Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore 0012-ADBI4330-A

0012-ADBI4330-A

Published by katalogpenerbit, 2019-05-28 06:17:38

Description: 0012-ADBI4330-A

Search

Read the Text Version

5.64 Administrasi Perpajakan  Agar tidak terjadi kerancuan dalam pengenaan pajak daerah, maka pemerintah pusat menetapkan UU No. 18 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dan terakhir dengan UU No. 34 tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Oleh Pemerintah daerah, Pajak Daerah ditetapkan dengan Peraturan daerah yang tidak dapat berlaku surut TES FORMATIF 3 Pilihlah satu jawaban yang paling tepat! 1) Pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan otonomi daerah perlu memperhatikan .... A. potensi dan keanekaragaman daerah B. jumlah penduduk suatu daerah C. luas suatu daerah D. keanekaragaman budaya daerah 2) Pajak Negara yang telah diserahkan ke daerah berdasarkan UU No. 10 Tahun 1968 adalah .... A. Pajak Penerangan Jalan (Ordonansi Pajak 1942) B. Pajak Bangsa Asing (UU No. 47 Tahun 1958) C. Pajak Rumah Tangga (Ordonansi Verponding 1928) D. Pajak Kopra (UU Indonesia Timur No. 18 Tahun 1949) 3) Berdasar UU No. 34 Tahun 2000 yang termasuk jenis pajak kabupaten/kota adalah pajak.... A. radio B. bea balik nama C. penerangan jalan D. bahan bakar 4) Daerah kabupaten/kota diberikan keleluasaan untuk menetapkan pajak- pajak baru yang spesifik dengan memenuhi kriteria antara lain .... A. objek dan subjeknya kesal sehingga dapat diawasi B. jumlah pembayaran pajaknya dapat diperkirakan oleh wajib pajak C. disesuaikan dengan kondisi pertumbuhan ekonomi masyarakat D. objek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepentingan umum

 ADBI4330/MODUL 5 5.65 5) Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membuat aturan tentang Pajak daerah dengan menerbitkan .... A. Peraturan Daerah No. 4 tahun 2002 B. Peraturan Daerah No. 6 tahun 2003 C. Peraturan Daerah No. 8 tahun 2003 D. Peraturan Gubernur No. 124 Tahun 2003 Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 3 yang terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar. Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 3. Tingkat penguasaan = Jumlah Jawaban yang Benar 100% Jumlah Soal Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali 80 - 89% = baik 70 - 79% = cukup < 70% = kurang Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat meneruskan dengan modul selanjutnya. Bagus! Jika masih di bawah 80%, Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 3, terutama bagian yang belum dikuasai.

5.66 Administrasi Perpajakan  Kunci Jawaban Tes Formatif Tes Formatif 1 1) A. Merupakan UU tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), B. merupakan UU tentang pajak daerah dan Retribusi Daerah, C. merupakan UU tentang PPN & PPnBM, D. merupakan UU tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. 2) C. Memperoleh perlakuan timbal balik kepada Negara RI. 3) A. SPOP didasarkan pada SPOP. 4) A. Karena SPOP merupakan dasar SPPT karena dianutnya sistem self assessment, kalau SPOP tidak benar baru dikeluarkan SKP, sedangkan SPT hanya berlaku untuk Pajak penghasilan. 5) D. Cermati contoh perhitungan pajak terutang saat jatuh tempo. Tes Formatif 2 1) A. Yang menjadi objek pajak dari BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan bangunan. 2) C. Perolehan hak yang didapat melalui lelang, pelaksanaan perolehan dilakukan di hadapan pejabat lelang. 3) C. Besarnya BPHTB yang terutang adalah 5% dikalikan dengan NPOPKP. 4) A. Besarnya NPOPKP adalah Rp100.000.000,00. 5) D. Penagihannya dilanjutkan dengan penerbitan Surat paksa. Tes Formatif 3 1) A. Pemerintah daerah perlu memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. 2) B. Salah satu pajak negara yang diserahkan ke daerah berdasarkan UU No. 10 Tahun 1968 adalah Pajak Bangsa Asing (UU No. 47 Tahun 1958). 3) C. Yang termasuk jenis pajak kabupaten/kota berdasarkan UU No. 34 Tahun 2000 adalah Pajak Penerangan Jalan. 4) D. Kriterianya adalah objek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepentingan umum. 5) A. Diatur dalam Peraturan Daerah No. 4 Tahun 2002.

 ADBI4330/MODUL 5 5.67 Daftar Pustaka Boediono, B. (1999). Administrasi Perpajakan. STIA-LAN Press, Jakarta. Ismail, Tjip. (2009). Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Jakarta: Modul Universitas Terbuka. Musgrave, Richard A and Peggy B. Musgrave. (1989). Public Finance in Theory and Practice. Singapura: Fifth Edition, Mc Graw-Hill Book Company. Mustaqiem, H. (2008). Pajak Daerah Dalam Transisi Otonomi Daerah. Yogyakarta: FH UII Press. Purwaningdyah dkk. (2002). Pajak Bumi dan Bangunan. Jakarta: Modul Universitas Terbuka.

Modul 6 Pajak Penghasilan dan Pajak Internasional Dra. Harmanti, M. Si. PENDAHULUAN D engan makin pesatnya perkembangan sosial dan ekonomi akibat pembangunan nasional dan adanya globalisasi dan reformasi di berbagai bidang, maka perlu dilakukan perubahan undang-undang tentang pajak guna meningkatnya fungsinya dan peranannya dalam rangka mendukung kebijakan pembangunan nasional khususnya di bidang ekonomi. UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dan disempurnakan dengan UU No. 17 Tahun 2000 adalah untuk mendukung kebijakan pembangunan nasional. Perubahan UU Pajak Penghasilan tersebut dilakukan dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip perpajakan yang dianut secara universal, yaitu keadilan, kemudahan/efisiensi administrasi dan produktivitas penerimaan Negara serta tetap mempertahankan sistem self assessment. Oleh karena itu, tujuan dan arah penyempurnaan UU Pajak Penghasilan adalah: 1. meningkatkan keadilan pengenaan pajak; 2. memberikan kemudahan kepada wajib pajak; 3. menunjang kebijaksanaan pemerintah dalam rangka meningkatkan investasi langsung di Indonesia baik penanaman modal asing maupun modal dalam negeri di bidang usaha tertentu dan daerah tertentu yang mendapat prioritas. Pajak Penghasilan merupakan pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak. Berbicara mengenai Subjek Pajak, kita mengenai subjek dan objek pajak dalam negeri dan luar negeri. Untuk Subjek Pajak luar negeri dikenakan pajak atas penghasilan yang berasal dari Indonesia saja (asas sumber) dan pajak yang dikenakan adalah Pajak Penghasilan Pasal 24. Sedangkan subjek

6.2 Administrasi Perpajakan  pajak dalam negeri yang mendapat penghasilan dari luar negeri dikenakan Pajak Penghasilan Pasal 24 UU PPh. Adanya pengenaan pajak atas penghasilan dari kegiatan di Indonesia maupun di luar Indonesia berakibat timbulnya Pajak Ganda (Double Tax). Pajak Ganda ini muncul akibat adanya perbedaan prinsip perpajakan internasional yang dianut di setiap negara. Untuk menghindari adanya Pajak Ganda ini maka dibuat suatu perjanjian antara dua Negara atau lebih guna memberikan banyak manfaat pada masing-masing Negara. Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda atau dikenal dengan Tax Treaty (P3B) merupakan perjanjian bilateral yang mengatur mengenal pembagian hak pemajakan atas penghasilan yang diperoleh atau diterima oleh penduduk dari salah satu atau kedua Negara pada persetujuan (John Hutagaol : 2000). Dalam Modul 6 ini akan dibahas mengenai Pajak Penghasilan secara umum pada Kegiatan Belajar 1. Pada Kegiatan Belajar 2 dibahas mengenai Mekanisme Pemungutan Pajak Penghasilan, dan pada Kegiatan Belajar 3 dibahas mengenai Pajak Internasional. Setelah mempelajari materi dalam Modul 6 ini, Anda diharapkan mampu menguraikan apa yang dimaksud dengan Pajak Penghasilan, Mekanisme Pemungutan Pajak Penghasilan, dan Pajak Internasional. Secara Khusus setelah mempelajari modul ini, Anda diharapkan dapat: 1. menjelaskan Pajak Penghasilan secara umum; 2. menghitung PTKP dan Penghasilan Kena Pajak; 3. menguraikan mekanisme pemungutan Pajak Penghasilan; 4. menghitung Pajak Penghasilan final; 5. menjelaskan mekanisme pemungutan Pajak Internasional.

 ADBI4330/MODUL 6 6.3 Kegiatan Belajar 1 Pajak Penghasilan (PPh) P ajak Penghasilan (PPh) sebagaimana yang tertuang dalam UU No. 7 Tahun 1983 dan telah beberapa kali diubah dan terakhir dengan UU No. 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan adalah merupakan penyatuan dari Pajak Perseroan (Ordonansi PPs 1925), Pajak kekayaan (Ordonansi PPs 1932), Pajak Pendapatan (Ordonansi PPs 1944), dan Pajak atas Bunga Dividen dan Royalty dikenal dengan PBDR (UU Tahun 1970). Dengan makin pesatnya perkembangan sosial ekonomi sebagai hasil pembangunan nasional dan globalisasi serta reformasi di berbagai bidang, maka perlu dilakukan perubahan undang-undang tersebut guna meningkatkan fungsinya dan peranannya dalam rangka mendukung kebijakan pembangunan nasional khususnya di bidang ekonomi. Salah satu pertimbangan lahirnya UU Pajak Penghasilan tahun 1983 ini adalah untuk efisiensi dan efektivitas baik secara ekonomis ataupun administratif. Perubahan UU Pajak Penghasilan tersebut dilakukan dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip perpajakan yang dianut secara universal, yaitu keadilan, kemudahan/efisiensi administrasi dan produktivitas penerimaan negara serta tetap mempertahankan sistem self assessment. Oleh karena itu, tujuan dan arah penyempurnaan UU Pajak Penghasilan tersebut adalah sebagai berikut. 1. Lebih meningkatkan keadilan pengenaan pajak. 2. Lebih memberikan kemudahan kepada wajib pajak. 3. Menunjang kebijakan pemerintah dalam rangka meningkatkan investasi langsung di Indonesia baik penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri di bidang-bidang usaha tertentu dan daerah tertentu yang mendapat prioritas. A. SUBJEK PAJAK PENGHASILAN Dalam Pajak Penghasilan yang menjadi Subjek Pajak adalah Orang Pribadi dan Badan yang menerima atau memperoleh penghasilan yang merupakan objek pajak dan disebut sebagai Wajib Pajak. Subjek Pajak ini wajib mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) setempat untuk

6.4 Administrasi Perpajakan  memperoleh No. Pokok Wajib Pajak (NPWP), dan memiliki kewajiban membayar Pajak Penghasilan. Sehubungan pengenaan Pajak Penghasilan pada Subjek Pajak maka pajak ini disebut dengan Pajak Subjektif. Pajak Penghasilan juga dibebankan langsung kepada Subjek Pajak yang menerima penghasilan dan beban ini tidak dapat dilimpahkan kepada pihak lain, maka Pajak Penghasilan disebut juga sebagai Pajak Langsung. Apabila Orang Pribadi dan Badan yang termasuk subjek pajak tetapi tidak menerima atau memperoleh penghasilan yang merupakan objek pajak, maka subjek pajak tersebut tidak wajib membayar pajak. Demikian pula apabila orang pribadi dan badan hukum tidak termasuk sebagai subjek pajak meskipun menerima atau memperoleh penghasilan yang menjadi objek pajak, maka orang pribadi dan badan tersebut tidak mempunyai kewajiban untuk membayar pajak. Menurut Pasal 2 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1983, Subjek Pajak terdiri atas berikut ini. 1. Orang pribadi. 2. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak. 3. Badan. 4. Bentuk Usaha Tetap (BUT). Pemerintah Indonesia memiliki wewenang untuk memungut pajak atas penghasilan yang diterima oleh setiap orang dan atau badan yang berdomisili di Indonesia, dan memungut pajak atas penghasilan yang bersumber dari wilayah Indonesia yang diterima oleh siapa pun. Atas dasar kewenangan tersebut dan sesuai Pasal 2 ayat (2) UU PPh, subjek pajak dibagi menjadi dua, yaitu berikut ini. 1. Subjek Pajak Dalam Negeri Berdasarkan Pasal 2 Ayat (3) UU PPh yang termasuk subjek pajak dalam negeri adalah sebagai berikut. a. Orang Pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia. b. Yang dimaksud adalah seseorang bertempat tinggal di Indonesia dan secara formalitas dibuktikan berdasarkan Kartu Tanda Penduduk (KTP).

 ADBI4330/MODUL 6 6.5 c. Orang Pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, maka orang pribadi tersebut termasuk sebagai Wajib Pajak dalam negeri. d. Orang Pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. e. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak. f. Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia. Pemajakan Subjek Pajak Dalam Negeri Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU PPh dijelaskan bahwa Subjek Pajak dalam negeri: a. dikenakan Pajak Penghasilan atas seluruh penghasilan, baik yang diterima dari dalam negeri maupun luar negeri; b. pada prinsipnya dikenakan atas dasar penghasilan neto dengan tarif umum; c. wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT). 2. Subjek Pajak Luar Negeri Dalam Pasal 2 ayat (3) UU PPh yang termasuk dalam Subjek Pajak luar negeri adalah sebagai berikut. a. Orang Pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan. b. Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia. Keduanya menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia dengan cara menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia atau menerima/memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. a. Objek pajak penghasilan Yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan. Penghasilan yang dimaksud dalam perpajakan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai sebagai konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan dengan nama dan

6.6 Administrasi Perpajakan  bentuk apa pun. Pengertian penghasilan ini mempunyai arti bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari manapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk menambah konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak tersebut b. Bukan objek pajak penghasilan Berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (3) UU No. 17 Tahun 2000, terhadap penghasilan-penghasilan tertentu yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dikecualikan dari pengenaan Pajak Penghasilan (bukan merupakan Objek Pajak). Dikecualikan dari Pajak Penghasilan menurut ketentuan tersebut adalah 1) Bantuan dan sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah dan para penerima zakat yang berhak; dan harta hibah yang diterima oleh keluarga sedarah dalam keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial, atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan; sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan. 2) Warisan. 3) Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan, sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal. 4) Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah. 5) Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa. 6) Dividen atau laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak Dalam Negeri, Koperasi, BUMN, BUMD, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan atau berkedudukan di Indonesia, dengan syarat: a) dividen tersebut berasal dari cadangan laba yang ditahan; b) bagi perseroan terbatas, BUMN, BUMD yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% dari jumlah modal yang disetor dan harus mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut.

 ADBI4330/MODUL 6 6.7 7) Iuran yang diterima atau diperoleh dari dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai. 8) Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan. 9) Bagian laba yang diperoleh atau diterima anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi. 10) Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana selama 5 tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian izin usaha. 11) Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut: a) merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan; b) sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia. B. PENGHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN (PPH) Apabila telah diketahui subjek dan objek dari Pajak Penghasilan, maka dapat dilakukan menghitung besarnya Pajak Penghasilan yang terutang. Adapun komponen untuk menghitung besarnya Pajak Penghasilan yang terutang adalah sebagai berikut. 1. Jumlah Penghasilan yang menjadi Dasar Penghitungan Pajak Yang dimaksud dengan jumlah penghasilan yang menjadi dasar penghitungan pajak adalah jumlah penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam 1 tahun pajak. Tahun pajak sesuai penjelasan Pasal 1 UU PPh adalah tahun takwim yang dimulai dari tanggal 1 Januari sampai dengan 31 Desember. Namun, Wajib Pajak dapat juga menggunakan tahun buku dengan syarat meliputi jangka waktu 12 bulan, meskipun penyebutannya harus diperhatikan. Contoh: 1 April 2005 s.d. 31 Maret 2006 dapat disebut

6.8 Administrasi Perpajakan  sebagai tahun pajak 2005 karena bagian tahun 2005 lebih besar dari tahun 2006. 2. Tarif Pajak Penghasilan Masalah tarif seperti halnya penentuan subjek dan objek pajak adalah penting karena dengan adanya penetapan subjek, objek, dan tarif akan memberi kepastian bagi Wajib Pajak. Dalam upaya mencapai tingkat keadilan bagi Wajib Pajak, mereka yang mempunyai kekuatan lebih akan dikenakan beban yang tinggi pula. Oleh karenanya, tarif yang progresif merupakan tarif yang dapat diberlakukan terhadap upaya mencapai keadilan pemungutan pajak. Seperti diketahui dalam UU No. 7 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah dan terakhir dengan UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, tarif PPh diatur dalam dua kelompok utama, yaitu berikut ini. a. Tarif umum Ketentuan yang mengatur tentang tarif umum adalah Pasal 17 UU Pajak Penghasilan, sebagai berikut. 1) Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sesuai Pasal 17 UU No. 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan adalah sebagai berikut. Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak a. Wajib pajak orang pribadi dalam negeri sampai dengan Rp25.000.000,00 5% di atas Rp25.000.000,00 sampai dengan Rp50.000.00,00 10% di atas Rp50.000.000,00 sampai dengan Rp100.000.000,00 15% di atas Rp100.000.000,00 sampai dengan Rp200.000.000,00 25% di atas Rp200.000.000,00 30% b. Wajib pajak badan dalam negeri dan BUT sampai dengan Rp50.000.000,00 10% di atas Rp50.000.000,00 sampai dengan Rp100.000,00 15% di atas Rp100.000.000,00 30% Contoh: a. Wajib pajak orang pribadi dalam negeri Apabila diketahui jumlah Penghasilan Kena Pajak Rp600.000.000,00, maka Pajak Penghasilan terutang adalah sebagai berikut.

 ADBI4330/MODUL 6 6.9 5% x Rp25.000.000,00 = Rp 1.250.000,00 10% x Rp25.000.000,00 = Rp 2.500.000,00 15% x Rp50.000.000,00 = Rp 7.500.000,00 25% x Rp100.000.000,00 = Rp25.000.000,00 35% x Rp50.000.000,00 = Rp17.500.000,00 + Rp53.750.000,00 Contoh: b. Wajib Pajak Badan Dalam Negeri Apabila diketahui jumlah Penghasilan Kena Pajak Rp250.000.000,00, maka Pajak Penghasilan Terutang: 10% x Rp50.000.000,00 = Rp 5.000.000,00 15% x Rp50.000.000,00 = Rp 7.500.000,00 30% x Rp150.000.000,00 = Rp45.000.000,00 + Rp57.500.000,00 2) Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sesuai Pasal 17 UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan adalah sebagai berikut. Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak a. Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sampai dengan Rp50.000.000,00 5% di atas Rp50.000.000,00 sampai dengan Rp250.000,00 15% 25% di atas Rp250.000.000,00 sampai dengan Rp500.000.000,00 30% di atas Rp500.000.000,00 28% b. Wajib Pajak badan dalam negeri dan BUT 23-40% c. Perusahaan publik dengan jumlah 40% saham yang disetor diperdagangkan di bursa efek Indonesia. Contoh: a. Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri Jumlah Penghasilan Kena Pajak Rp600.000.000. Pajak Penghasilan terutang: 5% x Rp50.000.000,00 = Rp 2.500.000,00 15% x Rp200.000.000,00 = Rp 30.000.000,00 20% x Rp250.000.000,00 = Rp 62.500.000,00 25% x Rp100.000.000,00 = Rp 30.000.000,00 + Rp125.000.000,00

6.10 Administrasi Perpajakan  Contoh: b. Wajib Pajak Badan Dalam Negeri Apabila diketahui jumlah Penghasilan Kena Pajak Rp1.250.000.000,00 Pajak Penghasilan Terutang = 28% x Rp1.250.000.000,00 = Rp350.000.000,00 Tarif tertinggi sebagaimana dimaksud pada Pasal 17 ayat (1) huruf a bagi Wajib pajak badan dalam negeri dan BUT (untuk Tahun 2009) dapat diturunkan menjadi paling rendah 25% yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. Sedangkan tarif pada Pasal 17 ayat (10) huruf b menjadi 25% yang mulai berlaku sejak tahun pajak 2010. Penyederhanaan tarif dari UU PPh Tahun 2000 dengan Tahun UU PPh Tahun 2008 khususnya untuk Wajib pajak badan dalam negeri dan BUT, dimaksudkan untuk mendorong wajib pajak patuh serta menciptakan international best price. Bagi perusahaan yang telah go public, tarif pajak masih diberi pengurangan 5% dari tarif normal dengan kriteria paling sedikit 40% sahamnya diperdagangkan di bursa efek di Indonesia (dimiliki oleh masyarakat). Adanya perubahan ini diharapkan akan mendorong lebih banyak perusahaan yang bersedia go public dan mengembangkan good corporate governance sehingga perusahaan tersebut mampu menggali sumber dana dan pasar modal. b. Tarif khusus Berbeda dengan tarif umum, pertama bahwa dasar pengenaan pajak tarif khusus tidak bertingkat tingkat, tarifnya tarif tunggal berapa pun besarnya penghasilan yang akan dikenakan pajak, tarif yang diterapkan adalah sama, sesuai dengan yang ditetapkan dalam ketentuan yang mengatur tentang tarif khusus tersebut dan pengenaan pajaknya bersifat final. Penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final tidak digabungkan dengan penghasilan yang akan dikenakan pajak, yaitu penghasilan yang merupakan objek pajak yang dikenakan pajak dengan tarif umum, yaitu tarif progresif. Pemenuhan kewajiban pajak atas penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final, dilakukan dengan membayar sendiri atau melalui pemotongan dan atau pemungutan pajak pihak ketiga. Tarif khusus dalam Undang-undang Pajak Penghasilan, pertama untuk Pajak final terdapat pada Pasal-Pasal: Pasal 4 ayat (2), Pasal 15, sedangkan pengenaan pajak yang sifatnya tidak final ada pada Pasal 8 ayat (1), Pasal 19 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 22, dan Pasal 23 ayat (1) huruf b Undang-

 ADBI4330/MODUL 6 6.11 undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang No. 36 Tahun 2008 (secara rinci dapat Anda pelajari pada modul Pajak Penghasilan II). C. PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK (PTKP) Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak (Personal Exemption) dari seorang pegawai dihitung berdasarkan penghasilan Netonya dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Besarnya PTKP berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 137/KMK.03/2005 tanggal 30 Desember 2005 dan berlaku mulai tahun pajak 2006 adalah sebagai berikut. Uraian Setahun Sebulan Rp13.200.000,00 Rp1.100.000,00 Untuk diri Wajib Pajak Rp 1.200.000,00 Rp 100.000,00 Rp13.200.000,00 Rp1.100.000,00 Untuk Wajib Pajak yang kawin Rp 1.200.000,00 Rp 100.000,00 Untuk tambahan seorang istri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami Tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 orang Dengan berlakunya UU PPh No. 36 Tahun 2008 yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 2009, PTKP diubah menjadi: Uraian Setahun Sebulan Rp. 15.840.000,00 Rp. 1.320.000,00 Untuk diri Wajib Pajak Rp. 1.320.000,00 Rp. 110.000,00 Untuk Wajib Pajak Yang kawin Rp. 15.840.000,00 Rp. 1.320.000,00 Untuk tambahan seorang istri yang penghasilannya digabung dengan Rp. 1.320.000,00 Rp. 110.000,00 penghasilan suami Tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 orang untuk setiap keluarga

6.12 Administrasi Perpajakan  Ketentuan mengenai PTKP diatur dalam Pasal 7 UU PPh yang salah satunya adalah memberikan wewenang kepada Menteri Keuangan untuk menetapkan besarnya PTKP dengan mempertimbangkan perkembangan ekonomi, moneter, dan kebutuhan pokok setiap tahunnya. Penerapan PTKP ditentukan berdasarkan keadaan pada awal tahun pajak atau bagian tahun pajak sesuai Pasal 7 ayat (2) UU PPh. Contoh: 1 Agusto berstatus kawin (K/-) mendapatkan seorang anak tepat tanggal 1 Januari 2006, maka statusnya menjadi kawin dengan 1 tanggungan (K/1) sehingga PTKP untuk tahun 2006 adalah sebesar: Wajib Pajak Rp13.200.000,00 Wajib Pajak kawin Rp 1.200.000,00 Tanggungan 1 anak Rp 1.200.000,00 Jumlah PTKP Rp15.600.000,00 Seandainya anak dari Agusto lahir pada bulan Mei 2006, maka tambahan anak ini baru bisa diakui atau menambah PTKP pada tahun 2007. Contoh: 2 Danu sudah menikah dan mempunyai 3 anak (K/3) bekerja pada PT Kecap cap Bangau. Istri Danu yaitu Meinar bekerja sebagai guru matematika. Berapa besarnya PTKP yang diperoleh Danu dalam tahun 2006. Wajib Pajak Rp13.200.000,00 Wajib Pajak kawin Rp 1.200.000,00 Tambahan istri yang penghasilannya digabung Rp13,200.000,00 Tanggungan 1 anak Rp 1.200.000,00 Jumlah PTKP Rp18.800.000,00 Contoh sesuai UU PPh No. 36 Tahun 2008 Contoh: 1 Bramantio berstatus kawin (K/-) mendapatkan seorang anak tepat tanggal 1 Januari 2009, maka statusnya menjadi kawin dengan 1 tanggungan (K/1) sehingga PTKP untuk tahun 2009 adalah sebesar.

 ADBI4330/MODUL 6 6.13 Wajib Pajak Rp15.840.000,00 Wajib Pajak kawin Rp 1.320.000,00 Tanggungan 1 anak Rp 1.320.000,00 Jumlah PTKP Rp18.480.000,00 Seandainya anak dari Agusto lahir pada bulan Mei 2009, maka tambahan anak ini baru bisa diakui atau menambah PTKP pada tahun 2010. Contoh: 2 Danang sudah menikah dan mempunyai 3 anak (K/3) bekerja pada PT Kecap cap Bangau. Istri Danang, yaitu Mirna bekerja sebagai guru matematika. Besarnya PTKP yang diperoleh Danu dalam Tahun 2009 adalah: Wajib Pajak Rp15.840.000,00 Wajib Pajak kawin Rp 1.320.000,00 Tambahan istri yang penghasilannya digabung Rp15,840.000,00 Tanggungan 1 anak Rp 1.320.000,00 Jumlah PTKP Rp44.320.000,00 D. PENGHASILAN KENA PAJAK Penghasilan Kena Pajak (PKP) dibedakan menjadi 5 kelompok sesuai dengan jenis Wajib Pajak yang dikenai pajak, yaitu: 1. Wajib Pajak Badan Wajib Pajak Badan diwajibkan untuk melakukan pembukuan dengan cara yang telah ditetapkan dalam KUP. Oleh karena itu, setiap Wajib Pajak badan harus menghitung Penghasilan Kena Pajak dengan metode Pembukuan. Penghasilan Kena Pajak untuk Wajib Pajak ini sama dengan penghasilan yang merupakan objek pajak penghasilan dikurangi dengan pengurang yang diperkenankan (sesuai Pasal 6 Ayat (1) UU PPh) dan kompensasi kerugian (sesuai Pasal 6 Ayat (2) UU PPh). Penghasilan bruto dikurangi dengan biaya yang diperkenankan disebut sebagai penghasilan neto. Oleh karena itu, Penghasilan Kena Pajak untuk Wajib Pajak Badan sama dengan penghasilan neto dikurangi dengan kompensasi kerugian.

6.14 Administrasi Perpajakan  Contoh: Penjualan bruto Rp990.000.000,00 Retur Penjualan Rp 50.000.000,00 (-) Potongan Penjualan Rp 40.000.000,00 (-) Penjualan neto Rp900.000.000,00 Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan Rp600.000.000,00 (-) Laba usaha (penghasilan neto usaha) Rp300.000.000,00 Penghasilan dari luar usaha Rp 25.000.000,00 (+) Biaya-biaya di luar usaha Rp 15.000.000,00 (-) Penghasilan neto/Penghasilan Kena Pajak Rp310.000.000,00 Apabila terdapat sisa kerugian tahun sebelumnya sebesar Rp50.000.000,00 yang masih dapat dikompensasikan, Penghasilan Kena Pajaknya menjadi Rp260.000.000,00 (= Rp310.000.000,00 – Rp50.000.000,00). 2. Wajib Pajak Orang Pribadi yang Menyelenggarakan Pembukuan Untuk wajib pajak orang pribadi yang menggunakan pembukuan, penghitungan Pajak Penghasilannya sama dengan wajib pajak badan, tetapi masih dikurangi lagi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Besarnya PTKP yang boleh dikurangkan dari penghasilan neto sesuai ketentuan yang berlaku. Jika terdapat penghasilan lain selain dari usaha, penghasilan tersebut akan ditambahkan dengan penghasilan dari usaha setelah dikurangi dengan biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan tersebut. Contoh: Peredaran bruto Rp650.000.000,00 Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan Rp425.000.000,00 (-) Laba usaha (penghasilan neto usaha) Rp225.000.000,00 Penghasilan lain Rp 10.000.000,00 (+) Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan Rp 6.000.000,00 (-) Penghasilan neto Rp229.000.000,00 PTKP (K/2) Rp 16.800.000,00 (-) Penghasilan Kena Pajak Rp212.200.000,00 Apabila terdapat sisa kerugian tahun sebelumnya sebesar Rp20.000.000,00, masih dapat dikompensasikan. Penghasilan Kena Pajaknya menjadi Rp212.200.000,00 – Rp20.000.000,00 = Rp192.200.000,00.

 ADBI4330/MODUL 6 6.15 3. Wajib Pajak Orang Pribadi yang Menggunakan Norma Penghitungan Apabila Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau melakukan pekerjaan bebas dengan jumlah peredaran tertentu maka oleh Direktur Jenderal Pajak diperkenankan menggunakan Norma Penghitungan sesuai pedoman. Pedoman ini menentukan besarnya peredaran bruto dan besarnya penghasilan neto. Penggunaan pedoman ini pada dasarnya dilakukan apabila: a. tidak terdapat dasar penghitungan yang lebih baik, yaitu pembukuan yang lengkap; b. pembukuan atau catatan peredaran bruto Wajib Pajak ternyata diselenggarakan secara tidak benar. Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak berdasarkan Norma Penghitungan, yaitu berikut ini. a. Norma Penghitungan Penghasilan Neto hanya boleh digunakan oleh Wajib Pajak orang pribadi yang peredaran brutonya kurang dari Rp600.000.000,00 setahun. b. Wajib Pajak orang pribadi tersebut harus memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan. c. Wajib Pajak orang pribadi tersebut wajib menyelenggarakan pencatatan tentang peredaran bruto sebagaimana diatur dalam UU KUP. Wajib Pajak orang pribadi yang berhak menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, tetapi tidak memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu yang ditentukan maka Wajib Pajak tersebut dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan. Contoh: Peredaran bruto Rp300.000.000,00 Penghasilan neto (misalnya % Norma Penghitungan Penghasilan Neto adalah 20% = 20% x Rp300.000.000,00 Rp 60.000.000,00 Penghasilan neto lainnya Rp 5.000.000,00 (+) Jumlah seluruh penghasilan neto Rp 65.000.000,00 PTKP (K/3) Rp 18.000.000,00 (-) Penghasilan Kena Pajak Rp 56.360.000,00

6.16 Administrasi Perpajakan  4. Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap (BUT) Dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha, yaitu melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia sama dengan cara menghitung Penghasilan Kena Pajak untuk Wajib Pajak badan dalam negeri. Oleh karena bentuk usaha tetap berkewajiban untuk menyelenggarakan pembukuan maka Penghasilan Kena Pajaknya dihitung dengan perhitungan berdasarkan pembukuan. Penghasilan Kena Pajak dihitung dengan penghasilan yang merupakan Objek Pajak (sesuai Pasal 5 ayat (1) dikurangi dengan pengurang yang diperbolehkan (sesuai Pasal 6 ayat (1) dan (2)). Dalam menghitung laba BUT perlu diperhatikan ketentuan Pasal 5 ayat (3) UU PPh. Contoh: Peredaran bruto Rp700.000.000,00 Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan Rp475.000.000,00 (-) Laba usaha (penghasilan neto usaha) Rp225.000.000,00 Penghasilan bunga Rp 10.000.000,00 (+) Penjualan langsung barang oleh kantor pusat yang sejenis dengan barang yang dijual BUT Rp200.000.000,00 (+) Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan Rp150.000.000,00 (-) Dividen yang diterima atau diperoleh kantor pusat yang mempunyai hubungan efektif dengan BUT Rp 2.000.000,00 (+) Rp287.000.000,00 Biaya-biaya menurut Pasal 5 ayat (3) Rp 7.000.000,00 (-) Penghasilan Kena Pajak Rp280.000.000,00 5. Wajib Pajak Orang Pribadi yang Kewajiban Pajak Subjektifnya Hanya Meliputi Sebagian Tahun Pajak Dapat terjadi kemungkinan bahwa orang pribadi menjadi subjek pajak tidak dalam jangka waktu satu tahun pajak penuh, misalnya orang pribadi yang menjadi subjek pajak pada pertengahan tahun pajak atau yang meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya pada pertengahan tahun pajak. Jangka waktu kurang dari satu tahun pajak tersebut dinamakan bagian tahun pajak yang menggantikan tahun pajak. Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang terutang pajak dalam suatu bagian tahun pajak tersebut, dihitung berdasarkan penghasilan neto yang diterima atau diperoleh dalam bagian tahun pajak yang disetahunkan.

 ADBI4330/MODUL 6 6.17 Contoh: Marsudi (TK) pada tahun 2009 menjadi subjek pajak dalam negeri selama 3 bulan, dan dalam jangka waktu tersebut memperoleh penghasilan sebesar Rp10.000.000,00 maka penghitungan Penghasilan Kena Pajak adalah sebagai berikut. Penghasilan Marsudi selama 3 bulan Rp10.000.000,00 Penghasilan setahun; 360/3x30 x Rp 10.000.000,00 =` Rp40.000.000,00 Penghasilan Tidak Kena Pajak (TK) Rp15.840.000,00 Penghasilan Kena Pajak Rp24.160,000,00 E. PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN Untuk dapat melakukan pembayaran/penyetoran pajak, maka Wajib Pajak harus mengetahui terlebih dahulu besarnya Pajak Penghasilan yang terutang. Dalam melakukan pembayaran Pajak Penghasilan yang terutang dapat dilakukan melalui berikut ini. 1. Pemotongan atau Pemungutan oleh Pihak yang Memberi/ Membayar Penghasilan Bagi pihak penerima penghasilan, Pajak Penghasilan yang dipotong pihak lain merupakan pajak pendahuluan (kecuali pajak final), dan dapat diperhitungkan dengan Kewajiban Wajib Pajak sebagai pemotongan/ pemungutan Pajak Penghasilan, antara lain berikut ini. a. Pemotong PPh Pasal 21 UU PPh: apabila Wajib Pajak melakukan pembayaran gaji, upah, dan sejenis dalam hubungan kerja kepada orang pribadi. b. Pemotong/pemungut PPh Pasal 22 UU PPh: apabila Wajib Pajak tertentu (termasuk bendaharawan) melakukan penjualan atau pembelian barang. c. Pemotong PPh Pasal 23 UU PPh: apabila Wajib Pajak melakukan pembayaran bunga, dividen, royalti (pasive income), sewa harta dan jasa kepada Wajib Pajak dalam negeri. d. Pemotong PPh Pasal 26 UU PPh: apabila Wajib Pajak melakukan pembayaran penghasilan kepada Wajib Pajak luar negeri. e. Pemotong PPh Pasal 4 ayat (2) UU PPh: apabila Wajib Pajak melakukan pembayaran penghasilan tertentu. f. Pemotong PPh Pasal 15 UU PPh: apabila Wajib Pajak melakukan pembayaran penghasilan kepada Wajib Pajak tertentu.

6.18 Administrasi Perpajakan  2. Pembayaran yang Dilakukan Sendiri oleh Wajib Pajak Pembayaran pajak yang dilakukan sendiri oleh Wajib Pajak merupakan pembayaran pendahuluan atas Pajak Penghasilan yang terutang pada tahun yang bersangkutan. Adapun yang termasuk dalam pajak yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak antara lain berikut ini. a. PPh Pasal 25 yang merupakan pembayaran angsuran Pajak Penghasilan yang dilakukan tiap-tiap bulan. b. Pembayaran fiskal luar negeri. c. PPh Pasal 29 yang terjadi apabila Pajak Penghasilan terutang 1 tahun pajak lebih besar dai Pajak Penghasilan yang dipotong pihak lain dan pembayaran PPh Pasal 25 serta fiskal luar negeri. 3. Pelaporan Pajak Penghasilan Apabila subjek pajak, objek pajak, dan besarnya pajak penghasilan yang terutang telah diketahui maka kewajiban perpajakan berikutnya adalah melaporkan penghitungan dan pembayaran pajak penghasilan tersebut ke kantor pelayanan pajak tempat wajib pajak terdaftar. Adapun sarana untuk melaporkan penghitungan dan pembayaran PPh tersebut adalah Surat Pemberitahuan (SPT) yang terdiri dari Surat Pemberitahuan Masa (SPT Masa) dan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT Tahunan). SPT Masa merupakan sarana untuk melaporkan penghitungan dan pembayaran pajak yang dilakukan tiap-tiap bulan (masa), yang terdiri dari: SPT Masa PPh Pasal 21, SPT Masa PPh Pasal 22, SPT Masa PPh Pasal 23, SPT Masa PPh Pasal 25, SPT Masa PPh Pasal 26, SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2), SPT Masa PPh Pasal 15. Namun, perlu diketahui bahwa tidak semua wajib pajak wajib menyampaikan SPT masa tersebut di atas, semuanya tergantung pada kewajiban masing-masing Wajib Pajak bersangkutan. SPT tahunan merupakan sarana untuk melaporkan penghitungan dan pembayaran PPh dalam satu tahun pajak. SPT tahunan terdiri dari berikut ini. a. SPT tahunan PPh orang pribadi wajib disampaikan oleh semua wajib pajak orang pribadi (perseorangan). b. SPT tahunan badan wajib disampaikan oleh semua wajib pajak badan. c. SPT tahunan PPh Pasal 21 wajib disampaikan oleh wajib pajak yang mempunyai kewajiban memotong PPh Pasal 21 (pada umumnya semua wajib pajak badan dan wajib pajak orang tertentu).

 ADBI4330/MODUL 6 6.19 Jangka waktu pelaporan SPT masa maupun SPT tahunan sudah ditentukan dalam UU PPh sehingga apabila wajib pajak terlambat melaporkan SPT masa maupun SPT tahunan maka akan dikenakan sanksi administrasi berupa denda. Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak No. Jenis Pajak Pembayaran/Penyetoran Pelaporan Keterangan Setelah MP 1. PPh Psl 21 Paling lambat tanggal 10 Paling lambat berakhir Setelah MP 20 hari berakhir Setelah MP 2. PPh Psl 23/Psl 26 Paling lambat tanggal 10 Paling lambat berakhir 20 hari Setelah batas penyetoran 3. PPh Psl 25 Paling lambat tanggal 15 Paling lambat pajak berakhir Setelah MP 20 hari berakhir 4. PPh Psl 22, PPN Dilunasi saat pembayaran Setelah MP berakhir dan PPn BM atas Bea Setelah MP impor berakhir 5. PPh Psl 22, PPN Sehari setelah Paling lambat dan PPnBM pemungutan pajak 7 hari 6. PPh Psl 22 Pada hari yang sama Paling lambat 14 hari pemungutan dengan pelaksanaan Paling lambat Bendaharawan pembayaran 20 hari Pemerintah Paling lambat 20 hari 7. PPh Psl 22 Dilunasi sendiri oleh WP produk Pertamina sebelum SPPB/DO dan badan usaha ditebus lainnya 8. PPh Psl 22 badan Paling lambat tanggal 10 tertentu Catatan: a. Apabila tanggal jatuh tempo pembayaran/penyetoran bertepatan dengan hari libur, maka pembayaran/penyetoran dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. b. Pemotongan dan pemungutan PPh Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 26 memberikan tanda bukti pemotongan atau tanda bukti pemungutan kepada orang pribadi atau badan yang dibebani membayar PPh yang dipotong atau dipungut. c. Apabila tanggal jatuh tempo pelaporan bertepatan dengan hari libur, maka pelaporan harus dilakukan pada hari kerja sebelumnya. (Keputusan Menteri Keuangan No:541/KMK.04/2000 tanggal 22 Desember 2000).

6.20 Administrasi Perpajakan  LATIHAN Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas, kerjakanlah latihan berikut! 1) Jelaskan mengenai Subjek Pajak dalam negeri dan luar negeri? 2) Bagaimana cara penghitungan Penghasilan Kena Pajak bagi seorang karyawati yang berstatus menikah dengan anak 2? 3) Sebutkan penghasilan-penghasilan yang tidak termasuk dalam Objek Pajak? Petunjuk Jawaban Latihan 1) Subjek Pajak dalam negeri berdasarkan Pasal 2 ayat (3) UU PPh, sedangkan Subjek Pajak luar negeri berdasarkan Pasal 2 ayat (4) huruf a dan b UU PPh. 2) Dalam hal karyawati kawin, PTKP yang dikurangkan adalah hanya untuk dirinya sendiri, dan dalam hal tidak kawin pengurangan PTKP selain untuk dirinya sendiri ditambah dengan PTKP untuk keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya. 3) Adanya pengecualian sebagai Objek Pajak di Indonesia adalah untuk memenuhi asas keadilan dalam melaksanakan UU PPh. Pengecualian ini berdasarkan pada Pasal 4 ayat 3 UU PPh. RANGKUMAN Sesuai dengan UU No. 7 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah dan terakhir dengan UU No. 17 Tahun 2000, dalam mempelajari sistem pemungutan, penyetoran, dan pelaporan Pajak Penghasilan, perlu memperhatikan beberapa hal sebagai berikut. 1. Subjek pajak, yang merupakan pihak yang dituju untuk pengenaan pajak penghasilan. Ada beberapa persyaratan subjek pajak menjadi wajib pajak. 2. Objek pajak berupa penghasilan yang diterima atau diperoleh subjek pajak yang telah memenuhi syarat sebagai wajib pajak sehingga yang bersangkutan wajib membayar pajak penghasilan.

 ADBI4330/MODUL 6 6.21 3. Mengetahui besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri. 4. Menghitung Pajak Penghasilan, Wajib Pajak wajib menghitung besarnya Pajak Penghasilan atas penghasilannya agar dapat mengetahui berapa besarnya pajak yang terutang dan harus dibayar. 5. Pemotongan dan pemungutan Pajak Penghasilan. Wajib Pajak wajib memotong dan memungut Pajak Penghasilan dari penghasilannya sendiri atau memotong/memungut Pajak Penghasilan dari Wajib Pajak lain. Apabila kewajiban pemotongan/pemungutan pajak tersebut tidak dilaksanakan, maka besarnya Pajak Penghasilan yang seharusnya dipotong/dipungut ditagih kepada Wajib Pajak yang melakukan pembayaran. 6. Bagi Wajib Pajak yang telah dipotong/dipungut Pajak Penghasilan, maka pemotongan/pemungutan pajak tersebut merupakan pembayaran di muka/angsuran. Untuk itu, wajib pajak harus bersedia dipotong/dipungut pajak penghasilan pada saat menerima penghasilan dengan syarat harus diberikan bukti pemotongan pajak penghasilan berupa surat setoran pajak. Karena bukti pemotongan ini akan menjadi bukti sah pada saat pengkreditan pajak. 7. Pemotongan/pemungutan PPh sesuai UU Pajak Penghasilan antara lain: PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 26. TES FORMATIF 1 Pilihlah satu jawaban yang paling tepat! 1) Yang berikut ini yang tidak termasuk Subjek Pajak adalah .... A. orang pribadi yang tidak mempunyai penghasilan B. perusahaan yang menderita kerugian C. kedutaan besar negara-negara tetangga D. yayasan di bidang keagamaan 2) Pajak penghasilan yang didasarkan pada UU No. dan Tahun 1983 adalah pajak yang dikenakan atas .... A. gaji B. sewa C. bunga D. penghasilan

6.22 Administrasi Perpajakan  3) Besarnya PTKP untuk seorang karyawati status kawin dengan tanggungan seorang anak kandung, seorang adik kandung, dan seorang anak tiri tahun 2006, suami bekerja .... A. Rp13.200.000,00 B. Rp14.400.000,00 C. Rp15.600.000,00 D. Rp16.800.000,00 4) Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang menyelenggarakan pembukuan, diperoleh dari penghasilan neto akan dikurangi dengan .... A. penghasilan tidak kena pajak (PTKP) B. PTKP, kompensasi kerugian C. zakat, PTKP, kompensasi kerugian D. kompensasi kerugian 5) Tersebut di bawah ini termasuk Wajib Pajak badan yang penghitungan penghasilan netonya dihitung dengan norma penghitungan khusus, kecuali .... A. Perusahaan pelayaran atau penerbangan Luar Negeri B. Perwakilan dagang asing C. Bangun Guna Serah (BOT) D. Cabang Bank Luar Negeri (BUT) Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 1 yang terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar. Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 1. Tingkat penguasaan = Jumlah Jawaban yang Benar 100% Jumlah Soal Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali 80 - 89% = baik 70 - 79% = cukup < 70% = kurang

 ADBI4330/MODUL 6 6.23 Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat meneruskan dengan Kegiatan Belajar 2. Bagus! Jika masih di bawah 80%, Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 1, terutama bagian yang belum dikuasai.

6.24 Administrasi Perpajakan  Kegiatan Belajar 2 Mekanisme Pemungutan Pajak Penghasilan P ajak Penghasilan tergolong Pajak Langsung, oleh karena itu sistem pemungutannya adalah secara langsung kepada Wajib Pajak dan dilakukan secara periodik, yaitu setahun sekali. Adapun tahun yang dimaksud adalah tahun takwim atau tahun pajak yang diawali tanggal 1 Januari dan diakhiri tanggal 31 Desember. Sedangkan saat terutangnya pajak adalah pada akhir tahun pajak yaitu pada tanggal 31 Desember. Pengertiannya adalah bagi Wajib Pajak baru timbul kewajiban menghitung dan membayar pajak setelah berakhirnya tahun pajak. Hal ini dikarenakan pemungutan Pajak Penghasilan dilakukan berdasarkan atau menganut asas riil, yaitu asas kenyataan. Artinya, besarnya pajak yang terutang harus berdasarkan objek pajak yang nyata- nyata diterima atau diperoleh Wajib Pajak selama kurun waktu tahun pajak. Besarnya pajak terutang tidak dibebankan berdasarkan objek pajak yang diperkirakan. Sedangkan untuk mengetahui penghasilan yang nyata-nyata diterima atau diperoleh selama satu tahun, mau tidak mau harus menunggu berakhirnya tahun pajak. Ketentuan ini tentu saja memiliki banyak kelemahan baik dari sisi pemerintah maupun dari sisi wajib pajak. Dari sisi pemerintah adalah tidak terjaminnya ketersediaan dana dalam tahun berjalan, dan ini dapat mengganggu pelaksanaan kegiatan/tugas pemerintah. Sedangkan dari sisi wajib pajak, ketentuan ini sangat memberatkan di mana wajib pajak harus melunasi sekaligus pajak yang berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh selama tahun berjalan. Untuk mengatasi hal tersebut maka dalam undang-undang ditetapkan kepada wajib pajak untuk mengangsur atau melakukan pembayaran pendahuluan atas kewajiban pajaknya. Pada akhir tahun, pembayaran angsuran tersebut dapat dikreditkan sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang masih harus dibayar atau bisa jadi ada kelebihan pembayaran pajak. A. MEKANISME PEMBAYARAN PAJAK DALAM TAHUN BERJALAN Pembayaran angsuran, pembayaran cicilan, atau pembayaran pendahuluan, oleh UU No. 7 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali

 ADBI4330/MODUL 6 6.25 diubah dan terakhir dengan UU No. 38 Tahun 2009 ditetapkan istilahnya menjadi pembayaran pajak dalam tahun berjalan. Agar pembayaran pajak dalam tahun berjalan mendekati jumlah pajak yang akan terutang untuk tahun yang bersangkutan, maka pelunasan pajak dapat dilaksanakan melalui berikut ini. 1. Pembayaran Pajak dalam Tahun Berjalan Melalui Pihak lain Sebagaimana diketahui bahwa dalam pajak penghasilan terdapat beragam jenis pajak yang harus dipotong yang memerlukan pemahaman yang cermat atas setiap jenis pajak agar tidak terjadi salah penerapan. Pembayaran pajak dalam tahun berjalan melalui pihak lain adalah PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 24, dan PPh Pasal 4 ayat (2). Oleh karena itu, perlu diperhatikan secara seksama bagaimana mekanisme pelunasannya. a. Mekanisme pemungutan PPh Pasal 21 Pemotongan pajak oleh pihak lain dalam hal diperolehnya penghasilan oleh Wajib Pajak dari pekerjaan, jasa atau kegiatan sebagaimana diatur dalam Pasal 21 UU PPh ini terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau pada akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan, tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu. Kewajiban pemotong pajak dalam menghitung, menyetor, dan melaporkan PPh Pasal 21 adalah sebagai berikut. 1) Pemotong pajak setelah memotong pajak, wajib menyetor ke Bank Persepsi, Kas Negara atau Kantor Pos dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) selambat-lambatnya pada tanggal 10 bulan takwim berikutnya. Contoh: Untuk masa Januari 2009, PPh Pasal 21 yang dipotong harus disetorkan ke Kas Negara paling lambat tanggal 10 Februari 2009. 2) Pemotong Pajak wajib melaporkan penyetoran tersebut ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dengan menggunakan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa selambat-lambatnya pada tanggal 20 bulan takwim berikutnya. Contoh: untuk masa Desember 2008 SPT Masa harus disampaikan paling lambat pada tanggal 20 Januari 2009. SPT Masa dibuat rangkap 2, yaitu lembar pertama untuk Kantor Pelayanan Pajak, dan lembar kedua untuk arsip Wajib Pajak. 3) Pemotong Pajak (bendaharawan) wajib memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21 baik diminta maupun tidak diminta pada saat dilakukannya

6.26 Administrasi Perpajakan  pemotongan pajak kepada orang pribadi bukan sebagai pegawai tetap, penerima pensiun, penerima THT, penerima pesangon, dan penerima dana pensiun. Bukti pemotongan PPh Pasal 21 ada dua yaitu bukti pemotongan PPh Pasal 21 dan bukti pemotongan PPh Pasal 21 final. Formulir Bukti pemotongan tersebut dibuat rangkap 3, yaitu lembar pertama untuk Pemotong Pajak sebagai bukti kredit pajak, lembar kedua untuk Kantor Pelayanan Pajak sebagai lampiran SPT Masa PPh Pasal 21, dan lembar ketiga untuk arsip Wajib Pajak. 4) Pemotong Pajak (bendaharawan) wajib memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 tahunan kepada pegawai tetap, termasuk penerima pensiun bulanan dalam waktu 2 bulan setelah tahun takwim berakhir. Formulir Bukti Pemotongan tersebut dibuat rangkap 3, yaitu lembar pertama untuk Kantor Pelayanan Pajak sebagai lampiran SPT masa PPh Pasal 21, lembar kedua untuk pemotong pajak sebagai bukti kredit pajak, dan lembar ketiga untuk arsip wajib pajak. Formulir bukti pemotongan ini berupa Lampiran I-A SPT tahunan PPh Pasal 21 (Formulir 1721-A1) untuk pegawai tetap atau penerima pensiun atau tunjangan hari tua/tabungan hari tua/jaminan hari tua, dan berupa lampiran I-B SPT tahunan PPh Pasal 21 (Formulir 1721-A2) untuk Pegawai Negeri Sipil, anggota TNI/POLRI, Pejabat Negara dan Pensiunannya. 5) Pemotong Pajak (Bendaharawan) setelah tahun takwim berakhir berkewajiban menghitung kembali jumlah PPh Pasal 21 yang terutang atas pegawai tetap, penerima pensiun bulanan sesuai dengan tarif yang berlaku. Setelah penghitungan tersebut dilakukan, pemotong pajak wajib mengisi, menandatangani, dan menyampaikan SPT tahunan PPh Pasal 21 ke Kantor Pelayanan Pajak tempat wajib pajak terdaftar selambat- lambatnya 3 bulan setelah tahun takwim berakhir. b. Mekanisme pemungutan PPh Pasal 22 Pajak Penghasilan Pasal 22 pada prinsipnya merupakan penjualan atau pembelian barang yang terkait dengan Badan Pemungut PPh Pasal 22 yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Berikut adalah mekanisme pemungutan, penyetoran, dan pelaporan dari beberapa transaksi yang dikenakan pungutan Pajak Penghasilan Pasal 22. 1) Mekanisme pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPh Pasal 22 atas impor barang.

 ADBI4330/MODUL 6 6.27 Pemungutan PPh Pasal 22 atas impor barang oleh Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tidak bersifat final, berarti yang dipungut dalam hal ini importir tersebut dapat menggunakan pungutan tersebut sebagai kredit pajak terhadap pajak yang terutang pada akhir tahun. Wajib Pajak dapat melunasi sendiri PPh Pasal 22 atas impor terutang bersamaan dengan saat pembayaran bea masuk. Dalam hal pembayaran bea masuk ditunda atau dibebaskan, maka PPh Pasal 22 terutang dilunasi pada saat penyelesaian Dokumen Pemberitahuan impor untuk dipakai (PIUD). Penyetoran atau Pelunasan dilakukan dengan cara berikut ini. a) Pelunasan PPh Pasal 22 yang disetor oleh importir ke bank Devisa dengan menggunakan formulir Surat Setoran pajak (SSP) yang berlaku sebagai bukti pungutan pajak. b) Dipungut dan disetor secara kolektif dengan menggunakan SSP oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dalam hal impor dilakukan tanpa menggunakan Laporan Kebenaran Pemeriksaan (LKP). Dirjen Bea dan Cukai wajib menerbitkan bukti pungutan PPh Pasal 22 rangkap 3, yaitu sebagai berikut. 1) Lembar pertama untuk pembeli. 2) Lembar kedua untuk disampaikan kepada Dirjen Pajak (KPP setempat) sebagai lampiran laporan bulanan. 3) Lembar ketiga untuk arsip pemungut pajak yang bersangkutan. Dirjen Bea dan Cukai harus menyetorkan pemungutan PPh Pasal 22 atas impor dalam jangka waktu sehari setelah pemungutan pajak dilakukan ke kantor pos dan giro atau Bank Persepsi dan harus melaporkan hasil pemungutannya tersebut secara mingguan selambat-lambatnya tujuh hari setelah batas waktu penyetoran pajak berakhir ke Kantor Pelayanan pajak (KPP). 2) Mekanisme Pemungutan, Penyetoran dan Pelaporan PPh Pasal 22 atas Pembelian Barang dari Belanja Negara dan atau untuk Belanja Daerah oleh Dirjen Anggaran, Bendaharawan Pemerintah, baik tingkat pemerintah pusat maupun tingkat pemerintah daerah, BUMN, dan atau BUMD. Dirjen Anggaran, Bendaharawan Pemerintah di tingkat Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, BUMN, dan BUMD harus menyetorkan

6.28 Administrasi Perpajakan  hasil pemungutan PPh Pasal 22 yang dibiayai dari belanja negara atau belanja daerah ke Kantor Pos atau Bank Persepsi pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran atas penyerahan barang tersebut dengan menggunakan SSP yang telah diisi oleh dan atas nama rekanan serta ditandatangani oleh Bendaharawan yang berlaku sebagai bukti pungutan pajak. Hasil pemungutan PPh Pasal 22 tersebut harus dilaporkan selambat-lambatnya 14 hari setelah masa pajak berakhir. Contoh: Pemerintah DKI membuat kontrak dengan PT. Adhikarya untuk perbaikan saluran banjir kanal di Jakarta Pusat. Kontrak tersebut senilai Rp 500.000.000,00 dan dibayar pada tanggal 20 Juli 2006 pada saat kontrak ditandatangani. Permasalahan: a) Kapan pungutan tersebut harus disetorkan? b) Hitung berapa PPh Pasal 22 yang harus dipungut? Penyelesaian: Dalam hal ini pungutan harus disetorkan pada tanggal 20 Juli 2006 sebesar Rp7.500.000,00 yang berasal dari (5% x Rp500.000.000,00). 3) Mekanisme Pemungutan, Penyetoran dan Pelaporan PPh Pasal 22 atas Penjualan hasil Produksi Industri Rokok Putih maupun Rokok Kretek dalam negeri. Dalam PPh Pasal 22, badan usaha yang bergerak di bidang usaha industri rokok putih dan rokok kretek yang memiliki NPWP dapat ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22 atas penjualan rokok putih maupun rokok kretek dalam negeri oleh Kantor Pelayanan Pajak dengan menerbitkan Surat Keputusan Penunjukan berupa Formulir Penunjukan Wajib Pajak sebagai pemungut PPh Pasal 22 pada UU No. 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dan terakhir dengan UU No. 17 Tahun 2000. Badan usaha yang bergerak dalam bidang industri rokok putih maupun rokok kretek yang tergolong perusahaan hasil tembakau ber No. pengawas K.1000 sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 53/KMK-05/1994 tidak ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22. Adapun besarnya pungutan PPh Pasal 22 adalah sebesar 0,1% dari harga banderol dan bersifat final, yang berarti pungutan PPh Pasal 22 tidak dapat dikreditkan.

 ADBI4330/MODUL 6 6.29 Dalam melaksanakan pemungutan PPh Pasal 22, pemungut pajak wajib menerbitkan bukti pemungutan PPh Pasal 22 final rangkap 3, yaitu: a) lembar pertama untuk Wajib Pajak pembeli; b) lembar kedua untuk dilampirkan di SPT Masa PPh Pasal 22 yang diserahkan kepada Kantor Pelayanan Pajak; c) lembar ketiga untuk arsip pemungut pajak. Dalam hal penjualan rokok kretek maupun rokok putih oleh industri rokok secara kanvas kepada pembeli perseorangan yang belum memiliki NPWP maka NPWP pembeli pada bukti pemungutan PPh Pasal 22 diisi dengan “0.000.000.0 kode KPP tempat pembeli berdomisili”. PPh Pasal 22 atas penjualan rokok kretek atau rokok putih yang dikembalikan (retur) setelah masa pajak terjadinya penjualan dapat dikurangkan dari PPh Pasal 22 terutang dalam masa pajak terjadinya pengembalian rokok putih ataupun rokok kretek tersebut, kecuali apabila dalam masa pajak terjadinya pengembalian industri rokok menggantinya dengan rokok yang sama baik dari segi fisik maupun jumlah harganya. Apabila terjadi pengembalian maka pembeli wajib membuat nota retur dalam masa pajak terjadinya pengembalian rangkap 3, yaitu: a) lembar pertama dan kedua untuk pemungut pajak; b) lembar ketiga untuk arsip wajib pajak pembeli. Nota retur yang dibuat harus mencantumkan sekurang-kurangnya mengenai: a) nomor dan tanggal retur; b) nama, alamat, dan NPWP pembeli; c) nama, alamat, dan NPWP industri rokok; d) nomor dan tanggal faktur pembelian rokok putih/rokok kretek yang dikembalikan; e) macam, jenis, jumlah, dan harga rokok putih/kretek yang dikembalikan; f) tanda tangan pembeli dan cap perusahaan (jika ada). Penyetoran dan Pelaporan: a) Pemungut PPh Pasal 22 harus menyetorkan pungutannya selambat- lambatnya tanggal 10 bulan takwim berikutnya setelah masa pajak

6.30 Administrasi Perpajakan  berakhir, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) final ke Bank Persepsi atau ke kantor Pos. b) Pemungut PPh Pasal 22 wajib menyampaikan laporan mengenai PPh Pasal 22 yang telah dipungut dan disetor setiap bulan kepada kantor Pelayanan pajak selambat-lambatnya 20 hari setelah masa pajak berakhir dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 22 yang dilampiri: 1) lembar kedua Bukti Pemungutan PPh Pasal 22 final; 2) lembar ketiga Surat Setoran Pajak final; 3) lembar kedua Nota Retur (jika ada). 4) Mekanisme Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan PPh Pasal 22 atas Penjualan Hasil Produksi Otomotif. Salah satu yang ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22 adalah industri otomotif atas penjualan semua jenis kendaraan bermotor beroda dua atau lebih di dalam negeri. Pada dasarnya mekanisme pemungutan atas hasil produksi otomotif ini tidak terlalu berbeda dengan pemungutan pajak lainnya, namun yang cukup membedakan hanya sebatas pemungut dan besarnya tarif pemungutan. Adapun mekanisme adalah sebagai berikut. a) Pemungut pajak dalam hal ini adalah badan usaha otomotif dengan tarif sebesar 0,45% pada saat penjualan kendaraan bermotor roda dua atau lebih di dalam negeri. b) Untuk pemungutan PPh Pasal 22 tersebut, pemungut harus menerbitkan bukti pemungutan PPh Pasal 22 rangkap 3. c) PPh Pasal 22 yang telah dipungut harus disetorkan oleh pemungut pajak selambat-lambatnya tanggal 10 bulan takwim berikutnya setelah masa pajak berakhir dengan mengisi Surat Setoran Pajak (SSP) ke Bank persepsi atau kantor Pos. d) Pemungut PPh Pasal 22 setiap bulan wajib menyampaikan laporan SPT Masa PPh Pasal 22 kepada Kantor Pelayanan Pajak di tempat Wajib Pemungut terdaftar selambat-lambatnya 20 hari setelah masa pajak berakhir. SPT Masa PPh Pasal 22 harus dilampiri dengan lembar kedua dan Surat Setoran Pajak (SSP) lembar ketiga.

 ADBI4330/MODUL 6 6.31 5) Mekanisme Pemungutan, Penyetoran dan Pelaporan PPh Pasal 22 atas Penjualan Hasil Produksi Industri Semen, Industri Kertas, dan Industri Baja. Industri Semen, Industri Kertas, dan Industri Baja merupakan pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22. Adapun tarif pemungutannya adalah sebagai berikut. a) Industri semen 0,25% dari harga jual sebelum Pajak Pertambahan Nilai (PPN). b) Industri kertas 0,1% dari harga jual sebelum Pajak Pertambahan Nilai (PPN). c) Industri baja 0,3% dari harga jual sebelum Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Dalam kegiatannya sebagai pemungut PPh Pasal 22, industri semen, kertas, dan baja harus menerbitkan Bukti Pemungutan PPh Pasal 22 rangkap 3. Penyetoran PPh Pasal 22 yang telah dipungut harus dilakukan selambat-lambatnya tanggal 10 bulan takwim berikutnya setelah masa pajak berakhir dengan mengisi Surat Setoran Pajak (SSP) ke Bank Persepsi atau Kantor Pos. Sedangkan laporan SPT masa PPh Pasal 22 wajib disampaikan kepada Kantor Pelayanan Pajak di tempat wajib pajak terdaftar selambat-lambatnya 20 hari setelah masa pajak berakhir dengan dilampiri lembar kedua dan Surat Setoran Pajak (SSP) lembar ketiga. Contoh: Industri kertas PT. Meranti Kaltim menjual berbagai jenis kertas kepada CV. Berlian yang merupakan distributor tunggal industri tersebut di Kaltim dengan perincian sebagai berikut. Harga kertas = Rp 250.000.000,00 PPN (%) = Rp 25.000.000,00 + Jumlah Pembayaran = Rp 225.000.000,00 Berdasarkan data di atas, hitunglah berapa pungutan PPh Pasal 22? Perhitungannya sebagai berikut. PPh Pasal 22 = 0,1% x Rp 250.000.000,00 = Rp 250.000,00

6.32 Administrasi Perpajakan  Dari contoh di atas, CV. Berlian sebagai distributor tunggal dari industri kertas PT. Meranti Kaltim tidak boleh memungut PPh Pasal 22 pada saat menjual kertas kepada pedagang kertas. Hal ini dikarenakan: a) CV. Berlian tidak ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22 oleh KPP; b) CV. Berlian bukan merupakan industriawan. Hal serupa berlaku juga untuk industri semen dan industri baja, perbedaan terletak pada tarifnya. 6) Mekanisme Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan PPh Pasal 22 atas penjualan hasil produksi Pertamina dan Badan Usaha selain Pertamina yang bergerak di bidang bahan bakar minyak jenis premix dan gas. Untuk penjualan hasil produksi oleh Pertamina dan penyerahan bahan bakar minyak dan gas oleh badan usaha selain Pertamina dipungut PPh Pasal 22 dengan cara dilunasi sendiri oleh wajib pajak (penyalur dan atau agen) ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dengan menggunakan formulir Surat Setoran pajak (SSP) yang merupakan bukti pemungutan pajak. Pertamina dan Badan Usaha selain Pertamina yang bergerak di bidang bahan bakar minyak dan gas harus melaporkan PPh Pasal 22 yang telah disetorkan dengan cara menyampaikan SPT masa PPh Pasal 22 selambat-lambatnya 20 hari setelah masa pajak berakhir. 7) Mekanisme Pemungutan, Penyetoran dan Pelaporan PPh Pasal 22 atas Penyerahan Gula Pasir. Penyalur atau grosir atau tepung terigu wajib menyetor PPh Pasal 22 final melalui Bank Persepsi sebelum menebus DO (delivery order) ke BULOG PPh Pasal 22 yang terutang. Dengan Surat Edaran No. 13/PJ.43/2001 yang menyatakan bahwa BULOG sudah tidak sebagai pemungut PPh Pasal 22 atas penyaluran gula pasir dan tepung terigu. c. Mekanisme pemungutan PPh Pasal 23 UU PPh1983 Pasal 23 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 17 Tahun 2000 meminta kepada subjek pajak badan dalam negeri dan penyelenggara kegiatan untuk memotong pajak penghasilan atas pembayaran yang berupa dividen, bunga, royalti, hadiah, sewa, dan imbalan atas jasa.

 ADBI4330/MODUL 6 6.33 Pajak Penghasilan Pasal 23 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau pada akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan. Yang dimaksud saat terutangnya penghasilan yang bersangkutan adalah saat pembebanan sebagai biaya oleh pemotong pajak sesuai dengan metode pembukuan yang dianutnya. Adapun mekanismenya adalah sebagai berikut. 1) Pajak Penghasilan Pasal 23 harus disetorkan oleh Pemotong Pajak selambat-lambatnya tanggal 10 bulan takwim berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak ke bank persepsi atau Kantor Pos Indonesia. 2) Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23 diwajibkan menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa selambat-lambatnya 20 hari setelah Masa Pajak berakhir. 3) Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23 harus memberikan tanda bukti pemotongan kepada orang pribadi atau badan yang dibebani Pajak Penghasilan yang dipotong. 4) Pelaksanaan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan PPh Pasal 23 dilakukan secara desentralisasi artinya dilakukan di tempat terjadinya pembayaran atau terutangnya penghasilan yang merupakan objek PPh Pasal 23. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah pengawasan terhadap pelaksanaan pemotongan PPh Pasal 23 tersebut. Transaksi- transaksi yang merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23 yang pembayarannya dilakukan oleh kantor pusat, sedangkan objek PPh Pasal 23 yang pembayarannya dilakukan oleh kantor cabang, misalnya sewa kantor cabang, PPh Pasal 23 dipotong, disetor, dan dilaporkan oleh Kantor Cabang yang bersangkutan. d. Mekanisme pemungutan PPh Pasal 24 Pajak Penghasilan Pasal 24 merupakan pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh wajib pajak dalam negeri. Pengenaan PPh Pasal 24 ini sangat memungkinkan x dalam negeri terkena pajak berganda. Untuk meringankan beban pajak ganda yang dapat terjadi karena pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri maka besarnya pajak atas penghasilan wajib pajak dalam negeri yang terutang atau dibayar di luar negeri tersebut dapat dikreditkan terhadap total pada terutang atas seluruh penghasilan wajib pajak dalam negeri.

6.34 Administrasi Perpajakan  Jumlah pajak atas penghasilan wajib pajak dalam negeri yang dibayar atau terutang di luar negeri tersebut dihitung berdasarkan tarif pajak yang berlaku di negara yang bersangkutan. Jumlah pajak yang dibayar atau terutang di luar ngeri tersebut mungkin tidak semuanya dapat dikreditkan dari total pajak terutang di Indonesia. Pasal 24 UU No. 17 Tahun 2000, selanjutnya mengatur ketentuan besarnya pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang dapat dikreditkan dari total pajak penghasilan terutang di Indonesia. 1) Permohonan Kredit Pajak Luar Negeri Agar pajak yang terutang di luar negeri dapat dikreditkan, maka Wajib Pajak harus menyampaikan surat permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak dengan dilampiri: a) laporan keuangan tentang penghasilan yang berasal dari luar negeri; b) photo copy Surat Pemberitahuan Pajak yang disampaikan di luar negeri; c) dokumen pembayaran pajak di luar negeri. Permohonan kredit pajak luar negeri tersebut harus disampaikan bersamaan dengan penyampaian Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan. Direktur jenderal pajak dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian lampiran-lampiran permohonan tersebut karena alasan-alasan di luar kekuasaan Wajib Pajak. 2) Saat Perolehan Dividen Saat perolehan dividen dalam rangka penggabungan penghasilan ditetapkan sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan yaitu berikut ini. a) Pada bulan keempat setelah akhir batas waktu kewajiban untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan (SPT Tahunan PPh) badan usaha di luar negeri untuk tahun pajak yang bersangkutan. b) Jika tidak ditentukan batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh, atau tidak ada kewajiban penyampaian SPT PPh, saat diperolehnya dividen adalah pada bulan ketujuh setelah tahun pajak berakhir. Apabila kemudian terjadi pembagian dividen selain dividen yang telah dibagikan, maka dividen tersebut wajib dilaporkan dalam Surat

 ADBI4330/MODUL 6 6.35 Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan (SPT Tahunan PPh) pada tahun dibagikannya dividen tersebut. e. Mekanisme pemungutan PPh Pasal 26 Beberapa penghasilan yang terutang Pajak Penghasilan Pasal 26 pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau terutangnya penghasilan yang bersangkutan, yaitu sebagai berikut. 1) Penghasilan yang bersumber dari modal dalam bentuk dividen, bunga termasuk premium, diskonto, premi swap, imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang, royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, penghasilan sehubungan dengan jasa, pekerjaan dan kegiatan, hadiah dan penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, pensiun dan pembayaran berkala lainnya. 2) Penghasilan dari penjualan harta di Indonesia. 3) Premi asuransi dan reasuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri. Pajak Penghasilan Pasal 26 yang telah dipotong harus disetorkan selambat-lambatnya tanggal 10 bulan takwim berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak. Pemotong PPh Pasal 26 diwajibkan untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa selambat-lambatnya 20 hari setelah masa pajak berakhir. Pemotong Pajak PPh Pasal 26 harus memberikan tanda bukti pemotongan PPh Pasal 26 kepada orang pribadi atau badan yang dibebani membayar Pajak Penghasilan yang dipotong. Pemotongan PPh Pasal 26 atas penghasilan berupa penghasilan kena pajak sesudah dikurangi pajak dari semua bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia, terutang dan harus dibayar lunas selambat-lambatnya tanggal 25 bulan ketiga setelah tahun pajak atau bagian tahun pajak berakhir, sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan disampaikan. Namun, apabila BUT tersebut meminta perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT tahunan, pemotong PPh Pasal 26 didasarkan pada penghitungan sementara, terutang dan harus dibayar lunas pada saat surat permohonan perpanjangan disampaikan, akan tetapi tidak melampaui tanggal dua puluh lima bulan ketiga setelah tahun pajak atau bagian tahun pajak berakhir.

6.36 Administrasi Perpajakan  2. Pembayaran Pajak dalam Tahun Berjalan oleh Wajib Pajak Sendiri a. Pajak penghasilan Pasal 25 Pembayaran dalam tahun berjalan yang dilakukan oleh wajib pajak sendiri melalui angsuran setiap bulan dalam tahun pajak berjalan adalah pembayaran PPh Pasal 25 UU No. 7 Tahun 1983 sebagaimana telah kerap kali diubah dan terakhir dengan UU No. 17 Tahun 2000. Tujuan pembayaran angsuran setiap bulan itu sendiri dimaksud untuk meringankan beban wajib pajak dalam membayar pajak terutang. Angsuran PPh Pasal 25 tersebut dapat dijadikan kredit pajak terhadap pajak yang terutang atas seluruh penghasilan wajib pajak pada akhir tahun pajak, yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan. 1) Mekanisme penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 25 Kegiatan Wajib Pajak dalam Penyetoran dan Pelaporan PPh Pasal 25 adalah sebagai berikut. a) PPh Pasal 25 harus dibayar/disetorkan selambat-lambatnya pada tanggal 15 bulan takwim berikutnya setelah masa pajak berakhir. b) Wajib pajak diwajibkan untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa selambat-lambatnya 20 setelah masa pajak berakhir. c) Bagi Wajib Pajak pengusaha tertentu, berlaku ketentuan sebagai berikut: (1) Jika Wajib Pajak memiliki beberapa tempat usaha dalam satu wilayah kerja KPP, harus mendaftarkan masing-masing tempat usahanya di KPP yang bersangkutan. (2) Wajib Pajak yang memiliki beberapa tempat usaha di lebih dari 1 wilayah kerja KPP, harus mendaftarkan setiap tempat usahanya di KPP masing-masing tempat usaha Wajib Pajak berada. (3) Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan harus disampaikan di KPP tempat domisili Wajib Pajak terdaftar dengan batas waktu seperti pada ketentuan No. 2. b. Pajak penghasilan Pasal 21 Pembayaran pajak oleh wajib pajak orang pribadi yang menerima penghasilan sehubungan dengan pekerjaan dari badan-badan yang tidak wajib melakukan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 UU PPh. Wajib pajak ini, wajib memiliki NPWP

 ADBI4330/MODUL 6 6.37 dan melaksanakan sendiri penghitungan dan pembayaran pajak penghasilan terutang dalam tahun pajak berjalan serta melaporkannya dalam SPT. B. PEMBAYARAN PAJAK PADA AKHIR TAHUN Pelunasan pajak pada akhir tahun yang dimaksud adalah sebagai berikut. 1. Membayar pajak yang kurang disetor dengan menghitung sendiri jumlah pajak penghasilan yang terutang untuk satu tahun pajak dikurangi dengan jumlah kredit pajak tahun yang bersangkutan sebagaimana diatur dalam Pasal 29 UU PPh. Untuk pajak penghasilan Pasal 29 paling lambat disetor tanggal 25 Maret tahun takwim berikutnya, misalnya SPT Tahun 2006 terdapat PPh Pasal 21 kurang bayar sebesar Rp1.000.000,00, maka harus disetor paling lambat tanggal 25 Maret 2007 ke bank persepsi atau kantor pos. 2. Membayar pajak yang kurang disetor karena menerima surat ketetapan pajak (SKPKB) ataupun Surat Tagihan Pajak yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Mekanisme Pemungutan Pajak Akhir Tahun Setiap berakhirnya tahun takwim (pajak), tepatnya tanggal 31 Desember, pada wajib pajak melekat kewajiban untuk mengambil SPT PPh di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di tempat pendaftaran. Setelah SPT PPh diisi kepada wajib pajak diwajibkan untuk menyampaikan SPT kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak. Dalam mengisi SPT PPh sekaligus menghitung besarnya pajak terutang. Dalam hal pajak terutang lebih besar dari jumlah pajak yang dikreditkan maka kekurangannya harus dilunasi sebelum SPT disampaikan kepada Kantor Pelayanan Pajak. SPT PPh harus disampaikan paling lambat tanggal 31 Maret tahun pajak berikutnya. Sedangkan pelunasannya harus dilakukan paling lambat tanggal 25 Maret, juga tahun pajak berikutnya. Apabila wajib pajak tidak sanggup memenuhi jatuh tempo penyampaian SPT PPh, wajib pajak dapat mengajukan penundaan dengan menyampaikan perhitungan sementara. Tetapi, apabila ternyata dalam perhitungan sementara terdapat kurang bayar maka kekurangan tersebut harus dilunasi sebelum perhitungan sementara disampaikan bersamaan dengan permohonan penundaan kewajiban penyampaian SPT PPh.

6.38 Administrasi Perpajakan  C. PAJAK PENGHASILAN FINAL Pajak penghasilan bersifat final adalah di mana seluruh pajak yang telah dipotong/dipungut oleh pihak pemotong/pemungut dianggap final (telah selesai) tanpa harus menunggu perhitungan dari pihak fiskus, atau dapat dikatakan bahwa pajak yang telah dipotong atau dibayar dianggap telah selesai penghitungannya walaupun surat ketetapan pajak belum ada. Hal ini dianggap benar secara hierarki selama berdasarkan Peraturan Pemerintah sebagaimana diatur pada Pasal 4 ayat (2) Undang-undang No. 7 Tahun 1983 tentang pajak penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang No. 17 Tahun 2000. Dalam pengertian yang lebih spesifik, pemungutan PPh bersifat final berarti jumlah pajak yang telah dibayarkan dalam tahun berjalan melalui pemotongan (oleh pemberi kerja atau pemotong yang lain) tidak dapat dikreditkan dari total PPh yang terutang pada akhir suatu tahun saat mengisi Surat Pemberitahuan. Pajak Penghasilan final sesuai Pasal 4 ayat (2) ini terdiri atas berikut ini. 1. Peraturan Pemerintah No. 131 Tahun 2000 mengenai Pajak Penghasilan atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto SBI Pajak Penghasilan atas bunga deposito/tabungan, diskonto, SBI, dan Jasa Giro adalah Pajak Penghasilan yang dikenakan terhadap perolehan penghasilan dari bunga deposito, tabungan, dan diskonto SBI. Atas penghasilan berupa bunga dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh berupa bunga deposito dan tabungan serta diskonto SBI dipotong Pajak Penghasilan yang bersifat final. Pengertian dari pemotongan Pajak Penghasilan yang bersifat final adalah apabila Wajib Pajak menerima atau memperoleh penghasilan berupa bunga deposito atau tabungan termasuk jasa giro serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia, maka penghasilan tersebut tidak perlu digabungkan dengan penghasilan lainnya dalam penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang sewaktu mengisi Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan. Penghasilan yang telah dipotong tersebut tidak dapat dikreditkan dengan Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang dilaporkan. a. Besarnya pengenaan pajak penghasilan Berikut adalah besarnya pengenaan pajak penghasilan. 1) Atas bunga deposito, tabungan, dan diskonto SBI dikenakan pajak sebesar 20% dari jumlah bruto dan bersifat final. Pengenaan pajak ini berlaku untuk Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap.

 ADBI4330/MODUL 6 6.39 2) Atas bunga deposito, tabungan, dan diskonto SBI untuk Wajib Pajak luar negeri dikenakan pajak sebesar 20% dari jumlah bruto atau dengan tarif berdasarkan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yang berlaku dan bersifat final. b. Pengecualian Dikecualikan dari pemotongan pajak penghasilan adalah sebagai berikut. 1) Bunga deposito dan tabungan serta diskonto SBI sepanjang jumlah deposito dan tabungan serta diskonto SBI tersebut tidak melebihi Rp7.500.000,00 dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah. 2) Bunga dan diskonto yang diterima atau diperoleh bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia. 3) Bunga deposito dan tabungan serta diskonto SBI yang diterima atau diperoleh Dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan sepanjang dananya diperoleh dari sumber pendapatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Undang-undang No. Tahun 1992 tentang Dana Pensiun. 4) Bunga tabungan pada bank yang ditunjuk Pemerintah dalam rangka pemilikan rumah sederhana dan sangat sederhana, kapling siap bangun untuk rumah sederhana dan sangat sederhana, atau rumah susun sederhana sesuai dengan ketentuan yang berlaku, untuk dihuni sendiri. c. Surat Keterangan Bebas Pemotongan Surat Keterangan Bebas (SKB) Pemotongan Pajak Penghasilan dapat diberikan atas bunga deposito dan tabungan serta diskonto SBI yang diterima atau diperoleh Dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan. Surat Keterangan Bebas pemotongan ini diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Pajak di wilayah Dana Pensiun tersebut terdaftar. Permohonan SKB tersebut dapat diberikan untuk setiap deposito dan tabungan serta diskonto SBI. Adapun persyaratannya adalah mengisi formulir Permohonan Surat Keterangan Bebas Pemotongan Pajak Penghasilan atas bunga deposito dan tabungan serta diskonto SBI yang dilampiri dengan foto copy berikut ini. 1) Keputusan Menteri Keuangan tentang Pengesahan Pendirian Dana Pensiun.

6.40 Administrasi Perpajakan  2) Laporan Keuangan triwulan terakhir. 3) Sertifikat/bilyet/buku deposito, tabungan, dan sertifikat Bank Indonesia. Mekanisme pihak pemotong atau bank pemotong adalah: 1) memotong PPh terutang atas bunga dan diskonto yang dibayarkan kepada penerima penghasilan; 2) memberikan bukti pemotongan PPh bunga deposito, tabungan dan Tabungan serta Diskonto SBI; 3) menyetorkan pemotongan PPh yang telah dilakukan ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro selambat-lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya; 4) melaporkan PPh yang telah dipotong dan disetor ke KPP setempat dengan menggunakan formulir laporan pemotongan dan penyetoran PPh atas bunga deposito, tabungan dan Tabungan serta Diskonto SBI, dan jasa giro selambat-lambatnya tanggal 20 bulan berikutnya. 2. Peraturan Pemerintah No. 132 Tahun 2000 mengenai Pajak Penghasilan atas Hadiah Undian Penghasilan yang diterima atau diperoleh dari hadiah undian dengan nama dan dalam bentuk apapun merupakan Objek Pajak Penghasilan. Dengan demikian apabila orang pribadi atau badan menerima atau memperoleh penghasilan dari hadiah undian, penghasilan tersebut termasuk dalam pengertian penghasilan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b tertera “hadiah undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan”. Adapun pertimbangannya adalah dalam rangka meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak khususnya pajak atas hadiah undian, meningkatkan kepatuhan orang pribadi atau badan dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, dan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang No. 17 Tahun 2000, pengenaan Pajak Penghasilan atas hadiah undian tersebut perlu diatur tersendiri dengan Peraturan Pemerintah.

 ADBI4330/MODUL 6 6.41 Pengenaan Pajak Besarnya pengenaan pajak penghasilan yang wajib dipotong atau dipungut atas penghasilan berupa hadiah undian adalah sebesar 25% dari jumlah bruto hadiah undian. Adapun pertimbangan dikenakan sebesar 25% adalah dalam rangka meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak penghasilan berupa hadiah undian dengan nama dan dalam bentuk apapun. Penghasilan berupa hadiah undian, baik yang diterima atau diperoleh orang pribadi dan badan dalam negeri maupun wajib pajak luar negeri dikenakan pemotongan atau pemungutan pajak penghasilan dengan pengenaan sebesar 25% dari jumlah bruto nilai hadiah. Penghasilan berupa hadiah undian bukan merupakan suatu imbalan secara langsung atas pekerjaan atau jasa yang dilakukan oleh wajib pajak, dan cara memperolehnya juga tidak memerlukan biaya dan tenaga sebagaimana yang terjadi seperti dalam imbalan atas pekerjaan. Karena pertimbangan tersebut, atas penghasilan berupa hadiah undian dengan nama dan dalam bentuk apapun dipotong atau dipungut pajak penghasilan sebesar 25% dan bersifat final. Pemotongan atau pemungutan pajak penghasilan tersebut wajib dilakukan oleh semua penyelenggara undian. Pengertian dari jumlah bruto nilai hadiah adalah jumlah bruto dari nilai uang atau nilai pasar apabila hadiah tersebut diserahkan dalam bentuk natura, seperti hadiah mobil. Contoh: Marzuki pada tanggal 10 Oktober 2006 mendapat hadiah undian dari Bank Danamon sebesar Rp100.000.000,00. Untuk itu Marzuki harus dikenai pajak. Penyelesaian: 1) Atas pendapatan tersebut, Bank Danamon harus memotong PPh final Pasal 4 ayat (2) sebesar 25% x penghasilan bruto undian. 2) Dengan demikian, uang yang diterima bersih Marzuki setelah pajak adalah Rp7.500.000,00. 3) Bank Danamon menyetor Rp2.500.000,00 ke kas negara tanggal 10 bulan berikutnya dan melaporkannya ke KPP tanggal 20 bulan berikutnya serta memberikan bukti potong tersebut kepada Marzuki saat pembayaran atau pembebanan (KMK 639/KMK.04/1994). 4) Hadiah undian tidak mengenal apakah diberikan ke Wajib Pajak orang pribadi atau badan, dan tidak mengenal batasan pendapatan atau saldo, seluruhnya dikenakan pajak.

6.42 Administrasi Perpajakan  3. Peraturan Pemerintah No. 140 Tahun 2000 mengenai Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi Jasa konstruksi merupakan layanan jasa konsultasi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultasi pengawasan konstruksi. Adapun pekerjaan konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan dan atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain. Pengertian jasa konstruksi ini juga berlaku bagi wajib pajak dengan status sebagai kontraktor maupun sebagai subkontraktor. Untuk penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap dari usaha di bidang jasa konstruksi dikenakan pajak penghasilan berdasarkan ketentuan umum pajak penghasilan, kecuali wajib pajak yang berstatus dengan kualifikasi usaha kecil termasuk usaha jasa konstruksi perseorangan. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang memenuhi kualifikasi sebagai usaha kecil berdasarkan sertifikasi yang dimiliki yang mengerjakan proyek dengan nilai pengadaan sampai dengan Rp1.000.000.000,00, dikenakan pajak penghasilan yang bersifat final. Apabila wajib pajak telah memenuhi kualifikasi sebagai usaha kecil berdasarkan sertifikat yang dimiliki, tetapi mengerjakan proyek dengan nilai pengadaannya lebih dari Rp1.000.000.000,00, atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dikenakan pajak penghasilan berdasarkan ketentuan umum Undang-undang Pajak Penghasilan. a. Pelunasan pajak penghasilan Sesuai dengan Undang-undang Pajak Penghasilan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap dari jasa konstruksi dilunasi dengan: 1) dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 Undang-undang Pajak Penghasilan oleh pengguna jasa, seperti badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya, pada saat pembayaran uang muka atau termijn; 2) dikenakan berdasarkan ketentuan Pajak Penghasilan Pasal 25 Undang- undang Pajak Penghasilan, dalam hal pemberi penghasilan adalah

 ADBI4330/MODUL 6 6.43 pengguna jasa lainnya selain pengguna jasa lainnya selain pengguna jasa pada huruf a di atas; 3) dikenakan Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 pada usaha kecil besertifikat dengan ketentuan besarnya pajak penghasilan yang harus dipotong oleh pengguna jasa seperti badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya, pada saat pembayaran uang muka atau termijn; 4) dikenakan pajak yang bersifat final pada usaha kecil besertifikat sesuai dengan ketentuan besarnya Pajak Penghasilan yang harus disetor sendiri, dengan cara menyetor sendiri Pajak Penghasilan yang terutang pada saat menerima pembayaran uang muka dan termijn, dalam hal pemberi penghasilan adalah pengguna jasa lainnya selain pengguna jasa pada huruf c di atas. b. Pengenaan pajak Besarnya pengenaan pajak penghasilan yang terutang dan harus dipotong oleh pengguna jasa atau disetor sendiri oleh wajib pajak penyedia jasa yang bersangkutan ditetapkan seperti di bawah ini. 1) Sebesar 4% dari jumlah bruto yang diterima Wajib Pajak penyedia jasa perencanaan konstruksi. 2) Sebesar 2% dari jumlah bruto yang diterima Wajib Pajak penyedia jasa pelaksanaan konstruksi. 3) Sebesar 4% dari jumlah bruto yang diterima Wajib Pajak penyedia jasa pengawasan konstruksi. Contoh 1: PT Monzaria pada tanggal 10 Desember 2006 mendapat proyek jasa konstruksi senilai Rp2.000.000.000,00 dari Pemda Surakarta. Penyelesaian: 1) Atas pendapatan dari jasa konstruksi, Pemda Surakarta harus memotong PPh Pasal 23 UU PPh sebesar 2% x penghasilan bruto. 2) Karena nilai per proyek di atas Rp1.000.000.000,00, objek PPh-nya adalah Pasal 23. Dengan demikian uang yang diterima bersih oleh PT Monzaria setelah dipotong pajak adalah Rp1.960.000.000,00. 3) Pemda Sukabumi berkewajiban menyetor Rp40.000.000,00 ke kas negara paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya dan melaporkannya ke

6.44 Administrasi Perpajakan  KPP paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya serta memberikan bukti potong tersebut kepada PT. Monzaria. 4) Di samping menyetor PPh Pasal 23, Pemda Surakarta juga harus menyetor PPN-nya sendiri karena Pemda merupakan salah satu wajib pungut. 5) Sesuai prinsip, PPN dikenakan atas konsumen. Dengan demikian apabila bukan pemungut, penyetoran PPN menggunakan prinsip withholding system, di mana pajaknya dipungut, disetor, dan dilaporkan oleh pihak ketiga/pihak lain. Contoh 2: PT. Bumikarsa pada tanggal 5 Januari 2006, mendapat proyek jasa konstruksi dari pak Budiono (orang pribadi dan bukan pemotong PPh Pasal 23). Nilai proyek adalah sebesar Rp100.000.000,00. Mengingat Pak Budiono bukan pemotong PPh Pasal 23 maka PT. Bumikarsa harus melakukan penghitungan pada akhir tahun. Penyelesaian: Atas pendapatan dari jasa konstruksi ini dihitung dalam laporan laba rugi dan PPh yang dibayar adalah PPh Pasal 25 dan bersifat tidak final. 4. Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2002 mengenai Pajak Penghasilan atas Bunga dan Diskonto Obligasi yang Diperdagangkan di Bursa Efek Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib pajak penghasilan berupa bunga dan diskonto obligasi yang diperdagangkan dan/atau dilaporkan perdagangannya di Bursa Efek dikenakan pemotongan pajak penghasilan yang bersifat final kecuali bagi wajib pajak tertentu. a. Pengenaan pajak Besarnya pengenaan pemotongan Pajak Penghasilan ditentukan seperti di bawah ini. 1) Atas bunga obligasi dengan kupon (interest bearing bong): a) sebesar 20% dari jumlah bruto sesuai dengan masa kepemilikan (holding period) obligasi bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap (BUT); b) sebesar 20% atau tarif sesuai dengan ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yang berlaku dari jumlah bruto

 ADBI4330/MODUL 6 6.45 sesuai dengan masa kepemilikan (holding period) obligasi bagi wajib pajak penduduk atau berkedudukan di luar negeri. 2) Atas diskonto obligasi dengan kupon: a) sebesar 20% dari selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan obligasi, tidak termasuk bunga berjalan (accrued interest), bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap (BUT); b) sebesar 20% atau tarif sesuai dengan ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dari selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan obligasi, tidak termasuk bunga berjalan (accrued interest), bagi wajib pajak penduduk atau berkedudukan di luar negeri. 3) Atas diskonto obligasi tanpa bunga (zero coupond bond): a) sebesar 20% dari selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan obligasi, bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap (BUT); b) sebesar 20% atau tarif sesuai dengan ketentuan Persetuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yang berlaku, bagi wajib pajak penduduk atau berkedudukan di luar negeri. b. Pengecualian Adapun pihak-pihak yang menerima penghasilan berupa bunga dan diskonto obligasi yang tidak dikenakan pemotongan pajak penghasilan yang bersifat final. 1) Bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia. 2) Dana Pensiun yang pendiriannya atau pembentukannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan. 3) Reksadana yang terdaftar pada Badan Pengawas Pasal Modal (Bapepam) selama 5 tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian izin usaha. 4) Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang seluruh penghasilannya termasuk bunga dan diskonto obligasi tersebut dalam 1 (satu) tahun pajak tidak melebihi jumlah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).

6.46 Administrasi Perpajakan  c. Mekanisme pemungutan Apabila wajib pajak orang pribadi dalam negeri yang seluruh penghasilannya termasuk penghasilan berupa bunga dan diskonto obligasi dalam suatu tahun pajak ternyata tidak melebihi jumlah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), wajib pajak yang bersangkutan dapat mengajukan permohonan pengembalian jumlah pajak yang telah dipotong (restitusi). Permohonan restitusi tersebut dapat diajukan ke Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal wajib pajak yang bersangkutan. Permohonan restitusi harus diajukan secara tertulis dalam jangka waktu 30 hari kerja terhitung sejak tanggal permohonan pajak penghasilan dengan dilampiri berikut ini. 1) Rincian sumber dan perhitungan besarnya penghasilan yang diterima dalam waktu 2 tahun terakhir. 2) Bukti pemotongan Pajak Penghasilan atas penghasilan bunga diskonto obligasi yang dimintakan restitusi. 3) Fotokopi SPPT/STTS Pajak Bumi dan Bangunan tahun terakhir. 4) Fotokopi Kartu Keluarga dan Kartu Tanda Penduduk. Apabila jangka waktu 30 hari terlampaui dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak belum memberikan suatu keputusan maka permohonan Wajib Pajak dianggap diterima dan Surat Keputusan Kelebihan Pembayaran Pajak harus diterbitkan paling lambat dalam jangka waktu 7 hari harus diterbitkan. Contoh Penjualan bunga di bursa efek: PT Maju pada tanggal 2 Januari 2006 menjual obligasi dengan kupon. Adapun harga jual obligasi adalah Rp100.000.000,00 sedangkan nilai perolehannya Rp80.000.000,00. Penyelesaian: 1) Atas penjualan obligasi ini, PT Maju harus memotong PPh final sebesar 20% x (Rp100.000.000,00 – Rp80.000.000,00) = Rp4.000.000,00. 2) Pemotong PPh final ini adalah penerbit obligasi (emiten) atau kustodian yang ditunjuk selaku agen pembayaran, atau perusahaan efek (broker) atau bank selaku pedagang perantara atau pembeli atas transaksi diskonto atau bunga yang diterima pemegang obligasi. 3) Pemotong PPh ini wajib menyetorkan ke kas negara paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya dan melaporkannya ke KPP tanggal 20 bulan berikutnya.


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook