5.14 Administrasi Perpajakan a. Objek Pajak dengan luas dan nilai jual Rp5.000.000,00 b. Luas Objek Pajak menurut SPOP Rp1.250.000,00 (+) c. Pokok pajak Rp6.250.000,00 d. Sanksi administrasi: 25% x Rp5.000.000,00 e. Jumlah pajak yang terutang dalam SKP Sanksi administrasi yang dikenakan terhadap Wajib Pajak yang mengisi SPOP tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya adalah berupa denda sebesar 25% dari selisih pajak terutang berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain dengan pajak terutang dalam SPPT yang dihitung berdasarkan SPOP yang disampaikan oleh Wajib Pajak. Contoh: Rp1.500.000,00 Berdasarkan SPOP diterbitkan SPPT Berdasarkan pemeriksaan, pajak yang seharusnya terutang dalam SKP Rp2.000.000,00 (-) Rp 500.000,00 Selisih Rp 125.000,00 (+) Denda administrasi: 25% x Rp500.000,00 Rp 625.000,00 Jumlah pajak terutang dalam SKP 8. Tata Cara Pembayaran dan Penyetoran a. Pajak yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) harus dilunasi selambat-lambatnya 6 bulan sejak tanggal diterimanya Surat Pemberitahuan Pajak Terutang oleh Wajib Pajak. Contoh: Pak Nuriman menerima SPPT pada tanggal 1 Maret 2006, maka jatuh tempo pembayarannya adalah tanggal 31 Agustus 2006. b. Pajak yang terutang berdasarkan Surat Ketetapan Pajak harus dilunasi selambat-lambatnya 1 bulan sejak tanggal diterimanya Surat Ketetapan Pajak oleh Wajib Pajak. Contoh: Pak Bardi menerima SKP pada tanggal 1 Maret 2007, maka jatuh tempo pembayarannya adalah tanggal 31 Maret 2007. c. Pajak yang terutang pada saat jatuh tempo pembayaran tidak dibayar atau kurang dibayar, dikenakan denda administrasi sebesar 2% sebulan dari jumlah yang tidak atau kurang dibayar, yang dihitung dari saat jatuh tempo sampai dengan hari pembayarannya untuk jangka waktu paling lama 24 bulan, bagian dari bulan dihitung penuh satu bulan.
ADBI4330/MODUL 5 5.15 Contoh: SPPT tahun pajak 2007 diterima pak Budiman pada tanggal 1 Maret 2007 dengan pajak yang terutang sebesar Rp200.000,00. Oleh Wajib Pajak baru dibayar pada tanggal 1 September 2007. Terhadap Wajib Pajak tersebut dikenakan denda administrasi sebesar 2%, yaitu sebesar 2% x Rp200.000,00 = Rp4.000,00. pajak yang terutang yang harus dibayar pada tanggal 1 September 2007 adalah: Pokok pajak + denda administrasi Rp200.000,00 + Rp4.000,00. = Rp204.000,00 Apabila Wajib Pajak tersebut baru membayar utang pajaknya pada tanggal 10 Oktober 2007, terhadap Wajib Pajak tersebut dikenakan denda 2 x 2% dari pokok pajak, yaitu sebesar 2 x 2% x Rp200.000,00 = Rp8.000,00. Pajak yang terutang harus dibayar pada tanggal 10 Oktober 2007 adalah: + denda administrasi Pokok pajak Rp200.000,00 + Rp8.000.000,00 = Rp208.000,00 d. Denda administrasi sebagaimana dimaksud pada No. 3 ditambah utang pajak yang belum atau kurang dibayar ditagih dengan Surat Tagihan Pajak (STP), dan harus dilunasi selambat-lambatnya satu bulan sejak tanggal diterimanya Surat Tagihan Pajak oleh Wajib Pajak. e. Jumlah pajak yang terutang berdasarkan Surat Tagihan Pajak yang tidak dibayar pada waktunya ditagih dengan Surat Paksa. f. Menteri Keuangan dapat melimpahkan kewenangan penagihan pajak kepada Gubernur atau Bupati/Walikota. Pembayaran/penyetoran PBB baik yang tercantum dalam SPPT, SKP, maupun STP dilakukan di: a. bank pemerintah (Bank Persepsi); b. kantor pos dan giro; c. petugas pemungut yang ditunjuk secara resmi. Petugas yang ditunjuk secara resmi ini harus menyetorkan hasil penagihan setiap hari ke tempat pembayaran yaitu Bank Persepsi/Kantor Pos dan Giro.
5.16 Administrasi Perpajakan D. DASAR PENAGIHAN PBB Dalam usaha menagih PBB, ada 3 hal yang harus diperhatikan, yaitu berikut ini. 1. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) adalah surat yang dipergunakan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk memberitahukan besarnya PBB yang terutang kepada wajib pajak. a. Dasar penerbitan SPPT 1) Surat Pemberitahuan ini diterbitkan berdasarkan Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP). 2) Objek pajak yang sebelumnya telah dikenakan IPEDA, SPPT dapat diterbitkan berdasarkan data objek pajak yang telah ada pada kantor pelayanan PBB yang bersangkutan. b. Waktu pelunasan SPPT Pajak yang terutang berdasarkan SPPT harus dilunasi selambat- lambatnya enam bulan sejak tanggal diterimanya SPPT oleh wajib pajak. Jadi, bila Pak Budi, seorang Wajib Pajak menerima SPPT pada tanggal 1 Maret 2000 maka selambat-lambatnya pada tanggal 31 Agustus 2000 Pak Budi sudah harus melunasi PBB-nya. Tanggal 31 Agustus 2000 ini disebut juga tanggal jatuh tempo SPPT. 2. Surat Ketetapan Pajak (SKP) Dalam Penerbitan Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang perlu diperhatikan apabila SPOP yang pajaknya terutang lebih besar dari jumlah pajak berdasarkan SPOP yang dikembalikan oleh wajib pajak. a. Waktu pelunasan SKP Pajak yang terutang berdasarkan SKP harus dilunasi selambat-lambatnya satu bulan sejak tanggal diterimanya SKP oleh wajib pajak. Jadi, bila seorang wajib pajak menerima SKP pada tanggal 1 Maret 2005, maka yang bersangkutan sudah harus membayar/melunasi PBB selambat- lambatnya 31 Maret 2005. Tanggal 31 Maret 2005 ini disebut juga tanggal jatuh tempo SKP.
ADBI4330/MODUL 5 5.17 b. Jumlah pajak yang terutang dalam SKP Seberapa besar jumlah pajak terutang dalam SKP? 1) Jumlah pajak yang terutang dalam SKP yang penerbitannya disebabkan oleh pengembalian SPOP lewat 30 hari setelah diterimanya wajib pajak adalah sebesar pokok pajak ditambah dengan denda administrasi 25% dihitung dari pokok pajak. Contoh: Pak Munir menyampaikan SPOP berdasarkan data yang ada. Kepala Kantor Pelayanan PBB mengeluarkan SKP yang berisi objek pajak dengan luas dan nilai jual sebagai berikut. Luas objek pajak menurut SPOP: Pokok Pajak Rp100.000,00 Denda administrasi 25% Rp 25.000,00 Kewajiban perpajakan Rp125.000,00 2) Mengenai jumlah pajak yang terutang dalam SKP, dasar penerbitannya disebabkan oleh hasil pemeriksaan atau keterangan lainnya adalah selisih pajak yang terutang berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lainnya dengan pajak yang terutang dihitung berdasarkan SPOP ditambah denda administrasinya sebesar 25% dari selisih pajak yang terutang. Contoh: Rp 5.000.000,00 Rp10.000.000,00 Berdasarkan SPOP diterbitkan SPPT Rp 5.000.000,00 Berdasarkan pemeriksaan yang seharusnya terutang dalam SKP Rp 1.125.000,00 Selisih Rp11.125.000,00 Denda administrasi 25% Jumlah pajak dalam SKP 3. Surat Tagihan Pajak Dasar dari penerbitan Surat Tagihan Pajak (STP) antara lain dikarenakan berikut ini. a. Wajib Pajak terlambat membayar utang pajaknya seperti yang tercantum dalam SPT, yaitu melampaui batas waktu enam bulan sejak tanggal diterimanya SPPT oleh wajib pajak. b. Wajib Pajak terlambat membayar utang pajaknya seperti tercantum dalam SKP, yaitu melampaui batas waktu satu bulan sejak tanggal diterimanya SKP oleh wajib pajak. c. Wajib Pajak melunasi utang pajaknya melewati saat jatuh tempo pembayaran PBB, tetapi denda administrasi tidak dilunasi.
5.18 Administrasi Perpajakan E. BESARNYA DENDA ADMINISTRASI DALAM STP Besarnya denda administrasi karena wajib pajak terlambat membayar pajaknya melampaui batas waktu jatuh tempo SPPT, adalah sebesar 2% sebulan yang dihitung dari saat jatuh tempo sampai dengan hari pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24 bulan. 1. Saat Jatuh Tempo STP Saat jatuh tempo STP adalah satu bulan sejak diterimanya STP oleh wajib pajak. Misalkan STP diterima oleh wajib pajak pada tanggal 1 Agustus 2006, maka jatuh tempo pembayarannya adalah tanggal 31 Agustus 2006. 2. Mekanisme Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Sesuai ketentuan dalam perundang-undangan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang berlaku, mekanisme pemungutan PBB adalah sebagai berikut. a. Setiap tahun pajak kepada Wajib Pajak diwajibkan mengisi Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP). Kewajiban ini juga dibebankan kepada Wajib Pajak yang belum lengkap datanya di Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (KPPBB) atau terjadi perubahan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), mutasi, jual beli, warisan, hibah, tukar menukar atau diwakafkan. b. Paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah pengambilan SPOP, Wajib Pajak diwajibkan sudah mengembalikan SPOP kepada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (KPPBB) atau Kantor Penyuluhan Pajak Bumi dan Bangunan. Sejak tahun 2007, KPPBB ini sudah menyatu dengan Kantor Pelayanan Pajak. c. SPOP yang sudah dikembalikan, oleh KPPBB dihimpun untuk dibuatkan klasifikasi tanah berdasarkan bobot komponen bangunan hasil penelitian lapangan oleh petugas. d. Berdasarkan SPOP yang benar dan lengkap, dihitung pajak terutangnya kemudian diterbitkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) yang dihimpun dalam buku induk. Di samping itu juga diterbitkan Surat Tanda Terima Setoran (STTS) yang disampaikan kepada bank. e. Apabila Wajib Pajak telah melunasinya, oleh bank diberikan STTS.
ADBI4330/MODUL 5 5.19 F. KEBERATAN DAN BANDING 1. Keberatan a. Membuat permohonan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada Kepala KPPBB disertai dengan alasan yang jelas. Jika KPPBB telah bubar (digabung ke KPP Pratama) maka surat keberatan ditujukan kepada KPP Pratama. Jika disampaikan di TPT KPP Pratama maka petugas TPT KPP Pratama akan Bukti Penerimaan Surat (BPS) dan meneruskan permohonan kepada Pelaksana Seksi Pelayanan. b. Menyampaikan permohonan secara lengkap sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam batas waktu 3 bulan sejak diterimanya SPPT atau SKP, kecuali Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya. c. Diajukan per Objek PBB dan per tahun pajak. d. Melampirkan foto kopi: 1) bukti pemilikan hak atas tanah/sertifikat; dan/atau 2) bukti Surat Ukur/Rincik; dan/atau 3) akta Jual Beli; dan/atau 4) SPPT/SKP; dan/atau 5) izin Mendirikan Bangunan (IMB); dan/atau 6) bukti pendukung (resmi) lainnya. e. Tanda penerimaan Surat Keberatan yang diberikan oleh pejabat Direktorat Jenderal Pajak yang ditunjuk untuk itu atau tanda pengiriman Surat Keberatan melalui pos tercatat menjadi tanda bukti penerimaan Surat Keberatan tersebut bagi kepentingan Wajib Pajak. f. Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan keberatan, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan PBB. g. Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar PBB dan pelaksanaan penagihan. Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 bulan sejak tanggal Surat Permohonan Keberatan diterima, harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan. Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan suatu keputusan maka keberatan yang diajukan tersebut dianggap diterima. Sebelum surat
5.20 Administrasi Perpajakan keputusan keberatan diterbitkan, Wajib Pajak dapat menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan tertulis. 2. Keputusan Keberatan Keputusan keberatan dapat berupa: a. menerima seluruhnya, apabila data/bukti-bukti yang dilampirkan dalam pengajuan keberatan dan/atau diperoleh dalam pemeriksaan terbukti kebenarannya; b. menerima sebagian, apabila data/bukti-bukti yang dilampirkan dalam pengajuan keberatan dan/atau diperoleh dalam pemeriksaan sebagian terbukti kebenarannya; c. menolak, apabila data/bukti-bukti yang dilampirkan dalam pengajuan keberatan dan/atau diperoleh dalam pemeriksaan tidak terbukti kebenarannya; d. menambah jumlah pajaknya, apabila data/bukti-bukti yang dilampirkan dalam pengajuan keberatan dan/atau diperoleh dalam pemeriksaan, mengakibatkan peningkatan jumlah PBB-nya. Wajib pajak yang keberatannya ditolak dapat mengajukan banding ke Badan Pengadilan Pajak (BPP). Ketentuan banding PBB mengikuti ketentuan dalam UU No. 6 Tahun 1983 tentang KUP sebagai mana telah diubah dan terakhir dengan UU No. 28 Tahun 2007. 3. Banding a. Atas keputusan keberatan, jika Wajib Pajak tidak puas, dapat mengajukan banding ke Badan Penyelaian Sengketa Pajak (BPSP) mengenai keberatan yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. b. Banding diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia selambat- lambatnya 3 bulan sejak keputusan keberatan diterima, dilampiri salinan surat keputusan keberatan. c. Pengajuan permohonan banding tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak. 4. Pengurangan Pengurangan PBB dapat dilakukan dalam hal terdapat kondisi sebagai berikut.
ADBI4330/MODUL 5 5.21 Alasan Besarnya Pengurangan 1. Kondisi tertentu objek pajak yang ada hubungannya dengan subjek pajak dan atau sebab-sebab tertentu lainnya yaitu: a. Objek pajak berupa lahan pertanian/perkebunan/ 0% s/d 75% perikanan/peternakan yang hasilnya sangat terbatas yang dimiliki, dikuasai, dan atau dimanfaatkan oleh Wajib pajak orang pribadi. b. Objek pajak yang dikuasai, dimiliki, atau dimanfaatkan oleh Wajib Pajak orang pribadi yang berpenghasilan rendah yang nilai jualnya meningkat akibat adanya pembangunan atau perkembangan lingkungan. c. Objek Pajak yang dimiliki atau dimanfaatkan oleh Wajib Pajak orang pribadi yang penghasilannya semata-mata berasal dari pensiunan sehingga kewajiban PBB-nya sulit dipenuhi. d. Objek Pajak yang dimiliki atau dimanfaatkan oleh Wajib Pajak orang pribadi yang berpenghasilan rendah sehingga kewajiban PBB-nya sulit dipenuhi. e. Objek Pajak yang dimiliki atau dimanfaatkan oleh Wajib Pajak veteran Pejuang dan Pembela Kemerdekaan, termasuk janda atau dudanya. f. Objek Pajak yang dimiliki atau dimanfaatkan oleh badan yang mengalami kerugian dan kesulitan likuiditas yang serius sepanjang tahun, sehingga tidak dapat memenuhi kewajiban rutin perusahaan. 2. Wajib Pajak orang pribadi atau badan dalam hal objek pajaknya Maksimal 100% terkena bencana alam misalnya gempa bumi, banjir, tanah longsor dan sebab lain yang luar biasa misalnya kebakaran, kekeringan, wabah penyakit tanaman dan hama tanaman). G. TATA CARA MENGAJUKAN PERMOHONAN PENGURANGAN 1. Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengurangan PBB. 2. Permohonan pengurangan hendaknya diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepala KPP selambat-lambatnya 60 hari sejak tanggal diterimanya SPPT dan atau SKP oleh Wajib Pajak. Untuk kasus bencana alam dan sebab lain yang luar biasa, permohonan diajukan selambat- lambatnya 60 hari sejak terjadinya bencana alam atau sebab lain yang luar biasa tersebut. 3. Permohonan pengurangan PBB atas objek pajak yang terkena bencana alam atau sebab lain yang luar biasa dan bersifat massal, dapat diajukan secara kolektif oleh Kepala Desa/Lurah dan diketahui Camat dengan
5.22 Administrasi Perpajakan mencantumkan nama-nama Wajib Pajak yang dimohonkan pengurangannya beserta luas tanah atau bangunannya. 4. Kepala Kantor Pelayanan Pajak setempat dalam jangka waktu 60 hari sejak tanggal diterimanya permohonan pengurangan harus sudah memberikan keputusan atas permohonan pengurangan tersebut. Hasil keputusan dapat berupa menerima seluruhnya, menerima sebagian, atau menolak. 5. Apabila lebih dari 60 hari keputusan belum diberikan, permohonan pengurangan dianggap diterima, dan kemudian diterbitkan keputusan sesuai dengan permohonan. H. SANKSI ADMINISTRASI DAN SANKSI PIDANA Pihak-pihak yang berkaitan dengan PBB (Pejabat atau aparatur pajak, Wajib Pajak maupun pihak lain) yang melakukan pelanggaran akan dikenakan sanksi. Sanksi yang diberikan kepada pihak-pihak tersebut dapat berupa sanksi administrasi maupun sanksi pidana. Pejabat yang dalam jabatannya atau tugas pekerjaannya berkaitan secara langsung dengan objek pajak (terdiri dari Camat sebagai Pembuat Akta Tanah, Notaris//Pejabat Pembuat Akta Tanah, Pejabat Pembuat Akta Tanah), wajib: 1. menyampaikan laporan bulanan mengenai semua mutasi dan perubahan keadaan objek pajak secara tertulis kepada Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi letak objek pajak; 2. memberikan keterangan yang diperlukan atas permintaan Direktorat Jenderal Pajak. Pejabat yang ada hubungannya dengan objek pajak (Lurah, Kepala Desa, Pejabat Dinas Tata Kota, Pejabat Dinas Pengawasan Bangunan, Pejabat Agraria, Pejabat Balai Harta Peninggalan, Pejabat lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan/Direktorat Jenderal Pajak), wajib memberikan keterangan yang diperlukan atas permintaan Direktorat Jenderal Pajak. Bagi pejabat yang tidak memenuhi kewajibannya dikenakan sanksi menurut peraturan perundangan yang berlaku. Secara khusus, apabila pejabat yang bersangkutan tidak memperlihatkan atau tidak menyampaikan dokumen yang diperlukan, dan tidak menunjukkan data atau tidak menyampaikan keterangan yang diperlukan, dipidana selama-lamanya satu tahun atau denda setinggi-tingginya Rp2.000.000,00.
ADBI4330/MODUL 5 5.23 Bagi Wajib Pajak yang karena kealpaannya sehingga menimbulkan kerugian pada negara dalam hal: 1. tidak mengembalikan SPOP; 2. mengembalikan SPOP tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap. Sanksinya adalah pidana kurungan selama-lamanya enam bulan atau denda setinggi-tingginya dua kali pajak terutang. Bagi Wajib Pajak yang karena sengaja sehingga menimbulkan kerugian pada negara, dalam hal: 1. tidak mengembalikan SPOP; 2. mengembalikan SPOP tetapi isinya tidak benar; 3. memperlihatkan surat palsu atau dokumen palsu; 4. tidak memperlihatkan surat atau dokumen yang diperlukan; 5. tidak menyampaikan keterangan yang diperlukan. Sanksinya adalah pidana penjara selama-lamanya dua tahun atau denda setinggi-tingginya lima kali pajak yang terutang. 1. Restitusi Restitusi PBB adalah kelebihan pembayaran PBB yang terjadi dalam hal pembayaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak lebih besar dari jumlah PBB yang seharusnya terutang. Kelebihan pembayaran PBB bias terjadi dalam hal berikut ini. a. Perubahan Peraturan. b. Surat Keputusan Pemberian Pengurangan. c. Surat Keputusan Penyelesaian Keberatan. d. Putusan Banding. e. Kekeliruan pembayaran. 2. Tata Cara Pengajuan Permohonan atas Kelebihan Pembayaran PBB a. WP mengajukan permohonan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan menyebutkan jumlah kelebihan pembayaran disertai alasan yang jelas kepada Direktur Jenderal Pajak c.q. Kepala KPPBB atau KPP Pratama yang menerbitkan SPPT/SKP/STP. b. Surat permohonan disampaikan langsung atau dikirim melalui pos tercatat.
5.24 Administrasi Perpajakan c. Surat permohonan dilampiri dengan dokumen yang berkaitan dengan Objek Pajak yang dimohonkan berupa: 1) fotokopi SPPT/SKP/STP dan Surat Keputusan Keberatan/Banding dan/atau Surat Keputusan pemberian pengurangan; 2) asli Surat Tanda Terima Setoran (STTS) PBB. Surat Keputusan Direktur Jenderal Pajak harus diterbitkan dalam jangka waktu 12 bulan sejak diterimanya surat permohonan secara lengkap dari Wajib Pajak. Apabila dalam jangka waktu tersebut surat keputusan tidak diterbitkan maka permohonan Wajib Pajak dianggap dikabulkan. Memang semua restitusi menurut undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) harus direspons paling lama 12 bulan, namun tidak berarti harus 12 bulan. 3. Pengenaan PBB dalam Hal-hal Tertentu Ada perlakuan khusus pengenaan PBB terhadap Perguruan Tinggi Swasta (PTS) dan Rumah Sakit Swasta. Sejalan dengan perkembangan waktu, PTS dan Rumah Sakit Swasta tidak lagi hanya berfungsi sebagai lembaga pendidikan dan sosial saja, tetapi juga lembaga yang mencari laba. Oleh karena itu, sudah selayaknya kalau kedua institusi tersebut dikenakan PBB. a. Pengenaan PBB atas perguruan tinggi swasta Ketentuan mengenai pengenaan PBB atas PTS diatur dalam Surat Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. SE.10/PJ.6/1995, yang menetapkan bahwa Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) diterbitkan apabila memenuhi salah satu kriteria sebagai berikut. 1) Luas bangunan sama dengan 2.000 m2 atau lebih. 2) Luas tanah 20.000 m2 atau lebih. 3) Jumlah lantai sama dengan 4 lantai atau lebih. 4) Jumlah mahasiswa sama dengan 3.000 orang atau lebih. 5) Jumlah pungutan dalam satu tahun lebih atau sama dengan Rp2.000.000,00. b. Pengenaan PBB atas rumah sakit swasta
ADBI4330/MODUL 5 5.25 Besarnya PBB yang harus dibayar adalah 50% dari jumlah PBB yang seharusnya terutang diberlakukan untuk Rumah Sakit Swasta yang merupakan Institusi Pelayanan Sosial Masyarakat apabila memenuhi kriteria sebagai berikut. 1) Jumlah tempat tidur untuk pasien yang tidak mampu lebih besar dari 25%dari jumlah semua tempat tidur. 2) Sisa Hasil Usaha (SHU) untuk reinvestasi di dalam rumah sakit bukan untuk pengembangan di luar rumah sakit. LATIHAN Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas, kerjakanlah latihan berikut! 1) Coba Anda jelaskan siapa yang menjadi subjek dan objek dari Pajak Bumi dan Bangunan? 2) Dalam UU No. 12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dan terakhir dengan UU No. 12 Tahun 1994, dikecualikan dari objek PBB atas tanah berikut bangunan yang berdiri di atasnya. Apakah pengecualiannya ini sesuai dengan fungsi dari pajak? Di samping itu, apa saja yang dikecualikan dalam PBB? 3) Apakah fungsi SPOP? Apakah sama dengan SPPT? 4) Tuan Yasid seorang pensiunan TNI AD, di ungaran memiliki dua objek pajak yang letaknya terpisah, yaitu rumah dan kebun bunga, dengan rincian sebagai berikut. a. Rumah dengan luas tanah/bangunan dan kelasnya: Tanah = 900 m2 (NJOP = Rp2.000.000,00/m2) Bangunan = 500 m2 (NJOP = Rp500.000,00/m2) b. Kebun bunga, NJOPnya dua jenis/beragam: Tanah - 1 = 250m2, NJOP seluruhnya Rp1.500.000.000,00 Tanah - 2 = 150m2, NJOP seluruhnya Rp750.000.000,00 Pertanyaan: Berapa besarnya PBB tahun 2006 untuk masing-masing objek tersebut, seandainya NJOP daerah Kabupaten Ungaran Rp8.000.000,00?
5.26 Administrasi Perpajakan Petunjuk Jawaban Latihan 1) Untuk menjawab pertanyaan No. 1 di atas, hendaknya Anda melihat pada pengertian mengenai subjek dan objek dari PBB dalam materi kegiatan belajar ini. 2) Untuk menjawab soal No. 2 ini, hendaknya diingat kembali akan fungsi dari pajak, sedangkan mengenai jenisnya hendaknya dilihat kembali pada jenis tanah dan bangunan yang dikecualikan dalam PBB. 3) Untuk menjawab masalah ini hendaknya perlu diingat kembali akan peran masyarakat yang diharapkan oleh pemerintah dalam sistem perpajakan. Dari hal itu akan diketahui apa itu SPOP seperti halnya dengan SPT pada Pajak Penghasilan. Setelah SPOP tersebut diisi kemudian diserahkan pada Dirjen Anggaran yang akan mengeluarkan SPPT. Dari sini dapat dilihat apa itu SPOP dan SPPT, serta apa hubungannya. 4) Untuk soal No. 4. A. Tanah = 900 x Rp2.000.000,00 = Rp1.800.000.000,00 Bangunan = 500 x Rp500.000,00 = Rp 250.000.000,00 (+) NJOP = Rp2.050.000.000,00 NJOP Tidak Kena Pajak = Rp 8.000.000,00 (-) NJOP PBB = Rp2.042.000.000,00 B. Tanah 1 = Rp1.500.000.000,00 Tanah 2 = Rp 750.000.000,00 (+) NJOP = Rp2.250.000.000,00 NJOPTKP = Rp 0,00 NJOP PBB = Rp2.250.000.000,00 NJKP = 40% x Rp2.250.000.000,00 = Rp 900.000.000,00 PBB = 0,5% x Rp900.000.000,00 = Rp 4.500.000,00 RANGKUMAN Pajak Bumi dan Bangunan atau yang dikenal dengan PBB merupakan pajak yang dihitung atas kepemilikan, pengawasan, dan yang memanfaatkan bumi dan bangunan. Oleh karena itu, PBB yang terutang harus dibayar oleh Wajib Pajak yang terhitung 1 Januari berada, menguasai, dan memanfaatkan tempat tersebut. PBB merupakan pajak pusat dan berstatus pajak langsung yang mempunyai kekhususan yaitu
ADBI4330/MODUL 5 5.27 hasilnya sebesar 80% diserahkan ke pemerintah daerah dan yang 20% setelah dipotong dengan biaya pemungutan akan dikembalikan ke daerah. Pajak ini merupakan bentuk penyederhanaan dari berbagai pajak atas tanah dan bangunan yang dahulunya dipungut baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. TES FORMATIF 1 Pilihlah satu jawaban yang paling tepat! 1) Dasar hukum dari Pajak Bumi dan Bangunan adalah .... A. Undang-undang No. 12 Tahun 1994 B. Undang-undang No. 18 Tahun 1997 C. Undang-undang No. 18 Tahun 2000 D. Undang-undang No. 19 Tahun 2000 2) Tanah dan bangunan yang digunakan oleh perwakilan diplomatik dikecualikan dari objek pajak PBB dengan syarat .... A. melayani kepentingan umum B. memperoleh keuntungan bagi Negara RI C. memperoleh perlakuan timbal balik kepada Negara RI D. mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan 3) Surat Pemberitahuan Pajak Terutang yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak didasarkan pada .... A. SPOP B. SKP C. SPPT D. SPT 4) Sanksi pidana dalam perpajakan dapat diterapkan apabila wajib pajak .... A. tidak menyampaikan SPOP B. melaporkan data objek pajak tidak benar C. memperlihatkan surat palsu D. tidak membayar pajak terutang saat jatuh tempo
5.28 Administrasi Perpajakan 5) Apabila pak Badu menerima SPPT tahun 2006 pada tanggal 1 Maret 2006 dengan pajak terutang sebesar Rp1.000.000,00. jika pak Badu membayar pajaknya pada tanggal 3 November 2006, maka pajak yang harus dibayarnya adalah .... A. Rp 60.000,00 B. Rp 480.000,00 C. Rp1.060.000,00 D. Rp1.480.000,00 Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 1 yang terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar. Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 1. Tingkat penguasaan = Jumlah Jawaban yang Benar 100% Jumlah Soal Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali 80 - 89% = baik 70 - 79% = cukup < 70% = kurang Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat meneruskan dengan Kegiatan Belajar 2. Bagus! Jika masih di bawah 80%, Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 1, terutama bagian yang belum dikuasai.
ADBI4330/MODUL 5 5.29 Kegiatan Belajar 2 Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) B ea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan atau lebih dikenal dengan BPHTB merupakan pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, yaitu perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan. Hak atas tanah dan atau bangunan ini termasuk hak pengelolaan beserta bangunan di atasnya sebagaimana dimaksud dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, UU No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, dan Ketentuan Peraturan Perundang- undangan lainnya. Dasar hukum dari BPHTB ini adalah UU No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 20 Tahun 2000. A. PERKEMBANGAN BPHTB 1. Staatsblad Tahun 1925 No. 471. 2. Staatsblad Tahun 1927 No. 122. 3. Staatsblad Tahun 1928 No. 395. 4. Staatsblad Tahun 1929 No. 177. 5. Staatsblad Tahun 1931 No. 168. 6. Staatsblad Tahun 1936 No. 692. 7. Staatsblad Tahun 1949 No. 48. 8. Lembaga Negara Tahun 1957 No. 84. 9. Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perpu) Tahun 1959 No. 10 (Lembaran Negara tahun 1959 No. 103), sepanjang mengenai pemungutan Bea Balik Nama atas pemindahan harta tetap yang berupa tanah dan bangunan. Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang berdasarkan UU No. 21 Tahun 1997 yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2000 ini disebut bea namun pemungutan tersebut pada dasarnya
5.30 Administrasi Perpajakan adalah pajak. Hal ini ditegaskan pada Pasal 1 ayat (1) UU No. 21 Tahun 1997, dan perubahannya, yaitu UU No. 20 Tahun 2000 yang menyatakan: ” ........ yang dimaksud dengan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan bangunan yang selanjutnya disebut pajak” Dilihat dari saat terutangnya pajak, BPHTB dipungut secara periodik. Oleh karena itu, BPHTB masuk golongan Pajak Tidak Langsung. Unsur yang menentukan adalah ada tidaknya transaksi pemindahan atas tanah dan bangunan. Hal ini mencerminkan bahwa BPHTB termasuk golongan pajak objektif. Sedangkan apabila dilihat dari yang berhak mengelola, BPHTB dikelola oleh Pemerintah Pusat, yang berarti BPHTB ini tergolong Pajak Negara. B. OBJEK PAJAK BPHTB Sedangkan yang menjadi objek pajak adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan (disengaja) atau peristiwa hukum (otomatis/tidak disengaja) yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan. Contoh peristiwa hukum adalah warisan karena pemilik meninggal dunia. Perolehan hak pada dasarnya ada dua, yaitu berikut ini. 1. Pemindahan Hak Pemindahan hak berarti sebelum memperoleh hak, hak atas tanah dan atau bangunan tersebut sebelumnya sudah ada di “orang” lain. Karena perbuatan atau peristiwa tertentu, haknya berpindah kepada subjek hukum Amir ke subjek hukum ke Budi. Pemindahan hak terjadi karena berikut ini. a. Jual beli. b. Tukar menukar. c. Hibah, yaitu suatu penetapan wasiat yang khusus mengenai pemberian hak atas tanah dan atau bangunan kepada orang pribadi atau badan hukum tertentu. d. Hibah wasiat, yaitu suatu penetapan wasiat yang khusus mengenai pemberian hak atas tanah dan atau bangunan kepada orang pribadi atau
ADBI4330/MODUL 5 5.31 badan hukum tertentu, yang berlaku setelah pemberi hibah wasiat meninggal dunia. e. Waris, yaitu pengalihan hak yang dilakukan terhadap tanah dan atau bangunan dalam garis keturunan lurus. f. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, yaitu pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan dari orang pribadi atau badan kepada Perseroan Terbatas atau badan hukum lainnya sebagai penyertaan modal pada Perseroan Terbatas atau badan hukum lainnya tersebut. g. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, yaitu pemindahan sebagian hak bersama atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan kepada sesama pemegang hak bersama. h. Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, yaitu adanya peralihan hak dari orang pribadi atau badan hukum sebagai salah satu pihak kepada pihak yang ditentukan dalam putusan hakim tersebut. i. Penunjukan pembeli dalam lelang, yaitu penetapan pemenang lelang oleh Pejabat Lelang sebagaimana yang tercantum dalam Risalah Lelang. j. Penggabungan usaha, yaitu penggabungan dari dua badan usaha atau lebih dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu badan usaha dan melikuidasi badan usaha lainnya yang menggabung. k. Peleburan usaha, yaitu penggabungan dari dua atau lebih badan usaha dengan cara mendirikan badan usaha baru dan melikuidasi badan-badan usaha yang bergabung tersebut. l. Pemekaran usaha, yaitu pemisahan suatu badan usaha menjadi dua badan usaha atau lebih dengan cara mendirikan badan usaha baru dan mengalihkan sebagian aktiva dan pasiva kepada badan usaha baru tersebut yang dilakukan tanpa melikuidasi badan usaha yang lama. m. Hadiah, yaitu suatu perbuatan hukum berupa penyerahan hak atas tanah dan atau bangunan yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan hukum kepada penerima hadiah. 2. Perolehan Hak Baru Sedangkan perolehan hak baru biasanya berasal dari tanah negara kemudian diperoleh subjek pajak. Atau konversi hak, contohnya, dari hak adat menjadi hak milik.
5.32 Administrasi Perpajakan Pemindahan hak terjadi karena: a. kelanjutan pelepasan hak, yaitu pemberian hak baru kepada orang pribadi atau badan hukum dari Negara atas tanah yang berasal dari pelepasan hak; b. di luar pelepasan hak, yaitu pemberian hak baru atas tanah kepada orang pribadi atau badan hukum dari Negara atau dari pemegang hak milik menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3. Hak atas Tanah Hak atas tanah yang menjadi objek BPHTB adalah sebagai berikut. a. Hak milik, yaitu hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang pribadi atau badan-badan hukum tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah. b. Hak guna usaha, (HGU), yaitu hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dalam jangka waktu sebagaimana yang ditentukan oleh perundang-undangan yang berlaku. c. Hak guna bangunan (HGB), yaitu hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu yang ditetapkan dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. d. Hak pakai, yaitu hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan peraturan perundang- undangan yang berlaku. e. Hak milik atas satuan rumah susun, yaitu hak milik atas satuan yang bersifat perseorangan dan terpisah. Hak milik atas satuan rumah susun meliputi juga hak atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama yang semuanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan. f. Hak pengelolaan, yaitu hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya, antara lain, berupa perencanaan peruntukan dan penggunaan tanah, penggunaan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, penyerahan bagian-bagian
ADBI4330/MODUL 5 5.33 dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dan atau bekerja sama dengan pihak ketiga. 4. Tidak Termasuk Objek Pajak BPHTB Berdasarkan Pasal 3 UU BPHTB, objek yang tidak dikenakan pajak adalah objek yang diperoleh berikut ini. a. Perwakilan Diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik. b. Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum, yaitu tanah dan atau bangunan yang digunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan, baik Pemerintah Pusat maupun oleh Pemerintah Daerah dan kegiatan yang semata-mata tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, misalnya, tanah dan atau bangunan yang digunakan untuk instansi pemerintah, rumah sakit pemerintah, dan jalan umum. c. Badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut. d. Orang Pribadi atau badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama, yaitu perubahan hak dari hak lama menjadi hak baru menurut Undang-undang Pokok Agraria, termasuk pengakuan hak oleh Pemerintah. Contoh: 1) Hak Guna Bangunan (HGB) menjadi Hak Milik tanpa adanya perubahan nama. 2) Bekas tanah hak milik adat (dengan bukti surat Girik atau sejenisnya) menjadi hak baru. e. Orang atau badan karena wakaf. Yaitu perbuatan hukum orang pribadi atau badan yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa hak milik tanah dan atau bangunan dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau kepentingan umum lainnya tanpa imbalan apapun. f. Orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah. Objek pajak yang diperoleh karena waris, hibah wasiat dan pemberian hak pengelolaan, pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
5.34 Administrasi Perpajakan g. Badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi sebagai tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut. 5. Subjek Pajak BPHTB Yang menjadi subjek pajak dari BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan. Subjek Pajak tersebut yang dikenakan kewajiban membayar pajak dan menjadi Wajib Pajak menurut Undang-undang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Sedangkan yang dimaksud dengan badan di sini baik berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum, dengan nama apapun seperti: a. perseroan terbatas; b. perseroan komanditer; c. perseroan lainnya; d. badan usaha milik negara; e. badan usaha milik daerah; f. persekutuan; g. perkumpulan; h. firma; i. kongsi; j. yayasan atau organisasi yang sejenis; k. lembaga; l. dana pensiun; m. bentuk usaha tetap. 6. Pembagian Hasil Penerimaan Pajak Hasil penerimaan BPHTB dibagi dengan perimbangan sebagai berikut. a. 20% untuk pemerintah pusat yang selanjutnya dikembalikan lagi secara merata ke setiap kabupaten/kota. b. 16% untuk propinsi. c. 64% untuk kabupaten/kota. Sesuai dengan Pasal 5 UU BPHTB, tari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan merupakan tarif tunggal sebesar 5%. Penentuan tarif tunggal ini dimaksudkan untuk kesederhanaan dan kemudahan penghitungan.
ADBI4330/MODUL 5 5.35 C. DASAR PENGENAAN BPHTB DAN CARA PENGHITUNGAN 1. Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) Dasar pengenaan BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP), yaitu: Jual beli harga transaksi 1. Tukar-menukar nilai pasar 2. Hibah nilai pasar 3. nilai pasar 4. Hibah wasiat nilai pasar 5. Waris nilai pasar; 6. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya nilai pasar 7. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan 8. Peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang nilai pasar mempunyai kekuatan hukum tetap 9. nilai pasar Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari nilai pasar 10. pelepasan hak nilai pasar 11. Pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak nilai pasar 12. Penggabungan usaha nilai pasar 13. Peleburan usaha nilai pasar 14. harga transaksi yang 15. Pemekaran usaha tercantum dalam Hadiah risalah lelang Penunjukan pembeli dalam lelang Apabila NPOP pada No. 1 sampai dengan 14 tidak diketahui atau lebih rendah dari pada NJOP yang digunakan dalam pengenaan PBB pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan yang dipakai adalah NJOP PBB. Dalam hal NJOP PBB pada tahun terjadinya perolehan belum ditetapkan, besarnya NJOP PBB ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Yang dimaksud dengan harga transaksi adalah harga yang terjadi dan telah disepakati oleh pihak-pihak yang bersangkutan. 2. Tarif Pajak Tarif pajak yang diterapkan pada pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah tarif proporsional, dengan besarnya tarif 5%. Tarif proporsional adalah tarif pajak yang menghasilkan besarnya pajak terutang, semakin tinggi dasar pengenaannya, semakin tinggi pula pajak terutangnya. Oleh karena itu, tarif proporsional terkenal sebagai tarif pajak yang memperhatikan tingkat daya beli.
5.36 Administrasi Perpajakan 3. Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) diberikan untuk setiap perolehan hak sebagai pengurang penghitungan BPHTB terutang. NPOPTKP ditetapkan secara regional (setiap kabupaten/kota) paling banyak Rp60.000.000,00, kecuali dalam hal perolehan hak karena waris, atau hibah wasiat yang diterima oleh orang pribadi dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, NPOPTKP regional paling banyak Rp300.000.000,00. Besarnya NPOPTKP ditetapkan oleh Kepala Kanwil DJP atas nama Menteri Keuangan untuk setiap kabupaten/kota dengan mempertimbangkan pendapat Pemda setempat. Ketentuan besarnya NPOPTKP diatur lebih lanjut dalam PP No. 113 Tahun 2000. Contoh 1: Wajib Pajak membeli tanah dan bangunan dengan Nilai Perolehan Objek Pajak (harga transaksi) Rp30.000.000,00. NJOP PBB tersebut yang digunakan dalam pengenaan PBB adalah sebesar Rp35.000.000,00, maka yang dipakai sebagai dasar pengenaan BPHTB adalah Rp35.000.000,00 dan bukannya Rp30.000.000,00. Contoh 2: Pada tanggal 2 Februari 2006, Wajib Pajak orang pribadi Budi mendaftarkan hibah wasiat dari orang tua kandung berupa sebidang tanah yang terletak di kota Bandung dengan NPOP Rp250.000.000,00. NOPTKP untuk perolehan hak karena hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, untuk Kota Bandung ditetapkan sebesar Rp300.000.000,00. mengingat NPOP lebih kecil dibandingkan NPOPTKP, maka perolehan hak tersebut tidak terutang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. D. NILAI PEROLEHAN OBJEK PAJAK KENA PAJAK (NPOPKP) Besarnya NPOPKP adalah sebagai berikut. 1. Penghitungan BPHTB a. BPHTB terutang = 5% x NPOP Kena Pajak; b. NPOP Kena Pajak = NPOP – NPOPTKP.
ADBI4330/MODUL 5 5.37 2. Saat terutang BPHTB Transaksi Saat Terutang a. Jual beli Sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta, yaitu tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta b. Tukar-menukar pemindahan hak di hadapan Pejabat Pembuat Akta c. Hibah Tanah/Notaris. d. Waris Sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta. Sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta. e. Pemasukan dalam Sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan perseroan atau badan peralihan haknya ke Kantor Pertanahan. hukum lainnya Sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta. f. Pemisahan hak yang Sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta. mengakibatkan peralihan Sejak tanggal penunjukan pemenang lelang, yaitu g. Lelang tanggal ditandatanganinya Risalah Lelang oleh Kepala Kantor Lelang Negara atau kantor lelang h. Putusan hakim lainnya sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku yang memuat antara lain i. Hibah wasiat nama pemenang lelang. sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai j. Pemberian hak baru atas kekuatan hukum yang tetap. tanah sebagai kelanjutan Sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan dari pelepasan hak peralihan haknya ke Kantor Pertanahan. Sejak tanggal ditandatangani dan diterbitkannya surat k. Pemberian hak baru di keputusan pemberian hak. luar pelepasan hak Sejak tanggal ditandatangani dan diterbitkannya surat l. Penggabungan usaha keputusan pemberian hak. m. Peleburan usaha Sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta. n. Pemekaran usaha Sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta. o. Hadiah Sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta. Sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta. Bea yang terutang (pajak yang terutang) di atas harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak. Sedangkan tempat pajak terutang adalah di wilayah Kabupaten atau kota atau propinsi yang meliputi letak tanah dan atau bangunan.
5.38 Administrasi Perpajakan 3. Pelunasan BPHTB Pajak yang terutang harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak tersebut. Tempat terutang pajak adalah di wilayah kabupaten kota atau propinsi. Dalam peristiwa ini, Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang dengan tidak mendasarkan pada adanya surat ketetapan pajak. 4. Tempat BPHTB Terutang Tempat BPHTB terutang adalah wilayah kabupaten, kota, atau propinsi yang meliputi letak tanah dan atau bangunan. BPHTB yang terutang dibayar ke kas negara melalui Bank/Kantor Pos Persepsi BPHTB, yaitu Kantor Pos dan atau Bank Badan Usaha Milik Negara atau Bank Badan Usaha Milik Daerah atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan menggunakan Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (SSB). 5. Surat Ketetapan BPHTB Kurang Bayar Tahun pajak adalah jangka waktu satu tahun takwim. Saat yang menentukan pajak yang terutang adalah menurut keadaan objek pajak pada tanggal 1 Januari. Dalam jangka waktu 5 tahun sesudah saat terutangnya pajak, Dirjen Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, ternyata jumlah pajak yang terutang kurang bayar. Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Keterangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar tersebut ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga 2% per bulan untuk jangka waktu paling lama 24 bulan, dihitung mulai saat terutangnya pajak sampai dengan diterbitkannya Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar. Contoh: Wajib Pajak memperoleh tanah dan bangunan pada tanggal 29 Maret 2006. Nilai Perolehan Objek Pajak Rp110.000.000,00 Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak Rp 30.000.000,00 (-) Rp 80.000.000,00 Pajak yang terutang = 5% x Rp80.000.000,00 = Rp4.000.000,00
ADBI4330/MODUL 5 5.39 Berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan pada tanggal 30 Desember 2006, ternyata ditemukan data yang belum lengkap yang menunjukkan bahwa nilai perolehan Objek Pajak sebesarnya adalah Rp160.000.000,00, maka pajak yang seharusnya terutang adalah sebagai berikut. Nilai Perolehan Objek Pajak Rp160.000.000,00 Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak Rp 30.000.000,00 (-) Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak Rp130.000.000,00 Pajak yang terutang = 5% x Rp130.000.000,00 = Rp 6.500.000,00 Pajak yang telah dibayar Rp 4.000.000,00 Pajak yang kurang dibayar Rp 2.500.000,00 Sanksi administrasi berupa bunga dari 29 Maret 2006 sampai 30 Desember 2006 = 10 x 2% x Rp2.500.000,00 = Rp500.000,00. Jadi, jumlah pajak yang harus dibayar sebesar Rp2.500.000,00 + Rp500.000,00 = Rp3.000.000,00. 6. Surat Ketetapan BPHTB Kurang Bayar Tambahan Dalam jangka waktu 5 tahun sesudah saat terutangnya pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan apabila ditemukan data baru dan atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah diterbitkannya Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar. Jumlah pajak yang harus dibayar adalah jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan tersebut ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% dari jumlah kekurangan pajak tersebut, kecuali Wajib Pajak melaporkan sendiri sebelum dilakukan tindakan pemeriksaan. 7. Mekanisme Pembayaran BPHTB Mekanisme pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah berikut ini. a. Wajib Pajak membayar pajak yang terutang dengan tidak mendasarkan pada adanya Surat Ketetapan Pajak, tetapi menghitung dan membayar
5.40 Administrasi Perpajakan sendiri pajak yang terutang dengan mengisi Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (SSB). b. Pajak yang terutang dibayar ke Kas Negara melalui: 1) Kantor Pos; 2) Bank Persepsi; 3) Tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan dengan Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (SS-BPHTB). c. Dalam hal SSB NIHIL, wajib pajak tidak perlu ke bank, cukup SSB diketahui (ditandatangani) oleh pejabat PPAT/Notaris, Kepala Kantor Lelang/Pejabat Lelang, atau Kantor Pertanahan Kotamadya. 8. Beban Pajak Atas Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan Pajak atas pengalihan hak atas tanah dan bangunan yang berlaku sejak tahun 1996 adalah Pajak Penghasilan Final (PPh Final). Dasar hukum yang mengatur mengenai pajak penghasilan final adalah PP No. 27 Tahun 1996 yang kemudian dijabarkan lebih detail di dalam Keputusan Menteri Keuangan No. 393/KMK.04/1996 tanggal 5 Juni 1996, serta Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE 23/Pj.4/1996 tanggal 16 Juni 1996. Peraturan tersebut mengatur tentang PPh 5% bersifat final sehingga jumlah tersebut tidak perlu ikut diperhitungkan di dalam SPT Tahunan dari penjual. Yang melatarbelakangi diterapkannya kebijakan pemungutan pajak penghasilan dalam tahun berjalan secara final adalah karena adanya anggapan bahwa yang terjadi pengalihan hak atas tanah dan bangunan. Pihak yang menyerahkan dianggap telah mendapat keuntungan, sedangkan setiap keuntungan baik dari usaha maupun di luar usaha merupakan tambahan kemampuan ekonomi yang oleh UU No. 10 Tahun 1994 tentang PPh merupakan penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan. Alasan lainnya adalah untuk mencapai efisiensi dalam pemungutan Pajak Penghasilan, baik dilihat dari kepentingan Fiskus maupun kepentingan Wajib Pajak yaitu sistem pemungutan pajak yang pasti dan sederhana. Oleh karena itu, sejak 1 Januari 1996 sepanjang pemungutan pajak final belum dicabut maka atas transaksi pengalihan hak-hak atas tanah dan bangunan selain dikenakan Bea Perolehan Hak, juga dikenakan Pajak Penghasilan Final. Bedanya di sini adalah pada Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dibebankan kepada pembeli, sedangkan pada PPh Final dibebankan kepada penjual.
ADBI4330/MODUL 5 5.41 Perbedaan itu adalah: a. PPh atas pengalihan hak atas tanah dan bangunan dibebankan kepada developer, sedangkan BPHTB dibebankan kepada pembeli; b. PPh itu berlaku sejak 1 Januari 1996, sedangkan BPHTB diberlakukan sejak 1 Januari 1998 yang kemudian ditangguhkan pelaksanaannya hingga 30 Juni 1998. Pajak Penghasilan untuk pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan merupakan pajak atas keuntungan yang diperoleh penjual. LATIHAN Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas, kerjakanlah latihan berikut! 1) Jelaskan dasar hukum dan pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan! 2) Pada tanggal 1 Juni 2006 Asmadi mendaftarkan warisan berupa tanah dan bangunan yang terletak di Kota Bandung dengan NPOP sebesar Rp400.000.000,00. NPOPTKP untuk perolehan hak karena warisan berada di kota Bandung ditetapkan sebesar Rp300.000.000,00. Berapakah besarnya NOPTK? 3) Wajib Pajak Budi memperoleh tanah dan bangunan pada tanggal 29 Maret 2007. NPOP Rp110.000.000,00 NPOPTKP Rp60.000.000,00. Pajak yang terutang Rp2.500.000,00. Berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan pada tanggal 30 Desember 2007, ternyata ditemukan data yang belum lengkap yang menunjukkan bahwa NPOP sebenarnya adalah Rp160.000.000,00, maka pajak yang terutang sebenarnya adalah? 4) Coba jelaskan kapan saat terutangnya BPHTB! 5) Jelaskan ketentuan pengurangan dan keberatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak atas BPHTB yang terutang! Petunjuk Jawaban Latihan 1) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) diatur dalam UU No. 21 tahun 1997 yang disempurnakan dengan UU No. 20 tahun 2000 tentang Bea Perolehan atas Tanah dan Bangunan. Perolehan Hak
5.42 Administrasi Perpajakan atas Tanah dan Bangunan dikenakan pajak dengan pemikiran bahwa tanah memiliki fungsi sosial, memenuhi kebutuhan dasar untuk papan dan lahan usaha, sedangkan bangunan dapat memberikan keuntungan dan kedudukan yang lebih baik bagi orang pribadi atau badan. 2) NPOP Rp400.000.000,00 NPOPTKP Rp300.000.000,00 (-) NOPKP Rp100.000.000,00 3) Besarnya pajak yang terutang adalah NPOP Rp160.000.000,00 NPOPTKP Rp 60.000.000,00 (-) NPOPKP Rp100.000.000,00 Pajak terutang = 5% x Rp100.000.000,00 = Rp5.000.000,00 Pajak yang telah dibayar Rp2.500.000,00 (-) Pajak yang kurang bayar Rp2.500.000,00 4) Saat terutangnya BPHTB adalah saat terjadinya transaksi pengalihan hak atas tanah dan bangunan. 5) Wajib Pajak dapat diberikan pengurangan pajak yang terutang kepada Direktur Jenderal Pajak karena sebab-sebab tertentu. Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak yang terutang menurut perhitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan yang jelas. RANGKUMAN Ketentuan materiil Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan meliputi objek pajak perolehan hak atas tanah dan bangunan. Yang dimaksud dengan perolehan hak adalah pemindahan hak karena jual beli, tukar menukar, hibah, hibah wasiat, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penunjukan pembeli dalam lelang, pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, dan hadiah. Termasuk pengertian perolehan hak adalah pemberian hak baru karena kelanjutan pelepasan hak dan di luar pelepasan hak. Bentuk-bentuk hak atas tanah, adalah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak milik atas satuan rumah susun, dan hak pengelolaan. Sebagai Wajib Pajak bisa orang pribadi dan bisa pula badan, tergantung siapakah yang melakukan perolehan hak atas tanah dan/atau
ADBI4330/MODUL 5 5.43 bangunan. Besarnya bea terutang adalah 5% dari nilai perolehan objek pajak, dengan nilai perolehan pajak tidak kena pajak Rp60.000.000,00 dan Rp300.000.000,00 dalam hal perolehan hak karena waris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah termasuk istri/suami. TES FORMATIF 2 Pilihlah satu jawaban yang paling tepat! 1) Yang menjadi objek pajak dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah .... A. perolehan hak atas tanah dan bangunan B. penjualan tanah dan atau bangunan C. pembelian tanah dan bangunan milik pemerintah D. perolehan karena pembukaan lahan baru 2) Perolehan hak yang didapat melalui lelang, pelaksanaan perolehan dilakukan di hadapan .... A. notaris B. ahli waris C. pejabat lelang D. badan usaha 3) Besarnya BPHTB yang terutang adalah sebesar .... A. tarif 5% dikalikan dengan NJOP B. tarif 5% dikalikan dengan NPOPTKP C. tarif 5% dikalikan dengan NPOPPKP D. tarif 5% dikalikan dengan BPHTB 4) Pada tanggal 1 Juni 2007 Arman mendaftarkan warisan berupa tanah dan bangunan yang terletak di kota Serang dengan NPOP sebesar Rp400.000.000,00. NPOPTKP untuk perolehan hak untuk Serang ditetapkan sebesar Rp300.000.000,00. Besarnya NPOPKP adalah .... A. Rp100.000.000,00 B. Rp 10.000.000,00 C. Rp 1.000.000,00 D. Rp 500.000,00
5.44 Administrasi Perpajakan 5) Penerbitan Tagihan BPHTB dipersamakan kekuatan hukumnya dengan surat ketetapan, sehingga penagihannya dilanjutkan dengan penerbitan .... A. Surat Penetapan B. Surat Paksa C. Surat Keterangan D. Surat Pembatalan Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 2 yang terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar. Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 2. Tingkat penguasaan = Jumlah Jawaban yang Benar 100% Jumlah Soal Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali 80 - 89% = baik 70 - 79% = cukup < 70% = kurang Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat meneruskan dengan Kegiatan Belajar 3. Bagus! Jika masih di bawah 80%, Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 2, terutama bagian yang belum dikuasai.
ADBI4330/MODUL 5 5.45 Kegiatan Belajar 3 Pajak Daerah P ada hakikatnya lahirnya UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah tidak berarti pemerintah pusat ingin melimpahkan kewenangan dan pembiayaan kepada pemerintah daerah. Yang terpenting dari lahirnya UU ini adalah keinginan untuk meningkat efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya keuangan daerah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat. Pemerintah daerah harus didorong untuk meningkatkan kemampuannya dalam menghadapi persaingan global dan perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin pesat. Agar mampu menjalankan peranan tersebut, daerah diberikan kewenangan yang seluas-luasnya disertai pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara. Salah satu komponen utama dari pengelolaan keuangan daerah adalah Laporan Realisasi APBD. Struktur APBD disusun dengan pendekatan kinerja, memuat sasaran yang diharapkan menurut fungsi belanja, standar pelayanan yang diharapkan dan perkiraan biaya satuan komponen kegiatan yang bersangkutan. Pemerintah memberikan kewenangan yang luas kepada Daerah Kabupaten/Kota untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. A. DASAR HUKUM Dasar hukum pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah adalah UU No. 18 Tahun 1997 tentang pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 34 Tahun 2000. Kalau dilihat dari segi waktu, UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ini sangat lambat kalau dibandingkan dengan pajak pusat yang sudah dikeluarkan tahun 1983 dan telah mengalami beberapa kali perubahan. Namun dengan dikeluarkannya UU ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak hanya memperhatikan pajak pusat saja tetapi juga pajak daerah yang menjadi salah satu sumber penerimaan daerah.
5.46 Administrasi Perpajakan Idealnya dalam melaksanakan otonomi daerah harus bertumpu pada sumber-sumber pendapatan di daerahnya sendiri yang lazim disebut dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Yang dimaksud dengan pajak daerah sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pengertian pajak pada umumnya. Perbedaan terletak pada siapa pemungut atau yang menyelenggarakan administrasi pajak dan dasar hukum pengenaan pajak tersebut. Adapun daerah dalam menetapkan jenis pajak daerah yang diberlakukan di daerahnya ditetapkan dengan Peraturan daerah B. JENIS PAJAK DAERAH Pajak Negara yang telah diserahkan kepada Daerah adalah sebagai berikut. 1. Berdasarkan UU No. 32 Tahun 1956, yaitu pajak: a. Verponding (Ordonansi Verponding 1928); b. Verponding Indonesia (Ordonansi Verponding Indonesia); c. Rumah Tangga (Ordonansi Pajak Rumah Tangga 1928); d. Kendaraan Bermotor (Ordonansi Pajak Kendaraan Bermotor 1934); e. Jalan (Ordonansi Pajak Jalan 1942); f. Potong (Ordonansi Pajak Potong 1936); g. Kopra (UU Indonesia Timur No. 16 Tahun 1949); h. Pembangunan (UU Pajak Pembangunan I, UU Republik Indonesia No. 14 Tahun 1947); 2. Berdasarkan UU No. 10 Tahun 1968, yaitu: a. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (UU No. 27 Tahun 1959); b. Pajak Radio (UU No. 12 Tahun 1947); c. Pajak Bangsa Asing (UU No. 47 Tahun 1958). Berdasarkan UU No. 34 Tahun 2000 tentang pajak daerah, Jenis Pajak Daerah dibagi menjadi 2 bagian, yaitu Pajak Propinsi, dan Pajak Kabupaten/Kota: 1. Pajak yang Dipungut oleh Propinsi Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UU No. 34 Tahun 2000, jenis pajak provinsi terdiri dari berikut ini. a. Pajak kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air. b. Bea balik nama kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air.
ADBI4330/MODUL 5 5.47 c. Pajak bahan bakar kendaraan bermotor. d. Pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan. Pajak yang dipungut oleh Provinsi tersebut, baik besarnya tarif maupun jenis pajaknya telah ditentukan secara limitatif oleh UU. Artinya, Provinsi tidak boleh menambah pajak baru atau menaikkan tarif pajak yang telah ditentukan. 2. Pajak yang Dipungut oleh Kabupaten/Kota Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) UU No. 34 Tahun 2000, jenis pajak kabupaten/kota terdiri dari pajak: a. hotel; b. restoran; c. hiburan; d. reklame; e. penerangan jalan; f. pengambilan bahan galian golongan C; g. parkir; h. lain-lain. Terhadap pajak Kabupaten/kota ini, UU menetapkan tarif maksimum bagi pajak-pajak tersebut. Dengan demikian, daerah dapat menetapkan tarif pajak lebih rendah dari yang ditentukan oleh UU. Hal ini memberi peluang kepada daerah untuk berkompetisi kepada para investor/pengusaha untuk melakukan kegiatan usaha di daerah dengan fasilitas perpajakan tersebut. Di samping itu, daerah kabupaten/kota diberikan juga keleluasaan untuk menetapkan pajak-pajak baru yang spesifik sepanjang memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh UU C. SUBJEK PAJAK DAERAH Yang termasuk subjek pajak pada pajak daerah adalah pribadi perseorangan atau badan. 1. Pendaftaran dan Pelaporan Pajak Daerah a. Wajib Pajak mendaftarkan usahanya dengan (Surat Pendaftaran Objek Pajak Daerah (SPOPD) ke Dipenda atas Dinas Pendapatan Daerah.
5.48 Administrasi Perpajakan b. SPOPD diambil wajib pajak atau penanggung pajak, diisi dengan benar kemudian ditandatangani untuk mendapatkan NPWPD atau No. Wajib Pajak daerah. c. Apabila tidak melaporkan objek pajak, maka Wajib Pajak atau penanggung pajak bisa mendapat sanksi dan NPWPD dikeluarkan secara sepihak oleh kepala dipenda secara jabatan. 2. Tarif Pajak Daerah Sesuai dengan Pasal 3 ayat (1) UU No. 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah ditetapkan tentang tarif untuk Pajak Daerah. Dalam Pasal ini diatur tentang tarif pajak yang paling tinggi yang dapat dipungut oleh Daerah untuk setiap jenis. Penetapan tarif paling tinggi tersebut bertujuan memberi perlindungan kepada masyarakat dari penetapan tarif yang terlalu membebani, sedangkan tarif paling rendah tidak ditetapkan untuk memberi peluang kepada Pemerintah Daerah untuk mengatur sendiri besarnya tarif yang sesuai dengan kondisi masyarakat di daerahnya, termasuk membebaskan pajak bagi masyarakat yang tidak mampu. Di samping itu, dalam penetapan tarif pajak juga dapat diadakan klasifikasi/penggolongan tarif berdasarkan kemampuan Wajib Pajak atau berdasarkan jenis objeknya. Adapun tarif pajak tersebut adalah sebagai berikut. a. Pajak kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air 5% b. Bea balik nama kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air 10% c. Pajak bahan bakar kendaraan bermotor 5% d. Pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan 20% e. pajak hotel 10% f. Pajak restoran 10% g. Pajak hiburan 35% h. Pajak reklame 25% i. Pajak penerangan jalan 10% j. Pajak pengambilan bahan galian golongan C 20% k. Pajak parkir 20% Dalam Pasal 3 ayat (3), tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, huruf I, huruf j, dan huruf k ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Sedangkan Pasal 3 ayat (4) dijelaskan besarnya pokok pajak dihitung dengan mengalikan tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dengan dasar pengenaan pajak.
ADBI4330/MODUL 5 5.49 Pajak Daerah ditetapkan dengan Peraturan daerah yang tidak dapat berlaku surut. Dalam peraturan daerah ini ditetapkan tentang pajak sekurang- kurangnya mengatur ketentuan mengenai: a. nama, objek, dan subjek pajak; b. dasar pengenaan, tarif, dan cara penghitungan pajak; c. wilayah pemungutan; d. masa pajak; e. penetapan; f. tata cara pembayaran dan penagihan; g. kadaluwarsa; h. sanksi administrasi; dan i. tanggal mulai berlakunya. Dalam Peraturan Daerah tentang Pajak juga diatur ketentuan mengenai: a. pemberian pengurangan, keringanan, dan pembebasan dalam hal-hal tertentu atas pokok pajak dan/atau sanksinya; b. tata cara penghapusan piutang pajak yang kadaluwarsa; c. asas timbal balik. Adapun Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) harus terlebih dahulu disosialisasikan dengan masyarakat sebelum ditetapkan. Di samping itu, ketentuan mengenai tata cara dan mekanisme pelaksanaan sosialisasi Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) ditetapkan oleh Kepala Daerah. 3. Sistem Pemungutan Ada beberapa sistem pemungutan pajak daerah yang ditetapkan oleh gubernur, yaitu sebagai berikut. a. Self assessment di mana pajak dibayar sendiri oleh Wajib Pajak. b. Official assessment, di mana Nilai pajak ditentukan oleh gubernur. c. Withholding/Joint Collection, di mana pajak dipungut oleh pemungut pajak. 4. Sanksi Administrasi dan Sanksi Pidana Aspek yang tidak boleh dilupakan dalam membuat UU adalah pengaturan tentang sanksi baik sanksi administrasi maupun sanksi pidana. Sanksi administratif ditujukan bagi Wajib Pajak yang memiliki pajak
5.50 Administrasi Perpajakan terutang, tidak atau kurang bayar dan apabila Surat Pemberitahuan Pajak Daerah tidak disampaikan kepada Gubernur dalam jangka waktu yang sudah ditentukan meskipun sudah ditegur secara tertulis. Penggunaan sanksi administratif ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah dan jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPPDKB dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan. 5. Mekanisme Pemungutan Pajak Daerah Sesuai ketentuan dalam Undang-undang No. 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi daerah, mekanisme pemungutan Pajak Daerah adalah sebagai berikut. a. Kepada Wajib Pajak diwajibkan mengisi Surat Pemberitahuan Pajak Daerah/SPTPD dengan benar dalam waktu 20 hari setelah akhir masa pajak beserta dokumen lain yang ditandatangani Wajib Pajak/ penanggung pajak. b. Wajib Pajak mengambil sendiri SPTPD serta menghitung, membayar dan melaporkan sendiri pajak yang terutang. c. Gubernur atau pejabat yang berwewenang dapat mengundurkan batas waktu penyerahan SPTPD maksimal 2 bulan dengan pengajuan surat secara tertulis paling lambat 20 hari setelah akhir masa pajak. d. Wajib Pajak/penanggung pajak dapat memperbaiki SPTPD secara tertulis kepada Gubernur paling lambat 2 tahun setelah masa pajak/tahun pajak atau sebelum dilaksanakan pemeriksaan. Hutang pajak yang kurang bayar akan terkena sanksi denda 2% per bulan mulai dari penyampaian SPTPD sampai pembetulan SPTPD. 6. Pajak Daerah di Daerah Khusus Ibukota Jakarta Daerah Khusus Ibukota Jakarta merupakan daerah kecil yang berada di antara Provinsi Banten dan Provinsi Jawa Barat. Namun demikian DKI Jakarta mempunyai berbagai keistimewaan, salah satunya adalah merupakan pusat pemerintahan Negara Republik Indonesia. Dengan demikian, DKI Jakarta menjadi tempat bermukimnya para petinggi Negara yang memiliki peran dalam pengambilan keputusan khususnya dalam bidang pajak. Urusan pajak daerah merupakan urusan yang sentral karena pajak daerah merupakan salah satu sumber utama pendanaan pemerintah daerah. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membuat aturan tentang Pajak daerah dengan Peraturan Daerah No. 4 tahun 2002. Secara umum, PERDA tersebut
ADBI4330/MODUL 5 5.51 sudah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi maupun konteks teoritis tentang proses penyusunan PERDA. Adapun Pajak Daerah pada pemerintah Provinsi DKI Jakarta terdiri dari 11 jenis pajak, namun hanya 10 di antaranya yang dilakukan pemungutan secara optimal melalui perda-perda lain yang lebih rinci. Berikut jenis Pajak Daerah yang diberlakukan di Provinsi DKI: No Nama Dasar Hukum 1. Pajak Parkir Perda No. 6 Tahun 2002 2. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor Perda No. 7 Tahun 2002 3. Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor Perda No. 3 Tahun 2003 4. Pajak Kendaraan Bermotor Perda No. 4 Tahun 2003 5. Pajak Hiburan - Perda Perda No. 6 Tahun 2003 6. Pajak Hotel Perda No. 7 Tahun 2003 7. Pajak Restoran Perda No. 8 Tahun 2003 8. Pajak Penerangan Jalan Perda No. 9 Tahun 2003 9. Pajak Air Bawah Tanah dan Air Permukaan Perda No. 1 Tahun 2004 10. Pajak Reklame Perda No. 2 Tahun 2004 11. Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C Dalam menentukan Pajak daerah, pemerintah DKI Jakarta harus memperhatikan syarat-syarat tertentu, yaitu: a. sesuai pengertian yaitu pajak adalah iuran yang dipaksakan sesuai dengan peraturan yang berlaku (retribusi adalah iuran/pungutan yang tidak dipaksakan dan sesuai dengan pelayanan yang diterima); b. berada di wilayah Jakarta dengan mobilitas yang rendah; c. objek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepentingan umum; d. objek pajak berbeda dengan objek pajak pemerintah pusat; e. memiliki potensi yang cukup baik; f. memiliki dampak ekonomi yang tidak negatif; g. tidak merusak lingkungan; h. adil dan sesuai dengan kemampuan masyarakat; i. sebelum ditetapkan harus disosialisasikan terlebih dahulu. Dalam menentukan Pajak Daerah Gubernur DKI perlu memperhatikan mengenai syarat-syaratnya antara lain, berikut ini. a. Memuat nama pajak, objek, subjek, wajib pajak (wp), dasar pengenaan pajak (dpp), tarif, rumus, masa pajak, dan saat terutang pajak.
5.52 Administrasi Perpajakan b. Tidak surut. c. Tidak bertentangan dengan hukum yang tingkatnya lebih tinggi dan juga tidak berseberangan dengan kepentingan umum. d. Tidak dapat diborongkan. 7. Objek Pajak 1. Pajak Parkir Penyelenggaraan tempat parkir kendaraan bermotor di luar badan jalan, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun sebagai suatu usaha termasuk tempat penitipan kendaraan dan garasi kendaraan bermotor yang meminta atau memungut bayaran dari para pengguna layanan jasa tersebut. 2. Pajak Bahan Bakar Bahan bakar kendaraan bermotor (BBKB) yang Kendaraan Bermotor digunakan oleh kendaraan bermotor baik di darat maupun di atas air (Bensin, Solar dan BBG). 3. Pajak Bea Balik Nama Penyerahan kendaraan bermotor. Kendaraan Bermotor 4. Pajak Kendaraan Kepemilikan dan atau penguasaan kendaraan Bermotor bermotor. 5. Pajak Hiburan Penyelenggaraan hiburan yang dipungut bayaran. 6. Pajak Hotel Pelayanan yang disediakan oleh hotel dengan pembayaran. Termasuk: a. Penginapan atau tempat tinggal jangka pendek. b. Pelayanan penunjang lain sebagai pelengkap untuk kemudahan dan kenyamanan. c. Fasilitas olahraga dan hiburan untuk tamu hotel. d. Penyewaan ruang acara/pertemuan. e. Tempat makan atau restoran hotel seperti kafe, kantin, bar, pub, dan lain-lain. 7. Pajak Restoran Pelayanan yang disediakan restoran dengan pembayaran. 8. Pajak Penerangan Jalan Penggunaan tenaga listrik baik dari PLN maupun yang bukan PLN (Non PLN). 9. Pajak Pengambilan dan Pengambilan dan atau pemanfaatan air bawah tanah atau Pemanfaatan Air dan atau air permukaan. Bawah Tanah dan atau Air Permukaan 10. Pajak Reklame Penyelenggaraan reklame: a. Reklame papan, billboard, megatron, videotron, large electonic display (LED). b. Reklame kain. c. Reklame melekat/Sticker/Stiker. d. Reklame selebaran.
ADBI4330/MODUL 5 5.53 e. Reklame berjalan termasuk pula pada kendaraan. f. Reklame udara. g. Reklame suara. h. Reklame film. i. Reklame peragaan. 8. Pengecualian 1. Pajak Parkir 1. Showroom atau tempat yang menjual mobil atau motor. 2. Tempat parkir pemerintah pusat dan pemerintah daerah. 3. Kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing, perwakilan internasional dengan asas timbal balik. 4. Penitipan atau garasi maksimal 10 mobil atau 20 motor. 5. Tempat lain yang ditetapkan gubernur (tempat ibadah, dan lain-lain). 2. Pajak Bahan Bakar - Kendaraan Bermotor 3. Pajak Bea Balik 1. Kendaraan bermotor/KB milik pemerintah pusat dan Nama Kendaraan pemerintah daerah. Bermotor 2. Kedutaan, konsulat, perwakilan asing, perwakilan lembaga internasional berdasarkan atas asas timbal balik atau asas reciprocitas berdasarkan konvensi Wina tahun 1961. 3. Tenaga ahli asing untuk pemerintah Indonesia yang sumber dananya dari bantuan hibah. 4. Pemasukan KB dari luar negeri kecuali untuk dipakai sendiri, diperdagangkan, pameran, penelitian, contoh, kegiatan olahraga taraf internasional, dan untuk dikeluarkan kembali dari pabean Indonesia (maksimal 3 tahun). 4. Pajak Kendaraan 1. Kendaraan bermotor/KB milik pemerintah pusat dan Bermotor (PKB) pemerintah daerah. 2. Kedutaan, konsulat, perwakilan asing, perwakilan lembaga internasional berdasarkan atas asas timbal balik atau asas reciprocitas berdasarkan konvensi Wina tahun 1961. 3. Kendaraan bermotor untuk pameran yang tidak dijual (untuk dikembalikan ke Negara asal jika sudah usai). 5. Pajak Hiburan Penyelenggaraan suatu hiburan yang tidak ditarik bayaran seperti pesta pernikahan, upacara adat, sunatan, keagamaan, dan lain sebagainya.
5.54 Administrasi Perpajakan 6. Pajak Hotel 1. Asrama dan pondok pesantren/ponpes. 2. Fasilitas hotel dan hiburan yang diperuntukkan bukan 7. Pajak Restoran untuk tamu hotel. 8. Pajak Penerangan 3. Agen travel atau agen perjalanan yang berada di Jalan hotel. 9. Pajak Air Bawah 4. Toko, bank, kantor, salon dan lain sebagainya yang Tanah dan Air Permukaan ditawarkan kepada khalayak umum di hotel. 5. Penyewaan rumah, kamar, tempat tinggal atau 10. Pajak Reklame apartemen yang merupakan fasilitas yang terpisah dari manajemen hotel. 1. Usaha jasa boga atau katering/katering yang merupakan objek pajak pemerintah pusat berdasarkan peraturan pemerintah No. 65 tahun 2001. 2. Pelayanan restoran atau rumah makan yang satu manajemen dengan hotel. 3. Restoran atau rumah makan yang memiliki omzet atau peredaran usaha di bawah 30 juta rupiah per tahun (tidak mengikat dan dapat berubah sewaktu- waktu menyesuaikan dengan kondisi ekonomi melalui keputusan gubernur. 1. Tenaga listrik dipakai/digunakan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah/pemda/pemprov. 2. Penggunaan oleh kedubes, konsulat, perwakilan asing/lembaga asing internasional dengan asas timbal balik atau reciprocitas/resiprositas. 3. Pemakaian listrik bukan dari PLN (perusahaan listrik negara) dengan kapasitas tertentu yang tidak perlu izin dari instansi teknis khusus tertentu. 4. Atau penggunaan lain sesuai keputusan gubernur. 1. Digunakan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah. 2. Air dipakai oleh BUMN (badan usaha milik negara)atau BUMD (badan usaha milik daerah) yang didirikan untuk usaha eksploitasi dan pemeliharaan pengairan serta mengusahakan air dan sumber- sumber air. 3. Pengairan pertanian rakyat non komersial skala besar. 4. Keperluan dasar rumah tangga (tidak termasuk rumah kos/kos-kosan dan rumah kontrakan/sewa) dan tempat peribadatan. 5. Pemadam kebakaran. 6. Tambak rakyat non komersial skala besar. 1. Reklame internet, televisi, radio, warta harian, mingguan, bulanan dan sejenisnya.
ADBI4330/MODUL 5 5.55 2. Reklame yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah. 3. Reklame yang sidebar memberi manfaat/bermanfaat bagi yang menerima. 4. Reklame partai politik/parpol dan organisasi kemasyarakatan/ormas. 5. Reklame yang diselenggarakan perwakilan diplomatik, perwakilan konsulat, perwakilan PBB serta badan-badan khususnya badan atau lembaga organisasi internasional pada lokasi badan-badan dimaksud. 6. Reklame tempat ibadah dan tempat panti asuhan. 7. Reklame informasi kepemilikan tanah dan peruntukan tanah dengan luas tidak lebih dari 0,25 meter persegi di atas tanah tersebut. 8. Reklame yang memuat nama dan atau pekerjaan orang atau perusahaan yang menempati tanah atau bangunan di tempat reklame berada: a. ketinggian 0 - 15 meter luas reklame tidak lebih dari 0,25 meter persegi; b. ketinggian 15 - 30 meter luas reklame tidak lebih dari 0,50 meter persegi; c. ketinggian 30 - 45 meter luas reklame tidak lebih dari 0,75 meter persegi; d. ketinggian 45 meter lebih luas reklame tidak lebih dari 1 meter persegi. 9. Subjek Pajak 1. Pajak Parkir Orang atau badan yang membayar parkir. 2. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Konsumen yang membayar BBKB. Bermotor Pribadi perorangan atau badan yang menerima 3. Pajak Bea Balik Nama penyerahan kendaraan bermotor (KB). Pribadi perorangan atau badan yang memiliki Kendaraan Bermotor atau menguasai kendaraan bermotor. 4. Pajak Kendaraan Bermotor Orang pribadi atau badan yang menonton atau menikmati hiburan. 5. Pajak Hiburan - Perda Badan atau orang pribadi yang melakukan pembayaran ke hotel. 6. Pajak Hotel Perorangan pribadi atau badan hukum yang melakukan pembayaran kepada restoran. 7. Pajak Restoran Orang pribadi atau badan yang memakai tenaga listrik. 8. Pajak Penerangan Jalan Orang pribadi atau badan usaha yang 9. Pajak Air Bawah Tanah dan Air
5.56 Administrasi Perpajakan Permukaan mengambil dan atau memanfaatkan air bawah 10. Pajak Reklame tanah dan atau air permukaan. Orang pribadi atau badan yang menyelenggara- kan atau melakukan pemasangan reklame. 10. Wajib Pajak Orang atau badan penyelenggara jasa perparkiran. 1. Pajak Parkir Pribadi atau badan yang memakai bahan bakar 2. Pajak Bahan Bakar Kendaraan kendaraan bermotor. Bermotor Pribadi individual atau badan yang menerima 3. Pajak Bea Balik Nama penyerahan kendaraan bermotor (KB). Kendaraan Bermotor Pribadi atau badan yang memiliki kendaraan 4. Pajak Kendaraan Bermotor bermotor. 5. Pajak Hiburan Orang pribadi atau badan yang menyelenggara- kan hiburan. 6. Pajak Hotel 7. Pajak Restoran Pengusaha hotel. 8. Pajak Penerangan Jalan Pengusaha restoran. 9. Pajak Air Bawah Tanah dan Air Permukaan Perseorangan pribadi atau badan yang menjadi pelanggan atau pengguna listrik. 10. Pajak Reklame Orang pribadi atau badan usaha yang 11. Pajak Pengambilan Bahan mengambil dan atau memanfaatkan air bawah Galian Golongan C tanah dan atau air permukaan. Orang pribadi, badan, atau pihak ketiga/agen reklame yang menyelenggarakan reklame. 11. Pemungut 1. Pajak Parkir Pemda 2. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Penyedia bahan bakar kendaraan bermotor/ Bermotor BBKB (Contohnya seperti Pertamina). 3. Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor Pemda 4. Pajak Kendaraan Bermotor Pemda 5. Pajak Hiburan Pemda 6. Pajak Hotel Pemda 7. Pajak Restoran Pemda 8. Pajak Penerangan Jalan Perusahaan Listrik Negara/PLN atau Jika bukan PLN makan akan pajak PPJ akan dipungut oleh Dispenda atau Dinas pendapatan Daerah Pemerintah Provinsi DKI
ADBI4330/MODUL 5 5.57 9. Pajak Air Bawah Tanah dan Air Jakarta. Permukaan Pemda 10. Pajak Reklame Pemda 12. Dasar Pengenaan 1. Pajak Parkir Jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar untuk parkir. 2. Pajak Bahan Bakar Nilai jual bahan bakar kendaraan bermotor. Kendaraan Bermotor 3. Pajak Bea Balik Nama Nilai jual objek pajak atau NJKB berdasarkan harga Kendaraan Bermotor pasaran umum. Harga pasaran umum jika tidak diketahui atau merupakan kendaraan jenis baru maka akan didasarkan atas: a. isi silinder dan atau satuan daya kendaraan bermotor; b. penggunaan kendaraan bermotor; c. jenis dan tipe kendaraan bermotor; d. merek kendaraan bermotor; e. tahun pembuatan kendaraan bermotor; f. berat total dan kapasitas penumpang; g. dokumen impor. Pengenaan BBNKB ditetapkan oleh Mendagri (Menteri Dalam Negeri) dalam tabel yang dipertimbangkan oleh Menkeu (Menteri Keuangan). Apabila ada KB yang belum tercantum dalam tabel maka akan diputuskan dalam keputusan gubernur. Dasar pengenaan pajak BBN-KB dilaporkan ke Mendagri. 4. Pajak Kendaraan Nilai jual kendaraan bermotor atau disingkat NJKB dan Bermotor juga bobot kadar kerusakan jalan dan pencemaran lingkungan. NJKB didasarkan atas harga pasaran umum atau yang disingkat dengan HPU. Harga pasaran umum/HPU bila tidak diketahui atau merupakan kendaraan jenis baru maka akan didasari atas: a. isi silinder dan atau satuan daya kendaraan bermotor (KB); b. penggunaan KB; c. jenis dan tipe KB; d. merek kendaraan KB; e. tahun pembuatan KB; f. berat total dan kapasitas penumpang KB; g. dokumen impor KB. Bobot kendaraan bermotor ditetapkan atas dasar berikut ini. a. Tekanan gandar yaitu jumlah sumbu atau as roda dan berat KB. b. Jenis bahan bakar kendaraan bermotor yang digunakan seperti solar, bensin, gas, listrik, surya, dan macam-macam lainnya. c. Jenis, tahun pembuatan, ciri-ciri mesin, jenis mesin dan tujuan penggunaan. 5. Pajak Hiburan Jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar untuk
5.58 Administrasi Perpajakan menonton atau menikmati hiburan. 6. Pajak Hotel Jumlah pembayaran yang dibayarkan untuk layanan hotel. 7. Pajak Restoran Jumlah pembayaran yang dilakukan kepada restoran. 8. Pajak Penerangan Nilai jual tenaga listrik atau NJTL. Jalan 9. Pajak Air Bawah Tanah Nilai perolehan/NPA air yang ditetapkan oleh keputusan dan Air Permukaan gubernur. Faktor-faktor unsur penentu nilai rupiah nilai perolehan air: a. jenis sumber air; b. lokasi sumber air; c. tujuan pengambilan dan atau pemanfaatan air; d. volume air yang diambil dan atau dimanfaatkan; e. kualitas air; f. luar areal tempat pengambilan dan atau pemanfaatan air; g. musim pengambilan dan atau pemanfaatan air; h. tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan pengambilan dan atau pemanfaatan air. Untuk BUMN dan BUMD yang memberi pelayanan publik, pertambangan minyak bumi dan gas alam ditetapkan oleh gubernur dengan pertimbangan mendagri (menteri dalam negeri). 10. Pajak Reklame Nilai Sewa Reklame berdasarkan: a. lokasi penempatan reklame yang terbagi atas daerah protokol, ekonomi dan lingkungan (ditetapkan dalam keputusan gubernur); b. jenis reklame; c. jangka waktu penyelenggaraan; d. ukuran media reklame. 13. Tarif a. Tarif pajak parkir adalah 20 persen b. Rumus = tarif 20% X DPP pajak parkir 1. Pajak Parkir a. Tarif = 5 persen 2. Pajak Bahan Bakar b. Rumus = tarif 5% X nilai jual BBKB Kendaraan Bermotor a. 10% untuk kendaraan bermotor pribadi penyerahan 3. Pajak Bea Balik Nama pertama. Kendaraan Bermotor b. 10% untuk kendaraan bermotor umum penyerahan pertama. c. 3% untuk kendaraan bermotor alat-alat besar dan berat penyerahan pertama. d. 1% untuk kendaraan bermotor pribadi penyerahan selanjutnya e. 1% untuk kendaraan bermotor umum penyerahan
ADBI4330/MODUL 5 5.59 selanjutnya. f. 0,3% untuk kendaraan bermotor alat-alat besar dan berat penyerahan selanjutnya. g. 0,1% untuk kendaraan bermotor pribadi penyerahan karena warisan. h. 0,1% untuk kendaraan bermotor umum penyerahan karena warisan. i. 0,03% untuk kendaraan bermotor alat-alat besar dan berat penyerahan karena warisan. 4. Pajak Kendaraan Tarif Pajak Kendaraan Bermotor: Bermotor a. 1,5% = bukan kendaraan umum. b. 1% = kendaraan umum. c. 0.5% = alat-alat besar dan alat-alat berat. Rumus Pajak Kendaraan Bermotor : Tarif X Dasar Pengenaan Pajak (DPP) 5. Pajak Hiburan a. Bioskop film 1) HTM lebih besar dari Rp35.000 = 15%. 2) HTM Rp10.000 sampai Rp35.000 = 10%. 3) HTM di bawah Rp10.000 = 5%. b. Pertunjukan atau keramaian seperti diskotek, musik hidup, karaoke, ruang musik, klub malam, balai gita (singing hall), ruang selesa musik (music lounge), pub, klub eksekutif dan sejenisnya = 20% c. Permainan ketangkasan manual, mekanik, elektronik dan sejenisnya = 20%. d. Permainan mesin keping = 20%. e. Panti pijat, mandi uap, spa, steambath, dan sejenisnya = 20%. f. Pagelaran musik dan tari = 15%. g. Hiburan insidental = 15%. h. Biliar, boling (boling), dan sejenisnya = 10%. i. Pertunjukan kesenian = 10%. j. Pertunjukan/pertandingan olahraga = 10%. k. Pertunjukan permainan dan atau keramaian tempat wisata, taman rekreasi, taman hiburan keluarga, pasar malam, pemancingan, ice skating, sirkus, komidi putar, kereta pesiar, dan sejenisnya = 10% l. Selain yang ada di atas = 15%. Pokok Pajak Hiburan : Tarif x DPP (dasar pengenaan pajak). 6. Pajak Hotel 10% 7. Pajak Restoran 10% 8. Pajak Penerangan Jalan a. Pelanggan bukan industri = 3%. b. Pelanggan industri = 8%. 9. Pajak Air Bawah Tanah a. ABT/Air Bawah Tanah = 20%. dan Air Permukaan b. AP/Air Permukaan = 10%. Lokasi yang telah dijangkau oleh PDAM (perusahaan daerah air minum) harga air
5.60 Administrasi Perpajakan bawah tanah dan air permukaan jatuh lebih mahal dari harga PDAM. Untuk kelebihan penggunaan yang lebih besar akan nilainya naik menjadi lebih besar. Rumus Menghitung Pajak Air Bawah Tanah/PABT: Tarif x ( NPA = Kuantitas Air x Faktor Nilai Air x Harga Dasar Air/HDA) 10. Pajak Reklame 25% Rumus Menghitung Pokok Pajak Reklame: Tarif x DPP (Dasar Pengenaan Pajak) Ketentuan Tarif Lain: - Reklame rokok dan minuman alkohol ditambah 25% dari pokok pajak. - Reklame yang menambah ketinggian sampai dengan 15 meter ditambah 20% dari pokok pajak 15 meter pertama. 14. Masa Pajak 1. Pajak Parkir 1 tahun takwim atau 12 bulan berturut-turut. 2. Pajak Bahan Bakar Kendaraan 1 bulan takwim (1 bulan kalender penuh). Bermotor Jangka waktu penyerahan Kendaraan Bermotor 3. Pajak Bea Balik Nama atau KB pertama ke penyerahan berikutnya dan seterusnya. Kendaraan Bermotor 12 bulan berturut-turut mulai saat mendaftarkan kendaraan bermotor dibayar sekaligus di muka. 4. Pajak Kendaraan Bermotor 1 bulan takwim (1 bulan penuh) atau sesuai (PKB) keputusan gubernur. 1 bulan takwim (satu bulan dihitung penuh) atau 5. Pajak Hiburan sesuai dengan keputusan gubernur yang baru. 1 bulan takwim atau sesuai keputusan gubernur 6. Pajak Hotel 1 bulan takwim (1 bulan kalender penuh) atau sesuai dengan keputusan gubernur. 7. Pajak Restoran 1 bulan takwim (1 bulan kalender penuh) atau 8. Pajak Penerangan Jalan sesuai keputusan gubernur. 1 bulan takwim atau sesuai keputusan gubernur. 9. Pajak Air Bawah Tanah dan Air Permukaan 10. Pajak Reklame 15. Saat Terutang Saat parkir diselenggarakan. Saat pembayaran BBKB kepada penyedia 1. Pajak Parkir BBKB 2. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Saat penyerahan kendaraan bermotor Bermotor a. Saat kepemilikan atau penguasaan 3. Pajak Bea Balik Nama kendaraan bermotor / KB. Kendaraan Bermotor b. Penguasaan yang lebih dari 12 bulan 4. Pajak Kendaraan Bermotor dianggap kepemilikan kecuali ada
ADBI4330/MODUL 5 5.61 5. Pajak Hiburan perjanjian sewa termasuk sewa beli atau 6. Pajak Hotel leasing. 7. Pajak Restoran - 8. Pajak Penerangan Jalan Saat pembayaran ke hotel atas pelayanan hotel 9. Pajak Air Bawah Tanah dan Air termasuk DP Permukaan Di saat terjadinya pembayaran ke pengusaha 10. Pajak Reklame restoran atas pelayanan restoran termasuk yang dibayar di muka/down payment Saat penggunaan tenaga listrik Saat pengambilan dan atau pemanfaatan ABT- AP Saat penyelenggaraan reklame atau diterbitkan SKPD (surat ketetapan pajak daerah). 16. Sistem Pajak 1. Pajak Parkir Dibayar sendiri oleh wajib pajak atau pengelola tempat parkir (self assessment) mulai dari menghitung, membayar sampai dengan melaporkan dengan SPTPD (Surat Pemberitahuan Pajak Daerah). 2. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Joint collection kerjasama dengan pertamina. Bermotor 3. Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Ofiicial atau ditetapkan oleh pemerintah. Bermotor 4. Pajak Kendaraan Bermotor Ofiicial atau ditetapkan oleh pemerintah. 5. Pajak Hiburan - 6. Pajak Hotel Self assessment atau wajib pajak wajib menghitung, melaporkan dan membayar pajak yang terutang sendiri. 7. Pajak Restoran Self assessment atau wajib pajak wajib menghitung, melaporkan dan membayar pajak yang terutang sendiri. 8. Pajak Penerangan Jalan Official atau ditetapkan/ditentukan oleh pemerintah. 9. Pajak Air Bawah Tanah dan Air - Permukaan 10. Pajak Reklame Official / ofisial ditetapkan oleh pemerintah.
5.62 Administrasi Perpajakan 17. Petunjuk Pelaksana 1. Pajak Parkir SK Gubernur No. 1624 Tahun 2003 2. Pajak Bahan Bakar Kendaraan - Bermotor - 3. Pajak Bea Balik Nama Kendaraan SK Gubernur No. 108 Tahun 2004 Bermotor Peraturan Gubernur atau Pergub No. 124 4. Pajak Kendaraan Bermotor Tahun 2003 5. Pajak Hiburan SK Gubernur No. 125 Tahun 2005 SK Gubernur No. 63 Tahun 1999 6. Pajak Hotel 7. Pajak Restoran SK Gubernur No. 10 Tahun 1998 8. Pajak Penerangan Jalan 9. Pajak Air Bawah Tanah dan Air SK Gubernur No. 37 Tahun 2000 Permukaan 10. Pajak Reklame LATIHAN Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas, kerjakanlah latihan berikut! 1) Bagaimana persyaratan penetapan Peraturan Daerah menurut UU No. 34 Tahun 2000? 2) Apa saja yang termasuk dalam pajak provinsi menurut UU No. 34 Tahun 2000? 3) Upaya hukum apa saja yang dapat dilakukan terhadap surat tagihan pajak daerah? Jelaskan! Petunjuk Jawaban Latihan 1) Dasar perubahan UU No. 18 Tahun 1997 menjadi UU No. 34 Tahun 2000 adalah: a. Tidak terlepas dari keinginan dan keseriusan pemerintah untuk mewujudkan otonomi yang benar-benar memberikan keleluasaan dari daerah dalam mengatur dan merencanakan daerahnya masing- masing. b. Revisi juga dimaksudkan untuk menciptakan suatu sistem perpajakan daerah yang sejalan dengan makna otonomi daerah
ADBI4330/MODUL 5 5.63 sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999. c. Selaras juga dengan sistem perpajakan nasional yang diatur dalam UU tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 28 Tahun 2007. 2) Yang termasuk dalam pajak provinsi menurut UU No. 34 Tahun 2000 adalah: a. Pajak kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air (PKB KDA). b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di atas air (BBNKB KDA). c. Pajak Bahan Bakar kendaraan Bermotor (PBB KB). d. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan air permukaan (P3 ABT & AP). 3) Upaya hukum yang dapat dilakukan terhadap surat tagihan pajak daerah adalah: a. Terhadap Surat Tagihan Pajak Daerah (STPD), Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi yang tercantum dalam STPD. b. Apabila permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi tersebut ditolak oleh Kepala daerah, maka dalam waktu 30 hari sejak tanggal diterima keputusan penolakan dapat diajukan gugatan kepada Pengadilan Pajak. c. Seperti halnya dalam banding, putusan Pengadilan Pajak dapat diajukan upaya luar biasa yaitu Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung. RANGKUMAN Untuk meningkatkan pendapatan asli daerah yang berasal dari sektor pajak, sudah saatnya Pemerintah Pusat memberikan kepada Pemerintah Daerah kebebasan untuk menentukan, mengatur, dan mengelola jenis- jenis pajak daerah dengan menggunakan sistem desentralisasi. Persoalan kepentingan umum yang merupakan salah satu ketentuan yang tidak boleh dilanggar oleh produk hukum pajak daerah perlu ditinjau kembali karena kepentingan umum mempunyai pengertian yang tidak terbatas dan bersifat global, atau tidak mempunyai muatan yang bersifat kepastian sehingga menyebabkan multitafsir.
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164
- 165
- 166
- 167
- 168
- 169
- 170
- 171
- 172
- 173
- 174
- 175
- 176
- 177
- 178
- 179
- 180
- 181
- 182
- 183
- 184
- 185
- 186
- 187
- 188
- 189
- 190
- 191
- 192
- 193
- 194
- 195
- 196
- 197
- 198
- 199
- 200
- 201
- 202
- 203
- 204
- 205
- 206
- 207
- 208
- 209
- 210
- 211
- 212
- 213
- 214
- 215
- 216
- 217
- 218
- 219
- 220
- 221
- 222
- 223
- 224
- 225
- 226
- 227
- 228
- 229
- 230
- 231
- 232
- 233
- 234
- 235
- 236
- 237
- 238
- 239
- 240
- 241
- 242
- 243
- 244
- 245
- 246
- 247
- 248
- 249
- 250
- 251
- 252
- 253
- 254
- 255
- 256
- 257
- 258
- 259
- 260
- 261
- 262
- 263
- 264
- 265
- 266
- 267
- 268
- 269
- 270
- 271
- 272
- 273
- 274
- 275
- 276
- 277
- 278
- 279
- 280
- 281
- 282
- 283
- 284
- 285
- 286
- 287
- 288
- 289
- 290
- 291
- 292
- 293
- 294
- 295
- 296
- 297
- 298
- 299
- 300
- 301
- 302
- 303
- 304
- 305
- 306
- 307
- 308
- 309
- 310
- 311
- 312
- 313
- 314
- 315
- 316
- 317
- 318
- 319
- 320
- 321
- 322
- 323
- 324
- 325
- 326
- 327
- 328
- 329
- 330
- 331
- 332
- 333
- 334
- 335
- 336
- 337
- 338
- 339
- 340
- 341
- 342
- 343
- 344
- 345
- 346
- 347
- 348
- 349
- 350
- 351
- 352
- 353
- 354
- 355
- 356
- 357
- 358
- 359
- 360
- 361
- 362
- 363
- 364
- 365
- 366
- 367
- 368
- 369
- 370
- 371
- 372
- 373
- 374
- 375
- 376
- 377
- 378
- 379
- 380
- 381
- 382
- 383
- 384
- 385
- 386
- 387
- 388
- 389
- 390
- 391
- 392
- 393
- 394
- 395
- 396
- 397
- 398
- 399
- 400
- 401
- 402
- 403
- 404
- 405
- 406
- 407
- 408
- 409
- 410
- 411
- 412
- 413
- 414
- 415
- 416
- 417
- 418
- 419
- 420
- 421
- 422
- 423
- 424
- 425
- 426
- 427
- 428
- 429
- 430
- 431
- 432
- 433
- 434
- 435
- 436
- 437
- 438
- 439
- 440
- 441
- 442
- 443
- 444
- 445
- 446
- 447
- 448
- 449
- 450
- 451
- 452
- 453
- 454
- 455
- 456
- 457
- 458
- 459
- 460
- 461
- 462
- 463
- 464
- 465
- 466
- 467
- 468
- 469
- 470
- 471
- 472
- 473
- 474
- 475
- 476
- 477
- 478
- 479
- 480
- 481
- 482
- 483
- 484
- 485
- 486
- 487
- 488
- 489
- 490
- 491
- 492
- 493
- 494
- 495
- 1 - 50
- 51 - 100
- 101 - 150
- 151 - 200
- 201 - 250
- 251 - 300
- 301 - 350
- 351 - 400
- 401 - 450
- 451 - 495
Pages: