meningkatkan denyut jantung, mengurangi waktu pengisian diastolik, dan meningkatkan konsumsi oksigen. Namun, beberapa inotropik positif, termasuk milrinone, levosimendan, dan isatroxime, juga memiliki sifat lusitropik. Indikasinya digunakan pada anak-anak dan orang dewasa dengan HFpEF masih belum jelas.6 Vasodilator paru Hipertensi paru adalah konsekuensi dari disfungsi diastolik ventrikel kiri sedang sampai berat. Studi pada populasi dewasa tentang penggunaan prostaglandin pada hipertensi paru sekunder akibat HFpEF memiliki hasil yang beragam, dengan hasil yang lebih buruk pada penggunaan epoprostenol dan prostasiklin, tetapi prostaglandin E1 berhasil menjembatani sebelum pasien melakukan transplantasi. Penggunaan antagonis reseptor endotelin dan penggunaan jangka panjang inhibitor fosfodiesterase 3 tidak dianjurkan pada orang dewasa. Sildenafil saat ini sedang diselidiki untuk pasien dewasa dengan HFpEF.6 β-Bloker Berbeda dengan Pedoman ISHLT sebelumnya tahun 2004 yang memasukkan β-blocker sebagai terapi HFpEF, rekomendasi tahun 2014 telah mengeluarkannya. Data yang mendukung penggunaan β-bloker sebelumnya berasal dari pasien lansia dengan kardiomiopati hipertrofik dengan alasan bahwa penurunan denyut jantung memungkinkan peningkatan relaksasi atau compliance ventrikel. Namun, beberapa pasien mengalami perburukan dengan penggunan β -blocker.6 Rekomendari pemberian obat untuk anak dengan HFpEF dirangkum dalam tabel berikut. Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 289
Tabel 5 Ringkasan rekomendasi pengobatan HFpEF10 5.3 Gagal Jantung Dekompensasi Akut (Acute Decompensated Heart Failure (ADHF)) Tanda dan gejala ADHF berkembang dengan cepat karena kelainan fungsi jantung. Kondisi ini relatif sering terjadi dan serius dengan morbiditas dan mortalitas yang signifikan.6 Presentasi klinis dapat dikategorikan berdasarkan kongesti sistemik atau paru dan perfusi, yang membantu pemilihan pengobatan. Pasien umumnya bergejala sebagai akibat dari kongesti (basah) dan / atau perfusi yang buruk (dingin).6 Tujuan terapi adalah untuk mengubah kondisi pasien menjadi 'hangat dan kering' (perfusi baik dan tidak ada kongesti). Pasien dengan kondisi Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 290
'hangat dan basah' mendapat manfaat dari diuresis, dan pasien dengan keadaan 'dingin dan basah' akan mendapat manfaat dari vasodilator selain diuretik.6 Diuretik Diuretik meningkatkan stroke volume, menurunkan pulmonary capillary wedge pressure, dan menurunkan resistensi vaskular sistemik pada penelitian terhadap populasi dewasa. Diuretik yang dikombinasikan dengan vasodilator telah terbukti mengurangi regurgitasi mitral dan meningkatkan ejeksi ke depan.6 Loop diuretik merupakan obat utama dalam penanganan akut pada pasien dengan gagal jantung simtomatik. Namun, literatur yang menilai efikasi dan efek loop diuretik terhadap survival pada populasi gagal jantung pediatrik saat ini masih sangat terbatas. Sebuah tinjauan Cochrane tentang terapi diuretik pada orang dewasa dengan gagal jantung kronis yang menggunakan obat diuretik secara efektif meredakan gejala, mengurangi episode memburuknya gagal jantung, meningkatkan kapasitas olahraga, dan berpotensi mempengaruhi survival. Data ini, bersama dengan bukti empiris, cukup untuk mendukung penggunaan rutin loop diureik dalam penanganan darurat pada anak-anak dengan gagal jantung. Obat diuretik tiazid secara signifikan meningkatkan efek agen loop diuretik, dan dapat ditambahkan pada pasien yang kurang berespons terhadap obat loop diuretik.7 Antagonis vasopresin Antagonis reseptor V2 pada tubulus ginjal meningkatkan diuresis dan menunjukkan perbaikan gejala dengan kombinasi diuretik pada orang dewasa dengan gagal jantung. Tidak ada manfaat survival dengan penggunaan obat ini dan data yang ada tidak memadai untuk membuat rekomendasi mengenai penggunaannya pada anak-anak.7 Vasodilator Vasodilator umumnya digunakan pada pasien gagal jantung dewasa tetapi pengalaman pada pasien anak masih terbatas. Tidak ada data spesifik yang mendukung penggunaan salah satu vasodilator tertentu, meskipun nitroprusside telah digunakan secara luas dengan manfaat waktu paruh yang pendek, dan dapat dengan mudah dititrasi hingga mencapai efek yang Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 291
diinginkan. Namun, ada potensi toksisitas sianida terutama dengan dosis yang lebih tinggi, pemberian kronis, dan insufisiensi ginjal. 6 BNP rekombinan manusia, nesiritide, yang bertindak sebagai vasodilator melalui sifat lusitropi dan natriuretik, tidak memiliki efek klinis yang signifikan dan karenanya tidak direkomendasikan untuk penggunaan rutin pada pasien ADHF.6,7 Meskipun obat ini tidak disarakan dalam panduan ISLTH, namun ada penelitian yang menunjukkan nesiritide aman untuk pengobatan gagal jantung dekompensasi pada anak-anak. Peningkatan keluaran urin mencerminkan peningkatan fungsi ginjal. Peningkatan tanda neurohormonal terlihat setelah 72 jam terapi, dan komplikasi jarang terjadi.39 Meskipun Nitrogliserin sering digunakan pada pasien dewasa dengan gagal jantung akut, terutama sebagai venodilator, tapi jarang digunakan pada anak-anak karena tidak ada bukti yang menunjukkan indikasi spesifik untuk penggunaannya pada gagal jantung pada anak-anak.7 Vasodilator intravena digunakan pada gagal jantung akut dan regurgitasi katup berat yang refrakter terhadap pengobatan inhibitor Angiotensin converting enzymes (ACE).1 Inotropik Manfaat inotropik masih kontroversial karena kurangnya bukti ilmiah; Namun, inotropik digunakan saat ini karena belum ada alternatif yang sesuai. Inotropik secara nyata menurunkan angka survival pada orang dewasa yang dirawat di rumah sakit dengan gagal jantung, bila dibandingkan dengan terapi vasodilator saja (tidak ada dampak pada survival). Pasien dewasa dengan kombinasi inotropik dan vasodilator memiliki penurunan survival yang lebih besar dibandingkan dengan inotropik saja.6,41 Tidak ada uji coba terkontrol secara acak (RCT) penggunaan inotropik pada pediatrik dengan gagal jantung akut. Dalam jangka pendek, inotropik tampak meningkatkan perfusi dan mengurangi gejala. Namun, tujuan pengobatan adalah agar dapat beralih ke manajemen gagal jantung kronis. Jika tidak memungkinkan, inotropik digunakan hingga pasien mendapatkan bantuan sirkulasi mekanik dan transplantasi jantung. Pilihan untuk menggunakan inotropik tergantung pada keadaan klinis.6 Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 292
Obat katekolaminergik Dopamin adalah agen simpatomimetik yang meningkatkan denyut jantung, stroke volume, dan resistensi vaskular sistemik serta efeknya berhubungan dengan dosis. Epinefrin dan norepinefrin memiliki sifat yang serupa, tetapi lebih sering menyebabkan aritmia, gangguan perfusi distal, dan peningkatan kebutuhan oksigen miokard. Dobutamine, analog katekolamin yang mengaktifkan reseptor β1 adrenergik, dianggap sebagai pilihan alternatif, tetapi dosis yang lebih tinggi mungkin diperlukan pada pasien yang sudah menggunakan β-bloker.7 Penggunaan simpatomimetik seperti dopamin dan dobutamin efektif pada pasien dengan kegagalan sirkulasi, namun dapat meningkatkan kebutuhan oksigen miokard dan menginduksi takiaritmia.1 Inhibitor Phosphodiesterase III Milrinone memiliki sifat inotropik dan vasodilator serta memiliki peran pada keadaan low cardiac output syndrome (perfusi yang buruk, penurunan output urin, ekstremitas dingin) setelah operasi jantung. Sifat yang unik dari milrinone adalah kurang mempengaruhi konsumsi oksigen miokard. Pada pasien gagal jantung dewasa, milrinone dapat meningkatkan cardiac index, mengurangi pulmonary capillary wedge pressure, dan mengurangi resistensi vaskular sistemik. Milrinone dapat menyebabkan dilatasi perifer dan harus digunakan dengan hati-hati pada pasien hipotensi.7 Meskipun penelitian mengenai obat ini masih kurang, milrinone banyak digunakan tetapi data tentang survival jangka panjang masih kurang.6 Obat Sensitisasi Kalsium Obat sensitisasi kalsium meningkatkan efek inotropik dan menyebabkan penurunan afterload melalui vasodilatasi perifer, tanpa meningkatkan konsumsi oksigen miokard. Sebuah meta-analisis pada orang dewasa menunjukkan bahwa levosimendan berhubungan dengan peningkatan hemodinamik dibandingkan dengan plasebo dan dobutamin; Namun, manfaat survival hanya terlihat jika dibandingkan dengan dobutamin dan bukan plasebo. Studi pada populasi pediatrik yang lebih besar terbatas pada peran levosimendan setelah operasi jantung. Hanya serial kasus dan data laporan kasus yang menunjukkan manfaat untuk anak-anak dengan gagal jantung. Ada beberapa efek samping yang dilaporkan pada populasi anak; Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 293
Namun, studi lebih lanjut diperlukan untuk menentukan peran dan pemberian obat yang tepat.6 Kortikosteroid Insufisiensi adrenal dapat memperburuk ketidakstabilan hemodinamik pada pasien pediatrik yang sakit kritis; Namun, pengobatan insufisiensi adrenal dapat memperbaiki outcome. Dosis yang digunakan dan rejimennya bervariasi. Saat ini tidak ada penelitian pada orang dewasa atau anak-anak yang meneliti peran aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal pada gagal jantung akut atau outcome yang terkait dengan pengobatan insufisiensi adrenal relatif atau definitif.6 Antikoagulan Pasien gagal jantung pada anak memiliki risiko yang tinggi untuk terjadinya trombosis. Sebagian kecil data pada populasi pediatrik tidak adekuat untuk mengukur faktor risiko dan kejadian trombus intravaskular.6 Terapi Pengganti Tiroid Hormon tiroid mempengaruhi fungsi sistolik dan diastolik jantung, dan tonus pembuluh darah perifer. Triiodothyronine (T3) memiliki sifat inotropik dan lusitropik pada jantung. Penelitian pada orang dewasa menunjukkan tingkat penurunan T3 berkorelasi dengan keparahan gagal jantung yang memburuk dan mortalitas yang lebih tinggi, tetapi tidak ada data yang kuat untuk mendukung pemberian tiroid dalam kondisi akut. T3 berkurang setelah operasi jantung dan satu studi menunjukkan pemberian T3 mengurangi waktu ekstubasi dan mengurangi kebutuhan inotropik. Namun, tidak ada data yang tersedia mengenai pemberian T3 atau tiroksin (T4) dalam penaganan gagal jantung akut pada anak-anak.6 Imunomodulasi Imunomodulasi terutama digunakan pada miokarditis akut, meskipun ada laporan penggunaan intravenous immuneglobulin (IVIG) pada orang dewasa dengan DCM. Sebuah meta-analisis tidak menunjukkan manfaat survival pada pasien miokarditis dewasa yang diobati dengan imunomodulasi.6 IVIG tidak menunjukkan manfaat terhadap mortalitas, perlunya bantuan Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 294
alat mekanik atau transplantasi jantung pada pasien dewasa dengan miokarditis. Manfaat IVIG pada miokarditis pediatrik juga tetap tidak terbukti tetapi serangkaian kasus retrospektif pada suatu pusat penelitian menyimpulkan bahwa IVIG memiliki efek yang menguntungkan pada pemulihan jangka menengah fungsi miokard pada anak- anak dengan dugaan miokarditis virus, jika dibandingkan dengan subyek kontrol riwayat pasien sebelumnya.6 Kortikosteroid: tidak ada data penelitian secara acak pada orang dewasa atau anak yang mendukung peranan kortikosteroid sebagai pengobatan miokarditis. Pada pasien pediatri, beberapa serial kasus kecil dan laporan retrospektif menunjukkan potensial efek kortikosteroid sebagai pengobatan tunggal atau kombinasi dengan imunosupresan lain; Namun, penelitian lain tidak menunjukkan manfaat.6 Karena kurangnya RCT pada populasi pediatri dan insidensi pemulihan spontan, sulit menarik kesimpulan efikasi setiap terapi yang memodulasi imun spesifik pada anak-anak dengan miokarditis.6 Rekomendari pemberian obat untuk anak dengan ADHF dirangkum dalam table 6 dan algoritma terapi ADHF yang disederhanakan pada gambar 3 dan gambar 4. Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 295
Tabel 6 Ringkasan rekomendasi pengobatan ADHF10 Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 296
Gambar 3 Diagnosis dan penanganan pasien gagal jantung akut pada anak1 Gambar 4 Algoritma sederhana pemilihan terapi dalam penanganan ADHF. Grup A-D sesuai dengan yang ditunjuk dalam Gambar 1. Pasien yang simtomatik dirawat inap pada saat awal terapi. Pasien sengan gejala ringan dan tidak ada gejala gastrointestinal/muntah dapat merespon terapi oral, meskipun diuretik IV biasanya diperlukan. Pasien dengan underperfusion dan volume overload diberikan terapi inotropik/vasodilator IV. Sebagian besar Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 297
pasien harus dapat mencapai terapi perawatan oral, setidaknya untuk sementara. ACEi, angiotensin-converting enzyme inhibitor; BNP, brain natriuretic peptide; EF, ejection fraction; IV, intravena; LV, left ventricular; NPPV, noninvasive positive pressure ventilation; RV, right ventricular.7 Gambar 5 Panduan berbasis gejala untuk memulai terapi oral pada anak-anak dengan gagal jantung kronis.7 Terapi β bloker dapat diberikan pada pasien asimtomatik yang sementara menggunakan terapi ACE inhibitor dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri yang berkurang moderat (biasanya fraksi ejeksi kurang dari 40%), terutama jika etiologinya dianggap penyakit jantung iskemik. Perhatikan pemberian terapi diuretik intermiten dan menjadi lebih sering jika gejala bertambah. Panah merah menunjukkan titik di mana masuk ke rumah sakit dan terapi tambahan mungkin diperlukan. ACE, ngiotensin-converting enzyme; IV, intravena; NHYA, New York Heart Association. 5.4 Penyakit Jantung Kongenital Pada kondisi overload volume seperti VSD, defek septal AV (AVSD), munculnya gelaja biasanya setelah jeda satu hingga dua bulan saat resistensi paru turun. Pengobatan yang utama adalah diuretik tetapi kondisi ini pada akhirnya membutuhkan koreksi bedah. Diuretik mengurangi kongesti sistemik dan paru serta sesak. Furosemide merupakan obat yang paling banyak diteliti dengan manfaat yang sudah terbukti dan paling tidak toksik Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 298
dari semua diuretik yang ada saat ini, meskipun dapat menyebabkan gangguan pendengaran sensorineural setelah penggunaan jangka panjang. Penggunaan furosemide pada gagal jantung anak terbukti memperbaiki gejala klinis pada pasien. Spironolakton mengurangi fibrosis miokard yang diinduksi oleh aldosteron dan pelepasan katekolamin; karenanya, dapat memberikan manfaat tambahan selain sebagai diuretik. Angiotensin converting-enzyme inhibitor (ACEIs) dan Angiotensin receptor blockers (ARBs) mulai digunakan pada akhir tahun 90an. Obat-obatan ini memperbaiki gejala gagal jantung tetapi dengan peningkatan risiko gagal ginjal, terutama pada neonatus dan bayi. Obat-obatan ini memperbaiki patofisiologi remodeling miokard dan direkomendasikan oleh pedoman penanganan gagal jantung pada anak. Penggunannya dimulai dengan dosis rendah dan dititrasi dengan hati-hati. Dari review 4 studi non-acak, captopril dan enalapril terbukti memperbaiki gejala dan pertumbuhan pada beberapa anak. Penggunaan propranolol dalam kombinasi dengan digoksin dan diuretik menunjukkan manfaat dalam memperbaiki gejala dan skor gagal jantung ROSS.1 Pada kasus overload pressure akibat penyakit jantung kongenital seperti AS dapat muncul gejala dengan berbagai tingkat keparahan. Pasien dengan AS kritis yang datang dengan curah jantung dan aliran sistemik yang tidak mencukupi membutuhkan terapi prostaglandin untuk mempertahankan patensi ductus arteriosus. Pasien ini juga perlu optimalisasi hemodinamik hingga intervensi dapat dilakukan. Valvotomi balon adalah cara perawatan yang lebih dipilih pada pasien ini. Jika dilakukan dengan segera, dapat meningkatan fungsi ventrikel kiri yang signifikan.1 Dalam satu penelitian, diuretik terbukti meningkatkan gejala dekongesti pada gagal jantung kanan. Pasien dengan repaired TOF dan disfungsi ventrikel kanan yang dievaluasi dalam satu penelitian menunjukkan perbaikan dengan pengobatan beta bloker (bisoprolol), namun tidak menunjukkan manfaat dalam peningkatan fungsi ventrikel.1 Pada pasien dengan disfungsi ventrikel kanan, pedoman merekomendasikan diuretik, digoksin, dan ACE-I. Satu penelitian menunjukkan bahwa disfungsi diastolik sering terjadi pada pasien ini.1 Strategi pengobatan pertama adalah mengidentifikasi penyebab yang mendasari gagal jantung yang harus diperbaiki seperti kelainan irama jantung atau residu defek. Jika pengobatan diperlukan untuk disfungsi ventrikel atau Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 299
gagal jantung, maka pedoman gagal jantung merekomendasikan diuretik, digoksin, dan ACE-I, tetapi penggunaan beta bloker masih kontroversial. Ada juga penelitian yang diterbitkan oleh para peneliti Pediatric Heart Network yang mengevaluasi penggunaan enalapril pada pasien dengan ventrikel tunggal dan tidak menemukan manfaat pada peningkatan berat badan, skor gagal jantung ROSS, dan fungsi ventrikel.1 5.5 Kardiomiopati Pengobatan anak-anak yang mengalami gagal jantung sekunder akibat kardiomiopati terutama karena DCM. Perawatan ini pada dasarnya mirip dengan pengobatan pada orang dewasa karena belum ada data yang kuat untuk populasi anak. Satu percobaan acak yang membandingkan penggunaan carvedilol dengan plasebo pada pasien gagal jantung pediatrik tidak menunjukkan manfaat pada outcome primer tetapi peningkatan fraksi ejeksi dengan kecenderungan perbaikan gejala klinis pada pasien DCM tetapi memburuk pada pasien penyakit jantung kongenital. Penelitian lain dari carvedilol pada anak-anak dengan DCM menyimpulkan bahwa carvedilol meningkatkan fungsi jantung tanpa efek samping yang berat.1,63 Review Cochrane tentang penggunaan β blocker pada anak-anak dengan gagal jantung merekomendasikan bahwa data tidak cukup untuk menganjurkan atau menolak penggunaan β bloker. Namun demikian, β blocker diakui sebagai pilihan pengobatan pada subset pasien ini terutama karena efek antagonisnya pada aktivitas simpatis.1 Pedoman ISHLT merekomendasikan digoxin dan diuretik pada pasien gagal jantung sekunder akibat DCM. Torsemide telah terbukti memperbaiki kadar BNP, fungsi ventrikel dan indeks gagal jantung pada pasien gagal jantung sekunder akibat penyakit jantung kongenital dan DCM.1 Pedoman ini juga merekomendasikan ACE-I dan ARB pada anak-anak dengan disfungsi ventrikel kiri sedang hingga berat terlepas dari gejala, terutama berdasarkan data dari penelitian orang dewasa, beberapa analisis retrospektif dan uji coba tanpa kontrol.1 Ivabradine aman mengurangi denyut jantung istirahat pada anak- anak dengan gagal jantung kronis dan DCM. Efek Ivabradine terhadap detak jantung bervariasi, berpengaruh terhadap titrasi dosis. Ivabradine meningkatkan fraksi ejeksi ventrikel kiri, dan status klinis serta kualitas hidup yang lebih baik.64,65 Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 300
Sebuah pilot study mulai meneliti nesiritide pada DCM menunjukkan bahwa nesiritide secara signifikan mengurangi PCWP, MPAP, dan SBP pada anak-anak dengan kardiomiopati dilatasi.40 5.6 Gagal Jantung Kanan pada Anak Gagal jantung kanan pada anak dapat terjadi pada pasien Hypoplastic Left Heart Syndrome, Ventrikel kanan sistemik dan TOF yang menyebabkan overloading volume dan tekanan. Overload Volume dan tekanan di ventrikel kanan menunjukkan perubahan yang sama; Namun, overload tekanan menunjukkan fenotip yang lebih parah pada tingkat molekuler. Perbedaan- perbedaan ini dapat berdampak pada efektivitas obat yang digunakan untuk mengobati gagal jantung. Dalam model praklinis overload tekanan di RV, pengobatan dengan losartan menyebabkan perbaikan fibrosis dan hipertrofi jantung.66 Uji coba REDEFINE67 pada pasien dengan repaired TOF menunjukkan bahwa penghambatan renin-angiotensin- aldosteron dengan losartan tidak bermanfaat bagi pasien dengan kegagalan RV ringan.68 Beberapa mekanisme termasuk pengisian jantung yang abnormal, disinkronisasi elektromekanis, kelainan katup, kelainan koroner dan fibrosis miokard berkontribusi terhadap perkembangan disfungsi RV pada penyakit jantung bawaan. Upregulasi gen yang mengatur produksi reactive oxygen species, matriks ekstraselular dan remodeling sitoskeletal dan downregulasi perlindungan antioksidan, angiogenesis, produksi energi, dan fungsi mitokondria lebih menonjol pada gagal jantung kanan. Meskipun telah dikembangkan mekanisme genetik dan molekuler terbaru, namun terapi medis yang spesifik untuk gagal jantung kanan masih tetap kurang.68 Pada pasien dengan disfungsi ventrikel kanan, pedoman merekomendasikan diuretik, digoksin, dan ACE-I. Satu penelitian menunjukkan bahwa disfungsi diastolik sering terjadi pada pasien ini.1 5.7 Dosis Obat Gagal Jantung pada Anak Tabel berikut merangkum dosis obat gagal jantung pada anak. Table 7 Dosis obat gagal jantung pada anak1169 Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 301
5.8 Obat Gagal Jantung Baru Jelas bahwa terapi farmakologis yang tersedia saat ini untuk gagal jantung pediatrik sangat terbatas karena kurangnya bukti yang kuat dan sangat bergantung penelitian pada orang dewasa sebagai bukti ilmiah jika memungkinkan. Ada beberapa kemajuan dalam pengembangan obat gagal jantung pada anak, namun ada banyak obat yang berguna untuk gagal jantung pada orang dewasa yang masih tidak direkomendasikan untuk gagal jantung pada anak. Penelitian di masa depan memungkinkan kita untuk menggunakan obat-obatan ini dengan penuh keyakinan.6 Arah pengobatan gagal jantung pada anak di masa depan mencakup penelitian dengan uji coba terkontrol acak yang tepat, yang langsung menilai efisiensi terapi, masih kurang saat ini. Ekstrapolasi data dari orang dewasa tidak dapat diterima untuk pengobatan pada anak karena anak-anak memiliki respons tubuh yang berbeda.6 Terapi bedah dan intervensi membaik dengan munculnya teknik-teknik baru dan mengarah pada perbaikan morbiditas dan penurunan mortalitas pada anak-anak dengan gagal jantung. Penggunaan terapi berbasis sel termasuk pengobatan sel punca untuk perbaikan miokard, katup jantung, alat Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 302
pacu jantung dan konstruksi pembuluh darah, semakin terkenal dan dapat dieksplorasi pada pasien anak.1 Farmakogenomik (atau farmakogenetik) adalah kemajuan terbaru dan menarik lainnya sejak selesainya Proyek Internasional Genom Manusia pada tahun 2003. Penelitian ini tentang perbedaan genetik bawaan pada jalur metabolisme obat yang dapat mempengaruhi respons seseorang terhadap efek terapi dan efek samping dari obat tertentu. Polimorfisme gen yang paling banyak dipelajari tentang ACE. Individu dengan penghapusan gen homozigot (ACE-DD) memiliki kadar ACE serum dua kali lipat dibandingkan dengan varian penyisipan gen homozigot (ACE-II). Ada dugaan kuat bahwa ACE berperan dalam patogenesis kardiomiopati karena adanya varian ACE-DD memiliki prevalensi yang jauh lebih tinggi pada individu dengan kardiomiopati dilatasi dan iskemik serta dikaitkan dengan disfungsi sistolik dan survival yang lebih buruk pada pasien dengan dilatasi kardiomiopati idiopatik. Penelitian pada orang dewasa dan anak-anak mengenai respons individu dengan berbagai polimorfisme ACE terhadap terapi ACE-I terbatas dan tidak ada kesimpulan yang jelas yang dapat dibuat. Polimorfisme lain yang terlibat dalam gagal jantung adalah terhadap reseptor β-adrenergik, reseptor α-adrenergik, dan reseptor endotelin, dan dihubungkan dengan respon yang bervariasi terhadap terapi farmakologis. Jika varian genetik ini dapat diidentifikasi pada pasien gagal jantung maka terapi farmakologis dapat disesuaikan untuk tiap pasien.6 Terapi stem cell juga menunjukkan harapan dan merupakan bidang penelitian yang sedang berkembang. Meta-analisis dari sejumlah penelitian fase I/II pada orang dewasa menunjukkan peningkatan fungsi jantung. Sebagian besar studi terdiri dari pemberian sel mononuklear sumsum tulang intra koroner sesaat setelah infark miokard. Ada hasil yang menggembirakan dari penggunaan sel mononuklear sumsum tulang pada pasien gagal jantung kronis dewasa. Namun, data pediatrik terbatas pada serial kasus kecil dan saat ini tidak ada rekomendasi yang dapat dibuat.6 Ivabradin Ivabradin menjadi salah satu komponen terapi untuk gagal jantung pada dewasa.70,71 Swedberg dkk, dalam penelitian SHIFT menyatakan bahwa penurunana denyut jantung oleh ivabradine memperbaiki kondisi klinis pasien gagal jantung, mengurangi mortalitas dan perawatan di rumah Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 303
sakit.65 Bonnet dkk, melaporkan Ivabradine menurunkan denyut jantung istirahat pada anak dengan gagal jantung secara aman. Efek ivabradine dalam menurunkan denyut jantung bervariasi, menunjukkan pentingnya titrasi dosis. Ivabradin memperbaikik ejeksi fraksi ventrikel kiri dan keadaan klinik pasien anak dengan gagal jantung.64 Angiotensin Receptor Neprilysin Inhibitor (ARNI) Sacubitril/Valsartan adalah obat pertama dalam kelas angiotensin reseptor neprilysin inhibitor yang disetujui oleh FDA untuk pasien gagal jantung baik dewasa maupun pada anak.72 Penelitian obat ini pada pasien gagal jantung dewasa menunjukkan manfaat yang signifikan seperti dalam penelitian PARADIGM-HF73 dan PIONEER-HF74 serta masuk dalam pedoman pengobatan gagal jantung pada orang dewasa.70,71 Manfaat Sacubitril/Valsartan tampak pada pasien anak dengan disfungsi sistolik ventrikel kiri yang diteliti pada penelitian PANORAMA-HF22 dan dalam 12 minggu penelitian didapatkan penurunan plasma NT-proBNP yang lebih redah daripada pasien yang diberikan enalapril.69 2.5.9 Analisa Kelas Rekomendasi dan Level Bukti Panduan ISHLT Gagal Jantung pada Anak Dari rekomendasi ISHLT 2014 menunjukkan bahwa level bukti dari pemberian obat gagal jantung pada anak tidak ada level A, hanya terdiri dari level B dan C serta sebagian besar anjuran yang diberikan berdasarkan penelitian pada dewasa. Gambaran jumlah rekomendasi ditunjukkan dari tabel dan grafik berikut. Tabel 8 Jumlah rekomendasi pengobatan pada panduan ISHLT untuk gagal jantung pada anak berdasarkan level bukti dan kelas rekomendasi Kelas rekomendasi I Level bukti Total Total IIa BC IIb 27 9 III 4 12 16 2 11 13 1 11 12 9 41 50 Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 304
20 15 10 12 11 57 11 1 02 4 2 III I IIa IIb Kelas rekomendasi Level bukti B Level bukti C Gambar 6 Rekomendasi panduan ISHLT untuk gagal jantung pada anak berdasarkan kelas rekomendasi dan level bukti. Rekomendasi terapi gagal jantung pada anak berbasis bukti yang kuat (tingkat bukti A) belum dapat dibuat karena uji klinis prospektif acaknya masih sedikit. Ada berbagai penyebab keadaan ini, diantaranya yang signifikan adalah heterogenitas diagnosis, mengidentifikasi outcome yang relevan secara klinis dengan angka kejadian yang tinggi, dan pendaftaran pasien yang tidak cukup. Contohnya adalah \"Pediatric Heart Network ACE inhibition in mitral regurgitation study\", yang dihentikan 17 bulan setelah penelitian dimulai. Dalam penelitian ini, 349 anak disaring, dan hanya 5 yang terdaftar.8 5.10. Terapi Lain Selain Obat Selain terapi farmakologis juga tersedia beberapa terapi non- farmakologi untuk penanganan gagal jantung. Terapi ini antara lain alat pendukung sirkulasi mekanik (seperti extra-corporeal membrane oxygenation [ECMO] dan ventricular assist device [VAD]), CRT dan transplantasi jantung. Terapi ini memili peran yang penting dalam terapi gagal jantung yang tidak responsive dengan pengobatan.6 Selain terapi obat, pegobatan gagal jantung pada anak juga perlu memperhatikan nutrisi dan aktivitas fisik secara teratur. Rencana diet dengan asupan tinggi kalori diperlukan untuk mengoptimalkan pertumbuhan mengingat meningkatnya kebutuhan metabolisme pada anak-anak dengan Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 305
gagal jantung. Pembatasan natrium tidak dianjurkan pada anak-anak karena penting untuk pertumbuhan. Namun pada pasien dengan edema dan retensi cairan, pembatasan asupan garam dapat disarankan. Aktivitas fisik secara teratur terbukti meningkatkan kapasitas olahraga pada anak-anak dengan gagal jantung.1 Outcome gagal jantung pada anak terutama tergantung pada etiologi dan akan semakin membaik pada anak-anak dengan penyebab yang dapat diperbaiki dan penyakit jantung struktural dengan kemajuan dalam manajemen medis dan bedah. Outcome pada anak-anak dengan kardiomiopati telah menunjukkan sedikit perbaikan selama bertahun- tahun. Kematian menurun dari 30% menjadi kurang dari 10% setelah munculnya transplantasi jantung. Kematian pada anak-anak dengan gagal jantung refrakter tahap akhir yang menunggu transplantasi jantung juga tetap tinggi sekitar 17%.1 RINGKASAN Gagal jantung pada anak merupakan sindrom klinis dan patofisiologis yang kompleks yang disebabkan dari berbagai penyebab yang berbeda dan progresi penyakit yang berbeda serta berhubungan dengan mortalitas dan mortalitas. Anak bukanlah dewasa kecil sehingga farmakologi dan farmakoterapi pengobatan pada anak berbeda dengan dewasa. Namun, saat ini terapi farmakologis untuk gagal jantung pada anak masih terbatas karena kurangnya bukti penelitian dan masih sangat bergantung pada data penelitian dari orang dewasa yang diekstrapolasikan pada anak.1,6 Rekomendasi pengobatan pada gagal jantung kronis berdasarkan fraksi ejeksi ventrikel kiri yang berkurang atau preserved.6 Tujuan utama dalam pengobatan gagal jantung akut dekompensasi adalah mengubah kondisi pasien menjadi 'hangat dan kering' dengan terapi yang disesuaikan dengan presentasi klinis, termasuk penilaian curah jantung dan ada atau tidak adanya cairan yang berlebihan.6 Pedoman terapi gagal jantung pada anak dari ISHLT tahun 2014 adalah gambaran singkat dari rekomendasi saat ini untuk manajemen anak-anak dengan gagal jantung. Pedoman ini terdiri dari sejumlah kecil data dari populasi pediatrik tetapi mengekstrapolasi data baru dari populasi orang dewasa jika diperlukan. Uji klinis gagal jantung pediatrik cenderung Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 306
underpowered karena jumlah pasien yang kecil, etiologi yang heterogen dan patofisiologi yang bervariasi untuk setiap penyebab gagal jantung. Sangat mungkin bahwa sebagian besar rekomendasi baru untuk gagal jantung pada anak akan terus berkembang mengikuti studi keamanan dan toleransi pada terapi yang terbukti bermanfaat dalam penelitian gagal jantung pada orang dewasa dan pada anak. Daftar Pustaka 1. Rohit M, Budakoty S. Approach to a Child with Congestive Heart Failure. Indian J Pediatr. 2020;87(4):312–20. 2. Munoz R, da Cruz EM, Vetterly CG, Cooper DS, Berry D. Handbook of pediatric cardiovascular drugs: Second edition. Handbook of Pediatric Cardiovascular Drugs: Second Edition. 2014. 25 p. 3. Sidi D, Cruz EM da. Transition from the Fetal to the Neonatal Circulation. In: Muñoz R, Morell VO, Cruz EM da, Vetterly CG, editors. Critical Care of Children with Heart Disease, Basic Medical and Surgical Concepts. 2010. p. 10–1. 4. Marijianowski MMH, Loos V Der, Mohrschladt MaF, Becker AE. The Neonatal Heart Has a Relatively High Content of Total Collagen and Type I Collagen, a Condition That May Explain the Less Complient State. JACC. 1994;23(5):1204–8. 5. Vrancken SL, van Heijst AF, de Boode WP. Neonatal Hemodynamics: From Developmental Physiology to Comprehensive Monitoring. Front Pediatr. 2018;6(87):1–15. 6. Hussey AD, Weintraub RG. Drug Treatment of Heart Failure in Children: Focus on Recent Recommendations from the ISHLT Guidelines for the Management of Pediatric Heart Failure. Pediatr Drugs. 2016;18(2):89–99. 7. Kantor PF, Lougheed J, Dancea A, McGillion M, Barbosa N, Chan C, et al. Presentation, diagnosis, and medical management of heart failure in children: Canadian cardiovascular society guidelines. CanJCardiol [Internet]. 2013;29(12):1535–52. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.cjca.2013.08.008 8. Das BB. Current State of Pediatric Heart Failure. Children. 2018;5(7):88. Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 307
9. Shaddy RE, George AT, Jaecklin T, Lochlainn EN, Thakur L, Agrawal R, et al. Systematic Literature Review on the Incidence and Prevalence of Heart Failure in Children and Adolescents. Pediatr Cardiol [Internet]. 2018;39(3):415–36. Available from: http://dx.doi.org/10.1007/s00246-017-1787- 2 10. Kirk R, Dipchand AI, Rosenthal DN, Addonizio L, Burch M, Chrisant M, et al. The International Society for Heart and Lung Transplantation Guidelines for the management of pediatric heart failure: Executive summary. J Hear Lung Transplant [Internet]. 2014;33(9):888–909. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.healun.2014.06.002 11. Masarone D, Valente F, Rubino M, Vastarella R, Gravino R, Rea A, et al. Pediatric Heart Failure: A Practical Guide to Diagnosis and Management. Pediatr Neonatol [Internet]. 2017;58(4):303–12. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.pedneo.2017.01.001 12. Rosenthal D, Chrisant MRK, Edens E, Mahony L, Canter C, Colan S, et al. International society for heart and lung transplantation: Practice guidelines for management of heart failure in children. J Hear Lung Transplant. 2004;23(12):1313–33. 13. Maron BA, Rocco and TP. Pharmacotherapy of Congestive Heart Failure. In: Bronton LL, editor. Goodman & Gilman’s The Pharmacological Basis of Therapeutics. 12th ed. Mc Graw Hill Medical; 2014. p. 789–813. 14. Tissot C, Singh Y, Sekarski N. Echocardiographic evaluation of ventricular function-for the neonatologist and pediatric intensivist. Front Pediatr. 2018;6(April):1–12. 15. Faris R, Flather M, Purcell H, Poole-Wilson P, Coats AJS. Diuretics for heart failure. Cochrane Database Syst Rev. 2012;2(CD003838). 16. Engle MA, Lewy JE, Lewy PR, Metcoff J. The use of furosemide in the treatment of edema in infants and children. Pediatrics. 1978;62(5):811–8. 17. Momma K. ACE inhibitors in pediatric patients with heart failure. Pediatr Drugs. 2006;8(1):55–69. 18. Lewis AB, Chabot M. The effect of treatment with angiotensin- converting enzyme inhibitors on survival of pediatric patients with dilated cardiomyopathy. Pediatr Cardiol. 1993;14(1):9–12. Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 308
19. Leversha AM, Wilson NJ, Clarkson PM, Calder AL, Ramage MC, Neutz JM. Efficacy and dosage of enalapril in congenital and acquired heart disease. Arch Dis Child. 1994;70(1):35–9. 20. Lipshultz SE, Lipsitz SR, Sallan SE, Simbre VC, Shaikh SL, Mone SM, et al. Long-term enalapril therapy for left ventricular dysfunction in doxorubicin-treated survivors of childhood cancer. J Clin Oncol. 2002;20(23):4517–22. 21. Heran BS, Musini VM, Bassett K, Taylor RS, Wright JM. Angiotensin receptor blockers for heart failure. Cochrane Database Syst Rev [Internet]. 2012 Apr 18 [cited 2020 Jul 15];(4). Available from: http://doi.wiley.com/10.1002/14651858.CD003040.pub2 22. Shaddy R, Canter C, Halnon N, Kochilas L, Rossano J, Bonnet D, et al. Design for the sacubitril/valsartan (LCZ696) compared with enalapril study of pediatric patients with heart failure due to systemic left ventricle systolic dysfunction (PANORAMA-HF study). Am Heart J [Internet]. 2017;193:23–34. Available from: https://doi.org/10.1016/j.ahj.2017.07.006 23. Tavakkoli F. Review of the role of Spironolactone in the therapy of children [Internet]. WHO. World Health Organization; 2011 [cited 2020 Jul 15]. Available from: www.who.int/selection_medicines/committees/expert/18/applica tions/paediatric/16_Spironolactone.pdf 24. Hobbins SM, Fowler RS, Rowe RD, Korey AG. Spironolactone therapy in infants with congestive heart failure secondary to congenital heart disease. Arch Dis Child. 1981;56(12):934–8. 25. Buck ML. Clinical experience with spironolactone in pediatrics. Ann Pharmacother. 2005;39(5):823– 8. 26. McMurray JJV, Krum H, Abraham WT, Dickstein K, Køber L V., Desai AS, et al. Aliskiren, enalapril, or aliskiren and enalapril in heart failure. N Engl J Med. 2016;374(16):1521–32. 27. Filippo S Di. Beta-adrenergic receptor antagonists and chronic heart failure in children. Ther Clin Risk Manag. 2007;3(5):847–54. 28. Shaddy RE, Boucek MM, Hsu DT, Boucek RJ, Canter CE, Mahony L, et al. Carvedilol for Children and Adolescents With Heart Failure. Jama. 2007;298(10):1171. Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 309
29. Flannery G, Gehrig-Mills R, Billah B, Krum H. Analysis of Randomized Controlled Trials on the Effect of Magnitude of Heart Rate Reduction on Clinical Outcomes in Patients With Systolic Chronic Heart Failure Receiving Beta-Blockers. Am J Cardiol. 2008;101(6):865–9. 30. Foerster SR, Canter CE. Pediatric heart failure therapy with β- adrenoceptor antagonists. Pediatr Drugs. 2008;10(2):125–34. 31. Alabed S, Sabouni A, Al Dakhoul S, Bdaiwi Y, Frobel-Mercier AK. Beta-blockers for congestive heart failure in children. Cochrane Database of Systematic Reviews. 2016. 32. Jain S, Vaidyanathan B. Digoxin in management of heart failure in children: Should it be continued or relegated to the history books? Ann Pediatr Cardiol. 2009;2(2):149–53. 33. Uretsky BF, Young JB, Shahidi FE, Yellen LG, Harrison MC, Jolly MK. Randomized study assessing the effect of digoxin withdrawal in patients with mild to moderate chronic congestive heart failure: Results of the PROVED trial. J Am Coll Cardiol. 1993 Oct 1;22(4):955– 62. 34. Packer M, Gheorghiade M, Young JB, Costantini PJ, Adams KF, Cody RJ, et al. Withdrawal of Digoxin from Patients with Chronic Heart Failure Treated with Angiotensin-Converting-Enzyme Inhibitors. N Engl J Med [Internet]. 1993 Jul 1 [cited 2020 Jul 16];329(1):1–7. Available from: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/8505940/ 35. Garg R, Gorlin R, Smith T, Yusuf S. The Effect of Digoxin on Mortality and Morbidity in Patients with Heart Failure. N Engl J Med [Internet]. 1997 Feb 20 [cited 2020 Jul 16];336(8):525–33. Available from: http://www.nejm.org/doi/abs/10.1056/NEJM199702203360801 36. O’Connor CM, Starling RC, Hernandez AF, Armstrong PW, Dickstein K, Hasselblad V, et al. Effect of Nesiritide in Patients with Acute Decompensated Heart Failure. N Engl J Med. 2011;365(8):773. 37. Silver MA, Horton DP, Ghali JK, Elkayam U. Effect of nesiritide versus dobutamine on short-term outcomes in the treatment of patients with acutely decompensated heart failure. J Am Coll Cardiol. 2002 Mar 6;39(5):798–803. 38. Burger AJ, Horton DP, LeJemtel T, Ghali JK, Torre G, Dennish G, et al. Effect of nesiritide (B-type natriuretic peptide) and dobutamine on Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 310
ventricular arrhythmias in the treatment of patients with acutely decompensated congestive heart failure: The precedent study. Am Heart J. 2002 Dec 1;144(6):1102–8. 39. Jefferies JL, Price JF, Denfield SW, Chang AC, Dreyer WJ, McMahon CJ, et al. Safety and Efficacy of Nesiritide in Pediatric Heart Failure. J Card Fail. 2007;13(7):541–8. 40. Behera SK, Zuccaro JC, Wetzel GT, Alejos JC. Nesiritide improves hemodynamics in children with dilated cardiomyopathy: A pilot study. Pediatr Cardiol. 2009;30(1):26–34. 41. O’Connor CM, Gattis WA, Uretsky BF, Adams J, McNulty SE, Grossman SH, et al. Continuous intravenous dobutamine is associated with an increased risk of death in patients with advanced heart Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 311
12 Perjalanan Udara Pada Penderita Penyakit Kardiovaskuler Jaka Eka Yulianto, Zaenab Djafar PENDAHULUAN Pesawat udara modern pada dasarnya, sangatlah aman dan nyaman. Akan tetapi baik penerbangan jarak pendek maupun jarak jauh, tetap dapat menimbulkan stressor pada semua penumpang. Jenis stressor yang muncul sebelum terbang antara lain kesibukan saat membawa barang bawaan, harus jalan kaki dengan jarak cukup jauh, dan penundaan penerbangan. Jenis stressor saat penerbangan antara lain tekanan barometrik dan tekanan parsial oksigen yang rendah, kebisingan, getaran termasuk turbulensi, suhu udara yang tidak nyaman disertai kelembapan rendah, jetlag, dan posisi duduk lama yang membuat kram. Pasien dengan penyakit yang stabil, umumnya tidak akan mengalami perburukan penyakit. Tetapi tetap ada potensi pada pasien tersebut untuk mengalami penyakit selama dan setelah penerbangan (Alvarez D et al, 2003). Setiap tahun kurang lebih 2 milyar penumpang melakukan perjalanan udara baik domestik maupun internasional. Seiring dengan meningkatnya pasien usia tua dan kemampuan penanganan penyakit kardiovaskuler yang makin membaik, memungkinkan makin banyak pasien dengan penyakit kardiovaskuler untuk melakukan perjalanan jauh (Possick S et al, 2004). Pasien yang melakukan perjalanan itu bisa saja sudah terpasang alat pacu jantung, baru saja menjalani tindakan revaskularisasi, atau baru menjalani operasi yang meningkatkan risiko thrombosis vena dalam. Data dari maskapai penerbangan Amerika Serikat menunjukkan bahwa antara tahun 1996-1997 terdapat 15 kematian saat terbang, dengan kejadian kardiovaskuler menempati urutan pertama, dan menyebabkan kejadian pengalihan penerbangan. Dengan makin banyaknya pasien dengan penyakit kardiovaskuler berat yang harus melakukan perjalanan udara, kejadian Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 312
kardiovaskuler saat penerbangan cenderung akan meningkat (Possick S et al, 2004). PERUBAHAN FISIOLOGI KARDIOVASKULER SELAMA PENERBANGAN 1. PERUBAHAN ATMOSFER DAN HIPOKSIA Perbedaan utama antara lingkungan di dalam pesawat udara dengan lingkungan di darat adalah berkaitan dengan atmosfer. Pesawat udara modern tidak diatur tekanannya sesuai dengan permukaan laut, tapi sesuai dengan ketinggian 5000-8000 kaki (1524-2438 m). Sehingga tekanan barometrik pada permukaan laut yang sekitar 760 mmHg dengan PaO2 98 mmHg, akan turun menjadi 565 mmHg pada ketinggian 8000 kaki, dan PaO2 sekitar 55 mmHg (gambar 1). Jika data ini dimasukkan dalam kurva dissosiasi oxyhemoglobin maka akan didapatkan setara dengan saturasi 90%. Kadar saturasi ini dapat diterima oleh orang normal, akan tetapi pada pasien dengan penyakit kardiovaskuler, paru, pasien anemia, dan pasien dengan penyakit serebrovaskuler akan menimbulkan masalah. Hal ini karena penurunan tekanan pada kabin pesawat akan menghasilkan saturasi oksigen yang terlalu rendah, sehingga menimbulkan eksaserbasi dari penyakit yang diderita (Alvarez D et al, 2003). Pada awal perkembangannya, penerbangan tidak mencapai ketinggian yang dapat menurunkan suplai oksigen. Tapi perkembangan lebih lanjut menyebabkan pesawat terbang dengan ketinggian sekitar 40.000 kaki, yang meningkatkan risiko hipoksia. Jika terjadi perubahan tekanan udara yang cepat di kabin, maka terjadi penurunan cepat dari PaO2 yang akan menimbulkan reverse diffusion. Artinya saat PaO2 di alveoli turun dibawah nilai PaO2 di dalam darah, maka terjadi difusi oksigen dari darah ke udara luar dan akan menimbulkan hipoksia. Hipoksia pada penerbangan sangat berbahaya, karena akan menyebabkan gangguan pada proses berpikir dan mengambil keputusan, serta menimbulkan gejala euphoria ringan. Yang lebih berbahaya adalah korban terlambat menyadari bahwa mereka dalam bahaya, karena proses berfikir melambat, disertai gangguan koordinasi motorik (Asshauer H, 2006). Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 313
Gambar 1. Kurva dissosiasi Oxyhemoglobin pada perubahan ketinggian ( Alvarez D et al, 2003) Beberapa studi menunjukkan efek hipoksia pada sistem saraf simpatis. Aktifitas simpatik akan meningkat pada ketinggian 1500-3000 meter. Pada kondisi ketinggian ini, kejadian angina dan ST depresi pada EKG akan meningkat. Gejala ini muncul pada beban kerja yang lebih rendah. Akan tetapi gejala angina pada saat penerbangan dilaporkan cukup rendah, diduga karena aktifitas fisik dalam penerbangan relatif rendah. Akan tetapi juga perlu dipertimbangkan peran stress mental pada pasien dengan penyakit jantung iskemik. Penerbangan dapat menjadi pemicu signifikan untuk terjadinya stress pada beberapa penumpang dan berisiko memicu iskemia (Alvarez D et al,2003). Efek hipoksia ini meningkat pada populasi pasien yang lebih tua. Penelitian menunjukkan bahwa hipoksia moderat dengan saturasi oksigen<90 % terjadi pada hampir 50% populasi usia tua yang mengikuti penerbangan. Angka ini lebih tinggi dibandingkan rata rata populasi umum yang mengalami penurunan saturasi sekitar 4%. Angka desaturasi akan makin meningkat 1% setiap kenaikan satu dekade kehidupan pada pasien usia>50 tahun. Pada penerbangan dengan durasi 4-5 jam, didapatkan kenaikan rata rata denyut jantung sekitar 2,4 detak/menit disertai peningkatan laju pernafasan. Kenaikan ini merupakan mekanisme kompensasi dari hipoksia. Jika dibandingkan dengan pasien usia tua dengan kondisi sehat, maka pasien dengan gangguan jantung akan mengalami efek yang lebih berat (McNeely A et al, 2011). Hukum dari Boyle yang berkaitan dengan tekanan gas menyatakan bahwa pada suhu yang konstan, volume gas berbanding terbalik dengan Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 314
tekanan gas. Berdasarkan hukum ini tekanan udara menurun dengan bertambahnya ketinggian, disertai dengan kenaikan volume gas. Hal ini akan menyebabkan proses ekspansi gas pada ruang tubuh yang terperangkap. Ruang itu antara lain terdapat kelainan otak, sinus, pleura, saluran pencernaan dan bekas luka operasi. Efek ekspansi gas ini tidak berpengaruh pada jantung dan sirkulasi darah, akan tetapi dapat berpengaruh pada pasien pasca operasi jantung dan pericardium (Smith D et al, 2010). Efek ini juga berbahaya pada sediaan obat obatan dalam kompartemen dari kaca (Chapman M et al, 2019). 2. PERUBAHAN SISTEM SIRKULASI Dengan peningkatan aktifitas simpatis, maka terjadi peningkatan VPB (Ventricular Premature Beat) selama penerbangan, terutama pada pasien usia tua dan dengan penyakit jantung. Lebih jauh didapatkan bahwa kejadian aritmia tidak meningkat signifikan selama penerbangan, walaupun pada pasien dengan riwayat aritmia bermakna sebelumnya. Efek lain yang dapat dideteksi dengan terkait kenaikan aktifitas simpatis adalah kenaikan yang dapat menyebabkan timbulnya gejala gagal jantung kanan dan kiri pada pasien dengan ejeksi fraksi rendah (Possick S et al, 2004). Efek penerbangan terhadap denyut jantung dapat dilihat pada gambar 2. Perubahan gravitasi selama penerbangan dapat mempengaruhi sirkulasi jantung. Akselerasi, deselerasi dan manuver pesawat selama penerbangan dapat menyebabkan perubahan gaya gravitasi. Efek ini paling berpengaruh pada pasien dengan kondisi kritis. Proses akselerasi saat pesawat lepas landas atau saat proses naik ke ketinggian jelajah akan menyebabkan penurunan preload jantung disertai penurunan tekanan darah. Sebaliknya proses deselerasi saat pesawat menurunkan ketinggian akan menyebabkan peningkatan preload, dan kenaikan tekanan darah (Chapman M et al, 2019). Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 315
Gambar 2. Efek durasi penerbangan terhadap denyut jantung. (McNeely et al, 2011). Pesawat dirancang memiliki kelembapan dalam kabin yang sangat rendah, berkisar 10-20%. Hal ini tidak dapat dihindari karena udara pada ketinggian relatif memiliki kelembapan rendah. Hal ini akan menyebabkan efek kering pada jalan nafas dan menyebabkan dehidrasi. Dehidrasi dapat mempengaruhi curah jantung dengan menurunkan preload, dan diperberat oleh konsumsi alkohol dan kafein. Secara umum penumpang jarang mengalami dehidrasi jika menerima asupan cairan selama penerbangan. Makanan dari maskapai yang cenderung tinggi garam dapat menjadi masalah pada pasien dengan gagal jantung karena menyebabkan perpindahan volume ke intravaskuler (Possick S et al, 2004). 3. PERUBAHAN ZONA WAKTU Penerbangan lama melintasi zona waktu menyebabkan jet lag yang dapat mengganggu sinkronisasi antara jam internal tubuh dan lingkungan luar. Jam internal berfungsi untuk mengontrol semua fungsi tubuh seperti suhu, denyut jantung, produksi hormon, jadwal tidur, dan mood, yang bervariasi sesuai irama sirkadian harian. Jam internal sendiri dikontrol oleh pencahayaan, kontak sosial individu, dan kesadaran tentang waktu. Saat penumpang berjalan melewati zona waktu berbeda, maka pesan yang masuk ke dalam pengatur waktu akan kacau dan menimbulkan kelelahan, susah tidur atau mudah mengantuk saat siang hari. Sehingga jet lag dapat menganggu kesehatan, dan mengganggu kerja obat karena pola penyerapan dan metabolisme obat terganggu (Alvarez D et al, 2003). Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 316
4. INTERFERENSI ELEKTROMAGNETIK Lingkungan pesawat terbang memiliki sumber radiasi yang bisa menyebabkan terjadinya interferensi elektromagnetik. Pemeriksaan keamanan di bandara menjadi sumber pertama yang menyebabkan interferensi elektromagnetik. Gerbang pendeteksi metal bekerja dengan prinsip magnet begitu juga pendeteksi metal yang di bawa petugas. Penelitian menunjukkan gerbang pendeteksi metal tidak menyebabkan interferensi elektromagnetik. Berbeda dengan pendeteksi metal yang di bawa petugas, dapat menimbulkan gangguan pada alat pacu jantung (Smith D et al, 2010). Secara teoritis pemancar frekwensi radio HF, VHF, dan saluran gelombang mikro (microwave), dapat menimbulkan potensi mengganggu alat pacu jantung. Penelitian menunjukkan bahwa walaupun ada efek, hanya sampai menghilangkan satu atau dua denyut pacu saja. Hal ini karena efek redam dari jaringan tubuh (Smith D et al, 2010). Selain radiasi dari pesawat, radiasi kosmik juga perlu diperhatikan. Saat di ketinggian setara permukaan laut, radiasi kosmik dapat memberi efek gangguan pada alat ICD, walaupun sangat jarang. Neutron energi tinggi dari kosmik akan berinteraksi dengan nukleus silikon pada sirkuit ICD. ICD sendiri memiliki sistem pengecekan internal yang akan melakukan reset ulang bila ada gangguan. Resiko terjadinya reset oleh radiasi kosmik yang berbahaya sekitar 1:100 penderita dalam jangka 5-6 tahun pengamatan. Risiko untuk terjadinya gangguan pada ketinggian terbang adalah 100 kali di banding di permukaan laut (Smith D et al, 2010). Pada alat pacu jantung maupun ICD seringkali terpasang akselerometer yang berfungsi meningkatkan laju pemicu dengan mendeteksi getaran saat berjalan kaki atau saat terjadi perubahan posisi. Pada saat penerbangan, umumnya getaran yang diterima alat tidak menyebabkan peningkatan laju pacu alat, kecuali saat lepas landas, mendarat dan saat terjadi turbulensi. Peningkatan laju pacu ini hanya bersifat ringan, dan masih dapat diterima. Getaran saat naik helikopter, dengan getaran yang cukup kuat, dapat meningkatkan laju pacu ke tingkat yang dapat menganggu penumpang (Smith D et al, 2010). Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 317
5. IMMOBILISASI DAN RISIKO THROMBOSIS Pada penerbangan komersil, umumnya penumpang duduk di tempat yang sempit, tidak nyaman dan sulit meregangkan tubuh. Duduk dalam jangka waktu lama dapat memperparah edema perifer, kram dan masalah vaskuler seperti thrombosis vena dalam hingga emboli paru. Pada tahun 1977 diperkenalkan sindrom “kelas ekonomi”, yaitu meningkatnya kejadian thrombosis vena dalam pada penumpang kelas ekonomi. Akan tetapi data menunjukkan bahwa hanya penumpang yang memiliki faktor risiko yang dapat mengalami thrombosis vena dalam. Tiga faktor yang secara umum berperan dalam terbentuknya thrombosis vena dalam antara lain penurunan aliran darah vena, peningkatan viskositas darah, dan kerusakan atau gangguan dari dinding vena (Alvarez D et al, 2003). Emboli paru yang merupakan komplikasi dari thrombosis vena dalam merupakan komplikasi serius dan terkait dengan kematian selama penerbangan. Sebuah penelitian menunjukkan 18% dari kematian mendadak saat penerbangan disebabkan oleh emboli paru. Penerbangan jarak jauh meningkatkan risiko thrombosis, terutama pada penerbangan diatas 5000 kilometer. Sebuah penelitian yang menilai hasil duplex ultrasound vena pasca penerbangan jarak jauh mendapatkan angka kejadian thrombosis vena dalam pada pasien dengan risiko tinggi (riwayat thrombosis vena sebelumnya, keganasan, mobilitas terbatas, gangguan koagulasi, atau varikosis vena) didapatkan angka 2,8% pasien mengalami thrombosis baru 12,4 jam setelah penerbangan. Sementara subyek yang tidak memiliki faktor risiko tidak ada yang mengalami thrombosis vena. Mayoritas subyek mengalami thrombosis vena adalah yang duduk di kursi tengan dan dekat jendela. Proses patologis yang diduga menyebabkan risiko thrombosis dalam penerbangan adalah stasis vena, retensi cairan, hemokonsentrasi akibat dehidrasi, penurunan PaO2 yang mengaktifkan kaskade koagulasi (Possick S et al, 2004). REKOMENDASI UMUM UNTUK PENUMPANG DENGAN PENYAKIT KARDIOVASKULER Penumpang dengan penyakit kardiovaskular harus memastikan obat obatan kardiovaskuler tersedia dalam jumlah yang cukup selama penerbangan. Obat obatan terutama nitrat harus ditempatkan di bagasi Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 318
kabin. Daftar dosis dan waktu pemberian obat juga hendaknya disertakan dalam bagasi kabin. Selain itu daftar jenis alergi juga disertakan bersama daftar obat. Interval dosis juga harus disesuaikan pada penumpang yang terbang melewati banyak zona waktu. Penumpang diusahakan tetap mempertahankan keteraturan dalam minum obat sesuai zona waktu yang baru. Selama dalam penerbangan untuk menghindari dehidrasi penumpang harus menghindari makanan tinggi sodium, minuman beralkohol, dan mengandung kafein. Penumpang dianjurkan minum air dalam jumlah yang cukup (Smith D et al, 2010). Penumpang dengan penyakit jantung direkomendasikan untuk membawa salinan rekaman EKG terakhir. Jika memakai pacu jantung, maka EKG harus tersedia dua, yaitu saat modus pacu jantung dan saat bukan dalam modus pacu jantung. Jika penumpang menggunakan alat pacu jantung atau ICD (Implanted Cardioverter-Defibrillator) maka kartu informasi alat harus disertakan juga saat melapor untuk terbang. Penumpang yang sudah terpasang stent koroner juga membawa keterangan dari dokter (Possick S et al, 2004). Hipoksia disertai hipobarik (rendahnya tekanan oksigen) adalah masalah utama pada penumpang pesawat udara. Pada penumpang dengan cadangan kardiak terbatas hal ini akan menyebabkan dekompensasi dan menimbulkan gejala. Sebagai konsekwensinya maka oksigen medis diperlukan untuk pasien ini. Oksigen medis dapat dipertimbangkan pada penumpang dengan angina pektoris dengan gejala sesuai dengan CCS ( Canadian Cardiovascular Society) derajat III- IV dan penumpang yang sudah hipoksemia saat di darat. Maskapai penerbangan harus sudah dikontak terlebih dahulu dalam 48 jam sebelum terbang, untuk mempersiapkan oksigen medis. Begitu juga untuk persiapan alat bantu lain seperti kursi roda, kursi tertentu di pesawat yang umumnya di bagian depan atau dekat tempat istirahat awak kabin (Possick S et al, 2004). Penumpang dengan penyakit kardiovaskuler diharapkan untuk mengurangi aktifitas berjalan di kabin selama penerbangan. Kaus kaki atau stocking dengan kompresi bertahap atau GECS (Graduated Elastic Compression stocking) yang dipasang di bawah lutut dianjurkan pada penumpang yang melakukan penerbangan lebih dari 5000 km atau durasi lebih dari 8 jam. Tekanan dari stocking diatur antara 20-30 mmHg (Possick S et al, 2004). Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 319
PENILAIAN LAYAK TERBANG PADA PENUMPANG PESAWAT KOMERSIL DENGAN PENYAKIT KARDIOVASKULER Periode sebelum terbang dengan pesawat komersial, merupakan saat terbaik untuk menilai kelayakan dari calon penumpang. Dokter harus menilai secara menyeluruh kondisi kesehatan, mempertimbangkan dosis dan pemberian obat dan keperluan bantuan khusus selama penerbangan. Pada penumpang dengan penyakit kardiovaskuler, harus diperhatikan kontraindikasi untuk terbang dalam penerbangan komersial. Ada berbagai rekomendasi yang dikeluarkan oleh lembaga yang berbeda terkait kontraindikasi untuk melakukan penerbangan. Salah satunya dikeluarkan oleh Aerospace Medical Association tahun 2003 (tabel 1). Daftar ini bersifat relatif, jadi tetap harus ada pertimbangan dari dokter mengenai risiko dan manfaat (Alvarez D et al, 2003). Lembaga lain seperti BCS (British Cardiovascular Society) juga menerbitkan daftar rekomendasi terbang pada tahun 2010, dengan detil rekomendasi yang berbeda sebagaimana yang akan kita bahas lebih lanjut (Smith D et al, 2010). Tabel 1. Kontraindikasi kardiovaskuler pada penerbangan komersial. (Alvarez D et al, 2003) 1. PENUMPANG DENGAN ANGINA PEKTORIS Pada sebuah penelitian yang dilakukan, pasien dengan angina pektoris CCS II-III dengan stenosis koroner signifikan dipaparkan dengan ketinggian hingga 2500 meter atau 4500 m. Didapatkan peningkatan aliran darah ke miokard bersamaan dengan peningkatan denyut jantung pada saat istirahat . Pada saat uji latih, didapatkan penurunan coronary flow reserve (CFR) pada pasien dengan stenosis arteri koroner. Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 320
Sebaliknya pada subyek dengan arteri koroner normal hanya didapatkan sedikit peningkatan denyut jantung, dan penurunan resistensi perifer disertai kenaikan curah jantung dan aliran darah ke miokard (Wyss et al, 2003). Pada pasien angina pektoris yang muncul saat aktifitas normal atau berat tergolong dalam CCS I-II dan tanpa disertai perubahan gejala, tidak mendapat batasan khusus dalam melakukan perjalanan udara. Pasien angina pektoris yang timbul dengan aktifitas minimal (CCS III), memerlukan alat bantu dari pihak bandara dan oksigen medis. Pada pasien dengan angina pectoris CCS IV dimana nyeri timbul saat istirahat maka disarankan untuk menunda penerbangan hingga kondisi stabil. Jika tetap mau terbang, maka harus didampingi petugas medis, dan dengan bantuan oksigen (Smith D et al, 2010). 2. PENUMPANG PASCA INFARK MIOKARD AKUT Efek lingkungan kabin pesawat terhadap pasien pasca infark sama dengan pada angina pektoris, yaitu hanya bersifat terbatas dan tidak fatal. Efek fatal yang bisa terjadi justru berasal dari gangguan jantung sendiri terkait komplikasi pasca infark. Risiko komplikasi pasca infark dipengaruhi oleh faktor usia, denyut jantung, kelas KILLIP, beratnya gangguan pada arteri koroner, dan hasil revaskularisasi (Smith D et al, 2010). AMA (The American Medical Association), merekomendasikan 3 minggu pasca infark sebagai waktu yang aman untuk terbang. Dengan berkembangnya tindakan revaskularisasi maka ACC (The American College of Cardiology) merekomendasikan 2 minggu pasca infark pada pasien tanpa komplikasi. Aerospace Medical Association lebih detil lagi merekomendasikan selang waktu 2-3 minggu untuk infark tanpa komplikasi, dan 6 minggu untuk infark dengan komplikasi (Alvarez D et al, 2003). Berdasarkan panduan dari BCS (British Cardiovascular Society) tahun 2010, penumpang pasca sindrom koroner akut dapat dibagi dalam tiga katagori berdasarkan risiko terbang, yaitu: 1. Penumpang dengan risiko rendah dengan katagori usia <65 tahun, serangan pertama, reperfusi berhasil dilakukan, EF>45%, tanpa komplikasi dan tidak memerlukan investigasi lebih lanjut. Penumpang Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 321
katagori ini dapat terbang 3 hari setelah serangan jantung. 2. Penumpang dengan risiko sedang dengan EF>40%, tanpa gejala gagal jantung, tanpa bukti iskemia yang terinduksi, tanpa komplikasi atau aritmia, dan tidak ada rencana investigasi atau intervensi lebih lanjut. Penumpang katagori ini dapat terbang 10 hari setelah serangan jantung. 3. Penumpang dengan katagori risiko tinggi, dengan EF<40%, dengan tanda dan gejala gagal jantung, yang memerlukan investigasi lanjut untuk pilihan revaskularisasi atau pemasangan alat intrakardiak. Penumpang katagori ini sebaiknya menunda terbang sampai kondisi stabil (Smith D et al, 2010). 3. PENUMPANG DENGAN GAGAL JANTUNG Episode gagal jantung akut dapat terjadi akibat provokasi dari suatu sindrom koroner akut, anemia, atau infeksi. Pada kasus gagal jantung pasca infark, risiko perawatan ulang di rumah sakit paling tinggi dalam periode 45 hari pertama. Karena itu, pasien dengan gagal jantung akut, paling tidak harus menjalani stabilisasi selama 6 minggu sebelum diperbolehkan terbang (Smith D et al, 2010). Pasien dengan gagal jantung kronik yang stabil tanpa ada perubahan dalam gejala maupun regimen pengobatan diharapkan dapat mentoleransi kondisi hipoksia ringan di dalam kabin. Penumpang disarankan untuk menghindari aktifitas fisik berlebihan saat di bandara dan tetap konsumsi obat regular. Pada penumpang dengan gejala sesuai dengan NYHA III, pemberian oksigen perlu dipertimbangkan. Pada penumpang dengan NYHA IV harus berpergian dengan pendamping dan memakai oksigen selama penerbangan. Rekomendasi untuk gagal jantung ini juga berlaku untuk pasien dengan gangguan katub jantung (Smith D et al, 2010). 4. PENUMPANG DENGAN HIPERTENSI Berdasarkan rekomendasi dari Aerospace Medical Association tahun 2003, hipertensi yang tidak terkontrol merupakan kontraindikasi untuk terbang dengan pesawat komersial (Alvarez D et al, 2003). Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 322
Penerbangan dapat menyebabkan kenaikan tekanan darah pada penumpang saat pesawat mengalami deselerasi, dan dapat menimbulkan komplikasi pada penumpang dengan hipertensi tidak terkontrol (Chapman M et al, 2019). Batasan hipertensi tidak terkontrol adalah hipertensi yang tidak mencapai target dengan pengobatan. Berdasarkan JNC VIII, target tekanan darah pada pasien umum usia > 60 tahun adalah sistolik <150 mmHg dan diastolic < 90 mmHg. Pada usia <60 tahun, pasien dengan komplikasi diabetes atau gagal ginjal berapapun usianya, maka target tekanan darah sistolik adalah <140 mmHg (James P et al, 2013). Batasan diatas bukanlah kontraindikasi absolut untuk terbang. Tapi sebagai penanda saja bahwa terbang dengan tekanan darah tidak terkontrol memiliki risiko. Sebagai perbandingan aviasi penerbangan memberi batas tekanan darah yang lebih longgar untuk pilot bisa terbang. TCCAM (Transport Canada Civil Aviation Medicine) merekomendasikan pilot bisa terbang dengan tekanan darah terkontrol dengan pemberian obat antihipertensi dengan target sistolik <160 mmHg dan diastolik< 90-100 mmHg (Salisbry D et al, 2012). 5. PENUMPANG PASCA INTERVENSI DAN PEMBEDAHAN JANTUNG Penumpang yang baru saja menjalani kateterisasi jantung, boleh terbang satu hari setelah tindakan. Ini berlaku untuk tindakan kateterisasi yang tanpa komplikasi. Bila terjadi komplikasi perdarahan dari akses arteri, atau komplikasi lain, maka penumpang harus menunda terbang hingga kondisi teratasi. Pada penumpang yang baru saja menjalani PCI (Percutaneus Coronary Intervention) elektif, dan tanpa komplikasi, maka dapat terbang 2 hari sesudah tindakan. Tapi perlu diperhatikan kemungkinan komplikasi perdarahan akibat antiplatelet dan antikoagulan yang diberikan, serta komplikasi ginjal akibat pemberian kontras (Smith D et al, 2010). Pada pasien pasca operasi jantung, sejumlah udara akan tetap bertahan di dalam luka yang tertutup. Membutuhkan 3 hingga 10 hari hingga udara tersebut dapat diserap tubuh. Saat penerbangan, volume gas yang terperangkap dalam rongga thorax atau perikard dapat Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 323
mengalami ekspansi hingga 60%. Jumlah ini cukup untuk menimbulkan nyeri hebat dan kemungkinan komplikasi fatal lainnya. Selain masalah luka, komplikasi pasca operasi jantung yang patut diwaspadai antara lain aritmia, efusi pleura, infeksi luka, anemia dan disfungsi ventrikel kiri. Pada penumpang tanpa komplikasi diatas maka boleh terbang setelah 10 hari. Penumpang dianjurkan untuk tidak membawa bagasi yang berat atau berjalan terburu buru. Selama 10 hari hingga 6 minggu pasca operasi, penumpang membutuhkan bantuan dari staff darat bandara (Smith D et al, 2010). Anemia merupakan komplikasi yang sering terjadi pasca tindakan PCI maupun CABG (Coronary Artery Bypass Graft). Penurunan hemoglobin menurunkan kapasitas oksigenasi dan dikompensasi dengan meningkatkan curah jantung serta kerja jantung. Anemia dapat memicu edema paru ataupun iskemia miokard. Pasien pasca operasi disarankan untuk mengatasi anemia sebelum boleh terbang. Batas yang dapat ditoleransi untuk terbang dengan aman adalah hemoglobin>9 mg/dL (Smith D et al, 2010). 6. PENUMPANG DENGAN ARITMIA ATAU MEMAKAI PACU JANTUNG Penerbangan bukanlah pemicu kejadian takikardi supraventrikuler, fibrilasi atrium, atau kepak atrium yang paroksismal. Sehingga penumpang dengan aritmia yang terkontrol, stabil dan frekwensi kejadian rendah dapat terbang dengan aman. Penumpang dengan fibrilasi atrium permanen dapat tetap terbang setelah laju jantung stabil terkontrol dan sudah memakai antikoagulan. Penumpang dengan riwayat aritmia ventrikuler dapat terbang jika aritmia terkontrol dengan obat ataupun sudah terpasang ICD. Penumpang dengan aritmia ventrikuler tidak terkontrol atau menganggu hemodinamik, sebaiknya tidak melakukan perjalanan udara (Smith D et al, 2010). Pemasangan pacu jantung dan ICD umumnya menggunakan vena subclavia sebagai akses. Komplikasi yang jadi perhatian adalah pneumothorak. Pada penumpang pasca pemasangan alat, setelah dipastikan tidak ada komplikasi termasuk pneumothorak, dapat terbang setelah dua hari pasca tindakan. Jika terjadi komplikasi Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 324
pneumothorak, maka penerbangan ditunda hingga 2 minggu untuk menunggu resolusi total dari pneumothorak. Perlu dijelaskan kepada penumpang pasca pemasangan pacu jantung, bahwa terbang dengan bekas luka yang baru mungkin akan kurang nyaman dan meningkatkan risiko infeksi serta komplikasi mekanik. Yang harus diperhatikan adalah penumpang yang bepergian pada minggu minggu awal pasca pemasangan pacu jantung, disarankan membatasi pergerakan pada lengan tidak melewati bahu, dan tidak mengangkat beban berat (Smith D et al, 2010). Penumpang pasca tindakan ablasi untuk pengobatan aritmia, memiliki risiko untuk terjadinya thrombosis vena femoralis, karena melibatkan penggunaan beberapa kateter sekaligus dalam jangka waktu lama. Thrombosis ini dapat terjadi tanpa gejala pada 17% pasien pasca ablasi. Penumpang pasca ablasi dapat terbang 2 hari setelah tindakan. Perlu diperhatikan bahwa 1 minggu pasca tindakan, risiko thromboembolism masih tinggi (Smith D et al, 2010). 7. PENUMPANG DENGAN PENYAKIT JANTUNG KONGENITAL Pesawat komersil terbang dengan fraksi inspirasi oksigen sekitar 15%, berbeda dengan kadar atmosfer yaitu sekitar 21%. Penurunan kadar ini dapat menurunkan saturasi oksigen pada penumpang dengan penyakit jantung kongenital (Naqvi et al, 2018). Untuk rekomendasi terbang pada penumpang dengan penyakit jantung kongenital yang tidak sianotik, sesuai dengan panduan layak terbang pada penumpang dengan gagal jantung (Smith D et al, 2010). Penumpang dengan penyakit jantung kongenital sianotik sudah dalam keadaan hipoksemia dari awal. Risiko terbang cukup tinggi, akibat dari hipoksia dan hiperviskositas. Karena itu Aerospace Medical Association tidak merekomendasikan pasien dengan sindrom eisenmenger untuk terbang (Alvarez D et al, 2003). Akan tetapi BCS tetap memperbolehkan penumpang dengan sianotik untuk terbang dengan bantuan oksigen (Smith D et al, 2010). Adaptasi kronik dari tubuh terhadap kondisi sianotik, menyebabkan perubahan pada konsentrasi oksigen alveolar hanya akan menyebabkan sedikit hipoksemia. Akan tetapi eritrositosis yang Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 325
terjadi menyebabkan hiperviskositas akan menyebabkan penumpang memiliki risiko thrombo embolism, dan kemungkinan untuk terjadinya emboli paradoksikal ke sistemik (Smith D et al, 2010). Secara umum pada pasien dengan sianotik, panduan selama penerbangan adalah dengan memperhatikan kelas NYHA seperti gagal jantung. Penumpang dengan NYHA I dan II, pemberian oksigen dapat dipertimbangkan sesuai kondisi klinis. Penumpang dengan NYHA III, sama dengan NYHA I dan II,ditambahkan harus mendapat bantuan khusus dari pihak bandara. Penumpang dengan NYHA IV harus terbang dengan oksigen dan mendapat bantuan khusus pihak bandara (Smith D et al, 2010). Ada satu tes yang dapat digunakan untuk menilai perlu tidaknya pasien dengan penyakit jantung kongenital menggunakan oksigen saat terbang yaitu hypoxic challenge test (HCT) (Coker R et al, 2002). Tes ini memaparkan pasien pada kondisi hipoksia seperti dalam kabin pesawat. Campuran gas nitrogen dengan kadar oksigen 15 % digunakan untuk tes. Pasien diminta menghirup campuran oksigen 15 % selama jangka waktu 20 menit, dan selama itu saturasi dimonitor. Tekanan gas dalam darah dinilai sebelum dan sesudah tes. Oksigen bisa diberikan dalam bentuk pipa mulut atau masker wajah ketat. Pada bayi bisa digunakan tudung yang menutupi seluruh kepala atau kotak oksigen yang menutupi tubuh. Pasien dinyatakan membutuhkan oksigen jika: 1. Dari saturasi normal turun dibawah 85% atau PaO2 dibawah 50 mmHg 2. Dari saturasi awal 85-94% turun sekitar 15% 3. Dari saturasi awal 75-84% turun di bawah 70% (Naqvi et al, 2018). 8. PENUMPANG DENGAN RISIKO THROMBOEMBOLISM Perjalanan jarak jauh adalah salah satu faktor risiko untuk terjadinya thrombo embolism. Selain faktor adanya penyakit kardiovaskuler sebelumnya. Masalah utama dalam pesawat adalah immobilisasi. Karena itu otoritas penerbangan sipil menyarankan agar maskapai menyediakan jarak kursi minimal 28,2 inchi (72 cm). Makin lama durasi terbang, makin tinggi risiko terjadi thrombo embolism, Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 326
seperti diagram pada gambar 3 (Smith D et al, 2010). Gambar 3. Insiden emboli paru berdasarkan jarak terbang.(Smith D et al,2010) Terbang diatas 5000 km atau diatas 6 jam dianggap berisiko untuk terjadinya thrombo embolism, sehingga BCS mengeluarkan panduan terkait pencegahannya.Panduan ini diringkas dalam tabel 2 (Smith D et al, 2010). Tabel 2. Panduan pencegahan thrombo embolism dalam penerbangan (Smith D et al,2010). Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 327
Mempertahankan tubuh untuk tetap bergerak adalah pencegahan paling sederhana untuk kejadian thromboembolism. Melakukan gerakan fleksi dan ekstensi dari anggota gerak secara teratur terutama pada telapak kaki dan betis dapat membantu. Jika memungkinkan dapat sesekali berjalan di koridor. Sebaiknya penumpang yang berisiko memilih kursi di dekat lorong agar lebih leluasa bergerak. Selain itu penumpang hendaknya menghindari dehidrasi dengan mengatur makanan dan minuman (Marques et al, 2018). Penggunaan stocking disarankan pada penumpang dengan risiko sedang dan tinggi untuk kejadian thrombo embolism. GECS (Graduated Elastic Compression stocking) disarankan untuk mencegah stasis vena akibat immobilitas selama penerbangan, terutama pada penumpang yang tidak dapat menerima antikoagulan, seperti pada pasien dengan perdarahan (Marques et al, 2018). Profilaksis farmakologi dicadangkan untuk penumpang dengan risiko tinggi. Selain daftar pada tabel 2, pasien dengan eisenmenger dan pasca ablasi juga termasuk katagori risiko tinggi dan dipertimbangkan untuk mendapat profilaksis farmakologis. Obat antiplatelet seperti aspirin walaupun pernah dianjurkan di beberapa literatur, tapi tidak terbukti efektif sebagai profilaksis. Golongan LMWH (Low Molecular Weight Heparin) merupakan agen yang direkomendasikan. Dosis yang diberikan untuk enoxaparin hingga 1 mg/kgbb 2-4 jam sebelum keberangkatan. Golongan DOAC (Direct Oral Anticoagulant) merupakan obat profilaksis yang potensial karena kerja cepatnya, tapi belum didukung cukup penelitian (Marques et al, 2018). EVAKUASI MELALUI UDARA PADA PASIEN KARDIOVASKULER Kebutuhan untuk memindahkan pasien sakit dari satu lokasi ke lokasi lain melalui udara bukanlah konsep baru, karena sudah ada sejak dikembangkannya kendaraan untuk penerbangan. Perubahan fisiologis selama penerbangan seperti hipoksia, ekspansi gas, dan efek gravitasi merupakan faktor yang perlu diperhatikan dalam menjamin keamanan pasien (Chapman M et al, 2019). Untuk transportasi udara jarak dekat helikopter merupakan pilihan yang tepat. Studi AIR PAMI pada tahun 2002 menunjukkan bahwa transportasi dengan helikopter pada pasien dengan infark miokard tidak Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 328
meningkatkan risiko fatal jika dibandingkan ambulan darat. Akan tetapi untuk evakuasi jarak jauh tetap pesawat udara pilihan utama (Smith D et al,2010). 1. PERSIAPAN SEBELUM EVAKUASI MELALUI UDARA Beberapa persiapan sebelum terbang harus dilakukan jika hendak melakukan evakuasi dengan pesawat terbang. Tidak hanya persiapan pasien, tapi juga persiapan semua personel yang terlibat.Antara dokter yang mengirim dengan yang akan menerima harus ada komunikasi langsung untuk memastikan informasi klinik yang akurat. Informasi yang harus diserahterimakan antara lain kondisi klinis awal,perjalanan klinis,kondisi klinis terakhir, terapi yang sudah diberikan,terapi saat ini,alasan merujuk, alat transportasi yang direkomendasikan,alat transportasi dan obat obatan yang dibutuhkan, dan personel yang direkomendasikan untuk menemani pasien (Chapman M et al, 2019). 2. PENILAIAN AWAL PADA PASIEN Penilaian awal pasien dilakukan dengan menilai ABCDE (Airway, breathing, circulation, disability, exposure). Setelah itu berlanjut dengan penilaian dari ujung kepala hingga mata kaki untuk menilai masalah yang distabilkan sebelum terbang. Langkah langkah penilaian pasien sebelum terbang antara lain: Airway : Jika pasien belum terintubasi, maka harus dinilai adakah tanda gagal nafas, dan intubasi sebaiknya dilakukan sebelum terbang. Perhatikan tekanan pada balon selang endotrakeal, karena ada kemungkinan terjadi ekspansi akibat perubahan tekanan udara. Jika pasien dengan ventilasi mekanik, maka harus mendapat sedasi yang cukup, pengontrol nyeri dan relaksan otot yang adekuat. Breathing : Karena hipoksia adalah ancaman utama selama penerbangan, maka status pernafasan harus di optimalkan sebelum terbang. Jika ada anemia, diusahakan di koreksi sebelum terbang. Jumlah cadangan oksigen yang dibawa harus dipastikan cukup selama penerbangan. Pertimbangkan juga untuk membawa POC (Portable Oxygen Concentrator) yang memiliki baterai yang cukup untuk 150% dari perkiraan waktu terbang dan mampu mempertahankan saturasi>93%. Pada kasus pneumothorak, pasien harus terpasang drain thorak serta tersedia alat untuk thorakosintesis di pesawat. Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 329
Circulation: Untuk menjamin keamanan pasien, hipovolemia harus dikoreksi sebelum terbang. Jika diperlukan, stabilisasi dalam penerbangan dilakukan juga. Saat di ketinggian terjadi perpindahan volume dari intravaskuler ke ekstravaskuler akibat tekanan udara yang rendah. Hal ini akan menyebabkan edema, dehidrasi dan hipovolumia. Karena itu monitor cairan dengan kateter urin wajib dilakukan. Disability : Pasien dalam kesadaran menurun dapat sangat gelisah dan menimbulkan gangguan baik pada dirinya maupun petugas, dan dapat memperparah hipoksia. Karena itu perlu sedasi dan kontrol nyeri yang adekuat. Hipoksia otak harus dicegah dengan menghindari posisi kepala diarah depan pesawat yang menyebabkan darah berkumpul di kaki saat lepas landas. Exposure : Permasalah yang sering muncul saat penerbangan adalah suhu udara rendah dan berkurangnya kelembapan udara. Untuk mengaturnya dapat digunakan selimut, cairan intravena hangat, dan alat pelembab (Chapman M et al, 2019). 3. MANAJEMEN SELAMA PENERBANGAN Selama penerbangan, pemberian obat obatan harus di evaluasi dan disesuaikan dengan jadwal yang ada. Untuk antisipasi keterlambatan penerbangan, maka stok obat harus cukup hingga 12-24 jam. Hindari gelembung udara dalam sediaan obat maupun selang infus karena ekspansi gas dapat menyebabkan gangguan pada selang ataupun pompa obat. Sediaan obat dalam bentuk kaca hendaknya dihindari karena ada risiko pecah (Chapman M et al, 2019). Pasien yang memerlukan bantuan hemodinamik bisa jadi memerlukan pemasangan IABP (Intra Aortic Ballon Pump), terutama pada kasus syok kardiogenik, pasca CABG atau PCI dengan komplikasi. IABP adalah alat dengan tekanan gas dengan balon yang menghasilkan counterpulsation saat fase diastol dan mengempis saat sistol. Sebelum terbang, maka tekanan gas helium dan ketersediaan baterai data harus di cek. Perubahan posisi balon harus diwaspadai. Karena itu produksi urin harus dipantau,dan jika terjadi oligouria, maka ada kemungkinan balon menutupi arteri renalis. Pulsasi arteri perifer juga harus dicek untuk deteksi perubahan posisi IABP. Jika terjadi perubahan Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 330
posisi, jangan mengatur balon saat di udara. Tindakan yang harus dilakukan adalah menginformasikan tim medis di darat untuk mempersiapkan perbaikan IABP begitu mendarat. Selama penerbangan terjadi ekspansi gas, termasuk gas helium dalam IABP. Alat IABP dapat menyesuaikan perubahan tekanan dan volume gas dalam balon. Jika terjadi gangguan alat, maka syringe ukuran hingga 60 ml dapat digunakan untuk mengembang kempiskan balon secara manual (Chapman M et al, 2019). Perubahan posisi selama penerbangan dapat mempengaruhi hemodinamik pasien dengan gangguan kardiovaskuler. Saat kepala mendekati arah pilot, maka akselerasi saat lepas landas dan naik, akan menurunkan preload dan sebabkan hipotensi. Kondisi ini kemungkinan membutuhkan resusitasi cairan ataupun vasopressor. Di saat pesawat menurunkan ketinggian atau mendarat, akan terjadi sebaliknya. Pasien bisa mengalami peningkatan preload dan kelebihan cairan. Kondisi ini mungkin membutuhkan diuretik (Chapman M et al, 2019). RINGKASAN Penumpang dengan penyakit kardiovaskuler akan makin banyak yang menggunakan pesawat udara untuk transportasi. Lingkungan dalam pesawat menyebabkan perubahan fisiologi pada penumpang dengan penyakit kardiovaskuler. Perubahan fisiologis itu meliputi penurunan tekanan udara yang meningkatkan risiko hipoksia, aktivasi sistem simpatis, perubahan gaya gravitasi, perubahan zona waktu, gangguan interferensi elektromagnetik, getaran, penurunan kelembapan dan immobilisasi yang memicu stasis vena. Sebelum penumpang terbang dengan pesawat komersil, maka harus dilakukan persiapan seksama sebelum terbang.Persiapan itu meliputi persiapan obat, catatan medik, data penunjang seperti EKG atau surat keterangan terkait alat pacu jantung, serta perlu tidaknya oksigen dalam pesawat. Setelah itu dilakukan penilaian kelayakan terbang pada penumpang sesuai kelainan kardiovaskuler yang di derita dan tindakan pencegahan yang bisa diberikan. Pada pasien yang membutuhkan evakuasi melalui udara, maka harus dinilai lebih dulu masalah yang mungkin terjadi selama penerbangan. Setelah itu harus dipersiapkan kelengkapan, dan tindakan antisipasi untuk mengatasi masalah selama penerbangan evakuasi. Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 331
DAFTAR PUSTAKA 1. Alvarez D, Bagshaw M,Campbell M et al. 2003. Medical guideline for airline travel, 2nd edition. Aviat Space Environ Med,Vol 74 No 5 section II:p2-21 2. Asshauer H. 2006. Hypoxia an invisible enemy:Cabin depressurization effect on human physiology.Safety First:The Airbus Safety Magazine,Vol 3:p31-33. 3. Chapman M, Tagore A, Ariyaprakai N et al. 2019. Critical considerations for fixed-wing air medical transport.JEMS. 4. Coker R,Boldy D,Buchdal R et al. 2002. Managing patient with respiratory disease planning air travel.Thorax.Vol 57:p289-304 5. James P,Oparil S,Carter B et al. 2013. Evidence-Based Guideline for the Management of High Blood Pressure in Adults Report From the Panel Members Appointed to the Eighth Joint National Committee (JNC 8).JAMA:p1-14 6. Marques M,Panico M,Porto C et al. 2018. Venous thrombo embolism prophylaxis on flight. J Vasc Bras.Vol 7(3):p215-219 7. McNeely A,Watson J. 2011. Health effects of aircraft cabin pressure in older and vulnerable passengers.ACER:p1-36 8. Naqvi N,Doughty V,Starling L et al. 2018. Hypoxic challenge testing (Fitness to fly) in children with complex congenital heart disease.Heart:Vol 104:p1333-1338 9. Possick S, Barry M. 2004. Air travel and cardiovascular disease.J travel Med;Vol 11:p243-250 10. Salisbury D,Wielgosz A,Freeman M et al. 2012. Guidelines for assestment of cardiovascular fitness in licensed aviation personel.TCCAM:p1-40 11. Smith D, Toff W, Joy M et al. 2010. Fitness to fly for passengers with cardiovascular disease. Heart;Vol 96:p1-16. 12. Wyss CA, Koepfli P, Fretz G, et al. 2003. Influence of altitude exposure on coronary flow reserve. Circulation;Vol 108:p1202. Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 332
13 Coronary Flow Reserve Adelaide Adiwana, Abdul Hakim Alkatiri PENDAHULUAN Penyakit jantung koroner (PJK) adalah penyebab kematian utama di seluruh dunia. Di negara berkembang, keluhan nyeri dada setidaknya ada sekitar 1% dari seluruh kunjungan di tempat praktek dokter umum, 5% dari pasien yang masuk Instalasi Gawat Darurat (IGD), dan 40% dari pasien yang dirawat karena kegawatdaruratan1. Angina pektoris adalah nyeri dada yang berasal dari jantung. Patofisiologi timbulnya angina karena kurangnya suplai oksigen untuk otot jantung, yang biasanya terjadi setelah aktivitas fisik ataupun stress. Angina dapat pula timbul karena adanya stenosis pada pembuluh darah koroner (PJK), tetapi dapat pula timbul tanpa adanya stenosis (angina mikrovaskular). Perbedaan keadaan ini sangat menentukan prognosis. Penyebab lain adalah kombinasi antara pembuluh darah koroner yang kecil dengan stenosis. Patofisiologi ini menjelaskan mengapa pada pasien yang telah berhasil menjalani percutaneus coronary intervention (PCI), keluhan angina masih tetap ada dan pasien tetap harus meminum obatnya2,3. Tahanan utama dari sirkulasi koroner adalah arteri-arteri koroner yang terdapat pada intramural. Diameter arteri ini berkisar antara 10-140 nm, sehingga tidak tampak pada angiografi standar. Karena metabolisme miokardium bersifat aerob, maka peningkatan konsumsi oksigen miokard memerlukan peningkatan aliran darah koroner dengan vasodilatasi, terutama pada sirkulasi mikrovaskular koroner2,3,4. Konsep awal dari coronary flow reserve (CFR) pertama kali diperkenalkan oleh Gould, et al. pada tahun 1974, dimana didefiniskan sebagai kemampuan aliran darah koroner untuk memenuhi peningkatan kebutuhan metabolik. Autoregulasi koroner sangat kompleks, dengan berbagai faktor yang mempengaruhinya dan juga oleh beberapa keadaan Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 333
patologis seperti hipertrofi miokard, aterosklerosis, iskemik dan infark miokard5. Pengertian dan pengukuran CFR sangatlah penting untuk dipahami untuk mengetahui kontrol fisiologis dari sirkulasi koroner beserta patofisiologinya. Penilaian terhadap CFR dapat mengidentifikasi efek dari stenosis pembuluh darah koroner epikardial dan mengevaluasi hasil dari revaskularisasi seperti angioplasti dan coronary artery bypass graft (CABG). CFR dapat pula digunakan untuk mengidentifikasi mekanisme patofisiologi dari sindrom nyeri dada pada pasien-pasien dengan arteri koroner epikardial yang normal, seperti pada sindrom X, angina mikrovaskular, dan kardiomiopati dilatasi2,4 ANATOMI FUNGSIONAL SISTEM ARTERI KORONER Sistem arteri koroner terdiri dari tiga kompartemen dengan fungsi yang berbeda, walaupun batas dari setiap kompartemen tidak terlihat jelas secara anatomis. Kompartemen pertama dikenal dengan kompartemen proksimal dan terdiri dari arteri konduksi. Bagian ini sering disebut arteri koroner epikardial, di mana mempunyai fungsi kapasitas dan mempunyai tahanan yang kecil terhadap aliran darah koroner. Diameter dari arteri koroner epicardial ini berkisar antara 500 µm hingga 2-5 mm. Kompartemen kedua dikenal sebagai kompartemen intermediet, terdiri dari prearteriol. Pembuluh darah ini tidak langsung di bawah kendali sistem vasomotor melalui difusi metabolit miokardium karena posisinya yang terletak di luar ketebalan dari dinding miokardium. Diameter dari prearteriol ini berkisar antara 100-500 µm, dan fungsi spesifiknya adalah menjaga tekanan arteriol dalam nilai normal ketika tekanan perfusi dan aliran koroner berubah. Kompartemen ketiga adalah kompartemen distal, terdiri dari arteriol intramural. Diameter pembuluh darah ini kurang dari 100 µm, berfungsi untuk menjaga keseimbangan antara suplai darah miokardium dengan konsumsi oksigen6. Ketika terjadi perubahan aliran darah, arteri koroner epikardial dan arteriol proksimal mempunyai kecenderungan untuk menjaga tekanan shear stress melalui dilatasi dari endotel. Ketika tekanan aorta meningkat, prearteriol distal mengalami konstriksi untuk menjaga tekanan yang konstan dari arteriol. Arteriol mempunyai fungsi penting dalam regulasi metabolik Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 334
dari aliran darah koroner. Arteriol mempunyai tekanan saat istirahat yang tinggi dan berdilatasi sebagai respon dari pelepasan metabolit dari otot jantung saat konsumsi oksigen meningkat. Dilatasi dari arteriol menurunkan resistensi vaskular dan tekanan pada distal prearteriol, yang pada akhirnya merangsang dilatasi dari pembuluh darah yang sensitif. Dilatasi dari prearteriol distal dan arteriol meningkatkan shear stress, sehingga terjadi dilatasi pada prearteriol yang lebih besar dan arteri konduksi. Disfungsi mikrovaskular koroner ditandai dengan gangguan fungsi resisten dari pembuluh darah koroner yang kecil (< 100-200 µm)7. MEKANISME AUTOREGULASI KORONER Ada beberapa teori dan mekanisme yang menjelaskan bagaimana sirkulasi pada pembuluh darah koroner. Pembuluh darah koroner dipersarafi oleh saraf simpatis, parasimpatis, non-adrenergik, dan non-kolinergik. Ketika kebutuhan metabolik akan oksigen meningkat, beberapa mediator berespon. Salah satu mediator itu adalah adenosine, yang dihasilkan dari pemecahan adenosine triphosphate. Ketika kebutuhan metabolik meningkat, sel miokardium memproduksi adenosine. Adenosine menyebabkan peningkatan kadar cyclic AMP dalam sel otot polos pembuluh darah sehingga terjadi relaksasi yang pada akhirnya menyebabkan peningkatan aliran darah. Adenosine menghilang dengan cepat saat recovery dan respon mediator berhenti8. Peran endotel vaskular terhadap tonus pembuluh darah telah diketahui. Pelepasan substansi vasodilator seperti endothelium derived nitric oxide, endothelium derived hyperpolarising factor9 and prostasiklin10 menyebabkan vasodilatasi yang disebabkan karena meningkatnya kebutuhan metabolik. Faktor-faktor yang dapat membuat endotel relaksasi dapat disebabkan oleh berbagai stimulus, baik faktor fisik maupun farmakologis. Stimulus fisik meliputi aliran darah, aliran pulsatil, dan meningkatnya shear stress. Sedangkan dari segi farmakologis antara lain asetilkolin, substansi P, dan katekolamin. Endotelium dapat pula melepaskan faktor-faktor yang Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 335
menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah. Salah satu vasokonstriktor yang paling poten adalah endotehlin, suatu 21-residue peptide, yang dapat membuat vasokonstriksi otot polos pembuluh darah. Manfaat dari pelepasan endothelin dalam sirkulasi koroner masih belum diketahui pasti11. Agen vasokonstriktor lain termasuk thromboxane A dan angiotensin. Terdapat beberapa penyakit dengan gangguan keseimbangan antara produksi substansi vasodilator dan vasokonstriktor yang dihasilkan endotelium. LDL teroksidasi telah terbukti menghambat faktor-faktor yang menyebabkan relaksasi pembuluh darah dan hal ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan hiper-responsif dari arteri koroner yang mengalami aterosklerosis terhadap asetilkolin. Endotel pembuluh darah memproduksi jumlah prostasiklin yang semakin sedikit jumlahnya seiring dengan bertambahnya usia. Produksi prostasiklin juga berkurang pada beberapa penyakit, seperti diabetes mellitus dan aterosklerosis12. Sirkulasi koroner dipersarafi oleh saraf simpatis dan parasimpatis. Efek yang berlawanan dari inervasi ini sangat kompleks karena mediator kolinergik dan adrenergik seperti asetilkolin dan noradrenalin dapat memberikan efek yang berbeda, tergantung dari ada atau tidaknya fungsi normal dari endotelium dan respon otot polos pembuluh darah. Seperti telah diketahui bahwa aterosklerosis meningkatkan respon vasokonstriksi terhadap mediator tersebut12. Asetilkolin mempunyai efek yang berbeda terhadap sirkulasi darah, menyebabkan vasodilatasi yang lebih kuat pada pembuluh darah koroner epikardial, sehingga menyebabkan perubahan distribusi dari aliran darah koroner yang melewati miokardium13. PENGERTIAN CORONARY FLOW RESERVE (CFR) Aliran darah koroner atau miokardium berbanding lurus dengan tekanan perfusi koroner dan berbanding terbalik dengan tahanan sirkuasi arteri koroner. CFR mempresentasikan kemampuan sirkulasi koroner untuk berdilatasi seiring dengan meningkatnya kebutuhan metabolik otot jantung, dan dapat dilihat dari kurva perbedaan antara aliran saat hiperemik dengan aliran saat istirahat. Pada tahun 1974, Lance K. Gould mengungkapkan hubungan antara kondisi anatomis jantung dengan aliran koroner saat hiperemik, dimana didapatkan kurva linier dengan bentuk terbalik antara penyempitan lumen arteri koroner dengan kemampuan hiperemik, hingga Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 336
didapatkan kapasitas koroner dengan stenosis > 90%14. Gambar 1. Hubungan antara peningkatan signal aliran yang diperoleh dengan teknik imaging5 Banyak variabel yang dapat menyebabkan ketidaksesuaian antara stenosis arteri koroner epikardial dengan CFR seperti yang terlihat pada Gambar 1. Hal-hal tersebut antara lain karakteristik geometrik dari stenosis, sirkulasi kolateral dari koroner, komponen mikrovaskular dari resistensi koroner, hipertrofi ventrikel kiri yang meningkatkan resistensi koroner ekstravaskular, kondisi nekrotik atau viable dari otot jantung yang terletak distal dari stenosis, spasme mikrovaskular atau makrovaskular koroner, dan konkomitan penggunaan terapi anti-iskemik14. Gambaran kecepatan aliran darah koroner dengan Doppler bersifat bifasik, dengan puncak yang lebih rendah saat sistolik, dan lebih tinggi saat diastolik. Tinjaun Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 337
Gambar 2. Gambaran skematik perbedaan anatomis koroner dengan respon CFR8 Tahanan ekstravaskular miokard lebih tinggi saat sistolik dan lebih rendah saat diastolik karena efek dari kontraksi miokard. Variasi kecepatan aliran darah koroner sebanding dengan aliran darah total bila lumen pembuluh darah dipertahankan tetap konstan (hiperemik). Hal ini dapat dicapai dengan pemberian obat-obatan seperti dipyridamole atau adenosin8. Evaluasi terhadap CFR sangat berguna untuk memahami patofisiologi dari sirkulasi koroner. Pengukuran terhadap CFR berguna untuk menilai stenosis pembuluh darah koroner epikardial dan mengetahui integritas dari sirkulasi mikrovaskular. Fisiologi dari pembuluh darah koroner merupakan bagian yang tidak terpisahkan untuk menentukan terapi pada pasien-pasien PJK. Pada pasien-pasien dengan hipertensi arterial dengan/ tanpa hipertrofi ventrikel kiri, diabetes mellitus, hiperkolesterolemia, sindrom X, hipertrofi kardiomiopati, dan penyakit lainnya, ditemukan CFR yang menurun dalam sirkulasi mikrovaskular, dan tidak ditemukan adanya stenosis pembuluh darah koroner epikardial4. Pada pasien PJK, penurunan dari CFR secara langsung mencerminkan derajat keparahan dari stenosis, sementara pada pasien dengan hasil angiografi normal, CFR merupakan tanda dari disfungsi mikrovaskular. CFR kurang dari 2.0 dikategorikan abnormal15. Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung-1, 2020 | 338
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164
- 165
- 166
- 167
- 168
- 169
- 170
- 171
- 172
- 173
- 174
- 175
- 176
- 177
- 178
- 179
- 180
- 181
- 182
- 183
- 184
- 185
- 186
- 187
- 188
- 189
- 190
- 191
- 192
- 193
- 194
- 195
- 196
- 197
- 198
- 199
- 200
- 201
- 202
- 203
- 204
- 205
- 206
- 207
- 208
- 209
- 210
- 211
- 212
- 213
- 214
- 215
- 216
- 217
- 218
- 219
- 220
- 221
- 222
- 223
- 224
- 225
- 226
- 227
- 228
- 229
- 230
- 231
- 232
- 233
- 234
- 235
- 236
- 237
- 238
- 239
- 240
- 241
- 242
- 243
- 244
- 245
- 246
- 247
- 248
- 249
- 250
- 251
- 252
- 253
- 254
- 255
- 256
- 257
- 258
- 259
- 260
- 261
- 262
- 263
- 264
- 265
- 266
- 267
- 268
- 269
- 270
- 271
- 272
- 273
- 274
- 275
- 276
- 277
- 278
- 279
- 280
- 281
- 282
- 283
- 284
- 285
- 286
- 287
- 288
- 289
- 290
- 291
- 292
- 293
- 294
- 295
- 296
- 297
- 298
- 299
- 300
- 301
- 302
- 303
- 304
- 305
- 306
- 307
- 308
- 309
- 310
- 311
- 312
- 313
- 314
- 315
- 316
- 317
- 318
- 319
- 320
- 321
- 322
- 323
- 324
- 325
- 326
- 327
- 328
- 329
- 330
- 331
- 332
- 333
- 334
- 335
- 336
- 337
- 338
- 339
- 340
- 341
- 342
- 343
- 344
- 345
- 346
- 347
- 348
- 349
- 350
- 351
- 352
- 353
- 354
- 355
- 356
- 357
- 358
- 359
- 360
- 361
- 362
- 363
- 364
- 365
- 366
- 367
- 368
- 369
- 370
- 371
- 372
- 373
- 374
- 375
- 376
- 377
- 378
- 379
- 380
- 381
- 382
- 383
- 384
- 385
- 386
- 387
- 388
- 389
- 390
- 391
- 392
- 393
- 394
- 395
- 396
- 397
- 398
- 399
- 400
- 401
- 402
- 403
- 404
- 405
- 406
- 407
- 408
- 409
- 410
- 411
- 412
- 413
- 414
- 415
- 416
- 417
- 418
- 419
- 420
- 421
- 422
- 423
- 424
- 425
- 426
- 427
- 428
- 429
- 430
- 431
- 432
- 433
- 434
- 435
- 436
- 437
- 438
- 439
- 440
- 441
- 442
- 443
- 444
- 445
- 446
- 447
- 448
- 449
- 450
- 451
- 452
- 453
- 454
- 455
- 456
- 457
- 458
- 459
- 460
- 461
- 462
- 463
- 464
- 465
- 466
- 467
- 468
- 469
- 470
- 471
- 472
- 473
- 474
- 475
- 476
- 477
- 478
- 479
- 480
- 481
- 482
- 483
- 484
- 485
- 486
- 1 - 50
- 51 - 100
- 101 - 150
- 151 - 200
- 201 - 250
- 251 - 300
- 301 - 350
- 351 - 400
- 401 - 450
- 451 - 486
Pages: