2.36 Administrasi Perpajakan TES FORMATIF 2 Pilihlah satu jawaban yang paling tepat! 1) Meskipun pajak itu bersifat paksaan, namun negara (pemerintah) masih tetap mendasarkan diri pada asas keadilan, untuk itu beberapa asas atau prinsip telah dikemukakan para ahli, antara lain yang dikemukakan Adam Smith, terkenal sebutan Smith Canon’s. Sebutkan asas-asas itu .... A. kuat pikul, daya beli, dan kesejahteraan ekonomi dan persamaan B. asas perolehan, kemanfaatan, kesamaan, dan persaudaraan C. ability to pay or equality of sacrifice, certarity, conveniency dan economy D. benefits, ability to pay, minimum cost of collection 2) Bagaimana bestaan minimum diterapkan dalam undang-undang pajak penghasilan Indonesia? A. Dengan memberikan potongan dalam jumlah tertentu terhadap yang terhitung untuk suatu tahun tertentu. B. Dengan memberikan pembebasan sebagai penghasilan yang perlu untuk memenuhi kebutuhan primer dalam bentuk pendapatan tidak kena pajak (PTKP). C. Dengan membebaskan orang-orang miskin dari kewajiban membayar pajak. D. Melalui pergeseran beban pajak kepada orang-orang kaya. Petunjuk : Untuk soal No. 3 – 5, pilihlah! A. Jika (1) dan (2) benar B. Jika (1) dan (3) benar C. Jika (2) dan (3) benar D. Jika semuanya benar 3) Adam Smith dalam bukunya Wealth of Nation mengemukakan asas pemungutan pajak yang lazim dikenal dengan four canons taxation atau sering juga disebut the four maxims dengan, yaitu .... (1) prinsip kesesuaian (2) prinsip kesenangan (3) prinsip daya pikul
ADBI4330/MODUL 2 2.37 4) Pajak hendaknya bersifat umum atau universal, berarti bahwa pajak .... (1) tidak boleh bersifat diskriminatif (2) memperlakukan setiap orang dalam keadaan yang sama hendaknya diperlakukan yang sama (3) tidak ada penalti bagi wajib pajak yang melanggar 5) Berikut ini yang termasuk sebagai asas pokok perpajakan yang ideal menurut W.J. de Langen seorang ahli pajak kebangsaan Belanda, adalah .... (1) asas kesamaan (2) asas Daya Pikul (3) asas Keuntungan Istimewa Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 2 yang terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar. Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 2. Tingkat penguasaan = Jumlah Jawaban yang Benar 100% Jumlah Soal Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali 80 - 89% = baik 70 - 79% = cukup < 70% = kurang Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat meneruskan dengan modul selanjutnya. Bagus! Jika masih di bawah 80%, Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 2, terutama bagian yang belum dikuasai.
2.38 Administrasi Perpajakan Kunci Jawaban Tes Formatif Tes Formatif 1 1) D. Jawaban D yang berbunyi Pendapatan PT Kereta Api Indonesia dari hasil usaha/operasi perkeretaapian bukan termasuk ruang lingkup Keuangan Negara. 2) A. Jawabannya terletak pada perbedaan hukum pajak dengan retribusi adalah dalam Retribusi prestasi kembalinya langsung. 3) A. Jawaban yang benar adalah Pasal 23 A perubahan ketiga UUD 945 yang berbunyi \"pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dalam undang-undang‖. Jadi, Pajak dipungut berdasarkan undang-undang dan pajak termasuk pula dalam kategori pungutan lain yang dipungut oleh negara dan perangkatnya, yaitu pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, berdasarkan kekuatan UU serta peraturan pelaksanaannya. 4) D. Pajak sebagai salah satu sumber penerimaan negara dapat ditingkatkan melalui Intensifikasi, Ekstensifikasi dan Paksaan. 5) C. Yang termasuk ke dalam Hukum Publik, adalah bukan Hukum Perdata, tetapi Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi. Tes Formatif 2 1) C. Ability to pay or equality of sacrifice, certarity, conveniency dan economy merupakan jawaban yang benar merupakan salah satu dari asas yang dikemukakan oleh Adam Smith dengan ajarannya yang dikenal dengan nama Smith Canon’s. 2) B. Dengan memberikan pembebasan sebagai penghasilan yang perlu untuk memenuhi kebutuhan primer dalam bentuk pendapatan tidak kena pajak (PTKP) merupakan salah satu bentuk penerapan bestaan minimum dalam undang-undang pajak penghasilan Indonesia. 3) A. Prinsip kesesuaian dan prinsip kesenangan merupakan dua asas pemungutan pajak seperti yang dikemukakan oleh Adam Smith dalam bukunya Wealth of Nation yang lazim dikenal dengan four canons taxation atau sering juga disebut the four maxims.
ADBI4330/MODUL 2 2.39 4) A. Pajak memang harus bersifat umum atau universal, berarti bahwa pajak tidak boleh bersifat diskriminatif, di mana memperlakukan setiap orang dalam keadaan yang sama hendaknya diperlakukan yang sama. 5) D. Asas kesamaan, Asas Daya Pikul, Asas Keuntungan Istimewa merupakan tiga asas pokok perpajakan yang ideal menurut W.J. de Langen seorang ahli pajak kebangsaan Belanda.
2.40 Administrasi Perpajakan Daftar Pustaka Bohari. (2006). Pengantar Hukum Pajak. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Brotodihardjo, Santoso R. (2003). Pengantar Ilmu Hukum Pajak. Refika Aditama. Bandung. Dewano, Sony dan Rahayu, Siti Kurnia. (2006). Perpajakan: Konsep, Teori dan Isu. Kencana Prenada Media Group. Jakarta. Ichsan, HM. (1986). Administrasi Perpajakan. Modul 1 – 9. Universitas Terbuka. Jakarta. Kalla: Pajak Sumbang 73 Persen Pendapatan Negara, Tempo Interaktif.com Jum'at, 20 Maret 2009 | 20:31 WIB Mardiasmo. (2008). Perpajakan edisi Revisi 2008. Penerbit Andi. Yogyakarta Rochmat Soemitro. (2006). Asas dan Dasar Perpajakan Jilid I s/d III. Penerbit Eresco, Bandung, Samidjo, SH. (1985). Ringkasan dan Tanya Jawab hukum Pidana. Bandung: CV Armico. Santoso Brotodihardjo. (2008). Pengantar Ilmu Hukum Pajak. Penerbit Eresco, Bandung. Suandy, Early. (2008). Pengantar Ilmu Hukum Pajak. Penerbit Salemba Empat. Jakarta. Syofyan, Syofrin dan Hidayat, Asyhar. (2004). Hukum Pajak dan Premasalahannya. PT. Refika Aditama. Bandung. Undang-Undang No. 12 Tahun 1985 jo UU No. 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
ADBI4330/MODUL 2 2.41 Undang-Undang No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai. Undang-Undang No. 21 Tahun 1997 jo UU No. 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Undang-Undang No. 5 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan jo UU No. 16 Tahun 2000 jo UU No. 27 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga Terhadap No. 5 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 jo UU No. 7 Tahun 1991 jo UU No. 10 Tahun 1994 jo UU No. 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan. Undang-Undang No. 8 Tahun 1983 Jo UU No. 11 Tahun 1994 jo UU No. 18 Tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah. Utrecht dalam Kansil. (1983). Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Balai Pustaka, Jakarta. Anonim. (2006). Jenis & Macam Norma-norma Sopan Santun, Agama & Hukum - Kebiasaan Yang Berlaku dalam Kehidupan Sehari-Hari - Ilmu PMP dan PPKn. Sun, 06/08/2006 - 10:33pm. http://organisasi.org/jenis_macam_norma_norma_sopan_santun_agama_ hukum_kebiasaan_yang_berlaku_dalam_kehidupan_sehari_hari_ilmu_p mp_dan_ppkn diakses 27 Agustus 2009. Anonim. (2009). Kenaikan Cukai Rokok Tambah Pendapatan Negara Rp50,1 T. http://economy.okezone.com/read/2009/07/22/277/240876/277/kenaik an-cukai-rokok-tambah-pendapatan-negara-rp50-1-t. Rabu, 22 Juli 2009 - 10:12 wib.
Modul 3 Penggolongan, Pengenaan, dan Tarif Pajak Dra. Harmanti, M.Si. PENDAHULUAN D alam menerapkan suatu pajak tidak dapat diterapkan begitu saja. Suatu pajak perlu ditetapkan terlebih dahulu penggolongannya baru kemudian ditentukan bagaimana pengenaannya, dan setelah itu ditetapkan tarifnya. Ada beberapa kriteria yang dapat diterapkan sebelum pajak tersebut diterapkan, yaitu: 1. pajak dikenakan atas apa; 2. siapa yang membayar pajak; 3. siapa yang menanggung beban pajak; 4. siapa yang memungut pajak. Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas kemudian dijabarkan pada pajak yang baru tersebut yaitu termasuk golongan pajak apa dilihat dari instansi yang memungut, sifatnya, dan golongannya. Langkah berikutnya adalah menetapkan tarifnya. Dalam menetapkan tarif ini masih ada langkah lain yang harus dilihat terlebih dahulu yaitu apa subjek dan objek pajak tersebut. Setelah diketahui subjek dan objek pajaknya, baru dibahas mengenai tarifnya. Setelah subjek, objek, dan tarif ini diketahui maka akan muncul adanya utang pajak. Dilihat dari sifatnya apakah pajak baru tersebut termasuk pajak langsung ataukah tidak langsung. Apabila termasuk pajak langsung, maka pajak tersebut tidak dapat digeserkan beban pembayarannya. Namun, bila pajak tersebut termasuk pajak tidak langsung, maka ada kemungkinan untuk dibebankan pada Wajib Pajak lain. Contoh yang paling jelas adalah pada Pajak Pertambahan Nilai di mana yang menanggung pajak bukan pengusaha kena pajak melainkan konsumen.
3.2 Administrasi Perpajakan Dengan mempelajari Modul 3 ini, Anda diharapkan dapat menguraikan mengenai: penggolongan pajak, tarif pajak, serta pergeseran dan keterkenaan pajak. Secara khusus, Anda diharapkan mampu: 1. menjelaskan penggolongan pajak; 2. menguraikan tarif pajak; 3. menjelaskan pergeseran dan keterkenaan pajak.
ADBI4330/MODUL 3 3.3 Kegiatan Belajar 1 Penggolongan Pajak D alam berbagai literatur Ilmu Keuangan Negara dan Pengantar Ilmu Hukum Pajak terdapat pembedaan atau penggolongan pajak (classes of taxes, kind of taxes) serta jenis pajak. Pembedaan atau penggolongan pajak tersebut didasarkan pada suatu kriteria, yaitu: 1. siapa yang membayar pajak; 2. siapa yang pada akhirnya memikul beban pajak; 3. apakah beban pajak dapat dilimpahkan/dialihkan kepada pihak lain; 4. siapa yang memungut pajak; 5. sifat-sifat yang melekat pada pajak yang bersangkutan; 6. pajak dikenakan atas apa. Pembagian pajak dapat dilakukan berdasarkan golongan, wewenang pemungut, maupun sifatnya, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada bagan berikut ini. Pajak Langsung Berdasarkan Golongan Pajak tidak Langsung Pajak Pusat/Negara Pajak Berdasarkan Wewenang (Pemungut) Pajak Daerah Pajak Subjektif Berdasarkan Sifat Pajak Objektif Secara lebih rinci, penggolongan pajak terdiri atas berikut ini. A. BERDASARKAN ORGANISASI PENGELOLANYA Pembedaan ini didasarkan pada kriteria lembaga atau instansi yang memungut pajak. Pajak pusat adalah pajak yang diadministrasikan oleh pemerintah pusat, dalam hal ini Departemen Keuangan, yakni Direktorat
3.4 Administrasi Perpajakan Jenderal Pajak. Sedangkan Pajak Daerah adalah pajak yang dipungut oleh daerah, dalam hal ini Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda). 1. Pajak Pusat Merupakan pajak yang dikelola oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai pengeluaran umum (negara). Pajak yang pengelolaannya oleh Direktorat Jenderal Pajak, meliputi berikut ini. a. Pajak Penghasilan (PPh) yaitu pajak yang dikenakan atas penghasilan yang diterima oleh wajib pajak baik perorangan maupun badan hukum. b. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) atas penyerahan barang dan jasa baik ekspor maupun impor. c. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yaitu pajak yang dikenakan atas bumi dan bangunan. d. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. e. Bea Meterai yaitu pajak yang dikenakan atas bea meterai. Pajak yang pengelolaannya oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, meliputi, berikut ini. a. Bea Masuk (UU No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 17 Tahun 2006). b. Cukai Tembakau dan cukai lain-lain (UU No. 11 Tahun 1995 Tentang Cukai sebagaimana telah diubah dengan UU No. 39 Tahun 2007). c. PPN Impor. Pajak yang pengelolaannya dilakukan oleh Direktorat Jenderal Moneter, meliputi berikut ini. a. Pajak ekspor dan penerimaan bukan pajak oleh Ditjen Moneter Dalam Negeri. b. Pajak penerimaan/penghasilan minyak termasuk penerimaan lainnya, oleh Ditjen Moneter Luar Negeri. 2. Pajak Daerah Merupakan pajak yang pengelolaannya dilakukan oleh pemerintah daerah guna membiayai pengeluaran-pengeluaran daerah. Pajak daerah meliputi pendapatan asli daerah yang terdiri atas:
ADBI4330/MODUL 3 3.5 a. hasil pajak daerah (pajak penjualan); b. hasil retribusi daerah (PKB); c. sumbangan dari pemerintah. Sumber pungutan Pajak Pusat relatif tidak terbatas sedangkan objek Pajak Daerah sangat terbatas jumlahnya, artinya objek pajak yang telah dikenakan oleh negara tidak boleh lagi dikenakan oleh daerah supaya terhindarnya pengenaan pajak berganda. Kemudian area pajak daerah adalah area pajak yang belum dikenakan pajak oleh negara. Setelah pelaksanaan otonomi daerah yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2001 maka pajak daerah dipernisi secara jelas agar tidak tumpang tindih dalam pelaksanaannya sehingga tidak membebani rakyat (wajib pajak). Sesuai dengan pembagian administrasi daerah, maka berdasarkan UU No. 34 Tahun 2000 tentang pajak daerah, dapat digolongkan menjadi dua macam yaitu Pajak Propinsi, dan Pajak Kabupaten/Kota: a. Pajak yang dipungut oleh propinsi Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UU No. 34 Tahun 2000, jenis pajak provinsi terdiri dari: 1) pajak kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air; 2) bea balik nama kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air; 3) pajak bahan bakar kendaraan bermotor; 4) pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan. Pajak yang dipungut oleh provinsi tersebut, baik besarnya tarif maupun jenis pajaknya telah ditentukan secara limitatif oleh UU. Artinya, provinsi tidak boleh menambah pajak baru atau menaikkan tarif pajak yang telah ditentukan. b. Pajak yang dipungut oleh kabupaten/kota Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) UU No. 34 Tahun 2000, jenis pajak kabupaten/kota terdiri dari: 1) pajak hotel, 2) pajak restoran, 3) pajak hiburan, 4) pajak reklame, 5) pajak penerangan jalan,
3.6 Administrasi Perpajakan 6) pajak pengambilan bahan galian golongan C, 7) pajak parkir, 8) pajak lain-lain. Tarif dan penagihan pajak daerah diatur dalam peraturan pajak daerah yang bersangkutan. Peraturan pajak daerah juga dapat diadakan ketentuan tentang keharusan wajib pajak untuk mengisi semacam SPT yang berupa daftar isian yang disampaikan kepadanya yang dapat digunakan untuk penetapan pajak. Penagihan pajak daerah dapat pula dilakukan dengan Surat paksa yang ditandatangani oleh Kepala daerah setelah melalui peringatan dan teguran terlebih dahulu. Pelaksanaan Surat Paksa dilakukan oleh Juru Sita. Dalam hal wajib pajak keberatan atas ketetapan pajak maka dalam jangka waktu 3 bulan sesudah ketetapan pajak diberikan atau dikirimkan, wajib pajak dapat mengajukan keberatan secara tertulis yang ditujukan kepada kepala daerah yang menetapkan pajak tersebut. Apabila keputusan atas keberatan yang diajukan tidak dapat diterima oleh wajib pajak, maka wajib pajak dapat mengajukan banding yang ditujukan kepada Peradilan Pajak di Jakarta menurut ketentuan yang berlaku. Permohonan diajukan dalam jangka waktu 3 bulan sejak keputusan atas keberatan itu diterima. B. BERDASARKAN GOLONGANNYA 1. Pajak Langsung (Direct Tax) Pajak langsung adalah pajak yang pembayarannya atau pembebanannya tidak dapat dilimpahkan kepada orang lain. Misalnya Pajak Penghasilan, Pajak Perseroan, dan Pajak Kekayaan. 2. Pajak Tidak Langsung (Indirect Tax) Pajak tidak langsung adalah jenis-jenis pajak yang pemungutannya tidak secara langsung kepada Wajib Pajak, dapat juga berarti pajak yang pembayarannya atau pembebanannya dapat dilimpahkan kepada orang lain. Contohnya: PPN dan PPnBM, Cukai, dan Pita Rokok. Perbedaan antara pajak langsung dan pajak tidak langsung dapat ditinjau dari beberapa hal, yaitu sebagai berikut.
ADBI4330/MODUL 3 3.7 a. Dari segi administrasi pemungutan (yuridis) Pajak langsung merupakan pajak yang secara periodik (berkala), artinya pajak dipungut secara teratur dalam jangka waktu yang ditentukan, misalnya tiap tahun. Sedangkan pajak tidak langsung merupakan pajak yang dipungut secara insidental, artinya pajak hanya dipungut jika terjadi kegiatan saja. b. Dari segi pembebanan (ekonomis) Pajak langsung pembayarannya tidak dapat dilimpahkan kepada pihak lain seperti PPh. Sedangkan pajak tidak langsung pembayarannya dapat dilimpahkan pada pihak lain yang dapat berupa substitusi dan shifting, seperti pada PPN. Pada saat membedakan pajak tersebut termasuk pajak langsung atau tidak langsung dari sudut ekonomis, perlu dipelajari dan dipahami terlebih dahulu beberapa istilah seperti: tax burden adalah beban pajak yang dipikul di atas bahu seseorang, tax incidence adalah akibat keterkenaan pelimpahan beban pajak, dan tax destinaris (destinaris berasal dari bahasa Inggris yang berarti tujuan), yaitu pihak yang memang dituju oleh undang- undang perpajakan untuk memikul beban tersebut. Tax shifting merupakan proses pelimpahan beban pajak dari satu pihak kepada pihak lainnya, tax shifting terbagi dua, yaitu pertama forward shifting, yaitu pelimpahan pajak ke depan. Contohnya pengusaha rokok yang melimpahkan beban pajak berupa cukai yang seharusnya ditanggungnya ke konsumen. Kedua backward shifting, yaitu pelimpahan beban pajak ke belakang. Contohnya pengusaha rokok yang mengurangi pembelian tembakau dari petani sehingga harga di petani tembakau menjadi jatuh. c. Dari lembaga yang menyelesaikan perselisihan Pajak langsung merupakan pajak yang perselisihannya diselesaikan melalui peradilan administrasi tidak murni, yaitu dengan cara mengajukan keberatan kepada Dirjen Pajak. Jika masih belum puas dapat minta banding kepada Majelis Pertimbangan Pajak (MPP). Sedangkan pajak tidak langsung penyelesaian perselisihannya dilaksanakan di muka pengadilan negara yang sekarang merupakan Pengadilan Administrasi Murni. C. BERDASARKAN SIFATNYA Pembedaan pajak subjektif dan pajak objektif diperkenalkan oleh Prof. Dr. P.J.A. Adriani dalam bukunya yang terkenal Het Belastingrecht.
3.8 Administrasi Perpajakan 1. Pajak Subjektif Pajak subjektif adalah pajak yang berpangkal pada diri orang yang dikenakan pajak. Pajak subjektif dimulai dengan menetapkan orangnya, kemudian baru dicari objeknya. Dalam pemungutan pajak subjektif ini harus ada hubungan antara negara pemungut pajak dengan subjek pajak. Jadi, yang penting adalah subjeknya, yang dapat dibedakan antara perorangan dan badan usaha. Pajak subjektif adalah pajak yang berpangkal pada diri orang yang dikenakan pajak. Pajak subjektif dimulai dengan menetapkan orangnya, kemudian baru dicari objeknya. Dalam pemungutan pajak subjektif ini harus ada hubungan antara Negara pemungut pajak dengan subjek pajak. Jadi yang penting adalah subjeknya, yang dapat dibedakan antara perorangan dan badan usaha. 2. Pajak Objektif Pajak objektif adalah pajak yang berpangkal pada obyek yang dikenakan pajak dan untuk mengenakan pajaknya harus dicari objeknya. Pada pajak objektif dimulai dengan obyeknya seperti keadaan, peristiwa, perbuatan dan lainnya, baru kemudian dicari orangnya yang harus membayar pajaknya, yaitu subjeknya. Dalam pemungutan pajak objektif harus ada hubungan antara Negara pemungut pajak dengan objek pajak. Pajak objektif selalu dipungut berdasarkan asas sumber, sedangkan pajak subjektif selalu dipungut berdasarkan asas domisili dan asas nasionalitas. Menurut Safri Nurmantu, penggolongan pajak juga dapat dilihat melalui pajak pribadi dan pajak kebendaan. Yang termasuk pajak pribadi adalah pajak yang pengenaannya memperhatikan kondisi wajib pajak, misalnya apakah wajib pajak tersebut sudah menikah atau belum, apakah wajib pajak tersebut mempunyai anak, seandainya punya ada berapa? Pajak pribadi ini dapat kita lihat pertama pada Pajak Pendapatan 1944 yang dikenal dengan Batas Pendapatan Bebas Pajak (BPBP) yang memungkinkan seorang wajib pajak menikmati pengurangan BPBP sampai dengan sepuluh anak. Kedua pada Pajak Penghasilan 1983 yang diwujudkan dalam Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), di mana jumlah maksimum pengurangnya adalah 3 anak/tanggungan. Yang termasuk Pajak Kebendaan adalah pajak yang waktu pengenaannya tidak memperhatikan keadaan wajib pajak. Pajak Kebendaan ini terdapat pada Pajak Penjualan 1951 dan Pajak Pertambahan Nilai 1984 di
ADBI4330/MODUL 3 3.9 mana seorang pembeli minuman kaleng harus membayar harga barang ditambah pajak pertambahan nilai (PPN) tanpa terkecuali. LATIHAN Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas, kerjakanlah latihan berikut! 1) Apakah yang membedakan antara pajak langsung dan Pajak Tidak Langsung? 2) Uraikan secara singkat dan berilah contoh serta tentukan perbedaan antara pajak subjektif dan pajak objektif! 3) Coba Anda jelaskan apa yang dimaksud dengan tax shifting, dan beri contoh! Petunjuk Jawaban Latihan 1) Untuk menjawab soal No. 1 ini, coba baca kembali pengertian pajak langsung dengan pajak tidak langsung dan berilah masing-masing contoh. Dari situ akan terlihat perbedaan antar pajak langsung dengan pajak tidak langsung. 2) Untuk menjawab soal No. 2 ini, coba baca kembali pengertian pajak subjektif dengan pajak objektif dan berilah masing-masing contoh. Dari situ akan terlihat perbedaan antar pajak subjektif dengan pajak objektif. 3) Tax shifting terdiri dari dua, yaitu forward shifting dan backward shifting. Contoh untuk keduanya adalah masalah bahan bakar kendaraan bermotor (BBKB). Apabila Pak Amir beli bensin 20 liter dengan harga Rp5.000 akan dikenai tarif 5% sehingga harus membayar sebesar Rp100.000 untuk bensin dan Rp5.000 untuk BBKB dan jumlahnya menjadi Rp105.000. Ini merupakan forward shifting. Namun, pada saat akan diterapkan UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah di mana salah satunya adalah pajak bahan bakar kendaraan bermotor maka akan terjadi pajak ganda dan ini memberatkan. Keputusan akhir pajak bahan bakar kendaraan bermotor ditanggung oleh pengusaha kena pajak, yaitu Pertamina, dan ini merupakan backward shifting.
3.10 Administrasi Perpajakan RANGKUMAN Dalam membedakan atau menggolongkan pajak didasarkan pada suatu kriteria, yaitu: a. siapa yang berwenang memungut pajak; b. saat mulainya timbulnya utang pajak; c. apakah beban pajak dapat dilimpahkan/dialihkan kepada pihak lain; d. siapa yang memungut pajak; e. sifat-sifat yang melekat pada pajak yang bersangkutan; f. pajak dikenakan atas apa; g. administrasi perpajakan. Secara lebih rinci dapat diketahui beberapa jenis pajak yang dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: 1. Berdasarkan Organisasi Pengelolanya Dalam hal yang berhak memungut/mengelola adalah pemerintah pusat, maka jenis-jenis pajaknya digolongkan sebagai pajak pusat/negara. Sebaliknya jenis-jenis pajak yang pemungutannya merupakan hak pemerintah daerah disebut pajak daerah. 2. Berdasarkan Golongannya, pajak dikelompokkan menjadi dua, yaitu pajak langsung dan Pajak Tidak langsung. Penggolongan pajak langsung dan pajak tidak langsung ditinjau dari administrasi pemungut dan pembebanan. Disebut sebagai pajak langsung, karena administrasi pemungutannya dilakukan secara periodik (berkala), dalam hal ini setahun sekali, dan tahun tersebut adalah tahun pajak atau tahun takwim kebalikannya dengan pajak tidak langsung. Dilihat dari pembebanan pajak adalah bahwa beban pajaknya tidak dapat dilimpahkan kepada pihak ketiga. Sebaliknya, sifat pajak tidak langsung, beban pajaknya dapat dilimpahkan kepada pihak lain, dalam hal ini konsumen melalui penambahan pajak pada harga jual. 3. Berdasarkan Sifatnya, pajak dikelompokkan menjadi dua, yaitu pajak subjektif dan pajak objektif. Analisis mulai timbulnya kewajiban pajak ada yang mengawali dari subjek pajak dan ada pula dari objek pajak. Jenis-jenis pajak yang mulai timbulnya kewajiban pajak diawali dari subjek pajak digolongkan sebagai Pajak subjektif. Sebaliknya, jenis-jenis pajak yang mulai timbulnya kewajiban pajak diawali dari objek pajak disebut pajak objektif.
ADBI4330/MODUL 3 3.11 TES FORMATIF 1 Pilihlah satu jawaban yang paling tepat! 1) Yang termasuk pajak berdasarkan golongannya adalah pajak .... A. langsung B. pusat C. negara D. subjektif 2) Pajak yang memperhatikan kondisi/keadaan Wajib Pajak disebut pajak .... A. tidak langsung B. langsung C. objektif D. subjektif 3) Pajak yang bebannya harus ditanggung sendiri oleh Wajib Pajak yang bersangkutan dan tidak dapat dialihkan kepada pihak lain disebut pajak .... A. pusat B. langsung C. subjektif D. objektif 4) Yang dimaksud dengan Pajak Daerah adalah pajak yang .... A. bebannya dapat dialihkan kepada pihak lain B. wewenang pemungutannya ada pada pemerintah daerah C. bebannya ditanggung sendiri oleh wajib pajak D. berdasarkan tempat tinggal dari wajib pajak 5) Berikut ini merupakan pajak daerah/kota, kecuali pajak .... A. hotel dan restoran B. hiburan C. kendaraan bermotor D. penerangan jalan
3.12 Administrasi Perpajakan Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 1 yang terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar. Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 1. Tingkat penguasaan = Jumlah Jawaban yang Benar 100% Jumlah Soal Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali 80 - 89% = baik 70 - 79% = cukup < 70% = kurang Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat meneruskan dengan Kegiatan Belajar 2. Bagus! Jika masih di bawah 80%, Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 1, terutama bagian yang belum dikuasai.
ADBI4330/MODUL 3 3.13 Kegiatan Belajar 2 Pengenaan Pajak dan Tarif Pajak S etelah mempelajari kita mengetahui penggolongan pajak dalam Kegiatan Belajar 1 maka dalam Kegiatan Belajar 2 kita akan membahas mengenai pengenaan pajak dan tarif pajak. A. PENGENAAN PAJAK Untuk dapat terutangnya suatu pajak (pengenaan pajak), paling tidak harus memenuhi 3 unsur yaitu adanya Subjek pajak, Objek Pajak dan Tarif Pajak. Sebelum tarif pajak ditetapkan terlebih dahulu ditentukan subjek dan objek pajaknya. Untuk itu langkah pertama adalah membahas mengenai subjek dan objek pajak. 1. Subjek Pajak Subjek Pajak dalam ketentuan UU dapat berarti orang (pribadi/person) atau kumpulan orang-orang yang dapat bertindak sebagai person (Recht Person). Kumpulan orang dapat berbentuk Perseroan Terbatas (PT), Perseroan Komanditer (CV), koperasi, Yayasan dan sebagainya yang dalam istilah UU disebut badan atau Bentuk Usaha Tetap (lihat UU No. 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Perpajakan sebagaimana telah diubah dan terakhir dengan UU No. 26 Tahun 2007). Kalau orang dapat dituntut dan menuntut, maka kumpulan orang juga dapat dituntut dan menuntut. Demikian juga apabila orang dapat memiliki harta dan atau kuasa menggunakan harta, maka kumpulan orang pun demikian. 2. Objek Pajak Yang dimaksud dengan objek pajak atau dikenal juga dengan istilah situs pajak adalah objek atau tempat di mana pajak dikenakan. Dasar hukumnya adalah bahwa Negara di mana subjek akan dikenakan adalah bahwa Negara di mana subjek yang akan dikenakan pajak terdapat di dalam Negara, mempunyai hak untuk memaksakan atau mengenakan serta mengumpulkan (memungut) pajak. Objek pajak perlu dibahas karena subjek pajak yang dapat memperoleh pendapatan, memiliki dan atau menguasai harta, mengadakan transaksi, berada dalam suatu wilayah hukum Negara tersebut. Dengan
3.14 Administrasi Perpajakan demikian, dapat dikatakan bahwa objek pajak adalah membahas tentang apa yang terkena pajak tergantung kepada beberapa hal (faktor), antara lain: a. sifat dan subjek pajak yang bersangkutan dengannya seperti orang, harta, tindakan atau aktivitas; b. kemungkinan keuntungan dan proteksi yang nantinya dimiliki baik oleh pemerintah maupun wajib pajak; c. tempat tinggal atau kewarganegaraan wajib pajak; d. sumber pendapatan. Sehubungan dengan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap objek pajak, bisa saja terjadi seseorang yang berada dalam wilayah hukum suatu negara, terkena berbagai macam pajak. Sebagai contoh orang yang memiliki pendapatan tinggi, mempunyai harta yang cukup, dan melakukan usaha dengan mengadakan transaksi, maka yang bersangkutan akan terkena Pajak Penghasilan, PPN, PPnBM, PBB, dan sebagainya. B. TARIF PAJAK Setelah kita mengetahui siapa Subjek Pajak, dan apa Objek Pajak, langkah berikutnya adalah menentukan Tarif Pajak. Adapun tujuan pemungutan pajak adalah untuk mencapai keadilan dalam pemungutannya. Salah satu cara untuk mewujudkan keadilan dapat ditempuh melalui sistem tarif. Tarif pajak dapat dibedakan atas. 1. Tarif Tetap Yang dimaksud dengan tarif tetap adalah tarif yang jumlah pajaknya dalam rupiah (atau dolar) bersifat tetap walaupun jumlah Objek Pajaknya. Misalnya tarif Bea meterai yang berdasarkan pada UU No. 13 Tahun 1985 sebagai berikut. a. Bea Meterai untuk cek dan bilyet giro yang dikenakan bea meterai sebesar Rp3.000. b. Nilai kuitansi Rp250.000 s.d Rp1.000.000 dikenakan Bea meterai Rp3.000. c. Nilai kuitansi atau tanda terima uang Rp1.000.000, Rp100.000.000, Rp10.000.000 dan seterusnya dikenakan Bea Meterai Rp6.000.
ADBI4330/MODUL 3 3.15 Contoh: Barnabas Suebu melakukan pembelian di sebuah toko elektronik berupa: a. 1 unit Air Conditioner (AC) @ Rp6.000.000,- b. 1 unit Handphone merk Nokia @ Rp1.900.000,- Semua barang yang dibeli dibubuhi meterai oleh toko elektronik. Oleh karena pembelian barang di atas Rp1.000.000,- maka dikenakan meterai Rp6.000 untuk satu kuitansi pembelian. 2. Tarif Proporsional Tarif proporsional adalah tarif yang persentasenya tetap walaupun jumlah objek pajaknya berubah-ubah. Contohnya adalah Pajak Pertambahan Nilai/PPN di mana semua harga barang di tingkat akhir dikenakan pajak PPN adalah sama sebesar 10%. Contoh: Barnabas Suebu melakukan pembelian di sebuah toko elektronik berupa: a. 1 unit air Conditioner (AC) @ Rp6.000.000 b. 2 unit Handphone merk Nokia @ Rp1.900.000 Semua barang yang dibeli oleh toko elektronik dikenakan PPN 10%, meskipun Barnabas Suebu membeli barang tersebut lebih dari 1 unit. Dalam hal ini persentase tarifnya tetap (proporsional) walaupun jumlah barang yang dibeli tidak tetap. PPN yang harus dibayar oleh Barnabas Suebu adalah: untuk AC Rp600.000, untuk 2 handphone Rp380.000.-. 3. Tarif Progresif (Meningkat) Tarif pajak disebut progresif adalah tarif pajak yang semakin besar jika dasar pengenaan pajaknya meningkat. Jumlah pajak yang terutang akan berubah sesuai dengan perubahan tarif dan perubahan dasar pengenaan pajaknya. Tarif proporsional dibedakan menjadi tiga, yaitu sebagai berikut. a. Tarif Progresif-Proporsional, merupakan tarif pajak di mana persentase semakin meningkatnya dan besarnya peningkatan dari tarifnya sama besar. Jumlah pajak yang terutang akan berubah sesuai dengan perubahan tarif dan perubahan dasar pengenaan pajaknya. Tarif Progresif-Proporsional ini terdiri dari Tarif Progresif-Proporsional Absolut dan Tarif Progresif-Proporsional Berlapis.
3.16 Administrasi Perpajakan Contoh Tarif Progresif-Proporsional Absolut Dasar Tarif Pajak Kenaikan Jumlah Pajak Pengenaan Tarif Pajak s.d Rp10.000.000 = 10% - Rp1.000.000 (10.000.000 x 10%) s.d Rp20.000.000 = 15% 5% Rp3.000.000 (20.000.000 x 15%) Rp10.000.000 s.d Rp30.000.000 = 20% 5% Rp5.000.000 (30.000.000 x 20%) Di atas Rp30.000.000 = 20% 5% Rp10.000.000 (40.000.000 x 25%) Rp20.000.000 Rp30.000.000 Rp40.000.000 Contoh Tarif Progresif-Proporsional Berlapis Dasar Tarif Pajak Kenaikan Jumlah Pajak Pengenaan Tarif Pajak s.d. Rp10.000.000 = 10% - Rp1.000.000 (10.000.000 x Rp10.000.000 5% 10%) di atas Rp10.000.000 15% 5% Rp20.000.000 s.d. Rp20.000.000 = 5% Rp2.500.000 (20.000.000 x s.d. Rp30.000.000 = 20% 10% + 10.000.000 x 15%) Rp30.000.000 di atas Rp30.000.000 = 20% Rp4.500.000 (10.000.000 x Rp40.000.000 10% + 10.000.000 x 20%) Rp4.500.000 (10.000.000 x 10% + 10.000.000 x 15% + 10.000.000 x 20% + 10.000.000 x 25% ) Tarif Progresif-Proporsional pernah diterapkan di Indonesia untuk menghitung Pajak Penghasilan. Tarif ini diberlakukan mulai tahun 1984 sampai dengan Tahun 1994, dan diatur dalam Pasal 17 UU No. 7 Tahun 1983 yang telah diubah terakhir kalinya dengan UU No. 38 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan khususnya untuk Wajib Pajak Orang Pribadi. Contoh: Tarif Pajak Kenaikan % Tarif 15% - No. Dasar Pengenaan Pajak 25% 1. Sampai dengan Rp10.000.000 35% 10% 2. Di atas Rp10.000.000 s/d Rp25.000.000 10% 3. Di atas Rp25.000.000 b. Tarif Progresif-Progresif, merupakan tarif berupa persentase tertentu yang semakin meningkat dengan meningkatnya dasar pengenaan pajak dan kenaikan persentase tersebut juga semakin meningkat. Tarif Progresif-Progresif pernah diterapkan di Indonesia untuk menghitung
ADBI4330/MODUL 3 3.17 Pajak Penghasilan. Tarif ini diberlakukan mulai tahun 1995 sampai dengan tahun 2000, dan diatur dalam Pasal 17 UU No. 10 Tahun 1994. Mulai tahun 2001, tarif ini masih diberlakukan tetapi hanya untuk Wajib Pajak badan dan bentuk usaha tetap, dengan perubahan pada dasar pengenaan pajak. Contoh Pajak orang pribadi: Tarif Pajak Kenaikan % Tarif 10% - No. Dasar Pengenaan Pajak 15% 5% 1. Sampai dengan Rp25.000.000 30% 3% 2. Di atas Rp25.000.000 s/d Rp50.000.000 3. Di atas Rp50.000.000 Contoh Pajak badan: Tarif Pajak Kenaikan % Tarif 10% - No. Dasar Pengenaan Pajak 15% 5% 1. Sampai dengan Rp50.000.000 30% 3% 2. Di atas Rp50.000.000 s/d Rp100.000.000 3. Di atas Rp200.000.000 c. Tarif Progresif-Degresif, merupakan tarif berupa persentase tertentu yang semakin meningkat dengan meningkatnya dasar pengenaan pajak, tetapi kenaikan persentase tersebut semakin menurun. Contoh: Tarif Pajak Kenaikan % Tarif 10% - No. Dasar Pengenaan Pajak 15% 5% 1. Rp50.000.000 18% 3% 2. Rp100.000.000 3. Rp200.000.000 4. Tarif Regresif Merupakan tarif pajak yang makin tinggi objek pajaknya maka makin rendah persentase tarifnya. Regressive tax adalah suatu jenis pajak yang tidak memperhatikan keadaan subjek pajak, apakah dia itu kaya atau miskin, tetap dikenakan tarif yang persentasenya sama. Sebagai contoh, Pajak Pertambahan Nilai, dengan tarif umum sebesar 10% dikenakan pada konsumen kaya dan miskin tanpa perbedaan. Tarif Pajak Penghasilan sesuai UU No. 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan yang terdiri dari dua macam, yakni yang pertama adalah tarif Pajak Penghasilan untuk wajib pajak orang pribadi sebagaimana diatur pada Pasal 17 Ayat (1) huruf a dan Tarif Pajak Penghasilan untuk Wajib Pajak Badan sebagaimana diatur dalam Pasal 17 Ayat (1) huruf b sebagai berikut.
3.18 Administrasi Perpajakan Tarif PPh Berdasarkan Pasal 17 UU No. 17 Tahun 2000 untuk Wajib Pajak Orang Pribadi dan Badan dalam Negeri Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak a. Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sampai dengan Rp25.000.000 5% di atas Rp25.000.000 sampai dengan Rp50.000.00 10% di atas Rp50.000.000 sampai dengan Rp100.000.000 15% di atas Rp100.000.000 sampai dengan Rp200.000.000 25% di atas Rp200.000.000 30% b. Wajib Pajak badan dalam negeri dan BUT sampai dengan Rp50.000.000 10% di atas Rp50.000.000 sampai dengan Rp100.000.00 15% di atas Rp100.000.000 30% Lapisan penghasilan yang dikenakan tarif pajak dalam tarif PPh disebut sebagai lapisan-lapisan penghasilan kena pajak atau brackets. Dalam tarif PPh Pasal 17 ayat (1) huruf a yakni tarif PPh untuk Wajib Pajak orang pribadi terdapat 5 buah brackets. Sedangkan pada tarif PPh Pasal 17 ayat (1) huruf a, yakni tarif PPh untuk Wajib Pajak badan hanya terdapat 3 buah brackets. 5. Tarif Degresif/Menurun Dikatakan tarif degresif apabila persentasenya semakin menurun dengan semakin besarnya taxable capacity-nya (potensi pendapatan wajib pajak atau kemampuan membayar /ability to pay) wajib pajak. Dengan perkataan lain, semakin besar kemampuan bayar wajib pajak, semakin kecil pula jumlah pajak yang harus dibayar sesuai kenaikan objek pajak, namun besarnya persentase kenaikan pajak semakin menurun dari tingkat ke tingkat. Tarif ini pernah berlaku untuk Bea Warisan. Makin tinggi warisan yang akan diterima oleh ahli waris maka tarif bea atau pajak atas warisan makin kecil. Tarif ini sudah tidak berlaku lagi dikarenakan akan menimbulkan kesulitan di mana pihak yang berpenghasilan besar akan bebas dari pajak sehingga disarankan untuk tidak dipergunakan lagi. Contoh Pajak Terutang: 20% x Rp25.000.000 = Rp 2.500.000 15% x Rp50.000.000 = Rp 7.500.000 10% x Rp100.000.000 = Rp25.000.000 5% x Rp50.000.000 = Rp17.500.000
ADBI4330/MODUL 3 3.19 6. Tarif Betham Tarif Betham ini selintas mirip dengan tarif proporsional dengan suatu persentase tetap seperti pajak yang berlaku terhadap pajak kekayaan. Misalnya 5%, tetapi hanya dikenakan atas jumlah yang melebihi batas minimum, yaitu Rp80.000.000,- Tarif Pajak ini diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak (PKP), yaitu suatu jumlah yang berasal dari penghasilan kotor setelah dikurangi berbagai potongan yang diperkenankan oleh undang-undang. C. KEBIJAKAN TARIF Kebijakan tarif pajak mempunyai hubungan yang erat dengan fungsi pajak dalam masyarakat, yaitu fungsi budgeter dan fungsi regulerend (mengatur). Untuk menentukan hal ini, kebijakan pemerintah memegang peranan yang sangat penting. Sudah tentu pajak adalah alat utama untuk memasukkan uang ke dalam kas Negara yang sangat diperlukan untuk membiayai pengeluaran Negara. UU pajak dibuat terutama dengan maksud untuk memasukkan uang ke dalam kas Negara. Tujuan untuk mengatur biasanya merupakan tujuan sampingan yang berdasarkan berbagai alasan dan mempunyai berbagai maksud yang ingin dicapai oleh pemerintah, umpamanya untuk menarik investasi baik berupa penanaman modal asing atau modal dalam negeri, untuk mengembangkan pasar modal, untuk menghambat penggunaan alkohol, atau melindungi (proteksi) produksi dalam negeri dan lain-lain. Untuk mencapai tujuannya, baik yang bersifat politis maupun yang bukan politis, pemerintah menggunakan kebijakan tarif dengan mengombinasikan penggunaan tarif pajak tinggi dan tarif rendah (0%). Walaupun itu merupakan kebijakan, tetapi karena tarif termasuk ketentuan material maka tarif harus dimuat dalam UU, kecuali jika UU memberi kuasa kepada Pemerintah atau Menteri keuangan (delegation of authority). Besarnya tarif menentukan besarnya jumlah pajak yang menjadi beban wajib pajak sekaligus jumlah penerimaan negara dari pajak. Tapi, besarnya pajak tidak selalu menjadi beban Wajib Pajak karena dalam pajak tidak langsung, beban pajak dilimpahkan/digeser kepada orang lain (tax shifting). Pelimpahan/pergeseran pajak (tax shifting) dapat dibagi menjadi dua, yaitu pergeseran ke depan (forward shifting) dan pergeseran ke belakang (backward shifting).
3.20 Administrasi Perpajakan Tarif pajak juga dapat untuk tujuan politis, misalnya digunakan dalam rangka pemilihan umum oleh partai-partai politik peserta pemilihan umum dengan memberikan janji-janji jika terpilih nantinya (hal ini banyak digunakan di Negara-negara maju). Di samping itu, dalam perjanjian- perjanjian pajak baik bilateral maupun multilateral sering kali juga mengandung muatan politis. D. SISTEM TARIF Setiap negara miliki hak untuk menentukan sistem tarif pajak yang paling tepat untuk diterapkan di negaranya. Demikian juga dengan Indonesia yang seperti kita lihat, yaitu menggunakan tarif progresif untuk Pajak Penghasilan, tarif proporsional untuk Pajak Pertambahan Nilai, dan Bea Cukai, Pajak Bumi dan Bangunan serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan menggunakan tarif Betham. Sementara tarif bea masuk terikat dengan perjanjian General Agreement on Trade and Tariff (GAAT), suatu konvensi internasional. Di samping itu, pemerintah masih menetapkan beberapa tambahan misalnya Bea Masuk Tambahan. Sementara tarif ad valorem yang merupakan tarif dengan persentase tertentu dipergunakan untuk harga atau nilai barang. E. UTANG PAJAK Saat timbulnya utang pajak mempunyai peranan yang sangat penting karena berkaitan dengan: 1. pembayaran pajak; 2. memasukkan surat keberatan; 3. menentukan saat dimulai dan berakhirnya jangka waktu kadaluwarsa; 4. menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan lain-lain; 5. menentukan besarnya denda maupun sanksi administrasi lainnya. Ada dua metode yang mengatur timbulnya utang pajak (saat pengakuan adanya utang pajak), yaitu metode materiil dan formil. 1. Metode Materiil Di sini dinyatakan bahwa utang pajak timbul karena diberlakukannya UU Perpajakan. Dalam metode ini seseorang akan menentukan secara
ADBI4330/MODUL 3 3.21 aktif apakah dirinya dikenai pajak atau tidak sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku. Metode ini konsisten dengan penerapan self assessment system. 2. Metode Formil Dalam metode ini dinyatakan bahwa utang pajak timbul karena dikeluarkannya surat ketetapan pajak oleh fiskus. Untuk menentukan apakah seseorang dikenai pajak atau tidak, berapa jumlah pajak yang harus dibayar, dan kapan jangka waktu pembayarannya dapat diketahui dalam surat ketetapan pajak tersebut. Ajaran ini konsisten dengan penerapan official assessment system. Berakhirnya Utang Pajak Utang pajak akan berakhir atau hapus apabila terjadi hal-hal sebagai berikut. a. Pembayaran Pelunasan Pembayaran pajak dapat dilakukan dengan pemotongan/pemungutan oleh pihak lain, pengkreditan pajak luar negeri, maupun pembayaran sendiri oleh Wajib pajak ke kantor penerima pajak (Bank-bank persepsi dan Kantor Pos). b. Kompensasi Kompensasi dapat diartikan sebagai kompensasi kerugian maupun kompensasi karena kelebihan pembayaran. c. Daluwarsa Yang dimaksud dengan daluwarsa adalah telah lewat batas waktu tertentu. Jika dalam jangka waktu tertentu suatu utang pajak tidak ditagih oleh pemungutnya, maka utang pajak tersebut dianggap telah lunas/dihapus/berakhir dan tidak dapat ditagih lagi. Dalam UU No. 36 tahun 2008, utang pajak akan daluwarsa setelah melewati waktu 10 tahun terhitung sejak terutangnya pajak atau berakhirnya Masa pajak, Bagian Tahun Pajak atau tahun Pajak yang bersangkutan. d. Pembebasan/Penghapusan Kewajiban pajak oleh Wajib Pajak terhenti dinyatakan hapus oleh fiskus karena setelah dilakukan penyidikan dipandang perlu bahwa Wajib pajak mengalami kebangkrutan atau mengalami kesulitan likuiditas.
3.22 Administrasi Perpajakan F. PENAGIHANNYA Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan tindakan penagihan pajak, bila jumlah pajak yang terutang berdasarkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, tidak dibayar oleh Penanggung Pajak sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan. Tindakan Penagihan Pajak Apabila utang pajak sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran belum dilunasi, akan dilakukan tindakan penagihan pajak sebagai berikut. a. Surat teguran Utang pajak yang tidak dilunasi setelah lewat 7 (tujuh) hari dari tanggal jatuh tempo pembayaran, akan diterbitkan Surat Teguran. b. Surat paksa Utang pajak setelah lewat 21 (dua puluh satu) hari dari tanggal Surat Teguran tidak dilunasi, diterbitkan Surat Paksa yang diberitahukan oleh Juru Sita Pajak dengan dibebani biaya penagihan pajak dengan Surat Paksa sebesar Rp50.000,00 (Lima puluh ribu rupiah). Utang pajak harus dilunasi dalam jangka waktu 2 24 jam setelah Surat Paksa diberitahukan oleh Juru Sita Pajak. c. Surat sita Utang pajak dalam jangka waktu 2 24 jam setelah Surat Paksa diberitahukan oleh Juru Sita Pajak tidak dilunasi, Juru Sita Pajak dapat melakukan tindakan penyitaan, dengan dibebani biaya pelaksanaan Surat Perintah Melakukan Penyitaan sebesar Rp75.000,00 (Tujuh puluh lima ribu rupiah). G. LELANG Dalam jangka waktu paling singkat 14 (empat belas) hari setelah tindakan penyitaan, utang pajak belum juga dilunasi akan dilanjutkan dengan
ADBI4330/MODUL 3 3.23 pengumuman lelang melalui media massa. Penjualan secara lelang melalui Kantor Lelang Negara terhadap barang yang disita, dilaksanakan paling singkat 14 (empat belas) hari setelah pengumuman lelang. Dalam hal biaya penagihan paksa dan biaya pelaksanaan sita belum dibayar maka akan dibebankan bersama-sama dengan biaya iklan untuk pengumuman lelang dalam surat kabar dan biaya lelang pada saat pelelangan. Catatan: Barang dengan nilai paling banyak Rp20.000.000,- tidak harus diumumkan melalui media massa. 1. Hak Wajib Pajak/Penanggung Pajak a. Meminta Juru Sita Pajak memperlihatkan Kartu Tanda Pengenal Juru Sita Pajak. b. Menerima Salinan Surat Paksa dan Salinan Berita Acara Penyitaan. c. Menentukan urutan barang yang akan dilelang. d. Sebelum pelaksanaan lelang, Wajib Pajak/Penanggung Pajak diberi kesempatan terakhir untuk melunasi utang pajak termasuk biaya penyitaan, iklan dan biaya pembatalan lelang dan melaporkan pelunasan tersebut kepada Kepala KPP yang bersangkutan. e. Lelang tidak dilaksanakan apabila Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak sebelum pelaksanaan lelang. 2. Kewajiban Wajib Pajak/Penanggung Pajak a. Membantu Juru Sita Pajak dalam melaksanakan tugasnya: 1) memperbolehkan Juru Sita Pajak memasuki ruangan, tempat usaha/tempat tinggal WP/Penanggung Pajak; 2) memberikan keterangan lisan atau tertulis yang diperlukan. b. Barang yang disita dilarang dipindahtangankan, dihipotikkan atau disewakan. 3. Daluwarsa Penagihan a. Hak untuk melakukan penagihan pajak, termasuk bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak, daluwarsa setelah lampau waktu 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak yang bersangkutan.
3.24 Administrasi Perpajakan b. Daluwarsa penagihan pajak tertangguh apabila: 1) diterbitkan Surat Teguran dan Surat Paksa; 2) ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik langsung maupun tidak langsung; diterbitkan SKPKB atau SKPKBT. LATIHAN Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas, kerjakanlah latihan berikut! 1) Coba Anda menerapkan berbagai macam tarif yang dapat diberlakukan dalam pelaksanaan perpajakan. Dalam kenyataannya apakah semua macam tarif yang Anda ketahui itu dapat dilaksanakan? 2) Tarif progresif dianggap cara yang paling tepat dalam usaha menegakkan asas keadilan dalam perpajakan, kenapa? 3) Pelaksanaan dari spesifik tax dan ad valorem tax dalam kenyataannya menggunakan tarif yang sudah ada dan bukan merupakan tarif khusus/tersendiri, mengapa? Petunjuk Jawaban Latihan 1) Pertama hendaknya Anda menyebutkan macam tarif yang dapat diberlakukan dalam perpajakan. Setelah itu, coba terangkan tarif pajak pada jenis pajak yang Anda ketahui. Dari berbagai macam tarif yang ada, coba hubungkan dengan fungsi pajak. Dari sini Anda akan menemukan jawaban bias tidak tarif-tarif yang ada dapat ditetapkan atau tidak. 2) Untuk menjawab latihan ini kemukakan dulu apa itu asas keadilan dalam pajak dan kemudian hubungkan dengan tarif pajak progresif. 3) Hendaknya Anda mengemukakan dulu apa itu specific tax dan ad valorem tax. Hubungkan dengan jawaban Anda pada latihan No. 1. dari hubungan antarakeduanya specific dan ad valorem tax dengan tarif- tarifnya, Anda dapat menyimpulkan apakah ad valorem tax dan specific tax merupakan suatu tarif tersendiri atau sama dengan tarif yang telah Anda ketahui.
ADBI4330/MODUL 3 3.25 RANGKUMAN Dalam pengenaan pajak oleh pemerintah kepada Wajib Pajak harus diperhatikan prinsip keadilan. Selanjutnya sebagai manifestasi dari prinsip keadilan itu dituangkan ke dalam bentuk tarif pajak, yaitu tingkatan persentase yang harus dipenuhi sesuai dengan dasar kemampuan dan manfaat yang diperoleh wajib pajak, yang dalam hal ini bias progresif, proporsional, dan degresif. Tarif progresif adalah tarif pajak yang persentasenya semakin meningkat dengan semakin meningkatnya taxable capacity/volumenya, sedangkan tarif sebanding adalah besarnya pajak yang terutang sebanding dengan dasar yang dikenakan pajak (tax base) dan tarif degresif adalah tarif pajak yang persentasenya semakin menurun dengan semakin meningkatnya taxable capacity. TES FORMATIF 2 Pilihlah satu jawaban yang paling tepat! 1) Tarif yang dapat ditetapkan sehubungan dengan perpajakan adalah .... A. progresif dan proporsional B. progresif, proporsional, dan degresif C. specific dan ad valorem D. tarif tetap dan progresif 2) Yang dimaksud dengan tarif degresif adalah .... A. apabila persentase pajaknya semakin menurun bila dibandingkan dengan semakin meningkatnya taxable volumenya B. persentase pajak semakin menurun apabila penghasilan seseorang semakin menurun C. jumlah rupiah yang dibayar semakin kecil dengan semakin besarnya pendapatan seseorang D. persentase tetap saja, berapa pun jumlah penghasilan yang akan dikenakan pajak. 3) Pajak Penghasilan yang berlaku sekarang ini menganut tarif .... A. degresif B. progresif C. proporsional D. persentase
3.26 Administrasi Perpajakan 4) Terhadap pajak langsung dalam upaya memenuhi asas keadilan dapat diberlakukan tarif .... A. pajak khusus (specific tax) B. degresif C. progresif D. proporsional 5) Pengenaan pajak yang bersifat spesifik pada hakikatnya sama dengan tarif pajak .... A. progresif B. degresif C. proporsional D. khusus atas dasar ukuran Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 2 yang terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar. Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 2. Tingkat penguasaan = Jumlah Jawaban yang Benar 100% Jumlah Soal Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali 80 - 89% = baik 70 - 79% = cukup < 70% = kurang Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat meneruskan dengan Kegiatan Belajar 3. Bagus! Jika masih di bawah 80%, Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 2, terutama bagian yang belum dikuasai.
ADBI4330/MODUL 3 3.27 Kegiatan Belajar 3 Pergeseran dan Keterkenaan Pajak P ajak dikenakan pada orang pribadi maupun badan baik yang berhubungan dengan pendapatan, transaksi, ataupun hartanya. Namun demikian pada kenyataannya tidaklah demikian. Pada kondisi tertentu, wajib pajaklah yang akan membayar, namun pada saat lain wajib pajak tersebut akan membebankannya kepada orang lain baik sebagian maupun seluruhnya. Dengan kata lain wajib pajak orang yang terkena pajak dapat mengelakkan sebagian dari beban pajak yang harus ditanggungnya dan menggeserkannya pada orang lain. Proses pergeseran dapat di analisis melalui mekanisme permintaan (D) dan persediaan (S). Andaikata mekanisme harga terjadi karena adanya pertemuan antara permintaan dan persediaan pada titik harga tertentu (P1) dan pada jumlah tertentu (Q1), dan apabila terhadap barang tersebut dikenakan pajak, maka kurva permintaan akan bergeser ke atas pada harga yang baru (P2) dan pada jumlah permintaan tertentu (Q2). Hal ini terjadi untuk mendapatkan barang yang diinginkan, pembeli/konsumen harus bersedia untuk membayar dengan harga tinggi. Harga barang menjadi tinggi karena di dalamnya terdapat pajak. Dengan cara menaikkan harga produksi, pengusaha telah melakukan pergeseran maju. Artinya, pajak yang seharusnya ditanggung oleh pengusaha dikenakan kepada konsumen melalui harga penjualan yang telah dinaikkan. Contoh: seperti kita ketahui bahwa rokok dikenai cukai, dan cukai ini yang menanggung seharusnya pabrik rokok. Pabrik rokok yang seharusnya menanggung cukai ini kemudian menggeser beban pembayaran cukai ini kepada konsumen dengan cara menaikkan harga rokok di mana di dalamnya sudah tercakup besarnya pembayaran pajak. Pabrikan dapat juga melakukan pergeseran ke belakang, yaitu pada faktor sebelum produk akhir. Misalnya pabrik menurunkan permintaan barang kepada pemasok bahan baku. Akibat penurunan permintaan akan bahan baku maka harga bahan baku akan menjadi turun. Akibatnya, pajak yang dikenakan terhadap konsumen beralih kepada pemasok. Pabrikan bisa juga melakukan pergeseran beban ini melalui otomatisasi mesin, yang berdampak pada penekanan harga pokok.
3.28 Administrasi Perpajakan Bagaimanakah keadaannya apabila permintaan terhadap barang ada barang pengganti? Dalam hal ini pihak produsen yang akan memikul beban pajak. Hal ini dapat terjadi apabila barang dianggap tidak penting atau barang ada penggantinya (substitusi) sehingga produsen akan menanggung beban. Jika permintaan elastis (barang mudah dicari, ada barang pengganti, bukan barang utama), konsumen akan mudah menggeser pajaknya pada pengusaha dengan cara membatasi pembeliannya. Akan tetapi apabila produsen dapat dengan mudah menggeser faktor-faktor produksinya sehingga barang yang diproduksi tidak akan tinggi harganya (meskipun ditambah pajak) maka konsumen tetap memikul beban pajak. Dengan demikian, dapat dikatakan seluruh maupun sebagian beban pajak dapat digeserkan pengenaannya. A. SELURUH BEBAN DIPIKUL KONSUMEN Apabila seluruh beban dipikul konsumen maka perhitungannya adalah sebagai berikut. Nilai transaksi pada tingkat harga Rp20/unit, jumlah permintaan 2500 unit, = Rp50.000 Nilai transaksi pada tingkat harga Rp25/unit, permintaan 2000 unit, = Rp50.000,- Hak pengusaha adalah 2000 x Rp20 = Rp40.000,- Dengan demikian, pengusaha masih dapat menyetor pajak penuh sebesar 2000 x Rp5,- = Rp10.000,-. Kesemua beban pajak sebesar Rp10.000,- (Rp5/unit) ditanggung konsumen. B. SEBAGIAN DITANGGUNG KONSUMEN Apabila sebagian ditanggung konsumen maka perhitungannya adalah sebagai berikut. Nilai transaksi pada tingkat harga Rp20/unit = 2000 unit x Rp24 = Rp48.000 = 2000 x Rp5 Pajak = 2000 x Rp17 = Rp10.000 Yang menjadi hak pengusaha = Rp38.000 Harga pokok = Rp34.000 Laba Rp4.000
ADBI4330/MODUL 3 3.29 Jadi, pajak yang ditanggung oleh konsumen sebesar Rp4/unit dan pengusaha Rp1/unit. C. SELURUHNYA DITANGGUNG KONSUMEN Dalam hal ini pengusaha tidak menaikkan harga sehingga antara harga awal dan harga setelah pajak adalah sama, sementara permintaan tetap. Hal ini terjadi karena persaingan yang ketat dan sifat barang yang tidak memungkinkan menaikkan permintaan. Harga awal Rp20/unit dengan permintaan 2000 = 2000 x Rp20 = Rp40.000,- Harga kemudian Rp20/unit dengan permintaan 2000 = 2000 x Rp20 = Rp40.000,- Oleh karena harganya tetap maka seluruh beban pajak jatuh ke tangan pengusaha. Apabila perusahaan yang harus menanggung beban pajak, maka pengusaha harus mempertahankan eksistensinya meski terasa berat dan sulit. Untuk menghadapi masalah ini ada 3 macam cara bagi perusahaan untuk tetap bertahan. 1. Mengurangi keuntungan bersihnya, hal ini dapat terjadi apabila keuntungan sebelumnya lebih besar daripada pajak yang harus dibayarkan. 2. Mengadakan cara kerja yang efisien sehingga diperoleh harga produk yang dapat menutup pajak. Hal ini dapat terjadi apabila cara kerja berproduksi yang efisien dapat menutup seluruh beban pajak. 3. Mengurangi keuntungan dan sekaligus efisiensi cara berproduksi. Hal ini dapat dilakukan apabila tingkat keuntungan tidak cukup untuk menutup beban pajak dan efisiensi cara kerja produksi tidak cukup besar untuk menutup beban pajak. Pergeseran dan keterkenaan pajak ini merupakan satu dari enam macam pengelakan pajak yang biasa dipraktikkan dimana-mana, yaitu kapitalisasi, transformasi, penyelundupan (evasion), penghindaran (avoidance), dan pembebasan (exemption). Di samping keenam cara pengelakan pajak ini, masih ada satu lagi cara yang tidak semata-mata sebagai pengelakan pajak, tetapi penundaan pembayaran pajak.
3.30 Administrasi Perpajakan Ada tiga konsep yang saling berhubungan dalam perpajakan yang perlu dimengerti, yaitu dampak perpajakan (impact of taxation), pergeseran pajak (shifting), dan insiden pajak (incidence of tax). 1. Dampak Perpajakan (Impact of Taxation) Dampak perpajakan-perpajakan terjadi jika wajib pajak terkena pajak sehingga diwajibkan membayar pajak kepada negara. Orang atau badan yang membayar pajak disebut subjek pajak. Namun, tidak semua subjek pajak diwajibkan membayar pajak, misalnya orang yang mempunyai penghasilan kurang dari Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). 2. Pergeseran Pajak (Shifting) Pada umumnya, pergeseran pajak (shifting) ada tiga, yaitu sebagai berikut. a. Pergeseran ke depan (forward shifting) Bentuk shifting ini terjadi apabila beban pajak dipindahkan dari pengusaha sebagai pembayar pajak kepada pembeli dalam hal ini konsumen melalui proses distribusi barang. Jadi, pengusaha (pabrikan) yang menerima beban pajak pertama dapat memindahkan (shifting) kepada whole saler yang kemudian whole saler yang kemudian whole saler tersebut memindahkannya kepada retailer dan retailer memindahkannya kepada pembeli atau konsumen. Pabrikan Whole saler Retailer Konsumen Subjek pajak Pembayar pajak b. Pergeseran ke belakang (backward shifting) Bentuk shifting ini kebalikan dari forward shifting. Pada backward shifting ini beban pajak ditransfer dari konsumen atau pembeli melalui proses distribusi kepada produsen. Jadi pajak dapat dibebankan pada awalnya pada konsumen dan konsumen dapat mentransfer kepada retailer dengan cara hanya membayar harga barang setelah dikurangi dengan pajak dan begitu seterusnya sampai kepada pengusaha/pabrikan. Pabrikan Whole saler Retailer Konsumen
ADBI4330/MODUL 3 3.31 c. Pergeseran berulang (onward shifting) Bentuk ini terjadi apabila pajak dapat dipindahkan dua kali atau lebih, baik ke muka (dari pabrikan ke konsumen) maupun ke belakang (dari konsumen ke produsen). Transfer pajak dari produsen ke konsumen atau dari whole saler kepada pembeli adalah merupakan 1 shifting kemudian dari produsen ke whole saler dan selanjutnya ke retailer termasuk 1 bentuk shifting lagi sehingga dari keadaan ini kita dapati 2 shifting. Selanjutnya apabila pajak ditransfer lagi oleh retailer kepada konsumen maka dari semuanya kita dapati 1 bentuk shifting. Produsen Whole Saler Retailer Konsumen 1 23 Berdasarkan data di atas maka dapatlah dikemukakan bahwa cara shifting, yaitu proses pengalihan pajak kepada orang lain yang dapat terjadi dalam 3 bentuk yang pada hakikatnya merupakan bentuk penghindaran pajak. Pembebanan atau pengalihan pajak dapat terjadi, baik seluruhnya atau sebagian dari beban pajak yang seharusnya dipikulnya. Di samping ketiga bentuk pergeseran pajak melalui shifting, ada beberapa bentuk penghindaran pajak yang lain, yaitu kapitalisasi (capitalization), transformasi (transformation), penyelundupan (evation), penghindaran (avoidance), dan pembebasan (exemption). Untuk lebih jelasnya kita uraikan sebagai berikut. d. Kapitalisasi (capitalization) Kapitalisasi pajak adalah merupakan pengurangan harga objek pajak sama dengan jumlah pajak yang akan dibayarkan kemudian oleh pembeli seperti yang berlaku dalam Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Pembeli harta tetap seperti tanah atau gedung dibebani pajak balik nama. Agar beban ini tidak menjadi tanggungan pembeli, beban pajak dialihkan kepada penjual. Dengan demikian, harga beli harta tetap menjadi berkurang. Kapitalisasi ini termasuk pergeseran pajak ke belakang.
3.32 Administrasi Perpajakan e. Transformasi (transformation) Yaitu pengelakan pajak yang dilakukan oleh perusahaan industri dengan cara menanggung beban pajak yang dikenakan terhadapnya. Penghindaran pajak ini lebih dikenal dengan mekanisme pemindahan hak (transfer pricing) di mana harga jual diturunkan sesuai dengan kepentingannya sehingga pajak yang dibayar oleh pembeli menjadi lebih kecil. Cara ini biasanya dilakukan oleh produsen sehingga kenaikan harga jual tidak menurunkan pangsa pasarnya. Agar keuntungan perusahaan tidak berkurang, maka perusahaan melakukan efisiensi perusahaan. Pengelakan pajak di sini tidak dilakukan dengan menggeser beban pajak melainkan dengan mengubah pajak (transformasi) ke dalam keuntungan yang diperoleh melalui efisiensi produksi f. Penyelundupan pajak (tax evasion) Yaitu penghindaran pajak yang dilakukan secara ilegal atau penipuan untuk tidak membayar pajak yang dibebankan kepada wajib pajak. Sebagai contoh wajib pajak menghilangkan data-data keuangan serta pengecilan omzet penjualan, memperbesar biaya sehingga labanya menjadi kecil. Pengelakan seperti ini akan dikenakan dengan sanksi yang berat. Umumnya, tax evasion dilakukan dengan: 1) memperkecil penghasilan yang diperoleh dengan cara antara lain, hanya melaporkan sebagian penghasilan, atau menurunkan harga jual maupun kuantitas barang yang dijual; 2) meninggikan harga pokok barang yang dijual dengan cara menaikkan harga pembelian, membuat pembelian fiktif, dan membebankan Pajak Masukan yang telah dikreditkan ke dalam harga pokok penjualan; 3) memperbesar biaya usaha dengan cara membuat utang fiktif guna memperbesar biaya bunga dan biaya fiktif yang tidak didukung dokumen ekstern; 4) menggunakan penghasilan bersama-sama dengan memperkecil biaya sehingga angka laba bruto tampak tinggi; 5) menaikkan harga impor barang atau jasa dari perusahaan yang ada hubungan istimewa di luar negeri; 6) merendahkan harga ekspor barang kepada perusahaan yang ada hubungan istimewa di luar negeri;
ADBI4330/MODUL 3 3.33 7) merendahkan besarnya penghasilan pegawai atau pembayaran lainnya dalam rangka penghitungan PPh Pasal 21, sementara di dalam perhitungan PPh perusahaan ditinggikan; 8) pembayaran dividen kepada pemegang saham secara terselubung dengan cara menciptakan seolah-olah pembayaran utang sebagai upaya untuk menghindarkan pengenaan PPh Pasal 23 atau PPh Pasal 26. 3. Penghindaran Pajak (Tax Avoidance) Penghindaran pajak di sini terjadi sebelum SKP keluar. Dalam penghindaran pajak ini, wajib pajak tidak secara jelas melanggar undang- undang meskipun kadang-kadang dalam menafsirkan undang-undang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pembuat undang-undang. Tax Avoidance dilakukan dengan 3 cara, yaitu: a. Menahan diri Yang dimaksud dengan menahan diri yaitu wajib pajak tidak melakukan sesuatu yang bisa dikenai pajak. Contoh: 1) Tidak merokok agar terhindar dari cukai tembakau. 2) Tidak menggunakan ikat pinggang dari kulit ular atau buaya agar terhindar dari pajak atas pemakaian barang tersebut. Sebagai gantinya, menggunakan ikat pinggang dari plastik. b. Pindah lokasi Memindahkan lokasi usaha atau domisili dari lokasi yang tarif pajaknya tinggi ke lokasi yang tarif pajaknya rendah. Contoh: Di Indonesia, diberikan keringanan bagi investor yang ingin menanamkan modalnya di Indonesia Timur. Namun, pindah lokasi tidak semudah itu dilakukan oleh wajib pajak. Mereka harus memikirkan tentang transportasi, akomodasi, SDM, SDA, serta fasilitas-fasilitas yang menunjang usaha mereka. Hal ini harus sesuai dengan kentungan yang akan mereka dapatkan dan keringanan pajak yang mereka peroleh. Biasanya, hal ini jarang terjadi. Yang terjadi hanya pada pengusaha yang baru membuka usaha, atau perusahaan yang akan membuka cabang baru. Mereka membuka cabang baru di tempat yang tarif pajaknya lebih rendah.
3.34 Administrasi Perpajakan c. Penghindaran pajak secara yuridis Perbuatan dengan cara sedemikian rupa sehingga perbuatan-perbuatan yang dilakukan tidak terkena pajak. Biasanya dilakukan dengan memanfaatkan kekosongan atau ketidakjelasan undang-undang. Hal inilah yang memberikan dasar potensial penghindaran pajak secara yuridis. Contoh: 1) Penetapan pajak khusus untuk tempat dansa umum di Belanda. Pemerintah negeri Belanda menetapkan pajak khusus untuk tempat dansa umum. Karena pengenaan pajak ini, keuntungan pengusaha jadi berkurang. Untuk menghindari hal ini, mereka merubah status tempat dansa umum tersebut menjadi tempat dansa khusus anggota yang keanggotaannya terbuka untuk umum. Dengan demikian, mereka terbebas dari pengenaan pajak untuk tempat dansa umum. 2) Di Indonesia pada zaman penjajahan Belanda, pemilik bioskop menyediakan sederet kursi gratis di barisan terdepan khusus untuk wartawan. Dengan asumsi, setelah menonton wartawan tersebut akan menulis review tentang film tersebut dan memuat di koran/majalah mereka. Oleh pemerintah, ini dianggap iklan gratis. Maka dari itu, diterapkanlah pajak untuk kursi gratis tersebut. Pemilik bioskop menghindari pengenaan menekan harga produksi pajak ini dengan cara mengenakan tarif masuk yang sangat murah khusus untuk wartawan. 3) Di Indonesia, untuk pegawai diberi tunjangan beras (in natura). Menurut undang-undang yang berlaku, hal ini tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Penghindarannya dengan cara: perusahaan bekerja sama dengan yayasan dalam penyaluran tunjangan ini. Perusahaan memberi uang kepada yayasan, dan yayasan menyalurkannya ke pegawai dalam bentuk beras. Jadi, pegawai tetap dapat beras dan hal itu dibebankan sebagai biaya sehingga pajaknya berkurang. D. PEMBEBASAN PAJAK (EXEMPTION) Yang dimaksud dengan exemption from taxation adalah pemberian kekebalan kepada Wajib Pajak tertentu untuk tidak membayar pajak oleh negara kepada sebagian warganya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Pada dasarnya pembebasan sama dengan evasion dan avoidance di mana pemerintah tidak menerima pajak. Perbedaannya, kalau pada avoidance wajib pajak diberi kelonggaran untuk memilih, pada evasion pemerintah
ADBI4330/MODUL 3 3.35 dapat menuntut, maka pada exemption ini sama dengan bentuk avoidance. Bedanya apabila pada avoidance masih terdapat kemungkinan wajib pajak tidak membayar pajak, sedangkan pada exemption memang diberikan kekebalan untuk tidak membayar pajak. Pemberian exemption ini adalah kewenangan pemerintah. Hal ini sejalan dengan salah satu fungsi pajak yaitu mengatur. Exemption ini dapat diberikan untuk sebagian (parsial) atau seluruhnya (total), dapat terjadi untuk waktu sementara waktu atau selamanya. Pada umumnya, pemerintah dapat memberikan kekebalan pada warga negaranya yang bergerak di bidang sosial seperti pendidikan dan keagamaan. Namun, tidak tertutup bagi yang bergerak di bidang bisnis dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu meskipun sifatnya temporer. Misalnya usaha baru dalam rangka PMDN dan PMA (tax holiday), pembebasan untuk penghasilan yang menurut UU belum terkena pajak, pembebasan untuk bea meterai dari suatu kontrak yang kurang dari jumlah tertentu. Insiden Pajak (Incidence of Tax) Insiden pajak dapat terjadi apabila terjadi transfer beban pajak dari wajib pajak kepada pihak lain. Namun, adakalanya insiden pajak terjadi tanpa penggeseran pajak yaitu bila terjadi transformasi Menurut Sophar dari keseluruhan kegiatan pajak ini dapat ditarik kesimpulan bahwa kesemuanya ini bermula dari dampak perpajakan yang mengakibatkan munculnya pergeseran dan pengelakan pajak, kemudian insiden pajak sebagai akhir dari lingkaran ini. Hal ini dapat kita lihat dari dampak perpajakan pada Pajak Pertambahan Nilai. Pengusaha yang seharusnya menanggung pajak, menggeser beban pajak tersebut pada konsumen dan konsumen akhirlah yang menanggung insiden pajak. Berbeda dengan Pajak Penghasilan yang merupakan pajak langsung, di mana wajib pajak yang menerima dampak perpajakan dan sekaligus dilanjutkan dengan insiden pajak. Dalam hal ini tidak terjadi pergeseran pajak, karena Pajak Penghasilan sebagai pajak langsung tidak mengenal adanya pergeseran pajak.
3.36 Administrasi Perpajakan LATIHAN Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas, kerjakanlah latihan berikut! 1) Dalam kondisi tertentu apakah Wajib Pajak dapat menggeser beban pajaknya kepada orang lain? 2) Bagaimana caranya bila Wajib Pajak akan menggeser beban pajaknya ke belakang? 3) Apakah proses shifting dapat berulang? Petunjuk Jawaban Latihan 1) Wajib pajak dapat menggeser beban pajaknya pada orang lain untuk jenis pajak tertentu misalnya pada Pajak Pertambahan Nilai. 2) Wajib Pajak dapat menggeser beban pajaknya ke belakang dan salah satu caranya adalah dengan menekan harga/biaya tenaga kerja. 3) Proses shifting dapat berulang dengan jalan mereka yang terkena pergeseran pajak membebankan pajaknya kepada konsumen yang menggunakan produknya. RANGKUMAN Pajak pada dasarnya dapat digeser bebannya kepada orang lain, meski tidak semua jenis pajak dapat digeser bebannya. TES FORMATIF 3 Pilihlah satu jawaban yang paling tepat! 1) Proses pengalihan pajak disebut dengan .... A. shifting B. tax avoidance C. tax evation D. transformation
ADBI4330/MODUL 3 3.37 2) Proses pengalihan beban pajak dari produsen ke konsumen disebut .... A. onward shifting B. forward shifting C. backward shifting D. inward shifting 3) Perusahaan mebel Sinar Jaya menjual barang produksinya dengan harga di bawah harga standar. Apabila perusahaan tetap mendapatkan keuntungan, maka yang dilakukan perusahaan adalah .... A. mengurangi gaji pegawai B. tidak melaporkan usahanya ke kantor pajak C. menekan harga produksi D. mengurangi mutu barang. 4) Apabila perusahaan melakukan perbaikan faktor produksi, maka kegiatan dalam penghindaran pajak disebut dengan .... A. the impact B. incidence C. backward shifting D. transformasi 5) Pemerintah memberikan kebebasan pajak kepada Yayasan Al-Barokah yang berusaha di bidang keagamaan. Tindakan ini sesuai dengan sifat pajak, yaitu .... A. mengatur B. memaksa C. adil D. sederhana Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 3 yang terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar. Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 3. Tingkat penguasaan = Jumlah Jawaban yang Benar 100% Jumlah Soal
3.38 Administrasi Perpajakan Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali 80 - 89% = baik 70 - 79% = cukup < 70% = kurang Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat meneruskan dengan modul selanjutnya. Bagus! Jika masih di bawah 80%, Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 3, terutama bagian yang belum dikuasai.
ADBI4330/MODUL 3 3.39 Kunci Jawaban Tes Formatif Tes Formatif 1 1) A. Yang termasuk pajak berdasarkan golongannya adalah pajak langsung. 2) D. Pajak yang memperhatikan kondisi/keadaan Wajib Pajak disebut pajak subjektif. 3) B. Pajak langsung merupakan pajak yang harus ditanggung sendiri oleh Wajib Pajak yang bersangkutan. 4) B. Pajak yang wewenang pemungutannya ada pada pemerintah daerah. 5) A. Pajak Kendaraan Bermotor tidak termasuk kelompok pajak daerah kabupaten/kota. Tes Formatif 2 1) A. Tarif yang dapat ditetapkan sehubungan dengan perpajakan adalah tarif progresif dan proporsional. 2) A. Yang dimaksud dengan tarif degresif adalah apabila persentase pajaknya semakin menurun bila dibandingkan dengan semakin meningkatnya taxable volumenya. 3) C. Pajak Penghasilan yang berlaku sekarang ini menganut tarif proporsional. 4) C. Terhadap pajak langsung dalam upaya memenuhi asas keadilan dapat diberlakukan tarif. 5) C. Pengenaan pajak yang bersifat spesifik pada hakikatnya sama dengan tarif pajak proporsional. Tes Formatif 3 1) A. Proses pengalihan pajak disebut dengan shifting. 2) B. Disebut forward shifting. 3) C. Perusahaan melakukan dengan menekan harga produksi. 4) D. Disebut dengan transformasi. 5) A. Fungsi mengatur.
3.40 Administrasi Perpajakan Daftar Pustaka Abut., Hilarius. (2005). Perpajakan 2005 – 2006. Jakarta: Diadit Media. Devano., Sonny dan Siti Kurnia Rahayu. (2006). Perpajakan: Konsep, Teori, dan Isu. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Fidel. (2008). Pajak Penghasilan (Pembahasan UU No. 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan Dengan Komentar Pasal Per Pasal). Jakarta: Carofin Publishing. Ichsan., H.M. (2004). Administrasi Perpajakan, Modul Universitas Terbuka. Jakarta: Penerbit Universitas Terbuka. Lumban toruan., Sophar. (1996). Akuntansi Pajak. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Nurmantu., Safri, Azhari A. Samudra. (2003). Dasar-dasar Perpajakan. Jakarta: Modul Universitas Terbuka, Penerbit Universitas Terbuka. Suandy., Erly. (2008). Hukum Pajak. Jakarta: Edisi 4, Penerbit Salemba Empat.
Modul 4 Good Corporate dalam Perpajakan Dra. Harmanti, M.Si. PENDAHULUAN S ebagai sebuah negara yang berdaulat, Indonesia memiliki kewenangan untuk membuat undang-undang yang menimbulkan kewajiban untuk membayar pajak dan timbulnya hak bagi pemerintah untuk memungut pajak kepada subjek pajak tertentu dengan objek pajak tertentu sebesar tarif pajak tertentu sesuai dengan cara prosedur pajak tertentu sebagaimana ditentukan dalam ketentuan undang-undang tersebut. Sejak Tahun 1983, pemerintah telah bertekad untuk lebih menegakkan kemandirian dalam membiayai pembangunan nasional dengan jalan mengerahkan segenap potensi dan kemampuan dari dalam negeri, khususnya dengan cara meningkatkan penerimaan negara melalui perpajakan dari sumber-sumber di luar minyak bumi dan gas alam. Dalam rangka upaya meningkatkan penerimaan negara, pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat mengadakan reformasi perpajakan pada tahun 1983 dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh 1984), Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN 1984). UU KUP dan UU PPh berlaku mulai tahun 1984, sedangkan UU PPN & PPnBM berlaku mulai 1 April 1985. Sepuluh tahun kemudian, yaitu tahun 1994, dilakukan reformasi perpajakan lagi. Walaupun demikian, reformasi/perubahan tersebut tidak merubah nama UU masing-masing karena perubahan hanya terjadi pada pasal-pasal tertentu saja. Tujuan perubahan undang-undang perpajakan tahun 1994, 2000, dan tahun 2007 adalah menambal celah atau loopholes yang dapat merugikan kepentingan penerimaan negara. Dalam rangka peningkatan kinerja menuju good corporate governance, Direktorat Jenderal Pajak pada Tahun 2002 melakukan reformasi perpajakan
4.2 Administrasi Perpajakan jilid pertama yang dimulai dengan dibentuknya Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari tiga pilar reformasi perpajakan, yaitu reformasi bidang administrasi perpajakan, reformasi bidang peraturan perpajakan, dan reformasi pengawasan perpajakan. Tahun 2009 Direktorat Jenderal Pajak kembali melakukan reformasi perpajakan jilid dua yang dimulai dengan reformasi bidang Sumber Daya Manusia, reformasi bidang peraturan perpajakan, reformasi di bidang pengawasan dengan membentuk Komite Pengawasan Perpajakan, dan pembentukan kantor pelayanan pajak (KPP) Wajib Pajak Besar Orang Pribadi (high wealth individual). Setelah mempelajari materi dalam Modul 4 ini, Anda diharapkan dapat menguraikan apa yang dimaksud dengan good corporate governance dalam perpajakan. Secara khusus, Anda diharapkan mampu: 1. menjelaskan organisasi perpajakan di Indonesia; 2. menguraikan reformasi perundang-undangan perpajakan; 3. menjelaskan reformasi administrasi pemungutan pajak.
ADBI4330/MODUL 4 4.3 Kegiatan Belajar 1 Organisasi Perpajakan Di Indonesia A nda tentunya pernah melihat Kantor Direktorat Jenderal Pajak, baik di pusat jalan Gatot Subroto atau Kantor Pelayanan Pajak di mana kita (wajib pajak) pada setiap bulan Maret berbondong-bondong untuk menyerahkan SPT. Apa, bagaimana, dan siapa sebenarnya Kantor Direktorat Jenderal Pajak tersebut? Direktorat Jenderal Pajak adalah sebuah Direktorat Jenderal di bawah Departemen Keuangan Republik Indonesia yang mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standarisasi teknis di bidang perpajakan. Dalam melaksanakan tugasnya, Direktorat Jenderal Pajak menyelenggarakan fungsi: 1. penyiapan perumusan kebijakan Departemen Keuangan di bidang perpajakan; 2. pelaksanaan kebijakan di bidang perpajakan; 3. perumusan standar, norma, pedoman, kriteria, dan prosedur di bidang perpajakan; 4. pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang perpajakan; 5. pelaksanaan administrasi direktorat jenderal. A. SEJARAH DIREKTORAT JENDERAL PAJAK Organisasi Direktorat Jenderal Pajak pada mulanya merupakan perpaduan dari beberapa unit organisasi, yaitu sebagai berikut. 1. Jawatan Pajak yang bertugas melaksanakan pemungutan pajak berdasarkan perundang-undangan dan melakukan tugas pemeriksaan Kas Bendaharawan Pemerintah. 2. Jawatan Lelang yang bertugas melakukan pelelangan terhadap barang- barang sitaan guna pelunasan piutang pajak Negara. 3. Jawatan Akuntan Pajak yang bertugas membantu Jawatan Pajak untuk melaksanakan pemeriksaan pajak terhadap pembukuan Wajib Pajak Badan. 4. Jawatan Pajak Hasil Bumi (Direktorat Iuran Pembangunan Daerah pada Ditjen Moneter) yang bertugas melakukan pungutan pajak hasil bumi
4.4 Administrasi Perpajakan dan pajak atas tanah yang pada Tahun 1963 di rubah menjadi Direktorat Pajak Hasil Bumi dan kemudian pada Tahun 1965 berubah lagi menjadi Direktorat Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA). Dengan keputusan Presiden RI No. 12 Tahun 1976 tanggal 27 Maret 1976, Direktorat Ipeda diserahkan dari Direktorat Jenderal Moneter kepada Direktorat Jenderal Pajak. Pada tanggal 27 Desember 1985 melalui Undang- undang RI No. 12 Tahun 1985 Direktorat IPEDA berganti nama menjadi Direktorat Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Demikian juga unit kantor di daerah yang semula bernama Inspeksi Ipeda diganti menjadi Inspeksi Pajak Bumi dan Bangunan, dan Kantor Dinas Luar Ipeda diganti menjadi Kantor Dinas Luar PBB. Untuk mengoordinasikan pelaksanaan tugas di daerah, dibentuk beberapa kantor Inspektorat Daerah Pajak (ITDA), yaitu di Jakarta dan beberapa daerah seperti di Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Indonesia Timur. Inspektorat Daerah ini kemudian menjadi Kanwil Ditjen Pajak (Kantor Wilayah) seperti yang ada sekarang ini. Dalam rangka peningkatan pelayanan kepada masyarakat wajib pajak diperlukan adanya perbaikan organisasi perpajakan. Reformasi organisasi perpajakan juga dibutuhkan untuk meningkatkan kemampuan Direktorat Jenderal Pajak dalam mengawasi pelaksanaan ketentuan perpajakan yang berlaku dengan prinsip-prinsip Good Governance. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia NO.132/PMK.01/2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Vertikal Direktorat Jenderal Pajak, bahwa dalam rangka pelaksanaan modernisasi sistem administrasi perpajakan sebagai upaya pelaksanaan \"Good Governance\" dan meningkatkan penerimaan pajak serta efektivitas organisasi instansi vertikal di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak maka dipandang perlu untuk melakukan penataan organisasi dan tata kerja instansi vertikal di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak. Kesemuanya ini sejalan dengan usaha memodernisir kantor Direktorat Jenderal Pajak. Adapun ciri khas kantor modern ini selain seluruh sistem administrasinya dibangun berbasis Teknologi Informasi (TI) sehingga pelaksanaan pekerjaan lebih efisien, aman, dan akurat juga organisasinya dibangun berdasarkan fungsi sehingga diharapkan dapat menuntaskan segala macam pekerjaan tanpa harus khawatir tumpang tindih dengan pekerjaan lainnya, tugas-tugas dibagi habis sedemikian rupa untuk menghindari terjadinya penumpukan kekuasaan di
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164
- 165
- 166
- 167
- 168
- 169
- 170
- 171
- 172
- 173
- 174
- 175
- 176
- 177
- 178
- 179
- 180
- 181
- 182
- 183
- 184
- 185
- 186
- 187
- 188
- 189
- 190
- 191
- 192
- 193
- 194
- 195
- 196
- 197
- 198
- 199
- 200
- 201
- 202
- 203
- 204
- 205
- 206
- 207
- 208
- 209
- 210
- 211
- 212
- 213
- 214
- 215
- 216
- 217
- 218
- 219
- 220
- 221
- 222
- 223
- 224
- 225
- 226
- 227
- 228
- 229
- 230
- 231
- 232
- 233
- 234
- 235
- 236
- 237
- 238
- 239
- 240
- 241
- 242
- 243
- 244
- 245
- 246
- 247
- 248
- 249
- 250
- 251
- 252
- 253
- 254
- 255
- 256
- 257
- 258
- 259
- 260
- 261
- 262
- 263
- 264
- 265
- 266
- 267
- 268
- 269
- 270
- 271
- 272
- 273
- 274
- 275
- 276
- 277
- 278
- 279
- 280
- 281
- 282
- 283
- 284
- 285
- 286
- 287
- 288
- 289
- 290
- 291
- 292
- 293
- 294
- 295
- 296
- 297
- 298
- 299
- 300
- 301
- 302
- 303
- 304
- 305
- 306
- 307
- 308
- 309
- 310
- 311
- 312
- 313
- 314
- 315
- 316
- 317
- 318
- 319
- 320
- 321
- 322
- 323
- 324
- 325
- 326
- 327
- 328
- 329
- 330
- 331
- 332
- 333
- 334
- 335
- 336
- 337
- 338
- 339
- 340
- 341
- 342
- 343
- 344
- 345
- 346
- 347
- 348
- 349
- 350
- 351
- 352
- 353
- 354
- 355
- 356
- 357
- 358
- 359
- 360
- 361
- 362
- 363
- 364
- 365
- 366
- 367
- 368
- 369
- 370
- 371
- 372
- 373
- 374
- 375
- 376
- 377
- 378
- 379
- 380
- 381
- 382
- 383
- 384
- 385
- 386
- 387
- 388
- 389
- 390
- 391
- 392
- 393
- 394
- 395
- 396
- 397
- 398
- 399
- 400
- 401
- 402
- 403
- 404
- 405
- 406
- 407
- 408
- 409
- 410
- 411
- 412
- 413
- 414
- 415
- 416
- 417
- 418
- 419
- 420
- 421
- 422
- 423
- 424
- 425
- 426
- 427
- 428
- 429
- 430
- 431
- 432
- 433
- 434
- 435
- 436
- 437
- 438
- 439
- 440
- 441
- 442
- 443
- 444
- 445
- 446
- 447
- 448
- 449
- 450
- 451
- 452
- 453
- 454
- 455
- 456
- 457
- 458
- 459
- 460
- 461
- 462
- 463
- 464
- 465
- 466
- 467
- 468
- 469
- 470
- 471
- 472
- 473
- 474
- 475
- 476
- 477
- 478
- 479
- 480
- 481
- 482
- 483
- 484
- 485
- 486
- 487
- 488
- 489
- 490
- 491
- 492
- 493
- 494
- 495
- 1 - 50
- 51 - 100
- 101 - 150
- 151 - 200
- 201 - 250
- 251 - 300
- 301 - 350
- 351 - 400
- 401 - 450
- 451 - 495
Pages: