ADBI4330/MODUL 4 4.5 satu tangan, setiap pekerjaan dilengkapi dengan SOP (Standart Operating’Procedure), untuk memudahkan pelaksanaannya. B. STRUKTUR ORGANISASI DIREKTORAT JENDERAL PAJAK 1. Kantor Pusat Kantor Pusat DJP yang modern sebagai induk organisasi yang mengelola pajak di tanah air, secara terstruktur organisasi disesuaikan dengan struktur kantor pajak di negara-negara maju, seperti Singapura, Jepang, dan beberapa Negara Eropa. Dengan struktur sama dengan negara-negara maju ini, diharapkan dapat dan mampu mengantisipasi serta mengikuti gerak era globalisasi yang dengan cepat menyentuh semua aspek kegiatan masyarakat, pelaku bisnis, dan institusi pemerintah. Peran Kantor Pusat ini adalah sebagai unit pembuat kebijakan (policy maker) dan pengembang organisasi juga proses kerja (transform). Kantor Pusat tidak mengerjakan tugas dan fungsi operasional perpajakan, kecuali hal yang bersifat khusus. 2. Kantor Wilayah Dengan makin modernnya administrasi perpajakan maka perlu pembenahan di bidang organisasi, tugas, dan fungsi antara Kantor Wilayah dengan Kantor Pelayanan Pajak yang merupakan ujung tombak pelayanan di lapangan. Tugas mereka adalah pelayanan perpajakan pada masyarakat. Dalam rangka pelaksanaan good governance maka dilakukan pemisahan tugas dan fungsi yang jelas antarkedua unit vertikal DJP tersebut yang memperjelas pembagian kerja dan tanggung jawab keduanya. Sehingga diharapkan tidak ada duplikasi pelayanan, juga sebagai bagian dari sistem pengendalian intern (internal control) perpajakan nasional. Peran kantor pusat di sini adalah sebagai pembuat kebijakan (policy maker) dan pengembangan organisasi juga proses kerja (transform) sehingga tidak mengerjakan tugas dan fungsi operasional perpajakan, kecuali hal yang bersifat khusus. Dengan pola ini, karakteristik Kantor Pusat terdiri atas organisasi, business process, teknologi komunikasi dan informasi, maupun manajemen sumber daya manusia.
4.6 Administrasi Perpajakan Ciri-ciri kantor wilayah yang modern 1) Paradigma struktur organisasi berdasarkan “fungsi”, yang berbeda dengan sebelumnya. 2) Menjelaskan keberatan atas ketetapan pajak yang diterbitkan KPP, dan penyidikan dalam hal terjadi indikasi atau pelaksanaan tindakan pidana perpajakan. 3) Dilakukannya penerapan Kode Etik Pegawai oleh semua pegawai, dan adanya Kode Etik pegawai yang mengawasi pelaksanaannya. 4) Adanya “complaint center”, yang dikelola secara khusus untuk menangani keluhan-keluhan wajib pajak yang terdaftar di KPP wilayah kerjanya. 5) Adanya layanan interaktif (call center) dalam rangka pelayanan informasi kepada masyarakat. 6) Menggunakan sistem komunikasi dan teknologi informasi terkini (e-government). 7) Sumber daya manusia yang berkualitas tinggi, yang telah melalui pendidikan dan pelatihan, mapping serta fit and proper test. 8) Sarana dan prasarana kerja yang lebih baik. 9) Sistem penggajian dan remunerasi yang lebih baik. Modernisasi perpajakan di lingkup Kantor Wilayah pertama kali diimplementasikan dengan membentuk Kantor Wilayah DJP Wajib Pajak Besar (Large Taxpayers Regional Office, LTRO) melalui Keputusan Menteri Keuangan No. 65/KMK.01/2002. Implementasi modernisasi ini sekaligus sebagai pilot project sehingga dapat diantisipasi kemungkinan adanya kekurangan atau hambatan. Kemudian, diimplementasikan di Kantor Wilayah DJP Jakarta Khusus (Keputusan Menteri Keuangan Nomor 587/KMK.01/2003). Selanjutnya diimplementasikan di Kantor Wilayah DJP Jakarta Pusat (Keputusan Menteri Keuangan No.254/KMK.01/2004), yang diubah lagi dengan Keputusan Menteri Keuangan No.62/PMK.01/2009. Secara umum, tugas pokok dan fungsi semua Kantor Wilayah DJP pada dasarnya adalah sama satu sama lain, yaitu sebagai unit koordinator pelaksana tugas perpajakan di lapangan, sekaligus pengawasan atau pelaksana tugas oleh masing-masing KPP. Namun demikian, berdasarkan karakteristik wajib pajak yang dikelola, jenis pajak yang dikelola, maupun wilayah kerja yang menjadi daerah pelayanannya, demikian juga dengan KPP yang di koordinasi dapat dikelompokkan empat model Kantor Wilayah DJP.
ADBI4330/MODUL 4 4.7 C. MODEL KANTOR WILAYAH 1. Kantor Wilayah DJP yang hanya menangani wajib pajak besar secara nasional, yakni yang wajib pajaknya diadministrasikan dan dikelola oleh KPP Wajib Pajak Besar dan KPP Badan Usaha Milik Negara. Kantor Wilayah ini disebut sebagai Kantor Wilayah DJP Wajib Pajak Besar, yang hanya ada satu dan berkedudukan di Jakarta. Di kantor wilayah ini tidak ada unit atau bidang yang menangani tugas ekstensifikasi wajib pajak, karena wajib pajak yang dikelola KPP yang di koordinasi sudah tetap jumlahnya dan sebelumnya sudah terdaftar yang berasal dari KPP lain di seluruh tanah air. 2. Kantor wilayah DJP yang menangani wajib pajak khusus di bidang usaha tertentu, yakni yang wajib pajaknya diadministrasikan dan dikelola oleh KPP Penanaman Modal Asing, KPP Badan dan Orang Asing, dan KPP Perusahaan Masuk Bursa. Kantor Wilayah ini disebut sebagai Kantor Wilayah DJP Jakarta Khusus, dan hanya ada satu yang berkedudukan di Jakarta. Di Kantor Wilayah ini juga tidak ada unit atau bidang yang menangani ekstensifikasi. Hal ini terkait dengan karakteristik wajib pajak yang dikelola yang umumnya langsung terdaftar di KPP tersebut, atau sebelumnya berasal dari KPP lain di seluruh tanah air. 3. Kantor Wilayah DJP yang menangani wajib pajak terbesar dan menengah ke bawah di tingkat Kantor Wilayah, yakni yang wajib pajaknya diadministrasikan dan dikelola oleh KPP Madya, dan KPP Pratama. Kantor Wilayah ini tersebar di seluruh Indonesia. 4. Kantor Wilayah DJP yang menangani wajib pajak menengah ke bawah tingkat kantor wilayah, yakni yang wajib pajak seluruhnya diadministrasikan dan dikelola oleh KPP Pratama. Kantor wilayah yang umum ini juga tersebar di seluruh Indonesia 1. Kantor Pelayanan Pajak Ciri-ciri Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang modern adalah sebagai berikut. a. Paradigma organisasi berdasarkan fungsi, berbeda dengan sebelumnya berdasarkan jenis pajak. b. Bertanggung jawab melaksanakan fungsi pelayanan, pengawasan, penagihan, dan pemeriksaan pajak.
4.8 Administrasi Perpajakan c. Merupakan penggabungan dari KPP, KPPBB, dan Karikpa yang melayani semua jenis pajak (PPh, PPN, PPnBM, Bea Meterai, PBB, dan BPHTB). d. Pemeriksaan pajak hanya ada di KPP, dengan konsep spesialisasi. e. Dalam organisasi KPP dikenal adanya Account Representative (AR), yang dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab untuk melayani dan mengawasi kepatuhan beberapa wajib pajak untuk setiap AR, serta sebagai jembatan/penghubung antara wajib pajak dengan DJP. f. Penerapan Kode Etik Pegawai dan adanya Komite Kode Etik Pegawai. g. Adanya help desk dengan teknologi knowledge base di TPT (service counter). h. Menggunakan sistem komunikasi dan teknologi informasi terkini (e-government). i. Sumber daya manusia yang berkualitas tinggi, yang telah melalui pendidikan dan pelatihan, mapping serta fir and proper test. j. Sarana dan prasarana kerja yang lebih baik. k. Sistem penggajian dan remunerasi yang lebih baik. l. Adanya taxpayer’s bill of rights. Implementasi modernisasi perpajakan di KPP pertama kali dimulai dengan dibentuknya KPP Wajib Pajak Besar (Large Taxpayers Office/LTO) melalui Keputusan Menteri Keuangan No.65/KMK.01/2002, bersamaan dengan Kantor Wilayah DJP Wajib Pajak Besar. Kemudian sejalan dengan karakteristik Wajib Pajak yang dikelola, organisasinya diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan No.254/KMK.01/2004 dan No.132/KMK.01/2006. Dalam implementasinya ada 3 model atau jenis KPP modern, yaitu sebagai berikut. a. KPP wajib pajak besar (Large Taxpayers Office LTO) KPP Wajib Pajak Besar mengelola wajib pajak skala besar secara nasional dengan jenis badan dan terbatas jumlahnya. Di KPP ini tidak ada kegiatan ekstensifikasi karena jumlah wajib pajaknya sudah tetap sekitar 200–300 yang ditetapkan dengan keputusan Direktur Jenderal Pajak. Jika dilakukan penambahan wajib pajak, sumbernya berasal dari seluruh KPP di tanah air. Tidak semua jenis pajak dikelola, melainkan hanya PPh, PPN,
ADBI4330/MODUL 4 4.9 PPnBM, dan Bea Meterai. Kedudukannya hanya berada di Jakarta dan hingga kini ada 3 kantor saja. b. KPP madya (Medium Taxpayers Office MTO) KPP madya mengelola wajib pajak besar jenis badan dalam skala regional (lingkup Kantor Wilayah) dan juga terbatas jumlahnya. Di KPP Madya juga tidak ada kegiatan ekstensifikasi, jumlah wajib pajaknya sudah tetap sekitar 200–500 yang ditetapkan Direktur Jenderal Pajak. Jika suatu saat ditambah, wajib pajaknya berasal dari seluruh KPP di wilayah Kantor Wilayah. Sama seperti KPP Wajib Pajak Besar, jenis pajak yang dikelola juga hanya PPh, PPN, PPnBM, dan bea meterai. Kedudukannya berada di beberapa Kantor Wilayah DJP di tanah air, yang hingga saat ini di Medan, Pekanbaru, Batam, Palembang, Jakarta, Tangerang, Bekasi, Bandung, Semarang, Surabaya, Sidoarjo, Malang, Balikpapan, dan Makasar. Di Jakarta selain di wilayah Jakarta Pusat, Jakarta Barat, Jakarta Selatan, Jakarta Timur, dan Jakarta Utara, termasuk KPP khusus yang melayani wajib pajak penanaman modal asing, badan dan orang asing, serta perusahaan masuk bursa. Wilayah kerjanya sama dengan Kantor Wilayah DJP atasannya. c. KPP Pratama (Small Taxpayers Office STO) Sedangkan KPP Pratama mengelola wajib pajak menengah ke bawah, yakni jenis badan di luar yang telah dikelola di KPP wajib pajak besar dan KPP madya serta orang pribadi. Di KPP Pratama ada kegiatan ekstensifikasi wajib pajak sehingga jumlah wajib pajaknya dapat selalu bertambah seirama dengan pertambahan orang pribadi yang memperoleh penghasilan di atas PTKP atau melakukan kegiatan usaha di wilayah kerjanya. Dengan demikian, jenis wajib pajak yang dikelola terdiri atas orang pribadi, badan, maupun sebagai pemotong pajak yang dikelola terdiri atas orang pribadi, badan, maupun sebagai pemotong pajak yang dikelola semuanya, yakni PPh, PPN, PPnBM, bea meterai, PBB, BPHTB. Kedudukannya berada di semua kantor wilayah di tanah air, kecuali di Kantor Wilayah Wajib Pajak Besar dan Kantor Wilayah Jakarta Khusus. Perbedaan mendasar dari ketiga model KPP ini adalah menyangkut tingkat dan jenis wajib pajak, jenis pajak yang dikelola, kegiatan dan organisasinya, wilayah kerjanya, serta kontribusinya bagi penerimaan di tingkat kantor wilayah dan nasional.
4.10 Administrasi Perpajakan Berdasarkan kegiatannya, karakteristik KPP Pratama adalah sebagai berikut. a. Merupakan penggabungan dari tiga unit kantor pajak sebelumnya, yaitu KPP, KPPBB, dan kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak. b. Struktur organisasi umumnya sama dengan KPP WP Besar dan KPP Madya, hanya dengan penambahan satu seksi yaitu Seksi Ekstensifikasi Perpajakan. c. Sistem Administrasi Perpajakan yang digunakan merupakan gabungan Sistem Informasi DJP (SIDJP) dan Sistem Manajemen Informasi Objek Pajak (SISMIOP). d. Mengadministrasikan seluruh jenis pajak yang dikelola DJP (PPh, PPN, PPnBM, Bea Meterai, PBB, dan BPHTB). e. Account Representative (AR) ditugaskan untuk mengawasi wilayah tertentu atau Wajib Pajak tertentu yang berada dalam wilayah kerja KPP yang bersangkutan. Sebagai suatu bentuk yang diharapkan menjadi model kantor pelayanan di bidang perpajakan ke depan, keunggulan KPP Pratama adalah sebagai berikut. a. Pelayanan satu atap (peningkatan pelayanan kepada Wajib Pajak). b. Program intensifikasi dan ekstensifikasi bisa lebih maksimal (adanya AR yang mengawasi seluruh kegiatan wajib pajak di daerah/wilayah tertentu). c. Penggalian potensi Wajib Pajak Orang Pribadi bisa lebih ditingkatkan (strategi DJP ke depan adalah fokus ke Wajib Pajak Orang Pribadi). 2. Fasilitas Pelayanan yang Tersedia di setiap KPP Pada dasarnya, sarana dan prasarana, pola kerja, dan pelayanan di ketiga model KPP adalah sama. Adapun yang membedakan hanyalah terletak pada wajib pajak yang dikelola beserta jumlahnya. Adapun fasilitas pelayanan perpajakan yang tersedia di tiap KPP dan siap dimanfaatkan oleh masyarakat adalah sebagai berikut. a. Tempat pelayanan terpadu Kalau dahulu Wajib Pajak harus mendatangi seksi seperti PBB, BPHTB, PPh, atau PPN, sekarang cukup di satu tempat yang dikenal dengan Tempat Pelayanan Terpadu (TPT). Tempat ini menerima dokumen atau laporan
ADBI4330/MODUL 4 4.11 perpajakan yang diserahkan langsung oleh Wajib Pajak. Pelayanan ini disesuaikan dengan jam kerja KPP dan tetap melayani Wajib Pajak pada jam istirahat. b. Account representative Account Representative (AR) merupakan salah satu ciri khas dari KPP modern. Tugasnya adalah pengawasan terhadap pelaksanaan kewajiban oleh Wajib Pajak dan melayani penyelesaian hak Wajib Pajak. Apabila Wajib Pajak memerlukan informasi atau hal lain yang terkait pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakannya, maka merupakan tugas AR untuk menjadi mediator. Untuk itu, seorang AR haruslah profesional dan memiliki knowledge, skills, dan attitude yang telah distandarisasi. c. Help desk Apabila Wajib Pajak mengalami kebingungan atau kesulitan dalam masalah perpajakan, maka Wajib Pajak dapat mencari informasi pada bagian ini yang di setiap KPP terletak di lobby gedung. Petugas yang ditempatkan di help desk haruslah pegawai yang dianggap cakap dan memiliki pengetahuan yang luas tentang perpajakan serta pandai berkomunikasi d. Complaint center Bagian ini menampung keluhan-keluhan yang disampaikan oleh Wajib Pajak yang terdaftar di KPP wilayah kerjanya. Permasalahan yang ditampung adalah masalah pelayanan, pemeriksaan, keberatan, dan banding. Namun, tidak dimaksudkan untuk melayani keluhan mengenai penyimpangan atau pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh pegawai. e. Call center Bagian ini menyangkut pelayanan (konfirmasi, prosedur, peraturan, material perpajakan dan lainnya) dan penanganan komplain dari Wajib Pajak. f. Media informasi pajak Untuk memenuhi kebutuhan wajib pajak akan informasi atas peraturan perpajakan dan ketentuan praktis terkait persyaratan, formulir, dan lain-lain maka disediakan sarana ini. Wajib pajak dapat mengakses segala sesuatu hal yang berhubungan dengan pajak yang dibutuhkan secara gratis di Media Informasi Pajak.
4.12 Administrasi Perpajakan g. Website Untuk mempermudah akses informasi perpajakan kepada masyarakat, DJP membuat website ini. Kanwil maupun KPP juga telah banyak membuat website guna memberikan informasi dan pelayanan terhadap wajib pajak yang dikelolanya. h. Pojok pajak Bagian ini merupakan sarana penyuluhan dan pelayanan bagi masyarakat maupun wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakan. i. e-System perpajakan Untuk mendukung modernisasi perpajakan dan dalam rangka peningkatan pelayanan kepada masyarakat, maka dikembangkan pemanfaatan dan penerapan e-system terkait dengan perpajakan. j. e-SPT PPh Wajib Pajak dapat melaporkan e-SPT Masa PPh dalam bentuk program aplikasi yang digunakan untuk merekam, memelihara data, generate data, dan mencetak SPT Masa PPh beserta lampirannya dan dapat dilaporkan melalui media elektronik ke KPP k. e-SPT PPN Seperti halnya PPh, maka PPN pun dapat dilaporkan melalui e-SPT PPN 3. Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Pajak yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama. KP2KP mempunyai tugas melakukan urusan pelayanan, penyuluhan, dan konsultasi perpajakan kepada masyarakat serta membantu Kantor Pelayanan Pajak Pratama dalam melaksanakan pelayanan kepada masyarakat. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63, KP2KP menyelenggarakan fungsi: a. pelaksanaan penyuluhan, sosialisasi, dan pelayanan konsultasi perpajakan kepada masyarakat;
ADBI4330/MODUL 4 4.13 b. pengawasan kepatuhan kewajiban perpajakan wajib pajak; c. bimbingan dan konsultasi teknis perpajakan kepada wajib pajak; d. pemberian pelayanan kepada masyarakat di bidang perpajakan dalam rangka membantu Kantor Pelayanan Pajak Pratama. Sejak berlakunya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 62/PMK.01/2009 ini di seluruh Indonesia terdapat: a. 31 (tiga puluh satu) Kantor Wilayah; b. 4 (empat) KPP Wajib Pajak Besar; c. 28 (dua puluh delapan) KPP Madya; d. 299 (dua ratus sembilan puluh sembilan) KPP Pratama; e. 207 (dua ratus tujuh) KP2KP. D. GOOD CORPORATE GOVERNMENT DALAM PERPAJAKAN Dalam rangka peningkatan kinerja menuju good governance, Direktorat Jenderal Pajak melakukan reformasi di bidang perpajakan. Dalam melaksanakan tugasnya Direktorat Jenderal Pajak berpegang pada prinsip- prinsip perpajakan yang baik, yaitu keadilan (equity), kemudahan (simple and understandable), waktu, dan biaya yang efisien bagi institusi maupun wajib pajak, distribusi beban pajak yang lebih adil dan logis, serta struktur pajak yang dapat mendukung stabilisasi dan pertumbuhan ekonomi. Untuk mendukung semua itu Direktorat Jenderal Pajak melakukan reformasi birokrasi yang didasari 4 (empat) pilar, yaitu reformasi di bidang administrasi perpajakan, reformasi bidang peraturan perpajakan, dan reformasi bidang pengawasan perpajakan. 1. Modernisasi Administrasi Perpajakan Modernisasi administrasi yang digulirkan mulai tahun 2002 terus dikembangkan, dan diharapkan akhir tahun 2007 seluruh kantor pajak di Jawa telah modern yang akan disusul seluruh Indonesia pada akhir tahun 2008. Namun, sampai akhir tahun 2007, belum semua kantor Direktorat Jenderal Pajak selesai dimodernisasi. Hal ini dikarenakan banyaknya unit kerja vertikal (Kantor Wilayah dan KPP) yang tersebar di seluruh Indonesia (Liberti Pandiangan, 2007). Adapun ciri khas kantor modern ini selain seluruh sistem administrasinya dibangun berbasis teknologi informasi (TI) sehingga
4.14 Administrasi Perpajakan pelaksanaan pekerjaan lebih efisien, aman, dan akurat juga organisasinya dibangun berdasarkan fungsi sehingga diharapkan dapat menuntaskan segala macam pekerjaan tanpa harus khawatir tumpang tindih dengan pekerjaan lainnya, tugas-tugas dibagi habis sedemikian rupa untuk menghindari terjadinya penumpukan kekuasaan di satu tangan, setiap pekerjaan dilengkapi dengan Standar Operating Procedure (SOP) untuk memudahkan pelaksanaannya. Dalam rangka peningkatan pelayanan di kantor modern dibentuk Account Representative (AR) yang bertugas melayani dan memutakhirkan data/informasi wajib pajak yang menjadi tanggungannya. Di samping itu, dilakukan peningkatan sumber daya aparatur dengan meningkatkan kualitasnya melalui training, pengujian (tes), peringkat jabatan, indikator kunci kinerja, dan penerapan kode etik yang ketat. Peningkatan ini diutamakan untuk tenaga pemeriksa fungsional dan IT, yang dirasa masih sangat kurang. 2. Amandemen Undang-Undang Perpajakan Dalam rangka mengakomodasi pengaruh perkembangan ekonomi dan sosial maka undang-undang perpajakan senantiasa perlu disempurnakan untuk dapat menaikkan daya saing pelaku ekonomi. Untuk itu, pemerintah bersama DPR hingga tahun 2009 ini telah empat kali merevisi UU KUP, UU PPh, dan UU PPN&PPnBM. 3. Intensifikasi Pajak Dalam rangka pengawasan terhadap pelaksanaan self assessment oleh wajib pajak maka perlu dilakukan intensifikasi dengan sistematik dan terstandar. Ada beberapa hal yang harus dikembangkan oleh setiap Kantor Pelayanan Pajak (KPP), yaitu 1) membuat mapping dan profiling seluruh wajib pajaknya; 2) mengoptimalisasi pemanfaatan data perpajakan (OPDP) guna menguji kebenaran laporan wajib pajak; dan 3) aktivasi wajib pajak non filler (WP terdaftar, tetapi tidak memasukkan SPT) yang dilakukan melalui komunikasi telepon berbasis TI. 4. Ekstensifikasi Meningkatkan kepemilikan NPWP bagi wajib pajak di seluruh Indonesia. Perlu diketahui bahwa banyak masyarakat kita yang memiliki penghasilan khususnya yang penghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) belum memiliki NPWP. Untuk itu, perlu dicari jalan keluar
ADBI4330/MODUL 4 4.15 seperti melakukan pendekatan pada properti, pemberi kerja, dan profesi. Pemberian sunset polisy tahun 2008, yaitu pemberian kesempatan kepada masyarakat untuk memulai kewajiban perpajakannya dengan benar dan diberlakukan dalam jangka waktu terbatas. Di samping itu, Direktorat Jenderal Pajak melakukan kerja sama dengan para kepala daerah, gubernur. LATIHAN Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas, kerjakanlah latihan berikut! 1) Apa yang dimaksud dengan kantor pusat menerapkan struktur organisasi yang mendunia? 2) Apa keuntungan pemerintah melakukan amandemen Undang-undang Perpajakan? 3) Apa peran kantor pusat Direktorat Jenderal Pajak setelah reformasi organisasi perpajakan pada tahun 2002? Petunjuk Jawaban Latihan 1) Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak yang modern sebagai induk organisasi yang mengelola pajak di tanah air menggunakan struktur organisasi yang disesuaikan dengan struktur organisasi negara-negara maju seperti Singapura, Australia, Jepang, dan beberapa negara di kawasan Eropa. 2) Pemerintah melakukan amandemen UU Perpajakan adalah untuk mengakomodasi pengaruh perkembangan ekonomi dan sosial sehingga dapat menaikkan daya saing para pelaku ekonomi. 3) Peran kantor pusat adalah sebagai pembuat kebijakan dan pengembang organisasi di samping proses kerja. RANGKUMAN Modernisasi sejak awal dekade tahun 2000 telah menjadi salah satu kata kunci yang melekat dan menjadi bahan pembicaraan di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak, Departemen Keuangan. Hal ini dikarenakan
4.16 Administrasi Perpajakan Departemen Keuangan yang membawahi Direktorat Jenderal Pajak tengah melakukan modernisasi yang bertujuan untuk menerapkan good governance dan pelayanan prima bagi masyarakat. Untuk kelancaran modernisasi ini maka perlu dukungan semua unit kerja di Direktorat Jenderal Pajak baik di Kantor Pusat, Kantor Wilayah, Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dan Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP). Semua unit ini segera mengondisikan, menyesuaikan diri serta melaksanakan (mengimplementasikan) modernisasi perpajakan sesuai dengan konsep, prinsip, dan sasaran yang sudah ditetapkan oleh masing-masing unit. TES FORMATIF 1 Pilihlah satu jawaban yang paling tepat! 1) KPP, KPPBB, dan kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak (KARIKPA) digabung menjadi .... A. KPP Pratama B. KPP Madya C. KPP Wajib Pajak Besar D. KPP Wajib Pajak Khusus 2) Dalam melaksanakan tugasnya, Direktorat Jenderal Pajak menyelenggarakan beberapa fungsi sebagai berikut, kecuali .... A. pelaksanaan kebijakan di bidang perpajakan B. pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang perpajakan C. perumusan standar, norma, pedoman, kriteria, dan prosedur di bidang perpajakan D. bertanggung jawab melaksanakan fungsi pelayanan, pengawasan, penagihan, dan pemeriksaan pajak 3) Yang bertugas melaksanakan pemungutan pajak sebelum Direktorat Jenderal Pajak berdasarkan perundang-undangan dan melakukan tugas pemeriksaan Kas Bendaharawan Pemerintah adalah .... A. jawatan pajak B. jawatan akuntan pajak C. kantor wilayah D. kantor pelayanan pajak
ADBI4330/MODUL 4 4.17 4) Jawatan pajak hasil bumi pada tahun 1965 berubah menjadi .... A. Direktorat Pajak Hasil Bumi B. Direktorat Iuran Pembangunan Daerah C. Direktorat Pembangunan Daerah D. Kantor Pelayanan pajak Bumi dan Bangunan 5) Kantor Inspektorat Daerah Pajak pada saat ini menjadi .... A. KPP Pratama B. KPP Madya C. Kanwil D. KP2KP Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 1 yang terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar. Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 1. Tingkat penguasaan = Jumlah Jawaban yang Benar 100% Jumlah Soal Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali 80 - 89% = baik 70 - 79% = cukup < 70% = kurang Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat meneruskan dengan Kegiatan Belajar 2. Bagus! Jika masih di bawah 80%, Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 1, terutama bagian yang belum dikuasai.
4.18 Administrasi Perpajakan Kegiatan Belajar 2 Reformasi Perundang-undangan Perpajakan S ejak tahun 1983, pemerintah telah bertekad untuk lebih menegakkan kemandirian dalam membiayai pembangunan nasional dengan jalan mengerahkan segenap potensi dan kemampuan dari dalam negeri, khususnya dengan cara meningkatkan penerimaan negara melalui perpajakan dari sumber-sumber di luar minyak bumi dan gas alam. Dalam rangka upaya meningkatkan penerimaan negara, pada tahun tersebut, pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengadakan reformasi perpajakan yang pertama dengan diundangkannya beberapa UU tentang Perpajakan pada Tahun 1983. Sejak tahun 1983 ini, pemerintah telah beberapa kali melakukan reformasi perpajakan, yaitu tahun 1994 dan tahun 2000. Tahun 2007 untuk keempat kalinya pemerintah mengajukan RUU ke DPR dalam rangka reformasi perpajakan. Sasaran apa yang hendak dicapai pemerintah dengan reformasi yang keempat ini dan apakah sasaran itu dapat tercapai? Pertama-tama istilah \"reformasi perpajakan\" harus diluruskan. Barangkali istilah itu digunakan karena terpengaruh dengan tren reformasi di bidang lainnya. Reformasi berarti perubahan yang mendasar. Menurut John G. Head dalam buku TAX CONVERSATIONS: A Guide to Key Issues in the Tax Reform Debate, suatu sistem perpajakan hendaknya memiliki sifat \"quasi constitutional\". Artinya, sistem tersebut berlaku dalam jangka panjang dan tidak dapat sebentar-sebentar dilakukan reformasi. Maksud digulirkannya reformasi perpajakan adalah agar lebih mencerminkan keadilan, lebih memberikan kepastian hukum (bagi wajib pajak maupun aparatur pajak), meningkatkan efisiensi, serta mempertimbangkan perubahan-perubahan tentang ketentuan perpajakan di negara-negara tetangga khususnya negara-negara ASEAN. Reformasi perpajakan (tax reform) yang dilakukan 1984 adalah karena Pemerintah menganggap bahwa peraturan perpajakan yang berlaku saat itu (1983 dan sebelumnya) merupakan peninggalan kolonial Belanda yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, tidak sesuai dengan struktur dan organisasi pemerintahan khususnya Direktorat Jenderal Pajak, dan tidak lagi sesuai dengan perkembangan ekonomi yang berlaku di Indonesia.
ADBI4330/MODUL 4 4.19 A. PAJAK-PAJAK YANG BERLAKU SEBELUM REFORMASI PERPAJAKAN 1983 Sejak sebelum kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia sudah memberlakukan Undang-undang Perpajakan. Undang-undang Perpajakan yang dimaksud diberlakukan di Indonesia berdasarkan UU No. 4 Tahun 1952 (LN 1952 No. 43). Adapun jenis-jenis pajak yang berlaku pada waktu itu adalah sebagai berikut. 1. Pajak Perseroan (PPs) berdasarkan Ordonansi PPs 1925. 2. Pajak Kekayaan (PKk) berdasarkan Ordonansi PKk 1932. 3. Pajak Pendapatan (PPd) berdasarkan Ordonansi 1944. 4. Pajak Radio, berdasarkan UU No. 12 Tahun 1947. 5. Pajak Pembangunan I (PPb I), berdasarkan UU No. 14 Tahun 1947. 6. Pajak Rumah Tangga (PRT), berdasarkan Ordonansi PRT 1908. 7. Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), berdasarkan Ordonansi PKB 1934. 8. Bea Balik Nama (BBN), berdasarkan Ordonansi PBN 1924. 9. Bea Meterai, berdasarkan Aturan Bea Meterai 1921. 10. Pajak Peredaran (Ppe), berdasarkan UU Drt No. 12 Tahun 1950. 11. Pajak Potong, berdasarkan Ordonansi Pajak Potong 1936. Dari jenis-jenis pajak di atas sebagian dilimpahkan menjadi pajak Daerah Tingkat I dan II dan ada pula yang diganti sehingga yang menjadi Pajak Negara yang dikelola Direktorat Jenderal Pajak sampai Tahun 1983 adalah sebagai berikut. 1. Pajak Perseroan (PPs) Pajak ini diatur dalam Ordonansi Pajak Perseroan Tahun 1925. Objek pajak perseroan ini adalah laba bersih. Adapun subjek pajak perseroan adalah PT, CV, Firma, Perusahaan yang berkedudukan di dalam negeri maupun luar negeri yang mendapat laba bersih di Indonesia. 2. Pajak Pendapatan (PPd) Pajak ini diatur dalam Ordonansi Pajak Pendapatan Tahun 1944. Subjek pajak (mulai Tahun 1966) orang pribadi, baik yang bertempat tinggal di Indonesia maupun di luar negeri yang memiliki hubungan ekonomis dengan Indonesia. Adapun objek pajaknya adalah pendapatan orang pribadi.
4.20 Administrasi Perpajakan 3. Pajak Kekayaan (PKK) Pajak ini diatur dalam Ordonansi Pajak Kekayaan Tahun 1932. Subjek pajak ini adalah orang pribadi dan kemungkinan juga badan. Adapun objek pajaknya adalah kekayaan bersih pada awal tahun. 4. Pajak Penjualan (PPn) Pajak ini diatur dalam Undang-undang Pajak Penjualan Tahun 1951. subjek pajaknya adalah pabrikan, pengusaha jasa, importir, dan objek pajaknya adalah penyerahan barang oleh pabrikan, penyerahan jasa oleh pengusaha jasa, dan impor barang oleh importir. 5. Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA) Pajak ini diatur berdasarkan UU No. 11 Prp Tahun 1959 dan UU No. 1 Tahun 1961 serta Surat Keputusan Menteri Iuran Negara No. PM PPU 1-1-3 tanggal 29 November 1965. 6. Bea Meterai Pajak ini diatur dalam Aturan Bea Meterai Tahun 1927. Dari jenis-jenis pajak yang dikelola Direktorat Jenderal Pajak yang penetapannya dilakukan oleh fiskus (official assessment system) adalah Pajak Perseroan, Pajak Pendapatan, dan Pajak Kekayaan. Sedangkan jenis-jenis pajak yang menerapkan penetapan sendiri walaupun tidak secara murni oleh wajib pajak (self assessment system) adalah pajak penjualan (PPn) dan bea meterai. B. REFORMASI PERPAJAKAN Reformasi pajak (tax reform) atau pembaharuan perpajakan, telah dilakukan sejak tanggal 1 Januari 1984. Sejak saat itu pemerintah Indonesia telah melakukan beberapa kali reformasi perpajakan dan terakhir tahun 2007. Secara rinci dapat dilihat sebagai berikut. 1. Reformasi Pajak (Tax Reform) 1983 Pembaharuan sistem perpajakan ini diusahakan tersusun suatu sistem perpajakan yang sederhana, adanya kepastian hukum, dan bertujuan untuk memberikan pemerataan ekonomi. Kesederhanaan diperlukan agar mudah dimengerti dan dilaksanakan oleh wajib pajak ataupun fiskus. Penyederhanaan di sini bukan berarti harus mengorbankan pemerataan karena sistem yang baru tetap mempunyai progresivitas. Sistem pajak yang
ADBI4330/MODUL 4 4.21 baru tidak memungut pajak atas masyarakat yang masih berpenghasilan rendah, tetapi memungut pajak atas individu-individu berpenghasilan tinggi dan perusahaan-perusahaan besar, dengan harapan akan mendapat sumbangan besar bagi peningkatan ekonomi golongan bawah. Dari sinilah pemerataan ekonomi diharapkan terwujud. Reformasi perpajakan 1983 ini bersamaan dengan dikeluarkannya serangkaian UU, yaitu sebagai berikut. a. UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. b. UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. c. Kedua undang-undang ini berlaku sejak tahun 1984. d. UU No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, direncanakan diberlakukan tahun 1984 juga, tetapi karena masih ada sesuatu yang harus dipersiapkan lebih matang maka UU tersebut diberlakukan mulai 1 April 1985. Tahun 1985 dilakukan reformasi terhadap dua UU Perpajakan, yaitu berikut ini. a. UU No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan. b. UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai. Perubahan mendasar yang tercakup dalam undang-undang pajak yang baru adalah sebagai berikut. a. Pemungutan pajak berdasarkan undang-undang lama ditekankan pada pemenuhan kewajiban yang dipaksakan, sedangkan menurut undang- undang baru merupakan perwujudan dan pengabdian serta peran serta warga negara dan anggota masyarakat bagi pembiayaan keperluan pemerintah dan pembangunan. b. Sistem pemungutan pajak berubah dari official assessment system menjadi self assessment system. c. Sistem baru fasilitasnya diberikan secara menyeluruh dan merata melalui penurunan tarif, penyederhanaan prosedur, serta meningkatkan kepastian hukum dan pelayanan. 2. Reformasi Pajak (Tax Reform) 1994 Dalam perjalanan pelaksanaan selama sepuluh tahun, terbukti bahwa sistem perpajakan tahun 1984 telah dapat meningkatkan penerimaan negara. Walaupun undang-undang perpajakan yang berlaku pada waktu itu telah
4.22 Administrasi Perpajakan menganut beberapa prinsip dasar yang baik dan telah terbukti dapat meningkatkan penerimaan pajak secara mencolok dalam kurun waktu sepuluh tahun. Namun, untuk lebih meningkatkan peranan penerimaan negara dari sektor pajak dalam jangka menengah dan panjang, serta dalam rangka menghadapi perkembangan perekonomian yang semakin pesat di era globalisasi, dirasakan perlu adanya penyempurnaan atas ketentuan-ketentuan perpajakan hasil reformasi 1984 agar lebih mencerminkan keadilan, lebih memberikan kepastian hukum baik bagi Wajib Pajak maupun aparatur pajak, meningkatkan efisiensi, serta mempertimbangkan perubahan-perubahan tentang ketentuan perpajakan di negara-negara lain khususnya di kawasan ASEAN. Reformasi berikutnya adalah melakukan perubahan dan penyempurnaan sesuai dengan tuntutan perubahan sistem ekonomi. Adapun UU yang dikeluarkan adalah sebagai berikut. a. UU No. 9 Tahun 1994 tentang perubahan atas U No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan b. UU No. 10 Tahun 1994 tentang perubahan atas UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan c. UU No. 11 Tahun 1994 tentang perubahan atas UU No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Penambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah d. UU No. 12 Tahun 1994 tentang perubahan atas UU No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Selanjutnya pada Tahun 1997 dikeluarkan lagi serangkaian undang- undang baru, untuk melengkapi undang-undang yang telah ada, yaitu berikut ini. a. UU No. 18 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak. b. UU No. 19 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. c. UU No. 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa. d. UU No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. 3. Reformasi Pajak (Tax Reform) 2000 Reformasi perpajakan (tax reform) Tahun 2000 ditandai dengan dilakukannya amandemen atas lima undang-undang pada bulan Juli Tahun 2000. Perubahan UU ini sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi baik secara sosial, ekonomi, maupun politik. Seperti kita ketahui pada Tahun 1997
ADBI4330/MODUL 4 4.23 negara kita mengalami krisis ekonomi yang cukup parah. Kelima undang- undang ini, terdiri dari berikut ini. a. UU No. 16 Tahun 2000 tentang perubahan ketiga atas UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. b. UU No. 17 Tahun 2000 tentang perubahan ketiga atas UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. c. UU No. 18 Tahun 2000 tentang perubahan ketiga atas UU No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. d. UU No. 19 Tahun 2000 tentang perubahan atas UU No. 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. e. UU No. 20 Tahun 2000 tentang perubahan atas U No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. f. UU No. 34 Tahun 2000 tentang perubahan atas UU No. 19 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. 4. Reformasi Pajak (Tax Reform) 2007 Sehubungan dengan perkembangan ekonomi yang terjadi dengan cepat dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, perekonomian, perdagangan internasional, teknologi informasi, dan lainnya maka diperlukan suatu perangkat undang-undang yang mendukung. Untuk itulah pemerintah mengajukan rancangan undang-undang perpajakan ke DPR yang sempat ditarik kembali saat sudah sampai Sekretariat Negara karena perlu mengakomodir kembali masukan dari berbagai kalangan, terutama pengusaha sebagai pelaku bisnis yang membawa gaung “business friendly”. RUU ini khususnya RUU KUP banyak diwarnai perdebatan pada saat pembahasannya di DPR. Persetujuan DPR atas RUU KUP oleh DPR merupakan peristiwa penting bagi pemerintah di mana hal ini dapat menjadi pelajaran untuk pembahasan RUU PPh dan RUU PPN. Reformasi perpajakan (tax reform) Tahun 2007 ini ditandai dengan disahkannya satu perubahan undang-undang pada Tahun 2007 (UU KUP), satu di Tahun 2008 (UU PPh) dan satu lagi di Tahun 2009 (UU PPN). a. UU No. 28 Tahun 2007 tentang perubahan ketiga atas UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2008. UU No. 28 Tahun 2007 tentang KUP yang baru ini merupakan harapan banyak pihak, terutama stakeholders perpajakan. Berbagai perubahan
4.24 Administrasi Perpajakan telah terjadi di dalamnya dibandingkan dengan UU KUP sebelumnya, sebagai hasil kesepakatan rakyat melalui wakilnya di DPR dengan pemerintah. b. UU No. 36 Tahun 2008 tentang perubahan ketiga atas UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 2009. c. UU No. 42 Tahun 2009 tentang perubahan ketiga atas UU No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah yang mulai berlaku tanggal 1 April 2010. Tujuan dari penyempurnaan undang-undang pajak adalah dalam rangka ekstensifikasi dan intensifikasi pengenaan dan pemungutan pajak yang sekaligus merupakan upaya peningkatan keadilan beban pajak, penghapusan fasilitas pajak yang tidak memiliki landasan hukum yang akan merugikan perekonomian nasional dan menutup peluang-peluang penghindaran pajak (loopholes). Secara normatif dengan prinsip good tax policy, terhadap kegiatan ekonomi sistem perpajakan harus netral dan tidak ada distorsi agar sumber daya optimal dan sesuai dengan dinamika pasar dan pajak diharapkan dapat mendorong atau mengendalikan. Sesuai dengan fungsi regulerend dapat dikatakan bahwa sistem pajak diharapkan dapat mendorong kegiatan dan pertumbuhan ekonomi nasional dengan mendorong investasi dari luar serta mengamankan penerimaan negara. Dalam reformasi perpajakan Tahun 2000 telah memperhatikan kepentingan dunia bisnis seperti peningkatan pelayanan, penyederhanaan prosedur, kepastian hukum, keadilan, serta fasilitas investasi. Dari fungsi budgetair, pajak sebagai pilar utama penerimaan negara dilakukan dengan memperluas cakupan subjek dan objek pajak, dan meminimalkan terjadinya transfer pricing, serta pembatasan pengenaan pajak penghasilan final. Kebijakan yang telah diambil ini diharapkan dalam jangka panjang antara lain: pertama dapat meningkatkan tax compliance, meningkatkan investasi dan ketiga meningkatkan penerimaan negara sehingga tujuan untuk kemandirian dalam pembiayaan pembangunan dapat tercapai.
ADBI4330/MODUL 4 4.25 LATIHAN Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas, kerjakanlah latihan berikut! 1) Sebenarnya apa yang dimaksud dengan reformasi. Bagaimana dengan reformasi di bidang administrasi perpajakan? 2) Mengapa pemerintah melakukan reformasi perpajakan tahun 1994? 3) Apa tujuan sebenarnya dari penyempurnaan pajak? Petunjuk Jawaban Latihan 1) Reformasi berarti berubahan yang mendasar. Reformasi di bidang perpajakan yang pertama adalah dengan diundangkannya lima UU Perpajakan menggantikan UU produk lama warisan pemerintah Hindia Belanda. 2) Tax reform Tahun 1994 dilakukan untuk lebih meningkatkan peranan penerimaan negara dari sektor pajak dalam jangka menengah dan panjang, serta dalam rangka menghadapi perkembangan perekonomian yang semakin pesat di era globalisasi. 3) Tujuan dari penyempurnaan undang-undang pajak adalah dalam rangka ekstensifikasi dan intensifikasi pengenaan dan pemungutan pajak yang sekaligus merupakan upaya peningkatan keadilan beban pajak, penghapusan fasilitas pajak yang tidak memiliki landasan hukum yang akan merugikan perekonomian nasional dan menutup peluang-peluang penghindaran pajak (loopholes). RANGKUMAN Maksud digulirkannya reformasi perpajakan Tahun 1984, 1994, 1997, dan 2007 adalah dari lebih mencerminkan keadilan, lebih memberikan kepastian hukum (bagi Wajib Pajak maupun fiskus), meningkatkan efisiensi, serta mempertimbangkan perubahan-perubahan tentang ketentuan perpajakan di negara-negara tetangga. Reformasi Tahun 1984 merupakan titik awal perubahan peraturan perpajakan dan sistem perpajakan, yaitu dari official assessment system menjadi self assessment system. Reformasi tahun 1994 meliputi perubahan pada
4.26 Administrasi Perpajakan empat UU, yaitu UU Ketentuan Umum Perpajakan, UU Pajak Penghasilan, UU Pajak Pertambahan Nilai, dan UU Pajak Bumi dan Bangunan. Pada Tahun 1997 dilakukan upaya penyempurnaan sistem perpajakan dilanjutkan dengan penetapan UU Penagihan Pajak dengan Surat Paksa dan UU tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak. Masih dalam kaitannya dengan penerimaan negara, telah ditetapkan tiga UU, yaitu UU tentang Bea perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), UU tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), dan UU tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Reformasi tahun 2007 dilakukan amandemen atas tiga UU, yaitu UU No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan, UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, dan UU No. 42 Tahun 2009 tentang pajak Pertambahan Nilai. Tujuan amandemen undang-undang perpajakan ini adalah menutup celah atau loopholes yang dapat merugikan kepentingan penerimaan negara. TES FORMATIF 2 Pilihlah satu jawaban yang paling tepat! 1) Pembaharuan sistem perpajakan yang mulai diberlakukan pada 1 Januari Tahun 1984 merupakan suatu sistem perpajakan yang disusun sedemikian rupa, kecuali .... A. sederhana B. adanya kepastian hukum C. memberikan pemerataan ekonomi D. memastikan wajib pajak memenuhi semua kewajibannya 2) Pada saat reformasi pajak tahun 1983 UU baru berlaku mulai 1 Januari 1984, tetapi ada UU yang ditunda pelaksanaannya, yaitu .... A. UU No. 6 tentang Ketentuan Umum dan tata Cara Perpajakan B. UU No. 7 tentang Pajak Penghasilan C. UU No. 8 tentang Pajak Pertambahan Nilai D. UU No. 12 tentang pajak Bumi dan Bangunan 3) Reformasi perpajakan Tahun 1994 dilengkapi dengan UU baru Tahun 1997 sebanyak .... A. empat UU B. tiga UU C. dua UU D. satu UU
ADBI4330/MODUL 4 4.27 4) Reformasi pajak Tahun 2000 ditandai dengan di amandemennya UU sebanyak .... A. enam UU B. lima UU C. empat UU D. tiga UU 5) Pada tax reform Tahun 2007, RUU pajak yang pertama kali disetujui untuk diundangkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat adalah .... A. UU Pajak Bumi dan Bangunan B. UU Pajak Pertambahan Nilai C. UU Pajak Penghasilan D. UU Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 2 yang terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar. Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 2. Tingkat penguasaan = Jumlah Jawaban yang Benar 100% Jumlah Soal Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali 80 - 89% = baik 70 - 79% = cukup < 70% = kurang Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat meneruskan dengan Kegiatan Belajar 3. Bagus! Jika masih di bawah 80%, Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 2, terutama bagian yang belum dikuasai.
4.28 Administrasi Perpajakan Kegiatan Belajar 3 Administrasi Pemungutan Pajak S ebelum dilakukan reformasi perpajakan tahun 1983, administrasi pemungutan pajak dilakukan secara \"Official Assessment\" di mana peranan fiskus sangatlah besar dalam menentukan besarnya pajak yang terutang dan harus dibayar oleh wajib pajak. Setelah tahun 1983 ini administrasi pemungutan pajak beralih dari official assessmen menjadi self assessment di mana peranan Wajib Pajaklah yang sangat menentukan dalam menghitung, membayar, dan melaporkan pajak terutang. Perubahan dari official assessment ke self assessment ini adalah reformasi pertama di bidang administrasi pemungutan pajak. Hal penting yang harus dilaksanakan pemerintah dalam reformasi perpajakan. 1. Pembenahan administrasi dan kebijakan di bidang perpajakan. 2. Menumbuhkan kepatuhan Wajib Pajak dengan mengubah persepsi masyarakat terhadap pajak. Dalam rangka pembenahan administrasi, pemerintah dapat mencontoh pemerintah negara lainnya, misalnya Filipina di Tahun 1994 yang menggunakan konsultan untuk mengubah administrasinya dari sistem manual ke sistem komputer. Hal ini telah menghasilkan peningkatan penerimaan sebesar 30% tanpa meningkatkan tarif pajak. Dalam rangka menumbuhkan kepatuhan wajib pajak dengan mengubah persepsi masyarakat terhadap pajak, perlu diusahakan perubahan perilaku petugas yang dinilai oleh masyarakat kurang simpatik. Misalnya praktik penerapan SKP yang asal-asalan dan interpretasi dari UU Pajak dengan cara tidak tepat. A. SISTEM PEMUNGUTAN PAJAK Pemungutan perpajakan yang digalakan pemerintah mulai menunjukkan hasil yang cukup baik, walaupun target belum tercapai, pihak pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak terus-menerus menggalakan pemungutan pajak yang luar biasa hebat. Mereka mulai melakukan gebrakan- gebrakan yang sangat luar biasa yang dimulai dari perubahan undang-undang
ADBI4330/MODUL 4 4.29 yang menyangkut perpajakan, sumber daya manusia di dalam direktorat hingga penanaman edukasi kepada masyarakat Indonesia. Dalam sistem perpajakan dikenal official assessment system, self assessment system, dan withholding system. Ketiganya merupakan sarana dalam pemungutan pajak. 1. Official Assessment System Merupakan sistem perpajakan di mana inisiatif untuk memenuhi kewajiban perpajakan berada di pihak petugas pajak (fiskus). Dalam sistem official assessment ini petugas pajak aktif dari mulai mencari wajib pajak untuk diberikan NPWP sampai menetapkan jumlah pajak yang terutang melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak (SKP). Dalam arti, besarnya kewajiban pajak setiap wajib pajak ditentukan sepenuhnya oleh fiskus selaku pemungut pajak. Sistem ini digunakan pada masa berlakunya Ordonansi Pajak Perseroan Tahun 1925 dan Ordonansi Pajak Pendapatan Tahun 1944. 2. Self Assessment System Merupakan sistem perpajakan di mana inisiatif untuk memenuhi kewajiban perpajakan berada di pihak wajib pajak. Wajib pajak harus menilai, menghitung, menaksir sendiri pemenuhan kewajiban dan hak perpajakannya. Tata cara pemungutan pajak dengan self assessment akan berhasil dengan baik apabila masyarakat mempunyai pengetahuan dan disiplin yang tinggi karena ciri khusus self assessment adalah adanya kepastian hukum, sederhana penghitungannya, mudah pelaksanaannya, lebih adil dan merata, serta dilakukan sendiri oleh wajib pajak. Rimsky K. Judiseno yang dikutip oleh Sonny Devano, dkk. mengatakan bahwa sistem self assessment diberlakukan untuk memberikan kepercayaan kepada masyarakat guna meningkatkan kesadaran dan peran serta masyarakat dalam menyetorkan pajaknya. Konsekuensi dari penerapan sistem ini adalah masyarakat dalam hal ini wajib pajak harus benar-benar mengetahui tata cara perhitungan pajak dan segala sesuatu yang berhubungan dengan peraturan pemenuhan perpajakan. Di sinilah peran fiskus untuk menyosialisasikan peraturan tersebut kepada masyarakat dalam hal ini wajib pajak. Dalam penerapan sistem self assessment ini, wajib pajak dituntut kepatuhannya secara sukarela, karena di sini banyak peluang bagi wajib pajak untuk melakukan tindakan kecurangan dalam penghitungan jumlah pajak, penggelapan jumlah pajak yang seharusnya dibayarkan dan dilaporkan.
4.30 Administrasi Perpajakan Adapun langkah-langkah dalam self assessment adalah sebagai berikut. a. Mendaftarkan diri di kantor pelayanan pajak Wajib pajak mempunyai kewajiban untuk mendaftarkan diri ke kantor pelayanan pajak (KPP) yang wilayahnya meliputi tempat tinggal atau kedudukan wajib pajak, dan dapat melalui e-regrister (media elektronik online) untuk diberikan nomor pokok wajib pajak (NPWP). Dengan memiliki NPWP maka wajib pajak dapat memperoleh beberapa manfaat langsung lainnya, yaitu sebagai pembayaran pajak di muka (angsuran/kredit pajak) atas fiskal luar negeri yang dibayar sewaktu wajib pajak bertolak ke luar negeri, di samping itu untuk memenuhi salah satu persyaratan ketika melakukan pengurusan surat izin usaha perdagangan. b. Menghitung sendiri jumlah pajak yang terutang Wajib pajak wajib menghitung besarnya pajak terutang yang dilakukan pada setiap akhir tahun pajak, dengan cara mengalikan tarif pajak dengan dasar pengenaan pajaknya. Kemudian mengurangi pajak yang terutang tersebut dengan jumlah pajak yang dilunasi dalam tahun berjalan yang dikenal sebagai kredit pajak (prepayment). Selisih antara pajak yang terutang dengan kredit pajak dapat berupa: 1) kurang bayar, jumlah pajak terutang lebih besar dari kredit pajak; 2) lebih bayar, jumlah pajak terutang lebih kecil dari kredit pajaknya; 3) nihil, jumlah pajak terutang sama dengan kredit pajak. c. Membayar pajak sendiri ke bank persepsi/kantor pos Ada tiga langkah yang harus dilakukan dalam kegiatan membayar pajak sendiri oleh wajib pajak, yaitu sebagai berikut. Pertama: Membayar Pajak 1) Membayar sendiri pajak yang terutang yaitu angsuran PPh Pasal 25 tiap bulan, pelunasan PPh Pasal 29 pada akhir tahun. 2) Melalui pemotongan dan pemungutan pihak lain {PPh Pasal 4 (2), PPh Pasal 15, PPh Pasal 21, 22, 23, dan 26}. 3) Pemungutan PPN oleh pihak penjual atau oleh pihak yang ditunjuk pemerintah. 4) Pembayaran pajak-pajak lainnya seperti PBB, BPHTB, Bea Meterai.
ADBI4330/MODUL 4 4.31 Kedua: Pelaksanaan Pajak Pembayaran pajak dapat dilakukan di bank-bank pemerintah maupun swasta dan kantor pos dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) yang dapat diambil di KPP, atau dengan cara lain melalui pembayaran pajak secara elektronik (e-payment). Ketiga: Pemotongan dan Pemungutan Pemotongan dan pemungutan di sini adalah untuk PPh Pasal 21, 22, 23, 26, PPh Final, PPh Pasal 4 (2), PPh Pasal 15, dan PPn&PPnBM. Untuk pajak penghasilan dapat dikreditkan pada akhir tahun, sedangkan PPN dikreditkan pada masa diberlakukannya pemungutan dengan mekanisme pajak keluaran dan pajak masukan. 3. Melaporkan Penyetoran tersebut Kepada Direktur Jenderal Pajak Wajib Pajak menetapkan sendiri jumlah pajak yang terutang melalui pengisian SPT (Surat Pemberitahuan) dengan baik dan benar. SPT ini berfungsi untuk melaporkan pembayaran atau pelunasan pajak, baik yang dilakukan wajib pajak sendiri atau melalui mekanisme pemotongan dan pemungutan yang dilakukan oleh pihak ketiga, melaporkan harta dan kewajiban, dan pembayaran pajak yang telah dilakukan. Pelaporan pajak ini disampaikan ke KPP di mana wajib pajak terdaftar. Adapun SPT dapat dibedakan, yaitu sebagai berikut. a. SPT Masa, yaitu SPT yang digunakan untuk melakukan pelaporan atas pembayaran pajak bulanan. SPT Masa PPh Pasal 21, 22, 23, 25, 26 dan PPN & PPnBM. b. SPT Tahunan, yaitu SPT yang digunakan untuk pelaporan tahunan. SPT Tahunan Badan dan Orang Pribadi. 4. Withholding Tax System Withholding Tax System adalah sistem perpajakan di mana pihak ketiga baik Wajib Pajak Orang Pribadi maupun Wajib Pajak Badan dalam negeri diberi kepercayaan oleh peraturan perundang-undangan untuk melaksanakan kewajiban memotong atau memungut pajak penghasilan yang dibayarkan kepada penerima penghasilan. Pihak ketiga ini memiliki peran aktif dalam hal memungut atau memotong pajak, sedangkan peran fiskus adalah dalam pemeriksaan pajak, penagihan, dan penyitaan apabila ada indikasi pelanggaran perpajakan, seperti halnya dalam sistem self assessment.
4.32 Administrasi Perpajakan Sistem pajak ini menekankan kepada pemberian kepercayaan pada pihak ketiga di luar fiskus dan penerima penghasilan untuk memotong atau memungut pajak atas penghasilan yang diberikan oleh pihak ketiga dengan suatu persentase tertentu dari jumlah pembayaran atau transaksi yang dilakukannya dengan penerima penghasilan. Jumlah pajak yang dipotong atau dipungut oleh pihak ketiga tersebut kemudian dibayarkan kepada negara melalui penyetoran pajak seperti pada aktivitas yang dilakukan di self assessment dalam waktu tertentu yang telah ditetapkan undang-undang. Jumlah yang disetorkan ke kas negara ini nantinya dapat dikreditkan pada akhir tahun pajak atas jumlah pajak terutang untuk seluruh penghasilan bagi penerima penghasilan atau bagi wajib pajak yang dipotong maupun dipungut dengan melampirkan bukti pemotongan dan pemungutan yang diberikan oleh pihak ketiga saat transaksi penerima penghasilan. Pengkreditan tersebut akan dapat mengurangi total pajak terutang karena penghitungan pajak terutang berdasarkan jumlah penghasilan secara keseluruhan dari penghasilan yang diterima wajib pajak. Jenis pemotongan dan atau pemungutan oleh pihak ketiga ini adalah Pajak Penghasilan Pasal 21, 22, 23, 26, Pajak Penghasilan final Pasal 4 Ayat (2), Pajak Penghasilan Pasal 15, serta Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah. Saat mengkreditkan: a. untuk Pajak Penghasilan dikreditkan pada akhir tahun; b. pajak Pertambahan Nilai dikreditkan pada masa diberlakukannya pemungutan dengan mekanisme pajak keluaran dan pajak masukan; c. pajak final merupakan pajak yang tidak dapat dikreditkan atau diperhitungkan kembali pada akhir tahun pajak atas seluruh pajak yang terutang oleh penerima penghasilan selaku Wajib Pajak. Pemberian kewenangan oleh UU pada pihak ketiga dalam usaha pengumpulan pajak melalui pemotong dan pemungut pajak atas penghasilan tertentu yang diberikan oleh pihak ketiga tersebut kepada penerima penghasilan dapat dikatakan sebagai upaya pemerintah untuk lebih memberdayakan masyarakat. Dengan demikian, untuk jenis pajak tertentu, di luar pajak penghasilan self assessment pemerintah tetap dapat menerima setoran pajak. Dalam sistem pajak penghasilan yang berlaku di Indonesia selama ini, atas jasa memungut atau memotong pajak ini, pemotong atau pemungut pajak tidak memperoleh imbalan apa pun dari fiskus. Namun sebaliknya, apabila pemotong atau pemungut pajak dengan alasan apa pun
ADBI4330/MODUL 4 4.33 gagal melaksanakan tugas tersebut, maka akan dikenai sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% dari pajak yang tidak atau kurang dipotong atau dipotong atau dipungut tapi tidak atau kurang disetorkan. Withholding tax system sama halnya dengan self assessment system, yaitu untuk memperlancar masuknya dana ke kas negara tanpa adanya intervensi fiskus yang berarti menghemat biaya administrasi pemungutan (administrative cost). Bagi wajib pajak, sistem ini sangat membantu karena secara tidak terasa telah memenuhi kewajiban perpajakan. Namun di sisi lain, biaya yang dikeluarkan wajib pajak maupun pemungut atau pemotong meningkat, karena kewajiban tersebut tentunya akan menyebabkan pengaruh pembengkakan biaya pemenuhan kewajiban perpajakan. Manfaat withholding tax system, antara lain: a. dapat meningkatkan kepatuhan secara sukarela karena pembayar pajak secara tidak langsung telah membayar pajaknya; b. pengumpulan pajak secara otomatis bagi pemerintah tanpa mengeluarkan biaya; c. merupakan penerapan prinsip convenience of tax system; d. meningkatkan penerimaan pajak (optimalisasi perluasan objek pajak). Tindakan pemeriksaan atas pelaksanaan kewajiban perpajakan pada sistem withholding sama dengan sistem self assessment, dilakukan oleh fiskus jika memang sesuai uji petik Wajib Pajak tersebut harus diperiksa. Jika terdapat indikasi adanya perbuatan pidana fiskal maka fiskus akan melakukan tindakan penyidikan seperti halnya sistem self assessment. B. SISTEM PEMUNGUTAN PAJAK DI INDONESIA Bagaimana dengan penetapan pajak yang pernah dilakukan oleh pemerintah Indonesia? Di Negara kita sistem penetapan pajak pernah mengalami perkembangan yang sangat berarti yaitu dari official assessment menuju self assessment melalui masa transisi semi self assessment (Sony Devano, dkk., 2006). Perkembangan tersebut, yaitu sebagai berikut. 1. Official Assessment System Di mana wewenang pemungutan pajak pada fiskus. Utang pajak timbul kalau ada Surat Ketetapan Pajak (SKP), dilaksanakan sampai Tahun 1967.
4.34 Administrasi Perpajakan 2. Semi Self Assessment System Wewenang pemungutan ada pada Wajib Pajak dan fiskus. Pada awal tahun pajak, wajib pajak menaksir dahulu beberapa pajak yang akan terutang untuk satu tahun pajak, kemudian mengangsurnya. Akhir tahun pajak, pajak terutang sesungguhnya ditentukan fiskus. Dilaksanakan di Indonesia pada periode 1968 - 1983 3. Full Self System Wewenang sepenuhnya untuk menentukan besar pajak pada wajib pajak. Wajib pajak aktif menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan sendiri pajaknya. Fiskus tidak campur tangan dalam menentukan besarnya pajak terutang selama wajib pajak tidak menyalahi aturan yang berlaku. Dilaksanakan secara efektif pada Tahun 1984 atas dasar perombakan perundang-undangan perpajakan pada Tahun 1983. 4. Withholding System Wewenang pemungutan pajak ada pada pihak ketiga. Dilaksanakan secara efektif sejak tahun 1984. Dari data di atas, dapat dijelaskan bahwa meskipun Indonesia telah menggunakan system self assessment, namun bila diamati dari perkembangannya sebagaimana dikemukakan di atas menunjukkan bahwa pergeseran tersebut dilakukan secara bertahap, terutama pada jenis-jenis pajak yang termasuk pajak langsung atau pajak subjektif. Sejak merdeka, Indonesia menerapkan sistem perpajakan official assessment secara murni, kemudian khusus terhadap pembayaran dalam tahun berjalan diubah menjadi self assessment melalui sistem MPS dan MPO. Sistem ini dikenal sebagai semi self assessment. Sejak tanggal 1 Januari 1984 untuk pajak atas penghasilan, dan 1 April 1985 untuk pajak pertambahan nilai ditetapkan self assessment secara murni. Pengalihan dari system official assessment ke system self assessment bukan karena salah satu di antara kedua sistem perpajakan tersebut lebih baik, melainkan karena adanya upaya untuk menyesuaikan sistem perpajakan dengan perkembangan dalam masyarakat sebagai pihak yang menopang keberhasilan pemungutan pajak. Berhasil tidaknya pemungutan pajak tergantung pada para pelaksana, baik petugas pajak maupun masyarakat wajib pajak. Sedangkan perbedaan kedua sistem tersebut terletak pada cara pandang terhadap pelaksanaan perundang-undangan perpajakan. Official
ADBI4330/MODUL 4 4.35 assessment misalnya, memandang wajib pajak sebagai objek pemungutan pajak. Sedangkan sebagai pelaku utamanya adalah aparatur perpajakan, sehingga wajib pajak menjadi pasif. C. REFORMASI PENGADMINISTRASIAN PEMUNGUTAN PAJAK Pajak merupakan salah satu pungutan yang mengandung unsur pengalihan kekayaan dari sektor swasta ke sektor publik, sehingga harus dipungut berdasarkan UU. Pengalihan dapat terjadi tanpa seizin pemilik, maka dapat dikatakan sebagai tindakan perampasan. Untuk itu, pemungutan harus berdasarkan UU. Hal ini mengandung makna bahwa ketetapan yang dibuat berdasarkan UU diartikan sudah mendapat izin dari pemilik yang mereka percayakan kepada wakil-wakilnya di DPR, karena UU dibuat oleh pemerintah dengan mendapatkan persetujuan dari DPR. 1. Syarat dalam Pemungutan Pajak Tidaklah mudah untuk membebankan pajak pada masyarakat. Bila terlalu tinggi, masyarakat akan enggan membayar pajak. Namun, bila terlalu rendah, maka pembangunan tidak akan berjalan karena dana yang kurang. Agar tidak menimbulkan berbagai masalah, maka pemungutan pajak harus memenuhi persyaratan yaitu: a. Pemungutan pajak harus adil Seperti halnya produk hukum pajak mempunyai tujuan untuk menciptakan keadilan dalam hal pemungutan pajak. Adil dalam perundang- undangan maupun adil dalam pelaksanaannya. Contohnya: 1) dengan mengatur hak dan kewajiban para wajib pajak; 2) pajak diberlakukan bagi setiap warga negara yang memenuhi syarat sebagai wajib pajak; 3) sanksi atas pelanggaran pajak diberlakukan secara umum sesuai dengan berat ringannya pelanggaran. b. Pengaturan pajak harus berdasarkan UU Sesuai dengan Pasal 23 UUD 1945 yang berbunyi: \"Pajak dan pungutan yang bersifat untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang\", ada
4.36 Administrasi Perpajakan beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan UU tentang pajak, yaitu: 1) pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara yang berdasarkan UU tersebut harus dijamin kelancarannya; 2) jaminan hukum bagi para wajib pajak untuk tidak diperlakukan secara umum; 3) jaminan hukum akan terjaganya kerahasiaan bagi para wajib pajak; 4) pungutan pajak tidak mengganggu perekonomian. Pemungutan pajak harus diusahakan sedemikian rupa agar tidak mengganggu kondisi perekonomian, baik kegiatan produksi, perdagangan, maupun jasa. Pemungutan pajak jangan sampai merugikan kepentingan masyarakat dan menghambat lajunya usaha masyarakat pemasok pajak, terutama masyarakat kecil dan menengah. 2. Pemungutan Pajak Harus Efisien Biaya-biaya yang dikeluarkan dalam rangka pemungutan pajak harus diperhitungkan. Jangan sampai pajak yang diterima lebih rendah daripada biaya pengurusan pajak tersebut. Oleh karena itu, sistem pemungutan pajak harus sederhana dan mudah untuk dilaksanakan. Dengan demikian, Wajib Pajak tidak akan mengalami kesulitan dalam pembayaran pajak baik dari segi penghitungan maupun dari segi waktu. 3. Sistem Pemungutan Pajak Harus Sederhana Bagaimana pajak dipungut akan sangat menentukan keberhasilan dalam pungutan pajak. Sistem yang sederhana akan memudahkan wajib pajak dalam menghitung beban pajak yang harus dibiayai sehingga akan memberikan dampak positif bagi para wajib pajak untuk meningkatkan kesadaran dalam pembayaran pajak. Sebaliknya, jika sistem pemungutan pajak rumit, orang akan semakin enggan membayar pajak. Contoh: a. bea meterai disederhanakan dari 167 macam tarif menjadi 2 macam tarif; b. tarif PPN yang beragam disederhanakan menjadi hanya satu tarif, yaitu 10%; c. pajak perseorangan untuk badan dan pajak pendapatan untuk perseorangan disederhanakan menjadi pajak penghasilan (PPh) yang berlaku bagi badan maupun perseorangan (pribadi).
ADBI4330/MODUL 4 4.37 4. Ciri-ciri Sistem Perpajakan yang Baru Adapun ciri-ciri sistem perpajakan yang baru adalah sebagai berikut. a. Kesederhanaan, yaitu kesederhanaan dalam jumlah, jenis, dan tarif serta sistem pemungutannya. b. Peniadaan pajak ganda, yaitu meniadakan adanya beban pajak berganda, dengan memberlakukan kredit pajak sepenuhnya terhadap pajak yang telah dibayar. c. Pemerataan dalam pembebanan, yaitu seseorang atau badan yang memenuhi syarat sebagai Wajib Pajak harus mendaftarkan dirinya. Kalau kewajiban ini dilaksanakan dengan baik maka pemerataan dalam pengenaan pajak dapat terlaksana dengan baik. d. Kepastian hukum, yaitu dalam perundang-undangan pajak yang baru tercantum secara jelas tentang kepastian hukum bagi Wajib Pajak, seperti permohonan pembayaran restitusi, penyelesaian keberatan dan kerahasiaan Wajib Pajak terjamin. e. Menutup peluang penggelapan pajak, yaitu perlunya secara terus menerus meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang peraturan perundang-undangan perpajakan, dalam bentuk pelayanan dan kemudian memperoleh penjelasan dari sumbernya, juga meningkatkan kesadaran dan pemahaman aparat pajak atas tugasnya. Beralihnya sistem perpajakan di Indonesia dari official assessment ke self assessment adalah merupakan satu reformasi di bidang administrasi pemungutan perpajakan. LATIHAN Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas, kerjakanlah latihan berikut! 1) Apa yang terjadi pada saat Indonesia menggunakan Official assessment system. 2) Uraikan pengertian withholding dan berilah contoh. 3) Bagaimana sistem perpajakan yang pernah dianut di Indonesia.
4.38 Administrasi Perpajakan Petunjuk Jawaban Latihan 1) Dalam sistem official assessment, besarnya kewajiban pajak wajib pajak ditentukan sepenuhnya oleh fiskus selaku pemungut pajak. 2) Withholding merupakan pemungutan pajak melalui pihak lain. Contohnya. 3) Di Indonesia, sistem perpajakan mengalami perkembangan yang berarti, yaitu dari official assessment system menuju self assessment system melalui masa transisi semi self assessment system. Perubahan ini merupakan alur dari reformasi perpajakan di bidang administrasi pemungutan pajak. RANGKUMAN Dalam sistem perpajakan dikenal official assessment system, self assessment system, dan withholding tax system. Official assessment system merupakan sistem di mana penetapan pajak dilakukan oleh petugas pajak (fiskus). Self assessment system merupakan sistem penetapan pajak yang dilakukan oleh wajib pajak sendiri, sedangkan withholding tax system merupakan pemungutan pajak yang dilakukan oleh pihak lain atau sistem pemungutan pada sumber objek pajak. Di Indonesia, sistem perpajakan mengalami perkembangan yang berarti, yaitu dari official assessment system menuju self assessment system melalui masa transisi semi self assessment system. Perubahan ini merupakan alur dari reformasi perpajakan di bidang administrasi pemungutan pajak. TES FORMATIF 3 Pilihlah satu jawaban yang paling tepat! 1) Sistem ini digunakan pada masa berlakunya Ordonansi Pajak Perseroan tahun 1925 adalah .... A. official assessment system B. self assessment system C. withholding tax system D. semi self assaessment system 2) Pajak Bumi dan Bangunan di Indonesia menganut sistem .... A. self assessment system B. official assessment system
ADBI4330/MODUL 4 4.39 C. semi self assessment system D. withholding tax system 3) Dalam Ordonansi Pajak Pendapatan Tahun 1944, dianut sistem .... A. self assessment system B. official assessment system C. semi self assessment system D. withholding tax system 4) Peran fiskus dalam system withholding tax adalah .... A. pemeriksaan pajak B. penghitungan pajak C. pelaporan pajak D. mencari wajib pajak untuk diberikan NPWP 5) Pajak yang dipotong atau dipungut oleh pihak ketiga dalam withholding tax adalah pajak.... A. final B. langsung C. tidak langsung D. yang dapat dikreditkan Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 3 yang terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar. Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 3. Tingkat penguasaan = Jumlah Jawaban yang Benar 100% Jumlah Soal Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali 80 - 89% = baik 70 - 79% = cukup < 70% = kurang Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat meneruskan dengan modul selanjutnya. Bagus! Jika masih di bawah 80%, Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 3, terutama bagian yang belum dikuasai.
4.40 Administrasi Perpajakan Kunci Jawaban Tes Formatif Tes Formatif 1 1) A. KPP Pratama merupakan gabungan dari KPP, KPPBB, dan kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak (KARIKPA). 2) D. Direktorat Jenderal pajak tidak bertanggung jawab atas pelaksanaan fungsi pelayanan, pengawasan, penagihan, dan pemeriksaan pajak. 3) A. Yang bertugas memungut pajak adalah Jawatan pajak. 4) B. Berubah menjadi Direktorat Iuran Pembangunan Daerah. 5) C. Pada saat ini berubah menjadi kantor Wilayah (KANWIL). Tes Formatif 2 1) D. Memastikan wajib pajak memenuhi semua kewajiban pajaknya tidak termasuk dalam sistem perpajakan yang baru. 2) C. UU yang belum diberlakukan pada tanggal 1 Januari 1984 adalah UU No. 8 tentang Pajak Pertambahan Nilai. 3) A. Terdiri dari empat UU. 4) A. Sebanyak enam UU. 5) D. RUU yang pertama kali disetujui oleh DPR untuk diundangkan adalah UU KUP. Tes Formatif 3 1) A. Official assessment system. 2) B. Untuk PBB, digunakan official assessment system karena fiskus lebih banyak berperan menetapkan pajak terutang. 3) B. Dalam Ordonansi Pajak Pendapatan Tahun 1944 dipergunakan sistem official assessment. 4) A. Peran fikus dalam system withholding tax adalah dalam pemeriksaan pajak. 5) D. Pajak yang dipotong atau dipungut oleh pihak ketiga dalam withholding tax adalah pajak yang dapat dikreditkan.
ADBI4330/MODUL 4 4.41 Daftar Pustaka Abut, Hilarius. (2005). Perpajakan 2005 – 2006. Jakarta: Diadit Media. Bawazier, Fuad, dan M.Ali Kadir. (2002). Kebijakan dalam Tax Reform 1994 dan Tax Reform 1997, dalam Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep, dan Implementasi. Jakarta: Penerbit Buku KOMPAS. Devano, Sonny, dan Siti Kurnia Rahayu. (2006). Perpajakan: Konsep, Teori, dan Isu. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup. Eko Laksmana. (1992). Sistem Perpajakan Indonesia. Buku Pertama, Jakarta: Prima Kampus Grafika. Nasucha, Chaizi. (2004). Reformasi Administrasi Publik: teori dan Praktik. Jakarta: Grasindo. Nurmantu, Safri, Azhari A. Samudra. (2003). Dasar-dasar Perpajakan. Jakarta: Modul Universitas Terbuka, Penerbit Universitas Terbuka. Pandiangan., Liberti. (2008). Modernisasi & Reformasi Pelayanan Perpajakan Berdasarkan UU Terbaru. Jakarta: Penerbit PT. Elex Media Komputindo. -------------------------, (2004). Pelayanan, Wajah Kantor Pajak Masa Depan, Harian Bisnis Indonesia, 29 Agustus 2004. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia NO. 132/PMK.01/2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Vertikal Direktorat Jenderal Pajak. Purnomo, Hadi. (2002). Reformasi Administrasi Perpajakan, dalam Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep, dan Implementasi. Jakarta: Penerbit Buku KOMPAS. Suandy, Erly. (2008). Hukum Pajak. Jakarta: Edisi 4, Penerbit Salemba Empat.
Modul 5 PBB, BPHTB, dan Pajak Daerah Dra. Harmanti, M.Si. PENDAHULUAN A nda tentunya pernah mendengar atau membaca di berbagai media tentang Pajak Bumi dan Bangunan, Pajak Daerah, dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. dari ketiganya mungkin yang sering Anda dengar adalah Pajak Bumi dan Bangunan atau (PBB). Pajak ini dahulunya dikenal dengan nama IPEDA. Adapun Pajak Daerah baru mulai dibahas di berbagai media setelah masa otonomi daerah bergaung di mana-mana karena Pajak Daerah ini menjadi salah satu sumber pendapatan daerah. Untuk Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan atau dikenal BPHTB sangat jarang dibahas oleh media karena pajak yang satu ini baru muncul saat ada kegiatan transaksi penjualan atau pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan. Baik Pajak Bumi dan Bangunan maupun Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan merupakan pajak pusat yang pengelolaannya oleh daerah dan hasilnya sebagian besar untuk daerah. Sedangkan Pajak Daerah adalah pajak milik daerah yang pengenaannya tidak boleh bertabrakan dengan pajak yang dikelola oleh pusat. Untuk lebih jelasnya mengenai ketiga materi tersebut, maka dalam Modul 5 (lima) ini ketiga pajak tersebut akan dibahas lebih mendalam Setelah mempelajari materi dalam Modul 5 ini, Anda diharapkan mampu menguraikan apa yang dimaksud dengan Pajak Bumi dan Bangunan, Pajak Daerah, dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan serta bagaimana mekanisme pemungutannya. Secara khusus, Anda diharapkan mampu: 1. menjelaskan Pengertian Pajak Bumi dan Bangunan, Pajak Daerah, dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan; 2. menguraikan mekanisme pemungutan PBB, BPHTB, dan Pajak Daerah; 3. menghitung PBB, BPHTB, dan Pajak Daerah.
5.2 Administrasi Perpajakan Kegiatan Belajar 1 Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) P ada setiap bulan Maret dari kelurahan dibagikan surat Pajak Bumi dan Bangunan kepada setiap ketua RW yang kemudian oleh ketua RW dibagikan kepada warga melalui ketua RT masing-masing. Kemudian pada bulan Agustus ada pemberitahuan baik melalui media masa maupun melalui spanduk yang dipasang di berbagai tempat yang strategis dan isinya mengingatkan kepada masyarakat batas akhir pembayaran PBB. Apa sebenarnya PBB? Pajak Bumi dan Bangunan atau lebih dikenal dengan PBB, adalah pajak yang dikenakan terhadap objek pajak berupa bumi dan/atau bangunan. Pajak ini termasuk Pajak Negara (pusat) di mana pemungutannya dilakukan oleh pemerintah pusat (dalam hal ini dilakukan oleh Ditjen Pajak) yang dalam pelaksanaannya senantiasa bekerja sama dengan pemerintah daerah. Keterlibatan pemda dikarenakan persentase pembagian hasil penerimaannya, sebagian besar dialokasikan ke pemerintah daerah. Mengapa PBB dalam pemungutan dan pengalokasian dilakukan oleh Pemerintah Pusat? Hal ini dilakukan untuk menjaga agar ada keseragaman dan keadilan dalam pemajakannya. Apabila diserahkan kepada pemerintah daerah, dikhawatirkan pemerintah daerah akan memutuskan besarnya pengenaan PBB semaunya sendiri. PBB merupakan pajak yang dikenakan karena kepemilikan, penguasaan, dan pemanfaatan atas bumi dan bangunan. Hal ini mengakibatkan penduduk yang miskin jika memiliki tanah di suatu tempat yang tergolong daerah elite (misalnya daerah pusat kota) ikut menanggung beban pajak yang tinggi, meskipun pekerjaannya hanya sebagai tukang ojek, pensiunan atau bahkan tidak berpenghasilan. PBB juga merupakan pajak langsung, dikategorikan sebagai pajak langsung karena sifatnya yang kontra prestasi tidak langsung. Walaupun termasuk pajak Negara, namun PBB ini memiliki kekhususan. Adapun sifat kekhususannya terletak pada penggunaan dari hasil pungutan pajak yang dipergunakan oleh daerah.
ADBI4330/MODUL 5 5.3 A. LATAR BELAKANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN (PBB) Sejarah Pajak Bumi dan Bangunan di Indonesia dimulai dari pengenaan pajak tanah (land rent) oleh pemerintah kolonial Inggris yang dipimpin oleh Thomas Stanford Raffles pada abad XIX, tepatnya tahun 1813 di pulau Jawa. Raffles menentukan pajak ini pada individu bukan pada desa. Raffles membagi tanah atas kelompok-kelompok terhadap tanah kering dan tanah basah, pengenaan pajaknya adalah rata-rata produksi per tahun untuk sawah (tanah basah) dan tegalan (tanah kering). Sesuai dengan namanya maka Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) merupakan pajak yang dikenakan terhadap pemilik tanah dan kekayaannya atas bangunan yang berdiri di atas tanah berikut fasilitasnya. Dalam realisasinya pemungutan atas tanah dan kekayaan sebelum keluarnya PBB, dilakukan baik oleh pemerintah pusat (Negara), maupun pemerintah daerah. Sebagai contoh misalnya atas tanah dipungut Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA), atas kekayaan dipungut Pajak Kekayaan yang kedua-duanya adalah merupakan pajak negara dengan catatan status dan fungsi IPEDA adalah sama dengan fungsi PBB sekarang. Dengan diberlakukannya Undang-undang No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang No. 12 Tahun 1994, harapan pemerintah dan masyarakat dapat terwujud karena: 1. objek pungut pajak ini yang dahulunya dipungut oleh berbagai instansi yang dapat menimbulkan beban pajak ganda dapat ditiadakan; 2. cara pembayarannya yang dipermudah dan dekat dengan wajib pajak seperti Bank Pemerintah, Bank Pembangunan Daerah, dan Kantor Pos; 3. tarif yang berlaku hanya 1 macam sehingga memudahkan juga bagi wajib pajak untuk menentukan besarnya pajak. Selanjutnya dengan telah diberlakukannya undang-undang ini maka atas jenis-jenis pajak baik yang dipungut oleh Negara maupun oleh Pemerintah Daerah menjadi tidak berlaku lagi. Hal ini sesuai dengan pertimbangan penggunaan objek pajak yang sama dan ditarik oleh berbagai instansi dan keadaan sosial ekonomi bangsa yang sudah berbeda. Adapun jenis-jenis pajak yang tidak berlaku lagi setelah disahkannya undang-undang ini adalah sebagai berikut.
5.4 Administrasi Perpajakan 1. Ordonansi Pajak Rumah Tangga 1908. 2. Ordonansi Verponding Indonesia 1923. 3. Ordonansi Pajak Kekayaan 1932. 4. Ordonansi Verponding Tahun 1928. 5. Ordonansi Pajak Jalan 1942. 6. Pasal 4 huruf j, k, dan I Undang-undang Darurat No. 11 Drt Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah. 7. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 11 Prp Tahun 1959 tentang Pajak Hasil Bumi. Adapun pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan didasarkan pada beberapa asas, yaitu: 1. memberikan kemudahan dan kesederhanaan; 2. adanya kepastian hukum; 3. mudah dimengerti dan adil; 4. menghindari pajak berganda. 1. Subjek PBB Sebagaimana dengan ketentuan perundang-undangan yang lain maka jenis pajak ini juga diketahui yang menjadi subjek dari PBB adalah orang atau badan yang secara nyata: a. mempunyai hak atas bumi; b. memperoleh manfaat atas bumi; c. memiliki atau menguasai bangunan; d. memperoleh manfaat atas bangunan. Hal ini berarti bahwa tanda pembayaran/pelunasan pajak bukan merupakan bukti kepemilikan. PBB melekat pada pemiliknya meskipun dapat dialihkan kepada penyewa atau pihak lain. Pada umumnya, setiap orang atau badan yang secara nyata mempunyai hak atas bumi/bangunan memperoleh manfaat atas bumi, dan atau memiliki, menguasai, dan atau memperoleh manfaat atas bangunan dapat dikenai kewajiban membayar pajak. Sarana administrasi yang digunakan untuk memberitahukan PBB terutang, yaitu Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT). SPPT atau bukti pembayaran PBB hanya semata-mata untuk perpajakan dan tidak ada kaitannya dengan status atau hak pemilikan atas tanah/bangunan tersebut.
ADBI4330/MODUL 5 5.5 2. Objek PBB Dalam PBB yang menjadi objek pajak adalah bumi dan/atau bangunan. Pengertian bumi di sini adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman, serta laut wilayah Indonesia, dan tubuh bumi yang ada di bawahnya. Sementara itu, bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah atau perairan. Termasuk dalam pengertian bangunan yang dapat dikenakan pajak adalah: a. bangunan tempat tinggal (rumah); b. gedung kantor; c. hotel; d. pabrik; e. emplasemen, dan lain-lain. Semua ini merupakan kesatuan dengan kompleks bangunan tersebut di atas seperti: a. jalan lingkungan pabrik dan emplasemennya; b. hotel; c. kolam renang; d. tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, juga pipa minyak, fasilitas lain yang memberikan manfaat. 3. Objek Pajak yang Tidak Dikenakan PBB Melalui Pasal 3 UU PBB mengenai adanya pembebasan objektif, dimaksudkan ada beberapa tanah dan atau bangunan yang dibebaskan dari pengenaan PBB dengan alasan-alasan tertentu. Objek pajak yang tidak dikenakan PBB, yaitu berikut ini. a. Tanah dan atau bangunan yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan, dan untuk kebudayaan nasional, yang dimaksudkan untuk tidak memperoleh keuntungan. Hal ini dapat diketahui antara lain dari anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dari yayasan/badan yang bergerak dalam bidang- bidang tersebut. Contohnya: pesantren atau sejenisnya, sekolah/ madrasah, tanah wakaf, rumah sakit pemerintah, dan lain-lain. b. Tanah dan atau bangunan yang digunakan untuk kepentingan Negara dalam menyelenggarakan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan pembangunan guna untuk kepentingan umum.
5.6 Administrasi Perpajakan c. Tanah dan atau bangunan yang digunakan untuk kuburan umum, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu, seperti museum. d. Tanah yang merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa dan tanah negara yang belum dibebani sesuatu hak. e. Tanah dan atau bangunan yang digunakan oleh perwakilan diplomatik atau konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik (Resiprositas). Artinya bila tanah/gedung perwakilan RI di negara tertentu tidak dikenai PBB, hal yang sama kita perlakukan terhadap tanah/gedung negara tersebut yang ada di negara kita. f. Tanah atau bangunan yang digunakan oleh perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan. Tentang kepentingan umum tidak untuk memperoleh keuntungan, memori UU PBB menegaskan adalah nyata-nyata tidak ditujukan untuk mencari keuntungan seperti pesantren atau sejenis dengan itu, madrasah, tanah wakaf, rumah sakit umum, panti asuhan, masjid, gereja, kelenteng, museum, dan candi. Hal ini dapat diketahui antara lain dari anggaran dasar atau anggaran rumah tangga yayasan atau lembaga yang bergerak di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan budaya. Termasuk pengertian ini adalah hutan wisata milik negara, sesuai Pasal 2 UU No. 5 Tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok kehutanan Objek pajak yang digunakan oleh Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan, penentuan pengenaan pajaknya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Objek pajak dalam hal ini adalah objek pajak yang dimiliki/dikuasai/digunakan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan. PBB adalah pajak negara yang sebagian besar penerimaannya merupakan pendapatan daerah antara lain digunakan untuk penyediaan fasilitas yang juga dinikmati oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Oleh sebab itu, wajar jika Pemerintah Pusat juga ikut membiayai penyediaan fasilitas tersebut melalui pembayaran PBB. Mengenai bumi dan atau bangunan milik perorangan dan atau badan yang digunakan oleh negara, kewajiban pajaknya tergantung pada perjanjian yang diadakan.
ADBI4330/MODUL 5 5.7 4. Cara Mendaftarkan Objek PBB Orang atau badan yang menjadi subjek PBB harus mendaftarkan objek pajaknya ke Kantor Pelayanan Pajak dengan menggunakan formulir Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP). B. BESARNYA NILAI JUAL OBJEK PAJAK TIDAK KENA PAJAK (NJOPTKP) Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) ditetapkan untuk masing-masing Kabupaten/Kota setinggi-tingginya sebesar Rp12.000.000,00 untuk setiap Wajib Pajak. Apabila Wajib Pajak mempunyai beberapa Objek Pajak, yang diberikan NJOPTKP hanya salah satu Objek Pajak yang nilainya terbesar, sedangkan Objek Pajak lainnya tetap dikenakan secara penuh tanpa dikurangi NJOPTKP. Besarnya NJOPTKP untuk setiap daerah Kabupaten/Kota ditetapkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak atas nama Menteri Keuangan dengan mempertimbangkan pendapat Pemerintah Daerah setempat. Contoh: 1. Pak Wardiman tinggal di desa Lojajar Sleman, hanya mempunyai objek pajak berupa bumi dengan NJOP sebesar Rp6.000.000,00. NJOPTKP untuk Kabupaten Sleman adalah Rp8.000.000,00. Karena NJOP berada di bawah NJOPTKP, objek pajak tersebut tidak dikenakan PBB. 2. Pak Hakim mempunyai dua objek pajak berupa bumi dan bangunan masing-masing di desa Pesawaran dan desa Rawalaut. NJOPTKP di daerah tersebut ditetapkan sebesar Rp8.000.000,00. NJOP untuk penghitungan PBB adalah sebagai berikut. a. Desa Pesawaran Rp8.000.000,00 Nilai Jual Objek Pajak Bumi Rp5.000.000,00 Nilai Jual Objek Pajak Bangunan Rp8.000.000,00 Nilai Jual Objek Pajak untuk Penghitungan Pajak Rp5.000.000,00 (+) Nilai Jual Objek Pajak Bumi Rp13.000.000,00 Nilai Jual Objek Pajak Bangunan Rp 8.000.000,00 (-) Nilai Jual Objek Pajak sebagai dasar pengenaan pajak Rp 5.000.000,00 Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak Nilai Jual Objek Pajak untuk Penghitungan Pajak Rp5.000.000,00 Rp4.000.000,00 b. Desa Rawalaut Nilai Jual Objek Pajak Bumi Nilai Jual Objek Pajak Bangunan Nilai Jual Objek Pajak untuk Penghitungan Pajak
5.8 Administrasi Perpajakan Nilai Jual Objek Pajak Bumi Rp5.000.000,00 Nilai Jual Objek Pajak Bangunan Rp4.000.000,00 (+) Nilai Jual Objek Pajak sebagai dasar pengenaan pajak Rp9.000.000,00 Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak Rp 0,00 (-) Nilai Jual Objek Pajak untuk Penghitungan Pajak Rp9.000.000,00 Untuk Objek Pajak di desa Rawalaut tidak diberikan NJOPTKP sebesar Rp8.000.000,00 karena NJOPTKP telah diberikan untuk Objek Pajak yang berada di desa Penawaran. C. DASAR PENGENAAN PBB Dasar pengenaan PBB adalah Harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar dikenal dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Apabila tidak terdapat jual beli, maka NJOP ditetapkan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti. Penetapan NJOP dilakukan setiap tiga tahun sekali oleh Menteri Keuangan dengan memperhatikan pertimbangan Gubernur serta memperhatikan asas self assessment. Perkecualian untuk daerah tertentu ditetapkan setiap tahun sesuai perkembangan daerahnya. Penentuan NJOP diperoleh melalui penilaian objek PBB tersebut. Apabila transaksi tidak diperoleh maka NJOP dapat ditentukan dengan cara: 1. melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis yang letaknya berdekatan dan telah diketahui harga jualnya; 2. mencari nilai perolehan baru, yaitu menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh objek tersebut dikurangi penyusutan; 3. membuat nilai jual objek pajak pengganti, yaitu menghitung nilai berdasarkan hasil produksi dari Objek Pajak. 1. Tarif Pajak Tarif pajak yang dikenakan atas Objek Pajak Bumi dan Bangunan sebesar 0,5%. 2. Dasar Penghitungan PBB Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2002, dasar penghitungan PBB adalah dari Nilai Jual Kena Pajak (NJKP). NJKP (assessment value) adalah nilai jual yang dipergunakan sebagai dasar penghitungan pajak, yaitu suatu persentase tertentu dari nilai jual sebenarnya.
ADBI4330/MODUL 5 5.9 Nilai jual sebenarnya merupakan NJOP setelah dikurangi dengan NJOPTKP. Besarnya NJKP ditetapkan serendah-rendahnya 20% dan setinggi-tingginya 100% dari NJOP. Besarnya persentase NJKP ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2000, di mana besarnya NJKP untuk penghitungan PBB ditetapkan sebagai berikut. a. Sebesar 40% dari NJOP untuk: 1) objek pajak perkebunan; 2) objek pajak kehutanan; 3) objek pajak bumi dan bangunan lainnya apabila NJOP sama atau lebih besar 1 miliar rupiah. b. Sebesar 20% dari NJOP untuk: 1) objek pajak pertambangan; 2) objek pajak bumi dan bangunan lainnya NJOP-nya kurang dari 1 miliar rupiah. Secara sistematis, besarnya PBB yang terutang dihitung sebagai berikut. PBB = tarif pajak x NJKP 0,5% x {%NJKP x (NKOP – NJOPTKP)} 3. Contoh Penghitungan PBB Contoh 1 Martoni memiliki sebuah rumah di Jakarta Selatan dengan luas tanah 800 m2, NJOP-nya Rp160.000.000,00, dengan luas bangunan seluas 400 m2 dan NJOP-nya Rp90.000.000,00. Hitung PBB tahun 2006 untuk tanah dan bangunan milik Martoni. Penyelesaian: Luas tanah = 800m2, NJOP Rp160.000.000,00 atau NJOP/m2 = Rp200.000,00 Luas bangunan = 400m2, NJOP = Rp90.000.000,00 atau NJOP/m2 = Rp225.000,00
5.10 Administrasi Perpajakan Perhitungan PBB tahun 2006: = Rp160.000.000,00 = Rp 90.000.000,00 NJOP Tanah = 800 x Rp200.000,00 = Rp250.000.000,00 NJOP Bangunan = 400 x Rp225.000,00 NJOP Tanah dan Bangunan = Rp 12.000.000,00 = Rp238.000.000,00 NJOP TKP = Rp 47.600.000,00 NJOP untuk perhitungan PBB = Rp 238.000,00 NJKP = 20% x Rp238.000.000,00 PBB = 0,5% x Rp47.600.000,00 Contoh 2 Penghitungan PBB atas beberapa objek pajak pada lokasi yang berbeda tetapi dimiliki oleh seorang wajib pajak. Burhanuddin memiliki rumah dan toko yang letaknya terpisah, yaitu rumah di Kebayoran, sedangkan toko di Cempaka Putih. Adapun rinciannya adalah sebagai berikut. Rumah - Tanah = 600 m2, kelas B.49 (NKOP/m2 = Rp3.745.000,00) - Bangunan = 350 m2, kelas B.20 (NJOP/m2 = Rp1.516.000,00) Toko - Tanah = 300 m2, kelas A.15 (NJOP/m2 = Rp1.032.000,00) - Bangunan = 200 m2, kelas A.3 (NJOP/m2 = Rp 823.000,00) Rumah NJOP Tanah 600 x Rp3.745.000,00 = Rp2.247.000.000,00 NJOP Bangunan 350 x Rp1.516.000,00 = Rp 530.000.000,00 (+) NJOP Tanah dan Bangunan = Rp2.777.600.000,00 NJOP TKP = Rp 12.000.000,00 - NJOP untuk perhitungan PBB = Rp2.765.600.000,00 NJKP 4% x Rp2.765.600.000,00 = Rp1.106.240.000,00 PBB 0,5% x Rp1.106.240.000,00 = Rp 5.531.200,00 Toko NJOP Tanah 300 x Rp1.032.000,00 = Rp309.600.000,00 NJOP Bangunan 200 x Rp 823.000,00 = Rp164.600.000,00 (+) NJOP Tanah dan Bangunan = Rp474.200.000,00 NJOP TKP = Rp 0,00 NJOP untuk perhitungan PBB = Rp474.200.000,00 NJKP 20% x Rp474.200.000,00 = Rp 94.840.000,00 PBB 0,5% x Rp94.840.000,00 = Rp 474.200,00 Contoh 3 Perhitungan PBB atas Rumah Susun. Rumah Susun Pulau Mas memiliki luas tanah 4.000 m2 . Luas bangunan 10.200 m2, yang terdiri dari: - tipe 21 sebanyak 200 unit = 4.200 m2 - tipe 36 sebanyak 100 unit = 3.600 m2
ADBI4330/MODUL 5 5.11 - tipe 48 sebanyak 50 unit = 2.400 m2 - fasilitas (gang, tangga, ruang pertemuan dll) = 1.500 m2 - lingkungan (jalan, taman, tempat parkir, dll) = 1.500 m2 NJOP per m2 Rp800.000,00 per m2 Rp300.000,00 per m2 - Tanah Rp 50.000,00 per m2 - Bangunan dan fasilitas yang melekat - Lingkungan Perhitungan PBB NJOP Tanah dan Bangunan: Tanah 400 x Rp800.000,00 = Rp3.200.000.000,00 Bangunan = Rp3.060.000.000,00 = Rp 450.000.000,00 Rumah 10.200 x Rp300.000,00 = Rp 450.000.000,00 = Rp3.960.000.000,00 Fasilitas 1.500 x Rp300.000,00 Lingkungan 1.500 x Rp300.000,00 Jumlah PBB terutang Tipe 21 NJOP Tanah 21/10.200 x Rp3.200.000.000,00 = Rp 6.588.235,00 = Rp 8.152.941,00 (+) NJOP Bangunan 21/10.200 x Rp3.960.000.000,00 = Rp14.741,176,00 =(Rp12.000.000,00) (-) NJOP Tanah dan Bangunan = Rp 2.741.176,00 = Rp 2.741,00 NJOP TKP = Rp 11.294.118,00 NJOP dasar perhitungan pajak = Rp 13.976.471,00 (+) = Rp2 5.270,589,00 PBB 0,5% x 20% x 2.741.176,00 =(Rp12.000.000,00) (-) = Rp 13.270.589,00 PBB terutang Tipe 36 = Rp 13.270,00 NJOP Tanah 36/10.200 x Rp3.200.000.000,00 = Rp 15.058.824,00 = Rp 18.694.118,00 (+) NJOP Bangunan 36/10.200 x Rp3.960.000.000,00 = Rp 33.694,118,00 =(Rp12.000.000,00) (-) NJOP Tanah dan Bangunan = Rp 21.694.18,00 = Rp 21.964,00 NJOP TKP NJOP dasar perhitungan pajak PBB 0,5% x 20% x Rp13.270.589,00 PBB terutang Tipe 48 NJOP Tanah 48/10.200 x Rp3.200.000.000,00 NJOP Bangunan 48/10.200 x Rp3.960.000.000,00 NJOP Tanah dan Bangunan NJOP TKP NJOP dasar perhitungan pajak PBB 0,5% x 20% x Rp21.694.18,00
5.12 Administrasi Perpajakan 4. Pembagian Hasil PBB Dari penerimaan PBB ini, maka dilakukan pembagian yaitu untuk pemerintah pusat dan untuk pemerintah daerah dengan perimbangan sebagai berikut. a. Pemerintah pusat sebesar 10% dari penerimaan PBB. b. Pemerintah daerah sebesar 90% dari penerimaan PBB, dengan ketentuan sebagai berikut. 1) Biaya pemungutan PBB = 9% diperoleh dari (10% x bagian Pemda) 2) Daerah Tingkat I = 16,2% x diperoleh dari (20% x 81%) 3) Daerah Tingkat II = 64,8% diperoleh dari (80% x 81%) Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 83/KMK.04/1994, 10% bagian pemerintah pusat dibagikan secara merata kepada seluruh Daerah Tingkat II setelah dikurangi dengan biaya administrasi. 5. Tahun dan Saat Menentukan Pajak Terutang Wajib pajak seyogianya memperhatikan tahun pajak, saat, dan tempat yang menentukan pajak terutang. Dalam PBB, tahun pajak adalah tahun takwim, yaitu dari tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember. Adapun saat penentuan pajak yang terutang adalah menurut keadaan pada tanggal 1 Januari, baik penambahan atau pengurangan tidak akan mempengaruhi besarnya pajak terutang untuk tahun yang bersangkutan. Mutasi yang terjadi dalam tahun berjalan akan dikenakan pajak pada tahun berikutnya. Contoh: a. Pak Amir pada tanggal 1 Januari 2006 mempunyai objek pajak berupa tanah dan bangunan dengan NJOP sebesar Rp100.000.000,00. Pada tanggal 10 Januari 2006 bangunan senilai Rp30.000.000,00 terbakar maka PBB yang terutang tetap berdasarkan keadaan objek pajak pada tanggal 1 Januari 2006, yaitu keadaan sebelum bangunan tersebut terbakar (dengan NJOP sebesar Rp100.000.000,00). b. Pak Budi pada tanggal 1 Januari 2007 mempunyai Objek Pajak berupa tanah dan bangunan di atasnya, dengan NJOP sebesar Rp150.000.000,00. Pada tanggal 10 Agustus 2006 dilakukan pendataan ternyata di atas tanah tersebut telah berdiri suatu bangunan senilai Rp50.000.000,00, maka PBB yang terutang untuk tahun 2007 tetap dikenakan berdasarkan keadaan pada tanggal 1 Januari 2007 (dengan
ADBI4330/MODUL 5 5.13 NJOP sebesar Rp150.000.000,00), sedangkan bangunannya akan dikenakan mulai tahun 2008. 6. Tempat Pajak Terutang a. Untuk daerah Jakarta, di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. b. Untuk daerah lainnya, di wilayah Kabupaten atau Kota yang meliputi letak objek pajak. 7. Pendaftaran, Penetapan, dan Penagihan Pada tahap awal, wajib pajak yang memiliki tanah dan bangunan beserta fasilitasnya (kalau ada) mendaftarkan diri mengenai objek pajaknya dengan mengisi Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP). Dengan cara ini berarti bahwa wajib pajak bertindak secara aktif yang merupakan suatu kewajiban. SPOP harus diisi dengan benar, jelas, dan lengkap. Hal ini dikarenakan atas dasar SPOP itulah Direktorat Jenderal Pajak akan menerbitkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT). Direktur Jenderal Pajak dapat mengeluarkan Surat Ketetapan pajak (SKP) secara jabatan dalam hal-hal sebagai berikut. a. Apabila SPOP tidak disampaikan pada waktunya, walaupun sudah ditegur secara tertulis juga tidak menyampaikan dalam jangka waktu yang ditentukan dalam Surat Teguran itu. b. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain yang ada pada Direktorat Jenderal Pajak ternyata jumlah pajak yang terutang (seharusnya) lebih besar dari jumlah pajak dalam SPPT yang dihitung berdasarkan SPOP yang disampaikan oleh Wajib Pajak. Sanksi yang dikenakan terhadap Wajib Pajak yang tidak menyampaikan SPOP sebagaimana dimaksud di atas adalah berupa denda administrasi sebesar 26%, dihitung dari jumlah pokok. Surat Ketetapan Pajak yang berkaitan dengan hal ini, berdasarkan data yang ada pada Direktorat Jenderal Pajak memuat penetapan objek pajak dan besarnya pajak yang terutang beserta denda administrasi yang dikenakan kepada Wajib Pajak. Contoh: Pak Sobari tidak menyampaikan SPOP. Berdasarkan data yang ada Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang berisi:
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164
- 165
- 166
- 167
- 168
- 169
- 170
- 171
- 172
- 173
- 174
- 175
- 176
- 177
- 178
- 179
- 180
- 181
- 182
- 183
- 184
- 185
- 186
- 187
- 188
- 189
- 190
- 191
- 192
- 193
- 194
- 195
- 196
- 197
- 198
- 199
- 200
- 201
- 202
- 203
- 204
- 205
- 206
- 207
- 208
- 209
- 210
- 211
- 212
- 213
- 214
- 215
- 216
- 217
- 218
- 219
- 220
- 221
- 222
- 223
- 224
- 225
- 226
- 227
- 228
- 229
- 230
- 231
- 232
- 233
- 234
- 235
- 236
- 237
- 238
- 239
- 240
- 241
- 242
- 243
- 244
- 245
- 246
- 247
- 248
- 249
- 250
- 251
- 252
- 253
- 254
- 255
- 256
- 257
- 258
- 259
- 260
- 261
- 262
- 263
- 264
- 265
- 266
- 267
- 268
- 269
- 270
- 271
- 272
- 273
- 274
- 275
- 276
- 277
- 278
- 279
- 280
- 281
- 282
- 283
- 284
- 285
- 286
- 287
- 288
- 289
- 290
- 291
- 292
- 293
- 294
- 295
- 296
- 297
- 298
- 299
- 300
- 301
- 302
- 303
- 304
- 305
- 306
- 307
- 308
- 309
- 310
- 311
- 312
- 313
- 314
- 315
- 316
- 317
- 318
- 319
- 320
- 321
- 322
- 323
- 324
- 325
- 326
- 327
- 328
- 329
- 330
- 331
- 332
- 333
- 334
- 335
- 336
- 337
- 338
- 339
- 340
- 341
- 342
- 343
- 344
- 345
- 346
- 347
- 348
- 349
- 350
- 351
- 352
- 353
- 354
- 355
- 356
- 357
- 358
- 359
- 360
- 361
- 362
- 363
- 364
- 365
- 366
- 367
- 368
- 369
- 370
- 371
- 372
- 373
- 374
- 375
- 376
- 377
- 378
- 379
- 380
- 381
- 382
- 383
- 384
- 385
- 386
- 387
- 388
- 389
- 390
- 391
- 392
- 393
- 394
- 395
- 396
- 397
- 398
- 399
- 400
- 401
- 402
- 403
- 404
- 405
- 406
- 407
- 408
- 409
- 410
- 411
- 412
- 413
- 414
- 415
- 416
- 417
- 418
- 419
- 420
- 421
- 422
- 423
- 424
- 425
- 426
- 427
- 428
- 429
- 430
- 431
- 432
- 433
- 434
- 435
- 436
- 437
- 438
- 439
- 440
- 441
- 442
- 443
- 444
- 445
- 446
- 447
- 448
- 449
- 450
- 451
- 452
- 453
- 454
- 455
- 456
- 457
- 458
- 459
- 460
- 461
- 462
- 463
- 464
- 465
- 466
- 467
- 468
- 469
- 470
- 471
- 472
- 473
- 474
- 475
- 476
- 477
- 478
- 479
- 480
- 481
- 482
- 483
- 484
- 485
- 486
- 487
- 488
- 489
- 490
- 491
- 492
- 493
- 494
- 495
- 1 - 50
- 51 - 100
- 101 - 150
- 151 - 200
- 201 - 250
- 251 - 300
- 301 - 350
- 351 - 400
- 401 - 450
- 451 - 495
Pages: