A4/5 hati. Bila dibandingkan dengan clopidogrel, ticagrelor memberikan onset lebih dini dan agregasi trombosit yang lebih konsisten dan lebih jelas. Pada pasien dengan arterosklerosis stabil, ticagrelor dalam dosis 90 mg dua kali sehari atau lebih tinggi mengakibatkan penghambatan 90% agregasi trombosit yang diinduksi ADP dibandingkan dengan 60% dengan clopidogrel 75 mg setiap hari.22,25 Trial PLATO (Platelet inhibition and patient outcomes) menunjukkan bahwa ticagrelor lebih superior dibandingkan dengan clopidogrel dalam menurunkan primary endpoints (kematian akibat penyebab vaskular, infark miokard atau stroke) pada pasien ACS dengan atau tanpa elevasi segmen ST. Walaupun pada subyek di Amerika Serikat dan Kanada ticagrelor tidak menunjukkan mafaat dibandingkan clopidogrel. Efek samping umum ticagrelor yaitu dyspnea dan perdarahan non-fatal seperti hematoma, epistaksis, Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 184

perdarahan gastrointestinal, dan perdarahan di kulit.1,25 Efek samping umum ticagrelor yaitu dyspnea dan perdarahan non-fatal seperti hematoma, epistaksis, perdarahan gastrointestinal, dan perdarahan di kulit. Obat ini kontraindikasi diberikan pada pasien yang berisiko tinggi perdarahan, dengan stroke hemoragik sebelumnya dan disfungsi hati yang parah. Karena ticagrelor dimetabolisme oleh enzim CYP 3A4/5, pasien yang menggunakan ticagrelor harus menghindari penggunaan inhibitor kuat atau penginduksi CYP 3A4.7,14,20,25 Tidak seperti clopidogrel dan prasugrel, yang terikat secara ireversibel dengan reseptor membran permukaan trombosit (P2Y12), ticagrelor merupakan inhibitor reseptor P2Y12 yang bersifat reversibel, dengan fungsi trombosit kembali normal 2–3 hari setelah penghentian dibandingkan dengan 5-10 hari setelah penghentian dari clopidogrel dan prasugrel. Dalam 30 menit, dosis pemuatan ticagrelor 180 mg menghasilkan kira-kira tingkat inhibisi yang sama dari agregasi trombosit seperti yang dicapai 8 jam setelah dosis pemuatan clopidogrel 600 mg.15 E. Cangrelor Cangrelor (analog adenosin trifosfat) merupakan antagonis P2Y12 reversibel intravena dengan aksi langsung. Obat ini memiliki onset kerja yang lebih cepat dan derajat inhibisi yang lebih besar dibandingkan clopidogrel. Walaupun trial fase II (A Clinical Trial Comparing Cangrelor to Clopidogrel in Subjects who Requires PCI, CHAMPION-PCI) dan fase III (CHAMPION-PLATFORM) telah dihentikan akibat efikasinya yang terbatas dalam menurunkan primary endpoints pada pasien PCI dan resiko perdarahan yang lebih tinggi dibadingkan dengan clopidogrel.1 Cangrelor adalah analog adenosin trifosfat yang memiliki efek penghambat reseptor P2Y12 yang kuat, langsung, dan reversibel. Obat ini adalah inhibitor P2Y12 pertama yang tersedia dalam bentuk intravena. Kerjanya langsung pada reseptor P2Y12 tanpa perlu dikonversi di hati menjadi metabolit aktif, berbeda dengan prasugrel dan clopidogrel. Obat ini memiliki onset aksi yang cepat (beberapa detik) setelah pemberian dosis bolus dengan Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 185

inhibisi maksimal dalam 15 menit. Obat ini juga memiliki paruh pendek 3-6 menit dan keadaan stabil inhibisi trombosit dicapai dalam 30 menit setelah infus dimulai dan kembali ke tingkat pretreatment pada sebagian besar pasien dalam 30- 60 menit setelah penghentian infus obat. Pada kecepatan infus 4 mcg/kg/menit, obat ini menghambat lebih dari 90% agregasi trombosit. Setelah berikatan dengan reseptor P2Y12, cangrelor dengan cepat diinaktivasi oleh ADPase yang terletak pada permukaan sel endotel vaskular. Metabolisme dilakukan dengan defosforilasi berurutan dan tidak ada metabolit aktif. Obat ini dimetabolisme dalam plasma dan metabolisme tampaknya tidak tergantung pada kelainan hati atau fungsi ginjal yang menunjukkan kegunaannya pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal.6,14,15,21 F. Elinogrel Elinogrel adalah inhibitor reseptor P2Y12 yang bekerja langsung dan reversibel dengan struktur baru (sulfonilurea) dan dapat diberikan secara oral dan intravena. Hal ini memungkinkan timbulnya aktivitas antiplatelet yang cepat setelah pemberian intravena dan kemudian transisi ke inhibisi trombosit yang dapat diprediksi dengan bentuk pemberian dosis oral. Studi fase I menunjukkan kemampuan elinogrel untuk menghambat agregasi trombosit yang diinduksi ADP dalam 20 menit pemberian; penghambatan tergantung agregasi trombosit; sinergisme ketika diberikan dengan aspirin; dan penghambatan tambahan agregasi trombosit dalam trial The Early Rapid ReversAl of platelet thromboSis with intravenous Elinogrel before PCI to optimize reperfusion in acute Myocardial Infarction (ERASE-MI).16 Trial klinis fase II (patients Undergoing Non-urgent Percutaneous Coronary Interventions, INNOVATE-PCI) menunjukkan bahwa elinogrel diberikan secara oral ataupun intravena mampu mengatasi high platelet reactivity (HPR) pada pasien yang menjalani PCI yang memiliki respon lemah terhadap clopidogrel. Obat ini saat ini sedang dalam trial fase III sebagai antagonis P2Y12 generasi berikutnya.1 Elinogrel, sebuah quinazoline-2,4-dione, adalah antagonis Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 186

reseptor ADP yang poten, reversibel, yang tersedia dalam formulasi oral dan intravena. Inhibisi trombosit maksimum dicapai dalam 15 menit pemberian intravena yang menghasilkan efek inhibisi trombosit yang lebih cepat daripada obat antiplatelet oral lainnya. Elinogrel memiliki paruh plasma sekitar 12 jam. Mode kerja langsungnya tidak memerlukan aktivasi atau konversi metabolik menjadi metabolit aktif yang menyebabkan berkurangnya variabilitas dalam respons obat dibandingkan dengan clopidogrel. Senyawa ini dibersihkan sampai tingkat yang sama melalui ginjal dan hati.14 Gambar 8. Metabolisme antagonis ADP P2Y12 (Sumber: Kalantzi KI, et al. Pharmacodynamic properties of antiplatelet agents: current knowledge and future perspectives. Expert Rev Clin Pharmacol 2012; 5(3) Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 187

Tabel 1. Sifat utama Inhibitor P2Y12 (Sumber: Patrono C, et al. Antiplatelet Agents for the Treatment and Prevention of Coronary Atherothrombosis. J Am Coll Cardiol 2017;70) 2.3. Antagonis protease activated receptor 1 (PAR-1) Trombin adalah aktivator trombosit yang diketahui paling poten. Respons trombosit terhadap trombin dimediasi oleh reseptor-reseptor G-protein-permukaan yang dikenal sebagai protease‐activated receptors (PAR) atau reseptor trombin. Pada manusia, ada empat subtipe PAR yang diketahui. PAR‐1, PAR‐3, dan PAR‐4 yang diaktifkan oleh trombin, sedangkan PAR‐2 yang diaktifkan oleh tripsin dan trypsin‐like protease. Aktivasi trombosit yang dimediasi trombin terbukti terjadi melalui PAR-1 dan PAR-4, terutama PAR-1. PAR-1 bertindak sebagai reseptor utama trombin pada trombosit yang menunjukkan afinitas 10 – 100 kali lebih tinggi terhadap trombin jika dibandingkan dengan PAR-4. PAR-1 memediasi aktivasi trombosit dengan konsentrasi trombin subnanomolar, sedangkan PAR-4 membutuhkan konsentrasi trombin yang lebih tinggi untuk aktivasi.6,9,10,27 Pembelahan (cleavage) PAR-1 yang dimediasi trombin menghasilkan aktivasi protein G heterotrimerik dari keluarga Gα12/13, Gαq, dan Gαi/z yang menghubungkan beberapa jalur pensinyalan intraselular dengan berbagai efek fenotipik trombin pada trombosit, termasuk produksi TxA2, pelepasan ADP, pelepasan serotonin dan epinefrin, aktivasi/mobilisasi ligan P-selectin dan CD40, aktivasi integrin, dan agregasi trombosit. Aktivasi PAR-1 juga menstimulasi aktivitas prokoagulan trombosit, yang mengarah pada Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 188


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook