Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Nyonya Bovary

Nyonya Bovary

Published by Digital Library, 2021-01-28 01:36:19

Description: Nyonya Bovary oleh Gustave Flaubert

Keywords: Gustave Flaubert,Sastra,Sastra Dunia

Search

Read the Text Version

Nyonya Bovary 285 sikap yang layak sekali untuk keadaan-keadaan genting di dalam hidup. “Tidak perlu khawatir lagi,” katanya sam bil m enyentuh sikut Charles, “saya kira serangan hebatnya sudah lalu.” “Ya, ia agak ten an g sekaran g!” jawab Charles sam bil m em an dan g Em m a yan g sedan g tidur. “Kasihan ! Kasihan ! Penyakitnya kam buh lagi!” Lalu Hom ais bertanya bagaim ana asal-m ula terjadinya kecelakaan tadi. Charles m enjawab, sekonyong-konyong Em m a sakit waktu ia sedang makan buah abrikos. “Bukan m ain!” kata apoteker lagi. “Tetapi m ungkin abrikos itu yang m enyebabkan pingsannya! Ada orang-orang yang begitu peka terhadap bau-bau tertentu! J ustru m enjadi suatu soal yang baik untuk dipelajari, baik dalam hubungan patologi maupun dalam hubungan isiologinya. Para pendeta tahu pentingnya hal itu, m erekalah yang selalu m em akai wangi-wangian dalam upacara-upacara m ereka. Maksudnya untuk m em bius panca indera orang dan m enim bulkan kegem biraan yang luar biasa, suatu hal yang sebenarnya m udah terjadi pada kaum wanita yang lebih perasa daripada yang lain. Katanya ada yang jatuh pingsan kalau menghirup bau tanduk terbakar, bau roti empuk....” “J angan keras-keras, jangan sam pai ia terbangun!” kata Bovary dengan berbisik. “Tapi,” kata apoteker lagi, “bukan m anusia saja yang m enjadi korban dari kelainan-kelainan itu, binatang pun begitu. Anda pun pasti tahu bahwa nepeta cataria yang dalam bahasa biasa dinam akan rum put kucing, m em punyai pengaruh m enguatkan syahwat yang luar biasa pada bangsa kucing. Ada lagi, kalau m au m enyebut contoh yang saya jam in bukan cerita palsu. Bridoux, salah seorang tem an lam a saya yang sekarang m enetap di J alan Malpalu, m em punyai anjing yang kejang-kejang begitu ia ditodong dengan kotak tembakau. Sering kali ia malahan menjalankan

286 Gustave Flaubert percobaan itu di depan tem an-tem annya, di paviliyunnya di Bois- Guillaum e. Siapa akan m enyangka bahwa obat pem buat bersin saja dapat mengacaukan organisme binatang berkaki empat sehebat itu? Bukan m ain anehnya, bukan?” “Betul,” kata Charles yang tidak m endengarkannya. “Dengan dem ikian terbuktilah,” sam bung yang lain lagi sam bil tersenyum dengan kesom bongan m anis, “ketidaktera- turan yang tak terhingga aneka ragam nya pada sistem saraf. Akan hal Nyonya, saya harus m engaku, sejak dahulu saya sudah mendapat kesan bahwa dia benar-benar perasa. Maka dari itu, tem anku yang baik, saya nasihati Anda, jangan sekali-kali ia diberi obat-obatan yang dengan dalih m enyerang gejala- gejalanya, sebenarnya m enyerang keadaan jasm ani. J angan, jangan m em beri obat yang tak ada m ujarabnya! Diet, hanya itu! Obat pereda, obat pelem but kulit dan selaput lendir, obat yang m enyejukkan. Lalu, tak terpikirkah oleh Anda bahwa boleh jadi kita harus m erangsang daya khayalnya?” “Dalam hal apa? Bagaim ana?” kata Bovary. “Nah! Itulah soalnya! Itulah justru soalnya: That is the question, seperti yang saya baca baru-baru ini di surat kabar.” Tetapi Em m a yang sadar kem bali, berseru, “Dan suratnya? Su r a t n ya ?” Ia disangka sedang mengigau. Dan ia benar-benar mengigau mulai tengah malam, ia terserang demam otak. Em pat puluh tiga hari lam anya Charles tidak m eninggalkan sisinya. Ia m enelantarkan sem ua pasiennya. Ia tidak tidur lagi, setiap kali m eraba-raba denyut nadi Em m a, m em asang kom pres m oster dan kom pres air dingin. Ia m enyuruh J ustin sam pai ke Neufchâtel untuk m encari es. Es itu m eleleh di tengah jalan. J ustin disuruh kem bali. Ia m em anggil Tuan Canivet untuk konsultasi. Ia m inta Dokter Larivière, bekas gurunya, datang dari Rouen. Ia sudah putus asa. Yang paling m engerikan dia ialah kelesuan batin

Nyonya Bovary 287 Emma. Sebab Emma tidak bicara, tidak mendengar apa-apa, bahkan agaknya tidak pula m enderita—seakan-akan raga dan jiwanya beristirahat bersam a-sam a sesudah segala kesulitan yang mereka alami. Menjelang pertengahan Oktober Emma dapat duduk di tem pat tidurnya, disangga bantal-bantal di punggungnya. Charles m enangis waktu dilihatnya Em m a untuk kali pertam a m akan roti dengan selai. Tenaganya pulih. Ia bangun beberapa jam waktu siang. Dan ketika pada suatu hari Em m a m erasa badannya lebih enak, Charles m encoba m engajaknya berjalan-jalan satu putaran di halam annya, dituntun olehnya. Pasir jalanan hilang di bawah dedaunan kering. Em m a berjalan selangkah-selangkah, m enyeret sandalnya dan dengan bahu bersandar pada badan Charles, ia tak henti-hentinya tersenyum . Maka sampailah mereka ke belakang di dekat teras. Emma perlahan-lahan m enegakkan badannya, m elindungi m ata dengan tangan untuk melihat. Ia memandang ke kejauhan, jauh sekali. Tetapi yang tam pak olehnya di ufuk hanyalah api-api unggun dari rum put yang berasap di atas bukit-bukit. “Kau capek nanti, Sayang,” kata Bovary. Maka didorongnya Em m a dengan lem but m asuk ke bawah p u n ju n g. “Duduklah di bangku itu. Enak di sana.” “Oh! J angan di sana, jangan di sana!” kata Em m a dengan suara yang m enghilang lem ah. Ia menjadi pusing. Dan malam itu juga ia kambuh, jalan penyakitnya m akin tidak m enentu serta sifat-sifatnya lebih rum it. Kadang-kadang jantungnya yang sakit, lalu dadanya, otaknya, an ggota-an ggota badan n ya. Ada kalan ya ia m un tah-m un tah dan Charles rasanya seperti m elihat gejala-gejala awal penyakit kanker.

288 Gustave Flaubert Dan di samping itu laki-laki malang itu sedang susah m em ikirkan keuangannya.

Bab XIV PERTAMA, IA tidak tahu harus berbuat apa untuk Tuan Homais sebagai imbalan segala obat-obatan yang telah diambil dari tokonya. Dan meskipun sebagai dokter ia dapat saja tidak membayar, ia agak malu berhutang budi begitu. Lalu pengeluaran untuk rumah tangga sejak si tukang masak berkuasa, menjadi mengerikan. Rekening hujan di rumah itu. Para penjual langganan menggerutu. Apalagi Tuan Lheureux mencecarnya terus. Memang, waktu Emma sedang sakit-sakitnya, Lheureux-lah yang m em anfaatkan kesem patan itu untuk menambah besar rekening, dengan jalan cepat-cepat mengantarkan mantel, tas sandang, dua peti bukannya satu, dan masih banyak lagi barang lain. Charles bisa saja berkata bahwa ia tak memerlukan barang itu. Tapi si pedagang menjawab dengan sombong bahwa semua benda itu sudah dipesan dan ia tidak akan mengambilnya kembali. Lagi pula, itu berarti menghambat penyembuhan Nyonya. Tuan sebaiknya berpikir lagi. Pendeknya, Lheureux sudah bulat putusannya, lebih baik menyeret Bovary ke

290 Gustave Flaubert depan pengadilan daripada melepaskan haknya dan mengambil kem bali barang dagangannya. Charles kem udian m em beri perintah supaya barang itu dikirimkan kembali ke toko Lheureux. Félicité lupa. Masih banyak urusan Charles yang lain, lalu soal itu tak dipikirkan lagi. Tuan Lheureux kembali menyerang, berganti- ganti mengancam dan mengaduh, dan ulahnya sedemikian rupa hingga Bovary pada akhirnya membuat surat utang yang berjangka waktu enam bulan. Tetapi baru saja ia tandatangani surat itu, timbullah gagasan yang berani, meminjam seribu franc dari Tuan Lheureux. Maka bertanyalah ia dengan muka kemalu-maluan, apakah tidak ada jalan untuk mendapatkannya. Untuk jangka waktu satu tahun, tambahnya, tarif bunganya terserah. Lheureux lari ke tokonya, kembali dengan membawa uang, lalu mendikte surat utang baru yang menyatakan bahwa Bovary wajib membayar kepada pihaknya, pada tanggal 1 September yang akan datang uang sebanyak seribu tujuh puluh franc. Ditambah dengan seratus delapan puluh yang sudah diperincikan tadi, menjadi persis seribu dua ratus lima puluh. J adi, dengan memberi pinjaman dengan bunga enam persen, ditambah seperempat untuk komisi, dengan keuntungan dari barang-barang sekurang-kurangnya sepertiga dari harganya, maka dalam dua belas bulan ia bakal memperoleh untung sebanyak seratus tiga puluh franc. Dan ia berharap urusan itu tidak akan berhenti di sana, bahwa surat promes itu tidak dapat dibayar, lalu diperbarui; dan bahwa uangnya yang malang itu setelah di rumah dokter mendapat santapan seperti di panti asuhan orang sakit jiwa, pada suatu hari akan kembali kepadanya dengan jauh lebih gempal dan cukup gemuk untuk menjebolkan ka n t on gn ya . Lagi pula ia berhasil baik dalam segala hal. Ia m enang tender untuk m em asok anggur apel kepada rum ah sakit Neufchâtel. Tuan Guillaum in m enjanjikannya saham -saham tam bang gam but di Grumesnil. Dan ia sedang mencita-citakan akan mendirikan

Nyonya Bovary 291 perusahaan pengangkutan baru antara Argueil dan Rouen, yang pasti segera akan m em ailitkan kereta tua kepunyaan Singa Em as, dan yang dengan kecepatan yang lebih besar dan harga yang lebih m urah serta dengan kem am puan m engangkut barang yang lebih banyak akan m enyebabkan seluruh perdagangan Yonville jatuh ke dalam tangannya. Charles beberapa kali bertanya kepada diri sendiri, dengan jalan apa ia tahun depan bisa m em bayar kem bali uang sebanyak itu. Ia mencari-cari memikirkan beberapa akal, seperti minta tolong ayahnya atau m enjual sesuatu. Tetapi ayahnya pasti akan bersituli, dan ia sendiri tidak m em punyai apa-apa untuk dijual. Lalu kesukaran-kesukaran tam pak begitu besar hingga cepat- cepat ia jauhkan renungan yang begitu tidak m enyenangkan itu. Ia m enyesali diri bahwa ia sam pai m elupakan Em m a. Seolah-olah karena seluruh pikirannya m erupakan m ilik wanita itu, Charles m encuri sesuatu darinya kalau ia tidak senantiasa m em ikirkannya. Musim dingin itu ganas. Masa pem ulihan kesehatan Nyonya Bovary berjalan lam a. Apabila udara cerah, kursinya didorong ke dekat jendela, yaitu jendela yang m enghadap ke lapangan besar, sebab sekarang ia sedang tidak m enyukai pekarangannya, dan kerai ke arah pekarangan selalu tertutup. Ia m inta supaya kudanya dijual. Apa yang dahulu disukainya, kini dibencinya. Seluruh pikirannya rupanya terbatas pada perawatan dirinya. Ia tinggal di tempat tidur, makan-makan sedikit, dan mengebel pem bantunya untuk m enanyakan seduhan jam unya atau untuk m engajaknya bercakap-cakap. Sem entara itu salju di atas atap pasar m em antulkan cahaya putih yang tidak bergerak ke dalam kam arnya. Lalu hujan turun. Dan Em m a sehari-hari m enantikan dengan sem acam kegelisahan terulangnya kem bali peristiwa kecil-kecil yang tak dapat dihindarkan, tapi yang sebenarnya tak penting baginya. Yang paling penting ialah datangnya kereta Hirondelle pada malam hari. Maka si pemilik penginapan

292 Gustave Flaubert berteriak-teriak, dijawab oleh suara-suara lain, sedangkan lentera yang dipegang H ippolyte, ketika ia m encari koper-koper di atas tudung kam pas, kelihatannya seperti bintang dalam gelap. Tengah hari Charles pulang. Lalu pergi lagi. Kem udian Em m a minum air kaldu. Dan menjelang pukul lima, bila hampir senja, anak-anak yang pulang sekolah dan berjalan dengan sepatu kayu diseret di kaki lim a, m em ukuli dengan m istarnya palang daun penutup jendela-jendela, satu demi satu. Pada saat itu Tuan Bournisien biasanya datang m enengoknya. Ia m enanyakan kesehatannya, m em bawa berita dan m endesaknya supaya beribadah, sam bil bercakap-cakap sebentar dengan nada m em bujuk yang bukannya tidak m enarik. Baru m elihat jubahnya saja sudah m enyam ankan hati Em m a. Waktu penyakitnya m encapai puncaknya, Em m a pada suatu hari mengira ia akan mati. Maka ia pun lalu ingin menerima komuni, dan sem entara segala persiapan sakram en di dalam kam arnya berlangsung, lem ari laci yang rendah penuh botol-botol obat sirop diatur menjadi altar, dan Félicité menebarkan bunga dahlia ke lantai, Em m a m erasakan adanya suatu kekuatan m engusap dirinya yang m em bebaskannya dari segala penderitaanya, dari segala penglihatan, dari segala perasaan. Dagingnya yang sudah menjadi ringan tidak berpikir lagi. Suatu kehidupan baru sedang m ulai. Rasa-rasanya jiwa raganya yang sedang m em bubung ke Ilahi bakal lenyap dalam kasih cinta ini, seperti dupa yang hilang terbakar m enjadi asap. Air suci dipercikkan ke atas kain- kain tem pat tidur. Dari sibori sucinya pendeta m engeluarkan hosti putih. Dan badan Emma lemas karena rasa kegembiraan surgawi ketika ia m enganjurkan bibir hendak m enyam but tubuh Penyelam at yang ditam pilkan itu. Kain kelam bu tem pat tidurnya m engem bang lem ah di sekelilingnya, bagaikan awan, dan cahaya kedua lilin yang m enyala di atas lem ari laci itu tam paknya seperti bersinar bagai lingkaran-lingkaran cahaya yang m enyilaukan.

Nyonya Bovary 293 Lalu ia jatuhkan kepalanya kem bali ke belakang, sem entara rasa- rasanya terdengar olehnya di luas angkasa m usik harpa para m alaikat, dan tam pak di langit lazuardi, di atas singgasana em as, di tengah-tengah para santo yang m em egang daun-daun palm a hijau, Tuhan Bapa yang berseri-seri dalam keagungan-Nya, yang dengan isyarat m enyuruh para m alaikat dengan sayap bagaikan nyala turun ke bum i untuk m enjem putnya dalam dukungan lengan mereka. Bayangan yang elok ini tersim pan di dalam ingatannya sebagai hal yang paling indah yang dapat diangankan. Sam pai- sampai ia sekarang ini mencoba menangkap kembali perasaan itu, yang m asih tetap ada, m eskipun dengan cara yang kurang khusus, akan tetapi dengan kelem butan yang sam a dalam nya. J iwanya yang sudah kaku oleh keangkuhan, pada akhirnya mendapatkan ketenangan dalam kerendahan hati Nasrani. Dan sam bil m enikm ati dengan senang hati sifat kelem ahannya, Em m a m em perhatikan di dalam dirinya, hancurnya kem auannya yang harusnya lebar-lebar m em bukakan pintu ke landaan- landaan rahmat. J adi pengganti rasa bahagia ada kebahagiaan- kebahagiaan yang lebih besar, ada cinta kasih lain di atas segala cinta, tanpa tersela-sela dan tanpa akhir, dan yang akan tum buh dengan abadi! Ia melihat samar-samar di antara angan-angan harapannya suatu keadaan suci yang terapung-apung di atas bum i, m enjadi satu dengan langit, yaitu tem pat yang dicita- citakannya. Ia ingin m enjadi orang suci. Ia m em beli tasbih-tasbih dan m em akai jim at-jim at. Dan ia ingin di dalam kam arnya, di ujung kaki tem pat tidurnya, ada sebuah peti tem pat relikui bertatahkan zam rud, supaya dapat ia cium tiap m alam . Pastor terheran m elihat kecenderungan hatinya itu, m eskipun im an Em m a, m enurut pendapatnya, dengan sem angat sehebat itu dapat berakhir dengan m enyerem pet kem urtadan, bahkan menjadi keterlaluan. Tetapi karena ia tidak begitu mahir dalam

294 Gustave Flaubert perkara-perkara semacam itu begitu melampaui batas tertentu, ia pun m enulis surat kepada Tuan Boulard, yang suka m enjual buku kepada Monsinyor, supaya ia dikirim “sesuatu yang baik untuk seorang wanita yang am at pandai”. Penjual buku ini, dengan sikap yang sam a tak acuhnya seperti kalau ia m engirim barang tetek bengek kepada orang Negro, membuat bungkusan campur aduk dan segala yang pada saat itu sedang laku dalam perdagangan buku-buku agam a. Ada buku-buku pegangan kecil dengan cara tanya-jawab, pamlet-pamlet yang bernada sombong ala Tuan de Maistre, dan m acam -m acam rom an yang dijilid dengan karton m erah jam bu dan ditulis dengan gaya sentim entil, karya pujangga-pujangga sem inari atau wanita-wanita yang berlagak sastrawan, yang sudah bertobat. Terdapat di antaranya rom an- roman: Ingatlah; Lelaki dari Dunia Ram ai di Kaki Maria, oleh Tuan de Xxx, yan g telah m en erim a beberapa lencan a penghargaan; Kesalahan-kesalahan Voltaire, Dim aksudkan untuk Anak Muda, dan sebagainya. Pikiran Nyonya Bovarybelum cukup jernih untuk m engerjakan apa saja dengan tekun. Lagi pula ia m ulai m em baca dengan terlalu tergesa-gesa. Ia menjadi jengkel dengan segala aturan ibadat. Keangkuhan tulisan-tulisan polem ik tidak m enyenangkannya, karena terlalu nekat m encecar orang-orang yang tak dikenalnya. Dan kisah-kisah keduniawian yang dipungut dari keagam aan rasanya ditulis tanpa pengetahuan apa pun tentang keduniaan, sehingga dengan tak terasa Emma malahan dijauhkan dari kebenaran-kebenaran yang pem buktiannya ia cari-cari. Nam un diteruskannya juga pem bacaannya, dan ketika buku terlepas dari pegangannya, ia m engira ia telah dirasuki kesenduan Katolik sehalus-halusnya yang dapat diterim a oleh jiwa yang sangat halus. Adapun kenangan akan Rodolphe telah dibenam kannya sedalam -dalam nya ke dalam kalbunya. Di sanalah adanya, lebih khidmat dan lebih kaku daripada mumi raja dalam ruang

Nyonya Bovary 295 bawah tanah. Ada keharum an m em bersit dari percintaan agung yang sem erbak itu, yang m enyelinap ke m ana-m ana sam pai diharum kannya dengan kelem butan itu suasana tanpa noda yang ingin dijadikannya suasana hidupnya. Apabila ia berlutut di atas bangku sem bahyangnya yang bergaya Gotik, ia m enyatakan kepada Tuhan kata-kata m anis yang sam a seperti yang dahulu dibisikkannya kepada kekasihnya waktu ia m encurahkan isi hati zinanya. Maksudnya hendak m endatangkan im an. Tetapi tak ada kelezatan sedikit pun yang turun dari surga. Maka Em m a pun bangkit dengan kaki lelah, dengan perasaan sam ar-sam ar adanya penipuan besar. Pencarian ini, sangkanya, tak lain hanyalah suatu tam bahan am al lagi. Dan dalam keangkuhan hatinya yang saleh, Em m a m em bandingkan dirinya dengan wanita-wanita besar zam an dulu yang kem uliaannya pernah dilam unkannya pada lukisan Nona La Valliere; wanita-wanita yang dengan agungnya m em akai gaun panjang yang pancungnya penuh hiasan m enyapu lantai, wanita-wanita yang m enyepi ke tem pat-tem pat sunyi untuk m engham burkan pada kaki Kristus air m ata m ereka yang tim bul dari hati yang dilukai kehidupan. Maka ia pun m em buat am al yang berlebih-lebihan. Ia m enjahit pakaian untuk kaum m iskin. Ia m engirim kayu bakar kepada perem puan-perem puan yang hendak m elahirkan. Dan Charles pada suatu hari, ketika pulang, m endapatkan tiga orang gelandangan di dapur sedang makan sup di meja dapur. Emma m em anggil kem bali anaknya yang selam a ia sakit dititipkan lagi oleh suam inya di tem pat inangnya. Em m a hendak m engajarnya m em baca. Biar bagaim anapun Berthe m enangis, Em m a tidak pernah m enjadi jengkel. Dengan sadar ia berpasrah. Kesabarannya bersifat m en yeluruh. Bahasanya, m en gen ai apa saja, pen uh dengan ungkapan sem purna. Kepada anaknya ia berkata, “Sudah hilang sakit kolikmu, buah hatiku?”

296 Gustave Flaubert Tak ada yang dapat m enjadi celaan bagi Ibu Bovary, kecuali barangkali ulahnya yang keranjingan m erajut baju bagi anak yatim piatu, sedangkan serbet-serbetnya sendiri tak ditisiknya. Akan tetapi wanita tua itu yang sudah lelah m enanggung pertikaian- pertikaian rum ah tangga, senang di rum ah yang tenang itu. Ia bahkan tinggal sampai sesudah Paskah agar dapat menghindari ujar-ujar penuh ejekan dari suam inya yang tidak pernah lupa m em esan sosis pada setiap hari J um at Agung. Selain ditem ani ibu m ertua yang m em perkuat jiwanya dengan pertim bangan-pertim bangannya yang tepat dan cara-caranya yang sungguh-sungguh, Emma hampir setiap hari juga mendapatkan kunjungan orang lain, yaitu Nyonya Langlois, Nyonya Caron, Nyonya Dubreuil, Nyonya Tuvache, dan secara tetap dari pukul dua sam pai pukul lim a Nyonya Hom ais yang baik sekali, yang sam pai saat itu tak pernah m au percaya satu pun desas-desus yang dilancarkan m engenai tetangganya. Anak-anak Hom ais juga datang menengok Emma, J ustin mengantarkan mereka. Ia naik bersama mereka ke kamar tidur Emma, dan tinggal tegak di dekat pintu, tak beringsut sedikit pun, tak berbicara. Bahkan sering kali Nyonya Bovary tidak m engindahkannya dan m ulai m engurus diri. Mula-m ula ia m encabut sisirnya, dan kepalanya dikibaskannya dengan satu gerakan yang cepat. Ketika untuk pertam a kalinya J ustin melihat seluruh dandanan rambut itu dengan ikal-ikal hitam nya terurai lepas sam pai ke lutut, anak m alang itu seakan- akan m endadak m em asuki sesuatu yang luar biasa, baru, yang kecerlangannya m enakutkan hatinya. Emma tentu saja melihat betapa keopenan J ustin dalam kebisuannya, betapa ia tersipu-sipu. Tak terpikir olehnya bahwa asm ara yang sudah hilang dari hidupnya, bergetar di sana di dekatnya, di bawah kem eja dari kain linen kasar, di dalam kalbu rem aja yang terbuka bagi pancaran kecantikannya. Lagi pula Em m a sekarang m em ang m enyelubungi segala-galanya

Nyonya Bovary 297 dengan sikap yang begitu tak acuh, kata-katanya begitu m esra dan pandangan m atanya begitu angkuh, tingkah lakunya begitu beraneka warnanya sehingga sudah tidak ketahuan lagi yang m ana egoism e yang m ana kem urahan hati, yang m ana kerusakan jiwa, yang m ana kebajikan. Pada suatu m alam um pam anya ia gusar pada pem bantunya yang m inta izin keluar dan yang m enggagap m encari alasan. Lalu tiba-tiba kata Em m a, “J adi, kau cinta padanya?” Dan tanpa m enunggu jawaban Félicité yang m erah m ukanya, Em m a m elanjutkan dengan wajah sedih, “Ya sudah, pergi saja! Ber sen a n gla h !” Pada awal m usim sem i, ia m enyuruh bongkar halam an dari ujung ke ujung, m eski ada teguran dari Bovary. Tetapi Charles sudah m erasa bahagia m elihat Em m a pada akhirnya m em perlihatkan suatu kem auan. Makin sehat badannya, kem auannya itu tam pak m akin besar. Mula-m ula ia berhasil m engusir Ibu Rollet si inang, yang selam a Em m a m em ulihkan kesehatannya telah m em upuk kebiasaan untuk terlalu sering datang ke dapur bersam a kedua anak susuannya dan anak titipannya yang giginya lebih rakus dari kanibal. Lalu Em m a m em bebaskan diri dari keluarga Hom ais, satu per satu m enyuruh sem ua tam u lainnya pulang, bahkan ia kurang rajin ke gereja, suatu hal yang sangat disetujui oleh apoteker, yang kem udian berkata kepadanya dengan ram ah, “Anda m em ang sudah agak terlalu banyak m em asuki dunia kerohanian!” Tuan Bournisien seperti sediakala m uncul setiap hari sesudah pelajaran katekismus. Ia lebih suka tinggal di luar menghirup udara segar “di tengah-tengah ladang”, dem ikian sebutannya untuk punjung itu. Lazim nya saat itulah Charles pulang. Mereka kepanasan. Anggur apel m anis disuguhkan. Maka m ereka m inum bersam a dengan ucapan sem oga Nyonya pulih sam a sekali keseh a t a n n ya .

298 Gustave Flaubert Binet juga ada, artinya agak lebih ke bawah, ia bersandar pada tem bok teras pem ancingan udang. Bovary m engajaknya m inum untuk m enyejukkan badan. Binet m ahir benar m em buka guci-guci kecil. “Botol itu,” katanya saraya m elayangkan pandang puas ke sekeliling sam pai ke batas-batas tam asya, “harus dipegang tegak lurus di atas m eja, begini. Setelah tali-talinya dipotong, gabus harus didorong sedikit-sedikit, perlahan-lahan, perlahan-lahan, seperti yang biasanya dikerjakan dengan m inum an air Belanda di restoran.” Tetapi sem entara ia m elancarkan pertunjukannya, anggur apel itu sering sudah m uncrat m enyem bur ke wajah m ereka. Maka rohaniwan itu dengan tawa berat tak pernah lupa melancarkan kelakar, “Kebaikannya m encolok m ata!” Tuan Bournisien sesungguhnya orang yang baik hati benar. Bahkan ia sam a sekali tidak m erasa tersinggung waktu pada suatu hari apoteker m enganjurkan supaya Charles, untuk m enghibur Nyonya, m em bawanya ke teater di Rouen m elihat penyanyi tenor tenar Lagardy. Hom ais yang heran m elihat ia bungkam saja, ingin tahu pendapatnya. Maka pendeta pun lalu m enyatakan bahwa m usik dianggapnya kurang berbahaya untuk kesusilaan daripada sastra. Tetapi apoteker m em bela kesusastraan. Teater, katanya, gunanya untuk m engkritik prasangka-prasangka, dan dengan berkedok kegem biraan, kebajikanlah yang dianjurkannya. “Castigat riden do m ores7, Tuan Bourn isien ! Lihat saja keban yakan tragedi Voltaire. Di dalam n ya tersebar den gan pandainya pem ikiran-pem ikiran yang m engandung hikm ah ilsafat sehingga dengan demikian benar-benar merupakan 7 Adat kebiasaan diperbaiki sam bil ketawa.

Nyonya Bovary 299 ajaran bagi rakyat m engenai kesusilaan dan kebijaksanaan dalam bergaul.” “Kalau saya,” kata Binet, “saya dulu pernah m elihat sandiwara yang berjudul Anak Paris. Di dalam nya terlihat watak seorang jenderal tua yang benar-benar sudah sinting! Ia m enolak laki-laki m uda dari keluarga terkem uka yang telah m em bujuk rayu gadis buruh, yang akhirnya....” “Sudah tentu ada sastra buruk seperti juga ada apotek buruk,” kata Hom ais m elanjutkan, “tetapi m engutuk bagian seni yang terpenting itu seluruhnya sekaligus m enurut saya suatu kebodohan, suatu pikiran abad pertengahan yang layak untuk zam an yang sangat m engerikan itu ketika Galileo dipenjarakan.” “Saya tahu benar,” kata pastor m engajukan keberatan, “bahwa ada karya-karya baik, ada penulis-penulis baik. Akan tetapi cukup ada orang-orang dari kedua jenis kelamin berkumpul di dalam rum ah penuh pesona yang dihiasi segala sem arak keduniawian lalu menyamar secara kair, ada bedak dan gincu, obor-obor, suara-suara kebanci-bancian, m aka sem ua itu pada akhirnya pasti akan menimbulkan suasana kecabulan dan mengundang gagasan-gagasan yang kurang senonoh, godaan-godaan yang kotor. Artin ya, itulah pen dapat sem ua Bapa. Pen dekn ya,” tam bah pastor itu dan suaranya tiba-tiba bernada penuh rahasia sam bil dilintingnya tem bakau pada ujung ibu jarinya, “Gereja m enghukum tontonan itu karena Gereja m em ang benar. Kita harus tunduk pada keputusan-keputusannya.” “Mengapa Gereja harus m engucilkan pem ain panggung?” tan ya apoteker. “Padahal dahulu kala m ereka den gan cara terbuka ikut m erayakan upacara ibadah. Sungguh, m ereka m ain, mereka menampilkan di tengah-tengah paduan suara berbagai jenis perm ainan lawak yang dinam akan m isteri, yang acap kali melanggar batas-batas hukum kesusilaan.”

300 Gustave Flaubert Rohaniwan itu hanya m engeluh, dan apoteker m elanjutkan, “Seperti di dalam Alkitab; ada... Anda tahu... lebih dari satu... yang sedap, hal-hal... yang betul-betul... nakal!” Lalu ia m enanggapi gerak kejengkelan Tuan Bournisien dengan, “Ah! Anda setuju bahwa Alkitab itu tidak untuk diserahkan kepada wanita yang m asih m uda, dan saya pun akan m enyesali sekiranya Athalie....” “Bukan kam i, tapi kaum Protestan yan g m en gan jurkan m em baca Alkitab!” seru Tuan Bournisien, hilang sabarnya. “Sudahlah!” kata Hom ais. “Saya heran bahwa dewasa ini, pada abad kecerahan ini orang masih saja melarang suatu hiburan intelektual yang tak ada bahayanya, yang m engajarkan yang berm oral, bahkan yang kadang-kadang sehat, bukan begitu, Dokter?” “Sudah tentu,” jawab dokter itu dengan tak acuh, entah karena pendapatnya sam a tapi tak m au ia m enyakiti siapa pun, entah karena ia tak m em punyai pendapat. Percakapan rupanya sudah habis, tapi apoteker m erasa perlu untuk memberi satu pukulan lagi. “Pernah saya tahu, ada saja pendeta yang m engenakan pakaian preman untuk menonton penari-penari wanita m elen gga n g-len ggok.” “Mana bisa!” seru pastor. “Ah! Saya pernah kenal orang sem acam itu.” Dan Hom ais m engulanginya dengan m em isah-m isahkan suku-suku kata kalim atnya: “Sa-ya per-nah ke-nal o-rang se-m a-cam i-tu!” “Kalau m em ang begitu, m ereka bersalah,” kata Bournisien, yang dengan sabar m au m endengarkan sem ua itu. “Alah! Masih banyak lagi perbuatan m ereka!” seru apoteker. “Tuan...!” tukas pendeta itu dengan m ata yang begitu liar hingga apoteker ketakutan.

Nyonya Bovary 301 “Yang hendak saya katakan hanyalah ini,” jawabnya dengan suara yang kurang lancang, “bahwa toleransi itu cara yang paling am an untuk m enarik orang supaya beragam a.” “Betul itu! Betul!” kata orang yang baik itu m em benarkan. Lalu ia pun duduk kem bali di kursinya. Tapi hanya untuk dua m enit. Lalu begitu ia pergi, m aka Tuan Hom ais berkata kepada dokter, “Itu baru silat lidah! Kalah dia! Anda lihat sendiri bagaim ana! Sudahlah, percaya saja, ajak Nyonya m enonton, sekalipun alasannya hanya karena untuk satu kali dalam hidup Anda, Anda hendak m em buat gaok-gaok itu m arah, apa! Coba ada yang dapat m engganti saya, saya sendiri m au m enem ani Anda. Cepat saja. Lagardy hanya akan m em beri satu pertunjukan. Ia sudah terikat di negeri Inggris dengan bayaran yang lum ayan juga. Menurut kata orang, dia gem bira ria bukan m ain! Berlim pangan em as! Tiga orang pacar dia ajak, dan tukang m asaknya! Artis-artis besar m acam itu selalu terlalu royal m engham burkan kekayaannya. Mereka harus m em punyai kehidupan yang jangak supaya khayal m ereka terangsang. Tetapi m atinya nanti di rum ah sakit, karena waktu m asih m uda m ereka tidak m em punyai pikiran untuk m enabung. Sudahlah, selam at m akan. Sam pai besok!” Gagasan untuk m enonton itu segera bersem i di benak Bovary, sebab serta-m erta ia m enceritakannya kepada istrinya, yang m ula- m ula m enolak, karena m elelahkan katanya, karena m erepotkan, karena pengeluarannya. Tapi lain daripada biasanya, Charles tidak m engalah, begitu besar dianggapnya m anfaat yang bakal dipetik dari hiburan itu. Tak dilihatnya ada yang m enjadi rintangan. Ibunya telah m engirim dia tiga ratus franc yang sebenarnya tidak diharapkannya lagi. Utang biasa tak ada yang besar, dan batas waktu untuk surat-surat utang yang harus dilunasi kepada Tuan Lheureux m asih begitu jauh hingga tak perlu dipikirkan. Lagi pula karena Charles m engira bahwa Em m a sesungguhnya m inta

302 Gustave Flaubert dibujuk, ia makin mendesak, sehingga karena terus menerus, diganggu pikiran itu, Em m a akhirnya m au juga. Dan esok harinya pada pukul delapan, mereka sudah dibawa lari kereta Hirondelle. Apoteker yang sebenarnya tak ditahan oleh alasan apa pun di Yonville, tetapi hanya m erasa sebagai suatu keharusan untuk tidak beranjak dari tempat itu, menghela napas melihat mereka b er a n gka t . “Nah, selam at jalan !” katan ya kepada m ereka “Kalian m em ang m ahkluk berbahagia!” Lalu kepada Em m a yang m em akai gaun sutra biru dengan em pat lajur yang dikerutkan, ia berkata, “Anda saya lihat secantik dewi! Anda akan m enjadi buah bibir orang di Rouen.” Kereta itu berhen ti di hotel Croix-Rouge di lapan gan Beauvoisine. Hotel itu jenis penginapan yang terdapat di sem ua pinggiran kota propinsi, dengan kandang kuda besar-besar dan kam ar tidur kecil-kecil, dengan ayam -ayam yang di tengah- tengah pekarangan kelihatan mematuk-matuk biji gandum di bawah kereta-kereta kabriolet kepunyaan para kolportir, yang kotor pen uh lum pur—tem pat pem on dokan yan g sudah tua, m enyenangkan, dengan balkon dari kayu yang sudah lapuk, yang berderak-derak kena angin pada malam-malam musim salju, yang senantiasa penuh tam u, ribut dan m akan, yang m eja-m eja hitam nya lengket terkena kopi dicam pur m inum an keras, kaca jendelanya yang tebal-tebal sudah kuning-kuning dikotori lalat, serbetnya basah-basah penuh bekas anggur m urah; dan karena m asih tetap bau desa, seperti pelayan tem pat pertanian yang berdandan seperti orang kota ada kafe di sebelah jalan, dan ke arah ladang ada kebun sayur. Charles segera sibuk dengan urusannya. Ia keliru m engira panggung depan layar itu balkon paling atas, lantai bawah disangkanya tem pat lose yang bersekat- sekat. Ia m inta keterangan, tapi jawabannya tak dipaham inya. Dari tukang sobek karcis ia disuruh ke direktur, kembali ke

Nyonya Bovary 303 penginapan, kembali lagi ke teater dan dengan demikian sampai beberapa kali ia mondar-mandir sepanjang kota dari teater ke b u le va r . Nyonya berbelanja m em beli roti, sarung tangan, sebuah buket. Tuan khawatir sekali akan terlambat melihat permulaan. Dan tanpa m enyem patkan diri m eneguk sup dulu sedikit, m ereka m uncul di depan pintu-pintu teater yang m asih tertutup.

Bab XV ORANG YANG berkerum un di situ berdiri m encari tem pat sepanjang tembok, terkurung secara simetris di antara pagar- pagar. Di tikungan jalan-jalan yang berdekatan, poster-poster yang besar sekali mengulangi dengan aksara-aksara Barok: “Lucie de Lammermoor... Lagardy... Opera...” dan seterusnya. Udara cerah. Orang kepanasan. Keringat bercucuran di antara rambut-rambut yang dikeriting. Semua saputangan yang dikeluarkan menyeka- nyeka dahi merah. Dan terkadang angin hangat yang berembus dari sungai, menggerakkan dengan lesu pinggiran tenda-tenda dril yang dipasang di dekat pintu warung-warung minum. Akan tetapi lebih ke sana ada kesejukan dari siliran angin dingin yang berbau jelaga, kulit, dan minyak. Ruapan itu datangnya dari J alan des Charrettes, yang penuh dengan toko-toko hitam tempat tong-tong anggur digelindingkan. Karena takut kelihatan konyol, Em m a sebelum m asuk ingin berjalan-jalan sebentar di pelabuhan. Dan Bovary dengan berhati-

Nyonya Bovary 305 hati terus m em egang karcis-karcisnya di dalam saku celananya, yang ditekannya ke perut. Hati Emma berdebar waktu masuk ruang muka. Dengan tak sengaja ia tersenyum som bong m elihat orang banyak berdesak- desak di sebelah kanan m elalui gang lainnya, sedangkan ia naik tangga menuju ke kelas pertama. Dengan suka hati, seperti anak kecil, jarinya m endorong pintu-pintu besar yang dilapisi permadani. Ia menghirup sepenuh dada bau debu dari gang-gang. Dan waktu ia sudah duduk di dalam bilik lose, ia membusungkan dada dengan sikap santai seorang wanita bangsawan tinggi. Orang mulai memenuhi ruang penonton. Teropong-teropong opera dikeluarkan dari tem patnya. Dan m ereka yang sudah menjadi langganan berkiriman salam kalau saling melihat dari jauh. Mereka datang mencari hiburan dalam kesenian untuk beristirahat dari kegelisahan berjual beli. Tetapi usaha mereka tidak mereka lupakan dan mereka masih berbicara tentang katun, m inum an keras yang dim inum setelah diencerkan, atau nila. Di sana tam pak pula wajah-wajah orang tua, yang tak mengungkapkan perasaan apa-apa dan penuh damai, dengan ram but dan cahaya kulitnya keputih-putihan m irip m edali-m edali perak yang kusam karena uap tim ah. Anak-anak m uda yang tampan mondar-mandir dengan keren di lantai bawah. Mereka memperagakan dalam belahan baju rompi mereka dasi warna jam bon atau hijau m uda buah apel. Dan Nyonya Bovary dari atas m engagum i m ereka yang bertekan pada tongkat berujung bulatan emas dengan telapak tangan terentang dalam sarung tangan m ereka yang berwarna kuning. Sem entara itu lilin-lilin di tem pat orkes dinyalakan. Lam pu gom by ong diturunkan dari langit-langit dan pijaran dari faset- fasetnya m em ancarkan keriaan yang tiba-tiba ke dalam ruangan penonton itu. Lalu pem ain m usik m asuk satu dem i satu, dan m ula- m ula lam a terdengar hiruk pikuk dari alat-alat m usik bas yang

306 Gustave Flaubert m endengkur biola-biola yang bergerit m enguit-nguit, trom pet- trompet yang berteretet, suling-suling dan lajolet-lajolet yang merengek-rengek. Tetapi tiga kali pukulan terdengar di atas panggung. Timpani mulai bergemuruh, alat-alat peniup kuningan m enerom petkan akor-akor, dan tirai yang naik m em perlihatkan sebuah pemandangan di pedesaan. Sebuah simpang empat di dalam hutan, dengan air mancur di sebelah kiri, dirindangi oleh sebatang pohon chêne. Petani- petani dan tuan-tuan tanah dengan kain yang berpetak-petak diselem pangkan di bahu, bersam a-sam a m enyanyikan lagu perburuan. Lalu m uncul seorang kapten yang m em anggil m alaikat jahanam sam bil m engangkat kedua tangannya ke langit. Tam pil pula orang lain. Mereka pergi dan kelom pok pem buru, m enyanyi lagi. Emma kembali berada di tengah-tengah bacaan masa m udanya, di tengah-tengah bacaan Walter Scott. Rasa-rasanya berulang-ulang ia mendengar suara suling kantong Skotlandia di atas ladang, m enem bus kabut. Lagi pula, kenangan akan rom an dahulu mempermudah pengertian teks opera itu dan Emma m engikuti jalan lakonnya kalim at dem i kalim at, sedangkan ada pikiran-pikiran yang m elayang tak terjangkau teringat kem bali olehnya tapi segera m em buyar kena sentakan-sentakan m usik. Ia terhanyut dalam alunan lagu-lagu dan m erasa dirinya bergeletar dengan segenap jiwanya, seolah-olah para penggesek biola itu telah m enggeseki tali-tali sarafnya. Kedua m atanya tidak cukup untuk memandangi semua kostum, dekor, tokoh, lukisan pohon- pohon yang bergetar apabila orang m elangkah, dan topi-topi beledu, m antel-m antel, pedang-pedang, segala barang khayalan itu yang bergerak serasi seakan-akan dalam udara alam dunia yang lain. Tetapi seorang wanita muda tampil ke muka melemparkan kantong uang kepada seorang pengiring yang berpakaian hijau. Wanita itu tinggal seorang diri. Lalu terdengar suara suling yang

Nyonya Bovary 307 berbunyi seperti desir air m ancur atau seperti cericau burung. Dengan m uka sungguh-sungguh, Lucie m ulai m enyanyikan kavatina-nya dalam G m ayor. Ia m engeluhkan asm ara, ia m inta diberi sayap. Em m a pun ingin m enjauh dari kehidupan dan terbang dalam dekapan m esra. Tiba-tiba tam pil Lagardy. Cahaya kulitnya pucat cem erlang, yang m em beri sedikit dari keagungan pualam kepada ras-ras daerah Selatan yang penuh gairah itu. Badannya yang tegap terbalut baju warna cokelat; sebilah pony ar kecil yang dihiasi tatahan m engepak-ngepak paha kirinya, dan ia m elototkan m atanya penuh rindu sam bil m em perlihatkan gigi putihnya. Menurut kata orang, seorang putri raja bangsa Polandia pada suatu m alam m endengar Lagardy m enyanyi yang sedang m em betulkan badan bahara kapal-kapal di pantai Biarritz. Putri itu jatuh cinta padanya. Dan habis harta bendanya lantaran dia. Tapi Lagardy lalu m eninggalkannya begitu saja dem i perem puan-perem puan lain, dan ketenarannya akibat hubungan-hubungan cinta itu m alahan berm anfaat untuk reputasinya di bidang kesenian. Aktor kelas dua yang pandai bersiasat itu bahkan m engaturnya dem ikian rupa hingga di dalam iklan-iklannya selalu diselipkan kalim at puitis m engenai daya pukau pribadinya dan kehalusan jiwanya. Karena suara bagus, keyakinan diri yang tak dapat diusik, unggulnya tem peram en daripada kecerdasan, unggulnya kepandaiannya untuk berm uluk- m uluk daripada berpuisi, lam a-lam a terangkat juga wataknya yang m engagum kan, watak tukang obat yang ada sedikit dari watak tukang pangkas rambut dan sedikit dari watak toreador. Sudah mulai dari adegan pertama, ia menggemparkan. Ia m engim pit Lucie dalam pelukannya, m eninggalkannya, kem bali lagi, tampak putus asa. Ia meledak marah, lalu mengerang sedih lem but tak terperikan. Dan dari tenggorokannya yang telanjang keluarlah nada-nada penuh sedan dan ciuman. Em m a m enjulurkan badan ke depan untuk m elihatnya, dan

308 Gustave Flaubert kuku-kukunya m enggaruk-garuk beledu tem pat duduknya. J iwanya dilim pahi keluhan-keluhan m erdu itu yang m elantur- lantur diiringi kontrabas bagaikan teriakan orang-orang yang karam di tengah-tengah hiruk badai. Emma mengenali semua kem abukan dan kecem asan yang nyaris m em bunuhnya dulu. Suara biduanitanya bagi Em m a seperti m enggem akan suara hatinya, dan bayangan palsu di depannya yang m em ikat hatinya itu bagaikan sesuatu dari hidupnya sendiri. Tetapi tak ada seorang pun di dunia yang pernah m encintainya dengan asm ara serupa itu. Tangisnya tidak seperti Edgar pada m alam terakhir di bawah sinar bulan waktu m ereka saling berkata, “Sam pai besok, sam pai besok...!” Ruangan gem par dengan teriakan bravo. Seluruh stretto diulangi. Keduanya asyik m asyuk m em bicarakan bunga-bunga di kuburan mereka, ikrar, pembuangan, nasib, harapan. Dan ketika m ereka m elontarkan kata perpisahan yang terakhir, suara Emma berteriak melengking membaur dengan getaran-getaran paduan nada penghabisan. “Mengapa tuan itu m engejar-ngejarnya?” tanya Bovary. “Ah, tidak,” jawab Em m a, “dia, kan, kekasihnya.” “Akan tetapi ia bersum pah akan m em balas dendam atas keluarganya, sedangkan yang lain yang datang tadi, berkata, ‘Aku cinta pada Lucie dan kukira dia m encintaiku.’ Lagi pula ia pergi dengan ayahnya, bergandengan tangan. Ayahnya, bukan, si kecil yang jelek rupanya, yang m em akai bulu jago di topinya itu?” Bagaim an apun Em m a m en eran gkan n ya, n am un begitu terdengar duo yang setengah dinyanyikan setengah bicara, yaitu waktu Gilbert m enguraikan kepada tuannya Ashton segala ulahnya yang keji, Charles, ketika m elihat cincin pertunangan palsu yang harus m em perdayakan Lucie, m engira cincin itu tanda m ata cinta yang dikirim oleh Edgar. Tapi ia m engaku juga bahwa ia tidak m engerti ceritanya—lantaran m usiknya yang banyak m erusak kata-katanya.

Nyonya Bovary 309 “Ah, tidak apa-apa,” kata Em m a, “diam saja!” “Soalnya,” kata Charles lagi sam bil m engangsur ke bahu Em m a, “aku ingin m engerti. Kau, kan, sudah tahu.” “Diam ! Diam lah!” seru Em m a hilang kesabarannya. Lucie m elangkah m aju, setengah didukung oleh dayang-dayangnya, dengan tajuk kem bang jeruk di ram butnya, lebih pucat dari satin gaunnya. Em m a m engenang hari perkawinannya. Dan terbayang lagi dirinya di tengah ladang gandum sana di jalan setapak kecil waktu mereka jalan ke gereja. Mengapa dahulu ia tidak seperti wanita ini; melawan, meminta, mendesak? Ia bahkan gem bira ria, tidak dilihatnya tubir yang bakal diterjangnya.... Ah! Seandainya waktu kecantikannya m asih segar, sebelum ia kena noda perkawinan dan dikecewakan oleh perzinaan itu, ia dapat m enitipkan hidupnya kepada seorang yang hatinya kokoh dan mulia, maka terpadulah kebajikan, kelembutan, nikmat berahi, dan kewajiban, dan tak bakal pernah ia akan turun dari kebahagiaan setinggi itu. Tetapi kebahagiaan itu pasti tipuan yang diangankan untuk mengecewakan setiap keinginan. Sekarang ia m engetahui kerdilnya berahi yang dibesar-besarkan oleh seni. Maka dalam usahanya untuk m engalihkan pikirannya, Emma tidak lagi mau melihat apa-apa dalam penggambaran penderitaannya selain khayal yang diwujudkan sebagai rejeki m ata. Malahan dalam batinnya ia tersenyum iba m erendahkan. Tetapi dari bagian belakang teater, muncullah di bawah tirai pintu dari beledu seorang laki-laki bermantel hitam. Topi Spanyolnya yang besar jatuh dari ayunan tangannya. Serta m erta alat-alat m usik dan para penyanyi m engalunkan lagu untuk enam suara. Edgar yang berapi-api dalam am ukannya, m enguasai sem uanya dengan suaranya yang lebih nyaring. Dengan nada-nada berat, Ashton m elancarkan hasutan-hasutan untuk m em bunuh. Lucie m elontarkan keluhannya yang tinggi tajam . Arthur yang agak m enjauh, dan beralih dari tangga nada

310 Gustave Flaubert yang satu ke tangga nada lainnya, m engeluarkan bunyi-bunyi yang sedang. Dan suara bas sang m enteri m endengkur seperti orgel, sedangkan suara-suara wanita yang m engulangi kata- katanya m enyam bung berpadu, sedap m erdu. Mereka sem uanya berdiri dalam satu baris sambil menggerak-gerakkan tangan mereka. Dan kemarahan, balas dendam, rasa cemburu, rasa ketakutan, belas kasihan, dan ketercengangan mengembus keluar dengan serem pak dari m ulut m ereka yang setengah terbuka. Si kekasih yang m erasa terhina m engacu-acukan pedangnya yang sudah terhunus. Kerah pelisirnya dari renda yang diberi berkem bang tiap kali tersentak naik sesuai dengan gerak dadanya, sedangkan ia mondar-mandir ke kanan dan ke kiri dengan langkah besar sehingga pacu-pacunya yang m erah lem bayung berkerincing, terhentak pada lantai papan oleh sepatu botnya yang em puk dan m elebar di tentang pergelangan kakinya. Pasti, pikir Emma, ia m em puny ai cinta y ang tak habis-habisny a kalau bisa m encurahkan perasaan m eluap-luap seperti itu kepada kalangan penonton bany ak. Segala kecenderungan hendak m enjelekkan nam anya luluh oleh kepuitisan peran yang m elanda hatinya, dan Em m a yang m erasa dirinya tertarik kepada orangnya oleh angan-angan yang ditim bulkan tokohnya, m encoba m em bayangkan hidupnya, hidupnya yang penuh gem par, luar biasa, hebat, dan yang bisa saja dipunyainya seandainya m asih m enghendakinya. Maka m ereka pasti bisa berkenalan, m ereka bercintaan! Bersam a dia, Em m a akan m enjelajahi sem ua kerajaan Eropa dalam perjalanannya dari ibukota yang satu ke ibukota lainnya. Ia akan ikut m erasakan lelahnya dan kebanggaannya, m em ungut kem bang-kem bang yang dilem parkan kepadanya, m enyulam sendiri kostum -kostum nya. Lalu setiap m alam , dalam kegelapan losenya, di belakang pagar terali em asnya disam butnya dengan kagum curahan jiwa itu yang hanya akan m enyanyi untuk dia, Em m a. Dari pentas, sam bil m em bawakan perannya, ia akan

Nyonya Bovary 311 m enatap Em m a. Tetapi Em m a ditim pa pikiran gila, Lagardy benar-benar m enatapnya jelaslah! Em m a ingin m engham bur ke dalam dekapannya untuk m encari perlindungan kekuatannya seolah-olah ke dalam titisan asmara sendiri. Ia ingin berkata kepadanya, berseru, “Larikan aku, bawa aku, m ari kita pergi! Bagim u, bagim ulah sem ua gairah, sem ua im pianku!” Layar turun. Bau gas bercam pur dengan napas orang. Angin dari kipas- kipas m akin m enyesakkan udara. Em m a hendak keluar. Orang sedang m em enuhi gang-gang. Maka Em m a terhenyak kem bali di kursinya dengan debaran jantung yang m enyendatkan napasnya. Charles yang takut Em m a akan jatuh pingsan, lari ke bufet mencari segelas air sirop. Dengan susah payah ia dapat kem bali ke tem patnya. Sebab kedua sikunya didesak orang pada setiap langkah, karena kedua tangannya m em egang gelas. Malahan tiga perem pat dari isinya tertum pah ke atas bahu seorang wanita Rouen yang m em akai lengan pendek, dan waktu merasa cairan dingin mengalir ke pinggangnya, m enjerit-jerit seperti burung m erak, seolah-olah ia m au dibunuh. Suam inya, seorang pem ilik pem intalan, m arah- m arah kepada orang yang canggung itu. Dan sem entara wanita itu dengan saputangannya m engusap noda-noda di gaunnya yang indah dari tafeta warna ceri, ia dengan kasar m enggum am kan kata-kata ganti rugi, ongkos, pem bayaran kem bali. Akhirnya Charles sam pai juga ke tem pat istrinya, dan berkata, kehabisan napas. “Astaga, saya kira tak bisa kem bali lagi. Orangnya bukan m ain banyaknya! Bukan m ain!” Lalu tam bahnya, “Coba terka siapa yang kujum pai tadi di atas sana? Tuan Léon!” “Léon ?”

312 Gustave Flaubert “Dia sen diri! Dia akan kem ari m en yam paikan salam takzim nya kepadam u.” Dan ketika ia m engakhiri bicaranya, m asuklah kerani Yonville yang dulu itu ke dalam bilik m ereka. Ia menjulurkan tangan dengan kesantaian seorang bangsawan. Dan Nyonya Bovary dengan sendirinya m enjulurkan tangannya juga, boleh jadi karena m enuruti daya tarik suatu kem auan yang lebih kuat. Perasaan itu tidak dirasakannya lagi sejak malam musim semi dahulu, waktu hujan jatuh ke atas daun-daun hijau, waktu mereka berdiri tegak di dekat jendela dan mengucapkan selamat berpisah. Tetapi segera ia ingat akan sikap yang selayaknya dalam keadaan m ereka pada waktu itu, dan dengan susah payah dibuangnya rasa lem bam yang ditim bulkan oleh kenang-kenangannya dan yang m elum puhkannya, lalu menggumamkan beberapa kalimat dengan cepat. “Ah, selam at m alam ! Coba bayangkan! Anda di sini?” “Diam !” teriak orang dari bawah, sebab babak ketiga sudah m u la i. “J adi, Anda di Rouen?” “Ya.” “Sejak kapan?” “Keluar! Keluar!” Orang-orang menengok ke arah mereka. Mereka diam. Tetapi mulai saat itu Emma tidak mendengarkan lagi. Dan paduan suara para tam u, adegan Ashton dan pelayannya, duo besar dalam D m ayor, sem ua itu baginya berlangsung seperti di tem pat yang jauh, seakan-akan alat-alat m usik m enjadi lebih suram dan tokoh-tokohnya lebih jauh. Ia ingat waktu m ereka main kartu di rumah apoteker, dan waktu mereka jalan-jalan ke tempat inang, waktu mereka membaca di bawah punjung, berdua saja di dekat api, seluruh percintaan m alang itu yang begitu tenang dan begitu lam a, begitu tersem bunyi, begitu lem but, dan

Nyonya Bovary 313 yang telah ia lupakan juga. Maka m engapa Léon harus kem bali? Gabungan petualangan yang bagaim anakah m em bawa Léon kem bali ke dalam hidupnya? Léon berdiri di belakangnya dengan bahu bersandar kepala dinding sekat. Dan sekali-sekali Emma m erasa badannya m enggigil terkena napas Léon yang hangat yang turun dari hidungnya ke ram but Em m a.... “Anda suka m endengarkan itu?” tanya Léon m em bungkuk m endekat hingga ujung kum isnya nyaris m engusap pipi Em m a. Em m a m enjawab tak acuh, “Ah, tidak seberapa.” Lalu Léon m engusulkan supaya m ereka m eninggalkan teater dan minum es saja di salah suatu tempat. “Ah, jangan dulu! Biar kita di sini dulu!” kata Bovary. “Wanita itu sekarang terurai ram butnya. Pasti bakal penuh duka.” Tetapi Emma tidak tertarik oleh adegan wanita gila itu, dan perm ainan penyanyi itu m enurut perasaannya berlebihan. “Terlalu keras teriaknya,” katanya sam bil m enengok ke arah Charles yang sedang m endengarkan nyanyian itu. “Ya... boleh jadi... sedikit,” jawab Charles yang ragu-ragu antara rasa senangnya yang tulus dan penghargaannya terhadap pendapat istrinya. Lalu Léon berkata sam bil m engeluh, “Panasnya....” “Benar! Tak tertahan.” “Kau m erasa kurang enak?” tanya Bovary. “Ya, aku sesak. Mari kita pergi saja.” Tuan Léon dengan hati-hati m enaruh selendang renda pada bahu Em m a. Lalu m ereka bertiga duduk-duduk di pelabuhan, di udara terbuka, di depan kaca jendela sebuah kafe. Mula-m ula yang dibicarakan penyakit Em m a, m eskipun Em m a sendiri kadang-kadang m enyela Charles karena takut, katanya, akan m em bosankan Tuan Léon. Dan Léon m enceritakan bahwa ia pergi ke Rouen untuk bekerja selama dua tahun dalam sebuah kantor yang baik nam anya supaya ia m ahir berusaha,

314 Gustave Flaubert karena usaha di Norm andia lain dari yang dijalankan di Paris. Lalu ia m enanyakan Berthe, keluarga Hom ais, Nyonya Lefrançois. Dan karena tidak ada lagi yang dapat m ereka ceritakan di hadapan Charles, percakapan m ereka segera terhenti. Beberapa orang yang keluar sehabis m enonton lewat di depan mereka di kaki lima sambil bersenandung atau berkoar- koar sekuat tenaga, “Oh bidadari yang cantik, Lucie-ku!” Lalu Léon yang m au berlagak sebagai penggem ar kesenian, m ulai bicara m usik. Ia sudah m elihat Tam burini, Persiani, Grisi. Dan dibandingkan dengan m ereka, Lagardy belum apa-apa, m eskipun lancang suaranya. “Meskipun begitu,” sela Charles yang berdikit-dikit m enyesap serbet rum nya, “kata orang, di adegan penghabisan ia benar- benar m engagum kan. Saya m enyesal kita sudah pergi sebelum berakhir, sebab saya m ulai senang.” “Tetapi ia segera akan m engadakan pertunjukan lagi,” kata si kerani. Akan tetapi Charles m enjawab bahwa m ereka akan pulang esok harinya. “Kecuali,” tam bahnya sam bil m enengok kepada istrinya, “kalau kau m asih m au tinggal sendiri saja, m anisku?” Lalu laki-laki m uda itu berubah siasat, m endapat kesem patan tak tersangka itu yang m enghidupkan harapannya. Maka m ulailah ia m em uji-m uji Lagardy di dalam bagian penghabisan itu. Hebat sekali, bukan m ain indahnya! Lalu Charles m endesak, “Kau bisa pulang hari Minggu. Ayolah, m au tidak? Kau salah tidak m au, kalau sedikit pun kau m erasa ada baiknya untukm u.” Sementara itu meja-meja di sekeliling mereka menjadi kosong. Seorang pelayan datang diam -diam , berdiri di dekat m ereka. Charles m engerti, lalu m engeluarkan dom petnya. Kerani m enahan tangannya, bahkan tidak lupa m enaruh tam bahan dua m ata uang putih yang didencingkannya ke atas m arm er m eja.

Nyonya Bovary 315 “Saya sesalkan, betul,” gum am Bovary, “uang yang Anda....” Léon dengan penuh keram ahan m em buat isyarat m erem ehkan, lalu m em ungut topinya dan berkata, “J adi, sudah janji, bukan, besok pukul enam?” Charles sekali lagi berkata bahwa ia tidak dapat lebih lam a m eninggalkan pekerjaannya. Tetapi tak ada yang m encegah Em m a.... “Soalnya...” Em m a m enggagap dengan senyum aneh, “saya tidak begitu yakin....” “Nah! Kau pikirkan dulu. Kita lihat nanti. Malam hari biasanya tim bul ilham ....” Lalu kepada Léon yang berjalan bersam a m ereka, “Karena Anda sekarang ada di daerah kam i, saya harap Anda sekali-sekali akan datang dan m akan m alam di tempat kami.” Kerani m enegaskan ia tidak akan lupa, apalagi ia pergi ke Yonville untuk urusan kantornya. Maka m ereka pun berpisahlah di depan jalan tembusan Saint Herbland ketika katedral m em bunyikan lonceng pukul setengah dua belas.



Bagian Ketiga



Bab I WAKTU MENUNTUT ilmu hukumnya, Tuan Léon ada kalanya mengunjungi La Chaum ière. Di sana ia bahkan mencetak sukses yang lumayan juga di kalangan noni-noni yang biasa bekerja di perusahaan jahit-menjahit. Menurut mereka, rupanya keren. Dialah yang paling pantas dari semua mahasiswa; rambutnya tidak terlalu panjang tidak terlalu pendek, uang trimesternya tidak langsung dimakannya habis pada tanggal satu bulan baru, dan hubungannya dengan para profesor tetap baik. Berbuat yang keluar batas selalu dihindarinya, baik karena kerdil nyalinya, maupun karena halus perasaannya. Acap kali apabila ia tinggal di kam ar dengan bacaannya, atau apabila senja hari ia duduk-duduk di bawah pohon tilleul di Tam an Luxem bourg, ia m em biarkan buku undang-undangnya jatuh ke tanah. Dan kenangan akan Emma teringat kembali. Tetapi sedikit demi sedikit perasaan ini berkurang, dan ketamakan- ketam akan lain m enum puk m enindihnya, m eskipun tidak sam a

320 Gustave Flaubert sekali m enghilangkannya. Sebab harapan Léon tidak hilang sam a sekali, dan baginya seperti ada janji sam ar-sam ar yang terayun- ayun di m asa depan, seperti buah em as yang tergantung pada entah pohon khayal apa. Lalu, waktu ia m elihat Em m a kem bali setelah tiga tahun kepergiannya, nafsu berahinya bangkit lagi. Akhirnya harus juga ia m engam bil keputusan, pikirnya, untuk m enegaskan kem auannya hendak m em iliki wanita itu. Lagi pula rasa m alunya dahulu sudah m enipis dalam pergaulannya yang gem bira ria penuh gurau. Dan waktu ia kembali ke daerah, ia mencibiri tiap orang yang tidak m enginjak aspal jalanan besar dengan sepatu m engkilat. Di sam ping wanita Paris yang berpakaian serba renda, di dalam salon salah seorang doktor yang ternam a, seorang tokoh yang m em punyai tanda-tanda jasa dan m em punyai kereta, si kerani malang pasti bakal gemetar seperti anak-anak. Tetapi di sini, di Rouen, di pelabuhan, di depan istri dokter kecil itu, ia m erasa santai, belum apa-apa sudah yakin ia akan cem erlang. Kem antapan sikap tergantung dari lingkungan; di lantai bawah, orang tidak bicara seperti di lantai keempat; dan untuk membela nam a baiknya, wanita kaya seolah-olah dikelilingi oleh segala uang kertas bank kepunyaannya, bagaikan zirah dalam pelapis kor set n ya . Waktu kem arin m alam Léon m eninggalkan Tuan dan Nyonya Bovary, ia m engikuti m ereka dari jauh di jalan. Lalu setelah dilihatnya m ereka berhenti di Croix-Rouge, ia m em balikkan tum itnya dan m enghabiskan m alam itu dengan m em ikirkan r en ca n a . Maka esok harinya m enjelang pukul lim a, ia m em asuki dapur penginapan itu dengan kerongkongan seakan-akan tersekat, pipi pucat, dan dengan niat seorang pengecut yang tak bisa dicegah lagi. “Tuannya tidak ada,” jawab salah seorang pelayan.

Nyonya Bovary 321 Alam at baik, sangkanya. Maka naiklah ia. Em m a tidak m erasa terganggu waktu Léon m endekat. Malah sebaliknya, ia m inta m aaf karena lupa m engatakan di m ana mereka menginap. “Oh, tak apa, bisa saya tebak,” kata Léon. “Bagaim ana?” Katanya ia telah dibim bing kepadanya, begitu saja, karena ada perasaan. Senyum Em m a m ulai m ekar, dan segera untuk m em betulkan kebodohannya, Léon bercerita bahwa sepanjang pagi itu ia mencari Emma dalam semua hotel kota itu satu per satu. “J adi An da sudah m em utuskan un tuk tin ggal di sin i?” tam bahnya. “Ya,” kata Em m a, “dan saya salah.... Tidak baik orang m em biasakan diri m encari kesenangan yang tidak-tidak, sedangkan di sekelilingnya ada seribu satu kewajiban....” “Oh! Saya kira....” “Tidak! Karena Anda bukan wanita! Bukan!” Tetapi kaum lelaki pun punya kesusahan. Dan percakapan m ereka m ulai dengan beberapa gagasan yang berfalsafah. Em m a banyak bicara tentang kesengsaraan kasih sayang duniawi dan kesendirian abadi yang m em benam i hati kita. Entah untuk m enonjolkan diri, atau karena kenaifan hendak m eniru kesenduan itu yang m em bangkitkan padanya kesenduan pula, laki-laki m uda itu m enceritakan betapa jem unya ia selam a m enuntut ilm u itu. Pengadilan m enjengkelkannya. Hatinya cenderung ke bidang-bidang keahlian lain. Dan ibunya di dalam setiap suratnya tak habis-habis m enyiksanya. Makin lama mereka berbicara, makin jelas mereka masing-masing menegaskan sebab-sebab penderitaan mereka. Dan hati mereka agak bergembira dalam suasana pengakuan rahasia mereka yang m akin m endalam . Tetapi m ereka kadang-kadang terhenti

322 Gustave Flaubert apabila hendak membentangkan pikiran mereka dengan terus terang. Maka m ereka m encoba m encari kalim at yang dapat m engungkapkannya dengan cara lain. Em m a sekali-kali tidak m enceritakan gairahnya kepada laki-laki lain. Léon pun tidak bercerita bahwa ia telah melupakan Emma. Boleh jadi Léon tidak ingat lagi bahwa seusai pesta dansa, ia suka makan malam bersama gadis-gadis buruh. Dan Emma pasti sudah lupa pertem uan-pertem uannya apabila ia pagi- pagi lari m elintasi rerum putan m enuju puri kekasihnya. Bunyi kebisingan kota hampir tak sampai pada telinga mereka. Dan kam ar itu rasanya kecil, tepat benar untuk lebih m engeratkan lagi kesendirian m ereka. Em m a yang m em akai gaun rum ah dari cita bergaris-garis, m enyandarkan kundainya pada sandaran kursi tua itu. Kertas kuning dari tem bok m enjadi seperti latar em as di belakang. Dan kepalanya yang tak terselubung itu terulang di dalam kaca dengan garis belahan putih di tengah dan ujung telinga yang keluar dari bawah sisiran ram butnya. “Tapi m aafkan,” katanya, “saya bersalah! Saya m em bosankan Anda dengan keluhan saya terus m enerus ini!” “Tidak, sekali-kali tidak, tak pernah bakal!” “Sekiranya Anda tahu,” kata Em m a lagi dan m atanya yang indah menengadah ke langit-langit itu melepaskan setetes air m ata, “apa saja im pian saya!” “Saya pun begitu! Oh! Betapa penderitaan saya! Sering kali saya keluar, saya pergi, saya bawa badan saya ini m enyusuri dermaga, mencoba membius diri dengan kebisingan kerumunan orang banyak, tapi tanpa dapat m em buang jauh-jauh pikiran yang m enghantui saya terus m enerus. Di bulevar, di tem pat penjual gam bar-gam bar, ada sebuah etsa Italia yang m elukiskan salah seorang Dewi Musa, Dewi Seni Bebas. Ia diselubungi gaun panjang penuh lipatan, ia melihat bulan, ada bunga miosotis dalam ram butnya yang terurai. Ada sesuatu yang selalu saja

Nyonya Bovary 323 m endorong saya ke tem pat itu. Di sana saya berjam -jam lam anya.” Lalu dengan suara yang bergetar, “Ada m iripnya dengan Anda.” Nyonya Bovary m em buang m uka supaya tak terlihat oleh Léon senyum yang dirasakannya m au m ekar di bibirnya, tak tertahan. “Seringkali,” kata Léon lagi, “saya m enulis surat kepada Anda yang kem udian saya robek.” Em m a tidak m enjawab. Léon m elanjutkan, “Ada kalanya saya m engkhayal, nasib akan m em bawa Anda kepada saya. Saya pernah m engira saya m elihat Anda di ujung jalan. Dan saya kejar setiap kereta yang dari pintunya saya lihat ada selendang berkibar, atau selubung m uka yang m irip kepunyaan Anda.” Em m a nam paknya bertekad m em biarkannya bicara tanpa m enyelanya. Dengan tangan bersedekap dan kepala tertunduk, ia m engam ati ceplok bunga hiasan di atas sandalnya, dan sebentar- sebentar jari-jari kakinya bergerak m enguik-nguik dalam kain satin sandal itu. Akhirnya ia m enghela napas panjang. “Yang paling m enyedihkan ialah dengan susah m enjalani kehidupan yang sia-sia seperti saya, bukan begitu? Seandainya penderitaan kita ada m anfaatnya bagi seseorang, kita akan terhibur karena ingat akan pengorbanan itu.” Léon m ulai m em uji kebajikan, kewajiban dan segala pengorbanan yang dilakukan dengan diam -diam . Ia pun m erasa dorongan yang bukan alang kepalang untuk m em baktikan diri yang tak dapat dipuaskannya. “Saya ingin sekali,” kata Em m a, “m enjadi rohaniwati yang bekerja di rumah sakit.” “Sayang,” kata Léon, “bagi kaum lelaki tidak ada tugas suci sem acam itu, dan di m ana pun tak saya lihat adanya pekerjaan, kecuali barangkali pekerjaan sebagai dokter....” Dengan gerak ringan dari bahunya, Em m a m enyela dan m engeluh m em bicarakan penyakitnya yang nyaris m engakibatkan

324 Gustave Flaubert ajalnya. Sayang tidak jadi! Barangkali ia tidak lagi m enderita sekarang ini. Léon seketika itu juga iri hati pada kedam aian di kuburan, bahkan pada suatu malam ia pernah menulis surat wasiat dengan anjuran supaya ia dikubur di dalam perm adani yang jalur-jalurnya dari beledu, yang dahulu ia terim a dari Em m a. Sebab dem ikianlah sebenarnya m ereka ingin m elihat diri m ereka, m asing-m asing m em buat gam baran idam -idam an dari dirinya yang sekarang m ereka jadikan patokan untuk m enyesuaikan kehidupan m ereka yang lam pau. Lagi pula, tutur kata bagaikan m esin giling yang selalu m em anjangkan perasaan. Tetapi mendengar rekaan mengenai pemadani itu, Emma bertanya, “Tapi m engapa?” “Men ga p a ?” Ia ragu. “Sebab saya dahulu sayang benar kepada Anda!” Dengan hati yang bersorak karena telah diatasinya kesukaran itu, Léon m elirik m engintip gerak wajah Em m a. Seperti langit sewaktu awan tersapu disentak angin, gumpalan pikiran sedih yang tadi m enyuram kan m ata birunya, seakan-akan surut m enghilang. Seluruh m ukanya bersinar-sinar. Léon m enanti. Akhirnya Em m a m enjawab, “Sudah saya sangka dahulu....” Maka mereka saling menceritakan kejadian-kejadian kecil dari kehidupan yang sudah jauh itu. Dengan satu kata m ereka ungkapkan keriangan dan kesenduannya. Léon teringat pada keranjang ayunan bayi dari kayu klem atis, gaun-gaun yang dipakai Em m a dahulu, perabot di dalam kam arnya, seluruh rum ahnya. “Dan kaktus-kaktus kita yang m alang itu di m ana sekarang?” “Mati kedinginan m usim salju ini.” “Aduh! Betapa saya teringat pada kaktus itu, Anda tahu? Acap kali saya m em bayangkannya kem bali seperti dahulu, apabila

Nyonya Bovary 325 pada pagi-pagi musim panas matahari menimpa kerai jendela.... Lalu saya m elihat kedua lengan Anda yang telanjang bergerak di antara kembang-kembang.” “Ah, kasihan! Sahabatku!” kata Em m a sam bil m engulurkan t a n ga n n ya . Léon cepat-cepat m enem pelkan bibirnya pada tangan itu. Lalu setelah m enghirup udara dalam -dalam . “Pada m asa itu, Anda bagi saya m erupakan entah kekuatan apa yang tak dapat saya paham i dan yang m em ukau hidup saya. Pada suatu hari um pam anya, saya datang ke tem pat Anda. Anda pasti sudah tak ingat lagi?” “Tentu saya ingat,” kata Em m a. “Lalu?” “Anda ada di bawah, di kam ar depan, sudah di tangga, siap untuk keluar. Anda m alahan m em akai topi dengan kem bang biru kecil-kecil. Dan tanpa ada undangan dari pihak Anda, tanpa dapat saya tahan, saya m enyertai Anda. Akan tetapi m enit dem i m enit saya m akin m enyadari kekonyolan saya, nam un saya m asih terus berjalan di dekat Anda, benar-benar m engikuti Anda tidak berani, m eninggalkan Anda tidak m au. Apabila Anda m asuk toko, saya tinggal di jalan. Saya m elihat dari kaca jendela Anda m em buka sarung tangan dan m enghitung uang di m eja toko. Lalu Anda m engebel di rum ah Nyonya Tuvache, pintu dibuka, dan saya seperti orang tolol tinggal di depan pintu besar yang berat itu yang telah tertutup di belakang Anda.” Sam bil m endengarkan Léon, Nyonya Bovary m erasa heran dirinya sudah setua ini. Sem ua kejadian yang tim bul lagi dalam ingatannya, seakan-akan m em perluas kehidupannya. Kesannya seperti bentangan keluasan sentim ental yang dim asukinya lagi dalam angan-angannya. Dan sekali-sekali ia berkata dengan suara pelan dan m ata setengah terpejam , “Ya, benar... benar... benar!” Mereka m endengar pukul delapan berbunyi dari berbagai lonceng di Beauvoisine yang penuh dengan rum ah pem ondokan,

326 Gustave Flaubert gereja dan hotel besar yang kosong. Mereka tidak bercakap- cakap lagi. Tetapi ketika berpandangan, mereka merasakan risik di kepala, seolah-olah sesuatu yang m erdu telah lolos dari biji mata mereka masing-masing. Tangan mereka baru saja bertemu. Dan masa lampau, masa depan, kenang-kenangan dan impian, sem uanya itu m enjadi satu dalam kelem butan jiwa m ereka yang bergembira. Malam makin pekat melekati dinding-dinding. Di situ, setengah tenggelam di dalam kelam, masih mengilau warna- warna tebal dari em pat gam bar yang m elukiskan em pat adegan dari Menara Nesle, dengan keterangan di bawahnya dalam bahasa Spanyol dan Prancis. Dari jendela yang dapat didorongnya ke atas, sekelumit dari langit mendung tampak di sela-sela atap- atap yang lancip. Em m a berdiri untuk m enyalakan dua lilin di atas bufet, lalu ia kembali duduk. “J adi?” kata Léon. “J adi?” jawab Em m a. Dan Léon sedang m encari-cari bagaim ana ia dapat m enyam bung percakapan m ereka yang telah terputus, ketika Em m a berkata, “Apa sebabnya m aka tak seorang pun sam pai sekarang pernah mengutarakan perasaan semacam ini kepada saya?” Kerani m em bantah bahwa watak-watak yang ideal sukar dim engerti. Kalau ia, ia sudah pada pandang pertam a m encintai Emma. Dan sejak itu ia menjadi putus asa kalau memikirkan kebahagiaan yang dapat m ereka raih, sekiranya berkat nasib untung, mereka lebih dulu bertemu dan tertaut satu sama lain dengan ikatan yang tak bisa lepas. “Ada kalanya saya berpikir begitu,” kata Em m a lagi. “Im pian hebat!” bisik Léon. Dan tangannya dengan hati-hati m em ainkan pinggiran biru tali pinggang Em m a yang panjang putih itu, waktu ia

Nyonya Bovary 327 m enam bah, “Dan siapa yang m enghalangi kita untuk m ulai lagi dari permulaan? “Tidak, Tem an,” jawab Em m a. “Saya sudah terlalu tua... Anda terlalu m uda... lupakan saja! Anda akan dicintai wanita- wanita lain... Anda akan m encintai m ereka.” “Tidak seperti Anda!” seru Léon. “Anda seperti anak-anak saja! Ayo! Kita harus tahu diri! Saya m aunya begitu!” Em m a m engem ukakan betapa tidak m ungkinnya percintaan m ereka, dan bahwa sebaiknya m ereka seperti sediakala biasa saja tinggal dalam batas-batas persahabatan yang akrab. Apakah ia bersungguh-sungguh kalau bicara begitu? Em m a sendiri pasti tidak tahu, ia terlalu asyik dengan pukauan godaan, dan terlalu sibuk m erasakan keharusan untuk m engingkarinya. Ia m enatap anak m uda itu dengan pandangan sayang, dan dengan lem but ditolaknya tangan-tangan Léon yang gem etar m encoba m em belai-belainya dengan ragu. “Ah! Maafkan!” kata Léon. Ia pun surut. Dan Em m a agak ngeri m enghadapi keraguan itu yang lebih berbahaya baginya daripada keberanian Rodolphe bila ia m endekat dengan kedua tangan dikem bangkan. Belum pernah ada laki- laki yang setam pan ini di m atanya. Dari sikap dan kelakuannya terpancar ketulusan yang ikhlas sekali. Léon m enurunkan bulu m atanya yang panjang halus m elentik. Pipinya yang lem but kulitn ya m em erah —san gka Em m a karen a m en gin gin kan dirinya. Tim bul keinginannya yang tak dapat ditindasnya untuk m enyentuh pipi itu dengan bibirnya. Lalu ia m em bungkuk m aju pura-pura hendak melihat jam. “Ya Tuhan, sudah m alam sekali!” katanya. “Kita bisanya bercakap-cakap terus!” Léon m enangkap sindirannya. Maka dicarinya topinya.

328 Gustave Flaubert “Saya sam pai lupa m enonton! Kasihan, Bovary, padahal saya sengaja ditinggalkannya di sini untuk keperluan itu. Sebenarnya, saya akan ditem ani oleh Tuan Lorm eaux, dari J alan Grand-Font, bersam a istrinya.” Sudah hilang kesem patannya sekarang, sebab Em m a akan pergi keesokan harinya. “Betul?” tanya Léon. “Be t u l.” “Akan tetapi saya m asih harus m elihat Anda lagi,” kata Léon. “Perlu saya sam paikan....” “Ap a ?” “Suatu hal... yang penting, yang sungguh-sungguh. Ah, tidak! Lagi pula Anda tidak boleh pergi, tidak bisa! Sekiranya Anda tahu.... Dengarkan.... J adi, Anda tidak juga m engerti? Anda tidak dapat menerka?” “Padahal Anda berbicara dengan jelas,” kata Em m a. “Ah! Kelakar sem ua itu! Sudah, cukuplah! Kasihani saya, dan beri saya kesem patan untuk bertem u lagi dengan Anda... satu kali... satu kali saja.” “Begin i....” Em m a berhenti. Lalu, seakan-akan berubah pikiran. “Oh! Tidak di sini!” “Terserah Anda.” “Bagaim ana kalau....” Emma kelihatan berpikir, lalu dengan nada kering. “Besok pagi, pukul sebelas, di dalam katedral.” “Baik!” seru Léon. Ia m eraih tangan Em m a, tapi Em m a m elepaskan pegangannya. Dan karena m ereka keduanya berdiri, Léon di belakang Em m a dan Em m a dengan kepala m enunduk, Léon m em bungkuk ke batang leher Em m a dan bibirnya lam a m encium tengkuknya.

Nyonya Bovary 329 “Gila! Ah! Anda gila!” kata Em m a dengan tawa-tawa kecil m erdu, sem entara cium an Léon berlipat ganda. Lalu Léon m enjulurkan kepalanya dari atas bahu Em m a seakan-akan m au m inta persetujuan m atanya. Mata Em m a m enyam butnya penuh dengan keanggunan yang dingin. Léon m undur tiga langkah, hendak pergi. Ia berhenti di am bang pintu. Lalu ia berbisik dengan suara yang gem etar. “Sam pai besok!” Emma menjawab dengan anggukan kepala, lalu menghilang seperti burung ke kamar sebelah. Malam itu, Em m a m enulis kepada kerani sepucuk surat yang tak habis-habis. Di dalam nya ia m em bebaskan diri dari kencan m ereka. Segala-galanya sudah berakhir sekarang, dan m ereka tidak boleh lagi bertemu demi kebahagiaan mereka. Tetapi setelah surat ditutup, karena tidak tahu alam at Léon, Em m a bingung juga. Akan say a berikan sendiri, batinnya, ia pasti datang. Léon, esok harinya, dengan jendela terbuka, dan sam bil m enyanyi kecil di balkonnya, m enyem ir sendiri sepatu pantofelnya sampai beberapa lapis. Ia mengenakan pantalon putih, kaus kaki yang halus, jas hijau, m em ercikkan ke atas saputangannya sem ua wangi-wangian yang dia punya, lalu ram butnya yang tadinya dikeriting, diluruskan kem bali supaya keluwesannya kelihatan lebih wajar. M asih terlalu pagi! pikirnya waktu m elihat jam kukuk tukang rias rambut menunjukkan pukul sembilan. Ia m em baca m ajalah m ode yang sudah lam a, keluar, m engisap serutu, m enyusuri tiga jalan, m enganggap sudah waktunya, lalu dengan cepat menuju pelataran Notre-Dame. Hari itu pagi hari m usim panas yang cerah. Barang perak di toko-toko pandai em as berkilau-kilauan. Dan sinar cahaya yang m iring m enim pa katedral, m enim bulkan cahaya berkeredep pada

330 Gustave Flaubert celah-celah batu-batu warna kelabu. Sekawanan burung berputar- putar di langit biru mengelilingi menara-menara lonceng dengan hiasan sem angginya. Lapangan besar yang bergem a dengan teriakan-teriakan, berbau harum karena bunga-bunga sepanjang jalan-jalan aspalnya, bunga m awar, yasm in, anyelir, narsis, dan sedap malam, di sana sini diselingi hijau-hijauan lembap, rum put kucing, dan tanam an m ouron kesukaan burung. Air m ancur di tengah-tengah m enggelegak. Dan di bawah payung- payung kebun yang lebar, di antara tum pukan buah m elon yang tersusun menjadi piramida-piramida, perempuan-perempuan yang berjualan bunga tanpa tudung kepala, sedang m em bungkus buket-buket kem bang violet dengan satu putaran kertas. Diam bil satu buket oleh anak m uda tadi. Ini pertam a kalinya ia m em beli bunga untuk wanita. Dan dadanya waktu m enghirup baunya, m em busung dengan bangga, seolah-olah penghorm atan yang dialam atkannya kepada orang lain ini m em balik kepadanya. Akan tetapi ia takut dilihat orang. Dengan langkah pasti ia memasuki gereja. Pada waktu itu penjaga gereja berdiri di ambang pintu, di tengah-tengah gerbang kiri, di bawah patung “Marianne m enari”. Bulu m enghiasi topi di kepalanya, pedang m enem pel di betis, tangan m enggenggam tongkat, m egahnya lebih daripada seorang kardinal, serta m engkilapnya seperti sibori suci. Ia m endekati Léon, dengan senyum penuh kelem butan yang dibikin-bikin seperti apabila pendeta m enanyai anak-anak. “Tuan pasti tidak dari sini? Tuan ingin m elihat hal-hal aneh di gereja ini?” “Tidak,” kata yang ditanya. Lalu Léon m ula-m ula berkeliling di gang-gang sam ping. Kem udian keluar ke lapangan m au m elihat-lihat, Em m a belum datang juga. Ia masuk lagi ke ruang kor.

Nyonya Bovary 331 Di dalam pasu-pasu air suci yang terisi penuh terbayang lorong tengah, dengan sedikit dari lengkung-lengkung runcing dan beberapa bagian dari jendela-jendela kaca yang berwarna- warni. Tetapi bayangan gam bar-gam bar jendela itu, yang terpatah di pinggiran batu m arm er, m enyam bung lebih lanjut ke atas ubin bagaikan perm adani pancawarna. Cahaya terang di luar m asuk dari ketiga pintu besar yang terbuka, dan m em anjang ke dalam gereja berupa tiga berkas yang lebar. Sekali-sekali, di bagian belakang ada koster lewat, yang di depan altar berlutut m iring seperti lazim nya orang-orang saleh yang terburu-buru. Lam pu- lampu gom by ong dari kristal bergantungan tidak bergerak. Di ruang kor m enyala sebuah lam pu perak, dan dari kapel-kapel sebelah-m enyebelah, dari bagian-bagian gereja yang tem aram , kadang-kadang keluar suara-suara seperti embusan napas, disertai bunyi pintu ruji yang m enutup kem bali, dan yang m em antulkan gem anya di bawah lengkung-lengkung yang m enjulang tinggi. Dengan langkah khidm at, Léon berjalan m enyusuri tem bok- tem bok. Belum pernah kehidupan dirasakannya sebaik ini. Em m a akan datang nanti, manis, gelisah, sambil melirik ke belakang apa ada pandangan m ata yang m engikutinya, dan dengan gaunnya yang banyak setroknya, kaca m ata jepitnya dari em as, sepatu botnya yang tipis, dengan aneka ragam keluwesannya yang belum pernah dicicipi Léon, dan dengan pesona yang tak terperikan lantaran kesuciannya yang bakal m enyerah. Bagaikan ruang duduk wanita yang luas sekali, gereja itu m em bentang di sekeliling Em m a. Lengkungan-lengkungan m enekur untuk m enyam but di dalam rem ang pengakuan cintanya. J endela-jendela gereja berseri-seri untuk m enerangi wajahnya. Dan dupa-dupa akan m enyala supaya ia kelihatan seperti bidadari di tengah-tengah kepulan wangi-wangian. Nam un Em m a belum juga datang. Léon m engam bil tem pat di atas sebuah kursi, dan pandangannya hinggap pada jendela

332 Gustave Flaubert kaca berwarna biru yang berlukiskan juragan-juragan kapal yang m em bawa keranjang-keranjang. Lam a ia m erenunginya, penuh perhatian. Lalu dihitungnya sisik ikan-ikannya dan lubang kancing baju-baju, sem entara pikirannya m engem bara ke Em m a. Penjaga gereja, agak jauh, dalam hatinya m enjadi gusar kepada orang itu yang dengan seenaknya sendiri saja m engagum i katedral. Rasanya orang itu berkelakuan keji, boleh dikatakan ia m encuri keuntungannya, bahkan ham pir m elakukan pencem aran terhadap yang keram at. Tetapi ada risik sutra di atas ubin, tepi sebuah topi, mantel pendek warna hitam .... Dia! Léon bangkit dan m em buru hendak m enyam butnya. Em m a pucat wajahnya. J alannya cepat. “Bacalah!” katanya sam bil m enjulurkan secarik kertas.... “Ah, t id a k!” Dan dengan tiba-tiba ia m enarik kem bali tangannya, lalu masuk ke dalam kapel Sang Perawan. Di sana ia berlutut bersandar pada kursi, lalu berdoa. Si anak m uda jengkel m elihat ulah kesalehan yang berlebih- lebihan itu. Tetapi kemudian ia pun merasakan suatu pesona melihat Emma di tengah-tengah tempat pertemuan mereka begitu asyik dengan doanya seperti istri seorang m arquis dari Andalusia. Lalu segera pula ia m enjadi bosan, karena Em m a tak juga sudah. Em m a berdoa, lebih tepat ia m encoba sekuatnya untuk berdoa, dengan harapan dari langit akan turun suatu keputusan m endadak. Dan untuk m enarik pertolongan Tuhan, m atanya digenanginya dengan kegerlapan tabernakel, dadanya m enghirup wangi bunga-bunga putih yang sedang m ekar di dalam jam bangan- jam bangan besar dan telinganya m enyim ak keheningan gereja yang justru m em perhebat kegalauan di dalam hatinya.

Nyonya Bovary 333 Ia berdiri. Dan mereka sudah akan pergi, ketika penjaga gereja m endekat dengan cepat sam bil berkata, “Nyonya pasti tidak dari sini? Nyonya ingin m elihat hal-hal aneh di gereja ini?” “Tidak, tidak!” seru si kerani. “Mengapa tidak?” kata Em m a. Karena dengan kesuciannya yang sudah m au goyah itu ia berpegang erat pada Sang Perawan, pada patung-patung, kuburan-kuburan, pada kesempatan apa pun. Lalu, supaya m ereka berjalan “m enurut peraturan”, penjaga gereja mengantarkan mereka kembali ke pintu masuk, di dekat lapangan. Di sana tongkatnya m enunjukkan sebuah lingkaran besar dari batu-batu jalanan hitam , yang tak bertulisan ataupun bertatahan. “Itulah garis keliling lonceng Am broise yang indah,” katanya den gan m egah. “Beratn ya em pat puluh ribu pon . Tak ada tandingnya di seluruh Eropa. Tukang yang m eleburnya sam pai meninggal dunia karena kegirangan....” “Mari kita pergi,” kata Léon. Si penjaga mulai jalan lagi. Sesudah mereka berada kembali di kapel Sang Perawan, ia m em bentangkan tangannya m em buat gerakan yang m em perlihatkan sem uanya, dan lebih bangga dari pem ilik tanah di pedesaan yang m em am erkan pohon-pohonnya yang berlanjaran, ia berkata, “Ubin yang sederhana ini m enutupi Pierre de Brézé, tuan tanah Varenne dan Brissac, panglim a besar dari Poitou dan gubernur Norm andia, yang gugur dalam pertem puran Monthery pada tanggal 16 J uli 1965.” Léon m enggigit bibirnya, m enghentakkan kaki. “Dan di sebelah kanan, bangsawan yang m em akai baju zirah itu, yang naik kuda yang m endopak, beliau cucu Louis de Brézé, tuan tanah Breval dan Montchauvet, Com te dari

334 Gustave Flaubert Maulevrier, Baron8 dari Mauny, kepala rum ah tangga raja, satria ordo, dan juga gubernur Normandia, meninggal tanggal 23 J uli 1531 pada suatu hari Minggu seperti tercantum dalam tulisan itu. Dan di bawahnya, orang yang siap hendak m asuk kuburan itu, melambangkan hal itu. Tak mungkin, bukan, melihat penggam baran ketiadaan yang lebih sem purna?” Nyonya Bovary m em asang kacam ata jepitnya. Léon yang tak berkutik, m em andang kepadanya. Ia tidak lagi m encoba mengucapkan sepatah kata pun, membuat satu gerak pun, begitu putus asanya ia m enghadapi niat ganda yang sem antap itu; hendak bercakap-cakap dan bersikap tak acuh. Pengawal abadi itu m elanjutkan, “Di sam pingnya, wanita yang berlutut dan m enangis itu istrinya, Diane de Poitiers, Com tesse9 dari Brézé, Duchesse dari Valentinois, lahir tahun 1499, m eninggal tahun 1566. Dan di sebelah kiri, wanita yang m enggendong anak, Perawan Suci. Sekarang coba Anda m elihat kem ari, ini kuburan kedua Am boise. Kedua-duanya kardinal dan uskup Rouen. Yang satu itu m enteri Raja Louis XII. Banyak kebaikannya terhadap gereja. Di dalam surat wasiatnya tercantum tiga puluh ribu écu em as yang diperuntukkan bagi kaum m iskin.” Dan tanpa berhenti, sambil bicara terus, ia mendorong m ereka ke dalam sebuah kapel yang penuh dengan langkan- langkan. Beberapa dipindah-pindahkannya sam pai ditem ukannya sem acam gum palan yang dulunya, m ungkin sebuah patung yang kurang baik buatannya. “Patung ini,” katanya sam bil m enarik napas panjang, “dahulu menghiasi makam Richard si Hati Singa, raja Inggris dan Duc dari Norm andia. Yang m erusaknya sam pai begini ialah orang Kalvinis, Tuan. Karena m au jahat, m ereka kubur patung itu di dalam tanah 8 Gelar bangsawan. 9 Gelar bangsawan untuk wanita.


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook