Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Nyonya Bovary

Nyonya Bovary

Published by Digital Library, 2021-01-28 01:36:19

Description: Nyonya Bovary oleh Gustave Flaubert

Keywords: Gustave Flaubert,Sastra,Sastra Dunia

Search

Read the Text Version

Nyonya Bovary 135 Tuan Homais selalu datang apabila mereka sedang makan m alam . Den gan son gkok Yun an in ya di tan gan ia m asuk m elangkah tanpa bunyi supaya orang tidak terganggu dan selalu ia m engulangi kata-kata yang sam a, “Selam at m alam sem ua!” Lalu, setelah m engam bil tem patnya di sisi m eja antara suam i dan istri, ia m enanyai dokter tentang pasiennya, dan dokter m inta pendapatnya tentang tinggi tidaknya tarif bayarannya. Selanjutnya m ereka m em percakapkan apa yang ada di surat kabar. Malam -m alam begitu, H om ais sudah ham pir hafal isinya. Dilaporkannya isi itu selengkapnya berikut tanggapan wartawannya sekaligus, dan segala cerita bencana yang telah menimpa orang-orang perorangan di Prancis atau di luar negeri. Tetapi apabila sudah mau kehabisan pembicaraan, ia segera m elancarkan beberapa kom entar m engenai hidangan yang ada di depannya. Kadang-kadang ia sam pai setengah berdiri dan dengan hati-hati m enunjukkan kepada Nyonya bagian yang paling em puk. Atau ia berpaling kepada pem bantu dan m em berinya nasihat- nasihat tentang bagaimana membuat ragont, harus dengan hati-hati, dan bagaimana memperhatikan kebersihan dalam membubuhkan bumbu. Ia bicara tentang aroma, sari daging, air daging, dan agar-agar dengan cara yang m em pesonakan. Lagi pula dengan kepalanya yang m enyim pan lebih banyak resep m akanan daripada toko obatnya m enyim pan stoples, Hom ais unggul dalam membuat aneka ragam manisan buah, segala macam cuka, dan sopi manis. Ia juga tahu tentang semua penemuan terbaru dalam hal alat pem anas yang hem at, beserta seni m enyim pan keju dan m engobati anggur-anggur yang rusak. Pada pukul delapan J ustin datang m enjem putnya untuk m enutup toko obat. Maka Tuan Hom ais m em andangnya dengan mata mengejek, lebih-lebih lagi kalau Félicité kebetulan ada di situ, karena m uridnya itu ketahuan olehnya suka m endatangi rumah dokter.

136 Gustave Flaubert “Anak m udaku itu,” katanya, “m ulai m enaruh pikiran dan, sum pah m ati, saya kira ia jatuh hati pada pem bantu Anda.” Tetapi pada J ustin ada kekurangan yang lebih parah yang disesali Homais, ia selalu ikut mendengarkan percakapan. Hari Minggu um pam anya, ia tidak m au keluar-keluar dari ruang duduk setelah dipanggil m asuk oleh Nyonya Hom ais untuk m engam bil anak-anak yang terkantuk-kantuk di kursi sehingga sarung beledu sandaran kursi yang terlalu longgar itu tertarik- tarik oleh punggung mereka. Tidak banyak yang datang pada m alam -m alam perjam uan apoteker itu, karena itnahnya dan anggapan politiknya telah berhasil menjauhkan berbagai orang terpandang satu per satu dari padanya. Kerani tidak pernah absen. Begitu m endengar bel berdering, ia lari m enyongsong Nyonya Bovary, m enerim a selendangnya, dan m enaruh sandal besarnya dari kain kasar agak terpisah di bawah m eja tulis toko, sandal yang biasa dipakainya sebagai sarung sepatu apabila ada salju. Mula-m ula m ereka m ain tiga puluh satu beberapa kali. Lalu Tuan Hom ais m ain écarté dengan Em m a. Léon, di belakang Emma, memberi nasihat. Ia berdiri dengan tangan bertopang pada sandaran kursi sam bil m elihat gigi-gigi sisir Em m a yang m encengkam sanggulnya. Setiap kali Em m a bergerak untuk m em banting kartu, gaunnya di sebelah kanan naik. Mulai dari gelungan ram butnya ada warna cokelat yang turun ke punggung, berangsur-angsur memudar dan sedikit demi sedikit menghilang dalam kerem angan. Lalu pakaiannya yang penuh lipit-lipit itu jatuh kem bali, m engem bung di kedua belah sisi tem pat duduknya, dan terbentang sam pai ke ubin. Apabila kadang kala Léon m erasa sol sepatu botnya m enginjak gaun, ia m undur seakan-akan oranglah yang diinjaknya. Setelah permainan kartu selesai, apoteker dan dokter main domino. Dan Emma pindah tempat, berteleku di meja sambil

Nyonya Bovary 137 m em balik-balik halam an m ajalah L’Illustration. Tadi ia m em bawa m ajalah m oden ya. Léon duduk di dekatn ya. Bersam a-sam a m ereka m elihat-lihat gam bar dan saling m enanti yang lain selesai m em baca halam an. Sering kali Em m a m inta Léon m em bacakan sajak. Léon m em bawakannya dengan suara yang lesu, yang direndahkannya pelan-pelan m enjadi bisikan lem ah pada bagian- bagian percintaan. Tetapi bunyi kartu dom ino m engganggunya. Tuan Hom ais kuat perm ainannya. Charles dikalahkannya dengan bantingan enam -enam . Lalu sehabis angka tiga ratus, keduanya merebahkan diri di depan api dan tidak lama kemudian tertidur. Nyala api di pendiangan surut berabu. Teko teh kosong. Léon m asih m em baca. Em m a m endengarkannya, dan tangannya tanpa sengaja m em utar-m utar tudung lam pu, yang sutra terawangnya dilukisi dengan badut-badut di dalam kendaraan dan penari- penari tam bang dengan tongkat pengim bangan. Léon berhenti. Dengan tangan ia m enunjuk ke pendengar-pendengarnya yang telah lelap. Lalu m ereka bercakap-cakap dengan suara lirih, dan percakapan itu oleh mereka terasa lebih manis karena tidak terdengar orang. Dengan demikian terjalinlah di antara mereka semacam persahabatan, dan tukar-menukar buku dan romansa terus m enerus. Tuan Bovary yang sifatnya tidak lekas cem buru, tidak heran m elihatnya. Pada hari kelahiran n ya, Charles m en erim a ten gkorak buatan untuk mempelajari watak dan bakat orang dari bentuk tengkoraknya. Kepala itu penuh dengan tanda-tanda angka sam pai rangka dada, dan dicat biru. Perhatian sebesar itu datangnya dari Léon. Kerelaan sem acam itu m asih banyak lagi dari pihaknya sampai-sampai ia mendapat titipan kalau pergi ke Rouen. Dan gara-gara buku seorang penulis roman, kegemaran akan kaktus m enjadi m ode besar, Léon m em beli beberapa batang untuk Nyonya Bovary yang dibawanya pulang dengan kereta Hirondelle.

138 Gustave Flaubert Dan karena ditaruhnya di atas pangkuan, jarinya tertusuk oleh duri-durinya yang tajam . Em m a m enyuruh m em asang sebuah papan kecil yang berpagar pada jendelanya untuk tem pat jam bang-jam bang kecilnya. Si kerani pun m em punyai tam an gantung yang kecil. Maka tam paklah yang satu oleh yang lain, kalau m ereka sedang mengurus kembang di jendela masing-masing. Di antara jendela-jendela di kota kecil itu, ada satu yang lebih sering lagi kelihatan ada orangnya. Sebab pada hari Minggu, dari pagi sampai malam, dan setiap siang kalau cuaca terang, tampaklah di balik jendela sebuah loteng rumah proil Tuan Binet yang kurus, yang m erunduk di atas pelarikannya. Dengungnya yang datar terdengar sam pai ke Singa Em as. Pada suatu m alam , waktu Léon pulang, terdapat olehnya di dalam kam arnya sebuah perm adani dari beledu dan wol dengan gam bar dedaunan di depan latar yang terang. Maka dipanggilnyalah Nyonya Hom ais, Tuan Hom ais, J ustin, anak- anak, tukang m asak. Perm adani itu diceritakannya kepada m ajikannya. Sem ua orang ingin m elihatnya. Mengapa istri dokter begitu m urah hati terhadap si kerani? Aneh rasanya. Lalu m ereka benar-benar m engira bahwa Em m a pacar Léon. Léon m em ang m em beri kesan sedem ikian, tak habis-habisnya ia berbicara tentang sifat-sifat Em m a yang m em pesonakan dan tentang kecerdasan Em m a, sam pai-sam pai Binet pada suatu ketika m enukas dengan kasar sekali, “Masa bodoh am at! Saya, kan, tidak m asuk lingkungannya!” Léon tersiksa hatinya m encari jalan bagaim ana m enyatakan perasaannya kepada Em m a. Dan karena ia senantiasa ragu-ragu antara takut Emma tidak akan senang dan malu karena ia begitu pengecut, ia sam pai m enangis lantaran putus asa dan nafsu berahinya. Lalu tiap kali ia m engam bil putusan tegas, m enulis surat dem i surat yang kem udian disobeknya, m enunda-nunda

Nyonya Bovary 139 waktu sam pai ke saat-saat yang kem bali diundurkannya. Acap kali ia sudah keluar rumah dengan maksud mau nekat saja. Tetapi kebulatan tekadnya ini segera hilang begitu ia ada di depan Em m a. Dan apabila Charles m uncul dan m engajaknya naik kereta untuk bersama-sama menjenguk orang sakit di dekat-dekat sana, Léon segera m enerim anya, m em bungkuk kepada Nyonya, lalu pergi. Suami Emma, bukankah ia pun sebagian dari Emma? Em m a sendiri tidak m enanyai dirinya, cintakah ia pada Léon. Cinta, m enurut pendapatnya, m esti datang dengan tiba- tiba, dengan kilat-kilat besar dan dengan halilintar—badai dari langit yang m enim pa kehidupan, m engobrak-abriknya, m encabut kem auan bagaikan m encabut daun, dan m enghanyutkan hati ke tepi jurang. Emma tidak tahu bahwa di teras rumah-rumah hujan membentuk genangan-genangan apabila selokan-selokan mampet, dan dengan demikian ia tetap merasa aman sampai tiba- tiba dilihatnya ada retak di tem bok.

Bab V SUATU HARI Minggu bulan Februari, siang hari waktu salju turun, Tuan dan Nyonya Bovary, Homais dan Léon, semuanya pergi, ke lembah setengah mil dari Yonville untuk melihat tempat pemintalan benang yang sedang dibangun. Apoteker mengajak Napoléon dan Athalie supaya m ereka bisa bergerak di luar, ditemani J ustin yang memanggul payung-payung. Tetapi tak ada yang lebih tak aneh daripada tem pat aneh ini. Sebidang tanah yang luas dan kosong dengan beberapa roda bergigi sudah karatan yang bertum pang tindih tidak keruan di antara onggokan-onggokan pasir dan batu mengelilingi sebuah gedung segi em pat yang penuh dengan jendela-jendela kecil. Bangunan itu belum selesai, dan langit kelihatan dari sela-sela rusuk-rusuk bakal atap. Seikat rum put kering yang dicam pur dengan bulir-bulir gandum dipasang pada rusuk bubungan dan pita-pitanya yang tiga warna berkibar-kibar ditiup angin. Hom ais sedang berbicara, ia m enjelaskan kepada rom bongannya

Nyonya Bovary 141 pentingnya perusahaan itu nanti. Ia m enghitung kuatnya papan- papan, tebalnya tem bok-tem bok, dan sangat m enyayangkan ia tidak m em punyai m eteran seperti kepunyaan Tuan Binet untuk dipakainya sendiri. Em m a yang m enggandeng tangan Hom ais, agak bersandar pada bahunya. Ia sedang m enatap bulatan m atahari yang di kejauhan, di dalam kabut, m em ancarkan sinar putihnya yang m enakjubkan. Lalu ia m enengok, dan Charles yang tam pak. Petnya m em benam sam pai ke atas alisnya. Kedua bibirnya yang tebal gem etar dan raut m ukanya kelihatan bodoh sekarang. Punggungnya pun, punggungnya yang tenang itu, m enjengkelkan mata. Dan bagi Emma terbeberlah di atas punggung jas panjang itu segenap kebinalan kepribadian suam inya. Ketika Em m a sedan g m en gam ati Charles, dan den gan dem ikian dalam kejengkelannya m encicipi sejenis kenikm atan yang busuk, Léon m aju selangkah. Udara dingin yang m em ucatkan m ukanya seakan-akan m enam bahkan kesayuan yang lebih lem but pada m ukanya. Di antara dasi dan lehernya, kerah kem ejanya yang agak longgar m em perlihatkan kulitnya. Telinganya keluar sedikit dari bawah seikal ram but. Dan m ata birunya yang m enengadah besar ke awan menurut Emma lebih bening dan lebih indah dari segala danau di gunung yang m encerm inkan langit. “Mau celaka kau!” teriak apoteker m endadak. Lalu ia lari ke tem pat anaknya yang m em asukkan kakinya ke dalam seonggok kapur untuk m em utihkan sepatunya. Mendengar kata-kata yang m enyesalinya bertubi-tubi, Napoléon m eraung, sedangkan J ustin m enyeka sepatunya dengan sejum put rum put kerin g. Tetapi yan g diperlukan seben arn ya pisau. Charles m enawarkan kepunyaannya. Cih! Em m a m em batin. Dia m eny im pan pisau di kantongny a. Seperti petani! Em bun beku turun, dan m ereka pulang ke Yonville.

142 Gustave Flaubert Malam itu Nyonya Bovary tidak bertam u ke tetangganya. Dan setelah Charles pergi dan Em m a m erasa seorang diri, tim bullah kem bali peristiwa yang serupa, jelas dan tegas, seakan- akan benar-benar dialam i ketika itu, tapi dengan perspektif yang m em anjang, yang biasa terjadi dalam kenangan. Em m a yang dari ranjangnya m enatap api yang m enyala terang, m em bayangkan kem bali di ruang m atanya Léon tegak, seperti tadi di sana, dengan satu tangan m elentur-lenturkan tongkatnya dan tangan lainnya m em egang Athalie yang dengan tenang m engisap sebongkah es. Ia m enganggap Léon m enawan hati. Tak lekang ia dari pikirannya. Em m a ingat tingkah laku Léon pada hari-hari lainnya, kalim at- kalim at yang pernah diucapkannya, bunyi suaranya, seluruh pribadinya. Dan ia m engulangi lagi dengan m elancipkan bibirnya seakan-akan hendak memberi ciuman. Menaw an, m enaw an benar! Apakah Léon tidak m encintai? tanyanya dalam hati. Mencintai siapa? Ah! Aku y ang dicintainy a! Sem ua bukti terpapar sekaligus di depan m atanya. Hatinya m elonjak. Nyala di perapian m enggetarkan cahaya yang menerangi langit-langit dengan riang. Ia menelentang meregang- regang kedua lengannya. Kem udian keluar lagi keluhannya yang selalu sam a, “Oh! Sekiranya Tuhan m enghendakinya! Mengapa tidak begitu? Apa yang telah m enjadi rintangan?” Ketika Charles pulan g ten gah m alam , Em m a kelihatan seakan -akan terban gun . Dan karen a Charles berisik waktu berganti pakaian, Em m a m engeluh sakit kepala. Lalu dengan acuh tak acuh ia bertanya apa yang terjadi m alam itu. “Tuan Léon,” kata Charles, “m asih sore sudah m asuk kam ar.” Em m a tak dapat m enahan senyum nya. Lalu ia tertidur dengan jiwa penuh pesona baru.

Nyonya Bovary 143 Esok harinya waktu ham pir m alam , Em m a m enerim a kunjungan Tuan Lheureux, pedagang barang m ode terbaru. Cerdik sekali pem ilik toko ini. Ia kelahiran Gascogne, tetapi telah menjadi orang Normandie. Dan kefasihan lidahnya, ciri orang Selatan, dirangkapnya dengan kelicikan orang Caux. Wajahnya yang berlem ak, lem bek, dan tak berjenggot seakan-akan disaput air rebusan kayu m anis yang encer. Dan ram butnya yang putih m em pertajam cahaya keras dari m atanya yang hitam kecil. Tidak diketahui apa pekerjaannya dahulu. Ada yang berkata pedagang keliling, yang lain lagi bilang bankir di Routot. Yang pasti, ia pandai m enyelesaikan di kepalanya hitungan-hitungan yang rum itnya akan m enakutkan Binet sekalipun. Sopannya sam pai terlalu m erendah-rendahkan diri. Kalau berdiri punggungnya selalu setengah m em bungkuk dengan sikap orang yang m enghorm at atau m enyilakan. Setelah topinya yang berban krep hitam ditinggalkannya di pintu, ia meletakkan sebuah kardus hijau di atas meja. Lalu m ulailah ia dengan keluhan yang dibarengi segala m acam sopan santun, bahwa sampai hari itu ia belum berhasil juga m endapat kepercayaan Nyonya. Toko yang sehina tokonya, tidak akan m enarik “wanita jelita”. Ditekankannya kata itu. Padahal Nyonya hanya tinggal m em esan saja, dan segera ia akan berusaha m engadakan apa saja yang diinginkan Nyonya, apakah itu bahan jahit-menjahit atau pakaian dalam dari linen atau sutra, ataukah barang rajutan m aupun barang m ode yang terbaru. Sebab ia secara tetap em pat kali sebulan ke kota. Relasinya adalah perusahaan-perusahaan yang paling tangguh. Silakan m enyebut nam anya di “Trois Freres”, di “Barbe d’Or”, atau di “Grand Sauvage”. Tuan-tuan di situ sem uanya kenal dia seperti isi kantongnya sendiri! Nah, hari ini ia datang sebentar saja untuk m em perlihatkan kepada Nyonya beberapa barang yang kebetulan ada padanya berkat suatu kesem patan yang jarang sekali terjadi.

144 Gustave Flaubert Lalu dari kardus tadi dikeluarkannya kira-kira setengah lusin kerah yang bersulam . Nyonya Bovary m em eriksa barangnya. “Saya tidak perlu apa-apa,” katanya. Lalu dengan hati-hati Tuan Lheureux m em am erkan tiga buah syal dari Aljazair, beberapa bungkus jarum Inggris, sepasang sandal pandan, dan akhirnya em pat buah tem pat telur dari batok kelapa yang diterawang oleh orang perantaian. Lalu dengan kedua tangannya bertum pu di m eja, dengan kepala diulurkan, badan condong, mulut menganga, ia mengikuti pandangan mata Em m a yang berpindah-pindah dari barang yang satu ke barang lainnya, ragu-ragu. Sesekali, seperti m au m enghilangkan debu, ia m enjentik sutra syal-syal yang telah dibeberkannya m em anjang penuh. Syal-syal itu berdesir m eresik lem ah, dan dalam cahaya senja yang kehijau-hijauan, kida-kida em as pada kain syal itu berkelap-kelip bagaikan bintang-bintang kecil. “Berapa harganya?” “Ah, tak ada harganya,” jawabnya. “Tak usah tergesa-gesa. Kapan saja. Kam i bukan orang Yahudi!” Em m a berpikir beberapa saat, dan pada akhirnya hanya berterim a kasih saja kepada Tuan Lheureux yang m enjawab dengan tenang, “Baiklah! Nanti kita akan sepaham juga. Dengan kaum wanita saya selalu dapat berdam ai, asal saja bukan istri sen d ir i!” Em m a tersenyum . “Yang hendak kukatakan,” sam bung Tuan Lheureux dengan ram ah sesudah kelakarnya, “bukan uangnya yang saya risaukan. Uang, kalau perlu, dapat saya berikan kepada Anda.” Gerak heran dari Emma. “Ah!” katanya cepat dengan suara dilirihkan. “Saya tidak perlu jauh-jauh kalau m au m encari uang untuk Anda. Tanggung!”

Nyonya Bovary 145 Lalu ia bertanya tentang Pak Tellier, pem ilik Café Français yang waktu itu sedang dirawat oleh Tuan Bovary. “Sakit apa Pak Tellier seben arn ya? Kalau ia batuk bergoncanglah seluruh rum ah, dan saya takut benar jangan- jangan ia lebih m em erlukan selim ut dari kayu cem ara daripada baju dari lanel. Ia terlalu ugal-ugalan waktu mudanya! Orang m acam dia, Nyonya, tak kenal aturan sam a sekali! Minum brendi sam pai m em bakar badannya sendiri! Tetapi sedih juga m elihat seorang kenalan pergi.” Dan sam bil m enutup kardusnya kem bali, ia berbincang- bincang dengan dem ikian m engenai pasien-pasien dokter Bovary. “Pasti udaranya,” katanya sam bil m enatap kaca jendela den gan m em beren gut. ‘“Itu yan g m en jadi pen yebab segala penyakit! Saya juga tidak begitu enak rasanya. Kapan-kapan saya harus datang m inta nasihat Tuan, karena pinggang saya sakit. Nah, Nyonya Bovary, sam pai jum pa. Saya selalu siap m em bantu Anda. Dengan segala rendah hati.” Lalu pintu ditutupnya pelan-pelan. Malam itu Em m a m enyuruh m akanannya diantarkan dengan baki ke kam arnya dan di dekat tungku lam a m akannya. Sem uanya terasa enak olehnya. Aku tadi tahu diri juga! katanya dalam hati, teringat syal- syal tadi. Ia m endengar langkah di tangga. Ternyata Léon. Em m a berdiri, dan dari atas lem ari berlaci diam bilnya yang paling atas dari setum pukan serbet yang harus dikelim . Waktu Léon m asuk, Emma kelihatan sedang sibuk sekali. Percakapan m ereka lesu karena sebentar-bentar Nyonya Bovary berhenti berbicara dan Léon sendiri seperti m enjadi am at canggung. Ia duduk di kursi rendah dekat perapian dan jari-jarinya memutar-mutar pundi-pundi dari gading. Emma menjelujurkan jarum nya, atau sekali-sekali dengan kukunya m engerutkan lipit-

146 Gustave Flaubert lipit kain. Ia tidak bicara. Léon pun m em bungkam , terpikat oleh kebisuan Em m a, sam a terpikatnya seandainya Em m a bicara. ‘’Kasihan anak itu!” pikir Em m a. “Apa perbuatanku yang m em buatnya tidak senang?” Léon b er t a n ya -t a n ya . Dan pada akhirnya Léon berkata, hari-hari ini ia harus ke Rouen untuk m engurus studinya. “Abon em en m usik An da sudah habis. Perlukah saya p er p a n ja n g?” “Tidak,” jawab Em m a. “Men ga p a ?” “Ah, tidak....” Dan dengan bibir dikatupkan, Emma menarik benang kelabu panjang, perlahan-lahan. Pekerjaan itu m engesalkan Léon. J ari-jari Em m a seakan- akan tergarit-garit oleh pekerjaannya. Dalam benak Léon terlintas ucapan yang agak nakal, tetapi ia terlalu bim bang. “J adi Anda berhenti m ain?” “Apa?” kata Em m a cepat. “Oh, m ain m usik! Mem an g, begitulah! Bukan kah saya m asih harus m en gurus rum ah, m engurus suam i, seribu satu hal, m acam -m acam kewajiban yang lebih penting!” Em m a m elihat pada jam besar. Charles terlam bat pulangnya. Lalu Em m a berlagak seperti ia khawatir. Dua tiga kali ia m alahan m engulangi, “Ia begitu baik!” Si kerani m em ang senang pada Tuan Bovary. Tapi rasa sayang seperti itu dari pihak Em m a m engherankannya, hatinya kurang senang. Meskipun begitu ia tetap m em uji Charles, dan pujiannya akan dinyatakannya kepada siapa pun juga, katanya, apalagi kepada apoteker. “Ah! Orangnya m em ang baik sekali,” kata Em m a lagi. “Oh, ya, m em ang!” jawab si kerani.

Nyonya Bovary 147 Lalu Léon m ulai m em percakapkan Nyonya Hom ais yang biasanya m em buat m ereka geli karena dalam hal berpakaian amat tidak peduli. “Ah, biarlah!” sela Em m a. “Ibu rum ah tangga yang baik tak m erisaukan bagaim ana pakaiannya.” Lalu ia m em bungkam kem bali. Hari-hari berikutnya sam a saja. Bicaranya, tingkah-lakunya berubah sem uanya. Ia tam pak m em beri perhatian kepada rum ah tangganya, pergi ke gereja lagi secara tetap dan lebih keras m enjaga pem bantunya. Berthe diam biln ya kem bali dari in an gn ya. Kalau ada tam u, Félicité datang m em bawa Berthe, lalu Nyonya Bovary m em buka pakaian anaknya untuk m em perlihatkan kaki dan tangannya. Ia sangat m enyukai anak-anak, katanya; anak-anak baginya hiburan, kegem biraan, keasyikan yang penuh gairah. Dan diiringinya belaiannya dengan lim pahan kata liris yang seandainya terdengar oleh orang lain yang bukan penduduk Yonville, akan m engingatkan m ereka pada tokoh Sachette dalam buku Notre Dam e de Paris. Apabila Charles pulang, ia m endapatkan sandalnya sedang dihangatkan di dekat sisa api yang sudah m engabu. Baju-baju rom pinya sekarang tidak lagi tak ada pelapisnya, kem eja- kem ejanya tidak lagi hilang kancingnya. Dan betapa senangnya ia bila dipandanginya di dalam lem ari sem ua songkok tidurnya dari katun tersusun dalam tum pukan-tum pukan yang sam a tingginya. Emma tidak lagi seperti dulu memberengut kalau diajak berjalan- jalan di pekarangan. Apa pun yang diusulkan Charles selalu diiakannya m eskipun Em m a tak dapat m enebak keinginan apa yang diturutinya tanpa gerutu itu. Dan bilam ana Léon m elihat Charles di tem pat duduk dekat perapian sesudah m akan m alam dengan kedua tangannya pada perut, kedua kakinya pada besi perapian, pipinya m erah akibat pencernaan, m ata sebak

148 Gustave Flaubert karena rasa bahagia, anaknya m erangkak-rangkak di babut, dan perem puan yang berpinggang langsing itu yang m endekati kursi dan dari atas sandarannya m encium dahi suam inya, Léon membatin, Gila! Bagaim ana aku dapat m endekatiny a? J adi Em m a di m atanya begitu alim dan tak terjangkau, hingga terbanglah sem ua harapan, yang paling lem ah sekalipun. Tetapi dengan m elepaskannya begitu, Léon m endudukkan Em m a di tem pat yang luar biasa tingginya. Em m a baginya m enjadi terlepas dari sifat-sifat yang m elekat pada tubuh m anusia dengan segala nafsunya yang tak m ungkin m em berinya harapan apa-apa. Dan di dalam hati Léon, Em m a m akin tinggi julangnya, dan m akin lepas dari pegangannya, lulus dengan m egahnya bagaikan kejayaan yang m enghilang. Salah satu perasaan m urni yang tidak m engganggu jalan kehidupan, yang dipupuk karena langkahnya, dan yang kalau hilang, kesedihannya lebih hebat daripada rasa gem biranya waktu m asih ada. Em m a m enjadi kurus, cahaya pipinya m em udar, m ukanya m akin lonjong. Dengan ram butnya yang hitam lebat, m atanya yang besar, hidungnya yang lurus, lenggangnya yang seperti burung, dan m ulutnya senantiasa m em bungkam sekarang, bukankah ia seolah-olah melintasi kehidupan ini hampir tanpa m enyentuhnya, seolah-olah di dahinya sam ar-sam ar tertera suatu takdir yang m ulia? Ia begitu sayu, dan begitu tenang, begitu lem but pula dan begitu pendiam , hingga di dekatnya orang m erasa terpikat oleh pesona yang sangat dingin, sebagaim ana di dalam gereja kita menggigil mencium wangi bunga-bungaan sekaligus m erasakan dinginnya pualam . Yang lain pun tidak luput dari daya tarik itu. Apoteker berkata, “Dia wanita yang tinggi akal budinya dan yang cocok sekali tem patnya di dalam s u b - p r e fe kt u r .” Para ibu dari kalangan m enengah m engagum i kehem atannya, para pasien kesopanannya, kaum m iskin kem urahan hatinya.

Nyonya Bovary 149 Namun dada Emma sesak dengan rasa iri, marah dan benci. Gaunnya yang lipitnya lurus-lurus itu m enyem bunyikan hati yang kacau-balau, dan bibir yang begitu suci tidak m engisahkan betapa ia tersiksa. Ia telah jatuh cinta pada Léon. Ia m encari kesunyian supaya dengan tenang dapat m engecap kesenangan m em bayangkan dia di ruang m atanya. Kalau m elihat orangnya sendiri, terganggulah nikmat renungan itu. Emma gemetar m endengar bunyi langkahnya. Lalu kalau ia sudah hadir, gejolak hatinya surut. Dan yang kem udian tinggal hanyalah heran yang berakhir dengan sendu. Apabila ditinggalkannya tem pat Em m a dengan patah hati, Léon tidak tahu bahwa setelah ia pergi, Em m a berdiri m elihatnya di jalan. Em m a m erisaukan tindak tanduknya. Em m a diam -diam m em perhatikan wajahnya. Em m a m ereka-reka cerita lengkap supaya m em punyai alasan untuk m engunjungi kam ar Léon. Istri apoteker dianggapnya berbahagia sekali karena dapat tidur seatap dengan Léon. Dan pikirannya terus m enerus m enghinggapi rum ah itu seperti burung-burung dara Singa Em as yang hinggap m em basahi kaki m ereka yang m erah jam bu dan sayap m ereka yang putih di dalam air talangnya. Tetapi m akin Em m a m engetahui cinta hatinya, m akin dipendam nya supaya tak tam pak, dan m udah-m udahan dapat berkurang. Sebenarnya ia ingin Léon dapat m enduganya. Dan ia m engkhayalkan adanya kesem patan- kesem patan, bencana-bencana yang dapat m em udahkan hal itu. Yang m enahannya m ungkin rasa m alas atau rasa seram , dan juga rasa m alu. Ia m enyangka, Léon telah ditolaknya terlalu jauh, tidak ada waktunya lagi, sem uanya sudah sam a sekali tidak ada harapan lagi. Lalu, rasa bangga, rasa senang karena dapat berkata pada diri sendiri, “Aku saleh,” dan m elihat dirinya di cermin sambil memasang sikap penuh kesabaran dan kerelaan, m enghiburnya sedikit dengan yang dikiranya pengorbanannya.

150 Gustave Flaubert Lalu nafsu-nafsu jasm ani, kehausan akan uang, dan kesenduan gairah berahi, sem uanya bergalau m enjadi satu penderitaan. Tapi alih-alih dibelokkannya pikirannya dari penderitaan itu, ia m alah m akin erat m em egangnya; terangsang ia m erasakan sakitnya, dan kesem patan untuk m erasakannya kem bali dicarinya di m ana- m ana. Ia jengkel kalau ada hidangan yang kurang enak atau pintu yang terbuka sedikit; ia m engeluh lantaran kain beledu, yang tidak dipunyainya, kebahagiaan yang tidak dialam inya, im pian- im piannya yang terlalu m ulia, rum ahnya yang terlalu sem pit. Yang m enyesakkan hatinya ialah bahwa penderitaannya rupanya tidak terduga oleh Charles. Keyakinan Charles bahwa ia m em bahagiakan istrinya, bagi Em m a seperti penghinaan yang tolol, dan perasaan pastinya m engenai hal itu dirasakan Em m a seakan-akan suam inya tak tahu diuntung. J adi untuk siapakah Em m a sealim itu? Bukan kah dia, Charles, justru menjadi rintangan bagi kebahagiaan Emma, menjadi sebab segala kesengsaraannya, dan bagaikan gesper tajam pada tali kekang yang rum it ini, m enahannya dari sem ua sisi? Maka pada Charles seorang dirilah Em m a m enim pakan kebenciannya yang am at sangat, yang diakibatkan oleh kebosanannya, dan setiap usaha untuk m eredakannya hanya m enam bah kebencian itu saja. Sebab dengan usaha yang tanpa guna itu bertam bah lagi alasan-alasan keputusasaannya, dan m akin m em bantu m erenggangkan hubungan m ereka. Kelem ahlem butan Em m a sendiri m em buatnya ingin m em berontak. Lingkungan rum ahnya yang sedang-sedang saja m endorongnya ke dunia khayal yang penuh kem ewahan, kelem butan bersuam i istri ke keinginan berzina. Maunya Charles m em ukulnya supaya lebih tepat alasannya untuk m enbenci suam inya, untuk m em balas dendam nya. Ia kadang-kadang heran kalau teringat pada segala pikiran jahat yang terlintas dalam benaknya. Tetapi ia harus tetap tersenyum , m endengar suaranya sendiri bcrkali-kali berkata

Nyonya Bovary 151 bahwa ia merasa bahagia, berpura-pura merasa bahagia, membuat orang percaya akan kebahagiaannya. Akan tetapi ada kalanya ia muak memikirkan kemunaikannya itu. Ada kalanya ia tergoda hendak lari bersam a Léon, entah ke mana, jauh sekali, untuk mencoba nasib baru. Tetapi segera terbukalah di dalam jiwanya sebuah jurang sam ar-sam ar, penuh kegela p a n . Lagi pula, ia tidak cinta lagi padaku, pikirnya. Bagaim ana jadiny a aku nanti? Bantuan apa dapat kuharapkan, hiburan apa, obat penaw ar apa? Remuk, terengah-engah, masa bodoh, ia tersedu lirih dan air m atanya berlelehan. “Men gapa tidak An da ceritakan kepada Tuan ?” tan ya pembantu ketika masuk, waktu Emma sedang kena serangan begitu. “Ah, itu saraf saja,” jawab Em m a. “J angan bilang apa-apa, nanti sedih dia.” “Nah!” sahut Félicité. “Anda persis seperti si Guerine, anak perem puan Tuan Guerin, nelayan dari Pollet yang saya kenal dahulu di Dieppe sebelum ikut Anda. Sedih dia, begitu sedih hingga kalau orang m elihatnya berdiri di am bang rum ahnya, kesannya seperti m elihat rentangan kain perkabungan di pintu. Rupa-rupanya penyakitnya itu sem acam kabut yang m engisi kepalanya. Dan para dokter tidak dapat berbuat apa-apa, pastor pun tidak. Kalau kam buhnya terlalu parah, ia pergi seorang diri ke tepi laut, sampai-sampai pegawai duane pada perjalanan kelilingnya sering m enem ukannya m enangis tertelungkup di atas kerikil pantai. Lalu sesudah ia kawin, kata orang ia tidak pernah kambuh lagi.” “Tetapi saya,” kata Em m a, “justru sesudah kawin saya begini.”

Bab VI PADA SUATU sore waktu jendela terbuka dan Emma duduk di dekatnya melihat Lestiboudois, pelayan gereja, memangkas pohon, Emma tiba-tiba mendengar bunyi Angelus. Waktu itu perm ulaan April, m usim bunga-bunga prim evère sedang m ekar. Angin hangat bergulung-gulung m enyapu petak- petak bunga yang telah digarap, dan pekarangan-pekarangan seperti kaum wanita seolah-olah bercantik-cantik hendak m erayakan pesta m usim panas. Dari sela kisi-kisi peranginan dan di seberangnya, tam pak kali di padang rum put m enggariskan liku-liku lincah di rerumputan. Uap senja meruap di sela-sela pohon-pohon peuplier gundul dan mengaburkan garis-garis bentuknya dengan warna sem u lem bayung, lebih pudar dan lebih bening daripada jika kain terawang halus lembut tersangkut pada ranting-rantingnya. Di kejauhan hewan-hewan berjalan, tiada terdengar suara langkah, tiada terdengar suara lenguh. Dan

Nyonya Bovary 153 lonceng m asih terus berdentang m elanjutkan keluhannya yang penuh damai di udara. Mendengar lonceng berdentang berulang-ulang, pikiran perem puan m uda itu m elayang ke kenang-kenangan lam a pada m asa rem aja dan tem pat pem ondokannya. Ia ingat pada kandil- kandil besar yang di altar lebih tinggi daripada jam bang-jam bang penuh bunga dan tabernakel yang bertiang kecil-kecil. Ia ingin seperti dahulu menjadi satu lagi dengan barisan kerudung putih yang berderet panjang, di sana sini disela warna gelap tutup kepala yang hitam kaku dari para biarawati yang m enunduk di atas bangku doa. Hari Minggu sewaktu misa, manakala Emma m enengadah, ia m elihat wajah Perawan yang lem but itu di tengah-tengah asap dupa yang naik berkeluk-keluk kebiru-biruan ke udara. Maka rasa haru m elanda hatinya. Perasaannya lem ah dan pasrah, tak ubahnya setangkai bulu halus yang berputar- putar di tengah badai. Dan tanpa disadarinya, ia sudah berjalan m enuju gereja, siap sedia untuk m encurahkan rasa khusyuknya entah bagaim ana, asal saja jiwanya terserap olehnya dan seluruh kehidupan ini m enghilang di dalam nya. Di lapangan besar ia berjum pa dengan Lestiboudois yang kem bali dari gereja. Sebab supaya dari harinya tak ada waktu yang tersia-sia, Lestiboudois lebih suka m enunda dulu pekerjaannya dan m eneruskannya kem udian, sehingga Angelus dibunyikannya m enurut bagaim ana cocoknya untuk dia. Lagi pula kalau lonceng dibunyikan lebih cepat, anak-anak sekalian diperingatkan akan jam pelajaran katekismus. Beberapa anak yang telah sam pai, sudah m ain gundu di atas batu-batu ubin kuburan. Ada pula yang duduk m engangkang di atas tem bok. Kaki m ereka berayun-ayun dan sepatu kelom m ereka m em apras tanam an daun gatal yang tum buh tinggi di antara pagar tem bok kecil dan m akam -m akam yang letaknya paling belakang. Hanya tem pat itu yang hijau. Sisanya terdiri

154 Gustave Flaubert dari batu semata-mata dan selalu tertutup debu halus, meskipun sudah dibersihkan dengan sapu dari sakristi. Anak-anak yang m em akai sandal berlari-lari di tem pat itu seakan di atas lantai papan halus yang khusus dibuat untuk mereka. Suara-suara mereka terdengar keras di sela-sela dengung lonceng. Dengungan itu m akin lem ah m engikuti ayunan tam bang besar yang m enggayut terseret-seret di lantai. Burung-burung layang-layang lewat dengan pekik pendek-pendek, m em belah udara dengan sayapnya, dan bergegas pulang ke sarang-sarang kuning mereka di bawah genting talang. Di bagian belakang gereja ada lam pu m enyala, sum bu pelita di dalam gelas yang digan tun gkan . Cahayan ya dari jauh tam pak seperti bercak putih yang bergetar di atas m inyaknya. Seluncur panjang sinar m atahari m em belah seluruh gereja di bagian tengahnya, dan m akin tem aram lah kiri kanannya serta pojok-pojok gereja. “Di m ana Pastor?” tanya Nyonya Bovary kepada seorang anak yang dengan senangnya m engguncang-guncangkan pintu putaran dalam lubangnya yang kelonggaran. “Sebentar lagi datang,” jawabnya. Dan m em ang, pintu pastoran berderit. Abbé Bournisien m uncul. Anak-anak lintang pukang m engham bur m asuk gereja. “Bocah-bocah berandal!” desis rohaniwan itu. “Sam a saja!” Ia m em ungut buku katekism us yang sudah sobek-sobek dan yang tersandung oleh kakinya. “Tak ada yang m ereka horm ati.” Tetapi serta m elihat Nyonya Bovary. “Maafkan, saya pangling,” ka t a n ya . Buku katekism us itu dikantonginya, lalu ia berhenti sam bil m enggoyang-goyangkan kunci sakristi yang berat besar itu di antara dua jari. Cahaya dari m atahari yang sedang m elingsir m enim pa wajahnya sepenuhnya dan m eredupkan warna lasting jubahnya yang sikut-sikutnya sudah aus licin dan bawahnya sudah berjerabai. Noda-noda cipratan lemak dan air tembakau

Nyonya Bovary 155 di dadanya yang bidang, turun dari atas sejajar dengan deretan kancing kecilnya, dan m akin jauh letaknya dari kerah besarnya yang m enopang lipat-lipat kulit dagunya yang m erah, m akin banyak cipratan itu. Kulit itu penuh bintik-bintik kuning yang m enghilang di bawah bulu-bulu jenggotnya yang kasar dan sudah m ulai beruban. Ia baru saja m akan m alam , dan hidungnya m en d en gu s-d en gu s. “Bagaim ana kabar Anda?” katanya lagi. “Buruk,” jawab Em m a. “Saya m enderita.” “Ah! Saya juga,” sahut rohaniwan itu. “Karena udara yang m ulai panas hari-hari ini, bukan? Badan bukan m ain lem asnya. Tapi m au apa lagi! Kita dilahirkan untuk m enderita, begitu kata Santo Paulus. Tetapi Tuan Bovary, bagaim ana pendapatnya?” “Ah, dia!” seru Em m a dengan gerak m enyepelekan. “Apa!” seru orang yang sederhana itu terheran-heran. “Anda tidak diberinya obat apa-apa?” “Ah,” kata Em m a, “bukan obat dunia kita ini yang saya p er lu ka n .” Tetapi Pastor sebentar-sebentar melihat ke gereja, di dalam nya bocah-bocah berandal tadi sem uanya sudah berlutut tetapi saling mendorong dengan bahu sampai berjatuhan tindih- menindih seperti kalau sederetan kartu mainan tumbang. “Saya ingin tahu...” kata Em m a lagi. “Awas, Riboudet, tun ggu saja! Pedas telin gam u ken a tanganku!” teriak rohaniwan itu dengan suara m arah. “Anak bandel!” Ia lalu berbalik kepada Em m a. “Itu tadi anak Boudet si tukang kayu. Orangtuanya berkecukupan dan m em biarkan dia berbuat sekehendak hatinya. Padahal asal saja m au, cepat belajarnya, sebab otaknya encer. Dan kadang-kadang untuk berkelakar saya m em anggilnya Riboudet, seperrti lereng gunung yang harus dilewati kalau m au pergi ke Marom m e. Bahkan saya katakan, Cak Riboudet. Hahaha! Puncak Riboudet! Kem arin itu

156 Gustave Flaubert saya ceritakan perm ainan kata ini kepada Monsinyor. Beliau tertawa... beliau berkenan tertawa karenanya. Dan apa kabar Tuan Bovary?” Em m a kelihatannya tidak m endengar. Pastor m elanjutkan, “Pasti m asih selalu sibuk sekali? Sebab di dalam paroki ini terang hanya dia dan saya, kam i berdua yang paling banyak pekerjaannya. Tetapi dia, dia dokter tubuh,” tam bahnya sam bil tertawa dungu, “saya, saya dokter untuk jiwa!” Mata Em m a m enatapnya, m em ohon. “Mem ang...’’ katanya, “Anda m eringankan segala derita.” “Itulah justru, Nyonya Bovary! Tadi pagi saya terpaksa ke Bas Diauville gara-gara seekor sapi yang kem bung perutnya. Mereka kira dibikin. Sem ua sapi m ereka, entah bagaim ana.... Maafkan sebentar! Longuem are! Boudet! Berengsek! Ayo hentikan!” Dan dengan langkah besar ia melesat masuk gereja. Lalu bocah-bocah tadi berdesak-desak di sekeliling m eja tinggi, naik ke atas bangku tem pat pem im pin penyanyi, m em buka- buka kitab m isal. Dan ada beberapa yang dengan berjingkat- jingkat sudah hampir mau memasuki tempat pengakuan dosa. Tetapi tiba-tiba tangan pastor m elayang m enam pari kanan kiri. Anak-anak itu dipegang kerah bajunya, diangkat dari tanah dan ditaruh berlutut di atas ubin tempat kor, dengan keras, seperti hendak dipancaknya m ereka di sana! “Ya, kaum tani m em ang layak dikasihani,” katanya setelah kem bali ke sisi Em m a. Saputangannya yang besar dari kain belacu dibukanya, dan satu pojok digigitnya. “Tidak hanya m ereka,” jawab Em m a. “Sudah tentu! Kaum buruh di kota um pam anya.” “Bukan m ereka....” “Maafkan! Saya tahu ibu-ibu rum ah tangga, kasihan benar, perem puan-perem puan yang tinggi budi, betul! Benar-benar suci. Roti saja m ereka tidak punya.”

Nyonya Bovary 157 “Tetapi ada perem puan -perem puan lain ,” sahut Em m a (dan pojok-pojok bibirnya erot waktu ia bicara), “perem puan- perem puan itu, Tuan Pastor, m em punyai roti, tetapi m ereka tidak m em punyai....” “Api pada m usim dingin,” kata pastor. “Lah! Apa gunanya!” “Bagaim ana apa gunanya! Buat saya, apabila orang cukup panas, cukup m akan... sebab pada akhirnya....” “Astaga! Astaga!” kesah Em m a. “Ada apa? Sakit?” tanya Pastor. Lalu ia m endekat dengan m uka cem as. “Anda habis m akan? Sakit perut barangkali! Nyonya Bovary, sebaiknya Anda pulang, m inum teh sedikit. Biar segar kem bali. Atau air dingin segelas dengan gula pasir m erah.” “Buat apa?” Dan Em m a kelihatannya seakan-akan baru terbangun dari m im p i. “Tapi tadi Anda m em egang kepala. Saya kira Anda pusing.” Lalu ia ingat, “Tadi Anda m au m enanyakan sesuatu? Apa? Saya lupa.” “Saya? Ah, tidak apa-apa... tidak...” kata Em m a berulang- u la n g. Dan pandangannya yang m elayang sekeliling, dengan lam bat menurun ke orang tua berjubah itu. Mereka berpandangan berhadapan muka, tanpa bicara. “Maafkan saya dulu, Nyonya Bovary,” kata pastor akhirnya. “Anda tahu, kewajiban. Saya harus m engurus berandal-berandal itu. Sebentar lagi kom uni pertam a. Saya takut, datangnya m asih juga terlalu cepat rasanya. Karena itu, m ulai Hari Kebangkitan akan saya tahan m ereka satu jam lebih lam a setiap hari Rabu. Kasihan anak-anak itu! Tak akan terlalu cepat m ereka dibim bing ke jalan Tuhan seperti m em ang telah dianjurkan oleh-Nya sendiri

158 Gustave Flaubert dengan m ulut Anaknya yang m ulia. Baik-baik saja, Nyonya. Takzim saya kepada suam i!” Lalu ia m asuk gereja, dan sudah m ulai dari pintu ia berlutut. Em m a m elihatnya m enghilang di antara kedua deretan bangku dengan langkah-langkah berat, kepala agak ditelengkan dan kedua tangannya setengah dikem bangkan ke luar. Lalu Em m a berbalik dengan satu putaran tum itnya seperti patung yang dapat berputar pada sum bu, lalu berjalan pulang. Tetapi suara pastor yang besar dan suara bocah-bocah yang jernih m asih sam pai pada telinganya dan terus berlanjut di belakangnya. “Engkau orang Kristen?” “Ya, aku orang Kristen.” “Apakah orang Kristen itu?” “Orang yang setelah dibaptis... dibaptis... dibaptis....” Em m a m enaiki anak-anak tangga rum ahnya sam bil berpegang pada susuran tangan. Waktu ia sam pai di kam arnya, ia mengempaskan diri ke atas kursi besar. Cahaya keputih-putihan yang m asuk dari jendela m eredup lem but, berom bak-om bak. Perabot-perabot di tem patnya m asing- masing seolah-olah makin kaku tak bergerak dan tenggelam di dalam temaram seperti di laut remang. Perapian sudah tak ada apinya. J am terus saja berdetak. Dan Em m a sam ar-sam ar terheran-heran melihat ketenangan benda-benda itu, sedangkan di dalam dirinya kebingungan bergalau. Tetapi di antara jendela dan m eja kerja ada si kecil Berthe yang berjalan tertatih-tatih di atas sepatu rajutnya. Ia m encoba m endekati ibunya dan m enangkap ujung pita-pita celem eknya. “J angan!” kata Em m a dan tangannya m enolak si kecil. Gadis cilik itu segera kem bali lagi, lebih dekat m enem pel ke kaki ibunya. Dan sam bil bersandar dengan lengannya pada pangkuan ibunya, ia m enengadah dengan m ata birunya yang besar, sedangkan air

Nyonya Bovary 159 liur yang jernih m eleleh dari bibirnya ke atas kain sutra celem ek ib u n ya . “Aduh ini! J angan!” ulang perem puan m uda itu dengan jengkel. Mukanya m enakutkan anak itu yang m ulai m enjerit. “Ayo, pergi... ah!” kata Em m a dan anak itu ditolaknya dengan siku n ya . Berthe jatuh ke depan lem ari laci, m em bentur cantelan dari kuningan. Pipinya terluka, darah keluar. Nyonya Bovary m engangkatnya cepat-cepat, m enarik tali bel sam pai putus, memanggil pembantu sekuat tenaga, dan hampir saja hendak m engutuk dirinya. Ketika itu Charles m uncul. Ia sudah pulang. Sudah waktu makan. “Lihatlah, suam iku,” kata Em m a dengan suara tenang. “Si kecil jatuh waktu main, lalu terluka.” Charles m enenangkan Em m a, tidak parah lukanya. Lalu ia pergi mencari plester. Nyonya Bovary tidak turun ke kam ar m akan. Ia ingin tinggal bersam a anaknya yang hendak dirawatnya sendiri. Lalu, waktu ia m enekuri anaknya yang tidur, kecem asan yang m asih ada dalam hatinya sedikit dem i sedikit hilang. Dan dalam pandangannya sendiri ia tolol benar, dungu benar tadi itu menjadi bingung karena hal serem eh itu. Berthe m em ang sudah tidak lagi tersedu. Pernapasannya sekarang perlahan-lahan sekali m enaikkan selim ut katunnya. Beberapa tetes air m ata bergenang di sudut kelopaknya yang setengah terpejam sehingga dari sela-sela bulu m atanya tam pak dua biji m ata yang pudar m em benam . Plester yang m enem pel di pipinya m enarik m iring kulitnya yang tegang. Mengherankan benar, pikir Emma. Begitu jelek rupany a! Ketika Charles pukul sebelas m alam kem bali dari apotek (ke sana perginya sesudah m akan untuk m engem balikan sisa plesternya tadi), ia m endapatkan istrinya sedang berdiri di dekat buaian anaknya.

160 Gustave Flaubert “Saya, kan, sudah bilang, tak apa-apa,” kata Charles sam bil m encium dahi Em m a. “J angan khawatir, Sayangku. Kasihan, nanti kau sakit!” Charles tadi lam a di tem pat apoteker. Meskipun ia tidak kelihatan amat risau, Tuan Homais berusaha juga membesarkan hatinya, m em elihara sem angatnya. Lalu m ereka berbicara tentang berbagai m acam bahaya yang m engancam anak kecil dan tentang bagaimana para pembantu suka berbuat tanpa memakai otak. Nyonya Hom ais tahu tentang hal itu, karena di dadanya m asih ada bekas kejatuhan sem angkuk penuh api arang yang terlepas dari tangan tukang m asak ke atas blus kerjanya. Oleh karena itu sebagai orangtua yang baik m ereka banyak m engam bil tindakan mencegah. Pisau tidak pernah diasah tajam-tajam, apartemen tidak pernah digosok licin-licin lantai papannya. Di jendela dipasang kisi-kisi besi dan pada jendela pintu terali-terali yang kuat. Anak-anak Hom ais, m eskipun bebas, tidak dapat bergerak tanpa diikuti seorang pengawas. Masuk angin sedikit, sudah dijejali obat batuk oleh ayah m ereka. Dan sem uanya, tanpa am pun, sam pai em pat tahun um urnya m em akai topi berlapis bantalan. Itu m em ang ulah Nyonya Hom ais. Suam inya dalam hatinya tidak senang, karena takut jangan-jangan organ-organ kecerdasan mereka akan merasakan akibat-akibat dari tekanan sem acam itu. Dan sekali sam pai terlepas bicaranya, “J adi kau m au m em buat anak-anakm u itu seperti orang-orang Karaiba atau Bo t o ku d o ?” Sem en tara itu, Charles sudah beberapa kali m en coba memotong percakapan mereka. “Saya harus bicara dengan Anda,” katanya pelan-pelan di telinga kerani, yang turun tangga di depannya. Apakah ia m encurigai sesuatu? tanya Léon dalam hati. J antungnya berdebar-debar dan ia sudah m enggam barkan segala macam kemungkinan.

Nyonya Bovary 161 Pada akhirnya, setelah m enutup pintu, Charles m inta apakah Léon sendiri m au m elihat-lihat berapa harga sebuah gam bar potret atas logam di Rouen. Ia mau memberi kejutan kepada istrinya; sebuah kado tanda m esra, tanda m ata yang lem but, potretnya dalam setelan hitam . Tetapi sebelum nya ia m au tahu apa kem ungkinan-kem ungkinannya. Perm intaannya ini m estinya tidak akan m engganggu Tuan Léon, karena ia toh ham pir setiap minggu pergi ke kota. Dengan tujuan apa? Menurut perkiraan Homais, mesti ada suatu “soal anak m uda,” soal cinta-cintaan yang tak boleh diketahui orang. Tetapi ia salah sangka. Léon sam a sekali tidak bercum bu-cum buan. Hatinya sedih, lebih dari yang sudah-sudah. Dan Nyonya Lefrançois pun m engetahuinya dari banyaknya m akanan yang sekarang dibiarkan, tersisa di atas piringnya. Karena m au tahu lebih lanjut, ia m enanyai si pegawai pajak. Tetapi Binet m enjawab dengan pongah nadanya kasar m erendahkan bahwa ia bukan bayaran polisi. Meskipun begitu, kawannya m enurut pendapatnya m em ang aneh sekali. Sebab sering kali Léon m engenyakkan badannya ke sandaran kursi sam bil m erentangkan lengannya, dan sam ar- sam ar m enyesali hidupnya. “Sebabnya Anda kurang hiburan,” kata si pegawai pajak. “Hiburan apa?” “Kalau saya, saya akan m em beli pelarikan.” “Tapi saya tidak tahu bagaim ana m enjalankan pelarikan,” kata si kerani. “Oh, ya, betul juga!” kata yang lain sam bil m engusap rahang- nya dengan air m uka yang m engandung ejekan bercam pur kepuasan. Léon sudah jem u m encintai tanpa ada balasan. Lalu hatinya m ulai m erasa tertekan yang disebabkan oleh pengulangan kehidupan yang sam a, apabila tak ada satu kepentingan pun yang

162 Gustave Flaubert m engarahkannya dan tak satu harapan pun yang m endukungnya. Ia sudah begitu bosan pada Yonville dan penduduk Yonville hingga ia jengkel melihat orang-orang tertentu, rumah-rumah tertentu, tak betah lagi. Dan apoteker, betapa baik pun orangnya, Léon sam a sekali tak tahan lagi m elihatnya. Dalam pada itu kemungkinan akan suatu keadaan baru mencemaskan dan sekaligus m em ikat hatinya. Kecem asan ini segera berubah m enjadi ketidaksabaran. Maka Paris baginya berkum andang dari jauh dengan keram aian pesta- pesta yang didatangi orang dengan m em akai kedok dan yang m enggem a dengan tawa gadis-gadisnya yang m enem puh hidup gam pangan itu dengan berani. Karena ia toh harus m enyelesaikan studi hukum nya di sana, m engapa tidak berangkat saja? Apa yang m encegahnya? Dan di dalam batinnya ia m ulai m em buat persiapan. J auh-jauh hari ia sudah m enentukan apa kesibukannya nanti. Di dalam bayangannya ia m engisi sebuah apartem en bagi dirinya dengan perabot. Ia nanti m au hidup seperti senim an! Ia m au m engam bil les gitar. Ia m au m em punyai jas kam ar, baret orang Bask, sandal dari beledu biru! Dan sekarang pun ia sudah membayangkan dengan kagum dua pedang loret yang dipasang bersilangan di atas kayu hias perapian dengan sebuah tengkorak dan gitar di atasnya. Yan g m en jadi kesukaran ialah m en dapat izin ibun ya. Padahal sebenarnya tak ada yang lebih wajar. Majikannya sendiri m enganjurkannya untuk m encari pekerjaan di kantor lain supaya dapat berkem bang lebih jauh. J adi Léon m engam bil jalan tengah dan mencari pekerjaan sebagai kerani kedua di Rouen, tapi tak berhasil. Akhirnya ia m enulis surat yang panjang lebar terperinci kepada ibunya. Di dalam nya ia m em beberkan alasan-alasan m engapa ia m au berdiam di Paris sekarang juga. Ibunya m em beri p er set u ju a n n ya .

Nyonya Bovary 163 Léon tidak m au tergesa-gesa. Setiap hari selam a satu bulan penuh, Hivert m engangkut untuknya bungkusan-bungkusan dari Yonville ke Rouen, dan dari Rouen ke Yonville, koper-koper besar kecil dan bungkusan-bungkusan. Dan setelah perlengkapan pakaiannya disiapkannya, setelah orang disuruhnya m engganti jok ketiga kursi besarnya, setelah m em beli syal setum puk, pendeknya persiapannya lebih daripada kalau m au keliling dunia, ia masih juga mengulur-ulur waktu dari minggu ke minggu, sam pai ia m enerim a surat lagi dari ibunya yang m endesaknya supaya lekas berangkat, m engingat bahwa ia hendak m enem puh ujian sebelum liburan. Waktu tiba saat berpam itan, Nyonya Hom ais m enangis, J ustin tersedu. Hom ais sebagai laki-laki yang gagah m enyem bunyikan harunya. Ia sendiri hendak m em bawakan m antel tem annya sam pai ke pagar besi rum ah notaris yang akan m engantarkan Léon ke Rouen dengan keretanya. Léon m asih m em punyai waktu sekadar untuk m inta diri kepada Tuan Bovary. Setibanya di puncak tangga, ia berhenti karena tersengal- sengal napasnya. Ketika ia m asuk, Nyonya Bovary cepat berdiri. “Saya lagi!” kata Léon. “Saya sudah tahu!” Em m a m enggigit bibirnya, dan darah m enjalar di bawah kulitnya yang diwarnai m erah m uda m erata, m ulai dari akar ram butnya sam pai ke pinggiran kerahnya. Ia tetap berdiri dan bahunya bersandar pada dinding kayu. “Apakah Tuan Dokter tidak ada?” kata Léon lagi. “Tidak ada.” Sekali lagi Em m a berkata, “Tidak ada.” Lalu hening. Mereka berpandangan satu sam a lain. Dan pikiran m ereka yang bergalau dalam kecem asan yang sam a, berpagutan erat bagaikan dua dada yang berdebar-debar. “Boleh saya m encium Berthe sebentar?” kata Léon.

164 Gustave Flaubert Emma turun beberapa anak tangga, lalu memanggil Félicité. Léon cepat m elayangkan pandangannya ke sekeliling, m enyapu dinding-dinding, rak-rak, perapian, seolah-olah hendak meresap sem uanya, m em bawa sem uanya. Tetapi Emma sudah masuk lagi, dan pembantu membawa Berthe yang sedang m enggoyang-goyangkan m ainan kincir angin yang bergelantungan m enyungsang pada ujung tali. Léon berkali- kali m encium leher Berthe. “Selam at tinggal, anakku! Selam at tinggal, upikku sayang, selam at tinggal!” Lalu Berthe dikem balikannya kepada ibunya. “Bawa dia!” kata Em m a. Dan mereka tinggal berdua lagi. Nyonya Bovary m em belakangi Léon, m ukanya m enyentuh kaca jendela. Léon m em egang petnya yang dipukul-pukulkannya pelan-pelan pada pahanya. “Mau hujan,” kata Em m a. “Saya m em bawa m antel,” jawabnya. “Ah !” Emma membalik, dengan dagu menekur dan dahi terjulur. Cahaya m enyapu dahi itu sam pai lengkung alis seperti m enyapu pualam . Tak ketahuan apakah yang dilihat Em m a di ufuk sana, atau apa yang dipikirkannya di dalam lubuk kalbunya. “Sudahlah, selam at tinggal!” kesah Léon. Em m a m engangkat kepalanya dengan cepat. “Ya, selam at... pergilah sekarang!” Mereka m aju saling m endekat. Léon m engulurkan tangan, Emma ragu-ragu. “Salam secara oran g In ggrislah!” kata Em m a sam bil m enyerahkan tangannya dan m em aksa diri tertawa.

Nyonya Bovary 165 Léon m erasa tangan Em m a dalam genggam an jarinya. Dan seolah-olah seluruh zat segenap dirinya turun ke dalam telapak tangan yang agak basah itu. Lalu Léon m em buka tangannya. Mata m ereka m asih bertem u. Lalu pergilah ia. Sesudah sam pai di bawah atap pasar, Léon berhenti dan bersem bunyi di belakang sebuah pilar supaya satu kali lagi, terakhir kalinya, ia dapat m em andang rum ah putih dengan keem pat jendela hijaunya itu. Ia m engira m elihat bayangan di balik jendela di dalam kamar tidur. Tetapi tirai lepas sendiri dari cantolannya seakan-akan tak tersentuh tangan. Geraknya pelan dan lipatan-lipatan panjangnya dengan satu sentakan terurai sem uanya. Lalu tirai itu terjurai lurus, lebih kaku dari tem bok plesteran. Léon pun larilah. Dari jauh dilihatnya di jalan kereta kabriolet m ajikannya. Dan di sam pingnya seorang laki-laki yang m em akai celem ek dari kain kasar sedang m em egang kuda. Homais dan Tuan Guillaumin bercakap-cakap. Mereka sedang menantikan dia. “Sini, biar kurangkul sebentar,” kata apoteker dengan m ata sebak. “Ini m antelnya, tem an baikku. Awas udara dingin! Hati- hati! Ingat kesehatanm u!” “Mari, Léon, naik!” kata notaris. Hom ais m em bungkuk m elihat-lihat sayap roda. Dan dengan suara yang tersedan-sedan ia m elepaskan dua kata sedih ini, “Selam at jalan!” “Selam at m alam ,” jawab Tuan Guillaum in. “Lepas!” Mereka berangkat, dan Homais pun pulanglah. * Nyon ya Bovary telah m em buka jen dela yan g m em beri pemandangan ke pekarangan. Ia menatap awan.

166 Gustave Flaubert Awan itu bertum puk-tum puk di jurusan m atahari terbenam , di sebelah Rouen, dan cepat menggulungkan ombak-ombak ikalnya yang hitam , yang belakangnya diluncuri jalur-jalur tebal sinar m atahari seperti panah-panah em as yang m engem bang membentuk setengah lingkaran pada pajangan dinding, sedangkan langit selebihnya seputih warna porselen. Tetapi angin m enyentak dan m erundukkan pohon-pohon peuplier, dan tiba- tiba hujan turun, berdetak-detak di atas daun-daun hijau. Lalu m atahari m uncul lagi, ayam -ayam berkokok, burung-burung pipit m engepak-ngepakkan sayapnya di dalam sem ak-sem ak basah, dan bencah-bencah air di atas pasir m engalir m enghanyutkan bunga-bunga jambon dari sebatang pohon akasia. Ah! Ia pasti sudah jauh sekarang! pikir Emma. Tuan Homais seperti biasa datang setengah tujuh, waktu mereka sedang makan. “Nah,” katanya sam bil duduk, “jadi sudah kita berangkatkan anak muda itu?” “Rupanya,” jawab dokter. Lalu sam bil m em utar badan di kursinya, “Dan ada kabar baru Anda?” “Ah, tidak! Hanya istri saya tadi siang agak rusuh hatinya. Maklum lah kaum wanita. Sedikit saja sudah bingung! Apalagi istri saya! Dari tidak baik bila ditentang, karena susunan saraf mereka jauh lebih lemas daripada kita.” “Kasihan, Léon!” kata Charles. “Bagaim ana hidupnya di Paris nanti? Apa dia akan bisa m em biasakan diri?” Nyonya Bovary m enghela napas panjang. “Ah, m asa tidak!” kata apoteker sam bil m en decakkan lidahn ya. “Ram ai-ram ai m akan di tem pat m akan . Pesta- pesta dansa dengan m enyam ar dan berkedok! Minum -m inum sam panye! Hebatlah bakalnya, pasti!” “Saya kira ia tidak bakal m au am bil pusing,” tanggap Bovary.

Nyonya Bovary 167 “Saya juga begitu,” sahut Tuan Hom ais cepat. “Biar begitu, ia harus juga m engikuti yang lain kalau tidak m au dianggap munaik. Ah! Anda tidak tahu bagaimana hidup bergajul- gajul itu di Quartier Latin bersam a noni-noni aktris! Lagi pula m ahasiswa disukai di Paris. Sedikit saja m ereka punya bakat untuk menghibur, mereka sudah diterima di kalangan-kalangan yang paling terkem uka, bahkan ada pula wanita-wanita dari daerah pinggiran Saint-Germ ain yang jatuh hati kepada m ereka. Maka selanjutnya ada kesem patan bagi m ereka untuk m enjalin perkawinan yang sangat baik.” “Tetapi,” kata dokter, “saya takut jangan-jangan dia... di sa n a ....” “Anda benar,” sela apoteker, “ada juga segi lainnya! Orang di sana terpaksa selalu m em egang sakunya. Anda um pam anya sedang duduk di tam an uraum . Ada sem barang orang yang memperkenalkan diri, dengan berpakaian rapi, bahkan memakai bintang jasa segala, pantas kalau dianggap diplomat. Ia menegur Anda. Anda bercakap-cakap. Dengan lihai ia m encoba m enjadi akrab, menawarkan tembakau isapan, atau memungutkan topi Anda. Lalu hubungan m enjadi lebih erat. Ia m engajak Anda ke kafe, m engundang Anda ke rum ahnya di luar kota, m em beri kepada Anda antara dua gelas anggur segala m acam keterangan, dan tiga perempat dari waktu itu semata-mata dengan maksud hendak m encopet dom pet Anda atau m elibatkan Anda dalam perbuatan-perbuatan yang m em bawa rugi m elulu.” “Itu benar,” jawab Charles. “Tetapi penyakit-penyakitlah yang justru saya pikirkan, dem am tifus um pam anya yang m enyerang m ahasiswa-m ahasiswa dari provinsi.” Emma terkesiap. “Itu akibat dari perubahan m akanan,” apoteker m elanjutkan, “dan akibat dari gan gguan yan g ditim bulkan olehn ya pada keadaan keuangan um um . Lalu m asih ada air Paris, Anda tahu!

168 Gustave Flaubert Dan lauk-pauk dari dapur restoran, segala m asakan yang banyak bum bunya itu akhirnya m em anaskan darah, dan apa pun kata orang, tidak seenak m asakan pot-au-feu yang lezat. Kalau saya, dari dulu saya lebih suka m asakan kalangan m enengah. Lebih sehat! Karena itu waktu m enuntut ilm u obat-obatan di Rouen, saya m encari pondok di rum ah pondokan, saya m akan bersam a para guru.” Lalu ia terus m enguraikan pendapatnya tentang hal-hal um um dan kesenangan-kesenangan pribadinya, sam pai J ustin datang m enjem putnya untuk m em buat susu m anis cam pur kocokan kuning telur. “Istirahat sebentar saja tak bisa!” serunya. “Kerja tak boleh berhenti. Keluar sem enit pun tidak bisa! Tak ubahnya kuda di ladang, membanting tulang mencucurkan keringat! Seperti dikekang penderitaan!” Lalu katanya ketika sudah di am bang pintu, “Oh, ya, Anda sudah mendengar?” “Mendengar apa?” “Begin i... m un gkin sekali,” kata H om ais lagi sam bil m engangkat alisnya dan m em asang m uka yang paling sungguh- sungguh, “kongres pertanian Seine-Inférieure tahun ini akan diadakan di Yonville-l’Abbaye. Artinya, begitu yang dikabarkan. Tadi pagi disinggung juga sedikit di dalam surat kabar. Untuk arrondisem ent kita penting sekali! Tetapi kita bicarakan lagi nanti. Ah, tidak usah, sudah terang, terim a kasih; J ustin m em bawa len t er a .”

Bab VII ESOK HARINYA bagi Emma merupakan hari berduka. Segala- galanya seakan-akan diliputi suasana hitam yang samar-samar menggenangi permukaan benda-benda. Dan jiwanya terkancah dalam kesedihan, dan meraung pelan seperti angin musim dingin yang mengembus memasuki puri-puri lengang. Begitulah lamunan mengenai yang tak akan kembali lagi, kelesuan yang menjalari orang setiap kali suatu kejadian habis, rasa sakit pendeknya yang tersisa kalau gerakan yang sudah menjadi kebiasaan itu berhenti, kalau suatu getaran yang berkepanjangan mendadak terputus. Seperti sekem balin ya dari Vaubyessard waktu tarian - tarian quadrille m asih bergalau di dalam kepalanya, Em m a m erasakan kesayuan m uram , putus asa yang m elum puhkan. Léon m uncul kem bali; lebih besar, lebih tam pan, lebih m anis, lebih sayup-sayup. Sekalipun sudah terpisah dari Em m a, Léon tidak m eninggalkannya. Ia m asih ada, dan tem bok-tem bok rum ah seakan-akan m asih m enyim pan bayangannya. Mata

170 Gustave Flaubert Em m a tak bisa lepas dari perm adani yang pernah diinjaknya, dari perabot-perabot kosong yang pernah didudukinya. Sungai m asih terus m engalir, dan dengan lam ban m endorong alunnya yang kecil-kecil sepanjang tanggul licin. Di tem pat itu m ereka sering juga berjalan-jalan, diiringi resik om bak-om bak yang sam a di atas kerikil berlum ut. Enaknya m atahari waktu itu! Enaknya hari-hari siang berdua saja dalam keteduhan, jauh ke dalam pekarangan! Léon dengan kepala tak bertopi m em baca dengan suara keras di atas bangku rendah dari dahan-dahan kering. Angin siliran dari padang rum put m enggetarkan halam an dan bunga capucine di peranginan.... Ah! Sudah pergilah satu- satunya pesona di dalam hidupnya, satu-satunya harapan yang m ungkin ada akan kebahagiaan! Mengapa tadi-tadinya tak direnggutnya kebahagiaan itu waktu m unculnya! Mengapa tidak ditahannya dengan kedua tangannya, dengan kedua lututnya waktu m au hilang m elayang? Dan Em m a m engutuk dirinya karena dahulu Léon tidak dicintainya, ia haus bibirnya. Inginlah ia lari m enyusulnya, m engham bur ke dalam pelukannya, berkata kepadanya, “Ini aku, aku punyam u!” Tetapi Em m a belum apa- apa sudah bingung memikirkan kesulitan-kesulitan tindakan sedem ikian. Dan nafsunya, yang ditam bah dengan rasa sesal, malah menjadi-jadi. Sejak itu kenangan pada Léon seolah-olah m enjadi inti kesepiannya, Léon dalam ingatannya lebih berseri-seri daripada unggun api yang telah ditinggalkan kelana-kelana di atas salju di ham paran rerum putan negeri Rusia. Kenang-kenangan itu, ia m enyerbunya, ia m erapatinya. Dengan hati-hati dikorek- koreknya api yang sudah m au padam itu. Ia m encari-cari di sekelilingnya apa saja yang m asih dapat m enghidupkannya lagi. Maka kenang-kenangannya yang paling lam a beserta kesem patan- kesem patan yang paling baru, apa yang pernah dialam inya dan apa yang hanya diangan-angankannya saja, nafsu gairahnya yang

Nyonya Bovary 171 m em buyar, rencana-rencana kebahagiaannya yang bergerit-gerit dalam em busan angin seperti dahan-dahan yang sudah kering, kealim annya yang sia-sia, harapan-harapannya yang sudah hilang, rum ah tangganya yang berserakan, sem uanya, apa saja, dipungutnya, diam bilnya, dan dipakainya untuk m enghangatkan kesen d u a n n ya . Akan tetapi jilatan -jilatan api surut—boleh jadi karen a bahan bakarnya habis sendiri, atau karena terlalu banyak yang ditum pukkan ke atasnya. Cinta asm ara lam bat laun padam karena ketidakhadiran, rasa sesal reda karena kebiasaan. Dan cahaya kebakaran yang tadinya m em beri warna lem bayung pada langitnya yang pucat, m akin tersaput bayangan dan sedikit dem i sedikit m enjadi pudar. Dengan terlenanya nuraninya, rasa jijiknya pada suam inya bahkan dianggapnya sebagai rasa rindu kepada kekasih, rasa panas karena terbakar kebencian sebagai kehangatan rasa sayang. Tetapi karena topan m asih terus m em badai dan nafsu berahi habis sendiri m enjadi abu, dan karena tak juga muncul pertolongan, tak juga timbul matahari, maka malam pekatlah di segala jurusan, dan Emma pun terjerumus dijalari dingin yang m engerikan. Lalu hari-hari buruk Tostes dulu kem bali lagi. Sekarang Em m a m enganggap dirinya jauh lebih sengsara, karena ia sudah pernah mengalami dukacita, lagi pula ia yakin dukacita itu tak bakal ada sudahnya. Seorang perem puan yang sudah m em aksa dirinya menanggung pengorbanan-pengorbanan sebesar itu boleh saja bertingkah sedikit. Maka Em m a m em beli bangku sem bahyang gaya Gotik, dan dalam satu bulan m enghabiskan em pat belas franc untuk lim au pem bersih kukunya. Ia m enulis ke Rouen untuk m em esan gaun kasm ir biru. Di toko Lheureux ia m em ilih yang terbagus dari selendang-selendang yang ada. Selendang itu diikatnya pada pinggang di atas baju rum ahnya. Dan setelah

172 Gustave Flaubert jendela luar ditutupnya, ia tiduran di atas dipan dalam pakaian itu dengan buku di tangan. Sering kali ia m engubah-ubah riasan ram butnya. Ia m em akai gaya Tionghoa, m em buat ikal-ikal lem but, berkepang-kepang; ia m em buat belahan di sisi, dan dim asukkan ram butnya ke dalam seperti laki-laki. Ia mau belajar bahasa Italia; ia membeli kamus-kamus, buku tata bahasa, dan kertas putih selengkapnya. Ia m encoba m em baca yang serius-serius, sejarah dan ilsafat. Kadang-kadang Charles m alam -m alam terbangun kaget, karena dikiranya ada orang datang m enjem putnya untuk m enengok orang sakit. “Ya, ya, saya datang,” gagapnya. Tetapi bunyi tadi ternyata suara korek api yang digoreskan Em m a untuk m enyalakan lam pu. Dan nasib bacaannya sam a dengan nasib perm adani-perm adaninya yang setelah dim ulai, sem uanya m enyesaki lem ari saja. Diam bilnya, ditelantarkannya, digantinya dengan yang lain. Ada kalanya suasana hatinya itu sedem ikian rupa hingga gam pang sekali m endorongnya berbuat yang bukan-bukan. Pada suatu hari untuk m enentang suam inya ia m engotot bahwa ia dapat saja minum brendi setengah gelas besar. Dan karena Charles, tololnya, m enantangnya, Em m a m ereguk brendi itu sampai habis. Meskipun ia suka kepala angin (itulah istilah yang dipakai ibu-ibu Yonville), Em m a kelihatan tidak gem bira, dan biasanya sudut-sudut m ulutnya selalu terkatup kaku hingga wajahnya bergurat seperti wajah perawan tua atau orang-orang yang am bisinya dikecewakan. Warna kulitnya pucat seluruhnya, pasi seperti kain putih. Kulit hidungnya m enegang ke arah cuping hidung, m atanya m enatap orang dengan pandangan m enerawang. Setelah m enem ukan tiga helai ram but uban di pelipisnya, ia berbicara tentang ketuaannya.

Nyonya Bovary 173 Sering kali ia pingsan. Pada suatu hari bahkan sampai muntah darah, dan ketika Charles m enjadi sibuk dan m em perlihatkan kerusuhan hatinya, Em m a m enjawab, “Alah! Tidak apa-apa!” Charles lari ke kam ar praktiknya, lalu m enangis di kursi m eja tulisnya dengan kedua sikutnya di atas m eja, di bawah tengkorak pem berian Léon. Kem udian ia m enulis surat kepada ibunya m em ohon dia supaya datang, dan berduaan m ereka lam a m erundingkan soal Emma. Keputusan apa harus m ereka am bil? Apa yang dapat m ereka lakukan, melihat Emma sama sekali tidak mau diobati? “Kau tahu apa yang diperlukan istrim u?” kata Ibu Bovary m elanjutkan pem bicaraannya. “Ia harus dipaksa m em punyai kesibukan, bekerja dengan kedua belah tangannya! Seandainya dia seperti sekian banyak perem puan lain harus m encari nafkah, tak bakal ia pusing-pusing begitu. Sebabnya hanya karena segala m acam gagasan dia m asukkan ke dalam benaknya, dan karena hidupnya tak ada kegiatan apa-apa.” “Tetapi ia, kan, sibuk juga,” kata Charles. “Ah! Sibuk! Sibuk apa? Mem baca rom an, buku-buku yang tidak baik, tulisan-tulisan yang m elawan agam a dan yang m em perolokkan para pendeta dengan uraian-uraian yang diam bil dari Voltaire. Tetapi itu bakal jauh akibatnya, anakku m alang. Dan orang yang tidak m em punyai agam a selalu payah kesudahannya.” Maka diputuskanlah untuk mencegah Emma membaca rom an . Usaha itu rupan ya tidak m udah. Ibu Bovary yan g m enyanggupinya. Kalau nanti pulangnya lewat Rouen, ia akan m endatangi sendiri orang yang m enyewakan buku-buku itu dan m engatakan bahwa Em m a m enghentikan abonem ennya. Bukankah m ereka berhak m elapor kepada polisi jika pem ilik toko buku itu m asih juga nekat m au m eneruskan pekerjaannya sebagai p er a cu n ?

174 Gustave Flaubert Perpisahan antara ibu m ertua dan m enantunya kering. Selama tiga minggu mereka bersama, tak sampai empat kata percakapan yang m ereka ucapkan selain keterangan dan basa- basi apabila mereka bertemu waktu makan dan malam hari kalau mau tidur. Ibu Bovary pergi pada suatu hari Rabu, hari pasar di Yonville. Mulai dari pagi, lapangan besar sudah penuh dengan pedati- pedati yang dengan pantat di tanah dan palang ke atas m em bentuk deretan panjang di depan rumah-rumah dari gereja sampai ke penginapan. Di seberang jalan ada warung-warung bertenda, dan yang dijual bahan-bahan katun, selim ut, dan kaus kaki dari wol, di samping pakaian kuda, dan bungkusan-bungkusan pita biru yang ujungnya berkibar-kibar ditiup angin. Barang-barang besi ukuran besar dipamerkan di tanah di antara tumpukan- tumpukan telur berbentuk piramida dan keranjang-keranjang berisi keju dengan jeram inya yang lengket-lengket m encuat ke luar. Di sekat m esin-m esin gandum , ayam -ayam berkokok- kokok di dalam keranjang-keranjang gepeng dan mengeluarkan lehernya dari sela-sela kisi-kisi. Orang-orang yang berkerum unan berjejalan di satu tempat dan tidak mau pindah-pindah itu kadang kala seperti mau memecahkan kaca pajangan apotek. Hari Rabu apotek itu tidak pernah kosong dan orang berdesakan masuk, lebih sering untuk minta nasihat daripada untuk membeli obat. Begitu m asyhur nam a Tuan Hom ais itu di desa-desa sekitarnya. Sikapnya yang m antap, penuh kepercayaan akan dirinya sendiri, telah mempesona orang pedesaan. Dia mereka anggap sebagai dokter yang lebih besar dari dokter m ana pun juga. Em m a m enopangkan lengannya pada jendela (ia sering duduk di situ, di daerah, duduk di jendela sama seperti menonton teater dan pergi pesiar). Dan ia sedang dengan senangnya m engam ati kerum unan orang udik itu waktu dilihatnya ada seorang pria berjas panjang dari beledu hijau. Pria itu memakai

Nyonya Bovary 175 sarung tangan kuning, m eskipun sepatunya berbingkap kukuh. Dan ia m enuju ke rum ah dokter, diikuti oleh seorang petani yang berjalan dengan kepala tertunduk dan wajah yang bersungguh- su n ggu h . “Bolehkah saya bicara dengan dokter?” katanya kepada J ustin yang sedang bercakap-cakap di am bang pintu dengan Félicité. Lalu, karena J ustin dikiranya pem bantu rum ah dokter, “Katakan bahwa Tuan Rodolphe Boulanger dari La Huchette ingin bertemu.” Bukan karena kebanggaan akan wilayahnya m aka orang yang baru datang itu telah m enam bahkan “dari La Huchette” di belakang nam anya, tetapi supaya lebih gam pang m em perkenalkan diri. La Huchette adalah sebuah tanah m ilik di dekat Yonville yang purinya baru saja ia beli beserta dua tem pat pertanian yang diusahakannya sendiri, tetapi tanpa terlalu banyak m engeluarkan keringat. Hidupnya m em bujang, dan ia dikatakan m em punyai penghasilan sekurang-kurangnya lim a belas ribu livre. Ch arles m asuk ke ruan g duduk. Tuan Boulan ger m em perkenalkan anak buahnya yang m inta dipantik darahnya karena merasa kesemutan di sekujur badan. “Untuk m em bersihkan darah,” katanya m enangkis segala alasan untuk m encegahnya. Maka Bovary pun lalu m enyuruh am bilkan pem balut dan baskom, dan minta tolong kepada J ustin untuk memegang baskom itu. Lalu ia berkata kepada petani yang sudah pucat m ukanya, “J angan takut, Bung.” “Oh, tidak,” jawabnya, “teruskan saja!” Lalu dijulurkannya lengannya yang besar dengan berlagak berani. Dengan tusukan pisau lanset, darah m enyem bur dan nyaris m enciprat kaca. “Dekatkan baskom itu!” seru Charles.

176 Gustave Flaubert “Duilah!” kata si petani. “Seperti air saja pancarannya! Merah benar darahku! Alam at baik, bukan?” “Kadang-kadang,” kata dokter, “orang m ula-m ula tak m erasa apa-apa. Lalu tiba-tiba pingsan. Apalagi kalau orangnya kuat seperti orang ini.” Sesudah kata-kata ini, lelaki dari pedesaan itu melepaskan pundi-pundi yang sedang diputar-putarnya di antara jari-jarinya. Bahunya berkejat-kejat sehingga sandaran kursinya berderak. Topinya terjatuh. “Sudah saya sangka,” kata Bovary sam bil m em ijit pem buluh darahnya dengan jari. Baskom di tangan J ustin m ulai bergetar, lututnya goyah, m ukanya m enjadi pasi. “Em m a! Em m a!” Charles m em anggil. Emma melesat turun tangga. “Am bil cuka!” teriak Bovary. “Astaga, dua sekaligus!” Dan karena gugup, ia kesulitan menaruh kompres. “Tidak apa-apa,” kata Tuan Boulan ger ten an g sam bil merangkul J ustin. Lalu J ustin didudukkannya di atas m eja dengan punggung bersandar ke dinding. Nyonya Bovary m ulai m elepaskan dasi si petani. Tali-tali bajunya tersim pul. J ari Em m a yang ringan beberapa m enit lam anya sibuk di leher pem uda itu. Lalu saputangannya dari kain batis dituanginya dengan cuka dan ditepuk-tepukkannya ke pelipis anak m uda itu sam bil ditiup-tiupinya pelan-pelan. Si kusir pedati siuman kembali. Tetapi J ustin masih terus tak sadarkan diri, dan bola m atanya m endelik di dalam selaput putih kulit m atanya, seperti bunga biru di dalam air susu. “Sebaiknya jangan sam pai ia m elihat itu lagi,” kata Charles. Baskom dian gkat Nyon ya Bovary. Waktu ia bergerak m em bungkuk untuk m enaruhnya di bawah m eja, gaunnya

Nyonya Bovary 177 (gaun m usim panas yang em pat susun setroknya, berwarna kuning, berbadan panjang, dan lebar roknya) m engem bung di sekelilingnya di atas batu-batu ubin kam ar itu. Dan karena Em m a waktu m em bungkuk agak terhuyung-huyung dan m engem bangkan lengannya, kem bungan kainnya rekah-rekah di beberapa tem pat m engikuti liku-liku badannya. Kem udian diam bilnya kan berisi air. Dan ia sedang sibuk m elarutkan gum palan-gum palan gula ke dalam nya, tatkala apoteker datang. Félicité yang m enjem putnya waktu sedang ribut-ribut tadi. Ketika m elihat m uridnya m em andang dengan m ata terbuka, napasnya lega. Lalu ia berputar-putar m engitarinya, dan m atanya m em eriksanya dari ujung ram but sam pai ke ujung kaki. “Tolol!” katanya. “Tolol benar kau. Tolol dengan lim a huruf. Apalah lebotomia itu! Tak apa-apa, bukan? Lelaki segagah kau yang tak takut apa-apa! Coba lihat dia sekarang. Biasanya seperti bajing yang suka naik pohon kelapa m em etik buahnya sam pai ketinggian yang m enggam angkan. Sekarang coba, bicaralah, bersom bonglah! Itulah agaknya kesanggupanm u untuk menjalankan apotek kelak. Padahal bisa saja kau nanti harus menghadapi keadaan genting kalau dipanggil ke pengadilan untuk menerangi nurani para hakim. Sedangkan kepala harus tetap dingin, awak harus pandai m em beri penalaran yang m eyakinkan, harus berkelakuan seperti jantan. Kalau tidak, kau dianggap orang bodoh!” J ustin tidak m enjawab. Apoteker bicara terus, “Siapa yang m enyuruh kau datang kem ari? Kau selalu bikin repot saja Tuan dan Nyonya di sini! Lagi pula lebih-lebih kalau hari Rabu, saya memerlukan kehadiranmu, tidak bisa tidak. Sekarang ada dua puluh orang di rum ah. Kutinggalkan sem uanya, begitu besar perhatianku untukm u. Ayo, pergi sana! Cepat! Tunggu saya di sana, dan jaga stoples!”

178 Gustave Flaubert J ustin m em betulkan pakaiannya lalu pergi. Mereka m asih berbicara-bicara sedikit tentang soal pingsan. Nyonya Bovary belum pernah jatuh pingsan. “Untuk wanita, bukan m ain!” kata Tuan Boulanger. “Tapi ada orang yang sangat perasa. Pernah sewaktu diadakan duel, saya lihat salah seorang saksinya jatuh pingsan hanya karena m endengar bunyi pistol yang diisi.” “Kalau saya,” kata apoteker, “saya sam a sekali tidak apa- apa m elihat darah orang lain. Tetapi baru m em bayangkan saja darah saya sendiri m engalir, saya sudah lem as bila terlalu saya p ikir ka n .” Sem entara itu, Tuan Boulanger m enyuruh pelayannya pulang sam bil m em beri nasihat supaya tenang karena keinginannya sudah terkabulkan. “Berkat dia,” tam bahnya, “saya beruntung dapat berkenalan dengan Anda.” Dan waktu mengucapkan kata-kata itu, ia menatap Emma. Lalu ditaruhnya tiga franc di atas pojok m eja, m em beri salam dengan tak acuh, dan pergi. Ia segera sudah sam pai di seberang kali (jalan itulah yang diam bilnya kalau m au pulang ke La Huchette). Dan Em m a m elihatnya berjalan di padang rum put, di bawah pohon-pohon peuplier, kadang-kadang dengan langkah dilambatkan seperti orang yang sedang berpikir. Manis benar dia, pikir Rodolphe. Manis benar bini dokter itu! Bagus giginya, m ata hitam , kaki genit, dan sikap seperti seorang nona Paris. Dari m ana persetan asalny a? Di m ana si gendut itu m endapatkannya? Tuan Rodolphe Boulanger tiga puluh em pat tahun um urnya. Tabiatnya kasar dan pikirannya tajam . Lagi pula ia sudah banyak bergaul dengan kaum wanita, dan dalam bidang ini ia jagoan.

Nyonya Bovary 179 Yang satu ini jelita m enurut pendapatnya. J adi m enjadi buah lam unannya, juga suam inya. Si suam i say a rasa bodoh benar. Pasti istriny a sudah bosan. Kukuny a kotor, jenggotny a sudah tiga hari tidak dicukur. Sem entara ia m ondar-m andir m enengok pasiennya, si istri di rum ah m enisik kaus. Lalu m erasa jem u! Ingin tinggal di kota besar, m enari polka setiap m alam ! Kasihan si m anis itu! Pasti sedang m endam bakan cinta asm ara seperti ikan di atas m eja dapur, ngap... ngap m endam bakan air. Dengan tiga kata penuh rayu, tanggung si m anis akan terpikat. W aduh, bisa m esra! Mem ikat hati! Ya, tapi sesudahnya bagaim ana m enyingkirkannya? Lalu segala kerepotan yang dapat tim bul kalau orang m au bersenang-senang dan yang sekarang saja sudah sayup- sayup dilihatnya apa kem ungkinan-kem ungkinannya, m alahan m engantarkan pikirannya kepada gendaknya, seorang aktris dari Rouen yang dipiaranya. Dan waktu ingatannya terhenti pada gam baran yang dalam kenangannya saja pun sudah m enjenuhkan itu, ia berpikir, Ah, Ny ony a Bovary jauh lebih m anis dari dia. Apalagi lebih segar. Virginie benar-benar sudah terlalu gem uk. Menjem ukan sekali kalau ia sudah m enum pahkan rasa girangny a. Lagi pula m encanduny a pada udang! Bukan m ain! Tanah ladang lengang. Dan di sekelilingnya Rodolphe hanya m endengar desir dari rum put teratur yang m em ukul sepatunya, dan dering jangkrik yang bersem bunyi jauh di bawah tanam an gandum . Di ruang m atanya Em m a m uncul kem bali waktu di ruang duduk, dengan pakaian yang dilihatnya tadi. Rodolphe m enanggalkannya. “Oh! Ia pasti saya dapat!” serunya dan dengan sebatang tongkat dihancurkannya segum pal tanah di m ukanya. Lalu segera diselidikinya segi siasat usahanya itu. Ia bertanya di dalam hatinya.

180 Gustave Flaubert Di m ana kam i bisa bertem u? Dengan jalan bagaim ana? Selalu saja kam i akan direpotkan oleh adany a si kecil, dan si pem bantu, dan tetangga, dan suam i, m acam -m acam tetek bengek y ang m eny usahkan sekali. Ah, bah! Buang-buang w aktu saja! Lalu ia m ulai lagi. Tapi m atany a! Langsung m enem bus ke hati seperti jara! Dan cahay a kulitny a y ang begitu pucat! Perem puan pucat, justru kegem aranku.... Setibanya di puncak tanjakan Argueil, keputusannya m antap. “Hanya tinggal m encari kesem patan. Begini saja! Aku akan singgah sekali-sekali. Akan kukirim kan m ereka binatang hasil buruan atau unggas. Kalau perlu, aku akan m inta dipantik. Kam i akan m enjadi sahabat. Aku akan m engundang m ereka ke tem patku.... Ah, gam pang saja!” tam bahnya, “Kan sebentar lagi ada pam eran pertanian. Ia tentu datang. Aku akan bertem u dengan dia. Kita akan m ulai. Dengan berani. Itu yang paling pasti.”

Bab VIII MAKA TIBALAH pameran pertanian yang masyhur itu. Pada hari akan diadakannya peristiwa khidmat itu, pagi-pagi semua penduduk membicarakan persiapan-persiapannya di ambang pintu mereka. Bagian depan balai kota telah dihiasi dengan untai-untaian daun tumbuhan menjalar. Sebuah tenda didirikan di sebidang ladang rumput untuk pesta bangket. Dan di tengah-tengah lapangan besar di depan gereja, terompet bom bards nanti akan memberi tanda sebelum kedatangan Tuan Prefek dan sebelum nama-nama petani yang menang diumumkan. Barisan kepolisian Buchy (di Yonville tidak ada barisan kepolisian) telah datang bergabung dengan barisan pemadam api yang dipimpin oleh Binet sebagai kaptennya. Hari itu kerah Binet lebih tinggi lagi daripada lazimnya. Dan dalam seragamnya yang ketat menyalut badannya, dada dibusungkan begitu tegap dan kaku hingga seluruh tenaga hidup tubuhnya seolah-olah turun ke dalam kedua kakinya yang diangkatnya berganti-ganti dengan berirama menjadi derap teratur membawa

182 Gustave Flaubert satu gerak. Oleh karena ada persaingan antara pemungut pajak dan kolonel itu, mereka masing-masing memperagakan kebisaan mereka dengan menjalankan barisan mereka di tempatnya sendiri- sendiri. Epolet merah dan dada hitam kelihatan silih berganti lewat dan kembali. Tak ada sudahnya. Lagi-lagi datang, lagi-lagi kembali! Belum pernah terjadi peragaan kebesaran sehebat itu! Ada sementara penduduk yang hari sebelumnya sudah mencuci rumah mereka. Bendera-bendera triwarna berkibar dari jendela- jendela yang setengah terbuka. Semua kabaret penuh sesak. Dan dalam cerah cuaca hari itu songkok yang dikanji kaku, bintang emas di bahu dan kain di kepala, berwarna-warni, kelihatan lebih putih dari salju, kemilau dalam cahaya matahari terang, dan dengan aneka warnanya yang tersebar di mana-mana itu memeriahkan kemonotonan jas-jas gelap dan baju-baju biru. Waktu turun dari kuda, ibu-ibu petani yang berdatangan dari daerah sekitar melepaskan peniti besar yang menyemat gaun yang tadi mereka singsingkan merapat ke badan karena takut kena cipratan. Sedangkan suami mereka, untuk mengamankan topi mereka, menutupinya dengan saputangan yang salah satu ujungnya digigitnya untuk menahannya. Beram ai-ram ai orang datang di jalan besar dari kedua ujung desa. Mereka tumpah dari lorong-lorong kecil, dari jalan-jalan yang dirindangi pohon, dari rum ah-rum ah. Dan sekali-sekali kedengaran palu pintu jatuh kem bali di belakang ibu-ibu yang meninggalkan rumah untuk menonton pesta dengan bersarung tangan katun. Yang terutam a dikagum i orang ialah dua pohon cem ara if tinggi yang penuh digelantungi tanglung dan m engapit sebuah panggung tem pat berdirinya pem besar-pem besar nanti. Selain itu terdapat juga em pat m acam tiang yang m enem pel pada keempat tiang balai kota, masing-masing dengan panji dari kain linen kehijau-hijauan, dihiasi tulisan-tulisan dengan huruf em as. Pada panji yang satu terbaca: “Perniagaan”, pada yang

Nyonya Bovary 183 lain: “Pertanian”. Yang ketiga: “Perindustrian” dan yang keem pat: “Seni rupa”. Nam un kegem biraan yang m em buat sem ua wajah berseri- seri, agaknya m em buat Nyonya Lefrançois, pem ilik penginapan, berm uram . Ia tegak di anak tangga dapurnya sam bil m enggum am . “Bodoh! Bodoh benar m em buat los dari kain terpal! Apa m ereka kira Prefek bisa m akan enak di sana, di bawah tenda, seperti tukang sulap yang m engam en saja? Segala itu m ereka katakan dem i kebaikan negeri! Buat apa lalu kudatangkan tukang m asak dari restoran Neufchâtel! Dan untuk siapa? Untuk gem bala sapi! Untuk orang-orang kecil yang biasanya nyeker saja!” Apoteker lewat. Ia m em akai jas hitam , celana panjang dari nankin, sepatu dari kulit berang-berang, dan sesuatu hal yang luar biasa; ia memakai topi, topi rendah. “Takzim saya!” katanya. “Maafkan, saya m au cepat.” Dan karena janda gem uk itu bertanya m au ke m ana, “Barangkali Anda sangka aneh. Biasanya saya kan lebih terkurung di dalam laboratorium saya daripada si tikus di dalam kejunya.” “Keju apa?” tanya pem ilik penginapan. “Ah, tidak apa-apa! Tidak apa-apa!” sahut Hom ais. “Saya hanya m au berkata, Nyonya Lefrançois, bahwa biasanya saya selalu m endekam saja di rum ah. Akan tetapi hari ini, karena keadaan, memang tidak bisa lain....” “Ah! Anda m au ke m ana?” kata Nyonya Lefrançois de ngan air muka penuh cemooh. “Ya, saya ke sana,” jawab apoteker dengan heran. “Bukankah saya anggota badan penasihat?” Nyonya Lefrançois m em andangnya beberapa m enit dan akhirnya m enjawab dengan senyum , “Oh, lain kalau begitu! Tetapi m em punyai urusan apa Anda dengan pertanian? J adi Anda tahu juga tentang bidang itu?”

184 Gustave Flaubert “Sudah tentu saya tahu. Bukankah saya apoteker, artinya ahli kim ia! Dan ilm u kim ia, Nyonya Lefrançois, m encari pengetahuan tentang pengaruh timbal balik dan gerak molekuler dari semua benda alam . J adi pertanian terbilang bidang itu! Dan sebenarnya campuran pupuk, peragian cairan, analisa gas, pengaruh gas racun yang m enguap dari barang busuk, apakah sem ua itu—coba Anda jawab—kalau bukan ilm u kim ia sejati?” Pemilik penginapan tidak menjawab. Homais melanjutkan, “Apakah Anda m engira bahwa sebagai ahli agronom i sebenarnya orang harus sudah pernah menggarap tanah sendiri atau m enggem ukkan unggas sendiri? Tidak! Lebih baik kalau orang m engenal susunan zat-zat yang bersangkutan, lapisan-lapisan geologis, gerak-gerak di atm osfer, m utu dari lapangan, barang tam bang dan air, kepadatan berbagai benda dan kapilaritasnya, entah apa lagi! Dan orang harus m engenal sedalam -dalam nya sem ua asas ilm u kesehatan supaya dapat m em bina, m em beri pertim bangan tentang konstruksi gedung, tentang gizi m akanan untuk hewan, tentang m akanan untuk pelayan! Selain itu, Nyonya Lefrançois, orang juga harus m em punyai pengetahuan tentang ilmu botani; pandai membeda-bedakan tanaman-tanaman, m engerti yang m ana yang berm anfaat dan yang m ana yang m em bahayakan kesehatan, yang m ana yang tak m enghasilkan apa-apa, dan yang m ana yang bergizi; apakah baik kalau di sini tanam an yang itu dicabut dan ditaburkan lagi di tem pat lain, apakah baik kalau dikem bangkan yang ini dan dihancurkan yang itu. Pendeknya orang harus selalu m engikuti perkem bangan ilm u pengetahuan dengan membaca brosur dan lembaran umum, harus selalu sederap, supaya dapat m enunjukkan bagaim ana memperbaiki sesuatu....” Pem ilik penginapan tak lekang-lekang m atanya m elihat pintu Café Français, tapi apoteker m asih terus berkata, “Sekiranya Tuhan memperkenankan petani kita menjadi seperti ahli kimia,


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook