Kemuning Cinta Tanpa Bicara gratis untuk masyarakat yang tidak mampu. Rumah sakit sederhana namun penuh rasa cinta. Cinta kita berbuah baik untuk masyarakat yang membutuhkan. Kebersamaan kita terlihat biasa. Namun begitu istimewa. Ya, cinta kami yang membuatnya spesial. Ingatan itu langsung terbawa membuat kepalaku berat. Aku terperosok di lorong waktu. Waktu yang membawa kepahitanku. Keysha tiba-tiba bersandar manja di bahuku. Menggenggam telapak tangan kiriku. “Ar, masih ingatkah masa indah cinta kita dulu?” Aku tersentak kaget. Dia benar-benar menyeretku pada masa lalu kami. Aku melepaskan genggaman tangannya. Segera kulepas headset. Keysha masih bermanja di bahuku. Membuatku jengah. Ponselku berbunyi. Ada pesan WA yang tersemat. Keysha melirikku saat aku membuka kunci layar ponsel. Melihat wajah Kemuning dengan senyum anggunnya yang sudah aku pakai sebagai wallpaper di ponselku. Dia duduk lurus. Meninggalkan bahuku. Aku terbebas darinya. Kulihat mulutnya mengerucut. Wajah muram mulai merajainya. Aku tak pedulikan dia. Yang aku pedulikan adalah pesan WA. Kiriman pesan dari Kemuning. BIDADARI SURGAKU : Assalamuallaikum, Mas. 146
Kemuning Cinta Tanpa Bicara AKU : Wa’alaikumsalam, Ning... BIDADARI SURGAKU : Sampun makan, Mas? AKU : Sudah, Ning... Sudah tadi waktu di rumah sakit. Kamu, sudah makan? BIDADARI SURGAKU : Sampun, Mas. AKU : Oh ya, kamu tadi masak apa? BIDADARI SURGAKU : Nasi liwet, pepes tuna, dan bothok tawon Mas. AKU : Kok buat nasi liwet dan bothok tawon? Apa Citra ada di rumah? BIDADARI SURGAKU : Iya, semua masakan itu kesukaan Citra. Dia menginap di rumah sekarang. Datang pagi tadi. Pantas saja Citra kirim pesan WA ke aku tadi pagi. Mengirim potret wajah cantik Kemuning. Aku bingung hendak menanyakan apa lagi padanya. Aku kehabisan kata-kata. Hanya tersenyum-senyum sendiri membaca balasan pesan WAnya. Rindu masakannya. Sederhana namun istimewa. Terlebih 147
Kemuning Cinta Tanpa Bicara aku begitu rindu senyumannya padaku. Ya Allah... magnet apa yang telah menarikku saat ini. Aku mengela napas. Mengatur detak jantungku. AKU : MRT. Yowis, Ning. Ini aku masih di perjalanan naik kereta listrik Mau ke Merlion. Patung ciri khas negara Singapura. Nanti malam sebelum tidur aku video call ya... BIDADARI SURGAKU : Inggih, Mas. Assalamuallaikum. AKU : Wa’alaikumsalam, Ning... Aku masih tersenyum lega. Setelah mendapat kabar darinya. Kulihat Keysha sudah menjauhkan diri dariku. Dia bermain dengan ponselnya. Headset masih dia pakai. Kusandarkan lebih dalam punggungku di sandaran tempat duduk. Hingga aku rasakan. Tangan Keysha menyusup disela-sela lenganku. Menyandarkan kepala di bahuku lagi. Aku tidak peduli. Setelah pesan WA dari Kemuning seakan memori itu terlupakan. Kami turun di Harbour Front. Lalu keluar stasiun dan jalan kaki menuju Merlion. 148
Kemuning Cinta Tanpa Bicara Sepanjang jalan, kami disuguhi pemandangan kota metropolitan yang rapi, modern, dan bersih. Banyak pengunjung berfoto di sana mengabadikan momentnya saat mengunjungi Merlion. Keysha mengajakku selfie dekat patung Merlion. Kulihat dia mengunggahnya di Instagram. Sekarang aku tidak memperdulikan apapun yang dia lakukan. Aku bukan penggila media sosial. Aku ingat, hal ini sering diprotes oleh Citra adikku. Dia selalu bilang kalau saya itu ganteng tapi tak gaul hanya karena tidak up to date dimedia sosial. “Ar, senang tidak kamu di sini.” Keysha membuka percakapan lagi. Kami mencari tempat duduk yang nyaman. “Ingat tidak. Kita dulu pernah bermimpi, bersama-sama travelling di sini?” Perkataan Keysha membuatku jengah. Aku terdiam. Mengingat saat-saat itu. Kita dulu saling mengikat janji. Jika setelah menikah nanti, bulan madu pertama kali di sini. Aku memandang laut di Merlion. Udara sore hari sangat kencang mengibas mayangku. Membuat hijab Keysha berkibar mengikuti hembusan angin. Aku hela napas panjang. Melupakan peristiwa itu. Janji yang tak akan pernah terwujud. “Seandainya kita adalah sepasang kekasih yang sudah halal. Ini merupakan hari-hari bahagia kita ya, Ar.” Dia menyandarkan kepalanya kembali ke bahuku. Memegang lenganku. Semakin dekat dan erat. Aku hanya terpejam. Menikmati terpaan angin. Menitipkan pesan rinduku untuknya. Hanya untuk wanita berhijab merah jambu. 149
Kemuning Cinta Tanpa Bicara Dengan simpul senyumnya yang memesona. Dia telah membuat lintasan pelangi di hatiku. Dia. Kemuningku. Apa yang akan kutulis untukmu Rasa itu sudah berlalu Terkubur akan pengkhianatanmu Tangisku sudah meredam oleh cinta Kemuning-ku Kumohon jangan ganggu kebahagiaanku 150
Kemuning Cinta Tanpa Bicara 12 RINDU SENYUMMU POV : Mahendra Arya Putra Ini malam ke tujuh keberadaanku di Singapura. Negara asing yang mengikatku pada tujuan hidup. Karena profesiku yang mengikat jalinannya. Aku senang mendapatkan pengalaman dan ilmu yang luar biasa di negara ini. Tapi saya lebih mencintai negaraku. Sangat beragam budayanya, tepa slira di antara segala perbedaan dan semua sanggup di satukan dalam satu bahasa. Yang tidak di miliki oleh negara lain. Seperti inilah wajah negaraku. Masih jernih, cantik dan berbudaya alami. Wajah itu terkemas dalam wajah Indonesiaku. Anjani Kemuning. Wanitaku. Malam ini aku ingin hubungi dia. Melihat wajah polosnya menjelang tidurku. Tiara mayang yang indah terurai. Leher yang jenjang. Matanya yang teduh. Yang paling aku suka adalah bibir tipisnya yang menggurat senyuman. Senyuman itu yang melumpuhkan saraf-saraf egoku. Aku berbincang namun dia tidak berbicara. Hatinya yang menjawab semua dari apa yang aku katakan. Hanya senyumannya yang memahami akan kebutuhan hatiku untuk lebih mengenal cintanya. Ya, aku mulai belajar mencintainya. Meski aku tak mampu mengejar berapa 151
Kemuning Cinta Tanpa Bicara waktu lagi untuk bisa jernih mencintainya. Bayangan masa laluku masih membelengguku. Menyiksaku. AKU : Assalamuallaikum, Ning... Sudah bobok ya? Aku menanti balasan WA darinya. Tiba-tiba ada pesan lain masuk ke ponselku. MASA LALUKU : Assalamuallaikum, Arya Lagi apa kamu, Ar? Are you sleeping, now? Aku malas membalas pesan WA dari Keysha. Ucapannya menyulitkanku untuk terbebas dari masa lalu. MASA LALUKU : Aku tau kamu belum tidur, Ar Please, jawab pertanyaanku Aku hanya membuka pesan Keysha tanpa menjawabnya. Tabir masa lalu telah memberikan sekat antara kami sekarang. 152
Kemuning Cinta Tanpa Bicara MASA LALUKU : Baik, Ar... Meski kau tak membalas semua pesanku ini. Aku tau kau masih membacanya. Membaca alasanku dulu, membatalkan pernikahan kita. Tanpa kabar dan meninggalkan angan-angan kita yang sudah kita rajut bersama. Aku terpaksa. Aku tersudut saat itu, Ar... Aku biarkan dia menulis pesan apapun itu padaku. Rasaku padanya sudah hambar. Keyakinanku padanya sudah mengambang. Pergi bersama masa laluku yang kelam. Harapanku sekarang adalah belajar mencintainya. Mencintai wanitaku. Anjani Kemuning. Aku buka setiap potret Kemuning yang Citra kirim. Seakan meyakinkanku. Senyumannya membawaku untuk cepat-cepat kembali untuknya. Aku sudah terbius oleh bening wajahnya. Ohh... senyum itu. Membuat debaran jantung ini tidak mampu aku kendalikan. Mengatur napas pun aku tak mampu. BIDADARI SURGAKU : Wa’alaikumsalam, Mas Belum tidur Mas. Maaf ya telat membalas. Baru selesai ganti kimono dan berwudhu. AKU : Tidak apa-apa, Ning. 153
Kemuning Cinta Tanpa Bicara Aku bingung. Balas apa lagi ya? Otakku sudah buntu. Dia benar- benar membiusku. Ya Allah... Arya... Arya... kenapa kamu jadi super bloon begini. Hemm... AKU : Hemmm... Hanya itu yang mampu aku balas. Buntu total. BIDADARI SURGAKU : Mas, jadi video call? Besok setelah subuh. Citra ingin mengajakku ke pasar. Berbelanja. Dia ingin belajar masak. Aku sampai lupa kalau niatku juga ingin lihat wajahnya sebelum tidur. Waduh Arya... kok jadi ngene to nasibmu. Malih dedel26. Kupukul keningku berkali-kali dengan kepalan tanganku. Membodohkan diri sendiri. AKU : Oh ya... bagus itu. Biar dia pinter masak seperti kamu. Hehe... Oke... Aku video call kamu sekarang ya... 26 Bodoh 154
Kemuning Cinta Tanpa Bicara BIDADARI SURGAKU : Inggih, Mas Aku langsung memainkan ponselku. Cepat-cepat video call. Meski hatiku dak-dik-duk-ser. Dia membukanya. Langsung disuguhkan padaku dengan senyumannya. Masyaallah, terbuat dari apa senyumnya itu ya Allah. Sungguh jika aku mampu bernyanyi India pasti kuungkap rasaku seperti Shah Rukh Khan dalam tarian India. Waduh, Arya... Arya... kamu sekarang jadi patung di hadapannya. Apa yang kamu perbuat kalau kamu pulang besok, menemuinya? Aku cuma membalas senyumnya. Melihatnya saja aku marem27 luar biasa. Gitar... mana gitarku... aku ingin memainkan melodi rasaku untuknya. Sembari menikmati senyumannya. Mengagungkan ciptaan- Nya yang mungkin Allah ciptakan untukku. Subhanaallah... “Ning...” Aku sepertimu sekarang. Lumpuh total bibir ini untuk bicara. Dia menyematkan tiara mayangnya ke telinga. Ingin mendengarku bicara lagi. Tapi apa yang harus aku ucapkan. Senyummu yang mengemas seluruh kata-kataku. Senyummu pula yang membuat pikiranku hanya tertuju padamu. Apa yang harus aku lakukan. Detak jantung ini sudah berirama musik India. Jika kamu ingin mendengarnya. 27 Tenang 155
Kemuning Cinta Tanpa Bicara “Eeemmm... Oh ya, nanti malam bangunkan aku ya, Ning.” Waduh bangunkan apa ya. Bicaraku tak lengkap. Apa bangunkan perasaanku tak menentu ini? “Eh... maksudku bangunkan tahajud.” Dia mengangguk sembari melemparkan sampur28 senyumannya. Hati ini seperti Jaka Tarub yang terpikat akan cantiknya bidadari Dewi Nawang Wulan. Ingin kucuri selendang senyumnya. Kusimpan dalam brangkas hatiku. Kupilih nomor pin sesulit mungkin hingga tidak ada yang mampu membongkarnya. “Yowis, Ning, besok aku pulang. Kamu sudah aku belikan sesuatu. Buat Citra, ibu dan mbok Yem juga.” Dia mengangguk lagi. Menembak hatiku dengan senyumannya. Please keep your smile for me. I will go home. I promise. Just for you. My girl. Kemuningku. “Assalamuallaikum, Ning...” Dia tersenyum. Aku mendengar jawaban salamku di dalam hatinya. Kututup panggilan video call. Meletakkan ponsel ke meja kecil. Menumpuk telapak tanganku menyangga kepalaku. Tubuhku terbenam di permukaan ranjang dengan bed cover warna putih. Sepertinya aku sulit tidur. Ada banyak kafein di senyumnya hingga membuatku insomnia. Aku hanya mampu tersenyum-senyum sendiri melihat langit- langit bagai pigora yang membingkai wajahnya. 28 Selendang 156
Kemuning Cinta Tanpa Bicara Aku sudah di depan pagar rumahku. Dengan sambut bunga morning glory yang menjalar di ruas-ruas pagar. Indah dengan warna biru semburat ungu yang menggoda. Seperti gairahku untuk menanti senyumnya saat aku datang. Mbok Yem membuka pagar dan menyapaku. Aku membalasnya. Taksi sudah berada tepat di halaman rumah. Aku lihat banyak sekali bunga yang mekar pagi ini. Namun satu yang masih kurang. Ya... aku belum menanam bunga kemuning. Bunga yang memiliki hikayat tersendiri. Kisah putri kuning yang berhati lembut di bandingkan saudara-saudaranya. Memunculkan bunga cantik yang bernama bunga kemuning. Aku sibuk mengambil koperku. Hingga tak sadar di hadapanku ada seseorang. Kulihat dari kakinya yang bersih kuning langsat. Gamis warna jingga memikat. Dengan kerudung jingga muda yang menampakkan kecerahan wajahnya. Aku mematung sesaat. Tangannya dijulurkan ke hadapanku. Aku menerima telapak tangannya yang begitu lembut. Dia gapai dan mencium punggung tangan ini. Aku masih melihatnya. Tanpa berkedip. Oh... senyum itu menghantuiku saat ini. Dia membantuku membawakan beberapa tas. Aku memberikan tas yang lebih ringan. Eman-eman kalau dia merasa lelah dan berat. Biar aku saja. Aku siap membopongnya atau bahkan memanggul tubuhnya. Meski nanti tubuhnya tak seindah sekarang. 157
Kemuning Cinta Tanpa Bicara Dia mengiringi langkahku. Aku memandangnya. Dia menundukkan pandangannya. Malukah dia padaku? Atau aku yang sudah tak berdaya dibuatnya. Kusandarkan tubuhku di sofa depan. Menghela napas. Mencari banyak kekuatan untuk bisa memandangnya lagi dan lagi. Dia datang lagi membawa cangkir favoritku. Cangkir bermotif tokoh pewayangan Gatotkaca. Duh Gusti... aku sudah seperti Gatotkaca yang telah gandrung29 dengan Dewi Pergiwa. Gatotkaca dengan kekuatan cintanya mampu memanggul Dewi Pergiwa sebagai bukti begitu kuat cintanya. Aku sanggup menjadi Gatotkaca buatnya dan memanggulnya kemana pun dia mau. Diletakannya cangkir itu di atas meja tepat di depanku. Dia duduk dan hendak melepas sepatu sporty miliku. Aku mencegahnya. Aku tak mau dia seperti pelayanku. Dia permaisuri tunggalku. Yang mungkin nanti menurunkan trah putra mahkota dariku. Arya... Arya... tanganmu gemetar saat melepas tali sepatumu sendiri. Dia meletakkan sepatuku di rak belakang. Kulirik cangkir pemberiannya. Teh jahe kesukaanku. Minuman yang aku rindu selama seminggu ini. Aku meminumnya sembari melihat dia yang begitu sibuknya melayaniku. 29 Tergila-gila 158
Kemuning Cinta Tanpa Bicara Tangannya meraih tanganku. Mengajakku ke meja makan. Aku memang lapar namun memandangnya, aku sudah merasa kenyang. Sungguh. Meja makan sudah dipenuhi makanan. Semua makanan yang aku suka. Aku rindu masakannya setelah kubertahan selama satu minggu tanpa sedap racikan kulinernya. Masakan dusun melebihi masakan hotel berbintang lima. Menjadi favoritku saat ini dan mungkin selamanya. Kutarik kursi dan duduk. Dia menuangkan nasi, sayur bobor dan sambal terasinya yang aromanya memikat. Dibukanya juga buntalan hijau semburat coklat pepes tuna. Sungguh aku tak memesannya. Namun dia sudah tahu kesukaanku. Dia mungkin selalu memperhatikan apa yang aku sukai dan apa yang tidak aku sukai. Subhanallah, Bidadari surgaku, jangan-jangan dia tahu perasaanku sekarang padanya? Dia memberikan piring yang sudah berisi menu yang kusuka. Aku gapai piring itu hingga tak sengaja aku menyentuh tangannya. Membuat perasaanku semakin tak karuan. “Sudah makan, Ning?” Aku membuka pembicaraan. Dia bergeleng. Langsung saja aku ambil piring kosong mengambil nasi dan sayur yang sama. “Sekarang, temani aku makan. Di sini. Oh ya, ibu di mana?” Aku menoleh ke arah kamar ibu. “Ibu lagi tidur, Mas. Tadi katanya mengeluh kepalanya pusing.” Mbok Yem yang menjawab pertanyaanku. 159
Kemuning Cinta Tanpa Bicara “Ibu apa sudah makan, Mbok?” Aku berdiri dari kursi hendak menemui ibu di kamarnya. “Sudah, Mas. Tadi makan duluan tapi terus minta istirahat.” Mbok Yem membuka pintu kamar ibu. Kemuning mengikutiku. “Aku coba periksa dulu, Mbok. Tolong Ning, ambilkan tas kerjaku.” Dia bergegas naik tangga ukir menuju kamar kami mengambil tas kerjaku yang berisi beberapa alat-alat periksa. Aku mendekati ranjang ibu. Kudapati dia sedang tidur berselimut tebal. “Ibu.” Aku berjongkok menghadap sisi ranjang dimana dia terbaring. Memegang tanggannya perlahan. Dia membuka matanya yang sudah penuh dengan keriput, tanda penuaan. “Ibu sakit?” Aku pegang dahinya. Memang badannya hangat. Kemuning sudah di sampingku membawa tasku. Segera aku mengambil termometer. Kuletakkan perlahan di lekuk di antara pangkal lengan dan badannya. Lalu aku ambil stetoskop untuk mengetahui ritme detak jantungnya. Detak jantungnya lebih cepat dari normal seusianya. Alat tensi segera aku pasang ke lengannya. Memang benar, tekanan darahnya tinggi. Aku ambil termometer di lekuk pangkal lengannya. Mengamati warna merah air raksa yang menunjukkan angka 38,5 derajat celcius. Ya Allah, ibu memang sakit. “Bu, Arya antar ibu berobat ke rumah sakit ya?” Aku genggam tangannya yang sudah berlipat-lipat keriput. 160
Kemuning Cinta Tanpa Bicara “Ora usah, Le. Ibu istirahat saja. Nanti juga sembuh.” Ibu masih menahan sakitnya. Dengan tekanan darahnya yang tinggi, suhu tubuhnya juga demikian. “Inggih, Bu. Jika ibu belum mau saya antar ke dokter. Ibu saya beri obat dulu ya. Diminum sekarang. Nanti saya periksa lagi. Jika belum ada perubahan. Ibu jangan menolak lagi ya.” Aku bangkit. Aku lihat Kemuning sudah sigap ambil air putih untuknya. Aku buka kotak obat yang tersandar di tembok. Kotak obat yang selalu aku sediakan untuk keadaan darurat. Terdapat beberapa obat. Aku hanya mengambil Paracetamol karena obat menurunkan darah tinggi dapat membuat tekanan detak jantung akan naik. Aku tidak mau membuat ibu semakin bermasalah dengan jantungnya. “Ibu minum ya. Nanti empat jam kemudian saya periksa lagi kondisi ibu.” Aku mendudukkan tubuhnya yang sedari tadi terbaring. Menahan tubuh lemahnya. Kemuning meminumkan obat berwarna putih itu pada ibu. Aku letakkan lagi tubuhnya. Kuatur kepalanya dengan bantal agar lebih nyaman. Kulihat Kemuning penuh kecemasan, terlihat di raut wajah cantiknya. Aku memegang tangannya. Menguatkannya. Mengajaknya ke meja makan lagi. Dia terlihat murung. Hanya memainkan sendoknya. Melamun. “Sudah, Ning. Cepat di makan. Nasinya sudah dingin. Kamu harus isi tenagamu. Dengan begitu kita bisa merawat ibu lebih baik. Jika 161
Kemuning Cinta Tanpa Bicara kamu sakit. Bagaimana dengan ibu? Bagaimana caramu merawatnya jika kamu juga sakit, Ning” Aku melihat wajahnya. Dia menghela napas panjang. Meredakan rasa cemasnya. “Kalau memang tidak enak makan. Apa perlu aku suapi kamu?” Aku sedikit menggodanya. Kulihat senyumannya mulai tersusun di antara dua sudut bibirnya. Aku senang dia kembali tersenyum. Kami sudah selesai makan. Dia mulai merapikan piring sendokku. Aku membantunya. Membawakan piring. Dia menolak aku bantu. Namun aku tetap memandang wajahnya. Ikut bergeleng. Mengerucutkan muka. Protes kalau dia menolak pertolonganku. Dia pasrah dan aku membantunya cuci piring. Dia memang cekatan masalah rumah tangga. Seperti almarhum ibuku. Selesai cuci piring. Aku menggodanya lagi. Aku ambil busa sabun cuci. Kucolek pada hidung mancungnya. Aku terkekeh dan segera berlari ke tangga ukir. Sembari membawa koperku menuju kamar. Pintu kamar ini sudah menunggu untuk kubuka. Aku membukanya. Ruangan yang suwung. Mungkin hanya saat ini. Sebentar lagi pasti akan banyak cinta terukir di kamar ini. Ya, kamar kita. Aku dan Kemuningku. Hanya perlu sedikit waktu. Kubuka kaosku. Hanya tertinggal kaos singletku. Kubuka pintu menuju balkon. Kembali ke sofa kesayanganku. Kurebahkan tubuhku di sofa. Melihat ke bibir pintu. Kulihat wajahnya. Jantungku berdetak lagi. 162
Kemuning Cinta Tanpa Bicara Dia tidak memandangku. Mungkin dia malu karena aku hanya mengenakan kaos singlet yang terlihat gempal pada otot-otot tubuhku. Dibukanya tas koperku. Dia memilih baju-baju kotorku. Kebiasaan burukku. Antara baju bersih dan kotor aku campur. Aku letakkan siku tanganku pada samping sofa. Menutup mulutku dengan telapak tanganku yang tersenyum sendiri melihat Kemuning. Dia membedakan baju kotor dan bersihku dengan mencium aroma disemua bajuku. Ya Allah, pasti aromanya kecut banget kalau itu baju kotorku. Terlihat dari raut mukanya mengkrucut kalau itu baju kotorku. Bila itu baju bersihku dia cium sembari tersenyum kecil. Mbok Yem sering protes kalau aku sering mencampur pakaian kotor di koper setelah pulang dari tugas di luar kota. Tapi dia lain. Aku semakin suka. Dia tahu kekuranganku. Jorok seperti itu. Hehehe... Dia sepertinya tidak tahan. Dia ambil semua pakaianku dari koper dan mencucinya semua. Arya... Arya... ubah kebiasaan burukmu. Kasihan Kemuningmu. Hemm... aku hanya bisa menggelengkan kepala heran pada kebiasaanku sendiri. Ora mari-mari. Aku benamkan tubuhku. Menikmati sofa empukku. Ingin aku tidur di ranjang itu. Ranjang berseprei merah jambu. Ranjang itu menemani tubuhnya tanpa diriku. Aku merasakan kesedihannya yang mendalam akan penolakanku. Bersabarlah akan cintaku Ning. Aku butuh keyakinan akan rasa ini. Apakah ini cinta atau nafsu yang membutakanku. 163
Kemuning Cinta Tanpa Bicara Aku tertidur. Kulihat jam sudah jam dua belas siang. Sebentar lagi dhuhur. Aku bergegas mandi. Aku ambil handuk biru langitku. Menuju kamar mandi. Selepas mandi kulihat bajuku sudah tertata di atas ranjang. Aku telanjang dada. Hanya memakai celana pendek saja. Kemuning sepertinya canggung. Aku mendekatinya. “Ambilkan kaos dalamku, Ning. Azan dhuhur sebentar lagi. Lebih baik kita sholat dulu.” Dia mengangguk. Aku berjalan mendekati almari kaca hendak mengambil baju koko dan sarungku. Dia lupa belum menyiapkannya. Saat berbalik tubuh. Tubuh kami bertubrukan. Kemuning hampir saja jatuh. Aku merangkul panggulnya. Menahan tubuhnya agar tidak jatuh. Mata kami bertatapan satu sama lain. Jantungku berpacu lagi. Seperti genderang perang. Perang melawan perasaanku sendiri. “Oh... maaf ya, Ning.” Aku melepasnya. Kugaruk kepalaku. Menarik napas sekuat-kuatnya. Meredakan jantung ini yang berdebar. Kemuning bergegas ke kamar mandi. Mungkin ambil wudhu. Kudengar kran air yang terbuka. Aku memakai kaos singletku. Bergegas ambil wudhu. Setelah dia keluar dari kamar mandi. Kulihat indah mayangnya sudah terurai dan basah sebagian karena air wudhu. Dia ikat rambutnya. Melintasiku. Air wudhu ini membuatku siap untuk menjadi imamnya. Dia sudah menghamparkan sajadah kami sesuai dengan letaknya. Kukenakan baju koko dan sarungku. Kami siap berjamaah. 164
Kemuning Cinta Tanpa Bicara Setelahnya. Aku berganti baju. Turun ke bawah. Menuju kamar ibu lagi. Memastikan kesehatannya. Aku pakaikan lagi termometer pada tubuh rentanya. Memasang alat tensi dan memeriksa detak jantungnya pula. Sepertinya tidak ada perubahan. Kemuning sudah di sampingku. Lengkap dengan kerudung warna jingga muda. Melihat ibu dengan rasa cemasnya lagi. “Ning, ibu harus kita bawa ke rumah sakit.” Kemuning mengangguk. “Sudah, Ning. Jangan cemas. Kita antar sekarang ke rumah sakit. Aku siapkan mobil dulu. Kamu siapkan semua yang dibutuhkan ibu di sana ya.” Dia bergegas mencari tas besar. Mengisinya dengan beberapa pakaian ibu. Kami sudah sampai di rumah sakit. Ibu sudah tidak mau makan. Terpaksa alat infus terpasang. Aku meninggalkan Kemuning ke ruangan sendiri bersama ibu yang terkulai lemas. Kutemui Dokter Ilham yang menangani kesehatan ibu. “Kondisi jantungnya memang lemah dan tekanan darahnya juga tinggi. Jadi perlu rawat inap hingga kondisinya membaik dulu.” Ilham duduk bersandar di kursinya. “Baiklah, Ham. Lakukan yang terbaik untuk ibuku ya,” jawabku. “Oh ya, bagaimana studi bandingnya di Singapura?” Dia meletakkan kedua tangannya di atas meja. 165
Kemuning Cinta Tanpa Bicara “Besok saya lakukan pelaporan bersama dokter Keysha.” Aku bersandar di kursi. Tanganku sedekap. “Wah! Dengan dokter cantik itu? Beruntung banget kamu, Ar.” Ilham memang mengagumi Keysha sejak lama. Namun Keysha tidak menggubrisnya. “Kalau begitu aku kembali ya, Ham. Terima kasih untuk bantuannya. Hubungi aku kalau ada hal-hal yang berhubungan dengan ibu. Aku mengandalkan bantuanmu.” Aku berdiri menjabat tangannya. Kutemui Kemuning yang duduk di sebelah ibu. Masih kulihat kesedihan di matanya. “Ning, sebaiknya kita makan dulu.” Dia memandang ibunya. “Kita tidak boleh lengah menjaga kesehatan kita sendiri. Jika kamu juga ikut sakit, ibu bagaimana?” Aku duduk berjongkok menghadap wajah cantiknya yang meredup. Aku pegang telapak tangannya yang terasa hangat. Melihat manik matanya yang begitu indah. Menunggu anggukannya. Aku bangkit masih memegang tangannya. Dia bangkit dan mengangguk. Kita menuju kantin rumah sakit. Memesan nasi rawon bersama dua gelas teh hangat. Tiba-tiba Keysha datang menyapa kami. “Hei! Ar, di sini juga. Kukira kamu besok datang ke rumah sakit.” Dia memegang pundakku. Merangkulku. Kulihat wajah Kemuning menjadi berubah muram. Aku tepis tangannya. Berpindah tempat duduk di dekat Kemuning. Kutaruh tanganku ke sandaran kursi 166
Kemuning Cinta Tanpa Bicara Kemuning. Merangkulnya. Untuk memperjelas kepada Keysha. Bahwa aku pria beristri. “Ya, rencanaku besok datang ke rumah sakit. Namun ibu harus dirawat di sini. Oh ya, kamu masuk langsung ke rumah sakit. Kok buru- buru sekali, Key?” Kulihat Keysha tidak suka melihat aku merangkul Kemuning. “Kamu kan tahu. Aku tidak ingin menunda pekerjaan. Dari pada aku sendirian di rumah.” Keysha menyandarkan tangannya di meja. “Ning, sebentar ya. Aku mau ke toilet sebentar.” Aku sentuh tangannya dan bergegas ke toilet. Kulihat dua mangkuk rawon dengan dua gelas teh hangat yang mulai dingin sudah ada di meja kami. Keysha sudah pergi sepertinya. Aku kembali duduk di kursi. Tepat menghadap wajah Kemuning. “Ning, kamu menangis? Kenapa?” Aku heran mengapa dia tiba- tiba menangis. Dia usap air matanya dengan ujung jilbabnya. Ujung jilbabnya semakin basah karena derai tangisnya. “Sudah Ning, jangan nangis. Ada apa? Kamu masih kepikiran ibu?” Dia mengangguk. Kurasa dia berbohong. Ada hal lain lebih dari itu hingga membuatnya menangis. Aku belum bisa mengeja derai tangisnya. Tangisan itu menghalau senyumnya. Andai aku mampu mendengar suaranya. Mendengar keluh kesahnya. Menyandarkan segala pedihnya di dadaku. Namun aku tidak bisa seperti Citra. Dia yang mampu bahasa isyarat. 167
Kemuning Cinta Tanpa Bicara Citra yang mengajarinya. Aku harus menghubungi Citra. Dia yang lebih dekat dengan Kemuning. Aku masih belajar untuk mencintainya. Memahami makna setiap inginnya. Aku hanya bisa menghela napas panjang. Siapa yang menggurat simpul senyumnya? Hingga dia mampu membuat lintasan pelangi di hatiku Sang Pencipta menciptakanmu ‘sempurna’ sebagai ‘Belahan Jiwaku’ Apa aku mampu berbicara di hadapanmu? Dengan jutaan senyum yang kau untai untukku Lidahku sudah lumpuh karena senyummu 168
Kemuning Cinta Tanpa Bicara 13 RISAU HATI KEMUNING Mencintainya aku harus menelan kepahitan. Menggapainya kuharus merasakan perih. Semuanya aku terima. Menanti waktunya. Menunggu saatnya dia menyerah akan ketulusan cintaku. Ya, mas... aku sangat mencintaimu. Aku mencintaimu saat kau selamatkan kehormatanku. Kuingat, dirimu lebih memilih telanjang dada, menyerahkan pakaianmu untuk menutupi auratku. Kuingat rangkulmu melindungiku saat masyarakat dusun hendak menyerangku. Kuingat, kedua tangan kita terikat satu sama lain dan di arak menuju balai dusun. Kau menerimaku sebagai istrimu. Untuk melindungi kehormatanku. Kau sempurnakan kehormatanku. Kau meyakinkanku. Aku aman berada di sisimu. Menjadi istrimu. Penuh keyakinan kau ucapkan ijab qobul atas namaku. Seorang Anjani Kemuning. Wanita dusun yang bisu. Aku menitikkan air mata. Air mata kebahagiaan. Aku bertahan sendirian. Meski pedulimu hanya berbias rasa kasihan bukan cinta. Aku nantikan hatimu dengan keikhlasan. Akan ada hari esok-esok yang lain membuatmu menyadari keberadaanku di sisimu. 169
Kemuning Cinta Tanpa Bicara Merindukanmu, seminggu terasa sewindu. Kulewati meski kecemasan menderaku. Hanya senyummu mengantarkan nyenyak tidurku. Meski hanya sebatas gambar di video callmu. Melihat tatapan matamu. Hingga, pagi itu aku begitu bahagia. Pilar-pilar cintanya sudah dia bangun untukku. Aku rasakan getaran tangannya saat kusentuh. Pembicaraannya yang terbata-bata. Pandangannya kepadaku sudah sangat berbeda. Candanya kepadaku, nasehatnya dan ketika dia mencuri pandangan padaku. Semua aku tahu. Mas Aryaku sudah menaruh hati padaku. Peluknya ketika kami saling bertabrakan membuat mata kami saling tertaut. Cukup lama. Manik matanya telah menemukan telaga asmaraku. Dirinya ingin mengarunginya bersamaku. Cinta suciku membawa hatimu padaku. Aku bahagia. Senyuman kerinduanmu. Senyuman penuh cinta untukku. Aku lebih perasa darimu. Aku lebih peka darimu dan aku lebih mencintaimu. Sudah satu minggu aku menemani ibu di rumah sakit. Sedikit yang aku lihat di senyumnya. Namun perhatiannya penuh untukku. Aku rasakan gairah inginmu untuk lebih mencintaiku. Akan tetapi semakin kau mendekatiku membuatku semakin takut untuk kehilanganmu. Meski kuingin. 170
Kemuning Cinta Tanpa Bicara Bayang-bayang Keysha menembus sanubariku. Kedekatanmu padanya membuatku ragu akan semua perhatianmu. Cintakah kamu padaku. Atau hanya nafsu yang menghardikmu. Entah, aku tak mampu. Bayangan cemas ibarat kemelut mendung di pagi hari. Menyelimuti cahaya mentari. Hingga aku tak sanggup menapakinya meski tanganmu menyambutku. Citra ingin tahu rasaku dan kepedihanku waktu di kantin itu. Tangisku yang mendalam. Tapi aku lebih memilih bungkam. Aku hanya seorang istri titipan. Dia menikahiku karena keterpaksaan. Kastaku hanya sudra tak pantas bersanding dengannya yang berkasta satria. Aku harus menyadarinya. Saat ini ibu sudah membaik. Beliau sudah bisa pulang kembali di tengah-tengah kami. Mas Arya mengantar kami pulang dengan mobil putihnya. Aku semakin minder di dekatnya. Hanya senyumanku sebagai tudung dukaku. Menutupi semua rasa ini yang sudah menjalar bagai tumbuhan tali putri. Siap merampas kebahagiaan yang mungkin sebentar lagi aku reguk bersama mas Arya. Pria yang aku cinta. Setulus hatiku. Perhatiannya kepadaku. Pandangannya padaku. Pelukannya dan kecupannya aku buat hambar. Tak kurasakan. Kasta sudra sepertiku tak pantas mendapat cintanya. Meski aku ingin. Aku sangat berharap kehadirannya. Citra mencoba berkali-kali menguak isi hatiku. Namun aku terdiam. Kukunci rapat rasaku, kepedihanku. Entah sampai kapan. 171
Kemuning Cinta Tanpa Bicara Setiap sujudnya kulihat keteguhan. Keraguanku padanya musnah. Namun saat melihat jas putihnya begitu gagah melekat di tubuhnya. Keraguanku mencengkeramku lagi. Apakah ini ketulusannya? Atau hanya rasa kasihannya padaku. Aku hanya mampu menangis. Biar kusimpan rapat-rapat getirku. Rasaku gamang… Akan ucapan wanita itu padaku Aku tak mampu mengeja batin Mas Arya Namun… Tak mampu kupungkiri Cintaku padanya serupa rerumputan yang berharap tetesan embun Lantas… Apa yang akan aku perbuat pada perasaanku ini? 172
Kemuning Cinta Tanpa Bicara 14 TUJUH HARI UNGKAPAN CINTA POV : Mahendra Arya Putra Sore itu aku pulang sebentar untuk mengambil baju ganti buat ibu dan Kemuning. Mbok Yem tampak sibuk di dapur. Aku tidak ingin mengganggunya. Kuberkemas sendiri. Memilih baju ganti buat ibu di lemari ukirnya. Baju ganti untuk ibu sudah siap packing. Kubergegas ke tangga ukir menuju kamar. Membuka pintu kamarku. Temboknya masih suwung tanpa potret pernikahanku dengan Kemuning. Hanya ada gambarku, Citra dan ibuku. Foto ayah aku simpan di gudang. Aku sudah menguburnya di sana. Tidak ingin mengingatnya. Aku membuka lemari ukir. Di tempat Kemuning menyimpan semua pakaiannya. Aku memilihkan gamisnya sebagai ganti. Dia masih menunggu ibu yang masih belum seratus persen pulih. Aku dikejutkan lingerie merah menyala. Menggantung di almari. Aku mengambilnya. Mengingat saat itu. Ketika Kemuning mengenakannya. Warnanya sangat kontras dengan tubuhnya kuning langsat. Memikatku. Gerai mayangnya yang indah. Masyaallah, Allah menciptakan kesempurnaan untuknya. Kucium aromanya. Harum semerbak membuat darahku berdesir. Aku inginkan dia suatu saat nanti. Tunggulah Ning. 173
Kemuning Cinta Tanpa Bicara Kukembalikan lingerie itu di tempatnya. Dengan membayangkannya yang membuatku menggurat senyumku sendiri. Aku menarik napasku panjang. Lalu ingin bergegas kembali ke rumah sakit. Membawakan baju gantinya. “Mboten makan dulu Mas? Ini mbok Yem siapkan.” Mbok Yem sudah ada di meja makan menyiapkan makanan. “Bisa minta tolong taruh sebagian makanan ini untuk aku bawa ke rumah sakit? Buat aku makan bersama Ning. Aku menginap di sana. Menunggu ibu bersama Ning.” Aku menjinjing dua tas cukup besar. “Inggih Mas. Saya bawakan. Sebentar ya.” Mbok Yem ke dapur lagi mengambil kotak susun yang biasanya untuk menyimpan bekal untuk piknik. “Secukupnya saja, Mbok. Seukuran makanku sama Ning.” Aku menarik kursi. Duduk sembari mencicipi tempe goreng berselimut tepung yang gurih. Karena minyak dari tempe goreng membuatku haus. Aku berdiri menuju kulkas yang letaknya tak jauh dari meja makan. Dekat dengan dapur. Aku dikejutkan dua botol kecil di dalam kulkas. Ini seperti jamu. “Mbok, Mbok Yem. Ini botol apa ya?” Aku membawa dua botol kecil air berwarna coklat kehijauan pekat ke mbok Yem yang sibuk menyiapkan bekal. “Oh, itu jamu, Mas. Jamu macan kerah. Buatan ibu untuk mbak Ning.” Mbok Yem memegang botol itu setelah aku sodorkan padanya. 174
Kemuning Cinta Tanpa Bicara “Jamu buat apa ini, Mbok?” Aku masih berdiri dekat mbok Yem yang masih memegang dua botol jamu. “Jamu untuk penyubur kandungan jare ibu. Ibu pingin mbak Ning ndang hamil. Ibu pingin timang cucu,” ucapan mbok Yem membuatku syok. “Kasihan mbak Ning. Sebelum haid dia harus minum itu selama tiga hari. Setelah haid juga harus minum itu selama tiga hari. Kata ibu biar kandungannya subur dan cepat punya anak.” Mbok Yem menaruh dua botol jamu itu ke meja makan. Dia melanjutkan tugasnya mengemas bekal untuk aku bawa. “Ning minum jamu ini, Mbok?” Aku duduk lemas. Kuletakkan siku tanganku di meja makan. Telapak tanganku memegang dahiku. Sungguh membuat syok luar biasa. “Ya, Mas. Diminum juga. Rutin malahan.” Penuturan mbok Yem membuatku merasa bersalah pada Kemuning. Detak jantungku tak karuan. “Inggih, Mbok. Kalau sudah selesai aku tak buru-buru ke rumah sakit. Kasihan Ning menunggu.” Aku bangkit dari tempat dudukku. Menjinjing dua tas dan satu rantang plastik bersusun bekal untuk makan malamku nanti bersama Kemuning. Di sepanjang perjalanan. Hatiku kacau. Aku merasakan kepedihan yang mendalam. Bagaimana aku selama ini begitu tega menyia-siakannya. Tidak mengerti perasaannya. Aku hanya memburu egoku sendiri. 175
Kemuning Cinta Tanpa Bicara Ya Allah, ampunilah aku. Aku selalu membuatnya menangis. Dia menanggung beban kesedihannya sendiri. Aku sampai rumah sakit. Membawa dua tas dan serantang susun bekal makanan. Kulewati lorong demi lorong rumah sakit. Hingga aku sampai di ruang pasien kelas satu di sana. Kulihat Kemuning masih duduk di samping ibunya. “Ning, ini baju kamu dan ibu. Ini bekal makan untuk kita makan malam. Aku ikut menginap malam ini. Menunggu ibu.” Kulihat ibu tertidur pulas. Aku berbicara lirih. Kemuning mengangguk. Aku melihat pandangannya terhadapku sudah berbeda. Semenjak dari kantin tiga hari lalu. Entah, apa penyebabnya. Atau mungkin kekawatirannya pada ibu belum reda. Dia sudah mandi. Kulihat wajahnya semakin segar. Gamisnya warna biru langit dengan hijab bercorak bunga warna biru tua. Tampak kontras dengan wajahnya yang ayu. “Sudah sholat ashar, Ning?” Dia mengangguk. Tidak seperti biasanya. Dia lebih bersemangat menantikanku untuk siap menjadi makmumku. Ada apa dengannya? Senyumnya pun sedikit hambar. Meski dia menutupinya. “Kalau gitu. Aku ke mushola dulu ya, Ning. Aku belum sholat.” Dia mengangguk. Aku melintasinya. Pikiranku tidak tenang terhadapnya. Kami selesai sholat isya’ berjamaah berdua di ruangan tempat ibu di rawat. Dia menyiapkan makan malam. Dia buka bekal yang tadi 176
Kemuning Cinta Tanpa Bicara aku bawa. Dia melayaniku. Aku memandangnya. Tanpa mengalihkan sedikit pun pandanganku padanya. Wajahnya terlalu indah untuk aku lewatkan. Sungguh. Aku semakin yakin keberadaannya di sisiku. Ini takdir jodohku. Yang mungkin Allah tulis di lauh mahfudz. Aku bahagia. Sangat bahagia. Kami makan bersama. Namun dia mengambil nasi begitu sedikit. “Tambah lagi nasinya, Ning. Lihat badanmu semakin kurus lho. Kalau terlalu kurus juga tidak enak kalau aku gendong kamu. Kurang greget.” Aku terkekeh. Menggodanya. Mencari senyumannya yang sedikit dia kurangi untukku. Membuatku semakin rindu. Tidak tenang. Dia mulai tersenyum. Susunan rapi giginya terlihat. Subhanallah... indah... indah sekali. Mahakarya Allah ciptakan untukku. Mataku tak bosan memandangnya. Meski tak ada make up kelas artis yang menempel di wajah cantiknya. Hanya bedak, celak dan lipsgloss warna merah jambu yang mempesona. Memperkuat senyumannya. “Ning...” Suara ibu memanggil. Ibu menoleh ke arah kami. Dia tersenyum. “Ning, kapan awakmu memberi cucu buat ibu? Ibu selak pingin.” Aku sedikit tersedak. Kaget mendengar permintaan ibu. Ya Allah... selama ini yang membuat ibu sakit itu aku. Harapan yang besar ibu untuk melihat cucu dari hubungan kami selama hampir empat bulan. Memang masih seumur jagung. Namun itulah harapannya. Gairah hidup ibu yang membuatnya selalu sehat. 177
Kemuning Cinta Tanpa Bicara Aku ambil minum yang terkemas di botol plastik. Kuminum hingga tenggorokanku reda kembali. “Ya, ibu. Pasti. Insyaallah. Doakan ya, Bu. Aku sama Kemuning segera dapat momongan.” Aku tersenyum dan melihat wajah Kemuning tersenyum terpaksa. Malam ini. Aku sandarkan tubuhku ke sofa ruang tempat ibu di rawat. Ibu sudah pulas tidur. Kulihat Kemuning duduk di dekat ibu. Membuatku jemu. Tidak semangat. Aku bangkit dari tempat duduk. Mendekati Kemuning. Memegang telapak tangannya. Ingin mengajaknya di sofa. Biar dia tidur lebih nyaman. Dia menolak. Aku pandangi terus wajahnya dan kupegang erat telapak tangannya. Dia menyerah. Mengikuti gandengan tanganku menuju sofa. “Tidur di sini saja, Ning. Biar tidurmu lebih nyaman.” Biar aku lebih dekat denganmu. Aku rindu. Modus sedikit. Habis rindu berat. Tanpanya tak lengkap rasanya. Dia duduk di sebelahku. Aku tidak bisa bermanja mesra. Kutahan dulu. Ini di rumah sakit. Nanti saja waktu di rumah. Arya... Arya... pikiranmu itu lho... Wis halal kan ya...? Hatiku berbicara sendiri. Bercampur aduk jantungku yang kencang berdetak. Aduh... Aku ambil napas panjang. Kemuning duduknya kok geser jauh ngene. Sini dong sayang. Waduh... piye iki. “Sini, Ning. Jangan dekat situ. Yang pernah cerita ke aku. Pernah tepat di situ ada penunggunya lho.” Modusku kedua. Tidak apa- 178
Kemuning Cinta Tanpa Bicara apa. Berbohong demi menjaga kemesraan suami istri kan diperbolehkan. Hehe. Kemuning terkaget dari apa yang aku ceritakan. Dia segera duduk bergeser dekat tubuhku. Yes, alhamdulillah... Senangnya. Aku menguap perlahan. Takut ibu bangun. Mengepalkan telapak tangan menaikkan tangan ke atas dan mulai menggerakkan tanganku kesandaran sofa agar aku bisa sedikit memeluknya. Modus ketigaku. Kemuning memandangku. Wajahnya sekarang begitu sangat dekat. Aku tatap juga wajahnya. Bingung mau bicara apa. Aku hanya tersenyum. Tapi dia tidak tersenyum. Dia hanya diam. Apa ketahuan? Aku sudah modus tiga kali. Aku silangkan kaki. Menggerak-gerakkan kaki. Untuk menutupi nervous di dekatnya. Aku tersenyum lagi. “Yowis, bobok ya, Ning. Biar besok bisa bangun tahajud juga. Ibu juga sudah tidur.” Dia mengangguk dan tersenyum. Duh... Gusti... senyumnya. Akhirnya kau bisa tidur dengan Nyaman bersama Kemuning Arya. Aku menghela napas panjang. Marem sekali. Setelah seminggu dirawat di rumah sakit, sekarang akhirnya ibu dibolehkan untuk pulang juga. Aku senang sekali. Ibu bisa diawasi di rumah. Terlebih rumah kembali seperti dulu. Ada Ning di sampingku. 179
Kemuning Cinta Tanpa Bicara Sore itu aku pesan beberapa bunga mawar. Aku tata sendiri. Setiap sore Kemuning selalu menghabiskan sorenya di gazebo untuk membaca mushaf dan meneruskan hafalan rutinnya. Tak lupa secarik kecil ajian pemikat sukma puisi manis untuknya. Kutaruh di gazebo yang sudah tertata beberapa bunga. Setiap langkahnya menuju gazebo terdapat beberapa tangkai bunga mawar untuknya. Kuharap dia suka. Aku hanya bisa melihat reaksinya dari atas balkon. Melihatnya menyusuri jalan taman yang terdapat beberapa tangkai bunga mawar. Hingga di gazebo terdapat juga bunga mawar berbentuk hati yang di tengahnya terdapat secarik puisi buatnya. Dia mengambil dan membacanya Ning... Jika kesadaranku pulih akan hadirmu... Ijinkan aku untuk menjadi bagian dari kehidupanmu... Dan... Aku sadar... Dirimu telah menjadi bagian dari hidupku... Aku menyayangimu... dari Mas Aryamu... 180
Kemuning Cinta Tanpa Bicara Setelah dia membaca secarik kertas berwarna biru laut itu. Dia meletakkannya di dadanya. Erat sekali. Dia tersenyum. Kulihat ada air mata di wajahnya. Ini hari pertamaku untuknya. Memberikan rasa di hatinya agar tidak hambar kepadaku. Hari ke dua aku beri kejutan sederhana. Menaruh setangkai bunga mawar di almarinya. Lengkap dengan secarik puisi. Ning... Seandainya aku sanggup menyangga dukamu... Ijinkan aku untuk menyangganya pada dadaku... Tumpahkan semua sedihmu di pelukku... Karena kau bagian dari suka dukaku... Aku memperdulikanmu... dari Mas Aryamu... Hari ke tiga. Kutaruh setangkai mawar yang aku selipkan di mushafnya dengan sepucuk puisi. Ning... Kau telah menjadi kitab suciku... Kujaga kemurnian batinmu... Kubaca setiap syair-syair inginmu... Meresapi hasrat hatimu untukku... 181
Kemuning Cinta Tanpa Bicara Karena kau bagian dari tulang rusukku... Aku menyayangimu... dari Mas Aryamu... Hari ke empat. Aku meminta bantuan loper koran untuk memberikan koran kepadanya yang telah kuselipkan setangkai bunga mawar dan secarik puisi. Ning... Apa aku sanggup hidup tanpa hadirnya senyummu... Sungguh... Senyumanmu selaras embun pagi yang di nantikan rerumputan... Aku terbuai senyummu... Aku mengagumimu... dari Mas Aryamu... Hari ke lima. Aku selipkan dekat baju kimononya setangkai bunga mawar lengkap dengan sepucuk puisi. Ning... Dalam tidurmu aku berharap... Aku bagian dari mimpi-mimpimu... Menjadi bingkai jernih wajah cantikmu... 182
Kemuning Cinta Tanpa Bicara Biar kusimpan di lubuk hatiku... Aku membutuhkanmu... dari Mas Aryamu... Hari ke enam. Aku pesan kue strawberi berbentuk hati. Di atas kotaknya terdapat setangkai mawar dengan secarik puisi. Ning... Merahnya strawberi telah hadirkan merahnya hasrat inginku bersamamu... Aku lumpuh tanpamu... Senyummu membiusku hingga lumpuhkan akalku... Aku sudah menyerah atas egoku... Aku mulai mencintaimu... dari Mas Aryamu... Hari ke tujuh. Adalah puncak inginku bersamanya. Kuatur bersama Citra. Setelah sholat isya’, kami lanjutkan sholat tahajud dan witir. Citra mengajaknya keluar. Aku menghias kamar kami dengan lampu temaram. Penuh hiasan selambu berwarna putih. Di atas ranjang kutata kelopak bunga mawar berbentuk hati untuknya. 183
Kemuning Cinta Tanpa Bicara Lingerie merahnya kuletakkan di atas ranjang yang di atasnya terdapat setangkai mawar dengan sepucuk puisi. Setelah selesai. Aku hubungi Citra untuk segera kembali membawanya pulang. Aku siap dengan baju kimono berwarna merah sepadan warna lingerie yang dia punya. Menantinya duduk di sofa. Kudengar suara mobil Citra sudah pulang. Derap kakinya aku rasakan. Selaras detak jantungku menantikannya. Suara pintu yang terbuka. Dia berdiri di bibir pintu sesaat. Terkagum akan dekorasi yang telah berubah. Dia memasuki kamar yang begitu banyak kelopak bunga mawar. Aku melihat langkahnya. Begitu anggun. Hingga dia mendekati ranjang pegas bersprai putih berumbai dengan rangkaian kelopak bunga mawar berbentuk hati. Wajahnya terlihat penuh kekaguman. Hingga dia melihat lingerie warna merahnya terhampar di ranjang dengan setangkai bunga mawar di atasnya. Dia membuka sepucuk puisi dariku. Ning... Aku tahu sejak dulu kamu menantikanku... Menanti gairahku untuk mencintaimu... Malam ini... Kita rengkuh bersama... Jangan ragukan rasaku... Aku mencintaimu... Kemuningku... 184
Kemuning Cinta Tanpa Bicara dari Suamimu yang telah mencintaimu... Mas Aryamu... Dia menitikkan air mata membawa lingerie itu ke kamar mandi. Aku menantikannya. Beberapa saat kemudian Dia keluar dengan lingerie merahnya. Masyaallah... cantik sekali. Aku bangkit dan mendekatinya. Menggapai tangannya. “Ning, aku mencintaimu. Aku siap menjadi bagian dari kehidupanmu. Menjadi peneduhmu. Menjadi ayah untuk anak-anak kita nanti.” Dia menengadah wajahnya kepadaku. Wajah kita sangat dekat. Ujung hidung kami bersentuhan. Inikah cinta yang Allah ciptakan. Kekasih yang sudah halal. Tidak ada keraguan apapun. Tidak ada dosa apapun. Yang ada hanya keberkahannya. Limpahan pahala dari Sang Pencipta. Kudengar rinai hujan malam telah dikirim Allah kepada kami. Kami semakin larut akan perasaan kita. Aku kecup keningnya. Lama. “I Love You...” Itu yang kuucapkan padanya. Kuangkat dagunya. Kucari manik matanya. Istriku yang kucintai. Dengan ketulusan hati. Hendak kukecup bibirnya. Namun dia mendorongku. Aku terkesiap akan sikap Kemuning kepadaku. “Ning, apa yang terjadi padamu?” Aku bingung akan sikapnya malam ini. Dia mengambil kertas dan bolpoin. Menulis sesuatu. 185
Kemuning Cinta Tanpa Bicara MENJAUHLAH DARIKU MAS... AKU TIDAK PANTAS BUATMU. “Tapi mengapa, Ning? Apa kamu tidak yakin akan cintaku ini?” Aku berusaha memeluknya lagi. Namun dia tepis tanganku dan menulis lagi. AKU WANITA BISU MAS... “Aku tidak peduli! Aku lakukan apa saja untuk memulihkan suaramu kembali.” Aku mendekatinya memegang pipinya. Namun dia menepis tanganku. AKU BERKASTA SUDRA. TIDAK PANTAS BUATMU YANG BERKASTA SATRIA. AKU WANITA DUSUN. MISKIN. SEDANGKAN MAS BERDARAH BIRU. KETURUNAN DARAH KERATON. AKU TIDAK PANTAS UNTUKMU. Dia menangis sejadi-jadinya. Aku hanya bisa meremas kertas darinya yang sudah aku baca. Langkahku mundur. Menuju sofa. Aku terduduk lemas. Kemuning membuat jarakku dengannya semakin jauh. Dia tidak yakin akan cintaku. 186
Kemuning Cinta Tanpa Bicara Kemuning duduk di lantai. Bersandar di sisi ranjang. Masih menangis. Aku hanya mematung. Tidak terasa air mataku jatuh. Harusnya malam ini adalah hari bahagia kami. Menyudahi penantiannya terhadapku. Meluapkan perasaan cinta kami. Menjemput surga dunia bersama. Hingga harapanku menurunkan trah putra mahkota di keluarga kecilku. Semua musnah. Sekarang Kemuning yang menolakku. Menolak cintaku. Dia merasa dia tidak pantas untukku. Ya Allah... berikan kami kesabaran akan ujian cinta yang Engkau berikan. Aku terdiam di sofa. Tak bergeming. Mengingat menit-menit penolakan Kemuning kepadaku. Kemuning masih duduk menyatukan kedua lutut kakinya. Tertunduk dan masih menangis. Isak tangisnya berhenti. Dia tertidur di lantai dengan kepala masih tertunduk. Mayangnya tergerai menutupi sebagian tubuhnya. Aku dekati dia perlahan. Aku bopong dia. Dia tersentak dan hendak menolakku. “Ning, tenanglah. Aku tidak akan memaksamu. Aku siap menunggu hingga kamu benar-benar siap untukku.” Aku membawa tubuhnya. Mayangnya yang indah tergerai menyentuh lenganku. Kutaruh tubuhnya di ranjang berseprei putih berumbai. Kelopak bunga merah masih utuh berbentuk hati. Dia belum menghendakiku. Aku harus mengalah demi cinta ini. Menantikannya dengan setia. 187
Kemuning Cinta Tanpa Bicara Dia menatap wajahku. Kami saling berpandangan. Manik matanya memberi isyarat ketidak berdayaannya atas penolakannya kepadaku. Aku ikhlas. Allah masih menguji cinta kami. Aku usap sisa-sisa air mata di pipinya. Mencium keningnya lama. Lalu meninggalkannya bersama kelopak bunga yang masih tak tersentuh oleh tubuh kami. Aku harus mengalah. Cinta perlu pengorbanan. Bukan paksaan. Kubenamkan tubuhku lagi di sofaku. Sofa yang masih setia menyangga tubuh ini tanpa pelukan Kemuning. Dia butuh keyakinan akan tulusnya cintaku. Cintaku tanpa syarat. Siap korbankan apapun untuknya. Meski hatiku harus menangis untuknya. 188
Kemuning Cinta Tanpa Bicara 15 TENTANG CINTA MARS DAN VENUS Kuberjalan menyusuri taman yang penuh ditumbuhi banyak bunga. Ada telaga di ujung sana tampak bening kehijauan. Dengan perahu kayu yang menepi. Mas Arya dengan senyumannya menggandengku erat. Jemari kami terpaut satu sama lain. Aku memandang wajah teduhnya. Membuat naluriku berbisik manja. Akan cintanya. Kami menepi di persimpangan jalan. Dia memegang kedua telapak tanganku. Menatapku. Mendekatkan wajah tampannya begitu dekat dengan wajahku. Aku tengadah memandangnya. Hidungnya bermain di ujung hidungku. Menyusurinya hingga keningku. Dia mengecupnya. Aku rasakan kecupannya. Sembari terpejam. Hingga bulir air mataku jatuh. “Maafkan aku, Ning. Aku harus melepasmu. Kasta telah merenggut semua kebersamaan kita. Rasa kita dan cinta kita.” Mas Arya melepaskan tangannya dan pergi menuju arah lain di persimpangan jalan. Menemui seorang wanita di sana. Menggapai tangan wanita itu. Wanita itu menoleh melihatku. Keysha Larasati. Aku hanya menangis. Merelakan kepergian mas Arya untuk Keysha. 189
Kemuning Cinta Tanpa Bicara “Ning… Ning Sayang.” Suara itu memanggilku. Kubuka mataku. Aku bermimpi tentang mas Arya. Mas Arya mencium keningku. Aku terpejam. Air mataku menetes. “Kamu mengigau sayang. Adakah diriku dalam mimpimu, Sayang?” Dia menepis air mataku. Dia duduk di tepi ranjang. Tubuhnya setengah memelukku di atas ranjang pegas. Matanya begitu tulus kepadaku. Menerima penolakanku semalam. “Yowis, sudah azan subuh. Ayo siap-siap menjemput subuh, Sayang.” Dia mengecup keningku lagi. Hatiku berdesir. Terasa hembusan cintanya menerpa hatiku. Meski keraguanku masih menyelimuti. Dia melepaskan pelukannya dan bangkit menuju kamar mandi. Aku memandang di permukaan ranjangku. Melihat kelopak bunga mawar berbentuk hati di dekatku. Masih segar kelopak-kelopaknya menebar keharuman. Kami belum menyentuhnya. Lingerie merahku masih melekat di badanku. Aku masih mengingat penolakanku semalam. Kulihat memo stik dan sebuah bolpoin di meja rias. Aku bangkit. Duduk di kursi depan cermin meja rias. Aku memandang wajahku. Kulihat wajah penuh dosa. Dosa seorang istri yang menolak permintaan suaminya. Namun bayangan kata-kata Keysha masih terngiang di pikiranku. Ucapan Keysha ketika di kantin rumah sakit. 190
Kemuning Cinta Tanpa Bicara “Apa kamu tahu siapa Arya?” Keysha menatap wajahku. Dengan wajah santai seakan tanpa beban. Aku bergeleng kepala. “Mbak Ning... Mbak Ning. Naif sekali ya. Oh ya, kan kamu mengenal Arya masih seumur jagung. Pantas saja.” Dia bangkit dan berjalan mendekatiku. Dekat dengan telingaku. “Dia itu keturunan darah biru. Kakeknya seorang Tumenggung di keraton Yogyakarta yang menikah dengan keluarga keraton. Bergelar Kanjeng Raden Tumenggung. Dengan kakeknya bernama Kanjeng Raden Tumenggung Surya Hadiningrat. Ayah Arya bernama Raden Rahadi Hadiningrat. Sebenarnya nama Arya itu Raden Mahendra Arya Putra Hadiningrat. Citra adiknya bernama Raden Roro Citra Anarawati.” Dia memegang pundakku. “Kau tahu. Pria keturunan darah biru hanya menikah dengan wanita berdarah biru untuk dijadikan istri pertamanya. Permaisurinya. Ya, paling tidak sepadan dengan tingkatan dan derajatnya.” Keysha begitu jelas bercerita tentang trah kehidupan mas Arya yang masih berdarah biru. “Meski pun Arya menikahimu dan menjadikanmu istri pertamanya. Kamu tetap menjadi selir baginya. Karena kastamu hanya berkasta sudra. Kasta sudra adalah kasta terendah. Hanya pantas menjadi selir.” Ucapan Keysha begitu tajam. Seperti ujung pedang yang telah menghunus jantungku. “Jadi jangan berharap banyak untuk cintanya. Pria berdarah biru seperti Arya memandang wanita berkasta sudra hanya untuk pemuas 191
Kemuning Cinta Tanpa Bicara nafsunya saja. Ini adalah kenyataannya. Ayah Arya mencampakkan ibunya yang hanya berkasta sudra.” Aku tidak bisa membendung air mataku. Getir. Seakan ribuan sembilu menyayat-nyayat hatiku. Keysha pergi meninggalkanku dengan derai tangis. Kata-katanya sudah berhasil membuatku yakin mas Arya memang keturunan darah biru. Namun mengapa dia bungkam kepadaku. Citra juga demikian. Mereka telah berhasil menutupi jadi diri mereka. Astaghfirullah... aku wanita yang begitu naif. Aku tidak mampu lagi. Lumpuh. Meratapi segala kekuranganku di hadapannya. Aku berkasta sudra. Bisu pula. Begitu rendahnya kedudukanku jika bersanding di sisinya. Menerima segala perhatiannya. Ya, hanya nafsu. Mas Arya hanya bernafsu untuk menikmati tubuhku saja. Aku hanya menjadi calon pemuas nafsunya saja. Betapa bodohnya diriku. Seorang Anjani Kemuning yang naif. Sangat naif. Aku susun kedua lenganku. Menangis dengan menunduk. Meletakkan dahiku di tumpukan lenganku. Tak pedulikan dua mangkuk rawon yang sudah ada di meja. Membiarkan dua gelas teh hangat yang mulai dingin. Mas Arya menanyakan keadaanku. Melihatku berderai air mata. Dia terlihat kebingungan. Aku merasa semua perhatian mas Arya terhadapku hampa. Rasaku hambar kepadanya. Keyakinanku padanya kandas seketika. Senyumnya, candanya dan kecupannya aku rasa maya. 192
Kemuning Cinta Tanpa Bicara “Lho, Ning Sayang. Ayo ndang wudhu. Tak tunggu jamaah.” Mas Arya melihatku masih duduk mematung di kursi meja hias. Pantulan cermin itu memperlihatkan gerak tubuhnya. Dia yang sekarang menata sajadah-sajadah dan menaruh mukenaku di atas sajadahku. Hingga dia hendak mengenakan baju koko dan sarungnya. “Hemmm... Ninggg.” Dia mengingatkanku lagi. Aku bangkit dengan langkah lemas menuju lemari ukir mengambil gamisku menuju kamar mandi. Kugantung lingerie digantungan yang menempel di tembok kamar mandi. Masih jelas peristiwa semalam ketika melihat lingerie merah menyala itu. Pikiranku kacau saat ini. Kubasuh bagian tubuhku dengan air wudhu. Ingin segera berbincang tentang dukaku pada Sang Pencipta. Hanya kepada-Nya aku gantungkan takdir hidup dan jodohku. “Ayo, Ning. Keburu srengengene mletek30 lho.” Mas Arya sudah siap berdiri menghadap kiblat. Aku segera memakai mukenaku. Tidak ada nuansa, sebening dulu. Meski alunan ayat-ayat yang dia ucapkan masih sama. Tidak ada rasa memesona melihat tawaduknya. Meski terlihat ketulusan dan kepasrahan di sujud panjangnya. Aku hanya berzikir. Terpejam. Berharap pada-Nya untuk menghapus segala perasaan dan cintaku pada mas Arya. 30 Cahaya matahari muncul 193
Kemuning Cinta Tanpa Bicara Dia menjulurkan tangannya memintaku untuk mencium punggung tangannya. Aku menggapainya mesti hatiku tiada desir. “Ning, tiga hari lagi aku mau ajak kamu ke Singapura. Hendak memeriksakan kondisi pita suaramu yang bermasalah. Aku kenal dengan dokter ahli di sana. Insyaallah akan ada jalan untuk kesembuhanmu.” Pikiranku yang semula datar kepadanya menjadi takjub. Dia memenuhi janji yang dia ucapkan di malam penolakanku padanya. Hatiku kacau. Berkecamuk antara ketulusan cintanya atau rasa kasihan belaka. Wanita berkasta sudra sepertiku jangan berharap cintanya. Khayalmu maya. Hanya untuk pemuas nafsu sang raja. Menikmati madu yang aku miliki. Jika sudah kering akan menjadi sampah baginya. “Sewaktu aku studi banding di sana. Aku bertemu dokter Rubaida Rose. Beliau ahli dibidang THT termasuk menangani masalah gangguan pita suara karena kecelakaan.” Dia duduk bersila menghadapku. Wajahnya masih tampan dengan cambang yang sudah mulai sedikit tumbuh kembali. Ingin aku memegang wajahnya. Bermain- main di cambangnya yang mulai tumbuh kembali. Mengukir kalimat- kalimat cinta bersamanya. Namun, kasta telah membelengguku. Ketakutanku akan kata- kata Keysha. Aku hanya pemuas nafsunya. Nafsu seorang raja kepada selir rendahan sepertiku. Aku hanya memandangnya dengan perasaan mengambang. Membersihkan buih-buih hasratku padanya. 194
Kemuning Cinta Tanpa Bicara “Kamu pasti seneng Ning. Di sana tempatnya bersih, tertib semua serba modern. Nanti kita juga bisa sedikit jalan-jalan di sana.” Mas Arya berbincang tiada beban sama sekali. Kulihat ketulusan di matanya. Namun entahlah. Rasa kecurigaanku meracuni kalbuku. Aku sulit menyembuhkannya. Apa hatiku sudah membatu. Kasta telah mengubahku menjadi wanita berhati beku. “Yowis, Ning. Rapikan dulu ini ya. Aku mau treadmill dulu. Tolong buatkan jus alpukat tanpa gula tanpa susu ya, Sayang.” Dia mendekatiku. Mencium keningku. Aku masih merasa hampa. Begitu mudahnya Anjani Kemuning mengubah hatinya yang hangat menjadi sedingin ini. Sebuah Kebiasaan lama Mas Arya berolah raga setelah sholat subuh. Dia sering treadmill dan memainkan barbel. Terlihat otot tubuhnya mencuat di permukaan otot bisep dan trisepnya. Membuat para hawa terpana akan bentuk tubuhnya yang proporsional. Dulu, melihatnya berolah raga membuat hatiku berdesir. Terpana akan tubuhnya. Begitu gagah dan tampan. Aroma kelaki-lakiannya memikat hasratku semakin mencintainya. Meski dia tak memperdulikan malam-malamku. Namun sekarang, keadaan yang membalikkan hasratku dan hasratnya. Semalam dia begitu menginginkanku. Tapi aku menolaknya. Dia begitu menggebu menceritakan cintanya untukku. Tapi aku ketakutan akan cintanya. Aku tak berdaya. 195
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164
- 165
- 166
- 167
- 168
- 169
- 170
- 171
- 172
- 173
- 174
- 175
- 176
- 177
- 178
- 179
- 180
- 181
- 182
- 183
- 184
- 185
- 186
- 187
- 188
- 189
- 190
- 191
- 192
- 193
- 194
- 195
- 196
- 197
- 198
- 199
- 200
- 201
- 202
- 203
- 204
- 205
- 206
- 207
- 208
- 209
- 210
- 211
- 212
- 213
- 214
- 215
- 216
- 217
- 218
- 219
- 220
- 221
- 222
- 223
- 224
- 225
- 226
- 227
- 228
- 229
- 230
- 231
- 232
- 233
- 234
- 235
- 236
- 237
- 238
- 239
- 240
- 241
- 242
- 243
- 244
- 245
- 246
- 247
- 248
- 249
- 250
- 251
- 252
- 253
- 254
- 255
- 256
- 257
- 258
- 259
- 260
- 261
- 262
- 263
- 264
- 265
- 266
- 267
- 268
- 269
- 270
- 271
- 272
- 273
- 274
- 275
- 276
- 277
- 278
- 279
- 280
- 281
- 282
- 283
- 284
- 285
- 286
- 287
- 288
- 289
- 290
- 291
- 292
- 293
- 294
- 295
- 296
- 297
- 298
- 299
- 300
- 301
- 302
- 303
- 304
- 305
- 306
- 307
- 308
- 309
- 310
- 311
- 312
- 313
- 314
- 315
- 316
- 317
- 318
- 319
- 320
- 321
- 322
- 323
- 324
- 325
- 326
- 327
- 328
- 329
- 330
- 331
- 332
- 333
- 334
- 335
- 336
- 337
- 338
- 339
- 340
- 341
- 342
- 343
- 344
- 345
- 346
- 347
- 348
- 349
- 350
- 351
- 352
- 353
- 354
- 355
- 356
- 357
- 358
- 359
- 360
- 361
- 362
- 363
- 364
- 365
- 366
- 367
- 368
- 369
- 370
- 371
- 372
- 373
- 374
- 375
- 376
- 377
- 378
- 379
- 380
- 381
- 382
- 383
- 384
- 385
- 386
- 387
- 388
- 389
- 390
- 391
- 392
- 393
- 394
- 395
- 396
- 397
- 398
- 399
- 400
- 401
- 402
- 403
- 404
- 405
- 406
- 407
- 408
- 409
- 410
- 411
- 412
- 413
- 414
- 415
- 416
- 417
- 418
- 419
- 420
- 421
- 422
- 423
- 424
- 425
- 426
- 427
- 428
- 429
- 430
- 431
- 432
- 433
- 434
- 435
- 436
- 437
- 438
- 439
- 440
- 441
- 442
- 443
- 444
- 445
- 446
- 447
- 448
- 449
- 450
- 451
- 452
- 453
- 454
- 455
- 456
- 457
- 458
- 459
- 460
- 461
- 462
- 463
- 464
- 465
- 466
- 467
- 468
- 469
- 1 - 50
- 51 - 100
- 101 - 150
- 151 - 200
- 201 - 250
- 251 - 300
- 301 - 350
- 351 - 400
- 401 - 450
- 451 - 469
Pages: