Kemuning Cinta Tanpa Bicara tangisku yang terisak-isak. Membalas seruan azan. Membalas seruan penuh cinta dari Sang Pencipta. “Mbak... Sak iki Mbak Ning sholat dulu. Biar lebih adem hatinya.” Citra mengusap air mataku. Kulihat matanya juga meredup untukku. Senyumnya teduh. Seakan-akan meyakinkanku bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Kami sholat dhuhur bersama. Aku mengulang hafalanku. Mushafku yang selalu setia, sedikit menepis gundahku. Keyakinanku, Allah akan memberikan kilauan indah cinta-Nya dan menitipkannya pada hati mas Arya. Ya... mas Aryaku yang selalu ada dalam setiap untaian doaku. Hadir di setiap mimpi-mimpiku. Sebulan berlalu. Aku lalui hariku seperti biasanya. Tatapan mas Arya terasa maya buatku. Tak seindah waktu itu. Hari Minggu hanya dihabiskannya duduk bekerja di meja kerjanya hingga larut malam. Melupakan bubur ayam Bang Somat. Melupakan janjinya mengajakku bersepeda di hari Minggu. Kami tidak melewatkan jamaah sholat ketika dia ada di rumah. Dia masih menjadi imam sholatku. Tapi bukan menjadi imam dalam hatiku. Dia masih membangunkanku dengan kelembutan saat tahajud. Namun sepertiga malam yang selama sebulan kami lalui, tidak kurasa nuansa bening di hatiku. Hubungan kami seakan hambar. Atau mungkin semakin merenggang. Dia lebih disibukkan oleh pekerjaan yang tidak aku 96
Kemuning Cinta Tanpa Bicara mengerti. Namun aku tetap melayaninya. Tetap membuatkan teh jahe kesukaannya saat malam harinya. Jus alpukat tanpa gula dan susu setiap dia selesai treadmill. Aku masih menghias wajahku dengan senyuman di hadapannya. Meski tak kulihat senyumannya yang penuh makna untukku. Aku masih menatap wajahnya. Meski tak kudapati tatapan matanya seteduh dulu. Kuhabiskan hariku di taman halaman rumah. Bersandar di tiang gazebo. Menikmati semerbak harum bunga melati yang menenangkan hati. Dengan mushafku dan hafalan-hafalan yang ingin aku capai. “Ning...” Suara mas Arya menghentikanku sesaat membaca mushaf bercover warna merah jambu. Dia berkaos warna biru muda bercelana pendek selutut. Seberkas mentari sore menerpa wajahnya. Tampan sekali. Namun entahlah. Hatiku makin hambar terhadapnya. Semenjak aku melihat kedekatannya dengan Keysha. Dia melintasi jembatan kecil. Membawa wadah toples bening berisi pakan ikan. Dia menebar pakan ikan itu. Kulihat ikan-ikan koi berdesak-desakan berebut pakan yang mengambang di air kolam. Terdengar suara air yang terciprat oleh gerakan ikan-ikan itu. Andai saja hatinya kumiliki. Sore ini adalah saat-saat bahagia kami. Ditutupnya wadah toples yang tersisa seperempatnya. Dia duduk di depanku. Bersandar di tiang gazebo. 97
Kemuning Cinta Tanpa Bicara “Ning, ada yang ingin aku bicarakan denganmu.” Dia memandangku. Dilipatnya kaki kanannya dan kaki kirinya dibiarkan menyentuh dasar tangga gazebo. Aku menatapnya. Kututup mushafku. Menunggunya berbicara lagi. “Besok aku ada studi banding di Singapura seminggu.” Kaki kirinya dinaikkan di dudukan gazebo. Siku tangan kanannya disangga lutut, telapak tangan memegang dahinya. Ada hal yang membebani pikirannya. “Maafkan aku selama sebulan ini aku ingkar janji. Hari minggu yang semestinya mengajakmu bersepeda dan menikmati bubur ayam bang Somat lagi. Jadi wurung. Aku harus mempersiapkan beberapa berkas untuk keberangkatanku. Ada lima dokter muda yang terpilih termasuk Faiz, Marcel, Tito dan Keysha.” Dia menghela napas panjang. Membaringkan tubuhnya. Menyangga kepalanya dengan menumpuk telapak tangannya. Aku tersentak. Seperti tombak yang menghempaskan hati. Seminggu tanpa kehadirannya. Sedangkan Keysha juga di sana. Jantungku berdebar. Kecemasan menderaku. “Ning, kamu tetap jaga kesehatan ya.” Dia mengubah posisinya. Tidur miring menghadapku. Tangan kirinya menyangga kepalanya. Dia memandangku. Menunggu anggukanku. Aku menganggukkan kepala untuknya. Merelakan kepergiannya. Meski aku tak sanggup. 98
Kemuning Cinta Tanpa Bicara Ingin sekali aku menghalangi kepergiannya. Menghalangi perginya selama itu bersama Keysha. Wanita yang mengubah hatiku menjadi beku untuk mas Arya. Membuat batin ini tidak peka terhadap semua sikap-sikapnya selama ini. Ponsel mas Arya berdering. Dia merogoh saku celananya. Mengambil android miliknya. Menyentuhnya. Lalu meletakkan benda itu di telinganya. “Wa’alaikumusalam, Key. Iya berkas buat besok keberangkatan kita sudah siap. Oke, besok sore kita semua ketemu di airport ya. Wasalamuallaikum.” Dia tutup ponselnya dan menaruhnya ke kantong celananya lagi. “Yowis, aku mau berkemas dulu. Nanti setelah isya’, aku mau mengajakmu keluar. Kita makan malam di luar. Untuk menebus salahku telah mengabaikanmu beberapa hari ini.” Dia memegang pipiku. Meninggalkan senyum manisnya. Ini senyuman yang aku rindukan. Mas Arya berlalu pergi. Pergi bersama bayangan tubuhnya yang memanjang condong ke timur. Langit semakin berwarna jingga. Semilir angin mengibas hijabku. Aku masih mematung. Melipat kedua kakiku. Menunduk di atas lutut. Menangis. Mas Arya sudah menuju garasi. Aku membuka pagar sambil menunggu mobilnya keluar melintasiku. Kututup pagar kembali. Aku membuka pintu mobil. Duduk di jok depan. Di sampingnya. 99
Kemuning Cinta Tanpa Bicara Dia jalankan mobilnya. Menyetir sembari tangannya menjulur ke layar DVD. Dia memutar musik berbahasa Inggris. Aku membaca judulnya Jose Marie Chan Beautiful Girl. Musiknya slow dan membuat hatiku semakin berdetak. Dia memandangku melalui kaca spion tengah yang sudah dia atur agar ada pantulan tepat padaku. Memandang seluruh penampilanku malam ini. Gamis berwarna ungu lavender dengan jilbab warna ungu violet berhias bros bunga lily warna merah tersemat. Aku semakin canggung bercampur malu. Pandangannya saat ini lain. Hampir setiap lima menit dia memandangiku langsung. Menoleh padaku. Saat lampu merah lalu lintas berpendar. Mobil berhenti. “Ning…” Dia membuka pembicaraan sembari memegang setir dan mengecilkan volume musik. Aku memandangnya. Memandang penampilannya. Mengenakan kaos berkerah warna ungu mauve. Dengan celana jeans warna hitam. Sepertinya alam memberikan inspirasi pada kami. Warna kita sepadan nuansa ungu. Warna yang melambangkan cinta dalam spektrum pelangi. Mungkinkah dia membuka hatinya untukku. Mengucapkan perasaannya sebelum dia pergi meninggalkanku esok hari. Ya Allah... jantungku berdebar. “Penampilanmu malam ini berbeda. Aku suka.” Dia memecah hening hanya mengucapkan itu. Lalu kembali menjalankan mobil setelah lampu hijau sudah menyala. Meski ucapnya singkat dan sederhana. Namun ada celah di hatinya untukku. Pandangannya yang setiap menit untukku meski 100
Kemuning Cinta Tanpa Bicara sekejap. Telah mampu membuat jantungku berpacu lebih cepat dari normal. Detak ini terasa lagi. Setelah sebulan lalu tidak kurasakan karena dia mengacuhkanku saat itu. Senyuman malam ini untukku sudah bermakna lagi. Malah semakin bergairah. Mobil berhenti di sebuah resto dengan konsep arsitektur pondok pedesaan. Area parkir cukup luas. Dengan banyaknya pondok-pondok bambu beratapkan damen22. Mobil Mas Arya terparkir di sisi timur. Dekat dengan air mancur yang berundak. Terdapat banyak ikan koi di dalamnya. Kami memilih pondok yang dekat air mancur. Pondok yang beralas karpet warna coklat. Nuansa lesehan ala pedesaan dengan sambutan musik langgam23 Jawa yang membuat aku semakin rindu dusunku. Mas Arya duduk bersila tepat di depanku. Siku tangannya diletakkan di meja dengan telapak tangannya di dagu. Mas Arya masih memandangku. Seakan tidak ingin melepasnya. Aku semakin salah tingkah. Kuambil buku pesanan berpura-pura memilih menu. “Gurami bakarnya di sini joss lho, Ning. Apalagi sambalnya. Bikin nagih.” Dia menunjukkan jarinya pada menu aneka olahan gurami. 22 Jerami 23 Lagu 101
Kemuning Cinta Tanpa Bicara “Wedhang rondenya di sini juga mantap. Terasa hangat jahe merahnya.” Dia membalik lembaran buku menu menunjukkan gambar wedhang ronde. Pelayan berseragam kaos warna hitam datang pada kami. Mas Arya memesan gurami bakar dengan dua jenis sambal. Sambal pedas dan sambal sedang. Dua air putih. Dua gelas susu murni dan dua mangkuk wedhang ronde. Pelayan itu mencatat pesanan kami. Kami menunggunya sekitar seperempat jam. Hidangan sudah ada di atas meja. Mas Arya dan aku mencuci tangan pada kran yang sudah terpasang pada masing-masing pondok lengkap dengan sabun dan lap. Bakul yang berisi nasi hangat aku ambil dan kutuang ke piringnya. Begitu juga dengan piringku. Makannya begitu lahap. Hingga dua jenis sambal hampir semua dia yang makan. Aku melihat keringatnya di kening. Aku tak tahan melihat keringatnya. Kuambil tisu dan mengelap keringatnya. Dia kaget dan memandangku. Kucoba sambal pedasnya yang masih tersisa separo. Hanya tiga suapan saja membuat lidahku seakan terbakar. Aku minum air putih secepatnya. Namun mas Arya mencegahku. “Minum susu ini, Ning. Ini bisa mengurangi rasa pedas di lidah kita.” Dia memberiku segelas susu murni padaku. Aku meminumnya. Dengan cepat rasa pedas di lidah ini berangsur hilang. Aku sudah kapok. Aku ambil sambal dengan pedas sedang saja. Tak ingin perutku sakit. 102
Kemuning Cinta Tanpa Bicara “Kenapa, Ning. Takut kepedesan lagi ya? Dia terkekeh melihatku. “Sebentar, diam dulu.” Mas Arya tiba-tiba menyuruhku diam. Dia mendekatkan dirinya ke depanku. Menjumput sebulir nasi yang tidak terasa menempel di daguku. “Tamumu kok tidak di dilebokne, Ning. Kasihan ini.” Dia terkekeh lagi melihat kecerobohanku saat makan. Sebulir nasi yang dijumputnya di daguku dimakannya. Melihat ini, hatiku berdesir. Jantungku kembali berdebar. Hal kecil ini membuat hatiku tak karuan. Ya Allah... aku merasakan lagi dunianya. Aku siap tenggelam di bening telaganya. Menikmati sejuk perhatiannya lagi. Kami telah kembali dari makan malam, tepat jam berdenting pukul sembilan. Mbok Yem membukakan pintu rumah. Kulihat ibu sudah tertidur. Karena sudah tak tampak di depan kursi malas depan televisi di ruang keluarga. Mas Arya mengikuti langkahku dari belakang. Melangkahkan kaki menapaki tangga ukir kami. Tangga ukir menuju kamar kami. Kamar yang belum ada celah cintanya. Kamar yang belum memberi hangat di kehidupan rumah tanggaku. Sudahlah, aku hanya pasrah pada Sang Maha Cinta akan hubunganku dengan mas Arya. “Ndang bobok ya, Ning. Besok tak bangunkan tahajud lagi.” Dia membuka kaosnya. Aku tidak mampu memandangnya. Hanya 103
Kemuning Cinta Tanpa Bicara mengambil kimonoku yang sudah tergantung di samping pintu kamar mandi. Masuk lewati pintu dan menutup kamar mandi. Mengganti gamisku dengan kimono. Aku keluar kamar mandi. Kulihat mas Arya sudah ada di sofanya. Melihat ke jendela. Menangkap rembulan yang belum penuh sempurna purnama. Kumatikan lampu kamar. Semakin cahaya rembulan menyusup di kaca jendela yang tertutup. Mas Arya lebih senang tidur dengan tirai terbuka. Melihat bintang yang berpendar di langit malam. Aku merebahkan tubuhku di ranjang pegas, berumbai warna kuning yang memikat. Melihat langit-langit ranjang yang bertabir tirai warna putih. Aku mengingat malam ini. Makan malam yang manis. Aku bahagia malam ini. Meski dia belum menjamahku. Rasa kantuk mulai merayap mataku. Aku tertidur. Menyelimuti tubuhku dengan selimut warna jingga. “Aghh... Aduh.” Aku tersentak akan suara erangan mas Arya. Meskipun terdengar lirih. Aku bangkit dari tidurku. Mendekatinya. Ingin tahu keadaannya. Dia tertidur ditutup selimut warna abu-abu menahan sakit. Dia memegang perutnya. Aku pegang dahinya. Dia memandangku. “Perutku mules, Ning.” Dia memegang perutnya. Aku menyalakan lampu kamar. Segera pergi ke dapur. Mencari ramuan yang pernah ibu ajarkan padaku jika aku sakit perut. Aku parut 104
Kemuning Cinta Tanpa Bicara saja untuk mempercepatnya. Sebagian aku buat campuran minuman teh kayu manis dan jahe untuk diminum. Aku segera kembali di kamar membawa secangkir teh kayu manis jahe. Serta membawa mangkuk yang berisi ramuan herbal. Kudekati mas Arya yang masih berselimut dengan tangan erat memegang perutnya. Kubuka selimutnya. Kupegang tangannya agar dia melepaskannya dari perut. “Kenapa, Ning?” Dia menatapku. Aku mengangguk meyakinkannya. Aku di sini menolongnya. Dia melepaskan tangannya. Tanpa ragu aku singkap kaosnya. Kubalurkan ramuan herbal itu diperutnya perlahan. Kubalur merata hingga samping perutnya. Dia menatapku. Melihat begitu sigapnya aku menolongnya. Aku pijit titik-titik bagian tubuhnya. Persis cara almarhum bapak memijitku kala itu. Seperempat jam kemudian dia mulai terdiam dari erangannya. “Sudah, Ning. Aku wis mari.” Dia memegang tanganku yang sejak tadi memijit berulang-ulang. “Terima kasih ya, Ning.” Mas Arya duduk perlahan. Aku ambilkan secangkir teh kayu manis jahe untuk dia minum. Dia menghabiskannya. Lalu kembali merebahkan tubuhnya di sofa. Aku menyelimutinya. 105
Kemuning Cinta Tanpa Bicara “Wis, Ning, ndang bobok. Terima kasih ya.” Dia memegang pipiku. Dengan senyuman bermakna terima kasih yang mendalam. Aku membalasnya dengan anggukan dan senyuman. Kutinggalkan dia di sofa. Dengan hati masih tersisa rasa cemas. Semoga dia baik-baik saja. Aku kembali mematikan lampu kamar. Lalu bergegas ke kamar mandi ambil wudhu. Menuju ranjang pegas. Merebahkan tubuh dan memejamkan mata. Berharap esok hari hatiku tegar mengiringinya pergi ke Singapura. Meski ada rasa cemas yang mendalam. Dia memandangku… Rasa itu berhasrat lagi Aku bahagia… Tatapanmu beralih lagi mencari cinta yang aku sembunyikan untuknya Meski perlu waktu Meminang cintakuku untuk kau simpan di hatimu 106
Kemuning Cinta Tanpa Bicara 09 ALASANKU BELUM MENYENTUHMU POV : Mahendra Arya Putra Aku sudah melangkahkan kakiku di tangga pesawat menuju Bandara Changi Singapura. Duduk dekat jendela berbentuk oval. Yup, sebelahku adalah Marcel. Dia tampak bahagia saat video call dengan istrinya. Maklum pengantin baru. Masih dua bulan pernikahan mereka. Hangat-hangatnya cinta. Aku hanya tersenyum melihat percakapan mereka. Penuh kerinduan dan harapan segera bertemu kembali. Kumemandang lagi dibalik jendela badan pesawat. Perlu waktu sekitar satu setengah jam aku terdiam di sini. Aku tersentak ketika wanita berhijab warna ungu lavender melintas. Dibenaku wajah Kemuning. Malam kemarin dia memakai hijab ungu. Tampak anggun. Aku menyukainya. Lebih baik aku ambil ponsel. Menanyakannya. Tapi aku ragu. Pasti sekarang dia berada di taman. Meneruskan hafalannya. Itu yang membuatku tersentuh. Ya Allah, aku harus fokus. Ini tugas yang harus aku kerjakan. Tinggalkan dahulu urusan rumah. “Ar, aku tukar sama Tito ya. Males nih sama kamu. Diam kaya patung.” Dia terkekeh dan pergi. Aku hanya tersenyum akan ucapan Marcel. Kembali melihat ke jendela. 107
Kemuning Cinta Tanpa Bicara “Ar, aku duduk sama kamu ya?” Tiba-tiba suara Keysha membuyarkanku. “Oke, tak masalah.” Aku mengenyitkah dahi. “Lagi lihat apa sih kamu? Serius amat.” Keysha tiba-tiba mencondongkan tubuhnya mendekati jendela. Aku kebingungan. Tubuhnya semakin dekat denganku. Wajah kami sudah berjarak sepuluh senti. Aku tak nyaman. “Apa kamu duduk di sini saja, Key? Biar kamu tidak serepot itu melihat ke jendela.” Badanku sudah aku dempetkan ke kursi. Menghindari tubuhnya semakin dekat denganku. “Oh, maaf ya, Ar. Habis kamu serius banget lihatnya.” Keysha berdalih. Entah apa maksud dia seperti itu. Aku harus menepatkan diriku sebagai pria yang sudah beristri. Meski sebenarnya hubunganku dengan Kemuning hanya datar-datar saja. Saat itu aku menolongnya dari cengkeraman buas nafsu pria yang hendak memperkosanya. Pakaian yang dipakainya sudah compang- camping. Aku melindungi kehormatannya. Ketika itu kuberikan bajuku untuk menolongnya. Aku telanjang dada. Baju yang kukenakan lebih baik dia pakai untuk menutupi auratnya. Kurasakan kesedihannya. Kulihat trauma di matanya yang penuh dengan air mata. Namun untunglah aku masih bisa menyelamatkan kehormatannya. 108
Kemuning Cinta Tanpa Bicara Aku bersamanya menyusuri semak-semak. Mengantarnya pulang. Dengan air matanya yang masih berderai. Aku berusaha menenangkannya. Kurang beberapa langkah lagi menuju pondoknya. Kami dikejutkan oleh sekumpulan warga membawa gulungan tali tambang, golok, dan sabit berteriak kepada kami. “Hei...! Kalian telah berbuat tidak pantas di dusun ini. Kalian tinggal pilih. Aku usir kalian atau kalian menikah?” Suara perangkat dusun seakan petir bagiku. “Maaf bapak-bapak semuanya. Kami tidak melakukan perbuatan yang biadab. Kalian salah paham terhadap kami.” Aku mengangkat kedua tanganku menahan kemarahan mereka. “Bohong, Pak! Saya melihat dengan mata kepala saya sendiri. Mereka berbuat mesum di dusun ini. Lihat saja pakaiannya sudah berpindah ke Kemuning.” Pria kurus berkulit sawo matang yang tadi aku pukul saat hendak memperkosa Kemuning. Dia beralih memfitnah kami. “Dasar pria asing biadab! Kemuning itu gadis bisu. Apa ini niatmu membuat dusun ini tercemar akan ulahmu!? Dasar pria kota tidak tahu diuntung!” Penduduk semakin marah terhadap kami. Hendak memukul kami. Aku melindungi tubuh Kemuning. Merangkulnya. Kami diarak ke balai dusun yang letaknya hingga satu kilo meter. Tangan kami diikat seperti hewan yang hina. Ya Allah... cobaan apa lagi ini. Setelah diri ini kerampokan dan dibuang di jurang. Sudah satu bulan aku di dusun ini. Aku sulit menghubungi Citra. 109
Kemuning Cinta Tanpa Bicara Balai dusun itu sudah ramai penduduk. Menyaksikan kami yang sudah sangat terhina. Aku melihat Kemuning menunduk menangis. Berkali-kali aku menjelaskan kalau mereka salah paham. Namun sia-sia. Mereka tetap menyudutkanku pada pilihan. Menikahi Kemuning atau kami diusir dari dusun. Aku minta mereka memberikan waktu sepuluh menit untuk berpikir. Mbah Parto dan ibunya Kemuning sudah sampai di balai dusun. Melihat keadaan kami yang terikat dengan penuh kehinaan. “Nyapo to, Nduk. Awakmu berbuat seperti itu?” Ibu Kemuning mendekati Kemuning dengan derai air mata. Memeluknya. Kemuning hanya bergeleng. Tak mampu menjawab. Tangisnya semakin menjadi. “Le, Arya. Kenapa kamu berbuat itu? Kalau kamu suka dengan Ning. Bilang sama Mbah. Aku sudah tahu perhatianmu saat melihat Ning wis beda.” Ucapan mbah Parto semakin membuatku tidak berdaya. Aku bingung. Aku harus memutuskan hal besar ini sendiri. “Baik… Baiklah bapak ibu semua. Aku sudah ambil keputusan.” Aku mengambil nafas panjang. Melihat Kemuning yang menangis dalam pelukan ibunya. “Aku akan nikahi Kemuning.” Aku hembuskan napasku. Dalam kepasrahan yang mendalam. Tidak ada jalan lain. Aku terpaksa melakukannya untuk melindungi kehormatan Kemuning. Selain itu melindunginya dari cengkeraman buas pria yang hanya melecehkan kehormatannya dan cacat yang dia derita. 110
Kemuning Cinta Tanpa Bicara Aku mendekati Kemuning. Menanyakan kesanggupannya untuk aku nikahi. Kupegang dagunya yang sudah basah karena air mata. Kumelihat manik matanya. “Ning, maukah kamu untuk aku nikahi? Ini demi menjaga kehormatanmu agar tidak ada pria lain merendahkan harga dirimu dan kekuranganmu.” Dia terdiam sesaat. Menarik napasnya. Mengangguk penuh kepasrahan kepadaku. Esok harinya. Semua warga berkumpul di balai desa. Menantikan janjiku untuk menikahi Kemuning. Wanita bisu yang tidak berdaya akan keadaan. “Saudara Mahendra Arya Putra. Saya nikahkan kamu dengan Anjani Kemuning binti almarhum Karta dengan maskawin sebuah Al Qur’an dibayar tunai.” Penghulu mewakilkan almarhum Karta. Ayah angkat Kemuning. Yang aku tahu cerita dari Pak Parto. Kemuning ditemukan di jurang dalam pelukan jasad wanita tua. Dia masih bayi. Tanpa identitas. Hanya sebuah cincin yang ditautkan pada kalung saja selalu ada di lehernya hingga sekarang. Saat itu dia berkebaya putih sederhana dengan jarit parang barong. Jarik yang berpola suci menyiratkan raja jaman dahulu memiliki sifat hati-hati dalam menjaga diri. Seperti diri ini yang tidak rela melihat gadis malang ini, kesuciannya direnggut oleh pria biadab. Aku masih menjaga kesuciannya. Berkerudung putih berhias seadanya. Dia terlihat cantik saat itu. Meski tanpa make up. Namun aku tidak mencintainya. 111
Kemuning Cinta Tanpa Bicara “Saya terima nikah dan kawinnya Anjani Kemuning binti almarhum Karta dengan maskawin sebuah Al Qur’an di bayar tunai.” Aku mantapkan ucapanku untuk menikahinya. Namun hati ini belum siap menerimanya untuk menjadi istriku. Terlalu dini hubungan ini. Aku tak mampu. Semua berteriak mengesahkan ijab qobulku. Memberi selamat. Termasuk pria yang hendak memperkosa Kemuning juga hadir menyaksikan kami. Malam pertama saat itu. Aku memasuki kamar kami. Kemuning sudah duduk di sisi ranjang kecil yang terbuat dari bambu dengan kasur tipis di atasnya. Ranjang itu berseprei warna biru yang sudah memudar warnanya. Dia menunduk saat aku memasuki kamar itu. Kulihat dia memainkan ujung jarinya. Gugup akan kehadiranku. Aku bersikap wajar. Mendekatinya. Dia berdiri menantikanku. Kebaya putih dan kerudung masih lengkap dia kenakan. Aku pegang dagunya. Mengangkat wajahnya untuk lebih dekat aku memandangnya. Ada raut kepasrahan mendalam akan kehadiranku. Namun aku tidak sanggup. Tidak ada cinta untuknya. Aku hanya menolongnya. “Ning, maafkan aku. Aku belum siap untuk memetik ranum cintamu. Terlalu dini aku bisa menerimamu sebagai istriku.” Ucapan itu yang sanggup aku ucapkan. Aku tahu itu membuatnya terpuruk. Menelan 112
Kemuning Cinta Tanpa Bicara kepahitan atas penolakanku. Namun aku tak bisa menerima segalanya semudah itu tanpa dasar cinta. Karena cinta adalah bagian dari pernikahan bukan atas dasar nafsu. Aku menyadari dia wanita yang menyita perhatianku beberapa minggu lalu. Melihatnya saat melintasi pondok mbah Parto. Memperhatikannya saat memetik kembang turi. Ketika gerimis senja itu. Aku memandanginya semua yang ada padanya. Membuatku terpesona saat itu. Namun bukan cinta. Keadaan yang memaksaku tanpa memberi waktu untuk mencintainya. Terlalu singkat aku mengenalnya. Waktu telah mengikat kebekuan hatiku untuk menerimanya. Maafkan aku, Ning. Kupergi dan berlalu darinya. Meninggalkannya sendiri di kamar sederhana. Di pondok mbah Parto. Orang yang telah menolongku. Tiga hari setelah pernikahan kami. Keajaiban terjadi. Citra datang menjemputku. Dia selama sebulan mencariku. Menyebarkan berita pencarianku di surat kabar, televisi hingga media sosial. Hingga kepala dusun mengetahui berita kehilanganku di sini. Aku memboyongnya bersama ibunya. Ibu angkatnya yang sejak kecil membesarkannya. Pesan mbah Parto untuk aku menjaganya. Menerimanya dengan tulus. Jangan menyia-nyiakannya. Aku jaga pesan itu sekuat yang aku bisa. Meski rasa sayang ini masih sama. Namun cinta belum ada didalamnya. 113
Kemuning Cinta Tanpa Bicara Malam-malamnya selalu aku hias dengan diam. Mendiamkannya tidur di ranjang tanpaku. Mendiamkannya berselimut sendiri tanpa memeluknya. Mendiamkan hasratnya terhadapku tanpa sambut hangatku. Aku ingat langerie yang dia kenakan. Berwarna merah menggoda. Dengan gerai mayangnya yang terurai panjang. Memikatku. Membuatku bernafsu inginkan dia. Ingin memeluknya. Menikmati indahnya surga dunia bersamanya. Namun bukan itu yang kuingin. Nafsu tak ingin membutakan nuraniku. Tak ingin gugurkan keimananku. Tak ingin dia bernasib sama seperti almarhum ibu. Cinta bapak yang berselimut nafsu. Mencampakkan ibu. Meninggalkan aku dan Citra tanpa tiang kuat penyangga kehidupan kami. Tanpa figur bapak yang selalu ingin aku banggakan. Bapak pergi meninggalkan kami bersama wanita lain setelah ibu divonis menderita kanker tulang. Kami bertahan tanpanya. Hingga tiga tahun kemudian ibu menghembuskan nafas terakhirnya. Setelah tiga tahun tanpa belas kasih bapak. Kepergiannya menyisakan kebencianku pada bapak. Meski ibu melarangku untuk membencinya. Sepeninggal ibu, menyisakan kepahitan bagiku dan Citra. Selama ini, kakeklah yang membantu perekonomian kami. Sebagai penebus kesalahan putranya yang telah meninggalkan kami. Dia kakek dari bapak. Kakek orang abdi dalem yang terikat pernikahan dengan keluarga keraton. Hal itu yang membuat bapak semena-mena pada ibu yang hanya berkasta sudra. 114
Kemuning Cinta Tanpa Bicara Kakek menyekolahkan kami hingga sampai universitas. Dia sangat menyayangiku dan Citra. Pesannya yang masih kuingat. “Le…, Ojo niru lakune24 bapakmu. Jadilah pria yang bertanggung jawab. Jangan hanya mengumbar nafsu. Karena nafsu tidak akan pernah ada habisnya. Aku tidak ingin sifat bapakmu mewarisimu.” Itu ucapan terakhir almarhum kakek. Kakek yang sudah aku anggap pengganti figur bapak. Ini alasanku hingga sekarang belum menyentuhmu, Ning. Belum mampu menerima gairahmu. Keinginanmu. Harapanmu. Aku selalu terpesona akan senyummu. Namun aku belum ingin mengecup bibirmu. Aku sangat bersemangat saat membopongmu. Namun aku belum sanggup untuk membawa mimpi-mimpi surga dunia itu bersamamu. Aku tidak ingin ini nafsu. Membelengguku dalam kehinaan. Yang akan tega meninggalkanmu setelah madu itu kering. Aku bukan bapak yang mudah sekali bermain cinta dan meninggalkannya dengan tega. Bukan. Bukan itu inginku, Ning. Hatiku seakan menangis melihatmu menangis. Aku tahu itu. Aku belum mampu menunaikan kewajibanku sebagai suami seperti harapanmu. Belum bisa memberikan nafkah batin yang menjadi hakmu. Tak terasa air mataku menetes. Meski harus kutahan. Keysha melihatnya melalui pantulan cermin jendela pesawat. 24 Jangan meniru jalan hidup 115
Kemuning Cinta Tanpa Bicara “Ar, kamu kenapa?” Dia menepuk bahuku. Mencari manik mataku yang sudah melepaskan setetes air mata. “Ahh... tidak apa-apa, Key.” Aku hapus air mataku yang hendak meleleh kembali. “Kamu menangis, Ar? Kenapa? Cerita ke aku.” Keysha memegang telapak tanganku. Menggegamku. Aku merasa hangat tangannya. Namun sudah jauh berbeda. Aku menepis tangannya untuk tidak menyentuhku. Aku memberi batas atas hubungan kami. “Aku ingat almarhum ibu.” Aku bersedekap. Menghindari Keysha menyentuhku lagi. Hubungan kami sudah usai. Tidak akan ada hal yang istimewa. Keysha mencondongkan tubuhnya menghadapku. Memandang wajahku lebih dalam. Aku menghindari pandangan itu. “Maafkan aku ya, Ar. Aku tidak ada saat hari-hari terberatmu. Hingga pernikahan kita saat itu. Aku tidak datang untukmu.” Keysha membuka pembicaraan yang membuatku muak. Dia ingin membuka lembaran lama yang sudah dia tutup. Lembaran masa depan kami dulu. “Sudahlah, Key. Aku sudah melupakannya. Jangan kamu ungkit- ungkit lagi.” Aku berpura-pura mencari ponselku. Menghindarinya untuk berbicara tentang masa lalunya bersamaku. Ponsel sudah aku genggam. Ada kirim pesan WA ke Kemuning. AKU : Assalamuallaikum, Ning. 116
Kemuning Cinta Tanpa Bicara BIDADARI SURGAKU : Wa’alaikumsalam, Mas. AKU : Lagi nyapo, Ning? BIDADARI SURGAKU : Baca mushaf Mas. Meneruskan hafalan. AKU : Yowis, Ning. Ini tinggal setengah jam sampai bandara Changi Singapura. Nanti kalau aku sudah sampai hotel aku video call kamu. BIDADARI SURGAKU : Inggih, Mas. AKU : Jangan lupa makannya yang teratur ya, Ning. Jaga kesehatan. BIDADARI SURGAKU : Inggih, Mas. Insyaallah. AKU : Yowis, Assalamuallaikum, Ning. BIDADARI SURGAKU : Wa’alaikumusalam, Mas. Aku tersenyum sendiri setelah mengirim pesan WA kepadanya. Ada sesuatu yang telah mengubahku. Menjadi lebih bahagia dari sebelumnya. 117
Kemuning Cinta Tanpa Bicara “Wah, lagi senang ya. Habis whatsaap dengan istri?” Keysha melihat raut wajah sumringahku. Entahlah, sekarang aku merasa tenang setelah mengetahui kabar Kemuning. Mengingat wajahnya hatiku menjadi teduh. Melihat senyumnya membuatku tenang. Seakan aku berwudhu di telaga bening dan sejuk. Sulit sekali menggambarkannya. Kepala Keysha bersandar di bahuku. Tangannya menyusup di sela-sela lenganku. “Ar, apa kamu masih mengingat kebersamaan kita dulu.” Aku tersentak akan sikapnya. Apa maksud dari kata-katanya? Aku berusaha menghindari tangannya untuk lepas dari lenganku. Namun dia semakin erat memegangku. Semakin ingin manja seperti waktu dulu kami bersama. Aku tidak merasa nyaman namun aku tidak bisa berkutik. Berpindah tempat pun tanggung. Sebentar lagi pesawat akan mendarat. Kupasrah. Kusandarkan kepala pada kursi melihat langit-langit badan pesawat yang berwarna putih. Mengingat senyuman Kemuning malam itu. Senyuman memikatnya. Senyuman yang ingin selalu kucari di setiap aku ingin menatap wajahnya. 118
Kemuning Cinta Tanpa Bicara 10 PENGKHIANATAN CINTA POV : Mahendra Arya Putra (Mas Arya) Kami sudah sampai di bandara Changi Singapura. Tepat di terminal satu, kami disambut di gate arrival lalu turun menuju imigrasi Singapore. Melakukan cap imigrasi dan menuju pengambilan barang di bagasi. Mengecek barang-barang kami. Uppss... koper Tito ada kerusakan. Jadi terpaksa dia melakukan klaim asuransi ke pihak penerbangan yang kami tumpangi. Butuh waktu sekitar satu jam untuk memprosesnya. Aku permisi pada Tito untuk sholat karena ini sudah waktunya sholat maghrib. Marcel dan Faiz lebih memilih di lounge room untuk bersantai di lantai dua. Di sana terdapat foodcourt dan ruangan sholat juga. Keysha mengikutiku. Ruang sholat yang cukup luas dengan dua ruangan terpisah antara wanita dan pria. Tempatnya bersih dan nyaman sehingga ada sebagian pengunjung tidur-tiduran di ruangan ini. Untuk fasilitas alat-alat sholat sudah cukup lengkap memudahkan pengunjung untuk beribadah. Selepas kami sholat. Keysha menarikku untuk menikmati minuman hangat di foodcourt. 119
Kemuning Cinta Tanpa Bicara “Ar, kesana yuk!” Aku mengikuti genggaman tangannya. Genggaman yang sama saat kurajut kisah asmara bersamanya dulu. Kami duduk di bangku dengan meja lumayan sempit. Hanya cukup untuk meletakkan dua piring makanan dan dua gelas minuman saja. “Sebentar ya, Ar. Aku pesan dulu. Oh ya, kamu mau makan juga tidak?” Keysha memegang tanganku lagi. “Tidak usah, Key. Nanti saja di hotel sekalian makan malam.” Aku menepis tangannya dan menyandarkan punggung ke kursi dengan tangan kuletakkan di kedua paha. Menghindarinya. “Oh... Oke!” Dia bergegas menuju meja pelayanan. Aku menunggunya. Melihat arlojiku yang tepat jarum jam menunjukkan pukul 06.30. Keysha kembali duduk di depanku. Kembali memandangku. Aku pura-pura sibukkan diriku memperbaiki pengait arlojiku. “Hei...! Ar. Ini arloji pemberianku dulu kan? Masih kamu pakai.” Dia menarik telapak tanganku. Mengamati arloji berwarna metalik. “Aku tidak akan menyia-nyiakan pemberian dari siapa pun yang benar-benar tulus untukku, Key.” Itu jawaban jujurku. Memang itu adalah tipeku. Selalu menghargai apapun pemberian dari orang lain. Karena pastilah orang itu yang memberinya dengan tulus dan ikhlas. 120
Kemuning Cinta Tanpa Bicara Kulihat gurat senyum bahagia di bibirnya. Dia mungkin tak menyangka. Pria yang sudah dia sia-siakan masih memakai barang pemberiannya. Pelayan membawa nampan yang terdapat dua cangkir minuman. Aromanya cappuccino yang menyengat. Terlihat sangat pekat. Itu minuman kesukaannya. Tapi bukan kesukaanku. Pelayan itu menaruh dua cangkir capucino panas di meja kami. Asap masih mengepul di atasnya. “Maaf, Key. Aku tidak minum kafein. Lebih baik aku minum air putih saja.” Itu tipe Keysha yang tidak pernah mau tahu yang aku sukai. Dengan ini aku ingat secangkir teh jahe buatan Kemuning yang menemaniku setiap petang atau waktu aku bertarung dengan laptop. Bekerja di kamar kami. Aku juga mengingat malam itu. Secangkir teh kayu manis dengan jahe di dalamnya. Meredakan perutku yang sakit. Oh... kenapa aku mengingatnya. “Apa perlu aku ganti yang lain, Ar? Maaf ya...” Dia memegang tanganku lagi saat tanganku kuletakkan di permukaan meja. “Tidak perlu, Key. Minumlah. Aku tak masalah kok.” Kutepis lagi tangannya. Aku bersedekap. Dia menikmati secangkir cappuccino panasnya sembari matanya masih terpaku padaku. Aku melihat ke arah lain. Menghindari pandangannya. Ponselku berbunyi. WA dari Tito. Rupanya masalah klaimnya sudah beres. 121
Kemuning Cinta Tanpa Bicara “Key, masalahnya Tito sudah selesai. Dia minta segera kita menemuinya.” Aku menunjukkan pesan WA pada Keysha. Kami kembali ke tempat bagasi barang. Kami membawa koper- koper dan beranjak menuju hotel. Aku sekamar dengan Faiz. Sahabatku yang masih jomblo. Kamar kami berhadapan dengan kamar Keysha. Sedangkan kamar Tito dan Marcel ada di sebelah. Kulihat di arlojiku masih jam 07.15. Hendak kuhubungi Kemuning kalau aku sudah sampai di hotel. Namun di sana sudah masuk waktu isya’. Dia pasti masih sholat dan melanjutkan zikir dan bacaan mushafnya. Aku wurung. Aku lebih baik siap-siap sholat isya’ dulu. Aku ambil sajadah dan baju kokoku. Faiz membenamkan tubuhnya di permukaan ranjang pegas yang lembut dengan bed cover warna putih bersih. Aku mandi. Ingin segarkan tubuhku sebelum aku ambil wudhu. Selepasnya aku keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambutku yang masih basah. Aku melihat baju koko dan sarungku yang kuhamparkan ke ranjang. Terlintas akan Kemuning. Dia selalu menyiapkan semua yang aku butuhkan. Termasuk pakaian yang hendak aku kenakan saat berangkat kerja. Ahhh... Arya... Arya... kemana pikiranmu. Melantur. 122
Kemuning Cinta Tanpa Bicara Ketika aku masih asyik memainkan tasbihku. Berzikir. Kudengar suara pintu kamar kami terketuk. Faiz bangkit dari tidurnya bergegas membukakan pintu. Kudengar suara Keysha. Dia sudah masuk kamar kami. Duduk di kursi menantikanku selesai berzikir. “Waduh, Key. Lihat Arya kok begitu banget. Jangan bilang masih mencintainya. Ingat dia punya istri.” Suara Faiz cukup keras aku mendengarnya. Aku masih menunduk. Menguntai puji-pujian kepada Sang Pencipta. “Ihh... apaan sih, Iz. Gak lah. Aku cuma heran. Sejak dulu dia tidak pernah berubah. Masih Arya yang dulu. Pria sholeh. Idaman wanita.” Keysha berbicara lirih. Aku selesai berzikir. “Aamiin ya Allah.” Aku menjawab ucapan Keysha. Dia terlihat tersipu dengan senyumannya. Senyuman yang sama. Tapi perasaan yang sudah berbeda. “Yuk, naik. Kita makan malam. Sudah lapar nih. Aku sudah WA Marcel dan Tito untuk sekalian kita makan sama-sama.” Keysha beranjak dari tempat duduknya. Kami sudah sampai ruangan makan. Cukup luas. Di meja panjang sudah berjajar makanan. Itulah layanan hotel di sini. Makanannya tidak terlalu sesuai dengan lidahku. Aku lebih suka makanan rumah. Masakan mbok Yem dan sekarang aku lebih suka masakan Kemuning. Ya Allah, aku ingat sayur asem, pepes tuna, sambal mangga buatannya. Tempe dan tahu goreng buatannya meski sederhana 123
Kemuning Cinta Tanpa Bicara namun sangat pas saat di sandingkan dengan sayur bobor sambel terasi buatannya. Hemmm... semua lezat. Terpaksa aku ambil spageti dengan udang goreng. Meski sebenarnya tidak membuatku senang. Aku semakin rindu masakannya. Hanya ada empat kursi dengan beberapa meja kecil di ruang makan tersebut. Mejanya lumayan banyak. Aku terlambat untuk memenuhi meja yang sudah di duduki Marcel, Tito, Faiz dan Keysha. Jadi, terpaksa aku cari meja kosong. Dapat. Tepat dekat dengan jendela dengan bingkai yang besar. Sehingga aku dapat melihat pemandangan Singapura malam hari. Indah sekali. Kulihat arloji lagi waktu sudah pukul delapan. Aku ambil ponselku. Ingin video call Kemuning. Memberi kabar kalau aku sudah sampai di hotel. “Assalamuallaikum, Ning...” Dia hanya tersenyum. Mukenanya masih dia kenakan. “Aku ganggu ya?” Kusandarkan ponselku pada gelas yang berisi air mineral untuk memudahkanku memainkan garpu untuk membelit spageti. Dia bergeleng. Hanya tersenyum. Kulihat rona merah pipinya mulai nampak. Adem banget hatiku. “Oh ya, Ning. Sudah makan belum?” Dia bergeleng lagi. Aku hanya menghela napas panjang. “Ar, aku duduk di sini ya? Lebih enak di sini deh makannya. Bisa melihat pemandangan juga.” Keysha melintas di belakangku. Video 124
Kemuning Cinta Tanpa Bicara call di ponselku menangkap gambar tubuh Keysha. Wajah Ning menjadi berubah. Dia menjadi murung. “Yowis, Ning. Kamu makan dulu ya. Nanti kalau aku sudah kembali di kamar hotel aku telefon kamu lagi. Assalamuallaikum...” Kututup ponselku. Kuselipkan di kantong celana jeansku. “Hemm... habis video call dengan istrinya nih.” Keysha memainkan sendoknya yang kulihat makanannya tinggal separuh. “Iya, memberi kabar. Biar dia tidak cemas.” Aku menjawabnya sembari memasukkan spageti dari garpu ke mulutku. “Sifatmu tidak berubah ya, Ar. Itu yang aku suka dari kamu. Tidak ingin membuat pasanganmu khawatir. Care.” Dia berbicara masih datar dan bersikap wajar. Aku hanya membalasnya dengan senyuman. “Kamu tidak ingin bertanya mengapa aku tidak hadir dipernikahan kita, Ar?” Aku terkaget dan membuatku tersedak. Keysha membuka luka lamaku. Aku ambil segera segelas air putih dan meminumnya untuk meredakan batukku. Dia menghentikan pembicaraan. Menunggu jawabanku. “Sudahlah, Key. Aku sudah melupakannya.” Aku hela napas panjang. Mengingat akan masa lalu kami. Sepuluh tahun lalu cinta terukir diantara kami. Aku mahasiswa yang berpenampilan terlalu polos. Bahkan panggilanku adalah mahasiswa cupu, kuper dan semacamnya. 125
Kemuning Cinta Tanpa Bicara Sebenarnya itu tidak masalah buatku. Niatku hanya fokus kuliah. Mewujudkan mimpi ibuku dan tidak ingin membuat kakek kecewa. Jadi aku tidak memperdulikan penampilan. Hingga suatu ketika aku melihat Keysha yang hendak di lecehkan oleh seorang pria. Pria itu dikenal playboy. Maklumlah anak orang pengusaha kaya. Jadi setiap wanita yang dia suka harus mau dengannya. “Key, please terima aku!” Pria itu memegang tangan Keysha dengan paksaan. Kudengar nada pemaksaan sembari membentak Keysha. Keysha menangis saat itu. “Var, maafkan aku. Aku tidak bisa. Aku ingin fokus kuliah.” Wajah Keysha tertunduk. Dengan derai air mata. “Please, Key... terima aku! Kali ini saja. Beri aku kesempatan!” Varo berlutut masih memegang kedua telapak tangan Keysha. Memohon. “Var... maaf... Aku tidak bisa. Maaf.” Keysha dalam ketakutan yang mendalam. Semua mahasiswa tahu, Varo bukan pria baik. Dia arogan. Banyak mantan ceweknya menjadi korban sikap kasarnya hingga tindakan tidak senonohnya. “Baiklah, mungkin dengan ini kamu akan mau menerimaku.” Varo memeluk Keysha dengan paksa. Hendak melakukan pelecehan terhadapnya. “Hei... Mas! Mbok aja maksa gitu to Mas. Mesakne mbak iki.” Aku menepuk bahunya Varo. 126
Kemuning Cinta Tanpa Bicara “Jangan ikut campur. Dasar Cupu!” Dia mendaratkan pukulannya ke wajahku. Untungnya aku pernah menjadi pelatih bela diri. Hingga aku mampu mengalahkannya. “Sekarang Mas Varo tinggal pilih! Tinggalkan kami dan tidak menaruh dendam lagi. Atau aku adukan ke dekan atas perbuatanmu pada Mbak ini!” Aku merenggut krah bajunya. Mengancam. Varo pergi dengan perasaan marah. Hingga sekarang dia menghindar jika kami berpapasan. Keysha tersenyum lega. Tidak ada pengganggu lagi di kehidupannya. “Mbak, tidak apa-apa? Kenalkan aku Arya. Mahendra Arya Putra.” Kacamataku kudorong untuk lebih rapat. Lalu menjulurkan tanganku pada Keysha. Dari sanalah kisah kami bermula. Dia mengubahku dari pria cupu menjadi pria yang menjadi idola di kampus. Keysha wanita smart dan cantik. Dia juga supel. Hingga dosen dan dekan sangat menyukainya. Berlomba-lomba untuk menjadikannya calon menantu. Tapi dia menolaknya dengan alasan ingin mengejar mimpinya hingga bergelar professor. Bagiku dia wanita ambisius. Ingin semuanya serba perfect di matanya. Hingga dia mengubahku menjadi the perfect man. Sudah dua tahun itu kami menjalin persahabatan. Kami memiliki tujuan yang sama. Ingin lulus dengan mulus. Tanpa dibebani oleh 127
Kemuning Cinta Tanpa Bicara perasaan kami masing-masing. Hingga suatu ketika, saat rinai hujan petang itu. Mengubah status kami. Hujan begitu deras. Sepeda motorku mogok sedangkan perjalananku mengantarnya pulang masih sangat jauh. Suasana tidak seperti biasanya. Sangat sepi. Jadi aku dan Keysha menepi di poskamling yang sepi. Dingin. Dengan pakaian yang basah kuyup karena guyuran hujan. Untungnya penjual bakso melintas. Kami hangatkan tubuh dengan makan bakso. Sambil berdebat tentang masa depan kita masing-masing jika lulus universitas. Impiannya begitu dekat. Ambisinya sangat kuat. Namun dia menyerah sesaat ketika aku bicara tentang masa depan untuk menikah. Tentang wanita impianku. “Aku hanya menginginkan seorang istri yang senantiasa mendampingiku apapun keadaanku. Wanita shaliha yang menguatkan keimanku. Menjaga dengan sabar kedatanganku sepulang aku kerja. Selalu menjadi makmum di setiap sholatku. Menjadi ibu yang baik untuk anak-anaku kelak. Sebagai peneduh jiwaku. Dialah bidadari surgaku yang kucari. Bagian tulang rusukku yang masih aku nantikan kehadirannya.” Aku memandang langit kelam. Bulan dan bintang masih mendapat angkuh mendung. Keysha mendekatiku. Menyentuh tanganku dan menggenggamnya. “Ar, seandainya aku wanita itu. Aku bersedia menjadi istrimu.” Aku terkejut akan ucapan Keysha. Aku putar tubuhku. Menghadapnya. 128
Kemuning Cinta Tanpa Bicara Wajahnya tengadah melihat wajahku. Telapak tangannya yang begitu dingin memegang kedua pipiku. Aku mematung. Memberi celah baginya untuk mengungkapkan perasaannya. “I Love You...” Keysha mengucapkan perasaannya. Dia melihat mataku lebih dalam. Saat itu matanya begitu bening. Aku tenggelam di dalamnya. Setelah kami wisuda sebagai wisudawan wisudawati terbaik. Aku penuhi janjiku pada Keysha. Meminangnya. Datang melamarnya ditemani Citra dan kakek. Orang tuanya menerima lamaran kami. Hari-hari kami bahagia saat itu. Aku memahami akan segala kekurangannya. Sikap manjanya yang terkadang muncul sikap egois dan ambisinya. Namun aku terima dia apa adanya. Aku selalu mengalah untuknya. Demi dia bahagia. Aku ingin menjadi pria yang bertanggung jawab seperti kakek. Meski umurku masih dua puluh lima tahun saat itu. Pernikahan kami sudah diambang pintu. Undangan sudah disebar. Kulihat wajah ibu begitu bahagia. Harapannya segera melihat cucunya sebelum dirinya dipanggil Sang Maha Kuasa sudah terlihat di manik matanya. Aku bahagia jika ibu bahagia. Mungkin ini adalah obat baginya. Untuk semangatnya melawan penyakit yang dideritanya. Esoknya, pukul sembilan pagi. Matahari telah mengibas cerah cahayanya. Secerah diriku hendak membuka lembaran hidup baru. Mengarungi bahtera hidup berumah tangga. Angan-angan hidup bahagia dengan wanita yang kucintai membentuk keluarga kecil kami. 129
Kemuning Cinta Tanpa Bicara Semua orang-orang datang menyaksikan hari bahagiaku termasuk teman-teman dan sahabatku. Memberikan restu dan doa yang terbaik untuk kami. Sudah lewat pukul sepuluh. Penghulu sudah menanti sudah satu jam. Beliau gusar. Karena jadwalnya padat saat itu. Hingga beliau pamit. Aku sudah putus asa mencegah penghulu untuk menanti sebentar lagi. Aku tertunduk. Menitihkan air mata. Seharusnya ini air mata bahagiaku. Namun ini air mata kekalahanku. Aku kalah hari ini. Yang lebih menyakitkan, ibuku syok dan semakin kritis kesehatannya. Hari itu. Tanggal itu. Jam itu. Aku ingat semuanya. Aku kehilangan ibu. Wanita pertama yang aku cintai. Air mataku sudah kering untuk meratapi kepergiannya. Hanya memandangi papan nisannya. Menaburkan bunga-bunga untuknya. Entah seakan aku sudah kehilangan nyawa. Harapan apapun sudah hangus. Terbakar pengkhianatannya. Pengkhianatan Keysha Larasati. Aku bertahan demi Citra. Adikku. Wanita berikutnya yang aku cintai. Dia masih berumur lima belas tahun saat itu. Jiwanya lebih rapuh dari pada aku. Aku harus lebih kuat. Setelah Keysha tidak hadir di hari pernikahan. Entah seakan dia hilang ditelan bumi. Tiada kabar apapun. Aku tidak ingin mendengar namanya lagi. Aku ingin bangkit tanpa bayang-bayangnya. Tanpa namanya. 130
Kemuning Cinta Tanpa Bicara Aku melanjutkan gelar profesiku sebagai dokter spesialis anak. Itu atas saran kakek. Dia korbankan segalanya demi aku dan Citra. Kakek yang membangun kembali kepercayaanku. Hingga aku berhasil bekerja sebagai dokter di rumah sakit kota yang ternama karena prestasiku dan dedikasiku. Kulalui itu semua hingga sekarang hampir sepuluh tahun perjalanan takdirku. Tanpa nama Keysha Larasati. “Ar, melamun ya? Lagi pikirkan tentang aku?” Dia mencolek lenganku. Aku tersentak. Menarik napas panjang. “Gak kok, Key. Sepertinya aku harus cepat-cepat selesaikan makanku dan kembali ke kamar hotel. Besok kita jadwal awal observasi?” Aku mencoba menghindarinya. Menghindar dari masa laluku. “Oke, tapi kamu baik-baik saja kan, Ar?” Keysha memegang punggung tangan kiriku. Mengelusnya perlahan. Matanya tajam melihatku. “Aku baik-baik saja, Key. Hanya saja aku harus fokus akan tugas ini. Ini adalah amanah rumah sakit kita untuk meningkatkan kredibilitas pelayanan.” Aku menarik tanganku. Segera menyelesaikan makanku. Aku pamit ke kamar hotel lebih dulu. Sampai di sana, kurebahkan tubuh ini menyatu bersama permukaan ranjang pegas. Memejamkan mata sesaat. Menarik napas dalam-dalam. Menenangkan pikiranku saat di meja makan bersama Keysha tadi. Dia telah berhasil membuka luka lamaku kembali. 131
Kemuning Cinta Tanpa Bicara Aku melihat ke langit-langit. Terlintas siluet Kemuning. Segera saja aku rogoh saku celana. Mengambil ponselku. Aku ingat janjiku untuk menghubunginya. Aku kirim pesan WA kepadanya agar tidak mengganggunya jika dia memang sudah tidur. AKU : Assalamuallaikum, Ning... Aku menunggunya membalas pesanku. Lumayan lama sekitar lima menit aku menanti jawabannya. Aku bangkit menuju kamar mandi. Ambil wudhu untuk segera tidur. Lalu membuka ponselku lagi. Ada pesan balasan dari Kemuning. Alhamdulillah... BIDADARI SURGAKU : Wa’alaikumsalam, Mas. AKU : Lagi apa, Ning? BIDADARI SURGAKU : Mau tidur, Mas. AKU : Memang sudah ngantuk ya, Ning? BIDADARI SURGAKU : Dereng, Mas. AKU : 132
Kemuning Cinta Tanpa Bicara Aku video call ya? Boleh? BIDADARI SURGAKU : Inggih, Mas. Aku cepat-cepat menekan tombol yang bergambar video di layar ponselku. Gambarnya muncul. Masih menantinya untuk diangkat. Dia mengangkatnya. Masyaallah... Dia sudah memakai kimono berwarna merah jambu bermotif bunga lili. Rambutnya tergerai indah. Hatiku berdesir. Aku canggung di depannya. Dia tersenyum aku membalasnya dengan senyuman. Aku bingung. Memulai obrolan dari mana. “Ning, besok saling mengingatkan tahajud ya? Jika kamu bangun lebih dulu. Kamu dibangunkan aku ya. Video call aku. Atau kirim pesan ya?” Dia mengangguk sambil tersenyum. Aku menarik napas panjang. Mengatur detak jantungku yang berpacu. “Ning, kalau aku yang bangun lebih dulu. Ya aku bangunkan kamu.” Dia mengangguk lagi. Senyumannya semakin menawan. Kulihat dia menyampingkan mayangnya yang panjang lebih sebahu. “Oh ya, Ning. Sudah wudhu belum?” Dia menggelengkan kepala. Tetap dengan senyumnya. “Yowis, ambil wudhu sana. Cepat bobok ya. Biar besok bisa bangun tahajud. Assalamuallaikum, Ning...” Aku menutup ponselku. Kuletakkan di meja kecil dekat lampu hias. 133
Kemuning Cinta Tanpa Bicara Aku menumpuk telapak tanganku menyangga kepalaku. Melihat langit-langit. Mengingat senyumnya malam ini. Dengan gerai mayangnya yang indah. Hingga aku terkantuk. 134
Kemuning Cinta Tanpa Bicara 11 TERSERET MASA LALU POV : Mahendra Arya Putra (Mas Arya) Kami menuju perjalanan ke rumah sakit ternama di Singapura. Changi General Hospital. Rumah sakit ini dibangun khusus untuk melayani penduduk Singapura di bagian timur dan tenggara. Changi General Hospital menduduki peringkat ke tujuh di Singapura dan peringkat 1.368 di dunia. Mengapa pihak rumah sakit mengirim kami studi banding selama seminggu di rumah sakit ini?, hanya ada satu alasan, yaitu karena mutu pelayanannya yang sudah diakui dunia. Rumah sakit ini memiliki lebih dari 23 pelayanan medis komprehensif, mulai dari bedah umum, penyakit dalam, kardiologi, THT, bedah ortopedi, hingga kedokteran olahraga. Selain itu, Changi General Hospital memiliki enam pusat spesialis, yaitu Pusat Medis Payudara, Changi Sports Medicine Centre, Diabetes Centre, Geriatric Centre, Integrated Sleep Service, dan Pusat Medis untuk Travellers International. 135
Kemuning Cinta Tanpa Bicara Ponselku berbunyi. Ada WA dari Citra masuk saat perjalananku menuju rumah sakit Changi. Aku membukanya. Mungkin ada hal yang penting. CITRA ADIKKU : Assalamuallaikum, Kang Masku sing ganteng dewe...hehe Sebelum berangkat menuju medan laga ehh... bekerja. Kupersembahkan bidadari cantik yang selalu merindukanmu. AKU : Wa’alaikumusalam... Hemmm... siapa? Jantungku tiba-tiba berdebar akan kiriman pesan Citra. Jangan- jangan dia. CITRA ADIKKU : Taraaaa.... Muncul foto Kemuning berbusana putih dengan motif bunga- bunga kecil. Berkerudung warna merah jambu dengan senyumannya yang menawan. Masyaallah, cantik sekali. Aku tidak berkedip sedetikpun saat melihat potretnya di layar ponselku. 136
Kemuning Cinta Tanpa Bicara CITRA ADIKKU : Tuh... ayu tenan to mbak Ningku... Wis konsentrasi kerja sana. Doa mbak Ning untukmu. Pesannya, agar selalu jaga kesehatan. Jangan sering makan yang pedas-pedas lagi. Nanti mules. Ingat Mbak Ning tidak ada di sampingmu Mas...hihihi... CITRA ADIKU : Kapan ajak Mbak Ning bulan madu di sana, Mas? Hihi... Yowis... ngono ae ya... ingat pesanku. Jangan kecantol si centil Keysha lagi ya... Di eman-eman, Mbak Ning menanti dalam rindunya. Assalamuallaikum Kang Masku sing ganteng.... AKU : Wa’alikumusalam Adikku sing ayu dewe... Aku tersenyum-senyum sendiri di perjalanan. Kupandangi foto Kemuning dengan hati berbunga-bunga. Sepertinya lengkung senyumnya telah membuat lintasan pelangi di hatiku. Aku sandarkan sikuku pada tepi pintu taxi. Telapak tanganku menempel di bibir. Menutupi senyumanku sembari melihat lalu lintas di Changi yang mulai padat. Gambarnya membuatku semangat pagi ini. Citra... Citra... terima kasih ya adikku sayang... bikin surprise buat masmu ini. Aku tersipu sendiri. Sesekali melihat foto Kemuning. Lebih baik aku buat wallpeper di ponselku. Biar aku tidak repot mencari gambarnya. 137
Kemuning Cinta Tanpa Bicara Taxi sudah tiba di depan Rumah Sakit Changi. Rumah Sakit yang megah. Terlihat pada kontruksi bangunan lebih dari tiga lantai. Mirip hotel berbintang lima. Lobi rumah sakit cukup banyak pengunjung sedang duduk di ruang tunggu dengan tempat yang sangat nyaman. Ada lima loket pelayanan. Semuanya dibantu layanan dengan teknologi yang canggih. Pelayanan yang ramah itu kesan yang lihat pada petugas yang ada di lobi rumah sakit. Kami langsung menuju ruang manager rumah sakit. Mengantarkan berkas pengantar dan perijinan kami saat melakukan observasi sekaligus menjalankan kerjasama. Keysha yang menghubungkan kami dengan manager rumah sakit. Karena Keysha bagian dari dokter ahli di rumah sakit ini. Meski pun kerjanya tidak terlalu terikat. Itu pilihannya. Dia lebih memilih jam bekerja di rumah sakit tempatku lebih full. Aku tidak tahu alasannya sebenarnya. Padahal di rumah sakit ini dia di gaji jauh lebih besar dari pada rumah sakit di Indonesia. Masalah perijinan sudah beres. Kami langsung melakukan observasi ruangan per ruangan dan berbagai fasilitas di sana. Layanan kelas kesehatan di sana ada empat kategori yaitu A1, B1, B2 dan C. Aku mulai memasuki ruangan layanan yang saya katakan paling executive VIP class. Ada di lantai paling atas sebelah kiri bangunan. Memang sangat luar biasa. Terdapat satu ranjang rawat dengan fasilitas televisi layar datar yang terdapat panel yang 138
Kemuning Cinta Tanpa Bicara memudahkan untuk diatur jaraknya saat kita menontonnya. Tidak hanya itu. Ventilasi tidak terlalu besar. Karena terdapat AC di ruang itu lengkap dengan jaringan telepon, wifii dan sofa sudut lengkap dengan meja kaca. Setelah mengamati dan mengagumi fasilitas A1, kami beranjak ke jenjang layanan B1. Ruangnya berisi empat ranjang rawat dengan ventilasi standar. Namun fasilitas sudah cukup nyaman. Tersedia dua telepon yang terletak di antara dua ranjang rawat yang masing-masing ranjang terdapat televisi namun tidak tersedia wifii maupun AC. AC tergantikan kipas angin yang tertaut di atas langit-langit. Tidak ada sofa maupun meja minimalis. Hanya satu kursi bagi pengunjung pasien disetiap ranjang rawat. Untuk layanan B2. Terdapat enam ranjang rawat dengan dua fasilitas telepon tanpa televisi. Sedangkan layanan C terdapat delapan ranjang rawat dengan ventilasi standar. Mengobservasi ruang demi ruang tak terasa jam menunjukkan pukul dua belas siang. Waktu kami rehat. Aku permisi untuk mencari ruang ibadah. Karena sudah dekat waktu sholat dhuhur. Marcel, Tito dan Faiz masih mengikuti Keysha dan beberapa pembimbing layanan dalam memperkenalkan segala fasilitas rumah sakit ini. Aku bertanya pada office boy dimana letak ruang ibadah. Dia menunjukkan arah di sudut lantai dua. Di sana terdapat ruangan yang tidak terlalu luas berkarpet bersih. Di sebelah ruangan terdapat toilet dan beberapa kran air untuk berwudhu. Aku bergegas mengambil air wudhu. Melaksanakan kewajibanku sebagai muslim. 139
Kemuning Cinta Tanpa Bicara Aku masih duduk bersila bermain dengan jemari kananku. Berzikir. Aku menangkap berbincangan tiga orang dokter muslim ketika memasuki tempat wudhu. Aku hentikan zikirku sesaat. Mendengarkan pembicaan mereka. Meresapi makna dan arah ketiga dokter itu berbincang. Kemudian perbincangannya berhenti sejenak. Kudengar suara air gemercik. Mereka sedang wudhu. Mereka masuk ruang ibadah. Tepat. aku bersebelahan dengan mereka. Aku lihat di papan namanya terselip beberapa nama yang sempat aku baca saat mereka melintas. Pria paruh baya. Tumbuh jenggot tipis di dagunya. Dia bernama dr. Baharudin Ali. Sedangkan dua wanita yang satu berhijab nyentrik bernama dr. Rubaida Rose dan satunya berhijab warna polos berinisial dr. Nur Azizzah. Mereka membicarakan tentang prosedur operasi pita suara dalam kasus kecelakaan. Ini yang membuatku menarik. Aku ingat Kemuning. Keadaan ini yang terjadi pada Kemuning. Kecelakaan yang menyebabkan pita suaranya mengalami kelumpuhan. Mereka berhenti berbincang. Melakukan sholat dhuhur. Lalu setelahnya mereka berbincang-bincang serius kembali. Yang aku tangkap dari pembicaraan mereka. Dokter Bahar dan dokter Nur lebih ngangsu kaweruh25 pada dokter nyentrik itu. Dokter Rubaida Rose. 25 Menimba ilmu 140
Kemuning Cinta Tanpa Bicara Ketika mereka hendak beranjak. Aku bergegas mengikutinya. Dokter Bahar dan dokter Nur berjalan searah. Sedangkan dokter Rose berbeda arah. Aku mengejar dokter Rose. “Permisi, Dokter. Boleh saya minta waktunya.” Aku berhasil menghadangnya. Dia berhenti. “Iya, boleh. Siapa Anda?” Dokter Rose mengernyitkan dahi. “Perkenalkan, saya Dokter Arya. Mahendra Arya Putra berasal dari Indonesia.” Aku mengulurkan tangan. Dokter itu hanya mengumpulkan telapak tangannya, tanpa berjabat tangan. “Orang Indon juga. Saye juga budak Indon. Mamak saye orang Riau. Bapak asal Malaysia.” Dia tersenyum sangat ramah. Seakan bertemu saudaranya. “Boleh saya sedikit berbincang-bincang dengan Dokter?” Aku berharap semoga dokter nyentrik ini bersedia untuk aku konsultasi masalah keadaan Kemuning. “Tentu saja. Jom.” Dia mengajakku di suatu ruangan yang terdapat beberapa meja dan kursi. Semacam kantin. Aku di tawari kopi. Namun aku menolak. Lebih memilih air putih saja. “Terima kasih sekali Dokter Rose bersedia untuk memberikan waktunya untuk saya.” Aku begitu senang saat ini. Semoga ada jalan untuk kesembuhan Kemuning. “Begini, Dok. Istri saya pernah mengalami kecelakaan hingga membuat pita suaranya tak berfungsi. Tidak mampu berkomunikasi dengan baik. Mohon maaf, tadi saya mendengarkan perbincangan Anda 141
Kemuning Cinta Tanpa Bicara dengan teman Anda sewaktu di ruang ibadah. Tentang penanganan operasi pita suara.” Aku sandarkan kedua tanganku di permukaan meja yang berbentuk bundar. “Prosedur operasi bisa dilakukan. Tapi nak pastikan dulu melalui jalan periksa awal.” Dia menyandarkan punggungnya di kursi. Tangannya bergerak menjelaskan segala prosedurnya. Aku menyimaknya. Dia dokter spesialis THT yang terbaik di Changi General Hospital. Aku bersyukur bertemu dokter Rose. Sikapnya yang familiar, penjelasan yang lugas dan penampilannya yang nyentrik dengan hijab nuansa ungu. Sepertinya itu warna favoritnya. Aku save kontaknya. Memudahkanku untuk berkonsultasi dan membuat jadwal pemeriksaan untuk Kemuning. Dokter Rose permisi pergi karena ada jadwal untuk pemeriksaan pasien yang bernasib sama dengan Kemuning. Alhamdulillah... Allah menuntunku bertemu dengan dokter yang akan membantu kesembuhan Kemuning. Ponselku berdering. Aku buka ternyata telefon dari Keysha. “Ya, Key. Aku di kantin lantai dua.” Keysha menanyakan posisiku saat ini. “Oke, aku tunggu di kantin ini sekalian semua makan siang. Biar aku yang traktir.” Aku begitu bersemangat. Mungkin karena pertemuanku tadi dengan dokter Rose. 142
Kemuning Cinta Tanpa Bicara Jam dua siang tugas kami hari ini usai. Kami bergegas kembali ke hotel. Namun Keysha mencegah kami untuk buru-buru kembali. Keysha hendak mengajak kami ke Merlion. Marcel, Tito dan Faiz enggan. Mereka lebih memilih untuk kembali beristirahat ke hotel. Aku yang ditarik tanganku oleh Keysha. Aku berhenti. Namun dia malah memegang kedua tanganku. Melihat mataku. Memohon. Sepasang mata itu tidak asing bagiku. Aku masih sangat mengingatnya. Dia yang pernah mengukir namanya di hatiku. Meski kemudian dia mencoretnya kembali. Penghianatannya saat itu. Penghianatan cintanya. Janji-janjinya yang dia ingkari sendiri. Namun aku tidak bisa menolaknya. Dia kembali menjadi sahabatku. Sahabat baikku sepuluh tahun lalu. “Ar... ayolah... please.” Dia kumpulkan telapak tangannya dibawah dagunya. Memohon padaku. Aku menerimanya. Kulihat senyuman bahagia di wajahnya. Dengan cepat dia menarik tanganku. Mengajakku menuju Mass Rapid Transit (MRT). Stasiun MRT cukup padat. Ini salah satu model transportasi yang aku jumpai di kota Jakarta. Menggunakan transportasi ini lebih ringan biaya dibandingkan dengan naik taxi. Tarif taxi di Singapura sangatlah mahal. Jadi inilah alternatif masyarakat dan turis di Singapura untuk meminimkan anggaran travelling. Keysha begitu fasih jalanan di Singapura. Sudah hampir tiga tahun dia menjadi bagian dari penduduk Singapura. Ada fasilitas 143
Kemuning Cinta Tanpa Bicara perumahan bagi pegawai rumah sakit. Bagi pegawai di luar penduduk asli Singapura. Keysha tinggal di perumahan itu. Kita menuju loket pembelian tiket. Keysha menyajakku ke General Ticketing Machine GMT. Layar petunjuk di GTM yang akan memberikan pilihan, memilih Buy Standard Ticket untuk sekali jalan. Selanjutnya kami pilih stasiun tujuan dalam layar sentuh. Mesin menghitung ongkos tiket biasanya tergantung jarak. Keysha masukan uang sebesar yang diminta dari slot koin atau slot uang kertas. Kereta listrik yang kami tunggu tiba. Kami bergegas masuk setelah pintu otomatisnya terbuka. Beberapa penumpang yang sudah menanti, segera bergumul memasuki beberapa pintu otomatis yang sudah terbuka lebar. Aku duduk di kursi berderet bersandar tepat jendela besar kereta MRT. Keysha juga duduk disebelahku. Kulihat arlojiku masih jam setengah tiga. Dudukku bersandar santai. Mengamati penumpang di sekelilingku. MRT yang bersih. Wujud kepedulian penggunanya pada lingkungan dan kenyamanan. Kulihat tidak ada yang makan di dalam ruangan ini. Mereka lebih disibukkan dengan mengobrol, mendengarkan musik dengan headsett atau sekedar membaca. Orang-orang dan lingkungan diluar kereta kulihat bergerak ke kiri semakin lama semakin cepat. Kereta sudah melaju. Makin santai kusandarkan punggungku pada kursi. Kulihat Keysha mengambil 144
Kemuning Cinta Tanpa Bicara ponselnya dari tas kulit kecil warna merah jambu. Memasang headsett di telinganya. Lalu melepasnya satu bagian. “Ar, dengerin lagu ini deh.” Dia langsung memasangkan headsett padaku. Aku mengikutinya. Dia mulai memutar lagu yang tidak asing bagiku. Please Be Careful with My Heart. Penyanyinya Bunga Citra Lestari feat Christian Bautista. If you love me like you tell me Please be careful with my heart You can take it just don't break it Or my world will fall apart You are my first romance Lagu ini seakan menyeretku pada memori lama. Memoriku saat bersamanya. Memori kisah cinta kami. Ini lagu favorit kita. Kita selalu mendengarnya dalam satu headset. Menyandarkan tubuh di bawahnya rindangnya pohon di kampus kami. Bersinggungan lengan sembari membaca buku-buku materi tentang dunia kesehatan. Kita sepasang sejoli yang sudah dikenal baik oleh mahasiswa, dosen hingga dekan kami. Mereka memuji kami. Pasangan serasi. Dengan kemampuan kecerdasan yang sama. Kita idola mereka. Kisah kami bukan hanya masalah perasaan cinta namun kita berkisah tentang angan dan masa depan berdua. Membangun rumah sakit 145
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164
- 165
- 166
- 167
- 168
- 169
- 170
- 171
- 172
- 173
- 174
- 175
- 176
- 177
- 178
- 179
- 180
- 181
- 182
- 183
- 184
- 185
- 186
- 187
- 188
- 189
- 190
- 191
- 192
- 193
- 194
- 195
- 196
- 197
- 198
- 199
- 200
- 201
- 202
- 203
- 204
- 205
- 206
- 207
- 208
- 209
- 210
- 211
- 212
- 213
- 214
- 215
- 216
- 217
- 218
- 219
- 220
- 221
- 222
- 223
- 224
- 225
- 226
- 227
- 228
- 229
- 230
- 231
- 232
- 233
- 234
- 235
- 236
- 237
- 238
- 239
- 240
- 241
- 242
- 243
- 244
- 245
- 246
- 247
- 248
- 249
- 250
- 251
- 252
- 253
- 254
- 255
- 256
- 257
- 258
- 259
- 260
- 261
- 262
- 263
- 264
- 265
- 266
- 267
- 268
- 269
- 270
- 271
- 272
- 273
- 274
- 275
- 276
- 277
- 278
- 279
- 280
- 281
- 282
- 283
- 284
- 285
- 286
- 287
- 288
- 289
- 290
- 291
- 292
- 293
- 294
- 295
- 296
- 297
- 298
- 299
- 300
- 301
- 302
- 303
- 304
- 305
- 306
- 307
- 308
- 309
- 310
- 311
- 312
- 313
- 314
- 315
- 316
- 317
- 318
- 319
- 320
- 321
- 322
- 323
- 324
- 325
- 326
- 327
- 328
- 329
- 330
- 331
- 332
- 333
- 334
- 335
- 336
- 337
- 338
- 339
- 340
- 341
- 342
- 343
- 344
- 345
- 346
- 347
- 348
- 349
- 350
- 351
- 352
- 353
- 354
- 355
- 356
- 357
- 358
- 359
- 360
- 361
- 362
- 363
- 364
- 365
- 366
- 367
- 368
- 369
- 370
- 371
- 372
- 373
- 374
- 375
- 376
- 377
- 378
- 379
- 380
- 381
- 382
- 383
- 384
- 385
- 386
- 387
- 388
- 389
- 390
- 391
- 392
- 393
- 394
- 395
- 396
- 397
- 398
- 399
- 400
- 401
- 402
- 403
- 404
- 405
- 406
- 407
- 408
- 409
- 410
- 411
- 412
- 413
- 414
- 415
- 416
- 417
- 418
- 419
- 420
- 421
- 422
- 423
- 424
- 425
- 426
- 427
- 428
- 429
- 430
- 431
- 432
- 433
- 434
- 435
- 436
- 437
- 438
- 439
- 440
- 441
- 442
- 443
- 444
- 445
- 446
- 447
- 448
- 449
- 450
- 451
- 452
- 453
- 454
- 455
- 456
- 457
- 458
- 459
- 460
- 461
- 462
- 463
- 464
- 465
- 466
- 467
- 468
- 469
- 1 - 50
- 51 - 100
- 101 - 150
- 151 - 200
- 201 - 250
- 251 - 300
- 301 - 350
- 351 - 400
- 401 - 450
- 451 - 469
Pages: