Nyonya Bovary 335 di bawah tem pat keuskupan Monsinyor. Lihat, itu pintu m enuju ke tem pat tinggal Monsinyor. Mari kita terus, m elihat jendela- jendela kaca Gairgouille.” Tetapi Léon dengan gesit m engeluarkan m ata uang putih dari sakunya, lalu m enyam bar lengan Em m a. Penjaga gereja terbengong-bengong, tidak m engerti kem urahan hati yang tidak pada tam patnya itu, padahal m asih banyak yang harus dilihat orang asing itu. Maka dipanggilnya Léon kem bali. “Hei, Tuan! Ujung m enaranya! Ujung m enaranya!” “Tidak, terim a kasih,” kata Léon. “Tuan rugi! Tingginya em pat ratus em pat puluh kaki, kurang sembilan kaki dari piramida besar di Mesir. Dari besi tuang seluruhnya, dan....” Léon kabur. Karena rasa-rasanya cintanya yang sudah ham pir dua jam di dalam gereja itu telah m enjadi sebeku batu-batunya, sekarang m au m enguap seperti asap m elalui cerobong yang m enerawang, kurungan yang m em anjang seperti penggalan pipa, yang bertengger begitu saja dengan konyolnya di atas katedral sakan-akan percobaan berlebih-lebihan dari seorang tukang ketel yang penuh daya khayal. “Ke m ana kita ini?” tanya Em m a. Tanpa m enjawab, Léon terus berjalan dengan langkah cepat. Dan Nyonya Bovary sudah m encelupkan jarinya ke dalam air suci waktu terdengar di belakang mereka napas berat terengah-engah ditingkah dengan entakan-entakan tongkat. Léon m em balik. “Tu a n !” “Ap a ?” Lalu dikenalinya si penjaga gereja yang datang dengan kira- kira dua puluh buku tebal berjilid dalam kepitan lengannya, yang ditekankan ke perutnya jangan sam pai jatuh. Tulisan-tulisan “yang m em beri uraian tentang katedral itu.”
336 Gustave Flaubert “Goblok!” Léon m engom el sam bil cepat-cepat keluar dari gereja. Ada bocah kecil sedang berm ain-m ain dengan badungnya di lapangan gereja “Carikan saya kereta!” Anak itu lari secepat kilat m elalui J alan Quatre-Vents. Maka tinggallah m ereka berdua beberapa m enit lam anya, berhadapan muka, agak malu. “Ah, Léon! Betul... saya tak tahu... haruskah saya....” Em m a kem anja-m anjaan. Lalu dengan m uka sungguh-sungguh, “Tidak pantas sekali ini, Anda tahu?” “Apanya?” tanya si kerani. “Di Paris begitu adatnya!” Dan kata itu, sebagai suatu dalih yang tak dapat ditolak, m eyakinkan Em m a. Tetapi kereta belum juga datang. Léon takut, jangan-jangan Em m a m asuk gereja lagi. Akhirnya m uncullah kereta itu. “Sekurang-kurangnya keluarlah dari gerbang utara!” teriak si penjaga yang sejak tadi tinggal di am bang pintu. “J adi bisa m elihat ‘Pem bangkitan Kem bali’, ‘Hari Kiam at’, ‘Firdaus’, ‘Raja Daud’, dan ‘Mereka yang terbuang di dalam api neraka’.” “Tuan m au ke m ana?” tanya sais. “Ke m ana saja!” kata Léon yang m endorong Em m a ke dalam kereta. Lalu kereta yang berat itu m ulai m enggelinding. Masuk J alan Grand-Pont, m elintasi lapangan Place des Arts, Tanggul Napoléon, J em batan Baru, dan tiba-tiba berhenti di depan patung Pierre Corneille. “Terus saja!” teriak suara dari dalam kereta. Kereta itu berangkat lagi. Mulai persim pangan La Fayette terbawa lereng yang m enurun sehingga m asuk stasiun kereta api dengan menderap. “Tidak ke sini, lem pang saja!” teriak suara tadi itu lagi.
Nyonya Bovary 337 Kereta keluar dari pintu gerbang, dan segera sam pai di J alan Pesiar, lalu lari kecil di antara pohon orm e yang tinggi-tinggi. Si sais m enyeka dahinya, m enaruh topi kulitnya di antara kakinya dan membawa kereta itu keluar dari jalan-jalan samping sampai ke tepi kali, di dekat rerumputan. Kereta m enyusuri kali m engikuti jalan untuk kuda penghela perahu, yang dilapisi kerakal kering. Dan lam a jalannya di sebelah Oyssel, di balik pulau-pulau. Tapi tiba-tiba kereta itu melesat melalui Quatre-Mares, Sotteville, Grande-Chaussée, J alan Elbeuf, dan berhenti untuk ketiga kalinya, kali ini di depan Kebun Raya. “J alan terus!” Suaranya sem akin m arah. Dan segera kereta jalan lagi, m elintasi Saint-Sever, m elalui Tanggul Curandiers, Tanggul Meules, sekali lagi lewat jem batan, Lapangan Cham p-de-Mars, dan di belakang tam an-tam an rum ah sakit tempat kakek-kakek tua berjas hitam berjalan-jalan di panas m atahari, lalu m enyusuri sebuah teras hijau yang ditum buhi pohon-pohon lierre. Lalu m asuk Bulevar Bouvreuil, m elintasi Bulevar Cauchoise, kem udian m enjalani seluruh Bukit Riboudet sam pai lereng Deville. Kem bali lagi. Kem udian, tanpa rencana tanpa tujuan, asal saja, kereta itu m engem bara. Orang m elihatnya di Saint-Pol, di Lescure, di Bukit Gargan, di Rouge-Mare, dan di Lapangan Gaillard-bois; di J alan Maladrerie, J alan Dinanderie, di depan gereja-gereja Saint-Rom ain, Saint-Vivien, Saint-Maclou, Saint- Nicaise; di depan Pabean, di Menara Lam a yang pendek, di Trois-Pipes, dan di Pekuburan yang m egah. Sekali-sekali, si sais di atas joknya m elayangkan pandangan putus asa ke arah kabaret-kabaret. Ia tidak mengerti bagaimana keinginan untuk bergerak terus begitu mengamuki orang-orang itu hingga tidak m au berhenti. Kadang-kadang ia m encoba juga, tapi serta-m erta ia m endengar dari belakangnya teriak-teriak kem arahan. Maka
338 Gustave Flaubert m akin hebat dipecutinya kedua kudanya yang sudah basah berkeringat tetapi tidak lagi diperhatikannya guncangan kereta yang m enyangkut ke sini m enyangkut ke sana karena m asa bodoh, hilang harapan, sudah mau menangis saja karena haus, lelah, dan sedih. Dan di pelabuhan, di tengah-tengah gerobak-gerobak dan tong-tong, di jalan-jalan, di ujung perbatasan-perbatasan, penduduk m em belalakkan m ata, tercengang m elihat yang m enjadi keganjilan di daerah yaitu sebuah kereta yang gorden jendelanya diturunkan dan yang setiap kali m uncul lagi, lebih tertutup dari kuburan dan diombang-ambingkan seperti kapal. Satu kali, waktu hari sudah tinggi, di tengah-tengah perladangan, pada ketika m atahari sedang sengit-sengitnya m enim pa lentera-lentera tua yang putih keperakan, ada tangan telanjang yang keluar dari bawah gorden-gorden kecil dari linen kuning m em buang sobekan-sobekan kertas yang tersebar oleh angin dan terjatuh lebih jauh seperti kupu-kupu putih yang m enyam bar ladang sem anggi yang sedang berkem bang m erah. Lalu, m enjelang pukul enam , kereta itu berhenti di sebuah lorong di bilangan Beauvoisine, dan seorang wanita turun dan berjalan dengan wajah yang tertutup cadar, tanpa berpaling.
Bab II SESAMPAINYA DI penginapan, Nyonya Bovary heran tidak melihat kereta penumpangnya. Hivert yang sudah lima puluh tiga menit menunggu kedatangannya, akhirnya pergi saja. Tak ada yang memaksanya pergi. Tetapi ia telah berjanji akan pulang malam itu. Lagi pula Charles menanti. Dan seketika terasa olehnya hatinya menjadi jinak tak berdaya, yang bagi banyak wanita bagaikan hukuman sekaligus bayaran atas zinanya. Dengan cepat ia m engepak kopernya, m em bayar rekening, m em anggil kabriolet di pekarangan. Lalu ia m enyuruh kusir supaya cepat-cepat, m em berinya sem angat, m enanyainya setiap saat sudah pukul berapa dan berapa kilometer sudah mereka tem puh sehingga ia berhasil m enyusul kereta Hirondelle dekat rumah-rumah pertama kota Quincampoix. Begitu ia duduk di pojoknya, ia m em ejam kan m ata, dan m em bukanya kem bali sesudah sam pai di kaki lereng. Dari jauh dikenalinya Félicité yang jelas kelihatan berdiri di depan rum ah
340 Gustave Flaubert pandai besi. Hivert m engekang kudanya, dan si tukang m asak yang m enjulurkan kepala sam pai ke jendela kereta, berkata penuh rahasia. “Nyonya harus segera pergi ke rum ah Tuan Hom ais. Ada sesuatu yang m endesak sekali.” Kota kecil itu sepi sekali seperti biasa. Di pojok jalan-jalan ada onggokan-onggokan kecil m erah m uda yang m engasap di udara, sebab saat itu saat membuat selai, dan semua orang di Yonville m em buat persediaannya pada hari yang sam a. Tetapi di depan toko apoteker dapat dikagum i onggokan yang jauh lebih besar, dan yang m engungguli yang lainnya karena sudah sewajarnya dapur apotek m elebihi dapur-dapur penduduk biasa, keperluan umum melebihi aneka keinginan pribadi. Em m a m asuk. Kursi besar terjungkir, bahkan surat kabar Fanal de Rouen tergeletak di lantai, terham par di antara kedua antan. Ia mendorong pintu gang. Dan di tengah-tengah dapur, di antara guci-guci cokelat yang penuh dengan buah groseille yang sudah dibersihkan bijinya, gula parutan, gula bentuk dadu, timbangan-timbangan di atas meja, panci-panci di atas api, dilihatnya sem ua anggota keluarga Hom ais, besar kecil, dengan m engenakan celem ek yang naik sam pai ke dagu, dan dengan garpu ditangan. J ustin berdiri dengan kepala menunduk, dan apoteker sedang berteriak-teriak. “Siapa suruh kau m engam bilnya dari gudang rom ol?” “Apa? Ada apa?” “Ada apa?” jawab apoteker. “Kam i tengah m em buat selai. Selainya sedang m endidih, tapi m au m eluap karena terlalu hebat m endidihnya. J adi saya suruh am bil panel lain. Lalu anak itu, karena segan, karena malas, mengambil kunci gudang dari gantungan paku di dalam laboratorium saya!” Yan g din am akan apoteker gudan g ialah sebuah kam ar loteng di bawah atap yang penuh dengan alat-alat dan barang
Nyonya Bovary 341 dagangan untuk bidang pekerjaannya. Sering berjam -jam lam anya ia m enghabiskan waktunya di situ dengan m em asang etiket, m enuang bahan dari tem pat yang satu ke tem pat yang lain, m engikat tali kem bali. Dan tem pat itu tidak dianggapnya sebagai gudang biasa tetapi sebagai tem pat yang keram at benar- benar yang nanti m engeluarkan hasil buatan tangannya; segala macam pil, mangkuk, jamu seduhan, air wangi, dan minuman wangi, yang akan m enyebarkan keharum an nam anya ke m ana- m ana. Tak seorang pun di dunia ini m enginjakkan kakinya di sana. Dan begitu besar horm atnya pada tem pat itu hingga disapunya sendiri. Akhirnya sedangkan toko obat-obatan yang terbuka untuk setiap orang yang datang itu m erupakan tem pat ia m em am erkan kebanggaannya m aka gudang kecil itu m erupakan tem pat persem bunyiannya. Di sanalah H om ais m em usatkan perhatiannya pada dirinya sendiri dan m enikm ati terlaksananya kegem arannya. Dan karena itu kesem bronoan J ustin dianggapnya bukan alang kepalang kurang ajarnya. Dan dengan wajah yang m erah m enyala m elebihi warna buah groseille, ia berkata sekali lagi. “Ya, kunci gudang! Kunci yang m engunci asam -asam dan alkali kostik! Coba! Dia am bil panci serep! Panci yang ada tutupnya! Dan yang boleh jadi tak pernah akan saya pakai! Setiap hal m em punyai artinya dalam pekerjaan seni kam i yang harus dijalankan dengan hati-hati! Persetan! Harus diadakan perbedaan, dan apa yang diperuntukkan bagi pem buatan obat- obatan tidak boleh dipakai untuk hal-hal yang ham pir term asuk pekerjaan rum ah tangga! Sam a halnya kalau ayam dipotong dengan pisau pembedah, kalau seorang pejabat....” “J angan m arah-m arah begitu!” kata Nyonya Hom ais. Dan Athalie m enarik-narik jasnya. “Ayah! Ayah!”
342 Gustave Flaubert “Tidak, biarkan saya!” sam bung si apoteker. “Biarkan saya! Mau apa! Sama saja dengan menjadi tukang jual jamu, sumpah! Silakan! Tak usah kau pedulikan apa-apa! Rusak saja! Pecahkan saja! Lepaskan lintahnya! Bakar pastilesnya! Bikin saja acar tim un di dalam stoples! Sobek-sobek segala perbannya!” “Tapi bukannya Anda...” kata Em m a. “Tunggu dulu! Kau tahu apa yang bisa terjadi denganm u? Tidak kau lihat apa-apa di pojok sebelah kiri, di atas papan ketiga? Bicara, jawab, ucapkan sesuatu!” “Saya... tak tahu,” gagap anak m uda itu. “Ah! Kau tak tahu! Nah, kalau saya, saya tahu! Kau lihat sebuah botol, dari kaca biru, yang dilak dengan lilin kuning. Isinya bubuk putih, bahkan saya tulisi: ‘Berbahaya!’ Dan kau tahu apa yang ada di dalam nya! Warangan! Dan kau ham pir saja m em egang itu! Mau m engam bil panci yang ada di sebelahnya!” “Di sebelahnya,” seru Nyonya Hom ais sam bil m engatupkan kedua belah tangannya. “Warangan! Bisa kau racuni kita sem ua!” Lalu anak-anak m ulai m enjerit-jerit seakan-akan m ereka sudah m erasakan nyeri m enusuk-nusuk isi perut m ereka. “Atau orang sakit!” kata apoteker m elanjutkan. “J adi m aum u, saya duduk di pengadilan bersam a orang-orang jahat? Melihat saya diseret ke tiang gantungan? Apa kau tidak tahu betapa telitinya saya m engurus barang-barang itu, m eskipun ketelitian sudah m enjadi kebiasaan saya yang gila? Sering kali saya sendiri m enjadi ngeri kalau m em ikirkan tanggung jawab saya! Karena pem erintah suka m enyusahkan kita, dan undang-undang konyol yang m engatur kita itu seperti pedang Dam okles yang teracung di atas kepala kita!” Em m a sudah tidak ada pikiran untuk bertanya apa sebenarnya yang diinginkan dari dia. Dan apoteker m elanjutkan kalim at- kalim atnya dengan terengah-engah.
Nyonya Bovary 343 “J adi inilah caram u m em balas segala kebaikan yang telah kami tumpahkan kepadamu! Inilah caramu mengimbali segala perhatian yang dengan rasa kebapakan yang sungguh-sungguh saya berikan kepadam u! Karena kalau tidak ada saya, di m ana kau sekaran g? Apa kerjam u? Siapa m em beri kam u m akan , pendidikan, pakaian, dan segala jalan supaya kau nanti dengan terhorm at tam pil di jajaran m asyarakat? Tetapi untuk itu orang harus berdayung dulu dengan m engeluarkan keringat banyak- banyak, dan sebagaim ana dikatakan orang, kepalkan dulu kedua belah tanganm u. Fabricando it faber, age quod agis.” Ia m engutip dari bahasa Latin saking jengkelnya. Dia akan m engutip dari bahasa Mandarin atau Greenland, seandainya ia pandai kedua bahasa itu. Karena ia sedang m engalam i salah satu kemelut sewaktu seluruh jiwa sembarangan saja memperlihatkan apa yang terpendam di dalam nya, bagaikan lautan yang dalam badai m enyibak m ulai dari ganggang di tepinya sam pai ke pasir di dalam palungnya. Lalu ia berkata lagi, “Saya m ulai m enyesal sekali sudah m au m engurusm u! Pasti lebih baik sekiranya dahulu saya biarkan kau membusuk dalam kesengsaraanmu dan dalam kejorokan tempat kelahiranm u! Kau tak bakal pantas m enjadi lebih dari gem bala binatang bertanduk! Kau tak m em punyai bakat untuk ilm u! Menempel etiket pun belum bisa! Padahal kau hidup di tempatku seperti tuan besar, nyam an, m akan seenak perut!” Tetapi Em m a m enengok kepada Nyonya Hom ais. “Tadi saya disuruh datang....” “Astaga!” sela nyonya itu dengan m uka sedih. “Bagaim ana harus saya sam paikan, ya? Celaka benar!” Tidak selesai bicaranya. Apoteker m engguntur, “Kosongkan panci itu! Gosok bersih! Kem balikan ke tem patnya! Ayo cepat!” Lalu ketika ia m engguncang-guncangkan J ustin pada kerah baju kerjanya, terjatuhlah sebuah buku dari sakunya.
344 Gustave Flaubert Anak itu m em bungkuk. Hom ais lebih cepat. Dan setelah dipungutnya, dilihat-lihatnya buku itu dengan m ata terbelalak dan rahang ternganga. “Cinta... suam i istri!” katanya dengan m em isahkan kedua kata itu pelan-pelan. “Ah! Bagus sekali! Bagus sekali, ya! Bukan m ain! Ada gam bar-gam barnya lagi! Ah! Terlalu!” Nyonya Hom ais m elangkah m aju. “J angan, jangan kau sentuh!” Anak-anak hendak m elihat gam bar-gam barnya. “Keluar!” kata Hom ais dengan nada perintah. Dan mereka pun keluar. Mula-mula Homais mondar-mandir dengan langkah besar, buku m asih terbuka di tangannya, m elotot m atanya, sesak napasnya, bengkak m ukanya, seperti m au sawan. Lalu ia langsung m endekati m uridnya, dan tegak berdiri di depannya dengan bersedekap: “J adi segala keburukan berkum pul padam u, anak celaka? Awas, kau sudah di lereng tebing! J adi tak kau pikirkan bahwa bisa saja buku yang m enjijikkan ini jatuh ke tangan anak-anak saya, bisa m encetuskan api di dalam benak m ereka, m encem arkan kesucian Athalie, m erusak Napoléon! Napoléon sudah seperti laki-laki dewasa tubuhnya. Kau sungguh-sungguh yakin benar bahwa m ereka belum m em bacanya? Apa kau dapat m enyatakan dengan pasti?” “Tapi bagaim ana ini, Tuan,” kata Em m a, “apa yang hendak Tuan katakan kepada saya...?” “Oh, ya, betul Nyonya... bapak m ertua Anda m eninggal d u n ia !” Mem ang, Tuan Bovary m alam kem arinnya wafat, dengan m endadak, karena serangan penyakit pitam waktu m eninggalkan meja makan. Dan karena terlalu mau berhati-hati mengingat kepekaan Em m a, Charles telah m inta tolong kepada Tuan Hom ais
Nyonya Bovary 345 untuk m enyam paikan kabar buruk itu kepada Em m a dengan m enenggang perasaannya. Kata-katan ya telah d ir en u n gkan oleh H om ais, disem purnakannya, digosoknya, diiram akannya. Hasilnya suatu karya besar dalam hal kehati-hatian dan pendekatan, dalam m enyusun kalim at secara lem but dan dalam m enyam paikannya dengan halus. Tetapi karena kem arahannya, hilang sudah keindahan bahasanya itu. Emma tidak mengharapkan keterangan lebih lanjut, ia pergi meninggalkan toko obat itu. Sebab Tuan Homais telah m ulai lagi m elancarkan cela dan sesalnya. Akan tetapi reda juga kem arahannya. Dan sekarang ia m enggerutu dengan suara ram ah yang dibikin-bikin, sam bil terus m engipasi dirinya dengan songkok Yunaninya. “Bukannya saya sam a sekali tidak setuju dengan tulisan itu! Penulisnya seorang dokter. Di dalam nya ada segi-segi ilm iah tertentu yang ada baiknya juga diketahui laki-laki. Dan saya bahkan berani berkata bahwa laki-laki harus m engetahuinya. Tetapi kelak saja, kelak saja! Tunggu saja dulu sampai kau menjadi laki-laki benar dan temperamenmu sudah jadi.” Waktu Em m a m en getuk pin tu, Charles yan g sudah m enantikannya, m aju dengan tangan terbuka. Ia berkata dengan tangis dalam suaranya. “Ah! Sayangku....” Lalu ia m em bungkuk dengan lem but untuk m encium nya. Tetapi waktu m erasa sentuhan bibirnya, kenangan pada laki- laki yang lain itu m elanda Em m a. Ia m engusap wajah dengan tangannya sam bil m enggigil. Tetapi ia m enjawab juga, “ Ya, aku tahu... aku tahu....” Charles m em perlihatkan surat ibunya yang m enceritakan kejadian itu tanpa kemunaikan cengeng. Hanya saja, ibunya m enyesal bahwa suam inya tidak m enerim a bantuan keagam aan
346 Gustave Flaubert karena ayah Bovary m eninggal di Doudeville, di jalan, di am bang pintu kafe, sehabis m enghadiri santapan patriotik bersam a beberapa bekas perwira. Em m a m engem balikan suratnya. Lalu waktu m akan m alam , karena ingat sopan santun, Emma pura-pura segan. Tetapi karena dipaksa-paksa, ia dengan tegas mulai makan, sedangkan Charles di hadapannya tidak bergerak-gerak, sikapnya penuh kem u r u n ga n . Sekali-sekali ia m engangkat kepalanya dan m enatap Em m a lam a-lam a dengan pandangan yang sarat dengan rasa sedih. Satu kali ia m engeluh, “Sebenarnya saya ingin dapat m elihatnya sekali lagi!” Em m a diam . Akhirnya, karena m engerti bahwa ia harus berkata sesuatu. “Ayahm u, berapa um urnya?” “Lim a puluh delapan tahun!” “Oh !” Hanya itu. Seperem pat jam kem udian, Charles bilang lagi, “Kasihan Ibu.... Bakal bagaim ana dia sekarang?” Em m a m em buat isyarat tidak tahu. Melihat Em m a berdiam diri saja, Charles m engira ia sedih. Maka ia m enahan diri, tidak m au berkata apa-apa, supaya janganlah bertam bah pedas kepedihan yang m engharukannya itu. Tetapi kesedihannya sendiri dikibaskannya. “Menyenangkan kem arin?” tanyanya. “Ya.” Sesudah taplak m eja diangkat, Bovary tidak langsung berdiri, Em m a pun tidak. Dan m akin lam a ia m enatap suam inya, m aka pem andangan yang selalu sam a sam pai m em bosankan itu sedikit dem i sedikit m enghalau rasa iba dari hatinya. Charles di m atanya adalah sakit-sakitan, lem ah, tak ada apa-apanya, pendeknya
Nyonya Bovary 347 lelaki yang kurang dalam segala hal. Bagaim ana akalnya supaya bisa lepas dari dia? Tak sudah-sudahnya m alam ini! Sesuatu yang m elum puhkan akal, seperti asap m adat, m em buat badannya terasa berat. Mereka m endengar di vestibula bunyi kering dari tongkat di atas papan. Itu Hippolyte yang datang m engantarkan kopor- kopor Nyonya. Untuk m enaruh bebannya, dengan susah payah dibuatnya seperem pat lingkaran dengan kaki kayunya. “Sam a sekali tidak dipikirkannya lagi,” kata Em m a dalam hati, sambil melihat kepada anak malang itu dengan rambut m erahnya yang lebat basah bercucuran keringat. Charles m encari beberapa sen di dasar dom petnya. Dan kelihatannya ia tak m erasa betapa kehadiran orang itu saja sudah sangat m em alukan baginya, berdirinya di situ seperti penjelm aan tuduhan atas ketololannya yang tak dapat diluruskan lagi itu. Bahkan waktu m elihat bunga-bunga violet pem berian Léon di atas bendul perapian, ia berkata, “Hei! Elok buketm u itu!” “Mem ang,” jawab Em m a dengan acuh tak acuh, “buket itu kubeli tadi... dari seorang pengemis.” Charles m em egang bunga-bunga itu, dan m atanya yang merah karena sebak menjadi sejuk waktu ia dengan hati-hati m enghirupnya. Em m a cepat m engam bilnya dari tangan Charles, lalu m enaruhnya di dalam segelas air. Esok harinya Ibu Bovary datang. Ia dan anaknya banyak menangis. Dengan dalih harus memberi perintah di belakang, Emma menghilang. Hari berikutnya harus m ereka pikirkan bersam a urusan perkabungan itu. Mereka mengambil tempat di pinggir air, di bawah punjung, dengan membawa peti jahitan. Charles teringat pada ayahnya, dan ia heran m erasa begitu sayang pada pria itu yang sam pai sekarang disangkanya hanya biasa-biasa saja disayan gin ya. Ibun da Bovary terin gat pada
348 Gustave Flaubert suam inya. Hari-hari lam pau yang paling buruk pun m uncul kem bali di ruang m atanya sebagai sesuatu yang pantas diirikan. Segala-galanya itu terhapus karena rasa sesal yang tim bul secara naluriah atas hal-hal yang sudah m enjadi kebiasaan selam a ini. Dan sekali-sekali, sem entara ia m enusukkan jarum nya, sebutir besar air m ata berlinang m enuruni hidungnya dan tergantung sesaat di situ. Emma berpikir, mereka belum sampai empat puluh delapan jam lam anya bersam a, jauh dari dunia ram ai, term abuk- m abuk, tak kenyang-kenyang m ata m ereka berpandang- pandangan. Ia m encoba m enangkap kem bali hal-hal kecil yang paling tak terasakan dari hari yang sudah lam pau itu. Tetapi kehadiran ibu m ertua dan sang suam i m engganggunya. Maunya ia tidak m endengar apa-apa, tidak m elihat apa-apa, supaya tak terusiklah renungan akan cintanya itu, yang bagaim anapun ia berusaha, makin menghilang dirongrong perasaan-perasaan la h ir ia h . Ia sedang membuka lapisan salah satu gaun dan bekas jahitannya bertebaran di sekelilingnya. Tanpa m engangkat m atanya, Ibu Bovary m em akai guntingnya sam pai bergerit-gerit. Dan Charles yang m engenakan sandalnya yang berbis dan jas cokelatnya yang sudah tua yang dipakainya sebagai jas kam ar, duduk dengan kedua tangan di dalam sakunya, dan tidak pula bicara apa-apa. Di dekat m ereka, Berthe yang bercelem ek putih kecil, sedang menggaruk-garuk pasir di jalan taman dengan sekop n ya . Tiba-tiba m ereka m elihat Tuan Lheureux, pedagang cita, masuk dari pintu pekarangan. Ia datang hendak m enawarkan jasanya, berhubung dengan kejadian yang m em bawa kem atian itu. Em m a m enjawab, ia kira tidak perlu. Si pedagang tidak mau kalah. “Beribu-ribu m aaf,” katan ya, “saya in gin bicara sen diri dengan Anda.”
Nyonya Bovary 349 Lalu dengan suara pelan, “Mengenai perkara itu... Anda tahu?” Charles m enjadi m erah padam sam pai ke telinganya. “Oh, ya... saya tahu.” Dan dalam kebingungannya ia berpaling ke istrinya. “Sayang... dapatkah kau...?” Em m a rupanya m enangkap m aksudnya karena ia berdiri, dan Charles berkata kepada ibunya, “Tidak apa-apa! Pasti perkara kecil mengenai rumah tangga.” Ia tidak m au ibunya tahu tentang surat utangnya, takut akan t egu r a n n ya . Begitu m ereka sendiri, Tuan Lheureux dengan kata-kata yang cukup jelas m ulai dengan m em beri selam at kepada Em m a dengan warisannya, lalu bercakap-cakap tentang hal-hal yang tak ada artinya, tentang pohon-pohon yang dilanjarkan, tentang panen dan kesehatannya sendiri yang selalu bolehlah, baik tidak buruk pun tidak. Sesungguhnya ia bekerja setengah m ati, padahal bertentangan dengan kata orang pendapatannya belum cukup untuk sekadar mengolesi roti dengan mentega sekalipun. Em m a m em biarkannya bicara terus. Bosannya bukan m ain dua hari ini! “J adi, Anda sekarang sudah sem buh sam a sekali?” lanjutnya. “Susah benar saya lihat keadaan suam i Anda, kasihan dia, betul! Orang baik dia, meskipun kami berdua pernah mengalami kesu lit a n .” Em m a bertan ya kesulitan apa, karen a Charles tidak m enceritakan perselisihan m ereka m engenai barang-barang yang dilever Lheureux. “Tetapi An da, kan , tahu!” kata Lheureux. “Men gen ai keinginan Anda yang m endadak itu, kotak-kotak perjalanan itu.” Topinya terbenam sam pai ke atas m ata, dan dengan kedua tangan di belakang punggungnya, dengan senyum annya dan
350 Gustave Flaubert siulnya, ia m enatap Em m a tegas-tegas, dengan cara yang tak enak benar. Adakah ia m enaruh syak? Lam a pikirannya tersita oleh segala m acam kekhawatiran. Akan tetapi pada akhirnya Lheureux berkata lagi, “Kam i telah m em bereskannya, dan saya datang ini untuk m engusulkan kepadanya cara perdam aian lain. Yaitu m em perbarui surat utang yang ditandatangani Bovary. Selanjutnya, Tuan bisa berbuat sesuka hatinya, tidak usah m enyiksa diri, apalagi sekarang dengan segala kerepotan yang akan dihadapinya. :Bahkan lebih baik lagi kalau dia lim pahkan tanggung jawabnya kepada orang lain, kepada Anda um pam anya. Dengan surat kuasa, gampanglah, dan sesudah itu kita berdua akan m em punyai urusan-urusan kecil bersam a....” Em m a tidak m engerti. Lheureux berdiam diri. Kem udian ia beralih ke urusan dagangnya. Katanya, Nyonya tidak bisa tidak harus m engam bil sesuatu dari barangnya. Ia akan m engirim kain barège hitam, dua belas meter cukup untuk membikin gaun. “Yang Anda pakai sekarang itu baik untuk di rum ah, tapi Anda perlu yang lain untuk berkunjung. Saya, saya m elihat hal itu begitu saya m asuk tadi. Mata saya setajam m ata orang Am erika!” Kain itu tidak dikirim kan olehnya, tapi diantarnya sendiri. Lalu ia kem bali untuk m engukur. Ia kem bali lagi dengan dalih- dalih lain, dan setiap kali ia m encoba m em bawa sikap yang m enyenangkan, m em beri pelayanan yang baik, Hom ais akan m enam akannya “m engabdi pada panjinya”, dan selalu Em m a dibisikinya beberapa nasihat m engenai surat kuasa itu. Ia tidak lagi bicara tentang surat utang tadi. Em m a tidak m em ikirkannya. Ketika ia m ulai sem buh, Charles pernah m enceritakan sedikit tentang hal itu kepadanya. Tetapi begitu banyak kerisauan telah m elintasi benaknya sejak itu, sehingga ia tidak ingat lagi. Lagi pula, ia menjaga jangan sampai ia mulai pembicaraan tentang soal keuangan. Ibu Bovary terheran, dan perubahan hati itu
Nyonya Bovary 351 dianggapnya disebabkan oleh perasaan keagam aan Em m a yang m enghinggapinya waktu ia sakit. Tetapi begitu Ibu Bovary pergi, Em m a segera m em buat Bovary terkagum -kagum akan akal sehatnya yang praktis. Mereka perlu m encari keterangan, m em eriksa hipotek apa saja yang ada, dan melihat apakah ada kemungkinan menjual dengan jalan lelang atau m elikuidisasi sesuatu. Ia m enyebut istilah-istilah teknis, asal saja, mengucapkan kata-kata besar seperti harus ada aturan, masa depan, pandangan jauh, dan selalu membesar- besarkan kerepotan pewarisan. Sedemikian rupa hingga pada suatu hari Emma memperlihatkan contoh surat kuasa umum untuk “m engelola dan m engurus perkara-perkaranya, m elakukan segala pinjaman, menandatangani, dan memaraf surat apa pun, m em bayar jum lah berapa pun, dan seterusnya”. Ia telah m enarik m anfaat dari pelajaran-pelajaran Lheureux. Charles dengan naifnya bertanya dari m ana datangnya kertas itu. “Dari Tuan Guillaum in.” Dan dengan ketenangan yang tak ada duanya di dunia ini, Em m a m enam bahkan, “Aku tidak begitu percaya. Notaris itu jelek benar nam anya! Barangkali kita harus m inta nasihat.... Kita hanya kenal.... Oh! Tak ada yang kita kenal.” “Kecuali barangkali Léon...” jawab Charles seraya berpikir. Tetapi sukar untuk bisa saling mengerti dengan surat. Maka Emma menawarkan diri untuk mengadakan perjalanan itu tapi Charles tidak m enyetujuinya. Em m a m endesak. Lalu m ereka bersilat lidah salin g m en en ggan g. Akhirn ya Em m a berseru dengan nada pura-pura m em berontak, “Tidak! Sudahlah! Aku akan pergi.” “Kau baik benar!” kata Charles sam bil m encium dahinya.
352 Gustave Flaubert Esok harinya Em m a langsung naik kereta Hirondelle m enuju ke Rouen untuk m inta nasihat Tuan Léon. Tiga hari ia tinggal di sana.
Bab III TIGA HARI yang penuh, indah sekali, berseri-seri bulan madu yang sesungguhnya. Mereka di Hotel de Boulogne, di bilangan pelabuhan. Hidup m ereka di sana dengan kerepyak kerai jendela dan pintu-pintu tertutup; ada bunga-bunga di lantai dan setrup es yang pagi-pagi sudah diantarkan. Menjelang m alam hari, m ereka m em anggil perahu yang bertenda dan makan malam di salah satu pulau. Itulah saatnya di pinggir galangan kapal terdengar bunyi palu para pem akal m em bentur badan kapal. Asap ter m engepul dari sela-sela pepohonan, dan di sungai kelihatan tetesan-tetesan air berm inyak yang m elebar, berom bak-om bak tak m erata di bawah warna merah matahari, seperti lempeng-lempeng perunggu Florence yang terapung-apung.
354 Gustave Flaubert Mereka berdayung ke hilir di antara perahu-perahu yang tertam bat, yang tam bang-tam bangnya yang panjang m iring, dengan ringan m enyentuh bagian atas perahu. Lam bat laun m enyayuplah hiruk pikuk kota, gem uruh roda pedati, hiruk pikuk suara manusia, lengking anjing-anjing di anjungan kapal-kapal. Em m a m elepaskan pita topinya dan mereka merapat ke pulau mereka. Mereka mengambil tempat di ruang rendah sebuah kedai yang pintunya digelantungi jaringan-jaringan hitam . Mereka makan goreng ikan-ikan kecil, krim, dan ceri. Mereka berbaring di atas rumput. Mereka berciuman agak jauh dari keramaian orang, di bawah pohon-pohon peuplier. Dan mereka ingin seperti dua orang Robinson hidup terus m enerus di tem pat kecil itu, yang dalam kebahagiaan yang m ereka alam i serasa tem pat yang paling hebat di bum i. Bukan pertam a kalinya m ereka m elihat pohon. Langit biru, rerum putan, m endengar air m engalir dan siliran angin mengembus di dedaunan. Tetapi boleh jadi mereka belum pernah m engagum i sem uanya itu, seakan-akan alam sebelum nya tidak ada atau seakan-akan baru mulai menjadi indah sesudah nafsu m ereka terpuaskan. Bila m alam sudah tiba m ereka pergi lagi. Perahu m ereka m enyusuri tepi pulau-pulau. Mereka tinggal di dasarnya, kedua- duanya tersem bunyi dalam bayangan, tanpa kata. Dayung- dayungnya yang persegi berdetak di antara keliti-keliti besinya. Dan dalam keheningan, ketukannya seperti detak-detak alat m etronom , sem entara di buritan, kem udi yang terseret di belakang tak henti-hentinya bertipak-tipuk dengan lem but di dalam air. Suatu ketika bulan keluar. Maka mereka pun tidak lupa m enyusun kata, m enganggap benda langit itu sayu dan penuh puisi. Em m a m alah lalu m enyanyi: “Suatu senja, kau ingat? Kita berlay ar,”dan seterusnya.
Nyonya Bovary 355 Suaranya yang m erdu lem ah hilang di atas om bak. Dan angin m em bawa alunan nada-nada yang didengarkan oleh Léon berlalu seperti kepak sayap di sekelilingnya. Em m a duduk di depannya, bersandar pada sekat dinding perahu, di tem pat bulan m asuk dari salah satu jendela yang terbuka. Gaun hitam nya yang lipatan-lipatannya m elebar seperti kipas, m elangsingkan badannya, m em buatnya lebih besar. Kepalanya m enengadah, kedua tangannya terlipat, dan kedua m atanya m em andang ke langit. Kadang-kadang bayangan pohon- pohon liangliu m enyem bunyikannya sam a sekali, lalu dengan tiba-tiba ia muncul lagi seperti sebuah impian di bawah sinar b u la n . Léon yang duduk di lantai di sam pingnya, m enem ukan di bawah tangannya sejulur pita dari sutra m erah terang. Tukang perahunya m em eriksa pita itu dan akhirnya berkata, “Ah! Mungkin berasal dari rom bongan yang saya bawa kem arin- kemarin. Mereka datang, sekumpulan tukang badut, pria dan wanita, m em bawa kue-kue, sam panye, trom pet-trom pet kecil, m enggem parkan! Ada satu terutam a. Laki-laki tegap dan tam pan, kum is kecil, bukan m ain lucunya! Dan m ereka berkata begini, ‘Ayo, ceritakan sesuatu Adolphe... Dodolphe...’ saya kira.” Emma menggigil. “Kau sakit?” kata Léon sam bil m endekat kepadanya. “Ah, tidak apa-apa. Mungkin karena udara m alam dingin.” “Dan dia pasti juga tak kurang perem puannya,” tam bah kelasi tua itu, yang m engira ia m em uji orang yang tidak dikenal. Lalu ia m eludahi kedua tangannya dan kem bali m eraih dayungnya. Tetapi mereka terpaksa bercerai juga! Perpisahan mereka sedih. Surat-surat Léon harus dialam atkan ke tem pat Ibu Rollet. Dan Em m a m em beri nasihat-nasihat yang am at tegas m engenai am plopnya yang harus dobel sehingga Léon m engagum i sekali kepintarannya dalam percintaan.
356 Gustave Flaubert “J adi kau jam in sem uan ya baik?” kata Em m a ketika bercium an untuk terakhir kalinya. “Sudah tentu! Ya! Tapi...” pikir Léon waktu pulang seorang diri m enem puh jalan-jalan, “m engapa surat kuasa itu dianggapnya begitu penting?”
Bab IV LÉON DI depan kawan-kawannya segera berlagak, merasa dirinya lebih. Ia tidak lagi mau bergaul dengan mereka, dan sama sekali mengabaikan berkas-berkas pekerjaannya. Ia m enantikan surat-surat Em m a. Tiap kali ia m em bacanya kem bali. Ia m enulisi Em m a. Ia m em bayangkan Em m a kem bali dengan seluruh kekuatan rasa berahi dan daya ingatnya. Dan ketidakhadirannya bukannya m engurangi keinginannya untuk m elihatnya kem bali, m alah justru m em perkuatnya, sam pai- sam pai pada suatu hari Sabtu Léon m inggat dari kantornya. Waktu dari atas lereng gunung dilihatnya, di dalam lem bah m enara lonceng gereja dengan benderanya dari kaleng yang berputar-putar mengikuti angin, ia merasa kenikmatan bercampur kesom bongan seorang yang m enang, dan keharuan egoistis yang pasti timbul di hati jutawan-jutawan bila mereka kembali pulang m engunjungi desanya.
358 Gustave Flaubert Ia berm aksud m engintai di sekitar rum ah Em m a. Ada lam pu bersinar di dapur. Ia m enunggu m unculnya bayangan Em m a di belakang tirai. Tak ada apa-apa. Waktu m elihat dia, Nyonya Lefrançois berseru-seru keras. Menurut dia, Léon “bertam bah besar dan kurus”, Artém ise sebaliknya berpendapat dia lebih kekar dan lebih hitam .” Léon m akan m alam di ruang kecil seperti dahulu, tetapi seorang diri, tanpa pem ungut pajak. Karena Binet yang sudah bosan m enunggu kedatangan kereta Hirondelle, untuk seterusnya telah m engajukan jam m akannya dengan satu jam . Dan sekarang ia makan tepat pada pukul lima, tapi masih juga sering sekali berkata bahwa gerobak tua bangka itu terlam bat datangnya. Tapi Léon m enabahkan hatinya, ia m engetuk pintu rum ah dokter. Nyonya m asih di kam arnya dan baru turun seperem pat jam kemudian. Tuan kelihatan senang sekali melihat ia kembali. Tetapi sem alam an itu ia tidak beranjak dari tem patnya, dan esok harinya sehari suntuk pun tidak. Léon m enem ui Em m a seorang diri m alam itu waktu sudah larut, di jalan kecil di belakang pekarangan—di jalan kecil, seperti dulu dengan yang lain! Hujan turun deras dan m ereka bercakap- cakap di bawah payung, diterangi sinar kilat. Perpisahan m enjadi berat sekali rasanya. “Lebih baik m ati saja!” kata Em m a. Ia m enggelinjang di gandengan Léon, ia m enangis. “Adieu! Selam at tinggal! Kapan kita ketem u lagi?’’ Mereka balik kembali untuk berdekapan sekali lagi. Dan ketika itulah Em m a m em beri janjinya bahwa entah dengan cara yang bagaim analah, ia segera akan m endapatkan kesem patan supaya seterusnya m ereka dapat bertem u dengan bebas, sekurang- kurangnya sekali sem inggu. Em m a yakin bisa. Ia m em ang penuh harap. Ia akan mendapat uang.
Nyonya Bovary 359 Maka dibelinya untuk kam arnya sepasang tirai kuning dengan jalur-jalur lebar yang dipuji-puji berharga m urah oleh Tuan Lheureux. Ia m engkhayalkan perm adani. Maka Lheureux yang dengan tegas berkata bahwa “hal itu belum sesukar m inum air laut sam pai habis”, dengan sopan berjanji akan m encarikannya sebuah. Em m a tidak bisa lagi hidup tanpa jasa-jasanya. Dua puluh kali sehari ia m enyuruh orang m em anggil Lheureux. Dan serta-m erta Lheureux m eninggalkan urusannya tanpa m engeluh. Orang juga tidak mengerti mengapa Ibu Rollet setiap hari makan siang di rum ah Em m a, bahkan m engujunginya sebagai tam u. Kira-kira pada waktu inilah, artinya m enjelang awal m usim dingin, Emma kelihatan dihinggapi kegairahan besar untuk main m u sik. Pada suatu m alam waktu Ch ar les m en den gar kan perm ainannya, Em m a em pat kali berturut-turut m engulangi perm ainan yang sam a, dan selalu ia m enjadi jengkel, sedangkan Charles yang tidak m endengar perbedaan apa-apa, berseru, “Bravo! Bagus sekali! J angan jengkel! Ayo teruskan!” “Tidak! J eleknya bukan m ain! J ariku sudah kaku.” Esok harinya, Charles m inta supaya Em m a m ain lagi sesuatu untuk dia. “Bolehlah, untuk m enyenangkan hatim u!” Dan Charles m engaku bahwa perm ainannya agak berkurang. Salah tangga nadanya, salah-salah m ainnya. Lalu m endadak sontak Em m a berhenti, “Ah! Sudahlah! Mestinya aku am bil les lagi tetapi....” Ia m enggigit bibir lalu m enam bahkan, “Dua puluh franc satu kali pelajaran, terlalu m ahal!” “Ya, m em ang... agak m ahal...” kata Charles sam bil m eringis tolol. “Tetapi saya rasa m ungkin ada yang lebih m urah. Sebab ada artis-artis yang tak m em punyai nam a, tapi yang kadang-kadang lebih berm utu dari m ereka yang sudah tenar.”
360 Gustave Flaubert “Carilah,” kata Em m a. Esok harinya waktu pulang, Charles m enatap Em m a dengan m ata cerdik. Dan akhirnya tak tahan lagi, lalu berkata, “Kau kadang-kadang m em ang keras kepala! Aku ke Barfeuchères hari ini. Nah, dengarkan! Menurut Nyonya Liégeard, ketiga putrinya yang tinggal di Miséricorde m engam bil les dengan bayaran lim a puluh sou setiap kali pelajaran. Dari guru yang hebat lagi!” Em m a m engangkat bahu, dan tidak lagi m em buka pianonya. Tetapi apabila ia lewat dekat piano itu (jika Bovary ada), ia m engeluh, “Aduh, kasihan pianoku!” Dan apabila ada yang datang m engunjunginya, ia tak lupa menceritakan bahwa ia sudah lama tidak main musik lagi, dan sekarang belum dapat mulai lagi karena alasan-alasan penting. Maka orang pun m engasihaninya. Sayang! Padahal bakatnya besar! Sampai-sampai mereka berbicara tentang hal itu dengan Bovary. Ia diperm alukan oleh m ereka, apalagi oleh apoteker! “Anda salah! Bakat alam sekali-kali tak boleh dibiarkan begitu saja. Lagi pula pikirkan saja, tem anku yang baik, kalau Nyonya diberi dorongan untuk belajar, Anda berhem at untuk pendidikan m usik anak Anda nanti! Menurut saya, para ibu harus m engajar sendiri anak-anaknya. Gagasan itu datangnya dari Rousseau, boleh jadi m asih agak baru, tetapi akhirnya akan m enang juga, saya yakin, seperti halnya dengan penyusuan bayi oleh ibunya sendiri, dan pencacaran.” Maka Charles pun sekali lagi m em bicarakan soal piano itu. Emma menjawab dengan sengit bahwa lebih baik dijual saja. Kasihan piano yang dahulu selalu m em beri kepuasan angkuh itu m elihatnya pergi dari rum ah, bagi Nyonya Bovary sam a dengan m em bunuh secara yang tak terperikan sebagian dari dirinya sen d ir i. “Kalau kau m au...” kata Charles, “sekali-sekali m engam bil pelajaran, tak akan terlalu memelaratkan kita.”
Nyonya Bovary 361 “Tetapi pelajaran itu,” tukas Em m a, “hanya bisa berm anfaat kalau dilanjutkan.” Dem ikianlah cara Em m a m endapatkan izin dari suam inya untuk pergi ke kota satu kali sem inggu m enengok kekasihnya. Bahkan sehabis satu bulan orang berkata kem ajuannya besar sekali.
Bab V HARI KAMIS. Emma bangun, dan berpakaian diam-diam supaya tidak m em bangunkan Charles yang pasti akan m enegurnya mengapa ia begitu pagi sudah bersiap-siap. Lalu ia berjalan mondar- mandir, ia mendekati jendela-jendela, ia memandang ke lapangan besar. Terang fajar menyelinap di antara tiang-tiang pasar besar, dan rumah apoteker yang daun-daun jendelanya masih tertutup, memperlihatkan huruf-huruf besar papan namanya dalam warna pucat dini hari. Waktu jam berbunyi pukul tujuh lewat seperem pat, ia keluar m enuju Singa Em as, yang pintunya dibukakan oleh Artém ise sam bil m enguap. Gadis itu untuk Nyonya m engorek-ngorek batu bara yang terpendam di bawah abu. Em m a tinggal seorang diri di dapur. Sekali-sekali ia keluar. Hivert tanpa bergesa- gesa m em asang kuda. Lagi pula ia sedang m endengarkan Nyonya Lefrançois, yang dengan m elongokkan kepalanya yang bersongkok katun dari salah satu jendela kecil, m enyam paikan
Nyonya Bovary 363 pesanan-pesanannya dan m em beri keterangan-keterangan yang akan m em buat orang lain selain Hivert m enjadi pusing. Em m a m enghentak-hentakkan sol sepatu botnya ke batu-batu lantai di pekarangan dalam . Pada akhirnya, setelah m akan sup, Hivert m engenakan m antelnya dari kulit kam bing, m enyalakan pipanya dan meraih cemeti, lalu dengan tenang mengambil tempat di atas jok. Kuda-kuda Hirondelle berangkat dengan berlari kecil, dan selama tiga per empat mil sebentar-sebentar berhenti untuk m enerim a penum pang yang m enunggunya dengan tidak sabar di pinggir jalan, di depan pagar pekarangannya. Mereka yang kem arinnya telah m em esan tem pat, m em aksa kereta itu m enunggu. Bahkan ada beberapa yang m asih tidur di rum ah. Hivert m em anggil-m anggil, berteriak-teriak, m em aki-m aki, lalu turun dari tem patnya untuk m enggedor pintu. Angin berem bus dari jendela kereta yang sudah retak-retak. Sementara itu keempat bangku terisi, kereta menggelinding, pohon apel berlalu berturut-turut. Dan jalan di antara kedua parit yang m em anjang penuh air kuning, terus saja m akin m enyem pit ke arah cakrawala. Emma sudah mengenal jalan itu dari ujung ke ujung. Emma tahu bahwa sesudah padang perumputan ada tiang, lalu ada pohon orm e, gudang atau gubuk pekerja jalanan. Ada kalanya bahkan, dengan harapan m endapatkan hal yang tidak diduga- duga, Em m a m em ejam kan m atanya. Tetapi perasaannya yang tegas akan jarak yang harus ditem puh, tidak pernah hilang. Pada akhirnya rum ah-rum ah bata m endekat, tanah menggema di bawah roda-roda kereta, Hirondelle meluncur di antara kebun-kebun yang dari celah-celah pagar kelihatan di dalam nya ada patung-patung, pohon-pohon cem ara yang dipangkas, dan sebuah ayun-ayunan. Lalu dalam sekejap m ata muncullah kota.
364 Gustave Flaubert Kota yang turun berjenjang seperti amiteater dan tenggelam di dalam kabut itu, sesudah jembatan-jembatan melebar tak teratur. Sesudah itu alam di luar kota naik lagi tanpa variasi, sam pai di kejauhan m enyentuh kaki langit pucat yang kabur. Dilihat dem ikian dari atas, pem andangan seluruhnya kelihatan tanpa gerak seperti sebuah lukisan; kapal-kapal yang berlabuh m engonggok di pojok, sungai m elingkarkan keluknya pada kaki bukit-bukit hijau, dan pulau-pulau yang m em anjang bentuknya, seakan-akan ikan-ikan besar hitam yang tertahan di atas air. Cerobong-cerobong pabrik m engepulkan gum palan- gum palan cokelat yang besar sekali, yang m em buyar ke arah ujung. Terdengar dengkur peleburan-peleburan diiringi bunyi jernih lagu lonceng-lonceng dari gereja-gereja yang m enjulang di dalam kabut. Pohon-pohon di jalan raya gundul-gundul, bagaikan sem ak-sem ak ungu di tengah rum ah-rum ah, dan atap-atap yang mengkilap kena hujan berkeredep tak merata, menurut tinggi rendah letak daerahnya. Kadang-kadang ada sentakan angin yang m em bawa awan-awan ke arah lereng Sainte-Cathérine, bagaikan arus-arus udara yang m em ecah m em bentur tebing karang tanpa suara. Bagi Em m a sesuatu yang m enggam angkan m eruap dari kehidupan-kehidupan yang tertum puk di situ, dan hatinya m em bengkak karena m enghirupnya banyak-banyak, seakan- akan kedua puluh ribu jiwa yang berdenyut di sana sem uanya secara serentak telah m engem buskan kepadanya ruapan nafsu berahi yang dikiranya ada pada m ereka. Cintanya m engem bang berhadapan dengan keluasan itu, dan dipenuhi keriuhan dari dengung yang sayup-sayup naik dari bawah. Ia m enum pahkannya kembali ke luar, ke atas lapangan-lapangan umum, ke atas tempat-tempat orang suka cari angin, ke atas jalanan. Dan kota Norm andia yang tua itu terbentang di depan m atanya seakan- akan ibukota yang luar biasa besarnya, seakan-akan kota Babilonia
Nyonya Bovary 365 yang dim asukinya. Ia m enjenguk ke luar dengan kedua tangannya bertum pu pada jendela, m enghirup angin sem ilir. Ketiga kuda itu mencongklang, batu-batu berderak di dalam lumpur, kereta bergoyang-goyang. Dan Hivert dari jauh m em anggil-m anggil kereta-kereta di jalan, sedangkan orang-orang kota yang m alam itu berm alam di Bois-Guillaum e dengan santai m enuruni lereng di dalam kereta keluarga m ereka yang kecil. Mereka berhenti di depan pagar pabean. Emma melepaskan sandalnya, m engganti sarungtangannya, m erapikan selendangnya. Dan dua puluh langkah kemudian ia turun dari Hirondelle. Maka kota pun bangunlah. Pelayan-pelayan toko yang m em akai songkok Yunani m enggosok kaca pajangan tokonya. Dan perem puan-perem puan yang m enggendong keranjang di pinggul, sebentar-sebentar melontarkan teriakan lantang di pojok-pojok jalan. Emma berjalan dekat tembok sambil menunduk, dan tersenyum senang di bawah cadar hitam yang diturunkannya sehingga menutupi wajah. Karena takut dilihat orang, ia biasanya tidak m engam bil jalan yang paling dekat. Ia m em asuki lorong-lorong gelap, dan basah dengan keringat, tiba di dekat ujung J alan Nationale, dekat air m ancur yang terdapat di tem pat itu. Daerah itu daerah teater, penginapan, dan perempuan. Sering kali ada pedati lewat dari dekat, m engangkut sebuah dekor yang bergetar. Pelayan-pelayan yang m em akai celem ek hijau. Ada bau m inum an absint, serutu, dan masakan kerang. Em m a m em belok, dan m engenali Léon dari ram butnya yang keriting, yang keluar dari bawah topinya. Léon di kaki lim a berjalan terus. Em m a m engikutinya sam pai ke hotel. Léon naik, ia m em buka pintu, ia m asuk.... Asyiknya dekapan mereka! Lalu sesudah kecup dan cium , m eluncurlah tutur kata. Mereka bercerita tentang kesedihan-kesedihan selama seminggu
366 Gustave Flaubert itu, tentang irasat mereka, kekhawatiran mereka mengenai surat-surat. Tetapi kini segalanya sudah terlupa. Dan m ereka berpandangan, mata menatap mata, dengan tawa gairah dan panggilan-panggilan mesra. Tem pat tidurnya ranjang besar dari kayu m ahoni berbentuk perahu. Kelam bu dari kain sutra polos warn a m erah yan g bergantung dari langit-langit, diikat terlalu rendah dekat ujung kepala tem pat tidur yang m elebar. Dan tak ada di dunia yang seindah kepala Em m a dengan ram butnya yang pirang kecokelatan dan kulitnya yang putih, yang tam pak nyata pada latar warna ungu itu, apabila dengan gerak malu Emma merapatkan kedua lengannya yang telanjang dan m enyem bunyikan m ukanya dalam sungkupan tangannya. Kam ar yang hangat itu, dengan perm adaninya yang tak m enarik perhatian, hiasan-hiasannya yang lincah dan cahaya yang tenang, rupanya cocok sekali untuk kem esraan nafsu berahi. Ruji-ruji yang m eruncing ke ujung, gantungan-gantungan dari kuningan dan bola-bola besar jepitan arang tiba-tiba bercahaya kalau sinar matahari masuk. Di atas bendul perapian, di antara kandil-kandil, ada dua kerang besar-m erah m uda yang memperdengarkan suara laut apabila ditempelkan ke telinga. Bukan m ain sukanya m ereka pada kam ar yang m enyenangkan penuh keriangan itu, sekalipun cerlangnya sudah agak luntur! Mereka selalu m endapatkan perabotnya kem bali di tem pat yang sam a, dan kadang-kadang tusuk-tusuk kondenya yang pada hari Kam is yang lalu tertinggal di bawah alas jam . Mereka m akan siang di dekat api, di atas m eja kecil yang bertatahkan kayu lem bayung. Em m a m em otong dagingnya, m enaruh potongan- potongannya di piring Léon sam bil m elancarkan segala kata sayang dan rayu. Dan ia tertawa dengan gelak m erdu dan nakal apabila busa anggur tumpah, dari gelas ke cincin-cincin di jari- jarinya. Mereka sepenuhnya diasyikkan oleh perasaan saling
Nyonya Bovary 367 memiliki sehingga mereka merasa berada di rumah sendiri, dan akan hidup di situ sampai mati, bagai sepasang mempelai abadi. Mereka berkata “kam ar kita”, “perm adani kita”. “kursi-kursi kita”. Em m a bahkan bilang “sandalku”, sebuah pem berian dari Léon, suatu keinginan yang tadinya tim bul m endadak di dalam hatinya. Sandal itu dari satin m erah jam bu, dengan pinggiran dari bulu angsa. Apabila ia duduk dipangkuan Léon, kakinya yang dalam keadaan sedemikian terlalu pendek, menjuntai, dan alas kaki m olek yang tidak m endapat tem pat itu hanya bergantung pada jari-jari kakinya yang telanjang. Léon untuk kali pertam a m encicipi kelem butan yang tak terperikan dari sifat-sifat kewanitaan yang lem ah gem ulai. Belum pernah terjum pa olehnya keluwesan bahasa dan kesederhanaan busana seperti itu, serta tingkah lakunya seperti burung dara yang terlena. Léon m engagum i gairah jiwanya dan renda-renda gaunnya. Lagi pula, bukankah dia “seorang Nyonya”, dan seorang wanita yang sudah kawin! Pendeknya, benar-benar seorang gen d a k? Lantaran keanekaan suasana hatinya, yang berganti-ganti penuh rahasia dan gembira, penuh ocehan, membisu, penuh gairah, tak acuh, m aka Em m a m enim bulkan dalam hati Léon ingatan akan seribu satu keinginan, membangkitkan naluri atau kenang-kenangan. Em m a adalah kekasih yang terdapat dalam sem ua rom an, tokoh dalam sem ua tragedi, si dia yang samar-samar dalam semua kumpulan sajak. Di bahu Emma, Léon m enem ukan kem bali warna pualam “dayang yang sedang m andi”. Blusnya panjang seperti yang dipakai tuan putri di puri bangsawan. Ia m irip pula “Wanita Barselona yang Pucat Pasi”, tetapi di atas segala-galanya ia bidadari! Acap kali, apabila Léon sedang m em andang Em m a, rasa- rasanya seperti jiwa Léon m elesat lepas m enyam butnya dan
368 Gustave Flaubert tum pah seperti alun m em belai kepalanya, lalu turun terhanyut ke dalam keputihan dadanya. Léon m encari tem pat di lantai, di depan Em m a. Dan dengan kedua siku di lututnya, m enatap Em m a sam bil tersenyum , dengan muka mendongak. Em m a m em bungkuk ke arahnya, dan berbisik seakan-akan disesaki kemabukan. “Oh! J angan bergerak! J angan bicara! Pandang aku! Matam u m em ancarkan sesuatu yang begitu lem but hingga jiwaku m erasa nyam an!” Em m a m em anggilnya “buyung”. “Buyung, cintakah kau padaku?” Dan ia tidak m endengar jawabannya, karena bibirnya sudah m enyam bar m enyam but m ulut Léon. Di atas jam ada Kupido kecil dari perunggu yang sam bil tersenyum m anja m elengkungkan lengan-lengannya di bawah karangan bunga yang keem as-em asan. Sering m ereka geli m elihatnya. Tetapi apabila m ereka harus berpisah, sem uanya serasa serba berat. Tanpa bergerak mereka berhadapan, berulang-ulang m engatakan, “Sam pai Kam is! Sam pai Kam is!” Sekonyong-konyong Em m a m em egang kepala Léon dengan kedua belah tangannya, m encium cepat-cepat dahinya sam bil berseru, “Adieu! Selam at tinggal!” lalu lari m enuruni tangga. Em m a pergi ke J alan Com édie, ke tukang rias ram but untuk m erapikan dandanan ram butnya. Malam tiba. Lam pu gas di dalam butik dinyalakan. Ia m endengar bunyi lonceng kecil dari gedung teater yang m em anggil para pem ain untuk pertunjukan. Lalu dilihatnya di seberang orang-orang lelaki dengan wajah putih dan perempuan- perem puan dengan pakaian yang sudah luntur lewat, dan m asuk pintu panggung.
Nyonya Bovary 369 Udara terasa panas di dalam ruang kecil yang terlalu rendah itu, dengan alat pem anas yang m endengkur di tengah-tengah ram but-ram but palsu dan m inyak-m inyak ram but. Bau alat-alat pengeriting, serta tangan-tangan gem uk yang m enata ram butnya itu segera m em beratkan kepalanya, dan ia tertidur sebentar di bawah baju penutupnya. Acap kali, sam bil m enata ram but Em m a, si pelayan m enawarkan karcis untuk pesta dansa berkedok. Lalu Em m a pergi lagi! Ia m elintasi jalan dem i jalan. Ia sam pai di Croix-Rouge, m engenakan kem bali sepatu luarnya yang tadi pagi disem bunyikannya di bawah salah satu bangku, lalu berim pit di tem patnya antara para penum pang yang sudah tidak sabar. Beberapa orang turun di kaki bukit. Ia tinggal sendiri di dalam kereta. Pada tiap pengkolan m akin lam a m akin banyak yang kelihatan dari seluruh penerangan kota, yang m em bentuk kabut bercahaya yang besar di atas rum ah-rum ah yang rem ang. Em m a berlutut di atas bantal-bantal, dan m atanya m engem bara dalam cahaya yang m enyilaukan itu. Ia tersedu, m em anggil Léon dan m elayangkan kata-kata m esra ke alam atnya serta kecup cium yang hilang terbawa angin. Di lereng gunung itu ada seorang laki-laki yang m alang, yang berkeluyuran dengan tongkatnya di tengah-tengah kereta-kereta. Setum puk kain rom beng m enutup bahunya, dan sebuah topi tua dari kulit berang-berang yang sudah rusak dan m enjadi bundar seperti baskom m enyem bunyikan m ukanya. Tetapi apabila topi itu dibukanya, terlihatlah di tem pat kelopak m atanya, dua rongga m ata yang m enganga berdarah. Dagingnya robek-robek berjerabai m erah. Dan ada cairan m eleleh ke luar yang m em beku m enjadi kurap hijau sam pai ke hidung yang cupik hitam nya m endengus tersendat-sendat. Kalau m au bicara, ia m endongakkan kepalanya sam bil tertawa sinting. Lalu kedua biji m atanya yang kebiru-
370 Gustave Flaubert biruan dan terus menerus berputar, di dekat pelipis membentur tepi luka yang terbuka itu. Ia m enyanyikan nyanyian pendek, sam bil m engikuti kereta- kereta. “Sering udara hangat suatu hari cerah m em baw a si upik m elam unkan cinta.” Selanjutnya ada burung-burung, m atahari, dan dedaunan. Ada kalanya ia m uncul dengan tiba-tiba di belakang Em m a, dengan kepala tak bertopi. Em m a m undur m enjerit. Hivert datang m engganggu laki-laki itu. Ia disuruhnya m enyewa gubuk di pasar m alam Saint-Rom ain. Atau sam bil ketawa ia bertanya, bagaim ana keadaan pacarnya. Acap kali sem entara m ereka sedang jalan, topinya dalam tangan yang satu tersentak m asuk ke dalam kereta dari jendela, sedangkan ia sendiri dengan tangannya yang lain berpautan erat di atas tangga kereta, di tengah-tengah cipratan lumpur dari roda. Suaranya yang m ula-m ula lem ah dan m eratap seperti bayi yang baru lahir, kemudian meninggi. Suara itu lama mengalun di udara m alam seperti tangis sem ayup nestapa yang redup. Dan di sela- sela kerincing giring-giring, desir pepohonan, dan derung kereta yang kosong itu suaranya seakan-akan jauh, m em buat hati Em m a terkesim a. J iwanya tertem bus sam pai ke dasar seperti kalau pusaran angin m engolak ke dalam jurang, dan m enghanyutkannya ke tengah keluasan sendu tak bertepi. Tetapi Hivert yang m erasa ada sesuatu yang m em berati, m em bunyikan cem etinya keras- keras ke arah si buta. Ujung tali cem eti m enyentuh borok- boroknya, dan orangnya jatuh ke dalam lum pur dengan teriakan m elolon g. Akhirnya para penum pang Hirondelle tertidur. Ada yang m ulutnya terbuka, ada yang dagunya turun, yang m elendot pada
Nyonya Bovary 371 bahu tetangganya, atau m em asukkan lengan ke dalam sengkelit pegangan tangan, sam bil bergoyang teratur ke sana kem ari m enurut goncangan kereta. Dan cahaya lentera yang bergoyang- goyang di luar, m em antul ke atas pantat kuda-kuda kereta, m asuk ke dalam menembusi gorden-gorden dari katun cokelat dan m em buat bayangan-bayangan berdarah di atas sem ua m ahkluk yang tidak bergerak itu. Dim abuk sedih, Em m a m enggigil di bawah pakaiannya. Kakinya terasa m akin lam a tam bah dingin serta m aut hinggap di dalam jiwanya. Di rum ah, Charles sedang m enunggu. Kereta Hirondelle selalu terlam bat hari Kam is. Akhirnya Nyonya datang juga, dan sekilas saja mencium si kecil. Makanan belum siap. Tak mengapa! Tukang m asak dim aafkannya. Perem puan itu sekarang rupanya boleh berbuat seenaknya. Sering kali suam inya m elihat wajahnya yang pucat, dan bertanya apakah Em m a kurang enak badannya. “Tidak,” kata Em m a. “Tapi,” jawabnya, “kau kelihatan ganjil benar m alam ini?” “Ah! Tidak apa-apa! Tidak apa-apa!” Bahkan ada kalanya Em m a langsung naik ke kam arnya, begitu ia tiba di rum ah. Dan J ustin yang ada di kam ar, m ondar- m andir dengan langkah redam , lebih pintar m elayaninya dari pelayan wanita yang paling baik. Ia m enyiapkan korek api, tem pat lilin, sebuah buku, m enyediakan baju tidur, m enyelakkan rentangan selimut. “Ayo,” kata Em m a, “sudah baik begitu, tinggalkan saja.” Sebab J ustin tetap berdiri di tem patnya, dengan tangan terjurai dan mata terbelalak, seolah-olah terbelit dalam lilitan sejuta benang im pian yang tiba-tiba tim bul. Esoknya sepanjang hari bukan m ain sedihnya. Dan hari- hari berikutnya lebih-lebih lagi tak m em betahkan, karena Em m a tidak dapat lagi m enahan keinginannya untuk m eraih kem bali
372 Gustave Flaubert kebahagiaannya; kerakusan getir yang terangsang oleh bayangan- bayangan yang sudah dikenal, dan yang pada hari ketujuh m eledak dengan selela-lelanya dalam belaian Léon. Adapun gairah Léon tersem bunyi di balik curahan rasa takjubnya dan rasa bersyukurnya. Em m a m encicipi percintaan itu dengan hati- hati dan asyik. Ia m em upuknya dengan segala akal m uslihat kem esraannya, dan hatinya agak getar jangan-jangan akan hilang n a n t in ya . Acap kali Em m a berkata, dengan nada m anis lem but dalam suaranya yang sendu. “Ah! Kau, kau pun bakal m eninggalkan aku! Kau akan kawin! Kau bakal seperti yang lain-lain.” Léon bertanya, “Yang lain yang m ana?” “Ya kaum laki-laki, kan,” jawabnya. Lalu Em m a m enam bah sam bil m enolak Léon dengan gerak yang penuh rindu. “Kalian bajingan sem uanya!” Pada suatu hari, waktu mereka berilsafat membicarakan kekecewaan-kekecewaan duniawi, Emma sampai berkata (untuk m enguji rasa cem burunya, atau boleh jadi karena m au m em perturutkan dorongan hati yang terlalu kuat untuk m encurahkan isi kalbunya) bahwa dulu, sebelum Léon, dia pernah m encintai seseorang. “Tidak seperti kau!” katanya cepat, sam bil bersum pah dem i anak gadisnya bahwa “tak pernah terjadi apa-apa.” Anak m uda itu percaya. Meskipun begitu, ia m enanyainya hendak mengetahui kerja si dia. “Dia kapten kapal, sayangku.” Bukankah dengan dem ikian tercegah setiap penyelidikan bahkan sekaligus dirinya ditem patkan sangat tinggi, karena dianggap daya pesonanya telah m em ikat seorang laki-laki yang
Nyonya Bovary 373 m estinya m em punyai watak galak dan yang terbiasa diperlakukan dengan hormat? Maka si kerani m erasa betapa kecil kedudukannya. Ia iri pada segala epolet, tanda kehorm atan, gelar. Sem uanya itu pasti m enyenangkan Em m a. Hal itu sudah disangkanya, m elihat kebiasaan Emma menghambur-hamburkan uang. Akan tetapi m en genai kein ginannya yang bukan-bukan, banyak yang tidak diceritakan Em m a, seperti um pam anya keinginannya untuk m em punyai sebuah kereta tilbury biru yang dapat m engantarkannya ke Rouen, yang ditarik kuda Inggris, dan dikem udikan oleh seorang tukang kuda yang m em akai sepatu bot yang dilipat bagian atasnya. J ustin-lah yang m engilham i keinginan m endadak ini, waktu ia m em ohon supaya Em m a m enerim anya sebagai pelayan rum ahnya. Dan m eskipun tidak terkabulnya keinginan itu tidak m engurangi kesenangannya setiap kali ia sampai di tempat mereka berkencan, hal itu memang m enam bah kegetirannya waktu pulang. Acap kali, apabila m ereka bersam a m em bicarakan Paris, Em m a berakhir dengan bisikan, “Ah! Senang benar kita kalau bisa hidup di sana!” “Bukankah kita sekarang berbahagia juga?” kata anak m uda itu dengan lem but, seraya m engusap ram but Em m a yang lebat m elingkari kepalanya. “Mem ang benar,” kata Em m a. “Aku gila. Peluk aku!” Terhadap suam inya Em m a belum pernah sem anis itu. Dia dibuatnya m asakan krim dengan badam hijau, dim ainkannya lagu-lagu wals sesudah m akan m alam . J adi Charles m enganggap dirinya yang paling beruntung dari sem ua m akhluk. Dan Em m a tidak m erasa cem as waktu pada suatu m alam sekonyong-konyong Charles berkata, “Yang m em beri pelajaran Nona Lem pereur, bukan?” “Be t u l.”
374 Gustave Flaubert “Begini, tadi aku berjum pa dengan dia,” kata Charles lagi, “di rum ah Nyonya Liegéard. Aku bicara tentang kau dengan dia. Dia tidak tahu siapa kau.” Em m a serasa disam bar kilat. Nam un jawabnya dengan nada yang wajar, “Ah! Dia pasti lupa nam aku!” “Tapi m ungkin di Rouen ada beberapa Nona Lem pereur yang menjadi guru piano,” kata dokter. “Mungkin saja!” Lalu, gesit. “Tapi aku punya resinya. Lihat saja!” Lalu ia pergi ke m eja tulisnya, m em bongkar sem ua laci, m engaduk sem ua kertasnya, dan akhirnya m enjadi begitu bingung hingga Charles m endesak supaya jangan repot-repot begitu hanya karena kuitansi sialan itu. “Oh, tapi nanti ketem u juga!” kata Em m a. Dan m em ang, hari J um at berikutnya sudah, waktu Charles hendak m em asukkan salah satu sepatu botnya ke dalam lem ari gelap tem pat pakaiannya dijejalkan, ia m erasa ada sehelai kertas antara kulit sepatu dengan kausnya. Diam bilnya kertas itu lalu d ib a ca n ya : Telah diterim a, untuk tiga bulan pelajaran ditam bah beberapa perlengkapan, jum lah uang sebany ak enam puluh lim a franc. Felicie L’Em pereur, Guru m usik. “Astaga, bagaim ana bisa sam pai m asuk sepatu botku?” “Pasti jatuh dari dus kartun tua tem pat bon yang letaknya di pinggir papan itu,” jawab Emma.
Nyonya Bovary 375 Mulai saat itu, kehidupannya tidak lain dari serentetan bohong untuk m enyem bunyikan cintanya seperti dalam kain selu b u n g. Hal itu sudah menjadi suatu kebutuhan, candu, kesenangan yang dijalankan sedem ikian jauhnya hingga kalau ia katakan kem arin berjalan di sebelah kanan jalan, yang harus disangka ialah bahwa ia telah mengambil jalan kiri. Pada suatu pagi setelah Emma pergi dengan berpakaian agak tipis seperti kebiasaannya, salju tiba-tiba turun. Dan sewaktu Charles m enatap cuaca dari jendela, dilihatnya Tuan Bournisien di kereta Tuan Tuvache yang akan m engantarnya ke Rouen. Charles pun lalu turun untuk m enitipkan syal tebal kepada rohaniwan itu supaya disam paikan begitu Em m a tiba di Croix-Rouge. Begitu ia m asuk penginapan itu, Bournisien bertanya di m ana istri dokter Yonville. Pem ilik penginapan, seorang wanita, m enjawab bahwa nyonya itu jarang sekali m engunjungi tem patnya. Maka waktu pastor m alam nya m elihat Nyonya Bovary di kereta Hirondelle, ia m enceritakan kerikuhannya, tapi kelihatannya tanpa m enganggap hal itu penting. Karena ia segera m elancarkan pujian m engenai seorang pengkhotbah yang sedang naik pam ornya di katedral, dan sem ua wanita berdatangan m au m endengarkannya. Biar ia tidak m inta keterangan apa-apa, nam un orang lain di kem udian hari dapat saja bersikap m au tahu lebih lanjut. Karena itu Em m a m enganggap perlu untuk setiap kali turun di Croix- Rouge, supaya orang baik-baik dari kotanya yang m elihat ia naik turun tangga tidak m em punyai syak wasangka. Akan tetapi pada suatu hari Tuan Lheureux m enjum pai dia keluar dari Hotel de Boulogne bergandengan dengan Léon. Dan ia takut karena sudah m em bayangkan Lheureux akan m em buka m ulut. Tuan Lheureux tidak sebodoh itu. Namun tiga hari kemudian, ia masuk ke kamar Emma, m enutup pintu, dan berkata, “Saya rupanya perlu uang.”
376 Gustave Flaubert Em m a berkata, ia tidak dapat m em beri uang, Lheureux menghamburkan keluh dan kesah, dan mengingatkan Emma tentang segala kebaikannya di m asa lam pau. Mem ang, dari kedua surat utang yang ditandatangani Charles, Em m a sam pai sekarang baru m elunasi sebuah. Adapun yang kedua, si pedagang atas permintaan Emma telah setuju untuk m enggantikannya dengan dua surat lain yang telah diperbaharui lagi tanggalnya supaya jangka waktunya agak panjang. Lalu Lheureux m engeluarkan dari kantongnya daftar dari barang- barang yang belum dibayar, yaitu: tirai-tirai, perm adani, kain untuk kursi-kursi, beberapa gaun, dan pelbagai barang rias, yang harganya m encapai jum lah kira-kira dua ribu franc. Em m a m enunduk. Lheureux berkata lagi, “Tetapi kalaupun Anda tidak m em punyai uang, Anda, kan, m em punyai m ilik....” Lalu ia sebut sebuah pondok buruk yang terletak di Berneville, di dekat Aum ale, yang ham pir tidak m enghasilkan apa-apa. Dulunya pondok itu m erupakan bagian dari suatu pertanian kecil yang dijual oleh Tuan Bovary, ayahnya. Karena Lheureux tahu segala-galanya, bahkan sam pai ke jum lah hektarnya, dan nam a para tetangga. “Kalau saya m enjadi Anda,” katanya, “saya jual. Masih bakal ada kelebihan uangnya nanti.” Em m a m engem ukakan sukarnya m encari pem beli. Lheureux m em beri harapan ia dapat m enem ukannya. Tetapi Em m a bertanya apa yang harus dilakukannya supaya ia dapat m enjualnya. “Anda, kan, m em punyai surat kuasa,” jawabnya. Kata-kata itu datangnya seperti em busan angin segar pada Emma. “Tinggalkan rekening Anda di sini,” kata Em m a. “Oh, tidak perlu!” jawab Lheureux.
Nyonya Bovary 377 Ia kem bali m inggu berikutnya, dan m em bual bahwa dengan susah payah, ia akhirnya m enem ukan seorang bernam a Langlois yang sudah lam a m eliriki m ilik itu, tapi tanpa m enyebut harga. “Ah, tidak jadi soal harganya!” seru Em m a. Tapi sebaliknya, m ereka harus m enunggu, m enjajaki kem ungkinan orang itu. Ada gunanya m enem puh perjalanan untuk hal itu, dan karena Em m a tidak dapat pergi, Lheureux m enawarkan diri untuk m engunjungi tem pat itu supaya dapat m enghubungi Langlois sendiri. Setelah kem bali, ia m em beritahukan bahwa si pembeli menawarkan empat ribu franc. Emma berseri-seri mendengar berita itu. “Terus terang,” tam bah Lheureux, “bagus juga harganya.” Emma menerima separuh dari harga itu seketika itu juga, lalu ketika ia hendak m elunasi rekeningnya, si pedagang berkata, “Saya sebenarnya sedih, percayalah, m elihat Anda langsung m elepaskan uang sebanyak itu.” Lalu Em m a m enatap lem baran-lem baran uang itu dan sam bil m em bayangkan jum lah pertem uan yang tak terbatas dengan Léon yang diwakili oleh dua ribu franc itu. Katanya m enggagap, “Bagaim ana! Bagaim ana!” “Oh,” sam bung Lheureux sam bil tertawa ram ah, “kuitansi itu bisa saja ditulis bagaim ana m aunya. Saya, kan, tahu juga persoalan rumah tangga.” Lalu ia m enatap Em m a tegas-tegas, sedangkan tangannya m enggenggam dua helai kertas panjang yang digeser-geserkannya di antara kuku-kukunya. Akhirnya ia m em buka dom petnya, dan di atas m eja dibentangkannya em pat lem bar surat prom es, masing-masing untuk seribu franc. “Tanda tangani ini,” kata Tuan Lheureux, “m aka uang untuk Anda sem uanya.” Emma menjerit kecil, merasa tersinggung.
378 Gustave Flaubert “Tapi kalau kelebihannya saya berikan kepada Anda,” jawab Tuan Lheureux lancang, “bukankah itu akan m em bantu Anda?” Lalu ia m engam bil pena, dan m enulis di bawah rekeningnya, “Tanda terim a dari Ny ony a Bovary em pat ribu franc.” “Apa yan g m en cem askan An da. Bukan lah An da akan m enerim a jum lah yang belum dilunasi dari pondok Anda enam bulan lagi, dan saya tentukan pem bayaran surat yang terakhir itu pada tanggal sesudah pem bayaran itu?” Em m a m enjadi agak bingung m endengar perhitungannya itu, dan telinganya m engiang seolah-olah m endengar gem erincing uang em as m enggelinding dari kantongnya yang retas ke lantai papan di sekelilingnya. Akhirnya Lheureux m enerangkan bahwa ia m em punyai tem an, Vinçart, bankir di Rouen, yang akan mendiskontokan ke empat lembar promes itu, lalu ia akan m enyerahkan sendiri kepada Nyonya sisanya sesudah utang yang sebenarnya dibayar. Nam un bukannya dua ribu franc yang disam paikannya kepada Em m a, tapi hanya seribu delapan ratus, karena si tem an Vinçart itu (yang m em ang sudah selayaknya) telah m em otongnya dua ratus franc sebagai biaya kom isi dan diskonto. Lalu dengan tak acuh ia m inta tanda terim a. “Anda m engerti... dalam perdagangan... kadang-kadang.... Harap tulis juga tanggalnya, Nyonya, tanggalnya.” Maka di depan m ata Em m a terbukalah cakrawala khayalan yang dapat m enjadi kenyataan. Ia m asih cukup berhati-hati. Maka disisihkannya seribu écu, yang dipakainya untuk m em bayar ketiga surat pertam a ketika sudah tiba waktunya. Tetapi yang keem pat kebetulan sam pai di rum ah pada suatu hari Kam is, dan Charles kebingungan, dengan sabar m enunggu istrinya pulang untuk minta keterangan. J ika Em m a tidak m em beri tahu Charles m engenai surat utang itu, sebabnya karena m au m enjauhkan segala kerepotan
Nyonya Bovary 379 rum ah tan gga dari Charles. Em m a duduk di pangkuann ya, m em belainya, m encum bunya, m enyebutkan satu per satu sem ua barang yang tidak bisa tidak harus ada dan yang sudah dibelinya dengan mencicil. “Pendeknya, kau harus m engaku bahwa, m elihat banyaknya, harganya tidak terlalu m ahal.” Charles, yang kehabisan akal segera m inta bantuan dari Lheureux, lagi-lagi Lheureux, yang bersum pah akan m em bereskan persoalan itu. Asal saja Tuan m au m enandatangani dua surat utang, yang satu seharga tujuh ratus franc yang harus dibayar dalam tiga bulan. Supaya m em ungkinkannya, Charles m enulis kepada ibun ya sepucuk surat yan g m en gharukan . Alih-alih m engirim jawaban, ibunya datang sendiri. Dan waktu Em m a ingin tahu apakah Charles ada m em peroleh apa-apa dari ibunya, jawabnya, “Ada. Tapi ia m au m elihat rekeningnya.” Esok harinya, pagi-pagi sekali, Em m a bergegas m endapatkan Tuan Lheureux di rum ahnya dan m inta kepadanya supaya dibuatnya kuitansi lain yang tidak m elebihi seribu franc. Sebab kalau ia m em perlihatkan yang em pat ribu itu, ia terpaksa m enyatakan bahwa ia telah m em bayar dua pertiganya, dan akibatnya harus m engaku telah m enjual rum ah itu, hasil perundingan yang dilakukan dengan baik oleh si pedagang, dan yang baru diketahui kem udian. Meskipun setiap barang itu m urah harganya, Ibu Bovary tetap m enganggap pengeluarannya keterlaluan. “Kalau tidak ada perm adan i, bagaim an a? Buat apa m engganti kain kursi? Waktu saya dahulu, hanya ada satu kursi besar di rum ah, untuk orang-orang yang sudah tua. Setidak- tidaknya begitulah di rum ah ibu saya, seorang wanita yang m ulia, percayalah, tidak sem ua orang bisa jadi kaya! Tak ada kekayaan yang dapat bertahan terhadap keborosan! Saya m alu kalau saya m em anjakan diri seperti yang Anda lakukan! Padahal saya, saya
380 Gustave Flaubert sudah tua, saya m em erlukan perhatian.... Bukan m ain! Bukan m ain segala pakaian, segala cingcong itu! Apa! Sutera untuk pelapis yang harganya dua franc! Padahal ada kain yang harganya sepuluh sou, m alahan ada yang harganya delapan sou, dan itu sudah memadai.” Em m a yang duduk bersandar di sofa, m enjawab dengan setenang mungkin. “Aduh, Nyonya, sudahlah! Sudah...!” Yang lain terus juga m engkhotbahinya dan m eram al bahwa mereka akan mengakhiri hidup mereka di panti asuhan. Salah Bovary, m em ang. Untung, ia berjanji akan m em usnahkan surat kuasa itu.... “Ap a ?” “Ah, ia sudah bersum pah kepada saya,” kata wanita itu m en gu la n gi. Em m a m em buka jendela, m em anggil Charles, dan laki-laki m alang itu terpaksa m engaku, janjinya yang telah dipaksakan oleh ibunya. Emma menghilang, lalu kembali cepat dan dengan gagah mengulurkan sehelai kertas tebal. “Terim a kasih,” kata wanita tua itu. Lalu surat kuasa itu dilem parkannya ke dalam api. Maka tertawalah Emma, tawa lengking, meledak-ledak, tak putus-putus, ia m endapat serangan saraf. “Ya Tuhan!” seru Charles. “Ah! Ibu juga bersalah! Ibu kem ari m encari gara-gara dengan dia!” Ibunya m engangkat bahu. Menurut dia, sem ua itu hanya ulah saja. Tetapi Charles untuk pertam a kalinya m em berontak dan m em bela istrinya, sam pai-sam pai Ibu Bovary m au pergi saja. Pada esok harinya juga ia berangkat, dan di am bang pintu, waktu Charles m encoba m enahannya, ia berkata, “Tidak! Tidak! Kau
Nyonya Bovary 381 lebih m encintai dia daripada saya, dan kau m em ang benar, sudah sewajarnya begitu. Selebihnya, apa boleh buat! Kau lihat saja sendiri nanti! Moga-m oga sehatlah engkau... karena saya tidak bakal cepat datang kemari lagi mencari gara-gara dengan dia seperti yang kau katakan.” Meskipun begitu, Charles m asih rikuh sekali terhadap Em m a, karena Em m a tidak m enyem bunyikan dendam nya terhadap suam inya yang tak percaya kepadanya. Lam a Charles m em bujuk- bujuk sebelum Emma mau menerima lagi surat kuasa dari dia. Bahkan Charles sam pai m enem aninya ke tem pat Tuan Guillaum in untuk m inta dibuatkan surat kuasa lagi, yang persis sam a seperti yang sudah. “Saya m engerti,” kata notaris, “seorang ilm uwan tidak bisa merepotkan diri dengan tetek bengek kehidupan sehari-hari.” Dan Charles m erasa lega m endengar pertim bangan yang hanya m au m enyenangkan hatinya saja, dan yang m em buat kelem ahannya kelihatan m anis, sebagai suatu urusan tingkat t in ggi. Betapa dahsyatnya luapan hati Em m a, hari Kam is berikutnya, di hotel, di kam ar m ereka, bersam a Léon! Em m a tertawa, m enangis, m enyanyi, m enari, m inta diantarkan m inum an sorbet ke kam ar, ingin m erokok, di m ata Léon seperti luar biasa berlebih-lebihan, tetapi menawan hati dan hebat. Léon tidak tahu apakah yang m engubah segenap jiwa Em m a sehingga m akin bernafsu m engejar segala kenikm atan hidup. Emma menjadi lekas marah, rakus, dan menggiurkan. Dan ia berjalan di jalan-jalan bersam a Léon dengan kepala tegak, tak takut, katanya, nam anya akan rusak. Akan tetapi ada kalanya ia gem etar karena tiba-tiba terlintas di pikirannya kem ungkinan akan berjum pa dengan Rodolphe. Karena m enurut perasaannya, m eskipun m ereka telah terpisah untuk selam anya, ia belum sam a sekali lepas dari ikatannya pada Rodolphe.
382 Gustave Flaubert Pada suatu m alam ia tidak pulang ke Yonville. Charles kebingungan, dan si kecil Berthe, yang tidak m au tidur tanpa ibunya, tersedu seakan-akan m au pecah dadanya. J ustin m encoba m en cari seken an ya di jalan . Bahkan Tuan H om ais sam pai m eninggalkan toko obatnya. Akhirnya pada pukul sebelas, Charles tak tahan lagi. Ia m em asang kuda, m eloncat ke dalam keretanya, m em ecuti binatang itu, dan tiba di Croix Rouge pada pukul dua pagi. Tak ada siapa-siapa. Mungkin, pikirannya, si kerani bertem u dengan dia. Tetapi di m ana tem pat tinggalnya? Untunglah Charles ingat alam at m ajikannya. Dan ke sanalah ia lari. Fajar sudah m enyingsing, m aka tam paklah olehnya papan- papan nama di atas sebuah pintu. Ia mengetuk. Seseorang tanpa m em buka pintu, berteriak m em berikan keterangan yang dim intanya, ditam bah caci m aki yang m enyum pahi m ereka yang mengganggu orang larut malam. Rum ah yang didiam i si kerani tidak ada belnya, tidak ada pengetuk pintu, ataupun penjaga. Charles m enggedor daun pintu dengan tangannya. Ada agen polisi kebetulan lewat. Charles menjadi takut, lalu pergi. Aku gila, batinnya, pasti ia ditahan m akan di rum ah Tuan Lorm eaux. Keluarga Lorm eaux sudah tidak tinggal di Rouen lagi. “Mun gkin ia tak pulan g karen a m au m erawat Nyon ya Dubreuil. Tapi... Nyonya Dubreuil sudah m eninggal sepuluh bulan yang lalu! Di m ana dia kalau begitu?” Suatu pikiran terlintas di benaknya. Di kafe ia m inta buku telepon, lalu dicarinya segera nam a Nona Lem pereur yang tinggal di J alan Renelledes-Maroquiniers nomor tujuh puluh empat. Ia sudah mau memasuki jalan itu ketika Emma muncul di ujung lainnya, Em m a ditubruk, bukan lagi didekap nam anya. Ia berseru, “Mengapa kau tidak pulang kem arin?” “Aku sakit.”
Nyonya Bovary 383 “Sakit apa? Di m ana? Bagaim ana?” Em m a m en gusap dahin ya jawabn ya, “Di tem pat Non a Lem pereur.” “Sudah kusangka! Aku m em ang sudah m au ke sana.” “Oh, tidak usah lagi,” kata Em m a. “Ia baru saja keluar tadi. Tapi untuk selanjutnya jangan waswas lagi begitu. Aku tak m erasa bebas, mengerti, jika aku tahu karena terlambat sedikit, kau sudah kebingungan begini.” Dengan dem ikian ia m em beri dirinya sem acam keluangan untuk m enyeleweng tanpa m enenggang. Maka dim anfaatkannya keluangan itu seenaknya, selelanya. Apabila ia ingin m elihat Léon, ia berangkat dengan dalih apa saja. Dan karena Léon pada hari itu tidak m enantikan kedatangannya, Em m a m enjem putnya di kantor. Pada m ulanya Léon bukan m ain bahagianya. Tetapi segera ia tidak dapat m enyem bunyikan lagi kenyataan bahwa m ajikannya sangat tidak m enyukai gangguan-gangguan itu. “Alah, ikut saja,” kata Em m a. Maka Léon pun pergi diam -diam . Em m a m inta supaya Léon berpakaian serba hitam dan m enum buhkan janggut lancip, supaya m irip potret-potret Louis XIII. Em m a ingin m elihat pem ondokannya. Menurut pendapatnya tak m em adai. Léon m alu tapi Em m a tidak m engindahkannya, lalu m em beri nasihat supaya Léon m em beli tirai seperti ia punya. Dan ketika Léon berkeberatan m engingat harganya, “Aiii, kau pelit ya!” kata Em m a sam bil tertawa. Tiap kali Léon harus m enceritakan seluruh kelakuannya, sejak pertem uan m ereka yang lalu. Em m a m inta syair, bagi Em m a. Tanda cinta untuk m engenang Em m a. Tak pernah Léon berhasil m enem ukan sajak untuk bait kedua. Dan akhirnya ia m enyalin saja soneta dari album kenang-kenangan.
384 Gustave Flaubert Ini bukan terdorong oleh rasa harga diri, tapi lebih karena hendak m enyenangkan hati Em m a. Léon tidak m em bantah gagasan-gagasan Em m a. Apa pun selera Em m a, diterim anya. Dialah yang m enjadi gendak Em m a, bukan Em m a gendaknya. Em m a m em punyai kata-kata yang lem but disertai cium an yang m em pesona jiwa Léon. Di m anakah ia belajar cara m erusak itu, yang ham pir tidak jasm aniah lagi lantaran dalam nya dan tersem bunyinya?
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164
- 165
- 166
- 167
- 168
- 169
- 170
- 171
- 172
- 173
- 174
- 175
- 176
- 177
- 178
- 179
- 180
- 181
- 182
- 183
- 184
- 185
- 186
- 187
- 188
- 189
- 190
- 191
- 192
- 193
- 194
- 195
- 196
- 197
- 198
- 199
- 200
- 201
- 202
- 203
- 204
- 205
- 206
- 207
- 208
- 209
- 210
- 211
- 212
- 213
- 214
- 215
- 216
- 217
- 218
- 219
- 220
- 221
- 222
- 223
- 224
- 225
- 226
- 227
- 228
- 229
- 230
- 231
- 232
- 233
- 234
- 235
- 236
- 237
- 238
- 239
- 240
- 241
- 242
- 243
- 244
- 245
- 246
- 247
- 248
- 249
- 250
- 251
- 252
- 253
- 254
- 255
- 256
- 257
- 258
- 259
- 260
- 261
- 262
- 263
- 264
- 265
- 266
- 267
- 268
- 269
- 270
- 271
- 272
- 273
- 274
- 275
- 276
- 277
- 278
- 279
- 280
- 281
- 282
- 283
- 284
- 285
- 286
- 287
- 288
- 289
- 290
- 291
- 292
- 293
- 294
- 295
- 296
- 297
- 298
- 299
- 300
- 301
- 302
- 303
- 304
- 305
- 306
- 307
- 308
- 309
- 310
- 311
- 312
- 313
- 314
- 315
- 316
- 317
- 318
- 319
- 320
- 321
- 322
- 323
- 324
- 325
- 326
- 327
- 328
- 329
- 330
- 331
- 332
- 333
- 334
- 335
- 336
- 337
- 338
- 339
- 340
- 341
- 342
- 343
- 344
- 345
- 346
- 347
- 348
- 349
- 350
- 351
- 352
- 353
- 354
- 355
- 356
- 357
- 358
- 359
- 360
- 361
- 362
- 363
- 364
- 365
- 366
- 367
- 368
- 369
- 370
- 371
- 372
- 373
- 374
- 375
- 376
- 377
- 378
- 379
- 380
- 381
- 382
- 383
- 384
- 385
- 386
- 387
- 388
- 389
- 390
- 391
- 392
- 393
- 394
- 395
- 396
- 397
- 398
- 399
- 400
- 401
- 402
- 403
- 404
- 405
- 406
- 407
- 408
- 409
- 410
- 411
- 412
- 413
- 414
- 415
- 416
- 417
- 418
- 419
- 420
- 421
- 422
- 423
- 424
- 425
- 426
- 427
- 428
- 429
- 430
- 431
- 432
- 433
- 434
- 435
- 436
- 437
- 438
- 439
- 440
- 441
- 442
- 443
- 444
- 445
- 446
- 447
- 448
- 449
- 450
- 451
- 452
- 453
- 454
- 455
- 456
- 457
- 458
- 459
- 460
- 461
- 462
- 463
- 464
- 465
- 466
- 467
- 468
- 469
- 470
- 471
- 472
- 473
- 474
- 475
- 476
- 477
- 478
- 479
- 480
- 481
- 482
- 483
- 484
- 485
- 486
- 487
- 488
- 489
- 490
- 491
- 492
- 493
- 494
- 495
- 496
- 497
- 498
- 499
- 1 - 50
- 51 - 100
- 101 - 150
- 151 - 200
- 201 - 250
- 251 - 300
- 301 - 350
- 351 - 400
- 401 - 450
- 451 - 499
Pages: