Kemuning Cinta Tanpa Bicara “Lho, buat siapa, kamu ya? Sudah nikah? Kok aku tak diundang,” kata cik A Ling melontarkan pertanyaan padaku. Hemmm... pertanyaan apa intrograsi ini. Banyak banget. “Buat kado, Cik. Untuk teman.” Ya sudah aku jawab seperlunya dari pada banyak tanya. “Oh, buat kado kirain buat kamu. Hihi...” Cik A Ling tersenyum sumringah. Dia pasti marem bukan untuk istri mas Arya. Hihi... biar deh. Sumpek aku jika di tanyai ngalor ngidul. “Kabar mas ganteng bagaimana, Cit, baik ya?” Duh, ini lagi pasti ujung-ujungnya tanya mas Arya. “Alhamdulillah baik kok, Cik. Sekarang lagi di hutan belantara. Jadi Tarzan.” Hihi... bergurai sedikit. Biar tidak sumpek. “Ha... kok di hutan. Ada apa sih, Cit?” Waduh, si sipit makin penasaran ini. “Aduh. Ya kerja dong, Cik. Ada program bakti sosial untuk memberi pengobatan gratis di daerah terpencil.” Jelasku padanya. “Oh... kirain.” pasti cik A Ling mengira mas Arya tidak muncul karena sudah nikah. Tapi biar deh dia penasaran. Nanti kalau mbak Ning sudah benar-benar sembuh dan bisa menjadi wanita super sempurna. Biar mas Arya sendiri yang mengajaknya di mall ketemu cik A Ling. Hehe... biar gigit jari. Patah hati. Rontok hatinya. Merana dia. “Cik, mana nih lingerie?” Aku potong kompas deh. Sudah gak tahan. Ingin buru-buru isi perut. Waktunya makan siang. 46
Kemuning Cinta Tanpa Bicara “Oh iya, sini, Cit.” Cik A Ling membawaku pada deretan lingerie yang menggantung rapi di sudut etalase. Dia menunjukkan beberapa lingerie yang berkualitas. Aku memilih warna yang sekiranya mencolok namun tetap anggun untuk mbak Ning. Pasti makin eheemmm deh kalau mas Arya melihatnya. Hemmm... sudah ahh... mbayangne apa aku. “Citra!” Seseorang menepuk bahuku. Mengagetkanku. Suara yang pernah aku kenal. Buru-buru aku menoleh. Keysha Larasati. Wanita itu. Wanita yang membuatku jengah. Malas bicara dan memperbincangkannya. Wanita yang tidak ingin kutemui. “Ya, ada apa ya?” hanya kata-kata itu yang sanggup aku balas. “Beli buat siapa?” dia melihatku memilih lingerie. “Buat teman. Untuk kado,” kujawab singkat saja. “Oh, sudah lama sekali aku tidak mengobrol sama kamu. Kangen nih ngobrol dengan kamu. Kangen saat kamu ngobrol lucu,” dia membalas pertanyaanku. Hemm... bener-bener ini. Bikin aku illfeel. Memangnya aku srimulat? Aku malah srimules ini ketemu dia. Males... males banget. “Habis beli ini makan siang yuk!” Dia pasang muka semanis mungkin. Hati-hati Citra, pasti ada udang di balik sambal terasi. Tiba- tiba perutku memanggil. Kukuruyuk... upsss keliru. Kruuukkk... 47
Kemuning Cinta Tanpa Bicara “Nah, lagi lapar juga kan.” Aku hanya mengangguk. Ya sudah, masalah sakit hati tahan dulu, Citra. Sekarang yang terpenting selamatkan dirimu dari rasa lapar. “Ok, sebentar ya, Mbak Key. Aku bayar ini dulu.” Aku bawa lingerie berwarna merah ke kasir. Selain itu aku minta untuk membungkuskan ke dalam kotak kado warna ungu. Dia memilih resto masakan Minang. Ya sudah, ini juga makanan favoritku. Kami duduk santai tepat di balkon lantai tiga. Melihat pengunjung mall yang sliweran. Tidak beberapa lama. Piring-piring berisi berbagai hidangan menu Padang sudah siap di atas meja kami. Keysha terlihat elegant, meski dia berada di meja makan resto yang lumayan sederhana. Dia mempersilakan aku makan. Ya sudah, aku terlanjur lapar. Aku mulai mengambil rendang, sayur daun singkong dan sambal hijau favoritku. “Bagaimana kabar pekerjaanmu?” kata Keysha membuka pembicaraan. “Alhamdulillah, baik Mbak. Mbak, sendiri bagaimana setelah ambil beasiswa di Inggris?” Aku coba browsing kehidupannya tanpa mas Arya. Menangkap sinyal-sinyal kehidupannya yang sekarang. “Alhamdulillah, lancar, Cit. Sudah aku tempuh tepat waktu.” Dia mengambil segelas air jeruk hangat dan meminumnya. 48
Kemuning Cinta Tanpa Bicara “Wah, hebat Mbak Keysha ini. Sekarang bekerja di rumah sakit mana, Mbak?” jawabku dengan nada pura-pura memujinya. Padahal aku sudah bosan dengannya. Memang dulu aku mengagumi sosoknya. Setelah peristiwa itu, membuatku mati rasa terhadapnya. Bahkan aku kubur namanya dalam daftar orang yang aku percayai dan aku kagumi. Dia hanya wanita pembual yang memberi rasa sakit di hatiku. “Alhamdulillah, aku dipercaya sebagai tim ahli bedah di rumah sakit ternama di Singapura.” Wah, tambah sombong nih cewek. Aduh, untung tidak jadi kakak iparku. Alhamdulillah, ya Allah. “Wui, berarti Mbak Key, tidak bekerja di Indonesia?” aku bertanya, semoga dia jauh dari kehidupan mas Arya. “Masih, Cit. Bahkan ini bekerjasama antara rumah sakit tempat masmu Arya bekerja dengan rumah sakit tempatku bekerja di Singapura.” Terlihat wajahnya berseri-seri menjelaskannya padaku. Tampak senang sekali dia dekat dengan mas Arya. Hemm... makin geregetan aku sama ini cewek. Awas saja kalau coba-coba goda lagi mas Arya. Dasar cewek penggoda. “Oh...,” aku jawab singkat. Males saja. Nanti tambah besar kepala dia. Memang Keysha wanita yang cerdas dan dikagumi banyak pria. Siapa saja yang dekat dengannya pasti termehek-mehek. Tapi tidak cocok jika berdampingan dengan mas Arya. Mas Arya butuh wanita yang memiliki hati lembut dan welas asih seperti Dewi Subadra. 49
Kemuning Cinta Tanpa Bicara Membutuhkan pendamping hidup yang teguh imannya seperti Siti Khadijah istri Rasulullah. Kesemuanya tidak aku temukan pada Keysha. Tapi aku menemukannya pada mbak Ning. Aku tetap mendukung mbak Ning. Aku perjuangkan cinta mbak Ning untuk mas Arya. Aku siap membela mbak Ning meski dia terpuruk dalam kekurangannya. Dialah sosok sejati bayang-bayang mas Arya. Yang menanti cahaya cinta mas Arya, agar mas Arya menyadari keberadaannya. Aku sudah mulai kenyang. Aku menolak Keysha agar aku tambah lagi. Dia mau bikin aku gembrot. Tidak boleh. Aku masih menanti Arjunaku. Arjuna yang baik seperti mas Arya. Tiba-tiba aku dikejutkan pesan whatsapp. Aku membukanya. MBAK NING CANTIK : Assalamuallaikun Citra MY SELF : Wa’alaikumusalam Mbak. Ada apa? MBAK NING CANTIK : Kamu dimana sekarang? Sudah makan belum? Ini Mbak sudah buatkan bothok tawon, pepes gerih dan nasi liwet buatmu. MY SELF : Waduh... banyak sekali Mbak. Tapi Alhamdulillah... terima kasih ya... Mbak Ning sudah repot-repot masak buat aku. Ya Mbak. Bentar lagi aku mau pulang. Mbak Ning jangan lupa makan ya. Ingat asam lambungnya. 50
Kemuning Cinta Tanpa Bicara MBAK NING CANTIK : Iya Citra. Ini nunggu kamu. Kita makan sama-sama ya. MY SELF : Iya Mbak. Sebentar lagi aku pulang. Tunggu ya. MBAK NING CANTIK : Iya Cit. Hati-hati di jalan ya. Assalamuallaikum. MY SELF : Oke Mbak... Wa’alaikumusalam... “WA dari siapa Cit? Kok senyum sendiri, dari cowok ya?” pertanyaan Keysha membuatku jengah. Untung saja ada hal yang bisa kubuat alasan untuk segera pergi darinya. Aku sudah merasa kesal. Tapi kutahan. Aku ingat ucapan almarhumah ibu. Sebencinya kita pada seseorang, jangan sampai terlihat. Aku juga ingat wajah mbak Ning yang selalu pemaaf. Mungkin aku harus belajar dari sifat mbak Ning. “Bukan, ini dari mbak Ning. Aku mau segera pulang ya, Mbak.” Aku segera berdiri dari kursi dudukku. Bergegas ke meja kasir membayar dari apa yang kami pesan. Tiba-tiba Keysha yang menahan uluran tanganku yang memegang sejumlah uang. “Sudah, Cit, aku saja yang bayar. Aku yang mengajakmu makan, maka aku yang akan bertanggung jawab membayarnya.” Dia mengambil beberapa lembar uang dan memberikan ke kasir. 51
Kemuning Cinta Tanpa Bicara “Baiklah, Mbak. Terima kasih ya, sudah ditraktir.” Aku mengulurkan tangan. Bersalaman dengan Keysha. Berlalu tanpa menoleh padanya. Aku sudah sampai di rumah. Menuju ruang makan dimana mbak Ning dan ibu sudah duduk di meja makan. “Maaf ya, Mbak. Nunggu aku ya.” Aku bersalaman dengannya, menempelkan pipiku pada mbak Ning. Senang sekali aku didekatnya. Kulihat wajahnya ceria. Kemungkinan dia tidak sabar menanti suami tercintanya pulang esok hari. Aku menemani mereka makan. Walaupun aku sebenarnya sudah kenyang, namun godaan masakan mbak Ning membuatku ambil sedikit nasi liwet dan bothok tawon. Hemm... terasa nikmat sekali dimulutku. Tak terasa niatku untuk makan sedikit. Berakhir dengan menambah nasi liwet dan pepes gerihnya yang luar biasa nikmatnya. Suara azan Ashar sudah berkumandang. Aku membantu mbak Ning yang masih mondar-mandir bersama mbok Yem membereskan hasil makan siang kami. Setelahnya, mbak Ning mengajakku untuk sholat ashar bersama. Mbak Ning tampak sibuk merapikan mukena dan sajadah kami. Dia melipatnya rapi dan meletakkannya di almari kaca khusus perlengkapan ibadah. Di atasnya ada rak yang berisi beberapa mushaf dan beberapa buku tentang hadist. 52
Kemuning Cinta Tanpa Bicara Aku duduk di sisi ranjang. Melihatnya dia sibuk membereskan. Kemudian dia mengambil mushaf hafalan dan mendekatiku. Duduk di sampingku. Aku lihat kepasrahan di hatinya. Dia gantungkan cintanya pada-Nya. Berharap dalam tawakalnya yang menyentuh sanubariku. Aku mendengar dia menggumam. Melantunkan hafalannya. Menutup dan membuka mushaf jika ia lupa. Mengenadahkan kepalanya saat dia merapalkan hafalannya. Gumamnya tidak jelas dan itu adalah penyebab peristiwa tragis itu. Yang membuat pita suaranya rusak. Tapi aku masih mengerti apa yang dia inginkan. Memahami setiap tingkahnya. Memahami setiap aku melihat manik matanya yang sangat teduh. Aku juga mengajarkan bahasa isyarat padanya. Menantinya hampir setengah jam. Kemudian, aku sentuh lengannya. “Mbak, ada yang ingin aku berikan kepada Mbak Ning.” Aku mengambil tas kertas berwarna putih. Kulihat mbak Ning berdiri dan melangkah ke arah almari kaca. Mengembalikan mushafnya ketempatnya semula. Kemudian kembali duduk di sisi ranjang pegas bersprai ungu yang bermotif bunga mawar yang menawan. Aku kembali mendekatinya. Duduk disampingnya. “Mbak, aku beli sesuatu untuk Mbak Ning.” Aku merogoh kotak kado berwarna ungu kepadanya. Dia membukanya dengan mata terbelalak. Kaget. Dia bergeleng. Seakan tidak sanggup memakainya. Matanya berkaca-kaca. Hingga kami dikejutkan ponsel mbak Ning berbunyi. Ada 53
Kemuning Cinta Tanpa Bicara pesan dari mas Arya. Kulihat ada gambarnya di ponsel itu. Mbak Ning membukanya. Memberikan ponsel itu untuk aku baca. MAS ARYAKU : Assalamuallaikum, Ning. Insyaallah, besok aku sudah sampai di rumah. Ingat jangan lupa makan ya. Aku memegang tangan mbak Ning. Meyakinkan kesempatan ini untuknya. “Mbak, sampai kapan Mbak Ning menunggu? Bukankah melayani suami apalagi mengajaknya dahulu lebih berpahala. Jangan ragu, Mbak. Aku selalu mendukung Mbak Ning. Aku ingin hubungan Mbak Ning dan mas Arya bisa bahagia. Bisa sakinah mawadah warahmah.” Aku tatap wajahnya. Kutemukan manik mata yang begitu indah. Namun tetesan bening air mata mulai mengaliri pipinya yang halus dan kuning langsat. Dia menangis memelukku. Memeluk dengan begitu eratnya. Merasakan napasnya tersengal-sengal karena tangisannya. Aku pun tak kuasa menahan tangisanku sendiri. Merasakan setiap hela kesedihannya. Aku masih bermalam di sini. Menemaninya. Menjangkau masa- masa sulitnya. Berusaha menepis kesedihannya meski secuil yang aku bisa. Aku sangat menyayangi mbak Ning. Mbak Ning, istri shaliha yang tercipta untuk mas Arya. 54
Kemuning Cinta Tanpa Bicara Jika aku sanggup menyentuh batas rindu. Biara aku hancurkan dinding rindu ini agar dapat bertemu denganmu 55
Kemuning Cinta Tanpa Bicara 05 HAMPA Aku buka pesan dari Citra di ponselku. Sepulang dari bekerja, dia hendak menemuiku. Menanyakan kabarku setelah mas Arya pulang. Siang itu dia datang membawa sekantong plastik buah kesemek. Buah kesukaanku. Buah yang aku rindu saat di dusun. Buah yang tumbuh di belakang pondokku. Aku ingat saat mulai masak, aku memanjat pohon kesemek tanpa menghiraukan suara ibu memanggilku penuh kecemasan. Citra begitu senang saat aku mulai menceritakan masa kecilku. Di dusun yang masih asri sampai saat ini. Cerita petualangku saat menjadi bocah tomboi. Mendengar ceritaku, dia ingin sekali mengunjungi dusun tempatku dibesarkan. Ikut merasakan petualanganku saat itu. Kami makan siang bersama. Juga menikmati buah kesemek yang sudah dibawanya. Tanpa mas Arya. Dia masih berada di rumah sakit, menuntaskan hasil laporannya saat program bakti sosial tiga hari yang lalu. Citra melihat wajahku. Menebak hal-hal yang terjadi pada raut mukaku. Bahkan dia ingin melihat gurat bibirku. Apakah ada senyum bahagia dari tawaku. Hingga kami akhiri dan beranjak di kamar atas. Kamar yang suwung. Kamar tanpa gairah bagi penghuninya. Kamar yang 56
Kemuning Cinta Tanpa Bicara selalu dingin, hanya ada semilir angin yang menjalar di celah-celah jendela yang terbuka dengan tirai warna krem yang berkibar. Bukan hangat cinta mas Arya. “Bagaimana, Mbak, semalam sukseskan?” Citra memecah kesunyian kami. Memandangku dengan sangat serius. Citra menanyakan malam yang memalukan itu padaku. Aku tak bergeming. Hanya menunduk tak berdaya di sisi ranjang berumbai tirai putih. Aku hanya menitikkan air mata. “Kenapa, Mbak? Apa mas Arya masih belum menyentuh Mbak Ning?” Aku tak sanggup membendung air mata. Dengan sisa kekuatanku, kurengkuh tubuh Citra. Memeluknya. Sesenggukan di hadapannya. Sudah kesekian kalinya penolakan itu terjadi. Malam yang harusnya penuh dengan pelukan kerinduan. Malam yang harusnya berhias kemesraan akan penantian. Namun sebaliknya. Citra demi diriku berupaya agar kakaknya bersedia menunaikan kewajibannya sebagai suami. Dia hanya mengikuti tangisanku. Merasakan keterpurukanku sebagai istri yang tidak dikehendaki. Hanya berharap kesabaran dariku. Apa nama Anjani yang kusandang harus seperti Dewi Anjani yang mesti tapa brata nyatikna di suatu telaga? Agar semua ujian ini bisa berakhir sehingga mas Arya benar-benar aku miliki seutuhnya. Apa aku harus memiliki cupu manik astagina? Agar mas Arya terkesan dan 57
Kemuning Cinta Tanpa Bicara mengagumiku? Namun aku hanya mampu menangis. Hanya itu kekuatan yang aku miliki. Aku mulai melemah dan merasa kalah. Aku selalu mengingat kekalahan demi kekalahan di setiap malam. Mas Arya masih bersikap dingin padaku. Bahkan sejak awal pernikahan itu terjadi. Seharusnya kami mereguk kenikmatan sebagai sepasang pengantin baru dimalam penuh cinta. Malam yang penuh hasrat, mengarungi sungai-sungai jernih asmara. Aku menantikannya malam itu dan malam-malam kemudian. Menanti dekapannya yang hangat, napasnya, detak jantungnya yang berirama serta aroma tubuhnya. Berada di dadanya yang bidang. Merasakan jemarinya yang menyusuri mayangku. Hingga menjangkau keindahan surgawi bersamanya. Pria yang berkharisma yang dikagumi banyak wanita. Kini telah aku miliki. Milik seorang Anjani Kemuning. Perempuan yang hidup di pingiran desa. Perempuan yang hanya dijamah oleh alam. Hanya bermimpi kosong, menantikan kang mas Arya. Mahendra Arya Putra. Pria yang telah menjaga kehormatan dan kesucianku dari pria yang hendak merenggut makhota suciku. Memantapkan keyakinannya untuk menikahiku kala itu. Memboyongku ke istana megahnya di kota. Aku hanya wanita tidak sempurna. Hanya memiliki cinta sederhana untuknya. Seperti lilin yang siap mengorbankan dirinya luluh hanya untuk memberikan pelitanya. Hanya itu yang akan aku persembahkan untuk pria yang telah menikahiku. Yaitu dirimu mas Arya. Namun ketika makhota dan cinta suci ini untuknya dan hanya 58
Kemuning Cinta Tanpa Bicara untuknya, dia mencampakkannya begitu saja. Membiarkan aku dalam dingin yang berkepanjangan. Pria yang santun dan berpura-pura bersikap mesra, hangat dan penuh cinta. Berpura-pura memelukku dan mencium keningku setiap paginya. Ya, hanya dilakukannya di depan ibuku. Sehingga sampai detik ini, dia membungkus kesucianku dengan sikap dinginnya di setiap malam-malam yang kuinginkan. Aku masih tetap perawan. Dia enggan menyentuhku, enggan bercerita cinta dan mengarunginya bersamaku. Enggan meninggalkan benih-benih cinta dalam diriku. Dia hanya meninggalkan benih-benih rasa sakit. Sebait kata dimalam pertama kami yang memilukan. Menghujam ulu hatiku. “Ning, maafkan aku. Aku belum siap untuk memetik ranum cintamu. Terlalu dini aku bisa menerimamu sebagai istriku.” Dia menghempaskan diriku terlalu curam. Seakan aku berada dalam ruang gelap dan sesak. Hingga batin ini hanya bisa menjerit tak berdaya. Meronta tanpa suara. Apalah diri ini hanya wanita tak sempurna. Perempuan cacat. Perempuan dusun. Perempuan bodoh dimatanya. Aku hanya duduk lemas setelah mendengar ucapannya. Air mataku tak berhenti mengalir. Aku hanya menatap pria yang aku cintai dan aku kagumi berlalu pergi. Meninggalkan senyuman kecil yang membuatku getir. Pergi di balik pintu kamar pengantin kami. Kamar hening yang menjadi saksi bisu penolakannya. Aku tak berdaya. Apa yang bisa dilakukan seorang wanita dari pria yang begitu jelas menolaknya. Hanya 59
Kemuning Cinta Tanpa Bicara menangis yang bisa aku lakukan. Meratapi nasibku. Meratapi kisah malangku. Ini malam ke enam puluh. Aku bersiap menyambutnya. Aku kenakan lingerie. Pakaian pemberian Citra yang sebenarnya membuatku tak nyaman. Pakaian yang membuatku risih dan malu melihat bentuk tubuhku sendiri. Terpaksa aku pakai. Ini atas sarannya, agar mas Arya mau menyentuhku. Merajut benang-benang cinta bersamanya. Aku canggung untuk memintanya. Mengemis cintanya yang sudah bertubi-tubi penolakan yang selalu menyiksaku. Seakan meremuk redamkan asaku yaitu memberikan padanya Arya kecil dan tampan untuknya. Arya kecil yang senantiasa ceria bermain dan manja dengannya. Arya kecil yang sempurna sebagai penerus harapannya. Dia keluar dari kamar mandi. Mengenakan kaos singlet tipis dan bercelana pendek. Aku melihat tubuhnya yang kekar memegang handuk dan mengeringkan rambutnya. Meletakkan handuk basahnya di rak samping pintu kamar mandi. Dia melihatku dengan pakaian asing ini. Memandangku dari ujung rambut hingga ujung kaki. Mematung dan membisu sesaat. Lima detik kemudian. Jantungku berdetak tak karuan. Sejalan dengan langkahnya yang mulai mendekatiku. Dia hanya tersenyum tipis. Senyum itu yang membuatku bertahan. Bertahan dari sikap dinginnya terhadapku. Senyuman itu yang membuatku tak mampu bernapas walau sesaat. 60
Kemuning Cinta Tanpa Bicara Dia melangkahkan kakinya perlahan. Aku mendengar decit kakinya yang bergesekan dengan lantai. Selangkah demi selangkah. Sepuluh langkah itu. Dia tepat di depanku. Menatapku dengan kelembutan. Kucium semerbak aromanya. Parfumnya yang membangkitkan hasratku untuk meneguk madu cintanya. Kurasakan hela napasnya. Dia memelukku dan kudengar debaran didadanya. Kurasakan hening sesaat. Kedua telapak tangannya menyentuh pipiku. Terasa begitu dingin hingga membuat seluruh tubuhku membeku dan terdiam. Aku merasakan hembusan napasnya di wajahku. Dia mencium keningku cukup lama. Lalu melepaskannya. Kurasakan bibirnya menyentuh telingaku. “Maafkan aku Kemuning. Aku masih belum bisa menerimamu. Belum sanggup menerima hasrat cintamu. Berikan aku waktu.” Bisikannya bukan bisikan mesra. Bukan bisikan cinta yang selalu ingin aku dengar. Aku hanya terpejam dan menitihkan air mata. Dia mengecupku sekali lagi. Kurasakan kecupan hangatnya di keningku. Dia melepaskannya dan kembali melangkahkan kakinya ke kamar mandi. Aku tak mampu membendung air mata. Aku melangkah mundur mendekati ranjang. Kurebahkan tubuhku yang dingin ini di ranjang pegas beralas seprei berwarna merah jambu berenda di setiap sisinya. Kubenamkan tubuh ini dalam selimut. Tangisan yang kutahan. Namun sia-sia. Air mata sudah mengalir deras di mataku. Aku menahan sekuat 61
Kemuning Cinta Tanpa Bicara tenaga agar dia tak mendengarkan kekalahanku dan derita yang sudah dia torehkan. Aku mendengar pintu kamar mandi terbuka kembali. Kulirik, mas Arya tampak basah dengan air wudhu. Dia berlalu dihadapanku menuju almari ukir kayu jati. Mencari sarung, baju koko dan sajadahnya. Aku masih melihatnya. Melingkarkan sarung tenun warna jingga di lingkaran panggulnya. Mengenakan baju koko berwarna kuning gading dengan tenangnya. Menghamparkan sajadahnya sembari membungkukkan punggungnya yang lebar. Begitu tenang dia sholat. Hingga terlintas dibenakku. Bagaimana dia memendam dosa-dosanya karena lalai akan tanggung jawabnya sebagai suami? Apa dia tidak merasa berdosa tidak memberikan nafkah batin untuk istrinya. Atau dia pria yang telah dikutuk oleh seseorang linuwih14 hingga membuatnya melakukan brahmacarya15? Aku ingat kisah Pandu Dewanata yang pernah diceritakan almarhum bapak. Pandu Dewanata yang tidak mampu menyentuh Dewi Kunti dan Dewi Madrim. Pandu Dewanata putra ke dua Wiyasa, adik dari Destarasta sekaligus kakak dari Yamawidura. Dia pewaris tunggal tahta Astina Nagara karena kakaknya cacat buta sedangkan Yamawiyasa tidak memiliki kadigdayaan16. Karena hal itu sudah sepantasnya calon raja memiliki permaisuri untuk meneruskan putra mahkota maka 14 Kemampuan lebih 15 Kewajiban untuk tidak melakukan hubungan badan antara suami istri. 16 Kekuatan 62
Kemuning Cinta Tanpa Bicara mengukuti sayembara untuk meminang putri cantik dari kerajaan Mandura, putri raja Kuntiboja. Raja Kuntiboja memiliki putri yang begitu cantik yaitu Dewi Kunti yang diidam-idamkan para pangeran dan para pemuda kalangan kerajaan. Dewi Kunti sendiri yang memberikan syarat dan aturan sayembara. Hingga terpilihlah Pandu Dewanata sebagai suaminya. Kemenangan Pandu Dewanata membuat Narasoma tidak terima. Narasoma datang terlambat dalam sayembara itu. Dia membawa adiknya Dewi Madrim menantang Pandu Dewanata berduel melawannya. Ilmu kebijaksanaan Pandu Dewanata mampu melawan ilmu Cakrabirawa milik Narasoma. Karena watak adigang adigung adiguna17 Narasoma yang membuat Narasoma mengalami kekalahan. Inilah yang dinamakan suradira jayanikanangrat swuh brasta tekaping ulah dharmastuti. Artinya, betapa pun sura, sakti kalau untuk tujuan yang tidak benar, sombong dan congkak pasti akhirnya akan lebur oleh budi rahayu. Kekalahan inilah, Narasoma menyerahkan adiknya Dewi Madrim untuk diperistri Pandu Dewanata. Hingga kejadian terkutuk itu terjadi. Saat Pandu Dewanata berburu, dia menemukan sepasang rusa yang sedang memadu kasih. Tanpa belas kasihan, dipanahlah keduanya dalam satu bidikan. Anehnya 17 Menandalkan kekuatan, kekuasaan dan kepandaian yang dimiliki 63
Kemuning Cinta Tanpa Bicara rusa itu berubah wujud menjadi Resi Kimindana. Karena ulah dan khilaf Pandu Dewanata sendiri, dia mendapat upata18 dari Resi Kimindaka. “Hai, Prabu Pandu, kau raja yang tak berperikemanusiaan, tak tahu sopan santun. Senang mengganggu ketenteraman orang lain. Aku Resi Kimindana mengutukmu. Saat kau bercumbu rayu dengan istrimu, disanalah sampai ajalmu.” Upata Resi Kimindaka membuat Pandu Dewanata tidak mampu menyentuh istri-istrinya yang berakhir menyerahkan tampuk pemerintahan pada kakaknya Destarasta dan memilih menjadi brahmana bersama kedua istrinya. Namun kematian Pandu Dewanata tidak bisa dielakkan. Setelah bertahun-tahun menjalani brahmacarya, dia lalai akan upata Resi Kimindaka. Dia meninggal saat bercumbu rayu dengan Dewi Madrim. Kekhilafan Dewi Madrim akan nafsunya bercumbu dengan Pandu Dewanata membuat dia kehilangan pria yang dicintainya. Hingga Dewi Madrim menitipkan dua putra kembarnya Nakula dan Sadewa untuk dirawat oleh madunya Dewi Kunti. Dewi Madrim menyusul Pandu Dewanata pati obong19. Mas Arya... apa alasanmu yang sebenarnya? Berapa lama lagi dirimu menabur dosa? Menabur luka di kalbuku. Apakah engkau sadar akan segala yang kau perbuat padaku? 18 Kutukan 19 Mati dengan membakar diri hidup-hidup. 64
Kemuning Cinta Tanpa Bicara Aku hanya menyembunyikan tangisku di balik selimut. Selimut berwarna semburat ungu. Saksi dukaku. Ponsel Mas Arya pun berbunyi. Di atas bantal sebelahku. Kulirik. Meski mataku sedikit kabur karena air mata. Namun begitu jelas. Ada gambar seorang wanita cantik. Berhijab hijau lumut mengenakan jas putih. Anggun sekali. Berinisial Keysha Larasati. Mas Arya masih bermunajad dalam sholatnya. Air mataku semakin deras melintasi pipiku yang sudah membasahi bantal penopang kepalaku. Hatiku gemetar, panik, takut tak karuan. Inikah wanita yang membuat mas Arya tak menyentuhku selama ini? Tidak, hentikan pikiran buruk ini. Aku harus percaya pada mas Arya. Ponselnya masih berdering. Itu tetap nama Keysha... Keysha... dan Keysha... Aku pura-pura tertidur. Berselimut dengan memejamkan mata erat-erat. Aku merasa mas Arya mendekati ranjang dan mengambil ponselnya. Saat berlalu. Aku buka selimutku untuk meliriknya lagi. Senyuman kecil tergurat dalam bibirnya ketika menyentuh ponselnya. Hati ini semakin tak karuan. Bercampur aduk kecemasan yang mendalam. Dia meletakkan ponselnya sesaat untuk merapikan lagi sajadah, baju koko dan sarungnya. Lalu kembali ke sofa dimana dia benamkan malam-malamnya tanpa diriku. Mengambil ponsel dan menyentuhnya. Kulihat jemarinya bermain pada layar ponsel. Sedetik kemudian, dia 65
Kemuning Cinta Tanpa Bicara letakkan di telinga kanannya. Dia berbincang-bincang dengan wanita dalam ponselnya. “Assalamuallaikum, Dokter Keysha.” Suaranya begitu lembut. Wajahnya tampak sumringah ketika bercakap-cakap dengannya. Aku mencoba memejamkan mata. Air mata semakin deras membasahi sisi selimut. Sepuluh menit berselang. Mas Arya berhenti mengobrol. Kurasakan sekelebat bayangnya, mematikan lampu kamar dan mengambil sesuatu dan kembali menyandarkan tubuhnya di sofa. Ruangan kamar menjadi remang-remang karena seberkas cahaya bulan purnama menembus kaca bening jendela. Kudengar suara denting dawai gitar. Kubuka selimutku dan memandangnya. Dia memainkan lagu melow yang membuatku terdiam dari tangisanku sendiri. Seperti anak kecil yang berhenti menangis setelah dihibur. Lagu yang indah seirama jemarinya memainkan senar gitar. Andai saja aku berada di sampingnya. Bersandar di bahunya. Mendengarkan indah suaranya. Ya Allah... aku hanya bisa memiliki raganya bukan hatinya. Aku menikmati setiap nada-nada cinta yang dia lantunkan. Hingga kulihat dia terdiam. Hanya dengkuran lirih di hela nafasnya. Aku bangkit dari tidur pura-puraku. Mendekatinya. Memandang wajahnya yang kemilau karena sorot cahaya purnama. 66
Kemuning Cinta Tanpa Bicara Kutepis gitarnya yang dipeluknya hingga tertidur. Seandainya aku gitar yang selalu mengantarnya tidur. Dipeluknya. Melantunkan dengan indah lagu-lagu asmara. Meletakkan bantal di bawah kepalanya dan menyelimutinya. Aku mencium keningnya. Hanya saat tertidur aku bisa mengecupnya. Memandang polos wajahnya lebih lama. Aku bangkit namun tersentak. Tangan mas Arya memegangku. “Jangan tinggalkan aku. Aku tidak bisa hidup tanpamu.” Dia mengigau. Apa wanita itu yang dia sebut dalam mimpinya? Keysha Larasati. Aku menarik tanganku. Namun dia menarikku kuat sekali. Hingga aku terhempas di dadanya. Hatiku berdebar. Tepat wajahku berhadapan dengan wajah tampannya. “Aku mencintaimu.” mas Arya mengigau dalam mimpinya. Ini yang membuatku terluka. Wanita itu yang membawa hatinya. Hingga mas Arya begitu dalam mencintainya. Membawanya dalam bingkai mimpi. Aku buka perlahan telapak tangannya dari pergelangan tanganku. Terlepas. Aku berjalan cepat menuju kamar mandi. Menangis sejadi-jadinya. Memandang wajahku di cermin. Aku naif berharap cintanya. Secuil pun mas Arya tiada hasrat untuk mencintaiku. Dia mencintai wanita lain. Keysha Larasati. Wanita cantik yang kutemui di resepsi pernikahan sahabat mas Arya. Untuk apa Mas? Apa tidak cukup penolakanmu padaku hingga kau hadirkan wanita itu di tengah-tengah kehidupan kita? 67
Kemuning Cinta Tanpa Bicara Aku hempaskan lingerie merah itu di atas closet. Kupakai kembali kimonoku. Aku sudah patah arang akan sikap mas Arya. Aku menuju kran air. Membasuh diri dengan air wudhu. Meluruhkan kemarahanku, ketidakberdayaanku, tangisku dan kecemasanku. Melangkahkan kaki yang sudah terasa gontai menuju ranjang pegas berumbai tirai putih. Menyelimuti tubuhku yang sudah mulai dingin akan sikap mas Arya. Memejamkan mata dan berzikir. Menghalau kesedihan dengan kepasrahanku pada-Nya. Hanya pada-Nya kugantungkan cinta, harapan dan masa depan rumah tanggaku. Mencintaimu adalah hal yang menyakitkan. Bertubi-tubi cinta ini kau hempaskan. Menyisakan kekalahanku untuk mencintaimu lebih. Namun aku bertahan akan setiaku. Menggantungkan cinta ini dan kutitipkan pada Sang Maha cinta 68
Kemuning Cinta Tanpa Bicara 06 DALAM BOPONGANNYA Seakan mimpi, ketika jemari tangan mas Arya bermain di keningku. Ada kecupan di tempat yang sama. Aku terbangun. Kurasakan hidungnya yang dingin dan sudah basah air wudhu di dahiku. Wajah tampannya membuat hatiku berdesir. Dia menggurat senyumannya. “Ning, wis jam telu. Ayo sholat tahajud dulu. Lebih bagus kita jemput sepertiga malam terakhir dengan jamaah tahajud,” dia berkata lirih. Lembut sekali dia membangunkanku. Dia beranjak melangkahkan kakinya kembali ke kamar mandi. Aku bangkit dari tidurku. Duduk sesaat kemudian berdiri dan berjalan menghampiri almari kaca. Mengambil peralatan ibadah. Membentangkan sajadah-sajadah kami, menyiapkan mukena, baju koko dan sarungnya juga. Mas Arya keluar dari pintu kamar mandi dengan wajah yang segar penuh sisa-sisa air wudhu. Dia menghampiriku. “Sana, Ning, cepat ambil wudhu. Aku sudah bangunkan kamu sejak tadi. Tapi turumu pules. Jadi terpaksa kubangunkan dengan membatalkan wudhuku.” Dia membelitkan sarung berwarna coklat kemudian dia kenakan baju koko warna krem berbordir benang warna emas. Sangat cocok sekali dengan warna kulitnya yang bersih. 69
Kemuning Cinta Tanpa Bicara Aku bergegas menuju kamar mandi. Berwudhu. Guyuran air wudhu menyadarkanku akan mas Arya yang telah membangunkanku dengan kelembutan. Aku senang sekali saat ini. Kukenakan mukenaku. Berdiri diatas sajadah di belakangnya. Menikmati remangnya cahaya purnama yang begitu sempurna menghias langit di sepertiga malam kami. Begitu tenang ketika bermunajat bersama. Khitmat akan syair- syair-Nya. Menyatu dalam hening. Saat Sang Pencipta mengirimkan para malaikat-Nya turun ke bumi. Mas Arya bersujud dalam doanya. Begitu tawaduk dia meminta. Aku tidak mampu mendengar munajatnya. Ucapnya begitu lirih. Atau hanya suara hatinya yang menguntai butiran-butiran doa. Aku menggapai tasbih di sebelah sajadahku. Mulai memainkannya. Menyulam pujian melalui zikir panjangku. Hingga mas Arya duduk kembali dari sujudnya lalu berdiri. Menyalakan penerangan kamar kami. Begitu terang, seterang wajah tampan mas Arya karena cahaya imannya. Membuka almari kaca. Mengambil mushaf untuk dibacanya. Masyaallah... begitu syahdunya nuansa ini. Seakan mengobati rasa sakitku tadi malam akan penolakannya. Kudengar sayup-sayup suara Sholawat Tarhim20 bersahutan. Aku masih berzikir sembari membenamkan hatiku akan lantunan syair ayat- ayat suci yang dibacakan mas Arya. Hingga adzan subuh berkumandang. 20 Sholawat yang dikumandangkan beberapa waktu sebelum adzan shalat subuh 70
Kemuning Cinta Tanpa Bicara Kami menjemput fajar dengan sholat sunah fajar dan bersama jamaah subuh. Sholat kami berakhir saat mas Arya mengulurkan tangannya untuk kugapai. Kucium punggung tangannya. “Ning, aku pingin makan bubur ayam pagi ini. Aku mau mengajakmu. Ini kan hari minggu. Lebih asyik kalau kita sambil bersepeda.” Dia duduk bersila menghadapku. Aku hanya mencuri pandangan. Menatap wajahnya membuat jantungku berdetak tak karuan. Mengangguk dan tersenyum untuknya. Senyum berbungkus cinta yang mendalam untuknya. “Yowis. Ayo kita bereskan.” Dia membantuku membereskan. Meletakkan mushafnya, melipat kembali sajadah-sajadah kami. Hingga kesibukan kita merapikan tanpa sengaja kepala kami berbenturan. Kami tertawa bersama. Memulai hari dengan senyuman menawannya. Kami sudah digarasi. Terparkir mobil putih yang selalu kunanti kehadirannya membawanya pulang dari rutinitas kerjanya. Kembali bergumul bersama lintasi waktu bersamanya. Meskipun aku belum dijamahnya. Di tembok, tergantung dua sepeda gunung. Berwarna abu-abu dan warna jingga. Aku sudah bisa menebaknya. Sepeda warna jingga itu pasti milik Citra. Mas Arya menjangkaunya dan menurunkannya satu persatu. Dituntunnya hingga depan garasi. 71
Kemuning Cinta Tanpa Bicara “Ini milik Citra, Biasanya setiap akhir pekan kami bersepeda berdua, Menikmati bubur ayam bang Somat yang selalu lezat sampai sekarang, Kamu bisa naik sepeda, Ning?” Dia mengelap sepeda Citra yang berdebu. Sembari mengetes rem dan rantainya. Aku mengangguk padanya ketika dia memandangku. Menunggu jawabanku. Kemudian dia menuntun sepedanya, mengelap dan mengetes rem serta rantainya lagi.Dia masuk ke garasi lagi mengambil beberapa peralatan bengkel. Aku membuntutinya. Dia hanya tertawa kecil melihat tingkahku saat mengikutinya. “Uwis, Ning. Lungguh sini. Aku lihat kamu ikuti aku terus lihatnya lucu. Seperti barongsai.” Dia terkekeh sambil mengambil dingklik dan meletakkannya di depannya. Aku hanya tersipu malu. “Bener, kamu bisa naik sepeda Ning?” Dia menanyakan lagi dan melihatku serius. Aku mengangguk lagi. Memang ini bukan sepeda yang sama dengan sepeda milik almarhum bapak waktu di dusun. Sepeda bapak sepeda ontel. Orang dusun juga menamainya sepeda unto. Aku selalu meminjamnya diam- diam. Ketika bapak cari sepedanya, rantainya sudah les dan terkadang bannya sudah kempes. Bapak selalu mengejarku ketika aku ketahuan memakainya. Aku kayuh sepeda bapak kencang sekali. Menghindari bapak menangkapku. Hingga aku terjungkal di sawah. Berlumuran lumpur. Berakhir dengan riuhnya tawa penduduk yang sedang ramai musim tandur. Masa kecil yang indah. 72
Kemuning Cinta Tanpa Bicara Aku memandang tangan mas Arya yang berlepotan minyak oli. Tak sengaja terkena minyak oli saat meminyaki rantai sepeda. Tanpa sadar tangannya menggaruk ujung hidungnya hingga meninggalkan jejak hitam minyak oli. Aku tertawa melihatnya. “Kenapan Ning?” Dia kebingungan karena aku menertawakannya. Aku beranjak dari tempat dudukku. Mendekatinya. Aku lap bersih noda hitam minyak oli di hidungnya dengan ujung jilbabku. Dia memandangku. Kami saling berpandangan lagi. Dia memandangku tajam sembari memegang pergelangan tanganku. Jari ini masih memegang erat ujung jilbab. Manik matanya mencari sesuatu hal yang ada pada diriku. Hingga kami tersadar, ketika loper koran melemparkan korannya melintasi pagar yang masih terkunci. “Wis, Ning. Ayo siap-siap. Tolong isi botol ini dengan air mineral ya, Ning.” Disodorkannya aku dua buah botol bawaan dari sepeda gunung yang hendak kami bawa. Buru-buru aku mengisinya dengan air mineral yang sudah ada di dispenser. Ada mbok Yem yang melihatku. “Mau jalan-jalan mesra ya, Mbak Ning?” Aku hanya mengangguk dan tersipu atas goda mbok Yem padaku. Aku berlalu meninggalkan mbok Yem dengan membawa dua botol penuh air mineral. Mas Arya sudah membuka gembok pagar. Pintunya dibuka separuh dan menuntun sepeda satu persatu di depan pagar. Aku menghampirinya dan memberikan dua botol air mineral kepadanya. Dia 73
Kemuning Cinta Tanpa Bicara sematkan botol pada tempatnya di masing-masing sepeda. Aku menutup pagar. Tanpa menguncinya. Tidak susah menaiki sepeda ini. Lebih mudah dan lebih ringan saat aku mengayuhnya. Berbeda saat aku bersepeda dengan sepeda ontel. Udara begitu sejuk. Embun pagi masih terasa basah di permukaan wajah dan punggung tanganku. Sesejuk kecupan mas Arya di keningku saat membangunkan tahajud. Mentari masih ragu menampakkan agung sinarnya. Bersemburat kuning di ufuk timur. Meski hanya gedung dan rumah-rumah megah di sekelilingku, namun rasa ini, kebahagiaan ini sama seperti kebahagiaan masa kecilku. Aku hanya bisa bayangkan gedung tinggi itu adalah kumpulan bukit dan rumah-rumah itu adalah pepohanan serta pondok-pondok penduduk dusun. Dia mengiringiku saat mengayuh sepedanya. Terasa senyumnya turut terbawa terpaan angin yang mengibas jilbabku yang terjuntai. Di trotoar banyak sekali orang-orang berlari, menggerakkan tubuhnya atau hanya sekedar jalan-jalan santai bahasa tren yang aku tahu, mereka sedang jogging. Hal yang masih pertama kali aku melihatnya. Di dusunku yang aku temui dipagi hari adalah para petani dengan cangkul di gantung dibahunya. Bercaping. Terkadang membawa sabit dan tompo yang berisi bekal makan untuk dimakan siang harinya. Barisan menakjubkan dari bebek-bebek ingonan peternak yang selalu patuh meski hanya pada sebilah bambu dan sang tuan. 74
Kemuning Cinta Tanpa Bicara Cahaya mentari yang mulai menyentuh tubuh kami, seakan Dewa Surya memberikan seberkas kehangatan kekuatannya. Seperti Dewi Kunti yang terkagum akan keindahan cahaya paginya. Tanpa sadar rapalnya dari Resi Druwasa mengajarkan mantra Aji Pameling Adityarhedaya membawanya dalam suatu petaka. Mantra ini bisa memanggil dewa siapa pun juga untuk memberikan anugerah pada Dewi Kunti. Karena keelokan wajah Dewi Kunti, Dewa Surya terpana dan tersentuhlah Dewi Kunti tanpa sengaja hingga mengandung seketika. Ketakutan Dewi Kunti, putra anugerah Dewa Surya terlahir melalui telinga hingga diberi nama Karna artinya telinga. Hingga dosa terhinanya yang Dewi Kunti lakukan, yaitu membuang putra kandungnya Karna lewati aliran sungai. Sudahlah. Aku bukan Dewi Kunti yang bodoh yang dengan mudahnya dijamah oleh pria bukan mukhrimku. Hanya mas Arya yang akan menjamahku. Meninggalkan cahaya cinta yang tumbuh dalam tubuhku kelak. Mas Arya melihatku dengan senyuman. Seakan tahu apa yang aku rasakan pagi ini. Ya, bahagia yang kurasakan. Hingga tak kurasa di dekat tikungan terdapat gang sempit yang ramai pembeli. Dia menghentikan sepedanya. Aku mengikutinya. Menepikan sepeda kami. Dia memesan dua mangkuk bubur ayam spesial. Aku menantinya sembari mencari tempat duduk yang nyaman buat kami berdua. 75
Kemuning Cinta Tanpa Bicara Sepuluh menit kemudian, mas Arya datang menghampiri dengan membawa dua porsi bubur ayam lengkap dengan kerupuk udang yang kulihat sangat memikat. “Dimakan, Ning. Mumpung masih hangat.” Dia sodorkan semangkuk penuh berisi bubur ayam dengan dua bulatan telur asin terbelah dua yang lezat. Di dusun hanya ada bubur sumsum yang terbuat dari tepung beras yang diolah dengan santan yang gurih, dipadukan dengan gula merah yang kental di atasnya. Kami memakannya bersama sembari melihat ramainya pembeli dan lalu lalang kendaraan yang masih lengang. Menikmati pagi yang hangat, ketika mentari mulai terlihat bulat berwarna kuning di ufuk timur, meski terhalang gedung-gedung dan padatnya rumah. Mangkuk kami sudah kosong. Mas Arya membawa mangkuk- mangkuk kosong itu ke pemiliknya. Kami berputar arah kembali ke rumah dengan rute yang berbeda. Di sepanjang perjalanan, hampir semua wanita melihat ketampanannya. Ada perasaan tidak nyaman ketika sepasang mata pria juga memandangku. Padahal tidak ada rona make up sedikit pun di wajahku. Mas Arya melarangku untuk berhias. Hanya berpakaian training dengan warna hijab sepadan yang menjuntai sampai pinggang ke bawah. Tidak ada yang aneh. Mas Arya hanya mengenakan celana sepeda dengan kaos panjang bermotif, lengkap dengan helm dan kaca mata. Tas kecil diselempangkan di pinggang. 76
Kemuning Cinta Tanpa Bicara Rute perjalanan kami semakin dekat. Aku takjub oleh sekumpulan bunga bakung di pinggiran taman area perumahan. “Ning...! Awas di depanmu!” Suara mas Arya begitu keras hingga aku terkaget, ketika ada kucing dengan tiba-tiba melintasiku. Aku oleng dan terjatuh. Mas Arya menepikan sepedanya di sebelahku. Dia melihat keadaanku. “Kamu tidak apa-apa, Ning?” Dia memeriksa setiap detail tubuhku. Tidak ada luka. Hanya sedikit lecet pada lutut. Dia mencoba membantuku berdiri. “Auwww...!” Kaki kananku terkilir. Mas Arya mencopot sepatu dan kaos kakiku. Meluruskan kedua kakiku. Mencari solusi untuk membantuku. Tapi ketika kakiku disentuhnya sangat terasa sakit. “Ini terkilir cukup parah, Ning. Perlu penanganan dokter tulang. Takut kalau terjadi hal yang parah kalau dipaksa dipijit.” Dia memakaikan kaos kaki dan sepatuku kembali. Ini yang membuatku mengerang kesakitan meski dia sangat hati-hati sekali. “Kamu enteni di sini ya, Ning. Aku mau cari bantuan. Ponselku juga tidak aku bawa.” Dia masuk ke perumahan mencari orang-orang di sana. Hingga tidak lama dia muncul dihadapanku. Dia menuntun satu persatu sepeda. Entahlah, mungkin hendak dititipkan. “Aku titip sepeda di kancaku. Tapi kebetulan dia tidak ada di rumah. Jadi aku cuma titip sepeda kita.” Dia mondar-mandir mencari 77
Kemuning Cinta Tanpa Bicara bantuan namun keadaan masih sepi meski perkiraanku, ini sudah pukul setengah tujuh pagi. “Menunggu bantuan pun percuma. Lingkungan ini memang sepi. Ya sudah, kita jalan kaki saja ya, Ning.” Dia mengulurkan kedua tangannya pada sela kaki dan punggungku. Ya Allah... dia membopongku. Aku tersentak kaget akan caranya menolongku. Kupandangi wajahnya yang sejak tadi mencari ancang-ancang membopongku. Dia melihat wajahku sesaat. “Kita tidak bisa mengandalkan orang lain dalam keadaan seperti ini.” Hatiku berdesir mendengar ucapannya. Aku tertunduk. Semakin canggung melihatnya. Meski sakit kaki ini, namun tertahan oleh sikapnya yang semakin membuat aku deg-degan. Mungkin ini yang namanya sesi romantis dalam film-film India kesukaan ibu. Ketika sang aktor berkorban untuk kekasihnya. Dalam setiap langkahnya debaran jantungku tak menentu. Tanpa sengaja wajah kami saling bertatapan. Dia mencari lebih dalam mataku. Entah apa yang dia cari. Yang sekarang aku rasa hanya kata bahagia. Kami tak memperdulikan siapa pun yang melintas dihadapan kami. Hanya derap langkahnya seirama detak jantungku. Apakah mas Arya memiliki debaran yang sama seperti yang aku rasa saat ini? Angin yang menerpa indah mayangnya selaras kibaran jilbabku yang menjuntai mengikuti gelombang sang bayu. Sesekali pandangan kami saling bertemu. Seiring cahaya mentari membentuk siluet bayangan 78
Kemuning Cinta Tanpa Bicara kami condong ke barat. Elok, seperti bayangan sang dewa yang membawa sang dewi menuju nirwana. Tak ingin sedetik pun waktu berlalu. Menikmati rasa ini. Rasa sakit tak terasa ketika cinta mulai berdesir. Berembus seperti angin. Hangat seperti mentari pagi. Tenang seperti purnama. Serta indah seperti pelangi memayungi langit dalam rinai gerimis. “Mbok... Mbok Yem...! Cepat buka pintunya!” Dia masih berdiri. Aku masih dibopongnya di depan pagar yang tertutup. Aku memandang wajah cemasnya. Aku ingat cerita Citra akan sikap murni mas Arya. Dia rela berkorban demi orang yang dia sayangi. Akukah, atau ini hanya kepedulian biasa? Entah, aku tak bisa berpikir. Nuraniku gamang untuk membaca hatinya. Mbok Yem membuka pintu pagar dan tersentak kaget. Menanyakan keadaanku. “Ada apa dengan mbak Ning, Mas?” Dia bergegas membuka pintu rumah. “Dia terkilir parah, Mbok. Aku perlu segera membawanya ke rumah sakit. Takut terjadi apa-apa padanya.” Kudengar kata-kata kecemasannya. Dia meletakkan diriku di atas sofa ruang tamu dengan perlahan. Aku tak peduli sakitku. Aku sibuk mengamati sikap mas Arya kepadaku. Kecemasannya. Rasa takutnya akan keadaanku saat ini. 79
Kemuning Cinta Tanpa Bicara Dia bergegas mencari kunci mobil dan pergi ke garasi. Kudengar pintu garasi terbuka kemudian suara mesin mobil distater. Setelah ku lihat melalui kaca jendela yang terbuka. Mobil mas Arya sudah berada di depan halaman. Dia mematikan mesin mobilnya. Membuka pintu mobil bagian depan, dibiarkan tetap menganga. Dia menghampiriku. Membopongku kembali mendekati mobil putihnya menuju pintu yang menganga. Aku didudukkan perlahan di jok depan. Dia tutup pintu dan beralih menuju jok sopir. Dia menyalakan mesin mobilnya kembali. Mobilnya melesat menyusuri jalanan kota menuju rumah sakitnya. Mas Arya kembali membopongku dan menaruhnya di kursi roda. Membawaku ke dokter jaga. “Ar, ada apa dengan istrimu?” tanya dokter Faiz. Dokter Faiz sedang piket saat itu. “Dia terkilir parah, Iz. Dokter Lukman ada tidak hari ini?” Mas Arya mendekati dokter Faiz. “Keberuntunganmu, Bro. Dokter Lukman hari ini ada. Seberuntung dirimu mendapatkan istri secantik ini. Tanpa make up. Pancaran pesona cantiknya semakin jelas.” Dokter Faiz tersenyum padaku. Aku hanya membalasnya dengan senyuman yang wajar. “Alhamdulillah... Oke cabut dulu ya, Bro.” Mas Arya segera membawaku ke ruangan dokter Lukman. 80
Kemuning Cinta Tanpa Bicara Dokter paruh baya itu tersenyum melihat kehadiran kami. Lalu mempersilakan kami masuk. Mas Arya membopongku lagi untuk dipindah di kamar periksa. “Tidak ada yang perlu dikawatirkan. Ini hanya terkilir biasa. Tapi ini butuh istirahat tiga sampai empat hari. Ini resepnya.” Dokter Lukman menuliskan resep dan memberikannya pada mas Arya. Aku duduk perlahan di sisi matras kamar periksa. Mas Arya mendekatiku. Memelukku dengan menghela napas panjang. Lalu mencium ubun-ubunku. Aku merasakan kecemasannya telah berlalu. Aku merasa bahagia. Pagiku yang mendebarkan. Menyulam simpul- simpul kebahagiaan. Meski hanya beberapa jam saja. Aku lalui dalam bopongnya. Merasakan perhatian manisnya. \\ Bersamamu rasa sakit itu hambar. Berlalu bersama angin yang meniup indah mayangmu. Debaran ini tak bergeming seirama tatapan matamu mencari manik mataku. Aku terbuai perhatianmu. 81
Kemuning Cinta Tanpa Bicara 07 MENGINTIPMU BEKERJA Kami telah sampai di depan pagar. Mbok Yem membukakan pagar setelah mendengar bunyi klakson mobil. Melintasi taman yang dipenuhi bunga. Seakan bunga-bunga itu turut bahagia akan kedatangan kami. Atau mungkin hatiku saat ini sedang berbunga-bunga karena perhatian mas Arya. Aku dibopongnya masuk rumah. Tanpa canggung dia membuka pembicaraan. “Bubur ayamnya tadi enak ya Ning?” Dia memandangku. Menantikan anggukanku. Aku mengangguk memandangnya. Memandang semua perhatiannya yang total buatku. Mungkin saat ini dia merasa lelah. Membopongku sejak aku jatuh di depan taman perumahan yang dipenuhi bunga bakung tiga warna. Bunga bakung putih melambangkan kesucian, kemurnian cinta seperti perasaanku yang begitu murni untuknya. Bunga bakung merah mengisyaratkan gairahku untuk selalu mencintainya lebih dalam. Bunga bakung kuning telah mewakili hariku ini yang begitu bahagia. Bunga- bunga bakung di taman itu menjadi saksi akan perhatian mas Arya ang mulai menjalar untukku. Kami lintasi tangga ukir. Tangga ukir ini seperti tangga nirwana penghubung istana di atas awan. Aku sejak tadi telah melambung karena 82
Kemuning Cinta Tanpa Bicara perhatiannya. Teramat istimewa. Andai ini selamanya. Hingga rinai-rinai cintanya mengalir dan bermuara di samudera cintaku. Andai saja. Dia menghentikan langkahnya. Menurunkanku dari bopongnya. Meletakkanku dengan begitu hati-hati. Disandarkan tubuhku di tepi ranjang dengan bantal yang empuk sudah membenamkan sisi punggungku. Diluruskannya kakiku. Dia memegang balutan perban warna coklat di telapak kaki hingga pergelangan kakiku. “Masih terasa sakit Ning?” Dia memandangku. Aku menggeleng kepala. Jujur, rasa sakit ini hilang sekejap semenjak merangkai setiap makna perhatianmu. “Nanti kalau sudah sembuh, setiap minggu aku ajak kamu makan bubur ayam bang Somat sambil sepedahan lagi ya, Ning?” Dia duduk di sisi ranjang menghadapku. Kakinya bersila. Memandangku. Aku mengangguk setiap kata-katanya. Kepasrahanku akan kepeduliannya membuatku semakin lebih dan lebih lagi mencintainya. “Ning, kalau kamu mau mandi. Saya panggil mbok Yem ya. Biar dia nuntun kamu waktu di kamar mandi. Mandinya hati-hati ya, Ning” Dia beranjak dari duduknya mengambil sesuatu dari kantong celananya. “Iki ibu profen untuk mengurangi nyerinya. Diminum sak iki ya. Tak ambilkan air minum dulu.” Dia berpaling dan pergi melalui pintu yang sejak tadi terbuka. Tidak ada rasa nyeri. Semua lenyap karena ada dirimu. Dirimu adalah penawar sakitku. 83
Kemuning Cinta Tanpa Bicara Tidak lama wajah yang kunantikan muncul di bibir pintu. Membawa segelas air mineral dan seteko penuh air yang terlihat jernih dan memantulkan cahaya matahari pagi yang telah merayap di kaca jendela yang masih tertutup. Dia mengulurkan segelas air yang begitu jernih. Aku menerimanya. Kugenggam erat. Tak ingin kulepaskan. Seperti nuraniku ini yang tak ingin lepas dari genggamannya. Segelas air yang begitu jernih. Sejernih perhatiannya. Aku semakin dekat dengan telaga hatinya. Ingin aku segera menyelami sedalam mungkin. Merasakan kesegaran sanubarinya. Merasakan dalamnya perasaannya terhadapku. Dia menjulurkan tangannya. Memberikan sebutir obat berwarna putih dan kuning padaku. Aku mengambilnya dan meminum obat itu dengan segelas air di tanganku. Dia meraih gelas yang telah kosong. Diletakkan di meja dekat teko yang berisi air. “Sekarang kamu istirahat ya. Nanti sebelum waktu dhuhur tiba saya panggil mbok Yem. Buat bantu kamu untuk mandi. Kasihan kalau baumu kecut.” Dia terkekeh. Aku ikut terkekeh. Ternyata saat membopongku tadi dia mencium aromaku. Ya Allah... malunya aku... “Nah, ini tongkat buat bantu kamu kalau mau gerak darurat ya. Tapi tetep harus ati-ati.” Diambilnya tongkat dengan kaki bercabang empat sebagai tumpuannya yang berada di sisi samping almari ukir kami. “Ini tongkat milik almarhumah ibu. Dia dulu mengalami osteoporosis sehingga perlu bantuan saat berjalan.” Tongkat itu masih 84
Kemuning Cinta Tanpa Bicara dipegang erat. Kulihat matanya mulai berkaca-kaca, namun dia masih kuat menahannya. Membendung hal pahit yang masih mas Arya bungkam dengan rapat, rahasia hidupny di masa lalu. “Ning, ndang turu ya. Tak buka jendelanya. Biar udaranya bisa masuk agar nyaman buatmu tidur.” Dia membuka jendela yang sejak tadi tertutup. Hanya tirainya saja yang terbuka. mas Arya mengubah posisi dudukku menjadi tidur lurus. Kemudian dia berlalu pergi dan menutup pintu kamar kami. Terasa suwung. Hanya kulihat langit-langit yang terhalang tirai ranjang pegas ini. Aku mulai mengantuk. Entahlah, mungkin ada obat yang membuatku tak mampu menahan kantukku. “Mbak... Mbak Ning. Ayo bangun. Wis masuk dhuhur lho.” Suara mbok Yem membuat mataku terbuka. Kulihat wajah keriput mbok Yem sudah ada di depan mataku. Dia membuka perban coklat yang membelit pergelangan kaki kananku. Aku geser kakiku perlahan. Masih terasa sedikit sakit. Mungkin kalau mas Arya yang membangunkan, rasa sakit ini tidak akan terasa. Hemm... Ning, Ning, mulai pikiranmu melantur. Mana mau dia yang menuntunmu untuk menemani mandi. “Ayo, Mbak Ning. Si Mbok bantu.” Mbok Yem memberikan tongkat untukku. Aku perlahan berdiri dengan mbok Yem yang menahan punggungku agar aku seimbang. Cukup sakit kaki ini saat berjalan. Namun tetap aku lakukan. Dengan langkah ini ingin kugapai hari-hari bersama mas Arya. 85
Kemuning Cinta Tanpa Bicara Menyulam cerita dan harapan yang sama. Mengayuh sepeda lagi berdua. Menikmati pagi. Merasakan sejuknya embun dan dinginnya terpaan sang bayu. Yang selalu kunantikan, tatapan mata serta senyumnya. Merangkai mimpi di setiap tidurku. Segar sekali rasanya setelah kubasuh wajahku dengan air wudhu. Mbok Yem masih setia menuntunku berjalan. Memakaikan mukenaku. Menuntunku duduk di kursi menghadap kiblat. Aku menguntai harapan dan doa yang sama. Mbok Yem sudah tidak ada di sebelahku. Mungkin dia sholat dhuhur juga. Aku raih tongkatku. Belajar berdiri sendiri. Menggapai mushafku. Rinduku akan ayat-ayat yang selalu membuatku lebih kuat menjaga kesetiaanku pada mas Arya. Jangkauan mushaf ini cukup tinggi. Atau memang kakiku belum pulih hingga sulit sekali aku mengambilnya. Aku coba lagi dan lagi. Tetap saja. Ya Allah... sulit sekali. Bismillahirahmanirahim... aku sedikit memaksa berjinjit. Kutahan rasa sakit ini. Aku mulai terjatuh. “Ning...!!! Kamu itu cah ngeyel.” Suara mas Arya sudah dekat di telingaku. Dekat sekali. Dia menahan tubuhku dari belakang. Dia membopongku dengan cepat. Mengantarkan tubuhku di ranjang. “Ning... Ning... mbokyo sabar. Coba kalau jatuh. Jangan sepelekan kaki yang terkilir, Ning.” Mulutnya mengerucut. Wajahnya terlihat cemas. 86
Kemuning Cinta Tanpa Bicara “Aku sudah punya firasat tidak enak. Melihat mbok Yem turun dan ambil wudhu. Pasti kamu sendirian dan polah21. Hemm... Ning... Ning...” Dia mulai mengomel. Omelan penuh kekawatiran. Aku diam namun aku senang. Kecemasan ini yang aku cari darinya. Kecemasan yang penuh nada-nada kasih sayang yang mendalam. “Besok kalau aku pas kerja. Kamu WA aku ya. Kalau mau minta apa-apa. Biar aku telefon mbok Yem.” Dia memberikan mushaf yang ingin kubaca. “Aku mau dhuhuran dulu ya, Ning. Nanti setelahnya kubawakan makan siang buatmu.” Dia memandangku. Menunggu anggukanku. Aku mengangguk sembari tersenyum. Dia sholat sendiri. Tanpa aku jadi makmumnya. Aku melihatnya. Meski sekejap. Lalu kubenamkan diri membaca mushaf hafalanku. Sholatnya berakhir. Dia melihatku dengan mengguratkan senyumnya padaku. Saat aku rapalkan ayat-ayat yang aku baca yang terkadang sambil memejamkan mata. Dia tepati ucapannya. Membawa baki yang berisi sepiring nasi dan beberapa lauk di atasnya. Kututup mushafku. Dia letakkan baki di meja dan berusaha membuka mukenaku. Menyisihkannya di sofanya. Mas Arya mengambil gulungan perban elastis dan memakaikan lagi perban elastis berwarna coklat di kakiku. 21 Tingkah 87
Kemuning Cinta Tanpa Bicara Aku terpejam sesaat. Merasakan jemari tangannya menyentuh kakiku. Merasakan detik demi detik dia membelitkan perban coklat itu pergelangan kakiku. “Maem dulu, Ning.” Memberikan piring yang ada di atas baki itu untukku. Aku menerimanya. “Dua hari lagi kamu cek up ya. Nanti biar Citra yang mengantarmu ke rumah sakit.” Dia sibuk menata mukenaku dan menyimpannya di almari kaca. Dia melangkahkan kaki menuju sofa kesayangannya. Duduk santai sambil merebahkan tubuhnya. Tidak lama kudengar dengkuran lirihnya. Dia tertidur. Dua hari ini saatnya aku cek up. Kunanti Citra di ruang tamu. Terdengar suara ponselku. WA dari Mas Arya. MAS ARYAKU : Ning, Citra sudah datang? AKU : Dereng, Mas. MAS ARYAKU : Yowis, tunggu dulu ya, Ning. AKU : Inggih Mas. 88
Kemuning Cinta Tanpa Bicara Tidak lama sebuah mobil terdengar merapat di depan pagar. Bunyi klakson membuat mbok Yem membuka pintu pagar lebar-lebar. Mobilnya diparkir tepat di depan pintu tempatku menunggunya. Dia keluar mobil dan membuka sisi pintu depan. Dibiarkannya terbuka lebar. Dia menyapaku. Dengan wajah cerianya. “Mata-mataku mbok Yem, sudah cerita semuanya. Mas Arya membopong Mbak Ning ya?” Dia memandangku. Aku mengangguk dan menunduk malu. Dengan rona wajah memerahku. “Wah... so sweet... andai aku melihatnya. Aku video Mbak. Kusimpan buat keponakanku nanti. Kalau ayah bundanya ehemm... ehemm...” Lagi-lagi Citra menggodaku. Hingga aku tersenyum dengan rona wajah semakin memerah. “Cieee... tuh wajahnya Mbak Ning, memerah.” Dia duduk di depanku. Berjongkok melihat semua rona wajahku yang selalu memerah saat aku tersipu malu. “Yowis ayo, Mbak berangkat. Nanti antrenya panjang kalau sudah kesiangan.” Dia membantuku bangun dan menuntunku menuju mobilnya. Mobil warna jingga milik Citra melesat menyusuri jalan raya yang mulai padat. Hingga setengah jam kemudian, kami sudah sampai rumah sakit. Rumah sakit yang megah. Dua lantai dengan gaya bangunan yang modern. 89
Kemuning Cinta Tanpa Bicara Citra menuntunku perlahan. Kakiku sudah mulai membaik. Namun tetap saja mas Arya menyuruhku untuk check up untuk memastikan kesehatan kakiku sebenarnya. Citra mencarikan tempat duduk di ruang pemanggilan nomor antrean. Aku duduk bersama para pasien dan keluarga pasien yang mengantar. Kulihat Citra hanya berdiri karena tempat duduk sudah penuh pengunjung. Dia mengambil ponselnya, menghubungi mas Arya. Kemudian dia mengajakku langsung ke ruang tunggu dokter ortopedi. Kulihat di ruangan sudah banyak pasien yang duduk di kursi deret. Ada juga pasien yang duduk di kursi roda. Bahkan ada yang terbaring di atas ranjang dorong. Melihat ini membuatku semakin bersyukur. Allah memberikan sakit yang tidak seberapa dibandingkan para pasien yang lain. “Mbak Ning, tuh di sana tempat kerja mas Arya.” Citra menunjukkan ruang yang letaknya berdekatan dengan ruang poli dalam. Sehingga ruang poli dalam diampit ruang poli ortopedi dan ruang poli anak. Mas Arya sebagai dokter spesialis anak. Kulihat pengunjung yang rata-rata anak dan ibunya. Cukup padat. Ini yang membuat mas Arya tidak bisa membantuku saat check up. Namun dia memudahkan aku mendapat nomor antrean lebih cepat. Namaku dipanggil. Aku memasuki ruangan bersama Citra. Dia menuntunku. 90
Kemuning Cinta Tanpa Bicara Perban coklat yang sejak tiga hari membalut pergelangan kakiku telah bisa dilepaskan. Aku bernapas lega. Meski begitu, saran dokter Lukman aku tetap harus berjalan perlahan-lahan dulu. Kami keluar ruangan. Namun Citra memintaku untuk menunggu dulu. Dia hendak menjenguk sebentar sahabatnya yang dirawat inap di rumah sakit ini. Aku duduk di ruang tunggu. Mataku tetap tertuju pada ruang poli anak. Aku coba berdiri perlahan. Melangkahkan kaki menuju ruang tempat suamiku bekerja. Ruang tempatnya mengais rezeki halalnya untukku dan keluarganya. Aku melihat anak-anak yang begitu lucu. Ada yang dalam gendongan masih bayi dan balita. Juga ada anak yang sudah berumur lebih dari tujuh tahun. Kudekati jendela kaca bening yang tertutup. Sekitar tiga meter dari jendela terdapat pintu yang terbuka lebar. Memudahkan pasien- pasiennya masuk dan keluar dari ruangnya. Subhanallah... begitu ramah mas Arya melayani pasiennya. Suaranya yang lembut selalu membuat hatiku selalu berdesir. Melihat caranya memeriksa pasien-pasien junior sungguh membuatku semakin jatuh cinta. Kulihat pasien-pasiennya sangat nyaman di sana. Ada banyak mainan di sudut ruangan. Di samping mejanya ada rak yang berisi penuh susu kotak. Dia begitu menyenangkan ketika menghibur dan membujuk pasien-pasiennya agar tidak takut untuk diperiksa. Caranya menggendong bayi. Membuat tertawa pasien-pasien 91
Kemuning Cinta Tanpa Bicara kecilnya membuatku semakin dalam mencintainya. Dia pria penyayang yang aku kagumi. Aku hanya mampu mengintipnya dan diam-diam aku memotret moment-moment itu. Untuk aku pandangi disela senggangku. Menghibur rasa sepiku jika dia tak ada dihadapanku. Tiba-tiba aku dikejutkan sosok wanita berhijab berjas putih masuk ruangannya dan berbincang-bincang begitu serius. Seakan ikut larut dalam pekerjaan mas Arya. Kulihat wajah mas Arya sumringah saat dia datang. Aku tak mampu melihat wajahnya dengan jelas. Tubuh yang terlihat mungil dengan penampilannya yang menarik. Dia membelakangiku. Siapa dia? Suaranya aku sangat mengenalinya. “Dokter Arya, katanya sudah menikah? Dokter, ini ya istrinya? Cantik. Sangat cocok sekali. Semoga langgeng ya, Dok.” Ucapan salah satu pasien mas Arya seakan menampar wajahku. Hingga membuat darahku mendidih. Mas Arya dan wanita itu hanya tertawa kecil. Lalu mereka saling berpandangan. “Dokter Keysha Larasati. Memang cocok bersanding dengan dokter Arya yang ganteng,” pasien itu bicara lagi. Keysha Larasati datang menemui mas Arya. Dia membuat jaraknya semakin dekat dengan mas Arya. Astaghfirullah... mengapa rasa sakit itu datang lagi. Setelah tiga hari kemarin aku diliputi kebahagiaan atas sikap lembut mas Arya, kepeduliannya, kecemasannya dan perhatiannya padaku. 92
Kemuning Cinta Tanpa Bicara Aku tak tahan melihat semuanya. Aku berjalan tertatih dengan segala kekuatan yang aku punya. Tangisanku harus kutahan meski mataku sudah mulai buram karena air mata sudah melapisi kornea mataku. Hingga aku lihat wajah Citra mendekatiku. Citra mengetahui aku menangis. Dia menanyakan alasanku menangis. Aku hanya diam berjalan menjauhi ruangan poli anak. Citra tetap ingin mencari tahu penyebab tangisku. Dia berjalan mendekati ruangan mas Arya. Mungkin, Citra sudah tahu alasanku menangis setelah berada di ruang mas Arya. Wanita itu muncul Mengerat hati ini Membuncah nuraniku untuk kecurigaanku padamu Maafkan aku… Aku dilanda cemburu 93
Kemuning Cinta Tanpa Bicara 08 DINNER DI PONDOK BAMBU Tangisku begitu deras saat aku duduk di jok mobil Citra. Citra kebingungan akan keadaanku. Dia mencoba menghiburku, membuang segala prasangka atas hubungan mas Arya dengan Keysha Larasati. “Sudah, Mbak Ning. Jangan nangis to, Mbak. Mungkin saja mas Arya hanya sebatas sahabat saja. Tidak lebih.” Citra yang sedang menyetir mobil, sesekali memandangku. Melihat keadaanku yang kacau saat ini. Aku sesenggukan di dalam mobil. Aku tahu Citra mengetahui hubungan mereka jauh sebelum ikatan pernikahanku dengan mas Arya terjalin. Citra tidak ingin aku semakin rapuh. Sepanjang perjalanan yang terlintas hanya bayangan mereka saat itu. Tangan Keysha yang selalu mencari kesempatan menyentuh tubuhnya. Tubuh mas Aryaku. Matanya seakan bernafsu memandang setiap detail wajah mas Arya. Senyuman Keysha yang menggoda membuatku luluh lantah. Tidak mungkin sebagai sahabat memandang mas Arya seliar itu. Entahlah, berapa lembar tisu lagi yang akan aku habiskan di dalam mobil. Citra ingin mengajakku di taman untuk menyegarkan diri. Namun aku sudah layu. Tiada hasrat apapun selain pulang. 94
Kemuning Cinta Tanpa Bicara Mobil Citra yang aku tumpangi sudah berada di halaman. Aku permisi buru-buru menuju kamar. Jalanku kupercepat. Tak memperdulikan kakiku yang baru saja sembuh. Meski pandanganku buram karena tangisanku. Aku tetap mempercepat langkahku menyusuri tangga ukir. Segera menghindari pertanyaan ibu atau mbok Yem atas diriku yang berderai air mata jika mereka tahu. Pintu ukir bercat krem segera aku buka. Aku menutupnya kembali tanpa menguncinya. Kuhempaskan tubuh ini di ranjang pegas dengan sprai warna hijau toska berumbai. Bantal bermotif bunga anggrek menjadi sasaranku. Kubenamkan mukaku. Menangis sejadi-jadinya. Aku tengkurap dengan pakaian gamisku yang belum sempat aku ganti. Tak ada keinginan lain selain ingin meluruhkan semua rasa sakit ini. Kudengar pintu kamar terbuka. Ada yang duduk dibelahku. Di sisi ranjang tempat kubenamkan permukaan tubuhku. “Mbak... Mbak Ning. Uwis, ojo nangis to, Mbak. Aku yakin, mas Arya tidak ada perasaan apa-apa dengan Keysha. Mas Arya menganggapnya sahabat baik. Tidak lebih.” Citra membujukku. Punggungku dibelainya engan lembut. Aku bangkit dan duduk menghadapnya. Merangkulnya. Diusap- usapnya perlahan punggungku. Meredakan gundah hatiku. Kudengar suara azan dhuhur berkumandang. Aku menarik nafas panjang. Redakan 95
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164
- 165
- 166
- 167
- 168
- 169
- 170
- 171
- 172
- 173
- 174
- 175
- 176
- 177
- 178
- 179
- 180
- 181
- 182
- 183
- 184
- 185
- 186
- 187
- 188
- 189
- 190
- 191
- 192
- 193
- 194
- 195
- 196
- 197
- 198
- 199
- 200
- 201
- 202
- 203
- 204
- 205
- 206
- 207
- 208
- 209
- 210
- 211
- 212
- 213
- 214
- 215
- 216
- 217
- 218
- 219
- 220
- 221
- 222
- 223
- 224
- 225
- 226
- 227
- 228
- 229
- 230
- 231
- 232
- 233
- 234
- 235
- 236
- 237
- 238
- 239
- 240
- 241
- 242
- 243
- 244
- 245
- 246
- 247
- 248
- 249
- 250
- 251
- 252
- 253
- 254
- 255
- 256
- 257
- 258
- 259
- 260
- 261
- 262
- 263
- 264
- 265
- 266
- 267
- 268
- 269
- 270
- 271
- 272
- 273
- 274
- 275
- 276
- 277
- 278
- 279
- 280
- 281
- 282
- 283
- 284
- 285
- 286
- 287
- 288
- 289
- 290
- 291
- 292
- 293
- 294
- 295
- 296
- 297
- 298
- 299
- 300
- 301
- 302
- 303
- 304
- 305
- 306
- 307
- 308
- 309
- 310
- 311
- 312
- 313
- 314
- 315
- 316
- 317
- 318
- 319
- 320
- 321
- 322
- 323
- 324
- 325
- 326
- 327
- 328
- 329
- 330
- 331
- 332
- 333
- 334
- 335
- 336
- 337
- 338
- 339
- 340
- 341
- 342
- 343
- 344
- 345
- 346
- 347
- 348
- 349
- 350
- 351
- 352
- 353
- 354
- 355
- 356
- 357
- 358
- 359
- 360
- 361
- 362
- 363
- 364
- 365
- 366
- 367
- 368
- 369
- 370
- 371
- 372
- 373
- 374
- 375
- 376
- 377
- 378
- 379
- 380
- 381
- 382
- 383
- 384
- 385
- 386
- 387
- 388
- 389
- 390
- 391
- 392
- 393
- 394
- 395
- 396
- 397
- 398
- 399
- 400
- 401
- 402
- 403
- 404
- 405
- 406
- 407
- 408
- 409
- 410
- 411
- 412
- 413
- 414
- 415
- 416
- 417
- 418
- 419
- 420
- 421
- 422
- 423
- 424
- 425
- 426
- 427
- 428
- 429
- 430
- 431
- 432
- 433
- 434
- 435
- 436
- 437
- 438
- 439
- 440
- 441
- 442
- 443
- 444
- 445
- 446
- 447
- 448
- 449
- 450
- 451
- 452
- 453
- 454
- 455
- 456
- 457
- 458
- 459
- 460
- 461
- 462
- 463
- 464
- 465
- 466
- 467
- 468
- 469
- 1 - 50
- 51 - 100
- 101 - 150
- 151 - 200
- 201 - 250
- 251 - 300
- 301 - 350
- 351 - 400
- 401 - 450
- 451 - 469
Pages: