Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore 0012-ADBI4330-A

0012-ADBI4330-A

Published by katalogpenerbit, 2019-05-28 06:17:38

Description: 0012-ADBI4330-A

Search

Read the Text Version

 ADBI4330/MODUL 6 6.47 5. Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 2002 mengenai Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan atau Bangunan PPh atas sewa tanah dan/atau bangunan diatur dalam PP No. 29 Tahun 1996 jo. PP No. 5 Tahun 2002 tanggal 23 Maret 2002 dan KMK- 120/KMK.03/1/2002 tanggal 1 April 2002 dengan ketentuan sebagai berikut: a. Atas penghasilan sewa tanah dan/atau bangunan yang diterima oleh Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan dikenakan tarif 10% dari Nilai Bruto Persewaan dan bersifat final. b. Pajak Penghasilan tersebut wajib dipotong oleh penyewa yang bertindak atau ditunjuk sebagi Pemotong Pajak. c. Dalam hal penyewa bukan sebagai Pemotong Pajak maka PPh terutang wajib dibayar sendiri oleh orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan. d. Nilai Bruto Penyewaan Tanah dan/atau bangunan termasuk biaya perawatan, biaya pemeliharaan, biaya keamanan/fasilitas lain dan “service charge”, baik perjanjiannya dipisah maupun disatukan dengan perjanjian sewa menyewa. e. Dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal 23 adalah sewa tanah dan/atau bangunan dengan cara sewa guna usaha dengan hak opsi (Capital Lease). Contoh: Firman Kamal adalah seorang Notaris yang memperoleh surat penunjukan sebagai pemungut pajak. Pada tahun 2006 menyewa gedung untuk kantor dengan nilai Rp75.000.000,00. Berapakah PPh yang harus dipotong? dan bagaimana cara penyetoran dan pelaporannya? Penyelesaian: PPh yang harus dipotong adalah sebesar 10% x Rp75.000.000,00 = Rp7.500.000,00. Notaris Firman Kamal harus menyetorkan PPh yang dipotongnya menggunakan SSP a.n. dan NPWP Notaris Firman kamal paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya, dan membuat Bukti Pemotongan PPh final sewa gedung sebanyak 3 lembar untuk penerima pembayaran, KPP, dan ARSIP Notaris Firman Kamal. Pelaporan paling lambat dilakukan pada tanggal 20 bulan berikutnya dengan menyerahkan: a. SPT Masa PPh Pasal 4 ayat(2); b. SSP lembar ke 3;

6.48 Administrasi Perpajakan  c. daftar bukti potong; dan d. bukti pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2). Karena PPh Pasal 4 ayat (2) merupakan pemotongan pajak yang bersifat final maka firman Kamal tidak dapat mengkreditkan pajak yang dipotongnya. 6. Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2000 mengenai Pajak Penghasilan Perusahaan Modal Ventura dari Transaksi Penjualan Saham atau Pengalihan Penyertaan Modal pada Perusahaan Pasangan Usahanya Dalam rangka mendorong perkembangan perusahaan modal ventura dan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-undang No. 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang No. 17 Tahun 2000 maka dipandang perlu untuk mengatur ketentuan tersendiri tentang pajak penghasilan atas penghasilan perusahaan modal ventura yang merupakan keuntungan karena transaksi penjualan saham atau pengalihan modal pada perusahaan pasangan usahanya. Mengingat ketentuan tentang pajak penghasilan atas keuntungan karena transaksi penjualan saham yang diperdagangkan di bursa efek telah diatur tersendiri maka pengenaan pajak penghasilan atas keuntungan dari penjualan saham yang dilakukan oleh perusahaan modal ventura melalui bursa efek tetap mengacu kepada ketentuan dimaksud. Adapun yang menjadi subjek pajak penghasilan adalah perusahaan modal ventura, dan objek pajaknya adalah penghasilan yang diterima perusahaan modal ventura dari transaksi penjualan sahan atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangan usahanya yang memenuhi syarat sebagai berikut. a. Perusahaan kecil, menengah, atau yang melakukan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, antara lain: 1) penyertaan modal perusahaan modal ventura pada setiap perusahaan pasangan usaha dilakukan selama perusahaan pasangan usaha tersebut belum menjual saham di bursa efek dan untuk jangka waktu tidak melebihi 10 tahun; 2) penghasilan berupa bagian laba yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura dan penyertaan modal pada perusahaan pasangan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 yang

 ADBI4330/MODUL 6 6.49 memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bukan merupakan Objek Pajak Penghasilan; 3) apabila perusahaan pasangan usaha menjual sahamnya di bursa efek, perusahaan modal ventura harus menjual sahamnya pada perusahaan pasangan usaha selambat-lambatnya 36 bulan sejak perusahaan pasangan usaha tersebut diizinkan oleh Badan Pengawas Pasar Modal menjual sahamnya di Bursa Efek. b. Perusahaan yang sahamnya tidak diperdagangkan di Bursa Efek. Atas penghasilan perusahaan ventura dari transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya sesuai tarif pada Pasal 4 ayat (2) adalah 0,1% dari jumlah bruto nilai transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal. 7. Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 1999 mengenai Pembayaran Pajak Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan atau Bangunan Penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh wajib pajak badan atau wajib pajak orang pribadi dari persewaan tanah dan/atau bangunan dikenakan PPh yang bersifat final. Objek pajak PPh atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan berupa tanah, rumah, rumah susun, apartemen, kondominium, gedung perkantoran, gedung pertokoan, atau gedung pertemuan termasuk bagiannya, rumah kantor, toko, rumah toko, gudang, dan bangunan industri. Besarnya PPh yang terutang atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan yang terutang bagi wajib pajak orang pribadi maupun wajib pajak badan yang menerima penghasilan dari persewaan tanah dan atau bangunan ditetapkan sebesar 10% dari jumlah bruto nilai persewaan. Mekanisme Pembayaran Pembayaran Pajak Penghasilan dari persewaan tanah dan atau bangunan dilakukan melalui berikut ini. 1) Pemotongan oleh penyewa dalam hal penyewa adalah: a) Badan Pemerintah; b) subjek pajak badan dalam negeri; c) penyelenggara kegiatan; d) bentuk usaha tetap;

6.50 Administrasi Perpajakan  e) kerja sama operasi; f) perwakilan perusahaan luar negeri lainnya; dan g) orang pribadi yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. 2) penyetoran dilakukan sendiri oleh yang menyewakan dalam hal penyewa adalah orang pribadi atau bukan Subjek Pajak. Dalam melaksanakan pemotongan Pajak Penghasilan adalah badan atau orang pribadi yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak, pihak yang wajib: 1) memotong pajak penghasilan yang terutang pada saat pembayaran atau terutangnya sewa, tergantung peristiwa mana lebih dahulu terjadi; 2) menyetor pajak penghasilan yang terutang ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro paling lambat Tanggal 10 bulan takwim berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya sewa; 3) melaporkan pemotongan dan pemungutan pajak penghasilan yang terutang ke Kantor Pelayanan Pajak paling lambat tanggal 20 bulan takwim berikutnya setelah bulan pembayaran terutangnya sewa. Dalam melaksanakan penyetoran sendiri pajak penghasilan dalam hal penyewa adalah orang pribadi atau bukan subjek pajak, pihak yang menyewakan wajib: 1) menyetor pajak penghasilan yang terutang ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro paling lambat tanggal 15 bulan takwim berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya sewa; 2) melaporkan pemotongan dan penyetoran pajak penghasilan yang terutang ke Kantor Pos dan Giro paling lambat tanggal 20 (per : 20 hari) bulan takwim berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya sewa. 8. Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1997 mengenai Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Transaksi Penjualan Saham di Bursa Efek Dalam rangka mendorong perkembangan pasar modal dan untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak maka atas penghasilan dari penjualan dalam di bursa efek yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dikenakan pajak penghasilan yang bersifat final.

 ADBI4330/MODUL 6 6.51 Penyelenggara Bursa Efek wajib melakukan pemungutan pajak penghasilan atas setiap penghasilan yang diterima dari transaksi penjualan saham di Bursa Efek. Pengenaan pajak penghasilan dilakukan dengan cara pemungutan oleh Penyelenggara Bursa Efek melalui perantara pedagang efek pada saat pelunasan transaksi penjualan saham. Perantara pedagang efek ini adalah perusahaan efek yang bertindak baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan pembeli saham. Mekanisme Adapun besarnya tarif Pajak Penghasilan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari transaksi penjualan saham di bursa efek di pungut sebesar 0.01% dari nilai saham perusahaan pada saat penutupan bursa di akhir tahun 1996. Adapun pokok-pokok perubahan Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1997 jika dibandingkan dengan Peraturan Pemerintah sebelumnya PP No. 41 Tahun 1994 adalah seperti di bawah ini. 1) Setiap transaksi penjualan saham di bursa efek akan dikenakan Pajak Penghasilan sebesar 0.01% baik untuk saham biasa maupun saham pendiri. 2) Tambahan Pajak Penghasilan untuk transaksi penjualan saham pendiri yang sebelumnya dikenakan sebesar 5% pada saat penjualan saham dilakukan, diubah menjadi dikenakan sebesar 0.05% dari nilai jual saham. 3) Bagi perusahaan yang telah menjual sahamnya di bursa sebelum 1 Januari 1997, nilai jual saham pendiri ditetapkan sebesar nilai saham pada saat perdagangan saham di bursa ditutup pada akhir Tahun 1996 (Tanggal 30 Desember 1996). Sedangkan bagi perusahaan yang menjual sahamnya di bursa efek setelah 2 Januari 1997, nilai jual saham pendiri ditetapkan sebesar nilai jual saham perusahaan pada saat penawaran umum perdana (initial public offering). 4) Pemilik saham pendiri diberikan kemudahan untuk memenuhi kewajiban pajaknya berdasarkan perhitungan sendiri sesuai dengan ketentuan di atas. Dalam hal ini pemilik saham pendiri untuk kepentingan perpajakan dapat menghitung final atas dasar anggapannya sendiri bahwa sudah ada penghasilan. Namun, apabila pemilik saham pendiri tidak memanfaatkan kemudahan tersebut maka penghitungan pajak penghasilannya dilakukan berdasarkan tarif pajak penghasilan yang berlaku umum sesuai dengan

6.52 Administrasi Perpajakan  Pasal 17 Undang-undang No. 7 Tahun 1983 tentang pajak penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang No. 36 Tahun 2008. Penyetoran tambahan pajak penghasilan atas saham pendiri sebesar 0.05% dilakukan oleh saham pendiri: 1) selambat-lambatnya 6 bulan setelah ditetapkan Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1997, apabila saham perusahaan telah diperdagangkan di bursa efek sebelum Peraturan Pemerintah ditetapkan; 2) selambat-lambatnya 1 bulan setelah saham tersebut di perdagangkan di bursa, apabila saham perusahaan baru diperdagangkan di bursa efek pada saat atau setelah Peraturan Pemerintah ini ditetapkan. Wajib pajak yang memilih untuk memenuhi kewajiban pajak penghasilannya tidak berdasarkan ketentuan waktu yang disebutkan di atas, atas penghasilan dari transaksi penjualan saham pendiri dikenakan pajak penghasilan sesuai dengan tarif umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 Undang-undang No. 7 Tahun 1983 tentang pajak penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang No. 17 Tahun 2000. Kemudahan yang diberikan untuk memilih tarif dan tata cara penyetoran tambahan pajak penghasilan, berdasarkan perhitungannya sendiri seperti di bawah ini. 1) Bagi pemilik saham pendiri dari perusahaan yang sahamnya telah diperdagangkan di bursa efek sebelum Peraturan Pemerintah ditetapkan, pajak penghasilan harus sudah disetor dalam jangka waktu selambat- lambatnya dari 6 bulan setelah ditetapkan Peraturan Pemerintah ini. 2) Dalam hal saham perusahaan tersebut belum diperdagangkan di bursa efek pada saat Peraturan Pemerintah ini ditetapkan, pemilik saham pendiri tersebut harus menyetor tambahan Pajak Penghasilan selambat- lambatnya 1 bulan setelah saham perusahaan tersebut pertama kali diperdagangkan di bursa efek. 3) Dalam hal pemilik saham pendiri memilih untuk tidak menggunakan kemudahan dalam penyetoran kewajiban pajak penghasilannya sebagaimana dimaksud dalam huruf a atau huruf b, maka terhadapnya dikenakan pajak penghasilan sesuai dengan tarif umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No. 7 Tahun 1983 tentang pajak

 ADBI4330/MODUL 6 6.53 penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang No. 17 Tahun 2000. Penyelenggara Bursa Efek sebagai pemungut diwajibkan untuk menyetorkan seluruh pajak yang dipungut sekali dalam sebulan ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP). Penyetoran pajak penghasilan dilakukan selambat-lambatnya tanggal 20 setiap bulan. Selambat-lambatnya tanggal 25 pada bulan yang sama dengan bulan penyetoran, penyelenggara Bursa Efek wajib melaporkan pemungutan dan penyetoran pajak penghasilan final kepada Kantor Pelayanan Pajak setempat. LATIHAN Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas, kerjakanlah latihan berikut! 1) Pajak Penghasilan tergolong Pajak Langsung, oleh karena itu sistem pemungutannya adalah secara langsung kepada Wajib Pajak dan dilakukan secara periodik yaitu setahun sekali atau yang dikenal dengan tahun takwim. Apa yang dimaksud dengan tahun takwim atau tahun pajak? 2) Kapankah saat terutangnya Pajak Penghasilan? 3) Wajib Pajak baru timbul kewajiban menghitung dan membayar pajak setelah berakhirnya tahun pajak. Apa maksudnya, dan apa efek bagi pemerintah dan bagi Wajib Pajak? Petunjuk Jawaban Latihan 1) Yang dimaksud dengan tahun takwim atau tahun pajak adalah masa yang diawali tanggal 1 Januari dan diakhiri tanggal 31 Desember. 2) Sedangkan saat terutangnya pajak adalah pada akhir tahun pajak yaitu pada tanggal 31 Desember. 3) Pemungutan Pajak Penghasilan dilakukan berdasarkan atau menganut asas riil, yaitu asas kenyataan. Artinya, besarnya pajak yang terutang harus berdasarkan objek pajak yang nyata-nyata diterima atau diperoleh Wajib Pajak selama kurun waktu tahun pajak. Besarnya pajak terutang

6.54 Administrasi Perpajakan  tidak dibebankan berdasarkan objek pajak yang diperkirakan. Sedangkan untuk mengetahui penghasilan yang nyata-nyata diterima atau diperoleh selama satu tahun, mau tidak mau harus menunggu berakhirnya tahun pajak. Kelemahan dari sisi pemerintah adalah tidak terjaminnya ketersediaan dana dalam tahun berjalan, dan ini dapat mengganggu pelaksanaan kegiatan/tugas pemerintah. Sedangkan dari sisi Wajib Pajak, ketentuan ini sangat memberatkan di mana Wajib Pajak harus melunasi sekaligus pajak yang berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh selama tahun berjalan. RANGKUMAN Pajak Penghasilan merupakan pajak langsung di mana pajak dikenakan langsung pada Wajib Pajak dan saat terutangnya adalah pada akhir tahun pajak. Oleh karena itu, sistem pemungutannya berkala, mengenal pembayaran dalam tahun berjalan, dapat dikreditkan pada perhitungan pajak akhir tahun. Adapun jenis-jenis pembayaran dalam tahun berjalan terdiri dari: 1. yang disetor sendiri oleh Wajib Pajak; 2. yang dipotong oleh sumbernya. Dalam rangka efisiensi dalam pemungutan pajak, beberapa pembayaran pajak dalam tahun berjalan diubah menjadi pemungutan final dengan mengacu pada Pasal 4 ayat (2) UU No. 17 Tahun 2000 sehingga mengabaikan beberapa hak Wajib Pajak. Adapun jenis-jenis pajak penghasilan yang diubah menjadi pemungutan final, antara lain berikut ini. 1. Peraturan Pemerintah No. 131 Tahun 2000 mengenai Pajak Penghasilan Atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto SBI. 2. Peraturan Pemerintah No. 132 Tahun 2000 mengenai Pajak Penghasilan Atas Hadiah Undian. 3. Peraturan Pemerintah No. 140 Tahun 2000 mengenai Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Jasa Konstruksi. 4. Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2002 mengenai Pajak Penghasilan Atas Bunga Dan Diskonto Obligasi yang Diperdagangkan di Bursa Efek.

 ADBI4330/MODUL 6 6.55 5. Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 2002 mengenai Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Persewaan Tanah Dan Atau Bangunan. 6. Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 1995 mengenai Pajak Penghasilan Perusahaan Modal Ventura Dari Transaksi Penjualan Saham Atau Pengalihan Penyertaan Modal Pada Perusahaan Pasangan Usahanya. 7. Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 1999 mengenai Pembayaran Pajak Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan Atau Bangunan. 8. Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1997 mengenai Pajak Penghasilan Atas Penghasilan dari Transaksi Penjualan Saham di Bursa Efek. TES FORMATIF 2 Pilihlah satu jawaban yang paling tepat! 1) SPT Tahun 2006 terdapat PPh Pasal 21 kurang bayar sebesar Rp 1.000.000,00, maka harus disetor paling lambat tanggal .... A. 1 Maret 2007 ke bank persepsi atau kantor pos B. 15 Maret 2007 ke bank persepsi atau kantor pos C. 25 Maret 2007 ke bank persepsi atau kantor pos D. 31 Maret 2007 ke bank persepsi atau kantor pos 2) Hasbi pada tanggal 10 Oktober 2007 mendapat hadiah undian dari Bank Danamon sebesar Rp100.000.000,00. Untuk itu, Hasbi harus dikenai pajak atas pendapatan tersebut, Bank Danamon harus memotong PPh final Pasal 4 ayat (2) sebesar .... A. 5% x penghasilan bruto undian B. 10% x penghasilan bruto undian C. 15% x penghasilan bruto undian D. 25% x penghasilan bruto undian 3) PT. Monzaria pada tanggal 10 Desember 2006 mendapat proyek jasa konstruksi senilai Rp2.000.000.000,00 dari Pemda Surakarta. Proyek ini masuk dalam objek dari …. A. PPh Pasal 21 B. PPh Pasal 22 C. PPh Pasal 23 D. PPh Pasal 26

6.56 Administrasi Perpajakan  4) PT Maju pada tanggal 2 Januari 2006 menjual obligasi dengan kupon. Adapun harga jual obligasi adalah Rp100.000.000,00 sedangkan nilai perolehannya Rp80.000.000,00. Berapa PT. Maju harus memotong PPh .... A. Rp8.000.000,00 dan bersifat final B. Rp8.000.000,00 dan bersifat tidak final C. Rp4.000.000,00 dan bersifat final D. Rp4.000.000,00 dan bersifat tidak final 5) Apabila Pak Nurdin menyewakan tanah kepada Universitas Terbuka untuk lahan penelitian lewat Pak Bardan maka pembayaran Pajak Penghasilan dari persewaan tanah dan atau bangunan dilakukan melalui .... A. Universitas Terbuka B. Pak Bardan sebagai perantara C. Pak Nurdin sendiri D. tidak membayar Pajak Penghasilan Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 2 yang terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar. Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 2. Tingkat penguasaan = Jumlah Jawaban yang Benar 100% Jumlah Soal Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali 80 - 89% = baik 70 - 79% = cukup < 70% = kurang Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat meneruskan dengan Kegiatan Belajar 3. Bagus! Jika masih di bawah 80%, Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 2, terutama bagian yang belum dikuasai.

 ADBI4330/MODUL 6 6.57 Kegiatan Belajar 3 Pajak Internasional D alam kegiatan belajar satu dan dua telah dibahas mengenai Pajak Penghasilan dan Mekanisme Pemungutan Pajak Penghasilan, maka dalam kegiatan belajar tiga ini dibahas uraian tentang perpajakan yang khusus mempelajari perpajakan atas penghasilan yang didapat dari transaksi- transaksi internasional yang lazim disebut perpajakan internasional. Segala macam bentuk kegiatan dari wajib pajak dewasa ini memungkinkan wajib pajak yang tinggal di Indonesia dalam waktu singkat melakukan kegiatan transaksi bisnis di Singapura yang menghasilkan laba dan dikenai pajak di negara tersebut atau negara lain. Dalam hal ini Indonesia menganut asas domisili (domicily country atau home country) yang mengenakan pajak penghasilan atas worldwide income. Sedangkan Singapura sebagai tempat usaha merupakan negara sumber (source country atau host country) juga akan mengenakan pajak. Jadi, wajib pajak akan dikenakan dua kali, yaitu di negara sumber (source country atau host country), dan di negara domisili (domicily country atau home country). A. PENGERTIAN PAJAK INTERNASIONAL Pajak internasional muncul akibat adanya hubungan perdagangan internasional yang semakin terbuka luas dan intensif dewasa ini. Perkembangan yang pesat ini menyebabkan diperlukannya ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang mengatur masalah transaksi internasional. Bersamaan dengan peningkatan beberapa tarif pajak di beberapa Negara, terdapat pula peningkatan cara-cara penghindaran pajak internasional (international tax avoidance) yang antara lain terdapatnya beberapa daerah di dunia ini yang disebut sebagai surga/persinggahan pajak (tax havens) yang menampung dana yang bergerak secara internasional (internationally mobile funds). Ketentuan-ketentuan yang mengatur bagaimana menjawab penghindaran pajak internasional tersebut menjadi semakin intensif dan kompleks, oleh karena begitu celah (loophole) penghindaran pajak lama tertutup melalui perubahan undang-undang pajak, segera muncul lagi cara penghindaran pajak

6.58 Administrasi Perpajakan  baru yang dikelola para profesional konsultan pajak yang bentuk-bentuk ahli dalam permasalahan pajak internasional. Ketentuan-ketentuan yang mengatur masalah pajak yang melewati batas negara disebut sebagai perpajakan internasional yang merupakan bagian dari studi perpajakan yang khusus mempelajari pengenaan pajak penghasilan atas wajib pajak dalam negeri berkenaan dengan penghasilan yang didapat dari sumber di luar negeri dan pengenaan pajak penghasilan atas wajib pajak luar negeri dari penghasilan yang bersumber di dalam negeri. Secara garis besar masalah yang termasuk dalam ruang lingkup perpajakan internasional adalah: 1. pengenaan pajak dari penghasilan yang sama oleh dua negara atau lebih; 2. pencegahan seminimal mungkin terjadinya pajak berganda; 3. kerja sama mengatasi penghindaran pajak dan penyelundupan pajak internasional. Secara rinci permasalahan-permasalahan tersebut yang dikaitkan dengan manajemen pajak perusahaan multinasional dapat diuraikan sebagai berikut. 1. Tidak ada masalah perpajakan internasional yang murni berasal dari dalam negeri, walaupun negara yang bersangkutan melaksanakan strategi perpajakan yang optimum dan strategi perdagangan yang bersifat internasional atau dengan sengaja menciptakan elemen internasional. Pada umumnya, kesulitan baru muncul pada saat berpindahnya penghasilan yang melampaui batas negara atau dengan kata lain berpindahnya penghasilan tersebut dari negara penghasil ke orang atau badan di negara lain. Apabila penghasilan tersebut dipajaki oleh kedua negara yang bersangkutan, hal ini berarti orang atau badan yang menerima penghasilan tersebut akan menderita pengenaan pajak berganda dan tentunya hal ini tidak terlepas dari sistem yang dianut administrasi perpajakan yang bersangkutan, apakah sistem global atau sistem teritorial. 2. Untuk menghindari pengenaan pajak berganda tersebut, beberapa negara mengadakan perjanjian bilateral pencegahan pajak berganda (bilateral double tax treaties) dengan negara lain, yang biasanya menggunakan model O.E.C.D model (1977 – 1992), United Nation model (1980) dan United States model (1981). Dalam perjanjian tersebut diletakkan dasar- dasar pengenaan pajak atas laba apa saja dan di negara mana. Sebagai tambahan, ada beberapa negara yang mengatur dalam undang-

 ADBI4330/MODUL 6 6.59 undangnya ketentuan unilateral untuk mencegah terjadinya pajak berganda atas penghasilan yang sama. 3. Sebagian besar perjanjian pencegahan pajak berganda tersebut menyangkut pencegahan pajak berganda atas penghasilan aktif dari perdagangan tanpa memperhatikan sumber penghasilannya dan menetapkan bahwa utang pajak baru terutang, apabila si penerima penghasilan tersebut adalah badan yang berbentuk usaha tetap (permanent establishment) di negara penghasil. 4. Definisi penghasilan aktif dan pasif dalam perjanjian pencegahan pajak berganda dapat saja diartikan dengan interpretasi yang berbeda-beda oleh masing-masing negara yang bersangkutan. Penghasilan pasif yang bukan dari perdagangan (passive non-trading income) seperti royalti dan bunga yang berasal dari penghasilan luar negeri, kemungkinan besar dikecualikan dari pengenaan pajak atau dipotong pada saat pembayarannya (withholding tax) yang biasanya dikenakan dengan tarif yang lebih rendah dibandingkan dengan tarif pajak penghasilan, yang umumnya dilakukan dalam rangka perjanjian pencegahan pajak berganda. 5. Pengenaan pajak atas laba perusahaan yang bersumber dari perdagangan dengan negara lain (luar negeri) dapat dihindarkan, tergantung pada pengertian perdagangan dengan negara yang bersangkutan atau sebaliknya termasuk ruang lingkup perdagangan di negara yang bersangkutan, atau apabila ada perjanjian pencegahan pajak berganda, alternatifnya adalah dengan tidak mencantumkan usaha tersebut sebagai bentuk usaha tetap di negara yang bersangkutan. Oleh karena itu, konsep bentuk usaha tetap dalam perjanjian penghindaran pajak berganda adalah konsep yang sangat vital dan kadang-kadang bentuk usaha tersebut disamakan dengan cabang perusahaan di luar negeri. 6. Acap kali pula diinginkan bahwa usaha di luar negeri tersebut dikategorikan sebagai subjek pajak dalam negeri sehingga laba perusahaannya dikenakan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan di mana usaha tersebut berada, terutama kalau usaha tersebut mendapatkan pembebasan pajak (tax holiday). Umumnya, usaha di luar negeri tersebut lebih cenderung dikenakan pajak di luar negeri, apabila tarif pajak di luar negeri tersebut lebih rendah tarif pajak di dalam negeri. Apabila terdapat akumulasi kerugian pajak yang dapat dikompensasikan di luar negeri dengan

6.60 Administrasi Perpajakan  pembatasan waktu, usahakan agar kompensasi tersebut melewati batas waktu yang ditentukan. 7. Pengenaan pajak atas transaksi perdagangan berdasarkan undang-undang domestik dapat saja berbeda dalam detailnya, yang pada umumnya mengacu kepada definisi yang terdapat dalam model perjanjian pencegahan pajak berganda O.E.C.D, U.N, atau U.S dan perjanjian penghindaran pajak berganda secara bilateral. Dalam beberapa hal, pengenaan pajak menurut undang-undang domestik lebih luas bila dibandingkan dengan ketentuan yang terdapat dalam perjanjian pencegahan pajak berganda. Dalam situasi yang demikian akan lebih menguntungkan bila pengenaan pajaknya didasarkan kepada pengenaan terhadap bentuk usaha tetap yang terdapat dalam perjanjian pencegahan pajak berganda. Untuk mencegah terjadinya klaim pajak yang sama, hal ini biasanya diatasi melalui kesepakatan bersama tentang definisi bentuk usaha tetap dalam perjanjian pencegahan pajak berganda. 1. Pajak Berganda Apa sebenarnya yang dimaksud dengan pajak berganda?. Pajak berganda adalah pajak yang dikenakan dua kali atas objek yang sama. Hal ini dapat terjadi apabila Wajib Pajak melakukan transaksi dan memperoleh laba di negara tempat usahanya (source country atau host country) yang atas laba tersebut dikenakan pajak, kemudian atas penghasilan tersebut Wajib Pajak tersebut dikenai pajak di negaranya sendiri. Dalam hal ini Wajib Pajak dikenai dua kali, pertama kali oleh source country dan yang kedua oleh domicile country yang dikenal dengan pajak berganda (double taxation). Negara-negara yang tarif pajaknya rendah atau sama sekali tidak mengenakan pajak atas penghasilan disebut sebagai negara-negara surga pajak (tax haven country). Pajak berganda dapat dibedakan menjadi berikut ini. a. Pajak berganda internal (internal double taxation) Merupakan pengenaan pajak atas subjek dan objek yang sama dalam suatu negara. Misalnya pak Budi yang berdomisili di Tangerang bekerja di Bandung. Atas penghasilan yang diterima di Bandung, pak Budi telah dipotong pajak, namun karena sesuatu hal oleh KPP Tangerang dikenakan pajak lagi. Pajak berganda yang terjadi di sini adalah atas objek pajak yang

 ADBI4330/MODUL 6 6.61 sama yaitu gaji dan subjek yang sama yaitu pak Budi dan terjadi di negara yang sama yaitu Indonesia. b. Pajak berganda internasional (international double taxation) Merupakan pengenaan pajak dua kali atau lebih terhadap subjek dan objek yang sama oleh dua negara. Contohnya Pak Mukti tinggal di Jakarta memperoleh dividen dari perusahaan di Singapura sebesar Rp100.000.000,00. Atas dividen ini, Singapura berhak mengenakan pajak, sementara di Indonesia juga dikenakan pajak. Maka terjadi adalah pajak berganda secara internasional yaitu atas dividen sebesar Rp100.000.000,00 sebagai objek dan subjeknya, yaitu Pak Mukti, serta pada dua negara berbeda yaitu Singapura dan Indonesia. c. Pajak berganda secara yuridis (yuridical double taxation) Pengenaan pajak dua kali atau lebih atas Subjek Pajak yang sama dan Objek Pajak yang sama seperti kasus pada Pajak Berganda Internasional. d. Pajak berganda secara ekonomis (economic double taxation) Yaitu pengenaan pajak dua kali atas Objek Pajak, tetapi subjek pajaknya berbeda. Misalnya pengenaan pajak penghasilan atas perseroan dan atas pemegang saham. Pada perseroan (corporate level) dikenakan PPh badan (Corporation Income Tax). Jika dari sisa laba sesudah pengenaan PPh Badan dibagikan kepada pemegang saham sebagai dividen, maka atas dividen yang diterima pemegang saham tersebut dikenai pajak (shareholder level). Dalam contoh ini, objek pajak dikenakan dua kali, yaitu pada tingkat perseroan dan pada tingkat pemegang saham, sedangkan pada subjek pajak dikenakan sekali karena subjeknya berbeda, yaitu subjek pajak perseroan dan subjek pajak pemegang saham. Dalam bukunya Knechtle yang berjudul Basic Problem in International Fiscal Law (1979) sebagaimana dikutip Safri Nurmantu, memberikan pembahasan secara rinci. Knechtle membedakan pengertian pajak berganda secara luas (wider sense) dan secara sempit (narrower sense). Secara luas pengertian pajak berganda diartikan setiap bentuk pembebanan pajak dan pungutan lainnya lebih dari satu kali, dapat dalam bentuk berganda (double taxation) atau lebih (multiple taxation) terhadap suatu fakta fiskal. Dalam pengertian itu tidak dipertimbangkan penyebab dari pembebanan pajak

6.62 Administrasi Perpajakan  berganda, apakah berasal dari kombinasi dari berbagai jenis pajak atau disebabkan oleh pembebanan pajak secara bersamaan oleh penguasa pihak yang sama atau berbeda. Secara sempit, pajak berganda dapat terjadi pada semua kasus pemajakan, yaitu pengenaan pajak beberapa kali atas suatu subjek dan atau objek pajak dalam suatu administrasi perpajakan yang sama. Pemajakan ganda oleh administrator tunggal misalnya pemajakan atas bangunan atas nilai jualnya (PBB). 2. Penghindaran Pajak Berganda (Elimination of Double Taxation) Sesuai dengan salah satu tujuan diadakannya perjanjian perpajakan, yaitu untuk menghindarkan terjadinya pajak ganda, maka dalam setiap perjanjian perpajakan yang diadakan oleh Indonesia, kecuali yang diadakan dengan Arab Saudi, selalu terdapat Pasal yang mengatur mengenai penghindaran pajak ganda (Elimination of Double Taxation). a. Metode Penghindaran Pajak Berganda dalam Perjanjian Perpajakan yang Dianut oleh Indonesia. b. Pelaksanaan Metode Penghindaran Pajak Berganda di Indonesia. c. Elemen-elemen yang bertalian dengan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 24. d. Prosedur Permohonan Kredit Pajak Luar Negeri (PPh Pasal 24). e. Penentuan Sumber Penghasilan (Source Rule). 3. Penghitungan Kredit Pajak Luar Negeri (PPh Pasal 24) Dalam menghitung kredit pajak luar negeri (PPh Pasal 24) terdapat ketentuan mengenai batas maksimum pajak luar negeri yang boleh dikreditkan terhadap keseluruhan Pajak Penghasilan yang terutang di dalam negeri atas penghasilan kena pajak (world wide income). Adapun ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan penghitungan kredit pajak luar negeri adalah sebagai berikut. a. Jumlah kredit pajak luar negeri yang diperkenankan setinggi-tingginya sama dengan jumlah pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri tetapi tidak boleh melebihi jumlah yang dihitung menurut perbandingan antara penghasilan dari luar negeri terhadap Penghasilan Kena Pajak dikalikan dengan pajak yang terutang atas penghasilan Kena Pajak atau setinggi-tingginya sama dengan pajak yang terutang atas Penghasilan Kena Pajak dalam hal Penghasilan Kena Pajak lebih kecil dari penghasilan luar negeri.

 ADBI4330/MODUL 6 6.63 b. Apabila penghasilan luar negeri berasal dari beberapa negara, penghitungan kredit pajak luar negeri dilakukan untuk masing-masing negara. Setelah diperoleh hasilnya, baru kemudian kredit pajak luar negeri untuk masing-masing negara itu dijumlahkan. c. Dalam hal jumlah Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri melebihi jumlah kredit pajak yang diperkenankan kelebihan tersebut tidak dapat diperhitungkan dengan Pajak Penghasilan yang terutang tahun berikutnya, tidak boleh dibebankan sebagai biaya atau pengurang penghasilan, dan tidak dapat dimintakan restitusi. a. Contoh penghitungan kredit pajak luar negeri 1) Penghitungan Batas Maksimum Kredit Pajak Luar Negeri PT. Azalea di Jakarta memperoleh penghasilan neto dalam tahun 2006 sebagai berikut: Penghasilan dalam negeri Rp1.000.000.000,00 Penghasilan luar negeri Rp1.000.000.000,00 dengan tarif pajak 20% Penghitungan jumlah maksimum kredit pajak luar negeri adalah sebagai berikut: - Penghasilan luar negeri Rp1.000.000.000,00 - Penghasilan dalam negeri Rp1.000.000.000,00 (+) - Jumlah Penghasilan Neto Rp2.000.000.000,00 - Apabila jumlah penghasilan neto sama dengan Penghasilan Kena Pajak, maka sesuai dengan tarif Pasal 17 UU No. 7 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah dan terakhir dengan UU No. 17 Tahun 2000, Pajak Penghasilan yang terutang adalah sebesar Rp582.500.000,00. - Batas maksimum kredit pajak luar negeri adalah: /1.000.000.000,00 x Rp582.500.000,00 = Rp291.250.000,00 2.000.000.000,00 Karena batas maksimum kredit pajak luar negeri sebesar Rp291.250.000,00 lebih besar dari jumlah pajak luar negeri yang terutang atau dibayar di luar negeri, yaitu sebesar 20% x Rp1.000.000.000,00 = Rp200.000.000,00, jumlah kredit pajak luar negeri yang diperkenankan untuk dikreditkan terhadap PPh luar negeri yang diperkenankan untuk dikreditkan terhadap PPh orang pribadi/badan adalah hanya sebesar Rp200.000.000,00.

6.64 Administrasi Perpajakan  2) Penghitungan Kredit Pajak Luar Negeri atas Penghasilan Luar Negeri yang Diperoleh dari Beberapa negara PT. Asiade berkedudukan di Jakarta, dalam tahun 2006 memperoleh penghasilan neto sebagai berikut: a) Di negara Jepang, PT. Asiade memperoleh penghasilan (laba) Rp1.000.000.000,00 dengan tarif pajak sebesar 40% (Rp400.000.000.000,00). b) Di negara Singapura, PT. Asiade memperoleh penghasilan (laba) Rp3.000.000.000,00 dengan tarif pajak sebesar 25% (Rp750.000.000,00). c) Di negara Filipina, PT. Asiade menderita kerugian Rp2.500.000.000,00. d) Penghasilan usaha di dalam negeri Rp4.000.000.000,00. b. Penghitungan kredit pajak luar negeri 1) Mekanisme Pemungutan Pajak pada sumbernya Dalam pemungutan pajak yang dikenakan pada sumbernya adalah di mana Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di wilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal Wajib Pajak. Setiap orang yang memperoleh penghasilan dari Indonesia misalnya, akan dikenakan pajak atas penghasilan yang diperolehnya tadi. 2) Contoh: Haneda adalah seorang ahli Kimia yang merupakan warga negara Jepang. Pada bulan Juni 2006 memperoleh penghasilan dari Indonesia sebesar Rp100.000.000,00, dari negara Singapura sebesar Rp250.000.000,00, dan dari negara Filipina sebesar Rp150.000.000,00. Menurut peraturan perpajakan di Indonesia, Haneda bukan Wajib Pajak Dalam Negeri. Oleh karena itu, penghasilan Haneda yang dikenakan pajak di Indonesia pada bulan Juni 2006 adalah hanya penghasilan yang bersumber dari Indonesia saja yaitu sebesar Rp100.000.000,00.

 ADBI4330/MODUL 6 6.65 LATIHAN Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas, kerjakanlah latihan berikut! 1) Coba anda jelaskan apa yang dimaksud dengan pajak berganda dan jelaskan model-model tentang penghindaran pajak berganda! 2) Adakah ketentuan yang mengatur mengenai batas maksimum dari penghasilan luar negeri yang dapat dikreditkan di dalam negeri? 3) Abdulah adalah seorang ahli Kimia yang merupakan warga negara Malaysia. Pada bulan Juni 2006 memperoleh penghasilan dari Indonesia sebesar Rp100.000.000,00, dari negara Singapura sebesar Rp250.000.000,00, dan dari negara Filipina sebesar Rp150.000.000,00. Bagaimana pengenaan pajak terhadap Abdulah? Petunjuk Jawaban Latihan 1) Pajak berganda adalah pajak yang dikenakan dua kali atas objek yang sama. Pajak berganda dapat dibedakan menjadi pajak berganda internal, pajak berganda internasional, pajak berganda yuridis, dan pajak berganda secara ekonomis. 2) Dalam menghitung kredit pajak luar negeri (PPh Pasal 24) terdapat ketentuan mengenai batas maksimum pajak luar negeri yang boleh dikreditkan terhadap keseluruhan Pajak Penghasilan yang terutang di dalam negeri atas penghasilan kena pajak (world wide income). 3) Menurut peraturan perpajakan di Indonesia, Abdulah bukan Wajib Pajak Dalam Negeri. Oleh karena itu, penghasilan Haneda yang dikenakan pajak di Indonesia pada bulan Juni 2006 adalah hanya penghasilan yang bersumber dari Indonesia saja yaitu sebesar Rp100.000.000,00. RANGKUMAN Pajak internasional muncul akibat adanya hubungan perdagangan internasional yang dewasa ini semakin terbuka lebar. Perkembangan yang pesat ini menyebabkan diperlukannya ketentuan peraturan perundang-undangan. Bersamaan dengan peningkatan beberapa tarif

6.66 Administrasi Perpajakan  pajak di beberapa Negara, terdapat pula peningkatan cara-cara penghindaran pajak internasional (international tax avoidance) yang antara lain terdapatnya beberapa daerah di dunia ini yang disebut sebagai surga/persinggahan pajak (tax havens) yang menampung dana yang bergerak secara internasional (internationally mobile funds). Pajak internasional mengenal asas tentang domisili dan sumber. Disebut negara domisili apabila negara tempat tinggal wajib pajak menganut asas domisili yang mengenakan pajak penghasilan atas worldwide income atas dasar asas domisili. Sedangkan negara sumber merupakan negara di mana wajib pajak tersebut memperoleh penghasilan. Apabila Wajib Pajak melakukan transaksi dan memperoleh laba di negara tempat tinggalnya dan kemudian dikenakan juga pajak penghasilan atas laba tersebut atas dasar dimisili, maka Wajib pajak tersebut akan dikenakan pajak dua kali (double taxation). Yang pertama oleh negara sumber dan kedua oleh negara domisili. Negara-negara yang tarif pajaknya rendah atau sama sekali tidak mengenakan pajak atas penghasilan disebut sebagai negara surga pajak (tax haven countries). TES FORMATIF 3 Pilihlah satu jawaban yang paling tepat! 1) Beberapa negara di dunia memberikan pembebasan pajak untuk mendorong agar para investor mau menanamkan modalnya. Negara demikian disebut dengan .... A. tax free countries B. freedom of tax C. tax haven countries D. exemption tax 2) Internasional double taxation adalah .... A. pengenaan pajak atas subjek pajak yang dalam suatu negara B. pengenaan pajak atas subjek dan objek pajak yang sama dalam suatu negara C. pengenaan pajak dua kali atas subjek dan objek pajak yang sama oleh dua negara D. pengenaan pajak dua kali atau lebih subjek pajak dan objek pajak yang sama

 ADBI4330/MODUL 6 6.67 3) Pengenaan pajak atas pemegang saham dan dividen termasuk dalam pajak berganda .... A. internasional B. internal C. yuridis D. secara ekonomis 4) Tujuan utama dari tax treaties antara negara-negara terkait adalah .... A. pengenaan pajak berganda B. mencegah lolos pajak C. pemeriksaan pajak antar negara D. membuka peluang loopholes 5) Pak Bambang berdomisili di Jakarta pada tahun 2007 menerima penghasilan Rp200.000.000,00. dari Filipina, Pak Bambang menerima dividen sebesar Rp100.000.000,00, dan di Malaysia sudah dikenakan PPh sebesar 20%. Worldwide income Pak Bambang tahun 2007 adalah Rp300.000.000,00 yang jika dikenakan tarif PPh Pasal 17 huruf a akan terutang PPh sebesar Rp71.250.000,00. jika jumlah ini yang harus dibayar oleh Pak Bambang maka akan terjadi pajak berganda .... A. internal B. internasional C. secara yuridis D. secara ekonomis Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 3 yang terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar. Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 3. Tingkat penguasaan = Jumlah Jawaban yang Benar 100% Jumlah Soal Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali 80 - 89% = baik 70 - 79% = cukup < 70% = kurang

6.68 Administrasi Perpajakan  Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat meneruskan dengan modul selanjutnya. Bagus! Jika masih di bawah 80%, Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 3, terutama bagian yang belum dikuasai.

 ADBI4330/MODUL 6 6.69 Kunci Jawaban Tes Formatif Tes Formatif 1 1) C. Yang tidak termasuk Subjek Pajak adalah Kedutaan Besar. 2) D. Gaji, sewa, dan bunga termasuk dalam pengertian penghasilan. 3) A. Besarnya PTKP untuk seorang karyawati status kawin dengan tanggungan seorang anak kandung, seorang adik kandung dan seorang anak tiri, dan suami bekerja pada tahun 2006 adalah Rp13.200.000,00. 4) C. Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang menyelenggarakan pembukuan, diperoleh dari penghasilan neto dikurangi dengan zakat, PTKP, Kompensasi Kerugian. 5) D. Tersebut di bawah ini termasuk Wajib Pajak badan yang penghitungan penghasilan netonya dihitung dengan norma penghitungan khusus, kecuali Cabang Bang Luar Negeri (BUT). Tes Formatif 2 1) C. tanggal 25 Maret 2007 ke bank persepsi atau kantor pos. 2) D. Atas pendapatan tersebut, Bank Danamon harus memotong PPh final Pasal 4 ayat (2) sebesar 25% x penghasilan bruto undian. 3) C. Karena nilai per proyek di atas Rp1.000.000.000,00, objek PPh-nya adalah PPh Pasal 23. 4) C. Atas penjualan obligasi ini, PT Maju harus memotong PPh final sebesar 20% x (Rp100.000.000,00 – Rp80.000.000,00) = Rp4.000.000,00 dan bersifat final. 5) A. Karena Universitas Terbuka merupakan badan pemerintah. Tes Formatif 3 1) C. Negara-negara yang tarif pajaknya rendah atau sama sekali tidak mengenakan pajak atas penghasilan disebut sebagai negara-negara surga pajak (tax haven countries). 2) C. Merupakan pengenaan pajak dua kali atau lebih terhadap subjek dan objek yang sama oleh dua negara. 3) D. Termasuk dalam pajak ganda secara ekonomis. 4) B. Tax Treaty atau perjanjian antara negara-negara terkait ialah untuk menghindarkan pajak berganda dan mencegah lolos pajak. 5) A. Hal ini merupakan contoh dari internal double taxation.

6.70 Administrasi Perpajakan  Daftar Pustaka Brotodiharjo., R Santoso. (1995). Pengantar Ilmu Hukum Pajak. Bandung, PT Eresco. Mansury R. Panduan konsep utama Pajak Penghasilan Indonesia. Jilid 1, Jilid 2, dan Jilid 3, Jakarta, PT. Bina Rena Pariwara 1994, 1995 dan 1996. . (1998). Perpajakan Internasional berdasarkan Undang- undang Domestik Indonesia. Jakarta, Yayasan Pengembangan dan Penyebaran Pengetahuan Perpajakan. Markus, Muda & Lalu Henry Yujana. (2004). Pajak Penghasilan. Edisi Revisi, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama. Mulyowigeno, Suratno. (1994). Undang-Undang RI No. 10 Tahun 1994 disandingkan dengan Undang-undang No. 7 tahun 1983. Jakarta, Penerbit buku berita pajak. Kartasasmita, Hussein. (1985). Penjelasan dan Komentar Pajak Penghasilan 1984. Yayasan Bina Pajak. Pardiat. (2001). PPh Badan, Tax Accounting. Bahan Ajar. Soemitro, Rochmat. (1977). Dasar-dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan 1944. PT Eresco, Bandung-Jakarta. . (1976). Penuntun Perseroan Terbatas dengan Undang- undang Pajak Perseroan. Bandung –Jakarta, PT Ersesco. . (1990). dan 1991. Asas dan Dasar Perpajakan. Jilid 1 dan Jilid 2 Edisi Revisi, Bandung, PT Resco. Soewito, Pajak Penghasilan I, Modul Universitas Terbuka, Jakarta.

 ADBI4330/MODUL 6 6.71 Sukardji, Untung. Pajak Pertambahan Nilai. Edisi Revisi 2006, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada. Surahmat, Rachmanto. (2001). Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama bekerja sama dengan Arthur Andersen Prasetio Utomo. Peraturan Direktorat Jenderal Pajak, Susunan Dalam Satu Naskah dari Undang-Undang R.I. No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang RI No. 36 Tahun 2008. Direktorat Jenderal Pajak, Susunan Dalam Satu Naskah dari Undang-Undang R.I. No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang RI No. 28 Tahun 2007. Keputusan Direktur Jenderal Pajak, yang terkait dengan Pelaksanaan Undang-Undang Pajak Penghasilan. Keputusan Menteri Keuangan, yang terkait dengan Pelaksanaan Undang- Undang Pajak Penghasilan. Peraturan Direktur Jenderal Pajak, yang terkait dengan Pelaksanaan Undang- Undang Pajak Penghasilan. Peraturan Menteri Keuangan, yang terkait dengan Pelaksanaan Undang- Undang Pajak Penghasilan. Peraturan Pemerintah, yang terkait dengan Pelaksanaan Undang-Undang Pajak Penghasilan. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak, yang terkait dengan Pelaksanaan Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Modul 7 PPN dan PPnBM, Bea Meterai, Kepabeanan dan Cukai Dra. Harmanti, M.Si. PENDAHULUAN P ajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan Barang Mewah, Bea Meterai, Bea dan Cukai sudah sering kita dengar dan jumpai dalam kehidupan kita sehari-hari. Seperti Pajak Pertambahan Nilai atau lebih dikenal dengan PPN yang akan kita jumpai apabila kita belanja di supermarket atau makan di restoran besar. Sedangkan Bea Meterai yang mungkin sebagian besar dari kita tidak menyangka bahwa ini adalah pajak, sering kita jumpai pada surat- surat berharga dan dapat dibeli di kantor pos. Sementara Kepabeanan merupakan aktivitas yang kita jumpai dalam transaksi ekspor dan impor, sedangkan cukai mungkin kita akan ingat pada rokok yang dikenai cukai. Jenis-jenis pajak ini termasuk dalam kelompok pajak tidak langsung. Di samping itu, kesemuanya memiliki persamaan, yaitu dikenakan atau dibebankan pada pihak lain dalam hal ini, yaitu kita sebagai konsumen. Sebagai contoh rokok yang harus ditempel pita cukai. Cukai ini seharusnya ditanggung oleh produsen, tetapi pada kenyataannya konsumen (pembeli rokok) lah yang menanggung karena cukai tersebut masuk dalam harga rokok yang kita beli. Setelah mempelajari modul tujuh ini, Anda diharapkan dapat menguraikan Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan Barang Mewah, Bea Meterai, dan Kepabeanan dan Cukai. Secara khusus setelah mempelajari materi ini Anda diharapkan dapat: 1. menjelaskan PPN, PPnBM, Bea Meterai, serta Kepabeanan dan Cukai; 2. menjelaskan mekanisme pemungutan PPN, PPnBM, Bea Meterai, serta Kepabeanan dan Cukai; 3. menghitung PPN Dan PPnBM, Bea Meterai, serta Kepabeanan dan Cukai.

7.2 Administrasi Perpajakan  Kegiatan Belajar 1 Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPN dan PPnBM) A pabila kita mendapatkan selebaran yang mengiklankan berbagai barang, pada salah satu sudut tertera kata “semua harga sudah termasuk PPN”. Lain halnya apabila kita lihat iklan dari restoran di mana pada daftar menu makanan tercantum keterangan bahwa harga tersebut belum termasuk PPN. Pada nota pembayaran, dapat kita lihat mengenai pembayaran PPN sebesar 10%. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan Pajak Pertambahan Nilai atau lebih dikenal dengan PPN? Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah salah satu jenis pajak yang menjadi pengganti dari Pajak Penjualan (PPn) Tahun 1951. Berdasarkan UU No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (selanjutnya disebut UU PPN dan PPnBM), merupakan pengganti dari UU No. 35 Tahun 1953 tentang Penetapan UU Darurat No. 19 Tahun 1951 tentang Pemungutan Pajak Penjualan sebagai UU sebagaimana beberapa kali diubah dan ditambah terakhir dengan UU No. 2 Tahun 1968 tentang Perubahan dan Tambahan UU Pajak Penjualan Tahun 1951. Semula UU ini akan diberlakukan pada tanggal 1 Juli 1984, namun dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu di keluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU) No. 1 Tahun 1984 sehingga pelaksanaan Pajak Pertambahan Nilai ditunda selambat-lambatnya pada 1 Januari 1986. Pajak Penjualan ini dirasakan tidak adil dan menyulitkan petugas pajak maupun wajib pajak. Hal ini tampak dengan banyaknya tarif pada Pajak Penjualan di samping kemungkinan besar terjadinya pajak ganda. Pajak ganda ini sangat merugikan konsumen, yaitu dengan adanya harga yang tinggi. Contoh: Perusahaan B membeli bahan untuk produksi barangnya seharga Rp10.000.000,00 Atas pembelian bahan untuk produksi ini perusahaan harus membayar tarif 10% sehingga Rp 1.000.000,00 (+) = 10% x Rp10.000.000,00 = nilai bahan adalah harga beli ditambah dengan Rp11.000.000,00

 ADBI4330/MODUL 7 7.3 pajak Bahan yang diproses memerlukan biaya sebesar Rp 4.000.000,00 Total biaya sebelum keuntungan perusahaan Rp15.000.000,00 (+) Apabila pengusaha menginginkan laba sebesar 20% = 20% x Rp15.000.000,00 = Rp 3.000.000,00 (+) Harga jual seluruh produk perusahaan B adalah harga pokok penjualan ditambah dengan laba Rp18.000.000,00 perusahaan Penjualan senilai Rp18.000.000,00 itu akan dikenakan pajak penjualan sebesar 10% sehingga harga yang dibayar oleh konsumen menjadi Rp18.000.000,00 + (10% x Rp18.000.000,00) = Rp19.800.000,00. Pada dasarnya, harga yang dibayar oleh konsumen dapat lebih rendah apabila tidak ada unsur pajak ganda. Pada contoh di atas adalah pajak yang dikenakan atas pembelian bahan dan pada saat penjualan. Pengenaan pajak yang mempunyai efek berganda pada pajak penjualan menyebabkan timbulnya kepincangan dan hilangnya sifat netral pajak, baik dalam hubungannya dengan perdagangan dalam negeri maupun perdagangan internasional. Dasar pertimbangan digantinya UU Pajak Penjualan Tahun 1951 dengan UU PPN dan PPnBM Tahun 1983 adalah bahwa: 1. perpajakan sebagai salah satu perwujudan kewajiban kenegaraan bagi setiap warga negara yang merupakan sarana peran serta dalam pembiayaan negara dan pembiayaan pembangunan nasional; 2. sistem perpajakan yang merupakan dasar pelaksanaan pemungutan pajak negara yang selama ini berlaku tidak sesuai lagi dengan tingkat pertumbuhan ekonomi dan kehidupan sosial masyarakat Indonesia; 3. sistem perpajakan, khususnya yang tertuang dalam ketentuan-ketentuan pajak tidak langsung yang berlaku selama ini belum dapat menggerakkan peran serta semua lapisan Pengusaha kena pajak dalam meningkatkan pendapatan negara yang sangat diperlukan guna mewujudkan kelangsungan pembiayaan negara dan kelangsungan pembangunan. 4. sistem pajak penjualan yang berlaku selama ini sudah tidak sesuai lagi sebagai sarana yang dapat menunjang kebutuhan tersebut. Karena itu, dianggap perlu untuk mengatur kembali sistem pajak penjualan dengan sistem pajak pertambahan nilai atas barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah. Undang-undang ini disebut UU PPN dan

7.4 Administrasi Perpajakan  PPnBM untuk memperlihatkan bahwa dua macam pajak yang diatur di sini merupakan satu kesatuan sebagai pajak atas konsumsi di dalam negeri. Adapun kelebihan dari UU PPN dan PPnBM dari UU Pajak Penjualan Tahun 1951 adalah sebagai berikut. 1. PPn dan PPnBM dalam pelaksanaannya bisa menghindari pengenaan pajak berganda. 2. Dalam hal ekspor, diberikan pengembalian beban pajak yang melekat pada waktu perolehan harga barang yang diekspor. 3. Dalam hal impor, jumlah pajak yang dipungut sama dengan jumlah pajak yang dikenakan atas barang yang diproduksi di dalam negeri pada tingkat harga yang sama, karena itu menciptakan persaingan yang sehat untuk keuntungan konsumen. 4. Penerapan sistem tarif yang lebih sederhana atas PPN dan PPnBM dapat dengan mudah melacak setiap bentuk penyelundupan pajak. Kedua jenis pungutan pajak ini (PPN dan PPnBM) pada dasarnya antara satu dengan lainnya saling melengkapi, dan merupakan satu kesatuan pemungutan pajak atas konsumsi barang maupun jasa di dalam Daerah Pabean. Pada PPN, sekalipun pengenaan pajaknya berkali-kali, namun masalah pajak ganda dapat dibatasi karena pengenaannya hanya terhadap pertambahan nilai yang timbul pada setiap penyerahan barang dan jasa pada jalur perusahaan berikutnya, dengan cara mengkreditkan pajak yang telah dibayarkan terlebih dahulu (Credit Method atau Indirect Substraction Method). Sesuai dengan namanya, yaitu Pajak Pertambahan Nilai maka pajak yang dipungut atau disetorkan kepada negara adalah pajak yang dikenakan atas barang dan jasa karena adanya nilai tambah. Oleh karenanya, pajak ini dikenal dengan nama value added tax. Pertambahan nilai itu sendiri timbul karena dipakainya faktor-faktor produksi pada setiap jalur perusahaan dalam menyiapkan, menghasilkan, menyalurkan, dan memperdagangkan barang atau pemberian pelayanan jasa kepada para konsumen. A. PENGERTIAN PERTAMBAHAN NILAI Pengertian tentang pertambahan nilai perlu diperhatikan karena pada umumnya orang mengira bahwa yang dikenakan PPN adalah atas barang atau jasanya. Pandangan tersebut adalah keliru, karena PPN dikenakan hanya pada pertambahan nilainya saja. Suatu pertambahan nilai tercipta karena untuk

 ADBI4330/MODUL 7 7.5 menghasilkan, menyalurkan, dan memperdagangkan barang ataupun memberikan pelayanan jasa membutuhkan faktor-faktor produksi pada berbagai tingkatan produksi. Setiap faktor produksi tersebut menimbulkan pengeluaran yang dinamakan biaya. Semua biaya inilah yang merupakan pertambahan nilai yang menjadi unsur pengenaan pajaknya. Artinya, proses pertambahan nilai selalu timbul karena adanya biaya-biaya yang dikeluarkan mulai dari bahan baku menjadi barang setengah jadi sampai akhirnya menjadi barang yang siap dijual dengan tingkat laba yang diharapkan. Contoh: Pak Sabarudin seorang pengusaha garmen ingin menjual produk berupa kemeja, maka pak Sabarudin akan memerlukan bahan baku berupa kain dan bahan pembantu seperti benang, kancing, renda dan lainnya untuk diproses menjadi produk pakaian jadi yang akan dijualnya. Adapun proses untuk membuat bahan menjadi barang produk siap jual tidak terlepas dari faktor- faktor produksi sebagai berikut. 1. Harta tetap, di mana ada biaya penyusutan dari harta tetap. 2. Modal, berkaitan dengan faktor bunga modal yang harus dibayarkan. 3. Tenaga kerja, berkaitan dengan pembayaran upah dan gaji. 4. Biaya-biaya kantor dan laba yang diharapkan. Karena adanya empat faktor produksi ini, maka harga jual merupakan penambahan antara harga beli, biaya-biaya produksi, dan tingkat laba yang diharapkan. Penambahan biaya produksi dan tingkat laba inilah yang sebenarnya merupakan pertambahan nilai yang dipungut pajaknya. Dengan kata lain, biaya-biaya yang dikeluarkan berupa penyusutan, bunga modal, gaji dan upah, biaya-biaya kantor dan tingkat laba yang diharapkan adalah unsur-unsur pertambahan nilai. Sehingga besarnya pertambahan nilai secara sederhana dapat diketahui dengan cara mencari selisih antara Harga Jual dengan Harga Beli suatu barang atau jasa. Selain pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dan dalam upaya menuju keadilan maka atas barang-barang mewah selain dikenakan PPN juga dikenakan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM). Pemungutannya dilakukan pada saat barang mewah tersebut diserahkan dari pabrikan atau pada waktu impor, dengan tarif yang disesuaikan dengan kelompok barang yang dikenakannya. Pengenaan PPnBM ini adalah untuk menekan pola konsumsi dan mendorong masyarakat untuk hidup hemat. Namun, khusus

7.6 Administrasi Perpajakan  untuk barang-barang yang berasal dari pertanian, perkebunan, peternakan, dan hasil agraria yang tidak diproses tidak dikenakan/bukan sasaran pengenaan pajak. Artinya, dalam hal yang diserahkan adalah bukan barang mewah, pembebanan pajaknya terbatas pada PPN. Dalam hal barang yang diserahkan termasuk barang mewah maka pembebanan pajaknya meliputi PPN dan PPnBM. Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa pengenaan PPN dan PPnBM ditujukan bagi mereka – orang pribadi dan badan – yang menghasilkan atau memproduksi barang, mengimpor barang, memperdagangkan barang dan/atau menyerahkan jasa yang dilakukan dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya yang lazim disebut sebagai Pengusaha. Dalam UU, yang dikategorikan sebagai pengusaha adalah mereka yang diwajibkan untuk melaporkan usahanya dan mempunyai No. Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (NPPKP). Pengusaha yang dimaksud adalah pengusaha yang ada di wilayah pabean Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya serta tempat-tempat tertentu di zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen. Dalam pelaksanaan UU No. 8 Tahun 1983 ini maka perlu adanya kejelasan beberapa istilah sebagai berikut. 1. Barang Kena Pajak (BKP) adalah barang yang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak maupun barang tidak bergerak sebagai hasil proses pengolahan (pabrikasi). 2. Jasa Kena Pajak (JKP) adalah semua kegiatan usaha dan pemberian pelayanan berdasarkan suatu perserikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas atau hak tersedia untuk dipakai. 3. Dalam penjelasan Pasal ini dikemukakan bahwa semua kegiatan pelayanan dan pekerjaan jasa antara lain jasa angkutan, borongan, persewaan barang bergerak, persewaan barang tidak bergerak, hiburan, biro perjalanan, jasa notaris, pengacara, akuntan, konsultan, kantor administrasi, dan komisioner termasuk dalam pengertian jasa. Untuk sementara jasa yang dikenakan pajak adalah jasa bangunan/konstruksi yang dilakukan oleh pemborong dan sub pemborong. 4. Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah orang atau badan dalam bentuk apapun yang dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan atau melakukan usaha jasa.

 ADBI4330/MODUL 7 7.7 5. Mengenai pengertian menghasilkan barang adalah kegiatan mengolah melalui proses mengubah bentuk atau sifat suatu barang dari bentuk aslinya menjadi barang baru atau mempunyai daya guna termasuk membuat, memasak, merakit, mencampur, mengemas, membatalkan dan menambang atau menyuruh orang atau badan lain melakukan kegiatan itu. 6. Harga Jual adalah nilai berupa uang termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan barang, tidak termasuk pajak yang dipungut menurut UU ini, potongan harga yang dicantumkan dalam faktur pajak. 7. Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pemberi jasa karena penyerahan jasa, tidak termasuk pajak yang dipungut menurut UU ini dan potongan yang dicantumkan dalam faktur pajak. 8. Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar perhitungan bea masuk ditambah pungutan lainnya yang dikenakan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan Pabean untuk impor BKP, tidak termasuk pajak yang dipungut menurut UU ini. 9. Faktur Pajak adalah bukti pemungutan pajak yang dibuat oleh PKP atau Direktorat Jenderal Bea dan Cukai pada saat penyerahan BKP atau JKP atau pada saat impor BKP. 10. Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah Harga Jual, Penggantian yang diminta atau yang diminta oleh penjual atau pemberi Jasa atau Nilai Impor yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang. 11. Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak pada waktu pembelian barang atau jasa yang kena pajak atau impor barang kena pajak. 12. Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak pada waktu penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak. Dari pengertian istilah tersebut, secara tidak langsung dapat diketahui siapa yang kena pajak, apa objeknya, dan bagaimana cara menghitungnya.

7.8 Administrasi Perpajakan  1. Subjek PPN Subjek pajak dalam PPN adalah konsumen karena PPN merupakan pajak tidak langsung. Namun, kesulitan akan terjadi apabila konsumen harus membayar pajak dalam PPN sebagai salah satu jenis pajak tidak langsung. Oleh karena itu, pengusaha sebagai penanggung pajak harus membayar pajak terlebih dahulu yang nantinya akan dibayar kembali oleh pemikul pajak, yaitu konsumen pada saat membeli barang. Hal inilah yang kita lihat pada selebaran yang kita dapatkan dari suatu toko dan supermarket bahwa harga sudah termasuk PPN, atau restoran yang mencantumkan harga menu dengan tambahan bahwa harga belum termasuk PPN. 2. Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak Pengusaha sebagai Pengusaha Kena Pajak adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak dan atau ekspor Barang Kena Pajak. Penanggung Pajak terdiri dari: a. Pengusaha. b. 1) Pengusaha Kena Pajak. 2) Bukan Pengusaha Kena Pajak, yaitu pengusaha di bidang pertanian dan pengusaha kecil. c. Pengusaha Kecil. 3. Objek PPN Pasal 4 UU PPN Tahun 1984 sebagaimana telah diubah dan terakhir dengan UU No. 18 Tahun 2000, menyebutkan bahwa PPN dikenakan atas: a. penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha Kena pajak (PKP); b. impor Barang Kena Pajak; c. penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah pabean yang dilakukan oleh Pengusaha; d. pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; f. ekspor Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak; g. kegiatan membangun sendiri; h. penyerahan aktiva oleh Pengusaha Kena Pajak.

 ADBI4330/MODUL 7 7.9 Contoh: Sartono seorang pengusaha yang berkedudukan di Jakarta memperoleh hak menggunakan merek yang dimiliki pengusaha Naruto yang berkedudukan di Jepang. Pemanfaatan merek tersebut oleh Sartono di dalam Daerah Pabean akan terutang PPN, yaitu: a. pemanfaatan Jasa Kena Pajak (JKP) dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; b. ekspor Barang Kena Pajak (BKP) oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP). 4. Barang yang Tidak Dikenakan PPN Penetapan jenis barang yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai dibagi dalam kelompok sebagai berikut. a. barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya; b. barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat, meliputi beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, dan garam; c. uang, emas batangan, dan surat-surat berharga. 5. Jasa yang Tidak Dikenakan PPN Jenis jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai dibagi dalam kelompok sebagai berikut. a. Jasa di bidang pelayanan kesehatan medik. b. Jasa di bidang pelayanan sosial. c. Jasa di bidang pengiriman surat dengan prangko. d. Jasa di bidang perbankan, asuransi, dan sewa guna usaha dengan hak opsi. e. Jasa di bidang keagamaan. f. Jasa di bidang pendidikan. g. Jasa di bidang kesenian dan hiburan yang telah dikenakan pajak tontonan. h. Jasa di bidang penyiaran yang bukan bersifat iklan. i. Jasa di bidang angkutan umum di darat dan di air. j. Jasa di bidang tenaga kerja. k. Jasa di bidang perhotelan. l. Jasa yang disediakan oleh Pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum.

7.10 Administrasi Perpajakan  B. FAKTUR PAJAK Setelah kita memahami tentang barang atau jasa yang dikenakan pajak pertambahan nilai (PPN) dan saat terutangnya, selanjutnya kita perlu memahami sarana apa untuk dijadikan sebagai bukti bahwa kita telah memungut PPN. Adapun sarana yang dijadikan bukti untuk memungut PPN tersebut adalah faktur pajak. Faktur Pajak dibuat oleh PKP karena penyerahan BKP atau JKP, atau bukti pungutan pajak karena impor BKP yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Beberapa hal yang perlu diketahui adalah sebagai berikut. a. Pihak yang dapat membuat pajak adalah pengusaha yang telah memiliki No. Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (NPPKP). Pengusaha ini dikenal sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). b. Siapakah pembeli barang atau jasa yang kita jual? c. Apakah pembeli memiliki NPWP atau SPPKP? d. Apakah yang membeli merupakan instansi pemerintah, BUMN/BUMD yang termasuk dalam kriteria pemungut PPN? 1. Jenis Faktur Pajak Berdasarkan Pasal 1 Huruf t UU PPN Tahun 1984 yang dalam UU No. 18 Tahun 2000 menjadi Pasal 1 Angka 23 merumuskan bahwa ”Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena pajak atau bukti pungutan pajak karena impor Barang Kena pajak yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.” Perubahan yang ada adalah memasukan bukti pungutan pajak karena impor Barang Kena pajak yang dibuat oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang merupakan faktur pajak. Sedangkan Ketentuan pokok yang mengatur tentang Faktur Pajak adalah pada Pasal 13 UU PPN 1984. Selain itu, dibuat Pasal baru dalam PP 143 Tahun 2000 yang khusus mengatur tentang Faktur Pajak, yaitu Pasal 15. Adapun jenis faktur pajak adalah sebagai berikut. a. Faktur pajak standar Faktur Pajak Standar merupakan faktur pajak yang bentuk dan isinya telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan. Faktur Pajak Standar harus mencantumkan keterangan tentang penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang paling sedikit memuat:

 ADBI4330/MODUL 7 7.11 1) nama, alamat, NPWP yang menyerahkan BKP atau JKP; 2) nama, alamat, NPWP pembeli BKP atau JKP; 3) jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga; 4) PPN yang dipungut; 5) pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut; 6) kode, No. seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; 7) nama, jabatan, dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak. Faktur Pajak harus benar, baik secara formal maupun secara materiil. Faktur Pajak harus diisi secara lengkap, jelas, benar dan ditandatangani oleh pejabat yang ditunjuk oleh pengusaha kena pajak untuk menandatanganinya. Namun, untuk pengisian keterangan mengenai pajak penjualan atas barang mewah hanya diisi apabila atas penyerahan barang kena pajak terutang pajak penjualan atas barang mewah. Faktur pajak yang tidak diisi sesuai dengan ketentuan ini dapat mengakibatkan pajak pertambahan nilai yang tercantum di dalamnya tidak dapat dikreditkan. Faktur penjualan yang memuat keterangan dan pengisiannya sesuai dengan ketentuan ini dapat disebut Faktur Pajak Standar. b. Faktur pajak sederhana Berdasarkan Pasal 13 Ayat (7) UU No. 18 Tahun 2000, PKP dapat membuat Faktur Pajak Sederhana yang persyaratannya ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak. Pengusaha Kena Pajak dapat menerbitkan Faktur Pajak Sederhana dalam hal berikut. 1) Penyerahan BKP dan atau JKP yang dilakukan secara langsung kepada konsumen akhir. 2) Penyerahan BKP dan atau JKP kepada pembeli dan atau penerima JKP yang tidak diketahui identitasnya secara lengkap. 3) Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan tanda bukti penyerahan atau tanda bukti pembayaran sebagai Faktur Pajak Sederhana yang paling sedikit memuat informasi tentang: a) nama, alamat, dan NPWP yang menyerahkan BKP dan atau JKP; b) jenis dan kuantum; c) jumlah harga jual atau penggantian yang sudah termasuk pajak atau besarnya pajak dicantumkan secara terpisah; d) tanggal pembuatan Faktur Pajak Sederhana.

7.12 Administrasi Perpajakan  Tanda bukti penyerahan atau pembayaran atas penyerahan BKP seperti bon kontan, faktur penjualan, segi cash register, karcis, kuitansi, tanda bukti penyerahan atau pembayaran lain yang sejenis sepanjang memenuhi persyaratan sebagai Faktur Pajak Sederhana dapat diperlakukan sebagai Faktur Pajak Sederhana. Beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah sebagi berikut. 1) Faktur Pajak Sederhana yang tidak memenuhi ketentuan sebagai Faktur Pajak Sederhana merupakan Faktur Pajak yang tidak lengkap. 2) Faktur Pajak Sederhana harus dibuat pada saat penyerahan BKP dan atau JKP atau pada saat pembayaran apabila pembayaran diterima sebelum penyerahan BKP dan atau JKP. 3) Faktur Pajak Sederhana dibuat paling sedikit rangkap 2, yaitu: a) lembar ke 1: untuk pembeli BKP/penerima JKP; b) lembar ke 2: untuk arsip Pengusaha Kena Pajak yang bersangkutan. 4) Faktur Pajak Sederhana dianggap telah dibuat rangkap dua atau lebih dalam hal Faktur Pajak Sederhana tersebut dibuat dalam satu lembar yang terdiri dari dua atau lebih bagian atau potongan yang disediakan untuk disobek atau dipotong. 5) Faktur Pajak Sederhana tidak dapat digunakan oleh pembeli BKP dan atau penerima JKP sebagai dasar untuk pengkreditan. 2. Faktur Pajak Gabungan Faktur Pajak Gabungan digunakan apabila PKP melakukan transaksi dalam jumlah yang banyak kepada seorang pembeli yang sama maka dapat digunakan Faktur Pajak Gabungan. Faktur Pajak Gabungan ini merupakan faktur pajak standar yang memuat lebih dari satu transaksi dalam satu masa pajak untuk pelanggan yang sama. Saat pembuatan, bentuk, ukuran, pengadaan, pengisian, penyampaian, pembetulan, dan penggantian Faktur Pajak Gabungan sama seperti ketentuan pada Faktur Pajak Standar. Faktur Pajak Gabungan harus dibuat paling lambat pada akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak. 3. Saat Pembuatan Faktur Pajak Pengusaha Kena Pajak harus membuat Faktur Pajak untuk setiap penyerahan BKP, ekspor BKP, dan setiap penyerahan JKP. Apabila pembayaran diterima sebelum penyerahan BKP dan atau JKP maka Faktur

 ADBI4330/MODUL 7 7.13 Pajak dibuat pada saat pembayaran. Secara lebih rinci saat pembuatan Faktur Pajak diatur sebagai berikut. a. Berdasarkan Pasal 13 ayat (1), ayat (2) dan ayat (4) serta Kep-DJP No. 549/PJ/2000 jis Kep-DJP No. 323/PJ./2001 Kep-DJP No. 433/PJ./2002, Dirjen Pajak menetapkan saat pembuatan Faktur Pajak Standar selambat- lambatnya. b. Setelah Pengusaha Kena Pajak membuat Faktur Pajak Standar, harus dilaporkan sebagai PPN pajak keluaran di SPT Masa PPN dibuatnya Faktur Pajak. Jika setelah diperhitungkan dengan PPN pajak masukan terdapat PPN kurang bayar, harus disetor selambat-lambatnya tanggal 15 bulan berikutnya dan dilaporkan tanggal 20 bulan berikutnya. c. Untuk penyerahan yang dilakukan kepada pemungut PPN, PKP wajib membuat Faktur Pajak saat melakukan penagihan ke pemungut PPN, dan pemungut PPN harus menyetor PPN yang dipungutnya dan disetorkan ke kas negara selambat-lambatnya pada tanggal 7 bulan berikutnya dan dilaporkan tanggal 14 bulan berikutnya. Karena ketidakpastian kita menerima pembayaran dari pemungut PPN, faktur pajak dilaporkan di SPT masa pada saat diterimanya pembayaran. d. Pada saat dilakukan pemeriksaan, wajib pajak banyak yang tidak menyadari arti penting faktur pajak sehingga mereka mengabaikan faktur pajak masukan yang merupakan pengurang dari PPN pajak keluaran saat kita menjual. Agar dapat dikreditkan, faktur pajak tidak boleh cacat artinya jangan sampai ada coretan, tipp-ex, dan sejenisnya. Di samping itu, agar Faktur Pajak tersebut dapat dijadikan sebagai kredit pajak maka harus berhubungan langsung dengan usaha, yaitu terkait dengan kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen. C. LATAR BELAKANG PENGENAAN PPNBM Latar belakang pengenaan PPnBM dapat kita lihat dalam penjelasan dari Pasal 5 UU PPN 1983, yaitu: 1. PPN berdampak regresif PPN merupakan pajak objektif namun memiliki dampak regresif dan ini dapat dilihat dari: a. PPN tidak membedakan tingkat kemampuan konsumennya, di mana konsumen yang memiliki kemampuan yang tinggi dengan yang memiliki kemampuan rendah disamakan perlakuannya;

7.14 Administrasi Perpajakan  b. PPN menerapkan tarif tunggal. 2. Konsumsi Barang Kena Pajak yang tergolong mewah bersifat kontraproduktif. Kebanyakan yang mengonsumsi barang yang tergolong mewah adalah dari kalangan masyarakat yang berpenghasilan tinggi. Untuk menekan kondisi ini, maka diberikan beban pajak tambahan. Di samping itu penambahan beban pajak tambahan ini adalah untuk mendidik masyarakat berpenghasilan rendah untuk hidup hemat dengan jalan membelanjakan uangnya untuk konsumsi sebatas kemampuan yang dimiliki. 3. Produsen kecil dan tradisional menghadapi saingan berat dari komoditi impor Pada bagian ini sebenarnya diarahkan pada produsen bukan konsumen, karena tujuannya adalah memberikan perlindungan bagi produsen kecil dan tradisional. 4. Tuntutan peningkatan penerimaan negara dari tahun ke tahun Dengan dikenakannya Pajak Penjualan atas Barang Mewah di samping PPN, dapat menambah pemasukan negara. Latar belakang diberlakukannya PPnBM mendampingi pemungutan PPN adalah dalam rangka mencapai keadilan dalam pemungutan pajak konsumsi. PPnBM merupakan sarana untuk membebani konsumen agar tidak konsumtif. Tingkat beban pajak disesuaikan dengan tingkat kemampuan konsumen berdasarkan tingkat daya beli yang dimilikinya. Contoh: Konsumen A yang berpenghasilan bersih Rp100.000.000,00,- setahun membeli sebuah televisi dengan harga Rp5.000.000,00,- maka atas pembelian tersebut dipungut PPN sebesar 10% x Rp5.000.000,00,- = Rp500.000,00,-. Sedangkan konsumen B seorang PNS dengan penghasilan bersih setahun Rp36.000.000,00,- membeli barang yang sama sebagaimana dibeli A juga dikenakan PPN yang sama yaitu Rp500.000,00,-. Dalam kasus dua pembeli ini dirasakan tidak adil karena keduanya dikenakan pajak yang sama. 1. Objek PPnBM Selain PPN, PPnBM juga dikenakan terhadap: a. penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dilakukan oleh Pengusaha yang menghasilkan Barang Kena Pajak yang Tergolong

 ADBI4330/MODUL 7 7.15 Mewah tersebut di dalam Daerah Pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya; b. impor Barang Kena pajak yang Tergolong Mewah. Yang dimaksud dengan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah tersebut adalah: a. barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok; b. barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu; c. pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi; d. barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status; e. apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat serta mengganggu ketertiban masyarakat, seperti minuman beralkohol. Pengenaan pajak Penjualan atas Barang Mewah atas impor Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah tidak memperhatikan siapa yang mengimpor Barang Kena pajak tersebut serta tidak memperhatikan apakah impor tersebut dilakukan secara terus menerus atau hanya sekali saja. Selain itu, pengenaan pajak Penjualan atas Barang Mewah terhadap suatu penyerahan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah tidak memperhatikan apakah suatu bagian dari Barang Kena Pajak tersebut telah dikenakan Pajak Penjualan atau tidak dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah pada transaksi sebelumnya. Yang termasuk dalam pengertian menghasilkan adalah kegiatan- kegiatan sebagai berikut. a. merakit, yaitu menggabungkan bagian-bagian lepas dari suatu barang menjadi barang setengah jadi atau barang jadi, seperti merakit mobil, barang elektronik, perabot rumah tangga, dan sebagainya; b. memasak, yaitu mengolah barang dengan cara memanaskan baik dicampur bahan lain atau tidak; c. mencampur, yaitu mempersatukan dua atau lebih unsur (zat) untuk menghasilkan satu atau lebih barang lain; d. mengemas, yaitu menempatkan suatu barang ke dalam suatu benda yang melindunginya dari kerusakan dan atau untuk meningkatkan pemasarannya; e. membotolkan, yaitu memasukkan minuman atau benda cair ke dalam botol yang ditutup dengan cara tertentu;

7.16 Administrasi Perpajakan  f. kegiatan-kegiatan lain yang dapat disamakan dengan kegiatan itu atau menyuruh orang atau badan lain melakukan kegiatan-kegiatan tersebut. Pajak penjualan atas barang mewah dikenakan hanya satu kali pada waktu penyerahan barang kena pajak yang tergolong mewah oleh pengusaha yang menghasilkan atau pada waktu impor. Pengertian Pajak Masukan hanya dikenal dalam pajak pertambahan nilai, untuk pajak penjualan barang mewah tidak ada. Oleh karena itu, pajak penjualan atas barang mewah yang telah dibayar, tidak dapat dikreditkan dengan pajak penjualan atas barang mewah yang terutang. Dengan demikian, prinsip pemungutannya hanya satu kali saja, yaitu pada waktu: a. penyerahan oleh pabrikan atau produsen barang kena pajak yang tergolong mewah; b. impor barang kena pajak yang tergolong mewah. Penyerahan pada tingkat berikutnya tidak lagi dikenakan pajak penjualan atas barang mewah. 2. Tarif PPN dan PPnBM a. Tarif PPN Tarif Pajak Pertambahan Nilai menurut Pasal 7 UU No. 18 Tahun 2000 adalah: 1) sebesar 10% Tarif PPN barang kena pajak dan jasa kena pajak merupakan tarif tunggal yang dikenakan terhadap semua jenis barang kena pajak dan jasa kena pajak. dalam keadaan tertentu sesuai peraturan pemerintah, tarif PPN dapat dinaikkan menjadi setinggi-tingginya 15% dan serendah- rendahnya 5%. 2) sebesar 0% Tarif PPN 0% dikenakan atas ekspor barang kena pajak. Hal ini dimaksudkan untuk mendorong para pengusaha agar mampu menghasilkan barang untuk diekspor sehingga dapat bersaing di pasar luar negeri. Penerapan tarif PPN sebesar 0% bukan berarti pembebasan dari pengenaan PPN, tetapi agar pajak masukan yang telah dibayar oleh pengusaha pada saat pembelian barang ekspor tersebut dapat dikreditkan.

 ADBI4330/MODUL 7 7.17 b. Tarif PPnBM Tarif pajak penjualan atas barang mewah dapat ditetapkan dalam beberapa kelompok tarif terendah sebesar 10% dan tarif tertinggi 75%. Perbedaan kelompok tarif tersebut didasarkan pada kelompok barang kena pajak yang tergolong mewah yang atas penyerahannya dikenakan juga pajak penjualan atas barang mewah oleh pengusaha yang menghasilkan barang kena pajak yang tergolong mewah tersebut di dalam daerah pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya. Atas ekspor barang kena pajak yang tergolong mewah dikenakan pajak dengan tarif 0%. Pajak Penjualan atas barang mewah adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi barang kena pajak yang tergolong mewah di dalam daerah pabean. Oleh karena itu, barang kena pajak yang tergolong mewah yang diekspor atau dikonsumsi di luar daerah pabean dikenakan pajak penjualan atas barang mewah yang telah dibayar atas perolehan barang kena pajak yang tergolong mewah yang diekspor tersebut dapat diminta kembali. 3. Dasar Pengenaan PPN dan PPnBM Dasar pengenaan PPN adalah jumlah harga jual, penggantian, nilai impor, nilai ekspor, atau nilai lain yang ditetapkan dengan keputusan menteri keuangan yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang. Apabila pengusaha kena pajak dalam menghasilkan BKP yang tergolong mewah menggunakan BKP yang tergolong mewah lainnya sebagai bagian dari BKP yang tergolong mewah yang dihasilkannya tersebut dan atas perolehannya telah dibayar pajak penjualan atas barang mewah, maka pajak penjualan atas barang mewah yang telah dibayar tersebut merupakan bagian dari biaya produksi BKP yang tergolong mewah yang dihasilkannya. Dengan demikian, pajak penjualan atas perolehan BKP yang tergolong mewah yang menjadi bagian atau digunakan untuk menghasilkan BKP yang tergolong mewah termasuk dalam dasar pengenaan pajak. Contoh: Pengusaha kena pajak Amir merupakan produsen mobil. Dalam menghasilkan mobil, PKP Amir juga membeli tape dan AC yang akan dipasang pada mobil yang dihasilkannya. Atas perolehan tape dan AC tersebut, PKP Amir telah membayar pajak penjualan atas barang mewah sebesar Rp350.000,00 (Rp100.000,00 untuk tape dan Rp250.000,00 untuk AC). Apabila Harga Produksi mobil sebesar Rp110.000.000,00 dan

7.18 Administrasi Perpajakan  keuntungan yang diinginkan PKP Amir sebesar Rp40.000.000,00 maka harga jual mobil tersebut adalah sebesar Rp150.350.000,00. Dengan demikian, dasar pengenaan pajak atas mobil tersebut adalah Rp150.350.000,00 pajak yang terutang atas penyerahan BKP yang tergolong mewah tersebut adalah: PPN = 10% x Rp150.350.000,00 = Rp15.035.000,00 PPnBM = 20% x Rp150.350.000,00 = Rp30.070.000,00 Atas penyerahan BKP yang tergolong mewah yang dilakukan oleh pengusaha kena pajak, selain pengusaha yang menghasilkan BKP yang tergolong mewah atau atas impor BKP yang tergolong mewah, dasar pengenaan pajak termasuk pajak penjualan atas barang mewah yang dikenakan atas perolehan atau atas impor BKP yang tergolong mewah tersebut. Contoh: Pengusaha kena pajak Andi membeli BKP yang tergolong mewah dari pengusaha budi yang menghasilkan BKP tersebut sebagai berikut. Harga Beli (sebagai Dasar Pengenaan Pajak) = Rp100.000.000,00 PPN = Rp 10.000.000,00 PPnBM misal dengan tarif 20% = Rp 20.000.000,00 Jumlah yang dibayar oleh PKP Andi Rp130.000.000,00 Pengusaha Andi tersebut menjual BKP tersebut kepada PKP Burhan sebagai berikut. Harga Beli PKP Andi = Rp100.000.000,00 PPnBM yang telah dibayar = Rp 20.000.000,00 Keuntungan yang diharapkan = Rp 15.000.000,00 Dasar Pengenaan Pajak = Rp135.000.000,00 PPN = Rp 13.500.000,00 Jumlah yang dibayar oleh PKP Burhan = Rp148.500.000,00 4. Cara Menghitung PPN Pajak pertambahan nilai dikenakan atas nilai tambah (value addedd) dari barang atau jasa yang dihasilkan atau diserahkan oleh pengusaha kena pajak, baik pabrikan, importir, agen utama, atau distributor utama. Pajak pertambahan nilai terjadi pada setiap jalur produksi dan distribusi, yang berarti bahwa pada setiap tingkat produksi atau distribusi harus dihitung

 ADBI4330/MODUL 7 7.19 besarnya pertambahan nilai atas barang atau jasa tersebut. Jika dasar untuk menghitung pajak pertambahan nilai adalah nilai tambah, pada setiap tahapan produksi dan distribusi harus menghitung nilai tambah, penghitungan tersebut menjadi sulit. Oleh karena itu, terdapat beberapa mekanisme dalam menghitung pajak pertambahan nilai yang didasarkan pada suatu nilai yang disebut dengan dasar pengenaan pajak (seperti harga jual, nilai impor, penggantian, dan lain-lain). Secara umum, pajak pertambahan nilai yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan dasar Pengenaan Pajak. Contoh: a. Pengusaha Kena Pajak Amir menjual tunai barang kena pajak dengan harga jual Rp25.000.000,00. Pajak pertambahan nilai yang terutang adalah 10% x Rp25.000.000,00 = Rp2.500.000,00. Pajak pertambahan nilai ini merupakan pajak keluaran yang dipungut oleh pengusaha kena pajak. b. Pengusaha kena pajak budi melakukan penyerahan jasa kena pajak dengan memperoleh penggantian sebesar Rp20.000.000,00. Pajak pertambahan nilai yang terutang adalah 10% x Rp20.000.000,00 = Rp2.000.000,00. Pajak pertambahan nilai ini merupakan pajak keluaran, yang dipungut oleh pengusaha kena pajak Budi. c. Seorang mengimpor barang kena pajak dari luar daerah pabean dengan nilai impor Rp15.000.000,00. Pajak pertambahan nilai yang dipungut melalui Direktur Jenderal Bea dan Cukai adalah 10% x Rp15.000.000,00 = Rp1.500.000,00. Pada Contoh 1, jika pengusaha kena pajak Amir membeli barang kena pajak yang dijual tersebut dengan harga perolehan Rp10.000.000,00 dan atas pembelian/perolehan ini membayar pajak pertambahan nilai (Pajak masukan) sebesar Rp1.000.000,00. Pajak pertambahan nilai yang terjadi sebenarnya tidak sebesar Rp2.500.000,00, tetapi hanya sebesar Rp1.500.000,00 atau tarif 10% x nilai tambah (Rp25.000.000,00 – Rp10.000.000,00). Agar tidak menimbulkan unsur pemungutan pajak berganda, penghitungan pajak pertambahan nilai yang didasarkan pada dasar pengenaan pajak tersebut disesuaikan kembali dengan mekanisme penghitungan pajak. Mekanisme penghitungan pajak yang secara umum digunakan oleh pengusaha kena pajak adalah mekanisme kredit pajak murni atau metode

7.20 Administrasi Perpajakan  faktur pajak atau metode pajak masukan pajak keluaran. Namun demikian, dalam kondisi tertentu mekanisme faktur pajak tidak digunakan, tetapi menggunakan cara lain. Kondisi tersebut misalnya, pada saat terjadi penyerahan kepada pemungutan PPN, penyerahan oleh pengusaha di bidang tertentu, kegiatan membangun sendiri, pemberian cuma-cuma maupun dipakai sendiri, dan lain-lain. 5. Cara Menghitung PPN dan PPnBM Untuk menghitung PPN dan PPnBM yang terutang atas penyerahan BKP Yang Tergolong Mewah, perlu diperhatikan tiga faktor sesuai dengan Karakteristiknya (Untung, 2003; 139), yaitu: a. PPnBM hanya dipungut satu kali. b. PPnBM tidak dapat dikreditkan sehingga dapat dibebankan sebagai biaya sepanjang memenuhi ketentuan Pasal 6 ayat (1) Huruf a dan tidak memenuhi ketentuan Pasal 9 UU PPh. c. PPN tidak menghendaki terjadi pungutan pajak berganda. Atas dasar ketiga faktor tersebut di atas maka dalam hal PKP selain pabrikan menyerahkan BKP yang tergolong mewah, sebelum 1 Januari 2001, PPN yang terutang dihitung dari DPP yang ditetapkan berdasar harga barang setelah dikurangi dengan unsur PPnBM yang terkandung di dalamnya. Cara menghitung pajak penjualan atas barang mewah yang terutang adalah dengan mengalikan harga jual, nilai impor, dan nilai lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan dengan tarif (terendah 10%, dan tertinggi 75% serta 0% untuk kegiatan ekspor). PPnBM bukan merupakan pajak masukan. Oleh karena itu, PPnBM dapat ditambahkan ke dalam harga BKP yang bersangkutan atau dibebankan sebagai biaya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan pajak penghasilan. Contoh: 1 PKP Amir mengimpor BKP dengan nilai impor Rp5.000.000,00. BKP tersebut selain dikenakan PPN, juga dikenakan PPnBM dengan tarif 20%. Contoh: 2 PKP “D” pabrikan yang menghasilkan mesin cuci pakaian. Mesin cuci pakaian dikategorikan sebagai BKP yang tergolong mewah dan dikenakan PPnBM dengan tarif 20%. Pada bulan Maret 2007, PKP “D” menjual 10 buah mesin cuci kepada PKP “O” seharga Rp30.000.000,00.

 ADBI4330/MODUL 7 7.21 - PPN yang terutang = 10% x Rp30.000.000.00 = Rp3.000.000,00 - PPnBM yang terutang = 20% x Rp30.000.000,00 = Rp6.000.000,00 (+) PPN dan PPnBM yang terutang PKP “D” Rp9.000.000.00 Pada bulan Maret 2007 PKP “O” menjual 10 buah mesin cuci tersebut di atas seharga Rp40.000.000,00. PPN yang terutang = 10% x Rp40.000.000,00 = Rp4.000.000,00. PKP “O” tidak boleh memungut PPnBM karena PKP “O” bukan pabrikan dan PPnBM dikenakan hanya satu sekali. 6. Mekanisme Pemungutan PPN dan PPnBM di Indonesia Pada awalnya mekanisme pemungutan PPN di Indonesia hanya mengenal dua, yaitu metode pengurangan tidak langsung (indirect substraction method) dengan pengusaha kena pajak yang melakukan penyerahan BKP dan atau JKP sebagai subjek pajak dan metode memungut, menyetor, dan melaporkan sendiri PPN dan PPnBM yang terutang atas impor BKP (self imposition method). Hal ini berlangsung sejak 1 April 1985 sampai dengan tahun 1986 berdasarkan UU No. 8 Tahun 1983. Pada periode ini banyak di indikasi bahwa terjadi kecurangan dan penyelewengan yang dilakukan oleh PKP yang tidak bertanggung jawab dengan tidak menyetor PPN dan PPnBM yang dipungut dari konsumen. Konsumen di sini termasuk belanja BKP dan atau JKP oleh pemerintah yang dibayar melalui Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN), Bendaharawan Pemerintah, BUMN, BUMD, dan badan-badan tertentu lainnya. Oleh karena itu, berdasarkan Keputusan Presiden No. 56 Tahun 1988 ditunjuk badan-badan tertentu dan bendaharawan sebagai pemungut PPN dan PPnBM. Sejak berlakunya Keppres No. 56 Tahun 1988 maka mekanisme PPN dan PPnBM di Indonesia ada tiga, yaitu sebagai berikut. a. Indirect Substraction Method dengan PKP yang menyerahkan BKP dan atau JKP sebagai subjek pajaknya. b. Indirect Substraction Method dengan Pemungut PPN dan PPnBM yang membayar atas penyerahan BKP Tidak Berwujud dan atau pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean. c. Self Imposition Method.

7.22 Administrasi Perpajakan  UU No. 11 Tahun 1994 yang menambah objek PPn yaitu kegiatan membangun sendiri yang dilakukan orang pribadi atau badan tidak dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya, pemanfaatan BKP tidak berwujud dan atau pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean, juga menggunakan Self Imposition Method. Penunjukan badan-badan tertentu dan bendaharawan sebagai pemungut PPN dengan menggunakan Keppres ini sesungguhnya tidak diatur dalam UU No. 8 Tahun 1983. Penyimpangan ini dilakukan untuk mengatasi permasalahan teknis yang ada dalam pelaksanaan UU PPN dan PPnBM pada periode tersebut. Secara yuridis, ketentuan ini berlaku sampai dengan 31 Desember 1994, karena berdasarkan Pasal 1 Huruf x dan Pasal 16A UU No. 11 Tahun 1994 diatur pemungut PPN yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. Namun, sampai dengan tahun 2000, menteri keuangan tidak mengeluarkan aturan pelaksanaan Pasal 1 Huruf x UU No. 11 Tahun 1994 ini sehingga secara praktis, pemungut PPN tetap mengacu pada Keputusan Presiden No. 56 Tahun 1988. Baru pada Tahun 2000 dengan Keppres No. 180 Tahun 2000 mencabut Keppres No. 56 Tahun 1988. Hal ini kemudian diikuti dengan Keputusan Menteri Keuangan No. KMK-547/KMK.04/2000 tentang Penunjukan Bendaharawan Pemerintah, Badan-badan tertentu untuk memungut, menyetor, dan melaporkan PPN dan PPnBM sebagai amanat Pasal 1 Angka 27 UU No. 18 Tahun 2000. Keputusan ini kemudian diganti dengan KMK- 563/KMK.03/2003 di mana pemungut PPN hanya dua, yaitu bendaharawan pemerintah dan Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN), serta mencabut Badan-badan tertentu (BUMN/BUMD) sebagai pemungut PPN. Keputusan ini berlaku per 1 Januari 2004. Bila yang membeli adalah instansi pemerintah, kedudukan bendaharawan sebagaimana diatur dalam UU No. 8 Tahun 1983 harus membayar PPN atau PPN dan PPnBM bersama-sama pembayaran tagihan rekanan. Oleh rekanan, PPN atau PPN dan PPnBM yang diterima dari bendaharawan tersebut disetor ke kas negara melalui bank persepsi dan melaporkan kegiatan pemenuhan pajak tersebut kepada Kantor Pelayanan Pajak setempat. Setelah lahirnya Keppres No. 56 Tahun 1988 maka mekanismenya berubah sebagai berikut.

 ADBI4330/MODUL 7 7.23 7. Surat Pemberitahuan Masa PPN (SPT Masa PPN) Dalam sistem self assessment, SPT masa PPN berfungsi sebagai sarana bagi PKP untuk mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah PPN atau PPN dan PPnBM yang terutang dan melaporkan tentang: a. pengkreditan Pajak Masukan (PM) terhadap Pajak Keluaran (PK); b. pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan/atau melalui pihak lain dalam suatu masa pajak. Berdasarkan UU No. 8 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah dan terakhir dengan UU No. 18 tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan JASA dan Pajak Penjualan Barang Mewah, UU No. 6 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah dan terakhir dengan UU No. 16 tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan Aturan Pelaksanaannya, Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN) dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-147/PJ./2006 tentang Bentuk, Isi, dan Tata Cara Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN) bagi pemungut PPN maka dikenai 2 (dua) SPT masa PPN, yaitu: a. SPT Masa PPN bentuk Formulir 1107, yang wajib digunakan bagi semua PKP dan mulai berlaku sejak Masa Pajak Januari 2007, dan b. SPT Masa PPN Bagi Pemungut PPN bentuk Formulir 1107 PUT, yang wajib digunakan bagi Pemungut PPN dan mulai berlaku sejak Masa Pajak Januari 2007. LATIHAN Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas, kerjakanlah latihan berikut! 1) Siapakah yang harus memikul beban PPN? 2) Pengenaan pajak penjualan atas barang mewah dimaksudkan untuk meningkatkan fungsi keadilan pengenaan pajak kepada para konsumen. Jelaskan! 3) Jelaskan perbedaan hakiki pajak pertambahan nilai dengan pajak penjualan atas barang mewah! 4) PT. Bangun Persada adalah kontraktor bangunan, pada bulan Maret 2007 membangun sebuah rumah yang diperuntukkan bagi pak Jamaludin

7.24 Administrasi Perpajakan  (pemilik sekaligus Direktur PT). Pekerjaan itu selesai pada bulan November 2007. Apakah atas pembangunan rumah tersebut dan penyerahannya ke Pak Jamaludin, PT. Bangun Persada harus memungut PPN? 5) PT. Krakatao importir keramik mengimpor keramik dari Korea, kemudian menjual ke Pak Hardiman yang sedang membangun rumah mewah. Apakah Pak Hardiman wajib membayar PPnBM? Petunjuk Jawaban Latihan 1) Konsumen sebagai pihak yang menghormati barang atau jasa, sedangkan para pengusaha hanya berfungsi untuk membantu memungut, kecuali barang atau jasa yang digunakan sendiri (tidak untuk menghasilkan barang atau jasa). 2) Pajak Pertambahan Nilai tergolong sebagai pajak objektif, yaitu dikenakan pajak terhadap objek sehingga unsur subjektif tidak diperhatikan. Akibatnya bagi konsumen yang berpenghasilan kecil akan menanggung beban pajak relatif lebih berat dari pada konsumen yang berpenghasilan besar. Hal ini menimbulkan ketidakadilan (dampak regresif). Oleh karena itu, dengan mengenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dimaksudkan untuk mengenakan pajak terhadap para konsumen yang berpenghasilan, mengonsumsi barang untuk menunjukkan status, yang mengonsumsi barang yang berbahaya bagi kesehatan dan sebagainya. Dalam hal ini barang mewah tersebut memang tidak dimaksudkan dikonsumsi konsumen biasa. 3) Perbedaan pertama adalah pada mekanisme pengkreditan Pajak Masukan - Pajak Keluaran yang hanya dikenal pada PPN. Kedua pengenaan PPN berkali-kali sedangkan pengenaan PPnBM hanya satu kali. Ketiga PPN dikenakan terhadap konsumsi barang dan jasa, sedangkan PPnBM hanya dikenakan atas konsumsi barang tertentu. Keempat adalah tarif, PPnBM mengenal banyak tarif. 4) Kegiatan kontraktor adalah memberikan jasa membangun bangunan yang tergolong pada penyerahan jasa kena pajak. Rumah yang dibuat diserahkan kepada pemilik perusahaan dan dalam hal ini adalah konsumen dari kegiatan pemberian jasa kena pajak. Oleh karena itu, Pak Jamaludin harus membayar PPN atas konsumsi jasa tersebut. Dalam hal

 ADBI4330/MODUL 7 7.25 ini, penyerahan rumah tergolong pemakaian sendiri barang atau jasa. PT. Bangun Persada harus membayar PPN ke Kas Negara. 5) Keramik termasuk barang mewah dan sesuai dengan asas destinaris, impor keramik dari Korea tersebut dimaksudkan untuk dikonsumsi di dalam daerah Pabean Indonesia. Dengan demikian, pada waktu mengimpor keramik tersebut PT. Krakatao harus membayar PPnBM, yang harus dilunasi bersama-sama dengan pelunasan bea masuk dan bea lainnya yang dipungut oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Kemudian Pak Hardiman tidak boleh dibebani dengan PPnBM. RANGKUMAN Beberapa pokok pikiran yang dapat dikemukakan dalam pembahasan PPN dapat dikemukakan sebagai berikut. 1. PPN dikenakan atas penyerahan barang/jasa kena pajak yang dilakukan oleh pengusaha kena pajak, baik kepada pihak lain atau untuk kepentingan sendiri. 2. Yang dikecualikan dari PPN adalah pengusaha kecil dan pengusaha di bidang pertanian dalam arti luas (non pabrikasi). 3. Penyerahan barang/jasa kena pajak yang dikenakan PPN di samping kepada pengusaha pada No. 2 juga menjadi objek PPN apabila pengenaan dilakukan oleh pengusaha kena pajak kepada makelar. 4. Faktur pajak yang telah dibuat oleh pengusaha kena pajak adalah merupakan keharusan dan bukti pembayaran PPN bagi penerima dan bukti pengeluaran bagi yang membuat/mengeluarkan faktur pajak. Pajak keluaran dapat dikreditkan terhadap pajak masukan. TES FORMATIF 1 Pilihlah satu jawaban yang paling tepat! 1) Pajak pertambahan nilai bila dibandingkan dengan pajak penjualan mempunyai kelebihan pada unsur .... A. pajak ganda B. netral dalam persaingan dalam negeri C. pengusaha ekonomi lemah D. pengenaan tarif untuk impor barang


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook